Pencarian

Banjir Darah Ujung Kulon 1

Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon Bagian 1


1 PUNCAK bukit itu kini diselimuti kesu-
nyian. Orang tua berambut putih duduk menjele-
pok di tanah di hadapan sosok tubuh Udayana
yang masih berada dalam keadaan terikat dan
pingsan tak berkutik. "Nyi Gambir sompret!" Orang tua itu memaki menyebut nama nenek yang barusan saja
tinggalkan tempat itu. "Kalau dia tidak muncul mengganggu, urusanku dengan
pemuda sialan ini pasti sudah selesai! Sekarang aku terpaksa harus menunggu sampai dia siuman!
Sompret betul!" Dia garuk-garuk kepalanya berulang kali. Lalu
sudut matanya menangkap sesuatu melayang di
udara. "Hemmm... ada baiknya sambil menunggu aku mengisi perut dulu!" katanya
dalam hati. Dekat tempatnya duduk menjelepok di tanah ada
sebuah batu sebesar ibu jari kaki. Batu itu diam-bilnya. Lalu acuh tak acuh,
tanpa mendongakkan kepalanya ke atas, orang tua ini lemparkan batu itu ke udara.
"Plekkk!" Terdengar suara batu mengenai benda
yang terbang di udara menyusul suara berkuik
pendek. Lalu benda itu jatuh ke bawah dan
"breekk!" Jatuh tepat di atas pangkuan orang tua itu. "Hemmm... Cuma seekor
burung hutan. Kurang sedap tapi lumayan dari pada tidak ma-
kan apa-apa!" Orang tua ini lantas dengan cepat menguliti burung besar yang
barusan dihantam-nya jatuh dengan lemparan batu. Tak lama ke-
mudian tampak dia komat kamit asyik menyantap
daging burung mentah itu.
"Sialan! Kalau gigiku tidak pada ompong
tentu akan lebih cepat burung ini kuhabiskan!" Si orang tua memaki sendiri.
Sebelum burung itu habis disantapnya ti-
ba-tiba dia melihat tubuh Udayana bergerak. Si
orang tua buang daging burung yang tengah di-
makannya. "Hemmmm.... Anak sompret, kau sudah
aluman rupanya! Bagus!"
Si orang tua tepuk-tepuk pipi Udayana kiri
kanan. Karena tepukan itu sama saja dengan
tamparan tak urung Udayana jadi menjerit kesa-
kitan! "Bangun! Jangan tidur saja sompret!" maki si orang tua yang menganggap
pingsannya si pemuda sebagai tidur. "Tadi kau bilang kau muridnya Empu Sora!
Betul"!" Sambil menahan sakit Udayana menjawab.
"Betul! Apa kau kini mau percaya?" Pemuda murid Empu Sora dari Ujung Kulon itu
menatap wa- jah si kakek sementara dalam hatinya dia ber-
tanya-tanya apa yang barusan telah terjadi atas dirinya. Mengapa dia kini
terbujur di tanah dan dengan bertanyanya si orang tua apakah kini dia punya
harapan" "Kalau kau memang anak murid perguruan
Ujung Kulon, coba kau tunjukkan bukti!"
"Bukti..." Bagaimana aku harus membuk-
tikan...?" Udayana membatin. Tiba-tiba dia ingat pada pedang hijau di
punggungnya. Dia gerakkan
tangan hendak mencabut tapi baru sadar kalau
saat itu sekujur tubuhnya masih berada dalam
keadaan terikat tali hitam aneh.
"Sompret! Mana buktinya! Jangan kau be-
rani dusta padaku!" membentak si orang tua.
"Di punggungku! Aku membawa sebilah
pedang hijau pemberian guru pertanda aku murid
perguruan Ujung Kulon," menjawab Udayana.
"Coba tunjukkan! Perlihatkan senjata itu
padaku!" "Tubuhku terikat! Mana mungkin men-
gambil pedang!" ujar Udayana.
"Sompret!" Si orang tua aneh segera lepaskan ikatan Udayana.
Begitu ikatan dilepaskan. Udayana segera
cabut pedang hijau dari balik punggung, dia berdiri dan perlihatkan senjata itu
pada si orang tua. "Baik, aku percaya sekarang! Tapi aku ti-
dak percaya kalau Empu Sora mati dibunuh
orang! Kau jangan bicara ngaco! Sompret!"
Udayana telan air ludahnya. Jakun-
jakunnya bergerak. "Orang tua, aku sama sekali tidak bicara ngaco! Mula pertama
kami semua anak-anak murid Perguruan Ujung Kulon tidak
dapat percaya mendengar nasib guru kami! Bebe-
rapa orang kemudian pergi ke pulau Bawean! Tu-
juh yang pergi tapi hanya seorang yang kembali
membawa jenazah guru...."
"Yang enam orang lainnya mampus"!"
Udayana mengangguk. "Mereka gugur se-
cara kesatria...." "Aku tidak tanya itu, sompret! Siapa yang
bunuh gurumu?" "Jayengrana, bekas murid sendiri. Seka-
rang memakai nama Lutung Gila?"
"Kenapa begitu...?"
"Karena dia memang gila! Miring otak!"
Orang tua itu tertawa. Inilah untuk kali
pertama Udayana melihatnya tertawa lebar seper-
ti itu. "Kau juga tadi bilang bahwa perguruanmu terancam bahaya besar!
Sebagaimana besarnya"
Ada kira-kira segunung eh, sompret"!"
Udayana hendak memaki dalam hati tapi
tak jadi karena khawatir orang tua aneh itu akan tahu pula. "Menurutku orang
tua, bahaya itu lebih besar dari gunung...." Udayana kemudian menuturkan bahaya
besar yang mengancam Perguruan Ujung Kulon yaitu malapetaka yang bakal
ditimbulkan oleh Lutung Gila dan istrinya serta dua orang lainnya.
Orang tua itu manggut-manggutkan kepa-
lanya seperti seorang kyai.
"Kualat!" katanya tiba-tiba.
Udayana hendak bertanya siapa yang kua-
lat, tapi kemudian memutuskan untuk diam saja.
"Kualat!" kata kakek-kakek itu lagi.
"Siapa... siapa yang kualat orang tua?" akhirnya bertanya anak murid Perguruan
Ujung Ku- lon itu. "Jayengrena. Sompret!"
"Kualat dan murtad!" menyambung Udaya-na.
Orang tua itu garuk-garuk rambutnya yang
putih sehingga jadi awut-awutan. Sepasang ma-
tanya melotot pandangi wajah Udayana membuat
pemuda itu gentar hatinya.
"Orang tua," kata Udayana pula. "Aku harus pergi sekarang... aku harus cari
kakek guru untuk selamatkan perguruan dari kehancuran."
"Eee kunyuk! Tunggu dulu! Betul kau
mencari kakek gurumu"!"
Udayana mengangguk. "Kau sudah lihat lereng bukit sebelah timur hah, sompret"!"
Udayana mengangguk lagi. "Kini kau tahu apa nama bukit ini, ku-
nyuk"!" Udayana berpikir, tapi otaknya mana bisa
bekerja tajam saat itu. Rasa takut masih tetap
menjalari dirinya sedang kekesalannya terhadap
si orang tua aneh itu makin detik makin tambah.
Dia menggeleng. "Anak murid Ujung Kulon goblok!" semprot si orang tua.... "Lihat ini!" katanya
pula. Orang tua berambut putih seperti kapas itu
angkat kedua tangannya tinggi-tinggi di udara la-lu diputar-putar sedang
mulutnya yang kempot senantiasa meniup-niup ke muka. Putaran tan-
gan dan tiupan mulut menimbulkan angin aneh
yang keras sekali. Daun-daun sekitar sana bergerak-gerak menggerisik, cabang dan
ranting- ranting pohon bergoyangan sedang debu dan pa-
sir beterbangan! Sesaat kemudian di sekitar situ menghamparlah bau busuk yang
amat sangat, bau mayat, mayat yang banyak sekali! Udayana
tekap hidungnya, tutup mulut rapat-rapat. Kepa-
lanya terasa pusing. Dipejamkannya matanya.
Meski hidung serta mulutnya sudah ditutup rapat namun bau busuk yang amat sangat
itu seperti menembus kulit tubuhnya, seperti merasuk lewat
pori-pori yang membuat napasnya detik demi de-
tik jadi menyengal. Dirinya tak ubah laksana seorang yang tengah dicekik saat
itu! Orang tua tersebut hentikan putaran-
putaran tangan dan tiupannya. Saat itu juga bau busuknya mayat pun lenyap!
"Ei sompret! Kau sudah tahu apa nama
bukit ini sekarang"!"
"Ya... ya orang tua..." sahut Udayana dengan buka kedua mata serta turunkan
tangannya yang menutup hidung. "Apa"!" "Mun... mungkin Inilah Bukit Mayat."
"Naa... naaaa... kau tidak goblok lagi.
Sompret! Tahu namaku siapa"!"
Udayana kini berpikiran cerdik. Kalau bu-
kit itu bernama Bukit Mayat, tak boleh tidak si orang tua yang di hadapannya
adalah kakek gurunya yang memang tengah dicari! Buru-buru
anak murid Perguruan Ujung Kulon ini jatuhkan
diri berlutut. Orang tua itu tertawa mengakak. "Namaku
bukan kakek Guru, sompret!" Kaki kanannya bergerak ke muka dan masuk di bawah
selangkan- gan Udayana. Ketika kaki itu bergerak sedikit
maka kelihatanlah Udayana mental ke udara
sampai tujuh tombak. Orang tua itu memang tia-
da lain dari kakek guru Perguruan Ujung Kulon
yang bernama Lor Munding Saksana tertawa lagi.
Begitu tubuh Udayana jatuh ke bawah segera dis-
ambutnya. Dipanggul di bahu kanan dan dengan
kecepatan seperti angin dilarikannya ke arah lereng bukit sebelah barat!
2 HARI tujuh bulan tujuh hanya tinggal tiga
hari di muka. Perguruan Ujung Kulon menjadi ka-
lang kabut. Udayana yang meninggalkan pergu-
ruan sejak tiga bulan lewat sampai hari itu belum juga muncul! Apakah anak murid
kelas empat itu berhasil menemui kakek guru Lor Munding Sak-
sana atau tidak, sama sekali tidak diketahui. Ju-ga apakah Udayana hanya tinggal
nama belaka sekarang ini tak pula diketahui!
Hari itu Dipa Putra, anak murid Perguruan
Ujung Kulon kelas satu yang sementara diangkat
menjadi pemegang pucuk pimpinan perguruan
mengumpulkan seluruh saudara-saudara seper-
guruannya di ruang pertemuan.
"Saudara-saudaraku sekalian. Hampir tiga
bulan telah lalu. Hari tujuh bulan tujuh sudah di depan mata sedang saudara kita
Udayana sampai hari ini tiada berita tiada kabar, apakah dia berhasil menemui kakek guru
ataukah sudah mene- mui nasib seperti saudara-saudara kita yang ter-dahulu. Jika sampai lewat tengah
hari nanti Udayana tidak datang juga maka beberapa orang
di antara kita harus pergi menemui orang-orang
sakti di beberapa perguruan yang menjadi saha-
bat guru kita untuk dimintakan pertolongan me-
reka!" Ruang pertemuan itu sunyi senyap beberapa lamanya. Kemudian terdengar
suara Waranoa, si kakek tua yang juga menjadi murid merangkap
tukang masak di perguruan. "Apa yang dikatakan Dipa Putra betul. Kita tunggu
sampai lewat tengah hari, mudah-mudahan Udayana kembali. Ka-
lau tidak baru ambil tindakan lain...."
Detik demi detik senantiasa diselimuti ke-
tegangan di perguruan tersebut. Waktu seolah-
olah merayap-rayap. Dipa Putra akhirnya mengusulkan. "Se-
baiknya kita menunggu di luar, di sekeliling makam guru."
Saudara-saudara seperguruannya tak ada
yang menjawab tapi mereka semua berdiri tanda
setuju dan pergi keluar. Mereka berkumpul di sekeliling makam Empu Sora. Di hati
masing- masing mereka memohon restu sang guru agar
perguruan yang dibina sejak bertahun-tahun itu
diselamatkan dari kehancuran. Permohonan itu
disertai pula dengan panjatan doa kepada Yang
Esa. Udara panas terik. Di langit matahari se-
makin dekat juga menggeser ke titik tertingginya.
Tak lama kemudian sang surya itupun mencapai
titik tertingginya di langit cerah tiada berawan. Ini tanda bahwa saat itu sudah
tepat tengah hari. Dan Udayana tidak juga kembali. Kegelisahan
yang sudah menyungkupi hati anak-anak murid
Perguruan Ujung Kulon itu kini semakin mence-
kam. Mereka saling lirik dan saling pandang. Bi-asanya mereka selalu bersikap
arif tenang kini tak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Hanya Dipa Putra si murid utama tetap berdiri
dengan tenang sambil memegang nisan makam
gurunya. Pemuda ini tundukkan kepala. Sepemi-
numan teh lewat. Masa penantian sudah lampau
dari batas dan Dipa Putra akhirnya angkatkan
kepala. Di mukanya yang licin itu tiada terbayang sama sekali kegelisahan
ataupun kecemasan. Ini berkat pandainya dia menahan gelisah hatinya.
Jika dia bersikap kecut gelisah pasti akan mem-
bawa pengaruh yang lebih tidak diinginkan pada
diri saudara-saudara seperguruannya.
Dipandangnya satu demi satu paras sau-
dara-saudara seperguruannya itu. "Beberapa di antara kita harus pergi saat ini
juga," katanya. "Jombang Ulo, kau pergi ke puncak... "
Kalimat Dipa Putra terputus oleh satu sua-


Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ra dahsyat melengking tinggi mendesing di anak
telinga. Suara lengkingan ini datangnya seperti dari atas langit! Bukan saja
menggetarkan hati dan menyentak perasaan tapi juga menggetarkan
segala apa yang ada di sekitar tempat tersebut.
Semua orang terkejut dan semangat mereka sera-
sa terbang! Satu bayangan hitam besar dan tinggi ber-
kelebat laksana kilat, mendatangkan angin sede-
ras topan. Dan pada detik itu pula terdengarlah jeritan kematian membelah
langit! Enam orang anak murid Perguruan Ujung Kulon mencelat
mental menggeletak di tanah, meregang nyawa
dalam keadaan mengerikan! Empat dari mereka
koyak dadanya sehingga tulang dada dan tulang-
tulang iga mereka kelihatan jelas memutih, ke-
mudian tertutup oleh darah yang menggelimang.
Yang dua lagi hancur luluh robek muka mereka!
Kelimanya mati seperti orang-orang dicakar setan buas berkuku panjang!
