Pencarian

Bunga Kemuning Biru 1

Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru Bagian 1


https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU BAYANGAN merah itu berlari sedemikian ce-
patnya hingga sangat sukar diikuti oleh mata. Setiap kali dia berlari, setiap
kali pula ranggasan semak terpapas rata ujungnya. Saat ini tengah malam telah
tiba. Kegelapan menghantui daerah di mana si bayangan
merah berlari. Hewan-hewan malam langsung masuk
ke sarang tatkala merasakan ada gelombang angin
yang bertebaran. Setelah gelombang angin yang keluar dari tubuh si Bayangan
Merah berlalu, seiring dengan menjauhnya sosok yang berkelebat cepat itu, hewan-
hewan itu baru berani lagi keluar dari sarang mereka.
Tatkala matahari mulai menampakkan bias-
bias merahnya yang meronai langit di timur, si Bayangan Merah memperlambat
larinya, untuk kemudian
berhenti sama sekali. Kendati hampir satu malam dia
berlari, sama sekali tak terdengar nafasnya yang terengah-engah. Bahkan dadanya
yang membusung itu pun
tak bergerak cepat, tetap tenang seolah baru bangun
dari tidur. Bayangan merah yang ternyata seorang perem-
puan setengah baya ini, sejenak memperhatikan seke-
lilingnya yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Se-
telah itu, diarahkan pandangannya pada dua buah po-
hon yang tumbuh secara aneh. Karena bagian bawah
kedua pohon itu meliuk-liuk sementara bagian atasnya bersilangan!
Pelan-pelan perempuan yang di kedua tangan-
nya terdapat gelang-gelang berwarna merah menarik
napas pendek. "Dua pohon aneh itu sebagai tanda. Kesunyian
tempat ini seperti isyarat," desisnya pelan. Wajah si perempuan setengah baya
ini masih cantik. Tidak ada
keriput sama sekali. Hidungnya bangir dengan sepa-
sang bibir tipis yang menawan.
Untuk sejenak si perempuan tak berkata apa-
apa lagi, hanya memperhatikan dua pohon yang bersi-
langan yang tumbuh sejarak dua puluh langkah dari
hadapannya. "Kutangkap sesuatu yang mengerikan akan ter-
jadi," desisnya pada dirinya sendiri tanpa melepaskan pandangannya, pada kedua
pohon yang bersilangan
itu. Terlihat kemudian ditarik dan dihembuskan
nafasnya pelan-pelan. Wajahnya terlihat sedikit tegang sekarang. Seperti
menguatkan hati, perempuan ini
menganggukkan kepalanya sekali sebelum melangkah
ke arah dua pohon yang tumbuh bersilangan.
Saat melangkah itu, terlihat pakaian bagian be-
lakangnya terbuka hingga batas pinggul. Memperli-
hatkan punggung yang berkulit putih mulus tanpa ca-
cat. Baru enam langkah dia bergerak, mendadak sa-
ja langkahnya dihentikan. Kepalanya seketika dipa-
lingkan ke kanan.
"Keparat! Rupanya aku tidak sendiri di sini,"
desisnya dalam hati dengan tatapan menyelidik. Pe-
rempuan ini terdiam kembali. Keningnya sedikit berkerut, bertanda dia sedang
berpikir. Kemudian desisnya lagi, "Aku belum tahu siapa orang yang telah hadir
ju-ga di sini. Huh! Ketimbang akan jadi urusan, sebaiknya ku-bereskan saja
sekarang!"
Habis ucapannya, tiba-tiba saja tangan kanan-
nya digerakkan seperti seseorang menepuk nyamuk!
Anehnya, yang digerakkan hanya tangan kanannya sa-
ja, tetapi terdengar suara seperti orang bertepuk. Kejap lain, menyalak sebuah
suara yang cukup keras disusul dengan gelombang angin yang menghampar cepat!
Plaaarr!! Wussss!! Kecepatan gelombang angin itu benar-benar
sukar diikuti oleh mata. Tahu-tahu yang terdengar hanyalah suara letupan yang
sangat keras. Letupan yang membuat ranggasan semak belukar muncrat ke udara!
Si perempuan yang merasa pasti kalau ada
orang lain di sana, sudah bersiap untuk segera mele-
paskan serangan susulan. Tetapi dia kecele sendiri,
karena tak satu sosok tubuh pun yang keluar dari ba-
lik ranggasan semak yang kini telah rata dengan ta-
nah! "Hebat! Siapa pun orang itu adanya, dia memiliki gerakan yang sangat
cepat!" desisnya dalam hati.
Karena merasa ada orang lain di sana, si pe-
rempuan tak segera meneruskan niatnya untuk men-
dekati dua buah pohon yang bersilangan itu. Dia ju-
stru melangkah ke tempat yang agak terbuka, seperti
membiarkan dirinya untuk diserang. Memang itulah
jalan satu-satunya yang harus dilakukan, membiarkan
dirinya diserang. Dengan demikian, dia dapat menge-
tahui siapa orang itu. Paling tidak, di mana orang yang diyakininya berada di
sekitarnya! Tetapi setelah beberapa kejapan mata berlalu,
tak ada tanda-tanda serangan muncul secara tiba-tiba.
Perempuan berparas jelita ini mulai diliputi rasa kesal.
"Keparat! Siapa manusia itu" Dia sengaja men-
gajakku kucing-kucingan! Atau jangan-jangan...." Si perempuan memutus kata
batinnya. Wajahnya kali ini
terlihat lebih tegang. "Apakah... dia adalah Gilang Ken-cana sendiri alias si
Malaikat Biru?"
Kejap itu pula seperti mendapat satu serangan
dari belakang, si perempuan menoleh dengan kedua
tangan terangkat. Tetapi tak ada siapa-siapa di sana.
Dia mundur tiga langkah dengan kewaspadaan tinggi.
Dan mendadak saja si perempuan mendengus.
Secara tiba-tiba digerakkan tangan kanan kirinya ke
sembarang tempat. Kejap itu pula terdengar letupan
demi letupan berulang kali, disusul dengan mengham-
burnya ranggasan semak yang ditingkahi oleh hambu-
ran tanah! Tempat sepi yang nampaknya jarang didatangi
orang, kini seperti diamuk oleh puluhan banteng liar!
Tetapi hampir seluruh ranggasan semak di sana telah
terpapas dan rata dengan tanah, tak seorang pun yang muncul di hadapannya. Hal
ini membuat si perempuan
semakin murka. "Keparat sial! Aku bertambah yakin kalau Ma-
laikat Biru yang mempermainkanku! Setan laknat! Ru-
panya dia mengetahui kedatanganku!" makinya dalam hati. Lalu sambungnya geram,
"Peduli iblis neraka!
Aku datang untuk membunuhnya! Apa pun yang ter-
jadi, aku akan menghadapinya!!"
Lalu dengan mengangkat kepalanya, perem-
puan berpakaian merah ini berseru keras, "Kau telah menjadi orang pengecut yang
tak berani muncul
menghadapi tamu yang datang! Apakah kau sudah be-
rubah dari kedudukanmu sebagai salah seorang tokoh
rimba persilatan"! Malaikat Biru... aku datang ke sini untuk menuntaskan dendam
guruku yang kau bunuh
lima tahun yang lalu! Keluar! Atau... kuhancurkan
tempat ini"!"
Perempuan yang punggungnya terbuka ini me-
nunggu dengan penuh siaga. Seluruh indera yang di-
milikinya dibuka lebar-lebar. Tetapi cukup lama me-
nunggu, tak ada sahutan yang terdengar, tak ada so-
sok tubuh yang keluar.
"Setan terkutuk!" kemarahan si perempuan bertambah. Matanya mendelik gusar,
menatap pada dua
buah pohon yang bersilangan. "Menurut kabar yang
kudengar, aku harus melewati dua buah pohon yang
bersilangan itu sebelum tiba di Pusara Keramat di ma-na Malaikat Biru tinggal!
Huh! Peduli setan! Akan kuhancurkan kedua pohon itu!!"
Sejenak dipandanginya dua pohon yang tum-
buh secara aneh. Pelan-pelan tangan kanannya dibawa
ke dada. Dua jari membuka, sementara tiga jari lagi
menekuk, tepat di depan wajah. Sementara tangan ki-
rinya berada di batas siku tangan kanannya.
Mulut si perempuan lamat-lamat berkemak-
kemik, tetapi tak ada suara yang keluar. Terlihat pula tangan kanannya yang dua
jarinya membuka sementara tiga jarinya menekuk mulai bergetar. Semakin lama
getarannya semakin cepat dan kencang. Kemikan mulutnya juga bertambah cepat.
Mendadak terlihat satu sinar merah mencelat
deras dari tangan kanannya yang bergetar. Sinar me-
rah itu menggumpal dan membentuk gumpalan yang
sebesar empat buah tangan yang dikepal menjadi satu!
Namun sebelum mengenai bagian bawah dua
buah pohon bersilangan itu, mendadak saja sinar me-
rah yang menggumpal itu pecah di tengah jalan!
Blaaaammmm!! Kontan bermuncratan ke sana kemari. Rangga-
san semak yang terkena muncratannya seketika han-
gus dan bertebaran tatkala terhembus angin.
Keadaan itu membuat si perempuan semakin
gusar. Kembali diulanginya serangannya. Tetapi setiap kali pula harus putus di
tengah jalan. "Keparat!!" geramnya memutuskan untuk
menghentikan cara yang dilakukannya. Mendadak
sontak dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Ber-
samaan tanah yang berhamburan ke udara, tubuhnya
mumbul ke atas.
Dengan gerakan yang sangat cepat, digerakkan
kedua tangannya berulang-ulang. Gelombang angin
merah yang semakin lama semakin membesar mende-
ru kencang ke arah kedua pohon yang bersilangan.
Bahkan sebelum gelombang-gelombang angin itu men-
genai sasarannya, masih berada di udara, si perem-
puan memutar tubuhnya, bersalto dua kali. Dalam
keadaan kaki di atas dan kepala di bawah, diputar kedua tangannya yang kemudian
ditepukkan! Wuusss! Wuuuussss!!
