Pencarian

Geger Demak Pajang 3

Geger Demak Pajang Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Yang ketiga adalah seorang puteri yang terkenal dengan nama Nimas Ratu dan menjadi isteri dari Pangeran Kalinyamat. Puteri ke empat menjadi isteri Jaka Tingkir, hidup berkasih-kasihan dengan suaminya ini. Ke Lima adalah Nimas Ratu Kambang dan keenam bernama Raden Timur. Wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546 itu mengakibatkan kekacauan yang hebat sekali di Kerajaan Demak. Ahli waris-ahli waris Kerajaan saling berebutan dan bunuh-membunuh, sedangkan para Raja muda lakukan
pemberontakan dan tidak lagi mengakui lagi hak kekuasaan di Demak. Maka pecahlah Kerajaan yang sudah dibangun dengan susah oleh Sultan Trenggono menjadi negara besar itu. Perang saudara berkobar-kobar. Dan di dalam kekacauan
Jaka Tingkir. Banyak fihak setia kepadanya dan menaruh penuh kepercayaan kepada satria perkasa ini. Akhirnya, dengan kekuatan senjata disertai pribadinya yang penuh kebijaksanaan, Jaka Tingkir berhasil mengangkat diri menjadi yang dipertuan dan kemudian menjadi Sultan yang berkedudukan di Pajang berjuluk Adiwijaya, Sultan Pajang!
Jaka Tingkir yang kini menjadi Sultan Pajang itu tidak melupakan saudara-saudaranya. Mas Manca diangkat menjadi patihnya, bernama Patih Mancanegara. Ki Wuragil diangkat menjadi bupati dalam sedangkan Ki Wila diangkat menjadi bupati pula dengan pangkat Tumenggung Wilamarta! Adapun Sriyanti kelak menjadi selir yang paling dikasihi oleh Patih Mancanegara. Tak dilupakan pula Ki Ageng Butuh dan Kyai Buyut Banyubiru, semua diboyong ke Pajang dan menjadi orang-orang yang dihormati dan menjadi sumber nasehat bagi pemerintahan di Pajang. Demikianlah, cerita ini ini ditutup dengan catatan pengarang bahwa tidak ada kemuliaan tanpa didahului oleh pengorbanan-pengorbanan atau usaha yang keras tanpa mengenal jerih payah dan kesengsaraan lebih dahulu, sesuai dengan ujar-ujar kuno yang berbunyi : JER BASUKI MAWABEYA.
Siapa yang mengikuti jalan kebenaran dan kebajikan akhirnya pasti tercapai kemenangan dan tercapai semua cita-cita, sebaliknya mereka yang menyeleweng dari pada kebenaran, tentu akan hancur lebur sesuai dengan sifat Tuhan Yang Maha Adil. Pangeran Prawoto bersama isterinya masih belum tidur, terdengar suara mereka bercakap-cakap perlahan dan gema suara mereka terdengar diluar menerobos celah-celah jendela. Tidak seperti biasanya, malam itu biarpun hawanya amat dingin sehingga sepatutnya membuat orang enak tidur, lalu ia bangun duduk di atas pembaringannya. Isterinya yang belum tidur, bangun pula duduk di samping suaminya, dengan penuh kasih sayang memegang tangan suaminya lalu berkata,
"Kakang Mas Pangeran, sudah beberapa hari ini kau selalu gelisah didalam tidurmu. Kuperhatikan benar-benar dan aku tahu tentu dalam keadaan Kerajaan di Demak semenjak Rama Prabu seda (wafat) yang menyebabkan Kang Mas gelisah dan pusing." Pangeran Prawoto merangkul pundak isterinya dan membelai-belai rambut yang hitam panjang berombak itu.
"Nimas Ratu, memang tepat ucapanmu itu. Siapakah orangnya yang takkan menjadi gelisah dan pusing melihat keadaan yang keruh di Kerajaan mendiang Rama Prabu" Banyak putera-puteri keturunan Rama Prabu yang mempunyai keinginan menggantikan kedudukan Rama almarhum. Diam-diam terdapat dendam dan dengki yang ditimbulkan oleh nafsu duniawi memperbutkan kemuliaan, mereka tidak sadar bahwa menduduki singgasana bukanlah hak kecil yang amat mudah. Di samping kemuliaan yang didapatkan, pada pundaknya diserahi beban tugas suci mulia yang amat berat, memimpin rakyat memajukan negara bukan sembarangan orang dapat melakukan dengan baik. Memang kalau dipertimbangkan, putera Rama Prabu yang sulung adalah seorang puteri dan sudah menjadi isteri Kang Mas Kyai Langgar di Sampang. Maka semestinya, yang berhak menggantikan Rama adalah Kakang Mas Pangeran Harya di Jipang."
"Akan tetapi, Kakang Mas Pangeran Harya juga sudah meninggal dunia. Karena itu, menurut saluran, bukan hal yang keterlaluan atau merebut hak kalau aku sebagai mantu ke tiga, menggantikan kedudukan Rama, menjadi Raja di Demak. Akan tetapi Nimas Ratu, kaupun tahu bahwa aku tidak mengutamakan kemuliaan duniawi, melainkan kemakmuran negara dan rakyat yang lebih kupentingkan. Maka dari itu, aku segera menyatakan persetujuan sebulatnya ketika semua senapati dan adipati mendukung Adimas Jaka Tingkir menjadi Raja, pengganti mendiang Prabu."
"Memang tepat sekali apa yang kau katakan, Kakang Mas pangeran. Adalah amat hina dan merugikan negara sendiri apabila di antara saudara memperebutkan kedudukan. Akibatnya, persatuan terpecah belah negara menjadi lemah dan rakyat susah. Dimas Jaka Tingkir memang patut menggantikan Rama Prabu, karena dia mempunyai banyak pendukung. Maka, kurasa tidak ada lagi hal-hal yang dipusingkan mengapa kau masih merasa gelisah dan pusing-pusing?" Pangeran Kalinyamat menarik napas panjang tiga kali, lalu merebahkan diri terlentang. Ia menatap wajah isterinya yang terkasih, lalu berkata perlahan.
"Nimas ratu, aku gelisah dan pusing memikirkaan anak keponakanmu si Harya Penangsang di Jipang." Nimas Ratu Kalinyamat mengerutkan sepasang alisnya yang bagus dan matanya yang bening membayangkan sinar tidak senang.
"Aah" Bocah kasar itu! Mengapa perlu dipikirkan?"
"Dialah orang satu-satunya yang kelihatan tidak rela dan terdapat tanda-tanda yang amat jelas bahwa Harya Penangsang mempunyai niat hendak merampas Kerajaan, hendak merampas kedudukan sebagai Raja! Pernah dia berkata terang-terangan kepadaku bahwa sebetulnya hak menggantikan kedudukan Rama Prabu adalah dia, karena dialah putera tunggal mendiang Pangeran Harya yang menjadi putera laki-laki tertua dari Rama Prabu" Kembali Pangeran Kalinyamat menarik napas panjang. Isterinya menghibur.
"Tak usah dipikirkan banyak-banyak, Kakang Mas. Kalau sampai dia mempergunakan kekerasan, tentu Adimas Jaka Tingkir akan dapat menanggulanginya." Malam makin sunyi dan dingin.
"Tapi... Dia agaknya amat benci padaku, Nimas... Karena kusampaikan padanya ketika itu dengan tak senang aku menyatakan kepadanya bahwa kalau bukan Adimas Jaka Tingkir yang menggantikan kedudukan Rama Prabu, maka orang kedua yang lebih patut adalah aku sendiri. Dia agaknya marah sekali, mengandung dendam." Pucat wajah Nimas Ratu Kalinyamat mendengar ucapan suaminya ini. Lebih-lebih ketika pada saat itu terdengar suara burung hantu diseling burung culik dan burung beruk.
"Rruuuuuuukk" rruuuuukk..ruuukkk! Rruuuuuukk" rruuuuuukk"ruuukkkk! Culik-culik-culik!" Nimas Ratu Kalinyamat merapatkan tubuhnya kepada suaminya dan menyembunyikan mukanya didada Pangerang Kalinyamat. Tubuhnya menggigil. Pangeran Kalinyamat memeluknya dan bertanya lirih.
"Kau kenapa, yayi (adinda)?"
"Kakang Mas aku aku mendapat firasat yang buruk suara-suara itu" tiga kali" seakan-akan muat berterbangun di atas rumah kita" aduh, Kakang Mas, aku takut." Pangeran Kalinyamat mendekap kepala isterinya yang tercinta itu pada dadanya.
"Nimas Ratu pujangku Yayi" yayi" Kau seperti bukan keturunan Rama Prabu Trenggono yang arif bijaksana saja! Kenapa kita harus merasa takut tentang maut" Mati dan hidup adalah urusan Tuhan Yang Maha Agung, bukan urusan kita. Hanya Tuhan yang berhak menentukannya, adapun kita ini hanya untuk menjalani. Kewajiban kita untuk melaksanakan hukum-hukum alam dengan penuh pemaserahan kepada Yang Kuasa. Percayalah, yayi bahwa nyawa kita, sekalipun kita bersembunyi ke dalam lubang semut, ataupun berlindung di dalam gedung baja, tetap saja maut mengambil kita. Demikian pula apabila Tuhan Yang Kuasa menghendaki bahwa kita masih diharuskan hidup, biarpun ada seribu malaikat pencabut nyawa memperebutkan nyawa kita, tetap saja kita akan selamat dan hidup! Yang terpenting bagiku bukanlah mati atau hidup, karena aku senantiasa menyerhkan jiwa ragaku ke dalam Tangan Tuhan, melainkan kebenaranlah yang kuperhatikan. Baik hidup maupun mati, asal kita berpegang kepada kebenaran, asal kita berada dalam kebaran, maka hidup atau mati bukanlah persoalan lagi, karena itulah sifat yang diutamakan oleh para satria. Lebih baik mati dalam kebenaran dan pada hidup dan kelainan. Oleh karena itulah, tak perlu kau takut, serahkan saja segalanya kepada Tuhan Yang Maha Agung."
Dengan hiburan ini Pangeran Kalinyamat atau Pangeran Prawoto akhirnya dapat mengusir rasa taku hebat yang tadi mempengaruhi isterinya, dan tak lama kemudian Ratu Kalinyamat itu dapat tidur pulas dengan wajah terang dan senyum manis menghias bibirnya. Akan tetapi Pangeran Kalinyamat sendiri masih belum dapat pulas karena berbagai macam pikiran mengganggu otaknya. Betapapun juga, kepulasan yang amat nyenyak dari isterinya mempengaruhinya juga dan akhirnya iapun terlelap tidur. Kilat dan geludug susul menyusul, akhirnya hujanpun turunlah rincik-rincik di atas istana Kalinyamat.
Yang lebat hujannya adalah bagian selatan karena tadi mendung dikumpulkan oleh angin di bagian ini. Karena hujan rincik-rincik ini, hawa makin dingin. Tiba-tiba Pangeran Prawoto tersentak bangun dari tidurnya karena mendengar suara keras. Ia cepat bangun duduk dengan gerakan tiba-tiba, mengagetkan pula isterinya yang tadi tidur nyenyak. Ketika ratu Kalinyamat menggosok-gosok matanya dan sadar betul-betul, ia melihat suaminya sudah melompat turun dari pembaringan. Hampir Ratu Kalinyamat menjerit kaget ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus memegang sebatang keris berdiri di depan suaminya dengan sikap mengancam. Mata yang merah liar dari orang itu menakutkan hati Nimas Ratu Kalinyamat. Namun, sikap Pangeran Prawoto tenang-tenang saja dan ditatapnya wajah orang yang datang melalui jendela yang dirusaknya itu.
"Heh, si keparat pengrusak tatasusila! Kulihat kau ini seperti seorang abdi Jipang!" Orang tinggi kurus itu menyeringai, terlihat giginya kekuningan. Benar amat menakutkan seperti iblis sendiri yang terdiri disitu.
"Pangeran Kalinyamat benar memiliki pandangan yang tajam. Aku adalah abdi di Jipang bernama Rangkut."
"Hemm, kau Rangkut manusia kurang sopan, Kalau kau abdi anak Harya Panangsang di Jipang, mengapa sikapmu begini kurang ajar" Kenapa pula kau melanggar tatasusila, memasuki kamarku seperti seorang maling dan membawa-bawa keris?" Karena tidak dapat menahan pengaruh iblis dari keris itu, dalam gugupnya Pangeran Kalinyamat tak dapat menghindarkan sebuah tusukan yang tepat mengenai dadanya. Pangeran ini maklum bahwa nyawanya tak tertolong lagi, maka dengan nekat ia lalu maju menubruk dan mengerahkan seluruh tenaga kesaktiannya menghantam dada Rangkut.
"Blekkk!" Rangkut bukanlah seorang biasa, melainkan seorang algojo gemblengan yang sudah kebal tubuhnya. Namun menghadapi pukulan ini, ia merasa semua tulang-tulang dadanya remuk dan isi dadanya seperti hancur. Dengan keris Setan Kober yang berlumuran darah di tangannya, Rangkut menahan sakit lalu melompat keluar dan menghilang di dalam gelap dan hujan. Nimas Ratu Kalinyamat memekik ngeri, menubruk tubuh suaminya ketika mendapat kenyataan bahwa Pangeran Kalinyamat sudah tewas, isteri yang bernasib malang ini menjerit lagi menyayat hati, lalu roboh pingsan di samping jenazah suaminya. Para pelayan dan penjaga istana mendengar jerit berkali-kali ini segera berlarian menghampiri. Pintu diketok dan akhirnya dibuka dengan paksa oleh para penjaga. Bukan main kagetnya hati mereka melihat sang pangeran sudah menjadi mayat dan sang ratu roboh pingsan sambil memeluk tubuh pangeran Kalinyamat. Gegerlah di Kalinyamat yang mengetahuinya. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Nimas Ratu Kalinyamat. Pembunuh suaminya adalah keponakannya sendiri, yaitu harya Panangsang yang menyuruh Rangkut melakukannya. Diam-diam Nimas Ratu Kalinyamat mengambil keputusan di dalam hatinya untuk membalas dendam atas kematian suaminya ini. "Aws kau, Harya Panangsang! Kau telah membunuh Pamanmu sendiri secara keji. Aku takkan tinggal diam, kau tunggu pembalasanku, demikian dalam hati Nimas Ratu Kalinyamat bersumpah.
Apakah sesungguhnya latar belakang pembunuhan keji yang dilakukan oleh Harya Panangsang terhadap suami bibinya sendiri yaitu Pangeran Prawoto di Kalinyamat" Bukan lain adalah karena kekacauan dan perebutan kekuasaan semenjak meninggalnya Sultan Trenggono seperti yang dibicarakan oleh Pangeran Kalinyamat dengan isterinya pada malam hari yang naas baginya itu. Raden Harya Panangsang adalah putera tunggal mendiang Pangeran Harya, putera kedua Sultan Trenggono sebagai cucu sang Sultan yang meninggal dunia, Harya Panangsang merasa lebih berhak untuk menggantikan kedudukan Kakeknya itu. Bukankah ia keturunan langsung dari Sultan" Kyai Langgar di Sampang hanyalah putera menantu, Pangeran Kalinyamat pun hanya putera menantu, demikian pula Jaka Tingkir. Dia seoranglah yang memiliki darah Raja dan karenanya berhak menjadi Raja menggantikan Kakeknya!
Demikian pendapat Harya Penangsang yang pada waktu itu sudah menjadi Adipati di Jepara. Raden Harya Penangsang adalah seorang mudah dan gagah tampan dan berwatak keras. Bentuk badannya tegap dan kuat, rambutnya hitam kaku. Sepasang mata pada wajahnya yang tampan itu mengeluarkan cahaya berkilau, tajam dan galak, sedangkan kumis kecil terpelihara baik-baik menambah kegagahannya, membuat ia nampak seperti Raden Gatotkaca. Karena sejak kecil ditinggal mati ayah, Harya Penangsang kurang menerima pendidikan ayahnya dan hubungannya dengan kawan-kawan yang tidak dipilih membuat ia berwatak keras dan kadang-kadang amat sombong, merasa diri sendiri paling kuat dan paling digdaya. Memang harus diakui bahwa Harya Penangsang adalah seorang muda yang gagah perkasa, semenjak kecil kesukaannya hanya mempelari ilmu perkelahian dan keperwiraan.
