Pencarian

Kota Srigala 1

Kota Srigala Karya Stefanus S P Bagian 1


Kota Serigala Jilid 1 1 Kota Serigala Jilid 1 1 Kota Srigala karya Stevanus S.P. selesai di write ulang di
Bantargebang dari tanggal 19 Mei 2018 " 03 Juni 2018.
Terdiri dari 12 Jilid Total sekitar 749 halaman.
KONTRIBUTOR IMAGE : KOH AWIE DARMAWAN
RE-WRITER : SITI FACHRIAH
PERTAMA KALI DI SHARE DI GROUP FACEBOOK
Kolektor E-Book HAPPY READING :) KOTA SERIGALA Karya : STEFANUS S.P. Jilid I Sambil memanggul seikat kayu bakar hasil
perolehannya, Yo Siau-hou berjalan dari hutan
kembali ke kampungnya. Disempitkannya
matanya untuk menahan cahaya matahari sore
yang menyorot langsung ke pusat matanya.
Sebentar lagi, hari akan gelap. Bayang-bayang
pegunungan akan segera membuat kampung
terpencil itu menjadi teduh, bahkan gelap.
Ketika ia sampai ke ujung jalan kampungnya,
langkah Yo Siau-hou menjadi ragu-ragu sejenak.
Ia tidak suka kalau harus melewati warung arak
kepunyaan Soh Toa, lebih suka lewat sarang
hantu daripada lewat warung itu. Sialnya, orang
yang akan membeli kayu bakarnya justru punya
rumah tepat di sebelah warung itu.
Akhirnya Yo Siau-hou memutuskan untuk
berjalan terus. Namun ikatanya kayunya
Kota Serigala Jilid 1 2 dipindah dari pundak kanan ke pundak kiri,
untuk melindungi mukanya dari pandangan Soh
Toa di warungnya. Langkahnya pun dipercepat.
Dari sela-sela kayu bakarnya, coba-coba
diliriknya ke arah warung. Dan ia lega
bercampur heran melihat keadaan warung itu.
lega, karena dilihatnya warung itu sedang ramai
dengan pengunjung. Yo Siau-hou berharap agar
Soh Toa terlalu sibuk meladeni tamu-tamunya
sehingga tidak melihat ia lewat di depan
warung. Tapi ia juga heran, karena warung yang
biasanya hanya dikunjungi penduduk kampung
setempat, sekarang halamannya penuh kudakuda yang ditambatkan. Kuda-kuda tegar
berpelana bagus itu jelas tidak mungkin
kepunyaan orang-orang kampung setempat.
Hadirnya orang-orang asing berkuda di
kampung kecil yang terselip di lipatan
pegunungan itu, jelas merupakan kejadian yang
amat langka. Yo Siau-hou melangkah dengan rasa aman.
Tapi alangkah kagetnya, ketika dari dalam
Kota Serigala Jilid 1 3 warung terdengar teriakan Soh Toa yang serak
dan keras, "Siau-hou! Yo Siau-hou! Berhenti!"
Terpaksa Yo Siau-hou berhenti, dan dengan
ogah-ogahan menurunkan ikatan kayu bakarnya dari pundak. Tapi dicobanya
menunjukkan wajah ramah ke arah Soh Toa,
yang telah keluar dari warung dan sedang
menyeberangi halaman, menuju ke arahnya.
"Laris warungnya, Paman Soh?" Yo Siau-hou
menyeringai sambil berusaha mengingatkan
secara halus, agar sebaiknya Soh Toa meladeni
tamu-tamu di warungnya saja.
Tapi usaha itu sia-sia. Kata-kata yang
menyembur dari mulut ompong Soh Toa
ternyata tepat seperti yang dikhawatirkan oleh
Yo Siau-hou selama ini, "Siau-hou! Kapan kau
melunasi hutang ayahmu kepadaku" Kapan?"
Suaranya keras, disertai tudingan telunjuk
dan semprotan ludah rintik-rintik. Banyak
orang-orang di jalanan maupun di dalam
warung yang mendengar dan ikut menoleh,
sehingga Yo Siau-hou jadi amat malu. Soh Toa
Kota Serigala Jilid 1 4 benar-benar seorang penagih utang yang tidak
peduli perasaan orang yang ditagihnya.
"Paman Soh..." kata Yo Siau-hou perlahan.
"Bukankah setiap sepuluh hari sekali, aku tak
pernah lupa menyicil" Biarpun sedikit demi
sedikit" Tiap kali kayu bakarku dibeli orang
langsung uangnya aku kumpulkan untuk
kuserahkan kepada Paman, sampai aku
kesampingkan segala keperluanku sendiri.
Sekarang pun aku sedang akan menjual kayu ke
rumah Teng-ya (tuan Teng), dan setelah
dibayar, uangnya akan langsung kubawa
kemari." Tapi itu belum cukup untuk meredakan
kemarahan Soh Toa. "Hah, enak benar! Tiap kali
kau menyicil dengan uang recehan yang hanya
cukup untuk beli secangkir dua cangkir arak,
padahal hampir tiap hari ayahmu mengambil
seguci arak besar! Antara berkurangnya hutang
oleh cicilanmu, dengan membengkaknya hutang
karena ulah ayahmu, ternyata jauh lebih cepat
tambahnya! Kalau begini terus, jelas lama-lama
warungku bisa bangkrut!"
Kota Serigala Jilid 1 5 Sebenarnya, caci maki Soh Toa masih ada
kelanjutannya, tapi dari dalam warung
terdengar seorang tamu berteriak sambil
menggebrak meja. "Mana makanan pesananku"!
Kenapa lama sekali datangnya"!"
Ketika menghadapi Yo Siau-hou, muka Soh
Toa lebih bengis dari muka macan kelaparan.
Tapi begitu memutar wajah ke dalam warung,
menghadapi tamu-tamunya, dalam satu detik
wajahnya berubah amat ramah dan suaranya
pun begitu lembut. "Sebentar, tuan-tuan...
sebentar.... silakan meunggu sebentar lagi...."
Nada suaranya yang penuh perasaan
melebihi lembutnya suara seorang ibu yang
menidurkan anak kesayangannya.
Wajah lembut diputar kembali ke arah Yo
Siau-hou, dan berubah menjadi bengis seperti
semula, telunjuknya pun menuding-nuding
muka Yo Siau-hou, "Nah, kapan kau mau lunasi"
Kapan"!" "Paman Soh, kalau Paman ingin hutang
ayahku cepat lunas, kenapa Paman terus
membiarkan ayahku mengambil arak di warung
Kota Serigala Jilid 1 6 Paman" Kenapa tidak Paman cegah" Kalau
begini terus, akupun takkan mampu melunasi,
sebab penghasilanku berjualan kayu pun sangat
sedikit." "Mencegah ayahmu" Mencegah pemabuk
sinting itu"!" suara Soh Toa meninggi dan makin
sengit. "Bagaimana aku berani mencegah, kalau
dia datang dengan mata merah, mulut berbau
arak dan tangan memegangi golok" Kau suruh
aku mencegah ayahmu, agar dia mendapat
alasan untuk membacokku mampus, lalu
hutang-hutangnya beres, begitu"! He"! Begitu"!
Kaulah yang harus mencegah ayahmu! Kau!!"
Dari dalam warung kembali terdengar
teriakan tamu-tamu yang tidak sabar.
"Keparat! Mana mi kuah pesananku?"
"Dan arak hangatku!"
"He, Pak tua! Kenapa kau tinggalkan
warungmu untuk ngobrol dengan orang
lewat"!" "Sudah bosan jualan, ya"!"
"Sabarlah sebentar lagi, tuan-tuan yang
budiman...." Suara Soh Toa manis sekali
Kota Serigala Jilid 1 7 terdengar. "Sedikit waktu lagi akan kulayani
tuan-tuan dengan amat memuaskan...."
Lalu kepada Yo Siau-hou, Soh Toa berkata
dengan bengis dan secepat mercon renteng,
"Sekarang kesabaranku sudah habis, Siau-hou.
Dalam waktu tiga hari, seluruh hutang ayahmu
yang berjumlah empat puluh tiga tahil perak itu
harus lunas! Kalau tidak, kupanggil petugas
keamanan di desa terdekat, dan kujebloskan
ayahmu ke penjara. Aku tidak peduli darimana
kau atau ayahmu bakal mendapat uang itu!
