The Hidden Oasis 4

The Hidden Oasis Karya Paul Sussman Bagian 4


menjadi sebuah senyuman. Karena urusan itu tidak bisa dibilang berantakan. Tertunda,
ya. Tetapi tidak berantakan. Jauh dari berantakan. Kecelakaan
itu, pada akhirnya, telah memberi bantuan kepada dirinya dan
para kliennya, mentransformasi bisnis yang sudah ambisius menjadi sesuatu yang lebih besar. Sudah waktunya untuk berbuah,
tetapi kini, akhirnya, dia tergoda untuk memetik hadiahnya.
Setiap awan punya garis perak. Atau pada kasus ini setiap badai
pasir. Dia menyeruput tehnya dan melempar pandanganan ke
seberang Sungai Nil, ke arah Hotel Carlton dan menara gedung
Bank Nasional Mesir yang bertabur cahaya lampu di seberang
sungai itu, ketika suara jeritan menggema dari bawah, jeritan
sakit dan tak berdaya. Senyumnya mengembang dan akhirnya
menjadi gelak. Katakan apa yang kau suka, dan Romani Girgis
akan selalu menyajikan pertunjukan yang bagus.
Kairo"Kedutaan Besar Amerika
SETELAH membuat secangkir susu hangat, Cy Angleton berjalan
ke ruang tengah dan duduk di kursi berlengan, perut gendutnya
menyembul dari ikat pinggang piyamanya, pinggulnya mendesak
sandaran lengan kursi (siapa gerangan yang merancang perabot
ini" Midgets"). Sebagian besar staf Kedutaan Besar tinggal di
luar kompleks kedutaan, di Taman Kota atau di seberang sungai
di Gezira dan Zamalek, tetapi dia berhasil meminta salah satu
174 | PAUL SUSSMAN apartemen di lantai teratas Kairo 2. Tempatnya kecil, hanya ada
satu kamar tidur, ruang tengah, kamar mandi dan dapur kecil,
dengan ruang yang hampir tidak cukup untuk berjalan lebih
dari beberapa langkah ke arah mana pun tanpa menyentuh
dinding. Tetapi di sini terasa lebih aman daripada berada di
luar kompleks, hanya ada sedikit kesempatan bagi orang yang
mau tahu urusannya. Di samping itu, itu artinya dia dapat
meminta semua makanannya dikirim ke atas dari dapur Korps
Marinir di lantai dasar, makanan yang baik, makanan Amerika,
termasuk pasokan terus menerus dari koki kue lumpur Barney"s
Mississippi. Aduh, kue itu lezat sekali. Hampir membuat semua
makanan lain lezat juga. Hampir.
Dia menikmati susu dalam tegukan panjang dan perlahan
dan, sambil meraih remote control, mengaktifkan pemutar CD.
Setelah menyesuaikan volume, dia meneliti rak sampai menemukan apa yang diinginkannya: Patsy Cline, Too Many Secrets.
Hening sejenak, dan kemudian bunyi hentakan klarinet yang
akrab di telinganya saat lagu mulai mengalun. Dia mendesah
dengan sangat riang, menyandarkan kepalanya ke belakang dan
menutup matanya, mengetuk-ngetukkan jarinya pada sandaran
lengan. Angleton menyukai musik country, selalu menyukainya, sejak
dia kanak-kanak ketika mendengarkan musik-musik country
tahun "78 yang hebat dengan radio-record player Crosley tua milik
ibunya. Hank Williams, Jimmie Rodgers, Lefty Frizzell, Merle
Travis: tanpa mereka ini dia tidak akan pernah dapat bertahan
hidup pada tahun-tahun awal itu"kekerasan dan penghinaan,
kunjungan ke rumah sakit yang tak habis-habisnya, kemarahan
ayahnya yang membabi buta ("Lihat dirimu, demi Tuhan! Aku
meminta kepada Tuhan seorang anak laki-laki dan apa yang Dia
berikan" Babi gendut sialan!"). Musik country telah memberinya
jalan keluar, pelarian, pengungsian, tempat dia tidak merasa
kesepian. Sekarang pun masih seperti itu. Jika apa pun yang
lebih dia perlukan saat ini daripada yang dia perlukan di masa
lalu, maka apa yang terjadi dengan semua kebohongan dan ke-
THE HIDDEN OASIS | 175 curigaan dan kotoran korup yang menyengat yang selamanya
harus dia arungi. "Country bukan sekadar musik," ibunya pernah
mengatakan hal itu kepadanya. "Musik ini membuatmu kuat,
dapat melewati dan menyelesaikan urusan." Ibunya memang
benar. Penghargaan yang dibingkai yang tergantung di dinding
membuktikan hal itu: "Penghargaan Departemen Dalam Negeri
Amerika Serikat untuk Tindakan Kepahlawanan dipersembahkan
kepada Cyrus Jeremiah Angleton. Untuk tindakan kepahlawanan
di dalam kondisi yang sangat berbahaya." Musik country-lah
yang telah membuatnya mendapatkan penghargaan itu. Sudah
barang tentu dia mengharapkan ibunya masih hidup, sehingga
ibunya dapat menyaksikan bahwa hal yang pernah diajarkannya
itu benar adanya. Angleton membiarkan lagu itu mengalun mengikuti bait
dan chorus pertama, kemudian menurunkan volumenya sedikit,
menghabiskan susunya, dan mencondongkan tubuhnya ke
depan, melihat ke lantai di bawah. Peta besar Mesir terbentang
di depannya, kertasnya dipenuhi oleh coretan pensil yang membingungkan: nama, tanggal, nomor telepon, jumlah uang, deretan angka yang boleh jadi rekening bank atau bukan. Ada foto,
banyak sekali, tersebar di negeri itu, semuanya berukuran paspor
kecuali tiga buah gambar yang lebih besar yang diatur bersisian
di sudut kiri bawah peta, di atas kata-kata "Plato Gilf Kebir": Flin
Brodie, Alex Hannen, Molly Kiernan. Dia bersusah payah membungkuk dan mengambil foto itu dan duduk kembali, mengocoknya seperti sedang mengocok setumpuk kartu. Dia menatap foto
itu bergantian: Brodie, Hannen, Kiernan, kemudian kembali
ke Brodie lagi. Banyak hal mulai terbuka, hubungan mulai
terlihat, dia dapat merasakannya, jelas, dia dapat merasakannya.
Masih ada yang harus dikerjakan, tetapi semoga hal itu tidak
akan terlalu lama sebelum dia segera hengkang dari tempat ini.
Tidak ada lagi Sand"re, tidak ada lagi panas, tidak ada lagi aksi
merangkak ke sana-sini"pekerjaan selesai, dia mendapat uang,
majikan pun puas. Tidak ada lagi kue lumpur dari koki Barney"s
Mississippi, tetapi dia bisa hidup tanpa itu. Dia sanggup hidup
176 | PAUL SUSSMAN tanpa apa pun kecuali musik country kesayangannya. Setelah
meletakkan foto itu di bawah, dia mengambil remote control
dan menekan tombol replay, ruang kemudian hening sejenak
sebelum terisi lagi oleh musik instrumentalia pembuka lagu. Too
Many Secrets. Dia tergelak. Itu persis seperti kisah hidupnya yang
keras. Dakhla LANGIT timur berubah menjadi bayangan merah muda yang
sejuk dan burung dini hari berkicau di pepohonan ketika Fatima
Gharoub menerjang oasis, jubah hitamnya yang besar berkibar
di tubuhnya, tubuhnya yang besar bergerak dengan kecepatan
yang mengejutkan. Kadang-kadang dia berhenti dan meludah,
menggerutu, sebelum berjalan kembali, mengikuti jalur pohon
palem dan zaitun bergantian sampai akhirnya tiba di depan
rumah perempuan Amerika itu.
"Hei, pelacur!" teriaknya, sambil melangkah ke pintu depan.
"Mana dia" Apa yang telah kau lakukan dengan Mahmoud-ku?"
Dia mengangkat kepalan tangan siap untuk menghantam
sebelum melihat bahwa pintu itu sudah terbuka sedikit. Dia
mendorongnya sampai pintu itu terbuka lebar, kemudian masuk
sampai ke ruang tengah. " Ayolah, aku tahu kau ada di sini! Si keledai dan pelacurnya! Empat puluh tahun pernikahan dan ini balasannya untukku! "
Dia berdiri mendengarkan, wajahnya mengekspresikan
amarah yang memuncak. Setelah mengangkat pengki plastik
dari pinggiran jendela, dia beranjak menuju kamar tidur utama,
pengki diangkatnya ke atas kepalanya seperti sebuah senjata.
"Jangan buat aku datang dan menemukanmu, Mahmoud
Gharoub!" dia berteriak. "Kau dengar" Awas saja, kalau aku
THE HIDDEN OASIS | 177 harus datang dan menemukanmu, kau akan menyesal seumur
hidupmu!" Dia sudah separuh jalan di ruang tengah itu ketika matanya
mendadak melihat sebuah gerakan. Sosok seseorang muncul di
pintu kamar tidur. Dia terhenti, mulutnya terbuka karena kaget.
"Zahir al-Sabri" Tuhanku, berapa banyak laki-laki yang dia
masukkan ke sini?" "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan," sela Zahir,
marah, jelas tidak senang ditemukan dalam keadaan seperti itu.
"Tentu saja kau tahu!" Fatima Gharoub berteriak. "Aku tahu
apa yang terjadi di sini! Dia itu selalu mengejar wanita lain,
memang. Gampang tergoda! Mereka telah menggodanya, para
pelacur kotor! Mahmoud! Mahmoud! Mahmoudku sayang!"
Perempuan itu mulai meraung, menarik-narik jubahnya,
menghantamkan pengki ke kepalanya. Secepat datangnya,
histerianya tiba-tiba terhenti dan matanya menyipit.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Zahir beringsut tak nyaman.
"Aku datang untuk bertemu Miss Freya."
"Pukul enam pagi?"
"Aku membawakan sarapan untuknya." Dia menggerakkan
kepalanya ke arah sebuah keranjang yang terletak di atas meja.
"Pintu sudah terbuka. Aku masuk untuk memastikan apakah
dia baik-baik saja."
"Kau menyusup," kata perempuan tua itu, sambil menggoyang-goyangkan jari, menuduh. "Memata-matai."
"Aku datang untuk memastikan bahwa Miss Freya baik-baik
saja," Zahir mengulang. "Dia tidak ada di sini. Tempat tidurnya
masih rapi." "Menyusup dan memata-matai," dia mendesak, terdengar
seperti bergosip. "Mengurusi hal yang seharusnya bukan urusanmu. Tunggu saja sampai aku mengatakan" Apa maksudmu
tempat tidurnya masih rapi?"
178 | PAUL SUSSMAN Zahir membuka mulut untuk menjawab, tetapi sebelum dia
bisa mengatakan apa pun, istri yang sedang murka ini sudah
mulai berteriak lagi, merobek-robek bajunya, menepuk dahinya
dengan telapak tangannya.
"Oh Tuhan, aku tahu! Mereka telah pergi bersama. Dia
mencuri Mahmoud-ku! Mahmoud, Mahmoud! Mahmoud
mungilku!" Setelah melempar pengki ke seberang ruangan itu, dia berbalik dan, mungkin bermaksud mengejar pasangan yang melarikan diri, bergegas keluar dari rumah itu, meninggalkan Zahir
yang berdiri di tempatnya, menggelengkan kepala dan terlihat
sangat kagok. Kairo MEREKA yang bekerja untuk Romani Girgis dapat merasakan
kapan kekerasan akan terjadi. Mereka tahu bahwa pada saat
seperti itu lebih baik menjauh atau, jika mereka tidak bisa
menghindar darinya, lebih baik menundukkan kepala, melanjutkan apa yang sedang mereka kerjakan dan tidak menarik
perhatian Girgis. Kegaduhan itu sudah dimulai sejak pagi itu. Tak lama
setelah subuh, Girgis melakukan pembicaraan telepon di teras
di belakang rumahnya. Menurut tukang kebun tua yang saat
itu sedang menyirami pot geranium di dekatnya, dia terlihat tak
senang. Betul-betul sedang uring-uringan, membentak orang
yang sedang berbicara melalui telepon itu, meninju meja kayu
keras-keras sehingga cangkir kopinya terpental dan terguling ke
lantai, meninggalkan noda yang tak enak dilihat di lantai marmer
putih yang berkilau. Tukang kebun itu tidak mendengar jelas apa
yang dikatakan Girgis. Dia kemudian menjelaskan kepada salah
seorang tukang masak di rumah itu, dia tidak berani melihat
Girgis apalagi mendekat, tetapi dia jelas mendengar Girgis menyebut kata "oasis" dan "helikopter". Dan sesuatu tentang menara
THE HIDDEN OASIS | 179 hitam dan juga bangunan lengkung, walaupun pada saat itu dia
sudah berlalu dari pandangan Girgis, dan mungkin saja salah
mendengar. Itu baru awalnya. Sejak saat itu, suasana hati Girgis semakin
lama semakin memburuk. Sekitar pukul 8 pagi, tiga orang
letnannya"Boutros Salah, Ahmed Usman dan Mohammed
Kasri"tiba dan menghilang ke ruang kerjanya. Pekerja rumah
tangga melaporkan bahwa dia mendengar suara gelas dibanting
dan teriakan "Kau bilang peta itu saja sudah cukup!". Satu jam
kemudian, pada pukul 9, seorang tukang yang sedang memperbaiki soket di kaki tangga yang megah hampir saja terhantam
ketika Girgis melewatinya, menggerakkan tangannya saat dia berteriak, "Aku tak peduli dengan bahan bakar keparat itu! Awasi
terus! Kau dengar aku! Awasi terus!"
Girgis terus menerus marah, atmosfer yang ada semakin
tegang sampai beberapa saat setelah lewat tengah hari, ketika
terdengar deru baling-baling pesawat dan helikopter Girgis yang
mendarat di helipad di kebun. Si kembar muncul dan berjalan
menuju tempat Girgis berdiri menanti mereka di lapangan
rumput. Sebagian besar staf saat ini menyadari bahwa ada
sesuatu yang tidak beres dan diam-diam memerhatikan apa yang
sedang terjadi di luar jendela rumah besar itu, walaupun hanya
tukang kebun tua itu yang cukup dekat untuk bisa mendengar
apa yang dikatakan oleh majikannya kepada si kembar.
"Temukan dia," teriaknya. "Temukan gadis itu, temukan
"lm kamera, congkel matanya, dan kubur dia di padang pasir.
Kau dengar aku" Temukan si jalang itu!"
"Dia akan melukai seseorang," bisik si tukang kebun tua
kepada asistennya, sambil tetap menunduk menyiangi bunga.
"Camkan apa yang kubilang, dia akan melukai seseorang."
Itulah yang terlintas di pikiran siapa pun ketika Girgis masuk
ke dalam rumah. Stafnya, seperti ikan yang menghambur di
depan pemangsa, semua menarik diri ke tempat yang aman saat
dia bergegas melewati lorong dan naik ke anak tangga menuju
ruang kerjanya di lantai teratas.
