Dinding 3

Dinding Karya Jean Paul Sartre Bagian 3


adalah orang yang baru kembali, ia meletakkan kunci da"
lam lubang kunci, ia membutuhkan waktu untuk itu, ia
mabuk, aku bertanya"tanya apakah ia tinggal di hotel ini,
pasti itu pemiliknya; sore tadi aku bertemu dengan seorang
perempuan berambut pirang di tangga, tampaknya ia habis
minum obat. Aku tak merintih! Tapi sebenarnya ia telah membuatku
Kehangatan 151 susah dengan semua gerakan yang mencurigakan, ia tahu
bagaimana bertindak; aku takut pada orang"orang yang
tahu bagaimana harus bertindak, aku lebih senang tidur
dengan seorang perjaka. Tangan"tangannya akan meraba"
raba tempat"tempat yang diinginkan, menyentuh, sedi"
kit menekan, tidak terlalu menekan... mereka akan mem"
perlakukan Anda seperti sebuah alas yang dengan bangga
akan dimainkannya. Aku tak suka kalau ada yang membuatku kalut, teng"
gorokanku kering, aku takut dan serasa mau muntah, dan
aku malu karena mereka menganggap berhasil menguasaiku;
Pierre, aku akan menempelengnya jika ia tampak berlagak
dan berkata: "Aku tahu tekniknya."
Tuhanku, katakan bahwa hidup itu, karena itulah kita
berpakaian dan membersihkan diri, dan karena itulah kita
berdandan, dan semua cerita dibuat untuk itu, dan kita akan
memikirkannya setiap waktu, dan akhirnya inilah, kita akan
masuk ke dalam sebuah kamar dengan seseorang yang mem"
buat agak susah bernapas dan membuat perut basah untuk
mengakhirinya. Aku ingin tidur, oh! Andai saja aku bisa tidur
sebentar. Besok aku akan melakukan perjalanan sepanjang
malam, aku akan bebas. Aku ingin sedikit merasa segar
agar bisa keluyuran di Nice; tampaknya Nice begitu indah,
ada jalan"jalan kecil seperti di Italia dan pakaian"pakaian
berwarna"warni yang mengering di bawah sinar matahari,
aku akan melukis dan anak"anak kecil akan berdatangan
untuk melihat apa yang kulakukan.
Menjijikkan! (ia maju sedikit dan pinggulnya menyentuh
152 ]ean"Paul Sartre
noda lembab yang ada di sprei). Untuk melakukan hal itulah
ia membawaku. Tak seorang pun yang mencintaiku. Ia
berjalan di sampingku, aku hampir tak punya tenaga dan
menunggu kata"kata yang mesra, ia akan mengatakan: "Aku
mencintaimu," namun aku tak akan kembali ke rumahnya,
tentu saja, tapi aku akan mengatakan sesuatu yang lembut
padanya, kita akan berpisah sebagai teman baik, aku
menunggu, ia memegang lenganku dan aku tak melawannya.
Rirette sangat marah, tak benar bahwa wajahnya seperti
orang hutan, tapi aku mengerti jika ia berpikir seperti
itu, ia melihatnya dari samping dengan mata yang kotor,
mengherankan, karena ia bisa bertindak begitu, omong"
omong, karena hal itu, sewaktu ia memegang tanganku
aku tak mencegahnya, tapi bukan aku yang ia inginkan,
ia menginginkan istrinya karena ia telah menikahiku dan
karena ia suamiku: ia selalu merendahkanku, ia selalu berkata
bahwa ia lebih pandai dariku, dan segala sesuatu yang terjadi
itu karena kesalahannya. Ia tak pernah memperlakukan aku
sejajar dengannya. Seandainya ia memperlakukanku sejajar
dengannya aku pasti masih bersama dengannya.
Aku yakin ia tak menyesali kepergianku sekarang
ini, tak menangis, ia hanya tersengal"sengal, itulah yang
dilakukannya. Ia pun pasti merasa sangat senang karena
bisa menguasai tempat tidur hanya untuknya sendiri dan
bisa menjulurkan kakinya yang besar. Aku ingin mati. Aku
begitu takut jika ia berpikir yang jelek tentangku; aku tak bisa
menjelaskan apa"apa krpadanya karena Rirette ada di antara
kami, ia berbicara, ia selalu berbicara, wajahnya tampak
Kehangatan 153 histeris. Ia senang sekarang, ia merasa bangga dengan
keberaniannya, karena ia tampak cerdik dibanding Henri
yang tampak lembut seperti seekor domba. Aku, aku pergi.
Mereka tak bisa memerintahku untuk meninggalkannya
seperti seekor anjing. Ia melompat dari tempat tidur dan memutar tombol
lampu. Kaus kaki dan celana dalam terusan cukup sudah. Ia
bahkan tak mau susah"susah menyisir rambut, ia begitu ter"
buru"buru, dan orang"orang yang melihatku tak akan tahu
bahwa aku telanjang di balik mantel besarku yang berwarna
abu"abu, mantel itu panjang sampai menyentuh kakiku.
Orang Aleria itu"ia berhenti dan jantungnya berdegup"
aku harus membangunkannya agar membuka pintu untukku.
Ia turun dengan mengendap"endap, tapi lantai papan itu
berderit setiap ia melangkah; ia mengetuk jendela kantor.
"Ada apa?" tanya si orang Algeria itu.
Matanya tampak merah dan rambutnya kusut, ia tak
tampak berbahaya. "Tolong, bukakan pintu," kata Lulu tanpa perasaan. Se"
perempat jam kemudian ia menekan bel pintu rumah Henri.
"Siapa itu?" tanya Henri sembari menuju pintu.
"Ini aku." Ia tak menjawab apa"apa, ia tak ingin membiarkanku
masuk ke rumahku. Tapi aku akan terus mengetuk pintu
sampai ia mau membukakan pintu, ia pasti akan menyerah
karena malu pada tetangga. Tak sampai semenit pintu itu
pun terbuka sedikit dan Henri muncul, wajahnya pucat pasi
dengan sebuah bisul di hidungnya; ia mengenakan piyama.
154 ]ean"Paul Sartre
"Ia tak bisa tidur," pikir Lulu dengan lembut.
"Aku tak ingin meninggalkanmu seperti ini, aku ingin
menemuimu." Henri belum mengatakan apa pun. Lulu masuk sambil
mendorongnya sedikit. Ia merasa kikuk, orang"orang selalu
menemuinya di setiap jalan yang dilewatinya, ia menatapku
dengan mata membulat, tangannya terjuntai, ia tak tahu apa
yang harus dilakukan dengan tubuhnya. Diamlah kamu, ayo,
diamlah kamu, aku tahu benar bahwa kamu terharu dan tak
bisa bicara. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menelan ludah,
dan Lululah yang harus menutup pintu.
"Aku ingin, kita berpisah sebagai teman baik," katanya.
Ia membuka mulut seperti ingin berbicara, berbalik
cepat"cepat lalu berlari menjauh. Apa yang dilakukannya"
Lulu tak berani mengikutinya. Apakah ia menangis" Lulu
mendengar seseorang terbatuk: ia ada di dalam kamar kecil.
Ia kembali, bergelayut di leher Lulu dan mencium bibirnya:
Lulu merasakan muntahan. Lulu meledakkan tangisnya.
"Aku kedinginan," kata Henri.
"Mari kita tidur," ajaknya sambil menangis, "aku bisa
tinggal sampai besok pagi."
Mereka berbaring dan badan Lulu bergerak"gerak
dengan hebat karena isak tangisnya saat ia melihat kamar
dan tempat tidurnya yang rapi dan secercah sinar merah di
kaca jendela. Ia membayangkan Henri akan merengkuhnya
dalam pelukan, tapi ia tak berbuat apa"apa. Ia berbaring,
menjulur, seperti sebuah tiang kecil di atas tempat tidur. Ia
juga terlihat kaku saat berbicara dengan orang Swiss.
Kehangatan 155 Lulu memegang kepala Henri dengan kedua tangan dan
melihatnya lekat"lekat. "Kamu sempurna. Kamu sempurna."
Dan, Henri mulai menangis.
"Betapa malangnya aku," ucapnya, "aku tak pernah
mengalami kemalangan seperti ini."
"Aku pun tidak," jawab Lulu.
Mereka menangis dalam waktu lama. Beberapa saat
kemudian Lulu kehabisan tenaga dan menyandarkan
kepala ke bahu Henri. Andai saja kita bisa seperti ini setiap
saat: bersih dan sedih seperti dua anak yatim, tapi itu tak
mungkin, itu tak akan pernah terjadi dalam kehidupan.
Hidup adalah sebuah gelombang besar yang menerjang
Lulu dan merenggutnya dari tangan Henri. Tanganmu.
Tanganmu yang besar. Ia begitu membanggakan tangannya
yang begitu besar. Menurutnya, tangan itu adalah warisan
para leluhur yang biasanya mempunyai bagian tubuh yang
besar. Aku tak berarti apa"apa di antara tangan"tangannya.
Ia sedikit menggelitikku, tapi aku senang karena ia hampir
bisa menyatukan jari"jarinya saat memelukku. Tidak benar
bahwa ia impoten, ia sempurna, dan sedikit malas. Lulu
tersenyum di antara tetesan air matanya dan mencium dagu
Henri. "Apa yang akan kukatakan kepada orang tuaku?" tanya
Henri. "Ibuku akan mati karena kaget bila mendengarnya."
Kenyataaannya Nyonya Crispin tak akan mati, ia akan
bersorak. Mereka selalu membicarakanku, saat makan,
mereka berlima, dengan wajah bersalah, seperti orang"
orang yang tahu banyak tapi tak bisa mengatakan apa"apa,
15 6 ]ean-Paul Sartre karena ada seorang anak kecil berusia lima belas tahun yang
masih terlalu muda untuk mendengar hal"hal tertentu. Ia
akan tertawa dalam hati karena tahu segalanya, ia selalu
tahu segalanya dan membenciku. Semuanya sampah! Dan
tampaknya semua melawanku.
"Jangan beritahu mereka dulu, ia memohon, "bilang
kepada mereka bahwa aku pergi ke Nice dengan alasan kese"
hatanku." "Mereka tak akan mempercayaiku."
Ia mencium Henri di seluruh wajah dengan ciuman"
ciuman kecil. "Henri, kenapa kamu tak mau sedikit bersikap baik ke"
padaku." "Itu benar," jawab Henri, "aku memang telah berbuat
tak baik kepadamu. Tapi kamu juga," katanya membalas,
"kamu pun telah berbuat jahat kepadaku."
"Tak benar itu. Hah!" jawab Lulu, "betapa malangnya
kita!" Lulu menangis begitu kuat hingga merasa sesak napas,
akhirnya hari baru datang juga, dan ia akan pergi. Mereka tak
melakukan apa pun yang mereka inginkan, mereka hanyalah
orang"orang yang pemarah.
"Kamu tak harus pergi seperti itu," kata Henri. Lulu
menarik napas. "Aku sangat mencintaimu, Henri."
"Dan sekarang kamu tak mencintaiku lagi?"
"Bukan begitu."
"Kamu akan pergi dengan siapa?"
Kehangatan 157 "Dengan orang yang tak kamu kenal."
"Bagaimana bisa kamu mengenal orang"orang yang
tak aku kenal?" tanya Henri dengan marah, "di mana kamu
mengenal mereka?" "Jangan begitu, sayangku, Gulliver kecilku, kamu tak
akan bertindak sebagai seorang suami saat ini, kan?"
"Kamu pergi dengan seorang laki"laki ucap Henri
sambil menangis. "Dengar, Henri, aku yakinkan kepadamu bahwa aku tak
pergi dengan seorang laki"laki, aku bersumpah atas nama
ibuku bahwa laki"laki membuatku muak sekarang ini. Aku
pergi dengan sepasang suami istri, teman"teman Rirette,
sepasang suami istri yang sudah tua. Aku ingin hidup sendiri,
mereka mendapatkan pekerjaan buatku. Oh! Henri, andai
saja kamu tahu betapa inginnya aku hidup sendiri, betapa
semuanya membuatku muak."
"Apa?" tanyanya, "apa yang membuatmu muak?"
"Semuanya!" Lulu mencium Henri, "hanya kamu yang
tak membuatku muak, sayang."
Lulu menyelusupkan tangan di balik piyama Henri dan
membelai seluruh tubuhnya. Ia menggigil karena tangan
yang dingin itu, tapi ia membiarkannya, ia hanya berkata:
"Aku akan merasa sedih."
Ada sesuatu yang patah dalam diri Henri.
Jam 7 pagi Lulu terbangun dengan mata bengkak karena
menangis, ia berkata dengan lelah: "Aku harus kembali ke
sana." "Ke sana, kemana?"
15 8 ]ean-Paul Sartre "Aku menginap di Hotel Theatre, Rue Vandame. Hotel
yang kotor." "Tinggallah bersamaku."
"Tidak, Henri, tolong jangan paksa aku, aku sudah
bilang bahwa itu tak mungkin."
"Kamu akan mengalir bersama arus, itulah kehidupan;
kita tak dapat menetapkan, tak juga dapat mengerti, ikuti
saja. Besok aku sudah berada di Nice."
Lulu pergi ke kamar kecil untuk'membasuh matanya
dengan air dingin. Ia mengenakan mantel dengan menggigil.
"Seperti nasib buruk. Semoga saja aku bisa tidur di
kereta malam ini, jika tidak aku akan kehabisan tenaga be"
gitu tiba di Nice. Kuharap ia memesankan tiket kelas satu.
Jika benar, ini akan jadi pengalaman pertamaku naik kereta
kelas satu. Sudah lama aku mengidamkan perjalanan dengan
kereta kelas satu, tapi saat itu tiba, semuanya terjadi dengan
cara yang tak menyenangkan dan aku hampir tak punya
keinginan lagi untuk naik kereta kelas satu."
Ia cepat"cepat pergi, sekarang, karena saat"saat terakhir
telah dilewatinya dengan kejadian yang mengenaskan.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan orang"orang
Gallois?" tanyanya. Gallois telah memesan sebuah poster pada Henri. Henri
telah membuatnya, dan sekarang Gallois tak mengingin"
kannya lagi. "Aku tak tahu," jawab Henri.
Ia meringkuk di balik selimut, hanya rambut dan sedikit
daun telinganya yang kelihatan. Ia berkata dengan pelan
Kehangatan 159 dan lemah: "Aku ingin tidur selama delapan hari."
"Selamat tinggal, sayang," kata Lulu.
"Selamat jalan."
Lulu memiringkan tubuh Henri, menyingkap selimut
sedikit dan mencium keningnya. Lulu terdiam beberapa
saat di depan pintu keluar, tanpa menutup pintu apartemen.
Beberapa saat kemudian ia memutar mata dan melihat lekat"
lekat pada gagang pintu. Ia mendengar suara ribut yang
keras dan ia yakin bahwa ia harus pergi: ia seperti mengenal


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesan ini, kesan yang sama saat orang"orang melempar tanah
pertama di atas peti jenazah ayahnya.
"Henri tak bersikap baik kepadaku. Ia seharusnya bisa
bangun dan menemaniku hingga di pintu. Aku tak akan be"
gitu sedih seandainya ia yang menutup pintu ini."
"Ia telah melakukannya!" ucap Rirette sambil meman"
dang di kejauhan, "ia telah melakukannya!"
Waktu itu, sore hari. Jam 6 lebih Pierre menelepon
Rirette, meminta untuk datang ke Dome.
"Tapi apakah kamu tak jadi menjenguknya jam 9 pagi
tadi?" "Aku menjenguknya."
"Apakah wajahnya tampak aneh?"
"Tidak," jawab Rirette, "aku tak menandainya. Ia tam"
pak sedikit lelah, tapi ia bilang tak bisa tidur setelah ke"
pergianmu, karena ia merasa begitu senang dengan ide
160 ]ean-Paul Sartre untuk pergi ke Nice dan sedikit takut dengan pelayan dari
Algeria... dan lagi, ia bahkan menanyakan padaku apakah
kamu membelikannya tiket kereta kelas satu, ia mengatakan
bahwa ia mengidam"idamkan perjalanan dengan kereta
kelas satu. Tidak, putusnya, aku yakin bahwa ia tak punya
ide seperti itu, paling tidak selama aku berada di sana. Aku
tinggal di tempatnya kurang lebih dua jam, dan selama dua
jam itu aku rasa cukup bagiku untuk mengamatinya. Jadi,
mengherankan kalau aku sampai melewatkan sesuatu. Kamu
akan mengatakan padaku bahwa ia merahasiakannya dengan
begitu baik, namun aku telah mengenalnya selama empat
tahun dan aku tahu ia telah melewati berbagai keadaan. Aku
mengenalnya seperti aku mengenal telapak tanganku sen"
diri." "Jadi, dapat dipastikan keluarga Texier yang memberinya
ide itu. Lucu juga...," ia terdiam beberapa saat dan melanjutkan
dengan tiba"tiba: "Aku bertanya"tanya bagaimana mereka
tahu alamat Lulu. Akulah yang memilihkan hotel untuknya
dan ia tak pernah mendengarkanku sebelumnya."
