Pencarian

Confession 3

Fear Street - Confession Bagian 3


"Sandy bukan pembunuh!" teriak Taylor tiba-tiba. Matanya
menyorotkan kemarahan, sejenak kehilangan kendali.
Aku terpana. "Kalian kan bersahabat," lanjutnya, agak melunak. "Sandy tersinggung karena
sikapmu. Maksudku, mestinya kan kau
mendukungnya." "Aku... aku harus menyusul Hillary," kataku tergagap. Aku
berbalik ke pintu, aku ingin segera menjauh dari Taylor.
Tapi lalu aku berhenti. Dan kata-kata ini meluncur dari
mulutku, "Apakah kau mengatakan pada Sandy apa yang kubicarakan dengan Hillary?"
Tadi rahang Taylor terkatup rapat. Sekarang mulutnya
ternganga. Aku dapat melihat noda lipstik merah menempel pada gigi
depannya. "Apa?" tanyanya, sambil mengerutkan alis.
"Kau menguping pembicaraan kami waktu itu. Di panggung
sesudah latihan wisuda. Apakah kau menyampaikannya pada Sandy?"
Taylor menggeleng, mulutnya masih ternganga. "Aku tak
mengerti maksudmu, Julie. Aku tidak menguping pembicaraan kalian.
Aku nggak punya kebiasaan nguping pembicaraan teman-temanku!"
Itu membuatku merasa agak enak, agak lega.
Namun kemudian aku menyadari bahwa Taylor berbohong.
Aku bisa melihatnya dari sorot matanya yang hijau dingin.
Tentu saja Taylor menguping pembicaraanku dengan Hillary.
Tentu saja ia mendengar apa yang kami bicarakan tentang Sandy.
Dan tentu saja ia mengatakannya pada Sandy.
"Eh... kita pasti telat nih," kataku. "Aku dan Hillary akan mencarimu sesudah
nonton nanti." Bohong lagi.
Kebohongan mesti dibalas dengan kebohongan juga.
Aku memutar tubuh, mendorong pintu, dan cepat-cepat masuk
ke teater yang gelap. ***************************
Senin malam, kami kembali mengikuti latihan wisuda. Kali ini
kami memakai toga, lengkap dengan topi dan semua pernak-
perniknya. Latihan itu berlangsung sampai larut malam. Ada masalah
dengan toga, beberapa anak toganya kebesaran.
Lagi pula si pianis salah melulu ketika memainkan lagu Pomp
and Circumstance, sehingga kami semua tertawa cekikikan. Entah
mengapa, seluruh acara itu membuat kami geli, sehingga kami harus
mengulang latihan itu berkali-kali.
Mengulang lagi. Dan mengulang lagi.
Sampai akhirnya kami benar-benar capek - capek tertawa,
capek mengelilingi auditorium. Panas dan lengket mengenakan toga
biru itu, yang rasanya makin berat seiring dengan makin larutnya
malam. Sudah hampir pukul sebelas ketika aku menurunkan Hillary di
depan rumahnya. Dan kemudian barulah aku pulang.
Rumahku gelap. Mom dan Dad sedang mengunjungi famili
kami yang tinggal di Old Village. Mereka biasanya menyalakan lampu
teras, namun malam ini rupanya mereka lupa.
Sorot lampu depan mobilku terpantul pada pintu garasi. Kutarik
rem tangan dan aku keluar dari mobil. Kutemukan remote pembuka
pintu garasi di bawah semak-semak, tempat kami selalu
menyembunyikannya. Kutekan tombol remote itu dan pintu perlahan-
lahan mulai bergulung ke atas.
Kuletakkan kembali remote itu di tempat persembunyiannya di
bawah semak-semak. Aku kembali ke mobil. Dan dengan hati-hati
kumasukkan mobil ke garasi - tempatnya pas-pasan. Garasi itu hanya
seukuran satu setengah mobil, dan telah penuh dengan pemotong
rumput, sepeda, serta rongsokan lain di kedua sisinya.
Sambil membayangkan minuman dingin dan mandi di bawah
pancuran, aku mematikan mesin mobil dan lampunya, lalu keluar dari
mobil. Bau tajam cat menyengat hidungku. Ayahku telah mengecat
pagar di halaman belakang.
Aku merogoh tasku untuk mengambil kunci rumah, sambil
memutari mobil menuju ke pintu tembus antara garasi dan dapur.
Gelap sekali di garasi itu. Kuncinya belum kutemukan juga.
Aku masih mengaduk-aduk tasku saat kudengar bunyi gemuruh
keras. Lalu decit logam. Gemeretak berat.
Aku menoleh terkejut melihat pintu garasi menutup.
"Hei...!" seruku kaget.
Rasa takut menghunjam dadaku. Aku menarik napas.
Memandang ke arah jalan masuk yang gelap.
"Hei... siapa di sana?" seruku melengking di antara gemuruh pintu garasi yang
meluncur turun. Aku terdiam membeku. Kepanikan membuatku tak mampu
bergerak. Aku tak dapat memutuskan apakah sebaiknya aku
menyusup ke bawah pintu dan keluar ke jalan masuk, ataukah mencari
kunciku dan mencoba masuk ke rumah.
Pintu itu sudah setengah menutup ketika aku mendengar debam
langkah. Ada orang yang menyusup masuk ke garasi.
"Siapa itu?" seruku. "Kau mau apa?"
Tak ada jawaban. Aku merogoh-rogoh lagi mencari kunciku - tapi tasku terlepas
dari tanganku yang gemetaran. Jatuh ke lantai garasi. Terdengar bunyi barang-
barang berhamburan keluar dengan berisik.
Tapi aku tidak melihat ke bawah. Mataku tetap kutujukan pada
sosok gelap yang bergerak pelan sepanjang sisi mobil.
"Hei...!" aku kembali berteriak dengan suara tercekik.
Pintu garasi berdebam menutup.
Sekarang sunyi. Kusadari aku terjebak. Kulayangkan pandanganku ke sepanjang
rak dinding, mencari-cari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai
senjata. Pemotong pagar tanaman. Gagang sapu.
Apa saja! "Siapa kau" Kau mau apa?" Suaraku bergetar ketakutan.
Dari jendela sempit-panjang di pintu garasi, menyorot masuk
cahaya bulan. Aku sempat melihat wajah penyusup itu.
Sandy! "Hai, Julie. Ini aku," katanya dengan tenang. Di bawah cahaya keperakan, ia
tersenyum. Senyum yang aneh dan tak ramah.
"Sandy! Apa-apaan sih!" teriakku, ketakutanku dengan cepat berubah menjadi
kemarahan. "Kau... kau membuat aku ketakutan
setengah mati!" Ia tidak menyahut. Kulihat ia membungkuk. Memungut sesuatu dari lantai garasi.
Tampak kilatan logam. Berkilau keperakan. Sandy memungut
Rollerblades-ku. Ia mengacungkannya sambil berjalan ke arahku.
"Sandy... stop!" jeritku. "Kau mau apa?"
Chapter 19 AKU berusaha mundur, tapi menabrak sisi mobil.
Ia mengangkat Rollerblades itu. Mengangkatnya tinggi di atas
kepalaku. "Sandy...!" aku menjerit, sambil mengangkat kedua tanganku untuk melindungi
diri. "Seharusnya kau tak membiarkannya di lantai," katanya pelan.
"Orang bisa tersandung ini." Ia meletakkan Rollerblades itu di rak dinding.
"Orang bisa terluka," tambahnya dengan berbisik.
Aku mengembuskan napas panjang.
Ia nyengir padaku, senang karena berhasil dengan lelucon
sintingnya. "Kau nggak lucu," kataku ketus, sambil berusaha memulihkan debar jantungku.
"Kenapa kau berusaha menakut-nakutiku?"
Ia mengangkat bahu. Lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Matanya yang gelap menatapku dengan dingin. "Kenapa kau berusaha menakut-
nakutiku?" tanyanya.
"Aku... aku tak tahu maksudmu," kataku terbata-bata. Kudorong bahunya, kudorong
dengan kedua tanganku. Benarkah ini Sandy" tanyaku dalam hati. Kupandangi
tampangnya yang mengancam dan dingin. Benarkah ini cowok yang
telah menjadi temanku sejak kelas tiga SD"
"Bagaimana aku bisa menakut-nakutimu?" tanyaku.
"Kau bicara dengan polisi," sahutnya dengan tajam. "Itu membuatku sangat takut."
"Jadi benar kau memata-mataiku di luar rumahku!" seruku.
"Kau yang sembunyi di balik pohon itu!"
Sandy kembali mengangkat bahu. "Terserah apa katamu;
gumamnya. "Tapi, Sandy...," aku mulai berkata.
Ia menyela, "Aku melihat mobil polisi itu. Aku penasaran, ingin tahu ada apa.
Jadi aku mengawasi kalian. Cuma begitu kok."
