Pencarian

Topeng 1

Gento Guyon 7 Topeng Bagian 1


1 Di sebelah utara Solotigo tepatnya di dae-
rah Banyubiru terdapat sebuah bukit kapur yang
dikelilingi hutan lebat. Biarpun di daerah ini banyak berkeliaran binatang
buruan, tapi tak seo-
rangpun penduduk yang tinggal di sekitar hutan
itu berani mencari buruan di sana. Konon kabar-
nya di tengah hutan di bagian bukit berdiam satu mahluk angker yang selalu
mengeluarkan suara
lolongan aneh sepanjang malam. Yang mena-
kutkan lagi, bila suara lolong itu terdengar bi-
asanya selalu disertai dengan guncangan keras
laksana gempa. Guncangan yang merayap hingga
jauh memasuki dusun-dusun terdekat. Jadi tidak
mengherankan bila penduduk di daerah itu dice-
kam rasa takut sepanjang masa.
Walau hutan Banyubiru tak pernah dijarah
manusia dan ditakuti oleh kalangan dunia persi-
latan, namun di pagi itu di kala kegelapan dan
kabut masih menyelimuti kawasan hutan dan se-
kitarnya, terlihat satu bayangan berkelebat me-
masuki kawasan hutan di sebelah timur. Melihat
caranya berlari yang demikian cepat, jelas bukan manusia sembarangan. Paling
tidak dia memiliki
ilmu lari cepat dan juga ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar biasa. Di samping itu sosok ser-ba putih ini kelihatannya
memang tidak menghi-
raukan suasana di sekelilingnya yang terasa
sunyi mencekam. Beberapa saat lamanya dia me-
nyusup di antara pepohonan besar, semak belu-
kar lalu mendaki tebing batu yang curam. Tak
berselang lama sosok berpakaian serba putih ini
sampai di kaki sebuah bukit kapur yang memutih
bagaikan gundukan es.
Sosok ini hentikan langkah dan ternyata
dia adalah seorang kakek tua berambut bersor-
ban warna putih berjenggot panjang menjulai
berpipi menonjol dan bermata cekung. Sepasang
matanya yang menjorok ke dalam mencorong ta-
jam. Di punggung kakek berbadan tinggi semam-
pai terselip sebuah senjata melengkung berupa
celurit besar dengan rangka terbuat dari kulit harimau. Beberapa kejap lamanya
si kakek berdiri
tegak di situ, sepasang mata memandang kea-
daan di sekelilingnya. Kemudian dia memandang
ke atas bukit. Puncak bukit kapur dicekam kesu-
nyian. Si kakek jadi tidak enak hati gelisah sendiri. Sudah puluhan tahun dia
tak pernah me- nyambangi orang yang hendak dijumpainya hari
ini. Apakah orang itu masih hidup hingga saat ini mengingat usianya yang sudah
lanjut sekali. Ka-laupun masih hidup, bagaimana dia harus me-
mulai segala pembicaraan"
"Tidak ada alasan bagiku untuk mengu-
capkan kata-kata dusta. Dia pasti tahu segala sesuatunya!" gumam si kakek
seorang diri. Sekali lagi dia kitarkan pandangan matanya ke segenap
penjuru sudut. Setelah memastikan tidak ada
orang lain yang mengikutinya tidak lama kemu-
dian dia segera mendaki bukit kapur itu.
Dengan mengerahkan segala kekuatan dan
ilmu meringankan tubuh yang dia miliki, orang
tua inipun sudah hampir mencapai puncak bukit,
tapi pada saat itu dari bagian puncak bukit ada
cahaya putih seperti kilat menyambar ke arah si
kakek. Terkejut kakek baju putih coba sela-
matkan diri dengan merundukkan tubuhnya
hingga sama rata dengan tonjolan batu yang ter-
dapat di sebelah atasnya.
Geleger! Sambaran kilat yang datang secara tak ter-
duga itu menghantam batu, menimbulkan suara
ledakan menggelegar. Batu hancur bertaburan
menjadi serpihan puing yang berhamburan ke se-
luruh penjuru arah. Guncangan keras yang di-
timbulkan oleh suara ledakan membuat si kakek
nyaris terpental dan jatuh kembali ke kaki bukit.
Masih beruntung ketika tubuhnya terguling-
guling dia sempat menyambar akar tetumbuhan
merambat yang tumbuh di lereng itu, hingga dia
selamat dari bencana yang tak terduga.
Dengan hati kecut dan perasaan tegang si
kakek coba menghindari batu-batu yang mengge-
lundung ke arahnya. Sekali waktu dia meman-
dang ke atas bukit, tenaga dalam dikerahkan ke
bagian kaki, tangan melakukan gerakan men-
gayun. Setelah itu kaki kiri dijejakkan ke salah satu batu yang mencuat di
bagian lereng bukit.
Dessss! Hentakan yang keras membuat tubuh si
kakek melesat ke atas bukit, berjumpalitan tiga
kali baru kemudian jejakkan kakinya di bagian
pedataran puncak bukit kapur tersebut. Si kakek
sejenak lamanya kitarkan pandangan ke setiap
penjuru arah. Tidak ada yang terlihat, juga ter-
masuk orang yang hendak dia temui. Tiga kali si
kakek memperhatikan dia pun akhirnya berkata.
"Mungkinkah dia sudah berpulang" Dua
puluh tahun yang lalu ketika aku menyamban-
ginya usianya memang sudah sangat lanjut." Si kakek terdiam sejenak, berpikir.
Dia menoleh ke belakang, hancuran batu-batu masih berserakan.
"Sinar putih yang membelah dan menghancurkan batu tadi mustahil datang dari
langit. Jelas sinar berasal dari salah satu pukulan sakti seseorang.
Kakek itu atau..."!" Si kakek berpakaian serba putih geleng-gelengkan kepala.
"Mungkin dia memang sudah tiada, mungkin memang ada orang
lain yang tinggal di tempat ini. Tapi aku tahu Begawan Panji Kwalat tak punya
murid," kata si kakek dalam hati.
Melihat suasana yang sepi, timbul keingi-
nan di hati orang tua ini untuk menyelidik. Akan tetapi baru saja niatnya hendak
dilakukan, pada
detik itu juga mendadak terdengar suara desah
nafas seseorang, suara desah nafas disertai den-
gan bergeraknya satu gundukan kapur yang be-
rada tak jauh di depannya. Gundukan kapur ter-
sibak. Si kakek yang belum juga hilang rasa he-
rannya kini malah jadi kaget, karena di balik
gundukan itu ternyata muncul satu sosok beram-
but riap-riapan, berwajah dan bertubuh kurus
kering macam jerangkong. Sekujur tubuh orang
yang baru muncul dari timbunan kapur itu tam-
pak memutih. Hanya matanya saja yang cekung
berkeriapan tiada henti.
Jika semula kakek berpakaian serba hitam
unjukkan wajah kaget, maka kini wajahnya beru-
bah gembira. "Begawan Panji Kwalat, aku Guru Lanang Pamekasan datang
menyambangimu!"
berkata begitu si kakek rangkapkan jemari tangan di depan dada, lalu membungkuk
dengan sikap penuh rasa hormat. Anehnya sosok kurus kering
macam jerangkong terkesan acuh, bersikap seo-
lah di tempat itu seperti tak ada orang lain. Dia malah gerakkan kedua tangan,
kaki dijulurkan
sedangkan tubuhnya yang kurus kering mengge-
liat dengan sikap seperti orang baru bangun ti-
dur. Yang mengejutkan sekonyong-konyong si ka-
kek keluarkan suara raungan keras melengking,
sejalan dengan terdengarnya raungan itu, maka
bagian puncak bukit kapur bergetar, getaran se-
makin lama berubah menjadi guncangan hebat
yang membuat Guru Lanang Pamekasan jatuh
terbanting. Bukan hanya itu saja, begitu terhem-
pas tubuhnya melesat di udara, lalu terbanting
lagi. Hal seperti ini terjadi berulang-ulang.
Wajah kakek ini berubah pucat, nyawanya
laksana terbang, perut mulas, dada sakit dan ke-
pala laksana mau pecah. "Celaka... dia rupanya tak berkenan menerima
kehadiranku." batin Guru Lanang Pamekasan dalam hati. Otaknya bekerja
dengan cepat, mencari cara bagaimana agar di-
rinya dapat bertahan dari guncangan. Selagi dia
mencoba menghunjamkan kedua kaki serta tan-
gannya ke dalam tanah, pada saat itu pula lolon-
gan sosok jerangkong yang dipanggil 'Begawan
Panji Kwalat' terhenti. Masih dengan sikap seperti itu dia lalu berucap dengan
alunan suara seperti orang bersair.
Hidup ratusan tahun membawa sesal tak
berkesudahan Air mata bertukar dengan cucuran darah
Siang dan malam datang silih berganti
Manusia saling bunuh perturutkan nafsu
Hidup, akh aku sudah bosan hidup.
Aku letih menghitung hari
Tuhan ya Tuhan, akan ke mana aku mem-
bawa langkah diri
Aku tidak ingin berkata, tak ingin bicara
Lidahku keji penuh petaka
Aku tak salah bicara!
Sosok berbadan kurus macam jerangkong
hentikan ucapannya, diam sejenak sambil meng-
hitung jemari tangannya sendiri. Setelah itu terdengar suara keluhanya yang
perlahan. "Sudah semakin dekat, bertambah dekat aku jadi muak
melihatnya!"
"Begawan Panji Kwalat, apa maksudmu?"
tanya Guru Lanang Pamekasan yang merasa kes-
al karena dirinya diacuhkan.
Mendengar suara kakek baju putih si ka-
kek bertubuh jerangkong unjukkan sikap seperti
orang terkejut. Dia menoleh ke arah Guru Lanang
Pamekasan. Sejenak lamanya mereka saling ber-
tatap pandang. Sampai kemudian sepasang mata
Begawan Panji Kwalat meredup, kehilangan ca-
haya. "Aku masih ingat dirimu. Saat ini buat apa kau jauh-jauh datang ke mari
Guru Lanang Pamekasan?" tanya Manusia Kutuk Sumpah.
Guru Lanang Pemekasan terdiam sejenak,
dia hendak mengatakan tujuan yang sebenarnya
tapi jadi ragu.
"Keraguan tak pernah menyelesaikan satu
masalah. Aku tahu apa tujuanmu datang dari
Madura. Kau ingin menjodohkan muridmu den-
gan anak seorang sahabat lamamu. Bukankah
begitu?" ujar si kakek jerangkong.
Guru Lanang Pamekasan yang maklum
akan kesaktian yang dimiliki oleh orang tua itu
anggukkan kepala.
"Engkau benar orang tua. Satu hal yang
ingin aku ketahui apakah sahabatku itu tidak
mengingkari janjinya yang dulu?" tanya Guru Lanang Pamekasan.
Mendapat pertanyaan seperti itu si kakek
jerangkong diam sejenak. Mata dipejamkan, se-
dangkan telapak tangan kanan diletakkan di de-
pan matanya yang tertutup, mulut berkomat-
kamit lalu tangan tadi ditiup.
