Pencarian

Pendekar Lembah Naga 13

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


Semua orang memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi sudah diangkat menjadi seorang di antara calon-calon bengcu. Kim Lok Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan sejak dahulu, Pek-lian-kauw memang membenci Cin-ling-pai yang dianggap menjadi musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin juga membenci Cin-ling-pai sehingga begitu melihat Cin-ling-pai diwakili seorang pemuda remaja yang mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa panas dan dia cepat meloncat ke atas panggung sambil mencela.
Melihat tosu ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura dan bertanya, "Apakah yang dimaksudkan oleh totiang"
"Pangcu, kami menolak kalau bocah itu menjadi calon bengcu mewakili Cin-ling-pai!" bentaknya dengan nada keras dan menghina. "Semua calon bengcu yang berada di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon karena diangkat oleh golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi, siapakah yang mengangkat wakil Cin-ling-pai ini" Huh, siapakah yang tidak mendengar Cin-ling-pai itu perkumpulan macam apa" Mana mungkin ada kerja sama antara Cin-ling-pai dengan kita" Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim wakilnya yang hanya seorang, itupun masih seorang bocah ingusan pula, dan kini bocah itu malah mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan seperti itu menjadi bengcu" Ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita! Coba cu-wi (anda sekalian) pikir baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu berarti memandang rendah dan menghina jagoan-jagoan selatan" Apa Cin-ling-pai mengira bahwa pemilihan bengcu di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak belaka yang boleh dimasuki oleh bocah ingusan itu"
"Tosu sombong...!" terdengar teriakan nyaring dan semua orang melihat pemuda Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba meloncat tinggi sekali dan tubuhnya lalu membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali dengan gaya yang indah sekali, baru dia turun ke atas panggung tanpa menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini memiliki gin-kang yang sudah lumayan tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat, banyak orang bertepuk tangan memuji.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya jungkir balik seperti itu membutuhkan latihan dan juga membutuhkan tenaga gin-kang yang lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di hadapan demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu sungguh-sungguh berwatak angkuh, sombong dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh perhatian untuk melihat perkembangannya.
Kwee Siang Lee sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya dengan mulut bercibir, sedangkan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah turun dari atas panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga. Dia tahu siapa adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi sutenya yang dia calonkan menjadi bengcu. Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw ini ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki gin-kang yang boleh juga itu, hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dua orang calon bengcu yang datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan bermusuhan sebelum pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya, setidaknya akan mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah. Maka diapun diam saja bahkan lalu menyingkir untuk memberi "kesempatan" kepada kedua fihak agar keributan itu makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ adalah kaum sesat yang paling suka menyaksikan perkelahian dan pertumpahan darah, maka kini terdengar suara-suara yang memihak keduanya, seperti para penonton adu ayam yang hendak bertaruhan!
"Tosu bau, siapakah tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi diperkenalkan sebagai wakil ketuanya" Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang biasa menipu rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat perempuan-perempuan untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai" Jangan kira bahwa aku, biarpun hanya seorang anggauta muda Cin-ling-pai, takut menghadapimu!" Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara lantang itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini.
Kim Lok Cinjin tertawa mengejek. "Heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki kepandaian gin-kang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai memuakkan perutku! Padahal gin-kang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang agar menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan diri belaka. Kalau engkau ingin menjadi calon bengcu, siapakah yang mencalonkanmu" Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini orang Cin-ling-pai" Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil Cin-ling-pai"
Tiba-tiba terdengar suara melengking, "Aku yang mencalonkan dia!"
Tentu saja semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya. Bahkan wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung juga menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja yang berpakaian sederhana itu.
"Aku mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai menjadi calon bengcu! Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan mengutus anggauta mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai calon, maka sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang calon bengcu!" kata Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa sin-kang yang luar biasa kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak suaranya melengking nyaring sekali.
Mereka yang berfihak kepada Kwee Siang Lee menyambut dengan sorakan gembira. Akan tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya terdengar melengking tinggi mengatasi sorakan itu, "Kesaksian itu lebih tidak pantas lagi! Lihat siapa yang mengangkat bocah ini sebagai calon bengcu" Benar-benar kita semua dihina orang! Yang diajukan adalah bocah ingusan, akan tetapi yang mengajukan malah bocah yang masih menetek!" Mereka yang pro kakek ini tertawa dan bersorak mengejek.
"Pendeknya, bocah ingusan ini harus lebih dulu membuktikan bahwa dia adalah benar-benar wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah apabila dia memperlihatkan ilmu-ilmu aseli dari Cin-ling-pai. Mellhat usianya, andaikata benar dia murid Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih rendah dan mentah, maka biarlah kami akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita semua dapat melihat apakah benar-benar dia memiliki ilmu Cin-ling-pai dan mampu mengalahkan jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!"
Mendengar ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi merah sekali dan dan sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun den sebagai gantinya dari tempat kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani, kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit, sepasang matanya liar. Memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari banyak macam orang, terutama sekali para petani dan penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) adalah perkumpulan yang selain menyebarluaskan agama campuran dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik dan sihir, juga mengandung cita-cita untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya agama mereka. Untuk maksud itu, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan mempengaruhi rakyat kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke empat ini berpakaian sebagai seorang petani.
"Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku," kata kakek petani itu. Tubuhnya yang kurus sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggauta muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw.
Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia membentak nyaring dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras.
Cin-ling-pai bukanlah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti dapat kita ketahui dari cerita seri Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Setelah dia mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini telah menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, diambilnya dari ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling-kun-hoat dan ilmu ini terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja. Hanya para anggauta Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian dari Thai-kek-sin-kun, akan tetapi murid-murid lain hanya digembleng dengan Cin-ling-kun-hoat saja yang sudah merupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh.
Siang Lee juga telah mempelajari Cin-ling-kun-hoat sampai tingkat yang cukup tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang maupun dengan tangan kosong. Maka, begitu menyerang, dia sudah menggunakan jurus Cin-ling-kun-hoat yang ampuh, tangan kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati. Sebenarnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan biarpun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu.
"Dukk...!" Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.
"Plakkk!" Kembali dia berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak.
"Hehh...!" Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan jurus Singa Mengejar Mustika. Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek itu mempergunakan kedua tangan dan kedua kaki untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga.
