Pencarian

Simo Gembong Mencari Mati 1

Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati Bagian 1


MAHESA KELUD SIMO GEMBONG MENCARI MATI * Copyright naskah ini ditangan penerbit LOKA-JAYA,hak cipta pengarang
dilindungi undang-undang.
* Dilarang mengutip, tanpa seijin
penerbit. * Menterjemahkan karya ini dalam bahasa Asing,tanpa seijin penerbitnya lebih
dahulu. Tukang Edit : Dewa Urakan
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
PUNCAK GUNUNG KELUD.......
wan berarak tinggi. Sesaat
menyelimuti puncak gunung
A kemudian bergerak menjauh,
ditiup angin ke arah timur. Di dalam pondok kayu beratap rumbia, letaki tua itu
duduk bersila. Kedua tangan
diletakkan diatas paha. Mata kanan
terpejam rapat sedang mata kiri yang
hanya merupakan rongga besar nyalang
menantang mengerikan. Janggutnya yang hitam panjang bergoyang-goyang ditiup
angin yang masuk dari pintu. Dari batok kepalanya yang ditutupi rambut kotor
awutan-awutan tampak mengepul asap hijau aneh. Jelas orang tua ini tengah
bersemedi sambil mengerahkan tenaga
dalam yang sangat tinggi.
Ketika sekelompok awan datang lagi
menyelimuti puncak Gunung Kelud,orang tua bertampang angker ini membuka mata
kanannya yang sejak tadi dipejamkan.
Ternyata mata ini berwarna sangat merah, membuat wajahnya tambah menyeramkan
untuk dipandang. Kemudian terdengar suaranya serak
besar ketika mulutnya terbuka.
"Syukur kau sudah kembali Mahesa.
Aku gembira!"Dan mata kanan yang merah itu memandang tak berkedip pada sosok
tubuh pemuda yang duduk khidmat di
hadapannya. "Muridku, kau berhasil mendapatkan pedang Samber Nyawa?"
"Berhasil Embah."
"Bagus!" Mulut orang tua itu menyunggingkan senyum.Tapi senyum ini malah membuat
tampang-nya tambah seram.
"Bagus sekali! Lalu apakah kau juga sudah berhasil menemukan dan membunuh manu-
sia bernamaSimo Gembong?"
Sang murid - Mahesa Kelud - tidak
menjawab. Diperhatikannya sesaat tanda hitam disiku tangan kanan orang tua itu.
Hatinya berdebar. Tanda itu adalah salah satu dari ciri-ciri manusia yang
namanya barusan disebutkan oleh sang guru!
"Aku bertanya. Apakah kau sudah
berhasil menemukan manusia bernama Simo Gembong dan membunuhnya ....?" Orang tua
itu kembali bertanya. "Embah Jagatnata," sahut Mahesa Kelud menyebut nama gurunya itu.
"Petunjuk-petunjuk yang saya dapatkan masih kurang jelas. Saya memerlukan
tambahan petunjuk dari Embah
Air muka Embah Jagatnata tampak
berubah. "Kalau begitu, percuma kau datang kemari! Bukankah dulu sudah kuberi
ingat" Kau sekali kali tidak boleh
kembali kesini sebelum berhasil menemui dan membunuh orang bernama Simo Gembong
itu"! Apa jawabmu Mahesa"!"
"Embah, hasil penyelidikan yang
saya dapat, membuat saya jadi bingung sendiri," jawab Mahesa Kelud. Nama itu
adalah pemberian gurunya. Nama
sebenarnya pemuda ini adalah Panji
Ireng. "Bingung?" Kening Embah Jagatnata tampak berkerenyit. "Bingung
bagaimana?" "Harap maafkan saya Embah.
Ciri-ciri orang bernama Simo Gembong itu sangat sama dengan ciri-ciri Embah
sendiri." "Kalau begitu apakah kau sudah
berpendapat bahwa aku gurumu ini adalah Simo Gembong itu"!"
"Walau kenyataan memberi petunjuk demikian, tapi saya tidak berani
mengatakan begitu Embah. Saya tidak
dapat mempercayainya ..."
"Lalu kau berpegang pada yang mana.
Pada kenyataan atau pada jalan pikiranku sendiri"!" tanyasang guru.
"Pada kedua-duanya Embah" sahut Mahesa.
"Kalau kau memang berpegang pada keduanya, lalu mengapa masih belum
berhasil menemui dan membunuh manusia Simo Gembong itu?"
"Justru disitulah saya ingin
petunjuk lebih lanjut dari Embah, agar tidak keliru mengambil keputusan."
Embah Jagatnata memandang pada
Mahesa dengan matanya yang cuma satu.
Asap kehijauan masih mengepul keluar
dari ubun-ubun kepalanya.
"Bodoh!" bentak orang tua itu tiba-tiba. "Kau sudah lihat kenyataan!
Kau sudah lihat kesamaan ciri-ciri
antara aku dan Simo Gembong! Apakah kau masih belum dapat menarik kesimpulan"!"
Sesaat pemuda itu terkesiap. Lalu:
"Kalau kesimpulan itu berbunyi bahwa manusia bernama Simo Gembong adalah
Embah sendiri, lantas mengapa Embah
menyuruh saya turun gunung untuk mencarinya dan membunuhnya?" Pemuda ini benar-benar tidak mengerti.
Embah Jagatnata geleng-gelengkan
kepala. "Akan kuterangkan, akan
kuterangkan," katanya kemudian. "Selama puluhan tahun hidup, aku telah
melewatinya dengan percuma. Bahkan
dengan menanam dosa di sepanjang hari kehidupanku itu. Aku berilmu tinggi. Tak
ada yang menandingi. Dengan ilmuku itu aku berbuat apa yang aku mau. Membunuh!
Merampok! Memeras! Menculik
gadis-gadis, merusak kehormatannya.
Melarikan istri orang, memperkosanya.
Bahkan aku juga membunuh anak-anak! Tak ada satu orangpun berani turun tangan
menghukumku! Aku semakin tua dan
dosa-dosaku yang selangit tembus itu
semakin karatan! Aku ingin mati! Ingin mampus! Biar Tuhan menghukumku diliang
kubur. Tapi ajal tak kunjung sampai.
Malaikat maut masih belum mau datang!
Satu-satunya senjata yang sanggup
memisahkan nyawaku dengan jazadku adalah pedang Samber Nyawa. Aku tak tahu
dimana senjata sakti itu berada. Karena itu
kusuruh kau mencarinya. Dan katamu kau telah berhasil mendapatkan pedang itu.
Dimana kau temukan pedang itu Mahesa?"
"Di sebuah lembah bernama Lembah Maut di Pulau Mayat. Tempat kediaman Dewi
Maut......." "Dewi Maut......Ah, ternyata dia masih hidup!"
Paras Embah Jagatnata tampak
memutih. Mata kanannya terpejam.
Berulang kali dia menarik nafas dalam.
"Aih, ternyata dia masih hidup.
Bagaimanakah keadaannya" Apakah dia
masih mendendam diriku" Ingin sekali aku melihatnya. Sungguh tak disangka kalau
dia masih hidup dan masih memiliki
senjata itu...." Kata-kata itu diucapkan Embah Jagatnata dalam hati sehingga
Mahesa Kelud tidak mendengarnya.
Keinginan untuk mati kini tiba-tiba saja memudar dalam diri sanubari si orang
tua. "Embah," kata Mahesa. "Menurut Dewi Maut, dengan pedang itu dia membabat puntung
telinga kananmu. Apa benar....?"
Embah Jagatnata mengangguk
perlahan. Hatinya terasa perih.
"Aku membuat segudang dosa besar padanya. Dia ingin membalaskan sakit
hati. Kami berkelahi. Saat itu, puluhan tahun silam tingkat kepandaian kami
masih sama. Namun dia memiliki pedang Samber Nyawa. Aku tak sanggup
menghadapinya dan melarikan diri setelah dia menabas buntung telinga kananku.
Kau bertemu muka dengan Dewi Maut. Bagaimana keadaannya.... Atau kau sudah
membunuhnya?" Hati orang tua
ini mendadak berdebar. "Tidak, saya tidak membunuhnya.
Keadaannya..... Dia hidup dialam aneh..." "Aneh bagaimana maksudmu?"
"Embah tahu perempuan itu seusia Embah. Tapi wajahnya dan tubuhnya tetap
muda....." "Aku tahu! Aku tahu! Pasti dia
mendapat man-tera awet muda itu dari
gurunya si Dewi Cabut Nyawa..."
"Memang begitu menurut
pengakuannya." Embah Jagatnata geleng-gelengkan
kepala. Hasrat ingin bertemu dengan
perempuan itu semakin menyentak. Tapi keinginan
untuk mati yang sudah dipanteknya dihadapan muridnya apakah harus dibatalkan begitu saja" Dia tak
bakal punya muka terhadap Mahesa!
Setelah menghela nafas dalam, orang
tua ini berkata. "Di hari-hari tuaku ini, dimasa
hampir masuk ke liang kubur terbit rasa penyesalan dalam hatiku. Menyesal atas
segala kejahatan dan dosa tak berampun yang telah kuperbuat. Aku ingin
cepat-cepat memper-tanggung jawabkan
semua itu dihadapan llahi. Tapi ajal tak kunjung datang. Hidup dan batinku
tersiksa. Kau tahu Mahesa. Kau adalah seorang anak manusia yang menjadi korban
kebejatanku!" "Saya tidak mengerti Embah....." kata Mahesa ketika sang guru menghentikan
penuturannya sejenak. "Tentu kau tak mengerti muridku.
Tabahkan hatimu," jawab Embah Jagatnata.