180 | PAUL SUSSMAN Semuanya, kecuali Adara al-Hawward. Perempuan itu baru
bekerja di rumah megah itu selama tiga hari, dan tidak tahu
apa-apa tentang pemiliknya atau perilaku emosionalnya, merasa
bersyukur telah mendapatkan pekerjaan di situ. Bagi janda
berusia enam puluh tahun itu, pekerjaan susah didapat dan
peluang untuk bekerja di lingkungan yang begitu indah, bahkan
walaupun hanya dibayar lima puluh piastre per jam, sudah
seperti mendapatkan anugerah dari Allah. Sudah tiga hari dia
menunggu kesempatan untuk berterima kasih kepada majikan
barunya, untuk mengatakan betapa bersyukurnya dia atas
kebaikan majikannya. Dan sekarang orang yang ditunggunya itu
sedang menaiki anak tangga menuju ke arahnya saat dia sedang
membersihkan tiang tangga kayu di sekitar lantai pertama. Dia
perempuan pemalu, dan tidak biasa baginya untuk menegur
pria hebat dan penting ini. Namun demikian, dia menganggap
ini tugasnya dan ketika Girgis sampai di anak tangga teratas,
dia melangkah mendekati, menyentuhkan tangan ke dada dan,
dengan suara bergetar, dengan rendah hati berterima kasih
kepadanya atas segala kebaikannya kepada janda tua ini. Girgis
mengabaikannya, berjalan lurus melewatinya dan menelusuri
koridor menuju ruang kerjanya. Pria itu baru separuh jalan di
koridor itu ketika tiba-tiba dia berbalik. Setelah melangkah
balik, dia mendatangi perempuan itu dan menampar wajahnya.
"Jangan bicara kepadaku," semburnya. "Kau mengerti"
Jangan pernah bicara kepadaku."
Adara ak-Hawwari berdiri menatapnya, pipinya merah akibat
tamparan tadi. Sikap diamnya tampaknya semakin menjengkelkan Girgis dan dia menamparnya lagi: lebih keras. Kerasnya


The Hidden Oasis Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hantaman membuat hidung perempuan tua itu patah dan
membuatnya terjengkang ke belakang menghantam tiang tangga,
darah menetes dari lubang hidungnya, membasahi karpet.
"Berani-beraninya kau bicara kepadaku!" bentak Girgis,
suaranya naik, kemarahan dan kekecewaannya kini ditumpahkan
sepenuhnya kepada sosok yang merunduk tak berdaya di
hadapannya. "Berani-beraninya kau! Berani-beraninya kau!"
THE HIDDEN OASIS | 181 Girgis memukulnya sekali lagi, di bagian kepala. Setelah
mengeluarkan sekotak tisu basah dari saku jaketnya, dia mengambil satu helai dan menggosokkannya pada tangannya dengan
kasar. "Dan pastikan kau membersihkan semua ini," dia terengahengah, menunjuk noda darah di lantai. "Kau mengerti" Aku ingin
kotoranmu itu dibersihkan! Aku ingin sempurna! Sempurna!"
Dia membuang tisu itu ke arah perempuan itu, berputar, dan
menghilang di koridor, meninggalkan Adara al-Hawwari yang
gemetar dalam keheningan yang pilu dan mulai menyangsikan
apakah bekerja untuk Mr. Romani Girgis benar-benar merupakan sebuah anugerah.
Kairo"Markas Koptik SAMBIL menyanyikan What a Friend We Have in Jesus dengan
lirih, himne yang paling disukainya, Molly Kiernan berjalan
melintasi jalan berkelok di Masr al-Qadima"Kairo Lama"
dan menelusuri serangkaian anak tangga menuju ke Gereja St.
Sergius dan St. Bacchius.
Biasanya dia beribadah di sebuah kapel komunitas kecil di
distrik Maadi di kota, basis kantor USAID tempatnya bekerja
dan tempat kediamannya di sebuah bungalow kecil dengan dua
kamar tidur yang dinaungi pohon "amboyan dan melati. Hari
ini, 7 Mei, adalah hari kelahiran Charlie, dan pada hari istimewa
ini dia ingin mengunjungi tempat yang berbeda, tempat
yang istimewa. Dia pun datang ke sini, gereja tertua di Kairo,
bangunan basilika kuno dan kusam yang dibangun di, menurut
sebuah legenda, situs tempat Keluarga Suci pernah berhenti
untuk beristirahat sejenak dalam perjalanan menuju Mesir.
Dia selalu melakukan rutinitas yang persis sama pada ulang
tahun Charlie, dan dia telah melakukan hal itu selama seperempat
182 | PAUL SUSSMAN abad terakhir. Dia akan membuatkan sarapan ulang tahun
khusus untuknya"daging babi, telur, bubur jagung, wafel, dan
selai blueberry, kesukaan Charlie, membuka kado yang telah
dibeli dan dibungkusnya untuk Charlie, dan meluangkan waktu
sejenak dengan album fotonya, membuka-buka kisah kehidupan
mereka bersama, sambil tersenyum saat dia mengingat kembali
semua masa indah yang telah mereka nikmati, betapa tampan
dan istimewa Charlie miliknya ini.
"Oh kekasihku," dia akan mendesah, "Oh sayangku, suamiku
yang tak ada duanya."
Setelah itu dia akan mempersiapkan piknik dan pergi ke
kebun binatang"tempat pertama kali Charlie mengajaknya
berkencan, ke kebun binatang di Washington"dan kemudian
ke gereja. Di sana dia akan menghabiskan sisa sore hari mengucapkan terima kasih dan syukur atas kehidupan Charlie, berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pasti ada alasan
mengapa Tuhan telah mengambilnya dengan cara yang mengerikan, bahwa semua ini adalah bagian dari skema yang lebih besar,
walaupun setelah sekian tahun berlalu dia tetap berjuang untuk
menemukan skema apa itu sebenarnya. Laki-laki lembut dan
baik hati itu diluluhlantakkan oleh kebuasan yang mematikan.
Oh, sayangku. Oh, kekasihku, suamiku yang tak ada duanya.
Berjalan memasuki basilika, Kiernan berhenti sejenak untuk
melihat ikon besar Perawan Maria tepat di balik pintu, sebelum
melangkah maju dan duduk di salah satu bangku kayu gereja.
Sepasang burung gereja terbang berputar-putar di sekitar plafon
kayu di atasnya. Kierman menyukai tempat ini, karena dia tahu Charlie juga
akan menyukai tempat ini. Ada sesuatu tentang kesederhanaan
tempat yang agak berantakan ini: lukisan dinding yang memudar,
karpet lusuh di lantai, bau gas, debu, dan batu yang pengap dan
dingin. Tampaknya tempat itu akan membawanya kembali ke
masa-masa awal Kekristenan: hari-hari ketika ketakwaan masih
begitu muda dan murni, polos, bebas dari kerumitan moral
yang menakutkan yang kemudian menjadi beban. Sekali waktu,
THE HIDDEN OASIS | 183 baginya, menjadi seorang Kristen hanyalah persoalan cinta
dan keyakinan, sebuah penerimaan bahwa kebaikan Kristus
adalah semua yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit
dunia. Begitulah cara Charlie-nya memandang berbagai hal"
keyakinan yang sederhana, hampir kekanakkan, bahwa jika kau
cukup beriman, melangkah sedekat yang kau bisa dalam langkah
Kristus, maka segala hal akan menjadi baik pada akhirnya,
bahwa kebaikan akan menang mengalahkan kejahatan.
Tetapi Kiernan tahu bahwa banyak hal justru lebih rumit
daripada itu, lebih memusingkan, seperti yang dibuktikan oleh
kematian Charlie. Seperti yang dibuktikan oleh berbagai hal
dewasa ini. Domba Tuhan diserang oleh serigala dari semua
arah, dan cinta saja tidak lagi cukup untuk menyaksikan
keberhasilanmu. Dulu dia pernah menerima bahwa untuk
menjadi seorang Kristen kau harus berjalan dengan ikatan tali
yang ketat, menemukan cara hidup dalam Kristus, sementara
pada saat yang sama tetap berdiri stabil dan tegak menghadapi
pelaku kejahatan. Kepatuhan dan kekuatan, keimanan dan
kon"ik; semuanya sangat sulit, sangat menyakitkan, dan pelik.
Itulah sebabnya mengapa Kiernan senang datang ke tempat ini.
Untuk melonggarkan diri sendiri, walau hanya untuk sore hari,
dalam kesederhanaan gedung kuno yang cantik dan sejuk ini.
Hanya dia dan Tuhan dan Charlie, bersatu dalam keheningan,
beralih dari dilema yang selalu dihadapi oleh kehidupannya
sehari-hari. Dia duduk kembali dan menangkupkan kedua tangannya
di pangkuannya, sambil menatap ke sekeliling gereja, memerhatikan tiang marmer di semua sisi di lorong bagian tengah,
dinding berhias berbagai ikon yang amat cantik di bagian kepala
lobi utama, tempat lilin braso besar tergantung di atas, sambil
membayangkan Charlie dan kehidupan mereka bersama. Semua
yang telah mereka bagi bersama dalam waktu yang sangat
singkat itu. Semua yang hilang darinya.
Mereka terlambat menikah, ketika keduanya sudah berusia
tiga puluhan. Kiernan bekerja di kantor pemerintah, sementara
184 | PAUL SUSSMAN Charlie adalah seorang pastor di Batalion ke-1 Resimen Marinir
ke-8. Kiernan hampir putus asa akan dapat menemukan seseorang pada titik itu, menerima bahwa pekerjaannya akan menjadi
kehidupannya, nasibnya sebagai perawan tua. Tetapi saat dia
beradu pandang dengan Charlie yang berdiri di sebelahnya di
National Gallery of Art di Washington"tepatnya di depan
The Flight into Egypt karya Carpaccio"dia secara naluriah tahu
bahwa pria itulah jodohnya. pria yang ditunggunya selama ini.
Mereka kemudian mengobrol, Charlie mengajaknya berkencan,
enam bulan kemudian mereka bertunangan dan lima bulan
setelah itu mereka menikah. Sudah ada pembicaraan tentang
anak-anak, tentang perjalanan yang akan mereka wujudkan,
tentang menikmati hari tua bersama"Kiernan merasa sangat,
sangat bahagia. Namun, kurang dari satu tahun setelah pernikahan, batalion
Charlie ditempatkan di Lebanon, sebagai bagian dari kesatuan
penjaga perdamaian internasional. Mereka bersama-sama menikmati masa dua minggu terakhir yang magis, dan kemudian
pada suatu pagi Kiernan membuatkan suaminya sarapan"daging babi, telur, bubur jagung, wafel, selai blueberry"Charlie
kemudian mencium pipinya dan memberinya kalung salib yang
masih dipakai di lehernya dan memanggul tas pada bahunya,
pergi di waktu subuh. Itulah terakhir kali dia melihatnya. Sebulan
kemudian, pada 23 Oktober 1983, datang kabar tentang ledakan
yang terjadi di Beirut, bom bunuh diri, barak Angkatan Laut,
menelan banyak korban, dan dia langsung tahu bahwa Charlie
sudah tiada. Dua tahun, itulah masa yang mereka miliki bersama.
Dua tahun yang singkat. Bagian terbaik dari hidupnya.
Celoteh suara membuyarkan lamunannya ketika sekelompok
turis Italia memasuki gereja, pemandu wisata mengantar mereka
ke tempat duduk di dekatnya, memaksa dia pindah untuk
memberi mereka tempat. Mereka masih muda dan tampak
tidak menaruh minat pada tempat itu, tidak memiliki konsep
tentang kesakralan tempat itu. Mereka mengobrol dengan suara
keras, menikmati keripik, salah satu dari mereka bahkan asyik
THE HIDDEN OASIS | 185 bermain Game Boy. Dia mencoba mengabaikan mereka, tetapi
kemudian kelompok lain datang, kali ini turis Jepang dan gereja
penuh dengan kilatan sinar kamera terus menerus. Tidak dapat
mengatasi keadaan itu"mengapa mereka tidak bisa diam, membiarkannya berduka dalam ketenangan?"Kiernan berdiri dan
memaksa diri keluar bangku gereja. Di gang yang membelah
barisan kursi, sepasang turis Jepang menghalangi jalannya, mengangkat kamera, tersenyum, membungkuk, meminta tolong
kepadanya untuk memotret mereka. Dia membentak.
"Ada apa dengan kalian semua"!" jeritnya. "Ini gereja! Apa
kalian tidak mengerti" Tunjukkan rasa hormat kalian! Hormati
tempat ini!" Dia bergegas melewati pasangan itu dan keluar melalui
pintu, menaiki anak tangga ke atas dan menuju jalan kecil,
pandangannya samar tertutup air mata.
"Aku memerlukanmu, Charlie," ujarnya tersedu. "Aku tidak
sanggup lagi mengurusi masalah ini sendirian. Oh Tuhan, aku
memerlukanmu. Suamiku, suamiku tersayang yang sangat berharga."
Saat itu sudah lebih dari pukul satu siang ketika Freya akhirnya
tiba di pinggir Kota Kairo, dan empat puluh menit lagi sebelum
mereka melanjutkan perjalanan melewati lalu lintas padat yang
hampir tak bergerak di pusat kota. Pengemudi truk tangki itu
berhenti di ujung alun-alun yang sangat besar dan terbuka di
sisi rerumputan yang tertutupi sampah dan ditumbuhi beberapa
pohon palem. "Midan Tahrir," dia memberi tahu Freya, mengabaikan bunyi
klakson sederet mobil di belakangnya yang memprotes.
Perjalanan selama enam belas jam itu telah membawa mereka
ke kota ini dari Dakhla, sebuah perjalanan yang seolah tak
186 | PAUL SUSSMAN berkesudahan dan semakin tak habis-habis oleh desakan si
pengemudi truk untuk selalu berhenti, rasanya, di setiap kafe
tepi jalan untuk minum teh. Lebih dari sekali Freya berniat
untuk mengabaikannya dan mencoba menumpang kendaraan
orang lain. Dia telah memutuskan untuk menentang keinginan
itu, takut kalau para pria dari oasis itu mungkin punya teman
yang sedang mencarinya dan dia akan jatuh ke orang yang salah.
Si pengemudi ini memang lambat, tetapi paling tidak dia cukup
bisa dipercaya. Freya tertidur cukup nyenyak selama perjalanan, satu jam
di sini, empat puluh menit di sana, tetapi sebagian besar waktunya dia habiskan dalam keadaan terjaga. Sesekali dia membuka ranselnya dan memeriksa kamera, rol "lm, dan kompas
yang tersimpan di dalam. Setelah itu, dia lebih sering menatap
melalui jendela bentangan padang pasir yang yang tak berujung, memerhatikan plang penunjuk jalan yang pelan-pelan
menunjukkan bahwa mereka melewati al-Farafra, Bahariya dan
menuju Kairo. Dan sekarang, akhirnya, mereka tiba di sini.
"Midan Tahrir," ulang si pengemudi.
"Telepon," kata Freya, sambil membuat gestur sedang memegang gagang telepon ke telinganya. "Aku ingin menelepon."
Si pengemudi menyeringai, kemudian tersenyum dan
menyarankan Freya untuk menuju telepon umum yang boksnya
berwarna hijau dan kuning.
"Menatel," kata si pengemudi, membuka kotak penyimpan
di bawah dashboard dan mengambil kartu telepon sekali pakai
yang diberikannya kepada Freya, mengibaskan tangan menolak
tawaran uang dari Freya. Freya berterima kasih kepadanya,
untuk kartu dan untuk tumpangan yang diberikannya dan,
sambil mengayunkan ranselnya ke punggung, keluar dari kabin
truk ke trotoar. Pengemudi memberikan teriakan "Boos Weelis,
Amal Shwassnegar!" terakhir dan berlalu.
THE HIDDEN OASIS | 187 Untuk beberapa saat Freya hanya berdiri di situ, kelelahan,
mengamati sekeliling: lalu lintas yang ramai, pejalan kaki yang
seperti semut, bangunan tinggi dan kotor, dengan atap papan
iklan raksasa Coca-Cola, Vodafone, Sanyo, Western Union.