Sinar-sinar merah yang menyilaukan mata dan
menerangi tempat yang masih disaput kegelapan
menggebrak. Kontan terdengar letupan yang sangat keras
tatkala gelombang angin merah yang dilepaskannya
menghantam kedua pohon itu. Belum lagi tanah yang
berhamburan sirna, kedua pohon itu telah dihantam
lagi oleh sinar-sinar merah yang menyilaukan mata.
Di pihak lain, si perempuan telah berdiri di atas
tanah dengan kedua kaki dibuka. Matanya dibuka le-
bar-lebar memandang ke depan. Lamat-lamat terlihat
bibir indahnya membentuk sebuah senyuman.
"Huh! Ternyata tak seberapa sulit untuk meng-
hancurkan kedua pohon itu," desisnya. Tanah masih membubung dan menghalangi
pandangan. Setelah tanah sirap, barulah aku menerobos jalan di bawah ke-
dua pohon bersilangan itu...."
Dengan senyum kepuasan yang masih berteng-
ger di bibir, si perempuan melipat kedua tangannya di atas dadanya yang
membusung. Wajahnya menyiratkan kesenangan yang luar biasa, karena halangan
pertama dapat dilaluinya dengan mudah.
"Malaikat Biru tentunya tercengang sekarang,"
desahnya puas. "Dia boleh mempermainkanku baru-
san, tetapi tak lama lagi dia akan... okh!!"
Kata-katanya terputus dan berakhir dengan se-
ruan kaget. Kepala si perempuan tiba-tiba saja mene-
gak dengan kedua mata membeliak lebar. Mulutnya
menganga, memperlihatkan lorong indah yang sukar
untuk ditepiskan.
Untuk beberapa lama si perempuan masih ter-
paku, memandang kaget pada kedua pohon bersilan-
gan yang tak kurang suatu apa. Masih berdiri tegak
seperti semula!
"Jahanam!!" geramnya kemudian dengan men-
gertakkan rahang keras-keras. "Apa yang telah dilakukan oleh Malaikat Biru
terhadap pohon itu"!"
Perasaan senangnya yang menyangka telah
menghancurkan kedua pohon bersilangan itu, kini pu-
tus seketika. Amarahnya kembali bergolak
"Jauh-jauh aku meninggalkan Bukit Lengkung
untuk membalas kematian guruku di tangan si jaha-
nam Malaikat Biru, tetapi sampai di sini aku harus
berhadapan dengan sesuatu yang sama sekali tak ku-
bayangkan!" geramnya sengit. Nafasnya mulai memburu dan mendengus-dengus.
"Terkutuk! Tanpa bisa me-lalui kedua jalan itu, tak akan mungkin aku bisa men-
capai tempat Malaikat Biru berada! Setan alas! Kepa-
rat!!" Kembali si perempuan merapatkan mulutnya.
Tatapannya keras, diarahkan pada kedua pohon bersi-
langan yang tetap berdiri tegak. Bahkan sehelai daunnya pun tidak gugur!
"Aku harus mempergunakan ilmu 'Perenggut
Sukma' untuk menghancurkan pohon itu!!"
Baru habis ucapannya, si perempuan mundur
dua langkah. Kepalanya tetap tegak. Matanya tetap
nyalang. Perlahan-lahan ditarik kaki kanannya ke be-
lakang sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tu-
buhnya sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan
kedua tangannya di depan dada, mulut si perempuan
nampak berkemak-kemik.
Perlahan-lahan terlihat sekujur kulit di tubuh-
nya berubah memerah dan semakin lama bertambah
merah semerah darah. Paras jelitanya pun berubah,
menjadi mengerikan. Bahkan kedua bola matanya pun
memerah, menyiratkan keganasan luar biasa.
Namun sebelum dilepaskannya ilmu 'Perenggut
Sukma' yang merupakan senjata pamungkasnya,
mendadak saja terdengar satu suara bersamaan satu
sosok tubuh melompat dari balik ranggasan semak di
samping kirinya, "Tahan! Kau hanya akan membuang tenagamu sia-sia. Dewi
Perenggut Sukma!"


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika perempuan berpakaian merah yang
terbuka di punggungnya ini memalingkan kepala ke ki-
ri. Dilihatnya satu sosok tubuh kurus telah berdiri
sejarak sepuluh langkah dari tempatnya, dan terse-
nyum "Sial! Apa-apaan kau datang juga ke tempat ini, hah"!"
* * * Lelaki yang diperkirakan berusia sekitar enam
puluh tahun yang tadi berteriak keras hingga si pe-
rempuan mengurungkan niatnya, tersenyum. Wajah
lelaki itu mulai dihiasi keriput. Rambutnya dikuncir dengan ikat kepala warna
putih. "Tutuplah dulu ilmu yang hendak kau kelua-
rkan itu, Dewi," kata si lelaki yang mengenakan pakaian hitam dengan rajutan dua
buah keris bereluk
delapan di dada kanan kirinya. Karena tak menda-
patkan jawaban dari si perempuan yang berjuluk Dewi
Perenggut Sukma ini, si lelaki melanjutkan, "Kita adalah orang yang tak punya
silang urusan satu sama
lain. Jadi, tak perlu saling curiga."
"Mengapa kau berada di sini"!" bentak Dewi Perenggut Sukma, dengan kedudukan
yang sama. Selu-
ruh kulitnya tetap berwarna semerah darah.
Si lelaki tersenyum.
"Tentunya. aku punya maksud yang sama den-
ganmu...."
"Jahanam terkutuk! Kau akan mampus di tan-
ganku bila berani mendahuluiku membunuh Malaikat
Biru!" "Jangan terlalu keras! Mana mungkin aku berani melakukan hal itu,
mengingat...." Si lelaki menghentikan ucapannya. Dia hampir saja mengatakan ka-
lau ilmu Dewi Perenggut Sukma masih berada di ba-
wahnya, karena sedikit jengkel mendengar bentakan
keras tadi. Tetapi sadar kalau itu akan membuat si perempuan menjadi murka dan
itu artinya akan me-
mancing pertikaian tidak berguna, dia berkata, "Kesaktian Malaikat Biru sulit
untuk kutandingi."
"Bagus kalau kau sadar dengan kemampuan-
mu! Sekarang kau akan melihat, siapa aku sebenar-
nya!" "Ilmu "Perenggut Sukma' memang sangat luar biasa! Memiliki keampuhan yang
benar-benar mengerikan. Tetapi sebelum kau mendapatkan rahasia ba-
gaimana menghancurkan kedua pohon bersilangan se-
kaligus membunuh Malaikat Biru, kau akan sia-sia
melakukannya!"
Kali ini Dewi Perenggut Sukma menutup mu-
lutnya. Kedua bola matanya yang memerah tak berke-
dip. Perlahan-lahan dia berdiri tegak kembali. Seiring dilakukannya tindakan
itu, kulitnya yang berubah semerah darah pun kembali pada keadaan semula.
Dipandanginya lelaki di hadapannya dengan
seksama. "Gadung Wuwung atau berjuluk Setan Keris
Kembar! Kau berucap demikian, apakah kau mengeta-
hui sesuatu"!"
Si lelaki yang bernama Gadung Wuwung dan
berjuluk Setan Keris Kembar tersenyum.
"Tak mungkin aku tak mengetahui sesuatu ten-
tang Malaikat Biru, hingga aku berani berkata begitu!
Apalagi di hadapanmu, Dewi..."
"Bagus! Aku sudah tak sabar untuk membunuh
manusia celaka yang telah membunuh guruku!"
"Tahanlah amarahmu sedikit saja. Kita sama-
sama mengetahui, hampir tiga puluh tahun Malaikat
Biru tak pernah meninggalkan tempat celakanya! De-
wi... apakah kau ingat pada Durga Marakayangan"!"
"Huh! Siapa orangnya yang tidak tahu tentang
nenek berhati iblis itu"!"
"Bagus kalau kau masih mengingatnya!"
"Setan! Apa maksudmu berputar-putar omon-
gan, hah"!"
Gadung Wuwung menyeringai.
"Kau terlalu tak sabaran! Apakah kau lupa, ka-
lau satu-satunya orang yang bisa menandingi Malaikat Biru adalah Durga
Marakayangan"!"
"Maksudmu... aku harus mencari nenek kepa-
rat itu" Gila! Rupanya kau sudah bodoh dan ke makan
oleh pengalaman orang lain! Siapa pun orangnya tahu
kalau nenek celaka itu sudah mampus"!"
"Kau betul! Dia memang sudah mampus!"
"Lantas apa hubungannya kau menceritakan
semua itu kepadaku, hah"!"
"Durga Marakayangan mempunyai seorang mu-
rid yang dijulukinya Setan Bayangan! Dan tentunya ki-ta sama-sama tahu kalau
Setan Bayangan telah mam-
pus dibunuh oleh Resi Kala Jinjit, sementara Resi Kala Jinjit sendiri telah
mampus yang ternyata dibunuh
oleh muridnya sendiri yang bernama Pangku Jaladara
atas bujukan Dewi Berlian!" (Untuk mengetahui tentang Setan Bayangan, Resi Kala
Jinjit yang tewas dibunuh muridnya karena bujukan Dewi Berlian, silakan
baca episode : "Misteri Laba-Laba Perak" sampai "Ben-cana Lembah Lingkar").
"Kau menceritakan orang-orang yang sudah
mampus! Apakah kau bermaksud untuk menyusul
mereka"!" bentak Dewi Perenggut Sukma tidak sabar.
Setan Keris Kembar semakin menyeringai.
"Kau telah dibutakan amarahmu hingga kau
tak berpikir jernih! Sebelum mampusnya, Durga Mara-
kayangan telah menyerahkan sebuah benda sakti ke-
pada muridnya, yang diinginkannya untuk membalas
kekalahannya pada Malaikat Biru! Tetapi hingga mam-
pus, Setan Bayangan tidak melaksanakan keinginan
Durga Marakayangan! Jadi sampai saat ini, Malaikat
Biru masih hidup!"