"Ketahuilah, ibumu seorang perempuan cantik dan hidup bahagia bersama ayahmu.
Ketika dia baru saja melahirkan kau yang waktu itu berusia dua bulan, ibumu
kularikan. Ayahmu kubunuh. Juga paman serta kakekmu. Juga mertuamu. Ibumu
kubawa kesebuah pondok di rimba
belantara. Disitu kugauli, kurusak
kehormatannya selama berminggu-minggu.
Kemudian kubunuh! Bejat! Aku terlalu
bejat. Dosa semacam itu merupakan dosa tak berampun. Dan yang seperti itu bukan
hanya sekali kulakukan, tapi puluhan
kali. Puluhan gadis, anak istri orang jadi korbanku!"
Mahesa Kelud merasakan sekujur
tubuhnya bergetar. Darahnya memanas dan kuduknya mendadak menjadi dingin. Saat
itu terdengar kembali suara gurunya.
"Penyesalan selalu datang
terlambat. Ketika aku tahu bahwa kau
adalah anak perempuan yang dulu aku bunuh maka aku berniat agar kelak kaulah
yang dapat membunuhku sebagai pembalasan atas dosa-dosaku. Waktu itu kau sudah
menjadi seorang pemuda dan di ambil jadi anak angkat oleh satu keluarga miskin
di kampung Sariwangi. Kau diberi nama Panji Ireng oleh mereka. Suatu malam sehabis
kau menonton wayang golek, di bawah hujan lebat kau kuhadang di Kali Brantas.
Arus sungai melemparkan kau ke dalam air.
Dalam keadaan pingsan kau kubawa kemari, kuambil jadi murid, kudidik dan kuajari
berbagai ilmu silat serta kesaktian.
Semua itu agar kau punya bekal untuk mencari pedang Samber Nyawa. Hanya
senjata itulah satu-satunya yang bisa membunuhku, Senjata lain bisa melukaiku
tapi tak sanggup mematikan!"
Embah Jagatnata diam sejenak, baru
meneruskan. "Kau pergi dan sekarang kembali
membawa pedang sakti itu. Hari ini adalah hari kematianku Sampai disitu kembali
orang tua itu terdiam sesaat. Di-pelupuk matanya yang hanya satu kembali
terbayang wajah Dewi Maut dan di lubuk hatinya dia bertanya benarkah dia
menginginkan kematiannya hari itu" "Hari ini adalah hari kematianku," mengulang
Embah Jagatnata yang kenyataannya adalah Simo Gembong adanya. "Hari ini hari
pembalasan. Aku tahu kematianku di
tanganmu belum tentu dapat menebus semua dosa-dosaku. Mahesa! Keluarkan pedang
Samber Nyawa, tetakkan ke batok
kepalaku. Cincang tubuhku sampai lumat.
Biar terbalas sakit hati kematian kedua orang tuamu. Kematian semua orang yang
telah kubunuh dan kurusak kehidupannya!
Lakukan Mahesa! Sekarang!"
eskipun hatinya menggeram dan
darahnya seperti terbakar
M mendengar penuturan Embah
Jagatnata namun sampai saat itu Mahesa Kelud tetap duduk tak bergerak.
"Kau tunggu apa lagi Mahesa"!"
"Tak mungkin Embah, tak mungkin saya memenuhi permintaan Embah," akhirnya
terdengar jawaban si pemuda.
"Tapi aku telah membunuh ayahmu, ibumu. Kau tak akan berdosa jika kau
membunuhku karena aku yang tanggung
semua dosa!" ujar sang guru.
"Mohon dimaafkan Embah jika saya berpendapat bodoh. Tak ada manusia yang bisa
menanggung dosa manusia lainnya
dihadapan Tuhan. Apapun yang telah
terjadi tak mungkin saya harus membunuh guru . . .."
Antara guru dan murid itu terjadl
perdebatan panjang yang mungkin tak akan ada habisnya.
Jagatnata alias Simo Gembong kehabisan kesabarannya. Dicabutnya
sebatang tongkat kecil dari pinggangnya lalu berdiri seraya berkata: "Mari kita
keluar Aku tahu hatimu. Kau memang
kesatria murni. Keluar kan pedang Samber Nyawa. Mari kita bertempur sampai kau
berkesempatan membunuhku secara
kesatria!" Orang tua itu mendahului melangkah
ke luar pondok. Setelah lama menunggu baru Mahesa Kelud menyusul.
"Cabut pedang Samber Nyawa itu!"
teriak Simo Gembong. Mahesa menggerakkan tangannya. Tapi
yang dicabutnya bukan pedang Samber
Nyawa melainkan sebilah pedang merah.
Pedang Dewa. Melihat sosok senjata
mustika itu Simo Gembong menyeringai.
"Pedang Dewa," katanya mengenali.


Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pedang bagus. Merupakan satu dari beberapa senjata langka dunia
persilatan. Tentu kau telah berguru pada Suara Tanpa Rupa. Nasibmu baik Mahesa.
Tapi ketahuilah senjata itu hanya bisa melukaiku. Tak dapat membunuhku.
Sekalipun kau melakukan seribu tusukkan ke sekujur tubuhku!"
Sesaat sang murid berdiri bimbang.
"Kalau kau tak percaya mari kita buktikan!" kata Embah Jagatnata.
Tubuhnya berkelebat ke depan.
Tongkat di tangankanan dipukulkan. Meski benda ini kecil saja tapi derunya
laksana badai, menyambar ke arah leher Mahesa.
Pemuda ini cepat berkelit namun tak mau membalas. Tongkat membalik, menggempur
ke arah dada, letak peredaran darah
besar. Ketika pemuda ini mengelak lagi tahu-tahu terdengar suara berdentrang.
Pedang Dewa terpukul lepas oleh tongkat sang guru! Sebelum senjata ini jatuh ke
tanah Mahesa cepat-cepat menangkap
hulunya lalu pemuda ini tegak termangu.
"Kau lihat sendiri muridku betapa tidak berguna-nya pedang sakti itu.
Keluarkan pedang Samber Nyawa.....!"
Mahesa masukkan kembali Pedang Dewa
ke dalam sarung dibalik punggung. Di
tangan kanannya kemudian terlihat sinar kuning terang. Ternyata pemuda ini telah
keluarkan Keris Ular Emas yang
didapatnya dari Dewi Ular.
"Aih, kau benar-benar bernasib baik muridku. Tidak gampang mendapatkan Keris
Ular Emas itu! Senjata sakti yang sanggup mematikan segala macam racun. Namun
untukku tetap tak ada manfaatnya.
Lihat.....!" Tubuh Simo Gembong seperti seekor
burung elang. Melayang ke udara. Kakinya menggempur lebih dulu. Mahesa meskipun
pegang keris sakti di tangan namun tak berani memapaki serangan, mengambil
sikap mengelak. Tongkat kecil di tangan sang guru menusuk ke kepala itu
sebenarnya adalah bayangan saja dari
tongkat yang asli. Sementara badan
tongkat yang asli meluncur deras ke bawah dan plak!
Keris Ular Emas terlepas mental.
Sebelum jatuh kembali Mahesa cepat
menyambuti dan menyimpannya. Pemuda ini berpikir-pikir, apakah benar Pedang Dewa
dan Keris Ular Emas itu tidak sanggup menandingi sang guru. Apakah bukan
karena dia mengambil sikap bertahan dan mengelak, sama sekali tidak mau balas
menyerang" "Masih juga kau belum mau keluarkan pedang Samber Nyawa itu Mahesa"!"
Perlahan-lahan Mahesa gerakkan
tangannya ke pinggang kiri. Sebuah benda hitam tergulung seperti ikat pinggang
kini berada di tangan kanannya. Begitu gulungan dibuka maka benda itu berubah
menjadi sebilah pedang yang memancarkan sinar hitam legam!
Mata kanan Simo Gembong yang merah
membuka lebar, memandang tak berkedip pada senjata di tangan Mahesa, kemudian
sinar matanya yang galak buas meredup dan akhirnya terpejam.
"Senjata itu....." desisnya dalam hati. "Pedang itu.....Palsu! Ternyata palsu,
bukan yang asli. Bentuk, sinarnya memang hampir sama.....Tapi palsu.
Muridku telah tertipu. Hari
kematianku tak akan sampai.....!" Dan dilubuk hati Simo Gembong kembali
menyusup perasaan yang ingin menolak
kematian. Dipelupuk matanya kembali
terbayang. wajah Dewi Maut. "Bagaimana ini bisa terjadi" Bagaimana Mahesa hanya
dapatkan pedang yang palsu! Dan pemuda itu agaknya tidak mengetahui hal ini.
Kasihan muridku ... Tapi aku tak ingin mengecewakannya. Aku tak ingin membuat
dia merasa sia-sia ....!"
Perlahan-lahan mata kanan itu
membuka kembali. Simo Gembong angsurkan kepalanya ke
arah Mahesa. "Ayo Mahesa! Tebas leherku! Bacok kepalaku! Cepat!"
Mahesa tak bergerak. "Mahesa! Kau dengar perintahku"!"
Suara Simo Gembong menggeledek. Puncak Gunung Kelud laksana bergetar.
"Tidak guru! Saya tidak bisa
melakukannya!" Kata Mahesa kemudian.
Ketika pemuda itu masih tak mau
bergerak maka menyeranglah Simo Gembong.
Tongkat di tangan sang guru berubah
laksana puluhan banyaknya dan menyerang keberbagai bagian tubuh si pemuda hingga
mau mau Mahesa harus bertindak cepat
selamatkan diri. Sekali sekali dia
terpaksa pergunakan pedang hitam un tuk membentengi diri. Kesempatan ini sengaia
diper guna kan Simo Gembong untuk
mengangsurkan tongkat-nya dalam gerakan lebih perlahan hingga tongkat itu
terbabat putus oleh pedang hitam.
