Pencarian

Bunga Bunga Indah Berduri 1

Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Pernah diterbitkan dengan judul:
Bunga-Bunga Indah Berduri
Penyusun Penyunting Perancang Sampul Penata Letak : Abdullah Harahap : Noni Rosliyani : Amir Hendarsah : Amir Hendarsah Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Cetakan I, 2011 Penerbit Pustaka Anggrek (Anggota Ikapi)
Gedung Galangpress Center
Jl. Mawar Tengah No.72, Baciro, Yogyakarta 55225
Telp. (0274) 554985, 554986 Faks. (0274) 556086
Email: pustaka.anggrek@galangpress.com
www.galangpress.com Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Harahap, Abdullah Stupid in Love Yogyakarta; Penerbit Pustaka Anggrek;
Cet. I, 2011; 140 x 200 mm, 320 halaman
ISBN 978-602-8328-71-5 I. Novel Dewasa II. Judul III. Rosliyani, Noni Dicetak oleh: Percetakan Galangpress Jl. Mawar Tengah No. 72, Baciro, Yogyakarta 55225
Telp. (0274) 554985, 554986 Faks. (0274) 556086
Email: produksi.galang@galangpress.com
Distributor Tunggal: PT Suka Buku Jl. Kelapa Hijau No. 22 RT.06/RW.03
Kel. Jagakarsa, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620
Telp/Faks. (0274) 78881850/60
Email: marketingsukabuku@gmail.com
www.distributorsukabuku.com
Untuk Kristy Monika di Parung, Bogor.
Seni itu indah. Teruslah berkarya, dan jangan
pernah berpikir untuk berhenti.
1 ERIKA duduk membeku di dalam mobil dengan
wajah pucat. Jari-jemarinya mencengkeram setir, gemetar.
Tidak ada pepohonan di sekitar tempat mobilnya
dihentikan. Saat itu ia berada di tempat terbuka,
dengan panas matahari yang menggigit. Garang. Akan
tetapi sekujur tubuhnya menggigil oleh perasaan
dingin yang luar biasa menyiksa. Berulang kali Erika
menghirup udara pegunungan sebanyak rongga
dadanya sanggup menerima. Beberapa kali pula ia
menggigit bibir, menahan teriakan-teriakan histeris
yang meronta-ronta ingin lepas untuk mengusir jauhjauh beban berat yang menghantui pikirannya.
Tetapi pukulan-pukulan menyakitkan itu tetap
bertahan, dan terus pula menghasut. Agar Erika tidak
menunggu berlama-lama. Disertai tempik sorak yang
membahana, "Sekarang! Lakukan sekarang! Dan
semuanya akan langsung berakhir"!"
5 6 Ah ya, benar, Mengapa tidak"
Toh moncong mobilnya kini sudah berjarak
tidak sampai satu meter dari bibir tebing dengan
jurang menganga dalam dan terlihat nyata di depan mata. Erika tinggal melepaskan rem tangan,
maka mobil akan meluncur sendiri ke depan, jatuh
berguling-guling ke dalam jurang yang sudah siap
menunggu. Mobil akan terbanting-banting sebentar,
tangki bensinnya meledak, dan Erika akan langsung
terbakar. Terbakar hangus bersama mobilnya, yang
sekaligus juga membakar hangus pukulan-pukulan
yang tidak tertahankan itu. Dan Erika tidak perlu lagi
memikirkan sisa hari yang masih sangat panjang, dan
pasti akan semakin menyiksa!
Menggelikan sebenarnya, ketika tadi pagi ia
datang menemui dokter dan ia langsung disambut
sebuah pertanyaan tak terduga, "Sendirian lagi" Mana
suami Nyonya?" Saat mendengar pertanyaan itu, Erika sempat
kaget. Lantas teringat pada kunjungan pertama ia
sudah berjanji untuk membawa serta laki-laki yang
ia katakan suaminya. Sungguh suatu kebetulan
bahwa dokter tengah mencari-cari hasil pemeriksaan
laboratorium di dalam arsip, sehingga dokter itu tidak
sempat melihat perubahan di wajah Erika.
Cepat Erika menguasai diri, mencoba tersenyum
sambil menyahut terbata-bata. "Maaf, Dokter. Lakilaki itu, eh, suami saya... Dia seorang penggugup.
Katanya ia lebih suka menanti kabar gembira itu di
rumah, daripada nanti ia melonjak-lonjak seperti
orang gila di depan dokter. Ah, ya. Itu memang sudah
sifatnya sejak dia kukenal. Emosional, tapi sangat
pemalu!" Dokter manggut-manggut mengerti.
Setelah mengamat-amati berkas pemeriksaan
di atas meja, ia kemudian bergumam tanpa memperhatikan Erika yang duduk tegang di seberang mejanya,
"Air seni Nyonya positif. Nyonya hamil"!"
Dari rumah, Erika sudah merancang sebuah
sandiwara yang menggemparkan. Begitu mendengar
keterangan dokter, ia akan terbelalak sebentar, tertawa nyaring kemudian, lantas memegang tangan
dokter seraya mengucapkan terima kasih dengan
suara terharu. Erika juga akan berceloteh seperti
orang setengah sadar mengenai keinginannya agar
yang lahir anak laki-laki, serta apa rencananya di kelak
kemudian hari dengan anak pertamanya itu.
Namun nyatanya, Erika hanya terpaku diam
di tempat duduknya. Gemetar, dan takut. Mulutnya
terkatup rapat, dan satu-satunya isi skenario yang
sudah ia hafalkan dan berhasil ia tampilkan di depan
7 8 dokter, hanyalah sepasang mata yang terbelalak membuka. Bukan oleh surprise menggembirakan yang ia
dengar. Melainkan, oleh perasaan takut yang seketika
merayapi sekujur tubuhnya.
Dokter menatap Erika dengan heran.
Lalu, "Nyonya?"
Erika mengerjap. Tersadar.
"Ya?" "Saya ucapkan selamat!" dokter mengulurkan
tangan ke depan. Dengan kegembiraan yang tulus.
Sejenak, Erika menatap uluran tangan itu dengan
bingung, lantas menyambutnya dengan pikiran yang
kacau balau. Ia tahu, tangannya gemetar dan dingin, ia
tahu wajahnya juga pucat, tetapi ia sudah tidak peduli.
Tidak ada lagi yang dapat ia perbuat, setelah hasil
pemeriksaan laboratorium nyata-nyata meneriakkan
ultimatumnya, positif hamil. Erika tidak bisa lagi
menghindar. Ia harus menerima kenyataan itu. Dan
kemudian, memikirkan apa yang akan ia lakukan
selanjutnya. Dan pukulan pertama itu ia terima begitu
bangkit dari kursi untuk pamitan. Dokter mengawasi
wajah Erika dengan sorot mata tajam. Namun, dengan bibir mengulas senyum manis, seraya berujar
lembut, "Bayi merupakan karunia, Nona. Jangan siasiakan pemberian Tuhan!"
Nona. Bukan lagi, Nyonya!
Jadi dokter itu sudah tahu sendiri, tanpa Erika
harus repot-repot menjelaskannya.
Dalam perjalanan pulang Erika memikirkan
ucapan lainnya dokter tersebut. Bayi merupakan karunia. Pemberian Tuhan. Jangan sia-siakan! Yang
artinya, selain sudah dapat menangkap apa yang
tersirat di balik kebungkaman Erika, dokter juga
secara halus mengingatkan bahwa menggugurkan
kandungan bukanlah perbuatan terhormat.
Tak peduli apakah itu selagi kandunganmu baru
berwujud tak lebih dari segumpal darah, atau setelah
Tuhan meniupkan roh ke janin yang sebelumnya
hanya berupa gumpalan darah itu. Yang setelah
digugurkan, tak perlu bingung-bingung. Lemparkan
saja ke tempat pembuangan sampah.
Mengerikan. Menyakitkan. Dan Erika harus
menanggungnya sendirian. Usai konsultasi pada dokter spesialis bermata
tajam itu, Erika tidak langsung pulang, melainkan
pergi ke lapangan Arcamanik, di ujung Timur batas
kota. Lapangan yang resminya dipergunakan untuk
pacuan kuda itu tampak jelek dan mengkhawatirkan,
dengan berkeliarannya sejumlah sepeda motor yang
setengah terbang dengan suara menderu-deru, lalu
9 10 sesekali terbanting dengan keras di atas tanah yang
licin berlumpur. Bau tahi kuda bercampur asap knalpot
membuat udara yang seharusnya segar berubah jadi
kotor, kering dan membuat perut mual. Namun toh
penonton yang berkelompok di sana-sini tetap saja
bersorak-sorai dengan riuh rendah. Menyatakan kekaguman, memberikan dorongan semangat, memaki-maki, bahkan mengejek menertawakan peserta
latihan motor cross yang bangkit dari lumpur seraya
menyeret motornya agar tidak mencelakakan rekanrekan yang terus melaju dengan garangnya.
Erika hampir tidak mengenali Alex. Setelah
melihat nomor-nomor peserta yang kotor berlumpur,
barulah ia mengetahui Alex ternyata salah seorang
yang mendapat ejekan penonton. Pemuda itu tak
ubahnya hantu hitam kecokelatan oleh lumpur yang
mengotori pakaian, wajah, dan sebagian rambutnya.
Ia sedang memperbaiki mesin motornya di pinggir
sirkuit tanpa ada yang memperhatikan apalagi memberi bantuan. Suatu kesempatan buat Erika dapat
berbicara leluasa dengan Alex, tanpa ada yang
mendengar.. Erika tidak langsung membicarakan maksud
kedatangannya.. Lebih dulu ia menyatakan kekhawatirannya
terhadap kekasihnya itu dengan berujar cemas, "Mengapa tidak pakai helm?"
Alex menoleh. Tampak kegusaran masih meronai wajahnya yang berselemak lumpur.
"Hai!" Itu saja sahutannya. Lalu sibuk lagi, membongkar
busi. Erika menggigit bibir. "Alex?"
"Ya?" menyahuti si pemuda, tanpa berpaling
dari mesin motornya. "Mengapa tidak pakai helm?"
"Aku menyukai sensasi, Rika!"
"Ampun, Alex. Tidak sadarkah kau, kepalamu
dapat saja terbanting ke tanah keras, atau kayu-kayu
palang?" "Aku dapat menjaga diri."
"Tetapi kau membuatku khawatir, Alex!"
"Terima kasih. Nanti saja ungkapan cintamu
kau sampaikan. Aku sedang sibuk, tidakkah kau
lihat?" geram Alex, gusar karena terganggu.
Erika menggigit bibir lagi.
Tidak. Ia tidak akan menanti lebih lama. Alex
harus tahu! "Alex?" "Apa lagi?" "Aku hamil!" "Itu urusanmu dan"," Alex mendadak diam,
tegang. Lalu cepat berpaling lantas diam mengamatamati wajah Erika.
11 12 Dengan lumpur menempel hampir di seluruh
permukaan wajahnya, sungguh sukar untuk menyelami isi hati Alex yang tergambar di balik sinar
matanya. Pemuda itu menjilati bibirnya sejenak, tanpa
menyadari bibirnya yang dikotori lumpur. Kemudian
meludah dengan kasar. Air ludah bercampur serpihan
lumpur dari bibir Alex, sayangnya, jatuh tepat di ujung
depan sepatu Erika yang sebelumnya sudah berlelahlelah menyemir agar terlihat bersih gemerlapan.
Mestinya ia tersinggung dan marah sekali. Tetapi
Erika sadar, ia sedang menghadapi bahaya besar, dan
hanya Alex satu-satunya orang pada siapa ia meminta
perlindungan. Dengan sabar, ia menahan diri.
Dengan sabar pula ia mendengar pertanyaan
Alex yang dipenuhi kebimbangan, "Kau... Ah, kau
tidak bersungguh-sungguh bukan, Erika?"
"Aku hamil! Dokter yang mengatakannya!"
Erika hampir menangis. Ia tidak menduga Alex akan
mengajukan pertanyaan serupa itu. Tadinya ia berharap
Alex akan bersorak kesenangan, memeluknya, dan
kemudian berjanji akan datang menemui orangtua
Erika untuk melamarnya seketika.
Sadar bahwa Erika kecewa, Alex perlahan-lahan
bangkit. Ia lemparkan kunci busi ke atas rerumputan,
lantas memegang tangan gadis itu dengan lembut.
Tak peduli, kulit yang halus mulus itu menjadi kotor
karenanya. Mulutnya kumat-kamit sebentar, rupanya
bingung apa yang mau ia ucapkan, namun akhirnya ia
sanggup juga mendesah. "Berapa bulan?"
"Hampir tiga," jawab Erika, seraya mencengkeram tangan Alex kuat-kuat, lantas tanpa kuasa
mengendalikan diri ia memohon, "Kapan kau akan
menemui Papa?" Wajah Alex berubah kaku. Ia berpaling, menghindari sorot mata Erika.
Teman-temannya masih terus melaju di atas lapangan
yang buruk itu. Sekelompok penonton di sebelah
utara, berjingkrak-jingkrak kesenangan menyaksikan
salah satu saingan Alex dalam beberapa balapan,


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan motor-motor yang lain jauh di depan.
Tampaknya ia akan menyelesaikan seluruh lap
beberapa menit lebih cepat dari yang biasa ia lakukan.
Dan itu berarti seseorang akan membonceng dengan
ketat di belakang Alex dalam pertandingan yang
sesungguhnya nanti. "Erika," Alex berpaling lagi. Wajahnya keruh.
Benar-benar keruh. "Mau kau membantuku?"
Erika menahan tangisnya. "Apa pun yang kau inginkan, Alex!"
13 14 "Lusa aku harus ke Surabaya. Kesempatan
bagus untukku, Erika, karena untuk pertama kali
sejumlah peserta luar negeri akan ikut bertanding.
Pemenangnya akan mendapat tiket ke Tokyo. Dan
balapan di depan pemilik pabrik sepeda motor yang
kupergunakan, benar-benar suatu impian yang tidak
ingin kulepaskan begitu saja."
"Jadi?" "Tunggulah dalam beberapa hari. Oke?"
"Kau akan menemui Papa" Berbicara dengan
Mama?", Erika ingin menangis karena bahagia.
"Kubilang, tunggulah dalam beberapa hari.
Akhir bulan paling lambat. Tidak terlalu lama,
bukan?" "Tuhanku! Kita akan menikah akhir bulan ini.
Aku akan menunggumu, Alex, akan menunggumu,
sayangku. Akhir bulan. Dan aku akan menjadi istrimu.
Aku?" "Erika?" "Ya, sayangku" "Aku tidak berbicara tentang menemui orangtuamu. Apa lagi pernikahan. Aku hanya menjanjikan,
akhir bulan kita bertemu untuk membicarakan soal
kandunganmu" "Alex!" "Maukah kau membiarkan aku sebentar?"
dengus Alex seraya kembali mengawasi arena balap.
"Lihat Sumbodro. Ia telah menyelesaikan lap terakhir
sedemikian cepat. Tahukah kau apa artinya itu bagiku,
Erika" Tahukah kau?"
Lantas Alex dengan marah menendang mesin
sepeda motornya dengan kasar, berteriak memanggil
salah seorang temannya di kejauhan, kemudian terjun
ke lapangan dengan sepeda motor yang lain tapi
masih satu merek. Erika masih menunggu sampai Alex menyelesaikan beberapa lap, namun jangankan berhenti.
Menoleh ke arah Erika pun, tidak.
*** Betapa menyakitkan! Pukulan menakutkan dari dokter tadi, tidaklah
seberat pukulan kedua yang diberikan Alex. Sudutsudut mata Erika mulai berlinang. Samar-samar ia
melihat gunung yang tampak berwarna kelabu di
kejauhan, langit biru seperti lautan yang teramat
dalam di atasnya. Jauh di bawah, air sungai mengalir
tenang di antara hamparan sawah menghijau. Air
sungai itu tampak cokelat dan kotor, namun beberapa
orang penggali pasir di sungai itu terus saja bekerja
tanpa lelah. Ya. Erika hanya cukup melepaskan rem tangan.
Lalu" 15 16 Sebuah truk pengangkut pasir merangkak dari
bawah, mendaki jalan tanah berlubang-lubang dengan
suara mesin bergerung-gerung memecahkan suasana
hening di sekitar. Supir truk memperhatikan jalan
di depannya dengan mata hampir tidak berkedip.
