Pencarian

Telaga Api Salju 1

Mahesa Kelud - Telaga Api Salju Bagian 1


SATU EMPU SORA, tokoh silat dari Ujung Kulon berada dalam kebimbangan. Sebelum
meninggalkan Ujung Kulon dia sudah bertekad bulat untuk turun tangan, menangkap
Jayengrana alias Lutung Gila hidup-hidup dan jika tidak mungkin langsung saja
membunuhnya! "Kalau tidak kubunuh dia, apa per-tanggungan jawabku pada perguruan yang ku
pimpin. Apa pertanggung jawabanku terhadap rimba persilatan!" Hati kecil Empu
Sora berkata. Dalam kebimbangan begitu rupa salah satu kakinya siap untuk
melangkah pergi. Namun tiba-tiba di belakangnya Lutung Gila keluarkan suara tawa bekakakan di-
susul dengan ucapan mengejek merendahkannya.
"Tua bangka jelek! Icuh biung! Memang lebih baik bagimu angkat kaki dari
hadapan-ku! Sayang kalau jauh-jauh datang ke sini cuma mau mengantar nyawa.
Hik... hik... hik! Umur tinggal sejengkal, badan sudah bau tanah mengapa mau menyia-nyiakan sisa
hidup! Ciluk biung...! Hik... hik... hik!"
Empu Sora merasa kepalanya membe-
sar. Darahnya mendidih. Secepat kilat dia
berbalik. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menghantam ke atas batok kepala
Lutung Gila! Hebatnya, menghadapi serangan maut
seperti itu Lutung Gila malah tertawa berge-lak. Kaki dan kepalanya digerakkan
sedikit dan wuttt! Pukulan Empu Sora menghantam tempat kosong!
Kejut orang tua itu bukan kepalang.
Pukulan yang barusan dilancarkannya bukan sembarang pukulan, benar-benar
mematikan. Jangankan makhluk gila seperti muridnya itu, para tokoh silat ternama sekalipun
tidak mungkin mampu bergerak mengelak secepat yang dilakukan Lutung Gila!
Sempat terkesiap sejurus, Empu Sora membentak.
"Bagus! Rupanya kau sudah memiliki ilmu kepandaian yang kau anggap bisa dian-
dalkan! Rupanya kau sudah berguru kepada setan, kepada iblis! Pergunakan ilmu
iblismu itu untuk menghadapiku! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!"
Untuk kedua kalinya Empu Sora lan-
carkan serangan ganas luar biasa. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi kali
kedua inipun dia dibikin melongo karena serangan-nya hanya memukul tempat
kosong. Bahkan dirinya sendiri huyung karena menghantam udara kosong! Dengan kalap Empu Sora
ke-lebatkan diri dan lancarkan serangan tangan kosong bertubi-tubi. Lutung Gila
gerabak-gerubuk kian kemari berputar, miringkan tubuh, kadang-kadang seperti
orang bertarung, kadang-kadang seperti hendak rebah. Sepuluh jurus berlalu.
Pasir dan debu beterbangan! Semua serangan Empu Sora satupun tak mengenai
sasaran. Dielakkan dengan gerakan-gerakan aneh oleh Lutung Gila sedang saat itu
Lutung Gila masih juga terus meni-mang bayinya!
Dewa Tongkat tidak bisa heran! Kedua mata melotot besar! Siapa mau percaya!
Seorang berotak miring, sambil mendukung bayi, dengan gerakan-gerakan aneh tak
teratur macam monyet terbakar ekor lompat sana lompat sini, berhasil mengelakkan
serangan-serangan hebat dari seorang tokoh silat utama macam Empu Sora sampai
sepuluh jurus! Di lain pihak di samping kobaran amarah semakin mengelak maka Empu Sora merasa
malu bukan main tak dapat turun tangan terhadap muridnya yang dianggapnya murtad
itu, bahkan saat itu disaksikan pula oleh Dewa Tongkat! Mau diletakkan di mana
nama besar dan mukanya! Tanpa tedeng aling-aling Empu Sora
cabut pedangnya. Sinar hijau berkelebat menyilaukan! "Dosamu tidak terampun lagi
murid murtad!" bentak orang tua itu lalu menyerbu dengan ganas. Pedangnya
menyambar ke leher, membalik ke perut, menusuk ke da-da dan membacok hebat ke
kepala! Angin menderu, debu dan pasir beterbangan!
"Icuh! Icuh! Biung... orang tua gila!
Orang tua sedeng! Mengapa serang aku"!" Lutung Gila lompat sana lompat sini.
Kakinya kadang-kadang kelihatan berputar-putar, bergeser aneh! Dan dengan
gerakan-gerakan yang serba asing itu semua sambaran pedang dapat dielakannya!
Bukan kepalang marahnya Empu Sora.
Gerakannya dipercepat. Tubuhnya berkelebat. Sesaat kemudian hanya dua bayangan
sinar hijau yang kelihatan yaitu kelebatan jubah serta gulungan pedang Empu
Sora. Dua puluh jurus berlalu cepat sekali. Keringat dingin mengucur di kening
Empu Sora! Pada saat itulah terdengar suara nyaring berseru.
"Lutung Gila! Apakah kau sudah bosan hidup membiarkan saja dirimu jadi bulan-
bulanan pedang"! Letakkan Lutung Bawean di atas batu itu dan bunuh orang tua
jubah hijau! Dia orang tua iblis!"
Mendengar suara yang tak asing itu, Lutung Gila segera melompat ke luar menem-
bus gulungan pedang hijau. Bayi yang di dalam dukungannya diletakkan di atas
sebuah batu besar lalu sambil tertawa aneh menggidikkan dia melangkah mendekati
Empu Sora. Bergidik juga orang tua ini melihat cara dan suara tertawa muridnya itu. Tapi
hanya sebentar karena sesaat kemudian dia sudah menyerbu pula menyerang!
Kali ini Lutung Gila tidak tinggal diam.
Tubuhnya jingkrak-jingkrak. Kaki dan tangannya mencak-mencak seperti anak kecil
kegirangan. Dan setiap gerakan anggota tubuhnya itu mengeluarkan angin keras
dahsyat laksana topan, membuat serangan pedang hijau Empu Sora seperti tertahan
oleh selapis dinding baja yang tebal ampuh! Meng-gerenglah si orang tua melihat
bagaimana dia tak mampu maju selangkahpun untuk mengirimkan serangan. Tubuhnya
terhuyung-huyung limbung. Tiba-tiba terdengar raung Empu Sora dahsyat membelah
langit! Tubuhnya mental ke udara sampai beberapa tombak dan menyangsang di
antara dua cabang pohon dengan kepala terkulai ke bawah! Dari mulutnya
menggelegak darah kental. Tulang-tulang dada dan iganya hancur remuk. Nya-
wanya putus. Pedang hijau di tangannya terlepas dan menancap di tanah sampai ke
hu-lu! Waktu terdengar seruan perempuan ta-di, Dewa Tongkat memutar kepala dan melihat
muridnya, Kemaladewi memakai baju merah, rambut awut-awutan, muka kusut-masai
berdiri di bawah sebatang pohon randu!
Meski banyak perubahan pada diri gadis ini namun kecantikannya masih tetap
membayang! Iba juga hati Dewa Tongkat melihat keadaan muridnya. Namun sebelum
dia berbuat apa-apa ataupun bicara kepada muridnya dia terpaksa putarkan kepala
lagi ketika mendengar raung maut dari Empu Sora! De-wa Tongkat kerenyitkan
kening, sipitkan ma-ta. Mukanya mengkerut bergidik melihat kematian yang
mengerikan dari Empu Sora!
Kemudian terdengar suara tertawa
nyaring melengking Kemaladewi. "Bagus! Bagus Lutung Gila! Iblis tua itu memang
harus mampus!" Lutung Gila tertawa panjang, puas dan gembira. "Biung ciluk! Baaa...!"
Dewa Tongkat tak dapat menahan ha-
tinya lagi. Karena perintah Kemaladewilah maka Lutung Gila membunuh gurunya
sendiri! "Kemala! Rupanya kaulah yang menjadi
biang runyam selama ini! Rupanya kau juga sudah berotak keblinger!"
"E... e... e... eeeee. Kambing tua!" ujar Kemaladewi pada Dewa Tongkat seraya
tolak-kan pinggang. "Kau datang ke sini mau minta disembelih"!"
Kedua mata Dewa Tongkat terpentang
lebar-lebar. Tubuhnya menggigil gemetar karena amarahnya tidak terperikan!
Seumur hidupnya baru hari itu dia dikatakan kambing tua dan oleh muridnya
sendiri pula! Sudah lupakah Kemala pada dirinya atau memang gadis itu benar-
benar sudah gila"! "Demi Tuhan! Muridku, kau berlututlah dan minta ampun kepadaku!" seru Dewa
Tongkat. Kemaladewi tertawa mengikik. "Kau yang harus minta ampun dan harus berlutut di
depanku, kambing tua!" tukasnya.
"Kemala! Kau benar-benar kelewatan kurang ajar! Kelewatan murtad! Sudah memberi
malu aku, sudah berbuat kotor, saat ini kau memaki aku pula! Sulit bagiku untuk
mengampuni kau punya dosa!"
"Begok! Siapa yang minta ampun dosa sama kau! Angkat kaki dari sini! Kalau tidak
kau pasti akan minggat menyusul kunyuk yang nyangsrang di pohon itu!" Kemaladewi
menunjuk ke mayat Empu Sora di atas cabang pohon.
Marahlah Dewa Tongkat. Tanpa banyak bicara lagi dia keluarkan tongkat rotan ber-
keluknya dan menyerbu. Tapi serangan ini mudah dielakkan oleh Kemaladewi. Dewa
Tongkat dengan penasaran sekali lalu kirimkan serangan beruntun. Ujung
tongkatnya yang polos menusuk ke pelbagai penjuru sedang bagian yang berkeluk
mengait ke leher, pinggang, ketiak dan kedua kaki! Seperti Lutung Gila tadi,
Kemaladewi membuat gerakan-gerakan tak teratur, gerabak-gerubuk macam monyet
terbakar ekor! Tapi justru dengan gerakan yang asing aneh ini semua serangan
Dewa Tongkat menjadi luput!
Seumur hidupnya baru hari itu Dewa
Tongkat menyaksikan ilmu silat seperti itu.
Besar kepalanya menghadapi murid sendiri yang bertangan kosong! Jika orang
luaran sampai tahu bagaimana Dewa Tongkat dipermainkan begitu rupa, lunturlah
nama ha-rumnya! Segera orang tua ini merobah permainan tongkatnya. Senjata itu
menderu menimbulkan angin keras! Tongkatnya berobah seperti puluhan banyaknya
dan tempat-tempat yang diserang tiada terduga. Waktu berada di Lembah Rotan,
Dewa Tongkat be- lum pernah memberikan pelajaran ilmu ini kepada muridnya. Dengan keluarkan ilmu
tersebut dia mengharap akan dapat mering-kus Kemaladewi. Tapi dugaannya meleset!
Meskipun permainan tongkat gurunya
aneh dan tak pernah dipelajarinya sebelumnya tapi dengan keluarkan ilmu silat
tangan kosong yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka seperti tahu liku jurus
permainan lawannya, semua serangan Dewa Tongkat berhasil dielakkan bahkan
sebaliknya gadis itu mendesak Dewa Tongkat dengan hebatnya!
Jurus demi jurus orang tua itu semakin kepepet. Didahului dengan pekik nyaring
meng-getarkan anak telinga. Kemaladewi lancarkan serangan sehebat badai!
"Buk!" Dewa Tongkat terguling di tanah. Men-gerang lalu muntah darah! Belum lagi dia
bi-sa berdiri maka tendangan kaki kanan Kemaladewi mendarat di batok kepalanya!
Kepala itu rengkah, otak dan darah bermuncratan!
Kemaladewi berdiri tolak pinggang. Hatinya puas sekali dan suara tawanya tinggi
meningkah. Lutung Gila yang melihat gadis itu berhasil kalahkan lawannya
bertepuk-tepuk gembira. "Biung... biung! Kau hebat, hebat sekali ciluk!" katanya
memuji. Demikianlah, dua orang tua sakti, dua orang guru yang tadinya datang ke pulau
Bawean untuk menghukum murid masing-masing ternyata terpaksa pasrahkan nyawanya
di sana, menemui kematian dalam ca-ra yang mengenaskan!
DUA KEMBALI ke telaga Api-Salju berair se-putih salju mendidih.... Kedua kekasih itu
sadarkan diri dalam waktu yang hampir ber-samaan. Mahesa Kelud membuka kedua
matanya. Wulansari duduk menggeletak di sam-pingnya, tengah berusaha bangun.
Keduanya memandang berkeliling. Ternyata mereka di-kurung di satu ruangan empat
persegi ber-dinding putih tanpa pintu tanpa jendela.
"Mahesa, di mana kita...?" tanya Wulansari berbisik.
Pemuda itu sendiri tak dapat memastikan di mana mereka berada saat itu. Tadi dia
ingat bagaimana dia bersama kekasihnya dilemparkan ke dalam telaga berair putih.
Kenapa tahu-tahu kini berada di dalam ruangan tersebut" Apakah mereka sudah
menjadi tawanan makhluk aneh Si Api Salju" Apakah
mereka masih berada di dalam telaga" Mustahil, masakan di dasar telaga ada
ruangan begini rupa! Mahesa Kelud berdiri. Dia membaca
mantera. Tangan kanannya kemudian bergetar. Tenaga dalamnya berpusat. Dia
melangkah mendekati salah satu bagian dinding putih dan memukul dengan aji "batu
karang". Pemuda itu mengeluarkan seruan ke-
sakitan. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang sedang tangannya yang
dipakai memukul lecet! Dia menggigit bibir menahan sakit! Selama dia memiliki
ilmu pukulan batu karang itu, tak ada satu kekuatan apapun sanggup menahannya.
Batu karang hancur remuk, besi bobol! Mahesa Kelud berpaling pada Wulansari dan
memandang berkeliling. Saat itulah terdengar suara sesuatu yang berat bergeser. Tiba-tiba dinding putih
sebelah kanan terbuka. Serentak dengan itu didahului oleh teriakan yang
mengerikan melompat masuk satu bayangan putih! Api Salju! Kini kedua kekasih itu
sama tahu bahwa mereka memang masih berada ditempat makhluk aneh sakti itu,
menjadi tawanan! Keduanya berdiri merapat dan bersiap sedia kalau-kalau terjadi apa-apa. Dinding
yang terbuka di belakang Api-Salju telah menutup kembali dengan sendirinya.
"Bodoh!" teriak Api Salju. Kakinya di-hentakkan ke lantai. Ruangan Putih itu
bergoyang keras. "Bodoh!" katanya sekali lagi.
Mahesa dan Wulansari saling melirik.
Keduanya serentak menjura. "Api Salju, kami datang dengan maksud baik, mengapa
diku-rung ditempat ini?"
