Hitler Bangkit Lagi 1

Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes Bagian 1


Kebangkitan di Jerman arangkali rakyat Jerman"yang disebut Volk"
adalah yang paling mengejutkanku. Aku sudah
benar-benar melakukan segala yang mungkin dalam
batas kemampuan manusia untuk menghancurkan berbagai landasan bagi sebuah kehidupan masa depan di
tanah ini, tanah yang telah dinodai musuh. Berbagai
jembatan, pembangkit listrik, jalan, rel kereta api"aku
sudah menginstruksikan agar setiap bangunan terakhir
dimusnahkan. Aku sudah memeriksa saat perintah ini
dikeluarkan"pada Maret"dan aku yakin diriku telah
mengeluarkan perintah yang sangat jelas. Semua fasilitas
suplai harus diratakan dengan tanah, sistem pengairan,
sistem telepon, berbagai sumber daya, pabrik, bengkel,
pertanian, dan semua aset material"segalanya, dan
dengan hal itu aku maksudkan semuanya! Masalahmasalah ini harus didekati dengan perhatian dan
ketepatan; sebuah perintah seperti ini tidak boleh
menyisakan ruang bagi keraguan. Karena kita semua
tahu tentang tentara biasa di garis depan yang, karena
TIMUR VERMES dibatasi oleh sektor khususnya, bisa dimengerti bahwa
ia tidak memiliki wawasan tentang situasi secara umum,
pengetahuan strategis, dan pelbagai kebutuhan taktis.
Tentara yang datang dan berkata, "Apakah aku harus
benar-benar membakar [katakanlah] kios ini... yang
ini... juga" Tidak bisakah kita biarkan ia jatuh ke tangan
musuh" Apakah begitu buruk jika kios ini jatuh ke
tangan musuh?" Buruk" Tentu saja buruk! Musuh membaca koran,
juga, bukan" Ia akan menggunakan kios itu untuk
menjalankan bisnis, ia akan menggunakan kios itu
untuk melawan kita, semuanya yang ia temukan akan
digunakan untuk melawan kita! Setiap aset material"
izinkan aku menekankan hal ini sekali lagi"setiap
aset material harus dihancurkan. Bukan hanya rumahrumah, tapi juga pintu-pintu. Dan gagang-gagang pintu.
Kemudian baut-bautnya, dan bukan hanya yang panjangpanjang. Baut-baut itu harus dilepas dan kemudian mesti
dibengkokkan tanpa ampun. Pintu-pintu harus digerinda
hingga menjadi serbuk. Dan kemudian dibakar menjadi
abu. Jika tidak, musuh tidak akan menunjukkan rasa
kasihan; ia akan keluar masuk lewat pintu-pintu sesuka
hati. Tapi hadiahilah ia sebuah gagang pintu yang rusak,
baut-baut bengkok dan setumpuk abu"jadi, Tuan
Churchill, silakan! Bagaimanapun, berbagai tuntutan ini
adalah konsekuensi brutal perang"tentang hal ini aku
selalu sadar"dan karena itu perintah yang aku berikan
tidak bisa disampaikan secara berbeda, meskipun hal
yang melatarbelakangi perintahku berbeda.
Bagaimanapun juga, ini hanya permulaan.
HITLER BANGKIT LAGI Tidak bisa dibantah lagi bahwa Volk Jerman pada
akhirnya membuktikan diri mereka inferior dalam perjuangan epik melawan Inggris, melawan Bolshevisme,
melawan imperialisme, dan dengan demikian"dan
aku tidak akan menghaluskan kata-kataku"kehilangan
kehidupan mereka di masa depan, bahkan pada tingkat
yang paling primitif sebagai para pemburu-dan-peramu.
Oleh karena itu, mereka kehilangan hak mereka atas
sistem pengairan, jembatan, dan jalan. Dan juga atas
gagang pintu. Inilah alasan aku mengeluarkan perintah.
Harus dikatakan bahwa aku juga melakukannya sebagian demi ketuntasan, karena ketika aku berjalanjalan di luar Istana Kanselir Reich aku harus mengakui
bahwa dengan Benteng-Benteng Terbang mereka, orangorang Amerika dan Inggris telah melakukan sebagian
besar pekerjaan kami. Biasanya, setelah perintah dikeluarkan, aku tidak mengawasi setiap detail bagaimana
perintah itu dijalankan. Pembaca akan menghargai
betapa banyak lagi yang harus aku lakukan: bergulat
melawan Amerika di Barat, menahan Rusia di Timur,
merencanakan pengembangan ibukota dunia, Jermania.
Dalam pandanganku, Wehrmacht seharusnya bisa mengatasi setiap gagang pintu yang tersisa. Dan Volk ini seharusnya tidak ada lagi.
Namun, seperti kini telah kuketahui, mereka masih
ada di sini. Sebuah fakta yang aku rasa sulit untuk dipahami.
Di sisi lain, aku pun ada di sini, dan aku tidak bisa
memahaminya juga. Satu ku ingat diriku terbangun; pasti sudah menjelang
sore. Membuka mata, aku melihat langit di atasku,
biru dengan awan di sana-sini. Rasanya hangat, aku
segera merasakan bahwa hari itu terlalu panas untuk
April. Orang mungkin nyaris menyebutnya panas.
Suasananya relatif tenang; aku tidak bisa melihat satu
pesawat musuh pun terbang di atas, atau mendengar
gemuruh tembakan artileri, tampaknya tak ada serangan
atau ledakan di sekitar, tidak ada sirene serangan udara.
Yang juga mengejutkanku adalah tidak adanya Istana
Kanselir Reich dan juga F"hrerbunker. Aku menoleh
dan melihat bahwa aku sedang berbaring di sebuah
area tanah yang belum dibangun, dikelilingi teras-teras
rumah. Di sana-sini anak-anak berandalan miskin
memulas dinding-dinding batu bata dengan cat, yang
membangkitkan kemarahanku, dan aku mengambil
keputusan mendadak untuk memanggil Admiral Besar
D"nitz. Masih dalam tidur, aku membayangkan D"nitz
pasti berbaring di sekitar sini, di suatu tempat. Tapi
TIMUR VERMES kemudian disiplin dan logika menang, dan dengan
cepat aku menangkap keganjilan situasi di mana aku
mendapati diriku. Aku tidak biasa berkemah.
Pikiran pertamaku adalah, "Apa yang kulakukan
tadi malam?" Mengingat aku tidak minum, aku boleh
mengesampingkan konsumsi alkohol yang berlebihan.
Hal terakhir yang aku ingat adalah duduk di sebuah sofa,
sebuah dipan, bersama Eva. Aku juga ingat bahwa aku"
atau kami"sedang merasa agak riang; hanya sekali itu
aku memutuskan untuk mengesampingkan masalah
negara. Kami tidak punya rencana untuk malam itu.
Tentu saja tidak ada pertanyaan mengenai pergi keluar
ke sebuah restoran atau nonton film"hiburan di ibukota
tak banyak jumlahnya, sebagian besar adalah akibat
perintahku. Bagaimana aku bisa yakin bahwa Stalin
tidak akan tiba di kota ini pada hari-hari mendatang"
Pada titik itu dalam perang perubahan peristiwa seperti
itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal yang pasti tentu
saja adalah bahwa ia tidak akan mungkin mendapati
sebuah bioskop di sini seperti ditemuinya di Stalingrad.
Kurasa Eva dan aku bercakap-cakap sebentar, dan aku
memamerkan pistol tuaku padanya, tapi ketika aku
bangun aku tak bisa mengingat detail lain. Sebagian
karena sakit kepala parah yang aku derita. Tidak,
upaya-upayaku untuk menyatukan rangkaian berbagai
peristiwa malam sebelumnya tidak membuatku beranjak
ke mana pun. Aku kemudian memutuskan untuk menangani berbagai persoalan ini dan berusaha memahami situasiku. Dalam hidupku, aku sudah belajar mengamati,
merenungkan, dan menemukan bahkan detail terkecil
HITLER BANGKIT LAGI yang tidak begitu diperhatikan, atau bahkan diabaikan,
oleh banyak orang terpelajar. Berkat disiplin sekeras besi
selama bertahun-tahun, bisa kukatakan dengan sangat
yakin bahwa dalam sebuah krisis aku menjadi lebih
tenang, lebih berkepala dingin, dan inderaku lebih tajam.
Aku bekerja dengan tenang, dengan ketepatan, seperti
sebuah mesin. Secara metodis, aku memadukan berbagai
informasi yang kumiliki. Aku terbaring di tanah. Aku
melihat sekitar. Sampah bertebaran di sampingku; aku
bisa melihat gulma dan rumput, alang-alang yang ganjil,
setangkai aster dan dandelion. Aku bisa mendengar
suara-suara berteriak"mereka pastinya tidak jauh"
kebisingan bola yang memantul berkali-kali di tanah.
Aku menengok ke arah suara-suara itu; ia berasal dari
sekelompok anak laki-laki yang bermain sepakbola.
Mereka bukan lagi bocah, tapi mungkin terlalu muda
untuk Volkssturm. Kuharap mereka anggota Pemuda
Hitler, meski jelas tidak sedang bertugas. Untuk sementara musuh tampak telah menghentikan serangan
gencarnya. Seekor burung sedang melompat-lompat
di cabang sebatang pohon; ia berkicau, ia bernyanyi.
Kebanyakan orang hanya akan menerjemahkan perilaku
seperti itu sebagai tanda kebahagiaan. Namun, dalam
situasi yang tak menentu ini, sang pakar tentang alam
dan pertempuran hari-demi-hari untuk bertahan
hidup akan memanfaatkan setiap potongan informasi,
sekecil apa pun, dan menarik kesimpulan bahwa tak
ada pemangsa di sekitarnya. Tepat di samping kepalaku
ada genangan air yang mulai menyusut; tadi pasti hujan,
tapi sudah beberapa waktu lalu. Di tepi genangan itu
tergeletak topi militerku. Beginilah cara pikiranku yang
TIMUR VERMES terlatih bekerja; dan beginilah cara pikiranku bekerja
bahkan pada saat itu, pada saat kebingungan.
Aku duduk tanpa kesulitan. Aku menggerakkan kedua
kaki, kedua tangan, dan jari-jariku. Tampaknya aku tidak
cedera, kondisi fisikku memberi harapan; namun meski
kepalaku sakit aku merasa sangat sehat. Bahkan gemetar
yang biasanya merundung tanganku tampak reda.
Menatap ke bawah aku mendapati diriku berseragam
militer lengkap. Jaketku sedikit kotor, tapi tidak sangat
kotor, yang menyingkirkan kemungkinan bahwa aku
dikubur hidup-hidup. Aku bisa mengenali noda-noda
lumpur dan apa yang terlihat seperti remahan roti atau
kue, atau sejenisnya. Kain seragamku berbau bahan
bakar, bensin mungkin; Eva mungkin menggunakan
terlalu banyak pelarut untuk membersihkan seragamku.
Baunya seolah-olah dia telah menuangkan satu jeriken
bensin ke tubuhku. Eva tidak berada di sini, juga tak
seorang pun stafku tampak di daerah sekitar. Ketika
aku menggosok titik-titik kotoran yang paling tampak
dari bagian depan jaket dan lenganku, aku mendengar
sebuah suara: "Hai teman-teman, coba lihat ini!"
"Wooooah, pecundang besar!"
Tampaknya aku telah memberi kesan bahwa
aku membutuhkan pertolongan, dan hal ini dengan
mengagumkan dikenali oleh tiga Pemuda Hitler itu.
Meskipun mereka tidak memperhatikan tanda pangkatku.
Mereka menghentikan permainan dan mendekatiku
dengan rasa hormat. Ini bisa dipahami"mendapati
diri kita tiba-tiba berada di hadapan sang F"hrer Reich
Jerman di antara bunga aster dan dandelion di sebidang
HITLER BANGKIT LAGI tanah kosong yang biasanya digunakan untuk latihan
olahraga dan fisik adalah perubahan peristiwa yang
tidak biasa dalam rutinitas harian seorang pemuda yang
belum mencapai kedewasaan penuh. Meski demikian
pasukan kecil itu bergegas seperti anjing greyhound,
sangat ingin menolong. Pemuda adalah masa depan!
Para pemuda itu berkumpul mengelilingiku, tapi
tetap menjaga jarak tertentu. Setelah memeriksaku
sepintas, anak yang paling tinggi, jelas merupakan
pemimpin pasukan itu, berkata:
"Kau baik-baik saja, bos?"
Terlepas dari rasa khawatirku, aku tak bisa tidak
memperhatikan bahwa salam penghormatan Nazi
sama sekali menghilang. Aku mengenali bahwa bentuk
sapaannya yang santai, yang mencampuradukkan
"bos" dan "F"hrer", mungkin merupakan akibat faktor
keterkejutan. Dalam sebuah situasi yang tidak terlalu
membingungkan, ini mungkin menjadi lelucon yang
tidak disengaja"lagi pula, tidakkah peristiwa-peristiwa
paling lucu justru terjadi di tengah badai peluru tanpa
henti di parit-parit perlindungan" Namun, bahkan dalam
situasi-situasi yang tak biasa, tentara haruslah memiliki
respons otomatis tertentu; inilah inti latihannya. Jika
para tentara tidak memiliki respons otomatis ini,
maka angkatan bersenjata tidak bernilai apa-apa. Aku
kemudian berdiri; hal yang tidak mudah karena aku
pasti telah berbaring di sana cukup lama. Namun aku
merapikan jaketku dan berusaha menghilangkan debu
di celana panjangku dengan beberapa kibasan lembut.
Kemudian, aku berdeham dan bertanya kepada si
pemimpin pasukan itu, "Di mana Bormann?"
TIMUR VERMES "Siapa?" Tak bisa dipercaya! "Bormann! Martin!"
"Tak tahu siapa yang kau bicarakan."
"Tak pernah mendengar namanya."
"Seperti apa dia?"
"Seperti seorang Reichsleiter, demi Tuhan!"
Ada sesuatu yang sangat salah. Aku jelas-jelas masih
berada di Berlin, tapi tampaknya aku sudah kehilangan
seluruh aparatus pemerintahan. Aku harus kembali ke
F"hrerbunker"segera"dan sama terangnya dengan
siang hari bahwa anak-anak muda di sekitarku ini tidak
akan banyak membantu di sini. Hal pertama yang harus
aku lakukan adalah menentukan posisi diriku. Sebidang
tanah tanpa tanda-tanda tempatku sekarang berdiri bisa
ada di mana saja di kota ini. Aku perlu sampai ke sebuah
jalan; dalam gencatan senjata yang relatif panjang ini
pasti ada cukup banyak orang lalu lalang, para pekerja
dan sopir taksi yang bisa menunjukkan arah yang benar
padaku. Aku rasa kebutuhanku tidak kelihatan cukup
mendesak bagi para Pemuda Hitler itu, yang tampak
seperti ingin meneruskan kembali permainan sepakbola
mereka. Yang paling tinggi dari anak-anak itu kini
berbalik kepada teman-temannya, membuatku bisa
membaca namanya, yang dijahitkan ibunya ke sebuah
kaus bola berwarna cerah.
"Hitler Muda Ronaldo! Ke arah mana menuju jalan?"