Ia memainkan surat Lulu, dan Rirette jengkel karena
sebenarnya ia ingin membaca surat itu dan Pierre belum
juga menawarinya. "Kapan kamu menerima surat itu?" tanya Rirette pada
akhirnya. "Surat ini...?" ia memegangnya dengan ringan.
"Ini, kamu dapat membacanya. Seseorang telah meni"
tipkan di rumah, penjaga lewat jam satu tadi. Surat itu di"
tulis di kertas berwarna ungu, seperti yang dijual di toko
tembakau." Kehangatan 161 "Sayangku, keluarga Texier datang (aku tak tahu siapa
telah memberi mereka alamatku), dan aku akan menyakitimu
karena aku tak jadi pergi, sayangku. Pierre sayang, aku tetap
tinggal bersama Henri karena ia begitu malang. Mereka
mengunjunginya pagi tadi dan ia tak mau membuka pintu
buat mereka, dan Nyonya Texier mengatakan bahwa ia
sudah tak seperti manusia lagi. Mereka begitu baik dan
mengerti alasanku, Nyonya Texier mengatakan bahwa
semua kesalahan berada di pihak Henri, bahwa ia adalah
orang yang tak suka bergaul tapi pada dasarnya itu bukan
suatu kesalahan. Ia mengatakan bahwa Henri berbuat itu
agar ia dapat mengerti seberapa besar ia membutuhkanku.
Aku tak tahu siapa yang memberi mereka alamatku, mereka
tak mau mengatakannya, mereka pasti melihatku secara
kebetulan ketika aku keluar dari hotel tadi pagi bersama
Rirette. Nyonya Texier mengatakan padaku bahwa ia telah
memintaku untuk melakukan pengorbanan yang sedemikian
besar tapi ia mengatakan juga bahwa ia cukup mengenalku
hingga aku tak mungkin menghindari masalah itu.
Aku benar"benar menyesal karena kita gagal melakukan
perjalanan indah ke Nice, sayangku, tapi kupikir kamu tak
akan begitu menderita karena kamu selalu memiliki aku.
Aku milikmu, hati dan jiwaku, dan kita akan lebih sering
bertemu dari yang sudah"sudah. Tapi, Henri, ia akan mati
jika tak memiliki aku lagi, ia betul"betul membutuhkanku.
Aku tegaskan lagi bahwa aku benar"benar tak senang
merasakan tanggung jawab seperti ini. Aku harap kamu tak
akan melakukan hal"hal yang membuatku takut, kamu tak
162 ]ean-Paul Sartre akan membuatku menyesal, kan?"
Aku pulang ke rumah Henri sekarang, aku merasa sedikit
terhina begitu membayangkan akan menemui Henri dalam
kondisi seperti ini, tapi aku harus kuat untuk memikulnya.
Aku pun ingin lebih bebas, aku mencintaimu dan aku ingin
ia membiarkan Robert, dan bahwa ia tak akan bicara hal"
hal yang buruk tentang ibuku. Sayangku, aku benar"benar
merasa sedih, aku ingin kamu berada di sisiku, aku butuh
kamu, aku ingin memelukmu dan merasakan belaianmu di
seluruh tubuhku, aku sudah berada di Dome besok jam 5
sore." "Lulu..." "Pierre yang malang!"
Rirette memegang tangannya.
"Aku katakan kepadamu, bahwa aku ikut bersedih
untuknya! Ia membutuhkan udara segar dan matahari.
Namun ia telah memutuskan seperti itu... Ibuku telah me"
lakukan hal"hal yang mengerikan," lanjutnya. "Villa itu
sebenarnya milik beliau, dan beliau tak suka jika aku mem"
bawa seorang perempuan ke sana."
"Ah?" ucap Rirette dengan suara terputus. "Ah" Kalau
begitu maka segalanya berjalan baik, dan semua orang se"
nang!" Ia menjatuhkan tangan Pierre: ia merasakan, tanpa tahu
kenapa, penyesalan yang pedih.
Masa Kanak-kanak Sang Direktur AKU kelihatan tampan dalam kostum malaikat kecil.
Nyonya Portier berkata kepada ibuku: "Anakmu begitu
cakap dan menggemaskan. Ia begitu gagah dengan kostum
malaikat kecilnya." Tuan Bouffardier menarik Lucien di antara lututnya dan
mengelus lengan Lucien: "Apakah benar kau perempuan
kecil?" Ia berkata sambil tersenyum. "Siapa namamu"
Jacqueline, Lucienne, Margot?"
Lucien memerah dan berkata, "Namaku Lucien."
Ia tidak begitu yakin kalau Lucien bukanlah anak pe"
rempuan. Banyak orang menciuminya dan memanggilnya
164 ]ean-Paul Sartre nona, semua orang mengatakan bahwa Lucien begitu mem"
pes ona dengan sayap kain kasanya. Rok panjang biru, lengan
kecil yang terbuka, dan rambut pirang keriting: Lucien takut
kalau orang"orang mengatakan dirinya bukanlah anak laki"
laki, meskipun ia protes tetap saja tak ada orang yang akan
mendengarnya. Mereka hanya menginginkan anak itu melepas roknya
untuk tidur dan waktu bangun di pagi hari ia telah men"
dapatkan rok itu di sebelah kakinya, di tempat tidur. Ketika
ia ingin buang air kecil di siang hari, ia harus mengangkat
roknya seperti nenek dan berjongkok di atas tumitnya. Se"
mua orang berkata: anak manis tersayang. Kira"kira begitulah
asal"mula aku menjadi anak perempuan.
Lucien merasa nyaman dengan keadaan tersebut, walau
sedikit memuakkan dan suaranya menjadi melengking di
bibir. Ia menawarkan bunga kepada semua orang sambil
melingkarkan tangannya. Ia ingin mencium kerutan di le"
ngannya. Pikirnya, semua ini salah. Ia sangat senang saat ia
merasa salah, tetapi kadang ia mengambil kesempatan di hari
Mardi Gras dengan kostum Pierrot"nya. Ia sangat disenangi
dan membuat orang meloncat"loncat sambil menangis.
Lucien dan Riri bersembunyi di bawah meja, mamanya
memberikan pukulan ringan dengan kacamata bertangkainya.
"Aku bangga pada anak laki"lakiku."
Beliau sangat berwibawa dan cantik. Ia paling tinggi dan
berlemak dari kes eluruhan perempuan yang kukenal. Ketika
Lucien lewat di depan meja panjang yang tertutup taplak
putih, papa yang sedang minum segelas ubcwqaagne berdiri
hlasa Kauak"kanak Sang Direktur 165
dan berkata, "Laki"laki baik!"
Lucien ingin sekali menangis dan berkata, "Bukan!".
Ia meminta jus jeruk karena melihat ada es di dekatnya,
ia duduk menemani papa. Ia tak meminumnya tapi hanya
memasukkan kedua jarinya ke dalam gelas. Hidangan ikan
ada di depannya namun Lucien hanya memandangnya:
ia telah mencicipi ikan tersebut dan ia sama sekali tak
menyukainya. Lucien duduk dan berpikir: akankah jus jeruk
ini menjadi minyak jarak yang bisa diminum ketika sakit.
Lucien menangis, menyadari bahwa duduk di antara
papa dan mama di dalam mobil akan menenteramkan
hatinya. Mama menempelkan tubuhnya pada Lucien, walau
kering namun wangi parfum tercium dari tubuhnya.
Di lainwaktu, interiormobil menjadi putih semua seperti
kapur, Lucien mengerjapkan mata, wajahnya berubah ungu
ketika melihat mamanya memakai blus yang menampakkan
bentuk tubuhnya, sambil mencium bau tubuh mamanya. Lu"
cien mengurangi tangisnya, lalu ia merasa tubuhnya basah,
gatal dan sedikit lengket seperti jeruk: ia akan berenang di
bak mandi dan mama menggosok badannya dengan spon
busa. Setelah itu, Lucien diizinkan untuk tidur di kamar
papa dan mamanya, seperti masa bayinya. Ia tertawa dan
menderitkan pegas kasur tempat tidur masa kecilnya dulu,
papa berkata: "Anak itu tampak sangat gembira."
Lucien meminum sedikit air bunga jeruk dan menggelan"
tung di lengan baju papanya. Esok harinya, Lucien pasti
melupakan semua yang terjadi. Hanya mimpinya semalam
yang teringat: mama dan papa mengenakan rok malaikat,
16 6 ]ean-Paul Sartre Lucien duduk dengan telanjang di atas pot dan memainkan
genderang. Mama dan papa beterbangan mengelilinginya.
Itu adalah mimpi buruk baginya, tapi sebelumnya ada
sesuatu yang membuat Lucien terbangun. Ia teringat dirinya
berjalan di sebuah lorong panjang hitam yang diterangi
lampu kecil biru, mirip lampu tidur yang menerangi kamar
tidur papa dan mama. Malam tampak suram dan biru.
Sesuatu telah terjadi, sesuatu yang berwarna putih. Lucien
duduk di bawah kaki mama dan mengambil genderang dari
mamanya. Mama berkata padanya, "Mengapa kau menatapku se"
perti itu, permataku?"
Lucien menundukkan wajah dan memukul genderang
sambil menangis. "Dam... daramdam... dam?" tetapi ketika
mama memalingkan wajah padanya, Lucien diam sambil
memandang beberapa menit seakan ia baru melihatnya per"
tama kali. Rok biru dengan motif mawar dari kain telah di"
kenalnya dengan baik, wajahnya juga, meskipun tidak mirip.
Tiba"tiba, Lucien percaya jika tempat yang ada di mim"
pinya itu benar"benar ada. Seandainya ia menemukannya,
ia pasti pergi mencari di mana tempat itu berada. Lorong
suram dan abu"abu siap menelan sesuatu. Lucien takut
dan menjerit. Lorong itu menghilang: "Apa yang terjadi sa"
yangku?" Mama bertanya sambil berlutut di sebelah Lucien de"
ngan muka tenang. "Aku senang," jawab Lucien. Mama
merasa tenang, namun Lucien masih takut kalau"kalau
mama tak menyentuhnya, mama menatap aneh. Papa pun
hlasa Kauak"kanak Sang Direktur 167
begitu, Lucien berharap mereka selalu ada di sampingnya. Ia
memutuskan untuk tak lagi tidur di kamar mereka.
Hari"hari berikutnya, mama tak memperhatikannya sa"
ma sekali. Lucien seperti biasa mengenakan rok tiap hari dan
mengobrol dengan mamanya seperti laki"laki kecil. Lucien
meminta mama menceritakan dongeng "Pengawal Kecil
Merah", kemudian mama menariknya ke pangkuannya. Ma"
ma menceritakan kijang dan nenek pengawal merah, jari
telunjuknya naik, menyenangkan, dan menghibur. Lucien
memperhatikannya dan berkata: "Terus, Ma."
Tak jarang ia menggigil ketakutan dan bergelayut di
leher mamanya. Namun ia tak mengikuti dongeng itu, "Apa"
kah cerita itu benar"benar terjadi, Ma?" ketika mamanya
selesai bercerita: mungkin juga mamanya berbohong. Se"
masa kecilnya, mama menjadi seorang anak laki"laki dan
melupakan roknya persis yang dilakukan Lucien.
Di suatu sore, ia harus memakai rok agar merasa se"
bagai anak perempuan. Lucien dengan hati"hati meraba le"
ngan mama yang halus di balik sutera yang manis seperti
keju. Siapakah yang akan tahu jika mama menanggalkan
roknya dan memakai celana papa" Mungkin mama akan
memakai kumis. Lucien memegang lengan mama sekuat
tenaganya. Lucien begitu terkesan dengan perubahan mama,
menurutnya mama seperti binatang yang mengerikan atau
perempuan berjanggut di pasar raya. Mama tertawa, Lucien
merasa lidahnya memerah dan terbenam di tenggorokan:
sangat menjijikkan, ia ingin meludah karenanya. "Hahaha!"
Mama berkata: "Jadilah seperti aku, laki"laki kecilku!
16 8 ]ean-Paul Sartre Kuatlah seperti aku, mama yang kausayangi."
Esok harinya ketika mama duduk di samping Lucien dan
menyuruhnya memegang bagian atas pot, mama berkata:
"Dorong Lucien, dorong permata kecilku, doronglah."
Tiba"tiba, Lucien berhenti mendorong dan meminta
waktu untuk mengambil napas: "Tapi kau benar"benar ma"
maku, kan?" Mama berkata kepadanya: "Idiot kecil! Diminta begitu
saja tak bisa! Akan jadi apa kamu nanti?"
Mulai hari itu Lucien menyadari bahwa mama hanya
mengerjainya dan ia tak lagi berbicara dengan perempuan itu
sampai kelak ia besar dan menikah, Lucien tak tahu apakah itu
benar"benar komedi. Lucien memiliki kemampuan sebagai
pencuri, di malam gulita, mengambil papa dan mama dari
tempat tidurnya lalu menghilangkan mereka. Di sana papa
dan mama bagai di alam nyata. Di siang hari mereka berdua
memainkan peran yang berbeda dengan peran mereka di
malam hari. Lucien mendapat sedikit kejutan di malam Natal ketika


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia terjaga dan melihat kedua orangtuanya menaruh mainan
di cerobong asap. Keesokan harinya, mereka berkata bahwa
mainan itu dari Sinterklas dan Lucien sangatmempercayainya:
ia merasa dirinya sedang berperan di dalam peran mereka;
mereka berhasil memerankannya dengan baik.
Pada bulan Februari, Lucien terkena cacar air dan hal
itu begitu menyenangkannya. Ketika ia harus berperang me"
lawan penyakit itu, ia membiasakan diri bermain bersama
anak yatim"piatu. Ia duduk di tengah rerumputan di bawah
hlasa Kauak"kanak Sang Direktur 169
pohon sarangan, sambil memenuhi tangannya dengan tanah
dan berpikir: "Aku akan menjadi anak yatim"piatu yang
dipanggil Louis, aku akan berpuasa selama enam hari."
Si Germaine memanggil Lucien untuk makan siang,
dan di meja ia melanjutkan permainannya: papa dan mama
sama sekali tak menyadarinya. Setelah itu, ia disambut para
pencuri yang akan menjadikan dirinya pencopet. Setelah
makan, ia pergi membatalkan mereka. Ia makan dan sedikit
minum: ia membaca cerita "Rumah Malaikat Penjaga" yang
mengatakan bahwa makanan pertama laki"laki kelaparan
akan membuatnya ringan. Cerita itu sangat menyenangkan
karena hampir semua orang ikut bermain. Papa dan mama
bermain sebagai dirinya sendiri, mama berperan sedih karena
permata kecilnya hanya makan sedikit. Papa membaca koran
dan menggerakkan waktu detik demi detik dengan jarinya di
depan Lucien sambil berkata: "Dam... darararadam... lelaki
sejati!" Lucien juga bermain sebagai dirinya sendiri. Tetapi ia
menyelesaikannya tanpa tahu apa"apa tentang dirinya. Sebagai
anak yatim"piatu" Atau sebagai Lucien" Ia memperhatikan
tempat minum. Ada cahaya merah yang menari di dasar air,
ia melihatnya sebagai tangan papa. dan bercahava dengan
bulu kecil hitam di atas jari"jarinya. Tiba"tiba, Lucien merasa
tempat minum itu ikut bermain dalam ceritanya. Akhirnya,
ia menyentuh sedikit hidangan dan merasa bahwa dirinya
berpuasa siang hari setelah mencuri buah dan mengalami
gangguan perut. Ia merasa bahwa dirinya berperan sebagai
Lucien. 170 ]ean"Paul Sartre
Ia tak kuasa menolak, meskipun ia sudah mencoba. Ia
merasa sepanjang waktu memainkannya. Ia ingin berperan
sebagai Tuan Bouffardier yang jahat dan serius. Ketika saat"
nya makan malam Tuan Bouffardier menarik tangan mama
sambil berkata: "Semua laki"laki berharga, Nyonya!" dan
Lucien diam terpaku di tengah ruang keluarga serta mem"
perhatikannya dengan takjub. Tapi, orang yang tak datang
tak menganggap itu sesuatu yang serius.