Jualan kayu boleh, merampok juga boleh, asal
tidak merampok warungku!"
Setelah berkata demikian, Soh Toa masuk
kembali ke dalam warungnya.
Yo Siau-hou tertunduk dengan wajah
muram. Hatinya tertusuk oleh kata "merampok"
tadi. Ia tahu, Soh Toa berkata tak sengaja,
namun telah mengingatkan Yo Siau-hou akan
masa lalu ayahnya yang hitam. Di seluruh
kampung itu, cuma Yo Siau-hou yang tahu kalau
ayahnya bekas perampok. Dan kini bersembunyi di kampung terpencil itu bukan
Kota Serigala Jilid 1 8 karena bertobat, melainkan karena menyembunyikan diri dari pencarian musuhmusuhnya.
"Ayah memang keterlaluan...." keluhnya
dalam hati. "Bertindak sewenang-wenang
kepada orang yang lebih lemah, tidak
menyadari bahwa dirinya sendiri adalah
buronan dari pihak yang lebih kuat....."
Diangkatnya ikatan kayu bakarnya ke
pundak, lalu berlalulah ia dari situ.
Sementara itu, biarpun agak repot, Soh Toa
sudah berhasil menenangkan tamu-tamu di
warungnya. Kini para tamu dengan tenangnya
menikmati hidangan masing-masing.
"He, Pak Tua, tolong nyalakan lilinnya. Sudah
gelap sekarang, apapun jadi hampir tak
kelihatan!" seorang tamu berkata dengan keras.
"Baik..... baik..." sahut Soh Toa. Ia bangkit
untuk menyalakan lilin-lilin, membuat suasana
di warung itu tidak gelap lagi. Saat itu, matahari
memang hampir sepenuhnya rebah di balik
pegunungan. Nyamuk-nyamuk dari luar mulai
beterbangan masuk, karena mereka tahu sudah
Kota Serigala Jilid 1 9 tiba waktunya untuk makan malam butir-butir
darah manusia. Setelah lilin-lilin menyala, Soh Toa duduk
bertopang dagu di mejanya yang menghitam
oleh daki dan permukaannya tergores-gores.
Sambil menunggu perintah-perintah, ia mulai
memperhatikan tamu-tamunya.
Namun tamu-tamu yang paling menarik
ialah tujuh orang yang duduk dekat pintu. Jelas
mereka bukan orang-orang dusun. Pakaian
mereka bukan saja bersih dan indah, tapi juga
seragam. Semuanya berjubah putih dengan
tepian benang emas, di bagian dada jubah
mereka tersulam gambar seekor burung merak
emas. Masing-masing juga menggendong
pedang-pedang bersarung perak, dan bertangkai perak pula. Mereka bersantap dengan cara yang amat
sopan, kelewat sopan. Makanan disumpit dan
dimasukkan pelan-pelan ke mulut, tanpa ada
kuah yang menetes, dikunyah lembut-lembut
lalu ditelan tanpa bunyi. Mereka menghirup
Kota Serigala Jilid 1 10 minuman tanpa terpercik setetespun, lalu
cangkirnya diletakkan pelan-pelan.
Mereka bertujuh tidak menyembunyikan
sikap memandang rendah kepada tamu-tamu
lain di warung itu. Tidak jarang mereka melirik
dengan jijik kalau ada tamu lain yang makan
dengan mulut berbunyi, atau menaikkan kaki ke


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangku. Ketujuh orang itu hadir di warung itu
seolah-olah untuk memberi contoh bagaimana
cara makan orang berbudaya atau beradab. Dan
mereka bertujuh benar-benar melakukannya
dengan bangga. Soh Toa menatap ketujuh tamu istimewat itu
dengan pandangan rakus, seperti anjing
menatap tulang. Pikirnya, "Pasti mereka orangorang kota yang banyak duitnya. Itu bagus.
Akan kupasang tarif istimewa buat mereka.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi kesempatan
mendapatkan untung besar ini" Kampung ini
jarang sekali dilewati orang kaya."
Tengah Soh Toa tersenyum-senyum sendiri,
tiba-tiba dilihatnya salah seorang dari ketujuh
orang berjubah putih itu melambaikan tangan,
Kota Serigala Jilid 1 11 memanggilnya. Soh Toa bangkit dengan sigap.
Setegap prajurit maju ke medan laga. Ia
berderap ke arah tujuh orang itu.
Tapi langkah Soh Toa berhenti, ketika salah
seorang tamu istimewa itu berkata halus namun
bernada memerintah dingin keningratningratan, "Cukup di situ. Jangan lebih dekat
lagi." Harus dimaklumi, baju Soh Toa berlepotan
arang dan jelaga, sedangkan ketujuh orang itu
khawatir kalau pakaian mereka kena kotoran.
Dari jarak beberapa langkah pun Soh Toa sudah
bisa mencium bau wangi-wangian dari arah
ketujuh orang itu. Si jubah putih yang berjenggot pendek,
agaknya adalah pemimpin rombongan itu.
Katanya tenang, "Hitung semua harganya...."
Soh Toa cepat melaksanakan rencana
penggorokannya. Otaknya bekerja bagai mesin
hitung, menjumlah rekening ketujuh orang itu,
dikalikan tiga, dan berkatalah ia dengan amat
sopannya, "Enam tahil, tuan-tuan."
Kota Serigala Jilid 1 12 Si jenggot pendek masih tidak kaget
mendengar harga itu, dikeluarkannya kantong
uangnya, dan didorongnya setumpuk uang di
meja sambil berkata, "Ini tujuh tahil. Yang satu
tahil adalah harga jawaban-jawabanmu untuk
pertanyaan-pertanyaan yang akan kami
ajukan." Melihat keroyalan orang-orang berjubah
putih itu, Soh Toa menyesal tidak pasang tarif
yang lebih tinggi lagi. Sambil geleng-geleng
kepala dan menarik napas sedih, ia raup uang di
atas meja untuk dimasukkan ke kantongnya.
"Tuan-tuan ingin menanyakan soal apa?"
tanyanya. "Maaf, lebih dulu mundurlah sedikit. Pakaian
kami baru saja dicuci..." perintah si jenggot
pendek kepada Soh Toa. Rupanya tadi ketika
mengambil uang di meja, Soh Toa kelewat
bernafsu, sehingga jadi terlalu dekat dengan
ketujuh tamu istimewa itu.
Soh Toa mundur tiga langkah dengan
patuhnya. Kota Serigala Jilid 1 13 Si jenggot pendek mulai dengan pertanyaan
pertama, "Pak tua, anak muda pembawa kayu
bakar tadi berwajah agak mirip dengan
seorang..... seorang yang kami cari selama ini.
Siapakah namanya?" "Oh, itu. Namanya Yo Siau-hou, tuan-tuan."
"Jadi dia she Yo" Bagus. Di kampung ini dia
tinggal bersama siapa?"
"Bersama ayahnya."
"Nama ayahnya?"
"Yo Tiat." Wajah ketujuh orang itu menegang
serempak, bahkan nampak ada yang menahan
amarah. Beberapa saat mereka saling bertukar
pandangan, dan ada yang mengangguk-angguk
pula. Si jenggot pendek berkata perlahan,
"Pantas. Sepuluh tahun jejak mereka berempat
menghilang seperti ditelan bumi. Kiranya salah
seorang dari mereka bersembunyi di kampung
terpencil ini." "Kita tangkap dulu Yo Tiat dan jangan buruburu membunuhnya. Kita tanyai dulu dimana
Kota Serigala Jilid 1 14 persembunyian ketiga bangsat lainnya," sahut
seorang berjubah putih lainnya.
Si jenggot pendek mengangguk-angguk
setuju, lalu bertanya kepada Soh Toa, "Di mana
rumah Yo Tiat?" "Di atas sebuah bukit, di sebelah barat
kampung ini," suara Soh Toa mulai gemetar
karena mendengar ketujuh tamu berbau harum
itu mulai bicara soal "tangkap" dan "bunuh".
"Sendiri?" "Cuma bersama anak laki-lakinya. Pencari
kayu yang tadi lewat di depan warung ini."
"Baik. Terima kasih," si jenggot pendek
bangkit dari duduknya sambil menepuk-nepuk
jubahnya. Keenam kawannya pun bangkit pula.
