Pencarian

Kemelut Tahta Naga Ii 5

Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p Bagian 5


gadis secantik ini, mestinya tadi ia sedikit
berdandan merapikan diri.
"Maaf, sobat, kami mau numpang tanya,"
kata salah satu pemuda kembar kepada Wan Lui
sambil membungkuk hormat. Biarpun kembar,
yang menanyai Wan Lui itu nampak lebih sabar,
lebih tenang dari saudaranya yang kelihatan
agak tidak sabaran dan selalu gelisah itu. "Sobat,
apakah tadi melihat rombongan orang-orang
berkuda berseragam satin ungu, mengawal
seorang laki-laki?" Kemelut Tahta Naga II/8 19 Tak pelak lagi, yang ditanyakan itu adalah
rombongannya Ni Keng Giau. Wan Lui yang
agak heran, ada hubungan apa orang-orang
muda ini dengan Ni Keng Giau si "bintang yang
sedang jatuh" itu" Namun dijawabnya juga,
"Betul. Mereka ke arah tenggara."
"Terima kasih!" si penanya memberi hormat,
lalu memutar kudanya. Sesaat kemudian, ketiga
orang muda itu sudah berderap menjauh
dengan meninggalkan debu yang mengepul
tinggi. Setelah ketiga orang itu jauh, In Kiu Liong
melompat keluar dari balik semak-semak di
pinggir jalan. Wajahnya nampak agak tegang
menatap ketiga penunggang kuda yang menjauh
itu, namun ketika menghadapi Wan Lui, ia
kembali mencoba bersikap wajar.
"Toa-ko, kenapa tadi kau bersembunyi?"
tanya Wan Lui. "Bersembunyi" Ah, tidak. Aku tadi cuma
mendadak ingin kencing, lalu pergi ke balik
semak-semak itu," In Kiu Liong berdalih sambil
tertawa-tawa. Kemelut Tahta Naga II/8 20 Namun Wan Lui tak bisa menelan jawaban
itu begitu saja. "Apakah toa-ko kenal ketiga
penunggang tadi?" "Kelihatannya cuma siswa-siswa sebuah
perguruan silat yang sedang keluar untuk
mencari pengalaman. Apa anehnya ?"
"Mereka mengejar rombongan Ni Keng Giau."
"Mm...." cuma begitu jawaban In Kiu Liong,
kelihatan benar-benar enggan membicarakan
ketiga orang muda tadi. "Jadi Toa-ko tidak kenal mereka?"
"Tidak." "Eh, aku juga mau kencing sebentar," kata
Wan lui tiba-tiba. Diapun melompat turun dari kuda, lalu
melangkah ke balik semak-semak darimana In
Kiu Liong muncul tadi. Wan Lui benar-benar
buang air kecil di situ, namun sambil
memperhatikan tempat dibalik semak itu.
Ternyata tidak ada tanah yang basah seperti
habis dikencingi, kering semua. Itu artinya In
Kiu Liong telah berdusta.
Kemelut Tahta Naga II/8 21 "Kenapa soal sekecil ini saja harus
membohongi aku?" tanya Wan Lui sambil
membenahi celananya. "Jangan-jangan segala
hal yang dikatakannya kepadanya juga banyak
bohongnya?" Pergaulan beberapa hari dengan In Kiu
Liong, memang membuat Wan Lui semakin
tidak percaya, gerak-gerik In Kiu Liong terlalu
terselubung. Namun untuk sementara Wan Lui
merasa tidak ada salahnya bersama-sama
sebagai teman seperjalanan.
Merekapun melanjutkan perjalanan dengan
maksud semula, membuntuti Ni Keng Giau. In
Kiu Liong ingin melihat nasib Ni Keng Giau guna
meramalkan gejolak politik yang akan tiba.
Seperti para ahli nujum memeriksa jatuhnya
bilah-bilah bambu yang sudah dikopyok.
Ketika sore tiba, mereka tiba di sebuah desa
kecil. Sebuah tempat yang cuma terdiri dari satu
jalan lebar ditengah, dan deretan bangunan di
kiri kanannya. Di belakang deretan rumah tak
ada rumah lagi, cuma lereng pegunungan. Tapi
tempat kecil itu komplit juga dengan beberapa
Kemelut Tahta Naga II/8 22 rumah penginapan, warung makan dan
beberapa toko kecil yang terutama menjual
perlengkapan para musafir.
Ketika Wan Liu bertanya kepada seseorang,
ia mendapat keterangan bahwa rombongan Ni
Keng Giau juga berhenti di situ, memborong
salah satu penginapan gaya desa. Maka ln Kiu
Liong dan Wan Lui juga memutuskan untuk
menginap semalam di tempat itu.
"Bagaimana kalau kita ambil penginapan
yang berseberangan dengan tempat rombongan
Ni Keng Giau, supaya lebih leluasa mengawasi
gerak-gerik mereka"'" usul Wan Lui sambil
menuntun kudanya memasuki desa.
"Baik," sahut ln Kiu Liong tanpa pikir
panjang. Tapi setelah mereka tiba di depan
penginapan yang dimaksud, niat ln Kiu Liong
dibatalkan secara mendadak. Soalnya di bagian
depan dari penginapan yang dimaksud, In Kiu
Liong melihat tiga ekor kuda yang ditambatkan
di situ dikenalinya sebagai kuda-kuda
tunggangan tiga pemuda yang tadi bertemu di
Kemelut Tahta Naga II/8 23 jalanan. Rupanya ketiga pemuda itupun
mengambil tempat tepat di sebarang
penginapan Ni Keng Giau dan rombongannya.
Karena itu, ketika Wan Lui hampir saja
berbelok masuk, In Kiu Liong men cengkeram
lengan Wan Lui sambil berdesis dengan nada
panik, "Tidak, Wan-heng.... jangan di sini!"
"Kenapa?" "Pokoknya tidak di sini!" hanya itu yang
dikatakan ln Kiu Liong sambil buru-buru
menuntun kudanya menjauhi tempat itu.
Terpaksa Wan Lui harus mengikutinya, sebab ia
tidak mengantongi uang sepeserpun, dan semua
biaya perjalanan selama ini ditanggung ln Kiu
Liong. Gerak-gerik ln Kiu Liong itu juga
mengherankannya. Di satu saat bersikap seperti
jagoan yang gagah berani dan serba dingin
menghadapi sesuatu, namun di lain saat mirip
sekali maling amatiran yang baru pertama kali
nyolong. Serba gugup dan ketakutan.
Mereka akhirnya mendapat penginapan yang
tidak bcrseberangan, tapi bersebelahan tepat
dengan tempat penginapan Ni Keng Giau.
Kemelut Tahta Naga II/8 24 Tempat itu penuh dengan manusia-manusia
seperti pedagang keliling, pesilat tanpa kelas,
pengantar barang dan sebagainya.
"Toa-ko, tadi toa-ko bilang tidak kenal orangorang muda penunggang kuda tadi, namun
kulihat sebenarnya toa-ko sudah kenal mereka,"
dasar bocah gunung, cara Wan Lui
mengutarakan keheranannya juga langsung
saja, tidak berbelit-belit.
Mereka berdua tengah bersantap malam di
dalam kamar mereka yang a-da di bagian
belakang. In Kiu Liong mengerutkan alisnya,
"Bagaimana kau sampai kepada pikiran sejauh
itu, Wan-heng?" "Kusimpulkan dari sikap Toa-ko sendiri. Toako seperti enggan berpapasan dengan mereka,
selalu menghindar. Kalau Toa-ko benar-benar
tidak kenal mereka, kenapa bersikap
demikian?" Wajah In Kiu Liong kelihatan gusar. Sama
gusarnya dengan wajah seorang ayah yang
kolot ketika mendengar pertanyaan anaknya
Kemelut Tahta Naga II/8 25 yang polos "darimana datangnya adik?"
Jawabnya kepada Wan Lui, "Itu urusan yang
tidak ada sangkut pautnya denganmu, Wanheng."
Wan Lui menarik napas dan berpikir. "Begitu
bersemangat Toa-ko membuntuti Ni Keng Giau
untuk melihat nasib akhirnya. Ini pasti bukan
dorongan rasa ingin rahu biasa, pasti ada tujuan
lain yang dia anggap begitu penting. Namun dia
tak pernah mau berterus terang ke padaku."
Di desa kecil itu, begitu matahari tenggelam,
maka kesunyian menyerbu dan mengusai
suasana. Suara manusia cepat menghilang,
digantikan suara serangga-serangga malam dari
lereng bukit. Dari balik bukit bahkan terdengar
lolongan kawanan serigala bersahutan.
Sepasang kelopak mata Wan Lui hampir saja
direkat oleh kantuk, namun telinganya yang
tajam tiba-tiba menangkap bunyi halus yang
membuatnya terjaga kembali. Bunyi tepat di
atas kepalanya. Suara telapak kaki yang dengan
lembutnya menginjak genteng, begitu Kemelut Tahta Naga II/8 26 lembutnya, sehingga Wan Lui pun hampir tidak
mendengarnya. Perlahan-lahan Wan Lui bangkit dari
pembaringannya, memasukkan kedua kakinya
bergantian ke sepatunya, lalu hendak
melangkah keluar. Namun terdengar suara In
Kiu Liong dingin dari bawah selimutnya,
"Rasanya kita tidak perlu ikut campur dalam
urusan yang tidak bersangkut paut dengan kita,
Wan-heng." "Cuma sebagai penontonkan tidak ada
salahnya?" "Sebagai penonton pun sebaiknya jangan.
Sering seorang penonton pun tiba tiba terseret
masuk ke dalam persoalan itu, diluar
kemauannya sendiri. Tidur sajalah, Wan-heng."
Wan Lui jadi merasa tidak senang
mendengar suara bernada memerintah itu.
"Maaf, Toa-ko, seingatku aku belum pernah
berjanji untuk menjadi bawahanmu yang lurus
tunduk kepada perintahmu bukan?"
Habis berkata demikian, terus saja Wan Lui
melangkah keluar. Kemelut Tahta Naga II/8 27 Di luar, awan mendung membuat langit jadi
hitam sehitam-hitamnya, sehingga sekiranya
tak ada cahaya lampion di beberapa sudut,
suasana tentu akan seperti dalam peti mati yang
sudah ditutup. Begitu keluar dari kamar, Wan Lui tidak
langsung ke tengah-tengah halaman terbuka,
melainkan merapatkan diri kedinding, menyembunyikan kehadirannya di bawah
bayangan pinggiran atap. Di dengarnya suara
langkah lembut itu sekarang di atas genteng
bangunan sayap kanan, maka Wan Lui
menyusur tembok menuju ke kiri. Sampai
akhirnya pandangan matanya bebas menyeberangi halaman dan melihat ke atas
genteng bangunan sayap kanan.
Nampak tiga sosok bayangan sedang
mendekam di atas genteng, ketiga-tiganya
memakai ya-hing-ih (pakaian pengembara
malam) yang serba hitam dan ringkas, lengan
pedang-pedang tergendong di punggung
mereka. Yang membangkitkan minat Wan Lui
ialah ketika melihat salah satu bayangan itu
Kemelut Tahta Naga II/8 28 biarpun membelakangi dan tak nampak
wajahnya, namun ada sepasang kuncir
rambutnya. Wan Lui Langsung menduga kepada
gadis berkuncir dua yang ditemuinya siang tadi,
dan yang dua lagi pun mudah ditebak, tentunya
sepasang pemuda kembar itu.
"Mungkinkah mereka sedang mengintip


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rombongan Ni Keng Giau?" Wan Lui mendugaduga dalam hati.
Terlihat ketiga orang itu saling bicara dengan
bahasa isyarat tangan. Salah satu pemuda
kembar menuding-nuding ke penginapan
sebelah, namun saudara kembarnya nampak
menggoyang-goyang tangan untuk mencegah.
Tapi yang dicegah tidak menurut, ia malah
melingkarkan kuncir rambutnya ke leher agar
tidak mengganggu, lalu menghunus pedang nya.
Saudara kembarnya masih berusaha mencegah,
namun tidak digubris. Pemuda yang berangasan itu tidak sekedar
mengintai lagi, tapi muncul secara terangterangan, la melompat turun ke halaman
penginapan sambil ber teriak, "Ni Keng Giau,
Kemelut Tahta Naga II/8 29 pembunuh biadab! Terimalah pembalasan
kami!" Lalu dari halaman sebelah terdengar suara
pertempuran, senjata-senjata
yang berdencingan gencar. Si kembar yang satu lagi dan si kuncir dua
agaknya tidak tega membiarkan si kembar
pertama tadi menghadapi bahaya seorang diri,
maka merekapun terpaksa berlompatan masuk
ke halaman penginapan sebelah, sambil
menghunus pedang-pedang mereka.
Suara pertempuran di halaman penginapan
sebelah itupun jadi amat ramai.
Wan Lui mulai tertarik untuk melihat, tapi
lebih dulu ia memperhitungkan tempat.
Dilihatnya di bagian belakang bangunan sayap
kanan itu ada ranting-ranting pohon berdaun
rimbun yang menjulur dari luar dinding
halaman. Tempat itu bagus untuk mengintai.
Sesaat Wan Lui mengatur pernapasan dan
mengumpulkan semangat. Kakinya tiba-tiba
tertekuk sedikit lalu menjejak tanah, melakukan
gerakan Hui-niau-jip-lim (burung terbang ke
Kemelut Tahta Naga II/8 30 hutan). Tubuhnya seperti panah lepas dari
busurnya, membuat gerak lengkung di atas
halaman menyeberanginya, dalam satu detik
sudah mendarat ringan di belakang rimbunnya
dedaunan yang menaungi genteng itu.
Seandainya ada suara kakinya ketika
menyentuh genteng, tentu suara itu tak lebih
keras dari suara sehelai kertas yang jatuh ke
permukaan meja. Dari tempat itulah Wan Lui melihat di
halaman penginapan sebelah memang telah
terjadi pertempuran seru. Tiga orang muda tadi
menghadapi enam orang anggota Ci-ih Wi-kun.
Ni Keng Ciau juga nampak dipinggir arena,
berdiri dengan sikap anggun seolah-olah masih
dalam kedudukannya yang belum dilucuti.
Sementara ketiga orang muda itu masingmasing harus menghadapi dua orang lawan.
Ternyata mereka bertiga menunjukkan ketangguhan silat mereka biarpun lawan-lawan
mereka pun adalah anggota-anggota Ci-ih Wikun, orang-orang yang dipilih oleh Kaisar
sendiri. Kemelut Tahta Naga II/8 31 Ketika Wan Lui memperhatikan lebih cermat
ilmu silat orang-orang muda itu, nampak bahwa
aliran silat sepasang pemuda kembar itu
berbeda dengan aliran silat si gadis berkuncir
dua, padahal tadinya Wan Lui mengira mereka
bertiga adalah satu perguruan. Ternyata tidak.
Dan di antara pernuda kembar itu, biarpun
satu aliran ternyata masih bisa dibedakan gaya
tempur mereka. Yang satu terlihat kuat dan
ganas dalam menyerang, seperti gelombang
lautan yang didorong badai. Serangannya
bertubi-tubi dan mengalir tanpa putus,
memaksa kedua lawannya lebih memusatkan
diri untuk bertahan daripada menyerang.
"Kalau gaya bertempur ini bisa lama dan
tidak segera menghabiskan tenaga, tentunya
pemuda ini hebat juga diam-diam Wan Lui
menilai dalam hati. Sedangkan saudara kembarnya bertempur
dengan tenang, kokoh, nampak bertahan rapat
dan tidak tergesa-gesa, la nampak sekokoh
sebuah bukit batu, biarpun serangannya tidak
segencar saudara kembarnya.
Kemelut Tahta Naga II/8 32 "Meskipun mereka memainkan ilmu pedang
yang sama, namun Perikepribadian mereka
menghasilkan cara bertempur yang berbeda
pula," kaia Wan Lui dalam hati. "Memang, di
dunia ini mana ada dua manusia yang sama
presis, biarpun saudara kembar sekalipun"
Wajah dan perawakan boleh sama, tapi tak
mungkin tepat sama dalam kepribadian yang
terwujud dalam sepak terjang sehari-hari."