"Sandy, tak mungkin kau kebetulan berada di muka rumahku.
Kau membuntuti aku dan Hillary pulang. Kenapa sih kau nggak bisa
jujur lagi?" seruku. "Kenapa kau nggak mau berterus terang?"
Ia tidak menghiraukan pertanyaanku. Disipitkannya matanya
memandangku. "Kenapa kau menelepon polisi, Julie" Kau bisa jawab pertanyaanku"
Kenapa kau menelepon mereka?"
"Aku nggak menelepon!" kataku lebih ketus daripada yang
kuinginkan. "Aku tak menelepon mereka. Officer Reed - dia datang
sendiri ke rumahku. Dia menungguku pulang dari latihan. Aku tidak
meneleponnya. Dia datang untuk menanyaiku lagi. Bukankah polisi
itu juga sudah menanyaimu lagi, Sandy?"
Ia mengangguk. "Mereka tak bosan-bosannya mengganggu
kita," katanya pelan. "Mereka sudah kembali ke rumahku juga."
"Mereka mengira sudah hampir bisa mengungkap kasus itu,"
kataku. Mata Sandy berkilat-kilat. "Tidak, tak mungkin! Itu bohong,
Julie. Jangan percaya kebohongan itu. Mereka mengatakan pada
reporter TV, mereka hampir mengungkap kasus ini. Itu hanya akal
supaya mereka tidak kelihatan jelek di TV. Tapi polisi belum punya
bukti." Ia memandangku dengan marah, sambil mencondongkan
badannya ke dekatku. "Kecuali kau yang memberitahu mereka."
"Bu... bukan aku!" aku tergagap, berusaha mundur. "Aku tak mengatakan apa pun,
Sandy. Sumpah!" Ia mengamati wajahku, matanya menatap mataku, seakan
mencari kebenaran di dalamnya.
"Sumpah!" ulangku. Aku memandangi mukanya yang marah.
Bahkan dalam sinar suram, aku dapat melihat keringat menetes dari
keningnya. "Pikir saja sendiri!" teriakku. "Kau benar-benar kacau. Kalau menurutmu kami
akan mengkhianatimu, kalau kaukira kami bakalan
menyerahkanmu pada polisi - kenapa kau memberitahu kami" Kenapa
kau mengaku pada kami?"
Ia menjerit tertahan. "Karena aku percaya pada kalian. Itulah
sebabnya," serunya, napasnya tersengal. "Tapi sekarang..."
"Sekarang apa?" tanyaku.
Ia menggeleng. Tidak menjawab. "Kita harus membereskan
masalah ini," gumamnya akhirnya, ia memandang ke lantai.
"Sungguh, Julie. Kita harus melupakan peristiwa ini."
"Bagaimana mungkin?" kataku. "Polisi takkan membiarkan kita melupakannya. Kau
takkan membiarkan kami melupakannya."
"Aku... aku akan mengadakan pesta," kata Sandy, matanya
beralih memandangku. "Di rumahku. Jumat depan. Semacam pesta
pra-wisuda. Acara kumpul-kumpul supaya keadaan kembali normal.
Jadi... datanglah sekitar jam delapan, oke" Aku juga mengundang
Hillary dan Vincent. Dan banyak anak lain."
Ini benar-benar tak masuk akal! pikirku.
Sandy menjebakku di garasi. Jelas-jelas ia mencoba
mengancamku. Lalu ia mengundangku ke pesta"
Aku menelan ludah. "Ehm... kayaknya aku nggak bisa datang,
Sandy," kataku, sambil berusaha agar suaraku tetap terdengar tenang dan mantap.
Kulihat ia mengatupkan rahangnya. Tapi, ia tidak beranjak.
"Aku harus pergi Jumat malam," aku berbohong.
Sandy mengangguk. Rahangnya terkatup makin rapat.
Tampangnya berubah menjadi keras, dingin. "Ya. Baik," gumamnya dengan pahit.
"Sandy. Kau...," aku mulai berkata.
"Baik, baik, baik." Ia memegang lenganku dengan erat, cukup menyakitkan. "Aku
bohong soal pesta itu, Julie. Aku tidak akan
mengadakan pesta. Ini cuma tes."
"Tes?" tanyaku, sambil menggeliat untuk, melepaskan lenganku dari pegangannya.
Ia mengangguk lagi. "Dan kau gagal." Ia mendorongku
menjauh dengan kasar. "Kau gagal dalam tes tadi, Julie. Tapi aku
memperingatkanmu. Kau harus membereskan masalah ini. Kau dan
Hillary dan Vincent - kalian semua harus membereskan ini."
Aku balas menatap Sandy, dan tiba-tiba merasa ngeri lagi. Ia
memperingatkan aku - ia mengancamku. Mengancam kami semua.
"Kita semua harus kembali seperti semula," katanya.
"Dan... dan bagaimana kalau kami tak bisa?" tanyaku terbata-bata, suaraku
bergetar menunjukkan ketakutanku.
"Pokoknya aku sudah memperingatkanmu," ulangnya.
Ia berbalik meninggalkanku dan menekan tombol remote pintu
garasi. Terdengar derum dan pintu itu berderit, lalu mulai berderak
membuka. Ia membungkuk untuk menyelinap ke bawah pintu itu. Kulihat
ia melemparkan remote pintu ke semak-semak di samping jalan
masuk. Lalu ia cepat-cepat pergi dan menghilang dalam kepekatan
malam. Meninggalkanku di dalam kegelapan garasi. Kulingkarkan
lenganku ke sekeliling tubuhku, kupeluk diriku sendiri, aku berusaha mengatasi
rasa takutku. Mata Sandy yang berkilat marah dan dingin
terpatri dalam ingatanku.
Chapter 20 "DIA juga mengancamku," bisik Hillary. "Dia datang ke rumahku, dan mencoba
menakut-nakutiku." "Dia berhasil menakut-nakutiku," aku mengakui.
Kami berdiri di pintu ruang makan siang, sambil memegangi
kantong makanan kami, mencari meja kosong. Aku melihat Sandy di
meja dekat jendela. Ia sedang berbicara dengan Taylor, yang duduk di
seberangnya, membelakangi kami.
Hujan menampar-nampar jendela. Di antara hiruk-pikuk
ruangan yang ramai itu, aku dapat mendengar gemuruh guntur di
kejauhan. Di dalam ruangan itu terdapat lampu-lampu pijar. Namun
cahaya kelabu suram dari luar menyusup juga.
"Kau ingin duduk di mana?" tanya Hillary. Ia melambai pada Deena Martinson di
meja yang terdekat dengan kami. Deena sedang
adu panco dengan temannya, Jade Smith.
Anak-anak lain di meja itu tertawa dan menyoraki mereka
berdua. "Sandy melihat kita," aku memberitahu Hillary. "Dia lagi memandangi kita. Dia
berharap kita bergabung dengannya."
Kulihat Taylor menoleh. Mereka berdua sedang memandangi
kami sekarang. "Jangan pedulikan mereka. Aku mau menikmati makan
siangku," kata Hillary.
Ia meletakkan kantong makanannya di meja di deretan depan
dan menarik kursi. Aku duduk di seberangnya sambil mengalihkan
pandangan, agar tidak bertemu pandang dengan Sandy dan Taylor.
"Mungkin mereka mengira kita nggak melihat mereka," kataku.
Hillary memasang tampang jijik. "Aku nggak peduli dengan apa
yang mereka pikirkan. Aku nggak kepingin duduk dengan Sandy.
Silakan saja kalau dia mau mengancamku dan mengatakan segalanya


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus kembali normal. Dia bukan temanku lagi."
Ketika aku menarik keluar roti isi tuna dari kantongku, aku
melihat sekilas ke jendela. Gemuruh keras guntur membuat beberapa
anak meloncat. Sandy dan Taylor memandangi kami. Sandy sedang
bicara dengan cepat dan marah.
Cepat-cepat aku menoleh kembali pada Hillary. "Dia benar-
benar sudah sakit jiwa," kataku. "Dia berusaha membuatku ketakutan setengah
mati. Dia mencoba membuatku mengira dia akan melukaiku
kalau aku melaporkan pada polisi bahwa dialah pembunuhnya. Lalu
dia bilang kita harus kembali berteman seperti semula."
Roti isiku berantakan. Kucoba menyelipkan kembali tuna ke
dalam roti itu. "Tak mungkin segalanya akan kembali seperti semula," kata
Hillary sambil menggeleng dengan sedih. Anting-anting peraknya
yang panjang bergoyang-goyang. "Menurutku aku takkan pernah
merasa normal lagi. Malam aku tak bisa tidur. Siang aku tak bisa
memusatkan perhatian pada tugasku. Aku... aku bahkan nggak
bernafsu makan." Ia mendorong wadah yoghurtnya.