Sayangnya dan lagi-lagi hal ini dikarenakan tidak ada ayahnya ia bukan mempelajari ilmu-ilmu dan siasat-siasat perang seperti layaknya dan sepatutnya dipelajari oleh putera pangeran yang bercita-cita, sebaliknya ia mempelajari ilmu kedigdayaan untuk diri peribadi dan sudah terkenallah nama Harya Penangsang sebagai seorang pemuda jagoan yang jarang tandingnya. Sama terkenalnya dengan nama putera pengeran ini adalah kuda kesayangannya yang bernama Gagak Rimang, seekor kuda tinggi besar yang berbulu hitam seperti burung Gagak. Selain si Gagak Rimang yang menimbulkan kekaguman dalam hati, ialah pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober, sebilah keris pusaka ampuh mengerikan yang membuat setiap merasa seram kalau mendengar namanya.
Menurut cerita orang yang mengetahuinya, keris pusaka Setan Kober yang setiap malam Selasan dan malam Jum"at dikutuki ini, demikian ampuhnya sehingga jangankan sampai tertusuk olehnya, baru tergurat saja kulit orang maka akan binasalah orang itu, tiada obatnya lagi. Karena keris Setan Kober ini selalu diberi makan racun-racun ular berbisa! Maka ada kabar angin bahwa tanpa dipegang oleh tangan pemiliknya, baru dijampe saja keris ini dapat terbang sendiri mencari mangsanya. Sayang seribu kali sayang, Raden Harya Penangsang yang gagah perkasa ini memiliki watak eras sekali dan tidak mau kalah, malah dapat dikatakan sombong. Dia menjadi dipertuan di Jipang, mengatur kekuasaannya di Jipang dengan tangan besi sehingga para kawulanya di Jipang amat takut kepadanya, rasa takut akan kekerasan yang selalu menimbulkan kebencian terpendam.
Kuasa harta nama Kemuliaan dunia Gemilang bercahaya Menyilaukan mata mata batin dibutakan
Ketuhanan dilupakan Perikemanusiaan disisihkan
Diri pribadi diutamakan Bisik si setan Kejar terus kemuliaan Perduli orang lain sengsara
Asal diri pribadi mulia Memang tak dapat disangkal bahwa Raden Harya Penangsang suka sekali berguru ilmu, banyak orang-orang cerdik pandai didatangi dan diangkat guru. Malah akhir-akhir ini ia berguru kepada Sunan Kudus, menerima banyak petuah-petuah dan segala macam ilmu. Namun, wataknya tak dapat dirobah, agak Harya Penangsang lupa akan kebutuhan rakyat karena mengumbar nafsunya yang haus akan kemuliaan dunia.
Ia lupa bahwa rakyatnya, seperti juga seluruh rakyat didunia ini pada umumnya, yang dikehendaki atau diidam-idamkan adalah, keadaan hidup yang tata tenteram kerta raharja, adil dan makmu. Bebas daripada miskin papa, dalam arti kata, tidak terancam kelaparan dan ketelanjangan, murah sandang pangan cukup makan pakaian dan pondok keluarga. Bebas daripada penindasan, dalam arti kata, tidak terancam oleh penghisapan, penipuan, kekerasan kekuasaan atau hubungan rimba siapa kuat dia menang. Hidup bergotong-royong satu untuk semua dan semua untuk satu, yakni adil makmur tenteram untuk seluruh manusia dan seluruh manusia bekerja untuk mencapai adil dan makmur tenteram itu, tidak ada permusuhan, tidak ada pertikaian, bersatu padu.
Alangkah akan bahagianya hidup. Sayang, Raden Harya Penangsang tak pernah sedikitpun mengingat kehendak rakyat. Yang diingat selalu hanya kehendak diri sendiri, atau lebih tepat kehendak nafsu-nafsunya sendiri, dia menguasai Jipang dengan tangan besi, membuat rakyat selalu ketakutan. Apabila Harya Penangsang di atas panggung si Gagak Rimang lewat, rakyat Jipang tidak menyambutnya dengan sembah sujud mengandung penuh kekaguman kasih yang penyerahan yang berbakti, melainkan sembah sujud yang mengandung penuh ketakutan paksaan dan benci tersembunyi. Seperti telah tercacat dalam sejarah, kematian Sultan Trenggono di Demak menimbulkan geger di kalangan keluarga Keraton.
Perebutan kekuasaan meRajalela, penuntutan singgasana terjadi diantara keturunan Sultan Trenggono. Namun, berkat kebijaksanaan raden Bagus Karebet atau raden Jaka Tingkir yang mempunyai banyak sekali pendukung, akhirnya keributan dapat dipadamkan dan Jaka Tingkir diangkat menjadi Raja pengganti Sultan Trenggono. Kalau menurut patut, seharusnya pangeran prawo di Kalinyamat yang menggantikan kedudukan itu, karena dia adalah putera mantu yang kedua setelah Pangeran Harya meninggal dunia, jadi dalam susunan keluarga dia lebih tua daripada Jaka Tingkir. Namun, karena banyak adipati memilih Jaka Tingkir, sedangkan dia sendiripun maklum akan kebijaksanaan dan kesanggupan Jaka Tingkir, maka pangeran Kalinyamat itupun akhirnya menerima dengan senang hati.
Pusaka-pusaka keraton Demak dipindah ke Pajang ketika Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang berjuluk Adiwijaya. Bukan merupakan hal aneh bahwasanya dalam setiap peralihan kekuasaan, disamping mereka yang setuju pasti terdapat mereka yang menentang. Namun, melihat besarnya fihak yang setuju akan pengangkatan Sultan Pajang ini, menentang lalu bungkam dan mau tidak mau menyatakan persetujuan mereka juga, atau kalaupun masih ada hati menentang, perasaan ini hanya disimpan di dalam dada saja. Hanya Harya Penangsang seoranglah yang berani menyatakan penentangannya secara terus terang. Harya Penangsang di Jipang merasa amat penasaran dan tidak mau terima, malah ia mengumpat-umpat semua Pamannya yang dianggapnya lemah.
"Apa itu Jaka Tingkir?" katanya marah-marah sambil membanting kaki. "Seorang anak gunung, bocah desa dari Pegging yang mengungsi ke Tingkir karena ayahnya dihukum mati sebab memberontak! Bocah desa yang tidak tahu akan tatakrama, tidak ada setetespun darah bangsawan yang mengalir didalam tubuhnya. Bocah gunung tak kenal budi, setelah diberi hati oleh Eyang Prabu Trenggono lalu mulang Sarak (Murka) dan merampas singgasana. Ini namanya diberi hati merogoh rempela mengaduk-aduk isi perut!"
Karena Pangeran Prawoto di Kalinyamat mendengar kata-kata ini, ia lalu menegur keponakannya, malah menyatakan bahwa kalau bukan Jaka Tingkir yang menjadi Raja, tentu Pangeran Kalinyamat ini tidak mau menerima orang lain menggantikan kedudukan Sang Prabu di Demak. Ucapan pangeran Kalinyamat ini diterima penuh dendam dan amarah oleh Harya Penangsang sehingga mulai saat itu, Harya Penangsang menganggap Pamannya di Kalinyamat sebagai musuh dan perintang yang harus disingkirkan sebelum ia berusaha menjatuhkan Sultan Pajang. Dengan marah-marah Harya Penangsang mengadu kepada gurunya, Sunan Kudus. Malah didepan guru besar inipun ia mengumpat-ngumpat Jaka Tingkir yang dimakinya sebagai bocah gunung nangnung yang merampas hak wewenang keturunan Sultan Demak. Sunan Kudus berkata sambil tersenyum sabar.
"Kulup, Harya Penangsang. Jangan kau berkata begitu terhadap Sultan Pajang. Apa kesalahan Sultan Pajang" Menurut pendapatku, memang dia seorang yang cakap dan sudah patut menjadi Sultan di Pajang. Jangan kau bilang bahwa dia tidak berdarah bangsawan. Karena sesungguhnya apa arti darah bangsawan" Menilai seorang bukanlah dari keturunannya, melainkan dari perbuatannya. Biarpun dia keturunan Sudera, kalau dia itu selalu mengambil jalan keutamaan dan tidak menyeleweng daripada kebajikan satria, maka dia itulah seorang mulia. Sebaliknya seribu kali dia itu keturunan satria maupun Brahmana atau keturunan Raja, kalau perbuatannya itu menyeleweng daripada kebenaran dan kebajikan, dia adalah seorang hina dina!" Harya Penangsang memelototkan matanya. Memang wataknya keras dan dia tidak biasa bermuka-muka. Akan tetapi, bantahnya dengan kening berkerut,
"Sudah menjadi adat kebiasaan semenjak nenek moyang kita dahulu kala, seorang pengganti Raja haruslah keturunan Raja itu. Kalau yang menggantikan itu orang biasa, bukankah itu berarti pemberontakan namanya. Maaf kalau saya terpaksa berbicara keras, eyang kyai, hati saya panas bukan main melihat Jaka Tingkir merampas kedudukan yang sebetulnya menjadi hak putera-putera eyang Prabu, atau setidaknya saya sendiri jauh lebih pantas menjadi Raja daripada si bocah gunung itu. Dalam hal apa saja kalah oleh dia" Boleh diadu, apa saja! Kalau perlu saya berani dihadapkan dengan dia di medan laga." Sunan Kudus adalah seorang yang sudah dalam ilmunya, maka orang tua ini dengan sabar hanya tersenyum lalu berkata.
"Angger, Harya Penangsang jangan menuruti darah muda yang panas dan nafsu amarah. Ingatlah bahwa sebetulnya amat tidak adil kalau menganggap Sultan Pajang itu bukan keturunan Raja. Bahkan kaupun sudah tahu bahwa dia itu sebetulnya masih ada hubungan darah dengan kau sendiri, angger. Kau adalah keturunan Sultan Trenggono, putera Sultan Demak, yaitu Raden Patah. Dan kau tahu bahwa eyang besarmu Raden Patah itu putera Sang Prabu Brawijaya dengan putera Cina. Sedangkan Sultan Pajang yang sekarang ini Jaka Tingkir adalah keturunan Adipati Andayaningrat di Pegging, yaitu putera mantu Sang Prabu Brawijaya yang sulung. Nah kalau diteliti, memang kau masih sedarah dengan Jaka Tingkir, angger. Maka tak perlulah diperdalam permusuhan antara keluarga sendiri, tidak baik."
Namun Harya Penangsang tidak mudah dihibur, malah setibanya dirumah sendiri di Jipang, ia lalu memanggil seorang kepercayaannya yang bernama Rangkut, mencabut keris pusakanya si Setan Kober sambil memberi perintah,
"Heh Rangkut! Kau pergilah ke Kalinyamat dan bunuhlah Pangeran Kalinyamat dengan keris pusakaku ini. Kalau kau pulang dengan gagal, nyawamu menjadi penggantinya."
Dan akibat dari perintah Harya Penangsang yang keras hati itu sudah dituturkan di bagian terdepan dari cerita ini. Sang Pangeran Kalinyamat tak dapat menyelamatkan diri dari maut yang berada di ujung keris Setan Kober. Seperti diceritakan di bagian depan, Rangkut sendiri menebus hasil tugasnya itu dengan luka hebat di dalam dada. Sambil berlari-lari setengah merangkak ia berhasil mendapatkan kudanya yang diikat diluar pintu gerbang, lalu meloncat ke atas punggung kuda menjerembab di punggung kuda. Ia berhasil merangkak menghadap sampai ke depan Harya Penangsang yang pada waktu itu tengah sarapan. Melihat datangnya Rangkut dengan keris Setan Kober berlumuran darah, Harya Penangsang tertawa bergelak sambil mengambil kembali keris pusakanya. Ia tidak perdulian keadaan Rangkut yang pucat dan terengah-engah.
"Ha-ha-ha! Agaknya berhasil tugasmu, Rangkut yang gagah! Ceritakanlah!" kata Harya Panangsang dengan wajah berseri mulut tersenyum, mata berkilat dan mengelus kumis dengan tangan kiri dan berkali-kali memandangi keris pusaka Setan Kober di tangan kanannya. Rangkut berusaha menyembah dengan susah payah sambil meringis, lalu dikerahkan tenaganya untuk bicara,
"Su... sudah... tewas ditangan hamba... Pangeran Kalinyamat" Gusti. Tapi" tapi" Hamba sendiri" aduh" Pukulannya ampuh sekali?" Rangkut tak kuat menahan lagi, roboh terguling, berkelojotan sebentar lalu terdiam dan nyawanya berpisah dari raganya. Harya Panangsang masih tertawa-tawa, lalu memanggil punggawanya dan disuruh membawa keluar dan mengurus jenazah Rangkut. Kemudian ia melanjutkan sarapan, memasukkan keris pusaka Setan Kober ke dalam warangkanya sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha-ha, Paman Pangeran Kalinyamat. Dimanakah kau sekarang" Apakah kau sudah menjadi Raja" Ha-ha, paling-paling kau menjadi Raja di neraka! Itulah bagian orang tua yang tidak tahu diri, tidak mau membantu aku keponakan sendiri, malah membela Jaka Tingkir si bocah dusun!"
Sementara itu di Kalinyamat, hujan air mata mengantar kematian dan pemakaman Pangeran Kalinyamat. Nimas Ratu Kalinyamat merasa hancur hatinya, penuh kedukaan dan dendam. Setelah selesai mengurus pemakaman suaminya, Ratu Kalinyamat lalu berangkat ke Kudus untuk melaporkan perbuatan keji yang dilakukan oleh Harya Jipang kepada suaminya. Ia hendak menuntut keadilan dan mengadu kepada Sunan Kudus yang selain termasuk tokoh besar dari kalangan tua, juga ia tahu mempunyai pengaruh besar terhadap Harya Panangsang yang menjadi muridnya. Sambil bercucuran air mata Ratu Kalinyamat menghadap Sunan Kudus yang menerima kedatangannya dengan heran.
"Anakku Nimas Ratu, apakah sebabnya kau datang kesini dalam keadaan begini" Hentikan tangismu, duduk baik-baik dan ceritakan kepadaku apa maksud kedatanganmu." Setelah dapat menenangkan hatinya, Ratu Kalinyamat lalu menceritakan tentang perbuatan Harya Panangsang di Jipang yang telah menyuruh orang melakukan pembunuhan terhadap suaminya.
"Apa dosa suami saya sehingga harus mengalami kematian di tangan si Harya Panangsang yang kejam" Mempunyai kesalahan apakah suami saya terhadap Pangeran" Paman Sunan, saya sudah bersumpah akan membalas dendam ini terhadap si Panangsang! Karena itulah, duhai Paman Sunan, saya datang menghadap ke sini untuk mohon pengadilan dari Paman, agar supaya Paman sudi menghukum dan membalaskan dendam ini!"
