Pencarian

Arus Balik 3

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 3


Penduduk Tuban punya kepercayaan: meriah-tidaknya penutupan pesta akan jadi petunjuk makmur-tidaknya Tuban pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir. Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan tandu beratap kain batik. Seseorang mencarikan bungabungaan yang telah luruh dari tubuh para penari dan diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya.
Barisan kuda telah tiga kali mengedari alun-alun. Para peserta pertandingan telah duduk di dalam pendopo kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi sunyi-senyap. Hanya kadang-kadang, di sana-sini, terdengar tangis bayi. Desau angin dan deburan laut tak digubris orang. Semua yang duduk di atas rumputan memusatkan pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari dalam kadipaten. Dan mata mereka antara sebentar mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di manamana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan destarnya. Dari kejauhan nampak seperti cuwilan kunyit sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan menyerukan percakapan yang terjadi di pendopo nanti.
Di dalam pendopo sendiri Sang Adipati telah duduk di atas tahta gandingannya. Semua pembesar pribumi duduk bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari kebiasaan, Tholib Sungkar Az-Zubaid mendapat kursi kayu. Tempatnya ndnlnh di pinggir kanan, hingga lskak tak mendapat kursi. Ia berdiri di tempatnya yang biasa di pinggir kiri, dan dengan demikian mendapat kebebasan menyemburkan pandang kebencian pada orang Moro itu.
Tidak salah lagi, pikir Syahbandar Tuban, semangkin had tangannya semakin mendekati bandarku juga. Dengan dia Sang Adipati takkan bakal melakukan perlawanan terhadap Peranggi dan Ispanya. Hanya segeraman dan kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang Arab itu mendarat di Tuban. Sekarang dia mendapatkan bangku pula! Alamat Sang Adipati telah jatuh ke dalam genggamannya. Keparat! Laknat!
Dan para punggawa pun sudah yakin sekarang: Sayid itu akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti mungkin akan diumumkan.
Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai, dengan lisan telah mempersembahkan nama para juara yang dibacanya dari lontar. Dengan suara lantang para peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang lebih jauh. Setiap sesuatu selesai diumumkan sorak-sorai berderaian mengegongi.
Galeng tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini, dengan peringntan, ia harus bermain lebih patut. Sorak yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari Awis Krambil membisu. Seakan semua itu sebagai ucapan ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun terdengar sebagai pendahuluan bencana atas dirinya.
Nama para juara telah selesai disebutkan. Orang masih juga tak dengar nama Idayu. Seluruh hadirin sunyi membisu dalam kecucukan dan ketegangan. Idayu! mengapa dia" Mengapa tak disebut" Apa sedang terjadi" Tapi akhirnya nama itu disebutkan juga: Juara tiga kali berturut untuk tari, Idayu, dari desa perbatasan Awis Krambil! Para peseru meneruskan ke seluruh alun-alun. Sorak sorai gegap-gempita, berderai-derai seperti gelombang semudra, bergulung seperti hendak membenam bumi.
Setelah dua puluh tahun ini, muncul, sekarang juara tiga kali berturut! Dua puluh tahun! Ingat-ingat. Dan namanya: Idayu. Desanya Awis Krambil! Tenang. Sang Adipati Tuban berkenan bertitah& . Sunyi-senyap.
Di dalam pendopo, Syahbandar Tuban tak hentihentinya melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid. Orang itu sedang duduk tenang menikmati kegembiraan yang berlangsung di depan matanya sambil mencicipi kehormatan yang semakin meningkat juga: mendapat kursi kayu satu-satunya! Nampaknya ia tak peduli orang senang atau tidak terhadap dirinya, asal Sang Adipati berkenan, dan semua sudah be res. Apa peduli yang lain-lain"
]uara tiga kali berturut Sang Adipati memulai dengan suara pelahan, kata demi kata. I-da-yu! ia menyebut nama itu dengan perasaan meresap seakan sedang mencicipi madu.
Kata-katanya, dengan gaya dan nada sama, berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun.
Ketahuilah, juara kesayangan seluruh Tuban. Tak pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau! Seluruh Tuban berbahagia dapat menyaksikan dalam hidupnya seorang dewi tiada tandingan.
Dan kata-kata penguasa Tuban itu lebih mendekati rayuan danpada amanat. Juga sampai sejauh itu Sang Adipati tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama Tuhan, atau Allah, atau Maha Dewa atau Maha Budha atau Sang Hyang Widhi. la sengaja hendak menenggang semua agama rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai kawula atau tamu, bukan sebagai pemeluk sesuatu agama.
Sang Adipati Tuban, ia meneruskan, dan seluruh negeri Tuban. Idayu, memuja kau. Kami dapat mengerti mengapa mereka semua menghendaki agar kau selalu dapat dikagumi dan dipuja di ibukota ini
Sang Adipati berhenti bicara, memberikan kesempatan pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang bersorak ragu, kemudian menggelimbang sejadi-jadinya, kemudian ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali, sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk memberi peringatan. Lambat-lambat sorak itu mereda.
Sang Adipati tersenyum puas-puas dan mengerti: ia mendapat sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia pandangi Idayu di tempat duduknya dan sedang mengangkat sembah. Gadis perbatasan itu selalu tunduk menekuri lantai.
Kau dengar sendiri bagaimana mereka menyetujui, Sang Adipati meneruskan. Pastilah kau sendiri juga setuju.
Idayu tetap menekuri lantai.
Orang tua-tua mengerti, Idayu, dan kami, Adipati Tuban juga mengetahui, ada aturan khusus bagi juara tiga kali berturut. Idayu! Mengapa kau menggigil"
Kata-kata Sang Adipati, juga turun-naiknya nada, berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru. Sebentar sorak-sorai meledak, kemudian mendadak padam. Sunyi-senyap.
Dengarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil. Siapa pun mengerti kebahagiaanmu, Idayu. Kebahagiaan yang terlalu amat sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di bumi Tuban ini. Berbahagialah orangtua yang pernah melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi keturunanmu. Dengarkan baik-baik, kau. Idayu, juara tiga kali berturut, kau mendapatkan& .
Juga Galeng menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya menggeletar, karena cemburu, karena geram, karena ketiadaan daya menghadapi penguasa mutlak negeri Tuban, karena tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai katakata manis Sang Adipati sebagai rayuan dan sebagai pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah arti kekuasaan Sang Adipati yang diejek dan ditertawakan oleh Rama Cluring" Dengan kekuatan batin luar biasa ia tindas semua perasaannya. Dan setelah semua tertindas, dengan malu-malu muncul ketakutan: ketakutan pada hukuman yang diancamkan oleh kepala desa. Apakah yang harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan" Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukuman takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja ia telah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang. Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan Idayu sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang Adipati.
Keringat dingin mulai bermanik-manik pada tengkuknya.
Sorak-sorai telah padam. Sang Adipati meneruskan: Pertama, dengarkan baik-baik, Idayu dan semua kawula Tuban. Pertama, hak menerima dan mengenakan cindai penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selama dua puluh tahun ini& .
Sorak-sorai. Galeng mengangkat pandang menetak wajah Sang Adipati.
& Dan perhiasan serta pakaian pribadi, perhiasan serta pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan& permata& . Sorak-sorai!
Terimalah sendiri karunia Adipati Tuban ini, kau, pujaan Tuban! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar& Ayoh!
Galeng bukan hanya mengangkat pandang ia mengangkat kepala untuk melihat kekasihnya di depan sana menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa Tuban. Ah, Tuban dan hati pujaan itu! Kembali. Cemburu menyambar hati dan membutakan pandang. Ia angkat kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak mau melihat itu. Idayu! Jangan sentuh tangan berkarunia itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, Idayu. Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang pada pinggangnya. Tak ada keris di situ. Dan ia lihat Idayu merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar mengangkat sembah.
Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang Adipati, mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke atasnya.
Dengan kejuaraanmu, dengan kecantikan, dengan segala keluwesan dan daya tarik yang ada padamu, kami ada rencana untukmu.
Sunyi-senyap. Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: Yang terhormat tamu Gusti Adipati Tuban, bernama Sayid Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan bersembah.
Ya, Gusti jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten! Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun.
Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh Tuban! seseorang memekik.
Dan suara pekikan itu dapat makian dari para peseru. Titah Gusti Adipati selanjumya, peseru meneruskan, hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, Idayu, hak bagi penari terbaik di seluruh negeri, sunyi-senyap, hak kehormatan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan kepatuhan yang berlaku.
Sorak-sorai bergulung-gulung.
Rangga Iskak tak mampu mengikuti seluruh jalannya perishya. Mungkin inilah untuk pertama kali dalam jabatannya selama sekian belas tahun ia tidak dapat menyimak dengan baik. Melihat orang Moro itu masih juga duduk dengan senangnya, bahkan berani-berani mempersembahkan saran yang sangat memalukan sebagai orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap seorang penguasa kafir, kukuh dan semakin kukuh pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang sedang diislamkan ini aku akan mendapat pahala besar. Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala yang telah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro!
Di tempat duduknya, di belakang Idayu. Galeng merasa seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari Awis Krambil beringsut mendekatinya.
Aku ikut memohon untuk kebahagiaanmu, Kang Galeng teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya lengan juara gulat itu.
Galeng membalas hiburan dengan meletakkan tangan pada lengan orang itu. Berbisik membalas: Hidup atau mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.
Dan Idayu masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia masih duduk menunduk di bawah kaki Sang Adipati. Semua mata, kecuali Rangga Iskak, tertuju padanya.
Dari atas kursinya Tholib Sungkar Az-Zubaid memandangi gadis itu dengan mata menyala-nyala menelan seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal serta rongga mata yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu memancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus, bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih daripada itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku.
Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar. Kemudian: Mengapa kau menangis, Idayu" para peseru meneruskan. Betapa besar kebahagiaan yang sedang berbunga dalam hatimu. Adipati Tuban bersabar menunggu permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu, puaskan tangismu, juara, karena kebahagiaan yang lebih besar lagi sedang menunggumu. Juga semua kawula Tuban ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik matari di alun-alun sana, Idayu!
