Pencarian

Geger Demak Pajang 2

Geger Demak Pajang Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Jadi kau hendak mengujiku" Boleh sekali akan tetapi hati-hati jangan sampai menyakiti aku."
"Heh-heh jangan kuatir, Mas Manca. Aku hanya ingin melihat sampai dimana kedigdayaanmu. Nah, siaplah dan jaga seranganku ini!" Sudarso lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah dada Mas Manca. Melihat gerakan yang cepat dan pukulan yang antep ini, maklumlah Mas Manca bahwa lawannya memiliki ilmu pukulan yang boleh juga. Pemuda Gunung Dumilah ini memang semenjak kecilnya sudah mempelajari berbagai ilmu, maka ia memiliki tubuh yang kuat dan gerakan yang amat tangkas. Melihat datangnya pukulan ke arah dada, ia cepat menarik kaki dan menggerakkan tubuhnya ke kiri, kemudian dari samping ia memutar tangan kanannya untuk menangkis. Ia sengaja hendak mengadukan lengan kanannya dengan lengan kanan lawan untuk mengukur sampai dimana ampuhnya lengan lawan. Mas Manca hanya mempergunakan sebagian tenaganya dalam gerakan ini.
"Dukk!" Ketika dua lengan itu beradu, Sudarso meringis menahan rasa nyeri pada lengannya yang seakan-akan bertemu dengan tongkat besi. Juga kedudukan kakinya berubah karena dorongan kuat dari lengan Mas Manca tadi. Diam-diam Sudarso gembira sekali karena mendapat lawan kuat. Secepat kilat ia memutar tubuh dan menghantam lagi, kini tubuhnya laksana dua ekor burung elang, kedua kakinya bergerak secara amat teratur. Sepasang kaki itu bergeser ke sana ke mari mengeluarkan bunyi sett, sett, sett! Dan sepasang tangannya menghujankan pukulan wherr, wherr, wherr.
Kalau orang lain yang diserang hujan pukulan ini, tentu sukar untuk dapat menghindarkan diri. Akan tetapi Mas Manca tetap tenang-tenang saja biarpun tidak kalah cepatnya meloncat ke kanan kiri, menyelinap di antara pukulan itu sehingga jangankan tubuhnya, bahkan ujung pakaiannya saja tak pernah dapat di sentuh pukulan-pukulan Sudarso. Menghadapi gerakan lincah melebihi monyet dari lawannya, Sudarso menjadi pening kepalanya. Dalam pandangannya, seakan-akan Mas Manca sudah berubah menjadi tiga empat orang, demikian cepat gerakannya. Ia pun menjadi penasaran, marah dan napasnya kempas-kempis. Mengelak ke sana-sini seperti monyet bukan sikap satria! Akhirnya ia berseru menghentikan serangan-serangannya karena merasa tidak sanggup lagi, seakan-akan ia mengejar-ngejar bayangan. Mas Manca berdiri tersenyum geli.
"Habis bagaimanakah sikap satria kalau bertempur?" tanyanya.
"Seorang satria tidak akan lari menghadapi pukulan. Dari pada main kejar-kejaran, hayo kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang. Kita saling pukul tiga kali, tak boleh ditangkis atau dielakkan." Mas Mancan makin geli hatinya. Orang ini baik, pikirnya, hanya doyan berkelahi.
"Baiklah, bagaimana kehendakmu saja, aku menurut. Silahkan kalau mau memukul." Sudarso membelalakkan matanya. Benarkah pemuda itu begitu nekad"
"Mana boleh aku memukul lebih dulu. Diukur besar tubuh, masih besar aku. Diukur tingginya, tinggi aku. Kalau kupukul tiga kali tubuhmu yang kecil ini dan kau roboh, mana bisa nanti kau pukul aku" Tidak, harus kau yang memukul lebih dulu." Mas Manca makin senang. Tak salah dugaannya, orang ini memang baik dan jujur.
"Kalau begitu, baiknya diatur begini saja. Kau memukul satu kali. Bagaimana?" Sudarso mengangguk-angguk.
"Boleh, boleh. Eh, kau memiliki keberanian juga. Aku Sudarso dari Banyubiru suka sekali melihat orang berani." Mas Manca tersenyum, senang hatinya bahwa ia sudah mulai dapat menenangkan hati orang lain.
"Pukullah," katanya memasang dada, namun ia siap pula untuk melindungi bagian-bagian tubuh lain, karena kalau orang ini berlaku curang, dia bisa dipukul di bagian tubuh yang berbahaya. Namun Sudarso tidak mengecewakan hati Mas Manca. Pemuda banyubiru ini memang seorang yang gagah dan kecurangan adalah musuhnya yang paling besar. Melihat lawan sudah siap, Sudarso lalu mengayunkan tangan kanannya yang dikepal, menghantam dada mas Manca dengan pengerahan tenaga setengahnya. Dia tidak mau memukul pecah dada Mas Manca, karena maksudnya pun bukan lain hanya hendak menguji kepandaian belaka.
"Desss!" Kepalan tangan itu ketika mengenai dada Mas Manca, melejid dan meleset ke samping dengan tenaga masih kuat sehingga Sudarso sampai terhuyung selangkah. Pemuda banyubiru ini membuka lebar matanya.
?"Eh, eh, tubuhmu licin seperti belut!" Katanya terheran-heran. Ia tadi memukul dengan telak sekali, akan tetapi kenapa kepalannya seperti bertemu dengan tubuh yang licin sehingga pukulannya itu meleset dan tidak berhasil sama sekali" Melihat Mas Manca hanya tersenyum saja, ia menjadi panas dan membusungkan dadanya.
"Nah, kau balas pukullah!"
"Baik kau bersiaplah," Mas Manca lalu menampar dada orang dengan jari-jari tangan terbuka.
"Plak!" Sudarso tetap berdiri tegak, akan tetapi mulutnya meringis kesakitan ketika ia merasa seakan-akan kulit dadanya disiram air panas. Panas dan perih rasanya seperti kulit itu pecah-pecah. Cepat melihat ke arah dadanya dan disana melintang di dadanya terdapat bekas jari-jari tangan Mas Manca, lima buah banyaknya, merah seperti dicapkan dengan tinta merah.
"Kau menampar seperti perempuan. Panas telapak tanganmu, akan tetapi aku tidak roboh," katanya menahan rasa nyeri.
"Sekarang bersiaplah untuk pukulanku ke dua. Awas, sekarang aku memukul keras!" ia memukul dengan pengerahan tenaga tiga perempatnya, dan kali kepalan tangannya denga telak sekali menghantam dada Mas Manca.
"Bukk!" Sudarso berseru keras kaget sekali ketika merasa betapa pukulannya itu mengenai dada yang seakan-akan tidak bertulang, merupakan gumpalan daging lunak, empuk yang tentu saja membuat pukulannya seperti tertelan dan nampaknya yang dipukul tidak merasa apa-apa. Ia makin terheran-heran.
"Sudarso, kau sudah memukul dua kali dan aku merasa tidak apa-apa, masihkah kau belum mau mengalah?" Merah muka murid Banyubiru itu.
"Boleh jadi pukulanku empuk kurang keras, akan tetapi pukulanmu tadi tidak membuat aku mundur selangkah. Hayo pukullah, aku masih belum kalah." Mas Manca lalu membungkuk dengan telunjuknya membuat lingkaran besar mengelilingi tempat dimana Sudarso berdiri. Kemudian ia berdiri lagi sambil berkata,
"Kalau pukulanku kedua ini bisa membuat kau keluar dari lingkaran ini, apakah kau mengaku kalah" Sudarso melirik ke arah garis lingkaran dan maklum bahwa kalau tidak melangkah mundur sampai dua tiga tindak, tak mungkin ia bisa keluar dari lingkaran. Baik! Boleh kucoba pukulanmu yang kedua, aku takkan mundur selangkahpun." Mas Manca tidak berniat jahat. Ia suka pemuda ini dan maklum bahwa dalam hal kedigdayaan, pemuda banyubiru ini belum seberapa tinggi kepandaiannya.
Ia lalu mengerahkan tenaganya memukul dengan tenaga kosong, yaitu hanya berupa dorongan saja yang amat besar tenaganya namun tidak akan menyakiti tubuh orang. Tangan kanannya dengan jari masih terbuka mendorong maju dan" tanpa dapat dipertahankan lagi oleh Sudarso tubuhnya yang kuat dan besar itu seperti daun kering tertiup angin, terlempar keluar dari lingkaran. Akan tetapi Sudarso masih dapat menguasai dirinya sehingga ia jatuh berdiri, tidak sampai roboh terguling. Dengan mata terbelalak ia melihat bahwa ia sudah keluar dari lingkaran sejauh satu meter lebih. Ia terheran-heran dan makin penasaran karena sama sekali tidak merasa sakit pada dadanya, bahkan pukulan tamparan pertama tadilah yang mendatangkan nyeri pada kulit dadanya. Ia merasa tertiup angin taufan yang tak dapat ia pertahankan lagi.
"Nah, kau jauh keluar dari lingkaran. Apa sekarang kau menyerah?" Dasar pemuda bandel. Sudarso mana mau mengalah"
"Biarpun sudah keluar dari lingkaran, akan tetapi pukulanmu tadi seperti gudir (agar-agar), empuk, anyep tidak terasa olehku. Masih ada pukulan ke tiga, sekarang aku tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan semua tenagaku. Hendaklah kau lihat apakah kau sanggup menerimanya." Diam-diam Mas Manca merasa gemas juga. Pemuda bandel ini perlu diberi rasa sakit, pikirnya.
"Kau pukullah yang keras." Kini Sudarso mengerahkan seluruh tenaganya setelah menggosok-gosok telapak tangan kanan kepada lengan kiri.
"Awas!" Bentaknya dan dengan sekuat tenaga ia memukul dada Mas Manca.
"Blegg!" Pukulan ini keras sekali, tubuh Mas Manca sampai tergoyang-goyang, kenanya tepat sekali karena memang tidak dielak sama sekali. Akan tetapi mendengar Sudarso mengeluh dan pemuda ini memegangi tangan kanannya yang sudah menjadi merah dan bengkak!
"Aduh" dadamu seperti besi...!" Keluhnya sambil membelalakkan mata terheran-heran.
"Sudahlah, apa sekarang kau mau mengaku kalah?" Tanya Mas Manca.
"Dadamu memang kuat, akan tetapi pukulanmu tidak sekuat dadamu," jawab Sudarso. "Kalau pukulanmu sekuat dadamu, akan aku mengaku kalah. Kau belum membalas pukulanku ketiga tadi. Hayo pukullah!" Sudarso membusungkan dada.
"Sudarso, apa kau masih belum percaya bahwa aku lebih kuat daripadamu, bahwa pukulanku akan merobohkanmu?" tanya Mas Manca.
"Aku percaya kau memang digdaya. Akan tetapi aku belum puas kalau belum merasai sendiri kesaktian pukulanmu. Dua pukulanmu yang tadi."
"Hemm, kalau begitu terimalah ini!" Mas Manca menampar dengan tangan kirinya ke arah dada Sudarso. Pukulan ini tidak keras, namun sudah terlalu keras bagi Sudarso. Ia merasa seperti disambar geledek, tubuhnya berputaran, ribuan bintang berjenggot di depan matanya, bumi yang diinjaknya serasa berputaran dan napasnya sesak. Kemudian ia roboh pingsan. Setelah siuman kembali, Sudarso mendapatkan dirinya sedang diobati oleh Mas manca yang mengurut-urut dadanya yang membengkak tadi. Ia cepat bangun, duduk dan memegang tangan Mas Manca. Sinar matanya penuh kekaguman, wajahnya berseri-seri.
"Pemuda yang kusangka pelamun, kiranya kau memang digdaya! Pantas saja Kyai Buyut mengharapkan kedatanganmu?"
"Kyai Buyut" Siapakah beliau dan bagaimana bisa mengharapkan kedatanganku?" tanya Mas Manca heran.
"Kyai Buyut Banyubiru adalah guruku dan beliau berpesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan pemuda dari Gunung Dumilah supaya mengajaknya ke Banyubiru. Siapa lagi orangnya yang beliau maksudkan selain kau" Maka kuharap kau suka ikut dengan aku menghadap Kyai Buyut." Hati Mas Manca tertarik sekali. Biarpun dalam hal kedigdayaan Sudarso tidak begitu hebat, namun mendengar ucapan tentang kebatinan tadi, jelas bahwa gurunya tentulah seorang ahli batin yang berilmu tinggi. Apalagi sekarang guru yang bernama Kyai Buyut Banyubiru itu agaknya telah mengharapkan kedatangannya, seolah-olah guru itu telah dapat melihat hal-hal yang belum terjadi.
"Baiklah, Sudarso, aku ikut denganmu menghadap gurunya," jawabnya
Girang hati Sudarso, sikapnya sekarang ramah sekali dan makin suka hati Mas Manca terhadap kawan baru ini. Perjalanan ke Banyubiru mereka lakukan dengan gembira dan bercakap-cakap. Siapakah gerangan guru Sudarso" Bukan lain adalah seorang alim ulama yang sakti dan bijaksana seorang pertapa yang saleh dan berilmu tinggi, yang terkenal dengan sebutan Kyai Buyut. Di dalam dusun kecil itu Kyai Buyut Banyubiru tinggal di dalam pondok sederhana seperti juga dua orang adiknya yang bernama Ki Ageng Majasta dan Ki Wuragil (Bungsu). Hidup mereka sederhana sekali, malah dalam pandangan orang-orang yang sudah biasa akan kemewahan mungkin dianggap miskin, namun di dalam kemiskinan lahir itu mereka ini amat kaya dalam kerohanian.
Oleh karena inilah, mereka tidak pernah merasai kesengsaraan lahir. Kesengsaraan lahiriah atau yang biasa disebut dunia. Sudah menjadi hukuman kekuasaan Tuhan bahwa segala suatu pasti berpasangan atau lebih jelas lagi ada lawannya. Ada senang pasti ada susah. Ada siang ada malam dan demikian seterusnya. Orang yang mengejar kesenangan dunia, tak dapat tiada harus sewaktu-waktu dikejar kesengsaraan dunia. Sebaliknya, orang yang tidak peduli akan kesenangan dunia. Inilah hukum keadilan Yang Maha Esa. Karena tak pernah menolak siapapun juga yang ingin mempelajari ilmu daripadanya. Maka Kyai Buyut Banyubiru mempunyai banyak sekali murid. Kakek yang sudah waspada ini lebih banyak menurunkan ilmu-ilmu kerohanian kepada muridnya,
Ilmu-ilmu tentang pribumi, tentang kebajikan, tentang susila hidup, yang tahu akan prikemanusiaan, yang mengabdi kebajikan sebagaimana dikehendaki oleh Yang Maha Agung. Kyai Buyut Banyubiru maklmum bahwa tanpa menanamkan dasar-dasar kebajikan yang tebal di sanubari orang-orang muda yang menjadi muridnya, amatlah berbahaya ilmu jaya kawijayaan (kesaktian) kepada mereka itu. Segala macam ilmu lahiriah harus disertai ilmu rohanias, karena gunanya ilmu kepandaian adalah untuk diamalkan sedangkan yang mengatur agar supaya pengalaman ini tidak menyeleweng dari pada kebajikan adalah dasar kerohanian! Makin tinggi ilmu kepandaian dimiliki orang, harus makin tinggi pula tingkat kebatinan atau kerohaniannya. Seperti sikap segala benda didunia ini, maupun memiliki dan sifat yang pada hakekatnya hanyalah akibat dari pada sifat-sifat pelaksananya.
Apabila pengamal atau pelaksananya tidak memiliki batin yang bersih, maka ilmu itu akan mendatangkan malapetaka bagi manusia lainnya. Sebaliknya, pengamal ilmu yang memiliki batin bersih, sudah tentu akan mempergunakan ilmu untuk mendatangkan nikmat dan berkat bagi manusia lainnya, makin tinggi tingkat ilmu itu, makin besar pula nikmat atau malapetaka yang diakibatkan dalam pengamalannya. Ketika Mas Manca dibawa menghadap oleh Sudarso, pemuda ini tanpa ragu-ragu lagi lalu memberi horma dan bersila di depan Kakek itu. Begitu bertemu muka, tahulah Mas Manca bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti. Di lain pihak, Kyai Buyut Banyubiru juga amat suka meliha Mas Manca, diam-diam memuji di dalam hati, Cahaya muka bocah ini begitu cemerlang, tanda bahwa kelak ia akan menempati kedudukan mulia dan tinggi.