"Hei... itu ada Vincent!" seruku. Aku mengangkat tanganku
tinggi-tinggi dan melambai pada cowok itu. "Hei, Vincent! Vincent!"
Kuikuti arah pandangan Vincent. Ia melihat Sandy dan Taylor
juga. Kemudian ia mendengar panggilanku dan bergegas menghampiri
mejaku. "Hei, ada apa?" tanyanya sambil kembali melirik ke arah Sandy.
Ia tidak memberi kami kesempatan untuk menjawab. Ia
mencondongkan badan ke meja dan tampangnya berubah serius.
"Tahu nggak, Sandy meneleponku tadi malam. Kedengarannya dia
benar-benar kacau. Dan dia mengancamku. Kau percaya nggak" Dia
mengancamku." ************************ Sepulang sekolah Hillary harus pergi ke kantor tata usaha. Ia
mendapat masalah karena keliru mengirimkan transkrip ke Universitas
Princeton. Aku memutuskan untuk menemaninya.
Ternyata waktu yang dibutuhkan untuk membereskan masalah
itu lebih lama daripada yang kami perkirakan. Sekolah sudah hampir
kosong pada saat kami keluar dari kantor tata usaha.
Sambil membelok di tikungan, Hillary menggerutu tentang
betapa komputer selalu membuat kacau segalanya. Kami mendadak
berhenti ketika berpapasan dengan Taylor.
"Hai. Apa kabar?" sapaku, berusaha agar suaraku terdengar
biasa. Aku baru mau berbasa-basi, mengatakan bahwa aku suka
caranya mengikat rambutnya ke belakang. Tapi mulutku yang sudah
terbuka kututup lagi, begitu aku melihat ekspresi marah di wajahnya.
Dan aku menyadari bahwa bukan kebetulan saja kami
berpapasan dengannya. Ia sedang menunggu kami.
"Sandy merasa terpukul sekali," Taylor berkata sambil
mengertakkan giginya. Aku bisa melihat pembuluh-pembuluh
darahnya yang halus dan bagus di pelipisnya berdenyut-denyut.
"Kalian sungguh-sungguh melukai perasaannya."
"Sori," kataku cepat-cepat. Aku tidak ingin bertengkar dengan Taylor. Tidak ada
alasan untuk bertengkar dengannya.
Yang membuatku terkejut, ternyata Hillary menanggapi dengan
marah. "Kami nggak peduli," katanya pada Taylor. "Kami nggak mau tahu perasaan
Sandy. Kami tahu kau masih peduli padanya. Tapi kami
tidak. Menurut kami Sandy itu... seorang..."
"Sembarangan saja kau bicara!" tukas Taylor. Kulitnya yang biasanya pucat
menjadi berbintik-bintik merah. Pembuluh darah di
pelipisnya berdenyut-denyut. "Kau nggak tahu betapa baiknya Sandy!
Kok tega-teganya kalian menyakitinya seperti ini?"
"Baik?" teriak Hillary. "Dia baik" Taylor... apakah kau sudah kehilangan akal"
Kau tahu apa yang dilakukan Sandy. Kau nggak
mungkin begitu tergila-gila padanya sehingga bisa menutup mata
terhadap perbuatannya. Kau nggak bisa menganggapnya baik!"
Aku mulai deg-degan ketika menatap Taylor. Terus terang aku
terkejut karena demi Sandy, Taylor ternyata rela bertengkar dengan
kami. Maksudku, aku sebenarnya tidak percaya bahwa Taylor begitu
tergila-gilanya pada Sandy. Sandy sama sekali bukan jenis cowok
idamannya. Dan selama ini ketika ia pacaran dengan Sandy, ia tetap
bergenit-genit dengan semua cowok di Shadyside High!
"Sandy melakukannya untuk kita semua!" seru Taylor,
menujukan kata-kata itu kepada Hillary. "Dan apa balasan yang
diterimanya" Mereka yang mengaku sahabatnya, semua
meninggalkannya dan menganggapnya tidak ada! Ini... ini sangat
memuakkan! Aku..." Diangkatnya tangannya yang terkepal kencang. Wajahnya
merah padam sekarang. "Taylor... apa sih yang mau kaubuktikan?" seruku. "Kau tak bisa memaksa kami
untuk menyukai Sandy lagi! Kau tak bisa
memaksa kami melupakan kejadian itu."
"Julie benar. Jangan ganggu kami," tambah Hillary dengan
tajam. Ia mencoba melangkah melewati Taylor.
Aku tersentak ketika melihat mata Taylor menjadi liar. Dengan
wajah merah padam, meledak karena marah, Taylor berteriak parau
dan menarik kepang rambut Hillary.
"Hei...!" teriak Hillary.
Taylor menarik dengan keras, sehingga kepala Hillary berputar.
Lalu sebelah tangannya melayang melewati leher Hillary - dan
dalam sekejap, leher Hillary tercakar dalam.
Hillary memekik tajam. Ia meraih pinggang Taylor dengan
kedua tangannya. Dan menarik Taylor ke lantai.
"Stop! Berhenti!" teriakku tanpa daya. Aku melongo terkejut menyaksikan mereka
bergumul di lantai, berguling-guling, saling
cakar dan saling tinju, tersengal-sengal dan terisak-isak sambil
berkelahi. Aku membutuhkan waktu beberapa detik untuk sadar kembali.
Lalu aku membungkuk. Kutarik bahu Taylor. Dan dengan sekuat
tenaga kusentakkan Hillary agar menjauh.
"Berhenti! Berhenti! Taylor... sudahlah!" aku memohon.
Taylor melepaskan diri dariku. Aku bahkan tidak tahu apakah ia
mendengarku. Di lantai koridor tampak darah merah cerah. Darah yang
menodai bagian depan sweter Hillary. Darah itu berasal dari lehernya yang
tercakar. "Taylor... sudahlah! Stop! Berhenti!"
Dengan sekuat tenaga aku mendorong Taylor menjauh dari
Hillary. Taylor terguling ke samping. Ia berusaha bangun lagi.
Tapi aku berdiri di depannya, menghadangnya.
Hillary bangkit berdiri dengan sempoyongan. Salah satu
tangannya menekan luka di lehernya. Tangannya yang lain menuding-
nuding Taylor. "Kau ini sebenarnya kenapa sih" Apa masalahmu?"
Taylor tidak menjawab. Ia berdiri membungkuk, napasnya
tersengal-sengal dan menderu-deru. Rambutnya basah dan menutupi
sebagian wajahnya. T-shirt-nya koyak dan ternoda darah di bagian
samping dan lengannya. "Kau punya masalah apa?" Hillary bertanya lagi. "Apa kau sinting" Apa kau..."
Ia berhenti ketika Taylor mulai muntah.
Sejak tadi Taylor membungkuk, tersengal-sengal, berusaha
mengatur napasnya. Sekarang ia berbalik, memalingkan wajahnya dari
kami, rambutnya masih menutupi wajahnya.
Ia mengerang pelan. Lalu ia muntah-muntah. Seluruh tubuhnya
gemetaran, tangannya sibuk menyibakkan rambutnya.
"Oh, wow," gumam Hillary, sambil menggeleng-geleng.
Tangannya masih menekan lehernya. "Oh, wow. Oh, wow."
Aku melangkah mendekati Taylor. "Kau nggak apa-apa?"
Ia tidak menjawab. "Taylor... kau tak apa-apa?" tanyaku lagi.
Taylor berdiri memunggungiku. Bahunya berguncang sekali
lagi. Lalu tiba-tiba ia berbalik kepadaku.
Rambut panjangnya yang kusut lengket dengan muntahan.
Matanya merah dan berkaca-kaca. Air mata menetes ke pipinya yang
bengkak merah. "Oh, wow. Oh, wow," ulang Hillary.
"Taylor... kau mau kami antar pulang?" tanyaku lirih.
Ia menggeleng. Lalu tiba-tiba meninggalkan kami.
Aku mengejarnya, tapi lalu berhenti.
Taylor mulai berlari, bahunya menabrak dinding keramik, lalu
ia membelok di tikungan. Kami tak dapat melihatnya lagi, namun
kami masih dapat mendengar langkahnya... tidak beraturan, berlari,
bergema menjauh. Aku menoleh pada Hillary. "Mungkin perawat sekolah masih di
sini," kataku. "Lehermu harus diperiksa."
"Cuma luka kecil kok," sahutnya dengan suara bergetar.
Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali. Lalu ia membungkuk dan
memungut kacamatanya yang terlontar ke depan locker. "Aku akan
membersihkannya begitu sampai di rumah."
Kepangnya telah lepas berantakan. Hillary menyibakkan
rambutnya ke belakang bahunya.
"Aku nggak habis pikir kok Taylor sampai berbuat begini,"
kataku pelan. "Aku nggak percaya dia begitu sayangnya pada Sandy.
Aku sungguh nggak percaya."
