Pencarian

The Ring Of Solomon 4

Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud Bagian 4


bersamaku. Mungkin dia akan datang ke tempat ini. mungkin dia akan lupa pada misi
diplomatikya. Siapa yang bisa tahu" Dan ya, budak, aku berjanji padanya bahwa kau akan
meninggalkan pelayananmu padaku, dan kau memang akan melakukannya. Tapi aku
mengompensasi kerugian yang kau timbulkan padaku, kau akan melakukan sesuatu untukku
satu dukungan terakhir sebagai balasannya."
Dia meraba-raba jubahnya, mengeluarkan sesuatu yang putih dan bersinar, dan
mengacungkannya padaku. Di tangannya sebuah botol. Jenis yang membulat, mungkin
seukuran kepalan anak kecil. Botolnya terbuat dari kristal tebal yang jernih, cemerlang dan licin
dan bersegi banyak, dan ditaburi dengan ringan dengan bunga hiasan dari kaca.
"Suka?" si penyihir berkata. "Dari batu kristal Mesir. Aku menemukannya di sebuah makam."
Aku mempertimbangkannya. "Bunga-bunganya kelihatan sedikit kece."
"Mmmm, gayanya pada dinasti ke tiga memang sedikit mendasar," Khaba setuju. "Walau
begitu, jangan mengkhawatirkan dirimu, Bartimaeus. Kau tidak akan melihatnya, karena kau
akan berada di dalamnya. Botol ini," katanya, menyudutkannya sehingga permukaan
berseginya berkilat terkena cahaya, "akan menjadi rumah barumu."
Rohku melompat. Bukaan mulutnya yang kecil dan bulat bulat menganga hitam seperti kuburan
terbuka. Aku berdeham penuh kesakitan. "Botolnya agak kecil ?"
"Rapalan Mantra Kurungan Tanpa Batas Waktu," khaba berbicara, "adalah sebuah prosedur
yang mana aku mempunyai ketertarikan sangat besar padanya. Seperti yang tak diragukan lagi
kau ketahui, Bartimaeus, pada hakekat-nya adalah Mantra pembebas, tapi mantra pembebas
dari jenis yang memaksa si demon masuk ke penjara fisik alih-alih membawanya kembali ke
dimensi asalnya. sangkar pengurung disana" " dia menunjuk ke benda-benda ganjil berpendar
yang ditumpuk di balik pilar-pilar di belakangnya " "semuanya terisi oleh budak masa lalu yang
sudah ku"bebaskan" dengan cara yang sama. Aku ingin melakukannya padamu juga, tapi botol
ini akan lebih bermanfaat. Saat kau tersegel di dalamnya nanti, aku akan
mempersembahkannya pada raja Solomon sebagai sebuah hadiah, pemberian sebagai tanda
loyalitasku, suatu tambahan kecil pada barang-barang eksotis koleksinya. Aku akan
menyebutnya, kukira, "Sang Tahanan Hebat", atau omong kosong sejenisnya. Kau akan
menjadi daya tarik untuk selera primitifnya. Mungkin, sewaktu para pesulapnya membutnya
bosan dia sesekali akan melirik penampilan terdistorsimu yang tampak di permukaan kacanya;
mungkin dia langsung menyimpanmu bersama mainan kecil lain miliknya dan tak pernah lagi
mempedulikanmu." Si penyihir mengangkat bahunya. "Tapi kupikir akan memakan bertahun
tahun, ratusan tahun mungkin lebih sebelum seseorang merusakkan segelnya dan membuatmu
bebas. Cukup waktu dari segi manapun, saat rohmu perlahan membusuk dan bernanah, agar
membuatmu menyesali penghinaan keji yang kau berikan padaku."
Kemarahanku membuncah; aku melangkah ke depan dalam lingkaranku.
"Ayo, ayo," kata Khaba. "Istilah yang terkandung dalam syarat pemanggilanmu akan
mencegahmu melukaiku. Dan bahkan kalaupun memang kau bisa, hal itu bukan tindakan yang
bijaksana, jin kecil. Aku bukan tanpa perlindungan, seperti yang mungkin sudah kau ketahui."
Dia menjentikkan jarinya. Suara-suara dari sangkar roh mendadak berhenti.
Di pungung Khaba bayangan si penyihir melepaskan diri dari lantai. terangkat seperti gulungan
yang menggulung, meninggi, meninggi, lebih tinggi dari si penyihir, lembaran kegelapan setipis
kertas tanpa roman muka apapun. Dia membesar sampai kepala hitamnya yang rata
menyentuh batu langit-langit, dan si penyihir sendiri tampak seperti boneka di bawah
naungannya. Dan kemudian dia melebarkan tangan ratanya yang hitam, melebar, melebar,
lebar selebar ruangan itu sendiri dan melengkungkannya mengelilingiku.
"Kau kehilangan suaramu, Bartimaeus?" kata Khaba. "Rasanya tak seperti dirimu."
Itu benar. Aku belum banyak bicara. Aku terlalu disibukkan memandangi diriku sendiri, dengan
tenang aku menaksir keadaanku yang terjepit. Kesialanku, pastinya, tampak cukup jelas. Aku
berada jauh di bawah tanah, dalam benteng penyihir jahat, terpojokkan dalam pentacle oleh
jemari budak-bayangan raksasa yang mencari-cari. Dalam sesaat atau dua aku akan ditekan
dan dikerutkan ke dalam botol jelek yang agak mentereng dan hidupku akan berakhir dalam
ruang atraksi murahan di gang belakang kota, mungkin untuk selama-lamanya. Itu adalah sisi
buruknya, dan sisi baiknya"
Well, aku tidak bisa mengatakannya.
Tapi satu hal yang pasti. Kalau aku akan berakhir secara mengerikan, aku tidak ingin itu terjadi
saat aku berbentuk imp berperut buncit dengan kaki bengkok. Memaksa diri berdiri, aku
berubah, tumbuh membesar, menjadi sesosok pria muda elegan jangkung dengan sayap
berkilau di punggungnya; aku terlihat tidak berbeda, bahkan sampai pada garis-garis urat darah
di pergelangan tanganku yang ramping, dengan saat aku masih sebagai pengawal pribadi
Gilgamesh dulu sekali, berabad-abad yang lalu.
Yang pastinya bisa membuatku merasa sedikit lebih baik. Tapi tidak akan lebih dari itu.
"Hmm, sangat mengagumkan," kata Khaba. "Dan akan tampak sangat jauh lebih menghibur bila
kau mengkompresnya dengan kecepatan tinggi melewati lubang ini. Sedihnya, aku tidak akan
ada disini untuk melihatnya. Ammet ?"
Tanpa menoleh pada pilar hitam besar yang berayun di belakangnya, Khaba menyerahkan
botol kristal itu. Seketika tangan berkabut, yang mana jemarinya berada dekat disamping
leherku, menciut mundur, bengkok seperti batang alang-alang, kemudian, dengan keterampilan
seorang detektif, meraup botol di tangan si penyihir dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
"Rapalan Kurungan Tanpa Batas Waktu," Khaba berkata sambil menjepit secarik papyrus
dengan jarinya dari lesnar, "panjang dan sulit, dan aku tidak punya waktu untuk mengerjakan
hal itu. Tapi Ammet ini bisa merapalkannya untukku." Dia menoleh ke atas, dan dari ketinggian
muncul sosok kepala bayangan yang bentuknya bentuk sama seperti si empunya, bayangan itu
membungkuk. "Ammet tersayang, waktunya perjamuan hampir tiba, dan karena aku punya seorang wanita
menggiurkan untuk ditemui di istana, aku tidak boleh membuang waktu lagi. Aku telah
memberikan kata-kata persisnya; kau akan menemukannya pas untuk digunakan pada jin
dengan level ini. Saat semuanya usai dan Bartimaeus sudah didalam, kau segel botol ini
dengan timbal pijar dan tandai dengan rune yang biasa. Dan setelah dingin, tolong bawakan
padaku. Aku dan Gezeri akan ada di aula Penyihir."
Setelah mengatakannya " dan tanpa kata-kata tambahan atau menoleh kebelakang " Khaba
keluar dari lingkarannya dan melangkah menjauh di antara tiang ruangan. Si foliot melambai
riang-gembira padaku, kemudian mengekor di belakangnya. Si bayangan masih berdiri di
tempatnya semula. Untuk sesaat, ujung kakinya yang panjang dan meruncing bersatu dengan
bagian tubuh Khaba yang sama, meregang semakin panjaang dan panjang di lantai. Akhirnya,
dengan malas-malasan, diiringai suara lengkingan basah lemah, kaki mereka terpisah. Si
penyihir meneruskan langkahnya. Dua carikan sempit seperti aliran sungai di malam hari
tertarik mundur melintasi batu ruangan, kemudian melesak kembali ke kaki si penyihir, dimana
mereka terserap olehnya. Sebuah gaung suara dalam terdengar; pintu granit ditutup. Khaba telah pergi. Di dalam ruang
bawah tanah si bayangan berdiri diam, mengamatiku.
Setelah itu " si bayangan belum bergerak, dan plane manapun tak ada yang berubah "
kekuatan besar menghantamku bagaikan amukan angin. Yang menghempaskanku ke arah
belakang melewati lingkaran. Aku mendarat keras di tanah dengan sayapku, dan diserang
pusing akibat impak ledakan yang tidak mau hilang ataupun berkurang.
Dengan agak kesulitan aku berjuang untuk mendapatkan posisi duduk, berusaha menjernihkan
kepalaku sambil mendorong rohku yang berantakan kembali ke posisi semula. Semuanya
masih bekerja dengan baik, yang berarti impak mengerikan barusan bukanlah merupakan
sebuah serangan. Sebenarnya, segalanya bisa jadi jauh lebih mengkhawatirkan. Apapun
mekanisme selubung yang digunakan si bayangan saat dirinya terhubung dengan si penyihir
tak diragukan lagi sudah terlepas. Plane-plane di sekitarku bergetar dengan dahsyat oleh
kehadirannya. Kekuatannya menghempasku seperti dinginnya api.
Hal itu menegaskan apa yang sudah kuketahui; yaitu bahwa entitas di hadapanku ini besarnya
tidak main-main. Perlahan, penuh kesakitan, aku beranjak berdiri, dan masih seperti sebelumnya bayangan itu
terus mengamatiku. Walaupun sekarang tanpa Mantra selubung penyembunyi, samaran yang dia tampilkan tetap
tidak ada bedanya dari sebelumnya.
Dia masih dengan kesetiaan tinggi memakai wujud Khaba, sekalipun agak sedikit lebih besar
dari yang aslinya. Saat aku mengamatinya, dia menyilangkan tangan dan menyilangkan satu
kakinya dengan santai di atas kaki lainnya. Saat salah satu kakinya diletakkan dalam posisi
menyamping, kaki itu menghilang dari pandangan, karena memang tidak mempunyai
ketebalan. Lebih dari itu, kegelapan yang dimilikinya tampak seperti kasa tembus pandang,
seperti sesuatu yang terjalin dari anyaman jaring hitam yang lebar dan kuat. Pada plane-plane
rendah, sosoknya tampak hampir menyatu dengan kesuraman pencahayaan alami ruangan itu;
di plane-plane yang lebih tinggi penampilannya berubah secara bertahap menjadi lebih
substansial, sampai pada yang ketujuh dimana bentuknya menjadi amat tajam dan jelas.
Kepalanya " bercak kehitaman berserat bertepi halus " miring sedikit ke satu sisi. Dengan
santai seperti biasa, dia memegang benda yang dianjurkan si penyihir dengan penuh perhatian.
Badannya bergoyang sedikit, seperti ular seorang ahli hipnotis dari timur yang muncul dari
keranjangnya. Kini saat dia sudah terpisah dari si penyihir, kakinya menyempit menjadi dua
ujung meruncing, dia tidak punya telapak-kaki sama sekali.
"Apa kau ini?" tanyaku.
Dia tidak punya telinga, tapi bisa mendengarku; tak ada mulut, tapi sekarang dia bicara.
"Aku Ammet." Suara makhluk itu halus seperti debu kuburan yang beringsut. "Aku marid."
Jadi itu dia jati-dirinya. Marid! Well " ini akan semakin buruk.(1)
(1) Sebenarnya, aku sulit memastikannya. Entitas lebih besar dari marid memang ada, dan ada kalanya
hadir di Bumi untuk menyebarkan kekacauan dan kengerian, tapi mereka tak ubahnya dipanggil oleh
persekongkolan penyihir sinting yang kelewat ambisius atau kelewat tangguh. Individu penyendiri seperti
Khaba (walau ambisius dan sinting memang benar) tidak mungkin punya pelayan semacam itu di bawah
kekuasaannya; marid, bagaimanapun, memang bisa dikendalikan, sama seperti halnya diriku.
Kenyataannya adalah, sebagai tambahan, selain Ammet, Khaba mempunyai delapan jin dan beberapa
makhluk rombeng dan gepeng semacam Gezeri di bawah kendalinya yang memberikan gambaran pada
betapa kuatnya dia. Tanpa Cincinnya, posisi Solomon sungguh akan sangat terancam.
Si pembawa tombak menelan ludah; dan dengan memalukan mengeluarkan suara teguk
menyakitkan yang bergema kedepan dan belakang melintasi ruang bawah tanah itu, yang
mana semakin kuat dalam tiap pantulan. Si bayangan menunggu. Dari dalam penjara roh di
belakang tiang tak ada apa-pun kecuali keheningan waspada.
Tersenyum dalam keadaan ini mungkin tidak lebih dari ramah-tamah karena terpaksa; meski
begitupun aku tetap melakukannya, dan membungkuk dalam-dalam. "Paduka Ammet yang
mulia," kataku, "kesenangan bersamaku. Aku sudah mengamatimu dengan ragu dari kejauhan,
dan aku senang bisa berbicara padamu pada akhirnya secara pribadi. Kita punya banyak hal
yang harus didiskusikan."
Si bayangan tak mengatakan apapun; tampaknya dia sedang merundingkan papyrus di
tangannya dengan diri sendiri. Tangan seperti kasa itu mencuri-curi ke depan dan meletakkan
botol kristal itu di pusat lingkaran dekat di samping kakiku.
Aku mengubah posisiku sedikit, lalu berdeham. "Seperti kataku tadi, kita punya banyak hal yang
harus dibicarakan sebelum kita terburu-buru melakukan hal lainnya. Yang pertama, izinkan aku
membuat posisiku saat ini menjadi jelas. Aku mengakuimu sebagai makhluk halus mahakuasa
dan aku bersujud di bawah kekuatanmu. Tidak ada cara bagiku untuk bisa menandingi sifatsifatmu.2)
2) Penjilat, memuakkan " dan tidak beruntungnya semua itu benar. Beginilah keadaannya kalau kau
adalah jin tingkat menengah (level empat, karena kau menanyakannya). Kau bisa menjadi sekedar
pembual jagoan kalau kau suka dan menjadi sombong dengan itu; kau bisa berhadapan dengan jin lain
(belum lagi foliot dan imp) dengan relatif leluasa, kau bisa meledakkan mereka dengan mantra yang
terpikirkan dan menghanguskan bokong mereka dengan Inferno kalau mereka kabur. Kau bisa
melakukannya pada afrit, juga, tentu saja, hanya kalau kau dalam keadaan terjepit, asal saja kau
menggunakan akalmu yang terkenal hebat itu untuk memperdayai mereka dan membawa mereka
dengan sangat susah payah ke dalam bahaya. Tapi marid" Well, tidak. Mereka berada di luar jangkauan
golonganmu. Roh mereka sangat terlalu besar, tenaga mereka terlalu kuat. tidak peduli berapa banyak
Detonasi, Mantra Ledakan atau Mantra Pusaran-air yang kau lontarkan pada mereka, mereka menyerap
itu semua tanpa banyak kesulitan. Dan sementara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak adil, seperti
membengkak menjadi ukuran yang sangat besar dan menggencet dirimu dan teman-teman jinmu di leher
seperti petani mengikat jadi satu sekumpulan wortel, sebelum menelan kalian semua bulat-bulat, sebuah
perbuatan yang memang pernah kulihat dilakukan sebelumnya. Jadi kau bisa mengerti mengapa aku
tidak punya hasrat ataupun keinginan sama sekali untuk bertarung dengan Ammet sekarang, kecuali
kalau itulah adalah satu-satunya caramu untuk bertahan habis-habisan sampai akhir.