Lalu perhatian Wan Lui dialihkan kepada si
gadis berkuncir dua. Bukan cuma cantik,
ternyata caranya bertempur juga cukup
istimewa. Sarung pedang si gadis ternyata
adalah sebatang tongkat besi yang berlubang di
bagian tengahnya. Kalau pedang dicabut, maka
gadis itu berarti jadi memegang sepasang
senjata, namun ternyata malah sarung
pedanglah yang dimainkan lebih hebat dengan
tangan kanan, sedang pedangnya malah hanya
dimainkan dengan tangan kiri.
"Wah, jadi gadis itu sebenarnya lebih pintar
main tongkat," pikir Wan Lui kagum. "Dan
Kemelut Tahta Naga II/8 33 pedangnya malah cuma menjadi senjata nomor
dua." Keistimewaan lain, gadis itu bukan kuncirnya
saja yang dua, namun seakan juga punya dua
otak dan dua perasaan untuk mengendalikan
tangan kanan dan rangan kirinya secara
terpisah. Tangan kanan yang bertongkat itu
menyerang dengan hebat dan kuat, gerakgeraknya sederhana tapi berdaya gempur
hebar. Seperti seekor gajah yang mengamuk,
seolah bukit pun akan hancur diterjangnya.
Mengherankan juga bahwa seorang gadis yatig
nampak lembut bisa bertempur macam itu.
Sebaliknya lengan kirinya yang berpedang
itu bergerak seperti lengan seorang penari yang
gemulai, namun bukan berarti tidak berbahaya.
Ujung pedangnya bergerak ringan dan cepat,
gemerlapan seperti seribu lebah perak yang
serempak keluar dari sarangnya. Sulit
dibedakan mana yang lebih berbahaya antara
tangan kanan dan tangan kiri, sama sulitnya
menentukan mana yang lebih tidak disukai
Kemelut Tahta Naga II/8 34 antara diseruduk gajah marah atau dikeroyok
lebah beracun. "Hebat gadis ini," Wah Lui tambah kagum
dalam hati. Pertempuran meningkat makin seru, namun
kedua pihak masih sama-sama dalam
pergulatan merebut peluang. Betapapun
hebatnya ketiga orang muda itu, namun para
jagoan Ci-ih Wi-kun itu juga bukan jagoanjagoan kelas kambing. Di istana, merekalah
kelompok yang bertanggung jawab atas
keselamatan Kaisar Yong Ceng pribadi.
Salah satu pemuda kembar, yang berwatak
berangasan, harus menghadapi dua anggota Ciih Wi-kun yang sama-sama bersenjata pedang.
Kedua lawannya itu berkelahi dengan kompak,
saling mengisi, dan nampak jelas mereka juga se
perguruan. Yang satu bertubuh jangkung,
lengannya panjang, gerak pedangnya amat
cepat sehingga menimbulkan banyak bayangan
yang membingungkan, sulit membedakan mana
bayangan pedang palsu dan mana pedang yang
Kemelut Tahta Naga II/8 35 asli. Kalau salah membedakan, akibatnya bisa
gawat. Sedang jago Ci-ih Wi-kun yang satu lagi
bertubuh ramping, gerak langkahnya cepat
berputaran seolah tubuhnya tanpa bobot.
Serangan pedangnya dari segala penjuru.
Tidak mengherankan kalau kedua orang itu
begitu tangguh, karena merekalah Jian-ing-kiam
(Pedang Seribu Bayangan) Ho Se Liang, dan
Lam Thai Hong (Prahara Selatan) Au Yang Kong.
Orang pertama dan kedua dari Heng-san-samkiam (Tiga Pedang Heng-san).
Sementara si kembar yang lain juga
menghadapi dua lawan. Satunya adalah Huikiam-eng. (Pendekar Pedang Terbanp) Teng Jiu,
orang ketiga dalam Heng-san-kiam. Yang
satunya adalah Wan Yen Coan yang bersenjata
cambung Liong-jiu-pian (Cambung Moncong
Naga). Ketika Kim Seng Pa pulang dari Jing-hai dan
mengetahui bahwa Heng-san kiam ikut
berperan dalam menjatuhkan Ni Keng Giau
dengan cara menyelidiki dan melaporkan
Kemelut Tahta Naga II/8 36 gerak-gerik perwira-perwira pendukung Ni
Keng Giau sehingga hisa dihancurkan, maka
Kim seng pa amat memuji peranan ketiga orang
Heng-san-sam-kiam itu. Cuma satu yang Kirn
Seng Pa tidak ketahui bahwa Heng-san-samkiam berbuat demikian demi Pangeran In Te,
bukan demi Kim Seng Pa ataupun Liong Ke Toh.
Begitulah, dalam perjalanan ke Tan liu untuk
menghukum Ni Keng Giau, Kim Seng Pa
mengajak pula ketiga saudara seperguruan itu.
Kemudian mereka juga ditugaskan ikut ke
Hang-ciu untuk mengawal Ni Keng Giau sampai
di sana, sementara Kim Seng Pa sendiri pulang
ke Pak-khia tersama Toh Jiat liong, orang
terdekatnya. Menghadapi orang-orang muda yang
bermaksud membunuh Ni Keng Giau itu, dalam
hati Heng-san-sam kiam sebetulnya malah
mengharapkan agar orang-orang muda itu
benar-benar berhasil membunuh Ni Keng Giau.
Pagi pendukung pendukung Pangeran In Te itu,
lebih baik kalau Ni Keng Giau mati saja. Kalau
cuma dibuang atau diturunkan pangkatnya,
Kemelut Tahta Naga II/8 37 siapa tahu kelak bisa bangkit kembali dan pulih
kedudukannya " Namun dalam rombongan pengantar Ni Keng
Giau itu, Heng-san-sam-kiam sadar hanya
mereka bertigalah yang sejalan dan setujuan,
sedang yang lain bersikap lain pula.
Menghadapi pernuda yang beringas itu, Ho
Se Liang dan Au Yang Kong sebenarnya tidak
terdesak. Kalau maju satu persatu, mereka
memang bisa kalah, namun kalau bergabung
dua orang, untuk balik mendesakpun mereka
bisa. Namun mereka tidak melakukan itu.
Mereka justru pura-pura terdesak, mundurnya
sengaja ke arah Ni Keng Giau yang berdiridi
pinggir arena. Mereka bermaksud supaya
pemuda beringas itu mendapat kesempatan
untuk menyerang N i Keng Giau.
Demikianlah, di balik pertempuran yang
nampak bersungguh-sungguh itu ternyata juga
terserbunyi intrik berlatar belakang politik. Ho
Se Liang dan Au Yang Kong memang bermain
indah dan sedap dipandang, namun tidak ber
sungguh-sungguh. Lawannya yang tidak
Kemelut Tahta Naga II/8 38 menyadari hal itu, masih bertempur dengan
ganas. "Anjing-anjing Kaisar, kalian menghalangi
aku membunuh Ni Keng Giau, biar kubunuh
kalian lebih dulu!" bentak pemuda itu sambil
melancarkan gerak tipu Tai-peng-tian-ci
(Garuda Mementang Sayap). Pedangnya
terpecah menjadi dua jalur cahaya untuk
menikam Ho Se Liang dan Au Yang Kong.
Ho Se Liang pura-pura menangkis dan kalah
tenang sehingga terhuyung-huyung ke samping.
Sedang Au Yang Kong juga melompat
menghindari "melebihi keperluan" sehingga
seolah meninggalkan penjagaannya. Dengan
demikian, kedua saudara seperguruan itu
seolah "mempersilahkan" si pemuda beringas


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu membunuh Ni Keng Giau yang kini tak
terjaga lagi dan cukup dekat.
Memang benar pemuda berangasan itu lalu
menggunakan kesempatan untuk melompat
secepat kilat, menikamkan pedang ke arah dada
Ni Keng Giau. Tujuan utamanya memang
Kemelut Tahta Naga II/8 39 membunuh N i Keng Giau, bukan sekedar cari
perkara dengan "anjing-anjing Kaisar".
Ni Keng Giau terkejut, tak menyangka kalau
kedua "pelindung" nya meninggalkan garis
pertahanan secara demikian tak bertanggungjawab, dan kini seorang musuh yang ganas
sudah menerjang ke arahnya, Cepat Ni Keng
Giau pun melompat mundur, sambil menyambar sebatang sapu ijuk untuk dijadikan
senjata. Sebagai murid Pun-bu Hwe-shio, harusnya Ni
Keng Giau berilmu tinggi. Harusnya. Tapi sudah
banyak tahun ia tidak berlatih silat,
mempercayakan keselamatan dirinya kepada
pengawal-pengawalnya, maka ilmu silat Ni
Keng Giau pun kini kedodoran. Ketika pedang
lawannya berkelebat sekali lagi, maka batang
sapunya tertebas kutung, bahkan lengannyapun
tergores sedikit. Ni Keng Giau lalu membalik
tubuh untuk lari ke dalam, sedangkan Ho Se
Liang dan Au Yang Kong sengaja berlambatlambat untuk menolong.
Kemelut Tahta Naga II/8 40 Cepat Ni Keng Giau pun melompat mundur,
sambil menyambar sebatang sapu ijuk untuk
dijadikan senjata. Kemelut Tahta Naga II/8 41 Si pemuda terus memburu dengan tak kenal
takut. Tapi ketika pedangnya hampir
menembus punggung Ni Keng Giau, tiba-tiba
tubuh Ni Keng Giau ditarik masuk ke dalam
secepat kilat, oleh sebuah tangan yang kuat. Ni
Keng Giau jatuh tertelungkup di dalam, namun
nyawanya selamat. Kemudian dari balik pintu muncul cahaya
keperak- perakan yang memukul balik pedang
si pemuda. Pemuda itu terkejut ketika
pedangnya terbentur begitu keras sehingga
hampir lepas dari tangannya. Cepat-cepat ia
melompat menjauhi ambang pintu untuk
bersiaga. Saat itu Ho Se Liang dan Au Yang Kong
merasa kurang pantas dilihat kalau diam saja.
Maka kembali mereka menyerang pemuda itu.
kendati tetap dengan setengah hati.
Sementara itu, dari ambang pintu tadi
muncul pula dua orang jagoan Ci-ih Wi-kun
yang bertampang luar biasa. Yang satu tua,
kurus, pucat bungkuk. tangannya memegang
pipa tembakau sepanjang tiga jengkal,
Kemelut Tahta Naga II/8 42 berwarna keperak-perakan yang tadi di
gunakannya untuk menangkis pedang si
Pemuda. Dialah Sat Siau Kun, tokoh nomor tiga
dalam kelompok Ci-iH Wi-kun yang berjulukan
Tiat-jiau-hui-hou (Rubah Terbang Berkuku
Besi). Yang satu lagi bertubuh tinggi tegap,
mukanya juga pucat namun nampak bengis, ada
goresan bekas luka menyilang "menyeberangi"
wajahnya dari kuping kanan sampai ke rahang
kiri dan hidungnya terpapas sebagian. Tak
pelak, inilah wajah yang diperlukan oleh para
ibu untuk menakut-nakuti anak-anak mereka
yang nakal. Senjata yang dibawanyapun tidak
lazim, sebuah payung hitam berujung lancip.
Dia Su-ma Hek-liong, berjulukan Toat-beng-san
(Payung Pencabut Nyawa), tokoh nomor empat
dalam Ci - ih Wi-kun. "Siapa kalian, berani menyerang kami yang
sedang menjalankan tugas dari Kaisar?" bentak
Sat Siau Kun garang. "Kalian bisa mendapat cap
sebagai pemberontak-pemberontak tak berampun!" Kemelut Tahta Naga II/8 43 "Kami hanya ingin membunuh Ni Keng Giau!"
sahut pemuda berangasan tadi.
"Siapa yang menyuruh kalian?"
"Arwah dari ribuan orang tak bersalah yang
menjadi korban kelaliman Ni Keng Giau dan si
raja iblis Yong Ceng! Ribuan arwah dari seluruh
negeri!" Pertempuran berlangsung terus, Su-ma Heklong memperhatikan dengan cermat dari
pinggir arena. Tiba-tiba Su ma Hek-long tertawa
dan berkat, "Biarpun kalian tidak mengaku, aku
tahu kalian adalah bangsat-bangsat cilik dari
Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api). Cara kalian
bermain pedang sudah kelihatan. Dan gadis itu
tentu ada hubungan dengan keluarga Se-bun
dari Lok-yang!" Sat Siau Kun mengangguk-angguk.
"Begitukah" Bagus. Jadi si kembar itu adalah
cucu Tong Lam Hou yang sudah jadi setan
penasaran itu, sekaligus juga cucu Pak Kiong
Liong si buronan itu. Bagus. Kalau berhasil kita
tanggkap mereka, setidaknya bisa digunakan
Kemelut Tahta Naga II/8 44 untuk memancing Pak Kiong Liong keluar dari
lubang persembunyiannya yang entah di mana
Pemuda kembar itu memang cucu-cucu
mendiang Tong Lam Hou, ketua lama Hweliong-pang yang gugurnya karena dikhianati
muridnya sendiri, Pangeran In Tong.
Kedudukan ketua Hwe-liong pang kini dipegang
Tong Gin Yan, ayah pemuda kembar itu. Di masa
itu, Hwe-liong-pang bukan lagi sebuah
kelompok kuat yang terang-terangan mendirikan markas di suatu tempat, melainkan
sudah menjadi gerakan bawah tanah yang
markasnya harus berpindah-pindah karena
harus berhadapan dengan kekuasaan Kaisar
Yong Ceng yang getol ingin menumpas mereka.
Pemuda kembar itu masing-masing bernama
Tong San Hong, yang lebih tenang sikapnya, dan
Tong Hai Long yang berangasan dan tadi
hampir saja berhasil membunuh Ni Keng Giau.
Sedangkan gadis berkuncir dua itu adalah Sebun Hong-eng, puteri Se Bun Beng dari Lokyang, pendekar yang menjadi sahabat suamiisteri Tong Gin Yan dan Pak Kiong Liong.
Kemelut Tahta Naga II/8 45 Tidak mengherankan setelah mengetahui
siapa pemuda kembar itu, Sat Siau Kun dan Stima Hek-long jadi bernafsu untuk menangkap
mereka. Kalau berhasil, besarlah pahalanya di
hadapan Kaisar. Memang anak-anak muda itu
bukan buronan, tapi anak dan cucu buronan
buronan penting dan bisa digunakan untuk
memancing para buronannya sendiri agar
keluar dari persembunyiannya.
Sebaliknya, Heng-san-sam-kiam diam-diam
malah jadi mengkhawatirkan keselamatan
pemuda kembar itu. Mereka tahu kalau pihak
Hwe-liong-pang akrab dengan Pangeran In Te
yang mereka dukung. Mereka juga menduga
keras, Pangeran In Te yang dikabarkan "hilang
di Jing-hai" itu bukan mustahil disembunyikan
dan dilindungi oleh orang-orang Hwe-liongpang. Maka Heng-san-sam-kiam mulai bingung
bagaimana menyuruh pergi dengan selamat
kepada anak-anak muda itu.
Yang juga terkejut setelah mendengar siapa
sebenarnya pemuda kembar itu juga Wan Lui
yang berada di persembunyiannya. Pemuda
Kemelut Tahta Naga II/8 46 kembar itu adalah cucu-cucu gurunya. Ia jadi
ingat, dulu sebelum gurunya pergi meninggalkannya, gurunya berpesan kalau
bertemu anak kembar bernama Tong Hai Long
dan Tong San Hong agar dianggap sebagai
saudaranya sendiri. Dan kini ia sudah bertemu,
justru di saat si kembar itu terancam bahaya.
