Pencarian

Atas Nama Kehormatan 2

Atas Nama Kehormatan In The Name Of Honor Karya Mukhtar Mai Bagian 2


Belum ada yang pasti. Kedelapan orang kaum Mastoi masih bebas, dan mereka bisa saja menya - kitiku. Terkadang, di malam hari, aku mengintip ke - luar ke dalam kegelapan. Ketika ada seekor anjing menggonggong, aku melompat. Tiba-tiba aku me - lihat sosok siluet seorang lelaki mungkin dia se - orang musuh, seseorang yang bertukar tempat de - ngan salah seorang polisi, misalnya. Setiap kali aku meninggalkan rumah, aku selalu didampingi para lelaki bersenjata. Aku bergegas masuk ke dalam taksi, dan hanya akan keluar darinya ketika aku sudah jauh meninggalkan Meerwala. untungnya, aku tidak harus melewati desa, karena ladang milik keluarga terletak persis pada pintu gerbang menuju komunitas kami, rumah pertama sebelum jalan kecil menuju masjid. Namun, kebanyakan rumah di desa ini dimiliki keluarga Mastoi. Dan pers setempat selalu menjelek-jelekkan diriku. Aku adalah seorang perempuan pengeruk uang. Aku memiliki rekening bank! Aku hanya seorang janda yang sebaiknya kembali kepada suaminya. Mantan suamiku sendiri juga ikut menyebarkan kebohongan mengenai diriku, mengatakan bahwa aku menghisap ganja.
Naseem beranggapan bahwa aku sedang meng - alami paranoid. Kondisiku yang kurus dan selalu gelisah membuatku merasa perlu untuk membicarakannya kepada seseorang yang aku percaya. Aku membicarakannya dengan Naseem. Akhirnya
aku benar-benar bisa menceritakan pemerkosaan, kebrutalan, tindakan balas dendam yang sangat keji dan merusak tubuh seorang perempuan. Selama apa pun, Naseem akan bersedia mendengarkan kapan pun aku butuh tempat untuk bicara. Di negaranegara maju, para dokter dilatih untuk membantu memulihkan kondisi seorang perempuan pada saat dirinya hancur berkeping-keping, terinjak-injak bagaikan kotoran.
Kau seperti bayi, katanya kepadaku. Bayi yang sedang belajar cara berjalan. Ini kehidupan baru: kau harus mulai lagi dari nol. Aku memang bukan psikiater, tapi tolong ceritakan kepadaku mengenai kehidupanmu sebelumnya, masa kecilmu, per ni kah - an mu, dan bahkan perlakuan mereka kepadamu. Kau harus bicara, Mukhtar, dan hanya dengan bicara lah kau akan dapat menunjukkan kebaikan dan keburukan kepada orang-orang di sekitarmu. Bebaskanlah dirimu. Lakukanlah seperti kau men - cuci pakaian kotor: setelah pakaian itu kembali bersih, kau dapat memakainya lagi dengan penuh kepercayaan diri.
Naseem adalah anak sulung di keluarganya, dan saat ini dia memutuskan untuk meninggalkan bidang hukum demi mendapatkan gelar master dalam bidang jurnalisme, sebagai mahasiswi mandiri. Keempat saudara laki-laki dan saudara perempuannya juga sedang menjalankan studi. Aku
pun memiliki empat saudara laki-laki dan perempuan. Namun, meskipun desa kami hanya berjarak dua belas mil lebih sedikit, kehidupan kami berdua sangat jauh berbeda. Dia bisa menentukan masa depannya sendiri. Naseem seorang militan, dan dia tidak memperhalus kata-katanya ketika dia hendak mengatakan sesuatu. Dia tidak takut kepada siapa pun! Bahkan, para polisi perempuan yang ditugas - kan di depan rumahku pun sangat terkagum-kagum kepadanya.
Apakah kau selalu mengungkapkan pendapatmu"
Selalu! Dia telah membuatku tertawa sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Dan dia membuatku berpikir tentang apa yang aku rasakan di dalam hatiku tanpa pernah menuliskannya dalam kata-kata. Kurangnya pendidikan yang aku kenyam mem - buatku tidak mampu berbuat apa-apa, dan sikap pasrah yang aku jalani sepanjang hidupku membuat segalanya tetap terkunci rapat di dalam diriku. Tapi Naseem tahu apa yang harus dikatakannya.
Laki-laki dan perempuan memiliki derajat sama. Kita memiliki kewajiban sama. Aku sangat me - nyadari bahwa Islam memang memberikan beberapa bentuk superioritas kepada kaum lelaki, tapi di sini kaum lelaki menyalahgunakannya untuk menguasai kita secara penuh. Seorang perempuan harus
mematuhi ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya, suaminya, dan juga setiap laki-laki di desanya, di wilayah provinsinya, dan di seluruh wilayah negara ini!
Aku membaca kisahmu di berbagai surat kabar, dan banyak orang membicarakan dirimu. Tapi kau apakah kau membicarakan dirimu sendiri" Kau bicara tentang nasib buruk yang menimpamu de - ngan cara terhormat, lalu setelah itu kau tutup mulutmu seperti sebuah kotak. Tragedi ini menimpa sebagian kaum perempuan di negara kita. Mereka hanya membawa penderitaan dan sikap pasrah, dan tidak pernah berani mengungkapkan perasaan mereka atau berbicara lebih keras. Jika salah seorang dari mereka berani mengatakan tidak, dia akan mempertaruhkan hidupnya, atau setidaknya akan mendapat pukulan. Aku akan memberimu satu contoh. Seorang perempuan ingin pergi menonton film di bioskop, dan suaminya tidak mengizinkannya. Apa alasannya" Karena dia ingin agar istrinya tetap bodoh. Kemudian akan menjadi lebih mudah baginya untuk menyuruh dan melarang istrinya sekehendak hatinya. Seorang suami akan berkata kepada istrinya, Kau harus mematuhiku, titik! Dan, si istri tidak berani membalas ucapan suaminya. Tapi aku, kalau aku jadi dia, aku akan membalas ucapannya.
Di manakah semua itu tertulis" Dan bagaimana
jika suaminya orang dungu" Bagaimana jika dia memukul istrinya" Haruskah dia menjalani seluruh hidupnya dipukuli oleh seorang suami yang sangat bodoh, sementara suaminya terus menganggap dirinya pintar"
Sang istri tidak bisa membaca. Baginya, dunia ini eksis hanya melalui suaminya. Bagaimana bisa dia memberontak" Aku tidak bermaksud mengata - kan bahwa semua laki-laki di Pakistan sama saja, tapi sangat sulit untuk mempercayai mereka. Terlalu banyak perempuan buta huruf yang tidak mengetahui hak-haknya. Kau sudah memahami hak-hak yang kau miliki, tapi sayangnya, karena kau berakhir dalam kesendirianmu demi menebus kesalahan yang katanya dilakukan oleh adik laki-lakimu maka kau sendiri sebenarnya belum melakukan apa pun! Tapi kau punya keberanian untuk melawan. Kau harus terus melawan. Namun kali ini, kau harus berjuang melawan dirimu sendiri. Kau terlalu pen - diam, terlalu tertutup, sukar mempercayai orang lain.& Kau sedang mengalami penderitaan! Kau harus keluar dari penjara yang mengunci dirimu. Mukhtar, kau bisa menceritakan semuanya ke - padaku.
A Ku berusaha terbuka kepada Naseem, dan aku menceritakan semuanya kepadanya. Dia tentu saja mengetahui kisahku, tapi yang diketahuinya sama
saja dengan yang diketahui para polisi, wartawan, dan hakim: sebagai bahan berita yang bernilai se - dikit lebih penting dibandingkan dengan beritaberita lainnya yang didapat dari berbagai surat kabar nasional.
Dia mendengarkan kisahku yang belum pernah aku ceritakan kepada orang lain dengan penuh rasa persahabatan dan simpati.
Penderitaan moral dan fisik, rasa malu dan hasrat untuk mati yang berkecamuk di kepalaku sewaktu aku sendirian berjalan pulang menuju rumahku dan terjatuh lunglai di atas tempat tidur bagaikan seekor binatang yang sedang menunggu ajal.& Aku bisa menceritakan kepada Naseem hal-hal yang tidak mungkin bisa kuceritakan kepada ibuku dan saudara-saudara perempuanku, karena yang aku pelajari sejak aku masih kecil ialah: diam.
Di kemudian waktu, saat aku melihat foto-foto pada saat itu di tahun 2003 ketika kasusku sedang dalam persidangan naik banding di Lahore High Court, terkadang aku tidak dapat mengenali diriku sendiri. Aku terlihat kurus dan lemah, serta me - nakutkan, seperti dalam sebuah foto yang diambil sewaktu pertama kali aku bertemu dengan seorang lelaki yang mewakili Strengthening Participatory Organization, sebuah lembaga swadaya masyarakat Pakistan yang bermarkas di Islamabad. Laki-laki itu datang jauh-jauh menuju desaku untuk menemuiku.
Berkat usaha-usaha yang dilakukannya, Kanada tertarik dengan proyek perluasan sekolahku. Dalam foto itu aku terlihat kecil dan berada di tempat yang sangat jauh sehingga aku hampir tidak dapat melihat diriku sendiri.
Semenjak Naseem menjadi saudara seperjuang - an ku aku telah mendapatkan kembali rasa percaya diriku. Karena aku sudah mau makan, pipi-pipiku menjadi lebih tembam, dan ada sinar damai di kedua mataku, karena aku sudah bisa tertidur.
Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa menceritakan rasa sakit yang dialami, menceritakan sebuah rahasia yang dianggap memalukan, dapat membebaskan jiwa dan raga.
T akdir A Ku TuMBuH BESAR TANPA TAHu SIAPA DIRIKu . S AMAR dan tak terlihat. Dengan jiwa yang sama seperti yang dimiliki para anggota keluarga perempuan lainnya di rumahku. Semua yang aku pelajari aku dapatkan dengan cara mencuri-curi pembicaraan orang lain, di kala aku dapat melakukannya.
Seorang perempuan mungkin akan berkata, misal nya, Tahukah kau apa yang telah diperbuat oleh gadis itu" gadis itu telah mempermalukan keluarganya. Dia berbicara kepada anak laki-laki itu. Dia tidak lagi memiliki kehormatan.
Kemudian ibuku akan berpaling kepadaku. Tahukah kau wahai anakku, apa yang sedang terjadi pada orang-orang itu" Hal itu dapat terjadi pada kita juga. Jadi, berhati-hatilah!
Bahkan, pada masa kecilnya, anak-anak perempuan tidak diperbolehkan bermain dengan anak laki-laki. Seorang anak laki-laki yang ketahuan sedang bermain gundu dengan sepupu perempuan-
nya akan dipukuli oleh ibunya.
Kemudian, ibu-ibu mengomentarinya dengan suara-suara keras agar anak-anak perempuannya da - pat mendengarnya. Seringkali, komentar-komentar tersebut ditujukan bagi menantu perempuan.
Kau tidak mendengarkan suamimu! Kau tidak melayaninya dengan segera!
Begitulah anak-anak perempuan yang belum menikah, mempelajari apa yang mesti dan tidak boleh dilakukannya. Di samping salat dan membaca al-Quran, hal seperti itu menjadi satu-satunya pendidikan yang kami peroleh. Kami belajar tentang ketidakpercayaan, kepatuhan, kepasrahan, perasaan takut, penghormatan yang besar terhadap laki-laki. Kami diajari untuk melupakan diri kami sendiri.
Semasa kecil aku bukan tipe orang yang tidak bisa mempercayai orang lain, atau pemalu, atau pendiam. Aku orang yang mudah tertawa. Satu-satunya orang yang aku percayai adalah nenek dari ayahku, Nanny, yang dulu mengasuhku dan masih tinggal bersama kami saat ini. Kultur kami membolehkan untuk mempercayakan pengasuhan seorang anak kepada perempuan lain selain ibunya.
Sekarang nenek sudah sangat tua dan agak buta. Dia tidak ingat umurnya. Ayah dan ibuku juga tidak mengingatnya. Belum lama ini aku mendapatkan kartu identitas, tapi Nenek mengklaim bahwa usiaku yang sebenarnya setahun lebih tua dari yang tertera
di kartu identitas itu. Di desa, hal-hal seperti itu tidaklah penting. usiamu adalah hidupmu, waktu yang terus berlalu, cuaca &
Saat panen di suatu hari, seorang anggota keluargamu mungkin akan memberitahu, Saat ini usiamu sepuluh tahun!
Tidak ada seorang pun yang dapat mengingat umur orang lain setelah jangka waktu sekitar enam bulan atau satu tahun. Kau mungkin akan dipusing - kan dengan status seorang anak, apakah dia anak yang sebelumnya atau yang setelahnya. Di desadesa, tidak ada kantor pendaftaran kelahiran. Seorang anak dilahirkan, hidup, tumbuh besar, itulah hal terpenting.
Ketika aku berusia sekitar enam tahun, aku mulai membantu ibu dan bibiku mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jika ayahku pulang dengan membawa gandum untuk makanan ternak, aku akan ikut membantu memotong batang-batangnya. Terkadang aku pergi ke ladang untuk membantunya memotong rumput. Ayahku memiliki bengkel kayu kecil tempat dia menggergaji kayu, dan ketika dia melakukan pekerjaan sampingannya itu, saudara laki-lakiku Hazoor Bakhsh akan menggantikannya menuai panen.
Tidak beberapa lama kemudian, keluarga bertambah besar dengan kehadiran beberapa anggota keluarga lainnya: seorang saudara perempuan, Naseem;
seorang saudara perempuan lagi, Jamal, yang telah meninggalkan kami. Kemudian ditambah dengan Rahmat dan Fatima. Terakhir, ibuku dianugerahi anak laki-laki kedua: Shakur. Anak laki-laki terakhir di keluarga.
Dulu, aku sering mendengar ibuku yang kadangkadang mengatakan bahwa jika untuk anak berikutnya Tuhan menganugerahinya seorang anak lakilaki, dia akan merasa damai dengan kehadirannya. Itu merupakan suatu ungkapan yang berarti bahwa dia tidak mau memiliki anak lagi. Namun ternyata, Tasmia, anak perempuan terakhir, hadir setelah Shakur.
Terdapat perbedaan usia cukup jauh di antara kedua saudara laki-lakiku, sementara perbedaan usia di antara anak-anak perempuan cukup dekat. Aku masih teringat akan masa-masa ketika kami bermain boneka di waktu luang. Ada boneka laki-laki dan boneka perempuan, dan kami membuatnya sendiri dari bahan kain yang sudak tidak terpakai. Kami bermain sandiwara dengan membahas perjodohan di boneka-boneka tersebut. Misalnya, aku akan memilih sebuah boneka laki-laki, dan saudara perempuanku memilih sebuah boneka perempuan, lalu dimulailah negosiasi untuk menikahkan kedua - nya.
Kau ingin menyerahkan anak perempuanmu untuk anak laki-lakiku"
Ya, baiklah, tapi dengan syarat kau melakukan hal yang sama: kau berikan anak laki-lakimu yang lain untuk anak perempuanku yang lain.
Tidak, aku tidak akan memberikan anak lakilakiku. Anak laki-lakiku telah bertunangan dengan anak perempuan pamanku.
Kami akan menyandiwarakan percekcokan yang terjadi seputar perjodohan yang telah diatur oleh orangtua, menggunakan kata-kata yang kami de ngar dari percakapan orang-orang dewasa di sekitar kami. Sebagian boneka berperan sebagai orang dewasa (orangtua, kakak laki-laki tertua, bahkan nenek) dan sebagian lagi berperan sebagai anak-anak yang masih kecil satu keluarga utuh. Terkadang dalam sebuah sandiwara kami memainkan dua puluh boneka yang masih bagus, yang terbuat dari sisa-sisa bahan kain yang dapat ditemukan di dalam rumah. Boneka perempuan dan boneka laki-laki dapat dibedakan dari pakaian yang dikenakan: boneka laki-laki memakai celana panjang dan baju putih berukuran besar; sedangkan boneka perempuan mengenakan tutup kepala dari selendang atau syal, dan kami membuatkan rambut panjang untuk mereka yang terbuat dari sedikit kain bekas yang dianyam. Kami membuatkan wajah bagi bonekaboneka tersebut, dengan sedikit hiasan wajah, anting hidung yang sangat kecil, dan anting telinga. Bahan untuk membuat perhiasan-perhiasan tersebut paling
sulit didapatkan, karena kami hanya dapat mem - buatnya dengan menggunakan bahan kain yang memiliki manik-manik atau benda-benda berkilau, dari bahan kain bekas yang tidak digunakan lagi oleh para perempuan di keluarga.
Kami letakkan seluruh boneka kecil itu di suatu tempat di bawah pohon, jauh dari orang-orang dewasa. Karena jika terjadi pertengkaran kecil namun dramatik di dalam rumah, kami akan me - nyandiwarakannya dengan menggunakan bonekaboneka tersebut. Dan, kami harus benar-benar memastikan agar tidak ada orang yang dapat mendengar suara kami! untuk melindungi bonekaboneka itu dari debu kami meletakkannya di atas batu bata. Dan perkara pernikahan yang rumit dan hebat dapat dimulai lagi.
