Pencarian

Kemelut Tahta Naga Ii 6

Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p Bagian 6


Tong disergap dan ternyata luput terus karena
licinnya. Sementara itu, In Te bungkam dengan wajah
yang muram. Bagaimanapun jahatnya Pangeran
In Tong yang sedang dibicarakan itu, namun In
Tong yang dulu dikenal sebagai Pangeran Ke
Sembilan itu adalah kakanda In Te yang dulu
disebut Pangeran Ke Empatbelas. Namun apa
yang telah dilakukan oleh kakaknya itu memang
sulit dimaafkan. Yang terdengar kemudian adalah suara Pak
Kiong Liong, tenang dan terkendali, mengingatkan orang akan gaya nya dulu ketika
masih memimpin pasukan dalam pertempuran.
"Lu Tong-cu, tetap awasi dia, tapi hati-hatilah.
Jangan melepaskan hubungan dengan kami
Kemelut Tahta Naga II/10 7 lewat tanda-tanda rahasia. Jangan terlalu
banyak orang yang mengikutinya, sedikit saja
asal orang-orang yang benar-benar ahli. Kalau
terlalu banyak orang, In Tong akan bisa
merasakannya, dan kalau sampai dia lolos
kembali, barangkali kita harus menunggu
beberapa tahun lagi untuk menemukan
jejaknya. Atau bahkan selama-lamanya takkan
kita temui lagi jejaknya."
"Akan kuperhatikan semua petunjuk Goanswe. Sekarang juga aku berpamitan."
"Silahkan." Lu Kan San pun meninggalkan penginapan
itu, dan kembali ke dalam penyamarannya
sebagai si pedagang buah-buahan yang
bungkuk. * * * Siang itu, sehabis melatih perajurit di
lapangan, Ni Keng Giau tiba-tiba seperti ingat
sesuatu, lalu membongkar-bongkar keranjang
pakaiannya yang diseretnya dari kolong
Kemelut Tahta Naga II/10 8 ranjangnya ditangsi. Wajahnya tiba-tiba
menjadi berseri-seri ketika menemukan apa
yang dicarinya. Sebatang pedang pendek yang
sarungnya maupun tangkai pedangnya berlapis
emas, pada pelindung pegangannya terhias dua
butir permata yang masing-masing merah dan
biru serta diukir naga dan burung hong. Indah
sekali. Itulah Liong-hong Po-kiam (pedang
Pusaka Naga dan Burung Hong) yang dulu
dihadiahkan Kaisar Yong Ceng kepadanya.
Beberapa saat lamanya Ni Keng Giau
menimang-nimang pedang itu, dan lamunannya
terseret mundur kemasa lalunya yang gemilang.
Tiba-tiba ia bangkit dan menyelipkan
pedang itu ke ikat pinggangnya, lalu melangkah
keluar. Ia akan menuju ke warung arak untuk
memamerkan pedang itu. Sejak keluar dari pintu gerbang tangsi, ia
sudah tersenyum-senyum sendiri. Tegur sapa
para perajurit yang berpapasan dengannya
tidak digubrisnya. Para perajurit heran melihat
pedang yang begitu bagus, yang belum pernah
mereka lihat, terselip di pinggang Ni Keng Giau.
Kemelut Tahta Naga II/10 9 Setelah keluar dari pintu gerbang, tangsi, Ni
Keng Giau berjalan melewati deretan
pepohonan di pinggir jalan. Langkah santainya
tiba-tiba berubah menjadi langkah tegap,
wajahnya angker dan bersungguh-sungguh
menatap deretan pohon itu sambil mengangguk-angguk dan bergumam, "Bagus.......
bagus... barisan yang tertib!"
Sampai di ujung deretan pepohonan itu, ia
berbalik lagi, agaknya belum puas memeriksa
"pasukan"nya. Beberapa orang di jalanan itu
tidak heran lagi melihat tingkah lakunya,
tingkah semacam itu sudah biasa. Biasanya ada
anak-anak kecil yang mengikutinya sambil
bersorak-sorak, tapi kali ini tidak ada, sebab
anak-anak kecil agaknya takut melihat pedang
pendek yang terselip di pinggang sang jenderal.
Tiba-tiba dari ujung jalan terdengar
seseorang membentak, "Ni Keng Giau!
Berhenti!" Ketika Ni Keng Giau menoleh, nampaklah
seorang lelaki yang tegap dan kekar, berusia
kira-kira tiga puluh tahun dan bermuka
Kemelut Tahta Naga II/10 10 kehitam-hitaman. Sambil menjinjing sebatang
golok, ia berjalan mendekati Ni Keng Giau
dengan sikap bermusuhan. "Siapa kau?" tanya Ni Keng Giau.
"Tentu kau tidak kenal seorang rendahan
macam aku. Aku Ma Hin, cuma seorang piau-su
(pengawal perjalanan) tak bernama. Aku juga
tidak tahu apakah kau masih ingat Ma Seng dan
Ma Siau Lin." Ni Keng Giau geleng-geleng kepala dengan
pandangan kosong. Lelaki bernama Ma Hin itu membentak
gusar. "Tentu saja kau lupa, karena korban
kejahatanmu sudah tak terhitung banyaknya,
bangsat! Tapi kau harus tahu, kedua orang yang
kusebut tadi adalah korban-korban kebiadabanmu, mereka adik-adikku! Ma Seng
seorang pemuda yang rajin, periang, dengan
masa depan yang baik. Namun kau hukum mati
dia di Tan-liu hanya karena terlambat berlutut
di pinggir jalan ketika tandumu lewat! Ma Siau
Lin adalah adik perempuanku yang juga tengah
menyongsong kebahagiaannya bersama Kemelut Tahta Naga II/10 11 pemuda pilihannya sendiri. tapi pengawalpengawalmu yang biadab mengambilnya dari
rumah untuk dijadikan korban nafsumu,
sehingga akhirnya adikku itu membunuh diri
karena tak tahan menanggung noda. Sayang,
saat itu aku tidak ada di Tan-liu karena tugasku,
namun sekarangpun rasanya belum terlambat
untuk mengorek jantung dan limpamu guna
menyembahyangi arwah adik-adikku itu!"
Berikutnya, Ma Hin tak memberi
kesempatan N i Keng Giau untuk menjawab, ia
langsung merangsek seperti anjing gila.
Goloknya membabat berulang kali dengan
sengit. Sebagai seorang piau-su yang sering
bepergian jauh dan menempuh bahaya, ilmu
silatnya tak bisa dipandang enteng.
Beberapa kali Ni Keng Giau mundur
berkelit, namun Ma Hin terus mengejar dengan
sengit. Akhirnya Ni Keng Giau dipaksa
mencabut pedang Liong-hong Po-kiam untuk
membela diri. Maka bertempurlah kedua orang
itu di tengah jalan. Ni Keng Giau mencoba
memainkan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat
Kemelut Tahta Naga II/10 12 yang pernah dipelajarinya di Siau-lim-si,
seingat-ingatnya. Sedang Ma Hin kelihatan
memainkan ilmu golok Kun-goan-to-hoat dari
Hoa-san-pai. Golok yang menebas-nebas dengan
kuat dan garang, berhadapan dengan pedang
pendek yang cepat dan lincah.
Setelah puluhan jurus, mulailah Ma Hin
terdesak. Bagaimanapun, yang dilawannya
adalah murid Pun-bu Hwe-shio yang terkenal.
Semasa jayanya dulu memang Ni Keng Giau
malas latihan silat, namun sejak menjadi pelatih
di Hang-ciu, kemampuan silatnya malah terasah
tajam kembali. Lemak-lemak yang dulu
menggumpal di sekitar perut nya, sudah banyak
berkurang. Kendati otaknya rada miring, kini
tubuhnya lebih ramping dan tegap sebab sering
melatih para perajurit di lapangan.
Tetapi Ma Hin yang tak peduli lagi mati
hidupnya, tiap kali tak henti-hentinya
menerjang dengan sengit. Sementara itu, banyak orang-orang mulai
menonton perkelahian itu, namun dari
kejauhan. Kemelut Tahta Naga II/10 13 Suatu saat Ma Hin menerjang dengan nafsu.
Ni Keng Giau berhasil berkelit, bersamaan
dengan kelebat pedang nya membelah lambung
Ma Hin, sehingga Ma Hin terhuyung-huyung.
Desis kesakitan Ma Hin tertutup oleh teriakan
buas Ni Keng Giau yang tanpa belas kasihan
menikamkan pedang ke dada lawannya.
Ma Hin tersungkur jatuh, darahnya terserap
debu jalanan, sementara arwahnya terbang
menyusul arwah adik-adiknya yang hendak
dibelanya. Tetapi Ni Keng Giau belum berhenti
beraksi. Sambil berteriak-teriak kalap, ia
mencacah-cacahkan pedang ke tubuh korbannya, dengan mata merah dan air liur
menetes netes dari mulutnya.
Hancurlah jasad Ma Hin. Orang-orang yang menonton di kejauhan
menjadi ngeri melihat adegan itu, serempak
mereka lari bubar dengan ketakutan. Khawatir
kalau Ni Keng Giau mengalihkan amukannya
kepada mereka, maklum orang yang agak gila.
Memang aman kalau mereka lari jauh-jauh,
sebab setelah Ni Keng Giau membuat tubuh Ma
Kemelut Tahta Naga II/10 14 Hin menjadi setumpuk daging cincang tak
berujud lagi, dengan matanya yang liar Ni Keng
Giau mulai menatap ke sekelilingnya. Sambil
mengobat-abitkan pedangnya yang merah oleh
darah, ia berteriak-teriak, "Ayo! Siapa lagi mau
menantangku"! Majulah ke sini! Inilah Ni Keng
Giau, Panglima Tertinggi Penakluk Jing-hai!
Penguasa wilayah Siam-sai dan Se-cuan yang
bergelar It-teng-kong! Saudara angkat Kaisar!
Siapa yang melawanku harus binasa dengan
tubuh hancur seperti dia!"
Akibatnya, orang-orang yang berlari
menjauhinyapun semakin cepat mengayun
langkah. Perempuan-perempuan dan anak-anak
kecil bahkan menjerit-jerit.
Waktu itulah dari ujung jalan satu
rombongan yang mendekat. Mereka adalah
Panglima Hang-ciu, Kang Bun Hou, bersama
satu regu pengawalnya. Selama masa jabatan Kang Bun Hou, kota
Hang-ciu berhasil ditingkatkan keamanan dan
ketertibannya. Kang Bun Hou bukan saja
kelewat rajin menguber penjahat sampai
Kemelut Tahta Naga II/10 15 terbekuk batang lehernya, namun juga
menertibkan perajurit-perajuritnya sendiri agar
tidak merugikan penduduk. Kini melihat- Ni
Keng Giau melakukan pembunuhan kejam di
siang hari bolong, lagipula di sebuah jalan
ramai, kontan gusarlah Kang Bun Hou. Ia
merasa peraturan yang mau ditegakkan telah
ditantang terang-terangan oleh Ni Keng Giau.
"Apa yang kau lakukan, Ni Keng Giau"!"
Dalam kedudukannya yang hanya sebagai
pelatih, mestinya Ni Keng Giau tunduk kepada
Kang Bun Hou. Tapi saat itu otaknya masih
"hangat" sehingga lupa segala tata-tertib. Ia
tetap berdiri, tidak memberi hormat, pedangnya
ditudingkan ke mayat Ma Hin sambil berkata,
"Bangsat itu berhasrat membunuhku, dan aku
telah menghukumnya!"
"Kenapa dia sampai ingin membunuh mu"


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu ada sebabnya."
"Memang ada sebabnya, tapi bukan
urusanmu!" "Urusanku. Sebab kau lakukan di kota yang
dibawah tanggung-jawabku!"
Kemelut Tahta Naga II/10 16 "Tidak perlu ikut campur!"
Marahlah Kang Bun Hou menghadapi sikap
yang semakin liar itu. Susah payah ia
menertibkan bawahannya, apakah ketertiban
yang sudah mapan itu akan dikacaukan oleh si
pelatih baru yang setengah waras ini" Biarpun
Ni Keng Giau adalah seorang bekas jenderal
yang berpangkat jauh lebih tinggi dari Kang Bun
Hou" "Ni Keng Giau! Bagaimana sikapmu
terhadap atasanmu"!"
Bukannya tunduk, Ni Keng Giau malah
tertawa berkakakan, "Atasanku" Siapa atasanku" Hanya Sribaginda sendirilah atasanku!" Lalu ia mengacungkan pedang Liong-hong
Po-kiam tinggi-tinggi sambil berteriak, "Kang
Bun Hou! Kau yang harus berlutut di hadapan
lambang pribadi Kaisar ini! Kau kenal pedang
ini atau tidak"!"
Kang Bun Hou kaget, dan sesaat lamanya ia
memang jadi salah tingkah. Sudah jelas Ni Keng
Giau bersalah, tapi mau dikata, dia memegang
Kemelut Tahta Naga II/10 17 Liong-hong Po-kiam. Kalau Kang Bun Hou tidak
mau berlutut, memang bisa dianggap tidak
menghormati Kaisar sendiri, sebab tidak
menghormati pula orang yang dianugerahkan
lambang pribadi Kaisar itu. Karena itu, dengan
amat terpaksa Kang Bun Hou berlutut, begitu
pula perajurit-perajurit pengiringnya,
Ni Keng Giau tertawa puas sekali.
Pedangnya disabet-sabetkan di udara, dan
untungnya saja tidak disabetkan ke arah Kang
Bun Hou yang berlutut di de pannya. "Nah,
begitu barulah kalian bisa dibilang perajuritperajurit yang tertib. Ketahuilah, ketika dulu
aku memimpin pasukan ke Jing-hai, perwira
yang berpangkat setingkat denganmu itu ada
ratusan orang yang dibawah perintahku.
Bahkan ada yang kusuruh mengelap sepatuku
tanpa berani membantah. Sekarang ini jangan
dikira aku sedang diturun kan pangkat, tidak!
Aku sedang menjalani pendadaran sebelum
diberi kedudukan yang lebih tinggi oleh
Sribaginda! Ha-ha., kalian tentu kaget, bahkan
Sribaginda sudah merencanakan untuk Kemelut Tahta Naga II/10 18 mengangkat saudara denganku. Ha-ha..... kaget
ya" Kaget" Ayo bilang kaget!"
Masih banyak lagi ocehan Ni Keng Giaii.
Campuran antara kenyataan masa lalu dan hasil
khayalannya sendiri. Kemudian sambil membusungkan dada, ia meninggalkan tempat
itu, dan membiarkan Kang Bun Hou dan
pengawal-pengawalnya tetap berlutut di atas
debu jalanan. Setelah Ni Keng Giau menghilang di ujung
jalan, Kang Bun Hou bangkit sambil
mengepalkan tinju dengan geramnya "Benarbenar edan, aku yang berkedudukan penegak
hukum di kota ini malah dipaksa berlutut di
hadapan orang sinting, bahkan di hadapan mata
banyak orang. Seandainya si otak miring itu
tidak memegang Liong-hong Po-kiam."
Perwira yang mendampinginya lalu
menghiburnya, "Kita tidak perlu kecil hati,
semua orang tentu bisa memaklumi tindakan
kita tadi. Namun kadang-kadang Ni Keng Giau
juga berpikiran waras, dan melatih perajuritperajurit kita dengan baik."
Kemelut Tahta Naga II/10 19 "Hanya kadang-kadang" Disiplin yang
berusaha kutegakkan di kota ini ditaati oleh
seorang pelatih hanya kalau waras saja"
Bagaimana kalau lebih banyak sintingnya
daripada warasnya" Tidak bisa kubiarkan.
Secepatnya aku harus menulis surat laporan
kepada Sribaginda!" Merasa bahwa ketertiban kotanya benarbenar terganggu, Kang Bun Hou tidak
berlambat-lambatan menulis surat ke Pak-khia,
melaporkan segala tindak tanduk Ni Keng Giau.
Lalu surat itu segera dibawa oleh seorang
caraka yang menunggangi kuda tercepat ke Pakkhia.