Anak-anak murid Perguruan Ujung Kulon
yang lain dengan muka pucat pasi segera mundur
menyebar dan cabut pedang. Sembilan belas pe-
dang hijau berkilauan di bawah pantulan sinar
matahari berada di tangan. Sembilan belas pa-
sang mata memandang ke satu jurusan di mana
berdiri satu makhluk yang mereka belum pernah
lihat sebelumnya! Seekor lutung berbulu hitam panjang, ber-
badan besar setinggi tiga meter berdiri dengan se-ringai menggidikkan. Gigi-gigi
serta calingnya be- sar dan runcing tajam. "Raja Lutung!" kata Gagak Nandra yang pernah melihat makhluk ini di pulau
Bawean, memberitahukan kepada saudara-saudara seper-
guruannya. "Hati-hati makhluk ini berbahaya dan sakti sekali!"
"Kenapa dia datang sendirian?" tanya Dipa Putra. "Tidak, dia pasti tidak datang
sendirian," sahut Gagak Nandra. Diperhatikannya kuku-
kuku tangan makhluk tersebut yang berlumuran
darah. Darah enam orang saudara-saudara se-
perguruannya yang barusan dibunuh! Menggele-
gak amarah pemuda ini. Dia maju ke muka tapi
kakak seperguruannya memberi isyarat.
Dipa Putra melangkah ke depan sambil me-
lintangkan pedang hijau di muka dada.
"Raja Lutung! Kami tidak punya permusu-
han dengan kau, mengapa lakukan kekejaman
ini"!" tanya Dipa Putra.
Raja Lutung menggereng dan menyeringai
memperlihatkan taringnya yang besar serta runc-
ing. Dari mulutnya melengking teriakan tinggi
membelah langit dan sedetik kemudian tubuhnya
melesat ke muka dengan kedua tangan terulur
siap untuk mengoyak muka serta dada Dipa Pu-
tra! Melihat serangan ini, anak murid terpandai dari Perguruan Ujung Kulon
segera memapas dengan pedang sakti pemberian gurunya.
Namun terjadilah hal yang benar-benar
luar biasa bagi semua murid-murid Empu Sora
itu. Serangan yang dilancarkan oleh Dipa Putra
adalah serangan hebat dan tersulit serta mematikan. Sampai saat itu hanya Dipa
Putra sendiri yang berhasil memiliki jurus serangan tersebut, yang lain-lainnya masih belum!
Betapa mengenaskan sekali ketika Raja Lutung dengan gerakan sedikit saja tangan
kirinya berhasil merampas pedang di tangan Dipa Putra. Senjata itu digigitnya,
hulu pedang ditekan ke bawah.
"Trak!" pedang patah dua!
Bersamaan dengan gerakan merampas ser-
ta mematahkan pedang tadi maka tangan kanan
Raja Lutung bergerak pula ke muka. Untung saja
Dipa Putra berlaku sebat rundukkan kepala ka-
rena kalau tidak maka pastilah mukanya akan
robek besar! Namun demikian Raja Lutung tidak
tinggal diam. Cakaran kuku-kukunya yang pan-
jang serta tajam itu diteruskan ke dada. Sukar
bagi Dipa Putra untuk mengelak. Namun demi-
kian dia berusaha juga membuang diri ke bela-
kang, tapi tak urung pakaiannya kena juga dica-
kar dan koyak, tubuhnya terasa dingin ngilu! Begitu lawannya jatuh ke tanah,
Raja Lutung kirimkan tendangan ke kepala Dipa Putra. Pemuda ini
juga masih untung karena sebelum tendangan
sampai dia sudah berguling menjauh! Dia cepat
berdiri, mukanya pucat pasi. Dipa Putra maklum
bahwa meski bagaimana pun, meski segala ilmu
yang dipelajarinya dikeluarkan, maka untuk
menghadapi Raja Lutung dia tak akan mampu!
Dipa Putra segera beri tanda. Dua belas
orang saudaranya segera menyerbu. Dipa Putra
sendiri mengeluarkan sebilah keris dari ping-
gangnya! Raja Lutung meringkik seperti kuda! Sekali
tubuhnya berkelebat maka empat orang lagi anak
murid Perguruan Ujung Kulon menemui ajalnya!
Yang lain-lain segera mundur dan merinding bulu tengkuk mereka!
Pada saat itu terdengarlah suara pekik pe-
rempuan melengking dibarengi dengan suara ter-
tawa mengikik. "Raja Lutung! Pelajaran itu sudah cukup
baik bagi kunyuk-kunyuk macam mereka!"
Raja Lutung mundur menjauh sedang se-
mua anak-anak murid Perguruan Ujung Kulon
sama palingkan kepala ke jurusan datangnya su-
ara tertawa serta pekik melengking tadi. Di sana, sembilan tombak di hadapan
mereka berdiri dua sosok tubuh manusia. Laki-laki dan perempuan.
Yang laki-laki hanya kepalanya saja yang masih
kelihatan tersembul seperti manusia sedang sebatas leher ke bawah, terbungkus
dengan sejenis pakaian yang tak ubahnya seperti kulit lutung
berbulu-bulu dan memang pakaian itu dibuat da-
ri kulit lutung dan yang memakainya adalah Lu-
tung Gila. Di samping Lutung Gila berdiri seorang perempuan muda yang sebelumnya
tak pernah dilihat oleh anak-anak murid Perguruan Ujung
Kulon itu, kecuali Gagak Nandra.
Perempuan muda ini berpakaian kotor dan
tidak karuan. Rambutnya awut-awutan. Namun
ini tidak dapat menyembunyikan kecantikan ala-
miah yang dimiliknya. Pipinya yang montok keli-
hatan merah sedang sepasang matanya bening
menyorotkan sinar galak, pandangannya buas.
Dia mendukung seorang bayi!
"Celaka, Kakak Dipa Putra," bisik Gagak Nandra. "Manusia-manusia penyebar bahala
ini datang lebih cepat dari waktu yang dikatakan mereka!" "Jayengrana!" kata
Dipa Putra. "Apakah kau datang ke sini untuk menyerahkan diri, me-nebus dosa
atas apa yang kau telah lakukan ter-
hadap guru"!" Jayengrana alias Lutung Gila komat-
kamitkan mulutnya beberapa kali. Tiba-tiba me-
ledaklah tertawanya. Tertawa aneh tapi juga
menggidikkan telinga yang mendengarkannya.
"Jayengrana," kata Dipa Putra lagi. "Mendiang guru telah mengusir kau dari sini,
sekarang kau kembali! Kembali dengan membawa dosa besar, membunuh guru sendiri!
Kau mau apa da- tang anak beranak kemari"! Dosamu sudah lewat
dari takaran! Batang lehermu jadi imbalannya,
Jayengrana!" "Eeeeeee biung! Lagakmu segagah seorang
Pangeran! Mulutmu sebesar kawah gunung mele-
tus! Biung... biung!"
"Ciluk! Kau dengar bagaimana manusia ini
buka bacot"! Biung! Hei kunyuk, namamu Putra
Dipa ya"!" Gagak Nandra yang memang sudah sejak
peristiwa di pulau Bawean mendendam berurat
berakar terhadap Lutung Gila yang telah membu-
nuh gurunya itu segera melompat ke muka dan
membabatkan pedang hijaunya ke leher Lutung
Gila! "Murid murtad! Lebih cepat kau mampus lebih baik!" maki Gagak Nandra
membentak. "Biung! Masih muda sudah kepingin mam-
pus! Baah!" Lutung Gila pukulkan tangan kanannya ke muka, kakinya menyelinap di
bawah ke- tiak Gagak Nandra, dalam gerakan yang aneh!
"Trak!" tulang pangkal bahu Gagak Nandra patah. Pedangnya mental jauh ke tanah.
Tubuhnya mencelat ke belakang diiringi dengan jeritan yang menggidikkan. Dia
coba imbangi diri tapi tak berhasil. Setelah muntah darah anak murid Perguruan
Ujung Kulon kelas dua inipun rebah ke
tanah dan tak bergerak-gerak lagi untuk selama-
lamanya! Saudara-saudara seperguruan Gagak Nan-
dra termasuk Dipa Putra yang menyaksikan keja-
dian itu benar-benar menjadi kecut nyali mereka.
Mereka perhatikan tadi gerakan yang dibuat Lu-
tung Gila, aneh tak teratur seperti sembarangan saja! Namun justru dengan
gerakan yang aneh ngelantur itu Gagak Nandra yang tidak berilmu
rendah bisa dirobohkan dalam satu gebrakan sa-
ja! "Biung... biung! Terlalu buruk mati terlalu muda. Sorga dunia banyak ragamnya,
mengapa memilih mati"! Biung masih ada yang mau me-
nyusul"!" Lutung Gila ucapkan kata-kata itu dengan tolak pinggang serta goleng-
golengkan kepala! Kemaladewi yang berdiri di sampingnya,
mendukung anaknya Lutung Bawean mengejek
dan perhatikan muka manusia-manusia di hada-
pannya itu satu demi satu. "Kalian saksikan sendiri," dia berkata. "Siapa tak
tahu tingginya gunung akan hancur! Siapa tak tahu besarnya om-
bak akan lebur! Kalian monyet-monyet Ujung Ku-
lon berlututlah di hadapanku! Aku Ketua Pergu-
ruan kalian yang baru!"
Dipa Putra dan saudara-saudara sepergu-
ruannya kaget sekali dan saling pandang.
"Biung buset! Kalian apa tuli semua! Tidak dengar perintah istriku?" bentak
Lutung Gila dengan hentakan kaki kirinya ke tanah dan tanah itu melesak sampai
sejengkal! "Ayo lekas berlutut!"
"Jayengrana! Kau benar-benar terkutuk!
Bukan manusia! Kau benar-benar binatang! Lu-
tung jahanam! Kau membunuh guru! Membunuh
saudara-saudaramu sendiri!" berteriak Dipa Putra. "Biung... biung! Kalau aku
binatang kalian apa"! Pasti moyangnya binatang! Biung! Baah....
Dipa Putra, kau juga mau mampus ya" Konyol!
Eeeee aku tanya kau mau mampus cara bagai-
mana, kunyuk"! Mau cara meram atau cara me-
lek"! Icuh... icuh!"
Dipa Putra tak dapat tekan kesabarannya
lagi. Dengan keris yang sudah sejak tadi dipe-
gangnya di tangan dia siap untuk menerjang ke
muka. Namun satu suara membuat dia hentikan
gerakannya. "Dipa, tahan dulu!" Orang yang berkata ini adalah Waranoa, orang tertua yang
menjadi murid Empu Sora dan dihormati karena umurnya
oleh sesama saudara seperguruan. Waranoa me-
langkah ke hadapan Lutung Gila. Sepasang ma-
tanya yang penuh kerenyut-kerenyut ketuaan di
kulit pinggiran mata itu memandang tepat-tepat
ke muka Lutung Gila. Lutung Gila seperti hendak tertawa menga-
kak. Tapi mendadak mukanya berubah buas. Dia
membentak! "Orang tua bau amis! Kau mau jual tampang sama kami anak beranak"!
Icuh!" "Jayengrana, sudah waktunya kau harus
kembali pada pikiran yang sehat...."
"Eeee biung! Memangnya kau sudah lihat
isi kepalaku berani bilang aku tidak sehat"!
Orang tua gelo! Tapi... hemm...." Lutung Gila usap-usap dagunya yang berjanggut
tebal liar. Dia melirik pada bayi yang dalam dukungan Ke-
maladewi. "Cocok! Cocok!" katanya. "Kau pantas untuk jadi pengasuh anakku, orang
tua! Ee... kau punya nama siapa biung"!"
"Mengapa kau lakukan ini semua, Jayen-
grana?" "Biung buset! Kenapa kau orang tua jadi
banyak tanya, sudah bagus kau diambil jadi pen-
gasuh anakku! Sudah minggir sana! Jangan sam-
pai aku jadi muak!" Lutung Gila lambaikan tan-
gan kirinya dan Waranoa terjajar beberapa lang-
kah ke belakang, hampir jatuh duduk di tanah
kalau tidak salah seorang saudara seperguruan-
nya segera menolong. Waranoa begitu bisa mengimbangi diri,
dengan bersemangat dia melangkah ke hadapan
Lutung Gila kembali dan menuding. "Lihat tempat sekelilingmu di mana kau berada,
Jayengrana...!" "Aku bukan Jayengrana, monyet tua!"
"Lihat sekelilingmu, kataku," ujar Waranoa tanpa mengacuhkan kata-kata Lutung
Gila. "Di sini, di tempat inilah kau dulu dididik, diberi berbagai pelajaran
oleh Empu Sora, diambil murid
oleh orang tua sakti itu! Aku tahu riwayatmu
Jayengrana. Kau anak sepasang suami istri
miskin! Kau dibuang di tengah hutan karena kau
bukan anak yang dilahirkan secara syah! Karena
kau anak haram! Orang tuamu berzinah dulu ba-
ru kawin blak-blakan! Seharusnya anak haram
jadah macam kau ini tak pantas hidup di dunia
milik Tuhan yang begini suci dan kudus! Tapi Tuhan masih punya rasa kasih
terhadapmu! Masih Adil! Empu Sora menerimamu dalam sebuah ke-
ranjang beralaskan kain di tengah hutan! Dan


Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau dibawanya ke sini, diasuhnya seperti anak
sendiri, dididiknya, diberi berbagai ilmu sehingga kau menjadi besar! Tapi
setelah besar kau ternyata bukan seorang manusia berbudi karena kau
memang dasar manusia jahanam turunan haram
jadah yang tak bisa lagi diperbaiki! Kau beri nama buruk dan malu besar pada
Empu Sora. Kau di- usir dari sini dengan harapan agar kau menjadi
sadar tapi diluaran kau bikin lagi segala macam kebejatan dan membuat kepala
guru jadi lebih besar! Ketika guru datang untuk menghukummu
kau bunuh beliau! Itukah balasanmu terhadap-
nya" Terhadap seorang guru" Terhadap seorang
tua" Terhadap seorang yang telah mengasuhmu
dari masih bayi sampai dewasa"! Pikir, Jayengra-na! Pikir baik-baik! Apakah itu
perbuatan baik yang kau lakukan ataukah satu dosa besar tiada
berampun"! Pikir Jayengrana! Kau masih punya
otak dan pasti bisa berpikir!"
Untuk beberapa lamanya Lutung Gila ber-
diri tak bergerak seperti patung batu! Sepasang matanya yang buas menjadi redup!
Tapi itu hanya seketika belaka, hanya beberapa detik saja! Karena sesaat
kemudian mata yang redup itupun
kembali menjadi menyorot ganas dan parasnya
menjadi beringas buas! "Orang tua buruk! Biung baaa icuh! Meng-
hindar! Minggir dari hadapanku! Kalau tidak kau pasti konyol! Buset!"
Waranoa tetap di tempatnya. "Ingat, Jayen-
grana. Bila kau mau bertobat dan minta ampun,
dosamu pasti diampuni Tuhan! Ingat!"