Kau, kau menginginkan seorang tunangan untuk keponakan perempuanmu" Tunangannya belum keluar dari perut ibunya!
Jika dia laki-laki, berikan dia padaku. Jika dia perempuan, aku akan memberikan anak laki-lakiku yang paling bungsu kepadamu.
Tapi anak laki-lakimu harus tinggal di rumahku. Dan dia harus membawa satu gram emas. Dan anting telinga!
A Ku kembali tertawa setelah sekian lama tidak tertawa sewaktu aku menceritakan kepada Naseem
tentang salah seorang sepupuku yang menikah ke - tika aku berusia sekitar tujuh atau delapan tahun. Perjalanan tersebut adalah perjalanan jauhku yang pertama kutempuh saat itu, dan aku merasa ber - untung dapat melakukannya. Aku berangkat ber - sama pamanku menuju sebuah desa yang letaknya sekitar tiga puluh mil dari rumah kami. Tidak ada jalan utama, yang ada hanya jalan setapak. Dan cuaca saat itu sangat buruk, hujan tiada henti. Seperti biasanya, kami pergi dengan mengendarai sepeda. Tiga buah sepeda untuk menampung seluruh anggota keluarga. Aku membonceng di atas gandaran sepeda pamanku, sementara satu orang lagi membonceng di atas gagang sepedanya, dan penumpang terakhir membonceng di atas rak barang. Hujan turun semakin deras, tapi kami, anakanak kecil, sangat senang bisa pergi menghadiri pesta, di mana kami bisa bertemu sepupu-sepupu kami dan bermain-main dengan mereka.
Namun selama perjalanan, salah seorang bibiku yang mengenakan perhiasan bagus terjatuh dari atas rak barang. gelang-gelang kacanya yang indah hancur berkeping-keping, dan dia sendiri mengalami luka ringan. Semua orang panik, karena dia men jerit kesakitan dan menangisi pecahan-pecahan kaca kecil yang memancarkan warna-warna pelangi itu.& Kami harus membalut kedua lengannya, sementara kami anak-anak kecil saling memandang dan tiba-
tiba tertawa! Semua orang akhirnya tertawa bersama-sama kami dan kami tertawa bagaikan orang gila di sisa perjalanan, yang harus ditempuh dalam waktu lama. Bibi yang mengalami kecelakaan akhirnya tertawa juga dan mengenakan gelanggelang perban barunya.
Selanjutnya, aku juga menceritakan pernikahan - ku kepada Naseem. Meskipun Naseem seorang perempuan berpendidikan, dia tetap harus meng - hormati tradisi. Dan, keluarganya telah memilihkan calon suami untuknya jauh-jauh hari sebelumnya. Namun, laki-laki itu ternyata bukan calon suami ideal nya. Jadi, tanpa bermaksud untuk menentang orangtuanya, dia berusaha membatalkan perjodohan itu. Tanpa perdebatan, tanpa harus menimbulkan masalah. Naseem berusia dua puluh tujuh tahun dan sedang menjalani kuliah untuk mencapai karirnya. Dan karena tunangannya belum menyampaikan kabarnya akhir-akhir ini, dia berharap & bahwa lakilaki itu akan berhenti berharap, bahwa dia akan merasa letih atau menjalin hubungan dengan perempuan lain. Walaupun demikian, dia berkata dia akan bertahan semampunya.
untuk saat ini, dia belum menemukan laki-laki idamannya, dan perkara itu merupakan salah satu hal yang sangat tabu dalam kultur kami. Seorang perempuan tidak berhak untuk memilih keinginannya sendiri. Sebagian perempuan yang menempuh
risiko itu ada yang diancam, dihina, dipukuli, dan kadang-kadang bahkan dibunuh, meskipun telah ada undang-undang baru yang mendukung hak tersebut, pada tataran teori. Namun, hukum Islam sendiri tidak mendukung hak itu, dan setiap kasta memiliki tradisinya masing-masing. Seseorang yang menentukan sendiri pasangan hidupnya men - dapatkan kesulitan dalam membuktikan legalitas pernikahan mereka. Pihak perempuan, misalnya, dapat dituduh melakukan zina, sebuah perbuatan dosa yang termasuk di dalamnya hubungan seks dengan seseorang yang bukan suami atau istrinya, hubungan seks tanpa ikatan perkawinan, dan pemerkosaan. Perempuan itu kemudian bisa saja dihukum dengan dilempari batu hingga mati, meski - pun hukuman itu sendiri dilarang. Kami se ringkali terperangkap dalam perbedaan sistem hukum yang terdapat dalam agama dan pemerintah kami, belum lagi untuk menambah kesulitan sistem adat, ka - rena setiap suku memiliki aturannya sendiri, yang sepenuhnya mengabaikan hukum pemerintah dan kadang-kadang bahkan mengabaikan hukum agama.
Perkara perceraian pun sama sulitnya. Hanya suamilah yang dapat menyetujui perceraian. Ketika seorang perempuan akan menempuh jalur hukum untuk menuntut cerai di pengadilan negeri, keluarga suaminya akan menilai tindakannya sebagai
penghinaan harga diri dan menuntut hukuman. Dan di samping itu semua, menempuh jalur peng - adilan hukum resmi pemerintah tidak selalu menghasilkan keputusan hukum.
Dalam kasusku, pernikahan tidak bertentangan dengan kehendakku (dan itu terjadi ketika aku berusia delapan belas tahun!).
Aku masih teringat ketika saudara perempuanku, Jamal, datang menghampiriku, sambil tertawa kecil.
Keluarga mertuamu sudah tiba, dia berbisik di telingaku.
Perasaan senang dan maluku bercampur aduk. Senang, karena aku akan menikah dan memulai sebuah kehidupan baru; malu, karena saudara pe - rem puanku menertawaiku, sepupu-sepupuku yang perempuan meledekku. Mestinya aku merasakan suasana yang menyenangkan di balik pengumuman besar ini, tapi hal itu sama sekali tidak membuatku tertarik.
Pangeran impianmu telah tiba.& Biarkan dia pergi ke tempat lain saja! Namun, semuanya ternyata benar-benar terjadi di suatu tempat lain di antara para lelaki. Seluruh paman, saudara laki-laki, sepupu laki-laki berkumpul bersama-sama, termasuk dari pihak keluarga pe - ngantin laki-laki. Seseorang menawarkan satu tanggal, dan diskusi pun dimulai karena mereka harus menentukan tanggal yang sesuai bagi setiap orang,
yang cocok dengan kondisi bulan, masa tanam, dan masa panen.
Jangan hari Jumat, kata seseorang. Sepupuku yang satunya lagi akan menikah.
Kalau begitu hari minggu saja.
Jangan, jangan hari Minggu! protes lelaki lainnya. Pada hari itu, aku harus mengairi ladangku. Aku tidak bisa.
Akhirnya, mereka berhasil menemukan satu tanggal yang memuaskan semua pihak. Kaum perempuan tidak memiliki hak untuk mengemukakan pendapatnya. Namun, tunangan perempuan mempunyai sedikit hak untuk itu.
Pada malam harinya, kepala keluarga akan menyampaikan kabar tersebut kepada istrinya. Dan begitulah caranya seorang gadis mengetahui kapan dia akan menikah. Aku tidak mengingat tanggal ataupun bulan pernikahanku. Yang aku tahu ialah tanggal pernikahanku telah ditetapkan satu bulan sebelum awal Ramadhan.
Ketika aku diberitahu nama calon suamiku, aku mencoba mengingat-ingatnya. Aku pernah bertemu dengannya secara tidak sengaja di suatu tempat, mungkin di jalan atau pada sebuah pesta. Aku ingat bahwa dia berjalan sangat pincang, seperti orang terkena polio. Tentu saja, aku tidak mengatakannya kepada orang lain. Aku hanya berpikir, Oh, dia orangnya.&
Namun demikian, tetap saja aku merasa gugup. Bukan ayahku yang memilihkan laki-laki itu untukku, tapi pamankulah yang melakukannya. Mengapa dia memberikan keponakan laki-lakinya untukku" Wajahnya cukup tampan, tapi aku tidak mengenalnya, lagipula jalannya pincang!
Sewaktu Naseem menanyakanku apakah aku tetap menyukainya, aku sangat terkejut. Aku tidak terbiasa menjawab pertanyaan seperti itu. Tapi dia malah tertawa, dan tetap ingin mengetahuinya.
Aku tidak terlalu menyukainya. Seandainya aku bisa menolak, aku akan menolaknya.
Satu hal yang aku tahu mengenai laki-laki itu adalah kedua orangtuanya telah meninggal. Dan dia akan datang ke rumah kami bersama kakak lakilakinya. Karena tanggal sudah ditentukan, secara otomatis statusku sudah bertunangan sekarang. Kemudian, berbagai nasihat mulai mengucur dari mulut para perempuan, dan nasihatnya selalu sama.
Kau akan pergi ke rumah suamimu. Berusahalah menjaga nama baik kedua orangtua, nama baik keluarga.
Lakukan apa yang diperintahkannya kepadamu. Hormati keluarganya.&
Kau telah menjadi kehormatannya dan kehormatan keluarganya. Ingat itu.&
Ibu-ibu kami tidak menceritakan apa pun kepada kami. Kami semestinya tahu apa yang terjadi dalam
sebuah pernikahan. Sebenarnya aku tidak meng - khawatirkan ide untuk tunduk kepada suamiku, karena di Pakistan semua perempuan yang telah menikah melakukannya. Sedangkan hal-hal lainnya, di mana perempuan yang telah menikah tidak boleh berbagi cerita dengan para gadis, masih menjadi misteri. Dan kami tidak memiliki hak untuk bertanya. Menikah dan memiliki bayi merupakan fakta-fakta kehidupan yang biasa terjadi. Aku pernah melihat perempuan melahirkan, aku telah mengetahui semua yang aku perlu tahu. Banyak orang membicarakan tentang cinta yang ada di lagulagu dan yang terjadi di negara-negara lain, tapi semua itu bukan untukku. Suatu hari aku menyaksikan sebuah film di televisi di rumah pamanku: se - orang perempuan cantik yang mengenakan hiasan wajah tebal dan mengulurkan tangannya tanpa henti kepada seorang lelaki yang telah membuatnya menangis. Aku sama sekali tidak mengerti maksud perkataannya dalam bahasa urdu, tapi dalam benakku, aku berpikir bahwa perempuan itu sedang mempermalukan dirinya sendiri di hadapan banyak orang.
Di rumah kami, semuanya serba mudah, segala sesuatu telah direncanakan sebelumnya. Kedua orangtuaku mengurus maskawin dan ibuku sudah bertahun-bertahun mengumpulkan hal-hal kecil untuk digunakan dalam pernikahanku, seperti
perhiasan, kain linen, dan pakaian. Perabotan rumah tangga akan diurus pada saat-saat akhir. Ayahku membuatkan sebuah tempat tidur untukku. Pada hari pernikahan kami, menurut tradisi yang kaku, aku harus mengenakan bahan pakaian yang dibelikan oleh calon suamiku. Dalam budaya kami, pengantin perempuan mengenakan warna merah, yang merupakan warna yang sangat simbolik dan sangat penting. Jauh-jauh hari sebelum pernikahan, rambut pengantin perempuan dikepang dua. Lalu, satu minggu sebelum pernikahannya para perempuan dari keluarga pengantin laki-laki akan melepas kepangan rambutnya, dengan membawa makanan yang akan dimakan pengantin perempuan dalam satu minggu terakhir itu. Aku tak mengerti maksud dari dua ritual tersebut, namun aku tetap meng - ikutinya. Dan pada hari pernikahan kami, rambutku bergelombang dengan indahnya.
Selanjutnya adalah ritual pemakaian pacar warna cokelat kemerahan, atau yang biasa disebut mehndi. Para perempuan dari pihak calon suamiku mengenakan pacar cokelat kemerahan tersebut pada telapak tangan dan telapak kakiku. Kemudian tibalah saatnya memandikan dan mendandani pengantin perempuan dengan celana panjang berukuran besar, jubah panjang, selendang lebar, dan semuanya berwarna merah. untuk menghormati peristiwa ini aku juga mengenakan burqa, yang sering aku
kenakan ketika keluar rumah dan mengunjungi ke - luarga. Jadi, aku sudah terbiasa memakainya. Terkadang aku hanya mengenakannya ketika pergi meninggalkan rumah, dan setelah cukup jauh dari rumah aku akan membukanya kembali. Tapi, jika aku melihat salah seorang anggota keluargaku, aku akan kembali mengenakan burqa untuk menghormatinya. Ketika memakainya, tidak ada kesulitan untuk melihat keluar karena lubang-lubangnya jauh lebih besar daripada lubang-lubang yang terdapat pada burqa-burqa yang dikenakan di Afganistan. Tentu saja, tidak nyaman memakainya, tapi perempuan di sini hanya memakainya sebelum menikah, dan banyak perempuan yang telah menikah tidak mengenakannya lagi.
Kakek dari ibuku yang beristri banyak dulu selalu mengatakan, Tidak ada satu pun istriku yang mengenakan cadar. Jika dia ingin mengenakannya, itu haknya. Tapi jika ia memutuskan untuk mengenakannya, dia harus terus mengenakannya sampai akhir hayat.
Biasanya, seorang imam akan datang untuk memimpin upacara pernikahan pada hari pelaksanaan ritual mehndi, atau pada hari pernikahan itu sendiri. Pada pernikahanku, dia datang pada hari pelaksanaan ritual mehndi. Ketika sang imam bertanya kepadaku apakah aku menerima laki-laki itu sebagai suamiku, aku sangat emosional sehingga
tidak bisa menjawabnya ya atau tidak. Aku tidak dapat mengucapkan satu kata pun, jadi sang imam memaksaku untuk menjawabnya.
Jadi" Katakan kepadaku! Katakan kepadaku! Para perempuan yang berada di sana harus memaksaku mengangguk sebagai tanda setuju.
Dia gadis pemalu, jelas mereka, tapi dia setuju, itu saja!
Pada hari pernikahanku, setelah menikmati hidangan daging dan nasi (yang tidak aku makan meskipun hanya sesuap), kami harus menantikan kedatangan keluarga pengantin laki-laki untuk membawaku bersamanya. Dan, sambil menunggu ke - datangannya, masih ada beberapa ritual lagi yang harus dilakukan.
Kakak laki-lakiku yang tertua harus mengoleskan sedikit minyak di rambutku dan memasangkan gelang yang terbuat dari kain sulaman di lenganku. Seorang perempuan memegangi sebuah teko kecil berisi minyak, dan kakak laki-lakiku harus memberi - nya sekeping uang logam agar perempuan itu mau melayaninya duluan. Setelah dia, seluruh keluargaku kemudian bergantian mencelupkan jari mereka ke dalam minyak dan mengoleskannya di kepalaku.
Setelah itu barulah pengantin laki-laki diperbolehkan masuk ke dalam rumah. Aku belum benarbenar bertemu dengannya, dan dia belum boleh melihat wajahku yang tersembunyi di balik burqa.
Aku menunggu, sambil duduk di antara para saudara dan sepupu perempuanku yang bertugas untuk mencegah pengantin laki-laki masuk sebelum dia memberikan mereka selembar uang pecahan kecil. Setelah dia membayarkannya kepada mereka, dia baru boleh melewati pintu. Dia duduk di sam - pingku, dan saudara-saudara perempuanku membawakannya segelas susu di atas baki. Setelah meminum habis isi gelas tersebut, dia kembali harus memberikan mereka selembar uang pecahan kecil. Kemudian, ritual pengolesan minyak dimulai lagi, kali ini dengan berbagai variasi. Perempuan yang memegangi teko minyak kemudian mencelupkan potongan-potongan kecil kapas ke dalam minyak dan melemparkannya ke wajah pengantin laki-laki, sambil berkata, Ini bunga untukmu.
Kemudian, perempuan itu meletakkan segumpal kapas lagi di telapak tangan kananku, dan aku menggenggamnya erat-erat supaya pengantin lakilaki tidak dapat membuka genggamanku. Ini semacam ujian kekuatan: jika dia berhasil membuka genggamanku, sungguh sial bagiku karena dia telah menang. Jika dia tidak mampu membukanya, semua orang akan menertawainya.
Dasar laki-laki lemah, kau tidak mampu mem - buka genggamannya!
Kemudian, dia wajib menanyaiku apa yang aku inginkan.
Jika kau menginginkanku agar membuka geng - gamanku, berjanjilah untuk memberikan sebuah perhiasan kepadaku nanti.
Dan pengantin perempuan dapat memainkan permainan itu dari awal lagi dengan kembali meng - genggam segumpal kapas, dan pengantin laki-laki harus mencoba lagi membuka genggam annya. Saudara-saudara perempuanku, sepupu-sepupuku, dan seluruh gadis yang ada di sana biasanya akan menyemangati pengantin perempuan yang telah berhasil menjadi pemenang, sambil meneriakkan, Mintalah ini dan itu kepadanya.&
Aku menutup tanganku untuk kali pertama, dan dia tidak berhasil membukanya. Pada ke sempatan kedua, dia masih tetap tidak berhasil membukanya, sehingga para perempuan pun meneriak kan katakata ejekan kepadanya.