Dewi Perenggut Sukma memandang tak berke-
dip. "Aku memang tak punya silang urusan dengan
manusia satu ini, tetapi aku tahu kelicikan yang dimilikinya. Huh! Ingin rasanya
membunuh manusia cela-
ka ini! Tetapi untuk saat ini, biarlah ku tahan amarah dan keinginanku itu,"
katanya dalam hati. Dengan suara tetap mengandung kemarahan, perempuan itu
berkata "Yang hendak kau bicarakan, sebenarnya benda sakti yang dimiliki oleh
Durga Marakayangan yang
kemudian diserahkannya pada Setan Bayangan?"
"Ternyata kau masih dapat menggunakan
otakmu. Dewi!"
"Jahanam! Semua yang kau katakan telah
mampus. Lantas di mana akan didapatkan benda sakti
yang kau katakan itu"!"
"Kau nampaknya memang menyembunyikan di-
ri di kediamanmu hingga tidak tahu perkembangan
yang terjadi! Setan Bayangan mempunyai dua orang
murid yang bernama Lesmana dan Ratih, yang sebe-
lumnya terjadi kesalahpahaman di antara mereka! Te-
tapi berkat bantuan pemuda berjuluk Raja Naga, maka
urusan itu dapat diselesaikan!"
"Kau maksudkan, benda itu diberikan Setan
Bayangan kepada salah seorang muridnya"!"
"Tepat! Dan satu-satunya yang dapat membu-
nuh Malaikat Biru, hanya benda itu !!"
Dewi Perenggut Sukma terdiam. Sorot matanya
tak berkedip pada Gadung Wuwung yang menyeringai
dengan tenangnya.
"Mengapa kau menceritakan semua ini kepada-
ku"!" bentaknya kemudian.
"Mudah saja! Kita sama-sama menginginkan
kematian Malaikat Biru! Manusia itu juga telah mem-
bunuh guruku! Karena kau punya kepentingan yang
sama, rasanya bukanlah masalah bila kuceritakan apa
yang ku ketahui padamu!"
"Kau terlalu pandai memutar ucapan!"
"Kau bisa membuktikan kebenaran ucapanku!"
Dewi Perenggut Sukma tak bersuara.
"Huh! Siapa pun manusia satu ini, kemuncu-
lannya memang membawa keberuntungan! Rasanya
tak perlu ragu untuk mencoba keberuntunganku!" katanya dalam hati.
Lalu sambil menganggukkan kepalanya, pe-
rempuan yang punggungnya terbuka lebar ini berkata,
"Baik! Kita akan mencari murid-murid Setan Bayangan!" "Dengan bersatunya kita,
tentunya akan dengan mudah membunuh siapa pun juga!" sahut Setan Keris Kembar
sambil tertawa.
Tetapi mendadak saja tawanya putus tatkala
mendengar ucapan Dewi Perenggut Sukma, "Sebelum mencari murid-murid Setan
Bayangan, apakah kau
yang sebelumnya mempermainkanku"!"
Setan Keris Kembar sesaat memandang, sebe-
lum terlihat seringaian di bibirnya. Seolah tak mengetahui amarah yang terpancar
di mata si perempuan,
Setan Keris Kembar menganggukkan kepalanya.
"Aku tak bermaksud mempermainkanmu. Teta-
pi kau yang lebih dulu menyerangku."
"Keparat! Ucapannya enteng sekali! Huh! Kelak,
akan kubalas tindakannya tadi!" geram Dewi Perenggut Sukma dalam hati. Lalu
dipandanginya dua buah pohon yang tumbuh bersilangan. Setelah itu ditolehkan
kepalanya pada Setan Keris Kembar, "Kita berangkat sekarang!"
Setan Keris Kembar mengangguk, dan mulai
berkelebat. Dewi Perenggut Sukma mendengus dan segera
menyusul. Masing-masing orang seperti hendak me-
mamerkan ilmu peringan tubuh yang mereka punyai.
Saat ini matahari sudah sepenggalah dan si-
narnya menerangi seluruh persada. Sambil berlari De-
wi Perenggut Sukma bertanya, "Kau belum mengatakan benda apa yang dapat membunuh
Malaikat Biru"!"
Gadung Wuwung menoleh.
"Bunga Kemuning Biru!"
*** DUA BUKIT Tidar adalah bukit paling timur dari Pu-
lau Jawa. Terletak agak menyempil dan tersembunyi.
Jarang sekali orang yang akan mendatangi tempat itu
mengingat jalan yang sangat sulit dan terjal-nya Bukit Tidar. Kalaupun memang
ada yang nekat ke sana, itu
artinya dia memiliki nyawa rangkap atau memiliki ke-
pentingan yang teramat sangat.
Tetapi dua orang lelaki yang sama-sama tua itu
telah berada di sana sejak pagi tadi. Masing-masing
orang duduk berhadapan. Tak ada yang buka suara.
Angin senja yang menggiring awan-awan hitam terus
berhembus. Kakek yang mengenakan pakaian panjang ber-
warna seperti warna tanah, mengangkat kepalanya,
menatap pada kakek yang selalu menundukkan kepala
di hadapannya. "Musang Berjanggut... masalah yang kau sam-
paikan bukanlah masalah kecil," kata kakek yang sekujur tubuhnya berkulit warna
seperti tanah pula.
Bahkan, rambut panjangnya yang tak beraturan pun
berwarna seperti tanah! "Mengingat nasib murid Setan Bayangan yang akan ketimpa
sial, kita harus secepat-nya untuk menanggulangi masalah ini." (Untuk mengetahui
siapa Musang Berjanggut, silakan baca : "Muslihat Dewi Berlian")
Lelaki tua yang hanya menundukkan kepa-
lanya, mengangguk. Saat mengangguk, janggutnya
yang panjang hingga melingkar di tanah terangkat se-
jenak dan menyentuh tanah kembali
"Aku bukannya hendak menelurkan satu masa-
lah besar. Tetapi masalah itulah yang memang ku pi-
kirkan," katanya sambil mengusap sejenak kumisnya yang melintang.
Kakek berkulit seperti warna tanah berkata la-
gi, "Durga Marakayangan dikenal sebagai momok mengerikan yang pernah dikalahkan
oleh Malaikat Biru.
Tentunya semua orang tahu kalau Durga Marakayan-
gan telah menyerahkan benda sakti yang bernama
Bunga Kemuning Biru kepada Setan Bayangan selaku
muridnya. Dan selama ini, kita tak pernah mendengar
kalau Setan Bayangan mencoba membalas kematian
guru-nya pada Malaikat Biru. Ah, kau menduga kalau
Bunga Kemuning Biru telah diserahkan oleh Setan
Bayangan yang telah tewas kepada salah seorang mu-
ridnya. Berarti, memang nasib muridnyalah yang akan
ketiban sial."
"Langlang Benua... aku memikirkan akan ba-
nyaknya orang-orang yang mendendam pada Malaikat
Biru akan memburu Lesmana dan Ratih, murid-murid
si Setan Bayangan," kata Musang Berjanggut tetap tak mengangkat kepalanya. "Dan
kedua orang muda itu akan mengalami nasib yang sangat mengerikan. Aku
sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan ini. De-
mikian pula ketika terjadi keributan di Perguruan La-ba-laba Perak, aku merasa
tidak enak sendiri. Bagai-
mana dengan penilaianmu sendiri?"
Langlang Benua menarik napas pendek (Untuk
mengetahui Langlang Benua, silakan baca : "Misteri Laba-Laba Perak").
"Aku belum tahu apakah pemuda dari Lembah
Naga berhasil menuntaskan masalah Laba-Laba Perak
atau tidak. Dan nampaknya aku terpaksa menunda la-
gi keinginanku untuk meneruskan petualanganku,"
katanya dalam hati.
Lalu sambil mencoba menatap wajah kakek
berjanggut panjang itu, dia berkata, "Aku juga sudah terlalu tua untuk
mencampuri urusan keduniaan. Tetapi nampaknya, mau tak mau aku terpaksa akan me-
lakukannya."
Musang Berjanggut mengangguk-angguk.
"Mungkin, kita bisa tidak melakukannya."
"Apa maksudmu dengan tidak melakukannya?"
"Aku telah berjumpa dengan Raja Naga sebelum
tiba di Bukit Tidar. Bahkan kepadanyalah kupesankan
agar kau datang ke tempat ini."
"Maksudmu... kita akan meminta murid Dewa
Naga itu untuk menyelesaikan urusan ini?"
"Kupikir, itulah yang paling tepat."
"Musang Berjanggut... apakah itu bukan ar-
tinya kita melimpahkan masalah berbahaya ini pa-
danya?" "Semua keributan dan masalah di rimba persilatan sangat berbahaya.
Semenjak berhasil menghen-


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tikan sepak terjang Hantu Menara Berkabut, julukan
Raja Naga telah membubung tinggi. Kemampuannya
tidak diragukan lagi. Dan sesungguhnya, semua orang
yang hidup di muka bumi ini selalu berada dalam ba-
haya. Baik bahaya yang datang dari luar maupun dari
dalam. Kupikir, anak muda itu akan mampu melaku-
kannya." Langlang Benua mengangguk. "Aku tak mera-
gukan kemampuannya. Tetapi biar bagaimanapun juga
dia tetaplah orang muda yang terkadang masih dibalu-
ri amarah."
"Mungkin kita hanya melihat sebagian kecil da-
ri dirinya."
"Mungkin kita memang bisa memintanya untuk
menyelesaikan urusan ini. Tetapi, saat ini kita sama-sama tahu, kalau anak muda
itu masih berada di
Lembah Lingkar untuk menuntaskan urusannya.
Mungkin saat ini dia...."
Kata-kata Langlang Benua terputus, karena ti-
ba-tiba saja kakek berkulit seperti warna tanah itu
menoleh ke samping kanan.
"Kau mendengar gerakan itu, Musang Berjang-
gut?" "Sebelum kau mendengarnya, aku juga telah
mendengarnya," sahut Musang Berjanggut tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Apakah akan kita teruskan pembicaraan ini,
atau kita tunggu orang yang datang?"
"Sebaiknya kita tunggu, karena orang yang ber-
gerak ke arah sini itu sudah semakin mendekat."