"Bodoh!" teriak Api Salju lagi. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya
jungkir balik. Kini dia berdiri di atas kedua tangannya, kaki ke atas. "Bodoh!"
teriaknya lagi. Kedua kakinya digerak-gerakkan ke mu-ka dan ke belakang. Angin
laksana badai menyambar di seantero ruangan. Tubuh Mahesa Kelud dan Wulansari
berpelantingan. Api Salju hentikan perbuatannya dan tiupan angin dahsyatpun
lenyaplah. "Bodoh!" teriak makhluk itu kembali. Dia jungkir balik lagi dan
berdiri kembali di atas kedua kakinya. Ke-mangkelan terbayang di mukanya yang
penuh bulu putih itu. "Besok aku akan kembali lagi ke sini!
Jika kalian masih berlaku bodoh, kalian akan mampus!" Api Salju keluarkan
lengkingan dahsyat. Dinding putih di belakangnya membuka dan sesaat kemudian
tubuhnya pun raiblah di balik dinding!
Untuk beberapa lamanya kedua pasang mata mereka masih saja memandang pada
dinding yang tadi menutup. Mahesa maju dan coba meneliti, tapi batas sambungan
sama sekali tidak kelihatan. Dicobanya memukul, tapi tangannya yang jadi sakit
dan lecet! "Aku tak mengerti mengapa kita terus-terusan di katakan bodoh!" ujar si pemuda.
Wulansari hanya bisa menarik nafas dalam.
Keduanya berdiam diri mencoba memecahkan rahasia kata-kata Api-Salju tadi.
"Jika kita dikatakan bodoh..." desis Wulansari antara kedengaran dan tidak,
"Berarti kita harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang tidak bodoh! Tapi apakah
itu?" Sunyi lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran dan mencari jalan pemecahan masing-
masing. Disamping itu, karena terkurung di dalam ruangan tertutup mereka tidak
pula dapat menentukan apakah saat itu hari siang atau malam. Berapa lama lagi
datangnya hari esok yang dikatakan oleh Api-Salju itu" Mereka dikatakan bodoh
tetapi mereka tidak ta-hu kebodohan apakah yang mereka lakukan.
Dan bila besok Api-Salju datang, mereka masih saja dikatakan bodoh, berarti
tamat riwayat mereka! "Aku dapat akal!" kata Wulansari tiba-tiba.
Mahesa Kelud memandang paras kekasihnya dengan harap-harap cemas. "Akal apa?"
tanyanya. "Jika Api-Salju besok datang dan men-gatakan kita bodoh, kita tanyakan saja
padanya perbuatan bodoh apakah yang kita lakukan!"
Mahesa Kelud berpikir sebentar lalu gelengkan kepala. "Justru dengan bertanya
kepadanya itulah kita memperlihatkan kebodohan kita! Dan putuslah nyawa kita,
Wulan!" Apa yang dikatakan Mahesa terasa benar bagi si gadis dan ini membuat
dirinya terdiam. Tiba-tiba terdengar benda bergeser.
Dinding putih membuka. Api-Salju masuk dengan segala kehebatannya. "Hari esok
sudah tiba!" serunya.
Menggigillah tubuh Wulansari. Mahesa Kelud sendiri gemetar sekujur tubuhnya.
Mereka tidak menyangka bahwa hari esok yang dimaksudkan oleh Api-Salju tidak
lebih dari beberapa saja!
Api-Salju berdiri tolak pinggang. Tiba-tiba dia jungkir balik, tangan di bawah
kaki ke atas. Entah bagaimana saja, mendadak
Mahesa Kelud mendapat firasat. Dia berbisik pada kekasihnya. "Kalau kita harus
mati di sini, mungkin itu sudah takdir. Wulan, cepat tirukan perbuatannya!"
Mahesa Kelud bergerak meniru perbuatan Api-Salju. Dia berdiri dengan kaki ke
atas tangan ke bawah. Dalam kebingungannya, Wulansari meniru pula perbuatan
Mahesa. "Bodoh!" teriak Api-Salju.
"Bodoh!" teriak Mahesa Kelud.
"Bodoh!" menirukan Wulansari.
Api-Salju gerak-gerakan kedua kakinya dan angin membadai bersiuran. Mahesa dan
Wulansari meniru pula, sama menggerakkan kaki masing-masing dan anehnya tubuh


Mahesa Kelud - Telaga Api Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tidak berpelantingan tersapu sambaran angin yang keluar dari kedua kaki
Api-Salju bahkan dari kaki-kaki mereka kiri kanan melesat pula keluar pukulan-
pukulan angin yang tak kalah dahsyatnya sehingga tiupan angin di dalam ruangan
putih tersebut menjadi seimbang. Ruangan bergoyang keras laksana kapal oleng
dilanda ombak besar di tengah lautan!
Api-Salju putar tubuh dan berdiri di atas kakinya kembali. "Bodoh!" teriaknya.
Mahesa serta Wulansari tak tinggal diam. Keduanya berbuat yang sama pula dan
berte- riak: "Bodoh!" Tiba-tiba Api-Salju memukulkan kedua tangannya ke muka. Dua sinar putih panas
dan menyilaukan mata melesat ke arah dua kekasih itu. Tubuh mereka mental
terpelant-ing ke dinding putih di belakang mereka. Pakaian mereka hangus tapi
mereka tidak ter-luka! Keduanya menjadi heran tapi tidak memikirkan lebih lama
keanehan itu sebaliknya cepat-cepat pula meniru memukulkan kedua tangan masing-
masing ke muka! Dan kelihatanlah empat sinar putih menyambar ke luar dari
telapak-telapak tangan mereka ke arah Api-Salju. Tubuh Api-Salju laksana sebuah
pohon kepala ditiup angin bergoyang menghuyung tapi kedua kakinya tetap tidak bergeser!
Mahesa dan Wulansari sama keluarkan seruan tertahan.
Mereka hanya meniru-niru saja, lain tidak!
Tapi bagaimana tahu-tahu dari kaki dan kedua tangan mereka bisa keluar pukulan-
pukulan angin dahsyat itu! Pukulan Api-Salju"! Kedua pendekar muda ini tidak
tahu bahwa mereka sesungguhnya bernasib untung berbintang terang. Selama satu
hari sa-tu malam mereka terkubur di dasar telaga air putih. Pada saat itulah
terjadi kemujizatan. Melalui pori-pori di seluruh kulit tubuh me-
reka merasuk masuk kekuatan dahsyat yang mengandung ilmu kesaktian pukulan Api-
Salju yang melarut di dalam air telaga untuk kemudian masuk ke dalam tubuh
mereka dan larut di dalam darah!
"Bodoh!" teriak Api-Salju.
"Bodoh!" meniru Mahesa Kelud.
"Bodoh!" menuruti pula Wulansari.
Api-Salju turunkan tangannya yang
bertolak pinggang lalu tertawa berkakakan! Kedua kekasih itupun tertawa pula
bekakakan! Tiba-tiba Api-Salju hentikan tawanya dan bertanya: "Mengapa kalian tirukan semua
perbuatan dan ucapanku hah"!"
"Kami tidak ingin jadi orang bodoh!" jawab Mahesa Kelud beranikan diri meski di-
am-diam hatinya kecut karena dia belum ta-hu apakah makhluk sakti itu tetap akan
me-laksanakan niat untuk membunuhnya bersama Wulansari atau tidak!
"Bukankah meniru berarti bodoh"!"
Api-Salju tertawa menggidikkan.
Mahesa berpaling pada Wulansari. "Celaka, Mahesa. Tamatlah riwayat kita," kata
gadis itu. Suaranya menyendat dan mukanya pucat pasi! Tapi Mahesa tak kehabisan
akal. Pe- muda cerdik ini segera buka mulut berikan jawaban. "Tapi yang kami tirukan
adalah per-buatanmu. Jika kami mati, kau pun harus mati!" Tertawalah Api-Salju
mendengar ucapan Mahesa Kelud itu. "Kau pemuda cerdik!"
katanya. Pandangan mata yang merah yang tadi begitu ganas kini kelihatan
berseri. "Kalian berdua sama beruntung! Apa kalian tak tahu bahwa selama dua
hari di tempatku kalian sudah meresapkan ilmu pukulan Api-Salju?"
Kejut Mahesa Kelud dan Wulansari bukan main! Mereka saling pandang dan melotot
seperti tak percaya akan pendengaran!
Benarkah" Sungguhkah mereka sudah memiliki ilmu pukulan Api-Salju itu" Selama
dua hari dua malam mereka tidak sadarkan diri, kapan pula mereka telah belajar
ilmu pukulan tersebut" Ini benar-benar satu hal yang tidak dimengerti!
Api-Salju maklum apa yang terpikir dalam kepala kedua orang itu. Dia segera
memberikan keterangan. "Kalian berdua ketahuilah! Bahwa siapa-siapa yang
tenggelam ke dasar telaga berair putih lebih dari setengah hari maka dia akan
meresapkan ilmu pukulan sakti tersebut dengan sendirinya tanpa
dipelajari, tanpa membaca mantera-mantera waktu mempergunakannya!"
Mendengar ini maka dengan serta mer-ta kedua orang ini jatuhkan diri ke lantai
dan berseru: "Guru!" Api-Salju tertawa menggu-mam. "Kalian cerdik tapi kali ini
unjukkan la-gi kebodohan!" katanya. "Siapa yang angkat kau jadi murid maka
memanggil aku guru" Siapa yang ajar kalian ilmu pukulan itu" Tidak seorangpun.
Tidak aku dan juga tidak setan jin dedemit hantu gentayangan! Kalian telah
mempelajari dan memilikinya sendiri tanpa ada yang men-gajar, tanpa kalian
sadari. Kalian cuma menang di dalam dua hal, yaitu nasib baik serta cerdik. Jika
saja kalian tidak meniru perbuatan dan ucapanku tadi, tamatlah riwayat kalian!"
Mahesa dan Wulansari ingat pada kata-kata guru mereka Suara Tanpa Rupa yaitu
bahwa ilmu pukulan Api-Salju tak bisa di-ajarkan, harus dicari langsung ke
sumbernya. Bahwa jika mereka bernasib untung mereka akan mendapatkannya dan kalau tidak
terpaksa menebus dengan nyawa!
"Kalian mengaku anak-anak murid Suara Tanpa Rupa." terdengar suara Api-Salju.
"Apakah guru kalian yang menyuruh datang
kemari?" "Betul," jawab kedua orang tersebut.
"Apa katanya"!"
"Cari telaga berair putih mendidih karena di situlah sumber ilmu pukulan Api-
Salju," sahut Mahesa.
"Hanya itu saja katanya?"
"Ya." Api-Salju tertawa puas. "Gurumu seorang sakti yang cerdik dan patuh! Ketahuilah
oleh kalian, siapa saja boleh datang kemari untuk mendapatkan ilmu pukulan Api-
Salju. Tapi sekali-sekali tidak boleh diberitahu cara-cara untuk mendapatkan ilmu
tersebut! Jika rahasia dibukakan maka yang diberi tahu dan yang memberitahu akan
menemui ajal! Kalian ingat betul-betul pantangan tersebut!
Dan kalian ketahui pulalah. Dalam dunia persilatan sampai saat ini hanya ada
lima orang yang memiliki ilmu pukulan Api-Salju tersebut. Pertama gurumu si
Suara Tanpa Rupa, kedua dan ketiga kalian berdua, keempat Kyai Gandasuli di
gunung Merapi dan kelima aku sendiri! Di antara yang berlima ini kalian
berdualah yang paling untung karena kalian yang termuda!"
Kedua orang muda itu manggut-
manggut penuh suka cita. "Kemudian kalian harus ingat pula bahwa ilmu pukulan tersebut hanya ampuh
dipergunakan untuk kebaikan. Seandainya dipakai buat kejahatan maka ilmu
tersebut akan membalik menyerang diri kalian sehingga tubuh kalian menjadi panas
laksana api dan dingin laksana salju. Dan keadaan panas dingin itu tubuh kalian
akan membatu lalu lumer dan mampus laksana sebuah getah damar terbakar!" Api-
Salju memandang pada kedua orang itu untuk penghabisan kalinya lalu berkata:
"Nah, kalian telah beruntung.
Pertemuan kita cuma di sini!" Api-Salju membuka mulutnya lebar-lebar dan dari
mulut itu keluarlah kepulan asap hitam pekat. Dinding ruangan yang putih bersih
berubah sontak menjadi hitam legam sehingga ruangan itu gelap gulita, jari di
depan matapun tiada kelihatan!
Mahesa dan Wulansari terbatuk-batuk waktu kepulan asap hitam memasuki liang
hidung dan mulut mereka. Keduanya menggeletak ke lantai tanpa sadarkan diri!
TIGA KETIKA keduanya siuman kembali, me-
reka dapatkan diri mereka berhamparan tak berapa jauh di tepi telaga Api-Salju.
Tapi anehnya kini air telaga itu tidak lagi berwarna putih seperti salju, tidak
lagi mendidih serta mengepulkan asap melainkan seperti air-air telaga kebanyakan
lainnya, bening tenang antara hijau kebiruan.
"Dunia serba aneh," desis Mahesa Kelud. Dia memandang pada Wulansari dan
terkejut melihat muka serta tangan kaki dan sekujur tubuh kekasihnya itu hitam
celemon-gan"! "Wulan! Tubuhmu kenapa celemon-gan"!" Saat itu si gadis berbaring
menelentang. Dia putar kepalanya sedikit dan dengan tersenyum berkata. "Tubuhmu
sendiri cele-mongan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki!"
Mahesa Kelud meneliti dirinya. Apa
yang dikatakan Wulansari memang benar.
Keadaan dirinya tiada beda dengan diri gadis itu. Mahesa mau tak mau jadi
tertawa sendirian. "Lapisan debu hitam ini pasti berasal dari kepulan asap yang
keluar dari mulut Api-Salju waktu di ruangan putih! Kau ingat?" Wulansari mengangguk lalu bangun
duduk. Dia memandang ke telaga. "Bagaimana kalau kita bersihkan diri di telaga
itu?" tanyanya. "Jangan Wulan. Meski bentuk telaga ini beda dengan yang kita lihat dua malam
lewat, tapi sebaiknya kita cari tempat lain. Barangkali ada sungai di dekat-
dekat sini!". Keduanya pun berdirilah. Memang tak berapa jauh dari situ terdapat
sebuah anak sungai. Masing-masing mencari tempat yang baik dan mulai
membersihkan diri. Kemudian mereka duduk di tepi sungai. Saat itu hari masih pa-
gi. Udara sekitar mereka rindang dan sejuk.
Lebih-lebih bila angin bertiup sepoi-sepoi basah nyaman sekali rasanya.
Wulansari memperhatikan jari-jari tangannya yang dipermainkan Mahesa Kelud dan
balas meremas. "Wulan..." kata pemuda itu. "Ya Mahesa?" sahut si gadis seraya
sandarkan kepalanya ke bahu Mahesa Kelud.
"Coba kau ingat baik-baik. Sudah berapa lamakah kita saling kenal satu sama
lain...?" "Maksudmu sejak mula pertama aku bertemu dengan kau dan kita berkelahi itu?"
"Ya," jawab Mahesa dengan mengulum senyum.
"Hemmm... kurasa hampir tiga tahun, Mahesa."
"Betul, tiga tahun. Cukup lama sekali bukan" Dan selama tiga tahun itu banyaklah
berbagai hal dan pengalaman yang kita hadapi dalam suasana duka maupun suka. Dan
masih ingat pulakah kau akan apa yang pernah kita cita-citakan, Wulan...?"
Dada gadis itu berdebar. Kedua pipinya yang montok kelihatan memerah. "Aku tak
pernah melupakan hal itu, kakak," katanya membisik.