Galeng memusatkan pandang pada Sang Adipati, penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung Idayu yang tersengal-sengal. Kalau Idayu menyerahkan dirinya, ia akan lompat, mematahkan lehernya, dan merangsang Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung tombak yang menunggu. Idayu takkan menyerahkan dirinya, ia yakinkan dirinya, dia juga tahu harga diri dan kehormatan. Kau berdua akan jadi sepasang merpati, Rama Cluring merestui sebelum meninggalnya. Semoga keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu mengembalikan kebesaran dan kejayaan yang telah hilang. Rama Cluring lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak yang kini dihadapinya.
Para punggawa tersenyum-senyum dalam hati, juga para pembesar, mengetahui betapa ramah dan manis Sang Adipati sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu.
Sudah siapkah kau, Idayu" Sang Adipati bertanya lemah-lembut. Mendekat sini, orang cantik mengapa menjauh lagi" Apakah perlu Adipati Tuban menyekakan airmatamu"!
Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali menyusul. Ayoh persembahkan permohonan.
Ampun! Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, akhirnya keluar juga kata-kata Idayu yang menggigil tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbatabata. Apa yang patik akan persembahkan,& sebagai permohonan& .
Galeng mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa menahan gelombang perasaan yang memukul menggebugebu. Mengapa lama betul Idayu menyelesaikan katakatanya"
Harapan patik& semoga permohonan patik& yang tiada sepertinya takkan menggusarkan Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Kata-kata Idayu tersekat macat.
Rangga lskak sekali lagi melirik pada musuhnya. Ia telah serahkan cepuk tembikar itu pada Yakub. Terserah pada dia bagaimana akan menggunakannya, apakah melalui kulit, mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran bisa ular, yang biasa dibawa ke mana-mana oleh petualangpetualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantauperantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba keampuhannya. Sayid Habibullah Almasawa akan hanya sebentar terkejut, kemudian seluruh jaringan syarafnya akan lumpuh, tanpa sakit, dan& tiada lagi masalah Syahbandar lama atau baru, karena ia tetap dan akan tetap jadi Syahbandar Tuban. Tetapi di mana Yakub" Mengapa ia tak juga nampak dan melapor" Bagaimana ia akan menjalankan tugasnya"
Hampir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang peseru meneruskan: Ayoh, Idayu& !
Sekarang Idayu berdatang sembah: Ampunilah patik, ya Gusti sesembahan patik. Bukan maksud patik hendak menggusarkan Gusti. Permohonan patik yang tidak sepertinya adalah&
Betapa susah berhadapan dengan Gusti Adipati seseorang menyeletuk.
Diam! bentak seorang peseru.
Nah, aku teruskan persembahan Idayu. Dengarkan& adalah& adalah& Gusti Adipati Tuban sendiri.. adalah& Kakang Galeng& Juara gulat!
Sekarang Gusti Adipati Tuban bertanya: Kami tidak mengerti, Idayu. Apa maksudmu!"
Tetapi para hadirin di seluruh alun-alun mengerti belaka. Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak mampu memadamkan keriuhan. Juga yang sakit di atas tandu-tandu memerlukan tersenyum dan bersyukur pada Hyang Widhi. Mereka dapat menangkap maksud Idayu. Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil.
Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang Adipati tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: Apa maksudmu" Katakan yang jelas!
Galeng tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa disadarainya airmata haruan telah meleleh jatuh setelah menyeberangi pipinya, membasahi lengan tern an yang menghiburnya.
Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diamdiam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang Kamajaya, untuk mendapatkan kekuatan cinta semacam itu juga. Kemudian ia belai-belai punggung Galeng.
Patik memohon, ya Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, mendadak suara Idayu menjadi keras, kuat dan tabah setelah diberanikan oleh sorak-sorai, semoga Gusti Adipati Tuban berkenan, Gusti Adipati Tuban sendiri, merestui patik dan Kakang Galeng sebagai istri dan suami.
Idayu telah mempersembahkan keinginannya sebagai hak yang telah dikaruniakan padanya. Dan Sang Adipati semakin memahami persembahan itu. Kedua belah kakinya yang tidak bergerak selama ini dilempangkan kejang. Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, kemudian mencengkam hulu keris. Dadanya terengah-engah. Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam.
Mati kau, Idayu! Mati kau di ujung keris, pikir orang. Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu. Tholib Sungkar Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak tangan kiri, meringis.
Di alun-alun suasana kembali membuncah riuh-rendah. Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris itu. Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki letak kaki.
Gelombang sorak-sorai: masih membeludag memandangi gunung melerus. Canang peringatan yang makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu, I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa, tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang Adipati.
Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedansedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya sebagai makhluk pilihan para dewa.
Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon: Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah bagi cinta setia. Kau pilih petani desa daripada adipati berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman seindah ini.
Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa agama mereka: Syiwa. Buddha. Wisynu. Islam. Kesyahduan menguasai bumi, langit dan manusia Tuban.
Di pendopo Sang Adipati bermandi keringat. Mendengar mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di hadapan Idayu. Dan waktu mazmur selesai ia angkat kedua belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu pada tangan berkuasa itu.
Orang telah bayangkan Idayu mati di ujung keris, menjelempah bermandi darah, karena demikian memang adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, Galeng akan maju beringsut bersujud pada kaki Sang Adipati untuk juga menerima tikaman keris. Pada pinggangnya. Jantung orang berdebaran kencang.
Temyata lain lagi yang terjadi: Restu untukmu, Idayu, wanita utama Awis Krambil dan Tuban. Seluruh Tuban bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian puja untukku& , Dengarkan orang bersorak-sorai untukmu& . kata-kata Sang Adipati tersekat pada tenggorokan.
Orang melihat penguasa itu menelan ludah, sekali, dua kali suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap.
Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati langit Tuban. Dalam keadaan seperti itu Sang Adipati meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: Idayu, kekasih Tuban, hari ini akan kami kawinkan kau dengan Galeng. Sorak-sorai gila di alun-alun.
Galeng! Maju kau, juara gulat yang berbahagia! Galeng maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti katak, menyembah beberapa kail Kemudian duduk di samping kekasihnya.
Benarkah ini yang bernama Galeng, Idayu" Pria yang engkau cintai"
Benar, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Lihat dulu baik-baik, jangan keliru.
Benar, Gusti, tidak keliru.
Tidakkah kau akan menyesal, Idayu"
Demi Hyang Widhi, tidak, Gusti Adipati sesembahan patik
Katakan demi Allah , Tholib Sungkar Az-Zubaid berseru dari tempatnya.
Demi Allah, ya Gusti. Kau yang bemama Galeng dari Awis Krambil" Inilah patik, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Jadi kaukah kekasih Idayu"
Demikian adanya, Gusti. Kembali Sang Adipati mengangkat lengan: Dengarkan dan sakakan semua kawula Tuban. Pada hari ini, dengan kekuasaan kami, di kawinkan juara tari Idayu dengan juara gulat Galeng, dua-duanya dari desa Awis Krambil. Sorak-sorai bersyukur membubung ke angkasa. Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia akan menjadi keturunan kalian& .
Auzubillah! terlompat kata dari mulut Rangga Iskak. Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati: Dasar kafir turunan kafir. Masa semacam itu mengawinkan orang" Tidak syah! Mengaku Islam pula. Munafik. Kufur.
Tidak syah! gumam Tholib Sungkar Az-Zubaid dalam bahasa Arab. Sang Adipati hendak bermain-main dengan hak dan hukum. Ya, ya, memang cerdik dia, Idayu dengan begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap milik semua penduduk Tuban. Mungkin kau sendiri yang akan merampasnya kelak, Adipati. Dan kau juara gulat yang sebodoh banteng. Hanya badanmu saja yang besar. Otakmu cuma sebesar biji korma kering.
Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami. Dari bawah kursi, Sang Patih Tuban mengangkat sembah. Kemudian dengan suara pelahan: Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun segala yang telah Gusti ganjarkan benar belaka adanya. Kawula Tuban sangat memuja cinta yang murni, ya Gusti. Dan bukan tanpa bahaya Idayu memilih suaminya.
Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo, membenarkan Sang Patih. Kemudian hening.
Juga bukan tanpa bahaya bagi Galeng. Ia pun telah menunjukkan kejantanan, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ia telah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau bukan karena pemurah Gusti, bukan kekasih ia dapatkan, tapi ujung keris.
Kau benar, Kakang Patih. Ampun, Gusti, adapun akan gadis ini, tidak lain dari penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan. Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan mereka.
Sebagian terbesar pengantar sumbangan, pria dan wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah da pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul kemudian datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh tungku.
Di dalam rumah-rumah Tuban Kota orang tua-tua memerlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih- Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikut serta menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an mereka sendiri.
Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah wanita utama seperti Idayu. Untuk cintanya dia berani hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir. Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri.
Malam itu Idayu dan Galeng mendapat tempat sendirisendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut bagi dua orang anak desa perbatasan.
Idayu dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memandikannya, dalam jambang air bunga, memotongi bagian-bagian runcing dari giginya, kemudian memaraminya untuk mendapatkan kulit yang lunak dan berseri pada keesokan harinya.
Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya. Ia berbahagia karena dapat membahagian kekasihnya.
Selesai berparam, seorang nenek menyanyikan untuknya lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya, kemudian nenek itu menerangkan artinya dan memberikan tafsiran. Ia mendengarkan lebih khidmat dari pada upacaraupacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari suaminya ia akan kembali ke desa membawa keharuman dan kebesaran.
Lain halnya dengan Galeng. Sekalipun ia dilingkari priapria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali, ingatannya tak juga mau lepas dari Rama Cluring dan segala akibat yang mungkin timbul. Ancaman kepala desa itu membuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan. Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang Adipati sekarang ini hanya satu muslihat untuk memusnahkannya dari muka bumi.
Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ; tu. Ia tak rasakan tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan nasihat mereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti burung berkicau.
Galeng berusaha keras mengingat-ingat kembali& . Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah serba putih karena tuanya dengan cepat mengutip Negara Kertagama dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan, negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di bawah kekuasaan Majapahit. Bahwa di mana tentara laut Majapahit mendarat, di sana pula orang berkerumun hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan Candrakirana.