Dan dua orang teman yang duduk di sampingnya,
bercakap-cakap dengan suara keras untuk mengatasi
deru mesin, sambil tidak henti-hentinya menatap ke
atas. "Aku mencemaskan anak itu!" ujar laki-laki yang
berbahu telanjang, hitam berpeluh. "Sudah hampir
satu jam dia di sana. Tidak keluar-keluar dari mobil.
Dan ya Tuhan, tidakkah kalian lihat! Dia memarkir
mobilnya terlalu ke depan!"
"Biarkan saja," rengut supir. "Bukan satu dua
anak orang kaya makan angin di bibir tebing itu.
Daerah ini tampaknya menarik hati mereka sebagai
selingan. Menghindari kebisingan kota."
"Bukan itu. Firasatku mengatakan, dia sepertinya" mau bunuh diri!" kata laki-laki berbahu
telanjang itu lagi. Setengah berteriak untuk mengatasi
raungan mesin truk, ia mengulangi. "Gadis itu akan
bunuh diri!" "Gadis" Kau katakan gadis?"
"He-eh. Tadi sebelum turun ke sungai, aku
sempat memperhatikan. Dia tampaknya masih muda.
Cantik pula lagi. Tetapi wajahnya pucat. Dan ia terus
saja menatap ke bawah sini."
"Mungkin dia mencari seseorang."
"Kuulangi lagi. Lihat posisi mobilnya. Jelas dia
cari mati!" "Lalu apa yang akan kau lakukan?" orang ketiga,
dengan puntung rokok menyala hampir mencapai
bibirnya yang tebal dan kotor, nyeletuk sambil lalu.
"Kau ingin menjadi pahlawan penyelamat" Itu cuma
terjadi dalam dongeng, dan kau cuma seorang kuli
melarat. Hehehe..!" "Jangan dulu tertawa. Aku punya anak gadis
sebesar dia," bersungut laki-laki berbahu telanjang
itu. Kesal. "Ningrum memang tidak punya keinginan
berlebihan. Tetapi dia sangat pendiam. Sangat perasa.
Dia pernah tidak mau makan selama beberapa hari,
hanya karena laki-laki pilihannya tidak kusetujui."
"Nyatanya toh, laki-laki itu kau ambil mantu!"
"Daripada anakku mati"!"
Mati! Erika belum ingin mati. Bukankah Alex sudah berjanji akan menemuinya
beberapa hari lagi" Erika terlalu mencemaskan diri
sendiri. Tidak memperhatikan kepentingan Alex.
Sekali Alex berhasil di Surabaya, maka penampilannya
di Tokyo akan merupakan titik cerah untuk masa
17 18 depan mereka. Dealer sepeda motor yang jenisnya
selalu dipergunakan Alex dalam balapan sudah
menjanjikan, kemenangan di Surabaya berarti suatu
kesempatan untuk merebut perhatian umum. Alex
akan tampil dalam beberapa promosi perusahaan
di media cetak, juga televisi. Dan kalau ia sukses di
Tokyo, Alex " jika berminat, akan diberi pekerjaan
tetap di bagian penjualan, tentu saja di luar waktu
membalap. Kalau itu terlaksana, Erika dapat menemui
ibunya dengan pikiran tenang dan hati yang tenteram.
Ibunya tidak lagi akan menuduh Alex manusia
gelandangan yang tidak menghormati keinginan
orangtua. "Aku menyukai anak itu," ibu Erika pernah
berkata. "Tetapi setelah kusaksikan cara ia membalap
motornya di lapangan, kupikir ia lebih mementingkan
karir ketimbang dirimu, bahkan dirinya sendiri. Lihat
kegilaannya membuat sensasi, seolah-olah si Alex itu
mempunyai nyawa cadangan. Tidak! Ia bukan lakilaki yang cocok untuk kau persuami. Masih banyak
laki-laki lain, yang memiliki masa depan dan sadar
nyawanya cuma satu lembar!"
Akhir bulan, kata Alex. Itu berarti delapan, ah, sepuluh hari lagi. Benar,
bayi adalah karunia Tuhan yang tidak boleh disiasiakan seperti kata dokter. Tetapi benar juga, bila Alex
sukses, ia akan mampu berdiri sendiri. Tanpa harus
menggerogoti harta orangtuanya, bahkan seringkali
juga sebagian uang jajan Erika sendiri. Kemenangan
di Surabaya, berarti suatu kesempatan untuk maju.
Akhir yang menggembirakan di Tokyo, berarti pula
suatu harapan untuk mulai berhenti mempertaruhkan
nyawa, kemudian hidup tenang bersama istri dan
anak-anak mereka. Erika menarik nafas. "Pergilah berjuang, sayangku!" ia bergumam.
"Aku mendoakanmu. Dan ingatlah. Aku lebih suka
kau gagal, daripada suatu hari kelak seseorang datang kepadaku untuk mengabarkan kau digotong
orang ke kamar mayat"!" Erika harus tetap hidup.
Berpikir sampai ke situ, Erika lantas menyesali dan
menertawakan niatnya yang memalukan ketika membelokkan mobilnya ke tebing berjurang dalam tersebut. Pejamkan saja mata, tancap gas, dan biarkan mobilmu menyelesaikan semua kesulitanmu!
Seraya menghela nafas panjang, dengan tangan
masih gemetar oleh niat memalukan dan sekaligus
mengerikan itu, Erika memutar kunci, menghidupkan
mesin mobil yang kemudian bergerak mundur ke jalan
raya di belakangnya. Mobilnya diputar ke arah semula
ia datang. Lantas ia melarikan mobilnya dengan
perasaan tenteram, turun ke kota. Tiba di rumah, ia
19 20 turun dari mobil dengan dagu tegak, sedikit santai
dengan wajah yang ia usahakan sedapat mungkin
agar tampak menyenangkan dan tidak menimbulkan
kecurigaan. Tante Sunarti yang muncul untuk membuka
pintu. "Ah, syukurlah. Pulang juga kau akhirnya. Tadi
aku sudah sempat mencemaskanmu "!"
Sempat terkejut oleh kalimat terakhir tantenya,
Erika cepat menanggapi dengan suara diriangriangkan. "Terima kasih, Tante. Perasaan khawatir
tante itu membuat aku semakin menyayangimu..!"
Pipi adik ipar papanya itu, ia kecup dengan
hangat, lantas cepat-cerpat berlalu sebelum diberondong pertanyaan yang bisa jadi akan berbuntut
Erika terpaksa membuka rahasianya, aku hamil, dan
tadi" Setelah berganti pakaian, Erika langsung pergi
ke dapur. Ia harus mempersiapkan makan siang untuk
keluarganya. Ada pembantu di rumah, tetapi Erika
merasa pekerjaan dapur adalah bagiannya. Suatu saat
ia harus menyediakan makan untuk suami dan anakanaknya sendiri. Ia selalu membayangkan alangkah
bahagia melihat suami dan anak-anak bersantap
dengan lahap menikmati hasil tangan seorang istri,
seorang ibu. Diam-diam Erika mengusap perutnya dengan
terharu. Masih rata, tetapi di dalamnya, ia seakan
mendengar sebuah bisikan lembut dan manja, "Aku
mencintaimu, Mama "!"
Anak laki-lakikah yang berbisik itu" Atau
perempuan" "Erika?" Erika berpaling terkejut. Sunarti berdiri di
ambang pintu dapur, diam mengawasi.
"Ada apa, Tante?"
"Kau tidak pergi ke sekolah" Sudah hampir
pukul satu siang." Sekolah" Buat apa. Alex toh akan datang, menemui
orangtuanya, lalu mereka menikah. Tetapi itu tidak
perlu ia utarakan kepada tantenya. Lalu memilih katakata yang tepat untuk menjawab seenaknya, seraya
tertawa seenaknya pula. "Lagi males, Tante."
"E-eeee. Bukankah minggu depan kau harus
ujian?" "Alaaa. Itu soal gampang, Tante. Ingat Pak
Anton, guru matematikaku itu" Dia pernah dua kali
datang ke rumah ini. Pura-pura menanyakan mengapa
belakangan ini aku sering bolos. Tetapi Tante, aku
tahu maksudnya datang. Dia ingin melihat apakah
aku sehat-sehat saja, dan berharap suatu hari aku mau
diajaknya nonton!" "Lantas?" 21 22 "Sebelum tiba waktu ujian, Tante. Akan kudekati
dia, kuterima ajakannya. Setelah ujian selesai dan aku
dinyatakan lulus, tidak ada yang perlu dikhawatirkan
lagi bukan" Akan kudepak dia keluar rumah pada
kesempatan pertama ia muncul!"
Sunarti geleng-geleng kepala. "Kejam nian ..!"
katanya mengomentari. "Salahnya sendiri! Mengapa mengincar murid
tercantik di sekolah!"
"Hah" Siapa yang kau puji, Rika?" Sunarti
pura-pura tercengang, dengan mata bersinar mencemoohkan. Namun, diam-diam dalam hati mengakui
kebenaran ucapan keponakannya. Erika cuma tertawa,
lantas meneruskan pekerjaannya seraya bernyanyinyanyi kecil.
Baru pada waktu makan siang, Erika merasa
suatu keanehan. Paul, paman yang semenjak Erika masih bocah
biasa dipanggilnya dengan sebutan om, sudah pulang
seperti biasa dari pekerjaannya sebagai perantara jual
beli mobil-mobil bekas. Luki, adik Erika yang duduk
di kelas dua SMP dan baru pulang sekolah, juga sudah
siap di meja makan bersama tante dan om mereka.
Kursi yang seharusnya diduduki papa Erika, kosong.
Demikian pula kursi untuk ibunya.
"Kok Papa belum pulang ya?" gumam Erika
sambil lalu sebelum mereka berempat mulai makan.
Biasanya papanya akan meninggalkan kantor sekitar
pukul dua belas siang untuk pulang di rumah, istirahat
sebentar lalu kembali lagi ke kantor sampai pukul
empat atau lima sore. "Mungkin sibuk," ujar Paul, pamannya yang
berwajah sama tampan dengan papa Erika sendiri.
Tubuhnya yang tinggi kekar memenuhi tempat duduk, dan pundaknya sampai menyentuh tepi meja
ketika ia membungkuk untuk menjangkau sepiring
mangkok berisi kari kambing. "Tak usah menunggu,
Erika. Makanlah. Lihat, si Luki sudah kelaparan!"


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi aku juga tidak melihat mama dari tadi"
keluh Erika, tidak puas. Paul tercengang. "Bukankah mamamu pergi ke
luar kota sejak pagi kemarin?" tanyanya, mengingatkan.
"Oh ya. Aku lupa. Benar-benar lupa."
Tentu saja, pikir Erika seraya mulai bersantap. Ia
melupakan segala sesuatu dan hanya mengisi kepala
dengan persoalannya sendiri, persoalan Alex, dan
anak dalam kandungannya. Berbentuk apakah anak
itu sekarang" Gumpalan daging" Gumpalan darah"
Janin yang masih encer" Seperti siapa pulakah anak itu
nanti" Alex tidak begitu tampan, suka membangkang
23 24 pula kepada orangtuanya. Tetapi Alex pemberani.
Biarlah, jiwa pemberani Alex dimiliki anak mereka
kelak, tetapi tidak sikap pembangkangnya. Jelek
sedikit tidak soal, kalau anak mereka laki-laki. Tetapi
bagaimana jika perempuan"
"Rika?" Sunarti menegur.
"Ya, Tante?" Erika mengangkat muka, terperanjat.
"Kau makin pendiam akhir-akhir ini. Suka
melamun. Apa sih yang kau pikirkan, Rika?"
Erika sibuk mencari jawab. Tetapi tak lama.
Katanya, "Bukankah minggu depan aku harus
ujian?" "Pendusta besar," rungut Paul. "Kau bukan
kutu buku. Makanlah segera. Aku tak ingin papamu
nanti menuduhku telah mendidik kau jadi seorang
pembohong yang sakit-sakitan!"
Tawa berderai di sekitar meja makan.
Dan telepon rumah pun berdering.
Luki menikmati makan siangnya dengan purapura menulikan telinga. Paul tampak terganggu,
sementara istrinya masih mengunyah sepotong daging
paha ayam goreng. Erika yang memang bersantap
tidak sepenuh dengan hati, cepat bergumam, "Biar
olehku!" Lalu ia beranjak menuju ke meja sudut di mana
telepon itu berdering untuk kesekian kalinya. Erika
membersihkan tenggorokan dengan menelan ludah
beberapa kali, mengangkat gagang telepon lantas
menyahut, "Halo?"
"Selamat siang. Kau itu, Erika?" terdengar suara
laki-laki di seberang sana. Suara yang terdengar seperti
dikeluarkan oleh seorang penderita sesak nafas.
"Ya. Betul. Siapa ini?"
"Pratomo." "Ooo. Ada apa, Mas Tommy?" Erika bertanya
seraya membayangkan di benaknya, ajudan pribadi
papanya itu sedang menderita pilek atau demam.
"Kau sakit?" "Aku sehat-sehat saja, Erika. Tetapi"," sepi
sebentar, dan Erika dapat mendengar nafas sesak
itu lagi. "Ini mengenai Pak Lukman, Papamu. Beliau
baru saja meninggalkan kantor, setelah dijemput oleh
dua orang tamu." "Lho. Apa anehnya?" Erika hampir saja tertawa.
"Sangat aneh. Kedua orang tamu berwajah
sangat serius itu masuk ke kantor Pak Lukman.
Mereka berbicara selama lima menit di balik pintu
tertutup, kemudian pergi meninggalkan kantor tanpa
memberitahukan apa-apa padaku. Itu bukan kebiasaan
Papamu, Erika. Dan bukan pula kebiasaannya meninggalkan kantor dengan wajah pucat pasi dan
25 26 langkah-langkah gontai. Beliau malah hampir jatuh
ketika menuruni tangga."
"Papa sakit?" tanya Erika, mendadak cemas.
Sunarti menoleh, kaget. Paul memandang
Erika dengan dahi berkerut, sedang Luki terus saja
menikmati makan siangnya dengan penuh selera.
"Aku yakin" percayalah, Erika. Aku yakin
Papamu sehat-sehat saja. Hanya saja, kedua tamu itu
membuatku cemas..!" "Kenapa, Mas?" "Mereka memang berpakaian sipil. Tetapi, aku
"kan tahu betul lingkungan di mana aku bekerja. Kedua
orang tamu yang kusebutkan tadi, jelas bertampang
perwira, dengan pembawaan kaku. Selain itu, aku
telah mengintip pula lewat jendela kantor. Kulihat
papamu masuk ke dalam sebuah mobil, setengah
didorong oleh salah seorang tamunya. Apa yang
tersirat di pikiranmu, Erika, kalau kukatakan, mobil
itu berplat dinas Mabes Polri?"
Dug! Jantung Erika memukul dengan keras. Demikian
kerasnya, sehingga wajah Erika seakan langsung
berhenti dialiri darah, serta gagang telepon terjatuh
dari tangan tanpa ia sadari, bergantung-gantung di
permukaan lantai. Papanya, seorang Komisaris Besar
Polisi yang periang dan bertubuh sehat, tampak pucat
dan sakit ketika didatangi tamu-tamunya, kemudian
pergi dengan kendaraan dinas Markas Besar Polri.
Ajun Inspektur Dua atau Aipda Pratomo
setengah berteriak di telepon, "Erika" Halo! Kau
masih di situ, Erika" Halo!"
Sunarti mencengkeram tepi meja dengan
bingung. Suatu gambaran ketakutan menari-nari di
bola matanya setelah melihat Erika terduduk lemas
dekat meja telepon. Luki, untuk pertama kali membuka
telinga dan berhenti makan. Dan Paul dengan wajah
tegang menghambur ke dekat Erika, memegang
tangan gadis itu sesaat untuk meyakinkan Erika tidak
apa-apa, lantas menyambar gagang telepon.
"Ini Paul. Dengan siapa saya berbicara?" ia
berujar. Suaranya serak dan parau.[]
27 2 JAM sudah menunjuk pukul dua, dini hari.
Erika menggeliat di atas sofa. Resah. Betapa
pun ia berusaha, tidak juga otaknya dapat mencerna
isi majalah yang ia baca dari tadi. Malah perih saja
yang semakin mendera. Dengan wajah lesu dan
sedikit pucat, ia memandangi telepon di atas meja, di
situ juga sengaja ia simpan telepon selulernya sebagai
pilihan kontak nantinya. Dengan pikiran yang tetap tegang, dilembarinya
lagi majalah di tangannya, untuk ke sekian belas kali
semenjak Paul meninggalkan rumah malam itu.