"Mari kita bereskan bangsat itu."
Dengan gaya yang keningrat-ningratan,
ketujuh orang itupun pergi meninggalkan
warung. Tak lama kemudian, terdengar derap
kuda mereka menjauh, menyuruk ke dalam
kegelapan malam yang kian pekat membungkus
jagat. Kota Serigala Jilid 1 15 Soh Toa terlongong-longong. Lepas dari
ucapan menakutkan tentang "tangkap" dan
"bunuh tadi, ia terkesan sekali akan isi dompet
tamu-tamunya tadi. Satu tahil perak didapatkannya hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang begitu gampang.
Pikirnya, "Sungguh keterlaluan orang yang
mengeluh jaman sekarang susah mencari uang."
Tapi ia agak sedih juga. kalau sampai Yo Tiat
dibunuh, bagaimana dengan hutang-hutangnya"
Bagaimana pula kalau Yo Siau-hou dibunuh
juga" Akhirnya Soh Toa cuma bisa geleng-geleng
kepala dengan pasrah, toh dirinya tak bisa
menghalangi ketujuh orang tadi. Terpaksa ia
harus menghibur dirinya sendiri. "Kalau si
pemabuk sinting itu mampus, hutangnya
kepadaku jadi susah ditagih. Tapi barangkali
lebih baik begitu, lebih baik dia mampus
daripada tiap hari merampok arak di warungku,
sedangkan anaknya cuma bisa menyicil utang
bapaknya dengan cara seenaknya saja."
Kota Serigala Jilid 1 16 Sambil membersih-bersihkan meja bekas
ketujuh tamu tadi, Soh Toa bergumam
sendirian, "Orang-orang tadi pasti punya pohon
uang di rumah, sehingga enaknya memberi satu
tahil hanya untuk menanyakan tentang si
pemabuk sinting Yo Tiat itu. Dermawan sekali
mereka." Tiba-tiba, tamu lain yang duduknya
bersebelahan dengan meja ketujuh orang tadi,
berkata pula, "Pak, hitung punyaku."
Tamu ini pun berdandan bagus gaya orang
kota, namun mukanya tidak terlihat sebab ia
memakai caping lebar yang ditekan rendah.
Makan minum dilakukan sambil menunduk
terus, bahkan ketika bicara dengan Soh Toa juga
tidak mengangkat mukanya.
Tapi yang penting bagi Soh Toa ialah isi
dompetnya. Dengan senang hati Soh Toa
menjumlah harga makan minum orang ini,
sambil coba menaksir seberapa besar kekayaan
yang dibawanya" Lalu Soh Toa sebutkan
harganya, dan orang inipun membayar dengan
tenang tanpa merasa digorok.
Kota Serigala Jilid 1 17 "Pak tua, keteranganmu tentang Yo Tiat tadi
apakah benar?" tanya orang bercaping ini tibatiba. Agaknya tadi ia diam-diam menguping
pembicaraan orang-orang di meja sebelahnya.
Mengira akan mendapat tambahan hasil lagi,
wajah Soh Toa kontan bercahaya. Sahutnya,
"Benar, tuan. Kalau tuan butuh keterangan
tambahan, aku tahu banyak tentang diri si
pemabuk sinting itu. Tetapi ya.... tetapi ya..." Soh
Toa cengar-cengir minta persen.
Orang bercaping itu bangkit dari duduknya
dan berkata dingin, "Dulu aku menanam pohon
uang, tapi karena lupa menyirami, jadi sampai
sekarang belum keluar uangnya."
Lalu diapun keluar dari warung dan
menghilang ke dalam gelapnya malam. Ia tidak
nampak membawa pedang atau senjata lainnya
seperti ketujuh orang tadi, tapi di pinggangnya
nampak terlilit benda semacam cambuk
panjang atau tali. Hanya kurang jelas terlihat,
sebab cahaya lilin dalam warung itu cuma
redup-redup saja. Kota Serigala Jilid 1 18 Soh Toa menatap punggung orang itu
dengan muka masam, sambil menggerutu
dengan sengit, "Tidak tahu malu! Maunya
menguping keterangan secara gratis saja."
Untunglah orang bercaping itu tidak
menggubris gerutuan Soh Toa, sehingga Soh
Toa beruntung mendapat tambahan umur
beberapa tahun lagi. Malam begitu pekat di punggung pegunungan itu. dan orang sulit menduga apa
yang akan berlangsung di tengah kegelapan itu.
**s*f** Karena malam terlalu cepat datangnya, Yo
Siau-hou memutuskan, uang hasil penjualan
kayunya sore itu lebih baik besok pagi saja
diantarkan kepada Soh Toa. Lebih dulu ia
pulang ke gubuknya yang terpencil di luar
kampung. Sebuah bangunan kayu reyot yang
sudah sepuluh tahun didiaminya bersama
ayahnya yang pemabuk dan menjengkelkan.
Begitu ia membuka pintu gubuk dari luar,
segera dilihatnya pemandangan yang begitubegitu saja selama sepuluh tahun. Perabotan
Kota Serigala Jilid 1 19 rumah yang letaknya berantakan, udara pengab
berbau arak, cahaya lilin yang berkelap-kelip
suram, tikus-tikus yang bebas berkeliaran di
tanah, kecoak-kecoak yang tidak kalah
bebasnya merambat-rambat di dinding dan
langit-langit gubuk. Dan pusat dari segala sesuatu yang tak
berubah itu ialah Yo Tiat, ayah Yo Siau-hou.
Seperti biasanya, ia sedang duduk mencangkung di dekat sebuah meja yang
diterangi sebatang lilin, dan menatap lekat-lekat
sehelai kulit tua yang digelar di depan
hidungnya. Begitu tersita seluruh perhatiannya
sehingga tidak digubrisnya seekor kecoak yang
jatuh dari langit-langit lalu merayap-rayap di
tengkuknya. Bahkan ia tetap tidak menoleh, biarpun tahu
bahwa anaknya sudah masuk ke dalam rumah,
setelah seharian bekerja mencari kayu kering di
hutan. Memang sudah lama hubungan antara
kedua laki-laki itu tidak seperti ayah dan anak,
namun cuma seperti dua orang yang kebetulan
hidup di bawah satu atap.
Kota Serigala Jilid 1 20

Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yo Tiat masih tetap tidak berpaling ketika Yo
Siau-hou berkata, "Aku tidak tahan lagi
menghadapi sikap orang-orang kampung,
terutama Soh Toa. Tiap hari aku membanting
tulang agar hutang ayah cepat lunas, tapi kalau
ayah terus mengambil arak di warung Soh Toa,
hutang kita bukan makin sedikit, tapi makin
banyak." Tatapan mata Yo Tiat masih bermain di atas
lembaran kulit itu, jari telunjuknya menyusuri
sebuah garis, sambil bergumam, "Aku
mengerti... aku mengerti sekarang...."
"Syukurlah kalau ayah mau mengerti,
sesungguhnya aku...."
".... ya, aku tahu garis ini tentunya
menggambarkan sebuah sungai, mengalir
kesini..... ke sini...... terus yah, sayang,
gambarnya terputus di sini...."
Keruan Yo Siau-hou jengkel karena ternyata
ayahnya tidak menggubrisnya. Suaranya
diperkeras, "Ayah, Soh Toa memberi waktu tiga
hari agar kita melunasi hutang yang empat
puluh tiga tahil perak!"
Kota Serigala Jilid 1 21 Kali ini Yo Tiat mengangkat wajah dekilnya,
justru untuk menambah kejengkelan Yo Siauhou dengan jawabannya yang berlagak jutawan,
"Empat puluh tiga tahil perak" Heh heh heh.....
kecil..... hanya sebutir debu. Bilang sama si pelit
tua itu, seratus tahil pun akan kubayar dengan
mata meram...." "Kalau begitu, mana uangnya" Biar besok
kubayarkan kepada Soh Toa!"
"Kalau sekarang ya jelas belum ada. Mana
ada uang kalau belum kugali harta karun"
Empat puluh tiga tahil itu tak berarti bila
dibandingkan dengan harta karun itu, biarpun
bagianku kelak hanya seperempat!"
"Dalam waktu tiga hari, apakah harta itu bisa
digali?" pertanyaan Yo Siau-hou itu lebih
bernada mengejek daripada mempercayai.