"Benar kata In Toa-ko," pikir Wan Lui di
persembunyiannya.ula-mula maunya memang
cuma menonton, tapi akhirnya harus terlibat
juga." Sementara itu, Sat Siau Kun telah masuk ke
arena dengan sikap memandang rendah lawanlawannya. Ia mendekati Tong Hai Long sambil
menghisap dan mengebul-ngebulkan pipa
tembakaunya yang panjang keperak-perakan
itu. kepada Ho Se Liang dan Au Yang Kong yang
nampaknya "amat payah" melawan pemuda itu,
Sat Siau Kun rne merintah, "Minggir kalian!"
Ho Se Liang dan Au Yang Kong cemas kalau
sampai pemuda itu ditangani sendiri oleh Sat
Siau Kun barangkali akan menemui nasib amat
buruk. Karena itu, mereka tidak segera minggir,
Kemelut Tahta Naga II/8 47 malah Ho Se Liang menjawab, "Sat Tai-jin, kami
masih sanggup. Sebaiknya Tai-jin awasi Ni
Keng Giau saja, nanti dia lari."
"Minggir kataku!" bentak Sat Siau Kun. Kalian
saja yang mengawasi Ni Keng giau!"
Ho Se Liang dan Au Yang Kong pun terpaksa
berlompatan mundur, biar pun dalam hati
masih mencemaskan nasib cucu Pak Kiong
Liong itu. Ingin memberi isyarat, khawatir kalau
dilihat Sat Siau Kun. Sedangkan Tong Hai Long sendiri malah
menunjukkan sikap tak kenal takut. Sambil
mengobat-abitkan pedangnya dengari gencar, ia
berseru, "Ayo maju semua! Makin banyak
begundal kaisar iblis itu yang mampus, akan
makin amanlah kehidupan rakyat kecil!"
Sat Siau Kun tertawa terkekeh. "Sikap hidup
yang membahayakan hidupmu sendiri itu
tentunya diajarkan oleh kedua orang tuamu
bukan atau oleh kakekmu Pak Kiong Liong" Hehe-he.... selagi Hwe-liong-pang dipuncak
kejayaan nya pun tak bisa berbuat apa-apa, apa-
Kemelut Tahta Naga II/8 48 lagi sekarang tinggal sisanya yang tercerai-berai
dan hidup sebagai pencoleng-pencoleng kecil."
Tong Hai Long terbakar hatinya mendengar
ejekan itu. Ia berseru sambil meluncur ke
depan, ujung pedangnya mengarah ke leher Sat
Siau Kun dengan gerak tipu Ya-long-tiau-kan
(Serigala liar Melompati Parit). Ilmu pedang
yang dimainkannya ialah Tiam-jong-kiam hoat
ajaran kakeknya yang almarhum, Tong Lam
Hou. Suatu ilmu pedang yang tidak peduli soal
keindahan gerak, melainkan sepenuhnya harus
diperhatikan daya gempurnya. Tak ada gerakan
kembangan atau pemanis, tujuannya hanyalah
memenangkan perkelahian. Tadinya Sat Siau Kun memandang remeh
pemuda yang dalam hal usia pantas menjadi
cucunya itu, namun kemudian dikagetkan oleh
ilmu pedang yang hebat itu. Cepat ia
memiringkan tubuh sambil memukulkan pipa
peraknya ke pedang lawan, sekalian mendesak
maju sambil mencakar leher lawan dengan
tangan kirinya. Julukannya Rubah Terban
Kemelut Tahta Naga II/8 49 Berkuku Besi, maka kekuatan jari-jarinya itu
mampu meremukkan tulang leher.
Tong Hai Long membiarkan pedang nya
terpental sambil melompat pendek ke samping,
lalu pedangnya tiba-tiba berkelebat rendah
untuk membabat ke sepasang kaki lawan
dengan gerak tipu Ji-kong-cam-coa (Ji Kong
menebas ular). "Kau hebat, bocah cilik!" geram Sat Siau Kun
untuk menutupi rasa kagetnya. Ia melompat
menyelamatkan sepasang kakinya berbareng
dengan jurusnya Siok-liu-kik-ting (Petir
Menyambar Kepala) yang sebenarnya adalah
jurus toya, namun dimainkan dengan pipa


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tembakau untuk mengepruk ke kepala Tong Hai
Long. Dengan keberanian luar biasa Tong Hai Long
tidak menggubris serangan itu, malah
membarengi menikam ke dada lawan.
Pedangnya lebih panjang dari pipa lawan, maka
kalau serangan sama-sama diteruskan, jelas
pedangnya yang akan lebih dulu kena sasaran.
Kemelut Tahta Naga II/8 50 Sat Siau Kun menggeram marah untung dia
lincah, la juga malu kalau sampai dipaksa
mundur oleh seorang bocah kemarin sore, maka
ia menangkis dengan pipanya sambil terus
mendesak, maju dengan cakaran-cakaran
hebatnya. Begitulah, yang tua malu untuk mundur,
yang muda berangasan dan tak kenal takut,
ramailah jadinya pertempuran itu.
Kemudian Su-ma Hek-Iong juga maju ke
gelanggang sambil menjinjing payung hitamnya.
Yang didekati ialah si kembar yang satu lagi,
Tong San Hong, yang akan dibawanya sebagai
oleh-oleh" pulang ke Pak-khia setelah selesai
mengamarkan Ni Keng Giau di Hang-ciu.
"Biar aku yang menangkap cucu pemberontak ini!" katanya kepada Liong juipian Wan Yen Coan dan Hui-kiam-eng Teng Jiu
yang tengah menghadapi Tong San Hong.
Namun Wan Yen Coan tetap memutar
kencang cambuknya, sambil menyahut. "Su-ma
Toa-ko (kakak Suma), aku sendiripun sanggup
meringkus setan kecil Hwe-lioug-pang ini!"
Kemelut Tahta Naga II/8 51 Rupanya Wan Yen Coan segan ke hilangan
pahala. Tapi baru saja selesai kata-katanya,
ujung pedang Tong San Hong berhasil
menerobos pertahannya dan menikam pahanya.
Selama ini Wan Yen Coan sanggup
mengimbangi lawan karena di bantu Teng Jiu,
maka ketika Teng Jiu mendadak keluar dari
arena, ia tak sanggup membendung Tong San
Hong se orang diri. Dengan kaki kesakitan, ter
paksa ia harus melompat minggir dan memberi
kempatan Su-ma Hek-long yang bakal
mendirikan pahala. "Teng Jiu, kalau mau meninggalkan arena
jangan begitu mendesak, sehingga mencelakai
aku," kata Wan Yen Coan jengkel kepada Teng
Jiu. "Ah, maaf, karena aku mentaati seruan Su-ma
Toa-ko agar minggir," sahut Teng Jiu dengan
sikap ketolol-tolol an, namun sebenarnya
tertawa dalam hatinya. "Lagipula aku mengira
kau benar-benar sanggup menangkap bangsat
cilik itu seorang diri, seperti katamu tadi."
Kemelut Tahta Naga II/8 52 Sementara itu, tanpa banyak main gertak
atau mengancam dengan kata-kata, Su-ma Heklong langsung saja memainkan senjatanya.
Selagi tertutup, payung hitamnya bisa
dimainkan seperti gada atau tombak. Disertai
deru angin kencang, digebuknya arah pinggang
lawannya dengan gerak mendatar, dan ketika
lawannya menghindar dengan mundur, ujung
payungnya yang lancip ditusukkan ke depan
dalam gaya ilmu tombak. Tong San Hong memperkokoh kudakudanya, lalu memainkan Hong-kui-lok-hoa
(Angin Balik Menggugurkan
Kembang). Menangkis lebih dulu, lalu membacok ke depan.
Tiba-tiba payung Su-ma Hek-long mengembang, dan pedang Tong San Hong
seolah membentur perisai lebar. Ternyata
lembaran payung itu tidak terbuat dari kertas
seperti lazimnya, melainkan anyaman benangbenang baja lembut dan liat, tahan bacokan
pedang biasa. Belum lagi Tong San Hong sempat menarik
pedangnya, payung hitam itu tiba-tiba diputar
Kemelut Tahta Naga II/8 53 kencang bagaikan roda, amat bertenaga,
membentuk tenaga menghisap yang mengakibatkan pedang Tong San Hong seolah
masuk ke dalam sebuah pusaran air bertenaga
rak sasa. Cepat Tong San Hong memperkeras
genggaman atas tangkai pedangnya, lalu
melompat mundur. Namun kini Su-ma Hek-long yang mengejar.
Payungnya masih terkembang dan berputar
kencang, seperti roda hendak melindas
lawannya karena dibawa maju oleh Su-ma Heklong dengan langkah menyamping. Kalau
sampai lawan terlindasnya, sulit dibayangkan
akibatnya, sebab ruji-ruji payung ternyata
runcing runcing, sehingga sekeliling tepi payung
seolah dipasangi pisau-pisau kecil yang sanggup
merajang kulit dan daging.
Beberapa saat lamanya Tong San Hong jadi
repot, la berputaran mencari sudut serangan
yang bisa dilewatinya, tapi lawan tak kelihatan
karena selalu berlindung di belakang payung
lebar itu. Sementara payungnya terus menggu
Kemelut Tahta Naga II/8 54 lung dengan hebat. Suatu saat Tong San liong
coba melompat ke belakang lawannya, yang
dalam teori silat disebut "melewati Bwe-mui"
namun lawan dengan tangkas memutar tubuh,
tetap berada di belakang payungnya. "Bwe-mui"
yang hendak dilewati Tong San Hong itu tetap
dijadikan "Toa-mui" baginya. Tong San Hong
juga mencoba menyerang dari atas, dan gagal
pula. Begitulah, Tong San Hung jadi sama
bingungnya dengan seekor macan yang gagah
perkasa, namun menghadapi seekor kura-kura
yang aman bersembunyi di balik batoknya yang
tebal dan kuat, tak mempan kuku ataupun gigi
sang harimau. Selain itu, "kura-kura" yang satu ini
tergolong istimewa juga. Tidak cuma
bersembunyi, tapi juga bisa menyerang dengan
hebat, baik dengan ujung runcing di ujung
tangkai payung, maupun dengan ujung jerujijeruji tajam di sekeliling payungnya.
Namun Su-ma Hek-long sendiri pun
sesungguhnya berkeringai dingin menghadapi
Kemelut Tahta Naga II/8 55 ilmu pedang Tong San Hong. Memang ia dapat
bertahan rapat di balik payungnya, namun ia
tak berani membayangkan bagaimana akibatnya kalau sampai ia menguncupkan
payungnya, sebab "diluar" sana ada jaringan
gerakan pedang yang begitu rapat seperti air
yang melingkari dari segala penjuru.
Jadi pertempuran itu bisa juga digambarkan
seperti banjir besar kontra benteng batu yang
kokoh kuat. Jalan buntu. Banjir tak bisa
memasuki benteng, sebaliknya orang di dalam
benteng juga tak bisa keluar, kalau tidak mau
diseret di mampuskan oleh sang banjir.
Begitulah, sementara si kembar Tong San
Hong dan Tong Hai Long "keasyikan" ketemu
lawan-lawan tangguh, yang tambah berat
keadaannya ialah si gadis Se-bun Hong-eng
Biarpun permainan tongkat dan pedangnya
tergolong unik,namu daya tahan tubuh maupun
pengalamannya tak begitu mendukung. Apalagi
setelah lawannya bertambah dengan Wan Yen
Coan. Kemelut Tahta Naga II/8 56 Hanya tiga bersaudara seperguruan Hengsan-sam-kiam yang tidak ikut maju dengan
alasan ''menjaga Ni Keng Giau agar tidak kabur".
Dua lawan Se-bun Hong-eng sebelum
terjunnya Wan Yen Coan, adalah dua jagoan Ciih Wi-kun yang masing-masing bersenjata Jitgoat-siang-lun (sepasang roda matahari dan
rembulan) serta Kau-lian-jio (tombak berkait)
yang masing-masing taraf ilmunya tidak di
bawah Wan Yen Coan. Ketika ditambah dengan
Wan Yen Coan yang biarpun sudah luka namun
tetap tangguh, Se-bun Hong-eng tak sanggup
lagi menghadapi gabungan tenaga ketiga jago
istana itu. Wan Yen Coan yang mengambil posisi di
tengah, suatu ketika menyabetkan cambuknya
bertubi-tubi dengan gerakan In-kong-ciok-eng
(menembus cahaya menangkap bayangan).
Bunyi cambuknya seperti petir beruntun yang
menggetarkan. Sementara kedua rekannya
merunduk dari kanan kiri untuk menanti
peluang. Kemelut Tahta Naga II/8 57 Agar repot Se-bun Hong-eng menjaga
serangan dari depan, sambil membagi perhatian
ke kedua arah lainnya. Ia mundur meninggalkan
titik silang garis-garis serangan ketiga
lawannya. Mundur sambil serong agar
kerjasama segitiga antara lawan-lawannya
menjadi pincang. Begitu teorinya.
Tapi ketiga lawannya adalah jago-jago
berpengalaman pula, mereka bergerak menempati sudut-sudut baru yang membuat Sebun Hong-eng tetap terkurung.
Karena masih kurang pengalaman, gadis itu
jadi panik. Ketika geraknya melambat, tahutahu pedang di tangan kirinya telah berhasil
dibelit oleh cambuk Wan Yen Coan. Si gadis
melepaskan pedangnya dengan cara meluruskannya sejajar dengan tarikan cambuk
lawannya, sedang tongkat kanan dipakai
menggempur kepala Wan Yen Coan. Namun
Wan Yen Coan berkelit menyamping,
cambuknya tetap dibuatnya saling menyudut de
ngan pedang yang dibelitnya, tak peduli Se-bun
Hong-eng berusaha melurus kannya.
Kemelut Tahta Naga II/8 58 Silat ternyata memang bukan sekedar adu
"teori "kalau lawanmu begitu kamu harus
begini", tapi juga adu ketrampiian dalam
praktek. Dan adu banyaknya pengalaman, dan
seberapa banyak bisa menarik pelajaran dari
pengalaman-pengalaman itu. Disinilah kalahnya
Se-bun Hong-eng. Biarpun pelajaran dari
ayahnya maupun kakeknya tergolong pelajaran
silat bermutu tinggi, namun ia kalah
pengalaman dari lawan-lawannya yang memang
tukang-tukang berkelahi itu. Lebih parah lagi, ia
mulai panik karena pedangnya seolah terkunci
oleh cambuk lawannya. Apalagi dua lawan dari kiri kanan juga mulai
menyergap berbareng. Yang bersenjata Kaulian-jio berhasil mengait tongkat Se-bun Hongeng untuk langsung dipelintir lepas. Yang
bersenjata Jit-goat siang-lun melancarkan
tendangan kilat ke pinggang si gadis untuk
melumpuhkannya, maka Se-bun Hong-eng
benar-benar terancam. Tapi muncullah "dewa penolong".
Kemelut Tahta Naga II/8 59 Si pemegang Jit-goat-siang-lun itu tendangannya belum sampai ke sasaran, ketika
ia tiba-tiba menjerit kesakitan karena selembar
genteng deras sekali menghantam tempurung
lututnya. Begitu hebat tenaga pelontarnya.
Genteng itu hancur, tapi si penyerangpun roboh
dengan sebelah kaki terasa lumpuh.
Serangan "genteng terbang" belum berakhir.
Dua lembar lagi melayang deras ke kepala Wan


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yen Coan serta rekannya yang bersenjata Kanlian-jio i-iu. Wan Yen Coan mengangkat tinju
kirinya untuk menangkis dengan meninju
genteng itu. Genteng pecah berantakan, tapi
tinju Wan Yen Coan menjadi bengkak dan nyeri.
Rekan Wan Yen Coan menangkis dengan
tombaknya, tapi cipratan pecahan genteng
menyerempet pipinya sehingga berdarah.
Kesimpulannya, pelempar genteng itu bukan
lawan enteng. Sementara itu, Wan Lui sendiri telah
melompat keluar dari persembunyiannya, dan
langsung "membagikan" pukulan kepada ketiga
jago Ci-ih Wi-kun lawan-lawan Se-bun HongKemelut Tahta Naga II/8
60 eng tadi. Sambil berseru penuh gaya
kepahlawanan, "Nona, bantu saja kawankawanmu. Tiga kecoak ini biar menjadi
urusanku!" Wajar saja kalau seorang lelaki muda yang
sedang tertarik kepada seorang gadis lalu
pamer kehebatan agar mendapat sedikit pujian.