Sambil sesekali mengawasi pesawat komunikasi itu
dengan mata yang nyaris tak berkedip. Seolah takut
kalau-kalau dering atau nada panggil yang ia tunggu
akan meledakkan kedua pesawat komunikasi beserta
meja tempatnya tersimpan, dengan suara dan ledakan
membahana yang tiba-tiba. Tanpa Erika mampu
menghindar. 29 30 Suara mesin mobil menderu di luar rumah,
membuat bola mata Erika bergerak-gerak liar.
Tetapi ia sudah bosan berlari-larian ke jendela ruang
depan, mengintip kegelapan malam di luar untuk
kemudian dikecewakan oleh halaman rumah yang
lengang dan kosong. Mobil yang barusan terdengar,
ternyata memasuki halaman depan rumah tetangga
yang lokasinya berseberangan. Dan beberapa kali
setelahnya, kendaraan lain yang cuma lewat lantas
menghilang entah ke mana. Dengan perasaan letih
Erika terus saja rebah di sofa. Menatap meja telepon
sebentar. Lalu menatap pintu kamar tidur om dan
tante-nya yang tertutup rapat.
Sunarti yang juga gelisah sepanjang hari dan
sore itu, sudah masuk ke kamar setelah menunggu
dengan sia-sia sampai lewat pukul sepuluh malam. Ia
hanya keluar satu kali, sebelum pukul sebelas untuk
menyuruh Erika tidur saja. Dari kamar tidur Luki
yang bersebelahan dengan kamar tidur Erika di lantai
atas tidak terdengar suara atau kegiatan apa pun sama
sekali. Mereka memang sudah sepakat membohongi
anak laki-laki tanggung itu dengan mengatakan
papa mereka sedang berobat ke rumah sakit dan
akan segera pulang. Tentulah Luki sekarang tertidur
nyenyak, dengan harapan besok pagi-pagi benar ia
dapat bertemu papanya dan sebelum berangkat ke
sekolah, minta uang jajan seperti biasa, meski Luki
telah diberi jatah uang saku mingguan yang lebih dari
cukup. Luki memang agak boros. Tetapi ia seorang
laki-laki, dan lagi pula, orangtua mereka toh tidak
akan jatuh bangkrut hanya karena digerogoti oleh
permintaan si bungsu Luki, yang jumlahnya juga tak
seberapa. Rika mencoba memejamkan matanya rapatrapat.
Dalam kegelapan pandang, ia bayangkan
harta kekayaan orangtuanya. Waktu papanya masih
berpangkat Ajun Komisaris, mereka punya satu mobil
dinas dan satu mobil pribadi. Mobil pribadi itu lalu
ditaksikan. Dalam tiga tahun, jumlah itu telah beranak
pinak menjadi lima buah. Taksi pertama didaftarkan
ke sebuah perusahaan resmi, sedang empat lainnya
dioperasikan sebagai taksi gelap. Setelah papanya
naik pangkat menjadi Komisaris Besar, di armada
perusahaan taksi resmi itu sudah terdaftar mobil
mereka sebanyak delapan unit. Sementara taksi liar
dialihkan ke perusahaan travel, sejumlah lima unit.
Pernah Erika bertanya mengapa tidak disatukan
menjadi taksi atau travel sendiri. Jawaban papanya
masuk akal, "Diperlukan modal yang jauh lebih besar
31 32 dan pengelolaan yang jika salah urus, bisa membuat
kita langsung jadi kere. Dengan cara seperti sekarang
ini, kita "kan tinggal terima beres. Dan lagi, toh selain
punyamu sendiri, kau juga dapat tetap menggunakan
salah satu yang kau sukai, kapan kau mau"!"
Erika percaya kepada papanya, dan bangga atas
perhatian sang papa terhadap dirinya. Ia lalu semakin
sering berdoa semoga rezeki mereka bertambah. Dan
kenyataan, mereka telah memiliki dua buah hunian
lain. Yang satu berlokasi di daerah elit dan disewakan
pada sebuah perusahaan asing. Satunya lagi dijadikan
tempat peristirahatan karena letaknya memang di
daerah pinggir pantai di mana mereka sekeluarga
menghabiskan waktu libur dengan riang gembira.
Atau, sesekali berlibur juga ke perkebunan
cengkeh yang luas di lereng gunung itu. Cengkeh
yang juga menghasilkan sebuah tempat peristirahatan
yang sengaja dibangun di tengah-tengah perkebunan,
dengan jalan masuk berliku-liku, naik turun namun
menyenangkan untuk dilalui karena meski berlokasi
di lereng pegunungan terpencil, jalan masuknya
diaspal dengan baik. Erika pernah mengajak Alex ke rumah peristirahatan milik keluarganya itu.
Mereka berdua ikut-ikutan memetik cengkeh
bersama buruh-buruh perkebunan, menembak bu-
rung dan memancing di sebuah anak sungai yang
yang mengaliri kaki bukit. Ikan hasil tangkapan Alex
besar-besar, rasanya segar dan manis setelah dipanggang. Suatu hari, saking kekenyangan makan
mereka langsung tertidur di pinggir sungai. Ketika
Erika terbangun, ia terpesona oleh belaian-belaian
lembut dan bisikan-bisikan mesra di telinganya.
Alex berulang kali menyatakan cintanya,
sehingga Erika terbuai dan membalas dekapan serta
ciuman pemuda itu dengan penuh kasih sayang.
Suatu saat, ia sempat tersentak dan terpekik sakit
sebentar. Tetapi kuluman bibir dan remasan tangan
Alex membuat Erika seperti pemabuk yang baru saja
menghabiskan berbotol-botol minuman keras. Ia
merasa belum mencapai apa yang sangat ia tunggutunggu dengan jantung berdebar manakala Alex
menjauhi tubuhnya sesaat, sehingga membuat Erika
terpaksa memohon dengan suara memelas, "Lakukan
lagi, Alex. Lakukan lagi..!"
Alex tersenyum, mendatangi tubuhnya lagi,
mencumbu dan menggelut, sampai Erika melihat
dunianya terbalik. Bumi ada di atas, langit ada di
bawah, dan awan putih berarak mengayun-ayun tubuh
mereka dengan lembut. Ketika Erika mengerang
oleh kebahagiaan tiada tara yang untuk pertama kali
ia nikmati dalam hidupnya, ia mendekap tubuh Alex
33 34 yang dibasahi peluh dengan sekuat-kuatnya, lantas
berbisik di telinga pemuda itu, "Jangan tinggalkan aku,
Alex. Jangan tinggalkan aku sedetik pun juga"!"
"Aku akan akan selalu bersamamu, Erika
terkasih. Aku akan selalu mengingat hari yang sangat
indah ini." Erika, lebih-lebih lagi, tak akan pernah
melupakan hari di mana ia mempersembahkan jiwa
raganya kepada Alex. Hari yang kemudian berlanjut
dengan penjelasan dokter bahwa Erika positif
hamil. Dan, apa kata Alex" Tunggulah, sampai akhir
bulan! Erika merintih. Merintih dan merintih. Di ujung
rintihannya, Erika tersentak. Mendadak.
Telepon berdering! Sejenak, sekujur tubuh Erika terdiam mematung.
Tegang. Matanya membelalak memandang telepon di


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas meja. Dering lagi. Memanjang. Dua kali. Erika
ingin melarikan diri, menjauhi sesuatu yang tidak ia
ketahui apa namun jelas membuatnya sangat ketakutan. Perlahan-lahan ia bangkit. Deringan berikutnya
dari telepon itu mendatangkan magnet yang kuat ke
arah kaki-kaki Erika yang langsing. Dalam seketika,
Erika telah menghambur ke meja telepon dan sempat
salah menyambar lalu mendekatkan ponselnya ke
mulut, ketika bunyi dering berikutnya menyadarkan
Erika bahwa ia salah ambil.
Gemetar tangan Erika ganti menyambar gagang
telepon rumah. "Haa"hallo?"" ia cepat menyahuti.
Tergagap-gagap. "Rika" Kau itu, Rika?" terdengar suara gugup
di telinga Erika. "Ya, Om. Ini aku. Apakah..."
"Sudah kudapatkan, Erika. Sudah kudapatkan
keterangan mengenai papamu. Segala sesuatu rupanya
dirahasiakan. Sangat dirahasiakan. Tetapi seorang
teman dekat papamu di Mabes, akhirnya mau juga
membuka mulut. Dengan syarat"."
Erika memengang gagang telepon kuat-kuat,
lalu menjerit, "Persetan dengan syarat-syaratnya,
Om Paul. Persetan dengan semua tetek bengek itu!
Cepatlah katakan. Di mana Papa sekarang?"
"Rika.." "Di mana, Om Paul"!"
"Baiklah, kalau kau bersikeras juga. Papamu
berada di dalam tahanan Mabes Polri ..!"
"Di tahan oleh".," mulut Erika tiba-tiba
mengatup. Wajahnya berubah seputih kertas. Sepasang bola matanya yang indah, membelalak kian
lebar laksana melihat roh jahat tiba-tiba muncul di
depannya. Tanpa terasa, tangannya menjadi lunglai.
35 36 Gagang telepon jatuh di atas meja dengan bunyi
berderak, bergulir ke tepi, lalu bergantung-gantung
beberapa jengkal di permukaan lantai.
"Om-mukah itu, Rika?" sebuah suara terdengar
di belakang Erika. Ia tidak menyahut. Menoleh pun
tidak. Ia tetap diam. Mematung seperti batu.
Cemas, Sunarti yang rupanya telah terbangun
oleh jeritan Erika tadi, bergegas mengambil telepon
yang masih tegantung-gantung itu, langsung ditempelkan ke telinga. Ia mendengarkan lalu berbicara
sebentar, dengan wajah yang sama pucatnya dengan
wajah Erika sendiri, kemudian dengan tangan bergemetar menyimpan telepon, tanpa berkata sepatah
pun. Kedua perempuan itu berpandang-pandangan
sebentar. Dengan sinar mata sama terkejut dan
takut. Lalu, Erika mendadak berlari-lari ke arah pintu
depan, seraya menjerit-jerit histeris, "Aku harus
bertemu Papa! Aku harus bertemu Papa! Aku..."
Di pintu, ia terjatuh. Pingsan.[] 3 ERIKA masih menangis ketika menyambut datangnya
matahari pagi. Apa yang terjadi dan sempat ia perkirakan
mimpi buruk ternyata merupakan kenyataan pahit
dan mengejutkan. Paul pulang menjelang subuh
untuk menyadarkan Erika dari impian buruknya
dengan menceritakan apa saja yang ia ketahui. Papa
Erika terlibat manipulasi dalam jumlah belasan
milyar rupiah, bersama salah seorang atasannya
yang berpangkat lebih tinggi. Mereka kini tengah
diinterogasi sebuah tim yang khusus dipilih secara
selektif oleh pimpinan Polri.
"Persoalannya belum bocor keluar," kata Paul
subuh tadi, begitu Erika siuman dan mulai tenang.
"Teman dekat papamu di Mabes baru memperoleh
informasi samar-samar. Tetapi dia berjanji akan menelepon apabila kasusnya sudah jelas."
37 38 Perut Erika terasa mual. Terhuyung-huyung ia
turun dari tempat tidur, terus ke kamar mandi dan di
sana ia muntah beberapa kali. Sunarti memburunya
dengan segelas air hangat, membimbingnya kembali
ke tempat tidur lalu menolong memijiti sekujur tubuh
Erika sambil ia sendiri berlinang air mata.
Paul memperhatikan Erika dengan dahi berkerut. Sesuatu tengah ia cerna di dalam otaknya, dan
dalam tempo singkat matanya berkilat-kilat penuh
arti. Erika yang mendadak takut melihat pandangan
mata pamannya, lantas memeluk Sunarti seraya
mengeluh. "Apa yang akan mereka perbuat terhadap
papa, Tante?" Sunarti mencoba tersenyum. "Papamu akan
segera pulang," katanya, menghibur. "Istirahatlah.
Biarkan Om Paul yang mengurus segala sesuatunya."
Dan kepada suaminya ia bergumam, kecut, "Mengapa
tidak segera kau hubungi seorang pengacara?"
"Pengacara?" Paul menyeletuk seperti orang
tolol. Ia rupanya tengah memikirkan hal lain. Bukan
apa yang terpikirkan oleh istrinya. "Oh ya, ya, ya.
Bang Lukman membutuhkan seorang pengacara."
Paul lantas bergerak menuju pintu, tertegun
sebentar, menyimak wajah Erika lantas wajah istrinya
lalu berujar gugup, "Hanya perampok saja yang
menggedor pintu rumah seorang ahli hukum di pagi
buta begini!" "Anggaplah dirimu perampok!" bentak Sunarti.
Kesal. Tahu suaminya hanya mencari-cari alasan.
Paul angkat bahu, lantas tampak enggan ia
kemudian keluar. Dan tak lama setelahnya terdengar
suara mobil berlalu meninggalkan rumah.
Sinar kuning kemilau mentari pagi yang menerobos masuk lewat jendela kamar, menjilati lantai,
merangkaki tempat tidur, menghangati wajah Erika
yang dingin dan gemetar. Sunarti yang diam-diam
mengerti jalan pikiran suaminya kemudian mengusapusap wajah Erika dengan lembut.
Tampak berpikir keras sejenak, baru kemudian
sang tante membuka mulut dan berbicara hati-hati,
dan sengaja berputar arah lebih dulu.
"Jaga tingkah lakumu di depan Om-mu, Erika.
Oke..?" "Ya, Tante." Sunarti menghela nafas sesaat. Lalu, "Ah. Kau
tidak mengerti maksudku!"
"Ya, Tante?" "Kau sedang hamil, bukan?"
Sebuah tembakan tiba-tiba tetapi langsung ke
sasaran. 39 40 Erika menjadi tegang seketika. Ia memandangi
Sunarti dengan mata terbelalak, lalu kemudian menyadari apa yang tersirat di balik sinar mata yang
menatap penuh kasih tetapi dengan tusukan yang
tajam menghujam itu, janganlah membuang-buang
energi dengan mendustaiku!
Dengan perasaan yang sangat terpukul, Erika
membasahi bibirnya yang mendadak terasa kering,
lantas setengah terlompat untuk memeluk lantas
menangis di dada Sunarti yang balas merangkul.
"Aku takut, Tante. Aku sangat takut," isaknya.
Sunarti membelai rambut keponakannya. Sambil berbisik lembut dan penuh pengertian. "Sudah
berapa bulan?" "Tiga." Sunarti menggigit bibir. "Alex?" bisiknya lagi.
"Benar, Tante."
"Dia sudah tahu?"
"Sudah..." "Dia mau bertanggung jawab?"
Erika gemetar lagi, menangis lagi, memeluk
tantenya lagi, lantas menjerit, "Aduh! Mengapa aku
kemarin tidak terjun saja ke jurang itu! Mengapa aku
tidak mati saja! Aduh, Tante. Tolonglah. Tolong aku,
Tante, aku... ." Sempat terkejut bahkan pucat mendengar apa
yang terlontar dari mulut keponakannya, Sunarti
cepat menguasai diri. Lantas berujar dengan sikap
seolah-olah apa yang ia dengar tidak lebih dari bisikan
angin lalu semata. Lantas berujar tersenyum. "Pssst! Jangan berisik.
Nanti Luki dengar. Dia tidak boleh tahu, mengerti?"
Erika menahan tangisnya. Lalu manggut-manggut dengan susah payah.
"Nah. Sekarang, tenanglah. Dan jangan berpikiran yang bukan-bukan. Oke?"
Manggut-manggut lagi Erika.
"Jangan bicara soal bunuh diri lagi. Bahkan memikirkannya pun, jangan. Kau membuatku cemas!"
"Tidak lagi, Tante"
"Bagus. Sekarang, pergilah bangunkan Luki.
Suruh dia mandi, bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
Dan, eh. Bersikaplah wajar. Jangan sampai dia curiga."