"Bocah bagus, siapakah namamu dan apakah gerangan keperluanmu kau datang ke tempat ini bersama Sudarso?" Tanya Kakek itu dengan suaranya yang halus dan penuh keramahan dan kesabaran. Disertai sembah hormat Mas Manca menjawab,
"Saya adalah anak dari dusun Talpitu di Pegunungan Dumilah, bernama Mas Manca. Ayah saya adalah Ki Jambuleka. Kedatangan saya menghadap Kyai Buyut Banyubiru adalah untuk mohon diterima menjadi murid di sini." Kyai Buyut Banyubiri tersenyum senang,
"Aduh, kiranya putera dari Ki Jambuleka sendiri! Kulup, tentu saja aku girang sekali kalau kau suka belajar disini sebagai murid, bahkan kuanggap anak sendiri karena Ayahmu dan aku ada hubungan batin yang erat sekali." Demikianlah, mulai saat itu Mas Manca mendapat gemblengan dari Kyai Buyut Banyubiru yang amat sayang kepadanya.
Semua murid di Banyubiru juga amat suka kepada pemuda itu, apalagi setelah mereka mengetahui bahwa dalam hal ilmu kedigdayaan, Mas Manca mengetahui bahwa mereka semua. Pendeknya, pemuda itu menjadi teladan mereka. Di antara mereka ini tentu saja yang paling akrab dengan Mas Manca adalah Sudarso, dan juga orang yang menjadi saudara angkatnya, yaitu Ki Wila. Ki Wila ini adalah putera dari Ki Ageng Majasta, orangnya lucu gemar bergurau, memandang hidup ini dari segi keindahan dan kegembiraan. Ki Wila terkenal di dusunnya sebagai seorang yang selalu melawak, maka amat disayang oleh Mas Manca dan semua muridnya. Kawan Ki Wila melawak adalah Ki Wuragil, Pamannya sendiri yang juga selalu bersenda-gurau tak pernah tidak mau mengenal susah. Paman dan keponakan ini amat cocok karena berwatak sama dan keduanya inilah yang selalu menghibur hati semua orang.
Pada suatu senja, tujuh orang memanggul pacul berjalan sambil bersenda gurau sepanjang jalan menuju ke Dusun Banyubiru. Mereka ini adalah Sudarso, Ki Wuragil, Ki Wila dan empat orang murid yang lain. Mereka baru pulang dari sawah ladang, karena memang para murid Kyai Buyut Banyubiru bukan hanya orang-orang pelamun yang setiap hari mempelajari ilmu, melainkan juga mereka adalah pekerja-pekerja ladang yang rajin. Di sepanjang jalan Ki Wuragil dan Ki Wila membadut membuat kawan-kawannya terpingkal-pingkal, mendatangkan suasana yang amat gembira sehingga pegal linu otot-otot yang sehari penuh bekerja keras itu tak terasa lagi.
"Jarang ada orang seperti Pamanku ini, Paman Ki Wuragil ini lho!" Ki Wila menggoda Pamannya. Memang dua orang ini selalu saling menggoda. "Aku benar-benar merasa bangga dengan Pamanku yang saat ini." Dipuji sedemikian rupa oleh keponakannya yang usianya hanya berbeda beberapa tahun dengannya, Ki Wuragil menjadi bangga sekali, dadanya yang gepeng dibusungkan, hidungnya kembang kempis dan dia lirik kepada ponakannya itu seperti puteri vita dipuji oleh seorang taruna.
"Teruskan, anakku yang bagus, teruskan!" Katanya, sedangkan semua kawan yang lain hanya tersenyum saja.
"Siapa orangnya serajin Paman Wuragil" Pagi-pagi sekali, baru lewat setengah malam sebelum jago berkeruyuk, dia sudah bangun!"
"Semua teman dibangunkan supaya cepat berkemas ke sawah. Memang rajin dia..." celetuk beberapa orang murid. Tentu saja Ki Wuragil makin berkembang hidungnya.
"Setelah semua orang pergi membersihkan badan, termasuk aku yang sebetulnya masih ngantuk, ketika aku memasuki pondok, kulihat Pamanku yang hebat itu... bersembunyi di bawah selimut dan mendengkur lagi!" Sudarso dan kawan-kawannya tertawa, muka Ki Wuragil yang tadinya berseri itu sekarang menjadi muram, hidung yang berkembang menjadi kempis, menjadi kaku merah dan mulut yang menyeringai kini merengut, mata yang tadi melirik-lirik kemayu ke arah Ki Wila, sekarang melotot menakutkan.
"Kau ini memuji atau mencela" Lha wong bangunku pagi-pagi sekali itu perlunya memang untuk membangunkan semua, setelah kalian bangun tentu saja kulanjutkan tidurku yang terganggu. Dasar kau bocah" hemm, kuapakan kau nanti!"
"Ampun, Pamanku yang baik. Aku memang hendak memujimu. Bukan itu saja, kerajinan dan kehebatan Pamanku yang satu ini..." Semua orang memasang telinga dan kembali Ki Wuragil tampak bangga.
"Paman Wuragil ini kalau sudah bekerja disawah, walaah... Bukan main! Pendeknya dia tidak mau kalah cepat oleh orang lain, dan tidak mau kalah banyak pendapatannya...!" Kata pula Ki Wila. Ki Wuragil petentang-petenteng lagi, nampak bangga. Akan tetapi Sudarso dan kawan-kawannya penasaran.
"Tidak mau kalah cepat dan tidak mau kalah banyak dalam hal apa?" Tanya seorang kawan yang penasaran.
"Apa lagi kalau bukan dalam hal bekerja" Bodoh!" tukar Ki Wuragil.
"Maksudku bukan begitu... Itu lho" eh, kalau kiriman makan datang dari dusun. Lhaa, dia tidak mau kalah banyak mendapat bagian dan tidak mau kalah cepat menghabiskannya!" Gelak tawa menyambut kelakar godaan ini. Ki Wuragil menyumpah-nyumpah dan berpura-pura mengamangkan tinjunya hendak memukul kepala Ki Wila. Murid yang paling gagah dan tampan sesudah Mas Manca. Maka tentu saja ia merasa agak tak senang mendengar pujian Ki Wuragil yang mau tak mau harus ia akui pula. Pemuda yang bersikap aneh mencurigakan ini betul-betul tampan sekali. Malah cahaya yang bersinar dari matanya lebih terang dari pada yang dimiliki Mas Manca.
"Heh, ki sanak! Kau ini siapa, orang mana dan hendak kemana?" tiba-tiba Sudarso bertanya dengan bentakan keras. Akan tetapi pemuda tampan itu agaknya tidak mendengar bentakan ini, buktinya ia menolehpun tidak, berjalan terus dengan kepala tunduk dan mata memandang ujung kaki yang bergerak perlahan. Berkedippun tidak.
"Walaaahh... Kiranya dia tuli..." Kata Ki Wila.
"Masa iya. Orang-orang bagus kok tuli. Coba kucoba dia." Ki Wuragil berjalan mendekati pemuda aneh itu, setelah tiba di dekatnya lalu membentak,
"Hordah! Horeeee! Badala... Blenggg...!" Ki Wuragil terhuyung mundur, sambil menutupi kedua telinganya.
"Lho, bagaimana Paman" Berhasilkah?" tanya Ki Wila. Ki Wuragil menggoyang-goyang kepala.
"Aduh bukan dia yang kaget, malah aku sendiri kaget setengah mati. Telingaku sampai mengiang-ngiang mendengar suaraku sendiri!" Sudarso sudah tak sabar lagi. Ia melangkah lebar menyusul pemuda itu, lalu ditariknya lengan kanan pemuda itu sambil dibentaknya,
"Heh, orang tak tahu aturan! Kau ini siapakah begini sombong" Tentu kau bermaksud buruk datang ke tempat ini!" Pemuda itu kaget dan kelihatan seperti orang baru sadar dari tidurnya. Seakan-akan ia tadi tengah bermimpi dan kini dibangunkan orang dengan paksa. Ia berhenti berjalan dan mengangkat mukanya menatap wajah orang yang membentak dan memegang lengannya. Sudarso sampai menyipitkan matanya karena silau bertemu pandang dengan mata orang itu yang seakan-akan mengeluarkan cahaya berapi.
"Orang kasar, aku tidak mengganggu siapapun juga. Kenapa kau menghentikan perjalananku?" Pemuda itu bertanya, suaranya halus akan tetapi mengadung wibawa besar dan penuh teguran. Sudarso naik darah.
"Heh, kau orang tak tahu aturan! Kau bukan orang sini, sikapmu mencurigakan, ditanya secara halus tidak menyahut, sekarang bersikap sombong kepadaku. Kau tentu bukan manusia baik hati, maka sekarang ini lebih baik kau pergi dari sini, kembali ke tempat asalmu, jangan memasuki kampung kami. Pergilah! Wajah yang tadinya agak pucat itu kini menjadi merah, menambah ketampanannya dan mata itu berkilat menyambar ke kanan kiri, melihat betapa Sudarso dan empat orang kawannya sudah menghadapinya dengan sikap menantang. Hanya dua orang lain, yaitu Ki Wila dan Ki Wuragil, yang berdiri di belakang, kelihatan takut-takut.
"Siapa pernah melarang orang melalui jalan" Apakah kalian ini perampok?" kata pemuda itu.
"Eh, kurang ajar! Malah berani memaki kami perampok" Bocah, apa kau berani melawan aku?" Sudarso menantang. Pemuda itu mengedikkan kepala dan membusungkan dada, keningnya berkerut.
"Aku tidak mencari musuh, akan tetapi kalau kau hendak mencoba-coba, majulah!"
"Bagus! Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian untuk modal kesombonganmu. Awas, lihat pukulan!" Sudarso lalu menerjang maju dengan gerakan yang cepat dan kuat, pukulannya menyambar, kanan kiri susul menyusul. Namun pemuda itu dengan amat tenang menggerakkan kedua lengannya ke depan, tanpa memindah kedua kakinya dengan enak saja, ia menangkis setiap pukulan yang datang. Hebatnya, tiap kali lengan dua orang ini bertemu, Sudarso merasa seakan-akan tulang lengannya bertemu dengan linggis, membuat ia meringis kesakitan dan tak lama kemudian kedua lengannya sudah matang biru! Sementara itu, Ki Wila dan Ki Wuragil yang melihat bahwa pertandingan ini hanya bersifat mengadu kepandaian membela kebenaran sendir-sendiri, menonton dengan lagak orang menonton adu jago.
"Sebentar lagi Sudarso pasti menang!" Kata Ki Wuragil.
"Tidak bisa. Orang muda dan tampan itu yang akan menang," bantah Ki Wila.
"Hayo kita bertaruh," tantang Ki Wuragil.
"Baik, aku pertaruhkan ikat kepalaku."
"Boleh, kupertaruhkan ikat pinggangku."
"Apa" Ikat pinggangmu yang butut dan berbau tengil itu?" Cela Wila.
"Aduh-aduh kemakinya (lagaknya)! Ikat kepalamu itupun butut dan banyak tumanya (Kutu Rambut)." Menghadapi kedigdayaan pemuda tampan itu, Sudarso benar-benar tidak berdaya. Belum dibalas, baru ditangkis saja ia sudah hampir tidak kuat lagi kedua lengan tangannya sakit-sakit semua. Selagi ia ragu-ragu untuk menyerang terus, pemuda itu sudah bersumbar.
"Orang muda, hayo keluarkan aji kesaktianmu. Atau kalau kau belum puas, ajaklah kawan-kawanmu itu maju mengeroyok!" Panas perut Sudarso disumbari demikian itu.
"Babo babo, sumbarmu seperti menghancurkan gunung! Kau yang menantang, bukan kami yang mengeroyok. Teman-teman, hayo kita rampungi manusia sombong ini, biar dia kapok!" Empat orang kawan Sudarso yang tadi dengan hati panas melihat Sudarso tidak dapat menang segera menerjang maju dan mengeroyok pemuda yang tampan, aneh dan sakti itu. Melihat ini serentak Ki Wila dan Ki Wuragil ribut-ribut.
"Ah, rusuh... Rusuh"! Mengapa keroyokan?" Ki Wiragil mencela.
"Curang... Memalukan! Ini bukan adu kepandaian namanya. Berhenti... Berhenti"!!" Sambung Ki Wila. Akan tetapi mereka yang bertanding mana mau mendengarkan teriakan-teriakan dua orang itu. Pemuda itu bagaikan seekor banteng terluka mengamuk, dikeroyok lima masih tetap memperlihatkan keunggulannya. Gerak-geriknya gesit bagaikan seekor burung walet dan pukulannya amat keras dan ampuh.
"Waduh, celaka. Mari kita laporkan kepada Mas Manca!" kata Ki Wuragil.
"Betul, hanya Mas Manca yang akan sanggup melawannya." Maka berlari-larilah dua orang menuju dusun yang tak berapa jauh letaknya. Terengah-engah mereka mendapatkan Mas Manca yang sedang duduk seorang diri di depan pondok Kyai Buyut Banyubiru.
"Paman Wuragil dan kakang Wila, kenapa kalian berlari-lari seperti dikejar harimau?" tanya Mas Manca tenang karena ia tidak menyangka sesuatu yang hebat, maklum bahwa dua orang ini memang sudah biasa berkelakar.
"Celaka, dimas Manca..., celaka besar, Sudarso dikeroyok?"
"Hush, bukan dikeroyok, malah mengeroyok bodoh!" Ki Wuragil membentak keponakannya yang keliru melapor saking gugupnya.
"Oya, betul" di" dikeroyok!" ulang Ki Wila."Tolol! Mengeroyok, bukan dikeroyok!" tukas Ki Wuragil.
"Ya betul, kan" Ada yang mengeroyok tentu ada yang dikeroyok. Masa ini salah?" Bantah Ki Wila. Mas Manca tersenyum.
"Kakang Wila, siapa itu yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok?" Sebelum Ki Wila menjawab, takut kalau keliru lagi laporan keponakannya, Ki Wuragil cepat menceritakan kejadian itu.
"Sekarang pemuda tampan dan gagah itu dikeroyok lima, dia gagah sekali, agaknya hanya kaulah lawannya," katanya sebagai penutup. Mendengar bahwa saudara-saudara seperguruannya berkelahi dengan orang digdaya, Mas Manca tak sabar lagi. Tubuhnya berkelebat dan sebentar saja lenyap dari depan dua orang itu, demikian cepatnya ia meloncat dan berlari cepat, pergi mengejar ke tempat perkelahian. Ki Wuragil dan Ki Wila saling pandang dengan bengong dan kagum. Baru mereka tersentak kaget ketika tahu-tahu Kyai Buyut Banyubiru keluar dari pondok dan menegur mereka.
"Eh, eh, Wuragil dan Wila. Kalian ini bengong terlonglong disini ada apakah?"
"Aduh, ribut, Paman kyai. Ribut-ribut telah terjadi disana. Ketika kami pulang dari sawah, di tengah jalan kami bertemu dan seorang pemuda aneh yang tampan dan gagah perkasa. Sekarang Sudarso dan empat kawan lain mengeroyoknya, malah Mas Manca juga sudah terbang kesana!" kata Ki Wila.
"Masa orang bisa terbang" Memang Mas Manca bersayap?" Ki Wuragil mencela.
"Habis, larinya begitu cepat seperti terbang saja." Kyai Buyut Banyubiri tersenyum.
"Kalau kawan-kawanmu mengeroyok, kenapa kalian malah berada disini" Apa kalian tidak ikut mengeroyok?"
"Mengeroyok, bukan perbuatan gagah, amat memalukan," kata Ki Wuragil, yang dibenarkan oleh Ki Wila.
"Berkelahi kok keroyokan. Sudah hamba cegah, Paman kyai, akan tetapi mereka tidak mau mendengar bujukan hamba." Dengan masih tersenyum Kyai Buyut Banyubiru mengangguk-angguk kepalanya.
"Kalian berdua lebih gagah daripada Sudarso dan lain-lain, karena lebih tinggi pribudimu, maka kelak kalian juga menerima kemuliaan yang lebih daripada mereka. Wuragil, Wila, mari antarkan aku ke tempat itu, jangan sampai timbul hal-hal yang tidak baik." Kyai Buyut Banyubiru yang sudah tua itu berjalan dibantu tongkatnya, terbungkuk-bungkuk. Akan tetapi anehnya, Wuragil dan Wila harus setengah berlari-lari untuk dapat mengiringkannya! Sementara itu dengan hati marah karena saudara-saudaranya kalah oleh seorang pemuda asing, Mas Manca berlari cepat sekali. Tiba-tiba ia melihat lima orang saudaranya itu berlari-lari dari depan dan setelah dekat ia melihat mereka itu mengaduh-aduh sambil berlari-lari, benjol-benjol dan matang biru.