"Kurasa sudah saatnya kini kita melak-sanakan apa yang kita cita-citakan itu,
Wulan. Lagi pula gurupun sudah menyerahkan nasib perjodohan kita di tangan kita
masing-masing. Bagaimanakah pendapatmu?"
"Aku... aku hanya menurutkan apa ka-tamu saja, kakak," jawab gadis itu dengan
tunduk-kan kepala. Sedang kedua matanya berkaca-kaca.
"Aku sudah merencanakan untuk
membangun satu tempat kediaman di puncak Gunung Muria di pantai utara. Juga
merencanakan untuk mendirikan satu perguruan
silat di sana. Setujukah kau?"
Wulansari anggukkan kepala. Ketika
Mahesa Kelud memandang kejurusan lain, cepat-cepat dia menyeka kedua matanya.
"Mahesa... sebelum kita ke Gunung Muria maukah kau ke kampungku lebih dahulu. Di
sana masih ada kenalan-kenalan dekatku.
Kalau kau tak keberatan aku lebih suka agar kita... menikah di sana saja..."
"Itu baik sekali!" ujar Mahesa Kelud dengan hati gembira. Diciumnya pipi
kekasihnya lalu berdiri. "Mari kita lanjutkan perjalanan. Kampungmu cukup jauh
dari sini, Wulan." Kedua manusia yang berbahagia itu melangsungkan pernikahan di
kampung Ban-jaran. Dari sini mereka kemudian berangkat ke Gunung Muria di utara.
Perjalanan penuh suasana mesra, karena antara mereka yang sudah jadi suami istri
tak ada lagi batas penghalang. Mereka bisa berbuat apa saja sebagai suami istri
dan di mana serta kapan sa-ja!
Gunung Muria sebuah gunung tinggi,
terletak di pesisir utara pulau Jawa. Di sini-lah Mahesa Kelud membangun rumah
dan tinggal bersama istrinya. Mereka hidup bahagia. Tiga bulan kemudian, karena
banyak tu- gas-tugas yang harus dilaksanakannya maka Mahesa turun dari gunung meninggalkan
istrinya yang waktu itu tengah mulai mengandung! Tugas-tugas yang masih harus
dilaksanakan Mahesa Kelud di antaranya yang terpenting adalah mencari pedang
Samber Nyawa, kemudian mencari manusia bernama Simo Gembong. Lalu mencari Dewi
Maut di sebuah Lembah Maut yang kabarnya terletak di ujung timur pulau Jawa. Di
samping ketiga tugas-tugas penting tersebut masih ada satu hal yang harus
dilaksanakannya terlebih dahulu yakni memenuhi janji dengan Namadjeni, si orang
tua sakti yang dulu pernah dito-longnya. Sudah hampir satu tahun berlalu dan
berarti sudah memasuki waktu perjan-jian yang telah ditetapkan.
Berat sungguh berpisah dengan istri.
Apalagi mereka masih dalam suasana pen-gantin baru. Tapi demi tugas dan
kepatuhan sebagai seorang murid terhadap guru maka kepentingan pribadi
ditinggalkan. Tak diceritakan lagi perjalanan pendekar itu maka pada suatu hari sampailah
Mahesa Kelud ke tepi rawa-rawa lumpur di mana dulu pertama kali dia bertemu
dengan Namadjeni yang sedang disiksa oleh muridnya Langlang-seta! Berhari-hari
Mahesa Kelud menunggu. Hari berganti minggu. Sudah dua minggu tapi Namadjeni tak kunjung datang! Dia
tidak percaya kalau orang tua tersebut menipunya atau tidak akan menepati janji.
Tapi dalam waktu yang sudah ditentukan mengapa tahu-tahu dia tidak muncul"
Barangkali terjadi apa-apa dengan orang sakti itu"!
Mahesa memutuskan untuk menunggu
sampai satu minggu lagi. Ketika satu minggu berlalu pula maka diapun bersiaplah
untuk meninggalkan tempat tersebut dengan hati kecewa. Mendadak di hadapan
sebuah pohon kayu besar dia hentikan langkah. Pada batang kayu ini terdapat
rentetan kalimat yang agaknya dibuat dengan jari-jari tangan dengan
mempergunakan tenaga dalam yang tinggi. Di sini tertulis:
"Pergi ke timur, hentikan langkah di pohon beringin.
Tirulah perbuatan tikus Ketuk pintu masuk goa Sudah lama menunggu pendekar
Senjata ampuh sukar tandingan
Seribu nyawa seribu bahaya
Tabahkan hati kuatkan nyawa
Senjata sakti pasti bersua"
Mahesa membaca sekali lagi rentetan kalimat-kalimat tersebut. Meski tiada nama
penulisnya namun dia sudah dapat memastikan bahwa tulisan tersebut adalah
Namadjeni yang membuatnya. Kalimat demi kalimat di-ingatnya baik-baik. Kemudian
sebagaimana yang tertunjuk maka Mahesa segera berangkat lurus ke timur! Ketika
malam tiba pohon beringin yang dimaksudkan belum juga ditemuinya. Mahesa
berhenti untuk berkemah. Paginya perjalanan dilanjutkan kembali. Terus-terusan dia menuju ke timur. Empat
hari berlalu. Hatinya mulai was-was dan ragu karena selama itu tidak satu pohon
beringinpun yang ditemuinya. Perjalanan sukar bukan main! Pada tengah hari
ketujuh akhirnya ditemuinya juga sebuah pohon beringin, yang terletak di tengah
hutan belantara tiada ter-tembus matahari! di sini dia berhenti.
Dia mengingat-ingat rentetan kalimat yang dibacanya di batang pohon tempo hari.
"Pergi ke timur Hentikan langkah di pohon beringin Tirulah perbuatan tikus...."
Sampai di sini Mahesa termenung.
Apakah maksudnya dengan kalimat ketiga.
"Tirulah perbuatan tikus..." Ditelitinya pohon beringin dan keadaan sekitarnya
kalau-kalau akan menemukan petunjuk lain. Tapi sama sekali tidak ada. Mahesa
termenung dan termangu. Apakah yang harus diperbuatnya"
Perbuatan tikus yang macam manakah yang harus dilakukannya" Dalam dia termangu-
mangu seperti saat itu di dekat kakinya menggeresek sesuatu. Dia memandang ke
bawah dan seekor tikus lewat di hadapannya, menyelinap di antara akar-akar besar
dan lenyap di dalam sebuah lobang!
Mahesa berpikir, apakah perbuatan tikus masuk ke lobang itukah yang harus diti-
rukannya"! Mustahil! Mana mungkin tubuhnya yang sebesar itu harus masuk ke dalam
lobang" Kakinya saja pun tak akan masuk!
Sambil terus berpikir-pikir Mahesa melangkah mengelilingi pohon besar tersebut.
Di beberapa bagian dikoreknya tanah di bawah akar pohon dengan ujung ibu
jarinya. Dalam korek mengorek itu tiba-tiba terbukalah sebuah lobang sebesar
kepala. Mahesa terkejut. Dia membungkuk dan mempergunakan tangannya untuk memperbesar lobang itu. Tanah
di sekitar berguguran dan akhirnya kelihatanlah sebuah lobang besar yang
merupakan mulut sebuah lorong di bawah tanah, di
bawah pohon beringin! Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud terjun ke dalam lobang dan memasuki lorong tanah
yang gelap itu! Beberapa kali kepalanya ter-tumbuk tanah bagian atas lorong.
Matanya perih kelilipan tapi dia jalan terus. Semakin jauh masuk ke dalam
semakin gelap serta sempit lorong tersebut. Dari arah mukanya datang menyambar


Mahesa Kelud - Telaga Api Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidung bau busuk yang memuakkan! Nafas orang muda ini mulai menyengal.
Kekuatannya seperti disedot. Dari membungkuk-bungkuk kini dia hanya bisa merayap
perlahan. Tubuhnya sudah basah oleh keringat dan kotor oleh tanah. Tapi hatinya
dikeraskan untuk maju terus sementara bau busuk dari mukanya semakin menjadi-
jadi juga! Dia ingat pula akan rentetan kalimat yang berbunyi: Tabahkan hati
kuatkan jiwa. Mahesa merayap terus tapi tenaganya benar-benar sudah habis sedang
nafasnya sudah menyesak. Dalam keadaan seperti itu akhirnya dia melosoh ke tanah
tanpa sadarkan diri! Dia tak tahu entah berapa lama dia
pingsan. Juga tidak tahu apakah di luar sana hari masih siang atau sudah malam.
Kedua matanya dibuka tapi seperti sebelumnya da-
lam lorong itu hanya kegelapan belaka yang dilihatnya. Dengan mengumpulkan
tenaga yang ada Mahesa maju merangkak kembali.
Tiba-tiba satu pikiran terlintas di kepalanya.
Dia segera memperbaiki keadaan dirinya. Tenaga dalamnya dialirkan ke tangan
kanan la-lu dipukulkan ke muka!
Seperti suara angin punting beliung gulungan tenaga dalam yang dipukulkan itu
melesat sepanjang lorong gelap. Tanah lorong terkikis mengepulkan abu. Mahesa
menutup mata dan hidungnya. Dia menunggu dan memasang telinga. Suara seperti
angin punting beliung yang disebabkan oleh tenaga dalamnya hilang dikejauhan.
Satu dua saat kemudian suara itu terdengar kembali. Mula-mula perlahan lalu
makin keras, makin keras, makin dekat dan....
Mahesa Kelud jatuhkan dirinya serta mungkin ke tanah lorong. Hantaman tenaga
dalamnya yang dikirimkan ke muka berbalik kembali dan memukul ke arahnya! Meski
dia sempat jatuhkan diri tak urung dia masih ke-na terseret sampai beberapa
tombak ke belakang! Mahesa menarik nafas dalam. Dari lamanya tenaga dalam itu
kembali segera di-makluminya bahwa ujung dari lorong dimana dia berada saat itu
masih sangat jauh! Mahe- sa kertakkan geraham. Dia merayap lagi dis-epanjang lorong.
Berjam-jam kemudian bau busuk semakin santar menyambar hidungnya. Ini suatu
tanda bahwa dia sudah dekat pada benda yang mengeluarkan bau busuk itu. Dan
perhitun-gannya itu memang benar. Selewatnya satu tikungan tajam maka di mukanya
kelihatanlah sinar berkilauan. Mahesa merayap lebih cepat. Sinar menyilaukan itu
ternyata ditim-bulkan oleh sebuah pintu besar terbuat dari baja putih! Dan nyali
orang muda ini jadi mengkerut ketika dia menyaksikan apa yang bertebaran di
hadapan pintu baja tersebut!
EMPAT DI SANA, di depan pintu baja bertebaran jerangkong-jerangkong manusia dan mayat-
mayat yang membusuk. Ada yang ter-sandar ke pintu, ada yang menggeletak patah
siku di pojok mulut terowongan dan ada pula yang berhamparan di tanah.
Kebanyakan dari tengkorak-tengkorak manusia dan mayat-mayat ini berada dalam
keadaan berantakan serta rusak. Mungkin sekali ini disebabkan oleh pukulan
tenaga dalam yang dilancarkan
Mahesa Kelud waktu di dalam terowongan ta-di! Pemuda itu menutup hidungnya. Bau
mayat yang rusak dan busuk seakan-akan hendak merurutkan bulu hidung, bahkan
seperti mau menanggalkan hidungnya!
Apakah yang telah terjadi di sini sebelumnya! Di muka pintu baja itu" Apakah
telah terjadi pembantaian! Apa pula yang ter-sembunyi di balik pintu baja di
hadapannya" Dengan kuatkan hati Mahesa Kelud coba meneliti mayat-mayat di hadapannya.
Kemudian dilihatnya bahwa pada setiap mayat tertancap dua sampai lima buah keris
berwarna kuning hulunya berbentuk kepala ular, mungkin keris ular emas beracun!
Pada tulang-tulang iga jerangkong-jerangkong yang masih agak utuh juga
dilihatnya benda-benda yang sama! Pasti sudah semua manusia-manusia itu menemui
ajalnya karena tusukan-tusukan keris tersebut! Tengkuk Mahesa Kelud merinding.
Matanya dipejamkannya seketika dan dia teringat pada kalimat keempat: Ketuk
pintu masuk ke goa. Pintu inilah pasti yang dimaksudkan.
Dan apakah yang akan menyambutnya bila pintu itu terbuka" Seekor binatang buas"
Seorang raksasa" Hantu iblis" Ataukah senjata-senjata rahasia" Apapun yang
menyambutnya pastilah bahaya maut, pikir Mahesa
karena dia ingat akan kalimat ketujuh berbunyi: Seribu nyawa seribu bahaya!
Mahesa Kelud bergerak di antara tebaran jerangkong dan mayat-mayat membusuk.
Diulurkannya tangan kirinya untuk mengetuk pintu baja lalu cepat-cepat dia
menghindar ke samping. Anehnya pintu baja yang di-ketuk itu mengeluarkan suara
nyaring laksana sebuah gong besar yang ditempa! Suara getaran bunyi pintu ini
menggelombang keras membuat tebaran-tebaran jerangkong dan mayat bergelinding
kian kemari. Mahesa Kelud sendiri turut menghuyung tubuhnya! Tapi tak satu
apapun yang terjadi. Mahesa ulurkan tangan kiri kembali untuk mengetuk kedua
kalinya. Tapi cepat-cepat tangannya dita-rik pulang! Karena tiada disangka sama
sekali mendadak sontak pintu baja itu membuka lebar dan setiup angin laksana
badai menyambar ke luar! Lusinan jerangkong mele-sak menyumpal di mulut lorong!
Dan semuanya dalam keadaan hancur lebur! Dingin ku-duk Mahesa Kelud. Kalau saja
dia tidak cepat hindarkan diri ke samping pastilah nasibnya akan sama dengan
mayat-mayat dan jerangkong-jerangkong itu! Hancur lebur. Dan hanya namanya saja
yang akan pulang ke puncak Gunung Muria!
Beberapa saat berlalu. Tak terjadi apa-apa. Mahesa melangkah dengan hati-hati
mendekati pintu bersiap masuk. Namun baru saja sebahagian dari tubuhnya
mendekati pintu yang terbuka itu, dari ruangan batu yang gelap di dalamnya
berdesingan beberapa buah benda kuning. Mahesa secepat kilat menghindar ke
samping kembali. Namun tak urung salah satu dari benda tersebut masih sempat
menyerempet lengan bajunya. "Bret!"
Lengan baju itu robek besar. Hawa panas dan jahat mengalir ke lengannya terus ke
badan tapi segera sirna oleh hawa sakti yang keluar dari pedang merah di balik
punggung Mahesa Kelud. Pada saat yang sama lima buah benda bertancapan susul
menyusul di dinding tanah di atas mulut lorong. Ketika di-perhatikan oleh Mahesa
ternyata kelima benda itu adalah keris-keris kuning emas yang hulunya berbentuk
kepala ular! Mahesa teringat pada tumpukan jerangkong dan mayat manusia yang
tadi dilihatnya. Tentu nasib buruk itulah yang akan dialaminya jika saja dia
tidak keburu melompat ke samping. Laki-laki ini usap tangan kirinya ke mukanya
yang keringatan. Dia menunggu lagi. Sunyi saja selama beberapa saat.