"Biung! Disuruh minggir malah banyak
mulut! Orang buruk macammu bikin malu dunia
saja kalau hidup lama-lama! Pergi cari kawan-
kawanmu di neraka!" Habis berkata begitu Lutung Gila melangkah berputar-putar ke
muka. "Awas!" teriak Dipa Putra memperingatkan
Waranoa. Tubuh orang tua itu didorongnya ke
samping namun kasip. "Bluk!" Tempelak tangan kanan Lutung Gi-la sudah mendarat di dadanya. Waranoa
menjerit ngeri. Darah membusah dari mulutnya. Orang
tua yang malang ini menggeletak di tanah tanpa
nyawa! "Manusia iblis durjana!" bentak Dipa Putra.
Dengan keris dia menyerbu ke muka.
"Biung! Ini satu lagi contoh kunyuk yang
mau mampus! Icuh... icuh!"
"Lutung Gila, biar aku layani yang satu
ini!" terdengar suara Kemaladewi.
Lutung Gila agak menggerutu namun den-
gan patuh dia mundur ke belakang dan Kemala-
dewi dengan anaknya Lutung Bawean dalam du-
kungan menyambut serangan Dipa Putra! Sudah
barang tentu murid terpandai dari mendiang Em-
pu Sora itu jadi terkejut melihat serangannya dipapasi oleh perempuan muda belia
yang mendu- kung anak! Buru-buru tusukan keris yang tadi
dilancarkannya ke muka ditarik pulang karena
dia khawatir akan mengenai bayi dalam dukun-
gan Kemaladewi! Dipa Putra mundur.
"Manusia bernyali besar kenapa mundur!"
bentak Kemaladewi. "Siapa sudi melawan perempuan!" tukas Dipa Putra. "Suruh lakimu maju atau Lutung
pe-liharaanmu itu!" "Bangsat rendah, bicara seenak kentut sa-
ja!" semprot Kemaladewi. Tubuhnya miring ke kiri
dan dia lari ke arah Dipa Putra dengan langkah-
langkah yang aneh sambil berteriak melengking-
lengking persis seperti seekor lutung! Dipa Putra yang masih ragu-ragu mundur
terus. Tapi ini justru membuat dirinya celaka. Setiap kaki kiri atau kanan
Kemaladewi bergerak menimbulkan angin
dahsyat sekali. Dan ketika kaki itu menendang
pergelangan tangan yang memegang keris, tulang
lengan Dipa Putra patah dua, senjatanya mental.
Sementara tubuh anak murid Perguruan Ujung
Kulon ini terhuyung limbung, dengan satu gera-
kan sebat Kemaladewi kirimkan tendangan yang
tak terelakkan ke ulu hati Dipa Putra. Laki-laki ini meliuk ke muka. Perutnya
bobol, darah mem-banjir dan dia mati dengan menelungkup! Melihat bagaimana
Kemaladewi yang masih begitu muda,
seorang perempuan pula dan dengan mendukung
bayi di tangan dapat mengalahkan murid utama
Empu Sora, dapatlah dijajagi betapa hebatnya
Ilmu yang telah dimiliki perempuan itu se-
jak beberapa bulan saja dia berada di pulau Ba-
wean! 3 KALAU tadi semua mata murid-murid
mendiang Empu Sora sudah membuka lebar ma-
ka kini tambah membeliak tak berkedip. Semua
hati berdebar ngeri dan bulu-bulu tengkuk mere-
ka berdiri merinding! Mereka saksikan sendiri ba-
gaimana saudara seperguruan mereka yang ter-
pandai dan paling tinggi ilmunya dibikin roboh
oleh seorang perempuan muda belia yang bertem-
pur sambil menggendong bayi! Benar-benar me-
reka hampir tak bisa percaya!
"Icuh icuh!" terdengar suara Lutung Gila.
Dia melompat-lompat seperti anak kecil sedang
kedua jempol tangannya ditudingkan. "Biung ciluk!" Kemaladewi tertawa melengking
seperti seekor lutung betina. Begitu suara tertawanya
berhenti maka terdengarlah suara bentakannya
yang ditujukan kepada anak-anak murid men-
diang Empu Sora. "Kalian semua berlututlah! Hari ini aku
mengangkat diri sebagai Ketua Perguruan Ujung
Kulon yang baru! Berlutut! Berlutut atau mam-
pus!" "Berlutut atau mampus! Icuh! Biung!" menirukan Lutung Gila.
Saat itu murid-murid mendiang Empu Sora
yang masih hidup hanya tinggal enam orang. Dua
murid-murid kelas lima dan empat dari kolas
keempat. Di hadapan mereka, di atas tanah ha-
laman perguruan bergeletakan mayat-mayat sau-
dara-saudara mereka. Tiga belas orang semuanya
termasuk mayat Dipa Putra, Gagak Nandra dan
Waranoa! Tak ada satu orang pun mula-mula
yang bergerak ketika Kemaladewi memerintah
dengan membentak tadi! "Biung buset"! Apa kuping kalian tuli se-
mua"!" hardik Lutung Gila.
"Berlutut!" perintah Kemaladewi sekali lagi sambil menggeser kedua kakinya.
Pandangan ma-ta serta mimik parasnya galak membuas. Tiga
orang anak-anak murid kelas keempat dan seo-
rang tingkat kelima yang menyadari bahwa kalau
melawan tak akan ada gunanya selain korbankan
nyawa setelah bimbang seketika akhirnya berlu-
tut di tanah di hadapan Kemaladewi. Keempatnya
kemudian merasa malu sendiri ketika melihat ba-
gaimana dua orang saudara seperguruannya ma-
sih tetap berdiri dengan pedang di tangan.
"Kalian berdua mau pergi ke neraka"!" hardik Kemaladewi.
"Kami lebih baik mati dari pada berlutut di hadapan perempuan Iblis macam kau!"
Tanpa banyak bicara lagi dua orang pemu-
da berhati jantan dan berjiwa besar serta tahu
harga diri itu segera menyerbu ke muka meski-
pun mereka tahu bahwa mereka pasti akan mati!
Pemuda yang melompat dari kanan menebaskan
pedangnya ke batang leher Kemaladewi sedang
saudaranya melancarkan tusukkan sebat ke dada
perempuan itu! Kemaladewi hanya keluarkan tertawa me-
lengking melihat serangan-serangan tersebut. Kedua kakinya bergerak aneh. Pedang
yang me- nyambar leher lewat di atas kepalanya. Kaki ki-
rinya bergerak dan tusukkan ke dada lolos lalu
Kemaladewi membuat satu gerakan lagi dan kali
ini korban yang pertama mencelat ke belakang
kena hantam ujung siku tangan kiri Kemaladewi,
berputar-putar sebentar lalu rebah ke tanah tan-pa nyawa! Saudaranya yang satu
lagi memutar pedang dengan deras. Tubuh Kemaladewi seperti
terkurung sinar hijau. Namun setengah jurus saja pemuda itu bisa bertahan. Lewat
yang setengah jurus itu maka dia pun menyusul saudaranya
meregang nyawa! Lutung Gila komat-kamit senyum-senyum,
"Itu bagiannya manusia-manusia yang keras kepala berotak encer! Pilih mampus
dari pada hi- dup! Biung! istriku, suruh kunyuk-kunyuk yang
empat orang ini untuk angkat sumpah mengakui
kau sebagai Ketua Perguruan Ujung Kulon!"
Kemaladewi mengangguk, "Kalian ikuti apa
yang aku katakan!" perintahnya. "Kami...!"
"Kami!" menirukan keempat murid-murid Empu Sora yang berlutut itu.
"Kunyuk-kunyuk Ujung Kulon!"
"Kunyuk-kunyuk Ujung Kulon!"
"Hari ini!" "Hari ini!" "Mengangkat dan mengakui!"
"Mengangkat dan mengakui!"
"Bahwa Kemaladewi!"
"Bahwa Kemaladewi!"
"Adalah Ketua Perguruan Ujung Kulon
yang baru...." "Adalah Ketua Perguruan Ujung Kulon
yang baru...." "Yang harus kami patuhi! Kecuali kalau
kami mau mampus!" "Yang harus kami patuhi! Kecuali kalau
kami mau mampus!" "Selesai!" "Selesai!" menirukan pula keempat orang itu. "Kunyuk-kunyuk sompret! Itu tak
usah kau tirukan!" bentak Kemaladewi geram.
Demikianlah, hari itu Kemaladewi di hada-
pan murid-murid mendiang Empu Sora men-
gangkat diri sebagai Ketua Perguruan Ujung Ku-
lon. Kelak hal ini akan menggemparkan dunia
persilatan! Kemaladewi memutar tubuh ke arah ru-
mah besar dan melangkah. "Eee ciluk! Tunggu dulu!" kata Lutung Gila pula. "Ini mayat-mayat busuk apa
dibiarkan di sini saja"!"
"Lemparkan semuanya ke jurang! Suruh
kunyuk-kunyuk itu melakukannya!" sahut Kemaladewi sambil terus melangkah tanpa
putar kepa- la sedang Raja Lutung duduk di dahan rendah
sebuah pohon besar dan menggaruk-garuk kepa-
la. Lutung Gila berpaling pada keempat orang
yang masih berlutut. "Eeeit kunyuk! Berdiri dan lemparkan mayat-mayat ini ke
jurang dekat laut sana! Cepat!" Dengan hati pilu perih keempatnya menye-
ret mayat saudara-saudara seperguruan mereka
ke tepi jurang karang di pinggir laut. Keempatnya
sama-sama mengintai mencari kesempatan untuk
melarikan diri dalam melakukan perintah terse-
but namun Lutung Gila senantiasa memperhati-
kan gerak-gerik mereka. * * * Apa yang telah terjadi dengan diri Empu
Sora, apa pula yang telah terjadi di Perguruan Ujung Kulon dalam waktu singkat
tersebar luas ke pelbagai penjuru dunia persilatan. Semua
orang hampir tak percaya, terutama tokoh-tokoh
persilatan. Tak percaya bahwa seorang guru di-
bunuh oleh muridnya sendiri bahkan jabatan Ke-
tua Perguruan Ujung Kulon kini dipegang oleh istri murid murtad itu! Pastilah
keduanya merupa- kan manusia-manusia iblis yang tidak punya otak sehat dan tidak berhati manusia
lagi! Beberapa orang tokoh persilatan yang cu-
kup terkenal yang menjadi kawan baik dari men-
diang Empu Sora berdatangan ke Ujung Kulon,
bukan saja untuk membuktikan apa yang mereka
dengar itu betul adanya, tapi juga untuk meng-
hukum kedua suami istri tersebut! Mereka sama-
sama dapat memastikan bahwa dunia persilatan
akan kejangkitan perbuatan-perbuatan kejam bu-
suk dan menusuk mata seperti apa yang dilaku-
kan oleh Kemaladewi dan Lutung Gila. Karenanya
sebelum kedua orang ini berbuat lebih jauh, satu demi satu datanglah tokoh-tokoh
silat tersebut. Sebagai seorang sahabat, mereka wajib memba-
laskan sakit hati Empu Sora, sekurang-
kurangnya membuat tenteram arwah Empu Sora
di alam baka. Namun semua tokoh silat yang datang ke
Ujung Kulon tersebut sama mengalami nasib
mengenaskan. Mati di tangan Kemaladewi atau
Lutung Gila atau Raja Lutung. Dunia persilatan
kehilangan tokoh-tokoh berhati jujur, polos dan berbudi luhur serta berjiwa
besar! Dan kematian tokoh-tokoh tersebut tentu pula menambah ge-gernya dunia
persilatan! 4 MATAHARI bersinar terik. Angin dari laut
bertiup kencang, Lor Munding Saksana berlari secepat tiupan angin topan. Debu
berterbangan di udara, batu-batu kerikil yang terpijak berpelan-tingan. Di bahu kirinya terbujur
tubuh Udayana. Pemuda ini pejamkan mata karena ngeri dibawa
lari sedemikian cepatnya. Ketika dia coba mem-


Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukakan matanya ternyata dikesilauan matahari
dilihatnya dia sudah sampai ke daerah di mana
Perguruan Ujung Kulon terletak.
Kemudian Udayana merasakan kakek-
kakek sakti yang mendukungnya menghentikan
lari dan sebelum dia membuka mata dia sudah
diturunkan dari atas bahu dan dilemparkan sam-
pai terguling ke semak-semak. Cepat-cepat
Udayana berdiri dan memandang ke depan. Lor
Munding Saksana kelihatan menggaruk-garuk
rambutnya yang putih awut-awutan. Mulutnya
komat-kamit sedang sepasang matanya meman-
dang ke jurusan seorang perempuan yang berdiri
dekat batu besar membelakanginya, tengah me-
nimang-nimang seorang bayi. Perempuan ini ada-
lah Kemaladewi, perempuan muda berilmu tinggi.
Namun demikian sepasang telinganya yang tajam
masih tak sanggup menangkap langkah suara la-
rinya kedua kaki Lor Munding Saksana! Ini bukan saja menyatakan betapa hebatnya
ilmu mengentengi tubuh serta ilmu lari cepat orang tua itu namun juga sekaligus
menyatakan bahwa bagaimana pun tingginya ilmu kesaktian Kemaladewi
namun tetap saja masih berada di bawah kesak-
tian Lor Munding Saksana!
Udayana sendiri tampak terheran-heran
melihat di situ ada seorang perempuan muda ten-
gah mendukung bayi. Siapakah gerangan perem-
puan ini! Hati Udayana berdebar keras ketika du-gaannya berat bahwa perempuan
ini adalah istri Lutung Gila! Lagi pula saat itu memang sudah lewat hari tujuh bulan tujuh!
"Eiiit sompret! Coba putar tubuh! Aku mau
lihat tampangmu!" kata Lor Munding Saksana seraya ulurkan tangan menjangkau
ranting rendah sebuah pohon dan mematahkannya. Ujung rant-
ing itu dilemparkannya ke udara dengan sikap
acuh tak acuh, demikian tingginya sehingga le-
nyap di udara dari pemandangan mata. Ketika
ranting kayu jatuh kembali ke bawah, ranting ter-
sebut amblas dan hilang di dalam tanah!
