Pencarian

Sengketa Pewaris Tunggal 1

Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal Bagian 1


SENGKETA PEWARIS TUNGGAL
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Sengketa Pewaris Tunggal
128 hal.; 12 x 18 cm.
1 Suara gemericik air yang jatuh menimpa beba-
tuan bagai irama yang mampu membangkitkan gairah
hidup. Uap putih yang menebarkan hawa dingin, terlihat bergerak dari juntaian
tirai putih yang tak lain sebuah air terjun.
Dari jarak beberapa tombak, nampak sosok le-
laki muda tengah memandangi jatuhnya air terjun
yang berpencaran setelah menimpa bebatuan di ba-
wahnya. Cukup lama juga sosok muda berpakaian
kuning keemasan memandangi tirai air yang bergan-
tian turun. Namun tidak lama kemudian tatapannya
dialihkan ke sebuah anak sungai yang airnya ber-
sumber dari air terjun.
"Aaah...."
Desahan lembut pemuda berpakaian kuning
keemasan, seolah memberi tahu bahwa dirinya memi-
liki kenangan pada benda yang sedang dipandangi.
Benda itu adalah sebongkah batu besar.
"Apakah aku harus menempuh jalan itu lagi?"
kata hati lelaki muda itu.
Ingatan pemuda itu bergerak mundur pada ma-
sa belasan tahun silam, ketika dirinya bersama.... Nyi Salasih (Baca serial Raja
Petir dalam episode Pembala-san Berdarah). Yang telah mengangkatnya sebagai mu-
rid, bersama-sama mencelupkan kaki ke air dingin
yang menganak sungai. Gurunya itu menggeser se-
bongkah batu besar, hingga nampak sebuah jalan ra-
hasia berupa lubang kecil berukuran setengah batang tombak.
"Ah, aku tak mau menggunakan jalan rahasia,"
putus hati lelaki muda itu kemudian.
Mata lelaki muda itu kembali memandang air
terjun yang meluncur cukup deras. Hatinya sudah
mantap akan mengambil jalan dengan menerobos
kumpulan air yang membentuk dinding putih.
"Aku harus menerobos air terjun, seperti ketika aku pergi dulu," kata hati
pemuda itu. Pemuda itu kemudian membawa kakinya mun-
dur selangkah. Wajahnya seketika berubah tegang
seiring dengan tarikan napas dan otot-otot tangannya kelihatan mengeras. Dan
ketika kaki pemuda itu
menghentak permukaan tanah dengan cukup kuat,
maka.... "Hip!"
Laksana anak panah yang dilepaskan dari bu-
sur, tubuh pemuda yang terbalut pakaian kuning
keemasan melesat cepat. Angin menderu mengiringi
luncuran tubuh pemuda yang dilakukan dengan rin-
gan. Prats...! Air terjun yang membentuk dinding putih tersi-
bak, tanpa ada setitik air pun membasahi pakaian pemuda itu..., memang Jaka
telah mengerahkan
'Pukulan Jarak Jauh' saat tubuhnya melesat cepat.
Pukulan itu dilancarkan untuk menahan luncuran air
terjun yang bagai tirai putih.
"Hup!"
Tubuh pemuda itu mendarat ringan di bibir se-
buah ruangan yang mirip gua. Sesaat mata pemuda
tampan itu berkeliling mengitari ruangan gua yang seperti tak berpenghuni.
"Eyaaang...."
Panggilan dalam hati yang diucapkan pemuda
itu seperti bergema di dinding hati dan dinding gua.
"Selamat datang, Jaka Cucuku," suara seorang perempuan tua tiba-tiba memantul
dari dinding gua.
Suara itu seperti menjawab panggilan dalam
hati pemuda yang bernama Jaka. Ya pemuda itu ada-
lah Jaka Sembada yang di kalangan rimba persilatan
berjuluk Raja Petir.
"Eyaaang...!"
Jaka segera menghambur, ketika dari kelokan
ruangan yang mirip gua muncul sosok tubuh tua ber-
pakaian longgar putih bersih. Perempuan tua yang tak lain Nyi Selasih, menyambut
langkah Jaka yang kini
bersimpuh di hadapannya.
Dengan mengusap punggung pemuda itu, Nyi
Selasih berkata pelan, "Firasat ku mengatakan kau akan datang hari ini, Jaka."
"Eyaaang...," Jaka mengangkat kepala dan menatap wajah Nyi Selasih lekat-lekat.
"Sudah lama aku merindukan pertemuan ini," Lanjut Jaka pelan.
"Eyang pun begitu, Jaka. O ya. Apa sebelum
kedatanganmu ke sini, kau telah mengunjungi Ki Legar lebih dahulu?" tanya Nyi
Selasih. Tersentak Jaka mendengar pertanyaan Nyi Se-
lasih. Mata pemuda itu semakin lekat menatap wajah
perempuan tua di hadapannya.
Perempuan berusia delapan puluh tahun yang
merupakan guru sekaligus nenek pemuda berpakaian
kuning keemasan itu, mengernyitkan dahi. Nyi Selasih merasa bingung dengan
tatapan Jaka yang dirasa agak ganjil. "Apa yang terjadi dengan Ki Legar, Jaka?"
tanya Nyi Selasih sedikit bergetar. Batin perempuan tua itu seolah menangkap
firasat tak baik yang me-nyangkut
diri Ki Legar. Jaka tidak segera menjawab pertanyaan Nyi Se-
lasih. Kepala pemuda yang berjuluk Raja Petir itu ter-tunduk lesu. Perlahan
kepala Jaka terangkat setelah sesaat menunduk. Tatapan matanya kini menusuk lu-
rus bola mata tua Nyi Selasih,
"Eyang Legar telah tiada, Nyi," ucap Jaka parau. Terkejut bukan main Nyi Selasih
mendengar perkataan pemuda di hadapannya yang telah dianggap
sebagai cucu. Seluruh permukaan wajahnya memanas.
Namun perempuan tua yang telah matang pengalaman
itu menyembunyikan rasa terkejutnya. Nyi Selasih segera memegang bahu Jaka dan
mengangkatnya sedi-
kit. Pemuda itu pun mengerti gerakan yang dilakukan Nyi Selasih sebuah isyarat
untuknya agar beranjak
bangkit, maka Jaka segera berdiri.
"Kematian merupakan hal yang wajar, Jaka,"
tukas Nyi Selasih sambil melangkah memasuki ru-
angan gua lebih dalam. "Apa yang dialami Ki Legar, pasti akan kita alami pula
walaupun kita tidak pernah tahu kapan ajal akan datang. Entah Eyang yang lebih
tua akan dijemput lebih dulu atau kau yang muda,
Jaka. Semua itu rahasia sang Pencipta Buana ini,"
"Aku tak pernah mengingkari ajal manusia,
Eyang. Aku hanya menyayangkan kematian Eyang Le-
gar yang seperti itu, sangat mengenaskan keadaan-
nya," kilah Jaka menanggapi ucapan Nyi Selasih yang sarat dengan kebijakan.
"Eyang Legar mati dibantai, Eyang," lanjut Jaka.
"Itu hukum alam untuk Ki Legar, Jaka," bantah Nyi Selasih. "Hukum alam akan
bicara sesuai dengan kenyataannya. Kalau manusia menabur biji kacang,
maka akan tumbuh pohon kacang. Kalau ada yang
tumbuh dalam bentuk lain, itu semata karena kekua-
saan sang Pencipta Jagat. Dan ini merupakan kenya-
taan yang tidak dapat dibantah lagi. Sama halnya dengan cara kematian Ki Legar
yang menurutmu menge-
naskan. Karena sebelum masa tobatnya, Ki Legar telah sering berbuat hal yang
mengenaskan seperti itu. Itu
hukum alam, Jaka. Sebuah hukum sebab akibat yang
mau tak mau harus diterima Ki Legar," lanjut Nyi Selasih panjang lebar.
Jaka merasa terpukul dengan ucapan bijak
yang keluar dari mulut perempuan tua berpakaian
longgar putih itu.
"Aku telah melenyapkan orang-orang yang me-
newaskan Eyang Legar, Eyang," ujar Jaka.
"Aaah...."
Nyi Selasih menarik napas panjang mendengar
ucapan Jaka. "Atas dasar apa kau membunuh mereka, Ja-
ka?" hati-hati pertanyaan yang dilontarkan Nyi Selasih.
"Kalau aku menyingkirkan mereka dengan da-
sar bara api dendam, Eyang Legar tidak akan mengi-
zinkan ku, Eyang. Eyang Legar tak setuju aku memba-
las kematiannya. Tapi karena yang kulakukan meru-
pakan sebuah kewajiban untuk mencegah sepak ter-
jang mereka yang sangat keji, maka Eyang Legar tidak berkeberatan," jelas Jaka
mantap. "Eyang pun setuju kalau kau melakukannya
demi memenuhi kewajiban sebagai seorang pendekar,
yang bertugas melindungi orang-orang lemah dan
memberantas segala bentuk keangkara-murkaan,"
timpal Nyi Selasih sambil membimbing langkah Jaka
memasuki ruang dalam gua.
"Terima kasih, Eyang."
"Jaka. Ada sesuatu yang hendak Eyang bicara-
kan denganmu," ucapan Nyi Selasih.
"Masalah apa, Eyang?"
"Lebih baik kita bicarakan di dalam, Jaka.
Mayang Sutera juga perlu tahu," jawab Nyi Selasih.
Terkejut Jaka, mendengar ucapan Nyi Selasih
yang menyebut nama seorang perempuan.
"Mayang Sutera..." Siapa dia?" kata hati Jaka.
