Pencarian

Kekasih Dari Kubur 1

Kekasih Dari Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Kekasih Dari Kubur Karya Abdullah Harahap Sumber Image : Awie Dermawan
Pembuat Djvu : Kang Ozan Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
Selesai di edit : 9 Juli 2018, situbondo
Selamat membaca ya !!! *** ABDULLAH HARAHAP KEKASIH DARI KUBUR ABDULLAH HARAHAP KEKASIH DARI KUBUR Novel Karya : Abdullah Harahap Diterbitkan pertama kali oleh :
penerbit BINTANG USAHA JAYA " SURABAYA
Cetakan Pertama : 1998 Lukisan Cover : Fan Sardy
Dilarang mengutip tanpa seijin penulis
Hak Cipta dilindungi undang-undang ALL RlGHTS RESERVED
*** HUJAN turun menderas disertai gelagar guntur serta kilatan petir. Sesekali kilatan petir itu menerangi permukaan hutan di lereng gunung. Dan tampak seperti akan menerpa atap rumbia sebuah pondok kecil yang tegak tak berdaya diantara pepohonan yang bergoyanggoyang oleh goncangan badai.
Di dalam pondok. Rahayuningsih duduk gelisah di dekat tungku. Untuk menghangatkan badan. sekaligus menjaga agar api tidak sampai padam. Air di dalam panci sudah mendidih dari tadi. tetapi Rahayuningsih sama sekali tidak memperhatikannya. Ia Juga terlupa harus segera menanak nasi sebelum nanti ayahnya keburu pulang.
Perasaan gelisahnya begitu kuat. Dan lain dari
biasa. Rahayuningsih bukan menggelisahkan hujan badai yang selama satu minggu terakhir boleh dikata turun hampir setiap hari. Dan hanya sesekali berhenti. itupun paling lama satu dua jam. la menggelisahkan dua hal yang .muncul begitu saja. Dan membuatnya tiba-tiba merasa takut. .
Pertama. ayahnva. Yang tadi sebelum turun hujan dijemput oleh suruhan lurah. Tidak ada penjelasan sama sekali." Beliau bilang. ada urusan sangat penting", si pesuruh memberitahu. " Kedatangan Bapak di tunggu sekarang juga!"
Kemudian ayahnya pergi. Sambil terheran-heran
Sebaliknya Rahayuningsih. Ia tidak merasa heran. mengapa bekas majikan mereka itu tiba-tiba memanggil ayahnya. Firasat Rahayuningsih kuat mengatakan. urusan penting itu pasti menyangkut rahasia yang selama ini terus ia pertahankan dari pengetahuan semua orang. Termasuk ayahnya sendiri.
Entah nasib apa yang menimpa Rahayuningsih. jika nanti ayahnya pulang!
Gemetar. tangan Rahayuningsih mengusap-usap kandungannya yang sudah memasuki usia tujuh bulan. Lalu antara sadar dan tidak. Rahayuningsih berbisik lirih. ' Apa boleh buat. anakku. Jika semua orang akhirnya tahu siapa ayahmu......!"
Seakan mendengar. kandungannya tiba-tiba menggeliat Keras.
ltu adalah yang ketiga kalinya terjadi semenjak kakek si jabang bayi pergi meninggalkan pondok. Dan
setiap kali menggeliat. Rahayuningsih bukan cuma menangkap kerasnya bunyi berdegup jantungnya sendiri. Tetapi juga degup jantung si bayi. Yang memukulmukul kuat. seolah-olah ikut ketakutan memikirkan reaksi _yang mungkin nanti datang dari kakeknya'
Ataukah bayinya sudah ingin keluar"
ltulah hal kedua yang lebih menggelisahkan Rahayuningsih. Ia tidak tahu kapan tetapnya sang bayi akan lahir. Lebih mencemskan lagi. ia benar-benar buta mengenai proses kelahiran. Beberapa hari yang lalu. paraji yang dipanggil ayahnya memang sempat memeriksa. Dan memastikan bahwa kandungan Rahayuningsih betul baru berusia sekitar tujuh bulan:
"Tetapi sewaktu-waktu mungkin saja terjadi kelahiran prematur......". ujar bidan waktu itu. memperingatkan. " Jika kelahiran sebelum waktunya itu tiba dan kalian tidak sempat memanggilku. maka........"
Tidak ada perasaan mulas yang terus menerus sebagaimana dijelaskan oleh paraji tersebut. Juga tandatanda lainnya. yang masih diingat Rahayuningsih satu persatu. Namun bagaimana seandainya paraji lupa memberitahu tanda-tanda di luar kebiasaan yang umum" Misalnya karena bekerja terlalu berat. Karena terpeleset sewaktu berjalan. Atau seperti sekarang ini. karena perasaan takut yang terasa kian menjadi-jadi.
Apa saja kata pa'raji yang harus segera dipersiapkan"
Air hangat. Baskom besar. Kapas serta pembalut. Gunting, atau pisau juga boleh asal tajam serta disterilkan lebih dahulu. Dan.".."
Pintu pondok tiba-tiba membuka Terhempas.
Mcnyangka terbukanya pintu tersebut karena terjangan angin keras Yang memang sempat _menyapu tubuhnya. Rahayuningsih berpaling setengah hati. Masih dengan pikiran menerawang.
Detik berikutnya. Rahayuningsih melompat bangkit. 'ia terperanjat.
Rembesan angin sudah berhenti. Pintu juga sudah tertutup kembali. Dan tahu-tahu Rahayuningsih sudah berhadap-hadapan dengan tiga sosok tubuh bermantel gelap serta gagah. Dua diantara mereka langsung melepas penutup kepala. sementara orang ketiga diam tak bergerak. memperlihatkan wajah pucat serta raguragu.
Lepas dari terperanjatnya. Rahayuningsih akhirnya membuka mulut. Bertanya curiga pada orang terdepan. " Ada perlu apa kalian tiba-tiba datang kemari. Hendro?"
Yang ditanya?"....Suhendro. menyeringai lebar. Sambil balik bertanya. "-Masa kau tidak tahu. Ayu?"
"Yang pasti. aku _yakin kalian bukan sekedar kcbetulan lewat!". jawab Rahayuningsih seraya mengawasi dua orang laki-laki lainnya di belakang Suhendro. " Jika kalian bermaksud ketemu dengan ayahku. dia.......".
"Ayahmu?", Suhendra tertawa. Parau. " Pak lurah akan mengurusnya. Sementara kau. kami yang. akan urus!"
Secara naluriah. Rahayuningsih melangkah surut. " Aku......aku tak mengerti ."!"
Orang kedua di belakang Suhendra. menyela
dengan suara menggigil. Entah menggigil kedinginan. atau apa " Rahasiamu. Ayu. Harus tetap terjaga untuk selama-lamanya!"
"Nah. Kau sudah dengar dari Badrun. untuk urusan apa kami ke sini!". Suhendro menyeringai kembali. seraya melangkah maju dengan cepat;" tetapi sebelum itu kami laksanakan..." "
Begitu mendengar maksud kedatangan mereka. perut Rahay uningsih terasa melilit. Ia seketika mengerti makna kegelisahannya. Dan itu membuat Rahayuningsih bukan hanya" takut. tetapi juga panik. ia-buru-buru mundur menjauh _tanpa memperhatikan ke arah'mana kaki melangkah surut. Akibatnya ia kemudian menjerit sendiri manakala tubuhnya tahu tahu sudah terbanting diatas dipan. Sementara Suhendro langsung menyerbu sambil berseru gembira." Ah. Kau sepertinya sudah tahu apa yang selama ini kuinginkan dari dirimu.....!?"
Dengan kasar Suhendra meluruskan posisi Rahayuningsih diatas dipan. Rahayuningsih merontaronta sekuat tenaga._Sambil memohon. panik. " Jangan. Hendro. Jangan lakukan Itu. Aku sedang hamil!"
"Justru membuatku semakin ingin tahu bagaimana rasanya", kata Suhendro seraya menghimpit keras tubuh Rahayuningsih. Kesulitan mengatasi pukulan serta cakaran tangan mangsanya. Suhendro berseru marah. " Bantu aku meringkusnya. Badrun?" '
Yang disebut Badrun langsung maju dan memenuhi permintaan temannya. Seraya mengakak'ia mengingatkan. ?"Cepatlah. Hendro. Dan jangan berlamalama. Aku juga ingin!"
'Tidaaak.....!". Rahayuningsih menjerit lengking. Tetapi bagian bawah blus longgarnya sudah disingkapkan. " Kumohon. tolonglah Kasihanilah bayiku.........!"
Tetapi celana dalam Rahayu sudah direnggut lepas. Lalu dilemparkan begitu saja. Celana dalam itu melayang ke arah orang ketiga yang masih berdiri diam di dekat pintu. Sedikit pun ia tidak menghindar ketika benda tersebut mengenai wajah pucatnya sebelum terjatuh ke bawah. Gugup, ia bergumam gemetar. " Bukan. Bukan seperti ini yang harus kita lakukan......"
Si muka pucat mencoba bersuara lebih keras. Tetapi ia seketika berpaling, manakala telinganya menangkap jeritan Rahayuningsih. Jeritan panjang. Dan menyayatkan hati. .
Di luar pondok, hujan masih turun. Tetapi badan angin sudah mulai terhenti. Guntur masih terdengar menggelegar. Namun tidak lagi semembahana sebelumnya. Sementara petir sudah jarang menyambarnyambar. Itupun kilatannya kian lama kian menjauh. Cahaya siang hari yang tadinya tertutup, perlahan-lahan mulai menampakkan diri.
Lalu suatu saat, pintu pondok dibuka dari dalam.
Suhendra lebih dulu melangkah keluar. Diikuti oleh Badrun yang membawa gulungan selendang sambil menggerutu. " Mengapa tidak kita lakukan di dalam saja?"
Sambil matanya mencari-cari diantara sapuan hujan. Suhendro mendenguskan jawab. " Kau kemanakan otakmu. he" Penyangga atap bukan dari balok kayu .Tetapi batangan bambu Mana kuat menahan dua
tubuh!" "Dua?" "Ayu'kan lagi bunting!". Suhendro menyeringai. Lebar. Sambil memperhatikan ke arah sebuah pohon dengan beberapa cabang yang tidak begitu tinggi dari tanah. ia kembali mendengus. " Yang kukira cocok!"
Merapatkan mantel dan penutup kepala. mereka berdua kemudian berjalan menunju pohon dimaksud.
"Dipikir-pikir. sialan benar". Badrun menggerutu lagi seraya melangkah hati-hati di tanah becek berlumpur. "' Sementara kita berhujan-hujan. di dalam sana si Parta lagi bernikmat-nikmat sendirian.. .!"
"justru harus kita lakukan selagi hujan masih turun!". Suhendra berkata. Acuh tak acuh. '" Dengan begitu. kita tak usah menghapus jejak!". Ia berhenti setiba di pohon yang dituju. " Siapa yang harus naik?"
*** Di dalam pondok. Suparta justru baru saja naik ke atas tubuh Rahayuningsih yang sudah kehabisan tenaga. Karena terus melihat dan mendengar. ia yang tadinya ragu-ragu akhirnya tergoda juga. Namun perut bunting Rahayuningsih sedikit menganggu pikirannya. Dan membuat Suparta sempat bimbang lagi.
"Tolonglah.".". di bawahnya. Rahayuningsih berkata memelas." Aku sudah tak kuat..."!"
"Cuma sebentar!". Suparta bergumam gugup.
Air mata Rahayuningsih kembali turun menderas. Seakan menyaingi derasnya hujan di luar pondok.
Suparta lantas semakin terganggu saja. Beberapa kali ia gagal membuka pengait tali pinggang celananya.. ltu membuat Suparta tidak cuma ragu. tetapi mulai panik sendiri. Karena -nafsu birahi masih saja _menuntut pelampiasan. Terkutuk benar Mengapa?""
. Suparta tahu-tahu terjengkang.
Tidak siap menerima serangan mendadak, ia jatuh dari dipan Lantas terguling-guling di lantai sambil muka meringis sakit dan kedua tangan memegangi selangkangan yang kena terjangan lutut Rahayuningsih. Pada gulingan terakhir. kepala Suparta membentur sisi tungku perapian. Tungku bergoyang keras.' Dan' panci berisi air mendidih di atasnya menjadi miring dan kemudian terguling.
Suparta tak keburu .menghindar.
Suara jeritannya yang membahana. membuat Badrun yang tengah membelitkan salah satu ujung selendang ke cabang pohon, nyaris terpeleset jatuh.
"Siapa itu yang menjerit?", omel nya terkejut.
" ........Parta!". dengus Suhendro, sama terkejut. Sekaligus ia tinggalkan tempatnya di bawah pohon berlari-lari keeil menuju pondok.
"Hen......!"_. Badrun berdiri tegak tanpa sadar. dan jadi jugalah ia terpeleset. Lantas jatuh terhempas ke tanah becek berlumpur: Ia tidak sampai cidera. Namun maki-makiannya terus saja terdengar selagi berlari mengikuti Suhendro. ' '
*** Rahayuningsih juga berlari
Hanya Saja. larinya sempoyongan. Selain karena tubuhnya sakit-sakit serta kehabisan tenaga. juga karena ia harus menempuh jalan menurun yang licin. Dengan bukit terjal di sisi kiri dan jurang lebar menganga di sebelah kanan jalan setapak yang ia lalui. Hanya itu satu-satunya jalan terdekat ke sungai di bawah sana. Di sepanjang pinggiran sungai ada satu dua rumah penduduk setempat yang ia bisa mintai pertolongan. Atau setelah melewati titian bambu. ia akan tiba di jalan desa. Dan......".
Rahayuningsih terpekik. Kakinya salah menginjak tangga batu. Ia limbung seketika. Reflek sebelah tangan Rahayuningsih menyambar ilalang liar yang tumbuh pada dinding bukit di sebelah kirinya. Berhasil. Tetapi gundukan ilalang yang ia cengkeram malah tercabut. bersama akarakarnya. Gravitasi bumi tidak mampu dielakkan oleh Rahayuningsih. Dan dengan tangan masih mencengkeram sejemput daun ilalang, tubuh Rahayuningsih terhumbalang ke sebalah kanan jalan setapak.