"Ayo Mahesa. Bacokkan pedangmu!
Tusukkan senjata itu!"
Tetap saja Mahesa mengambil sikap
mengelak dan mempertahankan diri.
Setelah bertempur puluhan jurus
terdengar Simo Gembong menggembor. Bagaimanapun memaksa muridnya itu tak akan mau membunuhnya. Tahu betul akan hal
ini si orang tua buang tongkatnya yang buntung. Matanya tampak berapi-api,
rahangnya menggembung. Tiba-tiba dia
melompat ke muka, menerkam seperti
seekor harimau lapar. Kedua tangannya cepat sekali mencekal lengan kanan
Mahesa Kelud. Sebelum pemuda ini tahu apa yang hendak dilakukan gurunya, dengan
kekuatan luar biasa Simo Gembong tarik tangan muridnya yang memegang pedang
kemuka, ke arah dadanya dan eras! Ujung pedang Samber Nyawa terhunjam di
dadanya! "Mahesa... Selamat tinggal muridku!" Mahesa tersentak kaget. Dia lepaskan pegangan pada hulu
pedang dan cepat merangkul tubuh gurunya sebelum jatuh terbanting ke tanah.
"Guru .... Embah .... Mengapa kau senekad itu...." ujar Mahesa
terbata-bata. Sosok tubuh yang tak
bergerak dan bermandikan darah itu
dibopongnya ke dalam pondok. dibaringkannya diatas balai-balai kayu.
Dipandanginya jenazah sang guru dengan mata berkaca-kaca.
"Guru, Tuhan sendiri belum mau
menjatuhkan hukuman padamu. Mengapa kau mengambil keputusan sendiri . . . ." Aku
memaafkan apapun yang telah kau lakukan terhadap kedua orang tuaku. Semoga semua
orang mengambil sikap begitu...."
Kata-kata itu meluncur tersendat-sendat dari mulut Mahesa. Perlahan-lahan dia
membalikkan tubuh, melangkah keluar
pondok. Udara tampak mendung. Dalam
beberapa waktu lagi hujan akan turun.
Sebelum hujan turun sebaiknya dia
menyempurnakan jenazah gurunya. Sang
guru yang telah membunuh ayah dan ibunya, yang telah membantai kakek serta
mertuanya. Guru yang telah memusnahkan kehidupan keluarganya, tapi kepada siapa
dia tidak menaruh dendam kesumat barang secuilpun.
Mahesa mulai menggali tanah di depan
pondok. Menyiapkan kubur untuk Embah
Jagatnata alias Simo Gembong. Setelah lubang yang digali dirasakan cukup dalam
maka diapun masuk ke dalam pondok untuk menjemput jenazah gurunya. Tapi baru
sampai diambang pintu, kedua kakinya
laksana dipantek. Kedua matanya
membeliak besar. Jenazah sang guru yang tadi
dibaringkan diatas balai-balai kayu,
yang masih ditancapi pedang Samber Nyawa lenyap!
"Embah!" seru Mahesa
Pemuda itu memeriksa seluruh pondok
kecil itu. Membalikkan balai-balai kayu.
Tapi jenazah sang guru bersama pedang hitam tetap tidak ditemuinya.
"Apa yang terjadi"!" pikir Mahesa sambil tegak tersandar ke dinding
pondok. "Seseorang mencuri mayat dan pedang itu... ?"
Mahesa lari keluar pondok.
Menyelidik. Sama sekali tak ada
tanda-tanda kemunculan seseorang
dipuncak gunung itu. Menurutnya tak
mungkin ada seseorang sanggup mencuri mayat dan pedang itu tanpa diketahuinya.
Setan sekalipun tak bakal sanggup
melakukannya! Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Pemuda itu duduk terperangah
ditepi lobang yang baru digalinya.
* * * Apakah sebenarnya yang terjadi"
Sesaat sesudah tubuhnya dibaringkan
diatas balai-balai dan ditinggal keluar pondok oleh Mahesa, mata kanan Simo
Gembong membuka. Kedua tangannya
bergerak mencabut pedang yang menancap di dadanya. Darah masih mengucur deras
namun dengan melakukan beberapa kali
totokan darah itu serta merta berhenti mengalir. Seperti orang baru bangun
tidur saja, manusia sakti ini sambil memegang gulungan pedang di tangan kanan
melangkah ke pintu, keluar dari pondok tanpa suara, tanpa diketahui oleh Mahesa
yang sibuk menggali lubang.
Seperti dikatakan sendiri oleh
Embah Jagatnata alias Simo Gembong,
berbagai senjata hanya bisa melukainya.
Tapi tak bisa membunuhnya. Satu-satunya yang sanggup mematikannya ialah pedang
Samber Nyawa. Samber Nyawa yang asli.
Bukan yang palsu yang didapat Mahesa dan yang tadi menusuk dadanya!
ahesa Kelud duduk termenung
ditikungan Kali Brantas, M dibawah pohon-pohon bambu.
Berbagai pikiran menyamak hati dan
kepalanya. Sampai saat itu masih belum tersingkap apa sebenarnya yang terjadi
dengan jenazah gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dalam pada itu dia
teringat pula pada Wulansari, istri yang ditinggalkannya di puncak Gunung Muria.
Sangat rindu dia pada sang istri dan
ingin sekali cepat-cepat kembali ke
puncak Muria. Namun sebelum kabut
lenyapnya jenazah Embah Jagatnata dapat disingkapkan, tak mungkin baginya
menemui Wulansari. Disamping itu
urusannya dengan Kemaladewi belum pula selesai. Benarkah bayi yang ditemuinya di
Ujung Kulon itu anak hasil hubungannya dengan gadis itu" Hubungan akibat
terjebak oleh manusia jahat Iblis
Buntung alias Sitaraga"
Dan terngiang ucapan Kemaladewi
ditelinga Mahesa sebelum gadis itu lari bersama Raja Lutung dan bayinya.
"Dengar baik-baik, kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti di satu hari akan
membunuhmul Ingat itu! Anak sendiri yang akan membunuh ayahnya!"
Mahesa Kelud usap wajahnya beberapa
kali. Kenapa jalan hidupnya penuh liku seperti ini" Kenapa di dia tidak mati
tenggelam saja di Kali Brantas tempo
hari"! Pemuda itu seperti menyesali
nasib sendiri. Menyesali kenapa dia
harus lahir kedunia kalau hanya akan
menghadapi persoalan hidup yang begini rumit.
"Orang muda, kesusahan apakah yang membuat kau duduk termenung di tepi Kali
Brantas ini....?" Tiba-tiba satu suara datang
menegur. Astaga! Mahesa Kelud terkejut.
Saking begitu dalamnya dia tenggelam
dalam persoalan yang dihadapi sampai
tidak mendengar kedatangan orang.
Berpaling ke kiri Mahesa melihat seorang lelaki berpakaian biru tegak memandang
padanya sambil tersenyum. Orang itu
memakai caping bambu yang lebar hingga sebagian mukanya tertutup.
"Siapa kau, saudara?" tanya Mahesa.
Kembali orang itu tersenyum.
"Seperti kau, akupun kebetulan lewat disini dan melihatmu duduk termenung.
Banyak persoalan rupanya?"
"Itu bukan urusanmu ...."
"Ah . . ah . . .! Tentu saja bukan urusanku. Tapi ketahuilah. Aku seorang juru
ramal. Meski miskin tapi pandai
meramal Mahesa diam saja seperti tak
perduli. "Apakah kau tak mau diramal?"
Mahesa tetap diam. Malah sebenarnya
hendak berdiri dan melanjutkan
perjalanan tinggalkan orang itu.
"Apakah kau tidak ingin mengetahui gambaran kehidupanmu dimasa datang"
Langkah, rezeki, jodoh dan maut.. ..?"
tanya orang yang mengaku peramal tadi.
"Empat hal itu hanya Tuhan yang
tahu!" kata Mahesa akhimya.
Sang peramal tertawa. "Pengetahuan Tuhan memang sejagat luasnya. Pengetahuan manusia tidak ada
sepersejutanya! Tapi apakah itu berarti Tuhan menginginkan kita ummat manusia
menjadi orang bodoh dan hidup tanpa
usaha" Dengan belajar kita bisa
menemukan berbagai rahasia dalam
kehidupan ini. Termasuk pengetahuan
tentang masa depan kita. Apalagi kulihat dirimu seperti diselimuti banyak
kesulitan. Jika kau tahu langkah masa depanmu bukankah berarti kau bisa
melakukan sesuatu. Mencegah hal-hal yang tak diingini....?"
Mahesa terdiam. Dalam hati dia
membenarkan juga ucapan juru ramal itu.
"Nah, kau tentu mau kuramal. Ulurkan tangan kirimu. Kembangkan telapak
tanganmu ....*" Perlahan-lahan Mahesa ulurkan
tangan kirinya dengan telapak dibuka
lebar-lebar. Si juru ramal pegang tangan kiri
Mahesa dan men-dekatkan matanya seperti meneliti guratan-guratan yang ada di
telapak tangan itu. Tiba-tiba cepat sekali sang juru
ramal tekan urat besar di pergelangan kiri Mahesa hingga pemuda ini
ire-rasakan sekujur tubuhnya seperti
ditusuk jarum. Dan belum sempat dia
berbuat sesuatu, tangan kanan orang
didepannya menyelinap menusuk ke dada kiri. Detik itu juga tubuh pemuda ini kaku
tegang tak bisa bergerak tak dapat lagi bersuara!