"Aku sih nggak mau pusing-pusing memikirkan dia," kata
Hillary dengan tajam. "Aku nggak peduli lagi dengan Taylor. Aku cuma tahu satu
hal." Hillary memasukkan blusnya ke jinsnya. Kulihat tangannya
gemetar. Ketika bicara, ia memaksakan kata-katanya keluar lewat
giginya yang bergemeletuk.
"Aku cuma tahu satu hal, Julie," ulangnya. "Ini sudah cukup bagiku. Cukup
sekian. Cukup sekian saja untukku."
Ia menyeberangi koridor menuju ke lockernya. Aku
membuntutinya di belakangnya. "Hillary... apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku nggak akan menjaga rahasia Sandy lagi," sahutnya.
"Takkan kubiarkan dia merusak hidupku."
Aku menatap Hillary dengan terkejut. Aku dapat melihat bahwa
ia serius. "Apa yang akan kaulakukan?" aku bertanya.
"Aku akan melapor ke polisi," sahutnya. "Segera sesudah aku sampai di rumah."
Chapter 21 AKU berdebat dengan Hillary sambil menyeberangi tempat
parkir murid, merunduk dalam hujan, bergegas ke mobilku. Aku tidak
tahu mengapa aku mencoba meyakinkan Hillary untuk mengurungkan
niatnya. Sering kali aku sendiri tergoda untuk menelepon polisi juga.
Aku merasa seakan rahasia itu membakar dadaku. Aku merasa tidak
akan bisa bernapas dengan normal lagi - jika aku tidak
mengungkapkan rahasia ini, jika aku tidak mengatakan yang
sebenarnya pada seseorang.
Tapi sekarang, ketika aku duduk di belakang kemudi, menyeka
air hujan di alisku, ternyata aku berdebat dengan Hillary, memintanya agar
jangan menelepon polisi. Mengapa" Karena pelakunya adalah Sandy, teman lamaku sejak
kelas tiga" Mungkin. Atau karena Sandy telah melibatkan kami semua" Karena
sekarang kami semua mempunyai andil dalam pembunuhan Al, dan
mengatakan hal yang sebenarnya pada polisi akan membuat kami
terkena akibatnya juga"
Mungkin juga. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Seperti yang kukatakan tadi, aku
sungguh-sungguh tidak tahu mengapa aku berdebat dengan Hillary.
Tapi aku melakukannya. "Al sudah mati," kataku. "Melaporkan Sandy nggak akan membuat Al hidup kembali."
"Aku nggak peduli," gumam Hillary, sambil menatap lurus ke depan, kakinya
terlipat ke atas, bertumpu pada dasbor.
"Hidup Sandy akan berantakan," lanjutku, sambil berbelok ke Hawthorne.
Penyeka kaca depan bergerak-gerak dengan irama teratur.
Hujan telah menjadi rintik-rintik gerimis.
"Hidupnya akan berakhir."
"Bagus," kata Hillary ketus. "Dia membunuh orang, Julie. Lalu dia
menceritakannya pada kita seakan-akan ingin membanggakan
perbuatannya itu. Mungkin diharapkannya kita akan memberinya
medali penghargaan atau apa."
"Bukan itu sebabnya dia mengaku pada kita," aku membantah.
"Lalu kenapa dia berbuat begitu?" tanya Hillary, suaranya
tegang dan marah. "Dia ingin kita tahu hal yang sebenarnya," jawabku.
"Kenapa?" "Karena... dia percaya pada kita dan berpikir kita sebaiknya
tahu." "Tapi kenapa?" ulang Hillary dengan tidak sabar. "Kau kan tahu, Julie, dia bisa
menyimpan rahasianya itu sendiri. Tidak
diberitahu pun kita tidak apa-apa. Al sudah mati. Ada orang yang
membunuhnya. Tak seorang pun tahu siapa pembunuh itu. Jadi
kenapa Sandy begitu ingin mengaku pada kita?"
Aku membuka mulut untuk menjawab. Tapi sebenarnya aku
tidak punya jawaban. "Karena dia ingin kita mengaguminya," Hillary menjawab
pertanyaannya sendiri. "Dia ingin kita memberinya ucapan selamat.
Dia ingin kita menganggapnya sebagai pahlawan. Dan terutama, dia
ingin Taylor menganggapnya sebagai pahlawan yang macho dan
hebat." Aku tersentak. "Kau nggak menganggap dia membunuh Al
cuma untuk menarik perhatian Taylor, kan?"
Hillary menggelengkan kepalanya. Di balik kacamatanya,
matanya tetap setengah terpejam, ia sedang berpikir.
"Tidak. Kupikir dia membunuh Al karena Al menghina dan
mempermalukannya di depan Taylor. Dan karena Al mengancam kita
semua dan membuat hidup kita semua sengsara."
Ia menarik napas. "Tapi," lanjutnya, "kupikir Sandy mengaku pada kita karena dia
mencoba menarik perhatian Taylor."
"Dan berhasil," kataku sambil mendesah. "Sekarang Taylor begitu tergila-gila
padanya, dia siap melawan siapa saja yang
menyakiti hati Sandy. Rasanya aku nggak percaya dia berkelahi
denganmu tadi cuma gara-gara begitu saja!"
Hillary tidak menanggapi. Kulihat ia sedang berpikir keras. Dan
dari ekspresi tegas di wajahnya, dapat kukatakan bahwa pendapatku
tidak didengarnya. "Biar kuulangi," kataku, sambil mematikan penyeka kaca.
Kunyalakan lampu depan. Meskipun sekarang baru pukul setengah
lima, langit sudah tampak segelap malam.
"Sandy melakukan perbuatan yang mengerikan," lanjutku. "Dan yang lebih
mengerikan lagi adalah karena dia menceritakannya kepada
kita. Tapi melaporkan Sandy pada polisi cuma akan menghancurkan
hidupnya. Nggak ada manfaatnya. Kau dan aku... kita sama-sama
sangat marah dan tidak enak sebab kita tahu rahasianya. Tapi kita juga tahu
Sandy bukan benar-benar pembunuh. Kita tahu dia takkan pernah
membunuh lagi. Jadi pantaskah kalau kau menghancurkan hidupnya
hanya karena kau marah padanya" Dan marah karena Taylor?"
Hillary menurunkan kakinya ke lantai mobil. Ia menoleh
padaku. "Aku nggak begitu yakin," katanya.
Kulambatkan mobilku dan kuhentikan di lampu merah. Hujan


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai turun lagi. "Nggak begitu yakin apa?"
"Nggak begitu yakin kalau dia tidak akan membunuh lagi,"
sahutnya. "Hillary, yang benar saja..."
"Dia mengancam kita," Hillary melanjutkan. "Dia berusaha menakut-nakuti kita.
Dia mencoba memaksa kita untuk berpura-pura
bahwa semuanya beres. Dia sudah kehilangan akal sehatnya, Julie."
Hillary menelan ludah dengan susah payah, kemudian menekankan
telapak tangannya pada lehernya yang terluka. "Bagaimana kau bisa yakin bahwa
dia takkan membunuh lagi?"
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Barangkali Hillary benar.
Aku menajamkan mataku. Penyeka kaca memburamkan kaca,
sehingga sulit melihat ke jalanan.
"Putar kembali," perintah Hillary tiba-tiba. "Putar kembali mobilmu!"
"Hah?" Ia membuatku kaget. "Ada apa?"
"Aku berubah pikiran," katanya sambil meluruskan duduknya.
Ia menyibakkan rambutnya ke belakang. "Aku tak ingin pulang.
Antarkan aku ke rumah Sandy."
"Wah!" seruku. "Hillary, ada apa sih...?"
"Kau berhasil meyakinkanku," katanya. "Aku takkan langsung pergi ke polisi. Aku
mau bicara dengan Sandy dulu. Berunding
dengannya. Mungkin aku bisa meyakinkan Sandy agar dia
menyerahkan diri. Kau benar, Julie. Bagaimanapun, Sandy teman
lama kita. Aku harus memberinya kesempatan. Aku harus
memberinya kesempatan untuk melakukan hal yang benar."
Kubelokkan mobilku ke jalan masuk rumah orang, lalu mundur,
berbalik menuju ke rumah Sandy di Canyon Road. "Aku ikut kau,"
kataku. "Jangan." Hillary meremas bahuku. "Thanks. Tapi nggak usah.
Aku ingin bicara dengan Sandy sendiri. Kalau kita berdua pergi, dia
mungkin akan marah. Mungkin dikiranya kita bersekongkol
melawannya." "Tapi, Hillary..."
"Tidak," tolaknya dengan tegas. "Aku sungguh-sungguh. Aku akan bicara empat mata
dengan dia." "Akan kutunggu kau di luar di dalam mobil," aku menawarkan.
Ia menggelengkan kepalanya lagi. "Pulanglah, Julie. Kau akan
kutelepon begitu aku sampai di rumah nanti. Aku janji."