Ketika Lucien jatuh dan kakinya benjol, ia sesekali ber"
henti menangis dan bertanya: "Apakah aku benar"benar
tidur?" Kemudian ia merasa begitu sedih, dan menangis justru
menambah kecantikannya. Ketika ia berada dalam pelukan
mama, ia berkata, "Semua laki"laki berharga."
Mama mengacak"acak rambut sambil berkata, "Tak ada
masalah, kegembiraan kecilku. Kamu tak seharusnya diejek
oleh orang"orang besar."
Kemudian Lucien merasa putus asa, ia gagal menemukan
sesuatu yang penting di jumat pertama dan ketiga tiap bulan.
Pada hari"hari tersebut nyonya"nyonya datang menjenguk
mama dan selalu ada dua atau tiga orang yang turut berduka.
Lucien menyukai nyonya"nyonya itu, apalagi jika mereka
memiliki kaki besar, Umumnya, ia merasa senang dengan
orang"orang besar, selain karena mereka harus dihormati,
juga karena mereka tak pernah membicarakan masalah tem"
pat tidur, suatu tempat yang membuat anak"anak terpaksa
menjadi laki"laki. Mereka tak dapat membayangkan bahwa
ada sesuatu di bawah. Ketika mereka berkumpul, maka
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 171
mereka pun makan, mengobrol, dan tertawa bersama mes"
kipun tetap tampak serius. Semuanya begitu indah, seperti
pada sebuah misa. Mereka memperlakukan Lucien seperti
orang dewasa. Nyonya Cauffin memangku Lucien di atas lututnya dan
ia memutar tombol agar berbunyi: "Manis kecilku, kamu
yang tercantik dari semua yang pernah kulihat."
Kemudian, ia menanyaiku dengan caranya. Ia menciumi"
ku dan bertanya, "Akan jadi apakah kamu esok hari?"
Dan, Lucien menjawab bahwa ia terkadang ingin men"
jadi jenderal besar seperti ]eane DHrc yang menguasai
Alsace"lorraine sampai Jerman. Terkadang ia juga berharap
menjadi seorang misionaris. Sepanjang pembicaraan itu, ia
percaya harapan"harapannya akan terwujud.
Nyonya Besse adalah seorang perempuan bertubuh
besar dan kuat dengan kumis tipis menghiasi bibirnya. Ia
mengangkat"angkat Lucien dan menggelitiknya sambil ber"
kata: "Boneka perempuan kecilku."
Lucien kegirangan, ia tertawa riang dan menggeliat kese"
nangan. Lucien merasa dirinya seperti boneka perempuan
kecil yang mengesankan bagi orang"orang dewasa. Ia akan
senang apabila Nyonya Besse melucuti bajunya, memandikan
dan menidurkannya di ayunan seperti bayi laki"laki yang
menggemaskan. Kadang"kadang Nyonya Besse berkata:
"Apakah kamu bisa bicara, boneka perempuan kecilku?"
Dan tiba"tiba ia memencet perut Lucien, lalu Lucien
bergetar seperti boneka mekanik, dan memekik ?"Hikl". Me"
reka terbahak. 172 ]ean"Paul Sartre
Tuan Le Cure yang datang untuk ikut makan siang
di rumah tiap Sabtu, bertanya pada Lucien apakah ia me"
nyayangi mamanya. Lucien begitu menyayangi mamanya
yang cantik dan papanya yang kuat dan baik. Lucien men"
jawab: "Tentu," sambil melirik Tuan Le Cure dengan wajah
berani sehingga membuat orang"orang tertawa.
Kepala Tuan Le Cure seperti buah prambos, merah dan
berbintik"bintik, dengan bulu pada setiap bintiknya. Ia ber"
kata pada Lucien bahwa ia merasa senang jika Lucien me"
nyayangi Mamanya. Lalu, ia bertanya pada Lucien siapakah
yang lebih disukainya, mama atau Tuhan. Lucien tak dapat
menjawab pertanyaan seperti itu dengan seketika dan ia
mulai memilin"milin rambut ikalnya serta menendang"nen"
dangkan kakinya ke ruang kosong sambil menangis: "Dam...
dararadam... dam." Orang"orang dewasa melanjutkan obrolan mereka, se"
olah"olah Lucien tak pernah ada. Lucien pindah ke kebun,
menyusup ke belakang pintu, dan menyambar tongkat kecil.
Biasanya, ia tak akan keluar dari kebun sampai ada yang
menemukannya. Lucien memang anak kecil yang sangat
sopan, tapi hari itu ia ingin melanggarnya. Dengan curiga
ia memperhatikan semak"semak jelatang yang lebat, ia me"
nemukan suatu tempat, ternbok itu menghitam.
]elatang adalah tanaman yang kejam dan menyakitkan,
seekor anjing kencing tepat di kaki semak jelatang. ]elatang
itu seperti tanaman tahi anjing dan ninuman anggur kering.
Lucien mendorong jelatang"jelatang dengan tongkatnya
sambil menangis: "Aku sayang sama mama, aku sayang sama
mama." hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 173
Ia melihat jelatang"jelatang itu patah dan terjuntai, ran"
ting"rantingnya berwarna keputihan dan bulunya berjerabai.
Lucien terisak sendirian: "Aku sayang sama mama, aku sa"
yang sama mama." Seekor lalat hijau besar berdengung, kelihatannya la"
lat kotoran. Lucien takut pada lalat itu, tercium bau bu"
suk menusuk hidung. "Aku sayang sama mama," begitu
diulangnya dengan suara aneh. Ia ketakutan sendiri pada
suara yang mengerikan itu. Lalu, ia lari ke ruang tengah.
Mulai hari itu ia yakin bahwa ia tak menyayangi mamanya.
Ia sedang tak merasa susah, ia justru ingin meningkatkan
kemurahan hatinya karena ia merasa hidupnya hanya untuk
mencintai orangtuanya. Jika tidak, ia akan menjadi anak laki"
laki yang kejam. Nyonya Fleurier melihat Lucien dengan penuh kasih
sayang. Bertepatan dengan perang yang terjadi waktu itu,
papa pergi berperang dan mama menikmati kesendiriannya.
Lucien benar"benar ingat: Siang hari, mama beristirahat di
kebun, ia duduk di kursi malas. Karena kepala mama tak
diberi alas apa pun, Lucien berlari membawakannya bantal
dan meletakkan bantal itu di kepala mama. Kemudian ia
menyelimuti kaki mamanya, tapi mama menolak sambil
tertawa: "Aku kegerahan, laki"laki kecilku. Betapa baiknya
kamu!". Lucien menciumi Mama dengan menggebu sambil
berkata: "Mamaku hanyalah untukku," dan pergi duduk di
bawah pohon sarangan. Ia berkata: "Sarangan!" dan mama mendengarnya. Tapi,
tak ada sesuatu yang terjadi, mama mendengar dari beranda.
174 ]ean"Paul Sartre
Samar"samar ditelan pintu yang diea terpaku. Itu seperti
herba kering yang siap dipermainkan oleh peneliti dalam
hutan perawan, tapi Lucien sedang tidak ingin bermain.
Udara menghembus puncak merah tembok, sinar mentari
berbayang di atas tanah dan tangan Lucien.
"Sarangan begitu memalukannya ketika Lucien ber"
kata kepada mama: "Mama cantik hanyalah untukku."
Mama meringis. Ketika mama memanggil si Germaine
dengan ucapan: "Bedil sundutI", si Germaine menangis
dan merintih"rintih kepada Mama. Tapi, ketika ia berkata:
"Saranganl", Lucien pun bergumam. "Pohon kotor, sarangan
|:) kotor, tunggu suara, tunggu sebentar dan ia menendang.
Tapi, pohon itu tetap diam, tenang, seperti sedang minum.
Ketika makan malam Lucien berkata kepada mama:
"Tahukah Mama, pohon"pohon itu peminum yang hebat?"
Pohon"pohon itu membuat lubang kecil aneh yang
sangat disenangi mama. Lucien merasa menjadi tukang
pecah barang kecil. Ia memecahkan semua mainan main"
annya untuk mengetahui bagaimana reaksi mereka. Ia
mengiris lengannya dengan alas pencukur tua milik papa,
ia menjatuhkan patung di ruang tengah untuk mengetahui
apakah mamanya memperhatikan dan berbuat sesuatu.
Saat berjalan"jalan, ia memainkan tongkatnya untuk me"
motongi tanaman dan bunga. Perbuatan itu dilakukannya tiap
kali ia kecewa. Semua itu tak berarti. Mama sering bertanya
pada Lucien tentang nama"nama bunga atau pohon: "Apa
nama tanaman itu?", tapi Lucien menggelengkan kepala dan
menjawab: "Tanaman itu sama sekali tak punya nama."
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 175
Jawaban semacam itu pastilah tak disukai, meskipun
sebelumnya kita telah memberikan perhatian. Sangat me"
nyenangkan membuat mainan dari belalang, karena belalang
menggetarkan jari"jari kita seperti gasing, ketika kita me"
nekan perutnya maka akan keluar cairan kuning. Tetapi,
meskipun begitu, belalang tak menangis. Lucien ingin sekali
menyakiti salah satu dari binatang"binatang jelek itu sampai
mereka menangis dan sakit, seekor ayam misalnya, tapi ia
tak berani memulainya. Tuan Fleurier datang kembali pada bulan Maret, karena
ada seorang jenderal yang berkata bahwa ia akan lebih
bermanfaat sebagai direktur dibanding berada di barak yang
tak berarti bagi siapa pun. Tuan Fleurier mendapati Lucien
telah berubah dan ia merasa tak mengenali lagi laki"laki
kecil terbaik itu seperti sebelumnya. Lucien mengantuk, ia
menjawab dengan malas. Ia selalu meletakkan jari di hidung
atau bersiul dan menguap. Lucien harus memohon agar
diberi uang. Sekarang, Lucien pergi sendiri ke tempat kecil,
ia hanya memerlukan hal yang sederhana yaitu membiarkan
pintu terbuka sedikit dan di waktu lain, mama atau si Ger"
maine datang menambah semangatnya. Lucien menanti
waktu untuk memasuki singgasana, namun suatu saat ia
benar"benar bosan dan mengantuk.
Dokter mengatakan bahwa Lucien tumbuh terlalu cepat
dan menganjurkan untuk memulihkannya. Mama ingin
mengajarkan permainan baru, tapi Lucien menganggap
mainan itu biasa"biasa saja dan akhirnya semua mainan itu
tak dihiraukannya, selalu begitu seperti sebelumnya. Mama
176 ]ean"Paul Sartre
sering marah karena permainan itu sangat mengasyikan.
Mama sedih, merasa susah dan mendendam. Telinga mama
tuli, mulutnya terjahit, matanva terbakar. Namun di dalamnya
Lucien justru merasa hangat dan terlindungi, merasa seperti
di bawah selimut di waktu sore sambil meresapkan aroma
tubuh mamanya. Lucien merasa sendirian di dunia, dan tak dapat mele"
paskan diri dari kemarahannya. Ketika papa mengejek atas
apa yang dilakukan Lucien dengan berkata: "Kamu marah,
ya?" Lucien berguling"guling, di tanah sambil menangis.
Bila dirasanya belum cukup, ia mendekati mamanya di
ruang tengah. Tapi sejak ia memutuskan gelang"gelang ma"
manya, orang"orang dewasa kemudian orang"orang dewasa
mengurusinya, Lucien diberi nasihat dan cerita"cerita sejarah
yang bermanfaat. Ketika sepupunya Riri bersama Tante Berthe datang ke
Feroles, karena kota tempat tinggal mereka dibombardir,
Lucien sangat senang dan berusaha mengajak Riri bermain
bersama. Riri sendiri tak begitu suka pada orang"orang
Jerman. Riri lebih masih mirip bayi meskipun usianya lebih
tua enam bulan dibanding Lucien. Hal itulah yang menodai
Figur Riri dan ia selalu tak memahaminya dengan baik.
Ada yang salah padanya, Lucien percaya bahwa Riri
biasa tidur sambil berjalan. Beberapa orang terbangun di
malam hari dan berbicara, atau berjalan sambil tidur, Lucien
pernah membacanya di Le Petit Explamfem: Riri justru ber"
pikir bahwa Lucienlah yang biasa bicara sambil berjalan di
tengah malam dan tetap saja disayangi orang tuanya. Hanya
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 177
ketika pagi hari tiba, Riri lupa dan menyatakan bahwa dirinya
bergetar melihat Lucien. Pada awalnya, Lucien tidak percaya pada sebagian cerita
itu, tapi suatu hari mereka berdua berjalan"jalan sampai tiba
di semak"semak jelatang. Riri menunjukkan pipinya pada
Lucien dan berkata: "Perhatikan, bagaimana tingginya aku,


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku adalah seorang anak laki"laki yang bertubuh tinggi.
Kelak jika sudah besar, aku menjadi laki"laki sejati dan pergi
berperang melawan orang jerman yang ada di benteng"ben"
teng." Lucien melihat Riri sangat aneh dan ingin tertawa. "Li"
hatlah aku!" kata Riri, mereka saling membandingkan diri.
Lucien lebih kecil dibanding Riri, tapi Riri curang: ia
menjinjit agar lebih tinggi. "Akulah yang paling tinggi," Riri
berkata. "Tapi aku tak berjinjit sepertimu," Lucien mencoba
menjelaskan. Ketika Riri berdiri normal lagi, ia berpikir: "Benarkah
aku berjinjit?" dan ia ingin menangis karenanya.
Mereka tidur di ranjang yang sama, dan keduanya yakin
bahwa Riri tetap terjaga di malam keesokannya. Ketika
bangun Riri mengamati Lucien dan memotong semua yang
Lucien akan katakan: "Kamu segera membangunkanku dini
hari," kata Lucien. Sore hari Lucien tertidur, dengkurannya terdengar keras
hingga membangunkan Riri. "Kurang ajar!" Riri memaki.
"Bangun kamu! Kamu seharusnya memperhatikanku
ketika aku terjaga. Biarkan aku tidur," kata Riri dengan suara
178 ]ean"Paul Sartre
keras. Lucien menggelengkan kepala dan mencubit kemeja
Riri hingga ia terus bergerak"gerak. Matanya tetap terjaga,
wajahnya menunjukkan senyum yang aneh.
Lucien membayangkan sepeda yang akan dibelikan
papanya. Ia mendengar siulan lokomotif. Tiba"tiba, pelayan
masuk dan menyibak tirai, jam 8 pagi. Lucien tak tahu
apa yang telah ia lakukan semalam. Hanya Tuhan Maha
Baik yang tahu, karena hanya Tuhanlah yang Maha Tahu.
Lucien berlutut untuk berdoa kepada Tuhan, berikhtiar agar
menjadi bijaksana, agar mama bahagia dan dapat keluar
dari segala kekacauan. Namun ia membenci Tuhan: Tuhan
lebih mengetahui tentang Lucien dibanding Lucien sendiri.
Tuhan tahu Lucien tak menyayangi mama dan papanya,
jadi haruskah Lucien menjadi bijaksana. Lucien menyentuh
minuman tak enaknya di malam hari di tempat tidur. Oh
senangnya! Tuhan tak dapat mengingat semuanya karena
begitu banyak anak kecil di dunia.
Ketika Lucien menepuk dahinya sambil berkata: "Tahi
kuda!" Tuhan lupa apa yang telah ia lihat. Lucien juga berusaha
membujuk Tuhan agar bisa menyayangi mama! Selalu ada
sudut kecil di hati Lucien yang sama sekali tak mampu
terbujuk, dan Tuhan dengan sendirinya berada di sudut
kecil itu. Dalam permasalahan itu, hanya Tuhanlah yang
menjamin. Tapi, kadang"kadang memang begitu asyik di"
perbincangkan. Ia mengumumkan dengan cepat: "Oh!
Betapa aku menyayangi Mama," dengan artikulasi yang
meyakinkan dan menatap kembali wajah mamanya. Dan,
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 179
merasa seluruhnya menunggu, mereka pikir sangat aneh.
Sangat aneh, bagaikan Tuhan yang Anda perhatikan dan
selanjutnya tiada lagi yang memikirkannya sama sekali.
Kelembutan hatinya berlanjut dengan munculnya kata"
kata yang menari di telinga Anda: mama, mama, MAMA.