Mahesa hanya bisa merutuk
kebodohannya sendiri. Sebetulnya sejak semula dia sudah curiga terhadap orang
tak dikenal yang muncul secara tiba-tiba itu. Namun kini semua terlambat sudah.


Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa sebenarnya setan alas
pembongkong ini"!" tanya Mahesa dalam hati.
Kelak pertanyaannya itu cukup lama
baru bias terjawab. Si juru ramal bertepuk tiga kali.
Dari balik tikungan sungai muncul sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat.
"Garda! Tolong aku menggotong orang ini ke atas gerobak!" kata juru ramal pada
kusir kereta. Keduanya kemudian
menggotong tubuh Mahesa, dinaikkan ke atas gerobak. Bagian atas gerobak itu
kemudian ditutup dengan kain lebar tebal hingga ketika gerobak mulai bergerak
Mahesa tidak tahu kejurusan mana dia
dibawa. Saking jauhnya perjalanan pemuda ini sempat tertidur diatas gerobak yang
dipacu kencang itu. Selama perjalanan hanya dua kali kendaraan itu berhenti.
Dan selama itu dia sama sekali tidak
diberi minum maupun makan!
Ketika akhirnya gerobak itu
berhenti dan kain penutup dibuka, Mahesa melihat langit gelap diatasnya tanda
saat itu malam hari. Kusir gerobak
menggotong tubuhnya bersama lelaki juru ramal lalu membawanya masuk ke dalam
sebuah gedung. Mahesa terkejut ketika dia kemudian mengenali gedung itu adalah
tempat kediaman bekas Adipati Suto
Nyamat yang tewas di tangan Wulandari.
Berarti dia berada di Madiun!
Mahesa dimasukkan ke dalam sebuah
kamar. Tak lama kemudian lelaki juru
ramal itu muncul kembali. Dia tegak
bertolak pinggang. Sesaat kemudian dia membungkuk menggeledah tubuh Mahesa
hingga akhirnya menemukan Pedang Dewa dan Keris Ular Emas.
"Senjata-senjata mustika....."
katanya tersenyum puas. Kedua senjata itu kemudian dimasukkannya kedalam
sebuah lemari, ditutup dengan tumpukan pakaian. Lalu si juru ramal kembali
mendekati Mahesa dan kali ini dia
bergerak melepaskan totokan jalan suara pemuda itu. Begitu jalan suaranya pulih
Mahesa segera membuka mulut.
"Bagus! Jadi kau ternyata juru ramal palsu. Dengar, jika kau berani mengambil
pedang dan keris itu, nyawamu tak akan kuampuni!" Sang juru ramal tertawa.
Aneh! Suara tawanya bukan lagi suara tawa
lelaki. Tapi suara tawa perempuan. Merdu nyaring!
"Kau sendiri akan segera mampus!
Bagaimana bisa mengampuni nyawaku"!"
"Keparat! Siapa kau sebenarnya"!"
bentak Mahesa. "Siapa aku" Sebentar lagi kau akan lihat!"
Sang juru ramal palsu buka topi
capingnya dan lemparkan ke sudut kamar.
Rambutnya yang putih dijambaknya. Kini kelihatan rambut lain dibawah rambut itu
dan berwarna hitam berkilat. Lalu dia tarik lepas selembar kulit tipis dari
wajahnya. Ternyata wajah dibalik kulit itu adalah wajah seorang gadis cantik
jelita. "Kau!" seru Mahesa kaget.
Si gadis tersenyum. "Sekarang kau tahu siapa aku!"
"Kau ... kau Retno! Puteri tunggal Suto Nyamat!"
"Tepat sekali!" kata sang dara.
"Kenapa kau lakukan ini" Aku tidak ada permusuhan denganmu!"
Sang dara tertawa panjang.
Tiba-tiba wajahnya yang cantik tampak berubah buas.
"Tidak ada permusuhan katamu"
Ngacok! Dusta besar! Kau punya andil
segudang atas kematian ayahku!"
"Dia memang pantas mati sesuai
dengan dosanya yang setumpuk langit!
Lagi pula sahabatku yang membunuhnya!"
"Tidak sangka kau terlalu pengecut mengakui keterlibatanmu! Apapun dalihmu
kematian ayahku menjadi tanggung
jawabmu! Sayang kawanmu yang perempuan itu ... siapa namanya" Wulansari" Sayang
dia tak ada bersamamu. Tapi tak mengapa.
Lain waktu aku pasti berhasil
menangkapnya!" "Apa yang hendak kau lakukan
terhadapku?"" tanya Mahesa.
"Coba kau terka. Atau kau ada usul ingin mampus cara bagaimana?"
Mahesa merasakan tengkuknya dingin.
Dalam keadaan tertotok tak berdaya
seperti itu mudah sekali bagi Retno untuk membunuhnya. Dan kalau memang nasibnya
harus mati di tangan gadis itu, diapun tidak takut.
"Kalau kau memang ingin membunuhku, lakukan dengan cepat!" kata Mahesa.
"Sebetulnya memang itu niatku sejak kau dan kawanmu membunuh ayah. Tapi kalau
aku bisa mendapatkan keuntungan dari
kematianmu mengapa tidak kulakukan...?"
"Apa maksudmu"!" tanya Mahesa penasaran.
"Aku akan menjual nyawamu pada
hartawan Prajadika!" sahut puteri Suto Nyamat.
Hartawan Prajadika. Siapa manusia
ini. Mahesa coba mengingat-ingat. Dan dia ingat. Hartawan itu seorang
terkemuka di Kotaraja yang dekat dengan kalangan istana. Putera hartawan
tersebut, yang bernama Prajakuncara
adalah murid Niliman Toteng, seorang
tokoh silat sesat berkepandaian tinggi bergelar Iblis Jangkung. Prajakuncara
mati di tangan Mahesa, dalam kamarnya ketika hendak memperkosa Wulansari.
Kalau begitu sang hartawan mendendam
setengah mati terhadapnya dan inginkan jiwanya sebagai pengganti kematian
puteranya. Kini Mahesa mengetahui apa yang ada dalam benak Retno dan menjadi
latar belakang perbuatannya saat itu.
Di pintu terdengar ketukan.
"Masuk!" kata Retno tanpa berpaling dari Mahesa yang terus diawasinya.
Pintu terbuka lalu tertutup
kembali. Dua oranr berpakaian serba biru berbadan tinggi kekar masuk. Mereka
adalah hulubalang istana kelas tiga yang saat itu mengenakan pakaian preman dan
menjalankan perintah seorang pejabat tinggi istana untuk kepentingan hartawan
Prajadika. "Kalian boleh membawa orang ini.
Tapi sesuai perjanjian serahkan dulu
uang imbalan!" berkata puteri Suto Nyamat.
"Jangan kawatir den ayu Retno. Uang sudah kami siapkan!" Lalu salah seorang dari
dua hulubalang itu mengeluarkan
sebuah kantong kain dari balik pakaian birunya. Terdengar
suara bergemerincing. Retno menerima dan
memeriksa isi kantong itu. Dia tersenyum puas dan melemparkan kantong itu ke
dalam lemari. "Perjanjian dipenuhi. Silahkan bawa orang itu."
"Den ayu Retno. Ada satu hal yang ingin kami tanyakan....." berkata
hulubalang disebelah kanan.
"Tanyakan cepat!"
"Ketika kau pertama kali menangkap pemuda ini, apakah kau juga menemui
sesuatu di tubuhnya" Menurut pengetahuan kami dia memiliki lebih dari satu
senjata mustika ...."
"Soal senjata tidak termasuk dalam perjanjian. Raden Mas Prajadika hanya
menginginkan nyawanya. Bukan yang
lain-lain. Lagi pula ketika kuperiksa, aku tidak menemukan apa-apa padanya,"
menjelaskan Retno. "Kalau memang begitu baiklah. Kami akan membawanya dan minta diri...."
Lalu tubuh Mahesa digotong dan
dinaikkan ke atas sebuah kereta. Malam itu juga dia dibawa ke gedung kediaman
Prajadika di Kotaraja. Mahesa tidak takut apapun yang bakal
terjadi atas dirinya. Yang dicemaskannya adalah Pedang Dewa dan Keris Ular Emas
yang telah dirampas oleh puteri Suto
Nyamat. Kalau senjata itu sampai jatuh ke tangan manusia-manusia jahat tak
bertanggung jawab atau tokoh silat sesat lainnya, maka akan celakalah dunia
persilatan! Disamping itu pemuda ini juga merasa
heran, dari mana Retno mendapat kepandaian menyamar dan menotok.
Setahunya gadis itu bukanlah seorang
yang pernah mendapat pengajaran ilmu
silat. ita tinggalkan dulu Mahesa
Kelud yang mengalami nasib
K sial. Kita ikuti apa yang
kemudian dilakukan Simo Gembong alias Embah Jagatnata begitu dia berhasil
menyelinap keluar dari pondok di puncak Gunung Kelud.
Orang tua berwajah angker ini lari
secepat angin menuruni gunung ke arah timur. Dia sama sekali tidak merasakan
perihnya luka bekas tusukan pedang
Samber Nyawa palsu di dadanya. Sepanjang berlari senantiasa terbayang olehnya
wajah Dewi Maut, apapun yang terjadi dia harus menemui perempuan itu. Ada dua
maksud terkandung dalam hati orang tua ini. Pertama untuk menjajagi kemungkinan
hidup bersama. Selama hidupnya manusia ini telah puluhan kali menculik anak
gadis dan istri orang. Namun harus
diakuinya Dewi Maut adalah perempuan
paling cantik yang pernah ditemui dan kepada siapa sebenarnya hatinya
terpikat. Siapa tahu kini perempuan
itu-yang kabarnya awet muda - dapat
dibujuk melupakan kejadian masa lalu dan hidup bersama. Kawin jadi, tanpa
nikahpun tak jadi apa! Tujuan kedua ialah jika dia tidak
berhasil mem-bujuk Dewi Maut maka dia akan
minta agar perempuan itu membunuhnya dengan pedang Samber Nyawa.