Reaksinya lemah; aku takut mengatakan bahwa
pasukan tersebut praktis telah mengabaikanku, meski
sambil berjalan melewati salah satu dari dua anak yang
HITLER BANGKIT LAGI lebih muda dia menunjuk dengan lemah ke sebuah


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudut tanah kosong. Setelah mengamati dengan lebih
saksama aku bisa melihat memang ada sebuah jalan
utama di arah itu. Aku mencatat dalam ingatan untuk
memecat Rust. Lelaki itu telah menjadi Menteri Reich
untuk Pendidikan sejak 1934, dan tidak ada tempat
untuk kecerobohan bukan kepalang seperti ini dalam
pendidikan. Bagaimana seorang tentara muda bisa
menemukan jalan kemenangan ke Moskow, tepat ke
jantung Bolshevisme, jika ia bahkan tidak bisa mengenali
panglima tertingginya sendiri"
Aku membungkuk, memungut topiku dan, setelah
mengenakannya, berjalan dengan mantap dan penuh
tujuan ke arah yang ditunjukkan anak laki-laki itu. Aku
pergi ke sebuah sudut dan berjalan di antara temboktembok tinggi sepanjang sebuah lorong sempit menuju
jalan yang terang benderang. Seekor kucing yang
malu-malu dan basah kuyup dengan bulu warna-warni
menyelinap melewatiku di sepanjang tembok. Aku
berjalan empat atau lima langkah lagi dan kemudian
muncul ke jalan itu. Serangan kejam cahaya dan warna-warni membuatku
tercengang. Aku ingat kota ini sangat berdebu dan mirip sebuah
lapangan kelabu saat terakhir aku melihatnya, dengan
puing-puing yang menggunung dan kerusakan yang
meluas. Yang terbentang di depanku sekarang sangat
berbeda. Reruntuhan telah lenyap, atau setidaknya
dihilangkan, jalan-jalan bersih. Sebaliknya, ada banyak
bahkan tak terhitung kendaraan berwarna cerah di
kedua sisi jalan. TIMUR VERMES Barangkali semuanya merupakan mobil, tapi lebih kecil;
namun semuanya terlihat begitu canggih secara teknis
sehingga orang menduga bahwa pabrik Messerschmitt
pasti memiliki ahli paling terkemuka dalam mendesain
mobil-mobil itu. Rumah-rumah memiliki cat baru, dengan berbagai warna, mengingatkanku pada gula-gula
di masa kanak-kanakku. Aku akui, aku mulai merasa
sedikit pusing. Mataku mencari-cari sesuatu yang akrab,
dan di sisi seberang jalan raya itu, aku melihat sebuah
bangku taman yang usang di atas sebidang rumput. Aku
berjalan beberapa langkah, dan aku tak malu mengatakan
bahwa langkah-langkah itu mungkin tampak agak tidak
pasti. Aku mendengar bunyi bel, derit karet di aspal, dan
kemudian seseorang berteriak padaku:
"Oi! Apa maumu" Kau buta atau apa?"
"Aku... Aku minta maaf," aku dengar diriku sendiri
berkata, gemetar sekaligus lega. Di sampingku ada
seorang pengendara sepeda, setidaknya ini adalah sebuah
gambaran yang relatif akrab denganku. Tambahan lagi,
pria itu mengenakan sebuah helm pelindung, yang
tampaknya mengalami kerusakan serius mengingat
banyaknya jumlah lubang di helm itu. Jadi kami masih
dalam keadaan perang. "Apa yang kau pikir sedang kau lakukan, berjalan
sempoyongan seperti itu?"
"Aku... maafkan aku... aku... perlu duduk."
"Aku sarankan kau berbaring, bung. Dan berbaringlah
dengan tenang dan dalam waktu yang lama!"
Aku menemukan tempat berlindung di bangku
taman; aku rasa aku agak pucat ketika aku merosot
di atasnya. Anak muda ini tampaknya juga tidak
HITLER BANGKIT LAGI mengenaliku. Sekali lagi, tidak ada salam hormat
Nazi; dari reaksinya ia pasti mengira dirinya hampir
bertabrakan dengan pejalan kaki tua biasa, bukan
siapa-siapa. Dan pengabaian semacam ini tampaknya
menjadi praktik yang umum. Seorang pria tua berjalan
melewatiku, menggelengkan kepalanya, diikuti seorang
perempuan besar dan tegap yang mendorong sebuah
kereta futuristik"juga sebuah objek yang familier, tapi
tidak memberikan bantuan apa pun terhadap situasiku
yang putus asa. Aku berdiri dan mendekati perempuan itu dengan
sebanyak mungkin rasa percaya diri yang bisa aku
kumpulkan. "Permisi, mungkin ini tampak seperti sesuatu yang
mengejutkan, tapi aku... aku perlu segera menemukan
jalan ke Istana Kanselir Reich."
"Apakah Anda tampil dalam Stefan Raab Show?"
"Maaf?" "Atau Kerkeling" Harald Schmidt?"
Mungkin rasa gugup yang memicu ketidaksabaranku;
Aku merenggut lengannya. "Tenangkan dirimu, perempuan! Sebagai rakyat Jerman kau punya tugas dan
kewajiban! Kita sedang berperang!Apakah yang kau
pikir akan dilakukan orang-orang Rusia padamu jika
mereka tiba di sini"Apakah kau benar-benar berpikir
seorang Rusia akan menatap anakmu dan berkata,
"Baiklah, betapa cantiknya gadis Jerman yang kita
dapati ini, tapi demi anak ini aku akan membiarkan
hasratku yang lebih rendah di dalam celanaku?" Persis
pada jam ini, persis pada hari ini, masa depan Volk
Jerman, kemurnian darah Jerman, kelangsungan hidup
TIMUR VERMES kemanusiaan sedang dipertaruhkan. Apakah kau ingin
bertanggung jawab atas akhir peradaban hanya karena,
dengan kebodohanmu yang luar biasa, kau tidak mau
menunjukkan jalan menuju Istana Kanselir Reich
kepada sang F"hrer Reich Jerman?"
Ketiadaan respons yang membantu nyaris tidak
lagi menjadi sebuah kejutan. Perempuan dungu ini
mengibaskan lengannya dari tanganku, menatapku
dengan mulut menganga, dan mengetuk sisi kepalanya
dengan jari telunjuknya: sebuah isyarat tegas penanda
ketidaksetujuan. Aku harus menerima kebenaran perkara ini; sesuatu di sini telah benar-benar bergerak keluar
kendali. Aku tak lagi diperlakukan layaknya seorang
panglima tertinggi, seperti seorang Reichsf"hrer. Para
pemain bola, si lelaki tua, si pengendara sepeda, si
perempuan dengan kereta bayi"ini bukan sebuah
kebetulan. Insting pertamaku adalah memberi tahu
badan-badan keamanan, untuk mengembalikan ketertiban. Tapi aku menekan insting ini. Aku tak punya
pengetahuan yang cukup tentang situasi di sekelilingku.
Aku membutuhkan lebih banyak informasi.
Dengan ketenangan sedingin es, otak metodisku,
yang kini berfungsi lagi, mengikhtisarkan situasi ini.
Aku berada di Jerman, aku berada di Berlin meskipun
kota ini benar-benar tampak tidak familier bagiku.
Jerman yang ini sangat berbeda, tapi beberapa aspeknya
mengingatkanku pada Reich yang dulu aku kenal.
Para pengendara sepeda masih ada, begitu juga mobilmobil, maka koran-koran pun barangkali masih ada.
Aku melihat sekeliling. Dan di bawah bangkuku, aku
benar-benar menemukan sesuatu yang mirip sebuah
HITLER BANGKIT LAGI koran, walaupun dicetak jauh lebih mewah. Koran
ini berwarna, sesuatu yang baru bagiku. Koran itu
bernama Media Market"sepanjang hidupku aku sama
sekali tidak mampu mengingat pernah memberikan
persetujuan pada sebuah penerbitan seperti ini, dan
aku tidak akan pernah menyetujuinya. Informasi
yang dimuatnya benar-benar tidak bisa dipahami.
Kemarahan membuncah dalam diriku: bagaimana
bisa, di saat kekurangan kertas, kekayaan Volk Jerman
yang berharga habis disia-siakan untuk sampah tak
berarti seperti ini" Begitu aku kembali ke mejaku,
Funk bakal kena marah besar. Namun pada saat itu aku
membutuhkan berita-berita yang bisa dipercaya, sebuah
V"lkischer Beobachter, sebuah St"rmer; aku bahkan akan
puas dengan koran lokal Panzerb"r, yang hanya pernah
terbit untuk beberapa edisi. Aku melihat sebuah kios
yang letaknya tak jauh, dan bahkan dari jarak sejauh itu
aku bisa melihat pameran koran-koran yang luar biasa.
Kau mungkin akan dimaafkan jika berpikir bahwa kita
tenggelam jauh di dalam masa damai yang paling malas!
Aku bangkit dengan tak sabar. Sudah terlalu banyak waktu
yang terbuang"kini ketertiban harus dikembalikan
secepat mungkin. Pasukanku membutuhkan instruksi;
sangat mungkin bahwa kehadiranku amat dibutuhkan
di tempat lain. Aku bergegas ke kios itu.
Bahkan pandangan sekilas memberiku beberapa
informasi yang berguna. Koran-koran berbagai warna
yang sangat banyak tergantung di dinding luar"dalam
bahasa Turki. Sejumlah besar orang Turki pasti kini
tinggal di kawasan ini. Aku pasti tidak sadar dalam
periode waktu yang cukup lama, di mana gelombang
TIMUR VERMES orang-orang Turki telah datang ke Berlin. Luar biasa!
Lagi pula, Turki, yang pada dasarnya merupakan sekutu
setia Volk Jerman, bersikeras untuk tetap netral; terlepas
dari segala upaya yang sudah kami kerahkan, kami tidak
pernah bisa membawa mereka memasuki perang di
pihak kekuatan Poros. Tapi tampakya kini seolah selama
ketidakhadiranku, seseorang"D"nitz, aku kira"telah
meyakinkan Turki untuk memberikan dukungan mereka
kepada kami. Lagi pula, atmosfer yang relatif damai di
jalan-jalan menyiratkan bahwa penempatan pasukan
Turki telah membawa titik balik yang menentukan dalam
perang. Ya, aku selalu menyimpan rasa hormat untuk
bangsa Turki, tapi tak pernah membayangkan mereka
mampu membuat pencapaian seperti ini. Sebaliknya,
ketiadaan waktu telah menghalangiku memperhatikan
perkembangan negeri itu secara mendetail. Reformasi
Kemal Atat"rk pasti telah memberikan dorongan
yang sensasional pada negeri itu. Tampaknya hal ini
merupakan keajaiban di mana Goebbels selalu menggantungkan harapannya. Dengan penuh percaya diri,
jantungku mulai berdebar keras. Penolakanku untuk
meninggalkan keyakinan atas kemenangan ter-akhir,
bahkan di masa-masa paling dalam dan paling muram
yang dialami Reich, tampaknya benar-benar bernilai.
Empat atau lima publikasi berbahasa Turki, semua dicetak dengan warna-warna cerah, menjadi bukti yang
tak terbantahkan tentang poros baru Berlin-Ankara
yang jaya. Kini setelah kekhawatiran terbesarku, kekhawatiranku atas kesejahteraan Reich, tampaknya
telah diredakan dengan cara yang mengejutkan, aku
harus mengetahui berapa lama waktu yang aku habiskan
HITLER BANGKIT LAGI dalam senja yang aneh di sebidang tanah kosong itu.
Karena tak bisa menemukan V"lkischer Beobachter di
mana pun"pasti sudah terjual habis"aku mencari-cari
koran yang terlihat paling akrab, yang ternyata memiliki
nama Frankfurter Allgemeine Zeitung. Itu nama baru
bagiku, tapi tidak seperti beberapa yang dipajang
di sana, aku terhibur oleh jenis huruf tajuknya yang
menenteramkan. Aku tidak repot-repot melihat berita
apa pun yang dilaporkan; aku mencari tanggalnya.
Disebutkan 30 Agustus. 2011. Aku melihat angka itu dalam ketakjuban, dalam ketidakpercayaan. Aku alihkan perhatianku pada sebuah
koran yang lain, Berliner Zeitung, yang juga memperlihatkan
sebuah jenis huruf khas Jerman, dan mencari-cari tanggalnya.
2011. Aku menarik koran itu dari tumpukannya, membukanya dan membuka sebuah halaman, kemudian halaman
lain. 2011. Angka itu mulai menari-menari di depan mataku,
seolah-olah mengejekku. Angka itu bergerak dengan
pelan ke kiri, kemudian kembali lagi lebih cepat,
mengayun seperti sekelompok penggembira di sebuah
tenda bir. Mataku berusaha mengikuti angka-angka itu,
kemudian koran tersebut terlepas dari genggamanku.
Aku merasa diriku tenggelam; dalam kesia-siaan aku
berusaha mencengkeram koran-koran lain yang ada di
rak itu. Aku terpeleset ke tanah.
Kemudian segalanya menjadi gelap.
Dua etika aku sadar, aku masih terbaring di tanah.
Sesuatu yang lembab ditekan ke keningku.
"Kau baik-baik saja?"
Seorang lelaki yang mungkin berusia empat puluh
lima, atau bahkan lebih dari lima puluh membungkukkan
badannya di atasku. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak
dan celana polos"pakaian khas pekerja. Kali ini aku
tahu pertanyaan apa yang harus diajukan pertama kali.
"Tanggal berapa hari ini?"
"Emmm... 29 Agustus. Tidak, tunggu, sekarang 30."
"Tahun berapa, bung?" aku menggaok, sembari duduk.
Ia mengerutkan dahi menatapku.
"2011," katanya, menatap mantelku. "Kau pikir tahun
berapa" 1945?" Aku berusaha menemukan jawaban yang tepat, tapi
berpikir lebih bijaksana jika aku berdiri.
"Mungkin kau sebaiknya berbaring sedikit lebih
lama," kata lelaki itu. "Atau setidaknya duduklah. Aku
punya sebuah kursi di kios."
HITLER BANGKIT LAGI Insting pertamaku adalah mengatakan padanya
bahwa aku tidak punya waktu untuk istirahat, tapi aku
harus mengakui bahwa kedua kakiku masih gemetar.
Jadi aku mengikutinya masuk ke kios. Ia duduk di sebuah kursi dekat jendela panjang dan menatapku.
"Seteguk air" Bagaimana dengan sedikit cokelat"
Sebatang Granola?" Aku mengangguk linglung. Ia berdiri, mengambil
sebotol air murni bersoda dan menuangkan segelas
untukku. Dari sebuah rak ia mengambil batang warnawarni dari apa yang aku kira semacam ransum darurat,
yang dibungkus dalam kertas timah. Ia membuka
bungkusnya, memperlihatkan sesuatu yang tampak
seperti biji-bijian yang dipadatkan secara industrial,
dan menaruhnya di tanganku. Pasti masih terjadi kekurangan roti.
"Kau seharusnya menyantap sarapan lebih banyak,"
katanya, sebelum duduk lagi. "Apakah kau sedang
syuting di dekat sini?"
"Syuting ...?" "Kau tahu, sebuah dokumenter. Sebuah film. Mereka
selalu syuting di sekitar sini."


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Film...?" "Ya Tuhan, kondisimu kacau sekali." Sambil menunjuk
padaku ia tertawa. "Atau apakah kau selalu berkeliaran
seperti ini?" Aku melihat diriku sendiri. Aku tidak memperhatikan
apa pun yang tak wajar selain debu dan bau bensin.
"Sebenarnya, ya," kataku.
Mungkin ada cedera di wajahku. "Apakah kau punya
cermin (mirror)?" tanyaku.
TIMUR VERMES "Tentu," katanya, menunjuk. "Tepat di sebelahmu, di
atas Focus." Aku mengikuti jarinya. Cermin itu memiliki sebuah
bingkai jingga, di atasnya tercetak tulisan "The Mirror",
hanya sebagai tambahan, seolah ia tidak cukup jelas.
