Pencarian

Lagu Berputar 2

The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi Bagian 2


menggenggam di sekeliling lehernya; kuku kecil biri-biri
betina itu, di depan maupun di belakang, menyepaknya.
Empat tangan yang kuat keluar dan menarik kaki depan
dan kaki belakangnya sehingga menjadi terpisah. Kini
biri-biri betina itu terbaring terlentang, mata hitamnya
yang lebar itu terbuka ketakutan, mencari mata di sekeli"
lingnya untuk mencari mata ibunya. Tidak jauh dari
sana, ibunya berdiri tanpa bergerak, matanya tenang dan
mantap, dengan bulu matanya tidak bergerak, sedangkan
tarha hitam itu tetap diam di atas kepala, bahu, dan
dadanya. Sebuah otot panjang dan ramping yang memben"
tang di sepanjang paha kecil dan kurus itu gemetar"an,
dan getaran itu bergerak ke puncak pahanya. Getaran
itu berhenti di situ, pada sudut yang tumpul, sehingga
kelihatan seperti mulut seorang anak yang terbuka dan
THE CIRCLING SONG terengah-engah, dengan bibir lembut berwarna kemerahan,
dilembabkan oleh air liur tembus cahaya yang rupanya
mirip air mata anak-anak, dengan menyingkapkan
di bawahnya warna darah yang merah itu. Lidah yang
lembut itu mulai gemetaran, seperti lidah seekor burung
kecil yang sedang disembelih.
Ia mengangkat mata hitam yang terkejut itu sekali
lagi untuk mencari mata ibunya di tengah-tengah orang
ramai yang terdapat di sekelilingnya. Ibunya memandang
kepadanya dengan mata yang sangat berbeda, dengan
sebuah pandangan dingin seperti sebuah mata pisau. Ia
mengalihkan penglihatannya ke loteng, menghindari
mata pisau itu, namun pisau itu bahkan menjadi lebih
dekat lagi, sedikit demi sedikit, sampai sebuah gerakan
cepat seperti kilat membelahnya menjadi dua bagian.
Hamida tidak merasakan rasa perih itu. Kedua
matanya tetap kering, dan ia membiarkan dirinya di
lantai kotor itu, berbaring diam di sana tanpa bergerak,
sementara dari bawah pahanya muncul sebuah pita
darah yang panjang, dengan warna merahnya yang
gelap berkilauan di bawah cahaya mentari. Semut-semut
berdatangan entah dari mana untuk mengerubungi pita
darah itu, yang melengkung dan mati seperti punggung
seekor ular yang telah mati. Ia meniup semut-semut itu agar
NAWAL EL SAADAWI berpencaran, dan bersin-bersin ketika debu itu masuk ke
hidungnya, mengeluarkan air mata yang telah terkumpul
di kerongkongannya. Ia menjulurkan ta"ngannya ke luar,
dan menutupi semut-semut itu dengan kotoran. Kini
karena darah itu telah dikuburkan, bagian lantai yang
tadinya datar itu sedikit menjadi menggembung, seperti
sebuah kuburan. Ia menekankan telapak kakinya ke atas
tempat kuburan yang tersembul itu, sambil menginjakinjak lantai yang tidak rata itu dengan kedua kakinya,
dan me"loncat-loncat di atasnya dengan segala kekuatan
yang dimilikinya. Di tikungan di dinding itu, ia menoleh
ke belakang. Karena mengetahui tidak ada orang di sana,
ia mengangkat gallabiyya dari kedua kakinya. Anggota
badan yang dia kenal itu tidak ada di sana; di tempatnya
ia menemukan sebuah celah kecil, yang tampaknya hanya
seperti luka lama yang telah sembuh.
Kekasaran yang biasa dari suara itu mencapai te"
linganya. "Hami-i-ida."
Dengan tergesa-gesa, ia menurunkan bajunya,
mengangkat kantong air yang penuh itu dan
menumpahkannya ke atas biri-biri betina itu, sambil
membersihkan lehernya dari darah yang telah membeku
itu. Ia menyemprotkan air ke dalam lubang kerongkongan
biri-biri betina itu, dan air semprotan itu keluar dari mulut
100 THE CIRCLING SONG dan hidungnya seperti sebuah air mancur. Anak-anak
yang tujuh orang itu tertawa dengan penuh kegembiraan:
karena hari ini adalah hari raya, biri-biri betina itu telah
disembelih, dan barang pecah-belah, piring dan peralatan
makan telah tersedia di atas meja.
Jam makan telah tiba, dan setiap orang duduk untuk
makan; setiap orang, selain dari ibu itu, yang telah mati
di kamar tidur, dan Hamida, yang masih tetap mengerek
ember air itu, menumpahkan air ke tubuh yang telah
mati itu, sambil memenuhi telapak tangannya yang kecil
dengan shampo dan menyapukannya ke dalam pakaian
yang tebal itu, dengan memasukkan jarinya yang kecil
itu untuk mencuci telinga yang besar itu. Ia mengangkat
alis mata yang tertutup itu dan mencuci matanya, dan
kemudian lubang hidungnya. Ia membersihkan mulut
dan leher, rambut yang hitam di bawah kaki-kaki biri-biri
betina itu, dan di bawah perutnya.
Ia membersihkan paha binatang itu dengan hati-hati
sekali, dari bawah dan dari atas, serta di te"ngah-tengah.
Matanya menjadi lebar karena kaget: ruang di antaranya
itu licin dan tertutup dengan dilak, tanpa memperlihatkan
anggota badan mana pun. Di bagian paling atas ada
sebuah celah panjang yang tampak seperti sebuah luka
lama. 101 NAWAL EL SAADAWI Jari-jarinya yang gemetaran itu bergerak turun ke
kaki-kaki belakang; ia mendorong sepon ke dalam kuku
binatang yang terbelah itu, di mana sisa-sisa tanah masih
tetap bergantungan: tanah yang hitam dan berupa tanah
liat, dilapisi garis-garis kuning se"perti jaringan jerami
yang digunakan dalam sangkar binatang di desa-desa.
Ia mendengar irama suara yang dikenalnya, yang
memerintah dan kasar, yang kali ini datang dari sebelah
luar pintu. "Jangan habiskan waktumu dengan kuku binatang
itu, kita akan memberikannya kepada tukang jagal sebagai
sedekah." Ia mengambil koran pagi dari atas lemari buku dan
membungkus kuku binatang itu dengan koran itu. Di
halaman depan, ia memperhatikan ada sebuah foto.
Sekumpulan wajah yang bundar dan gemuk memenuhi
gambar itu, sedangkan di tengah-tengah ia mengenal
tanda-tanda tuannya. Mereka sedang duduk dalam
sebuah lingkaran. Piring-piring di depan mereka penuh,
membubung tinggi, bak sebuah piramida; pisau-pisau
yang berkilatan tertanam ke bawah secara metodis di
atas piramida-piramida itu, yang berkurang dengan
secara teratur dan de"ngan cepat sekali sampai semuanya
102 THE CIRCLING SONG menghilang dan hanya remah-remahnya saja yang masih
tertinggal di atas piring-piring itu.
Ia mengira piramida-piramida itu telah menghilang
begitu saja. Namun demikian, ketika ia meneliti surat
kabar itu dengan hati-hati sekali, ia menemukan bahwa
semuanya itu tidak berubah: masih tetap menjulang
tinggi, semampai, dan meruncing menjadi ujung-ujung
yang tajam. Namun sekarang ini semuanya itu berada di
bagian lain dari gambar itu, dalam posisi yang berbeda
antara meja dan kursi, naik dari bawah di atas kedua paha
untuk naik ke atas sampai ke segitiga tumpul yang berada
di dasar tulang rusuk, langsung di bawah jantung.
Jari-jari Hamida menyelip di atas jantung yang datar
dan licin itu. Pisau yang ada di tangannya itu bergetar
pada saat memotong pembuluh nadi yang besar dan
membelah jantung itu sehingga ia dapat membasuhnya
dari dalam. Sudah berapa sering ia melakukan hal ini
dengan jantung anak ayam, kelinci, dan angsa"namun
jantung biri-biri betina itu jauh lebih besar, dan masih
sangat hangat, otot-ototnya masih tetap berdenyut,
sambil mengirimkan goyangan yang tersembunyi dan
bergetar melalui jari-jarinya. Goncangan itu bergerak
ke lengannya, dan kemudian ke dalam dadanya, yang
sekarang ini berdenyut jauh lebih cepat.
103 NAWAL EL SAADAWI Dari sebelah dalam, jantung yang terbagi itu me"ra"
sakan suatu gumpalan darah yang merah pekat, yang
tumpah dari pinggir pualam dari baskom itu dan jatuh
ke kakinya. Ketika ia membungkuk untuk menghilangkan
gumpalan darah itu, matanya tertarik oleh sebuah pita
merah, panjang, dan tipis yang terpampang di sepanjang
betisnya. Ia pikir itu adalah sebuah urat darah, namun
kenyataannya bergerak ke arah bawah di atas kulitnya dan
bukan di bawah ku"lit"nya itu. Ia meraba dengan ujung jari,
dan meng"arahkan jarinya ke hadapan matanya: ia sudah
basah dengan darah yang sesungguhnya. Pada saat berdiri,
matanya yang ketakutan itu bertemu dengan mata ibu"nya
yang kosong dari rasa takut, dingin bagai sebuah danau
yang payau, sunyi seperti kuburan, sambil memandang
tajam kepadanya dengan pandangan orang mati. Pelupuk
mata itu jatuh ke atas mata yang telah mati itu; tutupnya
jatuh di atas kepala dan tubuh. Ia mendengar suara ibunya
yang samar-samar datang dari kejauhan, seolah-olah dari
dalam tanah. "Kamu sudah menjadi dewasa, Hamida."
Ibunya memberinya sepasang celana tanggung
yang terbuat dari kain kapas berwarna cokelat. Hamida
pernah memakainya di balik gallabiyya, dan untuk
kali yang terakhir, karena ketika hal itu terjadi ia tidak
104 THE CIRCLING SONG membukanya dengan tangannya sendiri. Sebaliknya, ia
dibuka oleh tangan-tangan lain, oleh jari-jari kasar dan
rata yang mengandung suatu bau aneh yang dirembesi
bau tembakau. Hamida menge"tahui bau tembakau:
ia biasa membelinya dari warung untuk ayahnya atau
saudara laki-lakinya, atau salah seorang pamannya, atau
seorang laki-laki lain dari keluarga itu. Bau tembakau
membuatnya bersin-bersin dan batuk-batuk apabila ia
mendekatkannya ke hidungnya.
Ketika ia batuk, sudut-sudut mulutnya akan meng"
gelembung keluar seperti sudut mulut ayahnya, dan ia
akan meniru suaranya yang kasar, dan berdiri di kawasan
tempat masuk yang lebar di rumah itu, persis yang
dilakukan ayahnya, sambil meletakkan kepalanya ke
belakang dengan angkuh sebagaimana yang dilakukannya,
dengan menggembungkan ra"hangnya dan meletakkan
tangan kanannya dengan kuat di atas pinggulnya.
Seandainya orang dapat melihatnya sepintas lalu di
saat seperti itu, tentulah orang akan mengira ia adalah
Hamido. Ia sendiri terbiasa percaya bahwa ia adalah
Hamido. Ia akan melangkah di atas tanah dengan tegap,
sambil menarik gallabiyya-nya di atas kakinya yang keras
dan kurus itu, dan berlari ke arah anak-anak laki-laki,
sambil berteriak, "Aku Hamido." Mereka akan bermain
105 NAWAL EL SAADAWI koboi dan bandit, atau main kereta api-kereta apian, di
mana masing-masing dari mereka memegang keliman
baju orang di sebelahnya, dan berlari melintasi lapangan
itu, sambil bersuit. Suitan itu menjadi semakin keras di malam hari.
Tubuh Hamida yang kecil itu bergoncang ketika berdiri
di dekat kereta api. Kegelapan menjadi lebih pekat
di belakangnya, mengambil bentuk sebuah tangan
besar yang mendorongnya dengan keras dari belakang,
menggerakkannya ke depan. Hamida melecit ke depan
dalam kegelapan itu, namun hampir langsung kegelapan
itu terpecah untuk memperlihatkan sepuluh mata kuning
yang gemerlapan seperti kancing kuningan, dan sebuah
mata pisau yang putih dan tajam tergayut, tersembunyi
di samping kaki-kaki yang panjang itu. Ia membalutkan
tarha-nya yang hitam itu di sekeliling kepala dan bahunya,
dada dan perutnya, dan menyelinap ke dalam kegelapan
senja, seolah-olah dirinya sendiri merupakan sepotong dari
malam itu. Namun kaki-kaki itu berlari di belakangnya,
sambil membawa pisau tajamnya, dan kaki yang lebar itu
maju ke depan dengan suara menggeletar seperti suara
gemerincing besi yang beradu dengan besi.
*** 106 THE CIRCLING SONG Hamido masih tetap menjalankan tugas. Di tumit
sepatunya tertanam sebuah paku besi yang memukul
aspal itu dengan perlahan-lahan dan dengan berat, tak
ubahnya seperti kuku seekor keledai yang pingsan karena
cahaya mentari. Mentari itu bergejolak; karena ketika itu
adalah tengah hari di bulan Agustus di Kairo. Kepala
Hamido yang dicukur sampai botak, tampaknya menarik
piringan merah yang bernyala-nyala itu, karena ia tetap
bergayut di kepalanya. Mata dan hidungnya menjadi tidak
lebih dari lubang galian untuk mengeluarkan api yang
telah terkumpul di dalam tengkorak kepalanya. Teli"nga,
mulut, dubur"semua lubang yang terdapat di tubuhnya
menyemburkan api yang merah dalam bentuk gumpalan
kecil-kecil dan panas, yang dibekukan sampai menjadi
keras, seperti darah lama yang telah membeku.
Ketika ia menoleh ke piringan yang merah dan bundar
itu, benda itu telah berubah menjadi dua pi"ringan yang
merah, di mana terdapat di dalam masing-masingnya
sebuah ruang hitam yang kemilauan, seperti bundaran
biji mata, dikelilingi sebuah lingkaran yang putih bersih
seperti mata anak-anak. Ia memandang ke arah sepasang
mata itu: dengan mengenal cahayanya yang khas itu, ia
berteriak. "Ha"mida!" Ia menarik alat yang tegang itu ke
arah depan dari leher ke pahanya dan menujukannya
107 NAWAL EL SAADAWI dengan tepat ke titik tertentu itu, di pertengahan antara
kedua matanya. Ia mendengar suara ayahnya yang kasar.


The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tembak." Ia pun menembak. Tubuh itu jatuh ke bawah, berlumuran darah, de"
ngan mata terbuka dan tidak bergerak, menoleh ke arah
langit. Dewa-dewa telah mengerumuni la"ngit itu sambil
mendudukkan diri mereka, de"ngan kaki dipersilangkan.
Kakinya yang sebelah atas berjuntai dari sela awan-awan
itu (dan karena itu dapat dilihat dengan mata telanjang)
yang digo"yang-goyangkan dengan sebuah gerakan
mendatar yang teratur, seperti goyangan bandul jam.