Ini adalah, tentu saja, tepatnya suatu cara seorang budak sejati menjilat yang mana membuatku
mengecam gadis itu pada pertemuan kami siang tadi, tapi aku sedang tidak berselera untuk
ribut-ribut mengenai masalah itu sekarang ini. Ide tentang terjebak berpuluh-puluh tahun di
dalam botol kristal itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dalam derajat tertinggi, dan
aku akan memberikan si bayangan layanan pijat bertabur bunga kalau kupikir hal itu bisa
menyelamatkan hidupku. Tapi aku sungguh berharap tidak perlu sampai seperti itu. Kukira aku mendapat penglihatan
sekilas tentang kemungkinan adanya jalan keluar.
"Bagaimanapun, makhluk agung seperti halnya dirimu, dan hina sepertiku," aku melanjutkan,
"dalam satu segi kita semua serupa, benar begitu" Karena kita berdua diperbudak oleh si buruk
rupa Khaba ini, seseorang bermoral bejat bahkan dilihat dari standar penyihir sekalipun. Lihat
sekitarmu! Saksikan perbuatan jahat macam apa yang dia lakukan pada makhluk-makhluk
halus yang berada dalam kekuasaannya. Cobalah dengar ratapan dan rintihan dan erangan
dan keluhan dan desahan putus asa yang memenuhi ruang bawah tanah yang tidak pernah
bahagia ini! kurungan roh ini adalah sesuatu yang sangat kita benci!"
"Sekarang ini tentu saja kau harus menaati perintah Khaba," kataku. "Aku memahami itu. Kau
diperbudak sama halnya seperti apa yang menimpaku. Tapi sebelum kau bertindak dengan
mengurungku di botol ini, renungkanlah satu hal. Akhir yang menungguku memang mengerikan
" tapi apakah milikmu sendiri sungguh sedikit lebih baik" Ya, aku akan dijebak dan dikurung,
tapi begitu juga kau, karena begitu penyihir itu kembali, kau akan sekali lagi diselipkan di bawah
kakinya dan dipaksa mengekor di belakangnya dalam tanah kotor dan debu. Khaba meninjakinjak dirimu setiap hari saat dia berjalan-jalan. Itu adalah perlakuan yang menghinakan untuk
seekor imp, apalagi untuk sesosok marid yang jaya. Pertimbangkanlah Gezeri." Aku
melanjutkan, pemanasan menuju pokok utamanya, "seekor foliot aneh, jorok, yang dengan
tidak benar menikmati dirinya dalam kemewahan awannya sementara kau sendiri diseret
dibawah penyihir itu di antara bebatuan! Ada sesuatu yang salah disini, sohibku Ammet. Ini
keadaan yang tidak wajar ataupun beralasan, seperti yang dapat dilihat oleh semua orang, dan
kita harus memperbaikinya bersama."
Sulit umumnya untuk menganalisis ekspresi makhluk yang tidak punya roman muka, tapi si
bayangan memang tampak sedang tenggelam dalam suatu pikiran. Dengan tumbuhnya
kepercayaanku, aku bergerak menyamping agak ke depan ke arah tepi lingkaran obsidian itu,
mengarah pada si bayangan dan menjauh dari botolnya.
"Jadi, mari kita bicara terbuka tentang hubungan kita yang sulit saat ini," aku mengakhiri katakataku dengan nada bersungguh-sungguh. "Mungkin, kalau kita menjejaki susunan kata yang
tepat perintahnya padamu, kita mungkin akan menemukan suatu jalan untuk menanggulangi
kekuatannya. Dengan keberuntungan, aku akan terselamatkan, dan kau akan terbebaskan, dan
kita bersama akan mencapai sukses bersama dalam membuat master kita jatuh!"
Aku istirahat sejenak disini, bukan karena aku kehabisan nafas (aku tidak bernafas), atau
karena aku kehabisan lidah (yang mana dalam hal ini aku punya persedian yang tanpa batas),
tapi karena aku dibingungkan dan dibuat frustasi oleh si bayangan yang terus membungkam.
Tak ada perkataanku yang kelihatannya, dipandang dengan cara bagaimanapun tampak tak
beralasan, walaupun begitu makhluk menjulang itu tetap tidak dapat diduga, yang dia lakukan
cuma terus berayun kesana-kemari.
Si pria muda berwajah tampan menarik diri lebih dekat pada si bayangan. Aku akan "berapi-api
dan berahasia-rahasian" disini, dengan kekuatan "semangat idealistik" sepihak. "Kawanku
Faquarl punya sebuah pepatah," kaokku. "Hanya dengan bersama maka kita makhluk halus
dapat mengalahkan kejahatan manusia! Jadi, mari kita membuktikan kebenaran pribahasa ini,
Ammet yang baik. Marilah kita bekerja bersama dan mencari lubang kunci dalam pemanggilan
kita yang mungkin bisa kita manfaatkan. Kemudian, sebelum hari ini berakhir, kita akan
membunuh musuh kita, memecahkan tulang-tulangnya dan berlama-lama menyesap
sumsumnya!"3) 3) Aku disini memparafrasekan seruan perang kuno yang kami para jin sumeria gunakan sebagai bahan
nyanyian saat kami mendorong mesin pengepung menyeberangi daratan. Memang memalukan karena
lagu tua menarik ini sudah ketinggalan zaman. Tentu saja, aku tidak secara tulen mendukung sesuatu
yang begitu biadab. Sekalipun, kalau berbicara mengenai itu, sumsum tulang manusia memang
bernutrisi. Kenyataanya, sumsum benar-benar memberi semangat pada roh kami. Terutama kalau kau
mendapatkannya dalam keadaan segar, memanggangnya sedikit, membumbuinya dengan garam dan
daun peterseli, dan" Tapi kita harus kembali pada cerita kita.
Kumandang terakhir suaraku bergaung di antara pilar-pilar dan membuat lampu imp berkelip.
Dan tetap saja si bayangan tidak mengatakan apapun, tapi serat tubuhnya menggelap, seakan
terpengaruh oleh semacam emosi kuat tertentu yang tak terungkapkan. Ini mungkin pertanda
baik " atau, terus terang, ini mungkin buruk.
Aku mundur setapak. "Mungkin sumsum sedikit diluar seleramu," kataku buru-buru, "tapi kau
akan pastinya membagi perasaanmu. Ayolah, Ammet, sobatku dan temanku sesama budak,
apa yang mau kau katakan, keluarkanlah?"
Dan lalu, akhirnya, si bayangan beranjak. Bergoyang keluar dari balik lesnar, dia merangkak
maju perlahan. "Ya ?" dia berbisik. "Ya, aku ini budak ?"
Si lelaki muda yang tampan, yang mana sedang benar-benar merasa tegang, tidak senang dan
gelisah, walaupun dia berusaha keras mencoba untuk tidak menunjukkannya, menghembuskan
nafas lega. "Bagus! itu benar! segalanya berada pada tempatnya. Nah sekarang ki?"
"Aku budak yang menyayangi masternya."
Jeda sejenak. "Sori," kataku, "suaramu agak sedikit terlalu seram bagiku untuk bisa menangkap
maksudnya. Demi seluruh dunia, kupikir kau tadi meng?"
"Aku menyayangi masterku."
Sekarang adalah giliranku terdiam. Aku melangkah hati-hati ke belakang, mundur, selangkah
demi selangkah, dan si bayangan merendahkan kepalanya ke arahku.
"Kita sedang membicarakan master yang sama bukan?" aku mulai ragu-ragu. "Khaba" Botak,
Orang Mesir, jelek" Mata seperti kotoran basah yang menempel di lap rombeng ?" Pastinya
bukan. Oh, ya ampun."
Tangan ramping seperti benang tenunan hitam tiba-tiba terjulur; jemari seperti pita
mencengkram leherku, membawaku tercekik dan menjuntai di lantai. Tanpa perlu bersusah
payah dia menggencet leherku sampai segepeng tangkai lotus, sehingga mata si pemuda
tampan menggelembung, kepalaku berkunang-kunang, kakiku menggelembung.
Lalu tangan si bayangan terangkat, mengangkatku tinggi-tinggi, mendekat ke kepala siluetnya.


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang masih berbentuk mimikri sempurna sosok Khaba " bentuknya, sudutnya, semuanya.
"Jin kecil," si bayangan berbisik, "akan kuberitahu sesuatu tentang diriku."
"Ya," kataku berkoak, "Katakanlah,"
"Kau harus tahu," Ammet berkata, "bahwa aku sudah menjadi pelayan Khaba yang tersayang
selama bertahun-tahun, bahkan sejak dia masih pemuda kurus, pucat, yang bekerja di ruang
bawah tanah di bawah kuil Karnak. Aku adalah makhluk halus besar pertama yang dia panggil,
diam-diam dan secara rahasia, dia memanggilku dibawah tekanan kekuasaan suci
kependetaan.4) Aku selalu bersamanya saat dia mempelajari kekuatannya, saat dia mengasah
kemampuannya; aku mendampinginya saat dia mencekik pendeta tertinggi Weneg di depan
altarnya dan memungut batu pengintai yang masih dia pakai sampai sekarang. sangatlah besar
pengaruh masterku di Mesir saat dia beranjak dewasa, dan mungkin malah bisa lebih besar
lagi. Sebelum lama kemudian, dia akan bisa menundukkan semua pharaoh di bawah kakinya."
4) Yang mana lumayan keras pada zaman-zaman terbaiknya. Kembali ke hari-hari kejayaan Khufu,
pendeta magang yang terlalu banyak membuat suara-suara gaduh saat mereka sedang berjalan di
daerah khusus yang suci akan diberikan kepada buaya suci. Teorinya adalah bahwa jikalau seorang
bocah laki-laki membuat suara-suara tidak menyenangkan, dia mungkin juga melakukannya untuk
beberapa kegunaan. Si buaya perlu makan sekali dalam sebulan.
"Sangat menghibur," kataku, sambil menelan bibir, "tapi susah mendengarkan ceritamu saat
setengah dari rohmu yang lumat naik ke kepalamu. Kalau kau bisa sedikit melemaskan
tanganmu?" "Tapi kejayaan Mesir telah lama berlalu sejak kehancurannya," kata si bayangan, pegangannya,
kalaupun ada bedanya, semakin menguat di leherku. "dan Jerusalem adalah tempat dimana
cahaya bersinar sekarang, karena disinilah Solomon dan cincinnya berada. Jadi masterku
datang kemari untuk mengabdi di bawah singgasananya " dan suatu hari nanti, yang mana
akan datang tak lama lagi, akan jadi lebih dari sekedar pelayan. Dan selama bertahun-tahun
dalam penantiannya yang sepi ini, aku selalu bersamanya di sisinya."
Aura si marid menghunjami rohku. Api menyembur di depan mataku dengan acak. Irama
suaranya terdengar keras, lalu lemah, lalu keras lagi. Dan masih saja cengkramannya menguat.
"Dan ya, Bartimaeus, seperti katamu, aku menjadi budaknya secara total. Tapi aku
melakukannya dengan sepenuh hati, karena ambisinya adalah ambisiku juga, kesenangannya
kesenanganku. Khaba melakukan ini sejak awal, karena aku membantu percobaan-percobaan
dalam kamar pribadinya, dan juga bermain dengan makhluk-makhluk tangkapan yang
dibawanya. Kami berdua sama, dia dan aku " maafkan aku, apa kau berdecit?"
Mungkin. Aku dalam bahaya kehilangan kesadaran sekarang. Aku bisa sedikit-sedikit
menangkap apa yang dia katakan.
Dengan kibasan kasual si bayangan melepaskan tangannya dariku, mengirimku berputar-putar
ke tengah lingkaran. Aku mendarat terbalik pada batu onyx yang dingin, tergelincir sebentar,
lalu tidak bergerak lagi.
"Ringkasnya," si suara melanjutkan, "jangan pernah memaksakan asumsimu yang picik padaku.
Khaba percaya padaku. Aku percaya dia. Kenyataannya kau mungkin akan tertarik kalau tahu
bahwa saat dia memanggilku, dia tidak lagi mengikatku dalam rapal penjerat yang keji, tapi
mengangkatku dan membiarkanku berjalan di belakangnya sebagai teman dan penasihat, dari
semua makhluk yang hidup di bumi, akulah satu-satunya sejawatnya." Ada kebanggaan dalam
suaranya, semacam kepuasan diri yang tak terkira. "Dia memberiku kebebasan dalam derajat
tertentu," kata si marid, "terserah pada keinginannya. Kadang-kadang, sungguh, aku melakukan
sesuatu atas kehendak hatiku sendiri. Ingatkah dirimu akan pertemuan singkat kita di gurun"
Aku mengikutimu atas keinginan bebasku sendiri, dipenuhi kemurkaan karena luka yang kau
berikan pada masterku yang terkasih. Seandainya Faquarl tidak muncul aku sangat yakin akan
menelanmu dalam sekejap, yang mana aku dengan senang hati masih ingin melakukannya
sekarang. Tapi khaba yang manis sudah merancang akhir yang berbeda bagimu, dan maka
itulah yang akan terjadi. Duduklah, kalau begitu," perintah si bayangan, "dan biarkan aku
selesaikan pekerjaan yang temanku berikan padaku ini. Kecap baik-baik rasa udara di ruang
bawah ini, karena itu adalah hal terakhir yang akan kau alami sampai bertahun-tahun yang
akan datang." Suara bergemeresak saat Ammet mendalami instruksi dalam lembaran papyrus sekali lagi. Di
pusat lingkaran aku bangkit penuh rasa sakit dengan menegakkan kedua lenganku, dan secara
perlahan berpijak dengan kaki, aku membungkuk saat rohku sembuh dari luka-lukanya.
Aku menegakkan diri. Menegakkan kepalaku. Rambutku menggantung bebas di sekitar
wajahku; dibalik helaian-helaiannya yang kusut mataku bersinar kuning dalam kesuraman
ruangan itu. "Kau tahu," kataku dengan suara serak, "aku punya standar yang rendah, pada diriku sendiri.