"Kenapa kalian lari" Mana manusia sombong itu?" tanya Mas Manca.
"Aduh, dimas Manca, balaskanlah penghinaan yang kami derita. Orang itu benar digdaya, kami berlima bukan lawannya. Itulah dia datang ke sini belalah kami?" kata Sudarso yang masih puyeng dan matanya berkunang-kunang karena tadi ia kena ditempiling oleh tangan pemuda itu yang ampuh bukan main.
"Keparat, berani menghina saudara-saudaraku!" seru Mas Manca sambil meloncat ke depan memapaki pemuda yang berjalan perlahan kearah mereka itu. Sudarso dan kawan-kawannya yang tadi sudah lari ketakutan, mendapatkan hati lagi dan mereka lalu berjalan kembali untuk menonton jago mereka bertarung menebus kekalalahn mereka.
"Teja-teja sulaksana! Orang bermuka pucat pasi seperti orang berpenyakitan, berani datang memamerkan kepandaian di sini. Siapakah dirimu?" tanya mas Manca menahan kemarahannya ketika ia melihat seorang pemuda berwajah pucat yang amat tampan dan memiliki sepasang mata bercahaya seperti bintang kejora. Pemuda itupun menatap wajah Mas Manca dan diam-diam merasa kagum. Namun wajahnya yang murung tidak berubah dan jawabannya malas-malasan.
"Namaku tidak ada artinya bagi orang selain bagiku sendiri, dan akupun tidak ingin mengetahui namamu, sahabat."
"Hemm, babo-babo! Nyata kau sombong. Sudah selayaknya orang bertemu di jalan saling tanya menanya. Kalau kau merasa lebih tinggi derajatmu dari padaku, biarlah aku perkenalkan lebih dahulu. Aku Mas Manca." Mas Manca memang tidak seperti teman-temannya yang lain, selalu bertindak hati-hati menahan nafsunya. Ia tidak mau berkelahi dengan orang yang tidak dikenalnya siapa, dan tidak mau bertanding tanpa sebab. Melihat sikap Mas Manca ini, pemuda itu menjawab perlahan.
"Namaku Bagus Karebet dari Tingkir, juga disebut Jaka Tingkir." Memang, pemuda yang aneh, digdaya, tampan tapi kelihatan murung itu bukan lain adalah Jaka Tingkir sendiri.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah gagal menghadap Sang Prabu di Demak yang sama sekali tak pernah menyebut namanya selama diusir, Jaka Tingkir kemudian pergi ke Pengging dimana ia telah menjadi kurus dan pucat, namun ia belum mau menyudahi tapanya dan duduk bersila bagaikan patung di depan makam Ayahnya. Malam hari itu gelap gulita. Tak sebuah bintangpun nampak di langit yang menghitam tertutup mendung.
Menjelang tengah malam turunlah hujan gerimis, mendatangkan hawa yang amat dingin menusuk tulang meresap sampai ke sumsum. Namun Jaka Tingkir tidak bergerak dari tempat duduknya, raganya seakan-akan sudah mati sehingga ia tidak merasai semua penderitaan itu, saking hebatnya ia bermujasamadhi. Keadaan makin gelap, melihat tangan sendiripun tidak tampak. Hanya cahaya halilintar yang berkilat, kadang-kandang menerangi pusara Ayahnya dan pada detik-detik inilah Jaka Tingkir seakan-akan mendengar suara sunyi, entah suara angin yang menggerakan daun-daun pohon di sekitarnya situ, entah suara guntur menggelegar di kejauhan. Namun sudah pasti dan jelas sekali telinga pemuda yang sedang berprihatin ini menangkap suara yang mengandung kata-kata bahwa dia disuruh pergi ke tenggara (timur selatan) dan berguru pada seorang Kakek bernama Kyai Buyut Banyubiru.
Pada keesokan harinya Jaka Tingkir berangkat meninggalkan makam Ayahnya dan berjalanlah ia menuju tenggara, sesuai dengan petunjuk ia dapat dalam keadaan bermujasamadhi malam tadi. Akhirnya ia tiba di tempat itu dan karena ia sedang berprihatin, maka sikapnya aneh sehingga menyebabkan ia dkeroyok oleh Sudarso. Mas Manca belum mengenal Bagus Karebet dan Jaka Tingkir. Dia seorang pemuda yang masih berdarah panas. Melihat saudara-saudaranya benjol-benjol dan menderita luka, ia merasa marah dan gatal-gatal tangannya untuk mencoba kedigdayaan Jaka Tingkir. Bukan hanya karena panas hati saja ia ingin menandingi Jaka Tingkir, juga karena memang sudah menjadi wataknya, watak seorang pemuda yang menjunjung tinggi keperwiraan, ia merasa amat tertarik menyaksikan kedigdayaan Jaka Tingkir dan ingin sekali ia mengukurnya dengan kepandaiannya sendiri.
"Bagus sekali, jadi kau Bagus Karebet atau Jaka Tingkir. Kau telah berlaku kurang ajar, menghina saudara-saudaraku. Apa kau kira hanya engkau saja laki-laki yang gagah perkasa" Saudara-saudaraku memang kalah olehmu, karena mereka itu hanya tekun mempelajari ilmu batin dan kebajikan. Kalau kau hendak mengandalkan tebalnya kulit keras tulang, bukan mereka lawanmu!" Jaka Tingkir memandang Mas Manca penuh perhatian dari kepala sampai kaki, kemudian berkata,
"Bukan kehendakku berkelahi dengan mereka. Akan tetapi kalau menurut pendapatmu siapa patut menjadi lawanku?" Mas Manca membusungkan dada lalu menepuk dadanya itu sampai mengeluarkan suara keras.
"Inilah lawanmu, kalau kau betul laki-laki, lawah aku!" Jaka Tingkir kini dapat tersenyum sedikit gembira menyaksikan pemuda yang gagah dan berani ini.
"Mas Manca, kalau tadi ketika melawan lima orang itu, aku hanya melayani dan ingin memberi hajaran kepada mereka. Akan tetapi sekarang terhadap kau lain lagi. Kalau memang kau ingin mengukur kepandaian, maju dan hati-hatilah."
"Bagus! Itulah ucapan laki-laki sejati. Jaka Tingkir siaplah kau menerima pukulanku."
"Perlihatkanlah kerasnya pukulanmu, aku akan menerima dengan dadaku." Mas Manca trengginas menerjang maju, kepalan tangan kanannya menyambar ke arah Jaka Tingkir.
"Bukkk!" Mas Manca terkejut sekali karena merasa betapa tangannya sakit bertemu dengan kuli dada yang keras seperti baja. Akan tetapi pukulannya yang keras dan ampuh itu membuat Jaka Tingkir terduduk.
"Hebat tanganmu, Mas Manca," kata Jaka Tingkir yang juga tercengang sambil bangkit berdiri dan mengebutkan pakaiannya yang terkena debu.
"Balaslah memukul kalau berani!" Mas Manca menantang. Jaka Tingkir maju selangkah, tangan kirinya berkelebat ke arah dada Mas Manca.
"Plakk!" Mas Manca merasa seakan-akan ada petir menyambarnya, membuat dadanya terasa panas dan tak tertahankan lagi ia jatuh terguling. Namun ia dapat menekan perasan nyeri dan melompat bangun lagi sehingga sekali lagi Jaka Tingkir memandang kagum kepada lawannya yang ternyata memiliki kedigdayaan yang jarang ada duanya itu. Setelah mengukur tenaga masing-masing, keduanya baru mulai bertanding dengan mengandalkan kecepatan gerakan. Hebat sekali pertandingan ini, membuat Sudarso dan empat saudaranya ternganga memandang. Kelak Sudarso menceritakan kepada setiap orang yang dijumpainya tentang pertandingan ini sebagai berikut.
Bumi terguncang, langit bergetar,
Debu mengebul, kerikil beterbangan!
Peluh berkilau, napas terengah.
Mata berapi, cari lengah.
Banting - terjang - serang!
Piting " pukul - tendang!
Ke depan - ke belakang - melompat.
Ke kanan - ke kiri - menyelinap.
Hebat gempar dan dahsyat.
Sepasang teruna sama sakti sama kuat.
Seperti dua ekor harimau berlagak.
Tak ada yang mundur meski setapak!
Memang hebat pertandingan itu. Keduanya sama muda, sama tampan, sama sakti dan sama kuat. Setelah mengerahkan ilmunya, keduanya menjadi kebal. Pukulan ampuh Mas Manca menghantam telak dada Jaka Tingkir, namun yang dipukul mbegegek (tiada bergeming) saja! Sekali dua tamparan Jaka Tingkir juga menghantam dada Mas Manca akan tetapi Mas Manca hanya tersenyum mengejek. Keduanya digdaya, saling pukul, saling angkat dan banting, namun yang pecah berhamburan hanya batu-batu, yang rusak binasa hanya tetanaman yang berada dekat gelanggang pertandingan itu. Debu mengebul tinggi menutupi kedua teruna yang gemblengan ini. Betapapun juga, Mas Manca diam-diam harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat. Makin lama pukulan lawannya makin terasa panas. Akhirnya Mas Manca tidak tahan lagi lalu meloncat mundur sambil menghunus kerisnya.
"Tahan dulu, Jaka Tingkir. Memang ampuh tanganmu, kuat dadamu. Akan tetapi mari kita mencoba mengukur ampuhnya pusaka dan ketrampilan memainkannya!" Jaka Tingkir tersenyum, diam-diam suka dan kagum akan keberanian pemuda ini. Jarang ia bertemu dengan pemuda yang sekuat ini, bahkan kiranya tidak ada yang sekuat Mas Manca ini.
"Mas Manca, antara kau dan aku tidak ada permusuhan apa-apa, dan tadi kita sudah cukup bermain-main. Sekarang kau mendesakku supaya mainkan senjata, apakah kau inginkan pertumpahan darah diantara kita?"
"Sudah jamak bagi seorang laki-laki untuk kadang-kadang menumpahkan sedikit darahnya," jawab Mas Manca.
"Kau benar gagah, akan tetapi terlalu menurutkan nafsu darah muda," Jaka Tingkir mencela.
"Apa kau takut?" Mas Manca mendesak. Jaka Tingkir tersenyum dan dengan tenang iapun menghunus pusakanya, keris yang tersimpan diikat pinggangnya. Kedua orang muda yang gagah perkasa ini sudah berdiri berhadapan dengan keris telanjang di tangan. Sudarso dan kawan-kawannya menonton dengan hati berdebar cemas. Pada saat itulah Kyai Buyut Banyubiru yang diiringkan oleh Ki Wuragil dan Ki Wila tiba ditempat itu.
"Mas Manca, tidak baik menuruti hawa nafsu. Sarungkan kembali kerismu!" kata Kyai Buyut Banyubiru dengan suara tenang dan halus. Mendengar suaranya ini, bagaikan disiram air dingin rasa kepala Mas Manca dan api yang tadinya berkobar di dalam hatinya tiba-tiba menjadi padam. Jaka Tingkir yang melihat kedatangan Kakek ini dan mendengar suaranya, juga cepat-cepat menyimpan kembali kerisnya, lalu memandang penuh hormat. Dari sikap Kakek ini maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pertapa yang berilmu tinggi.
"Kulup, Mas Manca putraku. Apa sebabnya kau hendak bermain-main dengan maut bersama satria ini?"
"Mohon ampun sebesarnya, Ramanda kyai. Sebetulnya tiada permusuhan sesuatu antara saya dan dia yang bernama Bagus Karebet atau Jaka Tingkir. Kami hanya ingin mengukur kepandaian masing-masing." Kyai Buyut Banyubiru tertawa.
"Uuhhh, dasar anak muda! Mempelajari ilmu sama sekali bukan untuk mengatasi orang lain, bukan untuk membanggakan diri pribadi. Akan sia-sia belaka memiliki ilmu kalau dipergunakan secara demikian itu. Itu namanya penyesatan dan penyelewengan. Dari manakah ilmu diperoleh" Bukan lain daripada Tuhan Yang Maha Esa, karena ilmu merupakan sebuah diantara segala macam berkah yang dilimpahkan oleh Tuhan. Adalah menjadi tugas setiap manusia, terutama sekali para satria yang mengutamakan pribudi luhur dan kebajikan, untuk selalu mempergunakan segala macam ilmu yang dimilikinya untuk kebahagian orang lain, untuk kepentingan rakyat umumnya, disamping untuk memajukan hidup pribadi tentunya. Apa artinya berilmu tapi tidak ada gunanya untuk orang lain" Lebih baik tidak berilmu namun dapat menyumbangkan tenaganya yang sedikit untuk orang lain, inilah pelaksanaan dari pada kebajikan." Mas Manca memberi hormat dengan sembah.
"Hamba akan memperhatikan semua wejangan Ramanda kyai." Kyai Buyut Banyubiru lalu berpaling kepada Jaka Tingkir yang menjadi makin kagum mendengar ucapan Kakek itu.
"Orang muda yang gagah, aku tadi mendengar kau bernama Raden karebet atau Jaka Tingkir. Apakah kau datang dari Tingkir?" Jaka Tingkir memberi hormat secara sepatutnya.
"Betul, Paman Panembahan, mendiang Ayah saya adalah Ki Ageng Pengging, akan tetapi semenjak kecil saya tinggal di Tingkir." Wajah Kyai Buyut Banyubiru berseri.
"Jadi kau adalah putera Ki Ageng Pegging Kebokenanga" Aduh anakku, angger...! Kalau begitu cocok dengan mimpiku beberapa hari yang lalu. Dalam mimpiku itu, aku bertemu dengan Ki Ageng Pegging yang minta supaya aku suka menerima titipannya, yaitu puteranya." Jaka Tingkir terkesiap,
"Ampun Paman, apakah saya berhadapan dengan Paman Kyai Buyut Banyubiru?" Kakek itu tertawa sambil mengangguk-angguk kepalanya. Jaka Tingkir menjadi girang sekali lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Cepat Kakek itu membangunkannya sambil berkata,
"Kulup Bagus Karebet. Tak usah kau memberi hormat secara berlebihan. Sungguh kejadian amat menggirangkan dan kebetulan sekali kedatanganmu ini. Tadi kau bertanding dengan Mas Manca putera angkatku" Ha-ha-ha, memang seringkali menjadi kenyataan kata-kata orang bahwa bagi orang-orang yang disebut satria perkasa, takkan saling mengenal kalau belum bertanding! Ketahuilah, Bagus Karebet, dan kau juga Mas Manca. Sesungguhnya kalian ini masih ada ikatan keluarga karena kalian adalah keturunan dari tetesan darah Sang Prabu Brawijaya! Kulup Jaka Tingkir adalah keturunan dari Adipati Andayaningrat di Pegging yang beristerikan puteri sulung dari Sang Prabu Brawijaya dengan puteri Cempat. Adapun kulup Mas manca putera Ki Jambul, kau adalah keturunan dari Raden Jaran Panoleh Adipati Sumenep Pamekasan yang menjadi putera dari Sang Prabu Brawijaya dengan puteri Bagelen. Nah, jelaslah sudah bahwa kalian berdua adalah seketurunan, kulup, masih tetesan darah agung dari Sang Prabu Brawijaya di Majapahit. Karena itu, kalian adalah saudara dan seterusnya harap kalian bersaudara dan saling bela membela, bersama-sama mencari wahyu dari Tuhan Yang Maha Agung. Kulup Mas Manca, kau yang tadi berlaku kurang hormat kepada Jaka Tingkir yang lebih tua dan terhitung Kang Masmu sendiri." Mas Manca lalu memberi hormat kepada Jaka Tingkir sambil berkata dengan senyum,
"Kang mas Jaka Tingkir, aku merasa bersalah dan kau boleh maki dan pukul aku, asal saja kau berjanji akan memberi pelajaran ilmu kedigdayaan kepadaku." Jaka Tingkir memeluk pemuda pering itu.
"Adimas Manca, mendapatkan seorang adik seperti engkau merupakan anugerah yang amat membahagiakan hatiku. Kau tidak bersalah apa-apa." Kemudian Jaka Tingkir juga menuturkan kepada Kyai Buyut Banyubiru tentang pengalamannya dan sebagai penutup ia berkata,
"Oleh karena hamba telah mendapat bisikan di makam Ayah hamba, maka semenjak saat itu hamba ingin bersuwita kepada Paman Kyai, sudilah kiranya memberi kepada hamba yang bodoh." Tentu saja Kyai Buyut Banyubiru menerima permohonan ini dengan senang hati dan demikianlah, semenjak saat itu, Jaka Tingkir menjadi murid Kyai Buyut Banyubiru. Hubungannya dengan Mas Manca seperti saudara kandung saja, demikian pula dengan Ki Wuragil dan Ki Wira, Sudarso dan yang lain-lain.