Hal itu berlangsung lama. Terdengar dengan baik, seperti
saat Lucien berusaha menyeimbangkan kursi di atas dua
kaki. Tapi, seolah"olah mulai saat itu yang terucap: "Pacota,"
Tuhan Maha Baik membuatnya kembali: Ia tak pernah
tahu bahwa itu baik, dan apa yang terlihat selalu terkenang
dalam ingatannya. Tapi, Lucien membiarkan permainan
itu berlangsung walaupun membutuhkan kemauan yang
besar dan berakhir tanpa diketahui. Tuhan yang Maha Baik
memenangkan atau mengalahkannya, Lucien tak peduli lagi
dengan Tuhan sejak ia berkomunikasi pertama kali. Tuan Le
Cure selalu mengatakan bahwa Lucien adalah anak laki"laki
yang bijaksana dan saleh. Lucien mengerti dengan cepat dan
telah memiliki kenangan indah, dan kepalanya telah mengisi
buku harian. Di hari Minggu yang cerah, kabut terkoyak ketika
Lucien berjalan"jalan bersama papa di jalanan kota Paris.
Ia mengenakan kostum pelaut kecil, dan mereka bertemu
dengan buruh"buruh papa yang memberikan salam kepada
papa dan Lucien. Papa membalas semuanya, dan mereka
berkata: "Selamat pagi, Tuan Fleurier," dan juga "Selamat
pagi, tuan kecilku."
Lucien sangat senang dengan para buruh karena tubuh
mereka besar tapi berbeda satu sama lain. Lucien juga senang
180 ]ean"Paul Sartre
karena mereka memanggilnya dengan sapaan "Tuan", dan
karena mereka memakai topi pet serta memiliki jari"jari be"
sar dengan kuku"kuku pendek yang pecah"pecah serta selalu
tampak penuh derita. Mereka begitu bertanggung jawab dan
patuh. Lucien ingin menarik kumis Tuan Bouligard. Papa
menggertak Lucien. Tapi, Tuan Bouligard ingin berbicara
dengan papa. Lucien membiarkan topinya di kepala dan
papa berbicara dengan suara berat dan kasar: "Baiklah, ba"
gaimana Tuan Bouligard, anak laki"laki ini, akankah Anda
mengizinkan?" "Pada akhir bulan Tuan Fleurier, terima kasih." Tuan
Bouligard begitu gembira, ia tak memukul pantat Lucien
sambil memanggilnya "Katak", seperti yang dilakukan Tuan
Bouffardier. Lucien membenci Tuan Bouffardier, karena
perlakuannya begitu buruk, tapi ketika Lucien bertemu
Tuan Bouligard, ia begitu ingin menjadi anak yang baik.
Suatu saat, setelah kembali dari jalan"jalan, papa mengangkat
Lucien di atas lututnya, papa menerangkan bagaimana
seharusnya menjadi direktur. Lucien ingin tahu bagaimana
papa berbicara kepada para buruh ketika ia berada di pabrik,
dan papa mengangkat tubuh Lucien, suaranya berubah sama
sekali. "Akankah aku menjadi direktur juga?" tanya Lucien.
"Tentu saja, laki"laki baikku, untuk itulah aku melakukan
ini. Tentu, kelak aku akan meninggal dan kamulah yang akan
memerintah buruh"buruhku. Tapi, mereka akan meninggal
juga. Tentu juga kamu akan memerintah anak"anak mereka
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 181
dan kamu seharusnya berbuat bijaksana sehingga bisa
membuat mereka patuh dan menyukaimu."
"Jadi, apa yang harus aku lakukan agar mereka menyu"
kaiku, Papa?" Papa berpikir sebentar dan berkata: "Pertama"tama, ka"
mu harus tahu nama mereka semuanya."
Lucien merasa benar"benar terharu. Suatu saat anak
mandor Morel tiba di rumah dan memberitahukan bahwa
dua jari bapaknya telah terpotong. Lucien berbicara padanya
dengan serius dan penuh perhatian, matanya memandang
lurus, kemudian memanggil Morel. Mama berkata bahwa ia
bangga punya anak laki"laki kecil yang baik dan perasa.
Setelah itu, gencatan senjata terjadi. Setiap sore papa
membaca koran dengan suara keras. Semua bercerita ten"
tang Rusia, pemerintahan Jerman, dan rampasan perang,
lalu papa menunjukkan peta negara pada Lucien. Tahun
ini Lucien merasa begitu bosan dengan hidupnya. Ia lebih
menyukai saat"saat perang berkecamuk. Sekarang, semua
orang berpangku tangan. Sinar mata Nyonya Coffin yang
letih tak lagi bercahaya. Di bulan Oktober 1919. Nyonya
Fleurier memasukkan Lucien ke sekolah dasar Saint"Joseph
yang tanpa asrama. Ruang Abbe Gerromet terasa panas. Lucien berdiri
di sebelah kursi Pak Abbe. Ia meletakkan tangannya di
punggung dan sikapnya tampak begitu membosankan.
"Apakah Mama tak tahu apa yang sedang terjadi?". Tapi,
Nyonya Fleurier tak berpikir untuk beranjak. Ia duduk di
ujung kursi hijau dan dadanya naik"turun menghadapi Pak
182 ]ean"Paul Sartre
Abbe: ia bicara dengan keras dan suaranya seperti marah.
Namun, ia tak mau menunjukkan sikapnya itu pada Lucien.
Pak Abbe berbicara dengan pelan, kata"katanya begitu
panjang seperti omongan orang banyak. Ia bicara seperti
sedang mengulum permen, sebelum mengizinkan pergi.
Pak Abbe menjelaskan pada mama bahwa Lucien adalah
anak laki"laki yang baik, sopan, dan rajin, serta berbeda
dengan yang lain. Nyonya F leurier berbicara bahwa ia putus
asa karena ia pikir akan ada perubahan pada diri Lucien.
Akhir"akhir ini Nyonya Fleurier meminta izin agar Lucien
diperbolehkan bermain, paling tidak waktu istirahat.
"Sayang, Bu!" jawab Pak Guru, "Permainan apa pun
tidak menarik perhatiannya. Ia kadang"kadang tak bisa diam
dan Bering juga banyak terdiam. Yang jelas, ia cepat sekali
bosan. Saya yakin Lucien kehilangan keteguhannya."
Lucien berpikir: "Mereka pasti sedang membicarakan
aku." Dua orang dewasa itu berbicara tentang masalah ini
bagaikan bicara soal perang, soal pemerintahan Jerman
atau soal Tuan Poincare. Wajah mereka sangat serius dan
memberikan alasan"alasan atas masalah yang dibicarakannya.
Tapi, semua itu sama sekali tak membuat Lucien senang.
Ia membayangkan mama sedang bicara dengan kata"kata
singkat, sementara Pak Abbe bicara dengan kata" kata tajam
dan menjengkelkan. Lucien ingin menangis. Untungnya, lonceng berbunyi
tanda waktu istirahat telah tiba. Tapi, selama kelas geografi
ia sangat kalut dan meminta izin kepada Pak Abbe untuk ke
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 183
toilet, karena ia butuh sedikit menggerakkan tubuh.
Kesegaran, kesendirian, dan bau toilet membuatnya
tenang. Lucien duduk berjongkok menenangkan diri tapi
tak dilanjutkannya. Ia menegakkan kepala dan membaca
coretan"coretan di pintu yang tertutup. Mereka telah menulis
dengan krayon biru: "Barataud adalah kutu busuk!"
Lucien tersenyum. Benar, Barataud adalah kutu busuk.
Lucien yang tahu Barataud bertubuh pendek lalu berkata:
"Akankah ia bertambah tinggi sedikit saja, karena papanya
begitu pendek bagai orang kerdil."
Lucien bertanya pada diri sendiri akankah Barataud
membaca coretan ini dan ia berpikir bahwa suatu saat
Barataud akan menghapusnya. Barataud akan mengisap
jarinya dan menggosok huruf"huruf itu sampai hilang.
Lucien membayangkan Barataud pada pukul 4 pergi ke toilet,
menurunkan celana beludru kecilnya sambil membaca:
"Barataud adalah kutu busuk".
Mungkin tak pernah terlintas dalam pikiran Barataud
bahwa tubuhnya pendek. Lucien berjanji akan memanggil
Barataud si kutu busuk, esok hari di saat istirahat. Lucien
bangkit menuju dinding, ia membuat coretan lain: "Laden
Flewz'er eri une grande mpew/ye".
Ia segera menyingkir dengan hati"hati dari toilet dan
kembali ke kelas. "Tak ada masalah," pikirnya sambil mem"
perhatikan teman"temannya, "Mereka lebih kecil dari aku,"
dan ia merasa canggung. Grande Asperche sedang duduk di kantor kecilnya sam"
bil minum z'ley. Ada si Germaine di dapur, sementara mama
184 ]ean"Paul Sartre
belum kembali. Lucien menulis "bertubuh jangkung" di
atas kertas putih. Kata"kata yang disusunnya tampak begitu
hebat namun justru membuatnya tanpa kesan. Ia berteriak:
"Germaine, Germaine terbaikku! Apa yang kamu inginkan?"
"Germaine, aku ingin kau menuliskan ini di atas kertas:
Lucien Fleurier bertubuh jangkung."
"Kamu gila, Lucien?"
Lucien merangkul si Germaine, "Germaine, Germaine
kecilku, cobalah bijaksana." Si Germaine tertawa dan mem"
bersihkan jari"jarinya dengan celemek. Sewaktu si Germaine
menulis, Lucien tak memperhatikannya, tapi kemudian ia
menyambar kertas itu. Di kamarnya, Lucien memandangi
kertas itu lama sekali. Tulisan si Germaine lancip, Lucien merasa mendengar
suara serak yang, mengiang di telinganya: "bertubuh jang"
kung." Lucien merasa: "Tubuhku jangkung", ia melumatkan
aibnya: "tinggi bagai Barataud kecil", dan yang lainnya ter"
tawa mengejek di belakangnya. Bagai telah ditentukan na"
sibnya, sejak itu ia kelihatan wajar di tengah teman"temannya
yang bertubuh tinggi maupun pendek.
Ia merasa dirinya patut dihukum selama hidupnya, ka"
rena merasa tinggi. Lucien bertanya pada papanya, bisakah
dengan berbagai cara tubuhnya mengecil ketika ia meng"
inginkannya. Tuan Fleurier berkata, "Tidak, semua Fleurier
bertubuh jangkung, dan kuat."
Dan, Lucien sampai saat ini belum tumbuh besar. Lu"
cien kecewa ketika mama menyelimutinya, ia bangkit dan
berkaca di depan cermin. "Tubuhku jangkung."
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 185
Tapi, meskipun berkaca namun tetap saja tak tampak
perubahan pada tubuhnya. Ia tak tampak tinggi maupun
pendek. Ia sedikit menaikkan kemejanya dan memandang
kakinya, lalu ia membayangkan Costil berbicara pada
Hebard: "Hei, perhatikan kaki"kaki panjang si jangkung."
Dan itu membuatnya kelihatan aneh. Ia merasa dingin,
Lucien menggigil dan seseorang berkata: "Si jangkung de"
ngan kaki ayam." Lucien menaikkan ujung kemejanya tinggi"tinggi, me"
reka berputar"putar di sekitar Lucien dan di sekitar tempat
kerjanya. Lalu ia berlari dan menyusup ke tempat tidurnya.
Ketika ia memasukkan lengannya ke dalam kemeja, ia ber"
pikir bahwa Costil menghampirinya dan berbicara: "Per"
hatikan sebentar, apa yang telah Mama kerjakan, bocah
jangkung!" Laki"laki itu mondar"mandir, lalu berhenti di tempat
tidurnya sambil bersiul, "Si jangkung! Si jangkungl". Mulai
saat itu Lucien merasakan jari"jarinya sangat gatal.
Hari berikutnya, ia meminta izin kepada Pak Abbe
untuk dapat duduk di belakang. Ia ingin pindah karena
Boisset, Winckelmann, dan Costil yang berada di belakang
tempat duduknya dapat melihat tengkuknya. Lucien mera"
sakan tengkuknya, tapi ia tak dapat melihatnya dan selalu
berusaha melupakan tengkuknya. Namun ketika ia men"


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab pertanyaan Pak Abbe dan ketika ia menuturkan sajak"
sajak Don Diegue, anak"anak lain yang berada di belakang
memperhatikan tengkuknya. Mereka tertawa kecil dan ber"
pikir: "Oh kurus sekali. Lihat, ada dua tali di lehernya."
186 ]ean"Paul Sartre
Lucien berusaha meninggikan suaranya dan mene"
rangkan kenistaan Don Diegue. Lewat suaranya itu, ia merasa
berbuat sesuai dengan keinginannya. Tapi, tengkuk itu selalu
berada di sana, tenang dan tanpa ekspresi, seperti seseorang
yang beristirahat, dan Basset melihatnya. Lucien tak berani
berpindah tempat, karena bangku belakang telah dipesan
oleh anak"anak bodoh dan malas. Sementara tengkuk dan
punggungnya selalu gatal, dan ia harus menggaruk tanpa
henti. Lucien menemukan permainan baru, yaitu di pagi
hari ketika ia diam sendirian di tempat cuci tangan, seperti
orang dewasa. Ia membayangkan seseorang mengintip me"
lalui lubang kunci, mungkin Costil, Tuan Bouligard, atau
si Germaine. Lalu, ia berputar agar mereka dapat melihat
seluruh badannya di depan mata mereka. Ia juga memutar
punggungnya di depan pintu dan membuat empat gerakan
untuk mengejutkan dan menunjukkan kekonyolan mereka.
Tuan Bouffardier menghampiri anaknya untuk memberikan
handuk. Suatu hari, di tempat sepi ia mendengar suara berderak.
Itu adalah Gertrude yang menggosokkan semir kayu ke lawyer.
Jantungnya berhenti berdebar, ia membuka pintu dengan
perlahan"lahan dan keluar, celana kulot menggantung di atas
tumitnya, kemejanya melorot sampai pinggul. Ia harus me"
lompat kecil untuk berjalan tanpa kehilangan keseimbangan.
Si Germaine menatapnya dengan mata tenang, "Apakah
Anda membuat ruang di dalam tas?" tanya perempuan itu.
Lucien menaikkan celananya dengan sengit dan berlari
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 187
menjatuhkan diri ke tempat tidur. Nyonya Fleurier kecewa,
ia sering berbicara kepada suaminya: "Ia lemah gemulai
seperti waktu kecil, perhatikan bagaimana wajahnya yang
canggung, bukankah itu malapetaka!"
Tuan Fleurier berlutut, memperhatikan Lucien dan
menjawab: "Ini hanya soal umur!"
Lucien tidak tahu ada apa dengan badannya. Apa pun
yang ia lakukan, badannya terkesan selalu tumbuh setiap
waktu tanpa mengikuti kehendak papanya. Lucien puas
membayangkan dirinya tak terlihat, ia akan membiasakan
diri mengintip melalui lubang kunci untuk membalas
dendam dan untuk mengetahui apa yang mereka lakukan
tanpa diketahuinya. Lucien mengintip mamanya ketika mandi. Mama duduk
di toilet, ia terlena dan benar"benar lupa dengan badan
maupun wajahnya, karena ia merasa tak akan ada orang yang
melihat. Spon digosokkan berulang"ulang, mama terduduk
di atas kursi. Ia bergerak dengan malas dan terkesan bagaikan
seseorang yang akan menghentikan arus lalu"lintas di jalan.
Mama menggosok kain pencuci piring dengan sebagian
sabun dan jari"jarinya tak terlihat karena terhalang kedua
kakinya. Wajahnya tampak tenang, hampir menyedihkan.
Mama pasti memikirkan hal yang lain, mengenai pendidikan
Lucien atau soal Tuan Pbincare. Tapi, selama itu pula ia
bagaikan palu godam besar. Badannya terpuruk di atas
tembikar penutup toilet. Lucien mengangkat sepatu dan memanjat sampai atap.
Ia melihat si Germaine. Perempuan itu memakai kemeja
188 ]ean"Paul Sartre
hijau panjang sampai kaki. Ia menyisir di depan cermin kecil
bulat dan tersenyum tanpa gairah dengan bayangannya.