Yo Tiat meraba-raba ke samping tempat
duduknya, mencari buli-buli arak kesayangannya. Setelah ditemui, mulut buli-buli
langsung diangkat ke bibirnya, dan mengalirlah
arak ke perutnya. Setelah itu, ia menatap
kembali lembaran kulit di meja untuk menghin
Kota Serigala Jilid 1 22 "Kalau begitu, mana uangnya" Biar besok
kubayarkan kepada Soh Toa!"
Kota Serigala Jilid 1 23 dari tatapan anaknya, dan menjawab, "Kelak.
Kalau kami berempat sudah berkumpul dan
menyatukan potongan-potongan peta ini,
barulah harta itu bisa mulai digali...."
"Kapan ayah bertemu dengan ketiga teman
ayah itu?" "Kalau keadaan sudah aman."
"Kapan" Sepuluh tahun" Dua puluh tahun
lagi" Hutang kita di warung Soh Toa juga makin
membengkak dan kelak jumlahnya melebihi
harta karun yang ayah impikan di siang
bolong!" Yo Tiat mendengus tak peduli, dan kembali
memperhatikan lembaran kulit itu.
Yo Siau-hou makin jengkel, "Ayah! Kalau
dalam tiga hari kita gagal melunasi hutang, Soh
Toa akan melaporkannya kepada petugas
keamanan di kota terdekat!"
Kali ini ayahnya kaget, "Hah" Si pelit tua itu
bilang begitu"!"
"Benar. Karena itu sebaiknya ayah berhenti
minum arak, berhenti berkhayal tentang harta
karun, dan mulailah bekerja yang betul. Kalau
Kota Serigala Jilid 1 24 Soh Toa melihat ayah mulai bekerja dan
menyicil sedikit-sedikit, tentu dia akan
melonggarkan tuntutannya dan.... he, ayah mau
apa"!" Ia kaget karena dilihatnya ayahnya tiba-tiba
bangkit, mengambil golok yang tergantung di
dinding, dan berjalan ke pintu.
"Aku tidak mau persembunyianku di sini
sampai didengar oleh musuh-musuhku, karena
itu harus kubungkam mulut Soh Toa malam ini
juga! Dia tidak boleh sampai lapor ke petugas
keamanan!" Cepat Yo Siau-hou menghalangi di pintu.
"Jangan menambah dosa, ayah! Asal ayah
berhenti mengambil arak dan menunjukkan
niat baik, Soh Toa pasti tidak...."
"Minggir, Siau-hou! Jalan paling gampang
ialah membunuh si pelit tua itu! Aku tidak sudi
bersusah-payah bekerja hanya untuk menyetorkan uang ke congor si pelit tua itu!
Minggir!" "Jangan gegabah, ayah. Kematian Soh Toa
akan membuat seisi kampung gempar, nama
Kota Serigala Jilid 1 25 ayah akan dibicarakan di mana mana, dan itu
berarti undangan buat musuh-musuh ayah!"
Yo Tiat terkesiap, mukanya memucat dan
keringat dinginnya mendadak mengalir keluar.
Sikap beringasnya mendadak berubah menjadi
kebingungan. Dengan lesu ia melangkah
kembali ke kursinya, melemparkan goloknya ke
dinding, meraih buli-buli araknya dan
menenggak isinya. "Lalu... lalu bagaimana baiknya?" suaranya
kini mirip rintihan putus asa.
Kasihan juga Yo Siau-hou melihat ayahnya.
Timbul pula pertanyaan, peristiwa apa
gerangan yang menyebabkan ayahnya tahan
bersembunyi selama sepuluh tahun di kampung
yang terpencil di tengah pegunungan itu"
Selama ini belum pernah ayahnya menceritakannya secara jelas.
"Ayah, apa sebabnya ayah begitu ketakutan
tempat ini sampai diketahui orang luar?"
"Karena.... karena... kami berempat dikejarkejar oleh segolongan orang yang amat
Kota Serigala Jilid 1 26 berpengaruh di kalangan persilatan, juga di
masyarakat luas." "Kenapa sampai dikejar-kejar?"
"Karena kami berempat dituduh membunuh
seseorang, padahal tidak. Tapi tak ada yang mau
mempercayai kami berempat. Kami kalah
suara." "Siapa orang yang terbunuh itu?"
Tiba-tiba Yo Tiat menyambitkan buli-buli
kosongnya sekuat tenaga ke dinding, sambil
berteriak marah, "Bukan urusanmu, bocah
ingusan! Lebih baik pikirkan jalan, bagaimana
lepas dari tuntutan si pelit tua Soh Toa itu!"
"Caranya ya seperti yang sudah aku katakan
tadi, ayah." "Tidak! Aku calon jutawan, tidak sudi
melakukan pekerjaan-pekerjaan rendah!"
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain. Soh Toa
pasti akan melapor kepada...."
"Kita minggat sejauh-jauhnya dari sini,
malam ini juga!" tiba-tiba Yo Tiat menggebrak
meja keras-keras. "Akan kucari ketiga temanku
yang masing-masing memegang seperempat
Kota Serigala Jilid 1 27 lembar peta itu, lalu kami satukan peta, dan
kami gali harta itu! Ayo, Siau-hou, kemasi
barang-barangmu dan kita segera pergi!"
Saat itulah tiba-tiba dari luar gubuk
terdengar bentakan, "Mau pergi ke mana, Yo
Tiat"! Selesaikan dulu hutang-hutangmu!"
Ayah dan anak sama-sama terkejut. Yo Tiat
melompat, mengambil kembali goloknya yang
tadi dilempar ke sudut ruangan. Sedangkan Yo
Siau-hou lebih tenang. Ia mengira yang datang
itu paling-paling Soh Toa dan petugas
keamanan. Asal ayahnya berjanji sanggup
melunasi hutang, urusan pasti beres, takkan
terjadi hal-hal yang gawat.
"Agaknya Soh Toa datang mengajak petugas
keamanan, ayah, untuk menunjukkan bahwa dia
bersungguh-sungguh," bisiknya.
"Mudah-mudahan benar hanya si tukang
warung pelit itu," sahut Yo Tiat perlahan.
Namun diam-diam ia merasakan semacam
firasat buruk. Ia berteriak keluar, "He, Soh Toa!
Jangan bersikap begitu tega kepadaku. Baiklah.
Aku berjanji takkan mengambil arak lagi di
Kota Serigala Jilid 1 28 warungmu, dan aku akan bekerja untuk
menyicil hutangku. Nah, puas tidak?"
Terdengar suara tertawa dari luar, dan
jawabannya mengejutkan, "Yo Tiat, nyawamu
tak bisa dibagi-bagi, bagaimana mungkin
hendak menyicil" Lebih baik bayar kontan saja!
Kami menagih nyawamu untuk membalas sakit
hati Pangeran In Kui-cu yang telah kau bunuh
secara kotor sepuluh kotor yang lalu bersama
ketiga orang temanmu!"
Yo Tiat hampir roboh karena kagetnya. Yo
Siau-hou juga kaget, yang datang bukan penagih
uang, namun penagih nyawa! Tetapi ia merasa
harus membela ayahnya, diapun cepat
melompat mengambil tongkatnya di sudut
ruangan. "Siapa mereka, ayah?" bisik Yo Siau-hou.
"Murid-murid Kim-jiok-bun (Perguruan
Merak Emas)," sahut ayahnya dengan suara
bergetar, lehernya serasa tercekik oleh rasa
takut. Mukanya memutih pucat, jidatnya basah
keringat. Kota Serigala Jilid 1 29 "Siapakah murid-murid Kim-jiok-bun itu?"
tanya Yo Siau-hou lagi. "Merekalah yang menuduh kami berempat
membunuh In Kui-cu, dan terus mencari-cari
kami berempat." "Siapakah In Kui-cu?"
"Anak lelaki Ketua Kim-jiok-bun, Pangeran In
Kong-beng." "Apakah ayah berempat benar-benar telah
membunuhnya?" "Tidak. Sumpah disambar geledek, tidak.
Kematian In Kui-cu amat kabur, susah diketahui
sebab-sebabnya. Tapi murid-murid Kim-jiokbun telah ngotot menuduh kami berempatlah
yang membunuh In Kui-cu."