Dengan mata terpejam pula dia memperha-
tikan tangan yang baru ditiup. Guru Lanang Pa-
mekasan coba ikut memperhatikan bagian tela-
pak tangan itu. Dia jadi kaget ketika melihat di bagian telapak tangan si badan
jerangkong nampak memerah seperti bersimbah darah.
"Peruntungan muridmu cukup baik, tapi
takdirnya sangat buruk. Sahabatmu tak pernah
mengingkari janji. Tapi aku melihat satu rintan-
gan besar yang berakhir dengan sebuah kesedi-
han bagi semua pihak." kata Manusia Kutuk
Sumpah. Dia lalu turunkan tangannya, mata kemba-
li terbuka sedangkan kepala bergoyang.
"Sahabatku Begawan Panji Kwalat. Da-
patkah kau jelaskan lebih terinci makna dari se-
mua ucapanmu tadi. Aku datang dari jauh ingin
minta satu kejelasan, bukan sesuatu yang tersa-
mar." ujar Guru Lanang Pamekasan.
"Aku si Kutuk Sumpah. Aku tak boleh bi-
cara mendahului takdir. Apapun kejadiannya
yang akan berlaku nanti sebaiknya jalani saja.
Urusanmu adalah persoalan yang menyangkut
kesedihan, persoalanmu adalah menyangkut ma-
salah nyawa. Kau tahu setiap sumpah dan uca-
panku yang tidak ku suka akan berakibat menge-
rikan bagi seseorang. Aku tidak boleh bicara sembarangan. Harap kau mau
mengerti!"
Guru Lanang Pamekasan nampak kecewa
sekali mendengar penjelasan Begawan Panji Kwa-
lat. Walau begitu tentu dia tidak berani memban-
tah apa yang dikatakan oleh si tubuh jerangkong.
Oleh karena itu dia cuma diam saja.
"Guru Lanang Pamekasan, apa yang aku
katakan itu bisa saja berubah. Karena diriku bu-
kan Tuhan. Tapi terus terang mengenai dirimu
kau harus berhati-hati. Karena maut bisa men-
gincarmu dan datang dari arah yang tidak dis-
angka-sangka." kata Begawan Panji Kwalat menambahkan.
Semakin bertambah tegang saja perasaan
kakek tua bersenjata celurit ini mendengar uca-
pan kakek jerangkong di depannya. Kini dengan
perasaan bingung dia pandangi Begawan Panji
Kwalat, mulutnya yang tertutup membuka hen-
dak mengatakan sesuatu. Tapi ketika sosok yang
duduk bersimbah di atas tanah kapur gerakkan
telunjuknya di bagian leher Guru Lanang Pame-
kasan, maka tidak sepatah katapun dapat teru-
capkan. Malah kakek itu merasakan lehernya se-
perti dicekik. "Apa yang hendak kau tanyakan padaku


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah kuanggap cukup. Sekarang kau pergilah da-
ri hadapanku. Lakukan apa yang hendak kau la-
kukan!" ujar Begawan Panji Kwalat.
"Baiklah, kalau itu sudah menjadi keputu-
sanmu aku tentu tak berani membantah, tapi sa-
habatku apakah kau tetap memendam diri sela-
manya di tempat ini" Kau tidak hendak mening-
galkan bukit ini sekedar untuk mencari kesenan-
gan menghibur hati?" tanya Guru Lanang Pamekasan. "Kesenangan dan kepalsuan
dunia ini telah
aku dapatkan puluhan tahun yang lalu." Begawan Panji Kwalat menyahuti. Setelah
terdiam sejenak
dia kemudian melanjutkan. "Sedangkan mengenai diriku saat ini aku hendak
menjumpai seseorang
yang sudah lama kutunggu. Orang itu masih ter-
hitung saudaraku sendiri. Tapi jika dia tak datang ke mari dalam waktu satu
pekan mendatang, bisa
jadi aku yang akan mencarinya." jelas si kakek jerangkong.
"Siapakah saudaramu itu?" tanya Guru
Lanang Pamekasan.
"Namanya Wirya Sena. Sejak kecil sampai
sekarang hidupnya penuh kemalangan. Dia me-
miliki sepasang tangan, tapi kedua tangannya tak pernah membawa keberuntungan."
jelas si kakek dengan wajah muram membayangkan kesedihan.
"Aku turut merasa prihatin mendengar-
nya!" "Aku tahu ucapanmu hanya basa-basi."
berkata Begawan Panji Kwalat disertai seringai
aneh. Guru Lanang Pamekasan jadi tersipu malu
sendiri. Dia lalu berkata. "Sahabatku, terima kasih atas petunjuk yang kau
berikan. Sekarang
aku mohon diri!"
"Guru Lanang Pamekasan, tidak tahu aku
mau berkata apa. Sekali lagi aku cuma dapat
berpesan agar kau pandai-pandai menjaga diri!"
Begawan Panji Kwalat mengingatkan.
Si kakek anggukkan kepala. Setelah men-
jura pada kakek jerangkong, dia berkelebat me-
ninggalkan puncak bukit kapur. Sepanjang jalan
Guru Lanang Pamekasan terus saja berpikir men-
gapa Begawan Panji Kwalat bicara seperti itu" Rasanya selama dalam perjalanan
dia merasa di- rinya tidak pernah diikuti oleh siapapun.
2 Disaksikan oleh belasan pasang mata, pe-
muda berpakaian serba putih itu terus memain-
kan jurus-jurus pedangnya yang paling diandal-
kan. Pedang berkelebat memancarkan cahaya pu-
tih berkilauan, menderu keempat penjuru arah
disertai suara angin berkesiuran. Semua orang
yang melihat pertunjukan jurus-jurus pedang
yang dimainkan si pemuda jadi berdecak penuh
rasa kagum. Setelah berlangsung belasan jurus si pe-
muda hentikan gerakan pedangnya. Senjata di-
masukkan ke dalam rangka dengan gerakan di-
buat cepat sedemikian rupa hingga kembali men-
gundang decak rasa kagum bagi orang-orang yang
menyaksikan pertunjukkan silat yang dilakukan
si pemuda. "Kalian sudah sama menyaksikan keheba-
tan jurus pedang yang kumiliki. Jika mau me-
nyaksikan yang lebih hebat lagi, silahkan datang ke tempat ini kira-kira tiga
purnama mendatang!"
ujar si pemuda penuh rasa percaya diri dan ke-
sombongan. Dia lalu menurunkan topeng yang
bertengger di atas kepalanya. Begitu topeng kayu berwarna putih dipasang di
bagian wajah, maka
terlihatlah bentuk wajah topeng dengan hidung
mancung, pipi tembem dan bibir tersenyum. Se-
lanjutnya pemuda ini melangkah mendekati kuda
berbulu putih yang berada tak jauh dari keru-
muman orang ramai. Sekali pemuda ini melaku-
kan gerakan di lain kejap dia telah duduk di atas punggung kudanya. Sebelum
pergi tinggalkan
tempat itu, sekali lagi dia menoleh ke arah para pengagumnya.
"Pertunjukkan pedang sudah usai. Kalian
sudah tahu perkembangan jurus-jurus pedangku
maju pesat. Aku orang paling hebat di daerah ini.
Kelak aku akan merajai dunia persilatan, nan-
tinya aku akan menjadi seorang jago pedang tan-
pa tanding!" kata si pemuda sambil menepuk dadanya. "Kami percaya kau pemuda
hebat Bayu Gendala. Bukankah ibumu Selasih Jingga berge-
lar Jari Perontok Nyawa adalah manusia yang
sangat disegani sejak dulu" Nama besarnya per-
nah menggegerkan dunia persilatan, tidak meng-
herankan jika anaknya juga mewarisi ilmu hebat
dari orangtuanya." kata salah seorang dari yang hadir. "Aku percaya kau pasti
menjadi seorang ja-go pedang yang tak tertandingi." menimpali yang lainnya.
Bayu Gendala manggut-manggut, bibir di
balik topeng tersenyum puas dan penuh kebang-
gaan diri. Setelah itu dia memacu kudanya mene-
lusuri jalan besar berbatu. Tak lama setelah dia sampai di tikungan jalan
mendadak Bayu Gendala hentikan kudanya begitu melihat seorang gadis cantik
tengah memetik bunga sambil bersenandung. Dia kenal betul gadis ini adalah
puteri seorang ketua perguruan besar yang mempunyai
pengaruh luas sampai ke kerajaan, murid dan
pengikutnya cukup banyak tersebar hampir di se-
luruh tanah Jawa. Konon menurut yang pernah
didengarnya gadis jelita berpakaian merah yang
bernama Lara Murti ini telah mempunyai kekasih
pujaan hati. Nama pemuda yang berhasil melu-
ruhkan hati Lara Murti kalau dia tak salah ingat adalah Lambang Pambudi. Seorang
pemuda tampan, tapi lemah tidak memiliki ilmu apa-apa. Pe-
muda seperti itu tidak ada artinya bagi Bayu
Gendala. Dia sendiri beberapa kali bertemu dengan
gadis ini dan terus terang sudah jatuh hati sejak pandangan pertama, namun
agaknya terlalu sulit
baginya untuk mendekati gadis ini mengingat si-
kap yang ditunjukkan si gadis terhadapnya selalu sinis jauh dari yang
diharapkan. "Aku tidak boleh mudah putus asa untuk
mengambil hati dan mendapatkannya. Boleh jadi
hari ini dia tidak suka, siapa tahu nanti, jika aku bersabar mungkin saja aku
bisa menyuntingnya!"
pikir Bayu Gendala.
Dia lalu pura-pura terbatuk. Gadis yang
sedang memetik bunga tersentak kaget. Kranjang
rotan yang berada di tangan kirinya nyaris terjatuh. Agaknya dia terlalu larut
dalam senandung
nyanyiannya sendiri sehingga dia tak mendengar
derap kuda dan kehadiran orang di tepi kebun
bunga itu. Sejenak lamanya dia pandangi pemuda
bertopeng putih yang duduk di atas punggung
kuda. Senyum sinisnya terkembang membuat
Bayu Gendala jadi salah tingkah.
"Hei, apakah aku boleh menemanimu" Aku
bisa membantumu memetik bunga yang kau su-
kai." kata Bayu Gendala menawarkan diri. Senyum sinis Lara Murti semakin
melebar. "Aku tidak membutuhkan uluran tangan-
mu. Aku bisa memetik bunga di kebun ayahku ini
sendiri. Kau pemuda yang suka pamer ilmu ke-
pandaian sebaiknya pergi dari hadapanku. Lebih
baik kau mempertunjukkan kehebatan jurus-
jurus pedangmu di tempat lain!" dengus si gadis.
Bayu Gendala sesungguhnya kaget, tak
menyangka Lara Murti pernah melihat dirinya
memperagakan jurus-jurus pedangnya di tempat
keramaian. Tapi karena pada dasarnya dia adalah
orang yang penuh rasa percaya diri dan bermuka
tebal, maka dia menanggapinya dengan terse-
nyum. "Aku merasa beruntung jika kau pernah melihat permainan pedangku. Tapi
kedatanganku ke sini walau cuma kebetulan namun membekal
sebuah maksud baik. Aku sudah sering melihat-
mu, aku merasa kagum melihat kecantikanmu.
Dan yang pasti aku telah jatuh cinta pada saat
pertama kali melihatmu!" kata Bayu Gendala berterus terang.