Sunan Kudus mengerutkan alisnya, untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata. Hatinya risau dan bingung beberapa kali menggeleng-geleng kepalanya. Biarpun di dalam hati ia tidak menyetujui perbuatan yang curang dari Harya Panangsang, akan tetapi mana bisa ia menghukum muridnya sendiri, murid yang amat ia sayang pula" Selain itu, iapun tidak begitu suka kepada Pangeran Prawoto di Kalinyamat, karena Pangeran ini sikapnya acuh tak acuh terhadap agama dan tidak mau membantu mengembangkannya. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Sunan Kudus berkata,
"Duhai anakku Nimas Ratu, kau hendak menarik aku ke dalam keadaan yang amat sulit. Urusan antara Harya Panangsang dengan kau adalah putera keponankanmu sendiri, anak tunggal dari Kang Masmu sendiri mendiang pengeran Harya. Jadi, kalau kau menarikku dalam urusan ini, berarti aku menjadi seorang yang mencampuri urusan kekeluargaan orang lain, demikianlah keberatanku pertama. Kedua kalinya, mati hidup berada di dalam kekuasaan Tuhan. Sungguhpun suamimu terbunuh oleh utusan Harya Panangsang, namun pada hakekatnya Tuhanlah yang menghendaki bahwa suamimu harus kembali ke alam baka. Utusan Harya Panangsang sendiri hanya merupakan lantaran, merupakan jembatannya. Jadi menurut pendapatku, kematian suamimu sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Mana bisa aku harus menentang kehendak ini" Sekarang keberatanku ketiga, Kau bersumpah hendak menuntut balas kepada Harya Panangsang, akan tetapi sekarang, kau datang kepadaku. Kalau aku menuruti permintaanmu sama halnya dengan aku menjadi alatmu untuk menewaskan Harya Panangsang, jadi derajatku tidak ada bedanya dengan si Rangkut utusan Panangsang itu. anakku Nimas Ratu, kau sadarilah hal ini dan serahkan saja kesemuanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kalau kau merasa penasaran, mintalah pengadilan kepada Tuhan Yang Maha Adil."
Nimas Ratu Kalinyamat hanya bisa mencucurkan air matanya mendengar penolakan Sunan Kudus ini. Apa yang dapat ia lakukan" Dia seorang wanita, seorang janda lemah. Apa yang dapat ia perbuat terhadap Harya Panangsang yang muda dan sakti" Satu-satunya orang yang diharapkan, Sunan Kudus menolak permintaan bantuannya. Perih rasa hati Ratu Kalinyamas, hilang harapannya untuk menuntut balas atas kematian suaminya yang ia cintai.
"Duhai Kakang Mas Pangeran?" keluhnya didalam hati melalui cucuran air mata, "Kalau dalam hidup aku tak dapat membalaskan sakit hatimu..., lebih baik aku ikut denganmu" Kakang Mas, kau cabutlah saja nyawa isterimu ini" bawalah aku ikut serta denganmu?" Sambil menangis sepanjang jalan, Ratu Kalinyamat meninggalkan Sunan Kudus dan tidak mau kembali ke Kalinyamat, melainkan terus menuju ke gunung Danaraja. Hiburan para selir dan pelayan tidak dihiraukannya sama sekali dan dapat dibayangkan betapa bingung, dan gelisahnya para selirnya dan pelayan ketika melihat Ratu Kalinyamat itu akhirnya tidak mau meninggalkan gunung Danaraja, bahkan lalu bertapa di gunung ini dalam keadaan yang amat mengenaskan.
"Kalian boleh menjaga disini akan tetapi jangan ganggu aku," katanya kepada para pelayan dan selir yang tadi mengiringkannya. "Aku hendak bertapa disini dan aku bersumpah bahwa sebelum si Harya Panangsang mati, aku akan bertapa telanjang di gunung Danaraja ini."
Duhai Sang Putri Juwita Menyiksa diri di bukit Danaraja
Tidak sehelaipun benang Menutup tubuh yang telanjang
Hanya rambut halus hitam panjang
Terurai dari leher nan panjang
Menutup dada terus kelutut
Tubuh indah terselimut rambut
Karena kebijaksanaannya, Jaka Tingkir yang sekarang sudah menjadi Sultan Pajang, mendapat dukungan banyak senopati dan Adipati, bahkan banyak pula orang-orang pandai sengaja menghambakan diri membantunya mengatur pemerintahan.
Hal ini tentu saja membuat kedudukannya kuat, pemerintahan Pajang dihormati oleh para pembesar diluar Pajang dan keadaan tenteram dan makmur. Diantara para pembantu, selain Ki Patih Mancanegara, Ki Mas Wuragil dan Tumenggung Wilamarta (Ki Wila), ada pula dua orang penasehat yang amat dipercaya, yaitu Ki Panjawi dan Ki Praja atau juga disebut Ki Ageng Pamanahan. Ki Panjawi dan Ki Pamanahan diangkat menjadi senapati yang mengepalai para tamtama. Mereka berdua adalah saudara-saudara angkat yang hidup rukun sekali. Ki Ageng Pamanahan mempunyai seorang putera yang tampan bernama Jaka Danang, juga disebut Sutawijaya. Karena amat sayang melihat anak muda yang tampan, sopan santun dan mewarisi ilmu Ayahnya ini, Sultan Pajang berkenan mengangkat Sutawijaya menjadi putera.
Hal ini bukan semata-mata karena sayangnya melihat pemuda itu, melainkan juga untuk membalas jasa-jasa Ki Ageng Pamanahan. Sutawijaya diangkat menjadi Pangeran dan diberi julukan Pangeran Ngabei Paloring Pasar, berkedudukan tinggi dan mulia. Malah dalam hal pendidikannya, Sultan Pajang sendiri yang mengawasi sehingga Sutawijaya menjadi seorang yang berilmu dan digdaya. Mudah tentu saja Sultan Pajang juga mendengar tentang perbuatan Harya Panangsang tentang sikap Adipati jipang itu yang menantangnya, tentang kematian Pangeran Kalinyamat. Mendengar tentang pembunuhan terhadap Pangeran Kalinyamat, hampir saja Sultan Pajang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ingin ia menggerakan pasukan menyerang Jipang dan menghukum Harya Panangsang. Akan tetapi nasehat-nasehat Ki Pamanahan dan Ki Panjawi meredakan kemarahannya.
"Hendaknya Paduka pikirkan masak-masak tentang penyerangan ke Jipang," demikian kata Ki Pamanahan. "Apabila hal ini dilakukan, para Adipati dan Bupati di lain tempat yang tidak tahu jelas persoalannya, tentu akan merasa tidak senang dan mengira bahwa Paduka bertindak sewenang-wenang, hendak menggencet yang kecil. Urusan pribadi tidak dapat dicampurkan dengan urusan negara, Gusti Sultan. Tak baik kalau sampai Paduka sebagai Sultan Pajang yang baru, menimbulkan kesan seolah-olah Pajang hendak menindih semua kadipaten."
"Akan tetapi, Kakang Pamanahan. Harya Panangsang di Jipang mengeluarkan suara takkan mau tunduk kepada Pajang, memperlihatkan sikap permusuhan. Apakah sikap demikian itu didiamkan saja" Bukankah hal itu akan merendahkan namaku dan menurunkan wibawa dan derajat Pajang?"
"Harap Paduka bersabar. Ada peribahasa yang menyatakan bahwa akhirnya yang becik ketitik (yang baik terbukti) yang ala ketara (yang buruk akan ketara). Biarkan Harya Panangsang melanjutkan kemurkaannya sampai terbukti kejahatannya. Nah, apabila sudah demikian, maka takkan ada yang menyalahkan lagi kalau Paduka turun tangan kepadanya."
Berkat nasehat-nasehat inilah maka Sultan Pajang hanya mengelus dada menahan kesabaran. Bagaimana dengan keadaan di Jipang" Tepat seperti ucapan para arif bijaksana bahwa nafsu tidak pernah mengenal kepuasan, makin dituruti makin dahaga. Biarpun sudah berhasil membunuh Pangeran Kalinyamat dan tidak ada akibat yang buruk terhadap dirinya, tidak ada yang menuntut atau datang mengusahakan pembalasan, namun Harya Panangsang bukannya puas, bahkan makin mengebat gelora nafsunya hendak menumpas orang-orang yang tidak disukainya. Makin besar nyala api keinginannya, yaitu merampas singgasana Sultan Pajang! Betapapun juga Harya Panangsang bukanlah seorang bodoh atau ceroboh.
Tentu saja kalau menurutkan kata hati dan nafsunya, ingin ia sendiri datang berhadapan dengan Sultan Pajang dan menikamkan keris pusakanya, Setan Kober, kepada musuh besar ini. Namun ia cukup maklum bahwa hal ini takkan semudah dibicarakan. Sultan Pajang adalah seorang yang digdaya bekas kepala tamtama dan senapati terkenal. Selain ini, juga tentu di Pajang, Raja ini terjaga kuat sehingga kalau gagal usahanya membunuh Sultan Pajang, ia sendiri akan menderita malu dan malapetaka. Maka pada suatu senja, dipanggilnyalah empat orang kepercayaannya yang bernama Singaprana, Wayangpati, Jagasatru, dan Kertajaya. Empat orang ini terkenal sebagai orang-orang gemblengan, bekas kepala rampok-rampok yang memiliki kedigdayaan dan ditakuti semua orang. Empat orang ini datang menghadap dengan sembah dan hormat mereka.
"Heh, kalian Singaprana, Wayangpati, Jagasatru dan Kertajaya! Sudah lama kalian mengabdi di Jipang, mengganggur dan selalu ditumpuki hadiah, tidak kekurangan makan, pakaian. Sekarang aku hendak bertanya kepada kalian, apakah kesanggupan kalian, untuk membalas budiku?" Empat orang itu saling pandang, lalu serta merta menyembah. Seperti burung-burung mengoceh saling sahut mereka menjawab,
"Hamba sanggup merampas puteri untuk Paduka!"
"Hamba sanggup memukul negara mundur Paduka!"
"Hamba sanggup membasmi musuh-musuh pribadi Paduka!" Akan tetapi jawaban-jawaban itu tidak memuaskan hati Harya Panangsang, atau tidak cukup memuaskan. Hanya jawaban Singaprana yang paling tua dan paling sakti diantara keempat orang itu, berbeda bunyinya.
"Paduka adalah junjungan kami semua, dan sudah banyak yang hamba berempat terima sebagai kurnia Paduka. Oleh karena itu, tidak ada batas bagi kesetiaan hamba berempat. Apa saja yang Paduka perintahkan akan kami lakukan dengan mempertaruhkan raga dan nyawa." Harya Panangsang suka sekali mendengar jawaban ini, maka ia tertawa bergelak sambil mengurut-urut kumisnya.
"Bagus...! Ternyata tidak percuma selama ini aku memelihara kalian, menumpukkan kemuliaan dan kenikmatan kepada kalian. Nah, dengarlah baik-baik, Singaprana. Kau yang kuserahi tugas memimpin tiga orang kawanmu ini. Tugas ini kalau kalian laksanakan dengan baik dan berhasil, kelak akan besar sekali ganjarannya." Sambil berkata demikian, Harya Panangsang menghunus keris pusaka Setan Kober dari pinggangnya. Melihat ini, Singaprana tersenyum dan cepat menyambut keris pusaka itu sambil berkata,
"Paduka memberi keris pusaka, berarti hamba berempat harus membinasakan musuh-musuh Paduka."
"Benar sekali dugaanmu, Singaprana. Apakah kalian berempat sanggup membunuh seorang musuh besarku, siapa juga adanya orang itu?"
"Ha-ha-ha! Gusti sesembahan hamba. Sebutkanlah siapa adanya musuh besar itu. Baik dia itu setan maupun dewa, hamba berempat pasti akan dapat membinasakannya. Apalagi ada Kyai Setan Kober di tangan kami. Ha-ha-ha!" Singaprana tertawa.
"Bukan setan, bukan dewa, dia itu hanya manusia biasa. Bukan lain adalah Sultan Pajang. Berangkatlah dan bunuhlah dia itu!" Berubahlah wajah empat orang tinggi besar dan kuat-kuat itu mendengar nama Sultan Pajang yang dulu bernama Jaka Tingkir, yang pernah membunuh Ki Dadung Awuk hanya dengan satu pukulan saja. Yang mengalahkan kerbau yang mengamuk dan bahkan mengalahkan banyak buaya yang mengeroyoknya! Harya Panangsang tentu saja maklum bahwa empat orang algojonya ini gentar menghadapi Sultan Pajang, maka cepat-cepat ia berkata,
"Kalau kalian tidak bisa membunuh secara berhadapan, lakukanlah pekerjaan ini secara menggelap. Apa sukarnya membunuh orang satu saja" Pula kalian harus ingat, apabila usaha kalian ini berhasil dan kelak aku dapat menjadi Raja, kalian pasti akan kuangkat menjadi pembesar-pembesar tinggi, sedikitnya menjadi Bupati." Mendengar janji ini, empat orang itu sampai berkunang-kunang matanya. Menjadi Bupati! Bergedung indah, pakaian kehormatan, disembah kanan kiri, berpayung emas. Waduuuh! Alangkah mulianya dan muktinya. Seorang bekas kepala rampok menjadi Bupati. Andaikata masih ada keraguan dalam hati mereka menghadapi tugas berat itu, keraguan itu pasti akan sirna oleh janji muluk ini. Setelah empat orang itu menerima hadiah uang dan berangkat melakukan tugas mereka, Harya Panangsang tertawa bergelak. Hatinya riang gembira,
"Awas kau, Jaka Tingkir. Kali ini kau pasti mampus di ujung Kyai Setan Kober. Ha-ha-ha!" Seperti biasa, kalau lagi bergirang Harya Panangsang suka sekali berpacu kuda. "He, pengawal, suruh keluarkan si Gagak Rimang dari kandang!" Tak lama kemudian, nampak Harya Panangsang dengan sigap dan gagahnya sudah berada di atas punggung kuda yang besar dan kuat sekali, seluruh bulunya hitam mengkilap.
"Hayo, Gagak Rimang, larilah! Terbanglah!" Harya Panangsang membunyikan cambuk. Menarik kendali dan mengeprak dengan kaki. Kuda itu meringkik, berdiri di atas kedua kaki belakang, meringkik lagi lalu melompat dan berlari cepat bagaikan terbang. Sebentar saja nampak hanya titik hitam di antara debu mengebul tinggi. Sayup sampai masih terdengar kaki kuda diantara gelak tawa Harya Panangsang
Nafsu ibarat seekor kuda Harus dikekang dan dikendalikan
Baru dapat menguntungkan Apabila ia lepas sesuka Ia akan meliar tak terkendalikan
Dan kau akan diseret ke jurang kehancuran
Bukan merupakan hal yang mudah untuk dapat memasuki Keraton di Pajang, apalagi memasuki kamar Sultan. Sampai tiga hari empat orang utusan dari Jipang itu masih belum berhasil memasuki Keraton. Namun mereka adalah bekas perampok-perampok ulung yang tipu muslihat. Akhirnya, berhasil juga mereka menyelinap masuk ke dalam Keraton dan bersembunyi diistana yang luas itu, menanti datangnya malam gelap dan saat yang baik. Menjelang tengah malam, Singaprana lalu mengeluarkan ilmunya aji sesirepan, yaitu ilmunya para maling yang dipergunakan untuk membuat penghuni rumah tidur nyenyak. Orang biasa yang terkena sirep ini tentu tidur enak dan nyenyaknya.
Akan tetapi empat orang penjahat itu terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri, memandang rendah penghuni istana Pajang. Seorang yang memiliki kesaktian seperti Sultan Pajang, mana dapat dipengaruhi aji sirep segala macam tukang tenung" Malah-malah Sultan Pajang yang pada saat itu belum tidur, merasa adanya sesuatu yang tidak beres. Istri dan para selir serta pelayan sudah tidur pulas, dan Sultan sendiri merasakan sesuatu yang tidak sari-sarinya. Ia tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada orang yang melakukan pekerjaan busuk. Namun dengan penuh kewaspadaan, Sang Prabu malah berpura-pura tidur mendengkur. Jangan dikira bahwa hanya Sang Prabu saja, yang tahu akan maksud keji ini, malah ada dua orang pula yang merasakan hal ini. Mereka adalah Ki Pamanahan dan Ki Panjawi, dua orang kepala tamtama yang juga memiliki ilmu.
"Adimas Panjawi, kita harus berhati-hati. Agaknya ada orang jahat hendak mengganggu."