Sementara, lagak Ni Keng Giau di Hang-ciu
semakin menghebat setelah Liong-ong Po-kiam
selalu terselip di pinggangnya. Sekali waktu
pikiran warasnya muncul, dan sadar kalau
sepak-ter-jang macam itu diterus-teruskan akan
bisa mendatangkan kesulitan lebih hebat buat
dirinya. Tapi kesombongan dalam kegilaannya
lebih sering menguasai jiwa nya daripada akal
sehatnya. Kesombongan dalam kegilaan yang
Kemelut Tahta Naga II/10 20 sebenarnya lebih merupakan pelarian dari
kekecewaannya, lebih merupakan jeritan
hatinya yang di tutup-tutupi,
Beberapa hari kemudian, datanglah seorang
utusan dari Pak-khia membawa Titah Kaisar
Yong Ceng yang akan dibacakan di gedung
Cong-peng-hu, kantor Kang Bun Hou. Sebelum
pembacaan, Ni Keng Giau lebih dulu dipanggil
dari tangsi, dan disuruh membawa pedang
Liong-hong Po-kiam serta sebuah baju
berwarna kuning bersulam naga yang du lu juga
merupakan anugerah Kaisar.
Ni Keng Giau berjalan ke Cong-peng hu
dengan hati melonjak-lonjak kegirangan. Ia
sudah membayangkan, utusan Kaisar kali ini
tentu membawa berita bahwa ia dipulihkan ke
kedudukan semula. Tentu. Namun tubuhnya menggigil dan dialiri
keringat dingin, ketika ia sudah berlutut di
lantai aula Cong-peng-hu yang dingin itu, dan
mendengar Utusan dari Pak-khia itu membacakan Titah Kaisar, "Perintah Yang
Dipertuan, Sang Putera Langit! Ni Keng Giau
Kemelut Tahta Naga II/10 21 dipersalahkan menggunakan pedang Lionghong Po kiam dan jubah Ui-hong-ih untuk
melakukan pembunuhan sewenang-wenang,
menakut-nakuti penduduk, menimbulkan ke
resahan di antara perajurit Hang-ciu. Karena itu,
kedua anugerah Yang Dipertuan itu harus
diserahkan kembali. Sedang Ni Keng Giau
mendapat hukuman turun pangkat menjadi
perajurit penjaga pintu gerbang Hang-ciu!"
Lemaslah seluruh tubuh Ni Keng Giau
karena kagetnya, untung ia tidak melompat
bangun dan mengamuk. Dalam hati ia cuma
membatin, "saudara angkat" nya di Pak-khia itu
benar-benar keterlaluan "bercanda" dengannya.
Namun ia tetap memaksa diri untuk
mempercayai bahwa itu semua hanya "ujian
kesetiaan" sebelum dirinya kelak kembali ke
kedudukan agungnya. Tapi saat itu, mau tidak mau, ia harus
menyerahkan jubah Ui-hong-ih dan pedang
Liong-hong Po-kiam ke tangan Utusan Kaisar,
dengan tangan yang gemetar.
Kemelut Tahta Naga II/10 22 Sebelum meninggalkan aula Cong-peng-hu
untuk kembali ke tangsinya, Ni Keng Giau
sempat melirik geram kepada Kang Bun Hou
sambil membatin dalam hati, "Awas kau,
bangsat! Kau tentu telah memfitnah aku di
hadapan Sribaginda. Kelak kalau aku kembali
menjadi Panglima Tertinggi, akan kuturunkan
pangkatmu menjadi tukang membersihkan
kakus di tangsi." Utusan Kaisar itupun kembali ke Kota raja
Pak-khia, Sedangkan Ni Keng Giau hari itu mulai
dengan tugas barunya sebagai pengawal pintu
gerbang. Kini, tiap siang ia memakai seragam belacu
biru tua, memanggul tombak, berdiri di pintu
gerbang kota bersama perajurit-perajurit lain.
* * * Beberapa minggu kemudian, Kang Bun Hou
kembali mendapat kabar dari Pak-khia bahwa
Kemelut Tahta Naga II/10 23 Liong Ke Toh, Pamanda Kaisar, dalam
perjalanan inspeksi tahunannya ke daerahdaerah akan melewati Hang-ciu dalam beberapa
hari lagi. Kang Bun Hou tahu kalau Liong Ke Toh
seorang bangsawan tua yang bawel dan gila
hormat, maka mendengar kabar itu, ia tak
berani berlambat-lambatan dalam menyiapkan
sambutan kehormatan. Regu penjaga pintu gerbang mendapat tugas
penyambutan di pintu kota, maka sibuklah si
komandan regu karena tahu ada anggaota
regunya yang kurang waras. Ia khawatir kalau
sampai Ni Keng Giau membuat ulah dalam
penyambutan, sehingga mengacaukan semuanya. Beberapa hari sebelum tanggal kedatangan
Liong Ke Toh, komandan pengawal gerbang
sudah gencar membujuk Ni Keng Giau agar
menaati tata tertib penyambutan.
'"Aku yakin, berani taruhan sepuluh cangkir
arak, kunjungan Liong Ong-ya kali ini pasti juga
sekalian untuk melihat apakah Calon Saudara
Angkat Kaisar itu tertib atau tidak dalam
Kemelut Tahta Naga II/10 24 tugasnya," kata si komandan pengawal gerbang
dengan gaya seperti membujuk bocah cilik
"Kalau dia melihatmu menjalankan tugas
dengan baik, dia pasti akan menganggukangguk sambil mengelus jenggot, dan membatin
begini, "O, Ni Keng Giau menjalankan tugasnya
dengan baik, itu tandanya benar-benar setia
Lalu Liong Ong-ya akan melaporkannya kepada
Sribaginda, nah, Sribaginda puas akan laporan
itu dan kaupun akan dipanggil kembali Ke Pakkhia untuk menduduki kembali jabatanmu yang
dulu" Komandan itu dan Ni Keng Giau berbicara di
kamar Ni Keng Giau yang pengab dan penuh
celana-celana para perajurit bergantungan di
atasnya. Sementara si komandan berbicara, Ni
Keng Giau asyik dengan lem dan potonganpotongan kertas dan gunting. Seasyik anak
sekolah yang mendapat tugas prakarya dari
gurunya, Ni Keng Giau sedang membuat sebuah
topi yang modelnya adalah topi para pejabat
tinggi di pusat pemerintahan. Benang-benang
merah brodolan ronce tombak yang Kemelut Tahta Naga II/10 25 dikumpulkannya dalam beberapa hari ini,
dihiaskannya dengan telaten sehelai demi
sehelai ke topi buatannya itu. Beberapa helai
bulu ayam dipasangkan pula di situ untuk
"menambah keindahannya".
Ketika ucapan si komandan sampai pada
"kembali ke jabatanmu", Ni Keng Giau
mengangkat wajahnya, matanya bersinar-sinar
penuh harapan. "Benarkah begitu" Hah, benar
begitu ya?"

Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demi kelancaran upacara penyambutan
kelak, si komandan terpaksa nekat melanjutkan
kebohongannya, "Ya tentu saja benar. Siapapun
di kekaisaran ini, siapa yang tidak mengetahui
jasa-jasamu yang luar biasa" Ketika mengamankan Hek-liong-kang, ketika menumpas kerusuhan kaum Pek-lian-kau dan
Jit-goat-pang, lebih-lebih dalam menalukkan
Jing-hai. Jasamu luar biasa. Sribaginda pasti
mengutus Liong Ong-ya untuk melihat apakah
kau menjalankan tugas di sini dengan baik, tapi
ya dengan syarat" Kemelut Tahta Naga II/10 26 "Ini hebat sekali! Benar-benar hari
bersejarah buatku!" Ni Keng Giau hampir
menjerit karena girangnya.
"... tapi ya ada syaratnya...." si komandan
mengulang. "Syarat apa?" "Pada saat penyambutan Liong Ong-ya, kau
harus tertib dan benar-benar menunjukkan
hormatmu. Agar Liong Ong-ya mendapat kesan
baik dan melaporkan kepada Sribaginda!"
"Apa" Aku harus menghormat tua bangka
itu" Hemm, aku tidak sudi! Seharusnya dialah
yang harus memberi hormat kepadaku!"
Si komandan terkesiap dan buru-buru
berkata, "Sabar...... sabar... dengan dulu katakataku. Memang sekarang kau harus
menghormatinya, tapi kelak kalau kedudukanmu pulih, bukanlah kembali dia yang
harus menghormatimu" Sekarang mengalah
dulu sedikit, apa salahnya" Tapi kalau sekarang
kau tidak mau mengalah, ya sulit kau kembali
ke kedudukanmu. Bahkan Liong Ong-ya
mungkin menjadi tidak senang, lalu dihadapan
Kemelut Tahta Naga II/10 27 Sribaginda akan menceritakan yang burukburuk tentang dirimu."
Ni Keng Giau termangu-mangu sambil
menggaruk- garuk t engkuknya.
Tanyanya kemudian, "Kalau aku bersikap
tertib, lalu Sribaginda akan segera memanggilku
ke Pak-khia, begitukah?"
"Itu jelas!" sahut si komandan amat
menyakinkan. "Itu jelas sekali, siapa lagi yang
menyangsikan" Aku yakin Sribaginda akan
segera yakin akan kesetiaanmu! Berani taruhan
sepuluh bungkus kacang goreng!"
Ni Keng Giau bangkit dari duduknya dan
berjalan hilir-mudik dengan kegembiraan
meluap-luap, si komandan ikut bangkit pula
dengan kadar kegembiraan yang sama sebab
ada tanda-tanda anggota regunya ini akan dapat
ditertibkan. "Saudara Ting..." kata Ni Keng Giau
kemudian kepada si komandan. "Kau sungguh
baik kepadaku dengan memberikan nasehatnasehatmu. Aku berjanji, kalau beberapa hari
lagi aku dilantik menjadi Panglima Tertinggi,
Kemelut Tahta Naga II/10 28 orang yang pertama-tama kuingat ialah dirimu.
Aku akan menaikkan pangkatmu menjadi__ he,
topiku jangan diduduki! '
Si komandan didengarnya Ni Keng Giau
melanjutkan kata-katanya yang tadi, ".. aku akan
menaikkan pangkatmu menjadi Cong-peng di
Hang-ciu ini, menggantikan Kang Bun Hou si
bangsat tumbak-cucukan itu yang akan
kuturunkan menjadi tukang cuci kakus!"
Terharu campur ngeri si komandan
mendengar ucapan itu. Ngeri, bagaimana kalau
ucapan itu sampai ke telinga Panglima Kang
Bun Hou" Sedang terharunya karena ia sadar bahwa
caranya menghibur dan membujuk Ni Keng
Giau itu berarti mendorong Ni Keng Giau
semakin tenggelam ke alam khayalan, dan
berarti juga memperlambat kesembuhan
jiwanya. Tapi selain dengan cara itu, ia tidak
tahu harus pakai cara lain yang bagaimana lagi"
"Baiklah. Tapi besok waktu penyambutan,
kau jangan memakai topimu yang ini. Pakai saja
Kemelut Tahta Naga II/10 29 topi perajuritmu yang seragam dengan temantemanmu agar nampak rapi dan seragam."
"Ya".. ya?" Topi ini memang khusus
kupakai pada saat pelantikanku besok."
Sebelum si komandan itu pergi, lebih dulu ia
melirik sekejap ke arah topi itu, sambil
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas.
Pada tanggal kedatangan tamu-tamu dari
Pak-khia, regu pengawal pintu gerbang sudah
siap di tempatnya. Jumlah mereka lebih banyak
dari hari-hari biasanya, seragam merekapun
nampak lebih rapi. Tetapi karena rombongan
yang disambut belum nampak, para perajurit
masih bergerombol santai sambil bercakapcakap.
Tetapi Ni Keng Giau tidak ikut dalam
percakapan itu, melainkan terpisah dari
mereka. Tombaknya disandarkan tembok kota,
ia sendiri berjongkok sambil memegangi kepala
dengan kedua tangannya. Tersenyum-senyum,
bahkan berbicara perlahan kepada barisan
semut yang sedang merambati tembok.
Kemelut Tahta Naga II/10 30 Para perajurit sudah maklum dan
membiarkan saja ulahnya. Ada yang geli, ada ya
iba, ada yang acuh tak acuh. Sering perajurit
yang iba dengan sukarela mengambilkan
ransum jatah dari tangsi, dan ada pula yang
sering mentraktirnya arak atau kacang goreng.
Secara bisik-bisik para perajurit itu
membicarakan si bekas jenderal.
"Ia pasti telah melakukan suatu kesalahan
besar, sehingga mendapatkan hukuman seberat
itu. Bukan hukuman tubuh, tapi hukuman batin,
sehingga jiwanya diombang-ambingkan antara
harapan dan kekecewaan, dari hari ke hari
tanpa tahu kapan berakhirnya."
"Tentu saja yang didapati hanya ke
kecewaan melulu, sebab apa yang di-anganangankannya tak mungkin menjadi kenyataan,
terlalu berkhayal. Tambah hari tambah susah ia
menyesuaikan khayalannya itu dengan kenyataan, la seolah hidup di dua dunia."
"Salahnya sendiri. Kalau ia mau menerima
kenyataan dengan ikhlas, jiwanya akan cepat
sehat kembali." Kemelut Tahta Naga II/10 31 "Enak saja kau omong, mana bias bersikap
sepasrah itu kalau pernah menduduki tempat
yang begitu tinggi" Dia mendapatkan itu dengan
bersusah-payah, lalu tiba-tiba dilucuti tanpa dia
punya persiapan mental. Nah, coba bayangkan,
kalau kau yang mengalaminya., barangkali
sudah kau ambil tali untuk menggantung
dirimu." "Kasihan ya" Makin hari pikirannya makin
kacau, dan kita jadi seperti momong anak kecil."
"Ia masih sering berkata bahwa tidak lama
lagi kedudukannya akan dipulih kan. Dan aku...."
perajurit yang berbicara itu tiba-tiba tertawa
kecil. ?""sudah dijanjikan akan menjadi Congpeng di Hang-ciu ini."
"Astaga, dia juga bilang begitu kepadaku!"
"Lho, aku juga dijanjikan menjadi Congpeng di kota ini!"
"Berbahagialah rakyat Hang-ciu, bakal
mempunyai tiga panglima semacam kalian."
Perajurit-perajurit lainnya tertawa, sementara Ni Keng Giau masi saja berjongkok di
tempatnya dengan sikap semula.
Kemelut Tahta Naga II/10 32 Sementara itu salah satu "calon Cong-peng"
itu melirik sekejap ke arah Ni Keng Giau, lalu
berkata, "Nah, kelak kalau aku sudah menjadi
Cong-peng kalian minta kujadikan apa?"
Seorang perajurit yang dikenal doyan
makan menjawab, "Tolonglah agar aku diangkat
menjadi kepala dapur tangsi, seumur hidup."
Tertawa para perajurit itu makin keras, tapi
bungkam serempak ketika Ni Keng Giau tibatiba berdiri dan melotot ke arah mereka. Sesaat
para perajurit bungkam, dan mereka lega
kembali setelah pelan-pelan Ni Keng Giau
berjongkok. Meskipun dengan suara lebih perlahan, para
perajurit itu masih melanjutkan membicarakan
Ni Keng Giau. Kata seorang perajurit, "Dia
bukan cuma berangan-angan, tapi bahkan
sudah mempersiapkan sebuah topi kebesaran,
dan jubah kebesaran pula sebagai pengganti Uihong-ih yang dulu diminta kembali oleh Utusan
Sribaginda." "Jubah kebesaran?"
Kemelut Tahta Naga II/10 33 Perajurit-perajurit lainnya tertawa, sementara
Ni Keng Giau masih saja berjongkok di
tempatnya dengan sikap semula
Kemelut Tahta Naga II/10 34 "ssst, tidak bisakah mulutmu bicara
perlahan sedikit" Nanti ia mendengar nya,"
berhenti sejenak, lalu melanjutkan, ya, jubah
kebesaran. Kemarin siang kuantar dia membeli
kain di tokonya Mao Lopan, kain katun kuning,
lalu dijahitnya sendiri karena tidak punya
ongkos membayar tukang jahit. Ia menyiapkan
jubah itu untuk hari pelantikannya, yang
menurutnya tidak lama lagi."