Langlang Benua memandang lagi pada Musang
Berjanggut yang tetap menundukkan kepala. Seumur
hidupnya Langlang Benua mengenal Musang Berjang-
gut, sekali pun dia belum pernah melihat wajah kakek yang janggutnya panjang
itu. Seperti tak merasakan akan hadirnya orang
lain di Bukit Tidar, masing-masing orang seperti tak acuh saja. Sementara
pendengaran mereka semakin
kuat menangkap gerakan yang semakin mendekat.
Tak lama kemudian orang yang berlari itu su-
dah menghentikan larinya sejarak dua belas langkah
dari mereka. Langlang Benua yang menoleh tersenyum
melihat siapa yang datang.
"Silakan bergabung, Raja Naga...."
Pemuda yang baru datang itu tersenyum. Lalu
melangkah mendekat. Dia merangkapkan kedua tan-
gannya di depan Langlang Benua seraya mengangguk,
lalu melakukan hal yang sama pada Musang Berjang-
gut. Saat kedua tangannya dirangkapkan di depan da-
da, terlihat kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik berwarna coklat.
Lalu dia duduk agak di tengah, di kiri Langlang
Benua dan di kanan Musang Berjanggut.
Langlang Benua bertanya, "Bagaimana dengan
urusanmu di Lembah Lingkar?"
Pemuda berompi ungu yang rambutnya dikun-
cir itu tersenyum. "Urusan itu telah selesai. Apa yang kuduga ternyata benar.
Dewi Berlian lah yang berada
di balik serangkaian kejahatan itu. Dan dibantu oleh
Pangku Jaladara, murid dari Resi Kala Jinjit sendiri, dialah yang membunuh Resi
Kala Jinjit."
"Astaga! Sungguh di luar dugaan sama sekali!"
desis Langlang Benua sambil memandang pemuda
tampan itu. Dan diam-diam dia membatin. "Tatapan matanya benar-benar mengerikan.
Mengandung keangkeran yang dalam. Gila! Tak seorang pun di du-
nia ini yang memiliki tatapan yang dapat menciutkan
jantung!" Musang Berjanggut berkata, "Kebenaran itu
memang akan selalu terungkap walaupun cukup pan-
jang dan merepotkan untuk mengungkapkannya. Anak
muda... kebetulan kau datang ke Bukit Tidar. Dan ke-
betulan sekali kami baru saja membicarakan masalah
yang cukup rumit."
"Bila tak keberatan aku mohon untuk diulangi
lagi...," kata pemuda dari Lembah Naga itu.
Musang Berjanggut mengulangi lagi apa yang
telah dibicarakannya bersama Langlang Benua. Men-
dengar apa yang diceritakan Musang Berjanggut, ken-
ing pemuda yang kedua lengannya sebatas siku dipe-
nuhi sisik coklat berkerut.
"Bunga Kemuning Biru" Astaga! Aku pernah
melihat benda itu, Orang tua...."
"Di mana kau melihatnya?" tanya Musang Berjanggut tetap tanpa mengangkat
kepalanya. "Di saat Dewi Berlian menuduhku yang telah
membunuh Pangku Jaladara, Lesmana dan Ratih
muncul bersama mayat Pangku Jaladara. Dan di atas
mayat itu, terdapat sebuah bunga kemuning berwarna
biru...." (Baca : Muslihat Dewi Berlian").
"Itulah salah satu kesaktian dari Bunga Ke-
muning Biru." kata Musang Berjanggut sementara
Langlang Benua menegakkan kepalanya mendengar
kabar Pangku Jaladasa telah tewas. Musang Berjang-
gut menyambung ucapannya. "Bunga Kemuning Biru
dapat membuat mayat tak akan membusuk selama
bertahun-tahun."
"Orang tua... aku belum mengetahui siapakah
sebenarnya Malaikat Biru?"
"Dia adalah seorang tokoh yang jarang sekali
muncul ke dunia ramai. Kalaupun dia muncul ten-
tunya memang ada urusan yang harus diselesaikan-
nya. Hingga saat ini, belum seorang pun yang dapat
mengalahkannya. Bahkan musuh bebuyutannya yang
berjuluk Durga Marakayangan pun tidak mampu men-
gatasinya. Sudah cukup lama Malaikat Biru menghi-
lang entah ke mana, namun akhir-akhir ini mulai ter-
dengar kabar kalau dia berada di Pusara Keramat. Dan dapat dipastikan, kalau
orang-orang yang mempunyai
dendam padanya akan memburunya ke sana."
"Dari ucapanmu, tak kusangsikan lagi kesak-
tian yang dimiliki orang berjuluk Malaikat Biru. Berarti, kalaupun ada orang
yang mendendam padanya,
tentunya dengan mudah akan ditanggulanginya. Lan-
tas masalah apakah yang harus kita hadapi?"
"Pertanyaanmu itu bagus sekali, Anak muda."
sahut Musang Berjanggut tetap tak mengangkat kepa-
lanya. Dia menghentikan ucapannya dan membatin
dalam hati, "Walaupun tak kulihat seperti apa wajahnya, tetapi batinku
mengetahui rupanya. Dan ku rasa-
kan tatapannya begitu menikam jantung. Kekuatan
yang dimiliki oleh matanya sungguh angker dan men-
gerikan." Tetap menunduk, kakek berjanggut hingga ke
tanah itu melanjutkan ucapannya, "Yang menjadi piki-ranku sekarang ini, bukanlah
Malaikat Biru. Melain-
kan murid-murid mendiang Setan Bayangan yang
memiliki Bunga Kemuning Biru. Dalam bayanganku,
orang-orang yang mendendam pada Malaikat Biru dan
mengetahui kalau Malaikat Biru hanya dapat dikalah-
kan oleh orang yang mempergunakan Bunga Kemun-
ing Biru, sudah tentu akan berusaha mendapatkan-
nya." "Aku paham sekarang. Orang tua, kau mengatakan kalau satu-satunya benda
yang dapat membu-
nuh Malaikat Biru hanyalah Bunga Kemuning Biru
yang dimiliki oleh mendiang Durga Marakayangan.
Lantas, mengapa si pemilik Bunga Kemuning Biru
yang berjuluk Durga Marakayangan itu tidak berhasil
membunuh Malaikat Biru?"
"Karena sebelum dipergunakannya benda sakti
itu, Malaikat Biru lebih dulu berhasil merebutnya."
"Astaga! Jadi... Malaikat Biru telah berhasil merebutnya" Lantas... bagaimana...
bagaimana bisa kem-
bali ke tangan Durga Marakayangan yang untuk ke-
mudian diserahkan pada muridnya yang berjuluk Se-
tan Bayangan" Apakah... oh! Apakah.... Malaikat Biru mengembalikan lagi bunga
sakti itu?"
"Apa yang kau katakan itu benar. Anak mu-
da...." "Astaga! Benar"!" sepasang mata Raja Naga me-lebar, membuat sorot
angkernya semakin kentara.
Musang Berjanggut mengangguk.
"Itulah sifat yang terkadang sukar dimengerti
dari Malaikat Biru. Dia hanya bermaksud menggagal-
kan rencana orang. Ya... apa yang kau katakan benar.
Setelah berhasil mengalahkan Durga Marakayangan,
Malaikat Biru menyerahkan kembali Bunga Kemuning
Biru padanya."
Pemuda bersorot mata angker ini terdiam dan
berkata dalam hati, "Sungguh suatu tindakan yang luar biasa yang dilakukan oleh
Malaikat Biru. Dia tahu kalau Durga Marakayangan berniat membunuhnya
dengan Bunga Kemuning Biru, tetapi dia malah men-
gembalikannya. Luar biasa. Sungguh tindakan yang
membutuhkan keberanian tinggi."
Lalu katanya. "Ratih dan Lesmana memiliki
Bunga Kemuning Biru. Ya, ya... berarti memang kedu-
anyalah yang akan diburu oleh orang-orang yang men-
dendam pada Malaikat Biru untuk mendapatkan bun-
ga sakti itu."
"Itulah tragisnya kehidupan ini, Anak muda...,"
kata Musang Berjanggut tetap menunduk. "Di mana seseorang yang tak bersalah dan
tak mengetahui pangkal suatu peristiwa harus menerima kenyataan
yang pahit."
Langlang Benua berkata, "Sebelum kau datang
ke sini, kami sepakat untuk melimpahkan urusan ini
kepadamu. Raja Naga. Bila kau berkeberatan... kau bi-sa mengatakannya."
"Aku mengenal Lesmana dan Ratih. Murid-
murid Setan Bayangan yang sebelumnya bersengketa.
Tidak, aku tidak keberatan sama sekali."
"Bila kau tidak berkeberatan, itu artinya kau
meringankan beban yang kami miliki...."
Raja Naga tersenyum. Lalu ajukan tanya,
"Orang tua... seingatku, kau sedang dikejar oleh Resi Hitam. Apakah kau sudah
berhasil menanggulan-ginya?" Kakek berkulit seperti warna tanah itu tertawa
kecil. "Menanggulanginya" Bertarung pun aku tidak.
Untuk apa melakukan tindakan yang tak berguna" Bi-
la aku melakukannya, itu sama dengan aku telah me-
nuruti amarah Resi Hitam!"
"Jadi apa yang telah kau lakukan?"
Langlang Benua semakin keras tertawa.
"Aku beruntung memiliki kulit berwarna seperti
warna tanah.... Dan entah di mana Resi Hitam berada
sekarang! Mungkin dia sedang menangis di satu tem-
pat karena keinginannya untuk membuktikan kalau
dia lebih unggul dariku gagal!"
Kata-katanya yang seperti bukan jawaban itu,
dimengerti oleh Boma Paksi.
"Hemm... tentunya dia menyamar sebagai tanah
hingga Resi Hitam kehilangan jejak. Yah, memang itu-
lah yang terbaik. Bila masih dapat dihindari untuk apa bersusah payah bersilang
urusan?" katanya dalam ha-ti.
Musang Berjanggut berkata, "Apa yang kita bi-
carakan ini telah selesai. Kau telah bersedia untuk
mengemban tugas yang kami berikan. Untuk itu, laku-
kanlah dengan baik."
"Aku akan melakukannya."