Beberapa menit kemudian, kubelokkan mobilku ke jalan masuk
rumah Sandy. Hillary berlari cepat menembus hujan yang makin lebat
menuju ke pintu depan. Pintu itu membuka setelah beberapa detik.
Hillary menghilang ke dalam rumah.
Aku menunggu satu-dua menit. Mendengarkan usapan penyeka
kaca di antara derum mesin mobil. Memandangi kaca pintu depan
rumah Sandy yang tertutup.
Sejenak aku ingin melanggar perintah Hillary. Keluar dari
mobil. Mengikutinya masuk ke rumah Sandy. Berdiri di sebelahnya
selama ia berkonfrontasi dengan cowok itu.
Tapi aku mengekang keinginanku itu. Kumasukkan persneling
ke gigi mundur. Kumundurkan mobilku meninggalkan rumah Sandy,
dan dengan patuh aku pulang.
Beberapa kali aku ingin memutar mobilku kembali ke rumah
Sandy. Mengapa hatiku dibebani rasa takut ini" aku bertanya-tanya
dalam hati, sambil mengemudikan mobil melintasi sore kelabu,
melintasi curahan hujan. Mengapa aku merasa sangat bingung, sangat cemas"
Mengapa aku merasa sesuatu yang mengerikan akan terjadi"
Tiga jam kemudian aku mendapatkan jawabannya.
Chapter 22 AKU ingin cepat-cepat sampai di rumah dan duduk di samping
telepon, menunggu kabar dari Hillary. Namun hujan mengakibatkan
mobil-mobil menumpuk di Mill Road. Dan rasanya perlu waktu lama
sekali untuk mencapai Fear Street.
Ketika aku memasuki blokku, pepohonan tua yang menaungi
jalan menutupi sinar lampu. Sekarang sudah segelap tengah malam.
Kenapa aku harus tinggal di Fear Street" tanyaku pada diriku
sendiri. Teman-temanku sering menggodaku mengenai hal ini. Semua
orang menceritakan kisah-kisah mengerikan tentang Fear Street dan
hal-hal menakutkan yang diduga terjadi di sini.
Menurutku kawasan ini tidak seram. Hanya lebih gelap
daripada tempat mana pun karena semua pepohonan tua itu.
Akhirnya kubelokkan mobilku ke halaman rumahku, ban-
bannya melindas jalan berbatu yang basah. Mobil Mom sudah ada di
garasi. Mom pulang lebih cepat. Kuharap tidak ada masalah.
Aku menemukan Mom di dapur. "Mom?" Meskipun ia
membelakangiku, aku segera tahu bahwa ia sedang menangis.
"Mom" Mom" Ada apa?"
"Aku mengiris bawang," sahutnya, sambil menoleh padaku dan tersenyum. "Kata
orang kita harus menahan napas atau memejamkan mata. Tapi tak berhasil. Aku
tetap tak dapat mengiris bawang tanpa
menangis." Aku mendesah lega. Semula aku yakin Mom mendapat berita
buruk. Aku memikirkan Hillary yang sedang di rumah Sandy. "Apakah
Hillary sudah menelepon?" tanyaku pada ibuku.
Mom menyeka air mata di pipinya dengan punggung
tangannya. "Tidak. Kau kan baru pulang sekolah. Buat apa Hillary menelepon?"
"Nggak ada apa-apa kok," sahutku. Hujan mengempas-empas
jendela dapur. Bunyinya mirip orang yang mengetuk-ngetuk. Aku
terlonjak dan menoleh ke jendela.
"Wow. Kau kagetan hari ini," Mom berkomentar.
"Ehm... uh... hujannya mengerikan sih," kilahku. "Tumben Mom pulang lebih awal?"
Mom mulai mengiris bawang lagi. "Aku punya janji dengan
dokter gigi jam setengah empat. Jadi kuputuskan tak kembali lagi ke
kantor setelah itu."
"Mom bikin apa buat makan malam?" tanyaku, sambil
mengambil air minum dari kulkas.
"Daging lapis telur. Mestinya sejam lagi ayahmu sudah pulang.
Aku mau memberinya kejutan dengan masak makan malam betulan
kali ini." Mataku mulai terasa panas akibat bawang itu. "Kubantu, ya?"
tanyaku, sambil memikirkan Hillary lagi.
"Jangan. Aku bisa sendiri kok. Kau mengatur meja saja nanti."
"Oke," sahutku, sambil mengerjap-ngerjapkan mataku menahan keluarnya air mata.
"Aku mau naik ke kamarku. Mungkin aku akan
mengerjakan PR Prancis-ku sebelum makan."
Aku bergegas ke kamarku. Tapi aku tidak mengerjakan PR
Prancis-ku. Aku duduk di ranjang dan memandangi pesawat telepon di
sampingku di atas meja kecil. "Ayo... berbunyilah," perintahku.
Pesawat telepon itu tidak mematuhiku.
Di mana Hillary" Otot-ototku terasa tegang. Kenapa sudah
begitu lama dia belum menelepon juga"
Kulirik radio jam setiap dua menit. Lima tiga puluh. Lima tiga
puluh dua. Lima tiga puluh empat.
Seharusnya sekarang dia sudah pulang, kataku pada diriku
sendiri. Aku berdiri. Kakiku terasa lemas. Aku mulai mondar-mandir,
sambil berpikir keras. Tidak banyak tempat untuk mondar-mandir di
kamarku yang sempit. Di mana dia" Di mana dia"
Aku mulai merasa bersalah. Hillary kuturunkan di sana dan
kutinggalkan begitu saja. Teman macam apa aku ini"
Seharusnya aku masuk ke rumah Sandy bersamanya.
Seharusnya aku tidak mendengarkan omongan Hillary. Seharusnya
aku memaksa ikut. Seharusnya kami berdua yang menghadapi Sandy.
Bukannya Hillary sendirian.
Perutku mulai seperti diaduk-aduk. Tanganku terasa sedingin
es. Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur kembali. Dan menatap
pesawat telepon itu. Ayolah... KRING!
Telepon itu berdering. "Ohh!" seruku terkejut. Aku nyaris terlontar ke langit-langit!
Kuangkat pesawat teleponku sebelum dering pertama berakhir.
"Halo?" kataku sambil menahan napas.
"Julie?" "Ya?" "Hai. Ini ibu Hillary. Apa kabar?"
"Ehm... baik, Mrs. Walker. Apakah Hillary..."
"Tahukah kau di mana Hillary?" Mrs. Walker bertanya. "Sudah kukatakan padanya
kami akan makan malam jam enam tepat malam
ini, karena aku dan ayahnya akan ada pertemuan jam tujuh. Apa dia
ada di situ?" Aku menelan ludah. Tiba-tiba mulutku terasa sekering pasir.
"Tidak. Tidak, dia tak ada di sini," sahutku lirih.
Rasa takut menjalari tengkukku. Di mana dia" DI MANA dia"
"Apakah dia terlambat pulang sekolah?" tanya Mrs. Walker.
"Aku tahu dia ada masalah dengan transkrip nilainya."
"Saya... saya tak tahu," aku berbohong. "Saya tak tahu dia di mana, Mrs. Walker.
Kalau saya bertemu dia..."
"Barangkali dia terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Karena
hujan ini," ibu Hillary berkata. "Hujannya deras sekali, ya?"
"Iya," sahutku otomatis, sambil memikirkan Hillary. Hillary dan Sandy.
"Baiklah, sampai jumpa, Julie. Bye." Mrs. Walker memutuskan sarnbungan.
Aku meletakkan kembali teleponku. Kupejamkan mataku.
"Semoga kau nggak kenapa-kenapa, Hillary," bisikku.
Kuturunkan dia di rumah Sandy.
Kuturunkan dia di rumah pembunuh.
Dan kemudian aku meninggalkannya di sana untuk berhadapan
dengan Sandy. Untuk meminta pembunuh itu agar menyerahkan diri
pada polisi. Apa yang sudah kulakukan" aku bertanya pada diriku sendiri,
rasa panik menjalar naik dari perutku. Aku merasa kengerian yang
dingin meliputi seluruh tubuhku, membuatku membeku di tempat.
Aku meninggalkan Hillary seorang diri dengan pembunuh.
Bukankah dengan demikian aku mengirimnya ke ajalnya"
Apakah Sandy sudah membunuhnya juga"
"Makan malam!" Suara Mom dari lantai bawah membuyarkan
lamunanku yang mengerikan. "Makan malam, Julie! Kau tak
mendengarku, ya" Berapa kali aku harus memanggilmu?"
"Maaf, Mom! Aku turun sekarang!" seruku ke bawah.
Aku menggelengkan kepalaku seolah mencoba membuang
bayangan yang menyeramkan itu. "Julie, kau jadi gila," omelku pada diri sendiri,
sambil bangkit berdiri. Aku telah membiarkan daya khayalku mengembara terlalu jauh.