"Kalau tidak bersalah, kenapa harus
ketakutan dan bersembunyi" Ayo, aku temani
ayah keluar dan menjelaskan kepada mereka."
"Kau belum tahu bagaimana watak muridmurid Kim-jiok-bun, anakku. Kalau mereka
punya niat, apalagi niat mereka sudah
diumumkan ke seluruh dunia persilatan dengan
upacara sumpah segala, mereka takkan
Kota Serigala Jilid 1 30 merubah niatnya hanya karena mendengar
penjelasan dari orang macam kita, anakku.
Mereka akan meneruskan niat mereka untuk
menjaga nama perguruan mereka di mata orang
banyak!" Yo Siau-hou merasa agak aneh. Memburu
orang untuk dibunuh, bukan karena berhasil
membuktikan kesalahan si buronan, tetapi
cuma sekadar menjaga nama, sekedar karena
sudah terlanjur mengumumkan niat.
"Siau-hou, tolonglah ayahmu ini. Kalau
sampai mereka melihatku, mereka akan
langsung mencincang aku tanpa apa pun, tanpa
sempat menjelaskan apapun.
"Jangan begitu ketakutan, ayah. Kita lawan
dulu, belum tentu kalah."
"Tangan dan kakiku sudah terasa lemas


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua, Siau-hou. Tolonglah, kau saja yang
keluar." Yo Siau-hou menarik napas, jengkel campur
kasihan. Terpaksa ia berkata, "Baiklah. Larilah
ayah lewat pintu belakang, dan langsunglah
bersembunyi di hutan belakang bukit dan
Kota Serigala Jilid 1 31 tunggulah aku di sana. Aku akan memancing
mereka agar memperhatikan aku saja."
"Oh, anak baik.... anak manis, anak berbakti,
ahli waris harta karunku." Yo Tiat meluapkan
rasa syukurnya, biarpun anak satu-satunya itu
tengah menghadapi bahaya maut. "Selamat
berjuang, nak." Habis itu, secepat kilat ia mengantongi
lembaran kulit yang disebutnya peta harta
karun itu, lalu disambarnya pula sebuli-buli
arak yang masih penuh, dan secepat kilat
menyelinap ia keluar lewat pintu belakang.
Sementara itu, di luar gubuk terdengar
teriakan lagi, "Yo Tiat, pembunuh kotor! Cepat
keluar! Atau harus kami bakar sarang reyotmu
ini"!" **SF** Yo Siau-hou sekedar anak desa yang sejak
kecil hidup di pegunungan. Tak pernah ia
mendengar nama Kim-jiok-bun segala. Maka
biarpun ayahnya ketakutan setengah mati
mendengar nama itu, sebaliknya Yo Siau-hou
dengan besar hati melangkah keluar gubuk
Kota Serigala Jilid 1 32 sambil memanggul tongkatnya. Tongkat yang
pernah digunakannya untuk membunuh seekor
macan besar, dan entah berapa puluh serigala.
Namun sebelum keluar, Yo Siau-hou
mengusapkan jelaga ke mukanya, dibikin kumis
dan berewok palsu, agar dalam kegelapan
malam ia dikira ayahnya. Cuaca gelap. Rembulan tidak tampil
sepenuhnya, cuma berbentuk lengkung tipis
yang kadang-kadang tenggelam oleh mega
hitam. Lalu angin keras mencerai-beraikan
mega hitam itu menjadi garis-garis panjang
sejajar, seperti sapuan kuas seorang pelukis.
Suara lolong kawanan serigala terdengar seram
dari balik pegunungan. Suasana malam itu
cocok untuk saling membunuh.
Begitu melihat seseorang keluar dari gubuk,
tujuh murid Kim-jiok-bun langsung berpencaran siaga sambil menghunus pedangpedang mereka.
Yo Siau-hou sempat merasa kagum melihat
pakaian-pakaian indah ketujuh lawannya, indah
sekali sulaman gambar perak emas di dada
Kota Serigala Jilid 1 33 jubah itu. Namun ia tegang juga, lawannya
ternyata berjumlah tujuh orang. Cukup banyak.
"Besar juga nyalimu, Yo Tiat!" si jubah putih
yang berjenggot pendek dan berdiri paling
tengah, membentak sambil menudingkan
pedangnya. "Mana tiga penjahat lainnya" Suruh
mereka keluar, agar dapat sekalian kami
bantai!" Sudah terlalu sering Yo Siau-hou mendengar
ayahnya mengucapkan "kami berempat", yang
tidak pernah diperhatikannya. Namun ketika
mendengar murid Kim-jiok-bun itupun menanyakan "mana ketiga penjahat lainnya",
tahulah Yo Siau-hou bahwa dulu ayahnya
memang punya tiga teman. Mungkin temanteman dalam melakukan pekerjaan haramnya.
Timbul niat Yo Siau-hou untuk memancing dari
mulut murid-murid Kim-jiok-bun ini keterangan sebanyak-banyaknya tentang masa
lalu ayahnya. Dengan menirukan suara ayahnya Yo Siauhou tertawa dan berkata, "Hei orang-orang Kimjiok-bun, tak henti-hentinya kalian memburu
Kota Serigala Jilid 1 34 kami berempat, sebenarnya apakah yang kalian
inginkan?" Si jenggot pendek itu bernama Ho Su-siau
dan merupakan pemimpin rombongannya.
Dialah yang menjawab dengan gusar, "Bandit
tengik, sudah lupa dosamu sepuluh tahun yang
lalu" Bersama ketiga temanmu, kau secara
kotor telah membunuh Pangeran In Kui-cu,
bangsawan agung, pemimpin muda perguruan
kami yang terhormat dan paling jijik akan
segala macam kejahatan! Karena itu, seluruh
murid Kim-jiok-bun telah bersumpah untuk
terus memburu dan membunuh Leng-san-su-ok
(Empat Bandit Leng-san)!"
Sekarang Yo Siau-hou tahu. Kiranya dulu
ayahnya dan teman-temannya dijuluki Lengsan-su-ok. Yo Siau-hou merasa agak sedih juga.
Kalau ayahnya dan kawan-kawannya mendapat
julukan tidak sedap itu, tentunya benar-benar
ada alasannya. Tapi dalam urusan matinya
Pangeran In Kui-cu itu, Yo Siau-hou bertekad
untuk menjernihkannya. Kota Serigala Jilid 1 35 "Sobat sekalian, sudah yakinkah kalian
bahwa kami berempat yang membunuh
Pangeran In Kui-cu" Apakah ada di antara
kalian yang melihat sendiri terjadinya
pembunuhan itu?" pancing Yo Siau-hou lebih
jauh. "Biarpun kami tidak menyaksikan sendiri,
tetapi kami yakin bahwa laporan yang kami
terima takkan keliru!"
"Wah, tentunya si pemberi laporan itu
seorang yang amat kalian percayai, ya?"
"Tentu saja. Dialah Pendekar Agung Lam
Sek-hai yang bergelar Siok-sim-eng (Kesatria
Berhati Murni), juga seorang Ti-koan (hakim)
yang maha adil di kota Long-koan, dan sahabat
karib Pangeran In Kui-cu. Tokoh macam dia
mana mungkin berbohong dengan laporan
palsu?" dengan suara berapi-api Ho Su-siau
membeberkan betapa bisa dipercayanya si
pemberi laporan itu. "Ah, siapa tahu Lam Sek-hai bisa juga
berdusta?" Kota Serigala Jilid 1 36 Keruan Ho Su-siau tambah gusar, "Bandit
tengik, jagalah mulutmu agar tidak menodai
martabat Lam Tai-hiap. Kau mau tahu macam
apa dia itu" Dia seorang yang sopan santun
dalam tutur kata dan tindak-tanduk! Pintar
bersyair, menjunjung tinggi tata-krama warisan
leluhur! Kalau kami tidak boleh mempercayai
dia, apa harus mempercayai mulut bandit tengik
macam kau!?" Yo Siau-hou sendiri jadi ragu-ragu. Mana
yang benar" Ayahnya yang mengaku tidak
membunuh In Kui-cu, ataukah murid-murid
Kim-jiok-bun yang menuduh begitu yakinnya"
Sementara itu, Ho Su-siau sudah membentak
pula, "Yo Tiat! Serahkanlah batok kepalamu
untuk kami pertontonkan kepada pendekar
yang dulu menyaksikan sumpah kami! Agar
mereka tahu bahwa Kim-jiok-bun sanggup
menepati sumpahnya!"