"Terlebih lagi yang harus kau lakukan adalah
menyelamatkan murid-murid Setan Bayangan. Tak
dapat ku salahkan mereka berguru pada orang sesat
itu, karena aku yakin kalau mereka tidak tahu siapa
Setan Bayangan sebenarnya."
"Aku dapat memahaminya."
"Hati-hati."
Habis berkata begitu, Musang Berjanggut per-
lahan-lahan berdiri. Janggutnya yang hampir menyen-
tuh tanah di saat dia berdiri, menggantung. Kepalanya tetap menunduk. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi, kakek berpakaian putih compang-camping itu sudah me-
langkah meninggalkan Bukit Tidar.
Tak ada yang tersinggung dengan sikapnya.
Masing-masing orang mengantar langkah Musang Ber-
janggut yang melangkah pelan. Tetapi tiga kejapan ma-ta saja, mereka sudah tak
melihat sosok yang selalu
menundukkan kepalanya!
Sepeninggal Musang Berjanggut. Langlang Be-
nua mengalihkan pandangannya pada Raja Naga yang
balas memandang. Untuk sejenak kakek berkulit se-
perti tanah ini bergetar melihat tatapan angker milik pemuda di hadapannya.
"Mengerikan! Sangat mengerikan tatapannya!
Mampu menciutkan nyali lawan! Tetapi di balik keane-
han dan keangkeran sorot matanya, dia adalah pemu-
da berjiwa ksatria...."
Habis membatin demikian, Langlang Benua
berkata, "Anak muda... aku akan meneruskan petualanganku. Kembalinya aku ke
pulau Jawa, karena aku
mendapatkan kabar tentang kematian sahabatku si
Resi Kala Jinjit. Kini telah kudapatkan keterangan yang kubutuhkan tentang
kematiannya. Pesanku
hanya satu, berhati-hatilah dalam urusan yang satu
ini. Karena akan banyaknya orang-orang licik yang
akan kau hadapi...."
Murid Dewa Naga itu mengangguk.
Langlang Benua tersenyum. Dipandanginya se-
jenak pemuda berompi itu sebelum mengempos tu-
buhnya ke arah yang berlawanan dengan arah yang di-
tempuh Musang Berjanggut.
Raja Naga menarik napas panjang setelah
hanya seorang diri di Bukit Tidar. Malam telah menyelimuti alam, meninabobokan
bukit terjal itu.
"Urusan demi urusan telah kuselesaikan. Teta-
pi setiap kali berhasil kuselesaikan, sudah datang urusan lain," desisnya pelan
sambil memandang ke kejauhan. Sorot matanya tetap angker mengerikan. Ram-
butnya yang dikuncir kuda melompat-lompat diper-
mainkan angin yang tiba-tiba berhembus kencang.


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, apakah memang seperti ini corak kehidupan" Di mana kebaikan dan kejahatan
yang selalu bertolak belakang namun pada akhirnya terasa begitu dekat" Be-
rada di dalam sebuah lingkaran?"
Murid Dewa Naga menarik napas pendek se-
raya. menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya yang
bersorot angker dibawanya ke kejauhan, menembus
kabut bergumpal.
Di lain kejap, pemuda berompi ungu ini sudah
berkelebat ke arah dari mana dia datang sebelumnya.
*** TIGA HAMPARAN pagi datang kembali, entah pagi
yang ke berapa sejak diawalinya perjalanan kehidupan ini. Suara gemuruh air
sungai yang tak jauh dari sana, membuat tempat itu tidak senyap. Burung-burung
beterbangan, hinggap ke satu dahan pohon ke dahan
yang lain. Gadis berkuncir dua yang mengenakan pa-
kaian ringkas warna kuning itu tersenyum memperha-
tikan tingkah hewan-hewan bersayap itu. Wajah si ga-
dis manis, disaput oleh beningnya sinar sang Fajar. Di punggungnya terdapat dua
buah pedang bersilangan.
Si gadis menoleh tatkala ranggasan semak seja-
rak delapan langkah di samping kanannya menyeruak.
Seorang pemuda gagah yang mengenakan pakaian
berwarna merah dengan garis hitam yang bersilangan
di depan dada muncul. Wajahnya cukup tampan den-
gan kain berwarna merah yang melingkari keningnya.
Rambutnya masih agak basah, pertanda si pemuda
baru selesai mandi di sungai.
Si pemuda mendekat.
"Apa yang sedang kau perhatikan, Ratih?" ta-nyanya sambil tersenyum.
Gadis berwajah manis itu balas tersenyum.
"Aku iri dengan burung-burung itu, Kakang
Lesmana. Mereka beterbangan dengan gembira, seolah
tak ada gangguan apa pun dalam kehidupan yang me-
reka jalani."
"Kau betul. Tetapi, semua makhluk hidup, pasti
akan mendapatkan gangguan, rintangan dan kebaha-
giaan dalam kehidupannya," sahut si pemuda.
"Ya!" sahut si gadis. "Memang semua perjalanan hidup tak semudah yang kita
bayangkan." Kemudian diputar tubuhnya menghadap si pemuda. Dipandanginya sejenak
pemuda itu sebelum berkata, "Kakang...
hendak ke manakah kita sekarang" Aku tak mau kem-
bali ke tempat di mana kita tinggal dulu bersama Guru yang berjuluk Setan
Bayangan."
Lesmana tersenyum. Diingatnya bagaimana
adik seperguruannya ini berniat hendak membunuh-
nya karena dianggap membiarkan guru mereka tewas
di tangan Resi Kala Jinjit (Baca : "Misteri Laba-Laba Perak"). Dan berkat
bantuan Raja Naga, kesalahpahaman itu akhirnya dapat diselesaikan (Baca :
"Pengadi-lan Rimba Persilatan").
"Ratih... aku juga enggan untuk kembali ke
tempat di mana kita dibesarkan dan digembleng oleh
Setan Bayangan. Dan siapa pun akhirnya guru kita
itu, kita tetap menghormatinya."
Ratih menganggukkan kepalanya. Kuncir dua-
nya bergerak-gerak.
"Kau betul, Kakang. Memang, sangat ku sesali
apa yang terjadi. Tetapi aku akan lebih menyesal bila tetap menganggap kaulah
penyebab kematian Guru"
Sudahlah, kita tak usah membicarakan soal
itu. Saat ini masih pagi, dan kita belum mengetahui ke mana kita harus pergi.
Sebaiknya, kita memang memulai perjalanan ini sekarang. Bila menemukan tem-
pat yang menurut kita aman, sebaiknya kita jadikan
tempat tinggal. Bagaimana menurutmu, Ratih?"
Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu
menarik napas pendek seraya memandang kakak se-
perguruannya. "Kakang... aku sudah tak punya siapa-siapa la-
gi di muka bumi ini. Sekarang... hanya engkaulah
tempatku bersandar.... Ke mana kau mengajakku per-
gi... aku... aku... akan menurutinya, Kakang...."
Mendengar kata-kata adik seperguruannya,
Lesmana menghela napas pelan-pelan. Dipandanginya
gadis itu untuk beberapa lama. Dan untuk pertama
kalinya, Lesmana melihat kalau adik seperguruannya
begitu manis. Bahkan lamat-lamat dilihatnya pesona
yang selama ini tak pernah diketahuinya muncul dari
diri Ratih. "Ratih...," suaranya kali ini sedikit bergetar.
Ratih yang sedang memandang Lesmana me-
nangkap getaran suara itu.
"Kakang...," balasnya dan entah mengapa sekarang dia merasa malu untuk menatap
pemuda di ha- dapannya berlama-lama seperti biasanya.
"Aku... aku... juga tak punya siapa-siapa kecua-limu, Ratih...."
Gadis manis itu tak menjawab. Perlahan-lahan
kepalanya tertunduk. Lesmana yang entah mengapa
menjadi agak kikuk, urung untuk berucap lagi. Justru sesuatu yang selama ini tak
pernah dipikirkan atau dirasakannya, mendadak saja muncul perlahan-lahan
dan semakin lama semakin cepat, membentuk gumpa-
lan sensasi aneh yang membuatnya agak sedikit te-
gang. Entah keberanian itu datangnya dari mana, ta-
hu-tahu Lesmana meraih tangan adik seperguruannya.
Sedikit terkejut Ratih mengangkat kepalanya. Dilihatnya Lesmana sedang
menatapnya dengan seksama.
Untuk beberapa saat gadis itu balas menatapnya, seo-
lah terjerat oleh pesona yang muncul.
Dan entah siapa yang mendahului, kedua anak
manusia itu sudah saling mendekap. Mencurahkan se-
genap perasaan yang tahu-tahu muncul dan sesung-
guhnya telah lama mereka miliki. Rasa kasih itu telah datang karena kebersamaan
mereka selagi menjadi
murid Setan Bayangan. Kasih yang merupakan cermi-
nan dari sikap kakak beradik. Tetapi yang mereka ra-
sakan sekarang ini, bukanlah rasa kasih seperti yang sudah-sudah.
Tiga kejapan mata kemudian, terlihat keduanya
sudah saling berciuman. Lembut. Penuh pesona dan
menawan. Tak ada hawa nafsu yang melingkupi mas-
ing-masing orang kecuali rasa kebersamaan yang me-
reka butuhkan. Ketika sehelai daun menerpa kepala Lesmana,
pemuda itu perlahan-lahan melepaskan rangkulannya.
Dipeganginya kedua bahu adik seperguruannya sambil
menatapnya lekat-lekat.
Yang ditatap justru menundukkan kepala. Ro-
na merah menghiasi wajah manis itu.
"Ratih...." desis Lesmana, suaranya sedikit bergetar. Gadis yang memiliki sifat
panasan itu justru menundukkan kepala. Menyahut pun tidak.
Sikapnya membuat Lesmana menjadi agak ki-
kuk. Dia khawatir apa yang barusan dilakukannya da-
pat memancing amarah Ratih. Tetapi tatkala gadis itu pelan-pelan merebahkan
kepalanya ke dadanya. diam-diam Lesmana menarik napas lega.
Didekapnya tubuh lembut itu seraya mengu-
sap-usap rambut hitam Ratih.
Tak lama kemudian, masing-masing orang telah
melepaskan diri satu sama lain.