Lucien tertawa terbahak"bahak dan turun kembali dengan
tergesa"gesa. Setelah itu ia tersenyum dan menyeringai di
depan meja rias. Di akhir waktu, ia takut akan hal"hal yang
mengerikan. Tiba"tiba Lucien terbangun, tapi tak ada orang yang
menyambutnya kecuali Nyonya Coffin yang telah mem"
bangunkannya dari tidur. Sebuah bulatan besar udara yang
tak dapat diapa"apakan, untuk direguk maupun disemburkan,
selalu menghampirinya lewat mulut yang terbuka: Lucien
menguap. Ketika sendirian, uapannya membesar, terpuruk
perlahan di rongga mulut dan lidah, mulutnya terbuka
lebar dan air matanya menetes di pipi. Inilah saat"saat yang
mengasyikkan. Ia sama sekali tidak senang, meskipun berada
di tempat cuci tangan, namun sebaliknya ia suka sekali
dengan bersin. Bersin membangunkannya dan secepat kilat
ia memperhatikan sekeliling dengan riang gembira, lalu
ia terlena lagi. Ia belajar mengenal berbagai macam rasa
kantuk: musim dingin ia mencoba tidur di perapian dan
mendekatkan kepalanya di depan api. Ketika kepala itu
memerah dan matang, setelah menghabiskan minum sekali
tenggak, Lucien menyebutnya "tertidur melalui kepala".
Hari Minggu pagi, ia rasakan kantuk merambat melalui
kaki. Ia masuk ke kamar mandi, turun pelan"pelan, dan
rasa kantuk itu naik sepanjang kaki dari sisi badannya yang
masih bermain air. Bagian bawah badannya tertidur, semua
tampak putih, dan menggelembung di dasar air. Dan, se"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 189
telah wajahnya jadi seperti daging ayam rebus, kepala
kecil pirangnya tampak sombong. Sedikit kata"kata keluar,
mantra, mantri, mantru, jadilah, jadi. Di kelas rasa kantuk
putih itu seperti terang menyilaukan: "Apakah Anda mau
membagi kantuk menjadi tiga?"
Pertama: Lucien Fleurier, bagaimana membaginya
menjadi tiga: biasa, pertama: Lucien, kedua W'inckelmann.
Pellereau harus mengerjakan soal"soal aljabar pertama kali.
Ia tidak memiliki buah zakar, yang lain tak mempercayainya:
Pellereau menarik bayaran pada mereka yang sangsi kalau
ia memang tak punya buah zakar. Dua sen untuk melihat,
dan sepuluh sen untuk menyentuh. Lucien membayar
sepuluh sen, ia ragu"ragu untuk memasukkan tangannya
dan memutuskan untuk tidak menyentuhnya, tapi ia sangat
kecewa karena membutuhkan satu jam untuk terbangun.
Lucien kurang pintar dalam pelajaran geologi diban"
dingkan sejarah. Pertama: Winckelmann, kedua Fleurerier.
Di hari Minggu, Lucien bersepeda bersama Costill dan
Winckelmann, melewati desa"desa yang panas menyengat.
Sepeda"sepeda itu tergelincir di atas debu halus, kaki"kaki
Lucien kuat dan berotot, tapi kantuk menyerangnya. Jalan"
jalan menanjak setinggi kepala, ia membungkuk di atas stang,
matanya memerah dan tertutup setengah. Ia memperoleh
tiga penghargaan. Mereka telah memberinya Fabia/a ou
Ltglzlre der mmmwbey, Le Genie du Cbiinfz'am'me, dan La lie du
Cardinal Lazzzlgm'e. Costill pulang dari liburan panjang dan
membawakan mereka de Profondz'f Mmpz'onz'bm serta Lizzfz'l/ear
de Metz,. 190 ]ean"Paul Sartre
Lucien memutuskan untuk berbuat yang terbaik dan
menanyakan artikel mengenai uterus kepada papanya, lalu
papa menjelaskan keadaan perempuan. Ia juga memberikan
sketsa di atas meja dan Costill berkata bahwa itu menjijikkan.
Namun mereka kemudian tak dapat mendengar penjelasan
itu tanpa tertawa dan Lucien merasa puas, mereka tak akan
menemukan siswa kedua di seluruh Prancis dan retorika
yang diketahui mungkin sama baiknya dengan organ pe"
rempuan yang dikenalnya. Ketika Lucien tinggal di Paris,
kota itu terlalu mengkilat seperti magnesium. Lucien tak
dapat tidur karena gangguan Film"Film, mobil, dan jalanan.
Ia belajar membedakan tetangga satu persatu: Packard,
Hispano Suiza, Rols. Kalau ada waktu, ia mengobrol dengan
mereka tentang mobil"mobil. Sejak satu tahun lalu, ia me"
makai celana panjang untuk menghargai kesuksesannya naik
kelas di SMA. Papa mengirimnya ke Inggris, di sana Lucien
melihat padang rumput lebat dan tebing karang putih. Ia
bertarung tinju dengan John Latimer hingga lengannya
ngilu. Di pagi hari yang indah, ia bangun dari tidur. Ia men"
dapatkan hadiah: ia kembali mendapat kenikmatan kan"
tuknya seperti saat masih di Paris. Kelas matematika dasar
Condorcet diikuti tiga puluh tujuh siswa. Delapan di anta"
ranya berkata bahwa mereka sudah tahu semuanya dan
mengajak siswa"siswa lain mengejek Lucien.
Pada 1 November, hari raya Kristen, Lucien berjalan"
jalan dengan Gary, salah satu siswa pintar di kelas. Dan ia
membuktikan dengan sembarangan pengetahuannya ten"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 191
tang anatomi secara mendetail. Gary terpesona olehnya.
Lucien tidak masuk perkumpulan anak"anak karena orang
tuanya tak mengizinkannya keluar malam. Tapi ia selalu
akrab dengan mereka. Hari Kamis, Tante Berthe datang makan siang di Rue
Raynouard dengan Riri. Perempuan itu makin gemuk dan
menyedihkan. Ia selalu menghabiskan waktunya dengan
keluhan, meskipun begitu kulitnya masih sangat bagus
dan putih sekali, Lucien akan senang melihat tantenya
telanjang. Ia berkhayal di tempat tidurnya: hari itu musim
dingin, minum bir di hutan kecil, semuanya bertelanjang,
lengannya menyilang di dada, ia kedinginan di atas kursi. Ia
membayangkan seorang buta lewat menyentuh dada tante
dan berkata: "Hei, apa ini?"
Lucien tak memperhatikan sepupunya: Riri menjadi laki"
laki muda ganteng dan elegan. Ia belajar filsafat di Lakanal
dan lama sekali tak paham matematika. Lucien tak habis
pikir tentang Riri, waktu tujuh tahun telah membuatnya
makin besar dengan kulotnya. Lalu, ia berjalan dengan kaki
renggang seperti bebek. Dan, ia memandang mamanya dengan mata yang tulus
sambil berkata: "Tapi, tidak Mama, aku tak melakukannya,
aku bersumpah." Dan, ia merasa jijik untuk menyentuh jari"
jari Riri. Meskipun begitu, Lucien masih ramah padanya dan
ia menerangkan pelajaran"pelajarannya di kelas matematika.
Namun ia sering kehilangan kesabarannya, karena Riri tak
terlalu pintar. Ia mencoba menghindari hal itu dan berusaha
untuk selalu mununjukkannya lewat suara yang tenang dan
kalem. 192 ]ean"Paul Sartre
Nyonya Fleurier menganggap Lucien pandai memilih
cara yang tepat, namun Tante Berthe tak menampakkan rasa
terima kasih padanya. Ketika Lucien menawarkan pelajaran
tambahan bagi Riri, wajah Tante Berthe memerah dan
blingsatan di atas kursi sambil berkata: "Tidak usah, kamu
sangat baik, Lucien kecilku, tapi Riri anak laki"laki yang
sangat besar. Ia mampu kalau ia mau, ia tak harus terbiasa
menghitung seperti yang lainnya."
Suatu sore, Nyonya Fleurier tiba"tiba berkata kepada
Lucien: "Kamu percaya, mungkinkah Riri akan mengakui
segala yang kamu lakukan untuknya" Nah, jangan sampai
keliru, laki"laki kecilku, ia merasa kamu sombong, Tante
Berthe yang memberitahuku."
Mama berbicara dengan halus dan wajah yang ramah,
Lucien paham bahwa mama sedang marah. Ia merasa
ada intrik rahasia dan tak tahu bagaimana menjawabnya.
Keesokan hari, dan hari"hari selanjutnya, ia lebih banyak
belajar dan semua cerita ini memberikannya semangat.
Minggu pagi, ia tiba"tiba menaruh pulpennya dan ber"
tanya: "Apakah aku sombong?"
Waktu menunjukan pukul 11, Lucien duduk di kamar
kerjanya memperhatikan gambar"gambar mawar di tirai
yang melapisi dinding. Ia merasa pipi kirinya kering diliputi
debu dari sinar matahari pertama bulan April. Dan, pipi
kanan atasnya tebal seperti pintu panas radiator. "Apakah
aku sombong?" Suatu pertanyaan yang susah untuk dijawab. Lucien
berusaha mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 193
Riri dan memutuskan untuk menunjukkan kebiasaannya
bersikap adil. Ia meladeni Riri dan tertawa sambil berkata:
"Kamu paham" Jika kamu tak paham, Riri tuaku, kamu tak
usah takut mengatakannya. Kita mulai lagi dari awal."
Tak lama kemudian ia melakukan kesalahan karena
mengeluarkan gagasan yang tak memuaskan. Ia berkata
dengan riang: "Giliranku." Itu adalah kata"kata Tuan Fleu"
rier yang paling disenanginya. Ia tak melakukan apa"apa
selain menghempaskan seekor kucing: "Tapi, apakah aku
sombong, selagi aku berkata begitu?". Terus"menerus men"
cari, tiba"tiba muncul sesuatu yang berwarna putih, bulat,
lembut seperti sejumput awan.
Suatu hari, ia merasa sedang berkata: "Kamu paham?".
Hanya itulah yang terngiang di kepalanya, tapi tak mampu
tergambarkan. Lucien susah payah berusaha memperhatikan
selarik awan dan ia merasa tiba"tiba jatuh di dalamnya,
pertama: kepalanya. Ia menemukan setitik uap dan dirinya
sendiri berubah menjadi uap, ia tidak lagi merasa panas dan
lembab bagaikan kain pel. Ia ingin mengatur uap itu dan
menariknya mundur, tapi uap itu datang bersamanya.
Ia berpikir: "Akulah Lucien Fleurier, aku berada di
kamarku, aku mempunyai masalah Fisik, ini hari Minggu."
Tapi pikiran"pikirannya laksana buku harian, putih di atas
putih. Ia bangkit dari kemalasannya dan mulai menceritakan
tokoh"tokoh dari La Cf'ezfame, tentang dua gadis gembala,
dua gembala dan cinta, lalu tiba"tiba ia bicara sendiri: "Aku,
apakah aku..." dan suara klik keras berbunyi: ia terbangun
dari tidurnya yang panjang.
194 ]ean"Paul Sartre
Hal itu sangat tidak nyaman: gembala"gembala itu me"
lompat di belakang Lucien, seolah"olah melihatnya melalui
teropong. Suatu tempat yang begitu menakjubkan, nyaman,
dan tenggelam dalam berahi. Kesadaran hati berkurang,
sekarang timbul kebingungan kecil yang sangat meng"
gugahnya untuk bertanya pada diri sendiri: "Siapakah aku?"
"Siapakah aku?". Kulihat kantor, kulihat buku tulis. Na"
maku Lucien Fleurier tapi itu hanyalah sebuah nama. Aku
sombong, aku tidak sombong. Aku tak tahu, itu tiada artinya.
"Aku murid yang pintar. Tidak, itu hanyalah sandiwara:
seorang murid pintar senang belajar, sedangkan aku tidak.
Nilai"nilaiku bagus, tapi aku tak suka belajar. Aku sangat


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membenci itu, membuatku gila, semua membuatku gila.
Aku tak akan menjadi direktur."
Ia was"was: "Tapi, akan jadi apakah aku esok?"
Waktu berlalu, ia menggaruk pipi dan mengedipkan
mata kirinya karena sinar mentari yang menyilaukan: "Apa"
kah aku, aku?" Ada kabut tipis, berputar"putar, tak tentu arah. "& u!"
Ia menatap jauh, kata itu terngiang di kepalanya, lalu
mungkin kita hanya bisa menerka sesuatu seperti puncak
gelap sebuah piramida di kejauhan dimana lereng"lerengnya
tak terlihat karena tertutup kabut. Lucien menggigil dan
jari"jarinya gemetaran: "Seperti itulah! Aku yakin, aku tak
pernah ada." Selama bulan"bulan selanjutnya, Lucien sering berusaha
untuk kembali tidur tapi tak pernah berhasil: ia hanya tidur
secara teratur tiap jam 9 malam, dan pada setiap sisa waktu
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 195
lainnya. Ia semakin bingung: orang tuanya berkata bahwa ia
tidak pernah memakai pakaian yang cocok. Saat itu ia sampai
berpikir bahwa dirinva tak akan mampu menjadi direktur.
Malam begitu romantis dan ia ingin berjalan di bawah
rembulan, tapi orang tuanya belum mengizinkannya keluar
di malam hari. Lalu, ia sering menyusup ke tempat tidur dan
mengukur temperaturnya: termometer menunjukkan 37"5
sampai 37"6 dan Lucien berpikir dengan kepahitan yang
menyenangkan. Orang tuanya menemukan dirinya dengan raut mu"
ka cerah. "Aku tak pernah ada." Ia menutup mata dan
membiarkan hal itu berlalu. Keberadaan adalah sebuah
ilusi, karena kutahu bahwa aku tak pernah ada, aku hanya
menutup telingaku, tak memikirkannya sama sekali dan aku
akan sirna. Tapi, ilusi ini tak lekas hilang. Paling tidak seperti
laki"laki lain yang sangat kuat memegang rahasia. Gary,
misalnya, jauh lebih tak pernah ada dibandingkan Lucien.
Tapi, ia puas melihat laki"laki itu mendengus resah di tengah
para pengagumnya. Kemudian, mereka mengerti bahwa
ia percaya keberadaannya memang kuat dan keras seperti
besi. Tuan Fleurier tidak ada sama sekali, begitu juga Riri
maupun orang lain. Dunia adalah suatu panggung komedi
tanpa pemain. Lucien yang mendapat nilai 15 untuk karya tulisnya ten"
tang "Moral dan Ilmu Pengetahuan" berpikir untuk menulis
makalah tentang ketiadaan dan ia berimajinasi bahwa orang"
orang yang membaca karya tulisnya akan menyerapnya
satu per satu, seperti vampir di kala fajar. Sebelum mulai
196 ]ean"Paul Sartre
menulis makalahnya, ia meminta nasihat dari Babouin, guru
Filsafatnya. "Maaf, Pak," kata Lucien di akhir jam kuliah, "dapatkah
aku mengangkat tema tentang keberadaan kita?"
Babouin berkata: "Tidak. Goghita mengatakan tentang
efga waw. Anda ada karena tak yakin akan keberadaan Anda."
Lucien tak yakin dan ia membatalkan rencananya untuk
menulis pemikirannya itu. Pada bulan Juli, diam"diam ia ber"
hasil lulus dari program Matematika di SMA dan berangkat
ke Ferolles bersama orang tuanya. Kebingungan tak lagi
menggelayutinya, hal itu seperti keinginan untuk bersin.
Tuan Bouligard meninggal dunia, kehidupan para bu"
ruh Tuan Fleurier berubah. Mereka mendapat gaji yang
tinggi. Istri"istri mereka membeli .ttaikz'ag sutra. Nyonya
Bouffardier bercerita panjang lebar pada Nyonya Fleurier:
"Pembantu terbaikku menceritakan bahwa perempuan"pe"
rempuan itu pergi ke rumah tukang panggang Ansiaume,
yang anak perempuannya adalah buruh terbaik suamimu
dan kita benar"benar mengurusinya dengan baik ketika
ibunya meninggal. Perempuan itu dinikahi seorang operator
mesin perusahaan Beaupertuis. Dan, ia memesan seekor
ayam seharga 20 Franc! Sombong! Itu tak cukup baik bagi
mereka. Mereka ingin memiliki apa yang telah kita miliki."
Suatu saat Lucien bertemu anak laki"laki Bouligard yang
tak mau lagi mengenainya sehingga membuatnya sedikit
senewen: ini perusahaan yang akan kupimpin. Laksana elang,
Lucien memandang ]ulles Boulligard dan ia meletakkan jari"
jarinya di belakang punggung. Tapi Bouligard tidak gentar,
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 197
ia berbalik di depan Lucien dengan mata membelalak dan
berpapasan sambil bersiul. "Ia tak mau mengenalku lagi,"
Lucien berkata pada dirinya sendiri. Namun itu tak terlalu
mengecewakannya, hari"hari berlalu dan ia berpikir bahwa
dunia tak pernah ada. Revolver kecil Nyonya Fleurier tersimpan di laci kiri
bufet. Suaminya memberikan revolver itu di bulan September
1914 sebagai hadiah sebelum berangkat ke medan perang.
