Pencarian

Rahasia Mim Tersingkap 1

Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan Bagian 1


Prakata ara ilsuf, seandainya tahu untuk mendaki gunung terjal
harus mendaki jalan setapak dan menanjak, akankah
saya tetap pergi ke Heidelberg" Setelah kuinjak-injak jutaan
dedaunan yang terbakar, bersandar pada batu nisan Holderlin
yang telah penuh dengan lumut, seraya kutanyakan pada
ruh syair yang sudah tua renta itu; benarkah apa yang
engkau katakan kalau puisi adalah hal yang paling maksum
di dunia" Mengapa kemaksuman harus digubah di puncak
gunung yang sulit dan curam rimanya. (Heidelberg, 2008)
Seusai salat Subuh, rasa kantuk masih menyerang
mataku. Berdasarkan apa yang kulihat di peta lama, hotel
tempat tinggalku terletak di perkampungan Bani Hasyim
yang bermukim di sini sekitar 1500 tahun lalu. Aku sengaja
membiarkan pintu jendela sedikit terbuka agar saat tertidur
diriku bisa menyusup ke Mekah. Aku hanya tidur sebentar
dan memang sering terbangun. Terbangun oleh gemuruh
suara lautan. Namun, saat berlari ke arah jendela dan
memandangi sekitar, ternyata suara lautan yang baru saja
kudengar itu tidak pernah dapat kutemukan. Mungkinkah
suara ombak-ombaknya yang seperti karpet tergulung yang
digelar secara serentak itu hanya sebuah ilusi" Ataukah ini
sebuah anugerah dan pertanda bagiku" Lagi pula, aku adalah
seorang pengembara. Apa pun yang menjadi anugerah
bagiku, aku harus menerimanya. Entah padang pasir... atau
laut... ain Aku lupa semua puisi yang telah kuketahui saat
memasuki Kakbah. Kemarin, saat berlari di antara Safa dan
Marwah, saudara wanitaku berkata, "Aku bangga sekali
kepada Bunda Hajar. Lihat saja, sejak ribuan tahun lalu
semua orang mengikuti larinya." Kakbah terlihat seperti
samudra, tempat bermuaranya semua sungai yang ada.
Percikan indah puisi dan lautan bagaikan kipas angin yang
terpasang di dinding rumah Allah, dengan baling-balingnya
yang usang dan penuh pedih berputar-putar. Aku pun
tak mampu mengkhatamkan al-Fatihah sepanjang tawaf.
"Aku hanya bisa membaca sampai lafaz Iyyakana"budu wa
iyyaka nasta"in." Setelah membaca ayat itu, aku selalu saja
terpaku. Kami pun menangis saat bersama-sama berdoa di
Hijr Ismail. Kami seperti merasakan perjuangan, cinta, dan
keimanan Bunda Hajar dan Khadijah. Menikmati mereka
sebagai guru yang mulia dan penuh kelembutan yang sedang
memberikan pelajaran ke dalam ruh kami. Kami kembali
mengenal dan bersaksi kepada Nabi Muhammad, utusan
terakhir yang telah memberi contoh dengan kehidupan dan
pengajaran Rabbaninya. Dengan bergeloranya iman, hati kami yang bagaikan
padang pasir telah bermandikan lautan.
Kakbah berada di tengah-tengah padang pasir ataukah
di permukaan lautan" Bagaimana dengan hati" Digubah di
pegunungan tinggi manakah rima kesuciannya"
Aku bersedih atas nama para penyair dan ahli ilsafat,
kehancuran puisi, tujuh gantungan yang terputus dari
dinding Kakbah karena tidak satu rima pun mampu berlomba
dengan lantunan kesucian cinta yang berpekik dari La ilaha
illallah, Muhammad Rasulullah... (Mekah, 2009).
Anak-anakku berpikir kalau geometri tidak berhubungan
dengan sastra. Padahal, sastra adalah seni geometri. Aku
menggambarkan tiga titik yang tidak pararel di buku
catatan. Jika masing-masing titik dihubungkan satu sama
lain, pemahaman pertama matematika setiap anak di dunia
ini adalah bangun segitiga, dengan rumus Pitagoras yang
mengatakan bahwa "Angka pertama yang ada di planet
adalah tiga". Saya hitung luas bangun segitiga, entah mengapa
masih mengingatkanku pada sebuah puisi. Rasulullah yang
tercinta memiliki dua teman perjalanan. Yang satu seorang
malaikat penghuni langit, yaitu Jibril, dan yang satunya lagi
adalah putri dunia, Bunda Khadijah. Allah yang menyebut
Rasulullah dengan habibi telah memberikan dua teman
hidup untuk mendukungnya.
Malaikat di langit dan wanita di bumi...
"Engkau telah membahagiakanku dengan tiga hal di
dunia ini." Sabda Nabi : "Wanita, bau yang harum, dan cahaya
mataku adalah salat?"
Ketika membiarkan pekerjaan rumah geometriku demi
memeluk anak-anakku, sekali lagi aku merasa sedih terhadap
para penyair dan ilsuf. Aku kini tahu, yang telah mengubah
padang pasir menjadi lautan cinta dengan rima yang paling
indah dan paling suci akan kering dalam hati ibu...
Semoga salam terlimpah untuk ibunda kita, Khadijah
Kubra. (Istanbul, 2009) vii Prolog wal sebelum masa mengenal hari-hari yang dilalui
dengan jam pasir atau tergores dalam lembaranlembaran almanak
Dialah yang Mahaada Dialah yang Mahaawal Dialah Allah Ibarat harta karun rahasia. Ia ingin untuk tidak
diketahui. Dan atas keinginan-Nya ini, Ia berkeputusan
untuk berirman. Firman, dari-Nya menjadi baris
Sebelumnya, irmanlah yang memulai perjalanan
"Kun" irman-Nya. Jadilah segala sesuatu dalam
seketika Sementara itu, pena adalah pejalan kedua setelahnya
Takdir pena adalah menulis yang lainnya
Makna segala apa yang dikatakan dalam irman menjadi
takdir bagi seluruh pengembara
Bagaikan seseorang yang melihat dirinya pada cermin,
cinta juga telah menakdirkan Kekasihnya
Semua yang dicipta: segala yang kita sebut dengan sejarah
dan masa depan, semua yang diketahui dan tidak diketahui,
seluruh kebaikan dan kejelekan, hanyalah sebatas untuk
lebih sedikit memperkilap cermin cinta ini
Cermin cinta yang sempurna mengilapnya karena wajah
Muhammad Al-Mustafa viii ain Dialah stempel cintanya Allah, Khatimul Anbiya-Nya
Allah menyebutnya "Habibi", "Kekasihku"
Segala berita yang jelas maupun terselubung telah
diberitahukan kepada kekasih-Nya karena ia adalah
pembawa berita terakhir Allah
Semua orang yang datang dan pergi, mulai dari manusia
pertama hingga terakhir, akan dibangkitkan dengan surat
terakhir yang dibaca kekasih-Nya
Nama surat itu adalah Al-Quran, yang mengumpulkan,
membangkitkan, menyatukan
Firman sejak awal hingga akhir
Firman yang awal dan akhir
Utusan terakhir: tersumpah, terikat, terjanji
Zat yang sangat mencintai kekasih-Nya pasti akan
memberikan rumah terbaik di dunia ini
Rumah-Nya adalah Rumah Wahyu
Utusan terakhir haruslah tinggal di Rumah Wahyu
Dan Tuhanlah yang telah membuatnya mencintai
istrinya, bau wangi, dan salat yang menjadi cahaya
matanya Wanita yang dibuat oleh-Nya dan dicintainya bernama
Khadijah Khadijah seolah sama dengan wahyu, nikmat yang
diberikan, disuguhkan, dan menjadi nasibnya
Dalam hati Khadijah yang hangat akan diterangkan
semangat kekasih Allah yang membara
Khadijah adalah aroma samawi. Dialah yang akan
memeluk utusan terakhir, manusia paling kamil, dengan
pelukan tangannya yang hangat, penuh kasih sayang
Di samping sebagai seorang ibu, ia juga seorang istri.
Segala kebaikan yang ada di lingkungannya ia lahirkan
Sang ibu yang penuh perjuangan
Ia ibarat buaian, tempat kekasih Allah diamanahkan
kepadanya. Hati Khadijah adalah rumah Rasulullah
Hati Khadijah adalah baju baginya, pakaiannya
Ia adalah tempat berteduh bagi kekasihnya, dermaga
tempat berlabuh yang paling aman
Hati Khadijah adalah tempat Allah menjadikannya
kekasih bagi kekasih-Nya Khadijah adalah tempat dan peluang cinta bagi sang
utusan Kekasih Allah akan terhangatkan di dalam rumah hati
Khadijah. Allah telah menjadikan Khadijah seorang wanita yan
menjadi rumah bagi kekasihnya
Wahyu yang dibawa malaikat juga telah menjadikan
Khadijah bagai selimut "Selimutilah diriku... selimutilah diriku...."
Dia adalah wanita yang menjadi rumah bagi turunnya
wahyu Dia adalah wanita yang menjadi selimutnya wahyu
Dialah yang menenangkan dan kemudian menyelimuti
sang kekasih Khadijah adalah Libasul Khatam
Seorang wanita yang telah menjadi busana bagi
penandanya Allah Seorang wanita yang menenangkan dan mendukung
utusan-Nya, dialah Khadijah namanya
Dialah istri, rumah, dan tempat berteduh baginda Nabi
Seorang panutan, tangga pertama dalam pelajaran cinta
bagi utusan-Nya Khadijah adalah istri dan juga ibunya
Khadijah berarti kekuatan muharrik atau yang mampu
menghancurkan dan sekaligus kesabaran
Khadijah berarti uluran tangan
Adalah belaian dan uluran kepedulian
Khadijah adalah kerja keras, sabar, cinta, dan usaha
Surga yang dijadikan Allah di dunia bagi kekasih-Nya
Kilau dari cermin cinta Bejana bagi lautan cinta Menjadi lentera, lampu pijar yang terbuat dari kristal
Cangkir kristal untuk air bersih nan jernih
Buaian yang hangat bagi bayi
Alur bagi aliran sungai Bingkai bagi lukisan Baju yang melindungi punggung
Rangka bagi pedang tajam Jilid umat bagi kitab yang sangat berharga
Sapu tangan yang memberi dan menjaga rahasia
Perban yang mengandung obat mujarab
Ujung tombak yang setiap sisinya terbungkus
Selimut yang menghentikan rasa dingin bagi ruh dan
menyelimutinya dari udara terbuka"
Khadijah adalah seorang wanita
Kisahnya kisah Badan bagi badan, kulit bagi kulit
Ruh bagi ruh Hati bagi jiwa Khadijah adalah puncak cinta di dunia
Kekasih yang dijadikan kekasih bagi kekasih-Nya
Suatu hari, mata Rasulullah berkaca-kaca seraya
bersabda kepada para sahabat yang ada di sekitarnya:
"Allah tidak pernah memberikanku wanita yang lebih
mulia daripada Khadijah. Di saat manusia tidak percaya,
dia sendiri yang percaya. Ketika semua orang mendustakan
diriku, dia sendiri yang menerimaku. Ketika manusia
berlarian dariku, ia mendukungku, baik ketika ada maupun
tiada... Dan... Allah mengaruniaiku putra-putri bukan dari yang lain,
melainkan darinya." xii Gerbang ota bagaikan pengantin wanita. Wajahnya merona
menantikan dirimu jika saja engkau mengizinkan dirinya
memaparkan kisah kehidupannya. Sama seperti manusia,
setiap kota memiliki takdir dan pemahaman tersendiri.
Seperti wajah seorang bayi, di sana akan tampak pertanda
dari orangtuanya. Suatu hari, engkau akan menemukannya
saat berani membuka kain kafan kota yang penuh derita.
Saat pertama kali kadim hikayat kota diturunkan ke
bumi, di sanalah kota itu tampak kaku dan sayu. Allah telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, sementara
kota tentu saja lama setelah masa itu. Ia dinamakan kisah
asatir walau sebenarnya tentang cerita kehidupan lampau.
Hikayatnya, termasuk ruh sebuah kota, telah berembus
dalam bisikan dari satu telinga ke telinga lainnya semenjak
ia hadir sebagai kisah penuh hikmah selama berabad-abad.
Meski suatu hari kiamat akan pecah, kenangan akan kota itu
tetap hidup selamanya karena kisah adalah ruh bagi kota itu.
Dan ruh, tentu saja, tidak akan pernah mati. Ia akan tetap
abadi. Antara popok bayi dan kain kafan kota, keduanya tidak
berbeda secara hakikat. Keduanya adalah cadar keindahan
bagi pemakainya. Di balik cadar itu akan ada pengantin
yang menunggunya. Ketika cadar pengantin ibu segala kota
engkau buka, akan didapati ibunda kita, Hajar. Wajahnya
pucat pasi, merona, dan penuh gelisah saat mendekap sang
bayi, Ismail, sambil berlari di antara Safa dan Marwa demi
xiii ain mendapatkan seteguk air. Ternyata, upaya pencarian air
dengan berlari ini, dalam lembaran-lembaran sejarah yang
dituliskan kemudian, setara dengan upaya ibunda Khadijah
sebagai pahlawannya. Seolah takdir Mekah berada pada
kedua ibunda yang mulia ini.
Sebagaimana kedua gunung kota Mekah, Safa dan


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marwa, yang menyimpan isyarat dari Allah, ibunda Hajar
dan Khadijah yang mulia juga laksana kedua bukit yang
kokoh menjaga Mekah sepanjang dunia masih berputar.
xiv Babil ebelum Istana Babil runtuh, cerita-cerita lama
mengisahkan bahwa umat manusia berbicara dengan
bahasa malaikat. Entah apa yang akhirnya terjadi. Umat
manusia saat itu diliputi sifat sombong, serakah, takabur,
dan hasut terhadap kekayaan orang lain. Mereka begitu
congkak sampai tidak memercayai apa pun selain akal
pikirannya. Tak pernah puas dengan nafsu syahwatnya dan
selalu mengejar semua kesenangan.
Manusia juga malas membantu sesama sehingga satu
sama lain saling memangsa. Sepuluh macam dosa dan
tujuh macam tindakan nista adalah syiar mereka. Bahkan,
kecanggihan dalam bidang arsitektur dan bangunan
membuat mereka sampai berani menantang langit.
Babil adalah istana yang menjulang ke langit. Tinggi
kakinya saja ratusan meter. Atapnya menghilang di antara
kerumunan awan. Sungguh malang nasib sang arsitek. Ia
diminta membangun, mendirikan, terus menjulang dengan
tenaga manusia hingga tak berujung.
Suara gemuruh para pekerja yang memukul-mukulkan
palu, bodem, linggis, dan alat dari besi lainnya membuat
kesadaran akan kehancuran kota akibat kiamat melanda
lenyap. Babil telah dikuasai keserakahan. Mereka yang
terbuai dalam syahwat di atas ketinggian menara-menaranya
tidak akan pernah menyadari berlalunya waktu. Bahkan,
para pengembara yang menghampiri mereka terlihat sayu
oleh embusan udara yang menapak di jalannya. Mereka
_ Babil ain tak sadar telah menghabiskan seribu tahun usia di antara
semak-semak taman gantung Babil; bahu telah menjadi
lemah, menua, dan embusan napasnya telah berakhir tanpa
bisa tahu ke mana arah tujuan hidupnya.
Jalan melingkar bagaikan spiral menjulang hingga
ke angkasa menyangga Istana Babil. Pagar pematang di
sepanjang jalan terbuat dari perak, sedangkan lantai
balkonnya dari zamrud. Lanskap air terjun yang menghiasi
setiap pinggir taman gantung tampak begitu indah
memesona, dengan suara gemericik yang mengalir di
antara zamrud yang diukir sedemikian cantik, seharusnya
menggambarkan keriangan dan kebahagiaan para
penghuninya. Namun, apa gerangan yang menyebabkan wajah setiap
orang yang mengembuskan napasnya di Babil tampak
seperti menderita. Hampir setiap pasang mata yang melepas
ruhnya di antara gemerlap kekayaan dan kenyamanan fana
membekaskan tanda-tanda kepedihan.