Lesmana berkata, "Kita cari tempat yang aman
untuk kita diami, Ratih."
Ratih mengangguk.
"Aku ingin hidup bersamamu, Kakang Lesma-
na...." Lesmana tersenyum.
"Begitu pula denganku. Ayo, kita berlomba un-
tuk mencari tempat itu...."
"Tapi aku tak ingin jauh darimu, Kakang...,"
suara Ratih manja.
Lesmana tertawa. Lalu keduanya pun segera
meninggalkan tempat itu.
Ketika matahari tepat di atas kepala, keduanya
menghentikan lari mereka di sebuah hutan yang ba-
nyak ditumbuhi pepohonan tinggi dan berdaun lebat.
Panasnya matahari tak terlalu menyengat sekarang.
Masing-masing orang memandangi sekitarnya,
yang sepi dan hanya terdengar suara angin menggere-
sek dedaunan. "Sebaiknya kita beristirahat di sini, Ratih. Kau jangan ke mana-mana. aku akan
mencari makanan
untuk pengisi perut...."
Ratih mengangguk. Dan sepeninggal Lesmana,
gadis yang pada punggungnya terdapat dua buah pe-
dang bersilangan itu segera melangkah mendekati se-
buah pohon besar. Lalu dia duduk bersandar di bawah
pohon itu. Kemudian diingat-ingatnya apa yang telah dila-
kukannya bersama Lesmana sebelumnya. Mengingat
hal itu, justru membuat wajahnya memerah.
Sementara itu, Lesmana yang sebelumnya su-
dah membayangkan akan mendapatkan ayam atau
burung hutan dan segera memanggangnya, menjadi
jengkel sendiri. Karena cukup lama dia meninggalkan
Ratih, dia belum juga mendapatkan apa yang dica-
rinya. "Aneh! Ke mana hewan-hewan hutan ini pergi"
Sejak tadi tak kudengar ada cicit burung atau ciapan ayam. Tak kulihat pula
kelinci-kelinci yang berlarian,"
desisnya sambil memasang mata dan pendengaran le-
bih lebar lagi.
Untuk beberapa saat pemuda yang di kening-
nya melingkar sehelai kain merah ini terdiam sambil
memperhatikan sekelilingnya. Di lain saat, Lesmana
kembali bergerak untuk mencari hewan-hewan hutan
itu. Akhirnya Lesmana memang mendapatkan tiga
ekor burung hutan. Kemudian dengan gembira dia
kembali ke tempat di mana Ratih menunggu. Di-
bayangkannya kalau nanti mereka akan menikmati
burung panggang yang beraroma sedap.
Begitu tiba di tempat semula, langkah pemuda
ini mendadak saja terhenti. Kepalanya tiba-tiba menegak dengan kedua mata
menyipit. Dilihatnya tempat di mana dia dan Ratih berada sebelumnya telah porak
poranda. Untuk beberapa lama Lesmana masih tertegun
di tempatnya sebelum berteriak keras, "Ratih!!"
Dia segera berkelebat mengitari tempat itu. Tiga
ekor burung yang berhasil ditangkapnya sudah tak di-
hiraukan lagi. Kegelisahan merambati hatinya. Kete-
gangan melandanya yang semakin membuatnya tidak
enak tatkala tak menemukan Ratih di sekitar sana.
"Astaga!" desisnya kembali ke tempat semula.
Nafasnya memburu karena rasa tegang yang tak terta-
hankan. "Ratih!!" serunya lagi, berusaha memanggil.
Tetapi tak ada sahutan dari Ratih.
Ketegangan itu terus merambati hati Lesmana.
Rasa tak tenang membuatnya menjadi agak gusar.
"Ratih!!" serunya lagi.
Dan lagi-lagi tak ada sahutan. Perlahan-lahan
anak muda ini berusaha untuk menenangkan dirinya.
Dikajinya kemungkinan apa yang terjadi.
"Tempat ini telah porak poranda. Jangan-
jangan... ada seseorang atau beberapa orang yang te-
lah muncul ke tempat ini. Dan tentunya orang itu
bermaksud jahat terhadap Ratih. Hingga Ratih mela-
wan. Terbukti tempat ini jauh berbeda sebelum ku
tinggalkan. Kalau begitu...."
Memutus jalan pikirannya, perasaan Lesmana
semakin tak menentu.
"Berarti..... Ratih... berada di pihak yang kalah!
Dan orang itu... orang itu berhasil menangkap... okh!
Tidak, tidak! Akan kubunuh siapa pun orangnya yang
telah mencelakakan Ratih!!"
Tubuh anak muda ini menggigil karena gelisah,
tegang dan marah. Tetapi lagi-lagi dicobanya untuk
menenangkan dirinya.
"Barangkali... barangkali.... Ratih berhasil menyelamatkan diri.... Dan dia...
dia terpaksa meninggalkan ku agar tidak mendapat celaka. Ya, ya! Itu lebih
baik... itu lebih...."
Kata-katanya terputus tatkala pandangannya
membentur pada batang pohon di mana sebelumnya
Ratih bersandar. Dengan pandangan tetap mengarah
pada batang pohon itu, Lesmana melangkah mende-
kat. Semakin lama dia semakin jelas melihat apa yang terdapat pada batang pohon
itu. Sebuah tulisan yang
tergurat pada batang pohon itu!
Lesmana membacanya, " Bila kau menginginkan gadis ini selamat, datang ke Tanah
Kematian tiga hari di muka dengan membawa Bunga Kemuning Biru.
Kembang Darah! Astaga! Kalau begitu... kalau begitu...
Ratih... okh, tidak-tidak!" pemuda ini menggeleng-gelengkan kepalanya penuh
kegelisahan. "Kembang Darah"! Siapa orang berjuluk Kembang Darah yang
menginginkan Bunga Kemuning Biru"! Lagi pula, di
mana Tanah Kematian berada"!"
Perasaan Lesmana semakin gelisah. Pemuda ini
tak menyangka kalau akan mendapatkan urusan yang
tak menyenangkan. Tetapi di lain saat, Lesmana sudah memantapkan dirinya untuk
menuju ke Tanah Kematian. Karena biar bagaimanapun juga, dia akan ber-
tanggung jawab dengan apa yang dialami oleh Ratih!
Namun sebelum pemuda ini meninggalkan
tempat itu, pendengarannya menangkap dua gerakan
yang sudah mendekat. Seketika Lesmana menoleh dan
bersiaga. Dua sosok tubuh melompat dengan gerakan
yang sangat ringan dan hinggap di atas tanah sejarak sepuluh langkah dari
hadapannya. Belum apa-apa, salah seorang yang mengena-
kan pakaian merah dan terdapat gelang-gelang warna
merah di pergelangan tangan kanan kirinya sudah bu-
ka mulut, "Setan Keris Kembar! Yakinkah kau kalau pemuda ini bernama Lesmana,
salah seorang murid
dari Setan Bayangan"!"
Lelaki berwajah keriput yang mengenakan pa-
kaian hitam dengan rajutan dua buah keris bereluk
delapan di dada kanan kirinya, menganggukkan kepa-


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanya. "Sebelum berjumpa denganmu di jalan menuju kediaman Malaikat Biru, aku
sudah menyelidiki tentang murid-murid Setan Bayangan! Dan aku yakin,
pemuda inilah yang bernama Lesmana yang tentunya
telah me-miliki Bunga Kemuning Biru!"
Lesmana yang saat ini sedang diliputi kegelisa-
han dan amarah, memandang masing-masing orang
dengan tatapan garang. Kejap lain, terdengar suaranya merandek gusar pada
perempuan berhidung bangir
itu, "Perempuan celaka! Kau telah menculik adik se-
perguruanku! Dan sekarang muncul lagi dengan ka-
wanmu itu! Bagus! Memang itulah yang kuharapkan
hingga tak perlu lagi aku mendatangi Tanah Kematian!
Karena... di sinilah jasadmu akan dimakamkan!!"
Habis ucapannya, Lesmana sudah menerjang
ke depan dengan amarah tinggi seraya mendorong tan-
gan kanan kirinya!
Seketika menghampar cahaya yang membentuk
dua telapak tangan yang kemudian menyebar membe-
sar. Gemuruh angin yang mendahului membuat tem-
pat itu laksana digebah oleh puluhan gajah liar!
*** EMPAT KEDUA orang yang baru datang itu, sama-sama
membuka mata mereka lebar-lebar. Perempuan berpa-
kaian merah yang terbuka di punggung dan memperli-
hatkan punggungnya yang putih mulus tanpa cacat,
merandek gusar. Kejap lain dia sudah me-mutar kedua
tangannya di depan dada, lalu didorong dengan cara
bersilangan! Segera menggebrak gelombang angin yang
mengandung kekuatan besar. Tanah dan ranggasan
semak terseret.
Jlegaaarr!! Bertemunya dua bayangan telapak tangan yang
membesar itu, dengan gelombang angin berkekuatan
tinggi, membuat tempat itu bergetar hebat. Tanah di
tingkahi dengan ranggasan semak belukar yang seke-
tika hancur, bermuncratan ke udara. Disusul suara
berdebam berkali-kali. Saat itu pula pandangan terhalang karena tingginya tanah
yang muncrat! Untuk beberapa saat tak ada serangan yang da-
tang. Tatkala tanah yang membubung itu sirap, terli-
hat sosok Lesmana bergeser dua langkah ke belakang
sambil memegangi dadanya dengan tangan kanan. Ke-
dua tangannya bergetar dengan tangan kiri yang dira-
sakan sangat ngilu dan buru-buru dialirkan tenaga dalamnya. Di pihak lain,
perempuan berpakaian merah
yang terseret lima langkah itu, sudah melompat kem-
bali ke tempat semula. Sosoknya angker dengan tata-
pan tajam tak berkedip. Mulutnya merapat dingin. Bi-
birnya yang tipis bergerak-gerak maju mundur.
"Keparaaat!!" suaranya menggelegar dahsyat.
Lesmana sendiri yang menyangka kalau perem-
puan itu adalah orang yang berjuluk Kembang Darah
segera balas membentak, "Perempuan celaka! Kembalikan adikku! Kita bertarung
secara jujur!!"