Ucapan si pemuda membuat wajah si gadis
bersemu merah. Dia merasa tersinggung menden-
gar kata-kata Bayu Gendala yang dianggapnya
sangat keterlaluan itu. Dengan mata melotot Lara Murti membentak. "Pemuda
bertopeng, aku tahu siapa dirimu. Aku tahu juga siapa ibumu. Jika itu
keinginanmu apakah kau tak malu dengan dirimu
sendiri?" sembur si gadis.
Sejenak Bayu Gendala terkesan bingung,
namun entah mengapa mendadak dia tertawa ter-
gelak-gelak. Belum lagi tawanya lenyap, dia ber-
kata. "Diriku tak ada yang harus dipermalukan.
Malah aku bangga dengan segala apa yang aku
miliki. Menurutku rasanya aku pantas menjadi
pendampingmu. Kau seorang putri ketua pergu-
ruan besar, sedangkan ilmu kepandaianku kura-
sa tidak berada di bawahmu!"
"Pemuda sinting. Tidak tahu betapa ting-
ginya langit. Siapa sudi menerima cintamu" Bah-
kan gadis lain sekalipun pasti tidak sudi menjadi kekasih pemuda congkak
sepertimu!" hardik Lara Murti sengit.
Bayu Gendala, pemuda yang selalu menge-
nakan topeng bila bepergian ke mana-mana ini
tertawa lebar. Walau jauh di dalam hati dia mulai merasa tersinggung mendengar
kata-kata pedas
yang diucapkan Lara Murti.
Sampai sejauh itu dia masih sanggup me-
nekan amarahnya sendiri. Malah kini dengan le-
mah lembut dia berkata. "Lara Murti hari ini kau bisa mengatakan begitu, tapi
siapa tahu lain kali kau berubah pikiran. Aku pasti senang meneri-mamu! Ha...
ha... ha."
Lara Murti semakin naik darah mendengar
ucapan pemuda yang dianggapnya tidak tahu so-
pan santun ini. Keranjang rotan yang berisi kem-
bang diletakkan di atas rerumpunan bunga, den-
gan tangan terkepal penuh kegeraman dia me-
langkah lebar dekati Bayu Gendala yang duduk
enakan di atas punggung kudanya. Begitu jarak-
nya hanya tinggal satu setengah tombak dia hen-
tikan langkah, mulut mendamprat.
"Jangan kau berpikir yang tidak-tidak. Jika sekarang aku mengatakan tak sudi
kepadamu, selamanya juga tetap tidak sudi! Sekarang pergi-
lah, jangan kau paksa aku turunkan tangan keji
kepadamu." hardik Lara Murti.
Bukannya cepat pergi sebagaimana yang
diharapkan oleh si gadis, sebaliknya Bayu Genda-
la yang senang memakai topeng untuk menutupi
wajahnya itu malah tertawa tergelak-gelak. Lara
Murti jadi tidak sabar, rasa kesal dan kemara-
hannya semakin memuncak. Dia berpikir apakah
harus turunkan tangan keras agar membuat
Bayu Gendala mengerti atau tidak. Tapi kemu-
dian ternyata dia memilih untuk menahan kema-
rahannya. Belum lagi sempat Lara Murti berucap,
di depan sana Bayu Gendala yang baru saja hen-
tikan tawa langsung berkata.
"Aku tahu kau sudah punya kekasih, La-
ra...! Tapi pemuda lemah seperti Lambang Pam-
budi buat apa bagimu. Jangankan melindungimu,
menolong dirinya sendiri saat terancam bahaya
aku yakin dia tidak sanggup. Seperti yang kuka-
takan tadi, aku mencintaimu. Aku tak enak ma-
kan, tak enak tidur jika belum melihat wajahmu!"
kata Bayu Gendala tetap bersemangat.
"Bangsat tak tahu malu, kau makan puku-
lanku ini!" geram Lara Murti. Laksana kilat dia melompat ke depan, bergerak ke
atas sedangkan tangannya lakukan gerakan menampar ke bagian
telinga Bayu Gendala yang tidak tertutup topeng.
Demikian cepatnya gerakan si gadis hingga mem-
buat Bayu Gendala jadi tersentak kaget. Tapi dia cepat selamatkan telinga dari
tamparan dengan
merundukkan kepala hingga sama rata dengan
punggung kuda. Tamparan Lara Murti mengenai
tempat kosong, dia hantamkan kakinya ke ping-
gul Bayu Gendala. Si pemuda berseru keras begi-
tu merasakan sambaran angin dingin terasa men-
cucuk pinggulnya. Sekali lagi dia terpaksa angkat bagian kakinya ke samping.
Tendangan keras
menghantam punggung kuda. Binatang itu me-
ringkik, lalu lari menghambur menjauh dari Lara
Murti. "Kampret!" rutuk Bayu Gendala yang hampir saja terpelanting jatuh dari
atas punggung kuda. Sementara binatang itu sudah berlari men-
jauh. Dari kejauhan Lara Murti mendengar suara
Bayu Gendala yang ditujukan kepadanya. "Gadis cantik dambaan hatiku. Sampai
kapanpun aku tetap akan menunggumu. Jika kau tak dapat ku-
perlakukan dengan baik, mungkin suatu saat
akan kutempuh cara lain. Ha... ha... ha!" Suara tawa si pemuda semakin menjauh
dan lenyap. Di tempatnya berdiri Lara Murti yang jengkel hanya
dapat kepal-kepalkan kedua tangannya sambil
membanting kaki.
Tak jauh dari si gadis berdiri, entah dari-
mana datangnya berdiri tegak seorang pemuda
tampan berpakaian putih berwajah polos seperti
pemuda dusun biasa. Pemuda itu memegangi ke-
ranjang bunga milik Lara Murti, sementara tatap


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya memandang lurus ke arah perginya
Bayu Gendala dengan tatapan tak berkesip.
"Pemuda tengik kurang ajar. Bertemu seka-
li lagi dengannya pasti kuhajar habis dia!" rutuk Lara Murti.
"Tak perlu gusar, tak usah dihajar. Suatu
saat dia akan mati dengan sendirinya." menyahuti pemuda berbaju putih berpakaian
sederhana itu. Lara Murti tentu saja jadi kaget mendengar uca-
pan orang, sehingga diapun cepat menoleh, lebih
terkejut lagi begitu mengenali siapa pemuda yang berdiri di kebun bunga itu.
"Kakang Lambang Pambudi" Bagaimana
kau tahu-tahu muncul di sini?" tanya si gadis.
Dia lalu melangkah bergegas menghampiri. Sete-
lah berhadapan Lara Murti hentikan langkah, se-
dangkan tatap matanya memandang tajam pada
si pemuda dengan segenap kerinduan yang ada.
Pemuda itu tersenyum. "Hanya kebetulan saja aku lewat di taman bunga ini. Semula
aku datang ke perguruan Gunung Kramat. Ayahmu mengata-
kan kau ada di sini, lalu aku pun menyusulmu."
ujar si pemuda, suaranya lembut penuh sikap
santun. "Maafkan aku kakang. Aku sampai tak ta-
hu kedatanganmu gara-gara pemuda tengik sia-
lan tadi!" dengus si gadis, rupanya masih kesal bi-la mengingat apa yang
dikatakan Bayu Gendala.
"Dia mengganggumu" Atau bermaksud ku-
rang ajar padamu?" tanya Lambang Pambudi. Ada rasa cemburu dalam nada ucapannya.
"Kakang tak usah risau, jika dia berani bertindak macam-macam pasti kubuntungi
tangan kakinya." tegas Lara Murti.
"Aku percaya kau pandai menjaga diri. Kau
memiliki ilmu kepandaian hebat. Apalagi kau
memiliki jurus Cahaya Fajar, ilmu andalan yang
belum ada tandingannya hingga sampai saat ini.
Nama besar perguruan Gunung Kramat disegani
oleh banyak pihak, bahkan tokoh-tokoh ternama
dunia persilatan pun mengakuinya. Siapa berani
bertindak gegabah terhadapmu." puji Lambang Pambudi. Si gadis merasa tersanjung,
sementara si pemuda melanjutkan ucapannya. "Aku sendiri hanya pemuda biasa, tidak punya
kepandaian atau ilmu yang bisa diandalkan. Aku lemah, se-
mua ini terkadang membuat aku merasa malu
dan jadi tak berarti di hadapanmu!"
Hati Lara Murti jadi terenyuh mendengar
kata-kata polos yang diucapkan oleh Lambang
Pambudi. Pemuda satu ini selain tutur katanya
yang lemah lembut tapi juga rendah hati. Mung-
kin semua ini yang membuat ayah dan ibunya
menyukai si pemuda. Dia sendiri memang sudah
merasa tertarik pada Lambang Pambudi sejak si
pemuda diterima bekerja sebagai penghubung an-
tara perguruan dan utusan keluarga. Konon
Lambang Pambudi tidak pernah belajar segala
bentuk ilmu silat. Pernah ayah si gadis mengajarkan barang sejurus dua jurus
ilmu silat, tapi setelah diajari Lambang Pambudi jadi lupa.
Satu hal yang mengagumkan bagi Lara
Murti adalah mengenai kejujuran Lambang Pam-
budi, kejujuran inilah yang membuat rasa cinta di hati Lara Murti semakin
bertambah besar.
"Akh... sudahlah kakang. Walaupun kau
tidak punya kepandaian apa-apa, tapi aku sangat
mencintaimu," ujar Lara Murti dengan perasaan terharu.
"Lalu bagaimana dengan pemuda itu tadi?"
tanya si pemuda sambil melirik ke arah Lara Mur-
ti. Si gadis tersenyum, dia menggenggam ke-
dua tangan Lambang Pambudi lebih erat lagi, ha-
tinya bergetar perasaannya melayang dalam ca-
krawala bertaburan segala keindahan.
Dengan segenap perasaan Lara Murti ber-
kata tegas. "Tak usah kau hiraukan dia kakang.
Aku tak pernah berpikir tentang pemuda lain. Ha-
ti dan diriku hanya untukmu seorang."
Lambang Pambudi balas meremas jemari
tangan gadis yang amat dicintainya. "Aku berterima kasih atas segala perhatian
yang telah kau berikan. Semoga Tuhan merestui cinta kita. Tapi
Lara... ada hal lain yang terasa mengganjal perasaanku," berucap si pemuda
dengan perasaan re-sah. Sepasang alis mata si gadis terangkat naik.
Ditatapnya Lambang Pambudi dengan segenap
perasaan yang ada. "Apa yang hendak kau katakan sebaiknya katakan saja. Tak usah
malu!" ujar si gadis.
"Nantinya aku akan berterus terang pada-
mu." "Mengapa kau tidak mengatakannya sekarang?" tanya Lara Murti.
"Kelak kau akan tahu sendiri. Sudahlah
jangan kita persoalkan masalah itu, sebaiknya ki-ta pulang sekarang!" berkata
Lambang Pambudi sambil menarik tangan Lara Murti. Si gadis segera mengikuti apa
yang diinginkan oleh pemuda itu.