Selama kalian tak mampu melihat dunia, selama itu kalian telah diperlakukan oleh Tuban bukan sebagai kawula, tetapi sebagai musuh yang telah dikalahkan dalam perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui Tuban dari kalian. Barang bakal dan barang jadi& !
Jangan ditahan kaki ini, Galeng biar aku tekuk, salah seorang pemijit menegur.
Dan Galeng mengendorkan otot-otot kakinya. Bagian ini sangat tegang, Galeng, terlalu lelah. Kembali ia mengenangkan mendiang Rama Cluring: Orang setua itu, tak punya sesuatu pun keeuali diri, kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di mana-mana, dan juga di mana-mana menimbulkan kekaguman orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka yang tak membutuhkan kebenaran& .
Telentang, kau, Galeng! Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher sekarang mendapat giliran.
Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.
Karunia Hyang Widhi muncul di mana-mana, ia menjawabi.
Semua ototnya telah jadi kendor. Param itu menusuk. Ia merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di alam mimpi&
Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar gamelan mulai bertalu, mendesak deburan laut, membangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepateepat orang selesaikan sarapan, membersihkan rumah dan membuka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya juga memasuki rumah dan hati mereka. Kemudian mereka membersihkan halaman dan menaburkan bunga-bungaan dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang.
Matari dengan cepat meninggalkan permukaan laut. Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai wama umbai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh pesta. Sela Baginda tahu-tahu telah dipagari dengan janur kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya.
Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang Adipati memerlukan datang ke kamar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: Hari ini Soma. Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Soma kami ubah jadi Senin. Kata berita itu pula: Sang Adipati kelihatan pucat, mungkin malam-malam tidak beradu. Dengan tangan sendiri ia telah taburkan daun bunga pada kepala dua orang pengantin desa itu.
Bunyi gamelan semakin riuh dari mana-mana. Dalam rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling depan adalah gamelan mereka, dengan atau tanpa penari, untuk menyambut keluarnya pengantin dan juga untuk mengiringkannya. Dengan kadipaten telah penuh-sesak dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang telah riang sekali karena terlalu tua dan terlalu bersemangat orang memukulnya.
Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak game\an dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung kemudian padam. Hidangan pagi yanghangat menguap-uap itu membikin orang lupa bahwa besok masih ada hari lain. Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gulasantan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang berpesta. Untuk daerah Tuban, pandan-wangi selalu didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. Gulai ayam, kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan: tak ada ikan laut dihidangkan. Matari mulai bersinar gemilang.
Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten, memasuki pelataran depan. Sebentar semua tangan melambai-lambai menyambut. Seorang pendeta Buddha membunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah memercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu menitikan jalanan itu. Akan ditempuh pengantin.
Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantramantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti berbunyi, seorang-orang tua, memekik memecah keheningan: Sambutl Giring-giring. Berbunyi lagi. Berhenti. Sambut! pekik orang tua itu. Giring-giring. Pekikan. Giring-giring. Pekikan Gumam Pendeta Buddha. Pekikan. Susul-menyusul kemudian bergulung jadi nyanyi bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi. Kemudian semua tangan terangkat ke langit seakan hendak menerima jabatan dari Kamajaya dan Kamaratih yang akan turun ke bumi. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai berjalan pelan menuju ke gapura.
Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para pembesar dibelakangnya. Ia memang kelihatan pucat. Dan tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu itu sendiri terbuat daripada kayu berukir. Atap dan dindmgnya terbuat daripada sutra kuning tipis terpilih dan berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala semua manusia.
Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gamelan mulai riuh berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari lain mereka memainkan riwayat Galeng dan Idayu di sepanjang jalan arak-arakan.
Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu. Sebentar jalan.
Idayu mengenakan kembang keemasan berkilat-kilat. Perhiasan dari mas dan permata memancar gemerlapan pada kepala, kuping, leher, tangan, dada dan perut. Galeng bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari mas. Kerisnya bersarung dan berbulu kayu sawo bertatahkan intan baiduri.
Memang mereka tak ubahnya dengan pengantin kerajaan.
Begitu tandu telah meninggalkan alun-alun dan mulai menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi dipertahankan. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu nampak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan, oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin itu tetap agung duduk di tempatnya.
Kota telah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela Baginda di pelabuhan. Gadis-gadis mulai semakin mendesak untuk menghampiri Idayu. Mereka tak dapat menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk mendapatkan berkahnya. Dari samping lain para perjaka berebut dahulu untuk menyentuh Galeng.
Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak melarang. Suaranya lenyap dalam gelombang gamelan dan deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli.
Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban mungkin tak bakal terjadi lagi dalam dua ratus tahun mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan berlalu tanpa mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus disintuh.
Mengerti akan keinginan mereka, Idayu dan Galeng mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak berhasil mendapat sentuhan mulai menyerang bungabungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan lenyap dari penglihatan mata.
Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang mulai menyerang dinding dan atap tandu.
Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap surya dan angin.
Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gamelan terus juga bertalu. Dan para penari terus juga berlengganglenggok sepasang jalan.
Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha mengambilalih tugas memikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat menyentuh dan tak mendapat bunga, tak mendapat serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di udara seperti biduk terkena terjang angin beliung.
Dari mana-mana terdengar orang memekik melarang. Gemuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara, menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin terguncang-guncang.
Idayu lupa pada sikap resminya. Tangannya berpegangan erat-erat pada tiang tandu. Galeng berusaha mempertahankan keselmbangannya dengan kedua belah tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran heran bertanya-tanya.
Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mulut seorang nenek pengawal Idayu: Dewa Batara! Jangan biarkan jatuh tandu itu .
Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, kemudian hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika. Gamelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun membeku. Surya seakan hilang dari peredaran, kehilangan teriknya.
Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu, kemudian meraung: Ampun, Dewa Batara, ampun! Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara sedu-sedan dan memohon ampun pada Hyang Widhi mulai menggelombang.
Satu lingkaran orang kaget telah berdiri mengelilingi pengantin yang terjatuh dari atas tandu.
Ketegangan dan kekejangan.
Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para dewa, karena membiarkan pengantin kekasih Kamajaya dan Kamaratih terguling dari kedudukannya.
Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari manamana membubung dengung mantra-mantra.
Dalam kerumunan orang Idayu berdiri dari tanah, Galeng melompat bangun. Kedua-duanya diam tidak bicara. Bersama-sama mereka memandang langit dan menyembah. Selingkaran orang ketakutan itu tak menyambut tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru setelah ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa harus dikerjakan: membetulkan tandu agar pengantin naik lagi. Galeng dan Idayu menolak.
Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka meneruskan perjalanan. Keramaian membuncah lagi. Tapi para pengiring tepat di belakang pengantin diam membisu. Pengantin menolak ditunjang.
Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua membawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali, kemudian menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit ke permukaan air.
Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang telah memanjang pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut, seperti sedang meneropong hari depan sendiri.
Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun bersama ombak, bergerak pelahan, makin lama makin menjauhi pantai.
Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya bunga-bungaan. Dan yang mereka awasi tak ada yang bakal kembali ke darat. Makin lama makin menjauh& jauh, melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal& menjauh,& jauh & jauh& .
0o-dw-o0 6. Adipati Tuban Arya Tumenggung Wilwatikta Orang bilang: Sang Adipati Tuban bukan keturunan orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung berasal dari darah wangsa Majapahit. Dan tak ada orang yang meragukan. Sang Adipati sendiri bangga pada darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa aman karena darah itu sendiri telah menyebabkan ia tak punya penantang sebagai penguasa atas negeri Tuban.
Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit. Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa Timur. Ia marak jadi raja pertama Majapahit dengan nama Kartarajasa.
Sang Adipati tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak memberikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan yang telah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda menganggap orang-orang ningrat telah menjadi lemah karena kemewahan dan penghormatan dan sanjungan yang berlebihan.
Tetapi, pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini, demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa Majapahit biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak punya jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya semula. Kesetiaan memang bisa diharapkan dari mereka, tetapi kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang bijaksana.
Juga Sang Adipati Tuban tahu dari guru praja: sejak masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa telah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke negara-negara Melayu. Juga pernah ikut memimpin gerakan mempersatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana, Pahang dan ikut membangunkan persekutuan militer dengan Campa. Setelah menjadi raja Majapahit pertama, Sri Baginda bercita-cita hendak membangunkan kekaisaran dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia.
Dari guru praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda Kartarajasa mempunyai dua jalan untuk mempersatukan Nusantara. Pertama jalan kecil karena keciilah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang kedua adaiah jalan besar, karena besarlah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke Atas Angin, ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai. Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa mengawini putri Melayu bergelar Dara Petak artinya Gadis Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala Gemit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjamin kesetiaan Melayu pada Majapahit dan dengan demikian menyelamatkan Selat Semenanjung.
Para gubernur bekas teman-teman seperjuangan Sri Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini. Biarpun permaisuri Gayatri tidak melahirkan seorang putra, hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak" Bukankah Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga benua: Nusantara, Atas Angin dan Wulungga" Mereka tidak rela kalau Majapahit, hasil jerih-payah mereka, harus jatuh ke tangan keturunan Melayu, hanya untuk dapat mempertahankan Selat Semenanjung.
Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda, tapi semangat menjadi-jadi.
Gubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu, kata guru praja pada Sang Adipati semasa masih kanakkanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala Gemit jadi putra mahkota. Memang pandangan mereka hanya seluas desanya sendiri. Gubernur Tuban, Ranggalawe, yang paling keras menentang, ditindak dengan ekspedisi militer oleh Sri Baginda. Ia melawan dengan gagah-berani, tetapi sia-sia. Pengganti Ranggalawe itulah moyang Sang Adipati.
Sang Adipati Tuban Arya Teja, karena kebijaksanaan dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda telah diangkat jadi Patih Majapahit, waktu itu Majapahit telah lemah sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih Majapahit Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka untuk membangunkan kembali Majapahit Raya. Ia patah semangat, perhatiannya kemudian ia tumpahkan pada wilayahnya sendiri berdasarkan darmaraja, yakni negeri Tuban. Tetapi Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari selama Majapahit yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk memberikan perkampungan dan pengajaran Islam di pelabuhan utara Majapahit, Gresik. Ialah yang membentuk persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara Islam sambil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit.