"Terkutuk! Apa yang kau maksudkan dengan
mengembalikan adikmu, hah"!"
"Huh! Jangan berlagak dungu di hadapanku!"
"Setaaan! Kau benar-benar...."
Seruan Dewi Perenggut Sukma terputus, kare-
na Lesmana sudah menerjang kembali, melancarkan
ilmu 'Telapak Bayangan'.
Dewi Perenggut Sukma menggeram keras. Ama-
rahnya menggelegak. Tetapi sebelum dia menghindar
atau memapaki serangan yang datang, Gadung Wu-
wung atau yang berjuluk Setan Keris Kembar sudah
melesat ke depan.
"Biar aku yang menghadapi pemuda keparat
ini!!" Kedua tangannya disentakkan ke atas dan ke bawah. Saat itu pula melesat
sinar kehitaman yang
melesat menjadi delapan liukan.
Blaaarr! Blaaarrr!!
Benturan dahsyat kembali terjadi. Tiga buah
pohon tumbang dan beberapa pohon lainnya bergugu-
ran dedaunannya. Untuk kedua kalinya tanah mun-
crat ke udara! Namun tidak seperti kejadian pertama, tahu-
tahu muncratan tanah itu berhamburan ke arah Ga-
dung Wuwung dan Dewi Perenggut Sukma yang mem-
buat masing-masing orang segera melompat ke kanan
kiri. Dan... wuussss!!
Dua bayangan telapak yang membesar itu me-
lesat dan menghantam empat batang pohon sekaligus
yang terlempar jauh dan menimbulkan suara letupan
yang keras! "Setaaann!" maki Dewi Perenggut Sukma. "Biar aku yang beri pelajaran padanya!!"
Kejap lain perempuan ini sudah menegakkan
kepalanya. Matanya yang kejam tetap nyalang. Setelah mendengus kecil, ditarik
kaki kanannya ke belakang
sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tubuhnya
sedikit dibungkukkan, dengan sikap siap menerjang.
Seiring dirangkapkan kedua tangannya di depan dada,
mulut Dewi Perenggut Sukma berkemak-kemik.
Kejap lain, terlihat sekujur kulit di tubuhnya
berubah memerah dan seiring mulutnya terus berke-
mak-kemik, warna merah itu semakin memerah, seme-
rah darah. Paras jelitanya pun berubah, menjadi men-
gerikan. Bahkan kedua bola matanya pun memerah,
menyiratkan keganasan luar biasa.
Gadung Wuwung melirik.
"Hemmm... dia telah mengeluarkan ilmu
'Perenggut Sukma'. Bagus! Kalau sebelumnya dia sen-
gaja ku tahan untuk tidak mengeluarkan ilmu
'Perenggut Sukma' kali ini kubiarkan saja. Ingin kulihat seperti apa kehebatan
ilmu itu" Karena biar ba-
gaimanapun juga, aku harus berjaga-jaga untuk
menghadapinya! Aku juga menginginkan Bunga Ke-
muning Biru!"
Di depan, Lesmana tak gentar sedikit pun juga.
Pemuda murid mendiang Setan Bayangan ini tetap
menyangka kalau perempuan berpakaian merah itulah
yang berjuluk Kembang Darah dan telah menculik Ra-
tih. Lantas dilipatgandakan tenaga dalamnya. Di-
rangkum kembali ilmu 'Telapak Bayangan' yang dimili-
kinya. Kejap berikutnya, masing-masing orang sudah
menerjang diiringi teriakan membahana, diantar oleh
tatapan Gadung Wuwung yang diam-diam mundur tiga
langkah. Karena dia dapat membayangkan apa yang
akan terjadi. Jlegaaar....!! Benturan dahsyat yang membuat tempat itu
bergetar dan banyaknya pepohonan yang tumbang ter-
jadi. Menyusul muncratnya sinar-sinar semerah darah
yang dilepaskan Dewi Perenggut Sukma, ditingkahi
dengan membubungnya dan lenyapnya dua bayangan
telapak besar yang dilepaskan Lesmana.
"Aaaakhhh...!" Lesmana terpental ke belakang dengan dada yang terasa nyeri. Anak
muda ini masih berusaha untuk menguasai keseimbangannya. Tetapi
gagal. Hingga mau tak mau punggungnya membentur
batang pohon. Masih beruntung karena dia telah me-
namengkan dirinya dengan tenaga dalam.
Tetapi tubuhnya tetap terbanting di atas tanah!
Di pihak lain. Dewi Perenggut Sukma tetap be-
rada di tempatnya dengan seringaian lebar di bibirnya.
Sementara itu diam-diam Gadung Wuwung
membatin dalam hati, "Hemmm... ternyata ilmu
'Perenggut Sukma' tak sehebat dugaanku. Aku mampu
menghadapinya suatu saat untuk merebut Bunga Ke-
muning Biru."
Namun apa yang dikatakan Dewi Perenggut
Sukma kemudian, membuatnya seketika menoleh pa-
da perempuan itu. "Huh! Baru sebagian kecil tenaga yang kuper-gunakan untuk
mengalahkanmu, Pemuda
keparat! Karena aku masih menginginkan kau hidup!!"
"Astaga! Jadi... jadi... dia.... Gila! Gila!" belalak Gadung Wuwung dalam hati
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian dilihatnya Dewi Perenggut Sukma
mendekati Lesmana yang masih terlungkup di atas ta-
nah. Dengan kaki kanannya perempuan berpakaian
terbuka di bagian punggung itu membalikkan tubuh si
pemuda yang sudah tak berdaya. Dari mulut dan hi-
dung Lesmana mengalir darah segar.
"Sebagai murid Setan Bayangan, kau memang
tak terlalu mengecewakan! Tetapi kau sedang berha-
dapan dengan orang yang seharusnya menjadi guru-
mu!" Lesmana mengerang pelan.
"Terkutuk! Kembalikan adik seperguruanku...,"
desisnya sambil menahan sakit.
"Setan muda! Aku tidak tahu kau berkata apa!
Tapi yang kubutuhkan adalah.... Bunga Kemuning Bi-
ru!" geram Dewi Perenggut Sukma dengan sorot mata angkernya. Di kejap lain,
tiba-tiba terlihat seringaian di bibirnya.
Setan Keris Kembar yang melihat seringaian itu
sejenak mengerutkan kening.
"Aneh!" desisnya dalam hati. "Mengapa kekeja-mannya seperti memudar" Mengapa dia
menyeringai seperti itu" Apa yang dipikirkan dan diinginkannya?"
Sebelum lelaki itu dapat menemukan jawaban-
nya, terdengar suara Dewi Perenggut Sukma, "Setan
Keris Kembar! Menyingkir dari sini untuk sementara!"
Didera rasa penasarannya untuk mengetahui
arti senyuman perempuan berpakaian merah itu, Se-
tan Keris Kembar berkata, "Mengapa kau menyuruhku menyingkir" Orang yang kita
inginkan sudah ada di
depan mata! Kau tinggal memeriksanya, apakah Bunga
Kemuning Biru itu berada padanya atau tidak! Bisa ja-di berada pada adik
seperguruannya yang sejak tadi
diserukannya itu!"
Masih tetap tak mengalihkan pandangannya
dari Lesmana yang sedang menahan nyeri dan geram-
nya, Dewi Perenggut Sukma berkata, "Aku tak pernah memerintah lebih dari satu
kali! Cepat menyingkir dari sini atau ku putuskan untuk membunuhmu juga!!"
Setan Keris Kembar tak bergerak. Matanya mu-
lai memancarkan sinar berbahaya. Kata-kata Dewi Pe-
renggut Sukma membuatnya murka.
"Setan terkutuk!" tiba-tiba menggelegar suara keras itu disusul dengan
menolehnya kepala Dewi Perenggut Sukma. "Apa-apaan kau masih berada di sini,
hah"!" "Dewi... aku tak tahu apa yang hendak kau lakukan!" desis Setan Keris
Kembar dingin. "Tetapi untuk sementara aku akan menyingkir!"
"Bagus! Cepat tinggalkan tempat ini!!"
Dengan menahan geramnya, Setan Keris Kem-
bar segera menjauh. Hatinya masih penasaran ingin
mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh perem-
puan berpunggung mulus itu. Di samping itu, dia juga sudah tidak sabar untuk
menggeledah si pemuda guna
menemukan Bunga Kemuning Biru.
Untuk itulah Setan Keris Kembar memutuskan
untuk menjauh lebih dulu dan kemudian kembali lagi
tanpa sepengetahuan Dewi Perenggut Sukma.
Apa yang dilihat oleh lelaki berpakaian hitam
itu sungguh di luar dugaannya. Sepasang matanya
yang tadi memancarkan sinar berbahaya, kini terbela-
lak. Jakunnya turun naik dengan dada berdebar keras.
Sejarak dua belas langkah dari batik ranggasan
semak di mana dia bersembunyi sekarang, dilihatnya
Dewi Perenggut Sukma sudah bertelanjang badan!
"Iblis! Apa yang hendak kau lakukan"!" terdengar suara Lesmana, serak bercampur
amarah. Dewi Perenggut Sukma yang sudah bertelan-
jang badan menyeringai lebar. Kini dia berdiri men-
gangkangi tubuh Lesmana.
"Anak muda... wajahmu cukup tampan. Dan
aku menyukai ketampanan itu...."
"Iblis! Kau akan mampus kubunuh!!" Dengan
mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Lesmana mener-
jang. Tetapi kejap itu pula tubuhnya terpelanting karena merasakan sengatan pada
dadanya. Seringaian di bibir Dewi Perenggut Sukma se-
makin menjadi-jadi. Dengan sengaja digerakkan da-
danya hingga kedua bukit kembar yang mulus dan be-
sar itu bergerak menggiurkan.
Di balik ranggasan semak, Setan Keris Kembar
menelan ludahnya.
"Kebiasaan perempuan itu yang sering menghi-
sap keperjakaan seorang pemuda belum hilang juga.
Ah, sejak dulu aku ingin sekali mencicipi tubuhnya.
