Pencarian

Anna Karenina Jilid 2 1

Anna Karenina Jilid 2 Karya Leo Tolstol Bagian 1


XVII Aleksei Aleksandrovich pulang ke kamar hotelnya yang terpencil, dan tanpa sadar ia meninjau ulang seluruh pembicaraan sesudah makan siang tadi. Kata-kata Darya Aleksandrovna tentang pangampunan itu hanya menimbulkan rasa kesal di batin Aleksei. Diterapkan atau tidak hukum Kristen terhadap perkaranya itu merupakan masalah amat pelik yang tak bisa dibicarakan sambil lalu, apalagi mas itu sudah lama ia putuskan dengan tidak menerapkan hukum tersebut. Dari seluruh pembicaraan itu, yang paling menancap di benaknya adalah kata-kata Turovtsin yang bodoh tapi baik hati: betul, dia lakukan; d i a tantang, lalu dia bunuh. Semua orang agaknya bersimpati kepada tindakan itu, sekalipun demi kesopanan tak diutarakan.
"Pokoknya perkara sudah selesai, tak perlu kupikirkan lagi," kata Aleksei Aleksandrovich kepada diri sendiri. Dan sambil memikirkan rencana keberangkatannya dan urusan inspeksi, masuklah ia ke kamar dan bertanya kepada penjaga pintu yang mengiringi di mana gerangan pesuruhnya; penjaga pintu mengatakan, pesuruhnya baru saja keluar. Aleksei Aleksandrovich memerintahkan dia menghidangkan teh, lalu duduk menghadap meja, mengambil buku karangan Froom, dan mulai membayangkan rute perjalanannya.
"Ada dua telegram," kata pesuruh yang baru kembali seraya masuk ke kamar. "Maaf, Yang Mulia, saya baru saja pergi."
Aleksei Aleksandrovich mengambil telegram dan membukanya. Telegram pertama berisi berita tentang pengangkatan Stremov untuk jabatan yang juga dikehendakinya. Aleksei Aleksandrovich melemparkan surat resmi itu, wajahnya memerah, berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Quos vult perder
4 ANNA KAR"N!NA dementat,"1 katanya, dan yang ia maksudkan dengan quos itu adalah orang-orang yang mengusahakan pengangkatan Stremov. la kesal bukan karena tidak memperoleh kedudukan itu, tapi karena dilewati begitu saja; ia betul-betul tak habis pikir dan amat heran, bagaimana mungkin orang-orang itu tak tahu bahwa si pembual dan tukang omong yang indah-indah itu, Stremov, sangat tak cocok memegang jabatan itu dibandingkan lainnya. Mereka betul-betul tak sadar bahwa dengan mengangkat Stremov mereka membinasakan sendiri, membinasakan kewibawaan dan pengaruh mereka sendiri!
"Masih ada orang sejenis itu rupanya," katanya kepada sendiri dengan jengkel sambil membuka telegram kedua. Telegram itu dari istrinya. Tandatangan sang istri, "Anna'', dengan pensil birulah yang pertama-tama menyergap perhatiannya. "Sebelum saya mati, saya minta, saya mohon, Anda datang. Dengan ampunan, saya akan mati lebih tenang," dibacanya. Ia tersenyum sinis, dan dilemparkannya telegram itu. Awalnya i a merasa yakin bahwa telegram itu hanya sekadar tipuan dan kelicikan.
"Tak ada penipuan yang diharamkan olehnya. Ia harus melahirkan. Mungkin ini karena sakit melahirkan. Tapi apa pula maksud mereka" Menjadikan anak itu bukan anak haram, mendorong aku berkompromi, dan menghalang-halangi perceraian?" pikirnya. "Ta pi apa pula yang dikatakan di sini: "Sa ya akan mati.. .. " Dibacanya kembali telegram itu; dan tiba-tiba saja makna tersurat telegram itu memukaunya. "Bagaimana kalau ini betul?" katanya kepada sendiri. "Bagaimana kalau benar, bahwa di saat derita dan maut mendekat dengan tulus ia menyesali diri, sedangkan aku menganggapnya berbohong dan menolak datang" Itu bukan hanya kejam, dan semua orang mengutukku, tapi juga akan menjadi tindakan bodoh di pihakku."
"Pyotr, hentikan kereta itu. Aku akan ke Petersburg," katanya kepada pesuruh.
Aleksei Aleksandrovich memutuskan pergi ke Petersburg untuk menengok Anna. Kalau sakitnya te ta cuma tipuan, ia tidak
' Quos vult perder dementat (Pr): Orang yang bakal dibinasakan Tuhan, dibinasakan akal sehatnya.
LEOTOLSTOI akan bicara apa-apa dan langsung pergi lagi. Tapi kalau istrinya itu betul-betul sakit, tengah menghadapi maut, dan ingin melihat dirinya menjelang kematian, akan ia maafkan dia jika masih bisa ditemui dalam keadaan hidup, dan akan ia laksanakan kewajiban terakhirnya kalau ternyata ia datang terlambat.
Sepanjang perjalanan ia sudah tak berpikir lag i tentang apa yang hendak dilakukannya.
Dengan perasaan lelah dan rusuh akibat perjalanan malam hari di dalam gerbong, di tengah kabut pagi kota Petersburg, Aleksei Aleksandrovich berkereta menyusuri Jalan Nevskii yang masih sepi dan mengarahkan pandangan ke depan tanpa memikirkan apa yang hendak dijumpainya. Ia tak sanggup memikirkan hal itu, karena membayangkan apa yang bakal terjadi, tak bisa ia mengusir dugaan bahwa kematian istrinya bakal sekaligus melenyapkan kesulitan menyangkut posisinya. Tukang roti, warung-warung yang masih tutup, kereta-kereta malam, tukang kebun, trotoar yang membentang, semua melintas di matanya, dan ia memerhatikan semua itu sambil mencoba menindas pikiran tentang apa yang bakal dihadapi dan apa yang tak berani diharapkan namun tetap diharapkan. Sampailah i a di serambi. Sebuah dokar dan sebuah kereta yang kusir-kusimya tengah tidur berhenti di pintu-masuk. Selagi memasuki pendapa, Aleksei Aleksandrovich seolah beroleh keputusan dari sudut terjauh otaknya dan memahami sepenuhnya keputusan itu. Keputusan itu berbunyi: "Kalau penipuan, maka kebencianku tidak akan berubah, dan aku pergi lagi. Kalau benar, maka sopan-santun perlu dijaga."
Penjaga pintu sudah membuka pintu sebelum Aleksei Aleksandrovich sempat membunyikan lonceng. Penjaga pintu, Petrov, yang juga dipanggil Kapitonich, terlihat aneh, mengenakan jubah tua, tanpa dasi, dan bersepatu.
"Ada apa dengan Nyonya?"
"Kemarin bersalin dengan selamat."
Aleksei Aleksandrovich terhenti, pucat. Baru sekarang ia mampu memahami dengan jelas betapa ia mengharapkan kematian istrinya. "Kesehatannya?"
6 ANNA KAR"N!NA Komei yang mengenakan celemek pagi hari lari menuruni tangga.
"Buruk sekali," jawabnya. "Kemarin diadakan sidang dokter, dan sekarang dokter ada di sini."
"Ambil barang-barang itu," kata Aleksei Aleksandrovich, dan masuklah ia ke kamar depan2 dengan perasaan sedikit ringan mendengar berita yang setidak-tidaknya menunjukkan ada harapan .
Di gantungan pakaian terdapat mantel militer. Aleksei Aleksandrovich melihat mantel itu, tanyanya:
"Siapa di sini?"
"Dokter, bidan, dan Pangeran Vronskii."
Aleksei Aleksandrovich terus melangkah ke kamar dalam. Tak seorang pun yang mendengar langkahnya di kamar tamu, maka dari dalam kamar Anna keluar bidan mengenakan topi berpita lila.
Bidan itu mendekati Aleksei Aleksandrovich, dan dengan sikap ramah seperti biasa ketika maut mendekat, mencengkam tangan Aleksei dan menuntunnya ke kamar tidur.
"Sy ukurTuan datang! Hanya Tuan, hanya Tuan yang ditanyakan," kata bidan.
"Kasih es itu cepat!" terdengar suara dokter dengan nada memerintah dari kamar tidur.
Aleksei Aleksandrovich langsung ke kamar kerja Anna. Vronskii duduk di kursi pendek di dekat meja Anna, bersandar menyamping. Ia menangis sambil menutup wajah dengan kedua belah tangannya. Mendengar suara dokter ia terlonjak, melepaskan tangan dari wajahnya, dan terlihat olehnya Aleksei Aleksandrovich. Melihat Karenin ia kebingungan dan duduk kembali, lalu membenamkan kepalanya ke bahu seakan hendak menghilang entah ke mana; tapi ia berusaha menguasai diri, bangkit, dan berkata:
"Ia akan meninggal. Para dokter bilang tak ada harapan. Saya dalam kekuasaan Anda sepenuhnya, tapi izinkan saya tinggal di sini ... singkatnya, semua terserah Anda, saya .... "
Melihat airmata Vronskii, Aleksei Aleksandrovich merasakan
2 Kamar depan: Kamar yang biasa digunakan untuk menggantungkan mantel, topi, jas, atau melepas sepatu luar bagi tamu sebelum ke kamar tamu.
LEOTOLSTOI datangnya banjir kekacauan jiwa; itu karena ia melihat penderitaan orang lain. la palingkan wajah, tak mendengarkan kata-kata Vronskii sampai selesai, lalu bergegas ke pintu. Dari kamar tidur terdengar suara Anna mengucapkan sesuatu. Suaranya gembira, bersemangat, dengan intonasi sangat khusus. Aleksei Aleksandrovich masuk ke kamar tidur dan mendekati ranjang. Anna terbaring dengan wajah menghadap ke arah dia. Pipinya kemerahan, matanya berkilauan, dan kedua tangannya yang kecil, putih, menyembul dari et blusnya, mempermainkan ujung selimut dengan melipat-lipatnya. la bukan hanya tampak sehat dan segar, suasana hatinya pun sedang amat baik. la bicara cepat, lantang, dengan intonasi yang amat pas dan bisa diresapkan.
"Aleksei-maksud saya Aleksei Aleksandrovich (sungguh aneh dan mengerikan bahwa keduanya bernama Aleksei, ya")-kiranya tidak akan menolak saya. Kiranya saya akan melupakan, dan kiranya i a akan memaafkan .... Ta pi kenapa dia tak juga datang" Dia itu baik hati, tapi dia sendiri tak tahu bahwa dirinya baik hati. Ah! Ya, Tuhan, alangkah menjemukan! Kasih saya air, cepat! Ah, tapi itu tak baik buat dia, buat bayi ini. Baiklah, berikan tukang menyusui untuknya. Ya, saya setuju, itu lebih baik. N anti Aleksei akan datang, dan ia akan benci meli . Bawa bayi ini."
"Anna Arkadyevna, Aleksei Aleksandrovich sudah datang. Ini dia!" kata bidan sambil mencoba menarik perhatian Anna ke arah Aleksei Aleksandrovich.
"Ah, omong-kosong saja!" sambung Anna yang tak melihat suaminya. "Mana bayi itu, anakku itu, berikan sini! Dia belum lagi datang. Kalian bilang begitu karena dia tak mungkin memaatkan, karena kalian tak kenal dia. Cuma saya yang kenal, itu berat saya rasakan. Mesti kenal matanya. Mata Seryozha juga begitu; karena itu, tak kuat saya menatap matanya. Apa Seryozha sudah dikasih makan siang" Saya tahu, semua orang akan melupakan dia. Tapi dia tak bakal lupa. Seryozha harus dipindahkan ke kamar pojok, dan suruh Mariette tidur dengan dia."
Sekonyong-konyong ia meringkuk, terdiam, dan dengan rasa takut seakan menanti pukulan, seakan membela , ia angkat tangannya ke wajah. la melihat suaminya.
8 ANNA KAR"N!NA "Tidak, tidak," ujarnya. "Aku tak takut padanya, aku cuma takut mati. Aleksei, coba dekat ke sini. Aku buru-buru, tak ada waktu lagi, hidupku tak lama lagi, sebentar lagi panas naik, dan aku tidak akan mengerti apa-apa. Sekarang aku masih sadar, masih mengerti semuanya, masih melihat semuanya."
Wajah Aleksei Aleksandrovich yang mengerut memperlihatkan ekspresi menderita; ia pegang tangan Anna dan ingin mengatakan sesuatu, tapi tak sanggup; bibir bawahnya bergetar, tapi ia terus berjuang melawan kegelisahannya, dan hanya sesekali menoleh ke arah sang istri. Dan tiap kali menoleh ke arah Anna, tampak olehnya pandangan mesra yang pen uh keharuan dan kegembiraan, suatu hal yang belum pernah dilihatnya.
"Tunggu, kamu tak tahu .... Tunggu, tunggu ... ," sampai di situ ia terhenti, seperti sedang menyiapkan pikiran. "Ya," katanya lagi memulai. "Ya, ya, ya. Ini yang hendak kukatakan. Jangan heran melihat aku. Aku masih seperti dulu .... Ta pi dalam diriku ada aku yang lain, tapi aku tak takut kepada aku yang lain itu-dia itulah yang jatuh cinta kepada orang itu, dan aku mau membencimu, tapi tak sanggup aku melupakan diriku yang dulu. Yang dulu itu bukan diriku. Sekarang ini aku yang sesungguhnya, inilah aku yang seutuhnya. Sekarang aku akan mati, aku tahu akan mati, coba tanya dia. Sekarang pun sudah kurasakan, coba ini, berat sekali rasanya di tangan, di kaki, di jari-jari. Jari-jari segini be a, ya, besar sekali! Tapi semua ini akan berakhir .... Satu hal yang kupinta: maatkan aku, betul-betul maatkan! Aku memang mengerikan, tapi Bibi bilang padaku: perempuan suci yang mati syahid-siapa itu namanya"-dia lebih buruk daripada aku. Dan aku akan pergi ke Roma, di sana ada padang pasir, dan di sana aku tidak akan mengganggu siapapun, cuma Seryozha yang kubawa, dan bayi ini.. .. Tidak, kamu tak bakal memaatkan! Aku tahu ini tak termaatkan! Tidak, tidak, pergi sana, kamu terlalu baik!" dan dengan sebelah tangannya yang panas ia pegang tangan Aleksei Aleksandrovich, dan dengan tangan yang lain ditolakkannya.
Kekacauan batin Aleksei Aleksandrovich makin lama makin meningkat, dan kini mencapai tahap yang amat tinggi sampai ia tak sanggup lagi melawannya; tiba-tiba ia merasa, apa yang dianggapnya
LEOTOLSTOI sebagai kekacauan batin itu, sebaliknya, adalah suasana jiwa yang nikmat, yang memberinya dengan sekonyong-konyong kebahagiaan baru yang belum pernah ia rasakan. Ia tak berpikir tentang hukum Kristen, yang selama hidup jadi tuntunannya, yang mengharuskan dia memaatkan dan mencintai musuh-musuhnya; tapi perasaan cinta dan penuh maaf terhadap musuh itu, yang bersifat gembira, kini memenuhi batinnya. Ia pun berlutut; direbahkannya kepala ke tangan sang istri yang terlipat, dan ia menangis tersedu-sedu seperti anak-anak. Anna memeluk kepalanya yang membotak, menggeserkan diri ke dekatnya, dan menengadahkan wajah dengan tatapan menantang.