Mentari telah menghilang dan malam telah tiba; dan
musik pun berbunyi: lagu kebangsaan, untuk merayakan
kemenangan itu. Tangan diangkat untuk bertepuk, sambil
mengangkat tubuh mati itu ke atas. Hidung orang mati
itu bergeseran dengan telapak sebuah kaki"yang dimiliki
oleh salah satu dewa yang lain"dan mencium bau biasa
yang dikeluarkan oleh kaki yang pemiliknya tidak pernah
mencucinya. Orang mati itu memalingkan hidungnya dari
dewa-dewa itu; teriakan-teriakan riuh-rendah naik ke atas,
dan sarung hitam itu menganga sehingga memperlihatkan
lencana kepahlawanan dalam medan pertempuran yang
terhormat itu. 108 THE CIRCLING SONG Orang mati itu mengulurkan tangannya, yang
berlumuran tanah sehingga menjadi hitam karena bintikbintik tanah (karena darah itu telah mengering) untuk
menerima bintang kehormatan itu. Sebuah tangan yang
lain"sebuah tangan yang bersih dan dirawat dengan hatihati sekali"menjulur keluar dengan cepat dan merampas
medali kehormatan itu. Orang mati itu mengacungkan
lengannya, membuat gambar kemarahannya di udara;
kegelapan itu dipenuhi lampu sorot, yang menggembung
dari persendiannya, dengan sinar gemerlap yang kuning
itu berbentuk bola, tampak seperti kancing kuningan.
Bibir Hamido menganga karena bingung. Tubuhnya
yang mati terjatuh di antara kaki-kaki yang panjang,
yang di sela-selanya itu tergantung alat pem"bunuh yang
keras; kakinya yang tidak menge"nakan alas hancur
di bawah sepatu lars yang tinggi dan berat itu dengan
bagian atasnya yang tinggi. Tanah berubah menjadi
seperti adonan, dan kaki"nya yang lain pun ikut serta.
Lalu kaki-kakinya tenggelam"sampai ke lutut, setengah
jalan menuju pahanya, sampai sejauh puncak pahanya,
sampai ke pertengahan perutnya. Sedikit demi sedikit, ia
tenggelam sampai ke pertengahan dadanya. Genggaman
tanah semakin mencekik di sekitar lehernya, sedangkan
kepalanya menjadi lemah di atas tanah itu. Ia merasakan
109 NAWAL EL SAADAWI tanah itu hangat dan halus, persis dada ibunya, jadi ia
benamkan kepalanya di antara payudaranya dan berhasil
memasukkan hidungnya di bawah payudara kirinya:
sebuah tempat kese"nangannya yang lama dan aman.
Namun ibunya menjarakkannya dari dirinya dengan
tangannya yang kuat, sama kuatnya dengan tangan
ayahnya. Ia meng"angkat kepalanya dan melihat tangan
ayahnya yang besar itu, sedangkan jari-jarinya yang
panjang yang sedang memegang lencana; matanya yang
lebar dan hitam itu dengan urat-urat darah yang merah
kecil-kecil itu memandang Hamido. Hamido menjangkau
keluar, terlepas dari orang ramai yang berdesak-desakkan
yang membatasi ruang dan gerakan itu, dengan tangannya
masih tetap terkulai. Semua mata memandang ke arah
jari-jarinya yang berlumuran darah itu, dan tidak ada
orang yang berjabatan ta"ngan dengannya. (Di saat-saat
itu, orang membenci si terbunuh dan menghormati yang
membunuh.) Hamido bukan seorang pembunuh. Ia telah ber"
tekad membidik pertengahan antara kedua mata dan
penglihatan itu, dan dia lah yang telah menarik pe"latuk
itu, dan telah membunuh. Namun ia membunuh tanpa
menjadi seorang pembunuh. Karena pembunuh itulah
110 THE CIRCLING SONG yang menanggung rasa malu, sedangkan tangannya masih
tetap tidak ternoda. Meskipun demikian, rasa malu itu bukan rasa
malu Hamido. Segala yang harus dilakukannya adalah
membasuhnya sampai bersih. (Pembagian daerah-daerah
keahlian khusus adalah salah satu tanda kemajuan,
dan dengan demikian ada orang yang dapat mengelola
rasa malu dan pencemaran sementara yang lain-lain
memperhatikan prosedur pencucian itu.)
Ia menumpahkan air dari ember dan mencuci rambut,
kepala, lengan, kaki, lipatan kulit di sekitar kuku dengan
teliti. Ia mendengarkan suara yang angkuh, yang datang
dari suatu tempat di rumah itu:
"Ambil kuku kaki itu"itu bagianmu."
Dengan demikian kuku kaki itu diletakkan di salah
satu surat kabar harian, untuk masuk ke dalam sejarah
berdasarkan rubrik "sedekah".* Hamido membawa surat
kabar-surat kabar itu pergi di bawah ketiaknya, dan
berjalan di sepanjang jalan, tampaknya bangga sekali.
Sekali-sekali, ia mencuri pandang ke bawah ketiaknya,
dan di sana ia melihat baju jas tebal dan hitam terbelah
sehingga memperlihatkan sebuah wajah yang putih dan
tidak berdarah, dan mata yang mati itu terbelalak dan
berpaling ke arah langit.
111 NAWAL EL SAADAWI Dengan rasa ingin tahu secara naluri, Hamido
memandang ke langit. Ia melihat sebuah bintang yang
kesepian dan seperti api, sementara itu ekornya yang
panjang dan tipis itu bergerak dengan bercahaya di atas
kehitaman seperti sebuah garis darah segar yang masih
belum lagi dikentalkan. Lalu datanglah sebuah hembusan
angin dan mengeringkan darah itu, dan bintang itu
berubah menjadi hitam, dan langit menjadi sesuatu yang
diam tidak bergerak dan kedap air.
Kepala Hamido tenggelam ke dalam dada laki-laki
itu; dari matanya menetes sebuah benang panas, yang
menurun menyelinap ke sudut mulutnya, mengalir di
bawah lidahnya dengan suatu rasa asin yang biasa dari
sari buah yang diasamkan.
Ia mengepitkan rahangnya dan menelan buah yang
pahit. Tidak ada tempat di mana ia bisa berlindung dari
rasa benci yang dirasakannya. Ia menyerangnya dari
segala arah dan lubang tubuhnya, sambil memasukkan
rasanya yang pahit dan asin itu melalui celah-celah di
kulitnya dan lubang-lubang tubuhnya, yang berkumpul
di dalam ceruk-ceruk tubuhnya hari demi hari, tahun
demi tahun, sehingga bagian dalam tubuhnya mengambil
bentuk keram"pingan yang tengik dari sebuah kendi yang
telah lama menyimpan keju yang tua dan telah meragi.
112 THE CIRCLING SONG Sambil mengisi mulutnya dengan asap yang hitam, ia
akan mengeluarkan udara dari paru-parunya dan hanya
menghisap asap. Hamida mengenal bau asap itu, karena ia terbiasa
membeli tembakau dari warung. Namun kali ini bau itu
berbeda, bercampur aduk dengan bau lain yang tidak
dikenalnya. Namun demikian, bau itu meng"ingat"kannya
pada bau kamar mandi setelah tuannya mencukur
jenggotnya. Ketika jari-jarinya yang kecil itu memberikan
handuk kepada tuannya, ia dapat melihat matanya di
cermin: putih dan hitamnya sama-sama melebar dan
memancarkan sebuah cahaya kuning dari kuningan.
Cahaya itu menemukan Hamida dan berhenti
meskipun ia sedang bersembunyi di balik pintu dapur.
Tubuhnya yang kecil menyusut di dalam gallabiyya-nya
yang basah; bahunya tidak rata, yang kiri lebih tinggi dari
bahu kanan. Batang tubuhnya melengkung ke sebelah
kanan karena beratnya kantong sayur-mayur itu, sehingga
menarik tangan kanannya ke bawah. Ibu jari kaki kirinya
nyaris menyentuh aspal panas, sementara itu kaki
kanannya hanya menyapunya dengan bagian belakang dari
telapak kaki"nya yang tidak mengenakan alas itu. Seorang
yang mengamatinya mengira ia pincang. Tetapi Hamida
tidak pincang: ia hanya lapar. Karena itu, ia meraba ke
113 NAWAL EL SAADAWI dalam baskom itu; jari-jarinya yang kurus itu menyelinap
di bawah yang berwarna hijau itu sampai ia merasakan
rasa daging yang segar. Ia mengo"yak sedikit daging itu,
dan memasukkannya ke antara gigi-giginya, dengan cepat
sekali, sebelum ada orang yang dapat melihatnya.
Gigi Hamida kecil-kecil dan putih namun tajam,
mampu memotong daging yang mentah dan mengunyah
tulang-tulang. Gigi-gigi ini adalah gigi primitif, yang
tumbuh berabad-abad yang lalu, sebelum diciptakannya
sendok dan garpu serta peralatan makan lainnya. (Karena
segala peralatan inilah, gigi-gigi tuannya telah kehabisan
kekuatannya dan gusinya terkena penyakit gusi.) Matanya
juga primitif dan kuat, mampu mengetahui benda-benda
dari jarak jauh, sementara itu telinganya dapat menangkap
bunyi apa saja, walaupun bagaimana jauhnya. (Tuannya
juga telah kehilangan kemampuan ini disebabkan telah
ditemukannya oleh polisi rahasia alat-bantu pendengar
yang modern.) Karena mendengar sebuah suara, Hamida meng"angkat
matanya, dan melihat kepala nyonyanya mengintip keluar
dari jendelanya yang diberi banyak hiasan, tinggi di atas
bangunan yang menjulang itu. Karena tempatnya sangat
tinggi, kepala nyonyanya tampak sebesar ujung peniti
saja. Namun Hamida dapat melihatnya dengan jelas,
114 THE CIRCLING SONG dan ia memperhatikan otot yang gemuk itu mengerut di
bawah lubang hidungnya yang lebar dan berbulu itu. Ia
menyadari, dari cara rambut itu bergoyang, nyonyanya
telah menyadari bau daging yang disembunyikannya
di bawah giginya. Tentu saja Hamida membantahnya,
namun sayang sekali baginya, sepotong daging yang kecil
sekali terjepit di antara dua giginya. Jari-jari nyonyanya
yang berdaging lembut itu menariknya keluar dengan
sepasang jepitan. Di bawah panasnya cahaya mentari
yang membara, ia memakai kacamatanya yang diperoleh
dengan resep dokter, dan menyelidiki sisa makanan
yang kecil pada saat sepotong daging kecil itu di telapak
tangannya yang terbuka itu.
Pada hari yang khusus ini, nyonyanya tidak me"
mukulnya. Setelah banyak sekali makan, pecahlah sebuah
perselisihan antara tuan dan nyonya. Perseli"sih"an itu
berakhir dengan sebuah persetujuan berdasarkan prinsip
persamaan perempuan dan laki-laki dalam mengawasi
para pembantu. Dengan demikian, menjadi tugas tuannya
untuk melakukan pemukulan itu kali ini.
Hamida berbaring di lantai dapur. Karena mendengar
bunyi telapak kaki yang berat, ia menutup matanya dan
menunggu. Ia merasakan jari-jari yang panjang dengan
kuku-kukunya yang dipotong de"ngan hati-hati sekali
115 NAWAL EL SAADAWI itu mengangkat gallabiyya yang lembab itu, sehingga
menyingkapkan kaki, paha, dan pantatnya yang kecil,
sampai sejauh ke pertengahan punggung dan perutnya.
Sambil mengeluarkan sebuah cahaya yang berkilauan,
mata yang kekuning"an itu menoleh ke perut itu, sambil
melemparkan cahayanya yang keasaman itu ke atasnya:
sebuah perut meregang dengan tegang, otot-ototnya
mengkerut dengan keras, jatuh ke atas paha primitif yang
dapat bergerak ke arah mana saja, sambil melawan dan
menyepak dengan kekuatan penuh. Kakinya yang kecil
itu mendorong ke depan ke arah tanda-tanda regangan
dari perutnya yang kendur dan menonjol itu. Ia meraba
kaki perempuan itu, dan untuk pertama kalinya benarbenar menyadari akan bentuk kaki perempuan. Yang ini
mempunyai jari, lima jari, masing-masing terpisah dari
yang lain. Kaki nyonyanya tidak mempunyai jari; atau,
dengan kata-kata lebih tepat lagi, jari-jari kaki nyonyanya
telah menjadi satu, seperti kuku seekor onta, dalam sebuah
gumpalan daging yang lembut.
Tangan-tangan laki-laki itu bergerak perlahan-lahan
di atas kaki-kaki itu. Ia merasakan gerakan yang kuat dari
otot-otot itu yang berdenyut di bawah telapak tangannya.
Otot-otot nyonyanya tidak pernah bergerak. Tenang dan
diam, semuanya itu tidak memberikan perlawanan, seolah116
THE CIRCLING SONG olah jari-jarinya itu terbenam ke dalam sekarung kapas
(suatu hal yang tidak mengherankan, karena nyonyanya
telah mati, beberapa waktu sebelumnya, di dalam kamar
tidur). Gerakan daging yang hidup ini mempesonanya,
seakan-akan seekor babi yang tiba-tiba saja keluar dari
sebuah kawasan sampah dan telah ada di atas sisa-sisa
bangkai itu selama bertahun-tahun. Ia merasa ngeri
dengan mengigau, dan pakaiannya jatuh. Tubuhnya yang
hangat itu menyapu lantai ubin yang dingin itu, yang
masih tetap basah karena dipel. Otot-ototnya yang lemah
dan lembek itu mengkerut, dan sebuah aliran listrik
mengalir di sepanjang tulang punggungnya. Kehidupan
bergetar dalam semua indranya, lubang hidung yang lebar
dari hidungnya yang gemetaran itu mencium bau sampah
dari bagian bawah baskom. Ia mena"rik napas sedalam
mungkin, memenuhkan dadanya dengan bau tengik itu.
Bau itu mengalir di seluruh tubuhnya dan dengannya
mengalir pula sebuah kenangan lama, dari masa kanakkanaknya, pada waktu pertama kali mengalami enaknya
bersetubuh. Namun Hamida sedang gemetar ketakutan di sudut,
sambil berpegang ke dinding, sebuah goncang"an menjalar
di seluruh tubuhnya, dan bersamaan dengan itu sebuah


The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

117 NAWAL EL SAADAWI kenang-kenangan lama ketika pertama kali menderita
pukulan. Pandangannya yang hitam dan dipenuhi rasa
panik itu tertuju membeku pada tongkat bambu yang
kokoh itu. Laki-laki itu telah menyembunyikan tongkat
bambu itu di bawah pakaiannya, atau barangkali juga
di balik punggungnya, dan kini memukulkannya dan
mengangkatnya di depan wajah perempuan itu, dengan
tegang dan keras. Dalam sekejab, ia menujukan tongkat
bambu itu ke sebuah titik tertentu di antara kedua
matanya. Dan ia menarik pelatuk itu.
Hamida menjerit. Suaranya menggema melalui
malam yang gelap dan tenang itu seperti suara sebuah
peluru yang sedang ditembakkan. Nyonyanya berguling
dari sisi ke sisi di dalam kain kafannya yang terbuat dari
sutera. Sejumlah kecil orang yang tidur-tiduran melompat
keluar dari tempat tidur dan menyalakan lampu. Jendela
dan pintu yang tertutup dibuka, sedangkan leher-leher
dijulurkan. Namun keributan itu tidak ada artinya. Dapur itu
terdiri atas empat dinding, sebuah loteng dan sebuah
pintu; di pintu itu dipasang sebuah kunci dan rantai
dari baja. Semuanya kembali seperti semula. Lampulampu dipadamkan dan pintu-pintu ditutup dan dikunci.
Semuanya ditutup dan dikunci. Muncul lah keheningan,
118 THE CIRCLING SONG dan kegelapan itu mengerubungi ubin-ubin dapur itu,
menjadi bertambah gelap di sudut di belakang pintu,
dalam bentuk sebuah tubuh kecil yang telanjang, yang
di bawahnya mengalir sebuah urat darah yang panjang
dan halus, sedang"kan sepasang mata yang berair dan lebar
bersinar seperti seorang anak kecil melalui kegelapan.