Beberapa perajurit menahan tertawa,
beberapa lagi geleng-geleng kepala dengan rasa
iba. Ketika itulah percakapan terhenti, karena
seorang perajurit berkuda berderap dari luar
kota, dan berseru kepada regu pengawal pintu
kota itu, "Rombongan tamu dari Ibukota
sebentar lagi akan lewat!"
Maka sibuklah si komandan regu mengatur
barisannya, terutama membujuk Ni Keng Giau
agar bisa ditertibkan, Dan legalah ia ketika
melihat Ni Keng Giau ternyata gampang diatur.
Setahun sekali Liong Ke Toh memang
mengadakan perjalanan ke daerah-daerah yang
Kemelut Tahta Naga II/10 35 dinamainya sendiri "pemeriksaan tahunan",
dengan dalih ingin melihat keberesan kerja para
pejabat di daerah. Namun beredar desas-desus
yang santer bahwa itulah sebenarnya
perjalanan mengumpulkan kekayaan yang tidak
tanggung-tanggung. Para pejabat daerah yang
khawatir kalau diri mereka diburuk-burukkan
di depan Kaisar Yong Ceng, terpaksa harus
menyediakan upeti yang pantas kepada Liong
Ke Toh. Gara-gara "pemeriksaan tahunan"
itulah orang jadi sulit menaksir berapa nilai isi
gudang harta Liong Ke Toh di Pak-khia saat itu.
Tidak lama kemudian, dari kejauhan di arah
luar kota Hang-ciu nampak sebuah rombongan
yang semakin dekat, nampak pula sehelai
bendera yang memanjang kebawah berkibarkibar.
Komandan regu pengawal pintu kota sekali
lagi berpesan kepada Ni Keng Giau. "Ingat,,
nanti kau harus tertib dan bersikap hormat
terhadap rombongan itu. Agar Sribaginda
mendapat laporan tentang kepatuhanmu. Kalau
Kemelut Tahta Naga II/10 36 kau tidak sopan, kami semua kasihan kalau
pangkatmu diturunkan lebih rendah lagi."
Dan jawaban Ni Keng Giau amat melegakan
si komandan, "Baik... baik....aku akan mengikuti
saranmu. Jangan khawatir."
Biarpun sudah agak lega, namun si
komandan masih cerewet menambahkan lagi,


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarpun sekarang kau harus berlutut kepada
Liong Ong-ya, tapi apa artinya kalau kau segera
kembali ke kedudukanmu?"
"Benar....benar..." para perajurit lain ikut
mendukung. Merekapun khawatir kalau
penyambutan sampai kacau, jangan-jangan
mereka juga akan ikut kena hukuman"
"Di dunia ini mana ada yang lebih bijaksana
dari Goan-swe Ni Keng Giau, biarpun calon
saudara angkat Sribaginda tetapi mau
menghomati orang lain?"
"Itulah watak mulia seorang bangsawan
sejati!" "Yang berhati emas!"
Kemelut Tahta Naga II/10 37 "Sribaginda akan segera tahu bahwa
jenderal utamanya yang amat berjasa ini
ternyata bukan seorang yang sombong."
Wajah Ni Keng Giau berseri-seri mendengar
sanjung-puji itu. Berulang-ulang ia berjanji akan
bersikap sehormat-hormatnya.
Memang adegan yang janggal, dimana
seorang komandan tak mampu menyuruh
bawahannya dengan perintah yang tegas, tapi
harus memohon-mohon dan membujuk-bujuk,
dibantu anak-buahnya yang lain. Tapi
maklumlah Ni Keng Giau memang seorang
anak-buah yang "istimewa" jadi ya harus
ditangani secara istimewa pula.
"Sudah! Sudah!" si komandan cepat
menertibkan anak-buahnya. "Rapikan barisan,
rombongan tamu agung sudah dekat!"
Kelompok pengawal pintu kota itu-pun
berbaris rapi dalam dua deretan di kiri-kanan
jalan. Mengambil tempat agak di luar pintu
gerbang, berdiri dengan tegap sempurna.
Di antara rombongan itu nampak sebuah
tandu indah yang dipikul empat orang. Yang
Kemelut Tahta Naga II/10 38 mengiringi di kiri kanan tandu itu adalah
pejabat-pejabat sipil dan militer kota Hang-ciu,
termasuk Kang Bun-hou yang sejak pagi tadi
sudi menyongsong di luar kota. Biarpun
pejabat-pejabat Hang-ciu semuanya membawa
kuda, namun tidak menungganginya dan hanya
dituntun saja. Di depan tandu ada pengawalpengawal pribadi Liong Ke Toh sendiri,
sedangkan di belakangnya ada satu regu
perajurit dari Hang-ciu sendiri.
Begitu rombongan mendekati pintu kota,
komandan pengawal pintu kota segera
menyuruh pasukannya untuk berlutut. Mereka
berlutut di kedua tepi jajan.
Liong Ke Toh yang duduk di dalam joli,
mengangguk-angguk puas sambil mengelus
jenggot putih. Sejauh ini ia puas akan
penyambutan dirinya yang begitu rapi. Namun
ia agak heran melihat di antara perajurit
penyambut itu seorang yang cara berlututnya
lain sendiri. Di jaman Manchu itu, para perajurit berlutut
dengan kaki kanan ditekuk ke belakang
Kemelut Tahta Naga II/10 39 sehingga lututnya menyentuh tanah, kaki kiri
ditekuk pula namun dengan telapak kaki tegap
menapak tanah, sedang tangan kanan
menyentuh tanah. Namun perajurit yang lain
dari yang lain itu melipat dua kakinya ke
belakang, tubuh membungkuk sampai jidatnya
menyentuh tanah, pantat terangkat tinggi, dua
tangan memeluk kepala. "Berhenti!" perintah Liong Ke Toh.
Rombongan pun berhenti. Si komandan
pengawal pintu kota terkesiap, kenapa
rombongan tiba-tiba berhenti di pos penyambutan yang menjadi tanggung-jawab
nya" Ia mulai curiga, dan diam-diam mencuri
pandang dari sikap berlututnya untuk
memeriksa barisannya. Begitu melihat cara
berlutut Ni Keng Giau yang "Sehormathomatnya" itu si komandan pun mulai meratap
dalam hatinya. Namun tak berani berkutik dari
berlututnya. Sudah membayangkan nasibnya,
mungkin dirinya akan dipecat. Inilah gara-gara
sanjung-puji berlebihan terhadap "jenderal
yang bijaksana dan berhati-emas"tadi.
Kemelut Tahta Naga II/10 40 "Mati aku!" keluhnya dalam hati.
Jantung si komandan hampir copot rasanya
ketika mendengar Ni Keng Giau tiba-tiba
berteriak tanpa disuruh, "Ong-ya! Apakah
Sribaginda masih mengingat diri hamba?"
Sekarang kepanikan juga menghinggapi diri
Kang Bun Hou. Sungguh celaka kalau sampai
Liong Ke Toh menjadi tidak senang oleh
kejadian itu, padahal Liong Ke Toh sudah
terkenal sebagai tukang fitnah yang akan
menjatuhkan si apapun yang tidak disenanginya
di depan Kaisar. Liong Ke Toh menyingkapkan tirai jolinya,
alisnya berkerut, dan ia memerintah, "Angkat
kepalamu agar kulihat mukamu!"
Ni Keng Giau menengadahkan wajahnya
sambil tersenyum lebar. Liong Ke Toh
memandang sejenak, lalu tertawa terkekehkekeh setelah mengenalinya, "Waduh, inilah
pahlawan besar yang tidak ada bandingannya
itu" Hampir saja aku tidak mengenalimu, karena
sekarang kau agak kurus dan kulitmu agak
hitam. Tapi sehat-sehat saja kan?"
Kemelut Tahta Naga II/10 41 Melihat sikap Liong Ke Toh, Ni Keng Giau
jadi semakin berani. Bahkan ia lalu berdiri dan
berjalan mendekati joli sambil tertawa-tawa,
"Ya, aku baik-baik saja, kau sendiri bagaimana"
Maaf kalau agak mengganggu perjalanan mu ya"
Aku cuma mau tanya sedikit."
"Ni Keng Giau, jangan kurang hormat!" Kang
Bun Hou dengan panik telah melangkah maju
untuk menertibkan Ni Keng Giau dengan
tangannya sendiri. Tapi langkahnya terhenti ketika Liong Ke
Toh memberi isyarat dari jendela joli, "Biarkan
dia bicara, Cong-peng."
Sedangkan Ni Keng Giau sendiri bersikap
seolah-olah ketemu sahabat lama saja.
Tombaknya dibuang, dan ia berjalan mendekati
joli sambil terus mengoceh, "Aku mau tanya,
apakah Sribaginda masih mengingat aku,
saudaranya ini" Masih sering membicarakan
aku" Kapan Sribaginda mengakhiri ujian
kesetiaanku ini" Aku sudah menunjukkan
bahwa dirikulah abdi Sribaginda yang paling
setia." Kemelut Tahta Naga II/10 42 "Ujian kesetiaan?" Liong Ke Toh tercengang.
"Apa maksudmu?"
"Bukankah yang kualami sekarang ini
sekedar ujian kesetiaan buatku" Setelah ini
berakhir, bukankah Sribaginda akan mengembalikan aku menjadi....."
Kata-kata Ni Keng Giau yang melambung
penuh harapan itu, tiba-tiba terputus oleh suara
tertawa Liong Ke Toh yang melengking tinggi,
yang mendadak begitu geli sehingga memegangi
perutnya. Ni Keng Giau ikut tertawa pula. "Jangan
main-main ah, apanya yang lucu sehingga kau
sampai tertawa macam itu?"
"Kau yang lucu!" sahut Liong Ke Toh di selasela tertawanya. "Bahkan lucuuu sekali!"
Sejak dulu memang Liong Ke Toh
memendam rasa benci luar biasa terha-ap Ni
Keng Giau, kini tiba-tiba terbuka sebuah
peluang untuk menyiksa orang yang dibencinya
ini, bukan dengan pedang, tapi dengan lidahnya.
Setelah tertawanya mereda, berkatalah ia, "Ni
Keng Giau, jadi selama ini kau hibur dirimu
Kemelut Tahta Naga II/10 43 sendiri dengan pikiran macam itu" Kau cuma
mengingat-ingat jasa-jasa mu, tapi apakah lupa
kesalahanmu yang lebih besar dari jasa-jasamu"
Ketika kau secara kurang ajar membawa
pasukanmu masuk ke Istana dan mempermalu
kan Kim Cong-koan, yang berarti juga tidak
menghargai Sribaginda sebagai tuan rumah"
Lupa" Sudah lupa kalau dari Jing-hai kau
mengirim laporan palsu tentang...."
Bicara sampai sini, Liong Ke Toh tiba-tiba
menutup mulutnya sendiri. Urusan "membunuh
Pangeran In Te" yang hampir terluncur dari
mulutnya adalah rahasia istana yang tak boleh
sembarangan diucapkan, apalagi di tempat yang
banyak orang itu. Namun kata-kata Liong Ke Toh itu sudah
cukup hebat akibatnya bagi Ni Keng Giau.
Wajahnya yang berseri-seri itu mendadak
menjadi pucat pasi, matanya terbelalak,
tubuhnya seolah mendadak beku jadi patung.
Penuh rasa tak percaya bibirnya bergetar,
"Jadi...........jadi... aku..... aku terus bagaimana?"
Kemelut Tahta Naga II/10 44 Liong Ke Toh benar-benar menikmati detikdetik pembantaian itu, suaranya lebih dingin
dan lebih tak berperasaan dari sehelai pedang,
"Ni Keng Giau, lihat perajurit-perajurit di sekitar
mu itu. Sekarang mereka-semua adalah
perajurit-perajurit rendahan, tapi kalau mereka
bertugas dengan baik, kelak pangkat mereka
akan merambat naik menjadi tui-thio, pa-cong,
cian-bu, cam-ciang, hu-ciang, cong-peng, ciangkun bahkan goan-swe! Tapi khusus untukmu,
janganlah berharap macam-macam. Sampai
mati, kau akan tetap bertugas di pintu kota ini.
orang lain merambat dari bawah ke atas, sedang
kau terjun dari atas ke bawah dan takkan naik
lagi. Buang saja semua mimpimu. Pasrah saja
dengan kedudukanmu yang sekarang ini. Nah,
selamat bertugas." Ada algojo yang bekerja pada pemerintah,
bertugas memenggal orang-orang yang dijatuhi
hukuman mati. Algojo macam ini kadangkadang masih punya rasa kemanusiaan, biarpun
tak kuasa menghindari tugasnya. Ada lagi algojo
liar, yaitu para pembunuh dan pelanggar hukum
Kemelut Tahta Naga II/10 45 yang membunuh orang demi kepentingannya
sendiri, tapi ruang gerak algojo-algojo sejenis
inipun terbatas oleh hamba-hamba hukum.
Sayangnya, di tengah masyarakat berkeliaran
jenis algojo yang ketiga, yang tak jarang berto
peng sebagai tokoh-tokoh terhormat, yang
membantai tidak dengan golok tapi dengan
lidah, dengan sasaran siapapun yang tidak
disenangi. Mereka berkeliaran bebas, bebas
pula menikmati permain an lidah mereka yang
menjatuhkan serentetan korban. Lidah mereka
mahir memotong dan melenyapkan harapan orang lain, orang yang seharusnya mereka hibur
dan beri semangat. Algojo-algojo macam ini,
kalau melihat korbannya sudah jatuh, biasanya
juga pandai berkata, "Ah, kasihan ya dia?"
Padahal dalam hatinya amat puas.
Tetapi khusus bagi Ni Keng Giau yang saat
itu kena giliran jadi korban, ia sudah memetik
buah tanamannya sendiri. Ia menanam benih
kebencian, menyuburkannya dengan siraman
darah, dan akhirnya juga harus memakan
buahnya sendiri. Kemelut Tahta Naga II/10 46 Kata-kata Liong Ke Toh ibarat panah-panah
beracun yang menembus jiwanya, menimbulkan kepedihan dahsyat yang sampai
tak terasa sebagai kepedihan lagi, bahkan tak
terasa apa-apa lagiPengawal-pengawal pribadi Liong Ke Toh
segera bersiaga di sekitar jo-li, siap melindungi
tuan mereka kalau Ni Keng Giau mengamuk.
Namun ternyata Ni Keng Giau tetap berdiri
mematung, pandangan matanya kosong, padam.


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khayalannya yang melangit, menemui saatnya
harus turun ke bumi dan menelan kenyataan.
Ambisinya yang berkobar disiram ucapan Liong
Ke Toh sehingga padam. Padam.
Bahkan Ni Keng Giau tidak berkutik
sedikitpun ketika rombongan Liong Ke Toh
kembali berkegerak masuk kota. Seolah di
depan pintu kota itu sekarang diletakkan
sebuah patung. "Goan-swe.... Goan-swe..." beberapa perajurit rekannya mengguncang-guncang
pundaknya sambil memanggil-manggil. Yang
merasa paling bersalah ialah si komandan,
Kemelut Tahta Naga II/10 47 sebab dialah yang paling banyak membujuk Ni
Keng Giau dengan melambungkan angan-angan
Ni Keng Giau setinggi langit. Meniupkan
harapan yang ternyata gembos. Dia yang
meniup, Liong Ke Toh yang menggemboskan.
"Tabahlah, Goan-swe. Jangan putus harapan.
Ucapan Liong Ong-ya tadi pasti tidak
bersungguh-sungguh, hanya untuk menguji
kesabaranmu. Kau sudah bersikap bijaksana
karena tidak menunjukkan kemarahan. Sribaginda akan men dapat laporan tentang
sikapmu ini dan..." dan seterusnya.