"Nab, ini dia, aku tahu! Sekarang selamat tinggal semuanya, selamat tinggal!. .. Mereka datang lagi; kenapa mereka ini tak pergi" ... Tanggalkan mantel ini dari badanku!"
Dokter melepaskan tangan si sakit, merebahkan badannya dengan hati-hati ke kasur, dan menyelimuti sampai bahunya. Anna dengan patuh berbaring telentang dan menatap ke depan dengan mata berseri.
"Ingatlah satu ha! saja, bahwa aku hanya butuh maaf, dan lebih daripada itu aku tak mau .... Kenapa pula ia tak datang?" uja lagi ke arah pintu, kepada Vronskii. "Coba ke sini, ke sini! Kasih tangan padanya."
Vronskii mendekat ke tepi ranjang, dan ketika menyaksikan kondisi Anna, kembali ia menutup wajah dengan kedua belah tangannya.
"Buka mata itu, dan lihat dia. Dia orang suci," kata Anna lagi. "Coba buka, buka wajah itu!" ujarnya marah. "Aleksei Aleksandrovich, buka itu wajahnya! Aku mau melihatnya."
Aleksei Aleksandrovich memegang tangan Vronskii dan menariknya dari wajah lelaki itu, yang tampak mengerikan karena memperlihatkan penderitaan dan rasa malu.
"Ulurkan tangan padanya. Maatkan dia."
Aleksei Aleksandrovich mengulurkan tangan kepada Vronskii tanpa bisa menahan airmatanya yang mengucur.
"Syukurlah, syukurlah," ujar Anna. "Sekarang semuanya sudah siap. Cuma perlu meluruskan kaki sedikit. Ya, begini, ya, bagus
10 ANNA KAR"N!NA s Ah, gambar bunga itu dibikin samasekali tanpa selera, samasekali tak mirip bunga violet," ujarnya sambil menunjuk kertas dinding. "Ya Tuhan! Ya Tuhan. Kapan ini berakhir" Kasih saya morfin, Dokter! Kasih saya morfin. 0 Tuhan, ya Tuhan!" Dan ia pun tergolek-golek di tempat tidur.
Dokter dan koleganya mengatakan, itu adalah demam persalinan, dan dari seratus orang, sembilanpuluh sembilan berakhir dengan kematian. Sepanjang hari si sakit panas tinggi, meracau, dan hilang kesadaran. Menjelang tengah malam si sakit hilang kesadaran dan denyut nadinya nyaris tak ada.
Setiap waktu orang menantikan ajalnya.
Vronskii pulang, tapi pagi hari ia datang untuk mengetahui kabar Anna. Bertemu dengan Vronskii di kamar depan, Aleksei Aleksandrovich berkata:
"Tinggallah di sini, bar ia akan menanyakan Anda," lalu ia mengantarkan Vronskii ke kamar kerja istrinya.
Menjelang pagi si sakit kembali gelisah, meronta, menyemburkan pikiran dan kata-kata, dan berakhir dengan hilangnya kesadaran. Hari ketiga keadaan masih belum berubah, tapi para dokter mengatakan masih ada harapan. Hari itu Aleksei Aleksandrovich masuk ke kamar kerja; di situ Vronskii duduk; ditutupnya pintu, lalu duduk di hadapan Vronskii.
"Aleksei Aleksandrovich," kata Vronskii, ketika dirasakannya Aleksei Aleksandrovich sudah bersiap-siap hendak mengungkapkan perasaannya. "Saya tak sanggup bicara, dan saya tak bisa berpikir. Maafkan saya! Betapapun beratnya bagi Anda, percayalah, buat saya ini Jebih mengerikan Jagi."
Ia hendak berdiri. Tapi Aleksei Aleksandrovich memegang tangannya, katanya:
"Tolong Anda dengarkan kata-kata saya, karena ini pen ting. Saya harus mengungkapkan perasaan saya, perasaan yang mengendalikan diri saya dan akan terns mengendalikan diri saya agar Anda tak salah paham dalam berhubungan dengan saya. Anda tahu, saya telah memutuskan untuk bercerai, dan sudah memulai perkaranya.
LEOTOLSTOI Saya tak hendak menyembunyikan dari Anda bahwa ketika memulai perkara itu saya ragu dan tersiksa; saya akui, hasrat balas dendam terhadap Anda dan dia telah menghantui diri saya. Sesudah menerima telegram itu, saya kemari dengan perasaan yang sama; bahkan lebih daripada itu bisa saya katakan: saya mengharapkan kematiannya. Tapi...," sampai d i sini i a terhenti, menimbang-nimbang akan membuka atau tidak perasaannya itu kepada Vronskii. "Tapi saya sudah melihat dia, dan saya memaafkannya. Dan kebahagiaan memberi maaf itu telah memberi saya kewajiban yang harus saya laksanakan. Saya benar-benar telah memaafkannya. Saya bersedia memberikan pipi saya yang lain, saya bersedia menyerahkan kemeja saya bila jubab saya diambil, dan saya hanya memohon kepada Tuhan agar Ia tak mengambil kebahagiaan karena pemberian maaf itu dari diri saya!" Airmata mengambang, dan tatapan matanya yang terang dan tenang itu memukau Vronskii. "Inilah keadaan saya. Anda boleh menginjak-injak saya di dalam lumpur, membuat saya jadi tertawaan dunia, tapi tak bakal saya meninggalkan dia, dan tak satu pun celaan akan saya lemparkan kepada Anda," sambungnya. "Kewajiban saya telah terlukis dengan jelas: saya harus bersama dia, dan saya memang akan bersamanya. Kalau dia mau bertemu dengan Anda, saya akan beritahu Anda, tapi sekarang menurut pendapat saya, lebih baik Anda menjauhkan diri."
la bangkit, dan sedu-sedan menghentikan bicaranya. Vronskii pun berdiri, dan dengan tubuh membungkuk ia menatap Aleksei Aleksandrovich sambil mengerenyitkan kening. Ia tak memahami apa yang dirasakan Aleksei Aleksandrovich. Tapi ia tahu, perasaan itu adalah sesuatu yang lebih tinggi dan bahkan tak tergapai olehnya.
XVIII Sesudah bicara dengan Aleksei Aleksandrovich itu Vronskii melangkah ke serambi rumah keluarga Karenin, berhenti di situ, dan dengan susah-payah memikir-mikirkan di mana gerangan ia berada dan ke mana harus pergi, dengan jalan kaki atau berkendaraan. Ia merasa malu, terhina, bersalah, dan tak mampu menghapus penghinaan itu. Ia merasa dirinya terpental dari jalur hidup yang
12 ANNA KAR"NfNA telah ditempuhnya dengan bangga dan mudah hingga kini. Semua kebiasaan dan aturan hidupnya, yang ia pandang sangat kokoh, te ta palsu dan tak berguna. Suami yang tertipu, yang sampai kini tampil sebagai makbluk yang patut dikasihani dan merupakan penghalang tak pen ting dan agak menggelikan bagi kebahagiaannya, tiba-tiba dipanggil oleh Anna sendiri, didudukkan di tempat tinggi hingga memaksanya bersikap merendahkan diri, dan di tern pat tinggi itu dia tidak tampil sebagai orang jahat, palsu, menggelikan, tapi baik hati, sederhana, dan agung. Hal itu tidak bisa tidak dirasakan Vronskii. Peranan-peranan pun mendadak berubah. Vronskii merasakan betapa tingginya kedudukan Aleksei Aleksandrovich dan betapa hinanya dia; ia merasakan betapa berbudinya Aleksei Aleksandrovich dan betapa batilnya dia. Ia merasa betapa sang suami dalam kesedihannya tetap dermawan, sedangkan dirinya rendah dan tak berharga penuh tipu daya. Tapi kesadaran mengenai betapa hinanya dia di hadapan orang itu, yang dibencinya secara tak adil, hanya merupakan sebagian kecil kesedihan. Ia merasa dirinya sangat tak bahagia sekarang ini, karena nafsunya terhadap Anna, yang menurut prasangkanya sudah mendingin saat-saat terakhir itu, kini, ketika ia tahu akan kehilangan perempuan itu untuk selamanya, ternyata menjadi lebih hebat daripada yang sudah-sudah. Ia seolah bisa melihat Anna seutuhnya ketika sakit, mengenal jiwanya, dan ia merasa beta pa sampai waktu itu ia belum pernah mencintainya. Justru sekarang ini, ketika ia sudah mengenalnya, mencintai sebagaimana mestinya, ia dihinakan dan kehilangan Anna untuk selamanya, meninggalkan kepada perempuan itu kenangan yang memalukan tentang dirinya. Tapi yang paling mengerikan adalah peristiwa yang mengg dan memalukan, ketika Aleksei Aleksandrovich menarik tangannya dari wajahnya. Sekarang ia berdiri di serambi rumah keluarga Karenin seperti orang tersesat, tak tahu apa yang mesti diperbuat.
"Tuan perlu kereta?" tanya penjaga pintu. "Ya, kereta."
Ketika sampai di rumah, sesudah tiga malam tak tidur, tanpa melepas pakaian Vronskii langsung membaringkan diri tengkurap di ranjang; i a tumpangkan kepala di atas tangannya yang dilipat. Kepala
LEOTOLSTOI itu berat. Angan-angan, kenangan, dan pikiran-pikiran paling aneh bermunculan silih-berganti dengan kecepatan dan kegamblangan yang luarbiasa: ya tentang obat yang ia tuangkan untuk si sakit dan tumpah sewaktu masih di sendok, tentang tangan bidan yang putih, tentang posisi aneh Aleksei Aleksandrovich sewaktu berlutut di depan ranjang.
"Tidak! Lupakan itu!" katanya kepada diri sendiri dengan keyakinan mantap seorang yang sehat, bahwa jika i a lelah dan i ngin tidur, sebentar lagi akan tertidur. Dan memang saat itu pula kepalanya terasa kusut, dan ia mulai tenggelam dalam jurang kelupaan. Gelombang laut kehidupan tanpa ia sadari mulai membusa di kepalanya ketika mendadak-sontak-seakan ada aliran listrik terkuat disalurkan kepadanya-ia menggigil hingga seluruh tubuhnya terguncang-guncang di atas ranjang berpegas, dan dengan bertelekan pada tangan ia pun melompat berlutut penuh ketakutan. Matanya terbuka lebar seperti orang yang tak pernah tidur. Beratnya kepala dan lesunya anggota badan yang baru saja dirasakannya tibatiba lenyap.
"Anda boleh menginjak-injak saya di dalam lumpur," terngiang di telinganya kata-kata Aleksei Aleksandrovich, dan orang itu seolah
di hadapannya, juga wajah Anna yang kemerahan penuh berahi dengan mata berseri, yang dengan mesra dan rasa cinta bukan memandang dia, melainkan ke arah Aleksei Aleksandrovich; tampak pula dirinya sendiri, yang menurut perasaannya tampak bego dan menggelikan, ketika Aleksei Aleksandrovich menarik tangannya dari wajahnya. Maka ia lempangkan kembali kedua kakinya, ia lemparkan badan ke ranjang dengan posisi seperti tadi, dan menutup mata.
"Tidur! Tidur!" ulangnya kepada diri sendiri. Tapi dengan mata tertutup i a malah makin jelas melihat wajah Anna, seperti pada petang hari menjelang pacuan yang sangat diingatnya itu.
"Lenyap dan akan lenyap semua itu, karena Anna ingin menghapus seluruh kenangannya. Sedangkan aku tak bisa hidup tanpa kenangan itu. Bagaimana kita bisa berdamai, bagaimana kita bisa berdamai?" katanya dengan bersuara, dan tanpa sadar ia mulai me -ulang kata-kata itu. Pengulangan kata-kata itu
14 ANNA KAR"N!NA menghambat munculnya lagi bayangan-bayangan dan kenangankenangan lama yang ia rasakan telah memenuhi kepalanya. Tapi itu tak lama. Saat-saat terbaik yang pernah dialami dan penghinaan yang belum lama terjadi itu kembali terbayang silih-berganti dengan kecepatan luarbiasa. "Lepaskan tangan itu," terdengar suara Anna. Dia lepaskan tangan itu, dan i a rasakan wajahnya memperlihatkan ekspresi malu dan bodoh.
Vronskii terns saja berbaring dan mencoba tidur, meskipun ia merasa sia-sia saja, dan dengan suara lirih ia terus saja mengulangulang kata-kata yang diambilnya dari dalam pikiran, dan dengan itu ia hendak menghambat munculnya gambaran-gambaran baru. Ia mendengar-dengarkan-dan terdengar olehnya suara lirih yang aneh dan gila kata-kata yang diulang-ulang ini: "Tak bisa aku menghargai, tak bisa memanfaatkan; tak bisa aku menghargai, tak bisa memanfaatkan."
"Apa ini" Apa barangkali aku sudah gila?" katanya kepada sendiri. "Barangkali. Apa karena itu pula orang jadi gila atau menembak diri?" jawabnya kepada diri sendiri, dan ketika ia membuka mata, terlihat olehnya dengan rasa heran bantal bikinan Varya, istri abangnya, ada di dekat kepalanya. Dirabanya umbai bantal itu dan dicobanya mengingat Varya ketika ia terakhir kali berjumpa dengannya. Tapi berpikir tentang sesuatu yang lain sungguh menyiksa. ''Tidak, aku harus tidur!" Ia geser bantal itu dan direbahkannya kepala ke bantal, tapi ternyata ia tetap harus berusaha keras agar bisa mengatupkan mata. Ia pun melompat dan duduk. "Inilah akhir diriku," katanya kepada diri sendiri. "Mesti kupikirkan apa yang harus kuperbuat. Apa yang masih bisa dilakukan?" Dengan cepat pikirannya menjelajahi hidup di luar cintanya kepada Anna.
"Ambisi" Serpukhovskoi" Kebangsawanan" lstana?" Tak ada yang bisa i a pikirkan dengan tuntas. Semua itu dahulu bermakna baginya, tapi sekarang tak ada artinya. Ia bangkit dari ranjang, melepaskan jas, melepaskan sabuk, lalu dibukanya dadanya yang bersimbar agar bisa bemapas lebih bebas, dan ia pun mondarmandir di kamarnya. "Beginilah orang-orang itu jadi gila," ulangnya. "Dan beginilah mereka menembak diri ... supaya tak merasa malu," tambahnya pelan. la dekati pintu dan dibukanya, kemudian
LEOTOLSTOI dengan tatapan mata yang mantap dan dengan gigi terkatup erat didekatinya meja, diambilnya revolver, diamat-amatinya, dibaliknya laras yang terisi, dan merenunglah ia. Kira-kira dua menit ia berdiri memegang revolver itu sambil menekurkan kepala dengan airmuka menunjukkan suatu usaha yang luarbiasa tanpa gerak, berpikir. "Tentu saja," katanya kepada diri sendiri, seakan jalan pikiran yang logis, panjang, dan terang telah membawanya kepada satu kesimpulan pasti. Padahal, kenyataannya, kata-kata "tentu saja" itu, yang baginya meyakinkan, hanyalah akibat pengulangan lingkaran kenangan dan gambaran itu-itu juga, yang sudah berpuluh kali ditemui selama waktu itu, yaitu kenangan bahagia yang telah hilang untuk selamanya, juga gambaran tentang hampanya segala yang bakal terjadi dalam hidupnya, juga kesadaran mengenai penghinaan orang kepadanya. Bahkan urutan semua gambaran dan perasaan itu.