Ketika Erika dengan langkah-langkah gontai
keluar dari kamarnya, Sunarti terduduk lemas di
pinggir tempat tidur. Ia menyuruh Erika berlaku
wajar, menyuruh Erika bersikap tenang. Akan
tetapi ia sendiri pada saat itu sangat gugup. Hatinya
tergoncang keras. Papa Erika ditahan, dan pagi ini
ia dengar sendiri pengakuan Erika bahwa gadis itu
sudah mengandung. 41 42 Apa yang ia kerjakan selama ini di rumah"
Tak satu pun. Ia terlalu menutup diri dari semua peristiwa
yang berlangsung di sekeliling, dan hanya memikirkan
kepentingannya sendiri saja. Mengomeli Paul yang
tidak mau cari pekerjaan tetap, tidak berpikir untuk
menetap di rumah sendiri. Paul akan berteriakteriak. Beli rumah" Ngontrak" Dari mana uangnya"
Hasil obyekanku atau sesekali menyupir taksi atau
mobil travel itu, hanya cukup untuk membeli rokok
ditambah perangkat kosmetikmu yang bermerek
mahal itu! Sedang di rumah ini" Abang Lukman
menyediakan apa saja yang kita butuhkan. Ia tidak
akan tega melihat kita terlantar"!
Dsb, dsb. Yang hanya akan menambah sakit
kepala Sunarti sendiri. Paul tidak pernah menerima pendapat Sunarti.
Bekerja sebagai perantara jual beli mobil bekas,
dan diserahi salah satu taksi milik abangnya untuk
ia operasikan sendiri, cukup banyak hasilnya untuk
mereka makan berdua. Cukup untuk mencicil tanah
di pinggir kota, lalu membangun rumah sederhana
tahap demi tahap. Tetapi seringkali Paul pulang dengan tangan
kosong. Bukan karena tidak mendapat obyek atau tidak mendapat penumpang. Melainkan karena uang
yang ia peroleh siang hari, malamnya langsung ia habiskan di selangkangan kekasih-kekasih gelapnya.
Sunarti telah berusaha sedapat-dapatnya memenuhi kebutuhan seks suaminya. Namun hor mon Paul
terlalu besar dan seakan tak pernah habis. Ia terlalu
kuat hanya untuk dilayani oleh Sunarti seorang,
bagaimana pun juga Sunarti memaksakan diri. Yang
akhirnya hanya membuat Paul kecewa lantas marahmarah.
Sayangnya, Sunarti ingin menyimpan rahasia
itu sendiri saja. Ia tidak memberitahukannya kepada
iparnya suami istri. Ia tidak ingin dicap tukang
mengadu, tukang menjelek-jelekkan suami sendiri.
Apalagi, ia lebih tidak ingin dituduh perempuan
dingin, perempuan lemah syahwat dan sebagainya.
Jangan lupa pula, ia hanya orang luar di rumah ini,
sedang Paul" Paul dengan sendirinya makin menjadi-jadi,
karena tidak ada yang menasihati. Terkadang,
Sunarti ngeri sendiri. Ia tidak dapat membayangkan,
tubuhnya dijangkiti penyakit kotor yang dibawa Paul
pulang sebagai oleh-oleh dari gundik-gundiknya yang
menjijikkan itu! "Tante?"" Sunarti tersentak. 43 44 Luki berdiri di ambang pintu. Sudah berpakaian
rapi, dengan tas sekolah tersandang di bahu.
"Ada apa, Luki?" Sunarti mencoba tersenyum.
"Kak Rika..." "Ya?" "Dia menangis dari tadi. Benarkah Papa
sakit?" "Oh. Ya. Papamu sakit. Tetapi akan segera
sembuh," jawab Sunarti cepat-cepat.
"Tetapi mengapa Papa tidak memberitahu kita"
Mengapa panggilan teleponku tak juga disahut Papa"
Mengapa kak Rika menangis saja dari tadi malam"
Apakah Papa... Papa sudah mati?"
Pertanyaan beruntun. Dengan akhir yang terasa
bagai tamparan. "Luki!" Sunarti menjerit.
Luki menciut. Takut. Sunarti segera mendekati anak itu, memeluknya
dengan lembut dan berujar sebagaimana seorang ibu
berbicara kepada anaknya, dan" ah, betapa ia ingin
memperoleh anak sendiri dari Paul.
"Tak baik berprasangka atau berpikir yang
buruk-buruk mengenai orangtuamu, Luki. Papamu
baik-baik saja, tetapi dokter tidak memperbolehkan
ia meninggalkan rumah sakit dalam beberapa hari.
Dan ?" Dan sel-sel otak Sunarti cepat menangkap celah.
"Hem. Kau takut tidak dapat uang jajan ya?"
Luki menyeringai. Malu-malu.
"Kau tenang saja. Nanti Tante beri secukupnya.
Oh ya. Sudah sarapan Luki?"


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah, Tante."
"Berapa kau butuh hari ini?"
Luki lagi-lagi menyeringai. Polos dan kekanakkanakan. Sunarti sampai menggigit bibir sendiri.
Luki sudah remaja tanggung, pikirnya. Luki
seorang anak yang termasuk pintar di sekolah. Anak
itu tidak pernah melewatkan siaran berita tiap malam
di televisi, dan ia merupakan pembaca pertama tiap
kali surat kabar pagi tiba di rumah. Sampai kapan
mereka dapat mendustai anak yang suci bersih ini"
Apakah tidak lebih baik berbicara saja terus terang,
dan" Ah! Masih ada jalan. Jauhkan ia dari televisi,
jauhkan surat kabar dari jangkauannya. Itu akan"
Oh, oh. Sampai kapan pula" Tidakkah Luki
bertanya-tanya" Belum lagi teman-temannya di
sekolah. Kasus mengerikan itu akan segera terungkap.
Dan bocor keluar lebih cepat dari dugaan mereka.
Teman-teman Luki akan ribut bertanya. Lantas
kasak-kusuk di setiap sudut sekolah mereka. Bahkan
di dalam kelas. 45 46 Ya Tuhan! *** Ternyata media cetak mau pun juga berita-berita
televisi hari itu tidak sehuruf pun memberitakan
apa-apa mengenai manipulasi besar-besaran yang
melibatkan kalangan atas kepolisian itu. Tepatnya,
belum. Karena televisi dan surat-kabar tidak akan
pernah ada, kalau wartawan-wartawannya tidak
bermata tajam dan tidak tuli telinganya. Sumbu telah
dinyalakan. Tinggal menunggu bom meledak.
Tetapi percikan-percikan api berbau mesiu
pasti akan segera tertiup oleh embusan angin lantas
tercium oleh mereka-mereka yang rajin mengendusenduskan hidung. Mencari bau tak sedap, tapi sangat
laku dijual itu. Paul telah berkonsultasi dengan beberapa
orang pengacara. Channel mereka di Mabes telah
pula mendapatkan gambaran jelas. Manipulasi yang
diduga kuat terkait dengan urusan pajak itu telah
berlangsung selama bertahun-tahun, dan pagi ini
sudah pula diciduk beberapa orang lain. Atasan
Lukman yang pangkatnya lebih tinggi, mempunyai
reputasi baik sebelum dan setelah masa reformasi.
Konon masa pensiun yang suram membuat matanya
melek. Untuk itu, ia kemungkinan hanya akan dikenakan sanksi penurunan pangkat lalu ditarik ke
kantor pusat, untuk menangisi meja kosong sampai
masa pensiunnya tiba. Itu, jika ia tidak keburu stres,
lantas terkena stroke, kemudian mati.
Sementara Lukman dan komplotannya yang
berpangkat lebih rendah, besar kemungkinan akan
dipecat tidak hormat. Ditambah bonus: bersiapsiaplah di-Nusakambang-kan!.
"Ada sedikit kabar baik"," ujar Paul dengan
gugup pada istri dan keponakannya yang terus menyimak dengan wajah yang sama pucatnya. "Hukuman yang akan mereka terima akan lebih ringan,
apabila uang yang mereka korup dikembalikan pada
negara"!" Erika terloncat dengan wajah berseri-seri.
Jeritnya, "Kita punya belasan unit mobil!"
Paul terganggu oleh jeritan riang Erika lantas
bersungut-sungut kesal, "Berapalah harga semua
mobil itu..." "Masih ada kebun cengkeh. Juga beberapa
buah rumah yang dapat dijual. Dan tabungan Papa
di bank... ." Paul memotong, "Setelah itu, kau mau tinggal
di mana Erika" Di kolong jembatan?"
"Aku akan tinggal di rumah nenek!" jawab
Erika, bernafsu. 47 48 Paul hanya nyengir kuda mendengar jawaban
Erika yang terus terang tapi tanpa dipikir panjang
itu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut paul. Ia
langsung mengambil sebuah botol minuman keras,
dan menenggak isinya sampai habis. Wajahnya seketika berubah kemerah-merahan. Peluh membasahi jidatnya. Tetapi ia belum mabuk. Dan ia tidak
mengambil botol lain yang dapat membuat ia benarbenar mabuk. Jalan pikirannya masih tetap lancar.
Erika dan Luki dapat saja tinggal di rumah
nenek. Dapat terus bersekolah. Dapat terus hidup.
Tetapi ia dan istrinya"
Sunarti yang cepat memahami jalan pikiran
suaminya dan ikut dibuat ngeri, berusaha membuang
pikirannya jauh-jauh lantas dengan setengah miris,
cepat mengalihkan percakapan, "Berapa bayaran
yang diminta pengacara?"
"Selangit!" Paul menghentakkan botol ke atas
meja. Berderak bunyinya, tetapi tidak sampai pecah.
"Mereka tidak peduli klien mereka orang yang patut
dikasihani atau yang dibenci masyarakat. Kau tahu,
perkara ini terlalu empuk untuk mereka lewatkan
begitu saja. Ahli-ahli hukum terkutuk mereka itu.
Sudah bakal dapat popularitas, mata mereka tetap
saja dipenuhi kuman-kuman duit. Sialan!"
"Kalau begitu," Sunarti mendesah. "Selamatkanlah apa yang masih dapat kau selamatkan,
sebelum..." Paul menatap istrinya. Alangkah tololnya aku, ia berpikir. Sunarti benar. Selamatkan apa yang masih dapat diselamatkan,
sebelum semuanya disita oleh negara. Apa saja yang
terdaftar atas namanya sendiri" Atas nama Erika dan
Luki" Atas nama kakak iparnya, Rosalia"
"Rosa!" ia mendadak terjengah. "Kita harus
memberitahu dia. Ampun, kita telah melupakan
ibumu, Erika!" Lantas Paul pun ribut menelepon.
Bersama merangkaknya matahari siang.
Yang terasa semakin panas, memanggang.[]
49 4 TEPUK tangan gegap gempita tetapi sopan menggema di ruang pertemuan yang luas dan megah di
aula sebuah kantor kabupaten.
Rosalia menutup map berisi kertas-kertas pidatonya, lalu berjalan turun dari podium dengan
langkah-langkah gemulai. Ia bertubuh semampai,
mengenakan kain kebaya yang pas dan sedikit ketat
di bagian-bagian tertentu sehingga dadanya tampak
menonjol dan pinggulnya padat menantang. Umurnya
menjelang empat puluh, tetapi salon kecantikan dan
kemajuan dunia kosmetika serta perawatan tubuh
membuat Rosalia tampak sepuluh tahun lebih muda,
tetapi tidak mengurangi kematangannya.
Sejumlah undangan laki-laki sebenarnya lebih
tertarik pada raut wajah dan potongan tubuh Rosalia,
dari pada pidato berapi-api yang ia lemparkan dari
podium. Pidato itu membakar massa wanita yang
berkumpul di sana, dan wajah serta tubuh Rosalia
51 52 membakar jantung lelaki-lelaki yang menatap dengan
mata tidak berkedip ketika ia berjalan kembali ke
tempat duduknya semula. Bupati yang ikut hadir, menjabat tangan Rosalia
dengan hangat, sambil laki-laki terhormat itu menjaga
agar matanya tidak terlalu nakal dan membuka rahasia
kelelakiannya selama ia mengucapkan selamat dan
memuji isi pidato Rosalia. Perempuan yang berdiri di
sampingnya, istri sang Bupati, mengangguk-angguk
setuju, bahkan menambahkan, "Jarang pimpinan kita
yang bicara demikian blak-blakan seperti Ibu."
"Terima kasih," gumam Rosalia, dengan suara
rendah tanpa memperlihatkan kesombongan diri.
"Ibu benar," kata istri Bupati lagi. "Kita memang
harus mendukung suami, mendorong mereka sukses
dalam tugasnya. Tetapi kita jangan melupakan bahwa
kita ini ibu rumah tangga dan punya tanggung jawab
yang tidak ringan di dalam rumah!" Perempuan itu
menarik nafas sesaat, dan dengan jujur melanjutkan.
"Saya sangat terkesan dengan perumpamaan Ibu tadi,
janganlah hendaknya kita tampak rapi di luar, tetapi
rapuh di dalam!" Rosalia menganggukkan kepala, senang, dan
tetap tanpa kesombongan diri. Ia telah belajar banyak
dari suaminya, bagaimana bersikap dan berbicara
sebagai salah seorang pimpinan cabang organisasi
wanita kalau tampil di depan umum, terutama di organisasi ranting daerah. Ia kemudian tekun mengikuti
pembicara berikut yang kini muncul di podium.
Namun pikirannya melantur jauh menembus
atap ruang pertemuan, terbang di awang-awang
yang tinggi, berwarna pekat, dan kelabu. Apakah ia
sendiri telah mengamalkan apa yang barusan tadi dan
telah demikian sering ia utarakan setiap kali tampil di
podium" Rumah tangganya, sebenarnyalah, tampak
sangat rapi, dan bahagia di mata orang luar. Namun
hanya ia sendiri yang tahu, betapa rumah tangganya
demikian rapuh di dalam. Rosalia baru menginjak usia sembilan tahun
ketika suatu malam ia melihat ibu dicekik oleh ayahnya.
Mata ibunya terbeliak, dan lidahnya setengah terjulur
keluar. Hanya karena kehadiran Rosalia yang sangat
mendadak menolong ibunya lolos dari cengkeraman
maut. Orangtuanya kemudian bercerai satu tahun
setelah peristiwa mengerikan itu. Ayahnya kawin lagi,
dan ibunya tetap tinggal menjanda sampai kemudian
meninggal karena penyakit paru-paru.
Semenjak itu Rosalia tidak lagi mau mengenal
ayahnya, meski laki-laki itu tetap berusaha untuk
menyayanginya sebagai putri mereka satu-satunya.
Ia lebih suka laki-laki itu tidak lahir saja ke dunia.
Karena apa yang ia perbuat terhadap ibu Rosalia,
53 54 telah mengakibatkan si kecil yang tidak berdosa apaapa itu kemudian mengidap penyakit jantung, juga
trauma. Bayangan mengerikan itu tetap mengganggu
Rosalia sampai ia menginjak remaja. Lebih dari selusin
laki-laki telah melamar. Tetapi ia tetap menolak, karena
selalu dihantui oleh bayangan nasib yang dialami
ibunya. Iseng-iseng Rosalia kemudian menerima
pernyataan cinta Lukman, yang waktu itu berpangkat
Letnan sekarang Inspektur Polisi. Lukman tampan,
bertubuh menarik, dan menyenangkan sebagai
pendamping untuk pergi ke mana-mana. Rosalia
sebenarnya menerima uluran kasih sayang Lukman,
semata-mata karena tergoda oleh keinginan untuk
bersaing, yaitu ingin menyingkirkan demikian banyak
gadis yang mendekati pria itu.
Lalu terjadilah peristiwa yang tidak terelakkan
itu. Ia dan Lukman kemalaman di tengah jalan
sehabis piknik ke pantai. Mobil yang dipinjami ayah
Lukman, putus tali kipasnya. Jangankan bengkel,
rumah-rumah penduduk pun hampir tidak ada dalam
radius belasan kilometer dari tempat mereka terjebak.
Hutan rimba di sekeliling membuat Rosalia ketakutan.
Kegelapan malam di luar mobil mengancamnya, dan
menyuruh ia supaya terus melekatkan diri ke tubuh
Lukman tanpa sedetik pun mau lepas, sewaktu
menunggu ada kendaran lewat yang bisa dimintai
pertolongan. Dini hari, udara di dalam mobil berubah dingin
membeku. Rosalia menggigil. Lukman melepas jaketnya
menyelimutkan ke tubuh Rosalia. Ternyata belum
cukup. Lukman kemudian membantu Rosalia dari
gangguan udara dingin dengan memijit-mijit tubuh
gadis itu dengan lembut dan penuh rasa cinta. Pijitan
itu mula-mula hanya menimbulkan perasaan nyaman
dan hangat. Tetapi lama kelamaan, birahi Lukman
bangkit, dan Rosalia ikut terangsang. Mereka
saling menatap di dalam kegelapan. Nafas mereka
menggebu, jantung mereka berpacu.