Aku tidak tahu apakah ritual ini memiliki nilai simbolik, atau apakah si pengantin memang di - haruskan mengalah, karena menurut tradisi dia harus memberikan satu jenis perhiasan. Namun, perebutannya memang sungguhan. Kau benar-benar harus kuat untuk menjadi pemenang.
Ada juga lagu-lagu yang ditujukan oleh anakanak perempuan kepada kakak laki-lakinya yang tertua. Dialah satu-satunya yang paling dicintai dan dihormati oleh adik-adik perempuannya setelah ayah mereka, dan dia juga yang secara simbolik
menyerahkan adik perempuannya kepada laki-laki lain.
Aku tidak begitu mengingat lirik yang dinyanyi - kan oleh mereka kepada kakak laki-lakiku. Tapi, mung kin liriknya seperti ini:
aku melihat ke selatan amat jauh dalam pandangan
Tiba-tiba kakak laki-lakiku tampak berjalan Dengan sebuah jam tangan melingkar indah di tangan
Mendekat langkah demi langkah dengan penuh kebanggaan &
Jenis lagu yang naif ini mungkin akan hilang suatu saat nanti, karena saat ini anak-anak perempuan sudah terbiasa mendengarkan radio. Tapi rasa hormat dan cinta kepada kakak laki-laki tetap tidak akan berubah.
Seluruh keluarga merasa bahagia, begitu pun aku, karena ini sebuah pesta perayaan. Tapi aku juga merasa cemas dan sedih, karena aku akan meninggalkan rumah yang telah kuhuni selama hampir dua puluh tahun. Semua itu akan berakhir: di sana nanti aku tidak akan bisa lagi merasa benar-benar betah seperti di rumah. Permainan-permainan masa kecil - ku, teman-teman bermainku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan perempuan semuanya hilang!
Aku akan mengambil sebuah langkah penting dan meninggalkan semua yang pernah aku miliki. Aku merasa khawatir dengan masa depanku.
Pengantin laki-laki berdiri. Para sepupu perempuanku memegangi lenganku dan mengangkatku berdiri, dengan gerakan simbolik. Mereka menuntunku ke sebuah kereta besar yang ditarik dengan sebuah traktor. Dan, masih mengikuti aturan tradisi, kakak laki-lakiku mengangkatku dengan kedua tangannya untuk membantuku naik dan duduk di belakang kereta.
Seorang anak kecil menunggu di depan pintu rumah keluarga pengantin laki-laki, yang harus meng gandeng tangan anak itu untuk masuk ke dalam. Seseorang memberikanku sebuah mandhani, sebuah alat yang digunakan untuk mengiris mentega, lalu aku mengikuti suamiku ke dalam. Tradisi terakhir, yang dinamai ghund kholawi, mengharuskan - ku tidak melepas burqa yang kukenakan sebelum suamiku memberikan sesuatu kepada gadis-gadis kecil yang menggodanya.
Ayolah, bayar, jangan lepas ghund sebelum dia memberikan dua ratus rupee kepada kami.& Tidak, tidak, lima ratus rupee!
Tidak, jangan lepaskan ghund sebelum dia memberikan seribu rupee kepada kami &
Dia hanya mampu menawar setinggi lima ratus rupee, yang merupakan jumlah yang besar pada saat
itu, cukup untuk membeli seekor anak kambing. Dan akhirnya dia boleh melihat wajahku.
Di dalam kamar terdapat empat buah tempat tidur untuk kami tidur. Kami tidak sendiri.
Begitulah aku menghabiskan tiga malamku di rumah saudara ipar laki-lakiku sebelum akhirnya kami berangkat menuju rumah suamiku yang memiliki satu kamar. Lalu dia ingin kembali ke rumah saudara laki-lakinya dia tidak bisa hidup tanpanya! Sayangnya, istri saudara laki-lakinya sangat membenciku, dan dia selalu mencoba membuat keributan dengan menuduhku tidak mau mengerjakan apaapa, padahal sebenarnya dialah yang melarangku melakukan pekerjaan apa pun!
Karena kontrak pernikahan yang disepakati oleh keluargaku menjelaskan secara rinci bahwa suamiku harus tinggal bersama kami, akhirnya aku kembali ke rumahku setelah pernikahan aneh ini berlangsung selama hampir sebulan dan suamiku tidak mau ikut bersamaku. Dia menginginkan saudara laki-lakinya dan tidak mau bekerja bersama ayahku. Aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar meng - inginkan ku, karena aku tidak mendapatkan kesulitan untuk memperoleh talaq darinya, suatu perceraian yang dengannya dia dapat membebaskanku. Aku mengembalikan seluruh perhiasannya. Aku merasa bebas, meskipun dalam kultur kami seorang perempuan yang telah diceraikan dipandang rendah. Aku
harus tinggal bersama kedua orangtuaku, karena seorang perempuan tidak mungkin hidup sendirian tanpa mendapatkan reputasi buruk. Aku bekerja untuk membantu membayar biaya yang dikeluarkan keluargaku selama mengurusi aku. Dengan meng - ajarkan al-Quran kepada anak-anak di desa dan mengajarkan cara menyulam kepada perempuan dewasa, aku mendapatkan kembali kehormatanku dan diterima oleh masyarakat. Hidupku akhirnya penuh kedamaian.
Sampai datangnya hari yang sangat buruk pada dua puluh dua Juni.
S ISTEM pengadilan adat yang menjadi inti Dewan Jirga berakar dari tradisi nenek moyang, yang bisa jadi bertentangan dengan agama dan hukum negara. Pemerintah Pakistan sendiri telah mengambil langkah untuk menyarankan kepada para gubernur provinsi dan pihak kepolisian agar wajib menulis sebuah laporan awal untuk memfasilitasi sebuah proses penyelidikan terhadap permasalahan terkait ke - jahatan kehormatan, demi mencegah pihak yang bersalah dari tindakan melindungi diri sendiri di balik keputusan Dewan Jirga atas kasus tindakan kejahatan serius.
Sementara pada kasus yang menimpa diriku dan banyak perempuan lainnya, laporan awal tersebut berupa selembar kertas kosong yang telah ditan-
datangani. Pihak kepolisian setempat telah bermaksud mengarang-ngarang pengaduanku dengan se - enak nya. Dengan demikian, mereka dapat meng - hindari konflik dengan masyarakat dari kasta yang berkuasa.
Ketidakadilan ini, sikap pengecut yang tak ter puji ini, berasal dari sekelompok laki-laki. Dalam dewandewan desa, para lelaki yang bersidang untuk memecahkan berbagai konflik semestinya adalah orang-orang bijak, bukan orang-orang kejam yang tidak tahu malu. Sewaktu aku berdiri di hadapan Dewan Jirga, seorang lelaki muda pemarah dengan kebanggaan yang berlebihan terhadap kastanya, yang mabuk kekejaman dan memiliki keinginan kuat untuk menyakiti, berhasil mendapatkan apa yang di - inginkannya dengan caranya sendiri. Para sesepuh desa yang lebih bijak tidak lagi menguasai mayoritas.
Dan perempuan selalu tidak dilibatkan dalam berbagai pertemuan, padahal mereka adalah satusatunya seperti kaum ibu dan kaum nenek, sebagai penanggung jawab kehidupan sehari-hari pihak yang memahami banyak permasalahan dengan baik. Ketidaksukaan laki-laki atas intelegensi yang dimiliki perempuanlah yang menjadi faktor tersingkirnya perempuan. Aku tidak berani berharap bahwa suatu saat nanti, meskipun masih jauh di masa depan, dewan desa akan menerima partisipasi perempuan.
Permasalahan yang tidak kalah seriusnya ialah bahwa perempuan menjadi objek yang dipertukarkan seperti barang dalam upaya penyelesaian konflik, dan menjadi pihak yang dituntut untuk menerima hukuman. Sementara hukumannya selalu sama. Ketika seksualitas menjadi hal yang tabu, ketika kehormatan seorang lelaki dalam masyarakat Pakistan terpusatkan pada perempuan, satu-satunya solusi yang dapat ditemukan laki-laki untuk menyelesaikan semua pertikaian adalah melalui pernikahan yang diwajibkan, atau pemerkosaan. Perilaku ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran.
Seandainya ayahku atau pamanku setuju me - nyerahkanku untuk dinikahkan kepada seorang Mastoi, mungkin hidupku akan sangat dekat dengan neraka. Pada awalnya jenis solusi seperti itu dimaksudkan untuk mengurangi konfrontasi antarkasta atau suku dengan cara menyatukan garis keturunan mereka. Tapi kenyataan yang ada sekarang sudah agak berbeda. Dengan menikah di bawah kondisi seperti itu, seorang istri bahkan diperlakukan lebih kejam lagi, ditolak oleh perempuan-perempuan lainnya, terperangkap dalam perbudakan. Yang lebih buruk lagi, beberapa perempuan tertentu diperkosa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan finansial, atau hanya karena kecemburuan yang muncul di antara dua orang tetangga. Dan ketika para korban mencoba mendapatkan keadilan,
mereka dituduh melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan suaminya, atau melakukan hubungan sesama jenis yang tercela.
Keluargaku mungkin agak berbeda dari ke - banyak an keluarga lainnya. Aku tidak mengetahui sejarah kasta gujar di Punjab, atau asal-muasal suku kami, atau bahkan tradisi-tradisi dan adat istiadat yang dimilikinya sebelum pemisahan antara India dan Pakistan. Para nenek moyang komunitas kami adalah petani dan pedagang. Bahasa resmi bangsa kami ialah bahasa urdu. Rakyat Pakistan yang berpendidikan banyak yang bisa berbahasa Inggris, tapi bahasa yang kami gunakan di sini ialah Saraiki, dialek minoritas yang banyak digunakan di Punjab Selatan. Dan aku hanya bisa berbahasa Saraiki.
N ASEEM telah menjadi sahabatku. Dia mengetahui segalanya tentang diriku. Aku masih takut kepada laki-laki, dan aku tidak percaya kepada mereka. Se - mentara dia sama sekali tidak takut kepada mereka.
Selain dari keinginan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak perempuan, memberi mereka kesempatan mencapai dunia luar melalui kemampuan baca-tulis, hal terpenting yang aku temukan ialah pemahaman akan diri sendiri: suatu pemahaman akan diri sendiri sebagai manusia. Aku telah belajar untuk tetap eksis dan menghormati diriku sendiri sebagai seorang perempuan. Hingga
saat ini, sikap berontakku hanya berdasarkan insting: aku mencoba menyelamatkan diriku dan keluargaku dari bahaya. Sesuatu di dalam diriku menolak untuk menyerah. Kalau tidak, aku mungkin sudah terkalahkan oleh keinginanku untuk bunuh diri. Bagaimana seseorang bisa tahan dihina" Bagaimana seseorang mengatasi rasa putus asa" Pertama, dengan rasa marah, dengan sebuah insting untuk balas dendam yang dapat menolak solusi kematian yang sangat menggoda, sebuah insting yang membuat seseorang bisa bangkit kembali, bergerak maju, dan bertindak. Sebuah batang gandum yang patah karena hantaman badai dapat tegak kembali, atau malah membusuk di tempat. Pertama, aku menyingkir untuk menyendiri, lalu lambat laun aku menyadari bahwa aku adalah seorang manusia yang memiliki hak-hak yang sah. Aku percaya ke - pada Tuhan, aku mencintai desaku Punjab, negaraku. Aku ingin mengubah keadaan negara ini, mem bantu seluruh korban pemerkosaan dan generasi anakanak perempuan di masa depan. Aku bukanlah se - orang feminis militan, walaupun media massa meng - anggapku demikian. Aku menjadi seperti itu melalui pengalaman, karena aku adalah seseorang yang mampu bertahan, seorang perempuan biasa dalam dunia yang dikuasai kaum lelaki. Namun membenci laki-laki bukanlah cara untuk memenangi ke - hormatan.
Solusinya ialah mencoba untuk melawan mereka sebagai orang yang sederajat.
k ondisi M asa l alu di M eerwala
T IDAK ADA SEORANg PuN YANg PERNAH MENDENgAR tentang desa kami yang terletak jauh di daratan Indus, barat daya Punjab, di wilayah Muzaffargarh. Kantor polisi terletak di Jatoy yang berjarak tiga mil jauhnya. Kota-kota besar terdekat, Dera ghazi Khan dan Multan, jaraknya sekitar tiga jam perjalanan dengan menggunakan mobil di atas jalan yang penuh sesak dengan truk-truk besar, motor-motor bermuatan penuh, dan pedati-pedati yang berat. Tidak ada toko di Meerwala, juga tidak ada sekolah.
Kehadiran Mukhtar Mai School membangkitkan keingintahuan para penduduk desa. Keingintahuan yang penuh kecurigaan, awalnya, dan aku hanya memiliki sedikit murid. Dengan bantuan Naseem aku harus mendatangi satu pintu rumah ke pintu rumah yang lain untuk meyakinkan para orang tua agar mau mempercayakan anaknya kepada kami. Pintu-pintu itu tidak dibanting kencang-kencang di hadapan kami, tapi para ayah meminta kami agar
memahami bahwa anak perempuan tercipta untuk tinggal di rumah, bukan untuk belajar di sekolah. Anak laki-laki memiliki lebih banyak kesempatan untuk hal itu. Anak laki-laki yang tidak melakukan pekerjaan di ladang mungkin sudah ada yang belajar di sekolah terletak di desa lain, tapi mereka tidak dipaksa untuk melakukannya.
Pendekatan-pendekatan diplomatis tersebut mem butuhkan waktu lama. Dan memang, tidak ada masalah dari melakukan perbincangan ringan de - ngan keluarga Mastoi. Anak-anak tertua mereka berada di penjara karena aku. Dan jika polisi tidak lagi melindungiku suatu saat nanti, aku yakin klan tersebut akan segera memanfaatkan situasi. Mereka masih saja mengumumkan kepada orang-orang yang mau mendengarkan bahwa mereka bermaksud melakukan pembalasan terhadapku dan keluargaku.
Konstruksi bangunan sekolahnya sesuai, pada mula nya, dengan tata cara kami: sederhana dan mengena. Barang perabotan baru datang di kemudian hari, dan aku menyayangkan sekali karena bebe - rapa anak, termasuk yang termuda, masih harus duduk di tanah. untungnya, aku mampu membeli beberapa kipas angin berukuran besar, sehingga anak-anak itu dapat terbebas dari lalat-lalat dan hawa panas.
M uLANYA , kami hanya memiliki satu orang guru
sekolah: seorang perempuan. Namun, berkat sebuah artikel surat kabar yang ditulis oleh Nicholas D. Kristof dari The New York Times, yang muncul pada bulan Desember 2004, sekolah tersebut akhirnya menarik perhatian Komisioner Tinggi Kanada di Islamabad, Mrs. Margaret Huber. Kanada telah be - kerjasama dengan Pakistan dalam bidang kesehatan, pendidikan dan pemerintahan yang baik sejak tahun 1947. Perubahan-perubahan yang terjadi pada rezim politik tidak berakibat pada putusnya hubungan kerja sama ini, yang dilaksanakan atas bantuan para perwakilan lembaga swadaya masyarakat Pakistan setempat. Kanada telah menghabiskan jutaan dolar untuk membantu pembangunan di sini.
Mustapha Baloch, seorang pejabat resmi SPO, akhirnya datang ke Meerwala untuk melihat perkembangan sekolah. Kemudian pada awal tahun 2005, Mrs. Huber bersama dengan rombongan wartawan juga menyempatkan diri datang ke desa kami untuk menyerahkan secara pribadi cek senilai 2.200.000 rupee kepadaku, kontribusi negaranya untuk pembangunan sekolah.
Perempuan itu mengucapkan selamat atas keberanianku dalam melakukan perlawanan demi memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan, serta atas keinginanku mengabdikan diriku bukan hanya untuk keadilan tapi juga untuk pendidikan. Aku juga telah menerima lima ratus ribu rupee
yang berasal dari pemerintah Pakistan dan berbagai sumbangan pribadi yang dikirim dari Amerika Serikat. Akhirnya, murid-muridku tidak lagi belajar di ruang terbuka, tapi di sebuah gedung sekolah yang sesungguhnya. Satu bantuan dari CIDA, the Canadian International Development Agency, be - rupa pembayaran gaji bagi lima orang guru selama satu tahun, pembangunan ruangan kepala sekolah dan perpustakaan kecil, ditambah dua ruang kelas bagi murid laki-laki yang terletak jauh dari ruang kelas murid perempuan. Dalam rangka menghemat pengeluaran, aku membeli kayu dan mempekerjakan seorang tukang kayu untuk membuatkan meja dan kursi. Setelah itu barulah aku memulai pengerjaan sebuah kandang untuk kambing dan sapi jantan yang akan menghasilkan pendapatan tetap bagi kami, sehingga kami tidak lagi bergantung pada sumbangan dari pihak lain. Karena bantuan asing tidak akan berlangsung selamanya. Aku sudah memiliki sekitar empat puluh hingga empat puluh lima murid perempuan. Kami tidak memungut bayaran bagi seluruh anak yang belajar di sini.