Di saat para penduduk Babil harus berhadapan dengan
Zat Yang Maha Mencipta karena telah lalai hingga
melampaui batas, hidup tanpa pernah bersyukur dan tanpa
kendali, luruhlah takdir yang mesti dijatuhkan. Firman Ilahi
telah dititahkan. Kiamat pun berkemelut di istana hingga
bangunan berhawa sedih yang sedang dalam pembangunan
itu luluh-lantak dengan satu kalam Illahi. Rata dengan
Bumi. Segalanya hanya berusia sebatas hirupan napas. Istana
rata dalam sekejap, lebur dalam ketiadaan. Para raja agung,
para ratu, dan punggawa Babil, serta siapa saja yang ada
lumat ditelan bumi. Namun, para pengemis yang mengais
xvi rezeki di depan pintu istana yang paling bawah, para tuna
wisma, dan para wanita lansia berbusana kumal yang
dilarang memasuki istana, serta para tamu penyair yang
tidak dikehendaki kehadirannya di istana, tak tersentuh
petaka kiamat itu. Mereka yang selamat itu pun ribuan kali menyesali sisa
hidupnya. Mereka harus menanggung kutukan Tuhan yang
pedih karena satu sama lain tidak lagi memahami bahasa
mereka. Setiap ucapan dan kata menjadi asing. Setiap orang
menjadi tuli atau bisu. Mereka tercerai-berai ke seluruh
penjuru bumi. Ibu berpisah dengan anaknya dan saudara
berpisah satu sama lain dalam keadaan murka.
Ah, Namrud, Raja Babil yang teramat sombong! Beraninya
ia melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam unggun perapian"
Bisa-bisanya ia berkeras membangun kuil Babil menjulang
ke langit untuk menantang kekuatan Tuhannya Ibrahim"
Namun, lihatlah apa yang terjadi!
Di waktu pagi itu, saat Namrud dimabuk keserakahan
membangun istana menjulang menembus awan, saat ia gila
untuk mencoba melontarkan panah dari balkon istananya
dan gembiranya ketika mendapati anak panah yang kembali
dengan mata panah dipenuhi bercak darah, dengan dungu
ia menyangka Tuhannya Ibrahim telah terluka "hasya.
Padahal, Tuhanlah yang telah membuat api yang panas
itu menjadi dingin bagi Ibrahim. Tuhan yang menjadikan
mawar dari kilauan apinya itu telah menampakkan murkaNya dengan meluluhlantakkan istana kesombongan
Namrud. Pada hari ini, kita tidak dapat lagi mengingat bahasa
lama para malaikat. Hal tersebut, katanya, terjadi karena
xvii _ Babil para penduduk yang menyaksikan Ibrahim dilemparkan ke
dalam unggun perapian hanya terpaku bagaikan setan tak
berlidah. Bulu kuduk mereka tak sedikit pun bergetar untuk
berupaya menolongnya. Di hari Istana Babil diruntuhkan, seluruh umat manusia
telah ikut andil di dalamnya. Mereka tercerai-berai dan
tampak nestapa di seluruh penjuru dunia. Manusia
terdampar ke mana-mana dengan bahasa berbeda dalam
kabilah dan bangsa-bangsa yang tidak sama.
Dan hamba yang dikasihi-Nya, ayah dari orang-orang
miskin dan perantau, Abul Adyaf Nabiyullah Ibrahim,
baik ketika di perjalanan, di tenda perkemahan, maupun
di rumah tempat tinggalnya, menjadi masyhur dengan
kedermawanannya. Ia mengumpulkan masyarakat dan
menjamunya. Beliaulah yang mengumpulkan, menenangkan,
memberi pencerahan, murah senyum, dan tidak pernah
tebersit keputusasaan. Bersama sang istri yang sangat cantik, Sarah, beliau
meninggalkan negara tempat Namrud berada. Sesampai di
daratan Ninawa, peraturan aneh raja setempat membuat
mereka berdua khawatir. Keduanya mengaku sebagai
saudara. Pengakuan ini bukanlah dusta. Menurut syarat
rukun agama yang diturunkan Tuhan yang Tunggal dan Esa,
mereka memang bersaudara. Mereka sama-sama keturunan
Adam sehingga bersatu dalam satu keturunan dan satu
saudara dari Bani Adam. Raja Ninawa, Abimelekh, hanya mengizinkan orang
memasuki daerah kekuasaannya dengan satu syarat,
dan syarat itu adalah hukuman gantung. Karena itu, jika
xviii memberi tahu bahwa mereka sudah menikah, hal itu tentu
akan sangat membahayakan keselamatan Ibrahim. Namun,
jika dikatakan bersaudara, peraturan tidak adil sang raja
tidak dilanggar. Lebih dari itu, mereka berdua pun disambut
dengan cara luar biasa sebagai tamu.
Raja Abimelekh terpana oleh keindahan rupa Sarah.
Namun, setiap berkeinginan hendak menikahi dan
melangkahkan kaki untuk mendekatinya, setiap kali itu pula
kedua kakinya terpaku dan menjadi lumpuh seketika. Kedua
tangannya pun tiba-tiba menjadi kaku karenanya.
Tidak hanya sekali" kedua kali" ketiga"
Saat yang ketiga kalinya, pandangan sang raja tiba-tiba
kelam. Mulutnya berbusa, kedua tangan terpaku, dan sekujur
tubuh terasa tersayat-sayat. Ruhnya terhimpit dan dari dalam
hatinya terembus rasa takut akan kematian. Apa gerangan
semua ini, seorang ahli sihirkah wanita yang membuatnya
ketakutan itu" Ataukah semua ini adalah kekuatan mistik
yang dimilikinya, yang didengarnya dari para musair"
"Aih," mengaduh ia pada akhirnya.
"Entah apa pun itu yang membuatku menjadi begini,
tidakkah wanita itu indah bagi diriku?"
Baru saja berpikir demikian, rasa takut kembali menjalar
seketika. "Al-Aman!" teriaknya. "Segera suruh kedua saudara ini
untuk meninggalkan kota. Berikan kepada mereka harta
benda yang banyak. Bawakan unta, kambing, dan domba.
Jangan lupa pula berikan mereka pembantu yang paling
rajin, Hajar. Berikan semua hadiah itu kepada mereka dan
antar sampai ke jalan. Jangan sampai mereka meninggalkan
xix _ Babil laknat. Semoga kedua mataku yang buta bisa melihat
kembali, kedua tanganku dan kakiku yang lumpuh bisa
sehat, dan punggungku yang bungkuk dapat tegak lagi."
Para punggawa Ninawa mematuhi perintah sang raja.
Mulailah Ibrahim mengarungi perjalanan. Kini, bukan
hanya berdua, melainkan bertiga.
Angka tiga, bagi beberapa ilsuf, merupakan bilangan
pertama. Lah Laha.. aurat bagian ke-12 diawali dengan kata Lah Laha"
Ini adalah perintah suci yang bermakna "pergilah
untuk dirimu sendiri". Ya, ini mengenai kepergian Nabiyullah
Ibrahim dari Harran. Setelah perjalanan ini, beliau akan
mendapatkan keturunan yang akan meneruskan garis
keturunannya yang suci: Bani Ibrahim yang terkenal ke
seluruh penjuru dunia. Lah Laha seolah perintah dan berita
gembira bagi anak keturunan Ibrahim.
Dalam catatan sejarah, garis keturunan suci dan pewaris
agama samawi Ibrahim bermula dari perjalanan ini.
Perjalanan tiga orang, yaitu Ibrahim bersama kedua ibunda
kita. Pada kisah selanjutnya, berita gembira yang dinantinantikan datang lebih awal. Ismail lebih dulu menyapa dunia
lewat kelahirannya dari rahim Ibunda Hajar. Setelah itu,
Ibunda Sarah yang sudah berusia lanjut, dengan limpahan
anugerah dari Allah, tak lama kemudian menjadi ibu. Anak
yang lahir darinya diberi nama Ishak.
Dalam Taurat, pada pembahasan ke-21 tentang "Ishak
dan Ismail", Ibunda Sarah diceritakan dengan pemaparan
yang kasar. Lihatlah pada kata-kata "Usir jariah ini
bersama dengan anaknya!" Di sini, Taurat menggambarkan
seolah-olah Ibunda Sarah adalah seorang ratu berhati
besi, yang memberi perintah begitu saja kepada Ibrahim.
Tidak diragukan lagi, terlepas dari segala aspek yang
melatarbelakangi, semua itu merupakan penyelewengan
xxi _ Lah Laha.. makna dan tindakan yang melampaui batas terhadap Ibunda
Sarah. Padahal, di dalam Alquran disebutkan bahwa kedua
ibunda itu adalah penerus garis keturunan Ibrahim dengan
sanjungan dan panjatan doa.
Perjalanan Ibrahim bersama ibunda Hajar dan buah
hatinya, Ismail, adalah ujian dari Allah untuk nabi-Nya.
Mengenai Ismail, Ibrahim sebelumnya telah memohon
diberikan putra. Setelah sang putra lahir, dengan berat
hati kemudian ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir
yang teramat jauh. Itulah takdir. Keputusan Tuhan untuk
meninggalkan mereka berdua di padang pasir di sekitar
Bait al-Atik, Mekah, akan menjadi babak penting bagi
"penyempurnaan sejarah besar" di kemudian hari.
Dalam Taurat dikisahkan, sambil mengangkat bejana
berisi air di punggungnya dan beberapa potong roti
terbungkus di kain sebagai bekalnya, Hajar diantarkan ke
padang pasir, yang disebut dengan istilah watata. Menurut
para rabi, istilah ini bermakna "memulai perjalanan", dan
merupakan isyarat bagi tumbuhnya pohon silsilah yang
akan melahirkan sang pembawa berita terakhir, yakni nabi
terakhir. Nabi terakhir, Muhammad, adalah cucu yang lahir
berabad-abad kemudian dari masa Ibunda Hajar yang
ditinggalkan di tengah-tengah padang pasir. Dengan
demikian, secara ironi, watata bukanlah bermakna "memulai
perjalanan", melainkan sebaliknya, yaitu "menemukan jalan".
Hanya saja, lewat orang-orang yang telah mengeras hatinya,
istilah tersebut telah diubah maknanya.
Perjalanan risalah yang bermula dengan perjalanan
Hajar dari Al-Quds ke Mekah, lalu perjalanan Rasulullah
xxii saat Israk-Mikraj yang menempuh perjalanan luar biasa dari
Mekah menuju Masjid al-Aqsa, dengan sendirinya telah
menyempurnakan garis perjalanan yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kata Lah Laha di dalam Taurat berarti
garis keturunan Ibrahim dan kata watata mengacu kepada
perjalanan Mikraj. Namun, kini kedua kata yang memiliki
makna sangat dalam itu telah mengalami penyempitan,
bahkan penyimpangan. xxiii Embusan Angin Sakinah etelah Ibrahim dan Hajar meninggalkan al-Quds,
keduanya harus menempuh perjalanan panjang
mengarungi padang pasir. Di belakang mereka hanya ada
satu teman perjalanan. Ia adalah "angin sakinah" yang
berembus tidak terlalu kencang. Tiupan angin ini begitu
sepoi, lembut membelai, seolah hendak mengungkapkan
dukungannya kepada keluarga yang tunduk berserah diri
itu. Setiap langkah yang diayunkan merupakan satu tataran
terangkatnya derajat mereka karena mampu melewati ujian
yang akan membuat keduanya dikenang sebagai hamba
yang agung dalam sejarah.
Selama berhari-hari, tanpa bicara, mereka terus berjalan.
Sang ayah berada di depan, sementara sang ibu berada persis
di belakangnya dengan seorang bayi mungil dalam pelukan.
Sementara itu, "angin sakinah" menyelimuti mereka dalam
tiupan lembut membelai dan terus mengiringi mereka
berjalan... terus berjalan.
Mereka kemudian berhenti di suatu bukit kecil yang


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak sisa reruntuhan. Tempat ini dinamakan Bait al-Atik,
tempat yang dulu pernah ditinggali Adam, rumah paling
tua di dunia yang saat itu dalam keadaan rusak dan reyot,
dengan dinding hampir roboh karena hempasan angin dan
berada sendirian di antara hamparan samudra padang pasir
yang mengelilinginya. xxiv Hajar lalu bertanya kepada suami dan juga nabi yang
diimaninya. "Akankah Kanda meninggalkan kami berdua di sini?"
Tak ada jawaban, tak pernah ada jawaban"
Sampai akhirnya sebuah pertanyaan yang terucap,
"Ataukah semua ini adalah sebuah ujian yang diperintahkan
Allah?" "Akankah Kanda meninggalkan kami
berdua di sini?" Tak ada jawaban, tak pernah ada
jawaban.. Ayahanda kita, Ibrahim, dengan wajah menanggung
pedih namun berserah diri kepada takdir yang menimpanya
berkata, "Iya, Dinda akan ditinggal di sini sebagai perintah
dan ujian dari Allah."
Ibrahim pun melangkahkan kaki untuk meninggalkannya. Ibunda Hajar hanya seorang diri di tengah-tengah
padang pasir dengan bayinya. Ibrahim meninggalkan
mereka di Baitul Atik yang tinggal puing-puing bertimbun
pasir. Perintah Allah telah menghendaki yang demikian
sebagai ujian sehingga Ibunda Hajar pun menjadi "Hajar"
yang sesungguhnya. xxv _ Embusan Angin Sakinah Hajar berarti batu Ia berarti pula ruangan buaian dan juga: mata Setelah sejenak memandangi hamparan padang pasir di
panas terik tanpa ada tempat berteduh, tebersit perasaan
papa dalam hati Hajar yang masih muda belia. Memang
telah disampaikan jauh sebelumnya bahwa semua ini adalah
sebatas ujian baginya. Namun, tetap saja hatinya tersayat
dan semakin tersayat oleh langkah kaki sang suami yang
semakin menjauh meninggalkannya.
Inilah saat awal dimulainya rangkaian ujian. Ibrahim
Khalilullah adalah satu-satunya tempat berteduh, seorang
nabi yang diimani, seorang suami yang dicintai, tempat
berbagi dan segalanya baginya.
Kini, ibunda kita hanya seorang diri, sunyi di tengahtengah hamparan samudra padang pasir dalam usianya yang
masih muda. Akankah hanya terus duduk dan menunggu"
Ah" setidaknya Ismail masih ada di sisinya.
Ismail adalah buaiannya. Tidaklah mungkin ia tahan
terhadap terik padang pasir, haus yang melanda, dan panas
mentari tanpa dipayungi yang dapat menghentikan detak
jantungnya. Panik bercampur gelisah hati Hajar. Ia pun
bersimpuh di hadapan buah hatinya, memerhatikan dengan
penuh iba wajah bayinya yang pucat pasi karena berharihari dalam perjalanan. Wajah mungil itu lalu diusapnya dan
kemudian ditutupi. xxvi "Duhai Allah, janganlah Engkau perlihatkan kematiannya
kepadaku," pintanya dalam pilu.
Setelah bersimpuh merintih dalam tangisan, kembalilah
sang ibunda kita dalam kesadaran. Ya, suaminya yang
juga seorang nabi telah berpesan bahwa semua ini adalah
serangkaian ujian. Untuk itu, ia tidak ingin melewati
serangkaian ujian ini hanya dengan duduk menanti.
Mungkin saja, seandainya hanya sendiri, akan ia kuatkan
ujian ini dengan hanya menanti. Namun, sebagaimana jiwa
seorang ibu, Hajar menyadari kalau kehidupannya tidak
akan mungkin berlalu seorang diri.
Ia pun kembali bangkit untuk sang buah hati. Demi
anaknya, ia basuh wajahnya dari linangan air mata. Ibunda
kita itu bangkit untuknya.
Dengan cepat, ia berlari ke bukit Safa. Semakin jauh
berlari, dalam pandangannya, bukit itu terlihat penuh
dengan rerimbunan pepohonan. Hatinya penuh harap saat
berlari ke sana. Benarkah yang ia lihat hanya mimpi" Ataukah itu hanya
sebuah ilusi" Sesaat Hajar tertegun, tebersit merenungi tabir mimpi
itu. Tabir mimpi itu mengentakkan jiwanya untuk berlari.
Ia kumpulkan kembali tenaga untuk berlari; pelarian untuk
mengejar iradah, harapan, dan kedekatan. Sesuatu yang
penuh dengan jiwa yang terbakar, lesatan seorang ibunda ke
dalam kobaran unggun perapian.
Sesampai di Safa, matanya menyapu sekeliling bukit.
Ia menerawang mencari kailah yang berlalu atau sumber
air yang ada di kejauhan. Ia mencari dan terus mencari.