Segera ia menjadi seorang yang amat dikagumi dan dikasihi karena watak dan tindak tanduknya yang memang lemah lembut dan baik. Kyai Buyut Banyubiru adalah seorang pertapa sakti yang memiliki banyak kewaspadaan. Ia dapat melihat dengan mata batinnya bahwa Jaka Tingkir kelak akan menduduki tempat yang mulia dan Mas Manca akan menjadi pembantunya, maka iapun tak segan-segan untuk menurunkan segala macam ilmunya kepada kedua orang muda itu, terutama sekali kepada Jaka Tingkir. Sampai tiga bulan lamanya Jaka Tingkir menerima gemblengan Kyai Buyut Banyubiru yang selain menurunkan pelajaran ilmu kepandaian dan ilmu batin, juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan kepada Jaka Tingkir. Setelah lewat tiga bulan Kyai Buyut Banyubiru memanggil Jaka Tingkir menghadapnya.
"Kulup Jaka Tingkir. Menurut perhitunganku, sekarang tibalah saatnya bagimu untuk kembali ke Demak. Musim hujan masih belum habis dan biasanya pada musim seperti itu, Sang Prabu tentu berada di Gunung Prawata. Oleh karena itu seyogyanya engkau langsung saja menuju ke Prawata dan agar usahamu mengabdi kembali kepada Sang Prabu dapat berhasil, ada jalannya kulup! Kau bawalah segenggam tanah lempung ini setelah tiba di Prawata kau carilah seekor kerbau danu dan masukkan tanah lempung ini ke dalam telinganya agar dia mengamuk. Hanya sekian saja yang dapat kuterangkan kepadamu, angger, karena aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan. Cuma saja pintaku kepadamu, aku titip adikmu mas Manca supaya selalu berada disampingmu, juga Ki Wuragil dan Ki Wila supaya menjadi pengiring-pengiring atau teman-teman seperjalananmu. Jangan kau berpisahan dengan tiga orang ini, kulup."
"Hamba akan mentaati semua petunjuk Paman Kyai, tak lupa hamba mengucap syukur dan banyak terima kasih atas segala wejangan dan ajaran Paman. Tak lain hanya doa restu Paman yang selalu hamba harapkan."
"Dan restuku selalu mengiringkan perjalanmu, kulup. Sudah cukup kiranya, berangkatlah sekarang juga. Tuhan bersamamu!" Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila juga menyatakan taat akan perintah Kyai Buyut Banyubiru, lalu bermohon diri. Ki Wuragil dan Ki Wila sibuk membereskan perbekalan perjalanan dan akhirnya berangkatlah mereka, diikut doa Kyai Buyut Banyubiru dan diiringkan Sudarso dan kawan-kawannya sampai diluar dusun.
Berat rasa hati Sudarso dan kawannya ditinggal dua orang terkasih ini. Setelah tiba di luar dusun mereka bersalam-salaman lalu berpisah. Di sepanjang perjalanan, Jaka Tingkir dan Mas Manca merasakan kegembiraan besar, karena selain mereka dapat bercakap-cakap dengan hati terbuka dan cocok, juga percakapan mereka diselingi senda gurau Ki Wuragil dan Ki Wila yang menambah kegembiraan hati mereka. Pada suatu hari perjalanan mereka terhalang oleh sebuah bengawan yaitu Bengawan Picis. Bengawan itu cukup besar karena seperti halnya bengawan atau kali lain, apabila musim hujan tiba, menjadi besar bahkan di bagian dataran yang rendah sampai menimbulkan banjir. Mereka berdiri termangu-mangu dipinggir bengawan.
"Dimas Manca, kurasa perjalanan dapat dilanjutkan dengan melalui air. Selain tidak melelahkan, juga lebih menyenangkan. Marilah kita membuat getek."
Mas Manca setuju dan empat orang itu lalu mencari bambu yang tua-tua dan kuat dan dibuatlah getek yang kuat sentausa dan mereka melanjutkan perjalanan dengan getek itu. Memang cepat seperti yang dikatakan Jaka Tingkir. Perjalanan melalui air sungai ini sangat menyenangkan, tidak melelahkan dan lebih cepat pula. Jaka Tingkir dan Mas Manca memegang bambu untuk mengemudi dan menghalau rintangan. Adapun Ki Wuragil dan Ki Wila yang berada di kanan kiri mendayung. Senang sekali naik perahu mendengarkan Ki Wuragil dan Ki Wila bergantian menembang, digameli suara air gemericik. Tengah hari telah jauh lewat dan matahari sudah condong ke barat ketika getek mereka tiba di bagian
begawan yang lebat. Dari jauh saja sudah kelihatan betapa air dibagian itu berputaran dan keadaan yang serem dan angker membuat Jaka Tingkir waspada.
"Dimas Manca, Paman Wuragil dan Ki Wila, berhati-hatilah. Tempat di depan itu tentulah sebuah kedung (bagian dalam dari sungai) yang berbahaya." Tiga orang kawannya bekerja penuh perhatian, tidak ada yang bernyanyi lagi. Perlahan getek memasuki bagian itu dan tiba-tiba mas Manca berseru.
"Lihat... Siapa berlari-lari itu?"" Jaka Tingkir dan yang lain-lain memandang kekiri yang ditunjuk Mas Manca. Ternyata dari dalam hutan di sebelah kiri sungai itu nampak berlari-lari seorang gadis muda yang rambutnya terurai kusut, pakaiannya koyak-koyak dan wajahnya pucat. Sambil berlari-lari gadis itu menangis, terus berlari menuju ke pinggir sungai. Empat orang di atas getek memandang dengan heran dan alangkah kaget ketika melihat betapa gadis itu setelah tiba dipinggir kali yang curam lalu... Meloncat ke air, membuang diri!
"Ya Tuhan lindungi dia"!" Mas Manca berseru dan secepat burung walet menyambar, pemuda perkasa ini sudah terjun dari atas getek ke dalam air! Dengan gerakan indah cepat Mas Manca berenang ke arah perempuan tadi terjatuh, mata tajam memandang ke depan, tak berkedip biar dihantam percikan air.
"Dimas Manca, hati-hati..." Jaka Tingkir memperingatkan dengan kening berkerut. Amat berbahaya berenang di dalam kedung yang air berpusingan itu, pikir Jaka Tingkir. "Paman Wuragil, kakang Wila, lekas dayung getek, kejar Dimas Manca...!"
Mas Manca berdebar gelisah jantungnya ketika tidak melihat lagi gadis yang begitu terjatuh di air, hanya tersembul satu kali saja. Wajah gadis itu ketika tersembul menghadap padanya dan hal ini cukup membuat Mas Manca seakan-akan merasa jantungnya tertikam. Wajah itu! Dalam pandangannya amat ayu, amat manis merak-ati, cantik jelita namun kesemua keindahan itu diliputi kedukaan besar yang amat merawankan hatinya. Betapapun juga jadinya, aku harus dapat menyelamatkannya"! Demikian bisik hati kecil Mas Manca yang membuat kekuatannya bertambah dan dengan pukulan-pukulan lengan tangannya yang kuat, tendangan-tendangan kedua kakinya ke belakang, ia bergerak maju pesat sekali.
"Aduh celaka Mas Wila menjeri, aduh celaka" Dimas Manca" itu ada" ada" buaya"!!" Jaka Tingkir dan Ki Wuragil juga melihat munculnya moncong seekor buaya yang amat besar, tak jauh dari situ. Akan tetapi Mas Manca agaknya tidak mendengar jeritan Ki Wila karena pada saat Ki Wila berseru, pemuda ini sudah menyelam ke bawah untuk mencari gadis tadi. Dan pada saat itu pula moncong buaya besar itupun lenyap dan nampak air bergerak yang membayangkan bahwa binatang buas inipun menyelam dan berenang ke arah yang sama dengan Mas Manca! Selagi Jaka Tingkir berkhawatir, tiba-tiba Ki Wuragil berkata dengan suara gemetar.
"Wah" waahhh" celaka itu..." Jaka Tingkir dan Ki Wila memandang ke kanan dan" mereka melihat segerombolan buaya yang hanya kelihatan sebagian moncongnya di permukaan air, berenang berbondong-bondong seperti barisan dalam jumlah belasan, bahkan puluhan ekor! Buaya-buaya ini berenang ke arah tempat itu dengan cepat sekali.
"Paman Wuragil, kakang Wila, bantulah dari atas getek!" seru Jaka Tingkir sambil tanpa rasa ragu lagi meloncat ke dalam air lalu berenang mengejar Mas Manca. Pada saat itu, Mas Manca sudah berhasil mendapatkan tubuh gadis yang tenggelam tadi, memeluk lalu mengempit gadis itu dengan tangan kiri, menarik tubuh gadis yang pingsan itu ke atas permukaan air. Betapa kagetnya ketika ia melihat moncong buaya terbuka lebar datang menyerangnya, siap untuk mencaplok.
"Bedebah!" Makinya dan tangan kanannya yang dikepal dipukulkan sekuat tenaga ke arah kepala buaya, diantara kedua mata.
"Bukk!" Buaya kesakitan, menyelam dan menyabetkan ekornya yang kuat seperti ruyung baja itu ke arah Mas Manca. Pemuda ini cepat menangkis dengan lengannya. Pukulan ekor itu tidak melukainya, akan tetapi saking kerasnya pukulan, tubuhnya sampai terlempar dan kempitannya pada tubuh si gadis hampir terlepas. Sementara itu buaya tadi telah berenang lagi menyambar.
"Celaka?" keluh Mas Manca. Karena dia harus menjaga supaya gadis itu tidak tenggelam atau tidak terlalu banyak minum air, maka tentu saja gerakan-gerakannya kurang lincah dan kurang leluasa ia menghadapi lawan yang amat berbahaya ini. Baiknya pada saat itu, Jaka Tingkir sudah berenang dekat.
"Dimas Manca, lekas bawa dia berenang ke darat! Biar aku menghadapi setan-setan ini!" kata Jaka Tingkir sambil membetot ekor buaya yang menyergap Mas Manca dari belakang dan sekali menyendal, buaya itu terlempar jauh ke tengah-tengah gerombolan buaya yang berenang mendatangi. Melihat bahwa puluhan ekor buaya datang. Mas Manca terkejut sekali dan cepat-cepat ia berenang membawa gadis itu ketepi bengawan. Ki Wila dan Ki Wuragil tadinya pucat gemetaran hanya berdiri dengan kedua kaki menggigil. Akan tetapi ketika melihat betapa bahaya besar mengancam, mereka lalu mengangkat dayung dan sedapat-dapatnya mereka menghantam ke kanan kiri, ke arah kepala buaya yang berani mendekat getek.
"Mampus kau!" Ki Wila menghantamkan dayungnya sekuat tenaga.
"Prakk!" Buaya yang kena dihantam matanya kaget dan menyelam sambil menyabetkan ekor sedangkan Ki Wila berdiri bengong memandang gagang dayung yang ternyata suah hancur tinggal gagangnya saja di tangannya. Pada saat itu ekor buaya menyambar, namun sedikit banyak Ki Wila pernah mempelajari ilmu, maka dengan tungkaknya bagian yang paling lemah dari buaya terdekat, yaitu bagian matanya.
"Desss!" kalau buaya itu dapat bicara, tentu akan meraung-raung sekerasnya karena matanya pecah dihantam dayung. Ia tidak menyelam, bahkan lalu timbul dan tinggal gagangnya saja karena bagian bawahnya sudah pindah dan mengungsi ke dalam perut buaya. Ki Wuragil melihat mulut buaya demikian lebarnya, melihat gigi yang berbentuk gergaji demikian mengerikan, berdiri seperti patung dengan mulut di buka lebar-lebar!
"Lho, Paman Wuragil! Kau ini bagaimana sih" Lha wong dikeroyok bajul gini malah enak-enak menguap" Kaya penjudi kesiangan saja!" tegur Ki Wila yang dalam keadaan bagaimanapun juga tidak pernah kehilangan sifatnya yang suka berjenaka dan main-main. Ki Wuragil sadar akan dirinya, menjawab,
"Lha itu si bajul buntung tadi menguap di depanku, mulutnya begitu lebar. Siapa orangnya yang tidak ikut-ikutan mengantuk" Menguap itu menular, lho?" Selagi dua orang ini bergurau, tiba-tiba getek itu tergetar dan melambung ke atas, rupanya di seruduk dari bawah oleh buaya-buaya itu. Dua orang itu tentu saja kaget setengah mati, sampai meloncat keatas.
"Ada lindu (gempa bumi)... Lindu?" Ki Wila berteriak-teriak setelah ia dapat turun lagi di atas getek.
"Tolol! Masa di atas air ada lindu" Itu kepala bajul buntung. Hayo colok matanya dengan bambu!" Cela Ki Wuragil dan keduanya yang sudah tidak memegang dayung lagi lalu menyambar dua batang bambu dan dengan cekatan mereka memapas ujung bambu menjadi runcing. Dengan senjata sederhana yang ampuh ini keduanya lalu berjuang. Setiap nampak kepala buaya tersembul dekat bambu runcing mereka meluncur dan menancap mata buaya. Tentu saja sakit sekali mata disate bambu runcing.
Buaya-buaya itu marah dan makin seringlah getek itu terlempar-lempar ke atas membuat dua orang itu berloncatan dan menjaga keseimbangan badan agar tidak terlempar ke dalam air! Yang hebat mengagumkan adalah sepak terjang Jaka Tingkir. Satria perkasa ini bagaikan seekor ikan cucut, berenang meluncur ke sana sini antara kepungan para buaya. Tiap kali tangannya menghantam, seekor buaya terlempar dan tiap kali ibu jari telunjuknya menusuk, sebuah mata buaya menjadi buta dan berlumuran darah. Serangan-serangan buaya dapat dihindarkannya semua dengan tendangan kaki, tangkisan lengan, benar-benar menakjubkan. Betapapun dia seorang manusia yang biasa hidup di darat maka menghadapi keroyokan buaya-buaya yang amat lincah kalau bergerak dalam air, lama kelamaan Jaka Tingkir merasa lelah. Terpaksa ia mencabut kerisnya dan baiknya pada saat itu, setelah meletakkan tubuh gadis yang pingsan di atas tanah.
Mas Manca lalu terjun kembali dan dengan keris ditangan pemuda ini membantu kakaknya mengamuk. Makin banyak buaya yang dibikin buta matanya, semakin kacaulah keadaan binatang-binatang ini. Dalam keadaan buat mereka tidak memperdulikan apa-apa lagi, tidak tahu mana kawan mana lawan, sehingga terjadi perkelahian antara mereka sendiri. Kesempatain ini dipergunakan oleh Mas Manca dan Jaka Tingkir untuk berenang ke getek lalu meloncat ke atas getek. Ki Wuragil dan Wila cepat mendayung getek ke tepi sungai dan keempat orang itu mendarat. Untuk sejenak mereka memandang ke arah pertempuran mati-matian antara para buaya itu sendiri. Namun agaknya binatang-binantang itupun segera mengetahui bahwa lawan sudah tidak ada, maka satu demi satu mereka menyelam dan lenyap dari permukaan air, meninggalkan air yang menjadi keruh dan kemerahan, bekas darah mereka!
Ketika Jaka Tingkir menengok ke kiri dimana tadi Mas Manca berdiri, ia heran karena pemuda itu tidak ada. Cepat ia memutar tubuh dan tersenyum Jaka Tingkir ketika melihat bahwa Mas Manca sedang berlutut menolong gadis yang masih pingsan itu. Ki Wila dengan lagak lucu menjawil (menyentuh) lengan Ki Wuragil sambil menunding-nunding ke arah mas Manca, pecengas-pecengis (menyeringai) seperti monyet mencium trasi. Ki Wuragil juga pringas-pringis sedang Jaka Tingkir tersenyum-senyum saja. Dalam keadaan basah kuyup, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan pakaiannya tidak karuan itu malah menonjolkan kejelitaan yang asli. Tiba-tiba Mas Manca berpaling, wajahnya yang tampan nampak sungguh-sungguh dan membayangkan kegelisahan.