Begitu mendengar suara seseorang di bela-
kangnya yang memaki dan menyuruhnya putar
tubuh, bukan main terkejutnya Kemaladewi. Pa-
rasnya menjadi merah karena marah. Dengan ce-
pat dia memutar tubuh. Sepasang matanya yang
tajam menyipit menyorot. Dia melirik pada
Udayana sekilas. "Orang tua buruk, kau siapa"!" bentak Kemaladewi dengan mata melotot meneliti
Lor Munding Saksana mulai dari rambutnya yang pu-
tih sampai ke kaki. Lor Munding Saksana mendongak ke lan-
git, mengeluarkan suara tertawa panjang. Tan-
gannya digerakkan lagi menjangkau ujung rant-
ing. Ketika di udara dilihatnya melayang seekor burung maka ranting yang di
tangannya dilemparkan ke atas. Burung yang terbang di udara
bergelepakan lalu jatuh ke bawah. Sambil ulur-
kan tangan kiri menyambut binatang tersebut Lor Munding Saksana melompat ke atas
ranting kecil dan duduk di sana! Kedua kakinya digoyang-
goyang. Dan dia mulai memakan burung mentah
itu seenaknya! Apa yang disaksikan oleh Kemaladewi ten-
tu saja membuat perempuan muda tersebut kaget
bukan main! Dia masih mungkin bisa meniru
perbuatan kakek-kakek tak dikenalnya itu me-
lempar burung yang terbang di udara, tapi untuk duduk di ujung ranting demikian
kecil sambil ongkang-ongkang kaki, benar-benar dia tak sang-
gup! Lutung Gila sendiri pun tidak akan sanggup!
"Ahoi...! Kau terkejut ya"! Kau heran ya"!
Sompret!" Kemaladewi menjadi marah. "Orang tua gi-
la!" balasnya memaki. "Kau siapa sebenarnya"
Jawab! Kalau tidak jangan menyesal...."
"Hemmm..." Lor Munding Saksana mengunyah daging burung mentah yang di dalam mu-
lutnya sambil mengeluarkan suara bergumam.
"Tampangmu boleh juga, sompret! Tapi, coba kau dulu kasih keterangan siapa kau
adanya! Aku yang sudah tua pasti tak akan menyesal bila kau beritahu namamu! Ahoi!"
Kemaladewi marahnya bukan main. Na-
mun dia tidak berani bertindak kesusu. Dia tahu orang tua ini bukan manusia
sembarangan dan dia sadar bahwa ilmunya mungkin sekali berada
di bawah tingkat Ilmu yang dimiliki orang tua tersebut, "Orang tua edan! Kalau
kau mau tahu aku-lah Ketua Perguruan Ujung Kulon yang baru!"
"Oho,,,"!" Lor Munding Saksana berhenti mengunyah. Dia menatap paras Kemaladewi
sejurus lalu berpaling pada Udayana. "Eit sompret!
Betul ini dia Ketua Perguruan Ujung Kulon"!"
Udayana menjawab cepat "Tidak! Perem-
puan ini pastilah istri Lutung Gila yang telah merampas kedudukan Ketua
Perguruan dari tangan saudara seperguruanku!"
"Pemuda, jadi kau salah seorang anak mu-
rid Perguruan Ujung Kulon" Kalau begitu berlu-
tutlah di hadapan Ketuamu yang baru!" perintah Kemaladewi.
"Siapa sudi!" jawab Udayana.
"Tidak sudi berarti minta mampus!" Kemaladewi hendak melangkah ke muka.
"Sompret! Tunggu dulu!" kata Lor Munding Saksana cepat. "Jika kau mengaku
sebagai Ketua Perguruan Ujung Kulon, maka kaulah yang harus
berlutut di hadapanku! Sompret!"
Kemaladewi hentikan langkah,
"Ahoi! Jangan marah tapi cepat berlutut
arena aku adalah kakek guru dari anak-anak mu-
rid Empu Sora! Ayo berlutut sompret!"
Bahwa orang tua yang di hadapannya itu
mengaku sebagai kakek guru murid Empu Sora
sungguh mengejutkan hati Kemaladewi!
"Sompret! Kenapa berdiri bengong"! Ayo
berlutut!" bentak Lor Munding Saksana.
"Orang tua, kalau kau datang untuk men-
cari mampus turunlah dari ranting itu!" menan-tang Kemaladewi. Bayi yang dalam
dukungannya diletakkan di atas batu besar. Waktu meletakkan bayi tersebut tubuhnya
membungkuk. Lor Munding Saksana kelihatan cengar-cengir. Tulang belulang burung
mentah yang dimakannya dilempar-
kan dari "pluk" jatuhnya tepat di pantat Kemaladewi! "Orang tua gelo! Kau benar-
benar sudah bosan hidup! Kurang ajar!" Kemaladewi putar badannya kaki kanannya
menendang ke muka, tan- gan kiri memukul ke depan. Dua rangkum angin
dahsyat melesat menyerang Lor Munding Saksa-
na. Ranting yang didudukinya patah sampai ke
cabang-cabang pohon. Daun-daun pohon bergu-
guran. Akar pohon itu terbongkar dan sesaat ke-
mudian pohon tersebut pun tumbanglah!
Pada waktu dirinya diserang dan ranting
yang didudukinya patah, Lor Munding Saksana
membuat gerakan memutar seperti seorang akro-
batik yang lihay. Dia turun ke tanah dengan ke-
dua tangan lebih dahulu sedang kedua kakinya
menerjang melancarkan tendangan jarak jauh!
Kemaladewi terkejut besar dan cepat-cepat meng-
hindar ke samping mengelakkan angin tendangan
yang dahsyatnya bukan main.
"Krak!" Pohon besar di belakang perempuan muda itu patah dan tumbang! Sedang Lor
Munding Saksana sudah berdiri kembali dengan
bertolak pinggang. "Ayo! Masih belum mau berlutut"! Masih
belum mau minta ampun terhadapku, perempuan
sompret"!" Kemaladewi kertakkan rahang-rahangnya.
Parasnya benar-benar tertutup oleh kabut kege-
raman dan amarah yang memuncak kini. Kedua
kakinya bergerak cepat tak teratur, kedua tan-
gannya yang seperti tambah panjang disentak-
sentakkan dan semua gerakan ini adalah meru-
pakan serangan yang berbahaya!
Lor Munding Saksana mula-mula terheran-
heran melihat gerakan serangan yang aneh dari
lawannya ini. Dia menggeser ke samping siap un-
tuk menotok urat besar di sisi tubuh sebelah kiri perempuan itu, namun secara
aneh pula Kemaladewi merubah gerakannya. Sepasang tangannya
bergerak hendak mencengkeram muka dan dada
Lor Munding Saksana. Orang tua ini mundur ke
belakang sambil rundukkan kepala dan memo-
nyongkan mulutnya meniup ke muka. Angin de-
ras berbau busuknya mayat menyerang muka
Kemaladewi! Perempuan ini terhuyung nanar ke
belakang. Sebelum dia sempat mengimbangi tu-
buh ataupun membuat gerakan yang lain tahu-
tahu jotosan keras menghantam dadanya. Kema-
ladewi menjerit. Tubuhnya terguling dan jatuh
tersandar di atas batu besar di mana anaknya,
Lutung Bawean, tadi dibaringkannya.
Kemaladewi merasakan dadanya sangat
sakit dan napasnya menyesak. Dia berdiri sambil mengatur jalan napas dan
peredaran darah. Selama dia mendapat pelajaran ilmu silat dari Lu-
tung Gila dan Raja Lutung baru hari itulah seo-
rang lawan dapat menyentuh tubuh dan memu-
kulnya demikian hebat! Dengan gemas perem-
puan ini cabut pedang hijau dari balik punggungnya. Pedang ini adalah milik Empu
Sora, pedang pusaka tumbal pertanda bahwa siapa yang me-
megang atau memiliki senjata tersebut maka dia
adalah Ketua Perguruan Ujung Kulon.
"Kau lihat pedang ini, anjing tua"!"
"Eit, aku tidak buta, sompret!"
"Bagus! Bersiaplah untuk terima mampus!"
Dengan pedang di tangan, dengan memperguna-
kan jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka menyeranglah
Kemaladewi dengan segala kehebatannya. Lor Munding Saksana yang diserang hanya
tertawa meringis. "Pedang pusaka sakti itu tak pantas berada di tangan manusia
iblis macammu ini, sompret! Ayo berikan padaku!" Habis bicara demikian si orang tua maju ke
muka ulurkan tangan kanan menyongsong serangan Kemalade-
wi. Perempuan itu jadi semakin naik pitam meli-
hat serangannya dipapasi. Sambaran pedang
menderu tak tanggung-tanggung Kemaladewi se-
kaligus hantamkan pula kaki kanannya ke se-
langkangan lawan. Gerakannya serba tak teratur
dan aneh. Jika saja yang dihadapinya itu bukan
orang tua sakti macam Lor Munding Saksana
pasti sejak jurus pertama tadi dia sudah kena di-celakai!
Betapa kagetnya Kemaladewi ketika dengan
satu gerakan kilat saja Lor Munding Saksana bu-
kan saja dapat mengelakkan tendangan kaki ka-
nannya tapi bahkan juga berhasil merampas pe-
dang hijau di tangannya! "Aha.... Bukankah tadi aku bilang bahwa
pedang pusaka ini tidak pantas di tangan manu-
sia macammu"! Nah sompret! Apa kau masih be-
lum mau bertobat dan berlutut minta ampun di
hadapanku" Ayo berlutut som...."
Ucapan orang tua itu belum lagi habis.
Mendadak dari samping datang satu bayangan
sosok tubuh dan "buk!" Lor Munding Saksana ter-
jajar sampai beberapa tombak ke kanan. Bahunya
sakit bukan main, tulang tangannya serasa han-
cur! Dipalingkannya kepalanya dan orang tua ini kemudian melihat sosok tubuh
seperti lutung tapi kepala manusia.
"Sompret! Kau pastilah setan alasnya yang
bernama Lutung Gila! Murid murtad! Murtad tu-
juh turunan!" "Icuh! Biung! Sudah tua bangka masih
bermulut kotor! Biung! Apa tak tahu kalau umur
hanya tinggal sekejapan mata" Apa tidak sadar
kalau liang kubur sudah di depan hidung"! Icuh...
icuh!" 5 LOR Munding Saksana marah bukan main.
Diputarnya pedang hijau di tangannya dengan
sebat sehingga senjata itu tak ubahnya seperti
seekor ular panjang yang memancarkan sinar hi-
jau kemilau mengurung dan menyerang Lutung
Gila serta Kemaladewi! Demikian kejadiannya,
seorang tua renta sakti berotak miring, bertempur melawan dua orang suami istri
berotak gila! Satu sampai dua jurus di muka Lutung Gi-
la dan Kemaladewi masih bisa mengimbangi la-
wan mereka bahkan ganti balas melancarkan se-
rangan. Namun memasuki jurus ketiga, keempat
dan seterusnya keduanya mulai terdesak dan di-
bikin tak berdaya. Kemarahan Lor Munding Sak-
sana lebih besar terhadap Jayengrana alias Lu-
tung Gila, bukan saja karena manusia ini seorang murid murtad yang telah
membunuh guru serta saudara-saudara seperguruannya tapi juga kare-
na dialah tadi yang memukul dari samping maka
Lor Munding Saksana boleh dikatakan memu-
satkan hampir seluruh serangannya terhadap Lu-
tung Gila! Lutung Gila menjadi repot sekali. Betapa pun lihaynya dia selama ini
namun saat itu dia benar-benar ketemu batu! Dalam keadaan terdesak hebat dan tak
berdaya akhirnya pedang pu-
saka Perguruan Ujung Kulon tak dapat lagi di-
elakkan oleh Jayengrana si murid murtad!
Dua tulang iganya terbabat putus. Kulit
dada robek besar sampai ke perut. Ususnya men-
jela-jela. Lutung Gila terhuyung megap-megap.
Darah kental membuih di sudut-sudut bibirnya.


Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lutung Gila melengking setinggi langit, sesudah itu tubuhnya pun rebah ke tanah
tak bergerak la-gi! "Keparat edan! Hari ini aku mengadu nya-
wa dengan kau sampai seribu jurus!" teriak Kemaladewi. Dikeluarkannya tongkat
rotan berkeluk pemberian gurunya dulu yakni Dewa Tongkat.
Dengan senjata tersebut di tangan seperti orang kemasukan setan dia menerjang ke
muka. Udayana yang berdiri di kejauhan menyak-
sikan pertempuran itu diam-diam merasa lega.
Jika kakek gurunya berhasil mengalahkan Lu-
tung Gila, membunuh perempuan muda itu pasti
tidak akan lebih sukar. Dia merasa gembira dan
bangga pada diri sendiri karena tugas yang diletakkan di atas pundaknya untuk
mencari kakek gurunya demi menyelamatkan Perguruan ini tam-
paknya sudah hampir selesai setengah jalan.
"Aku yang sudah tua telah beri kesempatan
untuk minta tobat dan berlutut minta ampun!
Tapi dasar kau manusia sompret sontoloyo! Ma-
lahan mau mampus! Nah mampuslah kini somp-
ret!" Pedang hijau di tangan Lor Munding Saksana membabat ke kiri, membalik ke
kanan, me- mapas kembali ke pinggang dan menusuk ke leh-
er. Kemaladewi geser kaki dan badannya dalam
gerakan aneh guna hindarkan tusukan tersebut.
Namun kenyataannya tusukan pedang yang di-
lancarkan oleh si orang tua hanyalah tusukan ti-puan belaka! Karena sesaat
kemudian dengan sangat cepat pedang hijau itu membuat gerakan
babatan ke kanan, membalik ke kiri. Memapas ke
pinggang dan menusuk ke perut, tusukan mana
tak dapat lagi dielakkan oleh Kemaladewi!
Perempuan itu menjerit melengking. "Raja
Lutung! Tolong aku!"
Sedetik sebelum ujung pedang bersarang di
perut Kemaladewi maka "trang", terdengar suara beradunya senjata. Bunga api
berpijar. Pedang di tangan Lor Munding Saksana terangkat ke atas
dan gompal bagian yang tajamnya! Merasakan
tangannya tergetar hebat kesemutan cepat-cepat
orang tua itu melompat mundur. Lor Munding
Saksana terkejut ketika menyaksikan bahwa yang
berdiri di hadapannya bukanlah seekor lutung
yang bernama Raja Lutung, tapi seorang laki-laki muda dengan paras cakap dan
potongan tubuh kekar berpakaian serba putih! Di tangannya ada
sebilah pedang mustika memancarkan sinar me-
rah, sinar mana menggetarkan hati Lor Munding
Saksana karena sinar merah senjata tersebut
membuat sinar hijau pedang di tangannya menja-
di redup! Jika orang tua itu terkejut maka Kemala-
dewi jauh lebih terkejut lagi. Mata perempuan ini terbuka lebar-lebar. Mulutnya
menganga bahkan kaget dan tak percaya. Tapi parasnya menjadi pucat pasi sedang sepasang matanya
yang bening kelihatan berkaca-kaca. "Mahesa..." kata Kemaladewi berbisik antara terdengar dan tiada. "Kucari kau
berminggu bahkan berbilang bulan tidak kunjung bersua.
Kini kau datang... kau selamatkan nyawaku. Ka-
kak... untuk menepati janjimu dulukah kau da-
tang ke sini...?" Waktu mengucapkan kata-kata yang tertahan-tahan itu butiran-
butiran air mata mulai jatuh menetes meluncur di pipinya yang licin. Kata-kata
yang diucapkan Kemaladewi itu,
terutama pertanyaan yang diajukannya sungguh
mengiris hati menyayat sanubari Mahesa Kelud.