Lukman mengulum bibir Rosalia. Lembut.
Rosalia menerimanya, dengan mata terpejam.
Menikmatinya dengan sepenuh hati. Ia agak kaget
dan tersentak ketika Lukman bertindak semakin
jauh. Namun udara dingin yang membekukan tubuh
menyerang menjadi-jadi. Persentuhan kulit itu sesung guhnyalah mendatangkan perasaan hangat
yang luar biasa. Bara api membercik perlahan-lahan,
membakar, kemudian menghanguskan. Rosalia tidak
lagi memprotes. Ia memang mengeluh. Tetapi bukan
keluhan menolak. Apa yang datang ia terima dengan
55 56 pasrah. Dan ternyata, betapa menakjubkan hubungan
badani yang selama ini ia hindari jauh-jauh itu.
Demikian menakjubkan, sehingga ketika matahari pagi mulai bersinar menyirami mobil, mereka telah melakukan perbuatan itu sampai tiga kali.
Sebuah mobil penumpang lewat. Mereka ikut numpang. Lukman turun di bengkel pertama yang mereka temui, sementara Rosalia terus ikut dengan
mobil penumpang itu, pindah ke sebuah bus waktu
sampai di terminal. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Rosalia memikirkan apa yang telah mereka perbuat. Ia tidak merasa menyesal sama sekali. Lebihlebih seminggu setelah peristiwa mengesankan itu,
orangtua Lukman datang untuk melamar Rosalia sebagai mantu mereka.
Kebahagiaan meliputi perkawinan mereka,
sampai tiba saatnya anak pertama mereka, Erika,
dilahirkan. Rosalia mengalami pendarahan. Penyakit
jantungnya kambuh. Beberapa bulan kemudian, Lukman mengalami
kecelakaan. Mobilnya tabrakan dengan mobil lain.
Lukman selamat, akan tetapi berita kecelakaan itu
telah cukup untuk menggoncang jantung Rosalia.
Tiga tahun kemudian ia masih sanggup melahirkan
Luki. Dengan jantung yang semakin lemah, sehingga
dokter tidak lagi memperkenankan perut Rosalia
dihuni jabang bayi. Bertahun-tahun kemudian, dokter
malah memberi saran agar Rosalia berpisah tempat


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidur dengan suaminya. Mengerikan! Dalam setahun, naluri seks-nya hanya dua kali
dapat memenuhi nafsu Lukman. Ia kemudian merelakan suaminya mencari pemuasan pada perempuan lain. Lukman mula-mula menolak. Rosalia bahagia dengan penolakan suaminya. Lalu muncullah
Paul, dan istrinya Sunarti. Nasib menentukan, Sunarti
sama parahnya dengan sejumlah perempuan lain, dan
akhirnya Lukman tidak lagi dapat mengontrol diri.
Kebencian Rosalia kadang-kadang timbul apabila
mengetahui suami dan adik iparnya pergi bersamaan
menemui perempuan yang sama pula!
Maka, ia tidak menolak waktu ditawari jabatan
pimpinan dalam organisasi wanita yang masih ada
hubungan dengan instasi tempat suaminya bekerja.
Kegiatan itu ia manfaatkan dengan menyibukkan
diri untuk melupakan Rosalia pada tingkah laku
suami, bahkan menolongnya dari gangguan serangan
jantung. Ia mulai rajin memberi ceramah di sana-sini,
terutama kalau ceramah itu dilangsungkan di luar
kota. Dengan demikian ia dapat memperoleh variasi
dari ketegangan-ketegangan yang selalu timbul bila
ia berdiam di rumah. Kegiatan amal yang sering
57 58 dikerjakan organisasi lebih menggembirakan hatinya
lagi. Kegiatan itu ia anggap sebagai imbangan dari
dosa-dosa yang selama ini ia dan suaminya perbuat.
Malang bagi Erika dan Luki.
Mereka jadi korban. Kurang dapat perhatian.
Dan celakanya, Sunarti yang diharap Rosalia sebagai
mengganti ibu anak-anak itu, gagal menjalankan
tugasnya. Lihat saja Luki. Mesti pintar di kelas,
tetapi suka berkelahi. Hanya kedudukan papanya
saja yang menolong anak itu lepas dari kesulitan dan
ancaman dikeluarkan dari sekolah. Lihat pula Erika.
Hubungannya akhir-akhir ini dengan Alex, benarbenar mencemaskan Rosalia.
Alex memang pemuda yang menarik.
Penampilannya selalu parlente. Kantongnya
pun padat. Ia benar-benar merupakan idola gadis
remaja seperti Erika. Sayang, Alex tidak becus di
sekolah. Orangtuanya sampai malu, kemudian putus
asa. Kegemaran Alex untuk ngebut sehingga pernah
menimbulkan korban dua orang anak meninggal
dunia dan beberapa orang lain masuk rumah sakit,
meminta biaya yang tidak sedikit. Alex diusir papanya
dari rumah. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya
dari sanak keluarga yang lain, dan dari mengorek
dompet pacar-pacarnya, termasuk Erika.
"Hati-hati dengan anak itu!" sering Rosalia
memperingatkan Erika. Tetapi putri kesayangannya itu membangkang.
"Tanpa Alex, aku tak dapat menekuni buku pelajaran!"
kata Erika memberi alasan.
"Bukankah masih banyak pemuda-pemuda lain
bersaing merebut cintamu?"
"Benar, Mama. Tetapi hanya ada satu Alex di
hatiku" "Dia tidak punya masa depan, Nak"
"Dia mungkin tidak. Tetapi aku punya, bukan
begitu Mama?" "Kau tidak malu punya suami yang hidupnya
luntang-lantung?" "Mengapa harus malu, Mama. Bukankah Tante
Sunarti tidak malu bersuamikan Oom Paul?"
Adik ipar beserta istrinya yang menyebalkan
itu! Mereka justru menjadi contoh!
Rosalia mengeluh. Jantungnya bagai diiris-iris. Ia terperanjat waktu
istri Bupati menegur, "Kau sakit, Bu?"
Rosalia terjengah. "Ah. Tidak. Tidak..."
"Tetapi wajah Ibu tampak pucat. Berpeluh
lagi." "Oh ya?" Rosalia menyeka wajahnya. Betapa
dingin. Ia gemetar lagi. Bau ruangan yang pengap dan
penuh asap rokok, membuatnya mual. Di panggung,
sedang dipertunjukkan tari-tarian daerah. Alunan
59 60 musik rakyat terdengar menyakitkan di telinga.
Rosalia perlahan-lahan dirayapi perasaan pusing dan
ingin muntah. "Ibu sakit!" istri Bupati meyakinkannya.
"Marilah. Saya antarkan ibu ke hotel..."
Di hotel, sebuah pesan telah menunggunya.
"Ada telepon untuk Ibu. Dari rumah."
kata resepsionis hotel dengan suara ramah dan
menenangkan. Melihat wajah tamunya yang pucat,
resepsionis itu cepat menawarkan, "Apakah Ibu
memerlukan dokter?" Rosalia menggelengkan kepala, mengucapkan
terima kasih atas perhatian resepsionis itu kemudian
naik ke kamarnya dibimbing oleh istri Bupati.
Seorang ajudan ikut mengantar mereka sampai ke
pintu kamar. Di dalam, Rosalia diberi minuman dan sebutir
aspirin. Ia kemudian berbaring. Ditunggui istri bupati. Ia tertidur sebentar, dan terbangun lagi karena
denyutan-denyutan jantung yang melecut-lecut. Istri
bupati masih duduk menungguinya.
"Lebih baikan sekarang?" tanya tuan rumahnya
itu. Lunak. "Entahlah. Jantungku... . ."
"Saya panggilkan dokter ya?"
Rosalia menolak. "Akan kuminta Paul menyuruh dokter pribadiku
datang kemari. . !" ia mendesah, lalu, "Eh. Apakah tadi
resepsionis mengatakan ada telepon dari rumah?"
Istri bupati mengangguk halus.
Dengan perasaan dingin yang terus menyerang
tubuhnya, Rosalia cepat membuka tasnya, mengeluarkan ponsel yang sebelum menghadiri pertemuan
tadi ia matikan agar tidak menganggu.
Paul sendiri yang menyambut kontaknya di seberang sana. "Kaukah ini, Rosa?"
"He-eh," rungut Rosalia. Ada nada muak dalam
suaranya. Paul, hem...! Paul selalu menyebutnya dengan panggilan
"kau", bukan "kakak" sebagaimana mestinya. Padahal
ia adik Lukman, dan usia Paul berjarak beberapa
tahun lebih muda dari usia Rosalia sendiri.
Di matanya kemudian terbayang saat-saat
Paul suka memperhatikan dirinya, bahkan pernah
memasuki kamar mandi tanpa mengetuk selagi
Rosalia berendam di bawah pancuran. Telanjang.
Rosalia sangat marah. Paul meminta maaf, lantas
mengundurkan diri. Tetapi masih sering kejadian
Paul bersikap tidak pantas. Mengecup bibir Rosalia
ketika Rosalia berulang tahun, padahal mestinya ia
mengecup pipi. Pura-pura tak sengaja menjamah
61 62 dada Rosalia ketika bangkit dari meja makan, atau
ketika membangunkan Rosalia dari tidur yang kelewat
nyenyak, atau ketika mereka berpapasan di pintu.
Mencubit pantat Rosalia jangan dikata lagi. Dengan
lagak, Paul pura-pura sayang kakak. Huh!
"Kau masih di situ, Rosalia"," di seberang sana
Paul setengah berteriak menyadarkan Rosalia dari
lamunannya. "Masih, Paul" Rosalia menekan perasaan mual.
Tampaknya Paul sedang gugup. "Ada perlu apa?"
"Pulanglah segera, Rosa!"
"Sekarang?" "Ya." "Tetapi... sudah jauh malam. Dan perjalanan
dengan mobil akan memakan waktu berjam-jam,
sedang aku sangat letih!"
"Carter saja pesawat!"
"Tak ada pesawat di daerah ini. Kalau pun ada
paling juga pesawat kecil atau pesawat latih. Dan
tidak mungkin ada pilot yang bersedia terbang jauh
malam begini"!"
"Oh. Jangan bertele-tele lagi, Rosa. Kuharap,
pulanglah segera. Malam ini juga. Demi Tuhan,
pulanglah segera!" Rosalia gemetar dan pucat.
"Apa yang terjadi?" ia bertanya, dengan jantung
mulai melilit. "Tak baik diutarakan di telepon."
"Mengenai Luki?"
"Bukan." "Erika?" Diam sebentar, lalu, "... juga bukan!"
"Abangmu kalau begitu ...?" Rosalia mulai
panik. "Ah. Mengapa hanya bertanya" Pulanglah segera.
Nanti kita bicarakan setelah kau tiba di rumah."
"Tetapi..." "Berapa orang kalian pergi ke luar kota?"
"Bertiga." "Panggillah dua yang lain. Kau jangan pulang
sendirian. Tetapi ingat, sebelum tiba di rumah, carilah alasan agar teman-temanmu tidak ikut mendampingimu ke rumah"
"Kau membuatku bingung, Paul. Apa yang
sebenarnya terjadi" Katakanlah. Jangan menakutnakuti aku dengan..."
"Ya, ampun! Mengapa masih berkicau juga"!"
Lantas, ngiiing...! Telepon diputuskan Paul
serentak. Rosalia sampai tersentak oleh bunyi denging
panjang dan menyakitkan di telinganya itu, kemudian
terhempas di tempat duduk. Tubuhnya bergetar
hebat, dan peluh kian membanjiri wajahnya. Ia harus
tahu. Harus tahu apa yang terjadi. Ia tidak mau
63 64 pulang dengan pikiran panik dan kacau balau. Nanti
setibanya di rumah, ia harus sudah tahu apa yang ia
hadapi, dan ia harus siap untuk mengatasinya.
Selama beberapa jenak ia duduk diam-diam
diperhatikan istri Bupati dengan pandangan mata
khawatir. Perempuan itu baru saja akan membuka
mulut untuk menawarkan bantuan, ketika Rosalia
meluruskan punggungnya lalu kembali sibuk dengan
telepon seluler yang masih ia pegang.
Teleponnya langsung tersambung.
"Handoko?" Rosalia cepat membuka mulut,
setengah mengerang. Di alat pendengar, bergumam suara rendah dan
setengah mengantuk, "Siapa ini?"
"Rosa. Nyonya Lukman. Aku?"
"Kau ada di mana, Rosalia?" suara di seberang
sana mendadak berubah tegang.
Rosalia menyebut alamatnya saat itu, dengan
suara gugup, sehingga beberapa kali ia harus
mengulangi kalimat-kalimatnya agar jelas didengar
temannya berbicara di telepon.
Sementara itu, istri Bupati diam-diam keluar
dari kamar, menggamit ajudan yang masih menunggu
dan menyuruh orang itu agar segera mempersiapkan
mobil tamu mereka di depan hotel. Kemudian ia
kembali masuk ke dalam, dan berpikir apakah pantas
kalau ia bereskan koper-koper tamunya tanpa permisi
lebih dahulu. Dan, ia kebingungan sendiri.
"Apa yang terjadi di rumah, Handoko?"
"Rosa. Dengarkan dulu. Aku..."
"Tolonglah, Handoko. Jangan mengelak. Paul
merahasiakan sesuatu. Kelihatannya mengenal suamiku. Kau sahabat Lukman, bukan" Sesuatu mengenai dirinya selama ini, tiba-tiba mencemaskan
aku. Maukah kau berterus terang" Kau punya mata
dan telinga di sana sini, Handoko?"
"Rosalia... " "Ya Tuhan. Jangan menyiksaku lebih lama,
Handoko!" "Oke. Oke. Kalau kau memaksa"," lantas
sahabat karib Lukman yang punya kedudukan penting
di Mabes Polri itu, berbicara perlahan-lahan. Sangat
perlahan, tetapi cukup jelas untuk didengar Rosalia.
Istri Bupati yang berpura-pura mengawasi
ke luar jendela sambil memutuskan begitu nanti
pembicaraan telepon tamunya selesai ia akan pamit
lantas pulang, seketika berpaling terkejut manakala
telinganya menangkap suara benda jatuh terhempas
ke lantai, yang ternyata ponsel. Disusul suara Rosalia
mengeluh, pendek. Istri Bupati yang sedang kebingungan dan kini
dibuat terheran-heran itu, terlambat bergerak dan
65 66 masih sempat melihat tubuh Rosalia berubah seperti
bunga yang sangat layu, menekuk dengan cepat,
lantas jatuh ke lantai. Pada saat tubuh mempesona
itu lunglai lalu terguling jatuh, kepalanya sempat
membentur tepi meja, dan tiba di lantai, kepala itu
berderak lebih keras lagi.
Istri Bupati terbelalak sesaat dua.
Mulutnya kemudian terbuka. Lebar.
Dan lolongannya yang mengerikan, dalam
seketika langsung membangunkan semua penghuni
hotel dari tidur mereka mereka yang pulas.[]
5 DOKTER yang datang buru-buru setelah dihubungi
per telepon, menjauhi tempat tidur di mana Rosalia
berbaring diam dengan wajah putih seperti kertas
dan kelopak mata terpejam rapat. Wajah dokter yang
sudah tua itu datar-datar saja, sangat kontras dengan
belasan wajah yang hampir memenuhi kamar hotel


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Kepada Bupati yang buru-buru datang setelah
dipanggil dan terus menempelinya dengan ketat,
dokter tua itu bergumam memberitahu, ?"Kepala
retak. Tetapi penyebab kematiannya, bukan itu."
"Apa?" "Serangan jantung.Aku yakin, hasil pemeriksaan
forensik nanti akan menguatkannya. "
"Oooo ?" "Kubuatkan surat kematiannya sekarang?"
"Itu lebih baik."
67 68 Dokter menulis di selembar kertas nota, menyerahkannya kemudian pada Bupati, yang meneruskan
kepada seorang petugas kepolisian berpangkat Ajun
Inspektur Dua, tanpa membaca isinya lebih dahulu.
Bupati kemudian memandangi tubuh yang
terbaring di atas tempat tidur. Teringat, betapa belum
satu jam berselang ia sangat terkesan oleh penampilan
tubuh indah dan wajah cantik menggairahkan itu.