"Eh, Paman Wuragil dan kakang Wila kenapa pringas-pringis saja" Lebih baik lekaslah bantu ini, dia ini... tidak lekas sadar kembali" jangan-jangan?" Berat bagi Mas Manca untuk mengeluarkan kata "Mati." Entah bagaimana begitu melihat gadis ini ketika berlari-lari hendak melempar diri ke sungai, lalu ketika dengan lemah lunglai tubuh gadis itu dipeluk dan diselamatkannya, sampai ketika ia mendukungnya ke daratan dan kemudian sekarang melihat gadis itu rebah terlentang tak bergerak seperti mati, hati pemuda ini tidak karu-karuan rasanya. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami perasaan seperti ini. Menghadapi amukan buaya-buaya ganas tadi, ia tidak merasa gentar sedikitpun, sekarang ketakutan setengah mati kalau-kalau gadis ini tak tertolong nyawanya! Jaka Tingkir datang mendekat, memandang sejenak,
"Dia tidak apa-apa, dimas. Tariklah kedua lengannya ke atas berkali-kali agar mudah baginya bernapas. Paman Wuragil, tolong kau buatkan api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin. Kak Wila, kau ikat baik-baik getek kita pada pohon agar jangan hanyut terbawa air."
Jaka Tingkir lalu pergi hendak mencari makanan, buah-buahan pisang atau apa saja yang dapat dimakan karena bekal mereka tadi sudah hanyut semua di air ketika getek dibuat main bal oleh para bajul. Setelah melakukan petunjuk Jaka Tingkir akhirnya dengan hati lega Mas Manca melihat gadis itu menarik napas panjang, mengeluh dengan suara sayu lalu membuka matanya. Mula-mula ia seperti dalam keadaan nanar, kemudian setelah pandang matanya terang, ia nampak bingung. Pada saat memandang ke arah wajah Mas Manca yang duduk di dekatnya, ia tampak kaget sekali dan tiba-tiba tubuh yang tadinya lemas itu dengan cekatan bergerak anggun.
"Jangan...! Jangan sentuh aku...!" teriaknya seperti orang kalap. Lebih baik kau bunuh aku, lebih baik mati daripada kau sentuh, laki-laki biadab! Perampok kejam!" Mas Manca memandang bingung lalu tersenyum.
"Bocah ayu, jangan kau takut. Aku bukan perampok dan aku... aku takkan menyentuhmu" diluar kehendakmu?" Gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan plak-plak tahu tahu dua kali tangannya menampar pipi Mas Manca. Karuan saja yang ditampar menjadi bengong dan bangkit berdiri dengan bingung, tak tahu harus berbuat apa.
"Manusia iblis! kau kira akan dapat merayuku dengan mukamu yang bagus" Dengan omonganmu yang manis" Kau perampok jahanam, kau menculikku. Hayo pulangkan aku ke desaku atau bunuh saja aku"!" Ia lalu menjatuhkan diri lagi di atas tanah, mendeprok lalu menangis terisak-isak. Terdengar orang tertawa. Ki Wuragil yang tertawa. Dia sedang membuat api unggun dan dia melihat kejadian ini. Hatinya geli sekali dan ia berkata,
"Orang itu kalau sudah cantik manis, dalam pingsan ya cantik, marah-marah tambah manis, kalau menangis kok malah jelita, hemmmm?" Gadis itu mengangkat kepala memandang Ki Wuragil.
"Kaupun perampok ganas, kurang ajar. Laki-laki tiada guna, bisanya hanya menghina kaum wanita!" Lalu gadis itu menangis lagi. Ki Wila yang baru datang mengikat getek dengan pohon, mendengar itu semua lalu berkata dengan suara berirama.
Teja-teja sulaksana Tejanya perawan nan manis!
Ucapannya betul semua Ki Wuragil memang tuk-mis
(batuk kelimis, hidung belang)
Tidak seperti aku, Ki Wila perkasa
Barulah patut disebut satria"
"Setop... Setop"! Kau bajul buntung!" Ki Wuragil memaki-maki sambil mengamangkan tinjunya. Menyaksikan sikap dua orang penuh kelakar itu, si gadis menjadi heran dan mulailah ia memandang ke arah sungai, ke arah getek, lalu berpaling kepada Mas Manca yang basah kuyup dan menundukkan muka. Teringatlah ia dan seketika ia bergemetaran. Kebetulan pada detik itu Mas Manca juga mengangkat muka. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi makin gugup lagi. Alangkah bedanya wajah pemuda di depannya ini sekarang. Tadi pada saat ia sadar dari pingsanya, ia melihat pemuda itu memandangnya seperti mempunyai maksud yang tidak baik, akan tetapi baru sekarang, diantara cahaya senja yang diterangi oleh api unggun, nampaklah wajah yang tampan, sikap yang halus dan sinar mata yang demikian jujur dan bersih.
"Apa" apa yang terjadi..." Di mana aku berada?"" gadis itu bertanya gagap. Karena Mas Manca masih tertegun tak dapat menjawab, terpikat oleh segala keindahan di depan matanya itu, Ki Wuragil menjawab.
"Bocah ayu, kau salah duga. Kami bukan perampok, malah tadi kami melihat kau melempar diri ke dalam sungai. Kalau tidak ada kami", hemm kau tentu sudah berada di perut bajul buntung. Untung ada aku yang menghantami buaya-buaya itu dengan dayung. Dayungku patah, kutendang, kupukul buaya-buaya itu?" Ki Wuragil kumat wataknya bermain-main dan ia mencak-mencak memukul menendang untuk menjelaskan bagaimana ia mengusir para binatang buas untuk menolong gadis itu. Dan"Ki Wila tak mau ketinggalan,
"Setelah datang dekat buaya yang paling besar, entah embahnya barangkali, mau menggigitmu, kupiting dia. Begini! Dan dia memiting leher Ki Wuragil." Tentu saja Pamannya marah, lalu menggigit lengan keponakannya itu sampai Ki Wila menjerit-jerit kesakitan.
"Wadah-didah! Kok ada orang menggigit! Kan aku ini embahnya buaya!" Jawab Ki Wuragil melotot.
"Sudah jangan main-main. Bocah ayu, ketahuilah, sesungguhnya ketika melihat kau meloncat ke dalam air dan dikejar buaya, anakku Mas Manca inilah yang terjun ke dalam air dan menolongmu. Kalau tidak ada dia, tentu kau sudah mati sekarang. Dan sebagai terima kasihmu, kau malah tampar pipinya!" Gadis itu memandang Mas Manca dengan mata terbelalak, sepasang mata bintang yang amat jeli, kemudian sepasang mata itu menitikkan air mata. Ia menutupkan kedua tangan ke depan mukanya lalu menangis lagi, terisak-isak.
"Aduh, Raden... Raden... mengapa kau menolongku" Mengapa tidak kau biarkan mati dan terbebas dari penderitaan dan penghinaan?"
"Waduuuuuh, eman-eman (sayang) muda remaja cantik jelita kok dibiarkan mati..." Kata Ki Wuragil sedangkan Ki Wila hanya menggelengkan kepalanya karena terharu dan ikut sedih melihat sikap gadis itu. Mas Manca berkata lirih,
"Nona ini siapakah" Mengapa pula mengambil keputusan nekat?" Makin menjadi isak tangis itu mendengar suara Mas Manca yang penuh kesabaran dan halus itu.
"Biarkan aku mati" biarkan aku mati?" bisiknya.
"Mati atau hidup adalah hak Tuhan yang menentukan, nona. Segala macam rintangan hidup pasti dapat kita atasi dengan berkah Tuhan. Apakah gerangan yang menyusahkan hatimu" Katakanlah dan aku berjanji akan menolongmu terbebas dari kesulitan itu!" Gadis itu menurunkan tangannya dan dengan musah basah air mata ia memandang wajah Mas Manca. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Ampunkan hambamu ini, Raden. Kau begitu mulia dan aku... aku telah berlaku kurang ajar sekali. Maafkan... maafkan... kukira kau... kalian semua ini... kukira anggota perampok-perampok jahanam itu.." Dengan hati gemetar Mas Manca menyentuh pundak gadis itu, menyuruhnya bangun.
"Duduklah baik-baik dekat api ungguh supaya hangat badanmu, dan ceritakanlah yang jelas." Mereka duduk mengelilingi api unggun, Mas Manca, Ki Wuragil, Ki Wila dan gadis itu. Sekarang dia tidak menangis lagi dan sebelum bicara, kedua lengannya yang berisi, berkulit halus itu membereskan rambutnya yang tadinya riap-riapan, hitam halus dan panjang sekali. Bukan main manisnya sikap ini, duduk dengan kedua tangan di atas, di belakang kepala menyanggul rambut. Mas Manca sampai melongo dan diam-diam Ki Wuragil dan Ki Wila saling senyum melirik ke arah Mas Manca yang sedang terpesona itu.
Setelah selesai menyanggul rambutnya secara sederhana, gadis itu memangku kedua tangan lalu bercerita. Suaranya halus merdu, akan tetapi bahasanya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis dusun yang amat sederhana. Justru keadaannya yang serba sederhana inilah yang membetot-betot jantung Mas Manca, karena kesederhanaan itu menonjolkan kecantikan aseli. Gadis itu bercerita bahwa dia bernama Sriyanti, seorang penduduk desa Pakis yang diserbu oleh segerombolan perampok yang sudah terkenal sejak lama mengganas di sekitar tempat itu. Ayahnya yang sudah duda terbunuh dalam perlawanannya menghadapi para perampok. Sriyanti sendiri lalu diculik, diseret-seret oleh kepala perampok dan dibawa ke sarangnya di dalam hutan tak jauh dari Kedung Srengenge, yaitu nama kedung di sungai itu.
"Lalu, bagaimana kau bisa lari sampai kesini?" tanya Mas Manca, penuh kasihan mendengarkan penuturan si jelita.
"Mereka berpesta-pora, bersenang-senang merayakan hasil perampokan mereka, perampok-perampok jahanam itu. Dalam kesempatan itu, saya dapat menyelinap pergi, lalu saya berlari tanpa tujuan. Akhirnya saya sampai di tepi bengawan dan... dan... karena takut tertawan kembali, saya lalu... lalu..." Gadis itu menangis lagi.
"Sudahlah, Sriyanti. Jangan kau takut. Biarkan mereka datang, manusia-manusia iblis itu. Aku akan melindungi," kata Mas Manca. Pada saat itu, Jaka Tingkir datang membawa setangkai pisang yang sudah masak. Jaka Tingkir tersenyum girang melihat gadis itu kini sudah mau duduk di dekat api unggun dan nampaknya sedang bercakap-cakap dengan Mas Manca. Manis dan cocok menjadi pasangan Mas Manca, pikirnya sambil meletakkan pisang lalu ia sendiri duduk di dekat api. Sriyanti memandang Jaka Tingkir dengan sinar mata terheran-heran dan sinar mata kekaguman tidak tersembunyi dari pandang matanya. Diam-diam Mas Manca merasa tertusuk hatinya menyaksikan sikap gadis ini yang menatap Jaka Tingkir dengan bengong.
"Sriyanti, dia ini adalah kakakku, Bagus Karebet atau Jaka Tingkir. Sebetulnya karena jasa dia inilah maka kau dan aku masih hidup. Ketika aku menolongmu, banyak buaya menyerang dan kalau tidak ada Kang Mas Jaka Tingkir yang mengusir buaya-buaya itu, entah apa akan jadinya dengan diri kita."
"Hush, dimas Manca, kaulah yang berjasa terhadap dia, bukan aku" kata Jaka Tingkir tersenyum lalu ia menoleh kepada gadis itu.
"Namamu Sriyanti. Bagus benar namamu, cocok dengan orangnya." Sriyanti menjadi merah mukanya, hatinya berdebar mendengar pujian ini keluar dari mulut satria yang tampan dan gagah itu. Ia lalu memberi hormat dan berkata lirih,
"Saya haturkan banyak terima kasih kepadamu. Biarlah hutang nyawa ini apabila saya tidak dapat membalasnya, Hyang Agung yang akan membalas kepadamu dengan berkah yang berlimpahan." Jaka Tingkir tersenyum dan melirik nakal ke arah Mas Manca yang hanya menundukkan mukanya.
"Kepada dialah kau harus berterima kasih, manis. Bukan kepadaku. Eh, kenapakah kau ini bocah ayu masih muda belia sudah bosan hidup?" Ki Wuragil lalu mengulangi cerita Sriyanti tentang perampokan-perampokan yang ganas itu. Berdiri alis mata Jaka Tingkir ketika ia mendengar tentang kejahatan itu.
"Kurang ajar benar, kita harus basmi perampok-perampok itu, agar jangan menyusahkan rakyat di sekitar sini. Sriyanti tahukah kau siapa kepala perampok itu?"
"Pernah di dusun dia menyombongkan diri dan mengaku bernama Bajul Sengoro, Raden..." Jaka Tingkir serentak melompat berdiri.
"Bajul Sengoro" Si keparat! Dimana-mana dia mengacau!" Mas Manca, Ki Wuragil, dan Ki Wila terheran melihat Jaka Tingkir marah-marah mendengar nama ini, Mas Manca bertanya,
"Apakah kau sudah mengenal dia, Kakang Mas Jaka Tingkir?" Dengan kemarahan tertahan Jaka Tingkir lalu bercerita tentang Sasono dan Wati di dusun Depoksari yang menjadi korban keganasan Bajul Sengoro dan Dadung Awuk.
"Aku sudah berhasil menyingkirkan si Dadung Awuk dari muka bumi, akan tetapi Bajul Sengoro masih berkeliaran di sini. Biarlah kita tunggu dia dan gerombolannya datang mengejar Sriyanti, kalau mereka tidak datang kita yang akan mencarinya."
"Babo-babo!" Ki Wila bangun berdiri dan petentang-petenteng (membusungkan dada dan bertolak pinggang berlagak).
"Si jahanam Bajul Sengoro, ke sinilah kalau kau ingin pecah dadamu oleh Ki Wila, jago dari Banyubiru!" Melihat lagak Ki Wila, Ki Wuragil lalu menyelinap di belakang Ki Wila, menepuk-nepuk paha sendiri seperti lagak jago lalu berkeruyuk.
"Kukuruyuuuukkkkk!" Ki Wila kaget dan membalik.
"Eh, apa-apaan ini?" tegurnya.
"Kau bilang menjadi jago Banyubiru. Seekor jago harus pandai berkeruyuk, agaknya kau tadi lupa berkeruyuk maka kuwakili!"
Jaka Tingkir dan Mas Manca tertawa menyaksikan kelakar dua orang itu, malah Sriyanti yang masih basah pipinya dengan air mata itu tak dapat menahan senyumnya. Makin manis dia kalau tersenyum. Mas Manca melihat ini dan ia menarik napas panjang, hatinya tak enak dan cemburu. Memang Mas Manca orangnya pemalu. Ia tiba-tiba menjadi pendiam setelah berhadapan dengan Sriyanti yang padahal membuat isi dadanya bergelora tidak keruan. Sebaliknya, Jaka Tingkir yang pernah menduduki pangkat di kota Raja dan banyak bertemu dengan puteri-puteri, dengan ramah dan lincah mengajak Sriyanti bercakap-cakap, malah mengeluarkan kata-kata hiburan pada gadis dusun Pakis ini. Menghadapi ucapan-ucapan manis, melihat kelakar-kelakar Ki Wuragil dan Ki Wila, akhirnya Sriyanti agak terhibur juga dan ia malah mengatakan di depan Jaka Tingkir tanpa ragu-ragu lagi.
"Raden, setelah saya tak berayah ibu lagi dan setelah kau dan saudara-saudaramu menolong saya, tidak ada lain jalan bagi saya kecuali menyerahkan jiwa raga untuk membalas budi. Terimalah permohonan saya untuk mengabdi kepadamu Raden. Biarlah saya menjadi pelayanmu mencuci pakaian kalian, memasakkan nasi dan membersihkan serta menjaga rumahmu. Mendengar ucapan ini, Mas Manca hanya menundukkan mukanya, hatinya terasa perih. Ia amat kasihan kepada gadis ini, namun tak kuasa ia mengeluarkan kata-kata, maka ia hanya mendengarkan saja bagaimana jawaban Jaka Tingkir. Pemuda inipun merasa kasihan dan berkatalah ia dengan halus.
"Sriyanti, jangan kau gelisah. Kami takkan menolong kepalangtanggung. Tentu saja tak mungkin kau turut dengan kami, karena kami sendiri adalah orang-orang yang sedang mencari pekerjaan. Namun percayalah kami akan mencarikan tempat yang aman dan baik untukmu, dan... entahlah, mungkin akan tiba saatnya kami akan memboyongmu..." sambil berkata demikian Jaka Tingkir melirik ke arah Mas Manca dengan senyum di bibir. Ki Wuragil da Ki Wila melihat senyum dan kerling penuh arti ini, akan tetapi yang dilirik menundukkan muka dan tidak melihat hal ini. Baiknya Mas Manca menundukkan dan penerangan api unggun hanya remang-remang sehingga kawan-kawannya tidak melihat wajahnya yang pada saat itu pucat dan sinar matanya sayu. Hatinya mengeluh,
"Aduh nyawa kiranya dia mencintai Kang Mas Jaka Tingkir yang agaknya pun mengimbanginya.."