Pada akhir tahun 2005, aku baru dapat merasa bangga setelah melihat hasilnya: sekolah kami memiliki seratus enam puluh murid laki-laki dan lebih dari dua ratus murid perempuan. Murid-murid perempuan itu & aku menang!
Namun, aku tetap harus meyakinkan para orang
tua agar mau mengizinkan anak-anak mereka untuk bisa datang ke sekolah secara rutin. Seringkali, para orang tua meminta anak-anak perempuannya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, terutama anakanak perempuan yang umurnya lebih tua. Lalu, kami memiliki ide untuk memberikan hadiah kehadiran, yang akan diberikan pada akhir tahun bagi murid yang tidak pernah absen di sekolah. Hadiahnya berupa seekor kambing untuk murid perempuan dan sebuah sepeda untuk murid laki-laki.
Jadi, saat ini aku memiliki sebuah lahan kecil yang dipusatkan di bekas rumah orangtuaku, tempat aku dilahirkan dan tempat tinggalku sampai saat ini. Ada sebidang pekarangan luas di belakang ruangan perempuan. Aku telah menambahkan sebuah taman bermain tanpa atap dan empat ruang kelas bagi murid perempuan. Sekolah ini sekarang memiliki lima orang guru untuk murid perempuan yang digaji melalui sumbangan dari pihak luar dan se - orang guru untuk murid laki-laki, yang gajinya ditanggung pemerintah. Suatu hari nanti, mungkin, pihak pemerintah juga akan menanggung gaji para guru perempuan. Seseorang boleh saja terus berharap.&
Kami memiliki ruangan yang luas, dilengkapi sebuah perpustakaan kecil namun cukup memadai yang aku gunakan untuk menyimpan dokumendokumen penting, buku-buku pelajaran, dan buku
presensi murid. Di luar gedung, terdapat sebuah pompa air untuk keperluan umum dan satu toilet laki-laki. Di pekarangan masih terdapat satu pompa lagi untuk keperluan pekerjaan rumah tangga, dan sebuah ruangan untuk memasak. Naseem menjadi kepala sekolah kami, dan Mustapha Baloch menjadi penasihat teknis kami dalam bidang organisasi dan konstruksi, karena CIDA melakukan pengecekan ber - kala untuk memantau perkembangannya. Sekarang kami telah siap memulainya! Aku menjadi kepala sekolah di sekolah khusus anak perempuan di wilayah yang menjadi wewenangku, yang terletak di antara pohon-pohon kurma dan ladang-ladang gandum dan tebu. Pusat desa berada di ujung jalan tanah tak beraspal. Dari pintu ruanganku aku dapat melihat masjid, sementara dari belakang rumahku, dengan berjalan melewati kandang kambing, orang dapat melihat farmhouse milik kaum Mastoi. Anakanak mereka datang secara rutin untuk belajar di sekolah kami, dan aku tidak mendapat ancaman secara langsung. Suasana sekolah tetap damai.
Murid-murid di sini berasal dari berbagai suku yang berasal dari kasta tinggi dan rendah. Namun, pada usia yang masih sangat belia, mereka tampak sangat akur bersama-sama. Khususnya murid-murid perempuan. Aku tidak pernah mendengar satu pun kata-kata kasar keluar dari mulut mereka. Ruang-
ruang kelas untuk murid laki-laki terletak jauh dari wilayah kecil yang menjadi wewenangku, supaya murid-murid perempuanku tidak bertemu dengan murid laki-laki di jalan.
Dan setiap hari, aku mendengar suara muridmurid perempuan ketika mereka membaca pelajarannya, berlarian, tertawa, dan berbincang-bincang di taman. Suara-suara itu menenangkanku, menumbuhkan harapan-harapanku. Hidupku sekarang memiliki arti. Sekolah ini harus tetap eksis, dan aku akan terus berjuang mempertahankannya. Dalam beberapa tahun ke depan, aku berharap gadis-gadis kecil ini akan memiliki pemahaman cukup tentang pendidikan agar dapat melihat kehidupan mereka dengan cara baru. Karena semenjak serangan me - ngerikan yang membuat namaku dan nama keluargaku dikenal seluruh dunia, katakutan-ketakutan serupa yang menyerang kaum perempuan belum berhenti. Setiap jam di Pakistan, seorang perempuan diserang, dipukuli, dibakar dengan asam, atau terbunuh dalam ledakan tabung gas yang tak disengaja. Di Punjab saja Komisi Hak-Hak Asasi Manusia di Pakistan telah mencatat adanya seratus lima puluh kasus pemerkosaan sepanjang enam bulan terakhir. Dan aku sering dikunjungi para perempuan yang datang kepadaku meminta pertolongan. Naseem me minta mereka mencari bantuan dari berbagai aso - siasi bantuan terhadap perempuan dan menyarankan
mereka untuk tidak menandatangani pernyataan tertulis tanpa di dam pingi saksi.
Naseem juga terus menginformasikan beritaberita terbaru yang muncul di surat kabar, karena aku sedang belajar membaca, aku bisa menulis tanda tanganku dan menulis sebuah pidato singkat. Namun, Naseem membaca jauh lebih cepat di - bandingkan aku!
Zafran Bibi, seorang perempuan muda berusia dua puluh enam tahun, diperkosa oleh saudara ipar laki-lakinya dan hamil. Dia tidak menyangkal anak yang dikandungnya tersebut, dan pada tahun 2002 dia dijatuhi hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati, karena anak itu merupakan bukti zina, perbuatan dosa karena melakukan hubungan de - ngan orang yang bukan suami atau istrinya. Sementara pemerkosanya tidak mendapatkan hukum an apa-apa. Zafran Bibi saat ini berada di suatu penjara di Kohat, yang terletak di sebelah barat laut Pakistan, di mana suaminya secara rutin datang mengunjunginya dan menuntut pembebasannya. Dia tidak akan dihukum dengan cara dilempari batu, tapi akan dikenai hukuman penjara selama beberapa tahun, sedangkan pemerkosanya dilindungi oleh hukum.
Seorang perempuan muda menikah atas dasar cinta. Dengan kata lain, perempuan itu memutuskan sendiri untuk menikahi laki-laki yang dicintainya,
dengan menentang keinginan keluarganya dan keluarga calon tunangannya yang menganggapnya telah berlaku kasar . Pada saat pertemuan keluarga, dua saudara laki-lakinya membunuh suaminya, hukum - an yang harus diterima suaminya karena telah me - nodai kehormatan keluarga.
Perempuan muda tidak memiliki hak untuk memikirkan cinta, menikahi laki-laki yang dia inginkan untuk menjadi suaminya. Bahkan, dalam keluarga yang paling pengertian sekalipun, perempuan tetap berkewajiban untuk menghormati pilihan orangtuanya. Lalu, bagaimana jika pilihan itu telah dibuat sebelum perempuan itu dilahirkan! Beberapa tahun terakhir banyak Dewan Jirga telah meng - hukum perempuan-perempuan muda karena men - coba menikah secara bebas, meskipun hukum Islam nasional membolehkan hal ini. Para birokrat lebih memilih untuk mendukung hukum-hukum adat daripada harus melindungi para perempuan itu. Dan hal termudah yang dapat dilakukan oleh keluarga yang tidak dihormati ialah dengan menyatakan bahwa suami pilihan anaknya telah memerkosa anak perempuannya. Faheemuddin dari kasta Muhajir, dan Hajira dari kasta Manzai menikah, tapi ayah Hajira menentang pernikahan itu, sehingga dia me - ngirimkan surat pengaduan pemerkosaan. Pasangan pengantin baru itu pun kemudian ditangkap, dan pada saat suaminya diadili, Hajira menyatakan
bahwa dia tidak diperkosa olehnya dan dia me - nikahinya atas keinginannya sendiri. Pihak peng - adilan mengirimnya ke sebuah tempat perlindungan perempuan, sementara pihak pengadilan akan mempertimbangkan takdirnya secara serius. Tepat pada hari ketika pasangan tersebut memenangkan kasus mereka di Mahkamah Agung di Hyderabad, se - kelompok laki-laki termasuk ayah perempuan muda itu, pamannya, dan saudara laki-lakinya menyerang mereka berdua saat hendak meninggalkan gedung pengadilan. Pasangan tersebut mencoba melarikan diri dengan sebuah rickshaw, tapi akhirnya kedua - nya terbunuh.
Pernikahan campuran sangat jarang terjadi, tapi Naseem menceritakan kepadaku tentang kasus se - orang perempuan Kristen yang telah menikah de - ngan seorang lelaki Muslim dan kemudian masuk Islam. Bersama lelaki itu dia telah memiliki seorang anak perempuan, yang tumbuh menjadi seorang perempuan muda berusia tujuh belas tahun bernama Maria. Suatu hari, seorang paman datang ke rumah mereka sambil mengatakan bahwa istrinya sakit dan ingin bertemu dengan Maria. Anak remaja itu meng - hilang. Ibunya telah mencarinya ke mana-mana, tapi berakhir sia-sia. Ternyata, gadis itu selama berbulanbulan telah dikurung dalam sebuah kamar dan diberi makan oleh seorang perempuan, tanpa ada penjelasan atas pengurungan terhadap dirinya.
Akhirnya, beberapa laki-laki bersenjata muncul de - ngan seorang mullah dan memaksa gadis itu me - nandatangani sebuah kontrak pernikahan dan per - nyataan masuk Islam. Maria kemudian diberi nama Kalsoom, dan kemudian dibawa pulang ke rumah suami nya, seorang Muslim garis keras yang telah membayar dua puluh ribu rupee untuk menculiknya. gadis itu mendapati dirinya berada dalam semacam penjara baru, yang dijaga oleh setiap perempuan di rumah tersebut yang juga memperlakukannya secara kasar dan menghinanya karena dirinya seorang Kristen.
gadis malang itu memiliki seorang anak dan berusaha melarikan diri, tapi dia tertangkap dan dipukuli dengan kasar. Akhirnya, ketika dia kembali hamil, dia berusaha segera keluar lewat pintu yang tidak terkunci dari rumah yang telah memenjarakannya selama tiga tahun. Dia berhasil melarikan diri dan kemudian meminta perlindungan ibunya. Suaminya seorang lelaki berpengaruh dan dia me - nolak untuk memberikan persetujuan cerai serta menuntut hak pengasuhan atas anaknya. Maria ha - rus hidup dalam persembunyian, karena pengacara yang mengkhususkan diri dalam perkara perceraian pasangan beda agama menolak untuk melanjutkan kasus ini. Sebelum mengundurkan diri dia memperingatkan si ibu dan anak gadisnya: keluarga si laki-laki cukup berkuasa, dan kedua perempuan itu
sedang dalam bahaya. Si suami telah membayar beberapa orang jahat untuk menculiknya kembali. Pengacara itu hanya dapat melakukan satu hal untuknya mencarikan tempat persembunyian.
Sebuah laporan dari Komisi Hak-Hak Asasi Manusia mencatat bahwa 226 gadis Pakistan, yang semuanya masih sangat muda, telah diculik di Punjab di bawah kondisi serupa untuk dinikahi secara paksa. umumnya, setelah mendapatkan penolakan pertama dari seorang gadis, keluarga yang me - minta nya berjanji akan membereskan semuanya. Karena penolakan dianggap sebagai sebuah peng - hinaan terhadap kehormatan keluarga, yang sering - kali mengarah pada tindakan balasan dengan pembunuhan. Kemudian, kedua keluarga meminta Dewan Jirga untuk memutuskan perkara tersebut. Dan jika terjadi kematian pada kedua belah pihak, biaya rekonsiliasi diperhitungkan dalam bentuk sejumlah rupee, atau pembayaran dengan seorang perempuan, atau keduanya. Naseem mengatakan bahwa kami tidak lebih penting dari kambing atau lebih buruk lagi, tidak lebih penting dari sepasang sandal yang dibuang oleh seorang lelaki karena dia menganggap sendal tersebut sudah tidak layak di - pakai dan perlu diganti.
untuk memecahkan sebuah konflik yang me - libatkan pembunuhan, misalnya, suatu Dewan Jirga memutuskan untuk menghubungkan dua orang
gadis kecil berusia enam dan sebelas tahun dengan keluarga korban. gadis lebih tua akan dinikahkan dengan seorang lelaki berusia empat puluh enam tahun, dan gadis yang lebih muda dinikahkan kepada seorang saudara laki-laki si korban, seorang anak berusia delapan tahun. Dan kedua keluarga menerima transaksi tersebut! Sebuah penyelesaian atas tindakan pembunuhan bodoh yang diawali dengan percekcokan antartetangga mengenai seekor anjing yang menggonggong. Para anggota Dewan Jirga biasanya merasa bahwa jalan terbaik untuk mereda - kan kekacauan yang dapat mengakibatkan pembunuhan di sebuah desa ialah dengan cara memberikan satu atau dua gadis untuk dinikahkan, demi mempersatukan pihak-pihak yang bertikai.
Yah, keputusan Dewan Jirga tidak lain hanyalah hasil dari proses tawar-menawar. Tidak lebih dari sekadar upaya mencari rekonsiliasi, kumpul-kumpul hanya untuk mencapai kesepakatan semua pihak dalam mengatasi pertentangan, bukan untuk memberikan keadilan. Inilah sistem mata dibayar dengan mata . Jika suatu klan membunuh dua laki-laki, klan yang satunya berhak untuk melakukan hal yang sama. Jika seorang perempuan diperkosa, ayahnya atau saudara laki-lakinya berhak untuk memerkosa perempuan dari keluarga pemerkosa sebagai pembalasan dendam.
Kebanyakan konflik yang tidak secara langsung
melibatkan kehormatan laki-laki diselesaikan dengan sejumlah uang meskipun dalam kasus pembunuh - an. Peran pihak kepolisian dan sistem per adilan dalam memroses banyak kasus telah diambil alih. Suatu hal biasa dan aku mungkin men jadi bukti dari kejadian ini jika percekcokan terdahulu mengenai tanah yang telah dirampas oleh suatu suku secara misterius dapat muncul kembali sebagai sebuah kejahatan kehormatan, sebuah perkara yang dapat ditangani dengan lebih mudah oleh dewan desa, dan tanpa menuntut pembayaran satu rupee pun.
Masalah besar bagi perempuan ialah tidak ada seorang pun yang menginformasikan kepada mereka mengenai semua hal. Perempuan tidak terlibat dalam segala bentuk pertimbangan keputusan, karena dewan desa hanya beranggotakan para lelaki. Tidak penting apakah ia menjadi objek konflik atau kompensasi atas sebuah tindakan kejahatan, perempuan pada dasarnya telah dipinggirkan. Dari hari ke hari, seorang perempuan diberitahu bahwa dia telah diberikan kepada sebuah keluarga tertentu. Atau, seperti yang aku alami, dia harus memohon pengampunan kepada keluarga ini atau itu. Seperti dikatakan Naseem, berbagai drama dan konflik yang terjadi di desa merupakan simpul-simpul kuat yang kemudian dilepas oleh suatu dewan dengan tanpa menghormati perundang-undangan resmi yang
berlaku, terutama yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.
Pada Januari 2005, semasa aku menunggu ke - putusan pengadilan banding di Multan selama dua tahun, ada satu kejadian lain yang menjadi berita utama di semua surat kabar. Dan para komentator membandingkan berita tersebut dengan berita ke - jadian yang menimpaku, meskipun keduanya agak berbeda.
Dr. Shazaki Khalid, seorang perempuan berpendidikan kebudayaan berusia tiga puluh dua tahun, seorang istri dan sekaligus ibu, bekerja sebagai dokter pada Pakistan Petroleum Limited, sebuah per - usahaan publik di Baluchistan. Pada tanggal 2 Januari, suaminya sedang berada di luar negeri. Dengan demikian, dia berada sendirian di rumah, bangunan berpagar tembok dan dijaga pihak ke - amanan, karena sektor eksploitasi minyak PPL di wilayah itu terletak di zona suku terpencil.
Sewaktu dia tertidur, seorang lelaki masuk ke kamar tidurnya dan memerkosanya.
Kemudian dia menceritakan kejadian yang menimpanya.
Sewaktu dia menjambak rambutku, aku melawan, aku berteriak tapi tidak ada seorang pun yang datang. Ketika aku mencoba mengambil telepon, dia memukulku di bagian kepala dengan gagang telepon dan mencoba mencekikku dengan
kabelnya. Demi kasih Tuhan, aku memohon ke - padanya, Aku tidak pernah menyakitimu mengapa kau lakukan ini padaku" Dan dia berteriak, Diam! Ada seseorang di luar sana dengan membawa satu dirijen minyak tanah. Jika kau tidak diam, dia akan datang dan membakarmu hidup-hidup!