"Betul, Kakang Mas Pamanahan. Lebih baik kita berkeliling mengadakan pemeriksaan di dalam istana." Jawab Ki Panjawi. Keduanya diam-diam lalu mengadakan ronda. Sementara itu, setelah mendapat kenyataan bahwa di dalam istana tidak ada suara orang lagi, tanda bahwa para penghuninya sudah tidur, empat orang penjahat itu mulai mengatur siasat.
"Aku, Wayangpati, dan Jagasatru memasuki kamar Sang Prabu. Kau harus menjaga di luar, adi Kertajaya menjaga segala kemungkinan." Demikian Singaprana mengatur siasat sambil menghunus keris pusaka Setan Kober.
Juga Wayangpati dan Jagasatru sudah menghunus keris masing-masing lalu mengikuti Singaprana memasuki kamar Sultan Pajang. Adapun Kertajaya dengan senjata di tangan menjaga diluar pintu kamar. Sultan Pajang yang pura-pura tidur melihat tiga orang itu memasuki kamar, akan tetapi sengaja mendiamkannya karena hendak melihat apakah sebetulnya yang hendak mereka lakukan. Ketika tiga orang itu melihat Sang Prabu sedang tidur mendengkur dengan dada terbuka, mereka melihat kesempatan yang demikian baik dan timbullah keinginan hendak memperebutkan jasa. Berdulu-duluan mereka menyerbu, karena siapa yang berhasil membunuh atau menyerang lebih dulu tentu akan menerima hadiah terbesar dari Harya Panangsang! Jagasatru sudah mengayunkan kerisnya dan hampir berbareng dengan keris Wayangpati, keris itu menusuk dada Sultan Pajang!
"Dett! Dett!" Dua batang keris itu yang ditusukkan dengan sepenuh tenaga, terpental seperti menusuk karet yang kuat, sampai-sampai hampir terlepas dari pegangan Wayangpati dan Jagasatru! Dua orang menggigil tubuhnya dan melangkah mundur. Singaprana yang mengandalkan keampuhan keris pusaka Setan Kober, cepat meloncat maju dan menggerakkan keris pusaka yang panas dan ampuh itu, maka cepat bagaikan kilat menyambar, selimut yag menutupi tubuh bagian bawah dikipatkan ke atas oleh Sultan Pajang.
"Werr... bruukkk!" Ujung selimut itu menghantam dada tiga orang penjahat tadi yang seketika terlempar kebelakang dan muntah-muntah darah.
Dada serasa pecah, kepala pening dan pandangan mata berkunang-kunang! Pada saat itu, diluar kamar terjadi pula hal aneh. Kertajaya sedang menjaga diluar, berdiri dengan keris ditangan dan selalu menoleh ke kanan kiri. Entah dari mana datangnya ia sendiri tidak melihatnya, tahu-tahu disebelah kanannya berdiri seorang laki-laki. Cepat ia hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba pipinya digampar orang dari kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat bahwa disebelah kirinya juga sudah berdiri seorang laki-laki. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Ki Pamanahan yang berada di kanannya membat pergelangan tangannya dengan tangan dimiringkan. Kerisnya terlepas dan sebuah pukulan Ki Panjawi yang mengenai pangkal telinganya membuat ia terjungkal tanpa dapat bersambat lagi! Sultan Pajang mendengar suara ribut-ribut di luar kamar, lalu menegur perlahan,
"Siapa diluar itu?"
"Hamba Ki Pamanahan dan Ki Panjawi. Harap jangan kaget Gusti. Hamba berdua menangkap seorang penjahat diluar pintu kamar Paduka." Sementara itu, para puteri terbangun dari tidur dan semua menjadi kaget ketakutan. Dengan halus Sultan Pajang menghibur mereka dan menyuruh mereka ke luar kamar pergi ke ruangan belakang. Kemudian ia mempersilahkan dua orang kepala tamtama itu masuk menyeret Kertajaya yang sudah setengah pingsan. Empat orang penjahat itu mendeprok di lantai, tubuh mereka menggigil dan muka mereka pucat. Sultan Pajang menjumput keris pusaka Setan Kober, menimang-nimangnya di dalam tangan lalu bertanya.
"Kalian berempat ini siapakah, dari mana dan apa artinya perbuatan kalian pada saat ini" Mengakulah!"
Singaprana yang sudah "Mati kutunya", dengan tubuh menggigil dan suara gemetar sambil berlutut lalu berkata, "Ampunkan hamba berempat, Gusti Sultan yang mulia. Hamba adalah Singaprana dan tiga orang ini adalah kawan-kawan hamba bernama Wayangpati, Jagasatru, dan Kertajaya. Ampunkanlah nyawa hamba yang tidak ada harganya. Sebetulnya, hamba hanya takut pada perintah Raden Harya Panangsang Jipang. Hamba diperintah untuk datang dan... dan membunuh Paduka. Ampunkan hamba..."
"Plakk!" Ki Panjawi yang marah sekali mendengar jawaban ini, tak dapat mengendalikan nafsu marahnya, menampar sampai Singaprana roboh terguling.
"Jangan, Kakang Panjawi. Mereka ini hanya utusan. Perbuatan mereka bukan terdorong kebencian kepadaku, melainkan terdorong keinginan mendapatkan hadiah. Yang mendurhaka adalah Harya Panangsang, bukan mereka ini. Kalau mereka ini dibunuh, berarti lenyaplah saksi dan bukti kedurhakaan Harya Panangsang dan seakan-akan kita takut menghadapinya." Sang Prabu lalu mengambil empat potong uang emas, diberikannya kepada empat orang penjahat itu sambil berkata,
"Kalian pulanglah ke Jipang dan laporkan hasil kerjamu kepada Harya Panangsang." Sambil menyembah dan berkali-kali menghaturkan terima kasih, empat orang penjahat itu lalu lari berlari keluar, diikuti pandang mata dua orang kepala tamtama yang merasa penasaran dan heran atas sikap sang prabu yang menurut anggapan mereka terlampau lunak terhadap empat orang penjahat itu. Singaprana dan tiga orang kawannya berlari-lari kembali ke Jipang dan langsung menghadap Harya Panangsang. Melihat empat orang utusannya itu datang dengan muka pucat dan mulut merintih seperti orang kesakitan, hati Harya Panangsang menjadi tidak enak. Ia segera berdiri dari kursinya ketika empat orang itu berlutut menyembah.
"Bagaimana, Singaprana" Berhasilkah tugas kalian berempat" Apakah Sultan Pajang sudah kalian bunuh?" Tanyanya bertubi-tubi seperti hujan turun.
"Ampun beribu ampun kali ampun, Gusti." Jawab Singaprana dengan seperti orang menangis. "Hamba berempat sudah berhasil memasuki kamar Sultan Pajang akan tetapi..." Singaprana berhenti.
"Tetapi bagaimana" Sudah kau penggal leher Sultan Pajang" Sudah kau beri minum kyai Setan Kober dengan darahnya?" Singaprana menjadi pucat sekali, saling pandang dengan tiga orang kawannya yang juga ketakutan. Melihat empat orang itu hanya saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata, Harya Panangsang membanting kakinya diatas lantai sampai tergetar lantai seluruh ruangannya itu, membuat empat orang tadi kaget setengah mati.
"Apa kalian bisu" Hayo jawab!" bentak Harya Panangsang yang mulai marah dengan mata melotot.
"Am" ampun, Gusti. Hamba sekalian su... Sudah berusaha, sudah menikamnya, akan tetapi... Sultan Pajang amat digdaya... kebal dan hamba berempat malah dirobohkan dan ditangkap...!"
"Keparat...!" teriak Harya Panangsang keras sekali, membuat empat orang itu menjadi makin ketakutan hawa kemarahan sudah naik memenuhi dadanya, membuat jantungnya berdetak-detak dan seluruh tubuh terasa panas seperti terbakar. "Kalau kalian ditangkap, bagaimana bisa merangkak kesini?"
"Sang Prabu ternyata amat luhur budinya, Gusti. Hamba berempat tidak diganggu, disuruh pulang dengan baik-baik, malah diberi sangu (bekal) sepotong uang emas seseorang..."
"Bedebah...!!" teriakannya kedua ini makin keras, kini hawa amarah naik lagi sampai ke leher, membuat ke dua telinga dan matanya menjadi merah, bibirnya gemetar dan penuh maki-makian yang tak terucapkan. Dengan mata merah melotot menakutkan Harya Panangsang bertanya lagi, "Mana Kyai Setan Kober" Kembalikan kepadaku!"
"Jahanam!!" Hawa amarah sudah naik ke kepala, membuat Harya Panangsang menjadi makin gelap, mata yang tadi melotot kini disipitkan dan bagaikan seekor harimau ia menerjang maju, kaki tangannya bergerak menendang memukul, disusul jerit kesakitan dan barulah dia hentikan melihat empat orang itu mengeletak di depan kakinya tanpa dapat bergerak lagi dan sudah tak bernyawa pula!
"Hayo seret keluar empat ekor anjing ini!" perintahnya kepada para punggawanya. "Memalukan saja, pekerjaan gagal pusaka ditinggal. Hemmmm?" Beberapa hari kemudian semenjak kegagalan itu, Harya Panangsang nampak marah-marah setiap hari. Kebenciannya terhadap Sultan Pajang bertambah setelah keris pusakanya terjatuh ke dalam tangan musuh besarnya itu, ia tak mau sudah sebelum keris itu kembali kepadanya, belum mau sudah kalau belum berhasil membunuh Sultan Pajang! Diam-diam ia mengumpulkan pembantu-pembantunya dan mengeluarkan simpanan harta bendanya untuk menambah prajurit, untuk melatih bala tentaranya, membuat senjata-senjata seperti tombak, keris dan lain-lain, pendeknya ia sudah membuat persiapan untuk membawa balatentara yang kuat dan besar menyerbu Pajang!
Akan tetapi, maklum betapa pandainya Sultan Pajang mengatur barisan dan berperang, ia hendak berusaha dulu untuk membinasakan Sultan Pajang sebelum menyerbu ke Pajang. Dan untuk maksud ini, ia tidak mau mempercayakannya lagi kepada utusan-utusan lagi. Harus dia sendiri menghadapi Sultan Pajang, karena anggapannya, hanya dia seoranglah yang dapat menandingi kesaktian Sultan Pajang. Untuk maksud ini, Harya Panangsang meminta tolong Sunan Kudus, gurunya. Tentu saja ia tidak berani berterang menyatakan keinginan hatinya di depan Sunan Kudus. Ia hanya hendak menggunakan pengaruh Sunan Kudus untuk memancing keluar Sultan Pajang agar bisa menghadapinya. Ketika ia mengajukan permohonan kepada Sunan Kudus untuk memanggil Sultan Pajang ke Kudus, orang tua itu dengan tenang bertanya.
"Angger, Harya. Kau minta padaku supaya aku memanggil Sultan Pajang kesini, apakah maksud dan kehendakmu?"
"Duhai, Eyang. Saya selalu masih penasaran bahwa Jaka Tingkir dapat menjadi Raja di Pajang, biarpun saya sudah berusaha menerima nasib dan menyabarkan hati. Saya masih belum percaya kalau dia itu betul-betul seorang yang arif bijaksana, tidak percaya akan kemampuannya menjadi junjungan. Maka dari itu, saya mohon bantuan eyang agar supaya saya dapat berjumpa dengan dia disini dan akan saya buktikan sendirilah sampai dimana kebijaksanaannya. Akan saya ajak dia berdebat tentang ilmu kebatinan. Sunan Kudus adalah seorang berilmu. Ia sudah waspada akan jalannya nasib, tentu saja ia dapat menduga apa yang berada dalam hati orang muda ini. Akan tetapi, Sunan Kudus tidak berani menghalangi hukum alam yang tak dapat dielakkan lagi, maka sambil menarik nafas panjang ia menyanggupi. Ditulisnya sepucuk surat dan disuruhnya seseorang murid mengirimkan surat undangan itu ke Sultan Pajang. Sultan Pajang adalah seorang yang menghargai dan menjungjung tinggi para tokoh agama dan kebatinan. Sunan Kudus dianggap sebagai guru sendiri, maka setelah menerima undangan ini, ia segera berangkat ke Kudus, hanya diiringi oleh beberapa orang pengawal.
"Dimas Patih," pesannya kepada Patih Mancanegara, "Aku hendak menghadap Paman Sunan Kudus dan sekalian dalam perjalanan pulang aku hendak menengok keadaan Kakang Mbok (Ayunda) Nimas Ratu Kalinyamat dan Danaraja. Baik-baiklah menjaga ketentraman praja."
Untuk menghormat kedudukan Sunan Kudus, setelah tiba di tempat kediaman orang tua itu, Sultan Pajang memerintahkan agar semua pengawalnya berhenti dan menanti diluar. Dia sendiri lalu berjalan kaki menuju ke pondok Sunan Kudus yang mengundangnya untuk diajak bercakap-cakap tentang ilmu kebatinan, maka karena ingin sekali menambah pengatahuannya dengan mendengar wejangan Kyai itu. Sultan Pajang datang tanpa ragu-ragu lagi. Disamping keperluan itu, juga sekalian Sultan Pajang hendak menuturkan niat busuk Harya Panangsang yang menyuruh empat orang algojo berusaha membunuhnya.
Sultan Pajang hendak minta bantuan Sunan Kudus sebagai orang tua yang dijunjung tinggi, supaya dapat menekan angkara murka yang berada dalam hati dan pikiran Harya Panangsang. Sebagai bukti, ia membawa serta keris Setan Kober yang dirampasnya dari tangan Singaprana. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika ia tiba di ruang tamu pondok Sunan Kudus disitu sudah duduk seorang diri... Harya Panangsang! Orang muda keras hati dari Jipang ini memandang kepadanya dengan muka merah dan sinar mata mengandung kebencian yang hebat. Sebagai seorang yang memiliki batin yang amat kuat. Sultan Pajang segera dapat menindas kekagetan dan keherannya. Malah ia tersenyum manis, matanya bercahaya girang dan wajah berseri-seri.
"Wahai, keponakanku Harya Panangsang! Kau juga berada disini, Raden" Engkau baik-baik dan selamat saja, bukan?" Betapapun kasar dan keras wataknya, Harya Panangsang adalah seorang putera Pangeran yang semenjak kecil sudah diajar tentang tata susila. Maka begitu menyaksikan sikap ramah tamah dan halus dari Sultan Pajang, seketika luluh kekerasannya. Akan buruk sekali kelihatannya dan akan amat merugikan dirinya sendiri kalau ia bersitegang dengan sikap kerasnya. Maka iapun lalu memberi hormat dan menjawab.
"Kiranya Paman Sultan Pajang yang datang. Selamat datang, Paman. Berkat doa restu Paman, keadaan saya baik-baik dan selamat saja. Tak lain salam dan hormat saya persembahkan kepada Paman." Sultan Pajang tertawa lebar.
"Terima kasih Raden. Terima kasih, doa restuku akan selalu mengalir kepadamu seperti sumber air yang tiada keringnya." Dua Paman dan keponakan ini lalu duduk berhadapan.
"Dimanakah Paman Sunan?" tanya Sultan Pajang.
"Eyang Sunan sedang bersembahyang di dalam," jawab Harya Panangsang. "Sebentar tentu akan keluar." Keduanya berdiam lagi, hanya kadang-kadang saling pandang. Tiba-tiba mata Harya Panangsang melihat gagang Setan Kober tersembul dari pinggang Sultan Pajang. Jantung berdebar, tak salah lagi, pikirnya. Tentu Sultan Pajang membawa serta Setan Kober dengan maksud mengadukan perbuatannya kepada Sunan Kudus! Hemmm, pikirannya cepat, sudah terang dia datang bukan dengan maksud baik. Lebih baik aku mendahuluinya sebelum Sunan Kudus keluar. Aku dan dia berhadapan berdua seperti ini" Harya Panangsang lalu menggeser kursinya mendekati Sultan Pajang. Sambil ia menunjuk ke arah perut Sultan dan berkata,
"Paman Sultan, bagus sekali pusaka yang Paman selipkan di pinggang itu. Bolehkah saya melihatnya, Paman?"