Wajar pula kalau dalam pamer kehebatan itu si
anak muda jadi sedikit takabur, gegabah dan
tidak cermat memperhitungkan bahayanya.
Begitu pula Wan Lui. Setelah sukses dengan
lemparan genteng-gentengnya tadi, timbul
anggapan bahwa lawan-lawan ternyata "cuma
segitu saja ilmunya" sehingga dengan besar hati
ia langsung hendak "memborong" tiga lawan
sekaligus untuk diri sendiri.
Semangatnya tambah berkobar ketika si
gadis berkuncir dua tersenyum kepadanya
sambil mengucap lirih. "Terima kasih."
Urat-urat di sekujur tubuh Wan Lui kontan
dialiri semangat keberanian tanpa perhitungan
lagi. Kemelut Tahta Naga II/8 61 Kini ia harus menghadapi Wan Yen Coan
dengan cambuk Liong-jiu-piannya, dan rekannya yang bersenjata Kau-lian-Jio ilmunya
tidak dibawah Wan Yan Coan. Sedang jago Ci-ih
Wi-kun yang bersenjata Jit-goat-siang-lun itu
belum bisa bertempur, masih terduduk di tanah
sambil meringis-ringis dan mengurut-urut
lututnya yang tadi kena lemparan genteng Wan
Lui. Setelah bertempur sungguh-sungguh dengan
kedua lawannya itu, barulah Wan Lui sadar
bahwa lawan-lawannya bukanlah jago-jago
yang "cuma segitu ilmunya". Memang tadi
mereka berhasil dikejutkan oleh lemparan
genteng, bahkan mendapat cidera kecil, tapi hal
itu terjadi hanyalah karena mereka tidak
menduga serangan mendadak itu.
Setelah menghadapi mereka berdua secara
langsung, barulah Wan Lui merasa bahwa ia
haruslah lebih sungguh-sungguh berkelahi,
tidak sempat lagi bertempur sambil jual
tampang kepada si kuncir dua.
Kemelut Tahta Naga II/8 62 Dengan bersungguh-sungguh, Wan Lui mulai
bersilat tapgan Thia-liong-kun hoat (pukulan
Naga Langit) hasil ajaran tertulis Pak Kiong
Liong dulu. Ketika Wan Yen Coan mencambuk dibarengi
tikaman tombak berkait oleh rekannya dari
sudut lain, mulailah Wan Lui menunjukkan
keperkasaannya. Sepasang tangannya menggempur berturutan dengan jurus Siangliong-kui-thian (sepasang naga kembali ke
langit) yang menimbulkan udara berguncang
dahsyat. Juntai cambuk Wan Yen Coan sampai
"berkibar" terpental kena angin pukulannya,
sedang si tombak berkait dipaksanya mundur
dengan tendangan jarak dekat, yang membuat
lawan itu malah merasa kerepotan dengan
senjatanya sendiri. (Bersambung Jilid IX) Kemelut Tahta Naga II/8 63 Kemelut Tahta Naga II/8 64 Kemelut Tahta Naga II/9 1 KEMELUT TAHTA NAGA Bagian : II Karya : STEFANUS S.P. Jilid IX Di sebelah lain, Tong San Hong yang sekian
lama sama-sama jalan buntu menghadapi Su-ma
Hek-long yang berlindung rapat di balik
payungnya, tidak sabar lagi, dan menggunakan
tenaga dalam ajaran kakeknya yang disebut
Hian-im-ciang (pukulan dingin). Ketika ia
membentak, suhu udara dalam jarak beberapa
langkah dari tubuhnya tiba-tiba anjlok tajam
sekali, dan setiap geraknya kini membuat udara
maha dingin itu mengalir, dan diarahkan untuk
''menyusup" ke pihak lawan.
Su-ma Hek-long terkejut sekali menghadapi
turunnya suhu udara yang begitu tajam.
Memang Hian-im-sin-kang Tong San Hong
Kemelut Tahta Naga II/9 2 belum sampai ke taraf tertinggi yang bisa
membekukan darah dalam urat-urat sehingga
jantung tak mampu memompa lagi. Ayahnyalah
yang sudah sampai ke taraf itu. Namun Hian-imsin-kang Tong San Hong itu sudah cukup
membuat Su-ma Hek-Iong merasa kedinginan,
seolah kulitnya tiba tiba ditempeli salju. Jagoan
istana itu sampai bersin dua kali. Serangan
pedang memang bisa ditahan dengan
payungnya, tapi serangan yang berujud aliran
udara dingin, mana bisa ditangkis "
Segera si "payung pencabul nyawa" ini
merasa kemanapun langkahnya terarah, ia
selalu dihadang udara amat dingin yang
membuat otot-ototnya kaku, sehingga dengan
demikian juga memperlambat gerak-gerak
silatnya. Sebaliknya Tong San Hong tambah gencar
menggempur. la melancarkan jurus Hui-enghwe-soan (elang terbang berputar) yang tadi
sebenarnya pernah digunakan tapi tanpa hasil.
Namun kali ini berhasil menyudutkan lawannya
yang bertahan sambil bersin-bersin beberapa
Kemelut Tahta Naga II/9 3 kali. Tong San Hong terus mendesak. Tiba-tiba
kakinya pun ikut menyapu rendah ke betis
lawan dengan tendangan Tek-tou-tui. Kena. Suma Hek-Iong sempoyongan dan permaianan
silatnya tambah kacau, ujung pedang Tong San
Hong pun "mampir" ke lengan atasnya tanpa
permisi lagi. "Besok kau harus bikin paying yang lebih
lebar lagi...." ejek Tong San Hong yang kini di
atas angin. "... dan jangan lupa membawa baju
tebal yang hangat!" Pertempuran yang masih seimbang ialah
antara Tong Hai Long si berangasan melawan
Sat Siau Kun. Bahkan ketika Tong Hai Long juga
menggunakan Hian-im-sin-kang seperti saudara
kembarnya, Sat Siau Kun nampaknya tak
terpengaruh apa-apa. Si kecil bungkuk ini
ternyata memiliki tingkatan lwe-kang (tenaga
dalam) yang kokoh. Barulah ketika Se-bun Hong-eng yang sudah
kehilangan lawan-lawannya karena diambil alih
oleh Wan Lui tadi datang ke arena itu, dan
membantu Tong Hai Long, maka Sat Siau Kun
Kemelut Tahta Naga II/9 4 mulai merasa berat. Pipa peraknya yang tiga
jengkal itu harus menghadapi dua pedang dan
satu tongkat masing-masing panjangnya hampir
satu meter. Dalam repotnya, Sat Siau Kun jadi
mendongkol melihat tiga bersaudara seperguruan Heng-san-sam- kiam malah enakenak di pinggir arena dan menonton saja.
Terpaksa Sat Siau Kun membentak gusar, "He!
Yang menjaga Ni Keng Giau cukup satu orang
saja! Lainnya membantu menangkap berandalberandal cilik ini!"
Ketiga pendekar Heng-san-sam-kiam itu
sebenarnya sangat enggan bertempur dengan
orang-orang muda Hwe-liong-pang itu. Tapi
karena Sat Siau Kun berkedudukan lebih tinggi
dari mereka, mau tak mau mereka harus
menurut agar tidak dicurigai. Teng Jiu tetap
menjaga Ni Keng Giau, sedangkan dua kakak
seperguruannya masing-masing membantu
kepada. Wan Yen Coan dan Su-ma Hek-long.
Tapi bantuan yang hampir tak berarti sebab
tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kemelut Tahta Naga II/9 5 Ketika itu Wan Yen Coan dan pamannya
yang bersenjata Kau-lian-jio tengah megapmegap kepanasan, karena Wan Lui mulai
menggunakan tenaga dalam Hwe-liong Sin-kang
ajaran Pak Kiong Liong. Hawa panas luar biasa
seolah keluar dari segenap pori-pori kulit Wan
Lui, membuat kedua lawannya jadi kesulitan
menghirup udara segar, sebaliknya keringat
mereka bagaikan di peras keluar dan cepat
membuat tubuh jadi lemas. Lalu Ho Se Liang
datang "membantu" keduanya. Tapi Ho Se Liang
pura-pura kepanasan dan cuma menyerang dari
jarak agak jauh, tapi tak satupun serangannya
yang berarti. Jadinya ia "pembantu yang tidak
membantu". Tetapi Wan Lui sendiri tak bermaksud
sungguh-sungguh menggilas lawan-lawannya.
Ia merasa kelanjutannya cuma akan berlarutlarut dan entah pihak mana yang bakal
mencapai maksudnya. Kekuatan kedua belah
pihak hanya berselisih seujung rambut.
Karena itu, setelah menggertak mundur
ketiga lawannya, Wan Lui melompat mendekati
Kemelut Tahta Naga II/9 6 Tong San Hong yang tengah mendesak Su-ma
Hek-long yang kini dibantu Auyang Kong.
Katanya, "Sobat, masihkah perlu diteruskan?"
Tong San Hong yang mampu berpikir lebih
tenang dari saudara kembarnya itupun
memahami situasi dan tak menentu di
gelanggang itu. Menang tidak, kalah juga tidak.
Kalau diterus-teruskan juga cuma begitu-begitu
saja, membuang tenaga. Maka diapun
mengangguk dan menjawab, "Kau benar, sobat."
Wan Lui dan Tong San Hong lalu mengubah
cara bertempur mereka. Tidak lagi menghadapi
lawan sendiri-sendiri, melainkan bergabung.
Perlahan merekapun mulai, bergeser mendekati
Se-bun Hongpeng dan Tong Hai Long yang
tengah mengeroyok Sat Siau Kun.
Kepada saudara kembarnya, Tong San Hong
berbisik, "A-hai, lebih baik mundur dulu."
Dia berbisik, dan saudara kembarnya yang
berangasan itu malah menjawab dengan
berteriak sekeras-kerasnya, "Kalau kita pergi,
keenakan buat Ni Keng Giau, pembantai ribuan
orang tak bersalah itu! Kemelut Tahta Naga II/9 7 Maka mereka tak segera bisa menarik diri
dari arena, sementara orang-orang muda itu
mencari akal bagaimana mengajak si
berangasan pergi dari situ. Tiba-tiba Tong San
Hong memberi isyarat kepada Se-bun Hongerig, maksudniya agar gadis itulah yang
mengajak Tong Hai Long mundur dari situ.
Sepasang pipi gadis itu agak memerah
tersipu karena menerima "tugas" itu, sebab ia
paham pertimbangan apa yang digunakan Tong
San Hong. Kiranya selama ini si berangasan
Tong Hai long sedang rajin menaksir Se-bun
Hong-eng. Maka kalau Se-bun Hong-eng yang
mengajukan permintaan, tentu akan lebih
"manjur" daripada oleh saudara kembarnya
atau orang lain. Saat itu, bentuk pertempuran sudah
berubah. Masing-masing, kawan maupun lawan,
tidak lagi sendiri-sendiri menghadapi musuh,
tapi secara berkelompok, Wan Lui, Tong San
Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah membentuk semacam "front bersama"
Kemelut Tahta Naga II/9 8 menghadapi gempuran para jagoan Ci-ih Wikun yang dipelopori Sat Siau Kun.
Biarpun soal kalah menang masih belum
bisa ditentukan, tetapi Se-bun Hong-eng juga
sadar betapa tak berguna nya keadaan yang
sama-sama macet bagi kedua pihak itu diterusteruskan. Ia bergeser mendekati Tong Hai Long
sambil tetap menjaga diri dari sambaran senjata
lawan-lawannya. Setelah dekat, ia membisiki
Tong Hai Long, "A-hai, biar kita titipkan dulu
batok kepala Ni Keng Giau di lehernya Masih
ada lain waktu untuk memetiknya."
Ternyata memang manjur. Tong Hai Long
yang tadinya membandel terhadap ajakan
saudaranya, namun setelah Se-bun Hong-eng
yang mengajaknya, diapun menjadi "jinak"
seketika. Sambil memutar pedangnya dengan
hebat, ia berseru, "Baik! Mundur ya mundur! He,
Ni Keng Giau, awaslah lain kali!"
Namun untuk mundurpun tak segampang
yang diinginkan. Setelah Sat Siau Kun tahu
bahwa si kembar adalah cucu cucu Pak Kiong
Liong sekaligus Tong Lam Hou, dua pentolan
Kemelut Tahta Naga II/9 9 penantang pemerintahan Kaisar Yong Ceng,
maka Sat Siau Kun jadi bernafsu untuk menang
kap mereka guna memancing keluarnya Pak
Kiong Liong dari persembunyiannya.
Maka Sat Siau Kun pun mengomando orangorangnya, "Kalau bisa tangkap semua, tangkap
semua! Kalau bisa cuma menangkap satu, lebih
baik daripada tidak sama sekali!"
Maka seluruh barisan Sat Siau Kun lalu
menggempur dengan lebih bersemangat,
kecuali tiga orang Heng-san-sam-kiam yang
diam-diam berpendapat "lebih baik tidak sama
sekali", hanya sebagian ekor dari perintah Sat
Siau Kun itu Mereka bertiga malah sibuk
mencari jalan bagaimana supaya orang-orang
muda itu dapat lolos dengan selamat.
Pertempuran masih berlangsung sengit
beberapa jurus. Satu pihak mau pergi, pihak lain
ingin menangkap. Pada detik-detik gawat itulah Wan Lui
kembali tampil sebagai pahlawan, mengambil
tugas terberat untuk dirinya sendiri. Berserulah
Kemelut Tahta Naga II/9 10 ia kepada ketiga kenalan barunya itu, "Kalian
bertiga mundur dulu, biar aku yang tahan."
"Sobat, jangan membahayakan diri mu
sendiri." Tong San Hong memperingat kan.
Tetapi Wan Lui telah bertindak tanpa
menunggu pertimbangan orang lain, maklumlah
dia sedang bersemangat-semangatnya jadi
pahlawan di hadapan Se-bun Hong-eng. Sambil
membentak sekeras sepuluh guruh, seluruh
kekuatannya dilontarkan lewat dua tangannya.
Berbareng dengan lompatan tubuhnya, ia
lontarkan jurus Ban-liong-seng- thian (selaksa
naga memenuhi langit), jurus paling sulit dari
Thian-liong-kun-hoat ajaran Pak Kiong Liong.
Dibarengi pengerahan tenaga sakti Hwe-liongsin-kang, tiba-tiba saja arena itu dipenuhi
bayangan ribuan pukulan yang menghembuskan hawa panas menyengat.
Memang jagoan-jagoan sekaliber Sat Siau
Kun atau Su-ma Hek-long takkan mudah
dijatuhkan oleh serangan itu, namun toh
mereka terkejut dan sejenak gerakan mereka
tertahan. Sedang jago - jago Ci-ih Wi-kun yang
Kemelut Tahta Naga II/9 11 Dibarengi pengerahan tenaga sakti Hwe
liong-sin kang, tiba-tiba saja arena itu dipenuhi
bayangan ribuan pukulan yang menghembuskan
hawa panas menyengat. Kemelut Tahta Naga II/9 12 berilmu se tingkat dibawah mereka seperti Wan
Yen Coan, Heng-san-sam-kiam, biksu yang
bersenjata Kau-lian-jio, mau tidak mau harus
melompat mundur jauh-jauh untuk mengurangi
sengatan aliran udara panas itu.
Bukan cuma para jago-jago Ci-ih Wi-kun
yang kaget, tapi juga si_ kembar Tong San Hong
dan Tong Hai Long, sebab mereka mengenali
jurus itu. Mereka juga sudah bisa, sudah diajari
oleh kakek mereka, namun dengan jujur mereka
harus mengakui bahwa dalam penggunaannya,
mereka belum sematang Wan Lui. Pancaran
udara panas yang bisa mereka lakukan juga
belum semenyengat itu. Bukan karena si
kembar itu kalah bakat, tapi kerena mereka
mempelajari terlalu banyak aliran silat sehingga
sulit mencapai kematangan, berbeda dengan
Wan Lui yang cuma menekuni satu ajaran saja.