Pada kejap berikutnya. tubuh Rahayuningsih terhumbalang ke sebalah kanan jalan setapak. Tubuhnya melayang cepat lantas lenyap di dalam jurang. Cuma jeritann-ya saja yang_masih terdengar. ltupun kemudian ikut melenyap pula. _
Di ujung jeritan Rahayuningsih, Suh'endro serta Badrun pas baru tiba pada bagian atas jalan setapak. mereka hanya melihat sekilas keadaanyang menimpa diri Suparta. Dan tanpa memperdulikan jerit merit teman mereka yang bernasib sial itu, mereka langsung saja
mengejar ke arah mana Rahayuningsih mereka perkirakan melarikan diri.
Suhendro yang pertama-tama menghentikan langkah. Sambil mendengus pelan." kau dengar itu, Badrun?"
Badrun yang ikut berhenti dengan terkejut, balik bertanya. " Jeritan Ayu" tentu saja aku dengar. Menurutmu, apakah dia......"
"Bukan. Bukan itu yang kumaksud!"
"Lantas?" "Husst. Diamlah. Dan dengarkan" ....."
Badrun tidak hanya mengatupkan mulut. Matanya pun ikut liar mencari-cari. Berusaha menerobos terpaan air hujan yang kembali menderas. Didahului suara berderak derak yang terdengar setengah teredam, tampaklah oleh sebatang pohon tinggi besar tak jauh di hadapan mereka. Pohon yang tumbuh pada dinding bukit di sebelah kiri jalan setapak itu tengah bergerak miring dan terus semakin miring. Untuk kemudian tumbang dengan suara gegap gempita ke arah jurang.
Pada saat bersamaan, baik Suhendro maupun Badrun sama merasakan akan adanya getaran kuat pada bidang tanah tempat kaki mereka berpijak. Disusul oleh suara mengguruh, tetapi jelas bukan suara guntur. Lalu permukaan jalan setapak bertangga batu di hadapan mereka mulai bergerak dan terus bergerak. Lantas tibatiba sudah lenyap begitu saja. Sementara dinding bukit di sebelah kiri jalan setapak yang melenyap itu, terlihat menggeliat hebat.
"Longsor.....", Badrun berbisik. Kaku.
"Mundur !", Suhendro berteriak lantang. sambil kakinya melangkah surut dengan cepat. Tubuh kemudian diputar sama cepatnya. Lantas berlari mendaki ke arah darimana tadinya mereka datang. Badrun bahkan melesat lebih cepat. mendahului Suhendro.
Di belakang mereka, terdengar suara mengguruh yang mendirikan bulu roma.
Dibarengi gelegar guntur.
Dan kilatan petir yang kembali menyambar nyambar .
*** TAHUN demi tahun berlalu sudah. .
Bersama dengan merambatnya waktu. populasi manusia terus pula berjalan. _Di sisi lain. penambahan jumlah manusia itu dengan sendirinya ikut menambah jumlah mereka yang mati. Maka p0pulasi pun berlangsung pula di komplek pemakaman desa, karena mereka yang mati di kota ikut pula dimakamkan di sana.
Lambat laun. komplek yang tadinya cuma sebatas dataran rendah di pinggiran sungai. kini telah merambati bukit. Malah mendekati lereng gunung di_ atasnya. Hal _itu memang dimungkinkan. karena lereng gunung yang dahulunya terjal. kini sudah berubah landai. Bukan karena gerusan tangan manusia yang dari waktu ke waktu.
*** makin membutuhkan lebih banyak tanah lahan. Melainkan karena kehendak alam sendiri. Yang tangantangan gaibnya pernah mengibas kian kemari. Dan mengakibatkan longsor besar yang sampai sekarang maSih tetap diingat oleh penduduk desa di sekitar. Karena selain menimbun kuburan lama. longsoran dinding gunung juga menimbun beberapa buah rumah. Bersama para penghuni yang pada malam yang dilanda hujan banjir itu. sedang tertidur pulas.
Maklum di lereng gunung. Komplek pemakaman yang terkena populasi itu di lain pihak sungguh memenuhi syarat untuk disebut sebagai tempat peristirahatan terakhir. Dengan hijaunya hutan sebagai latar belakang. Ke depan. hamparan permadani kuning dari petak-petak sawah yang siap panen. sungai yang airnya mengalir deras serta bening. Dan di seberang sungai. desa bersuasana nyaman yang sebagian bangunannya tidak mau ketinggalan dengan model bangunan orang-orang kota. Kendaraan berbagai jenis tampak hilir mudik di jalanan yang telah diaspal.
Dan jalanan aspal yang menuju komplek pemakaman. terlihatlah pada siang hari itu deretan kendaraan sedang menyeberangi jembatan di atas sungai. Lalu berhenti satu persatu di sebuah lapangan terbuka yang memang disediakan sebagai lahan parkir. Tak lama kemudian. ratusan manusia yang turun dari kendaraan. ganti berjalan kaki secara berkelompok-kelompok mengikuti rombongan paling depan yang menggotong sebuah keranda jenazah. Dan setelah berlelah-lelah mendaki diantara bidang-bidang pekuburan. iringan
pejalan kaki itu akhirnya berhenti di daerah ketinggian. Tidak berapa jauh dari pepohonan yang tumbuh melatar depani hutan rimbun yang bagian dalamnya tampak remang remang.
Sampai keranda diturunkan di dekat lubang kubur _ yang dituju, tidak timbul masalah apa apa. Kecuali kelelahan pisik para pengantar. Itupun segera terhilangkan oleh sapuan angin sejuk. Mana tersedia pula banyak tempat berteduh di bawah naungan pepohonan rindang.
Masalah, baru timbul setelah tiba waktunya jenazah si mati diturunkan ke liang lahat. ,
Sewaktu menerima jenazah yang diturunkan dari atas, satu dari tiga orang yang berdiri di sebalah dalam kuburan, tiba tiba memprotes. " Lepaskan. Jangan ditahan begitu!"
"Kami tidak menahannya", jawab yang di atas sambil mengembangkan tangan dengan wajah terheranheran.
"Tetapi kok jadi berat begini.".-", ujar'yang di bawah, sementara dua temannya yang sama sama menerima jenazah, tampak berdirinya goyah.
"Awas!", seseorang berteriak. Memperingatkan.
Peringatan yang sia-sia. Karena salah seorang penerima jenazah sudah keburu limbung. Dua temannya ikut ikutan limbung. Dan tanpa sempat menahan, jenazah tahu tahu sudah terlepas dari' pegangan mereka bertiga. Lantas jatuh terhempas di liang lahat.
Dengan suara berdebuk. Mengejutkan.
Sempat ribut dan saling tuding sebentar, ketiga
orang tersebut akhirnya berhasil ditenangkan oleh Lurah yang turun tangan melerai. Posisi jenazah kemudian dibetulkan sebagaimana baiknya. Tali pengikat jenazah diturunkan lalu dipasang satu persatu. Mungkin masih terpengaruh oleh insiden mengejutkan tadi, si pemasang papan tampak gugup malah kemudian pucat. Karena bilah-bilah papan yang ia susun, beberap kali terlepas dari tempatnya sebelum semua papan akhirnya terpasang juga dengan benar.
Si pemasang papan kemudian dibantu naik ke atas.
"Aneh!". ia bergumam lirih dan sedikit gemetar. " Tadi sepertinya ada yang sengaja menjatuh jatuhkan papan. Setelah aku beristigfar, barulah gangguan itu berhenti!"
Keanehan lain segera menyusul.
Yakni beberapa saat setelah dimulainya penimbunan tanah ke lubang kubur. Di bagian bawah. seorang sukarelawan yang wajahnya sebagaian cacat bekas terkelupas, mendadak tertegak kaku dengan wajah cacatnya berubah pucat pasi. yang lain terus saja bekerja mimmbun dan memadatkan tanah. Tetapi lurah yang menyaksikan kesibukan warganya itu keburu melihat.
Lantas menegur. " Ada apa denganmu, Parta?"
Yang ditegur, Suparta,menjawab gugup. " Kaki saya, Pak lurah........"
Pekerjaan segera dihentikan, sementara lurah berjalan mendekat. " Memangnya kakimu kenapa!"
"Ada yang.....membetot", sahut Suparta. Menggagap.
"Ah. Yang benar?"
Belasan pasang mata serempak melihat ke arah kaki Suparta. Terlihatlah sepasang kaki Suparta sampai batas pergelangan, terbenam dalam timbunan tanah yang sudah dipadatkan.
Seorang pekerja di samping Suparta. berkata menyeringai. " kau sih. Berdiri terus. Jadinya tertimbun. Untung baru sebatas pergelangan kaki!"
"Sudah, sudah......!". Lurah menukas tak senang. " Bantu dia naik!"
Gemetar Suparta mengulurkan tangan ke atas.
Namun ternyata diperlukan tenaga beberapa orang untuk menariknya bersama-sama sebelum kaki Suparta terlepas dari benaman tanah. hanya saja. terlepasnya sangat tiba tiba. Dengan akibat, tubuh Suparta terangkat cepat setengah melayang. Lantas jatuh berguling-guling di sebelah luar lubang kubur. Timpa menimpa dengan mereka yang tadi menarik. Termasuk Pak Lurah.
Meskipun pekerjaan selanjutnya berjalan lancar tanpa gangguan apa-apa lagi, suasana khidmat lenyap sudah. Ketegangan serta perasaan takut datang menggantikan. Menyambar diam-diam. Bersama gunjingan yang disampaikan secara berbisik-bisik di sana-sini. Sehingga ajengan Marsudi yang bertugas membacakan do'a penutup upacara, tergugah untuk memberi wejangan yang bernada sedikit keras.
"Barusan tadi aku mendengar bisik-bisik. Bahwa almarhum tidak rela dikebumikan!". begitu antara lain ajengan'Marsudi berkata. " Aku tidak akan mengatakan itu benar atau salah. Tetapi ingin beri nasehat. Marilah kita semua yang hadir di sini sama bermawas diri. Dan
ingat! Ucap kata serta perilaku semasa hidup, kelak akan ikut menentukan nasib kita setelah mati. Juga harap diingat.....!". ia berhenti sejenak. Untuk memberi tekanan pada kata-kata berikutnya. " Tidak mustahil bukan kitalah yang tidak rela dikebumikan. Tetapi justru bumilah yang tidak rela menerima kehadiran jenazah kita!"
Semua yang mendengar sama terdiam. tanpa kata.
Ajengan Marsudi lantas mengakhiri upacara pemakaman dengan pembacaan do"a_ Begitu upacara dinyatakan selesai, semua orang kemudian berlalu meninggalkan tempat masing-masing. Sebagian dengan bergegas karena masih menyimpan perasaan tegang atau takut.
' Tinggal gundukan tanah memerah saja yang masih berada di tempat. Bersama tebaran bunga rampai. Dan kayu nisan sebagai tanda pengenal.
Di kayu nisan itu terbaca sebuah nama Badrun.
'Malam pun datang. 'Malam yang sebenarnya tenang dan damai. Karena langit tampak membiru lembut. Sementara rembulan pun bersinar-sinar penuh kasih sayang.
Tetapi tidak demikian halnya di pekuburan desa.
Suasana sunyi di pekuburan mendadak diganggu oleh _jeritan sayup-sayup yang diselang selang oleh ucapan-ucapan bernada ketakutan dari seorang laki-laki. ?"Tidak. Biarkan aku sendirian. Tolonglah......!"
Jerit ketakutan lagi. Lalu tangis bayi.
Lalu suara si lelaki kembali terdengar. " Aku memang bersalah! Aku memang bersalah! Tolong. ampunilah aku! Jangan kalian siksa aku lagi! Tolonglah! Tolooong.._" .!"
Sebagai jawabannya, terdengar umpat caci seorang perempuan. Sementara lengking tangiS' bayi kian mengeras juga. Dari gundukan tanah merah dikuburan Badrun..."dari mana suara-suara itu terdengar, perlahanlahan tampak bergetar dan terus bergetar semakin kuat.
Didahului jerit kemarahan seorang perempuan. kuburan Badrun pun terguncang. Lantas terbongkar dengan hebat. Dan dari sebelah dalam lubang kubur yang terbuka menganga. jenazah yang terbungkus kain kafan tampak melesat keluar.
Lalu terbang menghilang. Menembus kegelapan malam.
*** KEMUDIAN, teror pun melanda penduduk desa.
Keluarga beserta kerabat dekat Badrun sedang berdzikir di tengah rumah ketika sekonyong-konyong terdengar bunyi atap pecah. Lalu bersama pecahan genteng serta eternit. dari langit-langit jatuhlah benda putih besar. Mendarat keras di tengah kelompok pedzikir yang sama terpukau saat mendengar hingar-bingarnya atap pecah tadi. Meski ada yang tertimpa pecahan genteng atau eternit. tak seorangpun yang mengaduh apalagi bergerak dari tempat duduk masing-masing. Semua menatap terkesima pada benda putih yang jatuh berdebuk di hadapan mereka. Dari wujud benda, mudah diketahui apakah itu gerangan.
Yakni sesosok jenazah. yang masih terbungkus kain
kafan! Belum juga lenyap perasaan terkesima, dari luar rumah sudah terdengar jerit lengking seorang perempuan. ?" manusia keji dan hina! Tak sudi aku berdekaman dengan tubuh najismu...!"
Beberapa orang segera tersadar. Lantas sama menghambur dari ruangan. Berlari saling dahulu mendahului keluar rumah. Setelah ribut mencari-cari kian kemari. seseorang kemudian berseru sambil menunjuk ke atas.
"Itu dia! Di atap!"