"Gadis itu cantik, Jaka. Seperti ibumu di waktu muda. Mayang Sutera berwatak
lembut dan penyabar,"
ucap Nyi Selasih.
Jaka merasa tidak enak mendengar ucapan Nyi
Selasih. Pemuda itu tidak ingin Nyi Selasih menyangka dirinya seperti lelaki
lain, yang mudah tergiur kecantikan seorang perempuan.
"Siapa Mayang Sutera, Eyang?" tanya Jaka
mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Nanti juga kau tahu, Jaka. Namun yang pasti
Mayang Sutera cantik," jawab Nyi Selasih menggoda.
"Ah, kenapa hal itu yang lebih dahulu Eyang
beri tahukan?" tanya Jaka.
"Kau tak suka melihat gadis cantik?" goda Nyi Selasih makin jauh.
Jaka hanya melempar pandangannya ke tempat
lain ketika mendengar pertanyaan Nyi Selasih.
"Awas kepalamu terbentur batu, Jaka," ujar Nyi Selasih mengingatkan.
Jaka langsung bergerak menghindar mende-
ngar peringatan itu. Rupanya pemuda itu tidak me-
nyadari mereka sudah tiba di kelokan sebelah kanan
gua. "Belum apa-apa kau sudah melamun, Jaka.
Pasti kau sedang membayangkan kecantikan Mayang
Sutera," goda Nyi Selasih lagi.
"Ah, Eyang," gumam Jaka pelan.
"Itu Mayang, Jaka," tunjuk Nyi Selasih ke arah kanan sudut ruangan.
Jaka mengikuti arah telunjuk Nyi Selasih yang
menunjuk ke suatu tempat. Dan memang benar, pada
satu sisi ruangan yang ditunjuk Nyi Selasih, tengah duduk seorang gadis cantik
berpakaian jingga. Kulit gadis itu yang putih bening, sangat cocok dengan warna
pakaian yang dikenakan. Dan bentuk wajahnya
yang tirus sangat serasi dengan rambut sepunggung
yang dikepang kelabang.
"Mayang, kemarilah," panggil Nyi Selasih setelah membiarkan Jaka menatap
keberadaan dara cantik
berpakaian jingga.
Mayang Sutera nampak terkejut, menyadari
kehadiran Nyi Selasih bersama seorang pemuda tam-
pan berpakaian kuning keemasan. Mayang Sutera su-
dah dapat menduga lelaki muda yang bersama Nyi Se-
lasih adalah Jaka Sembada, namun tak urung dirinya
terpukau juga menyaksikan sosok yang berjuluk Raja
Petir. "Pemuda ini Kakang Jaka yang selalu Eyang ceritakan padamu, Mayang," ujar
Nyi Selasih pada Mayang Sutera yang sudah berdiri di sebelah kanannya. Mata
Mayang Sutera seketika meneliti sekujur
tubuh Jaka. Dan ketika tatapan mata pemuda itu me-
mergoki perbuatannya, Mayang Sutera segera menun-
dukkan kepala dengan rasa malu.
"Betulkan Eyang tidak berbohong, Mayang" Ja-
ka memang tampan seperti yang selalu Eyang cerita-
kan padamu," ucap Nyi Selasih membuat wajah
Mayang Sutera tersipu merah.
"Ah, Eyang....," desah Mayang Sutera malu.
"Ayolah, kalian jangan ragu-ragu untuk berja-
bat tangan," ucap Nyi Selasih lagi.
Mayang Sutera menundukkan kepala semakin
dalam, sedang Jaka melakukan hal yang sebaliknya.
Matanya menatap wajah keriput Nyi Selasih.
"Sebaiknya memang lelaki yang memulainya,
Jaka," saran Nyi Selasih.
Jaka segera mengulurkan tangan, meski agak
kaku. Melihat tangan terulur, Mayang Sutera ragu-ra-
gu menyambutnya. Tapi karena dirinya tak ingin men-
dengar godaan Nyi Selasih, maka segera disambutnya
uluran tangan Jaka.
Geletar aneh seketika dirasakan Mayang Sutera
ketika telapak tangannya tergenggam erat telapak tangan Jaka. Geletar aneh itu
terus masuk ke dalam da-
danya, hingga gadis cantik berpakaian jingga itu merasa dadanya berdebar hebat.
Namun anehnya, debar
jantung yang sanggup membuat sekujur tubuhnya
bersimbah peluh terasa nikmat.
Apa yang dirasakan Mayang Sutera saat bersa-
laman, rupanya dialami pula oleh Jaka. Lelaki muda
usia yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandin-gannya itu, merasa
jantungnya berdetak hebat. Suatu perasaan aneh tiba-tiba menelusup masuk ke
dalam hatinya dan mengisi tempat kosong di situ.
"Ehm!"


Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah deheman lembut Nyi Selasih semakin
membuat perasaan Mayang Sutera dan Jaka bertam-
bah tidak menentu. Gambaran itu terlihat jelas dari wajah Mayang Sutera yang
bersemu merah bagai ke-piting rebus.
Tetapi tidak demikian dengan Jaka, lelaki muda
usia yang berjuluk Raja Petir terlalu pandai me-
nyembunyikan perasaan. Dengan telapak tangan ma-
sih menggenggam erat telapak tangan Mayang Sutera,
Jaka menyebutkan namanya.
"Namaku Jaka," ucap Jaka mantap. "Siapa na-mamu"!"
"Aku Mayang, Kakang," jawab dara cantik berpakaian jingga. "Mayang Sutera."
Jaka menatap lekat wajah Mayang Sutera. Tak
disangka, gadis cantik dengan rambut dikuncir kela-
bang membalas tatapannya. Seketika itu juga dua ta-
tapan mata penuh kelembutan bertemu.
"Ehm!"
Nyi Selasih kembali berdehem, namun sesung-
guhnya hati perempuan berusia lebih dari delapan puluh tahun itu bahagia tiada
terkira. Niatnya untuk
mempersatukan Jaka dan Mayang Sutera mulai me-
nemui titik terang.
"Ada sesuatu yang lebih penting kalian ketahui, daripada berpandang-pandangan
seperti itu," tukas Nyi Selasih pelan.
Perempuan berusia lanjut dengan pakaian
longgar putih itu, beranjak dari depan Jaka dan
Mayang Sutera. Dan kedua muda-mudi yang baru per-
tama berjumpa itu segera mengikuti langkah Nyi Selasih dengan perlahan-lahan.
"Apakah sesuatu itu ada hubungannya dengan
kematian Eyang Legar, Eyang?" tanya Jaka tak sabar.
Perempuan tua berpakaian putih itu mengge-
lengkan kepala.
"Lalu apa, Eyang?"
"Warisan," jawab Nyi Selasih mantap,
"Warisan...?" ulang Jaka bergumam.
Nyi Selasih tersenyum melihat kelakuan Jaka.
Dengan satu langkah mundur, perempuan tua itu me-
nempelkan tangannya ke punggung Jaka.
"Warisan, Jaka," ulang Nyi Selasih berbisik.
"Warisan yang harus kau rebut keberadaannya."
"Maksud, Eyang?" 2
Nyi Selasih segera menceritakan perihal sosok
sakti, yang puluhan tahun silam pernah malang melintang di dunia persilatan.
Masa almarhum Raja Petir turut menggeluti rimba keras demi mengusir tokoh-tokoh
keji golongan hitam.
"Jadi Sabuk Petir yang kumiliki sekarang belum lengkap keberadaannya, Eyang?"
ucap Jaka menegaskan. Nyi Selasih menganggukkan kepala.
"Sabuk Petir berwarna kuning keemasan itu
sebenarnya memiliki warna asli hijau, Jaka. Kalau kau mampu merebut Sabuk Petir
warna biru dari tangan
cucu Ki Durja Kelada, lalu kau persatukan dua sabuk berwarna berbeda itu, maka
Sabuk Petir akan berubah hijau. Tapi merebut Sabuk Petir dari tangan cucu Ki
Durja Kelada bukan persoalan ringan, karena bukan
tidak mungkin Ki Durja Kelada telah menurunkan se-
bagian dari seluruh kesaktiannya pada penerus yang akan muncul sebagai penguasa
rimba persilatan. Itu
adalah cita-citanya yang tak pernah terwujud ketika almarhum ayahku masih
hidup," papar Nyi Selasih panjang lebar.
"Apakah Ki Durja Kelada saat ini masih hidup,
Eyang?" tanya Jaka.
"Entahlah, namun yang jelas Eyang belum
mendengar berita kematiannya. Kalau pun masih hi-
dup, usianya tentu sudah terlalu renta untuk turut
meramaikan rimba persilatan saat ini. Itu sebabnya lelaki itu memunculkan
cucunya untuk menguasai rim-
ba persilatan seperti dicita-citakannya dulu," jelas Nyi Selasih. Jaka termenung
sejenak mendengar penjelasan Nyi Selasih, pikirannya menerawang mencari gamba-
ran sosok renta Ki Durja Kelada dan cucunya yang
mungkin memiliki kesaktian sama.
"Terus terang Eyang katakan, Eyang tidak tahu
kapan Ki Durja Kelada memunculkan cucunya untuk
meneruskan cita-citanya menguasai rimba persilatan.
Namun dari kejadian yang menimpa Mayang, Eyang
bisa menyimpulkan cucu Ki Durja Kelada sudah turun
gunung," sambung Nyi Selasih seraya menatap wajah Mayang Sutera.
Jaka juga ikut memandang wajah Mayang Su-
tera. Tatapan Jaka diartikan Nyi Selasih sebagai suatu keingintahuan, atas
kejadian yang dialami gadis berpakaian jingga.