Namun, semua itu tiada. Tidak ada sama sekali yang tersapu
xxvii _ Embusan Angin Sakinah oleh pandangannya, baik jejak kaki maupun gerakan yang
memberikan harapan. Kemudian, ia kembali berlari dengan cepat menuruni
bukit. Ia terus menatap bukit yang lain dalam lesatan kaki
berlari. Nama bukit itu adalah Marwa. Kali ini, hatinya
penuh harap. Mungkin ia akan mendapati apa yang dicari
dengan mendaki puncaknya.
Berlari dan terus berlari sembari
hatinya penuh dengan tangis, mendoa, dan
merintih dengan kelembutan air susu ibu
kepada Ilahi Rabbi Demikian seterusnya hingga genap tujuh kali ibunda
kita naik turun di antara bentangan dua kaki bukit Safa
dan Marwa dengan terus berlari. Berlari dan terus berlari
sembari hatinya penuh dengan tangis, mendoa, dan merintih
dengan kelembutan air susu ibu kepada Ilahi Rabbi. Ia bakar
dirinya dengan api tazarru" yang membara, seolah dirinya
telah menjadi lilin yang berpijar nyala apinya.
Dan Allah telah mengujinya dengan kesendirian.
Perjuangannya telah menjadi mahkota ujian suci ini, yang
pada akhirnya dijawab dengan air Zamzam yang terkumpul
untuknya. xxviii Zamzam adalah air cinta, perjuangan, dan kemaksuman
seorang ibu. Air telah menjadikan kehidupan baru bagi Hajar dan
buah hatinya. Pun sebagai hadiah sebuah kota baru bagi
umat manusia. Lesatan ibunda Hajar di antara bentangan
dua bukit Safa dan Marwa bukan hanya bagi buah hatinya,
melainkan juga bagi kota Mekah yang akan dibangun
kemudian. Para penduduk Mekah selalu mengenang perjuangan
ini dengan menaruh ke dalam keyakinan penghormatan
atas dua bukit yang telah Allah jadikan sebagai isyarat.
Hajar berupaya mengumpulkan air yang merembes dari
dalam tanah dengan terus berkata "tunggu" tunggu", seraya
membendungi sekitarnya dengan tanah, dengan perasaan
khawatir akan lenyap. "Tunggu" tunggu"."
"Zamzam"."
Lewat dirinyalah air bersejarah itu hingga kini memiliki
nama. Tatkala tempat di sekitar sumur mulai hijau merimbun,
saat burung-burung mulai beterbangan hinggap di sana,
dengan menukik dari ketinggian terbangnya, hal itu
menjadikan tanda adanya sumber air bagi para musair yang
memandanginya dari kejauhan. Mereka pun mengikuti
arah terbang burung-burung itu. Sesampainya di sana, di
saat mereka dapati sebuah sumur dengan seorang ibu dan
putranya, segeralah mereka berucap salam.
Demikianlah, dengan persyaratan menjunjung hak Hajar
dan putranya, para pengembara yang melewatinya satu per
xxix _ Embusan Angin Sakinah satu ditawari menetap di sana. Mereka pun dengan senang
hati memutuskan menetap di tempat itu. Kabilah Jurhum
telah memenuhi janji untuk menjunjung hak Ibunda Hajar
dan putranya. Mereka menetap di sana untuk menjadi saksi
terbangunnya kota nan indah yang baru: "Bekah".
Para pengembara kaum badui sering melafalkan huruf
b berdekatan dengan huruf m sehingga kaum Jurhum
kemudian lebih terbiasa menyebut Bekah dengan Mekah.
Lalu, tibalah masa putra Ibunda Hajar, Ismail, yang juga
seorang nabi seperti ayahandanya, Ibrahim, menikah dengan
salah satu putri penduduk Mekah dari al-Quds.
Setelah berabad-abad kemudian, generasi yang berasal
dari garis keturunan Jurhum, yaitu Qusay, yang juga menjadi
pemimpin bagi kota Mekah, menjadikan garis keturunan
nabi terakhir terhubung dari Nabi Ismail, Ibunda Hajar,
hingga Nabiyullah Ibrahim.
Buku ini tertulis dengan niat menjelaskan sosok ibunda
mulia Khadijah al-Kubra, yang juga merupakan istri sang
utusan terakhir, Muhammad, dan cucu dari Ibunda Hajar
yang terlahir berabad-abad kemudian.
Semoga Allah berkenan mencurahkan rida dan ridwanNya kepada mereka dan semoga kita yang mewarisinya
mampu meneladani kehidupannya dalam guyuran limpahan
safaatnya. xxx Daftar Isi Apa Komentar Mereka" ____________________ ii
Prakata __________________________________ v
Prolog __________________________________viii
Gerbang ________________________________xiii
Babil ___________________________________ xv
Lah Laha... ______________________________xxi
Embusan Angin Sakinah __________________xxiv
Nama Adalah Takdir _______________________ 1
Jalan Kepedihan __________________________ 19
Tabir Mimpi _____________________________ 44
Pasar ___________________________________ 48
Musim Semi _____________________________ 93
Pertemuan _____________________________ 108
Merindukan Mimpi ______________________ 117
Rahasia Mim ( ) _______________________ 123
Penantian ______________________________ 127
Pernikahan _____________________________ 136
Khadijah Adalah Rumah Kita ______________ 145
Penghuni Rumah ________________________ 149
Jubah Sang Kekasih ______________________ 156
Barakah ________________________________ 158
Kabar Gembira _________________________ 163
Sebuah Jejak Kaki________________________ 171
Hikayat Sebuah Kendi ____________________ 180
Al-Amin _______________________________ 199
Ayah dari Anak-Anak Wanita _____________ 206
Melihat Apa yang Tidak Terlihat ___________ 210
xxxi Kesedihan ______________________________ 217
Kisah Sebuah Kekerabatan ________________ 227
Yang Datang dan Tak Pergi ________________ 239
Mendaki Gunung Hira ___________________ 244
Kelahiran Fatimah _______________________ 254
Dan Wahyu Pun Turun ___________________ 264
Detik Kehidupan ________________________ 276
Hikayat Seekor Rusa _____________________ 279
Kisah Padang Pasir ______________________ 287
Wahyu yang Tertunda ____________________ 292
Wudu Pertama __________________________ 300
Salat Pertama ___________________________ 305
Seperti Lautan __________________________ 322
Yang Terdekat, Yang Terjauh ______________ 332
Kisah Empat Puluh Darwis ________________ 339
Matahari dan Bulan Menjadi Saksi _________ 346
Kapal Pertama dari Mekah ________________ 350
Kisah Sang Kunang-Kunang _______________ 361
Menggantikan Tujuh Puisi ________________ 366
Lautan Mekah __________________________ 376
Empat Garis ____________________________ 385
Tentang Penulis _________________________ 387
xxxii Nama Adalah Takdir ang pertama lahir, yang mula terbangun, yang awal
melakukan perjalanan adalah kata-kata yang selalu
diucapkan orang-orang kepadanya. Khuwaylid bin Asad dan
Fatimah binti Zaidah juga tak henti-hentinya mengucapkan
kata-kata tersebut untuk meluapkan rasa gembira saat
membelai sang bayi yang baru lahir. Jabang bayi bernama
Khadijah yang baru saja lahir adalah buah hati mereka yang
pertama. Mereka berasal dari keluarga Hasyim yang bersambung
dengan garis keturunan Qusay bin Kilab, Luay bin Galib:
sebuah keluarga yang sangat terkenal di Mekah dengan jiwa
kesatria dan dermawan. Saat Mekah dalam kondisi terpuruk,
Qusay dan anak keturunannya mengirimkan berpuluhpuluh kuda ke al-Quds untuk membeli gandum yang akan
dibagi-bagikan kepada masyarakat. Hasilnya, masyarakat
pun terhindar dari bencana kelaparan. Sejak saat itu, nama
keluarga ini selalu dikenang dan dipanjatkan dalam setiap
doa. Keluarga yang namanya telah terhormat tersebut
sebenarnya menantikan kelahiran seorang anak laki-laki
yang bisa meneruskan budi baik dan keperkasaan keluarga
tersebut. Khuwaylid dan Fatimah adalah sepasang suami dan
istri yang sangat mencintai satu sama lain. Khadijah adalah
hadiah yang dikaruniakan kepada mereka. Mereka pun tidak
bersedih hati menerimanya. Tak pernah mereka canggung


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk memeluk dan membelai anaknya yang pertama itu.
_ Nama Adalah Takdir Seandainya masih bertahan dalam rahim beberapa lama,
pastilah dia akan lahir ke dunia sebagai lelaki. Demikianlah
apa yang diyakininya. Oleh karena itu pula dinamainya
Khadijah" dan namanya telah menjadikannya Khadijah.
Inilah guratan takdirnya: guratan takdir yang telah tertulis di
telapak tangannya. Takdirlah yang menjadikannya tanggap
sehingga dengan teman-teman sebaya laki-laki dirinya dapat
bertindak lebih gesit, lebih dahulu.
Keluarga yang namanya telah
terhormat tersebut sebenarnya menantikan
kelahiran seorang anak laki-laki yang bisa
meneruskan budi baik dan keperkasaan
keluarga tersebut. Khuwaylid dan
Fatimah adalah sepasang suami dan
istri yang sangat mencintai satu sama
lain. Khadijah adalah hadiah yang
dikaruniakan kepada mereka. Mereka
pun tidak bersedih hati menerimanya. Tak
pernah mereka canggung untuk memeluk
dan membelai anaknya yang pertama itu.
Seorang yang bangun di awal waktu, sosok yang cekatan.
Demikianlah Khadijah. Dari sang bunda, ia mewarisi jiwa
kelembutan, terutama suka bederma kepada tamu. Lewat
sang ayah, turun kepandaian berkuda, berhitung, dan
aritmatika. Lebih dari itu, ia juga dengan mahir mewarisi
kemampuan bertahan dalam terik dan badai padang pasir,
keahlian untuk tetap bertahan sehingga dapat sampai tujuan.
Ia adalah kesabaran Khadijah.
Padang pasir merupakan medan kekalahan bagi siapa
saja yang tidak sabar dalam mengarunginya. Siapa saja yang
tidak ramah tindak-tanduknya, padang sahara tak akan
membiarkan seorang pun hidup di atasnya. Hamparan
padang pasir luas mengepul bagaikan tungku raksasa. Di sini
tidak ada penanggalan lain selain penanggalan Matahari dan
Bulan. Seandainya kata-kata tidak memiliki kekuatan sihirnya,
kemungkinan besar jantungnya terhenti.
Sabar dan berpuisi adalah dua warisan yang paling
berharga dari mendiang ayahnya. Khuwaylid bin Asad adalah
sosok yang tidak akan mungkin mudah menyerah terhadap
aturan rimba padang pasir.
"Bersabar bukan hanya sebatas bertahan terhadap segala
rintangan. Sabar adalah tidak berbuat zalim meski mampu
melakukannya," kata para orang tua kepada anak-anaknya.
"Kata-kata memiliki kekuatan bagaikan belati yang selalu
penuh siaga di rangkanya." Demikian pepatah ini selalu melekat
seperti anting-anting yang menempel di telinga Khadijah.
Seakan jawaban dari kata-kata puisi dan belati pada kejadian
di sumur Zamzam di sekitar Baitul Atik saat jemparing
diarahkan ke teman dekatnya, Abdul Muthalib, baru saja ia
saksikan di hari kemarin. Hampir saja seluruh Mekah bersatu
untuk melawan Abdul Muthalib. Saat orang-orang Mekah
_ Nama Adalah Takdir tidak menghendaki Abdul Muthalib sebagai pewaris kedua
untuk membangun sumber kehidupan sumur Zamzam
yang telah ditimbun pasir hingga ke permukaannya, ketika
itulah para pemuka Mekah saling menghunuskan jemparing
dan belatinya. Namun, ayahanda Khadijah, Khuwaylid, berhasil
membendung amarah mereka dengan kilau belati yang
terhunus dari puisinya yang terucap.
"Keberanian bukanlah berarti tidak takut," kata sang
ayahanda kepadanya. "Keberanian adalah sabar menanti
pada tempat yang semestinya meski dalam keadaan takut
sekalipun." Padang pasir tidak akan pernah memberi hak hidup
kepada orang yang tidak sabar. Demikianlah, sabar adalah
sumber air kehidupan bagi penduduk padang pasir.
"Duhai buah hati anak wanitaku yang terlahir lebih awal.
Bangunlah di awal waktu dan segeralah bergegas menempuh
perjalanan." "Baiklah Ayahanda."
Dengan membawa nama yang telah bersemayam di
hati padang sahara, Khadijah akan memulai awal langkah
perjalanannya untuk menjadi ratu padang pasir. Begitulah
apa yang ditakdirkan dengan namanya.
Saat Khadijah lahir, Mekah adalah bunda semua kota.
Semua orang yang datang ke sana dari pintu manapun akan
selalu menceritakan setiap langkah kakinya saat menyusuri
jalanannya sebagai suatu keberuntungan tersendiri saat
kembali ke negaranya. Mereka semua, baik para kailah,
pedagang, penyeru agama, pelancong, maupun saudagar,
pasti akan mendapatkan apa yang mereka cari.
Mekah, yang pada waktu itu merupakan pusat
(esperantos), baik bagi agama Yahudi, Nasrani, penyembah
api, pagan, maupun Hanai, seolah merupakan batu akik di
tengah-tengah cincin jalur perdagangan yang melalui jalur
perjalanan India, Eropa, dan Laut Mediterania. Karena itulah
Mekah juga sering disebut "kota di tengah-tengah dunia".
Selain bagi para musair yang mengetahui aturannya,
padang pasir luas dan gunung-gunung yang mengitarinya
merupakan benteng alami yang menjaga tanah Mekah.
Hanya saja, orang-orang Yahudi yang menyebut jalur
antara al-Quds dan Mekah sebagai jalur Hajar, jalur panjang
yang mengharuskan ketabahan dan kesabaran itu, baru
beberapa waktu yang lalu membantai para rombongan
yang akan pergi ke Mekah. Para musair memang sering
mendapatkan perlakukan keji dari bangsa Yahudi. Hal itu
belum lagi ditambah dengan perampokan setelah menempuh
perjalanan panjang yang penuh derita dan kelelahan. Atau
tersesat di tengah jalan tanpa arah dan tujuan. Untung saja,
Allah mempertemukan mereka dengan putra mahkota kaum
badui, Fudeyh, yang berjiwa mulia, sehingga dapat sampai
ke tanah Mekah dengan diiringi perlindungan darinya.
Para pendeta yang membubuhkan catatan pada buku perjalanan mereka menyebut para kesatria badui
sebagai penyembah berhala yang berjiwa pahlawan dan
suka menerima tamu. Sebenarnya, mereka memang para
pelindung adat mulia yang telah mengurat akar di padang
sahara. Selama berabad-abad, tabiat padang pasir telah
menjadikan manusianya keras dan tahan pukul. Seolah
mereka adalah orang-orang yang berotot kawat dan
bertulang besi karena kerasnya pekerjaan dan kehidupan
_ Nama Adalah Takdir yang dihadapi. Yang tidak keras tidak akan mungkin kuat
bertahan hidup di tengah-tengah padang pasir. Kata-kata,
bagi mereka, juga berarti kehormatan. Terhadap orangorang yang keras ini, mungkin, hanya kata-kata mulia satusatunya kekuatan yang dapat mengarahkan mereka pada
kepribadian mulia. Tak heran, jika terjadi permasalahan,
senjata untuk melawan mereka adalah pedang dan syair.
Keempat saudara wanita Khadijah, yaitu Hala, Asma
(Halidah), Hindun, dan Rukayah, serta ketiga saudara lakilakinya yang bernama Naufal, Awam, dan Hizam juga tumbuh
menjadi dewasa dalam keadaan yang sama sebagai anakanak yang berpengetahuan dan berjiwa mulia. Anak-anak
ini selalu menyaksikan ayahanda mereka yang sepenuhnya
membela keadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka
yang teraniaya. Selain itu, dalam keluarga Khuwaylid tidak
pernah ada keyakinan terhadap berhala, sebagaimana yang
ada pada kaum badui. Mereka adalah keluarga yang terkenal
dengan akhlak yang mulia, pemberani, dan setia menepati
janji. Lebih dari itu, mereka tidak saja dihormati bangsa
Quraisy, tapi juga yang paling penting oleh para raja di
Habasyah, Yaman, Ajemistan; seperti Raja Kisra di sana
yang juga menaruh hormat kepada mereka. Bahkan, dalam
hubungan diplomatik, mereka dipandang sebagai utusan
keluarga. Sejak masa kecil Khadijah, Raja Yaman Seyf bin Ziyazan
pada bulan-bulan musim panas sering tinggal di rumah
peristirahatan yang berada dalam pengelolaan Khuwaylid dan
keluarganya. Dalam pandangan Khadijah dan keluarganya,
Yaman merupakan tempat yang tidak begitu panas,
bercurah hujan cukup, dan banyak hutan hijau rimbun yang
melambangkan surga bila dibandingkan dengan Mekah.