"Tentu saja," ulangnya ketika untuk ketiga kali pikirannya tertuju kembali kepada lingkaran kenangan dan pikiran yang sudah tersihir itu; ia tempelkan revolver ke sisi kiri dadanya, dan ditariknya pelatuk dengan sepenuh tenaga, seolah ia meremasnya dengan kepalan. Ia tak mendengar bunyi tembakan, tapi suatu pukulan keras telah memb terjatuh. Ia hendak berpegangan pada tepi meja, tapi revolvemya jatuh, kemudian ia terhuyung dan terduduk di lantai, menoleh ke sekeliling dengan rasa heran. Ia tak mengenali lagi kamarnya ketika melihat dari bawah ke atas, ke arah kaki meja yang melengkung, ke arah keranjang sampah, dan ke arah kulit harimau. Langkah-langkah cepat para hamba yang ribut di kamar tamu memaksanya sadar. Dikerahkannya pikiran, dan mengertilah i a bahwa ia terbaring di lantai, dan ketika ia melihat darah di atas kulit harimau dan di tangannya, menge ia bahwa ia telah menembak diri.
"Bodoh sekali! Tak kena," ujarnya sambil meraba-raba mencari revolver. Revolver itu ada di dekatnya, tapi dicarinya di tempat yang jauh. Sambil terns mencari ia mengulurkan tangan ke sisi lain, dan karena tak mampu menjaga keseimbangan, ia pun terjatuh dengan menumpahkan darah.
Seorang hamba perlente, bercambang, dan terus-menerus mengeluh kepada para kenalannya bahwa sarafnya lemah, amat
16 ANNA KAR"N!NA ketakutan mel i hat tuannya tergeletak di lantai; ia tinggalkan tuannya berlumuran darah, dan ia segera berlari mencari pertolongan. Satu jam kemudian Varya, istri abangnya, dengan bantuan tiga orang dokter yang datang atas panggil annya, dan datang bersamaan, membaringkan dia di ranjang dan tinggal di dekatnya untuk merawatnya.
XIX Kesalahan yang n Aleksei Aleksandrovich adalah bahwa kesiapannya bertemu dengan sang istri tidak disertai pemikiran tentang kemungkinan Anna akan menyatakan penyesalan secara tulus; dan ia memaatkan Anna, sementara istrinya itu tak jadi mati. Kesalahan ini, sesudah dua bulan dia kembali dari Moskwa, masih tergambar dengan amat jelas di pelupuk matanya. Tapi kesalahan yang dilakukannya itu terjadi bukan hanya karena ia tak memikirkan kemungkinan yang bersifat kebetulan tersebut, melainkan juga karena sebelum bertemu dengan sang istri yang akan mati itu ia tak mengenal batinnya sendiri. Di ranjang istrinya yang sakit waktu itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia curahkan sepenuhnya rasa prihatin pen uh haru atas penderitaan orang lain, rasa yang dulu malu ia akui dan menganggapnya sebagai kelemahan yang merugikan; dan rasa kasihan kepada sang istri serta penyesalan telah mengharapkan kematiannya, dan terlebih rasa gembira karena telah memberinya maaf, telah menyebabkan ia tiba-tiba merasa tak menderita lagi dan memperoleh ketenangan jiwa yang belum pernah ia alami. Tibatiba ia merasa, apa yang menjadi sumber penderitaannya dulu kini menjadi sumber kegembiraan batinnya, dan apa yang tadinya tampak tak terpecahkan ketika ia mengecam, mencela, dan membenci, kini menjadi terasa amat sederhana dan terang begitu ia memaatkan dan mencintai.
la maatkan sang istri dan kasihan kepadanya karena dia telah menderita dan menyesal. Ia pun memaatkan Vronskii dan kasihan kepadanya, terutama setelah ia mendengar kabar bahwa Vronskii melakukan perbuatan putusasa. la juga kasihan kepada anaknya, bahkan lebih daripada sebelumnya, dan ia mencela dirinya sendiri
LEOTOLSTOI karena terlalu sedikit mengurusi anaknya itu. Tapi terhadap bayi perempuan yang baru dilahirkan itu ia menyimpan perasaan khusus, bukan hanya perasaan kasihan, tapi juga perasaan mesra. Semula ia mengurusi bayi perempuan yang masih lemah itu karena rasa prihatin semata-mata; bayi itu bukan bayinya sendiri, dan telah terlantar selama ibunya sakit, bahkan barangkali akan mati kalau tidak diurus; tapi tanpa sadar, ia sudah jatuh cinta kepada bayi itu. Beberapa kali dalam sehari ia masuk ke kamar anak-anak dan lama duduk di situ, sehingga tukang menyusui dan bibi yang semula takut-takut menghadapi dia kini jadi terbiasa dengannya. Kadangkala sampai setengah jam ia diam-diam menatap wajah anak kecil yang tengah tidur itu, yang berkulit kuning kemerahan, lembut, dan mengamati gerak-gerik dahinya yang mengerut dan tangannya yang sintal dengan jemari mengepal, yang dipakai untuk menggosok-gosok mata dan pangkal hidungnya. Terutama saat-saat seperti itulah Aleksei Aleksandrovich merasakan dirinya betul-betul tenang dan berdamai dengan diri sendiri, dan ia tak melihat adanya sesuatu yang luarbiasa, sesuatu yang perlu diubah.
Tapi makin jauh waktu berlalu, makin jelas ia bisa melihat bahwa betapapun menurut dia posisinya sekarang ini wajar, orang tak bakal membiarkannya berada dalam posisi demikian itu. Ia merasa, selain kekuatan batin baik yang membimbing jiwanya, ada kekuatan kasar lain yang sama-sama berkuasa atau lebih berkuasa daripada kekuatan batin baik itu dan mengarahkan hidupnya. Dan kekuatan itu tidak akan memberinya kedamaian seperti diharapkan. Ia merasa, semua orang memandangnya dengan sikap heran penuh tanda tanya; ia merasa betapa mereka tak bisa memahami dirinya, dan menantikan sesuatu yang lain. Ia terutama merasakan betapa hubungannya dengan sang istri tidak kokoh dan tidak wajar.
Ketika tengah terjadi pelunakan sikap yang diakibatkan oleh mendekatnya maut yang dialami Anna, Aleksei Aleksandrovich melihat betapa Anna takut kepadanya, merasa tak senang kepadanya, dan tak mau menatap matanya. Anna seolah menginginkan sesuatu, tapi tak bisa menetapkan hati untuk mengatakan kepadanya, dan seolah menantikan ses dari dia karena merasa hubungan mereka tak bisa berlangsung terns.
18 ANNA KAR"N!NA Akhir Februari, bayi Anna yang baru lahir dan juga dinamakan Anna jatuh sakit. Pagi hari Aleksei Aleksandrovich ada di kamar anak-anak, maka lebih dulu ia memerintahkan memanggil dokter, lalu pergi ke kementerian. Selesai dengan berbagai urusan, ia kembali pukul empat. Ketika memasuki kamar depan, ia melihat pesuruh yang tampan dan mengenakan pakaian berjalin pita, dengan mantel kulit beruang, tengah memegang jubah putih dari kulit anjing Amerika.
"Siapa di sini?" tanya Aleksei Aleksandrovich.
"Nyonya Pangeran Yelizaveta Fyodorovna Tverskaya, Tuan," jawab pesuruh, yang menurut perasaan Aleksei Aleksandrovich sambil tersenyum.
D i masa sulit itu Aleksei Aleksandrovich melihat, para kenalan dari kalangan bangsawan, terutama para perempuannya, menunjukkan perhatian khusus kepada dia dan istrinya. Dan dengan susah-payah ia melihat betapa semua kenalan itu menyimpan rasa gembira tersembunyi seperti yang dilihatnya di mata pengacara, dan sekarang pun ia lihat itu di mata pesuruh. Semua orang seakan bergembira-ria, seakan ada pasangan yang sedang mereka kawinkan. Ketika menyambutnya, mereka menanyakan kesehatan istrinya dengan rasa gembira yang nyaris mereka sembunyikan.
Kehadiran Nyonya Pangeran Tverskaya tak menyenangkan Aleksei Aleksandrovich, baik karena kenangan tentang perempuan itu maupun karena ia memang tak menyukainya; karena itu ia langsung saja menuju ke kamar anak-anak. Di kamar anak-anak yang pertama Seryozha sedang menggambar sesuatu sambil tiarap di atas meja dengan kaki di atas kursi dan bicara sendiri dengan riang. Perempuan Inggris menggantikan perempuan Prancis selagi Anna sakit, dan kini duduk di dekat anak itu sambil memegang rajutannya; ia segera berdiri, membungkuk dengan menekuk lutut, dan menarik Seryozha.
Aleksei Aleksandrovich membelai rambut anak itu, menjawab pertanyaan si pengasuh anak mengenai kesehatan istrinya, dan bertanya kepada pengasuh itu apa yang dikatakan dokter tentang sang baby.
"Dokter mengatakan tidak berbahaya, hanya dianjurkan mandi, Tuan."
LEOTOLSTOI "Tapi i a s saja menderita," kata Aleksei Aleksandrovich sambil mendengar-dengarkan tangis bayi di kamar sebelah.
"Saya kira tukang menyusuinya tidak cocok, Tuan," kata perempuan lnggris mantap.
"Kenapa Anda berpikir begitu?" tanya Aleksei Aleksandrovich sambil berhenti.
"Itu pula yang terjadi dengan Nyonya Paul, Tuan. Bayi diobati, tapi temyata penyebabnya cuma karena bayi kelaparan: tukang menyusui tak keluar air susunya, Tuan."
Aleksei Aleksandrovich merenung, dan sesudah berdiri beberapa detik ia pun masuk ke kamar sebelah. Bayi itu terbar ing dengan kepala tergolek, menggeliat-geliat di tangan tukang menyusui, tak mau mengisap tetek montok yang disodorkan kepadanya, dan tak mau juga diam, sekalipun tukang menyusui dan bibi sudah membungkuk kepadanya dan mendesis-desis menenangkannya. "Bel um juga baik?" tanya Aleksei Aleksandrovich. "Sangat tak tenang, Tuan," jawab si bibi berbisik.
"Miss Edward mengatakan, barangkali tukang menyusui tak keluar air susunya," kata Aleksei Aleksandrovich.
"Saya sendiri menduga begitu, Aleksei Aleksandrovich." "Lalu kenapa Anda tak bilang?"
"Kepada siapa dikatakan, Tuan" Anna Arka masi h sakit," kata bibi menyatakan tak puas.
Bibi di rumah tersebut adalah hamba yang sudah tua. Dari kata-katanya yang sederhana Aleksei Aleksandrovich merasa kedudukannya disindir.
Tangis bayi itu semakin keras, dan sambil berguling-guling ia menyerakkan suaranya. Si bibi membuang tangan sebagai tanda kesal, mendekati sang bayi dan mengambilnya dari tangan tukang menyusui, dan mulailah ia mengayun-ayunkannya.
"Kita mesti minta dokter memeriksa tukang menyusui," kata Aleksei Aleksandrovich.
Tukang menyusui yang tampak sehat mentereng itu mengucapkan sesuatu kepada diri sendiri dengan suara hidung karena takut ditolak, dan sambil menyembunyikan teteknya yang besar i a tersenyum benci karena orang meragukan air susunya. Senyum
20 ANNA KAR"N!NA itu dirasakan Aleksei Aleksandrovich sebagai ejekan terhadap kedudukannya.
"Bayi malang!" kata si bibi sambil mendesis-desis menenangkan sang bayi dan terus berjalan mondar-mandir.
Aleksei Aleksandrovich duduk d i kursi dan dengan wajah menderita dan murung memandang si bibi yang berjalan mondar-mandir.
Ketika sang bayi akhirnya diam dan ditidurkan di tempat tidurnya, dan si bibi meninggalkan dia sesudah membenahi bantalnya, Aleksei Aleksandrovich berdiri dan mendekati anak itu sambil bersijingkat. Untuk sesaat ia diam, dan dengan wajah murung ia menatap anak itu, tapi tiba-tiba muncul di wajahnya senyum yang menggerakkan rambut dan kulit kepalanya sampai ke dahi, dan dengan diam-diam ia meninggalkan kamar.
Di kamar makan ia membunyikan lonceng dan memerintahkan hamba yang masuk ke kamar untuk kembali memanggil dokter. Ia merasa kesal kepada sang istri karena tidak mengurusi anak yang jelita itu, dan karena rasa kesal itu ia tak ingin menemuinya, juga tak ingin menemui Nyonya Pangeran Betsy; tapi sang istri janganjangan merasa heran kenapa ia tak menemuinya seperti biasa. Karena itu Aleksei Aleksandrovich pun memaksakan diri masuk ke kamar tidur. Selagi berjalan di atas permadani empuk menuju ke pintu, tanpa dikehendaki, ia mendengar percakapan yang tak ingin didenga .
"Sekiranya di a takjadi pergi, barangkali saya bisa mengerti penolakan Anda, juga penolakan suami Anda. Tapi suami Anda tentunya lebih tinggi daripada itu," kata Betsy.
"Saya bukan milik suami yang menolak, tapi milik diri sendiri. Anda jangan bicara begitu!" jawab Anna bersemangat.
"Ya, tapi tentunya Anda tak mungkin menginginkan perpisahan dengan orang yang sudah menembak karena Anda .... " "Justru karena itu saya tak mau."
Aleksei Aleksandrovich, dengan airmuka bersalah dan takut, berhenti di tempat dan hendak berbalik dengan d iam-diam. Tapi ia menilai bahwa berbalik merupakan tindakan yang tak pantas. Maka ia pun membalikkan badan lagi, batuk-batuk, dan pergi ke kamar tidur. Suara-suara diam, dan i a pun masuk.
LEOTOLSTOI Anna duduk di atas ranjang mengenakan khalat abu-abu, dengan rambut hitam dipangkas pendek yang menyembul seperti sikat lebar di atas kepalanya yang bundar. Seperti biasa bila melihat sang suami, semangat yang tampak di wajahnya tiba-tiba lenyap; ia menekurkan kepala dan menoleh ke arah Betsy dengan gelisah. Betsy duduk di samping Anna mengenakan pakaian mode mutakhir, mengenakan topi yang bertengger d i puncak kepalanya seperti kap lampu, dan mengenakan gaun abu-abu kebiruan dengan garisgaris tajam miring dari atas korset di satu pihak ke rok bawah di lain pihak. la jaga betul tegaknya posisi badannya yang tinggi, dan sesudah sedikit membungkukkan badan ia pun menyambut Aleksei Aleksandrovich disertai senyum mengejek.
"Aa!" katanya seakan heran. "Saya senang Anda ada di rumah. Anda rupanya tak pemah memperlihatkan diri Iagi, dan sejak Anna sakit tak pemah saya lihat. Tapi saya tetap mendengar tentang usaha-usaha Anda. Ya, Anda suami yang mengagumkan!" kata Betsy dengan wajah penuh makna dan mesra, seolah memberikan bintang kebesaran hati atas tindakan Aleksei Aleksandrovich terhadap istrinya.
Aleksei Aleksandrovich membungkuk sedikit dengan sikap dingin, dan sambil mencium tangan sang istri ia menanyakan kesehatannya.
"Rasanya lebih baik," kata Anna menghi ndari tatapan mata suaminya.
"Tapi wajahmu tampak seperti kena demam," kata Aleksei Aleksandrovich dengan tekanan pada kata "demam".