"Tiga purnama setelah kepergianmu, Eyang
memutuskan tidak akan meninggalkan tempat ini.
Eyang melakukan kewajiban pada sang Pencipta Alam
Raya. Seluruh jiwa dan ragaku, Eyang serahkan kepa-
daNya. Namun kenyataannya, panggilan lain yang tak
kalah penting membuat Eyang hams meninggalkan
tempat ini. Naluri Eyang mengatakan, Eyang harus
berbuat sesuatu seperti yang pernah dilakukan Ki Legar.
Eyang menuruti panggilan hati nurani itu, dan
ternyata Eyang menjumpai sebentuk keangkara-
murkaan yang dilakukan beberapa lelaki yang memiliki kesaktian tinggi. Mereka
melakukan pembantaian pa-da sebuah perguruan yang kemudian Eyang ketahui
bernama Gelang Emas. Namun kiranya sang Pemeliha-
ra Jagat hanya mengizinkan Eyang menyelamatkan se-
lembar nyawa, selebihnya Eyang tak bisa berbuat apa-apa." "Dan orang yang
berhasil diselamatkan itu Mayang Sutera?" potong Jaka.
"Dugaanmu tepat, Jaka," sahut Nyi Selasih.
"Lalu siapa lelaki yang telah membuat bencana
di perguruan Gelang Emas, yang menewaskan seluruh
penghuninya?" selidik Jaka.
"Karena Eyang baru sekali bertemu dengan me-
reka, tentu Eyang tidak mengenalinya. Namun dari cerita Mayang, Eyang dapat
menyimpulkan salah satu
dari mereka adalah cucu Ki Durja Kelada," jelas Nyi
Selasih. "Cucu Ki Durja?" ulang Jaka Sembada dalam hati. "Yang menambah kuat
kesimpulan Eyang adalah pemberitahuan Mayang Sutera akan julukan salah
seorang dari mereka, yakni Dewa Petir," tambah Nyi Selasih menegaskan.
"Dewa Petir"!" ulang Jaka terkejut.
"Pemuda itu sebaya denganmu, Kakang Jaka.
Dan berpakaian serba biru serta mengenakan sabuk
biru," ucap Mayang Sutera menambahkan. "Sabuknya dapat menimbulkan seberkas
sinar keperakan bagai
sambaran petir. Itu yang menyebabkan ayahku tak
mampu menandingi kesaktiannya, begitu juga orang-
orang perguruan Gelang Emas. Sabuk biru yang mam-
pu menciptakan lontaran kilat bagai petir itu membuat semua tak berkutik.
Apalagi ketika pemuda yang mengaku berjuluk Dewa Petir mengeluarkan sebilah pe-
dang pusaka yang dina-makan 'Pedang Petir'. Seluruh penghuni Perguruan Gelang
Emas tak mampu berbuat
apa-apa. Pedang Petir pemuda yang berjuluk Dewa Pe-
tir begitu menggiriskan. Setiap satu jengkal pedang pusaka itu bergerak dari
tempatnya, maka beberapa
nyawa orang perguruan Gelang Emas dapat dipastikan
melayang. Sebetulnya nasibku juga seperti mereka, kalau saja Eyang Selasih tidak
segera menyambar tu-
buhku dan membawa lari ke tempat ini," papar
Mayang Sutera sejelas-jelasnya.
"Ada urusan apa antara Perguruan Gelang
Emas dengan lelaki yang mengaku berjuluk Dewa Pe-
tir, hingga pemuda itu melakukan kekejian begitu ru-pa?" tanya Jaka sambil
menatap tajam wajah Mayang.
"Setahuku ayah tak punya urusan apa-apa de-
ngan Dewa Petir, apalagi menurut ayah dirinya baru
pertama kali bertemu dengan pemuda yang mengaku
berjuluk Dewa Petir. Namun dari mulut Dewa Petir aku sempat mendengar, bahwa
tujuan perbuatannya itu
untuk mengacau kehidupan rimba persilatan golongan
putih dan memancing seorang lelaki muda yang berju-
luk Raja Petir," jawab Mayang Sutera mantap.
"Memancingku?" ulang Jaka Sembada dengan
tatapan mata dialihkan ke wajah Nyi Selasih.
"Dugaanku pemuda itu masih ingin memiliki
pusaka Raja Petir yang telah kau warisi, Jaka," jelas Nyi Selasih seolah
mengerti arti tatapan Jaka.
"Kalau begitu aku memang harus berhadapan
dengan Dewa Petir, Eyang," tukas Jaka Sembada.
"Tentu saja, Jaka. Tetapi tugasmu bukan hanya
merebut pusaka mendiang ayahku yang telah dicuri Ki Durja Kelada, tapi juga
harus menghentikan sepak terjang cucu Ki Durja yang bercita-cita mengacaukan
persilatan golongan putih," sahut Nyi Selasih.
Jaka menatap wajah Nyi Selasih dalam-dalam.
Sebenarnya pemuda itu ingin tahu lebih jauh menge-
nai Ki Durja Kelada. Apa hubungannya dengan ayah
kandung Nyi Selasih" Untuk apa Ki Durja mencuri
benda-benda pusaka milik ayah Nyi Selasih" Dan
mengapa Sabuk Petir terdiri dari dua bagian"
Tetapi Jaka hanya menyimpan rasa ingin ta-
hunya dalam hati. Namun pemuda itu tetap berharap,
semuanya akan terjawab tanpa harus meminta penje-
lasan secara langsung.
"Pada dasarnya Ki Durja lelaki yang baik. Lelaki itu teman sepermainan ayah.
Hingga ayah menaruh
kepercayaan penuh padanya. Juga ketika ayah menge-
tahui hubungan Ki Durja dengan tokoh sakti golongan hitam yang berjuluk Hantu
Lembah Gersang, sedikit
pun kepercayaan ayah padanya tidak berubah. Namun
ketika ayah menyadari pedang pusaka dan pasangan
sabuk kuning raib dari tempatnya, barulah ayah per-
caya Ki Durja telah terpengaruh Hantu Lembah Ger-
sang," papar Nyi Selasih seperti mampu membaca pertanyaan yang terpendam di hati
Jaka. "Lalu mengapa sabuk pusaka itu dapat terpisah
begitu rupa, Eyang?" tanya Mayang Sutera.
Jaka senang sekali mendengar pertanyaan yang
dilontarkan Mayang Sutera. Dengan demikian, perta-
nyaan yang sengaja dipendamnya kini akan menemu-
kan jawabannya.
"Sabuk Petir memang terdiri dari dua bagian,
Mayang. Satu berwarna biru dan yang satunya lagi
kuning. Jika seseorang ingin memiliki ilmu Sabuk Petir, maka orang itu harus
lebih dulu menguasai peng-gunaan sabuk biru, baru setelah itu mempelajari sa-
buk kuning. Akan tetapi, Jika seseorang ingin lang-
sung mempelajari ilmu sabuk kuning, maka orang itu
harus memiliki tenaga sakti lebih dahulu agar dapat menyesuaikan diri dengan
perbawa yang ada pada Sabuk Petir itu. Namun bukan berarti sabuk kuning lebih
ampuh dari sabuk biru. Keduanya mempunyai keam-puhan sama. Hanya cara
penguasaannya harus dari
sabuk biru terlebih dahulu," jelas Nyi Selasih lagi.
Perempuan berusia lanjut yang mengenakan
pakaian longgar putih, bangkit dari duduknya seraya menarik napas dalam-dalam.
"Yang menjadi kekhawatiran Eyang adalah Pe-
dang Petir yang kini berada di tangan Dewa Petir. Kalau tenaga dalamnya telah
mencapai titik sempurna,
ditambah dengan penguasaan jurus-jurusnya yang
dahsyat, Eyang tidak yakin kau dapat merebut pusaka itu tanpa harus bekerja
keras menguras tenaga. Dewa Petir bukan lawan yang ringan untukmu, Jaka. Namun
ada satu keuntungan yang telah tergenggam di tan-
ganmu," Nyi Selasih sengaja menghentikan perkataannya untuk memancing perubahan
diri Jaka. "Keuntungan apa, Eyang?" tanya Jaka ingin ta-hu.
"Betul, Eyang. Mayang juga pingin tahu," tambah gadis berpakaian jingga.
"Jaka memiliki kekuatan tenaga suci, karena
berada pada pihak yang benar dan berhak atas wa-
risan almarhum Raja Petir," jawab Nyi Selasih.
"Ah, mudah-mudahan Kakang Jaka mampu
menandingi Dewa Petir, Eyang. Dia harus menebus
kematian orangtua ku dan runtuhnya Perguruan Ge-
lang Emas," ucap Mayang Sutera sedikit melontarkan kegeramannya.
"Tidak baik mendendam seperti itu, Mayang,"
cegah Nyi Selasih.
"Tapi orang-orang seperti Dewa Petir memang
harus disingkirkan, Eyang. Agar tidak selalu membuat keonaran," sangkal Mayang
Sutera. Nyi Selasih tak menimpali ucapan Mayang Su-
tera, matanya kini beralih pada Jaka Sembada.
"Tinggallah di sini untuk beberapa malam, Ja-
ka. Perdalam semua yang kau miliki. Dan coba cipta-
kan jurus-jurus yang mungkin akan berguna untuk
menghadapi cucu Ki Durja Kelada. Eyang ingin kau
berhasil merebut hak waris itu," pinta Nyi Selasih.