Dia telah memerkosaku, kemudian menutupi kedua mataku dengan syal, berkali-kali memukulku dengan gagang senapannya, dan memerkosaku lagi. Kemudian dia menutupiku dengan selimut, meng - ikat kedua pergelangan tanganku dengan kabel telepon, dan menonton televisi beberapa saat aku dapat mendengar suara dalam bahasa Inggris.
Dr. Khalid kehilangan kesadaran selama beberapa saat, kemudian berhasil membebaskan diri dan ber - lari menyelamatkan diri menuju rumah seorang perawat.
Aku tidak dapat bicara segera kemudian dia mengerti. Beberapa dokter dari PPL tiba. Aku kira mereka akan merawat lukaku, tapi ternyata mereka tidak melakukannya sama sekali. Mereka memberiku obat penenang, menerbangkanku dengan diam-diam menuju sebuah rumah sakit jiwa di Karachi dan menyarankanku agar tidak mencobacoba untuk menghubungi keluargaku. Aku masih dapat menghubungi saudara laki-lakiku, dan aku memberikan kesaksian kepada pihak kepolisian pada tanggal 9 Januari. Bagian layanan informasi
militer meyakinkan aku bahwa pelakunya akan ditangkap dalam waktu empat puluh delapan jam.
Aku dan suamiku ditempatkan di sebuah rumah berbeda dan kami dilarang keluar. Presiden menya - takan melalui televisi bahwa hidupku sedang dalam bahaya. Yang paling buruk dari semua itu, kakek suamiku sendiri mengumumkan bahwa aku adalah kari, setitik noda kotor dalam keluarga bahwa suamiku harus menceraikanku, dan bahwa aku harus diusir dari keluarga. Aku takut akan dibunuh! Aku mencoba bunuh diri, tapi suamiku dan anak laki-lakiku mencegahku melaku kannya. Kemudian, aku diminta dengan sangat untuk menandatangani sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa aku telah mendapatkan bantuan dari pihak berwenang dan bahwa aku telah memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini lagi. Aku diberitahu bahwa jika aku tidak menandatanganinya, aku dan suamiku mungkin akan dibunuh. Bahwa akan lebih baik jika aku meninggalkan negara ini tanpa menuntut pen - jelasan dari pihak PPL, sebuah tuntutan yang akan menimbulkan kesulitan sangat besar bagi kami nanti nya. Aku juga diminta tidak menghubungi organisasi ke manusiaan atau organisasi hak-hak asasi manusia.
Kejadian itu telah menimbulkan sedikit kegemparan di Baluchistan, di mana para pekerja sering menunjukkan sikap ketidaksukaan mereka terhadap
pekerjaan eksploitasi minyak di wilayah mereka. Setelah beredar kabar bahwa pelaku pemerkosaan terhadap Dr. Khalid ternyata dari kalangan militer, satu unit militer di sektor itu diserang. Sekitar lima belas laki-laki dinyatakan terbunuh, dan beberapa peralatan perusahaan minyak tersebut dirusak.
Saat ini Dr. Khalid tinggal dalam pengasingan di suatu tempat di Inggris, di tengah-tengah komunitas Pakistan yang sangat keras di mana dia tidak merasa nyaman. Suaminya mendukungnya, tapi yang membuat mereka sangat sedih ialah mereka harus meninggalkan anak laki-laki mereka di Pakistan. Pihak-pihak berwenang tidak membolehkan anak laki-lakinya untuk ikut dengan mereka. Mereka telah kehilangan kehidupan dan negara mereka. Dan satusatunya harapan mereka, saat ini, adalah memperoleh izin untuk berimigrasi ke Kanada, di mana mereka memiliki beberapa orang keluarga.
N ASEEM mengomentari kejadian tersebut dengan sikap terus terangnya seperti biasa.
Tidak penting apa status sosial yang dimiliki perempuan itu apakah dia berpendidikan atau buta huruf, kaya atau miskin perempuan mana pun yang menjadi korban kekerasan akan menjadi korban intimidasi. Dalam kasusmu itu adalah, Bubuhkan jap jempolmu di sini, kami akan menulis apa yang diperlukan! . Sementara dalam kasusnya, Tanda
tangan di sini, atau kalian berdua akan mati! Tidak peduli apakah laki-laki itu seorang petani miskin atau tentara, dia memerkosa sesuka hatinya, kapan pun dia menginginkannya. Dia tahu bahwa sering - kali dia akan dibebaskan, dilindungi oleh keseluruhan sistem yang ada politik, adat, agama, atau militer. Sebaliknya, kita kaum perempuan tidak dapat menikmati hak-hak kita yang sah. Bahkan, nyaris pun tidak. Kaum feminis tidak dihargai. Paling-paling orang hanya memandang kita sebagai revolusioner berbahaya dan pengacau di dunia lakilaki. Kau" Mereka menyayangkan sikapmu yang berpaling kepada kalangan feminis beberapa surat kabar bahkan mengatakan bahwa kau sedang di - manipulasi oleh para wartawan dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka beranggapan seakan-akan kau tidak cukup pintar untuk memahami bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh keadilan ialah dengan menuntutnya, dengan suara keras dan membutuhkan waktu lama!
Aku telah menjadi seorang militan. Sebuah ikon. Simbol perlawanan yang dikobarkan oleh kaum perempuan di negaraku.
Arts Academy of Lahore (Akademi Seni Lahore), tampaknya, telah mementaskan sebuah drama yang terinspirasi dari kisah kelamku. Mera Kya Kasur: Apakah Itu Kesalahanku" Alur ceritanya tidak berdasarkan pada kejadian yang menimpaku, karena
cerita tersebut diawali dengan anak perempuan se - orang raja feodal yang jatuh cinta kepada seorang lelaki muda berpendidikan yang sayangnya hanya anak seorang petani. Mereka terlihat sedang ber - gandengan tangan sehingga keputusan Dewan Jirga, yang dimaksudkan untuk memulihkan kembali kehormatan sang raja, menyatakan bahwa adik perempuan si anak petani miskin akan diberikan kepada anak laki-laki sang raja. Si anak perempuan petani miskin bunuh diri, begitu juga ibunya. Sementara anak laki-laki sang raja menjadi gila dan akhirnya bunuh diri juga.
Sebelum meninggal di atas panggung, si aktris muda yang memerankan aku, seorang perempuan terbuang , bertanya-tanya apakah memang menjadi suatu dosa di negaranya karena dilahirkan dalam keadaan miskin dan sebagai seorang perempuan.
Apakah dengan menangkap pihak yang bersalah akan dapat memulihkan kembali kehormatanku" teriaknya. Berapa banyak perempuan di luar sana yang bernasib sepertiku" Lebih dari sekadar bunuh diri Hasrat untuk mendapatkan keadilanlah yang telah mengembalikan kehormatanku. Karena sese - orang tidak seharusnya merasa bersalah atas ke - jahatan orang lain.
Sayangnya, tidak banyak perempuan yang cukup beruntung dapat menggerakkan banyak media massa dan organisasi hak-hak asasi manusia.
P ADA bulan Oktober 2004, sebuah demonstrasi besar-besaran menyatukan ratusan aktivis dan perwakilan masyarakat sipil untuk menuntut per - undang-undangan yang lebih baik berkenaan de - ngan kejahatan kehormatan. Pengacaraku berada di sana bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Pihak pemerintah telah sejak lama berjanji untuk mencabut perundang-undangan tentang kejahatan kehormatan, tapi belum ada realisasinya sama sekali. Yang mestinya dilakukan pemerintah hanya - lah melakukan berbagai modifikasi, setidaknya pada undang-undang yang membolehkan pelaku ke - jahatan bernegosiasi dengan keluarga korban ke - jahatan sehingga mereka dapat terbebas dari sanksi kriminal. Di samping itu, pemerintah juga harus menyatakan bahwa seluruh persidangan yang di - lakukan di hadapan dewan suku merupakan tindak - an melanggar hukum. Pemerintah provinsi seharusnya menyiapkan perundang-undangan yang meng - atur sistem keadilan pribadi tersebut. Namun demikian, Dewan Jirga masih terus memegang kekuasaan, dan ribuan perempuan masih tetap menjadi korban pemerkosaan atau pembunuhan dalam sistem adat ini.
D ALAM kasusku, proses naik banding membutuhkan waktu lama. Dua tahun sudah berlalu sejak pelaksanaan hukuman mati yang pertama. Jika undang-
undang tidak berubah, dan jika Pengadilan Tinggi di Islamabad tidak menguatkan keputusan yang per - tama, dan jika kedelapan terdakwa yang telah dibebaskan kali ini tidak dijatuhi hukuman seperti yang aku tuntut dalam permohonan naik banding - ku lalu mengapa tidak membebaskan semuanya saja, dan mengirimku kembali ke desaku di bawah kekuasaan kaum Mastoi" Aku tidak berani me - mikirkannya. Naseem sangat percaya diri. Dia benarbenar melibatkan dirinya dengan sepenuh hati dalam peperangan ini dengan berada di sisiku. Dan aku tahu bahwa risiko yang dihadapinya sama besar dengan risiko yang kuhadapi. Dia seorang yang optimis: dia percaya pada kemampuan yang ku - miliki untuk melawan balik. Dia tahu bahwa aku akan melakukannya sampai semua ini berakhir, bahwa aku akan mampu bertahan dari semua ancam an dengan nilai-nilai fatalisme yang akan melindungiku, dan sikap keras kepalaku yang mungkin terlihat tenang bagi orang lain, tapi selalu mendidih di dalam diriku sejak awal.
Aku selalu mengatakan ini, jika keadilan manusia tidak dapat menghukum orang-orang yang telah melakukan hal itu kepadaku, Tuhanlah yang akan membalasnya suatu saat nanti. Namun, aku ingin agar keadilan itu diberikan kepadaku secara resmi. Di hadapan seluruh dunia, jika memang harus begitu.
a iB P ADA 1 M ARET 2005, SEKALI LAgI AKu HARuS MENg - hadap pengadilan. Kali ini pengadilan yang ku - hadapi ialah pengadilan banding di Multan. Aku tidak sendirian: banyak lembaga swadaya masya - rakat dan pers asing menantikan keputusan ini. Aku telah mengumumkan melalui mikrofon-mikrofon yang ditujukan ke arahku bahwa aku hanya mengharapkan keadilan, tapi aku ingin agar keadilan itu menjadi lengkap.
Suku Mastoi masih menolak segalanya. Dan, kami semua yang berada di sini perwakilan lembaga swadaya masyarakat, insan pers lokal dan asing tahu betapa seringnya para pemerkosa diputuskan tidak bersalah di pengadilan kami. Keputusan pertama dalam kasusku merupakan sebuah kemenangan, di luar keputusan tidak bersalah terhadap delapan orang Mastoi yang masih kutuntut agar mereka dihukum. Aku duduk di sana, sambil mendengarkan hakim membacakan teks panjang yang mem-
bosankan. Tapi karena teks tersebut berbahasa Inggris, aku tidak dapat memahaminya satu kata pun.
M ENuRuT keputusan yang diberikan oleh pengadilan antiteroris di Dera ghazi Khan pada 31 Agustus 2002, keenam orang yang dituntut dan disebutkan di bawah ini diputuskan bersalah dan dijatuhi hukum - an-hukuman sebagai berikut &
enam orang dijatuhi hukuman mati.
Delapan orang tahanan lainnya dibebaskan dari dakwaan-dakwaan yang ditujukan kepadanya &
Aku dan Naseem terkadang saling berbisik. Dan sementara itu, perlahan tapi pasti, ketika aku men - dengarkan naik turunnya intonasi kata-kata yang panjang dan membosankan itu, keadilan yang se - mena-mena akhirnya mulai tampak jelas.
Hari Senin berlalu seperti ini, dan begitu juga yang terjadi pada hari Selasa, tanggal 2 Maret. Sekarang, tibalah giliran pengacaraku untuk ber - bicara. Aku sangat lelah, sampai-sampai membuatku kadang-kadang tertidur di sela-sela persidangan. Aku seringkali merasa proses hukum di ruangan besar ini berjalan tanpa aku.
Andai saja aku dapat memahami ucapan-ucapan ini! Tapi aku harus menunggu sampai malam untuk dapat memahaminya pada saat pengacaraku me - nyimpulkan inti dari argumen-argumen yang
disampaikan oleh pihak pembela, yang berdasarkan itu tampaknya bahwa &
Kesaksianku penuh dengan kontradiksi dan tidak didukung dengan bukti yang cukup untuk dapat membuktikan bahwa pemerkosaan massal telah terjadi.
Meskipun sedikitnya setengah penduduk berada di sana menyaksikan kejadian itu.
Pengaduan tidak segera diajukan setelah kejadian, dan tidak ada penjelasan yang masuk akal atas penundaan tersebut.
Hanya perempuan yang dapat mengerti betapa hancurnya, secara fisik dan psikologis, seorang perempuan setelah mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh empat orang laki-laki. Jadi, semua laki-laki ini akan merasa lebih logis jika aku segera melakukan bunuh diri"
Kesaksianku dicatat dengan cara yang masih dipertanyakan. Seorang detektif mencatat satu versi pada 30 Juni 2002, yang berbeda dengan versi yang diberikan kepada jaksa penuntut.
Kesaksianku tidak sesuai dengan versi yang diberikan oleh pihak polisi, tentunya.
Hal itu masih ditambah dengan serangkaian penyangkalan yang diajukan oleh pihak pembela, semuanya dirancang untuk menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang dapat membuktikan pihak terdakwa harus bertanggung jawab atas kejadian itu.
Keseluruhan cerita ini sudah pasti diketahui oleh reporter yang kebetulan berada di sana supaya dapat menjadi berita utama yang sensasional. Kalangan pers kemudian menerima berita tersebut dengan sa - ngat antusias dan menjadikannya liputan internasi - onal, padahal tindakan kejahatan yang dituduhkan tidak pernah terjadi!
Aku telah menerima bantuan dana dari luar negeri dan aku memiliki rekening bank!
Aku pernah mendengar argumen-argumen itu sebelumnya, khususnya argumen terakhir. Hasratku menggunakan uang itu untuk membangun sekolah demi pendidikan anak-anak perempuan dan bah - kan juga anak laki-laki tidak menarik minat musuhmusuhku. Beberapa komentar pada beberapa surat kabar nasional berpendapat bahwa perempuan Pakistan hanya memiliki satu tugas, yaitu melayani suaminya, dan bahwa satu-satunya pendidikan yang didapatkan seorang gadis berasal dari ibunya, karena di samping teks-teks keagamaan tertentu tidak ada lagi yang dapat dipelajari olehnya. Kecuali diam dalam kepasrahan.
Tampaknya ada semacam perasaan curiga yang terpendam dalam pengadilan ini bahwa aku bersalah karena tidak mau diam.
Aku telah sering mengatakan dan mengulangulangnya kepada para wartawan, bahwa aku berjuang dengan kekuatan keyakinan agama yang
aku miliki, dengan rasa hormatku pada al-Quran dan Sunnah, warisan tradisi Islam yang didasarkan pada ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad. Keadilan adat yang tertuang dalam bentuk memerkosa dan menteror orang lain demi menjaga agar desa tetap terkendali tidak sesuai dengan al- Quran. Sangat disayangkan, negaraku masih diatur oleh tradisi-tradisi barbar yang belum berhasil dikeluarkan pihak pemerintah dari pikiran-pikiran rakyatnya. Para hakim membiarkan diri mereka di - pengaruhi oleh keputusan pribadinya ketika harus memilih antara hukum Negara Republik Islam kami, yang melaju sangat pelan menuju kesejajaran hakiki di antara para penduduknya, dan undang-undang hudud, yang memperkuat aturan yang membatasi perbuatan zina dan akhirnya menjatuhkan hukuman kepada perempuan.
P ADA 3 Maret, keputusan akhirnya dibuat. Berbeda dengan keputusan yang dicapai oleh pengadilan anti-teroris dan dugaan banyak orang, Pengadilan Tinggi Lahore memutuskan kelima terdakwa tidak bersalah dan memerintahkan agar mereka dibebas - kan! Hanya ada seorang terdakwa yang masih tetap berada di penjara, yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Keputusan mengagetkan yang me - nyesakkan hati.
Kerumunan orang mulai berteriak marah dan
menolak untuk meninggalkan ruang pengadilan. Para wartawan berputar-putar di atas tempat duduk - nya, semua orang membicarakan apa yang baru saja terjadi.