Semua kepala mendongak seketika. Dan tampaklah sesosok tubuh gelap berdiri mengangkang di wuwungan atap. Kecuali rambut panjangnya yang berkibar-kibar ditiup angin, wajah si perempuan tidak terlihat jelas. Namun dari balik wajah gelapnya. tcrasakan benar adanya Sorotan mata yang tajam menghunjam.
"'Kalian!", sang sosok menuding ke arah orangorang di bawahnya. "Singkirkan dia dari sisiku. Atau kalian akan menerima akibatnya. Mengerti"!"
Tanpa menunggu komentar. sosok si perempuan kemudian melesat dari tempatnya berdiri. Melompat cepat dari-satu atap ke atap rumah lainnya Untuk kemudian lenyap di kejauhan. Ditelan gelapnya malam.
Sementara di luar rumah orang-orang pada ribut berkerumun, bapak ajengan dibantu beberapa orang pemberani tengah membukai dengan hati-hati kain kafan
penutup jenazah. Mula-mula. tentu saja bagian kepala. Dan muncullah wajah Badrun yang pucat membiru. Sepasang matanya melotot lebar-lebar sementara mulut pun terbuka menganga. Dengan tarikan wajah yang jelas tersiksa seperti menahan perasaan takut yang luar biasa. Seolah-olah jenazah Badrun habis menyaksikan sesuatu yang jauh lebih mengerikan dibanding penampilan dirinya sendiri!
Seseorang terdengar mendesah. Seram.
Marsudi sendiri juga ribut merinding. Ia yang dipanggil buru-buru tidak menyangka sedikit pun akan menyaksikan pemandangan yang begitu mendirikan bulu roma. Sedikit gemetar. telapak serta jari jemari tangannya diusapkan ke mata lalu mulut jenazah. ia tahu bahwa proses kematian telah berlangsung belasan jam. Sehingga kelopak mata serta mulut yang membuka itu gagal ia katupkan. Saking sudah membeku dan seakan mengeras seperti batu.
"Entah kekuatan gaib apa yang mampu membuat jenazah ini membuka mata serta mulutnya!". Marsudi membatin diam-diam. " Namun kekuatan Allah tidak bakal ada yang menandingi!"
Marsudi pun berdo'a sejenak.
Baru setelah itu tangannya bergerak kembali ke tempat yang sama. Dan ketika tangan Marsudi ditarik mundur. kelopak mata serta mulut jenazah sudah mengatup. Mesti tidak begitu rapat. Dan tarikan wajah yang menyimpan ketakutan itu masih tetap terlihat. Biarlah. Yang penting wajah mayat tampak lebih pantas .Tidak lagi semengerikan tadi.
Menit demi menit yang menegangkan berlalu sudah ketika akhirnya Marsudi selesai memeriksa bagian lain dari tubuh' mayat. Hanya dengan pandangan sepintas lalu. tentu saja. Sebagaimana yang kemudian di utarakan oleh Marsudi dengan suara bergetar." Kalian sudah lihat. Tidak ada bagian luar tubuh yang rusak. Jika pun di dalam ada tulang-tulang yang patah. tidak ada manfaat buat kita membetulkannya!"
Yang lain mengangguk setuju. Kain kafan yang kotor berlumpur. dilepas hati-hati. Lalu jenazah Badrun ditutup rapat dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dengan memakai sehelai selendang yang sudah disediakan untuk keperluan tersebut. Bau wewangian yang sebelumnya sudah disemprotkan untuk meredam bau mayat. tercium melemah. Seseorang lantas bangkit dari duduknya untuk mengambil tabung minyak wangi yang kemudian ia Semprotkan kian kemari. Dari saku ia keluarkan pula beberapa butir kapur barus yang ia lemparkan seingatnya saja ke sana sini. Menambah jumlah butiran yang lebih dahulu sudah ditebarkan ke setiap sudut ruangan.
Orang yang duduk dengan wajah masih pucat di sebelah Marsudi. membuka mulut dengan perasan segan." Apa tindakan kita. Pak Ajengan?"
"Menguburkan dia kembali......". sahut Marsudi diiringi senyuman getir." Tetapi tentu saja hal itu baru besok dapat kita laksanakan!" '
"Yang aku maksud." sipenanya menegaskan." Terhadap setan yang membongkar kuburan lalu melemparkan jenazah Badrun ke rumah ini!"
"Setan. Nak Hendro ?". Marsudi balik bertanya. Lembut. namun terdengar tajam.
Suhendro. yang ditanya. menjawab setengah marah. " Lantas mahluk apa lagi kiranya yang mampu berbuat kekejaman yang mengerikan ini?"
"Hem."!"_ marsudi mendengus. Sejenak merenung, ia kemudian membuka mulut. '" Baiklah. Aku pun sependapat bahwa semua ini perbuatan setan". ia berujar. Tenang. " tetapi sebelum kita berpikir bagai
mana kita harus menindaknya, adalah lebih baik bila ' kita lebih dulu berpikir. Setan macam apa dia itu. Atau persisnya. Apa yang membuat dirinya berubah jadi setan!"
"Maksud Bapak?". Suhendro bertanya. Tak mengerti. Yang lain ikut mendengarkan. Dengan tatap mata sama ingin tahu.
"Marilah kita simak apa-apa yang tadi kudengar dari pembicaraan orang yang menjemputku ke rumah......"__ jawab Marsudi. Ada dua hal yang patut kita kaji dari ucapan-ucapan setan itu. Pertama. dia menyebut-nyebut manusia keji dan hina. Juga tubuh najis. Yang kesemua jelas-jelas ditujukan pada jenazah di hadapan kita ini........"
Marsudi berhenti sejenak. Seraya mengawasi selendang. yang menutupi jenazah. Para pendengarnya
ikut memperhatikan ke arah sama. Dengan pandangan takut-takut.
"Jenazah. " Marsudi melanjutkan.".......adalah benda mati yang tidak lagi dapat berbuat sesuatu apapun juga yang bisa menyakiti hati orang atau mahluk lain. Maka .
kita harus tarik ke belakang. Yakni semasa almarhum masih hidup. Adakah seseorang dari kalian yang mengetahui. Kira-kira perbuatan keji apa dan sehina apa gerangan yang telah diperbuat Badrun. Sehingga dirinya lantas disamakan dengan najis?"
Tak ada yang mampu menjawab.
Terlebih-lebih lagi, Suhendro. Mulutnya bungkam membisu. tetapi sel-sel otak diam-diam bekerja ekstra keras. Terlalu banyak yang harus diingat. " Tetapi yang mana kiranya?". Suhendra membathin. Bingung sendiri.
"Hal ke dua.....", Marsudi sudah berujar lagi." Setan itu berkata tidak sudi berdekatan dengan almarhum atau katakanlah, jenazahnya. Lantas jenazah almarhum pun dia singkirkan dari tempatnya terkubur. Mengapa-mengapanya, nanti saja kita perdebatkan. Yang pasti.... menurut hematku, terlemparnya jenazah Badrun jelas bersumber di dalam atau di sekitar kuburannya!"
"Aku sependapat dengan Bapak Ajengan!", Suhendro manggut-manggut setuju. " Jadi yang pertamatama harus kita lakukan, adalah membongkar kuburan disekitar lubang kubur Badrun!"
"Tetapi, kuburan siapa?", Marsudi bergumam. Pahit. " Atau kalau kita kembali pada persoalan semula. pertanyaannya adalah. Yang kelak harus kita hadapi itu.."setan siapa"!"
Sekali lagi tidak ada yang menyahut.
Menarik nafas pun. takut.
*** K EMATiAN Badrun membuat Suparta terus saja dihinggapi perasaan tegang serta gelisah. Lebih-lebih lagi setelah terjadinya peristiwa-peristiwa ganjil di pemakaman. Apapun juga diomongkan orang. Suparta hanya menyakini satu hal saja. Bahwa Badrun tidak mau mati sendirian. Atau paling tidak dikubur sendirian. itu maka kaki Suparta di betot oleh roh Badrun Karena Badrun tidak mau ditinggalkan oleh orang yang ikut pegang andil dalam kematiannya! Pikiran menakutkan itulah yang membuat Suparta merasa tegang serta gelisah. Dan biasanya. perasaan demikian dapat dihilangkan Suparta dengan menempuh dua cara yang paling mudah dan praktis. Bermain cinta. atau berjudi. Tetapi istrinya ia tinggalkan di kota
bersama dua anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar Mcngencani pelacur" Di kota sih, gampang. Di desa kelahirannya, jangan coba-coba. Mudah ketahuan, dan keluargalah yang dapat malu besar.
Maka sepulang dari pemakaman, Suparta pun langsung pergi bermain kartu domino di rumah salah seorang teman masa kecilnya. Taruhan uangnya tidak begitu besar. Maklum di desa. Biarlah. yang penting, bisa saling menertawakan, bisa saling meledek sampai telinga panas dibuatnya. Dan tanpa terasa, hari tiba-tiba sudah jatuh malam .Istri temannya mengomel, dan permainan pun bubar.
Setelah berpisah dengan dua teman lain untuk menempuh arah pulang masing-masing. Suparta tiba-tiba kembali merasa sendirian. Lalu perasaan tegang serta gelisah itu kembali pula datang mengusik. Saking jengkel, ia mengumpat sendirian. " Sialan kau Badrun! Kau yang punya ulah, mengapa aku yang disalahkan"!"
Ah, benar. Mengapa tidak"
Sebagai supir pribadi Badrun, Suparta tidak bisa menolak ajakan Badrun untuk pulang ke desa mereka barang satu dua hari.
"Aku mendadak rindu keluarga dan ingin menziarahi makam ayahku ", kata Badrun.
Dan pada saat berziarah itulah bencana terjadi!
Sehabis berdo'a di makam ayahnya, Badrun tibatiba meringis. " Ya, ampun. Aku tak bisa menahannya lagi. Dari tadi aku sudah ingin kencing!"
Sambil mengeluh demikian, Badrun enak saja
membuka resluiting celananya. Terkejut, Suparta mencegah. " Jangan di sini. Pantang!"
"Lantas di mana?", Badrun mendengus. Tak sabar.
Suparta cepat menyapukan pandang ke sekitar. Lalu menunjuk ke sebidang tanah kosong. " Tuh di sana. Tak terlalu dekat dengan kuburan orang!"
Badrunpun membuang hajatnya sepuas-puas hati. Dan kepada Suparta ia kemudian menyeringai gembira. " Terima kasih, sahabat. Aku merasa lebih enak sekarang. Tanpa kau, tadi aku pasti berbuat kualat..."!"
Tetapi semasuk ke mobil, tahu-tahu Badrun meringis kembali. Suparta bertanya sambil tertawa. " Ada apa" Mau kencing lagi ya?"
Badrun menggeleng." perih sekali rasanya!"
Sambil terus menjalankan'mobil, Suparta bertanya heran. " Apamu yang perih, Drun'?"
"Anu-ku?". Badrun mengerang sakit." Jangan
jangan kencing batuku kambuh lagi...." ' Suparta menjadi kuatir menakala Badrun terus saja merintih kesakitan di sepanjang perjalanan. Tiba di rumah keluarganya, Badrun langsung menyerbu kamar mandi. Baru juga masuk sebentar, ia sudah berteriak memanggil :"....Partaaaa " '
Seisi rumah kaget oleh teriakan keras Badrun. lebih-lebih Suparta. Bukan karena namanya yang dipanggil. Melainkan, karena teriakan majikan yang juga sahabatnya itu. terdengar bernada panik. Malah seperti ketakutan. Suparta pun menghambur ke kamar mandi, diikuti oleh salah seorang adik laki-laki Badrun. Dan apa yang mereka saksikan di kamar mandi, membuat
Suparta dan adik Badrun terpana ngeri .Badrun tampak merapatkan punggung ke tembok kamar mandi. Sekujur tubuhnya bergemetar. wajah pun sepucat kertas. Baru setelah melihat lebih ke bawah. Suparta menyadari apa yang membuat Badrun seperti habis melihat hantu.
celana panjang serta celana dalam Badrun menggantung terbuka pada lututnya. Dan di kebugilan bagian bawah tubuh Badrun. terlihatkan kemaluannya membengkak besar, begitu pula dengan buah dzakar. Sudah bengkak, berdenyut-denyut keras pula. Setiap kali berdenyut. kemaluan serta buah dzakar Badrun terus saja membesar!
Seisi rumahpun gempar. Seseorang terdengar berteriak. panik. " Panggil dukun. Cepat!"
Sambil menunggu kedatangan dukun, Badrun digotong beramai-ramai ke kamar tidur. Rintihan dan jerit kesakitannya kian menjadi-jadi. yang dipegangi Badrun dengan cepat ikut pula membengkak, menyusul kemudian perut. Badrun sampai meronta-ronta, lantas kesurupan. Orang-orang yang memegangi termasuk Suparta. habis dilemparkan kian kemari.
Begitu terbebas, Badrun berguling-guling di tempat tidur. Jatuh ke lantai. -ia_menggelepar sejenak seperti orang sekarat. Lalu tiba-tiba saja, tubuhnya berhenti menggelepar. Diam tak bergerak-gerak. Sepasang mata melotot lebar. Dan darah segar mengalir keluar dari sudut-sudut mulutnya. _
Badrun sudah mati ketika dukun datang. Hanya untuk berkomentar lirih." Dia terkena guna-guna!"
Dokter Puskesmas yang buru-buru datang setelah dijemput Suparta. setalah melakukan pemeriksaan secara teliti. juga berkomentar pendek saja." _Jantungnya pecah......_.!"
Entah mana yang benar. Tetapi dalam pandangan Suparta. penyebab kematian Badrun sudah jelas ' urusan kencing!
Namun Suparta tidak berani mengemukakan pendapatnya itu pada siapa-siapa" termasuk pada dukun. Ia tidak punya bukti pendukung. Yang dikencingi Badrun adalah bidang tanah kosong yang tidak ada kuburannya. Mulut Suparta juga terkunci oleh satu kenyataan pahit. Dirinyalah yang menunjukkan di mana Badrun harus kencing.