Majapahit telah lama runtuh. Tetapi Adipati Tuban tak mampu melepaskan diri dari bentuk tatap raja Majapahit. Ia pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang kebanyakan yang telah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan Tuban adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara mere ka punya gelar, kecuali gelar ketentaraan.
Dan sekarang, bahwa ia mengangkat Idayu dan Galeng pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga karena tradisi Majapahit. Ia merasa bangga dan puas telah dapat lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati.
Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernahmenggunakan tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang kemungkinan yang lebih baik. Maka begitu orang bersoraksorai di alun-alun dan membenarkan Idayu, seketika itu juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan bernama Idayu dan serta-merta berpihak pada sorak-sorai itu.
Dan ia tahu, peristiwa Idayu-Galeng tak boleh berhenti sampai di situ saja. Mereka dapat dipergunakan untuk memelihara kesetiaan kawula Tuban kepadanya. Maka Galeng harus juga mendapat jabatan yang patut.
Setelah upacara perkawinan agung selesai sering ia duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat kehebatan berahinya pada tubuh Idayu. Tetapi setelah kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala, menyambar dan membakar dalam dada tuanya. Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat membantunya.
Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak dengan bayangan penari jelita itu. Gerak-gerak yang begitu mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang& betapa& betapa& tidak, ia meyakinkan diri setelah teringat pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia kebaskan berahinya.
Selama Idayu, seorang wanita, apakah bedanya dengan wanita lain" Tapi pribadi seperti itu! Di sana bisa didapatkan lagi"
Dan dialahkan pikirannya sekarang pada Galeng. Di mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya tahu gulat dan berani itu" Stt, stt, jangan remehkan kemampuan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan Gajah Mada sebagai seseorang" Namun wajah dunia telah berubah karena mereka berdua, anak-anak desa itu: Semenanjung jatuh ke tangan Majapahit. Selat dikuasai, Jalan besar terbuka, Majapahit jaya.
Sekarang Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Selat dengan sendirinya, sebentar lagi mungkin Pasai runtuh pula dan Selat akan jadi milik mutlak Peranggi. Dia bukan hanya hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang mampu melawan dia. Tuban pun tidak. Tetapi selama Tuban di dalam tanganku, kita akan memiliki harga apa pun juga.
0o-dw-o0 Sang Adipati terbangun dari pemenungannya melihat sesosok tubuh merangkak mendekati sambil menyembah: Ya, Galeng, pengantin baru yang berbahagia, adakah sesuatu hendak kau persembahkan"
Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah mencoba menyusun kata.
A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa! Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Adapun patik menghadap tidak sepertinya ini ialah memohon perkenan dari Gusti Adipati Tuban&
Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh pegulat itu. Setelah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaannya telah hilang. Idayu telah jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang adalah kegelisahan seorang kawula yang menunggu datangnya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetahui segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya untuk melakukan sesuatu kerja menyebabkan kegelisahannya semakin menjadi-jadi.
Kurang cukupkah yang telah lewat dan yang sudah ada& "
Lebih dari cukup, Gusti, patik hanyalah petani biasa. Patik dan istri sudah rindu pada desa patik, Gusti.
Bukankah kami Adipati Tuban dan kau kawulanya" Bukankah kau mengabdi pada adipatimu"
Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya. Badannya sudah kuyup.
Kau, Galeng, kembali ke tempatmu. Jangan tinggalkan pengantinmu. Kau tidak kembali ke desamu.
Juara itu telah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh.
Dan Sang Adipati memperhatikan bahu bidang di bawahnya itu bahu pegulat yang kukuh seperti baja. Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati. Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa.
Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan gedung bekas asrama telah menyelesaikan tugasnya. Sang Adipati sendiri yang telah memerintah mereka. Dan setelah itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi Rangga Iskak ke bekas asrama tersebut. Sang Adipati menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan sepatutnya. Ya, Galeng, pergi, kau! perintah Sang Adipati.
Anak desa itu menyembah, mengesot jauh dan menyembah lagi, kemudian hilang dari penglihatan Sang Adipati.
Ia tahu Syahbandar Tuban sedang mencoba menghadap untuk memprotes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit, berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara binatang itu sedang menggunakan cis untuk memerintah si gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat pemelihara itu kemudian duduk di samping binatangnya, menyembah pada Sang Adipati. Gajah itu sendiri mengangkat belalai.
Sang Adipati tertawa terhibur. 0o-dw-o0
Tidak lebih dari lima hari kemudian, di taman di tentang kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan rahasia dari Sultan Mahmud Syah yang sedang menyingkir ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa dan bertulisan Jawa.
Sultan mengabarkan, Malaka telah jatuh ke tangan Peranggi sebagai akibat pengkhianatan Syahbandar Malaka berkebangsaan Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok, setengah umur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk yang telah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali.
Sultan Malaka mengakui, ia telah keliru mengangkat orang tersebut, hanya karena terbujuk oleh kefasihan tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang. Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendapat kepercayaan keluar-masuk istana, dan hampir-hampir diangkat menjadi wazir.
Sultan berseru pada Sang Adipati sebagai sedarahsedaging, seasal-keturunan Majapahit, supaya berhati-hati terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di Tuban, karena orang itu telah meninggalkan Malaka di bawah perlindungan Peranggi.
Sang Adipati mengerti maksud surat itu. Orang yang dimaksudkan tidak lain dari Sayid Habibullah Almasawa. Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak.
Penguasa Tuban itu duduk di atas bangku batu yang lebih tinggi daripada duta rahasia Sultan Mahmud Syah. Dan setelah membacanya surat kertas itu dilipatnya baikbaik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta berkata dalam Melayu: Kami telah baca baik-baik surat ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri Sultan Mahmud Syah. Di Tuban tak ada seorang Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan Duta"
Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran Ispanya, negerinya Andalusia, Gusti.
Kelahiran Ispanya" Tentu dia pandai Ispanya" Barangtentu, Gusti.
Apa dia barangkali juga berbahasa Peranggi" Jelas seperti matari, Gusti, karena dia dapat juga melayani kapai Peranggi sebelum mereka menyerbu. Mengapa Tuan Duta mengandaikan dia di sini" Wara-wara Gusti Adipati Tuban di atas Malaka telah didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban yang baru sangat cocok untuk Sayid Mahmud Al-Badaiwi, Gusti. Dia akan datang kemari.
Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan mengubah namanya sekiranya memasuki Tuban"
Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga bertugas menjejak bekas Syahbandar Malaka"
Barang tentu, Gusti. Patik telah singgah di Pasai, Jambi, Riauw, Banten, Cirebon, Jepara sambil menuju Tuban. Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana pengkhianat itu pergi. Semenanjung telah berubah sangar bagi nyawanya. Dan ternyata, Gusti, benar belaka, Sayid Mahmud Al-Badaiwi sudah ada di Tuban sini, jadi abdi Gusti Adipati Tuban, bahkan telah Gusti angkat jadi Syahbandar Tuban.
Maksud Tuan Duta, Sayid Mahmud Al-Badaiwi itu tidak lain dari Syahbandar Tuban sekarang" Sayid Habibullah Almasawa"
Betul, Gusti, Syahbandar Tuban yang baru itulah bekas Syahbandar Malaka.
Dan setelah Tuan Duta mengetahui dia ada di sini, adakah sesuatu yang Sri Sultan kehendaki dari kami"
Kalau sekiranya berkenan di hati Gusti Adipati Tuban& ampun, Gusti, bukan buatan terkejut patik melihatnya di bandar Gusti& dia tak mengenal patik tapi patik mengenal dia& dalam hati patik membersitlah satu doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh Allah kiranya Sang Adipati Tuban dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan betapa bersyukur patik apabila nyawanya diserahkan kepada patik, Duta rahasia itu terdiam.
Nampak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya harapan.
Sang Adipati membuang pandang ke arah kandang gajah. Persoalan Malaka adalah persoalan masa silam walau baru kemarin dulu bencana itu terjadi. Semua yang sudah lewat telah beibaris masuk ke alam lampau. Yang kemarin dulu Sultan, sekarang buangan. Yang sekarang Adipati masih tetap Adipati. Ia pandangi duta itu tajam-tajam. Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada orang di hadapannya itu.
Matari hampir tenggelam. Percakapan rahasia itu terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu mempersembahkan sebilah keris bersarung mas bertulisan Arab dan berbulu mas bertatahkan zamrud. Perkenankanlah patik mempersembahkan keris pusaka kerajaan Malaka ini, Gusti, sebagai harapan dapat terjadinya persekutuan antara Tuban dengan Sri Sultan, untuk tidak menyinggahi Malaka selama dikuasai Peranggi.
Telah kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia melakukan pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana persekutuan-persekutuan telah Tuan Duta usahakan"
Ampun, Gusti, Adipati, tentang itu pastikah bukan patik yang harus mempersembahkan.
Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu matari tenggelam sama sekali.
Nyamuk mulai berkeliaran di taman. Namun Sang Adipati masih juga belum bangkit dari bangku batu.
Betapa bodoh mengurusi yang telah masuk masa silam, pikirnya.
Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan menitahkan agar Galeng datang menghadap. Dan waktu pegulat itu telah duduk bersembah di hadapannya segera ia memulai: Galeng, apa yang kau ketahui dari kebesaran masa silam"
Ia telah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan ia dengar juara gulat itu meraung dengan suara tertekan: Ampun, gusti Adipati Tuban sesembahan patik.
Galeng tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa daya-perlawanannya menjadi layu setelah memperistri Idayu, dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman. Ayoh, persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan malam, dan kami pun tak perlu tahu, kata Sang Adipati, sekalipun ia punya dugaan, anak desa itu sedang kacaubalau. Mengetahui Galeng tak juga berdatang sembah, ia mendesak: Cepat, Galeng. Kami tahu, kau telah banyak mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain dari kau dan Idayu yang telah mengurus Rama Cluring sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek gila kebesaran masa silam itu. Persembahkan!
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. suara juara gulat itu gemetar.