Jaka hanya menundukkan kepala mendengar
ucapan Nyi Selasih. Dan ketika kepalanya terangkat, tokoh muda yang berjuluk
Raja Petir berkata perlahan,
"Doakan aku, Eyang. Semoga apa yang kita ha-
rapkan mendapat restu sang Pemelihara Alam Semes-
ta." Nyi Selasih menganggukkan kepala mendengar
tutur kata lembut Jaka.
*** Sudah dua belas malam Jaka menetap di ke-
diaman Nyi Selasih. Selama kurun waktu dua belas
malam itu, Jaka tak pernah melewatkan hari-harinya
untuk tidak memperdalam ilmu-ilmu kesaktian yang
dimiliki. Ditemani seorang gadis cantik berpakaian jing-
ga, lelaki muda yang berjuluk Raja Petir terus menga-sah ketajaman ilmunya. Dan
pada hari yang ketiga belas, berkat kepekaan dan kecemerlangan otaknya, Ja-
ka mampu menciptakan empat jurus yang cukup dah-
syat "Aku ingin kau memainkan empat jurus ciptaanmu secara beruntun, Kakang,"
pinta Mayang Sutera. "Bukankah besok kita akan meninggalkan tempat ini,
meninggalkan Eyang Selasih" Jadi Kakang tak
punya waktu lagi untuk memperagakan jurus-jurus
yang dahsyat itu," lanjut Mayang Sutera sambil memegang punggung tangan Jaka.
"Tanpa kau minta pun aku akan memainkan-
nya, Mayang," jawab Jaka sambil membalas cekalan tangan gadis cantik berpakaian
jingga. "Ayolah, Kakang. Aku sudah tak sabar menyak-
sikan jurus-jurus yang akan mampu menyingkirkan si
Keji Dewa Petir!" ketus ucapan yang keluar dan mulut Mayang Sutera.
"Baik!"
"Hup!"
Jaka segera melejit menjauhi tempat duduk
Mayang Sutera. Gadis cantik berpakaian Jingga pun


Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan hal yang sama. Gerakannya yang ringan
dan cepat dilakukan untuk memperlebar jarak dengan
Jaka yang hendak memperagakan jurus-jurusnya yang
dahsyat. Dalam jarak tak kurang dari dua belas tom-
bak, Mayang Sutera menyaksikan dengan tatapan ma-
ta tak berkedip setiap gerakan yang dilakukan Jaka.
Gadis cantik dengan rambut sebahu dikepang
kelabang, sangat kagum dengan jurus baru ciptaan
Jaka yang diberi nama jurus 'Menggiring Awan' Pada
jurus itu Jaka mengandalkan kecepatan geraknya yang sukar diikuti tatapan mata
biasa. Sementara kedua
tangannya yang terpentang lebar, didukung oleh kedudukan kaki pada kuda-kuda
sejajar. Kalau disaksikan secara sepintas, jurus 'Menggiring Awan' nampak begitu
sederhana. Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan terobosan-terobosan
dahsyat dari perubahan
kecepatan gerak tangan dan kaki Jaka. Setiap perubahan gerak selalu diikuti
dengan pengerahan tenaga dalam sempurna.
Demikian pula dengan jurus-jurus lain yang di-
peragakan lelaki muda berpakaian kuning keemasan.
Jurus 'Petir Memangsa Elang', 'Lejitan Lidah Petir' dan
'Hembusan Maut' diperagakan Jaka dengan sempurna.
Dan itu cukup membuat gadis berpakaian jingga ber-
tambah yakin sepak terjang Dewa Petir tak akan ber-
tahan lama. "Jurus-jurusmu sangat dahsyat, Kakang. Aku
yakin Dewa Petir tak akan bertahan lama pada keke-
jiannya," ucap Mayang Sutera sambil menyeka peluh yang memenuhi wajah tokoh muda
berpakaian kuning
keemasan. "Aku juga berharap demikian, Mayang," balas Jaka sambil menatap wajah gadis di
hadapannya. Mayang Sutera merasa risih melihat tatapan
Jaka yang seperti itu.
"Tatapan mu nakal, Kakang," umpat Mayang Sutera sambil menundukkan kepala
menekuri bagian
bawah pakaiannya.
"Karena kau cantik dan baik, Mayang," puji Ja-ka polos.
Lelaki berpakaian kuning keemasan sesung-
guhnya tak bermaksud melontarkan pujian, namun
pemuda itu merasa ada kekuatan aneh yang mem-
buatnya tak mampu menahan ucapan itu. Mayang Su-
tera yang mendengar pujian Jaka semakin me-
nundukkan kepala. Sementara hawa panas dirasakan
menjalari seluruh permukaan wajahnya. Seperti juga
Jaka yang baru pertama kali memuji kecantikan seo-
rang gadis, Mayang Sutera pun baru pertama kali itu mendapat pujian yang
didengarnya begitu tulus.
Sejenak dua insan berlainan jenis yang tengah
dilanda sebentuk perasaan asing, sating membisu.
Namun kebisuan itu mereka rasakan sebagai suatu
kenikmatan yang tak ternilai.
Namun sayang, kenikmatan itu segera terusir
ketika seorang perempuan tua berpakaian longgar pu-
tih datang dengan sebuah deheman, yang membuat
Jaka dan Mayang Sutera menoleh seketika.
"Ehm!"
3 Nyi Selasih perlahan menghampiri Jaka dan
Mayang Sutera. Wajahnya yang tersungging seulas se-
nyum, menampakkan gurat ketuaan yang memancar-
kan sinar kebahagiaan yang dalam.
"Sebelum meninggalkan tempat ini, Eyang ha-
rap kalian memperagakan ilmu-ilmu kalian untuk be-
berapa jurus saja. Eyang ingin kalian berhadapan seperti menghadapi musuh,
jangan ragu-ragu untuk sal-
ing menjatuhkan sesama kalian," ucap Nyi Selasih lembut. "Maksud Eyang, Mayang
akan pergi ke...."
"Mayang akan turut bersamamu meninggalkan
tempat ini, Jaka," sahut Nyi Selasih memotong perka-
taan Jaka. Lelaki muda berpakaian kuning keemasan, ter-
pana mendengar ucapan perempuan tua yang telah di-
anggapnya sebagai pengganti orangtua, Eyang dan
guru. "Eyang ingin Mayang menemani pengemba-
raanmu, Jaka," jelas Nyi Selasih menyadarkan pemuda itu dari rasa terkejutnya.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sejenak
memandang wajah keriput Nyi Selasih, dan pada saat
berikutnya tatapan Jaka menelusuri wajah cantik
Mayang Sutera. "Jangan menganggap remeh kemampuan Ma-
yang Sutera, Jaka," ucap Nyi Selasih membuat Jaka terkejut. "Sebelum Mayang
tinggal bersamaku, dia telah berlatih selama sembilan tahun di bawah tempaan
ayahnya di Perguruan Gelang Emas. Bisa kau bayangkan setinggi apa kemampuannya
dalam ilmu silat.
Apalagi setelah seluruh kemampuanku kuturunkan
padanya. Kau pasti akan kerepotan menghadapi se-
rangan-serangan dahsyat Mayang," lanjut Nyi Selasih.
"Ilmu silat yang kau miliki pasti sudah menca-
pai tingkat tinggi, Mayang," ujar Jaka menimpali ucapan Nyi Selasih.
"Kau lihat sendiri, Kakang," sahut Mayang Sutera. "Ayo ambil senjatamu, Mayang.
Dan gempur kakang mu habis-habisan. Jangan beri kesempatan,"
perintah Nyi Selasih,
Mayang Sutera segera beranjak menuju tempat
di mana Jaka melihatnya sedang duduk, pertama kali
"Kau sudah slap, Kakang?" tanya Mayang Sutera setelah mengambil senjatanya yang
berupa sebuah payung kecil, terbuat dari lempengan logam kuning.
"Aku siap, Mayang," sahut Jaka sambil melang-
kah mundur satu langkah.
"Kita mulai sekarang, Kakang. Kuharap kau
bersedia mengeluarkan jurus-jurus ciptaanmu yang
baru," pinta Mayang Sutera sambil mundur satu langkah. "Baik. Seranglah aku
lebih dahulu," putus Ja-ka.
Gadis cantik berpakaian jingga yang diberi ju-
lukan Dewi Payung Emas oleh Nyi Selasih, segera
membuat gerakan ke samping kiri. Tangan kirinya terkepal, seolah mendapat
dorongan kuat dari telapak
tangan kanan yang memegang payung. Sementara se-
pasang kaki rampingnya bergerak ringan tanpa me-
nimbulkan suara.
"Tahan seranganku, Kakang. Hiaaa...!"
Tubuh gadis cantik itu melesat cepat. Gerakan
yang dilakukan berkesan begitu ringan, namun mam-
pu menimbulkan suara cericit tajam dari telapak tangan yang membentuk cakar.
Jaka bersikap tenang menghadapi serangan
Mayang Sutera yang tertuju pada lambung dan da-
danya. Namun bukan berarti pemuda itu meremehkan
kemampuan gadis cantik asuhan Nyi Selasih. Jaka
hanya ingin menunggu serangan Mayang Sutera sam-
pai pada jarak beberapa jengkal.
Wrut! "Hup!"
Jaka segera berkelit ketika dua jengkal lagi se-
rangan Mayang Sutera merobek lambung dan da-
danya. Ringan dan sigap cara mengelak yang di-
lakukan lelaki muda yang berjuluk Raja Petir. Namun Mayang Sutera bukan gadis
sembarangan, ketika Jaka
dengan mudah mengelakkan serangan pertamanya,
Mayang Sutera segera memberikan serangan susulan
yang tak kalah cepat dan dahsyat.
"Baik. Seranglah aku lebih dahulu," ujar Jaka.