Begitulah, untuk memperbaiki akibat buruk
suatu kebohongan, terpaksa harus menciptakan
kebohongan baru. "Betul. Kami semua yakin begitu!" para
perajurit menghibur. "Tentu saja harus begitu. Jasa Ni Goan-swe
amat besar!" Demikianlah mereka berebutan menghibur
Ni Keng Giau. Tentu saja kata-kata hiburan
mereka tidak mampu lebih mendalam dari
ucapan-ucapan klise seperti "tabahlah selalu"
Kemelut Tahta Naga II/10 48 atau "masih ada harapan" dan lain-lain. Tanpa
mereka sadari betapa Ni Keng Giau adalah
korban intrik di panggung kekuasaan, intrik
yang kejam, dimana sang korban akan selalu
tergilas tanpa ampun. Makin tinggi kedudukannya, makin banyak pihak yang
bernafsu untuk merobohkannya. Dan sekali
roboh, orang-orang akan beramai-ramai
menginjaknya kuat-kuat agar jangan bangkit
kembali. Para perajurit yang menghibur itu
tidak tahu, kalau Ni Keng Giau yang kini nampak
mengibakan itu, dulunya adalah juga "tukang
injak" yang bengis bukan kepalang.
Karena itulah Ni Keng Giau paham, paham
bukan karena belajar teori melainkan karena
pengalamannya sendiri dulu sebagai "tukang
injak", bahwa harapannya memang sudah habis.
Inilah hasil sisa akal sehatnya. la tidak sekedar
sedang menjalani "ujian kesetiaan", tapi benarbenar sudah jatuh seperti korban-korban intrik
politik sebelumnya. Ia merasa tak punya apaapa lagi. Perajurit-perajurit yang menunjukkan
belas kasihan itu malah semakin menyadarkan
Kemelut Tahta Naga II/10 49 Ni Keng Giau dimana dia berdiri sekarang,
sampai-sampai perajurit-perajurit rendahan
pun menaruh kasihan kepadanya.
Seandainya dia sadar bahwa menjadi
manusia berguna tidak harus berkedudukan
tinggi, tukang sapu jalananpun manusia
berguna bagi sesamanya. Hal itu dulu sering Ni
Keng Giau khotbahkan kepada bawahannya,
tapi tak mampu dia khotbahkan buat diri
sendiri. Ia tidak sudi di bawah, tapi juga tidak
mungkin naik ke atas lagi, la malas melanjutkan,
biar sudah bertambah dengan sedikit kearifan.
Tidak, la tidak mau kemana-mana lagi. Ia mau
berhenti saja. Perajurit-perajurit yang menghiburnya
merasa lega ketika melihat wajah Ni Keng Giau
tiba-tiba menjadi tenang sekali. Tidak menangis,
tidak mengamuk, justru senyumnya amat
jernih, sejernih senyum bayi yang belum
mengenal dosa. Para perajurit lega, namun
aneh, mereka juga merasa seram. Memandang
mata Ni Keng Giau sama dengan menjenguk
sebuah lubang yang kosong, gelap, amat dalam,
Kemelut Tahta Naga II/10 50 tak ada apa-apanya lagi. Senyuman jernih
seperti bayi itu menyeramkan.
Para perajurit bungkam, tercekik suasana
aneh. Terpaku mereka melihat Ni Keng Giau
tiba-tiba amat cermat merapikan pakaian
seragamnya, membersihkan tiap titik debu yang
melekat. Katanya dengan lembut dan
kedengaran amat waras, "Setiap perajurit harus
tetap rapi. Jangan sampai seperti pemabuk yang
baru keluar dari warung arak. Bahkan harus
tetap rapi di dalam pertempuran yang
menghadapi maut sekalipun."
Mata yang kosong itu tiba-tiba ada sedikit
sinarnya, seolah menyongsong sesuatu yang
amat membahagiakannya. Para perajurit tetap
bungkam, masih tercengkam pesona aneh dari
diri N i Keng Giau. Sementara Ni Keng Giau berkata lagi, "Dulu
aku selalu menerapkan peraturan kerapian
berpakaian bagi semua perajurit."
Tanpa sadar, para perajurit mulai
memeriksa pakaian mereka masing-masing dan
merapikannya, seolah-olah mereka benar-benar
Kemelut Tahta Naga II/10 51 berhadapan dengan seorang jenderal yang
memeriksa pasukan. Ternyata, saat itu
kewibawaan Ni Keng Giau tiba-tiba mencorong
kembali seperti berlian yang habis dibersihkan
dari debu yang selama ini menutupnya, dan
masih bisa mempengaruhi perajurit-perajurit
itu. Atau, seperti nyala lilin yang menyala
terang, beberapa detik se belum sumbunya
habis. Namun ketika melihat ulah perajurit
perajurit itu, Ni Keng Giau tiba-tiba malah
tertawa kecil. "Ah, bukan maksudku menyombongkan kedudukanku yang dulu, yang
tak mungkin kembali lagi. Aku sekarang cuma
perajurit penjaga pintu kota, seperti kalian,
yang tentunya tidak berhak lagi memerintah
kalian. Bahkan selama ini tentunya kalian sudah
jemu akan sepak-terjangku dan ucapanku
bukan?" "Ah, tidak. Malah kami merasa mendapat
perluasan pandangan kami yang tadinya
terbatas!" Kemelut Tahta Naga II/10 52 "Ya syukurlah kalau kalian merasa ada
gunanya. Eh, kapan giliran tugas kelompok kita
digantikan kelompok berikutnya?"
"Tidak lama lagi. Goan-swe, kenapa
mukamu nampak agak puGat?"
"Aku..... aku cuma merasa lelah. Lelaaaaah
sekali...." "Oh, pulanglah dulu ke tangsi. Tidak apaapa. Nanti kami semua akan membantu
menjelaskan kepada komandan tangsi. Apakah
perlu diantar?" "Tidak usah, aku jalan sendiri saja. Terima
kasih. Ingat, kalian harus tetap rapi dan
berdisiplin ya" Dulu waktu aku masih.... lho, kok
malah mau cerita lagi. Sudah ah. Hati-hatilah,
teman-temanku, jaga diri kalian baik-baik ya?"
Sebelum pergi Ni Keng Giau masih
mengucapkan serangkaian kalimat kacau, lalu
melangkah menjauh sambil melambaikan
tangan dan tersenyum. Kembali para perajurit
bergidik melihat senyuman
Sebelum membelok di tikungan dan terlihat
lagi, Ni Keng Giau masih sempat berteriak ke
Kemelut Tahta Naga II/10 53 arah para perajurit. "Kalian teman-temanku
yang baik!" Dan para perajurit memandangnya dengan
terlongong-longong. "Mudah- mudahan dia sembuh...." gumam
seorang perajurit. "Ya. Kadang-kadang kepedihan yang
kelewat hebat malah bisa membuat orang
macam dia sadar kenyataan, lalu perlahan-lahan
sembuh. Kalau angan-angan sudah tidak
menguasai jiwanya lagi, kesembuhannya akan
sempurna." Tidak lama kemudian, regu yang akan
menggantikan jaga telah datang. Regu yang
terdahulu segera pulang ke tangsi. Biasanya,
begitu selesai tugas mereka akan langsung
menghambur ke warung arak. Namun kali ini
mereka seperti digerakkan oleh satu perasaan,
pulang semua langsung ke tangsi, tidak ada
yang menyeleweng kesana kemari. Semuanya
senantiasa ingat kepada Ni Keng Giau yang
"hampir sembuh".
Kemelut Tahta Naga II/10 54 Ketika mereka masuk ke ruangan besar
tempat puluhan perajurit biasanya tidur,
termasuk Ni Keng Giau, para perajurit terkejut
karena di ruangan yang kosong mereka
tinggalkan jaga itu, mereka menjumpai mayat
Ni Keng Giau! Ni Keng Giau duduk di sebuah
kursi, leher dan dadanya bersimbah darah
karena lehernya tergorok pedang yang
dipegangnya dengan tangan kanan, dan tangan
itu kini terkulai ke samping kursi. Ia tidak lagi
mengenakan seragam perajuritnya, melainkan
"jubah kebesaran" nya yang dibuatnya sendiri
dengan jahitan tak keruan. Kepalanya juga
memakai "topi kebesaran" dari kertas berhias
brodolan ronce tombak dan bulu-bulu ayam
yang selama ini dikerjakan sambil beranganangan.
Dengari dandanan itulah dia menyongsong maut. Para perajurit bungkam. Wajah mereka
nampak menahan gejolak jiwa yang tertahan.
mulai oleh si komandan regu, tanpa kata-kata,
para perajurit tiba-tiba mengatur diri dalam
barisan yarig tertib. Lalu tanpa aba-aba pula
Kemelut Tahta Naga II/10 55 mereka berlutut menghormat Ni Keng Giau.
Mereka diliputi rasa duka dan masygul, penuh
ketidak- mengertian kenapa seorang yang
begitu besar jasanya harus mengakhiri
hidupnya begitu tragis" Didera jiwanya, sampai
digiring agar mencabut nyawanya dengan
tangannya sendiri. Kang Bun Hou segera diberi laporan. Dan
sang panglima sendiri menulis surat laporan ke
Pak-khia. Di Pak-khia, ketika Kaisar Yong-ceng
menerima laporan dari Hang-ciu itu, ia menarik
napas sedih juga. Bagaimanapun juga, Ni Keng
Giau adalah saudara seperguruannya, pembantunya sejak awal perjuangannya
merebut tahta dan mengamankan tahta.
Kendati Ni Keng Giau kemudian dianggap
terlalu menyaingi kekuasaannya, sehingga perlu
disingkirkan, tapi Kaisar Yong Ceng tak
membayangkan kalau begitulah akhirnya.
Desahnya sambil memegangi kertas laporan
dari Hang-ciu itu, "Yah, cara ini mungkin
membuatmu

Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puas, Sute. Karena Kemelut Tahta Naga II/10 56 kesombonganmu, kamu mau mati hanya oleh
tanganmu sendiri. Seandainya kau dulu tidak
menjadi besar kepala dan coba-coba menyaingi
kekuasaanku, aku tidak keberatan kau terus
mendampingiku selama-lamanya."
Begitulah, kematian Ni Keng Giau
setidaknya "diberi harga" satu helaan napas
Sang Putera Langit Yang Agung. Lumayan.
Padahal kematian ribuan orang Siau- lim-pai,
Hwe-liong-pang, Pek lian-kau, Jit-goat-pang,
para pendekar yang diundang ke Hong-thianlau, bahkan ratusan ribu nyawa di Jing-hai, tidak
membuat Kaisar Yong Ceng menarik napas
sedih sekalipun. Tetapi Ni Keng Giau pun segera di lupakan.
Sebuah bidak catur yang sudah masuk kotak
takkan berarti lagi, tak peduli bidak itu
"perajurit" atau "kereta" karena sudah keluar
dari papan permainan ya segera dilupakan.
Sementara permaianan belum selesai, masih
akan ada banyak "bidak-bidak" yang menyusul
masuk kotak. Kemelut Tahta Naga II/10 57 * * * Hang-ciu bukan cuma kota bersejarah, tapi
juga kota wisata yang memiliki banyak
pemandangan indah. Karena itu lah Liong Ke
Toh betah tinggal di Hang-ciu beberapa hari,
selain itu, Liong Ke Toh juga sering menyuruh
pengawal- pengawalnya untuk menyamar dan
berkeliling kota, agaknya mencari sesuatu.
Ketika mendengar tentang kematian Ni
Keng Giau, Liong Ke Toh lalu mengadakan pesta
sebagai "syukuran", begitulah.
Pada suatu malam, nampak sesosok
bayangan berjalan mendekati bangunan sayap
kanan gedung Cong-peng-hu, tempat menginapnya Liong Ke Toh dan rombongannya.
Ketika hampir sampai ke pintu masuk,
orang itupun dihadang oleh pengawal Pegawai
pribadi Liong Ke Toh yang galak- galak.
Tapi orang itu nampaknya tidak gentar,
malah bertanya dengan nada tidak hormat
sedikitpun, "Liong Ke Toh menginap di sini?"
Sikap kurang ajar itu langsung menggusarkan
Kemelut Tahta Naga II/10 58 para pengawal, menimbulkan rasa bermusuhan.
Mereka menghunus senjata-senjata mereka dan
mengurung si kurang ajar itu.
"Menyerahlah, bangsat. Kekurang-ajaranmu
pantas mendapat hukuman yang berat!"
Orang kurang ajar itu terkekeh dingin, "Aku
tidak bermaksud jahat. Tolong bilang saja
kepadanya, pihak kami sudah menyetujui usul
kerjasamanya yang dulu. Dan sekarang pihak
kami menanti kelanjutan urusan itu. Kami
menunggu di kuil Ting-kang-bio diluar kota
sebelah timur nanti waktunya tengah malam
tepat. Kalau Liong Ke Toh ataupun wakilnya
tidak datang disaat dan tempat itu, perjanjian
batal dan kami bebas berbuat apa saja!"
Kata-kata serba kurang ajar itu membuat
para pengawal pribadi Liong Ke Toh gusar.
Senjata-senjaia mereka segera melayang ke
arah orang itu. Orang itu cuma tertawa dingin menyambut
serangan itu, tiba-tiba ia melompat mundur
sambil menguraikan rambutnya, bahkan
sebagian rambutnya sengaja ditutupkan ke
Kemelut Tahta Naga II/10 59 depan wajahnya. Tubuhnya bergetar sejenak
sambil memperdengarkan suara gumam rendah
dan seram, kedengarannya seperti suara
mantera. Sekitar tubuh orang itu tiba-tiba diliputi
asap tebal hitam. Senjata para pengawai terus
menikam ke tengah-tengah asap itu, tetapi
mereka heran ketika merasa senjata mereka
tidak menyentuh apapun. Apalagi ketika asap
itu tiba-tiba buyar dihembus angin lokal,
ternyata orang tadi sudah tidak ada di
tempatnya. Para pengawal Liong Ke Toh tercengang.
Mereka mengepung melingkar dengan ketat,
kalau orang tadi keluar dari kepungan, tentunya
akan ada yang melihatnya atau merasakannya.
Nyatanya tidak satupun dari mereka bisa
menyebut kapan dan bagaimana cara perginya
orang itu Padahal pengawal-pengawal Liong Ke
Toh itu adalah pesilat-pesilat yang tidak lemah.
"Jangan-jangan... yang tadi itu adalah
makhluk halus?" kata seorang pengawal sambil
Kemelut Tahta Naga II/10 60 orang itu cuma tertawa dingin menyambut
serangan itu, tiba-tiba ia melompat mundur
sambil menguraikan rambutnya, bahkan
sebagian rambutnya sengaja ditutupkan ke
depan wajahnya. Kemelut Tahta Naga II/10 61 meraba-raba tengkuknya sendiri yang mulai
merinding. "Jangan-jangan........sahut yang lainnya raguragu. ".... jangan-jangan Ni Keng Giau?"
Para pengawal itu tahu, antara Ni Keng Giau
dan majikan mereka Liong Ke Toh saling
membenci. Kemudian mereka mendengar Ni
Keng Giau mati bunuh diri, yang menurut
kepercayaan arwahnya akan terus berkeliaran.
Tidak heran kalau muncul dugaan berbau tahyul itu.
"Mungkinkah arwahnya masih gentayangan
dan ingin mencari Ong-ya?"
"Kata-katanya tadi perlu kita sampaikan
kepada Ong-ya atau tidak?"
"Saat ini Ong-ya sudah beristirahat, mana
berani kita membangunkan hanya untuk
memberitahu urusan aneh ini?"
Urusannya memang aneh tapi penting
bahkan mungkin gawat. Siapa tahu benar-benar
ada roh gentayangan yang mengincar
keselamatan Ong-ya" Kalau Kita beritahu Ong-
Kemelut Tahta Naga II/10 62 ya, bukankah bisa di ambil tindakan
pencegahan. Para pengawal itu berunding sejenak dan
kemudian menunjuk salah seorang untuk
melapor kepada Liong Ke Toh.