Lucien menemukan revolver itu dan memutar"mutarkannya
di antara jari"jarinya, lama sekali: revolver ini adalah sebuah
aksesoris kecil dengan laras bersepuh emas dan gagang
besi yang berkilat. Mereka tak dapat menimbang"nimbang
makalah filsafat untuk menyadarkan orang"orang bahwa
mereka tak ada. Kegagalan ini adalah satu babak drama, babak yangbenar"
benar penuh keputusasaan yang melenyapkan keberadaan
mereka dan mengangkat sedikit sinar ketakberadaan dunia.
Satu tanda, tubuh muda berdarah di atas karpet, beberapa
kata tercoret di atas daun: "Aku bunuh diri karena aku
tak ada. Begitu juga kalian, saudara"saudaraku. Kalian tak
pernah ada!" Orang"orang membaca beritanya di koran pagi, kepala
mereka terasa pecah: "Anak muda nekatl". Setiap orang
merasakan adanya masalah buruk dan bertanya pada dirinya
sendiri: "Dan aku" Apakah aku ada?"
Peristiwa itu menjadi sejarah, mereka mengenalinya
dengan nama Werther sang pelopor epidemi bunuh diri.
Lucien berpikir bahwa "martir" di Yunani dapat pula
198 ]ean"Paul Sartre
disebut sebagai "saksi". Lucien terlalu perasa untuk men"
jadi pemimpin tetapi tidak untuk menjadi seorang martir.
Kemudian, ia sering masuk ke ruangan mamanya, meng"
amati revolver yang tersimpan, dan ia memasuki masa se"
karat. Waktunya tiba, jarinya segera memicu pelatuk laras
emas. Ia sangat gembira karena merasa seperti pemimpin
yang benar"benar selalu ingin bunuh diri. Misalnya, Napo"
leon. Lucien tak menyangkal bahwa ia putus asa, tapi ia
berharap dapat keluar dari krisis ini dengan jiwa tertempa.
Ia membaca dengan senang memoar Sainte"Helene. Ia me"
mutuskan satu tujuan. Lucien menetapkan 30 September
sebagai batas waktu ultimatum untuk keraguannya.
Hari"hari selanjutnya berlangsung penuh dengan beban:
sudah tentu, krisis penyebabnya. Tapi, krisis pula yang
mengharuskan Lucien menghadapi tekanan itu dan meng"
hancurkannya seperti gelas. Lucien tak berani menyentuh
revolver, ia senang bisa membuka laci. Ia sedikit mengangkat
posisi revolver mamanya dan mengamati dengan seksama
monster kecil dingin itu, kepala batu yang memejal kosong
terisi dengan sutra merah.
Meskipun begitu, ia tetap menerima kehidupannya, ia
menyadari hidup penuh kekecewaan dan melihat bahwa
semua orang berpangku tangan. Untungnya, berbagai kege"
lisahan tentang pulihnya krisis mulai terserap: orang tuanya
mengirim Lucien ke sekolah Saint"Louis untuk mengikuti
pelajaran persiapan memasuki sekolah tinggi pusat. Ia me"
ngenakan topi pet yang bagus dengan pinggiran sebaai
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 199
sebuah tanda dan bernyanyi:
Pistan/a/yyang meyakinkan menn-merz'n...
Pirtoa/abjaag menjalankan mahiLmabz'L.
Hakikat tentang "piston" mengisi kekosongan hati
Lucien dengan bangga. Kelasnya tidak seperti kelas"kelas
yang lain, kelas ini memiliki sebuah tradisi sebuah upacara:
ada satu keharusan. Misalnya, ada waktu seperempat jam
sebelum pelajaran Bahasa Prancis berakhir untuk bertanya:
"Apakah Cyrad?" dan semua menjawab dengan pelan:
"Orang tolol!".
Suara lain bertanya: "Apakah agro?" dan jawaban pun
muncul lebih keras: "Orang tolol!"
Pak Bethune yang buta dan mengenakan kacamata
hitam berkata penuh kelelahan: "Terima kasih, tuan"tuan!"
Untuk beberapa menit keadaan lebih tenang dan murid"
murid memperhatikan dengan senyum kepintaran, lalu sese"
orang berteriak: "Apakah pistonP", dan mereka berteriak
bersama: "Sesuatu yang luar biasa!"
Situasi waktu itu membuat semangat Lucien terbakar. Di
petang hari, ia bercerita panjang lebar kepada orang tuanya
tentang insiden"insiden yang terjadi dan ketika ia berkata:
"Lalu, semua penghuni kelas tertawa."; atau, "Semua
penghuni kelas telah memutuskan untuk mengkarantina
Meyrinez," kata"kata itu menghangatkan tenggorokannya
seperti seteguk alkohol. Bulan"bulan pertama pelajaran cukup menyitawaktunya:
Lucien merindukan komposisi matematika dan fisikanya, in"
200 ]ean"Paul Sartre
dividualistis, teman"teman yang tak simpatik, ada beasiswa
bagi murid yang benar"benar pintar dan tak mampu. "Tak
satu pun dari mereka mau menjadi temanku," kata Lucien
kepada papanya. Murid"murid penerima beasiswa itu menolak Tuan
Fleurier, mereka mirip kaum intelektual elite yang meskipun
dipimpin oleh pemimpin yang buruk namun mereka mam"
pu melewati satu tahap dengan baik. Mendengar kata"kata
"pemimpin yang buruk", Lucien merasa agak tak enak hati
dan berpikir untuk bunuh diri setelah beberapa minggu
berlalu, namun ia masih antusias untuk berlibur bersama
mereka. Di bulan Januari, ada murid baru bernama Berliac. Ia
menghebohkan kelas: ia memakai setelan jas model terbaru
yang dan berwarna hijau atau ungu, kerah kecil bundar, serta
celana panjang buatan penjahit terkenal yang bisa mengubah
celana kita jika ukurannya kekecilan. Ia langsung berada di
peringkat terendah di kelas matematika.
"Aku gila," katanya, "aku pembelajar sastra, aku meng"
hadapi matematika bagaikan menghadapi kematian."
Di penghujung bulan, Berliac memikat perhatian semua
orang: ia membagikan rokok luar negeri dan bercerita
bahwa ia punya teman"teman perempuan"perempuan yang
dapat kami kirimi surat. Seluruh kelas memutuskan'bahwa ia
adalah orang yang menarik dan kami mengajaknya berdamai.
Lucien sangat mengagumi sikap dan cara"caranya yang
elegan, tapi Berliac justru memperlakukan Lucien dengan
angkuh dan memanggilnya "anak orang kaya".
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 201
Setelah beberapa lama, suatu hari Lucien berkata, "Lebih
baik kamu panggil aku anak miskin." Berliac tersenyum dan
berkata, "Kamu si kecil tak tahu diri!"
Keesokan harinya, Berliac membacakan Lucien bebe"
rapa puisi: "Carusso menelan dengan mata nanar setiap
sore, sedikit demi sedikit seperti onta. Seorang perempuan
membawa buket cinderamata keluarganya dan me"
lemparkannya ke atas panggung. Setiap orang tertunduk de"
ngan cerita itu. Tapi, jangan lupa bahwa waktu kejayaannya
hanya berlangsung dalam 37 menit: tepat sejak tepuk tangan
pertama sampai padamnya lampu gantung besar di gedung
opera (lalu ia jatuh bagaikan perempuan yang mengucapkan
selamat tinggal kepada suaminya yang menjadi penjagal
dengan dua tanda jasa atas perang yang dimenangkannya se"
cara gemilang). Dan, catat baik"baik bahwa: semua yang ada
di antara kita, yang memakan lebih banyak status manusia
akan mati dan diawetkan oleh warkat."
"Puisimu bagus," kata Lucien dengan kikuk.
"Aku membuatnya dengan memakai teknik baru yang
disebut penulisan otomatis," kata Berliac dengan santai.
Selama beberapa waktu Lucien lebih banyak diam, ia
ingin bunuh diri dan memutuskan untuk meminta nasihat
Berliac. "Apa yang harus kulakukan?" pintanya, setelah ia
menceritakan masalahnya. Berliac mengikuti cerita itu de"
ngan saksama, ia mempunyai kebiasaan mengulum ibu jari
dan mengoleskan air ludah ke kancing bajunya, sedemikian
rupa hingga kulitnya basah seperti pematang sawah habis
terkena hujan. "Berbuatlah sesuai dengan keinginanmu,"
202 ]ean"Paul Sartre
akhirnya ia berkata, "tak usah mempedulikan orang lain."
Ia berpikir sebentar dan menambahkan kata"kata:
"Baiklah, tak usah pedulikan orang lain sedikit pun." Lucien
sedikit kecewa, tapi ia mengerti bahwa Berliac terkejut de"
ngan cerita itu. Hari Kamis berikutnya Berliac mengundangku ke ru"
mah ibunya. Nyonya Berliac begitu menyenangkan. Ia pu"
nya lesung pipit di pipinya. "Ketahuilah," kata Berliac pada
Lucien, "sebenarnya kamilah korban perang."
Itu merupakan nasihat terbaik bagi Lucien dan mereka
mengetahui bahwa kedua orang itu adalah generasi pengor"
banan. Hari terus beranjak, Berliac tertidur di atas kasur,
tangan"tangannya terjalin di belakang tengkuknya. Mereka
menghisap rokok Inggris, memutar piringan hitam di
gramafon dan Lucien mendengar suara Sophie Tucker dan
Al Johnson. Mereka menjadi begitu melankolis dan Lucien
merasa bahwa Berliac adalah sahabat baiknya. Berliac me"
nyuruhku untuk bertemu seorang psikoanalis yang di"
kenalnya, suaranya begitu serius dan ia sungguh"sungguh
memperhatikan Lucien. "Aku tertarik pada mamaku sampai
umur 14 tahun," ia meyakinkan diri.
Lucien menjadi tak enak hati, ia takut wajahnya
memerah, lalu membayangkan wajah Nyonya Berliac dan tak
paham apa yang membuat orang menaksirnya. Tapi, ketika
perempuan itu masuk dan membawakan roti panggang,
Lucien merasa aneh dan membayangkan dada yang muncul
di kaus kuning perempuan itu. Ketika perempuan itu keluar,
Berliac berkata dengan suara meyakinkan: "Kamu juga, kan"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 203
Wajar kalau kamu ingin tidur dengan mamamu."
Ia tak bertanya lagi setelah menyatakan hal itu. Lucien


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela napas: "Tentu saja," katanya.
Keesokan harinya ia menjadi pendiam, ia takut perca"
kapan mereka disampaikan oleh Berliac pada orang lain. Ta"
pi, ia segera menepis pikiran itu cepat"cepat: "Setelah semua
ini, ia pasti akan lebih berkompromi denganku," pikirnya.
Ia mempelajari ilmu pengetahuan yang begitu meng"
gairahkan dan menumbuhkan kepercayaan diri mereka. Hari
Kamis berikutnya, ia membaca buku Freud tentang mimpi
di perpustakaan Sainte"Genevieve. Ini adalah pembuktian.
"Jadi, seperti inilah!" kembali terulang ketika Lucien men"
jalani takdir hidupnya melalui jalan"jalan yang berliku. "Jadi,
seperti inilah!" Lucien membeli buku pengantar psikoanalisis dan
psikopatologi hidup sehari"hari. Semua terbuka lebar un"
tuknya. Perasaan aneh itu tak ada, kekosongan ini telah la"
ma ada dalam kesadarannya, tidur"tidurnya, kebingungan"
kebingungannya, usaha"usahanya untuk mengenal dirinya
sia"sia seperti seseorang yang berjalan di tengah kabut...
"Parbleu merasa dirinya seseorang yang kompleks." Ia
bercerita kepada Berliac bagaimana keberadaannya semasa
kecil, terbayang ketika ia mengigau dan bagaimana benda"
benda tak pernah muncul. Semua itu kenyataan: "Aku harus
mengetahui, menyimpulkan sebuah minuman anggur yang
enak di antara anggur"anggur yang banyak."
"Semua seperti aku," kata Berliac. "Kita memiliki rumah
yang kompleks!" 204 ]ean"Paul Sartre
Mereka mempunyai kebiasaan menafsirkan impian"
impian mereka sampai soal tingkah laku yang terkecil. Ber"
liac selalu bicara tentang Lucien yang mencurigai sesuatu
yang ditemukannya dengan bumbu"bumbu cerita yang
menarik bagi mereka. Tapi, mereka saling men"dengarkan
dengan baik dan mereka membicarakan pokok"pokok per"
masalahan secara obyektif: mereka mengaku memakai to"
peng kegembiraan untuk menyembunyikan diri dari se"
kelilingnya, tapi pada dasarnya mereka menderita.
Lucien telah melepaskan kekhawatiran"kekhawatirannya.
Ia terlihat menekuni psikoanalisis dengan penuh nafsu,
karena ia mulai sadar bahwa inilah keyakinannya, dan se"
karang ia merasa kokoh, tak perlu lagi menyanyi dengan lagu
yang buruk dan selalu mencari dalam kesadaran manifestasi
yang tampak dalam karakter dirinya.
Kesejatian Lucien benar"benar tertanam dalam ketidak"
sadaran. Ia bermimpi tentang dirinya tanpa melihatnya se"
perti ketakhadiran temannya tercinta. Lucien berpikir bahwa
setiap hari berlangsung begitu kompleks dan membayangkan
dengan sedikit kebanggaan dunia yang gelap, kejam, rusak,
dan dikerumuni kabut"kabut kesadarannya.
"Kamu tahu," katanya kepada Berliac, "sebenarnya aku
laki"laki yang terlupakan dan berbeda dengan yang lain, tak
ada seorang pun yang menarik perhatianku. Kamu tahu hal
itu benar"benar terjadi padaku, kamu tahu aku gagal. Mereka
membiarkanku, tapi jika aku berhasil selalu ada yang lain,
selalu ada yang lain."
Berliac menanggapinya dengan tertawa bangga. Lu"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 205
cien membuat sebuah puisi berjudul Ketika Kabat Tipar
Tembak. Dan Berliac memuji puisi itu, tapi ia berharap
Lucien menuliskannya dengan bait"bait yang beraturan.
Mereka belajar menulis puisi sesuai dengan kata hati dan
ketika mereka ingin berbicara tentang libido maka mereka
spontan berkata: "Kepiting besar menutupi mantel kabut,"
lalu dengan sederhana, "kepiting" mengedipkan mata. Tapi
di lain waktu, ketika Lucien sendirian, terutama di sore hari,
mulai merasakan bahwa hal itu begitu menakutkan.
Ia tidak pernah lagi berani menatap wajah mamanya,
termasuk ketika menciumnya sebelum berangkat tidur. Ia
takut pengaruhnya menggelapkan jiwa untuk meniduri dan
jatuh di atas dada Nyonya Fleurier. Baginya, hal itu seperti
membiarkan gunung berapi meletus dalam dirinya. Lucien
berusaha dengan hati"hati agar kejahatan yang penuh
kemewahan dan kesinisan ini ditemukan. Sekarang, ia telah
mengenal semua nilai dan ia telah mengurangi mimpi"mimpi
anehnya. "Aku takut kepada diriku sendiri," katanya bicara
sendiri. Selama enam bulan ia mengalami praktik kesendirian
karena banyaknya pekerjaan yang membuatnya bosan. Na"
mun, ia memeriksa kembali tempatnya berkumpul: orang"
orang yang mengikuti kemiringannya. Buku"buku Freud
mengemukakan cerita"cerita tentang anak"anak muda ma"
lang yang mengalami neurosis untuk mempunyai penga"
laman mendadak dengan kebiasaan mereka. "Akankah kita
menjadi gila?" tanyanya pada Berliac.
Nyatanya, setiap Kamis mereka merasa aneh dengan diri
206 ]ean"Paul Sartre
mereka s endiri: keremangan dalam kamarBerliac menyisipkan
kecurigaan, mereka sedang mengisap berbungkus"bungkus
rokok Opiazeei, tangan mereka bergetar. Lalu, salah satu dari
mereka bangkit tanpa mengucapkan kata, berjalan sampai
pintu dan memijit tombol lampu.