Karena jika dia memberikan pedang yang palsu pada Mahesa berarti dia memiliki
pedang yang asli. Namun setelah sekian tahun
mengucilkan diri di puncak Gunung Kelud, tidak lagi mencampuri segala macam
urusan duniawi, kini setelah turun dari puncak gunung itu memasuki kehidupan
dunia nyata apakah dia tidak akan
terpikat lagi untuk melakukan kejahatan dan kebejatan seperti dimasa mudanya"
Disamping itu sekali dia diketahui
muncul kembali dalam dunia persilatan, apakah sekian banyak manusia yang pernah
disakitinya dan mendendam sampai mati akan berdiam diri saja" Hal ini tidak
pernah terpfkirkan oleh Simo Gembong.
Dia lari terus menuju ke timur. Tujuannya adalah Pulau Mayat.
Siang itu, setelah dua hari dia
meninggalkan Gunung Kelud, Simo Gembong sampai di Gucialit, sebuah desa subur di
kaki tenggara pegunungan Tengger.
Dimulut jalan yang menuju ke desa
perhatiannya terbagi pada serombongan orang yang berpakaian serba bagus. Di
sebelah depan terdapat lima orang
membawa bendera-bendera besar..
Ke lima orang ini diikuti oleh
serombongan penabuh rebana dan alat-alat bebunyian lainnya termasuk sebuah gong
besar. Disebelah belakang enam orang
lelaki bertubuh tegap memanggul sebuah tandu yang dihias aneka warna gaba-gaba.
Dikiri kanan tandu dan dibagian
belakangnya melangkah selusin lelaki
bersenjata golok terhunus. Rupanya
mereka bertindak sebagai pengawal tandu.
Lalu menyusul beberapa orang lelaki dan prempuan. Yang lelaki berpakaian bagus
rapi dan gagah, menyisipkan keris di
pinggang sedang para perempuan berdandan cantik lengkap dengan perhiasan.
Perhatian Simo Gembong tidak
tertuju pada perempuan-perempuan cantik yang melangkah dibarisan belakang itu.
Matanya yang hanya satu itu senantiasa mengarah pada tandu. Di atas tandu yang
ditutup dengan kain merah muda tipis itu duduk seorang gadis dalam pakaian
pengantin yang gemerlapan. Wajahnya
berseri-seri. Sebentar lagi dia akan
sampai di rumah pengantin pria, duduk disandingkan dengan pemuda yang hari itu
bakal menjadi suaminya. Simo Gembong beberapa kali mengusap
mukanya. Setan mulai merasuk hatinya.
Dicobanya menghindar bujukan iblis
dengan membayangkan Dewi Maut kekasihnya dimasa muda. Namun yang lebih nyata
dihadapannya jauh lebih menawan. Tak
dapat lagi menahan goncangan jiwanya
yang selama ini tidak pernah menyentuh kehidupan duniawi maka orang tua inipun
memapasi rombongan tersebut di sebelah tengah, langsung melompat ke atas tandu.
Enam orang pemandu tandu tersentak
kaget ketika melihat satu bayangan cepat sekali menyambar tubuh pengantin. Tandu
terjungkir balik. Sang pengantin
terdengar memekik. Dua belas pengawal bertindak cepat. Pemimpinnya membentak
garang. "Penculik keparat! Lepaskan
pengantin!" Simo Gembong menyeringai. Mulutnya
komat kamit. Tanpa berkata apa-apa dia berkelebat cepat tinggalkan tempat itu
yang serta merta menjadi gaduh. Tiga
pengawal di tambah pemimpinnya tadi
berusaha mencegah sambil membabatkan
golok masing-masing ke bagian bawah
tubuh Simo Gembong. Mereka tak berani menghantam sebelah atas karena takut
akan mencelakai pengantin perempuan.
Empat serangan itu dielakkan Simo
Gembong dengan sangat mudah. Sebelum
lenyap dia masih sempat menghadiahkan tumitnya ke dada pemimpin pengawal
hingga orang ini terhempas roboh muntah darah!
Sejak peristiwa penculikan
pengantin di Gucialit itu mata dan
telinga rimba persilatan tiba-tiba saja menjadi terbuka. Ciri-ciri si penculik
yang disebar dan dituturkan dari mulut ke mulut jelas seperti ciri-ciri Simo
Gembong. Benarkah manusia ini muncul
kembali setelah sekian lama tak pernah terdengar lagi kabar beritanya" Diduga
sudah mati benarkah dia masih hidup" Dan kini muncul dengan membawa kejahatan
bejad masa lalunya" Mulai lagi menebar angkara murka, menculik dan membunuh"!
Tampaknya bencana itulah yang bakal
melanda dunia persilatan kembali.
Buktinya korban pertama telah jatuh!
* * * Hujan lebat baru saja berhenti. Di
dalam sebuah rumah kayu bertingkat yang terletak di lereng sebuah bukit, di
tingkat atas dud.uk tiga orang tua mengelilingi sebuah meja. Di atas meja ada
lampu minyak yang berkelap kelip
setiap kali angin datang meniupnya.
Lelaki yang duduk di ujung meja
sebelah kanan mengenakan pakaian serba putih dan memakai sorban. Namanya Ki


Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ampel Sampang. Dia adalah seorang
pengurus Pesantren Megasuryo yang
terletak di Sampang, Madura.
Di sebelah kirinya duduk kakek tua
berbadan kurus, mengenakan baju hitam lengan panjang dan celana hitam sebatas
betis juga berwarna hitam. Dia memakai destar hitam di kepalanya. Sepuluh jari
tangannya berkuku panjang dan berwarna hitam legam. Orang tua inidikenal dengan
julukan Kelabang Hitam. Lelaki ketiga yang duduk di hadapan
Kelabang Hitam memiliki wajah aneh
menyeramkan. Kepalanya seperti tidak
berdaging lagi dan tanpa rambut sama
sekali. Wajahnya hampir tidak ada beda dengan sebuah tengkorak. Sepasang
matanya cekung. Dia mengenakan jubah
biru gelap. Di pinggangnya melilit
sebuah ikat pinggang besar terbuat dari bangkai ular Sanca. Saat itu dialah yang
menjadi pimpinan dalam pembicaraan
karena diantara mereka bertiga memang dialah yang di-ketahui paling tinggi
ilmu kepandaiannya. Namanya tak ada yang tahu tapi julukannya menggetarkan rimba
persilatan yakni Datuk Ular Muka
Tengkorak. "Jika kalian berdua setuju, kita akan coba menghadang iblis bermata satu itu di
Lembah Suket. Karena jika benar dia menuju ke timur pasti dia ingin
mencari kekasih la many a si Dewi Maut.
Dan pasti dia akan melewati Lembah itu.
Lembah yang penuh kenangan dimasa
mudanya "Datuk Ular," Kelabang Hitam ganti bicara. "Aku tahu pengetahuanmu tentang
tindak tanduk Simo Gembong luas sekali.
Hanya dapatkah kau menerang-kan apa
alasanmu bahwa dia pasti menuju ke
timur?" "Aku menyokong pertanyaan sahabat Datuk Ular," ikut berkata Ki Ampel Sampang.
"Lagi pula bukankah markas tempat kediaman Dewi Maut di Pulau Mayat diobrak
abrik seorang pendekar muda dua bulan berselang?"
Datuk Ular Muka Tengkorak
manggut-manggut beberapa kali. "Kalian benar. Kita harus memperguna-kan
perhitungan yang matang. Agar tidak
membuang tenaga dan waktu." Sesaat dia mengusap muka teng-koraknya lalu
meneruskan. "Turut penyelidikan, dari salah seorang anak buah Dewi Maut yang
melarikan diri setelah kediamannya
dihancur luluhkan, ternyata Dewi Maut tidak mati. Perempuan itu masih hidup.
Berarti pula dia akan menuju ke timur.
Apalagi sudah ada kenyataan bahwa saat ini dia berada di antara Gunung Kelud dan
Lembah Suket. Terus terang segala
sesuatunya diatas perhitungan segala
kemungkinan. Kalau kita tidak berusaha atau melakukan sesuatu, kemungkinan itu
tidak bakal menjadi kenyataan. Dan
berarti tak ada sesuatupun yang bisa kita lakukan untuk mencegah angkara murka
Simo Gembong. Atau apakah kita harus
menunggu sampai banyak korban
berjatuhan?" Tiba-tiba diluar sana terdengar
suara tawa mem-bahak membahana!
Para sahabat! Jangan lupakan aku!"
Bersamaan dengan lenyapnya ucapan
itu pintu ditingkat atas bangunan
terpentang lebar. Sesosok tubuh berjubah merah berkelebat masuk. Jubahnya penuh
dengan gambar bunga-bunga yang semuanya berwarna merah. Tiga orang tua yang ada
dalam ruangan, kalau tadi tersentak
kaget dan bersiap waspada, kini mereka menarik nafas lega. Ternyata yang datang
adalah kawan sealiran. "Pendekar Kembang Merah!" seru Kelabang Hitam. "Kami gembira kau muncul!"
"Makin banyak jumlah kita makin
baik!" kata Ki Ampel Sampang.
Datuk Ular Muka Tengkofak menarik
kursi dihadapannya dan mempersilahkan Pendekar Kembang Merah duduk.