"Ah, keris inikah" Kau mau melihatnya" Boleh... Boleh?" Sultan Pajang lalu mencabut keris pusaka Setan Kober, diberikannya kepada Harya Panangsang sambil tersenyum mengejek, menahan gelora hatinya yang panas. Betapa ia takkan merasa panas" Keris itu nyata-nyata milik Harya Panangsang, keris yang tadinya oleh pemiliknya dimaksudkan untuk membunuhnya. Sekarang Harya Panangsang pura-pura tidak mengenalnya malah hendak melihatnya" Setelah keris pusaka Setan Kober berada ditangan Harya Panangsang, Adipati Jipang ini memandang sebentar penuh perhatian, memang maksudnya hendak memeriksa apakah betul itu Setan Kober. Setelah mendapat kenyataan bahwa betul pusakanya, ia berkata dengan suara memancing dan menantang.
"Paman Sultan, apakah keris pusaka ini ampuh?" ucapan ini disusul dengan sikap seperti orang hendak berkelahi dengan menggunakan keris. Sultan Pajang tersenyum, maklum akan maksud harya Panangsang yang secara memutar telah menantangnya untuk menghadapi keris Setan Kober itu, maka serta merta iapun mencabut keris pusakanya sendiri yang diselipkan dibelakang. Setelah keris pusakanya sendiri itu dihunus dan dipegang dengan sikap membela diri, ia menjawab.
"Raden, keris ditanganmu itu memang ampuh. Akan tetapi, masih jauh kalah dengan kerasku ini yang bernama Kyai Carubuk!" Beberapa saat dua orang itu sudah berdiri berhadapan, dengan keris telanjang ditangan, dengan sikap hendak bertanding mengadu keampuhan keris! Dan pada saat itu muncullah Sunan Kudus dari pintu dalam. Kakek itu tertegun berdiri di ambang pintu, kemudian melangkah maju di antara dua orang itu sambil berseru.
"Eh-eh-eh, kalian berdua ini sedang berbuat apa, angger" Apakah kalian dua orang bangsawan agung sedang berjual beli keris pusaka" Sudahlah, lekas simpan pusaka-pusaka itu!" Munculnya Sunan Kudus tentu saja tak memungkinkan terjadinya adu kesaktian dan keampuhan keris di antara Sultan Pajang dan Harya Panangsang. Harya Panangsang merasa kecewa sekali dan mencela diri sendiri mengapa tidak lekas-lekas bertindak sebelum Sunan Kudus keluar. Kesempatan semacam itu, berhadapan dan berdua saja dengan Sultan Pajang, tak mungkin dapat ia temui lagi. Dia menjadi murung dan tak banyak cakap ketika mereka bertiga bercakap-cakap di dalam ruangan, dimana Sunan Kudus berkenan memberi wejangan-wejangan kepada Sultan Pajang dan Harya Panangsang.
"Aduhai Ayunda Ratu Kalinyamat, mengapa Ayunda menyiksa sampai seperti ini?" kata Sultan Pajang
dengan suara terharu ketika ia datang menengok tempat pertapaan Nyimas Ratu Kalinyamat di Bukit Danaraja. Tempat itu penuh dengan tanaman bunga dan tubuh puteri yang telanjang dan berselimut rambutnya yang panjang itu sekarang tertutup pula oleh daun dan kembang melati melibat-libat tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih tetap cemerlang ayu. Sultan Pajang tidak berani mengangkat muka memandang, hanya menundukkan muka dengan penuh keharuan.
"Adimas Sultan," jawab Ratu Kalinyamat dengan suara dingin, "didunia ini aku tidak bisa mengharapkan keadilan manusia, tidak ada yang dapat membelaku dan menuntut pembalasan atas kematian Rakanda-mu Pangeran, apa lagi yang dapat kulakukan kecuali berprihatin, menyiksa diri dan mohon pembelaan Tuhan Yang Maha Adil?" Sultan Pajang merasa tersindir. Dalam kata-kata ini terkandung sesalan bahwa dia tidak bertindak menghukum Harya Panangsang yang telah membunuh Pangerang Kalinyamat secara sewenang-wenang.
"Akan tetapi, Ayunda Ratu. Banyak cara bertapa, banyak cara keprihatinan, mengapa Ayunda menggunakan cara seperti ini" Bukankah hal ini berarti meninggalkan kesusilaan dan amat tidak baik terlihat orang lain" Ayunda Ratu Kalinyamat, demi nama dan kehormatan keluarga kita, kuminta dengan sangat, sudilah Ayunda menyudahi tapabrata ini, sudilah mengenakan pakaian seperti biasa kembali."
"Wahai adidanku Sultan, aku sudah bersumpah selama hidupku aku takkan berpakaian lagi sebelum ada orang yang sanggup membelaku, menuntut balas atas kematian suamiku, sebelum ada orang yang sanggup membinasakan Harya Panangsang yang keji dan khianat. Kau minta kepadaku supaya aku berpakaian kembali, apakah itu berarti bahwa kau sendiri yang suka memberi kesanggupan itu?"
Berkali-kali Sultan Pajang menarik nafas panjang. Tadinya ia masih ragu-ragu untuk memusuhi dan menumpas Harya Panangsang, karena hal ini amat tidak baik demi menjaga kebesaran namanya sebagai Sultan Pajang. Akan tetapi sudah berkali-kali Harya Panangsang membuktikan sikapnya yang hendak memberontak. Bahkan di pondok Sunan Kudus terang-terangan Harya Panangsang menantangnya. Orang seperti itu kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, kelak pasti hanya akan menimbulkan geger dan malapetaka belaka. Demi kemakmuran negara demi keamanan rakyat, aku harus bertindak, demikian jalan pikirannya pada saat itu, tanpa ragu-ragu ia langsung menjawab.
"Baiklah, Ayunda Ratu Kalinyamat. Kusanggupi permintaannya. Akulah yang akan menuntut balas atas kematian Kang Mas Pangeran Kalinyamat kepada si Harya Panangsang." Bukan main girang hati Ratu Kalinyamat mendengar kesanggupan ini. Ia lalu minta pakaian kepada para pelayan dan selir yang menjaga di situ. Setelah berpakaian rapi ia lalu keluar dari tempat pertapaannya menemui Sultan Pajang. Dua orang itu bertangis-tangisan dan Ratu Kalinyamat menghaturkan terima kasihnya. Setelah sekali lagi memperkuat kesanggupannya, Sultan Pajang lalu kembali ke Pajang. Adapun Nimas Ratu Kalinyamat kembali ke Kalinyamat diiringkan para selir dan pelayannya. Setibanya di Keraton Pajang, Sultan Pajang lalu membuka persidangan, dihadapan para Bupati dan Senapati. Setelah membahas secara panjang lebar tentang sikap pemberontakan dari Harya Panangsang, Sang Prabu lalu berkata,
"Kalau aku sendiri yang maju di medan yuda menandingi Harya Panangsang, amatlah tidak baik dan merendahkan. Pertama, aku masih Pamannya sendiri, kedua kalinya, Harya Panangsang hanyalah seorang muda yang berkedudukan sebagai Adipati. Aku maklum bahwa dia adalah seorang yang pandai berperang dan amat digdaya. Akan tetapi akupun percaya penuh akan kesaktian para kawulaku. Oleh karena itu, hitung-hitung untuk menguji kesetiaan dan kedigdayaan para kawula, untuk tugas ini aku menjanjikan bahwa siapa saja yang dapat menandingi dan mengalahkan Harya Panangsang, akan kuberi ganjaran berupa bumi di Mataram dan Pati." Para Bupati dan senapati saling berpandang penuh arti.
Siapakah yang berani menghadapi Harya Panangsang yang terkenal sakti dan ganas itu" Biarpun hadiahnya demikian hebat, bumi di Mataram dan Pati, tentu saja dengan pangkat Adipati! Akan tetapi, tugas itupun amat berbahaya. Mengenangkan Harya Panangsang yang seperti Raden Gatutkaca itu naik kuda hitam Gagak Rimang, memegang keris pusaka Setan Kober membuat para Bupati dan senapati itu merasa ngeri hatinya. Maka tidak seorangpun berani mengajukan diri untuk menandingi Harya Panangsang. Dalam hati mereka berkata bahwa sesungguhnya hanya Sultan Pajang seoranglah yang akan dapat mengimbangi kedigdayaan Adipati muda di Jipang itu. Melihat kebingungan para Adipati dan kemuraman wajah Sultan, Ki Pamanahan dan Ki Panjawi saling lirik, memberi isarat dengan kedipan mata, lalu keduanya maju menyembah di depan Sultan Pajang.
"Eh, Kakang Pamanahan dan Kakang Panjawi, kalian hendak mengajukan usul apakah?" tanya Sang Prabu.
"Ampunkan kelancangan hamba bedua Gusti," jawab Ki Pamanahan. "Setelah mendengar sabda Paduka tadi, hamba pikir memang bukannya pekerjaan ringan untuk menghadapi Raden Harya Panangsang di Jipang. Akan tetapi mengingat akan kekhianatannya, memang sudah seharusnya kalau pemberontak itu diberi hukuman yang setimpal. Maka hamba berdua memberanikan diri, menerima perintah Paduka tadi untuk menghadapi Raden Harya Panangsang." Berseri wajah Sultan Pajang.
"Wahai Kakang berdua yang setia! Tak kunyana kalian sendiri yang hendak turun tangan membasmi kejahatan si Harya Panangsang. Kalian boleh memilih senapati mana untuk membantumu, dan pilihlah barisan tamtama yang paling kuat."
"Hamba hanya mohon perkenan Paduka agar supaya putera Paduka Sutawijaya diperbolehkan membantu hamba sebagai senapati," kata Ki Pamanahan.
"Puteramu Sutawijaya Ngabei Loring Pasar?" Sultan Pajang mengulang, lalu mengangguk-angguk.
"Memang ada baiknya orang muda menghadapi bahaya dan lawan kuat agar mendapat pengalaman, sekalian untuk menguji dan menggemblengnya. Baiklah, Kakang Pamanahan. Kau boleh bawa putera kita ke medan yuda."
"Permintaan hamba hanyalah mohon untuk diperkenankan menggunakan barisan prajurit di Sela." Ki Panjawi berkata. Kembali Sang Prabu mengangguk-angguk. Orang-orang Sela memang terkenal sebagai orang-orang gagah, banyak disitu tinggal murid-murid Ki Ageng Sela yang amat sakti sehingga orang-orang mengabarkan bahwa Ki Ageng Sela pernah menangkap geledek! Benar tidak kabar mujizat itu tak perlu dipersoalkan yang pasti adalah barisan prajut Sela memang merupakan barisan pilihan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sutawijaya atau Ngabei Loring Pasar adalah putera tunggal Ki Pamanahan yang dianggap putera sendiri oleh Sultan Pajang. Pemuda ini telah dewasa, menjadi seorang muda yang gemblengan dan gagah perkasa dan tangkas. Dengan girang Sutawijaya mendengar permintaan Ayahnya, sama sekali tidak merasa gentar sungguhpun ia mendengar juga akan kedigdayaan Raden Harya Panangsang. Seorang satria yang gagah, selalu pantang mundur menempuh bahaya untuk membela negara. Setelah beres mengatur persiapan, berangkatlah barisan Pajang ini menuju ke Jipang. Raden Sutawijaya dengan pakaian perangnya dengan gagah menunggang seekor kuda, menjadi pelopor barisan diiringkan oleh Ki Juru Kiting, Ki Pamanahan dan Ki Panjawi mengepalai barisan Sela dan barisan bantuan para perajurit tamtama di Pajang.
Dengan gagah dan penuh semangat barisan ini bergerak ke Jipang dan berhenti di pinggir bengawan, membuat perkemahan di sebelah barat bengawan. Belum lama mereka berkemah, seorang prajurit menangkap seorang kawula Jipang yang sedang mengarit rumput. Pencari rumput ini ditangkap karena menurut pengakuannya, dia mencari rumput-rumput terbaik untuk Gagak Rimang, kuda kesayangan Raden Harya Panangsang. Segera orang Jipang itu diseret dan dihadapan kepada Ki Pamanahan. Setelah mengadakan pemeriksaan dan ternyata bahwa orang itu betul-betul tukang pencari rumput untuk Gagak Rimang, Ki Pamanahan lalu sengaja mengatur siasat untuk membakar hati Harya Panangsang yang terkenal berangasan (mudah marah) itu. Ia menyuruh orang mengiris daun telinga tukang rumput itu, lalu diusir pergi.
"Masih untung bagimu, kami tidak mencabut nyawamu," kata Ki Pamanahan kepada tukang rumput.
"Pulanglah ke Jipang, pergi menghadap Harya Panangsang dan sampaikan surat penantang kami!" Sambil menangis dan mendekap sebelah telinganya yang putus, tukang rumput itu menyebrang bengawan lalu lari pulang. Kedatangannya di Kadipaten Jipang disambut oleh Patih Mantahun, yaitu Patih di Jipang. Melihat kedatangan tukang rumput di pagi hari sambil menangis dan telinganya putus berlumurah darah, Patih Mantahun merasa heran sekali.
"Kau ini kenapakah" Pagi-pagi menangis dan berlumuran darah. Apakah kau berkelahi dengan orang?"
"Celaka, Gusti Patih?" keluh tukang rumput itu. "Hamba sedang mengarit rumput untuk Gagak Rimang di pinggir bengawan. Tahu-tahu hamba ditangkap oleh prajurit Pajang, telinga hamba diperung (dipotong)..." Ki Patih mengerutkan kening.
"Hemmmm, terlalu sekali prajurit Pajang. Apa kesalahanmu dan apa maksudnya melakukan perbuatan menganiaya?"
"Hamba tidak tahu, Gusti Patih. Banyak sekali bala tentara Pajang berada di sebelah barat sungai, malah banyak senapatinya. Hamba diberi sepucuk surat untuk dihaturkan kepada Gusti Adipati..." Tukang rumput itu sambil meringis-ringis kesakitan mengeluarkan surat penantang Ki Pamanahan kepada Harya Panangsang.
Kaget hati Patih Mantahun mendengar bahwa di kulon kali terdapat balatentara Pajang. Hatinya tidak enak dan cepat-cepat ia membuka surat itu. Makin lama makin merah mukanya membaca surat penantang itu, makin marah hatinya sampai giginya berkerut-kerut. Sementara ia lari ke dalam hendak memberikan surat penantang itu kepada Harya Panangsang. Akan tetapi, setibanya di ruang dalam, ia berhenti karena melihat bahwa Sang Adipati Harya Panangsang sedang makan. Ia menahan kemarahannya dan bersabar menanti di luar sampai junjungannya selesai makan. Akan tetapi pandang mata Harya Panangsang yang tajam sudah melihat berkelebatnya tubuh Patihnya diluar. Segera ia berseru.
"Heh Paman Patih Mantahun! Kau masuklah saja, Paman. Jangan menanti diluar. Biarlah kita bicara sambil makan!" Patih Mantahun tidak berani membatah lalu masuk ke dalam dan duduk menghadap Harya Panangsang yang sudah makan.
"Agaknya ada keperluan penting sekali yang membawa kau datang menghadap, Paman. Pada wajahmu terbayang kemarahan. Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Hamba tidak berani melapor selagi Paduka dahar, Gusti. Biarlah nanti saja kalau Paduka sudah selesai dahar..."
"Ceritakan sekarang!" Harya Panangsang membentak. "Sedang makan atau tidak, apa bedanya" Hayo keluarkan isi hatimu."