Walaupun merasa jengkel karena pejalanan yang sangat lamban
itu, ada sesuatu yang terasa aman dan menenangkan di dalam
kabin truk tangki itu. Kini, tiba-tiba, dia merasa sangat sendirian
dan sangat tak terlindung, seperti seekor siput yang cangkangnya
telah rusak. Di dekat serangkaian lampu lalu lintas, seorang
pengemudi taksi sedang berbicara melalui ponselnya. Dia
tampak sedang menatap langsung ke arah Freya. Begitu juga
dengan perempuan tua yang menjual pemantik api di dekat
peti kayu yang tutupnya terbuka hanya beberapa meter jauhnya
dari tempat Freya berdiri. Sambil menundukkan kepalanya,
Freya bergegas menuju telepon berbayar, merogoh sakunya,
dan menarik kartu nama yang diberikan Molly Kiernan ketika
mereka bertemu untuk pertama kalinya. Dia menyelipkan kartu
teleponnya ke dalam slot, memilih bahasa Inggris di layar digital
dan, sambil mengepit gagang telepon di lehernya, memencet
nomor telepon Kiernan. Hening, nada dering, kemudian, yang
membuat Freya kecewa, terdengar pesan suara: "Hai, ini Molly
Kiernan. Saya tidak bisa menerima telepon Anda saat ini. Tinggalkan pesan dan saya akan menelepon Anda kembali secepatnya."
"Molly, ini Freya," katanya saat nada rekam berbunyi, suaranya tegang, genting. "Freya Hannen. Aku menelepon dari
telepon umum berbayar. Sesuatu" aku butuh bantuan. Seseorang mencoba" aku rasa mereka telah membunuh Alex"
Mereka" Pria itu datang ke rumah kemarin dengan tas" ada
kamera" dia mengatakan bahwa dia menemukan tas itu di
padang pasir?" Dia berhenti, sadar bahwa dia baru saja nyerocos terlalu
banyak dan seharusnya berpikir terlebih dahulu tentang apa
yang akan dikatakannya sebelum ia menelepon. Lebih baik
menyampaikan secara singkat, dan menjelaskan panjang lebar
ketika bertatap muka nanti.
188 | PAUL SUSSMAN "Dengar, aku ada di Kairo," katanya. "Aku perlu bertemu
denganmu. Aku di?" Sekali lagi dia berhenti, mencoba mengingat apa yang dikatakan pengemudi tadi.
?" Midan sesuatu" tempat terbuka yang besar?"
Dia melihat ke sekeliling, mencari ikon kota yang menonjol.
"Ada Hilton Hotel, dan semacam tempat makan cepat saji
bernama Hardees, dan" dan ?"
Matanya tertumpu pada gedung besar bergaya Ottoman
agak jauh di sisi jalan. Semua jendelanya melengkung, layar
kayu yang rumit dan penuh hiasan, dikelilingi oleh tangga
dan tanaman tinggi berdebu. Dihiasi dengan deretan huruf
biru yang terpancang di atas bagian depan gedung, ada tulisan
THE AMERICAN UNIVERSITY IN CAIRO. Bukankah itu
tempat?" Dia merogoh sakunya lagi, sambil bergumam um


The Hidden Oasis Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ah di telepon, memohon maaf karena tertunda, mengambil
kartu yang diberikan Flin Brodie kepadanya: Professor F. Brodie,
American University in Kairo. Dia mulai berbicara lagi, suaranya
sudah lebih yakin sekarang.
"Aku berada di luar American University," katanya. "Aku
akan masuk dan berusaha mencari Flin Brodie. Jika dia tidak ada
di sana, aku akan pergi ke Kedutaan. Aku rasa aku sedang dalam
bahaya, aku harus?" Sambungan telepon mati. Layar digital telepon memperlihatkan bahwa dia sudah tidak memiliki kredit lagi. Dia merutuk, menutup telepon dan melangkah mundur menuju
trotoar. Pejalan kaki berdesakan melewatinya. Pengemudi taksi
dengan ponsel tadi sudah berlalu dengan mobilnya, walaupun
perempuan tua penjual pemantik api itu masih terus menatap
ke arahnya. Untuk sesaat Freya ragu apakah akan lebih baik jika
dia langsung pergi ke Kedutaan Besar Amerika Serikat, untuk
mencari semacam perlindungan resmi, tetapi prospek berurusan
dengan pejabat birokrat yang membosankan dan mengulang
kembali seluruh kisahnya dari awal membuatnya mengurungkan
THE HIDDEN OASIS | 189 niatnya. Apa yang dia perlukan saat ini adalah wajah yang dikenalnya, seseorang yang bisa dia percaya, seseorang yang akan
menanggapi secara serius apa yang dia katakan. Freya mengakui
bahwa dia hampir tak mengenal Brodie, hanya berbicara kepadanya selama beberapa menit, tetapi fakta bahwa pria itu telah
menjadi sahabat kakaknya sudah cukup baginya. Kedutaan
Besar bisa menunggu. Flin Brodie akan membantunya, dia
yakin itu. Flin tahu apa yang harus dilakukan.
Freya memanggul ranselnya dan melempar pandangan cepat
ke arah si penjual pemantik api, yang masih menatapnya, gigi
emasnya berkilau ditimpa cahaya matahari sore hari. Kemudian,
ketika lalu lintas sedikit lengang, Freya berlari kecil menyeberangi
jalan dan mengikut pagar di sisi gedung universitas, dengan
cemas mencari gerbang utama.
Mereka punya semacam fasilitas penyadapan dan pengawasan
yang sangat canggih di Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan
orang-orang yang sangat terlatih mengendalikannya. Karena
tugas sampingannya adalah di unit Urusan Masyarakat, tidak
mungkin Angleton tidak menggunakan fasilitas itu. Tidak tanpa
segala macam pertanyaan aneh yang akan ditanyakan. Dia bisa
saja ngotot, diam-diam membujuk dan memengaruhi orang
penting di sana, atau mengakali izin yang diperlukan"mungkin
masih harus melakukan itu"tetapi untuk sesaat memang lebih
mudah baginya untuk berimprovisasi. Dia tidak ingin melepaskan permainan itu. Paling tidak, belum.
Dan oleh karena itu dia telah merangkai stasiun penyadapannya sendiri, jauh dari kampus, di dalam sebuah kamar di lantai
teratas menara berwarna oranye di Semiramis Intercontinental
Hotel. Perangkatnya tidak berteknologi tinggi seperti yang
ada di Kedutaan Besar, dan Mrs. Malou", yang mengawasi
stasiun dari hari ke hari, walau bukan ahli, bisa dikatakan
190 | PAUL SUSSMAN cukup kompeten. Tetapi perangkat itu berfungsi dengan cukup
baik, membuat Angleton dapat menyadap panggilan telepon
dan, dengan pengetahuannya tentang berbagai kode dan kata
kunci yang dipergunakan, membajak mesin pesan suara dan
akun surat elektronik, membangun gambaran tentang siapa
yang mengatakan apa kepada siapa dan dengan cara bagaimana
semuanya berkait. Tentu saja dia tidak bisa mendapatkan cerita
secara lengkap dan utuh, karena pasti ada saluran komunikasi
yang tidak terlalu disadarinya, tetapi untuk saat ini sudah cukup.
Potongan demi potongan demi potongan.
Angleton tiba sore itu dengan taksi: dia pergi ke mana-mana
dengan taksi, tidak pernah berjalan kaki. Melewati serambi besar
hotel, dia berhenti di toko kue di lantai dasar dan membeli dua
kue sus dan semacam vla dengan selembar lemon karamel di atasnya, kemudian menuju lift.
Dia memilih Intercontinental sebagian karena hotel itu merupakan kesenangan turis Amerika dan kehadirannya tak telalu
menarik perhatian, terutama karena tempat ini adalah tempat
pertemuan terkenal bagi para pelacur kelas atas Kairo. Jika ada
orang yang mengikutinya"yang dia pikir tidak akan ada, tetapi
kau sebaiknya tidak boleh terlalu berhati-hati"inilah apa yang
akan mereka asumsikan: dia berada di sini untuk bersenangsenang dan bermain. Hal itu berarti Mrs. Malou" berdandan
sedikit, atau lusuh menurut anggapan perempuan itu, yang
sama sekali tidak dia suka, tetapi untuk sejumlah uang yang
dibayarkan oleh mereka, dia siap tersenyum dan menerimanya.
Lift tiba, sedikit goyang ketika dia melangkah masuk.
Angleton menekan tombol lantai 27 dan mundur untuk memberi jalan bagi sekelompok perempuan lanjut usia berkaus merah
yang serasi, beberapa di antara mereka menekan hampir semua
tombol di panel. "Saya khawatir kami membuat lift ini berjalan sangat lambat
bagi Anda," salah seorang dari mereka memohon maaf ketika
pintu tertutup dan mereka mulai naik. Aksennya murni Texas.
"Semakin lambat semakin baik," Angleton menjawab de-
THE HIDDEN OASIS | 191 ngan senyum ceria. "Memberiku lebih banyak waktu untuk menikmati kebersamaan dengan wanita-wanita cantik ini."
Mereka tergelak gembira, berbincang dengan Angleton, yang
benar-benar terpana pada daya tarik Selatan, bersenda gurau
dengan mereka sambil benaknya mengulang kunjungannya ke
gedung USAID di New Maadi pagi tadi, tempat Molly Kiernan
bekerja dan tempat Angleton menghabiskan sebagian besar
harinya tadi. Sebuah bangunan berkaca gelap dan baja terpelitur yang
modern dan megah, berdiri di kompleks yang dijaga ketat di
ujung Jalan Ahmed Kamel, menghadap ke areal pembuangan
sampah berbatu yang membentang dan berdebu. Angleton
telah menyiapkan pertemuan dengan direktur, berputar-putar
menceritakan tentang bagaimana dia adalah staf baru di Urusan
Masyarakat dan percaya bahwa mereka harus lebih banyak
lagi melakukan sesuatu untuk mempromosikan proyek hebat
USAID, sinergi yang lebih besar, nilai tambah, perubahan
paradigma yang mengarah ke depan. Setumpuk omong kosong
manajemen yang tak bermakna yang pasti telah disiapkan oleh
si direktur, yang membawa Angleton berkeliling gedung, menceritakan kepadanya tentang segala sesuatu yang mungkin
ingin diketahuinya tentang organisasi itu, stafnya, dan berbagai
program yang ditanganinya.
Tidak ada satu pun dari ocehannya yang menarik minat
Angleton. Dia mengikuti saja. Dia tentu saja tidak bisa langsung
berkata: "Katakan kepadaku apa saja yang kau ketahui tentang
Molly Kiernan." Beri ikan ini beberapa umpan sebelum mulai
mengailnya. Dan oleh karena itu dia ikut berkeliling, purapura berminat, bersemangat tentang proyek drainase air tanah
dan program pertukaran sekolah, memperoleh kepercayaan
direktur sebelum dengan sangat perlahan dan halus membawa
percakapan ke arah yang dia inginkan.
Kiernan adalah kunci dari semua ini, dia yakin tentang hal itu.
Flin Brodie, Alex Hannen"keduanya penting, tetapi Kiernanlah yang menjadi kunci Sand"re. Dia sudah menggeledah
192 | PAUL SUSSMAN bungalonya, salah satu dari sasaran pertamanya ketika dia telah
mendapatkan penjelasan, tetapi tempat itu bersih, seperti yang
sudah diduganya. Kiernan terlalu cerdik untuk meninggalkan
apa pun di mana-mana, terlalu berhati-hati.
Dia belum mendapatkan lebih banyak lagi informasi dari
si direktur. Hal itu mengon"rmasi apa yang diindikasikan oleh
seluruh daftar pertanyaannya yang lain: bahwa Molly Kiernan
menyimpan banyak rencana rahasia. Kiernan adalah salah
seorang karyawan USAID yang paling lama mengabdi, telah
ditempatkan di Kairo sejak akhir 1986, memimpin berbagai
macam program di Gurun Barat: klinik keluarga berencana di
Kharga, sekolah pertanian di Dakhla, semacam proyek riset
sains di Gilf Kebir. Si direktur tidak sepenuhnya yakin tentang
detailnya. "Jujur saja, Molly cenderung mengurusi pekerjaannya
sendiri," katanya kepada Angleton. "Dia mengarsipkan laporan
enam bulanan dan itu saja"tak pernah mendelegasikan seseorang yang berpengalaman. Kami membiarkannya dengan peralatannya sendiri. Hei, bagaimana kalau aku memperlihatkan
kepada Anda sistem pembuangan kotoran baru yang kami danai
di Asyut" Aku punya presentasi PowerPoint di ruang kerjaku."
"Boleh," kata Angleton.
Seperti diperkirakan, presentasi itu begitu menumpulkan
pikiran. Untungnya Angleton hanya perlu menyimaknya
selama beberapa menit sebelum, sesuai rencana, si direktur menerima panggilan telepon dari rekan jurnalis Angleton yang
meminta kesempatan untuk melakukan wawancara telepon. Dia
mengibaskan tangan tanda mempersilakan sebagai tanggapan
atas permintaan maaf direktur, dan mengatakan dia akan berjalan
ke sekeliling jika diizinkan, mencoba merasakan atmosfer tempat
itu. Dan dia langsung menuju ruang kerja Kiernan. Ruang itu
berada di ujung koridor di lantai tiga. Terkunci, tentu saja, tetapi
dia berhasil masuk, meneliti dengan baik"tidak ada apa-apa,
jelas sekali tak ada apa-apa. Dia keluar dan kembali ke kantor
direktur sebelum si direktur menyelesaikan wawancaranya.
THE HIDDEN OASIS | 193 Begitulah kunjungannya. Tidak ada petunjuk baru, tidak ada
informasi baru, nol besar. Seperti yang telah diperkirakannya,
walaupun dia tetap harus memastikan. Dia akan melumpuhkan
Kiernan pada akhirnya nanti, tentu saja, selalu berhasil"itulah
sebabnya mereka mempekerjakannya"tetapi tidak akan berjalan
mudah. Molly Kiernan dan Sand"re, tampaknya, telah menjadi
salah satu tantangan terbesar baginya.
"Ini lantai kami," kata dua perempuan berkaus oblong terakhir ketika pintu lift terbuka di lantai 24. "Senang bertemu
dengan Anda." "Aku juga," jawab Angleton, sambil menarik kembali pikirannya ke saat sekarang. "Bersenang-senanglah, ibu-ibu. Dan
ingat, jangan terlalu bersemangat melakukan tari perut."
Mereka tertawa dan melangkah ke dalam aula. Pintu lift tertutup dan tanpa suara lift naik ke lantai 27, dan Angleton keluar.
Dia berjalan di sepanjang koridor berkarpet, di dindingnya
bergantung potret berwarna abad kesembilan belas"unta dan
piramida dan laki-laki dengan surban, barang-barang khas
pariwisata"dan berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna
putih dengan lempeng braso di permukaannya: Kamar 2704.
Dia mengetuk lima kali"tiga kali secara cepat, dan dua kali
secara perlahan"menyisipkan kartu kunci plastik, membuka
pintu dan masuk. Di dalamnya terpasang berbagai macam perkakas teknologi:
kawat, kabel, perekam, server, komputer, modem. Perabot standar
kamar telah disingkirkan ke satu sudut untuk memberi tempat
kepada perkakas lain. Mrs. Malaou" duduk di meja menghadap
dinding, satu tangan memegang sepasang earphone pada sisi
kepalanya, sementara dengan tangan yang lain dia menyesuaikan
jarum ampli"er besar. Dia adalah seorang wanita bertubuh
gemuk dalam usia akhir empat puluhan. Dia mengenakan
busana koktail hitam yang sangat ketat dan riasan tebal, menjaga
penyamarannya sebagai perempuan malam, walaupun Angleton
berpendapat bahwa pasti dalam keadaan larut malam dan gelap
gulita baru seseorang akan mendapati perempuan itu cukup me-
194 | PAUL SUSSMAN narik dari kejauhan. Wanita itu memberinya anggukan dengan
muka masam dan, sambil menjulurkan tangan di atas meja, dia
menyerahkan berkas transkrip rekaman pembicaraan hari itu.