Sepertiga bagian bawah benda itu terjepit di antara
beberapa majalah. Aku mengamatinya. Aku terkejut
oleh betapa bersihnya pantulan bayanganku; mantelku
bahkan tampak seolah baru saja disetrika"lampu di
dalam kios pasti membuatku terlihat bagus.
"Karena cerita utamanya?" lelaki itu bertanya.
"Mereka menurunkan cerita-cerita Hitler itu setiap tiga
terbitan belakangan ini. Aku kira kau tidak perlu riset
lagi. Kau luar biasa."
"Terima kasih," aku berkata tidak peduli.
"Tidak, aku bersungguh-sungguh," katanya. "Aku
telah menonton Downfall. Dua kali. Bruno Ganz bermain luar biasa di sana, tapi ia bukan tandinganmu.
Seluruh tingkah lakumu... Maksudku, kau hampir berpikir bahwa dirimu adalah lelaki itu sendiri."
Aku memandang sekilas. "Lelaki yang mana?"
"Kau tahu, sang F"hrer," katanya, mengangkat kedua
tangannya, membengkokkan jari telunjuk dan jari
tengah bersama, kemudian menyentakkannya ke atas
dan ke bawah dua kali. Aku nyaris tak bisa membuat
diriku menerima bahwa setelah enam puluh enam tahun
hanya ini yang tersisa dari salam penghormatan Nazi
yang dulu kaku itu. Ini merupakan kejutan yang sangat
dahsyat, namun juga sebuah tanda bahwa pengaruh
politikku tidaklah lenyap sama sekali dalam tahuntahun ini.
HITLER BANGKIT LAGI Aku melempar lenganku sebagai tanggapan atas
hormatnya: "Aku-lah sang F"hrer!"
Ia tertawa sekali lagi. "Luar biasa, kau terlihat sangat
wajar." Aku tidak bisa memahami keceriaannya yang melimpah-limpah. Secara perlahan, aku menyatukan berbagai fakta mengenai situasiku. Jika ini bukan mimpi"ia
sudah berlangsung terlalu lama untuk sebuah mimpi"
maka ini benar-benar tahun 2011. Yang berarti aku
berada di sebuah dunia yang benar-benar baru bagiku,
dan artinya aku harus menerima kenyataan bahwa,
sejauh berkaitan dengan diriku, aku mewakili unsur
baru di dunia ini. Jika dunia ini berfungsi sejalan dengan
logika yang paling dasar sekalipun, maka semestinya
aku berusia sekitar seratus dua puluh tahun atau, yang
lebih mungkin, sudah lama mati.
"Apakah kau berakting dalam film-film lain, juga?"
katanya. "Apakah aku pernah melihatmu sebelumnya?"
"Aku tidak berakting," kataku, dengan agak kasar.
"Tentu saja tidak," katanya, memasang ekspresi serius
yang ganjil. Kemudian ia mengedip padaku. "Apa yang
sedang kau kerjakan" Apakah kau memiliki program
sendiri?" "Tentu saja," aku menjawab. "Aku memiliki sebuah
program sejak 1920! Sebagai seorang rakyat Jerman kau
pasti tahu tentang dua puluh lima poin."
Ia mengangguk dengan antusias.
"Tapi aku masih tidak ingat pernah melihatmu di
mana pun. Apakah kau punya kartu" Pamflet?"
"Jangan bicara padaku tentang Luftwaffe," kataku
sedih. "Pada akhirnya mereka adalah sebuah kegagalan."
TIMUR VERMES Aku berusaha memutuskan apa langkahku selanjutnya. Tampaknya kemungkinan besar seorang F"hrer
berusia lima puluh enam tahun akan sulit mendapatkan
kepercayaan, bahkan di Istana Kanselir Reich dan
F"hrerbunker sekalipun; bahkan ia yakin akan begitu.
Aku harus mengulur waktu, menimbang-nimbang
pilihanku. Aku perlu menemukan tempat untuk tinggal.
Kemudian aku sadar, dengan terlalu menyakitkan,
bahwa aku tidak memiliki sepeser pfennig pun. Untuk
sesaat berbagai kenangan tak menyenangkan mengenai
masa di pondokan para lelaki pada 1909 mengadukaduk benakku. Kuakui, itu adalah pengalaman penting
yang memberiku wawasan tentang kehidupan yang tak
diajarkan universitas mana pun di dunia, namun periode
kesusahan itu bukan masa yang aku nikmati. Bulanbulan yang kelam itu berkelebatan dalam pikiranku:
penghinaan, kenistaan, ketidakpastian, kekhawatiran
untuk mendapatkan kebutuhan pokok yang paling
dasar, roti kering. Sembari merenung dan pikiranku
mengembara, aku mengigit biji-bijian yang dibungkus
kertas timah itu. Ternyata rasanya manis. Aku memeriksa produk itu.
"Aku menyukainya, juga," kata penjual koran itu.
"Ingin lagi?" Aku menggelengkan kepala. Masalah yang lebih besar
sekarang menghadangku. Aku membutuhkan mata
pencaharian, betapapun sederhana atau mendasar. Aku
butuh tempat untuk tinggal dan sedikit uang hingga aku
memiliki perspektif yang lebih jelas. Mungkin aku perlu
menemukan pekerjaan, setidaknya untuk sementara,
hingga aku tahu apa dan bagaimana aku bisa kembali
HITLER BANGKIT LAGI mengambil alih pemerintahan. Hingga saat itu, sarana
untuk mendapatkan uang adalah hal yang penting.
Mungkin aku bisa bekerja sebagai seorang pelukis, atau
di sebuah praktik arsitek. Dan, juga, aku tidak peduli
jika harus sedikit bekerja keras"sama sekali tidak.
Tentu saja, pengetahuan yang aku miliki akan lebih
menguntungkan bagi Volk Jerman jika digunakan dalam
sebuah operasi militer, tapi mengingat ketidaktahuanku
akan situasi sekarang, ini adalah sebuah skenario yang
tidak masuk akal. Lagi pula, aku bahkan tidak tahu kini
Reich berbatasan dengan negara-negara mana saja. Aku
tidak tahu siapa yang bermusuhan dengan kami, atau
terhadap siapa kami bisa membalas tembakan. Untuk
saat ini, aku harus memuaskan diriku dengan apa
yang bisa aku capai dengan kemampuan manualku"
mungkin aku bisa membangun sebuah lapangan parade
atau satu bagian jalan raya.
"Ayolah, seriuslah untuk sesaat." Suara penjual koran
berdenging di telingaku. "Jangan bilang kau masih
amatir. Dengan kebiasaan itu?"
Ini kekurangajaran tingkat tinggi. "Aku bukan amatir!" aku berkata dengan tegas. "Aku bukan salah satu
dari para parasit borjuis itu!"
"Tidak, tidak," lelaki itu menenangkanku. Ia mulai
tampak sebagai seseorang yang pada dasarnya benarbenar jujur. "Maksudku, apa yang kau lakukan sebagai
mata pencaharianmu?"
Ya, apa" Apa yang harus aku katakan"
"Aku... baiklah, saat ini aku separuh... pensiun,"
kataku, dengan hati-hati menjelaskan situasiku.
"Jangan salah paham," katanya. "Namun jika kau
TIMUR VERMES benar-benar tidak punya... baiklah, itu luar biasa!
Maksudku, mereka mampir ke sini setiap saat, tempat
ini penuh dengan para agen, orang-orang film, orangorang televisi. Mereka selalu senang mendapatkan
sebuah informasi yang berguna, menemukan wajah
baru. Jika kau tidak punya kartu, bagaimana aku bisa
menghubungimu" Berapa nomor teleponmu" E-mail?"
"Emm..." "Lalu, di mana kau tinggal?"
Kini ia benar-benar membuatku marah. Tapi lelaki
ini tampaknya tidak berusaha melakukan sesuatu yang
curang, jadi aku memutuskan untuk mengambil risiko.
"Saat ini, pertanyaan tentang tempat tinggalku...
bagaimana aku mengatakannya"... belum terpecahkan..."
"Oke. Mungkin kau tinggal bersama seorang kekasih?"
Sekilas aku ingat Eva. Di mana dia sekarang"
"Tidak," aku bergumam, merasakan kesedihan yang
aneh. "Aku tak punya teman perempuan. Tidak lagi."
"Oooh," kata penjual koran. "Aku paham. Semuanya
masih sedikit baru."
"Ya," Aku mengakui. "Segalanya di sini benar-benar
baru bagiku." "Tidak benar-benar berhasil hingga akhir, ya?"
"Itu adalah penilaian yang tepat tentang situasinya,"
aku mengangguk. "Serangan kelompok tentara Steiner
tidak pernah berhasil. Tak bisa dimaafkan."
Ia kelihatan bingung. "Dengan kekasihmu, maksudku.
Siapa yang salah?" "Aku tak tahu," kataku. "Pada akhirnya Churchill, aku
rasa." HITLER BANGKIT LAGI Ia tertawa. Kemudian ia menatapku dengan bijak dan
lama. "Aku suka gayamu." Kemudian suaranya berubah
ketika ia menggeram, "Aku akan memberimu tawaran
yang tak bisa kau tolak."
"Tawaran?" "Dengar, aku tak tahu apa standarmu. Tapi jika kau
tidak memiliki permintaan yang aneh maka kau boleh
menginap satu atau dua malam di sini."
"Di sini?" Aku melihat sekeliling kios.
"Apakah kau mampu menyewa Adlon?"
Ia benar. Aku menatap lantai dengan rasa malu.
"Kau lihat aku"nyaris tak punya uang..." aku mengakui.
"Baiklah kalau begitu. Dan itu tidak mengherankan,
melihat kau tidak memperlihatkan bakatmu di luar sana.
Kau seharusnya tidak bersembunyi."
"Aku tidak sedang bersembunyi!" Aku memprotes.
"Itu karena pengeboman yang tanpa henti!"
"Ya, ya," ia berkata dengan tak peduli. "Oke. Katakanlah kau menginap satu atau dua hari di sini, dan aku
akan berbicara dengan satu atau dua pelangganku. Edisi
terbaru Theatre Today tiba kemarin, bersama salah satu
dari majalah-majalah film. Satu demi satu mereka akan
datang dan membeli majalah-majalah itu. Mungkin kita
bisa memperbaiki sesuatu. Aku akan benar-benar jujur
padamu: seragam itu begitu pas sehingga bahkan tidak
menjadi masalah jika kau bukan benar-benar seorang
penampil..." "Jadi, aku akan tinggal di sini?"
"Hanya untuk saat ini. Pada siang hari kau akan
TIMUR VERMES berada di sini bersamaku. Itu berarti jika ada orang
datang, aku bisa segera memperkenalkanmu kepada
mereka. Dan jika tak ada orang yang datang, setidaknya
aku punya sesuatu yang bisa membuatku tertawa. Atau
apakah ada tempat lain yang akan kau tuju?"
"Tidak," Aku mendesah. "Maksudku, selain F"hrerbunker."
Ia tertawa. Kemudian ia berhenti.
"Dengar, sobat, kau tak akan merampok barangbarangku, "kan?"
Aku memandangnya dengan jijik. "Apakah aku mirip
seorang penjahat?" Ia menatapku. "Kau mirip Adolf Hitler."
"Tepat sekali," kataku.
Tiga eberapa hari dan malam berikutnya menjadi
ujian sesungguhnya bagiku. Dipermalukan oleh
keadaanku, tinggal dalam akomodasi darurat, sangat
dekat dengan berbagai publikasi meragukan, tembakau,
penganan, dan minuman-minuman kaleng, pada malam
hari meringkuk di kursi yang cukup baik dan (tapi tidak
terlalu) bersih, aku harus mengejar ketinggalan selama
enam puluh enam tahun terakhir tanpa menimbulkan
perhatian yang tak menguntungkan. Sementara orangorang lain tidak akan ragu menghabiskan waktu
berjam-jam dan berhari-hari yang menyiksa dan
tanpa hasil dengan penjelasan ilmiah, secara sia-sia
mencari sebuah solusi untuk teka-teki perjalanan waktu
ini, yang selain fantastis namun tak bisa dimengerti,
pemikiran metodisku yang bisa dipercaya sangatlah
tepat untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi yang
ada sekarang. Alih-alih berkubang mengasihani
diri sendiri, aku menerima berbagai fakta mengenai
situasi baru ini dan memulai penyelidikan. Terutama
TIMUR VERMES karena"untuk mengantisipasi berbagai peristiwa secara
singkat"kondisi-kondisi yang berubah ini kelihatannya
menawarkan berbagai peluang yang lebih banyak dan
lebih baik. Ternyata dalam enam puluh enam tahun
jumlah tentara Soviet di wilayah Reich sudah jauh
berkurang, terutama di kawasan Berlin Raya. Angka
terbaru adalah antara tiga puluh hingga lima puluh
orang; sekilas aku bisa melihat bahwa ini memberi
Wehrmacht sebuah prospek kemenangan yang jauh
lebih baik dibanding perkiraan terakhir staf jenderalku
yakni sekitar 2,5 juta tentara musuh di Front Timur saja.
Aku bermain-main, meski untuk sementara, dengan
ide bahwa aku adalah korban sebuah persekongkolan,
sebuah penculikan, di mana dinas intelijen musuh
telah menyusun sebuah tipuan yang rumit, untuk
mematahkan kemauan besiku guna mendapatkan
berbagai rahasia penting dariku. Tapi berbagai
tuntutan teknologi untuk menciptakan sebuah dunia
yang benar-benar baru di mana aku, bagaimanapun
juga, bisa bergerak dengan bebas"variasi realitas itu
bahkan lebih tak bisa dibayangkan ketimbang realitas di
mana aku mendapati diriku secara permanen, dengan
kemampuan untuk memegang benda-benda dengan
tanganku dan melihatnya dengan mataku. Tidak, aku
harus menjalankan pertempuran di tengah ruang dan
waktu yang penuh keanehan ini. Dan langkah pertama
dalam sebuah pertempuran selalu adalah melakukan
pengintaian. Pembaca tidak akan sulit membayangkan bahwa
memperoleh informasi baru yang dipercaya tanpa


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

infrastruktur yang dibutuhkan memberikan berbagai
HITLER BANGKIT LAGI kesulitan yang besar. Berbagai pengandaiannya sangat
tidak menguntungkan: sejauh berkaitan dengan urusan
luar negeri, aku tak punya intelijen militer ataupun
kementerian luar negeri untuk membantuku; sehubungan
dengan persoalan-persoalan dalam negeri, membuat
kontak dengan Gestapo, menimbang keadaanku saat
ini, bukanlah persoalan mudah. Bahkan berkunjung ke
perpustakaan terlalu berbahaya untuk sementara waktu.