Dan terkadang aku bahkan bermasalah untuk bertemu mereka. Tapi menyiksa makhluk halus
lain" Mengurung mereka" Ini baru untukku. Aku bahkan tidak pernah mendengar hal seperti itu
ada sebelumnya." Aku mengangkat tanganku untuk menyeka corengan roh yang menetes dari
hidungku. "Dan hal yang menakjubkan adalah" lanjutku, "itu bukanlah yang terburuk dari ini
semua. Itu bukan perbuatan kriminalmu yang sebenarnya." Aku menjentikkan seikal rambut ke
belakang telinga yang tampan, menjatuhkan tanganku segera ke kedua sisi tubuhku. "Kau
menyayangi mastermu. Kau menyayangi mastermu. Bagaimana bisa makhluk halus
merendahkan dirinya sampai seperti itu?"
Sambil mengatakannya, aku menaikkan kedua tanganku bersamaan dan menembakkan
Detonasi berkekuatan maksimum lurus menembus si bayangan dan ke tiang di belakangnya.
Ammet menjerit. Dalam sekejap tubuhnya berantakan menjadi banyak serpihan dan pecahan
yang saling bertumpang tindih dan tidak cocok satu sama lain, seperti lapisan-lapisan pita, tapi
tanpa ketebalan. Kemudian dia menarik potongan-potongan bagian tubuhnya kembali ke
bentuknya semula, dia tetap sama persis seperti sebelumnya.
Dua Mantra kejang merah darah meluncur dari jemarinya yang seperti cambuk. Satu
melengkung tinggi, satunya lagi rendah; keduanya menyerempet permukaan lingkaran,
memecahkan batunya, mengirimkan hujan cabikannya beterbangan ke segala arah.
Tapi si pria muda telah lenyap. Aku mengepakkan sayapku dan sudah jauh dari jalur
serangannya. "Sayang pada mastermu?" aku berteriak ke belakang bahuku. "Nah, itu baru sinting."
Suara raungan di belakangku. "Kau tak mungkin lolos, Bartimaeus! ruangan ini tersegel."
"Wow, memangnya siapa yang bicara tentang meloloskan diri?"
Karena sebenarnya, aku tahu bahwa aku sial. Aku sial dalam selusin hal. Si marid terlalu kuat
bagiku untuk bertarung dengannya, terlalu cepat untuk dihindari. Dan bahkan seandainya
karena suatu keajaiban aku berhasil melarikan diri darinya dan meninggalkan ruang bawah
tanah ini, bahkan jika aku terbang sejauh puncak Gunung Lebanon, khaba masih tetap menjadi
masterku dan aku budaknya, di bawah kekuatannya, ia bisa memanggilku kembali ke bawah
ketiaknya semudah menarik tali leher anjing. Kontrolnya atas diriku sebegitu besarnya sehingga
memberi Mantra kurungan padaku, kalau dia menginginkan, adalah sesuatu yang tak
terelakkan. Tidak ada yang perlu dipersoalkan tentang hal itu.
Tapi memang ada hal kecil yang ingin kulakukan sebelum sesuatu yang tak terelakkan terjadi.
"Dia sayang pada masternya ?" menyudut rendah di antara tiang, aku mengeluarkan
pelepasan penuh mantra revulsiku. Dari tanganku yang melentur berondongan bola api keluar
dengan deram kecepatan anak panah serangan ala jin Assyria, yang membuat udara mendidih
saat menghantam sasarannya. Meja-meja berkeping-keping, pisau dan penjepit kertas
menggelembung dan meletup, kolom kolong pemumian meledak ditelan lautan api dan pasir.
"Sayang masternya ?" aku menggeram, menghancurkan sekabinet tulang-belulang, mengubah
kumpulan tumpukan tablet-tablet cuneiform menjadi lelehan debu. 5) "Kutanya lagi. Bagaimana
mungkin makhluk halus manapun sampai memilih jalan macam itu?"
5) Secara garis besar, aku bukanlah orang yang melakukan ini semua untuk membakari buku, yang
mana merupakan pengisi waktu luang favorit semua penguasa terburuk sepanjang sejarah. Tapi
persediaan pengetahuan penyihir (tablet-tablet, gulungan-gulungan dan, pada masa yang lebih
kemudian, perkamen dan kertas-kertas folio) adalah kasus khusus, dikarenakan benda-benda itu
memuat nama-nama lebih dari ribuan makhluk halus, disiapkan untuk ritus pemanggilan generasi
mendatang. Jika mereka semua bisa dihapus, secara teoritis, perbudakan kami akan berhenti seketika itu
juga. Hal itu, tentu saja, adalah impian yang tak mungkin bisa diwujudkan " tetapi memusnahkan pustaka
reverensi Khaba membuatku merasa lebih baik. Setiap pertolongan terkecil yang bisa kuusahakan.
"Bartimaeus " berani-beraninya kau melakukan ini! aku harus membuat-mu merasa sedikit
kesakitan ?" suara bisikan menyakitkan memantul ke mana-mana di susunan tiang-tiang yang
menopang ruangan itu. Di suatu tempat, api merah menyala. Mantra kejang yang mendesis
memantul turun-naik ke langit-langit, berzig-zag di antara pilar, beberapa menyerempet
tubuhku, melontarkanku jungkir balik ke lantai bersama hujan serpihan roh yang berpendaran.
serangan itu terus berlanjut dengan cara yang sama, menabrak dinding dan menyulut serak
penuh mumi. "Sayang sekali," teriakku, kesulitan mengangkat tubuhku berdiri. "Koleksi di rak itu kelihatan
nyaris lengkap. Dia menyimpan satu dari setiap dinasti disitu."
Si bayangan, yang mana kembali pada kebiasaannya, tidak mengatakan apa-apa. Aku
terpincang-pincang di belakang sebatang tiang, menyeret sayapku yang malang, dan
menunggu. Hening. Tidak ada serangan lebih jauh. Ammet jelas memilih membatasi kerusakan yang
ditimbulkan sesedikit mungkin yang mampu diusahakannya.
Aku masih menunggu. Lagi dan lagi aku menengok dan menoleh ke sekeliling tiang. Cahaya di
ruangan itu redup,beberapa lentera imp hijau kebiruan di lagit-langit berkedip nyala-mati;
beberapa telah terhancurkan oleh saling serang yang kami lancarkan. Asap mengepul dari
retakan-retakan di tanah. Dari lubang yang menganga di dinding berjatuhan reruntuhan
terbakar " beberapa bongkah berukuran besar, gumpalan-gumpalan lain lebih kecil, hujan
cetusan api merah lembayung yang mengecil sepanjang perjalannya ke tanah, berkedip, dan
kemudian padam. Aku masih menunggu. Kemudian, dari balik kepulan asap, aku melihat, sosok gelap, kurus, merangkak perlahan dari
tiang ke tiang, seperti hiu di persisir pantai, kepalanya yang tumpul bergerak cepat dari sisi ke
sisi. Sekali dia bisa mendekat, berakhir sudah semuanya.
Aku mengangkat kelingkingku, mengirim Denyar melengkung tinggi ke dekat langit-langit,
menembus kepulan asap dan menukik ke sisi berlawanan ruangan bawah tanah. Menghantam
bangku batu dengan suara yang agak berdenting.
Kepala bayangan miring ke samping; cepat secepat pikiran, dia melesat ke arah datangnya
suara. Hampir sama cepatnya, aku kabur secepat anak panah ke arah berlawanan sambil
berusaha tetap dekat dengan dinding.
Dan disanalah, tepat di depanku: sangkar-sangkar roh, selusin dari selusin yang lain, sinar putih
kehijauan yang menyakitiku, yang teradiasikan dari tali pembatas mereka yang berkilau seperti
jamur di pohon busuk. Seandainya aku masih punya waktu, aku akan menghancurkan mereka
satu demi satu, sehingga memberikan dampak buruk sekecil mungkin pada makhluk malang
yang sudah sedemikian lemah di dalamnya. Tapi aku memang tidak punya waktu, dan tidak
akan mendapat kesempatan ke dua. Jadi aku melepaskan dua Mantra ledak, berupa pita api
putih dan kuning yang melebar membentuk corong dengan kekuatan memelintir; yang
merenggut kurungan-kurungan itu, memutar mereka tinggi-tinggi, mencungkil tali pembatasnya,
mematahkan angker besinya sampai remuk.
Aku memutus kekutan sihirku; sangkar-sangkar roh terjatuh ke lantai. berberapa hancur secara
keseluruhan; sisanya terbelah seperti cangkang telur. Mereka tertumpuk satu di atas lainnya
dalam kegelapan, terguling teredam, kemudian taksatupun dari mereka bergerak.
Sesuatu samar-samar membayang di belakangku. Jemari seperti pita mendekat ke leherku.
"Ah, Bartimaeus," si bayangan berbisik. "Apa yang kau lakukan?"
"Kau terlambat," aku kesulitan bernapas. "Terlambat."
Dan begitulah dia. Di semua sangkar roh muncul sesuatu yang berkedip redup dan bergerakgerak. Cahaya putih pucat bersinar di setiap tingkap yang terbuka, lebih redup dari tali
pembatasnya, tapi lebih manis dan murni. Dan dalam setiap cahaya itu tampak ada sesuatu
yang bergerak, para tahanan sedang menyingkirkan belitan pengikatnya, sosok-sosok teraniaya
itu menyingkirkan diri dari kekejaman bumi. Meluncur keluar dari setiap sangkar, lilitan dan
belitan kecil roh yang bersinar memuntir dan kemudian keluar, berpendar singkat lalu lenyap.
Dan akhirnya yang terakhir pun menghilang, cahaya penuh harapannya mengedip hilang; dan
kegelapan pun kembali menancapkan kukunya pada sangkar roh, si bayangan, dan padaku.
Aku berdiri dalam gelap, tersenyum.
Tidak butuh waktu lama, jujur saja kukatakan. Sambil melolong, si bayangan menangkapku,
dan menghajarku bertubi-tubi, dia berjuang melakukannya tanpa kenal lelah, rasa sakit yang
membelah berputar-putar di kepalaku membuat perasaanku menjadi kebas dengan cepat dan
kemudian pikiranku pun meninggalkan dunia nyata. Itu terjadi saat aku samar-samar
mendengar dia pada akhirnya mengucapkan rapalannya; samar-samar aku merasakan
kekuatan yang memampatkan sisa-sisa dari rohku; samar-samar aku merasakan pembatas
penjara kristal yang mengurungku menekanku sampai padat; samar-samar aku bisa
memahami, saat sumpal timbal panas menyegel lubang bukaan di atasku dan rapalan keji
mengikat keseluruhan botol, bahwa kutukan Khaba terhadapku telah terpenuhi dan hari-hari
pemakaman mengerikan yang kujalani baru saja dimulai.
Bagian Ketiga Asmira berdiri merapat di sisi pintu berpanel, mendengarkan langkah kaki para pelayan yang
menjauh. Saat suasana telah sepi, Asmira mencoba pintunya, dan menemukannya tidak
terkunci; ia membukanya sedikit, mengamati koridor di luar, lampu minyak berkelip di cerukceruk dinding dan kain permadani dinding cerah yang menempel menghiasi sisa tembok dan
juga lantai marmernya yang bercahaya dan bergemerlapan. Tak seorangpun yang berada
dekat-dekat sini. Tidak seorangpun, dari tingkatan manapun yang dapat dilihatnya.
Asmira menutup pintunya lagi, dan dengan memunggungi pintu mengamati kamar tamu yang
diberikan padanya. Dengan perkiraan kasar, empat atau lima kali lebih luas daripada kamar
tidur mungilnya di rumah para leluhur yang diperuntukkan bagi pengawal istana di Marib. Lantai
kamar barunya, sama seperti di koridor, dibentuk dari ubin lantai marmer dengan susunan polapola rumit. Berdiri menutup satu sisi dinding sebuah dipan megah berlapiskan sutra yang
menandingi benda sejenisnya di ruangan-ruangan milik ratu Balqis. Lampu-lampu berpijar
hangat di almari-almari kaca dari kayu; di balik sepasang tirai yang menggantung, sebuah
kolam mandi berisi air mengepul dengan lembut. Pada meja tiang samping jendela terdapat
patung seorang bocah yang sedang memainkan lyre, dibentuk dari perunggu tempa, dari
tampilannya yang aneh dan kesan rapuh yang tampak jelas, ia tahu benda itu pasti sudah kuno
sekali. Meletakkan tasnya pada dipan, Asmira berjalan menuju jendela, menyisihkan tirainya ke
samping dan berusaha berdiri di birai jendela. Di luar tampak cahaya bintang, dingin dan jernih,
seberkas cahayanya jatuh menimpa satu sisi tembok istana bagian timur yang berbidang batu
tempel dan berbatu karang di atas bukit Jerusalem. Asmira menjulurkan lehernya mencari birai
atau jendela terdekat yang cukup dekat sehingga dapat ia capai dengan cepat pada saat
dibutuhkan, tapi hasilnya nihil.
Asmira menarik lehernya kembali, ia menyadari betapa lemah keadaan yang dirasakannya
sekarang. Ia belum makan sesuappun sejak tadi pagi, tapi selain itu, yang dirasakannya adalah
kegirangan hati yang dingin: mencermati keadaan kedepan, dengan waktu tersisa dua hari
sebelum Sheba hilang dari muka bumi, Asmira telah berhasil masuk kedalam istana Solomon,
di suatu tempat yang dekat dengan si raja lalim.
Dengan keberuntungan Asmira mungkin dapat muncul di belakangnya dalam hitungan jam.
Yang dalam hal ini, ia harus mempersiapkan dirinya.
Mengenyahkan keletihannya, Asmira melompat turun dari ambang jendela, pergi ke dipan dan
membuka tasnya. Mengabaikan lilin dan kain yang dijejalkan didasar tas, ia mengeluarkan dua
belati perak terakhir, yang ditambahkan Asmira pada satu yang sudah terselip di ikat pinggang.
Ini adalah sikap yang bijaksana dan hati-hati, walau mungkin tidak akan dibutuhkan. Satu
tikaman pisau saja cukup untuk menyelesaikan pekerjaan ini.
Membiarkan jubahnya melambai ke depan untuk menyembunyikan senjata, Asmira menyisir
rambutnya dengan jari dan berjalan ke ruangan di balik tirai untuk membasuh muka. Kini ia
harus membuat dirinya tampak seperti peran yang akan dimainkannya sekali lagi: pendeta
wanita yang manis dan na"f dari Himyar yang datang untuk meminta bantuan dari raja yang arif
Solomon. Kalau si raja secara keseluruhan seperti Khaba yang memuakkan itu, tipu muslihat yang sama
akan cukup untuk membodohinya.
Setelah perjalanan terakhirnya kembali ke istana, karpet si penyihir berhenti di depan dua daun
pintu besar yang tertutup. Pintu itu tingginya dua belas kaki, dan terbuat dari gelas vulkanik
hitam, licin, tanpa hiasan, namun tetap bercahaya. Enam engsel tembaga raksasa
mengaitkannya dengan struktur tembok. Dua pengetuk pintu tembaga, berbentuk mirip dua ular
yang menelan ekor mereka sendiri, menggantung sedikit lebih tinggi dari jangkauan manusia
normal; masing-masing lebih panjang dari lengan Asmira. Di atas dan sekitar pintu terdapat
gerbang-masuk berpanel-samping, serambi bertiangnya berdekorasikan relief-relief timbul
dalam batu bata bangunan berlapis kaca biru, yang menggambarkan singa-singa, burungburung bangau, gajah-gajah, dan jin-jin yang sangat mengerikan.