Karena belum tahu siapa Wan Lui, si
kembar itu heran, darimana Wan Lui dapat
memainkan Thian-liong-kun-hoat dan Hweliong-si n- kang sehebat itu, bahkan lebih hebat
dari mereka sendiri"
Kemelut Tahta Naga II/9 13 Namun detik-detik itu terlalu berharga
untuk dibuang-buang tanpa tindak an. Bagaikan
tiga ekor burung raksasa, Tong San Hong, Tong
Hai Long dan Se-bun Hong-eng telah melompat
ke atas genteng selagi lawan-lawan mereka
ditahan Wan Lui. Kemudian si kembar
mengeluarkan jarum-jarum besi yang di
lontarkan-lontarkan dari atas genteng kearah
para jagoan Ci-ih Wi-kun. Cara melempar
jarum-jarum itu mereka pelajari dari seorang
tokoh Hwe-liong pang, Sai-kim-ciam Su-seng
(sastrawan penyebar jarum emas) Siang Koari
L.ong yang gugur ketika markas Hwe-liongpang di Tiau-im-hong diserbu tentara
pemerintah. Karena keluarga Hwe-liong-pang
bukan keluarga jutawan yang seenaknya saja
"menyebar emas", maka jarum-jarum itu bukan
benar-benar dari emas, melainkan dari besi
saja. Besarnya sama dengan lidi, panjangnya se
jengkal. Jarum-jarum raksasa itu berhamburan
membelah udara dengan suara mencicil-cicit,
menuju ke sasaran-sasarannya. Sambil Kemelut Tahta Naga II/9 14 menghamburkannya, Tong San Hong berseru
kepada Wan Lui, "Sobat, naik kemari!"
Kawanan jago-jago Ci-ih Wi-kun itu mau
tidak mau harus memecah perhatian terhadap
jarum-jarum itu, maka Wan Lui jadi memiliki
kesempatan untuk melayangkan tubuh keatas
genteng pula. Keempat anak muda itu kemudian
kabur menghilang ke lereng bukit di belakang
penginapan itu. Gelapnya malam amat
membantu gerak mundur mereka.
Sat Siau Kun dengan bernafsu masih ingin
mengejar, kalau bisa ya setidak-tidaknya
menangkap satu dari keempat "berandal cilik"
tadi. Namun Ho Se Liang cepat mencegahnya
dengan alasan yang cukup masuk akal. "Sat Toako, hati-hatilah, jangan sampai kita termakan
siasat memancing harimau meninggalkan
gunung!" "Benar!" dukung Auyang Kong "Bangsatbangsat Hwe-liong-pang sudah terkenal dengan
kelicikarnnya. Kalau sampai kita terpancing
mengejar mereka. jangan-jangan nanti akan
muncul rombongan lain untuk mengambil Ni
Kemelut Tahta Naga II/9 15 Keng Giau. Kalau sampai kejadian begitu, tentu
kita tak punya, kesempatan lagi untuk
menjelaskan kepada Sribaginda maupun Kim
Cong-koan!" Karena alasan pendekar-pendekar Hengsan-sam-kiam itu cukup beralasan, maka Sat
Siau Kun berhasil diyakinkan untuk tidak
mengejar orang-orang muda tadi. Sebab tugas
utamanya ialah mengantarkan Ni Keng Giau
dengan selamat sampai ke Hang-ciu.
Sementara itu, Wan Lui dan kawankawannya sudah lari cukup jauh dan tiba di
suatu tempat yang sepi di lereng bukit. Ketika
mereka tahu bahwa musuh tidak mengejar,
merekapun berhenti berlari-lari.
Ketika itulah awan hitam yang menaungi
rembulan tersibak perlahan oleh angin,
sehingga keempat orang itu dapat saling
memandang. Dengan jengkel Tong Hai Long membanting
kaki sambil menggerutu, "Untung benar si
bangsat Ni Keng Giau itu. Biarpun sudah jatuh
Kemelut Tahta Naga II/9 16 dari kedudukannya, ia masih dilindungi
pengawal-penga wal setangguh itu, Huh!"
Sambil menyarungkan pedangnya, Tong San
Hong tertawa dan berkata untuk meredakan
kejengkelan saudaranya, "Ni Keng Giau
bukannya dikawal sebagai orang terhormat,
namun sebagai narapidana yang dikhawatirkan
akan kabur. Biarpun kita belum berhasil
menghukumnya, tapi Ni Keng Giau sendiri pasti
amat menderita jiwanya oleh kejatuhannya itu.
Bayangkan, orang secongkak dia, tiba-tiba harus
digiring sebagai seorang pesakitan."
Kemudian Wan Lui juga ikut bicara. "Urusan
sakit hati, akupun ingin membalas kepada Ni
Keng Giau Dalam perang di Hek-liong-kang
bertahun-tahun yang lalu Guruku pernah
dikhianati Ni Keng Giau sehingga kehabisan
pasukan dan hampir saja ikut mati. Tapi kita
harus pandai memperhitungkan situasi, jangan
bertindak sembrono."
Suara Wan Lui menyadarkan mereka,
terutama Se-bun Hong-eng yang belum
mengucapkan terima kasih untuk pertolongan
Kemelut Tahta Naga II/9 17 Wan Lui tadi. Maka diapun memberi hormat
dan mengucapkan terima kasih kepada Wan
Lui. Menghadapi gadis yang menarik perhatiannya sejak bertemu di jalan tadi, Wan
Lui agak kikuk menghadapinya Namun ia
membalas hormat juga, sambil mengharapkan
bisa bercakap-cakap Jama dengan gadis itu.
Tapi ada yang cemburu melihat sikap Wan
Lui itu, tak lain adalah si berangasan Tong Hai
Long. Cepat-cepat pemuda itu menyerobot
berdiri antara Wan Lui dan Se-bun Hong-eng,
sehingga pandangan Wan Lui jadi terhalang.
Seolah-olah dengan sikapnya itu Tong Hai Long
mau berkata, "Jangan menatap dia terlalu
lama!" Namun, sambil memberi hormat pula Tong
Hai Long berkata, "Aku juga mengucapkan
terima kasih. Sobat, kalau kau ada keperluan.
lain di tempat lain, tentunya kami tidak berani
lama-lama menahanmu di sini."
Kemelut Tahta Naga II/9 18 Itulah pengusiran yang dicoba untuk
ditampilkan dengan halus, toh masih terasa
kasar juga. Tong San Hong diam-diam geleng-geleng
kepala melihat ulah saudara kembarnya itu.
Tapi ia tahu bahwa saudara kembarnya itu tidak
jahat, cuma kali ini sedang panas hatinya karena
cemburu. Sebenarnya, makin lama Wan Lui bisa
bercakap-cakap dengan Se-bun Hong-eng
tentunya makin senang. Tapi, mendengar
ucapan Tong Hai Long itu, Wan Lui jadi merasa
tidak enak tinggal di situ lebih lama. Sekali lagi
ia berpamit, terus memutar tubuh dan hendak
melangkah pergi. Namun Tong San Hong tiba-tiba berkata,
"Tunggu, sobat!" Wan Lui menghentikan
langkah, "Ada apa lagi?"
"Sobat, kalau tadi mataku tidak salah lihat,
dalam pertempuran tadi kau menggunakan ilmu
pukulan Thian-liong-kun-hoat dan tenaga dalam


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hwe-liong sin-kang. Apakah benar?"
"Benar." Kemelut Tahta Naga II/9 19 "Maaf, seandainya pertanyaanku di anggap
lancang. Siapakah gurumu, sobat?"
"Guruku bernama Pak Kiong Liong. Namun
atas permintaannya sendiri, aku tidak
memanggilnya Suhu, tapi kakek. Kakek Liong
tidak memberi pelajaran kepadaku secara lisan,
melainkan hanya meninggalkan catatan
untukku sebelum dia pergi."
Keterangan Wan Lui ini mau tidak mau
menarik perhatian si kembar. Pak Kiong Liong
adalah kakek mereka dari garis ibu, tak terduga
kini bertemu seorang yang mengaku sebagai
murid kakek mereka. Dan rasanya pemuda ini
tidak bohong, kakek mereka memang pernah
memimpin pasukan untuk berperang di Liautong selama hampir satu tahun, melawan
serbuan tentara Jepang. Mungkin saat itulah
sang kakek mendapat murid ini.
Tong San Hong menganggap pertemuan ini
menggembirakan. Sambil tertawa dia berkata,
"Ha-ha, sungguh suatu kebetulan. Gurumu itu,
sobat, bukan orang lain bagi kami berdua. Dia
adalah.. Kemelut Tahta Naga II/9 20 Wan Lui tersenyum dan berkata ce pat
mendahului, "Beliau adalah kakek kalian, itu
kuketahui ketika tadi melihat gerak silat kalian.
Aku pernah diberitahu guruku tentang cucucucu lelaki kembarnya. Yang satunya tenang
dan mantap seperti Puncak Gunung (San Hong),
satunya lagi berdarah panas, selalu bergelora
seperti Ombak Laut (Hai Long), tapi... belum
pernah kudengar kalau guruku itu punya cucu
perempuan," sambil memandang Se-bun Hongeng, sehingga Tong Hai Liong lagi-lagi harus
menggeser tubuh untuk menutupi pandangan
Wan Lui. Tanpa menggubris ulah saudara kembarnya
itu, Tong San Hong berkata dengan riang, "Kita
benar-benar bukan orang asing sobat. Kita
seperti saudara. Eh, aku belum tahu namamu."
"Namaku Wan Lui."
"Bagus, saudara Wan. Bagaimana kalau kita
lanjutkan perjalanan ini bersama" Kalau boleh
kami tahu, kemana tujuanmu?"
Buat Wan Lui, tawaran itu sungguh
menyenangkan. Tetapi sikap Tong Hai Long
Kemelut Tahta Naga II/9 21 membuatnya kurang enak. Lagipula, Wan Lui
merasa kurang pantas kalau, harus memisahkan
diri dari teman seperjuangannya, In Kiu Liong,
dan bergabung dengan orang lain. Biarpun In
Kiu Liong serba tertutup dan kadang-kadang
aneh, tapi kurang pantas meninggalkannya
begitu saja. In Kiu Liong nampaknya juga
enggan bertemu dengan orang-orang muda ini.
Karena itulah Wan Lui akhirnya memutuskan,
untuk sementara ia tidak harus bersama-sama
dengan ketiga orang ini. "Sungguh menyenangkan, melakukan perjalanan di alam bebas dengan teman-teman
sebaya. Tapi maaf, saat ini aku belum bisa.
Kalau saudara Tong tidak keberatan, tolong
beritahu aku saja dimana Kakek Liong berada
saat ini." "Kebetulan sekali, bulan depan kami akan
bertemu kakek di Hang-ciu. Tapi di mana
tempatnya yang pasti, kami agaknya masih
harus saling bertukar isyarat dengan Kakek
untuk menemukan tempat itu."
Kemelut Tahta Naga II/9 22 Wan Lui mengangguk-angguk kepalanya.
Sungguh suatu kebetulan, la dan In Kiu Liong
sedang membuntuti rombongan Ni Keng Giau
ke Hang-ciu, dan ternyata di kota itu ada
harapan akan bertemu dengan gurunya yang
dicarinya. Pikirnya, "Mudah-mudahan In Toa-ko
akan senang pula berjumpa dengan Kakek Liong
yang sering diakuinya sebagai teman
seperjuangannya itu."
"Apakah kesehatan guruku itu baik baik
saja?" tanya Wan Lui pula, untuk memuaskan
sebagian rasa rindunya. "Usianya sekarang sudah hampir de
lapanpuluh tahun," sahut Tong San Hong. "Tapi
untunglah, kesehatannya baik sekali. Barangkali
ini disebabkan oleh semangatnya yang tak
pernah padam." Mata Wan Lui nampak agak berkaca kaca
mendengarnya, ingin rasanya ia segera berada
di hadapan gurunya itu untuk bersembah sujud
kepadanya. "Baiklah, saudara Tong berdua dan nona Sebun, kita berpisah di sini dan mudah-mudahan
Kemelut Tahta Naga II/9 23 kelak bertemu lagi....."kata Wan Lui akhirnya.
'Tolong sampaikan sembah sujudku kepada
guruku itu." Habis itu, Wan Lui benar-benar melangkah
pergi meninggalkan mereka. Se-bun Hong-eng
menatap bayangan punggung yang tegap dan
gagah itu lenyap di balik tirai kabut malam yang
bergantung rendah. "Dia tampan sekali ya?" tiba-tiba Tong Hai
Long bertanya dengan nada mendongkol. Sebun Hong-eng menjadi merah mukanya dan
mengalihkan pandangan ke arah lain tanpa
menjawab. Sedang Tong San Hong lah yang
menjawab saudara kembarnya itu. "Benar. Tapi
se benarnya kau tidak perlu iri kepadanya, Ahai. Soal tampang, kau tidak kalah dari dia,
hanya saja..." "Hanya apa" Ilmu silatku kalah tinggi
dibandingkan dia?" Sambar Tong Hai Long
dengan hati yang panas. Biarpun umurnya cuma tua beberapa menit,
Tong San Hong memang sok berlagak orangtua
terhadap saudara kembar nya, begitu pula kali
Kemelut Tahta Naga II/9 24 ini, "Ya, ilmu silatnya memang lebih tinggi dari
kita. Soal ini kita harus berani mengakuinya
secara jantan." "Siapa bilang tidak mau mengakuinya" Tapi
tingkat ilmu silat seseorang itu tidak berjarak
tetap dengan tingkat orang lainnya. Ada yang
ilmunya tinggi, karena malas latihan lalu jadi
merosot. Sebaliknya ada yang tadinya berilmu
rendah, karena rajin latihan lalu mening kat
ilmunya. Kalau penilaian seseorang itu cuma
berdasarkan ilmu silat, sungguh penilaian itu
tidak kekal. Saat ini aku kalah dari si.. si..,., siapa
tadi?" "Wan Lui!" "Ya.... si Wan Lui itu. Tapi lihat saja. Aku
akan berlatih dengan giat, dan kelak harus
menjajal kehebatannya!"
Mendengar jawaban dengan hati panas itu,
Tong San Hong jadi geli sendiri dan menggoda
lebih hebat, "Lho, kesurupan apa kau malam ini,
A-hai" Ada banyak orang yang ilmunya lebih
tinggi daripadamu, tetapi kenapa kau tidak
jengkel kepada mereka, dan hanya kepada Wan
Kemelut Tahta Naga II/9 25 Lui saja" Ha-ha, aku tahu. Tentu kau jengkel
kepadanya karena dia keseringan melirik
kepada A-eng bukan?"
Keruan wajah Se-bun Hong-eng menjadi
merah padam karena dia "di-srempet" padahal
ia merasa "sudah minggir". Selagi Tong Hai
Long masih gelagapan mencari jawaban, Se-bun
Hong-englah yang sudah membalas Tong San
Hong, "He, A-san kau sendiri tidak tahu malu,
apakah kau tidak merasa?"
"Tidak tahu malu" Dalam soal apa?"
"Tadi kau memuji A-hai, katamu A-hai tidak
kalah tampang dengan........dengan... dia tadi.
Bukankah itu sama dengan memuji dirimu
sendiri, sebab kalian kembar dan berwajah
serupa?" "Oh iya..." Tong San Hong menganggukangguk dengan gaya ketolol-tololan. "Baik
kuralat omonganku tadi. Memang menurut
pandanganmu, mana bisa aku dan A-hai
menyamai Wan Lui yang begitu gagah, tampan,
lihai ilmu silatnya dan... huaaah!!"
Kemelut Tahta Naga II/9 26 Tong San Hong tak sempat menyelesaikan
olok-olok itu, sebab Se-bun Hong-eng tiba-tiba
menginjak jempol kakinya keras-keras.