"Saya sudah terlalu banyak bicara dengan dia," kata Betsy. "Saya pikir saya terlalu egois. Karena itu saya pergi saja."
la pun berdiri, tapi dengan w ajah tiba-tiba memerah Anna cepat menangkap tangannya.
"Tidak, t inggallah di sini dulu. Saya perlu mengatakan kepada Anda ... bukan, kepada Anda, "katanya kepadaAleksei Aleksandrovich, dan rona kemerahan pun menyelimuti leher dan dahinya. "Saya tak mau dan tak bisa menyembunyikan sesuatu dari Anda," katanya.
Aleksei Aleksandrovich menggeretakkan jemari dan menekurkan kepala.
2 2 ANNA KAR"N!NA "Betsy mengatakan bahwa Pangeran Vronskii ingin datang ke sini untuk pamit sebelum berangkat ke Tashkent." la tidak menatap sang suami, dan agaknya dengan tergesa ia mengatakan semua itu walaupun sukar sekali baginya. "Saya bilang, saya tak bisa menerimanya."
"Kawan, Anda mengatakan bahwa itu tergantung pada Aleksei Aleksandrovich," kata Betsy membetulkan.
"Ah, tidak, saya tak bisa menerimanya, dan itu samasekali tidak .... " Di sini ia tiba-tiba berhenti dan menoleh penuh tanda tanya ke arah suaminya (sang suami tak menatapnya). "Singkat kata, saya tak mau .... "
Aleksei Aleksandrovich menggeser tempat duduknya dan hendak memegang tangan sang istri.
Tapi lebih "Saya ucapkan terimakasih kepada Anda atas kepercayaan Anda, tapi...," kata Aleksei Aleksandrovich bingung dan kesal, karena ia merasa apa yang mestinya bisa diputuskannya dengan mudah dan jelas itu kini tak bisa i a putuskan karena kehadiran Nyonya Pangeran Tverskaya. Baginya, Nyonya Pangeran Tverskaya merupakan personifikasi kekuatan kasar yang hendak membimbing hidupnya ke dalam kalangan bangsawan dan menghalanginya mengungkapkan sepenuhnya rasa cinta dan maaf yang dimilikinya. Ia pun berhenti bicara sambil menatap Nyonya Pangeran Tverskaya.
"Nab, selamat tinggal, manisku," kata Betsy sambil berdiri. Diciumnya Anna, lalu keluar. Aleksei Aleksandrovich mengantamya.
"Aleksei Aleksandrovich! Saya kenal Anda sebagai orang yang betul-betul murah hati," kata Betsy sambil berhenti di kamar tamu yang kecil dan menjabat tangan Aleksei Aleksandrovich sekali lagi dengan sangat erat. "Saya memang orang luar, tapi saya amat mencintai Anna dan menghormati Anda, sehingga saya memberanikan d iri memberikan nasihat. Terimalah d ia, Aleksei Vronskii, seperti perwujudan kehormatan, dan lagi ia akan pergi ke Tashkent." "Saya ucapkan terimakasih, Nyonya Pangeran, atas keprihatinan
LEOTOLSTOI dan nasihat Anda. Tapi persoalan bisa atau tak bisa istri saya menerima seseorang, itu istri saya sendiri yang memutuskan."
Ia mengatakan itu seperti biasa dengan penuh harga diri bil mengangkat alis, tapi seketika itu pula ia berpikir bahwa apapun kata-kata yang diucapkannya, sekarang ini ia tak mungkin lagi punya harga d iri. Dan ini ia lihat pada senyum yang ditahan, jahat, dan penuh ejekan yang menyertai tatapan mata Betsy sesudah dia mengucapkan kalimat itu.
Aleksei Aleksandrovich membungkuk sediki t kepada Betsy di ruang besar, lalu pergi menemui istrinya. Anna tengah berbaring, ta pi begitu didengarnya langkah sang suami ia pun buru-buru duduk dengan posisi sebelumnya, dan dengan rasa takut ia pandang suaminya. Aleksei Aleksandrovich melihat istrinya menangis.
"Kuucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas kepercayaan yang ka.mu berikan padaku," kata Aleksei Aleksandrovich lunak dalam bahasa Rusi a, mengulangi kalimat yang diucapkan dalam bahasa Prancis sewaktu Betsy hadir, lalu duduk di dekat istrinya. Ketika berbicara dalam bahasa Rusia itu ia menggunakan kata "kamu" untuk Anna, dan "kamu" itu sangat menggusarkan Anna. "Kuucapkan terimakasih sebesar-besa atas keputusan yang telah kamu ambil. Aku pun beranggapan, karena dia akan pergi, samasekali tak ada gunanya bagi Pangeran Vronskii datang ke sini. Singkatnya .... "
"Itu sudah kukatakan, jadi apa gunanya diulangi?" tukas Anna tiba-tiba dengan kemarahan yang tak terkendalikan. "Tak ada gunanya," pikirnya, "buat seorang lelaki datang mengucapkan selamat t inggal kepada perempuan yang dic intainya, walaupun demi perempuan itu ia bersedia tewas dan membinasakan dirinya, dan perempuan itu tak bisa hidup tanpa lelaki itu. Tak ada gunanya samasekali!" Ia kuncupkan bibir dan ia tekurkan matanya yang bersinar ke tangannya yang berurat-urat, dan digosok-gosoknya tangan itu pelan-pelan.
"Kita tak usah bicara lagi soal itu," ta.mbahnya lebih tenang.
24 ANNA KAR"N!NA "Aku serahkan kepadamu untuk memutuskan masalah itu dan aku senang sekali melihat ... ," kata Aleksei Aleksandrovich memulai.
" ... bahwa keinginan saya cocok dengan keinginan Anda," sambung Anna cepat dengan nada marah karena sang suami lambat sekali bicara, padahal ia sudah tahu apa yang hendak dikatakan suaminya itu.
"Ya," kata Aleksei Aleksandrovich membenarkan. "Dan Nyonya Pangeran Tverskaya samasekali tidak pada tempatnya ikut campur dalam urusan keluarga yang paling sukar ini. Terutama karena di " a ....
"Saya samasekali tak percaya kepada apa yang dikatakan orang tentang dia," kata Anna cepat. "Saya tahu dia menc intai saya dengan tulus."
Aleksei Aleksandrovich menarik napas dalam-dalam, dan terdiam. Anna dengan gelisah memainkan rumbai-rumbai khalatnya sambil menatap Aleksei dengan rasa benci yang menyiksa; justru karena perasaan itu ia mencela diri sendiri, tapi ia tak bisa mengatasi perasaan itu. Hanya satu yang sekarang diharapkannya, lepas dari kehadiran sang suami yang dibencinya itu.
"Baru saja aku suruh panggil dokter," kata Aleksei Aleksandrovich.
"Saya sehat; buat apa dokter?"
"Bukan, si kecil itu menangis terus; kata orang, tukang menyusui itu tak ada air susunya."
"Lalu kenapa kamu tak izinkan aku menyusui, padahal aku sudah memohon" Tidak apalah (Aleksei Aleksandrovich mengerti apa yang d imaksud dengan "tidak apalah" itu), dia toh bayi, dan biarkan saja dia mati kelaparan." Maka Anna pun menyuruh mengambilkan bayi itu. "Aku sudah minta menyusui, tak diberi, sekarang aku dicela." "Aku tak mencela .... "
"Tidak, kamu mencela! Ya Tuhan! Kenapa aku tak mati sa ja!" Dan ia pun menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku karena sudah marah, aku mengaku salah," katanya sesudah sadarkan diri. "Tapi pergilah kamu .... "
"T idak, ini tak bisa dibiarkan begini," kata Alekse iAleksandrovich mantap sesudah meninggalkan istrinya.
LEOTOLSTOI Belum pernah kemuskilan kedudukannya di mata kaum bangsawan, kebencian sang istri kepadanya, dan keperkasaan kekuatan kasar yang tersembunyi tampil di hadapannya sedemikian terang seperti sekarang ini. Kekuatan itu, bertentangan dengan bat innya, kini mengendalikan hidupnya dan memaksakan tuntutannya agar ia mengubah sikapnya terhadap sang istri. Alekse i Aleksandrovich melihat dengan jelas betapa seluruh kalangan bangsawan dan istrinya menuntut dia sesuatu, tapi apakah gerangan sesuatu itu, ia tak tahu. Tapi ia merasa, justru karena tuntutan itulah dalam jiwanya bangkit rasa murka yang meruntuhkan tenggang rasa dan seluruh pengabdiannya yang penuh kepahlawanan itu. Ia beranggapan, bagi Anna lebih baik kiranya memutuskan hubungan dengan Vronskii, tapi kalau orang-orang beranggapan hal itu tak mungkin, ia pun bersedia membiarkan saja hubungan itu agar ia tak menodai anakanak, tak ke an mereka, dan ia tak mengubah kedudukannya. Betapapun buruknya keadaan tersebut, itulah yang terbaik diban
n dengan pemutusan yang mengaki batkan Anna berada dalam kedudukan tanpa jalan keluar dan memalukan, sedangkan ia sendiri akan kehilangan semua yang dicintainya. Tapi ia merasa dirinya tak bertenaga; sebelumnya ia sudah tahu bahwa semua orang menentang dirinya, dan mereka tak bakal membi arkannya melakukan sesuatu yang menurut pandangannya sendiri sekarang ini sangat wajar dan baik. Mereka akan memaksanya melakukan hal yang buruk dan menurut anggapan mereka wajib dilakukan.
XXI Belum lagi Betsy sempat keluar dari ruangan, Stepan Arkadyich yang baru saja datang dari rumah Yeliseyev untuk mengambil kerang segar sudah menjumpainya di pintu.
"Aa! Nyonya Pangeran. Sungguh perjumpaan yang menyenangkan!" u jarnya. "Saya baru saja datang dari rumah Anda."
"Kita bertemu sebentar saja, ya, karena saya akan terus pergi," kata Betsy sambil tersenyum dan mengenakan sarung tangan.
"Tunggu, Nyonya Pangeran, jangan dipakai dulu sarung tangan itu; izinkan saya mencium tangan Anda. Betul-betul saya
26 ANNA KAR"N!NA berterimakasi h dengan kembalinya kebiasaan saya mencium tangan seperti ini." Dan diciumnya tangan Betsy. "Kapan bertemu lagi?"
"Anda tak pantas bertemu dengan saya," jawab Betsy sambil tersenyum.
"Tidak, pantas sekali, karena saya sudah jadi orang yang paling serius sekarang ini. Bukan cuma urusan sendiri yang saya bereskan, tapi juga urusan keluarga orang lain," katanya dengan mimik mengandung makna.
"O, saya senang sekali!" jawab Betsy yang seketika itu mengerti bahwa yang dimaksud Stepan Arkadyich adalah Anna. Maka masuklah mereka kembali ke dalam ruangan dan berdir i di sudut. "Orang itu betul-betul menghabi skan tenaga Anna," kata Betsy dengan bisikan yang bermakna. "Betul-betul mustahil, ya, mustahil .... "
"Saya senang Anda punya pendapat demikian," kata Stepan Arkadyich sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan mimik serius, penuh penderitaan dan keprihatinan. "Karena soal itu saya datang ke Petersburg ini."
"Seluruh kota membicarakan hal itu," kata Betsy. "Ini suatu keadaan yang mustahil. Anna makin lama makin lemah. Orangorang itu tak mengerti bahwa Anna jenis perempuan yang tak bisa berkelakar dengan perasaannya. Pilih satu dari dua: dia harus membawa pergi Anna dan bertindak tegas, atau berikan kepada Anna cerai. Seperti sekarang ini, sama saja dengan mencekik Anna."
"Ya, ya ... justru itulah," kata Oblonskii sambil menarik napas. "Justru karena itu saya datang. Tapi, ya, memang bukan terutama untuk so al itu.... Sa ya sudah diangkat jadi pegawai tinggi istana, jadi perlu mengucapkan terimakasih. Tapi yang penting, saya perlu membereskan soal ini."
"Yah, mudah-mudahan saja Tuhan menolong Anda!" kata Betsy. Stepan Arkadyich mengantarkan Nyonya Pangeran Betsy sampai ke lorong dalam rumah, kemudian menemui sudara perempuannya. Di lorong itu sekali lagi ia mencium tangan Betsy di atas sarung tangan, tern pat berdetaknya nadi tangan, dan di situ ia mengucapkan bualan yang amat tak sopan, sampai-sampai Betsy tak tahu lagi
LEOTOLSTOI apakah ia harus marah atau malah ketawa. Stepan Arkadyich mendapati saudaranya sedang berurai airmata.
Sekalipun Stepan Arkadyich sedang dalam suasana penuh semangat bepercik kegembiraan, seketika itu dengan wajar ia bisa beralih ke nada prihatin dan risau puitis yang cocok untuk suasana hati Anna. Ia bertanya tentang kesehatan Anna dan bagaimana keadaannya pagi hari itu.
"Buruk sekali, ya, buruk sekali. Baik siang maupun pagi hari, hari-hari kemarin maupun yang akan datang," kata Anna.
"Tampaknya kamu biarkan saja dir imu murung. Mesti menggirangkan diri dan memandang hidup ini dengan berani! Aku tahu ini berat, ta pi .... "
"Aku pernah mendengar bahwa perempuan biasa mencinta i orang lain, bahkan biarpun orang itu punya cacat," tiba-tiba Anna memulai. "Tapi aku benci kepadanya justru karena akhlaknya yang tinggi. Tak bisa aku hidup dengannya. Kamu mesti mengerti, melihat dia saja aku sudah naik darah. Tak bisa aku, tak bisa aku hidup dengan dia. Apa yang harus kulakukan" Waktu itu aku tak bahagia, dan menyangka tak bakal aku hidup lebih tak bahagia daripada itu, tapi ternyata keadaan mengerikan yang sekarang kutanggung ini belum pemah kubayangkan sebelumnya. Kamu percaya tidak, justru karena aku tahu ia orang baik, sangat baik hingga seujung kukunya pun aku tak mungkin menyamai, maka aku membenc inya. Aku membencinya justru karena kebesaran hatiku. Dan sekarang tak ada hal lain lagi yang tinggal kepadaku kecuali.. .. "
Ia hendak mengatakan mati, tapi Stepan Arkadyich tak membiarkan Anna menyelesaikan kalimatnya.
"Kamu sedang sakit dan marah," kata Stepan Arkadyich. "Percayalah padaku, kamu terlalu membesar-besarkan persoalan. Di sini tak ada yang sifatnya mengerikan itu."
Dan Stepan Arkadyich pun tersenyum. Sekiranya orang lain menghadapi persoalan yang mengandung keputusasaan seperti itu, tak bakal k iranya ia membiarkan dirinya tersenyum (karena senyuman di sini akan tampak kasar), tapi di dalam senyuman Stepan Arkadyich terkandung begitu ban yak kebaikan ha ti dan nyaris seperti kemesraan seorang perempuan, sehingga senyuman itu tak
2 7 28 ANNA KAR"N!NA terasa menyinggung perasaan, melembutkan, dan menenangkan. Kata-kata dan senyumnya yang tenang dan menenangkan itu membawa akibat menenangkan dan melembutkan, seperti minyak buah badam. Dan Anna bisa merasakan hal itu.