Kau takut, Galeng. Juara gulat yang takut bersembah! Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya. Suaranya menjadi agak lunak. Dulu guru-guru pembicara seperti Rama Cluring banyak berkeliaran dan membual di kota-kota. Cluring itu mungkin sisa dari gerombolan mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil. Adipati Tuban tidak gentar pada buatan seribu gurupembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut. Ampun, Gusti, kata Rama Cluring, hendaknya orang memanggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam pada guagarba hari depan"
Dari seluruh bualan Cluring hanya itu saja yang teringat olehmu"
Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu seakan bersarang dalam kepalanya.
Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah, bagaimana pun kau memanggil-manggil pada guagarba hari depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi. Kau percaya pada kata-kata Rama Cluring"
Kepala Galeng semakin mendekati tanah.
Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin kau& Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan pembicara-pembicara membual"
Ampun, Gusti, memang demikian halnya. Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu datang" Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara gulat"
Patik ada di sini, Gusti!
Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat, badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki pikiranmu, karena kau anak terpelajar, ingin banyak mengetahui, karena itu sering mendengarkan guru berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, karena kau tak dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami menghendaki jiwamu, karena tak ada kebesaran datang tanpa petaruh jiwa. Galeng, kembalikan kejayaan dan kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini untuk Adipati sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga, kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau berdua di gandok kesyahbandaran yang sebelah kiri, gandok Islam. Dengan ototmu yang kuat lindungi jiwa Syahbandar baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia Syahbandar dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa Melayu. Jadilah pembantu utama Sayid Habibullah Almasawa. Berangkat!
Setelah juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan berjaian tenang-tenang masuk ke kadipaten.
Seminggu kemudian di taman itu juga Sang Adipati menerima seorang duta dari Jepara. Sore juga waktu itu. Berbeda hainya dengan duta dari Malaka, duta yang sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta berdiri di belakangnya.
Ya, Gusti, patik adalah utusan pribadi Gusti Kanjeng Adipati Unus dari Jepara. Nama patik Aji Usup, Gusti. Teruskan, Aji Usup yang terhormat.
Salam bahagia dari Gusti Kanjeng Jepara, dan pesan& . Sang Adipati berbalik. Wajahnya merah padam menahan kemarahan. Matanya membelalak: Pesan" Pesan untuk Adipati Tuban" Ataukah maksud Tuan ancaman"
Ampun, Gusti Adipati Tuban. Peristiwa Jepara itu memang jadi duri dalam daging Tuban. Untuk itu patik datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari tindakan Demak, Gusti.
Alasan" Apakah masih perlu ada alasan" Memasuki dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka gelanggang perkelahian" Hanya karena ingin punya bandar sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah Tuban pernah menjamah Demak dengan kuda atau gajahnya" Atau dengan kakinya" Atau itukah alasannya, memanggil kaki dan kuda dan gajah Tuban"
Ampun, Gusti, Demak tahu benar akan kekuatan perkasa dari Tuban.
Sang Adipati mulai berjaian agak cepat dan Aji Usup mengikuti dari belakang.
Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh Demak rata dengan tanah.
Demak sesungguhnya tahu benar akan itu, Gusti Adipati Tuban, ampuni patik.
Mengapa perbuatan tidak satria, tanpa pernyataan perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang memerintah Demak" Sang Adipati memilin-milin kumis putihnya. Bukankah kami bisa perintahkan tumpas tuan Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai raja"
Inilah nyawa patik, Gusti, bila Gusti perlukan untuk ditumpas, patik persembahkan dengan rela.
Sungguh berani mati, kau, Tuan Duta.
Karena memang ada yang lebih penting daripada hati mati, Gusti, mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.
Apakah karena memikirkan nasib seluruh Jawa, maka Demak merasa dibenarkan memasuki Jepara"
Sesungguhnya tiada jauh dari sangkaan Gusti Adipati Tuban. Ampun, Gusti.
Allah Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia sendiri tahu tentang nasib Jawa"
Jauh dari itu, ya Gusti Adipati Tuban yang mulia, susul Duta Jepara itu dengan cepat-cepat. Utusan-utusan Demak ke seberang dan Atas Angin, Gusti& .
Siapa utusan-utusan itu" Bukankah utusan juga dari Sampo Toalang" Sang Adipati memotong. Adakah Sampo Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami hancurkan dalam sepuluh bentar" Dengarkah, kau Aji Usup, Duta Jepara. Semua orang prajawan tahu, Sampo Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang Tiongkok itu untuk menandingi Jepara. Jepara tidak jatuh karenanya. Bandamya tetap jaya. Kemudian Lao Sam atau Lasem didirikannya untuk menyaingi bandar Tuban. Apakah Adipati Tuban berbuat sesuatu terhadap Lao Sam" Bandar asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami ijinkan. Tuban takkan jadi pudar karenanya. Bukankah kerajaan Demak didirikan untuk membentengi Semarang dari Tuban" Sekarang Demak sebagai kerajaan benteng sudah mulai menyerang. Sang Adipati Tuban masih dapat mengendalikan diri, hai kau, Aji Usup Duta Jepara. Patik, Gusti.
Sekarang utusan Semarang-Demak ke seberang dan Atas Angin kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu kesopanan itu.
Patik, Gusti. Jepara dan Semarang takkan dapat rempah-rempah lagi. Setiap kapal Semarang dan Jepara yang belayar ke sebelah timur pasti kami hancurkan.
Yang demikian telah terjadi, Gusti.
Dan akan terjadi seterusnya selama kami masih hidup. Patik, Gusti.
Sampai Semarang-Demak mengembalikan Jepara pada kami dengan hormat dan patut.
Patik, Gusti. Sang Adipati berjalan menuju ke taman di tentang kandang kuda dan Aji Usup mengikuti. Ia duduk pada bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding kandang gajah dan menetak tajam: Sudah kami pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan. Semarang-Demak akan punah tanpa rempah-rempah kami.
Pasti, Gusti. Agak lama Sang Adipati tidak bicara. Ia telah semburkan segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang. Kemudian: Apa Tuan Duta hendak persembahkan"


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahwa utusan Demak ke seberang dan Atas Angin telah membawa keterangan-keterangan penting Peranggi akan menguasai Jawa, Gusti Adipati Tuban yang mulia. Itulah yang menyebabkan Demak secara terburu-buru memasuki Jepara. Peranggi tidak boleh memasuki tengahtengah pulau Jawa ini, Gusti. Sekali masuk, seluruh Jawa akan dikuasainya. Itulah sebabnya Demak memasuki Jepara dengan sangat terburu-buru.
Jauh manakah Tuban daripada negeri Peranggi, maka tak ada utusan datang padaku" Dan kau, Duta Jepara, datang jauh setelah adipatimu memasuki wilayah kami" Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang memohon ampun. Dan sekarang kau datang, bukankah untuk itu"
Patik datang menghadap memang untuk urusan yang agak lain, Gusti, ampunilah patik.
Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan! Ampun, Gusti, utusan Demak, dari seberang dan Atas Angin yang datang dalam bulan ini, Gusti, mempersembahkan pada Gusti Kanjeng Sultan Demak, sesungguhnya Tuban telah mengadakan persiapan persenjataan untuk menghadapi Peranggi, dan bahwa jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi telah menjadi pikiran Gusti Adipati yang mendalam. Setidak-tidaknya karena Tuban sebuah bandar yang paling banyak bersangkutan dengan Malaka.
Betul, Aji Usup. Duta Jepara yang terhormat. Gusti Kanjeng Sultan Demak telah yakin adanya persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada Jepara.
Sang Adipati tersenyum puas.
Juga tidak akan ditujukan pada Jepara.
Untuk Jepara, Demak dan Semarang akan waktu lain, Aji Usup. Lihatlah betapa pongah Sultanmu. Mengirimkan seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu pernah dilakukan oleh Adipati Tuban"
Tidak, Gusti Adipati Tuban.
Apakah Tuban pernah menghalangi pembangunan Glagah Wangi" Atau pernah mengambil salah sebuah dusun Demak"
Tidak, Gusti Adipati Tuban.
Apakah kurang berharga Adipati Tuban dibandingkan dengan Sultan Demak maka hanya duta Adipati Jepara yang dikinmkan pada Kami"
Tidak, Gusti. Soalnya hanya karena Gusti Kanjeng Adipati Unus yang mengurusi soal-soal manca-praja, maka patik dikirimkan dari Jepara kemari.
Pikiran Demak sungguh berbelit-belit biar pun mudah dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit. Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toalang untuk menghadapi Tuban, sebuah kerajaan bayangbayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh berbelit.
Ampun, Gusti, Demak adalah kerajaan Islam, itulah keterangan satu-satunya dan tiada lain, Gusti.
Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, tapi bukan sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit karena dia mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada Islam. Negeri Syiwa-Buddha juga tidak mengabdi pada Syiwa- Buddha.
Patik, gusti. Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi pada sesuatu agama" Kami tidak pernah tahu. Majapahit yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.
Ampun, Gusti, patik tidak ada wewenang untuk berselisih. Barang tentu Gusti Adipati benar.
Ya, dan Demak seluruhnya keliru. Ampun, Gusti Adipati benar.
Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta" Masih tetap soal Peranggi, Gusti. Sekiranya Gusti Adipati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihanperselisihan kecil dengan Demak& sekiranya Gusti Adipati ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap Peranggi dari Malaka& Itulah Gusti, yang dipikulkan di atas pundak patik dari Sultan Demak melalui Gusti Kanjeng Adipati Jepara.
Persembahkan, Tuan duta. Maka Tuban dan Jepara-Demak bisa bergabung dalam satu armada besar, Gusti.
Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau memang pura-pura bukan kawula Semarang"
Ampun, Gusti, patik memikul pada bahu patik untuk jangan sampai menggusarkan hati Gusti Adipati Tuban. Tanpa kau pun Demak telah menggusarkan kami. Ampun, Gusti, patik hanya memikul perintah soal Peranggi.
Persembahkan! Semua kekuatan laut dari Tuban dan Jepara dan Banten, dan Jamto dan Riauw dan Aceh akan sanggup mengusir Peranggi, Gusti, kalau or laksanakan. Sekiranya Gusti Adipati berkenan menyertai.
Sang Adipati terdiam dan sang Duta tidak memulai lagi, menunggu jawaban.