"Hanya untuk itukah batok kepalaku
diperlukan?"dengus Yo Siau-hou. Biarpun benar
salah dalam kematian In Kui-cu belum bisa
ditentukan di pihak mana, namun meminta
Kota Serigala Jilid 1 37 batok kepala hanya untuk dipamer-pamerkan
kepada orang lain, rasanya adalah permintaan
yang keterlaluan juga. "Nama baik perguruan kami di atas segalagalanya! Kami harus menghapus noda
kekalahan dari sepuluh tahun yang lalu,
kekalahan dari Leng-san-su-ok!" Ho Su-siau
berkata keras. "Untuk nama baik perguruan,
kami sanggup melakukan apa saja!"
"Nah, ketahuan sekarang. Kalian mengejarngejar kami bukan karena benar-benar
mencarikan keadilan bagi In Kui-cu, tapi cuma
mengejar pepesan kosong yang kalian sebut
"nama baik perguruan" itu! Bukan pula karena
berhasil membuktikan kesalahan kami, tapi
cuma terdorong oleh kesombongan kalian, agar
tetap dihormati sebagai orang yang menepati
sumpah. Betul bukan?"
"Oh, bandit tengik, seratus tahun lagipun
manusia najis seperti kau takkan bisa mengerti
betapa berharganya martabat, nama baik,
kehormatan! Lebih baik siap-siap sajalah
menerima ajalmu!" Kota Serigala Jilid 1 38 "Hem, takkan kuserahkan selembarpun
rambutku hanya untuk memuaskan perasaan
gila hormat kalian!"
Ucapan ini kontan memberingasi muridmurid Kim-jiok-bun. Mereka hendak menyerbu
serempak, tapi Ho Su-siau mencegah dengan
seruannya. "Tahan, saudara-saudara! Demi
kehormatan perguruan kita, tidak patut kita
mengeroyok manusia sampah ini! Cukup salah
seorang dari kita yang maju!"
"Boleh juga lagak orang-orang ini....." pikir Yo
Siau-hou. "Tapi malah menguntungkan aku,
kalau mereka benar-benar mau maju satu
persatu..." Li She-hai, seorang murid Kim-jiok-bun yang
berambisi untuk memperoleh julukan mentereng di dunia persilatan, segera merebut
kesempatan itu, "Suheng (kakak seperguruan),
biarkan kucuci pedangku dengan darahnya!"
"Majulah..." Ho Su-siau mengijinkan. "Junjunglah tinggi kehormatan perguruan kita!"
Melihat calon lawannya memasuki gelanggang sambil menjinjing pedangnya yang
Kota Serigala Jilid 1 39 indah gemerlapan, Yo Siau-hou juga siap dengan
tongkat kayunya yang kasar. Dalam hal pakaian
dan senjata, dua orang yang hendak bertempur
itu nampak kontras sekali.
"Yo Tiat, kau tidak tahu diri dan cari
kematian..." Li She-hai menggeram dingin,
menirukan gaya pendekar-pendekar kenamaan.
"Sekarang tibalah saat naasmu."
Yo Siau-hou menjawab sambil menyeringai,
"Gayamu mantap sekali, tapi aku tidak percaya
bualanmu." Keruan saja Li She-hai maupun murid-murid
Kim-jiok-bun yang ditepi arena jadi tersinggung
melihat sikap Yo Siau-hou yang tidak gentar itu.
Menurut pikiran mereka, siapapun, asal
berhadapan dengan murid Kim-jiok-bun,
seharusnya ya gentar mengingat nama besar
Kim-jiok-bun. Kalau ada yang tidak gentar, itu
sungguh menyakitkan hati.
Dengan gaya yang indah, Li She-hai mulai
pasang kuda-kuda. Dari pinggir arena pun
terdengar sanjungan, "Wah, pembukaan jurus
Kim-jiok-kai-peng (Merak Emas Merentang
Kota Serigala Jilid 1 40 Sayap) yang sempurna sekali! Li Suheng benarbenar mahir dalam jurus ini."
"Benar! Kalau nanti pedangnya bergerak,
pasti bandit tengik itu akan terpotong jadi dua!"
"Dan lihatlah si bandit tengik, ha-ha-ha....
gayanya jelek sekali. Kalau dibandingkan
dengan Li Suheng, sungguh mirip seekor ayam
brondol hendak coba-coba menandingi burung
Hong." Dan disusul suara tertawa mengejek
murid-murid Kim-jiok-bun di tepi arena itu.


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sikap siaga Yo Siau-hou memang jauh dari
syarat-syarat keindahan. Sepasang kaki agak
ditekuk, tubuh agak mem bungkuk, tongkatnya dipegang mendatar di
depan tubuh. Gayanya agak mirip seorang anak
kecil yang sedang siap menangkap seekor
capung. Sedangkan ejekan murid-murid Kimjiok-bun sama sekali tidak digubrisnya, sebab
perhatiannya sepenuhnya terpusat hanya
kepada lawannya yang satu. Tak bisa
dipungkiri, Yo Siau-hou memang agak tegang
sebab seumur hidupnya, baru kali inilah berkela
Kota Serigala Jilid 1 41 Dengan gaya yang indah, Li She-hai mulai pasang
kuda-kuda. Dari pinggir arena pun terdengar
sanjungan, "Wah, pembukaan jurus Kim-jiok-kai-peng
(Merak Emas Merentang Sayap) yang sempurna sekali!
Li Suheng benar-benar mahir dalam jurus ini."
Kota Serigala Jilid 1 42 hi dengan manusia. Murid perguruan terkenal
pula. Sedangkan Yo Siau-hou biasanya cuma
berlatih memukul lalat yang sedang terbang,
atau melawan binatang buas di hutan.
Sebaliknya Li She-hai mendengus dan amat
menikmati pujian saudara-saudara seperguruannya. Ia tidak segera menyerang,
melainkan dengan bangga masih ingin pamer
beberapa gaya pembukaan yang indah lainnya.
Kakinya bergeser perlahan, pedangnya bergerak seperti orang menari, dan kembali ia
berganti gaya. "Alangkah indahnya! Luar biasa! Li Suheng
kini dalam sikap awal jurus Kim-jiok-keng-ih
(Merak Emas Menyisik Bulu). Keseimbangan
letak yang tepat antara sepasang mata,
sepasang lengan, pinggang dan kuda-kuda! Luar
biasa.... luar biasa...."
"Dan gaya si bandit tengik itu kok belum
ganti-ganti juga" Sejak tadi cuma berputarputar saja mengikuti arah langkah Li Suheng"
Ha-ha-ha..... aku yakin bangsat itu mulai
kebingungan...." Kota Serigala Jilid 1 43 "Ayo, Li Su-heng! Babat saja! Tunggu apa
lagi?" Li She-hai benar-benar percaya kepada
anjuran teman-temannya, maka diapun mulai
menyerang dengan gerak tipu Pek-hong-koanjit (Pelangi Putih Menutupi Matahari) dengan
seindah-indahnya dan setepat-tepatnya seperti
yang diajarkan di perguruan, menyerang ke
leher. Pedang belum kena, saudara-saudara
seperguruannya sudah bersorak bangga.
Naluri Yo Siau-hou memerintahkan untuk
bergerak pula. Ia tidak paham teori-teori silat
atau jurus-jurus indah lainnya, cuma
mengandalkan naluri sebagai pimpinan. Satu
kakinya mundur berbarengan dengan ujung kiri
tongkatnya menyapu ke batang pedang
lawannya. Pedang lawan ternyata bergerak
tidak secepat terbangnya lalat-lalat musim
panas yang sering dipukulnya jatuh selagi
terbang. Pedang dan pentung berbenturan bukan
perlawanan tetapi searah, pentung "nomplok" si
pedang dan sekalian mendorong dengan deras.
Kota Serigala Jilid 1 44 Li She-hai kaget karena ia diseret ke samping
dan kehilangan segala gayanya yang indah.
Sialnya, gerak tongkat lawannya belum
berhenti, sebab ujung kanan si tongkat tiba-tiba
menyapu turun dan mengetuk lutut Li She-hai.
Murid Kim-jiok-bun ini meraung kesakitan
sambil melompat. Sekalian saja Yo Siau-hou tambahkan sebuah
tendangan keras mengenai pinggang Li She-hai.