"Para sahabat, angin membawa kabar pertemuan' ini padaku. Karenanya jangan
jengkel kalau aku datang tanpa
diundang!" berkata Pendekar Kembang Merah.
Ki Ampel Sampang tersenyum. "Untuk melakukan sesuatu kebaikan mengapa harus
menunggu undangan" Mari kita duduk dan membicarakan masalah yang tengah kita
hadapi." Maka dengan kedatangan anggota
baru, pertemuan itu diulang dan digodok kembali. Keempatnya sepakat untuk
menghadang Simo Gembong di Lembah Suket.
Selesai perundingan Ki Ampel Sampang berdiri.
"Kawan-kawan, aku mohon diri lebih dulu. Ada seorang sahabat lama yang harus
kusambangi sebelum berangkat ke Suket.
Sampai bertemu pada hari yang ditentukan disana....." Pengurus Pesantren Megasuryo
ini menjura lalu tinggalkan ruangan.
Tiga orang lainnya menjelang pagi baru meinggalkan tempat tersebut.
LEMBAH SUKET embah ini terletak antara kaki
Gunung Suket dan Gunung Raung.
L Merupakan lembah subur tetapi
hampir tak pernah didatangi manusia,
apalagi untuk didiami. Disini, ditepi sebuah telaga berair aneka warna akibat
pantulan pepohonan dan langit biru
diatasnya, terdapat sebuah bangunan kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Atapnya
banyak yang bocor. Dinding dan lantainya banyak yang sudah dimakan bubuk atau
rayap. Daun jendela dan daun pintu pada miring hampir tanggal. Bangunan yang
diselimuti debu dan sarang laba-laba itu meskipun kecil tapi tampak angker.
Tiga orang itu berlindung dibalik
semak belukar rapat di tepi telaga di seberang rumah kayu. Mereka tak banyak
bicara. Kalaupun harus bicara maka
mereka harus berbisik-bisik. Sesekali terdengar burung berkicau atau gerakan
binatang melata yang menggeresek semak belukar. Tiga pasang mata mereka tiada
henti-hentinya memandang ke arah
bangunan. Mereka berada di tempat itu sejak dinihari tadi. Dan kini hari telah
pagi, matahari mulai naik.
Sampai matahari tinggi menjelang
tengah hari apa yang mereka tunggu masih belum tampak. Merekaseperti mulai
gelisah. Salah seorang diantara
ketiganya yakni Pendekar Kembang Merah berbisik: "Manusia angkara murka itu
belum muncul. Tetapi adalah mengherankan mengapa sahabat kita Ki Ampel Sampang
masih belum datang?"
Datuk Ular Muka Tengkorak
sebenarnya sudah sejak tadi menindih
rasa was-wasnya. Bukan kawatir karena Simo Gembong masih belum muncul, tapi was-
was karena Ki Ampel Sampang tidak kunjung datang. Sebelum berpisah malam itu, Ki
Ampel Sampang me-ngatakan akan menyambangi seorang sahabat lama. Kalau hanya
sekedar menyambangi, pasti saat itu dia sudah sampai di Lembah Suket. Dia
memandang ke arah rumah kayu di seberang sana. Dulu di rumah itulah Simo Gembong
pernah hidup bercinta mesra dengan Dewi Maut. Sebagaimana sifat dan kebiasaan
Simo Gembong, cinta mesra itu hanya
tipuan busuk belaka. Setelah bosan maka ditinggalkannya Dewi Maut
mentah-mentah. Dicari kian kemari
akhirnya Dewi Maut berhasil menemukan Simo Gembong. Keduanya berkelahi puluhan
jurus. Dengan pedang Samber Nyawa di
tangan lawan, Simo Gembong tak berkutik dan akhirnya melarikan diri setelah
kupingnya sebelah kanan ditabas puntung.
Seharusnya diharituanya Simo Gembong
menanam dendam terhadap perempuan itu.
Tetapi justru semakin dikenang, semakin mendalam rasa sukanya.
"Datuk, berapa hari menurutmu kita menunggu disini... ?" Kelabang Hitam bertanya
berbisik. Datuk Ular merenung. Lalu menjawab:
"Sampai dua hari dimuka. Jika dia tidak muncul kita langsung ke pantai timur.
Bila perlu menyeberang ke Pulau
Mayat....." "Tapi, Pulau Mayat itu.....apakah
kita tahu jelas dimana letaknya?" tanya Pendekar Kembang Merah.
"Aku bisa menduga dimana letaknya.
Berdasarkan keterangan anak buah Dewi Maut yang melarikan diri. Sayang, kalau
dia berada bersama kita, kita tak akan susah-susah mencari pulau itu ..."
Ketiganya berdiam diri. Kembali
tempat itu diselimuti kesunyian. Mendadak ketiga orang itu serentak
berpaling saling pandang!
Jauh didalam kerapatan pepohonan di
belakang rumah kayu tiba-tiba terdengar suara sesuatu. Suara berbunyian!
"Itu suara rehab!" bisik Pendekar Kembang Merah.
"Ya .... ada seseorang menggesek rebab," balas berbisik Datuk Ular.
Ketiga orang itu memasang telinga
dalam tegang. "Mungkinkah itu Simo Gembong ....?"
ujar Kelabang Hitam. "Aku menyangsikan," sahut Datuk Ular. "Manusia sejahat Simo Gembong mana tahu
segala macam peralatan bebunyian.
Kita tunggu saja. Mungkin aku bisa
menduga siapa adanya pemain rebab itu
...." Sementara itu suara rebab yang
semula digesek perlahan kini terdengar mengalun semakin keras, tetapi lagu yang
diperdengarkannya bernada sedih
memilu-kan. Sejurus kemudian suara
alunan rebab itu dibarengi dengan suara nyanyian. Yang menyanyi adalah seorang
perempuan! Tiga tokoh silat dibalik semak
belukar kembali saling pandang. Pendekar Kembang Merah membuka mulut hendak
mengatakan sesuatu tapi Datuk Ular Muka Tengkorak cepat memberi isyarat seraya
berbisik: "Dengar saja nyanyian itu. Aku rasa-rasa mulai mengenali siapa
orangnya." Di utara Gunung Suket Di selatan Gunung Raung Di tengah-tengah lembah subur
Menghias danau indah berair bening Rumah tua saksi bisu
Seribu dosa seribu dendam
Apakah saat pembalasan sudah
datang" Di utara Gunung Suket Di selatan Gunung Raung Rumah tua saksi bisu Tapi mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli
Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi! "Datuk....." bisik Kelabang Hitam tak dapat
menahan hati. "Kira-kira kau tahu siapa yang dimak-sudkan kalian oleh
penyanyi itu?" "Juga apa yang dimaksudkannya
dengan yang tidak bernafas lagi?" ikut bertanya Pendekar Kembang Merah.
Datuk Ular tak segara dapat
menjawab. Suara nyanyian dan alunan
rebab semakin memilukan. .... Mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli
Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi! Buka mata pentang telinga
Melangkah datang jangan hanya
sembunyi! Datuk Ular mengusap wajahnya. Dia
memandang pada dua sahabat didepannya.
"Nyanyian itu jelas ditujukan pada kita....."bisiknya. "Kita harus melakukan
sesuatu....." "Mendatangi penyanyi itu?" tanya Pendekar Kembang Merah.
"Ya, tapi itu nanti. Yang perlu saat ini kita harus memeriksa rumah tua itu
...." "Maksudmu Simo Gembong sudah ada di dalam rumah tua itu?"
"Tak dapat kupastikan. Mari kita memeriksa!" jawab Datuk Ular lalu memberi
isyarat pada Pendekar Kembang Merah dan
Kelabang Hitam untuk mengikutinya. Ketiganya melangkah
dengan hati-hati mendekati rumah tua di tepi telaga. Mereka tak berani masuk.
Jika Simo Gembong benar ada di dalam maka mereka akan menjadi sasaran empuk
pembokongan. Lewat jendela dan pintu
yang terbuka di sebelah depan mereka
dapat melihat sebagian ruangan di dalam rumah kayu itu. Ketiganya kemudian
melangkah ke samping bangunan. Tepat
dijendela samping yang hampir tanggal Datuk Ular dan dua kawannya melengak
kaget. Di sana, di dalam rumah sesosok
tubuh berpakaian serba putih dengan
sorban hampir terjatuh dari kepalanya, tampak tergantung telah jadi mayat
dengan lidah terjulur dan mata mencelet!
"Ki Ampel Sampang!" ujar Datuk Ular dengan mulut bergetar.
Melupakan bahaya kalau sekiranya
Simo Gembong memang ada dalam bangunan itu, Datuk Ular berkelebat masuk ke dalam
rumah lewat jendela. Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang Merah ikut melompat
masuk. Ketiganya segera menurunkan tubuh Ki Ampel Sampang setelah terlebih
dulu memutuskan tali penggantung.
"Pasti Simo .Gembong yang melakukan ini!" kata Datuk Ular.
"Berarti dia sudah ada di tempat ini!" kata Pendekar Kembang Merah dan memandang
cepat berke tiling dengan
wajah tegang. Mayat Ki Ampel Sampang mereka
baringkan dilantai rumah. Datuk Ular
memeriksa dengan cepat. Terdapat
beberapa tanda merah di kedua lengan
pengurus Pesantren Megasuryo itu.
Rupanya sebelumnya terjadi perkelahian.
Ketika dada pakaian putihnya dising-kap, kelihatan tanda hitam di bagian kiri.
Itulah pukulan maut yang mematikan.
"Selagi sakarat tubuhnya
digantung!" kata Datuk Ular menarik kesimpulan.
"Biadab!" kutuk Kelabang Hitam.
Di luar sana masih terdengar terus
suara alunan rebab dan nyanyian.