3 Kilat menyambar, petir menggelegar. Di
langit sana mendung tebal kian menghitam. Tidak
lama kemudian hujan turun begitu derasnya. Pa-
da saat itu di tengah-tengah derasnya curahan
hujan satu sosok berpakaian serba hitam mema-
kai ikat kepala warna hitam berlari cepat meng-
hampiri sebuah rumah besar yang sudah tidak
terpakai. Dalam keadaan pakaian dan tubuh basah
kuyup pemuda ini berteduh di bagian pendopo
depan rumah tua di mana banyak bagian atapnya
yang terbuat dari atap nipah bocor berlubang be-
sar. "Sial, seharusnya aku menunggu Guru Lanang Pamekasan. Mestinya aku ikuti
dia ke Ba- nyubiru. Dengan begitu aku bisa ikut tahu apa
kira-kira isi ramalan Manusia Kutuk Sumpah."
kata si pemuda seakan menyesali dirinya sendiri.
"Coba kalau aku mau menunggunya di luar hutan Banyubiru tadi, kurasa nasibku
lebih beruntung.
Aku tidak salah jalan atau tersesat sampai tiga
kali." Pemuda berpakaian hitam beralis tebal memandang ke langit melalui atap
rumah yang bo- long. Dia berpikir sejenak sambil membuka ba-
junya yang basah. Baju itu kemudian diletakkan-
nya di atas sandaran kursi butut berwarna hitam.
Dia kemudian mengeringkan badannya yang ke-
kar dengan telapak tangan. Setelah itu mengambil baju kering dengan warna yang
sama dari kan-tong perbekalan.
Rapi berpakaian si pemuda yang membekal
dua buah celurit di sisi pinggang kiri kanan du-
duk di atas balai-balai bambu yang kotor berde-
bu. Tatap matanya memandang ke depan, ke ba-
gian halaman yang mulai ditumbuhi rerumputan
liar. "Aku tidak tahu apakah perguruan Gunung
Keramat masih jauh dari sini atau malah sebalik-
nya. Tapi jika aku datang mendahului guru, aku
khawatir paman Dewa Angin Guntur dan bibi
Mawar Selatan tak kenal padaku. Sejak kecil dan
setelah terpisah selama belasan tahun aku tak
pernah lagi bertemu dengan mereka. Seandainya
kakekku Guru Lanang Pamekasan tak membawa-
ku ke Madura, kurasa sejak dulu aku bisa selalu
bersama dengan adik Lara. Entah seperti apa dia
sekarang. Dulu ketika aku dan dia masih sama-
sama kecil, adik Lara selain lincah juga lucu. Wajahnya menggemaskan. Mungkin
sekarang dia te-
lah tumbuh dewasa, menjadi seorang gadis cantik
berkulit putih sesuai dengan keadaan tubuhnya
di masa kecil." kata si pemuda. Dia jadi senyum-senyum sendiri membayangkan
betapa perte- muan dan perjodohan antara dirinya dan Lara
Murti menjadi sesuatu yang sangat menyenang-
kan. Tapi mungkinkah hati dan perasaan Lara
Murti tidak pernah berubah, mengingat di antara
mereka telah terpisah selama belasan tahun. Lagi pula perjanjian perjodohan itu
telah berlangsung lama. Semua atas kesepakatan antara kakeknya
dengan paman Dewa Angin Guntur serta bibi
Mawar Selatan. Sedangkan waktu itu baik dirinya
maupun Lara Murti tak tahu apa-apa"
"Hem, mudah-mudahan setelah terpisah
jarak dan waktu sekian lama segala sesuatunya
tidak berubah!" gumam si pemuda dalam hati.
Si pemuda yang bernama Patira dan meru-
pakan cucu tunggal Guru Lanang Pamekasan
mengusap wajahnya yang dingin. Hujan masih
tercurah dengan derasnya. Sementara senja telah
berganti malam, kegelapan mulai menyelimuti
alam sekitarnya. Di saat Patira Seta mulai berpikir untuk melanjutkan
perjalanan, maka di saat
itu dari arah belakang si pemuda terdengar suara gemeretak seperti suara ranting
kering patah karena terinjak beban yang sangat berat. Walaupun
suara itu terdengar begitu pelan, namun telinga
Patira yang sudah sangat terlatih menangkap
adanya gelagat yang tidak beres, sehingga dengan cepat dia memutar tubuh dan
palingkan wajah ke
belakang. Tidak ada sesuatupun yang terlihat, tak
ada mahluk yang bergerak. Walau suasana telah
menjadi gelap, namun mata pemuda ini cukup
awas untuk menangkap sekaligus melihat benda
apapun yang bergerak.
"Aneh," Patira Seta bergumam dalam hati.
"Ada suara tapi tak terlihat orangnya. Setan atau hantukah yang coba mengintaiku
dari kegelapan"
Aku yakin pasti hantunya perempuan. Jika pe-
rempuan sangat kebetulan sekali. Malam begini
dingin, berdua-dua bicara dengan perempuan
tentu keadaannya menjadi lain!" Patira Seta tersenyum, menertawakan ucapannya
sendiri. Di saat si pemuda sedang dalam keadaan
seperti itulah mendadak sontak terdengar suara
siulan yang datang dari arah sampingnya. Dalam
keadaan terkejut besar Patira Seta cepat berpaling
ke arah datangnya siulan. Di saat itu dia melihat satu bayangan dalam kegelapan
berkelebat cepat
dengan gerakan laksana kilat ke arah si pemuda.
Di bagian depan sosok yang melesat ke arahnya
terlihat satu kilatan cahaya putih memanjang. Kilatan cahaya putih itu jelas
terpancar dari sebuah senjata akibat pengerahan tenaga dalam penuh,
tapi Patira Seta tak sempat berpikir apakah senja-ta yang bergerak mendahului
penyerangnya beru-
pa golok atau pedang.
Dalam keadaan gugup karena belum hilang
rasa kejutnya Patira Seta berusaha berkelit
menghindari tebasan senjata sedapat yang dia
mampu lakukan. Tapi sayangnya secepat dan se-
hebat apapun gerakan menghindar yang dilaku-
kannya ternyata sambaran sinar putih itu da-
tangnya lebih cepat dari yang dia perhitungkan.
Tak ampun lagi sinar itupun menyambar putus
batang leher Patira Seta. Kepalanya jatuh berge-
debukan, menggelinding dan berhenti di legukan
tanah yang tergenang air. Darah menyebur dari
batang leher yang telah kehilangan kepala itu.
Tubuh tanpa kepala oleng, limbung lalu tersung-
kur. Darah menggenang, tubuh tanpa kepala ber-
kelojotan kemudian diam untuk selamanya.
Sosok penyerang dalam kegelapan itu pan-
dangi mayat korbannya sejenak. Bibirnya sung-
gingkan senyum puas, senjata yang baru diper-
gunakan menebas kepala korbannya dibersihkan
di atas baju Patira Seta. Tanpa bicara apa-apa lagi setelah menyarungkan
senjatanya orang itu pergi.
Malam terus bergulir, sementara hujan sudah
mereda. Di sana-sini mulai terdengar suara kodok saling bersahut-sahutan.
Kilat menyambar, petir menggemuruh di
kejauhan. Di saat kegelapan tersibak cahaya pu-
tih kemilau akibat sambaran kilat tadi terlihat lagi satu sosok lain berpakaian
serba putih mengena-kan sorban putih yang menutupi rambut pan-
jangnya yang juga telah memutih. Kakek berjeng-
got panjang menjulai terus melangkah lebar me-
masuki pendopo, tapi dia jadi tertegun ketika melihat sesuatu berbentuk bulat
seperti kelapa ter-golek di bawah cucuran atap.
Setengah tertegun bercampur keraguan si
kakek pandangi sosok bulat itu. Sekali lagi kilat menyambar, si kakek berwajah
cekung dengan mata mencorong ke dalam rongga terkesiap. Begi-
tu melihat dan mengenali sosok yang tergeletak
dalam genangan air itu dia merasa jantungnya
seolah berhenti berdenyut, sekujur tubuh beru-
bah kaku, mata membeliak, mulut ternganga na-
mun tak satu katapun yang terucap.
Setelah berlangsung sekian lama, dalam
kejutnya si orang tua segera menarik nafas. Satu teriakan menyayat pilu meluncur
keluar dari mulutnya yang tertutup kumis lebat.
"Patira Seta cucuku...!"
Seiring dengan suara teriakan si kakek
yang bukan lain adalah Guru Lanang Pamekasan
jatuhkan diri berlutut di samping benda bulat
yang bukan lain adalah penggalan kepala cu-
cunya sendiri. Menyaksikan keadaan cucunya yang demi-
kian mengenaskan, seandainya saja dia bukan
orang tua yang sudah tergembleng luar dalam
tentu si kakek sudah jatuh pingsan.
Tapi dia mencoba bersikap lebih tabah
menghadapi musibah besar ini. Dengan jemari
tangan bergetar dan mata bersimbah air mata dia


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil potongan kepala Patira Seta. Darah
bercampur air hujan masih menetes dari luka po-
tongan leher. Dalam gelap si kakek coba pandangi potongan kepala cucunya. Wajah
Patira Seta nampak memucat, putih seperti kafan, sedangkan
matanya membelalak lebar, lidah terjulur pan-
jang, mulut terbuka memperlihatkan gigi yang
berlumuran darah membeku. Jika bukan Guru
Lanang Pamekasan orangnya, melihat pemandan-
gan mengerikan seperti ini pasti sudah jatuh
pingsan, sungguhpun potongan kepala itu adalah
cucunya sendiri.
Si kakek menangis terguguk, tubuhnya
terguncang, tengkuk terasa dingin seperti beru-
bah menjadi es. Sejenak lamanya dia tenggelam
dalam kesedihan perasaan sedih yang secara per-
lahan berubah jadi amarah. Amarah serta den-
dam yang ditujukan pada pembunuh muridnya.
"Mengapa harus berakhir begini" Aku
membawamu jauh ke mari, menyeberangi selat
Meduro adalah untuk dijodohkan dengan putri
sahabatku. Sungguh tak kunyana, sungguh tak
pernah kuduga, sebelum niat itu kesampaian kau
dibunuh orang. Patira Seta... jika kau ikuti aku punya mau dan turut pergi ke
puncak bukit kapur, mungkin tak akan berakhir seperti ini!" kata si kakek seakan
menyesalkan. Sekali lagi dia
pandangi wajah Patira Seta, melihat keadaan
sang cucu yang mengenaskan perasannya seperti
tersayat-sayat.
Beberapa saat Guru Lanang Pamekasan
terdiam, sekujur tubuhnya menggeletar hebat,
bukan karena sengatan dinginnya udara malam,
melainkan karena gejolak dendam amarah yang
terasa menggelegak menyesakkan dada.
"Aku tak terima kejadian seperti ini! Ba-
gaimana pun harus kucari pembunuh muridku.
Bila bertemu kucincang tubuhnya, kujadikan po-
tongan kecil baru kubakar hingga tidak bersisa."
pekik si kakek. Dalam keadaan kalut dan dilanda
kesedihan yang demikian hebat Guru Lanang
Pamekasan sudah tidak lagi mampu berpikir jer-
nih. Otaknya terasa sulit diajak berpikir. Beru-
langkali dia coba memaksa memacu otaknya, ha-
silnya malah pusing, pandangannya jadi gelap.
Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup mengingat, bahwa kedatangannya
ke tanah Jawa hanya Dewa Angin Guntur saja yang tahu. Sela-
manya dia tidak punya musuh, lalu mungkinkah
semua ini telah direncanakan oleh sahabatnya
itu" Rasanya sangat mustahil tidak ada alasan
yang kuat bagi Dewa Angin Guntur untuk mela-
kukan kekejian itu. Jadi siapa yang punya peker-
jaan terkutuk itu" Guru Lanang Pamekasan
menggeleng, pikiran buntu, semuanya terasa ser-
ba gelap. "Akan kubalas! Siapapun yang membunuh
muridku, ke lubang neraka sekalipun pasti akan
kukejar!" geram Guru Lanang Pamekasan.
Dalam suasana hati sedemikian rupa dia
tak mampu berpikir panjang, dia bahkan tak
sempat lagi memikirkan jasad muridnya yang ter-
golek di depan mata. Selanjutnya dia bangkit berdiri, sambil menenteng kepala
cucunya dia meng-
hambur, berlari cepat menuju perguruan Gunung
Keramat. 4 Empat sosok yang baru datang sama terte-
gak diam, kaki mereka jadi kaku, tengkuk menja-
di dingin sedangkan mata terbeliak lebar seolah
tidak percaya dengan penglihatan sendiri. Bebe-
rapa saat berlalu tak satupun dari ke empat
orang yang datang berani membuka mulut, ka-
laupun keberanian itu ada tapi tak tahu apa yang harus mereka ucapkan. Masing-
masing mata memandang lurus ke arah sosok setengah mem-
busuk yang tergeletak di lantai pendopo depan
rumah tua. Yang mengerikan selain tubuh tanpa
kepala itu sudah demikian rusaknya. Bagian pe-
rutnya yang pecah dipenuhi belatung. Lalat be-
terbangan, sedangkan ceceran daging, potongan
tulang lengan dan juga bagian kaki berserakan di
sekitar si mayat.
"Sulit kupercaya jika tidak melihatnya sen-
diri. Aku yakin mayat ini habis dijarah binatang buas. Akh kematian... dia
memang pasti akan
menghampiri setiap orang, tapi jika dengan cara
seperti ini sulit untuk bisa kuterima!" Orang yang bicara seperti itu adalah
seorang kakek berpakaian hitam dengan baju tak berkancing, berwa-
jah bulat, berkening lebar, mata sipit, pipi tembem sedangkan bukit hidungnya
sama rata den- gan pipi. Si gendut besar dengan bobot lebih dari dua ratus kati ini bukan lain
adalah Gentong Ketawa. "Aku sendiri jadi heran, jika bagian tubuhnya ada, lalu
kepalanya amblas ke mana" Apa
mungkin kepala orang ini dilarikan oleh pembu-
nuhnya" Aneh...!" menimpali pemuda bertelanjang dada, berambut gondrong berwajah
tampan yang berdiri tegak di samping si kakek. Dia bukan lain adalah Gento Guyon.
Tak jauh dari samping Gento gadis cantik
berpakaian putih berambut panjang gelengkan
kepala. Melihat keadaan si mayat dia jadi tak ta-hu mau bicara apa.
"Kita sama tak tahu siapa yang terbunuh
ini, kita juga tidak tahu siapa yang membunuh-
nya. Menurutku sebaiknya kita melakukan penye-
lidikan. Kalau aku tak salah mengingat di sebelah selatan dekat Solotigo
terdapat perguruan Gunung Keramat. Mungkin kita atau sebagian dari
kita bisa mencari tahu tentang kejadian ini." kata
laki-laki setengah baya yang berada di belakang
gadis berpakaian putih. Orang ini berpakaian
warna merah, wajahnya selalu murung. Yang te-
rasa aneh dalam diri laki-laki berumur empat pu-
luhan ini kedua tangannya sampai sebatas pang-
kal lengan berwarna hitam pekat. Karena keane-
han serta kesaktian dahsyat yang terkandung di
kedua tangan ini dia dijuluki Si Tangan Sial. Sedangkan gadis berpakaian putih
itu bernama Am-
bini puteri almarhum Raden Ponco Sugiri, untuk
lebih jelas mengenai riwayat Ambini (baca Gento
Guyon episode Bayar Nyawa). Beberapa saat ber-
lalu, ke empatnya saling berpandangan.
"Tangan Sial." Gento Guyon membuka mu-
lut sambil memandang ke arah orang tua berpa-
kaian merah. "Maksudmu kau dan guruku si
gendut ini yang pergi ke perguruan Gunung Ke-
ramat. Sedangkan aku dan Ambini pergi ke lain
tempat. Kurasa yang muda berpasangan dengan
yang muda sedangkan yang tuaan dan sudah sa-
ma peot keriput berpasangan sesamanya. Semua
ini kuanggap cukup adil bukan"! Ha... ha... ha!"
Wajah si kakek gendut berubah jadi merah
jengah, bibir cemberut, tapi kemudian sambil tertawa-tawa dia berucap. "Kami
yang sudah tua memang harus tahu diri. Cuma harus kau ingat
Gege, jangan merasa diri kecakepan. Tampang
seperti orang edan begitu jangan merasa Ambini
suka padamu! Bukan hanya Ambini saja, kurasa
nenek pikun pun tak sudi padamu. Ha... ha...
ha!" "Aku tahu sebenarnya guru iri melihat aku
dan Ambini selalu jalan bersama. Sedangkan kau
berjalan berduaan dengan Tangan Sial apa enak-
nya" Aku jadi curiga di antara kalian jangan-
jangan memang ada kelainan." celetuk Gento menimpali.
"Pendekar edan, bicara jangan seenaknya
sendiri. Kalau aku tidak senang kutampar nanti
mulutmu." dengus Si Tangan Sial.
"Aku tahu tanganmu yang selalu membawa
kesialan itu suka kegatalan tak mau diam. Tapi
kurasa lebih bagus sebelum kau menampar diri-
ku kau hantam dulu kepalamu dengan kedua
tangan celaka itu." kata Gento menimpali.
"Sudahlah! Mengapa kita justru ribut
membicarakan segala sesuatu yang tidak bergu-
na." sergah Ambini yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri mendengarkan
pembicaraan orang.
"Saat ini sebaiknya kita pergi menyelidik siapa sebenarnya orang yang terbunuh
ini!" "Aku setuju, tapi aku harus pergi dengan
sahabat Gento. Sedangkan si gendut boleh pergi
dengan Ambini." berkata begitu Tangan Sial melirik ke arah Gento dan Ambini.
Wajah si gadis wa-
lau sekilas tapi jelas membayangkan rasa kecewa.
Sedangkan Gento Guyon menyeringai. "Tangan
Sial. Aku sih mau saja, biarpun perasaanku jadi
gerah bila ikut denganmu. Demi guruku juga me-
nyangkut kebahagiannya tidak jadi apa." kata Gento sambil tersenyum-senyum.
Mata si kakek mendelik. "Eeh, bocah edan
apa maksudmu?" tanya Gentong Ketawa jadi salah tingkah.
"Mungkin muridmu hendak mengatakan
kau yang sudah tua bangka tak tahu diri dan ti-
dak punya perasaan dengan muda. Ha... ha... ha!"
kata Tangan Sial disertai tawa tergelak-gelak.
"Bangsat pembawa sial, jangan sembaran-
gan kau bicara. Nanti kupecahkan Batok Kepala-
mu!" teriak Gentong Ketawa berang. Tidak perduli dengan kemarahan orang Si
Tangan Sial terus sa-ja tertawa.
Dalam kesempatan itu Gento melompat ke
belakang, tangan berkelebat mencekal lengan Si
Tangan Sial. Setelah itu dia berkata ditujukan
pada gurunya. "Gendut, jangan kau ambil perduli dengan segala ucapannya, hatiku
tak seburuk yang dia sangkakan. Aku mohon pamit, pergi
dengan membawa tua bangka rongsokan sial ini
jauh darimu. Tapi ingat, jangan kau berani berla-ku jahil pada gadisku Ambini.
Kau colek saja dia, apalagi jika sampai gugur rambutnya barang se-helai,
kupuntir telingamu kiri kanan sampai co-
pot!" ujar si pemuda. Dia kemudian beralih pandang pada Ambini. Sebelum bicara
dia kedipkan matanya dua kali. Ambini delikkan mata, tapi di-
am-diam jantungnya berdesir. "Ambini kakangmu ini pergi dulu. Jaga diri baik-
baik. Kalau kerbau bunting itu bertingkah yang bukan-bukan bisa
jadi penyakit ayannya lagi angot. Tak usah segan, tidak usah ragu. Kau jitak
saja kepalanya tiga kali kujamin otaknya bisa benar kembali. Ha... ha...
ha!" berkata begitu Gento menarik Si Tangan Sial dan pergi dari tempat itu.
"Pemuda sinting, siapa sudi jadi kekasih-
mu!" dengus Ambini dengan yang perasaan jengah. "Murid geblek. Kelak aku pasti
akan meng-hukummu!" kakek gendut besar Gentong Ketawa ikut mendamprat. Dengan
perasaan jengkel dia
pandangi Ambini. Tapi si kakek jadi kaget begitu melihat si gadis memperhatikan
dirinya dengan tatapan ganjil.
"Ada apa rupanya" Apa kau melihat ada
yang aneh dalam diriku?" tanya si kakek.
"Apakah benar yang dikatakan Gento tadi,
kau mempunyai penyakit ayan?" bertanya si gadis tanpa menghiraukan pertanyaan
Gentong Ketawa.
Mendengar si kakek jadi tercengang dan tepuk
keningnya sendiri. "Aduh biung. Muridku itu bocah edan, mengapa harus kau dengar
segala oce- hannya" Aku sendiri selamanya tetap dalam ke-
warasan." jawab si kakek. Setelah terdiam sejenak dia lalu menambahkan. "Jika
pun ada yang tidak beres pasti terjadi pada diri Gege. Sedangkan aku dalam
keadaan sehat selalu lahir batin, luar dalam. Ha... ha... ha!"
Ambini jadi melongo, heran melihat sikap
si kakek gendut yang tidak gampang ditebak.
5 Rumah besar berpagar bambu tempat ting-
gal keluarga ketua perguruan Gunung Keramat
dan keluarganya masih kelihatan sunyi. Lima
pondok panjang yang ditempati oleh ratusan mu-
rid perguruan Gunung Keramat yang letaknya ti-
dak begitu berjauhan dengan bangunan keluarga
juga masih sepi sekali. Di bagian belakang gedung keluarga, di luar pagar bambu
di mana keluarga
Dewa Angin Guntur berada, Lambang Pambudi si
pemuda tampan yang dikenal sangat jujur dan
berbudi tinggi nampak sibuk merawat kuda milik
calon mertuanya.
Memang sejak pemuda ini bekerja sebagai
utusan di perguruan itu dalam waktu hanya be-
berapa bulan saja Dewa Angin Guntur maupun
istrinya Galuh Pitaloka yang dikenal dengan julukan Mawar Selatan langsung
menaruh simpati
pada pemuda lugu yang mengaku tidak mempu-
nyai kepandaian silat ini. Apalagi Lambang Pam-
budi adalah pemuda yang rajin, ringan tangan
dan mau melakukan pekerjaan apa saja. Di
samping tutur katanya yang lembut dan juga ke-
jujurannya pemuda ini sangat pandai mengambil
hati orang lain.