Ini adalah hari yang menyedihkan bagi bang sa & Ini merupakan aib bagi seluruh perempuan & Sekali lagi, hukum perdata diabaikan &
A Ku sangat terkejut tak percaya. Aku gemetaran di hadapan para wartawan. Apa yang dapat aku katakan" Apa yang dapat aku lakukan" Pengacaraku akan naik banding atas keputusan ini, tapi untuk sementara ini" Mereka akan pulang ke rumah, ke ladang-ladang mereka, seratus yard jaraknya dari sekolah dan rumahku. Keluargaku terancam, dan nyawaku terancam sejak hari ini. Aku menginginkan keadilan, aku menginginkan agar mereka digantung aku tidak takut mengatakannya atau se - tidaknya tetap berada di penjara sampai akhir hayat mereka. Aku bukan hanya berjuang untuk diriku sendiri, tapi juga untuk seluruh perempuan yang telah dihina atau diabaikan oleh sebuah hukum yang menuntut empat orang saksi mata untuk membukti - kan pemerkosaan! Seakan-akan para pemerkosa melancarkan aksi kejahatannya di depan publik! Seluruh kesaksian yang mendukungku diabaikan begitu saja, padahal seluruh penduduk desa mengetahui apa yang terjadi. Pengadilan ini berusaha
mengembalikan apa yang mereka sebut kehormatan yang hilang kepada kaum Mastoi dengan menerima argumen-argumen yang dikemukakan oleh pihak pembela, kata demi kata, dan dengan membuatku menjadi tertuduh. Jadi, begitulah, Mukhtar, kau harus tutup mulut, dan kasta Mastoi yang berkuasa telah mengalahkanmu. Aku sedang diperkosa lagi.
Hal tersebut membuatku menangis dengan perasaan marah dan kesedihan mendalam. Namun demikian, berhadapan dengan kemarahan banyak orang serta kehadiran para demonstran dan wartawan membuat hakim merasa harus membuat pernyataan beberapa jam kemudian.
Aku memberikan sebuah keputusan, tapi aku belum mengeluarkan perintah untuk melaksanakan keputusan tersebut! Para tahanan belum boleh dibebaskan.
Keputusan itu diumumkan pada Kamis malam, tanggal 3 Maret. Jumat merupakan hari untuk me - laksanakan ibadah salat Jumat. Jadi, sebelum hakim sempat meminta agar keputusan tersebut diketik dan salinannya dikirim ke Kepala Kepolisian Wilayah dan berbagai pejabat hukum pidana, kami masih memiliki beberapa hari untuk menjalankan aksi, demikian pendapat Naseem. Dia belum me nyerah untuk melakukan perlawanan, begitu juga dengan para aktivis dari seluruh organisasi yang mengikuti jalannya persidangan.
Begitu keterkejutanku berlalu, aku pun menolak untuk menyerah. Di sekeliling kami, para perempuan berteriak dengan perasaan marah dan terhina, sama seperti yang aku rasakan. Berbagai lembaga swadaya masyarakat dan organisasi hak-hak asasi manusia segera menghimpun kekuatan:wilayah provinsi ini bergejolak. Pada 5 Maret, aku melangsungkan konferensi pers, sebuah pengalaman yang melelahkan. Ya, aku akan naik banding. Tidak, aku tidak mau pergi ke pengasingan. Aku ingin tinggal di rumahku, di desaku. Ini negaraku, tanah ini adalah tanah airku, dan aku akan meminta bantuan Presiden Musharraf sendiri jika perlu!
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah. Kemudian pada 7 Maret, aku pergi ke Multan untuk ikut ambil bagian dalam sebuah demonstrasi besarbesaran memprotes keputusan yang semena-mena ini. Tiga ribu perempuan berada di sana dan didukung oleh berbagai organisasi hak-hak asasi perempuan. Aku berjalan dikelilingi poster-poster yang bertuliskan berbagai tuntutan keadilan atas nama ku, dan tuntutan reformasi atas undangundang hudud yang tidak populer. Aku berjalan dalam diam di tengah-tengah kerumunan orang yang berapi-api sewaktu kata-kata hinaan terus mengalir di benakku: Mereka akan melepaskannya, mereka akan melepaskannya & Tapi kapan" Sementara itu, para pengatur barisan meman-
faatkan mikrofon dan fotografer untuk membantu suksesnya protes mereka.
Pemerintah masih terjebak dalam retorikanya sendiri mengenai hak-hak asasi perempuan, ungkap seorang juru bicara militan sebuah organisasi hakhak asasi manusia. Menghukum Dr. Shazia Khalid dengan memaksanya meninggalkan negara ini, dan Mukhtar Mai dengan membebaskan para pe - nyerang nya, berarti masih ada perjalanan panjang di hadapan kami yang harus kami tempuh sebelum kami memperoleh keadilan.
P ARA perempuan yang mendirikan AgHS sebuah perhimpunan yang sejak tahun 1980 telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan penegakan demokrasi di Pakistan turut hadir di sana, dan mereka sudah terbiasa dengan kasus-kasus sulit seperti yang terjadi padaku. Dan mereka bahkan lebih marah lagi dengan catatan buruk pemerintah. Salah seorang pendirinya, Hina Jilali, menyatakan pendapatnya mengenai kasus-kasus di Pengadilan Tinggi, baik di Lahore maupun Islamabad.
Jika kondisi para perempuan sedikit membaik, hal itu tidak ada hubungannya dengan pihak-pihak berwenang. Berbagai bentuk kemajuaan berskala besar dapat dihasilkan berkat dukungan dari sektor publik dan berbagai organisasi hak-hak asasi perempuan. Orang-orang seperti itu telah seringkali
mempertaruhkan nyawanya untuk mencapai tujuannya! Selama bertahun-tahun kami telah menjadi target dari berbagai ancaman serius dan tekanan yang tiada henti. Pemerintahan sekarang, secara khusus, memanfaatkan prinsip hak-hak asasi perempuan untuk menampilkan citra progresif dan liberal bangsa ini kepada komunitas internasional. Semua itu rekayasa! Pemerkosaan terhadap Dr. Shazia Khalid dan keputusan atas kasus yang menimpa Mukhtar Mai menguak keengganan pemerintahan saat ini untuk menghapuskan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Presiden melindungi pihak tertuduh dan mempengaruhi berbagai investigasi kri - minal. Negara ini telah ke hilangan kredibilitasnya.
K ONDISI perempuan sangat buruk, dan akan terus memburuk, tegas direktur Aurat Foundation, yang memfokuskan kegiatannya pada pendidikan dan bantuan hukum bagi kaum perempuan. Masih panjang perjalanan yang harus kami tempuh, meskipun gerakan hak-hak asasi manusia telah mencapai kemajuan sepanjang seperempat abad terakhir ini. Pemerintah menyatakan kepada kami bahwa kaum perempuan menduduki 33% kursi di Parlemen, tapi hal itu sepenuhnya bisa terwujud karena adanya tekanan terus-menerus dari sektor swasta. Ke - putusan terhadap Mukhtar Mai merupakan sinyal kuat bahwa tidak ada yang telah dilakukan untuk
menghentikan tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan pemerkosaan terhadap Dr. Shazia Khalid merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, sebuah contoh menjijikkan lainnya dari aib yang dibawa negara kami sendiri di mata dunia. Kasus Mukhtar Mai hanya akan membuat para calon-calon pemerkosa lebih bersemangat. Kekalah - an sebuah hukum yang ditawarkan baru-baru ini atas kejahatan kehormatan di negara ini berarti bahwa kami akan berdemo dengan berjalan seperti yang kami lakukan hari ini untuk waktu lama sebelum kami dapat berharap untuk mencapai ke - adilan sosial.
K ARNIA Hayat, dari Komisi Hak-Hak Asasi Manusia Pakistan, juga berbicara kepada pers.
Meskipun tindakan kekerasan belum berkurang, saat ini kaum perempuan mencoba untuk memahami hak-hak mereka jika terjadi tindakan kekerasan dalam keluarga, yang sedang meningkat sebagai akibat dari kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan ber bagai faktor sosial negatif lainnya, seperti ke - putus an adat dan undang-undang antifeminis yang telah diberlakukan selama beberapa tahun hingga saat ini. Kedua perempuan pemberani ini telah menunjukkan kepada kami, bahwa perempuan mana pun, apakah dia berpendidikan ataupun buta huruf, harus berjuang keras untuk memperoleh keadilan.
P ERS , stasiun radio dan televisi semuanya sibuk mendiskusikan keputusan berskandal ini dengan tanpa henti. Beberapa komentator bertanya kepada diri sendiri, siapa yang turut campur tangan dalam hal ini" Bagaimana seorang hakim bisa sepenuhnya memutar-balikkan sebuah keputusan atas pemer - kosa an massal berencana yang telah ditetapkan oleh pengadilan anti-teroris" Atas dasar apa" Aku tidak memiliki jawabannya. Itu tugas pengacaraku untuk memecahkannya.
Pada malam harinya, aku kembali ke desaku karena kami sudah tahu bahwa Mrs. Margaret Huber, komisioner tinggi Kanada di Pakistan, akan datang mengunjungiku di sekolah keesokan harinya. Kedutaan Besar Kanada, seperti semua kedutaan besar asing lainnya, mengetahui apa yang telah terjadi. Mrs. Huber akan tiba menjelang tengah hari, dan aku sangat ingin memberinya penyambutan yang layak.
Selama kunjungannya, dia mengumumkan ke - pada para wartawan yang ikut mendampinginya: Dengan dukungan dari Canadian Agency of International Development, Kanada akan mendanai perluasan sekolah agar dapat menampung para murid yang telah terdaftar dan yang berada dalam daftar tunggu. Negaraku memberikan bantuan ini sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi besar Mukhtar Mai, seorang pejuang kesetaraan gender
dan hak-hak asasi perempuan di Pakistan dan di seluruh dunia. Tindakan kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi salah satu wabah penyakit internasional terbesar. Apa yang telah dilakukan terhadap Mukhtar Mai pasti akan membuat kebanyakan perempuan lainnya hancur. Pemerkosaan massal atas perintah dewan suku yang dialami Mukhtar Mai membuatnya menolak untuk bersikap diam. Maka dengan bantuan dana yang diterimanya sebagai kompensasi, dia mendirikan satu sekolah untuk desanya. Dia telah bekerja tanpa kenal lelah untuk tetap memastikan bahwa anak-anak perempuan di desanya tidak akan mengalami nasib serupa dengannya. Perempuan ini melambangkan semangat sejati dari Hari Perempuan Internasional!


Atas Nama Kehormatan In The Name Of Honor Karya Mukhtar Mai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

M RS . H uBER bersama-sama kami selama empat jam. Kehadirannya dapat menenangkanku, tapi hari ini masih menjadi hari yang menggelisahkan bagiku, yang menghabiskan waktu dengan berdiri di dekat telepon sambil menantikan kabar dari pengacaraku yang sedang berusaha mendapatkan salinan ke - putusan itu.
Akhirnya, pengacaraku tahu bahwa para pelaku kejahatan akan meninggalkan penjara pada 14 Maret secara teori, karena media massa dan militan dari lembaga swadaya masyarakat telah menempatkan diri mereka di depan penjara. Pihak
kepolisian tidak dapat menjamin keamanan orangorang yang menjadi tanggung jawab mereka di hadapan kerumunan para wartawan dan demonstran yang sangat marah.
Pembebasan yang telah dijadwalkan itu berisiko akan menimbulkan kerusuhan yang sangat tidak diharapkan oleh pemerintah. Tapi, karena aku sudah terlanjur disalahkan atas keputusanku mene rima bantuan dari media massa dan lembaga swadaya masyarakat, aku tidak akan tinggal diam. Jangan harap. Kebetulan sekali perlawanan sama dengan perlawananan yang telah mereka kobarkan selama bertahun-tahun, dan tidak ada seorang pun yang akan membuatku tetap diam. Jika aku hanya berdiam diri di rumah dan menangisi nasibku, aku tidak akan bisa menerima diriku sendiri. Aku memiliki tanggung jawab: keamanan keluargaku, hidupku, dan sekolahku, yang sekarang telah memiliki lebih dari dua ratus murid.
Tuhan tahu bahwa aku selalu mengatakan kebenaran. Dan itulah keberanianku, kebenaran, dan aku harap pada akhirnya kebenaran akan terungkap dari lubang mengerikan itu di mana para lelaki tersebut bersembunyi dengan kemunafikan mereka. Itulah alasan mengapa aku dan Naseem melakukan tur keliling selama satu minggu yang sangat melelahkan.
Pada 9 Maret, kami bersiap-siap untuk berangkat pada keesokan harinya menuju Musaffargarh, kota
utama di wilayah bagian, di mana akan diadakan demonstrasi lainnya untuk memprotes tindakan ke - kerasan terhadap perempuan. Sekitar 1500 orang hadir. Pimpinan Organization for the Defense of Human Rights di Pakistan menggelar jumpa pers secara pribadi. Poster-poster besar memuat slogan, Jangan Takut Mukhtar Mai Kami Bersamamu!
Kami selalu dikawal polisi dalam setiap tur keli - ling kami. Kadang aku bertanya-tanya apakah mereka hadir untuk melindungiku, atau memata-mataiku. Aku belum bisa istirahat, aku hampir mati kelelahan dan tubuhku masih menggigil akibat demam aneh yang menyerangku sejak 3 Maret, yakni hari di mana aku merasa sangat terpukul. Di desaku, bebe - rapa demonstran telah berkemah di depan rumah - ku jalan masuknya disesaki kerumunan orang, begitu pula pekarangannya. Pihak-pihak yang ber - tanggungjawab atas keramaian itu mengatakan kepadaku bahwa akan terjadi demonstrasi lagi di Muzzaffargarh pada 16 Maret, kali ini untuk menentang undang-undang hudud. Namun, aku tidak tahu akan berada di mana diriku pada tanggal tersebut. Kaum Mastoi akan kembali lagi ke rumahnya karena telah dibebaskan tapi tidak demikian halnya dengan aku!
Dan, aku kembali lagi ke Multan menuju kantor pengacaraku untuk mengambil salinan keputusan peng adilan yang baru saja didapatkan oleh
pengacara ku. Harus menempuh tiga jam perjalanan lagi. Aku merasa sakit & kepalaku terasa berat seperti batu, kakiku tertatih-tatih, seluruh tubuhku terasa lelah karena perjuangan yang tak pernah berakhir. Naseem harus meminta sopir berhenti supaya dia dapat mencarikan obat untuk mem - buatku merasa lebih baik sementara waktu.
Baru saja aku hendak memasuki kantor pengacara ku, ketika telepon selularku tiba-tiba berdering. Telepon dari saudara laki-lakiku, Shakur, yang berteriak dengan histeris.
Pulanglah ke rumah, cepat! Polisi melarang kami keluar! Kaum Mastoi telah keluar dari penjara sejam yang lalu. Mereka akan segera tiba di sini dan polisi telah mengepung tempat ini! Kau harus cepat kembali ke sini, Mukhtar!
Kali ini, sepertinya aku telah kalah bertanding. Aku berharap otoritas yudisial akan campur tangan, berharap agar pengacaraku masih punya waktu untuk mengajukan banding atas keputusan ini. Aku berharap sesuatu, apa pun bentuknya, akan terjadi. Tapi aku sangat berharap agar, setidaknya, mereka tetap berada di penjara atas desakan dari berbagai media massa, lembaga swadaya masya rakat, dan politisi. Aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin.
Dalam perjalanan pulang pada tengah malam, aku merasa tiba-tiba aku tahu bahwa kami berada
tidak jauh dari mobil van polisi yang sedang membawa para penyerangku kembali ke ladang mereka. Mereka pasti berada di depan kami.& Aku memandangi lampu belakang kendaraan-kendaraan yang ada di depan kami dan merasa kesal setelah mengetahui bahwa kami terjebak di belakang mereka!
Kami baru tiba di rumah pada jam sebelas malam. Di sekitar rumahku ada se kitar sepuluh mobil polisi. Dan di seberang sana, dalam kegelapan yang pekat, aku masih bisa melihat aktivitas serupa yang terjadi di sekitar rumah utama kaum Mastoi. Mereka benar-benar berada di sana! Polisi ingin meyakinkan bahwa kelima laki-laki tersebut tidak akan melarikan diri, karena proses naik ban ding atas keputusan terbaru sedang berlangsung. Lebih dari itu, polisi ingin mencegah terjadinya keributan, dan melarang masuk para wartawan atau demonstran mana pun. Saat ini, ada beberapa pen jaga di pintu masuk ke desa itu, yang sekaligus menjadi pintu keluarnya, karena tidak ada jalan alternatif lainnya.
Mereka tidak dapat meninggalkan rumah untuk saat ini, Naseem mencoba menenangkanku. Cepat, ganti pakaianmu, kita segera pergi lagi!
Kami telah membuat keputusan yang tidak masuk akal untuk kembali pergi ke Multan. Pengacaraku telah menyarankan kami untuk langsung meminta bantuan kepada Presiden Musharraf, dan terlebih dahulu memintanya agar mau campur
tangan dalam menjaga keselamatanku dan keselamatan keluargaku. Tapi aku ingin lebih dari itu. Jauh lebih banyak dari itu. Aku ingin agar mereka semua kembali ke penjara. Aku ingin agar Mahkamah Agung mau memeriksa ulang dokumen.& Aku menginginkan keadilan! Meskipun nyawaku men - jadi taruhannya. Aku tidak takut lagi pada apa pun. Amarahku merupakan senjata yang hebat, dan aku marah pada sistem ini yang ingin memaksaku untuk hidup dalam rasa takut, di desaku sendiri yang terletak tidak jauh dari tempat para lelaki yang telah memerkosaku dan berhasil lolos dari perbuatan mereka tersebut. Kejadiannya telah lama berlalu ketika aku dengan berat hati melangkah dalam diam menuju tempat itu untuk memohon pengampunan atas nama keluargaku, demi kehormatan mereka.