Namun, Siang Lee mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran. Para penonton tertarik sekali dan suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan suara penonton. Tentu saja hanya fihak anak buah Pek-lian-kauw saja yang menjagoi kakek petani itu, sedangkan selebihnya dari para penonton tidak berfihak, melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua orang yang sedang bertanding itu. Dan mulailah mereka itu mengadakan taruhan. Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap dan cepat, sedangkan sikap pemuda itupun angkuh dan angker, maka lebih banyak yang menjagoi pemuda ini.
Kalau di bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi perkelahian yang makin lama makin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh tingkat empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggauta Pek-lian-kauw, dan pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu sedangkan dia sudah enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang segala-galanya, baik tenaga, ilmu silat, maupun pengalaman. Maka setelah pertandingan berlangsung hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu mengalahkan pemuda itu, dia merasa penasaran bukan main. Di lain pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri juga merasa penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah, maka perkelahian itu kini bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan perkelahian mati-matian untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan dan membunuh lawan!
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan dia sudah menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu nyawa. Dia tidak memperdulikan lagi segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk menjatuhkan lawan dan memperoleh kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak benar sama sekali bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang seharusnya membagi kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk menyerang dan membiarkan diri terbuka.
Siang Lee terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali serangan itu dan dia tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras dan karena dia tahu pula bahwa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal itu amat berbahaya dan dapat membuat dia terluka, baik menang maupun kalah dalam adu tenaga itu. Maka dengan kecepatan kilat, menggunakan gin-kangnya yang diandalkan, dia melempar diri ke samping dan berhasil lolos melalui bawah lengan kiri lawan, akan tetapi pemuda ini masih sempat sambil mengelak itu mengayun tangan menyerang ke bawah pangkal lengan kiri itu.
"Dukkk...!" Tubuh kakek itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia roboh, meringis sambil memegangi lambungnya yang kena pukul.
Pada saat itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa telah muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya menonjol di seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundak, memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang.
Dua ekor ular itu sebetulnya adalah ular-ular aseli, hanya saja ular yang sudah mati dan diberi obat menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini.
"Sute, kau minggirlah!" bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi. Kakek petani itu meringis, mengangguk dan kembali ke tempatnya di mana dia lalu diberi sebutir obat oleh Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya.
"Bocah sombong dari Cin-ling-pai! Engkau telah mengalahkan suteku, marilah engkau main-main sebentar denganku! Kalau engkau takut, biar aku mengampuni orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelinding pergi dari tempat ini!" Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara, matanya melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun itu mengeluarkan suara berkerotokan!
Melihat ini, Sin Liong terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda murid Cin-ling-pai itu memaksa diri maju dia akan celaka di tangan raksasa itu. Dia melihat betapa selain raksasa itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini memiliki sifat kejam dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau dia berani melawan. Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu tentu malu untuk mundur, apalagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada, amat bangga karena kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis.
"Hemm... siapa takut..."
"Haii, nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila pemilihan bengcu!"
Teriakan ini nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara tertawa di sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu adalah pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini pemuda remaja itu sudah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas, hal ini membuat orang merasa geli. Mereka semua adalah ahli-ahli silat dan untuk naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih dua meter tingginya itu, tentu mereka akan menggunakan kepandaian meloncat. Akan tetapi pemuda remaja itu agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka memanjat seperti seekor monyet.
Akan tetapi karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan kata-katanya, dan si kakek raksasa juga menoleh, memandang ke arah Sin Liong yang kini sudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir panggung, berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan dengan kakek raksasa.
"Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu mengenal peraturan!" Demikian Sin Liong berteriak sambil memandang keempat penjuru sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang dikembangkan seperti gaya seorang ahli pidato di depan rapat umum. "Saudara ini adalah seorang di antara para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang meragukan dan ingin mengujinya apakah benar-benar dia tokoh Cin-ling-pai dan cu-wi telah melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah tokoh Cin-ling-pai den sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh bertanding dulu. Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar bugar, dia tentu menjadi lelah. Kalau ada fihak yang hendak menantang Cin-ling-pai di sini, jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi fihak yang menantang Cin-ling-pai!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee, dan mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat, "Taihiap, harap taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya sayembara perebutan kedudukan bengcu. Adapun badut-badut yang hendak mengacau, biarlah serahkan saja kepadaku."
Jelas bahwa sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali, maka tentu saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh dia mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya seperti kaum atasan memandang kepada bawahannya dan dia masih berkata, "Kau hati-hatilah!" lalu Siang Lee berlenggang menuju ke tempat duduknya semula. Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli menyaksikan sikap pemuda yang kosong itu.
Sementara itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja yang naik ke panggung saja harus memanjat itu kini hendak mewakili pemuda Cin-ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga bengong dan sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat Kwee Siang Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sutenya itu mundur, dia menjadi marah sekali.
"He, bocah ingusan! Apa kau sudah gila" Mau apa engkau naik ke sini dan menyuruh lawanku mundur" Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta ampun...!"
Sin Liong menggerakkan tangan kanannya mencela. "Eeihhh! Siapa bilang dia tidak berani" Dia masih terlampau tinggi kedudukannya untuk melawanmu. Bukankah dia calon bengcu" Masih ada aku di sini, kenapa dia harus turun tangan sendiri"
Kakek itu terbelalak. "Kau..." Kaumaksudkan bahwa engkau berani melawan aku" Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang yang hadir ikut pula tertawa.
"Kakek harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti harimau, jangan tertawa dulu. Ketahuilah bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah mencapai langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tidak ada keduanya di dunia ini. Dan aku mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah aku mewakili Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!"
Kakek itu tidak marah, bahkan tertawa makin keras karena dia menganggap bocah di depannya itu seperti badut sedang berlagak saja. "Eh, anak lucu, siapakah namamu"
Melihat kakek itu bertanya sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan dadanya dibusungkan, Sin Liong lalu meniru dengan berdiri tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata lantang. "Ah, kakek yang tidak lucu, siapakah namamu"
Bagi orang yang pernah mengenal Sin Liong semenjak kecil sampai dia berada di Cin-ling-pai ikut kakeknya, tentu akan terheran-heran mengapa terjadi perubahan demikian besar pada diri anak ini. Semenjak kecil, sampai dia berada di Cin-ling-pai, anak ini berwatak pendiam dan serius, wajahnya lebih sering muram daripada cerah dan dia tidak pandai berkelakar. Akan tetapi, semenjak dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, terjadi perubahan pada wataknya yang pendiam itu, Ouwyang Bu Sek adalah seorang kakek yang pandai bicara, jenaka dan lucu, maka selain ilmu kepandaiannya, juga sifatnya ini agaknya menurun kepada Sin Liong. Akan tetapi, karena pada dasarnya Sin Liong pendiam, maka sifat itu hanya sewaktu-waktu saja timbul padanya, terutama apabila menghadapi saat berbahaya, dan sifat ini timbul sebagian besar sebagai siasat.