"T idak, Stiva," kata Anna. "Aku sudah binasa, ya, binasa! Lebih buruk daripada binasa. Alm memang belum lag i binasa, dan tak bisa kukatakan bahwa semuanya sudah berakhir; sebaliknya, aku merasa segalanya belum berakhir. Aku sekarang seperti tali senar yang sedang dire an dan harus putus. Tapi belum lagi berakhir ... dan akhirnya itu mengerikan."
"Tak apa, kita bisa mengendurkan senar itu pelan-pelan. Tak ada kesulitan tanpa jalan keluar."
"Aku berpikir dan terus berpikir. Cuma satu .... "
Kembali Stepan Arkadyich bisa menebak lewat pandangan mati Anna yang mengerikan itu, bahwa satu-satunyajalan keluar menurut pendapat saudaranya itu adalah kematian, tapi i a tak membi arkan Anna menyelesaikan kalimatnya.
"Samasekali tidak," katanya. "Maaf, tapi cara kamu melihat posisimu ini tidak sama dengan aku. Izinkan aku berterus-terang mengemukakan pendapatku." Dan kembali i a tersenyum hati-hati dengan senyuman buah badam. "Akan kumulai dari awal sekali: kamu kawin dengan orang yang duapuluh tahun lebih tua daripada dir imu. Kamu kawin tanpa cinta atau tanpa kenal cinta. Kita umpamakan itu kesalahan."
"Kesalahan yang mengerikan!" kata Anna.
"Tapi kuulangi lagi; ini fakta yang sudah terjadi. Kemudian, kita bilang saja demikian, kamu tertimpa petaka telah mencintai orang yang bukan suarnimu. Itu kemalangan, tapi itu pun fakta yang telah terjadi. Dan suamimu mengakui itu dan memaafkannya." Setiap habis mengucapkan satu kalimat ia berhenti, menantikan bantahan dari Anna, tapi Anna samasekali tak menjawab. "Begitulah adanya. Dan sekarang persoalannya: apakah kamu bisa meneruskan hidup dengan suamimu. Apakah kamu menghendaki itu" Dan apakah ia menghendakinya ?"
"Aku samasekali tak tahu, betul-betul tak tahu." "Tapi kamu sendiri mengatakan tak tahan bersama dia."
LEOTOLSTOI "Tidak, aku tak mengatakan itu. Aku cabut itu. Aku samasekali tak tahu apa-apa dan tak mengerti apa-apa. n
"Ya, ta pi izinkanlah .... "
"Kamu tak bisa mengerti ini. Aku ini merasa seperti melayang dengan kepala di bawah menuju jurang, tapi aku merasa tak perlu menyelamatkan d iri. Dan aku pun tak bisa."
"Tak apa, kita tangkap dan kita cengkam kamu. Aku mengerti bahwa kamu tak bisa mengatakan apa yang menjadi keinginanmu, perasaanmu. n
" Aku tak menghendaki apa-apa... selain supaya semua ini berakhir."
"Tapi dia melihat itu dan mengert i. Apa menurut pendapatmu dia merasa senang dengan hal ini dibandingkan kamu" Kamu tersiksa, d ia pun tersiksa, lalu apa yang bisa dihasilkan dari situ" Di sini perceraian bisa memutuskan segalanya," kata Stepan Arkadyich susah-payah mengungkapkan pikirannya yang pokok dan dengan penuh kesungguhan menatap Anna.
Anna tak menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan rambut yang sudah dipotong itu. Tapi dari airmukanya yang tiba-tiba mengungkapkan kecantikannya, Stepan Arkadyich melihat betapa Anna tak menghendaki perceraian itu, melulu karena menurut penglihatannya kebahagiaan seperti itu mustahil adanya.
" Aku kasihan kepada kalian berdua! Dan alangkah bahagia hatiku sekiranya aku bisa membereskan soal ini!" kata Stepan Arkadyich, kali ini tersenyum lebih berani daripada sebelumnya. "Jangan bilang, jangan bilang apa-apa! 0, sekiranya Tuhan memberiku kesempatan untuk mengatakan apa yang kurasakan sekarang. Sebentar aku akan pergi menemuinya."
Dengan mata merenung dan bersinar-sinar Anna pun menatap saudaranya, tapi tidak mengatakan sepatah kata pun.
XXII Stepan Arkadyicb memasuki kamar kerja Aleksei Aleksandrovich dengan wajah agak bernada kemenangan, sepert i biasa ia perlihatkan sewaktu duduk di kursi ketua di kantornya. Aleksei Aleksandrovich,
2 9 30 ANNA KAR"N!NA dengan tangan terlipat di punggung, berjalan mondar-mandir di dalam kamar, memikirkan hal yang tadi dibicarakan Stepan Arkadyich dengan Anna.
"Apa aku tak mengganggu?" kata Stepan Arkadyich, yang sesudah melihat iparnya ti ba-tiba merasa bingung, suatu hal yang tak lazim baginya. Untuk menyembunyikan kebingungannya ia mengeluarkan tempat rokok yang baru saja dibelinya, tempat rokok yang memakai alat pembuka baru, lalu diambilnya sebatang rokok setelah lebih dulu diciumnya kulit tempat rokok itu.
"Tidak. Apa kamu memerlukan sesuatu?" jawab Aleksei Aleksandrovich tak bergairah.
"Ya, aku perlu . .. aku perlu bi..., ya, perlu bicara," kata Stepan Arkadyich yang heran dengan rasa takut-takut yang tak biasa baginya.
Perasaan itu datang begitu mendadak dan aneh, sehingga Stepan Arkadyich tak percaya bahwa itu suara batinnya sendiri, yang mengatakan kepadanya bahwa apa yang hendak dilakukannya itu tak baik. Maka Stepan Arkadyich pun mengerahkan kekuatannya dan mencoba memerangi rasa takut yang ada dalam dirinya.
"Kuharap kamu percaya bahwa aku mencintai saudara perempuanku dan dengan tulus dan dengan rasa hormat menyayangimu," katanya dengan wajah memerah.
Aleksei Aleksandrovich berhenti jalan tanpa menjawab, tapi wajahnya sungguh memukau Stepan Arkadyich, karena wajah itu menampakkan ekspresi pengorbanan bercampur ketundukan seperti terlihat sebelumnya.
"Aku bermaksud bicara tentang saudara perempuanku, dan tentang hubungan kalian berdua," kata Stepan Arkadyich yang masih berjuang melawan rasa enggan yang tak biasa dirasakannya.
Aleksei Aleksandrovich menyeringai sedih; dipandangnya sang ipar, dan tanpa menjawab ia segera mendekati meja dan mengambil surat yang baru saja mulai ditulisnya, dan diberikan kepada ipa itu.
"Aku pun tak henti-hentinya berpikir tentang itu. Dan aku mulai menulis, karena menurut anggapanku lebih baik bila aku menyampaikannya secara tertulis, dan karena menurut anggapkehadiranku membuat dia naik darah," katanya sambil
LEOTOLSTOI menyerahkan surat. Stepan Arkadyich menerima surat itu; dengan rasa heran bercampur tanda tanya ia memandang mata redup yang menatapnya tanpa gerak, lalu mulai membaca.
"Saya melihat, kehadiran saya merupakan beban buat Anda. Betapapun beratnya saya meyakinkan diri saya tentang hal itu, saya melihat bahwa memang demikianlah adanya dan tak mungkin lain daripada itu. Saya tak menyalahkan Anda, dan Tuhanlah saksi saya bahwa melihat Anda di kala sakit, dari lubuk hati, saya sudah memutuskan untuk melupakan semua yang telah terjadi di antara kita, dan memulai hidup baru. Tak pernah saya menyesal, dan sekarang pun saya tak menyesal telah melakukan hal itu, dan saya tetap mengharapkan satu hal saja, yaitu kebaikan Anda, kebaikan jiwa Anda, namun sekarang saya melihat bahwa saya tak bisa mencapai harapan saya itu. Anda katakanlah apa yang bisa memberi Anda kebahagiaan sejati dan ketenangan jiwa. Saya menyerahkan kepada kemauan dan rasa keadilan Anda."
Stepan Arkadyich mengembalikan surat dengan nada tak paham, dan seperti tadi terus saja menatap iparnya, tak tahu apa yang hendak dikatakan. Ked iaman itu dirasakan keduanya membuat kikuk, sehingga bibir Stepan Arkadyich gemetar ketika ia menatap wajah Karenin dengan diam.
"Itulah yang ingin saya katakan padanya," kata Aleksei Aleksandrovich sambil berpaling.
"Ya, ya ... ," kata Stepan Arkadyich yang tak mampu menjawab, karena airmata telah mencekik tenggorokannya. "Ya, ya. Saya bisa mengerti Anda," akhirnya ujar dia.
"Alm ingin tahu apa yang menjadi kehendaknya," kata Aleksei Aleksandrovich.
"Alm khawatir ia sendir i tak memahami posisinya. D hal ini bukan dia penentunya," kata Stepan Arkadyich, sesudah bisa menenangkan diri. "Dia itu tertindas, ya, justru tertindas oleh kebesaran hati Anda. Kalau i a membaca surat ini, tak bakal i a sanggup mengatakan sesuatu; ia hanya akan menundukkan kepalanya lebih rendah lagi."
"Ya, tapi apa yang harus kulakukan dalam hal ini" Bagaimana
32 ANNA KAR"N!NA menjelaskan ... bagaimana mengetahui ke inginannya?"
"Kalau kamu mengizinkan aku menyatakan pendapat, menurutku, semua bergantung kepadamu bagaimana menunjukkan secara langsung tindakan-tindakan yang menurut anggapanmu perlu diambil untuk menghentikan keadaan ini."
"J adi menurut pendapatmu keadaan ini perlu dihentikan ?" tukas Aleksei Aleksandrovich. "Tapi baga imana caranya?" tambahnya, sesudah dengan tangan ia membuat gerakan di depan mata yang tak biasa baginya. " tak melihat jalan keluar apapun di sin i."
"Kesulitan apapun ada jalan kelu a," kata Stepan Arkadyich sambil berdiri dengan bergairah. "Sebelumnya kamu hendak memutuskan .... Kalau sekarang kamu yakin tak bisa menc iptakan kebahagiaan bersama .... "
"Kebahagiaan itu tergantung tafsiran orang. Tapi seandainya pun aku sependapat untuk me n segalanya, tak ada yang kukehendaki di sini. Jalan keluar apa pula yang ada untuk kami ini?"
"Kalau kamu mau tahu pendapatku," kata Stepan Arkadyich di sertai senyuman lembut, senyuman mesra bak minyak buah badam seperti yang diperlihatkannya sewaktu bicara dengan Anna. Senyuman simpatik itu amat meyakinkan, sehingga karena merasakan Iemahnya dirinya dan karena tunduk sepenuhnya kepada Anna, maka tanpa sadar Aleksei Aleksandrovich siap memercayai apa yang hendak dikatakan Stepan Arkadyich. "Anna tak bakal pernah mengungkapkan keinginannya. Tapi ada satu hal yang mungkin, satu hal yang mungkin diinginkannya," sambung Stepan Arkadyich, "yaitu memutuskan hubungan dan semua kenangan yang berkaitan dengan hubungan itu. Menurut pendapatku, dalam persoalan kalian ini kita perlu membuat jelas hubungan-hubungan baru. Dan hubungan-hubungan baru itu hanya bisa tercipta bila kedua belah pihak punya kebebasan."


Anna Karenina Jilid 2 Karya Leo Tolstol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perceraian," tukas Aleksei Aleksandrovich penuh kebencian. "Ya, menurut pendapatku memang perceraian. Ya, perceraian," ulang Stepan Arkadyich memerah wajahnya. "Ditinjau dari seg i apapun, ini jalan keluar yang paling masuk aka) untuk suami-istri yang berada dalam keadaan seperti Anda berdua ini. Apa yang bisa dilakukan kalau suami-istri melihat bahwa hidup bersama
LEOTOLSTOI buat mereka sudah tak mungkin lagi" Perceraian adalah hal yang mungkin saja terjadi." Aleksei Aleksandrovich menarik napas dalam-dalam. "Di sini hanya ada satu pertimbangan; apakah salah satu dari suami-istri itu ingin menjalin perkawinan yang lain. Kalau tidak, itu gampang sekali," kata Stepan Arkadyich yang makin lama makin terbebas dari rasa malu-malunya.
Aleksei Aleksandrovich menggumamkan sesuatu kepada diri sendiri sambil mengerutkan kening karena gelisah, tapi tak menjawab apa-apa. Apa yang bagi Stepan Arkadyich tampak sangat gampang itu ditimbang-timbang seribu kali oleh Aleksei Aleksandrovich. Dan semua itu baginya bukan hanya sulit, tapi bahkan muskil. Perceraian, yang sudah ia ketahui seluk-beluknya itu, sekarang tampak tak mungkin baginya, karena harga diri dan rasa hormatnya kepada agama tak mengizinkan dia menerima tuduhan palsu berzina, dan lebih-lebih tak bisa i a membiarkan rahasia sang istri yang telah dimaafkan dan dicintainya itu di bongkar dan dipermalukan. Perceraian tampak semakin tak mungkin lagi karena alasan-alasan lain yang lebih penting.
Apa yang bakal terjad i dengan sang anak kalau mereka bercerai" Meninggalkan dia bersama ibunya tidaklah mungkin. Ibunya, yang telah diceraikan itu, bakal punya keluarga sendiri yang tak sah, dan di situ keadaan anak dan pendidikannya, ditinjau dari segala segi, akan buruk. Mengasuh sendiri anak itu" la tahu bahwa itu kiranya akan menjadi tindakan balas dendam dari pihaknya, sedangkan ia sendiri tak menghendaki hal itu. Selain itu, yang lebih tak mungkin lagi adalah karena apabila ia menyetujui perceraian, maka itu ber membinasakan Anna. Kata-kata yang diucapkan Darya Aleksandrovna di Moskwa itu terasa benar olehnya, bahwa kalau ia memutuskan bercerai, itu berarti ia hanya memikirkan diri sendiri dan tak berpikir bahwa dengan tindakan itu ia membinasakan Anna tan pa bisa diperbaiki lagi. Sesudah ia hubungkan kata-kata itu dengan maaf yang telah ia berikan, dan dengan rasa sayangnya kepada anak-anak, sekarang lainlah tanggapannya tentang perceraian itu. Setuju bercerai, memberikan kebebasan kepada sang istri, menurut pandangannya, berarti meniadakan dalam dirinya ikatan terakhir dengan hidup anak-anak yang dicintainya, dan meniadakan dalam
34 ANNA KAR"N!NA diri istrinya tumpuan terakhir menuju kebaikan, dan i n i berarti akan membinasakan sang istri. Kalau Anna diceraikan, ia tahu dia akan menyatukan diri dengan Vronskii, dan hubungannya dengan orang itu akan bersifat tak sah dan durjana, karena seorang istri menurut hukum gereja tak mungkin melakukan perkawinan sementara suaminya masih hidup. "Anna akan menyatukan diri dengan orang itu, dan satu-dua tahun kemudian orang itu akan melemparkannya, atau Anna akan membina hubungan baru lagi," pikir Aleksei Aleksandrovich. "Dan aku, sebagai orang yang telah menyetujui percerai an tak sah itu, menjadi penyebab kebinasaannya." Semua itu ia timbang-timbang sampai beratus kali, dan yakinlah ia bahwa perceraian bukan hanya tak beg itu mudah, seperti dikatakan sang ipar kepadanya, melainkan juga samasekali tak mungk in. Tak satu pun kata-kata Stepan Arkadyich yang dipercayainya; untuk tiap kata iparnya itu i a bisa menemukan beribu bantahan, tapi ia terus saja mendengarkan Stepan Arkadyich, karena ia merasa bahwa dalam kata-kata itulah terungkap kekuatan kasar mahahebat yang membimbing hidupnya dan akan terpaksa ia patuhi.