"Aku minta maaf karena harus membawa anda melalui jalan masuk samping yang kecil ini," si
penyihir, Khaba, berkata. "Pintu utamanya dipersembahkan bagi raja Solomon dan Tamu
Resmi Negara yang sekali-sekali datang berkunjung dikirimkan oleh rajanya masing-masing.
Tapi aku berani menjamin anda akan mendapat perlakuan hormat yang sudah sepantasnya."
Selesai berbicara dia menepukkan tangannya, suara yang ringan dan rapuh terdengar. Dalam
sekejap mata, pintunya berayun ke dalam, cepat dan tanpa suara, bergerak dengan engselengselnya yang licin diminyaki. Dibaliknya tarpampang kesuraman sebuah aula perjamuan
yang kelewat luas, dobel tim implet pekerja sibuk bekerja dengan kerekan-kerekan tali. Di
antara mereka berjejer-jejer penyangga lentera di kiri dan kanan, didukung dengan rantai suluh
kayu panjang yang mencuat dari puncak rangkaiannya. Tiap-tiap ujung suluhnya berpendar
oleh nyala api kuning terang. Para imlet menundukkan kepala mereka tanda selamat datang
lalu menyingkir ke samping; si karpet bergerak maju perlahan dan turun ke lantai marmer.
Yang membuat Asmira jengkel, ia tidak segera diantar ke hadirat Solomon. Malahan, pelayan
bersuara lembut muncul terburu-buru dari balik bayang-bayang. Dan dirinya bersama Khaba
digiring menuju ruangan tinggi berpilar yang bertaburkan bantal-bantal dari sutra, dimana anakanak kecil bermata cemerlang, tersenyum " yang mana asmira meragukan mereka adalah
manusia sungguhan seperti penampilan mereka " membawakan mereka anggur dingin.
Setengah jam berikutnya ternyata hampir sama tidak menyenangkannya seperti penyergapan
yang menimpa Asmira di jurang: perbincangan panjang mengintidasi bersama si penyihir, yang,
sambil terus mendesak Asmira dengan anggur, menjadi semakin dan makin perhatian. Mata
lembut, besar si penyihir memandanginya, tangannya yang berkulit pucat didekatkan ke bantal
yang membuat Asmira tidak mungkin menyentakkannya. Khaba tetap sopan dan rendah diri,
tapi selalu membelokkan permitaan Asmira untuk sesegera mungkin bertemu dengar dengan
sang raja, dan selalu mengelak saat ia berusaha menyusun rencana itu. Menggertakkan
giginya, Asmira menjaga penampilan luarnya, ia memikat si penyihir dengan ekspresi terengah
penuh terimakasih, dan merayunya dengan banjir kata-kata.
"Raja Solomon pasti sungguh-sungguh kuat," ia terengah, "sehingga bisa mendapatkan orang
besar sepertimu dalam anggauta pelayannya!" Asmira menelengkan kepalanya dan berpurapura minum dari pialanya.
Khaba menggerutu. Untuk sesaat antusiasmenya menyusut. "Ya, ya. Dia sangat kuat."
"Oh, sungguh lama menanti saat bicara dengannya!"


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus berhati-hati, Nona pendeta," kata Khaba. "Dia bukanlah jenis pria kebanyakan,
bahkan untuk gadis semanis dirimu. Mereka mengatakan, suatu waktu" " si penyihir secara
naluriah menatap sekitar ruangan berpilar " "mereka berkata bahwa suatu waktu salah seorang
istrinya, gadis Phoenisia yang menawan parasnya, mencecarnya dengan anggur saat mereka
tengah berbaring besama di kasur. Saat raja tertidur, ia berusaha keras melepas Cincin. Ia baru
sampai pada ruas ke dua saat Solomon terbangun oleh kicauan burung dari luar jendela. Dia
berbicara dengan burung itu, seperti yang mungkin sudah kau ketahui. Dan setelah itu, si gadis
Phoenisia menghantui pohon eru di Lembah Kidron sebagai seekor burung hantu putih bermata
liar yang selalu meneriakkan arti kematian pada seseorang dari rumah kerajaan." Khaba
termenung menyesap anggurnya. "Kau lihat, Solomon bisa menjadi sosok yang mengerikan."
Asmira menampilkan ekspresi antusias yang sesuai, tapi dalam hatinya dia berpikir betapa
bodohnya si gadis Phoenisia itu, mencoba bergumul melawan Cincin saat satu tebasan dengan
pisau sudah mencukupi. Asmira berkata: "Kukira raja-raja harus bengis dalam melindungi apa
yang menjadi miliknya. Tapi kau adalah jenis orang yang ramah dan halus budi pekertinya, apa
tidak, Khaba yang mulia" Omong-omong tentang itu, bagaimana dengan permintaanku tadi"
Akankah kau melepaskan dua demon yang telah menyelamatkan nyawaku?"
Si penyihir melontarkan tangan penuh tulangnya dan memutar bola ma-tanya. "Pendeta Cyrine,
kau sungguh tak berbelas kasihan! Kau tidak bisa ditolak! Benar, ya " kau tidak perlu
mengatakannya lagi. Aku akan membebaskan para budak ini dari pelayanannya padaku malam
ini juga!" Asmira mengedip-kedipkan bulu matanya pura-pura takjub. "Sumpah, hai Khaba?"
"Ya, ya, aku bersumpah demi Ra yang agung, dan semua dewa-dewa Ombos " asalkan",
katanya, bersandar semakin dekat pada Asmira dan menatapnya dengan mata bersinar-sinar,
"sebagai gantinya mungkin kau bisa berbincang bersamaku lagi nanti saat makan malam di
istana malam ini. Petinggi lain dari berbagai tempat akan ada di sana, tentu saja; juga temanteman penyihirku?"
"Dan Raja Solomon?" kali ini, akhirnya, ketertarikan Asmira adalah asli.
"Mungkin, mungkin " itu tak bisa dipastikan. Sekarang, coba lihat " para hamba sahaya
menunggu. Ruangan tamu telah dipersiapkan untuk anda. Tapi pertama-tama " segelas
anggur lagi" Tidak?" Asmira sudah bangkit berdiri saat ini. "Ah, kau kelelahan. Tentu saja; aku
mengerti. Tapi kita harus bertemu lagi saat makan malam," Khaba berkata, dia membungkuk,
"dan " aku percaya " saat itu akan lebih baik lagi mengenal anda."
Ketukan terdengar dari pintu. Asmira seketika menjadi siaga. Ia menepuk jubahnya, memeriksa
kalau-kalau sabuk pisaunya terlihat, kemudian melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Nona pendeta Cyrine," pria itu berkata, "Saya Hiram, vizier dari Solomon. Saya ucapkan
selamat datang di rumah beliau. Kalau-kalau anda bersedia menemani saya, aku bisa
mempersembahkan hidangan pada anda."
"Terimakasih. Itu pasti akan sangat menyenangkan. Akan tetapi, saya sangat ingin bertemu
dengar dengan Solomon. Saya ingin tahu seandainya?"
Si pria kecil tersenyum suram. Dia mengulurkan tangannya. "Pada waktunya segalanya
mungkin. Tapi untuk saat ini, perhidangan akan dimulai di Aula Penyihir; untuk itu kami
mempersilakan anda datang. Silakan ?" dia memberi isyarat menuju pintu.
Asmira melangkah maju; saat itu juga si tikus putih berdecit terkejut, dia berdiri dengan kaki
belakangnya dan bercicit keras-keras di telinga si penyihir.
Dahi si penyihir mengerut; dia menatap Asmira dengan matanya yang berkantung. "Maafkan
saya, Nona pendeta," katanya perlahan. "Budakku, Tybalt disini, mengatakan bahwa aroma
tercemar perak sangatlah kuat terpancar dari diri anda." Di bahu si pria kecil, tikus itu menyeka
sungutnya dengan telapak kakinya yang berselaput. "Katanya, itu membuatnya jadi ingin
bersin." Asmira dapat merasakan pisau perak menekan keras pahanya. Ia tersenyum. "Mungkin yang
dimaksud adalah ini." dari balik tuniknya Asmira mengeluarkan kalung perak. "Ini adalah symbol
dari Dewa matahari yang Agung, yang senantiasa membimbing saya sepanjang hidup saya di
dunia. Saya sudah memakainya semenjak lahir."
Si vizier mengerutkan dahi. "Mungkinkah anda melepasnya" Itu akan menyakiti makhluk halus
semacam Thybal, yang sangat berlimpah ruah diseluruh istana ini. Mereka sangat sensitif pada
benda-benda semacam itu."
Asmira tersenyum. "Aduh, malakukan itu akan memperpendek keberuntungan lahiriah saya,
dan kemurkaan Dewa matahari akan menimpaku. Kalian tidak punya adat seperti ini juga di
Jerusalem?" Si penyihir mengangkat bahu. "Saya tidak ahli dalam hal itu, tapi saya percaya Israelit
bersembahyang pada dewa lain. Well, kami semua akan mengikuti kepercayaan anda sebaik
yang kami lakukan pada kepercayaan kami sendiri. Tidak, Tybalt " jaga lidahmu!" si tikus sudah
mengutarakan bermacam protes melengking ke telinga si penyihir. "Dia adalah tamu; kita harus
memberi kelonggaran pada keanehan sifatnya. Nona pendeta Cyrine " silakan ikuti saya ?"
Dia meninggalkan ruangan dan berjalan melintasi lempeng dingin marmer, terbingkai bauran
samar cahaya bintang. Asmira mengikuti dekat dibelakangnya. Dari tempatnya bertengger di
bahu si penyihir, sang tikus bermata hijau masih terus mengamati Asmira dengan teliti dari atas
ke bawah. Keluar melintasi lorong-lorong istana mereka pergi, si penyihir terpincang sedikit karena jubah
putih panjangnya, Asmira mengekor di belakangnya. Berjalan sepanjang koridor yang diterangi
barisan obor; menurui anak tangga berlapis marmer; melewati jendela-jendela dengan
pemandangan taman-taman berpepohonan yang tampak gelap; melintasi galeri-galeri megah,
tidak berisi apa-apa selain alas batu yang menyokong frakmen-frakmen pahatan kuno. Asmira
melihat sekilas pecahan-pecahan itu saat melintasinya. Dia mengenali buatan Mesir, dan gayagaya tertentu dari Arab Utara, tapi bentuk-bentuk yang lain tidak diketahui Asmira. Ada patungpatung ksatria, wanita, makhluk halus berkepala binatang, pertempuran, pawai, orang-orang
bekerja di ladang " Sang vizier menyadari inspeksi yang Asmira lakukan. "Solomon adalah seorang kolektor,"
katanya. "Itu adalah nafsu terbesar dalam hidupnya. Dia mempelajari peninggalan dari
peradaban-peradaban masa lampau. Lihat disana " kepala yang sangat besar itu" dia adalah
firaun Tuthmosis III, diambil dari patung yang luar biasa besar yang didirikan sang firaun sendiri
di Kanaan, tidak begitu jauh dari sini. Solomon mendapati frakmen-frakmennya terkubur dalam
bumi, dan memerintahkan kami membawa pecahan-pecahannya menuju Jerusalem." Mata si
penyihir berkilat dalam sinarnya yang penuh kuasa. "Apa pendapat anda tentang istana ini,
Nona pendeta" Mengesankan, bukan?"
"Ini, luas sekali. Lebih besar dari kediaman ratu di Himyar, kalau tidak malah sangat indah."
Sang vizier tertawa. "Apakah istana ratu anda dibuat dalam semalam, seperti yang disini"
Solomon ingin tempat tinggalnya melampaui semarak kemuliaan Babilonia kuno. Jadi apa yang
dia lakukan" Dipanggilnya makhluk halus penghuni Cincin! Makhluk halus itu memerintahkan
Sembilan ribu jin menghadapnya. Masing-masing membawa ember dan sekop dan
beterbangan dengan sayap kupu-kupu, sehingga suara kerja keras mereka tidak akan
membangunkan para istri di harem di bawah bukit. Saat fajar menyingsing di timur, batu terakhir
disisipkan ke istana, dan air mulai mengucur dari air-air mancur di taman. Solomon sarapan
dibawah rimbun pohon-pohon jeruk yang dibawa dari negeri-negeri timur. Dari awalnya tempat
ini merupakan rumah bagi keajaiban, tak ada apapun seperti ini yang dapat kita saksikan di
dunia ini!" Asmira memikirkan batu bata lumpur mudah pecah menara-menara di Marib yang dengan
susah payah dirawat dan terus-menerus ditambal oleh para penghuninya selama berabadabad, yang sekarang terancam oleh Cincin itu juga. Giginya terkatup erat; tapi, ia masih purapura menampilkan nada suara takjub terus-terang. "Semua ini dalam semalam!" kata Asmira.
"Benarkah ini benar-benar hasil perbuatan dari sebuah cincin yang begitu kecil?"
Sebuah lirikan mata yang berasal dari benda yang sama yang menyipit erat. "Tentu saja."
"Dari mana datangnya?"
"Siapa yang tahu" Tanya Solomon."
"Apakah dia membuatnya, mungkin?"
Si tikus bermata hijau bercicit riang gembira. "Saya kira tidak!" si vizier berkata. "Semasa
mudanya Solomon adalah seorang penyihir berkecakapan rendah, belum menjadi seseorang
sebesar sekarang. Tapi nafsunya yang berselera besar pada misteri-misteri dari masa lalu
berkobar hebat dari dalam hatinya, sebuah cinta terhadap sesuatu yang sudah lama berlalu,
saat sihir pertama kali digunakan dan demon pertama dibawa keluar dari lembah terdalam. Solomon mengoleksi artefak-artefak dari peradaban-peradaban paling awal itu, dan sampailah dia
berpergian ke daerah-daerah luas di timur. Cerita itu mengatakan kalau dia tersesat pada suatu
hari, dan tanpa sengaja mendatangi suatu tempat reruntuhan kuno, dimana, pada tempat yang
tersembunyi dari pandangan kebanyakan orang atau makhluk halus untuk siapa yang tahu
berapa lama, dia mendapatkan kesempatan tak disangka-sangka yang membawanya pada
cincin itu ?" si vizier tersenyum muram. "Saya tidak tahu atau bisa memastikan kebenarannya,
tapi untuk yang satu ini saya memang tahu. Sejak saat dia memungut cincin itu, takdir telah
menyokongnya lebih daripada pria hidup manapun."
Asmira mendesah dengan gaya kewanita-wanitaan. "Betapa inginnya saya bercakap-cakap
dengannya!" "Tidak diragukan. Sayangnya anda tidaklah sendirian. Pemohon lainnya banyak yang datang ke
Jerusalem membawa misi yang tidak banyak berbeda dari yang anda bawa. Ini dia! adalah
anjungan pengamatan tepat di atas Aula Penyihir. Lihat-lihatlah, kalau memang anda ingin,
sebelum kita turun ke bawah."
Di sisi koridor, ada ruangan kecil ceruk dari batu; di tengahnya ada sebuah bukaan. Di balik
bukaan terbentang ruang yang sangat luas, bergemerlapan oleh cahaya. Darinya keluar
gelombang besar suara. Asmira masuk ke dalam ruangan itu, meletakkan tangannya pada batu dinding marmernya
yang dingin, bersandar pada jalan masuknya yang kecil.
Jantung Asmira meloncat ke tenggorokannya.