Tentu saja sikap ini memancing suara ketawa geli dari para hadiri sampai ada yang terkekeh-kekeh, terutama sekali mereka yang memang merasa tidak suka kepada Pek-lian-kauw. Melihat kakek yang menyeramkan itu dipermainkan dan diejek oleh seorang bocah ingusan yang baru berusia belasan tahun, benar-benar merupakan penglihatan yang lucu dan tentu saja memuaskan hati mereka yang anti Pek-lian-kauw.
Kakek itu terbelalak. Dia adalah seorang tokoh besar Pek-lian-kauw. Bahkan orang-orang kang-ouw yang pandaipun tidak berani sembarangan terhadap dia, banyak pula yang takut. Akan tetapi kenapa anak ini demikian beraninya" Akan tetapi kakek raksasa itu mempunyai dua dugaan, pertama, tentu saja anak ini sama sekali buta akan keadaan di dunia kang-ouw, dan karena tidak mengenal siapa maka berani bersikap seperti itu, dan ke dua, boleh jadi anak ini agak miring otaknya maka berani busikap demikian gila-gilaan!
"ENGKAU malah berani balas bertanya sebelum menjawab" bentaknya.
"Tentu saja! Engkau adalah fihak yang mencari perkara, dan aku hanyalah fihak yang melayanimu, maka boleh dibilang engkau ini tamunya dan aku ini tuan rumahnya. Tidakkah sepatutnya kalau tuan rumah lebih dulu mengetahui nama si tamu baru memperkenalkan diri" Betul tidak, cu-wi yang mulia" Dia menoleh ke bawah panggung.
"Betul...! Betul!" Tentu saja mereka yang menonton pertunjukan lucu itu menyetujui. Dalam keadaan seperti itu, selagi Sin Liong mendapatkan simpati karena kelucuan dan keberaniannya mempermainkan seorang tokoh besar yang ditakuti, tentu saja apapun yang dikatakan anak itu akan disetujui mereka.
Sin Liong kini menghadapi lagi kakek raksasa sambil tersenyum lebar. "Nah, kakek yang tidak lucu, kalau aku saja yang bicara tentu engkau tidak percaya, akan tetapi pendapat semua orang gagah yang terhormat itu, apakah engkau berani untuk melanggarnya" Nah, jawablah dulu, siapakah namamu!"
Kulit muka yang kasar dan agak hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena kakek itu sudah marah sekali dan mukanya menjadi kemerahan, matanya melotot dan anehnya, kalau sedang marah kakek ini terjadilah hal yang lucu di luar kesadarannya sendiri, yaitu cuping hidungnya yang kiri bergerak-gerak kembang kempis dengan keras sehingga kumisnya sebelah kiri juga ikut pula bergerak-gerak, seperti kumis kelinci! Melihat ini, Sin Liong merasa geli sekali dan diapun terkekeh-kekeh.
Kakek raksasa itu menjadi makin marah. "Anak bedebah! Mengapa engkau tertawa"
"Heh-heh-ha-ha-ha, engkau lucu sekali! Aku menarik kembali omonganku tadi, kalau tadi aku menyebutmu kakek yang tidak lucu, sekarang aku menamakan engkau kakek yang lucu. Nah, kakek yang lucu, siapakah sih namamu" Jangan jual mahal, ah!"
Kembali banyak orang tertawa dan kakek itu kembali mendongkol. "Bocah sialan! Kaukira aku ini orang apa maka engkau berani main gila seperti ini" Dengar baik-baik agar terbawa mampus olehmu. Aku adalah tokoh tingkat tiga di Pek-lian-kauw, dan julukanku adalah Kiu-bwee-houw, namaku... ah, bocah macam engkau tidak pantas mengenal namaku. Biarlah arwahmu nanti ingat selalu bahwa engkau mampus di tangan Kiu-bwee-houw!" Kakek yang berjuluk Kiu-bwee-houw (Harimau Berekor Sembilan) ini bukan tidak ada sebabnya mengapa dia tidak mau memperkenalkan namanya kepada Sin Liong. Melihat anak itu lincah dalam bicara, pandai mempermainkan orang dan kelihatan nakal dan kurang ajar, maka kakek ini sengaja menyembunyikan namanya karena khawatir kalau namanya diperkenalkan, nama itu akan menjadi bulan-bulan dan olok-olok anak itu. Namanya adalah Toa Bhi dan dia she Bhe. Nama itu dapat pula diartikan Si Hidung Besar!
"Pantas... pantas...!" Sin Liong mengangguk-angguk. "Wajahmu seperti harimau, lagakmu seperti harimau, gerakanmu seperti harimau hendak menubruk, dan gagang golokmupun ukiran kepala harimau. Pantas julukanmu Harimau Ekor Sembilan, akan tetapi aku sama sekali tidak melihat ekormu! Apakah benar-benar ekormu ada sembilan" Coba kau perlihatkan kepadaku, kakek lucu!"
Tentu saja ucapan ini disambut oleh ketawa riuh rendah oleh para penonton dan Kiu-bwee-houw menjadi makin gemas. "Bocah yang sudah bosan hidup! Hayo kaukatakan siapa namamu agar kelak aku dapat memberitahukan kepada Cin-ling-pai bahwa engkau telah mampus di tanganku!"
"Uuuhhhh, tidak gampang, sobat. Namaku adalah Sin Liong!"