(Bersambung Jilid XI) (Bersambung Jilid XI) Kemelut Tahta Naga II/10 63 Kemelut Tahta Naga II/10 64 Kemelut Tahta Naga II/11 1 KEMELUT TAHTA NAGA Bagian : II Karya : STEFANUS S.P. Jilid XI Orang yang disuruh itu tadinya mengira
Liong Ke Toh sudah tidur, ternyata bangsawan
tua itu masih belum tidur, la masih nampak
berbincang dengan mimik sungguh-sungguh
dengan Toh Hun, orang kepercayaannya yang ti
dak pernah jauh dari sisinya.
Ketika pengawal yang hendak melapor itu
mengetuk pintu, pembicaraanpun berhenti.
Tanya Liong Ke Toh ke arah pintu, "Siapa?"
Dari luar pintu si pengawal menjawab,
"Ampun, ong-ya, hamba telah lancang
menghadap tanpa dipanggil. Hamba salah
seorang pengawal Ong-ya yang hendak
melapor." Kemelut Tahta Naga II/11 2 Liong Ke Toh saling pandang sekejap
dengari Toh Hun, terlihat si bangsawan tua
mengangguk. Lalu Toh Hun yang melangkah ke
pintu untuk membukakanya. Dan Toh Hun
mengenal memang salah satu pengawal
anggotanya yang berdiri di hadapan pintu.
Si pengawal diantar masuk, dan sambil
berlutut di hadapan Liong Ke Toh diapun
menyampaikan laporan tentang si "arwah" tadi
berikut pesan-pesan nya. Aneh, mendengar
laporan itu Liong Ke Toh malahan tampak
gembira dan bertukar senyuman dengan Toh
Hun. Seolah mereka mendengar kabar dari
sesuatu yang sudah lama mereka nanti-nan
tikan. "Baik." kata Liong Ke Toh selesai
mendengar laporan itu. "Kembalilah ke tempat
tugasmu!" Setelah pengawal itu pergi, Liong Ke Toh
tersenyum kepada Toh Hun dan berkata,
"Pastilah dia orang Pek-lian-kau (agama Teratai
Putih), membawa jawaban dari kontak-kontak
kita beberapa bulan yang lalu. Tidak heran
Kemelut Tahta Naga II/11 3 kalau datang dan perginya mereka begitu aneh,
sebab mereka memang terkenal gemar
bermain-main hoat-sut (ilmu gaib), bahkan
mereka bisa berhubungan dengan arwaharwah. "
"Apakah Ong-ya benar-benar akan menemuinya di kuil Ting-kang-bio nanti tengah
malam?" tanya Toh Hun.
Liong Ke Toh menggeleng. "Tidak, terlalu
besar resiko keselamatan jiwaku kalau sampai
bertemu langsung dengan kawanan tukang
santet itu. Sebab aku adalah Pamanda Kaisar,
sedangkan orang-orang Pek-lian-kau itu konon
me-mendendam suatu cita-cita untuk mengusir
semua orang Manchu dan mendirikan kembali
Kerajaan Beng. Jadi aku tidak mau bertemu
dengan mereka, biarpun aku ingin memanfaatkan tenaga mereka kali ini."
Mendengar itu, tanpa sadar Toh Hun
mengusap keringat dingin di jidatnya. Kalau
majikannya tidak mau bertemu sendiri dengan
mereka, apakah dirinya yang akan disuruh"
Kemelut Tahta Naga II/11 4 Benar juga, apa yang dikhawatirkan pun
datang. Kata Liong Ke Toh, "Jadi kau saja yang
ketemu mereka, ya" Jangan takut, asal kau
bawakan hadiah yang cukup berharga, mereka
takkan membunuhmu. Mereka juga butuh duit
kan" Jangan takut."
"Ya... ya....." sahut Yoh Hun agak dipaksakan.
Liong Ke Toh berdiri, mengelilingi meja dan
mendekat khusus untuk menepuk nepuk
pundak Toh Hun. "Jasa yang kuminta saat ini
dari mereka, ialah membunuh Pangeran Hong
Lik. Beritahu saja kepada mereka arah
perjalanan rahasia Hong Lik yang sedang
meninggalkan istana dengan menyamar. Itu
saja. Kau tahu arah perjalanan Hong Lik
bukan?" "Ya. Ya." "Berangkatlah sekarang. Ini hampir tengah
malam. Jangan takut, jangan takut. Orang-orang
Pek-lian-kau itu tahu kapan saatnya memusuhi
kita, dan kapan saatnya menurut kepada kita
karena mengharapkan uang kita. Dan inilah
saatnya kita dan mereka sejalan. Berangkatlah."
Kemelut Tahta Naga II/11 5 Toh Hun tidak terlalu terhibur mendengar
kata-kara itu. la tetap tidak yakin, apakah
nyawanya benar-benar akan tetap terjamin


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau sampai ke tengah-tengah orang-orang
Pek-lian-kau yang membenci orang-orang
pemerintah Manchu itu" Lebih ngeri lagi, orangorang dikenal sebagai ahli-ahli ilmu gaib.
Tetetapi Toh Hun tak bisa melawan perintah
Liong Ke Toh, sebab kalau sampai rencana
Liong Ke Toh sukses, toh diri Toh Hun akan ikut
terangkat juga. Terpaksa Toh Hun lalu mempersiap kan diri
untuk berangkat. Dengan memakai pakaian
ringkas, ia juga sekantong uang emas sebagai
hadiah bagi Pek-lian-kau. Tak lupa dibawanya
sepasang senjata andalannya yang disilangkan
di punggung, yaitu sepasang Hou- thau- kau
(kaitan kepala macan). Lalu diapun tinggalkan
gedung Cong-peng-hu. Secara diam-diam, sebab
urusan yang sedang dijalankannya itu adalah
urusan amat rahasia yang bisa gawat kalau
sampai diketahui orang lain. Ini adalah usaha
Kemelut Tahta Naga II/11 6 untuk membunuh seorang Putra Mahkota
dengan "pinjam" tangan pihak Pek-lian-kau.
Ia berjalan mengendap-endap sampai ke
tembok kota, lalu tembok kota Hang-ciu
dilewatinya dengan memanjat menggunakan
tali berkaitan. Para penjaga tembok kota agak
lengah dalam menjalankan tugas, sebab mereka
sedang berkerumun dari keasyikan bercerita
tentang kematian Ni Keng Giau yang masih jadi
"berita hangat" di kota itu.
Maka Toh Hun dapat melewati tembok kota
dengan lancar. Di luar tembok kota, suasana gelap sekali.
Toh Hun tidak tahu pasti letak kelenteng Tinkang-bio, pesan orang Pek-lian-kau lewat para
penjaga hanya menyebutkan "sebelah timur".
Maka Toh Hun lalu melangkah saja ke arah
timur. Kira-kira dua atau tiga li dari kota, suasana
makin sepi dan gelap. Kelap kelip lampu rumah
penduduk yang tadinya masih terlihat satu dua
biji, sekarang tak terlihat satupun Namun saat
itulah Tih Hun melihat di tepi sebuah hutan ada
Kemelut Tahta Naga II/11 7 sebuah lampion kertas berkedip-kedip. Toh Hun
menduga pihak Pek-lian-kau sudah menaruh
seorang penyambut di tempat ini, maka dengan
langkah lebar diapun mendekati lampion itu.
Tetapi semakin dekat dengan lampion itu,
langkahnya semakin ragu-ragu, apakah matanya yang salah lihat atau bagaimana" Tidak
kelihatan adanya orang orang di pinggi hutan
itu. Lalu, siapa yang memegangi lampion itu"
Dengan jantung berdegup lebih kencang, Toh
Hun memaksakan diri untuk mendekati
lampion itu, sambil membesar-besar kan
hatinya sendiri, "Orang-orang Pek-lian-kau
memang gemar menakut-nakuti orang dengan
permaianan mereka yang aneh-aneh. Tapi
permaianan mereka kali ini cuma mainan anak
kecil, lampion itu pasti digantung dengan
benang hitam sehingga tidak kelihatan di
malam segelap ini, apalagi di pinggir hutan."
Hanya, setelah dekat benar dengan lampion
itu, sia-sia matanya yang tajam itu menemukan
benang hitam yang tadinya ia bayangkan.
Lampion itu benar-benar tergantung-gantung di
Kemelut Tahta Naga II/11 8 udara kosong. Dengkul Toh Hun mulai gemetar. Rasanya
lebih suka ia ketemu lima belas orang bandit
bersenjata, daripada menghadapi kejadian tak
masuk akal macam ini. Seandainya tidak
mengingat tugasnya, lebih suka tentunya ia
kabur sekencang-kencangnya dari tempat itu.
Lampion itu tiba-tiba mulai bergoyang, lalu
berjalan melayang. Toh Hun ragu-ragu, tapi
akhirnya mengerahkan seluruh keberaniannya
untuk mengikuti lampion itu, mengikuti
"penunjuk jalan" nya yang aneh itu. "Teori
benang hitam" yang semula diyakininya, kini
berantakan tanpa dasar lagi. Lampion itu
melayang di sepanjang tepi hutan, berbelokbelok dan melewati tempat-tempat yang ting gi
dan rendah. Tidak mungkin digerakkan dengan
benang, tapi agaknya oleh angin dingin tajam
yang terus-menerus melewati mereka.
Terpaksa Toh Hun ikut terus, sambil dalam
hatinya mohon perlindungan kepada sembarang dewa atau sembarang malaikat, agar
dilindungi dari roh-roh tersesat.
Kemelut Tahta Naga II/11 9 Akhirnya "mereka" sampai ke sebuah tepian
sungai yang ditumbuhi ilalang air. Di situ
tertambat sebuah perahu kecil yang ada
gubuknya. Di dalam gubuk perahu itu terlihat
cahaya api berkelap-kelip.
Lampion hantu itu masuk ke perahu. Toh
Hun bimbang beberapa saat, haruskah ia
mengikuti "pemandu" nya itu" Jangan-jangan di
dalam perahu itu sudah menungguh seorang
tukang perahu tak berkepala" Tetapi akhirnya
dengan keringat dingin di punggungnya, Toh
Hun masuk juga ke dalam perahu itu.
Syukurlah, dalam perahu itu tidak ada
tukang perahu tak berkepala segala. Tak ada
siapa-siapa kecuali sebuah lampion lain yang
tergantung di ujung atap gubuk perahu. Sedang
lampion "penyambut" tadi sudah raib entah
kemana. "Apakah aku harus mendayung sendiri?".
pikir Toh Hun sambil jelalatan matanya mencari
dayung. Bukan dayung yang diketemukannya, tapi
cuma dua helai kertas. Saru kertas kuning
Kemelut Tahta Naga II/11 10 bergambar coretan-coretan yang tidak dipahami Toh Hun, tapi Toh Hun tahu itulah
"hu" atau "kertas jimat". Sedang sehelai kertas
lainnya bertuliskan pesan singkat, "Bakarlah
Hu." Toh Hun benar-benar membenci "cara
penyambutan" macam itu, tapi apa boleh buat.
Tanpa menuruti petunjuk petunjuk Pek-liankau, tidak mungkin bisa menemui mereka.
Terpaksa dengan jari-jari telunjuk dan jempol
yang gemetar, ia jepit kerta jimat itu,
didekatkan ke lubang atas lampion penerang
perahu. Begitu "hu" itu habis terbakar, mendadak
ada angin kencang yang amat dingin
menghembus berputar di sekitar perahu itu.
Hampir saja Toh Hun roboh telentang, tapi
cepat-cepat berpegangan bibir perahu. Lalu
secara naluriah, kedua tangannya berpindah
cepat ke gagang sepasang senjatanya, lalu
melompat ke ujung perahu untuk melihat
"siapa" kiranya si pengganggu itu.
Kemelut Tahta Naga II/11 11 Ternyata tidak terlihat siapa-siapa. Angin
itu bertiup keras dan mengiris kulit, tapi
anehnya cuma di sekitar perahu itu. Toh Hun
melihat rumput-rumput air dalam jarak lebih
dari empat langkah ternyata hanyalah
bergoyang pelan, terhembus angin malam yang
wajar saja. Angin yang menggoncang perahu
itulah yang tidak wajar. Dan perahu itupun tiba-tiba bergerak maju
membelah air, seolah didayung de lapan orang
sekaligus, namun "para pendayung" itu tidak
kelihatan. Di dalam gubuk perahu, Toh Hun
duduk diam tak berkutik, basah kuyup oleh
keringat dingin. Perahu itu menyusuri tepian sungai agak
lama, dan berhenti di suatu tepian landai yang
ada lampionnya lagi. Toh Hun sudah tidak kaget
lagi ketika melihat lampion iniipun terkatungkatung di udara kosong. Cahayanya tidak
kuning kemerah-merahan seperti api yang
umum, tapi kuning kehijau-hijauan.
Toh Hun melompat ke daratan dan
mengikuti lampion itu, yang melayang sendiri
Kemelut Tahta Naga II/11 12 seperti yang tadi. "Mereka" menuju ke suatu
tanjakan bukit. Di kaki bukit itu nampak ada
sesosok tubuh berdiri, diterangi sepasang lilin
yang diletakkan di tanah, di depan kedua
kakinya. Legalah Toh Hun melihatnya, menganggap
sebentar lagi setidaknya dia akan bertemu
dengan manusia biasa. Namun setelah dekat,
nyatalah "dia" yang menunggu di kaki bukit itu
ruma sesosok orang-orangan kertas seukuran
orang biasa, "la" didandani seperti seorang
Kaisar dari jaman Kerajaan Beng namun
semuanya terbuat dari serba kertas. Wajah
patung kertas itu nampak tersenyum ramah
sekali, namun di bawah cahaya kehijau-hijauan
dari lampion "pengantar"nya, wajah itu jadi
menyeram kan sekali buat Toh Hun.
Di antara sepasang lilin, ada sebuah pai
(papan arwah) yang bertuliskan "Sri baginda
Cong-ceng, Kaisar Agung Dinasti Beng". Dari
tulisan yang digoreskan di tanah, "Berlututlah."
Toh Hun bisa memaklumi seperti itu.
Pendiri dinasti Beng ialah Cu Guan ciang yang
Kemelut Tahta Naga II/11 13 kemudian bertahta dengan sebutan Kaisar Hong
bu, dan sebelumnya dia adalah tokoh Pek- liankau, memimpin Pek-lian-kau sebagai ujung
tombak perjuangan mengusir kekuasaan
Mongol. Kemudian kaisar kaisar keturunan Cu
Goan-ciang tak ada yang peduli kepada Peklian- kau, bahkan pernah ada yang bermaksud
menumpasnya. Namun Pek-lian kau tetap setia
kepada dinasti Beng. karena merasa sebagai
"penanam saham" terbesar. Di jaman
pemerintahan Manchu itu, Pek-lian-kau
beroperasi sebagai gerakan bawah tanah yang
tetap ingin memulihkan berkuasanya dinasti
Beng. Toh Hun maklum, namun ia bergidik ketika
mengingat bahwa Kaisar Cong-ceng dulu mati
dengan menggantung diri, yang menurut
kepercayaan maka Tiausi-kui (arwah orang
mati gantung diri) itu akan selalu berkeliaran
penasaran. Kini, dihadapan patung kertas
Kaisar Cong Ceng, Toh Hun ragu ragu untuk
menaati perintah berlutut itu.
Kemelut Tahta Naga II/11 14 "Perintah gila gilaan ini tidak termasuk
dalam perjanjian," geram Toh Hun. Sebagai
orang Manchu lebih-lebih. Toh dirinya tak mau
mengorbankan kebanggsaannya dengan berlutut kepada patung seorang raja bangsa
Han yang mati dengan cara sesat dan hina.
Maka Toh Hun lalu menyimpang, patung itu
untuk langsung mendaki ke tanjakan bukit, la
menduga, kuil Tm-kang-bio mungkiri ada di
puncak buku atau di lerengnya.
Baru berjalan beberapa langkah, ia
mendengar di belakangnya ada suara kresakkresek kertas yang terus mengikuti langkahnya.
Toh Hun menoleh, dan ia hampir semaput
karena kagetnya. "Kaisar Cong Ceng" ternyata berjalan
mengikutinya, cara berjalannya bergoyanggontai seperti layangan putus. Menyusulnya,
bahkan lalu menghadang di hadapan Toh Hun,
masih tetap dengan wajahnya tersenyum seram.