Namun yang terjadi sepanjang sejarah, Yaman dan Mekah
adalah dua negara yang selalu bersaing.
Semenjak peristiwa itu, setiap kali
disampaikan kepada Khadijah ungkapan
"Musim panas sudah datang,
kapan kita akan mengunjungi rumah
peristirahatan yang ada di Yaman",
dirinya selalu teringat dengan kekejaman
dan kebengisan serangan gajah.Pada
waktu serangan itu terjadi, Khadijah
masih berusia sekitar 15 tahun.
Kepergian Khuwaylid dan keluarganya ke Yaman terjadi
sekitar dua tahun setelah peristiwa "Serangan Pasukan
Gajah". Sebelumnya, baik bagi seluruh kaum Mekah maupun
Khadijah, Yaman selalu tampak mengerikan terkait dengan
peristiwa serangan itu. Semenjak peristiwa itu, setiap kali disampaikan kepada
Khadijah ungkapan "Musim panas sudah datang, kapan kita
akan mengunjungi rumah peristirahatan yang ada di Yaman",
_ Nama Adalah Takdir dirinya selalu teringat dengan kekejaman dan kebengisan
serangan gajah.Pada waktu serangan itu terjadi, Khadijah
masih berusia sekitar 15 tahun.
Yaman adalah negara bagian Habasyah (Etiopia) di
bawah kepemimpinan Raja Nejasi Ashame. Jarak yang
cukup jauh antara Habasyah dan Yaman dimanfaatkan oleh
Abrahah, seorang wali yang serakah. Dirinya yang merasa
memiliki kekuatan dalam berpolitik mulai tidak pernah lagi
mendengarkan nasihat dari perdana menteri atau perintah
dari negara pusatnya, Imperium Habasyah.
Sejak saat itulah Abrahah mulai mengincar Mekah yang
merupakan kota persimpangan jalur perdagangan. Untuk
menggaet para saudagar dan peziarah yang selama ini pergi
ke Mekah sebagai pusat perdagangan dan Kakbah sebagai
pusat peribadahan, Abrahah membangun sebuah tempat
ibadah megah yang diberinya nama Qullays yang terletak
di pusat kota Sana"a. Sayang, harapannya tidak akan pernah
tercapai. Sebagaimana Sana"a tidak mungkin menggantikan
Mekah, tidak mungkin pula Qullays menggantikan Bait alAtik. Yang lebih parah, munculnya berita ke seantero jazirah
bahwa seorang Badui bernama Nasaah dari Bani Fakim yang
datang dari Mekah, dan menjadi terkenal, telah buang air
besar di tengah-tengah tempat ibadah di dalam Qullays.
Mendengar berita tersebut, wajah Abrahah merah
padam. Ia bersumpah akan menghancurkan Mekah dan
Bait al-Atik yang di dalamnya terdapat Kakbah. Sumpah
telah terucap dan segeralah pasukan Abrahah yang tersusun
atas tunggangan gajah-gajah paling beringas dan kuda-kuda
paling lincah berangkat berduyun-duyun menuju Mekah.
Pasukan Perdana Menteri Yaman yang dipimpin Zumafar
untuk menghalang-halangi agresi pasukan Abrahah ikut
ditumpas di tengah-tengah perjalanan. Pasukan pun terus
melaju, memorak-porandakan semua daerah yang dilaluinya
hingga akhirnya pasukan gajah itu sampai di Mekah.
Ayahanda Khadijah, Khuwaylid, dan sahabat dekatnya,
Abdul Muthalib, merasa sangat khawatir dengan keadaan
yang akan terjadi, apalagi para penduduk Mekah sama sekali
tidak tahu-menahu jika penyerangan akan segera terjadi.
Pasukan perang Abrahah mendirikan tenda-tenda di
al-Mugammas, di sekitar Mina. Selain membuat perapian,
mereka juga merampas ternak milik para penduduk Mekah.
Dari perternakan Abdul Muthalib sendiri ada sekitar 200
unta yang dirampas, sementara dari peternakan milik
Khuwaylid mungkin mencapai dua kali lipatnya. Pasukan
besar Abrahah yang membuat perapian di lembah Mina
telah menjadikan takut setiap jiwa.
Dalam keadaan seperti ini, utusan Abrahah yang bernama
Hunathah al-Himyariy datang ke Mekah untuk bertemu
dengan para petinggi di sana. Di antara para petinggi Mekah
yang ditemui adalah Khuwaylid dan Abdul Muthalib. Hanya
satu pasal tawaran yang disampaikan kepada para petinggi
Mekah, "Jika Anda sekalian ingin meninggalkan ibadah tawaf
mengelilingi Kakbah, sang komandan perang Abrahah akan
membiarkan mereka tetap hidup."
Himyariy juga menyampaikan alasan kedatangan mereka
yang sama sekali tidak untuk berperang, tapi hanya untuk
menghancurkan Kakbah! Terhadap permintaan yang disampaikan itu, para petinggi
Mekah meminta waktu membuat keputusan. Segera setelah
_ Nama Adalah Takdir itu, mereka berkumpul di rumah Khuwaylid, tempat Khadijah
dibesarkan. Dengan demikian, Khadijah ingat benar adanya
perbedaan pendapat sebagaimana ingatnya akan hari ini.
Para petinggi Mekah saling beradu argumen satu sama lain.
Sebagian dari mereka ada yang langsung ingin menyerang
pasukan Abrahah dengan semua kuda yang dimilikinya
sembari melantunkan syair kepahlawanan satu sama lain.
Sebagian yang lain lebih memilih bertindak penuh dengan
pertimbangan. Abdul Muthalib memberikan pendapatnya
agar para penduduk Mekah yang lemah, seperti kaum ibu,
anak, dan orang lanjut usia pergi ke pegunungan untuk
mengamankan diri. Akhirnya, muncul kabar bahwa kaum
haif beberapa hari sebelumnya telah membuat keputusan
untuk memihak Abrahah dengan syarat Tuhan mereka,
Latta, tidak diganggu. Abdul Muthalib lebih memilih
tetap tinggal di rumah Khuwaylid,
sementara anak-anak dan para wanita
dibawa ke pegunungan yang terletak
di Barat kota Mekah dengan
dipimpin oleh Khadijah. Semua orang, dari mulut ke mulut, saling berkata kalau
"hati penduduk haif memihak leluhur mereka, namun
pedang mereka memihak Abrahah".
"Oleh karena itu, kita harus bertindak penuh dengan
kehati-hatian," kata Abdul Muthalib dan Khuwaylid. Ketika
tidak ada keputusan, apalagi kesepakatan, para petinggi


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mekah mulai meninggalkan rumah Khuwaylid satu demi
satu. Abdul Muthalib lebih memilih tetap tinggal di rumah
Khuwaylid, sementara anak-anak dan para wanita dibawa
ke pegunungan yang terletak di Barat kota Mekah dengan
dipimpin oleh Khadijah. Saat itu, Abdul Muthalib berkata
dengan lantang, "Kita jangan berperang melawan pasukan
ini. Di samping kekuatan yang tidak cukup, di sana ada
Baitul Atik, Kakbah, yaitu rumahnya Allah. Hanya Allah
sendiri yang akan menjaga rumah-Nya, tanah haram ini."
Saat kedua orang berteman dekat ini ingin melihat harta
benda dan peternakan unta yang dijarah di sekitar Mina,
para ibu dan anak-anak telah lama mendaki gunung dengan
pemandunya, Khadijah binti Khuwaylid.
Abrahah menaruh segan kepada Khuwaylid dan Abdul
Muthalib. Ia menghargai keberanian dan pemikirannya yang
masuk akal. Hanya saja, ketika pembicaraan telah memasuki
perihal unta yang dijarah, Abrahah berkata, "Pada awalnya
aku menaruh segan terhadap keberanian kalian berdua.
Namun, ternyata kalian sekarang bukan ingin melindungi
Kakbah, tapi justru malah mengurusi harta."
Abdul Muthalib memberikan jawaban kepada Abrahah.
Sebuah jawaban yang sangat terkenal dan dikenang setiap
mulut, "Aku hanyalah sebatas pemilik unta, sementara
pemilik Kakbah adalah Dia. Dia sendirilah tentu yang akan
menjaganya." Abrahah menghargai jawaban ini seraya mengembalikan
unta-unta milik kedua petinggi Mekah tersebut.
_ Nama Adalah Takdir Di saat pagi menjelang, para penduduk Mekah dikagetkan
dengan gemuruh suara terompet dan genderang perang
yang dibunyikan dengan segala amarahnya. Dalam linangan
air mata sembari memanjatkan doa, mereka takut melihat
akibat yang sebentar lagi menimpa Kakbah.
Hati Khadijah juga terasa pedih mendapati semua
kejadian ini. Kembali ia berdoa kepada Zat yang menguasai
Kakbah. Khadijah teringat dengan kejadian ini saat berada di
sebuah jendela rumah yang menghadap ke arah Yaman
sembari memandangi awan-gemawan yang berarak-arakan
di angkasa, yang tampak seperti sekawanan penggembala
dengan biri-birinya. Para pemilik rumah peristirahatan
yang memadati jalanan kota Mekah memberitakan telah
datangnya musim panas. Hal ini membawa ingatan Khadijah
kembali pada masa-masa di usianya yang kelima belas saat
peristiwa gajah terjadi. Bahagia hati Khadijah muda saat
memandangi para penggembala yang menggiring biri-biri
gembalaannya dengan tongkat dan cemeti panjang di bawah
bimbingan sang alim penggembala yang mengenakan jubah
serbaputih namun lusuh. Kebahagiaan yang ia rasakan
saat mendaki gunung menuju rumah peristirahatan telah
membawanya pada pesona masa-masa kecilnya. Para wanita
muda yang menabuh genderang melawat kepergian para
penggembala dan iringan doa serta bacaan-bacaan syair dari
kerumunan yang memadati sepanjang jalan telah membuat
hati Khadijah berseri-seri karena teringat masa kecilnya.
"Ah, seandainya saja pemuda yang sedang belajar
menggembala biri-biri itu adalah diriku," katanya.
Dia juga berkhayal seandainya dirinya juga menjadi
seperti mereka, bangun di pagi hari untuk memerah susu
dan mengaduknya. Seandainya saja dirinya ikut bersama
anak-anak berlarian riang gembira di atas hamparan hijaunya
rerumputan, bermain petak umpet di balik semak-semak di
sela-sela menggiring gembalaan dengan cemetinya, serta
sesekali memerhatikan biri-biri yang sedang menyusui.
Seandainya saja ia bisa menemukan kembali suasana yang
putih, jernih bagaikan air susu segar di bejana yang baru saja
diperah dari kambing piaraannya. Seandainya saja ia bisa
mendengarkan cerita tentang pegunungan dan bintangbintang dari mulut para penggembala yang selalu rajin
bekerja keras". Bukan karena lugu jika ia takut pada suara halilintar.
Bukan hanya omong kosong jika dirinya lelah karena
mendaki gunung yang terjal.
Bukan pada majikan para budak seandainya dirinya merasa
takut melainkan terhadap eraman raksasa.
Bukan jamuan acara pesta dan senang-senang melainkan
air susu murni dan roti yang ia inginkan.
Bukan permadani berbalut bulu-bulu burung melainkan
matras berisi kerikil tempat dirinya berbaring.
Bukan di tengah-tengah keramaian pasar melainkan ke
puncak pegunungan rimbun nan sunyi, yang berbatas
dengan langit biru, tempatnya pergi.
Bukan tanah tempat para penari gila, yang saat kaki para
penarinya dihentakkan, syahwat para penonton menjadi
sedemikian tergoda, melainkan hamparan tanah ladang
gembur dengan gemercik aliran sungai di sekelilingnya.
Bukan" bukannya".
_ Nama Adalah Takdir Kerumunan para musair yang ia perhatikan dari jendela
rumah peristirahatan itu makin membuat hatinya seperti
tumpah oleh keinginan kuat untuk ikut pergi bersama
mereka. Musim panas telah datang....
Ingin sekali dirinya meninggalkan kota dan membiarkan
segalanya, untuk kemudian pergi bersama para pendaki
menaiki gunung yang tinggi. Baginya, gunung-gunung
merupakan tempat kebebasan, lepas dari beban kehidupan.
Meski sudah berusia genap tiga puluh tahun dan telah
menjadi ibunda masyarakat kota, adat kebiasaan kota yang
serbamengumbar kesenangan telah membuatnya jenuh.
Sebenarnya, dirinya tak sabar ingin segera mendengar berita
kedatangan musim panas dari para rombongan musair dan
untuk secepatnya mendaki gunung terjal dengan meniti
jalan setapak. Demikianlah yang selalu ia rasakan, terutama
di akhir-akhir ini. Ingin sekali hatinya, meski tubuhnya tetap
berada di tengah kota, berada di puncak pegunungan. Saat
Khadijah mengkhayalkan semua itu, tiba-tiba pintu diketuk
dengan suara keras. Tanpa sadar, botol misik terjatuh dari
tangannya hingga pecah. Ah"!!!
Ternyata, yang hendak memasuki kamarnya adalah
Maisaroh, sang pelayan. "Oh" mohon maaf Tuan Putri kalau tiba-tiba
mengganggu ketenangan Anda."
"Apakah kamu ini pembawa berita utusan Abrahah,
Maisaroh?" tanya Khadijah dengan tersenyum.
Tanpa disadari, tangannya terluka saat mengumpulkan
serpihan-serpihan botol kaca yang berserakan di lantai.
"Tuan Putri, mohon maaf sekali, beribu-ribu maaf kalau
saya sudah membuat kaget. Sungguh, saya tidak bermaksud
mengganggu. Saya hanya ingin menyampaikan kalau cucu
paman Anda, Hamla, dan teman-temannya sudah datang
dari Yaman. Mereka saya persilakan beristirahat di taman
rumah tamu bagian dalam."
"Siapa" Hamla datang" Kesatria Hamla datang!?"
"Ya Tuan Putri. Malah, mereka saling berkata kalau sudah
waktunya membawa Anda ke rumah peristirahatan yang ada
di Yaman." "Saya juga sebenarnya sedang memandangi Yaman dari
jendela. Kebetulan sekali. Tolong mereka dijamu dulu. Aku
akan siap-siap sebelum ke sana."
Hamla adalah cucu paman Khadijah. Saat Seyf Zeyazan
menjadi Raja Yaman, setelah Allah membinasakan Abrahah
dan bala tentaranya dengan mengirimkan burung-burung
ababil, ayahanda Hamla menjadi sangat disegani di sana.
Di antara para rombongan utusan Mekah yang datang
untuk memberikan ucapan selamat kepada Zeyazan adalah
Khuwaylid dan sahabat karibnya, Abdul Muthalib. Setelah
acara jamuan makan malam, Zeyazan berbagi rahasia kepada
tamu mulianya. Rupanya, para petinggi Yaman telah membaca
kitab mantera sihir yang bahasanya hanya diketahui para raja
Yaman dan dilarang diketahui rakyat umum. Rahasianya,
menurut kitab tersebut, pada masa-masa ini akan lahir
seorang anak di daerah sekitar Tihamah. Pada punggung
anak tersebut, di antara kedua tulang iga, ada tanda khusus
yang menunjukkan bahwa dirinya adalah utusan, sebagai
Khatimul Anbiya. Menurut penuturan sang raja di malam itu, anak yang
dia sebutkan itu akan tumbuh sebagai anak yatim. Dia akan
tumbuh bersama kakeknya, dan setelah itu akan dilindungi
_ Nama Adalah Takdir pamannya. Dia akan mengajarkan masyarakat menyembah
kepada Allah yang Esa dan Tunggal serta mengajak umatnya
untuk meninggalkan kekufuran dan kembali kepada agama
Tauhid. Raja Zeyazan juga menambahkan, di saat anak ini
lahir, para petinggi kerajaan Yaman akan tunduk kepada raja
terakhir ini. Ketika Abdul Muthalib mengatakan kalau sang anak yang
dimaksudkan tersebut bisa jadi cucunya sendiri, sang raja
menjadi semakin kaget, seraya meminta agar berita tersebut
dirahasiakan untuk sementara waktu demi keselamatan
anak itu. Saat kembali ke Mekah, rombongan tersebut
dibekali berbagai macam hadiah. Sejak saat itulah rumah
peristirahatan, yang pada waktu itu masih ditempati Hamla,
kemudian dihibahkan kepada keluarga Khuwaylid.