"Sesungguhnya telah terjadi hal yang amat menyakitkan dan memanaskan hati, Gusti. Orang-orang Pajang benar-benar sombong. Ketika abdi Paduka tukang rumput mencarikan rumput untuk si Gagak Rimang di pinggir bengawan, orang-orang Pajang menangkapnya, memotong daun telinganya dan menyerahkan surat yang ditujukan kepada Paduka. Inilah suratnya. Patih Mantahun menyerahkan surat itu kepada Harya Panangsang. Karena tangan kanannya dipergunakan untuk makan dan sedang mengepal nasi, Harya Panangsang menerima surat itu dengan tangan kiri, lalu dibacanya.
"Heh, engkau Harya Panangsang!
Tingkahmu keji dan curang
Sombong dan sesat seperti setan
Sampai-sampai berani menghina Sri Sultan,
Heh, engkau, Panangsang setan
Jika nyata kau jantan Keluarlah sebagai satria Mari kita bertanding yuda!"
Muka Harya Panangsang sebentar merah sebentar pucat. Sepasang matanya dibuka lebar, melotot berputar-putar, giginya berkerot-kerot, dan perlahan-lahan ia bangkit berdiri dari kursinya, tangan kiri masih memegang surat dan tangan kanan masih mengepal nasi. Tiba-tiba ia meremas surat itu dengan tangan kirinya sampai hancur, lalu nasi yang dikepal ditangan kanannya ia banting ke atas piring di meja.
"Brak, pyuuuur!" Piring pecah berhamburan, nasi terkepal terus menghantam meja, membuat papan meja menjadi dekok.
"Kepara jahanam si Sutawijaya!" Harya Panangsang memaki-maki penulis surat yang ditandatangani oleh Sutawijaya. "Bocah kemarin sore, bayi masih berbau pupuk, berani kau menghina aku! Patih Mantahun, siapkan bala tentara, susul aku ke bengawan!" Setelah memaki-maki, Harya Panangsang meloncat keluar tanpa mengganti pakaian, menyambar sebatang tombak dipinggir pintu, lalu lari ke kandang kuda. Gagak Rimang tengah makan rumput di kandangnya, dilayani oleh seorang tukang kuda. Kagetlah tukang kuda itu, ketika tiba-tiba Harya Panangsang datang berlari-lari. Ia hendak bertanya, akan tetapi Harya Panangsang mendorongnya kesamping sampai tukang kuda ini terlempar berjungkir balik, kemudian Harya Panangsang dengan tombak di tangan melompat ke punggung Gagak Rimang. Kuda itu meringkik kaget, mengangkat kaki depannya sampai tinggi.
"Hayo, Gagak Rimang. Hayo kita ganyang musuh-musuh kita... Heh, keparat jahanam si Sutawijaya"!" Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, kuda hitam itu meloncat jauh ke depan lalu berlari-lari sekuat dan sekencangnya menuju ke barat, ke arah Bengawan. Saking tak dapat lagi menahan kemarahannya, Harya Panangsang tidak menanti siapnya para perajuritnya, melainkan mendahului membalapkan kuda ketempat musuh! Sebentar saja Gagak Rimang sudah tiba di tepi bengawan, sebelah timur. Dari tepi bengawan Harya Panangsang dapat melihat adanya musuh di seberang. Dengan amarah meluap-luap Harya Panangsang berteriak-teriak.
"Hayohh... Keluarlah Sutawijaya bocah kemarin sore! Aku sudah datang, jangan maju seorang demi seorang, keroyoklah dengan semua barisanmu! Amuk suramrata jajamrata, inilah Raden Harya Panangsang menantang perang. Kalau kalian tidak berani, suruh keluar Sultan Pajang sekalian, biar kutumpas di sini biar kuhanyutkan ke sungai bangkai-bangkainya!" teriakan Harya Panangsang nyaring sekali seperti halilintar. Akan tetapi Ki Pamanahan sudah mengatur siasat dan pasukan di sebelah barat sungai segera bersorak-sorai. Tentu saja suara banyak orang yang disatukan ini menindih suara tantangan Harya Panangsang yang terpaksa mendengar suara mereka.
"Ha-ha-ha, Harya Panangsang. Sumbarmu seperti jago kate, beraninya hanya di tempat sendiri! Kalau betul-betul laki-laki sejati, seberangilah sungai, disini kami akan bikin kau mampus tak dapat bersombong lagi!" Harya Panangsang adalah seorang muda yang tinggi hati dan berwatak keras, terlalu percaya akan kesaktiannya dan berwatak keras, selalu memandang rendah orang lain. Selama hidupnya belum pernah ia menerima tantangan apalagi hinaan orang lain. Sekarang, menerima surat tantangan dari Sutawijaya ia sudah naik darah, apalagi mendengar tantangan dari para perajurit Pajang yang bersorak-sorak menantang dia menyebrang untuk berperang. Malah ada yang memaki-maki kepadanya. Mana ia bisa menahan lagi kesabarannya"
"Keparat orang-orang Pajang! Tunggulah, jangan dikira aku takut!" Dengan keras ia menarik kendali kuda Gagak Rimang dan kuda ini terjun ke dalam sungai! Kuda yang kuat ini berenang di bawah paksaan majikannya dan menyeberangi sungai, dibawah sorak-sorai para perajurit Pajang. Di sebelah bengawan, Sutawijaya sudah siap dengan tombak Kyai Pleret di tangan. Tombak ini adalah tombak pusaka Keraton Pajang yang diberikan oleh Sultan kepadanya untuk senjata dalam peperangan ini. Bukan main ampuhnya Kyai Pleret ini. Adapun Harya Panangsang ketika melihat musuh besarnya yang mengirim surat tantangan, mencabuki kudanya agar berenang makin cepat.
"Sutawijaya bocah kurang ajar, tunggulah kau!" serunya berkali-kali ketika kudanya sudah dekat dengan tepi sebelah barat. Para perajurit menyambut Harya Panangsang yang mendarat dengan hujan tombak. Namun serangan ini dapat ditangkis oleh Harya Panangsang, malah begitu kudanya sudah melompat ke darat, ia segera mengamuk. Tombak ditangannya diputar bagaikan kilat menyambar-nyambar dan prajurit-prajurit yang menyambutnya roboh bergelimpangan! Bukan main hebatnya sepak terjang Harya Panangsang. Satu dua ujung tombak yang menyerempet tubuhnya, ada yang kembali, ada yang menyeleweng, tidak dapat melukai kulitnya yang kebal!
"Babo-babo! Hamuk suramrata jayamrata! Orang-orang Pajang, keroyoklah aku!" Sutawijaya menunggang seekor kuda betina yang muda, ini termasuk siasat yang diatur oleh Ki Pamanahan. Ketika Gagak Rimang melihat kuda betina yang "Cantik" ini, Gagak Rimang mengeluarkan suara ringkikan keras meloncat ke arah kuda Sutawijaya dengan lompatan tinggi sekali, maksudnya hendak mengejar. Gagak Rimang menjadi binal dan liar, tak dapat dikendalikan oleh Harya Panangsang. Kesempatan yang amat baik ini dipergunakan oleh Sutawijaya untuk menggerakkan tombak pusaka Kyai Pleret, menyerang cepat sekali. Harya Panangsang yang tak berdaya dan kacau gerakannya oleh binalnya Gagak Rimang, tak dapat mengelak dan... dengan tepat sekali tombak pusaka Kyai Pleret mengenai lambungnya.
"Bless"!!" Tombak dicabut dan... keluarlah usus putih dari lubang luka di lambung itu. Bukan main digdaya dan gagahnya Harya Panangsang. Luka yang hebat ini tidak merobohkannya, malah ia lalu
memegang ususnya dan membelitkan usus ini pada gagang kerisnya sebelah belakang. Kemudian ia mengamuk lagi! Kegagahan yang tiada taranya ini membuat gentar dan ngeri para prajurit Pajang. Orang-orang gemblengan dari Sela yang mengeroyoknya, banyak yang roboh terjungkal dan tewas diujung tombak Harya Panangsang. Gagak Rimang yang sudah liar karena kuda betina tunggangan Sutawijaya, terkena tombak lawan dan roboh. Harya Panangsang meloncat sigap turun dari kuda dan melanjutkan amukannya bukan seperti manusia lagi, melainkan seperti iblis mengamuk.
Matanya merah melotot, bibir digigit, muka merah, semerah tombaknya yang sudah berlepotan darah musuh. Sutawijaya yang melihat banyak prajurit menjadi korban, meloncat turun dari kudanya dan memberi aba-aba supaya semua prajurit mundur. Dia sendiri lalu menghadapi Harya Panangsang. Dua orang muda perkasa ini mulailah bertanding, mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengeluarkan seluruh tenaga untuk merebut kemenangan. Nyaring suara dua batang pusaka beradu, sampai kadang-kadang mengeluarkan bunga api berpijar. Keduanya adalah satria gemblengan yang semenjak kecil mengejar ilmu keperwiraan dari guru-guru pandai. Betapapun juga, ternyata Sutawijaya yang jauh lebih muda itu kalah kuat oleh Harya Panangsang yang memang luar biasa sekali kekuatannya.
Pada saat dua batang tombak bertemu dengan amat kuat dan kerasnya, Sutawijaya merasa tangannya bergetar dan terlepaslah tombak pusaka Kyai Pleret dari tangannya. Akan tetapi, juga tombak di tangan Harya Panangsang yang kalah ampuh mengeluarkan bunyi keras dan patah! Sebelum Sutawijaya dapat menetapkan hatinya yang terguncang, tahu-tahu Harya Panangsang sudah menyerbu dan menerkamnya. Tangan kirinya yang amat kuat berhasil menangkap leher Sutawijaya, mencekiknya sambil memutar batang leher ke belakang. Sutawijaya berusaha sekuat tenaga untuk memberontak dan melepaskan diri, namun tidak mudah melepaskan diri dari cengkeraman Harya Panangsang. Semua prajurit, termasuk Ki Pamanahan dan Ki Panjawi yang tadinya bersorak-sorai memberi semangat kepada Sutawijaya, menjadi pucat melihat bahaya ini.
"Ha-ha-ha, Sutawijaya bocah kemarin sore. Kau mau lari kemana sekarang" Bersiaplah untuk mampus ditanganku!" Tangan kanan Harya Panangsang yang kuat itu cepat meraba gagang keris Pusaka Setan Kober dan mencabut dari sarungnya.
"Srettt...! aduh mati aku...!" Ternyata Harya Panangsang yang terlalu kegirangan karena kemenangan, lupa akan ususnya yang tadi sudah keluar dari lobang luka lambungnya dan ia libatkan pada gagang keris.
Ketika ia mencabut Setan Kober, tak dapat dicegah lagi usus itu terkena keris, menjadi putus seketika! Terlepas cekikan Harya Panangsang pada leher Sutawijaya yang cepat melompat mundur sambil meraba lehernya yang terasa sakit. Adapun Harya Panangsang mengaduh-aduh, terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh duduk dalam keadaan kaku. Keris Setan Kober yang tadi tak jadi dicabut kembali kedalam sarung, terlibat usus putih. Ketika Sutawijaya, Ki Pamanahan, dan Ki Panjawi mendekati, ternyata Harya Panangsang telah mati dalam keadaan duduk dan tubuhnya kaku karena tadi ia mengeluarkan seluruh daya tahan dan kekuatannya untuk melawan maut yang merenggut nyawanya! Kagumlah semua orang menyaksikan hal ini. Sutawijaya memandang dengan wajah pucat kemudian ia berlutut dan menitikkan air mata.
"Aduh Kakang mas Harya Panangsang" alangkah gagahnya engkau..." Ki Pamanahan menarik nafas panjang, lalu berkata,
"Memang ia gagah perkasa, sayang menyeleweng dari pada kebenaran. Angger Sutawijaya, kau lihat, bukankah amat gagah dan tampan Kakang Masmu Harya Panangsang dengan hiasan putih-putih pada kerisnya itu" bukankah kelihatan seperti gagang keris terhias ronce-ronce kembang melati" Biarlah mulai sekarang agar kelihatan gagah dan tampan seperti Harya Panangsang para pengantin pria seyogianya memakai ronce-ronce kembang melati pada gagang kerisnya!" Dengan penuh penghormatan Harya Panangsang yang sebetulnya masih kadang (keluarga) sendiri dirawat. Pada saat itu, terdengar sorakan dari seberang sungai. Ternyata Patih Mantahun datang membawa pasukan dari Jipang, mengejar Harya Panangsang. Ketika mendengar junjungan sudah tewas, Patih Mantahun marah sekali dan menjadi nekat.
Ia memberi aba-aba dan semua pasukan Jipang menyebrang sungai, menyerbu. Terjadilah perang tanding yang hebat, namun bala tentara Jipang bukan tandingan orang-orang Sela dan Pajang. Sebentar saja banyak yang tewas. Ketika Patih Mantahun akhirnya roboh dan tewas dibawah hujan senjata, sisa pasukan Jipang menyerah. Dengan membawa kemenangan besar, balatentara Pajang kembali ke Pajang. Girang dan bersyukur rasa hati Sultan Pajang ketika mendengar laporan bahwa Harya Panangsang sudah tewas dan orang-orang Jipang sudah takluk. Segera ia memberi warta ke Kalinyamat. Warta ini diterima oleh Nimas Ratu Kalinyamat sambil menangis, ingat suaminya. Di dalam persidangan berikutnya, Sultan Pajang berkenan menghadiahkan daerah Pati kepada Ki Panjawi sesuai dengan janjinya, dan mengangkat Ki Panjawi menjadi Adipati di Pati.
"Kakang Pamanahan, harap kau suka bersabar dulu. Bumi Mataram masih belum baik keadaannya. Kelak kalau sudah ada kemajuan di sana, pasti akan kuserahkan kepadamu. Sementara ini kau lanjutkan dulu pekerjaan dan kedudukannya disini." Ki Panjawi menerima ganjaran itu dengan hati penuh kebahagiaan dan terima kasih. Akan tetapi, Ki Pamanahan merasa kecewa sekali karena sang Prabu seakan-akan hendak mengulur-ulur janji. Namun di dalam persidangan itu tentu saja dia tidak berani menyatakan sesuatu selain daripada menerima semua keputusan raja.
Akan tetapi setelah pulang ke pondokannya sendiri Ki Pamanahan merasa sedih dan malu. Seluruh abdi dan kawula di Pajang sudah mendengar tentang janji Sultan bahwa kalau ia berhasil mengalahkan Harya Panangsang, ia akan diberi ganjaran bumi mataram. Dan seluruh abdi dan kawula Pajang sekarang tahu pula bahwa janji ini tidak dipenuhi, bahwa jasanya disia-siakan. Hal ini membuat Ki Pamanahan makin lama makin tidak betah di Pajang, lalu bertapa di dusun kembanglampir, mohon pengadilan Yang Maha Adil atas ketidakadilan. Sebetulnya apakah yang menjadi alasan Sultan Pajang tidak segera memenuhi janjinya dan memberi ganjaran kepada Ki Pamanahan" Apakah semata hanya karena keadaan bumi Mataram belum ramai sebagaimana yang dinyatakan oleh Sang Prabu dalam persidangan"
Sesungguhnya bukan demikianlah halnya. Sang Sultan adalah seorang yang arif bijaksana, tentu saja cukup maklum bahwa menarik kembali janji adalah perbuatan tidak layak, tidak patut sekali, apalagi bagi seorang raja. Hal itu sengaja dilakukan oleh Sultan karena sayang kalau Ki Pamanahan harus berpisah dari sampingnya. Ki Pamanahan adalah seorang pembantu yang luar biasa cakapnya. Orang seperti ini lebih baik ditarik dekat-dekat dengannya untuk bantu mengurus pemerintahan di Pajang daripada ditempatkan jauh menjadi Adipati. Kalau berada di dekatnya Ki Pamanahan akan merupakan tenaga bantuan yang setia dan jarang dapat ditemukan bandingannya, sebaliknya kalau berada di tempat jauh dan berdiri sendiri, dapat merupakan bahaya besar, apalagi kalau sampai dipengaruhi orang-orang seperti Harya Panangsang.