"Persoalannya hanya bagaimana dan dengan syarat-syarat apa kamu menyetujui perceraian. Anna tak menghendaki apa-apa, tak ada yang bakal dimintanya darimu, dan ia menyerahkan seluruhnya kepada kebesaran hatimu."
"Ya Tuhan! Ya Tuhan! U apa?" pikir Aleksei Aleksandrovich teringat seluk-beluk persoalan perceraian, di mana seorang suami harus menanggung beban kesalahan; maka dengan gerak seperti dilakukan Vronskii sewaktu menutup wajahnya, ia pun menutup wajahnya dengan kedua belah tangan karena malu.
"Kamu sedang gelisah, itu aku mengerti. Tapi kalau kami mempertimbangkannya .... "
"Kepada orang yang menampar sebelah pipimu, berikan kepadanya pipi yang sebelah lagi; dan kepada orang yang mengambil jubahmu, jangan cegah ia mengambil juga bajumu," pikir Aleksei Aleksandrovich.
"Ya, ya!" serunya dengan suara memekik. "Aku tanggung aib ini, bahkan kuberikan anakku, cuma ... cuma apakah tidak lebih baik ini dibiarkan saja. Tapi, ya, berbuatlah semaumu .... "
LEOTOLSTOI Dan sambil memalingkan wajah dari sang ipar agar iparnya itu tak bisa me l ihatnya, ia pun duduk di kursi dekat jendela. la merasa amat sedih, dan ia merasa malu; tapi selain rasa sedih dan malu, ia juga merasa gembira dan terharu menyaksikan betapa besar ketundukan dirinya.
Stepan Arkadyich merasa terharu. Ia diam.
"Aleksei Aleksandrovich, percayalah aku, Anna sangat menghargai kebesaran hatimu," katanya. "Tapi ini rupanya memang kehendak Tuhan," tambahnya, tapi sesudah mengatakan itu ia pun merasa bahwa yang dikatakannya itu bodoh, dan dengan susah-payah ia segera menghambat keluarnya senyuman atas kata-katanya yang bodoh itu.
Aleksei Aleksandrovich hendak mengucapkan sesuatu sebagai jawaban, tapi airmata mencegahnya.
"Kemalangan ini memang fatal, dan kita harus mengakuinya. Aku menganggap kemalangan ini sebagai fakta yang telah terjadi, dan aku berusaha membantu dia dan kamu," kata Stepan Arkadyich.
Ketika keluar dari kamar iparnya, Stepan Arkadyich merasa terharu, tapi itu tak menghalanginya untuk merasa puas bahwa ia telah berhasil menyelesaikan masalah ipamya itu. Ia merasa yakin bahwa Aleksei Aleksandrovich tak bakal membatalkan ucapannya send iri. Kepuasan itu, ditambah dengan pikiran baru yang muncul dalam kepalanya, bahwa kalau nanti perkara perceraian itu sudah selesai ia akan mengajukan pertanyaan kepada istri dan kenalankenalan dekatnya: "Apa beda saya dengan Baginda" Bag inda melaksanakan perceraian dan tak seorang pun yang menjadi lebih baik keadaannya, sedangkan aku melaksanakan perceraian, dan tiga orang sekaligus menjadi lebih baik keadaannya .... Atau: Apa persamaan antara aku dan Baginda" Ketika .... Yah, singkatnya, akan kupikirkan bagaimana yang lebih baik," katanya kepada diri sendiri sambil tersenyum.
XXIII Luka Vronskii memang berbahaya, tapi Iuka itu tak menyentuh jantung. Beberapa hari ia dalam keadaan antara h idup dan mati.
36 ANNA KAR"N!NA Ketika untuk pertama kali ia mampu berbicara, hanya Varya istri abangnya yang ada di kamar.
"Varya!" katanya sambil menatap perempuan itu dengan kereng. " Aku tak sengaja menembak dir i. Harap jangan bicarakan soal ini, dan katakan begitu kepada semua orang. Kalau tidak, bisa tampak amat bodoh kejadian ini!"
Varya tak menjawab kata-kata Vronskii; ia hanya membungkuk dan menatap wajahnya disertai senyum gembira. Mata Vronskii terang, tidak demam, tapi cahaya mata itu kereng.
"Yah, syukurlah!" kata Varya. "Tidak terasa sakit?" "Sedikit di sini." Vronskii menunjuk dadanya. "Biar kubebat."
Vronskii mengangkat tulang pelipisnya yang lebar tanpa bicara sambil menatap Varya yang sedang membalutnya. Ketika Varya selesai membalut, Vronskii mengatakan:
" Aku bukan mengigau; kamu usahakanlah supaya tak ada yang bilang aku menembak diri dengan senga ja."
"Tak ada orang yang bilang begitu. Cuma kuharap kamu tak menembak diri tanpa sengaja lagi," kata Varya disertai senyum tanda tanya.
"Tentu tak akan lagi, tapi bakal lebih baik kalau .... " Dan Vronskii pun tersenyum m g.
Sekalipun sudah mengucapkan kata-kata tersebut dan memperlihatkan senyum itu, yang membuat Varya sangat khawatir, ketika peradangan sudah lewat dan kesehatannya membaik, Vronskii merasa betul-betul telah terbebas dari sebagian kesed ihannya. Dengan perbuatan yang sudah dilakukannya itu, i a seakan telah mencuci diri
rasa malu dan dari penghinaan yang sebelumnya i a tanggung. Sekarang ia bisa memikirkan Aleksei Aleksandrovich dengan tenang. Diakuinya kebesaran hati Aleksei Aleksandrovich, dan ia sudah tak lagi merasa terhina. Selain itu, kini ia sudah kembali menjejaki alur hidupnya semula. Kini ia melihat kemungkinan untuk menatap mata orang lain tanpa rasa malu dan bisa hidup dengan bimbingan kebiasaan-kebi asaan yang ada padanya. Hanya satu yang belum bisa ia renggut dari hatinya, walaupun ia berjuang melawan perasaan itu tanpa henti, yaitu rasa sesal yang bahkan mendekati putusasa
LEOTOLSTOI karena ia telah kehilangan Anna untuk selamanya. Dengan mantap i a pastikan dalam hati bahwa sekarang, sesudah menebus kesalahan di hadapan sang suami, ia harus menjauhkan diri dari Anna dan tak lagi akan mencampuri urusan Anna, yang sudah menyesali perbuatannya, dengan suaminya. Namun tak bisa ia merenggut dari dalam hatinya rasa sesal karena telah kehilangan cinta Anna, dan tak bisa ia menghapus dari kenangannya detik-detik bahagia yang telah dilewatinya bersama Anna, yang sebelumnya kurang beg itu dihargainya, namun sekarang mengejar-ngejarnya dengan penuh pesona.
Serpukhovskoi telah mengatur penempatannya di Tashkent, dan Vronskii tanpa ragu sedikit pun menerima rencana itu. Tapi makin dekat waktu untuk berangkat, makin berat ia rasakan pengorbanan yang telah d iberikannya demi hal yang i a anggap memang harus dilakukannya itu.
Lukanya telah pulih, dan i a sudah keluar rumah untuk menyiapkan keberangkatannya ke Tashkent.
"Sekali lagi aku harus melihat dia, dan kemudian mengubur diri, mati," pikirnya, dan selagi melakukan kunjungan-kunjungan perpisahan, ia kemukakan pikiran itu kepada Betsy. Dan Betsy, yang bertindak selaku utusannya, pergi menemui Anna dan pulang membawa penolakan.
"Lebih baik lagi," pikir Vronskii mendengar berita itu. "Ini kelemahan yang kiranya bisa membinasakan kekuatanku yang terakhir."
Harl berikutnya, pagi hari, Betsy datang menemuinya dan menyatakan telah mendapat berita baik dari Oblonsk ii yang mengatakan bahwa Aleksei Aleksandrovich mau memberikan cerai, dan karena itu Vronskii bisa bertemu dengan Anna.
Tanpa mengantarkan Betsy lagi, melupakan semua keputusan yang telah diambilnya, dan tanpa menanyakan kapan boleh bertemu, dan di mana sang suami berada, Vronskii langsung berangkat ke rumah Karenin. Ia lari menai k i tangga tanpa melihat siapapun dan apapun, dan dengan langkah cepat dan hampir tak bisa mengendalikan langkahnya, masuklah ia ke kamar Anna. Dan tanpa memikirkan atau melihat apakah di dalam kamar ada orang
38 ANNA KAR"N!NA atau tidak, dipeluknya Anna dan dihujaninya wa jah, tangan, dan leher Anna dengan ciuman.
Anna memang sudah menantikan pertemuan itu, dan ia pun sudah memikirkan apa yang bakal dikatakannya kepada Vronskii, tapi ia tak sempat mengatakan semua yang telah dipikirkannya; nafsu benar-benar telah menguasai Vronskii. Anna ingin meredakan Vronskii, meredakan diri sendiri, tapi sudah terlambat. Perasaan Vronskii menyambung dengan perasaannya. Bibirnya menggigil sedemikian rupa sehingga lama i a tak bisa mengatakan sesuatu.
"Ya, kamu telah menguasaiku, dan aku adalah milikmu," kata Anna akhirnya sambil menekankan tangan Vronskii ke dadanya.
"Memang begini seharusnya dulu!" kata Vronskii. "Selama kita hidup, memang mesti begini. Aku tahu itu sekarang."
"Itu betul," kata Anna yang makin lama makin bertambah pucat sambil memeluk kepala Vronskii. "Tapi bagaimanapun, ada yang terasa mengerikan sesudah mengalami semua ini."
"Itu akan sirna, itu akan sirna, dan kita berdua akan amat bahagia! Cinta kita ini, sekiranya bisa lebih hebat lagi, akan menjadi lebih bebat justru karena hal mengerikan itu tadi," kata Vronskii sambil mengangkat kepala dan memperlihatkan deretan giginya yang kokoh dengan senyuman.
Dan Anna tidak bisa tidak menjawab dengan senyuman pula-bukan jawaban kata-kata Vronskii, melainkan jawaban atas tatapan mata Vronskii penuh c inta. D ipegangnya tangan Vronskii, lalu dengan tangan itu ia belai pipinya yang mendingin dan rambutnya yang telah dipangkas.
"Hampir aku pangling melihat rambutmu yang pendek. Kamu tampak bertambah cantik, tapi seperti anak lelaki. Tapi kamu amat pucat."
"Ya, aku lemah sekali," kata Anna tersenyum. Dan kembali bibirnya men .
"Kita pergi ke Itali nanti, di sana kamu akan sembuh," kata Vronskii.
"Apa memang mungkin kita pergi sebagai suami-istri, berkeluarga dengan kamu?" kata Anna sambil menatap mata Vronskii dekatdekat.
LEOTOLSTOI "Aku cuma heran, bagaimana mungkin dulu itu bisa Iain di bandingkan sekarang ini."
"Stiva mengatakan bahwa dia setuju melakukan apa saja, tapi aku tak bisa menerima kebesaran hatinya itu," kata Anna yang sambil merenung menerawang di kejauhan melewati wajah Vronskii. "Aku tak menghendaki perceraian, tapi sekarang buatku semua sama saja. Cuma aku belum tahu keputusan apa akan diambilnya mengenai Seryozha."
Vronskii samasekali tak bisa memahami bagaimana mungkin dalam pertemuan seperti itu Anna berpikir tentang perceraian dan anaknya. Apakah semua itu tidak sama saja"
"Jangan bicara soal itu, jangan pikirkan," kata Vronskii sambil menggenggam tangan Anna dan berusaha menarik perhatian Anna ke arah dirinya; tapi Anna tetap tidak menatapnya.
"Oh, kenapa aku tak mati saja; itu lebih baik!" kata Anna, dan tanpa sedu-sedan airmata pun mengucur di kedua belah pipinya; namun ia tetap berusaha tersenyum agar tidak mengecewakan Vronskii.
Menolak penempatan di Tashkent yang memikat namun berbahaya itu, menurut pemahaman Vronskii sebelumnya, tentu memalukan dan tak mungkin terjadi. Tapi sekarang, tanpa pertimbangan sedetik pun i a menolaknya, dan ketika ia melihat ada sikap tak setuju para atasannya terhadap tindakannya itu, langsung saja i a minta keluar.
Sebulan kemudian Aleksei Aleksandrovich sudah tinggal sendiri dengan sang anak di rumahnya, sedangkan Anna pergi ke luar negeri dengan Vronskii sebelum memperoleh cerai dan menolak tegas berkumpul kemba l i dengan suaminya.
BAGIAN KELIMA Nyonya Pangeran Shcherbatskaya sadar, menyelenggarakan perkawinan menjelang puasa yang hanya tinggal lima minggu tidaklah mungkin, karena setengah dari mas kawin tak bakal sempat disiapkan sebelum acara itu; tapi ia tidak bisa pula tidak setuju dengan Levin bahwa sehabis puasa kiranya sudah dan terlalu terlambat, karena bibi tua Pangeran Shcherbatskii waktu itu sakit keras dan ada kemungkinan segera meninggal, sehingga acara berkabung bisa menghambat lagi acara perkawinan. Karena itu, dengan membagi mas kawin menjadi dua bagian, yaitu mas kawin besar dan mas kawin kecil, Nyonya Pangeran akhimya setuju menyelenggarakan perkawinan sebelum puasa. la putuskan bahwa mas kawin kecil akan disiapkan seluruhnya sekarang, sedangkan mas kawin besar akan dikirimkan belakangan; ia marah sekali kepada Levin, karena Levin tak juga memberikan jawaban yang sungguh-sungguh kepadanya, setujukah ia dengan itu atau tidak. Pengaturan seperti itu kiranya lebih nyaman, karena segera sesudah kawin kedua muda-mudi itu bisa pergi ke desa, dan di desa barang-barang mas kawin besar tidak diperlukan.
Levin, sementara itu, terus dalam keadaan seperti orang gila; ia merasa diri dan kebahagiaannya merupakan tujuan pokok dan tujuan satu-satunya dari segala yang ada di dunia ini; berpikir atau mengurus sesuatu sekarang ini baginya tak perlu samasekali; segala sesuatu, baginya, sedang dan akan berubah menjadi baru samasekali. la bahkan tak punya rencana atau tujuan hidup mendatang; ia serahkan saja keputusan tentang perkawinan itu kepada orang lain, karena ia tahu segalanya akan baik. Abangnya, Sergei lvanovich, Stepan Arkadyich, dan Nyonya Pangeran memberikan petunjuk kepadanya tentang apa-apa yang harus dilakukan. Dan
44 ANNA KAR"N!NA ia setuju saja dengan apa yang diusulkan orang-orang itu. Sang abang memberinya pinjaman uang, sedangkan Nyonya Pangeran mengusulkan kepadanya untuk pergi dari Moskwa segera sesudah perkawinan. Stepan Arkadyich menasihatkan kepadanya untuk pergi ke luar negeri. Levin setuju semuanya. "Lakukan semua yang kalian suka jika itu menyenangkan kalian. Aku merasa bahagia, dan kebahagiaanku tak mungkin menjadi lebih atau kurang, apapun yang kalian lakukan," pi ya. Ketika ia menyampaikan kepada Kitty nasihat Stepan Arkadyich untuk pergi ke luar negeri, ia amat heran karena ternyata Kitty tak menyetujui usul itu, dan tentang kehidupan mereka di masa depan ternyata Kitty punya semacam tuntutan sendiri. Kitty tahu, Levin punya urusan di desa, urusan yang memang dicintainya. Namun, menurut penglihatan Levin, Kitty bukan hanya tak mengerti urusan itu, tapi juga tak mau tahu urusan itu. Walapun demikian, itu tak menghalangi Kitty untuk menganggap urusan itu sangat penting. Karena itu Kitty tahu bahwa rumah mereka harus berada di desa; yang ia inginkan bukan ke luar negeri, yang tak bakal menjadi tempat tinggalnya, melainkan ke tempat yang akan menjadi lokasi rumahnya. Keinginan yang dikemukakan secara pasti itu mengherankan Levin. Tapi karena bagi Levin semua itu sama saja, maka langsung saja ia mem inta Stepan Arkadyich untuk pergi ke desa guna menyiapkan semua yang perlu disiapkan, dengan selera baik yang memang ada padanya, seakan semua itu adalah kewajiban Stepan Arkadyich.