Mahesa berpikir-pikir siapakah geran-
gan yang melempar lima keris ular emas tersebut" Apakah juga sama dengan makhluk
yang telah lepaskan pukulan angin dahsyat sebelumnya" Dia mencabut salah sebuah
keris yang tertancap di dinding tanah. Senjata ini keseluruhannya memang terbuat
dari emas dan berkeluk tiga. Ditimangnya sebentar keris itu, tiba-tiba matanya
yang tajam melihat sebaris tulisan-tulisan kecil pada le-kukan senjata.
Diperhatikannya baik-baik tulisan tersebut, ternyata berbunyi:
"Bila badan mau selamat, bila nyawa akan tetap di badan, kembalikan kepada yang
empunya." Payah Mahesa Kelud memecahkan apa
rahasia atau arti dari tulisan tersebut. Kepada siapa tulisan itu ditujukan
pastilah kepada mereka yang mencoba masuk ke dalam ruangan di belakang pintu.
Tapi apakah yang harus dikembalikan dan kepada siapa"! Mahesa Kelud memutar
otaknya. Dicabutnya keris emas yang kedua dan memperhatikannya.
Pada senjata ini juga terdapat tulisan dengan bunyi yang sama. Demikian pula
pada keris ketiga, keempat dan kelima. Terpikirlah akhirnya oleh Mahesa Kelud,
apa bukannya kelima keris itu yang harus dikembalikan" Bo-
leh jadi! Tapi kepada siapa"! Dipegangnya kelima senjata tersebut sekaligus lalu
dilemparkannya ke ruangan gelap di belakang pintu baja putih!
Lemparan yang dilakukan Mahesa Ke-
lud tidak kalah hebatnya dengan waktu kelima senjata tersebut mendesing dari
ruangan dalam. Tiba-tiba Mahesa jadi terkesiap. Tak lama sesudah lima keris itu
melesat dan dite-lan kegelapan ruangan maka terdengarlah li-ma suara lolongan
serigala yang sangat me-nyeramkan. Lalu disusul oleh suara-suara binatang
berlarian dan sejurus kemudian menghamburlah lima ekor serigala besar, melosoh
mati bergeletakan di muka pintu baja.
Pada batok kepala masing-masing menancap lima keris ular emas yang tadi
dilemparkan Mahesa Kelud!
Laki-laki ini berdiri tak bergerak-gerak beberapa jurus lamanya. Dari mana
datangnya kelima serigala tersebut" Siapakah sesungguhnya yang menjadi penghuni
dari lorong dan ruangan mengerikan di bawah tanah ini"! Seperti tadi kesunyian
kembali mence-kam. Mahesa Kelud cabut pedang merahnya dan melompat masuk ke
dalam. Sinar merah yang memancar dari pedang itu membuat
ruangan yang gelap di mana dia berada menjadi agak terang. Tiba-tiba terdengar
suara seperti bunyi gong dan pintu baja putih di belakang Mahesa Kelud menutup!
Celaka, kata laki-laki itu. Bagaimana dia akan keluar nan-ti" Namun Mahesa Kelud
tak bisa berpikir lebih lama karena pada saat itu pula kira-kira dua puluh sinar
kuning melesat dari dinding ruangan sekelilingnya, menyerang ke arahnya! Keris-
keris ular emas! Cepat laki-laki ini atur kedudukan kakinya dan serentak dengan itu putar pedang
dewa di tangannya dengan sebat. Sinar pedang bergulung membungkus tubuhnya dari
kepala sampai ke kaki dan dua puluh kali terdengar suara senjata itu beradu
dengan keris-keris ular emas, dua puluh kali pula kelihatan bunga api memancar.
Keris ular emas dibikin runtuh semua! Mahesa Kelud cepat-cepat berpindah tempat
karena dia khawatir akan menjadi bulan-bulanan maut gila! Dan benar saja! Satu
detik dia berpindah tempat maka lantai di mana dia tadi berdiri amblas ke bawah.
Mahesa coba menjenguk ke dalam lobang empat persegi. Di bawah penerangan sinar
pedang saktinya maka kelihatanlah be-lasan ekor ular kuning emas sebesar-besar
tangan berjalaran di lantai lobang itu! Bina-
tang-binatang ini seperti mengamuk ketika merasakan hawa panas yang keluar dari
ujung pedang di tangan Mahesa Kelud.
Goyah lutut Mahesa ketika dia memi-
kirkan bagaimana jadinya jika dia tidak cepat-cepat berpindah tempat tadi! Pasti
tubuhnya akan kelojotan dipatuk ular-ular kuning emas itu! Dan setahunya ular
kuning jenis yang dilihatnya itulah yang sangat berbahaya! Seseorang yang
dipatuk ular kuning, bila dalam waktu cepat tidak mendapat obat penawar racun,
pasti tak akan ketolongan nyawanya!
Mahesa menghindar dari tepi lobang
dan melangkah dengan hati-hati. Ruangan panjang besar yang dilaluinya kotor
berdebu. Di sudut-sudut atas ruangan itu dilihatnya penuh dengan sarang laba-laba. Karena
dia memandang ke atas maka tanpa disadari kakinya terantuk pada beberapa buah
benda. Mahesa angsurkan pedangnya ke muka dan memandang ke bawah. Tubuh laki-laki itu
seperti diguyur air es! Menggigil! Betapa tidak! Benda yang tadi tertendang
ujung kakinya adalah dua buah kepala manusia! Nyawa laki-laki ini serasa
terbang. Cepat-cepat dia lari meninggalkan tempat itu. Celakanya di muka sana
tubuhnya bertabrakan dengan
sesuatu dan ketika dilihatnya! Terbanglah semangat Mahesa Kelud. Yang barusan
dita-braknya tiada lain dari tubuh manusia, tapi tubuh manusia tanpa kepala!
Dari bagian le-hernya bersemburan darah merah kental dan bau amis. Pakaian
Mahesa Kelud kotor oleh muncratan darah tersebut!
Tubuh tanpa kepala itu melangkah
huyung mendekatinya. Kedua tangannya menggapai-gapai. Tiba-tiba tubuh tersebut
melompat ke muka dan tengkuknya kena dicekal! Mahesa gerakkan siku kanannya.
"Buk!" ujung sikunya menghantam tulang dada sosok tubuh. Tetapi anehnya sosok
tubuh tanpa kepala ini keluarkan suara tertawa meringkik seperti kuntilanak.
Kaki kanannya bergerak mengirimkan tendangan.
Mahesa tak kuasa mengelak maka tubuhnya mental ke atas atap. Dia menggerakkan
kakinya maksudnya untuk membuat gerakan jungkir balik dan turun ke lantai
kembali tapi saat itu satu tangan sudah menjambak rambutnya dari atas! Mahesa
memandang ke atas! Yang menjambak rambutnya adalah hanya sebuah tangan berjari-
jari sebesar pisang-pisang ambon! Hanya tangan sampai ke lengan! Jika saja laki-
laki ini bukan seorang yang bernyali besar pastilah dia sudah berte-
riak setinggi langit atau jatuh pingsan saat itu juga!
Mahesa Kelud gerakkan tangan kanannya.
Pedang sakti memapas! Lengan yang menjambak rambutnya putus, tubuhnya melayang
ke bawah tapi jari-jari yang menceng-keram rambutnya masih tetap berada di atas
kepalanya. Mahesa memapas lagi. Jari-jari tangan itu putus-putus tapi sebagian
dari rambutnya terpaksa pula terbabat putus!
Sesak nafas Mahesa Kelud bukan main.
Dia memandang berkeliling. Tubuh tanpa kepala tadi sudah lenyap entah ke mana.
Tiba-tiba dia mendengar suara petikan kecapi mengiringi suara nyanyian seorang
perempuan yang merdu sekali. Tapi kemerduan itu tiada terasakan oleh Mahesa
Kelud karena ji-wa raga dan perasaannya masih saja diseli-muti oleh segala macam
kengerian yang tadi dihadapinya dengan mata kepala sendiri!
Namun demikian dia melangkah juga
ke arah datangnya suara kecapi dan suara nyanyian, seperti ada satu kekuatan
ajaib yang menariknya. Suara tersebut datang dari lorong di sebelah kanan.
Mahesa memasuki lorong ini. Semakin jauh, semakin keras suara petikan kecapi dan
suara nyanyian. Tiba-tiba suara kecapi terputus! Suara
nyanyian berhenti dan terdengarlah suara tangisan yang merawankan hati. Mahesa
melangkah terus. Di hadapan sebuah pintu kayu dia berhenti karena dari belakang
ruangan di balik pintu kayu itulah didengarnya suara tangisan tersebut! Suara
tangisan mendadak sontak berhenti ketika mendengar suara membentak lantang.
Tolol! Apa perlu menangis! Apa guna air mata dibuang tak karuan! Toh benda itu
harus pindah ke tangan orang lain! Toh benda itu bukan milik kita! Tolol!
Goblok! Kalau...." Suara bentakan-bentakan lenyap ketika Mahesa Kelud di luar sana mengetuk daun
pintu. Di dalam ruangan terdengar suara be-risik. Lalu terdengar pintu dibanting
dan sunyi.... Mahesa menunggu. Tetap sunyi. Dia hendak mendorong daun pintu di
hadapannya, tapi daun pintu tersebut membuka lebih dahulu. Mahesa masuk. Pintu
di belakangnya terkunci kembali. Ruangan di mana dia berada saat itu memantulkan
sinar kuning menyilaukan karena seluruh dindingnya dilapisi oleh emas murni!
Kalau tadi diketahuinya ada dua orang manusia di dalam ruangan ini, yang satu
tadi menyanyi dan memetik kecapi yang kedua yang tadi membentak, maka kini
dilihatnya ruangan tersebut kosong melom-
pong! Tidak sepotong manusia pun, juga tidak sepotong perabotanpun yang
kelihatan! "Aneh." desis Mahesa Kelud. Dia tenga-dahkan kepala ke atas atap ruangan emas
dan tersiraplah darahnya!
LIMA DI ATAS langit-langit ruangan emas
bergelantungan puluhan ekor ular kuning emas yang panjangnya rata-rata satu
setengah tombak. Kepala ke bawah ekor menempel pada langit-langit! Mulutnya
terbuka memperlihatkan taring serta lidah beracun yang menjulur ke luar masuk.
Dari dalam mulut semua ular itu mengepul keluar asap kuning!
Mahesa Kelud memegang pedangnya erat-erat. Tiba-tiba secara serentak, seperti
diko-mandokan oleh sesuatu, puluhan ular kuning emas itu berjatuhan ke bawah dan
menyerang Mahesa Kelud. Mahesa keluarkan bentakan keras. Pedang sakti di
tangannya berputar laksana titiran. Puluhan ekor ular berpelantingan dalam
keadaan tubuh putung-putung. Tapi beberapa ekor di antaranya masih sempat
mematuk laki-laki itu pada pinggang, dada dan paha kiri! Mahesa putar pe-
dangnya. Ular-ular yang mematuknya tadi putus-putus, tapi ini tak ada gunanya.
Meski semua binatang berbisa itu sudah mati namun tiga patukan di tubuh Mahesa
Kelud membawa akibat yang sangat berbahaya. Betapa pun dia kerahkan tenaga
dalamnya, be-tapa pun tubuhnya sudah melarutkan ilmu Api-Salju, sekalipun pedang
sakti tergenggam di tangan namun aliran bisa ular terus melarut ke dalam tubuh,
mengalir dalam darahnya! Mahesa merasakan ruangan di mana dia berada seperti
digoyang gempa. Nafasnya menyesak. Pemandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya
panas dingin. Dia terge-limpang ke lantai dengan pedang masih di tangan. Dia
berusaha untuk tidak jatuh pingsan. Di sudut ruangan dia melihat suatu lobang
empat persegi yang lebarnya sepemasu-kan tubuh manusia. Dia merangkak dengan
susah payah. Di belakang lobang tersebut kelihatan tangga kuning menuju ke
bawah. Mahesa melewati lobang empat persegi lalu menggulingkan tubuhnya di atas
tangga. Dia terhampar ke lantai di kaki tangga. Tulang-tulangnya serasa
bertanggalan dari persen-dian. Dia merangkak lagi. Di ujung kiri kelihatan
sebuah pelita yang menyalakan api
bersinar kuning. Mahesa merangkak ke arah pelita ini namun sebelum sampai ke
sana tubuhnya sudah kejang dan melosoh ke lantai jatuh pingsan!
Ketika kemudian dia sadarkan diri. Pelita kuning masih ada di hadapannya, dekat
tangan kanan. Dia menggerakkan tangan kanannya tapi malang, menyentuh pelita.
Pelita terbalik dan padam! Ruangan itupun gelap-lah! Mahesa gelagapan! Dalam
keadaan setengah mati setengah hidup itu dia mela-patkan ajian "karang sewu"
lalu memukul dinding di sebelahnya.
Dinding pecah. Lewat pecahan dinding memancarlah sinar kuning yang terang. Sinar
kuning itu turut jatuh menimpa sebahagian dari tubuh Mahesa Kelud. Dan anehnya,
Mahesa seperti mendapat kekuatan baru. Dia merangkak ke pecahan dinding dan
menjenguk ke ruangan di sebelahnya. Ruangan itu tidak besar tapi bagus bersih


Mahesa Kelud - Telaga Api Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berbau harum sekali. Di tengah ruangan kelihatan bergelung seekor ular kuning yang besarnya hampir
sebesar manusia sedang panjangnya menurut taksiran Mahesa Kelud mungkin lebih
dari sepuluh tombak! Binatang ini bergelung dengan mulut membuka lebar. Lidahnya
yang berca- bang menjulur ke luar. Tepat di antara kedua cabang lidah ini maka terdapat
sebuah keris besar berhulu dan bersarung emas, tegak berdiri lurus! Senjata
inilah yang telah me-mancarkan sinar terang kuning sampai ke ruangan sebelah.
Sinarnya yang kuning penuh keajaiban dan mempunyai mujizat kekuatan. "Mungkin
inilah senjata sakti yang dikatakan oleh Namajeni," kata Mahesa Kelud dalam
hatinya, ia menyeruak di antara pecahan dinding dan masuk ke ruangan tersebut.
Matanya terpaksa disipitkan karena sinar kuning keris besar itu menyilaukan
mata. Mahesa Kelud berhenti beberapa langkah di hadapan ular raksasa. Sebenarnya
nyalinya sudah mengkerut, tapi laki-laki ini dengan segala daya yang ada mencoba
kuatkan jiwa dan tabahkan hati. Bukankah demikian bunyi kalimat ke delapan yang
ditulis oleh Namajeni"
Mahesa bersila di hadapan ular dan keris. Tak tahu apa langkah selanjutnya yang
harus diperbuatnya. Apakah langsung ulurkan tangan menjangkau keris" Ular besar
di hadapannya tidak bergerak sedikitpun. Matanya yang merah memandang tak
berkedip. Bentuk kepala ular ini sama benar dengan
hulu dari keris emas yang ada di ujung lidahnya. Sukar bagi Mahesa untuk
memastikan apakah ular besar tersebut masih hidup ataukah sudah mati"! Meski
demikian sebagai orang yang tahu peradatan Mahesa kemudian segera menjura.