Tadi, di aula, ia sempat menyesali diri, mengapa
tidak mengenal Rosalia lebih dulu sebelum ia
meminang Ningrum. Kini, ia mengawasi wajah dan
tubuh yang diam tidak bergerak-gerak itu. Masih tetap
cantik, dengan liku-liku tubuh memeta lebih jelas.
Tetapi wajah yang pucat tidak bercahaya itu, sama
sekali tidak membangkitkan gairahnya lagi sebagai
laki-laki. Ia bersyukur Ningrum, istrinya, sangat sehat,
semoga terus demikian, untuk mendampingi dirinya
dan anak-anak mereka sampai akhir hayat.
"Kalau saja berita itu datang lebih siang","
dokter bergumam di sampingnya.
"Berita apa, Dokter?" tanya Bupati, terengah.
"Entahlah. Berita di telepon itu pastilah demikian mengejutkan. Tadi istri Anda mengatakan,
pembicara di telepon itu sepertinya menyuruh dia
pulang segera. Tetapi karena sudah larut malam,
almarhumah tidak dapat menentukan pilihan. Lalu
dia menelepon lagi. Dan telepon kedua itu, benarbenar mematikan. Ahhh, kalau saja lebih siang...!"
"Sepanjang pagi dan siang dia pergi bersamasama kami meninjau beberapa desa. Yah, dokter
benar. Dia mungkin kelelahan, dan" Ah, Anda
benar. Kalau saja lebih siang!" Bupati geleng-geleng
kepala lantas mendengus, "Apa gunanya berkalaukalau sekarang ini?"
Dokter manggut-manggut setuju.
Isak tangis masih memenuhi ruangan. Beberapa
perempuan tampak berpelukan di dekat jendela.
"Keluarganya sudah diberitahu?"
Pertanyaan dokter yang tiba-tiba itu, membuat
Bupati terperanjat. "Astaga! Mengapa tidak ada yang
mengingatkan dari tadi!"
*** Pada saat telepon rumah mereka ribut berderingdering, Paul sudah keluar. Ia harus mengecek segala
sesuatunya menyangkut setiap taksi milik mereka di
pangkalan, begitu pula mobil yang di travel.
Sunarti sudah tidur, dengan mimpi buruk yang
membuat tidurnya resah. Ia lihat dalam mimpinya,
Paul membawa seorang perempuan lain ke rumah,
meniduri perempuan itu di depan mata Sunarti,
sementara Sunarti tidak dapat berbuat apa-apa karena
Paul mengikatnya kuat-kuat di sebuah kursi.
69 70 Erika yang tidak mau terpejam matanya, mengunci diri di kamar Luki. Apa saja ia percakapkan dengan adik laki-lakinya itu, sekadar agar adiknya tidak
tertidur dan membiarkan Erika melamun sendirian,
tidak karuan. Karena bosan dengan pembicaraan kakaknya, Luki membunyikan tape dengan keras, sehingga kamarnya dipenuhi suara musik rock yang
hingar bingar. Di bagian belakang rumah, suami istri
pembantu rumah tangga mereka tengah sibuk bergelut di atas tempat tidur yang ribut berderit-derit.
Luki akhirnya tertidur. Dan Erika mencoba berbaring di sebelah Luki.
Kantuk datang juga akhirnya. Tetapi tidak lama.
Menjelang subuh ia terbangun oleh udara dingin yang
merembes masuk ke dalam kamar. Ternyata mereka
lupa menutup jendela. Erika segera pergi ke kamarnya
sendiri untuk mandi. Kemudian membantu pelayan
mempersiapkan sarapan pagi di dapur.
Pukul tujuh pagi, Luki pergi ke sekolah.
Setengah jam kemudian, Paul pulang dengan wajah
kusut masai, dan mengomel-ngomel tak tentu alamat
di hadapan Sunarti yang duduk diam-diam di sebuah
kursi, masih teringat mimpi buruknya tadi malam.
Pukul delapan lewat lima, surat kabar pagi datang. tak
ada berita penting mengenai papa Erika. Kasusnya
masih tertutup rapat rupanya. Pukul sembilan tepat,
Erika keluar rumah dengan maksud pergi ke rumah
Alex. "Aku mesti bicara sekali lagi dengan dia, sebelum
ia pergi ke Surabaya"," Erika berbicara dalam hati,
seraya mengeluarkan mobil dari dalam garasi.
Mobil itu baru saja akan ia luncurkan ke jalan
raya, ketika bunyi sirene terdengar menjerit-jerit di
kejauhan. Makin lama makin keras bunyinya. Lalu
sebuah ambulan yang dikawal oleh motor voor-rider
polisi, membelok memasuki rumah, dan berhenti
tepat di dekat teras depan Erika.
Terheran-heran Erika menepi lalu turun dari
mobilnya. Lebih heran lagi ketika ia lihat dua, ah, empat
orang laki-laki meloncat dari pintu belakang ambulan
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu mengangkat
benda aneh dan mengerikan yang langsung mereka
bawa masuk ke dalam rumah lewat pintu depan yang
lupa ditutup Erika. "Peti mati!" Erika tersedak.
Dan sekujur tubuhnya mendadak bagai diserbu
oleh berbalok-balok es. Siapa itu di dalam peti mati"
Mengapa harus digotong masuk ke dalam rumah
mereka" Antara sadar dan tidak, Erika pun berlari-lari
memasuki halaman, melewati ambulan, dua motor
71 72 besar polisi yang tadi mengawal ambulan itu, langsung
menerobos masuk ke dalam rumah. Dengan kepala
dipenuhi oleh bayangan-bayangan mengerikan tentang papanya yang membentur-benturkan kepala ke
tembok kamar tahanan, sampai kepala dan wajah
papanya berdarah-darah lantas tubuhnya jatuh
terhempas di atas genangan darah sendiri.
"Papa! Papa! Oh, papa..!" ia memekik-mekik
setiba di dalam rumah dan langsung menghambur
dan memeluk peti mati diiringi ratap tangis yang tak
berkeputusan. Paul cepat menyeret Erika supaya menjauh.
Pendamping ibunya ketika berangkat, didampingi
oleh kedua orang polisi pengawal, berbicara sebentar
dengan Paul, juga Sunarti yang kemudian jatuh
bersimpuh di lantai, lunglai. Sementara Paul dibantu
oleh para petugas ambulan, dengan tangan bergemetar
pelan-pelan membuka penutup peti mati.
Erika menahan nafas. Ia tidak ingin melihat mayat papanya, akan tetapi
dorongan naluri yang kuat tetap saja menggerakkan
kaki-kakinya untuk mendekat setengah merangkak
ke arah peti mati di depannya, lalu memanjangkan
lehernya untuk dapat melihat lebih jelas ke sebelah
dalam peti mati. Matanya mengerjap beberapa kali.
Lalu, Erika pun terkejut. Kemudian mengerang.
"Mama..."!"
Di sebelah Erika yang sekujut tubuhnya bergemetar hebat sebelum kemudian terkulai lantas
jatuh pingsan tanpa ada yang memperhatikan, Paul
tegak dengan kaku di tempatnya berdiri.
Tidak, Paul bergumam sakit jauh di sanubari.
Ini bukan perempuan yang sering kugoda, agar sekali
waktu mau bergumul denganku di tempat tidur tanpa
sepengetahuan bang Lukman. Perempuan ini tidak
pernah tergoda. Dan, sampai kapan pun tidak akan pernah.
Karena kini perempuan itu tampak terbaring
diam di dalam peti. Diam yang membeku. Diam yang teramat
pucat. Namun masih tetap memperlihatkan sisa-sisa
kecantikan serta pesona yang memikat di setiap lekuk
tubuhnya. Rosalia sayang. Rosalia malang![]
73 6 UPACARA pemakaman berlangsung di bawah hujan
rintik-rintik yang untungnya cepat berlalu. Seakan tak
ingin mengganggu. Ratusan pasang mata memperhatikan jenazah
Rosalia diturunkan ke liang lahat, dengan berbagai
perasaan. Sedih, berduka cita, kehilangan, atau tanpa
perasaan apa-apa. Sebagian di antara pengantar
jenazah tidak menyembunyikan isi hati lewat sinarsinar mata mereka, kadang-kadang disertai bisikan
satu sama lain, seraya melirik ke laki-laki setengah
umur yang berdiri linglung, bergenggaman tangan
dengan seorang gadis muda belia, cantik jelita namun
tampak menderita. Erika tahu apa yang tersirat di balik mata mereka. Memahami mengapa mereka harus berbisikbisik sambil mencuri-curi pandang ke arah dirinya dan
papanya. Orang-orang itu relasi-relasi dekat papanya,
pegawai-pegawai kalangan tinggi yang dengan kedu75
76 dukannya dengan mudah dapat mengetahui apa yang
telah terjadi. Lebih-lebih karena Lukman muncul di
pemakaman diantar sebuah mobil berplat dinas polisi
dan dikawal dua orang pria yang berpakaian sipil,
tetapi bertampang kaku dan tidak membuka mulut
sama sekali selama pemakaman berlangsung. Sambil
keduanya menempel ketat di belakang punggung
Lukman, dengan sikap waspada dan mata nyaris tak
pernah lepas dari orang yang mereka tempel.
Seakan khawatir orang yang mereka tempel itu
tiba-tiba menguap lantas hilang entah ke mana.
Besok, berita itu sudah akan muncul di surat
kabar dan berita televisi, pikir Erika dengan perasaan
perih. Wartawan-wartawan surat kabar maupun
televisi itu tidak peduli akan kematian ibunya, malah
kematiannya justru membuat surat kabar makin tidak
berbelas kasihan. MATI BERSAMA DOSA-DOSA
SUAMI, demikian dibayangkan Erika bunyi juduljudul berita yang dimuat di halaman depan dengan
hurup-hurup sebesar gajah bengkak.
Ia genggam tangan papanya lebih erat.
"Mestinya kau tidak ikut ke sini"!" bisik
papanya, dengan suara yang terdengar sakit..
"Tetaplah bersikap tenang, Papa Aku akan tetap
bersamamu, apa pun kata mereka "!" sahut Erika
dengan suara direndahkan..
"Tetapi kau harus ikut menanggung malu,"
kata papanya lagi, seraya menggerakkan dagu ke
sekelompok orang yang ribut berbisik-bisik di antara
kilatan-kilatan blitz atau sorotan lampu kamera
televisi yang menyambar-nyambar kian kemari.
Sepasang mata Erika terpejam perih ketika
menyahuti papanya. Dengan jawaban pendek dan
tegas. "Biar!" Papanya diam sebentar. Lalu, "Aku pasti sudah
membuatmu kecewa, Anakku?"
"Tidak, Papa." "Aku mendapat tambahan gelar kini, Erika.
Tikus yang...," Lukman menggigil dengan dahsyat,
sehingga ia pasti sudah jatuh lunglai di tanah kalau
Erika tidak segera mendekapnya.
"Tabahkan hatimu, Papa. Aku tak perduli sebutan apa pun yang mereka ributkan mengenai dirimu. Koruptor kek, bandit kek, tikus penggerogot
uang rakyat atau apa saja. Papa cuma salah langkah.
Dan Papa tetaplah Papaku. Tak ada yang bisa mengubahnya"!"
"Jangan menyakitiku, Erika!" Lukman memelas,
dengan telinga berdenging-denging nyaring.
"Maaf, Papa." Diam lagi. Liang kubur telah ditutup rapat.
Kata sambutan silih berganti, lalu diakhiri doa yang
77 78 dibacakan oleh seorang ustad. Kerumunan manusia
di sekeliling mengikuti dengan tekun, termasuk
para penggunjing dalam kelompok-kelompok yang
menyandang kamera foto maupun memanggul
kamera video. Berulang kali terdengar sahutan
berkumandang, Amin, Amin, Amiiiin"!
Lukman menggigil lagi. "Tuhan mengutukku!" ia mengerang, seraya
memandangi tanah kuburan di depan kakinya, gundukan tanah coklat kemerah-merahan yang kini
sudah bertabur bunga rampai. "Tuhan mengutukku,
dengan mengambil Ibumu dari samping kita..."
Erika menggigit bibir kuat-kuat.
Menahan tangis. "Rika?" "Ya Papa..." "Kuharap kau baik-baik saja, Nak," sang papa
berujar cepat, ketika salah seorang dari kedua pria yang
semenjak dari tadi berdiri diam di belakang Lukman,
menyentuh lengannya dengan sentuhan pelan tapi
setengah menggamit. Sebagai pemberitahuan bahwa
mereka punya waktu yang sangat terbatas, selain
tampaknya mereka tidak suka pada bau kuburan..
"Aku tak tahu, Papa. Aku tak sanggup untuk.."
"Katakanlah kau sanggup, Nak. Katakanlah!"
Lukman mendekap anaknya erat-erat.
Erika menangis di dada papanya. "Akan kucoba,
Papa..." "Jangan pikirkan aku, Nak. Pikirkan dirimu
saja. Oke?"

Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke mana mereka akan membawa Papa" Apa
yang mereka lakukan terhadap Papa?"
"Rika! sudah kukatakan, agar kau jangan..."
"Ke mana Papa" Aku ingin menjengukmu
selalu. Ingin berada di dekatmu. Apakah mereka
menyiksamu" Menyakitimu?"
Papanya gemetar. Lalu, "Aku memang sudah
jadi orang terbuang, Nak. Namun mereka masih
memperlakukan aku dengan baik. Entah besok...,"
Lukman melepaskan Erika dari dekapannya lantas
memohon, "Jaga Luki baik-baik, Erika. Om Paul dan
Tante Sunarti-mu akan melindungi kalian berdua.
Jangan sakiti hati mereka. Dan anggaplah mereka
sebagai pengganti orangtuamu sendiri. Berjanjilah,
Erika!" "Papa...." hampir pingsan rasanya Erika.
"Berjanjilah!" bentak papanya. Kasar. Dan
bahkan membuat kedua pria pendampingnya yang
bertubuh kekar dan berpenampilan kaku itu, sempat
terkejut. "Aku... aku berjanji, Papa"
79 80 "Anakku. Anakku...!" sudut-sudut mata Lukman
berlinang. Tampak betapa ingin ia memeluk anak
gadis kesayangannya itu, tanpa melepaskannya.
Akan tetapi salah seorang dari pria itu sudah
keburu berbisik. Tajam. "Sudah waktunya pergi, Pak
Lukman!" Dan mereka pun pergi, nyaris setengah menyeret
papa Erika. Gadis itu menjerit memanggil-manggil, tetapi
papanya terus saja melangkah tanpa menoleh-noleh
ke belakang, masuk ke dalam mobil yang sudah
menunggu kemudian berlalu pergi bersama mendung
yang semakin menghitam di langit lepas.
"Akan turun hujan , Erika," Sunarti tahu-tahu
telah berada di sebelah Erika. "Kita harus pulang
sekarang...!" Curahan tangis dan doa masih mereka
tumpahkan ke tanah kubur sebelum akhirnya mereka
benar-benar pulang bersama turunnya hujan.
Mereka tiba di rumah yang diselimuti suasana
berkabung. Erika langsung menyelinap ke kamar tidur,
didampingi Sunarti. Sedang Paul, bergegas pergi ke
rumah tetangga sebelah, karena di sana ia melihat
Luki tengah bertengkar hebat dengan beberapa
teman sebayanya. Ketika Paul muncul, Luki baru saja memukul
kepala salah seorang anak itu. Yang lainnya segera
mengepung, siap untuk mengeroyok Luki yang tegak
menantang tanpa kenal takut. Namun mereka segera
bubar setelah melihat Paul mendekat, sambil tertawatawa mencemooh Luki.
"Masuk ke rumah, Luki", bentak Paul tajam.
Luki menghentak-hentakkan kaki ke tanah.
"Mereka pengecut! Mereka kurang ajar!" teriak
Luki, bernafsu. "Sabar, Luki. Ayo, pulang"
"Sabar" Apakah Om dapat bersabar, kalau papa
Om dituduh orang sebagai penjahat?"
Paul terdiam. Ia kemudian memeluk Luki dengan lembut, dan
membujuk lemah. "Lain kali saja kau pukul mereka.
Oke?" Wajah berang Luki berubah lunak.
Ia tersenyum. Katanya, "Tetapi lain kali Om jangan muncul. Biarkan
dulu mereka kuratakan dengan tanah, satu persatu!"