*** Semenjak masa kanak-kanak, Hamido sudah mampu
mengenal cahaya khusus ini dari kejauhan, dan, seper"
ti sinar bintang, selalu merasa menarik perhatiannya.
Sebuah bintang yang terpencil selalu terbangun dan
waspada dalam sebuah langit yang keseluruhannya hitam
dan tertutup rapat, sementara itu Hamido berjalan
sendirian di atas jalan beraspal itu, dalam kege"lapan,
dengan mata memandang ke atas ke arah bintang itu,
dengan tangan terlipat di atas dadanya, sehingga percikan
darah yang sudah mengering dan hitam di atas tangannya
itu menjadi kelihatan. Warna-warna kuning dari kotoran
tembakau yang mengotori jari-jarinya menghitam di
bawah kukunya sehingga berwarna seperti warna tanah.
Batuknya membelah malam, sedangkan air ludahnya
yang putih membelah kegelapan malam, mendarat di
119 NAWAL EL SAADAWI atas aspal itu merupakan sebuah bola, seperti sebuah
gumpalan daging putih bergaris-garis halus dengan darah
yang mengalir di belakang sebelah kakinya.
Mereka mengambil jejaknya yang berdarah itu, me"
nangkapnya, dan mengembalikannya untuk dirawat.
Dokter mengangkat celana dalamnya dari be"lacu itu
dengan ujung jarinya yang terawat, de"ngan menghindari
wajahnya karena bau tubuh yang telah mati itu memenuhi
ruangan. Ia menuliskan diagnosisnya dengan pena
Parkernya: "Hanya pantas untuk pekerjaan rumah tangga."
Dengan demikian, Hamido menjadi pembantu rumah
tangga dengan cara lama. Mereka mengambil semua benda miliknya selama
ia dalam perawatan: sepatu lars kulit berpaku besi,
pakaian dan bahu-bahunya yang berlapis kapas dan
jerami, kancing-kancing tembaga berwarna ku"ning "lima
kancing melintangi setiap bahu dan sepuluh kancing di
atas dada"dan ikat pinggang kulit yang lebar tempat ia
menggantungkan sarungnya, melin"dungi matanya yang
sama tajamnya dengan sebuah pisau.
Hamido meraba-raba tubuhnya dalam kegelap"an.
Ia mendapati dirinya sedang memakai gallabiyya lama
yang terbelah sepenuhnya yang kini jatuh di atas pahanya
120 THE CIRCLING SONG dengan longgar sebagaimana gallabiyya yang dikenakan
perempuan. Bahunya, yang sekarang penuh tulang dan
tidak lagi horizontal dengan sempurna, sama keadaannya
dengan daun sebuah timbangan yang tidak lagi rata.
Tangan kanannya menggantung lebih rendah dari tangan
kirinya, sehingga terkulai keseluruhan ke sisi kanan
dari kepala dan tubuhnya. Ada suatu penjelasan yang
sederhana dan dikenal dengan baik untuk kelemahan ini:
pembantu rumah tangga terbiasa menaikkan keranjang
sayur-mayur dengan tangan kanan. Keranjang-keranjang
ini selalu berat, karena dipenuhi kentang, tomat, dan
sayur sampai ke pinggir atasnya. Dan di dasar keran"jang
diletakkan daging yang dibantai itu, darahnya yang panas
dan merah itu merembes melalui kertas berlilin putih,
jantungnya masih tetap menggigil dengan sebuah gerakan
yang tidak terasa, matanya yang berwarna kayu hitam
dan memandang ke arah atas, penuh air mata pada saat
berkilauan di dalam kegelapan seperti mata seorang anak
kecil. Karena kebingungan, Hamido menoleh ke arah ma"
ta anak itu. Ia tidak memiliki kemilauan yang men"jadi
ciri khas mata anak-anak; kilauannya seperti kuning"an,
lebih menyerupai kilauan mata orang dewasa. Anak itu
merangkak ke arah Hamido, dengan paha merangkul
121 NAWAL EL SAADAWI punggung dan lututnya yang bertengger di lututnya, satu
betis di masing-masing pihak, tumit sepatunya bertengger
di atas perut Hamido. Si kecil itu menggoyangkan kakinya sebagaimana
dilakukan anak-anak ketika menunggang keledai. Hamido
merangkak ke depan dengan menggunakan tangan dan
lututnya, dengan anak itu di punggungnya gemetaran
karena rasa gembira, sebuah cemeti bambu dipegangnya
dengan ketat di tangannya. Mentari berada tepat di antara
matanya, dan jalan merupakan sekumpulan aspal merah
yang menyala-nyala, yang dilapisi kerikil merah tua yang
berapi-api. Ketika sebutir kerikil berwarna menyala itu
me"nembus lutut kanannya, Hamido berhenti untuk
batuk; otot-otot dadanya tidak mampu mengkerut dan
mengeluarkan kerikil itu.
Ia menggelantungkan kepalanya, sehingga kepala
itu hampir saja bertemu dengan dadanya dan ia benarbenar menyerupai seekor keledai yang lemah. Ibu jari
kaki sepatu anak itu, tajam seperti ujung sebuah pisau,
menghantamnya di perut, dan mengeluarkan sebuah
teriakan. Namun otot-otot perutnya tidak mampu
mengkerut dan mengeluarkan teriakan itu. Ia membalutkan
tangannya di sekeliling perut untuk melindunginya dari
122 THE CIRCLING SONG sepatu, namun setelah itu anak itu menyerangnya, sambil
menggigitnya di betisnya.
Gigi-gigi itu masuk ke dalam dagingnya, dan
tampaknya akan menembus tulangnya bahkan sampai ke
sumsumnya. Ia mengepalkan rahangnya dan menelan rasa
perih itu. Rasa sakit itu berkumpul di tulang sumsumnya,
keras, dan bergerigi seperti sepotong batu kerikil. Anak itu
menjerit karena gembira dan membuaikan ibu jari kaki
sepatunya ke dalam keping batu kerikil itu; melayang ke
udara dan berhenti di dalam perut Hamido, yang sama
panasnya dengan dadanya yang dipenuhi darah, atau
seperti kepalanya yang telah dicukur botak, yang tidak
mempunyai sehelai rambut pun untuk melin"dunginya
dari mentari. Api itu bergerak di sekujur tubuhnya. Ia benar-benar
pasrah, sambil membiarkan api itu menyerang dari segala
lubang. Sambil sekali lagi mengambil sikap seperti seekor
keledai yang sakit-sakitan, ia merangkak ke depan, dengan
rasa benci yang menyala-nyala itu menyerangnya melalui
pori-pori tubuhnya untuk berkumpul di dalam lubanglubangnya, dengan mengeras dan menjadi berwarna
merah tua, sampai kelihatannya seperti sebuah batu bara
yang hidup. Ia menjangkau ke bawah untuk mengeluarkan
senjata pembunuh itu, dan jari-jarinya bertabrakan
123 NAWAL EL SAADAWI dengan pahanya yang mati itu, sedangkan otot-ototnya
tergantung longgar di bawah gallabiyya. Ia bersembunyi
di belakang pintu dapur dan meng"angkat gallabiyya-nya.
Sebaliknya dari menemukan alat yang keras yang sejajar
dengan pahanya, ia kaget melihat belahan itu, hitam dan
penuh kero"peng, persis seperti sebuah luka yang telah
lama. Kepalanya terjatuh ke atas dadanya.
Suara tegas itu mengumandangkan namanya.
Hamida menarik sebuah palu dari belakang pintu dapur.
Gallabiyya-nya yang basah itu melekat ke tubuhnya, dan
sebuah tanda dalam bentuk sebuah sepatu menggores ke
dalam kulit perutnya. Di bawah dinding perut itu, rasa
benci sedang berkembang seperti sebuah janin, berputarputar sampai menjadi sebuah bola yang seperti adonan,
yang naik hari demi hari, membengkak dengan air, meragi
dan mengeluarkan bau khususnya sendiri.
Alat keamanan itu menangkap bau itu, karena selalu
ada alat keamanan dengan matanya yang memperhatikan
dan hidung yang mencium di suatu tempat di dekat
sana. Hamida menahan napasnya dan menyapu telapak
tangannya sebelum menjulurkan sebuah tangan kecil
untuk memberikan gelas air itu dari tempat sejauh
mungkin. Tangan tuannya yang rapi dan terawat dengan
baik menutup di sekeliling gelas minum berbentuk piala
124 THE CIRCLING SONG yang terdiri atas kristal. Ia menghindarkan wajahnya
dari bau itu, namun bau itu demikian menembusnya
mencapai hidung nyonyanya yang mati di dalam kamar
tidur, sehingga menyebabkan bulu-bulu yang kendur
dalam lubang hidungnya mengeras sampai semuanya
menjadi setajam jarum. Hamida tentu saja membantah tuduhan itu. Namun
tubuhnya yang bersalah. Mereka menyingkirkan tubuh
itu dan meninggalkan kejahatan itu baginya. Seperti
lebah yang menghisap sebuah kembang yang sedang
mekar, mereka mengambil zat minuman yang lezat dan
kemudian menolak sisa-sisa yang telah disedot. Mereka
membuang sisa-sisanya dengan ayunan tangan yang kuat.
Tangan itu mendorong ke punggungnya, sehingga lebih
terasa seba"gai sebuah sepakan. Jalan itu gelap, malam
menjadi pekat, dan ia mulai memandang ke dalam
kegelap"an itu. Ia mengenal tinju ibunya di punggungnya,
jadi ia mengangkat pandangannya sehingga bertemu
dengan pandangan ibunya, dan ia baru saja ingin me"
manggilnya. Namun ibunya berdiri saja di sana tidak
bergerak sedikitpun, bahkan bulu matanya membeku di
tempatnya. Hamida berjalan di dekat patung batu itu dan me"
ninggalkannya di belakang. Ketenangan tersebar di seluruh
125 NAWAL EL SAADAWI malam itu dan ia menyadari bahwa ia sendirian. Ia duduk
di atas sebuah bangku batu di samping sungai Nil dan
memenuhi dadanya dengan udara sungai yang sedih dan
lembam itu. Rasa sedih masuk ke dalam dadanya bersama
dengan kegelap"an malam, dan ia tahu bahwa ia dilahirkan
tanpa ibu, bahwa nenek dari pihak ayahnya telah menjadi
seorang budak di rumah tuannya dan telah mati karena
pisau ayahnya. Ia biarkan tubuhnya lemas di atas bangku, sambil
membuka pori-porinya agar kesedihan itu, yang meng"alir
ke dalam, memenuhinya seluruhnya dan memberikan
kekuatan kepadanya. Jarang sekali kesedihan itu
memberikan sesuatu, dan kemudian menentukan
sejenis khusus orang untuk pemberiannya, seseorang
yang mampu mempertukarkan sesembahan itu. Dan
Hamida mampu memberikan dirinya sepenuhnya kepada
kesedihan itu. Ia dapat mempersembahkan diri"nya secara
khusus kepadanya dan hidup darinya: memakan dan
meminumnya, mencernanya sehingga saripatinya berada
di dalam darahnya, yang akan disaring ususnya dan
kemudian dikeluarkan oleh pori-porinya. Kesedihan itu
akan mengalir di atas tubuhnya seperti benang-benang
yang berkilauan, yang akan dijilatinya dan ditelannya
126 THE CIRCLING SONG sekali lagi, untuk dicernakan kembali, dan dikeluarkan
kembali. Seseorang yang kebetulan lewat, berdirinya yang
lurus itu, sendirian di dalam malam itu, akan mengi"ra
bahwa ia sebuah patung Ramses. Suatu lidah air bergerak
di atas pipi, leher, bahu, paha, dan kaki"nya, yang bergerak
dengan demikian lemah lembutnya, sehingga pergerakan
itu tidak dapat dirasakan. Kelembaban itu tetap tinggal
di atas kulit, tidak menguap meskipun ada angin malam
yang kering, sebaliknya masuk ke dalam pori-pori, kembali
ke tempat dari mana ia datang, ke tempat asal usulnya, ke
dalam kandungan ibunya. Karena ia adalah kese"dihan dan
tidak dapat disalahpahami sebagai sesu"atu yang lain. Dia
dan janin yang abadi di dalam kan"dungannya itu hidup
untuk masing-masingnya, dan ia datang dan pergi sesuai
kehendaknya. Kapan saja ia berharap kemunculannya,
maka ia menjadi anaknya"seorang anak haram, bukan
seperti anak-anak buatan yang sejak lahir memiliki surat
keterang"an yang digambarkan dengan tinta. Dalam tubuh
mereka, tinta hitam itu mengalir di tempat darah yang
merah. Alat kelamin mereka disunat, rambut mereka
dicabuti dari kepala mereka, dan di samping setiap paha
tergantunglah sebuah pistol mainan.


The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

127 NAWAL EL SAADAWI Anaknya tidak terbiasa dengan pistol, atau boneka
yang dibuat sendiri dari potongan-potongan kain atau
jerami, atau mainan lain apa saja: main-mainan itu untuk
anak-anak, dan ia bukan anak kecil. Ia dilahirkan dalam
keadaan berdiri di atas kedua kaki"nya; sambil berjuang
di tengah-tengah onggokan pupuk, oleh dirinya sendiri,
ia tertawa. Ketawa inilah yang membedakannya dari
anak-anak, karena ketawa itu adalah sebuah ketawa yang
tidak berbunyi, yang tidak menimbulkan gerakan apapun
pada otot-otot wajah. Namun demikian, matanya yang
kecil itu masing-masing dibalut oleh sebuah air mata
yang memberikan kepadanya sebuah kilauan khusus. Di
bawah air mata itu tersebarlah sebuah titik cahaya, seperti
sebuah bintang yang kesepian, bangun dan waspada
dalam sebuah langit yang tidak berbulan.
Hamida berjalan sepanjang malam mencari anak"nya.
Ia mengitari onggokan-onggokan sampah itu. Ia melihat
ke belakang tong sampah itu. Di sebelah dinding itu,
ia temukan sebuah tubuh kecil yang telah dibulatkan
menjadi sebuah bola. Ia langsung mengenalnya, dan
meraihnya ke dalam kegelapan itu untuk merangkulnya
ke dadanya. Kegelapan itu dipotong oleh sebuah cahaya
kuning dan mata ku"ningan itu muncul: selalu ada di
sana sebuah mata yang memperhatikan, bulat dan tidak
128 THE CIRCLING SONG mempunyai penutup, seperti sebuah mata ular, sedangkan
ekor di belakangnya panjang dan halus. Meskipun
demikian, halusnya ekor itu tidak mengecohnya; ia
melihat ke belakang ekor itu. Ia melihat alat pembunuh
itu, tersembunyi di sana, tergantung di samping paha.
Ular itu bukan ular jantan. Namun begitu, meskipun ia
telah melihat seekor ular berbisa yang betina, Hamida
tahu bahwa semuanya yang membunuh itu pasti jantan,
dan ia berteriak kepada anaknya: "Awas, perhatikan dia,
dia akan membunuhmu!"
Taringnya masuk ke dalam kaki yang panjang dan
kurus itu. Seperti sebuah ekor yang panjang dan halus,
darah itu mengalir keluar, sehingga membasahi ibu
jarinya yang kecil, dan mengalir ke bawah ke tumit
kakinya. Ia mengangkat kepalanya, dan ia melihat mata
ibunya yang lebar dan hitam legam yang tertuju terpaku
pada matanya, memandang kepadanya dengan membisu,
sementara itu tarha hitam itu menutupi kepala, dada
dan perutnya. Ia membuka mulut untuk mengajukan
sebuah pertanyaan, namun telapak tangan yang lebar itu
telah menutup mulutnya. Napasnya, sedikit angin, desau
pohon-pohonan: semuanya itu menjadi sebuah kumpulan
hitam yang tidak bersuara, dan tidak dapat ditembus.