"Tapi coba dengarkan dulu," kata Stepan Arkadyich pada suatu kali kepada Levin sekembali dari desa, d i mana ia telah menyiapkan semuanya untuk menyambut kedatangan kedua pengantin itu, "kamu punya bukti tidak bahwa kamu pemah menerima komuni?" "Tidak. Kenapa?"
"Tanpa itu tak bisa kawin."
"Aih, aih, aih," seru Levin. "Sampai sekarang barangkali sudah sembilan tahun aku tak ikut misa. Aku bahkan tak pemah memik irkannya lag i."
"Bagus benar!" kata Stepan Arkadyich ketawa. "Bisa-bisanya kamu menyebut aku nihilis! Bagaimanapun, i n i tak bisa. Kamu mesti ikut misa."
LEOTOLSTOI "Kapan" Tinggal empat hari lagi."
Stepan Arkadyich menyiapkan juga acara itu. Dan mulailah Levin ikut misa. Buat Levin, sebagai orang yang tak beriman tapi menghormati kepercayaan orang lain, hadir dan ikut serta dalam upacara gereja apa saja terasa amat berat. Sekarang, ketika ia merasa peka terhadap segala sesuatu dan dalam suasana jiwa yang teduh, keharusan untuk berpura-pura baginya bukan hanya berat, tapi agaknyajuga benar-benar mustahil. Sekarang, ketika ia berada dalam keadaan mulia dan megah, ia harus berbohong atau melakukan sakrilegi. Ia merasa tak mampu melakukan yang pertama maupun yang kedua. Beberapa kali ia bertanya kepada Stepan Arkadyich apakah tak mungkin memperoleh bukti pernah menerima komuni tanpa ikut misa, dan Stepan Arkadyich menyatakan tidak mungkin.
"Berapalah yang kamu butuhkan untuk itu-pal ing dua hari. Dan pendeta itu orang tua yang amat baik dan pintar. Ia nanti akan cabut gigimu sampai tak terasa olehmu."
Ketika mengikuti misa yang pertama itu, Levin berusaha menyegarkan kembali kenangan masa muda tentang rasa keagamaan kuat yang pernah dimilikinya dari usia enambelas sampai tujuhbelas. Tapi seketika itu pula ia merasa betapa upaya penyegaran itu sia-sia belaka. Ia lalu berusaha melihat semua itu seperti melihat kebi asaan kosong tanpa makna, sama dengan kebiasaan berkunjung ke rumah teman; namun i a merasa bahwa itu pun tak bisa ia lakukan. Seperti kebanyakan teman sezamannya, sikap Levin terhadap agama tak jelas. Untuk percaya ia tak bisa, tapi sementara itu ia pun tak begitu yakin bahwa semua itu tak benar. Karena itu, dalam posisi tak bisa memercayai apa yang dilakukannya, namun juga tak bisa memandangnya dengan sikap masa bodoh, selama misa berlangsung i a merasa kikuk dan malu, justru karena ia melakukan sesuatu yang tak dimengerti dan karena tindakannya bernada palsu dan tak baik. Itulah suara yang datang dari dalam dirinya.
Selama berlangsung misa ia mendengarkan doa-doa dan berusaha memberikan makna pada doa-doa itu, yang k iranya tak menyimpang dari pandangannya sendiri; atau, karena merasa tak paham dan harus mencela doa-doa itu, ia pun berusaha untuk tidak mendengarkannya, melainkan menyibukkan diri dengan pikiran-
4 5 46 ANNA KAR"NINA pikiran sendiri, pengamatan-pengamatan sendiri, dan kenangankenangan sendiri yang berkecamuk hebat dalam kepalanya selama ia berdiri di dalam gereja.
Ia ikut dalam acara misa, sembahyang malam, dan acara malam hari, dan hari berikutnya, sesudah bangun lebih pagi daripada biasanya dan tanpa minum teh, ia datang ke gereja pada pukul delapan untuk mengikuti acara pagi hari dan pengakuan dosa.
Di gereja tak ada seorang pun kecuali seorang serdadu pengemis, dua orang perempuan tua, dan seorang pendeta serta pembantunya.
Diakon muda menyambutnya dan langsung mendekati meja di dekat dinding dan mulai membacakan doa; kedua sisi punggung diakon itu lebar, tampak jelas dari jubahnya yang tipis. Sew pembacaan berlangsung, terutama saat kata-kata "Ya
, ampunilah" diulang-ulang dengan cepat dan berkali-kali sehingga terdengar seperti "Ampulah, ampulah'', Levin merasa pikirannya benar-benar tertutup dan terkunci; menyentuh atau menggerakkan pikiran itu sekarang tak perlu, sebab kalau tidak malah akan menimbulkan kekalutan; karena itu, sambil berdiri d i belakang diakon ia terns saja memikirkan urusannya sendiri tanpa mendengarkan atau mencoba memahami doa itu. "Bukan main banyaknya hal bisa diungkapkan oleh tangan Kitty," pikirnya, teringat bagaimana ia dan Kitty kemarin duduk berdua di dekat meja di sudut ruangan. Mereka diam saja, demikian pertemuan mereka waktu itu, dan Kitty meletakkan tangannya di atas meja, membuka dan menutupnya, lalu ketawa sendiri melihat gerakan tangan itu. Teringat oleh Levin bagaimana ia mencium tangan Kitty dan kemudian mengamati guratan-guratannya yang saling bertemu di telapak tangan yang berwarna merah muda. "Ampulah lagi," pikir Levin sambil membuat tanda salib, lalu membungkuk dan melihat gerakan punggung diakon yang membungkuk lentur itu. "Kemudian ia memegang tanganku dan mengamati garis-garis itu: 'Tanganmu bagus sekali,' kata Kitty." Maka dilihatnya tangannya sendiri dan tangan diakon yang pendek. "Ya, sebentar lagi akan selesai," pikirnya. "O, tidak, rupanya kembali lagi dari awal," pikirnya lagi sambil mendengar-dengarkan doa-doa itu. "Ah, tidak, sudah selesai!
LEOTOLSTOI Itu, dia sudah bersujud ke tanah. Menjelang selesai selalu begitu."
Diakon, tanpa kentara, menerima uang kertas tiga rubel dan memasukkannya ke dalam lipatan lengan jubah yang seperti beledu, lalu mengatakan akan mencatat, dan dengan sepatu barn berbunyi keras menyentuh petak-petak lantai gereja yang kosong ia pun melangkah ke altar. Semenit kemudian, dari altar, ia menoleh dan memberi isyarat kepada Levin untuk datang. Pikiran dalam kepala Levin yang sampai waktu itu tertutup kini mulai bergerak, tapi i a segera mencegahnya. "Bagaimanapun harus heres," pikimya, lalu menuju podium. Ia menaiki tangga, dan membelok ke kanan, tampak olehnya pendeta. Pendeta tua itu-dengan jenggot jarang dan setengah beruban, dengan mata lelah dan memancarkan kebaikan hati-berdiri di dekat mimbar sedang membalik-balik lembaran buku doa. Ia sedikit membungkuk kepada Levin, lalu segera membacakan doa dengan suara biasa. Selesai membaca ia bersujud ke tanah dan menoleh ke arah Levin.
"Di sini Kristus tanpa terlihat akan hadir menerima pengakuan dosa Anda," katanya sambil menunjuk salib. "Percayakah Anda kepada segala yang di ajarkan kepada kita oleh gereja para rasul?" sambung pendeta il mengalihkan tatapan nya dari wajah Levin dan menyedekapkan tangan di bawah kain leher.
"Saya ragu-ragu, saya meragukan semuanya," sambung Levin dengan suara yang bagi dirinya sendiri pun tak menyenangkan, lalu terdiam.
Pendeta menan t i beberapa detik, barangkali Levin akan mengatakan sesuatu lagi, kemudian sambil menutup mata ia mengatakan dengan bunyi "o" dialek Vladimir yang cepat:
"Keraguan memang ciri kelemahan manusia, tapi kita harus berdoa agar Tuhan yang Mahakasih menguatkan kita. Dosa-dosa khusus apa yang Anda punya?" tambahnya tanpa istirahat sedikit pun, seakan berusaha untuk tidak kehilangan waktu.
"Dosa saya yang utama adalah keraguan itu. Saya meragukan semuanya, dan secara umum saya memang merasa ragu-ragu."
"Keraguan memang ciri kelemahan manusia," kata pendeta mengulang kata-kata yang tadi. "Apakah terutama yang Anda ragukan?"
4 7 48 ANNA KAR"N!NA "Saya meragukan semuanya. Saya bahkan kadang-kadang meragukan adanya Tuhan," kata Levin tak sengaja, dan i a sendiri merasa ngeri mendengar kata-kata yang tak sopan itu. Tapi ternyata kata-kata Levin itu tak menimbulkan kesan apa-apa bagi pendeta, demikian terasa olehnya.
"Bagaimana bisa timbul keraguan tentang adanya Tuhan?" kata pendeta cepat dengan senyuman yang nyaris tak kentara. Levin .
"Bagaimana mungkin Anda punya keraguan tentang Sang Pencipta, sedangkan Anda menyaksikan barang-barang c iptaannya?" sambung pendeta dengan bahasa yang cepat dan amat biasa. "Siapa yang menghias lengkung langit ini dengan benda-benda langit" Siapa yang memberikan keindahan pada bumi ini" Bagaimana mungkin dunia ini tanpa Pencipta?" katanya sambil menoleh ke arah Levin penuh tanda tanya.
Levin merasa, tidaklah sopan berdebat filsafat dengan pendeta. Karena itu, sebagai jawaban, ia hanya mengatakan hal yang ada hubungan dengan pertanyaan pendeta.
"Saya tak tahu," katanya.
"Tidak tahu" Jadi bagaimana Anda bisa meragukan bahwa
telah menciptakan semuanya?" kata pendeta dengan nada tak mengerti, tapi gembira.
"Saya tak mengerti apapun," kata Levin dengan wajah memerah, karena ia merasa kata-kata itu bodoh dan tidak mungkin tidak bodoh untuk keadaan seperti itu.
"Berdoalah kepada Tuhan, dan mohonlah kepadaNya. Bahkan bapak-bapak kita yang suci pun pernah mengalam i keraguan dan memohon kepada Tuhan untuk dikuatkan i mannya. Setan memang punya kekuatan besar dan kita tak boleh menyerah padanya. Berdoalah kepada Tuhan dan mohonlah kepadaNya. Berdoalah kepada Tuhan," pendeta mengulang-ulang dengan buru-buru. Pendeta diam beberapa waktu, seakan memikirkan sesuatu. "Menurut pendengaran saya, Anda hendak melangsungkan perkawinan dengan put r i anggota jemaah saya, putra seorang pendeta, yaitu Pangeran Shcherbatskii?" tambahnya sambil tersenyum. "Gadis yang baik sekali."
LEOTOLSTOI "Ya," jawab Levin, memerah wajahnya karena kata-kata pendeta itu. "Buat apa i a mesti menanyakan soal itu dalam pengakuan dosa?" pikirnya.
Dan seakan menjawab pikiran yang dipendamnya, pendeta pun mengatakan:
"Anda hendak melangsungkan perkawinan, dan Tuhan barangkali menganugrahi Anda keturunan, benar tidak" Lalu pendidikan apa yang bisa Anda berikan kepada putra-putra Anda, kalau Anda tak bisa mengalahkan dalam Anda godaan setan yang menarik Anda pada ketiadaan iman?" katanya dengan nada memarahi, tapi lunak. "Kalau Anda mencintai anak Anda, Anda sebagai ayah yang baik tidak akan sekadar mengharapkan kekayaan, kemewahan, atau kehormatan untuk anak Anda; Anda akan mengharapkan kesela nnya, perkembangan rohaninya, dalam cahaya kebenaran. Apa tidak demikian" Apa yang akan Anda jawabkan kepadanya kalau anak yang tak berdosa itu bertanya kepada Anda: 'Papa, siapa yang menciptakan semua yang menarik hati saya di dunia ini-bumi, air, matabari, bunga-bunga, rumput-rumputan"' Apa mungkin Anda memberikanjawaban kepadanya: 'Saya tak tahu"' Anda tak mungkin tidak mengetahui hal itu, karena Tuhan Allah dengan kasihnya yang mahabesar telah membukakan hal itu kepada Anda. Atau anak Anda bertanya: 'Apa yang menantikan saya sesudah mati"' Bagaimana Anda memberikan jawaban kepadanya kalau Anda tak tahu apaapa" Bagaimana Anda akan memberikanjawaban padanya" Apakah hanya akan Anda berikan kepadanya kenikmatan dunia dan setan" Tak baik begitu!" katanya, lalu berhenti sambil menggelengkan kepala dan menatap Levin dengan mata yang menunjukkan kebaikan hati dan sikap lunak.
Levin tak memberikan jawaban apa-apa sekarang-bukan karena ia tak ingin berdebat dengan pendeta, melainkan karena tak seorang pun pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian kepadanya; dan kalaupun anak-anaknya nanti mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, masih ada waktu untuk memikirkan jawabannya.
"Anda sekarang memasuki suatu mas a hidup," sambung pendeta, "ketika Anda perlu memilih jalan dan berpegang teguh pada
4 9 50 ANNA KAR"N!NA jalan tersebut. Berdoalah kepada Tuhan agar Ia dengan kasihnya membantu Anda dan mengampuni Anda," tutupnya. "Tuhan kami Yesus Kristus, dengan penuh kemurahan dan kedermawanan dalam kasihMu, ampunilah anakku .... " Dan sesudah menyelesaikan doa "penyuc ian", pendeta pun memberkati dan membolehkan pergi.
Ketika hari itu Levin pulang, ia merasa sangat senang karena acara yang bikin kikuk itu telah berakhir, dan berakhir dengan cara yang tak membuat dia terpaksa berbohong. Selain itu, kepadanya masih tertinggal kenangan samar bahwa apa yang dikatakan orang tua yang baik dan simpatik itu samasekali tak bodoh seperti diduganya semula, melainkan ada sesuatu yang perlu ditimbang.