Wahai... Asmara...! Apa saja yang tak kau timbulkan"
Senang susah, gembira kecewa,
Iri hati di antara kawan!
Terhebat di antara semua itu
Adalah cemburu Anak kandung cinta Dari sahabat setia, Berubah menjadi seteru! Pagi-pagi mereka sudah bersiap hendak melanjutkan perjalanan dengan getek. Selagi Ki Wila berusaha melepaskan ikatan getek pada batang pohon, tiba-tiba terdengar teriakan banyak orang dan dari dalam hutan muncullah orang-orang tinggi besar yang kasar-kasar sikapnya.
"Nah, itu dia burungmu yang terlepas berada bersama orang-orang itu. Kakang Bajul Sengoro!" terdengar seruan keras diantara mereka. Sriyanti nampak ketakutan, tubuhnya gemetaran dan wajahnya pucat. Ia segera berlari di belakang Jaka Tingkir dan Mas Manca yang sudah berdiri tegap menanti datangnya gerombolan orang-orang kasar itu.
"Mereka itukah perampok-perampok yang menculikmu?" tanya Jaka Tingkir tenang kepada Sriyanti. Gadis itu mengangguk, matanya liar memandang ke orang-orang itu yang makin banyak berlompatan keluar dari gerombolan pohon. Puluhan orang banyaknya, membawa senjata tajam. Di depan dengan kumis melintang sekepal sebelah. Tubuhnya seperti rakasa, kuat dan mengerikan, matanya yag sebesar jengkol itu nampak liar, mulutnya yang besar menyeringai.
"Betul itu dia! Ha-ha-ho-ho manisku, kenapa kau melarikan diri" Ha-ha, kau bikin aku semalam tak dapat tidur, gandrung tergila-gila. Hayo manis ke sinilah kau!" Dengan langkah lebar dan menjijikkan orang tinggi besar itu tanpa memperdulikan Jaka Tingkir dan kawan-kawannya, menghampiri Sriyanti. Kawan-kawannya yang puluhan orang banyaknya segera mengurung rombongan Jaka Tingkir. Ki Wuragil dan Ki Wila yang tadinya pucat karena kaget dan takut, sekarang melihat mereka semua terancam bahaya, timbul kegagahan dan keberanian mereka. Ki Wila berdiri menolak pinggang, beradu punggung dengan Ki Wuragil untuk mencegah penyerangan dari belakang. Kebetulan sekali Ki Wila berhadapan dengan seorang anggota perampok yang tubuhnya pendek gemuk, matanya sebelah kanan buta tidak berbiji. Lengan tangannya berotot dan nampak kuat sekali.
"Heh, bajul mata satu mau apa kau datang petentang-petenteng disini?" tegur Ki Wila menentang. Si mata satu menjadi merah mukanya, matanya hanya sebelah itu berapi-api.
"Keparat, kau ini cecak kering, kulihat-lihat tidak ada yang berharga padamu. Pakaianmu butut, mukamu buruk, tubuhmu kurus kering, tidak ada yang bisa dipilih. Tapi aku butuh nyawamu!"
"Babo-Babo! Nyawa cuma satu kau minta" Apa bisa dibeli di pasar" Tidak kuberikan."
"Kau berani melawan aku?" Si Mata satu bertanya mengancam.
"Apamu sih yang kutakuti" Matamu itu?" ejek Ki Wila.


Geger Demak Pajang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurang ajar, si Mata satu menubruk cepat, kedua tangannya digerakkan hendak mencekik leher Ki Wila. Akan tetapi dengan gesit Ki Wila meloncat ke kiri sehingga ia berada di sebelah kanan lawannya. Si mata satu bingung, tidak dapat melihat adanya lawannya karena matanya yang kanan buta. Selagi dia bingung dan hendak memutar tubuhnya ke kanan tiba-tiba Ki Wila mendahuluinya dengan menyodok lambungnya dari kanan dengan jari-jari tangan terbuka.
"Ngekk!" si mata satu peringisan, lalu "Huak... huaaakk!" ia muntah-muntah. Kiranya semalam ia terlalu banyak makan dalam pesta pora, sehingga sekali kena sodok oleh Ki Wila lalu muntah-muntah dan kepalanya puyeng. Celaka bagi Ki Wila yang sama sekali tidak menyangka bahwa lawannya akan muntah-muntah, pakaiannya dibagian bawah dan depan tersiram kotoran yang muncrat keluar dari mulut si mata satu.
"Munyuk monyet...!" Ia memaki, melangkah maju dan gerakan cepat lutut kanannya diangkat menghantam muka si mata satu yang sedang terbongkok-bongkok muntah-muntah.
"Dessss..!" si mata satu mengeluarkan keluhan perlahan lalu terjengkang, roboh dan tak sadarkan diri. Anehnya dari mulutnya terdengar suara mengorok seperti orang tidur mendengkur! Amuk-amuk suramrata jayamrata dengan lagak seperti Raden Gatut Kaca mengamuk, Ki Wila mencak-mencak menantang yuda. Dua tiga orang perampok datang menerjang dan segera terjadi perkelahian mati-matian. Ki Wuragil tidak mau kalah aksi. Tadi ia menghadapi seorang yang kurus kering, tinggi sekali sampai ia harus mendongkrak ketika bicara kepada perampok itu. Ki Wuragil agak gentar menghadapi lawan yang tinggi seperti batang pohon bambu ini. Ia tertawa-tawa kecil lalu mendekati perampok itu, cengar-cengir mengambil hati.
"Eh, kisanak kau kan perampok to" Ngaku saja sudah, kau kan perampok betul tidak?" Perampok jangkung itu menahan kegelian hatinya memandang heran lalu garuk-garuk kepala, pikirnya, Ada orang kok aneh begini, akan tetapi ia menjawab juga,
"Betul, aku perampok. Habis kau mau apa?" Sambil masih tersenyum-senyum lucu, Ki Wuragil berkata,
"Mau apa" Ah, apa-apa juga mau, kau mau memberi apa?" Perampok itu makin heran,
"Agaknya otakmu miring. Baik mari kuberi ini!" Lengannya yang panjang menyambar dan kepalan tangannya hampir saja menempiling kepala Ki Wuragil kalau Ki Wuragil saja tidak cepat-cepat mengelak, si jangkung menerjang dengan pukulan-pukulan tangannya yang panjang.
"Werr, Weerrrrrr!" Ki Wuragil repot mengelak ke kanan kiri, mulutnya berteriak-teriak,
"Eh-eh-eh nanti dulu tahan-tahan...!"
"Kau mau apa lagi?" si Jangkung membentak, mempelototkan matanya yang kecil.
"Kau mengajak berkelahi?" Ki Wuragil menyisingkan kedua lengan bajunya. "Berkelahi ya berkelahi, tapi yang beraturan, jangan main pukul!"
"Lho berkelahi kok tidak boleh pukul kau edan!"
"Aku kalau berkelahi tidak main pukul, tapi main tendang!" secepat kilat kaki Ki Wuragil menendang ke depan, tepat mengenai tulang kering di kaki kiri si Jangkung.
"Takkk!" Ki Wuragil agak meringis-ringis karena kakinya terasa sakit juga beradu dengan tulang kering kaki lawan. Akan tetapi si jangkung berjengkit kesakitan mengangkat kaki kiri yang tertendang, berjingkrang-jingkrang sambil memegangi kaki kirinya itu. Ki Wuragil tertawa lebar, hatinya senang sekali. Akhirnya si jangkung dapat menguasai dirinya dan menurunkan kakinya yang sudah biru itu.
"Kurang ajar kau, akupun bisa menendang."
"Kau cobalah" Ki Wuragil menantang. Lawannya mengangkat kaki kanan dan kaki yang panjang itu terayun mengarah perut Ki Wuragil. Namun Ki Wuragil sudah siap sedia, ia mundur sedikit sehingga kaki itu terbang lewat di depan hidungnya mendatangkan bau yang amat tidak enak.
Cepat ia melangkah maju dan sebelum kaki itu, sudah ditangkapnya dan diangkat ke atas kepala. Setinggi-tingginya si jangkung, sepanjang-panjang kakinya, repot juga dia ketika kaki kanannya ditangkap dan ditahan di atas kepala lawannya, ia berusaha melepaskan kakinya, tapi tidak berhasil. Ki Wuragil lalu mendorong kaki itu makin tinggi, mengerahkan tenaga dan tubuh si jangkung terlempar ke belakang, kepalanya terbentur bau dan untuk waktu agak lama ia tak dapat bangun lagi. Tiga orang kawannya mendesak maju dan seperti juga Ki Wila, Ki Wuragil mengamuk memukul menendang menyikut, malah dengan dengkulnya (lututnya) juga bekerja keras. Sementara itu Jaka Tingkir yang tadi melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa melangkah maju menghampiri Sriyanti tanpa memperdulikan dia dan Mas Manca menjadi marah sekali, ia menghadang dan membentak.
"Keparat jangan kurang ajar" Raksasa itu lagaknya seperti baru melihat adanya Jaka Tingkir dan Mas Manca. Ia menatap wajah Jaka Tingkir dan tertawa dengan sombongnya.
"Heh-heh, bocah bagus. Kau mau apa," minggirlah jangan sampai kepalamu yang tampan itu hancur oleh kepalaku?" Jaka Tingkir tersenyum. Ia maklum bahwa Bajul Sengoro ini tidak mengenalnya lagi karena ia sekarang berpakaian seperti orang biasa, tidak seperti dulu sebagai kepala tamtama ketika Bajul Sengoro ini gagal memasuki sayembara bertanding dengan kerbau jantan.
"Bajul Sengoro kau memang bertubuh manusia, tapi watakmu seperti bajul saja, cocok dengan namamu!"
"Kurang aja, siapa kau?"
"Tak perlu kau mengenal namaku, hanya kuperingatkan kau akan dua buah nama, Sasono dan Wati dari Depoksari," jawab Jaka Tingkir. Pucat seketika wajah Bajul Sengoro mendengar nama-nama ini, dan menduga bahwa pemuda tampan ini hendak membalas dendam, ia mendahului dengan bentakan keras disusul serangannya yang dahsyat. Jaka Tingkir mengelak dan untuk mengukur sampai dimana kepandaian orang kejam ini, Jaka Tingkir hanya main mundur dan menangkis atau mengelak setiap pukulan. Kemudian ternyata olehnya bahwa Bajul Sengoro hanya mengandalkan tenaga besar saja yang ditambah watak kejamnya membuat ia betul-betul seperti seekor Raja buaya saja.
Sementara itu, Mas Manca juga sudah bertanding melawan orang kedua yang memimpin gerombolan perampok itu, tangan kanan Bajul Sengoro yang juga kuat dan ganas, bernama Jalumampang. Melihat banyak sekali perampok yang mengeroyok mereka, terutama sekali melihat betapa Ki Wila dan Ki Wuragil berada dalam bahaya, Mas Manca tidak mau membuang banyak waktu. Begitu melihat kesempatan baik. Ia menendang tangan Jalumampang yang memegang keris sehingga senjata itu terlepas dari pegangan, kemudian disusul pukulan ampuhnya yang tepat mengenai kepala Jalumampang, membuat lawan ini jatuh dan tak dapat bangun lagi selama-lamanya. Melihat Jaka Tingkir masih mempermainkan kepala rampok, Mas Manca berseru.
"Kakang Mas Jaka Tingkir, habisi saja dia itu agar yang lain-lain dapat menakluk." Jaka Tingkir tersenyum mendengar ini, akan tetapi Bajul Sengoro menjadi makin pucat mukanya.
"Kau kau... Raden Jaka Tingkir." Serunya gagap dan pukulan-pukulannya menjadi makin ngawur. Jaka Tingkir yang menganggap bahwa dosa Bajul Sengoro sudah terlalu besar dan bahwa amat berbahaya bagi keselamatan umum kalau orang ini dibiarkan hidup, segera membalas dengan pukulannya yang tepat mengenai dada Bajul Sengoro yang bidang itu. Terdengar kepala perampok itu memekik satu kali lalu roboh dan tewas. Pada waktu itu Ki Wila dan Ki Wuragil sudah payah menghadapi pengeroyokan para perampok. Mereka tidak mendapatkan bantuan karena Jaka Tingkir dan Mas Manca juga dikeroyok oleh perampok.
Ki Wila dan Ki Wuragil mengerahkan seluruh tenaga untuk membela diri, namun karena mereka ini memang tidak pernah bertempur dikeroyok banyak orang tentu saja tak lama kemudian napas mereka sudah senin kemis, dan makin lama gerakan mereka makin lambat. Ketika Ki Wila dengan tenaga terakhir merobohkan seorang perampok dengan tendangannya, dia sendiri yang lemas ikut terhuyung dan tak dapat mencegah lagi ketika dari belakang dia disikap (peluk) oleh seorang lawan, pelukan ini kuat sekali dan kedua lengan Ki Wila yang berada dikanan kiri lambung sudah terpeluk erat. Ia meronta-ronta namun sia-sia belaka, lawan yang menyingkap dari belakang terlalu kuat. Celakanya, perampok itu yang sudah menggunakan kedua tangan untuk memeluk erat-erat tak dapat meyerang dan menggunakan giginya menggigit punggung Ki Wila yang tidak berdaging.
"Aduh, biung. Curang. Kau... aduh jangan menggigit. Wah, wah seperti bajul kelaparan saja aduhhh!" Ki Wila menjerit-jerit kesakitan. Ki Wuragil yang bertempur di dekat situ, mendengar jeritan ini cepat ia meninggalkan lawan-lawannya, melompat ke belakang perampok yang memeluk Ki Wila. Dengan gemas ia menggunakan tangan kanan dengan jari terbuka menyodok lambung perampok itu sekuat tenanganya.
"Hukkk! Perampok itu terpaksa melepaskan pelukannya pada tubuh Ki Wila dan terbatuk-batuk. Setelah terlepas, Ki Wila dengan marah memutar tubuh, dengan mata merah ia lalu menerkam maju. Pada saat itu Ki Wuragil juga mendesak maju. Celaka bagi mereka, lawan mereka itu tiga-tiga jatuh tersungkur sehingga tanpa dapat di cegah lagi Ki Wila dan Ki Wuragil bertumbukan beradu kepala.
"Dukkk" Karena keduanya memang sudah lelah sekali, sekarang kepala mereka saling beradu dengan keras, maka keduanya puyeng dan roboh tanpa bergerak lagi. Pada saat itu dua orang perampok dengan girang sekali lalu menubruk maju, seorang mencekik leher Ki Wila dan seorang lagi mencekik leher Ki Wuragil. Lidah Ki Wila sampai terjulur ke luar dan mata Ki Wuragil mendelik. nyawa mereka sudah sampai di ambang maut. Sriyanti yang melihat jelas kejadian ini karena ia berada dekat dengan dua orang itu timbul keberaniannya dan bangkit rasa setiakawan. Gadis ini mengambil sebuah ruyung yang tadi terlepas dari tangan seorang perampok, lalu berlari-lari menuju ke tempat dimana Ki Wila dan Ki Wuragil dicekik, dua kali ruyungnya di ayun sekuat tenaga ke arah kepala perampok-perampok yang mencekik dua orang itu.
"Dukkkk-Dukkk" Dua orang perampok itu mengeluh dan terguling. Cekikkan mereka terlepas. Ketika Ki Wila dan Ki Wuragil sambil menggosok-gosok leher sadar kembali dari kepusingan mereka melihat Sriyanti berdiri terbelalak dan wajah pucat.
"Aku, aku telah membunuh mereka." Katanya lalu membuang ruyung itu jauh-jauh. Akan tetapi sebetulnya dua orang perampok yang bertubuh kuat itu mana bisa dibunuh oleh tangan yang tak berapa kuat ini" Mereka hanya pingsan dan luka di kepala mereka akibat pukulan ruyung tidak seberapa. Setelah menyaksikan amukan Jaka Tingkir dan Mas Manca, dan melihat pula betapa Bajul Sengoro dan Jalumampang telah tewas, sisa kawanan perampok menjadi gentar hatinya. Jaka Tingkir lalu berseru keras,
"Apakah kalian masih belum mau takluk?" Mendengar bentakan ini, para perampok lalu menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata masing-masing menyatakan takluk kepada dua orang satria yang gagah perkasa itu. Ki Wila dan Ki Wuragil agaknya hendak menyombongkan kegagahan mereka.
"Amuk Suramrata Jayamrata!" mereka bersumbar sambil memukuli dan menendangi para perampok yang sudah berlutut.