Toh Hun melangkah menyamping lalu lari
ke atas bukit. Tetapi jailangkung itu terus
Kemelut Tahta Naga II/11 15 memburunya, dan lagi-lagi menghadang di
hadapannya. Kini Toh Hun benar-benar mandi keringat
dingin. Nampaknya ia takkan lepas dari
gangguan si jailangkung ini sebelum menuruti


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permintaannya. Apa boleh buat. Ia berlutut
menyembah, dan ketika bangun kembali
melanjutkan langkahnya, maka si jailangkung
tak mengganggunya lagi. Kuil Tin-kang-bio memang ada di atas bukit,
sebuah kuil setengah roboh, lumutan, kotor
karena lama tak dikunjungi orang. Namun
malam itu ada cahaya api unggun di halaman
kuil. Toh Hun dengan ragu-ragu mendekati
pintu kuil, apa lagi yang akan dilihatnya di
halaman kuil itu" Tiba-tiba dari halaman kuil terdengar suara
tertawa dan kata-kata yang ramah" "Masuklah.
Jangan takut!" Kali ini benar-benar suara manusia.
Toh Hun lebih dulu membenahi diri, agar
jangan nampak ketakutan atau morat-marit,
Kemelut Tahta Naga II/11 16 setelah itu barulah ia melangkah ke halaman
kuil itu dengan langkah yang gagah.
Dilihatnya di tengah halaman kuil itu ada
api unggun berkobar besar. Dan yang
menjumpainya benar-benar manusia, bukan
lagi "lampion hantu" atau "perahu setan" atau
bahkan "Kaisar Cong Ceng".
Orang itu berdandan seperti imam To,
namun warna jubahnya tidak lazim. yaitu
merah tua. Selain itu, di seluruh jubahnya
dihiasi huruf dan lambang-lambang aneh yang
tak dikenal Toh Hun. ia cuma menduganya
sebagai mantera-mantera sihir. Di sampingnya
ada meja penuh benda-benda seperti sesajian,
lilin, pedang kayu, setumpuk kertas "Hu", kaca
pat-kwa, batok kulit kura-kura, bilah-bilah
bambu bernomor dan sebaginya.
Si imam sendiri adalah seorang lelaki
berusia limapuluh tahun, kurus, namun
pandangannya tajam menusuk sehingga Toh
Hun diam-diam bergidik ngeri.
Kemelut Tahta Naga II/11 17 Tapi ia tertawa terkekeh dan berusaha
ramah ketika bertanya, "Bagaimana" Senang
atau tidak dengan perjalanan tadi ?"
Dengan berlagak gagah sambil menduduki
sebuah peti kayu, Toh Hun menjawab, "Boleh
juga permaianan sulapmu."
Si imam tiba-tiba membentak.
"jangan duduk di situ!"
Toh Hun terlompat dengan wajah pucat
karena kagetnya. Setelah degup jantungnya
mereda, ia bertanya, "Kena pa?"
"Itu peti penyimpanan jimat-jimatku! Garagara ada di bawah pantatmu, biarpun cuma
sebentar, aku terpaksa harus mengadakan
upacara penyucian kembali!"
"Maaf.... maaf____" Toh Hun tersipu-sipu.
"Duduk di sana!" bentak si imam sambil
menunjuk ke sebuah tunggul pohon bekas
disambar petir. Sebagai kepala pengawal pribadi Pamanda
Kaisar, tentunya Toh Hun bukan pesilat kelas
kambing. Namun setelah berturut-turut
dipameri peristiwa ganjil, rasa takut terhadap
Kemelut Tahta Naga II/11 18 Pek-lian-kau menguasai jiwanya. Ketika sampai
ke kuil itu, kegarangannya sudah susut amat ba
nyak. Maka biarpun dibentak-bentak oleh imam
itu, dia menurut dan "jinak" saja, tdk berani
marah. Setelah duduk, si imam berkata dengan
bengis, "Jangan kau anggap apa yang kau alami
tadi cuma seperti sulapan di pinggir jalan! itu
adalah ilmu sakti Pek-lian-kau! Bahkan aku
sanggup membunuh siapapun dari jarak jauh
dengan ilmuku, termasuk kau! Percaya tidak?"
"Percaya... percaya...."
"Sebetulnya, karena pihakmu adalah orangorang Manchu yang telah merebut negara kami,
Kerajaan Beng, aku harus membunuh kalian!
Tetapi kali ini pihak kami mau menjawab
isyarat Liong Ke Toh, tidak lain karena ingin
tahu apa yang kalian maui?"
Dengan harapan agar dapat cepat-cepat
pergi dari situ, Toh Hun menjawab langsung
tanpa tedeng aling-aling. "Liong Ong-ya minta
agar kalian membunuh Pangeran Hong Lik!"
"Hah" Putera Mahkota?"
Kemelut Tahta Naga II/11 19 "Ya." "Kenapa?" "Kenapa harus tahu" Asal kalian berhasil
mendapatkan nyawa Pangera Hong Lik, lalu
kami bayar hadiahnya beres bukan?"
"Hem. kau merendahkan Pek-lian-kau. Kau
sangka kami ini hanya sekelompok pembunuh
bayaran yang mau saja disuruh-suruh asal
dibayar" Kau keliru! Kami adalah kelompok
pejuang yang punya cita-cita besar! Kalau kami
bekerja-sama dengan pihak lain, kami harus
tahu apa tujuannya yang sejelas-jelasnya!"
Toh Hun bingung. Apakah persaingan sengit
antara Liong Ke Toh dan Pangeran Hong Lik
yang selama ini masih tersimpan di balik
dinding istana, kini harus dibeber kepada pihak
yang sama sekai bukan sahabat, hanya sekutu
sementara" Bagaimana kalau beritanya sampai
menyebar luas dan menimbulkan kegoncangan" Sesaat lamanya Toh Hihi cuma
membungkam. Melihat itu. si imam tertawa dingin, "Kalau
tidak mau dengan persyaratan kami, minggatlah
Kemelut Tahta Naga II/11 20 sekarang juga Tas usah mengharap bekerjasama dengan kami. Tapi ingat, heh"hehheh".tadi kau sudah terlanjur membuka muiut
ten tang niat si tua bangka Liong Ke Toh untuk
menyingkirkan Hong Lik. Berarti rahasia kalian
sudah di tangan kami. Berita ini tentu akan
menarik cukup banyak pendengar kalau kami
teriakan di pasar-pasar atau di simpangsimpang jalan. Begitu ya?"
Sekarang Toh Hun tidak cuma berkeringat
dingin, bahkan mulai menggigil pelan, la merasa
marah, takut, karena terjebak. Ancaman si imam
itu berarti, mau tidak mau kerja-sama harus
diteruskan, tapi pihak Pek-lian-kaulah yang
menetapkan syarat-syaratnya.
Tapi, kalau diteruskan, belum-belum pihak
Pek-lian-kau sudah minta syarat yang begitu
berat. Yaitu ingin mengetahui latar-belakang
niat Liong Ke Toh untuk membunuh Pangeran
Hong Lik. Padahal di dalam komplotan Liong Ke
Toh sendiripun sedikit yang tahu niat itu.
"Bagaimana?" si imam tiba-tiba membentak
sehingga Toh Hun berjingkat. "Sekali
Kemelut Tahta Naga II/11 21 melangkah, jangan harap pihakmu bisa mundur
lagi!" "Baik...," akhirnya Toh Hun nekat ambil
putusan sendiri. "Nah, katakan."
"Singkat saja, Ong-ya dan Pangeran Hong
Lik saling membenci. Ong-ya khawatir kalau
kelak Pangeran Hong Lik menggantikan
ayahandanya bertahta, maka Ong-ya akan
mengalami kesulitan hebat. Itu saja."
"Hem, kalau Hong Lik sudah mati, apakah
Liong Ke Toh lalu punya calon sendiri yang
dijagokan" Atau dia sendiri yang mau
mengincar tahta biarpun sudah hampir masuk
kubur?" "Soal ini, maaf, Ong-ya belum pernah
mengatakannya kepadaku. Harap kau maklumi,
aku biarpun dipercaya tetapi cuma pesuruh,
tidak mungkin tahu semua yang dirancang
dalam pikiran Ong-ya."
Penjelasan itu masuk akal, dan Toh Hun lega
melihat si imam mengangguk angguk. "Baik,
syarat pertama ini kuanggap cukup terpenuhi.
Kemelut Tahta Naga II/11 22 Artinya, ini kerjasama sederajat. Bukan antara
si pemesan dengan si pembunuh bayaran. Sebab
kami ini kaum bercita-cita, bukan tukang
kepruk upahan, paham?"
"Ya. Paham. Terus bagaimana" Sanggup
tidak?" tanya Toh Hun penuh perasaan harapharap cemas. Kalau imam itu tidak
menyanggupi, mampuslah pihaknya. Sudah
terlanjur membuka semua "kartu" ternyata
kerja-samanya batal. Untunglah, si imam menunjukkan sikap
cukup berminat, biarpun belum langsung
mengiakan. "Pihakmu minta kami membunuh
Pangeran Hong Lik, apakah berarti kami harus
menerjang ke is tana?"
"Oh, tidak. Ong-ya takkan mengajukan
permintaan yang begitu tak masuk akal. Saat ini
adalah peluang terbaik untuk membunuh Hong
Lik, sebab dia sedang mengembara di luar
istana, bahkan jauh dari Ibukota Pak-khia.
Menyamar, dan dengan jumlah pengawal yang
tak seberapa." Kemelut Tahta Naga II/11 23 "Baik. Rasanya kami sanggup," jawaban si
imam memberi harapan kepada Toh Hun.
"Tetapi ada syarat lain, yang biarpun bukan
syarat terpenting, namun kalau mau dibilang
tidak penting kok ya penting juga."
Ketika mengucapkan ini, lenyaplah keangkeran si imam, dan sikapnyapun berganti
cengar-cengir. Dengan penuh kemengertian, Toh Hun
menurunkan bungkusan dari punggung nya.
Diletakkan di tanah lalu dibuka, segera nampak
potongan-potongan emas yang berkilauan di
bawah cahaya api unggun. "Berapa?" tanya si imam sambil mertyipitkan matanya. Diam-diam Toh Hun mentertawakan-nya
dalam hati, "Ngakunya kaum yang bercita-cita,
bukan pembunuh bayaran dan sebagainya, tapi
begitu melihat emas, terus mukanya seperti
anjing melihat tulang. Hem, ternyata emas kami
lebih sakti dari ilmu gaibnya."
Dalam hatinya membatin demikian, namun
wajahnya tak menampilkan kesan itu. Dengan
Kemelut Tahta Naga II/11 24 amat sopan Toh Hun menjawab, "Limaratus
tahil. Kalau pihakmu berhasil membunuh Hong
Lik, kami tambah limaratus tahil lagi."
"Hi-hi-hi, memang mahal harga batok
kepala seorang Putera Mahkota, tapi juga tidak
sembarangan orang bias melaksanakan tugas
ini. Tapi kami pasti sanggup!"
"Jadi, sepakat?"
"Sepakat. Nah, tahu tidak kemana Hong Lik
pergi dalam penyamarannya?"
"Kemungkinan besar memasuki wilayah
sekitar pegunungan Kiu-liong-san, tepatnya
kami sendiri tidak tahu, tapi kalian kan bisa
menyebar orang untuk mencari jejaknya"
Sebulan yang lalu, ada utusan rakyat kecil dari
sekitar Kiu-liong-san yang menghadapnya dan
melaporakan penderitaannya, maka diduga
keras Hong Lik berangkat ke sana. Pengawalnya
sedikit, tapi tangguh."
Si imam tiba-tiba tertawa dengan nada
mengejek, "Hem, berapa orang saja, sedikit atau
banyak, buat ilmu gaibku tak ada masalah.
Kemelut Tahta Naga II/11 25 Mereka semua bisa kubuat gila dengan ilmu
saktiku!" "Kalau begitu, uang muka ini ku tinggalkan.
Dan aku mohon diri lebih dulu."
"Tunggu. Masih ada urusan lain!"
"Urusan apa lagi?"
"Tentang dirimu sendiri!"
"Hah, ada apa dengan diriku?"
"Bukankah waktu tadi kau naik kemari, kau
sudah bersujud kepada badan halusnya


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sribaginda Cong Ceng?"
"Ya, demi bisa lepas dari gangguan
jailangkung itu." "Apa kau bilang" Jailangkung" Jangan
sembarangan dengan mulutmu! Yang kau
sembah tadi benar-benar badan halus
Sribaginda Cong Geng! Junjungan kami para
patriot Kerajaan Beng!"
"Ya"Ya.... maaf...." sahut Toh Hun gugup.
"Memang aku sudah member hormat jai___ eh,
Sribaginda agar diperkenankan lewat. Dan aku
sudah diijinkan lewat."
Kemelut Tahta Naga II/11 26 Mendadak terlihat tubuh si imam kejangkejang beberapa kali, matanya terbalik sehingga
yang nampak tinggal putihnya, tubuhnya
bergetar keras, dari mulutnya keluar air liur
banyak sekali. Tanpa pikir panjang lagi Toh Hun melompat
dan berlari ke arah pintu keluar.
Tetapi tubuh si imam melompat dan
menghadang di depan pintu, dengan sepasang
tangan terjulur ke depan seolah mau mencekik
Toh Hun. Apa, yang membuat Toh Hun ngeri
ialah Ketika melihat sepasang kaki si imam
ternyata tidak menempel di tanah, melainKan
terpisah kira-kira sejengkal dari tanah Itu
artinya si imam mengapung di udara, seperti
lampion-lampion tadi. Tidak peduli Toh Hun adalah jagoan
tangguh, menghadapi kejadian ini dia tidak
punya sisa keberanian lagi. Dengkul nya mulai
bergetar keras ketika ia melangkah mundur
sambil terbata-bata. "To-tiang (bapak imam), aku... aku........minta
maaf..... aku.... aku...."
Kemelut Tahta Naga II/11 27 Dari mulut penuh liur si imam terdengar
suara menggeram, yang oleh Toh Hun dikenali
sebagai bukan suara si imam lagi. Suara seorang
lelaki yang sama sekali lain, bergetar seram dan
dunia seberang kubur, "Tidak bisakah kau
bersikap dan hormat kepada seorang Kaisar"
Akulah Kaisar Cong Ceng, ahli waris syah dari
negeri yang sekarang di kangkangi orang
Manchu macam kau! Akulah Kaisar Cong Ceng!
Berlutut!" Toh llnn bertindak melebih perintah itu.
Oleh "Kaisar Cong Ceng" cuma disuruh berlutut,
tapi Toh Hun bahkan berlutut sambil kencing di
dalam celana. "Hamba..... mohon ampun! Hamba mohon
Sribaginda mengampuni hamba!"
Suara dari mulut si imam, suara tak dikenal,
terdengar lagi, "Kau sudah menyembahku!
Sudah memanggilku Sri-baginda! Kau sudah
menjadi hambaku baik di dunia yang sekarang
maupun di dunia yang akan datang!"
Dan mendadak tubuh si imam yang
terapung itu seperti dibanting mendadak ke
Kemelut Tahta Naga II/11 28 tanah, kejang-kejang lagi-lagi sebentar, dan
keadaan si imam lalu pulih seperti semula.
Cuma nampak lemas sekali dan basah kuyup
dengan keringat. Ketika melihat Toh Hun
menyembah-nyembah, dia heran, "He, apa yang
sedang kau la kukan?"
Sambil tetap menyembah-nyembah. Toh
Hun menjawab dengan suara pelan "Ampun,
Sribaginda----- hamba tidak akan menentang
kehendak Sribaginda."
Si imam tercengang semakin heran "Apa"
Kau panggil aku Sribaginda lalu ia bangkit
sambil menepuk-nepu debu dari jubahnya.
Toh Hun yang mulai agak tenang,
mengangkat kepalanya, dan dilihatnya imam itu
mulai pulih ke dalam keadaannya yang wajar.