Lawannya kontan mencelat dan terkapar, suatu
gerakan yang belum dicarikan nama oleh
perguruannya. Sorak bangga di seputar arena kontan
bungkam. Murid-murid Kim-jiok-bun tercengang, tak percaya, kebingungan dan tak
tahu kenapa bisa begitu" Mestinya ya tidak
begitu, jurus-jurus Kim-liok-kiam-hoat kan
hebat-hebat" Yang menguasai diri mereka
bukan lagi sikap koreksi diri, tapi buah dari
kebanggaan membabi-buta selama bertahuntahun. Marah, Nama baik terluka.
"Biar aku yang maju!" seorang murid lainnya
yang bernama Yok Lam-heng melompat maju,
Kota Serigala Jilid 1 45 membawa kemarahannya ke arena. Sekaligus
ingin menjadi pahlawan penyelamat pamor
perguruannya, sekaligus juga ingin menggeser
"ranking" Li She-hai di perguruan.
Tanpa lebih dulu mengobral gaya
pembukaan, Yok Lam-heng dengan bernafsu
langsung memberondongkan jurus-jurus serangan. Makin cepat bisa mencincang
lawannya, namanya akan makin termashur.
Yo Siau-hou cepat berlompatan menghindari
ujung maupun tepi pedang yang mengejarnya.
Sorak-sorai murid-murid Kim-jiok-bun yang
tadinya bungkam, kini membahana kembali.
"Bagus! Bagus! Mampuskan dia!"
"Keberhasilan si bandit tengik menjatuhkan
Li Suheng tadi hanya kebetulan saja, juga
karena curang! Sekarang barulah dia tahu akan
kehebatan ilmu pedang kita!"
"Hidup Kim-jiok-bun!"
Yo Siau-hou memang kelihatan cuma
menghindar, menangkis, mundur, karena ia
merasa belum mendapat peluang untuk
menggebuk. Ia nampak terus dikejar oleh
Kota Serigala Jilid 1 46 lawannya. Cahaya pedang berkelebatan dengan
kencang, kelihatan seperti belasan helai
selendang perak yang memutari angkasa tak
putus-putusnya. Namun sebenarnya Yok Lam-heng sendiri
mulai penasaran, kenapa pedangnya belum
kena-kena juga" Sudah dua puluh jurus lebih,
pedangnya baru berhasil merajang angin.
Padahal lawannya cuma berlompatan, mengelak
atau menangkis dengan gerak-gerak sederhana,
tapi anehnya tidak bisa disudutkan untuk
dihantam secara telak. Yo Siau-hou sendiripun heran. Ia kagum
akan serangan lawannya yang indah dan
beruntun, tapi dilihatnya lawannya membuang
beberapa peluang baik hanya untuk memperbaiki sikap agar menepati kaidahkaidah perguruannya, ciri khas perguruannya.
Agaknya lawannya ingin melakukan setiap jurus
setepat-tepatnya sampai ke soal sekecilkecilnya, tak berani mengubah, tak peduli
tuntutan situasi yang nyata-nyata dihadapi.
Tetap ngotot dengan teori.
Kota Serigala Jilid 1 47 Lama kelamaan terbentuk keyakinan dalam
diri Yo Siau-hou, bahwa peluang-peluang yang
dibuang oleh lawannya itu akan bisa direbutnya
menjadi peluangnya. Ia mulai bertempur sambil
mengintai lawannya, menajamkan nalurinya
pada tingkat tertinggi sebagai penuntun
geraknya. Tiba saatnya Yok Lam-heng begitu marah,
sehingga ia menyerang berturut-turut dengan
tipu-tipu Pek-ho-tok-hi (Bangau Putih Mematuk
Ikan) yang menusuk ke dada, serta Thai-pengtian-cu (Garuda Membuka Sayap) yang berupa
tusukan ganda ke kiri kanan. Kalau menyerang
tengah, kiri kanan juga harus dijaga, lagi-lagi
begitulah kata teori yang dipelajarinya.
Sorak murid-murid Kim-jiok-bun di tepi
arena meninggi. "Mampuskan dia! Jangan diampuni!"
"Tumpas habis musuh-musuh kita!"
"Kim-jiok-bun kita...."
".... keparat! Anak anjing!" jerit Yok Lam-heng
kesakitan. Bukan maksudnya memaki perguruannya sendiri, tetapi ia memang betulKota Serigala Jilid 1
48 betul kesakitan. Jurus-jurus serangannya tadi
luput semua, malah Yo Siau-hou berhasil
menghantam sasaran sepele yang tak terduga,
jempol kakinya di tanah. Begitu Yok Lam-heng menjadi kacau
geraknya karena kakinya kesakitan, serangan
Yo Siau-hou menyusul dengan gaya tak ubahnya
orang menebang pohon. Tongkatnya deras
menerpa rusuk lawan. Sekali lagi Yok Lam-heng
menjerit, lebih keras dari yang pertama, dengan
wajah memucat, lalu tumbang ke tanah.
Kembali sorak bangga murid-murid Kim-jiokbun yang tengah menghebat itupun terbungkam
mendadak, lalu berubah menjadi rasa malu,
kecewa dan heran. Sedang Yo Siau-hou mengusap-usap mukanya yang berkeringat sambil tertawa
mengejek, "Jurus ciptaanku tadi kuberi nama
Pat-kim-jiok-mo (Memberodoli Merak Emas).
Lumayan tidak?" Meledaklah amarah murid-murid perguruan
Merak Emas itu. Mereka hendak menerjang
berebutan, tapi Ho Su-siau kembali berteriak
Kota Serigala Jilid 1 49 mencegah, "Tahan! Saudara-saudara, coba
perhatikan dia! Dia bukan Yo Tiat! Masa Yo Tiat
masih semuda itu?" Ternyata, ketika Yo Siau-hou mengusap-usap
wajahnya yang berkeringat tanpa sengaja
terhapuslah goresan-goresan jelaga penyamaran wajahnya. Biarpun malam gelap,
Ho Su-siau dapat segera melihat betapa
mudanya lawannya itu, sekitar dua puluh tahun
umurnya. Murid-murid Kim-jiok-bun segera sadar,
bahwa dalam waktu yang begitu singkat mereka
sekaligus telah dikalahkan, diejek dan
dikelabuhi. Salah satu dari tiga urusan itu saja
sudah cukup membuat mereka mencak-mencak
marah, apalagi tiga sekaligus. Dengan wajah
merah padam, Ho Su-siau berkata, "Hua Sute
dan Seng Sute, periksa sekitar bukit ini dan
temukan Yo Tiat! Kalau ketemu, langsung
potong kepalanya!" "Baik, Suheng!" Hua Kiam dan Seng Liok
yang kebagian tugas itu langsung menjawab
dengan gagah, lalu berangkat. Sejak mereka
Kota Serigala Jilid 1 50 oleh perguruannya diperkenankan memakai
jubah putih bersulam merak emas di dada,
mereka merasa sudah "dilantik" menjadi
malaikat-malaikat yang punya wewenang
penuh untuk mencabut nyawa manusia. Seolah
mereka sudah diangkat menjadi mahluk yang
setingkat lebih tinggi dari jenis manusia.
Sementara itu, Ho Su-siau dan dua saudara
seperguruannya yang belum cedera, siap
mengeroyok Yo Siau-hou. Berhubung tidak ada
pihak ketiga yang melihat tindakan mereka,
maka segala gembar-gembor tentang "tindakan
kesatria" atau "menjaga kehormatan perguruan" segala bolehlah disingkirkan untuk


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara. Tidak ada yang lihat kok.
Yo Siau-hou makin waspada. Ia berharap
agar ayahnya sudah lari sampai ke tempat yang
aman, agar apabila perlu diapun bisa lari dari
arena itu. Tidak perlu malu untuk lari. Sebab
lari adalah salah satu jurus ilmu beladiri yang
tertua, sama tuanya dengan jurus bersembunyi.
Terdengar Ho Su-siau berteriak, dan
pertempuran tiga lawan satu pun dimulai.
Kota Serigala Jilid 1 51 **SF** Dengan lembaran peta harta karun di
kantongnya, dan buli-buli arak di tangannya, Yo
Tiat merasa sudah menggenggam seisi dunia.