129 NAWAL EL SAADAWI Tarha hitam itu mencair ke dalam malam bagaikan setetes
air mencair ke dalam samudera.
Namun kaki-kaki itu bergerak dengan langkah yang
berat dan keras terus di belakangnya, sangat hebat lebih
daripada dia seperti sebuah ombak yang tinggi yang telah
mengiringinya ke dalam lautan, secara terus-menerus
memeriksa posisinya, tenggelam bersamanya ke dalam
kedalaman itu, dan mengambang bersamanya, sepasang
mayat, di atas permukaan. Ombak itu kehilangan dirinya
di tengah-tengah samudera itu, kemudian muncul kembali
di pantai, bertabrakan dengannya pada pinggir-pinggir
batu karang itu, lalu menghilang dalam busa yang putih,
bergo"yang bersamanya antara air pasang dan air surut.
Arus itu lemah; air pasang itu lebih lemah lagi.
Karena laut itu sama sekali bukan laut, tetapi malah
sungai Nil; airnya bergerak sangat lamban di dasar sungai,
gerakannya lambat dan berat, seperti sebuah kaki yang
setengah lumpuh yang terletak tidak bergerak, sekali ia
telah direndahkan ke tanah. Meskipun Hamido telah
menarik kaki itu ke atas, dengan segala tenaganya, dengan
menggunakan seluruh otot di kakinya yang kurus dan
melengkung itu. Dengan dinaikkan ke atas tanah, kaki
itu menjadi tertancap di sana, dan tidak akan turun lagi.
Akan tetapi tanah itu menariknya kembali dengan segala
130 THE CIRCLING SONG kekuatannya sehingga ia jatuh dengan berat sekali, seperti
sebuah kaki yang dipahat dari batu.
Hari ketika itu masih pagi sekali, mentari masih
miring melintas, dan bayangannya tergambar di atas
tanah: panjang, halus, melengkung seperti sebuah pelangi.
Kepalanya dicukur dan bahu itu tidak rata, yang satu
lebih tinggi dari yang satunya. Juga, kaki yang satu lebih
panjang dari yang lain: ini adalah kerangka dari seorang
yang pincang. Sambil tertawa, anak-anak yang ada di
belakangnya naik merangkak ke punggungnya.
Suara dan teriakan anak-anak itu menusuknya
dari suatu tempat di atas kepalanya, dan kaki mere"ka
memukul punggungnya seperti roda-roda sebuah kereta
api. Masing-masingnya merenggut keliman orang yang
berikutnya, dan mereka bersuit, dan suitan itu naik ke
udara. Masing-masing mereka lari untuk bersembunyi
dari orang yang mencarinya"di balik onggokan sampah,
di kandang binatang, atau di belakang tonggak lampu.
Tonggak lampu itu menjulang demikian tinggi sampai
ke langit, sehingga kelihatannya melekat d"e"ngan kuat ke
bulan. Cahaya bulan itu menyinari Hamida, sehingga
menjadikan wajah, lengan dan ka"k"i?"nya berwarna terang,
pada saat ia berdiri bersembunyi di belakang tonggak
lampu itu. Keseluruhan tubuhnya bersinar pucat, datar,
131 NAWAL EL SAADAWI dan tidak berambut. Hanya akar-akar dari bulu tubuhnya
yang dicabuti itu menonjol ke depan, menjadi tegang
dengan sebuah rasa menggigil yang menyebar di sepanjang
kulitnya. Ia menjulurkan sebuah tangan yang putih dan meraba
kulitnya. Hanya tubuhnya itulah yang dapat memberikan
keyakinan baginya, karena tidak ada di luar itu yang
dapat diandalkan atau diperoleh: dunia di sebelahnya
terdiri atas tubuh-tubuh aneh yang tersembunyi di sudut,
di balik tembok dan pintu, di tikungan jalan yang gelap,
di mana saja. Meskipun sudut-sudutnya mungkin tampak
datar dan tidak berbahaya dari luar, seakan-akan tidak ada
yang terdapat di dalamnya, ketika sisi-sisi dari segi tiga itu
terbelah dan kaki-kakinya menjadi mengangkang, maka
muncullah senjata pembunuh itu, jelas sekali tampak,
keras, dan tegak. Hamida menjerit, namun suara yang timbul
tidak memiliki warna nada yang biasa dari sebuah
teriakan ketakutan atau teriakan minta tolong. Dalam
kenyataannya, Hamida tidak minta tolong siapa pun,
karena ia tahu jalan itu kosong, tidak ada orang. Ia sadar
sekali bahwa semua jendela dan pintunya tertutup dan
lampu-lampunya telah dipadamkan. Kawasan itu adalah
kawasan yang tidak memiliki bunyi, suara, atau apa pun.
132 THE CIRCLING SONG Bukan, itu bukan sebuah teriakan minta tolong;
namun teriakan itu tajam dan panjang, berlanjut te"rusmenerus seolah-olah kenyataannya terdapat jutaan teriakan
yang berteriak sekaligus, yang telah dipadukan menjadi
sebuah teriakan tunggal, yang sama tidak berujungnya
dengan malam itu, dan diikatkan di tempatnya dengan
jutaan butir hitam yang daripadanya lah dibuat kegelapan
dan ketenangan itu. Itu bukan teriakan kegelisahan atau ketakutan.
Hamida tidak takut pada kegelapan, atau pada ketenangan,
bahkan juga pada kematian, karena ia merupakan bagian
dari kegelapan, dan suaranya adalah keheningan. Dan
kematian telah menyertai"nya. Ia telah mengandungnya
seperti sebuah tubuh kedua yang bergayut padanya,
seperti seorang yang kedua, yang mati dan hidup di dalam
dirinya. Ia men"duduki kekosongan di dalam, melipat
lengan dan kakinya, membentangkan dirinya keluar,
baunya menyebar ke luar melalui mata dan telinga"nya,
berhembus dari setiap lubang yang ada di tubuhnya. Di
waktu malam hari, ketika kesuraman itu ber"tambah pekat,
dan keterpencilan menjadi lebih berat, ia menjulur keluar,
dan merasakan laki-laki itu ada di sampingnya, bergayut
padanya; dalam pelukan perempuan itu, napasnya campur
133 NAWAL EL SAADAWI baur dengan napasnya, panasnya tubuh laki-laki itu tidak
dapat dibedakan dari panas tubuhnya.
Hamida mencekamkan tangannya di belakangnya,
dan sebuah perasaan aman meliputi dirinya. Kiranya ada
orang yang melihat tubuhnya yang hangat, lunak, dan
melengkung dengan lemah lembut itu dari belakang,
orang tentu akan salah mengiranya seba"gai seorang anak
kecil. Namun ketika berbalik dan matanya menjadi
kelihatan, orang tentu tidak akan salah lagi bahwa ia
sudah tua. Wajah orang-orang yang telah berumur, seperti
wajah anak-anak, tidak memiliki jenis kelamin, namun
perutnya yang telah menggelembung itu, yang melebar
dengan janin yang hidup, menyatakan bahwa ia adalah
seorang perempuan. Orang tidak akan dapat menerka
berapa umurnya, karena Hamida tidak memiliki umur.
Itulah yang merupakan status anak-anak yang dilahirkan
dengan cara membangkang terhadap pegawai peme"rintah
yang menentukan tanggal-tanggal kelahiran. Mereka
hidup dengan tidak tersentuh oleh peme"rintah, tidak
terpengaruh oleh sejarah, tidak ditandai oleh waktu dan
tempat. Mereka tidak melalui tahap-tahap masa kanakkanak, masa muda, dan menjadi tua, sebagaimana
dialami orang biasa. Mereka hidup, di balik umur tuanya,
terlepas dari pegawai peme"rintah yang mencatat tanggal134
THE CIRCLING SONG tanggal kematian. Seperti dewa, mereka dikecualikan
dari batas-batas waktu, dan mereka hidup untuk selamalamanya, bersekutu dalam sebuah eksistensi yang
tunggal dan memanjang, tidak ditandai oleh tahap-tahap
perkembangan. Karena dilahirkan sebagai orang dewasa, mereka
menjadi tua tanpa mengalami masa kanak-kanak dan
masa remaja, dan tiba-tiba mereka pindah dari masa
tua ke masa kanak-kanak, atau dari masa kanak-kanak
ke masa remaja. Mereka melewatinya dalam satu detik
tunggal yang mengambang, lebih cepat daripada yang
dapat dilihat mata, karena mata manusia tidak dapat
menyelami inti sarinya. Makhluk seperti itu muncul
sebagai anak-anak, pemuda atau orang tua pada waktu dan
tempat yang tunggal dan sama. Kadang-kadang mereka
berjalan di jalan raya ketika telah mati, dan ketika bau
mereka nyaris tidak dapat ditanggungkan lagi. Namun
mata manusia tetap tidak mampu membedakan mereka
dari orang yang hidup. Bahkan kerut-kerut wajahnya
sedikit sekali peranannya dalam kasus-kasus seperti ini,
karena tampaknya bukan seperti kerut-kerut tetapi lebih
banyak menyerupai garis-garis ketawa alami yang tampak
di wajah seorang anak kecil ketika tertawa dengan keras
namun tidak dapat didengar.
135 NAWAL EL SAADAWI Hamida masih tetap berdiri di balik tonggak
lampu itu, wajahnya bengkak, bundar, dan putih seperti
tepung di bawah cahaya itu, kerut-kerut wajahnya
disembunyikan dengan bedak, dan bibirnya yang pecahpecah itu"terbungkus oleh lapisan kulit berdarah dan
merah. Dadanya menonjol dari lubang sebuah baju
yang terkoyak, sedangkan perutnya menonjol keluar di
bawahnya. Tumitnya yang pecah-pecah itu jelas kelihatan
di dalam sepatu yang tidak tertutup bagian belakangnya,
sehingga lebih menyerupai sebuah sandal. Rambutnya
yang serupa tebal dan gelapnya dengan sepotong malam,
menutupi kepala dan dadanya, membungkus seluruh
tubuhnya dalam kehitaman. Dari dalam kehitaman itu,
lehernya yang putih itu mencuat keluar, seperti cabang
sebuah pohon yang sehat yang tampak di atas tepi langit
hutan, memberikan tanda bahwa akar-akarnya terhunjam
dalam ke dalam tanah yang lembab.
Seorang yang mengamati akan mengira ia adalah
seorang perempuan malam, meskipun ia bukan se"orang
perempuan, dan waktu ketika itu bukanlah malam.
Mentari tepat berada di atas kepala, persis di tengahtengah antara matanya. Hamida menoleh ke bundaran
merah yang bernyala-nyala itu, tanpa mengedipkan mata,
tanpa menggerenyet sedikitpun di sebuah otot wajahnya,
136 THE CIRCLING SONG memandang dengan segala kesabaran yang dimilikinya.
Perempuan itu melihat laki-laki itu dengan jelas sekali
di tengah-tengah bulatan itu, seperti sebuah bianglala:
panjang, tipis dan bungkuk, melintas di depan matanya
dengan gaya berjalan perlahan-lahan yang telah menjadi
ciri khasnya, dengan sebelah bahunya lebih tinggi dari
sebelahnya lagi, satu kakinya lebih panjang dari kaki
satunya lagi " kerangka dari seseorang yang lumpuh.
Perempuan itu langsung mengenalinya, dan hampir
saja ia berteriak "Hamido". Namun ia takut kalau-kalau
dengan demikian, tempat persembunyiannya di balik
tonggak lampu itu akan ketahuan, dan laki-laki itu akan
mengenali perutnya yang membengkak dan menarik
keluar alat pembunuh itu.
Perempuan itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat
dan menahan napasnya. Namun bagaimanapun, lakilaki itu mencium baunya, karena baunya sangat tajam,
seperti bau orang mati. Ia berhenti, menjulurkan
tangannya yang panjang dan kurus itu ke balik tonggak
lampu itu, namun ia tidak mendapati apa-apa untuk
dipegang. "Hamida". Suara yang nyaris tidak kedengaran
itu sesungguhnya adalah sebuah tiruan dari suaranya
sendiri. Laki-laki itu membungkukkan tubuhnya mirip


The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentuk tubuh perempuan itu yang dilakukan dengan
137 NAWAL EL SAADAWI terampil sekali"karena telah terjadi suatu kemajuan
yang pesat dalam ke"te"rampilan, industri dan teknologi.
Demikian te"rampilnya penggambarannya, sampai-sampai
Hamida menjadi kacau karena memikirkan bahwa suara
itu benar-benar suaranya sendiri, dan salah menyangka
bahwa tubuh itu adalah tubuhnya sendiri. Ia muncul
dari balik tonggak lampu dengan percaya diri, berjalan
keluar dengan kepala ditekuk, sebagaimana biasanya.
Namun ketika ia mengangkat kepalanya, pandangannya
bertabrakan dengan mata yang ku"ning itu. Demikian
takutnya ia karena kejutan ini sampai-sampai ia melihat
mata berwarna kuning itu menjadi empat. Kemudian
mata yang berjumlah empat itu bertambah banyak
lagi dengan secepat kilat, sampai mata yang kuning itu
mengelilinginya: sepuluh menuruni dada itu, dan lima
di sepanjang masing-masing bahu, dengan mengeluarkan
sebuah cahaya kuning berupa kuningan.
Suara yang mirip logam itu memantul di sepanjang
aspal seperti bunyi gemerincing besi beradu dengan besi.
"Siapa namamu?"
"Hamida." Suaranya nyaris tidak terdengar.
Mata pisau itu bergerak di atas kepalanya; rambutnya
yang halus dan tebal itu jatuh ke dalam ember. Pisau itu
138 THE CIRCLING SONG jatuh ke tubuhnya, dan lewat di atas kulitnya, mencabut
rambut itu. Ketika mencapai lubang di perutnya bagian
bawah, bergerak melalui sekumpulan bulu yang hitam,
maka pisau itu terantuk pada kuncup putih yang kecil
sekali, yang tampaknya seperti seekor anak burung yang
baru lahir. Pisau itu merenggut kuncup itu dari akarakarnya, sambil meninggalkan di tempatnya itu sebuah
luka yang dalam di dagingnya, seperti belahan yang
mengeropeng. (Di saat-saat itu, operasi pembedahan
ini dinamakan "pembersihan"; tujuannya adalah
"membersihkan" manusia dengan membuang organ-organ
seksual yang masih tertinggal.)