Penasaran. pagi-pagi benar Suparta pergi kekomplek pemakaman desa. Memang benar. tidak ada kuburan di dekat tempat badrun buang air kecil .Penelitian seksama yang dilakukan Suparta. hanya menghasilkan satu hal saja. Dan membuat mulut Suparta justru semakin terkunci.
Bagian tanah di mana persisnya Badrun kencing. sudah berubah menjadi sebuah lubang ukuran dua
persegi panjang. Di situlah justru Badrun akan dikuburkan!
Atas pertanyaan Suparta. salah seorang penggali kuburan memberitahu.".....almarhum sudah memesan tempat ini jauh-jauh hari sebelumnya!"
Kesimpulannya. yang kencing Badrun.
Dan Badrun lupa. bahwa yang ia kencingi adalah bakal kuburannya sendiri pula.
Ingin rasanya Suparta tersenyum memikirkan ironi tersebut. Sudut-sudut bibirnya malah sudah mau membuka untuk tersenyum. ketika tiba-tiba ia katupkan lagi .Timbul pikiran lain yang membuat Suparta terkejut sendiri.
Jika bukan urusan kualat, lantas apa"
Suara tangis bayi membuyarkan lamunan Suparta.
Ia menghentikan langkahnya dengan seketika. Diam mendengarkan. dan terdengar lagi suara tangis bayi tadi. Tersendat-sendat lemah. Menyayatkan hati. . Menyapukan pandang sesaat ke tempat sekitar, Suparta kemudian memutar tubuh ke arah kanan. Menghadap ke hamparan sawah siap panen yang berwarna kuning ke abu-abuan di bawah siraman rembulan.
Ada tegalan di depan tempat Suparta berdiri. Tegalan itu berakhir disebuah tempat yang tampaknya sedikit terbuka. Di mana terlihat sebuah dangau. Dan dari arah dangau itu terdengar lagi tangisan bayi yang memelas tadi.
Dalam keheranannya. Suparta langsung teringat pada apa yang sering dibacanya di surat kabar atau ia lihat dalam tayangan televisi. Yakni tentang bayi-bayi malang yang ditemukan terlantar di pusat atau di sudutsudut kota. Dibuang begitu saja oleh ibu mereka yang tidak bertanggung jawab. Malah boleh dibilang. tidak berperikemanusiaan.
Astaga. pikir SUparta tercengang .Budaya kota semacam itukah yang kini sudah diserap oleh desa kelahirannya"
Tangis bayi lagi. Semakin tersendat-sendat.
Tanpa berpikir panjang. Suparta langsung melompat ke tegalan sawah depannya. Cepat sekali ia menerobos bebatangan padi yang ia kuakkan pakai kaki serta tangan. Ia tidak boleh terlambat. Mumpung bayi malang itu masih hidup. Masih bisa diselamatkan!
Dan ia kemudian berdiri tertegun
Sesosok bayi laki-laki. montok kemerah-merahan. rebah menghadap rembulan di langit malam. Jangankan dibungkus selimut. Dibaju pun tidak. Lebih menggiriskan hati. bayi malang itu juga tanpa alas tubuh. kecuali rerumputan kering di bagian luar dangau. Mengawasi dengan iba sejenak, Suparta cepat melongok ke sebelah dalam dangau. Gelap. Tak ada siapa-siapa di dalam. Setelah meraba-raba. Suparta juga tidak menemukan kain' walau secarik doang .untuk menyelimuti si bayi. Juga tanpa berpikir panjang., Suparta langsung saja menanggalkan baju kaos lengan panjangnya yang ia selimutkan ke tubuh bayi. sekaligus mengangkatnya ke bopongan lengan.
Sang bayi berhenti menangis.
Diterangi cahaya rembulan. bibir mungil bayi itu tampak tersenyum. Seolah-olah berterima kasih.
"Entah siapa ibumu yang telah berlaku kejam, Nak!"_ Suparta bergumam lembut. " Tetapi ketahuilah. Sepupuku sudah sepuluh tahun menikah tetapi belum juga dikarunia anak. Maka percaya. Kau akan segera
punya orangtua. Yang pasti akan sangat mengasihi dirimu!"
Sang bayi merengek pelan.
rengekan yang terdengar manja itu membuat suparta tersenyum. Diawasinya sosok bayi dalam bopongan. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Semua tampak utuh. Sehat tanpa cacat. Hanya saja." Astaga. kok tanpa ari-ari" Apakah bayi ini.....
Seakan menyelami kebingungan Suparta. terdengar suara tajam dari belakangnya. " Dia memang tak punya ari-ari"...."
Terperanjat setengah mati, Suparta cepat membalikkan tubuh Dan di hadapannya, berdirilah sesosok tubuh perempuan muda belia. Memakai blus panjang longgar serta tampak lusuh. Rembulan menyinari wajahnya yang pucat. Sementara matanya tampak menatap dengan sorotan tajam. Walau tak begitu jelas terlihat dalam gelapnya malam. sorot mata itu terasa bagai menghunjam ke mata Suparta. Menimbulkan perasaan dingin. Dan menusuk sampai ke jantung.
"Ari-arinya keburu hancur. Membusuk!", si perempuan muda belia itu membuka mulutnya lagi. Mulut yang juga pucat. sepucat kulit wajahnya yang terbilang cantik.
Pasti karena habis melahirkan. pikir Suparta. Lantas bertanya gugup. " Kau siapa?"
"Ibunya'. sahut si perempuan. Dingin dan datar. " Kalau tak percaya. lihat saja ini.....!"


Kekasih Dari Kubur Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si perempuan menyingkapkan bagian bawah blus
longgarnya. Disingkap lebar, sehingga terlihat jelas
bagian dalam pahanya yang bcrlopotan darah, bahkan
sampai ke betis. "Ya. Ya. Aku percaya.".. .". Suparta menganggap risi, sementara si perempuan menutupkan blusnya kembali. " Tetapi. Suparta diam sejenak. Begitu banyak pertanyaan yang terpikirkan. Namun yang keluar kemudian. masih yang tadi ju'ga. Hanya, dengan sedikit tambahan. " kau siapa" Dan apakah aku pernah melihatmu?"
"Pernah. si perempuan mendengus. Tak bersahabat" Pernah melihat" Aku yakin, kau malah sangat mengenal siapa aku!"
Ingatan Suparta dipaksa bekerja. Keras, tapi gagal.
Si perempuanlah yang kemudian memberi keterangan tambahan. " Kau malah bermaksud memperkosa diriku. Sebelum.."..dibunuh!"
Suparta mulai kuatir. " Wah. wah"... ia membathin. " Jangan-Jangan aku berhadapan dengan orang gila. Dan... .."
"Aku tidak gila, Suparta !", suara si perempuan membuat Suparta semakin terperanjat saja. " otakku malah jauh lebih waras dari otakmu!"
"Tunggu dulu!". Suparta menggeragap lagi. Bagaimana kau bisa mengetahui namaku?"
Si perempuan tidak cuma menyeringai kini. Tetapi malah meringkik. Ringkikan pendek. Namun terkesan kejam.
"Ah. ya..". " katanya. "Pasti saking seringnya kau dan teman-temanmu bercerita pada semua orang. lama
kelamaan kau lantas menyakini memang demikianlah kejadian yang sebenarnya. Aku dengar-dengar, kalian bercerita bahwa pada hari yang dilanda hujan badai itu, kau bermaksud mandi air hangat. Tetapi kau terpeleset di kamar mandi. Lantas panci berisi air mendidih di tanganmu terlempar jatuh. Dan sebagian tumpahannya mengenai wajahmu. Membuat wajah jelekmu tampak semakin jelek saja. Begitu, bukan?"
Duk! ' Bukan hanya tertusuk. Jantung Suparta pun bagai terpukul sangat keras. Nafasnya sampai menyesak tibatiba. Di awasinya si perempuan dengan seksama. Lantas begitu ia merasa yakin. sekujur tubuh Suparta langsung terasa dingin. Membeku. Lutut pun tiba-tiba bergemetar hebat. Setelah tiba-tiba menyadari dengan siapa ia berhadapan.
Tetapi, dengan apa! Secara naluriah. Suparta merunduk. Mengawasi bayi-...... yang entah mengapa, masih juga dibopong kedua lengannya. Sepasang mata si bayi terbuka lebar. Balas menatap. Dan lebih mengejutkan lagi, senyuman di bibir mungil bayi yang tadinya lucu. sudah berubah total. Sudut-sudut bibir mungil merah itu menggurat lebar ke kiri kanan pipi montoknya. Memperlihatkan seringai tipis. Dan seperti juga ringkikan-ibunya, seringai di bibir si bayi pun terkesan kejam. Malah mendekati buas!
Tak ayal lagi. Suparta menjerit ngeri. Seraya menjerit, bopongan lengannya dilepaskan buru-buru. Bayi pun terlepas. Tetapi tidak dengan
sendirinya langsung terjatuh. Begitu terlepas, tubuh montok sang bayi justru seperti melompat ke atas. Dan tahu-tahu sudah hinggap di pundak Suparta.
Sebelum Suparta sempat berbuat sesuatu, rambut di kepalanya sudah terjambak keras serta menyakitkan. Dan sepasang kaki mungil tahu-tahu sudah melingkar di leher. Dan bergerak menjepit, terus menjepit. Dengan kekuatan tenaga yang tak pernah terbayangkan oleh Suparta. :
Dalam cekaman panik serta kengerian yang luar biasa. Suparta lari menyelamatkan diri. Paling sedikit, meronta-ronta membebaskan Leher yang tercekik.
Tetapi lutut berkehendak lain.
Kedua lutut Suparta sudah keburu tertekuk. Suparta pun jatuh berlutut. Dan masih sempat berbisik diantara nafasnya yang semakin sesak. " Rahayuningsih. Tolonglah. Aku"...!"
Bisikan Suparta tidak terselesaikan.
Tubuhnya dengan cepat sudah limbung lalu jatuh tersungkur ke depan. Ada perasaan sakit yang luar biasa di bagian dalam tubuhnya. Melebihi perasaan sakit karena tercekik pada leher. Seperti siksaan azab yang merobek-robek tanpa kenal ampun. Disertai suara menyembur yang sayup-sayup.
Sebelum wajah Suparta menyentuh tanah. samarsamar terlihat eleh pandangan matanya yang nanar adanya gumpalan darah merah segar mendahului jatuh. Menggenangi dan memerahi rerumputan. Gumpalan kental itu jelas sekali terasa, tumpah keluar dari mulutnya.
Di pelupuk mata Suparta. terkilas bayangan wajah dokter yang kemarin malam ia jemput Puskesmas. Lalu di telinga Suparta terngiang ucapan pendek sang dokter. " Jantungnya pecah.....!" '
Ada suara ringkikan panJang seorang perempuan. Juga tangis bayi. Yang kedua-duanya terdengar menjauh dan terus menjauh.
Kemudian. gelap pun datanglah.
Kegelapan yang luar biasa hitam. Dan luar biasa pekat.
*** SUHENDRO bukan seorang peramal.
Tetapi beberapa waktu berselang, sebagai sekretaris desa dan juga sebagai seorang sahabat. ia pernah menasehati Badrun. Supaya tidak nekad -membeli tanah landai yang dahulunya terbentuk dari longsoran dinding bukit dimana mereka saksikan sendiri Rahayuningsih terkubur hidup-hidup.
Namun Badrun menanggapi dengan enteng saja.
"Lokasinya bagus!", tandas Badrun. " Setelah dikurangi satu petak untuk kuburanku sekeluarga kelak. sisanya bisa kujual dengan harga tinggi pada mereka yang membutuhkan!"
' "Yang kau beli dan akan kau jual itu, hmn.".", Suhendra mengingatkan. " Adalah kuburan
Rahayuningsih!" "Ya ampun. Suhendro!". Badrun menggelenggclengkan kepala. " kau seperti bermaksud mengatakan bahwa roh gadis itu sudah mendatangimu. Lalu bilang begini Pak Sekdes. tolong deh buatkan sertifikat tanah itu atas namakul". Badrun tertewa. Geli. " Dengan apa dia membayar"u, Hendro" Tubuhnya?"
"Justru itulah yang aku kuatirkan, Drun!"
"Itu apa?" "Yang kau bilang barusan. Rahayuningsih bangkit dari kubur. Lalu ia datang: dengan marah bukan aku. Tetapi kau!"
"Aku siap menghadapinya!". Badrun tersenyum, melecehkan. " Dan bila saat mendebarkan itu tiba... dan semoga saja dia tidak sedang hamil, dia akan kuseret naik ke tempat tidur. Dan percayalah, Suhenro. Begitu_ aku selesai. kau pasti kupanggil. Untuk ikut menikmati tubuhnya. Seperti dulu!"
Sungguh takabur' Dan kini Badrun _harus menanggung sendiri akibatnya. Sudah mati sengsara. jenazahnya di tolak pula oleh bumi di mana Rahayuningsih terkubur. Dengan cara menggemparkan pula : dipulangkan ke rumah. melalui atap'
Suhendro tengah bersantai-santai dengan keluarga ketika kabar menggemparkan itu sampai ke telinganya. ia langsung bergegas pergi ke rumah Badrun, di mana ia kemudian mendengar kabar lain yang tidak kurang menggemparkan. Yakni tentang umpatan-umpatan serta sosok seorang perempuan yang diduga kuat sebagai
pembuat ulah. Tak seorangpun yang mengenali suara atau wajah sosok gelap yang kemudian lenyap entah kemana itu.
Tetapi Suhendro langsung tahu.
Dan itu membuatnya takut. Terlebih-Iebih lagi sewaktu Suhendro akan meninggalkan rumah keluarga Badrun, ia sempat mendengar gumaman ajengan Marsudi. Yang terlontar entah sadar entah tidak." Seberat apa kiranya dosa yang membebani diri almarhum.." ?"
Di telinga Suhendro. gumamam sang ajengan seolah ditujukan langsung pada dirinya." Seberat apa kiranya dosa yang membebani dirimu, Suhendra"!"