Matari semakin condong mendekati tepi bumi waktu penguasa Tuban itu berkata: Datang kau sebulan lagi, barangkali kami ada jawaban.
Dilimpahi oleh Allah hendaknya Gusti Adipati Tuban dengan ramah dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan usia panjang sehat dan sejahtera& .
Begitu duta Jepara pergi, Sang Adipati tak dapat mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat sana. Ia takkan membiarkan siapa pun berjingkrak di atas kepalanya dan melecehkan Tuban. Tetapi perang ia tidak menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi momok selama hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung Wilwatikta di Mahapahit selama lima tahun sampai sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan Peranggi. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan, Prajawan-prajawan pada mempergunjingkan jatuhnya Malaka. Memang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi kemakmuran dunia, hanya karena dilewati rempah-rempah Nusantara. Tetapi mengapa orang begitu dungu membatasi kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata, seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini" Sekarang pula Peranggi datang justru hendak mengangkangi ke duaduanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula" Sekarang. Demak pun ikut dengan pergunjingan, dan dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami pada tindakan mereka yang tidak satria. Puh! Demak yang tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang Peranggi! Negeri-negeri pada berjatuhan di tangan Peranggi, ini, kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba, terhadap tetangga sendiri dan terhadap Peranggi sekaligus!
Sang Adipati mencoba membayangkan Adipati Jepara yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya, pikirnya, lebih besar dari akalnya. Memang semua nampak indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak naik ke Malaka. Baik, datangilah Malaka, Unus! Hanya dia yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan lebih baik dari Peranggi sendiri. Semua boleh gagahi Malaka. Tuban takkan binasa karenanya!
Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri. Dalam kegelapan para pengawal pun bergerak mengikutinya dari kejauhan. Ia memasuki daerah perumahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan sebuah lampu gantung bersumbu lima.
Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam, menggambarkan beberapa orang wanita sedang bercengkerama di bawah sebatang pohon jeruk macam di sebuah taman larangan.
Gubernur Tuban itu menarik seutas tali yang menjulur di atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni. Segera kemudian pintu berkerait terbuka. Sebidang pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu satu terpampang di hadapannya.
Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh di tanah menyambut dengan sembah. Kepalanya menekur. Inilah keputrian atau harem Sang Adipati.
Bagaimana kalian, Nyi Gede Kati"
Karunia dan kemurahan Gusti Adipati kuminta tanpa henti, Gusti, sembah wanita itu.
Sang Adipati langsung berjaian ke serambi, kemudian masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi Ayu Sekar Pinjung.
Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di pelataran atau serambi masih tetap bersimpuh di tanah pada tempat masing-masing. Setelah penguasa itu hilang dalam bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik masing-masing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi Gede Kati.
Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat panjang karena itulah tugasnya sebagai pengurus harem dan sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya bundar dan selalu nampak segar, Matanya agak sipit. Pandang matanya tenang tetapi nampak tajam menembus segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecilpanjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul, berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga berbeda dari para selir Nyi Gede Kati bergigi hitam arang, sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi Gede Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji jahawe yang telah ia habiskan untuk kepentingan itu.
Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gamelan di pendopo pun hanya sayup-sayup.
Di dalam bilik Sang Adipati duduk di atas sampai tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki penguasa itu dengan selembar kain basah.
Tangan Sang Adipati melambai, menarik dagu selir kesayangan untuk memandangi wajahnya. Dan wanita itu berkata dengan kenesnya,
Aduh, Gusti sesembahan patik, betapa lama patik menunggu selama ini.
Sang Adipati mengangguk dan tersenyum. Di bagian bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir kesayangan. Awaslah jangan terlena, karena lena adalah binasa.
Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu" ia memancing. Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan" Atau kalung" Ataukah dinar emas" Atau dirham"
Ampun, Gusti, bukan mas dan bukan perang, ya Gusti sesembahan, kalau patik diperkenankan bersembah& .
Sang Adipati menarik selir kesayangan ke atas dan didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan sambil meliak-liuk genit.
Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu sangat penting.
Ampun, Gusti, adapun yang hendak patik persembahkan, ya Gusti, Gusti sesembahan, bukanlah sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, Gusti.
Sambil membelai-belai rambut selirnya Sang Adipati bertanya setengah tawa tapi dengan kewaspadaan semakin tinggi: Apakah kiranya yang kau takutkan dan waswaskan"
Ampun, Gusti, orang bilang, ya sesembahan patik, ada bangsa berkulit putih bernama Peranggi. Kata orang, tiada tandingan di seantara jagad raya ini.
Kata orang, Nyi Ayu, teruskan. Maka kata orang itu pula, Gusti, seluruh dunia memberinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya Gusti. Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang. Kapal ditudingnya tenggelam, ya Gusti.
Sang Adipati tertawa senang dan didekapnya kepala wanita itu. Bertanya: Mengapa takut pada dongengan"
Kami semua takut dan was-was, selir itu menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang Adipati. Kemudian meneruskan dengan sura yang tidak keluar dari hati-kecilnya: Kata orang, ya Gusti, sebentar lagi Peranggi itu akan menaklukkan juga Tuban.
Sang Adipati terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di atas ambin. Kemudian ia berdiri tegak lurus, bertolak pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan.
Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun memerosotkan diri ke lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki lelaki itu dan memperdengarkan sedu-sedunya: Ampunilah patik, ya Gusti.
Dari siapa cerita itu, Pinjung" tanya Adipati itu pelahan tapi tajam. Kedua belah tangannya masih juga bertolak pinggang.
Hanya sedu-sedan yang menjawab.
Jadi kau tak bermaksud mempersembahkan siapa orangnya"
Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar. Sang Adipati membongkok, meraba-raba muka selir kesayangan. Tangan itu kemudian berhenti pada kuping.
Dalam waktu pendek subang-subang selir itu telah berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan sendirinya hendak mempertahankan subangnya. Terlambat. Kemudian ia cegah sendiri usahanya.
Nampak Sang Adipati sedang berusaha menindas kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah tangan-tangan Peranggi sudah mulai memasuki sudut kadipaten" Ini" pikirnya. Sudah mulai menyebarkan kegentaran pada seluruh isi kadipaten"
Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa Jawa. Ia mendekati lampu dan membacanya. Isinya hanya sebaris, menyatakan telah mengirimkan selembar sutra delapan depa, tanpa menyebut nama seseorang.
Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. Tetapi kertas" Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di atas kertas. Kembali ia periksa surat itu& dengan tinta, sedang Pribumi dengan jelaga.
Ada tangan asing bergerayangan di dalam haremku, ia memutuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak mendapat jawaban. Sekarang bertanya: Dari siapa surat ini"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, suara Nyi Sekar Pinjung gemetar. Bukan patik hendak menyembunyikan sesuatu dari kekuasaan Gusti sesembahan, memanglah patik tidak tahu siapa pengirimnya. Ampun, beribu ampun, Gusti.
Dari mana kau terima surat dan sutra" Nyi Gede Kati, Gusti.
Sang Adipati bergegas meninggalkan bilik harem. Beberapa hari setelah itu ia duduk di serambi belakang kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan oleh para kawula. Perhatiannya tak dapat dipusatkannya pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh Galeng dalam penggerayangannya di dalam kamar Syahbandar baru Sayid Habibullah Almasawa, mengabarkan telah menerima dari Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan.
Menurut Sang Patih. Galeng telah periksa seluruh kamar Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan bendabenda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logamlogam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan gambar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya, setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama dan gunanya.
Dasar anak desa! Tetapi itu hanya permulaan, gumam Sang Adipati.
Kemudian diambilnya selembar daun sirih dari nampan kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong kecil gambir di atasnya. Menggulung dan memamahnya. Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi.
Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih mencampuri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai Adipati. Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten. Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak dititahkannya untuk melakukan pekerjaan itu.
Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang wanita kepada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa. Tetapi tiada disebutkan tentangsutra. Mungkinkah barang perhiasan itu diterima oleh Nyi Gede Kati" Dan apa jasa Nyi Gede pada Syahbandar" Siapa pula pengantar dan penghubung surat" Ha, barangkali Nyi Gede bertindak sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami sendiri harus dapat temukan penghubung itu.
Panggil Nyi Gede Kati, ia berseru, kemudian memperhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita pengurus harem itu bersimpuh di bawah serambi dan mengangkat sembah.
Dan Sang Adipati sengaja meneruskan perhatiannya pada peragaan binatang-binatang itu. Baru setelah salah seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras, Mendekat! perintahnya keras-keras.
Nyi Gede Kati beringsut mendaki anak-anak tangga serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai tangan Sang Adipati ia beringsut maju terus lebih mendekat. Sang Adipati melambaikan tangan lagi sehingga ia sudah hampir pada kakinya.
Nyi Gede ia berbisik, siapa yang pernah menyurati kau dari luar"
Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu menggigil. Ampun Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, sebentar suaranya juga menggigil, kemudian merata kembali, memang benar patik pernah& .
Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras bersabar"
Ampun, Gusti, Nyi Gede menurunkan suaranya sehingga mendekati bisikan, memang benar patik pernah menerima surat dari luar, tetapi patik tak tahu dari siapa. Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patik, tanpa patik ketahui siapa pembawanya.
Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi Gede. Bagaimana mungkin, kau yang bertugas mengurusi keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu sendiri"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Hukumlah, patik, karena itulah kebenaran yang sesungguhnya. Hidup-mati patik adalah milik Gusti Adipati!
Mana surat itu" Ampun, Gusti Adipati, patik takut maka patik bakar. Surat apa, Nyi Gede, lontar ataukah kertas" Lon& lon& lon& kertas barangkali, Gusti, patik tak tahu namanya. Bukan lontar.
Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima" Adakah real Peranggi pernah kau terima juga"
Ada, Gusti real mas, Patik mohon ampun, karena tiada mengetahui adakah itu real Peranggi atau bukan.
Real Peranggi, dua, Sang Adipati mendengus menghinakan, dan gelang, bukan"
Demikianlah, Gusti, dan gelang.
Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud dan mutiara. Bukan"
Ampun, Gusti, semua benar. Perkenankanlah patik mempersembahkan semua itu ke bawah duli Gusti sesembahan.
Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu dikirimkan untukmu. Kami tahu kau pengurus keputrian yang jujur. Pergi!