Hamida berbaring di atas lantai semen, dengan
dikelilingi empat dinding dari semen, tangan dan kakinya
kaku dan diikat menjadi sebuah buntelan tunggal. Di
antara paha-pahanya tergantung gembok besi dari sebuah
ikat pinggang logam yang keras. (Benda ini telah memasuki
sejarah sebagai ikut pinggang keperawanan.) Rantainya
bergemerincing de"ngan membosankan bergeseran dengan
lantai semen itu apabila ia menggerakkan suatu anggota
badan. Di bawahnya, genangan darah merembes melalui
celah-celah di lantai itu. Dinding-dinding itu penuh
percikan darah dalam bentuk jari-jari manusia: darah
139 NAWAL EL SAADAWI yang sudah mengering dan hitam, seperti bercak-bercak,
berjutaan jumlahnya, noda-noda yang di"tinggalkan oleh
setiap umur, ras dan jenis kelamin: anak-anak, laki-laki
dewasa, perempuan, orang tua, putih, hitam, kuning,
merah. Setiap orang memiliki noda khas, sesuatu yang
bersifat individual yang berbentuk seperti jejak sebuah
tangan. Hamida menjulurkan sebuah ujung jarinya yang
kecil ke dalam celah itu; ia keluar kembali basah karena
darah. Ia menghapus darah itu ke dinding, meninggalkan
bekasnya di atas semen, seperti sebuah tanda tangan
pribadi. (Orang-orang yang buta huruf"yang sama
keadaannya dengan Hamida"semuanya menandatangani
dokumen-dokumen resmi dengan cara demikian.) Jarijari yang hitam, berlumuran darah, menjulur untuk
memberikan capnya di atas dokumen-dokumen itu"
jutaan dokumen, yang berisi jutaan cap, semuanya hitam,
baris-barisnya berkelok-kelok dan berbentuk laba-laba,
seperti kaki-kaki kecoa, atau lalat, atau belalang. Jutaan
serangga, yang sedang bertebaran di atas permukaan
bumi, siang dan malam, mendaki jembatan dan dinding
kota, di tikungan setiap jalan, di belakang setiap rumah
dan setiap dinding, di dalam setiap lubang di bumi,
kepalanya yang gundul dan bercukur itu menjulur keluar
140 THE CIRCLING SONG melintasi permukaan tanah, sementara itu tubuhnya
yang kerempeng dan bungkuk tetap di dalam celah-celah
itu. Bagian dalamnya melompong, kosong dari setiap
organ internal, tidak memiliki hati, jantung, perut, dan
usus. Lubang yang luas dan kosong itu menjadi tempat
penimbunan rahasia yang padat dipenuhi rasa benci.
(Di masa-masa itu, hanya tempat inilah yang berada di
luar jangkauan pihak keamanan. Namun baru-baru ini,
pihak militer telah membuat kemajuan-kemajuan besar;
di bidang pengobatan misalnya mereka menciptakan alat
x-ray yang dapat memperlihatkan benda-benda asing di
dalam tubuh manusia dan sebuah speculum elektronik
yang ditempatkan di dalam anus dapat memperlihatkan
segala kandungan lubang sebelah dalam.)
Sinar x-ray itu menyoroti atas perutnya yang
membengkak itu, memperlihatkan lubang yang penuh
sampai melimpah-limpah dengan rasa benci, yang
berhimpitan lapis demi lapis, jutaan lapis yang tipis-tipis,
seperti lembaran-lembaran tipis dari logam yang hampir
saja tembus cahaya yang dikumpulkan satu di atas yang
lainnya sehingga membentuk sebuah tumpukan yang
padat dari logam yang keras. Dokter itu menyelidikinya
dengan jari-jarinya yang lembut dan terrawat hati-hati
sekali dan mengeluarkan sebuah teriakan.
141 NAWAL EL SAADAWI "Serbuk mesiu." Beliung-beliung itu menghujani ke
bawah, membelah-belah bumi, membalikkan tanah, sambil
membalikkan celah itu sendiri yang telah dibuatnya.
Beliung-beliung itu terantuk pada tempat penyimpanan
serbuk mesiu itu, semua"nya. (Sejarah telah merayakan
keberhasilan x-ray itu karena mene"mukan pembengkakan
yang disebabkan kanker di dalam tubuh.)
Namun kanker adalah penyakit yang licik, lebih
pintar dari sejarah, dan terus tumbuh dengan dalam di
dalam rahim. Ketika Hamida meletakkan tangannya di
bawah perutnya, ia merasakan tumor itu, yang hangat
terasa di tangannya, menyemburkan panas tubuhnya,
dan pulih keyakinannya. Ia mencium bau yang biasa di
jari-jarinya"sebuah bau yang merupakan sisa-sisa dari
onggokan kotoran dulu, tempat sampah, atau gumpalan
daging yang mati. Ia menghisap jari-jari itu dalam-dalam;
karena itu adalah bau kehidupannya.
Hamido memalingkan kepalanya ke arahnya,
karena tertarik oleh bau yang sama-sama mereka miliki.
Diperkirakan ia dapat saja menjarakkan dirinya dan
melarikan diri, namun sebaliknya ia mendekati perempuan
itu, didorong oleh nasib mereka yang serupa. Ia berhenti di
samping mayat itu, sambil membuka gulungan tubuhnya
yang tinggi itu dan menguraikan secara rinci garis besar
142 THE CIRCLING SONG yang panjang, kurus, dan bungkuk dari bayangannya di
atas aspal itu. Pisau putih itu jelas sekali tergantung sejajar
dengan paha"nya, noda-nodanya yang hitam dan seperti
darah itu jelas kelihatan. Ia memenuhi dadanya dengan
udara malam, dan sadar bahwa ia telah dilahirkan tanpa
seorang ibu, bahwa kakeknya dari pihak ayah adalah
seorang tentara dalam pasukan militer Muhammad Ali*
dan ia telah dibunuh di dalam penjara.
Ia mengetahui secara tiba-tiba"dan seolah-olah
hal itu adalah sebuah kebenaran yang sama pastinya
dengan kematian " bahwa penjara telah menjadi suratan
nasibnya. Ia tidak melakukan perlawanan apa-apa,
tetapi membiarkan tubuhnya terpincang-pincang dalam
cengkeraman besi itu. Sudah lama ia tertangkap, ia telah
dilatih bahwa menyantaikan tubuh adalah mengurangi
ketegangan yang harus ditanggungkannya. Memang,
ketegangan itu telah mengering dari pori-porinya yang
terbuka, dari mata dan telinganya, dari hidung dan
anusnya. Kini, tidak ada yang tampak sama brutalnya,
pukulan atau perasaan bahwa tubuhnya membengkak,
atau dibakar dengan api (sekurang-kurangnya, sebelum
ditemukannya tenaga listrik).
Tubuhnya jatuh terpincang-pincang ke tanah,
dan ia merentangkan tubuhnya sejauh yang mampu
143 NAWAL EL SAADAWI dilakukannya. Dari bawahnya, mengalir jejak darah cair
yang menyelinap ke dalam celah-celah di tanah. Dindingdinding itu berisi noda-noda yang kelihatannya seperti
darah, masing-masingnya dalam bentuk lima jari dan
sebuah telapak tangan. Jutaan noda, yang ditinggalkan
oleh setiap zaman, setiap ras, setiap jenis kelamin: anakanak, laki-laki, perempuan, orang tua, putih dan hitam,
kuning dan merah. Dan masing-masingnya mimiliki
noda khas yang membedakannya.
Hamido bangkit berdiri dari lantai itu, menyandarkan
tubuhnya ke dinding itu, dan meninggalkan bekasnya
di lantai semen itu, seperti sebuah tandatangan pribadi.
(Orang-orang yang terhukum"orang-orang yang serupa
dengan Hamido"menyegel laporan kepolisian dengan
cara ini.) Jari-jari yang hitam dan berlumuran darah itu
menjulur untuk membubuhkan segelnya di atas laporan
kepolisian itu"jutaan laporan, tersusun dan bertumpuktumpuk, seperti mayat-mayat manusia di Hari Kiamat
(sebelum ditemukan bis menjadikan tumpuk"an mayat
sebagai kejadian sehari-hari). Mayat-mayat ini dibariskan
secara horizontal dan diatur bersebelahan dalam arah
yang berselang-seling"kepala di sam"ping punggung dan
punggung di samping kepala "dan demikian rapatnya
disusun sehingga menutupi setiap inci dari lantai dan
144 THE CIRCLING SONG loteng. Mayat-mayat itu dirapatkan dengan ketat dan
demikian dibekukan bersama-sama sehingga udara
tidak mungkin masuk, dan tidak ada orang yang dapat
merentangkan ta"ngan atau kaki mayat-mayat itu.
Hamido menutup matanya, membuka mulutnya,
dan merintih. Yang lain-lain mengikuti contohnya, dan
jutaan suara bangkit dalam keluasan yang su"ram itu, yang
menghasilkan ketenangan malam. Keheningan itu semakin
kuat sehingga menimbulkan tekanan di telinganya,
sehingga menyebabkannya membuka matanya. Sepasang
kaki, yang telapaknya pecah-pecah dengan buruk sekali,
nyaris menyentuh wajahnya. Langsung ia mengenali
semuanya itu dan berbisik, meniru suaranya: "Hamida."
Namun ia tidak menjawab: ia telah mati, tubuhnya
tertelentang, wajahnya menghadap langit, cahaya bulan
yang putih itu menyinarinya sehingga memberi aspek
bundar dan bengkak dari sebuah kandung kemih yang
meng?"gembung. Ia membuka mulutnya dan mengerang (karena
tekanan air seni). Jutaan erangan muncul di waktu fajar
itu dan menciptakan lagu berkabung nasional (yang biasa
mereka namakan lagu kebangsaan).
Karena mendengar lagu kebangsaan, Hamido me"
nyadari bahwa pagi telah datang. Ia menyeret kaki"nya
145 NAWAL EL SAADAWI keluar dari bawah korset besi itu dan berjalan menuju
kakus"satu-satunya tempat di dunia ini yang membuatnya
merasa optimis. Dari belakang dinding, ia menukarkan
beberapa kata dengan orang-orang lain, sementara
bagian bawah tubuhnya mengeluarkan sebuah benang
dari kencing, setipis dan sebungkuk kerangka tubuhnya,
baunya sama menye"ngatnya dengan baunya. Pada waktu
ini, ia merasa tiba-tiba gembira dan dengan mengejutkan
sekali; sambil mengamati rentangan-rentangan air kuning
itu di sekitarnya, berkilauan di dalam cahaya seperti
gerbang kemenangan, ia melepaskan tawanya yang sangat
terbahak-bahak. Ketawa terbahak-bahak yang keras itu menggema
keras dari kakus itu, jutaan jumlahnya, karena jumlah
itu selalu bertambah dari hari ke hari. Dan di masa-masa
itu, segala peralatan rentan pecah, tentu saja selain dari
peralatan reproduksi dan kawat. Suara itu akan tersebar
sejauh yang dapat dilakukan suara, dan dengan kecepatan
yang sama (dengan pe"rantaraan salah satu peralatan yang
ada di waktu itu) untuk masuk ke dalam telinga besar itu
seper"ti sebuah kerikil tajam. Sebuah jari yang bersih dan
terawat masuk ke dalam telinga-telinga itu, dan kerikil
tajam itu jatuh ke dalam telapak tangannya yang gemuk
dan berdaging. Sambil terus-menerus memandang kepada
146 THE CIRCLING SONG pegawai negeri yang telah ditentukan itu, ia bertanya:
"Apakah mereka tertawa?"
Pegawai negeri itu merendahkan pandangannya,
sebagaimana biasa dilakukan pegawai negeri di depan
tuan besar, tuannya Hamido: "Tidak, tuanku, mereka baru
saja kencing." Hamido masih tetap berdiri di kakus itu. Aliran air
itu belum habis lagi ketika ia melihat pegawai negeri itu
datang melakukan pemeriksaan. Ia merasa takut; dan
ketakutan itu, sama halnya dengan kematian, adalah suatu
makhluk organik, yang terdiri atas daging dan darah. Ia
merasakan darah mengering dari kepala, anggota tubuh,
organ internalnya, meleleh ke bawah untuk berkumpul
di ruang perutnya, dalam sebuah titik tunggal yang
membengkak sehingga men"jadi sama menggelembungnya
dengan kandung kemihnya. Pegawai negeri itu masih
tetap berdiri di depannya, kaki-kakinya berdiri tegak
mengangkang secara kurang ajar, matanya terpaku padanya
de"ngan keberanian pegawai negeri ketika atasannya tidak


The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada, mulutnya terbuka sehingga memperlihatkan gusinya
yang bengkak bernanah, terpengaruh oleh penyakit gusi
(seperti gusi tuannya). Ia merasakan rasa perih yang tajam di bawah di
perutnya. Ia berpaling ke sekeliling. Mereka mem"perketat
147 NAWAL EL SAADAWI genggamannya, dan mayat-mayat itu menekannya dari
segala penjuru, sehingga tidak ada lagi ruang kosong, tidak
ada tempat sama sekali. Satu-satunya ruang kosong yang
dapat dilihatnya hanya mulut terbuka yang berborok,
karena itu ia menujukan pita air itu kepadanya dan
mengosongkan segala ketakutan itu dari tubuhnya.
Hamido membuka matanya. Ia dapat merasakan
genangan di bawahnya, panasnya serupa dengan panas
tubuhnya, dan baunya yang menyengat itu sama dengan
bau kehidupannya. Ia sadar bahwa ia masih hidup dan
sangat kelaparan. Ia menjangkau keluar, menjulurkan
tangannya ke dalam mangkok yang dangkal itu. Jutaan
serangga hitam yang kecil-kecil berkerumun keluar,
mendengung-dengung di sekelilingnya dengan rianggembira, ada yang beterbangan, ada pula yang berjalan,
dan ada pula yang merangkak. Sejumlah kecil darii
serangga-serangga itu melengket ke loteng dan bertengger
di dinding; yang lain menghilang ke dalam celah-celah,
dan satu darinya hinggap di telapak tangan Hamido yang
terbuka. Ia melihat ke antara kaki-kaki itu. Karena melihat
di sana ada sebuah luka lama yang berkeropeng, ia tahu
bahwa itu adalah seorang perempuan, dan ia telah mati. Ia
menepukkan telapak tangannya yang lain ke atasnya, dan
148 THE CIRCLING SONG dia mati kembali. Ia memecah anggota-anggota tubuhnya
yang telah mati itu dan alat perekam itu menangkap
suara itu. (Sebuah alat perekam dari model paling akhir,
dengan ukuran sebesar kacang tanah telah ditanamkan di
dalam salah satu bagian tubuhnya.) Ia menekukkan ibu
jari kakinya sendiri di kaki sebelah kanan dengan bangga
dan merasa dirinya terhormat. Perjalanannya sepanjang
sejarah mempunyai kepentingan, dan itu sebabnya, ketika
lensa-lensa itu dilatihkan pada para pegawai negara, ia
melihat rasa ketakutan melin"dungi mata mereka. Karena
setiap gerakan yang mereka lakukan, akan langsung
diingat terus"meskipun hanya merupakan bunyi sebuah
buku jari (yang disebabkan oleh kerapuhan salah satu
sendi setelah umur empat puluh tahun) atau sebuah jari
yang diangkat untuk menghalau seekor lalat yang hinggap
bertengger di atas hidung seseorang.
Ia menggoyang-goyangkan ibu jari kakinya de"ngan
gaya yang baru dan kreatif. Terlepas dari se"mua"nya itu,
ia menyukai keotentikan dan keaslian, dan membenci
tiruan. Berapa banyakkah gerakan peniruan, tidak otentik
seperti kera, yang diingat terus! Wajah-wajah yang identik,
jari dan ibu jari yang serupa, peniruan demi peniruan,
peniruan yang selalu berulang kali. Suatu kumpulan yang
telah tumbuh bahkan lebih cepat lagi, lebih tinggi dan
149 NAWAL EL SAADAWI lebih tinggi, persis onggokan sampah. Setiap hari, sapi itu
berbaring, dan setiap waktu fajar, ibunya mengumpulkan
kotoran sapi itu, dan membuangnya ke tempat yang
disinari mentari. Namun keesokan harinya, kotoran sapi
itu telah kering dan selalu diingat terus.
Akhirnya, sirup itu muncul, sebuah kumpulan yang
membeku di dasar mangkuk, yang menetap di dasar
perutnya seperti segumpal pelangkin. Ia mengunyah sedikit
bawang untuk mengimbangi rasa asam dari ketimun yang
pahit itu. Ia menyala"kan segulung tembakau dan asapnya
memenuhi dada dan perutnya. Kini ia merasakan sesuatu
yang membuat perutnya terasa penuh, dan bersendawa de"
ngan bunyi keras yang mengisyaratkan rasa percaya diri.