Kwee Siang Lee yang sejak tadi memperhatikan anak itu, diam-diam terkejut bukan main. Dia belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Sin Liong, akan tetapi tentu saja dia pernah mendengar nama Sin Liong, nama anak yang katanya merupakan murid baru dan murid terakhir dari sucouwnya, yaitu Cia Keng Hong! Pernah dia mendengar betapa seorang anak kecil yang aneh diambil murid oleh sucouwnya itu, dan kabarnya anak itu dilarikan penjahat sakti ketika peti mati sucouwnya sedang dihormati dalam upacara berkabung oleh keluarga sucouwnya. Jadi inikah anak yang menjadi murid terakhir dari sucouwnya itu" Diam-diam dia terkejut bukan main. Anak yang usianya paling banyak enam belas tahun ini ternyata masih terhitung paman kakek gurunya! Karena kakeknya, mendiang Kwee Kin Ta, seorang di antara Cap-it Ho-han, adalah murid dari Cia Keng Hong, dan bocah yang menjadi murid bungsu dari Cia Keng Hong ini terhitung sute dari kakeknya sendiri. Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh pemuda ini. Dia tadi telah bersikap keterlaluan! Dia telah dengan lancang mengangkat diri sendiri menjadi wakil Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, dia telah lancang mencalonkan diri sebagai calon bengcu sebagai wakil Cin-ling-pai pula! Padahal di situ ada pemuda ini yang masih terhitung susiok-kong atau paman kakek guru darinya!
"Sin Liong" Bocah sombong engkau ini tokoh tingkat berapakah dari Cin-ling-pai" Dengan nyali sebesar ini, agaknya engkau tentu seorang tokoh penting juga!" Kakek itu memancing untuk kelak memperolok Cin-ling-pai kalau dia sudah merobohkan, ah, bahkan membunuh bocah yang telah memanaskan perutnya itu.
"Tokoh tingkat berapa" Wah, orang macam aku ini di Cin-ling-pai dapat kau temui losinan banyaknya, sukar dihitung, dan belum masuk hitungan kelas sama sekali! Aku sepatutnya hanya menjadi jongos atau tukang sapu saja di sana!"
Makin mengkal rasa hati kakek raksasa itu. Dengan kata-kata itu, kembali bocah itu yang kelihatannya meremehkan diri, sebenarnya menyeret dia ke tempat rendah, karena bukankah bocah itu seolah mengatakan bahwa dia hanya patut bertanding melawan jongos atau tukang sapu dari Cin-ling-pai saja" Kalau dia belum terlanjur maju, tentu dia tidak akan sudi untuk melayani seorang kacung Cin-ling-pai! Akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, tidak ada jalan lain baginya untuk menebus penghinaan dan rasa malu itu dengan merobohkan atau membunuh anak ini secepat mungkin. Dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan memang gerengannya itu dilakukan dengan pengerahan khi-kang, suara yang keluar dari dalam perut dan menggetarkan jantung para pendengarnya, terutama sekali Sin Liong yang berdiri di depannya. Kalau anak ini tidak memiliki kepandaian, tentu dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh seketika, seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia.
Akan tetapi, murid kakek sakti Ouwyang Bu Sek ini tentu saja cepat mengerahkan sin-kangnya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya daripada bunyi suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek.
"Wah, julukanmu macan, gerenganmu seperti macam pula. Seekor macam muda dan kuat memang berbahaya, akan tetapi macam tua ompong macam engkau ini bukan menakutkan melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor domba muda saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya tidak engkau"
Ditanya demikian, seperti orang tua latah raksasa itu menjawab, "Tidak percaya!" Akan tetapi dia segera sadar bahwa dia telah melayani pembicaraan anak itu maka dengan marah dia membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"
"Mampus ya mampus, akan tetapi aku ingin melihat apakah macam ompong ini mampu membunuh seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya."
"Biar engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah setan!"
"Eh, kau menantang anjing" Ingat, anjing lebih kuat daripada domba, lho! Kau tidak menyesal nanti kalau dikalahkan anjing" Biar aku menjadi anjing dulu!"
Dan seketika itu juga Sin Liong menjatuhkan diri merangkak-rangkak dengan kaki empat seperti seekor anjing. Selagi semua orang terheran-heran, tiba-tiba anak itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor anjing tulen! Orang-orang tertawa dan memuji karena andaikata tidak melihat anak itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak itu.
Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak bayi dipelihara oleh monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Sin Liong lebih peka daripada manusia biasa, dan dia lebih dapat menangkap "inti" dari suara binatang-binatang hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang dikenalnya benar, suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan suara anjing tulen.
Melihat betapa pemuda remaja itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan menggoyang-goyang pinggul yang tidak ada ekornya, meledaklah suara ketawa mereka yang hadir dan disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak bisa tertawa karena mereka itu ikut merasa gemas dan marah melihat betapa tokoh ke tiga dari Pek-lian-kauw itu dipermainkan oleh seorang bocah!
"Mampuslah!" Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk. Tubrukan ini bukan tubrukan ngawur belaka yang didorong oleh nafsu amarah, melainkan tubrukan yang telah diperhitungkan masak-masak, yang hendak ditangkap adalah tengkuk dan pinggul Sin Liong. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan dibanting sampai tulang-tulangnya remuk.
Akan tetapi, seperti gerakan seekor anjing tulen, Sin Liong meloncat dengan tekanan kaki dan tangannya sehingga tubrukan itu luput! Hal ini mengejutkan hati para tokoh Pek-lian-kauw. Mereka tahu bahwa Kui-bwee-houw tadi telah menggunakan jurus Harimau Menerkam Domba yang amat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul dengan cengkeraman ke manapun lawan yang diserang itu mengelak. Akan tetapi, seperti seekor anjing, anak itu benar-benar telah melompat cepat ke samping lalu cepat pula memutar sehingga si raksasa sama sekali tidak mampu melanjutkan serangannya dan gagallah jurus pertama dari serangannya itu. Terpaksa dia membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya. Itulah jurus Harimau Memutar Tubuh yang mirip dengan ilmu para tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis), yaitu ilmu yang amat diandalkan oleh mereka dan yang dinamakan Ilmu Silat Mengusir Anjing.
"Huk-huk-hukkk!" Sin Liong menyalak-nyalak dan melihat sambaran kaki itu, dia menggerakkan kepala dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah betis yang lewat di depan mukanya.
"Brettt... aughh...!" Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua orang bersorak-sorai melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan, persis seperti seekor anjing.
Celana si raksasa itu robek dan setelah diguncang-guncang kaki yang tergigit, terpaksa Sin Liong melepaskan gigitannya. "Monyet cilik, akan kubunuh kau!" Kiu-bwee-houw berteriak, mukanya merah dan matanya terbelalak liar.