Angleton menerimanya dan berlalu ke balkon. Piramida Giza
terlihat dari kejauhan, segitiga samar berkabut berdiri tepat di
tepi kota. Dia tidak telalu memerhatikan panorama itu. Justru,
sambil duduk di kursi di samping piringan satelit, dia mulai
menelaah tumpukan kertas. Berbagai panggilan telepon ke dan
dari Brodie, kebanyakan urusan universitas; beberapa pesan
biasa pada mesin penjawab di rumah Kiernan, beberapa hal dari
berkas lain yang dia pegang, surat elektronik"tidak ada satu
pun yang bisa digunakan. "Cuma ini?" teriaknya.
"Kiernan baru saja menerima panggilan di ponselnya,"
jawab Mrs. Malou". "Aku belum punya waktu untuk mentranskripnya."
Tampaknya dia merasa terganggu.
"Coba perdengarkan saja."
Terdengar desah jengkel diikuti oleh bunyi klik tombol yang
ditekan. Suara riuh sesaat"bernada tinggi, menyerocos, ketika
kaset sedang diputar ulang"kemudian terdengar suara seorang
perempuan, tegang, tersengal-sengal, dengan suara tipis klakson
mobil yang menggema di latar belakang:
"Molly, ini Freya, Freya Hannen. Aku menelepon dari telepon
umum berbayar. Sesuatu" Aku butuh bantuan. Seseorang
mencoba untuk" Aku rasa mereka telah membunuh Alex?"
Angleton duduk tak bergerak, hampir tak bernapas, matanya
menyipit menjadi seperti celah ketika pesan itu terus berjalan.
Ketika selesai, dia menginstruksikan Mrs. Malou" untuk mengulang sehingga dia dapat mendengarnya lagi.
"Aku berada di luar American University. Aku akan masuk
ke sana dan mencoba menemui Flin Brodie. Kalau dia tidak ada
di sana, aku akan pergi ke Kedutaan Besar. Aku rasa aku sedang
dalam bahaya. Aku harus?"
THE HIDDEN OASIS | 195 Terdengar klik lembut saat pesan berakhir. Untuk sesaat
Angleton masih diam, mengeluarkan napas secara perlahan.
Kemudian, sambil tersenyum, meraih kotak dari toko kue di
bawah, mengambil kue sus dan memakannya.
"Enak," dia bergumam, serpihan kecil krim mengotori sisi
mulutnya. "Enak sekali."
Kairo"American University
Kompleks kuil besar Iunu (tempat pilar), atau yang bernama
Yunani Heliopolis (Kota Matahari) barangkali adalah"bukan
barangkali, tapi tak diragukan lagi!"tempat religius paling
penting dan paling sempurna di seluruh Mesir kuno. Kini
sedikit yang tersisa dari lokasi yang kemilau ini, beberapa kuil
dan tempat suci yang pernah begitu agung itu kini rusak menjadi debu, terkubur di bawah tepian kota Kairo di wilayah
Ain Shams dan Matariya (kecuali satu obelisk Senwosret I,
sangat menyedihkan, sangat dikenang). Sulit untuk menilai
bahwa selama tiga ribu tahun, dari hari-hari berkabut pada
periode di Predinasti Akhir hingga kedatangan terakhir
Graeco-Roman (wilayah di bawah pemerintahan Yunani dan
kemudian Romawi), gabungan yang tidak menarik ini adalah
pusat pemujaan yang menonjol terhadap Dewa Matahari Ra
yang agung, rumah bagi Ennead (sembilan dewa) suci, tempat
ibadah Mnevis bull, burung Benu, Benben yang misterius dan
sinting" "Demi Tuhan." Flin Brodie mengeluarkan desah aneh dan
melempar esai itu ke meja kerjanya. Esai pertama dari tumpukan
tinggi makalah yang harus dinilainya dengan batas waktu besok
pagi ("Jelaskan dan diskusikan pentingnya Iunu/Heliopolis
bagi bangsa Mesir Kuno"). Sebagaimana selalu terjadi pada
makalah yang ditulis oleh mahasiswanya, mereka menggunakan
196 | PAUL SUSSMAN prosa kuno bertele-tele untuk menyatakan pikirannya karena
bahasa Inggris bukan bahasa pertama mereka. Tiga puluh tiga
makalah, masing-masing minimal empat halaman panjangnya.


The Hidden Oasis Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampaknya dia harus bekerja sepanjang malam.
Dia mengusap matanya dan berdiri. Menuju jendela, dia
memerhatikan taman universitas di bawah dan terlihat sekelompok mahasiswa sedang duduk di kursi panjang, merokok
dan mengobrol. Dia juga bisa minum lagi"beberapa minuman
beralkohol"tetapi dia melawan keinginannya itu. Hari-hari
ketika dia biasa menyimpan sebotol Scotch di laci teratas
pada lemari arsipnya sudah lama berlalu dan, terlepas dari kelengahannya di malam sebelumnya, dia bermaksud untuk menjaganya tetap seperti itu.
DI bawah sana, matanya menangkap Alan Peach, para
mahasiswa di kursi panjang membuat gerakan menguap ketika
dia lewat, yang menjengkelkan Flin, walaupun dia sendiri selalu
bercanda tentang betapa membosankannya si Peach ini. Flin memerhatikan rekannya itu menghilang di sudut, dan kemudian
kembali ke mejanya. Dia duduk, melipat tangan di belakang
kepalanya dan memandangi langit-langit.
Dia merasa cemas, dan itu bukan karena dia harus selesai
memberi nilai untuk tiga puluh tiga esai yang belum dibacanya.
Bukan kecemasan penuh"tetapi semacam kecemasan yang
membuatnya gemetar dan panik yang sesekali dialaminya, ketika
"rasatnya muncul kembali dan seluruh dunianya terasa terlipatlipat sendiri, mengempaskannya di bawah beban masa lalu
yang tak kuasa dipikulnya. Tidak, ini hanyalah kecemasan acak,
yang lebih berupa ketidaknyamanan akibat mencari-cari bagian
dari masa lalu yang tercela, kepekaan bahwa ada sesuatu yang
tidak beres. Walaupun dengan semua hal yang terkait dengan
Sand"re, tidak ada satu hal pun yang akan berlangsung normal
seratus persen. Kecemasan itu sudah terasa ada sejak malam sebelumnya,
sejak si pria Amerika tambun itu menghampirinya di Windsor
Hotel dan menyatakan catatan penting tentang Gilf Kebir.
THE HIDDEN OASIS | 197 Dia meraba saku celana jinsnya dan menarik kartu nama yang
diberikan laki-laki itu : Cyrus J. Angleton. Petugas Urusan
Masyarakat, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kairo.
Jika pertemuan itu hanya satu-satunya kejadian, dia tentu
telah mengabaikannya. Masalahnya adalah, dia telah melihat
Angleton beberapa kali sejak itu. Pertama kali, sehari sebelum
kemarin, berjalan di halaman American University, dan
kemudian sekali lagi malam kemarin, di deretan kedai di Gezira
Sporting Club, tempat yang dia kunjungi tiga atau empat kali
seminggu untuk berlatih di lapangan atletik. Yang pertama
dari pertemuan itu dapat dijelaskan"tidak ada yang luar biasa
ketika seorang staf Kedubes Amerika mengunjungi American
University. Pertemuan di Gezira terasa lebih menyimpan
masalah. Memang diakuinya dia hanya memandang sekilas ke
arah laki-laki itu, ketika berjalan di belakang kedai, dan dia
segera menghilang ketika Flin baru saja berlari ke arahnya, tetapi
dia merasa yakin bahwa pria itu adalah Angleton. Jaket berwarna
krem yang sama. Tubuh gemuk yang sama. Tidak alasan bagi pria
tambun itu untuk berada di sana, tidak ada sama sekali"sejauh
yang Flin sadari dia adalah satu-satunya dari sekian orang Barat
yang memanfaatkan klub itu"dan kenyataan bahwa Angleton
pernah berada di sana... itu sangat mengganggunya.
Ada yang lain lagi. Memang agak terdengar gila, tetapi ketika
dia kembali ke apartemennya kemarin sore, setelah kembali dari
pemakaman Alex, dia punya perasaan kuat bahwa seseorang
telah memasuki "atnya. Tidak ada yang hilang atau berpindah
dari tempatnya. Tidak ada tanda adanya interupsi, tidak ada
gangguan atau semacamnya yang mendukung kecurigaannya.
Tetapi indra keenam telah mengatakan kepadanya bahwa seseorang telah menyelusup ke dalam "atnya, dan orang itu adalah
Angleton. Flin turun ke lantai bawah, menanyakan kepada
Taib si petugas "at tentang hal ini. Taib mengatakan tidak
tahu menahu tentang itu, walaupun dia selalu memperlihatkan
tampang bersalah dan menyimpan rahasia. Lagipula, Taib yang
selalu tampak menyimpan rahasia dan bersalah terhadapnya
198 | PAUL SUSSMAN tidak dengan sendirinya menjadi bukti atas kecurigaannya.
Semua kecurigaannya tidak berdasar, tidak ada bukti, dan
serba samar-samar. Bagaimanapun juga, kecemasan itu ada di
sana, dan faktanya adalah sembilan dari sepuluh kecemasan
macam ini akhirnya punya alasan dasar dalam kenyataannya.
Mungkin saja dia hanya membayangkan banyak hal, mungkin
juga tidak. Bagaimanapun, dia tetap membuka matanya lebarlebar, lebih berhati-hati daripada biasanya. Mungkin dia harus
mengatakan hal itu kepada Molly, menanyakan pendapatnya.
Dia kemudian duduk sedikit lebih lama. Kemudian, setelah
menggelengkan kepalanya seolah sedang mengusir kecurigaannya
ke bagian belakang pikirannya, dia mencondongkan tubuhnya
ke depan, mengambil satu esai dan mulai membaca lagi. Dia
baru saja membaca beberapa paragraf sebelum diinterupsi oleh
suara ketukan di pintu. "Bisakah Anda kembali lagi nanti?" dia berkata keras tanpa
mendongak. "Aku sedang memberi nilai esai."
Si pengetuk tentu saja tidak mendengar kata-katanya, karena
ada ketukan lagi. "Bisakah Anda kembali lagi nanti?" ulangnya, kali ini lebih
keras. "Aku sedang menilai setumpuk esai."
"Flin?" Suara itu agak ragu, tak yakin. "Ini Freya Hannen."
"Ya, Tuhan!" Flin melempar kertas-kertas itu ke meja, bergegas melintasi ruangan dan membuka pintu.
"Freya, kejutan yang luar biasa! Aku tak mengira kau ada di
Kairo untuk hal?" Suaranya tercekat ketika dia melihat celana jins dan sepatu
olahraga Freya berlumuran lumpur, dan beberapa goresan di
lengan dan leher. "Kau baik-baik saja, Freya?"
Freya tidak berbicara, hanya berdiri di pintu itu.
"Freya?" dia terdengar begitu perhatian sekarang. "Apa yang
terjadi?" THE HIDDEN OASIS | 199 Freya masih belum berkata apa-apa. Flin baru saja akan bertanya kepadanya untuk yang ketiga kali ketika Freya kemudian
tangisannya meledak. "Seseorang telah membunuh Alex," jeritnya. "Dan mereka
mencoba membunuhku juga. Tadi malam, di oasis, ada segerombolan orang, ada yang kembar, datang dengan helikopter
dan sedang menyiksa?"
Freya tercekat, berlinangan air mata, berusaha keras untuk
tetap terkendali. Flin terpaku sesaat, tidak tahu harus bereaksi
apa, kemudian melangkah maju, melingkarkan lengannya di
tubuh Freya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya.
Setelah mendorong pintu agar menutup dengan kakinya, dia
membawa Freya ke kursi dan memintannya duduk.
"Tak apa," katanya lembut. "Tenanglah. Kau aman
sekarang." Freya menyeka matanya, menjauhkan lengan Flin darinya,
agak sedikit agresif barangkali, tetapi dia malu dengan kelemahannya, harus mengungkapkannya. Flin menatapnya; mata
Freya tetap tertuju ke lantai sambil berusaha keras mendapatkan
kepercayaan diri lagi. Kemudian, setelah memohon diri, Flin meninggalkan ruangan itu. Dia kembali beberapa menit kemudian
dengan kain handuk dan gelas beruap.
"Teh," katanya. "Solusi orang Inggris untuk semua masalah."
Freya tampak sedikit lebih tenang dan tersenyum tipis, menerima handuk itu dan menyeka lengannya yang telanjang.
"Terima kasih," katanya. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud
untuk?" Flin mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa Freya
tidak perlu meminta maaf. Setelah meletakkan gelas di sudut
meja, Flin menarik kursinya sehingga dia duduk berhadapan
dengan Freya. Dia membiarkan keadaan tenang beberapa saat
sebelum bertanya lagi tentang apa yang terjadi.
"Seseorang mencoba membunuhku," ujar Freya, suaranya
lebih tegas sekarang. "Tadi malam, di oasis itu. Mereka telah
200 | PAUL SUSSMAN membunuh Alex juga, itu bukan bunuh diri."
Mulut Flin separuh terbuka untuk bicara, kemudian dia
berpikir lebih baik membiarkan Freya menceritakan kisahnya
dalam caranya sendiri, dengan waktu yang ada. Freya meletakkan handuk di sisi, mengangkat gelas dan meneguknya,
menenangkan diri. Kemudian dia mulai bercerita, tentang
semuanya yang telah terjadi pada hari sebelumnya, dimulai dari
pernyataan Molly Kiernan tentang suntikan mor"n dan berlanjut
ke Dr. Rashid, kantor polisi, tas kanvas besar yang misterius,
si kembar, pengejaran di sepanjang oasis"semuanya. Flin
duduk mendengarkan, membungkuk ke depan, mata menyipit
penuh konsentrasi, tidak berkomentar, tampak tenang dari luar
walaupun sesuatu dalam tatapannya yang intens, bagaimana
tangannya agak gemetar telah menunjukkan bahwa apa yang
diceritakan Freya telah memengaruhinya lebih daripada yang dia
akui. Ketika Freya selesai dengan ceritanya Flin ingin melihat
benda yang dibawanya. Freya memangku ranselnya sampai ke
lutut dan membukanya, memberikan barang-barang itu satu per
satu: kamera, wadah "lm, kompas. Flin mengambilnya satu per
satu, dan meneliti semuanya.
"Mereka membunuh Alex," ulang Freya. "Dan ini ada kaitannya dengan laki-laki di padang pasir dan barang-barang di dalam
tasnya. Rudi Schmidt, itu nama yang ada di dalam dompet. Apa
ada artinya untukmu?"
Flin menggelengkan kepalanya, masih memerhatikan kamera,
tidak menatap mata Freya.
"Tidak pernah dengar tentangnya."
"Mengapa Alex berminat terhadap semua benda milik pria
itu" Mengapa seseorang mau membunuhnya untuk semua
benda ini?" "Kita tidak tahu pasti bahwa ada orang yang membunuhnya,
Freya. Kita tak boleh langsung?"