(Ketika itu, hanya laki-laki yang mengalami se"perti itu.)
Hamida mendengar bunyi itu, dan dalam bunyi
itu ia mengenali bau tembakau. Bagaimanapun juga,
ia terbiasa membeli tembakau dari warung untuk
ayahnya atau saudara laki-lakinya atau pamannya,
atau laki-laki lain dari keluarga itu. Pemilik warung itu
akan memberikan kepadanya sebuah gula-gula, yang
dengan segera ia masukkan ke dalam mulutnya, sambil
menyembunyikannya di bawah lidahnya. Ketika pemilik
warung itu meminta satu sen darinya, ia akan membuka
tangannya dan tidak menemukan apapun; ia akan
150 THE CIRCLING SONG membuka matanya dan menemukan lampu itu, seperti
segumpal cahaya, yang menjulang hanya untuk padam
dalam sebuah hembusan angin saja. Dan kegelapan akan
memenuhi pintu itu, seper"ti sebuah tubuh yang tinggi
dan besar, kegelapan yang pekat selain karena dua lubang
yang bundar di puncak kepala, dari mana menembus
sebuah cahaya yang merah, cahaya sebelum timbulnya
waktu fajar. "Siapa kamu?" ia berbisik dengan sebuah suara
ketakutan, nyaris tidak kedengaran. Laki-laki itu menjawab
dengan nada suara serupa. "Hamido." Perempuan itu
memejamkan mata agar laki-laki itu tidak mengenalinya;
ia membiarkan tangannya yang panjang itu memagutnya,
dan napasnya yang panas itu menghangatkan badannya.
Ketika itu musim dingin, dan telinganya, yang demikian
lembut dan kecil, se"perti wadah es.
Laki-laki itu berbisik, sambil mengeluarkan sebuah
napas yang panas ke dalam telinga perempuan itu. "Siapa
kamu?" Perempuan itu tetap tidak berge"rak, telinganya
masih tetap menempel di bawah mulut laki-laki itu, dan
tidak memberikan tanggapan apapun. Perempuan itu
pura-pura tertidur; ia menyembunyikan kepalanya dalam
tebalnya bulu dada laki-laki itu. Dada perempuan itu
151 NAWAL EL SAADAWI tidak lagi turun atau naik. Ia berubah menjadi sebuah
mayat. Namun di waktu pagi, mentari yang miring itu
menyinari kelopak mata perempuan itu. Perempuan
itu melihat tubuh ramping itu di sampingnya, dan
memperhatikan bentuknya yang kurus dan bungkuk.
Bahu laki-laki itu tidak rata, sama dengan bahu yang
dimilikinya; jari-jari laki-laki itu bengkak dan bernanah
karena membersihkan piring-piring, sama seperti yang
dimiliki perempuan itu, dan kuku-kuku di jarinya
juga sama hitam. Perempuan itu langsung tahu bahwa
tubuh ramping itu adalah tubuhnya sendiri, karena itu
ia merangkul laki-laki itu dengan segala tenaganya, dan
menekankan dadanya ke dada laki-laki itu, dan merasakan
garis-garis besar dompet kulitnya persis di bawah payudara
kirinya. Ia lapar, karena itu ia mengambil dan menyelipkan
dompet itu dari kantong laki-laki itu dengan cepat sekali,
se"belum ada orang yang melihatnya.
Ia bersembunyi di balik sebuah dinding dan membuka
dompet itu. Ia melihat fotonya: tertutup tarha hitam, ia
mirip ibunya di malam perkawinannya. Ia menemukan
sebuah perintah dalam tulisan tangan ayahnya, yang
mengingatkannya agar membuang rasa malu itu sejauh
mungkin, dan empat pon dan satu bariza (di masa-masa
152 THE CIRCLING SONG itu, satu bariza menunjuk pada uang logam atau uang
kertas sepuluh piaster). Bariza itu dapat membelikan baginya makanan, dan
dengan dua pon ia membeli sebuah pakaian mini (sejenis
pakaian sempit yang terkenal ketika itu di kalangan
istri yang suci dan berbudi luhur, karena satu-satunya
bagian dari tubuh mereka yang suci itu yang terbuka oleh
pakaian seperti itu adalah lengan, bahu, dada, dan paha).
Dengan dua pon yang masih tersisa, ia membeli sepasang
sepatu yang terbuka jari kakinya dengan tumit tinggi.
(Munculnya sepatu dengan jari-jari terbuka di masa
itu bertujuan untuk memperlihatkan pernis kuku yang
berwarna merah darah yang dipakai oleh para perempuan;
tetapi se"patu ini tertutup di bagian belakangnya sehingga
menutupi tumit pecah-pecah di kaki perempuan itu yang
diakibatkan oleh pekerjaan rumah tangga.)
Hamida berjalan di sepanjang jalan itu, sambil
menjaga keseimbangan tubuhnya karena mengenakan
sepatu bertumit tinggi, dengan lengannya, pahanya, dan
kerongkongannya terbuka, pakaiannya dipotong rendah
sehingga memperlihatkan payudaranya. Ia menjadi mirip
nyonyanya, dan meskipun berjalan persis di dekat shawish
(ketika itu merupakan sebuah istilah umum untuk anggota
kepolisian) polisi itu tidak menangkapnya. Kenyataannya,
153 NAWAL EL SAADAWI ketika ia lewat di depannya tanpa diketahui, polisi itu
menekurkan kepalanya dan selalu memandang tanah di
depannya saja. (Ini dinamakan "menghindari pandangan"
dan telah dilatih di depan ibu-ibu yang nama baiknya
tidak tercela. Ia telah mempelajari cara-cara itu selama
pelatihan.) Sambil mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, pe"r"em"
puan itu bergerak dengan langkah-langkah yang gemulai
dan bergoyang. Ia mengayunkan bahunya yang tidak
tertutup itu, bahu kiri tampaknya lebih tinggi dari bahu
kanan. Payudara kirinya lebih tinggi dari payudara
kanannya (karena dompet tebal itu disembunyikan di
bawah payudara kirinya), dan pantatnya, yang satu lebih
tinggi dari yang lain, bergoncang ketika ia melanjutkan
perjalanannya. Ia mundur beberapa langkah dari polisi itu dan
meletakkan tangannya di atas dompet itu. Kulit dompet
itu halus seperti air liur yang menetes dari jari-jari orang
setelah memakan kue bolu yang manis. Suatu aliran darah
yang hangat mengalir dari payudara kirinya ke perutnya,
dan terus ke paha dan kakinya, dan setelah itu naik ke
kepala, telinga dan hidungnya, dan jatuh sekali lagi ke
jantungnya, sambil mengikuti perputarannya yang normal
dan berulang-ulang, serta mengirim ke dalam sel-sel yang
154 THE CIRCLING SONG tidak bergerak itu sebuah dorongan yang memberikan
kepadanya sebuah perasaan yang menyenangkan.
Ia menggerakkan rahangnya, dan mengunyah rasa
senang itu sampai terlebur ke dalam air liurnya dan
menelannya sekaligus. Rasa senang itu bercampur dengan
darahnya dan berputar dari kepala ke kaki, dan dari kaki
ke kepala. Kepalanya mulai berputar, dan ia bersandar ke
belakang ke sebuah tonggak lampu. Alis matanya terkulai
layu, sehingga jalanan menjadi gelap dan langit berubah
menjadi gelap tidak berbulan. Cahaya biru yang bundar
itu menyinari wajahnya, dan ia langsung mengenalinya.
(Tuannya selalu mengecat lampu depan mobilnya dengan
warna biru, agar tidak dilihat atau dikenal oleh seorang
pun ketika berkeliling di malam hari.) Ia membuka
pintu mobilnya dan keluar, berjalan berkeliling dan
membukakan pintu itu untuk perempuan itu, menunggu
sampai ia duduk, lalu menutup pintu mobil itu dan
berputar di sekeliling mobil itu sekali lagi, sampai ke
pintunya sendiri, membukanya, lalu duduk dan menutup
pintu itu. (Tuannya telah terlatih dalam gerakan berputar
ini di Fakultas Seni dan Protokol.)*
Tumit sepatunya tenggelam ke dalam permadani yang
tebal itu, lembut seperti adonan, dan sepatunya terbuka,
sehingga memperlihatkan telapak kakinya yang pecah155
NAWAL EL SAADAWI pecah. Ia menyembunyikannya di bawah tutup kecil dari
sutera itu. Tubuhnya diletakkan dalam posisi horisontal
di atas sesuatu yang lembut "lebih lembut dari adonan"
dan ia menyantaikan otot-otot di pantatnya, yang telah
menjadi kebas karena terlalu lama berdiri di balik tonggak
lampu itu. Tubuhnya mulai tenggelam ke dalam adonan
itu: kaki, tungkai, dada, terus ke atas sampai ke leher.
Hanya kepalanya yang masih kelihatan, yang muncul ke
atas permukaan itu. Kepalanya secara perlahan-lahan mulai tenggelam:
pipi, mulut, hidung. Matanya terbelalak ketakutan, karena
sadar mungkin ia tidak akan bisa bernapas. Dan rasa
takut itu diebabkan oleh suatu makhluk organis, yang
terdiri atas daging dan darah. Ia muncul di depannya
sekarang dalam bentuk sebuah makhluk yang aneh, tidak
serasi bentuknya dengan kepalanya seperti kepala seorang
manusia, dan tubuhnya seper"ti tubuh monyet. Kepalanya
botak, dicukur sampai licin mengkilat, sementara itu
dadanya bak sebuah hutan bulu, dengan pantatnya bulat
dan licin seperti kepalanya, kulit di bagian belakangnya
memperlihatkan warna merah darah yang sama tembus
cahaya"nya dengan wajahnya. Makhluk itu memiliki
bibir yang kemerah-merahan, sedikit menganga sehingga
memperlihatkan sebuah lidah yang panjang dan tajam,
156 THE CIRCLING SONG persis mata pisau yang putih dengan sebuah mata logam
yang keras, sedangkan di ujungnya terdapat sebuah lubang
di mana kematian berbaring menunggu.
Ia berteriak"sebuah teriakan yang ditahan dan tidak
kedengaran"dan mengerutkan alis matanya ke atas karena
rasa takut itu. Namun rasa takut itu menjalar ke dalam
kerongkongannya (melalui saluran kelenjar air mata yang
menghubungkan mata de"ngan telinga) dan berhenti
di situ, bergulung-gulung sehingga menjadi sebuah
gumpalan. Ia menegangkan otot-otot kerongkongannya,
dan meludahkannya sekuat tenaganya, sehingga semburan
yang halus keluar seperti air mancur dari mulut, hidung,


The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan telinganya. Tuannya tertawa terbahak-bahak seperti anak kecil,
sehingga pipinya yang tembam itu ke atas sehingga nyaris
menutupi matanya. Perempuan itu sadar bahwa laki-laki
itu tertidur sebentar lagi. (Penghormatan kerajaan itu telah
berbunyi, yang mengumumkan berakhirnya jambore.)
Ketika dengkurnya memenuhi ruangan itu, ia membuka
kancing keemasan itu di dadanya dan mengambil dompat
kulit yang tebal itu yang telah menekan dada laki-laki itu.
Sambil membuka pintu itu diam-diam, ia keluar
dan pergi"dengan perlahan-lahan dan dengan pasti"ke
157 NAWAL EL SAADAWI mobilnya sendiri, yang dia buka dengan sebuah anak
kunci perak yang berkilauan seperti yang pernah dimiliki
nyonyanya. Mobil itu berjalan dengan mulus di atas aspal
yang lembut itu se"perti sebuah sampan kecil yang molek
menggelin"ding melalui air itu. Ia lewat di samping polisi
itu, de"ngan tubuh yang berdiri tegap seperti tonggak lampu
itu. Ia menggigil (seakan-akan sebuah sengat"an listrik
telah mengalir di sekujur tubuhnya) dan mengangkat
telunjuk kanannya untuk meraba telinga kirinya (sebuah
gerakan suci di masa-masa itu yang melambangkan rasa
cinta kepada tanah air). Perempuan itu menjulurkan kepalanya keluar dari
jendela mobil. Cahaya bulan menyinari wajah"nya. Jalan
itu sepi selain dari tonggak lampu itu, yang berdiri lurus
di kedua jalan itu. Di sebelah kanan, tangan-tangan
dinaikkan tinggi-tinggi, sedang"kan di sebelah kiri, sebuah
jari diletakkan di setiap telinga.
Ia menyadari noda-noda hitam di atas jari itu dan
berbisik: "Hamido!" Tetapi Hamido tidak mendengar
apa-apa, dan terus saja berdiri dengan tegang, kepalanya
diangkat ke atas dan meletakkan sebuah jarinya yang
hitam ke telinganya. (Orang-orang yang bepergian di luar
negeri terbiasa melihat tugu ini sebagai pahlawan yang
158 THE CIRCLING SONG tidak dikenal, yang dibangun di pintu masuk setiap ibu
kota.) Hamida merentangkan tangannya dan memegang
tangan laki-laki itu. Jari-jari laki-laki itu sama de"ngan jarijarinya, dan garis-garis di atas telapak ta"ngan laki-laki itu
menyerupai apa yang dimilikinya. Karena gejolak simpati
yang menggebu-gebu"nasib mereka adalah sebuah nasib
bersama"perempuan itu mencoba menekuk tangan lakilaki itu ke bawah. Namun lengan yang terbuat dari batu
itu, yang diangkat dengan lelah, tidak mau bergerak.
Perempuan itu mengangkat matanya dan memperhatikan
mata yang lebar bak kayu hitam bercahaya dengan air
mata yang sesungguhnya, sesuatu seperti anak-anak.
Air mata itu menetes ke pipinya, masih tetap hangat,
menjalar ke sudut mulutnya dan ke bawah lidahnya,
pahit rasanya. Ia menelannya. Air mata hangat yang lain
jatuh ke atas pipinya, dan mengalir ke dalam hidungnya,
sama pahitnya, jadi ia mene"lannya lagi. Rasa sedih mulai
menyerangnya dari segala penjuru, melalui setiap pori
dan setiap lubang, tertumpah ke hidung, mulut, dan
telinganya seperti tepung yang halus. Namun butir-butir
itu tajam sekali, seperti serpihan gelas yang pecah, dan
me"nembus sampai terbelah selaput tipis yang terletak
di belakang hidung, mulut dan lubang tenggorok"annya.
159 NAWAL EL SAADAWI Perempuan itu terbatuk-batuk dengan keras, dan dari
dadanya memancar sebuah cairan putih yang mengalir
melalui sebuah saluran yang panjang dan sempit yang
menghubungkan jantung ke tenggorokan, hidung,
telinga, dan mata. Ia memancarkan lendir dari matanya,
mulut, dan telinganya, sambil mengeluarkan air mata itu
dari hidung, mulut dan telinganya, sementara itu ada zatzat yang memancar melalui goresan darah yang seperti
rambut itu. Ia mengangkat wajahnya memandang cahaya bulan
itu, yang telah menjadi sangat putih sekali dan tidak
berisi goresan-goresan darah. Roman mukanya aneh;
sesungguhnya ciri khas yang saling bertentang"an itulah
yang menarik perhatian. Dagunya kecil, bulat, dan lembut
seperti dagu anak-anak, sedangkan keningnya menonjol,
kasar dan berkerut-kerut se"perti kening seorang tua.