Mungkin inilah yang membuat Dewa Angin
Guntur jadi menaruh perhatian besar terhadap-
nya, sehingga timbul keinginan di hati ketua perguruan Gunung Keramat untuk
menjodohkan Lambang Pambudi dengan putri tunggalnya Lara
Murti. Apalagi mengingat Lara Murti sendiri sebenarnya menaruh hati pada si
pemuda. Gayung bersambut, segala sesuatunya berjalan sesuai
dengan yang diharapkan.
Sementara itu matahari mulai menampak-
kan diri di ufuk timur. Si pemuda baru saja hen-
dak membersihkan kandang kuda ketika dia me-


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lihat berkelebatnya satu bayangan putih yang
langsung melewati pintu pagar depan. Sampai di
halaman depan sosok yang datang hentikan lang-
kah. Ternyata dia adalah seorang kakek tua ber-
sorban putih, berpakaian serba putih berjenggot
panjang menjulai. Di punggungnya membekal se-
buah celurit besar dengan rangka terbuat dari kulit harimau. Sejenak lamanya
dari bagian luar pagar belakang Lambang Pambudi pandangi kakek
itu. Ternyata memang tidak mengenal siapa
adanya si kakek. Satu hal yang luput dari perha-
tiannya, di tangan kanan si kakek menenteng se-
suatu yang menebarkan bau busuk luar biasa.
Belum lagi hilang rasa heran di hati si pemuda
melihat kehadiran kakek asing ini, mendadak
sontak terdengar suara teriakan menggelegar.
"Sahabatku Dewa Angin Petir! Aku saha-
batmu Guru Lanang Pamekasan datang menyam-
bangi. Harap kau sudi menerima kehadiranku
untuk membicarakan satu urusan penting!"
"Celaka! Siapa dia" Suara teriakannya saja
sudah membuat telingaku mau copot," desis
Lambang Pambudi sambil tutupi kedua telin-
ganya. Terpikir oleh pemuda ini untuk mengham-
piri si kakek baju putih, namun niatnya menda-
dak jadi urung begitu dia melihat ada satu sosok serba biru berkelebat melewati
pintu depan. Orang ini bukan lain adalah Dewa Angin Guntur
sendiri. "Kakang Guru Lanang Pamekasan"!" seru
sosok berpakaian biru berambut putih panjang
menjela dan putih mengkilat ini. Dia memburu,
kembangkan kedua tangannya siap merangkul
Guru Lanang Pamekasan. Tapi langkahnya men-
dadak jadi terhenti, gerakan tubuh tertahan se-
dangkan matanya mendelik ketika secara tak
sengaja dia melihat potongan kepala di tangan
kakek itu. "Sahabatku apa yang telah terjadi" Poton-
gan kepala itu milik siapa?" tanya Dewa Angin Guntur jelas tak mampu menutupi
rasa kejutnya. Orang tua ini raba tengkuknya yang mendadak
berubah seperti gundukan es. Tubuhnya sempat
tergetar, tapi matanya tetap tak pernah beralih
dari potongan kepala di tangan si Guru Lanang
Pamekasan. Sejenak lamanya yang ditanya terdiam da-
lam kebisuan, hanya tatap matanya yang menco-
rong tajam merayapi wajah Dewa Angin Guntur
dengan tatapan aneh tapi mengandung kecuri-
gaan. "Kakang, bukankah... bukankah yang kau bawa itu adalah potongan kepala
Patira Seta, cu-cumu yang kau bawa ke tanah Madura belasan
tahun yang lalu?" tanya Dewa Angin Guntur setelah berpikir keras dan coba
mengenali bagian wa-
jah kepala orang.
Guru Lanang Pamekasan menyeringai din-
gin, pertanyaan sahabatnya hanya membuat hati
si kakek menjadi semakin pedih, sementara ama-
rah dan dendam yang membakar menyesakkan
dadanya tak tahu harus dia lampiaskan pada sia-
pa. "Kakang Guru Lanang Pamekasan. Apapun
yang telah terjadi, aku tahu bagaimana pera-
saanmu saat ini. Akan tetapi kurasa sebaiknya ki-ta bicarakan segala persoalan
di dalam." ujar De-wa Angin Guntur dengan perasaan tidak enak.
Dia tahu sejak tadi Guru Lanang Pamekasan te-
rus memperhatikan dirinya dengan tatapan curi-
ga. Seakan mata itu menuduh dialah yang telah
membunuh cucunya.
"Baiklah, aku jadi tidak sabar untuk me-
numpahkan semua uneg-uneg yang mengganjal
di hatiku ini!" dengus Guru Lanang Pamekasan.
Potongan kepala Patira Seta yang mulai membu-
suk diletakkannya di atas bangku kayu yang bi-
asa dipergunakan duduk di malam hari. Dewa
Angin Guntur dengan segenap hati dipenuhi tan-
da tanya segera memutar tubuh, lalu melangkah
memasuki rumahnya dengan diikuti oleh Guru
Lanang Pamekasan.
Sampai di dalam ruangan tamu yang luas
dengan lantai berlapiskan tembikar hijau Dewa
Angin Guntur mempersilahkan tamunya duduk.
Dia sendiri-sendiri masuk ke dalam sekejap den-
gan diikuti tatap mata Guru Lanang Pamekasan.
Dalam hati dia berkata. "Aku tahu, aku jadi curiga, bisa jadi dia yang
menghadang cucuku karena
pikirannya berubah mengenai masalah perjodo-
han itu. Mengapa harus batalkan niat dengan
membunuh, mengapa tidak secara baik-baik saja
kalau benar mau menolak?"
Pikiran si kakek menerawang, mencoba
membaca setiap kemungkinan yang ada. Pada
akhirnya dia hanya dapat gelengkan kepala, tak
percaya dengan segala kemungkinan yang sempat
terpikirkan. Selagi hati dan pikiran si kakek dibuncah
kebimbangan, di ruangan itu Dewa Angin Guntur
muncul lagi dengan diiringi oleh seorang perem-
puan berumur sekitar empat puluhan. Walau
usianya terbilang tidak muda lagi tapi wajahnya
yang bulat lonjong masih terlihat cantik, dengan rambut disanggul dan pakaian
biru membuat dia
nampak anggun. Hanya dengan sekali melihat Guru Lanang
Pamekasan segera tahu bahwa perempuan itu
pastilah Galuh Pitaloka, bergelar Mawar Selatan
dan merupakan istri Dewa Angin Guntur.
"Istriku, kau tentu masih mengenal kakang
Guru Lanang Pamekasan. Kedatangannya sudah
sama kita ketahui, tapi aku turut merasa berduka karena telah terjadi sesuatu
yang tidak pernah ki-ta sangkakan!" berkata ketua perguruan Gunung Keramat
sambil memandang pada istri dan ta-
munya silih berganti.
Dia sendiri kemudian duduk di depan
Guru Lanang Pamekasan, sementara Galuh Pita-
loka setelah menjura hormat, lalu duduk di samp-
ing suaminya. "Kakang Guru, menurut suamiku kakang
datang membawa kabar duka. Saya jadi kaget ju-
ga tidak percaya ketika kakang Guru sampai ke
mari konon menurut suami saya malah menen-
teng kepala cucu sendiri. Bagaimanakah keja-
diannya?" tanya perempuan itu sambil menelan ludah membasahi tenggorokannya yang
mendadak terasa kering. Dia sendiri sebenarnya sempat kaget ketika menerima
kabar dari tanah Madura
tentang maksud kedatangan orang tua itu. Dulu
mereka memang secara bergurau pernah me-
nyinggung bahkan bermaksud menjodohkan pu-
trinya dengan cucu Guru Lanang Pamekasan. Pe-
ristiwanya telah berlangsung belasan tahun, keti-ka baik Lara Murti maupun
Patira Seta sama ma-
sih kecil. Tapi karena pengucapan itu dilakukan
dalam suasana bergurau, maka baik Galuh Pita-
loka maupun Dewa Angin Guntur sudah sama-
sama lupa. Beberapa malam sebelum kedatangan
Guru Lanang Pamekasan, kedua suami istri yang
memiliki nama besar dan pengaruh sangat luas
ini tidak dapat tidur nyenyak. Mereka tak tahu
apa alasan mereka nanti jika harus menolak dan
membatalkan perjodohan. Karena sebenarnya La-
ra Murti dalam waktu tidak lama lagi segera akan
menikah dengan Lambang Pambudi, pemuda
yang sangat dipercaya yang kelak diharapkan da-
pat memberikan cucu pada mereka. Tapi apa
yang kemudian terjadi di hari ini sungguh amat
mengejutkan pasangan suami istri ini.
Cukup lama Guru Lanang Pamekasan ter-
diam mendengar pertanyaan Galuh Pitaloka.
Hanya sepasang matanya saja yang mencorong
tajam memandang suami istri itu silih berganti.
Sampai akhirnya setelah gemuruh di dadanya be-
rangsur mereda dan amarahnya berhasil ditekan.
Dengan suara pelan serak dia membuka mulut
berucap. "Seperti yang sudah sama kita ketahui, kedatanganku ke mari adalah
untuk lebih mem-perjelas duduk soal tentang perjodohan dulu. Aku sengaja membawa
cucuku, Patira Seta agar antara dia dan Lara Murti dapat lebih mengenal seca-
ra lebih dekat lagi. Karena aku maklum, walau
dulu mereka akrab, tapi perjalanan waktu yang
sekian lamanya tentu membuat banyak perkem-
bangan baru yang terjadi dalam hati mereka." jelas Guru Lanang Pamekasan secara
tegas. Dia kemudian menceritakan kepergiannya ke bukit
kapur juga tentang pertemuannya dengan Manu-
sia Kutuk Sumpah. Tak lupa dia juga mencerita-
kan tentang cucunya yang dia suruh menunggu
di luar hutan Banyubiru. Sang murid ternyata ti-
dak menunggu, melainkan mencoba menempuh
perjalanan seorang diri menuju perguruan Gu-
nung Keramat. Selesai si kakek berbaju putih
menceritakan segala sesuatunya dia menyeka air
mata yang bergulir menuruni kedua pipinya yang
cekung. Agaknya dia perasaan duka itu masih
menyelimuti hati dan jiwanya mengenang nasib
cucu sang cucu yang malang. Baik Dewa Angin
Guntur maupun Galuh Pitaloka istrinya tentu da-
pat merasakan segala penderitaan serta pukulan
batin yang sangat berat yang dialami oleh sahabat mereka. Sehingga cukup lama
juga suasana di
dalam ruangan itu dicekam kebisuan. Dalam di-
amnya Dewa Angin Guntur mencoba memikirkan
siapa adanya gerangan orang yang telah membu-
nuh Patira Seta, cucu tunggal Guru Lanang Pa-
mekasan. Rasanya selama ini dia tidak punya
musuh. Bahkan seluruh penduduk Solotigo men-
genalnya dengan baik, mereka menaruh hormat
pada dirinya. Bukan hanya mereka, tokoh-tokoh
baik golongan putih maupun aliran hitam merasa
segan apalagi bila hendak membuat urusan den-
gannya. Siapapun yang membunuh Patira Seta pas-
ti memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, mustahil manusia biasa. Karena
bagaimana pun Patira
Seka sejak kecil mendapat gemblengan dari ka-
keknya. Sedangkan Guru Lanang Pamekasan se-
lain berilmu tinggi juga mempunyai jurus hebat
belum lagi ditambah dengan kelihayannya dalam
menggunakan celurit. Tapi siapa dia" Dalam di-
amnya pula Dewa Angin Guntur jadi ingat dengan
pemuda bertopeng, putera Selasih Jingga yang
dikenal dengan julukan Jari Perontok Nyawa. Me-
nurut Lara Murti pemuda yang suka membang-
gakan jurus-jurus pedangnya itu sering menggoda
putrinya. Secara tidak bermalu dia juga bahkan
pernah mengutarakan rasa cintanya pada Lara
Murti. "Mungkinkah dia?" pikir Dewa Angin Guntur. "Kejadian ini sulit ditebak.