Pada waktu itu islam mulai berkembang luas dan kedudukan para tokoh penyebar agama Islam amat dimulyakan, bukan saja oleh rakyat jelata, bahkan oleh Raja-Raja pula. Di antara para tokoh besar dalam agama islam adalah Sunan Kalijaga, seorang yang sakit murid Sunan Bonang dan menjadi penyebar agama islam. Sunan Kalijaga bernama Joko Setya, putera Adipati Harya Teja di Tuban. Seperti juga para ulama yang lain, Sunan Kalijaga berkunjung ke berbagai tempat untuk meluaskan ajaran agam islam. Pada suatu hari Sunan Kalijaga mendengar tentang keadaan di Pajang, tentang janji Sultan yang tidak ditepati dan tentang Ki Pamanahan yang berprihatin di dusun Kembanglampir. Segera Sultan Kalijaga pergi ke Kembanglampir menemui Ki Pamanahan. Melihat kedatangan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan segera memberi hormat. Atas pertanyaan Sunan Kalijaga, dengan terus terang Ki Pamanahan menceritakan tentang pelanggaran janji Sultan Pajang.
"Paman Kyai, saya sudah tidak tahan mengabdi kepada Raja yang ingkar janji." Ki Pamanahan menutup kata-katanya. Sunan Kalijaga tersenyum.
"Kalau keliru, Ki Pamanahan. Biarpun berbeda kedudukannya, kau dan Sultan Pajang masih terhitung seguru, kenapa kau tidak mau terus terang saja, menyatakan isi hatimu kepadanya" Hayolah, kuantar kau menghadap Sultan Pajang. Tidak baik menyimpan dendam di hati. Apalagi di antara kau dan Sultan. Ki Pamanahan tak berani menolak ajaran ini, apalagi memang ia merasa bahwa ucapan kakek sakti ini memang tepat sekali. Berangkatlah mereka menuju ke Pajang dan masuk ke dalam keraton menghadap Sultan yang sudah diberi tahu akan kedatangan mereka dan cepat-cepat keluar menyambut. Setelah berhadapan dan mengambil duduk sesudah bersalam-salaman. Sunan Kalijaga, sesuai dengan wataknya yang berterus terang, segera berkata,
"Anak Prabu Sultan, kalau seorang Raja mengingkari janjinya terhadap kawula dan abdi, maka amatlah tidak baik dan hal itu akan menyuramkan cahaya kebesaran kerajaannya. Apalagi dalam hal urusan di Pajang ini menyangkut soal janji anugerah sebagai balas jasa. Bumi Mataram yang sudah dijanjikan kepada Ki Pamanahan, seyogyanya harus dilakukan demi menjaga jangan sampai kepercayaan rakyat terhadap Raja menjadi berkurang." Dengan muka merah karena malu, Sultan Pajang menarik napas panjang lalu menjawab.
"Sungguh tepat apa yang diucapkan oleh Paman Sunan. Memang sebetulnya bukan sekali-kali saya hendak mengingkari janji kepada Kakang Pamanahan, melainkan karena bumi Mataram masih merupakan daerah berhutan dan belum reja (banyak penduduknya). Akan tetapi, kalau Kakang Pamanahan menghendaki, tentu saya tidak akan mengingkari janji dan tidak akan menaruh keberatan untuk memberikan bumi Mataram kepadanya. Kebetulan sekali sekarang Paman Sunan hadir disini, maka saya mohon Paman menjadi saksi akan sumpah Kakang Pamanahan bahwa kelak Kakang Pamanahan tidak akan berkhianat kepada Kerajaan Pajang." Tanpa ragu-ragu lagi Ki Pamanahan lalu bersumpah.
"Saya bersumpah di hadapan Gusti Sultan dan Paman Sunan Kalijaga bahwa apabila kelak saya berkhianat kepada kerajaan Pajang biarlah Tuhan menghukum saya dan saya tidak akan selamat." Selesailah pertemuan itu dan Sultan Pajang dengan sah memberikan bumi Mataram kepada Ki Pamanahan, memberi gelar Adipagi Ki Ageng Pamanahan. Ki Ageng Pamanahan dengan gembira lalu memboyong seluruh keluarganya termasuk Ki Jurumartani, puteranya yaitu Sutawijaya atau Ngabei Loring Pasar, dan para pembantu-pembantunya yang setia, seluruhnya dengan semua semangat bernyala dan penuh kegembiraan mereka berangkat meninggalkan Pajang menuju ke tempat tinggal mereka yang baru, Mataram! Sultan Pajang menyaksikan keberangkatan ini, merasa perih hatinya dan entah mengapa, ia merasa berduka dan kehilangan, wajahnya muram.
Seakan-akan keberangkatan rombongan Ki Ageng Pamanahan dari Pajang ke Mataram ini mendatangkan alamat yang buruk terhadap Pajang. Seakan-akan dengan pindahnya Ki Pamanahan dan Sutawijaya, ikut pindah pula wahyu kerajaan karena dalam diri Ki Pamanahan, Sutawijaya, Jurumartani dan yang lain-lain itu Sultan Pajang mendapatkan tenaga-tenaga yang amat pandai dan boleh dipercaya. Memang tidak keliru pendapat itu, berkat kebijaksanaan Ki Ageng Pamanahan, bumi Mataram yang tadinya sunyi, setelah dibuka olehnya menjadi ramai, makin lama makin makmur, banyak orang berbondong-bondong datang untuk bertempat tinggal dan bekerja di daerah ini. Hutan-hutan dibuka, dusun-dusun dibangun hingga sebentar saja Mataram terkenal sebagai daerah yang subur makmur, murah sandang pangan, tata tenteram kerta raharja.
Sayang sekali, beberapa tahun kemudian, Ki Ageng Pamanahan meninggal dunia. Seluruh penduduk Mataram berbelasungkawa. Ki Jurumartani lalu mewartakan berita duka ini ke Pajang dan mohon keputusan Sultan Pajang siapa yang diwajibkan menggantikan kedudukan Ki Ageng Pamanahan di Mataram. Tentu saja Sultan Pajang menjadi sedih sekali, dan disamping pernyataan belasungkawa, Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya supaya menggantikan kedudukan Ayahnya dan diberi gelar Panembahan Senapati. Adapun Ki Jurmartani diangkat menjadi patih di Mataram membantu tugas panembahan Senapati yang menjadi putera angkat Sultan Pajang. Sang Prabu memesan agar supaya makin hebat usahanya untuk membikin Mataram menjadi negara yang besar dan makmur.
Tidak sedikit para bangsawan di Pajang yang kini memalingkan mukanya ke arah Mataram dengan penuh harapan. Terutama mereka yang diam-diam masih menaruh dendam dan merasa keberatan dengan duduknya Jaka Tingkir sebagai Sultan Pajang dan selama ini tidak berani menyatakan ketidaksenangannya ini dan menyimpan perasaan itu dalam hati saja. Melihat sekarang Mataram makin kuat dan makin makmur, mulailah hati mereka bercabang. Diantara para bangsawan ini terdapat seorang bangsawan berpangkat tumenggung, yaitu tumenggu Mayang. Tumenggung ini mempunyai seorang putera yang amat tampan, bernama Raden Pabelan. Pemuda ini menjadi kembang bibir para puteri, menjadi pujaan hati para wanita seperti Jaka Tingkir di waktu muda dahulu. Memang Raden Pabelan amat tampan, halus gerak-geriknya, manis tutur sapanya. Sungguh patut disayangkan bahwa dibalik semua kebagusan ini, tersembunyi waktu yang kuran baik, yaitu watak mata keranjang, tak boleh melihat wanita cantik.
Setiap hari pemuda tampan ini hanya berkeliaran menjual tampang bersolek dan menggoda wanita-wanita cantik. Dalam mengejar wanita cantik, Raden Pabelan tidak memilih bulu, tidak perduli apakah wanita itu masih gadis, sudah punya suami, sudah punya anak, dari keluarga bangsawan maupun keluarga petani. Asal cantik manis, sebelum mendapatkan wanita itu ia tidak mau sudah! Tentu saja sifat yang buruk dan jahat ini membuat ia dibenci orang, biar dia setampan arjuna sekalipun. Melihat kelakuan puteranya, Tumenggung Mayang menjadi sedih dan gelisah. Sudah berkali-kali Ayah ini memarahi dan memberi nasehat puteranya, namun sia-sia belaka. Pada suatu hari Ayah yang sudah marah ini memanggil puteranya, dimarahi dan di caci makinya. Kemudian Tumenggung Mayang memberi nasehat.
"Pabelan, puteraku. Kau harus mengerti bahwa kalau seorang Ayah memarahi anaknya, itu berarti bahwa si anak menyeleweng daripada kebenaran, setidaknya demikian menurut anggapan si Ayah. Aku sendiripun pernah menjadi orang muda, pernah merasakan betapa nafsu dalam diri bergejolak sukar tertahankan oleh kekuatan batin. Akan tetapi seorang manusia tidak merendahkan diri sampai seperti seekor binatang. Binatang tahu akan tata susila, tidak tahu akan akal budi dan hanya bergerak menuruti semua rangsangan nafsu dan perasaannya. Namun justru karena binatang tidak berangan-angan, maka nafsu datang pada tubuhnya secara wajar menurut hukum alam. Maka kalau manusia tidak dapat mengendalikan nafsunya, dan menjadi hamba nafsunya sendiri dia malah lebih rendah daripada binatang. Binatang tidak tahu akan tata susila. Sebaliknya kalau manusia yang berakal dan tahu akan tata susila lalu melanggarnya, bukankah dia lebih rendah daripada binatang?" Raden Pabelan seringkali dimarahi Ayahnya, akan tetapi tidak seperti pagi hari itu, maka dia hanya menundukkan mukanya yang tampan.
"Ketahuilah, anakku. Nafsu bersifat seperti api bernyala. Kalau pandai menusia mengendalikannya, maka dia boleh dipergunakan dan mendatangkan nikmat dan manfaat. Namun awas, kalau dibiarkan, tiak diawasi dan dikendalikan, seperti juga api menyala nafsu bisa membakar diri, membakar hangus jasmanis rokhani dan mendatangkan kehancurleburan yang mengerikan!"
"Aku sudah menerima salah, Ayah. Harap Ayah sudi mengampuni dan selanjutnya aku akan menaati perintah Ayah," Akhirnya Raden Pabelan menjawab sedapatnya karena tidak tahu bagaimana harus menjawab di depan Ayahnya yang sedang marah itu. Tumenggung Mayang menarik nafas panjang.
"Entah sudah berapa kali kau minta ampun, Pabelan..., Pabelan", jangan kau membikin susah hati Ayahmu. Kalau kau memang sudah ingin beristeri, kau pilihlah gadis mana yang kau sukai untuk dijadikan selir, puteri mana yang kau pilih menjadi isteri. Kau tinggal tunjuk saja dan aku yang akan meminangkannya untukmu."
"Betulkah Ayah dapat meminangkan puteri yang saya pilih?"
"Tentu saja. Daripada melihat kau mengganggu anak bini orang, lebih baik aku melihat kau menjadi suami dan kepala rumah tangga yang baik. Katakan saja, puteri mana yang kau inginkan menjadi isterimu?"
"Ayah, sudah lama saya tergila-gila kepada Puteri Retnaningpura..." Tumenggung Mayang sampai berdiri dari kursinya saking kagetnya mendengar jawaban puteranya ini.
"Apa... " Kau maksudkan Puteri Sekardaton, puteri Gusti Sultan...?" Raden Pabelan mengangguk.
"Kalau tidak bisa mendapatkan dia, lebih baik selamanya aku tidak menikah dan hidup seperti biasa..." Pemuda itu sengaja mengambil untuk mendesak Ayahnya. Tumenggung Mayang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sukar... Sukar... Kau hanya putera Tumenggung, mana bisa merindukan puteri Raja" Akan tetapi ada jalannya, Pabelan. Asal kau dapat membuktikan bahwa puteri Sekardaton itu suka kepadamu. Hemmm... Kiranya Sang Prabu takkan terlalu kukuh akan kedudukan. Usahakanlah agar supaya kau dapat mendekati sang puteri dan dapat menjatuhkan hatinya..." Tumenggung Mayang adalah seorang yang gila pangkat, terbayang di depan matanya bahwa kedudukannya tentu akan menaik tinggi sekali kalau puteranya bisa berjodoh dengan Puteri Sekardaton, yaitu Puteri Retnaningpura. Demikianlah, Ayah yang gila kedudukan dan anak yang gila kecantikan bersekutu, sama-sama lupa bahwa mereka telah diperbudak oleh nafsu seperti yang tadi di wejangkan oleh Tumenggung Mayang sendiri kepada puteranya! Memang begitulah, segala ilmu memang mudah dipelajari, segala pengertian tentang kebajikan dan filsafat hidup mudah didapat,
Segala kata-kata indah dapat dengan mudah diucapkan mulut, namun yang paling sukar dan tidak sembarangan manusia dapat melaksanakannya adalah perbuatan yang sesuai dengan segala ilmu dan pengertian itu! Oleh karena inilah maka para cerdik pandai dan arif bijaksana seringkali menyatakan bahwa baik buruknya manusia sama sekali tidak dapat dinilai daripada kata-kata yang diucapkannya, melainkan sikap dan perbuatannya. Sekali lagi sikap dan perbuatan! Karena sikap dan perbutanlah yang menjadi bukti daripada kepribadian seseorang. Setelah berdamai dengan Ayahnya bagaimana siasatnya untuk berhasil mendapatkan puteri Sekardaton sebagai isterinya. Raden Pabelan yang tampan lalu mencari akal. Dia sudah banyak pengalamannya dalam hal memikat dan menjatuhkan hati wanita, dan semua ini sekarang hendak ia pergunakan dalam usahanya memikat hati Sang Puteri.
Seorang wanita muda keluar dari gapura keputren membawa sebuah keranjang kosong tempat kembang. Wanita ini masih muda, berkulit agak kehitaman, matanya lebar dan dipipi kanannya terdapat sebuah tanda hitam yang disebut tembong. Dari dandanannya mudah diketahui bahwa ia seorang emban (semacam pelayan) keputren. Memang dia adalah Emban Tembong. Langkahnya saja dibuat-buat meniru langkah seorang puteri, bibirnya tersenyum dan matanya lebar mengerling ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba ditikungan jalan yang sunyi, seorang laki-laki muda belia menyelip keluar dari balik pohon dan menegur.
"Aduh, aduh... kalau gusti puterinya ayu, embannya saja kok manis bukan main!" Emban Tembong kaget setengah mati sampai ranjangnya terlepas dari pegangan. Ia membalik dan memandang anak muda itu, kedua tangan ditekannya di dada kiri.
"Walah...! Sampai hampir copot jantung yang muncul... eh, maaf... Kiranya Raden Pabelan yang menegur hamba..." Senyumnya diperlebar, kerling mata memain, bukan main genitnya, membuat Raden Pabelan, pemuda itupun menjadi amat geli di dalam hatinya.
"Kau sudah mengenalku...?" Tanya Raden Pabelan.
"Siapa yang tidak mengenal Raden Bagus Pabelan, satria yang elok dan seperti Sang Harjuna?" Emban Tembong memuji genit.
"Hushh" janga main-main, kau" Raden Paelan sengaja memegang emban itu yang tentu saja menjadi girang bukan main. Semua puteri membicarakan pemuda tampan ini!, Siapa kira sekarang, dia memegang tangannya! Akan dijadikan kebanggaan kelak, akan diceritakan kepada semua orang!
"Aku bicara sungguh-sungguh, Emban. Dengarkanlah baik-baik, aku girang sekali bahwa kau mengenalku. Bukankah kau ini emban kepercayaan Sang Puteri Sekardaton?" Emban Tembong bukan seorang bodong. Tak mungkin seorang satria seperti "Ada maksud" kepadanya. Pertanyaan tentang gusti puterinya ini saja cukup menunjukkan kemana angin bertiup.