Jadi aku harus mengandalkan isi sejumlah publikasi,
yang kebenarannya tentu saja tidak bisa aku verifikasi,
juga pada ucapan-ucapan dan potongan-potongan
percakapan para pejalan kaki. Penjual koran itu dengan
sangat baik memberiku seperangkat radio nirkabel,
yang berkat kemajuan teknologi di tahun-tahun ini telah
menciut menjadi berukuran sangat kecil; tapi standar
radio Jerman Raya telah merosot tajam sejak 1940. Segera
setelah aku menyalakannya, aku mendengar sebuah
kebisingan yang mengerikan, sering diinterupsi racauan
yang tidak bisa dipahami. Aku terus mendengarkan, tapi
isinya tidak pernah berubah; satu-satunya perbedaan
adalah bahwa suara itu berganti-ganti lebih sering
antara kebisingan dan racauan. Aku membuat sejumlah
upaya sia-sia, masing-masing berlangsung beberapa
menit, untuk mendeskripsikan kebisingan yang keluar
dari keajaiban teknologi ini, kemudian mematikannya
dengan ketakutan. Aku pasti telah duduk di sana, benarbenar tak bergerak, selama seperempat jam, benar-benar
dilumpuhkan oleh rasa terkejut, sebelum memutuskan
untuk menunda upaya-upayaku dengan perangkat
nirkabel itu. Jadi yang tersisa bagiku adalah majalahmajalah itu. Tidak pernah menjadi prioritas utama bagi
TIMUR VERMES mereka untuk menyediakan sebuah catatan sejarah
yang benar; aku hampir pasti tidak ada yang berubah di
bidang itu. Sebuah tinjauan awal yang tentu saja tidak bisa menyediakan gambaran utuh, menunjukkan kesimpulankesimpulan berikut ini:
1. Bangsa Turki sama sekali tidak datang untuk membantu kami.
2. Dalam rangka peringatan ketujuh puluh Operasi
Barbarossa, ada banyak laporan tentang episode ini
dalam sejarah Jerman yang melukiskan gambaran
negatif tentang operasi militer tersebut. Pandangan
yang disepakati adalah bahwa Barbarossa bukanlah
sebuah kemenangan; bahkan, keseluruhan perang
berakhir dengan kekalahan, atau begitulah yang dikatakan koran-koran ini.
3. Aku dikabarkan tewas. Mereka bilang aku bunuh
diri. Sebenarnya aku memang ingat pernah membicarakan kemungkinan ini"murni secara teoretis"dengan orang-orang kepercayaanku, dan
ingatanku pasti kehilangan beberapa jam tentang
masa-masa yang sangat sulit itu. Namun, dalam
analisis terakhir, aku hanya perlu memeriksa diriku
sendiri untuk melihat fakta-fakta itu.
Apakah aku mati" Kita semua tahu, tentu saja, bagaimana seharusnya
memahami koran-koran kita. Orang tuli menulis
apa yang dikatakan orang buta kepadanya, si idiot
kampung mengeditnya, dan kolega-kolega mereka
di berbagai perusahaan pers lain menyalinnya.
Setiap cerita sekali lagi disiram dengan kebohongan
HITLER BANGKIT LAGI membosankan yang sama, sehingga racikan "yang
enak" kemudian bisa disajikan kepada sebuah Volk
yang tak tahu apa-apa. Namun, dalam keadaan
ini, aku bersiap untuk bersikap agak lunak. Begitu
jarang nasib ikut campur semencolok ini dalam
pekerjaannya sendiri sehingga bahkan pikiran yang
paling tajam pun sulit memahaminya, apalagi para
intelektual medioker yang menyajikan apa yang
disebut halaman-halaman opini.
Otakku membutuhkan perut seekor sapi jantan
untuk mencerna informasi lain yang berhasil aku gali.
Orang harus mengabaikan kekeliruan perhitungan
pers tentang masalah-masalah militer, sejarah,
politik"bahkan pada setiap topik, termasuk ekonomi"akibat ketidaktahuan ataupun niat keji; jika
tidak, dihadapkan pada banyak sekali kebodohan
semacam ini, seseorang yang berpikir akan benarbenar menjadi gila.
Atau seseorang akan menderita bisul karena membaca coretan-coretan para penulis dengan pikiran
yang mengidap sifilis dan bobrok dalam media
pencari sensasi yang, karena jelas-jelas dibebaskan
dari semua kendali negara, bebas menerbitkan
pandangan-pandangan yang sakit dan tak senonoh
tentang dunia yang mereka impikan.
Reich Jerman tampaknya telah digantikan oleh
apa yang disebut sebuah "Republik Federal", yang
kepemimpinannya diduduki oleh seorang ("Kanselir
Federal") perempuan, meskipun beberapa pria telah
dipercaya menduduki posisi ini di masa lalu.
Partai-partai politik hidup lagi, dengan pertengkaran
TIMUR VERMES kontraproduktif dan kekanak-kanakan yang mengikutnya. Demokrasi Sosial, hama yang tidak bisa
dibasmi itu, sekali lagi menimbulkan kerusakan yang
penuh sukacita dengan mengorbankan Volk Jerman
yang telah lama menderita. Organisasi-organisasi
lain mengisap kekayaan rakyat dengan cara mereka
sendiri. Yang barangkali mengagumkan, aku hanya
mendapati sedikit apresiasi atas "pekerjaan" mereka,
bahkan tidak di media yang tidak jujur ini, yang
sebaliknya tampak penuh kebajikan. Sebaliknya,
aktivitas N.S.D.A.P. berhenti sama sekali. Jika kita
meyakini pandangan bahwa Reich telah dikalahkan,
bisa jadi pekerjaan Partai telah dihalangi oleh
kekuatan-kekuatan yang menang. Jika tidak, organisasi itu mungkin dipaksa bergerak di bawah tanah.
8. V"lkischer Beobachter tidak dijual di mana pun; setidaknya kios milik penjual ini"yang jelas merupakan
seorang liberal radikal"tidak me-majangnya. Bahkan, ia sama sekali tidak menjual penerbitan nasional
Jerman lainnya. 9. Reich tampaknya telah menciut, meskipun faktanya
negara tetangga kami pada umumnya masih sama.
Bahkan Polandia masih ada, menjalani kehidupan
artifisialnya secara tak terkendali, dan sebagian
di atas wilayah Reich! Nah, aku mungkin seorang
manusia yang tenang dan berhati-hati, tapi pada
titik ini aku tak mampu menekan kedongkolanku;
Aku mendapati diriku berteriak dalam kegelapan
kios tersebut, "Kalau begini mungkin aku sebaiknya
menghancurkan mereka dalam perang!"
10. Reichsmark tidak lagi menjadi uang yang sah,
HITLER BANGKIT LAGI meskipun pihak-pihak lain"mungkin beberapa
amatir yang tak tahu apa-apa di pihak kekuasaan
yang menang"jelas telah mengadaptasi rencanaku
untuk mengubahnya menjadi sebuah mata uang
yang digunakan di seluruh Eropa. Bagaimanapun
juga, transaksi kini dilakukan dengan mata uang
artifisial yang disebut "Euro", yang, seperti bisa
diduga, dihadapi dengan tingkat ketidakpercayaan
yang tinggi. Sebenarnya bisa kukatakan kepada
mereka yang bertanggung jawab bahwa inilah yang
akan terjadi. 11. Sebuah perdamaian parsial tampaknya tengah
berlangsung, meskipun Wehrmacht masih dalam
keadaan perang. Kini dikenal sebagai "Bundeswehr",
ia berada dalam sebuah keadaan yang diharapkan, tak
diragukan lagi karena berbagai kemajuan teknologi
yang sudah dicapai. Jika statistik di koran-koran
bisa dipercaya, orang akan menarik kesimpulan
bahwa tentara Jerman di lapangan praktis tak bisa
dikalahkan; sangat jarang jatuh korban belakangan
ini. Kau bisa bayangkan kesedihanku ketika dengan sebuah helaan napas, aku berpikir tentang
nasibku yang tragis, tentang malam-malam yang
menyedihkan di F"hrerbunker, membungkuk dalam kesedihan sembari merenungkan peta-peta di
ruang operasi, berjuang melawan sebuah dunia yang
memusuhiku dan takdir itu sendiri. Saat itu, lebih dari
400.000 tentara mati bersimbah darah di berbagai
fron pertempuran yang tak terhitung, dan itu hanya
pada Januari 1945. Dengan peralatan modern
yang menakjubkan ini tidak ada keraguan bahwa
TIMUR VERMES aku bisa menyapu tentara Eisenhower ke laut dan
menghancurkan gerombolan Stalin di pengunungan
Ural dan Kaukasus layaknya serangga hanya dalam
beberapa minggu. Ini adalah salah satu dari sedikit
berita yang kubaca yang benar-benar memberi
semangat. Dengan Wehrmacht baru ini, penaklukan
masa depan terhadap Lebensraum di utara, timur,
selatan, dan barat tampak memiliki prospek secerah
yang pernah ia miliki dengan Wehrmacht yang lama.
Konsekuensi dari berbagai reformasi baru-baru ini
yang diperkenalkan oleh seorang menteri muda yang
pastinya berkemampuan paling tinggi, tapi dipaksa
turun setelah sebuah konspirasi yang direncanakan
oleh para profesor universitas yang berpikiran picik
dan penuh kebencian. Tampaknya hanya sedikit yang berubah sejak masaku,
ketika aku pernah dengan penuh harap menyerahkan
desain dan gambarku ke Vienna Academy. Dibakar
oleh kecemburuan, orang-orang medioker pada setiap
kesempatan selalu menghalangi sang jenius penuh
semangat yang memamerkan bakat-bakatnya tanpa
bisa dihentikan. Mereka tidak bisa menerima kenyataan
bahwa kecemerlangannya dengan mudah mengalahkan
cahaya redup aura mereka sendiri yang menyedihkan.
Oh baiklah. Situasi baruku tentunya perlu pembiasaan, tapi
dengan sedikit kepuasan aku mampu menyimpulkan
bahwa, setidaknya untuk saat ini, tidak ada bahaya
yang akut, meskipun ada beberapa ketidaknyamanan.
Seperti yang normal terjadi pada orang-orang kreatif,
kecenderunganku belakangan ini adalah bekerja untuk
HITLER BANGKIT LAGI waktu yang lama, tapi juga beristirahat dalam waktu
yang lama, untuk mempertahankan kesegaran dan
kecepatan responsku yang biasa. Namun, penjual koran
itu akan membuka kiosnya saat fajar. Itu berarti aku,
terlepas dari kenyataan bahwa aku sering melanjutkan
kajianku hingga dini hari, tidak bisa mendapatkan tidur
yang menyegarkan sesudahnya. Yang membuatnya lebih
buruk adalah bahwa lelaki ini memiliki kebutuhan yang
mengganggu untuk bicara di pagi hari, sementara pada
saat itu aku biasanya membutuhkan periode reorientasi.
Bahkan di pagi pertama ia menyapu dengan riang
di dalam kiosnya sambil berkata, "Jadi, mein F"hrer,
bagaimana tidurmu?" Tanpa menunggu sedetik pun, ia membuka jendela
jualannya dan membiarkan cahaya yang sangat terang menyilaukan bagian dalam kios. Aku menguap,
memejamkan mataku yang tersiksa, dan berusaha
mengingat di mana aku berada. Aku tidak sedang di
F"hrerbunker, ini sejelas cahaya pagi yang membanjiri
penginapan daruratku. Seandainya kami berada di
markas, aku akan membuat orang bodoh ini disidang di
pengadilan militer dan ditembak di sana dan saat itu juga;
teror dini hari ini meruntuhkan semangat"mengapa,
ini praktis merupakan sabotase! Namun, aku menjaga
ketenanganku, memahami situasi baruku, dan menghibur
diriku sendiri bahwa orang bodoh ini mungkin tidak punya
pilihan, mengingat mata pencahariannya; sesungguhnya,
dengan caranya yang keliru, aku kira ia bahkan sedang
berusaha melakukan yang terbaik untukku.
"Saatnya rock and roll," si penjual koran mengumumkan sesuatu yang tak bisa kumengerti. "Ayo, bantu
TIMUR VERMES kami!" Ia mengangguk ke arah sejumlah rak majalah
yang bisa dipindah-pindah, dan menarik salah satunya
ke luar. Masih lelah, aku mendesah dan berusaha berdiri
untuk membantunya. Betapa ironis: kemarin aku
mereposisi pasukan ke-12; hari ini mengatur rak-rak
majalah. Pandanganku jatuh pada edisi baru Hunting
and Hounds. Kalau begitu, beberapa hal tak berubah.
Meskipun aku tidak pernah menjadi orang yang senang
berburu"sebaliknya, aku selalu memandang hal itu
secara agak kritis"pada saat itu aku dicengkeram
hasrat untuk melarikan diri dari lingkungan yang tidak
akrab ini dan menjelajah pedesaan dengan seekor
anjing mengikutiku, mengamati dari jarak sangat dekat
datang dan perginya dunia natural... Aku tersentak
dari lamunanku. Dalam beberapa menit kami berdua
telah menata kiosnya untuk hari itu. Penjual koran itu
mengambil dua buah kursi dan menaruhnya di bawah
sinar matahari. Ia mengajakku duduk, mengambil
sebungkus rokok dari kantong di dada kemejanya,
menjentikkan dua batang melalui bukaannya dan menawarkan satu kepadaku.
"Aku tidak merokok," kataku, menggelengkan kepala.
"Terima kasih."
Ia menyelipkan sebatang rokok di bibirnya, mengambil
pemantik dari saku celananya dan menyalakannya. Mengisap asap dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan
sangat nikmat, ia berkata, "Ahhh"sekarang waktunya
kopi! Kau mau" Tapi, aku hanya punya yang instan."
Orang-orang Inggris pasti masih memblokade
laut. Ini adalah masalah yang harus cukup sering aku
HITLER BANGKIT LAGI hadapi, jadi nyaris bukan sebuah kejutan bahwa, dalam
ketidakhadiranku, pemimpin Reich yang baru"apa pun
bentuknya sekarang atau apa pun nama yang dipakai"
tetap dibuat kesal oleh kesulitan ini dan masih mencari
sebuah solusi. Volk Jerman yang berani dan tabah sudah
begitu lama dipaksa untuk puas hanya dengan makanan
pengganti. Aku ingat bahwa pengganti kopi ini dikenal
sebagai "ersatz", dan aku segera berpikir tentang batang
gandum manis yang kini menggantikan roti Jerman yang
bagus. Penjual koran yang malang ini malu di depan
tamunya karena cengkeraman orang Inggris pengganggu
membuatnya tak bisa menawarkan apa pun yang lebih
baik. Ini jelas sebuah skandal. Aku diliputi emosi.


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini bukan kesalahanmu, sobat," aku menenangkannya. "Lagi pula, aku bukan pencinta kopi. Tapi aku
sangat berterima kasih untuk segelas air."
Dan begitulah aku menghabiskan pagi pertamaku di
zaman baru yang aneh ini berdampingan dengan penjual
koran yang merokok, bertekad untuk menganalisis
populasi ini dan memperoleh wawasan baru dari perilaku
mereka hingga suatu saat ketika tuan rumahku, melalui
berbagai kontak yang sudah ia sebutkan, mungkin bisa
memberi aku semacam pekerjaan.
Selama dua jam pertama, para pekerja rendahan dan
pensiunanlah yang menjadi pelanggan kios. Mereka
membeli tembakau dan koran pagi, tapi sedikit bicara.
Sebuah koran dengan nama Bild tampaknya sangat
populer"terutama di kalangan orang-orang tua. Aku
menduga ini adalah karena ukuran hurufnya luar biasa
besar sehingga orang-orang dengan penglihatan yang
kurang masih bisa mencerna berita-beritanya. Ide yang
TIMUR VERMES luar biasa, aku terpaksa mengakui, sebuah ide yang
bahkan tak akan terpikirkan oleh Goebbels yang tekun
itu. Coba pikirkan betapa banyak antusiasme terhadap
perjuangan kita yang akan dikobarkannya di kalangan
orang-orang tua! Di hari-hari terakhir yang bisa kuingat
tentang perang, para anggota Volkssturm dari kalangan
tualah yang terutama tidak memiliki dorongan, tekad,
dan keinginan untuk mengorbankan diri demi bangsa
Jerman. Siapa yang akan berpikir bahwa perangkat
sederhana seperti huruf-huruf yang lebih besar bisa
memberikan efek semacam itu"
Yang barangkali membenarkan keputusannya, memang terjadi kekurangan kertas selama perang, tapi
setelah semuanya dipertimbangkan Funk si bocah itu
memang benar-benar bodoh.