*** Suhendra menggigil. Ia paksakan sepeda motornya supaya melaju lebih cepat di jalanan mendaki yang diperkeras dengan batubatu pecah. Mesin sepeda motor itu sampai terbatukbatuk, kepayahan. namun toh sampai juga di atas dengan selamat. Jalanan kembali rata, dengan deretan rumah di kiri kanan. Rumah-rumah yang tampak sunyi membeku dalam kegelapan malam. Tinggal satu belokan lagi, dan Suhendro akan sudah tiba di rumah yang ia tuju.
"Semoga saja embah Rasim_ tidak sedang pergi!", Suhendra membathin. Cemas. "Hanya dia seorang yang bisa kuandalkan sekarang ini.."..!"
Sebenarnya, masih ada ajengan Marsudi.
Tetapi Suhendro tidak berani. Kalau nantinya cuma
sekedar disuru tobat kepada Tuhan. Bolehlah. Itu gampang. Yang. repot, adalah jika nantinya Suhendro disuruh melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Jayusman, seorang rentenir.
Sebagai rentenir yang sudah karatan, orang yang tengah menderita sakit parah sekalipun akan dipaksa Jayusman keluar dari rumah yang sudah waktunya dibeslah. Jika tidak ada yang tega melakukan hal itu untuknya, Jayusman sendirilah yang masuk' dan kemudian menyeret keluar si sakit yang tidak berdaya.
Tibalah suatu ketika, Jayusman terkena penyakit. Yang bukan cuma parah, tetapi juga aneh. Makanan atau minuman'apapun..." termasuk cairan infus, selalu ia muntahkan keluar. Dokter-dokter ahli di rumah sakit dibuat geleng-geleng kepala. Begitu pula beberap dukun ternama yang dipanggil silih berganti. Tak ada yang berhasil mengobati, Jayusman terpaksa harus terusmenerus menggeletak di tempat tidur. Dengan tulangtulang tubuhnya dari hari ke hari tampak kian menyembul di balik kulit yang semakin tipis dan kering. Berbicara pun payah. Kalaupun bisa, yang keluar cuma bisikan-bisikan lemah. namun demikian. Jayusman tak mati-mati juga. Sementara harapan untuk sembuh, sudah tidak lagi dipikirkan orang,
Lalu ajengan Marsudi kembali dari perjalanan Haji ke Mekkah.
Begitu tiba di rumah dan mendapat kabar tentang Jayusman, sang ajengan langsung pergi menemui si sakit. Setelah berbicara empat mata sebentar ajengan Marsudi meminta keluarga si sakit supaya melaksanakan
kenduri. Disaksikan semua yang hadir. Jayusman menyatakan penyesalan mendalam atas perilakunya yang tidak baik selama ini. Ia juga menyatakan bahwa sebagian terbesar harta kekayaannya akan dibagi-bagikan kepada mereka yang pernah menjadi korban kcserakahannya. Dan cuma menyisakan sedikit untuk keperluan keluarga.
Usai kenduri dan amanat pun sudah terpenuhi secara ajaib Jayusman berangsur-angsur sembuh. Ia kemudian mengabdikan diri menjadi pengurus masjid yang dikelola ajengan Marsudi. Dan sudah mulai disukai semua warga, manakala suatu hari Jayusman tiba-tiba mati juga karena kecelakaan lalulintas.
Entah tobat Jayusman diterima Tuhan atau tidak. Suhenro tidak tahu. Yang pasti. Suhendro tidak sudi melaksanakan kenduri. Di mana ia harus mengaku pada semua orang ?".memang kami tidak jadi bunuh Rahayuningsih. Akan tetapi dia tetap saja kami perkosa dengan semena-mena. Padahal kami tahu dia lagi bunting besar. Dan dia juga sudah melolong-lolong minta dibelas-kasihani!"
Kembali menggigil, Suhendro turun dari sepeda motor yang ia standar di halaman rumah yang dituju. Dan kemudian menarik nafas lega manakala ia lihat pintu dibuka oleh seorang lelaki lanjut usia namun tubuhnya masih kokoh dengan wajah yang tampak keras yang kaku. Wajah itu sedikit melembut setelah mengenali siapa orang'yang berdiri di hadapannya.
"Ah. Pak Sekdes kiranya. Tumben. tiba-tiba berkunjungl". sambutnya. Dengan suara berat dan datar.
Dan setelah sang tamu dipersilahkan duduk. tanpa berbasa-basi lebih dulu, langsung mengajukan pertanyaan. " Apa yang dapat saya bantu?"
Suhendro menjawab. gemetar. " Dia sudah bangkit, Embah..."!"
*** Sementara itu. di rumah Suhendro.
Usai menyelimuti anak mereka satu-satunya yang tadi tertidur selagi nonton televisi Kartinah bergegas kembali ke ruang tengah. Duduk lagi di depan televisi. Kartinah langsung asyik menyaksikan film India yang memang merupakan acara pavorit Kartinah. Sunil Dut. bintang idolanya pas lagi terbang dengan kaki melayang ke arah lawannya berkelahi. Bak-bik-buk sebentar. ternyata lawan cukup tangguh. Sunil Dut beberapa kali kena dipecundangi.
Saking terpengaruhnya Kartinah menatap tegang ke layar kaca. Malah suatu saat, kartinah sempat berseru. kuatir." Awas dibelakangmu."!"
Seakan mendengar peringatan Kartinah. Sunil cepat berkelit. Lawan jatuh terhempas. dan Sunil pun menghajar habis-habisan. Saat itulah sang lawan tahutahu mengangkat sebelah tangan ke atas. Lalu dengan wajah berlumur darah dan suara terdengar sangat memelas, ia pun .........bernyanyi!
Kartinah seketika mencibir. " Dasar. pasti mau merayu!"
Benar saja. Lawan berkelahi Sunil memang
mendendangkan sebuah lagu yang mengingatkan persahabatannya dengan Sunil di masa lampau. Yang dibuat rusak hanya kerana urusan perempuan.
"Salah sendiri!", Kartinah bergumam cemberut. " Kau yang mulanya berkhianat. Dan...".."
Dan hawa dingin tiba-tiba merembes masuk ke dalam ruangan. saking dinginnya. Kartina dibuat menggigil. Ogah-ogahan Kartinah bangkit dari duduknya. Terus berjalan ke arah dapur, dari arah mana hembusan angin itu datang. Dan terlihatlah jendela dapur -terbuka menganga
"Kok aku sampai lupa menutupkannya tadi, ya?".Kartinah mcmbathin sambil berjalan ke jendela.
Melihat ke luar jendela sebentar, Kartinah merasa aneh. Jajaran singkong yang tumbuh subur di halaman belakang rumah, tampak tenang dan diam dalam siraman rembulan. Jangankan batang. sehelai daun pun tidak ada yang bergerak-gerak. Begitu pula rimbunan pohon mangga di sudut halaman. Tenang dan diam, pertanda tidak ada sapuan angin di luar rumah. Tetapi di dalam, pusaran hawa dingin itu terasa begitu keras dan nyata.
Terheran-heran. Kartinah menutupkan jendela. Selotnya dikuncikan sekalian. Pusaran angin menghilang. Tinggal hawa dinginnya saja yang masih tetap terasa. Sejuk. menusuk. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Kartinah memutar tubuh. Dengan maksud akan meneruskan tontonan yang sempat tertunda.
Lalu. mendadak Kartinah tertegun
Dalam keremangan dapur yang lampunya lupa ia
myalakan. tampaklah bawang-bayang gelap sesuatu
tengah mendekam di depan tungku perapian. Sebelum
Kartinah teringat membuka mulut. sesuatu itu bergerak
bangkit lalu melangkah cepat ke arah Kartinah. Kartinah ingin menjerit. tetapi lidah tidak mau
bekerjasama. Lidah Kartinah terasa kelu. Lari. juga tak
mampu. Karena kedua lutut! terasa membeku. Kaku. kartinah pun akhirnya cuma bisa tertegak diam. Menunggu.
*** ITULAH semuanya. Embah !". Suhendro mengakhiri penuturannya dengan suara gemetar Lalu setengah membela diri. ia menambahkan. " Maklumlah waktu ttu kami masih muda-muda. Belum berpikiran panjang. Mana niatnya pun ingin membantu teman dari kesulitan besar yang dapat menghancurkan nama baiknya."...!"
Rasimin yang semenjak tadi dia mendengarkan. tidak langsung memberi tanggapan. Lebih dulu ia pelajari dengan seksama wajah tamunya. Lantas seraya mengusap-usap jenggotnya dengan sikap tenang. sama tenangnya ia kemudian bertanya. " Cuma itu?"
"Ya. Cuma itu!"
"Hem."....."Rasimin mendehem pelan. tanpa mengalihkan pandangan dari wajah sang tamu. Membuat yang dipandang, duduknya menjadi resah. " Kesimpulan nya. gadis itu lolos dari tangan kalian. Lantas mati terbunuh karena kesalahannya sendiri. Begitu?"
"Benar. Embah".
Rasimin menghela nafas. Tak puas. " Begini, pak Sekdes!". katanya. Datar. " Saya ini sudah umuran dalam bidang kehidupan alam gaib. Dari apa yang saya ketahui. adalah mengherankan. Bahwa roh si gadis sampai harus bangkit dari kubur, hanya karena urusan niat membunuh yang tidak jadi terlaksana!"
"Maksud Embah?", desah Suhendro. Gelisah.
"Pasti ada hal lain yang mendorongnya untuk bangkit. Dengan kemarahan yang sedemikian hebatnya pula!"
Terpojok. Suhendra lantas memprotes. " Nanti dulu, Embah. Maksud kedatanganku ke sini adalah untuk meminta Embah supaya....'...."
"Mengusir roh jahat Rahayuningsih. Jika perlu, memusnahkannya sekalian ", Rasimin memotong, tak sabar. " Buat saya, Pak Sekdes. Itu adalah pekerjaan mudah. Tetapi akan menjadi sulit, bila saya tidak mengetahui seluruh permasalahannya!"
Suhendro terdiam. Rasimin lantas mendesak. " Pak Sekdes mau dibantu apa tidak"!"
"......mau, Embah !", bisik Suhendro. gugup.
"Nah?" "Kami sempat.." memperkosanya!"
Terdiam sesaat, Rasimin kembali bertanya. " Bergantian, eh?"
suhendro manggut-manggut dengan terpaksa.
Rasimin menarik nafas panjang. Merenung sejenak, ia kemudian membuka mulut dengan rona wajah mengeras, " Jika demikian halnya, saya sependapat dengan apa yang pak Sekdes kuatirkan tadi. Boleh jadi dugaan pak Sekdes benar adanya. Bahwa kematian Pak Badrun pasti ada kaitannya dengan kemarahan roh Rahayuningsih. Dan. dia tidak akan berhenti pada yang satu orang itu saja!"
Suhendra menatap tuan rumahnya dengan pandangan berharap. " Apa yang harus kuperbuat. Embah?"
"Tidak ada!" "Tidak?". Suhendro menatap bingung.
Tanpa memperlihatkan ekspresi apapun di wajah tuanya. Rasimin memberitahu. " Pak Sekdes pulang dan tenang-tenang sajalah di rumah. Roh gadis itu, biar saya yang mengurusnya!"
Seketika Suhendro menarik nafas lega. " Terima kasih. Embah. Memang itulah yang kuharapkan......" Diam sejenak. Suhendro kemudian berujar hati-hati. " tetapi kalau boleh tahu. Embah. Tindakan apa yang akan Embah lakukan pada roh gadis itu?"
"Pertama-tama. tentunya". Rasimin menjawab. Acuh tak acuh. Memulangkan dia ke alam gaib. itu adalah pilihan terbaik untuknya!"
"Bagaimana kalau dia menolak?"
"Yah. Terpaksa saya ambil pilihan kedua. Membakarnya!"
Suhendro menatap tercengang. " Membakar toh?". ia bergumam. Takjub. '" Apa iya roh gentayangan dapat
dibakar?" "Mengapa tidak" Roh itu mahluk hidup juga adanya", Rasimin menjelaskan." Hanya saja. dalam bentuk serta dalam kehidupan gaib. Oleh karena itu, dia pun bisa terbakar. Tetapi tidak dengan api yang biasa Pak Sekdes lihat atau pergunakan. Melainkan dengan......api gaib!" .
"Api gaib?" Rasimin melirik ke kantong baju Suhendra. " Saya lihat Pak Sekdes ada membawa bolpen. Bersedia memperlihatkannya sebentar?"
Terheran-heran, Suhendro melepas bolpen dari kantong bajunya, lalu disodorkan ke arah tuan rumah.
"Pegang saja dulu!", Rasimin cepat memberitahu. Dengan cepat pula kelopak matanya dikatupkan. Dan sebelum sang tamu sempat berpikir. Rasimin diam diam sudah berkonsentrasi.
Tanpa bercuriga apa apa. Suhendro menurut saja. Bolpen terus saja dipegang. sambil matanya menatap silih berganti. Dari bolpen di tangan. beralih ke wajah tuan rumah, lalu kembali lagi ke bolpen. lalu mendadak, sepasang mata Suhendra membelalak. Tanpa memakan adanya hawa panas, apalagi melihat adanya api, ujung bolpen di jari jemari Suhendro tampak mulai meleleh. Lelehan itu bergerak cepat semakin ke atas. Dan begitu lelehan bolpen sudah mendekati jarinya, Suhendro cepat menjatuhkan benda tersebut dengan wajah terkejut.
Bolpen jatuh ke lantai. Cepat sekali benda tersebut sudah meleleh keseluruhannya. Untuk kemudian lenyap. tanpa meninggalkan bekas apapun juga. yang tersisa,
hanyalah bau sengit bahan plastik yang terbakar hangus.
Selagi Suhendro masih ternganga nganga, Rasimin membuka kelopak matanya perlahan lahan. Diawasinya tamunya sesaat. Lalu menggumamkan tanya perlahan. " Bagaimana. Pak Sekdes?"