"Sang kesatria Hamla, selamat datang! Semoga
kehormatan selalu menyertaimu di rumah bibimu."
Anak muda tersebut sedemikian mirip dengan bibinya
yang ia cium tangannya seraya berucap:
"Ya Sayyidatun Nisa."
"Ya Sayyidatun Quraisy."
"Ya Dzurriya." "Ya Tahira." Khadijah binti Khuwaylid adalah bibinya. Sungguh,
dirinya adalah ibunda para wanita, tuan putri bangsa Quraisy
yang terkenal sebagai wanita yang bersih dan mulia.
Sayang, meski beribu sanjungan telah diucapkan Hamla
dan juga keinginan kuat untuk pergi, Khadijah berkeputusan
tidak akan pergi ke Yaman. Sebelum rombongan pedagangnya
yang dikirim ke Syam kembali ke Mekah, dirinya tidak akan
mungkin pergi ke mana-mana. Khadijah memang harus
mengatur sendiri bisnisnya. Urusan bisnis ini di manamana selalu sama, penuh dengan perusuh. Hal itu memang
menjadi tidak mudah bagi seorang janda. Seringkali para
pedagang atau karyawan yang diminta mengurusi harta
dagangannya justru membuatnya merugi. Selain itu, para
perantara juga bisa bersekongkol dengan para pedagang
untuk menipu. Penjualan yang mendatangkan keuntungan
besar malah dilaporkan merugi. Hal inilah yang kadangkadang membuat hati Khadijah gundah.
Khadijah memang harus mengatur
sendiri bisnisnya. Urusan bisnis ini di
mana-mana selalu sama, penuh dengan
perusuh. Hal itu memang menjadi tidak
mudah bagi seorang janda. Seringkali
para pedagang atau karyawan yang
diminta mengurusi harta dagangannya
justru membuatnya merugi.
Kepercayaan dan keamanan perdagangan di Mekah telah
menurun di masa-masa ini. Situasi perdagangan dibuat
untuk selalu memperkaya pihak-pihak yang memang sudah
kaya dan semakin membuat miskin para penduduk miskin.
_ Nama Adalah Takdir Bahkan, pekerjaan yang dapat menghasilkan keuntungan
dengan bekerja keras hanyalah menjadi penggembala.
Sebenarnya, sudah sejak lama Khadijah mencari teman
hidup yang dapat dipercaya, terutama dalam urusan
perdagangan. Kebetulan, anak dari saudara kandung lakilakinya, Hizam, yang bernama Hakim, seorang yang cekatan
dan juga dapat dipercaya. Dialah yang sering membantu
Khadijah, terutama dalam menyelesaikan urusan dagang.
Dialah yang kemudian mengurusi perdagangan di Mekah.
Berita kedatangan Hamla juga disampaikan kepada
Hakim sehingga suasana pun menjadi akrab di antara para
saudara. Malam itu Mekah kedatangan tamu istimewa. Menyambut
tamu bukan hanya sekadar kehormatan bagi suatu kalangan
tertentu di Mekah. Para nenek moyang bangsa Mekah telah
mewariskan budaya yang paling penting itu, yang telah
membuat mereka terkenal sebagai sultannya padang pasir,
yaitu budaya suka menjamu tamu.
Jalan Kepedihan alan adalah wisuda bagi seorang wanita. Bagi ananda
Khuwaylid, jalan itu penuh dengan kepedihan dan
rintangan yang harus ditempuhnya. Kemarin, saat sedang
tertegun dalam berkhayal, Maisaroh sang pelayan tiba-tiba
memasuki kamarnya dan telah membuatnya kaget. Botol
parfum misik yang ada di tangannya pun jatuh hingga
pecah. Serpihan-serpihan kaca yang tersebar membuat
jari tangannya terluka saat sedang mengumpulkannya. Ia
memerhatikan tangannya yang terbungkus perban seraya
bertanya kepada dirinya. "Serpihan kaca ataukah serpihan jiwa yang telah
membuatnya terluka?"
Kata sandi dari teka-teki perjalanan hidupnya tergenggam
erat di tangannya. Ya, sejarah penciptaan dirinya tergenggam
erat di tangannya. Di telapak tangannya terdapat dua tahi
lalat kecil berwarna hijau dan merah. Letaknya berada tepat
di tengah. Tanda ini seolah teman hidupnya yang telah ikut
berbagi rahasia akan sebuah misi yang telah ditakdirkan
kepadanya semenjak kecil.
Kor Haiz, seorang ahli Taurat yang dikenalnya, pernah
mengatakan bahwa dari garis keturunan Khadijah akan
lahir dua pemuda kesatria yang memiliki nama depan
berhuruf "ha". Khadijah kecil selalu diusap rambutnya oleh
para pendeta tua yang dihormati, yang datang dari Yastrib
menuju Mekah setahun dua kali untuk mengadakan upacara
_ Jalan Kepedihan khataman. Saat dirinya tumbuh dewasa bagaikan indah
gemulainya pohon palma, semua orang telah melupakan
cerita ini sehingga banyak sekali orang yang ingin melamar
Khadijah untuk mendapatkan berkah dari keindahan dan
kesempurnaan budi pekertinya.
Pernikahan pertamanya terjadi saat dirinya masih berusia
muda. Ia menikah dengan Abu Hala bin Zurara, seorang


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudagar bangsawan Mekah yang terkenal berakhlak mulia.
Pernikahan ini menciptakan rumah tangga yang bahagia.
Lahir pula dua anak bernama Hala dan Hindun. Khadijah
yang telah mendapati kemuliaan jiwa sebagai seorang ibu
tidak pernah mengizinkan anaknya dititipkan kepada
pembantu yang menjadi adat di masa itu. Ia mengasuh dan
mendidik sendiri kedua putranya.
Pernikahan pertamanya terjadi saat
dirinya masih berusia muda. Ia
menikah dengan Abu Hala bin
Zurara, seorang saudagar bangsawan
Mekah yang terkenal berakhlak mulia.
Pernikahan ini menciptakan rumah
tangga yang bahagia. Lahir pula dua
anak bernama Hala dan Hindun.
Hatinya selalu berdesir saat memikirkan anak-anaknya,
apalagi saat suaminya menderita sakit sekembalinya
dari Syam. Sang ibunda pun semakin pedih memikirkan
nasib kedua anaknya. Kepada siapakah mereka akan
diamanahkan apabila terjadi sesuatu" Dan terjadilah apa
yang dikhawatirkannya. Takdir telah menitahkannya terjadi.
Saudagar bangsawan dan ternama itu pergi ke alam baka
dengan meninggalkan seorang istri dan dua anak. Sang
suami berwasiat agar anaknya jangan diasuh orang lain.
Selain itu, masalah perdagangan harus diteruskan oleh
Khadijah sendiri. Meski teramat pedih, Khadijah tetap selalu mensyukuri
pernikahannya. Seandainya saja kedua anaknya tidak ada,
mungkin dirinya tidak akan kuat lagi menahan pedihnya
ujian akibat kepergian ayahanda yang kemudian diikuti
suami tercinta. Bahkan, kemungkinan, kematian juga akan
menjemputnya. Dengan wasiat sang suami yang masih
berada dalam ranjang sakaratul maut, Khadijah akan
memulai kehidupan baru untuk berupaya keluar dari medan
api ini. Ia akan memerhatikan anak-anak dan pekerjaannya
dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Inilah tekad
yang akan mengantarkannya menjadi ibunda kota Mekah.
Saudagar wanita yang kuat dan kaya-raya dalam waktu
singkat. Namun, pada usianya yang baru menginjak dua puluhan
tahun itu, tentu saja kehidupan tidaklah sebatas kesuksesan
dan kekayaan. Terlebih dalam pemahaman anak-anaknya.
Mereka juga sangat butuh igur seorang ayah yang kuat,
sebagaimana kebutuhan akan seorang ibu. Meskipun paman
dan sepupunya tidak akan pernah meninggalkan kedua putra
_ Jalan Kepedihan Khadijah, pada malam hari para kerabat mereka tentu akan
kembali ke rumahnya masing-masing, seraya menutup pintu
rumahnya dan membiarkan keluarga Khadijah seorang diri.
Benarlah apa yang dikhawatirkannya itu. Pada suatu
malam, saat sang anak yang bernama Hindun sakit panas
berkepanjangan, Khadijah begitu khawatir. Sekujur
tubuhnya basah kuyup oleh cucuran keringat. Segala upaya
telah dilakukannya, namun panas sang anak belum juga
kunjung menurun. Semua usaha yang telah dilakukan kedua
pelayannya juga tidak membuahkan hasil.
"Ah"," rintih Khadijah dalam pedih.
"Seandainya saja ayahnya masih hidup, mungkin anak ini
tidak sakit begini."
Segera ia perintahkan kemenakannya yang dipercaya
untuk pergi mencari tabib. Namun, pada malam itu sang
tabib sedang berada di Darrun-Nadwa. Ia sedang memimpin
rapat di sana dan tidak mungkin bisa meninggalkan kota.
Sungguh keadaan yang tidak diduga-duga. Akhirnya,
bersama dengan Maisaroh, ia nekat membawa anaknya ke
permukiman para tabib. Perjuangan ini tentu saja penuh
kepedihan dan kekhawatiran. Bagaimana tidak, bagi
seorang wanita, perjalanan tengah malam di Mekah tentu
sangat membahayakan keselamatan. Peristiwa ini akan
memberikan pelajaran tentang betapa susah dan berbahaya
berjalan di tengah-tengah malam bagi seorang ibu yang
hanya ditemani pelayan wanitanya sambil mendekap eraterat anaknya yang sedang sekarat.
Bersama dengan kedua wanita ini tergambar suasana
tengah kota yang begitu mencekam. Kota telah berubah
karena aktivitas para berandal yang mabuk di mana-mana
dan menyangka mereka berdua adalah wanita malam
sebagaimana umumnya. Para pemabuk itu menghalanghalangi perjalanan keduanya sambil mencerca dan menghina
dengan kata-kata kotor. Dalam kepanikan dan ketakutan seperti itu, Khadijah
bertanya kepada Maisaroh, "Inikah Mekah yang selama ini
kita ketahui?" Ya, seolah setiap mata sudah buta oleh malam dan
minuman keras yang diteguknya. Akal dan pikiran mereka
pun sudah tidak dapat berpikir dan digunakan.
Kedua wanita itu telah menjadi saksi kehidupan
masyarakat yang begitu rusak. Hampir di setiap sudut kota,
bahkan di tempat-tempat yang di waktu siang menjadi tempat
suci karena ada persembahan untuk para berhala mereka, di
malam harinya telah berubah sedemikian mencekam. Kota
begitu memilukan dengan jeritan tawa para wanita tuna
susila, wanita penghibur, dan para pemabuk. Kelam yang
gulita telah menjadi malam bagi orang-orang yang suka
melakukan tindak asusila, merampok, atau memaksa para
wanita untuk melakukan perbuatan dosa.
Dalam keadaan seperti inilah seorang laki-laki berbadan
besar, pemarah, dan sempoyongan karena mabuk telah
mencaci-maki Maisaroh seraya mencegatnya. Ia memegang
tangannya sembari menyeret tubuhnya. Tubuh kecil dan
kurus itu pun jatuh-bangun di atas jalanan. Karena tak kuat,
ia terpaksa mengeluarkan perhiasan emas yang dimilikinya
seraya berteriak, "Silakan ambil!"
Untunglah ada yang mendengarkan teriakannya.
Datanglah seorang penjaga patung-patung berhala.
_ Jalan Kepedihan "Tidak tahukah kalian bahwa melakukan perjalanan
malam menyusuri jalanan ini akan sangat berbahaya bagi
wanita" Memang benar, mereka para lelaki telah melampaui
batas dalam perbuatan maksiatnya. Namun, kalian sungguh
nekat melakukan perjalanan malam tanpa didampingi
seorang lelaki!" Kata-kata itu bagaikan batu yang dilemparkan sangat
keras dan mengenai kepala Ibunda Khadijah. Kata-kata itu
seperti menyindir dirinya. Seolah terlahir ke dunia sebagai
wanita merupakan sebuah kesalahan. Bahkan, pemahaman
seperti ini pun berarti telah ikut mendukung kesalahan itu
sendiri, berarti bekerja sama dengan orang-orang pembuat
kesalahan" Berjalan di malam hari, benarkah merupakan perbuatan
yang membuatnya berhak mendapatkan segala macam
penghinaan dan hujatan"
Saat Khadijah sampai ke pemukiman para tabib setelah
menempuh perjalanan jauh dengan terus berlari cepat dan
kedua tangan gemetar, waktu telah menjelang subuh. Ketika
sang tabib mendengarkan apa yang telah dialaminya, dalam
satu sisi ia sangat tercengang. Ia terus mendengarkan kisah
yang dialami kedua wanita itu sambil mengobati sang anak
dengan air panas berisi ramuan. Sesekali ia menyela dan
berkata, "Syukurlah Anda sekalian adalah orang-orang ahli
bersedekah. Mujur sekali Anda sekalian. Penjaga berhala
itu pasti telah meminum air susu yang halal dari ibunya
sehingga dirinya tidak sampai menyerahkan Anda sekalian
ke tangan para lelaki pemabuk."
Mendengarkan kata-kata sang tabib, Maisaroh menyela,
"Semua kemaksiatan ini terjadi di depan mata Latta dan
Uzza. Kalau tidak kepada penjaga patung-patung itu, lalu
kepada siapa lagi saya akan meminta pertolongan."
Sang tabib yang sudah berusia tua itu meminumkan obat
dan membalut anak yang sakit itu dengan handuk basah
sembari tersenyum. "Bukankah di situlah ironinya, Maisaroh" Semua
kemaksiatan itu dilakukan di depan mata Latta dan Uzza.
Namun, tuhan-tuhan itu sama sekali tidak berbuat apaapa meski sebatas berkata. Meski demikian, menurut saya,
berhala tanah liat yang disembah istri saya jauh lebih banyak
berfungsi dan berguna daripada Latta dan Uzza. Di samping
dapat Anda bawa ke mana-mana, ia juga dapat Anda bawa
ketika mengadakan perjalanan malam. Kalau ada para
pemabuk, Anda dapat gunakan untuk memukul mereka."
Tabib adalah seorang yang mampu menggunakan logika,
di samping juga membuat kata-kata sindiran penuh makna.
Saat berkata-kata, ia kerap tertawa terpingkal-pingkal.
Istrinya sama sekali tidak menyukai sikapnya itu. Segera
saja sang istri mengambil berhala yang terbuat dari tanah
liat tungku dapur itu dan kemudian diletakkan di samping
pintu masuk rumahnya, yaitu ke tempat yang dia anggap
lebih layak untuknya. Kemudian, sang istri berkata, "Jangan sampai Anda
dengarkan apa yang disampaikan lelaki lansia ini. Usia telah
membuatnya kehilangan ingatan," gerutu istrinya.
"Selama 50 tahun terakhir ini hidupku berlalu untuk
mengobati orang-orang sakit, mengapa engkau mesti marah
kepadaku?" kata tabib itu kepada istrinya. "Seandainya
engkau harus marah, marahlah kepada berhala yang sama
sekali tidak mendatangkan manfaat maupun kerugian sama
sekali," lanjutnya menumpahkan semua isi hatinya.
_ Jalan Kepedihan Saat hari sudah menjelang pagi, ketika mereka kembali
ke rumahnya, sisa perbuatan nista yang menodai malamnya
kota perlahan mulai menghilang.
Perjalanan satu malam itu membuat Khadijah dan
Maisaroh mendapatkan pelajaran yang sangat penting:
orang-orang Mekah hanya mau mendengarkan suara kaum
laki-laki dan berhala"berhala yang disembah untuk mereka.