Agaknya arwah yang baru saja "meminjam
mulut" nya telah pergi. Sambil mengusap-usap
keringat dijidatnya, Toh Hun bertanya, "Oh, kau!
Kau sudah.... sudah tidak kerasukan lagi?"
Pertanyaan itu langsung saja membuat si
imam tahu apa yang sudah terjadi baru saja. Ia
tertawa terkekeh. "Oh, jadi kau baru saja bicara
Kemelut Tahta Naga II/11 29 dengan arwah Sribaginda" Tidak usah heran. Di
antara ribuan anggota Pek-lian-kau Sekte Utara,
hanya aku seorang dirilah yang sering
digunakan oleh Sribaginda untuk menyampaikan pesan-pesannya. Apa saja yang
Sribaginda sabdakan?"
Masih dalam cengkamari kengerian, Toh
Hun tidak herani berbohong, "Sribaginda
menganggapku sebagai abdinya! Apakah berarti
aku...... aku harus ke dunianya sekarang?"
Sikap imam itu mendadak berubah menjadi
ramah sekali. la bangunkan Toh Hun dari
berlututnya, lalu menepuk-nepuk pundaknya,
"Benar begitu" Kalau benar, mulai detik ini kau
sudah termasuk sebagai kawan seperjuangan
kami! Kau harus merasa bangga, sebab tidak
semua orang bisa diterima dalam Pek-lian-kau
kami dengan cara seistimewa kau tadi. Dipilih
langsung oleh Sribaginda! Apalagi mengingat
bahwa kau adalah seorang Manchu!"
"Ah, kawan seperjuangan yang bagaimana?"
"Lho, kok kawan seperjuangan bagaimana, ya
Kemelut Tahta Naga II/11 30 kawan seperjuangan dalam usaha memulihkan
kembali Kerajaan Beng!"
Sungguh Toh Hun amat tidak siap untuk itu.
Dia yang sudah punya kedudukan mapan dalam
istana, sekarang harus menjadi "kawan
seperjuangan" gerombolan tukang sihir ini"
Kecuali itu, sebagai orang Manchu, haruskah
menumbangkan kerajaan bangsanya sendiri
untuk membautu cita-cita kaum yang membenci
bangsanya ini" Melihat sikap Toh Hun yang ragu- ragu, si
imam tiba-tiba menjadi bengis. "Kau ragu-ragu"
Keberatan?" "Aku......aku........."
"Kau keberatan bukan"! Ya"! si imam makin
galak sikapnya. "Keberatan berarti menentang
kemauan Sribaginda Cong Ceng! Dalam sisa
umurmu, jangan harap kau lepas dari kejaran
perajurit-perajurit gaib Kerajaan Beng! Baik perajurit-perajurit yang masih berujud manusia
hidup maupun perajurit-perajurit dari dunia
lain!" Kemelut Tahta Naga II/11 31 "Perajurit-perajurit dari dunia lain" itulah
yang membuat Toh Hun bergidik. Tapi,
bergabung dengan Pek-lian-kau dalam perjuangan merobohkan pemerintah Marichu
bukanlah keputusan yang bisa diambil dalam
sedetik dua detik. Ia bungkam kebingungan.
"Masih ragu-ragu" Oh, aku tahu, barangkali
kau tidak percaya adanya perajurit-perajurit
Kerajaan Beng dari dunia lain ya?" gertak si
imam. "Baiklah. Sekarang akan segera kau lihat
mereka!" Sambil berkata demikian, si imam sudah
menghampiri mejanya dan mengambil selembar Hu. Tetapi Toh Hun buru-buru
berteriak mencegah, "Jangan! Jangan!"
"Ooo.... kau takut melihat perajurit perajurit
gaib yang menjadi kawan-kawan seperjuanganku" Baik, baik. Bagaimana kalau
kupanggilkan Ni Keng Giau saja" Barangkali dia
kenal baik denganmu."
"Jangan! Jangan! Aku percaya!"
Si imam meletakkan kembali kertas Hu itu,
lalu berkata dengan bengis, "Kalau begitu, kau
Kemelut Tahta Naga II/11 32 tidak bisa ingkar lagi bahwa mulai detik ini kau
adalah abdi Kerajaan Beng! Jangan harap bisa
melepaskan diri, sebab kau sudah dipilih sendiri
oleh Sribaginda!" Toh Hun mengeluh dalam hati. Alangkah
bangganya bisa menjadi "orang pilihan
Sribaginda" asalkan "Sribagindanya" masih
hidup, tetapi ini "Sribaginda" nya sudah mati
hampir seratus tahun yang lalu. Tapi ia memang
tersudut, setidaknya untuk sementara waktu. Ia
cuma berjanji diam-diam daiam hati,
secepatnya akan segera dicarinya hwe-shio
yang lihai mengusir setan, untuk membebaskan
diri dari kejaran "perajurit-perajurit gaib".
Sementara itu si imam terus berkata
menekan, "Kau akan tetap di dalam istana,
namun harus bekerja bagi kepentingan kami.
Harus! Sebulan sekali akan ada orang kami yang
menghubungimu, menerima kabar-kabat penting dari dirimu, sekaligus memberi
perintah-perinrah untukmu. Jangan coba-coba
berkhianat, atau kutenung kau dari jarak jauh
sehingga kau mampus karena isi perutmu
Kemelut Tahta Naga II/11 33 digerogoti ulat! Aku bisa melakukannya dengan
gampang, sebab aku sudah punya catatan hari
kelahiranmu, shiomu, bahkan bintang pelindungmu. Paham?"
"Paham. Paham."
"Baik pergilah,jangan bilang siapa-siapa!"
Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Toh
Hun tinggalkan kuil lumutan di puncak bukit itu.
Mula-mula langkahnya masih tegap, sebab malu
juga ia kalau sampai lari terbirit-birit. Tiba di
luar kuil, entah benar-benar atau hanya
perasaannya sendiri, ia merasa ada orang yang
mengikutinya di kegelapan Tapi ketika ia
menoleh, tidak ada apa-apa.
la mempercapat langkah, tapi suara langkah
yang mengikutinya itu terus terasa di
belakangnya. Maka larilah ia secepat-cepatnya
ke arah kota Hang-ciu. Menerjang semak-semak,
tak peduli sering jungkir-balik sehingga babak
belur, namun ia terus lari. Sambil kencing di
celana. Tiba di pintu kota yang tertutup karena
masih malam, ia memukul-mukul pintu dan
Kemelut Tahta Naga II/11 34 berteriak-teriak minta dibukai. Namun sebelum
pintu dibukakan, ia sudah roboh pingsan di
depan pintu, karena takut campur lelah.
. Ketika ia sadar kembali, ia sudah ada di atas
pembaringan di sebuah ruangan di gedung
Cong-peng-hu Ketika matanya terbuka, dilihatnya langit-langit ruangan, dan ketika
sedikit memiringkan kepalanya, dilihatnya
wajah Liong Ke Toh tersenyum-senyum
didampingi seorang tabib.
"Bagaimana" Sudah merasa lebih baik?"
"Ya__" sahut Toh Hun lirih.
Liong Ke Toh tersenyum dan menepuk
pundak Toh Hun satu kali. Katanya, "Cepatlah
sembuh, sebab sekarang kaulah satu-satunya
orang yang bisa kupercaya untuk selalu
berhubungan dengan mereka. Sebab mulai
sekarang kau sudah saling mengenal dengan
mereka."

Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toh Hun terkesiap, lalu pingsan kembali.
* * * Kemelut Tahta Naga II/11 35 Cerah fajar menyiram seluruh kota Hangciu. Namun kabut tipis sisa malam masih belum
lenyap sepenuhnya, dan seolah menyaring
cahaya keemasan yang sebenarnya berlimpah
bagi kehidupan. Maka muncullah garis-garis
emas tebal dan tipis dari sela-sela kabut itu.
Jalanan-jalanan di kota mulai sibuk,
terutama oleh para pedagang kecil yang harus
bergegas memulai kerja, agar rejekinya tidak
keburu direbut orang lain.
Pak Kiong Liong pun melangkah bergegas,
namun bukan untuk rebutan rejeki. la
memasuki cabang jalan yang menuju ke rumah
penginapan yang disewanya, wajahnya nampak
keruh. Begitu sampai di penginapan lalu masuk
ke kamarnya, dijumpainya In Te yang wajahnya
sama kisruhnya dengan pamannya, dan
langsung menyambut dengan pertanyaan,
"Bagaimana?" 'Tidak ketemu. Anak-anak bengal itu pasti
sudah meninggalkan kota ini sejak tadi malam.
Ah, benar-benar orang-orang muda yang cuma
Kemelut Tahta Naga II/11 36 menuruti emosinya saja tanpa menyadari
bahayanya. " In Te semakin gelisah. Baginya Tong San
Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng
sudah dirasakannya seperti keponakankeponakannya sendiri. Kini ketiga orang muda
itu pergi tanpa pamit, dan ini sangat
mencemaskan Pak Kiong Liong maupun ln Te.
"Seharusnya mereka tidak perlu ikut
mendengar laporan tentang munculnya kembali
Kakanda In Tong. Begitu mendengar, mereka
tak dapat menahan diri lagi dan langsung
minggat tanpa pamit untuk mengejar Kakanda
In Tong. Mereka khawatir, kalau harus
berpamitan akan kita cegah. Benar-benar tak
punya perhitungan mereka itu."
"Sama gegabahnya ketika mereka nekat
mencoba membunuh Ni Keng Giau. padahal saat
itu Ni Keng Giau sedang dikawal orang-orang
macam Sat Siau Kun, Suma Hek-long dan
sebagainya." "Sekarang bagaimana, paman?"
Kemelut Tahta Naga II/11 37 'Terpaksa harus kita tinggalkan kota ini
untuk menyusul mereka. Hari ini juga,
mumpung masih pagi" Kemudan Pak Kiong Liong dan In Te mulat
berbenah untuk pergi Namun, baru saja mereka selesai
mengikatkan bungkusan bekal mereka di
Pinggangg, di luar penginapan itu mendadak
terdengar derap kaki banyak orang, disertai
teriakan. "Pak Kiong Liong dan In Te!
Menyerahlah, kalian sudah dikepung!"
Pak Kiong Liong sejenak mengerutkan
alisnya, namun lalau tersenyum sambi! berkata,
"Wah, rupanya Kang Bun-hou sudah menyiapkan sebuah upacara meriah untuk
mengantar Keberangkatau kita."
Tetapi ln Te nampak lebih tegang, tidak
setenang pamannya itu. Pamannya masih bisa
senyum-senyum menghadapi situasi macam itu,
karena ilmu silatnya memang amat tinggi,
namun bagaimana dengan dirinya sendiri yang
berilmu silat pas-pasan saja" Memang, sejak ia
kabur dari Jing-hai dan bersembunyi ditempat
Kemelut Tahta Naga II/11 38 orang-orang Hwe-liong-pang, In Te juga sudah
mencoba mematangkan ilmu silatnya namun
apa yang bisa dicapai hanya dalam beberapa
bulan" Pak Kiong Liong rupanya memahami
pikiran In Te, dan ia membesarkan hannya.
"Jangan berjauhan denganku. Kiia akan main
kucing-kucingan dengan mereka."
Setelah itu, ia mematahkan sebatang gagang
sapu panjang sepanjang satu meter untuk
digunakan sebagai senjata. Sebenarnya Pak
Kiong Liong membawa pedang juga, namun
setiap kali menghadapi tentara kerajaan dalam
keadaan yang dianggapnya tidak begitu gawat.
Pak Kiong Liong selalu tidak tega menggunakan
pedang untuk bersungguh-sungguh membunuh
mereka. Pak Kiong Liong adalah bekas panglima
yang mencintai perajurit-perajurit seperti ayah
mencintai anak-anaknya. Dan perasaan itu tak
gampang hilang, biarpun sudah bertahun-tahun
menjadi buronan, tak jarang diburu oleh "anakanak"nya sendiri.
Kemelut Tahta Naga II/11 39 Sedangkan In Te akan tetap menggunakan
pedangnya. Ilmunya belum cukup tinggi untuk
berbelas-kasihan kepada perajurit-perajurit
yang akan menangkapnya. Sementara itu, telah terdengar suara pintu
depan ditendang, lalu derap langkah para
perajurit membanjir masuk halnman penginapan, Pak Kiong Liong menarik tangan In
untuk melompat keluar dari jendela, hendak
menyeberangi halaman belakang. Tetapi
bersamaan dengan itu, belasan perajurii
bersenjta bedil-sumbu telah muncul dari
halaman samping, langsung mengambil posisi
membidik sambil berteriak, "Berhenti!"
Kerapian gerak para perajurit itu tidak lepas
dari hasil latihan oleh Ni Keng Giau selama ini.
Sayang juga sang pelatih sendiri sudah tak bisa
menyaksikan hasil latihannya dipraktekkan,
karena sudah meninggal dalam kekecewaannya
yang amat mendalam. Tanpa peduli gertakan itu. Pak Kiong Liong
melesat sambil menyeret In Te. Namun sambil
memperhitungkan bahwa dua detik lagi bedilKemelut Tahta Naga II/11
40 bedil itu akan meledak setelah sumbunya
disulut. Benar, lepat pada saat moncongmoncong bedil itu menyemburkan peluru, se
kuat tenaga Pak Kiong Liong mengenjotkan
kakinya untuk melayang naik keatas genteng
sambil menarik In Te. Peluru-peluru hanya
berdesing di bawah kaki mereka, terus
menghantam dinding belakang.
Karena tembakan pertama luput, para
perajurit jadi sibuk mengisi kembali bedil-bedil
mereka yang panjang-panjang. Mengisi bubuk
peledak lewat moncongnya. memadat kannya
dengan sepotong kawat panjang berujung bulat.
memasang sumbunya lagi. Mengisikan pelurunya yang berbentuk kelereng besi. dan
semua itu memakan waktu. Tidak heran, ketika
senapan siap kembali orang-orang yang mau
dtembak sudah lenyap. Pak Kiong Liong dan ln Te bagaikan terbang
di atas atap. Namun penggerebekan itu
dipimpin sendiri oleh Kang Bun-hou. dibantu
beberapa pengawal kepercayaan Liong Ke Toh
yang harus mengawasi apakah benar Kang BunKemelut Tahta Naga II/11
41 hou bersungguhsungguh melakukan pekerjaannya atau tidak. Untuk dilaporkan ke
Pak-khia Kang Bun-hou. si panglima Hang-ciu sudah
membuat perhitungan ke arah mana saja kirakira Pak Kiong-liong dan In Te akan melarikan
diri. tempat-tempat yang diperhitungkan itupun
sudah dijaga. Karena itulah kedua buronan kelas kakap
itu tidak dapat begitu saja dapat lepas dari
pemburu-pemburunya. Belum lama Pak Kion Liong dan In Te kabur
lewat atap, tiba-tiba dari balik bumbungan atap
didepannya muncul sederetan moncong
senapan. Ketika pelatuk-pelatuk ditarik,
kembali butir-butir besi panas itu berdesingan.
untung Pak Kiong Liong masih sempat menarik
In Te secepatnya merosot turun dari atas, dan
tiba disebuah lorong sempit. Selamat, untuk
sementara. Tapi dimulut lorong, bahaya yang sama
sudah menanti pula. Pak Kiong Liong mengeluh
dalam hati. seandainya tidak dibebani
Kemelut Tahta Naga II/11 42 keselamatan In Te. tentu sepak terjangnya akan
lebih leluasa. Tetapi keselamatan In Te mau
tidak mau adalah tanggungannya.
Kesempatan berpikir hanya satu detik
kurang, dan ia tiba-tiba melemparkan tubuh ln
Te kebalik dinding, dan sebelum para perajurit
sempat berganti kejapan mata, tubuh Pak Kiong
Liong sendiri telah melompat bagaikan harimau
menerjang kawanan perajurit dengan gerak
melengkung ke atas. Para perajurit tak sempat membidik lagi
dan langsung menembak saja, namun Pak Kiong
Liong meluncur datar di atas lintasan peluru.