"Paman Wuragil, Kakang Wila, cukup! Yang menjadi pemimpin adalah Bajul Sengoro dan penjahat sudah tewas. Orang-orang ini memang telah melakukan kejahatan, namun apabila mereka sudah takluk dan betul-betul berjanji handak merubah jalan hidup mereka. Bertobat dan selanjutnya menjadi orang baik-baik, kita harus dapat memaafkan mereka. Tuhan bersifat Pengampun dan Penyayang." Ketika para perampok itu kemudian diberitahu bahwa satria yang memimpin perlawanan ini itu bukan lain adalah Jaka Tingkir, bekas kepala tamtama di Demak yang sudah tersohor kegagahannya, mereka menyesal bukan main dan berjanji hendak mentaati semua nasihat Jaka Tingkir.
"Mulai sekarang, daerah Kedung Srengenge ini keamanannya kuserahkan kepada kalian," Jaka Tingkir menutup nasihat-nasihatnya untuk mengingatkan mereka kembali kepada jalan kebenaran dan kebijakan, "Apabila kelak aku mendengar kalian masih melakukan kejahatan, jangan sesalkan aku kalau aku datang membasmi kejahatan kalian." Pada keesok harinya, Jaka Tingkir dan rombongannya melanjutkan perjalanan dengan getek, diantara sembah hormat dan selamat jalan oleh para sisa perampok lalu menyediakan tenaga untuk mendayung perahu itu sehingga Ki Wila dan Ki Wuragil dapat duduk bersenda gurau dan menikmati perjalanan itu sambil melepaskan lelah setelah terjadi pertempuran yang hebat.
Masing-masing memamerkan dan membual tentang pertempuran itu, seorang bersombong bahwa ia telah merobohkan sepuluh orang lawan yang kedua membual tentang kegagahannya merobohkan sebelas orang lawan. Pada saat mereka meninggalkan Kedung Srengenge serombongan buaya timbul di kanan kiri getek namun binatang-binatang itu agaknya maklum pula akan kegagahan orang-orang yang berada di atas getek, maka mereka tidak berani mengganggu, malah berenang di kanan kiri dan di depan di belakang getek, seakan-akan mereka inipun hendak mengantar satria-satria dan pengiringnya yang perkasa itu. Dengan girang Ki Wila dan Ki Wuragil menghitung-hitung moncong buaya yang nampak tersembul di permukaan air.
"Ada empat buah bajul mengiringkan kita!" teriak Ki Wila girang, sebetulnya girang paksaan karena di dalam hatinya dak-dik-duk saking takutnya.
"Mereka mengurung kita!" teriak pula Ki Wuragil. "Lihat dikanan kiri di depan dibelakangpun ada!" Jaka Tingkir dan Mas Manca hanya saling pandang dengan tersenyum akan tetapi aneh, ketika Jaka Tingkir melirik kearah Sriyanti, Mas Manca cepat-cepat menundukkan mukanya, dan seri wajahnya menyuram. Perjalanan yang dilakukan berlangsung dengan lancar tanpa ada halangan sesuatu. Setelah tiba di dekat dusun Butuh, Jaka Tingkir lalu mendarat, menyuruh dua orang bekas anggota perampok itu kembali, kemudian dia sendiri mengajak kawan-kawannya pergi ke Butuh.
"Ada keperluan apakah hendak singgah di Butuh, Kakang Mas Jaka Tingkir?" tanya Mas Manca yang selama dalam perjalanan ini selalu bersikap diam.
"Aku akan singgah di tempat kediaman Pamanku, Ki Ageng Butuh untuk mohon doa restu, sekalian untuk mencarikan tempat perlindungan sementara bagi Sriyanti."
"Oh, begitukah?" Mas Manca tidak mengeluarkan kata-kata lagi, hatinya makin tidak karuan rasanya. Jaka Tingkir hanya tersenyum-senyum agaknya iapun sudah maklum akan apa yang mengacaukan isi hati dan pikiran adik angkatnya ini. Ki Ageng Butuh girang sekali, ketika melihat Jaka Tingkir, apalagi ketika matanya yang waspada melihat cahaya terang memancar keluar dari tubuh teruna itu. Tanda bahwa berkah dan wahyu Yang Maha Esa telah turun kepada Jaka Tingkir. Pemuda ini dengan singkat lalu menceritakan semua pengalamannya, dan memperkenalkan Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil dan Sriyanti. Ki Ageng Butuh mengangguk-angguk,
"Bagus" bagus, kulup Bagus Karebet. Kau beruntung sekali bisa mendapatkan petunjuk dari Kyai Buyut Banyubiru. Laksanakanlah segala pesan beliau baik-baik. Memang tepat sekali, pada saat ini Sang Prabu sedang berada di gunung Prawata. Jangan banyak menyia-nyiakan waktu, berangkatlah segera melanjutkan perjalanan menuju ke arah terciptanya cita-citamu, angger."
"Saya hanya mohon doa restu Paman, dan untuk menjadi pegangan, mohon wejangan terakhir", kata Jaka Tingkir yang selalu merendahkan diri dan selalu haus akan nasehat dan wejangan para cerdik pandai. Ki Ageng Butuh mengangguk-angguk lagi, nampak senang sekali.
"Baiklah, kulup Wejangan ini bukan khusus untukmu seorang, melainkan siapapun yang mendengarnya, dapat menggunakannya sebagai satu di antara syarat untuk memenuhi kewajiban hidup manusia utama yang selalu mengikuti jalan kautaman dan tidak hanya menyeleweng daripada kebenaran dan kebajikan. Kalian, angger Mas Manca, Ki Wuragil, Ki Wila, bahkan genduk Sriyanti juga dan para cantrik. Dengarkan baik-baik kata-kataku ini, karena siapa tahu akan dapat menjadi bekal hidup bagi kalian semua." Mas Manca dan kawan-kawannya, termasuk Sriyanti, memberi hormat dan siap ikut mendengarkan, demikian pula para cantrik yaitu murid-murid Ki Ageng Butuh.
"Di dalam hidup di samping penyerahan diri sekuatnya kepada Gusti Yang Maha Kuasa kita harus menyesuaikan diri dengan segala keadaan yang menimpa kita. Senjata kita yang paling utama untuk menjadi pendukung kebajikan dan kebenaran adalah satunya dalam tindak tanduk kita. Yang dimaksudkan dengan hati, adalah suara hati yang selalu harus disesuaikan dengan kebajikan yang digariskan oleh Gusti Yang Suci. Yang dimaksudkan dengan kata adalah ucapan yang keluar dari mulut. Haruslah dijaga agar supaya hati, kata dan perbuatan itu cocok, merupakan tri tunggal yang tak terpisahkan, karena kau ketiganya ini tidak bersatu, tidak sesuai maka berarti kita sudah menyeleweng daripada jalan kebenaran. Baik kata, maupun perbuatan yang dilakukan orang tanpa persesuaian dengan hati, maka akan palsulah kata-kata dan perbuatan betapapun baik nampaknya kata-kata dan perbuatan itu sendiri, apa artinya perbuatan baik dengan kata-kata manis kalau dilakukan dengan hati yang mengandung kebencian" Itulah kata-kata manis dan perbuatan baik yang palsu belaka. Sebaliknya suara hati betapapun baiknya, tanpa dilahirkan berupa kata-kata ataupun perbuatan yang berguna bagi orang lain, maka akan mati dalam dada, tidak ada guna dan artinya. Karena itulah, kulup, dalam keadaan betapapun juga baik kau ditakdirkan menjadi kawula, maupun menjadi orang berkuasa, jagalah satunya hati, kata dan perbuatan."
Banyak-banyak Ki Ageng Butuh memberi wejangan kepada Jaka Tingkir yang didengarkan penuh perhatian pula oleh Mas Manca dan yang lain-lain. Akhirnya, Kakek itu memberi perkenan kepada Jaka Tingkir dan kawan-kawannya untuk berangkat melanjutkan perjalanannya. Jaka Tingkir menyembah dan berkata,
"Ada sebuah lagi yang saya minta Paman sudi mengabulkan permohonan saya." Ki Ageng Butuh tersenyum.
"Tentu saja angger. Akan tetapi apakah yang dapat kuberikan kepadamu" Kau tahu bahwa aku tidak mempunyai apa-apa."
"Bukan permohonan berupa benda, Paman, melainkan mohon budi pertolongan Paman. Sudilah kiranya saya titip adik Sriyanti ini. Dia sudah yatim-piatu, tiada tempat tinggal. Oleh karena saya dan saudara-saudara saya hendak melakukan perjalanan jauh dan mencari pekerjaan, tidak baiklah kalau kami mengajak pergi seorang gadis remaja. Mohon, Paman sudi melindunginya untuk sementara dan kelak, kalau kami sudah mendapat kedudukan, kami akan menjemputnya." Ki Ageng Butuh tertawa,
"Ah hanya untuk itu saja" Tentu saja suka membantumu. Genduk Sriyanti, kau tinggallah disini, anggap seperti rumahmu sendiri dan anggaplah aku sebagai ayahmu sendiri."
"Paman, sebetulnya saya menitipkan Sriyanti adalah atas nama Adimas Manca, karena... Dimas Mancalah yang sebetulnya kelak berhak sepenuhnya untuk menjemput Sriyanti. Bukankah demikian, Dimas?" Jaka Tingkir menoleh kepada Mas Manca yang sejak tadi menundukkan muka saja. Bukan main kagetnya hati Mas Manca mendengar ini, kaget, girang, bercampur rasa menyesal dan malu. Kaget karena tak disangka-sangkanya Jaka Tingkir akan menyatakan hal itu yang tentu saja amat menggirangkan hatinya berbareng menimbulkan rasa malu dan menyesal mengapa selama ini ia diam-diam menaruh hati iri dan cemburu terhadap kakak angkatnya itu. "Bagaimana Dimas Manca" Bukankah demikian kehendakmu?" Jaka Tingkir mendesak lagi untuk menggoda. Mas Manca tak dapat menjawab, tapi dicobanya juga.
"Aku" aku..." Ia tak dapat melanjutkan dan melirik kearah Sriyanti yang kebetulan pula sedang mengerling ke arahnya dengan muka merah. Dua pasang mata bertemu pandang dalam kerlingan, menyampaikan seribu bahasa indah.
"Betul, betul. Memang begitulah." Ki Wuragil dan Ki Wira berkata hampir berbareng sehingga semua orang tersenyum, suasana menjadi riang. Kemudian berangkatlah Jaka Tingkir dan kawan-kawannya meninggalkan Butuh, meninggalkan Sriyanti yang mengantar keberangkatan mereka dengan air mata berlinang.
"Dimas Manca, selama ini kau pendiam saja perasaan hatimu. Tidak kasihankah kau kepada Sriyanti" Ucapkanlah sepatah dua patah kata." Jaka Tingkir berbisik kepada Mas manca ketika melihat Sriyanti berdiri seperti patung dengan wajah pucat dan air mata berlinang. Dengan hati berdebar dan muka merah, Mas Manca menghampiri Sriyanti yang berdiri jauh dari lain orang.
"Yanti, aku berjanji kelak akan datang menjemputmu setelah kami berhasil mendapatkan pekerjaan." Sriyanti yang semenjak pertama kali bertemu dengan Mas Manca memang sudah jatuh hati, hanya mengangguk sambil menggigit bibir. Mas Manca lalu mengeluarkan sebuah kalung terbuat daripada rangkaian batu-batu indah. "Terimalah ini, adikku, ini peninggalan mendiang ibuku kepadaku." Dengan jari-jari tangan gemetar Sriyanti menerima pemberian itu, kemudian ia menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus ia berikan kepada kekasih hatinya ini. Kemudian ia teringat akan sesuatu, lalu berbisik,
"Kang Mas Manca, boleh aku pinjam pisaumu itu sebentar?" Mas Manca terheran, akan tetapi ia meloloskan pisaunya dan memberikannya juga. Sriyanti lalu menarik segumpal rambutnya yang hitam halus dan panjang dan tanpa ragu-ragu ia memotong gumpalan rambut.
"Aku hanya mempunyai ini sebagai tanda mata Kang Mas." Namun tanda mata ini malah lebih berharga daripada benda apapun juga bagi Mas Manca yang menerimanya dengan girang dan selanjutnya ia mengganggap gumpalan rambut hitam halus panjang itu sebagai jimatnya. Jaka Tingkir dan kawan-kawannya melanjutkan perjalanan dengan cepat. Di tengah perjalanan. Mas Manca menggenggam tangan Jaka Tingkir. Dua titik air mata membasahi matanya.
"Kang Mas Jaka, ampunilah adikmu yang bodoh ini. Tadinya aku mengira bahwa Kang Mas" dengan Sriyanti."
"Kau mengira aku hendak merampas Sriyanti dari hatimu, Dimas?" Mas Manca mengangguk malu.
"Aku salah duga, aku memfitnah dalam hati, padahal kau" kau begitu mulia."
"Hushh, sudahlah. Diantara kakak dan adik masa harus memperebutkan wanita?" Perjalanan mereka melalui dusun Gulutan, lalu mengarah ke barat melalui dusun Gerobogan. Setelah tiba di daerah Gunung Prawata, rombongan ini lalu memasuki hutan lebat dan mulailah Jaka Tingkir melakukan siasat seperti yang diajarkan oleh Kyai Buyut Banyubiru kepadanya.
"Kerbau mengamuk! Awas,... Cegat...!" Demikianlah teriakan-teriakan menggegerkan suasana tenteram di pagi hari itu. Orang-orang berlarian hiruk-pikuk, penjaga-penjaga membawa senjata, mereka mencari kerbau yang disebutkan gila dan mengamuk itu. Akan tetapi, ketika mereka ini tiba di tempat kerbau itu, mereka menjadi pucat dan ketakutan, bahkan banyak yang melarikan diri tunggang-langgang.
Mengapa demikian" Ternyata seekor kerbau yang amat besar dan kuat tengah mengamuk dan banyak sudah para penjaga dan pengawal Sultan Trenggono roboh menjadi korban amukan kerbau itu! Tentu saja hal ini merupakan hal aneh yang mendatangkan rasa takut kepada para penjaga. Para pengawal Sultan Trenggono adalah orang-orang pilihan yang sekali pukul dapat menghancurkan kepala kerbau. Mengapa mereka itu sampai menjadi korban kerbau gila itu" Ternyata kerbau ini bukan sembarang kerbau. Jangankan baru dipukul oleh para pengawal, bahkan dihujani tombakpun tidak terlalu, seakan-akan kerbau ini berkulit besi dan kebal terhadap senjata-senjata taman! Sebetulnya ini adalah perbuatan Joko Tingkir yang menjalankan siasat Kyai Buyut Banyubiru.
Dengan kawan-kawannya ia mencari lalu menangkap seekor kerbau jantan yang besar dari dalam hutan. Kemudian diam-diam pada malam hari membawa kerbau itu ke dekat pesanggrahan Sultan. Pada pagi harinya, Jaka Tingkir memasukkan tanah lempung pemberian Kyai Buyut Banyubiru ke dalam telinga kerbau jantan itu. Seketika kerbau itu menjadi seperti gila, mengamuk tidak karuan menggegerkan orang orang di Prawata. Hebatnya, setelah kemasukan tanah lempung itu binatang ini menjadi kebal dan bukan main kuatnya. Ketika Sultan Demak mendengar laporan tentang kerbau yang mengamuk ini, segera keluar dari pesanggrahan dan naik ke panggung. Bukan main marah Sang Prabu ketika melihat bahwa para punggawanya tidak ada yang dapat mengalahkan kerbau itu, bahkan ada beberapa orang yang tewas. Dilihatnya kerbau itu mendengus-dengus dengan mata merah.
"Apakah tidak ada orang yang berani membunuhnya?" Tanya Sang Prabu terheran-heran.
"Banyak yang sudah berusaha namun gagal. Gusti Sultan. Sesungguhnya, ampunkan hamba, soalnya bukan tidak berani melainkan tidak sanggup. Kerbau itu benar-benar luar biasa sekali, dipukul tidak bergerak, ditombak tidak lecet." Sang Prabu merasa kecewa. Alangkah akan memalukan kalau berita ini terdengar oleh daerah lain. Para ponggawanya begitu lemah, sampai seekor kerbau saja dapat membuat kocar-kacir.
"Perintahkan semua ponggawa untuk mengurungnya dari jauh dan jaga baik-baik agar kerbau itu tidak mengamuk ke dusun-dusun dan mendatangkan korban." Perintah Sang Prabu. Perintah ini dijalankan dan barisan ponggawa dengan tombak di tangan mengepung kerbau itu dari jarak jauh, sedangkan orang-orang yang datang menonton "Kerbau Gila" makin banyak datang di tempat itu, berdiri jauh di belakang para ponggawa, takut kalau diamuk kerbau. Di antara para penonton ini terdapatlah Jaka Tingkir, Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila seperti biasa. Ki Wuragil dan Ki Wila bersenda-gurau dan berkelakar.