Kehadiranku di luar kios mulai menarik perhatian.
Sesekali ada ledakan keceriaan, terutama di kalangan
pekerja yang lebih muda; perhatian ini lebih sering
berupa sebuah pengakuan, yang disampaikan dengan
kata-kata "keren" dan "hebat?"benar-benar tidak bisa
dipahami, aku tahu, tapi dari ekspresi wajah mereka aku
menyimpulkan adanya rasa hormat yang jelas.
"Dia hebat "kan?" penjual koran itu berkata dengan
berseri-seri pada salah satu pelanggannya. "Hampir tak
ada bedanya, "kan?"
"Tidak," kata pelanggan itu, sambil melipat koran. Ia
mungkin seorang pekerja berusia dua puluhan. "Tapi
apakah kau diizinkankan untuk melakukan itu?"
"Apa?" kata penjual koran itu.
"Kau tahu: seragam dan semua itu."
"Keberatan macam apa yang mungkin muncul
HITLER BANGKIT LAGI terhadap mantel seorang prajurit Jerman?" aku bertanya
dengan curiga, ada nada terganggu dalam suaraku.
Pelanggan itu tertawa, untuk membungkamku, aku
kira. "Ia benar-benar hebat. Tidak, maksudku, jelas sekali
kau melakukannya secara profesional, tapi apakah
kau tidak membutuhkan semacam izin khusus untuk
mengenakannya di depan publik?"
"Wah, tidak pernah!" aku menjawab, marah.
"Yang ingin aku katakan adalah," katanya, sedikit
terintimidasi, "apa yang akan dipikirkan pihak berwajib
jika mereka melihatmu seperti itu?"
Ini membuatku merenung. Niatnya mulia, dan ia
benar: seragamku tidak dalam kondisi terbaik; nyaris
tak pantas terlihat. "Aku setuju, ini sedikit kotor," kataku, agak murung.
"Tapi bahkan dalam keadaan kotor pun, mantel seorang
tentara selalu lebih mulia daripada jaket makan malam
tanpa noda seorang diplomat yang curang."
"Mengapa dilarang?" penjual koran bertanya dengan
sadar. "Ia tidak mengenakan swastika."
"Apa itu maksudnya?" Aku berteriak dengan marah.
"Setiap orang tahu betul aku ada dalam partai apa!"
Pembeli itu pergi dengan menggeleng-gelengkan
kepada. Ketika ia hilang dari pandangan, penjual koran
itu mengajakkan duduk lagi.
"Ia benar," katanya dengan nada bersahabat. "Para
pelangganku melihatmu dengan aneh. Aku tahu kau
menganggap serius pekerjaanmu, tapi bisakah kau mengenakan sesuatu yang berbeda?"
"Haruskah aku mengingkari kehidupanku, pekerjaan43
TIMUR VERMES ku, Rakyatku" Kau tak boleh memintaku melakukannya,"
kataku, melompat bangun. "Aku akan terus mengenakan
seragam ini hingga tetes darah terakhir tumpah. Aku
tidak akan, seperti yang dilakukan Brutus kepada Caesar,
melakukan tindakan pengkhianatan yang menyedihkan;
Aku tidak akan menikam dari belakang untuk kedua
kalinya mereka yang telah memberikan nyawa mereka
untuk Pergerakan..."
"Apakah kau selalu marah seperti ini?" penjual itu
berkata dengan nada tak sabar. "Bukan hanya seragammu
terlihat mirip..." "Lalu apa?" "Seragammu juga bau! Aku tidak tahu ia terbuat dari
apa"apakah seragammu adalah salah satu dari seragam
kerja yang mereka pakai di pom bensin?"
"Dalam peperangan, prajurit infantri tidak boleh
mengganti mantel mereka, dan aku sendiri menolak
untuk larut dalam dekadensi orang-orang yang tinggal
nyaman di garis belakang."
"Terserahlah... tapi pikirkan tentang programmu!"
"Apa maksudmu?"
"Dengar, kau ingin programmu berjalan dengan
lancar, "kan?" "Ya, dan?" "Coba pikirkan ini: seseorang datang ingin bertemu
denganmu, dan inilah dirimu, berbau bensin begitu kuat
sehingga mereka bahkan tidak berani menyalakan rokok
dalam jarak sepuluh meter!"
"Kau melakukannya," aku menjawab. Tapi kata-kataku tidak memiliki ketajaman yang lazim; dengan enggan
aku harus setuju dengan argumen-argumennya.
HITLER BANGKIT LAGI "Aku ini pemberani, kau tahu," ia tertawa. "Ayolah,
mengapa kau tidak pergi ke rumah dan mengambil
beberapa baju lagi."
Masalah akomodasi yang membosankan.
"Aku sudah bilang padamu, sulit untuk saat ini."
"Tentu saja, tapi mantanmu pasti sedang bekerja
sekarang. Atau keluar belanja. Mengapa kau begitu berhati-hati?"
"Kau tahu," aku berkata dengan ragu-ragu, "Semuanya
sangat sulit. Rumahku..." Logikaku kini kusut. Tapi, ini
juga merupakan sebuah situasi yang memalukan.
"Bukankah kau punya kunci, atau apa masalahnya?"
Kali ini aku tidak bisa menahan tawa terhadap kenaifan seperti itu. Aku tidak tahu apakah ada sebuah
kunci ke F"hrerbunker atau tidak.
"Tidak, hmmm, bagaimana aku harus mengatakannya" Entah bagaimana kontak... emm... terputus."
"Apakah kau mendapat perintah penahanan?"
"Aku bahkan tak bisa menjelaskannya pada diriku
sendiri," kataku. "Tapi kira-kira seperti itulah."
"Demi Tuhan, kau tidak memberikan kesan semacam
itu," katanya. "Apa sebenarnya yang telah kau lakukan?"
"Aku tidak tahu," kataku, sungguh-sungguh. "Aku
kehilangan semua ingatan tentang periode di antara itu."
"Bagaimanapun juga, kau tidak terlihat seperti tipe
orang yang kasar bagiku," katanya bersungguh-sungguh.
"Baiklah," kataku sembari merapikan belahan rambut
dengan tanganku, "Aku seorang prajurit, tentu saja..."
"Oke, prajurit," kata si penjual koran. "Izinkan aku
mengusulkan hal lain. Karena kau jagoan dan karena
aku percaya pada tipe obsesif sepertimu."
TIMUR VERMES "Tentu saja kau percaya," kataku. "Seperti orang
berakal sehat yang mana pun. Kita tidak boleh menyianyiakan usaha, bahkan kita harus obsesif dalam
mengejar tujuan kita. Kompromi berwajah ganda yang
penakut adalah akar dari segala kejahatan dan..."
"Ya, oke," ia menyelaku. "Sekarang dengarkan. Besok
aku akan membawakanmu beberapa baju lamaku. Tak
perlu berterima kasih, aku bertambah berat belakangan
ini dan tidak bisa mengancingkan baju-baju itu lagi.
Tapi mungkin baju-baju itu cukup untukmu," katanya,
terlihat agak tak senang dengan perutnya. "Maksudku,
kau tidak bekerja sebagai G"ring, kan?"
"Mengapa aku akan melakukannya," aku bertanya,
bingung. "Dan aku akan membawa seragammu ke penatu..."
"Aku tidak akan berpisah dengan seragamku!" kataku, bersikeras.
"Terserah kau," katanya, tiba-tiba tampak letih. "Kau
bisa membawa seragammu sendiri ke penatu. Tapi kau
paham, kan" Bahwa seragam itu harus dibersihkan?"
Ini penghinaan"aku diperlakukan seperti anakanak. Tapi aku sadar bahwa tak ada yang akan berubah
selama aku berjalan-jalan sekotor anak kecil. Jadi aku
mengangguk. "Tapi, sepatu mungkin akan menjadi masalah," katanya.
"Berapa ukuranmu?"
"43." "Kalau begitu, punyaku terlalu kecil," katanya. "Tapi
aku akan mencarikan yang lain."
Empat embaca harus diberi sedikit simpati jika,
pada titik ini atau titik yang lain, ia ternganga
keheranan karena kecepatanku beradaptasi pada
lingkungan baruku. Bagaimana bisa sang pembaca
yang malang, yang selama bertahun-tahun, bahkan
berdekade-dekade ketidakhadiranku telah tenggelam
dalam kaldu sejarah Marxis dari panci sup demokrasi,
mampu melihat melampaui tepi mangkuknya sendiri"
Aku tak bermaksud menyalahkan para buruh atau
petani yang jujur. Bagaimana orang sederhana ini
hendak protes ketika mereka yang disebut profesional
dan non-entitas akademik, selama enam dekade,
telah memproklamasikan dari mimbar dalam "candi
pengetahuan" mereka bahwa sang F"hrer telah mati"
Siapa yang akan menyalahkan lelaki ini yang, di tengah
perjuangan sehari-harinya untuk bertahan hidup, tidak
bisa menemukan kekuatan untuk berkata, "Lalu di mana
dia, sang F"hrer yang sudah mati itu" Tunjukkan dia
padaku!" TIMUR VERMES Atau, dalam hal ini, juga perempuan.
Tapi ketika sang F"hrer tiba-tiba muncul kembali
di tempat di mana ia selalu berada, di ibukota Reich,
kebingungan dan disorientasi yang menghantam Rakyat sama melumpuhkannya seperti ketakjuban ditimbulkan. Dan ini akan benar-benar bisa dipahami
seandainya aku, juga, menghabiskan berhari-hari, bahkan
berminggu-minggu, dalam kebingungan yang sempurna,
dilemahkan oleh sesuatu yang tak dapat dimengerti.
Namun takdir menitahkan bahwa keadaannya harus
berbeda padaku. Bahwa sebagai hasil dari usaha yang
sangat banyak dan kehilangan yang sangat besar
selama tahun-tahun nan sulit namun penuh pelajaran,
aku, sudah sejak masa-masa awal hidupku, harus bisa
membentuk sebuah pandangan yang masuk akal, yang
ditempa dalam teori, namun dikeraskan menjadi sebuah
senjata siap pakai di medan pertempuran praktik, sebuah sudut pandang yang kokoh yang secara konsisten
mengendalikan kehidupan dan pekerjaanku sejak lama.
Bahkan kini, tidak dibutuhkan model baru dan pekerjaan
yang sambil lalu; sebaliknya, perspektif yang membumi
membantuku mencapai pemahaman baik mengenai
yang lama maupun yang baru. Dan demikianlah, prinsip
F"hrer-lah yang pada akhirnya membebaskanku dari
pencarian tanpa hasil akan berbagai penjelasan.
Menghabiskan salah satu dari malam-malam pertama
membolak-balikkan badan di kursiku, tak mampu tidur
setelah berjam-jam yang sibuk untuk membaca, dan
merenungkan penderitaanku, tiba-tiba sebuah kilasan
pemahaman menghampiriku. Aku bangun dan duduk
tegak, mataku terbuka lebar penuh pencerahan ketika
HITLER BANGKIT LAGI melihat bertoples-toples besar penganan berwarnawarni dan segala barang lain di dalam kios. Sangat
jelas: dalam caranya sendiri yang gaib, takdir sendiri
telah ikut campur dalam rangkaian berbagai peristiwa.
Aku menepuk jidat; hal ini begitu jelas sehingga aku
mencerca diriku sendiri karena tidak menyadarinya
lebih awal. Terutama karena ini bukanlah pertama
kalinya takdir mengambil alih kemudi. Tidakkah ini
persis sama dengan 1919, pada titik nadir penderitaan
dan kesulitan Jerman" Tidakkah seorang kopral tak
dikenal muncul dari parit perlindungan di tahun yang
buruk itu" Meskipun didera kemiskinan, kemiskinan
yang hina, tidakkah seorang orator cemerlang muncul
dari kerumunan yang putus asa, dari tempat yang
mungkin paling tidak diduga orang" Tidakkah orator ini
juga memperlihatkan timbunan kekayaan pengetahuan
dan pengalaman, yang dikumpulkan selama masa-masa
paling kelam di Wina dan lahir dari keingintahuan
yang tak pernah terpuaskan yang, sejak awal masa
kanak-kanak, memacu anak muda ini, dengan pikiran
yang tajam, untuk melahap segala yang berhubungan
dengan sejarah dan politik" Informasi paling berharga,
yang tampaknya tersimpan secara acak, tapi sebenarnya
terakumulasi dengan cermat butir demi butir dalam
diri seorang lelaki" Dan tidakkah lelaki ini, sang
kopral tak dikenal ini, yang di atas kedua pundaknya
jutaan orang menumpukan harapan mereka, tidakkah ia menghancurkan belenggu Versailles dan Liga
Nasional, berkat kemudahan yang diberikan Tuhan ia
menanggung berbagai konflik dengan tentara-tentara
Eropa yang dipaksakan terhadapnya, melawan Prancis,
TIMUR VERMES melawan Inggris, melawan Rusia" Tidakkah lelaki ini,
yang katanya memiliki tak lebih dari pikiran medioker,
memimpin Tanah Air ke puncak-puncak tertinggi
kemenangan di hadapan penilaian yang disepakati oleh


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang mengaku pakar"
Lelaki ini, tentu saja, tidak lain adalah diriku sendiri.
Kedua telingaku berdebam-debam. Setiap peristiwa,
setiap kejadian dari masa lalu dengan sendirinya lebih
mustahil dari apa pun yang telah menimpaku selama
dua atau tiga hari terakhir. Sekarang pandanganku
yang setajam silet menembus kegelapan antara sebuah
toples permen karet warna-warni dan sebuah toples
manisan rebus, di mana cahaya bulan nan terang dengan
bijaksana menerangi gelombang otakku seperti obor
yang dingin. Tentu saja, bagi seorang pejuang kesepian,
memimpin seluruh rakyat keluar dari rawa kesalahan
adalah sebuah bakat yang menakjubkan, yang hanya
bisa muncul setiap seratus atau dua ratus tahun. Tapi
apa yang harus dilakukan takdir jika ia telah memainkan
kartu truf yang berharga ini" Jika, di antara material
manusia yang tersedia, tidak ada satu jiwa pun dengan
kewarasan pikiran yang memadai"
Maka, baik atau buruk, ia harus dicerabut dari cengkeraman masa lalu.
Dan meskipun ini jelas merupakan sebuah mukjizat,
ini lebih mudah dicapai dibanding tugas menciptakan
pedang baru yang tajam dari logam inferior yang tersedia.
Persis ketika arus wawasan ini mulai menenangkan
pikiranku yang tak menentu, sebuah kecemasan baru
menggumpal dalam pikiranku yang waspada. Karena
kesimpulan ini memunculkan kesimpulan lain, seperti
HITLER BANGKIT LAGI seorang tamu tak diundang: jika takdir terpaksa memainkan sebuah tipuan murahan"tidak ada cara lain
untuk mendeskripsikannya"maka situasinya, betapapun terlihat tenang pada tilikan pertama, pastilah lebih
destruktif daripada sebelumnya.
Dan Volk ini tengah berada dalam bahaya yang
bahkan lebih besar! Ini terjadi ketika aku memahami bahwa saat ini
bukanlah waktunya buang-buang waktu untuk berbagai
argumen akademis, bukan waktunya berpikir dengan
sok pintar tentang "bagaimana" dan "apakah", karena
"mengapa" dan "bahwa" merupakan pertimbangan yang
jauh lebih penting. Dan meski begitu masih ada satu pertanyaan yang
tetap tak terjawab: Mengapa aku" Mengingat begitu
banyak pahlawan Jerman yang menanti kesempatan
kedua untuk memimpin Volk ini menuju kemenangankemenangan baru.