"Tahan seranganku, Kakang...!" Dewi Payung Emas bergerak ke kiri. Sementara,
tangan kanannya yang memegang payung diayunkan ke depan.
Melihat ini, Raja Petir hanya bersikap tenang
Pemuda itu menunggu serangan Mayang Sutera sampai pada jarak beberapa jengkal!
Sebuah sambaran tangannya tertuju ke pelipis
Jaka dengan kecepatan tinggi.
"Hiaaa...!"
"Heh"!"
Jaka terkejut melihat gerakan tangan Mayang
yang tiba-tiba saja sudah berada di depan wajahnya.
Tapi bukanlah Raja Petir jika dirinya gugup mengha-
dapi ancaman dahsyat itu, dengan menarik kepalanya
ke belakang, cengkeraman dua telapak tangan Mayang
Sutera yang terarah ke kiri dan kanan pelipisnya
mampu dielakkan dengan sigap. Bahkan dalam kedu-
dukan tubuh melenting ke belakang, Jaka mampu
memberikan serangan balasan dengan mencoba meno-
tok ulu hati Mayang Sutera.
"Uts!"
Mayang terkejut mendapatkan serangan yang
tak terduga dari Jaka. Gadis cantik itu meloncat sebisanya ke belakang,
menghindari serangan Jaka.
Serangan kini diambil alih Jaka. Pemuda itu
segera memperagakan jurus baru, hasil ciptaannya.
Tubuh Jaka kini berada di udara dengan dua telapak
tangan terarah ke depan, seperti gerakan terkaman
burung elang, dan dua telapak tangan Jaka mencari
sasaran dada dan kepala Mayang Sutera.
"Jaga seranganku, Mayang!"
"Hiyaaa...!"
Gadis cantik berpakaian jingga yang memang
sudah menyaksikan jurus 'Petir Menyambar Elang'
yang cukup dahsyat, segera memutar senjatanya yang
berupa payung dan terbuat dari logam keras kuning.
Payung yang masih kuncup itu berputar cepat hinggap menimbulkan deru keras.
Wruuuk! Wruuuk!
Jaka yang tak menduga Mayang melakukan
tangkisan dengan mempergunakan senjata, segera
mengurungkan serangannya. Tetapi karena kecepatan
serangan Jaka cukup cepat, maka pemuda itu kerepo-
tan sendiri. Lelaki berpakaian kuning keemasan itu
menarik kembali tangannya, untuk menghindari ben-
turan dengan senjata Mayang Sutera yang diputar
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, sementara
tubuh Jaka yang berada di udara segera dilempar ke
kanan. Setelah berguling di tanah tiga kali, dengan bertumpu pada telapak
tangannya, Jaka melejit ringan ke udara dan kemudian mendarat dengan manis.
"Hup!"
*** "Serang Jaka dengan senjatamu, Mayang!" perintah Nyi Selasih melihat Mayang
Sutera berhasil
mengelakkan serangan Jaka yang mempergunakan ju-
rus 'Petir Menyambar Elang'.
Mayang Sutera yang mendengar ucapan Nyi Se-
lasih, segera melaksanakan perintah nenek tua berpakaian longgar putih itu.
Payung kuncup yang tadi dipergunakan untuk
menangkis serangan Jaka, kini sudah terkembang.
Nampak ruas-ruas payung berujung lancip bagai mata
tombak. Dan dapat dipastikan ujung-ujung lancip itu dipergunakan sebagai senjata
untuk menyerang.
Wrrrt...! Wrrrt...! Wrrrt...!
Payung kecil yang terbuat dari logam keras
yang kini terkembang itu berputar cepat. Bunyi bergemuruh mengiringi perputaran
senjata yang kini tak
nampak lagi wujud aslinya, hanya sinar kuning menyilaukan mata yang nampak
melingkar-lingkar di depan
dada Mayang Sutera. Sementara angin keras yang ke-
luar dari putaran senjata yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, mampu
menerbangkan kerikil-
kerikil yang berserakan di sekitar arena pertarungan.
Sebagian dari kerikil-kerikil itu meluruk deras ke arah Jaka. "Gila!" gumam Jaka
dalam hati. Lelaki muda yang menjadi lawan Mayang Sutera segera melakukan
gerakan cepat menghindari terjangan kerikil-kerikil
yang terhalau putaran senjata gadis cantik itu.
"Hiaaat..!"
Pada saat Jaka sibuk menghindari lontaran ke-
rikil-kerikil, Mayang Sutera segera menghentikan gerakan payungnya dan
mengimbangi dengan lesatan tu-
buh ke arah Jaka. Lesatan tubuh yang cukup cepat
dengan disertai tebasan kuat payung logam yang men-
garah ke leher Jaka, membuat lelaki berpakaian kun-
ing keemasan terhenyak sesaat
"Heh"!"
"Hip!"
Wruk! Sambaran senjata Mayang Sutera lolos dari sa-
saran ketika tubuh Jaka melejit cepat dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah
Petir'. Mayang Sutera
yang sudah mengetahui kecepatan gerak jurus 'Lejitan Lidah Petir' mencoba
mengimbangi dengan kecepatan
gerak yang dimilikinya. Kembali tubuh gadis cantik
berpakaian jingga mencelat ke arah Jaka. Payungnya
yang terkembang, kembali ditebas ke bagian tubuh lawan yang mematikan.
Wruk! "Hip!"
Jaka melejitkan tubuhnya untuk menghindari
terjangan senjata Mayang Sutera yang dahsyat. Dan
ternyata gerakan yang dilakukan Jaka lebih cepat dari sambaran payung kecil
Mayang Sutra. Melihat serangannya berhasil dielakkan Jaka, gadis cantik berambut
kepang kelabang kembali melancarkan serangan-serangan dahsyat. Tapi kali ini
Mayang Sutera cukup berhati-hati melakukannya, sebab gadis itu tahu bahwa di
balik gerakan-gerakan menghindar Jaka, ter-
sembunyi serangan balik yang tak kalah cepat dan
dahsyatnya. Dugaan gadis cantik berpakaian jingga memang
tak meleset sedikit pun. Ketika lelaki berpakaian kuning keemasan berhasil
menghindari serangannya den-
gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', pemuda itu segera mempertontonkan
kebolehannya. Serangan
balasan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar
Elang' seketika terlihat. Tubuh Jaka yang berada di udara berbalik cepat dan
meluruk ke arah Mayang Sutera dengan dua telapak tangan menyambar ke arah
kepala dan dada.
"Hup!"
Gadis cantik berpakaian jingga yang berjuluk
Dewi Payung Emas segera melakukan loncatan cepat
ke belakang, menghindari serangan yang seperti ter-
kaman seekor burung elang. Cepat dan manis cara
menghindar yang dilakukan Mayang Sutera. Tubuhnya


Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berada di udara berputaran dua kali, dan ketika mendarat payung kuningnya
sudah berputaran menghadang luncuran tubuh Jaka.
Wrrrt..! Melihat Mayang Sutera kembali memainkan
senjata andalannya, Jaka segera merubah jurus, hing-ga tubuhnya mencelat ke
belakang dengan mengerah-
kan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Hop! Tubuh Jaka mendarat dengan manis sejauh li-
ma tombak dari hadapan gadis berambut panjang di-
kepang kelabang. Dan di samping kanan Jaka, kira-
kira dua setengah tombak, berdiri sosok tua Nyi Selasih dengan wajah terulas
senyum kebanggaan.
"Sungguh menakjubkan gerakan-gerakan yang
kalian lakukan, indah namun berbahaya," puji Nyi Selasih. "Semua ini berkat
Eyang juga," kilah Jaka merendah. "Benar, Kakang. Tanpa Eyang, kita bukan apa-
apa," timpal Mayang Sutera.
"Jangan kalian lupakan kebesaran sang Pencip-
ta Semesta Alam ini," tukas Nyi Selasih memperingatkan. "Tentu saja tidak,
Eyang," sahut Jaka.
"Syukur jika memang demikian," ucap Nyi Selasih. "Sekarang beristirahatlah.
Besok, sebelum fajar kalian harus sudah meninggalkan tempat ini," lanjut Nyi
Selasih sambil menatap wajah Jaka dan Mayang
bergantian. Dalam hati, Nyi Selasih mengagumi keserasian
Jaka dan Mayang Sutera. Ah, semoga mereka dapat
mempertahankan kebersamaannya, bisik hati Nyi Se-
lasih. 4 Sebelum ayam berkokok, Mayang Sutera sudah
terjaga dari tidurnya yang pendek, begitu juga Nyi Selasih. Namun tidak demikian
dengan Jaka, semalaman
pemuda itu tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya
bercampur aduk antara sosok lelaki muda yang berju-
luk Dewa Petir dan sosok gadis cantik jelita yang bernama Mayang Sutera. Jaka
tahu perasaan apa yang
menjalari hatinya kini terhadap Mayang Sutera. Cinta.
Ya, cinta. Apakah Mayang Sutera juga merasakan hal yang sama" tanya hati Jaka.
"Semalaman kau tidak tidur, Jaka. Apa yang
kau pikirkan?" tanya Nyi Selasih sambil membetulkan letak rambut yang sudah
memutih seluruhnya. "Kau memikirkan cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk Dewa
Petir itu" Atau kau memikirkan...," Nyi Selasih menggantung ucapannya, namun
matanya yang melirik
Mayang Sutera membuat kalimat yang menggantung
itu menjadi jelas maknanya.
Jaka hanya menundukkan kepala mendengar
ucapan perempuan tua itu, yang sangat tepat dengan
perasaan hatinya.
"Mayang juga begitu, Jaka," lanjut Nyi Selasih kemudian. "Eyang lihat tidurnya
begitu gelisah. Tak bi-sa diam."