"Ular Emas," kata Mahesa. "Aku yang rendah minta maaf karena telah berani datang
mengotori tempatmu. ini kulakukan adalah dalam memegang janji terhadap seorang
tua sakti karena aku tak mau mengecewakan hatinya.... Sekali lagi mohon
dimaafkan....." Kepala ular besar kuning itu tidak bergerak sedikitpun. Tapi tiba-tiba sekali,
sebahagian dari tubuhnya yang bergelung terbuka dan laksana topan ujung ekor
binatang ini menyambar ke kepala Mahesa Kelud!
Kalau saja tidak cepat laki-laki ini jatuhkan diri ke lantai pastilah kepalanya
akan hancur! Ekor ular menyerang lagi untuk kedua kalinya. Mahesa bergulingan.
Ekor ular menghantam lantai. Lantai yang bagus itupun amblas sampai sepertiga
jengkal! Mahesa terkejut. Kejutnya belum habis dan ekor ular itu sudah datang kembali
mengirimkan serangan-serangan beruntun yang mematikan. Mahesa bersikap mengelak
terus-terusan. Meski saat itu pedang merah masih
tergenggam di tangannya namun dia sama sekali tidak mau balas menyerang! Makin
la-ma serangan ular makin dahsyat dan Mahesa Kelud semakin kepepet. Sudah
beberapa kali hampir tubuhnya kena dihantam sabetan ekor yang berbahaya itu!
Tiba-tiba entah dari mana datangnya tahu-tahu di ruangan itu sudah berdiri
seorang perempuan muda yang parasnya cantik sekali, seperti bidadari dari
khayangan. Dia mengenakan pakaian tipis warna kuning sehingga tubuhnya yang
bagus membayang nyata. Mahesa tundukkan kepala tak berani memandang. Satu senyum
terlukis di sudut bibir perempuan itu.
"Ular emas," terdengar suara perempuan itu, merdu menggairahkan, mendatang-kan
birahi bagi laki-laki yang mendengarnya:
"Orang tak melawan mengapa diserang"!"
Mendengar ini maka ular besar itupun hentikan serangan. Tubuh dan ekornya dige-
lung dan dia tak bergerak-gerak, kembali bersikap seperti tadi. Mahesa segera
atur jalan darah dan pernafasannya lalu menjatuhkan diri dan menjura hormat pada
perempuan muda itu, tapi mengunci mulut karena bingung tak tahu apa yang harus
diucapkan. Perempuan cantik berbaju kuning melangkah dan berhenti dekat sekali
di hadapan Mahesa Kelud. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dan pakaian yang melekat di dirinya
terlepas, jatuh ke lantai. Tubuhnya yang bagus mulus itu kini tiada tertutup
selembar benangpun! Hati laki-laki mana yang tidak akan bergon-cang" Tidak akan berdebar" Darah muda
mana yang tidak akan bergejolak dan nafsu siapa yang tidak akan menggelegak"
Mahesa Kelud tundukkan kepala. Dite-kannya perasaan gairah birahi dan nafsu yang
menggelora. Tubuhnya bergetar. Beberapa ketika berlalu.
"Orang muda, angkat kepalamu! Aku Dewi Ular Emas! Apa kau tak mau lihat kein-
dahan tubuhku?" suara itu lembut merdu penuh rayuan.
Bergoncang dada Mahesa Kelud. Na-
mun kepalanya tetap ditundukkan. Ditabah-kannya hati dan iman.
"Ah, orang muda..." terdengar suara Dewi Ular Emas pelahan mengajuk. "Jika kau
tak mau memandang tak apalah. Tapi ulurkan kedua tanganmu. Tidakkah kau ingin
menjamah segala yang dimiliki tubuhku" Pa-rasku" Dadaku, perutku, pahaku....
Ulurkan kedua tanganmu orang muda...."
Hati laki-laki mana yang tidak akan tergoncang mendengar undangan itu" Nafsu
manusia mana yang tidak akan menggelegak"
Birahi siapa yang tidak akan berkeca-muk" Namun Mahesa Kelud terus tundukkan
kepala. Bergerak sedikitpun tidak dia. Dite-kannya setiap rangsangan yang
menimbulkan butiran-butiran keringan pada pori-pori sekujur kulit tubuhnya!
Dewi Ular Emas menunggu. Akhirnya
dia membungkuk dan mengenakan pakaiannya kembali lalu mundur beberapa langkah.
"Orang muda... hari ini kau adalah orang yang paling beruntung di atas dunia.
Kau telah berhasil melewatkan berbagai rin-tangan maut, cobaan dan ujian.
Ketahuilah bahwa ada tiga hal yang menghancurkan diri laki-laki. Pertama
pangkat, kedua harta ke-kayaan, ketiga perempuan! Kau seorang yang tabah hati
kuat jiwa dan teguh iman. Kau pantas memiliki keris Ular Emas itu...!"
Mahesa menjura. 'Terima kasih, Dewi."
katanya. "Siapakah namamu?" tanya Dewi Ular.
"Mahesa Kelud."
"Ah... itu hanya nama palsu bukan"
Nama yang diberikan orang sesudah kau menjadi dewasa" Aku tanya namamu yang
sebenarnya." Terkejutnya Mahesa Kelud mendengar
ucapan Dewi Ular Emas itu. Bagaimana Dewi Ular tahu bahwa Mahesa Kelud adalah
nama palsunya" Nama yang disuruh pakai oleh gurunya Embah Jagatnata waktu dia
turun dari Gunung Kelud sekitar tiga tahun yang silam"
"Namaku sebenarnya adalah Panji Ireng, Dewi." kata Mahesa Kelud akhirnya
memberi-tahu. Dewi Ular Emas tersenyum dan ang-
gukkan kepala. Dia mengambil keris yang berdiri di atas lidah ular besar lalu
berkata. "Berdirilah Panji Ireng."
Mahesa Kelud berdiri tapi tetap dengan tundukkan kepala.
"Angkat kepalamu," perintah Dewi Ular.
Mahesa patuh dan mengangkat kepala-
nya. Sepasang mata mereka saling beradu.
Mahesa tertegun melihat kejelitaan paras De-wi Ular Emas yang dekat sekali di
hadapannya. Dewi Ular Emas sendiri diam-diam men-gagumi kegagahan paras orang
muda itu. Untuk beberapa detik lamanya mereka berdiam diri dan saling pandang
seperti itu. Akhirnya Dewi Ular Emas melirik ke keris di tangannya. "Panji
Ireng, keris ini bernama keris Ular Emas. Sudah dua puluh tahun senjata sakti
ini berada di sini, sama-sama ditempa
pada waktu aku dilahirkan. Rupanya kaulah manusianya yang berjodoh untuk
memilikinya. Terimalah!"
Mahesa Kelud ulurkan kedua tangan
dan menerima keris tersebut dengan sikap hormat. Begitu jari-jari tangannya
menyentuh hulu dan sarung senjata tersebut maka mendadak sontak sirnalah bisa
ular emas yang telah mengalir di dalam darahnya. Luka-luka bekas patukan
binatang jahat itupun sembuh dengan sendirinya. Tubuhnya sehat sembuh seperti
sediakala. Ajaib! "Terima kasih Dewi," kata Mahesa Kelud. Keris sakti itu kemudian disisipkannya
di pinggang kanan. "Nah Panji Ireng, pertemuan kita hanya sampai di sini. Kau lanjutkan perjalanan
kembali. Lakukan tugas yang harus kau lakukan...."
"Dewi, jika ada apa-apa bagaimanakah aku yang rendah ini dapat bertemu dengan
kau?" tanya Mahesa Kelud.
Dewi Ular Emas tersenyum cantik seka-li. "Gunung tinggi menjulang, daratan meng-
hampar lautan membentang. Pertemuan bukan kita yang tentukan! Di mana ada nasib,
di mana ada pelangkahan pasti kita akan bertemu, Panji!"
Mahesa Kelud anggukkan kepala.
"Ular Emas, kau menghindarlah dahulu. Beri jalan pada orang muda ini!" kata Dewi
Ular Emas memerintah pada binatang sakti peliharaannya.
Ular kuning besar itu membuka ge-
lungnya dan bergerak ke samping. Di lantai di atas mana tadi dia berada maka
kelihatanlah sebuah tangga turun ke bawah menuju ke sebuah mulut gang.
"Turuni tangga itu, tempuh gang di ba-wahnya. Kau akan menemui beberapa cabang
gang di kiri kanan tapi ikuti terus yang pertama kali kau tempuh. Setelah
setengah hari penuh kau akan sampai ke dalam sebuah hutan." demikian Dewi Ular
memberi keterangan. Mahesa Kelud mengangguk dan meng-haturkan terima kasihnya.
Sebelum dia me-nuruni tangga, dia menjura penghabisan kalinya. Meski Mahesa
Kelud sudah lama hilang di balik gang namun pandangan kedua mata Dewi Ular Emas
masih saja tertuju ke tangga yang menurun itu. Tanpa disadari dua butiran air
mata menggenang di pelupuk matanya. "Ah, kalau saja dia masih hidup... be-tapa
parasnya sama benar dengan orang mu-da tadi..." Hati Dewi Ular Emas seperti
diiris. Dia memberi isyarat pada binatang peliharaannya untuk menutup lobang tangga.
Lalu ditinggalkannya ruangan tersebut. Untuk beberapa lamanya paras Mahesa Kelud
masih saja membayang di pelupuk matanya!
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dewi Ular Emas, setengah hari kemudian maka
akhirnya diapun keluar dari gang yang ditem-puhnya. Ternyata dia sampai di
tengah rimba belantara. Lobang di mana dia keluar tadi di-tutupnya dengan
ranting-ranting serta semak belukar. Hatinya puas, dadanya lapang. Ke-gembiraan
yang tiada tertahankan membuat dia berteriak keras meninggi langit. Dia jadi
terkejut sendiri ketika menyaksikan bagaimana suara teriakannya itu membuat
tanah yang dipijaknya bergetar, pohon-pohon kayu bergoyang keras, daun-daun
berguguran, udara menggelombang! Ini tidak heran. Sewaktu dia dilepas oleh
gurunya Suara Tanpa Rupa dia telah memiliki tenaga dalam yang tinggi hebat.
Ditambah pula kekuatan mujizat yang merasuk ke dalam tubuhnya sewaktu dia
terendam di dalam air telaga Api-Salju.
Kemudian saat itu pada tubuhnya tersisip dua senjata keramat sakti yang
mempunyai pengaruh dan daya kekuatan yang tiada taranya. Pedang Dewa Delapan
Penjuru Angin serta keris Ular Emas! Mahesa mencabut keris Ular Emas dari pinggang kanannya. Waktu di dalam ruangan
Dewi Ular tadi dia belum puas benar meneliti senjata tersebut. Sarung dan hulu
keris terbuat dari emas murni. Hulu senjata ini merupakan kepala seekor ular
yang mulutnya membuka dan lidahnya yang bercabang menjulur keluar. Kedua mata
dari ular tersebut dihiasi dengan sebutir batu delima merah sebesar kuku jari
telunjuk. Ketika senjata tersebut dicabut oleh Mahesa Kelud maka memancarlah
sinar kuning menyilaukan mata.
Ternyata keris itu berlekuk tujuh. Meski senjata itu kini adalah menjadi
miliknya namun diam-diam Mahesa Kelud merasa gentar juga melihat sinar kuning
yang memancar. Keris disarungkannya dan disisipkan kembali. Mahesa kemudian
melanjutkan perjalanan. ENAM UJUNG KULON.... Tiada pulangnya
Empu Sora ke pertapaannya hampir setengah bulan menggelisahkan hati para murid
orang tua sakti tersebut. Waktu pergi Empu Sora tidak meninggalkan pesan sama
sekali. Apakah yang akan dilakukan dan ke manakah harus dicari sang guru tersebut" Sebelumnya
tak pernah terjadi sampai selama itu Empu Sora meninggalkan perguruan. Bisa jadi
ada sesuatu yang penting yang dilakukan oleh Empu Sora, atau mungkin... guru
mereka sudah mendapat celaka di tengah jalan" Mustahil, demikianlah pikiran
murid-murid Empu Sora. Mereka tahu benar siapa adanya Empu Sora.
Seorang tua sakti yang dikenal keharuman namanya dalam rimba persilatan! Tapi
mengapa dia pergi selama ini dan tak kunjung kembali"
Gemparlah perguruan Ujung Kulon,
hebohlah para murid Empu Sora ketika mereka mendapat kabar bahwa guru mereka
yang pergi dan selama ini ditunggu-tunggu telah menemui ajalnya di pulau Bawean,
dibunuh oleh muridnya sendiri yang dulu telah diusir yakni Jayengrana! Semua
murid hampir tak bisa percaya bagaimana mungkin guru mereka yang sakti luar
biasa dapat ter-bunuh oleh Jayengrana alis Lutung Gila" Pa-dahal waktu diusir
dari perguruan tempo hari Jayengrana hanyalah murid terpandai nomer tiga!
Jangankan dia, murid terpandai nomor satupun belum tentu akan mampu menghadapi
Empu Sora! Tapi mungkin Jayengrana
telah berguru pula pada seorang lain yang lebih hebat dan lebih sakti dari Empu
Sora! Kalau tidak mustahil itu bisa terjadi.
Mendengar kabar kematian guru mere-
ka meluaplah amarah murid-murid di perguruan. Murid tertua yang boleh dikatakan
telah memiliki hampir semua ilmu yang diajar-kan oleh Empu Sora segera
mengumpulkan saudara-saudara seperguruannya untuk di-ajak berunding membicarakan
langkah-langkah apa yang akan mereka ambil sehu-bungan dengan kematian guru
mereka. Murid tertua ini bernama Dipa Putra.
"Saudara-saudaraku sekalian," kata Dipa Putra. "Perguruan kita telah ditimpa
nasib buruk yang memalukan, karena peristiwa kematian guru kita! Lebih
mencemarkan lagi karena kematian guru kita dilakukan oleh, dibunuh bekas
muridnya sendiri yaitu Jayengrana yang kini memakai nama Lutung gila!
Sebagai murid-muridnya, tentulah kita harus turun tangan membalaskan sakit hati!
Pembalasan satu-satunya adalah hanya dengan menamatkan riwayat Jayengrana" Kalau
tidak begitu kemana muka kita akan diletakkan" Kupanggil saudara-saudara
sekalian di sini adalah untuk memberitahukan bahwa aku sebagai murid tertua
sudah bertekad bu- lat untuk pergi ke pulau Bawean guna mengambil jenazah guru kita dan sekaligus
menebas batang leher si Jayengrana keparat itu!" Ketika Dipa Putra hentikan
bicaranya maka untuk beberapa lamanya sunyilah suasana. "Kakak guru," berkata
Gagak Nandra. Dia adalah murid perguruan nomer empat.
"Kita semua adalah murid-murid Empu Sora dan sudah seharusnya membalaskan sakit
hati kematian beliau. Sebagai murid tertua, maka kaulah kini yang menjadi
pemegang pucuk pimpinan. Jika kau pergi dan terjadi apa-apa pula di sini, kata
siapakah yang akan diturut" Perintah siapakah yang akan dipa-tuhi kalau bukan
kau" Karenanya, urusan dengan Jayengrana itu biarlah aku yang pergi untuk
menyelesaikan!" "Tidak bisa!" kata Dipa Putra pula dengan gelengkan kepala. "Kau Gagak Nandra
dan adik-adik seperguruan lainnya tetap di sini, aku yang akan pergi sendirian!"