Suhendro segera tersadar. Lantas bergumam. takjub. " Luar biasa...!" Kemudian barulah teringat pada benda miliknya yang lenyap. tanpa bekas. " Bolpenku. Embah. Raib kemana gerangan?"
"Lupakan saja. Pak Sekded". jawab Rasimin. Tenang." benda itu bukan lagi milikmu. Tetapi sudah menjadi milik alam gaib. Bersama api yang menghanguskannya!"
Masih takjub. Suhendro pun bertanya, ingin tahu. " Dengan api semacam itukah Embah akan membakar roh Rahayuningsih?"
"Seperti kubilang tadi. Kalau terpaksa. ya!"
?"Kalau begitu, Embah ", ujar Suhendro bernafsu." Jangan cuma diusir. Karena bila diusir. sewaktu-waktu rohnya dapat saja kembali. Maka. sebaiknya dia langsung dibakar saja!"
"Karena saya bekerja sesuai permintaan, Pak Sekdes.."..." Rasimin menyahut datar. " Aku akan membakarnya!"
Suhendro cepat menyambar tangan tuan rumah. Digenggam erat erat. sambil berkata terharu. " Lakukanlah itu, Embah. Supaya dia bungkam untuk selamanya. Dan percayalah, aku orang yang tahu berterimakasih. Embah tinggal menyebutkan saja. Maka......"
"Tanah bengkok desa!", Rasimin bergumam. Tenang.Dan untuk pertama kalinya bibir tua Rasimin memperlihatkan senyum, sebelum ia melanjutkan. " Si Nyai, istri saya yang paling muda sudah berulangkali berkata ingin membeli!"
Terkejut sebentar, Suhendro kemudian tersenyum manis. " Akan kubicarakan hal itu dengan Pak Lurah. Karena ini menyangkut keselamatan dirinya juga, aku pastikan dia bakal setuju!"
"Tetapi harganya, Pak Sekdes?"
"Itu gampang diatur.!", Suhendro berkata, meyakinkan. Tetapi sambil bangkit dari duduknya, ia merasa perlu mengingatkan. " Tolong jangan lupa yang kukatakan semula, Embah. Apa-apa yang kita bicarakan di sini, jangan sampai satu kata pun yang bocor keluar!"
Rasimin ikut bangkit. Katanya." Percayalah, Pak Sekdes. Begitu kaki Pak Sekdes melangkah keluar dari pintu ranah saya, maka mulut saya pasti sudah terkunci rapat-rapat! "
Sambil berjalan menuju sepeda motornya.. Suhendro membathin dalam hati. " Pastikanlah itu, dukun tua bangka. Sebab jika tidak......"
Jika tidak, Suhenro tinggal mengumumkan bahwa rasimin juga seorang tukang santet yang selama ini punya andil dalam sejumlah penyakit aneh yang menghinggapi si Anu dan si Anu.
Lalu Suhendro tinggal ongkang-ongkang. Tidak perlu memerintahkan apa-apa. Karena penduduk desa sendirilah nanti yang akan berinisiatip. Dan tahu-tahu Rasimin sudah dikeroyok sampai mati.
Di pintu rumah. Rasimin mengawasi sang tamu berlalu dengan sepeda motornya menembus kegelapan malam. Sambil Rasimin juga membathin dalam hati " Bergembiralah. Nyai. Akan kupastikan tanah bengkok desa itu kau peroleh secara cuma-cuma!"
. Rasimin menyeringai. Lebar
Kemudian menutup pintu. Didorong kebahagiaan si Nyai muda belia lagi manja, Rasimin tua bersegera masuk ke kamar pribadinya. Sebuah kamar berukuran kecil yang tidak dilengkapi jendela maupun langit-langit.
Begitu masuk. ia langsung berjalan ke sebuah pedupaan yang tersedia di salah satu sudut. dengan bara tampak masih menyala. Dari dalam sebuah keranjang bambu. Rasimin mengambil sejemput arang yang ditambahkan ke dalam bara pedupaan. Menyusul setelahnya ia taburkan beberapa butir batu menyan. Menghirup sejenak asap kemenyan berbau khas itu, Rasimin beralih ke sebuah peti tua di sudut yang sejajar.
Dari dalam peti tua dimaksud ia kemudian mengeluarkan dengan hati-hati sebuah tengkorak kecil dan empat potong tulang tungkai. Tidak jelas apakah itu tengkorak manusia atau kera. Begitu pula dengan keempat potong tulang. sulit memastikan apakah itu tungkai lengan atau kaki. Karena bentuk maupun panjangnya tampak sama.
Sambil duduk mengatur sila. Rasimin meletakkan
tengkorak di lantai dengan posisi wajah tengkorak menghadap ke arah dirinya. Keempat potong tulang tungkai disusun dalam bentuk empat persegi, mengelilingi tengkorak. Selagi bekerja. bibir tua Rasimin kumat kamit membaca mantera. " Turun bumi. naik langit.......siur bayu bersiur. Duli. roh leluhur. Bangkitlah dari kubur. Bangkit dan tunjukkanlah padaku."...keberadaan roh gadis yang bergentayangan itu....!"
Rasimin merapal ulang mantera serta permintaannya sebanyak tiga kali. Setelah itu bibirnya berhenti kumat-kamit. Kelopak mata pun dikatupkan rapat-rapat. Rasimin sudah memasuki semedhi, dengan wajah serta tubuh tampak membeku. Kaku.
Untuk beberapa saat lamanya. tak terjadi apa apa.
Kemudian. bara di pedupaan terdengar bergemeretak. Asap mcnyan pun naik bergumpal-gumpal menuju atap. terus lenyap melalui celah-celah genteng. Gumpalan asap lainnya segera menyusul naik dan menghilang. Lalu, dimulailah pergerakan itu. Diawali oleh getaran pada keempat potong tulang tungkai, tengkorak di tengahnya perlahan-lahan terangkat naik lalu diam mengapung setelah berjarak sejengkalan tangan dari permukaan lantai. '
Di bawahnya, keempat potong tulang ikut pula bergerak. Tampak seperti memisahkan diri satu sama lain, namun dengan segera sudah menyatu kembali. Tidak dalam bentuk empat persegi. Melainkan dalam bentuk menyilang satu Sama lain. Timpa menimpa pada bagian tengah. Sementara bagian ujung, tahu-tahu sudah mengarah ke delapan penjuru' angin! '
Lalu, sepasang rahang tengkorak perlahan-lahan membuka. Lebar.
Dan disertai terdengarnya helaan-helaan nafas berat yang diselang seling oleh bisikan bisikan tak jelas namun tajam menusuk. tengkorak pun bergerak memutar di tempatnya mengapung. Sementara ujung keempat potong tulang di bawahnya. mulai melompat-lompat. Keras dan liar. dengan bagian tengah tetap bertaut satu sama lain. Bunyi lompatan tulang menghantam lantai semen terdengar hingar bingar. Mengejutkan.
Namun Rasimin tua tidak bergeming sedikit pun di tempatnya duduk bersila. Tubuh maupun wajah tetap kaku membeku. Kelapak mata serta bibir tetap mengatup rapat, tak terpengaruh. Sampai kemudian. suara-suara itu melenyap perlahan-lahan, ketika tengkorak berhenti memutar. dan keempat potong tulang pun bergerak kembali ke posisi semula. menyusun bentuk empat persegi. di tengah mana tengkorak kemudian mendarat perlahan lahan. Sambil kedua rahangnya mengatup perlahan pula.
Suasana di ruangan kecil dan sempit itu, Seketika berubah senyap. Dan dari pedupaan, asap kemenyan terus saja mengepul. tak perduli. Naik ke atap, untuk kemudian menerobos hilang melalui celah-celah genteng.
Seketika. Rasimin melepas semedhi.
Kelopak matanya dibuka perlahan-lahan. Menatap ke tengkorak serta susunan tulang yang mengitarinya. Rasimin kemudian bergumam. tegang. " Ini berbahaya! Dia tidak ada di liang kubur. Juga tidak bergentayangan dalam kegelapan malam......!"
Bangkit sebentar untuk menambah butiran batu menyan ke pedupaan. rasimin kembali lagi ke tempat duduknya. Merenung sejenak. sekali lagi ia bergumam. Semakin tegang. " Tak syak lagi, dia tengah bersembunyi dan menunggu. Tetapi. dimana?"
Rasimin kembali bersemadhi.
Dengan wajah tuanya tampak mengguratkan perasaan kuatir.
*** ANJING.....", Suhendra menggeram. Marah pada diri sendiri.
Gara-gara pikiran tak lepas-lepas dari si dukun tua Rasimin. Suhendro terlambat sadar bahwa ia telah salah mengambil arah. Malas berbalik. sepeda motor ia biarkan terus meluncur maju. tak apalah. Toh setelah jembatan di depan sana. ada jalan ke kiri yang nantinya akan bertemu juga dengan jalan yang menuju ke rumahnya. Memang harus memutar lumayan jauh. Tetapi ada bagusnya juga. Karena rumah Pak lurah terlewati. Suhendro dapat sekalian singgah untuk membicarakan tentang tanah bengkok desa yang ia janjikan pada Rasimin.
Dan janji itulah yang lebih membuat Suhendro
marah. Begitu cerobohnya dia tadi! Semata-mata karena tidak sedikitpun menyangka bahwa dukun sialan itu bakal meminta tanah bengkok desa sebagai imbal jasa. Lantaran saking ketakutan oleh pembalasan Rahayuningsih. hendro langsung mengiyakan saja. Coba. betapa enak dia tadi ngomong : " Itu gampang diatur?". Seolah yang ia pertaruhkan itu adalah tanah milik nenek moyangnya! '
Baru setelah meninggalkan rumah sang dukun. Suhendro menyesal setengah mati. ia sudah hapal betul adat Paramono. yang dulu adalah sahabatnya tetapi kini telah menjadi majikannya. Maka terbayang-bayanglah di pelupuk mata Suhendro, betapa berangnya hati Pramono. _ "Cuma untuk mengusir roh!". begitulah reaksi yang ia perkirakan bakal dilontarkan oleh Pramono. " Kau nekad menjanjikan tanah bengkok desa pada si tua bangka yang banyak akal bulusnya itu! Kau kemanakan otakmu. he"!"
Omelan itu masih bisa diperdebatkan.
Yang mencemaskan Suhendro dan inilah yang juga terlambat ia sadari. adalah jika majikannya nanti menuntut, " Apa buktinya kelak. Bahwa Rasimin memang benar-benar sudah memusnahkan hantunya Rahayuningsih"!"
Ya, apa" Kepercayaan semata! ltupun dari Suhendro pribadi pula. Kepercayaan, yang bisa saja disalah gunakan oleh siapapun juga. Apalagi oleh seseorang dukun semacam Rasimin. Yang dahulu ketika Jayusman berhasil
disembuhkan ajengan Marsudi. lantas berkoar pada pelanggan pelanggan setianya. termasuk Suhendra. Pengobatan yang kuberikan pada si Jayus sebenarnya sudah mendekati penyembuhannya. Tetapi si Marsudi keburu ikut campur. Dan dialah yang akhirnya dapat nama'"
Sekarang. Suhendro bukannya akan dapat nama. Malah dapat celaka!
Misalkan besok lusa ia mendatangi Rasimin. Lalu menyampaikan tuntutan lurah Pramono, tak perduli dukun itu bakal tersinggung atau tidak. Namun yang pasti. Suhendro sudah dapat menduga apa kira-kira jawaban Rasimin. " Buktinya. kalian yang masih hidup tidak lagi diganggu hantunya. bukan?"
Sampai kapan. jangan ditanya.
Karena Rasimin pasti sudah punya jawaban untuk itu. " Ucapanku adalah janji mati. Aku wajib menunaikannya!"
Itu berarti Suhendro harus menunaikan janjinya pula.
Dan, apabila pak Lurah tetap menentang. maka."..
Hei! Apa itu di depan sana" Kok ada ramai-ramai di tengah sawah" Suhendro mempercepat laju sepeda motornya sambil mengawasi kerumunan manusia tidak berapa jauh dari jembatan.
"Pasti ada pencuri padi yang kepergok selagi
beraksi!". Suhendro bergumam. Menduga-duga.
Namun semakin mendekati tempat yang dituju. semakin Suhendro curiga. tak ada pertanda ribut-ribut sebagaimana biasa bila ada pencuri lagi dikeroyok beramai-ramai. Suasana yang dilihat Suhendro malah tampak sunyi. mencekam. Sebelum turun dari sepeda motornya. Suhendro langsung mengenali beberapa wajah warga desanya yang berkumpul di tepi jalan sambil berbicara tak jelas satu sama lain. Wajah-wajah itu terlihat kaku. Bahkan tegang.
"Ada kejadian apa di sini, en?", tanya Suhendro. Sembari matanya di arahkan pada kerumunan manusia di depan sebuah dangau yang diterangi lampu petromak serta beberapa buah obor.
"Ada orang mati. Pak Sekdes!", seseorang manyahut. " Bin......"
Entah mengapa, jantung Suhendro lagi, setengah berbisik. " Siapa?".
Belum juga .yang ditanya sempat menjawab. Suhendro sudah menghambur ke jalan tegalan menuju dangau. Karena sudah mengenal siapa dirinya, kerumunan manusia di hadapan Suhendro tanpa diminta pada menyeruak sendiri. memberi jalan.
Saat berikutnya. Suhendro sudah tertegak. Menegun.
Diterangi sinar lampu petromak. tampaklah Suparta tergeletak pucat dan kaku di rerumputan. Di sudut-sudut mulutnya yang seperti meringis, begitu pula di sekitar bagian bawah lubang hidung. terlihat dimerahi oleh genangan darah yang sudah membeku. Sementara urat
dari wajahnya menggurat nyata. Pertanda betapa hebat penderitaan yang harus dialami sewaktu ajal datang menjemput.
Apa yang membuat Suhendro tercekam ngeri. adalah gambaran nyata dari sepasang mata Suparta.