Bibirnya seperti anak dara, yang terbelah dalam suatu
kekurangan yang tidak dapat dipuaskan"seperti bibir
istri yang terhormat. Pipinya menggelembung dengan
suatu kera"kusan yang tajam dan tidak dapat dipuaskan"
seperti pipi seorang suami yang terhormat. Hidung lurus
dan mendongak ke atas karena bangga pada di"rinya
sendiri, dengan keangkaraan para penjahat dan me"reka
yang berada di luar hukum, sementara itu telinganya
160 THE CIRCLING SONG kecil, pasrah dan tidak berge"rak, se"perti yang dimiliki
para pegawai pemerintah. Matanya hitam dan lebar,
tampaknya mengandung suatu pandangan yang primitif
dan tidak tahu malu, diangkat ke atas dan menatap ke
depan, tidak menghindari pandangannya seperti yang
dilakukan oleh mata perempuan yang sederhana, pada
saat ia memandang ke bawah, karena pemalu dan merasa
malu karena pikirannya yang tidak sopan.
Semuanya itu merupakan wujud yang aneh, dan
sangat saling bertentangan. Bahkan yang lebih aneh lagi,
wujud sifat yang saling bertentangan itu serasi dengan
sifat-sifat itu sendiri, dalam suatu cara yang berimbang
dan biasa. Memang, keserasian dan keseimbangan itu
demikian menonjolnya sehingga mencapai suatu tingkat
daya tarik yang sangat tidak biasa, dan ketidakbiasaan
itulah yang menarik perhatian. Seolah-olah sifat-sifat
inilah yang menandai tidak hanya sebuah wajah tetapi
dua, tiga atau empat, atau seolah-olah wajah itu sama
sekali bukan sebuah wajah, tetapi sesuatu yang lain.
Ini adalah sesuatu lain yang menimbulkan keraguraguan dan ketercengangan, dan kegelisahan, dan bahkan
rasa marah. Wajar apabila seseorang menjadi marah jika,
sambil melihat ke wajah seorang lain, yang dilihatnya
bukan jiwa orang lain itu, tetapi sebaliknya, bagian161
NAWAL EL SAADAWI bagian dari pribadinya sendiri. Dan juga wajar sekali, jika
kemarahan seseorang itu menjadi semakin mendalam jika
bentuk dari bagian-bagian pribadi ini tidak biasa atau tidak
alami. Karena pada dasarnya bagian-bagian yang pribadi itu
memiliki sebuah bentuk yang menimbulkan rasa malu dan
melanggar kehormatan"sebagaimana juga mengandung
bau kotoran (tidak berbeda de"ngan bau keringat, kencing,
atau hal-hal beracun lain yang dikeluarkan tubuh). Namun
bagi mereka, memiliki suatu bau yang manis adalah amat
aneh sekali, karena menunjukkan tubuh itu menahan
ke"ringat dan racunnya. Dengan sangat segera bagian
dalamnya itu menjadi serba busuk dan mengeluarkan bau
kotoran. Namun demikian, wajah akan tetap bersih dan
putih, dihiasi sifat-sifat yang menunjukkan kebangsawanan,
sebagaimana juga asal usul keluarga yang lama dan
terhormat (dan ciri khas lain yang berbudi halus seperti
itu, sebagaimana tergambar dengan jelas di wajah orangorang bangsawan"yang serupa wajah tuannya).
Wajah tuannya berpaling ke arahnya pada saat Hamida
berdiri di keremangan cahaya bulan itu. Matanya yang
hitam dan terbuka lebar itu membalas tatapan matanya
yang lama itu, tanpa meng"alihkan atau menjatuhkan
pandangannya. Tuannya marah sekali sampai-sampai ia
ingin meludahi wajah perempuan itu. Namun tuannya itu
162 THE CIRCLING SONG terbiasa menyem"bunyikan dan menekan rasa amarahnya
sehingga tidak dapat lagi menyebabkan sebuah gerakan
wajah, selain tiba-tiba dari sebuah otot kecil di sudut hi"
dungnya menciut, yang menarik bibirnya ke sam"ping
sehingga tampak"bagi mata yang memandang"sebagai
sebuah senyuman. Karena perempuan itu tidak mempunyai janji lain, ia
naik ke dalam mobil itu. Mereka melewati bagian depan
dari tempat tinggalnya yang utama di Zamalek.* Ia melihat
nyonyanya memandang ke bawah dari jendela yang tinggi
dan dihiasi ornamen. Meskipun kepalanya seukuran
kepala peniti (karena sangat tinggi), tuannya itu masih
dapat melihatnya. Sambil menyembunyikan wajahnya
dengan tangan kanannya, ia menginjak gas dan mobil
melejit pergi sebelum ada orang yang dapat melihatnya. Ia
menyetir mobil itu perlahan-lahan di sepanjang Jalan Nil
dan melintasi jembatan itu; sekarang masuk ke kawasan
Bulaq,* di mana ia memiliki sebuah tempat tinggal kedua.
(Setiap suami yang terhormat di masa itu memiliki sebuah
tempat tinggal kedua selain tem"pat tinggal utamanya, dan
jumlah tempat tinggal kedua itu bertambah sesuai dengan
bertambah tinggi posisinya.)
Dengan cepat laki-laki itu membuka pakaiannya
(seperti kebiasaan mereka yang terlibat dalam hal-hal
163 NAWAL EL SAADAWI penting) lalu menaikkan kakinya dan meletakkannya
di pinggir tempat tidur itu, sedangkan kakinya yang
satu lagi tetap di lantai. (Laki-laki itu terlatih berdiri
dengan satu kaki selama menjadi pegawai negeri.) Secara
kebetulan pula, tepat pada saat perempuan itu berpaling
kepadanya; ia menemukan bukan alat pembunuh
itu tetapi menemukan luka lama yang te"lah tertutup.
Orang mungkin mengharapkannya tampak kaget,
namun tampaknya perempuan itu tidak melihat sesuatu
apapun yang membuatnya merasa tidak puas, karena ia
mengayunkan kepalanya ke arah dinding itu acuh tak
acuh. Di sana, di dalam sebuah kerangka yang mengkilat
itu, ia melihat nyonyanya berpakaian militer. Kedua mata
nyonyanya itu terpaku pada onggokan yang telanjang itu,
dan ia mengikuti gerakan-gerakan itu dengan pandangan
seorang hakim yang sabar, bahkan juga cemberut,
sementara itu ia menjepretkan kamera dengan cepat di
setiap sudut. (Tambahan: foto-foto ini disimpan dalam
arsip Biro Intelijen.) Dengan demikian, wajah Hamida menjadi terkenal
luas. Setiap kali ia mengintip dari jendela mobil, leherleher menjulur ke arahnya"meskipun, tentu saja,
kepala-kepala itu dijulurkan dengan perlahan-lahan.
Wajahnya ditempel di dinding-dinding, dan ditempatkan
164 THE CIRCLING SONG di setiap sudut jalan. Di tempat itulah ia biasa berdiri
dan menunggu, dan kadang-kadang, jika penantian itu
tampaknya berlangsung lama tanpa henti-henti, ia akan
melihat ke atas dan melihat fotonya tergantung di sana,
dengan bibir terbelah dalam sebuah senyuman yang
meluap-luap, sementara dari sudut mulutnya air liur
panas dengan untaian yang panjang mengalir ke atas ke
pinggir hidungnya dan setelah itu menukik ke bawah ke
ruang antara hidung dan mata.
Dengan telapak tangannya, ia akan menghapus air
lembab itu dari wajahnya dan kemudian mengusapkan
tangannya di dinding itu. Di situ, tergambar di dinding
itu, akan tampak telapak tangan dan lima jari manusia.
Ketika angin malam berhembus di atasnya, dan mentari
bersinar di atas kepalanya, tangan itu menjadi kering,
sehingga mengubah noda-noda hitam itu menjadi warna
darah yang telah mengering.
Cahaya mentari itu menyinari mata Hamido pada
saat laki-laki itu tidur berdiri di samping dinding itu. Ia
membuka matanya dan melihat telapak ta"ngan itu dan
jari-jari hitam yang menjulur itu. Jari-jari perempuan itu
sama dengan jari-jarinya, dan garis-garis di atas telapak
tangan perempuan itu menyerupai garis-garis di telapak
tangannya. Bibir laki-laki itu terbelah, sambil berteriak:
165 NAWAL EL SAADAWI "Hamida!" Ia menarik senjata pembunuh itu ke atas dari
sam"ping pahanya, namun persis di saat itu ia melihat
sekilas anak kunci perak berkilauan itu menjulur di
antara jari-jarinya, dan sadar bahwa perempuan itu
adalah nyonyanya. Ia menyembunyikan alat itu di dalam
kantongnya dalam sekejap, dan membiarkan anak kunci
itu tergantung di belakang pahanya, dan berdiri di
tempatnya dengan tegap, otot-otot punggungnya menjadi
tegang dan tangan kanannya dinaikkan, alis matanya
berkerut ke atas matanya seperti sebuah tirai.
Ketika bunyi mobil itu telah menjauh, ia membuka
matanya untuk melihat punggungnya yang runcing itu
membelah kegelapan yang kemudian menelannya. Ia
mengendurkan otot-otot bagian belakangnya, membiarkan
tangannya jatuh ke bawah, dan merasa tenteram sekali. Ia
memenuhi dadanya dengan udara malam, dan mencoba
mengingat bagaimana bentuknya ketika ia masih menjadi
anak kecil"bentuk tubuhnya ketika ia tersenyum atau
tertawa"namun ia tidak dapat mengingat apa-apa. Tidak
ada masa kecil yang akan diingat, tidak ada senyuman,
tidak ada ketawa. Ia mendengar bunyi derap kakinya yang berat di
tanah: kanan, kiri, kanan, kiri. Lub dub lub dub. Bunyi
yang lambat dan teratur itu, dengan diselang-selingi masa
166 THE CIRCLING SONG tenang yang sehitam kematian. Ia batuk dan meludahkan
segumpal air liur yang bercampur warna darah. Cemeti
buluh itu mengenai punggungnya; sengatannya
mengatakan kepadanya bahwa ia telanjang dan belum lagi
mati. Ia kehilangan perasaan optimisnya dan meludah
sekali lagi. Karena mendengar nada irama suara yang
memerintah dari suara yang tidak asing itu, ia menarik alat
itu dari sarungnya yang hitam, dan memandang dengan
hati-hati sekali ke titik yang ada di pertengahan antara
kedua matanya. Suara parau itu berteriak: "Tembak!" Ia
pun menembak.

The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh tinggi dan bungkuk itu jatuh; sebuah berkas
darah yang panjang mengalir dari sebuah lubang yang
ada persis di pertengahan dari tonjolan yang menonjol
di pertengahan kening. Darah itu melintasi mata, pipi,
hidung, dan bibir orang itu, sehingga mengitari dagunya
yang kecil dan bundar seperti anak-anak itu.
Ia bukan anak kecil, tetapi lebih merupakan ratusan
juta anak, yang tubuhnya terguling-guling di aspal. Setiap
wajah anak-anak ditandai oleh sebuah kumparan darah
panjang yang mengalir dari mata ke hidung, dan begitu
juga sebaliknya. Mentari menyinari aspal itu, langit
berubah menjadi biru yang murni, dan dewa-dewa mulai
kelihatan, berkumpul beramai-ramai, sambil duduk
167 NAWAL EL SAADAWI berbaris-baris, kaki yang satu di atas kaki yang lain, sambil
merokok dari sebuah pipa air.
Hamido menjulurkan kakinya; kaki satunya ber"
tabrakan dengan kaki yang lain. Ia merentangkan
tangannya; saling bertabrakan. Ia tenggelam dalam sebuah
lautan yang terdiri atas tubuh-tubuh yang mati. Ia mulai
mengarungi lautan yang luas itu dengan menggunakan
tangan maupun kakinya. Ia berhenti sesaat untuk menarik
napas, dan berputar ke sekeliling untuk menemukan di
mana ia berada dan siapa yang telah membawanya ke
tempat ini. Ia tidak dapat mengingat apa-apa selain bahwa
ia pernah menjadi anak kecil, dan bahwa ada sebuah
tinju kuat yang telah mendorongnya dari belakang dan
melemparkannya ke dalam lautan itu. Ia melihat tangan
yang digambarkan di dinding itu: sebuah telapak tangan
besar seperti yang dimiliki ayahnya, tetapi dengan jarijari yang bengkak dan pecah-pecah seperti yang dimiliki
ibunya. Bibirnya terbuka; ia berteriak; "Mama!" Mata
ibunya yang hitam itu memandang kepadanya, tarha
hitam menutupi kepala dan leher, lengan, dan perutnya.
Perempuan itu sedang berdiri tidak jauh dari
sana, tubuhnya yang tinggi itu tidak bergerak, busung
dadanya ketat dan diam di samping kepalanya. Lakilaki itu meletakkan kepalanya di dada perempuan itu,
168 THE CIRCLING SONG dan membenamkan hidungnya di antara payudaranya.
Namun tangan ibunya yang kuat itu mendorongnya jauhjauh, sehingga menyebabkannya melihat ke arah ibunya
itu. Di sana ia melihat mata ayahnya yang lebar, dengan
garis-garis merah bersinar-sinar seperti ular-ular yang tipis
di atas bagian yang putih itu, dan ia mendengar suara
ayahnya yang kasar itu. "Hanya darah yang dapat menghapus rasa malu."
Ia mendekati ayahnya, sambil memandang de"ngan
mantap dan terus-menerus ke dalam matanya. Lapisan
merah yang ada di atas bagian putih itu bergetar.
(Seseorang merasa takut jika melihat sebuah mata yang
terbuka memandang kepadanya tanpa berkedip, karena
pandangan seperti itu berarti sedang memperhatikannya
dengan seksama untuk melihatnya bagaimana ia yang
sesungguhnya.) Ayahnya memunggunginya, dan hanya dengan satu
langkah ke belakang, cahaya lampu tepat menyinari di
atas wajahnya. Ia mengangkat sebuah telapak tangan
yang besar itu untuk menyembunyi"kan wajahnya, namun
cahaya itu memperlihatkan tubuhnya yang tinggi dan
besar ketika ia berdiri di sana, sambil menghalangi
pintu itu. Ia meniup gumpalan cahaya itu dan pergi ke
169 NAWAL EL SAADAWI luar. Kegelapan itu sekarang telah menjadi pekat sekali
sehingga tidak mungkin lagi dapat membedakan lantai
dari dinding, atau dinding dari loteng. Kakinya yang besar
dan tidak mengenakan alas itu tersandung ambang pintu
yang sedikit ditinggikan itu. Namun ia mendapatkan
keseimbangan kembali, dan meloncat ke depan seperti
seekor harimau kumbang di atas kaki yang diregangkan
itu. Ia maju terus, dengan perlahan-lahan dan hati-hati,
dengan menginjak sesu"atu yang tampaknya mirip sekali
sandal jepit kulit yang dipakai orang-orang di daerah
pedesaan. Hamido berteriak, suaranya seperti suara anak kecil
namun tubuhnya bukan tubuh anak kecil. Tangannya
dimasukkan ke dalam saku, yang sama panjangnya dengan
sebuah sarung senjata, dan menge"luarkan alat logam yang
keras itu. Ia menentukan tempat di pertengahan antara
lingkaran yang putih itu, yang di atasnya berkilauan jalurjalur merah, dan terlihat. Ia menahan napas dan menutup
mata"nya, lalu menarik pelatuk itu.