Mayang Sutera mendengar perkataan Nyi Se-
lasih, tidak dapat membantah kebenaran perkataan
itu. Itu sebabnya gadis cantik berambut panjang dikepang kelabang memilih diam
daripada mengomentari
ucapan Nyi Selasih.
"Sekarang saatnya kau serahkan apa yang telah
kau kerjakan berminggu-minggu ini, Mayang. Suruh
Jaka mengenakannya, biar kakang mu bertambah ga-
gah dan tampan," perintah Nyi Selasih kemudian.
Jaka terperangah mendengar ucapan Nyi Sela-
sih. Namun ketika melihat Mayang Sutera mengambil
sesuatu dan membawa ke hadapannya, barulah Jaka
mengerti maksud ucapan Nyi Selasih.
"Yang berwarna putih ini pakaian dalam, Ka-
kang. Sedang yang kuning keemasan lapisan luarnya,"
jelas Mayang Sutera sambil menunjukkan dua pakaian
yang warnanya berbeda. "Pakaian yang dikhususkan untuk Kakang ini adalah hasil
karya Eyang. Sedang
aku hanya membantu menyulam nya sedikit," lanjut gadis cantik berpakaian jingga.
"Gadismu pandai merenda, Jaka," kilah Nyi Selasih mendengar ucapan Mayang
Sutera. "Gantilah pa-kaianmu dengan yang baru," perintah Nyi Selasih.
Jaka tentu saja tak menolak satu pasang pa-
kaian yang disodorkan Mayang Sutera. Dan dengan
mengambil tempat yang agak tersembunyi, Jaka men-
genakan pakaian hasil buatan dua perempuan yang
memberikan perhatian lebih padanya.
"Wuaaah! Seperti pangeran saja kau, Cucuku,"
puji Nyi Selasih. "Seorang pangeran dan sekaligus seorang pendekar," lanjut
perempuan berpakaian putih dengan tatapan mata merayapi sekujur tubuh Jaka.
Sedangkan Mayang Sutera tak mampu berkata-
kata melihat perubahan diri Jaka. Di matanya penam-
pilan pemuda yang berjuluk Raja Petir ini luar biasa mempesona, begitu gagah dan
tampan. "Kakang mu bertambah gagah dan tampan, bu-
kan?" tanya Nyi Selasih pada Mayang Sutera.
Gadis cantik berpakaian jingga tak menjawab
pertanyaan Nyi Selasih, namun kepalanya terangguk
sebagai tanda setuju dengan ucapan itu.
Sementara Jaka yang mengenakan pakaian ba-
ru yang berupa pakaian dalam terbuat dari bahan
lembut berwarna putih dan pakaian luar berupa jubah longgar berwarna kuning
keemasan, menjadi agak risih dengan ucapan Nyi Selasih dan anggukan kepala
Mayang Sutera. "Kau akan bertambah gagah jika berhasil me-
nyandang Pedang Petir yang berada di tangan Dewa
Petir, Jaka," tambah Nyi Selasih.
"Semoga harapan Eyang direstui sang Penguasa
Jagat ini," sambut Jaka pelan.
Nyi Selasih menatap wajah Jaka dalam-dalam,
sebuah tatapan mata yang begitu sarat dengan kasih
sayang. Tatapan seperti itu juga diberikan pada
Mayang Sutera. "Sekarang kuizinkan kalian pergi meninggalkan
tempat ini. Eyang harapkan kalian menjadi pasangan
abadi yang selalu membela kebenaran dan mencegah
kebatilan. Biarkan Eyang sendiri di tempat ini. Eyang ingin memberikan sisa
hidup ini untuk sang Pencipta Makhluk dan Jagat Raya," pelan namun pasti ucapan
yang keluar dari mulut Nyi Selasih.
"Eyang...."
Mayang Sutera tak mampu menahan rasa ha-
runya, mendengar ucapan perempuan tua yang telah
menganggapnya sebagai cucu sendiri. Wajah gadis
cantik itu dihiasi rona kemerahan. Selang beberapa
lama kemudian, dari kelopak matanya mengalir bu-
tiran air mata membasahi pipinya yang berkulit putih halus. "Eyang....
Sebenarnya tidak...."
"Jangan khawatirkan keadaan Eyang di sini,
Mayang. Eyang tidak sendirian di tempat ini. Eyang
yakin, bila Eyang ingin selalu dekat dengan sang Pemelihara Jagat Raya, maka Dia
pun akan selalu dekat dengan Eyang. Karena itu, buanglah rasa khawatir
yang ada di hatimu. Tugasmu sebagai orang muda
yang memiliki kepandaian ilmu silat adalah hidup
bermasyarakat, dan mengamalkan ilmu yang kau mili-
ki sebagai wujud pengabdianmu pada masyarakat, wu-
jud tenggang rasa dan wujud kewajiban," jelas Nyi Selasih menyambung ucapan
Mayang Sutera. "Jika demikian, doakan kami agar selalu berada dalam lindungan sang Pencipta
Alam Raya, dalam
mengarungi rimba persilatan yang keras ini, Eyang,"
tukas Jaka dengan tatapan mata tertuju lurus ke wa-
jah Nyi Selasih.
"Doa Eyang akan selalu menyertai kalian," sahut Nyi Selasih sambil menyentuh
punggung Jaka. "Berangkatlah kalian sekarang, dan berpijaklah selalu pada kebenaran," ujar Nyi
Selasih. "Eyang...."
Mayang Sutera berhambur, memeluk tubuh pe-
rempuan tua berpakaian longgar putih.
"Berangkatlah, Mayang. Jangan berkata apa-
apa lagi, jika hanya membuat hatimu berat dan sedih,"
pinta Nyi Selasih.
Mayang Sutera melepas pelukannya dan de-
ngan punggung tangan disekanya air mata yang men-
galir. "Baiklah, Eyang. Kami pergi sekarang!" mantap ucapan yang keluar melalui
bibir tipis Mayang Sutera.
"Begitu seharusnya ucapan seorang pendekar,
tegas dan mantap," puji Nyi Selasih.
Terharu Mayang Sutera dan Jaka mendengar
ucapan Nyi Selasih, mereka segera membungkukkan
tubuh sebagai tanda hormat yang tinggi.
"Kami berangkat sekarang, Eyang," putus Jaka seraya bangkit diikuti Mayang
Sutera. Beberapa saat lamanya mata Jaka menatap wa-
jah Nyi Selasih. Tapi pada saat berikutnya, tubuh lelaki yang terbalut jubah
kuning keemasan sudah mele-
sat cepat bagai kilat. Begitu juga dengan Mayang Sutera. Gadis cantik berpakaian
jingga melakukan gerakan lari yang ringan dan cepat. Dua bayangan kuning dan
jingga pun berkelebat cepat menembus tirai putih yang melindungi mulut gua dari
pandangan luar.
*** Sang Surya sebentar lagi muncul dari pera-
duan. Terlihat dengan munculnya cahaya kemerah-
merahan pada kaki langit sebelah timur. Sementara di mulut Desa Serungsing,
nampak dua sosok tubuh
berpakaian kuning keemasan dan jingga sedang berja-
lan perlahan. "Ke mana tujuan pertama kita, Kakang?" tanya gadis cantik berpakaian jingga.
"Aku ingin mengunjungi Perguruan Hijau Ke-
muning lebih dahulu, Mayang. Tapi kalau kau punya
rencana lain, kita lihat saja mana yang lebih baik," jawab Jaka.
"Kalau aku boleh tahu, siapa yang kau kunjun-
gi di Perguruan Hijau Kemuning, Kakang?" pinta Mayang Sutera halus.
Jaka menatap wajah gadis cantik yang menjaja-
ri langkahnya. Seulas senyum menghias wajahnya se-
belum Jaka menjawab pertanyaan Mayang Sutera.
"Ibuku, adik kandungku, paman ku, dan yang
lainnya," Jawab Jaka sedikit melucu.
"Yang lainnya siapa, Kakang?" tanya Mayang Sutera bernada sumbang.
Jaka tahu arti nada sumbang yang timbul dari
pertanyaan Mayang Sutera. Niat untuk menggoda ga-
dis cantik di sebelahnya muncul seketika.
"Yang lainnya tentu saja penghuni Perguruan
Hijau Kemuning, Mayang," jawab Jaka. "Termasuk Seruni," lanjut Jaka. "Cukup lama
aku tak melihat wajahnya."
Semburat rona merah seketika menghiasi wa-
jah Mayang Sutera, ketika didengarnya sebuah nama
yang begitu bagus. Mayang Sutera segera me-
nundukkan kepala, menekuri tanah.
"Seruni pasti cantik," ucap Mayang Sutera, dan getaran suara gadis itu membuat
Jaka terharu. "Seruni memang cantik, Mayang," tegas Jaka.
Mayang semakin menundukkan kepala. "Kau kenapa, Mayang?" selidik Jaka. Hatinya
jadi tak enak melihat sikap gadis di sebelahnya yang kelihatan kecewa.
Mendengar pertanyaan Jaka, Mayang Sutera
segera mengangkat kepala.
"Ah, tidak apa-apa, Kakang," jawab Mayang Sutera berbohong, padahal di dadanya
ada gemuruh yang dahsyat ketika Jaka memuji kecantikan Seruni
"Mayang, Seruni anak kandung Paman Terala,
berarti masih saudaraku. Memang tak salah jika aku
menjalin hubungan dengan Seruni, maksudku hubun-
gan antara lelaki dan perempuan. Tapi itu hal yang
mustahil kulakukan, karena aku telah menganggap
Seruni seperti Soraya, adik kandungku," jelas Jaka.