Ketika tongkat bekas gagang sapunya
diayunkan dengan perkasa, maka perajuritperajurit yang menyumbat lorong pun
bertumbangan babak belur.
Perajurit-perajurit lain berdatangan, tapi
Pak Kiong Liong menerjang rapat tanpa
memberi kesempatan mereka menggunakan
bedil. Terlibatlah ia dalam perkelahian sengit
dengan para perajurit yang memenuhi jalanan
di sekitar penginapan itu.
Kemelut Tahta Naga II/11 43 Kang Bun-hou tahu betapa tangguh buronan
kali ini, karena itu jumlah pasukan yang
ditugaskannya kali inipum tidak tanggungtanggung. Pak Kiong liong sampai tidak dapat
memperkirakan berapa banyak perajurit yang
harus dihadapinya. Pak Kiong Liong bertempur sambil berlarilari di jalanan, terus diburu para perajurit.
Sepanjang jalan, entah berapa banyak pula yang
dirobohkan oleh tongkat bekas gagang sapunya.
Mereka yang bersenjata jarak jauh seperti bedil
atau panah, tak diberinya kesempatan untuk
beraksi, sebab Pak Kiong Liong terus menyusup
dekat di antara mereka, tidak membiarkan
mereka mengambil jarak yang agak panjang.
Bekas jenderal tua itu benar-benar
menjadikan dirinya seperti seekor naga di
lautan. Sebentar menyelam, sebentar muncul
untuk mengamuk. Tadi ia bilang kepada In Te
akan main kucing-kucingan, ternyata lebih tepat
disebut "naga-nagaan".
Tapi, seperti kekang yang dipasang olehnya
sendiri, Pak Kiong Liong berusaha tidak
Kemelut Tahta Naga II/11 44 membunuh seorangpun dari perajurit-perajurit
Hang-ciu itu. Ilmunya yang amat tinggi
memungkinkan pengendalian diri macam itu.
Maka, biarpun korbannya berceceran di tiap
sudut dan lorong, tidak ada di antara mereka
yang mati. Kalau cuma benjol-benjol, keseleo
atau pingsan, semuanya kebagian. Para
perajurit agaknya harus merasa "beruntung"
mendapat lawan seperti ini.
Tetapi juga penasaran, masa mereka yang
berjumlah ribuan itu tak bisa berkutik terhadap
seorang kakek ubanan, yang mestinya tinggal
menikmati nyamikan sambil duduk di kursi
goyang" Kalau dikejar lenyap, tahu-tahu muncul
lagi di tempat lain untuk beraksi. Dicegat sana,
muncul lagi di sini. Dijepit di tempat sempit,
mengamuk membubarkan pengurungnya sebelum melenyapkan diri.
Pak Kiong Liong sendiri kalau mau bisa
segera melarikan diri. Tapi sengaja ia berputarputar untuk mengalihkan perhatian para


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perajurit dari In Te, agar In Te sendiri menemui
hambatan sekecil-kecilnya untuk meloloskan
Kemelut Tahta Naga II/11 45 diri. Itulah sebabnya Pak Kiong Liong tidak
cepat-cepat menghilang, melainkan seperti
sengaja mengajak para perajurit main petakumpet.
Kang Bun-hou yang memimpin sendiri
operasi itu, merasa amat mendongkol, merasa
dipermainkan oleh Pak Kiong Liong. Namun
dalam hatinya ia kagum juga melihat ilmu silat
maupun taktik jempolan bekas panglima jaman
Kaisar Khong Hi itu. Dia juga sadar kalau Pak
Kiong Liong belum bersungguh-sungguh
mengeluarkan semua ilmu silatnya, masih
seperti seorang kakek yang bercanda dengan
cucu-cucunya yang nakal. "Kalau dia benar-benar mengeluarkan
ilmunya, kabarnya tangannya bisa mengeluarkan hawa amat panas yang
menghanguskan," pikir Kang Bun-hou. " dan
kabarnya pula yang bisa menandinginya di
seluruh negeri tinggal satu orang, Kim Seng Pa
masih ada Pun-bu Hwe-shio dari Siauw-lim-si
dan Tong lam Hou dari Hwe-liong-pang, namun
kedua tokoh ini sudah almarhum sekarang."
Kemelut Tahta Naga II/11 46 Meskipun begitu, Kang Bun-hou tak berani
kelihataan kurang bersungguh-sungguh dalam
usaha menangkap Pak Kiong Liong. Yang
bernafsu menangkap Pak Kiong Liong
sebenarnya adalah Liong Ke Toh yang masih di
Hang-ciu, namun Kang Bun-hou yang disuruh.
Dan Kang Bun-hou tidak berani menolak
permintaan Pamanda Kaisar itu.
Tengah "petak-umpet" itu berlangsung seru,
mendadak terlihat ada kobaran api di kejauhan.
"Tangsi utara terbakar!" teriak beberapa
perajurit yang berlari-lari datang dari arah
kebakaran. Sebagian perajurit yang harus menangkap
Pak Kiong Liong terpaksa ditarik untuk
membantu memadamkan api. Namun, beberapa saat kemudian, datang
lagi laporan-laporan kepada Kang Bun-hou dari
beberapa jurusan. "Tangsi selatan terbakar!"
"Tangsi timur terbakar!"
"Tangsi barat terbakar!"
"Gudang perbekalan terbakar!"
Kemelut Tahta Naga II/11 47 Kang Bun-hou kaget mendengarnya
kebakaran yang terjadi berturut-turut di
tempat-tempat penting itu pasti bukan suatu
kebetulan belaka, tapi kesengajaan. Maka
sibuklah ia membagi pasukannya kesana
kemari. Ada yang tetap berusaha menangkap
Pak Kiong Liong, ada yang harus memadamkan
api di berbagai arah, bahkan ada yang harus
memperkuat penjagaan di Cong-peng-hu, di
mana Pamanda Kaisar menginap. Kalau sampai
Liong Ke Toh terluka biarpun seujung rambut,
hebatlah akibatnya bagi Kang Bun-hou.
Di pecah-pecahnya pasukan membuat Pak
Kiong Liong merasa mengendornya tekanan,
dan ia siap untuk menghentikan permaianan
itu. Tetapi ia heran, siapa yang telah
melepaskan api yang seolah-olah jadi
menolongnya secara tidak langsung itu"
Cepat ia menerjang, menerobos kepungan
para perajurit yang menipis jumlahnya. Dalam
sekejap Pak Kiong Liong berhasil lolos, lalu
melompat ke atap rumah dan melesat bagaikan
seekor burung, ke arah luar kota Hang-ciu.
Kemelut Tahta Naga II/11 48 Para perajurit bersenjata bedil dan panah
berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya,
tapi hasilnya hanyalah menimbulkan kerusakan
lebih hebat pada atap rumah-rumah penduduk.
Pak Kiong Liong sendiri melesat bagaikan
anak panah dan semakin menjauh. Namun
mendadak ia merasa di sampingnya ada orang
lain yang berlari sama kencangnya dengan
dirinya. Pak Kiong Liong terkejut, mengira
seorang jagoan tangguh dari pihak musuh telah
mengejar nya. Tetapi orang itu tidak menyerangnya, cuma
bergerak menjajarinya, seolah mengajak Pak
Kiong Liong berlomba dalam ilmu meringankan
tubuh saja. Dan alangkah herannya Pak Kiong
Liong merasakan betapa orang itu tidak
ketinggalan sejengkalpun dari dirinya, menanda
kan ketinggian ilmunya. Selama ini, Pak Kiong Liong tak lepas dari
rasa bangga, terpengaruh oleh sanjungan kaum
persilatan yang menyebut hanya ada empat
tokoh di lapisan tertinggi dunia persilatan di
Kemelut Tahta Naga II/11 49 jaman itu. Pak Kiong Liong sendiri, Kim Seng
Pa,Tong Lam Hou, dan Pun-bu Hwe-shio.
Karena Tong Lam Hou dan Pun-bun Hweshio sudah meninggal, maka Pak Kiong Liong
merasa tinggal dirinya dan Kim Seng Pa sebagai
tokoh puncak dunia persilatan. Bahkan Kam-hui
To-jin dari Bu-tong-pai, rasanya juga masih
selapis lebih rendah dibawah mereka berdua.
Tiba-tiba saja kini di Hang-ciu ia ketemu
seorang yang mampu menandinginya, setidaktidaknya dalam ilmu meringankan tubuh. Lebih
mencengangkan lagi ketika melihat tampang
dan dandanan orang itu sama sekali tidak
istimewa. Bajunya model kampung, tubuhnya kurus,
warna rambutnya memberi petunjuk batiwa
usianya tidak lebih setengah abad, satu generasi
di bawah Pak Kiong Liong. Sayang mukanya
tidak terlihat karena ditutupi secarik kain
kedok. Sambil tetap melayang cepat tanpa
mengurangi tenaganya, orang berkedok itu
malah masih sempat berkata, "Lo-ciang-pwe
Kemelut Tahta Naga II/11 50 (panggilan hormat kepada angkatan yang lebih
tua dalam dunia persilatan), tenanglah,
Pangeran In Te sudah aman di luar kota!"
"Siapakah tuan?" tanya Pak Kiong Liong,
sementara dalam hatinya timbul setitik rasa
percaya terhadap orang berkedok yang belum
dikenalnya itu. "Nanti setelah tiba di luar kota, akan
kuperkenalkan diriku kepada Lo-cian-pwe!"
sahut si kedok. Pak Kiong Liong dan orang berkedok itu
kemudian lebih terlibat dalam "lomba lari" yang
membuat takjub para perajurit yang melihatnya
dari bawah. Para perajurit seolah melihat dua
ekor burung merpati jempolan yang sedang
diadu cepat terbangnya. Sudah lama Pak Kiong Liong merasa
"kesepian" dalam soal silat, kesepian sendiri di
atas tanpa "teman bermain" yang memadai.
Tetapi hari itu tiba-tiba gairahnya timbul,
seperti anak-anak mendapatkan mainan baru.
Karena itu, sambil tertawa ia berkata, "Sobat,
hebat sekali ilmu meringankan tubuhmu.
Kemelut Tahta Naga II/11 51 Bagaimana kalau kita tidak usah terburu keluar
kota, tapi melihat-lihat kota Hang-ciu dulu?"
Selagi mengucapkan kalimat yang tidak
panjang itu, sudah belasan atap rumah yang
tinggi rendahnya tidak sama telah mereka
lintasi bagaikan kilat. Orang berkedok itu menangkap ada nya
tantangan dalam ajakan itu. "Melihat-lihat kota
Hang-ciu" yang berarti memperbandingkan
ilmu meringankan tubuh. "Penyakit" kaum
persilatan yang tak bisa disembuhkan ialah
keinginan membandingkan ilmunya sendiri
dengan ilmu orang lain. Orang berkedok itu ter
tawa sambil menjawab, "Sungguh suatu
kehormatan bagiku, bersama-sama menikmati
kota Hang-ciu dengan Lo-cian-pwe. Dengan
senang hati, Lo-cian-pwe!"
Mulailah "tamasya dalam kota" yang luar
biasa itu. Keduanya seolah mampu merubah diri
menjadi angin yang berhembus lewat begitu
saja di atas atap-atap rumah. Berbelok selicin
belut, melambung, melejit, tidak jarang
memanjat pagoda-pagoda yang tinggi untuk
Kemelut Tahta Naga II/11 52 terus meluncur dengan gerak-gerak akrobatik
menakjubkan. Para perajurit yang mestinya mengejar, kini
malah jadi penonton yang asyik. Mereka
sekarang "tahu diri" tak mungkin berhasil
menangkap orang-orang selihai itu, maka buat
apa lagi susah-susah" Lebih enak menonton,
mengomentari, menjagoi dan bertaruh. Kota
Hang-ciu mendapat hiburan gratis hari itu.
Perajurit-perajurit yang disuruh memadamkan api pun jadi lengah dari
tugasnya. Ember-ember diletakkan dulu, dan
mereka tidak mau kehilangan kesempatan
untuk menonton pertandingan luar biasa itu.
Pak Kiong Liong dan orang berkedok itu
dalam waktu singkat berhasil mengelilingi kota
Hang-ciu satu putaran, dalam keadaan tetap
sejajar. Tetapi diam-diam Pak Kiong Liong
harus mengakui kalah dalam hati. Dalam lari itu,
dia berada di lingkaran yang lebih dalam dari
lawannya, kalau dihitung-hitung sebenarnya
menempuh jarak yang lebih pendek dan
seharusnya dapat meninggalkan lawannya. Tapi
Kemelut Tahta Naga II/11 53 toh cuma bisa sejajar, itu berarti lawannya lebih
unggul. Alangkah herannya Pak Kiong Liong
menjumpai kenyataan itu, juga merasa malu
sendiri. Bertahun-tahun ia merasa "kesepian" di
puncak persilatan karena merasa tak ada
tandingannya. Dan kini, seorang yang satu
generasi dibawahnya telah muncul dengan ilmu
yang bukan saja menyamai, bahkan melampauinya. Namun sebagai seorang berdada lapang, tak
setitikpun muncul rasa dengki di hatinya, malah
ada perasaan gembira. "Memang beginilah
seharusnya. Kalau tiap generasi dunia
persilatan bisa lebih baik dari generasi
sebelumnya, barulah bisa ilmu silat berkembang kearah kejayaannya. Tapi kebanyakan tokoh-tokoh tua tidak rela
digantikan yang muda-muda, takut bergeser,
lalu malah menghambat perkembangan orangorang muda dengan cara yang kadang-kadang
kekanak-kanakan." Kemelut Tahta Naga II/11 54 Tak terasa, sampailah kedua pelomba itu ke
tembok kota. "Bagaimana kalau kita keluar kota sekarang,
Lo-cian-pwe?" "Baik." Begitu Pak Kiong Liong menjawab setuju,
tubuh orang berkedok itu tiba-tiba melambung
tinggi keatas tembok kota. Karena tembok itu
terlalu tinggi untuk dilompati sekaligus, di
tengah luncurannya, orang berkedok itu
membuat gerak berputar sehingga mendapat


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tambahan tenaga lontaran ke atas. Maka seperti
tanpa bobot saja, orang itupun mendarat ringan
di atas dinding kota. Sedangkan Pak Kiong Liong terus meluncur .
ke depan, seolah hendak menabarak tembok
kota, namun setelah dekat dia melompat dan
melangkahlah ia di permukaan tembok kota
yang tegak lurus itu seolah berjalan di lantai
datar saja. Gerakan macam ini sebenarnya terhitung
biasa dan gampang dipahami teorinya. Asalkan
ada ancang-ancang yang cukup, hampir semua
Kemelut Tahta Naga II/11 55 pesilat bisa berjalan beberapa langkah di
permukaan tembok yang tegak lurus dengan
gerakan cepat. Tapi kalau melihat yang dilakukan Pak
Kiong Liong, penganut teori itu mungkin akan
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bukan
saja Pak Kiong Liong sanggup melangkah
sampai ke puncak yang jaraknya ada puluhan
langkah, tapi Pak Kiong Liong juga
melakukannya dengan langkah agak perlahan!
Itu artinya ancang-ancang tadi cuma "basa-basi"
belaka, kini dia melangkah naik tanpa
sepenuhnya mengandalkan lari acang-ancang
lagi. Para perajurit yang menontonnya tiba-tiba
bersorak menggemuruh atau bertepuk tangan.
Sebagian lagi cuma melongo sampai mulutnya
kemasukan lalat. Sementara kedua pelomba itu sudah
menghilang di bagian luar dinding kota Hangciu.
Ketika sudah belasan li meninggalkan
dinding kota, Pak Kiong Liong dan orang
Kemelut Tahta Naga II/11 56 berkedok itu melihat In Pe berdiri di sebuah
tempat belukar yang sepi. Maka Pak Kiong
Liong dan orang berkedok itupun melambatkan
lari mereka dan akhirnya berhenti.
Sambil mengusap keringatnya, Pak Kiong
Liong berkata dengan agak terengah, "Tunastunas baru telah muncul untuk menggantikan
Delapan Sukma Merah 2 Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry Tiga Naga Sakti 5
^