Tenggorokannya turun naik. Mulutnya membuka
tapi tak sepatah ucapanmu bisa diluncurkannya.
"Manusia-manusia sompret!" terdengar suara Lor Munding Saksana. Dia memandang
silih berganti pada Kemaladewi dan Mahesa Kelud.
"Kalian berdua rupanya tengah main sandiwara ya" Gila! Pakai nangis segala!
Dasar sompret! Ini bukan panggung. Kalian..."
Angin sedahsyat badai menyambar dari be-
lakang. Lor Munding Saksana hampir terjungkal
ke muka kalau ia tidak cepat-cepat melompat ke
samping. Dia membalikkan tubuhnya ketika satu
lengkingan sangat keras menggetarkan dada dan
seperti memecahkan gendang-gendang anak te-
linga terdengar. Di hadapannya berdiri seekor lutung setinggi tiga meter,
menyeringai menggidikkan memperlihatkan taring serta gigi-giginya yang besar dan
runcing! "Lutung bego! Menyerang dari belakang,
dasar binatang sompret! Kalau kau bernama Lu-
tung maka kau juga musti mampus!" Dengan pedang di tangan orang tua itu menyerbu
ke muka maka terjadilah pertempuran yang seru!
"Kakak... kau datang untuk menepati jan-
jimu dulu... benar...?" terdengar lagi suara mera-wankan hati dari Kemaladewi.
Kalau dulu den- damnya demikian berurat berakar, amarahnya
begitu berkobar menggelegak dan kebenciannya
tiada terperikan terhadap Mahesa Kelud, maka
kini sesudah berhadap-hadapan dengan laki-laki
itu hilang semua perasaan tersebut, hilang lenyap tanpa bekas laksana setetes
air yang setitik jatuh di atas pasir di gurun Sahara. Bahkan detik pertama dia
melihat Mahesa Kelud, ingin sekali Ke-
mala hendak menubruk dan memeluk laki-laki
itu! "Kemaladewi..." ujar Mahesa. "Aku datang hanya untuk bertanya...."
"Untuk bertanya?"
Mahesa mengangguk. Kemaladewi kerenyitkan kening.
"Mengapa kau jadi sampai begini, Adik"
Melakukan segala hal yang hampir tidak dapat diterima akal manusia sehat" Kau
bunuh gurumu... kau kawin dengan manusia setengah orang se-
tengah lutung! Dan ilmu kesaktianmu kau pakai
untuk membunuh manusia-manusia tidak berdo-
sa, membunuh tokoh-tokoh persilatan, merusak
tempat kediaman dan Perguruan orang lain. Men-
gapa Kemala...?" Kemaladewi merasakan tubuhnya lemah
lunglai. Tak ubah laksana seseorang yang dibanting dihenyakkan ke bumi! "Itu
maksud kedatanganmu Mahesa" Hanya untuk bertanya..."!"
"Dan juga untuk meminta agar kau meng-
hentikan semua perbuatan keblinger ini!" jawab Mahesa Kelud.
Perempuan itu terdiam sejurus. Parasnya
kemudian berobah. "Kau tanya mengapa, baik!
Aku akan jawab. Semua itu kulakukan adalah
karena kau! Karena kau seorang manusia yang
tidak bertanggung jawab! Tidak bertanggung ja-
wab atas apa yang kau telah perbuat! Kau lari...
kau manusia pengecut berjiwa kintel! Manusia
macammu ini harus dilenyapkan dari muka bumi
agar tidak merusak gadis-gadis lainnya!"
Muka Mahesa Kelud menjadi sangat merah
sampai ke telinga. Sebelum dia membuka mulut
maka Kemaladewi sudah menyerang dengan
tongkat rotannya. Terkejut juga Mahesa Kelud
melihat gerakan yang aneh dari cara melancarkan serangan tersebut. Untung saja
dia sudah siap waspada sehingga dengan cepat sempat mengelak
sambaran tongkat yang menyerang kepalanya!
Penuh penasaran Kemaladewi menyerang kemba-
li. Sekali ini Mahesa Kelud tidak tinggal diam. Begitu serangan tongkat
dielakkannya maka dengan sebat tangan kirinya bergerak! Dan tongkat rotan berkeluk lepas dari pegangan
Kemaladewi! Paras Kemaladewi semakin pucat. Dia mu-
lai sesenggukan menangis. Selagi dia menjadi
murid Dewa Tongkat memang ilmunya berada di
bawah tingkat laki-laki itu. Sesudah dia belajar dan dapat banyak ilmu tambahan
dari Lutung Gi-la serta Raja Lutung disangkanya dia akan mu-
dah saja dapat mengalahkan Mahesa namun ke-
nyataannya dalam satu tahun belakangan ini ke-
pandaian Mahesa Kelud sudah tambah lebih jauh
dari yang dimilikinya! Kemala berdiri tak bergerak-gerak. "Mahesa aku tak sanggup hidup lebih lama
dengan cara begini! Tusukkan pedang itu ke dadaku! Bunuh
aku! Biar lepas segala-galanya dari bathinku, biar bebas aku dari penderitaan
yang berlarut-larut ini! Bunuh aku, Mahesa dan bila kau sudah bu-
nuh aku maka bunuh pulalah bayi yang di atas
batu sana, dia adalah anakku. Anakku dan juga
anakmu, hasil dari hubungan kita di goa batu
tempo hari...." Jika saja ada seekor singa atau harimau
yang tahu-tahu menerkam di muka hidungnya
saat itu mungkin tidak demikianlah terkejutnya
Mahesa Kelud ketika dia mendengar apa yang di-
ucapkan oleh Kemaladewi. "Kau bilang apa, Kemala"! Anakmu dan
anakku"!" Mahesa berpaling ke batu besar di se-berangnya dan memang di atas batu
itu dilihat- nya seorang bayi terbaring. Kulitnya merah tanda umurnya masih beberapa bulan
saja. Mahesa melangkah ke arah batu tempat bayi terbaring.
"Jangan dekat!" bentak Kemaladewi lantang. "Bunuh aku lalu bayi itu!"
Mahesa hentikan langkah. Lututnya goyah
seperti mau lepas dari persendiannya. Kedua ma-
tanya memandang sayu pada Kemaladewi. Ha-
tinya teriris-iris. Dicobanya untuk menekan perasaan yang ada dan agar jangan
sampai mene- teskan air mata. "Adikku, kau tahu... peristiwa itu terjadi bukan mauku. Di luar
kesadaran kita berdua...." "Meski demikian lantas apa anak itu bukan anakmu"!"
"Aku masih belum bisa memastikan, Kema-
la. Karena bukankah kudengar pula kabar bahwa
kau kawin dengan Lutung Gila"!"
"Kami tidak kawin!" tukas Kemaladewi.
"Aku hanya menganggap dia sebagai suami dan
dia menganggap aku sebagai istri! Kami tidak
pernah campur! Jangan membalikkan tuduhan,
Mahesa! Jangan mengambing hitamkan orang
lain dan jangan coba-coba hendak cuci tangan!
Bayi itu adalah anakmu! Kau dengar"! Anakmu!"
"Kalau begitu kau serahkan dia padaku
dan kau kembalilah ke jalan yang benar...."
"Jalan benar macam bagaimana, Mahesa"
Macam yang telah kau perbuat atasku" Tak ada
pertanggung jawaban sama sekali"! Cis, kau laki-laki pengecut! Dosamu terlalu
besar! Tidak te- rampunkan! Kau lari.... Pengecut! Berani berbuat tak berani tanggung jawab!"
"Kemala...." "Jangan sebut namaku!" potong perem-
puan itu. "Kalau menurutmu dosaku tidak teram-
punkan dan bila kau katakan aku tidak bertang-
gung jawab maka ambil pedang ini dan kau yang
membunuh aku!" Habis berkata demikian Mahesa Kelud mengangsurkan hulu pedang
merah di tangannya ke muka Kemaladewi tapi perempuan ini
tak mau menyambutnya. "Tidak, terlalu enak bagimu mati dengan
cara ini, Mahesa. Dengar baik-baik, kelak bayi
itu, anakmu sendiri nanti di satu hari akan mem-bunuhmu! Ingat itu! Anak sendiri
yang akan membunuh ayahnya!" Kemaladewi memutar tubuh, lari ke arah
batu besar. Lutung Bawean didukungnya lalu dia
berteriak. "Raja Lutung! Mari kita tinggalkan tem-
pat ini!" Saat itu Raja Lutung yang tengah bertem-
pur dengan Lor Munding Saksana berada di atas
angin. Si orang tua sudah terdesak hebat. Pedang hijau yang dipegangnya berhasil
dirampas dan di-patahkan oleh lawan. Dalam dua tiga jurus di
muka pastilah Raja Lutung akan dapat menyele-
saikan lawannya yang saat itu sudah babak belur!
Namun begitu mendengar perintah Kemaladewi,
dengan patuh Raja Lutung melompat dari kalan-
gan pertempuran lalu lari menyusul Kemaladewi.
Mahesa hendak mengejar mereka. Namun mem-
batalkan niat tersebut. 6 LOR Munding Saksana berdiri terhuyung-
huyung. Orang tua ini akhirnya dudukkan diri di tanah bersandar ke batang kayu
tumbang. Pipi sebelah kiri berselomotan darah yang keluar dari luka-luka bekas cakaran Raja
Lutung. Tangan kanan sukar digerakkan karena persendian bahu
terlepas. Kakek guru Perguruan Ujung Kulon ini
mengerang pelahan. Matanya antara membuka
dan terpejam. Sebagaimana yang sudah kita sak-
sikan dan ketahui, dia bukan seorang berilmu
rendah, namun menghadapi Raja Lutung memang
cukup berat. Dalam pertempuran tadi beberapa
kali jotosan-jotosan mautnya mendarat di tubuh
lawan namun Raja Lutung dapat menghadapi se-
mua itu dengan segala kehebatannya. Lor Mund-
ing Saksana sendiri beberapa kali pula mendapat serangan dahsyat. Jika saja
ilmunya tidak sampai pada tingkat yang dimilikinya saat itu, niscayalah luka-
luka di tubuhnya akan mencelakai jiwanya!
Mahesa Kelud melangkah mendekati orang
tua itu dan memperhatikan luka cakaran serta
keadaan tangan kanannya. Ketika disentuhnya
tubuh Lor Munding Saksana terasa panas sekali
seperti lembaran seng yang terjemur diteriknya
matahari! Lor Munding Saksana buka kedua ma-
tanya. "Sompret! Pergi kau!" bentaknya.
"Orang tua, kau terluka berat!"
"Eit sompret! Aku suruh kau pergi! Sudah
tahu orang terluka diajak bicara! Gila!"
Kalau saja orang tua tersebut tidak berada


Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam keadaan demikian rupa mungkin mulutnya
sudah ditampar oleh Mahesa Kelud.
"Orang tua, kau siapa dan ada permusu-
han apa dengan kedua suami istri itu?" Bertanya Mahesa.
"Benar-benar sompret! Pergi kataku!" bentak Lor Munding Saksana.
"Hem... kalau otakmu tidak senewen pasti
kau setengah sinting!" kata Mahesa pula dengan hati dongkol karena dimaki terus-
terusan. Dia melangkah hendak meninggalkan tempat itu. Lor
Munding Saksana memandang berkeliling menca-
ri Udayana. Namun pemuda tersebut bersama
empat orang saudara seperguruannya yang masih
hidup sudah sejak tadi lenyap melarikan diri yai-tu ketika mereka melihat
bagaimana kakek guru mereka dibikin kewalahan oleh Raja Lutung!
Lor Munding Saksana menoleh pada Mahe-
sa. "Hai, sompret! Tunggu dulu!" teriaknya.
Mahesa jalan terus. "Hai, kembali sompret! Tolong aku dulu!"
teriak orang tua itu sekali lagi.
Mahesa Kelud tetap tak mengacuhkan.
"Pura-pura tuli kau ya" Awas!" Lor Munding Saksana memonyongkan mulutnya dan me-
niup ke depan. Serangkum angin deras berbau
mayat busuk menyambar ke punggung Mahesa.
Laki-laki ini cepat buang diri ke samping. Sesaat kemudian dirasakan oleh Mahesa
segulung tali hitam melibat kedua kakinya sehingga dia tak
dapat lagi bergerak atau melangkah. Dengan te-
naga dalamnya dicobanya untuk memutuskan tali
hitam tersebut tapi tak berhasil. Mahesa cabut
pedang merahnya. "Tras!" Sekali tebas saja tali hitam itupun putuslah. Lor Munding Saksana jadi
melongo! Sepasang matanya meneliti pada pedang di tangan
Mahesa. Otaknya coba mengingat-ingat. Kemu-
dian dia berseru: "Jika kau merasa muridnya Suara Tanpa Rupa kembalilah dan
tolong aku! Jika tidak, pergi bersama kutukanku!"
Mendengar nama gurunya disebut-sebut
Mahesa memutar langkah. Dia berdiri di hadapan
orang tua itu kembali. Lor Munding Saksana ter-
tawa. "Aha, jadi kau benar-benar muridnya Suara Tanpa Rupa, ya"!"
"Orang tua, kau siapa sebenarnya?"
"Sompret! Jangan banyak tanya, tolong aku
dulu!" "Tolong apa?"
"Tolong apa... tolong apa! Apa kau tidak lihat tubuhku terluka"! Sompret!"
Mahesa Kelud dengan menahan rasa dong-
kolnya berlutut. Dari mulut orang tua itu terbau olehnya bau busuk mayat. Mahesa
menutup jalan pernapasan lewat hidung. Hal ini diketahui oleh Lor Munding Saksana dan dia
tertawa. "Di dalam kantong pakaianku sebelah kiri ada sekotak bubuk obat. Ambil
dan kunyah lalu semburkan ke
luka di pipiku! Ayo sompret!"
"Orang tua gila," rutuk Mahesa Kelud dalam hati. "Sudah hendak ditolong masih
saja memaki!" "Nah... nah... kau merutuk dalam hati ya, sompret!"
Mahesa Kelud menyembunyikan rasa ter-
kejutnya ketika mendengar kata-kata orang tua
itu. Dari dalam kantong sebelah kiri ditemuinya sebuah kotak. Di dalam kotak ini
ada satu benda berbentuk akar pohon kecil, diselimuti oleh sejenis bubuk
berwarna hitam. Mahesa menuangkan
sedikit bubuk itu ke dalam telapak tangan kirinya lalu mengunyah. Dia hampir-
hampir saja hendak membuang bubuk tersebut keluar kembali karena
pahitnya bukan main! "Ayo semburkan ke pipiku!" perintah Lor Munding Saksana tanpa menambahkan ucapan
"sompret". Seperti yang dikatakan maka Mahesa Ke-
lud menyemburkan bubuk hitam di dalam mu-
lutnya ke pipi terluka dari Lor Munding Saksana.