Namun dalam hati Se-bun Hong-eng
sebenarnya ada rasa senang juga. Baginya, Wan
Lui memang lebih mengesankan dari Tong Hai
Long. Soal tampang memang sama saja, namun
sifat Tong Hai Long yang penaik darah dan
sering tak terkendali itu lebih banyak
menjengkelkannya daripada menyenangkan.
Sedangkan Tong San Hong sebaliknya, kelewat
sabar sampai mirip dengan kakek-kakek, kalau
bicara seperti menasehati cucu-cucunya saja
padahal umurnya baru duapuluh satu. Se-bun
Hong-eng merasa kurang "pas" dengan sifat
masing-masing saudara kembar itu, yang "pas"
ya ya....ya Wan Lui itulah.
Mereka lalu berjalan kembali ke tempat
penginapan. Lewat jalan lain, Wan Lui pun kem
bali ke desa itu. Dengan amat hati-hati Wan Lui mendekati
dinding belakang penginapannya yang bersebelahan dengan penginapan lain yang
Kemelut Tahta Naga II/9 27 digunakan oleh rombongan Ni Keng Giau.
Tempat yang beberapa saat yang lalu menjadi
ajang pertempuran itu, kini sudah sepi, namun
Wan Lui tetap dalam kewaspadaan tinggi.
Seringan sehelai daun kering diangkat oleh
angin, Wan Lui melompati dinding dan
mendarat di halaman belakang penginapan itu,
dan berjingkat tanpa suara ke dalam kamarnya
kembali. Ia sudah memutuskan, kalau In Kiu
Liong terbangun dan menanyakan apa yang
terjadi, ia akan bercerita terus-terang apa saja
yang dialaminya. Namun begitu menyelinap masuk ke dalam
kamar, dilihatnya lilin di kamar itu masih
menyala, tapi In Kiu Liong sudah tidak ada lagi
di pembaringannya. Cuma ada sehelai surat di
atas bantal, yang cepat-cepat dibaca oleh Wan
Lui. "Wan-heng, maaf aku meninggalkanmu
karena ada urusan penting yang mendadak.
Untuk biaya perjalananmu selanjutnya, Wanheng boleh menjual kuda yang kutunggangi,
sebab aku melanjutkan perjalanan dengan jalan
Kemelut Tahta Naga II/9 28 kaki. Mudah-mudahan kelak kita bertemu lagi.
Dari sahabat seperjuanganmu dalam cita-cita
luhur." In Kui Liong. Wan Lui membaca surat itu tanpa kesan
apa-apa, tawar saja hatinya. Yang ada hanyalah
kesan bahwa In Kiu Liong ini memang rasa
misterius sepak terjangnya. Melakukan apapun
serba sembunyi-sembunyi. Ada "urusan
penting" macam apa sehingga harus pergi di
larut malam itu" Wan Lui kemudian melepas sepatu dan baju
luarnya, lalu tidur untuk membebaskan
pikirannya dari macam-macam beban. Toh raut
wajah Se-bun Hong-eng tak begitu gampang
diusir dari pelupuk matanya. Belum-belum
sudah kangen. Esok harinya, rombongan demi rombongan
meninggalkan, desa kecil itu. Rombongan Ni
Keng Giau lebih dulu, yang nampak bersikap
waspada. Disusul dengan rombongan Tong San
Hong bertiga yang belum kapok juga
Kemelut Tahta Naga II/9 29 membuntuti nya dari kejauhan. Dan yang paling
lambat berangkatnya adalah Wan Lui, karena


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum berangkat ia harus menjual dulu kuda
In Kiu Liong dan uangnya untuk membayar
penginapan. Meskipun Wan Lui ingin sekali
menyusul dan bergabung dengan rombongan
Tong San Hong, tapi ia jadi merasa segan kalau
membayangkan wajah Tong Hai Long yang
angker. Begitulah tiga gelombang orang ber kuda itu
menuju ke arah yang sama.
Hang-ciu. * * * Itu adalah sebuah perjalanan yang paling
menyiksa batin Ni Keng Giau. 'Tiga perempat"
jiwanya masih dikuasai angan-angan bahwa
dirinya adalah seorang bangsawan yang patut
disembah sujud-i, sementara "seperempat"
sisanya sudah menginjak bumi kenyataan
bahwa perjalananya dari Tan-liu ke Hang-ciu
Kemelut Tahta Naga II/9 30 adalah perjalanan dari puncak kejayaan ke
kehinaan. Karena itulah sepanjang perjalanan
Ni Keng Giau bertingkah laku tidak seimbang.
Kadang-kadang berteriak-teriak dan membentak-bentak, menyuruh semua orang
menyembah diri nya. Dilain saat dia begitu
menurut diperintahkan apa saja oleh jago-jago
Ci-ih Wi-kun yang mengawalnya. Bahkan oleh
Su-ma Hek-long atau Wan-yen Coan sering
disepak pantatnyapun cuma nyengir saja.
Sering dalam diri Ni Keng Giau muncul niat
yang amat kuat untuk bunuh diri, namun niat
itu selalu tertahan oleh munculnya pikiran lain
yang diada-adakannya sendiri. "Jangan mati
dulu, masih ada harapan aku kembali ke
kedudukanku. Sribaginda hanyalah ingin
menguji kesetiaan dan kepatuhanku, sebelum
mengangkatku kembali. Tidak, aku tidak boleh
mati. Kalau Sribaginda benar-benar berniat
menyingkirkan aku, tentu akan langsung
disuruhnya Hiat-ti-cu membunuhku, seperti ia
pernah menyuruhku membunuh Pangeran In Te
Kemelut Tahta Naga II/9 31 di Jing-hai. Ah, ini bukan hukuman. Ini cuma
ujian kesetiaan." Dengan adanya pikiran macam itu, paling
tidak niat bunuh dirinya bisa diredakan.
Dan selagi semangatnya untuk terus hidup
meninggi, ia sering ketakutan kalau melihat di
antara jago-jago Ci ih Wi-kun itu ada yang
berbicara bisik-bisik. Khawatir kalau mereka
merencanakan untuk membunuhnya di tengah
jalan. Pernah semalaman Ni Keng Giau tidak
tidur di kasurnya di penginapan, melainkan
cuma bertiarap di kolong ranjang, semalam
suntuk tidak memejamkan mata sekejappun,
sambil terus menerus menghunus pedang.
Akhirnya tembok kota Hiang-ciu nampak di
depan mata. Itulah sebuah kota yang dulu
pernah juga disebut lim-an, ketika Kaisar Sengkhin-cong memindahkan ibukota Kerajaan Seng
dari Pian-liang di utara ke Lim-an, tahun 1126,
karena serbuan Kerajaan Kim dari utaraNamun kemudian Seng-khin-cong lari karena
tekanan musuh, dan tahta diambil alih oleh
Kemelut Tahta Naga II/9 32 Song-ko-cong, adiknya, dan mulailah era yang
disebut Kerajaan Lam-seng (Seng Selatan).
Jaman Kerajaan Beng, Hang-ciu pernah juga
menjadi ibukota dengan nama Lam-khia,
sebelum Pangeran Yan ong memberontak
terhadap Kaisar Kian bun, lalu memindahkan
ibukota ke Pak-khia sampai berakhirnya dinasti
Beng. Ketika rombongan Ni Keng Giau tiba di
Hang-ciu, sambutan penguasa Hang-ciu biasa
saja, karena mereka sudah mendapat
pemberitahuan dari pusat bahwa Hang-ciu akan
mendapat seorang pelatih tentara "yang agak
istimewa". Namun dalam pemberitahuan itu
juga dicantumkan pesan agar Ni Keng Giau
diperlakukan sesuai dengan pangkat barunya.
Karena itulah Ni Keng Giau tidak disambut
besar-besaran. Setelah diterima secara resmi
dan dingin di gedung Cong peng-hu, Ni Keng
Giau langsung dikirim ke salah satu barak
tentara, jalan kaki memanggul sendiri buntalan
pakaian-pakaiannya, dan pengantarnya cuma
seorang serdadu tua yang biasanya bertugas
Kemelut Tahta Naga II/9 33 mengantarkan surat-surat tidak penting antar
tangsi. Sebelum itu, tugasnya adalah meniup
nafiri setiap pagi di menara tangsi, namun sejak
sakit batuknya menghebat, dengan pertimbangan kemanusiaan tugasnya diganti
menjadi pengantar surat. Kinipun dia melangkah di samping Ni Keng
Giau sambil terbatuk-batuk terus, sehingga Ni
Keng Giau jadi kesal. Kemudian ia menunjukkan
sebuah ruangan di salah satu tangsi, yang harus
didiami Ni Keng Giau selama bertugas sebagai
pelatih. Malamnya Ni Keng Giau harus tidur di
sebuah ruangan besar bersama '"perajuritperajurit dan perwira-perwira rendahan yang
paling tinggi saja cuma berpangkat tui-thio. Di
ruangan itu direntangkan tali-tali silang
menyilang, digantungi celana-celana para
perajurit yang bau keringat atau habis dicuci
sehingga airnya masih menetes-netes. Udara
segar menjadi barang mewah diruangan itu.
Sebelumnya, Ni Keng Giau harus ikut antri
makan malam di dapur tangsi, karena tak
Kemelut Tahta Naga II/9 34 seorangpun mau diperintah mengambil
makanannya, tak peduli ia sudah menyebutkan
serentetan pangkat, gelar dan kedudukan yang
pernah dimilikinya. Ni Keng Giau hampir menangis mengalami
semuanya itu. Namun senantiasa di kuat-kuat
kannya jiwanya sendiri menghadapi ujian
"kesetian dan kepatuhan" dari Kaisar itu.
Malam harinya, ia mendapat sedikit
kebanggaan ketika ternyata masih banyak
orang yang mau mendengarkan kisahnya ketika
berperang di Jing-hai. Di Jing-hai dulu, ia dikitari
pembantu-pembantu-nya yang paling rendah
saja berpangkat Cam-ciang, bersikap amat
tertib, dibawah lambaian ribuan bendera yang
megah. Sekarang, ia dikelilingi pendengarpendengar yang paling tinggi berpangkat tuothio,
mendengarkan kisahnya sambil mencungkil-cungkil gigi atau mengorek-ngorek
hidung dengan jarinya sambil kentut berulang
kali, dibawah lambaian puluhan celana luar
maupun dalam yang digantungkan pada tali
yang melintasi ruangan itu bagaikan bendera.
Kemelut Tahta Naga II/9 35 Namun buat Ni Keng Giau sudah terasa
lumayanlah. Setidak-tidaknya ia bisa bercerita
untuk membanggakan kejayaan yang pernah
dialaminya. Sebenarnya Ni Keng Giau masih ingin
bercerita panjang lebar, tapi satu persatu
pendengar-pendengarnya mulai menguap lalu
berbaring di dipannya masing-masing. Terpaksa
Ni Keng Giau berbaring juga. Namun ia tak
dapat segera memejamkan matanya. Matanya
berkedap-kedip menatap rusuk-rusuk atap di
atasnya, namun angan-angannya menerawang
jauh entah kemana. Masihkah akan terulang
kejayaannya yang dulu"
"Masih ada masa depan gemilang buatku.
Semua yang sekarang ini hanyalah tindakan
Sribaginda untuk menguji diriku," ia jawab
sendiri semua keraguannya. Lalu dibawanya ke
alam mimpi. Alam di seberang kesadaran itu sungguh
nikmat, jauh dari kenyataan yang begitu keras
dan pahit. Namun sial, kadang-kadang keras dan
Kemelut Tahta Naga II/9 36 pahitnya kenyataan itu ikut menyeberang pula
ke alam mimpi dan menghasilkan mimpi buruk!
Keesokan harinya, dengan tekad akan
melewati ujian ''kesetiaan" itu sebaik-baiknya,
Ni Keng Giau mulai tugas barunya sebagai
pelatihnya. Para perajurit dibawanya kelapangan.
Pertama-tama latihan main tombak dan pedang.
Kemudian diajarinya bagaimana bergerak
sebagai satu pasukan, bukan bertindak sendirisendiri.
Sampai sekian, otaknya masih waras.
Para perajurit dengan bersungguh-sungguh
menuruti petunjuk-petunjuk Ni Keng Giau
dengan berserrtangat, sebab pelatih mereka kali
ini adalah bekas jenderal penakluk Jing-hai yang
beberapa saat yang lalu naManya masih
menjadi buah bibir di Pak-khia.
Ni Keng Giau berdiri di atas sebuah
panggung terbuka kecil di tengah lapangan,
kedua tangannya memegangi bendera-bendera
kecil yang dikibar-kibarkan untuk menggerakkan pasukannya dilapangan. Kemelut Tahta Naga II/9 37 Sebentar-sebentar terdengar gelegar sorak
mereka. Mereka seolah menguasai lapangan itu
dengan gerak pasukan maju lurus, menebar,
melingkar, mengurung, mundur dan menjebak
dan sebagainya. Tangkas sekali.
Ketika Ni Keng Giau mengayunkan sepasang
bendera kecilnya lurus ke depan, sayap kanan
dan sayap kiri serempak menyerbu musuh di
depan. Bukan musuh benar-benar, namun
sederetan pepohonan di pinggir lapangan yang
diumpamakan sebagai musuh. Dengan penuh
semangat, para perajurit mulai melabrak
pepohonan itu. Melihat gerak-gerik barisan di lapangan itu,
Ni Keng Giau tersenyum bangga, merasa dirinya
kembali menjadi jenderal agung yang
memimpin jutaan perajurit. Ia mulai melamun,
terbang ke alam mimpi. . Sementara itu, para perajurit yang tengah
"menggempur musuh" itu mulai kelelahan. Juga
malu, sebab banyak orang yang lewat di pinggir
lapangan itu heran melihat ulah para perajurit.
Belum pernah penduduk Hang-ciu melihat
Kemelut Tahta Naga II/9 38 adegan perajurit bertempur sengit melawan
pepohonan, biarpun cuma latihan.
Perajurit-perajurit itu mulai agak menggerutu satu sama lain.
"Kapan selesainya gempuran ini" Apakah
sampai pohon-pohon besar-besar itu habis
roboh semua?" "Dalam pertempuran yang benar-benar pun
setelah sekian lama tentu sudah harus ada
tindakan lanjutan." "Mestinya kita sudah mundur, lalu pasukan
tengah yang maju menusuk ke pasukan musuh."
"Kok belum terdengar aba-aba lagi?"
Salah seorang perajurit menoleh ke
panggung terbuka di tengah lapangan, dan
terdengarlah seruan kagetnya, "Astaga, apa
yang sedang dilakukan pelatih kita itu?"
"Pertempuran" berhenti secara otomatis,
semua perajurit menoleh ke tengah apangan.
Dilihatnya sang pelatih sudah turun dari
panggung kecil itu, dan berjongkok sambil


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memunguti sesuatu dari tanah. Pasukannya
sudah tidak dipedulikan lagi.
Kemelut Tahta Naga II/9 39 Para perajurit saling berpandangan dengan
heran. Seorang berpangkat tui-thio lalu
mewakili rekan-rekannya untuk mendekati Ni
Keng Giau dan menanyakan bagaimana
kelanjutan latihan itu. Sementara perajuritperajurit mulai duduk-duduk berteduh di
bawah pepohonan, tui-thio itu berjalan
mendekati Ni Keng Giau di dekat panggung.
Makin dekat tui-thio itu dengan Ni Keng
Giau, keheranannya makin bertambah. Sebab
dilihatnya Ni Keng Giau dengan asyik sekali
tengah mengumpulkan benang-benang merah
yang berceceran di rerumputan. Benang-benang
merah itu adalah rontokan ronce-ronce tombak
para perajurit selama latihan tadi.
"Buat apa Goan-swe kumpulkan itu?" tanya
tui-thio yang tetap memanggil Ni Keng Giau
dengan sebutan "Goan swe", namun sambil
bertolak pinggang dengan tangan kiri dan
tangan kanannya menggaruk-garuk pantat.
Ni Keng Giau berdiri sambil tersenyum
aneh, tanpa menjawab. Lalu mengeloyor pergi
Kemelut Tahta Naga II/9 40 begitu saja sambil menggenggam segenggam
berodolan ronce tombak. Si tui-thio mengikuti langkahnya sambil
bertanya, "Goan-swe, bagaimana dengan
latihannya" Dilanjutkan apa tidak?"