Seolah kota Mekah telah menjadi kotanya berhala kaum
lelaki. Pengalaman pahit yang dialami Khadijah malam itu telah
menggerakkan hatinya mengenai kebutuhannya mencari
pendamping hidup lagi. Mulailah ia kembali memikirkan
ulang lamaran-lamaran yang pernah didengar melalui
pelayan-pelayannya beberapa tahun lalu.
Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan kerabatnya,
ia memutuskan kembali membina rumah tangga dengan
seorang bangsawan terkenal bernama Atik bin Aziz.
Meski pada dua tahun awal terbina keluarga yang bahagia
dan bahkan dapat dikaruniai seorang putri, Atik adalah
tipe laki-laki Mekah yang keras. Kekerasannya tidak hanya
ditunjukkan kepada para budak dan pekerjanya, melainkan
juga kepada anggota keluarga. Sering kali, terlebih di malammalam hari saat dirinya mabuk, anak-anak maupun orang
tua tidak luput dari cercaan, bentakan, dan luapan kata-kata
kasarnya. Dalam keadaan seperti itu, harapan awal Khadijah
untuk mendapatkan seorang pendamping hidup agar dapat
memikul amanah kedua anaknya justru mulai merindukan
kembali masa-masa sepeninggal suaminya, setidaknya untuk
melindungi anak-anaknya dari amukan ayah tirinya.
Setiap kali Atik kembali ke rumah, ia sembunyikan anakanaknya ke kamar belakang. Keadaan seperti ini semakin
menjadi-jadi, bahkan hingga pada akhir-akhir ini, seakan
mengambil napas pun sudah dipermasalahkan seolah
dirinya sudah menjadi beban bagi suaminya. Bukan hanya
anaknya yang laki-laki saja yang sering menjadi sasaran, bayi
wanitanya pun terkena dampaknya. Jika sampai ada anaknya
yang menangis, dipastikan suasana rumah seperti kiamat.
Seisi rumah pun pecah dan berantakan.
ain Setelah bermusyawarah dengan
keluarga dan kerabatnya, ia
memutuskan kembali membina rumah
tangga dengan seorang bangsawan
terkenal bernama Atik bin Aziz.
Bagi Atik, keluarga adalah beban yang teramat berat.
Atik adalah tipe lelaki yang tidak pernah puas meski telah
melakukan pemaksaan kepada orang lain. Istrinya maupun
para pelayan yang sering berganti-ganti juga tidak dapat
memberikan kebahagiaan yang dicarinya. Setiap hari baru,
setelah semalaman memuaskan dirinya dengan bermabukmabukan, merupakan hari yang seolah telah ditakdirkan
berlalu dengan kepedihan bagi sang istri dan keluarganya.
Setiap hari yang berlalu meninggalkan pula kekurangan dan
rumpang yang baru. _ Jalan Kepedihan Semua telah ia miliki apa yang dapat dimilikinya, namun
tetap saja dirinya tidak bahagia.
"Latta, Uzza, Manna, Hubal, mengapa engkau tidak
memberikan kebahagiaan kepadaku. Untuk apa saja
persembahan, sedekah, dan kurban yang telah aku berikan
kepadamu?" umpatnya seraya terus mabuk dan mabuk.
Apa lagi yang akan terjadi pada Khadijah, anak Khuwaylid
itu!" Mengapa wanita sombong dan tidak tahu diri ini sering
iba saat memandangi wajahnya, seolah dirinya setangguh
gunung sehingga selalu membuatnya seperti terhimpit.
Apa saja yang telah dilakukannya tetap tidak pernah dapat
menindas wanita mulia itu. Tak pernah ia dapat menemukan
cara untuk mengekangnya. Seandainya sekali saja ia
mengikuti sikapnya untuk menjawab kata-katanya, mungkin
hal itu akan membuat dirinya puas. Namun, Khadijah tetap
berdiam diri" Diam seribu kata, tanpa pernah sekali pun
berucap sambil menutup keras pintu seraya menyendiri
di kamar" Meski banyak teman wanita dan para pelayan
memadati rumahnya, bahkan dalam beberapa malam, meski
dirinya tidak pulang ke rumah, Khadijah tetap berdiam
diri dan bergeming. Tidak pernah sekalipun dirinya ikut
menghadiri jamuan pesta minuman keras di taman depan
halaman rumahnya. Seperti apa pun sikap sang suami
yang melampaui batas dalam pemuasan kesenangan dan
kenyamanan, Khadijah tetap bersikap dewasa. Ia tetap diam
dan diam". "Bukan banyak bicara, melainkan diamlah yang ditakuti
dari seorang wanita!"
Dalam diam seorang wanita terdapat langkah aktif
bagaikan detak butir jam pasir. Namun, setiap kali jam pasir
yang ada di tangan dirusak olehnya, Khadijah justru malah
menatanya kembali seluruh kehidupan di masa lalunya


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan penuh kesabaran. Setiap butir pasir laksana guru
yang bijaksana terhadap setiap menit yang pedih, seraya
menuturkan kalimat untuk tetap setia. Dalam diam seorang
wanita, ia bicara dengan jam pasir yang ada di dalamnya.
Dengannya, ia mengajarkan kehidupan kaum wanita di
masa-masa sebelumnya. Diam, bagi seorang wanita, bukanlah tanpa arti.
Sebaliknya, ia merupakan aksi ketidaktaatan seorang umat
karena sebentar lagi akan unjuk bicara dan memulai sebuah
perubahan. "Cukup!" kata Khadijah pada suatu pagi tanpa sedikit
marah, tanpa berteriak. "Aku pergi sekarang?"
Hanya sebatas itu saja. Bersama dengan dua putra dan bayinya, serta ditemani
Maisaroh sang pelayan, ia pergi meninggalkan rumah Atik
tanpa menimbulkan keretakan, meski setitik jarum.
Kepergiannya adalah cara bicara Khadijah.
Bagi Atik, cara seperti itu telah membuatnya sesak napas.
Dadanya bagai tertindih gunung besar.
Ya, memang begitu, tentu saja. Cerainya seorang wanita
dari suami sama sekali tidak mungkin terjadi. Seluruh
Mekah tentu akan guncang sekeras-kerasnya. Khadijah
binti Khuwaylid dengan dua hal warisan mendiang sang
ayah, bangun di awal waktu dan teguh dalam kesabaran
yang telah menjadi pijakannya, membuat seluruh Mekah
terheran-heran sekaligus kagum dengan tindakannya.
_ Jalan Kepedihan Tak ada satu kata pun yang akan menyalahkannya.
Anak-anaknya. Tentu saja anak-anak adalah bagian dari belahan jiwanya
yang teguh. Seluruh cerita yang akan diterangkan dalam
perjalanan waktu menunjukkan bahwa putra-putranya tetap
mewarisi jiwa ibundanya. Setelah saat ini, kehidupan adalah
tiga tambah satu bagi Khadijah. Dia bagaikan planet tempat
anak-anaknya terikat dengannya dan terus berputar laksana
bintangnya. Tanpa mereka, kehidupannya ibarat bintang
jatuh. Tidak, ia tidak akan terjatuh. Setidaknya, ia akan tetap
bertahan hidup demi anak-anaknya seraya terus bercahaya.
"Cukup!" kata Khadijah pada suatu
pagi tanpa sedikit marah, tanpa berteriak.
"Aku pergi sekarang..
Hanya sebatas itu saja. Bersama dengan dua putra dan bayinya,
serta ditemani Maisaroh sang pelayan,
ia pergi meninggalkan rumah Atik tanpa
menimbulkan keretakan, meski setitik jarum.
Anak-anaknya adalah belahan jiwanya, pewaris jatuh
bangun kehidupannya, penerus perjuangan hidupnya yang
telah menjadi belahan jiwanya.
Ia tak pernah berdebat dengan siapapun.
Ia cukup menyiapkan anak-anaknya seraya pergi.
Entah sudah berapa tahun berlalu sejak kejadian itu"
Berapa tahun sudah ia meninggalkan pernikahannya,
menutup pintu rumahnya"
Entah enam atau tujuh tahunkah"
"Setiap enam tahun sekali nasib manusia akan berganti."
Begitulah pepatah wanita Arab berbunyi, yang telah
membuat Khadijah tersenyum saat merenungkannya.
"Mengapa tidak?" kata Khadijah kepada dirinya.
Tiba-tiba, akhir-akhir ini ia mendapati dalam dirinya
tebersit keinginan kembali membina rumah tangga. Entah
dari mana asal-usul pemikiran tentang perubahan nasib dan
menikah ini" Senang sekali dirinya dengan rumah warisan mendiang
ayahandanya, apalagi dengan balkon di lantai dua yang
terhubungkan dengan tangga kayu untuk naik ke sana.
Khadijah tertegun di keheningan malam. Seusai semua
urusannya, setelah menidurkan anak-anak, sehabis para
tamu diberikan jamuan dan disiapkan segala perlengkapan
tidurnya, serta catatan akuntansi hari itu selesai ditulis,
bermulalah saat-saatnya sendiri, saat-saat sunyi yang sangat
ia sukai. Langit malam sungguh terang dengan sinar cahaya
_ Jalan Kepedihan rembulan berhias kerlap-kerlip bintang. Di atas matras
buatan India yang dihamparkan di teras, Khadijah
merebahkan badan di akhir-akhir waktu malam. Kantuk dan
kelelahan seharian dengan lembut seolah memijatnya dalam
tidur lelap. Khadijah binti Khuwaylid sedikit tidur. Nasihat
ayahandanya telah membuatnya enggan terhadap kantuk,
terutama pada saat-saat ini. Sebagaimana ia paham benar
bahwa rajin adalah sifat mulia kaum ibu, sementara kantuk
akan mengurangi usianya. Kemuliaan wanita terlihat pada
bangun awalnya. Demikian petuah ratu padang pasir.
Baik yang tinggal di rumah maupun yang berada di tendatenda, setiap wanita padang pasir harus berlomba dengan
terbit mentari. Sebelum hari terpancang di atas langit, semua
langkah harus sudah terayun. Semua persiapan harus sudah
rapi. Atau kalau tidak, sampai datang waktu sebelum masuk
asar, yang disebut waktu qailulah, waktu ketika semua orang
harus tidur karena terik mentari yang menyengat, seorang
wanita harus mati-matian menyelesaikan urusannya.
Meski para generasi pendahulu sering mengatakan
bahwa tidur adalah saudaranya kematian, embusan
lembut ajakannya seolah belaian lembut bidadari bagi
para kekasihnya. Dalam catatan almanak padang pasir,
kebanyakan orang yang jatuh cinta, yang punya banyak
utang, dan yang sedang menderita selalu berlari mengejar
tidur. Kantuk, bagi Khadijah, adalah teman wanita yang sudah
cukup usia untuk berbagi rahasia wanita. Apalagi, pada
masa-masa ini, bagi wanita yang telah mencapai usia 30
tahun, menapaki hari apa yang dilihatnya dalam mimpi
merupakan penghormatan tersendiri. Bersama dengan
saudara kematian, apalagi jika ia seorang wanita, mengapa
tidak diajaknya turut bicara" Terlebih tempat-tempat
tersembunyi di balik gumpalan awan mimpi tidak hanya
menyimpan cerita-cerita kenangan semasa kecil, tapi juga
akan memberikan peta perjalanan menuju kehidupan tanpa
akhir yang akan membawanya mengunjungi ruangan dan
kamar-kamarnya, bahkan ke koridor-koridor yang akan
mengantarkannya pada perjalanan baru.
"Saat masih muda, seorang manusia tidak memiliki
banyak waktu untuk memandangi langit," kata Khadijah
begitu mendalam. Bagi seorang wanita yang telah merasakan
keindahan kehidupan ini, minimal sebanyak kepedihan
dan ketakutannya, tentu saja ia akan menyarankan kepada
generasi muda setelahnya untuk memberikan porsi
tersendiri dalam memandangi dan merenungi langit. Tak
heran jika Khadijah sangat mencintai terasnya.
Teras adalah tempat antara langit dan bumi, ketika
segala harta benda dan kekayaan duniawi ia sejajarkan di
bawah telapak kaki. Kini, ia mulai berharap pada lintasan
takdir langit yang belum pernah terjamah olehnya. Khadijah
mungkin janda bagi alam dunia, namun ia adalah gadis muda
belia yang masih belum terungkap tabir wajahnya.
Khadijah tak mendamba perhiasan-perhiasan indah
yang dibawa para saudagar yang baru saja kembali dari
berjualan di negeri jauh. Bukan pula cincin permata, kalung
dari berlian dan mutiara, baju-baju lembut dari bulu-bulu
burung tuti, serta rempah-rempah berkhasiat dan penyedap
seribu rasa yang dibawa dari dataran India. Bukan, bukan
semua itu yang diinginkannya! Bukan pula kuda arab yang
_ Jalan Kepedihan paling cerdik, bukan pula biri-biri dan kambing pilihan
atau rerimbunan kebun kurma yang memenuhi padang
Hudaibiyah. Pandangan putri Khuwaylid jauh melebihi
harta benda yang dimilikinya.
Akhir-akhir ini, para pelayan sering mendapati tuan
putrinya sedang merenungi langit dari balkon yang terdapat
di lantai dua rumah atau di teras yang terletak tepat di
atasnya. Pelayan dan juga teman penjaga rahasianya,
Maisaroh, suatu hari pernah tanpa sengaja bicara, "Pastilah
setiap wanita akan menantikan harapan barunya bagi yang
mampu mencapai usia empat puluh satu tahun."
Tentu saja putri Khuwaylid tahu dari mana asal suara
itu. Asal suara itu adalah kepedihan dari kerunyaman hati,
serangkaian kehidupannya sebagai wanita yang ditatanya
dengan penuh kehati-hatian yang ia bungkam tanpa sepatah
kata, yang ia lewatkan dengan setengah hati atau bahkan tak
pernah dilewati, dan yang tidak akan pernah diperbarui.
Semua itu terpatri rapat bagai goresan-goresan di sepucuk
surat yang direkat rapi dengan lilin. Khadijah ibarat sepucuk
surat yang terbungkus dengan begitu banyak luka.
Karena berita yang dinanti-nantikannya tidak juga kunjung
datang, ia pun rela pada takdir untuk mempelajarinya dari
bangku sekolah tersulit: kantuk dan mimpi. Gurunya adalah
seorang wanita tua yang juga disebut sebagai "saudara tidur".
Dan wanita ini tidak pernah bicara selain dengan bahasa
lisannya. Mungkin karena inilah ia percaya mimpinya
seperti segulung surat dalam selongsong yang terbuat dari
intan dan diikat di kaki merpati pos untuk dibawanya.
Khadijah, meski tidak diungkapkan, sejatinya sedang
menantikan berita. Meski menurut pandangan Maisaroh
tidur adalah pembunuh waktu, Khadijah menganggap
tidur adalah teman yang bisa diajak untuk mengungkap isi
hatinya. "Tuan Putri, tidak mungkin menempuh jalan dengan
tidur," katanya singkat seraya terus berdiam diri.
Akhir-akhir ini, para pelayan sering
mendapati tuan putrinya sedang merenungi
langit dari balkon yang terdapat di lantai
dua rumah atau di teras yang terletak
tepat di atasnya. Pelayan dan juga
teman penjaga rahasianya, Maisaroh,
suatu hari pernah tanpa sengaja bicara,
"Pastilah setiap wanita akan menantikan
harapan barunya bagi yang mampu
mencapai usia empat puluh satu tahun."
Hampir tidak ada lagi cara yang belum ditempuh oleh
pelayannya yang sangat setia itu demi membuat tuan
putrinya tersenyum, meski hanya sesekali. Kurangkah ia
mengundang teman-teman yang ahli membaca puisi-puisi
dan memainkan alat-alat musik dari Barat. Mungkinkah
dirinya belum menerangkan kisah-kisah baru yang
dibawa para saudagar yang berdagang di Romawi. Belum
_ Jalan Kepedihan pernahkah dirinya mengundang para ahli sulap ajam yang
mempertunjukkan atraksi makan api, dan "naudzubillah"
haruskah dirinya mengundang para ahli sihir, ahli nujum,
serta para peramal. Sungguh, tidak ada lagi ahli atau orang terkenal yang
belum ia mintai pertolongan demi membuat tuan putrinya
tersenyum. Sayang, mereka sama sekali tidak mampu!
Khadijah masih bersedih hati, belum tenteram perasaannya
dan masih pucat wajahnya.