Akan tetapi sebelum kakek ini menyerang lagi, Sin Liong sudah membuat gerakan meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet! "Aha, kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet" Baiklah, dan mari kita lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!" Lalu pemuda itu mengeluarkan suara aneh, suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor monyet. Bahkan dahulu, sebelum dia bertemu dengan ibu kandungnya, dia adalah seekor monyet cilik.
Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung riuh rendah karena lagak Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga timbul rasa kagum bukan main di dalam hati mereka. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus (mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawah seorang tokoh besar seperti Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu.
Kembali Kiu-bwee-houw menggereng dan menyerang. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Sin Liong itu menyambar, meluncur ke depan seperti peluru meriam, mengarah kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang nampak hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itupun hanya mengenal angin saja.
"Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu telah ompong semua, cakar kukumu telah puntul!" Sin Liong mengejek dan raksasa itu makin marah. Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena "manusia monyet" itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tidak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.
Dapat dimengerti bahwa andaikata Sin Liong belum memiliki demikian banyak ilmu, pertama-tama ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak luar biasa ini.
Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan kakek itu hampir menyentuh tubuh Sin Liong, namun pemuda itu sudah dapat menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh. Tak terasa lagi lima puluh jurus telah lewat dan biarpun Sin Liong belum pernah balas menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, namun kakek raksasa itupun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai ini. Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung telah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas nampaknya.
"Bocah kurang ajar, engkau telah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-ling-pai" bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa lelah sekali.
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tiada bandingnya di dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... eh, mana dia" Sin Liong mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu telah pergi secara diam-diam.
Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan setelah kini pemuda itu pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu berkata, "Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai telah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang terlampau rendah tingkat kepandaiannya, maka akupun tidak lagi membelanya dan karena Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil di sini, maka akupun tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapapun juga. Dan hendaknya kalian ketahui bahwa kalau aku tadi tidak menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai dalam satu jurus saja macan ompong itu tentu roboh."
Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlalu sembrono dan terlalu sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai, orang macam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!
"Bocah bermulut besar! Kalau dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu merobohkan murud pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi hormat kepadamu!" teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan.
"Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu Cin-ling-pai" Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw. Tentu saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapapun orangnya tidak akan percaya bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat"
"Anak iblis! Suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus" Kiu-bwee-houw bertanya.
"Kalau tidak bisapun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan"
"Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh."
Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin Liong mengangguk. "Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau" Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Mau San-in-kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang tangan, atau Thai-kek-sin-kun" Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun-hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau) atau Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong."
Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong, sengaja menggunakah nama harimau untuk mengejek lawan. Akan tetapi, disebutnya banyak ilmu itu, diam-diam Kiu-bwee-houw menjadi terkejut. Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in-kun-hoat (Silat Awan Gunung).
"Aku mendengar di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat adalah ilmu Thi-khi-i-beng dan San-in-kun-hoat. Nah, kaupergunakan dua ilmu itu dan merobohkan aku dalam satu jurus!" Kakek ini tersenyum lebar mengejek. Dia sudah mendengar bahwa di dunia ini, yang menguasai ilmu Thi-khi-i-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa) hanya dua orang, yaitu mendiang Cia Keng Hong dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi-i-beng, apalagi bocah ingusan ini! Kakek ini merasa cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia tidak gentar menghadapi Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apalagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja.
Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in-kun-hoat adalah ilmu yang amat halus dan hebat, apalagi setelah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi-i-beng, tidak ada orang lain tahu kecuali kakeknya, bahwa dia telah menguasai sepenuhnya ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!
"Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke atas papan panggung!" bentaknya.
Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya pada kaki dan tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan kedua tangannya untuk menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental. Demikianlah pikiran dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.
"Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus saja dari ilmu silat sakti San-in-kun-hoat, yaitu jurus Pek-in-tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!"
Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut. Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono" Belum diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil merobohkan Kiu-bwee-houw, apalagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar mulut.
Kiu-bwee-houw juga merasa geli. "Ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!" Dia mengejek.
"Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!" Sin Liong mengerahkan tenaga sin-kang tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani main-main lagi. Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha... hauhhh...!" Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika dia merasa, betapa hawa sin-kang yang dipergunakan tangan kanannya untuk menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada pergelangan tangan itu dan hawa sin-kangnya membanjir keluar, disedot oleh pergelangan tangan lawan!
"Thi... Thi-khi-i-beng...!" Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur. Makin dia mengerahkan sin-kang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar, demikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan sehingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.
"Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!" teriak pula Sin Liong dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi-i-beng, dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung.
"Brukkk!" Papan panggung jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai sepinggang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan. Semua orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini dan tidak ada seorangpun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat.
Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Pada saat itu, nampak bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong. Mereka berhadapan dan beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati.
Tadi Sin Liong penuh semangat naik ke atas panggung karena dia melihat betapa keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit, maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung. Dia hanya mewakili suhengnya untuk menonton dan menerima pesan dari suhengnya agar ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tidak ada lagi yang harus dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aselinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata, "Harap maafkan saya."
Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. "Bocah sombong, kalau memang engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kaulawan pinto!"
Kembali Sin Liong menjura, "Saya tidak tahu apa-apa tentang permusuhan antara Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja." Setelah berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.
Marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, sesudah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai"
"Bocah hina, hayo kau naik ke sini!" bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun dari atas panggung.
"Syuuuuttt...!" Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Sin Liong. Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, namun amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.
"Hemmm, harap jangan mendesak, locianpwe!" Sin Liong mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya! Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah.
Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban.
"Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya kalau bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda ramaja itu diangkat menjadi calon pula, maka totiang akan dapat berhadapan dengan dia nanti secara sah."
"Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai dan suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai dan dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah, apalagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan.
Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas. "Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!"
Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata lantang, "Kalau orang tidak mau menjadi calon bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri setelah urusan pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, kalau totiang menghendaki apapun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang."
Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lalu berkata, "Engkau tunggulah saja!" Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.
Kini dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan oleh ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang diadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dulu untuk saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor satu dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.
Dua orang jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masing-masing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak. Lam-thian Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut. Dia bertubuh tinggi kurus, mulutnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw bagian selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah amat terkenal karena dia diakuinya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengenal sampai di mana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan gelandangan, tentu saja Lam-thian Kai-ong ini biasanya mengundurkan diri di tempat sunyi dan jarang sekali bentrok dengan fihak lain. Memang, di dunia kang-ouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan lain, karena agaknya menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para pengemis" Tidak ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para gelandangan itu amat sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang nekat yang sukar dilawan! Hanya kabar-kabar angin saja yang dibawa oleh para jembel itu yang mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar biasa.