Aku telah membiarkan ketakutan menguasai benakku.
Tak mungkin Sandy menyakiti Hillary, aku meyakinkan diri
sendiri. Tak mungkin. Tak mungkin.
Sandy bukan pembunuh. Dia membunuh Al. Tapi itu lain.
Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah ke depan
cermin di atas meja riasku. Kupandangi diriku... pucat, mataku resah, rambut
hitamku kusut. "Julie... di mana kau" Makan malamnya jadi dingin!" panggil Dad dengan tidak
sabar dari lantai bawah. "Ya... ya!" Kusisir rambutku cepat-cepat. Lalu aku berlari turun untuk makan
malam. Aku berusaha menikmati daging gulung dan kentang tumbuk
buatan Mom. Salah satu hidangan favoritku. Namun malam ini aku
sulit menelannya. Aku bicara tentang wisuda dan hal-hal yang berhubungan
dengan sekolah, aku berusaha agar suaraku terdengar tenang dan
normal. Tapi aku tidak dapat berhenti memikirkan Hillary. Hillary yang
sedang di rumah Sandy. Hillary yang sedang membujuk Sandy untuk
menyerahkan diri pada polisi.
Hillary baru menelepon setelah makan malam selesai dan meja
dibenahi. Sambil melirik ke jam dinding, aku berlari untuk menjawab
telepon. Pukul tujuh seperempat.
Ketika aku mengangkat gagang telepon, suara Hillary terdengar
kecil dan gelisah. "Julie...?"
"Ya. Hai. Apa yang terjadi, Hillary" Bagaimana ceritanya?"
tanyaku sambil menahan napas.
"Julie...?" ulangnya. Suaranya aneh. Sangat... ketakutan.
"Ya" Ada apa, Hillary" Ada apa?"
"Kau bisa datang ke sini" Sekarang juga?" tanyanya, suaranya tegang, bergetar.
"Hah" Datang ke situ?" tanyaku terkejut. "Kenapa" Ada yang nggak beres, Hillary"
Apa yang terjadi?" "Sesuatu yang mengerikan," jawab Hillary, sambil
merendahkan suaranya menjadi bisikan. "Sesuatu yang mengerikan, Julie."
Sunyi. Aku menunggu ia melanjutkan.
"Apa yang nggak beres?" tanyaku. "Apa?"
"Aku membunuhnya," bisik Hillary, pelan sekali sehingga aku tak yakin dengan
pendengaranku. "Aku membunuhnya," ulangnya.
"Aku membunuh Sandy."
BAGIAN TIGA Chapter 23 BAGAIMANA aku bisa sampai di rumah Hillary" Aku tak
ingat mengendarai mobil. Aku tak ingat apakah hujan sudah berhenti
atau belum. Aku tak ingat apa-apa tentang perjalananku ke rumah
Hillary. Yang kuingat hanyalah ketakutanku. Dan perasaan sakit yang
terus-menerus menderaku. Serta tanganku yang basah dan dingin
memutar-mutar kemudi. Alasan apa yang kuberikan pada orangtuaku ketika aku
bergegas ke luar rumah pada malam yang bukan hari libur"
Apa yang kupikirkan ketika aku dengan patuh menuruti
permintaan Hillary dan terburu-buru pergi ke rumahnya" Apa yang
kukatakan pada diriku sendiri"
Aku tak ingat sama sekali. Pikiranku kosong. Kukira aku
sengaja mengosongkan pikiranku. Kukira aku ingin melupakan
segalanya, memulai kembali seluruh hidupku.
Aku tak ingin tahu bahwa Al telah mati. Bahwa Sandy telah
membunuhnya, mencekiknya di gang dengan sepasang skate.
Dan aku tak ingin tahu bahwa salah satu temanku yang lain
telah membunuh malam ini. Bahwa Sandy mati sekarang, dibunuh
sahabat karibku. Hillary, aku tak ingin tahu.
Aku tak ingin ingat. Tapi orang tak dapat mengosongkan pikirannya selamanya.
Ketika aku melangkah masuk ke rumah Hillary, membersihkan
sepatuku yang basah di keset, semuanya itu mendadak menerjangku -
seperti gelombang samudra yang tinggi, yang tiba-tiba menyapuku
sehingga aku pusing dan megap-megap.
Aku terpekik. Dan kuulurkan kedua lenganku melingkari bahu
Hillary. Kutekankan pipiku yang dingin ke wajahnya. Aku terkejut


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika merasakan betapa kulitnya panas membara.
"Aku... aku belum memberitahu mereka," bisik Hillary.
"Hah?" Kulepaskan dia. Aku melangkah mundur, gemetar. Aku
ingin sekali menangis-menangis untuk selamanya. Memuntahkan
kesedihan yang menyesakkan dadaku.
Lalu kulihat Taylor dan Vincent, sedang berdiri dengan
canggung di tengah-tengah ruang tamu.
Seberkas sinar putih petir pada jendela depan yang besar
membuat bayangan mereka melompat. Tapi mereka sendiri tidak
bergerak. Taylor mengenakan blus merah longgar dan celana ketat hitam.
Rambut pirangnya yang putih tergerai di bahunya. Ia menyilangkan
kedua lengannya di depan dada.
Di sampingnya, Vincent menyisir ke belakang rambutnya yang
berwarna karat. Rambutnya tampak basah, seolah ia sudah lama
berhujan-hujanan di luar. Ia yang memang berpembawaan kikuk,
kelihatan makin salah tingkah. Dengan kaku ditariknya tangannya
keluar dari saku jinsnya, tapi setelah itu ia bingung, tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia memandangku sekilas dengan aneh - setengah tersenyum,
setengah bertanya. Seolah mengatakan, ada apa ini" Kau tahu kenapa
kita berkumpul di sini malam ini"
Tentu saja aku tahu. Sekarang giliran Hillary untuk membuat pengakuan yang
menyakitkan dan menakutkan. Giliran Hillary untuk menjerumuskan
kami semua ke dalam kepanikan, ke dalam siksaan.
"Bagaimana keadaanmu?" gumam Vincent padaku, sambil
mengepalkan dan membuka tinjunya.
"Entahlah... aku... aku," aku tergagap, sambil melirik Hillary.
Herannya, ia kelihatan cukup tenang. Tapi aku dapat melihat
bahwa ia habis menangis. Ketika melihatku mencuri pandang
padanya, Hillary menunduk menatap lantai, seakan menjauhkan diri
dariku, menutup diri terhadapku.
"Duduklah, teman-teman," katanya pelan. Ia menggerakkan
kedua tangannya ke arah sofa dan kursi di seberang perapian.
Gelegar guntur membuatku terlonjak. Tanpa sengaja aku
menggigit bibir bawahku. Aku mengecap rasa pahit tajam darah di
lidahku. Petir kembali menyambar, mengakibatkan bayang-bayang kami
menari-nari. Vincent dan Taylor menjatuhkan diri ke sofa. Aku duduk
di pinggir kursi berlengan.
Hillary berdiri memandangi kami. Cahaya lampu memantul
pada kacamatanya. Dengan gugup ia menarik-narik kepang
rambutnya, mengusap-usapnya, memilin-milinnya dengan jari-jarinya.
"Aku... membunuh... Sandy."
Ia berbicara dengan datar, pelan, tanpa emosi sama sekali.
Matanya tetap tertuju ke jendela.
Cahaya lampu kembali memantul pada kacamatanya. Seakan
melindunginya, menyembunyikan tatapannya dari kami.
Taylor berseru tertahan dan langsung meloncat dari sofa. Ia
terhuyung-huyung maju ke depan, tangannya teracung seolah
menyerang Hillary. Aku meloncat berdiri juga. Entah kenapa. Apakah aku
bermaksud melindungi Hillary dari Taylor"
Kulihat mata Vincent melotot ketika ia beranjak berdiri di
sebelah Taylor. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kupikir ia
tidak percaya. Aku pun tidak percaya. Jadi Hillary mengulangi ucapannya. "Aku membunuh Sandy.
Aku tak bermaksud demikian. Tapi aku membunuhnya."
"Tidaaaaaak!" Jeritan yang melengking keluar dari bibir Taylor, Ia menubruk ke
depan dan merenggut bahu Hillary dengan kasar.
"Tidaaaaak!" Tubuhku langsung menegang. Aku segera mendekati mereka.
Apakah Taylor kehilangan kendali diri lagi" Apakah dia mengajak
berantem lagi" "Dengar penjelasanku dulu!" teriak Hillary, nada suaranya
mulai meninggi. Dengan ragu-ragu Taylor melepaskannya dan melangkah
mundur. "Duduk!" perintah Hillary dengan tajam. "Biar kujelaskan.
Paling tidak, beri aku kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi.
ini sangat mengerikan!"