Pergantian hari hanya akan membuat keadaan Khadijah
semakin bersedih hati. Diamnya mengisyaratkan bahwa
dirinya memang ingin menyendiri.
Selama beberapa malam, putri Khuwaylid itu selalu
menjumpai mimpi yang sama. Ia dapati dirinya memandangi
tetesan air yang jatuh ke tengah-tengah samudra. Entah
bagaimana, tiba-tiba munculah wujud seperti Aladin dari
sana. Badannya besar dan menjulang. Awalnya, ia merasa
takut. Namun, setelah beberapa lama, sosok itu semakin
mendekatinya dan seolah mampu mengembuskan udara
kasih sayang ke dalam jiwanya. Khadijah pun menjadi iba.
Lama ia tatapi wajahnya. Ia terlihat begitu sedih. Nyata
dari raut mukanya kalau sosok itu sedang kesakitan. Dari
gerakan tubuhnya, ia mengisyaratkan memohon bantuan
kepadanya. Dengan memelas, ia memberi isyarat kepada
Khadijah untuk diajak pergi ke suatu tempat. Setelah
itulah perjalanan panjang bersamanya dimulai. Ia di depan,
sementara Khadijah di belakangnya. Bersamanya, Khadijah
terus berlari dan berlari. Tanpa disadari, ia bahkan mampu
melewati lautan api dengan melompat bagai sambaran kilat.
Kilatan-kilatan kecepatan itu memercikkan cahaya panjang,
menjulang bahkan sampai ke rasi bintang Banatunnaas.
Demikianlah, setiap benda yang terkena percikannya,
dalam sekejap bermandikan cahaya. Dari sanalah tampak
gambaran berbagai kota dan negara. Namun, setelah itu
keadaan menjadi dingin dalam seketika. Setiap tempat
yang ia pijak terasa dingin bagai aliran sungai di musim
salju. Di sanalah tempat mengalirnya berbagai anak sungai
menuju suatu muara yang penuh dengan ikan. Di sana juga
terdapat rimbunan tumbuhan dengan warna-warni bunga
bermekaran dan buah-buahan yang menyegarkan. Entah
mengapa, meski tidak pernah bisa berenang, dengan tenang
ia bisa melewati aliran sungai yang seperti telaga itu.
Mimpi ini dialaminya selama tiga hari berturut-turut.
Pada hari ketiga, ia dapati sosok raksasa dan menakutkan itu
tiba-tiba memandanginya dalam wajah yang sedih, seolah
memelas kepada tuannya. Saat itulah ia menyadari kalau
dirinya telah berada di Pulau Salam yang pernah disebutsebut oleh para penyair dalam kitab-kitab lama.
Khadijah mendekati raksasa itu. Ia masih memohon dan
seperti berada dalam kesakitan. Setelah beberapa lama, ia
baru bisa berucap satu kata. Saat itulah tiba-tiba berembus
udara yang seolah tertiup dari ketinggian Izam di Yastrib.
Begitu lembut embusan itu hingga sekujur tubuhnya
terguyur dalam kesegaran. Namun, sosok mirip Aladin itu
masih juga bersedih, tampak seperti ingin berpamitan.
Pulau Salam dipenuhi pepohonan anam di bagian tengah.
Di sanalah ia mendapati sebuah istana yang sangat megah.
Atapnya terbuat dari perak dan tembaga. Dindingnya
tercipta dari mutiara, sementara tiangnya dari zamrud. Saat
itulah Khadijah sadar mengenai alasan sosok raksasa itu
yang sangat ingin membawanya ke tempat tersebut.
_ Jalan Kepedihan Khadijah menjadi semakin paham dengan makna
tersirat dari mimpinya. Ia pun tertegun. Kepulauan Salam


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan bahasa lisannya yang seperti melodi embusan angin
mengatakan kepadanya bahwa semua ini tak lain dan tak
bukan adalah kisah cinta.
Kepulauan itu kosong tanpa penghuni. Sama halnya
dengan hati Khadijah. Namun, masih dalam keadaan samar, entah dirinya
tahu atau tidak, mimpi itu adalah pembiasaan dari cermin
hatinya. Khadijah lalu terbangun dalam keadaan terengahengah.
Ia dapati Maisaroh sedang berdiri menunggunya sambil
memegangi gayung perak dengan kedua tangannya yang
lemah. "Tuan Putri, apakah Anda bermimpi lagi?"
Segera Maisaroh mendekatinya untuk mengusap
dahi Khadijah yang basah oleh linangan keringat, sambil
kemudian meminumkan segelas air dari sumur Abwa.
Khadijah tersenyum memandangi teman tempat berbagi
rahasia itu. "Aku baru kembali dari Pulau Salam."
"Apakah yang Tuan Putri maksudkan itu adalah "kembali
dari Jaziratul Salam", tempat kediaman sang kekasih?"
"Aku kira Pulau Salam hanya ada dalam khayalan para
penyair yang tidak ada kenyataannya."
"Apakah sebenarnya ada, Tuan Putri?"
"Saat kita dalam keadaan terjaga, dunia tempat kita hidup
ini terlihat selalu sama, Maisaroh. Namun, saat di dalam
mimpi, masing-masing dari kita akan mendapati alam lain
yang berbeda." "Semua yang Tuan Putri tuturkan itu mirip dengan apa
yang diucapkan kemenakan Anda, Waraqah. Sebenarnya,
saya tidak bermaksud memotong cerita Tuan Putri, namun
sekarang ada tamu yang datang dari Kinanah dan sedang
menunggu di peLattaran taman rumah tamu."
Mimpi ini dialaminya selama
tiga hari berturut-turut. Pada
hari ketiga, ia dapati sosok raksasa
dan menakutkan itu tiba-tiba
memandanginya dalam wajah yang
sedih, seolah memelas kepada tuannya.
Dari Kinanah" Duhai Allah, Kinanah... benarkah, Maisaroh"
Hati Khadijah merasa sangat senang berbalut kesedihan
dalam seketika. Dengan segera ia bersiap-siap untuk
menemui para tamu. Saat turun ke peLattaran taman, ia
dapati satu rombongan kaum hawa yang datang dari keluarga
Kinanah sedang menunggunya. Khadijah lalu menyalami
dan memeluki mereka satu per satu. Saat mendapati seorang
bernama Asma di antara mereka, sahabat dekat yang
beberapa waktu lalu telah kehilangan ibundanya, dari hati
Khadijah terluap rasa berkabung. Air mata pun mengalir. Ia
tak kuasa menahan tangis.
_ Jalan Kepedihan Bagi wanita, setua dan sekuat apa pun, kehilangan
seorang ibu adalah sebuah hal yang teramat menyedihkan.
Lima tahun yang lalu, Khadijah berturut-turut kehilangan
ayahanda dan ibundanya. Hal itulah yang membuat
dirinya memeluk Asma erat-erat, seolah anak kecil yang
masih berusia belia. Saat membelai rambut Asma yang
terurai dengan kelembutan tangan seorang ibu, Khadijah
menuturkan syair yang sering didengarnya di masa kecil.
Anak wanita kecil, di mana kakakmu, sudah
datangkah" Datang, datang. Kakakku sudah datang. Apa yang
dibawanya" Mutiara dan marjan Untuk siapa" Untuk Hindun dan Zaid Untuk siapa lagi" Untuk tupai yang di pohon sana"
Pohonnya untuk apa" Dipotong dengan kapak Kapaknya di mana" Jatuh ke air Airnya di mana" Diminum unta Untanya di mana" Naik ke gunung Gunungnya di mana" Terbakar jadi abu" Syair anak-anak ini sudah cukup membuat para tamu
berlinangan air mata. Kaum ibu Bani Kinanah memang
berjiwa lembut. Mereka adalah kaum yang saat Perang Fijar
sangat terkenal karena kehilangan anak-cucu dan suaminya,
meski dalam bulan haram dilarang berperang dan meski
orang-orang Mekah sudah mengingatkan mereka. Karena
embusan itnah dari orang-orang Hawazin, mereka terpaksa
terjun ke dalam perang yang berkobar. Dalam peperangan itu,
Bani Kinanah ikut berperang melawan pasukan Hawazin.
Demikianlah, para tamu itu kebanyakan adalah mereka
yang kehilangan suami karena ikut berperang membela
keluarga Khuwaylid. Masing-masing dari mereka juga
mengenang putra-putra Khuwaylid yang wafat dalam
peperangan saat memandangi wajah Ibunda Khadijah.
Demikian pula saat Khadijah memandangi wajah mereka,
teringat olehnya tempat paman mereka, putra-putra mereka,
seperti Tuwaylib, Naufal, Habib, dan saudara laki-lakinya,
Hizam. Ah, perang. Sungguh, para wanitalah yang paling dibuat sedih
olehnya. Lebih dari itu, pertempuran Fijar yang kedua jauh lebih
membuat para tamu wanita yang sedang duduk-duduk di
sofa menjadi sedemikian marah. Dalam pertempuran yang
berlangsung dalam kurun waktu empat tahun, Bani Kinanah
bersekutu dengan Mekah untuk berperang melawan Bani
Aylan. Dalam pertempuran yang sangat pedih itu, belum
juga jasad dimakamkan, sudah berdatangan lagi korban
yang baru. Belum juga air mata kepedihan mengering,
sudah tiba kembali berita duka yang semakin membuat
_ Jalan Kepedihan linangan air mata menderas. Dalam pertempuran Fijar yang
kedua ini, ayahanda Khadijah meninggal dunia. Sejak masamasa pertempuran itulah ibunya membawa pulang anakanaknya dalam keadaan tanpa ayahandanya. Peperangan
Fijar yang berlangsung secara silih berganti telah membuat
Khadijah kehilangan paman-pamannya, ayahandanya, dan
saudaranya. Khadijah melewati hari-hari penuh penderitaan itu
hingga ke hari ini. Saat ibunya menemui kesedihan yang
datang silih berganti dan membuatnya tidak kuat menahan
kepedihan itu, rumah Khuwaylid telah mengantarkan
Khadijah menjadi ibu dan juga ayah bagi anak-anaknya.
Kini, para tamu yang juga membawa keluarga ini
menjadi sangat bersuka cita sehingga kesenangan mereka
itu menjadikan suasana ikut gembira pula. Bahkan, dalam
waktu bersamaan, semua orang yang telah wafat pun seolah
memenuhi seisi rumah dalam suasana riang dan penuh
kegembiraan. Dalam keadaan itulah, sekali lagi, Khadijah
memeluk Asma. "Seolah ayah, ibu, dan saudaraku yang kesatria, Hizam,
datang mengunjungi rumah ini," katanya.
Di wajahnya lalu terpancar keriangan lewat bibir yang
tersenyum, hingga membuat dirinya bingung karena
tidak tahu suguhan apa yang akan diberikan kepada para
tamunya. Seakan rumah Khuwaylid tak akan mau melepas
kedatangan mereka. Dan memang, kaum wanita dari
Bani Kinanah juga tidak berhasrat untuk segera pergi.
Mereka tinggal di rumah yang senang menjamu tamu ini
selama satu minggu. Di sini mereka dapat menyempatkan
diri untuk saling mengenang masa lalu, di samping juga
untuk menyampaikan keinginan mereka memperkenalkan
Khadijah. Tentu saja Khadijah tahu kalau mereka mencintai dirinya
seperti anak sendiri"
Terhadap kebaikan mereka, Khadijah tidak lupa
menghormatinya dengan memberikan bermacam-macam
hadiah tanpa mengurangi besarnya kenangan. Persahabatan
bukanlah suatu hal yang bisa dibeli maupun digantikan,
meski dengan bekerja. Dalam pandangannya, para wanita
sahabat sehatinya itu adalah warisan orang tua yang layak
untuk dihormati dan dimuliakan.
Tabir Mimpi a tersadar dari mimpinya dengan tiba-tiba.
Dadanya penuh sesak. Napasnya memburu. "Ternyata hanya mimpi," keluhnya seolah-olah seorang
yang kehilangan kesempatan yang sudah ada di tangannya. Ia
gusar bagaikan seorang raja yang kehilangan mahkotanya.
Seandainya saja aku tidak bangun. Ah, lihatlah, badannya
masih sama. Tempat tidurnya juga sama. Ia kemudian bangun
seraya membuka gorden untuk melihat dari jendela. Ah...
lihatlah, kotanya juga masih sama. Terbenam segalanya ke
dalamnya. Hancur, dunia roboh, dari pandangan matanya.
Namun, dari sedikit celah yang
terbuka, ia dapati mentari belum juga
terbit. Padahal, dalam mimpi yang
baru saja dialami, ia dapati mentari
berada di dalam rumahnya.
"Pergi ke manakah mentari itu?"
Saat terbangun, Khadijah merasa terjatuh dari ketinggian
langit sana. Ruhnya begitu keras kembali lagi ke badannya
sehingga dirinya sangat kaget, seolah ia adalah manusia
pertama yang diturunkan dari langit ke tempat tidurnya.
Jantungnya masih berdetak kencang. Ia masih tidak sadarkan
diri. Benarkah ia sudah bangun dari tidurnya"
Mimpi yang luar biasa itu seperti sebuah kehidupan
yang sesungguhnya, kehidupan yang ada di dalam tidurnya.
Namun, ia terbangun sudah, bagaikan belati yang telah
kembali dimasukkan ke dalam rangka.
Dalam mimpi yang ia jumpai menjelang pagi ini terdapat
kata-kata yang sangat ia mengerti sejak masa kecil.
Meski terbangun, ia merasa seolah masih dalam dunia
mimpi. Saat melangkah menuju jendela, ia tidak yakin
kalau kakinya menapak di lantai. Indra perasanya seolaholah begitu peka bagaikan cakar-cakar tajam seekor kucing
yang menancap seraya menyibak perlahan gorden jendela.
Namun, dari sedikit celah yang terbuka, ia dapati mentari
belum juga terbit. Padahal, dalam mimpi yang baru saja
dialami, ia dapati mentari berada di dalam rumahnya.
"Pergi ke manakah mentari itu?"
Mimpi yang dialami ibu muda itu sebenarnya merupakan
perjalanan ke alam angkasa. Mulanya, ia mendapati
bintang-bintang yang bersinar bagaikan kilatan perhiasan
di atas langit yang biru kelam. Di saat merasakan seolah
dirinya terbang atau terus berjalan di ketinggian udara, ia
menyaksikan gugusan planet-planet di angkasa. Ia berpikir
untuk menembus gugusan galaksi yang penuh dengan
bintang-gemintang itu. Terbang dan terus terbang ke
angkasa. Kemudian, ia mendapati mentari dalam lingkaran
_ Tabir Mimpi cahayanya. Ia termenung di sana. Tertegun memandangi
indahnya pancaran cahaya merasuk ke dalam tubuh,
menerangi hatinya. Sesampai di pusat sang surya, entah mengapa
pengembaraannya terhenti. Mimpi yang dilihatnya telah
menjadikan jiwanya merasakan sebuah perjumpaan.
Bahkan, keindahan rasa perjumpaan itu meluap-luap setelah
sekian lama menanti. Pancaran cahaya mentari semakin
deras menyinari badannya yang seolah tembus cahaya,
bagai cahaya yang terbiaskan dari prisma dan kemudian
dipancarkan kembali dalam aneka warna. Pembiasan cahaya
yang sedemikian luar biasa ini, dengan cahaya-cahaya yang
saling berbenturan satu sama lain membentuk gugusan
spiral, telah membuai hatinya ke dalam luapan kebahagiaan
yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Semua warna yang dikenal maupun tidak ia dapati ada
di sana, satu per satu memancar ke dalam ruhnya. Semua
jenis warna yang ada sejak awal dan akhirnya jagat raya
ini bagaikan huruf-huruf yang ditulis di papan tulis untuk
diajarkan kepada seorang anak yang sedang belajar membaca
dan menulis. Semuanya, satu per satu, menjelaskan diri
kepadanya. Mentari yang terlihat di dalam mimpinya itu
pada mulanya menuliskan huruf dan kemudian kata kepada
Khadijah. "Di langit ataukah di bumi aku ini?"
Ia merasakan dirinya seolah sedang berenang dalam
ruang hampa udara yang terasa hangat. Angin lembut yang
bertiup di sela-sela jari-jemarinya menyapu rambutnya
dan seakan-akan seperti berada di dalam kolam sauna.