"Wah, mana orang segini banyaknya tidak ada yang berani melawan seekor kerbau saja" Ki Wila bertanya.
"Apa kau sendiri berani?" tanya Ki Wuragil.
"Aku?" Ki Wila membusungkan dadanya yang tipis. "Semenjak kecil aku bermain-main dengan kerbau. Kalau hanya seekor kerbau saja, huh, kudorong sekali terguling, kupegang ekornya tak dapat bergerak!"
"Waduh-waduh sombongnya. Kalau begitu cobalah kau dorong kerbau gila itu." Ki Wuragil mencela.
"Siapa bilang tadi tentang mendorong kerbau gila" Aku tadi bilang sejak kecil dulu bermain-main dengan kerbau, maksudku kerbau cilik!" Ki Wila membela diri.
"Ooo, tadi Cuma gudel (anak kerbau), to" Wila" Wila..., kukira kau benar-benar seperti Pamanmu ini."
"Lho, rasa yang begini kau anggap bukan jantan" Apa kau kira aku ini betina?" Bantah Ki Wila.
"Kau bukan jatan dan bukan betina, kau wandu (banci), tidak seperti aku ini, kalau aku mau, aku dapat meniup kerbau mati sekali." Ki Wila membelalakkan matanya.
"Kau dapat meniup kerbau mati sekali" Sekali tiup mati" Wah-wah-wah, tapi kalau kau mau, ya" Dan kalau disuruhnya, tentu kau tidak mau" Akal bulus nih!" Ki Wuragil menepuk dada.
"Aku tidak seperti kau..."
"Tentu saja! Kalau kau seperti aku dan sama benar, kan susah membedakan mana kau mana aku" Maksudku, tentang meniup kerbau mati sekali benar hanya bual kosong. Boleh dibuktikan sekarang juga. Betul" Nah, kau tiuplah kerbau edan itu! Ki Wila menunjuk ke arah kerbau yang dikepung di tengah lapangan itu. Yang mana" O, yang itu?" Ki Wuragil dengan lagak sungguh-sungguh mencari lalu menudingkan telunjuknya ke arah kerbau.
"Ki Wila, yang di sana itu masih bergerak-gerak, dia itu kerbau hidup. Apa telingamu sudah pekak" Agaknya malam tadi ada tikus memasuki telingamu maka kau tak dapat mendengar baik-baik lagi. Aku tadi berkata bahwa aku dapat meniup KERBAU MATI! Boleh dibuktikan, bawalah seekor kerbau mati ke sini, aku sanggup meniupnya, Lha yang itu kan kerbau hidup" Walah-walah, kiranya menggunakan akal si kancil"
Ki Wila tertawa, Ki Wuragil tertawa dan semua orang yang menonton di situ mendengar perdebatan dua orang ini juga ikut tertawa. Sultan Trenggono yang duduk di atas panggung dengan hati kecewa, ketika mendengar orang-orang tertawa ini lalu menengok. Hatinya berdebar ketika Sang Prabu melihat seorang pemuda tampan gagah berdiri diantara para penonton. Tidak keliru lagi, pemuda itu tentulah Bagus Kerebet, Jaka Tingkir! Siapa lagi kalau bukan dia yang akan dapat mengalahkan kerbau gila ini" Segera dipanggilnya seorang pengawal datang menghadapnya.
"Kalau aku tidak salah lihat, disana itu berdiri Raden Jaka Tingkir. Kau pergilah mendapatkannya dan sampaikan perintahku bahwa kalau Raden Jaka Tingkir dapat mengalahkan kerbau itu, dosa-dosanya kuampuni dan dia kuterima lagi mengabdi kepadaku di Demak." Girang sekali pengawal ini mendengar
perintah Sang Prabu. Dia dan semua pengawal adalah bekas anak buah Jaka Tingkir, tentu saja mereka semua maklum akan kesaktian pemuda itu yang sesungguhnya amat baik dan mereka sayang. Cepat-cepat pengawal ini turun dari panggung untuk menyampaikan perintah Raja. Mendengar perintah yang disampaikan pengawal ini, Jaka Tingkir tersenyum girang.
"Jangankan baru melawan kerbau, biarpun harus menghadapi seribu ekor gajah atau menyerbu lautan api, kalau Sang Prabu yang memerintahkan aku siap sedia melaksanakannya." Dengan berlari-lari pengawal itu melaporkan kesanggupan ini kepada Sultan Trenggono, tanpa mengurangi sepatah katapun.
Sultan Trenggono diam-diam merasa girang sekali. Ternyata tidak percuma ia menguji kesetiaan Jaka Tingkir yang telah berani mencintai puterinya yang ke empat itu. Jaka Tingkir pemuda perkasa yang biarpun masih keturunan Sang Prabu Brawijaya, jadi masih ada pertalian darah dengan dia sendiri namun semenjak kecil di didik sebagai seorang petani dusun itu, telah diujinya. Diusir dan diuji sambil dimana kesetiannya, dapat lulus baik dan diuji sampai dimana kesetiannya. Hemmm pikir Sang Prabu Trenggono, kalau dia memang dapat membunuh kerbau ini, agaknya memang sudah dikehendaki Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa puteriku kelak menjadi jodohnya. Sementara itu, Jaka Tingkir dengan sikap tenang memasuki lapangan. Atas perintah Sultan, para ponggawaa bersorak-sorak dan gamelan ditabuh dengan lagu Kodok Ngorek.
Suasana menjadi gembira, para penonton yang segera diberi tahu bahwa pemuda tampan itu hendak menandingi kerbau gila, ikut bersorak-sorak. Mas Manca, Ki Wuragil, dan Ki Wila yang sudah maklum bahwa semua ini memang diatur oleh Jaka Tingkir atas petunjuk Kyai Buyut Banyubiru, menonton dari tempat terdekat. Mereka ini sama sekali tidak menaruh perasaan kuatir seperti para penonton lainnya. Kerbau itu begitu mendengar suara gamelan dan suara sorakan yang gemuruh dan hiruk-pikuk, menjadi kaget dan makin marah, siap hendak mengamuk pulas. Maka alangkah marahnya ketika melihat ada orang berani datang mendekati. Kerbau itu mendengus, kaki belakang berdiri terpentang kuat, kaki depan menggaruk-garuk tanah, kepala ditundukkan merendah dengan tanduk siap di depan mengarah lawan, mata merah melirik tajam.
"Kerbau, sudah banyak jasamu, sudah banyak penderitaanmu. Biarlah sebentar kusempurnakan nyawamu," bisik Jaka Tingkir. Sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi lawan yang amat kuat ini. Kerbau itu tiba-tiba menerjang, melompat maju dengan tanduk mengarah perut Jaka Tingkir. Namun dengan lompatan kecil ke samping, amat mudah Jaka Tingkir mengelak. Kerbau itu menjadi makin marah. Cepat tubuhnya berputar dan serangannya yang kedua lebih hebat. Jaka Tingkir memperlihatkan ketangkasannya. Ia menggeser kaki ke kiri dan kedua tangannya bergerak menangkis tanduk kerbau dengan gerakan membuang ke kanan sehingga serudukan kerbau itu menyeleweng. Para penonton bersorak riuh rendah. Makin gembiralah hati Jaka Tingkir, dan makin marahlah kerbau itu yang sudah berkali-kali menyerang namun tak pernah berhasil mengenai lawannya.
Sultan Trenggono tersenyum, diam-diam ia memuji ketangkasan Jaka Tingkir yang berani melawan kerbau sakti sambil tersenyum-senyum malah mempermainkan binatang berbahaya itu. Akhirnya Jaka Tingkir merasa cukup memperlihatkan kegesitannya. Ia merasa penasaran kalau dalam kesempatan yang amat baik ini, selain membuktikan kesetiannya terhadap Sang Prabu, dia tidak pula memperlihatkan kedigdayaannya untuk menarik kasih sayang dan kepercayaan Sultan Trenggono. Ketika kerbau itu datang lari menyeruduk. Jaka Tingkir kali ini tidak mengelak, malah memasang dadanya untuk menerima serudukan tanduk! Para penonton menjerit, ada yang menahan napas. Bahkan Sultan Trenggeno sendiri memandang tak berkedip dengan hati agak kaget. Tanduk kerbau sudah menghantam dada Jaka Tingkir.
"Dukk!" Dan tubuh Jaka Tingkir terlempar ke belakang sampai dua meter lebih. Semua orang kaget sekali, akan tetapi ternyata pemuda itu tidak apa-apa dan jatuhnya juga dalam keadaan berdiri. Diam-diam Jaka Tingkir sendiri terkejut, tak disangkanya bahwa setelah telinga kerbau itu kemasukan lempung dari Kyai Buyut Banyubiru, kerbau itu menjadi demikian kuat dan sakti.
"Pantas saja tidak ada pengawal dan ponggawa yang mampu mengalahkannya," pikir Jaka Tingkir. "Kalau kucabut sekarang tanah lempung itu, tentu dia menjadi lemah. Akan tetapi kalau demikian jadi kurang menarik. Biarlah kulawan dulu dia, sekalian untuk mengukur kepandaian sendiri dan untuk berlatih!" Demikian, pemuda yang perkasa ini sengaja belum mau mengambil tanah lempung yang menjadi jimat di telinga kerbau itu. Malah berkali-kali ia menerima tanduk kerbau dengan perut dan dadanya dan berkali-kali ia dilempar sampai dua tiga meter. Tentu saja pertempuran ini bukan main serunya, membuat para penonton bersorak-sorak memuji keganasan dan kekuatan kerbau yang luar biasa itu, juga tiada habisnya memuji satria yang gagah perkasa lagi tampan itu.
Keadaan pertandingan menjadi makin seru dan tegang, ketika Jaka Tingkir menangkap sepasang tanduk kerbau, lalu terjadilah dorong-mendorong antara dua mahluk yang sama kuatnya itu. Kerbau itu mendengus-dengus dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong lawannya ini dan memepetkannya sampai hancur pada sebatang pohon jati yang besar. Mula-mula memang usahanya berhasil. Ketika kerbau itu mengerahkan tenaga dan kedua paha kaki mengerahkan tenaga dan kedua paha kaki belakangnya menonjolkan obat-obat yang amat kuat. Jaka Tingkir terdorong ke belakang. Semua penonton menjadi pucat dan mengeluarkan keringat dingin karena di belakang pemuda itu terdapat batang pohon besar.
Kalau didorongnya ke situ lalu dipepetkan tentu akan remuk badannya! Jaka Tingkir mengerahkan semua aji kesaktian dan tenaganya, iapun mendorong dan terdengar sorak-sorai gemuruh ketika perlahan-lahan kerbau itu terdorong ke belakang! Dorong-mendorong terjadi, sebentar kerbau terdorong, sebentar manusia terdorong. Akan tetapi berapapun juga kuatnya si kerbau, manusia lebih berakal. Sambil mendorong Jaka Tingkir membuat miring. Jaka Tingkir mengerahkan tenaga terhebat, membekuk ke kanan dan tubuh kerbau yang besar dan berat itu roboh berdebuk, terguling dan rebah miring. Sorak dan tepuk tangan menyambut adegan ini. Tanpa diketahui orang lain, Jaka Tingkir mencabut keluar tanah lempung dari telinga kerbau, kemudian sekali tangan kanannya menghantam,
"Prakkk!" Pecahlah kepala kerbau itu. Sorak gemuruh menyambut kemenangan Jaka Tingkir dan wajah Sultan Trenggono berseri-seri ketika Jaka Tingkir cepat membetulkan letak pakaiannya lalu menghadap padanya.
"Hamba yang berdosa besar menghaturkan sembah kepada Gusti Sultan."
"Bagus, Jaka Tingkir. Kau sudah datang kembali dan tak usah bicara tentang dosa. Semua kesalahanmu sudah kuampuni dan mulai sekarang, kau tidak boleh berjauhan dari aku." Sang Prabu segera memerintahkan para ponggawa berkemas karena hendak kembali ke Demak.
Jaka Tingkir mengajukan permohonan agar supaya adik angkatnya, Mas Manca dan dua orang kawannya Ki Wuragil dan Ki Wila diperkenankan pula ikut. Sultan Demak menyetujui, malah berkenan memberi pangkat kepada tiga orang ini yang tentu saja membuat mereka bergirang dan berterima kasih. Jaka Tingkir mendapatkan kembali kedudukannya yang lama, yaitu kepala tamtama, malah ia amat dikasih Sang Prabu, dianggap putera sendiri. Tak pernah pemuda perkasa ini berpisahan dari samping Sultan Trenggono dan selalu hadir sebagai pengawal pribadi di setiap persidangan. Makin lama makin besarlah pengaruh dan kekuasaan Jaka Tingkir yang merupakan anugerah terbesar bagi pemuda itu ialah kesempatan ini dipergunakannya untuk menyambung tali kasih antara dia dengan puteri keempat.
Mas Manca setelah menerima kedudukan dan kemuliaan, tidak melupakan Sriyanti. Diboyongnya kekasihnya ini ke Demak. Adapun Ki Wuragil dan Ki Wali juga mendapat bagian kebahagiaan Jaka Tingkir. Mereka tetap merupakan penghibur-penghibur dengan kelakar mereka, malah kadang-kadang Sultan Trenggono sendiri berkenan menikmati hiburan mereka dan memberi hadiah kepada mereka. Akhirnya Jaka Tingkir diangkat oleh Sultan Trenggono menjadi adipati di Pajang. Saudara-saudaranya yang amat setia kepadanya, yaitu Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila, mohon perkenalan Sultan untuk ikut dengan Jaka Tingkir ke Pajang. Permohonan ini dikabulkan, maka berangkatlah mereka ke Pajang dan hidup penuh kemuliaan dan kebahagiaan di Pajang.
Jaka Tingkir tidak melupakan jasa-jasa para gurunya. Ki Ageng Butuh dan Kyai Buyut Banyubiru tidak dilupakannya. Orang-orang bijaksana ini ia angkat menjadi penasehat dan keluarga mereka mendapat jaminan secukupnya. Makin lama nama Jaka Tingkir makin terkenal dan dia menjadi seorang diantara para adipati yang amat dikasihi Sri Sultan dan amat besar kekuasaannya. Apalagi setelah ia akhirnya dipungut mantu oleh Sri Sultan, menikah dengan puteri keempat, pengaruhnya makin besar. Pada masa itu, Sultan Trenggono selalu berusaha meluaskan keRajaaan Demak. Sultan mendapat bantuan seorang guru agama yang selain terkenal sebagai seorang guru agama yang pandai, juga terkenal sebagai seorang ahli perang yang banyak siasatnya. Namanya Falatehan atau ada yang menyebutnya Fatahillah.
Dengan bantuan Falatehan inilah banyak tempat diduduki oleh Kerajaan Demak. Pertama-tama Banten diduduki diganti namanya menjadi Jayakarta. Juga Cirebon direbut dan diduduki. Boleh dibilang, seluruh daerah pantai Jawa di utara dari Banten sampai Gresik dikuasai oleh Kesultanan Demak. Makin besarlah Kerajaan di Demak, malah Sultan Trenggono berkali-kali mengirimkan bala bantuan ke Johor dan Aceh yang berperang untuk merebut Malaka. Kemudian di sebelah selatan, Pajang dan Mataram ditaklukan dan kemudian Pajang diberikan kepada Jaka Tingkir yang banyak jasanya dalam merebut daerah ini. Malang bagi Sultan Trenggono, di dalam puncak kebesarannya, ketika ia berusaha memerangi Jawa Timur dengan bantuan Falatehan di mana Sri Sultan sendiri ikut serta, Sultan Trenggono tewas dalam pertempuran.
Peristiwa ini mematahkan semangat tentara Demak yang tidak melanjutkan peperangan dan kembali ke Demak. Falatehan sendiri kembali ke barat, yaitu ke Banten dimana kelak puteranya yang bernama Hassanudin menjadi Raja Banten. Falatehan atau Fatahillah sendiri kabarnya pergi ke Gunung Jati dan kelak terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Sultan Trenggono meninggalkan banyak keturunan. Menurut catatan babad Tanah Jawa, diantara putera-puterinya yang terkenal adalah Puteri Sulung yang menjadi isteri Kyai Langgar putera Ki Ageng Sampang. Puteranya yang kedua bernama Pangeran Harya yang bernasib malang karena tewas hanyut di sungai cemara dalam usia muda dan meninggalkan seorang putera yang masih kecil.
Interview With Nyamuk 1 Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara Bentrok Rimba Persilatan 6
^