Laki-laki itu membuka matanya dan melihat
tubuh yang tinggi dan bungkuk itu terentang di cahaya
mentari, matanya yang terbelalak itu melihat ke atas
dan tangan kanannya terjuntai ke sebelah, mencoba
memegang sesuatu. Hamido membuka jari-jari itu, dan
170 THE CIRCLING SONG mata uang penny itu jatuh ke dalam telapak tangannya.
Ia menggenggam mata uang penny itu dan pergi ke
warung untuk membeli tembakau. Ia membeli sebuah
gula-gula dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Ia
membalikkan tubuhnya untuk pulang, namun penjaga
warung itu memintanya menyerahkan mata uang penny
itu. Ia membuka telapak tangannya dan mata uang penny
itu sudah tidak ada di genggamannya. Penjaga warung itu
mengambil tongkatnya dan berlari mengejar Hamido.
Walaupun tubuhnya kecil dan ringan, tetapi ia
dapat terbang seperti seekor burung pipit. Sudah pasti
ia tidak akan terkejar oleh penjaga warung itu (wah,
seandainya ia dapat menjadi seekor burung pipit yang
sesungguhnya!) Namun sebuah perasaan yang berat
muncul secara kebetulan, tiba-tiba dan persis yang terjadi
di dalam mimpi. Ia merasakan tubuhnya tidak berfungsi;
sepertinya tubuhnya telah berubah menjadi batu, menjadi
sebuah patung yang kakinya tertanam di dalam tanah, dan
tangannya terpaku di tempatnya dengan besi dan semen.
Paha"nya yang diseret terbuka, tampaknya telah berubah
menjadi pualam. Pada masing-masing kaki ditanamkan
sebuah paku, seakan-akan telah disalib. Ranting bambu
itu mengayun ke udara, panjang dan tipis, melengkung
seperti sebuah busur panah, dan meluncur ke bawah
171 NAWAL EL SAADAWI ke sesuatu yang lunak dan hangat, seperti daging yang
hidup. *** Ketika Hamido membuka matanya, cahaya siang hari
telah memenuhi kamar itu. Ia merasa yakin bahwa
apa yang telah dilihatnya itu hanya sebuah mimpi. Ia
melompat bangun dari tikar itu dan berlari keluar ke jalan.
Teman-temannya"semua anak dari para keluarga yang
berdekatan"sedang bermain seba"gaimana biasanya di gang
sempit yang memanjang di sepanjang dinding yang terbuat
dari bata lumpur itu. Masing-masing anak memegang
tangan anak di sampingnya, sehingga membentuk sebuah
lingkaran yang berputar terus-menerus. Suara yang halus
melengking tinggi dari nyanyian mereka melingkar ber"
sama-sama dengan gerakan tubuh mereka, mengeluarkan
sebuah nyanyian tunggal, yang terdiri atas satu bait yang
diulang-ulang dalam lingkaran yang tidak henti-hentinya,
dan tanpa terputus-putus:
amida mempunya seorang bayi,
Ia menamakannya Abd el-Samad,
Ia meninggalkannya di tebing terusan itu,
Layang-layang itu menukik ke bawah dan
merampas kepala anaknya! 172 THE CIRCLING SONG Husy! Husy! Pergilah kamu!
Oh layang-layang! Oh moncong monyet!
Karena mereka berputar-putar dan menyanyi tanpa hentihentinya, maka tidak mungkin menentukan permulaan
atau akhir nyanyian itu dengan telinga saja, persis
sebagaimana juga tidak mungkin mengatakan dengan
melihat di mana lingkaran itu bermula dan berakhir.
Karena mereka adalah anak-anak, dan ketika anakanak bermain mereka saling berpegangan tangan untuk
membentuk sebuah lingkaran yang tertutup.
*** Namun semuanya memang mempunyai sebuah akhir,
karena itu aku harus mengakhiri kisah ini. Meskipun aku
tidak tahu titik akhir dari kisahku ini. Aku tidak mampu
menentukannya dengan tepat, karena akhir kisah ini
bukan sebuah titik yang menonjol ke luar dengan jelas
sekali. Sesungguhnya, tidak ada akhir, atau barangkali
lebih tepat jika dikatakan bahwa akhir dan permulaan itu
dihubungkan oleh sebuah untaian tunggal dan jungkir
173 NAWAL EL SAADAWI balik; di mana untaian itu berakhir dan di mana dimulai
hanya dapat dirasakan dengan kesulitan yang besar.
Di sinilah terletaknya kesulitan dari segala akhir,
terutama sekali akhir dari sebuah kisah yang se"sung"guhnya,
akhir dari sebuah cerita yang sama benarnya dengan
kebenaran itu sendiri, dan sama pastinya dalam rinciannya
yang paling halus dengan kepastian itu sendiri. Kepastian
itu meminta penulis, laki-laki maupun perempuan, untuk
tidak menghilangkan atau menyia-nyiakan sebuah titik
yang tunggal. Karena bahkan satu titik"sebuah bintik
" dapat mengubah keseluruhan saripati dari sebuah kata
dalam bahasa Arab. Laki-laki menjadi perempuan karena
sebuah garis kecil atau sebuah titik. Demikian pula, dalam
bahasa Arab, perbedaan antara "suami" dan "keledai",
atau antara "janji" dan "bajingan", tidak lebih dari sebuah
titik yang diletakkan di atas bentuk tunggal itu, sebuah
tambahan yang mengubah sebuah huruf menjadi huruf
yang lain. Di sinilah pentingnya sebuah titik yang ditentukan
dengan jelas, sebuah titik yang sesungguhnya dalam
pengertian geometris sepenuhnya dari kata-kata itu.
Dengan kata lain, ketepatan ilmiah adalah suatu hal yang
tidak dapat dihindari dalam karya seni ini, yaitu novelku
ini. Namun ketepatan ilmiah dapat pula merusak atau
174 THE CIRCLING SONG menyelewengkan sebuah karya seni. Namun perusakan
dan penyelewengan itulah persisnya yang kuinginkan,
yang kutuju dalam kisah ini. Hanya di saat seperti itulah
kisah ini akan menjadi sama benar, jujur dan nyatanya
dengan "kehidupan yang hidup". Karena pada saat-saat
tertentu, kehidupan itu mungkin mati, seperti kehidup"an
yang menghuni seseorang yang berjalan melalui kehidupan
tanpa berkeringat atau buang air kecil, dan yang dari
tubuhnya tidak muncul zat-zat yang tengik. Seseorang
yang benar-benar hidup tidak dapat memenjarakan
kekotorannya di dalam, atau jika tidak demikian ia akan
mati. Apabila ia telah mati, wajahnya akan menjadi putih
murni, sementara itu bagian dalamnya tetap busuk,
dinodai oleh kebobrokan kematian.
Aku berkhayal (dan khayalanku itu, pada saat
tertentu, telah menjadi kebenaran) bahwa salah seorang
dari anak-anak yang berputar-putar berkeliling itu pada
saat bernyanyi bersama-sama pindah ke sebelah luar dari
lingkaran itu. Kulihat tubuh yang kecil itu terlepas dari
lingkaran yang selalu berputar itu, sehingga merusak
keteraturan garis besarnya. Ia pindah keluar seperti sebuah
noda yang berkilauan, atau sebuah bintang yang telah
kehilangan keseimbangan abadinya, memisahkan dirinya
dari alam semesta, dan terbang terpencar tanpa tujuan,
175 NAWAL EL SAADAWI sambil menciptakan sebuah ekor yang menyala-nyala,
se"perti sebuah bintang meteor persis sebelum kehabisan
apinya sendiri. Dengan rasa ingin tahu secara naluri, kuikuti
gerakannya dengan pandangan mataku. Ia tiba-tiba
berhenti dekat sekali dari tempatku berdiri, sehingga aku
dapat memandang wajahnya. Wajah itu bukan sebuah
wajah anak laki-laki, sebagaimana kupikirkan sebelumnya.
Bukan, wajah itu adalah wajah seorang gadis kecil. Namun
aku tidak merasa pasti secara mutlak, karena wajah anakanak"sama halnya de"ngan wajah orang tua"tidak memiliki
jenis kelamin. Pada tahap antara masa kanak-kanak dan
umur tua itulah jenis kelamin harus menyatakan dirinya
dalam bentuk yang lebih terbuka.
Wajah itu"aneh sekali"tidak asing bagiku. Wajah itu
lazim sekali, dalam kenyataannya, sehingga membuatku
merasa kaget, dan setelah itu rasa ketercenganganku itu
berubah menjadi rasa tidak percaya. Pikiranku tidak dapat
menerima pemandangan yang ada di depan mataku itu.
Hanya tidak masuk akal, ketika meninggalkan rumah di
waktu pagi untuk berangkat bekerja, dalam perjalanan
aku akan bertabrakan dengan seorang lain, hanya
untuk menyadari bahwa wajah yang bertatapan dengan
pandanganku adalah tidak lain adalah wajahku sendiri.
176 THE CIRCLING SONG Kuakui tubuhku gemetaran, dan aku dikuasai rasa
panik yang melumpuhkan kemampuanku untuk berpikir.
Meskipun demikian, aku heran: kenapa seseorang harus
merasa panik ketika melihat diri"nya sendiri berhadapan
muka" Apakah itu karena kengerian yang berlebihan
dari situasi di mana aku mendapati diriku sendiri, atau
apakah itu karena kebiasaan yang hampir mencakup dari
pertemuan itu" Di saat-saat seperti itu, orang mendapati
segalanya menjadi sangat membingungkan. Hal-hal yang
saling bertentangan dan saling tidak serasi telah menjadi
mirip antara yang satu dengan yang lain dalam bentuk
yang sedemikian rupa sehingga segalanya menjadi serupa.
Hitam menjadi putih, dan putih berubah menjadi hitam.
Dan apa makna dari semua ini" Orang menghadapi
dengan mata terbuka, kenyataan bahwa orang itu adalah


The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buta. 177 Catatan Abd el-Samad: nama laki-laki, secara harafiah berarti
"Hamba dari Dia Yang Kekal", namun sumuud, dari akar
kata yang sama, juga menunjukkan "pembangkangan" dan
"perlawanan". Menurut penulis, nyanyian ini dilagukan
oleh anak-anak petani, dan disertai pula tarian lingkaran,
pada saat mereka sampai ke baris "Husy! Husy!" mereka
mungkin melemparkan batu ke luar dari dalam lingkaran
itu. Gallabiyya: sebuah gaun atau jubah yang panjangnya
sampai ke mata kaki yang dipotong sedemikian rupa
sehingga tergantung dengan lapang; biasanya dipakai
oleh laki-laki maupun perempuan, meskipun gaya, warna
dan bahan kainnya mungkin berbeda.
Muhammad Ali: (1769-1849). Dilahirkan di Kavalla,
Macedonia, ia datang ke Mesir pada tahun 1801 seba"gai
seorang prajurit dalam sebuah pasukan Albania yang
digabungkan ke dalam angkatan bersenjata Turki Usmani.
178 THE CIRCLING SONG Karena menang dalam pertarungan kekuasaan yang
terjadi setelah diungsikannya Perancis, setelah itu Inggris
dari Mesir, ia ditunjuk sebagai Pasha/Wakil Raja Usmani
di Mesir pada tahun 1805 dan memerintah sampai tahun
1848. Sebagai pendiri dari dinasti yang memerintah Mesir
sampai persis setelah revolusi tahun 1952, Muhammad
Ali meng"adakan perubahan-perubahan yang bertujuan
memperluas kekuatan militer Mesir; perubahan ini, yang
dipusatkan pada pendidikan sebagaimana juga pada
perkembangan industri dan pertanian, telah berdampak
pada memperkuat dasar ekonomi negara itu.
Zamalek: Sebuah pulau di Sungai Nil di Kairo yang
menjadi kawasan tempat tinggal dan perdagangan bagi
kalangan berada, sejak permulaan abad ke-20, dan di situ
banyak terdapat kedutaan asing. Secara tradisi, Zamalek
memiliki suatu bagian yang relatif besar dari penduduk
asing, dan sering kali berfungsi sebagai lambang Mesir
perkotaan yang kaya dengan sekutu-sekutu asingnya
Bulaq: Sebuah pelabuhan tua di pinggir timur Sungai
Nil, berhadap-hadapan dengan Zamalek dan berada
persis di barat-laut kota lama Kairo, yang pada abad
ke-19 menjadi sebuah kawasan industri. Sejak itu, telah
berkembang menjadi sebuah daerah tempat tinggal dan
179 NAWAL EL SAADAWI perdagangan di kota itu, yang padat penduduknya, pada
umumnya terdiri atas para pekerja.
Alms: terutama sekali zakat, dalam Islam adalah
sebuah kewajiban agama memberikan bantuan ke"uangan
dan harta benda bagi kaum miskin. Alms dianggap
sebagai salah satu "rukun" Islam yang jumlahnya lima itu,
yang harus dijalani orang Islam dengan kemampuannya
yang terbaik. Fakultas Sastra dan Protokol: Penulis telah bermain
dengan kata-kata tentang beberapa arti dari adaab,
di antaranya adalah "etiket", "moralitas", serta "seni"
dan "sastra" dalam konteks pendidikan tinggi. Bentuk
tunggalnya adab, berarti "kesusasteraan" maupun "tata
cara yang baik". Kulliyat al-adaab adalah Fakultas Sastra
pada sebuah universitas. *** 180 Tentang Penulis Nawal El Saadawi"seorang novelis Mesir, dokter, dan
penulis militan tentang masalah-masalah perempuan
Arab serta perjuangan mereka untuk kebebasan"
dilahirkan di desa Kafr Tahla. Karena menolak menerima
batas-batas yang ditimpakan oleh penindasan yang
bersifat keagamaan maupun bersifat penjajahan terhadap
kebanyakan perempuan yang berasal dari daerah pedesaan,
ia memenuhi persyaratan sebagai seorang dokter pada
tahun 1955 dan sejak itu kariernya menanjak terus sampai
menjadi Direktur Kesehatan Umum di Mesir. Sejak
mulai menulis yaitu lebih dari 25 tahun yang lalu, pusat
perhatian buku-bukunya selalu pada kaum perempuan.
Tahun 1972, karya nonfiksinya yang pertama berjudul
Women and Sex, telah menimbulkan pertentangan di
kalangan tertinggi para pejabat politik dan keagamaan,
sehingga Kementerian Kesehatan didesak untuk
memberhentikan dari jabatannya. Dalam tekanan seperti
itu pula, ia kehilangan jabatannya sebagai Editor Kepala
dari sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris
181 NAWAL EL SAADAWI Jenderal pada Perkumpulan para Dokter di Mesir. Dari
tahun 1973-1976, ia meneliti mengenai kaum perempuan
dan neurosis pada Fakultas Kedokteran, Universitas
Ain Shams; dari tahun 1979-1980 ia menjadi Penasihat
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Perempuan
di Afrika (ECA) dan Timur Tengah (ECWA). Ke"mudian
pada tahun 1980, sebagai puncak dari per"juangannya
yang lama untuk kebebasan kaum perempuan secara
sosial dan intelektual"sebuah kegiatan yang menutup
segala bidang jabatan resmi baginya"ia dipenjarakan di
bawah pemerintahan Presiden Anwar Sadat. Semenjak
itu, ia mencurahkan waktunya untuk menjadi seorang
penulis, jurnalis, dan pembicara tentang masalah-masalah
kaum perempuan di seluruh dunia.
Dengan diterbitkannya buku berjudul The Hidden
Face of Eve: Women in the Arab World pada tahun 1980
oleh Zed Books, maka pembaca yang berbahasa Inggris
untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada karya Nawal
El Saadawi. Zed Books juga telah menerbitkan dua buah
novelnya yang telah diterbitkan terlebih dahulu, Women
at Point Zero (1983) dan God Dies by the Nile (1985).
Nawal El Saadawi telah menerima tiga hadiah sastra.
182 Arus Balik 3 Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6
^