Merekalah yang telah mencemarkan kehormatan negaraku.
Setelah perjalanan tiga jam menuju Multan, dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan menggunakan bus selama sembilan jam menuju Islamabad, kami akhirnya dapat tiba di ibukota negara pada saat fajar tanggal 17 Maret. Dan di belakang kami turut hadir para militan dan wartawan yang datang dari berbagai belahan dunia. Aku minta dipertemu - kan dengan Menteri Dalam Negeri agar dia dapat secara resmi memberiku jaminan atas dua hal. Pertama, keselamatanku; dan kedua, agar kaum
Mastoi tersebut dilarang meninggalkan rumah mereka, karena aku sedang mengajukan naik banding. Jika para lelaki itu berhasil meninggalkan teritori mereka, aku tidak akan pernah bisa memenangkan kasusku, dan aku tahu apa yang mereka mampu lakukan. Misalnya, mereka mampu menyatukan suku mereka, dan masuk ke dalam zona adat di mana tidak ada seorang pun yang akan dapat me - ngenali mereka lagi. Dan menyewa seorang sepupu, kaki tangan, untuk membunuhku. Aku membayangkan semua cara yang dapat mereka lakukan untuk balas dendam: kebakaran, asam, penculikan. Meluluh lantakkan rumah dan sekolah.
Ketika Menteri Dalam Negeri menerima kami dan mencoba menenangkanku, aku merasa tenang dan yakin, meskipun sangat lelah.
Kami seudah mengingatkan polisi perbatasan untuk tetap waspada. Mereka tidak akan bisa lolos. Kamu harus mengerti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menghindari keputusan pengadilan di Lahore dengan sedemikian mudahnya.
Tapi anda harus melakukan sesuatu hidupku dalam bahaya!
Ada prosedur khusus: dalam kapasitasku sebagai Menteri Dalam Negeri, aku dapat mengeluarkan surat penangkapan baru, dengan mempertimbang - kan kenyataan bahwa para lelaki ini dapat meng - ancam keselamatan publik. Itu satu-satunya cara
agar mereka dapat dikembalikan ke penjara untuk sementara waktu. Tapi pihak pemerintah baru bisa menggunakan cara ini dalam jangka waktu tujuh puluh dua jam setelah masa pembebasan mereka. Begitulah aturannya.
Tujuh puluh dua jam. Tiga hari.& Mereka tiba di rumah pada malam hari tanggal lima belas, dan saat ini sudah tiba waktu pagi tanggal delapan belas. Berapa jam lagi yang tersisa"
Bapak Menteri, aku tidak terlalu memahami undang-undang ataupun peraturan, tapi undangundang dan peraturan tidaklah penting. Mereka berhasil bebas dan aku dalam bahaya Anda harus melakukan sesuatu!
Aku akan mengurusnya. Perdana Menteri sudah dihubungi, dan beliau akan menerimamu esok hari.
K AMI terus-menerus melakukan perjalanan sejak tiga malam yang lalu, dan aku hanya merasakan tidur selama dua atau tiga jam. Namun, aku harus melakukan konferensi pers begitu aku keluar dari kantor Menteri Dalam Negeri. Aku dan Naseem tidak lagi bisa membedakan antara siang dan malam, dan aku tak ingat kapan terakhir kali kami makan.
Pada pukul sebelas tepat keesokan harinya, sampailah kami di kantor Perdana Menteri. Kami melihat jam lebih dari sepuluh kali. Jika perhitungan kami tepat, jangka waktu tujuh puluh dua jam telah
berakhir sejam yang lalu.
Perdana Menteri juga mencoba menenang kan kami.
Kami telah mengurusnya. Aku yakin mereka dapat ditangkap sebelum jangka waktu tujuh puluh dua jam berakhir. Percayalah padaku!
Tidak. Secara pribadi aku menginginkan sebuah jawaban pasti dari Anda. Aku akan mendapatkan ke pastian bahwa mereka telah berada di penjara, atau aku tidak akan meninggalkan kantormu.
Naseem menerjemahkan kata-kataku ke dalam ba - hasa urdu, dengan nada tegas yang sama de ngan ku.
Siapa yang pernah menduga jika aku akan ber - bicara seperti itu kepada Perdana Menteri negaraku sendiri" Aku, Mukhtaran Bibi dari Meerwala, se - orang perempuan petani miskin yang pendiam dan lugu, yang saat ini dipanggil dengan sebutan Mai yang berarti kakak perempuan yang dihormati betapa aku telah berubah! Aku berada di sini, duduk dengan sikap hormat tapi keras kepala di kursi yang sangat indah di hadapan seorang Perdana Menteri. Hanya angkatan bersenjata saja yang dapat menge - luarkanku dari sini sebelum aku menerima konfirmasi bahwa orang-orang kejam itu telah dikirim kembali ke penjara. Dan aku ingin memasti kan kapan hal itu terjadi. Jika memang begitu ke - nyataannya! Karena, setelah kejadian pada tanggal 3 Maret, aku tidak lagi percaya kepada siapa pun.
Perdana Menteri kemudian mengangkat teleponnya dan menghubungi Kepala Kepolisian Wilayah Muzzaffargarh, yang jaraknya lebih dari tiga ratus mil dari ibukota. Aku mendengarkan dengan seksama sewaktu Naseem menerjemahkan ucapannya.
Dia berkata bahwa perintah sudah diberikan. Polisi sudah menerima surat penangkapan yang baru; seorang polisi pengawal telah dikirim untuk menangkap mereka di desanya. Pada pukul sepuluh tepat, pasukan penyergap berhasil menangkap mereka. Dan saat ini kepala kepolisian wilayah sedang menunggu kedatangan mereka. Mereka akan segera tiba di hadapannya.
Benarkah demikian" Tapi, Kepala Kepolisian Wilayah belum melihat mereka! Mereka masih di dalam perjalanan menuju kantornya!
Dia selalu menepati janjinya, Mukhtar. Mereka semua sudah dibawa ke penjara. Keempat orang yang dibebaskan dan delapan orang lainnya yang belum sempat dipenjara.
Setelah meninggalkan kantor Perdana Menteri, aku menghubungi Kepala Kepolisian Wilayah untuk mengetahui kebenarannya. Tapi ternyata dia sedang berada di wilayah bagian tetangga bersama para koleganya: Presiden sedang mengunjungi wilayah tersebut, dan semua orang bertugas. Setidaknya kun jungan tersebut tidak ada kaitannya dengan - ku.&
Lalu, aku mencoba menelepon Shakur yang ber - ada di rumah, tapi aku tidak berhasil meng hubungi - nya: kami sedang mengalami musim hujan, dan tidak mungkin berbicara dengan saudara laki-lakiku. Akhirnya, aku berhasil menghubungi sepupuku yang memiliki sebuah toko.
Ya, itu benar! Kami melihat polisi sore tadi. Mereka tiba tidak lama setelah salat Jumat selesai, untuk menangkap keempat orang itu dan juga delapan orang lainnya. Dan mereka sudah membawanya pergi. Oh, mereka sangat marah! Seluruh penduduk mengetahuinya.
Aku harap begitu. Kali ini akulah yang berhasil membuat mereka tertangkap.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, lalu Naseem menjelaskan beberapa prosedur hukum.
Pemerintah Provinsi Punjab telah mengembalikan para lelaki tersebut ke penjara melalui sebuah keputusan khusus, tapi hanya untuk sembilan puluh hari. gubernur Punjab dapat menangkap siapa saja yang dikehendakinya hanya dengan mengeluarkan sebuah perintah, jika dia telah memutuskan bahwa orang tersebut dapat menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat umum. untuk saat ini, pengadilan akan mempertimbangkan permohonan naik ban dingmu.
K AMI kembali ke rumah pada tanggal 20 Maret, dan berbagai ancaman mulai muncul lagi. Para sepupu
kaum Mastoi menebarkan ancaman bahwa mereka akan membuat perhitungan dengan kami, karena kamilah penyebab para lelaki tersebut kembali di - tahan. Sekarang mereka juga marah kepada Naseem, yang menurut mereka tanpa kehadirannya, aku tidak akan mampu melakukan apa pun. Dan itu memang benar. Kami berteman, dan kami saling menceritakan semuanya. Kami telah menghadapi banyak hal bersama-sama, berbagi perasaan takut, marah, dan senang. Kami telah menangis dan berjuang bersamasama. Perasaan takut akan selalu ada, menunggu kami, tapi kami akan menghadapinya dengan keberanian yang kami miliki. Pada saat konferensi pers tanggal 16 Maret, beberapa wartawan me - nanyakanku apakah aku berniat untuk meninggal - kan Pakistan dan mencari perlindungan di negara lain. Aku menjawab bahwa aku tidak berniat melakukannya dan bahwa aku berharap dapat memperoleh keadilan di sini, di tanah kelahiranku sendiri. Dan aku juga menegaskan bahwa sekolahku berjalan sukses, dengan memiliki 200 siswi dan 150 siswa.
Pernyataan tersebut memang benar adanya pada tanggal 16 Maret, tapi setelah tanggal 20 Maret keadaan menjadi agak sedikit berbeda. Karena me - rasa kembali terancam setelah kehilangan pemimpin kelompok, saudara laki-laki, dan teman mereka, kaum Mastoi tampaknya berusaha menyebarkan kemarahan dan serangan mereka pada jarak sekitar
beberapa mil. Namun, polisi membentuk palang perlindungan di sekelilingku. Dan meskipun hal itu dapat membatasi ruang gerakku, aku sudah terbiasa dengannya.
Pada tanggal 11 Juni, aku diberitahu bahwa demi keselamatanku aku dilarang bepergian. Aku telah diundang oleh Amnesti Internasional untuk ber - kunjung ke Kanada dan Amerika Serikat. Tapi begitu aku pergi ke Islamabad untuk mengurus beberapa formalitas, aku diberitahu bahwa aku tidak dapat memperoleh visa, karena aku tidak diizinkan me - ninggalkan wilayah perbatasan.
Lalu pasporku diambil. Karena aksesku ditolak, pengacaraku dengan marah mengumumkan kepada pers bahwa aku disandera di suatu tempat di Islamabad. Dan karena aku kliennya maka dia harus berbicara kepadaku. Pihak otoritas wilayah tersebut memberitahunya bahwa sebagai tindakan pencegah - an untuk menjaga keselamatanku, aku harus menjalani semacam tahanan rumah. Presiden sendiri tampaknya merasa bahwa kami harus menghindari untuk memperburuk citra bangsa di luar negeri . Larangan bepergian ini memunculkan keributan baru di kalangan para pembela hak-hak asasi manusia dan pers internasional.
Pada saat perdebatan di Dewan Legislatif Amerika, salah seorang senator seorang perempuan bahkan menyatakan bahwa aku telah menjadi
seorang perempuan Barat , yang seharusnya menunjukkan sikap lebih rendah hati dan waspada , dengan cara tidak bepergian ke luar negeri dan sebaiknya menunggu keadilan Tuhan saja. Para politisi tertentu secara terbuka menyesalkan tindak - an para lembaga swadaya masyarakat yang telah meminta dukungan internasional. Pendek kata, aku memiliki kepentingan, seperti kata mereka, untuk tidak menyebarkan kisahku kepada dunia dan menyelesaikan semuanya di sini, di negara asalku.
Karena aku dianggap tidak menghormati undangundang Republik Islam Pakistan, beberapa kelompok garis keras tertentu ingin memaksaku untuk diam. Namun, terlalu banyak yang mendukungku, baik di negara asalku maupun di luar negeri.
P ERJALANAN yang sangat panjang sulit.& Dan kemudian pada tanggal 15 Juni, aku diberitahu bahwa Perdana Menteri telah menginstruksikan agar nama - ku dihapus dari daftar orang-orang yang dilarang meninggalkan wilayah perbatasan.
Pada tanggal 28 Juni, aku bisa tersenyum. Setelah dua hari mendengarkan kesaksian, akhirnya Mahkamah Agung Islamabad menyetujui untuk mem buka kembali kasusku. Pengacaraku, yang telah mewanti-wantiku agar tidak berbicara kepada wartawan setelah aku dicekal untuk meninggalkan wilayah perbatasan, juga dapat tersenyum sekarang.
Sekarang kau boleh menceritakan apa pun yang kau mau kepada mereka. Tidak ada lagi larangan dariku.
Dia telah memberitahu wartawan bahwa selama Mahkamah Agung belum memutuskan untuk me - ninjau ulang keputusan pengadilan yang lebih rendah, dukungan dari pers bisa jadi malah mempersulit perkaraku, karena independensi Mahkamah Agung tidak seharusnya dipertanyakan. Sewaktu aku keluar setelah mendengarkan kesaksian terakhir, aku langsung dibombardir dengan berbagai pertanyaan. Dengan segenap perasaan haru, aku ingin memeluk semua perempuan yang telah turut membantu perjuanganku.
Aku sangat gembira, aku merasakan kepuasan yang sesungguhnya. Aku berharap agar mereka yang telah mempermalukanku akan mendapat hu - kuman setimpal. Aku akan sangat menantikan ke - putusan Mahkamah Agung, yang akan memberikan keadilan di muka bumi ini.
Dan keadilan Tuhan akan datang pada saatnya nanti.
Pengacaraku memberikan konfirmasi kepada para wartawan bahwa kedelapan orang yang telah dibebaskan, termasuk para anggota dewan desa yang telah merencanakan pemerkosaan, sekarang telah berada di penjara.
Ini bukan hanya kasus pemerkosaan biasa, tapi
murni merupakan aksi terorisme. Aksi itu dilakukan untuk menyebarkan teror ke seluruh komunitas desa. Keputusan untuk mengadili kembali para lelaki ini pada pengadilan tertinggi negara kita, yang dengan demikian berarti seluruh bukti akan diuji ulang, merupakan perkembangan yang sangat menggembirakan.
A Ku merasa lega. Aku dapat kembali ke desaku, keluargaku, dan murid-muridku. Pengawasan polisi masih tetap berlangsung untuk beberapa waktu ke depan dan sangat kentara ketika aku setuju untuk melakukan wawancara dengan para wartawan asing. Kemudian tekanan itu berangsur-angsur mulai berkurang, dan pengawasan tersebut akhirnya di - batasi pada seorang polisi bersenjata yang menjaga pintuku. Tapi, begitu ada seorang wartawan asing muncul di depan pintu, keamanan ku akan langsung menampakkan diri.
Masih ada sejumlah kecil kritikan pedas di sanasini dari pers lokal, dan itu tidak hanya ditujukan pada perkara-perkara kecil. Salah satunya yang paling mengejutkan ialah sebuah artikel tentang permohonanku agar dapat bepergian ke luar negeri, yang menimbulkan banyak kontroversi. Pada prinsip nya, aku masih tetap diundang untuk datang ke Kanada dan Amerika Serikat, tapi aku telah meng umumkan untuk menunda kedua kunjungan
ter sebut agar dapat mengurangi berbagai kecurigaan yang mungkin dimiliki oleh sebagian orang. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, aku tidak berhasil mendapatkan visa. untuk mencegah agar aku tidak memperburuk citra Pakistan di luar negeri! Dan masih ada lagi, orang-orang yang berkedudukan tinggi , seperti ungkapan Naseem, telah menyatakan bahwa yang harus dilakukan oleh seorang perempuan untuk menjadi jutawan dan mendapatkan visa ialah & dengan membuat dirinya diperkosa. Per - nyata an itu mengesankan seakan-akan para perempuan Pakistan harus melewati formalitas tersebut untuk kabur ke luar negeri! Aku sangat menyesalkan munculnya kesan tidak senonoh itu. Sekali lagi, pers nasional dan internasional memprotes per nyataan tersebut. Lagi pula, nampaknya pernyataan yang dipermasalahkan tersebut mungkin telah di - salahartikan oleh para wartawan, dan pernyataan itu tidak bermaksud demikian. Aku harap begitu.
A Ku telah berjuang untuk diriku dan seluruh perempuan yang menjadi korban tindakan kekeras an di negaraku. Aku tidak berniat meninggalkan kampung halamanku, rumahku, dan sekolahku. Aku juga tidak memiliki hasrat untuk mencoreng nama baik Pakistan di luar negeri. Bahkan sebaliknya, dengan mempertahankan hak yang aku miliki sebagai manusia, dengan berjuang melawan prinsip keadilan adat
yang bertentangan dengan undang-undang resmi republik Islam kami, aku yakin bahwa aku turut men dukung harapan-harapan politis negaraku. Tidak ada seorang lelaki pun yang layak disebut sebagai laki-laki Pakistan, jika dia turut mendukung dewan desa untuk menyelesaikan sebuah per - masalah an kehormatan dengan cara menghukum seorang perempuan.
Selain menjadi diriku sendiri, aku juga telah menjadi sebuah simbol bagi seluruh perempuan yang meng alami tindakan kekerasan oleh para ayah sebagai kepala keluarga dan para kepala suku. Dan jika citra yang melekat pada diriku ini tersebar melewati perbatasan negara kami, hal itu akan memberikan nilai lebih pada negaraku. Karena itulah kehormatan sejati tanah kelahiranku: memberikan kesempatan kepada perempuan, baik yang berpendidikan maupun yang buta huruf, untuk menyuarakan protes demi menentang ketidakadilan yang di - alaminya.