Sepasang bola matanya yang pucat serta mati itu. tampak bagai akan terlompat ke luar dari dalam rongganya Dan karena mata itu tengah menatap ke atas dan kebetulan pula lurus mengarah ke mata Suhendro. mau tidak mau membuat Suhendro seketika menggigil seram.
Betapa tidak. Mata itu seolah-olah menudingkan ancaman langsung pada Suhendro. " Yang berikutnya. kau.......!"
"........tidak!". Suhendro mengerang. sakit. Lantas kemudian menceracau lebih keras. " Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidaaak......!"
Seraya menceracau. Suhendro membalikkan tubuh. Dan berlari-lari ketakutan meninggalkan kerumunan orang di sekitar dangau. Disaksikan sekian puluh pasang mata yang kebingungan Suhendro menghambur langsung ke tempat sepeda motornya tadi ia tinggalkan. Kunci dipasang, mesin distarter. Namun saking panik. beberapa kali Suhendro gagal menghidupkan mesin kendaraannya, Ketika akhirnya berhasil tanpa seorangpun yang teringat untuk membantu, sebuah mobil sedan sudah berhenti sekitar satu dua meter dari sepeda motor Suhendro.
Dicekam panik. Suhendro mulanya tidak memperhatikan.
Sampai sebuah suara yang ia kenal. terdengar menegur. " Kau itu. Hendro" Mau kemana buru-bum"!"
Suhendra yang sudah duduk di atas sadel, seketika berpaling. Begitu mengenali wajah si penegur, dengan mulut berbusa Suhendro menjerit histeris. " Inilah jadinya. Pramono! Kau yang membuat ulah! Dan kami bertiga yang terkena getahnya! Terkutuklah kau. Pramono! Kau dengar" Terkutuklah kau...!"
lurah desa yang baru saja menjejakkan kaki di tanah. langsung tertegak diam. Dengan wajah dingin membeku. Selama beberapa saat. para penyaksi sama terpana. tidak mengerti. Semua pada menatap bergantian. dari Suhendro ke lurah mereka yang terhormat. Detik berikutnya. satu dua orang segera tersadar. Apalagi setelah mendengar umpatan-umpatan kasar Suhendro. Seketika. mereka pun bergerak maju dengan wajah wajah yang sama memperlihatkan kemarahan.
Akan halnya lurah Pramono. cepat pula tersadar. Secepat itu pula ia menguasai diri. Lantas mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi. Sambil berujar tenang namun tegas." Jangan ..Suhendro tidak tahu apa yang diucapkannya. Biarkan dia pergi.......!"
Dalam campuran marah serta ketakutan. Suhendro menyeringai.
Dengan suara bergemeretak, gigi sepeda motornya dipaksa berpindah dari netral ke gigi satu. Lantas sambil menyeringai sekali lagi ' pada orang-orang di sekililingnya, Suhendro langsung tancap gas. Ngebut
seperti orang kesurupan. Disertai raungan mesin sepeda motornya yang hingar bingar. Memecah kesunyian malam di sekitar.
*** TIBA di rumah. Suhendro tidak lagi mengetuk. Tetapi langsung main gedor pintu. Yang dibuka buru-buru oleh istrinya.
"Aduh, Mas kiranya. Bikin kaget saja!". sambut Kartinah. Sembari mengurut dada, lega. Sesaat cuma. Saat berikutnya. ia sudah bertanya. Cemas. "Astaga, Mas. Kau tampak begitu pucat. Ada apa?"
"Cepat tutup dan kunci pintunya. Tinah !", Suhendro menyahuti gugup sambil mendorong sepeda motornya masuk ke dalam. " Juga semua jendela. Pastikan semuanya terkunci rapat. Jangan sampai ada yang bisa masuk!"
"Lho. Memangnya kenapa......", desah Kartinah. Heran.
"Lakukan saja apa yang kusuruh!". Suhendro mendengus tak senang. " Kau susul aku ke kamar. Temani aku tidur!"
Tanpa memperdulikan keheranan istrinya, Suhendro langsung bergegas masuk ke ruang dalam. terus ke kamar. Melompat naik ke tempat tidur. ia lang5ung menarik selimut. Menutupi sekujur tubuhnya yang menggigil. dari ujung rambut sampai ke ujung jari kaki. Meringkuk tegang. kelopak matanya seketika dipejamkan rapat rapat. Seraya bibirnya kumat-kamil. memohon." Ya Tuhan. Datangkanlah kantuk padaku. Biarkan aku tidur.....untuk melupakan semua itu....."!"
Namun, betapapun dipaksa, perasaan mengantuk itu tak juga datang. Sementara di dalam kegelapan mata yang dikatupkan. bayangan wajah Suparta tak pula hilang-hilang. Terutama mata yang melotot mengerikan itu. Mata yang berkata mengancam. " yang berikutnya. kau.."!"
Terdengar ranjang berderit.
Lantas sesuatu terasa menyelinap ke bawah selimut, di sebelah tubuhnya.
Tak pelak lagi. sepasang mata Suhendra terpentang lebar dalam seketika. Pada ketika yang sama. bagian atas selimut ia singkapkan dengan cepat. Menoleh takuttakut. tampaklah wajah manis Kartinah. Yang menatap bingung. Bercampur kuatir.
"Apa yang kau takutkan. Mas?". bisik Kartinah. lembut. dalam upaya menenteramkan hati suaminya.
Suhendro menyahuti. gemetar. " Peluklah aku rapat-rapat. "nah......"
Tanpa berkata, Kartinah menurut. Berbaring di atas satu sisi tubuh, sebelah tangannya dipelukkan erat-erat. Bahkan Juga sebelah kaki. Dijcpitkan rapat ke paha sang suami. _
Perlakuan setengah manja itu. lambat laun membuat Suhendro merasa tenang. dan akal sehat-nya pun muncul kembali. Sementara di sebelahnya. sambil tetap merangkul. kartinah tetap pula diam. mengambil sikap paling bijaksana. Menunggu.
Karena membayangkan saja sudah takut apalagi membicarakan, Suhendro akhirnya memutuskan untuk mengobrolkan hal lain yang tidak kurang-kurang mengganggu pikirannya.
Dan tanpa ujung pangkal, ia pun bergumam. Mengeluh.".....entah kenapa aku sampai ngomong begitu padanya!"
Lembut dan sabar. Kartinah bertanya. " Pada siapa, Mas?"
"Pak Lurah........."
"Oh!", desah Kartinah. Diam sejenak. ia meneruskan. '" yang Mas omongkan?"
"Macam-macam !", jawab Suhendro. gelisah. " pendeknya, ucapan-ucapan yang menyakitkan hati. Dan pasti membuat orang lain yang ikut mendengar, akan curiga"."
"Curiga tentang apa?"
".Tentang..........".' Suhendro berhenti seketika. Tersadar. ia cepat menghindar. " Ah, sudahlah! Yang jelas, sebelum rasimin menyelesaikan tugasnya, aku tidak akan berani bertemu muka dengan Pak lurah!"
"Rasimin?" "Ya. Rasimin. Dukun"...."
Karena ia berbicara dengan mata menerawang ke langit-langit kamar. Suhendro tidak melihat wajah istrinya seketika berubah dingin dan kaku.
Sama dinginnya. Kaninah kemudian berbisik tajam " 0" dia! "APa yang harus dikerjakan oleh dukun itu?""
"Mengusir roh jahat!"
Kartinah mendesah. Terkejut. " Apa?"
"Kau kan sudah dengar kejadian apa yang menimpa diri Badrun. Kemudian juga, jenazahnya!". sahut Suhendro, dengan mata masih tetap menerawang. " Aku yakin itu pasti perbuatan roh jahat adanya. Terbukti barusan tadi...." _
Suhendro terpejam. Disertai rintihan sakit " ya Tuhan. Suparta! Dia pun sudah jatuh sebagai korban."
"Astaga. Mas. Yang benar!"
"Aku sudah melihat sendiri mayatnya. Tinah. Dan......"
"Dan?" Suara Suhendro berubah mendadak. begitu pula rona wajahnya. '" Tanganmu, Tinah. Juga kakimu........!*'
"Hei. Mas ngomongnya kok ngaco sih!"
Di bawah selimut. tangan Suhendro meraba-raba. Sambil mulutnya berbicara. " Benar. tangan serta kakimu rasanya.... dingin sekali!" .
Perlahan-lahan. bibir Kartinah memperlihatkan senyuman samar. " yang dingin itu tubuh siapa. Mas"
Aku. atau kau"!"
"Ah. Iya juga ..."." Suhendro manggut-manggut setuju. Tetapi rona wajahnya masih memperlihatkan rona kebingungan.
"Biar kuhangatkan. ya Mas?". bisik kartinah.
Manja Sekali lagi Suhendro manggut-manggut. Makin setuju. " Betul. Tinah. Buatlah tubuhku panas. Kemudian lakukan apa saja. terserah mau pakai gaya apa. Aku akan menurut. Yang penting,_ buatlah aku sampai lelah. Selelah-lelahnya! Sehingga aku nanti bisa tertidur. Dan....."."


Kekasih Dari Kubur Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara mulut Suhendro terus berkicau dengan bersemangat, di balik selimut, tangan serta paha maupun lutut Kartinah terus pula bereaksi. Dengan kecepatan dan keterampilan luar biasa.... namun nyaris tak diperhatikan oleh Suhendro, Kartinah sudah menanggalkan pakaian mereka berdua. Sampai ke lapis yang terakhir. Semua dilemparkan tanpa perduli jatuhnya di mana. Termasuk kemudian. selimut. Sementara jari-jemari serta lutut terus saja aktif bekerja
Namun anehnya. betapapun Suhendro berharap malah juga mengalami reaksi dengan cepat, Kartinah tak juga main cium. Apalagi lebih dari itu! Yang juga aneh. meski gerakan Kartinah semakin liar. kulit tubuhnya yang bersentuhan dengan kulit tubuh Suhendro. tetap saja terasa dingin.
Akan tetapi. apalah artinya semua keanehan itu dibanding dengan nafsu birahi yang sudah melonjak. Dan akhirnya sudah naik ke otak pula!
Akan tetapi dan juga sangat tak sabar. Suhendrolah yang akhirnya mengambil inisiatip. Sambil mengumpat tak jelas. Suhendra cepat bergerak naik dan dengan tepat memasuki tubuh sang istri. Lantas disertai dengusan dengusan nafas berat. Suhendro kemudian berpacu. Dan terus berpacu. Sementara di bawah tubuhnya. terjadi hal yang sebaliknya. Kartinah yang semula aktip. kini malah diam membeku. Seperti pasrah. Dengan suhu tubuh yang semakin membeku pula.
Sebeku es batu! Di tengah serbuan gejolak nafsunya, hal itu lambat laun terasakan juga oleh Suhendro. Kelopak matanya yang semula dikatupkan -untuk lebih menghayati nikmatnya birahi, perlahan-lahan dibuka. Dan dibuka semakin lebar. Untuk kemudian menatap terkesima.
Apa yang disaksikan dan sekaligus juga dirasakan oleh Suhendro adalah. payudara Kartinah yang aslinya berukuran sedang-sedang saja. perlahan-lahan tampak berdenyut-denyut lantas membeSar. Bersama waktu. di bawah payudara juga terjadi proses pembesaran. Malah lebih cepat serta lebih mengejutkan. Dan perut Kartinah yang semula rata, tahu-tahu sudah membengkak hebat. Dengan permukaan yang sekaligus mengencang. Keras. Tak ubahnya perut perempuan yang sedang bunting tua!
Terbelalak ngeri. Suhendro pun menggeragap. Apa.........!" _
Ia berhenti sampai di situ.
Karena. seraya menatap diam ke wajah Suhendro. bibir Kartinah perlahan-lahan mulai menyeringai.
mengejek ! *** Pada waktu bersamaan. dalam sebuah rumah terpencil di pinggiran desa. Samar-samar terdengar suara berdetak-detak teratur. Pertanda potongan tulang-tulang tungkai di lantai kamar kerja Rasimin sudah mulai lagi Sibuk mencari-cari ke delapan arah penjuru angin. sampai suatu saat. yang terdengar hanyalah sebuah detukan tunggal dengan irama yang monoton : tuk-tuktuk.."! '
Rasimin membuka kelopak mata tuanya.
"Aku merasakan ada getaran..".!"_ ia berbisik pelan. Lantas melihat seksama ke lantai di hadapannya. hanya ada satu ujung potongan tulang tungkai yang bergerak-gerak mendetuk lantai. Yakni. ujung tulang yang mengarah ke tenggara. Ke arah mana tengkorak di atasnya ikut menghadap. Sambil dari balik rongga rahangnya yang terbuka. terdengar desahan nafas berat memburu.
"Hem!" rasimin tersenyum samar. " Dia sudah menampakkan diri rupanya!"
Lantas. masih tetap dalam posisi duduk bersila. tangan kanan Rasimin dikibaskan ke arah tembok. ke arah mana ujung tulang maupun tengkorak terlihat menghadap. terdengar suara berdetas keras. Dan tembok di maksud tampak bagian tengahnya retak perlahan. lalu terbelah membuka. tanpa ada sekeping tembok pun yang pecah. bahkan juga tidak sebutir pasir pun yang jatuh
dari belahan tersebut. "Pergilah!". Rasimin berbisik. Tajam." bakar tempat persembunyiannya Paksa roh gentanyangan itu keluar. Lalu segera seret dia kehadapanku!"
Detukan tunggal ujung tulang. berhenti diam. Dan di atasnya. rongga mata tengkorak yang tadinya hitam menganga. seketika menyala merah. Dan pada saat berikutnya. tengkorak dengan rongga mata berapi itu melesat dari tempatnya mengapung. Langsung ke arah belahan tembok yang terbuka. Menembus cepat. untuk kemudian menyatu dengan kegelapan malam di luar rumah.
Rasimin pun seketika kembali memasang semadhi.
Dengan wajah tuanya tampak berubah tegang.