"Ah. Tak usah sampai rata ke tanah, Luki.
Terlalu kejam," Paul memaksakan senyum. Teringat
apa kata kakak iparnya di alam kubur, jika mendengar
omongan Luki barusan, "Kita ke rumah sekarang?"
81 82 Setelah berada di kamarnya, Luki malah ganti
menangis, "Papa tidak jahat. Papa hanya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk membahagiakan aku, membahagiakan kak Rika. Bukan begitu,
Om Paul?" "Benar, Nak. Benar begitu."
"Papa tidak akan mereka kirim ke Nusakambangan seperti kata anak-anak setan tadi, bukan?"
"Mudah-mudahan tidak, Nak"
"Akan kupukul siapa saja yang berani menyeret
Papa ke Nusakambangan, Om Paul. Akan kuratakan
mereka dengan tanah!"
"Uh. Tak usah sampai rata ke tanah, Luki"
Paul beranjak ke pintu. "Om Paul..." "Ya?" "Sore nanti aku mau nonton film. Om punya
duit?" Astaga, pikir Paul. Belum juga dua jam yang lalu ibunya dimakamkan![]
7 LUKMAN memang dipecat dengan tidak hormat.
Hak-haknya di kepolisian, termasuk masa pensiun,
dicabut. Para pengacaranya telah berjuang dengan susah
payah membelanya dengan mengingatkan reputasi
Lukman di kepolisian dan tidak pernah melakukan
kejahatan sebelumnya, juga sudah mengembalikan
sebagian dari uang negara yang dituduhkan telah ia
korupsi. Belum lagi keterbukaannya selama pemeriksaan pendahuluan ternyata berdampak positif,
borok-borok yang sudah lama membusuk di kepolisian kemudian merembet ke Direktorat Jenderal
Pajak sehingga terungkap lebih banyak lagi uang
rakyat yang berhasil dikembalikan ke kas negara.
Pembelaan yang berapi-api itu hanya menghasilkan dua hal. Hakim menjatuhkan hukuman tiga
tahun penjara langsung masuk. Enam tahun lebih
rendah dari tuntutan jaksa. Hal kedua, Lukman tidak
83 84 dikirim ke Nusakambangan, melainkan ke penjara
kota. Dengan demikian ia tidak akan terpisah terlalu
lama atau terlalu jauh dari keluarganya.
Tetapi hukuman terberat diterima oleh keluarga
yang ia tinggalkan. Erika dan Luki kehilangan ibu dan kemudian
boleh dikata kehilangan papa pula. Belum lagi aib
yang tercoreng di muka, begitu perkara manipulasi itu
dimuat besar-besaran baik di media cetak, terutama
televisi. Masih untung, apa yang dibayangkan Erika
sebelumnya, tidaklah terlalu mengerikan. Surat-surat
kabar memang memuat berita-berita itu di halaman
depan, namun dengan judul-judul yang lebih
bersahabat. Konon, berkat usaha para pengacara
papanya, di samping transfer antar bank oleh Paul
untuk sejumlah wartawan yang datang "mengucapkan
belasungkawa" ke rumah mereka.
Biarkanlah itu. Biarkan pula wajah-wajah
mencemoohkan. Biarkan saja kata-kata menghina.
"Lama kelamaan semua itu akan reda dengan
sendirinya"," hibur segelintir sahabat yang menaruh
simpati. Coretan-coretan arang di muka akan lenyap
pula. Tinggal bekas-bekas yang samar, meski masih
tetap terasa menyakitkan.
Perasaan sakit itu menyelinap di balik sinar
mata Erika, ketika suatu hari ia menatap Alex yang
tengah berbicara panjang lebar dengan papa Erika
saat mereka mengunjungi Lukman di penjara.
Pemuda itu tampak tenang-tenang saja. Bicaranya
lepas, sesekali ia terdengar tertawa. Duduknya pun
sangat rileks. Aneh, pikir Erika dalam hati. Alex sama
sekali belum pernah menunjukkan rasa simpati yang
serius terhadap musibah yang menimpa keluarganya.
Seperti acuh tak acuh. Atau barangkali, malah tidak
peduli. Apakah sikapnya itu karena Alex gagal dalam
balapan di Surabaya" Dengan sendirinya gagal pula
ikut ke Tokyo, yang berarti kesempatannya untuk
dapat job di agen perusahaan sepeda motor itu ikut
pula hilang lenyap" "Kau tahu, Erika?" ujar Alex, sekeluar mereka
dari penjara. "Ngg?" "Tadinya aku sudah membayangkan sebuah
show-room. Dengan modal dari papamu...!"
Keterusterangan Alex membuat hati Erika
terluka. Tetapi ia simpan luka hatinya dalam-dalam. Ia
mencintai Alex. Dan ia tengah mengandung bayi
Alex. "Kita masih dapat berusaha," ia menanggapi.
Dingin. 85 86 "Dengan apa?" Alex angkat bahu plus kedua
lengan. Pertanda pasrah. Tetapi dengan wajah
tampak sangat keruh. "Papaku sudah tidak mengakui
aku lagi sebagai anaknya. Benar, Ibuku masih sering
menyelundupkan sejumlah uang tanpa sepengetahuan
Papa. Tetapi hanya cukup buat beli rokok..."
"Berhentilah merokok!"
"Boleh. Dan uangnya kita kumpulkan sedikit
demi sedikit, begitu maksudmu" Setelah satu tahun,
paling banter uang yang terkumpul hanya cukup
untuk membeli sebuah sepeda motor bekas. Bukan
setumpuk, apalagi sebuah show-room!"
"Aku akan membantu," hibur Erika.
"Dengan perhiasanmu yang sedikit itu?"
Alex nyeletuk kasar, sambil mengawasi kalung
berliontinkan berlian yang menggantung manis di
leher Erika. Dan setelah tercenung beberapa saat,
tiba-tiba Alex tersenyum manis.
Senyuman yang semenjak tadi memang sudah
sangat ditunggu-tunggu oleh Erika. Senyum manis,
untuk melipur hati yang lara. Tentu saja, disertai
harapan berbunga-bunga. Yakni, sebuah pertanyaan
yang lebih ia tunggu-tunggu lagi, "Anak kita. Sudah
sejauh mana perkembangannya?"
Dan yang keluar dari mulut manis Alex, justru
pertanyaan ini, "Eh. Omong-omong, berapa kira-
kira hasil penjualan kalungmu itu kalau kita oper ke
toko?" Bunga-bunga mawar indah yang sudah sempat
menguncup itu, pada layu seketika. Tinggal durinya,
yang langsung menusuk-nusuk.
Tetapi, itulah hebatnya cinta!
Setelah terdiam sejenak untuk menahan dan
kembali menanam dalam-dalam pukulan tak terduga
itu, Erika pun mengingat-ingat dan menghitunghitung sebentar di kepala. Lalu, "Dua setengah"
Ah! Mungkin tiga juta. Dan kalau masih kurang, aku
menyimpan beberapa potong lagi di rumah. Tinggal
sisa-sisa memang, karena Om Paul sudah menjual
sebagian lainnya untuk membayar keperluan Papa di
penjara!" "Hem. Paul hanya tahu meminta, ya?"
"Dia tidak bekerja. Tidak punya penghasilan..."
"Dia bekerja. Sambilan memang, tetapi aku
tahu hasilnya cukup memadai!"
"Tetapi dia "kan harus menghidupi empat
kepala?" kata Erika, berusaha membela nama baik
pamannya. "Puih!" "Marah?" "Uh. Tidak..." "Lantas?" 87 88 "Aku hanya berpikir. Hem. Kalungmu itu saja
dulu. Tiga juta ya?"
"Kira-kira. Mungkin lebih. Mungkin kurang..."
"Hem. Taruhlah minimal dua setengah. Rasanya
cukup!" Alex mengusap-usap tangannya dengan
wajah membayangkan perasaan lega.
"Cukup untuk apa" Membeli motor bekas?"
"Bukan..." "Lantas?" "Dokter!" "Dokter?" Erika keheranan. "Siapa yang
sakit?" "Kau." "... aku?" "Kau harus pergi ke dokter, Erika. Aku akan
menunjukkan siapa orangnya, dan akan mendampingimu selama ia mengerjaimu!"
"Hei, apa...!" Erika tertegun.
Alex menggenggam tangan Erika erat-erat.
Menatap matanya dengan wajah yang tak berdosa,
menghadiahi gadis itu dengan senyuman yang jauh
lebih manis bahkan kini bermadu. Lalu, dengan
wajah dan suara yang juga bermadu, akhirnya ada
juga pernyataan dari Alex yang sedikit melegakan
hati, "Kita akan memulai dari nol, Erika. Karena itu,
kuharap kau turut membantuku berpikir...!"
Bunga yang masih polos dan lugu itu menguncup
lagi. Bahkan mengembang. "Dengan?" tanya Erika, berdebar bahagia.
"Menggugurkan kandunganmu!"
Bumi tempat sang bunga tumbuh, terasa
goncang. Kaki-kaki Erika goyah, tubuhnya bagai
dihumbalangkan topan badai kian kemari. Waktu ia
tersadar dan menemukan semangatnya kembali, tak


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayal lagi tangan Erika melayang ke udara, kemudian
hinggap dengan keras di pipi Alex.
Meninggalkan balur-balur merah yang nyata
dan jelas menyakitkan. *** Seminggu lamanya Alex tidak mau menemui Erika.
Pada hari ke delapan, Erika menekan kebencian
dan sakit hatinya jauh ke dalam hati bahkan mungkin
menembus sampai ke jantung, ketika Erika akhirnya
mengangkat telepon."Alex?"
Teman sekamar pemuda itu yang menyahuti,
"Di kamar mandi. Lagi berak!"
"Tolong panggilkan sebentar. Katakan, ini
Erika." "Dia lagi berak. Be-er-ak. Jelas?"
"Persetan dia lagi membuang berak atau
memakan beraknya!" jerit Erika marah. "Panggilkan
saja!" 89 90 Suara Alex yang tersengal-sengal kemudian
muncul di telepon. "Kau mengganggu kesenangan
orang lain," umpatnya, namun tidak terlalu kasar.
Dan sangat jelas nada suaranya menyembunyikan
kegembiraan. "Ada apa, Erika?"
Erika menarik nafas panjang.
"Di mana alamat dokter itu?" ia kemudian
merintih. Sakit, tapi pasrah.
Dokter yang dimaksudkan Alex, bekerja sebagai
dokter resmi di bagian kandungan rumah sakit. Tetapi
di bagian belakang tempat praktik pribadinya, tidak
hanya tersedia peralatan lengkap untuk pelaksanaan
aborsi, tetapi juga tempat penguburan daging-daging
haram yang kelahirannya tidak dikehendaki itu.
Konon hal itu dilakukan karena sang dokter sudah mengeluarkan biaya yang tak sedikit untuk memperoleh ijazah spesialis kandungan. Dengan ijazah
itu, izin resmi juga langsung ia peroleh untuk membuka praktik pribadi. Tanpa terlebih dahulu menjalani tahun-tahun menyedihkan untuk berpraktik di
pedalaman atau desa-desa terpencil yang sangat membutuhkan dokter dengan bayaran murah meriah.
Tak heran, dengan uang sebesar dua juta tujuh
ratus lima puluh ribu yang disodorkan Alex setelah
melalui tawar-menawar yang alot, dokter itu bersedia
menggugurkan kandungan Erika. Hanya setengah
jam. Tetapi setengah yang penuh azab sengsara
sehingga Erika sampai pingsan dua kali. Ia tiba di
rumah dengan tubuh masih bagai dirobek-robek,
sehingga berulang kali ia menggeliat sambil menjeritjerit histeris di tempat tidurnya.
Sunarti yang mengkhawatirkan keadaan Erika
datang berlari-lari. Ia terpana melihat wajah Erika yang pucat pasi,
serta peluh yang membanjiri sekujur tubuh anak gadis
itu. Sampai sprei tempat tidur basah dan lembab
karenanya. Masih ada lagi. Bukan keringat saja yang
menggenangi sprei. Melainkan juga, bercak-bercak merah. Bercakbercak darah.
"Erika! Ya Tuhan, apa yang terjadi, Erika"!"
Sunarti mendekap Erika dengan kuat, saking cemas.
Dekapan penuh kasih itu sedikit meringankan
penderitaan Erika. Ia terisak, "Sakit. Tante. Sakit
alang kepalang!" "Apamu, Erika" Apamu yang sakit?"
"Aduh, Tante! Sakitnya! Tolong..."
Erika kembali jatuh pingsan. Ketika siuman
dari pingsannya, ia melihat seorang dokter yang
belum pernah ia kenal menjauhi tempat tidurnya, dan
berbisik pada Paul yang berdiri dekat jendela. "Dia
akan segera pulih kembali"!"
91 92 Paul mendekat. Juga Sunarti, dengan segelas air
dingin di tangannya. "Minumlah, Erika"
Erika menerima uluran gelas itu dari tangan
Sunarti, tetapi tidak sanggup meminumnya sehingga
Sunarti harus membantu. "Dia akan kuberi suntikan penenang," kata
dokter. Setelah menghitung sampai angka tiga puluh
empat, Erika jatuh tertidur. Lelap. Tanpa mimpi.
Dan ketika ia bangun, ia lebih suka bangun di dalam
mimpinya saja. Karena paman Paulnya duduk di
pinggir tempat tidur seraya mengawasi wajah Erika
dengan sorot mata tajam menusuk.
Lalu sebagaimana yang Erika takutkan, tanpa
kata pembukaan sang paman pun menggeram,
"Mengapa harus digugurkan, Rika"!"
Sunarti berbisik di telinga suaminya, tetapi
segera menjauh dengan ketakutan setelah dibentak
Paul dengan kasar. Paul membalik lagi kepada
Erika. Mengulangi pertanyaannya, "Jawablah, Rika.
Mengapa"!" Erika terpejam. "Jangan pura-pura tidur, Erika! Jawab saja
pertanyaanku!" Paul berteriak-teriak seraya mengguncang-guncang pundak Erika. Di belakangnya,
Sunarti memperhatikan dengan cemas, namun tidak
berdaya mencegah. Erika membuka matanya kembali.
Dan, "Alex ..!" desisnya. Takut.
"Dia yang menyuruhmu?"
"Ya." "Bangsat! Jahanam terkutuk! Di rumah siapa
dia tinggal sekarang?"
"Aku... aku tak tahu!"
"Bohong!" jerit Paul, dan plak! Tangannya
menggampar wajah Erika dengan dahsyat.
Erika sampai terhumbalang di tempat tidur.
Ketika ia bangkit, ketakutannya lenyap. Yang muncul,
adalah kemarahan yang meluap-luap.
"Kau menamparku!" ia menjerit.
"Dan aku bahkan akan menendangmu, kalau
tidak mau bicara!" Paul balas menjerit. Lebih keras,
malah. "Paul...!" Sunarti ikut-ikutan menjerit.
"Diam, perempuan bodoh. Tidak tahukah kau
aib apa lagi yang akan menimpa keluarga ini sekarang"
Bertambah seorang lagi anggota keluarga kita telah
dilecehkan orang! Diambil sarinya, lantas dibuang
begitu saja!" Sunarti mundur lagi, ketakutan.
"Akan kutanggung sendiri aib itu! Apa
pedulimu?" tukas Erika, tandas.
Paul terbelalak. Heran. "Sudah berani melawan
rupanya sekarang eh"!"
93 94 "Kau bukan apa-apaku!"
"E-eee" tangan Paul terangkat tinggi.
"Ayo! Pukullah! Pukullah! Bunuh aku sekalian!
Bunuh! Kemudian kau dan binimu tidak berhak lagi
tinggal di rumah ini. Ayo, hantam sekarang. Tunggu
apa lagi, binatang kotor" Penggoda istri abang
kandungnya sendiri" Pukullah! Seperti sering kau
lakukan kepada Tante! Atau kau lebih suka memukul
perempuan-perempuan tak berdaya di kamar-kamar
pelacur dan penyakitan itu?"
"Kau...!" Paul menggeram. Dengan kulit wajah
bahkan telinga, memerah dadu.
Tetapi tangannya perlahan-lahan turun.
Ia menjauhi tempat tidur. Lantas keluar dari
kamar dengan langkah-langkah gontai, terhuyunghuyung.