"Kalau betul, kau mau apakah, Raden?"
"Sssttttt..., mari kita bicara orang lain, ditempat sunyi agar jangan ketahuan orang lain." Raden Pabelan menarik tangan emban itu lalu mengajaknya ketempat yang sunyi jauh dari jalan raya. Ketika emban itu berpura-pura tidak mau, ia mengeluarkan gelang emas.
"Kau mau ini" Untukmu nanti..." Penolakan pura-pura itu lenyap seketika dan Emban Tembong segera mengikut Raden Pabelan.
"Emban Tembong, aku membutuhkan pertolonganmu. Aku rindu sekali gusti puterimu, aku tergila-gila sampai lupa makan lupa tidur?"
"Hush, orang lupa makan kok badannya masih sebegini" Lupa tidur kok masih bening?"
"Hush, jangan main-main kau. Nih, terimalah gelang ini, dan kelak masih banyak hadiah lain. Kau bantu aku, perkenalkanlah namaku kepada Sang Puteri. Bujuk dia supaya menerima kunjunganku ke taman untuk... belajar kenal!"
"Idiiih, seorang pria kok mau memasuki taman keputren?" Emban Tembong berseru, pura-pura kaget dan takut. Memang pada saat itu, kalau seorang pria berani memasuki taman keputren hukumannya adalah mati!
"Emban Tembong, aku rindu kepada Gusti puterimu, aku cinta kepadanya dan katakan semua perasaanku kepadanya. Kalau kau berhasil" kalau kelak aku bia menjadi suami Sang puteri, jangan kau khawatir. Aku Raden Pabelan takkan melupakan jasa-jasamu. Kau akan kuangkat menjadi..."
"Menjadi apa, Raden?" Melihat muka emban itu berkerut kecewa, Raden Pabelan cepat-cepat mencubit dagu emban itu dan berkata,
"Bukan itu! Kalau berhasil kelak kau kuambil " selir!" Hampir pingsan Emban Tembong mendengar janji ini. Terbayang di depan matanya betapa ia menjadi selir Raden Pabelan, dengan pakaian serba indah, mempunyai banyak perhiasan, disembah-sembah oleh emban. Dan kalau sebagai menantu Raja kelak Raden Pabelan menggantikan kedudukan Ratu Prabu, waaaah, dia menjadi selir raja! Melihat bahwa umpannya sudah berhasil, Raden Pabelan lalu mengeluarkan benda-benda yang sudah disiapkan terlebih dahulu untuk maksud ini.
"Tentu saja janjiku itu semua hanya berlaku kalau kau berhasil membantuku. Kalau tidak berhasil dan sampai kau membocorkan rahasia kia berdua ini, hemm, jangan kira aku takkan dapat menigas janggamu (memenggal batang lehermu)! Nah, kau lihat ini. Kembang ini kau campurkan dengan bunga rampi yang disebar di tempat tidur Sang Putri. Air kembang ini kau campurkan dalam kolam mandi Sang Putri, dan apabila mendapat kesempatan, kau bakar dupa ini di dalam kamarnya. Jangan lupa, bujukan-bujukanmu dapat membantu untuk tercapainya kedudukanmu yang mulia kelak."
Dengan hati berdebar dan tangan menggigil, Emban Tembong menerima semua alat guna-guna ini, kemudian mereka berpisah. Besar hati Raden Pabelan melihat umpannya berhasil. Ia tidak tinggal diam begitu saja, mengandalkan pengaruh guna-gunanya dan mengandalkan bantuan Emban Tembong semata. Ia berunding dengan Ayahnya dan orang tua ini mempergunakan kedudukannya dan pengaruhnya sehingga pada saat-saat yang dibutuhkan, puteranya ini akan dapat memasuki taman keputren melalui para penjaga yang sudah dipengaruhi dengan hadiah dan sogokan! Entah karena pengaruh guna-guna yang dipasang Raden Pabelan, entah pula karena pandainya Emban Tembong membujuk-bujuk dan memuji-muji ketampanan dan segala macam kebaikan Raden Pabelan didepan Sang Putri, akhirnya sang Putri Retnaningpura tertarik pula hatinya.
Memang sudah lama ia mendengar tentang ketampanan Raden Pabelan dari mulut para emban dan puteri lain, sekarang mendengar bujuk-bujukan dan puji-pujian dari mulut embannya yang menjadi emban kepercayaannya, ambruknya pertahanan tata susila di dalam hatinya. Ia bahkan mau menerima sepucuk surat dari Raden Pabelan yang sudah tentu saja seperti siasat yang dipergunakan pria untuk memikat wanita sejak jaman dahulu sampai sekarang, isi surat itu adalah puji-pujian muluk untuk Sang Putri, keluh kesah sambat mati dari sang pria kalau tidak terlaksana kasih hatinya, kemudian mohon perkenan untuk mengadakan pertemuan! Tadi sudah dinyatakan, entah hasil ini karena pengaruh guna-guna ataukah bujukan mulut berbisa si emban, namun yang sudah jelas sekali adalah karena tipisnya pertahanan batin sang puteri menghadapi bujukan nafsu hatinya sendiri.
Pada suatu senja yang cerah, setelah mengadakan perjanjian rahasia dengan emban Tembong yang melihat bahwa saatnya telah tiba untuk mempertemukan sang puteri dengan Raden Pabelan, pemuda ini dibantu oleh Ayahnya berhasil memasuki taman dengan jalan memanjat tembok yang mengelilingi taman itu. Dari tembok itu langsung memanjat ke cabang pohon besar yang berada di taman dan yang cabangnya terjulur sampai ke tembok. Kebetulan sekali ia melihat emban Tembong duduk seorang diri di atas bangku dibawah pohon itu, agaknya si emban ini memang sudah menanti-nanti kedatangan Raden Pabelan. Raden Pabelan menggunakan tambang yang tadi dipakai memanjat tembok, tambang itu diikatkan pada cabang pohon dan ia lalu merosot turun melalui tambang. Hampir saja emban Tembong menjerit kaget ketika tiba-tiba ia melihat ada seorang laki-laki bergantungan pada tambang dan merosot turun dari pohon. Dengan mulut terbuka lebar ia terbelalak memandang.
"Ssttt, akulah ini, emban..." bisik Raden Pabelan. Girang bukan main hati emban Tembong setelah mendapat kenyataan bahwa yang datang adalah orang yang dinanti-nantinya. Ia cepat menghampiri dan berbisik.
"Lekas kau bersembunyi... disana itu, di belakang rumpun kembang melati... tunggu malam tiba... dan tunggu kulaporkan kepada sang puteri dulu...!" Raden Pabelan mengangguk, lalu meloncat dan menyelinap, bersembunyi di balik rumpun kembang melati. Hatinya berdebar tidak karuan. Sementara itu, emban Tembong lalu pergi kedalam taman yang indah, mendapatkan Sang Puteri Retnaningpura. Puteri cantik jelita ini sedang duduk seorang diri di dekat pancuran air yang dibuat indah sekali, duduk seorang diri melamun.
"Gusti ayu... dia... sudah datang..." Kata emban Tembong, betapapun juga amat gelisah hatinya kalau-kalau di saat yang amat menguntungkan bagi usahanya itu akan gagal. Sang puteri yang belum dapat menangkap maksud emban, tersenyum amat manisnya. Giginya yang berderet laksana mutiara itu tampak sekilat dalam senyumannya, lalu suaranya yang halus merdu menegur pelayannya, "Kau ada apakah Tembong. Kelihatan gugup, siapa yang datang?"
"Dia... Raden Pabelan, gusti..." Pucat wajah Sang Diah Ayu Retnaningpura, serentak ia bangkit berdiri, dadanya berdebar seakan-akan hendak pecah. Kemudian, perlahan-lahan wajahnya menjadi merah semerah merahnya, membuat wajah itu makin ayu dan elok, bibirnya yang merah semringah itu komat-kamit tak dapat mengeluarkan suara, jari tangannya mempermainkan ujung kemben dan matanya riyep-riyep memandang ke bawah, menatap ujung kaki!
"Gusti ayu... dia akan datang menghadap paduka... bolehkah?" Sang puteri tetap membisu, tidak memberi perkenan juga tidak menolak, seperti orang yang sudah menyerahkan segala-galanya dalam keputusan si emban! Emban Tembong tentu saja mengenal gelagat, cepat-cepat ia lalu lari keluar dan memberi isyarat kepada Raden Pabelan untuk keluar dari tempat sembunyinya. Dengan muka merah berseri dan dada berdebar, pemuda itu keluar mengebut-ngebutkan pakaian, membereskan penutup kepala, lalu memasuki taman. Embang Tembong yang menyambutnya pura-pura menegur.
"Heh, kau ini seorang pria berani memasuki taman" Siapakah kau dan apa keperluanmu?" Raden Pabelan melihat sang puteri tengah duduk di dekat pancuran, duduknya membelakangi. Di tangan sang puteri terdapat setangkai kembang dan puteri itu berlagak tidak melihat dan tidak mendengar sesuatu. Dengan diam-diam Raden Pabelan kagum melihat bentuk tubuh dari belakang, bentuk tubuh yang amat indah menggairahkan. Ia lalu berkata dengan suara merdu merayu.
"Emban, katakanlah bahwa aku ini seorang yang hampir mati dahaga, yang mengharapkan seteguk air belas kasihan sang puteri. Atau katakanlah bahwa aku ini sebatang pohon kekeringan dan hampir mati, yang menanti datangnya setetes air embun cinta kasih sang puteri juita. Emban, akulah Raden Pabelan, orang yang sudah berbulan-bulan tergila-gila merana, merindu, tidur tak nyenyak makan tak enak, duduk salah berdiri salah, hidup serba tidak menyenangkan. Emban, sampaikanlah kepada sang puteri bahwa maksud kedatanganku adalah untuk memujinya, untuk menyatakan perasaan hatiku, untuk membuktikan cinta kasihku yang lebih dalam daripada laut kidul, lebih tinggi daripada Gunung Mahameru?"


Geger Demak Pajang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan yang merdu merayu kalbu ini tentu saja memasuki anak telinga sang puteri seperti gamelan yang seindah-indahnya, membuat ia menyembunyikan senyum bahagia di balik kembang yang ditutupkan pada mulut dan hidungnya. Melihat ini Raden Pabelan kembali merayu.
"Duhai Dewata Yang Maha Agung... jadikanlah hamba setangkai kembang... tukarlah diri hamba dengan setangkai bunga yang berada di tangan sang Diah Ayu... alangkah akan bahagianya hamba..." Mendengar ini, sang puteri menjadi makin merah mukanya, dengan malu-malu ia melemparkan bunga itu ketanah, lalu terdengar suaranya yang agak gemetar kepada emban.
"Emban Tembong..., orang mengagumi dan memuji-muji kembang..., lalu memetiknya dan mempermain-mainkannya... akan tetapi setangkai kembang itu akan melayu... Kemudian dibuang ke bawah"
"Emban Tembong"!" Raden Pabelan cepat membantah. "Penasaran! Hatiku tak serendah itu... cinta kasihku takkan meluntur", cinta kasihku abadi seperti abadinya Sang Surya dan Sang Candra..." Ia lalu menghampiri ke depan sang puteri, berlutut memungut kembang yang dibuang tadi, mendekap kembang itu pada dadanya, lalu diciumnya sambil berkata,
"Hamba bersumpah, disaksikan langit dan bumi, didengarkan para dewata, bahwa cinta kasih hamba terhadap Sang Puteri adalah kekal abadi... dan nyawa hambalah menjadi tanggungan..." Raden Pabelan yang berlutut di depan Sang Puteri memandang ke atas, Sang Puteri menunduk. Dua pasang mata muda bertemu pandang, mula-mula agak malu-malu, makin lama makin mesra dan api kasih mulai bernyala dalam pandang mata itu, emban Tembong sambil tersenyum-senyum penuh arti diam-diam lalu pergi meninggalkan sepasang merpati itu.
Demikianlah, nafsu merajalela dan menguasai hati manusia, tata susila dan kebajikan dilupakan. Pengaruh nafsu sampai-sampai membuat Sang Puteri dan Raden Pabelan tidak segan-segan melakukan perhubungan gelap yang sekaligus merusak tata susila dan kesopanan. Serapat-rapatnya barang busuk disembunyikan, bau busuknya akan tersiar dan tercium orang. Demikian pula hubungan gelap antara Raden Pabelan dan Puteri Retnaningpura, tak dapat ditutup-tutupi dan disembunyikan terus. Akhirnya beberapa orang penjaga yang mengetahui akan hal ini segera melaporkan kepada Sultan Pajang. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Sultan Pajang. Inilah penghinaan yang hebat sekali dan melampaui batas. Dengan hati geram Sultan Pajang memanggil kepala tamtama dan Ngabei Surakarti.
"Tangkap durjana yang merusak pagar ayu, pengrusak tata susila di dalam tamansari. Bunuh dia!" perintah Sang Prabu dengan hati perih. Ngabei Surakarti dan kepala tamtama membawa prajurit memasuki tamansari. Dapat dibayangkan betapa takutnya Raden Pabelan dan Puteri Retnaningpura. Dan sekarang, dalam keadaan bahaya, baru terbuktilah oleh Sang Puteri akan "kegagahan" kekasihnya yang selama ini menyombongkan,
Pemuda itu terbirit-birit lari bersembunyi ke dalam kamar Sang Putri dan buyarlah seperti mendung tipis tersapu angin segala janji bahwa Raden Pabelan akan bertanggung jawabkan semua perbuatannya sebagai seorang jantan. Kalau tadinya ia berjanji dengan sumpah kerak-keruk bahwa ia akan melindungi keselamatan Sang Puteri dengan seluruh jiwa raganya, namun sekarang ia menangis di depan Sang Puteri minta perlindungan! Namun akhirnya ia tertangkap juga sebagai seorang maling yang hina, lalu dikeroyok oleh para prajurit dan tubuhnya dihujani senjata sampai hancur terkoyak-koyak. Mayatnya lalu dihanyutkan ke sungai Lawiyan! Peristiwa ini menggegerkan Pajang. Tumenggung Mayang marah dan duka sekali mendengar bahwa puteranya telah dibunuh di dalam tamansari keputren Pajang. Ia mencaci maki Sultan Pajang yang dianggapnya tidak adil.
"Putraku si Pabelan mengadakan hubungan dengan puterinya. Kalau bicara tentang kesalahan, adalah dua-duanya yang salah, anakku salah, anaknya juga salah. Kenapa hanya anakku saja yang dibunuh?" Dengan dada penuh amarah dan dendam, Tumenggung Maya memboyongi keluarga dan pengikutnya, berbondong-bondong pindah ke Mataram.
Semenjak saat itu, Pajang bertambah dengan seorang musuh baru dan Mataram mendapatkan seorang lagi pengacau yang kelak akan mengacau hubungan baik antara Pajang dan Mataram, yang akan menyalakan api keretakan dan permusuhan antara Pajang dan Mataram. Sampai di sini habislah sudah cerita Setan Kober yang penuh dengan contoh-contoh perjuangan hidup, contoh-contoh pertentangan antara kebenaran dan kesalahan, antara kebajikan dan kejahatan. Penulis hanya mengharapkan semoga cerita ini dapat menjadi peringatan bagi kita semua bahwa betapapun kadang-kadang kesalahan dan kejahatan nampaknya mengalahkan kebenaran dan kebajikan, namun kekuasaan Tuhan Yang Maha Adil selalu akan menjadi penentu terakhir, yaitu kemenangan yang benar dan bajik serta kehancuran bagi yang salah dan jahat.
TAMAT Jika ada yang punya cetakan I tahun 1992, mohon koreksinya.
Karena cetakan III ini, banyak alur cerita yang lompat...
Jubah Tanpa Jasad 2 Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Pertarungan Terakhir 2
^