Ia melihat ke dalam sebuah aula yang bukan main besarnya, diterangi oleh bola orb melayang.
Atapnya dibuat dari balok-balok yang kaya akan kayu, gelap, masing-masing sama panjangnya
dengan sebatang pohon. Dindingnya, disisipi oleh tiang-tiang berinskripsi simbol-simbol sihir,
yang sudah dilapisi plester dan dilukisi adegan-adegan menakjubkan hewan-hewan dan
makhluk-makhluk halus yang sedang menari. Di seluruh aula itu, berjajar deretan-deretan meja
berkuda-kuda penyangga, dimana pada masing-masing meja itu sarat akan pria dan wanita
yang sedang duduk, makan dan minum dari peralatan makan bersepuhkan emas. Pingganpinggan besar berisi segala jenis makanan diletakkan di hadapan mereka. Jin-jin bersayap
putih, menggunakan samaran pemuda-pemuda berambut keemasan, bolak-balik dari meja ke
meja, membawa berkendi-kendi anggur. Saat tangan-tangan diangkat, perintah-perintah pun
diberikan, mereka berganti-ganti berdatangan, menuangkan kucuran berkilauan merah anggur
ke dalam piala-piala yang menunggu.
Orang-orang di meja-meja itu bahkan lebih berwarna dari yang pernah dilihat Asmira di Eliat.
Beberapa benar-benar baru bagi Asmira; pria-pria berkulit pucat aneh dengan janggut
kemerahan dan pakaian rajut kasar dari bulu binatang, atau wanita-wanita cantik dalam balutan
rajutan berobak batu permata. keseluruhan keanekaragaman yang luar biasa itu duduk dan
makan, atau minum, atau saling berbicara dengan sesama mereka, sementara tinggi di atas, di
pusat dindingnya yang berplester, di antara jin-jin yang berlompatan, lukisan raja mengawasi
mereka semua. Dia digambarkan sedang duduk di atas singgasananya. Matanya gelap,
wajahnya kuat dan tampan; sorot cahaya lemah terpancar dari dirinya. Dia menatap lurus ke
depan dalam pancaran ketenangan dan kekhidmatan agung yang mulia, di jarinya dia
mengenakan Cincinnya. "Semua perutusan itu," si vizier berbicara dengan nada kering di bahu Asmira, "ada disini untuk
memohon pertolongan dari Solomon, seperti halnya anda. Semuanya, seperti anda, membawa
masalah-masalah yang sepenuhya penting untuk diperbincangkan. Jadi anda akan tahu bahwa
persoalan-persoalan yang mereka bawa itu adalah urusan-urusan yang harus diperlakukan
dengan hati-hati agar bisa diterima oleh semua orang. Jadi sampai saat ini, kami berusaha
untuk memenuhi kebutuhan setiap orang makan dan minum selama masa penantian giliran
mereka. Banyak yang terpuaskan; beberapa bahkan melupakan urusan yang membawa
mereka kemari." Dia terkekeh. "Mari kalau begitu, anda akan bergabung bersama mereka
semua. Kami punya tempat yang sudah disiapkan khusus untuk anda."
Sang vizier berbalik. Mata nanar, mulut mengucapkan hal-hal kering, As-mira mengikutinya.
Makanannya, setidaknya, enak, sehingga untuk beberapa waktu Asmira tak merasakan apapun
kecuali daging panggang, buah anggur, kue isi madu dan anggur merah tua. Suara berisik aula
itu meliputi diri Asmira; ia merasa terkurung seperti kepompong olehnya, terbekap
kemuliaannya. Akhirnya, dengan rasa sakit diperut dan uap panas di kepalanya, ia duduk
bersandar dan melihat sekelilingnya. Si vizier benar. Di tempat semacam ini akan sangat
mudah bagi siapapun untuk melepas tujuan awal yang membawanya datang kemari. Ia melirik
dengan mata disipitkan pada figur agung duduk bersinggasana yang terlukiskan pada dinding
aula: bisa jadi, inilah yang sesungguhnya yang diinginkan oleh Solomon.
"Kau orang baru, ya?" seorang pria di sebelah Asmira berkata. Dengan pisaunya, dia menusuk
selapis tipis potongan daging dari pilihan yang ada di piringnya. "Welcome! Cobalah tikus jerboa
ini!" dia berbicara bahasa arab, tetapi dengan fleksi aneh.
"Terimakasih," kata Asmira. "Aku sudah kenyang. Apa kau kesini untuk bicara dengan
Solomon?" "Pastinya. Butuh pembangunan dam di hulu desa kami. Di desa kami persediaan airnya cukup
untuk musim semi, tapi hilang dengan cepat. Pada saat kemarau semuanya kering. Sekali
sentuh cincin cukup untuk mengatasinya. Hanya butuh sedikit afrit, atau satu marid, mungkin
dua." Dia menggigit dan melanjutkan mengunyah. "Dirimu?"
"Sesuatu yang serupa."
"Kami perlu penggalian terasiring di lembah tempat kami tinggal." Ini seseorang di seberang,
wanita dengan mata cerah, hampir mengarah gelisah. "Lerengnya terlalu curam, kau mengerti.
Tapi budak-budaknya pasti dapat melakukannya dengan mudah. Tak sulit baginya, kan?"
"Aku mengerti," kata Asmira. "Berapa lama kau telah menunggu?"
"Lima minggu, tapi waktuku hampir habis! Aku harus jadi bagian dari segolongan kecil yang
beruntung pada pertemuan dewan yang berikut!"
"Itu apa yang mereka katakan padaku dua minggu lalu," seorang pria lain berkata masam.
"Aku sebulan " tidak, dua!" pria lain di sebelah Asmira berkata, di antara kunyahan. "Tapi tetap
saja, kalau ada karunia seperti ini untuk dinikmati, siapalah aku ini sehingga berani mengeluh?"
"Memang tidak masalah bagi beberapa orang," si pria masam berkata. "Tapi aku tidak bisa
diam menunggu. Makin banyak orang kelaparan di tanah Hittite, dan kami butuh bantuan
sekarang. Mengapa dia tak dapat sekedar mengirimkan demonnya untuk membantu kita semua
dengan segera, daripada melakukan penantian berdarah ini, aku tak pernah bisa mengerti
alasannya. Bersenang-senang terlampau banyak di sini, menurut hematku."
"Istri-istrinya," kata si pria pertama.
"Dia akan memperhatikan kita pada akhirnya," kata si wanita. Matanya yang cemerlang
berkaca-kaca. "Aku tak dapat menunggu untuk melihatnya."
"Kalian tetap tak melihat Solomon?" Asmira berteriak. "Sama sekali tidak dalam lima minggu
penuh?" "Oh, bukan begitu, dia tidak pernah datang ke tempat ini. Dia ada di dalam apartemennya di
seberang taman sana. Tapi pada hari pertemuan selanjutnya aku akan melihatnya, aku yakin
itu. Kau akan mendapat kesempatan berdiri di hadapannya, seperti kataku tadi, tapi waktu itu
dia ada di singgasananya, tentu saja, singgasananya itu adanya di atas setelah kau melangkah
melewati beberapa anak tangga, jadi tidak persis dekat, tapi meskipun begitu ?"
"Berapa langkah?" kata Asmira. Dia bisa melempar pisau sejauh empat puluh kaki dengan
akurasi sempurna. "Aku yakin aku tidak bisa mengingatnya. Kau akan melihatnya dalam waktu dekat, sayang.
Dalam sebulan atau mungkin dua."
Asmira kembali duduk tenang setelah selesai bercakap-cakap, seulas senyum dengan hati-hati
tetap terjaga di wajahnya dan benda tajam berujung tumpul terasa menusuk usus perutnya
pada saat yang sama. Asmira tidak punya waktu sampai dua bulan. Dia bahkan tidak punya
satu. Dia punya dua hari untuk menemukan cara menemui raja. Ya, kini dia ada dalam
istananya, tapi artinya sedikit sekali, jika dia menyangka harus terus duduk di sini menemani
orang-orang tolol ini, menunggu. Asmira menggelengkan kepalanya sebagai penghormatan
pada mereka, masih disibukkan mendiskusikan harapan-harapan dan keperluan-keperluan
mereka. Betapa butanya mereka itu! betapa tergodanya mereka itu pada hal-hal kecil!
Kejahatan Solomon tak pernah tampak oleh mereka.
Asmira menatap marah pada kerumunan yang memenuhsesaki aula itu. Jelas sekali si raja tak
bersandar semata-mata pada teror untuk melanggengkan kekuasaannya, tapi mencampurnya
dengan perbuatan amal dermawan sehingga beberapa hal baik akan diceritakan atas nama
dirinya. Semuanya boleh-boleh saja, tapi kesudahan yang didapat Asmira adalah si raja berada
diluar jangkauannya. Dan itu baru setengah dari masalahnya. Bahkan jika, dengan pertolongan
suatu keajaiban, Asmira berhasil menggapai akses menuju pertemuan dewannya yang sangat
jauh dikemudian hari, hal itu tidak terdengar seperti kalau dia tidak akan diperbolehkan
mendekati sang raja sama sekali. Tidak cukup baik. Dia harus berada sangat dekat sehingga
tidak ada baik raja maupun demonnya yang punya cukup waktu untuk bertindak. Tanpa itu,
kesempatan Asmira untuk berhasil sungguh sangat kecil.
Asmira harus segera mencari cara lain.
Suara-suara dari tamu makan malam terdekat beranjak tenang; tangan-tangan mereka terletak
dekat dengan peralatan makan mereka.
Kulit Asmira bergidik; ia merasakan sesuatu hadir di belakangnya.
Jemari kelabu menyinggung lengan bajunya, uap anggur menerpa sisi lehernya.
"Dan apa," khaba si penyihir berkata, "yang kau pikir kau lakukan dengan duduk-duduk disini?"
Si penyihir berpakaian tunik elegan berwarna hitam dan kelabu yang dibalut sehelai mantel
pendek kelabu tanpa lengan. Wajahnya merona akibat minum. Saat dia mengulurkan
tangannya pada Asmira, ia mendapati betapa panjangnya kuku si penyihir itu.
Asmira mengusahakan seulas senyum. "Vizier Hiram, mengatakan bahwa aku akan?"
"Si vizier itu goblok dan harusnya digantung. Aku sudah menunggumu di meja atas selama
setengah jam terakhir! Aku harusnya di atas bersamamu, Cyrine! Tidak, tinggalkan itu " kau
akan dapat penggantinya. Kau harus duduk bersama para penyihir sekarang, bukannya
diantara gembel-gembel ini."
Semua orang di sekelillingnya melotot. "Seseorang mendapat teman di kalangan atas," seorang
wanita berkata. Asmira bangkit, melambaikan salam perpisahan, mengikuti si penyihir menyusuri deretan meja-
meja menuju podium yang ditinggikan. Disini, dimana meja berlapis pualam ditumpuki tinggi
dengan berbagai makanan lezat, dan disertai beberapa jin yang tengah menunggu, duduk
sejumlah pria dan wanita bersandang mewah, yang menatap kosong ke arah Asmira.
Semuanya membawa bersama mereka suatu kepastian kasual dimana bau kekuasaan tercium
pekat dari diri mereka; satu dua orang mempunyai hewan kecil yang bertengger dibahu mereka.
Di ujung terjauh duduklah Hiram; dia, seperti halnya Khaba, dan kebanyakan penyihir lainnya,
sudah banyak mengkonsumsi sejumlah besar anggur.
"Mereka inilah Tujuh Belas Serangkai," Khaba berkata. "Atau yang tersisa dari mereka, Ezakiel
baru saja mati. Disini, ambilah tempat duduk di sebelahku, dan kita akan berbicara banyak,
saling mengenal satu sama lain lebih dekat."
Mata Hiram melebar melewati bibir pialanya dilihat dari sudut pandang Asmira, dan tikusnya
yang bermata hijau mengerutkan hidungnya penuh kebencian. "Apa-apan ini, Khaba" Apaapaan ini?"
Seorang wanita beroman tajam dengan kepangan rambut panjang me-rengutkan wajahnya:


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Disitu kursi Reuben!"
"Reuben yang malang kena demam rawa," kata Khaba. "Dia tertingal di menaranya,
menyumpahi tubuhnya yang sekarat."
"Sebuah kehilangan kecil kalau begitu" seorang pria, dengan wajah agak bundar menggerutu.
"Tidak akan pernah bisa mengangkat berat badannya sendiri. Jadi, Khaba " siapa gadis ini?"
"Namanya," Khaba berbicara sambil mengambil piala anggurnya dan menuangkan anggur
untuk Asmira, "Cyrine. Dia adalah pendeta wanita dari " aku tidak bisa mengingat lokasi
tepatnya. Aku menyelamatkannya di rute gurun hari ini."
"Ah, ya, aku sudah dengar," penyihir lainnya berkata. "Jadi kau segera akan mendapat
dukungan Solomon lagi" Tak perlu berlama-lama dirimu."
Khaba mengangguk. "Apakah kau meragukannya, Septimus" Bandit-bandit sudah dihancurkan,
seperti yang diminta. Aku akan melakukan penyajian formal di hadapan raja saat dia
mengizinkan temu dengar berikutnya."
Asmira berkata: "Akankah kau membawaku bersamamu saat dirimu bertemu raja nanti" Aku ini
cerewet soal penundaan."
Beberapa penyihir mendengus. Khaba menatap mereka satu persatu sambil menyunggingkan
senyum. "Kalian lihat kalau Cyrine muda ini sangat berhasrat ?" aku jarang-jarang bisa
menahannya! Nona pendeta sayang, tak seorangpun bisa datang tanpa hambatan kehadirat
Solomon. Aku akan melakukan yang terbaik untuk mempercepat masalah ini demi dirimu, tapi
kau harus bersabar. Datanglah ke menaraku besok, dan kita akan membahasnya lebih jauh."
Asmira menelengkan kepalanya. "Terimakasih."
"Khaba!" di ujung terjauh meja si vizier kecil mengerutkan mukanya; dia mengetuk kayunya
dengan nada memerintah dengan jarinya. "Kau tampak begitu yakin bahwa Solomon akan
menerimamu sekali lagi," katanya. "Benar, kau mungkin bisa membunuh beberapa perampok,
semuanya baik dan bagus, tapi kelalaianmu di Bukit Kuil sangatlah menyusahkan beliau, dan
dia lebih bahkan lebih tersinggung lagi dengan lamanya waktu yang kau butuhkan. Jangan
mengira bahwa kau akan mendapati jalanmu lancar berurusan dengan beliau."
Asmira, yang sedang memandang Khaba, menyadari sesuatu berkobar di kedalaman matanya
yang lembut, semacam selubung yang tiba-tiba terbuka yang membuat jiwa Asmira menciut.
Kemudian sesuatu itu hilang, dan si penyihir tertawa. "Hiram, Hiram, apakah kau sungguhsungguh mempertanyakan pendapatku?"
Keheningan tiba-tiba mengantam semua penyihir disitu. Hiram membalas tatapan Khaba; dia
meludahkan biji zaitun ke atas meja. "Tentu."