*** Mengapa berhenti?". Kartinah menggeram tak senang. Suaranya pun tidak lagi terdengar lembut manja. Tetapi sudah berubah menjadi suara perempuan lain. Suara dengan nada kering namun terdengar berat. " Bukankah dulu kau pernah bilang. Ternyata ada enaknya juga memperkosa perempuan yang lagi bunting besar..."..!"
Shock berat oleh kejutan mendadak yang dihadapinya. Suhendro bukannya melompat lari untuk menyelamatkan diri. Ia masih saja membungkuk di atas tubuh telanjang Kartinah. Sambil bergemetar hebat 'termasuk selangkangannya. yang juga masih tampak menyatu dengan selangkangan kartinah.
"Rahayu.....ningsih !". ia menggagap. terpukau"... tidak mungkin! Kau....."!
Mengapa tidak?", ujar suara Rahayuningsih. melalui mulut Kartinah. " Atau kau perlu bukti tambahan. ya?"
Di akhir ucapan Kartinah, terciumlah bau busuk yang menyengat hidung. Bersamaan waktu, sekujur tubuh telanjang Kartinah yang bunting mendadak itu. tiba tiba sudah berubah sangat kotor Digenangi tanah berlumpur. Dengan mahluk-mahluk kecil tampak menggeliat-geliat hidup di sana-sini.
Apalagi. kalau bukan ulat!
Kartinah menyeringai. Lebar. " Ayo. teruskan. Suhendro". suara kering itu terdengar menggeram. Berat. " Justru birahikulah yang sekarang terlanjur naik. Ayo. teruskan, kubilang!"
Sambil menggeram. kedua lengan Rahayuningsih yang kotor berlumpur serta disana-sini digeliati ulat-ulat kecil itu, merangkul ketat pinggang Suhendra. Dengan gerak memaksa agar pinggang Suhendro berpacu turun naik seperti tadi.
Saat itulah. Suhendro yang terserang shock berusaha melepaskan diri. Sambil menjerit keras. tubuhnya ia lengkungkan ke atas. Tetapi tertahan oleh rangkulan lengan-lengan Kartinah yang membetot ke bawah. Sekali lagi Suhendro menjerit. lalu menyumpah serapahkan ucapan-ucapan kotor dengan suara histeris.
Namun perjuangan keras Suhendro ternyata sia-sia. Jangankan pinggang dirangkul ketat oleh kedua lengan Kartinah. Selangkangannya pun tak bergeming-geming
sedikitpun juga. Tidak mau keluar. menjauhi selangkangan di bawahnya. Betapa tidak. Penisnya yang masih terbenam di sebelah dalam rahim Kartinah. seakan ada yang mencengkeram. Lalu ditarik semakin masuk ke da|am tubuh Kartinah. sambil dipilit-pilit pula!
Akibatnya. Suhendro bukan lagi menjerit. Tetapi melolong-lolong panjang, sambil berurai air mata.
"cengeng'". Mulut Kartinah menggeramkan suara kering Rahayuningsih. Berang dan marah alang kepalang. " Kau membuat nafsuku terbunuh! Haram jadah sialan, baiklah. Kita akhiri saja sampai di sini.........!"
Betotan memilin penis Suhendro di sebelah dalam rahim Kartinah. berhenti mendadak. Lolongan Suhendro dengan sendirinya melemah pula. Untuk kemudian hanya rintihan sakit serta tangisnya saja yang terdengar.
Kartinah melepaskan rangkulannya dari pinggang Suhendro. Kedua lengannya yang kotor berlumpur. turun perlahan. Lalu terkulai diam di kiri kanan tubuhnya. yang juga mendadak diam terkulai.
Dalam cekaman teror dan keputusasaan. alam bawah sadar Suhendra seketika melihat ada kesempatan terbuka untuk menyelamatkan diri. Dan ia pun lantas mengambil ancang-ancang. Siap untuk menghambur menjauhi tubuh Kartinah yang baunya semakin membusuk saja. Kartinah hanya diam. Mengawasi. Sambil bibirnya tampak mengguratkan seringai misterius.
Lalu. pada saat Suhendro mulai bergerak menarik selangkangannya menjauhi selangkangan Kartinah.
terjadilah sesuatu yang sangat di luar dugaan
Perut bunting Kartinah tampak berdenyut-denyut hebat. Seakan ada benda hidup mendorong ke luar. dan sebelum Suhendro sempat menyadari sesuatu. lengkungan atas perut Kartinah tiba-tiba sudah merobek di dua tempat. Dan dari dua robekan yang disertai semburan darah segar itu. Sepasang tangan-tangan kecil mungil berwarna pucat kemerahan tampak menyembul lalu menggapai-gapai keluar.
Melihat itu. habislah sudah semangat Suhendro dari pukau yang selama beberapa saat telah melumpuhkan seluruh otot serta Jaringan syaraf dl dalam tubuhnya. Menjerit sengasara. secara naluriah Suhendro melambungkan tubuh sendiri ke belakang. Gerakan reflek itu berhasil. memang, Suhendro terlepas dari daya betot tubuh Kartinah. Akan tetapi lambungan tubuh Suhendro melayang jatuh dari tempat tidur lantas mendarat di lantai. kepalanya tiba lebih dulu.
Mulut Suhendra terbuka, namun suaranya tak keluar. walau pun cuma keluhan lemah saja. Apa yang terdengar hanyalah suara berdetuk keras pada saat kepalanya tiba di lantai. Disertai dengan bunyi berderaknya tulang-tulang leher yang patah.
Suhendra pun seketika rebah terkulai. Dengan kepala tergeletak miring ke satu sisi. Dan. lambung yang robek menganga. Memperlihatkan tumpukan usus yang berdenyut-denyut liar dalam genangan darah yang memerah segar.
Sementara di atas tempat tidur. sepasang tangan tangan mungil yang telah merobek lambung Suhendro,
cepat sewaktu menyembul keluar tadi. dalam seketika. sudah menyelinap masuk kembali ke sebelah perut kembung Kartinah. Dan begitu sepasang tangan tersebut melenyap hilang. robekan di lengkung atas perut Kartinah pun merapat pelan. Lalu kemudian menyatu kembali. Tanpa meninggalkan sedikit pun bekas luka, Walau cuma goresan keeil saja!
Pada detik berikutnya. perut Kartinah yang bunting besar. dengan cepat sudah mengempes menjadi rata kembali. Begitu pula payudara. kembali pula ke ukuran semula Sepasang gumpalan kenyal. namun berukuran sedang-sedang saja. Kotoran tanah berlumpur maupun gerakan ulat-ulat kecil yang menggeliat-geliat hidup itu. sirna perlahan-lahan. Begitu juga dengan bau busuk yang tadi sangat menyengat. Seluruh kulit tubuh Kartinah dengan segera sudah putih bersih kembali. Bersinar-sinar segar Hanya saja. disana-sini tampak dibanjiri oleh keringat.
Menyeringai kaku. Kartinah perlahan-lahan bangkit dari rebahnya di tempat tidur. Dengan gerak bangkit yang tampak sangat kaku pula. Menggeliat-geliat sejenak untuk mengendurkan otot-otot, Kartinah kemudian meluncur turun ke lantai. Sedikit lunglai karena kelelahan. kaki telanjang Kartinah melangkah tersuruk-suruk. Mendekat lantas tertegak lesu mengawasi tubuh Suhendro. Yang menggeletak di lantai .Membeku diam. Dengan sepasang matanya yang membelalak_ tampak pucat dan mati.
Mulut Kartinah membuka perlahan. " Ketahuilah, Suhendro......"_ ia bergumam kering. Dengan nadanya
_yang berat. " Tidak sedikit pun aku berbahagia dengan semua ini. Akan tetapi......."
Gumaman lirih Kartinah. mendadak terputus oleh bunyi hingar bingar yang mengejutkan. Seketika, Kartinah berpaling. Persis pada saat jendela kamar pas lagi pecah. Berantakan.
Lantas sebuah benda menakjubkan. menerobos ke _dalam.
Tengkorak kecil. Dengan rahang mengatup rapat. namun sepasang rongga matanya tampak memerah saga.
*** JANGAN menyia-nyiakan kesempatan!
Itu adalah prinsip Rasimin tua dalam segala hal. Dan si penorobos pun melaksanakan prinsip tersebut secara tuntas. Selagi lawan terkejut lantas lengah oleh serbuannya yang mendadak. sang tengkorak langsung beraksi. Dari rongga matanya yang memerah saga. ia menyemburkan sepasang lidah api yang langsung menyerbu ke arah sosok Kartinah. Dengan suara berdesus. ganas.
Begitu mengenai sasaran, kedua ujung lidah api bertaut satu sama lain. Membentuk lingkaran yang dengan cepat sudah mengurung'lalu membakar sosok telanjang Kartinah. Saat itu juga terdengarlah jeritan sengsara seorang manusia : jeritan Kartinah yang asli.
tubuh telanjangnya meronta lalu melompat-lompat liar dalam usaha melepaskan diri dari kobaran api. Usahanya itu mengakibatkan nyala api justru semakin marak dan mulai menjilati benda apa saja yang tersentuh atau terkena terjangan Kantinah.
Dan tempatnya mengapung. sang tengkorak masih terus menyemburkan lidah-lidah api ke arah manapun juga sosok Kartinah bergerak. Semburan lidah api itu baru ia hentikan setelah Kartinah tampak tersuruk-suruk lumbung dan kemudian temungkur jatuh ke lantai. Dan bersama tersungkurnya Kartinah. kobaran api yang mengurung tubuhnya pun perlahan-lahan mengecil kemudian padam dengan cepat. Meninggalkan sosok telanjang yang tampak berkelejotan sebentar. sebelum akhirnya diam terkulai. Dengan sekujur tubuh yang sudah melepuh hangus.
Sambil mengatupkan rahangnya rapat-rapat. sang tengkorak mengawasi korban kebrutalannya.
Diam tak bergeming Menunggu.
Detik demi detik berlalu. Sementara api yang timbul dari terjangan-terjangan liar Kartinah tadi. mulai marak di sana-sini. Lalu diterangi maraknya api. dari sekujur tubuh yang hangus melepuh itu perlahan-lahan tampaklah adanya cahaya biru yang samar-samar membias keluar. Sambil bergerak naik meninggalkan tubuh hangus Kartinah. bias samar-samar itu saling merapat dan terus merapat. Sampai akhimya membentuk wujut menyerupai ular kecil berwama biru pekat dengan sinar yang tajam menyilaukan. Meliuk-liuk naik. Dengan liukan lemah. seperti kelelahan.
Di tempatnya mengapung, sepasang mata merah sang tengkorak seketika bersinar-sinar tajam. Rahangnya membeku perlahan-lahan. Saat berikutnya, sang tengkorak pun menyerbu ke depan.
Sambil menyerbu. mulutnya terbuka semakin mangap.
Siap mencaplok mangsa Namun seakan menduga datangnya serangan, sinar biru menyerupai ular kecil itu keburu berkelit dengan kecepatan tak terduga. Dan meliuk hilang entah kemana!
Mencaplok udara hampa. sang tengkorak sempat melesat ke depan. Lalu berhenti menyentak. hanya sejengkel sebelum membentur tembok di hadapannya. Sempat goyah sebentar karena mengerem dengan tibatiba. sang tengkorak kemudian berputar di tempatnya mengapung. Mencari-cari ke arah mana mangsa yang nyaris mencelakakan dirinya itu lari bersembunyi.
Dan ia pun tertegun seketika.
Terlihat olehnya cahaya biru menyerupai ular kecil itu sudah berpindah tempat Dari atas tubuh Kartinah. kini tampak sudah berada di atas tubuh Suhendro. Yang mengherankan. cahaya biru tersebut bergerak keluar masuk lambung Suhendro yang robek menganga. Dengan liukan-liukan liar. setengah histeris. mengakibatkan gundukan usus maupun genangan darah di lambung terbuka Suhendro ikut bergerak-gerak dan berubah warna menjadi kebiru-biruan.
Bergetar sesaat. sang tengkorak turun mendekat.
Gerakannya kini lebih perlahan dan hati-hati. Agaknya tidak sudi dipencundangi sampai dua kali.
Mendekat dan terus mendekat, dengan rahang terus pula membuka semakin lebar.
pada saat itulah. lambung Suhendro tampak terguncang dengan hebat. Menyenai guncangan itu, sinar biru melesat naik dari celah-celah gundukan usus Suhendra. Darah segar menciprat kian kemari. Dan dari tengah cipratan itu. segumpal benda merah kecoklatan ikut melesat keluar dan melayang lurus ke arah sang tengkorak.
Berhenti menyentak, sang tengkorak seketika mengatupkan rahang.
Sayang, terlambat. Karena benda asing itu sudah keburu berada di sebelah dalam mulutnya.
Dalam sebuah rumah kecil di pinggiran desa, Rasimin berseru tersentak. " Apa..........!"
Semadhinya buyar berantakan.
Pucat saking terkejut. Rasimin berusaha menguasai diri. Sambil merapal mantera. ia berjuang keras mengatur semadhinya kembali. Namun dengan segera terlihat bahwa usahanya itu sia-sia belaka. Karena wajah tuanya tampak semakin pucat. sementara dari mulutnya yang kumat-kamit. mulai terdengar rintihan kesakitan.
Pada waktu bersamaan. dirumah Suhendro.
Sang tengkorak tampak terbang-terbanting kian kemari. dengan sinar merah pada rongga matanya tampak berkedap-kedip kian meredup. Dan tidak jauh dari tubuh Suhendro yang terkulai diam di lantai. cahaya
biru yang meliuk-link seperti ular itu bergerak-gerak membesar lalu membentuk sebuah ujut. Dari wujud cahaya biru menyilaukan. ke wujud bayang-bayang sesosok perempuan muda belia. Mengenakan baju panjang yang tampak semakin longgar karena sudah robek disatu-sisi.
Confession 3 Pendekar Rajawali Sakti 172 Mister Tabib Siluman Kisah Si Pedang Terbang 2
^