Karena pertanyaan sesungguhnya bagi negaraku sendiri ialah, jika kehormatan laki-laki terletak pada perempuan, lalu mengapa laki-laki ingin memerkosa atau bahkan membunuh kehormatan itu"
a ir M aTa k ausar T IDAK ADA SATu HARI YANg BERLALu TANPA KEDATANg - an para perempuan yang sedang terguncang ke tempatku untuk meminta pertolongan dariku dan Naseem. Suatu hari seorang wartawan, seorang perempuan Pakistan, bertanya kepadaku mengenai cara aku menangani semacam popularitas yang kumiliki di tanah kelahiranku.
Sebagian perempuan, aku katakan kepadanya, telah menceritakan kepadaku dengan terus terang bahwa jika suami-suami mereka mengancam akan memukul, mereka tidak akan segan-segan membalas ancaman mereka: Awas aku akan pergi mengadu kepada Mukhtar Mai!
Itu hanya sebuah gurauan. Pada kehidupan nyata, kami selalu berurusan dengan tragedi.
H ARI ini, pada suatu hari di bulan Oktober, sewaktu Naseem sedang membantuku menyelesaikan kisah - ku, dua orang perempuan tiba-tiba datang di sela-
sela kegiatanku itu. Mereka datang menempuh jarak bermil-mil untuk menemuiku: seorang ibu dengan anak perempuannya Kausar, seorang istri berusia sekitar dua puluh tahun. Kausar menggendong anak pertama - nya di kedua lengannya, seorang gadis kecil yang mungkin berusia dua setengah tahun. Dia bercerita kepada kami bahwa dalam waktu dekat dia akan melahirkan anak keduanya. Kedua matanya memancarkan rasa takut, dan air matanya mengalir deras di wajah cantiknya, yang terlihat pucat pasi karena kelelahan.
Suamiku bertengkar dengan seorang tetangga, yang dulu sangat sering datang mengunjungi rumah kami untuk sekadar menumpang makan atau tidur. Suamiku menjelaskan kepadanya bahwa kami tidak selalu bisa menerimanya seperti itu. Suatu hari, sewaktu aku sedang menyiapkan chapati, empat laki-laki mendadak masuk secara paksa ke dalam rumah kami! Salah seorang di antaranya menempelkan senjatanya di dahi suamiku, satu orang lainnya mengarahkan senjata ke arah dadaku, dan kedua orang sisanya menutupi wajahku dengan kain lap aku tidak dapat melihat apa-apa. Aku dapat mendengar teriakan suamiku sewaktu mereka me - nyeretku di tanah, dan aku mengkhawatirkan anak yang sedang aku kandung. Mereka mendorongku masuk ke dalam sebuah mobil, yang kemudian me -
nempuh perjalanan untuk waktu lama. Ketika aku mendengar suara padatnya lalu lintas, aku me - nyadari bahwa mereka membawaku ke sebuah kota. Setelah sampai, mereka mengunciku di dalam sebuah ruangan. Selama dua bulan aku berada dalam ruangan itu, mereka memerkosaku setiap hari. Aku tidak bisa kabur. Ruangan itu kecil, tidak memiliki jendela, dan pintunya selalu dijaga oleh bebe rapa orang. Aku ditahan di ruangan ter sebut sejak bulan April hingga Juni. Aku sering memikirkan suami dan anakku, merasa takut kalau mereka ternyata telah mati di desa. Aku hampir gila dan lebih memilih untuk melakukan bunuh diri. Sayangnya, tak ada satu pun benda di ruangan itu yang dapat ku - gunakan untuk bunuh diri. Mereka memaksaku makan dan minum layaknya seekor anjing. Mereka memanfaatkanku secara bergantian.
Lalu pada suatu hari, mereka kembali me - nyeretku masuk ke dalam sebuah mobil, dengan kain lap menutupi wajahku, dan kembali melakukan perjalanan sejauh beberapa mil untuk keluar dari kota itu. Selanjutnya mereka melemparku keluar dari mobil ke jalanan, bergegas melarikan mobilnya de - ngan cepat dan meninggalkanku di sana sendirian. Aku bahkan tidak tahu aku berada di mana!
Aku berjalan dan terus berjalan sampai akhirnya berhasil kembali ke desaku, yang berada di wilayah Muhammadpur. Perlahan, aku mulai menyadari
bahwa kota tempat aku dibawa ke sana pada saat itu pastilah Karachi, yang letaknya jauh ke arah selatan. Sesampainya di rumah, aku melihat bahwa suamiku masih hidup, kedua orangtuaku telah mengurus gadis kecilku, dan mereka telah mengirimkan surat pengaduan ke pihak kepolisian wilayah. Aku sendiri kemudian pergi ke kantor polisi untuk menceritakan kejadian yang menimpaku. Aku menceritakan ciriciri wajah mereka, aku dapat mengenali keempat laki-laki tersebut, dan suamiku tahu bahwa tetangga - nya itu telah memusuhinya dan melampiaskan dendamnya kepadaku. Polisi mendengarkan cerita - ku, kemudian memintaku membubuhkan cap jempol di atas selembar laporan. Karena aku tidak bisa membaca dan menulis, dia berkata bahwa dia akan menuliskan laporannya untukku.
Namun, ketika hakim memintaku datang dan aku menceritakan kepadanya semua kejadian yang menimpaku, dia berujar, Cerita yang kau sampaikan kepadaku berbeda dengan cerita yang kau sampai - kan kepada polisi! Apakah kau berbohong"
Hakim itu memintaku datang sebanyak dua belas kali, dan setiap kali aku datang aku harus kembali mengulang ucapanku bahwa aku sama sekali tidak tahu apa yang telah ditulis polisi itu, dan apa yang kusampaikan itulah yang benar. Hakim itu memerintahkan agar keempat laki-laki tersebut di - hadirkan untuk dimintai keterangan. Mereka me -
ngatakan bahwa aku telah berbohong. Mereka datang untuk mengancam ibu dan ayahku, sambil menegaskan bahwa mereka tidak bersalah, dan memaksa ayahku untuk mengatakan hal itu kepada hakim. Karena ayahku menolak menuruti perintahnya, mereka memukul ayahku dan mematahkan hidungnya.
Akhirnya, hakim itu memenjarakan salah se - orang dari keempat laki-laki tersebut dan mem - bebas kan ketiga orang lainnya. Kami sangat takut kepada mereka! Aku tidak mengerti mengapa hanya satu orang yang ditahan, padahal bukan hanya dia yang telah memerkosaku. Para lelaki tersebut telah menghancurkan hidupku dan keluargaku! Aku sedang hamil dua bulan ketika mereka me - merkosaku, suamiku pasti mengetahui hal ini. Tapi di desa, orang-orang mulai membicarakan tentang aku. Dan para lelaki jahat tersebut bebas! Mereka dari suku Baluch. Mereka lebih kuat dari kami dan sa ngat membenci keluargaku, padahal kami tidak pernah menyakiti siapa pun! Suamiku adalah sepupuku, kami telah dijodohkan sejak kecil, dan dia seorang lelaki jujur. Namun, ketika pertama kali dia pergi melapor ke polisi, tidak ada seorang pun yang mendengarkannya.&
K AuSAR tersedu, tak bisa berhenti terisak. Aku membujuknya untuk minum air putih dan makan se -
suatu. Tapi itu sangat sulit baginya. Terlalu banyak penderitaan yang terpancar dari matanya, dan terlalu banyak kepasrahan memilukan yang terpancar dari mata ibunya.& Naseem akan menjelaskan proses hukum kepada mereka, dan memberitahu mereka mengenai asosiasi mana saja yang dapat mereka tuju untuk meminta bantuan seorang pengacara. Kami memberikan mereka sedikit uang agar dapat kembali pulang ke desanya, namun aku tahu bahwa perjalanan yang harus ditempuh di hadapannya masih panjang. Jika dia berani melawan balik, dia dan keluarganya akan berada di bawah ancaman tiada henti sampai dia mendapatkan keadilan. Jika dia berani melakukannya, keluarganya tidak dapat pergi ke tempat lain rumah mereka, kehidupan mereka ber - ada di desa itu. Dia akan melahirkan anak yang sedang dikandungnya, dan tragedi itu akan terus menghantuinya sampai akhir hayat. Dia tidak akan bisa lupa, seperti yang aku alami hingga saat ini.
Hukum mensyaratkan agar polisi menyusun sebuah laporan investigasi awal. Dan hal yang sama selalu terjadi: polisi menyuruh perempuan, Tanda tangani saja dengan cap jempolmu, kami akan me - nuliskan laporannya untukmu. Dan begitu laporan tersebut telah sampai ke tangan hakim, para pelaku kejahatan selalu dipandang tidak bersalah, sedang - kan perempuan dianggap telah berbohong. Seorang laki-laki ingin menghukum laki-laki
lainnya dalam sebuah pertengkaran yang terjadi di desa, karenanya dia merencanakan penculikan bersenjata yang diikuti dengan pemerkosaan massal terhadap seorang istri sekaligus ibu berusia muda tak berdosa, yang sedang mengandung anak kedua - nya. Laki-laki itu telah yakin sejak awal bahwa dia akan dibebaskan, dan seandainya pun dia harus masuk penjara hal itu tidak akan berlangsung lama. Cepat atau lambat dia akan dibebaskan kembali saat naik banding, dengan alasan kurangnya bukti yang memadai . Dan orang-orang mungkin akan berkata bahwa perempuan malang itu memang menyetujui perbuatan tersebut, bahwa dia telah melacurkan dirinya sendiri! Reputasinya, kehormatannya, dan kehormatan keluarganya akan rusak selamanya. Dan dalam beberapa kasus yang paling buruk, perempuan berisiko terkena hukuman atas tindakan per - zinaan dan pelacuran, sesuai dengan undangundang hudud. untuk bisa lolos dari hukuman keji tersebut si terdakwa harus mau mengakui dosanya di hadapan hakim, atau si penggugatlah yang harus menyediakan empat orang tepercaya, yang menjadi saksi mata atas dosa tersebut.
Karena dilindungi sedemikian rupa oleh sistem, para pelaku kejahatan dapat melakukan apa pun sesuka hatinya.
M ASIH ada seorang perempuan lain yang sedang
menungguku, setengah bagian wajahnya tertutup kerudung yang sudah kumal. Meski sangat letih karena melakukan pekerjaan rumah tangga tapi dia tidak terlihat tua. Namun, sulit baginya untuk bicara. Dia lalu memperlihatkan wajahnya kepadaku, de - ngan sikap hati-hati dan perasaan malu. Lalu aku mengerti. Asam telah merusak sebagian wajahnya. Bahkan, dia tidak bisa lagi menangis. Siapa yang telah melakukan ini" Suaminya. Mengapa" Suami - nya sering memukulinya karena dia tidak cukup cepat melayani sang suami seperti yang diinginkan. Lalu, setelah suaminya merusak wajah itu untuk se - umur hidup, dia tidak lagi menghargai nya. Kami tidak dapat berbuat banyak untuknya hanya memberi sedikit simpati dan sejumlah uang supaya dia dapat meninggalkan suaminya dan kembali kepada keluarganya, jika dia bisa.
T ERKADANg , besarnya suatu masalah dapat meluluh lantakkanku. Seringkali, saking marahnya, aku hampir tidak bisa bernafas. Tapi aku tidak pernah putus asa. Hidupku memiliki arti. Nasib buruk yang me - nimpaku dapat menjadi hikmah bagi masyarakat.
Mendidik gadis-gadis kecil masih lebih mudah dibanding mendidik anak laki-laki yang dilahirkan ke dunia berisi orang-orang kejam dan mereka belajar dari tingkah laku orang-orang tersebut, sehingga mendidik mereka menghadirkan sebuah tantangan
yang jauh lebih sulit. Keadilan yang telah diberikan kepada perempuan harus dijadikan pelajaran bagi mereka pada setiap generasinya, karena penderitaan dan air mata tidak mengajarkan apa pun kepada mereka.
Aku masih menantikan keputusan pasti dari Mahkamah Agung. Aku percaya pada keadilannya di atas bumi ini seperti aku percaya kepada Tuhan atas hari pengadilan-Nya nanti. Karena seandainya di sini aku tidak memperoleh keadilan, jika yang tersisa di desa ini hanyalah memaksaku untuk tetap menjalani perang tiada akhir yang bahkan suatu saat nanti akan merenggut nyawaku, orang-orang yang bersalah itu tetap akan mendapatkan siksaan Tuhan.
Bulan Oktober berakhir, bersama dengan luka dan kegundahan yang dibawanya, tapi fajar hari esok akan membuka penderitaan-penderitaan lainnya. Bumi telah mengguncang seluruh bagian utara negara ini. Ribuan orang meninggal dan terluka, ribuan orang kehilangan tempat tinggal, ribuan anak-anak yang kelaparan menyusuri puing-puing yang tersisa dari kehidupannya. Wilayah provinsiku, Punjab, terhindar dari bencana alam itu. Aku berdoa untuk semua yang tertimpa musibah, semua anak yang terbaring kaku di sekolah-sekolah mereka yang telah hancur.
Hanya mendoakan mereka tidaklah cukup. Pakistan membutuhkan bantuan internasional. Kali
ini, aku diizinkan pergi ke luar negeri, ber sama dengan Dr. Amna Buttar, presiden Asia America Network, sebuah organisasi yang me nentang tindak - an kekerasan terhadap perempuan. Sebuah majalah baru saja menganugerahiku gelar Perempuan Tahun Ini . Tentu saja aku tersanjung, tapi itu bukan alasan utama perjalananku.
Aku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta bantuan, bukan hanya untuk kaum perempuan tapi juga untuk para korban bencana dalam masa-masa sulit seperti ini. Hatiku sangat terluka menyaksikan para perempuan dan anak-anak yang hidupnya telah dihancurkan, menyaksikan mereka yang berhasil selamat dan membutuhkan bantuan untuk tetap bisa bertahan hidup.
Karena itu, aku terbang menuju New York, dan selanjutnya berbicara kepada Kongres Amerika di Washington. Aku memohon bantuan atas kedua masalah tersebut dan meminta bantuan dana sebesar lima puluh juta dollar di samping bantuan pe - nanganan gempa bumi terbesar yang pernah me - landa negaraku selama bertahun-tahun.
Bantuan internasional terlambat datang. Citra yang dimiliki negaraku, sayangnya, tidak berhasil mendatangkan banyak bantuan asing. Seperti biasa, para wartawan mengikutiku, dan sebagian pertanyaan mereka berkenaan dengan kemungkinan pengasinganku. Aku mempunyai jawaban sederhana
atas pertanyaan-pertanyaan sejenis itu ketika aku bepergian.
Kunjunganku ke luar negeri akan berlangsung singkat, dan aku akan kembali ke negaraku dan desa ku sesegera mungkin.
Memang benar bahwa aku dianugerahi gelar Perempuan Tahun Ini oleh sebuah majalah Amerika yang sebelumnya pernah menganugerahi gelar serupa kepada beberapa orang terkenal lainnya. Dan aku merasa senang sekaligus terharu atas penghargaan ini. Tapi aku dilahirkan sebagai orang Pakistan, dan aku akan tetap menjadi orang Pakistan. Dan aku bepergian sebagai seorang perempuan Pakistan militan, yang bertujuan untuk turut membantu mencari bantuan untuk negara tercintaku yang terkena musibah bencana alam.
A NDAI saja, melalui takdirku yang tidak dapat diduga, dengan cara ini aku dapat menghasilkan bantuan untuk negaraku dan pemerintahnya, hal itu akan merupakan kehormatan besar bagi kami. Semoga Tuhan melindungi misiku.
Mukhtar Mai November, 2005
u caPan T eriMa k asih A Ku INgIN MENYAMPAIKAN uCAPAN TERIMA KASIHKu kepada:
Sahabatku Naseem Akhtar, atas dukungannya yang setia;
Mustapha Baloch dan Saif Khan, yang bersedia menjadi penerjemahku selama penulisan buku ini;
CIDA, the Canadian International Development Agency;
Amnesty International; The International Association of Human Rights; Dr. Amna Buttar, Presiden ANAA, the Asian- American Network Against Abuse of Human Rights;
Dan semua pihak donor, baik yang bersifat kenegaraan maupun perorangan, yang telah mendanai pembangunan Sekolah Mukhtar Mai (Mukhtar Mai School) dan perluasannya.
Terakhir, aku mengucapkan terima kasih secara khusus kepada para murid kecilku, perempuan dan laki-laki, yang kerja kerasnya di sekolah menginspi-
rasikanku sebuah harapan agar di desaku aku dapat menyaksikan tumbuhnya generasi yang berpen - didik an lebih baik, yang terbebas dari prasangka buruk, sehingga laki-laki dan perempuan dapat hi - dup berdampingan dengan damai.
Pendekar Naga Mas 7 Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala Konspirasi Langit 5
^