Aku kembali menjatuhkan diri ke pinggir kursi berlengan.
Dengan tubuh gemetaran, Taylor memelototi Hillary, dan kembali ke
tempatnya semula. Ia berdiri di muka sofa, tidak berniat duduk.
Vincent mendesah. Lalu ia menopang kepalanya dengan
tangannya, membungkuk ke depan dengan tegang, matanya terpaku
pada Hillary. Hillary menggosok luka yang memerah di lehernya, kemudian
sambil mondar-mandir dengan kedua tangan di belakang punggung,
dia menuturkan kisahnya pada kami.
"Aku datang ke rumah Sandy sepulang sekolah," ia mulai,
matanya tertuju pada Taylor. "Maksudku, Julie mengantarku. Aku...
aku..." Suaranya terpecah. Ia menarik napas dalam-dalam dan kemudian melanjutkan,
"Aku tak tahan lagi. Mengetahui apa yang diperbuat Sandy -
mengetahui Sandy membunuh Al - hidupku jadi kacau. Aku terus-
terusan memikirkannya. Aku tak bisa berpikir tentang hal lain. Aku
jadi gila rasanya. "Tiap kali melihat Sandy, aku ingin menjerit. "Tiap kali
melihatnya, aku ingin menangis. Aku ingin menyadarkannya.
Terlalu... terlalu berat menanggungnya. Terlalu berat."
Hillary kembali menarik napas dalam-dalam. Ia menarik
kepangnya dan mondar-mandir lagi.
"Jadi aku mendatangi Sandy sore ini untuk memohon agar dia
pergi ke polisi. Berterus terang pada mereka. Jika Sandy mengatakan
bahwa Al memeras- kita, bahwa Al menakut-nakuti dan mengancam
kita, bahwa Al merusak hidup kita, mungkin mereka akan mengerti."
Hillary terisak-isak keras. Beberapa saat kemudian ia berhasil
mengendalikan diri lagi. "Jadi aku membujuk Sandy untuk
menyerahkan diri kepada polisi. Tapi dia tak mau mendengarku. Dia
menolak. Lalu kubilang kalau dia tak mau, aku yang akan
melaporkannya. Waktu aku bilang begitu, Sandy marah sekali. Dia...
dia benar-benar kehilangan kendali."
Hillary mengeluarkan gulungan tisu dari saku jinsnya.
Dilepaskannya kacamatanya dan disekanya matanya dengan tisu itu.
"Dia... dia mengamuk," Hillary melanjutkan, meremas-remas
tisu di tangannya. "Aku... aku tak bisa percaya. Aku tak pernah mengira..."
Suaranya bergetar. Ia menyeka matanya lagi. Tisu itu hancur.
"Dia meraih patung berat buatan ibunya. Kalian tahu yang
kumaksud, kan" Patung berbentuk kepala Sandy itu. Sandy berteriak-
teriak padaku. Katanya aku akan mengacaukan segalanya. Dia bilang
dia tak bisa membiarkanku merusak hidupnya. Dia... dia mengangkat
patung tembaga itu. Mengacungkannya tinggi-tinggi. Kukira dia mau
menyerangku dengan itu, menghantamkannya ke kepalaku."
Hillary hampir menangis lagi, namun ia melanjutkan ceritanya.
"Aku mencoba merebut patung itu. Ternyata jauh lebih berat daripada yang kuduga.
Aku dan Sandy... bergumul.
"Aku takut sekali. Sandy sungguh-sungguh ingin menyakitiku.
Dia kehilangan kendali diri. Dia panik sekali. Kupikir Sandy berniat
membunuhku!" Aku ternganga. Kuseka pipiku. Mukaku terasa basah karena air
mata. Aku bahkan tak sadar sedang menangis.
Sekali lagi Hillary menyeka matanya. Lalu ia melemparkan tisu
yang sudah robek-robek itu ke lantai.
"Sandy menjerit-jerit keras sekali," ia meneruskan. "Dia terus-menerus
mengatakan, 'Kau tak boleh mengacaukan segalanya! Aku
takkan membiarkanmu merusak semuanya!' Lalu... lalu...
"Lalu kusentakkan patung berat itu menjauh darinya. Dan benda
itu jatuh. Jatuh ke kepalanya. Aku tak tahu pasti bagaimana persisnya.
Patung itu menimpa tengkuknya. Sandy menjerit. Melengking,
tepatnya. Lengkingan yang mengerikan. Aku takkan pernah
melupakannya. "Dia roboh ke lantai. Patung itu ikut jatuh. Mendarat di
kepalanya. Menimbulkan bunyi gemeretak yang menyeramkan sekali.
Aku... aku tertegun, bingung. Entah apa yang terjadi berikutnya.
Rasanya aku membungkuk. Kuambil patung kepala tembaga itu.
Tapi... "Tapi Sandy tidak bergerak. Patung itu rupanya telah mengiris
sesuatu di lehernya. Pembuluh darah atau apa. Darah mengucur dari
lehernya - dari kepalanya. Mengucur seperti air mancur.
"Kucoba menghentikannya. Sungguh, aku sudah berusaha. Tapi
aku terlalu panik. Aku tak bisa menemukan pembalut untuk lehernya.
Aku... aku tak bisa menemukan apa pun untuk menghentikan
perdarahan itu. "Tengkoraknya... hancur. Aku tahu itu hancur. Darahnya keluar
terus. Banyak sekali, rasanya bisa kupakai berenang.
"Sandy sudah mati. Aku... aku membunuhnya. Lalu... aku lari.
Lari begitu saja. Lari keluar di tengah hujan lebat. Lari terus sampai ke
rumahku. Dan aku menelepon kalian."
"Tidaaaak," Taylor mengerang, sambil memeluk dirinya sendiri rapat-rapat,
matanya terpejam. "Tidaaaaaak."
"Aku membunuh Sandy," ulang Hillary, sekarang suaranya
tanpa emosi, bergaung tanpa nada. Matanya buram, tidak lagi berapi-
api di balik kacamatanya. "Ini kecelakaan. Tapi aku membunuhnya."
Hillary menoleh padaku. "Aku akan memanggil polisi sekarang.
Aku akan memanggil mereka dan menceritakan kejadian ini. Tapi
kupikir... kupikir kalian harus tahu lebih dulu. Kalian temanku, dan aku ingin
kalian tahu hal yang sebenarnya."
"Tapi kenapa?" Aku menoleh ketika Taylor berteriak
melengking. "Kenapa" Kenapa" Kenapa?"
Sekali lagi, ia berjalan terhuyung-huyung ke arah Hillary.
"Kenapa Sandy harus mati" Kenapa" Kenapa Sandy?" gerungnya.
"Taylor, sudah kujelaskan...," Hillary mulai berkata.
Tapi Taylor langsung menyelanya dengan histeris. "Kau tak
mengerti!" jeritnya. "Kau tak mengerti sama sekali! Kenapa Sandy harus mati" Dia
tak melakukan apa-apa! Dia tak melakukan apa-apa
sama sekali! Kau mengerti tidak" Bukan Sandy yang membunuh Al!
Aku yang membunuhnya!"
Chapter 24 TIBA-TIBA aku merasa pusing, tubuhku limbung. Terpaksa
aku menjatuhkan diri ke kursi kembali.
Aku masih terguncang mendengar cerita Hillary. Masih
dicekam kengerian oleh peristiwa di rumah Sandy. Masih
membayangkan pergumulan mereka, membayangkan Sandy di lantai,
darah yang mengucur, patung berat yang menghancurkan
tengkoraknya. Aku masih membayangkan ketakutan Hillary - ketika Taylor
mengubah semua itu. Mengubah segalanya. Segalanya. Hanya dengan
dua kalimat: "Bukan Sandy yang membunuh Al. Aku yang membunuhnya."
"Betulkah?" Kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Suaraku tegang dan
kering sehingga aku nyaris tak mengenalinya. "Kau yang membunuh Al?"
Taylor mengangguk. Ia memelototi Hillary, matanya yang hijau
memancarkan kemarahan. "Kau keliru membunuh orang, Hillary."
"Itu kecelakaan!" bantah Hillary. "Kecelakaan yang
mengerikan!" Aku bangkit berdiri. Kulingkarkan sebelah lenganku ke
pinggang Hillary dan kutarik dia ke sofa. Vincent memegang tangan
Hillary. Lalu meremasnya untuk menenangkannya.
Seluruh tubuh Hillary gemetaran, seakan-akan dia demam. Ada
selembar selimut tebal yang kecil tersampir di sandaran sofa. Kutarik selimut
itu dan kuselubungkan ke bahu Hillary.
"Apakah tak ada yang ingin tahu kenapa aku membunuh Al?"
Taylor bertanya. Aku berpaling dan melihat dia menduduki kursiku. Ia
mencondongkan badan ke depan, tangannya mencengkeram lengan
kursi. Ia seolah menantang kami bertiga yang duduk di sofa.