Kenapa bukan seorang Bismarck, atau seorang
Frederick Agung" Seorang Charlemagne"
Seorang Otto" Setelah mempertimbangkan sekilas, jawabannya
muncul dengan begitu mudah sehingga aku hampir
terkekeh melihat betapa diriku merasa tersanjung.
Karena, tugas luar biasa berat yang menanti untuk
dilaksanakan di sini tampaknya benar-benar akan
mempermalukan bahkan para lelaki yang paling berani,
orang-orang Jerman yang paling hebat dan agung.
Benar-benar sendirian, tanpa perangkat partai atau
kekuasaan eksekutif, satu orang secara khusus dipercaya
TIMUR VERMES untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, lelaki yang
sudah menunjukkan bahwa ia mampu membersihkan
kandang kotor yang bernama demokrasi. Tapi apakah
aku ingin diriku menjalani berbagai pengorbanan yang
menyakitkan itu untuk kedua kalinya" Menelan semua
penderitaan dan ejekan sekali lagi, bahkan, meneguk
semua itu dengan sikap meremehkan" Menghabiskan
malam-malamku di sebuah kursi di samping sebuah
ceret air tempat sosis dipanaskan pada siang hari untuk
dikonsumsi manusia" Dan semua ini demi kecintaan
terhadap sebuah bangsa yang, dalam memperjuangkan
nasib mereka, sudah pernah meninggalkan F"hrer
mereka dalam kesulitan" Apa pun yang terjadi pada
serangan Steiner" Atau Paulus, si bajingan yang memalukan itu"
Pada titik ini aku perlu menahan dendamku, memisahkan kemarahan yang beralasan dari kemurkaan
buta. Seperti halnya Volk ini harus bersetia pada sang
F"hrer, begitu pula F"hrer harus bersetia pada Volknya. Di bawah kepemimpinan yang benar, prajurit
yang sederhana selalu bisa melakukan yang terbaik"
bagaimana bisa dia dicela jika dirinya tidak mampu
berderap maju dengan setia menghadapi tembakan
musuh karena para jenderal yang pengecut dan lalai
melepaskan kesempatannya untuk mati dengan kematian terhormat seorang prajurit"
"Ya!" Aku berteriak, dalam kegelapan kios. "Ya, Aku
mau! Dan aku ingin! Ya, ya, dan untuk yang ketiga kali,
ya!" Malam menjawab dengan kesunyian yang kelam. Kemudian, tak jauh, sebuah suara yang kesepian berteriak,
HITLER BANGKIT LAGI "Tepat! Mereka semua adalah sekumpulan orang menjijikkan!"
Aku seharusnya menganggap ini sebagai sebuah
peringatan. Tapi, jika pada saat itu aku sudah tahu akan
berbagai upaya tanpa henti ini, berbagai pengorbanan
pahit yang pada akhirnya harus kubuat, siksaan hebat
perjuangan yang tak seimbang"aku hanya akan melafalkan sumpahku dengan lebih tulus, dua kali lebih
lantang. Lima eberapa langkah pertama adalah kerja keras. Tak
ada persoalan sama sekali mengenai ke-lemahan fisik
pada diriku; faktanya, aku merasa se-perti orang pandir
dalam pakaian pinjaman milik si penjual koran itu.
Celana panjang dan kemejanya hampir patut dikenakan.
Ia membawakanku sebuah celana katun biru bersih,
yang ia sebut "jins", dan sebuah kemeja katun kotakkotak merah bersih. Aku sebenarnya mengharapkan
setelan dan topi, tapi ketika aku mengamati si penjual
koran itu lebih dekat harus kuakui bahwa pikiranku
telah teperdaya. Pria ini tidak mengenakan setelan
di kiosnya dan begitu pula, dari apa yang aku amati
sejauh ini, hanya ada sedikit corak borjuis pada baju
para pelanggannya. Topi, sekadar untuk melengkapi
gambaran ini, tampaknya tidak lazim. Dengan sarana
sederhana yang tersedia untuk-ku, aku memutuskan
untuk memberikan sebanyak mungkin martabat yang
aku bisa kepada paduan ini dengan menghindari
kebiasaan anehnya mengenakan kemeja longgar di luar
HITLER BANGKIT LAGI celana panjangnya, dan alih-alih memasukkan kemeja
sejauh mungkin ke bawah pinggangku. Celananya agak
terlalu besar bagiku, tapi dengan ikat pinggangku, aku
bisa mengencangkan dan menariknya dengan ketat.
Kemudian aku memasang tali pengikatku di atas bahu
kanan. Ini jelas bukan seragam tentara Jerman, tapi
secara keseluruhan penampilan semacam ini setidaknya
menunjukkan seorang pria yang tahu bagaimana
berpakaian dengan pantas. Di sisi lain, sepatu menjadi
masalah. Setelah meyakinkanku bahwa ia mengenal orang
lain yang memiliki ukuran sama denganku, penjual
koran itu membawakanku sepasang sepatu yang sangat
aneh milik putra remajanya. Apakah benda itu benarbenar bisa disebut sepatu adalah persoalan yang bisa
diperdebatkan. Benda itu besar, putih, dengan sol
raksasa: aku merasa seperti seorang badut sirkus. Aku
harus melawan dorongan hatiku untuk melempar
kembali sepatu tersebut ke wajah lelaki bodoh itu.
"Aku tidak akan mengenakan ini," katanya. "Mengapa,
ia membuatku mirip seorang badut!"
Pasti merasa terhina, ia menyatakan sesuatu yang pada
dasarnya menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan
caraku mengenakan celana, tapi aku mengabaikannya.
Aku merapatkan bagian kaki celana jins dengan ketat di
sekeliling betis dan memasukkannya ke dalam bot.
"Kau benar-benar tak ingin terlihat seperti orang
lain, ya?" kata si penjual surat kabar.
"Kau pikir aku akan sampai ke mana jika aku selalu
melakukan segalanya seperti dilakukan oleh mereka
yang disebut "orang lain?"" Aku menjawab ketus. "Dan di
TIMUR VERMES mana Jerman akan berada?"
"Hmm," katanya, terdiam karena komentarku. Ia
menyalakan rokok lagi dan berkata, "Kau bisa memandang keadaannya dengan cara itu, aku rasa."
Ia melipat seragamku dan menaruhnya dalam sebuah
tas yang terlihat menarik. Yang mengejutkanku bukan
hanya bahannya, yang sintentis dan sangat tipis, jelas jauh
lebih tahan lama dan lebih fleksibel dibanding kertas.
Aku juga tergugah dengan kata-kata yang tercetak di
atasnya: "Media Market". Tas itu pasti digunakan sebagai
pembungkus untuk koran orang-orang bodoh yang aku
temukan di bawah bangku taman. Ini membuktikan
bahwa, jauh di lubuk hatinya, penjual koran itu adalah
seorang lelaki yang bijaksana"ia menyimpan tas yang
berguna itu, tapi membuang isinya yang kekanakkanakan. Sambil menyerahkan tas itu kepadaku, ia
menjelaskan jalan menuju penatu dan berkata dengan
penuh semangat, "Selamat bersenang-senang!"
Aku berangkat, walaupun tidak langsung ke penatu.
Pertama, aku kembali ke sebidang tanah tempat aku
terbangun. Terlepas dari ketabahanku, aku tidak
bisa menyangkal bahwa diriku menyimpan sedikit
harapan seseorang dari masa lalu menemaniku ke masa
sekarang. Aku menemukan bangku taman tempatku
pertama beristirahat, kemudian menyeberangi jalan"
kali ini dengan sangat hati-hati"dan berjalan di antara
rumah-rumah dan lapangan kosong. Hari sudah siang
dan sangat tenang. Para pemuda Hitler tidak sedang
bermain; mungkin mereka berada di sekolah. Tempat
ini kosong. Dengan tas di tangan, aku berhati-hati
mendekati genangan di samping tempatku terbangun. Ia
HITLER BANGKIT LAGI praktis sudah mengering. Segalanya begitu senyap, atau
setidaknya sesenyap yang bisa dirasakan di sebuah kota.
Terdengar deru mobil yang teredam dari kejauhan, dan
aku bisa mendengar dengung seekor kumbang.
"Psst," kataku. "Psst!"
Tak terjadi apa-apa. "Bormann," aku memanggil dengan lembut. "Bormann! Apakah kau di sana?"
Tiupan angin berembus melewati lapangan itu, sebuah kaleng kosong menumbuk kaleng lain. Selain itu,
tak ada yang bergerak. "Keitel?" kataku. "Goebbels?"
Tapi tak ada jawaban. Baiklah. Memang, lebih baik
begini. Lelaki yang kuat paling perkasa saat ia sendirian,
sebuah aksioma yang sama benarnya saat ini seperti
di masa lalu. Bahkan aksioma ini lebih benar daripada
sebelumnya; bagaimanapun juga, aku memiliki lebih
banyak kejelasan sekarang. Adalah tugasku dan tugasku
seorang untuk menyelamatkan Volk. Tugasku seorang
untuk menyelamatkan Bumi dan umat manusia. Dan
langkah pertama di jalur ini mengantarku ke penatu.
Dengan hati mantap dan tas di tangan, aku kembali
ke akarku, ke tempat di mana aku telah mempelajari
pelajaran paling berharga dalam kehidupanku: jalanan.
Dengan hati-hati aku mengikuti arah yang telah diberikan, membandingkan teras-teras rumah dan jalan,
memeriksa, mempertimbangkan, merenung, menemukan secara kebetulan. Survei awalku agak positif: negeri
ini, atau kota ini setidaknya, tampak bebas dari puingpuing dan tertata dengan baik; secara keseluruhan orang
mungkin dengan puas menyatakannya sebagai dalam
TIMUR VERMES keadaan pra-perang. Mobil-mobil Volkswagen baru
tampaknya berfungsi dengan andal; mereka lebih tenang
di masa sekarang, meskipun secara estetis bukan selera
semua orang. Apa yang terlihat menonjol bagi mataku
yang tajam adalah slogan-slogan membingungkan yang
menutupi semua dinding. Ya, aku sangat akrab dengan
teknik ini; terutama di Weimar, antek-antek komunis
biasa memulas omong kosong Bolshevik mereka ke
seluruh tempat. Dan aku sendiri telah belajar dari hal
ini. Tapi setidaknya dulu kalian bisa membaca katakata yang dilukis oleh kedua belah pihak. Sekarang,
aku perhatikan, sejumlah besar pesan"para penulisnya
terbukti menganggap pesan-pesan itu cukup penting
untuk mengotori rumah para warga yang jujur"sangat
sulit dipahami. Aku hanya bisa berharap ini adalah
pekerjaan anak-anak liar sayap kiri yang buta huruf, tapi
ketika aku terus berjalan aku mengamati bahwa tingkat
keterbacaan slogan-slogan itu tidak berubah dari rumah
ke rumah, dan karena itu aku harus berasumsi bahwa
pesan-pesan penting seperti "Jerman, bangkitlah" atau
"Sieg Heil" mungkin tersembunyi di antara pesan-pesan
itu juga. Dihadapkan dengan keamatiran yang menyebar
di mana-mana seperti itu, aku merasa darahku mendidih. Semua bisa melihat dengan jelas bahwa apa yang
sekarang hilang adalah kepemimpinan yang tegas,
organisasi yang ketat. Yang membuat hal ini sangat
menjengkelkan adalah fakta bahwa banyak dari tulisan
ini dibuat dengan warna-warna substansial dan usaha
yang jelas terlihat. Atau apakah selama ketidakhadiranku
dunia telah mengembangkan gaya penulisan yang khas
untuk slogan-slogan politik" Bertekad untuk memahami
HITLER BANGKIT LAGI akar masalahnya, aku mendekati seorang nyonya yang
sedang menggandeng seorang anak.
"Tolong maafkan aku karena mengganggu Anda,
Nyonya," kataku. Sambil menunjuk ke salah satu tulisantulisan itu, aku berkata, "Apakah Anda bisa mengatakan
padaku apa bunyinya?"
"Bagaimana aku tahu?" kata nyonya itu, sambil menatapku dengan pandangan aneh.
"Jadi kau berpendapat tulisan ini agak aneh juga?"
aku bertanya lebih lanjut.
"Bukan hanya tulisan itu," kata wanita tersebut dengan ragu-ragu. "Apakah Anda baik-baik saja?"
"Jangan khawatir," kataku. "Aku sedang dalam perjalanan ke penatu."
"Lebih baik Anda pergi ke tukang cukur rambut!"
kata nyonya itu. Aku menolehkan kepalaku ke samping, membungkuk
di depan jendela sebuah mobil model baru dan mengamati diriku baik-baik. Meskipun tidak sempurna,
belahan rambutku tampak baik-baik saja, dan meskipun
kumisku perlu dirapikan dalam beberapa hari ke depan,
untuk sementara kunjungan ke tukang cukur belum
penting. Aku mengambil kesempatan untuk menghitung
bahwa petang berikutnya akan menjadi yang paling
menguntungkan secara strategis untuk mandi secara
lebih menyeluruh. Kembali berjalan, aku melewati lebih
banyak slogan propaganda yang sama, yang mungkin juga


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditulis dalam bahasa China. Hal lain yang tampak olehku
adalah berapa banyak orang yang tampaknya dilengkapi
dengan telepon nirkabel"jumlah yang mengagumkan.
Piring-piring radar dihubungkan ke jendela-jendela
TIMUR VERMES di mana pun, untuk menerima transmisi radio, pasti.
Seandainya aku punya kesempatan untuk berbicara
lewat gelombang radio, maka meyakinkan sekumpulan
kamerad baru yang setia di kalangan Volk akan berjalan
sangat cepat. Bagaimanapun juga, dengan sia-sia aku
telah mendengarkan siaran pada radio nirkabel, yang
terdengar seperti para musikus mabuk tengah bermain
musik, dan para penyiar mengocehkan kata-kata yang
sama sekali tak bisa dibaca yang dituliskan di dindingdinding ini. Yang harus aku lakukan hanyalah berbicara
dengan bahasa Jerman yang bisa dipahami, tentu saja
itu akan memadai?"permainan anak kecil. Penuh keyakinan dan dengan sebuah per dalam langkahku, aku
berjalan. Kemudian, pada jarak yang tak terlalu jauh,
aku melihat papan nama PENATU EKSPRES YILMAZ.
Ini sesuatu yang agak mengejutkan.
Ya, semua koran itu menyiratkan bahwa pasti ada
sejumlah pembaca Turki di kota ini, meski seluk-beluk
kedatangan mereka tetap merupakan sebuah misteri.
Dan selama perjalananku, aku juga memperhatikan
sesekali ada orang lewat dengan keturunan Arya yang
meragukan, untuk mengatakannya secara halus, dan
bukan hanya empat atau lima generasi ke belakang,
tapi hingga seperempat jam terakhir. Meski masih
merupakan sebuah misteri apa persisnya yang dilakukan
para alien rasial ini di sini, setidaknya mereka tidak
terlihat memainkan peran utama. Yang membuat
tidak mungkin bahwa dunia bisnis sedang dicaplok
oleh berbagai tipe orang asing dalam skala besar dan
oleh karena itu nama-nama mereka berubah. Sejauh
berkaitan denganku"bahkan untuk tujuan propaganda
HITLER BANGKIT LAGI ekonomi"sulit untuk memahami mengapa orang harus
menamai "Penatu Ekspres" dengan "Yilmaz". Sejak
kapan "Yilmaz" berarti jaminan kemeja yang bersih"
Paling banter, "Yilmaz" berarti jaminan sebuah kereta
keledai yang bermanfaat. Satu-satunya masalah adalah
bahwa aku tidak punya pilihan selain penatu ini. Dan
mengingat bahwa kecepatan tindakan adalah intinya,
untuk memungkinkanku memberikan tekanan pada
lawan-lawan politikku, aku membutuhkan sebuah
penatu ekspres. Dirongrong oleh keraguan, aku
melangkah masuk. Aku disambut oleh sebuah menara lonceng yang
mencong. Tempat ini dipenuhi bau cairan pembersih,
dan panas sekali"terlalu panas untuk sebuah kemeja
katun, tapi seragam Afrikakorps yang nyaman tidak
tersedia saat ini, sayang! Di konter itu ada sebuah bel
seperti yang sering terlihat di meja-meja resepsionis
hotel. Tak ada yang terjadi. Aku bisa mengenali semacam musik oriental yang
muram; mungkin, di sebuah ruang belakang toko ini,
seorang perempuan Anatolia pencuci baju sedang
meratapi kampung halamannya yang jauh"perilaku
aneh sebenarnya, terutama jika seseorang memiliki
nasib baik dengan tinggal di ibu kota Reich Jerman.