Adapun orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, amat terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu (pengawal barang kiriman), sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang besar. Biarpun dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang tongkat, namun orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja sehingga menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah senjata Ouw-kauwsu. Dan dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan seperti senjata pian yang lihai. "Kai-ong, apakah begitu maju engkau hendak menggunakan tongkatmu" Ouw-kauwsu bertanya.
Raja Pengemis itu tersenyum. "Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan" Pertama dengan tangan kosong dan kalau selama seratus jurus dengan tangan kosong ini belum ada yang menang atau kalah, barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing. Benarkah begitu, pangcu" tanyanya sambil menoleh ke arah Sin-ciang Gu Kok Ban.
Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk. "Hanya senjata di tangan, bukan senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau kedua calon saling menyetujui."
"Ha-ha-ha, tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing, perlu apa menggunakan senjata rahasia" Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik." Sambil berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya kakek itu sehinga tongkat bambu dapat menancap di papan kayu yang keras itu seperti sebatang anak panah saja.
Ouw Bian juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, maka dia sudah siap memasang kuda-kuda dengan kedua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka dan membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang terkenal sekali dengan ilmu silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diseling totokan jari tangan yang amat lihai. Agaknya Lam-thian Kai-ong juga mengenal ilmu itu, maka dengan tenang diapun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi lawan yang hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari tangan dan kecepatan.
"Lihat serangan!" Ouw Bian mulai menyerang, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan pembukaan ini cukup mengandung maut!
"Bagus!" Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan setelah menghindarkan cakaran pada kedua matanya berhasil menangkis cengkeraman pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam mainkan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelak serangan lawan maupun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.
"Hemm... dukk!" Dengan tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis tendangan itu lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh Lam-thian Kai-ong. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan. Pertandingan berjalan makin cepat, sehingga akhirnya mereka yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya menjadi kabur pandang mata mereka dan tidak lagi dapat mengikuti gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang ruwet menjadi satu!
Hanya para tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai calon bengcu masih dapat mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam hal kecepatan gerakan. Ouw-kauwsu juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan keras dan gerakan kedua cakar tangannya menjadi makin kuat. Kiranya dia hendak mengatasi kekurangannya dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh) itu dengan kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit dibandingkan dengan lawannya. Terjadilah serang-menyerang yang makin sengit. Semua serangan Ouw-kauwsu kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, sebaliknya serangan balasan Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Para anak buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan segera terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masing-masing dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak buah yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan. Sungguh mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang tidak kecil itu. Kiranya di antara pengemis-pengemis itu banyak yang mempunyai simpanan uang besar!
Tak terasa lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang bertanding itu belum juga dapat merobohkan lawan. Kalaupun ada pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan, namun kenanya tidak telak dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan, padahal, dalam pertandingan ini, yang berlaku dan yang dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar panggung.
Sebetulnya, kedua fihak sudah merasa penasaran sekali dan sudah gatal-gatal tangan mereka untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan senjata itu untuk merebut kemenangan. Akan tetapi karena merekapun mengerti bahwa pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka mereka kini terus saling serang dengan semakin seru.
Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang tinggi besar ke atas panggung, "Kalian berdua menggelindinglah!" Dan sungguh luar biasa, dua orang kakek lihai yang sedang saling serang itu tiba-tiba terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung!
Semua orang memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam bopeng dan tanpa daging seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua mengenal, terutama sekali para bajak karena mereka sudah bersorak riuh rendah menyambut munculnya orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini! Kakek itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Tiga Kakek Laut Selatan yang amat lihai. Dalam segebrakan saja dia mampu melempar dua orang lihai yang sedang bertanding tadi dari atas panggung sudah membuktikan betapa lihainya raksasa muka tengkorak ini. Dan dia ini baru orang ke tiga! Belum yang ke dua dan yang pertama.
Karena calon bengcu sudah roboh dua orang, maka kini tinggal tiga orang lagi, yaitu Tiat-thouw Tong Siok sendiri sebagai tuan rumah, Kim Lok Cinjin wakil ketua Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi Si Maling Sakti. Hati tiga orang ini agak gentar karena memang mereka sudah mendengar akan kehebatan ilmu dari Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena belum pernah bentrok sehingga belum mengukur tenaga mereka, tiga orang sakti inipun merasa penasaran.
Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi penyelenggara dan tuan rumah, cepat meloncat naik ke atas panggung dan menjura kepada Hek-liong-ong Cu Bi Kun. "Kiranya Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang datang. Mengapa lo-enghiong melanggar peraturan pibu untuk memilih calon bengcu" Kalau lo-enghiong berminat memasuki sayembara, mengapa tadi tidak mendaftarkan diri" Demikian dia menegur dengan halus.
"Sekarangpun kami mendaftarkan diri juga belum terlambat!" terdengar suara halus dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu telah berada di atas panggung pula. Semua orang mengenal mereka ini, karena yang pertama adalah Hai-liong-ong Phang Tek, kakek enam puluh lima tahun yang tinggi besar menyeramkan, wajahnya penuh brewok seperti Panglima Thio Hwi di jaman Sam-kok. Orang ke dua adalah adik kandungnya, Kim-liong-ong Phang Sun, berusia enam puluh tahun yang tubuhnya berbeda sekali dengan kakaknya karena dia ini bertubuh pendek kecil berkepala gundul lonjong dan dia tidak pernah pakai baju dan sepatu.
Melihat munculnya ketiga orang kakek sakti itu, hati Sin-ciang Gu Kok Ban menjadi makin gentar. Akan tetapi dia menyambut dengan hormat. "Kiranya Lam-hai Sam-lo yang terhormat telah hadir selengkapnya. Tentu saja locianpwe boleh mendaftarkan sebagai calon. Siapakah di antara locianpwe yang hendak memasuki sayembara"
"Kami bertiga!"
"Tapi... tapi... setiap rombongan hanya diperbolehkan mengajukan seorang calon..."