"Bolehkah aku bicara?" tanya satu suara dari dekat pintu. Semua kepala dipaling-
kan. Yang berkata adalah kakek-kakek tua juru masak perguruan. Di samping jadi
tu-kang masak dia juga turut belajar ilmu seju-
rus dua jurus dan meski ilmunya paling rendah sekali namun karena umurnya dia
di-hormati oleh murid-murid Empu Sora lainnya yang jauh lebih muda.
"Silahkan kakek! Memang pertimban-ganmu kami harapkan sekali," kata Dipa Putra.
Si kakek pun membuka mulutnya. "Apa yang dikatakan oleh Dipa Putra memang betul.
Yang diucapkan oleh Gagak Nandra juga sama betulnya! Tapi janganlah menimbulkan
rasa yang tidak enak di antara masing-masing kalian. Dalam menghadapi peristiwa
besar ini sekali-kali kita jangan sampai salah langkah, apalagi jika sampai
terjadi perpeca-han dan saling bersakit-sakitan hati! Sebagai murid tertua dalam
ilmu memang kau berhak memutuskan untuk menanggung jawab dan menyelesaikan
dendam kesumat kita terhadap Jayengrana. Tapi betul pula kata adikmu, apa akan
jadinya jika sewaktu-waktu selama kau pergi timbul peristiwa besar pula di sini
melanda perguruan kita" Kata siapa yang akan dituruti, perintah siapa yang akan
dipa-tuhi" Aku sudah tua saudara-saudaraku ka-renanya aku berpendapat kau Dipa
Putra tetap di sini menjaga perguruan kita. Bukan mustahil si Jayengrana gila
itu akan nyasar pula ke sini membuat keonaran. Serahkan urusan ke pulau Bawean pada Gagak
Nandra. Dia harus berangkat bersama beberapa orang lainnya, akupun bersedia
untuk pergi jika diizinkan."
Dipa Putra termenung. Gagak Nandra
puas hatinya karena diberikan peluang baik oleh si kakek untuk pergi. "Saudara-
saudara, baiklah," kata Dipa Putra pada akhirnya.
"Kau Gagak Nandra, pergilah bersama adikmu Sura Mana. Bawa serta lima orang
saudara-saudara kita dari tingkat ke lima."


Mahesa Kelud - Telaga Api Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gagak Nandra segera berdiri. Disusul oleh Sura Mana, seorang separuh baya yang
merupakan murid ke empat setingkat dengan Gagak Nandra. Kedua orang ini kemudian
memilih lima orang saudara seperguruan dari tingkat kelima. Tanpa banyak
penuturan lagi maka ke tujuh saudara seperguruan itupun berangkatlah!
TUJUH KETUJUH orang itu segera tekap hi-
dung mereka ketika bau busuk ditiupkan angin menyambar ke hidung mereka. "Bau
busuk apa ini?" ujar Sura Mana seraya meman-
dang berkeliling. Tiba-tiba salah seorang seperguruannya dari tingkat kelima berseru dan menunjuk.
"Lihat! Ada mayat!"
Ketujuh orang itupun berlari meng-
hampiri mayat yang menggeletak di tanah.
Sungguh mengerikan. Paras mayat itu sudah tak bisa dikenal lagi. Kepalanya
rengkah, mukanya hancur. Darah kering bertebaran di seluruh pakaiannya. Mayat
ini sudah sangat rusak dan berlubang-lubang bekas patukan burung-burung pemakan
mayat yang banyak beterbangan di atas pulau. Busuknya bau mayat dalam jarak
sedekat itu tiada terkirakan! Dari pakaian mayat itu ketujuh orang tersebut tahu
bahwa itu bukanlah mayat guru mereka. Angin dari laut bertiup keras menerbangkan
debu serta pasir dan meng-hamparkan bau busuknya mayat yang makin menjadi-jadi!
"Adik-adikku," seru Gagak Nandra. "Ki-ta berpencaran di sini. Beri tanda jika
salah se-orang dari kalian menemukan jenazah guru atau bangsat rendah si Ja..."
mendadak sotak Gagak Nandra putuskan bicaranya.
Mukanya pucat pasi, mulutnya menganga sedang kedua matanya melotot seperti mau
melompat keluar dari sarangnya! Rupa Gagak
Nandra saat itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah dicekik oleh setan laut!
"Demi Tuhan!" seru Gagak Nandra.
"Saudara-saudaraku, lihat di atas pohon sa-na!" Semua kepala sama diputar dan
semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Di sana di atas pohon, di antara dua
buah cabang besar kelihatan sesosok mayat berjubah hijau terjuntai kaki ke atas
ke kepala ke bawah. Elang-elang laut pemakan mayat seperti se-mut berkerumun memakani daging mayat
yang sudah rusak busuk dan memutih tinggal tulang belulangnya saja!
"Guru!" jerit ketujuh orang tersebut.
Tenggorokan mereka menyendat.
Tak menunggu lebih lama, begitu hi-
lang kejutnya maka Gagak Nandra dengan guna-kan ilmu entengi tubuhnya yang
tinggi segera melompat ke atas pohon. Ketika dia turun kembali maka jenazah Empu
Sora sudah berada dalam kempitannya. Gagak Nandra men-cari tempat yang baik.
Ketika dilihatnya batu besar di ujung sana maka dia melangkah ke situ dan
membaringkan jenazah Empu Sora di atas batu. Tujuh murid Empu Sora sama pejamkan
mata tak tahan melihat jenazah guru mereka yang demikian
rusaknya. Di sela-sela mata yang dipejamkan itu maka mengambanglah butiran-
butiran air mata! Meskipun mereka adalah pendekar-pendekar berhati tabah berjiwa
satria, tapi menyaksikan kematian guru yang mereka cintai demikian
mengenaskannya, mau tak mau ketujuhnya sama teteskan air mata.
Sura Mana membuka kedua matanya
perlahan-lahan. Dia meneliti mayat Empu So-ra. Kedua matanya berputar mencari
sesuatu. Kemudian dia berkata: "Pedang pusaka hijau milik guru tidak ada!"
Terkejutlah saudara-saudara seperguruannya yang enam orang. Mereka sama bukakan
mata, dan meneliti. "Pasti manusia celaka Jayangrana itu yang mengambilnya!
Keparat!" ujar Gagak Nandra. Dia cabut pedangnya, sebuah pedang warna hijau.
Untuk setiap muridnya, Empu Sora telah membuatkan sebilah pedang hijau pertanda
lambang perguruan mereka. Dengan kertakkan geraham maka berkatalah Gagak Nandra.
"Guru, biarlah cuma jenazahmu yang akan menyaksikan bahwa kami murid-murid akan
menindak manusia yang telah berbuat keji atas dirimu ini! Semoga Tuhan
memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagimu di akhirat!"
Sura Mana dan lima orang saudara se-
perguruan lainnya meniru perbuatan Gagak Nandra. Mencabut pedang dan bersumpah
serta mendoakan arwah guru mereka.
Dalam suasana yang penuh khidmat
dan juga kobaran balas dendam itu maka terdengarlah satu suara tertawa perempuan
meringkik seperti kuda. "Lutung Gila! Kemarilah kau! Lihat ada kunyuk-kunyuk sinting dari mana yang
nyasar main komidi di sini! Kik... kik... kik...!"
Kaget sekali maka ketujuh murid Empu Sora palingkan kepala. Hampir tak percaya
mereka ketika pandangan mereka membentur seorang perempuan muda cantik jelita,
ber-pakaian merah, berdiri dengan bertolak pinggang tak berapa jauh di hadapan
mereka. Sedang di pinggang kirinya tergantung pedang pusaka hijau, pedang pusaka
perguruan Ujung Kulon milik guru mereka! Belum lagi habis kaget ketujuh orang
tersebut maka ta-hu-tahu di samping perempuan muda itu muncullah sesosok tubuh
aneh. Meskipun sosok tubuh ini memakai pakaian seperti lutung dan rambutnya
awut-awutan namun mereka masih dapat mengenali siapa adanya dia. Maka
menggelegaklah amarah ketujuh orang tersebut.
"Jayengrana keparat!" bentak Gagak
Nandra. "Hari ini kau serahkan nyawa di tangan kami!"
Lutung Gila alias Jayengrana tertawa aneh menggidikkan. Begitu suara tawanya
sirna maka dia balas membentak! "Kurang ajar, sudah tempat peranginan anakku
dipakai untuk meletakkan mayat busuk, berani pula memaki! Konyol" serentak
dengan itu Lutung Gila mengirimkan tendangan jarak jauh ke arah ketujuh murid
Empu Sora yang tak lain adalah juga bekas saudara-saudara seperguruannya
sendiri! Melihat angin tendangan yang sangat dahsyat ini maka ketujuh murid Empu Sora
terkejut sekali dan buru-buru menghindar.
Malang bagi dua orang murid dari tingkat kelima, mereka tak sempat menghindar.
Tubuh mereka kena dihantam angin tendangan! Keduanya terguling muntah darah dan
mere-gang nyawa! Saudara-saudara seperguruannya yang lain jadi kalap.
"Serbu!" teriak Gagak Nandra berikan komando. Kelimanya kemudian menyerang
dengan pedang di tangan. Sinar hijau berke-lebatan mengurung Lutung Gila.
Kemaladewi tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa melengking seperti
kuntilanak! Tiga keluhan kesakitan terdengar. Tiba
tubuh mencelat dan waktu jatuh ke tanah nyawanya sudah putus! Gagak Nandra dan
Sura Mana melompat mundur! Keringat dingin memercik di kening mereka melihat
beta-pa tiga lagi saudara mereka menemui ajal secara mengerikan di tangan Lutung
Gila! Tiada disangka bekas saudara seperguruan mereka itu demikian hebatnya.
Pantas saja guru mereka tiada sanggup pertahankan nyawa. Dan keduanya menyadari
pula bahwa meskipun mereka mengeroyok berdua dan sama memegang pedang ampuh
pemberian guru tapi mereka pasti akan bernasib malang pula! Akan menemui ajal!
Hati kedua bersaudara seperguruan ini bergetar. Tapi untuk menyerah atau lari
selamatkan diri tak ada dalam ka-mus hidup mereka! Keduanya segera menyerbu
kembali! Lutung Gila tertawa membahak. Dia
maju gerabak-gerubuk menyongsong serangan lawan-lawannya. Sukar sekali bagai
Gagak Nandra dan Sura Mana untuk memperhatikan gerakan yang serba aneh dari
lawan mereka. Tahu-tahu pedang di tangan Sura Mana kena dirampas! Belum lagi
murid kelas empat ini sempat melompat selamatkan diri maka ujung pedang sudah
menancap di dadanya! Sura Mana mati seketika itu juga!
"Jayengrana murid murtad! Aku mengadu nyawa dengan kau!" teriak Gagak Nandra
murka tiada terperikan. "Biung biung...! Sejak kapan kau punya nyawa rangkap hendak mengadu nyawa dengan
Lutung Gila" Biung?"
Pedang menyambar di muka hidungnya
dibiarkannya saja. Tiba-tiba dia bergeser sedikit dan... seperti nasib yang
diterima Sura Mana maka pedang hijau Gagak Nandra kena dirampas Lutung Gila.
Pedang itu kemudian membalik membacok ke kepala Gagak Nandra! "Lutung Gila,
tahan! Yang satu ini jangan dibunuh!" terdengar tiba-tiba seruan Kemaladewi.
Patuh sekali. Lutung Gila miringkan pedang hijau di tangannya dan senjata itu
menancap sampai ke hulunya di tanah di samping kaki Gagak Nandra!
Lutung Gila putar kepala. "Eeee ciluk, kenapa yang satu ini tidak dimampuskan
sa-ja"!" tanyanya.
"Aku ada rencana!" jawab Kemaladewi dengan tolak pinggang. Dia memandang pada
Gagak Nandra yang berdiri mematung dengan tubuh keringatan dan paras pucat pasi!
"Eh kunyuk kau muridnya orang tua bau busuk
itu"!" Gagak Nandra tak menyahut. Matanya melotot memandang geram pada
Kemaladewi. "Hai jawab!" bentak Kemaladewi.
Gagak Nandra tetap membungkam.
Lutung Gila berkata, "Ciluk, monyet bi-su ini memang murid orang tua busuk itu!"
"Siapa namamu"!" tanya Kemaladewi lagi. Gagak Nandra meludah ke tanah!
"Menghina! Keparat! Bosan hidup ya"!"
Kemaladewi melompat ke muka dan.... "Plak!"
tamparannya mendarat di pipi Gagak Nandra.
Gagak Nandra meraung kesakitan. Mulutnya pecah dan darah berlelehan!
"Kalau aku tidak salah ingat ciluk, monyet ini bernama Nandra Gagak!" kata
Lutung Gila pula. Ternyata dia menyebut nama Gagak Nandra terbalik!
"Gagak Nandra!" kata Kemaladewi.
"Dengar! Kau masih punya nasib untung tidak seperti saudara-saudara
seperguruanmu yang lain! Bawa mayat busuk gurumu dan kembali ke Ujung Kulon dan
terangkan pada kunyuk-kunyuk yang ada di perguruan bahwa pada tanggal tujuh
bulan tujuh aku bersama Lutung Gila dan Lutung Bawean serta Raja Lutung akan
datang ke sana! Kalian ha-
rus menyambut aku dengan upacara besar-besaran karena ketahuilah bahwa sejak
gurumu mampus maka akulah yang akan menjadi Ketua Perguruan! Mengerti"!"
Geram Gagak Nandra bukan kepalang.
Tapi dia tidak bisa berbuat apa. Melawan sudah pasti tidak mungkin. Untuk
beberapa lamanya dia masih berdiam diri.
"Mengerti tidak mengerti, angkat kaki dari sini! Biung kunyuk," bentak Lutung
Gila. Gagak Nandra melangkah ke dekat ba-
tu besar di mana jenazah yang rusak membusuk dari Empu Sora tadi dibaringkannya.
Dipanggulnya jenazah gurunya itu di pundak kiri. Sebelum dia melangkah
meninggalkan kedua orang tersebut dia berpaling lebih dahulu dan berkata: "Kutuk
Tuhan akan jatuh atas diri kalian berdua! Hari pembalasan akan tiba kelak!"
"Kunyuk sinting! Masih mau berbacot!"
bentak Lutung Gila seraya melangkah hendak menendang Gagak Nandra. Tapi
tangannya dipegang oleh Kemaladewi.
"Biarkan saja!" kata Kemala.
"Biung! Gagak Nandra menyeka darah di mu-
lutnya, memutar tubuh dan tinggalkan tempat tersebut menuju ke tepi pasir.
DELAPAN DARI lereng bukit terdengar suara teriakan keras yang disertai tenaga dalam.
"Gagak Nandra kembali membawa jenazah guru seorang diri!"
Dari dalam rumah besar keluarlah Dipa Putra dan kira-kira dua puluh orang
saudara seperguruannya dari berbagai tingkatan. Mereka berlari dan saat itu di
pintu halaman masuklah Gagak Nandra memanggul jenazah Empu Sora.
"Gagak Nandra!" seru Dipa Putra. "Ma-na yang Iain-Iain! Eh, mengapa mulutmu"!"