"Tentu saja bukan sekarang," pikir Levin, "tapi kapan-kapan nanti." Lebih daripada sebelumnya, sekarang Levin merasa bahwa dalam jiwanya ada hal yang belum jelas dan tak bersi h, dan bahwa di bidang agama ia masih berada pada posisi yang pernah dilihatnya dengan jelas, dan ia merasa tak senang orang lain berada pada posisi seperti itu pula, sebab justru karena rasa tak senang itu ia pernah mencela sahabatnya sendiri, Sviyazskii.
Ketika malam itu ia menghabiskan waktu dengan calon istrinya di rumah Dolly, Levin merasa sangat gembira. Ia sampaikan kepada Stepan Arkadyich kegairahan yang melingkupinya waktu itu; ia katakan bahwa kegembiraannya dapat diumpamakan dengan kegembiraan seekor anjing yang telah diajar melompat dalam lingkaran; ketika akhirnya ia bisa mengerti apa yang diajarkan orang kepadanya, dan bisa melaksanakan permintaan orang itu kepadanya, ia pun mencicit, dan sambil mengibaskan ekornya melompat-lompat ke atas meja dan jendela karena gembira.
Pada hari perkawinan, menurut kebiasaan (Nyonya Pangeran dan Darya Aleksandrovna menuntut dengan tegas dipenuhinya semua tatacara perkawinan) Levin tidak bertemu dengan sang calon istri; ia makan siang di hotel dengan t iga bujangan yang secara kebetulan berkumpul di situ: Serg e i Ivanovich, Katavasov, dan Chiri kov.
LEOTOLSTOI Katavasov adalah teman belaj a di universitas, sekarang menjadi profesor ilmu pengetahuan alam, yang kebetulan di temui di jalan dan dipaksanya datang. Dan Chirikov, pengir ing pengantin, seorang hakim dari Moskwa, teman Levin berburu beruang. Acara makan siang itu meriab sekali. Sergei Ivanovich berada dalam suasana hati yang paling baik, dan senang sekali dengan hal-hal orisinal yang ditunjukkan Katavasov. Dan Katavasov, lantaran merasa keorisinalannya dihargai dan bisa dimengerti, kini berlagak dengan keorisinalannya itu. Sedangkan Chirikov mendukung setiap percakapan dengan gembira dan senang bati.
"Menurut saya," kata Katavasov dengan mengulur kata-kata, suatu kebiasaan yang diperoleb dari departemen di universitas, "kawan kita Konstantin Dmitrich ini berbakat sekali dulunya. (Saya bicara tentang orang-orang yang tak hadir sekarang, karena ia pun tak hadir sekarang ini.) Ia juga masih mencintai ilmu waktu itu, begitu keluar dari universitas, dan banyak minat terhadap kemanusiaan; tapi sekarang separuh bakatnya ia pakai buat menipu diri sendiri, dan separuhnya lagi buat membenarkan penipuannya itu."
"Bel um pernah saya melihat musuh perkawinan yang lebih besar daripada Anda," kata Sergei Ivanovich.
"Bukan, saya bukan musuh. Saya adalah pendukung pembagian kerja. Orang-orang yang tak bisa berbuat apa-apa harus membuat manusia, sedangkan lainnya membantu mendidik dan membahagiakan manus ia-manusia itu. Beg itulab pendapat saya. Mengacaukan dua keahlian itu berarti jalan buntu bagi para pemburu, dan saya bukan seorang dari orang-orang itu."
"Saya akan merasa sangat bahagia kalau suatu waktu saya mengetahui Anda jatuh cinta!" kata Levin. "Und saya nanti ke perkawinan Anda."
"Sekarang pun saya sudab jatuh c inta."
"Ya, kepada ikan sotong. Tahu tidak," kata Levin kepada abangnya. "Mikhail Semyonich ini sedang menulis karangan tentang makanan dan .... "
"O, jangan salah! Tapi sebetulnya sama saja, tentang apa .... Soalnya, saya memang suka betul sotong."
52 ANNA KAR"NINA "Tapi itu tidak akan mengh Anda menc intai istri." "Dia sih tak menghalangi, tapi istrinya yang menghalangi." "Kenapa begitu?"
"Nanti akan Anda l ihat sendiri. Coba, sekarang ini Anda menc intai pertanian, perburuan-pendeknya, nan t i Anda akan lihat sendiri!"
"Barusan Arkhip ada di sini; dia mengatakan, dua beruang terperosok di lubang menjangan di Prudanoye," kata Chirikov. "Ambil saja keduanya tanpa saya."
"I tu betul," kata Sergei Ivanovich. "Lebih buru-buru saja ucapkan selamat tinggal kepada perburuan beruang-istri tak membolehkan!"
Levin tersenyum. Bayangan tentang istri yang tak mengizinkan itu amat menyenangkan hatinya sehingga ia siap meninggalkan kenikmatan melihat beruang untuk selamanya.
"Tapi bagaimanapun, sayang dua beruang itu diambil orang tanpa Anda. Ingat tidak terakhir kali di Khapilovo itu" Perburuan yang baik sekali waktu itu," kata Chirikov.
Levin tak hendak meng akan Chirikov dengan mengatakan bahwa mustahil ada suatu yang baik di suatu tern pat tanpa kehadiran Kitty. Karena itu ia pun tak mengatakan apa-apa.
"Tak heran ada kebiasaan mengucapkan selamat tinggal kepada hidup membu jang," kata Sergei Ivanovich. "Bagaimanapun bahagianya, sayang juga kebebasan itu."
"Tapi Anda mengakui tidak bahwa ada rasa seperti ingin melompat ke luar jendela, seperti pada calon pengantin dalam cerita Gogol itu?"
"Barangkali juga ada, tapi tak mau mengakui!" kata Katavasov, lalu ketawa terbahak-bahak.
"Yah, terserahlah, jendela masih terbuka . . .. Mari sekarang kita ke Tver! Ada seekor beruang betina di sana, kita bisa datangi sarangnya. Betul ini, kita ke sana dengan kereta pukul lima! Di sana terserah k ita mau apa," kata Chirikov tersenyum.
"Sungguh," Levin tersenyum, "dalam jiwa saya tak ada rasa sesal akan kehilangan kebebasanl"
"Tentu saja, karena jiwa Anda sekarang ini kacau-balau,
LEOTOLSTOI sehingga tak mungkin Anda memahami ses ," kata Katavasov. "Tunggu saja, kalau nanti Anda sudah mengerti sedikit, Anda akan memahaminya!"
"Tidak, saya sih mau saja biarpun ada sedikit rasa sayang kehilangan kebebasan, tetapi bukan rasa (ia tak mau mengatakan kata cinta) ... dan bahagia .... Sebaliknya, saya merasa girang karena kehilangan kebebasan itu."
"Berat! I n i hal yang betul-betul tak bisa diharapkan!" kata Katavasov. ''Yah, kalau begitu mari kita minum buat kesembuhannya, atau kita harapkan saja agar meski cuma seperseratusnya, apa yang menjadi c ita-citanya terwu jud. Dan itu menjadi kebahagiaan yang belum pernah ada di atas bumi!"
Segera sesudah makan siang para tamu pulang agar sempat berganti pakaian menjelang upacara perkawinan.
Sesudah tinggal sendiri dan mengenangkan percakapan para bujangan itu, Levin pun bertanya sekali lagi kepada dirinya: adakah dalam jiwanya perasaan menyesali hilangnya kebebasan, seperti dibicarakan orang-orang itu" Menghadapi pertanyaan itu ia pun tersenyum. "Kebebasan" Buat apa kebebasan" Kebahag iaan hanya mungkin ada dalam menc intai, berharap, dan berpikir sesua i harapan-harapan Kitty, pikiran-pikiran Kitty, yang berarti tiadanya kebebasan itu-ya, itulah yang dinamakan kebahagiaan!"
"Tapi kenalkah aku dengan pikiran-pikirannya, harapan-harapannya, perasaan-perasaannya?" bisik suaranya tiba-tiba. Senyum menghilang dari wajahnya, dan ia pun merenung. Dan tiba-tiba muncul perasaan aneh dalam dirinya. Tiba-tiba muncul dalam dirinya rasa ngeri dan ragu, keraguan terhadap semuanya.
"Bagaimana kalau ternyata ia tak mencintaiku" Bagaimana kalau ternyata ia kawin denganku hanya supaya bisa kawin saja" Bagaimana kalau ia sendiri ternyata tak sadar apa yang dilakukannya?" tanyanya kepada diri sendiri. "Ia bisa saja nantinya sadar, dan hanya dengan menjalani perkawinan saja ia akhirnya mengerti bahwa ia tak mencintaiku dan tak bisa menc intaiku." Dan mulailah pikiran-pikiran aneh dan paling buruk meruyak dalam kepalanya. Ia merasa cemburu kepada Kitty yang menaruh hati kepada Vronskii, seperti setahun lalu, seolah malam ketika ia melihat Kitty dengan
54 ANNA KAR"NINA Vronskii itu baru ke . Ia pun curiga bahwa Kitty belum mengatakan semua kepadanya.
Ia pun bangkit berdiri. "Tidak, ini tak boleh dibiarkan begini!" katanya putusasa kepada sendiri. "Aku harus menemui dia, aku harus bertanya, dan untuk terakhir kali mengatakan kepadanya: Kita masih bebas, apa tak lebih baik kita berhen t i saja di sini" Dengan begini kita lebih baik daripada menanggung kesialan abadi, aib, selingkuh!!" Dengan rasa putusasa dan mendendam kepada semua orang, diri sendiri, dan Kitty, ia pun keluar dari hotel dan pergi menemui Kitty.
D idapatinya Kitty ada di kamar belakang. Ia duduk di atas peti sedang melakukan sesuatu bersama seorang pembantu perempuan, memilih-milih gaun aneka warna dan menumpuk-numpuknya di atas punggung kursi dan lantai.
"Ah!" seru Kitty ktu melihat Levin, lalu wajahnya berseriseri karena gembira. "Bagaimana kamu, eh, bagaimana Anda (sebelum hari terakhir itu ia kadang menggunakan kata "kamu", kadangjuga "Anda"). Samasekali tak terduga! Saya sedang memilihmilih gaun lama untuk dibagikan kepada yang cocok. .. . " "Aa! Itu baik sekali!" kata Levin sambil menatap murung gadis
itu. "Pergi sana Dunyasha, nanti aku panggil," kata Kitty. "Ada apa kamu?" tanyanya dengan tegas menggunakan kata "kamu", sesudah pembantu itu pergi. Ia lihat wajah Levin aneh, gelisah, dan murung, dan ia pun merasa ngeri.
"Kitty! Aku betul-betul merasa tersiksa. Tak bisa aku tersiksa sendirian," kata Levin dengan suara putusasa ketika ia berhenti di hadapan Kitty, dan dengan nada memohon menatap mata Kitty. Dari wajah Kitty yang jujur dan mencinta itu Levin tahu bahwa apa yang hendak dikatakannya tak bakal keluar, tapi bagaimanapun ia merasa perlu agar Kitty sendiri yang meyakinkannya. "Aku datang untuk mengatakan bahwa waktunya belum terlambat. Semua masih bisa dibatalkan dan dibetulkan."
"Apa" Aku samasekali tak mengerti. Ada apa kamu i ni?" "Seribu sudah kukatakan padamu, dan sekarang ini tak bisa aku tak merasa ... bahwa aku tak pantas untukmu. Tak mungkin
LEOTOLSTOI kamu setuju kawin denganku. Cobalah pikirkan itu. Kamu keliru. Cobalah pikirkan baik-baik. Kamu tak mungkin bisa mencintaiku .... Kalau .. ., lebih baik katakan," kata Levin tanpa menatap Kitty. "Aku tak akan bahagia. Biar saja semua orang mengatakan apapun; itu lebih baik daripada tak bahagia.... Lebih baik katakan sekarang, mumpung masih ada waktu .... "
"Betul-betul aku tak mengert i," jawab Kitty ketakutan. "Apa yang hendak kamu tolak ... Apa yang tak perlu?"
"Ya, kalau kamu tak mencintaiku."
"Gila kamu!" teriak Kitty dengan wajah merah karena jengkel. Tapi wajah Levin waktu itu amat menimbulkan rasa iba sehingga K i tty pun mengekang kejengkelannya; dilontarkannya gaun-gaun itu dari kursi, lalu ia duduk d i dekat Levin.
"Apa yang kamu pikirkan" Coba katakan semuanya." "Aku pikir kamu tak mungkin bisa mencintaiku. Demi apa kamu menci ntaiku?"
"Ya Tuhan! Apa yang bisa kulakukan?" kata Kitty lalu menangis. "Oh, apa yang kulakukan ini!" seru Levin, lalu berlutut di depan Kitty dan mulai menciumi tangannya.
Ketika lima menit kemudian Nyonya Pangeran masuk ke kamar itu, i a dapati mereka sudah benar-benar berdamai. Kitty bukan hanya bisa meyakinkan Levin bahwa ia memang mencintainya, tapi bahkan memberikan jawaban atas pertanyaan Levin kenapa ia mencintai Levin. Ia mengatakan, ia menc intai Levin karena selalu bisa memahaminya, karena ia tahu apa yang harus dicintai Levin, dan ia mengatakan bahwa semua yang dicintai Levin itu baik. Dan penjelasan ini dirasakan Levin cukup jelas. Ketika Nyonya Pangeran menemui mereka, pasangan itu sudah duduk berdampingan di atas peti, memilih-milih gaun dan bertengkar karena Kitty ingin memberikan kepada Dunyasha gaun cokelat yang dipakai Kitty ketika Levin melamar Kitty dulu, sedangkan Levin mendesak Kitty untuk tidak memberikan gaun itu kepada siapapun, dan buat Dunyasha lebih baik diberikan gaun biru saja.
"Kamu i n i tak mengerti rupanya. Dia itu kan berambut hitam, jadi tak bakal cocok mengenakan gaun itu.... Semua itu sudah kupikirkan."
56 ANNA KAR"N!NA Ketika Nyonya Pangeran mengetahui apa maksud kedatangan Levin, dengan nada setengah bergurau setengah serius, dimarahinya Levin, lalu disuruhnya pulang untuk berpakaian agartak menghalangi Kitty bersisir, karena sebentar lagi Charles, si penata rambut, datang.
"Begini saja ia sudah tak mau makan apa-apa berhari-hari, dan wajahnya jadi jelek, sekarang kamu pula mengacaukan dia dengan kebrengsekanmu itu," kata Nyonya Pangeran kepada Levin. "Pergi sana, pergi sana, Sayang."
Dengan rasa bersalah dan malu, tapi tenang, Levin pun kembali ke hotelnya. Saudara lelakinya, Darya Aleksandrovna, dan Stepan Arkadyich sudah menantikan dia dengan pakaian lengkap untuk ikut memberkatinya dengan gambar orang suci. Tak ada lagi waktu untuk berlambat-lambat. Darya Aleksandrovna masih harus singgah ke rumah untuk menjemput sang anak lelaki yang rambutnya digelombangkan dan diminyaki. Anaknya itu harus mengantarkan calon pengantin perempuan dan gambar orang suci. Kemudian sebuah kereta harus dikirim untuk menjemput pengantar pengantin, dan sebuah lagi yang membawa Sergei Ivanovich barns dipanggil kembali .... Singkat kata, banyak hal cukup rumit di sini. Satu hal yang tak bisa diragukan lagi, tak boleh berlambat-lambat, karena hari sudah pukul setengah tujuh.
Pendekar Elang Salju 10 Sapta Siaga 12 Gara Gara Teleskop Harpa Iblis Jari Sakti 7
^