"Aku tahu," desaknya. "Aku melihat mereka. Aku melihat
apa yang mereka lakukan terhadap petani tua itu. Mereka mem-
THE HIDDEN OASIS | 201 bunuh kakakku, mereka menyuntiknya. Dan aku ingin tahu
mengapa." Flin mendongak, membalas tatapan Freya. Pria itu tampak
seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi lagi-lagi berpikir sejenak
dan mengangguk dengan enggan.
"Baiklah, aku percaya. Seseorang telah membunuh Alex."
Mata mereka tetap berpandangan untuk sesaat lamanya,
kemudian Flin kembali mengamati benda-benda itu. Dia meletakkan kamera dan "lm di meja, lalu membuka kompas itu,
memeriksa melalui lensanya, menyentil kawat brasonya.
"Ceritakan lagi tentang benda lain di dalam tas itu," katanya.
"Peta, keramik obelisk."
Freya menjelaskan lambang misterius pada obelisk, lalu jarak
dan arah kompas pada peta. Flin menggesek-gesek kompas,
sepertinya dia hanya separuh mendengarkan apa yang sedang dikatakan Freya walaupun, seperti sebelumnya, gemetar tangannya
dan binar di matanya yang hampir tak tertangkap tampak
menyampaikan ketertarikan yang lebih besar"rasa ingin tahu
yang kuat, bahkan"daripada tindak-tanduk yang biasa diperlihatkannya.
"Aku rasa Rudi Schmidt ini sedang berusaha berjalan dari
Gilf Kebir ke Dakhla," kata Freya, sambil menatap si pria
Inggris itu, memerhatikan tingkahnya, menduga-duga apakah
Flin menanggapinya dengan serius atau tidak. "Aku tahu Alex
pernah bekerja di Gilf Kebir, dia pernah menceritakan soal itu
dalam suratnya. Ada hubungan antara keduanya. Aku tak tahu
apaini, tetapi sudah pasti ada hubungannya, dan itulah sebabnya
Alex dibunuh." Freya mengambil kamera dan wadah "lm itu, lalu mengangkatnya.
"Dan aku rasa jawabannya ada di sini. Itulah sebabnya para
lelaki di oasis itu menginginkan semua "lm ini. Karena gambargambar di "lm ini akan menceritakan kepada kita apa yang
terjadi. Kita harus mencetaknya."
202 | PAUL SUSSMAN Hening lagi. Flin terus memutar kompas di tangannya.
Kemudian, seolah sudah punya keputusan, dia memasukkannya
kembali ke ransel Freya dan berdiri.
"Apa yang kita perlukan adalah segera membawamu ke
tempat yang aman," katanya. "Aku akan membawamu ke Kedutaan Besar Amerika Serikat."
"Setelah "lm ini dicetak."
"Sekarang. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dan siapa
orang-orang ini, tetapi mereka jelas berbahaya, dan semakin
cepat kau menghilang semakin baik. Ayo, kita pergi."
Dia mengulurkan tangan untuk membantu Freya berdiri,
tetapi perempuan itu hanya bergeming di tempatnya.
"Aku ingin tahu apa yang ada dalam "lm ini. Mereka telah
membunuh kakakku dan aku ingin tahu mengapa."
"Freya, "lm itu tercecer di tengah Sahara, mungkin sudah
bertahun-tahun. Peluang untuk dapat mencetak "lm itu adalah
seratus berbanding satu. Seribu berbanding satu."
"Aku masih ingin mencobanya," katanya. "Kita coba dulu,
baru kita pergi ke Kedutaan."
"Tidak." Nada suara Flin tiba-tiba tajam kasar. "Film itu
bisa menunggu, Freya. Aku ingin membawamu ke tempat yang
aman. Kau tak tahu?"
Dia terdiam. "Apa?" balas Freya. "Apa yang tidak aku tahu?"
Walaupun matanya merah karena kelelahan dan wajahnya
pucat dan lusuh, Freya tetap peka dan bersemangat, tatapannya
seperti menyelidiki Flin.
"Apa yang tidak aku tahu?" dia mengulang.
Flin mendesah kesal. "Dengar, Alex adalah sahabat baikku?"
"Dia kakakku." ?"dan aku berutang kepadanya untuk memastikan bahwa
THE HIDDEN OASIS | 203 tidak akan ada bahaya yang akan terjadi terhadapmu."
"Dan aku berutang kepadanya untuk mencari tahu mengapa
dia dibunuh." Suara mereka mulai meninggi.
"Aku tidak akan membawamu berjalan-jalan di seputar
Kairo," bentak Flin. "Tidak akan, setelah sesuatu seperti ini terjadi kepadamu. Aku akan mengantarmu ke Kedutaan."
"Setelah aku mencetak "lm ini."
"Sekarang. Kau butuh perlindungan."
"Jangan menasihati aku."
"Aku tidak menasihatimu! Aku mencoba menolongmu."
Giliran Freya yang membentak.
"Aku tak memerlukan bantuan dan aku tak memerlukan
perlindungan. Aku perlu tahu apa yang ada dalam "lm ini,
mengapa seseorang mencoba membunuhku. Mengapa mereka
membunuh Alex." "Kita tidak tahu?"
"Ya, kita pasti tahu! Aku melihat beberapa pria itu di rumah
Alex, apa yang sanggup mereka lakukan. Mereka membunuh
Alex dan aku akan mencari tahu kenapa."
Freya bangkit dari duduknya dengan sangat kasar sehingga
kursinya jatuh terguling. Setelah memasukkan kamera dan "lm
ke dalam ranselnya, dia membuka pintu dan berjalan tergesagesa di koridor menuju lift. Flin mengejarnya.
"Tunggu, tunggu!"


The Hidden Oasis Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Freya mengabaikannya, menekan tombol lift dengan ibu
jarinya dan menahannya. "Freya, percayalah kepadaku dalam hal ini," Flin memohon.
"Aku tinggal di Mesir, aku kenal orang-orang itu. Apa pun utangmu kepada Alex, jangan membuat dirimu sendiri terbunuh."
Pintu kayu lift berderak terbuka dan Freya melangkah ke
dalam, menekan tombol lantai dasar, masih mengabaikan Flin.
204 | PAUL SUSSMAN "Freya, ayolah, dengarkan aku, aku hanya berusaha?"
Pintu lift menutup, tetapi Flin menghalangi dengan kakinya.
"Ya Tuhan, kau betul-betul keras kepala! Persis seperti
kakakmu!" "Yang benar saja, Alex sama sekali tidak keras kepala," balas
Freya dengan marah, sambil menekan tombol, mencoba menutup pintu lift. Ada jeda sejenak, Freya terus menekan panel
kontrol, Flin menghalangi pintu, lalu mendadak mendengus
tersenyum. Freya menatapnya, dan Flin juga tersenyum. Flin melangkah mundur, Freya mengikutinya keluar dari lift dan pintu
tertutup. "Kita berdamai saja," kata Flin. "Ikuti saja aku, lalu kau
pergi ke Kedutaan, sementara aku akan mencetak "lm. Aku
punya teman yang bekerja di Museum Barang Antik Kairo, di
departemen fotogra". Dia bisa mencetak "lm dengan cepat.
Segera setelah siap, aku akan membawanya. Setuju?"
Freya berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Setuju." "Baiklah," kata Flin. "Tahan lift itu, aku hanya perlu waktu
untuk membereskan tumpukan esai itu, mengambil dompet,
dan ponselku." Flin menghilang ke dalam kantornya dan pintu tertutup di
belakangnya. Lift itu kini sedang dipanggil oleh orang lain dan
sedang turun ke lantai dasar lagi. Freya menekan tombol panggil
dan mondar-mandir di koridor, sambil memerhatikan papan
pengumuman"selebaran tentang berbagai konser, penjualan
buku bekas, simposium Naguib Mahfouz"dan kemudian
menatap ke luar jendela. Langkah kaki samar terdengar di anak
tangga di samping lift, hampir tak terdengar di belakang pintu
darurat. Kantor Brodie terletak di lantai empat dan teratas di bangunan
itu, di Departemen Bahasa Inggris untuk alasan tertentu, dan
jendelanya menawarkan pemandangan indah menghadap taman
kampus"lapangan rumput, pohon palem, yang dibatasi oleh
THE HIDDEN OASIS | 205 pagar rerumputan"dan jauh di sana, Midan Tahrir yang hirukpikuk. Freya melihat sekelompok pelajar lalu-lalang, diikuti oleh
dua pria kekar. Ada sesuatu pada diri mereka"wajah kasar, gaya
berjalan yang tegap dan perlahan"yang tampak tak biasa di
lapangan universitas. Freya merasakan kecemasan tiba-tiba.
"Flin," panggilnya.
"Sebentar," balas Flin.
Lift kembali naik sekarang, bergerak ke atas dengan deru
mesin bernada tinggi. Freya berlari, menekan tombol panggilan
lagi dan kembali ke jendela, sambil bertanya-tanya apa yang
membuat Flin begitu lama. Kedua pria itu masih berada di
taman, berdiri, salah satu dari mereka merokok, yang lain
berbicara melalui ponsel. Dari tangga darurat terdengar suara
langkah kaki yang semakin keras. Gema hentakan ritmis sepatu
pada linolium, dua atau tiga orang kalau dinilai dari suaranya.
Berjalan di koridor itu, Freya kemudian membuka pintu darurat
dan melongok ke bawah. Dia bisa melihat rel pegangan tangan,
beberapa anak tangga dan, dua lantai di bawahnya, tangan seorang laki-laki yang berpegangan pada rel. Tangan yang besar
dan gemuk, separuhnya tertutupi beberapa cincin emas yang
besar. Seperti" dia mengerut mundur. Setelah perlahan-lahan
menutup pintu, dia lari ke kantor Flin dan masuk.
"Mereka di sini!"
Flin sedang memegang gagang telepon di tangannya: dia
tampak terkejut melihat Freya masuk dengan tiba-tiba.
"Freya! Aku baru saja?"
"Mereka di sini," ulangnya, memotong ucapannya. "Beberapa
orang dari oasis itu. Yang mencoba membunuhku. Mereka naik
melalui tangga darurat. Dan juga lewat lift, aku kira."
Freya setengah berharap bahwa Flin akan tampak gentar, bertanya apakah dia yakin dengan apa yang dilihatnya, tetapi Flin
segera bereaksi. "Aku telepon kembali," ujarnya. Setelah menutup gagang
telepon ke tempatnya, dia meraih lengan Freya dan menariknya
206 | PAUL SUSSMAN kembali ke luar ke koridor. Saat itu ada hentakan dan klik dan
pintu lift mulai terbuka. Lagi-lagi dia seketika bereaksi. Sambil
melindungi Freya di belakangnya, dia melangkah maju. Ketika
pintu lift terbuka penuh, seorang pria bersetelan muncul, senjata
di tangan. Flin menghajarnya, keras mengagetkan, kepalan
tangannya menghantam seperti grendel baja dan meremukkan
hidung laki-laki itu. Orang itu terhuyung ke belakang, darah
mengalir dari mulut dan dagunya, terhempas pada dinding
belakang lift. Sebelum dia sempat berpikir apa yang sedang
terjadi, Flin sudah melangkah maju dan mendaratkan tiga
tonjokan lagi dengan cepat dan berturut-turut, satu menghajar
lambungnya, membuatnya meringkuk, yang satu lagi ke ginjalnya, membuatnya terhuyung ke samping ke sudut lift, dan
yang satu lagi ke rahangnya yang membuatnya rubuh ke lantai,
pusing dan merintih. "Ya Tuhan!" guman Freya, tertegun.
"Aku tak melihat kesan dia datang untuk minum teh dan
mengobrol," kata Flin menjelaskan. Sambil meraih lengan Freya
lagi, dia membawa Freya di sepanjang koridor dan keluar melalui
pintu darurat. Ketika pintu itu tertutup di belakang mereka,
pintu darurat lain terbuka.
Mereka berada di anak tangga metal teratas yang mengarah
ke atap gedung yang agak lebih rendah di bawahnya. Mereka
melangkahi dua anak tangga sekaligus, melompat ke permukaan
atap yang terbuat dari lantai batu dan berlari di sepanjang jalan
sempit yang melewati jalur beberapa unit pendingin angin
raksasa. "Di mana kau belajar gerakan itu tadi?" tanya Freya terengah.
"Cambridge," jawabnya, sambil menoleh ke belakang untuk
memastikan bahwa mereka tidak diikuti. "Double boxing Blue.
Satu-satunya hal yang membuatku dapat melewati tiga tahun
belajar tulisan-tulisan hieratik Kerajaan Tengah."
Mereka sampai di deretan anak tangga lain. Anak tangga
THE HIDDEN OASIS | 207 itu membawa mereka ke ruang atap yang jauh lebih besar
dengan kubah putih kecil di tengahnya dan sejumlah kaktus
dalam pot yang berkumpul di semua sudutnya. Ketika mereka
mulai melintasinya, pintu darurat di belakang mereka terbuka.
Terdengar suara dan derap kaki. Mereka kemudian berlari cepat,
sekelompok mahasiswa menengok ke atas sambil terkejut ketika
mereka melewati tempat yang tadi mereka duduki.
"Kau terlambat menyerahkan esaimu, Aisha Farsi!" teriak
Flin, sambil setengah menoleh dan menggerakkan jari ke arah
seorang gadis sintal berkerudung sutra. "Letakkan di mejaku,
besok pagi-pagi sekali."
"Ya, Profesor Brodie," ujar gadis itu, sambil mencoba menyembunyikan rokok di tangannya.
"Dan jangan merokok!"
Mereka melewati ruang sembahyang, beberapa baris lakilaki sedang bersujud dengan dahi mereka menekan di lantai
berkarpet, dan menerobos pintu lain dan kembali ke gedung.
Flin membanting pintu dan memasang slot baja di atas dan di
bawah agar aman. "Cepat!" teriaknya.
Dia membawa Freya di sepanjang koridor berlampu redup,
melewati deretan kelas dan kantor. Seluruh gedung terasa bergetar ketika kaki dan kepalan tangan mulai menggedor pintu
yang tadi dikunci oleh mereka. Setelah sekitar separuh panjang
koridor, ada anak tangga di sisi kanan mereka, diapit oleh sepasang pendingin air. Mereka mulai turun, namun mundur
kembali ketika dua sosok pria muncul di lantai dasar"pria yang
Freya lihat berdiri di taman luar.
"Sialan!" gerutu Flin. Di belakang mereka gedoran di pintu
terdengar semakin keras dan penuh amarah. "Sialan, sialan,
sialan!" Dia menengok dengan liar ke sekeliling. Kemudian mengangkat salah satu pendingin air dan melemparnya ke bawah
mengenai laki-laki yang tadi sedang menaiki tangga. Teriakan
208 | PAUL SUSSMAN mereka tiba-tiba tertahan ketika alat pendingin itu menghantam
mereka dengan semburan air.
"Ayo!" Flin berteriak, sambil menarik tangan Freya.
Sambil berlari kencang di sepanjang koridor, mereka menuju
pintu darurat lain dan menuruni anak tangga darurat luar
menuju areal terbuka di bawah.
"Terlambat mengajar lagi, Flin?" teriak sebuah suara yang dikenalnya. "Aduhai, bahkan bangsa Mesir kuno lebih baik dalam
urusan menepati waktu daripada kau!"