Ia perhatikan wanita pengurus harem itu beringsut-ingsut mundur, menyembah dan menyembah, kemudian berjalan menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya perempuan itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak tahu siapa penyampainya.
Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang berjalan di kejauhan memikul kotak sampah menuju keluar daerah perumahan. Darahnya tersirap. Sesuatu menyambar pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu, yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia ruparupanya kutu busuk keputrian. Dia!
Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman dengan mereka. Ya. Si bocah itu!
Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar" Dan bocah itu menjamah hak-hakku yang paling tersembunyi" Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja. Tak pernah punya perasaan gentar. Bahkan hampir dapat dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa Melayu dengan lancar dan baik. Dia bertugas melayani Sayid Habibullah Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung Syahbandar dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem.
Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan ke belakang memeriksai pagar kayu tinggi, yang melingkari keputrian, untuk mendapatkan bekas-bekas panjatan.
Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia menggunakan alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui.
Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh kawula. Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya.
Pada nampak lagi memikul kotak sampah yang sudah kosong. Sang Adipati memperhatikan si bocah yang gelisah dengan mata berpendaran ke mana-mana itu. Ia lambaikan tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu.
Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap pada si macan" Pikirnya jengkel dan membiarkan Pada menghilang.
Cemburu tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan berpikir. Bocah-bocah semuda itu telah gerayangi keputrianku!
Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya melambai menyambar nampan kuningan tempat peracikan sirih dan dibantingnya menggelintang di lantai. O0-dw-0O
7. Syahbandar Tuban : Rangga Iskak & Sayid Habibullah Al-Masawa
Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu telah turun ke jalan raya dan ia berjalan kembali hendak memasuki gedung kesyahbandaran. Percakapan dengan tamu sangat menarik: masuknya Islam ke Nusantara bukan suatu kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasapenguasa di Perlak, Pasai dan Malaka yang mula-mula masuk Islam: mereka membutuhkan ajaran, perlindungan, kepercayaan lain dari segala yang serba Majapahit& .
Gedung kesyahbandaran yang terpampang di hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri Tuban. Lebih indah dari kadipaten, istana Sang Adipati. Gedung itu adalah yang kedua yang terbuat daripada batu. Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh negeri Tuban terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap, injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah atau kelapa.
Selalu bila ia sedang memintasi jalanan halaman depan rumah, ia tak pernah melewatkan nikmat keindahan bungabungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini. Dua tahun lalu seorang anak kapal dari Malabar, terdampar di Tuban, telah membangunnya meniru taman raja-raja Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya.
Sampai di depan pintu para pelayan sewaan telah berbaris menyongsongnya. Semua sudah dirapikan, Tuan Syahbandar, kata Yakub, majikan para pelayan itu dalam Melayu.
Kalian boleh pergi, jawabnya sambil melambaikan tangan dan memberikan sesuatu di tangan Yakub. Tanpa menoleh ia masuk ke dalam.
Dan bila ia menikmati kebagusan gedungnya, tak pernah ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk menyimpan abu jenasah.
Ruang tamu yang luas itu juga susunan awak kapal dari Malabar. Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal kulit onta. Permadam tergelar di atas lantai batu dihiasi dengan lemari besar dari kayu berukir arabesqus merupakan dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang kerja, diatur menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi.
Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan itu terjadi sebelum jatuhnya Malaka. Beberapa hari kemudian setelah Malaka jatuh dan ia mendengamya, buruburu ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari kakeknya yang besar Mirsa Hisyam Syu bah, Syahbandar Malaka, yang pernah mengislamkan Bhre Paramesywara.
Catatan-catatan kakeknya tentang Malaka hampirhampir hafal olehnya di luar kepala. Kakeknya, Mirsa Hisyam Syu bah, telah mendapatkan pelarian dari Majapahit itu, yang ternyata suami kaisar wanita Majapahit, Suhita. Ia adalah Bhre Paramesywara. Pertemuan itu terjadi di Tumasik, bandar Majapahit yang besar, menghubungkan Nusantara dengan Atas Angin dan Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian agung itu.
Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk jadi kaisar Majapahit. Dari mata-matanya ia mengetahui, bahwa kaisar Suhita telah memerintahkan penangkapan atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. Tetapi komplotan itu diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara Majapahit dengan Blambangan, antara Kaisar wanita Suhita dengan Bhre Wirabumi. Perang laut dan perang darat membeludag. Cetbang yang menurut aturan perang Majapahit hanya dipergunakan di laut dipergunakan juga di darat oleh dua belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di perairan Bali, Lombok dan Nusa Tenggara. Lumajang, ibukota Blambangan, jatuh. Majapahit jatuh miskin, kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak Angkatan laut Majapahit, Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam perang laut di tentang Singaraja.
Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hisyam Syu bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat mendirikan bandar sendiri di atas Tumasik, dan dengan demikian meruntuhkan bandar besar itu, untuk menjatuhkan Majapahit dari utara. Perang saudara menyebabkan Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil membuka bandar Malaka pada 1402 Masehi, marak jadi raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai bandar antarbenua. Dengan berdirinya Malaka berarti hancumya Majapahit dari sebelah utara. Mirsa Hisyam Syu bah diangkat sebagai penasihat dan Syahbandar sekaligus. Kakaknya ini yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan pedagang-pedagang Islam, dan untuk itu harus sendiri masuk Islam. Kakeknya ini juga yang mengislamkannya, dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi Maulana Ishak, dan sebagai raja Islam bergelar Megat Iskandarsyah.
Rangga Iskak hafal benar bagian itu. Sekarang Malaka jatuh setelah 109 tahun berdiri dari kesultanan. Ia tahu arti kejatuhannya di tangan Peranggi. Semua bandar besar dan kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya. Tetapi kedatangan orang yang mengaku dirinya Sayid Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi daripada jatuhnya Malaka. Dari resam tubuh dan mukanya ia sekaligus menduga, ia tidak lain dari Syahbandar Malaka, yang telah menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam kadipaten Tuban seperti kelakuannya di kesultanan Malaka sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar Gujarat itu: tingkah dan lagaknya seperti raja muda Malaka.
Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan bahaya yang mungkin timbul karena orang Moro itu. Sang Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan setelah jatuhnya Malaka Sang Adipati suka mengambil tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak memberitakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan seluruh rempah-rempah Maluku, kalau perlu dengan kekuatan senjata, telah membikin Sang Patih kehabisan tenaga. Maka segala persembahan Syahbandar Tuban tak mampu menarik perhatiannya.
Kemudian datang hari yang menutup segala kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari pelabuhan. Kesyahbandaran telah penuh dengan prajurit yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya, menaikkannya ke atas grobak-grobak dan membawanya entah ke mana. Ia lari mendapatkan peratus yang memimpin pasukan itu.
Tuan Syahbandar harus pindah pada hari ini juga, jawabnya pendek. Atas perintah Sang Adipati. Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi.
Didapatinya keempat-empat istrinya sedang menggerombol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus diperbuat.
Baik. Benahi barang-barang kalian, perintahnya pada mereka.
Kita tak tahu apa sedang terjadi.
Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap tidak mengerti.
Titah Sang Adipati tak bisa dihalangi, jawab Sang Patih.
Tapi gedung itu adalah gedung patik! Gedung Tuan"
Patik yang membangunkannya.
Semua atas biaya bandar Tuban. jawab Sang Patih. Tapi perencanaan& .
Sampai batu terakhir, kawula Tuban yang mengambilkan, Tuan Syahbandar. Genteng terakhir yang didatangkan dari Tiongkok itu pun bandar Tuban yang membiayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal terambil percuma.
Syahbandar Tuban masih mencoba memprotes. Kalau Tuan tidak mematuhi titah Sang Adipati, Tuan boleh tinggalkan Tuban sekarang juga.
Syahbandar mohon diri dan pulang ke kesyahbandaran. Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng asrama peserta pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya segera membersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak memberinya jawaban.
Ia tahu dengan kosongnya kesyahbandaran, Sayid Habibullah Alamasawa akan memasukinya dan menggantinya jadi Syahbandar Tuban. Ingat akan itu tak bisa lain kemarahannya tertuju pada Yakub si pewarung tuak dan tiu-arak. Dia telah membohonginya uangnya yang satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam semmggu terakhir ini. Anak keparat itu.
Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari perabotan, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa sudah merasa puas dengan jabatan barunya sebagai Syahbandar baru Tuban. Seluruh kekuasaan atas bandar, bea keluar-masuk. pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya.
Dengan kepergian Rangga Iskak gedung kesyahbandaran itu kini nampak ramah. Pintu depannya kini selalu terbuka dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak merasa hina atau miskin karenanya. Taman indah di depan rumah itu saja telah menipakan kekayaan warisan yang tiada tertandingi di seluruh Tuban.
Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan membacai buku-buku cerita dari Portugis dan Spanyol, atau membacai kitab-kitab Arab peninggalan kebudayaan Junani Purba-Arab di Cordoya. Setiap ia tertumbuk pada kaum Sephardi, kaum Jahudi, Spanyol-Portugis, ia tak teruskan bacaannya dan berpindah pada buku lainnya.
Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di waktu malam, karena semua pembantu harus pulang di malam hari sesuai dengan ketentuan.
Keadaan mendadak berobah: pengantin baru Galeng- Idayu datang ke kesyahbandaran untuk tinggal bersama dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok kiri kesyahbandaran, pavilyun untuk tamu-tamu Islam.
la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu memasuki kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-samalain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat Idayu jauh lebih cantik di dekat mata daripada dari kejauhan. Kulitnya yang langsat kecoklatan memancarkan seri ramah dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa kerja.
Setelah menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke gedung utama.
Idayu mengetoki dinding, kemudian terpakukan pada tanah, hanya matanya melihat ke mana-mana. Mengapa, Dayu"
Batu, Kang, semua batu, bisiknya, takut terdengar oleh orang lain, seperti candi. Dingin. Mengerikan. Galeng menirunya mengetuki semua dinding. Semua batu, Dayu, ia jatuh terduduk di ambin, juga matanya mengembara ke seluruh batu yang dingin itu, putih dan bisu.