"Kalian berdua tunggui mayat ini disini," kata Datuk Ular. "Aku akan menemui
penyanyi itu. Dia pasti tahu apa yang telah terjadi.
Datuk Ular cepat melangkah ke pintu
belakang rumah. Namun sebelum sempat
mencapai pintu dari atap bangunan tua itu terdengar suara tawa bergelak. Dilain
saat atap bangunan ambruk jebol dan


Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesosok tubuh melayang turun.
"Simo Gembong! "seru ketiga orang itu serempak.
ang melompat turun itu memang
Simo Gembong, rambutnya Y gondrong awut-awutan. Kedua
kakinya yang memakai akar bahar tegak terkembang dalam kuda-kuda silat yang
kokoh. Hidungnya yang pesek kembang
kempis sedang mata kanannya tampak
melotot merah menyapu ketiga orang
dihadapannya. Dari mulutnya masih
mengumbar suara tawa. Begitu suara tawa lenyap diapun membentak.
"Kalian sudah saksikan apa yang
terjadi"! Apakah kini masih punya nyali untuk meneruskan rencana kalian"!"
"Manusia iblis! Kematian bukan
apa-apa bagi kami orang persilatan
golongan putih. Apalagi demi
menghancurkan angkara murka!" Yang menjawab adalah Datuk Ular.
Simo Gembong tertawa mengekeh.
"Datuk Ular, Datuk Ular.... Nada bicaramu seperti pemain sandiwara saja.
Kau hendak jadi pahlawan rupanya!"
Pendekar Kembang Merah maju
selangkah tapi segera dihardik.
"Berani lagi kau maju satu langkah, selembar nyawamu akan minggat dari
tubuh!" "Simo Gembong manusia keparat!"
balas mem-bentak Pendekar Kembang Merah.
"Dosamu selangit tembus! Hari ini kami bertiga justru datang untuk mengambil
nyawamu!" "Ha .. ha .. ha.....! Tadinya kalian berempat, kini hanya tinggal tiga.
Sebentar lagi tumpas semua!"
Datuk Ular letakkan tangan kanannya
diatas kepala ular sanca yang jadi ikat pinggangnya.
"Beberapa tahun lalu kalian
menculik murid-murid kami. Merusak
kehormatan mereka lalu membunuh mereka!
Beberapa lama mengucilkan diri ternyata tidak membuat kau bertobat! Malah
sebulan lalu kau mulai mengganas
kembali. Menculik seorang pengantin di desa Gucialit!"
"Lalu apa urusan kalian dengan
pengantin perempuan itu"!" sentak Simo Gembong.
Kelabang Hitam buka pakaiannya di
bagian dada. Pada kulit dadanya yang tersingkap kelihatan rajah gambar seekor
kelabang besar. Simo Gembong menyeringai.
"Kenapa kau tidak buka celana
sekalian. Biar kulihat apakah dibawah perutmu juga ada gambar kelabang jelek
itu!" kata Simo Gembong mengejek.
Kelabang Hitam mengelam dan membesi
mukanya. "Sahabat! Tak ada gunanya bicara berlama-lama dengan manusia iblis mata
picak ini! Lebih cepat kita kirim dia menemui teman-temannya di neraka
akan lebih baik!" Habis berkata begitu Kelabang Hitam
melompat sambil menggapaikan tangan
kanannya yang berkuku panjang dan
mengandung racun jahat. Sreeettt.....! Tangan kanan Simo Gembong bergerak.
Sebuah benda yang tadi tergulung,
membuka panjang dan memancarkan sinar hitam.
Kagetlah ketiga orang itu.
"Pedang Samber Nyawa!" seru Pendekar Kembang Merah. Dia mengenali senjata yang
jadi buah bibir rimba persilatan itu tapi tidak mengetahui
kalau senjata itu adalah pedang palsu meskipun memancarkan sinar hitam pekat
yang menyeramkan. Datuk Ular dan Kelabang Hitam ikut
tercekat. Ketiganya sama mengetahui.
Siapa yang memegang pedang Samber Nyawa maka dia akan menguasai dunia
persilatan! Dan kini mereka menghadapi lawan yang memiliki senjata luar biasa
itu! Menghadapi kenyataan ini maka Datuk
Ular segera loloskan senjatanya dari
pinggang. Yakni bangkai ular sanca
besar. Kelabang Hitam alirkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan hingga
jari-jari tangan sampai ke kuku
memancarkan sinar hitam. Pendekar
Kembang Merah susupkan tangan ke balik pakaian. Sesaat kemudian selusin bunga
berwarna merah tampak tergenggam di
tangannya. Memang inilah senjata sang pendekar. Sejenis bungayang terbuat dari
kertas, mengandung racun jahat dan
sanggup menghancurkan pohon atau batu besar sekalipun!
"Majulah kalian bertiga sekaligus!
Jangan takut aku akan mencap kalian
sebagai pengeroyok-pengeroyok pengecut!
Dengan maju serentak lebih mudah dan
lebih cepat bagiku membantai kalian!"
Kata-kata Simo Gembong itu membakar
amarah ketiga tokoh silat dihadapannya.
Tanpa banyak bicara lagi Datuk Ular,
Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang
Merah menyerbu serentak dari tiga
jurusan. Sepuluh larik sinar hitam yang
memancar dari kuku Kelabang Hitam
menderu laksana sepuluh kelabang yang menggapai mangsanya dalam kecepatan
kilat. Dari samping kiri sebuah kembang kertas merah melesat mencari sasaran di
leher Simo Gembong. Lalu dari depan,
kepala ular sanca mati yang merupakan senjata Datuk Ular membuat gerakan mem
beset dari kiri ke kanan, seperti hendak membabat putus pinggang guru Mahesa
Kelud. itu. Bagaimanapun Simo Gembong mengejek
dan memperhinakan ketiga lawannya tadi namun dia tahu betul kalau tiga orang
yang dihadapinya itu benar-benar
memiliki kepandaian tinggi. Meskipun
jauh dari perasaan takut namun dia tak mau bertindak ayal. Pedang Samber Nyawa
Palsu yang dialiri dengan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya diputar
setengah lingkaran. Senjata itu menderu memancarkan sinar hitam menggidikkan!
Tring! Kembang merah yang menyerang dari
sebelah kiri hancur berantakan tapi
salah satu bagian pada mata padang di tangan Simo Gembong menjadi gompal!
Pedang terus membabat ke arah kedua
tangan Kelabang Hitam, membabat putus.
Tapi saat itu yang punya tangan sudah tarik pulang kedua tangannya, sambil
membuat lompatan jungkir balik Kelabang Hitam layangkan tendangan kaki kiri ke
bawah perut lawan sementara dari atas kedua tangannya kemudian kembali
menggapai ke batok kepala Simo Gembong.
Orang tua bermata satu itu tekuk
kedua lututnya. Sesaat kemudian tubuhnya rebah ke belakang. Bukan saja sekaligus
dia menghindari tendangan serta cakaran Kelabang Hitam, tetapi disaat yang sama
dia berhasil pula mengelakkan sambaran senjata Datuk Ular. Sambil menggulingkan
diri di lantai lapuk, Simo Gembong
kembali babatkan pedang Samber Nyawa
Palsu ke arah lawannya terdekat yakni Pendekar Kembang Merah.
Jengkel lemparan kembang mautnya
tadi dapat ditangkis lawan, Pendekar Kembang Merah kini lemparkan dua bunga
merah beracun sekaligus. Lemparannya
kali ini bukan lemparan biasa karena dari kedua bunga kertas itu tampak
bertaburan debu merah yang mengandung racun!
Simo Gembong kertakkan rahang. Dia
pukulkan tangan kirinya ke arah dua
kembang kertas. Hebat sekali! Dua
kembang kertas berikut debu beracunnya membalik menghantam ke arah pemiliknya.
Pendekar Kembang Merah cepat merunduk.
Tapi sambaran debu beracun masih sempat menghantam
jalan hafasnya. Masih untung dia cepat menutup jalan nafas lalu melompat
menjauh sambil lepaskan lagi satu
kembang kertas. Bangkai ular ditangan Datuk Ular
berkelebat menderu-deru. Senjata ini
setiap saat bisa berubah menjadi tongkat keras atau seperti ular benaran yang
mematuk atau menelikung tubuh lawan.
Cakaran sepuluh kuku Kelabang Hitam
datang tiada henti. Setelah bertempur lebih dari dua belas jurus kelihatannya
ketiga lawan itu mulai berhasil mendesak Simo Gembong.
Sementara itu di belakang rumah
masih terdengar alunan rebab dan suara orang menyanyi.
Pada jurus ke dua puluh tiga Simo
Gembong mempercepat gerakannya.
Sebentar saja dia berhasil keluar dari himpitan serangan ketiga lawan.
Pedangnya telah beberapa kali dipakai menangkis bunga kertas yang dilemparkan
Pendekar Kembang Merah. Akibatnya mata pedang semakin banyak yang gompal.
Mengetahui hal ini Pendekar Kembang Merah tambah bersemangat namun menjadi
kawatir ketika menyadari bahwa persediaan
senjata anehnya itu hanya tinggal empat buah!
Datuk Ular kini tahu kalau pedang di
tangan Simo Gembong bukan benar-benar pedang Samber Nyawa yang sakti. Pedang
asli tak mungkin akan gompal dihantam bunga merah Pendekar Kembang Merah. Maka
semangat sang datuk jadi berkobar
kembali. Gempuran bangkai ular sancanya semakin menggebu-gebu. Malah kini dia
semprotkan sejenis racun biru dari mulut ular itu.
Kelabang Hitam berkelebat cepat dan
ganas kian kemari. Sepuluh jari
tangannya berkelebat tiada henti.