Luka-luka bekas cakaran tertutup oleh ludah
campur bubuk dan kelihatan mengepulkan asap
hitam. Si orang tua mengerenytkan kulit mu-
kanya yang sudah keriputan itu menahan sakit,
matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit,
membaca mantera. Diludahinya tangan kirinya ti-
ga kali berturut-turut lalu diusapkannya ke pi-
pinya yang terluka. Sungguh aneh! Luka bekas
cakaran tadi lenyap tiada berbekas. Pipinya utuh seperti semula hanya agak
kehitaman oleh bubuk hitam yang masih melekat!
Lor Munding Saksana buka kedua ma-
tanya. Untuk pertama kalinya dia tertawa kepada Mahesa Kelud. Namun sesaat
kemudian mulutnya kembali melontarkan makian. "Eh sompret!
Mengapa diam saja" Persendian tangan kananku
masih lepas! Ayo tolong sambung kembali cepat!"
Sesudah memasukkan kotak obat ke dalam
saku kiri Lor Munding Saksana maka Mahesa Ke-
lud kemudian meneliti keadaan tangan orang tua
itu. Kulit tangan mulai dari pangkal bahu sampai ke lengan bengkak biru serta
panas, kaku tak dapat digerakkan. Terlebih dahulu Mahesa Kelud
mengalirkan tenaga dalamnya yang beraliran din-
gin ke dalam tubuh orang tua itu lewat telapak
tangannya sampai hawa panas yang menjalari se-
kujur tubuh terutama lengan kanan itu menjadi
punah. "Ehhh, kenapa jadi sejuk rasanya" Kenapa sompret"!"
"Diam sajalah!" tukas Mahesa kesal. Dipi-jitnya bahu kanan Lor Munding Saksana.
Orang tua itu merintih. Dengan cepat Mahesa kemudian
memutar lengan si orang tua dan mendorongnya
dengan keras tapi hati-hati. Persendian bahu ber-sambung kembali ke tempatnya.
Lor Munding Saksana menggerak-gerakkan tangan kanannya,
makin lama makin cepat dan tak terasa sakit sa-
ma sekali. Dia tertawa. "Bagus! Tidak percuma kau jadi muridnya
Suara Tanpa Rupa. Sompret! Namamu siapa"!"
"Mahesa Kelud."
"Hemmm...." Lor Munding Saksana berdiri.
"Di mana gurumu sekarang?"
Mahesa berdiri pula dan menjawab bahwa
dia tak tahu di mana gurunya berada.
"Goblok! Masa guru sendiri tak tahu berada di mana!"
"Kau belum terangkan namamu, orang
tua," ujar Mahesa. "Buat apa namaku" Apa kau mau pungut
aku jadi mantumu?" "Orang tua, meski otakmu miring tapi ku-
rasa kau bisa bicara benar seperti orang sehat!"
"Siapa bilang aku sakit"! Sompret!"
Mahesa hampir-hampir habis kesabaran-
nya. Sebaliknya Lor Munding Saksana tertawa
terpingkal, membuat laki-laki muda itu jadi tambah dongkol!
"Mahesa Belut dengar..." kata Lor Munding Saksana pula. Mahesa diamkan saja
namanya disebut salah. "Aku Lor Munding Saksana, guru Empu Sora, kakek guru anak-anak
Perguruan Ujung Kulon! Nah puas kau sekarang"!"
"Belum." "Sompret! Aku juga sebenarnya tidak se-
nang dengan kau! Kenapa kau selamatkan pe-
rempuan tadi" Dia gendakmu ya"!"
Merah muka Mahesa Kelud mendengar
ucapan itu. Dia memperingatkan. "Orang tua, ku-harap kau tahu diri sedikit! Jaga
mulutmu!" "Eh, yang muda mau kasih nasihat pada
yang tua" Gila!"
"Kau yang gila!" bentak Mahesa karena sudah hilang kesabarannya.
"Sompret, berani memaki!" Lor Munding Saksana angkat tangan kanannya untuk
menam-par muka Mahesa Kelud. Tapi setengah jalan laki-laki itu sudah menangkis.
Dua lengan saling be- radu keras! Lor Munding Saksana mengeluh ke-
sakitan karena tulang bahunya terlepas kembali!
"Uh... orang muda... aduh."
"Sompret kau. Tolong... tolong... persendian bahuku lepas lagi!"
"Biar rasa!" semprot Mahesa.
"Aduh... eh sompret tolonglah.... Kalau kau
tidak mau tolong percuma jadi murid Suara Tan-
pa Rupa. Percuma jadi orang sakti dan pandai ta-pi tak punya jiwa welas asih!"
Mahesa menarik lengan kanan orang tua
itu. "Kau mau kurenggutkan tulang lenganmu ini hah"!" "Auw... sakit sompret!
Orang minta tolong malah dipersakit!" Lor Munding Saksana menge-renyit-
ngerenyit. Keringat berlelehan di keningnya. Mahesa memutar persendian bahu
orang tua itu dan mengembalikan letaknya ke tempat-
nya. Lor Munding Saksana merasa lega begitu
mengetahui bahwa untuk kedua kalinya Mahesa
Kelud berhasil menolongnya. Mahesa sendiri tidak menunggu lebih lama. Dia putar
tubuh untuk berlalu. "Eiit tunggu dulu Mahesa Kelud! Tung-
gu...!" "Apalagi"!"
"Aku belum bilang terima kasih padamu."
"Tak perlu," jawab Mahesa sambil terus melangkah.
"Tak perlu" Baiklah...! Tapi sebentar!
Tunggu sebentar! Bagaimana aku harus balas ja-
samu"!" "Aku tak membutuhkan balasan!"
"Itu bagus! Tapi hem... mungkin... mungkin kau hendak mengajukan pertanyaan...
mungkin juga kau mohon beberapa keterangan" Kau tahu
orang muda... dalam dunia ini banyak seribu satu
hal aneh. Karenanya juga banyak seribu satu pertanyaan yang sukar dijawab
sehingga manusia pun butuh seribu satu macam keterangan. Bu-
kankah begitu..."!"
Mahesa Kelud menjadi bimbang dan akhir-
nya laki-laki ini menghentikan langkahnya. Dia
berpaling kembali sedang Lor Munding Saksana
tertawa kepadanya. "Apa yang kau ingin tanyakan orang mu-
da?" "Pernah dengar tentang sebuah pedang sakti bernama Samber Nyawa?" bertanya
Mahesa Kelud. Lor Munding Saksana termenung sejurus.
Mulutnya komat-kamit dan tangan kirinya meng-
garuk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang
putih semakin awut-awutan. "Eh, kau tanya apa tadi sompret"!"
Mahesa Kelud menahan kekesalannya se-
dapat mungkin. "Pedang Samber Nyawa! Pernah dengar...?"
"Oh tentu!" "Aku mendapat beberapa keterangan yang
menyatakan bahwa senjata tersebut berada di sa-
tu pulau yakni Pulau Mayat. Apa keterangan itu
betul" Kalau betul di mana letak pulau tersebut?"
Lor Munding Saksana nampak berpikir-
pikir lagi. Kemudian berikan jawaban. "Keterangan yang kau dapat itu memang
betul. Tapi ada apa kau tanya tentang pedang itu, sompret"!"
"Guruku menyuruh untuk mencarinya,"
menerangkan Mahesa. "Suara Tanpa Rupa?"
"Bukan. Embah Jagatnata, guruku yang
pertama. Kau juga kenal dengan beliau...?"
Lor Munding Saksana gelengkan kepala.
"Selama puluhan tahun hidup mengembara di de-lapan penjuru angin dan selama
puluhan tahun diam di bukit Mayat tak pernah kudengar nama
tokoh persilatan itu! Gurumu yang satu ini, di
mana tempat tinggalnya"!"
"Puncak Gunung Kelud...."
"Ah... kau pasti berdusta terhadapku
sompret! Kau berdusta ya"! Tak ada satu tokoh
silat pun pernah diam di puncak gunung itu! Sialan kau!"
"Aku tidak bicara dusta. Percaya atau tidak itu bukan urusanku...."
"Baik... baik... baik! Kau bilang gurumu suruh mencari pedang Samber Nyawa itu.
Betul?" Mahesa Kelud mengangguk. "Kalau begitu dia sudah gila!"
Mahesa maju ke hadapan si orang tua den-
gan kedua tangan terkepal. "Tak seorang pun ku-biarkan berani menghina guru di
hadapan mata kepalaku!" Dua jotosan yang keras mendarat berturut-turut di tubuh Lor Munding
Saksana tanpa dapat terelakkan karena demikian cepatnya.
Orang tua itu mencelat mental dan terguling di
tanah sampai beberapa tombak jauhnya. Dia ber-
diri huyung sambil mengusap dadanya yang tera-
sa menyesak. Napasnya menyengal.
"Sompret! Dari mana kau dapat belajar Il-
mu pukulan batu karang itu hah"!" bentak Lor Munding Saksana. "Sialan kau!"
Di samping kagum melihat kehebatan la-
wannya yang sanggup menahan dua pukulan ba-
tu karang sekaligus, Mahesa Kelud juga terkejut bahwa orang tua itu mengetahui
pukulan apa yang tadi dilancarkannya! Tiba-tiba dilihatnya Lor Munding Saksana memutar-mutar
kedua lengan-nya di udara sedang mulutnya meniup-niup ke
depan. Angin deras berhembus menghamparkan
bau busuk yang tiada terkirakan! Mahesa mak-
lum bahwa orang tua itu tengah menyerangnya
dengan ilmu aneh tapi berbahaya. Cepat-cepat dia menutup jalan pernapasan.
Ketika tubuhnya tergetar hebat oleh tiupan angin busuk itu, Mahesa rangkapkan
kedua kaki, membungkuk sedikit
dan memukul ke depan! Seberkas sinar putih
menyilaukan mata menyambar. Lor Munding
Saksana terkejut bukan main! Serangan angin
busuknya musnah dan dia sendiri pasti akan da-
pat celaka besar bila seandainya tidak cepat-cepat dapat hindarkan diri dari
pukulan. "Api-Salju"
yang dilancarkan oleh Mahesa Kelud.
Meski diam-diam dia keluarkan keringat
dingin namun Lor Munding Saksana coba tertawa
bergelak. "Sompret, ilmu pukulan apa itu hah"


Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau benar-benar hebat Mahesa! Aku yakin kau
pasti punya banyak guru...."
"Dan bila kau menghina salah seorang dari
mereka berarti kau menghina semua guruku!" tu-
kas Mahesa Kelud pula masih geram.
"Dengar orang muda... dengar sompret!
Aku pasti punya alasan mengapa kukatakan gu-
rumu itu gila, maksudku gurumu yang pertama!
Kau bilang namanya Embah Jagatnata sedang
aku yang sudah tua tak pernah dengar nama itu
berarti gurumu tidak terkenal dalam dunia persilatan dan kalau dia tidak
terkenal maka berarti ilmunya rendah! Dengan bekal ilmu rendah kau
disuruhnya mencari pedang Samber Nyawa!
Sungguh satu kesia-siaan belaka! Seorang yang
punya nyawa rangkap pun belum tentu akan da-
pat berhasil mendapatkan senjata sakti tersebut!
Kau tahu orang muda, di Pulau Mayat di ujung
timur Pulau Jawa, sudah puluhan manusia dan
tokoh-tokoh silat ternama datang ke sana untuk
mencarinya, jangankan untuk dapat memiliki
senjata tersebut, sebelum mereka sempat meli-
hatnya pun mereka sudah meregang nyawa! Lem-
bah Maut dan Pulau Mayat dikuasai oleh sekum-
pulan perempuan-perempuan setan berhati iblis
yang akan membunuh siapa saja yang mengin-
jakkan kakinya di sana! Perempuan-perempuan
setan itu dikepalai oleh seorang gadis bernama
Dewi Maut, sakti luar biasa! Tapi aku tidak memuji... aku tidak memuji kau
sompret! Dengan pedang merah yang kau miliki dan sedikit ilmu
yang kau pamerkan tadi ada kemungkinan kau
bisa mendapatkan pedang sakti tersebut! Sekali
senjata itu berada di tanganmu maka kau akan
menjadi Raja Pedang Dunia Persilatan! Kau den-
gar itu"! Raja Pedang sompret!"
Mendapat keterangan itu Mahesa kini tidak
lagi menjadi kesal meskipun dia terus-terusan di-panggil dengan "sompret".
Karang Sewu pernah menyuruhnya untuk pergi ke Lembah Maut guna
membunuh Dewi Maut yang jahat dan luar biasa
itu. Tak tahunya sang Dewi adalah sekaligus pe-
milik pedang Samber Nyawa. Dua tugas berada di
satu tempat tujuan! "Hai sompret! Mengapa kau jadi bengong
melompong" Ada pertanyaan lagi"!" terdengar suara Lor Munding Saksana.
"Guruku yang pertama juga menugaskan
aku untuk mencari seorang manusia bernama
Simo Gembong. Kenal nama itu?"
"Simo Gembong"! Cilaka! Cilaka, kau bisa
cilaka sompret!" kata Lor Munding Saksana seraya pukul keningnya sendiri.
"Cilaka bagaimana"!"
"Simo Gembong seorang manusia bermuka
buruk seram seperti iblis dan hatinya sejahat hati nenek moyang iblis! Pembunuh
tanpa hati kemanusiaan sedikit pun! Tukang rusak rumah tangga
orang lain, doyan perempuan! Tapi ilmu kesak-
tiannya tinggi sekali dan setahuku sejak akhir-
akhir ini dia tak pernah kelihatan muncul dalam kalangan persilatan...! Ada apa
kau tanyakan tentang tokoh sakti itu"!"
"Guruku menugaskan untuk membunuh-
nya!" menerangkan Mahesa Kelud.
"Seribu kali lebih celaka kalau begitu
sompret! Kalau Simo Gembong masih hidup dan
kau berhasil menemuinya, sebelum kau turun
tangan nyawamu pasti sudah dilemparkan ke ne-
raka! Sepuluh manusia macam kau akan dilalap-
nya mentah-mentah!" "Menurut Embah Jagatnata..." kata Mahe-sa Kelud pula, "Aku harus mendapatkan
pedang sakti Samber Nyawa itu lebih dahulu baru pergi
mencari Simo Gembong karena hanya satu-satu
itulah senjata sakti yang dapat menamatkan ri-
wayat Simo Gembong!"
"Hem... itu mungkin, tapi aku masih sangsi Mahesa...."
Kedua orang itu diam sejurus. Mahesa Ke-
lud membuka pembicaraan kembali. Tadi kau bi-
lang bahwa Simo Gembong seorang manusia
bermuka buruk seram seperti iblis. Apakah kau
sudah pernah berhadapan muka dengan dia"!"