"Lucu sekali, Alan," gerutu Flin, sambil membawa Freya bergegas melewati koleganya dan masuk ke kantin kampus. Mereka
berlari melintasi ruangan, para pengunjung kantin terheranheran melihat mereka berlari berkelok-kelok di antara barisan
meja dan kursi logam dan memasuki pintu lain di sisi yang
jauh, kembali masuk ke taman universitas. Mereka melambat
dan berhenti, mengatur napas. Hampir bersamaan dengan itu
ada teriakan di sisi kiri mereka ketika tiga sosok muncul dari
sisi gedung, dan lebih banyak teriakan lagi di belakang ketika
si kembar menghambur ke kantin, menerjang meja dan kursi,
piring dan cangkir berjatuhan di lantai, dan pengunjung kantin
berteriak memprotes. "Ya Tuhan, mereka ada di mana-mana!" teriak Flin, sambil
menarik Freya ke jalan setapak yang berteralis di antara lapangan
tenis dan bola voli. Mereka berjalan ke kanan, kemudian ke kiri
di sepanjang gang lebar dengan papan pengumuman berderet
di sisinya dan keluar melalui gerbang besi tinggi. Mereka tiba di
jalan di samping universitas, mobil dan taksi melintas kencang
di depan mereka. Pengejar mereka belum sampai di gang, dan sekilas Freya
berpikir mereka bisa meleburkan diri di antara keramaian
orang yang lalu-lalang di trotoar. Kemudian, agak jauh di sisi
kanannya, Freya melihat sebuah BMW hitam mengilap terparkir
di dekat tepi trotoar. Dua sosok pria bersandar di mobil itu,
keduanya sama-sama menyeramkan, bertampang kasar seperti
THE HIDDEN OASIS | 209 orang-orang yang mengejar mereka. Mobil BMW lain terparkir
tepat di seberang, di luar McDonald"s; dua orang laki-laki lain
sedang berdiri di sisinya, sementar seratus meter di sisi kirinya,
menunggu di sekitar lampu lalu lintas di ujung jalan, ada tiga
orang lagi. Dengan langkah kaki tergesa, para pengejar itu tiba
di belakang mereka, menghalangi gang, lalu berjalan perlahan
karena menyadari buruan mereka sudah terperangkap. Flin
melingkarkan lengan melindungi Freya, menariknya lebih rapat
lagi ke tubuhnya. "Brengsek!" umpatnya.
Dakhla ujung Oasis Dakhla, di kedua sisi jalan raya padang pasir
utama, berdiri sepasang patung logam tinggi dan agak kasar berbentuk pohon palem. Selain barisan tiang telepon dan beberapa
rambu jalan, kedua patung itu adalah benda buatan manusia
satu-satunya di hamparan dataran kosong itu.
Di tempat itulah Zahir menunggu saudaranya, Said. Land
Cruiser-nya terparkir di tempat teduh di kaki salah satu patung
tersebut. Tanah yang penuh dengan semak belukar adalah satusatunya yang membatasi dia dan padang pasir yang bergulunggulung nun jauh di sana. Sepuluh menit telah berlalu, kemudian,
di kejauhan, dengan bentuk yang tampak melengkung dan meliuk oleh terik matahari, muncul sebuah sepeda motor. Jalan
yang dilaluinya lebur ke dalam bayangan udara yang berkacakaca sehingga terlihat seolah pengendaranya sedang berpacu di
atas air. Motor semakin dekat sebelum tiba-tiba terlihat jelas, menempuh beberapa ratus meter terakhir, meluncur dan berhenti
di sisi Land Cruiser. "Ada kabar?" tanya Zahir, sambil melongok melalui jendela.
"Mafeesh haga," jawab Said, mematikan mesin dan membersihDI
210 | PAUL SUSSMAN kan debu dari rambutnya. "Tidak ada. Aku telah mengelilingi
Kharga dan tak ada yang tahu sama sekali. Kau pergi ke elshorty" Polisi?"
Zahir mendengus tak acuh.
"Tolol. Mereka bilang dia sudah lari bersama Mahmoud
Gharoub. Enak saja. Mereka pikir karena kita orang Badui lantas
kita ini orang-orang bodoh."
Adiknya menggerutu. "Kau mau aku tetap mencari" Aku bisa pergi sampai ke alFarafra, berbicara dengan orang-orang di sana."
Zahir berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Aku akan tetap mencari di sekitar Dakhla. Pasti ada orang
yang tahu sesuatu." Adiknya mulai menyalakan mesin motor, Jawa 350 yang
sudah usang dan, setelah mengangguk, melaju ke arah utara.
Zahir menyaksikan kepergiannya, kemudian menyalakan
mesin Land Cruiser. Dia tidak langsung memasukkan gigi
persneling, namun tetap berada di sana sambil menginjak
kopling dan mesin menyala, sambil mengamati padang pasir.
Setelah merogoh saku djellaba-nya, dia menarik sebuah kompas
logam hijau. Sambil meletakkan pergelangan tangannya pada
roda kemudi, dia membuka kompas itu dan memandang inisial
yang tercoret di bagian dalam penutupnya. AH. Dia meneliti
dengan lensa pembesar dan memutar bingkainya, jarinya turun
ke kawat pengamatan braso yang menegang, sambil bergumam
kepada diri sendiri. Kemudian, sambil menggelengkan kepala,
dia memasukkan kompas itu ke dalam saku, masuk ke gigi satu
dan kemudian melaju. Roda Land Cruiser meluncur dan berdecit di pinggiran jalan yang berkerikil, debu beterbangan di
belakangnya. THE HIDDEN OASIS | 211 Kairo "APA yang harus kita lakukan?" tanya Freya, sambil melihat ke
sekeliling dengan putus asa.
"Aku benar-benar tidak tahu," kata Flin, kepalan tangannya
mengencang, kepalanya menengok ke sana-sini, mengamati
situasi. Dua orang pria sedang bersandar pada sedan BMW di
tepi jalan di sisi kanan mereka; dua orang lagi di posisi yang berseberangan, di samping BMW kedua; tiga orang yang lain berdiri
di dekat lampu lalu lintas; dan, yang datang dari belakang, lima
orang lagi, dipimpin oleh si kembar yang mengenakan setelan
Armani dan kemeja sepak bola merah dan putih.
Para pengejar mereka sampai di gerbang universitas dan melangkah mendekat, berhenti dua meter dari mereka, hanya terpisah dari Flin dan Freya oleh arus pejalan kaki yang berdesakan.
Mereka menyibak jaketnya, sekilas memperlihatkan pistol Glock.
Salah satu dari mereka menunjuk ke Freya dan memerintahkan
sesuatu dalam bahasa Arab.
"Apa dia bilang?" tanyanya.
"Dia memintamu untuk melepaskan ransel dan melemparkannya kepadanya," jawab Flin.
"Haruskah aku lakukan?"
"Tampaknya kita tak punya banyak pilihan."
Si kembar mengulangi permintaannya, kali ini lebih keras.
Mengancam. "Tenang saja," ujar Flin.
Ketika Freya mulai mengangkat ranselnya, sebuah taksi"


The Hidden Oasis Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fiat 124 hitam putih yang lusuh"berhenti di tepi trotoar di
belakang mereka. Freya sudah melepaskan ranselnya, dan masih
berada di tangannya, enggan memberikannya kepada orang itu.
"Yalla nimsheh!" teriak si kembar, sambil melambaikan tangan
kepadanya untuk melemparkan tasnya. "Bisoraa, bisoraa!"
Pengemudi taksi kini telah keluar dari mobilnya, membiarkan
212 | PAUL SUSSMAN pintu tetap terbuka dan mesin menyala saat dia menolong seorang perempuan tua keluar dari kursi belakang untuk turun
trotoar. Mata Flin menunjuk ke arah itu, begitu juga Freya.
"Bisoraa!" teriak si kembar, kehilangan kesabaran: dia dan
saudara kembarnya membuka jaket mereka dan meraih pistol.
"Lebih baik berikan saja," kata Flin, sambil menoleh ke arah
Freya dan meraih ranselnya, matanya sekali lagi melirik ke taksi
tadi ketika pengemudinya berjalan berputar ke bagasi, membukanya dan mulai mengangkat sebuah koper besar.
"Ayolah, Freya, jangan main-main!" suara Flin terdengar
sengaja dikeras-keraskan, juga dilebih-lebihkan. "Berikan saja
ransel itu kepada mereka."
Flin mencoba menarik ransel dari genggaman Freya. Freya
merasakan apa yang sedang dilakukan Flin dan menahannya,
mengulur-ulur waktu selama beberapa detik lagi sementara si
pengemudi taksi mengangkat koper ke aspal dan menutup pintu
bagasi. Tepat ketika si pengemudi taksi selesai melakukannya,
Flin merenggut ransel itu, dan seketika wajahnya tepat berhadapan dengan wajah Freya.
"Kursi belakang," gumamnya. "Aku yang menyetir."
Flin menarik ransel itu lagi, menggoyang-goyangkannya dan
berlagak memprotes sebelum dengan tiba-tiba melepas tas dan
menyerobot ke sisi kanannya, mendorong seorang laki-laki yang
sedang membawa baki besar di kepalanya berisi roti aish baladi
hingga terjengkang dan tumpah mengenai si kembar. Terdengar
umpatan, lengan yang saling pukul, dan suara gemerincing yang
keras ketika baki menghantam trotoar. Dalam kekacauan yang
mendadak dan singkat itu, Freya menyelusup ke tempat duduk
belakang taksi. Flin masuk ke kursi pengemudi. Dia bahkan tak
sempat menutup pintu, hanya melempar ransel ke arah Freya
di belakang, memasukkan gigi dan menekankan kakinya pada
pedal gas. Si pemilik taksi hanya tercengang diam ketika mata
pencahariannya dibawa kabur di depan matanya.
"Berpegangan yang kuat!" teriak Flin, sosoknya yang tinggi
THE HIDDEN OASIS | 213 melesak ke dalam ruang terbatas di belakang kemudi. Dia
menyalip sebuah bus, sudut belakang kanannya menghantam
dua pintu taksi yang terbuka dan kedua pintu itu langsung
mengempas tertutup dengan keras. Sambil menarik tongkat
persneling ke gigi dua dan kemudian ke gigi tiga, Flin melesat
menerobos lalu lintas, memacu kecepatan, angka di argometer
taksi bertambah dengan drastis pada dasbor.
Freya berjuang keras untuk bisa duduk, lalu dia menengok
ke belakang. Si kembar berdiri di tepi trotoar dan terlihat panik
sambil melambai ke salah satu BMW, sementara mobil yang di
seberang jalan sudah melesat, asap mengepul dari bawah bannya
saat meluncur. "Mereka mengejar!" jerit Freya.
Taksi itu kini hampir tiba di lampu merah di ujung jalan,
Midan Tahrir yang hiruk-pikuk terbentang di depan mereka.
Lampu merah menyala, mobil-mobil berhenti di garis batas,
seorang polisi berseragam putih sedang berdiri di tengah jalan dengan satu lengan terangkat. Flin berpindah ke kiri ke jalur yang
kosong dan naik ke trotoar, membuat tiga kios koran berantakan
dan menerobos lampu lalu lintas. Terjadi hiruk-pikuk teriakan
sumpah serapah dan suara nyaring peluit polisi ketika mereka
melambat di sudut dan masuk ke lalu lintas yang mengalir
di sisi alun-alun. Mereka menyalip, melaju lurus, menyalip
lagi, menghantam sisi sebuah truk bak terbuka yang kemudian
menabrak minibus yang akhirnya terdesak ke luar jalur dan
menyeruduk kios buah-buahan. Para pejalan kaki menyingkir,
berteriak dan menggerak-gerakkan tangan; jeruk dan semangka
berjatuhan dan menggelinding ke tanah seperti kelereng raksasa.
"Ada yang terluka?" teriak Flin.
"Aku rasa tidak," jawab Freya, memerhatikan kekacauan di
belakang mereka, perutnya bergejolak.
Flin mengangguk dan mempercepat laju kendaraan, kakinya
menari liar pada pedal rem, kopling, dan gas. Tangan kanan bergerak ke depan dan belakang di antara roda kemudi dan tongkat
214 | PAUL SUSSMAN persneling. Di belakang mereka, sebuah BMW hitam muncul di
sudut. Yang kedua mengikuti sesaat kemudian, kedua mobil itu
ngebut berkelak-kelok menerobos lalu lintas, memburu Fiat di
depannya dengan ganas. Kendaraan-kendaraan lain menyingkir,
dan membunyikan klakson dengan marah. Karena jauh lebih bertenaga daripada sebuah Fiat tua, kedua BMW itu dengan cepat
mendekati Flin dan Freya, jaraknya kini hanya tinggal dua puluh
lima meter. Flin menekan pedal rem dan membelokkan roda
kemudi ke kanan, membawa mereka menjauhi alun-alun dan
masuk ke jalan besar yang dulunya pernah menjadi bangunan
kolonial yang penuh hiasan. Papan-papan penunjuk arah
tampak berkelebat dengan cepat"Memphis Bazaar, Turkish
Airlines, Pharaonic American Life Assurance Company"ketika
speedometer taksi sampai di garis batasnya sebelum Flin menginjak
rem, membawa mereka berputar di sebuah jalan dengan lalu
lintas padat dengan patung pria berkopiah di tengahnya, dan melaju di sepanjang jalan yang lain. Kedua BMW tadi tak terlihat
untuk sesaat, kemudian kembali muncul.
"Mereka terlalu cepat," teriak Flin, sambil melirik lagi melalui
kaca spion. "Kita tidak akan bisa melaju lebih cepat daripada
mereka." Seolah membuktikan hal itu, BMW tadi tiba-tiba melesat
kencang. Menyeruak ke depan, mobil itu menghantam bagian
belakang Fiat mereka, membuat Freya menjerit dan terpelanting
ke bagian belakang tempat duduk Flin.
"Kau tidak apa-apa?" teriak Flin.
"Tidak," jawab Freya, sambil menepuk bahu Flin, mencoba
untuk tidak terdengar terlalu gemetar daripada yang sebenarnya
dia rasakan. BMW itu melambat dan menjauh, kemudian melaju cepat
dan menghantam mobil mereka kembali, lalu keluar ke jalur
arah berlawanan yang kosong dan melaju bersisian dengan
mereka. "Dia bersenjata!" Freya memperingatkan Flin ketika pria di
THE HIDDEN OASIS | 215 kursi penumpang bagian depan mengarahkan sebuah pistol melalui jendela terbuka: wajahnya cukup dekat sehingga Freya bisa
melihat gigi kuning dan tahi lalat di bawah mata kanannya.
"Tahan!" Flin menginjak pedal rem, BMW melaju lurus sementara dia
membelokkan Fiat ke sisi jalan. Meliuk menghindari sekelompok
pelajar putri, dia menghantam gerobak penjual kacang"tebaran
kacang dan biji berserakan ke kaca depan mobil itu seperti hujan
batu"sebelum melambat dan melaju lagi. Terdengar suara sirine
meraung, dan di tengah kekacauan seperti itu tidak mungkin memastikan dari arah mana bunyi itu datang.
"Mobil yang satu lagi masih membuntuti kita!" teriak Freya
ketika BMW kedua menyeruak di sudut jalan. Mobil itu mengejar
mereka, si kembar melongok dari jendela dan menembak. Para
pejalan kaki berhamburan di sepanjang trotoar, menjerit dan
merunduk mencari perlindungan. Satu peluru menghajar jendela
belakang taksi, pecahan kaca menghujani Freya. Desing peluru
lain melewati bahu Flin dan menghancurkan dasbor.
"Anggap saja aku sedang memberimu tumpangan gratis,"
dia bergurau sambil cemberut, berusaha keras mengendalikan
kendaraan yang sedang melaju kencang dan tiba di persimpangan
jalan, tepat di depan sebuah bus yang melaju ke arah mereka.