Sebuah sinar kuning menerangi ruangan, mereka mem"
perhatikannya dengan curiga. Lucien langsung menandai
persahabatannya dengan Berliac yang dibangun di atas se"
buah kesalahpahaman: tak seorang pun yang sepertinya,
tentu saja ia tak merasakan kecantikan patetis dari Oedipus
Complex, tapi ia pergi ke tempat tanda dari sebuah kekuatan
pengaruh nafsu yang diharapkannya berbelok lambat me"
lewati tujuan yang lain. Sebaliknya, Berliac merasa terpuaskan
dengan keadaannya dan tak ingin keluar. "Kita semua busuk,
orang"orang gagal," katanya dengan bangga.
"Kita tak akan menjadi apa"apa, tak akan pernah,"
jawab Lucien menggema. Tapi, ia kalap sekembalinya dari liburan Paskah, Berliac
bercerita pada Lucien bahwa ia telah berbagi kamar dengan
ibunya di sebuah hotel di Dijon: Berliac bangun di pagi
buta, ia mendekati tempat tidur ibunya dan menyingkap
selimutnva dengan pelan"pelan. "Bajunya tersingkap," kata"
nya sambil tertawa. Mendengar kata"kata itu, Lucien tak tahan atas sedikit
kesalahan yang dilakukan Berliac dan ia merasa sendirian.
Memang begitu indah memiliki hal"hal yang kompleks, tapi
itu membutuhkan pengetahuan mengosongkan waktu. Ba"
gaimanakah seorang laki"laki bekerja, bisakah ia memikul
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 207
tanggung jawab dan memberikan sebuah perintah, apakah
ia masih kekanak"kanakan"
Lucien mulai memikirkan hal itu dengan serius: akan
sangat menyenangkan jika ada seseorang yang memberikan
saran, tapi ia tak tahu harus mencari ke mana. Berliac sering
berbicara dengan seorang surealis bernama Bergere yang sa"
ngat ahli tentang psikoanalisis dan memiliki aura kewibawaan
yang besar, tapi ia tak pernah mengenalkannya pada Lucien.
Lucien juga sangat kecewa karena ia mengandalkan Berliac
untuk mendapatkan perempuan"perempuan. Menurutnya
kepemilikan seorang pembantu yang cantik akan berubah
secarawajar sesuai ide"ide dan keinginan mereka. Tapi, Berliac
tak pernah memberitahu teman"teman cantiknya. Mereka
telah pergi berkali"kali ke houlezmzi besar dan mengamati
bermacam tips perempuan, tapi mereka tak berani bicara.
"Maukah kamu dengan pembantu tuaku," kata Berliac.
"Kita bukan keturunan yang menyenangkan. Perempuan"
perempuan itu merasa kita menakutkan mereka."
Lucien takmenanggapi: Berliac mulaimenj engkelkannya,
ia sering mengejek selera buruk orang tua Lucien, ia
memanggil mereka Tuan dan Nyonya Dumollet. Lucien
paham bahwa seorang surealis pada umumnya meremehkan
kaum borjuis, tapi Berliac telah beberapa kali diundang
Nyonya Fleurier yang memperlakukannya dengan ramah
dan mempercayainya: rasa bersyukur yang cela, kegelisahan
sederhana tentang tata krama yang menghalanginya untuk
berbicara dengan Berliac mengenai diri ini.
Berliac tampak begitu mengerikan dengan kebiasaan
208 ]ean"Paul Sartre
anehnya meminj am uang dan tak pernah mengembalikannya:
Di dalam bus ia tak pernah membayar, begitu juga di kafe ia
pasti minta dibayari teman"temannya. Dari lima kali jajan, ia
hanya sekali menawarkan diri untuk membayar. Suatu hari,
Lucien mengatakan dengan jelas bahwa hal itu sama sekali
tak dipahaminya. Dan, seharusnya kita semua saling berbagi
dengan teman"teman kita.
Berliac memandangnya dengan saksama dan berkata
kepadanya: "Aku hanya mencicipinya, kamu punya anus,"
lalu ia menjelaskan keterangan dari Freud: tinja : emas dan
teori Freudian tentang kekikiran. "Aku ingin mengetahui
sesuatu," katanya, "sampai umur berapa ibumu menyeka
dirimu?" Mereka hampir bertengkar.
Awal bulan Mei, Berliac mengajak Lucien membolos
sekolah. Lucien bergabung dengannya setelah kelas usai,
mereka bertemu di bar kecil di Rue Petit"Champs, mereka
minum Vewmtr Omijfx. Hari Selasa sore, Lucien bertemu
Berliac yang sedang duduk menghadapi sebuah gelas besar.
"Akhirnya kamu tiba," kata Berliac. "Dengar, aku harus
meninggalkan semua ini. Aku punya janji dengan dokter
gigiku. Tunggulah aku, tempat dokter itu ada di samping
dan aku ke tempatnya selama 1,5 jam."
"Baiklah," jawab Lucien sambil duduk di salah satu
kursi. "Francoise, beri aku vermut putih," dengan sekejap
muncul seorang laki"laki dari dalam bar dan tersenyum
dengan wajah aneh sambil melihat sekilas.
Wajah Berliac memerah dan bangkit dengan tergesa"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 209
gesa. "Kira"kira siapa laki"laki itu?" tanya Lucien.
Berliac menghempaskan tangan tanda tak kenal. Ia ber"
sembunyi di balik Lucien, ia berbicara dengan suara pelan
dan cepat, seorang lain menjawab dengan jelas. "Tapi, tidak
si kecilku, tapi tidak, kamu tak akan pernah jadi badut."
Pada saat yang sama, laki"laki itu memutar ujung kakinya
dan berhadapan langsung dengan Lucien dan batok kepala
Berliac, begitu yakin. Umurnya kira"kira 36 tahun, berwajah
pucat dan rambut putih yang nyentrik: "Ini Bergere," pikir
Lucien dengan hati berdebar. "Gantengnya ia!"
Berliac menyikut laki"laki berambut putih itu untuk
memberi tanda perintah dengan malu"malu: "Ayo, ikut de"
nganku," katanya. "Aku akan pergi ke dokter gigiku, berdua
tak apa"apa." "Tapi, kamu bersama seorang teman," jawab laki"laki itu
tanpa melepaskan pandangan ke Lucien, "kamu seharusnya
mengenalkan kita satu sama lain."
Lucien bangkit dengan tersenyum, "Jebakan," pikirnya,
pipinya memerah. Leher Berliac menegak di antara bahunya
dan Lucien berhenti satu detik, ia akan menolak. "Oh ya,
kenalkan saya," ia berbicara dengan suara riang. Tapi, keti"
ka ia berbicara darahnya serasa naik ke pelipis, seakan ingin
kembali ke dalam tanah. Berliac berubah pikiran dan meng"
gumam tanpa melihat seorang pun: "Lucien Fleurier, teman
sekolah, Tuan Achille Bergere."
"Tuan, aku mengagumi karya"karyamu," kata Lucien
dengan suara lemah. Bergere mengulurkan tangannya yang
panjang dan bagus. ]ari"jarinya lentik, dan ia menyuruhku
210 ]ean"Paul Sartre
untuk duduk kembali. Kesunyian menyergap, Bergere
menatap Lucien dengan pandangan tajam yang kering. Ia
senantiasa memainkan tangan Lucien: "Apakah kamu selalu
diam?" tanyanya dengan lembut.
Lucien memperjelas suaranya dan balik memandang
Bergere dengan pandangan yang tajam: "Aku pendiam!"
jawabnya dengan terkejut. Ia merasa laki"laki itu datang
untuk membuktikan sesuatu lewat perkenalan. Sekejap Ber"
liac bimbang, kemudian ia beranjak dengan sengit, meng"
ambil kembali tempat duduknya sambil meletakkan topinya
di meja. Lucien ingin sekali bercerita kepada Bergere tentang
keinginannya bunuh diri. Baru saat ini ada seseorang yang
tanpa basa"basi dan tanpa persiapan sama sekali bicara soal
bunuh diri. Ia tak ragu untuk bicara, karena keberadaan
Berliac. Ia begitu membenci Berliac.
"Kamu punya Raki?" tanya Bergere kepada pelayan.
"Tidak, mereka pasti sama sekali tak punya minuman
itu," kata Berliac dengan antusias, "minuman kecil itu me"
ngesankan tapi tak seorang pun dari kita minum selain ver"
mut." "Apa minuman berwarna kuning yang kamu punya
dalam teko itu?" tanya Bergere santai, menunjukkan keeng"
ganannya yang luar biasa.
"Itu Crucifix putih," jawab pelayan.
"Baiklah, beri aku minuman itu."
Berliac mengeliat"geliat di atas kursi: ia merasa pera"
saannya terbagi antara keinginan untuk menyanjung teman"
temannya dan rasa khawatir jika Lucien justru senang atas
luas a Kanak"kanak Sang Direktur 2 11
biaya yang mereka keluarkan. Akhirnya, ia bicara dengan
suara enggan dan berlagak: "Ia ingin sekali bunuh diri."
"Betulkah?" kata Bergere. "Aku pun ingin bunuh diri."
Kembali, kesunyian baru muncul. Lucien menundukkan
mata dengan wajah bersahaja tapi ia meminta Berliac agar
tidak pergi ke kamp vulgar itu lagi. Tiba"tiba Bergere melihat
jam tangannya. "Lalu, dokter gigimu?" tanyanya kepada Berliac. Berliac
bangkit dengan enggan. "Temani aku, Bergere," ajaknya, "tak masalah antara
kita berdua." "Tidak, sampai kamu kembali. Aku bermaksud mene"
mani temanmu." Berliac diam sesaat dan melangkahkan kaki meninggal"
kan yang lain. "Baiklah, perempuan," kata Bergere dengan suara men"
desah, "Kamu menemukan perempuan di sini."
Ketika Berliac berangkat, Bergere bangkit dan duduk
tanpa basa"basi di samping Lucien. Lucien bercerita panjang
lebar padanya tentang bunuh diri. Ia menjelaskan juga ke"


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya bahwa ia menginginkan mamanya dan tentang diri"
nya yang pernah melakukan sodomi. Tentang dirinya yang
sama sekali tak suka kedalaman, dan semua yang terjadi
padanya adalah sebuah komedi. Bergere mengikuti cerita
Lucien tanpa sedikit pun berkata"kata kecuali memp erhatikan
dengan sungguh"sungguh, dan Lucien menemukan kenya"
manan karena dipahami seseorang. Ketika ia selesai berce"
rita, Bergere memeluknya dengan penuh rasa sayang, Lucien
212 ]ean"Paul Sartre
mencium bau parnlm dan tembakau Inggris.
"Ketahuilah Lucien, bagaimana kusebut keadaanmu?"
Lucien memperhatikan dengan penuh harap, ia diam tak
siap menerima. "Kusebut itu," kata Bergere, "kebingungan."
Kebingungan: kata itu mulai sempurna dan putih se"
perti bulan purnama, tapi dua huruf terakhir seperti kilat
tembaga. "Kebingungan...," kata Lucien.
Ia merasa dirinya begitu serius dan pendiam seperti
saat mengaku pada Riri bahwa ia mengigau. Bar itu gelap,
tapi bila pintu yang menghadap ke jalan terbuka lebar, di
atas cahaya kabut merah di musim semi, dari bau parfum
Soigne yang terpancar dari Bergere, Lucien merasakan bau
keras dari ruangan gelap gulita, bau dari anggur merah dan
minuman basah. "Kebingungan... itukah yang membuatku
terlibat?" ia tak begitu tahu jika dirinya telah menemukan
kesejatian diri atau kemalangan baru. Ia melihat dengan
mata kepala sendiri bibir lincah Bergere membuka"menutup
tanpa henti"hentinya, kilat dari sebuah gigi emasnya.
"Aku menyenangi keberadaan seseorang yang sedang
kebingungan," kata Bergere, "dan kutemukan bahwa kamu
mempunyai kesempatan yang luar biasa. Sebab, akhirnya
itulah yang telah kamu lakukan. Kamu lihat garpu ini?"
Garpu"garpu itu diam. Ia memainkan garpu"garpu itu
untuk menghalang"halangi semut"semut merah dan mem"
buat mereka sedikit bingung. "Tahukah kamu bahwa garpu"
garpu ini mendorong munculnya kelurusan hati semut"se"
mut itu?" hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 213
"Mereka menelan manusia," kata Lucien
"Ya, mereka membuang tulang"belulang manusia."
"Aku tahu," kata Lucien, "dan aku.> Apa yang harus
kuperbuat?" "Tak ada, kekasih Tuhan," jawab Bergere dengan ke"
bingungan yang menggelikan. "Dan ingatlah, paling tidak
kamu tak duduk di atas linggis," katanya dengan tersenyum.
"Kamu sudah membaca Rimbaud?"
"Belum," jawab Lucien.
"Aku pinjami kamu Iluminasi. Dengarlah, kita harus
bertemu lagi. Jika kamu libur Kamis ini datanglah ke
rumahku sekitar jam 3, aku tinggal di Montparnasse, 9 Rue
Champagne Premiere."
Hari Kamis esoknya, Lucien pergi ke rumah Bergere
dan hampir tiap hari Kamis selama bulan Mei ia selalu ke
sana. Mereka berjanji tak akan memberitahu Berliac bahwa
mereka bertemu seminggu sekali, karena bila mereka
berterus terang maka Berliac akan merusaknya. Berliac
muncul dalam suasana yang benar"benar tidak tepat. Ia
berkata pada Lucien sambil tertawa: "Lalu, inikah kasmaran"
Ia telah membuatmu berlomba dalam diam, dan kamu telah
membuatnya berlomba dalam bunuh diri: permainan besar
apa!" Lucien protes. "Aku menarik perhatianmu," katanya de"
ngan wajah memerah. "Bukankah kamu yang pertama kali bicara tentang
bunuh diriku." "Oh!" kata Berliac. "Itu hanya untuk mencegah keta"
214 ]ean"Paul Sartre
kutan yang kamu buat sendiri." Mereka kemudian jarang
bertemu. "Ini yangmembuatku senangpadanya," suatu hari Lucien
berkata kepada Bergere. "Kamulah yang meminjamkannya
kepadaku, aku akan mengembalikannya sekarang."
"Berliac seekor kera," kata Bergere sambil tertawa.
"Inilah yang membuatku tertarik kepadanya. Tahukah kamu
kalau neneknya seorang Yahudi?" ucapan itu menjelaskan
segalanya dengan sangat terang.
"Yang benar?" jawab Lucien, ia memajukan duduknya
dengan segera: "Lagipula ia adalah orang yang menarik."
Apartemen Bergere dipenuhi dengan barang"barang
aneh dan lucu: bantal"bantal kecil yang ada di bangku
disarungi kain beludru merah, terletak di dekat kaki"kaki
perempuan yang terbuat dari kayu berwarna, patung"patung
Negro, sabuk dari besi tempa murni dihiasi dengan duri"
duri runcing, buah dada dari gips yang di dalamnya tertanam
sendok"s endok kecil.
Di kantornya, ada sebuah kutu coklat besar, dan sebuah
tengkorak rahib terbang dalam kotak kerangka Mistra yang
berfungsi sebagai penjepit kertas. Dinding"dindingnya di"
lapisi surat"surat pemberitahuan yang mengumumkan ke"
matian seorang surealis Bergere. Seluruh apartemen itu
mengesankan kenyamanan pikiran, dan Lucien senang me"
rebahkan tubuhnya di atas dipan di dalam ruangan tempat
merokok. Di ruangan ini semuanya mencengangkan, terutama
karena banyaknya bahan olok"olokan dan jebakan yang
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 215
dikumpulkan Bergere di atas tangga: Fluida beku, bubuk
bersin, bulu penggelitik, gula terapung, tahi setan yang
menakutkan, Jartel Maria. Sambil terus berbicara, Bergere
mengambil sesuatu, tahi setan di antara jari"jarinya dan
mengamatinya dengan sungguh"sungguh: "Jebakan"jebakan
ini," katanya, "bernilai revolusi." Mereka diam, begitu ba"
nyak keinginan untuk merusak. "Seluruh benda itu ada
dalam buku"buku karya Lenin."
Lucien terkejut dan tertarik untuk memperhatikan satu
persatu, wajah tampan itu membayang di relung"relung mata
dan jari"jari panjang yang rapi mengambil sebuah kotoran
tiruan yang sempurna. Bergere berkata kepada Lucien
mengenai Rimbaud dan "kekacauan sistem semua arti".