Gagak Nandra tak segera menjawab.
Jenazah Empu Sora diberikannya pada salah seorang saudara seperguruannya. Dia
sendiri kemudian duduk bersila, mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Alirkan tenaga dalam dengan pejamkan mata. Beberapa saat kemudian kedua matanya
dibuka kembali. Gagak Nandra menangis terisak.
"Ee, Gagak Nandra! Sebagai kesatria kau tak pantas menangis! Apa yang terjadi,
mana yang lain-lainnya?" tanya Dipa Putra.
"Aku bukan kesatria sejati! Aku hanya memalukan perguruan kita saja yang enam
orang itu menemui ajal semua!"
Terkejutlah Dipa Putra dan yang lain-lainnya mendengar keterangan tersebut.
Sunyi sejurus lamanya, hanya suara isakan Gagak Nandra yang terdengar. Setelah
tan-gisnya mereda maka Gagak Nandra kemudian menuturkan apa yang terjadi dan
dialami di pulau Bawean. "Meski aku beruntung dilepas untuk membawa jenazah guru kita..." kata Gagak
Nandra pula. "Tapi hatiku tidak puas! Dan aku malu sekali!"
'Tak ada yang harus dimalukan Gagak Nandra," ujar si kakek yang bernama Waranoa.
"Jangankan kau, guru kita sekalipun tidak sanggup melawan Si Lutung Gila jaha-
nam itu!" Hari itu juga jenazah Empu Sora diku-burkan dengan upacara khidmat khusus.
Selesai penguburan maka Dipa Putra memanggil berkumpul semua saudara
seperguruannya. Hatinya masygul sekali sedang darahnya tak kunjung dingin akibat
dendam kesumat serta amarah yang mendidih! Dia memandang berkeliling dan
pandangannya terhenti ketika membentur si kakek Waranoa.
"Kakek," ujar Dipa Putra. "Kau sebagai orang yang paling tua di antara kami,
kepa- damulah kami pertama kali akan minta petunjuk. Gerangan langkah apakah yang akan
kita perbuat guna membalaskan sakit hati ki-ta kepada si Jayengrana itu?"
Waranoa meraba dagunya. Kedua matanya menyipit seperti seseorang yang tengah
memperhatikan sesuatu di kejauhan. Dia membuka mulut hendak bicara, tapi
mendadak terdengar suara Gagak Nandra mendahului.
"Saudara-saudara ada sesuatu yang lu-pa kukatakan pada kalian!"
"Apakah"!" tanya Dipa Putra.
"Pesanan! Pesan dari perempuan iblis yang kabarnya menjadi istri Jayengrana
keparat itu!" "Pesan apakah, Gagak Nandra" Cepat katakan!" ujar Dipa Putra tak sabar.
"Katanya pada tanggal tujuh bulan tujuh dia bersama Lutung Gila dan Lutung
Bawean serta Raja Lutung akan datang ke sini!"
"Akan datang ke sini"!"
"Ya!" Semua mata terbuka lebar-lebar dan
semua orang saling berpandangan. "Katanya lagi kita harus menyambutnya dengan
upacara besar-besaran karena dialah, si iblis be-tina itu, yang akan
menggantikan guru menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon ini! Dan
padanya kulihat pedang pusaka milik guru!"
"Keparat rendah!" maki Dipa Putra seraya tinjukan tangan kanannya ke telapak
tangan kiri. "Siapa Raja Lutung dan Lutung Bawean?" tanya Waranoa.
Gagak Nandra angkat bahu. "Tapi pastilah mereka juga manusia-manusia sakti macam
Lutung Gila dan perempuan iblis itu!"
Dipa Putra mengeluh dalam hatinya.
Sebagai murid tertua dalam menuntut ilmu, sebagai murid yang terpandai, maka
tanggung jawab besar dalam menuntut balas terletak di tangannya! Tapi kalau
gurunya sendiri kepada siapa dia belajar menuntut segala macam ilmu kesaktian
harus serahkan nyawa menghadapi Lutung Gila, bagaimana dia akan sanggup
membalaskan dendam sakit hati itu"! Apa yang terpikir oleh Dipa Putra ini
terpikir pula oleh anak-anak murid perguruan lainnya. Dan pada tanggal tujuh
bulan tujuh Lutung Gila bersama ketiga bangsat-bangsat yang disebutkan namanya
itu akan datang pula ke Ujung Kulon! Tanggal tujuh bulan tujuh ini hanya tiga
bulan di muka! Bi-sakah mereka mengadakan persiapan selama tiga bulan itu untuk
menyambut kedatangan Lutung Gila, istrinya, Lutung Bawean dan Ra-
ja Lutung" Bukan menyambut dengan upacara besar-besaran tapi dengan pedang di
tangan dan bertempur hidup mati membalaskan sakit hati dendam kesumat"!
Pandangan Dipa Putra kembali tertuju pada Waranoa. "Kakek, petunjukmu tetap kami
harapkan." "Saudara-saudaraku," kata Waranoa.
"Melihat singkatnya waktu yang dikatakan perempuan iblis bini si Jayengrana itu,
nyata-lah kita tak bisa mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan mereka!
Ini berarti satu-satunya jalan bagi kita ialah meminta bantuan pihak luar...."
"Saya tidak setuju urusan perguruan kita sampai dibawa-bawa keluar," tukas Dipa
Putra. "Itu hanya akan merendahkan perguruan kita dan mencemarkan nama guru!"
"Itu betul!" jawab Waranoa. "Apa yang terjadi di perguruan kita harus kita
sendiri yang turun tangan menyelesaikannya. Tapi dalam persoalan macam mana"
Apakah kita mau mati dan mampus semua menghadapi lawan yang bukan tandingan
kita" Dimana kita pada akhirnya tidak seorang pun sanggup menuntut balas dendam
guru kita dan saudara-saudara kita"! Pikir itu baik-baik!"
Dipa Putra dan yang lain-lainnya ter-
menung berdiam diri. Waranoa meneruskan.
"Nasib kita tak beda dengan sebuah sabut ke-lapa yang hendak melawan menerjang
ombak besar. Nasib kita tak ubah seperti sebuah mentimun yang hendak kalap-
kalapan melawan durian! Apa jadinya"! Badan berkubur niat tak sampai! Meminta


Mahesa Kelud - Telaga Api Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tolong kepada se-sama ka-wan dalam dunia persilatan adalah soal biasa. Mendiang
Empu Sora bukan tokoh biasa, bukan tokoh kemarin. Beliau pasti banyak mempunyai
kawan tokoh-tokoh kawa-kan sakti! Mustahil mereka tidak akan mau membantu bila
kita murid-murid Empu Sora datang rendahkan diri minta bantuan mereka! Sebagai
orang tertua yang diam di sini, memang aku pernah dengar seorang sakti bernama
Lor Munding Saksana. Umurnya sekarang mungkin sudah lebih dari tujuh puluh!
Menurut keterangan yang kudapat, puluhan tahun silam Lor Munding Saksana pernah
berdiam di sini dan menjadi guru Empu Sora, jadi kakek guru kita sekalian! Lor
Munding Saksana kemudian pergi meninggalkan tempat ini entah ke mana. Kemudian
dikabarkan dia berada di Bukit Bangkai. Di mana letaknya Bukit Bangkai inipun
aku yang sudah tua tidak pernah tahu!"
Dipa Putra pejamkan matanya. Dia ta-
hu mata semua saudara-saudara seperguruannya ditujukan kepadanya karena sebagai
murid utama segala keputusan terletak di tangannya. "Saudara-saudara sekalian.
Begini saja.... Kita usahakan dahulu mencari Bukit Bangkai dan menemui kakek
guru Lor Munding Saksana. Jika tidak berhasil baru meminta bantuan pihak luar.
Bagaimana... setuju"!" Rata-rata semua orang menyatakan persetujuannya termasuk
si orang tua Waranoa. "Tapi siapakah yang akan pergi?" bertanya orang tua itu.
"Kau Dipa Putra tidak mungkin. Gagak Nandra juga tidak mungkin karena masih
sakit...." "Aku sudah sembuh, biar aku yang pergi!" potong Gagak Nandra dengan tiba-tiba.
Dia rela pergi agar dapat menebus rasa malunya terhadap peristiwa di pulau
Bawean tempo hari. Dipa Putra gelengkan kepala. "Tidak bi-sa Gagak Nandra. Kau tetap di sini, kau
masih sakit...." Seorang anak murid bertubuh tegap
berbadan tinggi tiba-tiba berdiri, ia dari tingkat empat, sama dengan Gagak
Nandra. Dia memandang berkata: "Saudara-saudara sekalian biarlah aku Udayana
kali ini kalian le- paskan untuk menunjukkan bakti kepada guru dan perguruan! Izinkan aku pergi
mencari kakek guru Lor Munding Saksana!"
Semua mata ditujukan kepada pemuda
itu dan akhirnya setuju. "Doa kami bersa-mamu, semoga kau berhasil. Semoga kita
dapat menyelamatkan, perguruan kita dan menjaga nama harum mendiang guru!" kata
Dipa Putra pula. Udayana menjura pada saudara-saudara seperguruannya lalu meninggalkan tempat
itu. SEMBILAN PAKAIANNYA kotor dan robek-robek,
kakinya luka-luka serta bengkak. Rambutnya panjang awut-awutan. Sudah hampir
tiga bulan dia malang-melintang di depan penjuru angin. Sudah puluhan bukit
dinaik-turuninya namun Bukit Bangkai tak kunjung bertemu sedang hari tujuh bulan
tujuh semakin dekat juga! Hari itu dia berdiri di tepi sebuah jurang dalam
berbatu-batu. Di seberang jurang kelihatan sebuah bukit kecil.
"Kalau yang satu ini bukannya Bukit Bangkai, celakalah aku! Hancurlah nama
perguruan dan cemarlah nama guruku," demikian kata Udayana dalam hatinya.
Dengan seribu satu macam kesulitan
dituruninya jurang berbatu-batu itu. Sebentar-sebentar dia terpeleset oleh lumut
licin dan masih untung dia terjatuh dihalangi oleh batu, kalau tidak pasti
tamatlah riwayat anak murid Perguruan Ujung Kulon ini di dasar jurang maut! Tak
jarang pula kakinya tersan-dung. Ketika malam tiba maka Udayana baru sanggup
mencapai dasar jurang. Karena letih dia tertidur juga meski perutnya kosong
tiada berisi! Esok paginya pemuda berhati tabah ini melanjutkan perjalanan
mendaki lereng jurang. Malam hari pula baru dia berhasil mencapai puncak jurang
yang membawanya ke kaki bukit. Di sini anak murid Perguruan Ujung Kulon itu
jatuh pingsan. Menjelang di-nihari baru dia siuman. Dicarinya tetumbu-han apa
saja yang bisa dimakan penyumpal perut. Namun semua itu dimuntahkannya kembali
karena tak sanggup perutnya menerima! Dengan perut tetap berisi angin kosong
Udayana mulai mendaki bukit di hadapannya. Menjelang tengah hari pemuda ini
mencapai lereng yang ditumbuhi berbagai tana-
man liar. Dia menyeruak di antara semak-semak dan tiada henti-hentinya
berteriak. "Kakek guru!" demikianlah yang dilakukan Udayana setiap dia menaiki sebuah
bukit. Suaranya sudah parau karena terus-terusan berteriak. Mendadak
Udayana hentikan teriakannya. Mulutnya menganga bengong melompong, kedua matanya
melotot memandang ke pohon kecil di hadapannya. Pohon kecil itu seluruh daun-nya
sudah berguguran. Ranting-rantingnya kecil halus. dan pada salah satu ujung
ranting yang besarnya tidak lebih dari besar ibu jari duduk berjuntai seorang
tua berambut putih. Mulutnya komat-kamit. Apa yang dimakannya adalah seekor
burung mentah! Bagaimana Udayana mau percaya.
Jangankan seorang manusia, seekor kucing-pun jika berada di ujung ranting
tersebut, pastilah ranting itu patah! Tapi si orang tua rambut putih duduk
seenaknya, bahkan sambil makan itu dia goyang-goyangkan kedua kakinya seperti
anak kecil tengah makan kue yang disukainya!
Orang tua berambut putih itu mem-
buang sisa-sisa tulang-belulang burung yang dimakannya. "Pluk!" tulang burung
mentah tersebut jatuh di kening Udayana. Terbang
semangat pemuda itu karena terkejut. Tiba-tiba dilihatnya orang tua di atas
ranting kayu melambaikan tangan kirinya. Lalu menenga-dah sambil tertawa-tawa.
Dari langit jatuhlah suatu benda hitam bergelapakan. Ternyata seekor burung!
Si orang tua mencabuti bulu-bulu binatang itu, sesudah gundul mulai menyantap-
nya seperti tadi! Udayana gelengkan kepala. Bukan
sembarang orang bisa melepaskan pukulan jarak jauh seperti itu untuk membunuh
seekor burung yang melayang cepat di udara!
Bukan manusia biasa yang makan daging mentah-mentah! Pastilah ini seorang sakti
luar biasa. Mungkin sekali orang tua yang tengah dicarinya!
"Kakek guru!" seru Udayana. Orang tua itu terus saja makan seenaknya, komat-
kamit dan cengar-cengir. Seakan-akan tidak mendengar seruan Udayana, seakan-akan
pemuda tersebut tidak ada di dekatnya!
"Kakek guru! Kakek guru Lor Munding Saksana! Saya Udayana dari... hek." Pemuda
itu keluarkan suara tercekik.
Daging burung yang sudah gundul,
tinggal tulang-belulang saja dilemparkan oleh si orang tua dan tepat jatuh di
dalam mulut Udayana yang tengah berteriak sehingga mulut pemuda itu tersumpal, teriaknya
terhenti dan tercekik! Udayana keluarkan tulang burung yang bau amis itu dari
mulutnya. Ulu hatinya naik, cacing gelang-gelang membe-rontak dan perutnya
memual. Sesaat kemudian pemuda inipun muntah-muntah! Sedang si orang tua mulai
pula memandang ke langit mencari burung baru untuk pengisi perutnya!
Kesal Udayana bukan alang-kepalang.
Kalau saja dia bukan berhadapan dengan kakek-kakek aneh itu, pastilah sudah
didam-prat dan dicaci makinya habis-habisan! Dia berteriak lagi: "Kakek guru!
Kakek guru Lor Munding Saksana! Saya dari Perguruan Ujung Kulon! Datang meminta
bantuanmu! Guru kami Empu Sora dibunuh orang! Perguruan terancam bahaya besar!"
Untuk pertama kalinya kakek-kakek itu palingkan kepala. Dia memandang ke jurusan
Udayana. Tapi cuma sebentar. Sesat kemudian dia kembali komat-kamit makan daging
burung mentah! Udayana tidak putus asa.
Meski suaranya sudah parau dan hampir hilang namun dia berteriak terus.
Si orang tua hentikan makannya untuk kedua kalinya. "Sompret," makinya. "Kau
manusia atau monyet huh"!"
"Kakek guru! Saya Udayana dari...."
"Aku tidak tanya kau siapa. Perduli amat sekalipun kau setan dari neraka! Aku
tanya kau manusia atau monyet"!"
"Saya manusia, kakek guru...."
"Kalau manusia mengapa berteriak macam monyet terbakar ekor"!"