"Pernah, tapi cuma secara singkat," jawab Lor Munding Saksana sambil menggaruk
rambutnya untuk kesekian kalinya.
"Bisa kau terangkan ciri-cirinya...?" tanya Mahesa Kelud.
"Rambutnya gondrong awut-awutan seperti
rambutku! Umurnya sudah sangat tua, lebih tua
dariku dan mukanya penuh keriputan. Dia me-
melihara janggut sampai ke dada panjangnya.
Memiliki hidung yang besar tapi pesek hampir
sama rata dengan kulit pipinya yang keriput! Telinga kanan sumpung akibat
ditebas oleh salah seorang perempuan yang pernah dipermainkan-
nya semasa muda dan mata kiri picak buta. Tu-
buhnya sedikit bungkuk... mungkin sekarang su-
dah bungkuk melipat! Itulah Simo Gembong yang
pernah kulihat sekitar sepuluh tahun lalu. Sekarang bagaimana tampangnya aku tak
bisa tahu pasti jauh lebih buruk seperti biang iblis!"
Mahesa Kelud mengingat-ingat baik-baik
setiap ciri-ciri tentang Simo Gembong yang diberikan oleh Lor Munding Saksana.
Kemudian dia mengucapkan terima kasih dan hendak berlalu.
"Eit sompret! Tunggu dulu!" seru si orang tua. "Kau mau pergi enak-enakan begitu
saja" Aku juga hendak bertanya dengan kau sompret!"
"Bertanya apa?"
"Apa yang membawamu ke pulau ini dan
apa hubunganmu dengan kedua suami istri gila
itu! Terutama yang perempuan! Ayo jawab dan
awas kalau kau berani dusta!"
"Aku tidak suka pada manusia-manusia
sakti yang mempergunakan ketinggian ilmunya
untuk berbuat kejahatan di atas muka bumi."
"Itu alasan yang bisa diterima," ujar Lor Munding Saksana. "Tapi kau pasti punya
alasan lain, ayo terangkan!"
"Tak ada alasan-alasan lain, aku datang
hanya untuk membasmi angkara murka yang me-
rajalela tanpa kemanusiaan!"
"Dusta! Kau pasti ada hubungan apa-apa
dengan perempuan muda tadi! Hubungan yang
menghasilkan anak ya"!"
Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat me-
rah. "Nah, tampangmu jadi merah! Kata-kataku pasti kena batunya!" Orang tua itu
tertawa bergelak. Mahesa dengan kesal putar tubuh lalu lari
meninggalkan tempat itu. "Hai sompret, tunggu dulu! Mari kita pergi sama-sama!"
seru Lor Munding Saksana. Tapi Mahesa sudah lenyap dari pe-
mandangan. 7 MATAHARI hampir tenggelam. Di hada-
pannya membentang laut luas. Jauh di seberang
sana kelihatan pulau-pulau kecil bertebaran. Dan di mana-mana tampak pula
perahu-perahu nelayan. Sinar matahari yang hendak tenggelam
membuat air laut yang biru menjadi seperti me-
rah kuning keemasan. Seorang nelayan tua berja-
lan di belakangnya. Mahesa Kelud memutar ba-
dan dan melangkah mendapatkan nelayan terse-
but. Mengetahui ada seseorang yang mendatan-
ginya nelayan tua berpaling dan hentikan lang-
kah. "Ya, orang muda ada apa?"
Mahesa mengangguk hormat. "Mungkin
Bapak bisa memberikan keterangan yang mana di
antara sekian banyaknya pulau-pulau di ujung
sana itu yang bernama Pulau Mayat."
Paras nelayan tua jelas kelihatan berubah.
Dia memandang ke kiri dan ke kanan seakan-
akan khawatir kalau-kalau ada seseorang lain berada di sekitar sana mendengarkan
percakapan mereka. Tapi tak ada siapa-siapa. "Orang muda,"
kata nelayan itu pula dengan suara perlahan se-
kali dan gemetar, "Aku tak bisa berikan keterangan apa-apa padamu. Cari orang
lain saja..." Lalu cepat-cepat orang tua itu hendak berlalu namun
bahunya dipegang oleh Mahesa Kelud.
"Kau seperti seorang yang ketakutan saja
orang tua, aku hanya sekedar bertanya. Tak ada
yang harus ditakutkan...."
"Kau orang asing di sini. Kau tidak tahu
apa-apa...." Nelayan itu menurunkan tangannya Mahesa lalu melangkah lagi. Mahesa
mengiku-tinya. "Justru karena aku orang asing dan tidak tahulah maka aku
bertanya," kata Mahesa pula.
"Aku yakin kau yang sudah tua tahu pasti di ma-na letak pulau tersebut!"
Orang tua itu melangkah terus bahkan
mempercepat langkahnya. "Jika kau bicara pada siapa saja tentang letak pulau
itu, aku akan mati! Setiap orang yang bicara tentang pulau itu akan mati, termasuk kau!"
"Hem...." Mahesa menggumam dan usap
dagunya tapi juga tetap terus melangkah mengi-
kuti si orang tua. "Kenapa demikian?"
"Aku tak mau bicara denganmu di sini
orang muda...." "Kalau begitu di mana kita bisa bicara?"
bertanya Mahesa Kelud. Nelayan itu menghentikan langkahnya. Di-
telitinya Mahesa Kelud dari kepala sampai ke ka-ki. Dia menggoyangkan kepalanya.
"Ikut aku ke pondokku," katanya dengan suara perlahan.
Mahesa Kelud melangkah mengikuti orang
tua itu. Pondok nelayan ini terletak tak berapa jauh dari pantai. Seorang gadis
berkulit hitam manis membukakan pintu. Dekat pintu dapur
berdiri perempuan separuh baya, istri nelayan tua tadi sedang gadis yang membuka
pintu adalah anak tunggainya. "Silahkan duduk," kata nelayan itu pula.
Kemudian dia menerangkan namanya pada Ma-
hesa dan Mahesa memberitahukan pula namanya
pada nelayan itu. Di luar senja sudah mendatang dan malam menggantikan siang.
"Pak Rono, tadi kau bilang bahwa siapa-
siapa yang bicara tentang Pulau Mayat akan me-
nemui kematian. Mengapa begitu?"
"Anak muda, ketahuilah bahwa di pulau
tersebut terdapat sebuah lembah bernama Lem-
bah Maut. Di sini diam seorang gadis jelita tapi jahat luar biasa bernama Dewi
Maut. Dia menge-palai kira-kira selusin dara-dara jelita yang rata-rata
berkepandaian tinggi dan sama jahatnya
dengan Dewi Maut itu sendiri! Tiada seorang pun yang berani menginjakkan kaki di
pulau tersebut. Karena datang ke sana berarti maut! Dewi Maut
pun mempunyai banyak sekali mata-mata se-
hingga siapa saja yang mencari jalan untuk da-
tang ke pulaunya atau mencari keterangan apa
saja tentang dia pasti ketahuan dan orang itu
pasti akan menemui ajalnya! Pernah beberapa ne-
layan tak berdosa terhampar di sana waktu om-
bak besar. Nelayan-nelayan itu pun meski mereka datang ke sana secara tidak
sengaja dibunuh tanpa peri kemanusiaan sama sekali! Beberapa
orang tokoh persilatan berusaha menumpas kom-
plotan terkutuk Dewi Maut itu namun sukar bagi
mereka untuk menentukan di mana sebenarnya
letak pulau tersebut karena tak seorang pun bisa memberi keterangan. Kalau pun
ada tokoh-tokoh silat yang sampai ke sana maka pastilah cuma
untuk mengantarkan nyawa karena Dewi Maut
sakti luar biasa...."
"Jadi Pak Rono sendiri sebenarnya juga ti-
dak tahu tepat letak pulau tersebut?"
"Letak tepatnya memang tidak. Namun se-
seorang akan bisa mengetahuinya dari tanda-
tanda," jawab nelayan tua itu.
"Apakah tanda-tanda tersebut kiranya?"
tanya Mahesa Kelud. "Pulau itu bernama Pulau Mayat, berarti
banyak mayat berhamparan di sana. Di mana
terdapat mayat akan terdapat pula burung-
burung pemakan mayat beterbangan. Kau mak-
lum maksudku, orang muda?"
Mahesa mengangguk. "Maksud Bapak pas-
tilah bahwa di atas pulau tersebut terlihat lebih banyak burung-burung dari pada
pulau-pulau lainnya." "Benar." "Bapak memiliki perahu bukan?"
"Ya. Tapi kalau untuk mengantarkanmu
mencari pulau itu, sebaiknya kau cari orang lain,"
sahut pak Rono yang sudah dapat meraba pikiran
Mahesa Kelud. "Bagaimana kalau perahu Bapak saya se-
wa?" Pak Rono gelengkan kepala. "Harap maaf-kan Mahesa, aku bukan tak mau
menolongmu. Sebagai kukatakan tadi Dewi Maut mempunyai
banyak mata-mata. Sekali dia kenali perahuku,
tamatlah riwayatku dan...."
Tiba-tiba pintu muka pondok terpentang
lebar oleh satu tendangan. Sekelebatan kelihatan bayangan sesosok manusia
melemparkan sebuah pisau terbang ke arah nelayan tua itu. Mahesa
Kelud bertindak cepat. Tangan kirinya dilambai-
kan. Begitu pisau mental dan menancap di dind-
ing maka dia segera menghambur keluar menge-
jar si pembunuh gelap. Mahesa berkeyakinan
manusia itu pastilah salah seorang dari kaki-kaki tangan atau mata-mata Dewi
Maut! Di luar malam yang gelap dan berangin deras menyambut
Mahesa. Matanya yang tajam masih sempat meli-
hat ke mana larinya sosok tubuh tadi. Mahesa segera mengejar. Dia berhasil
menyusul si pembo-

Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kong. Tahu bahwa dirinya tak bisa lari lebih jauh maka manusia berpakaian serba
hitam segera cabut pedang dan lemparkan sebilah pisau terbang
ke arah Mahesa. Pisau dibikin mental dengan
lambaian tangan. Serangan pedang dielakkan.
Mahesa ingin menangkap manusia itu hidup-
hidup. Dengan cepat dirampasnya pedang di tan-
gan lawan. Sang lawan yang mengetahui keheba-
tan luar biasa dari musuhnya tanpa banyak cerita segera cabut belati besar dari
balik pinggang dan menggorok lehernya sendiri! Darah menyembur.
Tubuhnya rebah ke pasir tanpa nyawa.
Dari arah pondok terdengar suara pekik
merobek udara malam. Mahesa Kelud terkejut.
Suara pekikan tadi disusul dengan dua suara pe-
kikan lainnya. Ketika Mahesa sampai ke dalam
pondok didapatinya istri dan anak pak Rono ten-
gah memeluki tubuh nelayan itu yang menggele-
tak di lantai pondok dalam keadaan tak bernyawa lagi. Pada tenggorokannya
menancap sebuah pisau yang sama bentuknya dengan pisau yang di-
lemparkan oleh manusia berpakaian serba hitam.
Kedua anak beranak itu menangis sejadi-jadinya
menyayat hati mengharukan. Mahesa keluar dari
pondok dengan cepat untuk mencari si pembu-
nuh namun hanya kepekatan malam yang dite-
muinya. Mahesa masuk lagi ke dalam pondok. Kali
yang kedua ini ketika matanya memandang ke
atas maka dilihatnyalah atap rumbia pohon bo-
bol. Pasti si pembunuh bersembunyi di atas atap.
Pada waktu Mahesa keluar mengejar kawannya
yang satu ini lalu turun dan membunuh pak Ro-
no untuk kemudian melompat lagi ke atas atap
dan melarikan diri! Mahesa Kelud hanya bisa ke-
palkan tinju menahan kegeramannya. Dia merasa
bahwa karena dialah sampai nelayan tua tiada
berdosa itu menemui kematiannya dengan cara
mengerikan seperti itu! 8
PULAU Mayat.... Di sekeliling pulau tum-
buh pohon-pohon kelapa. Melihat rapatnya po-
hon-pohon tersebut satu sama lain jelaslah bah-
wa pohon-pohon kelapa tersebut sengaja ditanam
demikian rupa membentuk pagar tinggi yang ko-
koh. Di sebelah dalam tumbuh lagi berbagai po-
hon serta semak belukar rapat. Lalu menyusul
pedataran yang penuh dengan batu-batu karang
lancip tinggi diselingi oleh batu hitam besar-
besar. Selewatnya daerah berbatu-batu ini tanah pulau menurun ceguk seperti
pasir turun di bagian bawah yang menjadi pusat bersembunyinya
undur-undur. Inilah yang dinamakan Lembah
Maut. Bila dilihat begitu saja maka pulau itu
sunyi senyap seperti tiada berpenghuni, namun
bila seseorang menginjakkan kaki di sana maka
sesungguhnya dari tempat-tempat yang tersem-
bunyi mengintai belasan pasang mata tajam yang
memancarkan sorotan maut!
Pulau itu mempunyai udara berbau busuk
karena mulai dari balik pagar pohon-pohon kela-
pa yang menjulang sampai ke dasar pusat lembah
bertebaran mayat-mayat manusia. Ada yang mati
menggeletak memalang di atas pohon-pohon
kayu, ada yang mendekam di dalam semak-
semak, ada yang terpancang di pohon kelapa, ba-
nyak pula yang terbantai di atas batu-batu ka-
rang atau batu-batu hitam. Yang bertebaran di
tanah tak terhitungkan lagi. Sebagian besar dari mayat-mayat itu hanya merupakan
jerangkong-jerangkong tulang belulang saja. Mayat-mayat barulah yang menimbulkan
bau busuk. Langit di atas pulau senantiasa penuh oleh burung-burung
pemakan mayat. Bau busuknya mayat-mayat ter-
sebut menarik binatang-binatang itu untuk da-
tang ke pulau. Di bawah sorotan matahari pagi Mahesa
Kelud mengayuh perahunya. Meskipun ilmu
mengentengi tubuhnya belum mencapai tingkat
kesempurnaan paling tinggi namun sebenarnya
laki-laki ini sudah sanggup mempergunakan ilmu
lari di atas air. Tapi hal itu tak dilakukannya karena sudah barang tentu akan
menarik perhatian orang banyak, terutama para kaki tangan dan
mata-mata Dewi Maut. Bahkan dengan adanya
peristiwa malam tadi Mahesa sudah menduga
bahwa Dewi Maut telah mengetahui tentang di-
rinya. Karena itulah Mahesa sengaja menyamar
seperti seorang nelayan. Dalam perahunya dia membawa serta jala
dan pancingnya. Tak lupa dimuatinya perahu itu
dengan ikan-ikan basah. Pakaiannya ditambal di
sana sini dan kepalanya ditutup dengan sebuah
topi daun pandan. Di bawah topi, sepasang ma-
tanya senantiasa tertuju tajam pada salah satu
dari sekian banyaknya pulau-pulau yang berada
di lautan luas di ujung Pulau Jawa sebelah timur itu. Sudah sejak tadi
dilihatnya di atas pulau yang satu ini banyak beterbangan burung-burung
laut. Sebentar-sebentar binatang-binatang itu
menukik ke bawah lalu terbang lagi berputar-
putar di udara untuk kemudian menukik lagi,
demikian tiada kunjung hentinya. Makin lama
makin dekat juga Mahesa Kelud ke pulau terse-
but. Pada jarak yang telah ditentukannya, dengan satu pukulan tangan kiri Mahesa
Kelud menghantam tiang layar perahu kecilnya.