Di tempatnya berdiri, Sunarti memandangi
Erika dengan mata terbuka lebar, kemudian berlari
menyusul suaminya. Lalu dari lantai bawah, terdengar
mereka bertengkar dengan hebat.
"Kau memberitahu anak itu!" bentak Paul.
"Demi Tuhan, Paul, bukan aku..."
"Pasti kau! Tidak ada yang tahu!"
"Tidak" Bagaimana dengan perempuan-perempuan lacur yang sering kau tiduri, eh" Lupakah kau,
perempuan-perempuan itu ditiduri juga oleh laki-
laki lain" Bukankah kau sendiri pernah bercerita
kepadaku bahwa kau pernah memergoki salah seorang gundikmu tidur dengan Alex?"
Di ranjang tidurnya, Erika duduk membeku
dengan tiba-tiba. Lama. Kemudian, "Alex ..!" ia merintih. Gemetar.
"Mustahil....!"
Lalu Erika kemudian menjambaki rambut
sendiri. Sambil terus merintih. Sakit luar biasa. Jauh
lebih sakit dari siksaan di tempat praktik dokter
kandungan itu. "... Jawablah, Alex! Katakanlah semua
itu tidak benar! Katakanlah kau mencintaiku. Akuilah,
hanya aku satu-satunya perempuan yang pernah kau
jamah...! Tidak, Alex! Aku tidak percaya pada apa
yang barusan kudengar. Tidak. Tidaaak...!"
Dan, malam pun jatuh. Butir-butir air hujan sebesar-besar jagung,
menimpa atap rumah dengan suara bersorak-sorai.
Riuh rendah. Jendela kamar tidur Erika terhempas
menutup, terbuka lagi, menutup, terbuka lagi.
Terbanting-banting. Lantas terhempas menutup
untuk terakhir kalinya. Terus diam. Membeku. Di tengah turunnya hujan yang kian menderas.[]
95 8 MALAM-MALAM mengerikan kemudian datang
dan berlalu dalam kehidupan Erika, dengan langkahlangkah kejam yang membuatnya semakin rapuh.
Resep dokter tidak menolong sama sekali. Ia tahu
pamannya pasti selalu mengomel berkepanjangan
sebelum menukarkan resep itu di apotek. Tetapi
bukan itu yang menyebabkan Erika benci dan muak
melihat pil maupun kapsul yang bermacam-macam
bentuk serta warnanya itu.
Tubuhnya yang menolak. Meski didorong air
berapa gelas pun, obat-obatan itu selalu saja ia muntahkan.
"Sudah kubilang!" Paul suatu ketika menggerutu.
"Makan dulu, baru minum obatmu!"
Tetapi sebutir nasi pun tidak pernah mampu
melewati kerongkongan Erika.
"Coba dengan pisang," bujuk tantenya, Sunarti.
Dan, itu pun gagal. 97 98 "Rupanya anak ini lebih suka mampus!" maki
Paul pada suatu malam, lalu pergi meninggalkan rumah dengan marah.
Sunarti sangat menyesalkan sikap suaminya,
namun tak berani memprotes. Ia takut melihat kesehatan Erika yang semakin merosot, tetapi ia lebih
takut lagi kehilangan Paul. Dengan sabar ia menunggui
Erika, ikut menangis bersama gadis itu kalau Erika
mengalami pendarahan lagi yang membuat rahimnya
bagai dirobek-robek. Tiap kali terjadi pendarahan,
tiap kali Erika menjerit memanggil-manggil ibunya.
Kasih sayang yang ditunjukkan Sunarti tetap
tidak menolong. Mimpi-mimpi buruk terus saja menghantui Erika. Sering ia melihat Alex mencumbu beberapa perempuan sambil tertawa mencemoohan dirinya. Pernah pula ia bermimpi melihat papanya sedang menghitung-hitung uang di balik jeruji besi. Banyak sekali
jumlahnya. Demikian banyak, sehingga papanya putus asa untuk menghitung. Lantas dengan kesal memasukkan lembar demi lembar uang kertas itu ke
mulut dan mengunyah-ngunyahnya dengan mata terbeliak-beliak.
Kadang-kadang suara-suara aneh datang pula
mengganggu. Seolah ada peti mati diletakkan di kaki
tempat tidur. Dari peti mati itu, mayat ibunya bangkit,
lalu berusaha mencekik leher Erika disertai sumpah
serapah yang menuduh Erika telah mencemarkan nama baik keluarga mereka.
Untunglah Sunarti yang hampir tidak pernah
tidur selalu siap membangunkan Erika dari mimpimimpi buruk yang mengerikan itu, membujuknya
dengan kata-kata manis dan menolong Erika
mengganti celana dalam atau sprei yang dibasahi
peluh Erika, dan terkadang juga dibasahi darah.
Betapa terkejutnya Sunarti ketika suatu hari ia
melihat bintik-bintik merah keputih-putihan menjalar
di sekitar paha dan rahim Erika. Dengan cemas ia
berlari-lari mendapatkan suaminya, lalu memberitahu
apa yang ia lihat, dengan kekhawatiran yang sangat.
"Dia harus kita bawa ke rumah sakit, Paul!"
Paul mendengus. "Biarkan saja. Nanti juga
sembuh sendiri!" "Sabar dulu, Paul. Mari lihat..."
Dan setelah Paul melihat apa yang sebelumnya
telah dilihat istrinya, wajah Paul memucat. Ia
bergegas mencari taksi dan bersama-sama istrinya
kemudian membawa Erika ke rumah sakit. Sepanjang
perjalanan ke rumah sakit, wajah Paul tampak sangat
murung. Ia tidak bicara sepatah pun juga, tetapi
Sunarti dapat memahami isi hati suaminya. Paul
jelas memikirkan uang untuk biaya berobat, bukan
kesehatan keponakannya! 99 100 Dengan perasaan sedih Sunarti mendekap
Erika, dan menangisinya diam-diam.
Di rumah sakit Erika langsung menjalani tes
laboratorium. Selama itu dokter yang menanganinya
berbicara dengan Paul. "Infeksi," katanya, "Mungkin harus dioperasi."
"Operasi?" wajah Paul mengeras.
Dokter menganggukkan kepala dengan tegas. Ia kemudian bertanya apakah Erika telah
menjalani pemeriksaan sebelumnya, dan obat apa
saja yang telah dikonsumsi Erika. Sunarti yang ikut
mendengarkan, semakin sedih ketika ia melihat
suaminya memperlihatkan salinan resep. Rupanya
Paul lebih sering membeli obat hanya setengahnya
saja dari yang tertulis pada resep.
Seolah menyadari jalan pikiran istrinya, Paul
bersungut-sungut, "Habis, bagaimana lagi Dokter.


Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia hampir tidak pernah makan obat-obat yang kami
berikan"!" Alasan yang masuk akal memang. Namun diamdiam Sunarti merasa sedih oleh kelakuan suaminya.
Sekaligus juga memahami penyebabnya, simpanan
mereka yang semakin menipis karena dari hari ke hari
terus digerogoti. "Hem," dokter geleng-geleng kepala, sambil
meneliti salinan resep itu. "Kalau dimakan, semua ini
tidak akan terjadi. Sekarang... Tetapi, ah. Baiklah, kita
tunggu saja dulu hasil pemeriksaan laboratorium."
Hasil pemeriksaan itu datang sore harinya.
"Positif," dokter berkata.
Paul yang sebelumnya sempat meninggalkan
rumah sakit dan ketika datang wajahnya kemerahmerahan dengan mulut berbau alkohol, menggerutu
kecewa. "Tidak bisakah dengan perawatan di rumah
saja, Dokter?" "Menyesal sekali, Bung Paul. Tanpa operasi,
infeksi akan menjalar ke pembuluh darah dan berakhir
sampai ke jantung. Bila itu semua terjadi...," dokter
angkat bahu, pertanda Erika tidak lagi memiliki harapan untuk hidup.
Menyadari kemungkinan ini, Sunarti menangis
terisak-isak, sehingga Paul marah-marah.
"Diamlah!" bentaknya. "Kau membuatku bertambah pusing!"
Lalu kepada dokter ia mengeluh dengan suara
malu-malu, "Baiklah. Saya setuju Erika dioperasi. Tetapi berapa biayanya?"
Dokter menarik nafas panjang.
"Soal biaya dapat dibicarakan belakangan saja,"
ia berkata dengan nada menyesalkan. "Yang penting
Anda berdua ketahui, adalah kelanjutannya. Keponakan Anda akan sehat kembali. Tetapi tidak secara
menyeluruh." 101 102 "Maksud dokter?"
"Seumur hidupnya, kemungkinan besar dia
tidak akan bisa memperoleh keturunan!"
Sunarti menggigil di tempat duduknya. Dengan
cemas, ia menatap suaminya. Paul terduduk layu,
dengan wajah tegang. Matanya menatap hampa, dan
mulutnya terkatup rapat. Sunarti tidak tahu apa yang
dipikirkan Paul. Hanya Paul sendiri yang tahu. Ia terperanjat, itu
pasti. Tetapi Paul tidak begitu peduli apakah Erika
kelak punya keturunan atau tidak. Yang ia pikirkan
saat ini, hanya uang. Uang, dan sekali lagi, uang!
Paul sedikit pun tidak mendengar suara dokter
yang berbicara kepadanya dan kepada istrinya,
menerangkan mengapa sampai musibah itu terjadi.
Dokter yang telah menggugurkan kandungan Erika
telah bekerja dengan ceroboh, di samping penyakit
kotor yang menggerogoti tubuh Erika setelah
melakukan hubungan jasmani.
Kepala Paul justru dipenuhi oleh suara berapiapi jaksa penuntut umum pengadilan Tipikor
yang membedah kasus tindak pidana korupsi yang
dilakukan papa Erika. Disusul suara ketukan palu
hakim yang keras membahana.
Lalu gambaran-gambaran menyakitkan yang
susul menyusul kemudian menari-nari di depan mata
Paul. Eksekusi pengadilan yang menyita mobil-mobil,
rumah mewah yang disewa untuk jangka panjang oleh
perusahaan asing itu, rumah peristirahatan, ratusan
hektar perkebunan cengkeh, simpanan uang di bank.
Nyaris tidak satu pun yang berhasil ia selamatkan. Karena begitu abangnya ditangkap, polisi dibantu
pengadilan Tipikor langsung bertindak cepat. Banyak
yang bilang dengan nada mencemooh, "Biasa,
beraninya hanya kepada yang berpangkat rendahan!"
Yang pasti, semua harta kekayaan Lukman serta
keluarganya langsung diinventarisasi dan dijadikan
sita jaminan, simpanan di bank langsung pula diblokir.
Masih untung sejumlah perhiasan peninggalan
Rosalia terselamatkan, juga mobil yang dibeli Rosalia
dari hasil keringatnya sendiri, serta beberapa barang
berharga lainnya yang keburu dijual dengan harga
obral untuk dapat membayar pengacara. Lantas
sisanya, dipakai untuk hidup sehari-hari. Hidup paspasan, tentu saja.
Tak ada lagi yang dapat dijual untuk membayar
biaya operasi Erika. Tinggal rumah yang mereka tempati. Rumah
yang oleh negara tidak diganggu-gugat karena memang telah dibangun jauh sebelum papa Erika terlibat korupsi. Rumah yang telanjang, hampir-hampir
tanpa perabotan, dengan garasi besar yang kosong
melompong. 103 104 Apakah ia... oh, oh! Mendadak, Paul bangkit. Sunarti berhenti menangis, dan menatap
suaminya dengan cemas. "Ada apa, Paul?"
"Aku mau pergi." bisik Paul. Kering.
"Ke mana?" "Ke penjara!" jawab Paul, lantas menghilang
tanpa pamit pada siapa-siapa.
Sunarti merasa malu pada dokter, tetapi dokter
itu hanya tersenyum. Maklum. Lalu mengajak Sunarti
melihat-lihat keadaan Erika. Tak lama kemudian
mereka memasuki sel kelas tiga yang penuh sesak.
Lantainya lembab dan kusam, dengan udara dipenuhi
bau obat-obatan bercampur baur dengan bau keringat,
bau pesing dari kakus yang pintunya terbuka.
Serta bau muntahan salah seorang pasien...
*** Ginardi, dokter yang akan menangani Erika orangnya
masih muda. Ia baru beberapa tahun lulus dari fakultas
kedokteran dengan nilai cum laude dan dalam tempo
singkat berhasil meraih ijazah spesialis kandungan.
Tetapi otaknya yang cemerlang menyerah kalah tiap
kali menghadapi Erika. Ia belum pernah berpikir untuk berumah
tangga, meski sudah punya dua tiga orang kekasih
yang kemudian terpaksa ia lepaskan karena beberapa
faktor. Cerewet, suka cemburu buta, materialis, dan
yang seorang malah menawarkan hubungan seks
tanpa menuntut pernikahan, sehingga ia menganggap
kekasihnya yang satu itu berotak kerbau karena tidak
memikirkan risiko masa depan anak-anak yang kelak
akan ia berojolkan dari rahimnya.
Kini, pikiran untuk berumah tangga itu muncul
begitu saja. Ia sadar Erika dijangkiti penyakit kotor. Tetapi
setelah beberapa kali mereka berbicara, ia tahu gadis
itu hanya pernah berhubungan jasmani dengan satu
orang laki-laki saja, dan itu pun karena dorongan
cinta pertama yang ia yakini sebagai sekaligus terakhir,
tanpa menyadari kekasihnya membawa bibit-bibit
penyakit yang dapat merusak masa depannya.
Ginardi juga sadar, Erika tidak akan pernah
punya anak kecuali hanya bila ada keajaiban Tuhan.
Tetapi bukankah banyak bayi yang telah lahir tanpa
mengetahui siapa orangtuanya" Telah berulang kali
ia menjadi saksi dalam persoalan adopsi anak oleh
orang-orangtua yang tidak beruntung memperoleh
keturunan. Mengapa ia dan Erika tidak dapat...
Apa" Ia dan Erika"
Astaga! Merah padam wajah dokter muda itu tiap kali
pikiran tadi memenuhi kepalanya. Lebih merah padam
105 106 lagi ketika suatu hari ia kelepasan omong di depan
Erika. Mula-mula mereka berdua hanya berbasa-basi
mengenai rencana-rencana Erika sekeluar dari rumah
sakit. "Aku akan mengikuti ujian susulan." kata gadis
itu, yang tidak dapat mengikuti ujian akhir SMA pada
waktunya karena harus diopname.
"Kemudian?" "Yah. Mungkin melanjutkan ke akademi
bahasa, atau..., " Erika mendadak teringat papanya di
penjara, dan pamannya selalu bermuka keruh kalau
bicara mengenai uang. Lantas, dengan suara lirih ia
melanjutkan, "Mungkin juga, aku langsung kerja!"
"Kerja apa, Erika?"
"Hem. Apa saja. Asal halal dan menghasilkan
uang. Tetapi jangan yang berat-berat. Aku takut tidak
mampu. Maklum, selama ini..."
"Wah. Wah. Mana ada pekerjaan ringan yang
menghasilkan uang dalam jumlah besar dan mudah
..!" kata Ginardi berseloro.
"Ada, dokter. Misalnya, menjadi penerima
pasien yang menjadi tamu di tempat... Hem. Apakah
Dokter sudah membuka praktik sendiri?"
"Sudah." "Syarat apa saja yang harus kupenuhi agar
diterima sebagai pegawai" Jadi tukang sapu juga
boleh..." "Hus.. Jangan begitu!" dokter tertawa. "Mana
pantas tukang sapu di rumahku seorang gadis muda
yang cantik seperti dirimu..!"
"Pantasnya jadi apa dong, Dokter?"
"Jadi nyonya rumah dan..." dokter muda yang
malang itu terkejut sendiri oleh ucapannya, lebihlebih setelah melihat sepasang bola mata Erika
yang indah, terbelalak. Untuk pertama kali Ginardi
tersipu-sipu di hadapan seorang gadis. Cepat-cepat ia
memperbaiki posisinya yang salah. "Maaf. Aku tidak
bermaksud..." "Aku mengerti," desah Erika seraya tersenyum.
Pahit. "Aku tidak pantas diperistri seorang laki-laki
terhormat. Karena aku... Dokter, tahukah Anda aku
sering bermimpi buruk?"
"Tentang?" "Mama. Ia bangkit dari peti matinya, mencekik
leherku dan berteriak memaki-maki. Katanya, aku
Sang Penjaga Hati 5 03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pendekar Lembah Naga 13
^