Aku membaca dengan teliti nomor-nomor baju yang
digantung dengan susunan kolom dan baris di belakang
konter. Baju-baju itu dibungkus dalam bahan transparan,
tidak berbeda dengan bahan tasku. Bahkan, semuanya
tampak dibungkus dengan bahan ini. Aku pernah sekali
melihat bahan yang sama di sebuah laboratorium,
TIMUR VERMES tapi I.G. Farben pasti telah membuat kemajuan dalam
tahun-tahun belakangan ini. Sesuai dengan apa
yang kuketahui, produksi material seperti ini sangat
bergantung pada ketersediaan pasokan minyak mentah;
dengan demikian, benda tersebut membutuhkan biaya
besar. Tapi cara material sintetis ini digunakan di sini"
bahkan, tingkat penggunaan mobil"menyiratkan bahwa minyak mentah tidak lagi menjadi masalah. Apakah,
entah bagaimana, Reich menguasai simpanan kekayaan
alam Rumania" Tidak mungkin. Apakah G"ring
pada akhirnya menemukan sumber baru di tanah
negeri sendiri" Ada tawa pahit dalam dadaku. G"ring!
Pecandu morfin yang tidak kompeten itu! Ia lebih cepat
menemukan emas di lubang hidungnya sendiri daripada
minyak di Jerman. Aku penasaran apa yang terjadi pada
dirinya. Rasanya lebih mungkin bahwa kami mengalami
ketertinggalan dalam berbagai sumber daya lain, dan...
"Sudah menunggu lama?"
Seorang pria Eropa Selatan dengan tulang pipi Asia
mengintip ke luar dari sebuah lorong di belakang toko.
"Tentu saja!" kataku tak sabar.
"Mengapa tidak membunyikan bel?" Ia menunjukkan
bel di konternya dan mengetuknya lembut dengan
telapak tangannya. Bel berbunyi.
"Aku sudah membunyikannya"di sini!" Aku bersikeras, membuka pintu toko. Menara lonceng yang
aneh itu berbunyi sekali lagi.
"Harus bunyikan bel di sini!" kata penatu itu tak acuh,
mengetuk bel di konter sekali lagi.
"Seorang Jerman hanya membunyikan bel sekali,"
kataku, dengan tajam. HITLER BANGKIT LAGI "Kalau begitu di sini," kata peranakan dari keturunan
yang tak jelas itu, membunyikan bel dengan telapak
tangannya untuk ketiga kali. Aku dikuasai dorongan hati
untuk mengirimkan petugas S.A. dan menyuruh mereka
mengoyak-ngoyak sebuah gendang telinga si bodoh ini
dengan bel terkutuknya. Atau bahkan lebih baik, kedua
gendang telinganya. Ia kemudian bisa menjelaskan pada
para pelanggannya agar melambai ketika mereka masuk
ke dalam tokonya. Aku mendesah. Tidak memiliki staf
pembantu bahkan yang paling dasar adalah hal yang
sangat menyebalkan. Sejumlah hal harus diluruskan di
negeri ini sebelum aku bisa membereskan hal ini dengan
memuaskan, tapi aku mulai menghimpun sebuah daftar
para pengkhianat yang menyabotase masa depan Volk
Jerman, dan "Penatu Yilmaz" ada di urutan paling atas.
Untuk saat ini yang bisa kulakukan hanyalah merengut
dan menyingkirkan bel itu dari genggamannya.
"Katakan," aku berkata dengan keras, "apakah kau
juga mencuci barang-barang" Atau apakah di tempatmu
berasal, industri pencucian hanyalah soal membunyikan
bel?" "Apa yang kau mau?"
Aku menaruh tasku di atas konter dan mengeluarkan
baju seragamku. Ia mengendus, dan berkata, "Aha"kau
bekerja di pom bensin," dan dengan tenang mengambil
buntelan itu. Aku seharusnya tidak peduli dengan pandangan
seorang non-pemilih dari sebuah ras alien, tapi aku juga
tidak bisa mengabaikan apa yang ia katakan. Memang
benar, lelaki ini juga tidak memberi penghormatan di
sini, tapi apakah aku benar-benar jatuh ke dalam keadaan
TIMUR VERMES tak dinela semacam ini" Di sisi lain, kebanyakan Volk
Jerman hanya mengenalku dari foto-foto media, dan
secara umum foto-foto ini menunjukkan wajahku dari
satu sudut favorit. Bertemu seseorang secara langsung
kerap sangat berbeda. "Tidak," kataku dengan tegas. "Aku tidak bekerja di
pom bensin." Aku kemudian mendongakkan kepalaku dan menoleh ke samping, menawarkan sudut yang lebih fotogenik untuk memberikan pemandangan yang lebih jelas
tentang siapa yang berdiri di hadapannya. Si penatu
mengamatiku, lebih karena kesopanan ketimbang
minat yang nyata, tapi aku menangkap kesan bahwa aku
bukan sama sekali tak dikenalnya. Ia mencondongkan
badannya di atas meja layanan dan mengamati celana
panjangku, yang dimasukkan tanpa cela ke dalam botku
yang tinggi. "Aku tak tahu... Kau nelayan terkenal?"
"Coba lagi lebih keras, bung," kataku dengan memaksa, walaupun merasa agak hambar. Bahkan dengan
si penjual koran, yang sama sekali tidak jenius, aku bisa
memulai dengan beberapa pengetahuan sebelumnya.
Sekarang, ini! Bagaimana gerangan aku bisa kembali
ke Istana Kanselir Reich jika tak seorang pun punya
petunjuk tentang siapa diriku"
"Tunggu sebentar," kata si bodoh non-pribumi itu.
"Aku punya putra. Selalu menonton TV, selalu melihat
internet, tahu segalanya. Mehmet! Mehmet!"
Si Mehmet yang dicari segera muncul. Seorang
pemuda tinggi, dengan tampang lumayan rapi berjalan
ke depan toko bersama seorang teman atau adik. Bibit
HITLER BANGKIT LAGI keluarga ini tidak bisa diremehkan; kedua anak laki-laki
itu mengenakan baju yang pasti milik abangnya yang
bahkan lebih tinggi"mereka pasti benar-benar raksasa.
Kemeja yang seperti seprei tempat tidur, celana yang
besarnya tak terkira. "Mehmet," kata ayahnya, menunjuk padaku. "Kau
tahu lelaki ini?" Aku bisa melihat sebuah kilasan di kedua mata anak
laki-laki yang hampir tak bisa lagi disebut bocah itu.
"Hei, bung, ya, tentu saja! Itu adalah lelaki yang selalu
melakukan hal-hal berbau Nazi..."
Luar bisa, pada akhirnya! Tak bisa dibantah bahwa
caranya berekpsresi agak ceroboh, tapi yang dikatakannya
bukan sama sekali tidak benar. "Itu disebut Sosialisme
Nasional," Aku membetulkannya dengan simpatik. "Atau
kebijakan Sosialis Nasional, kau juga bisa menyebutnya
begitu." Identitasku terbukti, aku memandang "Penatu
Yilmaz" dengan tatapan puas.
"Dia itu si Stromberg," kata Mehmet penuh percaya
diri. "Luar biasa," katanya. "Stromberg di penatumu!"
"Bukan," Mehmet mengoreksi dirinya sendiri. "Itu
Stromberg yang lain. Stromberg dari parodi."
"Tak mungkin!" kata temannya. "Stromberg lain! Di
penatumu." Aku ingin sekali kembali dengan sebuah jawaban,
tapi terlalu lelah. Siapa aku tadi" Petugas pom bensin"
Nelayan" Pria Strom?"
"Bisakah aku meminta tanda tangan?" Mehmet yang
gembira bertanya. "Ya, aku juga, Herr Stromberg," kata temannya.
TIMUR VERMES "Dan sebuah foto!" Ia melambaikan sebuah alat kecil
padaku seolah aku adalah seekor anjing dachshund dan
perlakuan itu untuk menyenangkan si anjing.
Ini membuatku murka. Aku mengambil tanda terima untuk seragamku,
setuju memberikan sebuah foto kenang-kenangan
bersama teman-teman yang aneh ini dan meninggalkan
penatu, tapi tidak sebelum aku menandatangani dua
lembar kertas tisu dengan pena berwarna yang diberikan
kepadaku. Sebuah krisis singkat menyusul pemberian
tanda tangan, ketika keluhan diajukan karena aku tidak
membubuhkan nama "Stromberg".
"Lihat, jelas "kan," kata temannya meyakinkan, meskipun tidak jelas apakah dia berusaha menenteramkan
Mehmet atau aku. "Itu bukan Stromberg!"
"Kau benar," Mehmet setuju. "Ia bukan Stromberg. Ia
yang lain lagi." Harus kuakui bahwa aku meremehkan besarnya
tugas yang menghadangku. Dulu, setelah Perang Besar,
setidaknya aku adalah sang anonim dari jantung Volk.
Kini aku adalah Herr Stromberg"bukan Stromberg yang
pertama, tapi yang lain. Lelaki yang selalu melakukan
hal-hal berbau Nazi. Lelaki yang tidak peduli nama apa
yang ia bubuhkan di atas selembar kertas tisu.
Sesuatu harus terjadi. Dengan cepat. Enam eruntung sesuatu telah terjadi sementara itu.
Ketika, sembari tenggelam dalam pemikiran,
aku kembali ke kios, aku memperhatikan dua lelaki
berkacamata hitam berbicara dengan si penjual koran.
Mereka mengenakan setelan, tapi tanpa dasi; mereka
muda, mungkin sekitar tiga puluh tahun. Yang lebih
pendek dari keduanya bahkan mungkin lebih muda, tapi
karena jarak antara kami, aku tidak bisa mengetahuinya.
Aku terkejut, meskipun kemeja yang dikenakannya
nyata-nyata berkualitas bagus, lelaki yang lebih tua itu
tidak bercukur. Ketika aku mendekati mereka, penjual
koran itu memanggil-manggilku dengan gembira.
"Kemari, kemari!"
Beralih ke kedua lelaki itu, ia berkata, "Itu dia! Ia
hebat. Mengalahkan semua yang lain."
Aku menolak membiarkan diriku diburu-buru.
F"hrer sejati segera merasakan ketika orang lain berusaha
merebut kendali atas sebuah situasi. Ketika yang lain berkata, "cepat, cepat," F"hrer sejati selalu berusaha untuk
TIMUR VERMES menahan akselerasi perbuatan dan menghindari digiring
terburu-buru ke dalam sebuah kesalahan. Bagaimana ia
mencapai hal ini" Dengan menunjukkan kehati-hatian,
sementara yang lain berlarian seperti gerombolan ayam
tanpa kepala. Tentu saja, ada saat-saat di mana kecepatan
diperlukan, contohnya ketika terjebak dalam sebuah
rumah yang terbakar, atau ketika berusaha bergerak
menjepit untuk mengepung sejumlah besar divisi
Inggris dan Prancis dan menggilas mereka hingga pria
terakhir. Tapi situasi-situasi ini lebih jarang daripada
yang dibayangkan orang, dan dalam kehidupan seharihari kehati-hatian"yang selalu bersekutu erat dengan
tekad yang mantap"memiliki keunggulan dalam begitu
banyak kasus;seperti di tengah kengerian dalam paritparit perlindungan, orang yang selamat sering kali
adalah orang yang berjalan di sepanjang jalur dengan
kepala dingin, dan mengisap sebatang rokok, dan bukan


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sibuk mondar-mandir seperti seorang perempuan
tukang cuci, sambil tersedu-sedu. Mengisap rokok jelas
bukan jaminan keselamatan di saat krisis; para pengisap
rokok juga terbunuh dalam perang-perang dunia.
Hanya orang bodoh yang mungkin beranggapan bahwa
mengisap sebatang rokok akan memberikan semacam
perlindungan. Sebaliknya, keselamatan sangat mungkin
terjadi tanpa sebatang rokok, bahkan tanpa tembakau
sama sekali. Aku, yang tidak pernah merokok, adalah
buktinya. Begitulah pikiranku ketika penjual koran itu mendekatiku dengan tidak sabar. Ia hampir menarik-narikku
seperti seekor anak keledai ke dalam "pertemuan"
kecil itu. Aku mungkin terlihat agak ragu-ragu; meski
HITLER BANGKIT LAGI bukannya merasa tidak aman, aku merasa lebih percaya
diri dalam seragamku. Tapi tak ada yang bisa dilakukan
dengan hal itu saat ini. "Ini dia," kata penjual koran mengulangi dengan
kegembiraan yang tak lazim. "Dan ini," katanya, menunjuk pada dua lelaki itu, "adalah orang-orang yang
kuceritakan padamu."
Lelaki yang lebih tua berdiri di salah satu meja
tinggi. Dengan satu tangan di saku, ia minum kopi
dari sebuah gelas kertas, sebuah wadah yang sering
kulihat digunakan oleh para pekerja selama beberapa
hari terakhir. Yang lebih muda dari keduanya menaruh
gelasnya, mendorong kacamata hitamnya hingga persis
di bawah rambut pendeknya, yang ditata dengan krim
yang berlebihan, dan berkata, "Jadi kau adalah anak ajaib
itu. Baiklah, kau perlu sedikit membenahi seragam itu."
Aku memberinya pandangan datar sekilas, dan
menoleh pada si penjual koran. "Siapa ini?"
Wajah penjual itu memerah. "Bapak-bapak ini
dari sebuah perusahaan produksi. Mereka membuat
program-program untuk semua saluran utama. MyTV!
RTL! Sat 1! Pro Sieben! Semua televisi swasta! Kira-kira
begitu, "kan?" Pertanyaan terakhir ini ditujukan pada
dua pria itu. "Kira-kira begitu," yang tua berkata dengan meremehkan. Kemudian ia mengeluarkan tangannya dari
saku celana dan menyodorkannya kepadaku. "Sensenbrink, Joachim. Dan itu Frank Sawatzki, ia bekerja
bersamaku di Flashlight."
"Begitu," kataku, menjabat tangannya. "Hitler, Adolf,"
Yang lebih muda menyeringai, sebuah seringai yang
TIMUR VERMES agak angkuh menurutku. "Teman kita bersama ini telah
berbicara dengan penuh semangat tentangmu. Ayo,
katakan sesuatu!" Dengan senyum lebar, ia meletakkan
dua jarinya di bibir atas dan berkata dengan suara yang
tercekik, "Kita telah memvalas temvakan sejak vukul
enam kurang severemvat!"
Aku menoleh pada lelaki itu dan mengamatinya
dengan saksama. Kemudian aku membiarkan sebuah
periode keheningan yang singkat menyela perbincangan
kami. Keheningan sering kali diremehkan.