Ni Keng Giau tiba-tiba membalik tubuh,
berdiri dengan tegap dan membentak gusar,
"Latihan" Kaukira perang di Jing-hai itu cuma
main-main" Bahkan negara sebesar Rusia juga
ikut mendalangi pemberontakan itu" Tapi, lihat,
Jing-hai berhasil kutaklukkan!"
Sambil menengadah bangga, ia melambaikan tangan menunjuk ke sekitar
lapangan Sedang si tui-thio kebingungan dan
berhenti menggaruk pantarnya, "Lalu.... lalu....
bagaimana dengan pasukan ini?"
"Atur barisan, kibarkan semua bendera
kemenangan. Lalu.... berbaris ke Pak-khia!"
"Berbaris ke Pak-khia"!" kopral itu
terkesiap. "Berbaris ke Pak-khia" Apakah
maksud Goan-swe, panggung ini pura-puranya
dianggap Pak-khia dan setelah kita menang
perang lalu berkumpul kembali di sini, begitu?"
Kemelut Tahta Naga II/9 41 Dari mulut Ni Keng Giau keluarlah jawaban
yang sama sekali tidak nyambung dengan
pertanyaannya, "Setelah pelantikanku di Pakkhia, pasukan akan langsung berbaris ke Sengtoh, ibukota Se-cuan. Di sana aku akan mulai
memerintah sebagai raja muda dengan gelar It
teng-kong!" Habis berkata demikian, Ni Keng Giau
melangkah meninggalkan lapangan dengan
langkah lebar dan anggun. Sebelah tangannya
masih menggenggam be-rodolan ronce tombak,
ditinggalkannya si tui-thio berdiri terlongonglongong.
"Apa-apaan ini?" gerutu si tui-thio sendirian
sambil menatap punggung Ni Keng Giau yang
menjauh. "Tadinya dia baik-baik saja, kenapa
sekarang tiba-tiba mengeluarkan perintah yang
tak keruan ini?" Karena merasa tak mampu sendirian
mengartikan kata-kata Ni Keng Giau itu, tui-thio
itu lalu melangkah ke arah teman-temannya
yang sedang berteduh di bawah pohon.
"Bagaimana?" sambut seorang kawannya.
Kemelut Tahta Naga II/9 42 "Atur barisan, naikkan bendera, lalu
berbarislah ke Pak-khia. Setelah pelantikan, dari
Pak-khia ke Seng-toh!"
"Apa"!" hampir semua perajurit yarg masih
kelelahan itu berseru kaget dan melompat
bangun. "Memangnya jarak dari Hang-ciu ke Pakkhia langsung ke Seng-toh itu dekat?"
"Kenapa tidak sekalian diperintahkan sanhai-koan, lalu menyusuri tembok besar agar
kaki kita patah semua"!"
Beberapa saat para perajurit itu ribut
membicarakan perintah tak masuk akal itu. Di
antara komentar-komentar yang serabutan itu
akhirnya muncul satu usul yang paling masuk
akal, "Bagai mana kalau kita laporan kepada
Cong-peng saja?" Semua perajurit berseru setuju.
Begitulah, para perajurit bukannya berbaris
ke Pak-khia, melainkan ke gedung Cong-penghu untuk laporan kepada Panglima Hang-ciu
yang bernama Kang Bun Hou. Sang Panglima
Kemelut Tahta Naga II/9 43 juga tak mampu memecahkan soal itu lalu
menyuruh bubaran saja. Dari Cong-peng-hu para perajurit tidak
berbaris ke Seng-toh, ibukota Se-cuan, tapi ke
warung arak. Di sana ada makanan enak. Dan
berangkatnya tidak usah mengibarkan bendera
segala. Dari warung arak itu sekaligus beredar
melu uaslah cerita tentang "keanehan" pelatih
baru di Hang-ciu itu. Hari-hari berikutnya Ni Keng Giau tetap
menjalankan tugasnya sebagai pelatih. Kadangkadang waras, kadang-kadang sinting. Sial buat
regu-regu perajurit yang kebagian giliran
latihan selagi pelatihnya kumat, sebab mereka
akan mendapat instruksi yang tak keruan.
Tetapi bagi yang mengikuti latihan selagi Ni
Keng Giau waras, haruslah mengakui bahwa
taktik-taktik perang baru yang diajarkan Ni
Keng Giau itu bermutu cu kup tinggi.
**** Kemelut Tahta Naga II/9 44 Warung arak di dekat tangsi itu cukup laris,
siang maupun malam. Sebagian besar
pengunjungnya adalah perajurit-perajurit yang
tidak sedang bertugas, namun ada juga orangorang lain yang bukan perajurit.
Dengan langkah lamban dan pandangan
kosong, Ni Keng Giau masuk ke warung itu,
diiringi seorang perajurit yang berjalan di
belakangnya. Sesaat la hanya berhenti
melangkah dan berdiri di ambang pintu, tatapan
matanya yang tanpa gairah nampak agak
kebingungan melihat suasana tempat itu. Itulah
pertama kalinya ia berkunjung ke situ.
Beberapa perajurit yang sudah setengah
mabuk, mengangkat cawan araknya tinggitinggi sambil berteriak, "Mari, Goan-swe!
Nikmati arak di sini, lumayan rasanya!"
Para perajurit memang sudah dikenal oleh
si pemilik warung, karena jadi langganan di situ,
namun Ni Keng Giau belum dikenalnya. Pemilik
warung itu heran mendengar panggilan "Goanswe" (jenderal) terhadap Ni Keng Giau. la lihat
pakaian Ni Keng Giau tak berbeda dengan
Kemelut Tahta Naga II/9 45 perwira-perwira rendahan, apakah ini seorang
jenderal yang menyamar"
Tapi karena Ni Keng Giau berdiri tepat di
ambang pintu yang sempit, sehingga
mengganggu keluar masuknya para pengunjung
warung, maka si pemilik warung memberanikan diri untuk mendekati Ni Keng
Giau sambil terbungkuk-bungkuk hormat.
Katanya, "Hamba sungguh berbahagia, sehingga
Goan-swe berkenan mengunjungi tempat
hamba yang buruk ini. Kalau Goan-swe
berkenan, silahkan Goan-swe memilih tempat
duduk, hamba akan melayani Goan-swe
sehingga....... hah, apa"!"
Kiranya, selagi si tukang warung bicara, ia
melihat isyarat dari perajurit yang berdiri di
belakang N i Keng Giau. Perajurit itu menempelkan jari telunjuknya
miring di jidatnya sendiri, sambil menunjuknunjuk punggung N i Keng Giau.
Sebenarnya saat itu Ni Keng Giau sedang
terbuai sanjung puji si tukang warung yang
melambungkannya ke awang-awang. Tapi ia
Kemelut Tahta Naga II/9 46 heran ketika si tukang warung mendadak
berhenti bicara dan memandang ke belakang Ni
Keng Giau sambil menjulur-julurkan leher dan
membelalakkan mata. Ni Keng Giau ikut
menoleh ke belakang, dan perajurit di
belakangnya buru-buru pura pura mengusapusap jidatnya seolah baru saja kejatuhan
kotoran cecak. "Ada apa?" tanya Ni Keng Giau kepada
perajurit itu. "Tidak.... tidak apa-apa, Goan-swe.." si
perajurit menjawab dengan gugup, lalu cepatcepat mengalihkan perhatian. "Eh, itu, di sana
ada tempat duduk kosong, Goan-swe......"
Setengah menuntun setengah mendorong,
perajurit itu mengajak Ni Keng Giau menuju ke
tempat kosong itu. Lalu si Perajurit segera
memesankan arak dan beberapa macam
makanan. Si tukang warung menyiapkan pesanan,
masih dengan perasaan kurang paham. Para
perajiPit memanggil orang baru itu dengan
sebutan "goan-swe" tapi kenapa bersikap begitu
Kemelut Tahta Naga II/9 47 tidak hormat Perajurit yang mengantarnya pun
tidak mempersilahkan dengan hormat, tapi
mendorong-dorong punggungnya.
"Jenderal macam apa ini?" pikir si tukang
warung. "Ini pastilah si pelatih sinting yang
sering dibicarakan para perajurit itu. Baru
sekarang aku melihat orangnya."
Setelah beberapa cangkir arak ditenggak,
mulailah Ni Keng Giau berbicara dengan suara
keras, sehingga seisi warung mendengarnya
semua, la berkisah tentang masa kejayaannya,
saat jutaan perajurit tunduk semua kepada
perintah nya hanya dengan isyarat ujung
jarinya, bagaimana dia menghancurkan musuh
di Jing-hai, bagaimana Kaisar Yong Geng sendiri
menganggapnya sebagai saudara!
Para perajurit banyak yang menjadi jemu,
sebab cerita itu sudah diulang entah berapa kali,
ya begitu-begitu saja. Namun ada juga yang
merasa iba kepada Ni Keng Giau, lalu berpurapura mendengarkan agar Ni Keng Giau merasa
diperhatikan. Kemelut Tahta Naga II/9 48 Tengah asyik-asyiknya bercerita, tiba-tiba
wajah Ni Keng Giau memucat, matanya
terbelalak menatap pintu warung, mulutnya
bungkam seketika. Sesaat kemudian, barulah ia
mendesiskan ka ta-kata bernada ketakutan,
"Hantu........hantu____ oh, tidak. Bukankah kau
seharusnya sudah mati di Jing-hai?"
Dan tubuhnya seolah membeku menjadi
patung di kursinya. Banyak pengunjung warung ikut menoleh
ke pintu untuk melihat macam apa "hantu" itu.
Ternyata cuma dua orang lelaki yang sama
sekali tidak menakutkan. Yang satu berusia
kira-kira empat puluh tahun, bertubuh ramping,
kulitnya yang bersih dan kerapian kumis serta
jenggotnya membuat ia bertampang ningrat.
Jubahnya sederhana tapi rapi. Yang seorang lagi
adalah pemuda berusia kira-kira duapuluh
tahun, menggendong pedang di punggungnya,
tatapan matanya menyala, menunjukkan
wataknya yang keras. Kedua orang itu sebenarnya hendak
memasuki warung dengan maksud yang wajar
Kemelut Tahta Naga II/9 49 saja, untuk makan minum. Namun begitu
melihat Ni Keng Giau, pemuda itu sikapnya
menjadi beringas, tangan kanannya dengan
gerak kilat telah menjangkau tangkai
pedangnya, siap untuk menghunusnya.
Tapi gerakannya tertahan oleh lelaki
bertampang keningratan itu, yang cepat-cepat
memegang pundak pemuda itu, lalu menariknya
menjauhi warung sambil membisiki si pemuda.
"Tahan ke marahanmu, A-hai. Di tempat ramai


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan di siang hari bolong macam ini, bukan hal
tepat untuk melakukan tindakan yag menarik
perhatian." Si pemuda nampak masih penasaran, tapi
enggan membantah orang yang lebih tua itu.
Sambil melangkah menjauhi warung itu, ia
masih sering menoleh ke warung dengan
tatapan penuh kemarahan. Gerutunya, "Inilah kedua kalinya bangsat Ni
Keng Giau lepas dari pedangku. Hem, keenakan
dia." "Jangan gegabah, A-hai. Ingat, sekali timbul
keributan, jejak kita akan menarik perhatian
Kemelut Tahta Naga II/9 50 penguasa militer kota ini, dan berarti kesulitan
bagi kita. Ingat, kita ini buronan bukan"
Lagipula, kakekmu takkan setuju kalau kau
bunuh Ni Keng Giau dalam keadaan yang
sekarang ini." "Kenapa" Dosa orang she Ni itu sudah
terlalu bertumpuk-tumpuk, entah berapa
banyak orang tak berdosa yang menjadi
korbannya. Kakek sendiri pernah dikhianatinya
di Hek-liong-kang. Paman sendiri juga pernah
mengalami penghinaan dan penindasannya
ketika ikut dalam pasukan yang menggempur
Jing-hai, kenapa sekarang Paman mencegahku
membunuh dia?" "Karena dia sudah jatuh, bahkan nampaknya otaknya sudah tidak waras. Tidak
terlalu kejamkah kita kalau masih juga ingin
membalas dendam kepada seseorang yang
sudah cukup menderita seperti dia?"
Pemuda itu, Tong Hai Long, akhirnya cuma
bisa menggerutu dalam hati, Kakek Liong dan
Paman In Te terlalu bermurah hati tapi tidak
kepada orang yang tepat. Ni Keng Giau adalah
Kemelut Tahta Naga II/9 51 serigala yang tega menggunakan cara sekotor
apapun untuk mencapai tujuannya. Inilah
barangkali penyebab utama kenapa Kakek
Liong dan Paman In Te kalah dalam perebutan
kekuasaan, sebab terlalu berperasaan dan
terlalu menuruti peraturan. Bahkan terhadap
orang yang patut dibenci sekalipun."
Tapi ia tidak membantah lagi ketika In Te,
yang emoh disebut "pangeran" lagi itu, terus
menuntunnya menjauhi warung tadi.
Saat itu mereka berada di Hang-ciu dalam
rangka perjalanan ke Pak-khia. Bukan karena In
Te kembali berkecimpung dalam kancah
perebutan kekuasaan, melainkan untuk
menghubungi pendukung-pendukung setianya
agar mengalihhkan dukungan mereka kepada
Pangeran Hong lik saja. Pangeran Hong lik
dianggap pantas didukung, sedang In Te sudah
rela melepaskan semua peluang bagi dirinya
sendiri. Inilah yang diam-diam kurang disetujui
oleh Tong Hai Long. Kaisar Yong Ceng berhasil
mendapatkan tahta dengan cara yang curang,
Kemelut Tahta Naga II/9 52 kok malah sekarang akan dibantu diam-diam
untuk mewariskan tahta kepada keturunannya"
Tapi kalau Tong Hai Long mengutarakan
protesnya, ia malah akan dihujani petuah
panjang lebar oleh Kakeknya atau oleh In Te
sendiri. Tentang keluhuran budi Pangeran Hong
Lik, dan hendak nya jangan dilihat sebagai
keturunan Yong Ceng yang kejam, dan
sebagainya. Bahkan ayah ibu Tong Hai Long,
saudara kembarnya, Se-bun Hong-eng, semuanya nampaknya juga sepaham dengan In
Te. Mereka tiba di sebuah penginapan 'yang
letaknya agak tersembunyi dari jalan besar, dan
langsung menuju ke salah satu ruangan di
bagian belakang. Di dalam ruangan itu, ternyata
sudah nampak Pak Kiong Liong, Tong San Hong
dan Se-bun Hong-eng yang sedang bercakapcakap sambil minum teh.
"Lho,kenapa secepat ini kalian kembali?"
tanya Pak Kiong Liong heran, ketika melihat In
Te dan Tong Hai Long memasuki ruangan itu.
Tong Hai Long yang menyahut,
Kemelut Tahta Naga II/9 53 "Kakek, baru saja aku kehilangan
kesempatan bagus untuk membunuh si durjana
Ni Keng Giau itu. Sayang sekali, Paman In Te
mencegah aku." Lebih dulu In Te mengambil tempat duduk,
baru berkata, "Memang kucegah A-hai
bertindak sembrono. Selain akan merepotkan
kita kalau jejak kita sampai menarik perhatian
pihak penguasa, juga sudah tidak ada gunanya
kini saat ini mencincang Ni Keng Giau
sekalipun." "Tapi kita lalu berarti membiarkan
kejahatan Ni Keng Giau tak terhukum!" bantah
Tong Hai Long yang masih pena saran.
Pak Kiong Liong mengelus jenggotnya yang
memanjang seperti helai-helai benang perak,
sambil menyabarkan nya itu, "Siapa bilang tak
terhukum" Memang bukan tangan kita yang
menghukumnya, tapi dia jelas sudah terhukum.