Tapi dasar sial, sampai sekarang belum juga terlaksa-na...," desisnya dengan
dada makin berdebar. Teruta-ma melihat buah dada Dewi Perenggut Sukma yang
pada kedua pucuk bukitnya terdapat sebuah benda
kecil berwarna kecoklatan itu bergerak-gerak. "Setan!
Setan!" desisnya menahan gelora nafsu.
Sementara itu Dewi Perenggut Sukma perla-
han-lahan mulai membungkuk sehingga sepasang
buah dadanya yang membusung itu menggantung in-
dah. "Kau akan menikmati sesuatu yang belum pernah kau nikmati, Anak muda...,"
desisnya dengan suara di tenggorokan.
Lesmana memejamkam matanya, berusaha
menghilangkan pesona yang mau tak mau memikat-
nya. Biar bagaimanapun juga, dia seorang pemuda
yang memiliki gelora
"Hei, hei... mengapa kau tutup kedua matamu
itu, Anak muda?" desis Dewi Perenggut Sukma. Buah dadanya yang menggantung
disentuhkan ke wajah
Lesmana yang gelagapan dan tetap berusaha tidak
membuka kedua matanya.
"Jangan!!" serunya keras ketika sepasang tangan lentik Dewi Perenggut Sukma
mulai membuka pa-


Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaiannya. Di tempat persembunyiannya, Setan Keris
Kembar tetap tak berkedip.
"Hemm... pakaian pemuda itu telah terbuka.
Tak kulihat ada Bunga Kemuning Biru di sana. Berar-
ti... bunga itu dibawa oleh adik seperguruannya yang bernama Ratih yang
disangkanya telah diculik oleh
Dewi Perenggut Sukma. Masa bodoh! Lebih baik ku-
tonton saja pertunjukan yang mengasyikkan itu! Yap!
Ya... terus, Dewi... turunkan pakaianmu hingga kau
melorot semua...."
Di depan, Dewi Perenggut Sukma yang juga tak
melihat adanya Bunga Kemuning Biru di balik pakaian
Lesmana, telah menurunkan pakaian yang dikenakan-
nya dengan gerakan yang sangat merangsang. Perut-
nya yang langsing dan mulus kini telah terbuka, demikian pula dengan bagian
sejengkal dari pusarnya yang masih tertutup secarik kain berwarna putih. Bayang-
bayang hitam di balik kain putih yang dikenakannya
itu membayang, sedikit menggunung. Lalu... pluk!
Pakaian yang dikenakannya kini telah melorot,
bertumpuk di atas tanah. Kendati usianya sudah se-
tengah baya, Dewi Perenggut Sukma masih memiliki
tubuh yang kencang.
Setan Keris Kembar berulang kali menelan lu-
dahnya. Tidak sabar menunggu sampai perempuan
bertubuh indah itu membuka sisa kain yang melekat
di pangkal pahanya.
"Ayo... ayo... buka, Dewi... buka...," desisnya dalam hati dengan napas berpacu.
"Anak muda... mengapa kau masih memejam-
kan matamu" Apakah kau tak ingin melihat apa yang
kumiliki?"
"Terkutuk! Iblis perempuan! Menjauh kau dari
sini!!" bentak Lesmana tetap memejamkan matanya.
"Hemm... sayang sekali, kau hanya akan me-
nikmati apa yang akan kuberikan tetapi kau tidak me-
lihat apa yang kumiliki. Baiklah... sebentar lagi aku yakin, kau akan membuka
matamu karena membaui
benda perempuan yang akan kuberikan padamu..,."
Sepasang tangan Dewi Perenggut Sukma kini
berada di pinggir kanan kiri kain putih yang menutupi pangkal pahanya.
Di tempatnya Setan Keris Kembar tak mau ke-
tinggalan barang sekejap pun walaupun agak jengkel
mengapa dia mengambil tempat di sebelah kiri!
"Ya... buka, Dewi... buka...."
Sepasang tangan lentik itu pun siap melorotkan
kain putih yang dipakainya sendiri. Namun mendadak
saja, kepalanya menoleh ke sebelah kiri, menyusul
tangan kanannya mengibas.
"Manusia keparat!! Rupanya kau memang ingin
mampus!!" Wussss!! Gelombang angin menggebrak dengan suara
bergemuruh ke tempat persembunyian Setan Keris
Kembar. "Heiiii!!" pekik lelaki berpakaian hitam itu seraya melompat.
Blaaaarrr!! Kontan semak belukar yang tadi menghalangi
tubuhnya hancur berantakan. Kejadian itu membuat
Setan Keris Kembar tak berani untuk mengintip kem-
bali. "Setan!!" maki Dewi Perenggut Sukma. Yakin kalau Setan Keris Kembar tak
akan berani mengulangi
kebodohannya, dia meneruskan lagi niatnya untuk
membuka kain terakhir yang menempel pada tubuh-
nya. Tetapi....
"Terkutukkkk!! Kau benar-benar ingin mam-
pus!!" Kali ini segelombang sinar berwarna merah menyerbu ganas ke samping
kanan! Jleggaaarrr!!! Kali ini bukan hanya ranggasan semak belukar
yang hancur berantakan, sebatang pohon besar yang
berdiri di belakang semak itu terhantam dan tumbang
dengan suara bergemuruh.
"Mampus kau manusia setan!!" maki Dewi Pe-
renggut Sukma sambil memperhatikan tempat yang
tadi dihantamnya. Buah dadanya yang masih terbuka
bergerak-gerak, berayun dan bergelayut manja. Tak di hiraukannya lagi kalau dia
membunuh Setan Keris
Kembar sekarang.
Setelah ditunggu beberapa saat dan Setan Keris
Kembar yang disangkanya masih berada di sana tadi
tidak muncul, Dewi Perenggut Sukma meneruskan
niatnya. Tetapi satu suara bernada dingin membuatnya
terbelalak, "Kekejaman macam apa yang akan kau pertun-
jukkan, Perempuan tidak tahu malu"!"
Seketika perempuan yang hanya tinggal secarik
kain putih yang menutupi pangkal pahanya itu meno-
leh. Satu sosok tubuh berompi ungu telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya. Kedua tangan
anak muda berambut dikuncir kuda itu melipat di atas dada, dan terlihat sisik-
sisik coklat pada lengan sebatas sikunya.
Sudah tentu Dewi Perenggut Sukma yang me-
nyangka kalau yang diserangnya tadi adalah Setan Ke-
ris Kembar terkejut. Lebih terkejut lagi tatkala menatap sepasang mata pemuda di
hadapannya! "Astaga! Siapa pemuda itu"! Tatapannya begitu
menusuk jantungku...!"
*** LIMA PEMUDA berompi ungu itu tetap berdiri di
tempatnya. Sorot matanya semakin menusuk.
"Apakah kau tidak takut masuk angin bertelan-
jang seperti itu" Atau... kau hendak menyamakan be-
sarnya buah dadamu dengan pepaya yang menggan-
tung di sana"!"
Ucapan si pemuda seperti menyadarkan Dewi
Perenggut Sukma kalau dia hampir tak berpakaian.
Tetapi sikapnya tak terburu-buru saat mengenakan
pakaiannya kembali.
Di pihak lain, Lesmana yang masih terkapar
dan memejamkan matanya, perlahan-lahan membuka
matanya begitu mengenali suara orang yang muncul.
"Raja Naga!" serunya begitu mengenali siapa orang yang datang.
Kepala Dewi Perenggut Sukma menegak.
"Raja Naga" Jadi dialah orang yang berjuluk
Raja Naga, pemuda yang julukannya begitu menyentak
rimba persilatan! Hemm... bagus! Sebelum membunuh
Malaikat Biru, akan ku uji kehebatan pemuda ini!"
Memutuskan demikian, Dewi Perenggut Sukma
maju dua langkah. Didengarnya gerakan Lesmana
yang berusaha bangkit.
"Hih!" desisnya sambil menggerakkan kaki kanannya ke belakang.
Buk! Dada Lesmana telak terkena tendangannya dan
pemuda yang telah banyak kehilangan tenaga itu kon-
tan jatuh pingsan.
"Raja Naga! Julukanmu sangat santer akhir-
akhir ini! Bagus! Aku ingin melihat kehebatan pemuda yang julukannya banyak
disanjung dan dibenci orang!"
Anak muda dari Lembah Naga itu tetap berdiri
di tempatnya, tetap melipat kedua tangannya di depan dada. "Perempuan berpakaian
merah! Kita belum saling kenal dan tak punya silang sengketa! Lebih baik
tinggalkan tempat ini dan biarkan aku mengobati sa-
habat-ku!"
Dewi Perenggut Sukma tertawa keras.
"Hebat, hebat sekali! Kau pikir dengan uca-
panmu itu aku akan keder"! Kau salah besar, Anak
muda! Dan nampaknya... kau lebih gagah dari pemuda
itu! Bagus! Kaulah yang akan menggantikan pemuda
itu memuaskan nafsuku!!"
Belum habis ucapannya, perempuan berpa-
kaian merah yang terbuka di bagian punggung itu su-
dah melesat ke depan.
Wuuuttt!! Kelebatannya menimbulkan desir angin yang
keras. Menyusul desiran angin itu, mendadak mengge-
bah gelombang angin yang lebih dahsyat mengarah
pada tanah di hadapannya. Begitu gelombang angin
tadi menabrak tanah, seketika tanah membuyar ke
udara namun segera berpentalan karena satu gelom-
bang angin lain masuk menderu,
Wrrrrr!! Di tempatnya Raja Naga memicingkan sepasang
matanya. Murid Dewa Naga itu sama sekali tak berge-
rak dari tempatnya. Wajahnya tetap tenang, namun
sorot matanya bertambah angker.
Mendadak dia mendehem cukup keras.
Blaaaarrr!! Gelombang angin ganas yang siap menerbang-
kan sosoknya tiba-tiba saja buyar di tengah jalan.
Dewi Perenggut Sukma memekik kaget. Dia
urung untuk melanjutkan serangannya.
"Hebat!" desisnya.
Raja Naga berkata. "Jangan bikin urusan ber-
tambah runyam! Lebih baik menyingkir dari sini!"
Keris Kala Muyeng 2 Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mawar Kematian Ikat Pinggang Kemala 2
^