Di samping ikut bersedih saya juga berjanji akan mencari pembunuh keji itu
kakang Guru." ujar Galuh Pitaloka.
"Aku merasa senang sekaligus berterima
kasih mendengarnya. Tapi aku ingin tahu, apa-
kah kedatanganku ke mari selain kalian adalah
orang luar yang mendengarnya?" tanya Guru Lanang Pamekasan.
Baik Dewa Angin Guntur maupun Galuh
Pitaloka sama terheran begitu mendengar perta-
nyaan sahabatnya. Karena tak mengerti arah per-
tanyaan orang polos saja Galuh Pitaloka menya-
huti. "Saya rasa tidak ada yang tahu, tapi entah jika orang lain ikut mencuri
dengar." "Aku curiga pelakunya orang dekat." cetus Guru Lanang Pamekasan sambil mengusap
jang-gutnya. "Apa?" sergah suami istri itu hampir bersamaan.
"Jadi kakang menuduh kami?" kata Dewa
Angin Guntur dengan mata terbelalak kaget. "Kakang sudah tahu hitam putihnya
hati kami, tidak
mungkin kami bertindak seculas itu!" kata ketua perguruan Gunung Keramat.
Guru Lanang Pamekasan tersenyum, se-
nyum terpaksa yang menimbulkan kesan kepedi-
han yang mendalam.
"Kita lihat saja nanti. Aku tak mau meru-
sak hubungan baik kita selama ini dengan tudu-
han membabi buta." ujar si kakek.
Walaupun pasangan suami istri itu sempat
tersinggung dan merasa tidak enak mendengar
ucapan Guru Lanang Pamekasan, tapi mereka
maklum dengan suasana hati sahabatnya saat
itu. Dalam keadaan dilanda kesedihan hebat, di-
tambah dendam dan amarah orang biasanya mu-
dah lupa dan dapat melakukan apa saja di luar
kontrol. Tapi Galuh Pitaloka kemudian punya
pendapat lain. "Kakang Guru, Begawan panji Kwalat itu
apamukah?" Perempuan itu ajukan pertanyaan.
Guru Lanang Pamekasan diam sesaat
sambil kerutkan alisnya mendengar pertanyaan
itu. Kemudian dia menjawab.
"Begawan Panji Kwalat adalah sahabatku.
Mengapa?" "Kudengar puluhan tahun dia berdiam di
hutan Banyubiru, ilmunya tinggi, setiap katanya
selalu menjadi kenyataan. Lalu apa saja yang di-
lakukannya di tempat sesunyi itu?" tanya Dewa Angin Guntur pula.


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang dilakukannya aku tak tahu. Tapi
kurasa tidak layak mencurigai manusia seperti
dia. Dalam hidup dia paling takut melakukan ke-
salahan, apalagi berbuat dosa?" jawab si kakek seakan tidak senang mendengar
pertanyaan itu.
Dewa Angin Guntur manggut-manggut. Se-
telah itu dia berkata. "Kakang sebelum melakukan penyelidikan, sebaiknya setelah
selesai men- guburkan kepala Patira Seta kakang istirahat saja dulu di rumah kami."
"Betul, kakang Guru pasti lelah setelah
menempuh perjalanan jauh." Galuh Pitaloka menimpali ucapan suaminya.
Di luar dugaan si kakek menggelengkan
kepala. "Aku tidak bisa membuang waktu. Bagaimana aku bisa berdiam diri jika
kebahagiaan yang kuharap malah malapetaka yang datang.
Arwah cucuku pasti tidak tenang di alam saja jika pembunuh jahanam itu tidak
dapat kutemukan
secepatnya!" dengus si kakek. Dia lalu bangkit berdiri, sebelum pergi dia
pandangi suami istri itu sekali lagi. Baru kemudian berucap. "Kepala cucuku tak
pernah berkubur sebelum aku berhasil
mencacah tubuh bangsat pembunuh itu!" Selesai bicara Guru Lanang Pamekasan
segera tinggalkan
ruangan, di halaman dia memungut kepala cu-
cunya dari atas bangku, lalu berkelebat mening-
galkan halaman rumah sahabatnya.
Dewa Angin Guntur menarik nafas pendek.
Sedangkan istrinya hanya dapat mengangkat ba-
hu sambil memijit kepalanya yang mendadak te-
rasa pusing. 6 Cukup lama perempuan berpakaian ungu
berambut putih itu memanjatkan doa, memohon
ampun pada Gusti Allah. Setelah itu dia menutup
doanya dengan menyapukan kedua telapak tan-
gan ke seluruh wajah. Kemudian dia melipat kain
lusuh yang dijadikan alas duduk. Si nenek bang-
kit berdiri, kemudian meluruskan punggungnya
yang agak bongkok. Tak lama setelah itu si nenek meninggalkan balai-balai bambu
yang terletak di
ruang tengah rumahnya yang sederhana. Ketika
si nenek kembali ke ruangan depan, dilihatnya
sang anak masih duduk di atas bangku terbuat
dari jalinan kulit rotan butut. Sebuah topeng
berwarna putih tergeletak di sampingnya. Se-
dangkan tangan kirinya tak mau diam dan terus
menggerakkan pedang putih mengkilap kesayan-
gannya. Gerakkan pedang batu terhenti begitu si
nenek sampai di depannya. Perempuan tua seten-
gah bungkuk berpipi kempot yang selalu nampak
murung itu lalu duduk tidak berjauhan dari anak
yang sangat dia kasihi. Sebentar dia memperhati-
kan topeng kayu pula yang selalu dipakai anak-
nya ke manapun dia pergi. Orang tua itu menarik
nafas, menghembuskannya kembali sampai tun-
tas, seakan dia mencoba mengusir segenap beban
penderitaan batin yang selama ini menghimpit ji-
wa dan perasaannya.
"Bayu Gendala." berucap si nenek setelah
perhatikan wajah anaknya barang beberapa je-
nak, pemuda itu menoleh dan memandang tajam
pada sang ibu. "Ada lagi yang hendak ibu tanyakan?"
tanya si pemuda.
"Begitulah," suara si nenek bernama Selasih Jingga bergelar Jari Perontok Nyawa
terdengar perlahan, lembut namun tertekan. "Untuk ketiga kalinya ibu harus
mengingatkan padamu agar
kau mau membatalkan niatmu untuk menda-
patkan Lara Murti, ibu sangat tidak setuju apalagi jika kau harus menempuh cara
keji dan kotor."
Bayu Gendala berjingkat kaget, dia pan-
dangi ibunya dengan tatap mata seakan tidak
percaya. Dari tatap matanya jelas si pemuda me-
rasa tidak senang mendengar penegasan sang
ibu. "Aneh!" Bayu Gendala berucap. "Ibu tak seperti orang tua yang lain. Orang
tua yang seharusnya merasa senang bila melihat anaknya jatuh
cinta pada seorang gadis. Semula aku yakin ibu
akan merestui niatku untuk mempersunting Lara
Murti, puteri ketua perguruan Gunung Keramat.
Tapi kenyataannya ibu sangat mengecewakan
aku...!" ujar si pemuda dengan perasaan marah.
Selasih Jingga si nenek tua angkat tangan-
nya. "Kau dengar anakku, kau harus tahu bahwa Lara Murti itu puteri orang
terpandang, punya
kedudukan, harta, juga merupakan orang keper-
cayaan kerajaan. Sedangkan dirimu siapa" Apa
yang dapat kau banggakan untuk merebut perha-
tian seorang gadis?" tanya ibunya mencoba memberi pengertian dan berusaha
membuka jalan pi-
kiran anaknya agar bisa memahami kenyataan
yang ada. Di luar dugaan Bayu Gendala malah terta-
wa tergelak-gelak. Suara tawanya terhenti dan diapun berkata. "Bagiku tidak malu
untuk mengakui kemelaratan kita. Tapi ibu... aku memiliki il-mu kepandaian, aku
memiliki jurus-jurus pedang
yang handal. Dibandingkan dengan kekasihnya,
pemuda tolol itu dia tidak mempunyai kebecusan
apapun. Kelak, jika dia merintangi niatku, aku
pasti menyingkirkannya!" dengus Bayu Gendala sinis. Si nenek gelengkan kepala.
Dia semakin prihatin mendengar ucapan sang anak. Apa yang
dikatakan Bayu Gendala terasa benar menusuk
perasannya. Tapi walaupun hatinya begitu sedih
dan perasaan laksana ditusuk sembilu dia masih
bisa bicara dengan sabar.
"Anakku, belahan jantung tumpuan hara-
panku. Terus terang segala ilmu yang telah kutu-
runkan padamu, bila dibandingkan dengan apa
yang dimiliki oleh Dewa Angin Petir, apalagi to-
koh-tokoh serta dedengkot nomor satu dunia per-
silatan tidak ada apa-apanya. Perbedaannya se-
perti jari tangan yang dicelupkan ke dalam lau-
tan. Ilmu kepandaianmu baru seujung kuku. Jadi
sebelum terlambat ibu ingatkan lagi kau tidak
usah membanggakan ilmu atau pamer jurus di
depan orang lain. Semua itu bisa mencelakakan
dirimu sendiri."
Semakin tidak suka saja Bayu Gendala
mendengar nasehat ibunya. Dia berpikir, ibunya
mengatakan jurus silat yang dia miliki masih rendah. Padahal menurut yang dia
dengar ibunya memiliki ilmu simpanan yang sangat hebat. Bah-
kan dulu nama besarnya pernah menggegerkan
dunia persilatan. "Ibuku terlalu pelit memberikan ilmunya. Ini tidak boleh
terjadi. Jika saja aku
berhasil mewarisi ilmu Jari Perontok Nyawa, bu-
kan saja bisa mendapatkan Lara Murti dengan
cara yang mudah. Tapi juga jika Dewa Angin
Guntur membangkang, aku bisa menghancurkan
perguruan Gunung Keramat hingga sama rata
dengan tanah." batin Bayu Gendala.
Sejurus dia terdiam, setelah itu dia beru-
cap. "Ibu, jika ibu mengatakan ilmuku cetek, tidak sebanding dengan kepandaian
yang dimiliki oleh orang lain, apakah ibu tidak malu punya
anak berkepandaian rendah, apakah ibu juga ti-
dak merasa terhina bila aku ditertawakan orang?"
pancing si pemuda penasaran.