"Faktanya adalah," Khaba melanjutkan, "aku tahu bahwa raja sama baik-nya dengan dirimu. Dia
menyukai barang remeh-temehnya, tidakkah dia begitu" Well, aku akan melancarkan jalanku
dengan membawakannya sebuah hadiah kecil, sebuah barang aneh untuk tambahan
koleksinya. Aku membawanya disini. Sesuatu yang cukup menawan, tidakkah kalian berpikir
begitu?" Khaba meletakkan sesuatu ke atas meja, sebuah botol kecil membulat dari kristal yang jernih,
dihiasi dekorasi bunga-bungaan kecil. Bagian atasnya telah disumbat dengan segumpal timbal;
dibalik permukaan kristalnya yang bersisi majemuk, cahaya berwarna yang lemah dan jejakjejaknya berputar-putar.
Salah satu penyihir lain yang terdekat dengannya mengambilnya dan menelitinya lebih dekat
lagi sebelum mengedarkannya pada yang lain. "Kehilangan semua wujudnya, kulihat. Apa itu
normal?" "Dia mungkin masih tak sadarkan diri. Tadi dia melawan Mantra Pengurungnya."
Si wanita berambut panjang membolak balik botolnya dan membolak-baliknya lagi di
tangannya. "Apakah ini cairan" Apakah benda ini padatan" Betapa, makhluk-makhluk tidak
wajar hina mereka ini! Kalau aku berpikir bahwa mereka bisa dikerutkan hingga seukuran ini."
Saat sang vizier mengambilnya, si tikus bermata hijau mundur ketakutan dan menyembunyikan
wajahnya dibalik telapak kakinya yang berselaput. "Ini akan menjadi perhiasan kecil yang
manis," Hiram berkata dengan enggan. "Lihatnya bagaimana sinarnya berkedip muncul hilang
dari pandangan; dia tidak pernah mengulangi pola yang sama dua kali."
Si botol menyelesaikan perjalanannya berkeliling dan dikembalikan ke tangan Khaba, yang
mana meletakkan botol itu di hadapannya. Asmira sudah terpesona olehnya; ia mengulurkan
tangannya dan menyentuhkannya pada dinding kristal botol itu; sebagai kejutan baginya
permukaan botol yang dingin bergetar oleh sentuhan jemarinya. "Apa ini sebenarnya?" Tanya
Asmira. "Ini, sayangku," kata Khaba, tertawa, "adalah jin level empat terbotolkan, dijebloskan kedalam
penjara ini untuk waktu yang lama selama yang Solomon inginkan."
"Langsung saja ke intinya," wanita berambut panjang berkata, "jin yang mana sebenarnya?"
"Bartimaeus dari Uruk."
Asmira melotot, dan membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu, kemudian menyadari
bahwa Khaba tidak tahu dia tahu tentang nama si jin. Atau barangkali dia terlalu mabuk untuk
peduli. Kebetulan yang lainnya pun mengingat nama si jin. Terdengar paduan suara persetujuan.
"Bagus! Hantu Ezakiel akan bersenang-senang karena hal ini."
"Si kudanil" Kau tepat melakukannya, Khaba " Solomon pasti akan menikmati hadiahmu ini!"
Asmira melotot ke arah Khaba. "Kau menjebak seorang makhluk halus di dalam situ" Apakah
ini bukan perbuatan yang agak kejam?"
Semua orang di sekeliling meja, para penyihir " tua, muda, pria, wanita " meledak tertawa
terbahak-bahak dengan suara tawa yang parau, Khaba tertawa lebih keras daripada yang
lainnya. Kedua matanya, saat dia menatap Asmira, penuh penghinaan, berpelupuk merah,
kabur karena minuman. "Kejam" Pada demon" Itu berkontradiksi dengan istilahnya sendiri!
Tidak perlu membuat pusing kepala kecilmu yang cantik dengan sesuatu semacam itu. Dia itu
makhluk halus berbahaya dan tidak ada seorangpun yang akan mendapat kerugian besar
karenanya. Disamping itu, dia akan mendapatkan kemerdekaannya pada akhirnya " dalam
beberapa ratus tahun atau kira-kira segitulah.
Percakapan beralih ke masalah lain: ke penyakit yang sedang menyerang Reuben si penyihir,
ke pembersihan menara Ezakiel, kepada peningkatan sifat kezahidan Solomon. Tampaknya "
selain dari pertemuan dewan regular di aula taman " dia jarang dan semakin jarang terlihat di
seputar istana; bahkan Hiram, vizier-nya sendiri, hanya bisa menemuinya pada waktu-waktu
tertentu dalam sehari. Ketertarikan utamanya tampak pada kuil yang dia gagas; selain dari itu,
dia tetap menyendiri. Dia menunjukkan sedikit perhatian pada para penyihirnya, kecuali pada
perintah-perintahnya yang menjadi terlalu sering di setiap pertemuan, yang dengan kemarahan
terpendam mereka terima. Persingahan singkatmu di gurun itu, Khaba, bukan apa-apa! Besok aku harus pergi ke
Damaskus dan membawa jin-jinku untuk membangun kembali temboknya yang runtuh."
"Aku harus pergi ke Petra, membantu mereka membangun silo gandum."
"Aku harus mengairi beberapa desa orang Kanaan menyedihkan?"
"Cincin itu! Solomon merasa dia bisa memperlakukan kita seperti budak! Aku cuma berharap?"
Asmira menunjukkan sedikit perhatian pada keluhan-keluhan mereka. Dia mencomot botol itu
dan membalik-baliknya perlahan di antara jemarinya. Betapa ringannya! Betapa aneh zat yang
ada di dalamnya! Di balik kaca kristalnya, bercak- bercak kecil warna memuntir dan berkilauan,
bergerak perlahan layaknya daun bunga yang berguguran di permukaan sebuah danau. Dia
memekirkan si jin, matanya yang serius dan kalem, berdiri di sisinya di jurang yang hancur "
Di seluruh aula, banyak dari tamu Solomon yang sudah berjalan menuju tangga, walaupun
banyak yang lain masih duduk-duduk dan menyantap dengan rakusnya yang masih tersisa dari
hidangan. Disamping Asmira, para penyihir semakin tenggelam di kursi mereka masing-masing,
omong lebih keras, menghisap minuman lebih banyak "
Asmira menatap lagi botol di tangannya.
"Ya, pelajarilah tentu saja!" Khaba bergoyang-goyang mendekat dan memberi hormat dengan
goyah. "Kau pasti sangat tertarik pada keanehan dan keajaibannya, betul tidak" Ah, tapi aku
lebih banyak lagi benda semacam itu tersembunyi di menaraku! Semacam pilihan untuk
kesenangan! Kau harus merasakannya besok!"
Asmira berusaha sebaik-baiknya untuk tidak berkelit dari bau napasnya. Ia tersenyum. "Please,
pialamu kosong. Biar kutuangkan lagi anggurnya."
Betapa lamanya, betapa menyakitkannya tahun demi tahun yang panjang berlalu jika kau
terkurung di dalam botol! Aku tidak menyarankan pengalaman ini pada siapapun.1)
1) Manusia tidak sering menderita karena penghinaan seperti ini, aku tahu, tapi ini memang pernah
terjadi. Seorang penyihir dimana aku sekali pernah bekerja padanya, meminta bantuanku setelah sebuah
gempa bumi merobohkan menaranya. Tidak beruntung tepatnya karena kata yang digunakannya adalah
"preserve me! "lindungi/awetkan aku?" sebuah sumbat gabus, sebuah botol besar, tong besar berisi
cairan pengawet, dan "presto!" pekerjaanku pun terselesaikan.
Efeknya pada rohmu adalah yang terburuk. Sekali dan setiap saat kami dipanggil ke bumi, roh
kami mati sedikit demi sedikit. Tapi asalkan kami tidak dibiarkan terlalu lama berada di sini, dan
kami bisa mengalihkan perhatian diri kami dengan cukup banyak terbang, berkeliaran dan
melakukan permainan kata sarkastis, kami bisa cukup menghibur diri sebelum kembali ke
rumah untuk menyembuhkan diri. Hal ini tidak dimungkinkan terjadi di dalam kurungan
berjangka panjang. Kesempatan terbang dan berkeliaran agak sedikit dibatasi kalau kau
terjebak dalam sesuatu seluas satu atau dua inchi persegi, dan sejak sarkasme adalah satu
dari aktivitas terbaik yang bisa kau lakukan dalam kondisi ini. Tidak ada hal lain yang bisa
dilakukan selain melayang-layang dan berpikir dan mendengarkan suara lemah yang
ditimbulkan rohmu yang mengerut. Menggumpal menjadi gumpalan minta maaf. Untuk
membuat segala sesuatunya lebih buruk lagi, mantra pengurungnya sendiri merupakan piranti
untuk membuat tarikan pengurungnya bekerja dalam waktu yang tidak terbatas, jadi kau
bahkan tidak punya cukup harga diri untuk betul-betul mati. Khaba telah memilih yang terbaik
untukku: ini memang hukuman yang terburuk dari seorang musuh bebuyutan.
Aku sepenuhnya terisolir di dalam bola kristal ini. Waktu tidak diketahui. Tidak ada suara dari
dunia luar yang masuk kemari. Terkadang cahaya dan bayangan melintas di sepanjang
pembatas penjaraku, tapi mantra pengikat sangat kuat yang disatukan dengan botol kristal ini
mengaburkan pandanganku sehingga aku tidak bisa membuat bentuk-bentuk itu terlihat jelas.2)
2) Botol imp membutuhkan pengikat yang kurang keras, dan kacanya biasanya transparan. Mereka
makhluk berpikiran lambat. Mereka membuat bentuk-bentuk liukan tubuh yang tak terhitung jumlahnya
untuk mengejutkan dan membuat jijik orang yang lewat. Tak perlu dikatakan aku tak pernah terkesan
pada sesuatu seperti itu. Tak ada kesenangannya sama sekali kalau kau tak bisa melihat sendiri reaksi
mereka. Sebagai tambahan untuk ketidaknyamananku. Isi asli botol kuno ini kelihatanya adalah suatu
zat berminyak, mungkin jel rambut seorang gadis mesir yang sudah lama mati. Tidak hanya
karena interiornya masih samar-samar tercium wangi-wangian (rosewood, kukira, dengan
sedikit tanda-tanda campuran jeruk), permukaan dalamnya juga masih terasa licin. Saat aku
capek, demi variasi, aku berubah menjadi kumbang scarab atau serangga-serangga super kecil
lainnya, cakar-cakarku yang berkulit keras dapat tergelincir kesana-kemari.
Kebanyakan, dan karena itu, aku berada dalam wujud alamiku, mengapung tenang, melayang,
memikirkan hal-hal hebat dan sesuatu yang melankolis, adakalanya mencorat-coret
serampangan graffiti cabul di bagian dalam penjaraku. Terkadang pikiranku kembali ke
episode-episode hidupku yang telah lalu. Aku memikirkan Faquarl dan pembebasannya yang
disebabkan hebatnya kemampuan penaksiranku. Aku memikirkan gadis itu, Cyrine, yang
hampir berhasil membebaskanku. Aku memikirkan Khaba yang jahat " sekarang, dengan waktu
yang tanpa kenal ampun berlalu, agaknya tinggal tumpukan tulang "belaka" dan pasangannya
yang busuk, Ammet, mungkin masih menyebarkan kejahatan di suatu tempat di dunia yang
malang ini. Yang paling sering, tentu saja, aku berpikir tentang kedamaian dan keindahan
rumahku yang jauh, dan berharap suatu saat aku akan pulang.
Dan lalu, setelah zaman-zaman yang panjang tak terhitung, saat aku sudah sepenuhnya
kehilangan harapan "
Botolnya pecah. Satu saat segalanya tidak ada yang berubah, seperti memang selalu begitu, kamar tahananku
yang berkubah kecil, tersegel kuat. Kemudian, dindingnya runtuh menjadi hujan serpihan yang
berjatuhan ke segala penjuru, berputar-putar, berkilauan, tertahan gelombang pasang suara
dan udara. Dengan kehancuran si botol, rapalan Ammet tidak bisa bertahan, terhempas terbelah; hancur
lenyap. Aku merasakan diriku terbebas.
Getaran meremang menembus rohku. Dengan luapan suka-cita seketika, semua rasa sakit dan
penderitaanku seketika terlupakan. Seakan aku tidak pernah kehilangan apa-apa. Seperti
seekor burung lark yang membubung tinggi aku meninggalkan bumi, cepat dan terus semakin
cepat, melintasi dinding-dinding elemental yang terbuka menerima kedatanganku, aku terjun ke
dalam ketakterbatasan manis rumahku.
Dunia lain menyambutku. Aku menerimanya serta merta, aku bebas berada diberbagai tempat
sekaligus. Rohku bergetar menari bebas, melebar, bernyanyi, melayang ke mana-mana. Aku
bergabung dengan ketakberakhiran, ketidakberadaan, menari memelintir "
Dan membeku. Untuk sesaat momentum majuku yang gembira dan tarikan seketika dibelakakangku sama kuat
dan saling bertolak belakang. Aku tergantung diam tak bergerak. Aku butuh waktu untuk
menyalakan alarmku "
Kemudian aku terenggut, terenggut dari ketakterhinggaan. Dihempaskan kembali ke koridor
yang baru saja kulalui. Terjadi dengan amat cepat, aku kebanyakan menemukan diriku kembali
ke arah tempatku datang tadi.
Aku dilempar jatuh seperti hujan emas ke sumur yang tak berhingga dalamnya. Aku menyusut,
dan menyusut menjadi sebuah titik, dan mendarat.
Aku melihat sekeliling. Tempatku berada adalah tepat di tengah pentacle yang digambar di
kegelapan, dibuat dengan tinta warna merah. Dekat dariku, dalam bayangan sehitam tinta, tirai
sutra tergantung seperti jaring laba-laba, memberi siluet pada ruangan. Udara tertutup dan
jenuh dengan aroma dupa. Cahaya lilin kemerahan bersinar dari lantai berlapis marmer seperti
memori di lubang perlindungan berdarah.
Aku sudah dibumi lagi! Aku sudah di bumi lagi! Kebingungan dan rasa terguncangku bercampur dengan rasa sakitku
yang muncul kembali. Dengan lolongan penuh kemarahan aku bangkit di tengah pentacle,
demon berkulit merah, langsing, tampak cerdas, dengan keinginan membalas dendam
membengkak. Mataku berupa bulatan emas yang menyala, pupil matanya yang berduri tipis
masuk keluar. Dibawah tulang rawan yang menjorok yang berfungsi sebagai hidung, terdengar
geraman mengerikan dari mulut yang penuh dengan gigi-gigi runcing.3)
3) Aku melakukannya, faktanya, pengejawantahan hidup kusarikku, subtype uttuku yang kurang beradap,
yang digunakan untuk dipekerjakan di beberapa kota tua Sumeria sebagai eksekusioner, penjaga
kuburan, pengasuh bayi, dsb.