"Jadi," kataku. "Kau ingin berbicara tentang Polandia.
Polandia. Baiklah. Apa tepatnya yang kau ketahui tentang sejarah Polandia?"
"Ibukota: Warsawa. Diinvasi pada 1939, dibagi dengan bangsa Rusia..."
"Itu," aku memotongnya, "hanyalah yang dikatakan
buku. Orang tua bodoh mana pun bisa menyebutkannya.
Jawablah pertanyaannya!"
"Tapi aku..." "Pertanyaannya! Apakah kau tidak mengerti bahasa
Jerman, bung" Apa! Yang kau! Ketahui! Tentang!
Sejarah! Polandia! "Aku..." "Apa yang kau ketahui tentang sejarah Polandia"
Apakah kau mengetahui konteksnya" Dan apa yang kau
ketahui tentang percampuran ras Polandia" Apakah
kau tahu tentang apa yang disebut kebijakan Polandia
yang dimiliki Jerman setelah 1919" Dan melihat kau
menyebutkan soal tembakan balasan, kau tahu di mana?"
Aku berhenti sejenak untuk membiarkan ia bernapas.
Orang harus memilih momen yang tepat untuk meng70
HITLER BANGKIT LAGI hancurkan lawan politiknya. Bukan ketika ia tidak
berkata apa-apa. Tapi ketika ia berusaha mengatakan
sesuatu, "Aku..." "Jika kau mendengar pidatoku, maka tentu saja kau
pasti tahu bagaimana kelanjutannya."
"Itu..." "Maaf?" "Tapi, maksudku kami tidak..."
"Biarkan aku membantumu: "Setelah itu...?"nah kau
tahu bagaimana kelanjutannya?"
"..." ?"Setelah itu bom akan dihadapi dengan bom." Catat
itu, mungkin suatu hari kau akan diinterogasi lagi tentang
kutipan-kutipan hebat dalam sejarah. Tapi mungkin kau
lebih baik di medan perang. Kau punya 1,4 juta prajurit
di pihakmu dan tiga puluh hari untuk menaklukkan
seluruh negeri. Tiga puluh hari dan tidak lebih, karena
di Barat, Inggris dan Prancis dengan penuh semangat
tengah menyiapkan perang. Di mana kau mulai" Berapa
banyak kelompok tentara yang kau ciptakan" Berapa
banyak divisi yang dimiliki musuh" Di mana kau
memperkirakan akan menghadapi perlawanan paling
sengit" Dan apa yang kau lakukan untuk mencegah
Rumania terlibat" "Rumania?" "Oh maaf, Jenderal, aku sangat menyesal, Pak. Kau,
tentu saja, sangat benar. Siapa yang peduli dengan
Rumania" Biasanya, Herr Jenderal di sini akan selalu
bergerak ke Warsawa, ke Krakow. Ia tidak menengok ke
kiri, ia tidak menengok ke kanan, dan astaga, mengapa
TIMUR VERMES ia harus melakukan itu" Orang Polandia itu mudah
dikalahkan, cuaca sedang baik-baik saja, pasukan
sedang dalam keadaan luar biasa... tapi wuss! Apa itu"
Tiba-tiba tulang belikat pasukan kita ditembus dengan
lubang-lubang sangat kecil, yang mengalirkan darah
terhormat para pahlawan Jerman. Dan mengapa"
Karena entah dari mana, jutaan peluru telah menghujani
punggung ratusan ribu pasukan infanteri Jerman. Tapi
bagaimana keadaannya bisa begini" Bagaimana ini
terjadi"Apakah jenderal muda kita di sini barangkali
kebetulan melupakan persekutuan militer antara
Polandia dan Rumania" Apakah kau pernah berada di
Wehrmacht, bung" Betapapun aku berusaha, aku tidak
bisa membayangkan kau ada di medan perang. Kau
tidak bisa menemukan jalan ke Polandia untuk tentara
mana pun di bumi; kau bahkan tidak bisa menemukan
seragammu sendiri! Aku, di lain pihak, bisa mengatakan
padamu pada jam berapa pun, menit berapa pun, di
mana seragamku berada." Aku memasukkan tanganku
ke saku dada dan membanting tanda terima di atas meja.
"Di penatu!" Suara aneh berasal dari lelaki yang lebih tua,
Sensenbrink, dan dua semburan kopi muncrat dari
hidungnya jatuh ke kemejaku, kemeja si penjual koran,
dan kemejanya sendiri. Lelaki yang lebih muda duduk
di sana kebingungan sementara Sensenbrink mulai
terbatuk-batuk. "Itu," ia mencicit, membungkuk di bawah meja, "itu
curang." Ia meraba ke dalam sakunya, menarik sebuah saputangan dan dengan susah payah membersihkan saluran
HITLER BANGKIT LAGI pernapasannya. "Aku kira," ia megap-megap, "aku kira
awalnya ini akan menjadi semacam gurauan militer,
agak mirip seperti karakter Instruktur Schmidt. Tapi
pernyataan tentang penatu, itu benar-benar membuatku
mati ketawa." "Apa yang kubilang padamu?" penjual koran itu
berkata dengan gembira. "Bukankah sudah kukatakan
lelaki ini seorang jenius" Dan dia memang begitu."
Aku tak yakin bagaimana menerjemahkan pancuran
kopi tadi dan komentar-komentar yang mengikutinya.
Meskipun aku tidak tertarik pada berbagai jenis penyiaran, situasinya tidak berbeda dengan di Republik
Weimar. Tidak bisa dihindari bahwa aku harus bersabar
dengan musang-musang seperti ini untuk sementara. Di
samping itu, sejauh ini aku belum mengatakan apa pun,
setidaknya bukan sesuatu yang harus kukatakan dan
ingin kukatakan. Terlepas dari hal ini, aku merasakan
tingkat persetujuan yang cukup besar.
"Kau melakukannya dengan sangat baik," kata
Sensenbrink. "Klasik. Siapkan semuanya, kemudian
hajar!"muncul dengan penutup yang lucu. Dan semuanya terjadi begitu spontan! Tapi kau sudah menyiapkan
bagian penampilan itu sebelumnya, "kan?"
"Bagian penampilan yang mana?"
"Bagian penampilan tentang Polandia! Kau tak
akan bilang padaku bahwa kau melakukannya tanpa
persiapan?" Sobat yang bernama Sensenbrink ini sebenarnya
kelihatan memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang
persoalan ini. Seseorang tidak bisa menghasilkan sebuah
Blitzkrieg tanpa persiapan juga. Mengapa, mungkin
TIMUR VERMES lelaki ini bahkan telah membaca Guderian-nya.
"Tentu saja tidak," kataku. "Bagian penampilan
tentang Polandia telah direncanakan hingga detail
terkecilnya pada Juni "39."
"Jadi?" ia bertanya, memeriksa kemejanya dengan
campuran sesal dan kegembiraan. "Ada lagi yang bisa
dikeluarkan dari tempat asal penampilan itu?"
"Apa maksudmu dengan "lagi?""
"Kau tahu, sebuah program," katanya, "atau naskahnaskah lain."
"Tentu saja! Aku telah menulis dua buku!"
"Luar biasa," ia terkagum-kagum. "Mengapa kami
tidak melihatmu di radar kami bertahun-tahun lalu"
Berapa usiamu sesungguhnya?"
"Lima puluh enam," kataku dengan serius.
"Tentu saja," ia tertawa. "Apakah kau memiliki penata
rias, atau kau melakukannya sendiri?"
"Tidak selalu, hanya ketika syuting."
"Hanya ketika syuting," ia tertawa lagi. "Hebat sekali.
Dengar, ada satu atau dua orang di perusahaan kami
yang ingin kuperkenalkan kepadamu. Di mana aku bisa
mencarimu?" "Di sini," kataku dengan tegas.
Penjual koran itu memotongku, menambahkan,
"Aku bilang padamu bahwa kondisi pribadinya saat ini
sedikit... tidak menentu."
"Oh ya, benar," kata Sensenbrink. "Kau, bagaimana
aku mengatakannya, sekarang gelandangan...?"
"Untuk sementara aku memang tanpa tempat tinggal
tetap," aku mengakui. "Tapi aku tentu bukannya tak
memiliki sebuah rumah!"
HITLER BANGKIT LAGI "Aku paham," kata Sensenbrink, dan menoleh pada
Sawatzki. "Jadi, itu tidak bagus, "kan" Aturlah sesuatu
untuk dia. Lelaki ini perlu bersiap-siap. Aku tidak peduli
betapa bagusnya dia, jika ia muncul di depan Frau Bellini
tampak seperti itu, dia akan mengusirnya saat itu juga.
Tidak harus di Adlon, "kan?"
"Sebuah tempat tinggal sederhana sudah cukup," Aku
berkata menyetujui. "F"hrerbunker tidak persis sama
seperti Versailles."
"Luar biasa," kata Sensenbrink. "Apakah kau benarbenar tak punya seorang manajer?"
"Seorang apa?" "Lupakan," katanya, mengibaskan tangan. "Sudah
beres, kalau begitu. Sekarang, aku tidak ingin membuang banyak waktu untuk yang satu ini; kita harus
mencoba dan melakukannya pekan ini. Kau akan segera
mendapatkan seragammu kembali, "kan?"
"Mungkin malam ini," Aku meyakinkan dia. "Lagi
pula, itu adalah penatu ekspres."
Sensenbrink terkekeh. Tujuh ahkan mengingat berbagai peristiwa dramatis
yang telah aku alami, pagi pertama di tempat
tinggalku yang baru adalah pagi yang paling sulit dalam
hidupku. Pertemuan besar di perusahaan produksi
telah ditunda, yang bagiku tidak menjadi masalah. Aku
tidaklah begitu sombong sehingga membantah bahwa
aku punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan
dalam membiasakan diri dengan era sekarang. Namun,
secara kebetulan aku menemukan sumber baru untuk
informasi seperti itu: perangkat televisi.
Struktur peralatan ini telah berubah begitu banyak
sejak perkembangan awalnya pada 1936 sehingga
pertama kali aku tidak bisa mengenalinya. Pertama
aku menduga bahwa piring gelap yang rata di kamarku
pastilah semacam karya seni yang aneh. Kemudian
menimbang-nimbang bentuknya, aku berspekulasi
bahwa benda itu mungkin berfungsi sebagai alat untuk
menaruh kemejaku semalaman tanpa membuatnya
kusut. Ada banyak benda dalam dunia modern ini
HITLER BANGKIT LAGI yang butuh pembiasaan bagiku, karena benda-benda
itu pasti temuan baru atau merupakan gairah terhadap
desain yang aneh. Sekarang, misalnya, dianggap patut
memasang semacam ruang cuci yang rumit untuk para
tamu sebagai ganti sebuah kamar mandi. Tidak ada
lagi bak mandi, tapi pancuran"sebuah kabin kaca"
kurang-lebih ditempatkan di dalam ruangan itu sendiri.
Selama beberapa minggu aku menganggap ini sebagai
tanda kesederhanaan bahkan kemelaratan tempat
penginapanku, hingga aku memahami bahwa di kalangan
arsitektur kontemporer, hal-hal semacam ini dianggap
kemajuan yang kreatif dan menakjubkan. Begitu pula,
adalah sebuah kebetulan lain yang membuatku sadar
akan perangkat televisi itu.


Hitler Bangkit Lagi Look Whos Back Karya Timur Vermes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika aku lupa menggantung tulisan JANGAN
GANGGU di pintu kamarku, seorang perempuan
tukang bersih-bersih masuk persis ketika aku merawat
kumisku di ruang cuci. Aku berbalik dengan terkejut, ia
meminta maaf, berjanji akan kembali nanti dan, ketika
hendak pergi, ia melihat kemejaku tergantung di depan
perangkat itu. "Ada yang salah dengan televisi itu?" ia bertanya,
sebelum aku sempat menjawab ia mengambil sebuah
kota kecil dan menyalakan perangkat itu. Sebuah gambar
segera muncul, yang berubah setiap kali ia menekan
tombol-tombol di kotak itu.
"Tidak, ini berfungsi," katanya, puas. "Aku kira..."
Kemudian dia pergi, meninggalkan diriku yang dipenuhi rasa ingin tahu.
Dengan hati-hati aku mengambil kemejaku dari layar
itu, kemudian mengambil kotak kecil tersebut.
TIMUR VERMES Jadi ini sebuah perangkat televisi di zaman modern.
Warnanya hitam, tanpa sakelar atau kenop, tak ada
apa pun. Memegang kotak tersebut di tangan kiriku,
aku menekan tombol nomor satu, dan perangkat itu
menyala. Hasilnya mengecewakan.
Gambarnya adalah seorang koki, yang memotong
sayuran dengan halus. Tak bisa dipercaya! Setelah
mengembangkan sebuah perangkat teknologi yang
demikian canggih, yang mereka tampilkan di dalamnya
hanyalah seorang koki yang konyol! Memang, Olimpiade
tidak bisa berlangsung setiap tahun, atau setiap jam, tapi
pasti ada sesuatu yang jauh lebih penting yang terjadi di
suatu tempat di Jerman, atau bahkan di dunia! Tak lama
setelah itu seorang perempuan bergabung dengan lelaki
itu dan memberikan komentar yang memuji kemampuan
lelaki itu dalam menggunakan pisau. Aku ternganga.
Takdir telah memberi Volk Jerman peluang yang hebat
dan luar biasa ini untuk melakukan propaganda, dan
itu disia-siakan hanya untuk membuat cincin bawang.
Aku begitu marah sehingga aku bisa membuang alat itu
ke luar jendela, tapi kemudian terpikir olehku bahwa
ada banyak tombol di kotak kecil itu daripada sekadar
tombol hidup/mati. Jadi aku tekan nomor dua. Koki
itu langsung menghilang, hanya untuk digantikan oleh
koki lain, yang dengan sangat muluk bicara tentang
perbedaan antara dua varietas lobak. Yang ini juga
didampingi seorang wanita jalang, yang terkagumkagum pada mutiara-mutiara kebijaksanaan yang keluar
dari mulut si "Kepala Lobak" ini. Dengan marah, aku
menekan nomor tiga. Aku tidak membayangkan bahwa
dunia modern akan seperti ini.
HITLER BANGKIT LAGI Si Kepala Lobak hilang digantikan seorang perempuan
gempal yang juga berdiri di samping sebuah kompor. Di
sini, sebaliknya, persiapan makanan tidak ada dalam
layar, perempuan ini juga tidak mengumumkan apa
menu hari ini. Alih-alih ia mengeluh ia tak memiliki
banyak uang. Ini setidaknya adalah kabar baik bagi
seorang politikus; masalah sosial belum juga dipecahkan
dalam enam puluh enam tahun terakhir. Bisakah seseorang mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari para
pembual demokratik itu"
Namun, aku merasa takjub bahwa televisi bisa
memberikan kedudukan sangat penting bagi ikan trout
ini; dibandingkan dengan final 100 meter, penampilan
si pengeluh gendut itu sama sekali tidak penting. Di
lain pihak, aku bersyukur akhirnya bisa menonton
sebuah transmisi di mana tak seorang pun meributkan
makanan, apalagi si perempuan gemuk itu. Dia mengkhawatirkan seorang karakter muda berantakan yang
kini membungkuk ke arahnya, menggumamkan sesuatu
yang terdengar seperti "grmmmshl", dan diperkenalkan
oleh seorang narator sebagai Manndi. Manndi, ia
menjelaskan, adalah putri perempuan gendut itu, dan ia
baru saja kehilangan pekerjaan magangnya. Sembari aku
Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 2 The Beginning Karya Ariesta Nabirah Sakit Hati Seorang Wanita 6
^