Demikian hebatnya serangan ketiga
orang itu namun mereka masih belum
sanggup merobohkan Simo Gembong.
Memasuki jurus ke empat puluh dua,
terjadilah gebrakan hebat. Kelabang
Hitam melihat kesempatan baik ketika
Simo Gembong sibuk menghadapi gempuran senjata bangkai ular sanca sementara
bunga terakhir milik Pendekar Kembang Merah meluncur ke arah batok kepala kakek
itu. Karena menganggap serangan kembang
dan hantaman bangkai ular lebih
berbahaya maka Simo Gembong tidak begitu ambil
perhatian terhadap serangan
Kelabang Hitam yang datang dari kiri.
Dengan bacokan ganas serta pukulan
tangan kiri yang dahsyat dia melabrak bunga merah terakhir dan membuat Datuk
Ular terpaksa mundur. Ketika serangan sepuluh kuku
Kelabang Hitam datang Simo Gembong hanya sempat miringkan tubuh. Tapi
pinggangnya tak mungkin diselamatkan. Dengan
menggembor marah kakek ini biarkan
pinggangnya terkena cakaran kuku-kuku beracun itu. Dia tak perlu kawatir karena
saat itu dia membekal obat penawar racun yang ampuh.
Bret... bret. .. ! Pinggang pakaian Simo Gembong robek
besar. Daging tubuhnya di bagian
pinggang tampak tergurat dalam. Luka dan darah yang mengucur keluar kelihatan
bukannya merah tetapi berwarna hitam
tanda racun kuku Kelabang Hitam
benar-benar ganas. Keberhasilannya menciderai lawan
membuat Kelabang Hitam berlaku ayal. Dia tak sempat mengelak ketika kaki kanan
Simo Gembong berdesing dan mendarat
dipertengahan dadanya. Kelabang Hitam mencelat, terhempas
ke dinding lapuk. Dinding ini jebol dan tubuh Kelabang Hitam mental keluar
rumah, jatuh tergelimpang di tepi telaga tanpa berkutik lagi. Isi dadanya di
sebelah dalam luluh lantak. Tokoh ini mati dengan mata membeliak.
Simo Gembong mengekeh. "Kalian sudah siap menyusul
Kelabang Hitam?" tanyanya mengejek.
Datuk Ular dan Pendekar Kembang
Merah tidak menyahut. Sang datuk lipat gandakan kecepatan serangannya. Seluruh
tenaga dalam dikerahkan. Bangkai ular di tangan kanannya menderu laksana badai.
Sebaliknya Pendekar Kembang Merah yang kini tidak memiliki senjata lagi hanya
mampu meneruskan serangan dengan tangan kosong. Jelas dia merupakan titik
kelemahan dari hujan serangan itu. Dan hal ini diketahui benar oleh Simo Gembong
yang punya segudang pengalaman. Maka
diapun pusatkan serangan mematikan ke arah lawan yang satu ini. Dalam satu
kesempatan dia lemparkan pedang Samber Nyawa palsu di tangan kanannya ke arah
Pendekar Kembang Merah disaat pendekar ini kehilangan keseimbangan akibat
pukulannya mengenai tempat kosong.
Pendekar Kembang Merah tak mungkin
berkelit. Datuk Ular tak mungkin
menolong kawannya karena saat yang sama diapun harus selamatkan diri dari
hantaman tangan kiri Simo Gembong yang dahsyat dengan jatuhkan diri. Angin
pukulan Simo Gembong menghantam dinding rumah. Rumah tua itu semakin. hancur
berantakan dan atapnya miring ke kiri, siap untuk roboh!
Paras Pendekar Kembang Merah
menjadi sepucat kain kafan. Dia sadar nyawanya tak tertolong lagi. Simo
Gembong tertawa mengekeh. Pedang Samber Nyawa hanya tinggal sejengkal lagi siap
menembus perut Pendekar Kembang Merah.
Tiba-tiba terdengar suara rebab
melengking tinggi menusuk liang telinga.
Dikejap yang sama berkiblat sinar putih kekuningan. Begitu sinar ini menghantam
pedang Samber Nyawa maka senjata itu
mental patah dua! IMO Gembong melompat mundur
dengan wajah kaget sekaligus
S tegang. Datuk Ular hampir
keluarkan seruan tertahan sementara
Pendekar Kembang Merah melosoh lemas
karena hampir tak per-caya sesuatu telah terjadi dan menyelamatkannya dari
kematian! "Keparat! Siapa yang berani ikut campur urusan orang!"
Sebagai jawaban sentakan itu
terdengar gesekan rebab, keras
melengking dan satu cahaya putih
kekuningan kembali menerpa. Simo Gembong cepat jatuhkan diri. Sinar putih
kekuningan yang mengandung hawa panas melabrak dinding rumah dibagian
satu-satunya yang masih utuh. Dinding dan tiang-tiangnya hancur berantakan.
Atap yang kini tidak tersanggah langsung amblas roboh. Empat sosok tubuh cepat
melesat keluar dari bangunan yang runtuh itu. Tapi sampai diluar hanya tiga


Mahesa Kelud - Simo Gembong Mencari Mati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sosok manusia yang kelihatan. Yakni Datuk
Ular, Pendekar Kembang Merah dan seorang perempuan separuh baya berambut panjang
terurai berparas pucat yang tegak sambil memegangi rebab dan alat penggeseknya.
Simo Gembong sendiri tidak kelihatan.
Lenyap! "Bangsat itu kabur!" ujar Pendekar Kembang Merah.
"Pengecut!" kertak Datuk Ular geram. Lalu dia berpaling ke kiri dimana perempuan
berparas pucat berambut terurai tegak berdiri memegang rebab.
"Dewi Rebab Kencana!" sapa sang datuk. "Terima kasih kau telah mau
membantu ... ." Lalu sambil menjura dalam dia melirik kepada Pendekar Kembang
Merah. Pendekar Kembang Merah yang
mengerti maksud lirikan itu cepat-cepat pula menjura seraya berkata: "Nama
besarmu sudah lama kudengar. Tidak
tahunya hari ini sekali muncul kau telah selamatkan nyawaku. Aku tidak tahu
bagaimana harus mengucapkan terima kasih
.... " Orang yang memegang rebab tidak
memberi jawaban apa-apa. Wajahnya yang pucat juga tampak tak berubah, dingin
seperti tadi-tadi. Hal ini membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah menjadi
kikuk. "Kita harus segera mengejar manusia pengacut itu!" kata Datuk Ular.
Perempuan oergelar Dewi Rebab
Kencana tampak mendongak ke langit. Lalu menggesek rebabnya, mengeluarkan suara
pendek pilu. Manusia itu bukan pengecut! Jika dia
mau mudah saja baginya membunuh kita satu persatu....."
Datuk Ular mengerling ke arah
Pendekar Kembang Merah. "Dewi, apakah kau bisa memberi
petunjuk lebih lanjut?" tanya Pendekar Kembang Merah.
Perempuan itu kembali menggesek
rebabnya, baru menjawab: "Jika dia pergi berarti ada sesuatu yanglebih penting
yang harus dilakukannya....." Lalu dia melangkah menghampiri pedang hitam yang
terletak di tanah. Pedang Samber Nyawa yang tadi dilemparkan Simo Gembong dan
patah dua dihantam sinar putih
kekuningan yang menyambar keluar dari tali-tali rebab sang dewi. Diambilnya
kedua patahan pedang. Sesaat dia
meneliti benda itu lalu mencampakkannya ke tanah.
"Setahu kami dia dalam perjalanan ke Pulau Mayat guna mencari kekasih lamanya
dimasa muda. Pasti saat ini dia menuju kesana!" berkata Datuk Ular sambil
lilitkan senjatanya, bangkai ular sanca ke pinggang.
Tanpa berkata apa-apa perempuan
memegang rebab balikkan tubuh dan
melangkah pergi. "Manusia aneh..." desis Datuk Ular.
Melihat orang hendak pergi Pendekar
Kembang Merah cepat berkata:
"Dewi Rebab Kencana! Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu
Tanpa berpaling perempuan bermuka
pucat itu menjawab: "Aku tidak merasa menolong siapa-siapa. Simo Gembong punya
hutang tersendiri padaku. Yang harus
dibayarnya dengan darah dan nyawa....."
Lalu perempuan ini gesekkan rebabnya.
Terdengar suara me-lengking. Disusul
sambaran sinar putih kekuningan. Ketika sinar itu lenyap sosok tubuhnyapun ikut
lenyap. Datuk Ular geleng-geleng kepala
sementara Pendekar Kembang Merah hanya tegak leletkan lidah.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang Datuk?"
"Mengejar Simo Gembong ke Pulau
Mayat. Tapi jenazah Kelabang Hitam dan Ki Ampel Sampang harus kita kuburkan
dulu," sahut Datuk Ular. * * * "JADI ini tampang manusia yang
membunuh puteraku"!" ujar hartawan Prajadika ketika Mahesa Kelud dibawa
kehadapannya. Dengan kedua tangan terkepal dia maju mendekati. Tampangnya sebuas harimau lapar. Lalu jotosannya
kiri kanan diayunkan berulang kali ke wajah Mahesa hingga muka pemuda itu babak
belur. Darah mengucur dari hidung, mulut dan pinggiran matanya. Mahesa menggeram
menahan sakit. Prajadika baru berhenti memukul
setelah kedua tangannya terasa sakit.
Masih belum puas dia menyambar sebatang tombak yang terletak di sudut ruangan.
Ketika dia hendak menambus perut Mahesa dengan tombak ini, dua orang hulubalang
Enigma 2 Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin Padang Bulan 2
^