"Kakek guru...."
"Aku bukan kakek gurumu! Juga bukan moyang gurumu!" hardik si orang tua.
"Kalau begitu mungkin kau bisa beri sedikit keterangan padaku...."
"Sompret! Aku bukan kotak penerangan!" Udayana jadi terdiam, tak tahu apa yang
musti dikatakannya. Hatinya kesal sekali sedang tubuhnya letih tiada terkirakan.
Dia akhirnya duduk menjelepok di tanah.
"Eh kunyuk! Mengapa duduk di situ"
Apa ini bukit bapakmu yang punya" Berdiri!
Sompret!" bentak si orang tua. Matanya melotot. Udayana buru-buru berdiri dan
memaki dalam hati. "Eh sompret! Kau memaki dalam hati ya"! Kunyuk!"
Udayana terkejut. Mukanya memucat.
Tak diduganya si orang tua akan tahu bahwa
dia memang memaki dalam hati!
Orang tua rambut putih itu mengha-
biskan daging burungnya lalu tulang-tulang burung seperti tadi dengan sikap acuh
tak acuh dilemparkannya ke kepala Udayana.
Pemuda itu merunduk namun anehnya tulang burung tetap saja mampir di kepalanya!
"Eh sompret!" kata si orang tua seraya seka mulutnya. "Ada apa kau datang ke si-
ni"!" Harapan membayang dalam hati Udayana. "Saya anak murid Perguruan Ujung
Kulon. Datang untuk mencari kakek guru bernama Lor Munding Saksana...."
"Eh siapa" Lor Bunting Saksana...?"
"Bukan... Lor Bunting Saksana!" mem-betulkan Udayana.
Orang itu tertawa. Kelihatanlah gusinya yang ompong semua! "Ada apa kau cari itu
manusia nama Lor Munding Saksana" Mau ngempeng sama dia huh"!"
Udayana memaki dalam hati.
"Nah... nah... kau memaki lagi ya"
Sompret!" "Saya mencari kakek guru karena Perguruan terancam bahaya besar sedang guru
sudah mati dibunuh orang!"
"Siapa nama gurumu"!"
"Empu Sora." "Siapa yang membunuh!"
"Lutung Gila...."
"Eh masa manusia kalah sama lutung"
Lutung Gila pula!" tukas si orang tua.
"Lutung Gila hanya nama julukan. Na-ma sebenarnya adalah Jayengrana. Tadinya
murid Empu Sora sendiri!"
"Eh lantas kenapa bunuh gurunya?"
"Dia sudah gila dan murtad!" jawab Udayana.
Orang tua itu diam seketika. Lalu. "Jadi Lor Munding Saksana itu, kakek gurumu
ya!" "Betul! Orang tua."
"Kau belum pernah ketemu dia?"
"Belum...." "Tahu di mana tinggalnya?"
"Kabarnya di Bukit Bangkai...."
"Kau tahu di mana bukit ini?"
"Tidak, orang tua."
"Goblok! Pergi ke puncak bukit dan co-ba perhatikan lereng bukit di sebelah
timur! Lekas!" Dengan kesal tapi juga takut, Udayana lakukan perintah si orang tua aneh. Ada
apakah di lereng bukit sebelah sana, pikir Udayana.
SEPULUH JALAN menuju puncak bukit rapat di-
tumbuhi pepohonan dan semak belukar namun Udayana, murid Perguruan Ujung Kulon
melangkah terus sampai akhirnya dia tiba di puncak bukit. Dilayangkannya
pandangan ke bawah, ke lereng bukit sebelah timur dan tersiraplah darah pemuda
itu! Semangatnya serasa terbang! Lereng bukit sebelah timur ini sama sekali
gundul tandus. Tidak satu pohon atau semak belukarpun yang tumbuh! Dan di lereng
bukit tandus ini, dari barat sampai ke timur, dari puncak sampai ke kaki,
pokoknya sejauh mata memandang bertebaran berbagai rupa, tulang mulai burung
sampai kepada harimau, singa, buaya, gajah dan manusia!
Tulang-tulang itu sudah memutih, bersih, licin tiada berdaging lagi! Entah sudah
berapa tahun tulang-tulang ini berserakan di sana!
Bagaimanakah tulang-tulang tersebut berada di lereng bukit ini" Sedemikian
banyaknya" Mungkin terjadi pembantaian di sini. Pasti pernah terjadi pembunuhan besar-
besaran, pikir Udayana. Dan barangkali si orang tua aneh itulah yang
melakukannya! Tak dapat dilukiskan kengerian Udayana menyaksikan
pemandangan tersebut. Tengkorak manusia...
tulang-belulang binatang... semuanya sudah pada rusak dan bercampur baur tak
karuan! Berdiri di puncak bukit tersebut seperti berdiri di hadapan pintu neraka rasanya
bagi Udayana! Tubuhnya menggigil, lututnya goyah
gemetar. Tak tahan dia berdiri lebih lama di situ. Sebelum dirinya jatuh pingsan
menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu cepat-cepat anak murid Perguruan
Ujung Kulon itu putar tubuh dan ambil langkah seribu!
Dia lari seperti orang dikejar setan sepuluh muka! Semak belukar diterjangnya.
Pakaiannya robek-robek tak diperdulikan, kadang-kala tubuhnya terantuk dengan
batang-batang pohon atau kepalanya membentur cabang rendah! Tapi semua itu tak
diacuhkan-nya! Dia lari terus! Pokoknya asal bisa meninggalkan bukit itu, apapun
yang akan terjadi dengan dirinya, tak akan ambil perduli!
"Eei! Kunyuk! Mau lari ya"! Sompret!"
terdengar suara berteriak memaki.
Udayana tahu benar itulah suaranya si orang tua yang tadi duduk di ujung
ranting! Tanpa putar kepala lagi untuk berpaling, pemuda ini segera tancap gas dan lari
lebih kencang! "Monyet! Berhenti! Kembali!"
Tapi Udayana lari terus. "Sompret!" Tiba-tiba tubuh Udayana mematung seperti batu. Jangankan lari, bergerak
sedikitpun dia tak sanggup! Tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki dilibat
oleh seutas tali hitam, kuat dan kukuh! Sedetik kemudian kelihatanlah tubuh
Udayana tertarik ke belakang dan jatuh ke tanah menelentang. Di hadapannya
berdiri orang tua berambut putih aneh itu!
"Sompret! Kenapa kabur hah"!" tanya orang tua itu membentak.
"Orang tua... a... aku takut!"
'Takut! Apa yang kau takutkan ku-
nyuk"! Kau sudah pergi ke puncak bukit?"
"Ya, sudah...."
"Sudah lihat apa yang ada di lereng sebelah timur"!" "Sudah...."
"Apa yang kau lihat"!"
"Tu... tulang..." jawab Udayana gemetar. Dia coba gerakkan tubuh, tak berhasil
karena tali hitam masih mengikat di sekujur tubuhnya! "Celaka!" pikir Udayana.
"Pastilah tubuhku akan digerogot oleh setan tua ini!
Tulang-tulangku akan dibuang di antara tumpukan tulang-tulang di lereng timur
sana! Ampun!" "Hai sompret! Kau bilang lihat tulang tadi"!" terdengar bentakan si orang tua.
"Betul...." "Tulang apa"!"
"Tul... tulang manusia...."
"Hanya tulang manusia...."
"Tulang-tulang binatang juga..."
"Binatang apa, sompret!"
"Burung... kelinci... rusa... kambing hutan...." "Apalagi"!"
"Harimau!.. serigala... buaya... gajah...."
"Sompret! Apa kau tidak melihat tulang monyet?" bentak si orang tua.
"A... aku tidak tahu. Mungkin ada...."
"Mungkin ada! Sompret! Kau sama saja dengan monyet! Tunggu saja, sebentar lagi
akan kuremukkan tubuhmu! Tulang-belulangmu akan kulemparkan ke lereng bukit
sana!" "Orang tua, aku mohon...!" ujar Udayana setengah meratap. "Jangan celakai
diriku! Aku tidak bermaksud jahat! Aku tengah men-gemban satu tugas berat dari
perguruan!

Mahesa Kelud - Telaga Api Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku... aku murid Empu Sora dari Ujung Kulon!" Orang tua itu meludah ke tanah.
"Seka- lipun kau murid setan alas dari neraka, siapa perduli!" bentak orang tua
berambut putih. "Orang tua.... Harap kau punya sedikit welas-asih. Jika aku memang salah aku
mohon maaf dan ampunmu! Biarkan aku meninggalkan tempat ini. Aku harus cari
kakek guru, aku harus temui dia. Kalau tidak celaka semua! Perguruan Ujung Kulon
akan am-bruk! Manusia-manusia jahat akan gentayangan lebih leluasa!"
"Sompret! Aku muak mendengar omon-ganmu! Sekali aku bilang kau harus mampus,
berarti kau benar-benar musti mampus!"
Habis berkata begitu orang tua aneh tapi ganas ini gerakkan tangan kanannya yang
memegang ujung tali hitam. Gerakannya perlahan saja tapi apa yang terjadi
sungguh luar biasa. Tubuh Udayana yang terlibat tali hitam itu tersentak dan
terlempar ke atas. Ketika tubuh itu kemudian jatuh dengan keras ke bawah Udayana tak sanggup lagi
menahan takutnya. Jeritan keras menggeledek dari mulut pemuda ini. Tapi hanya
sejengkal lagi tubuhnya akan terhempas ke tanah bukit, si orang tua sentakkan
lagi tangan kanannya. Tubuh Udayana serta-merta terlempar kembali ke atas!
Untuk kedua kalinya kemudian pemu-
da itu jatuh lagi malah lebih deras dari pertama tadi. Dan celakanya kali ini
kepalanya menukik lebih dulu! Kembali Udayana menje-rit. Kali ini putus sudah
harapannya. Dia bakal menemui kematian dengan kepala pecah menghunjam tanah!
Namun pada saat batok kepala pemuda itu hanya tinggal setengah jengkal dari
tanah, kembali si orang tua menyentakkan tali hitam yang dipegangnya. Akibatnya
tubuh Udayana terlempar setinggi tiga tombak ke udara.
Si orang tua tertawa-tawa mengekeh
seperti anak kecil kegirangan bermain tali bandringan! Sambil terus tertawa-tawa
tubuh Udayana diputar-putarnya di udara. Pemuda itu sendiri tidak tahu apa yang
terjadi atas dirinya karena saat itu dia sudah jatuh pingsan. "Walah tua bangka
geblek! Satu tahun lalu aku ke sini, tingkahmu sudah tidak karuan! Sekarang
ternyata kau makin tambah tidak waras!"
Terdengar suara melengking tinggi. Ba-ru saja suara itu lenyap berkelebatlah
satu bayangan disertai menebarnya bau busuk.
Di hadapan si kakek kini tegak seorang nenek-nenek mengenakan jubah putih dekil
terbuat dari bahan yang sangat tebal. Sulit
diduga apakah pakaian atau tubuhnya yang menebar busuk, mungkin juga kedua-
duanya. "Jembel bau! Kau tidak bosan-
bosannya datang lagi ke tempat ini! Jangan harapkali ini aku akan memberikan apa
yang kau minta!" berkata orang tua berambut putih. Dia hentikan tawanya tapi
tubuh Udayana masih terus diputar-putarnya di udara hingga mengeluarkan suara
berdesing. "Kau tidak mau berikan hari ini, lain hari aku akan muncul lagi di sini! Sampai
kau bosan! Hik... hik... hik!" Nenek berjubah dekil membuka mulut.
"Kali ini jangan-jangan kau tak bakal muncul lagi di tempat ini Nyi Gambir....
Ini kemunculanmu yang terakhir kali!"
"Hik... hik... hik! Kenapa begitu"!" Si nenek bertanya sambil tertawa cekikikan.
"Karena sebentar lagi, jika urusanku dengan budak sompret ini selesai, aku akan
membunuhmu!" jawab kakek berambut putih. "Membunuhku boleh-boleh saja kakek
kecoak! Kau memang manusia aneh! Minta nyawa orang tapi tak mau memberi nyawa
sendiri!" "Eh nenek bau, apa maksudmu"!"
"Kau sungguhan tidak mau memberikan surat sakti itu padaku"!" bertanya nenek
yang dipanggil dengan sebutan Nyi Gambir itu. "Tua bangka tak tahu diri! Dulu
aku bilang tidak, sekarangpun tidak!" jawab orang tua berambut putih.
"Hemmm.... Apa gunanya kau simpan-simpan surat itu kalau tidak dipergunakan"!"
"Dipergunakan atau tidak itu bukan urusanmu!"
"Hik... hik.... Betapa tololnya dirimu.
Kau menyimpan satu petunjuk berharga.
Yang bisa membawamu menjadi raja diraja dunia persilatan. Tapi menyia-nyiakannya
begitu saja. Apa salahnya memberikan padaku...." Sambil terus memutar tubuh
Udayana di udara, si kakek mendongak, tampaknya seperti tengah berpikir-pikir.
Tiba-tiba dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kertas yang merupakan
sebuah surat dimana tertulis serangkaian kalimat berbunyi:
Kepada pendekar-pendekar utama
dari delapan penjuru angin
Siapa-siapa dari kalian yang ingin merajai dunia persilatan datanglah membawa
surat ini ke Gua Iblis untuk mendapatkan senjata ampuh Cambuk Iblis
(Mengenai surat iblis tersebut harap baca serial Mahesa Kelud berjudul "Delapan
Surat Kematian") "Kau inginkan surat maha berharga ini Nyi Gambir" Ambillah dari dalam perutku!"
Habis berkata demikian orang tua rambut putih ini lantas masukkan kertas yang
dipegangnya ke dalam mulut, mengunyahnya lalu menelannya!
Si nenek sampai terbelalak melihat ke-jadian itu. "Benar-benar tua bangka
tolol!" katanya memaki-panjang-pendek.. Tahu bahwa kedatangannya ke bukit itu
merupakan kesia-siaan besar si nenek segera bersiap angkat kaki dari situ. Namun
dia tidak mau pergi begitu saja sebelum memberi sedikit pelajaran pada si kakek.
Sambil umbar tawa cekikikan dia cabut lima lembar rambutnya yang berwarna
kelabu. Lalu sekali tangannya bergerak maka lima helai rambut itu lesat ke udara
laksana jarum-jarum saat kemudian terdengar suara te tes... tes... tes!
Tali hitam yang dipegang si kakek dan mengikat sekujur tubuh Udayana putus di
lima tempat! "Sompret!" teriak orang tua rambut putih itu marah sekali. Dia hendak mengejar
Nyi Gambir, tapi si nenek sudah berkelebat pergi.
Sambil menyumpah-nyumpah kakek
ini terpaksa tumpahkan perhatiannya pada sosok tubuh Udayana yang saat itu
melayang jatuh. Cepat dia angkat kedua tangannya.
Tubuh Udayana tersentak beberapa kali lalu kalau tadi jatuhnya begitu deras kini
laksana ditahan oleh satu kekuatan yang tidak terli-hat, tubuh itu melayang
turun secara perlahan-lahan hingga akhirnya terbujur di tanah.
TAMAT Segera menyusul!!! BANJIR DARAH DI UJUNG KULON
Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: Dewa Urakan Riwayat Lie Bouw Pek 15 Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia Pendekar Guntur 16
^