Freya terhuyung di kursi belakang, gemerincing kaca di bawahnya; beberapa mobil bertabrakan beruntun ketika bus itu tibatiba mengerem untuk menghindari tabrakan dengan mereka.
"Paling tidak pengejar kita sudah berkurang satu," teriak
Freya, sambil membenahi posisinya lagi, rambutnya berkibar liar
diterpa angin. "Kalau memang begitu," kata Flin geram, sambil membelok
saat BMW pertama muncul lagi di sisi jalan, bannya berdecit
ketika mobil itu melintas di jalan aspal berdebu dan melaju di
belakang mobil si kembar. Raungan sirine tiba-tiba terdengar
lebih keras ketika satu, lalu dua, dan kemudian tiga mobil polisi
Daewoo bergabung dalam kejar-kejaran itu.
216 | PAUL SUSSMAN "Demi Tuhan," kutuk Flin ketika sepeda motor polisi juga
ikut mengekor mobil mereka sebelum hampir terpeleset, lalu
menghantam sisi mobil dan menabrak tumpukan sangkar merpati
yang terbuat dari kayu. Freya memandang sekilas pengendara
motor itu bangkit terhuyung-huyung, bulu beterbangan di
sekitarnya seperti salju kotor dan kemudian mereka berbelok di
sudut jalan dan pengendara motor itu pun tak terlihat lagi.
Mereka kini melaju menjauhi pusat kota. Bangunanbangunan dengan gaya arsitektur Eropa awal abad mengantar
mereka ke blok beton yang semrawut dan berselang-seling dengan
masjid dan bangunan bergaya zaman pertengahan berjendela
batu lengkung penuh hiasan rumit. Lalu lintas mulai semakin
padat, dan segera menjadi kemacetan yang semakin sesak dan
menahan mereka di ekor kemacetan, sehingga memaksa Flin
terus menerus mengubah arah karena dia berusaha untuk terus
berada di depan para pengejarnya sekaligus berusaha untuk
tidak menabrak pejalan kaki. Dua mobil polisi bertubrukan
ketika mencoba menyusul BMW yang paling belakang, orangorang yang sedang minum-minum berhamburan di tepi jalan
karena salah satu mobil polisi itu menghantam perabotan di
depan kafe, menerjang meja dan kursi hingga beterbangan ke
segala arah. Mobil yang satu lagi menerjang tepi trotoar dan
terbalik sehingga atapnya berada di bawah, terseret di jalanan
dan memercikkan api sebelum menghantam tiang lampu.
Daewoo ketiga mencoba mengejar mereka beberapa belokan
lebih lama lagi, sebelum akhirnya keluar dari pengejaran,
karena salah perhitungan dan menghantam bagian belakang
truk ternak yang sedang terparkir, sapi-sapi yang ketakutan
berdesakan merubuhkan pintu belakang truk dan berlarian ke
jalanan. Kendaraan polisi yang lain meneruskan pengejaran,
sirine meraung, lampu menyorot, tetapi laju pengejaran itu
terlalu hebat dan satu per satu dari mereka juga menjauh dan
kehilangan arah. Hanya kedua BMW itu yang terus mengikuti
Flin dan Freya, tanpa ampun, membayangi setiap gerakan mobil
dan tak ingin terlepas darinya.
THE HIDDEN OASIS | 217 Mereka berpacu di alun-alun di bawah sebuah dinding
benteng yang tinggi dan dari sana masuk ke jalan yang sempit
dan berbahaya, kerumunan orang pecah berhamburan dalam
kepanikan ketika mobil-mobil itu berkejaran tersentak-sentak
di sepanjang permukaan jalan yang berlubang. Mereka melaju
melewati deretan toko dan kedai kaki lima di kedua sisi jalan,
kios daging yang penuh dengan tumpukan sampah merah
muda yang licin, sejumlah karung besar berisi kapas putih yang
halus. Jalanan itu semakin menyempit, mengurung mereka, tak
mungkin menghindar dari letusan senjata api dari BMW di
belakang. "Kita harus keluar dari sini!" teriak Freya.
Flin tidak menjawab, hanya menatap ke depan penuh
konsentrasi, membunyikan klakson ketika mereka melaju ke
arah gerbang batu yang masif, lengkung tengahnya diapit oleh
sepasang menara. Gerbang itu sedang diperbaiki, sisi depannya
ditutup oleh perancah kayu yang ringkih. Papannya ditindihi
tumpukan tinggi berkarung-karung semen dan blok batu yang
sangat besar. "Mereka mencoba menembak ban mobil ini!" Suara Freya
terdengar putus asa, tatapan matanya beralih bergantian antara
BMW dan gerbang. "Ayo Flin, kau harus keluar dari jalan ini.
Lakukan sekarang!" Flin masih tidak mengatakan apa-apa, matanya tertumpu
pada perancah kayu, rahangnya mengencang. Dia melirik ke kaca
spion, memperlambat laju mobil sesaat lamanya agar BMW itu
mendekat dan kemudian menekan pedal gas lagi, membelokkan
roda kemudi ke kanan. Freya menjerit.
"Apa yang kau?"
"Menunduklah dan berpegangan!" teriaknya, menghantamkan
Fiat itu langsung ke penyangga kayu yang mendukung perancah.
Strukturnya goyah, bergoyang, dan mulai runtuh.
Fiat dan BMW yang pertama berhasil melewati gerbang
sebelum seluruh strukturnya runtuh dalam kepulan debu dan re-
218 | PAUL SUSSMAN runtuhan bangunan, menghantam BMW kedua seperti sebutir
telur yang ditimpa palu. "Masih sisa satu lagi," kata Flin.
Dia mengerem dan membelok ke kiri, meliuk-liuk menerobos
labirin jalan yang semakin melebar dan naik ke jalan raya yang
lebih tinggi yang membawa mereka kembali ke pusat kota.
Walaupun jalanan padat, lalu lintas masih berjalan lancar dan
cepat. Dengan cukup banyak ruang di antara begitu banyak
kendaraan di jalan, Flin dapat memacu taksi itu sampai 100
km/jam, berpindah-pindah di antara ketiga jalur jalan saat
dia melaju di antara deretan mobil dan truk, menara dan
papan iklan di Kairo pusat secara bertahap semakin rapat di
sekitar mereka. BMW memang melaju lebih cepat, tetapi Fiat
ini"kecil, seperti kotak, mudah bermanuver"lebih cocok dengan kondisi padat seperti ini. Perlahan tapi pasti, mereka
melesat menjauh, dan si kembar semakin jauh tertinggal di
belakang. Pada saat mereka meninggalkan jalan raya, melaju di
jalanan yang licin dan kembali ke ujung jalan Midan Tahrir, titik
dimulainya pengejaran, mereka telah berjarak empat ratus meter
dari para pengejarnya. "Aku kira kita akan berhasil lolos," kata Flin, sambil menengok ke belakang.
"Awas!" Flin berayun dan menginjak pedal rem: Fiat tiba-tiba berhenti
hanya beberapa sentimeter jauhnya dari bagian belakang truk
pick-up penuh dengan bunga kol. Di depannya, mereka disuguhi
pemandangan yang terlihat seperti seluruh panjang alun-alun itu.
Lalu-lintasnya statis akibat kemacetaan luar biasa, menghalangi
ketiga lajur yang ada. Flin menarik persneling mundur, sambil
berpikir bagaimana mereka bisa masuk ke jalur luar sehingga bisa
berputar balik menjauh dari kemacetan. Tetapi bus pariwisata
datang tepat di belakang mereka dan yang lain di lajur luar di
sisi kiri, truk pengangkut semen melengkapi blokade itu saat
kendaraan itu berhenti di samping kanan mereka. Tiba-tiba saja
mereka tidak bisa ke mana-mana.
THE HIDDEN OASIS | 219 "Sialan!" umpat Flin, sambil memukul setir dengan kepalan
tangan. Dan kemudian: "Keluar!"
Flin membuka pintu mobil dan menjejakkan kakinya di


The Hidden Oasis Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalanan aspal. Freya meraih ranselnya dan keluar mengikuti Flin.
Sambil mengabaikan teriakan pengemudi lain, mereka berlari
cepat menerobos lalu lintas dan tiba di trotoar.
Mereka berada di sisi utara Midan Tahrir, di samping sebuah
bangunan besar merah muda dan agak jingga yang dikelilingi
oleh pagar besi. Flin menengok ke belakang, sambil mencoba
mencari tahu keberadaan para pengejar mereka, kemudian meraih tangan Freya dan buru-buru mengelilingi pagar itu dan
melewati sebuah gerbang menuju taman di depan gedung itu.
Ada kolam dengan banyak hiasan, semacam pahatan dan patung
Mesir kuno, dan kerumunan wisatawan serta pelajar sekolah.
Petugas polisi berseragam putih berdiri, mencangklong AK47. Tidak seorang pun memerhatikan kehadiran mereka. Flin
agak ragu, matanya mengamati sekeliling, sambil mencoba menentukan apa yang akan mereka lakukan. Barisan kios dengan
bagian depan kaca berjajar di dekat pintu gerbang, dan salah
satu di antaranya baru saja kosong. Flin mendekati kios itu dan
membeli dua tiket. "Cepat," katanya, sambil menggamit tangan Freya, membawanya melewati taman dan menaiki anak tangga menuju
pintu masuk berbentuk lengkung di gedung itu. Begitu mereka
tiba di atas, Freya menyentuh tangan Flin dan menunjuk.
"Lihat!" Mereka bisa melihat kepala si kembar di alun-alun, keduanya
sedang berlari kecil di antara kendaraan yang diam dalam kemacetan, masih cukup jauh dari taksi yang mereka tinggalkan.
Mereka memerhatikan keduanya sesaat lamanya, kemudian dengan cepat beranjak ke dalam.
220 | PAUL SUSSMAN Jika sedang marah, Romani Girgis akan berteriak-teriak dan
memecahkan benda-benda di sekitarnya. Jika sangat marah, dia
akan menyakiti orang lain, karena penderitaan yang dirasakan
orang lain menjadi wadah pelampiasan masalahnya sendiri.
Namun demikian, jika dia benar-benar murka, amarah yang
menggelegak seperti seperti gunung berapi yang dapat menyebabkan orang lain berbusa mulutnya atau menjerit dan
berteriak, sesuatu yang aneh terjadi padanya. Dia akan merasa
banyak kecoak mengerubunginya. Ratusan kecoak merangkak
ke seluruh wajah, bagian tubuh, dan dadanya, persis seperti yang
telah mereka lakukan dulu ketika dia masih kecil di Manshiet
Nasser. Tidak ada kecoak, tentu saja. Itu hanya ada di kepalanya.
Meskipun demikian, rasanya hal itu benar-benar nyata dan
mengerikan"alat peraba binatang itu yang menggelitik dan
gerayangan kakinya yang menjijikkan. Dia telah menemui
sejumlah dokter, dan analis, dan ahli hipnotis dan bahkan, dalam
keputusasaan, dukun pengusir setan. Tidak satu pun dari mereka
yang dapat menolong. Serangga itu tetap datang, persis seperti
yang terjadi kepada dirinya ketika masih kanak-kanak, dan
seperti yang terjadi kini ketika dia menerima panggilan telepon
yang memberi kabar bahwa mereka kehilangan perempuan itu.
Awalnya adalah perasaan tertusuk-tusuk yang samar yang
hampir tak kentara pada pipinya dan, ketika panggilan telepon
itu datang dan cerita terperinci didengarnya, dengan cepat
sensasi itu muncul dan menguat sampai tidak ada bagian dari
dirinya yang terbebas darinya, tidak ada sudut dan celah di
tubuhnya yang tidak diserang: kecoak pada kulitnya, kecoak
pada mulutnya, kecoak di bawah kelopak matanya, kecoak yang
merayap ke arah anusnya"seluruh tubuhnya terbenam oleh
kecoak. Sambil menggaruk dan menampar-nampar tubuhnya dan
gemetar tak terkendali, dia menyudahi percakapan itu dan
menelepon lagi, memberi tahu penerima di jalur lain apa yang
telah terjadi, memerintahkan mereka untuk melakukan apa
THE HIDDEN OASIS | 221 pun yang mereka bisa untuk menelusuri jejak perempuan itu.
Kemudian, setelah melempar telepon, dia bergegas ke kamar
mandi terdekat. Dalam keadaan masih berpakaian lengkap, dia
melompat ke bawah mulut pipa dan menyalakan keran penuhpenuh, memukuli diri sendiri seolah dia sedang terbakar.
"Pergi!" dia berteriak. "Pergi dariku! Menjijikkan! Menjijikkan, menjijikkan, menjijikkan!"
Sambil menyeka keningnya dengan saputangan, Cy Angleton
beringsut menaiki anak tangga menuju gerbang utama American
University, berhenti sejenak untuk memerhatikan setengah lusin
mobil polisi yang terparkir di jalan luar sebelum melangkah ke
meja keamanan yang menghalangi pembatas.
"Gedung universitas ini ditutup," penjaga di meja memberi
tahu. "Tidak seorang pun diizinkan masuk atau keluar."
Ada insiden, jelasnya, polisi sedang menyelidiki peristiwa
itu, dan Angleton sebaiknya kembali lagi nanti begitu gedung
dinyatakan aman. Angleton terbiasa sekali berurusan dengan petugas kecil
seperti ini"semuanya adalah bagian dari tugas"dan dari pengalaman, dia tahu bahwa ada dua cara yang bisa dilakukan: memainkan keberuntungan dan mencoba membujuk mereka, atau
menyodorkan kartu otoritas dan mengintimidasi mereka sampai
mereka memberikan apa yang kau perlukan. Dia mengamati
petugas itu, menimbang-nimbang, sambil berhitung pilihan
mana yang akan bekerja paling baik dalam kasus ini, kemudian
memainkannya. "Aku tahu soal insiden itu," selanya, sambil mengeluarkan
kartu identitas dan menyodorkannya. "Cyrus J. Angleton,
Kedubes AS. Baru saja menerima panggilan telepon dari direktur.
Ternyata salah seorang warga negara kami terlibat di dalamnya."
222 | PAUL SUSSMAN Dia menduga paling tidak akan ada sedikit perlawanan.
Nyatanya, petugas itu langsung ciut, memohon maaf, dan mengantarnya langsung ke alat deteksi logam persegi empat yang
jelas-jelas tidak bekerja karena dia mengantongi kunci, pena,
dan semua benda logam. Semua itu tidak terdeteksi oleh alat itu,
bahkan tidak ada suara bip.
"Kalian harus memperbaiki benda ini," katanya, sambil memukulkan telapak tangannya pada sisi mesin itu. "Aku tidak
ingin mempertaruhkan nyawa warga negara Amerika dalam
bahaya hanya karena peralatan keamanan Anda tidak bekerja dengan baik. Mengerti?"
Petugas mendesah memohon maaf, lalu mengatakan bahwa
dia akan meminta seseorang untuk memperbaiki mesin itu secepat mungkin.
"Cepat perbaiki," kata Angleton sambil memelototinya
sebelum berbalik dan berjalan melintasi teras panjang. Lampu
braso berat bergantung di langit-langit, sinar kuningnya memberikan rasa mengantuk dan seperti bermimpi aneh pada tempat
itu. Di ujung teras, dia menaiki sejumlah anak tangga menuju
lift, yang tampaknya juga sedang tidak berfungsi. Dengan terpaksa, dia menaiki anak tangga ke lantai empat.