Tubuhnya dibasahi siraman aroma dari kuncup bungabungaan dan daun wangi-wangian. Cangkir-cangkir terisi
penuh minuman yang paling disukainya telah tersedia
di sampingnya. Di beberapa mangkuk terdapat kurma,
sementara di tempat saji lain tersedia kismis, daun mint, dan
segenggam biji gandum. Warna-warni hidangan minuman
pun memberikan aroma menyengat, membawa Khadijah
ke dalam keadaan mabuk, seakan-akan semua minuman ini
dihidangkan kepadanya sebagai tamu khususnya. Mentari
yang disuguhkan penuh dengan penghormatan dan
senyuman" sungguh mengherankan! Setiap jenis minuman
anggur yang tersaji dalam cangkir-cangkir zamrud itu
mengeluarkan aroma yang khas. Belum juga tercicipi oleh
lidah, rasanya sudah dapat dinikmati dalam angan-angan.
"Mungkinkah di dalam mimpi seseorang dapat merasakan
rasa dan aroma?" tanyanya pada diri sendiri.
"Lalu, apakah rahasia dari semua yang aku alami ini?"
Ibu muda ini juga telah bersumpah bahwa mimpinya telah
berbicara kepadanya. Namun, hal itu diucapkan dengan lidah
berbeda, bukan dalam bentuk suara. Mungkinkah seperti
tiupan aroma sebuah getaran pada setiap ritmenya. Sapaan
dan kalimat-kalimatnya sangat mirip dengan tarikan napas,
selalu mengalir lancar, tanpa terbentur suatu keadaan yang
seakan-akan memenuhi kedalaman akal dan hati. Mentari
telah terbit pada kening Khadijah, telah merasuk ke dalam


Ketika Rahasia Mim Tersingkap Karya Sibel Eraslan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanubarinya. Seandainya kita perhatikan, mimpi tersebut sepertinya
tanpa udara. Di sekelilingnya sama sekali tidak ada yang lain
selain Khadijah. Pasar emua pelayan kaget dan bingung ketika mendapati Tuan
Putri mereka terburu-buru keluar dari pintu gerbang
tanpa menoleh atau bertutur sapa dengan mereka. Gerangan
apa yang terjadi dengan Tuan Putri" Mungkinkah dirinya
telah mendapat berita buruk di hari menjelang siang ini"
Adakah orang yang berani menyakiti hatinya yang sangat
mulia" Pertanyaan-pertanyaan itulah yang timbul dari hati para
pelayan Khadijah saat mendapati dirinya berlari dengan
terburu-buru keluar dari rumah. Meski tidak berkata apaapa, semua orang telah dibuat bingung hingga berlarian tak
tentu arah. Beberapa pelayan ada yang berlari mengejarnya
seraya menunggu titah yang akan diberikan, sementara
sebagian lagi ada yang membukakan pintu, memasangkan
pelana kuda, menyiapkan tangga untuk naik kuda, serta ada
yang berlari untuk membukakan pintu gerbang.
Tanpa bicara, tanpa bertitah maupun memberi perintah,
bahkan tanpa menoleh kepada para pelayannya, Khadijah
dengan cepat melintasi taman bagian dalam dan kemudian
pergi. Semua orang kaget dengan keadaan di pagi itu,
termasuk kedua pelayannya yang membukakan pintu
gerbang kayu yang sudah berusia ratusan tahun lebih
namun belum pernah mendapati kegusaran seperti di pagi
menjelang siang itu. Belum juga para pembantunya tahu
hal yang telah membuat sang Tuan Putri terburu-buru,
Maisaroh dengan segera berlari di depan mereka untuk
mengejarnya. Beberapa saat kemudian, Maisaroh kembali
dengan wajah memberikan isyarat kalau sang Tuan Putri
sedang tidak butuh untuk dibantu maupun ditemani.
Melihat keadaannya yang seperti itu, semua pelayan tahu
kalau Khadijah binti Khuwaylid sedang mendapatkan berita
yang sangat penting, atau mungkin sedang dalam keadaan
yang sangat mendesak, sangat genting!
Seorang pelayan yang selalu siap sedia di samping kanan
pintu gerbang rumah segera menyiapkan kuda tergesit
dari Yaman dan dua unta untuk mengejar Tuan Putri. Ke
manakah tujuan kepergiannya ini, sampai-sampai teman
tempat berbagi rahasianya, Maisaroh, pun tidak diajak"
Pasti Tuan Putri sedang ingin sendiri.
Dan memang, pada akhir-akhir ini keadaan Tuan Putri
terlihat lain dari biasanya. Tidak ada seorang pun yang dapat
membuatnya bahagia, tidak ada yang mampu membuatnya
gembira. Ia hanya selalu bersedih, selalu berdiam diri, hingga
membuat semua pelayannya ikut pula merasakan.
Dengan terburu-buru, Khadijah menyusuri gang berliku.
Saat mencapai suatu tempat yang agak tinggi, ia seperti
melengserkan diri dengan cepat ke wilayah Pasar Ukaz.
Pasar besar yang terletak di antara rumah dua tingkat
milik keluarga Khuwaylid dan Bait al-Atik ini sebelumnya
adalah sebuah lembah. Namun, selang beberapa tahun
kemudian, tempat itu berubah menjadi permukiman dan
tempat pameran. Orang-orang dari kabilah sekitar datang
ke Bait al-Atik untuk menunaikan ibadah haji. Setelah dari
situ, mereka akan berbelanja tahunan. Nah, saat itulah
mereka biasanya membuat ulah. Masalah-masalah sepele
_ Pasar seringkali dibesar-besarkan, bahkan sampai terjadi perang.
Oleh karena itu, atas keputusan tetua Mekah yang dipercaya,
mereka hanya boleh tinggal di Mekah dalam masa-masa
tertentu saja. Peraturan seperti ini terus digencarkan, terutama setelah
kejadian "Tahun Gajah". Saat terjadi peristiwa serangan
pasukan gajah, Khadijah putri Khuwaylid baru berusia lima
belasan tahun. Ia pun menyaksikan kekejaman Gubernur
Yaman yang menyerang Mekah dengan gajah-gajahnya.
Pengalaman ini tentu saja tidak akan pernah terlupakan.
Karena sedemikian luar biasa besarnya hingga tak mungkin
untuk menandinginya, para penduduk Mekah mengikuti
apa yang disarankan Abdul Muthalib, seorang yang selama
ini mereka percayai, untuk meninggalkan kota. Mereka
bermukim di perbukitan yang ada di sekitar Mekah. Awalnya,
para petinggi Arab yang tidak mau meninggalkan kota dan
memilih berperang kerena kesombongan mereka mau tidak
mau membenarkan Abdul Muthalib setelah melihat seluruh
pasukan gajah yang sebelumnya telah bersumpah untuk
menghancurkan Mekah dan Bait al-Atik diluluhlantakkan
oleh Allah. Apa yang telah terjadi sama persis dengan apa
yang dikatakan Abdul Muthalib, "Allah yang memiliki Mekah
dan Bait al-Atik. Allah juga yang akan melindunginya."
Memang demikianlah yang terjadi. Begitu pasukan gajah
memasuki kota Mekah, mereka langsung mendapatkan
petaka yang sangat luar biasa, aneh, dan belum pernah
dijumpai sebelumnya. Mulut mereka mengeluarkan busa.
Selain itu, wajah-wajah para prajurit itu menjadi hijau
kegelapan dengan usus yang pecah di dalam perut pada
waktu yang tidak lama. Saat itu pula burung-burung yang
belum pernah dijumpai di Mekah mulai menutupi langit.
Pasukan gajah yang telah bersumpah untuk menghancurkan
Kakbah justru malah hancur dibuatnya. Burung aneh yang
kemudian namanya disebut ababil ini adalah burung-burung
yang membawa amarah Allah kepada setiap pasukan.
Tangan dan kaki mereka kaku, bahkan sang komandan
pasukan yang dijuluki Abyad al-Kabir pun takluk bersama
dengan gajah putih tangguh yang ditungganginya.
Peristiwa ini membuat semua orang yakin kalau Mekah
adalah kota yang dilimpahkan rahmat oleh Allah. Sekali lagi,
orang-orang Mekah dan kabilah-kabilah di sekitarnya, para
petinggi Mekah dan Badui, kembali hidup dengan damai
sesuai dengan penanggalan bulan-bulan haram.
Semua orang tahu tentang peraturan hidup, beribadah,
berdagang, dan bersenang-senang. Selama kurun waktu
damai selama tiga bulan, semenjak para kabilah saling
menaati bulan-bulan tanpa perang yang telah ditetapkan,
Pasar Ukaz semakin dipadati para penduduk. Tidak hanya
ramai oleh para penduduk Mekah, tapi juga mereka yang
datang dari haif dan Yaman ikut bermukim di sana.
Para penduduk yang datang dari tempat jauh, seperti alQuds, Konstantinopel, Syam, Harran, dan Persia, juga ikut
memanfaatkan keadaan baik di masa-masa ini.
Setiap kali hati putri Khuwaylid merasa terhimpit, ia
akan segera berlari ke Kakbah untuk menumpahkan segala
isi perasaan kepada Rabbnya. Dan kali ini, ia juga ingin
segera sampai di Kakbah untuk mengutarakan isi hatinya.
Ingin sekali dirinya dapat segera melintasi Pasar Ukaz yang
membatasi rumahnya dan Baitullah.
Mimpi yang ia jumpai menjelang pagi ini telah membuat
gundah-gulana hatinya. Jika dilihat dari luar, kehidupannya
_ Pasar memang tampak sangat sempurna. Meski demikian, ia
tidak kunjung jua dapat memecahkan kekosongan hati
yang menurutnya sulit untuk digambarkan. Ia tidak dapat
berbagi deritanya dengan siapa pun. Ia tahu, kalau sampai
dirinya berbagi perasaan dengan orang lain, sudah pasti
pembicaraan itu akan sampai pada masalah kejandaannya.
Hal inilah yang membuatnya enggan berbicara kepada
orang lain. Dalam pandangannya, belum ada laki-laki kuat
yang cocok untuk dirinya.
Mimpi yang ia jumpai menjelang pagi
ini telah membuat gundah-gulana hatinya.
Jika dilihat dari luar, kehidupannya
memang tampak sangat sempurna.
Meski demikian, ia tidak kunjung jua
dapat memecahkan kekosongan hati yang
menurutnya sulit untuk digambarkan.
Sebelum sampai ke Kakbah, jalanan panjang yang
melintas di sepanjang pasar telah membuat dirinya terbuai.
Kerumunan para pedagang, wisatawan, orang-orang yang
datang untuk menunaikan ibadah dari perkampungan,
para rahib, pendeta, dan pemuka agama yang ia dapati di
sana telah memberikan suasana hati tersendiri. Keragaman
orang-orang yang menghuni Pasar Ukaz telah memberikan
inspirasi bagi kegalauan hatinya.
Segera Khadijah masuk ke dalam pasar melalui pintu
yang biasanya dilalui para wisatawan. Ia segera tersenyum
kepada seorang turis tua yang sedang mengamat-amati
selembar peta tua yang terbuat dari sutra, yang ia yakini
sebagai petunjuk harta karun. Orang tua itu membaca puisi
dengan suara seperti orang menangis. Lewat suaranya yang
keras, ia menuturkan kalau dirinya adalah seorang pemilik
pemandian umum yang kaya raya. Namun, karena ia tidak
memedulikan seorang pengemis yang menghampiri tempat
usahanya, dirinya terkutuk menjadi miskin seperti pengemis
itu. Berangsur-angsur seluruh hartanya terjual habis untuk
membiayai keinginannya menemukan harta karun. Sayang,
semuanya hanya dusta belaka. Kini, ia pun hanya memiliki
selembar peta tua yang ada di tanganya. Seandainya saja tidak
ada orang yang mau membeli peta tua itu, sebentar lagi ia
tidak akan mampu membeli makanan sehingga tak lama lagi
dirinya akan mati kelaparan. Mendapati keadaan seperti itu,
Khadijah merasa iba. Segera ia mengambil beberapa keping
uang emas dari sakunya untuk diberikan kepadanya seraya
terus melanjutkan langkahnya. Saat memberikan beberapa
keping uang itulah dalam hati Khadijah terlintas untuk
berlindung dari kejinya kecanduan atas sesuatu. Semoga
Allah menghindarkan hamba-Nya dari kepedihan menjadi
budak karena tergila-gila atau kecanduan pada sesuatu.
Saat dirinya melangkah ke kios-kios yang menjual
minuman, ia mendapati tempat lain yang membuatnya
terbuai. Tempat itu menjual berbagai macam minuman dan
buah-buahan kering, seperti kurma dan kismis.
_ Pasar Pasar ini terlihat lebih sepi dibandingkan pasar tertutup
lainnya. Namun, pasar ini berada dalam monopoli para
saudagar bangsawan Mekah. Setiap hari, mereka melakukan
transaksi penjualan surat-surat berharga. Biro-biro
pasar bebas maupun kantor-kantor tempat para delegasi
perdagangan juga ada di sana. Khadijah melewati pasar
itu dengan sangat hati-hati. Berjalan cepat dan menutupi
wajahnya dengan syal, sesegera mungkin dirinya berharap
bisa meninggalkan tempat itu tanpa ada seorang pun yang
tahu. Setelah beberapa langkah dari tempat tersebut, ia baru
sadar tidak ada pengawal di sisinya seperti biasa. Ia memang
tidak ingin mendengar lagi pembicaraan baru tentang dirinya
dari mulut para saudagar bangsawan Mekah. Memang,
kebanyakan dari mereka menginginkan putri Khuwaylid ini
sebagai istrinya. Untungnya, tak satu orang pun tahu kalau
seorang wanita yang berjalan cepat melewati tempat bisnis
mereka dengan muka tertutup adalah Khadijah.
Setiap hari, Pasar Ukaz dipenuhi pemandangan yang
begitu pedih. Sebuah ironi kehidupan yang terjadi pada
masa itu. Di tempat itu berkumpul para bangsawan dengan
budaknya, jutawan dengan orang-orang miskin, serta
penguasa dengan bawahannya. Yang tertawa dan menangis
pun ada di sana. Di penghujung kios minuman, putri Khuwaylid
menjumpai pemandangan yang sangat membuatnya sedih.
Matanya tertuju ke arah pasar budak. Para majikan dengan
keji meludahi, mencaci, bahkan mencambuki budak-budak
dagangannya. Di sana terdapat budak-budak dagangan dari
semua usia. Mereka dijajar untuk dipertontonkan kepada para
calon pembeli. Tidak jarang mereka dipaksa menampilkan
berbagai kemampuannya dengan cara dicambuk berkali-kali.
Di saat-saat itulah biasanya dipertontonkan budak wanita
yang masih berusia sepuluh tahunan. Mereka berpakaian
terbuka, membagikan minuman keras kepada para calon
pembeli, dan tidak jarang memberikan pertunjukan untuk
memerdaya nafsu syahwat mereka... meminum anggur
sambil membaca puisi. "Seret budak wanita itu! Biar dia tahu pedihnya cambukan
cemeti!" seru pedagang budak dengan lantang sambil tertawa
terbahak-bahak. Para pesuruh si pedagang pun mulai mencambukkan
cemeti ke tanah untuk menakut-nakutinya. Dengan
seketika, ia tarik rambut para budak wanita untuk naik ke
atas podium sambil mencambuknya dengan cemeti. Mau
tidak mau, para budak itu harus menuruti permintaan
majikannya untuk melayani pertunjukan tidak senonoh
di depan mereka. Belum lagi di pertunjukan yang lain ada
seorang budak wanita terlihat nyaris tanpa busana. Seorang
majikan mendekatinya dengan tertawa puas. Saat hendak
melepas pakaian budak itu yang hanya tinggal beberapa
lembar, entah dari mana datangnya, tiba-tiba sebilah belati
menusuknya bertubi-tubi. Majikan itu pun jatuh seketika.
Tanpa sadar, nampan minuman keras yang dibawa budak
peremuan itu juga jatuh ke lantai. Minuman keras itu pun
tumpah berceceran ke mana-mana, sementara sang majikan
masih tergeletak di tanah. Darah terus mengalir dari
tubuhnya yang terluka. Gelas kristal yang ada di tangannya
ikut jatuh dan pecah. Erang kesakitan muncul dari mulutnya.
Wajahnya panik melihat darah yang mengalir deras dari
lukanya. _ Pasar Keadaan menjadi kacau dalam seketika. Anehnya, tidak
Topeng 1 Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang Bende Mataram 18
^