"Ibu tidak akan malu walau menjadi orang
biasa sekalipun. Yang terpenting kau selalu hidup di jalan yang di ridhoi Gusti
Allah." jawab ibunya.
Bayu Gendala malah merasa tidak puas.
"Begini bu, aku ingin ibu menurunkan ilmu Jari Perontok Nyawa. Konon kehebatan
ilmu itu tak perlu diragukan lagi. Bukankah begitu bu?"
Rasa takut akan permintaan sang anak
yang selama ini sangat dirisaukannya meledak
sudah. Si nenek tidak tahu bagaimana anaknya
bisa mengetahui dia mempunyai ilmu simpanan
hebat. Padahal selama ini hal itu selalu diraha-
siakan nya, bahkan masa lalu menyangkut kehi-
dupan pribadinya sendiri selalu dipendam jauh di lubuk hati.
"Anakku, mengenai ilmu yang kau tanya-
kan itu ibu sudah lama membuangnya. Ilmu Jari
Perontok Nyawa sangat berbahaya dan ganas. Ibu
tak ingin jatuh lagi korban yang tidak berdosa."
kilah si nenek. Dan apa yang diucapkannya ini
sebenarnya adalah sebuah kebohongan belaka.
"Benarkah begitu ibu" Benarkah suatu il-
mu bisa lenyap begitu saja, padahal dia telah me-nyatu dalam darah dan daging
ibu selama pulu-
han tahun." tanya Bayu Gendala seakan tak percaya. "Bisa saja jika orang yang
memilikinya merasa tidak membutuhkan ilmu itu lagi." jawab Selasih Jingga dengan
mimik bersungguh-sungguh.
"Akh, kalau begitu aku sangat kecewa se-
kali." desah si pemuda dengan muka murung.
Sang ibu menyentuh bahu kanan Bayu Gendala.
"Segala macam ilmu menjadi tidak berguna
malah bisa menjadi biang racun yang mencelaka-
kan orang lain jika diri kita dikuasai nafsu angka-ra murka, anakku. Kau harus
mengerti orang yang tidak berilmu atau memiliki kesaktian apa-
pun, hidupnya malah lebih bersih terhindar dari
segala macam perbuatan maksiat serta dosa!"
"Cukup ibu!" sergah Bayu Gendala, dia
menepiskan tangan ibunya dari bahu. Setelah itu
dia bangkit berdiri. Topeng kayu putih diambil-
nya, topeng dikenakan. "Aku muak dengan segala macam nasehat. Yang kubutuhkan
saat ini adalah ilmu serta kesaktian hebat! Aku ingin menda-
patkan Lara Murti, aka ingin menjadikannya se-
bagai istriku. Mengenai caranya" Ha... ha... ha!" si pemuda tertawa, lalu
melangkah lebar menghampiri kudanya yang tertambat di pohon waru di ba-
gian halaman depan.
"Anakku, kembalilah. Bagaimanapun me-
reka bukan tandinganmu!" sergah si nenek. Dia mencoba bangkit mengejar anaknya.
Tapi mendadak nafasnya jadi sesak dan dadanya mendenyut
sakit. Akhirnya dia hanya berdiri tertegun sambil memandangi anaknya.
Di atas punggung kuda Bayu Gendala me-
lanjutkan ucapannya tadi yang sempat terputus.
"Aku akan dapatkan gadis itu dengan caraku
sendiri. Terserah ibu mau berkata apa"!" Selesai bicara Bayu Gendala menggebrak
kudanya. Hanya sekelebatan saja kuda telah raib dari pan-
dangan si nenek.
Di depan rumah Selasih Jingga pegangi
dadanya dengan tangan kiri. Dengan tangan ka-
nan dia mengambil tabung bambu kecil yang ter-
selip di balik pakaiannya. Penutup tabung dibu-
ka, dua butir isinya yang berwarna merah lang-
sung ditelan. Setelah itu dia masukkan tabung
bambu hitam ke tempat semula.
Dia menunggu beberapa saat, reaksi obat
yang ditelannya mulai bekerja. Tidak berapa lama setelah itu wajahnya yang
putih, memucat laksana kafan berubah memerah kembali. Keringat
dingin bercucuran, si nenek menarik nafas pan-
jang. Rasa sesak dan sakit di dadanya hilang su-
dah. Dengan langkah terhuyung si nenek kembali
duduk ke tempatnya semula, di atas kursi yang
terbuat dari anyaman rotan yang sudah butut.
"Kalau saja dulu aku tidak menjalani hidup
seperti itu, mungkin setua ini tidak akan begini.
Aku yakin racun akibat pukulan ganas Manusia
Kutuk Sumpah masih bersarang di dadaku. Sa-
lahku sendiri, saat itu aku terlalu memaksa." keluh si nenek meratapi nasibnya
sendiri. Membayangkan semua yang pernah dila-
kukan di masa lalu membuat si nenek kucurkan
air mata. "Gusti Allah, aku mohon maafmu. Segala
kesalahan itu adalah kesalahanku sendiri. Ya Tu-
han... tapi kini aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada buah
hatiku. Tuhan jika pun
aku harus memikul semua dosa. Janganlah kau
limpahkan sebagian dosa yang pernah kuperbuat
pada anakku. Dalam hal ini dia tidak tahu apa-
pun." rintih si nenek membuat tangisnya makin terguguk.
7 Lambang Pambudi menggebah kudanya
memasuki kawasan kebun bunga yang luas. Ke-
datangannya kali ini tidak disertai siapapun, termasuk juga Lara Murti
kekasihnya. Sejak kehadi-
ran Guru Lanang Pamekasan di perguruan Gu-
nung Keramat, tugas-tugas kekasihnya memang
semakin bertambah berat. Baik tugas yang me-
nyangkut masalah perguruan maupun yang ada
hubungannya dengan rumah tangga. Ayah dan
ibunya sendiri sangat jarang berada di rumah,
mereka sibuk mencari pembunuh Patira Seta cu-
cu Guru Lanang Pamekasan yang terbunuh bebe-
rapa waktu lalu secara keji oleh seseorang yang tidak dikenal.
Karena itu kini urusan memetik bunga
yang dibutuhkan sebagai campuran ramuan obat
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lambang
Pambudi. Beberapa saat kemudian setelah mema-
suki kebun bunga yang sunyi pemuda itu segera
melompat turun dari punggung kudanya.
Setelah turun dari atas punggung kuda,
Lambang Pambudi mengambil keranjang rotan
yang biasa dipergunakan untuk menyimpan bun-
ga yang sudah dipetik. Seperti biasa si pemuda
tanpa merasa curiga langsung memulai peker-


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jaannya. Baru saja beberapa kuntum bunga segar
yang dipetiknya, pada saat itu terdengar suara teriakan menggelegar yang
disertai dengan terden-
garnya derap langkah kuda. Terkejut Lambang
Pambudi, hingga keranjang rotan di tangannya
nyaris terlepas. Seketika dia pun memandang ke
arah terdengarnya suara bentakan. Si pemuda ja-
di bertambah kaget begitu melihat tak jauh di depannya di atas punggung kuda
putih berdiri tegak seorang pemuda berpakaian putih memakai topeng kayu.
"Jahanam ini?" menggeram si pemuda da-
lam hati. Akan tetapi dia tetap berdiri tegak di tempatnya.
Di depannya dengan gerakan sedemikian
rupa si pemuda bertopeng yang bukan lain adalah
Bayu Gendala melompat turun dari atas kudanya.
"Pemuda tolol, aku tahu kau kekasih Lara
Murti, sekaligus calon suami gadis itu. Tapi terus terang jika kau sayangkan
nyawamu, sebaiknya
kau batalkan niatmu untuk menjadikan dia seba-
gai istrimu!" hardik Bayu Gendala.
"Mengapa?" tanya Lambang Pambudi, se-
mentara tatap matanya memandang tajam pada si
pemuda bertopeng dengan sinar mata sulit ditaf-
sirkan. Bayu Gendala tertawa tergelak-gelak. Laksana kilat tangannya bergerak ke
arah pinggang, di lain kesempatan dia telah menghunus pedang.
Tawa si pemuda lenyap, sementara ujung pedang
yang putih mengkilat telah menempel ketat di ba-
gian leher Lambang Pambudi. "Perlu kau tahu manusia geblek, kau tak layak
menjadi pendamping Lara Murti karena kau manusia lemah tak
memiliki kebecusan apa-apa." jelas Bayu Gendala
sinis. Dia pun semakin menekankan pedang itu
lebih keras hingga ujungnya menembus kulit leh-
er Lambang Pambudi. Ada darah yang menetes,
luka kecil akibat tusukan pedang perih bukan
main. Wajah pemuda itu tampak pucat, kening-
nya mengernyit menahan sakit. Melihat hal ini
Bayu Gendala menjadi sangat senang sekali. Ka-
lau perlu dia harus membuat Lambang Pambudi
ketakutan setengah mati.
"Ku mohon... ku mohon kau tarik pedang-
mu, jauhkan dari leherku. Kita masih dapat bica-
ra baik-baik." kata Lambang Pambudi dengan suara bergetar terbata-bata.
"Ha... ha... ha. Bagus jika kau masih ingin hidup." kata Bayu Gendala, walaupun
dia bicara begitu namun pedang tidak juga dijauhkan dari
leher pemuda yang sangat dibencinya. Dia kemu-
dian meneruskan ucapannya. "Terus terang aku inginkan Lara Murti, aku ingin
menjadikan dia sebagai istriku. Kurasa hanya aku yang pantas
menjadi pendampingnya."
Untuk pertama kalinya Lambang Pambudi
sunggingkan seringai sinis. Setelah itu baru ajukan pertanyaan. "Apakah Lara
mencintaimu" Jika dia memang cinta padamu, aku yang bodoh ini
bersedia mengalah."
"Hem, cinta bisa menyusul di kemudian
hari. Yang paling penting dia harus menjadi istri-ku dulu." dengus Bayu Gendala.
"Apa yang kau katakan itu hanya akan
membuatnya sangat menderita. Lagipula belum
tentu kedua orang tuanya mau meluluskan kein-
ginanmu!" ujar Lambang Pambudi. Walaupun ka-ta-kata itu diucapkan dengan sangat
perlahan sa- ja, tapi bagi Bayu Gendala tidak jauh bedanya bagai sebuah tamparan keras dan
juga sebuah per-
nyataan yang menusuk menyakitkan telinga. Pe-
dang ditarik ke belakang, tangan kiri bergerak cepat. Plaak!
Satu tamparan yang keras mendarat di pi-
pi, bagian pipi kanan Lambang Pambudi jadi me-
merah, tubuhnya sempat terhuyung bahkan
hampir terbanting akibat kerasnya tamparan itu.
dengan penuh kegeraman tapi seakan tak kuasa
membalas perbuatan si pemuda bertopeng, Lam-
bang Pambudi usap-usap pipinya.
"Berani mati kau bicara seperti itu!" geram Bayu Gendala. "Jika aku tidak
membunuhmu ha-ri ini semua itu karena aku masih memiliki rasa
kemanusiaan, tapi jika kau menghalangi renca-
naku. Aku pasti tidak segan-segan memenggal
kepalamu!" tegas si pemuda.
Pedang Langit Dan Golok Naga 24 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Si Rase Kumala 5
^