Ada kerumunan polisi di sana, berdiri di sana-sini dan tak
tampak melakukan banyak hal. Pita kuning direntangkan di
pintu lift yang terbuka, ada noda darah di lantai dan dinding
belakang. Dia mengamati semua itu sekilas, kemudian sengaja
berjalan menuju ruang kerja Brodie dan membuka pintunya,
seolah dia memiliki hak penuh untuk masuk ke sana. Setelah
melangkah masuk, dia menutup pintu. Tidak seorang pun polisi
berkata sesuatu atau mencoba menghentikannya.
Dia tidak berharap mendapatkan apa-apa di kantor itu dan
memang tidak mendapatkan apa-apa. Satu potongan keterangan
yang potensial bermanfaat diperolehnya ketika dia menekan
tombol redial pada pesawat telepon untuk menemukan panggilan
terakhir yang dilakukan Brodie, yaitu ke sebuah nomor ponsel.
Dia tidak mau repot-repot menulis nomor itu, dan memang
THE HIDDEN OASIS | 223 tidak perlu, karena dia dengan seketika mengenalinya: Molly
Kiernan. Dia memeriksa sekeliling, membuka laci, lemari arsip, memeriksa dengan cepat tumpukan esai di meja kerja Brodie, kemudian kembali ke koridor. Dua orang pendatang baru muncul
ketika dia sedang berada di dalam ruang kerja itu, detektif
berpakaian biasa"begitulah kira-kira. Salah satu dari mereka
bertanya apa yang sedang dilakukannya.
"Hanya meninggalkan beberapa esai untuk Profesor Brodie.
Kami mengajar satu mata kuliah bersama. Apakah semuanya
baik-baik saja" Ada banyak polisi di sekitar sini."
"Tidak, keadaan sedang tidak aman sementara ini," kata
detektif. Angleton seharusnya tidak berada di tempat ini, di sini
adalah tempat kejadian perkara.
"Tempat kejadian perkara!" Angleton terkejut melotot dan
terpukau. "Ya ampun! Ada yang terluka?"
Itulah yang sedang mereka selidiki, kata si detektif.
"Ya ampun," ulang Angleton. "Semoga Flin tidak apa-apa.
Maksudku, Profesor Brodie."
Mereka bahkan belum yakin apa yang terjadi, jawab si
detektif, walaupun benar bahwa Profesor Brodie dalam hal tertentu memang terlibat dalam hal ini.
"Ya ampun!" kata Angleton, untuk ketiga kalinya, sambil
meletakkan tangan di dadanya, berlagak canggung. "Apakah ada
yang bisa kubantu" Maksudku, Flin adalah teman baikku, kami
bekerja di departemen yang sama. Kalau saja ada yang bisa aku
lakukan, apa saja?" Dan dari sana semuanya meluncur, seperti mencuri permen
dari seorang bayi. Detektif itu mulai mengajukan pertanyaan
tentang Brodie kepadanya, dan dia mengarang jawaban, berperan sebagai teman yang penuh perhatian. Dalam prosesnya
dia telah menggiring detektif itu untuk menceritakan semua
yang mereka tahu tentang kejadian sore itu"teman perempuan
Brodie, pengejaran, si kembar, pencurian taksi, semuanya.
224 | PAUL SUSSMAN "Tidak ada yang tahu di mana mereka sekarang?" Angleton
bertanya lugu. "Anda yakin tentang hal itu?"
Sangat yakin, jawab si detektif. Kalau Profesor Brodie menghubungi"
"Andalah yang pertama kali tahu," pria Amerika itu meyakinkannya. "Flin adalah teman terbaikku dan aku tahu dia
ingin menjernihkan persoalan ini secepatnya."
Setelah itu, dia keluar menuju atap dan menelusuri rute
pengejaran, berakhir di gerbang samping di sisi terjauh kampus
universitas, yang juga dibatasi oleh pita kuning polisi yang
merentang di sana. Dia berbicara dengan beberapa orang di
sepanjang jalur tadi, mengumpulkan beberapa informasi kecil"
ransel perempuan itu jelas penting"tetapi tidak ada informasi
yang benar-benar baru dan berbeda dengan gambaran yang
diberikan oleh detektif tadi atau, lebih penting lagi, memberikan
petunjuk apa pun tentang ke mana Brodie dan gadis itu pergi.
Dia berjalan ke sekeliling sesaat lamanya, kemudian memutuskan
untuk menyudahinya. Dengan merunduk melewati kolong pita
polisi yang diikatkan di gerbang, dia berjalan menuju jalan raya,
menekan nomor pada telepon selulernya dan meletakkan gagang
telepon di telinganya. Museum Kairo "INI museumnya, "kan?" kata Freya ketika mereka telah melewati
pos penjagaan di dalam pintu masuk, adrenalin yang tersisa dari
pengejaran tadi masih memompa sistem tubuhnya. "Musem
Barang Antik." Sebenarnya itu sudah jelas, melihat deretan patung dan peti
mayat dari batu yang dipajang di sekitarnya, dan Flin mengangguk ringan, mendahului Freya menuju bagian bawah gedung
bundar berkubah tinggi itu. Galeri panjang terbentang ke kanan
THE HIDDEN OASIS | 225 dan kiri; di depan, di bawah anak tangga, terhampar atrium
yang sangat besar dan berplafon kaca. Dari sisi terjauhnya, dua
"gur yang sangat besar yang sedang duduk"satu laki-laki, satu
perempuan"menatap dingin ke arah mereka.
"Kita bersembunyi di sini sebentar dan kemudian kita naik
taksi ke Kedutaan," kata Flin. "Lebih baik jika pengemudinya
bukan aku." Flin melirik kepada Freya, kemudian berjalan terus di sepanjang galeri sebelah kiri. Freya tetap berada di tempatnya.
"Kita bisa mencetak "lm itu dulu," ujar Freya.
Flin berhenti dan membalikkan badan.
"Kau bilang kau punya teman yang bekerja di sini, di
departemen fotogra"." Freya mengangkat ranselnya. "Kita bisa
mencetak "lm itu."
Freya menduga Flin akan mendebatnya. Sebaliknya, setelah
berpikir sejenak, Flin mengangguk. Setelah kembali, dia
menggamit lengan Freya dan mengajaknya ke arah yang berlawanan, ke galeri sisi kanan.
"Tampilan kacau dari kail ikan zaman Neolitik, aku kira."
katanya. Mereka berjalan melewati sederet peti mati raksasa yang
terbuat dari batu"sebagian besar dari granit dan basal hitam"
permukaannya ditutupi tulisan hieroglif yang rapi. Sekelompok
anak sekolah berseragam sedang duduk di sisi dertan peti itu,
menggambar. "Semuanya dari Periode Akhir dan Yunani-Romawi," jelasnya
ketika mereka berjalan melewatinya, sambil menggerakkan
tangan seperti pemandu wisata. "Dari segi kualitas sangat
rendah." "Menakjubkan," gumam Freya.
Di ujung galeri, ada meja keamanan dengan alat pendeteksi
logam di sampingnya. Flin berbicara kepada petugas dalam
bahasa Arab, memperlihatkan semacam kartu dan membawa
226 | PAUL SUSSMAN Freya melewati alat deteksi dan pintu. Mereka keluar dari area
publik dalam museum itu dan berada di tempat yang sepertinya
merupakan bagian administrasi, sejumlah ruang penuh meja
dan lemari arsip terbuka di setiap sisinya. Mereka mengikuti
koridor pendek dan naik melalui tangga spiral, muncul di ruang
terbuka berantakan dengan sejumlah jendela kotor dan rak buku
yang tingginya dari lantai sampai plafon dengan barisan kotak
arsip berlabel. "Lontar, Pecahan Keramik/Batu, Vas, Peti Mati," Freya
membaca label, tatapannya terpaku sesaat pada beberapa arsip
sebelum melihat-lihat yang lain. Ada setengah lusin lemari arsip,
perabot yang tak terawat baik menyebar tak teratur, pemotong
kertas yang sudah berkarat dan di mana-mana, bertumpuk di
semua sudut, di rak dan di bawah meja, tumpukan foto dan alat
cetak, sebagian besar kuno dan foto lama, semuanya berantakan
dan tertutup debu. Kotak lampu, proyektor, alat pembesar foto,
tumpukan kertas foto hitam-putih Forte yang sudah doyong.
Tempat ini terasa lebih mirip toko barang bekas daripada studio
fotogra", pikir Freya.
Seorang pria duduk di meja di ujung ruangan itu"
gemuk, berambut keriting, dengan kacamata bulat tebal dan
kemeja Hawaii cerah"sedang berbicara di telepon. Mereka
menunggunya menyelesaikan pembicaraan. Ketika dia tidak
kunjung terlihat akan selesai berbicara, Flin kemudian pura-pura
batuk dengan berlebihan. Pria itu menoleh, melihat mereka, dan
tersenyum lebar. Dia buru-buru menyudahi pembicaraan, menutup gagang telepon, dan segera berdiri.
"Profesor Flin!" pekiknya, menghambur. "Apa kabar, kawan?"
"Kwais, sahebee," jawab Flin, sambil mengecup kedua pipinya.
"Freya, Majdi Rassoul"fotografer arkeologi terbaik di Mesir."
Freya dan Majdi bersalaman.
"Hati-hati dengan dia," kata si pria Mesir itu mengingatkan,
sambil tersenyum. "Dia seorang pria yang sering bikin patah
hati." THE HIDDEN OASIS | 227 Freya menjawab dia akan mengingat hal itu.
Mereka berbasa-basi sebentar, Majdi kemudian menjelaskan


The Hidden Oasis Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana dia baru-baru ini menemukan sebuah kotak berisi
negatif kaca Antonio Beato yang sampai sekarang belum dipublikasi?"Seratus lima puluh tahun usianya dan tidak pernah
dilihat sebelumnya! Debu emas, debu emas mutlak!?"sebelum
Flin membelokkan percakapan ke tujuan kunjungan mereka.
"Aku butuh bantuan," katanya. "Beberapa foto harus dicetak.
Kilat, kalau memungkinkan. Kau bisa melakukannya?"
"Mudah-mudahan bisa," jawab Majdi. "Bagaimanapun, kami
"kan studio fotogra"."
Flin mengangguk kepada Freya, yang membuka ranselnya
dan menyerahkan kamera serta wadah plastik.
"Ditemukan di padang pasir," kata Flin. "Mungkin sudah
bertahun-tahun lamanya, aku tak berharap terlalu banyak."
"Tergantung apa yang kau maksud dengan "di padang pasir","
kata si pria Mesir itu, sambil memutar benda itu di tangannya.
Dia meneliti Leica itu terlebih dahulu, kemudian wadah "lm,
membuka tutupnya dan mengeluarkan rol "lm yang sudah
terpakai. "Kalau benda-benda ini tadinya berada di puncak
gundukan pasir dan langsung terkena sinar matahari, maka
ya, "lm ini akan terbakar, tidak mungkin bisa dicetak. Tapi sebaliknya, kalau tertutupi?"
"Barang-barang itu berada di dalam tas kanvas," sela Freya.
"Kalau begitu, kita mungkin bisa melakukan sesuatu. Aku
akan mengerjakan rolnya terlebih dahulu?"lm di dalam kamera
mungkin agak lebih rumit. Apakah kau menginginkan layanan
kilat?" Flin tersenyum. "Itu bagus sekali."
"Layanan mewah superkilat dengan jamuan teh?"
"Lebih bagus lagi."
228 | PAUL SUSSMAN Majdi berteriak ke bawah tangga spiral dan, setelah meninggalkan kamera di meja tempat tadi dia menelepon, berjalan
ke sebuah pintu di sisi jauh galeri dan membukanya. Di dalamnya ada ruang gelap: tempat cuci, tangki pencetakan, lemari
pengering, kotak lampu, rak berisi berbagai botol bahan kimia.
"Beri aku dua puluh menit," katanya, sambil melempar rol
"lm ke udara dan menangkapnya. Dia mengedipkan mata, melangkah masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintu. "Dan
dilarang berciuman di sofa!" suaranya terdengar pelan.
Untuk sesaat lamanya mereka berdiri di sana, malu gara-gara
komentar terakhir itu. Kemudian Flin menyentuh bahu Freya.
"Kau tak apa-apa?"
Freya mengangguk. Dia merasa lebih tenang sekarang, ketegangannya sudah mereda setelah kejar-kejaran yang gila-gilaan
tadi. "Yakin?" Mengangguk lagi. "Kau sendiri?" Flin membuka tangannya. "Aku berada di museum. Tidak bisa lebih baik lagi."
Freya tersenyum, lebih karena menghargai usaha Flin untuk
melucu, bukan karena dia telah terhibur oleh hal itu. Mata
mereka berpandangan, tidak ada satu pun dari mereka yang
merasa yakin apa yang harus dikatakan, bagaimana menyatakan
ketegangan yang baru saja mereka lewati.
"Kau tahu siapa mereka itu?" tanya Freya akhirnya.
"Bukan Marx Bersaudara, yang pasti."
Kali ini Freya tidak tersenyum. Flin menyentuh bahu Freya,
menenangkan. "Semuanya akan beres," katanya. "Percayalah. Kita akan
segera keluar dari masalah ini."
Mereka berdiri sesaat lamanya, sambil saling menatap.
THE HIDDEN OASIS | 229 Kemudian, seolah rikuh dengan keakraban yang timbul, mereka
menjauh. Freya duduk di kursi kulit berlengan dan mulai
membuka-buka buku tentang gambar monumen Mesir yang
dipotret dari udara; Flin berjalan-jalan di sekitar deretan kotak
arsip di sepanjang dinding dan memainkan jarinya pada label
cokelat yang mengelupas, menarik satu arsip secara acak"
Bas-Reliefs"dan membuka isinya asal-asalan. Seorang pria tua
muncul dengan dua gelas teh, menyendokkan gula ke masingmasing gelas sebelum berlalu. Seekor burung gereja berkepak
masuk melalui jendela, berhenti sejenak di bagian atas kipas
angin dan terbang kembali ke luar. Dua puluh menit berlalu.
Dua puluh lima. Tiga puluh. Akhirnya hampir tiga per empat
jam sebelum pintu ruang gelap itu terbuka kembali dan Majdi
melongok. "Berhasil?" tanya Flin, bergerak mendekatinya.
Teman Flin itu mengernyit. Dia tampak agak kurang ceria
dibandingkan sebelumnya. "Ya, gambarnya bisa tercetak, kalau itu yang kau maksud,
walaupun aku harus mengatakan" Kau tahu, aku tak ingin terlihat seperti seorang pemalu di sini, tetapi?"
Dia menggelengkan kepalanya dan memberi tanda kepada
mereka untuk mendekat. "Lebih baik kalian lihat sendiri."
Flin dan Freya saling menatap dan mengikutinya masuk ke
ruang gelap. Lampu menyala sekarang, bola lampu tunggal biasa
tergantung di langit-langit. Majdi membuka lemari pengering
dan mengangkat lembar panjang negatif "lm. Dia meletakkannya di atas kotak lampu dan mematikan bola lampu di atas
sementara pada saat yang sama menekan tombol lampu di sisi
kotak. Sinar pijar merambah melalui permukaan Perspex-nya,
menyinari gambar. "Maksudku, aku orang yang berpikiran terbuka seperti lakilaki di sebelahku ini," dia mendesah, melangkah ke tepi memberi
ruang. "Tetapi, sungguh" ini museum, bukan klub seks."
230 | PAUL SUSSMAN Mereka mencondongkan badan dan melihat negatif "lm
itu. Dibutuhkan waktu sesaat bagi mereka untuk menangkap
dengan pasti apa yang sedang mereka lihat. Ketika berhasil menangkap gambar itu, mereka tertegun.
Pembunuhan Di Sungai Nil 1 Pendekar Slebor 01 Lembah Kutukan Putera Sang Naga Langit 5
^