Demon itu merendahkan tubuh, menyisir sekeliling. Si demon mengamati balok persegi
tempatnya berdiri, dia melihat potongan batu nefrit yang menopang balok tempatnya berdiri ke
lantai. Dia melihat lampu minyak yang berkerlip, lilin lemak, pot-pot dupa terbakar di ubin lantai
di belakangnya. Dia melihat kantong tas merah-kelabu tertentu dari kulit yang terbuka di dipan
tulis beralaskan sutra. Dia melihat meja berbentuk alas tiang yang menengadah ke arahnya,
sebuah botol yang hancur; kepingan pecahan kacanya yang bertebaran "
Dia melihat pentacle kedua di balok persegi satunya. Dan berdiri di dalam pentacle itu "
"Bartimaeus dari Uruk" gadis arab itu bersenandung. "Aku mengikatmu dengan rantai-rantai
Nakrah dan belenggu-belenggu Marib, dimana keduanya merupakan yang paling memilukan
dan mengerikan, yang selanjutnya untuk melaksanakan perintahku, dan rasa sakit dan
penderitaanmu akan hilang dengan cepat. Tetap bersikaplah baik dan sopan sampai aku
membebaskanmu, dan lakukanlah apa yang diperintahkan padamu dengan cepat dan sungguhsunggguh, tanpa membantah atau menunda-nunda, untuk kembali pada waktu dan tempat
yang akan kuberikan padamu ?"
Ada banyak lagi kata-kata perjanjian yang bagus selanjutnya, semuanya sudah kuno sekali,
bukan untuk diucapkan dengan frase yang panjang-panjang dan tata-bahasa berbelit-belit
bahasa arab selatan yang susah diikuti. Tapi aku bisa mengatasi hambatannya sedikit, aku
mengerti intinya. Aku mengakui aku terkejut. Aku akui aku tercengang. Tapi meletakkan aku di tengah pentacle
dan kalimat-kalimat perintah yang dengan segera akan kembali pada pemaksaan. Siapapun
yang memangilku berarti dia mempertaruhkan segalanya, mengabaikan apapun yang terjadi di
masa lalu. Gadis ini tidak aman sekarang.
Gadis itu mengucapkan mekanisme Pengikat dalam keadaan semacam kerasukan, berdiri
sangat kaku, berayun-ayun sedikit dalam usahanya menyelesaikan pemanggilan. Tangan
kecilnya terkepal, berada di kedua sisi tubuhnya seolah tergembik disana. Matanya tertutup;
gadis itu mendeklamasikan kata-kata penyegel dan frase pengunci dengan teliti dan berima
yang menguasaiku dengan cepat.
Demon berkulit merah bergerak ke pinggir lingkarannya, cakar-cakar muncul di sela kain yang
menggantung sampai ke kakinya. Mata emasku berkilat dalam asap lilin. Aku menunggu
kesalahan atau keragu-raguan yang akan membuatku bisa menggigit tulang-tulangku seperti
seledri dan melakukan hal yang sama pada tubuh si gadis.
"Hampir selesai," Aku berbisik. "Jangan sampai mengacaukannya sekarang. Tapi tetap saja "
ini bagian yang sedikit sulit. Dan kau sudah sangat, sangat lelah " sangat lelah aku hampir
bisa merasakanmu." Aku mengatupkan gigi-gigiku dalam kegelapan.
Dia memutih kemudian, lebih parah dari salju di puncak-puncak gunung. Tapi dia tidak
membuat kesalahan. Dia tidak menjadi gundah.4)
4) Ini tidak umum, perhatikan. Kau dapat mengatakannya dengan segera bahwa gadis itu belum pernah
mempraktekkanya. Setiap suku-kata sungguh sangat tepat sekali sampai terasa menyakitkan, seperti
kalau gadis itu berada di semacam kontes berbicara di depan publik. Pada akhirnya aku merasa seperti
sedang memegang kartu dengan angka "6" tertera di atasnya. Ini kontras dengan penyihir terbaik, yang
melakukan pemenggilan berganda atau masal dengan kasual, sambil memotong kuku atau sarapan, dan
tidak pernah salah ucap satu fonem pun.
Terlalu cepat, aku merasa ikatanku semakin kuat. Kesiagaanku yang lapar berkurang, aku
terduduk di dalam pentacleku.
Gadis itu selesai, dia menyeka keringat di wajahnya dengan lengan bajunya.
Dia menatapku. Ruangan menjadi hening. "Dan apa?" kataku, "yang menurutmu sedang kau lakukan?"
"Aku cuma menyelamatkanmu." Gadis itu masih sedikit kehabisan nafas, dan suaranya lemah.
Dia mengangguk ke arah pecahan-pecahan kaca di lantai. "Aku mengeluarkanmu."
Si demon berkulit merah mengangguk perlahan. "Jadi kau yang melakukannya. Jadi kau
melakukannya " Tapi hanya untuk memperbudakku lagi di bawah kakimu dalam hitungan
detik!" Api yang menjilat-jilat berkobar keluar dari pakaian di kakiku dan melonjak-lonjak nyaris
membungkus tubuhku yang gusar. "Kau lupa," aku meraung, "bagaimana aku menyelamatkan
hidup kecilmu yang menyedihkan dulu, dulu sekali?"
"Dulu se?" apa?"
Api menyembur dari mataku; jejak belerang terbakar berkobar di kulitku yang bersinar. "Bisakah
kau membayangkan rasa sakit dan penderitaan yang kutahan?" aku berteriak. "Terjebak dalam


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjara kecil menyesakkan itu sepanjang tahun-tahun yang berkepanjangan tanpa akhir,
sepanjang siklus terbit terbenam matahari dan bulan yang sangat panjang" Dan sekarang, tidak
lama setelah aku terbebas kau sudah memanggilku lagi" Tanpa banyak wa ?" aku
menghembuskan nafas, mengamati si gadis yang sedang menepuk-nepuk kain pakaian pada
kakinya yang indah. "Jadi berapa lama sebenarnya aku terperangkap, kurang-lebih?"
"Beberapa jam, tengah malam baru saja lewat, aku bicara denganmu kemarin siang, tengah
hari." Demon berkulit merah melotot; lidah api di sekelilingku lenyap. "Tengah hari kemarin" Cuma
segitu?" "Well, berapa lama menurutmu" Yep, baru kemarin. Lihat aku. Aku masih memakai pakaian
yang sama." "Begitu ?" aku berdeham. "Agak sedikit susah memperkirakan sesuatu di dalam situ " Well,
seperti kataku, disitu agak suram." Suaraku kembali percaya diri. "Dan aku tidak peduli, aku
tidak mau dipanggil lagi " oleh dirimu atau siapapun juga! Kalau kau tahu apa yang terbaik
bagimu, kau sebaiknya melepaskanku."
"Yang itu aku tidak bisa."
"Kau lebih baik," aku menggertak, "tidak membiarkanku terlalu lama disini, omong-omong. Kau
masih pemula." Mata gadis itu membelalak; api tidak keluar dari matanya, tapi kira-kira begitulah.
"Ketahuilah, Bartimaeus dari Uruk," teriaknya, "bahwa di negeriku, aku adalah calon anggota
Delapan belas Attainment di kuil Marib! Ketahuilah bahwa aku telah memanggil si demon Zufra
sebelumnya, dan mencabuknya dengan rantai, dan memaksa demon wanita itu menggali
tempat penampungan air di Dhamar dalam semalam! Perlu kau tahu juga aku telah
menundukkan dua belas lusin demon dalam genggamanku dan melemparkan sembilan
diantaranya ke dalam lubang yang paling dalam!" gadis itu menyeka untaian rambutnya yang
menjuntai dari alisnya dan tersenyum muram. "Dan sekarang ini aku adalah mastermu, adalah
hal paling utama yang perlu kau tahu."
Demon berkulit merah menyeringai seperti sapi. "Usaha yang bagus." kataku. "Tapi ada tiga hal
yang aneh. Pertama, "Delapan belas Attainment di kuil Marib" tidak berarti apa-apa bagiku.
Setahuku itu berarti kualfikasimu adalah untuk menggosok toilet." Gadis itu berdecit marah
disini, tapi kuabaikan. "Kedua," aku melanjutkan, "tentang nada suaramu, kau pasti berpikir itu
membuat orang kagum dan ngeri, ya kan" Maaf saja. Terdengar menakutkan seperti orang
sembelit. Dan ketiga, semua kata-katamu tampak jelas sekali adalah bualan besar, omong
kosong! Kau baru saja melakukan Injungsi Pertama-mu 5) kebetulan saja kau melakukannya
tanpa membuat lidahmu tersandung. Aku sempat berpikir kau akan mengikat dirimu sendiri
dengannya segera, kau terlihat ragu-ragu sekali. Lihat tampangmu, semua ini tidak lebih dari
gertakan." 5) Injungsi Pertama: secara tradisional diucapkan pada semua pemanggilan sejak hari-hari kejayaan
Eridu. Umumnya sesuatu yang mudah ditebak: "dengan kekuatan pembatasan lingkaran, pembatas
pentacle dan rangkaian simbol-simbol, ketahuilah bahwa aku adalah mastermu. Kau akan menuruti
keinginanku." Hidung gadis itu kelihatannya memutih sampai ke ujung dan mengerut. "Bukan begitu!"
"Sangat begitu"
"Bukan!" "Kau kelihatan begitu kesal dan ingin menghancurkan jambangan bagus di sebelah situ." Aku
melipat lenganku yang bersisik dan memberi gadis itu sorotan mata membelalak yang ganas.
"Dan, omong-omong, dengan melakukan hal itu sekali lagi kau hanya semakin membuktikan
apa yang kukatakan barusan. Berapa banyak penyihir sungguhan kau pikir yang akan terjebak
dalam jebakan kecil kata-kata seperti ini" Meraka pasti sudah menghantamku dengan
Penggosok Gelap sekarang dan menyelesaikan semua ini."
Gadis itu melotot padaku. Wajahnya pucat.
"Kau bahkan tidak tahu apa itu Penggosok Gelap-kan?" kataku, menyeringai
Dia menarik nafas dalam-dalam. "Tidak. Tapi aku tahu ini." Dia menggenggam piringan perak
matahari di lehernya dan mengumamkan kata-kata. Sekali lagi dia memang nyaris bisa
dikatakan tidak kompeten. Salah satu jenis Mantra Penangkal 6) sebuah pagar sihir, yang bisa
dipakai untuk menegur imp nakal. Walau begitu, gelombang besar zat hitam berputar-putar di
udara, membesar dan mengarah ke pentacle-ku.
6) Mantra Penangkal: rapalan pendek yang membalikkan kekuatan makhluk halus pada dirnya sendiri.
Mantra penangkal tingkat tinggi, digunakan oleh penyihir dalam pelatihan, termasuk Mantera Pembalik
Sistematis dan Tusukan Kompas. Yang seperti ini mampu mebuat kerusakan yang parah pada jin.
Sedangkan yang berlevel rendah, seperti yang gadis ini tahu, benar-benar mirip tamparan singkat di
bokong, dan kira-kira memang cukup menarik.
Aku menaikkan tanganku untuk menolak serangannya, menyebut nama gadis itu. "Cyrine!"7)
7) Mengetahui nama lahir seseorang memungkinkanmu untuk menangkis serangan sihirnya. Yang tak
akan aku demonstrasikan disini
Energi hitam bertebaran menghantam tanganku yang terangkat, menembus tanganku seperti
badai jarum-jarum kecil yang berputar-putar.
Akhirnya mereka hilang. Aku memperhatikan lubang- lubang kecil di tanganku dengan geram.
"Cyrine bukan namamu yang sebenarnya bukan?" kataku.
"Bukan. Siapa yang begitu bodoh sehingga memberikan nama aslinya begitu saja "
Bartimaeus?" Cukup adil. "Walau begitu," kataku, "hukumanmu tadi benar-benar menyedihkan. Dan sekali
lagi kau hanya sekedar mengucapkan apa yang kau bisa bukan. Teruskan, cobalah yang lain,
aku menantangmu." "Aku tidak membutuhkannya." Gadis itu menyibakkan jubahnya, menampakkan tiga belati dari
perak di pahanya. "Buat aku marah lagi." Katanya. "Dan aku akan memberimu salah satu dari
ini." Dia mungkin bisa melakukannya, baiklah. Terperangkap di pentacle ini, aku tahu kesempatanku
bisa menghindarinya memang terbatas. Tapi aku hanya mengangkat bahu. "Itu buktiku yang
paling utama," kataku, "kau ini seorang assassin yang disewa seseorang. Kau sama sekali
bukan seorang penyihir. Dan kau butuh menjadi seorang penyihir kalau mau berurusan
denganku." Gigiku bekilat dalam bayangan. "Aku membunuh masterku yang terakhir, kau tahu."
"Siapa " Khaba" Seseorang yang menjebakmu di dalam botol?" gadis itu mendengus tidak
sopan. "Dia terlihat cukup hidup bagiku saat aku membuatnya mabuk di ruangan bawah sana."
"Baik." Aku berkata marah. "Masterku yang sebelum itu. Sama berbedanya. Bicara statistik, kematian adalah nasib terakhir yang menimpa empat puluh
enam persen dari mereka semua?" aku berhenti sebentar. "Tunggu dulu. Si penyihir Khaba di
bawah sana ?" Dimana kita berada tepatnya?"
"Istana Raja Solomon. Kau tidak ingat" Aku pikir kau kenal baik tempat ini; itulah mengapa aku
melepasmu." "Well, aku tidak mungkin hafal setiap kamar tidurnya, bukan?" dan saat itu juga demon berkulit
merah berhenti bererak, sadar dengan sikap ragu-ragu bercampur takut yang tidak
menyenangkan, kesadaran merambatinya, jengkel karena tahu dimana tepatnya dia sekarang,
mereka dengan segera akan berada dalam keadaan yang buruk sekali.
Aku memberi gadis itu tatapan keras dan dingin. Dia melotot balik padaku, matanya sama
dinginnya dengan mataku. "Aku mengatakan sopan santun ini cukup satu kali," kataku,
"Terimakasih kau telah mengeluarkanku dari penjaraku. Itu anggap saja untuk membayar
hutangmu padaku tempo hari. Sekarang " ucapkan Kata Pembebasan itu dan bebaskan aku."
"Apakah aku sedang mengikat atau apakah aku tidak sedang mengikatmu, Bartimaeus?"
"Untuk saat ini," aku menusuk bajuku dengan cakar kakiku. "Tapi aku akan menemukan celah,
tidak akan lama." "Well, kalau kau melihatnya," kata gadis itu, "kau sependapat kalau saat ini kau melayaniku.
Yang artinya kau melakukan apa yang kukatakan, atau kau akan mendapat Api Kepedihan. Kau
akan merasakan itu tidak lama lagi, cepat atau lambat."
"Oh kau yakin. Seperti kau tahu saja mantranya."
"Cobalah." Dan disini, tentu saja, aku tidak terlalu yakin, karena aku memang tidak bisa memastikannya
dengan cara lain kecuali merasakannya sendiri. Memang mungkin gadis itu tidak tahu
rapalannya " yang mana memang adalah pengamanan terakhir semua penyihir " tapi sama
mungkinnya juga gadis itu bisa melakukannya. Dan kalau dia melakukannya, dan aku
mengabaikan perintahnya, itu akan menjadi saat yang menyedihkan buatku.
Aku mengganti pokok pembicaraan. "Kenapa Khaba mau memberimu botol itu?"
"Dia tidak memberikannya." Kata gadis itu. "Aku mencurinya."
Ini dia. Seperti yang sudah kuduga, semuanya menjadi semakin buruk. Buruk terutama (aku
berpikir disini betapa mengerikannya kamar rahasia bawah tanah penyihir itu nantinya) untuk
gadis itu. "Kau itu bodoh ya," kataku. "Mencuri darinya sama sekali bukan ide yang bagus."