"Waktu itu aku berpacaran dengan Al," Taylor mengaku. "Ya.
Ya, aku tahu. Tanpa sepengetahuan Sandy. Yah... sudah terlambat
bagiku untuk menyesalinya, kan?"
Ia mendesah dengan getir. "Sejak dulu aku menyukai cowok-
cowok nekat. Dan Al termasuk golongan itu. Dia jauh lebih menarik
dibandingkan dengan Sandy. Aku menyukai Al karena dia jahat - dan
berbahaya. Tapi Al juga merupakan masalah."
Taylor meringis, menggelengkan kepalanya, matanya
memandang ke bawah. "Beberapa bulan lalu, aku mencuri uang
orangtuaku. Sekitar seratus dolar. Untuk menolong Al membayar
utangnya. Memang perbuatanku itu salah besar. Entah kenapa aku
begitu bodoh." Ia berhenti bicara. Matanya berkaca-kaca. Pipinya bergetar.
Kami menunggunya menyelesaikan ceritanya. Lama kami
menunggu. Jelas sekali ia sedang asyik dengan lamunannya sendiri.
Akhirnya, ia mulai bicara lagi. "Al memang bajingan. Dia minta
uang lagi. Lalu uang yang lebih banyak lagi. Dia mengancam akan
melaporkanku pada orangtuaku bila aku tak menuruti permintaannya.
Padahal dulu itu aku mencuri buat dia!"
"Tak masuk akal," gumam Vincent.
Ia dan aku sama-sama memeluk Hillary, berusaha
menenangkannya. "Dasar bajingan," gumam Taylor. "Aku bilang aku tak mau ketemu dia lagi. Aku tak
mau bicara dengannya lagi. Tapi dia
memaksa ketemu aku sesudah main skating malam itu. Dia menarikku
ke gang. Katanya dia butuh uang seratus dolar lagi.
"Aku menolaknya tegas-tegas! Aku bilang, 'Silakan lapor pada
orangtuaku. Aku sungguh tak peduli lagi.'
"Jadi dia mulai main kasar. Dia mencengkeram tubuhku lalu
membenturkanku ke dinding. Aku... aku takut sekali. Dia menarik
skate yang tergantung di leherku."
Taylor menelan ludah. Air mata menetes ke pipinya yang pucat.
Ia tidak berusaha menyekanya.
"Saat itulah aku kehilangan kendali," lanjutnya, sambil
mencengkam lengan kursi kuat-kuat hingga buku-buku jarinya
memutih. "Kutarik kembali skate itu. Kami bergumul. Tali-tali skate terikat jadi
satu. Entah... entah bagaimana tali-tali itu jadi melibat lehernya. Kukira aku
yang memindahkannya ke sana. Aku sungguh
tak ingat. "Tapi aku ingat menarik tali-tali itu, kencang-kencang. Dengan
sekuat tenagaku. Dengan penuh kegeraman. Tenaga gila. Aku sendiri
tak tahu aku punya kekuatan seperti itu.
"Aku mencekik Al. Aku benci sekali padanya. Kemarahanku
sampai pada puncaknya. Aku seperti kesurupan. Seolah aku buta. Seolah aku tidak
berada di dalam tubuhku. Aku sedang di luar, memperhatikan
tubuhku - tubuh seseorang - mencekik Al. Mencekiknya.
Mencekiknya. Sampai dia berhenti meronta-ronta dan tak bergerak-
gerak lagi. "Lalu..." Taylor menghirup napas dalam-dalam. Tampak noda-
noda air mata pada bagian bahu bajunya. "Lalu aku mencari Sandy.


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menceritakan semuanya padanya."
Taylor tersedu-sedan hingga seluruh tubuhnya terguncang-
guncang. "Sandy baik sekali. Tak ada orang yang sayang padaku
seperti dia. Sandy begitu sayang padaku! Dia mengaku melakukan
pembunuhan itu. Untuk menyelamatkanku.
"Dia bilang pada kalian bahwa dialah yang membunuh Al. Dia
tahu kalian sahabat-sahabatnya. Dia tahu kalian takkan
mengkhianatinya. Dia percaya pada kalian. Dan... dan..." Suara Taylor tercekat
di tenggorokannya. "Dan apa yang kalian lakukan?" ia berteriak pada kami. "Dia mempercayai kalian -
tapi kalian malah berbalik menyerangnya!"
Mata Taylor memandang tajam ke seberang ruangan, tertuju pada
Hillary dengan penuh kegeraman. "Kau menyerangnya. Dan kau
membunuhnya! Tega-teganya kau! Dia tak bersalah! Dia sama sekali
tidak bersalah! Teganya kau membunuhnya!"
Taylor meloncat. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat dan
mulai menghampiri Hillary.
Ia berhenti ketika tiba-tiba bel pintu berbunyi.
Bunyi itu mengakibatkan kami semua terpekik kaget.
Hillary bangkit berdiri dan melemparkan selimut tebal itu.
Bel pintu berbunyi lagi. Aku dan Vincent mengikuti Hillary ke pintu depan.
"Kau menelepon polisi?" tanya Taylor. "Itu polisi kan, Hillary"
Kau menelepon polisi sebelum memanggil kami ke sini?"
Hillary tidak menjawab. Kami sampai di koridor depan. Pintu dibuka Hillary.
Dan Sandy melangkah masuk.
Chapter 25 AKU tidak dapat menceritakan peristiwa yang terjadi
selanjutnya. Perasaanku bercampur aduk, aku benar-benar bingung.
Ruangan itu mulai berputar. Sambaran kilat tampak lewat pintu yang
terbuka, dan aku merasa seolah arus listriknya yang panas dan putih
meledak melalui tubuhku. Cahayanya yang terang membutakanku.
Seluruh ruangan berguncang dan berputar.
Dan kemudian teriakan melengking memulihkan kesadaranku.
"Kau menipuku!" jerit Taylor.
Aku langsung menoleh melihat ia jatuh berlutut. "Kau
menipuku! Kau menipuku!"
Sandy menolongnya berdiri. Lalu memeluknya. "Aku menyesal
sekali," bisik Sandy. "Taylor, percayalah. Aku menyesal sekali."
Ia masih memegangi Taylor ketika aku dan Hillary bergegas ke
telepon untuk menghubungi orangtua Taylor.
"Sori aku harus berpura-pura padamu juga, Julie," Hillary
meminta maaf, sambil menempelkan gagang telepon ke telinganya.
"Aku mempunyai dugaan tentang kejadian yang sebenarnya dan
menanyakannya pada Sandy. Sandy sendiri sudah tak sanggup lagi
menyimpan rahasia itu. Aku dan dia sepakat untuk mengejutkan
Taylor agar dia mengaku. Tapi agar sandiwara ini berhasil, kau perlu dikejutkan
juga." "Nggak apa-apa," kataku. "Paling tidak kita akhirnya tahu hal yang sebenarnya."
Hillary berbicara pada ayah Taylor. Dimintanya ayah Taylor
segera datang. "Aku harus minta maaf pada kalian semua," Sandy berkata.
"Aku... aku ingin melindungi Taylor. Tapi entah kenapa aku kemudian bersikap
begitu menyebalkan pada kalian. Membuntuti kalian ke
mana-mana. Berusaha menakut-nakuti kalian dan sebagainya.
Mungkin itu kulakukan supaya kalian benar-benar percaya bahwa aku
pembunuhnya. Dan barangkali aku ingin menunjukkan pada Taylor
bahwa aku bisa senekat Al."
Sandy mendesah, sambil memeluk Taylor erat-erat. "Aku tahu
semuanya itu sinting dan konyol," katanya dengan sedih. "Seharusnya aku tak
mengaku bahwa aku pembunuhnya. Seharusnya aku tak
mengaku," ulangnya lagi.
"Rasanya kita sudah cukup banyak mendengar pengakuan!"
seruku. "Semoga dalam hidup kita selanjutnya, kita tak menghadapi hal seperti
ini lagi!" Semua yang ada di ruangan itu setuju. Namun ternyata masih
ada satu pengakuan lagi. **************************
Dua minggu kemudian, ketika aku dan Vincent sedang berjalan
kaki sepulang sekolah, sekonyong-konyong Vincent mencondongkan
badan mendekatiku dan berkata dengan suara rendah, "Julie, aku mau mengakui
sesuatu." Pengakuan lagi" Oh, tidak! Jangan lagi! kataku dalam hati. Kalau ada yang
mengaku lagi, aku akan berteriak!
Kutahan napasku. Kupejamkan mataku. "Pengakuan" Apa yang
mau kauakui?" tanyaku dengan bimbang.
"Aku sudah naksir kau sejak kelas tiga SD," sahut Vincent.
Aku terpekik. END Badai Awan Angin 9 Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba Kekaisaran Rajawali Emas 6
^