Tiang patah dan layar rebah, perahu terba-
lik. Mahesa melompat dengan cekatan. Dipegang-
nya tepi perahu dan perlahan-lahan laki-laki ini berenang mendorong perahu
tersebut mendekati Pulau Mayat. 9 DI BAWAH pusaran Lembah Maut di Pulau
Mayat terdapat banyak sekali lorong-lorong gang yang berpenerangan lampu minyak
berbentuk aneh. Seorang dari luar yang masuk ke dalam
gang-gang tersebut pastilah akan tersesat dan tak dapat keluar lagi sampai
akhirnya menemui ajal karena kelaparan! Pada setiap gang terdapat pin-tu-pintu rahasia. Salah satu
dari pintu rahasia di ujung gang kesembilan belas terbuka dan seorang dara jelita berpakaian berbentuk
jubah berwarna biru keluar. Pada pinggangnya yang ramping terikat sebuah ikat
pinggang kulit, tergantung sebilah pedang hitam. Gadis ini menunggu sebentar.
Begitu pintu di belakangnya menutup kembali
maka baru dia melangkahkan kaki. Gang itu dis-
usurinya ke arah ujung kanan. Di sini dia mem-
belok memasuki gang seratus empat belas sampai
akhirnya dia berdiri di hadapan sebuah pintu.
Mulutnya komat-kamit. Kemudian diketuknya
pintu batu tersebut dua kali, lalu tiga kali kemudian dua kali lagi. Pintu batu
membuka secara aneh. Dia masuk dan pintu menutup kembali.
Gadis itu sampai ke sebuah taman yang
indah sekali. Kalau dipikir memang tak masuk
akal bahwa sebuah pulau, di bawah lembah ter-
dapat sebuah taman sedemikian bagusnya. Tapi
ini barulah salah satu dari sekian banyaknya
keanehan yang terdapat di Pulau Mayat.
Di tengah taman terdapat sebuah lantai
ubin merah berkilat. Gadis baju biru tadi melangkah dengan dada dibusungkan dan
kepala senan- tiasa menghadap ke depan. Di hadapannya terda-
pat sebuah bangunan mungil berbentuk istana
yang keseluruhannya dicat putih bersih. Gadis ini menaiki tangga bangunan
tersebut dan berhenti di muka pintu besi yang tertutup. Di sudut bawah pintu terdapat sebuah alat
rahasia berbentuk tombol yang kalau dilihat sepintas lalu hanya merupakan sebuah paku biasa saja.
Gadis ini memandang berkeliling lebih da-
hulu kemudian angsurkan kaki kanannya ke mu-
ka. Ibu jari kakinya menekan tombol tersebut. Si gadis menunggu dengan perasaan
tegang. Khawatir kalau-kalau pintu di hadapannya tak akan
terbuka. Sesaat menunggu maka pintu besi itu pun
terbukalah. Gadis baju biru cepat-cepat masuk
karena hanya sedetik sesudah dia masuk pintu
besi menutup kembali! Ruang di belakang pintu
besi terang benderang. Gadis ini melangkah di se-panjang jalur permadani yang
menuju ke arah la- pisan-lapisan lima tirai berwarna. Tirai pertama berwarna hitam pekat
disingkapkannya. Di belakang tirai ini berdiri seorang gadis jelita berpakaian
yang sama dengan gadis pertama tadi. Ke-
duanya saling mengangguk. Gadis pertama me-
langkah terus dan mencapai tirai terakhir ber-
warna hijau. Seseorang tak akan dapat melewati
tirai-tirai tersebut tanpa diketahui para gadis pengawal. Selain tirai tersebut
tebal dan berat sekali sehingga membutuhkan tenaga untuk menyi-
bakkannya maka pada bagian-bagian bawah tirai
terdapat semacam giring-giring yang akan ber-
bunyi bilamana tirai bergerak sedikit saja!
Ketika tirai kelima dibuka maka di atas se-
buah pembaringan yang indah sekali kelihatanlah seorang gadis berpakaian serba
hijau. Salah satu kakinya terjuntai ke lantai yang beralaskan permadani sehingga
pahanya yang putih bagus ter-
singkap jelas! Gadis baju hijau ini cantiknya bu-
kan main! Di kiri kanannya dua orang gadis baju biru berdiri mengipasinya!
Inilah dia Dewi Maut penguasa Lembah Maut dan Pulau Mayat.
Dewi Maut memandang ke muka ketika ti-
rai di hadapannya terbuka. Gadis baju biru yang masuk segera berlutut lalu
berdiri kembali. "Ada kabar apa Empat Biru?" tanya Dewi Maut pada gadis itu. Terhadap para murid
atau anak buah atau pengawal-pengawalnya yang se-
mua terdiri dari gadis-gadis jelita sejumlah dua belas orang. Dewi Maut
memberikan nama panggilan sesuai dengan deretan angka-angka. Gadis
yang itu datang gadis nomor empat, karenanya
kepadanya diberi nama panggilan Empat Biru.
"Selamat sejahtera di hari ini, Dewi," kata Empat Biru. "Menyesal kalau di hari
sembilan di bulan sepuluh ini Empat Biru datang menghadap
membawa kabar buruk"
Sepasang alis yang indah dari Dewi Maut
menaik ke atas. "Kabar buruk apakah gerangan yang kau bawa?" tanya Dewi Maut
pula. "Coba ce-ritakan!"
"Kemarin sore menjelang senja ke kampung
nelayan di ujung pulau seberang sebelah timur
telah datang seorang laki-laki muda. Ternyata dia adalah seorang yang datang
untuk menyelidik tentang Lembah dan Pulau kita...."
"Tentang Lembah dan Pulau ini...?"
"Betul Dewi," sahut Empat Biru. Kemudian diteruskannya keterangannya. "Dua orang
mata-mata kita berhasil mempergoki orang tersebut di
satu pondok nelayan ketika nelayan itu tengah
memberi keterangan padanya. Salah seorang dari
mata-mata berhasil membunuh nelayan itu na-
mun kawannya yang tak sempat melarikan diri
terpaksa menemui ajal di tangan orang muda ter-
sebut." "Kurang ajar!" maki Dewi Maut seraya duduk di tepi pembaringan. "Apakah
kau sudah suruh selidik mata-mata kita yang lain atas diri itu orang muda"!"
"Sudah Dewi." "Siapa dia adanya?"
"Namanya Mahesa Kelud berasal dari tanah
barat. Melihat gerak-geriknya serta apa yang telah dilakukannya terhadap salah
seorang mata-mata kita pastilah dia tidak berilmu rendah! Namun
ada sedikit kesangsian, Dewi...."
"Mengenai apa?"
"Mengenai apakah betul orang asing terse-
but yang membunuh mata-mata kita atau mata-
mata kita sendiri yang bunuh diri."
"Kenapa kau bilang demikian?"
"Karena pisau belati yang menancap di leh-
er mata-mata itu adalah miliknya sendiri!"
Dewi Maut manggut-manggutkan kepa-
lanya beberapa kali. "Empat Biru kau kembali ke tempat, perintahkan kawan-
kawanmu yang lain untuk lebih waspada dari yang sudah-sudah!"
"Baik Dewi!" Empat Biru berlutut lalu berdiri kembali dan meninggalkan ruangan
itu. Mahesa Kelud memeriksa keadaan dirinya
ketika dia semakin dekat juga ke pantai pulau tu-juannya. Pedang serta keris
sakti tersembunyi dengan baik di balik bajunya. Dengan satu dorongan keras serta bantuan ombak
maka mengham- parlah dia bersama perahunya ke tepi pasir. Ma-
hesa Kelud menggeletak menelungkup tak berge-
rak-gerak. Namun sepasang telinganya menden-
garkan setiap suara dengan tajam sedang kedua
matanya yang seperti terpejam itu terbuka sedikit memperhatikan keadaan
sekitarnya. Mahesa Kelud tak menunggu lebih lama karena sejurus ke-
mudian telinganya mendengar suara desiran an-
gin dan dari batang kelapa tinggi di muka sana
melesat turun bayangan biru.
DI hadapannya kemudian dilihatnya dua
orang dara jelita berdiri. Ketika Mahesa memperhatikan pasir pantai sama sekali
tidak kelihatan bekas-bekas jejak kaki kedua dara tersebut pa-dahal dia telah
meloncat dalam jarak yang tinggi sekali! Diam-diam Mahesa mengagumi kehebatan
ilmu mengentengi tubuh dara-dara muda itu dan
dia maklum sudah bahwa mereka pastilah dua
orang anak buahnya Dewi Maut.
"Nelayan muda yang terdampar," kata salah seorang dari gadis itu. Dia adalah
anak buah yang kesembilan dan nama panggilannya Sembilan Biru.
"Tapi bukan mustahil dia adalah orang as-
ing yang diterangkan oleh mata-mata kita," sahut kawannya yaitu si Empat Biru.
"Coba periksa perahunya!" Sembilan Biru memeriksa perahu yang terdampar tak jauh
dari sana. Sesaat kemudian dia kembali. "Tiang layar perahu patah...."


Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Patah?" desis Empat Biru. "Aneh, tak ada topan atau angin besar di lautan
sekitar sini, bagaimana tiang perahu itu bisa patah"!"
"Mungkin tiangnya sudah sangat tua," ujar Sembilan Biru.
"Apalagi yang kau temui di perahu itu,
Sembilan Biru?" "Alat penangkap ikan, beberapa ekor ikan
dan kain-kain buruk."
Empat Biru memandang pada Mahesa Ke-
lud yang menggeletak tak bergerak-gerak. "Dilihat kepada pakaiannya aku percaya
bahwa dia seorang nelayan muda yang miskin. Tapi dilihat ke-
pada tampang serta kulitnya, aku tetap masih
bercuriga. Coba kau perhatikan Sembilan Biru.
Tampangnya bagus dan kulit tubuhnya kuning
langsat halus seperti perempuan! Mana ada kulit nelayan yang senantiasa
berkenalan dengan matahari begini macam!"
"Apa yang harus kita lakukan kalau begi-
tu"!" "Apa yang harus kita lakukan katamu"!"
ujar Empat Biru. Tangannya bergerak mencabut
pedang hitam yang tergantung di pinggangnya.
Mahesa Kelud dapat mendengar suara ge-
sekan pedang yang dicabut dari sarungnya. Sepa-
sang matanya lebih dibukakan. Dia bersiap sedia.
"Tunggu dulu Empat Biru," kata Sembilan Biru. "Dewi tidak memberi perintah cabut
nyawa atas manusia ini! Aku khawatir kalau kita kesala-han tangan!"
Empat Biru tersenyum. "Bukan Dewi yang
kau khawatirkan tapi paras orang muda yang ga-
gah ini bukan" Hem.... Dia memang cakap!"
Sembilan Biru jadi kemerah-merahan pa-
rasnya. Dia memandang ke deretan pohon-pohon
kelapa rapat dan berkata: "Sebaiknya kita tanyakan dulu pada Dewi."
"Tanyakanlah. Aku yakin Dewi akan me-
nyuruh kita memancung kepala manusia ini!"
ujar Empat Biru. Sembilan Biru berteriak. Suara teriakannya
yang disertai tenaga dalam tinggi menggelombang ke arah Lembah dan masuk ke
tempat pembaringan Dewi Maut.
"Dewi, di sini Sembilan Biru dan Empat Bi-
ru. Kami menemui seorang nelayan muda ter-
dampar di pasir. Mohon petunjuk apa yang kami
harus lakukan! Dia masih bernapas!"
Dari arah Lembah terdengar suara jawaban
Dewi Maut. Jawabannya adalah sekalimat ber-
tanya. "Apakah ada hal-hal yang tidak pada tempatnya yang kalian lihat dengan
diri manusia itu"!" "Ada," jawab Sembilan Biru dan Empat Bi-ru hampir bersamaan.
"Kalau begitu bawa dia hidup-hidup ke
ruang pembantaian!" terdengar perintah Dewi
Maut. Sembilan Biru melirik pada kawannya. Li-
rikan kemenangan. Kedua orang itu kemudian
masing-masing memegang tangan serta kaki Ma-
hesa Kelud. Mahesa merasa tubuhnya seperti di-
bawa terbang melewati pohon-pohon kelapa tinggi lalu dibawa berlari di antara
pepohonan. Di sana sini dilihatnya mayat-mayat membusuk serta tulang belulang
manusia. Bau busuk menyesakkan
pernapasan. Kemudian di sekitarnya tampak ba-
tu-batu karang runcing tinggi serta batu-batu hitam besar. Sesudah itu tubuhnya
dibawa berlari memasuki lorong sampai akhirnya berhenti di
hadapan sebuah pintu besi.
Pintu besi terbuka aneh dengan mengelua-
rkan suara berkereketan. Orang yang mendu-
kungnya menerobos melewati pintu itu. Tak se-
lang berapa lama terlihat lagi sebuah pintu. Mahesa dibawa masuk ke dalam lalu
dilemparkan seperti melemparkan sarapan.
Murid Embah Jagatnata menyumpah da-
lam hati. Dia memandang berkeliling cepat mene-
liti keadaan. Namun belum sempat hal itu dilakukan tiba-tiba dinding di sebelah
kanan terbuka secara aneh dan saat itu pula menerobos cahaya
putih menyilaukan. Begitu cahaya putih lenyap,
di hadapan Mahesa kini membentuk satu dinding
tembus pandang, tak ubahnya terbuat dari kaca.
Di belakang dinding kaca tegak sesosok tu-
buh perempuan muda cantik jelita mengenakan
pakaian hijau sangat tipis hingga lekuk-lekuk au-
ratnya terlihat dengan jelas. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang bersarung
hitam. Walaupun rasa ngeri dan kecemasan masih
menguasai dirinya namun diam-diam dalam hati
Mahesa Kelud muncul satu harapan besar. Dia
membatin. "Tidak salah datang ke tempat ini walau
nyawaku hampir melayang beberapa kali. Tugas
pertama dari Embah Jagatnata untuk menda-
patkan pedang Samber Nyawa agaknya akan da-
pat aku selesaikan."
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: Fujidenkikagawa
Panah Kekasih 3 Rindu Capuccino Karya Syandarini Pembalasan Dari Liang Lahat 1
^