Kotak batu semacam ini, Kang, hanya baik untuk& . Syahbandar baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya dalam melayu: Apa katamu, Idayu"
Idayu melompat mendekati suaminya dan berlindung di balik gumpaian otot yang kuat itu.
Apa kata istrimu" tanyanya pada juara gulat itu. Pergi kau ke dapur, Dayu perintah Galeng pada istrinya.
Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu. Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya yang baru dan segera kemudian mulai bekerja sebagai ibu rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di Awis Krambil.
Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa kecewa melihat wanita pujaan Tuban itu pergi menghindarinya. Ia perlihatkan keramahan dengan membantu Galeng mengatur barang-barangnya semua sumbangan dari penduduk Tuban Kota.
Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung, muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis itu, tak henti-hentinya bicara dalam Melayu. Galeng tak mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan syahbandar baru itu tertawa-tawa senang melihat Galeng tidak mengerti dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada lengannya. Berkata: Aku undang kalian. Datanglah nanti malam ke tempatku.
Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. Syahbandar mengulangi kata-katanya dan membantunya dengan gerakgerak tangan yang ramai. Juara itu mengangguk mengerti. Tholib Sungkar Az-Zubaid mengangguk-angguk senang, kemudian pergi.
Kamar tamu gedung utama kesyahbandaran itu kini diisi hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana. Mereka bertiga duduk mengepung meja.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak henti-hentinya bicara. Suami-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk, dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. Galeng terus-menerus mengawasi Syahbandar, memperhatikan gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang diucapkannya. Idayu sebaliknya terus-menerus menunduk.
Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua! tuan rumah membuka percakapan, maafkan aku terlambat menjamu kalian. Uah& , alis Syahbandar baru itu terangkat naik, kemudian cepat turun lagi, & pengantin masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada tandingan di seluruh Tuban Kota dan Tuban negeri. Prianya gagah-perkasa, tiada cecat barang secuwil, katanya cepat pula.
Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di perguruan dan asrama Galeng berkata: Sahaya tidak mengerti, Tuan Syahbandar.
Jangan bicara Jawa, tuan rumah melarang, ayoh, mulai sekarang pergunakan Melayu, sekarang ia ucapkan sepatah sepatah. Melayu! Bukankah kau sekarang pembantu-utamaku"
Juara gulat itu mengangguk mengiakan. Melayu! Melayu! Mulai bicara Melayu! Dan bila Idayu mencuri pandang dari bawah keningnya pada Syahbandar, ia tak dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa. Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri ajaib. Dan matanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area lempung yang sering dibuat oleh bocah-bocah penggembala bila menggambarkan dedemit atau gandaran.
Galeng, yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu, lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah seorang raksasa. Dan tingkah-laku Syahbandar di depannya itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan dilahirkan di miisim paceklik.
Tanpa mengindahkan adakah tamu-tamunya mengerti atau tidak, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan kata demi kata: Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat. Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, Idayu, dan gula, dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apaapa yang dipintanya.
Ia sendiri kemudian masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian keluar lagi membawa sesuatu di tangannya.
Begitu Idayu datang membawa barang-barang yang dipintanya, ia meneruskan: Jamuan haibat, ia mengulangi sambil memasukkan tepung hitam dan gula di dalam cawan-cawan itu. Nah! ia menggosok-gosok tangan kemudian bertepuk, sekarang tuangi cawan-cawan itu dengan air panas, Idayu! Hati-hati, jangan sampai turnpah.
Ia mulai mengaduknya, cawan demi cawan. Galeng memperhatikan mata Syahbandar yang antara sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka Syahbandar itu mendadak mengingatkannya pada muka hewan yang baru keluar dari lobang arang, karena muka itu dihitami oleh rambut.
Inilah minuman raja-raja jauh di atas Atas Angin sana. Ingat-ingat, nama minuman ini: kahwa! jangan lupa. Ayoh, Galeng, Idayu! minum!
Sekejap mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menelan wajah Idayu yang sedang melihat padanya.
Kahwa, Idayu! suaranya merendah lunak dan memikat. Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali meminumnya dalam sehari. Raja dan ratu Peranggi tiga kali. Semua membelinya dari pedagang Arab. Dan pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya karena tepung hitam ini. Raja Peranggi tiga kali sehari. Ingat-ingat itu. Betapa hebat Peranggi itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan main-main dengan Peranggi. Ingat-ingat itu, jangan mainmain. Ayoh minum!
Di dalam kamar tinggalnya yang baru Galeng menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari kerak. Nyala itu membesar.
Idayu bertiduran di ambin kayu. Karena pengaruh kopi kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam.
Minuman setan! dengus juara gulat itu. Ia rasai jantungnya berdebaran kencang.
Tak perlu kita minum lagi, Kang.
Galeng hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar olehnya suara yang mencurigakan. Ia melompat keluar kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan seseorang melarikan diri. la lalu memburunya. Bayangan itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah.
Dikelilinginya seluruh kesyahbandaran. Tiada sesuatu ia tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di serambi kamar. Juga tiada sesuatu pun terjadi.
Waktu masuk ke dalam didapatinya Idayu telah tertidur dalam kedamaian.
Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama Syahbandar dengan gelar jabatan Wira, ia segera dikenal penduduk Tuban Kota sebagai Wira Galeng. Tetapi lamakelamaan tumbuh sisipan dengan antara nama jabatan dan nama sendiri dan dipanggillah ia Wiranggaleng, Syahbandarmuda.
Baik di pelabuhan atau di jalanan ia mendapat penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar karena ia seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer, seorang juara gulat dan suami Idayu: pujaan Tuban.
Dan bila orang lewat di depan kesyahbandaran, orang memerlukan menengok untuk dapat melihat tuan Syahbandar-muda atau istrinya.
Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi punggawa di ibukota negeri memang membingungkan dan membikin ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang berlebih-lebihan membikin ia sering ragu-ragu, sedang kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang Adipati selalu membikin ia terlalu hati-hati. Sedang bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak juga pernah hilang dari kewaspadaannya.
Idayu tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin telah merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang hidup di dalam rumah batu kecuali tuan Syahbandar. Sekarang keharusan mengenakan kemban membikin tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin pantai yang tak henti-hentinya dan deburan ombak yang memeningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-merdeka di desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak aturan. Dan ia segan menyampaikan perasaan hatinya pada suaminya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu.
Biar belum mendapatkan ketenangan dalam penghidupannya yang baru Galeng dapat mengikuti dengan cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana. Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk memudahkan tuan Syahbandar baru menjalankan kewajibannya.
Juga Galeng tahu, bekas Syahbandar Tuban, Rangga Iskak, telah pindah ke bekas asrama dan tak juga mendapatkan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia akan diangkat jadi penghulu negeri, tetapi Sang Adipati tak juga melantiknya. Dan telah diketahui oleh seluruh Tuban Kota, Rangga Iskak tidak suka pada pekerjaan baru apa pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anakanak pembesar membaca Alqur an bahasa dan tulisan Arab.
Dua tiga kali Wiranggaleng pernah berpapasan dengan Rangga Iskak sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayunayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala untuk dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah menampakkan diri di wilayah pelabuhan.
Wiranggaleng membenarkan bisik-desus orang bekas Syahbandar itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari seseorang yang tak pernah didapatkannya. Dan memang ia selalu mencari-cari Yakub. Tetapi pewarung itu selalu menjauhkan diri tak ingin melihatnya.
Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama Syahbandar juara gulat itu harus pula mengawasi galangangalangan kapal di bandar Glondong, sebuah pelabuhan lain lagi di negeri Tuban. Dan untuk itu ia mendapat seekor kuda jantan, muda berwarna putih kelabu.
Setelah barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita: Rangga Iskak telah mengajukan permohonan berhenti dari jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama. Kemudian terdengar juga berita, ia telah menghadap Sang Adipati dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan untuk gedung kesyahbandaran yang ditinggalkannya. Sang Adipati, kata orang, tak senang pada kecerewetannya.
Berita yang didengamya kemudian: beberapa hari berturut-turut Sang Adipati telah pergi berburu. Pertanda ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah pernah ia dengan tak sengaja telah mendengar seseorang berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan Idayu.
Kemudian terjadi perobahan suasana di kesyahbandaran: Siang itu Tholib Sungkar Az-Zubaid dipanggil menghadap oleh Sang Adipati. Pada sore harinya ia datang dengan wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa, mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di belakang wanita itu seorang lelaki memikul beberapa bungkusan mengikuti.
Suami istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh Tholib Sungkar Az-Zubaid ia ditempatkan di dalam gedung utama. Setelah itu Syahbandar pergi lagi dengan muka cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan hampa.
Mungkin karena kesepian di dalam gedung utama wanita itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia bertemu dengan Idayu yang sedang menyiapkan makan malam.
Kaukah itu, Idayu" tegumya dengan lagu dan bahasa kadipaten.
Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu" Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah kau jadi istri Syahbandar-muda" ia tersenyum ramah dan nampak kilau giginya yang hitam kelam. Pandangnya membelai Idayu dengan persahabatan.
Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu" Saya lebih suka tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini" Hanya desau angin dan deburan laut, ia bicara sambil terus bekerja.
Mari kita masak bersama-sama, katanya lagi tanpa mengindahkan protes mulai ikut bekerja. Makan seperti ini jugakah tuan Syahbandar"
Bukan begitu, Ibu. Sahaya hanya bisa masak begini rupa. Ibu ini siapa& ."
Aku, Nak" Aku istri tuan Syahbandar. Oh-ah, Di mana Ibu dulu tinggal"
Di dalam kadipaten, Idayu. Kau tak pernah melihat aku waktu tinggal di sana. Tapi aku sudah pernah melihat kau.
Hari pertama yang dimulai dengan keakraban dan persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri.
Istri Syahbandar Tuban itu tak lain daripada Nyi Gede Kati, bekas pengurus keputrian Kadipaten.
Dari wanita itu Idayu mengetahui, ia pernah dipanggil menghadap oleh Sang Adipati di serambi belakang Yang pertama kali tentang surat, yang kedua& ia duduk bersimpuh, kemudian datang menghadap juga tuan Syahbandar.
Persekutuan Maut 2 Wiro Sableng 130 Meraga Sukma Sepasang Naga Lembah Iblis 5
^