"Kakang...."
"Kau punya tujuan lain, Mayang?" potong Jaka hati-hati.
Mayang Sutera menatap wajah Jaka.
"Kakang tidak keberatan jika kita lebih dulu
mengunjungi Perguruan Gelang Emas?" pinta Mayang Sutera. "Kenapa harus
keberatan" Asal tujuan kita ke sana tidak untuk seorang pemuda yang...," goda
Jaka dengan gaya lucu.
"Ih, Kakang!"
Mayang ingin meninju bahu Jaka, namun gera-
kannya terhenti di udara.
"Kenapa tidak dilanjutkan, Mayang?" goda Jaka lagi. "Ada sesuatu yang hendak
kuambil di perguruan ayahku, Kakang," tukas Mayang Sutera tidak mempedulikan
godaan Jaka. "Boleh aku tahu, apa itu?"
"Kitab Perguruan Gelang Emas," jawab Mayang Sutera pelan.
"Hm... Sebuah kitab pusaka. Apa kitab itu me-
nurutmu masih ada di tempatnya?" selidik Jaka.
"Mudah-mudahan masih ada. Tempat penyim-
panan Kitab Perguruan Gelang Emas sangat rahasia.
Barangkali dari sekian banyak orang yang dipercayai ayah, cuma aku yang
mengetahui tempat penyimpa-nan benda berharga itu," jawab Mayang Sutera menje-
laskan. "Kalau begitu kita harus cepat ke sana," putus Jaka. "Lalu bagaimana
dengan rencana Kakang men-
gunjungi Perguruan Hijau Kemuning?"
"Kita laksanakan setelah kau mendapatkan ki-
tab pusaka itu."
Terharu hati Mayang Sutera mendengar ucapan
lelaki muda yang memiliki kesaktian begitu tinggi
"Terima kasih atas kesediaanmu, Kakang,"
ucap Mayang Sutera.
"Ayolah, jangan membuang-buang waktu," kilah Jaka sambil meraih tangan Mayang
Sutera. Tanpa banyak cakap lagi, Mayang Sutera men-
dahului Jaka melesat ke selatan. Sigap dan cepat gerakan yang dilakukan Mayang
Sutera, cukup membuat
kekaguman Jaka semakin bertambah.
"Hop!"
Jaka segera melakukan hal yang sama. Ringan
saja kakinya menghentak di tanah, namun akibatnya
sungguh luar biasa. Tubuh lelaki muda yang terbalut jubah kuning keemasan mampu
menjajari tubuh gadis
berpakaian jingga yang telah melesat lebih dahulu.
Dua sosok tubuh berpakaian kuning keemasan dan
jingga pun melesat cepat, hingga yang nampak hanya
seleret sinar kuning dan jingga yang saling berkejaran.
Tanpa henti mereka berlari dengan pengerahan
ilmu lari cepat tingkat tinggi, hingga dalam waktu yang tidak lama bangunan


Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perguruan Gelang Emas sudah
terlihat Jaka dan Mayang Sutera. Mayang Sutera ter-
cekat melihat beberapa orang berpakaian hitam berdiri di depan pintu gerbang
Perguruan Gelang Emas. Mereka tampaknya sedang berjaga-jaga.
"Kau kenal mereka, Mayang?" tanya Jaka sambil memperhatikan gerak-gerik mereka.
Mayang Sutera menjawab pertanyaan Jaka
dengan gelengan kepala.
"Kalau begitu mari kita datangi mereka baik-
baik dan kita tanyakan keberadaan mereka di situ,"
ajak Jaka kemudian.
"Ayo, Kakang. Namun kita harus waspada. Ge-
rak-gerik mereka sangat mencurigakan," tukas Mayang Sutera. "Ya...!"
Jaka melangkah perlahan diiringi Mayang Sute-
ra. Ketika setengah tombak lagi keduanya tiba di muka pintu gerbang, Jaka segera
menyapa lelaki berpakaian hitam dengan tutur kata sopan.
"Maaf, Kisanak," ucap Jaka mantap. "Apakah ini bangunan Perguruan Gelang Emas?"
Lelaki berpakaian hitam yang ditanya Jaka ti-
dak segera menjawab. Mata lelaki itu malah meneliti sekujur tubuh Jaka dan
Mayang Sutera bergantian.
Demikian pula tiga lelaki lainnya yang berdiri di samping lelaki berpakaian
hitam beralis tebal.
"Mau apa kau tanyakan hal itu, heh"!" bentak lelaki beralis tebal sambil
berkacak pinggang.
"Aku ada urusan dengan orang-orang Gelang
Emas," jawab Jaka tenang.
"Anak muda, kau tak akan menemukan orang-
orang Perguruan Gelang Emas di sini. Mereka semua
telah menjadi santapan cacing tanah," bantah lelaki berpakaian hitam yang
bercambang agak kemerahan.
"Lalu kalian siapa" Dan mengapa berada di
Perguruan Gelang Emas?" tanya Jaka lagi masih bersikap tenang.
"Hei! Rupanya kau sengaja ingin mencampuri
urusan kami, heh" Kuperingatkan padamu, Anak Mu-
da. Pergilah secepatnya dari hadapanku kalau tak ingin tubuhmu kucincang dengan
senjataku ini!" gertak lelaki beralis tebal sambil mengelus-elus sebilah golok
berbentuk persegi empat
Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan lela-
ki beralis tebal.
"Kurang ajar! Aku tidak main-main dengan
ucapanku. Cepat pergilah sebelum kesabaranku hi-
lang!" bentak lelaki itu keras.
"Aku tidak main-main, Kisanak. Gadis yang be-
rada di sebelah ku ini putri tunggal pemimpin per-
guruan ini. Jadi seharusnya aku yang menyuruh ka-
lian pergi dari sini. Tapi tidak akan kulakukan karena aku harus tahu apa yang
kalian kerjakan di Perguruan Gelang Emas," kilah Jaka
"Majikanku sedang mencari Kitab Gelang-
gelang Emas, maka kuminta kalian jangan coba-coba
menghalangi keinginanku yang gemar memanggang
jantung manusia, apalagi jantung gadis cantik sepertimu!" ucap lelaki bercambang
agak kemerahan.
"Jangan asal bicara, Kisanak. Justru aku yang
akan memanggang batok kepala majikanmu," balas Mayang Sutera dengan suara
sedikit ditekan.
"Hei"! Ternyata gadis cantik sepertimu punya
nyali juga?" ejek lelaki beralis tebal.
"Jangan banyak mulut! Cepat suruh majikan
kalian keluar. Dia tak akan menemukan apa-apa di dalam, jangan tunggu sampai aku
masuk ke dalam un-
tuk memecahkan kepalanya dengan kepalan ku!" tukas Mayang Sutera menimpali
ejekan lelaki beralis
tebal. "Jangan teruskan gurauan mu, Gadis Manis.
Sayangilah kecantikanmu dan manfaatkan untuk me-
narik perhatian majikanku," bantah lelaki bercambang agak kemerahan.
"Kau yang seharusnya pandai menjaga kesela-
matan majikanmu, Kisanak," ujar Jaka marah mendengar ucapan lelaki bercambang
itu. "Kurang ajar! Kalian pikir aku tak mampu men-
gusir dengan kekerasan. Pergilah cepat!"
Lelaki beralis tebal segera mencabut golok per-
segi empat dari sarungnya. Seberkas sinar berkilau da-ri senjata yang tertimpa
sinar matahari.
"Jangan hanya kau yang menghunus senjata,
Kisanak. Suruh ketiga temanmu mencabut senjata
mainan anak-anak itu," ejek Jaka membuat lelaki beralis tebal memerah wajahnya.
"Bedebah! Kucincang kau!"
Lelaki berpakaian hitam yang beralis tebal se-
gera menerjang Jaka dengan senjata. Gerakannya yang ringan dan cepat menandakan
kemampuan ilmu silat
yang dimilikinya cukup tinggi. Jaka tentu saja tak
menganggap enteng serangan lawan yang berkelebat
cepat ke arah leher. Suara angin yang menderu me-
nandakan serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiaaa!"
Bet! "Uts!"
Jaka segera menarik mundur kepalanya ketika
senjata lawan sejengkal lagi mengenai leher. Dari serangan pertama pun mengenai
tempat kosong. Namun
kecepatan luar biasa kembali dipertontonkan lelaki beralis tebal, ketika mata
senjata berbalik dan terarah ke sasaran yang sama.
Jaka yang sudah dapat mengukur ketinggian
tenaga dalam lawan, segera mengerahkan tenaga da-
lamnya yang jauh di atas lawan. Pemuda itu mengang-
kat tangannya untuk memapaki golok persegi empat
yang berkelebat mengancam leher.
Trak! "Ikh!"
Tubuh lelaki beralis tebal terpental mundur se-
jauh lima langkah. Di wajah lelaki itu tergurat seringai kesakitan yang luar
biasa rasanya. Sementara senjatanya yang berupa sebilah golok besar persegi
empat terlepas dari genggaman.
"Bocah Setan!" maid lelaki itu sambil mengelus-elus pergelangan tangan yang
terasa nyeri bukan kepa-lang. "Ringkus dan bunuh dia!" perintah lelaki itu
kemudian, pada tiga temannya yang mematung karena
terkejut melihat Jaka tidak terluka sedikit pun oleh senjata lawan.
Tiga lelaki berpakaian hitam segera berloncatan
mengurung Jaka dan Mayang Sutera.
Srat! Srat! Srat!
Tiga lelaki itu langsung mencabut senjata. Dan
dalam waktu yang bersamaan melejit, memburu tubuh
Jaka dan Mayang Sutera.