"Ah, aturan mana itu" Sin-ciang Gu-pangcu, engkau dan semua yang hadir tahu belaka bahwa semenjak pemilihan beberapa tahun yang lalu, sesungguhnya kami yang berhak menjadi bengcu. Akan tetapi gara-gara pengacauan dari Ouwyang Bu Sek, maka terjadi keributan dan kami mengundurkan diri. Sekarang, dalam pemilihan ini, kami tidak mau gagal lagi. Kalau tadi kami agak terlambat adalah karena kami memang menanti munculnya setan cebol itu. Dia tidak berani muncul, maka kami segera datang dan apabila ada calon-calon lain, silakan naik dan asal dapat mengalahkan kami seorang demi seorang, baru dia atau mereka dapat diangkat menjadi calon."
Sunyi senyap suasana di tempat itu setelah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini bicara. Sin-ciang Gu Kok Ban mengerutkan alisnya. Munculnya Lam-hai Sam-lo dengan sikapnya itu melanggar peraturan dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang tentu akan kehilangan muka sebagai penyelenggara sayembara. Pula, dia mengenal siapa adanya Lam-hai Sam-lo, yang termasuk penjilat-penjilat pemerintah yang hendak mengejar kekuasaan dan kedudukan di daerah selatan. Kalau Lam-hai Sam-lo, yang menjadi Beng-cu, tentu para anggauta liok-lim dan kang-ouw akan tergencet.
Dengan muka merah ketua ini lalu menghadap tiga orang kakek itu dan dengan suara lantang berkata, "Tadinya ada lima calon, akan tetapi setelah dua di antara mereka sam-wi robohkan, tinggal tiga orang lagi, yaitu sute Tiat-thouw Tong Siok, Kim Lok Cinjin dari Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi."
"Kim Lok Cinjin" Tiba-tiba Hai-liong-ong Phang Tek berseru sambil memutar tubuh memandang ke arah tosu Pek-lian-kauw yang duduk di panggung kehormatan. "Benarkah itu" Sedangkan suhengnya, Kim Hwa Cinjin sendiri selalu mendukung kami sebagai calon bengcu!"
Pek-lian-kauw juga terkenal sebagai perkumpulan yang anti pemerintah pada waktu itu, dan dalam hal ini, Pek-lian-kauw lebih condong kepada Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang juga anti pemerintah. Wakil Pek-lian-kauw ini maklum pula bahwa Lam-hai Sam-lo adalah orang-orang yang berusaha mendekati pemerintah dan mencari kedudukan dengan menjilat-jilat, maka diapun enggan untuk mundur, sungguhpun dia tahu betapa suhengnya sendiri merasa jerih kepada tiga orang kakek sakti itu.
"Siancai... tidak disangka bahwa Lam-hai Sam-lo datang juga! Pinto telah terlanjur masuk sebagai calon bengcu, sebelum gagal dalam ujian mana mungkin mundur kembali"
Akan tetapi kata-kata itu disambut cepat oleh suara yang halus ramah, suara Sin-to Bouw Khi "Seekor harimaupun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!"
Sikap inipun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong oleh Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap oleh kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar dan dapat mengeluarkannya dari tahanan. Di samping itu diapun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu. "Terima kasih atas pengertianmu, Sinto!" kata Hai-liong-ong Phang Tek yang kembali menghadapi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, "Apakah masih ada calon yang lain, ataukan hanya kalian berdua saja"
"Karena yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal hanya dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin," jawab Sin-ciang Gu Kok Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan aku!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua orang saudaranya itu mengangguk dan dengan ringan mereka berdua meloncat turun dari atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh.
Terdengar bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung dan menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban. "Karena Tong-sicu sebagai wakil Sin-ciang Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu maju."
Kim Lok Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru saja dia mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah. Maka karena dia sedang marah munculnya Lam-hai Sam-lo yang tidak disukanya itu menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian tiga orang kakek itu luar biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama Pek-lian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan.
"Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan dengan seorang di antara mereka, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinto untuk mohon sedikit petunjuk," katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak itu.
"Ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku sudah mendengar bahwa tingkat kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu lihai sekali. Marilah kita main-main sebentar!" kata orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo.
Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai Putih) sedangkan lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni sudah memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.
Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw itu mengambil kedudukan mempertahankan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan, sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya.
Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak dan mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.
"Plak! Plak! Plak! Plak!" Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sin-kang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirimkan tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul dan amatlah berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan. Menghadapi tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong mengelak mundur dan akhirnya dia menggerakkan kedua tangan untuk mencengkeram dan menangkap kaki yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur.
Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan.
Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawanpun belum. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat, disusul muncratnya darah dan teriakan wakil ketua Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong. Kiranya Cu Bi Kun dengan kecepatan kilat tadi telah mencabut dan mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak dan pundaknya terkena bacokan golok sehinga terluka cukup parah.
"Memandang muka Kim Hwa, Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!" kata Cu Bi Kun sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh. Dengan mata mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh para anggauta Pek-lian-kauw yang berada di situ.
"Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya curang!" Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong.
"Hemm, apa maksudmu" bentak Hek-liong-ong marah.
"Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong lewat seratus jurus amatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!" tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah.
"Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau tentu tahu bahwa ilmu silat amatlah luasnya, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu sliat pasti terdapat bahaya terluka atau terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat."
"Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu sungguh keterlaluan!" Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.
"Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tidak perlu turut campur!" Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sutenya.
Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah seorang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja"
"Biarlah, suheng. Ini sudah bukan urusan perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Kim Lok Cinjin telah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja" Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Marilah, Hek-liong-ong, kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!" Sambil berkata demikian, Tong Siok sudah menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang menyambutnya dengan tertawa besar.
Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apalagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok dan orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar ketawa Hek-liong-ong mengeluarkan suara ketawa penuh kebanggaan. Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan diapun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.
"Pergilah!" Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu.
"Trang... krekkk!" Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!
"Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali.
Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring, "Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokohpun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.
"Sute...!" Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak namun sudah terlambat karena sutenya itu sudah menyerang dengan cepat.
"Ha-ha-ha!" Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.
"Dukkk...!" Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut dan tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena tiba-tiba kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.
"Sluppp...!" Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung! Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga kini tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!
"Locianpwe, harap menaruh kasihan kepada sute!" teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sutenya.
"Hemmmm, dia menghendaki nyawaku, mana begitu mudah" Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok dan terdengar suara "krekk!" dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas!
Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang ketika mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu. Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang. "Eh, kenapa main-main dengan perut orang"
Begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, terdengar suara "plakk" dan tubuh Hek-liong-ong menggigil! Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa panas, akan tetapi tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala dan menyerang perut sehingga Hek-liong-ong terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda remaja itu main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya. Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok dan akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.
"Terima kasih...!" Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suhengnya. Pada saat itu, Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung mereka itu menghadang Sin Liong dari depan dan belakang.
Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sutenya dan merasa lega bahwa sutenya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.
"Siapa engkau, bocah setan" bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam.
"Hemm, Lam-hai Sam-lo memang jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang," kata Sin Liong dengan marah.
"Ah, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu" teriak Hai-liong-ong Phang Tek yang lalu menoleh ke kanan kiri, lalu menantang, "Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!"
Sin Liong tersenyum, "Suheng sudah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo."
"Keparat!" Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki gin-kang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!
Kini Sin Liong tidak berani lagi main-main seperti ketika dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena diapun maklum betapa lihainya tiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya. Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng sepenuhnya.
"Plakk...! Aihhhhh...!" Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat dan sin-kangnya membanjir keluar keluar. Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh keheranan. Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!
"BOCAH SETAN! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong" Tiba-tiba orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot penuh kebencian.
Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun. Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun telah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi "suhengnya" dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya. Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong telah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!
"Aihhh!"
"Ohhh...!"
Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong.
Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan Thi-khi-i-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka diapun tidak lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.
"Manusia-manusia curang!" bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu. Dia membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu mengakibatkan angin atau hawa pukulan melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat!
Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga sudah pulih kembali tenaganya, dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung.
"Bocah setan, hayo katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.
Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya dan menjawab lantang. "Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang kujunjung tinggi, kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!"
Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat membenci Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka dengan kakeknya. Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam. Akan tetapi, mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai, apalagi ilmunya yang disebut Thi-khi-i-beng, dan juga karena merasa sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci. Akan tetapi kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi-i-beng itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat.
Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebat seperti yang diwarisi oleh Sin Liong, apalagi dia telah secara langsung mengoper tenaga sin-kang dari Kok Beng Lama dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian telah mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suhengnya, Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biarpun di dalam tubuhnya telah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam latihan. Padahal, tiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar. Maka, biarpun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga serangan lawan itu sehingga tiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung dan meloncat naik ke atas, berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu.
Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti pemuda remaja ini! Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu, membalik dan tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan. Maklumlah dia bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki sin-kang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya. Sementara itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol tadi sebenarnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!
Sin-ciang Gu Kok Ban yang cepat menolong sutenya dan menyambung pergelangan tangannya yang patah-patah dan memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia tadipun tidak berdaya menyaksikan keadaan sutenya, dan dia tahu bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu telah menyelamatkan nyawa sutenya. Akan tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tidak berani mencampuri, sungguhpun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat lolos.
Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan main dan semua orang menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu kini sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak lawan, akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati mereka sehingga biarpun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali. Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain saling pandang dan juga mereka menonton dengan penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal, juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dan pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Tadinya, orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas kalau dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya.
"Hyaaaaattt... aihhh!" Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini hebat bukan main. Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga terbang dan kedua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.
Biarpun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari teori-teori dan latihan-latihan saja, belum pernah dia mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan, maka sekali ini, dia benar-benar diuji dan dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tak mengenal lelah itu. Memang anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia memiliki keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biarpun kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang timbul dari kewaspadaannya.
"Hemmm...!" Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khi-kang yang menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.
"Aihhhh...!" Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main. Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri dan tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh. Dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu selama hidupnya dan biarpun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat karena totokan itu meluncur terus, agaknya takkan dapat dielakkannya lagi.
"Celaka!" teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab lama di bawah bimbingan suhengnya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Dari kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek adalah pemberian seorang manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang dapat berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia sehingga Ouwyang Bu Sek sendiripun tidak sanggup mempelajarinya!
Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dengan diancam oleh totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayun tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, telah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Wuuuutttt...!" Singggg...!" Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.
"Krekkk...! Takkk...!"
"Ahhhh...!"
"Heiii...!"
Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari malapetaka, akan tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali dan Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sudah patah menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di tangannya dengan mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu dan terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!
Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te-sin-ciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari "pengoperan" Kok Beng Lama secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai lengannya, lengan itu penuh dengan tenaga Thian-te-sin-ciang, golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te-sin-ciang dari Kok Beng Lama memang merupakan tenaga sin-kang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.
Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka kini merasa gentar sekali. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring, "Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!"
Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat besar.
Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka terdapat seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, berusia kurang lebih delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik. Pemuda ini gagah sekali, pakaiannya amat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya. Dengan sikap seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang meringkik-ringkik, mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo.
"Sam-lo, apa yang kalian lakukan" Apa yang telah terjadi" Tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya dan tiba-tiba terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat sekali. Maka terdengarlah tepuk tangan memuji di sana-sini karena orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang muda yang hebat.
Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda tampan itu dengan sikap amat menghormat! Dan kagetlah mereka ketika mereka mendengar suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata, "Mohon paduka pangerang sudi mengampuni hamba. Pemilihan bengcu ternyata mendapat gangguan dari pemuda ini."
Ributlah keadaan di situ ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu "pangeran". Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang. "Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi hormat!" Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari kaisar, tentu saja semua orang terkejut dan cepat mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut cara masing-masing seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung.
Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi! Pemuda itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua tangan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan wayang.
Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar suaranya yang lantang, "Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan bangkit lagi. Eh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini" Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu"
"Ampun, pangeran. Sebetulnya hamba bertiga telah dapat memenangkan kedudukan bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!" Hai-liong-ong memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak.
Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong dan sinar matanya yang tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah seperti orang yang kurang percaya.
"Dia ini" Bocah ini mampu mengacau kalian bertiga" Mulutnya tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam seperti pedang. "Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan main...! Ingin aku mencobanya!" Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar!
Melihat betapa jarum-jarum itu hanya nampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang amat berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan dilakukan dari jarak dekat ini. Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas dan mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, betapapun lihainya, tentu akan sukar meloloskan diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu.
Namun, sejak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong sudah siap siaga dan waspada. Dia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka mulut dan meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong sudah mengerahkan tenaga Thian-te-sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia membuat gerakan mencengkeram ke depan dan jarum-jarum itu telah dapat ditangkap dalam genggaman kedua tangannya!
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 14 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Jaka Lola 13
^