Buat orang yang sombong dan ambisius macam
dia, kejatuhannya dari kedudukannya itu pasti
lebih menyakitkan dari hukuman macam
apapun. Buktinya, jiwanya tidak tahan sehingga
Kemelut Tahta Naga II/9 54 menunjukkan tanda tanda kegilaan. Tapi kita
tidak boleh membiasakan diri untuk mensyukuri kecelakaan orang lain, apalagi ikutikutan menambah berat penderitaan, biarpun
terhadap musuh. Itu tidak perlu, merugikan diri
kita sendiri, merusak watak kit a sendiri."
Tong Hai Long menunduk mendengar katakata kakeknya itu. Sementara Pak Kiong Liong
melanjutkan, "Dengan bercermin pada diri Ni
Keng Giau, kita harus mewaspadai diri sendiri.
Sejarah mencatat, tidak jarang suatu cita-cita
yang mulanya nampak benar dan luhur, bersih
dari kepentingan pribadi, tahu-tahu dalam
prosesnya ketujuan tak terasa mulai diboncengi
ambisi-ambisi pribadi yang mulanya tidak
kentara. Akhirnya, pencapaian cita-cita perjuangan yang semula lalu bercampur aduk
dengan perjuangan untuk diri sendiri. Tak
jarang cita-cita luhur yang semula malahan
terdesak minggir atau lenyap sama sekali.
Artinya, pencapaian sasaran jadi melenceng
dari arah yang semula,"
Kemelut Tahta Naga II/9 55 In Te mengangguk-anggukkan kepala dan
ikut berkomentar, "Betul, Paman. Contoh paling
nyata ya Ni Keng Giau itu. Dulu dia mengabdi
dengan tulus kepada Kakanda Yong Ceng. Dan
seandainya sampai sekarang ia masih memiliki
ketulusan itu, tentunya mengabdi dalam
keadaan apa saja akan dilakukannya dengan
senang hati. Tapi karena dia sudah jadi ambisius
dan gila hormat, maka ketika dia kehilangan apa
yang membuatnya dihormati, sintinglah dia.
Sedangkan contoh pengabdian yang tulus
adalah Paman Pak Kiong Liong sendiri. Sebagai
Panglima Hui-liong-kun dulu, Paman mengabdi
sebaik-baiknya dan tetap mengutamakan
keselamatan negara. Ketika paman dilucuti,
bahkan hidup sebagai buronan pun, tujuan
hidup Paman tetap tak tergeser, tetap
mengutamakan keutuhan dan keselamatan
negara. Pengabdiannya tidak terpengaruh
apakah sedang memangku pangkat atau tidak."
Pak Kiong Liong tersenyum dan balas
memuji. "Dan kau sendiri, In Te. Rela
melepaskan semua gelar kebangsawanan,
Kemelut Tahta Naga II/9 56 semua pendukung, untuk memberi peluang
kepada Pangeran Hong Lik melangkah ke tahta,
tidak peduli dia adalah anak dari seorang yang
telah merampas hakmu secara curang. Kau
lakukan itu karena ingin menjaga keutuhan
negara juga bukan?" Pak Kiong Liong dan In Te lalu bertukar
senyuman. Rasanya mereka berhak juga
menikmati sedikit rasa bangga, karena berhasil
mengalahkan lawan terberat, ambisi pribadi
mereka. Sehingga biarpun mereka terpental
dari pusat kekuasaan serta menjadi orangorang buangan, tapi tidak perlu sampai menjadi
sinting seperti Ni Keng Giau. Bagi mereka,
Kedudukan setinggi apapun takkan berarti
kalau tak memberi arti bagi kesejahteraan
banyak orang. Pangkat bukan hak untuk
bernikmat-nikmat melebihi orang lain, tapi
malah menjadi kewajiban yang lebih berat dari
orang lain. Sedang Tong Hai Long yang masih muda,
kata orang darahnya masih panas, memang
tidak gampang menerima sikap mengalah
Kemelut Tahta Naga II/9 57 macam itu. Kendati sudah tersudut, ia masih
coba membantah juga, "Kalau tidak boleh
mendendam, kenapa sampai sekarang kita
masih juga mencari-cari Pangeran In Tong yang
telah mengkhianati Kakek Tong Lam Hou?"
Pak Kiong menjawab, "Pengejaran kita
terhadap ln Tong bukan karena kita ini budakbudak dendam, tapi bisa dikembalikan ke dasar
keselamatan umum juga. In Tong seorang yang
berilmu tinggi, ambisius dan cerdik, tapi
bahayanya, dia itu tidak bermoral. Kalau
dibiarkan berkeliaran bebas di kolong langit,
entah berapa banyak orang yang bakal menjadi
korbannya. Dia akan memperjuangakn ambisinya tanpa tanggung tanggung, tanpa
menghitung berapa pun korban manusia yang
bakal jatuh, apakah kita bisa tenteram hati
membiarkan orang macam dia berkeliaran
bebas di masyarakat?"
"Benar. Kakanda In Tong seperti seekor
harimau yang tak pernah kenyang, yang
senantiasa merunduk di antara rumput-rumput
ilalang untuk menunggu korbannya."
Kemelut Tahta Naga II/9 58 Tong Hai Long bungkam mendengar
debatan itu. Pembicaraan pun kemudian beralih ke diri
Wan Lui, si pemuda dari Liau-tong. Tong San
Hong sudah menceritakan kepada kakeknya,
betapa pemuda itu mampu memainkan Thianliong-kun-hoat dan Hwe-liong-sin-kang lebih
hebat dari cucu-cucu Pak Kiong Liong sendiri.
Maka Pak Kiong Liong harus bicara untuk tidak
membiarkan cucu-cucunya berkecil hati.
"Bukan karena kalian kalah bakat, atau aku
pilih kasih dalam menurunkan ilmu, sehingga
Wan Lui jadi lebih matang dari kalian. Tapi
bukankah pernah kukatakan banyak kali, bahwa
kalian belajar terlalu banyak macam ilmu silat.
Kalau cuma mempelajari ilmuku dan ilmu kakek
Tong Lam Hou masih tidak apa-apa, tapi kalian
juga belajar dari banyak tokoh-tokoh Hweliong-pang yang memiliki ilmu khas masingmasing. Sedang Wan Lui cuma mempelajari
ilmuku. Itulah sebabnya dia menang dalam
kematangan, tapi kalah dalam keanekaragaman. Kalian tidak perlu penasaran."
Kemelut Tahta Naga II/9 59 Tong San Hong dapat lebih dingin menerima
penjelasan itu, hanya Tong Hai Long yang masih
tetap penasaran. Urusan dengan Wan Lui bukan
cuma urusan ilmu silat, tapi menyangkut
dengan Se-bun Hong-eng juga. Selagi Tong Hai
Long susah-susah menaksir gadis itu, eh, tahutahu muncullah Wan Lui yang agaknya berhasil
merebut perhatian Se-bun Hong-eng. Lelaki
muda yang sedang mabuk asmara mana yang
tidak panas hatinya"


Kemelut Tahta Naga 2 Karya Stefanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mau ilmu silat Wan Lui setinggi langit pun ia
takkan ambil pusing kalau tidak menyangkut
Se-bun Hong-eng. Tapi ini.
Sementara Pak Kiong Liong bercerita
tentang pengangkatan Wan Lui sebagai
muridnya dulu, nampak Se-bun Hong-eng
menatap dan mendengarnya dengan penuh
perhatian, matanya bersinar-sinar. Keruan Tong
Hai Long semakin uring-uringan dalam hati.
Kalau tahu akan begini "malang" nasibnya, lebih
baik dulu-dulu tidak usah mampir ke Lok-yang
segala untuk mengajak Se-bun Hong-eng.
Kemelut Tahta Naga II/9 60 Tanpa mengetahui perasaan cucunya, Pak
Kiong Liong terus bercerita tentang Wan Lui
dengan penuh kebanggaan bercampur harapan.
Perasaan jago tua itu tak berbeda dengan
perasaan seorang petani ketika melihat benih
yang ditanam nya mulai tumbuh, bahkan akan
menjadi pohon yang kokoh kuat. Itu
kebanggaannya Sedang harapannya ialah kelak
Wan Lui dengan segala kelebihannya akan
menjadi orang yang berguna buat banyak orang,
bukan sebaliknya menjadi bencana.
Selagi orang-orang dalam ruangan itu asyik
berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar piniu
ruangan itu diketuk dari luar. Reaksi khas para
buronan yang selalu merasa tidak aman, segera
menghinggapi orang-orang dalam ruangan itu.
Bungkam seketika sambil berwaspada. Mereka
tidak segera membuka pintu, namun saling
pandang dengan waspada. Tapi ketegangan pun mencair, ketika dari
luar pintu terdengar suara tertawa perlahan,
dan kata-kata bernada canda, "Eh, kenapa
Kemelut Tahta Naga II/9 61 kalian jadi seperti jangkrik-jangkrik tersiram
air?" "Itu Paman Lu Kan San!" kata Tong Hai
Long, yang langsung melompat ke pintu untuk
membukanya, tanpa menunggu persetujuan
yang lain-lainnya. Begitu pintu dibuka, nampak seorang lelaki
berusia kira-kira limapuluh tahun. Rambut, alis
dan jenggotnya sudah kelabu, namun kulit
wajahnya masih segar. Pundaknya tegap,
namun punggungnya agak bungkuk. Pakaiannya
sederhana, sesuai dengan peranannya saat itu
sebagai pedagang buah-buahan. Sebuah pikulan
yang berisi macam-macam buah nampak
diletakkannya di samping pintu.
"Silahkan masuk, Lu Tong Cu!" kata Pak
Kiong Liong sambil tertawa."Berani taruhan,
daganganmu pasti tidak laku!"
Semua orang diruangan itu tersenyum
mendengar kelakar hangat itu. Sedangkan Lu
Kan San pura-pura menggerutu, "Dasar
memang tidak bakat dagang. Jualanku didekati
Kemelut Tahta Naga II/9 62 orang saja tidak, padahal penjual-penjual di kiri
kananku dikerumuni pembeli."
Kembali orang-orang itu tertawa.
(Bersambung Jilid X) (Bersambung Jilid X) Kemelut Tahta Naga II/9 63 Kemelut Tahta Naga II/9 64 Kemelut Tahta Naga II/10 1 KEMELUT TAHTA NAGA Bagian : II Karya : STEFANUS S.P. Jilid X Setelah masuk, Lu Kan San menutup pintu,
lalu tiba-tiba menegakkan punggungnya. Maka
nampaklah tubuh yang sebenarnya tinggi besar
dan tidak bungkuk. Rupanya ia sengaja sedikit
membungkuk agar tubuhnya yang seperti
"menara berjalan" itu tidak menarik perhatian
orang di jalanan. Tokoh ini adalah salah satu Tong-cu Hweliong-pang yang berhasil lolos ketika markas
Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong diserbu
tentara kerajaan. Namanya Lu Kan San,
julukannya Hui-lo-sat (Si Raksasa Terbang),
karena biarpun tubuhnya amat besar namun
mahir dalam ilmu meringankan tubuh.
Kemelut Tahta Naga II/10 2 Setelah memberi salam kepada orang-orang
di ruangan itu, Lu Kan San langsung mengambil
tempat duduk dan berkata dengan wajah penuh
kesungguhan. "Karena pentingnya soal ini,
maka aku bicara langsung saja. Jejak Pangeran
In Tong sudah tercium dan kini mulai dilacak
oleh kawan-kawan kami."
Semua orang dalam ruangan itu seketika
menegakkan kepala. Pangeran In Tong adalah
murid mendiang Ketua Hwe-liong-pang Tong
Lam Hou, namun juga telah mengkhianati
gurunya itu dalam usahanya untuk menguasai
Hwe-liong-pang, yang akan dijadikannya modal
untuk merebut tahta dari Kaisar Yong Ceng.
Biarpun Tong Lam Hou terlanjur tewas, namun
pengkhianatan In Tong terbongkar juga. Maka
jadilah ia musuh yang paling dibenci oleh orangorang Hwe-liong-pang. Tak heran kalau orangorang di ruangan itu serempak bangkit
minatnya begitu mendengar kabar diketemukannya jejak Pangeran In Tong.
"Di mana dia, Paman Lu?" tanya Tong Hai
Long tidak sabar. Kemelut Tahta Naga II/10 3 "Jejaknya mula-mula muncul di Tan-liu, lalu
mengikuti jalan kearah Hang-ciu. Namun di
suatu desa kecil yang merupakan semacam pos
perjalanan, jejak itu tiba-tiba menghilang
kembali. Tapi muncul kembali di jalan raya
propinsi Ho-lam yang menuju ke kota raja Pakkhia. Cepat-cepat kuhubungi kawan-kawan
dengan tanda-tanda rahasia, kusuruh mereka
terus mengawasi! agar jangan kehilangan jejak
lagi. Sedangkan aku cepat-cepat menuju kemari
untuk memberitahu." "Apakah teman-teman itu sudah di pesan
menurut pesanku dulu?" tanya Pak Kiong Liong.
"Sudah. Mereka hanya kuminta untuk
mengawasi dan membuntuti, tapi tidak boleh
bertindak sendiri-sendiri, karena sasaran kali
ini cukup tajam perasaannya, lagi pula
berbahaya." "Bagus. Memang terhadap Pangeran In
Tong, kita tidak boleh gegabah. Selain
berbahaya, dia juga sudah mengenal banyak
wajah anggota Hwe-liong-pang, karena dia
pernah menjadi orang Hwe-liong-pang pula.
Kemelut Tahta Naga II/10 4 Kalau kita sampai kurang hati-hati menguntitnya dan dia sampai merasa kalau
sedang diawasi, aku khawatir dia akan
menghilang lagi. Dan tentu akan semakin sulit
diketemukan, karena tentunya semakin hatihati dalam menyembunyikan diri."
"Benar, Goan-swe."
Banyak anggota Hwe-liong-pang masih saja
memanggil Pak Kiong Liong dengan sebuatan
"goan-swe" biarpun dia sudah lama tidak
menjadi jenderal lagi. "He, A-hai, mau kemana kau?" tiba-tiba Pak'
Kiong Liong membentak, karena melihat
cucunya itu sudah menyambar pedang dan
hendak melangkah keluar. Tong Hai Long menghentikan langkah dan
menjawab, "Kalau jejak si pengkhianat itu sudah
diketemukan, buat apa kita tinggal lebih lama
lagi disini" Kita susul dia dan suruh
mempertanggung jawabkan semua kejahatannya!" Kemelut Tahta Naga II/10 5 "Kau sudah lupa semua omonganku tadi?"
kata Pak Kiong Liong dengan wajah angker.
"Duduk!" Betapapun bandelnya Tong Hai Long, ketika
melihat kakeknya begitu marah, keder juga si
cucu bandel ini. Terpaksa ia duduk kembali.
Kemudian Pak Kiong Liong berkata lagi,
suaranya sudah menurun tapi masih bernada
menegur. "A-hai, tidakkah kau sadari bahwa
sikap berangasanmu itu bisa mengacau semua
urusan" Ingat, Pangeran In Tong bukan maling
ayam kaliber teri yang begitu gampangnya di
hadang dan ditangkap. Semuanya harus
direncanakan rapi untuk meringkusnya tanpa
gagal lagi. Dia amat licin, bukti nya, dalam
beberapa tahun ini jejaknya kelihatan beberapa
kali, tapi setelah di susul dan disergap, tahutahu kita cuma menubruk angin, bahkan
beberapa anggota kita menjadi korban. Karena
itu, bertindaklah dengan kepala dingin."
Tong Hai Long menunduk sambil
menggenggam erat-erat sarung pedangnya.
Kemelut Tahta Naga II/10 6 Sesaat ruangan itu sunyi. Hati si kembar
Tong San Hong dan Tong Hai Long bergejolak
hebat, ingin segera menyusul si pembunuh
kakek mereka itu. Namun merekapun tidak
berani mengabaikan pertimbangan yang
diucapkan Pak Kiong Liong. Itu memang
kenyataan. Sudah beberapa kali Pangeran In
Eldest 10 Abu Nawas Karya Nur Sutan Iskandar Duka Lara 1
^