"Khaba itu tidak relevan." Wajahnya masih pucat, tapi ketenangan tertentu sudah kembali
padanya, dan disitu ada semacam kecerahan di matanya yang aku sama sekali tidak
menyukainya. Cahayanya, faktanya, punya semacam kilasan mata para pengikut fanatik.8)
"Khaba bukan apa-apa," kata gadis itu. "Lupakan dia, kau dan aku harus berkonsentrasi pada
hal yang lebih besar."
8) Para fanatik: orang-orang bermata liar kemalangan yang tidak bisa disembuhkan tentang pandangan
mereka akan cara kerja dunia " tepatnya bisa membawa kekejaman saat dunia tidak bekerja seperti
yang mereka pikirkan. Favorit pribadiku, beberapa abad setelah Solomon, adalah stylite, para pertapa
berbulu yang menghabiskan tahun demi tahun duduk di puncak pilar batu di gurun. Sama sekali tidak ada
yang bengis atau berbahaya pada mereka, kecuali baunya. Mereka memanggil jin untuk mengganggu
mereka dengan godaan. Hal terbaik untuk membuktikan pantangan dan agama yang mereka anut.
Secara pribadi aku tidak pernah repot-repot dengan menggoda mereka, aku cukup menggelitiki mereka
sampai mereka jatuh. Sekarang keragu-raguanku menjadi dingin, tekanan rasa takut, karena aku ingat kembali
percakapan dengan gadis itu di tepi jurang, dan semua pertanyaannya tentang hal-hal
terlarang. "Dengar," kataku. "Sebelum kau berkata apa-apa lagi yang akan kita berdua sesali,
berpikirlah dimana kau berada saat ini. Plane-plane disekitar kita bergemuruh karena aura
makhluk halus hebat. Aku bisa merasakannya, bahkan bila kau tidak, dan gemanya membuatku
hampir tuli. Kalau kau ingin memanggilku, lakukanlah, tapi lakukan di suatu tempat yang sangat
jauh dari sini dimana kita punya kesempatan memperpanjang harapan hidup. Mencuri properti
penyihir tidak disukai disini, apalagi melakukan pemanggilan tidak resmi. Hal-hal itu persisnya
adalah jenis yang terbaik tidak kau lakukan di dalam atau sekitar rumah Solomon."9)
9) Aktivitas lain yang terlarang di istana antara lain: pertarungan, menelan pelayan, berlarian di koridor,
mengambar gambar-suntingan tidak sopan di dinding-dinding harem, membawa bau-bauan tak
menyenangkan untuk disebarkan di dapur, dan meludahi kain pelapis perabotan. Setidaknya itulah yang
sudah pernah aku dengar; mungkin masih ada yang lainnya.
"Bartimaeus," gadis itu berkata, meletakkan tangannya pada salah satu belati di ikat
pinggangnya. "Berhenti bicara."
Aku berhenti. Menunggu. Menunggu yang terburuk.
"Malam ini," gadis itu melanjutkan, "kau akan membantuku menyelesaikan misi yang
membawaku melintasi ribuan mil dan terutama dari taman-taman Sheba yang indah."
"Sheba" Tunggu dulu, maksudmu tentang Himyar yang kau katakan waktu itu tidak benar"
Jujur. Pembual macam apa kau ini?"
"Malam ini kau akan membantuku menyelamatkan negeriku, atau kita berdua akan mati
berusaha." Jadi, bum, hilang sudah harapan terakhirku untuk tetap hidup, bahwa gadis itu hanya ingin aku
membantunya mengubah koordinasi tampilan kamar tidurnya. Yang sayangnya, aku bisa
melakukannya cukup baik dengan sutra disitu.
"Malam ini kau akan membantuku melakukan dua hal."
"Dua hal ?" kataku, "Bagus sekali, yaitu ?""
Hanya seberapa sinting gadis itu menurutmu. Tepatnya dimana, pada skala penyakit gila kronis
dia berada" "Bunuh Raja Solomon," gadis itu berkata dengan sangat bersemangat, "dan ambil cincinya."
Gadis itu tersenyum padaku. Matanya yang cerah bersinar cemerlang.
Tepatnya pada ujung paling bawah, dia berada.
Asmira berharap si jin akan mengatakan sesuatu setelah pengakuan sebagian rahasianya "
tapi sepertinya dia tidak berkomentar apapun sampai saat ini. Alih-alih kebisuannya justru
semakin mendalam, malahan lidah api kecil yang berkobar di sepanjang permukaan tubuhnya
mengecil tiba-tiba dan padam.
Dia tetap berdiri seperti batu, seperti keheningan yang masih terus berlangsung " kini
keheningan yang diproyeksikannya telah sepenuhnya membuat gadis itu takut. Keheningan
memenuhi ruangan itu seperti kabut beracun, menekannya dengan intensitas yang dapat
membuat lututnya menekuk. Sungguh tanpa disadarinya Asmira mundur satu langkah di
pentaclenya yang tergambar di atas kain.
Ia menutup matanya dan menarik perlahan nafas panjang. Tenang. Ia mengumpulkan sisa-sisa
ketenangannya. Bartimaeus, mengabaikan ancaman dan pernyataan protesnya, dia adalah
miliknya sekarang. Dia tidak punya pilihan lain selain mematuhi Asmira.
Hanya ketenangan, aksi cepat, kebanyakan tanpa berpikir, yang membuat Asmira mampu
bertahan hidup setengah jam yang lalu. Kalau ia berhenti untuk menaksir apa yang dapat ia
lakukan " merampok penyihir yang sangat kuat, memanggil demon yang sangat jauh lebih kuat
dari yang pernah dia panggil selama ini " rasa takutnya akan menguasai diri Asmira, ia bisa
dibuat bimbang dan celaka. Walaupun begitu, seperti inti bakatnya, ia menyelesaikan tiap tahap
tanpa kehilangan konsentrasi, berfokus pada yang sedang dikerjakannya dan bukan pada
hasilnya. Bagian tersulit, kenyataanya, sudah berlalu, yaitu selama penantian yang terasa tak
berkesudahan di meja perjamuan, saat Khaba dan penyihir tingkat tinggi lainnya mabuk dan
tidak sadar. Di luar Asmira tampak bisa duduk di sana sambil tersenyum. Tertawa mendengar
lelucon mereka dan membuat mereka meminum anggurnya. Di dalam hatinya ia kesakitan
sekali karena perasaan tegang, berharap setiap momennya segera berakhir, atau khusus si
Mesir untuk mengeluarkan botol kristal itu keluar dari jangkauannya: dibalik senyumnya ia ingin
sekali berteriak. Tapi ketika, akhirnya, kepala Khaba tersandar, kelopak matanya tertutup,
Asmira siap dalam sekejap. Mengambil botol itu dari bawah hidungnya, keluar dari aula di
bawah barisan jin terbang, dan secepatnya menuju kamarnya. Disitu Asmira mengeluarkan
kain-kain dan lilin-lilin dari dalam tasnya, mengaturnya secara metodis, menghancurkan
botolnya dan melakukan pemanggilan. Dan semuanya dilakukannya tanpa satu keluhanpun.
Perapalannya sendiri sudah nyaris mengakhiri hidupnya. Asmira pernah memanggil jin tingkat
rendah sebelumnya, menggunakan teknik yang sama, tapi ia tidak memperhitungkan kekuatan
Bartimaeus sebelumnya. Bahkan dengan mata tertutup, Asmira merasakan kekuatan si jin
menekan pembatas lingkarannya saat ia berusaha menyelesaikan kalimatnya; pengetahuan
tentang apa yang akan terjadi kalau ia melakukan satu kesalahan telah menguras energinya
dengan cepat. Tetapi nasib Sheba tergantung pada kemampuan bertahan hidup Asmira, dan
pengetahuan itu masih sangat kuat. Mengabaikan kelelahannya, mengabaikan sudah bebulanbulan lamanya sejak ia terakhir kali melakukan pemanggilan, mengabaikan kemarahan si jin
yang menghantamnya, Asmira membuang jauh-jauh rasa takut keluar dari pikirannya dan
menjaga si jin tetap berada dalam pelayanan.
Dan sekarang sang jin terus berusaha keluar dari pelayanan.
Ia membersihkan tenggorokan dan memusatkan pandangannya pada bentuk demonik itu.
Betapa berbedanya dengan makhluk berwujud menyenangkan sehari sebelumnya! Tapi
mengerikan seperti yang terlihat, mungkin memang berguna.
"Bartimaeus," kata Asmira kasar, "aku perintahkan kau sekarang ikut denganku keluar dari
tempat ini tanpa keluhan atau penundaan dan bawa aku dengan aman pada Raja Solomon,
sehingga memungkinkan aku membawanya menuju kematian atau melepas cincinnya (dan
untuk menghindarkan dari keraguan dan kebingungan yang dimaksud disini adalah talisman
berkekuatan tak ada bandingannya dan bukannya cincinnya yang lain), kemudian dampingi aku
untuk dapat lolos dari tempat ini dengan aman. Semuanya jelas?"
Sosok itu tidak mengatakan apa-apa. Diselimuti asap, sosok yang gelap dan membeku.
Asmira menggigil; angin dingin lembut serasa melintasi lehernya. Ia melirik ke pintu kamar,
semuanya masih seperti sebelumnya.
"Aku juga memerintahkanmu," ia melanjutkan, "seandainya Solomon tidak bisa dibunuh, atau
bila aku tertangkap atau terpisah darimu, di atas semuannya kau harus mencuri dan
menghancurkan cincin itu, atau, kalau memang mustahil, menyembunyikannya secara
permanen dari pengelihatan dan pengetahuan semua manusia." Asmira mengambil nafas
dalam-dalam. "Sekali lagi: sudah jelas?"
Si jin tidak bergerak, bahkan api di mata kuningnya terlihat sudah mati.
"Bartimaeus, apa sudah jelas?"
Ada gerakan pada tubuh langsing itu. "Bunuh diri. Itu tidak mungkin dilakukan."
"Kau makhluk halus kuno barasal-usul hebat, kau berkata begitu padaku tentang dirimu."
"Curi cincinnya?" suaranya sangat lemah. "Bunuh Solomon" Tidak. Itu bunuh diri. Aku mungkin
lebih baik melompat ke tenggorokan Khaba atau mandi perak cair. Mungkin aku lebih baik
memakan kakiku sendiri dulu, atau menaruh kepalaku di bawah bokong gajah yang akan
berjongkok. Setidaknya pilihan itu akan menarik untuk ditonton. Kau mengirimku pada
kematianku." "Aku membahayakan hidupku juga." Kata Asmira.
"Ah, Ya. Itu memang hal terburuk dalam masalah ini." Si demon berkulit merah akhirnya
bergerak. Dia terlihat sedikit menyusut, dan warna-warna cemerlangnya meluruh dengan cepat.
Dia setengah membuang muka dari Asmira. Memeluk dirinya sendiri seakan kedinginan. "Kau
tak peduli sedikitpun pada kematian." Kata si demon. "Nyatanya kau malah hampir
mengharapkannya. Dan kalau itu caramu memandang dirimu sendiri, tidak banyak harapan
bagi salah satu budakmu, ya kan?"
"Kita tidak punya banyak waktu untuk memperdebatkan hal ini Bartimaeus. Ada hal yang jauh
lebih penting yang kita pertaruhkan di sini daripada hidupmu dan hidupku."
"Hal yang lebih penting?" si demon tertawa pura-pura. "Oh, aku terkesan sekali, kau tahu." Dia
melanjutkan, memotong Asmira yang baru mulai berbicara."Biasanya para penyihir tidak peduli
pada apapun kecuali kejayaan dan ukuran pinggang mereka. Tapi mereka punya rasa inginmelindungi diri: mereka tidak punya keinginan menantang kematian lebih banyak dari aku. Jadi
kalau mereka mengirimku pada suatu pekerjaan, jarang yang cenderung misi bunuh diri.
Berbahaya, ya " tapi resikonya selalu sudah diperhitungkan. Karena mereka tahu kalau aku
gagal, konsekuensinya mungkin mengenai mereka. Tapi kau" Si demon menatap muram.


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Aku tahu suatu hari aku akan bertemu orang sepertimu. Aku tahu dan aku takut. Karena
kau fanatik, bukan" Kau muda dan cantik bahkan juga berkepala kosong, dan kau tak peduli."
Citra-citra melesat dibelakang mata Asmira: menara di Marib terbakar. Rantai manusia
membawa air. Tubuh-tubuh bertemperasan di jalanan. Air mata kemarahan mengaburkan
pengelihatannya. "Kau salah, egosentris, makhluk kecil jahat seekor " imp!" Asmira
membentak. "Kau tidak tahu apa-apa tentang apa yang kurasakan! Kau tidak tahu apa-apa
alasan aku melakukan ini!"
"Kau kira tidak?" si demon mengacungkan tiga jari bercakar yang berbonggol dan menghitung
dengan cepat. "Tiga hal. Rajamu. Negerimu. Agamamu. Paling tidak dua diantaranya, atau
mungkin malah semuanya. Well" katakan kalau aku salah."
Asmira tahu kalau si demon dengan sengaja memprovokasi dirinya, dan tahu kalau ia harus
mengabaikannya. Tapi rasa marah dan kelelahan membuatnya terpancing. "Aku disini karena
cintaku pada ratuku. Dan untuk Sheba, negeri paling adil dibawah lindungan Dewa Matahari.
Dan tidak ada kehormatan yang lebih tinggi daripada itu " tidak ada makhluk tanpa jiwa
sepertimu yang mampu mengerti itu."
Si demon menyeringai, menampakkan taring-taring putih, tajam, melengkung, saling
berpotongan. "Well sekarang," katanya. "aku harus menjadi tak berjiwa karena semua sampah
omong-kosong itu membuatku dingin." Wujudnya dengan cepat mengabur; berubah wujud
dengan kecepatan tinggi, berturut-turut menjadi pria berambut kusut, pemuda bermata bulat,
pemuda tinggi, pendek, tampan, biasa-biasa saja, dengan warna kulit dari berbagai Negara.
Yang terkhir samaran pemuda tampan berambut hitan yang diingat Asmira di jurang tempo hari,
tapi kali ini berwajah seadanya, tanpa sayap. "Kau tidak butuh jin untuk pekerjaan ini," kata si
pemuda, "Pria muda adalah yang terbaik untuk mati untuk konsep kosong. Pulanglah ke Sheba
dan carilah seseorang untuk dirimu sendiri."
"Aku tidak berbicara tentang konsep kosong, demon!" Teriak Asmira. "Ra-ja Solomon adalah
musuhku yang nyata dan jelas! Memangnya apa yang kau tahu" Kau tak pernah berjalan di
taman-taman Sheba, dimana keharuman melati, cinnamon, akasia membubung sampai ke
angkasa. Kau belum pernah melihat hutan rempah Shabwa yang biru terbentang, atau tembok
alabaster di Marib, dimana kolam besar berkilau di tengah padang hijau. Semuanya akan
berakhir kalau aku tidak bertindak! Sebentar lagi, kalau tidak dihentikan, Solomon akan
memutar cincin terkutuknya dan membawa serombongan demon yang tidak kalah kejinya dari
dirimu. Mereka akan terbang melintasi gurun dan berjatuhan di atas negeriku. Mereka akan
meratakan kota-kota, memusnahkan hasil panen, membawa penduduk negeri meratap ke
gurun tandus. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi!"
Kompilasi Tiga Kehilangan 6 Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun Pendekar Misterius 1
^