"Hiyaaa...!"
5 Tiga lelaki berpakaian hitam langsung menye-
rang dengan mempergunakan senjata. Tebasan dan
tusukan mereka mengarah ke bagian-bagian memati-
kan tubuh Jaka dan Mayang Sutera. Suara angin yang
menderu dan bercericitan menyemarakan pertempu-
ran. Agaknya tiga lelaki itu tidak tang-gung-tanggung dalam melakukan serangan.
Mereka mengerahkan kekuatan tenaga dalam untuk merobohkan Jaka dan
Mayang Sutera. Namun rupanya ketiga lelaki itu tak mengeta-
hui dengan siapa mereka berhadapan. Seorang lelaki
muda yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan seorang digdaya yang berjuluk
Raja Petir. "Jangan lukai mereka, Mayang," ucap Jaka pa-da saat tubuhnya merapat ke tubuh
Mayang Sutera. Mata Mayang Sutera nampak melebar karena
tidak mengerti maksud ucapan Jaka.
"Kita belum tahu persoalan yang sebenarnya,
dan siapa empat lelaki berpakaian hitam itu," jelas Ja-ka.
Mayang Sutera tak menimpali ucapan Jaka.
Gadis cantik berpakaian jingga itu kembali
menghadapi serangan dua lelaki bersenjata golok persegi empat
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Dua senjata tajam yang berkilatan tertimpa si-
nar matahari berkelebat cepat ke arah lambung dan
leher Mayang Sutera.
Gadis cantik berambut panjang dikepang kela-
bang yang besar di Perguruan Gelang Emas, tentu saja bersikap waspada terhadap
serangan berbahaya itu.
Bola matanya yang hitam pekat menunjukkan kewas-
padaan ketika gadis itu menunggu serangan yang akan datang lebih dulu. Dan
ketika serangan yang menuju
lambungnya tiba, Mayang Sutera segera meliukkan tu-
buh seperti seorang penari.
Bersamaan dengan liukan tubuh Mayang Sute-
ra, serangan lain yang datang mencecar leher dielakkan dengan merundukkan badan
sedikit. Akibatnya
dua serangan yang dilancarkan lelaki berpakaian hi-
tam kandas. Dan bukan itu saja kebolehan yang dipertontonkan Mayang Sutera. Di
tengah gerakan meng-
hindar yang dilakukannya, gadis cantik putri Ketua
Perguruan Gelang Emas mampu memberikan serangan
beruntun. "Haaat...!"
Bugkh! Plak! "Argkh!"
Dua orang lawannya langsung terpental, terke-
na tendangan lurus yang menghantam dada dan tam-
paran kilat yang menghajar pelipis. Kedua lelaki itu terhuyung sejauh empat
langkah. Sementara dari mu-lutnya terdengar erangan kesakitan yang
berkepanjangan. Jaka, yang meski tengah bertarung menghadapi
lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak kemerahan sempat menyaksikan
kebolehan Mayang Sutera.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dua lelaki ber-
senjata itu mampu dilumpuhkan Mayang Sutera. Ke-
nyataan itu cukup membuat Jaka ingin memberi pela-
jaran pada dua orang lawannya.
Maka ketika dua orang lawannya menerjang
dengan senjata terhunus, Jaka segera melayani de-
ngan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang menitikberatkan pada kecepatan gerak.
"Hiaaa!"
Bet! Bet! "Ops!"
Serangan lawan yang terarah ke dada dan paha
Jaka membentur tempat kosong. Kedua lelaki itu ter-
kejut bukan main melihat tubuh Jaka tiba-tiba meng-
hilang. Dan ketika menyadari pemuda itu telah berdiri di belakangnya, mereka
segera berbalik dengan cepat.
Namun pada saat yang sama, Jaka melakukan
sebuah gerakan cepat dalam rangkaian jurus
'Menggiring Awan'. Tubuh Jaka melejit dengan kedu-
dukan tangan terentang. Dan ketika tubuhnya berada
di udara, dengan kecepatan yang luar biasa Jaka me-
luruk turun, dan memberikan totokan tepat ke urat
leher lawan. Tuk! Tuk! "Krgkh...!"
Lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak
kemerahan seketika ambruk ke tanah. Keduanya
menggelepar untuk beberapa saat lamanya, dan pada
saat berikutnya tak mampu bergerak lagi.
Mayang Sutera segera menghampiri Jaka.
"Mari kita masuk ke dalam, Kakang," ajak Mayang Sutera tak sabar.
"Sebentar, May...."
Belum lagi ucapan Jaka selesai, terdengar buah
tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Begitu kuat suara tawa itu hingga Jaka harus menge-
rahkan kekuatan tenaga dalam untuk mengimban-
ginya. Demikian pula yang dilakukan Mayang Sutera.
Hanya tiga kali tegukan teh suara tawa itu ter-
dengar, hingga menggetarkan sekitar tempat pertarungan. Selanjutnya dua bayangan
kemerahan berkelebat
cepat menggantikan suara tawa yang terhenti seketika.
Jleg! Jleg! Dua sosok lelaki setengah baya yang berpa-
kaian seperti pendeta mendarat dengan ringan di ha-
dapan Jaka dan Mayang Sutera. Yang menarik dari
dua sosok lelaki yang memegang untaian tasbih itu,
adalah wajah mereka yang seperti pinang dibelah dua.
"Pendeta Kembar?" bisik Mayang Sutera cukup keras, ucapan itu dibarengi dengan
perubahan wajah
Mayang Sutera menjadi agak kemerahan
"Hmmm.... Bagus! Kau masih mengenal kami,
Gadis Cantik," ucap salah satu lelaki berjuluk Pendeta Kembar. Suara yang keluar
mirip suara perempuan.
"Kau ingin mengambilnya sebagai istri, Adi
Garnika?" tanya lelaki yang bersuara mirip perempuan pada lelaki di sebelahnya.
"Tentu saja, Kakang Jatnika," sahut Garnika yang memiliki suara lebih berwibawa.
"Anak Ketua Perguruan Gelang Emas ini memang pantas untuk ku-persunting," lanjut
Garnika. "Siapa mereka, Mayang?" tanya Jaka berbisik.
"Maksudku, kau atau Perguruan Gelang Emas yang mempunyai urusan apa dengan
mereka?" ulang Jaka membetulkan pertanyaannya sendiri.
"Mereka pernah berjasa menolongku dari Pem-
begal Daratan Hitam, sekarang mungkin mereka men-
ginginkan imbalan atas jasa yang pernah diberikan
padaku," beber Mayang Sutera dengan mata tak berkedip memandang wajah dua lelaki
setengah baya yang berjuluk Pendeta Kembar.
"Hmmm...."
Jaka melempar pandangan tajam ke arah Gar-
nika dan Jatnika.
"Mereka ternyata pendeta gadungan yang ber-
sembunyi di balik jubah kependetaannya, ini harus segera diakhiri," ujar Jaka
dengan wajah keras.
"Biar aku yang mengurus mereka, Kakang. Su-
dah lama aku ingin mencoba kemampuan Pendeta
Kembar. Kakang tidak boleh menangani pendeta-
pendeta palsu itu, kecuali jika aku tak mampu," tukas Mayang Sutera menimpali
perkataan Jaka.
"Hati-hati, Mayang. Pendeta-pendeta palsu itu
memiliki kepandaian yang tidak rendah," pesan Jaka, menyadari kekuatan tenaga
dalam Pendeta Kembar


Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diketahuinya melalui tawa mereka tadi.
"Mereka harus tahu, bahwa Mayang Sutera bu-
kan gadis yang hanya memiliki kulit ilmu silat," kilah Mayang Sutera.
"Tapi hati-hati itu perlu, Mayang," timpal Jaka.
"Sudah pasti, Kakang."
Jaka tak menimpali ucapan Mayang Sutera.
Sebenarnya pemuda itu kagum dengan keberanian
Mayang Sutera yang telah menggetarkan hatinya.
"Pendeta Kembar! Kalian lelaki yang pandai
bersembunyi di balik kebohongan. Jasa yang telah ka-
lian berikan padaku juga suatu kebohongan! Kalian telah bersandiwara bersama
Pembegal Daratan Hitam
untuk mencari persoalan dengan Perguruan Gelang
Emas. Sekarang kalian lihat, Perguruan Gelang Emas
telah runtuh. Namun karena kebejatan otak, kalian
menuntut jasa dengan sebuah kitab yang tak kalian
miliki, apalagi diriku!" lantang dan mantap ucapan Mayang Sutera.
"Ha ha ha...! Aku tak peduli dengan runtuhnya
Perguruan Gelang Emas, Cah Ayu. Aku hanya membu-
tuhkan kitab itu dan tubuh pewarisnya," jawab Garnika dengan tatapan mata yang
berkilat-kilat genit
"Tua bangka tak tahu malu!" hardik Mayang Sutera. "Apa kau pikir kau akan
mendapatkan keinginanmu, heh"!"
"Tentu saja aku akan mendapatkannya, Gadis
Manis. Tak ada yang sulit dilakukan oleh Pendeta
Kembar setelah ayahmu mampus! Begitu juga dengan
Kitab Gelang-gelang Emas ini," sangkal Jatnika sambil merogoh sesuatu dari balik
pakaiannya yang berwarna merah darah.
Mayang Sutera terkejut bukan main melihat Ki-
tab Perguruan Gelang Emas berada di tangan salah sa-tu Pendeta Kembar. Wajah
Rahasia Siluman Raga Kaca 1 Gento Guyon 3 Sang Cobra Serigala Serigala Lapar 2
^