"Ketika kamu memasuki tempat pembuatan Concorde,
perhatikan dengan seksama dan ajak salah satu Negro di
tengah kesibukannya membuat tugu. Kamu pasti diperingat"
kan bahwa kamu telah merobek dekorasinya dan pergilah
jauh"jauh." Ia meminjaminya Pencerahan, Nyanyian Maldoror,
dan buku"buku karya Markis Sade. Lucien mencoba un"
tuk sungguh"sungguh memahami, tapi banyak hal yang
membingungkannya dan ia malu karena ternyata Rimbaud
seorang homoseksual. Ia berkata kepada Bergere bahwa hal
itu membuatnya geli: "Lalu kenapa, sayangku?"
Lucien merasa sangat canggung. Wajahnya memerah
dan selama satu menit ia berusaha membenci Bergere sekuat
tenaga, tapi ia begitu terpengaruh, mengangkat kepala dan
berbicara dengan sederhana: "Aku telah mengatakan sesuatu
216 ]ean"Paul Sartre
yang konyol," Bergere membelai rambutnya. Ia kelihatan
menunggu: "Mata besarnya memendam masalah," katanya,
"mata kijang betina... ya Lucien, Rimbaud yang homo itu
kamu bilang konyol. Itu kekacauan pertama dan kejeniusan
atas perasaannya. Perempuan adalah sosok yang mengilhami
puisi"puisinya. Ia percaya bahwa ada obyek spesin dari
nafsu seks dan obyek"obyek itu adalah perempuan karena
mereka mempunyai liang di antara kaki"kakinya, liang itu
menjijikkan dan ada keinginan yang salah mengenai posisi
duduk, perhatikanlah!"
Ia mengeluarkan selusin foto"foto buram dari kantornya
dan ia menjatuhkan foto"foto itu di atas pangkuan Lucien.
Lucien melihat keanehan pelacur"pelacur telanjang, tertawa
melihat dada mereka yang ompong, merenggangkan kaki"
nya. Ada sesuatu seperti bibir yang bercahaya di antara paha
mereka. "Mirip lidah berlumut. Aku punya koleksi foto 3 Franc
gambar Bou"Saada," kata Bergere. "Jika kamu berhasil men"
cium bokong perempuan itu, kamu bukan lagi seorang anak
laki"laki keluarga dan semua orang akan berkata bahwa
kamu telah memasuki dunia laki"laki, karena perempuan
ini, mengertikah kamu" Aku berkata padamu bahwa hal
pertama yang dilakukan adalah menyadarkan kamu bahwa
semua itu mungkin obyek dari nafsu seksual, sebuah mesin
jahit, sebuah tabung percobaan, seekor kuda atau alas kaki,"
katanya dengan tertawa. "Aku bercinta dengan lalat"lalat. Aku mengenal seorang
pelaut yang bercinta dengan beb ek. Laki"laki itu memasukkan
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 217
kepala bebek itu ke dalam laci, bebek"bebek itu dipegang
dengan kokoh digagahi, lalu bebek"bebek itu dibuat makan"
anl". Bergere menyadarkan Lucien dari lamunannya dan
menyimpulkan: "Bebek itu mati dan para anak buah kapal
memakan dagingnya." Lucien keluar dari pembicaraan ini dengan kepala pa"
nas. Ia merasa Bergere adalah seorang jin, tapi laki laki itu
datang menghampirinya saat bangun di malam hari, basah
kuyup oleh keringat, kepalanya terisi dengan bayangan"
bayangan mengerikan dan tak senonoh, dan ia bertanya
kepada diri sendiri, bila Bergere telah menempanya dengan
pengaruh baik: "Kesepian!" ratapnya sambil memotong
rata jari"jarinya, "Tak ada seorang pun yang menasihatiku,
memberitahuku, jika aku dalam jalan yang lurus! Bilakah
sampai ujung, bagaimanakah praktik tentang kekacauan
dari semua arti ini. Apakah ia tidak pergi berjalan kaki dan
tenggelam!" Suatu hari, ketika Bergere sibuk berbicara panjang lebar
tentang Andre Breton, Lucien menggumam seperti dalam
mimpi: ya, tapi jika semua itu selesai, aku tak dapat lagi
datang paling belakang. Bergere terkejut: "Datang paling
belakang.> Siapa yang bicara datang dari belakang" Akankah
kamu menjadi gila, untunglah. Setelah ini, seperti kata
Rimbaud, tibalah pekerja"pekerja aneh lain."
"Baiklah, ini seperti yang kupikirkan," kata Lucien
dengan bersedih. Ia tahu bahwa obrolan panjang ini telah
memberikan satu jawaban padanya, seperti yang Bergere
harapkan. Tiba"tiba Lucien ingin membuktikan satu sensasi
218 ]ean"Paul Sartre
yang sedikit halus, berkesan asli, dan membuatnya bergetar:
"Mulailah," pikirnya. Ia hanya berharap mempunyai per"
sepsi yang jamak dan agak kotor, ia tidak merasa santai
menghabiskan waktu sore bersama orang tuanya: itu adalah
bentuk penolakannya. Mereka berbicara tentang Briand,
keinginan buruk dari Jerman, peristiwa pemerkosaan se"
pupu Jeanne dan harga diri: Lucien menukar kenikmatan
mereka dengan usulan bahwa sebuah kekerasan merupakan
arti yang baik. Suatu hari, ketika ia kembali ke kamarnya setelah me"
ninggalkan Bergere, ia menutup pintu dan menguncinya,
kemudian ia melampiaskan semuanya pada pintu. Ketika
dia sadar apa yang telah dilakukannya, ia ingin tertawa, tapi
malam ini ia tak bisa tidur: ia mulai menyadari bahwa ia
merasa takut. Biarpun demikian ia tak akan berhenti mengunjungi
Bergere. "Ia mempesonakanku," katanya pada diri sendiri.
Ia merasakan kebebasan persahabatan yang begitu me"
nyenangkan dan pribadi. Itulah yang Bergere tanamkan pada
persahabatan di antara kita. Tanpa meninggalkan kelaki"
lakiannya dan keluguannya. Bergere punya kemampuan
seni yang bisa membuat orang merasakan sesuatu lewat
kata"katanya. Bergere menyentuh Lucien dengan kasih sa"
yang. Misalnya, ia memakaikan dasi sambil menggoda
akan mengacaukan dandanan Lucien, ia merapikan rambut
Lucien dengan sisir emas yang dibawanya dari Kamboja.
Ia menyuruh Lucien menyingkapkan tubuhnya yang be"
gitu bersih dan ia menerangkan kepada Lucien tentang
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 219
kecantikan yang pahit dan keharuannya terhadap anak"anak
muda. "Kamu adalah Rimbaud," katanya kepada Lucien, "ia
memiliki tangan besar ketika ia tiba di Paris untuk mene"
mui Verlaine, wajahnya merah seperti pemuda desa yang
berpakaian rapi dan tubuh jangkung bagaikan anak pe"
rempuan pirang." Bergere mengharuskan Lucien mengangkat kerah dan
membuka kemejanya, lalu ia membawa Lucien yang kebi"
ngungan ke depan cermin, dan Bergere membuat Lucien
kagum. Harmoni yang mengesankan tampak dari pipi me"
rah dan leher putihnya, lalu ia mencolek pinggul Lucien dan
menggumam dengan sedih: "Akan bunuh diri di usia 20
tahun." Sekarang Lucien sering memandangi dirinya sendiri di
depan cermin, ia belajar menikmati masa muda yang tingkah
lakunya penuh dengan kekikukan. "Akulah Rimbaud," pi"
kirnya suatu sore sambil menanggalkan bajunya dengan
lamban dan tenggelam dalam keindahannya. Ia mulai per"
caya bahwa hidupnya amat pendek dan tragis, seperti se"
kuntum bunga yang begitu cantik.
Sejak saat itu, ia menampakkan dirinya yang telah dike"
nalnya sejak dulu. Kesan"kesan tentang kemiripan dan gam"
baran absurd muncul kembali dalam pikirannya: ia meng"
ingat kembali masa kecilnya, dengan rok panjang biru dan
sayap malaikat, membagikan bunga dalam bazaar amal. Ia
mengamati kaki panjangnya, "Benarkah aku mempunyai
kulit yang halus?" pikirnya dengan senang. Sekali waktu ia
220 ]ean"Paul Sartre
mendekatkan bibirnya di atas lengan depannya, pergelangan
tangan, sampai siku, begitu panjang dan indah dihiasi dengan
urat"urat kecil berwarna biru.
Suatu hari, ketika masuk ke rumah Bergere, ia men"
dapatkan kejutan yang tidak menyenangkan: Berliac ada di
sana, ia sibuk memisahkan kepingan"kepingan benda hitam
seperti bongkahan tanah dengan menggakan pisau. Dua
pemuda itu sudah sepuluh hari tidak bertemu: mereka saling


Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersalaman dengan dingin.
"Kamu lihat ini," kata Berliac. "Ini ganja. Kami akan
menaruhnya ke dalam pipa itu di antara dua lapisan tem"
bakau putih, hasis ini punya efek yang mengejutkan. Ada
juga untukmu," tambah Berliac.
"Terima kasih," kata. Lucien, "aku tidak memakainya."
Dua orang yang lainnya mulai tertawa. Berliac terus men"
desak dengan pandangan yang tidak menyenangkan: "Tetapi
kamu idiot, sobat, kamu akan segera mengambilnya: kamu
tidak dapat membayangkan alangkah menyenangkannya
ini." "Aku sudah katakan kepadamu, tidak!" kata Lucien.
Berliac tidak lagi menjawab apa pun, ia hanya tersenyum
dengan wajah sombong, dan Lucien melihat Bergere ter"
senyum juga. Lucien menghentakkan kakinya dan berkata:
"Aku tidak menginginkannya, aku tak ingin kehabisan te"
naga, aku merasa idiot dengan menggunakan benda"benda
yang telah membuat kalian tolol."
Lucien melontarkan kata"kata itu meskipun itu tak di"
kehendakinya, tetapi ketika ia paham akibat dari apa yang
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 221
baru saja dikatakannya dan ia membayangkan apa yang Ber"
gere dapat pikirkan tentang dirinya, ia ingin membunuh Ber"
liac, dan air mata keluar dari kedua matanya. "Kamu seorang
borjuis," kata Berliac sambil menggerakkan bahu, "kamu
pura"pura berenang tetapi kamu takut sekali kakimu tidak
bisa menginjak dasar kolam."
"Aku tak ingin punya kebiasaan menggunakan nar"
kotika," kata Lucien lebih tenang, "kebiasaan itu adalah
perbudakan dan aku ingin tetap bebas."
"Katakan saja bahwa kamu takut melibatkan diri,"
jawab Berliac dengan keras.
"Biarkan ia, Charles," kata Bergere pada Berliac, "ia
pasti punya alasan. Ketakutannya untuk melibatkan diri
adalah suatu kebingungan."
Mereka berdua menghisap ganja di atas sebuah dipan,
bau kertas dari Armenia tersebar di dalam ruangan. Lucien
duduk di atas sebuah bantalan tempat duduk yang, terbuat
dari kain beludru berwarna merah dan mengamati mereka
dengan diam saja. Akhirnya, Berliac membiarkan kepalanya
mendongak, kedua kelopak matanya sembab dan berdenyut.
Lucien menatapnya dengan rasa dendam dan merasa di"
rendahkan. Akhirnya, Berliac bangkit dan meninggalkan
ruangan dengan langkah yang ragu"ragu. Ia masih menahan
senyuman yang membuat terlena den menggiurkan di atas
bibirnya. "Beri aku pipa," kata Lucien dengan suara parau.
Bergere mulai tertawa, "Iya, kan!" katanya.
"Jangan lakukan ini untuk Berliac. Kamu tidak tahu apa
222 ]ean"Paul Sartre
yang ia lakukan saat ini!"
"Memangnya aku gila," kata Lucien.
"Lihat, ia muntah," kata Bergere dengan tenang. "Ini
adalah satu"satunya efek yang ditimbulkan ganja pada dirinya.
Selebihnya hanyalah sandiwara, tetapi aku menyuruhnya
menghisap berkali"kali karena ia ingin bergaya di depanku
dan inilah yang membuatku senang."
Keesokan harinya, Berliac tiba di sekolah dan ia ingin
menanggapi masalah kemarin pada Lucien dengan ang"
kuhnya. "Kamu naik ke atas kereta api," kata Berliac, "tetapi
kamu memilih dengan teliti kereta"kereta yang masih berada
di stasiun." "Kamu pembual," jawab Lucien pada Berliac, "mungkin
kamu percaya kalau aku tidak tahu apa yang telah kamu
lakukan kemarin di kamar mandi" Kamu muntah, sobatku!"
W'ajah Berliac pucat. "Apakah Bergere yang telah me"
ngatakannya kepadamu" Katakan, siapa yang kamu mak"
sudkan?" gumam Berliac, "aku tak percaya kalau Bergere
adalah orang yang tidak peduli dengan teman"teman lamanya
daripada teman"temannya yang baru."
Lucien sedikit khawatir: ia sudah berjanji pada Bergere
untuk tidak mengatakan apa pun. "Sudahlah!" kata Lucien,
"ia masih peduli denganmu, ia hanya menunjukkan padaku
kalau ia tidak mengiranya."
Tapi, Berliac membalikkan tubuhnya dan pergi tanpa
bersalaman dengan Lucien. Lucien tidak lagi bersemangat
ketika bertemu dengan Bergere. "Apa yang telah kamu ka"
takan kepada Berliac?" tanya Bergere denga muka dingin
tanpa emosi. hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 223
Lucien menundukkan kepalanya tanpa menjawab: ia me"
rasa bersalah. Tetapi, tiba"tiba ia merasakan tangan Bergere
di alas tengkuknya: "Ini sama sekali tidak berarti apa pun
sobat. Dengan segala cara, sudah seharusnya ini berakhir:
aktor"aktor komedi tidak pernah menghiburmu lama."
Lucien berusaha menambah sedikit keberanian: ia
menengadahkan kepalanya dan tersenyum: "Tetapi, aku juga
seorang aktor komedi," kata Lucien sambil mengedipkan
kelopak matanya. "Ya, tetapi kamu sangat tampan," jawab Bergere sambil
menarik Lucien supaya dekat padanya. Lucien membiarkan
saja, ia mempunyai perasaan yang halus seperti perempuan
dan ia punya banyak airmata di kedua matanya. Bergere
mencium pipi dan menggigit telinga Lucien sambil kadang"
kadang memanggilnya "bangsatku sayang yang cantik"
dan kadang"kadang "adik laki"lakiku sayang", dan Lucien
berpikir kalau ia sangat senang mempunyai seorang kakak
laki"laki yang murah hati dan penuh pengertian.
Tuan dan Nyonya Fleurier ingin berkenalan dengan
Bergere yang sering diceritakan oleh Lucien dan mereka
mengundang Bergere untuk makan malam. Setiap orang
yang menemui Bergere, termasuk si Germaine yang tidak
pernah bertemu dengan lelaki tampan, bersikap ramah
kepadanya. Tuan Fleurier mengenal Jenderal Nizan, paman
Bergere, dan ia lama membicarakannya. Nyonya Fleurier
juga sangat senang mempercayakan Lucien kepada Bergere
untuk liburan Pantekosta. Mereka pergi ke Rouen dengan
mengendarai mobil, Lucien ingin melihat gereja katedral dan
224 ]ean"Paul Sartre
barel de 12%, tetapi Bergere menolak semuanya dengan tegas:
"Semua itu sampah!" kata Bergere dengan kurang ajar.
Akhirnya, mereka melewatkan dua jam di sebuah ramah
bordil di Rue des Cordeliers, dan Bergere sangat aneh: ia me"
manggil semua perempuan jalang dengan sebutan "Nona"
sambil menendang Lucien dengan lututnya di bawah meja.
Lalu ia setuju berkencan dengan satu dari mereka, tetapi
kembali lagi lima menit kemudian: "Kabur!" teriak Bergere.
"Kalau tidak, pasti akan ribut."
Mereka membayar dengan terburu"buru dan keluar.
Di jalan, Bergere menceritakan apa yang telah terjadi: ke"
tika perempuan itu berdiri membelakanginya, Bergere me"
manfaatkan waktu untuk membuang satu genggaman penuh
bulu agar perempuan itu kegatalan, lalu Bergere mengatakan
kalau ia lelah dan kembali turun. Lucien telah minum dua
botol wiski dan sedikit mabuk. Ia menyanyikan L'Affz'llem de
Metz dan Le [le Profzmdz'y Momz'om'bm. Ia merasa kagum pada
Undangan Maut 1 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Sengketa Pewaris Tunggal 1
^