Sampai lupa dia akan nasib anaknya yang
tengah mengadu nyawa demi dirinya.
Setelah keluar gubuknya lewat pintu
belakang, ia berlari menuruni lereng bukit di
belakang gubuknya. Diterjangnya semak-semak
berduri, rumpun-rumpun ilalang dan batu-batu
tajam yang melukai kakinya. Ia mencaci maki
entah kepada siapa, namun terus berlari. Di
bawah bukit ada hutan yang lebat untuk
bersembunyi. Berkali-kali ia jatuh terguling
karena gelapnya malam sehingga kulitnya lecetlecet. Namun setiap kali pula ia bangkit untuk
berlari kembali. Namun Yo Tiat kini bukanlah Yo Tiat sepuluh
tahun yang lalu. ..... dia tokoh nomor empat dari
Leng-san-su-ok, cukup dikenal ketangguhannya
di kalangan hitam. Namun sudah sepuluh tahun
ia mengabaikan latihan silat, dan ototnya mulai
layu oleh arak yang setiap hari memasuki
Kota Serigala Jilid 1 52 tubuhnya tanpa takaran. Tidak lama ia lari,
keringatnya semakin bercucuran, matanya
berkunang-kunang dan napasnya ngos-ngosan.
Kakinya kesakitan. "Sudah aman, istirahat dulu.... ia hibur
dirinya sendiri sambil duduk di tanah.
Dibukanya buli-buli arak dan diteguknya
separuh isinya sekaligus. Sambil terengahengah memperbaiki napasnya, ia juga memijatmijat kakinya.
Tak lupa ia meraba kantongnya untuk
meyakinkan bahwa peta harta karun itu,
biarpun cuma seperempat lembar, masih
bersamanya. Ternyata masih dan ia tersenyum
lebar. Sisa arak setengah buli-buli dimasukkan
sekali ke perutnya. "Heh-heh-heh.... tikus-tikus Kim-jiok-bun itu
tak mungkin tahu kalau aku lari ke arah ini."
Tepat saat itu didengarnya di bagian atas
lereng ada derap orang berlari mendekat, dan
suara semak-semak dibabat. Ia melihat dua
sosok bayangan berjubah putih dan memegang
pedang sedang melangkah ke arahnya.
Kota Serigala Jilid 1 53 "Mati aku!" keluh Yo Tiat dalam hati. Lupa
akan rasa lelah dan sakitnya, diapun bangkit
dan melanjutkan larinya. Seandainya ia bertiarap saja di rerumputan,
belum tentu kedua murid Kim-jiok-bun itu bisa
menemukan karena gelapnya malam, lagipula
mereka mencari dengan cara tidak cermat. Tapi
justru karena Yo Tiat bangkit dan berlari, malah
ia langsung dilihat oleh pemburu-pemburunya.
"Itu dia! Lari ke bawah lereng!"
"Apakah pasti dia si bangsat tengik Yo Tiat"!"
"Kalau bukan dia, siapa lagi yang malammalam berkeliaran di sini, dan lari ketika
melihat kita?" "Dia pasti kaget melihat pakaian kita, sadar
bahwa tak mungkin sanggup melawan kita,
murid-murid dari perguruan yang termasyhur."
"Jangan omong saja. Ayo kita kejar!"
Begitulah di lereng itupun terjadi kejarmengejar. Dua orang pengejar memburu sambil
mengacung-acungkan pedang, dan yang diburu
terus memacu sepasang kakinya, tak peduli
paru-parunya serasa hampir meledak.
Kota Serigala Jilid 1 54 Akhirnya kelihatan juga beda daya tahan
antara orang-orang yang latihan dengan teratur,
melawan si pemabuk yang darahnya sudah
kecampuran arak selama sepuluh tahun. Kedua
murid Kim-jiok-bun semakin dekat. Yo Tiat
berlari cepat, tapi kedua pengejarnya lebih
cepat, biarpun sama-sama terengah-engah.
"Mau lari ke mana, bangsat?"
"Darahmu harus tertumpah malam ini, untuk
memulihkan kejayaan Kim-jiok-bun!"
"Tidak! Tidak! Bukan aku yang membunuh
Pangeran In Kui-cu!" Yo Tiat berteriak sambil
berlari terus. "Kau atau bukan, itu urusan nomor dua.
Urusan nomor satu ialah menjaga martabat
kami, sebab kami sudah terlanjur bersumpah di
hadapan para pendekar untuk menumpas Lengsan-su-ok. Kami harus membuktikan bahwa
kami sanggup melaksanakan sumpah kami!
Batok kepalamu harus ditunjukkan kepada para
pendekar sebagai buktinya!"
Mendengar itu, kini Yo Tiat berlari sambil
menangis. Sementara sepasang kakinya
Kota Serigala Jilid 1 55 semakin berat, dan derap pengejar-pengejarnya
terdengar makin dekat. Sial sekali, kakinya tibatiba terantuk akar pohon yang mencuat di tanah
dan robohlah ia. Baru saja ia berusaha merayap
bangun, kedua murid Kim-jiok-bun telah
berlompatan mendekat dan diri di dekatnya
dengan pedang terhunus dan wajah haus darah.
"Bukan aku... bukan aku yang membunuh
Pangeran In Kui-cu, sungguh..." Yo Tiat coba
menggunakan air mata dan ratapan memelasnya untuk memperpanjang nyawanya.
"Kalau bukan kau, lalu siapa" Salah seorang
dari tiga teman busukmu?"
"Tidak tahu... tidak tahu..."
"Hem, kalau kau mau menunjukkan di mana
persembunyian ketiga temanmu kami akan
memohonkan di hadapan ketua kami, Yang
Mulia Pangeran In Kong-beng, agar kau diberi
hukuman paling ringan!"
"Itu juga aku tidak tahu. Dulu ....ga kami
langsung lari berpencaran, satu sama lain tidak
sempat saling memberitahu akan pergi ke
mana." Kota Serigala Jilid 1 56 "Kalau kalian tidak bersalah, kenapa
bersembunyi" Itu tandanya kalian bersalah!"
"Karena... karena... tuan-tuan dari Kim-jiokbun pasti takkan mau mendengar penjelasan
kami, dan akan menghukum kami tanpa
ampun." "Kurang ajar! Jadi kau anggap kami ini
bertindak sewenang-wenang" Kami ini bertindak demi menjaga ketertiban dunia!
Orang yang kami tentukan bersalah, pasti
benar-benar bersalah"dan tak mungkin lolos
dari pedang kami! Pedang keadilan!"
"Memangnya kalian malaikat, sehingga tidak
bisa keliru?" pikir Yo Tiat, dan sudah tentu tidak
diucapkannya. Sementara itu, Seng Liok dengan tidak sabar
telah berkata, "Hua Suheng, masihkah kita
banyak cakap dengan manusia yang dosanya
bertumpuk-tumpuk ini" Langsung saja kita
ambil kepalanya, habis perkara!"
Dan Hua Kim mengangguk setuju.
Murid-murid Kim-jiok-bun sudah terbiasa
mengangkat diri sendiri sebagai jaksa penuntut,
Kota Serigala Jilid 1 57 merangkap jadi hakim yang memutuskan benar
salahnya orang lain tanpa bisa digugat, dan
sekarang sudah siap menjadi algojo si pelaksana
hukuman pula. Tapi saat itu terdengarlah suara desir
langkah lembut mendekat. Baik calon-calon algojo maupun calon setan
penasaran sama-sama menoleh. Terlihat
sesosok tubuh berhenti dari jarak beberapa
langkah dari mereka. Tegap, berpakaian warna
gelap, dan agak aneh karena di malam hari dia
memakai sebuah caping bambu yang lebar
sehingga wajahnya tak terlihat.
Kedua murid Kim-jiok-bun menjadi agak
tegang, terpengaruh oleh keangkeran pendatang baru itu. Sedang Yo Tiat tiba-tiba
merasa sudah kenal sosok yang angker itu.
"Siapa kau?" bentak Hoa Kim.
"Liu Gin!" terdengar jawaban singkat dan
dingin dari bawah bayangan caping bambu itu.
Kedua murid Kim-jiok-bun itu kaget. Liu Gin
adalah tokoh kedua dari Leng-san-su-ok yang
mereka kejar-kejar. Tapi alangkah bedanya
Kota Serigala Jilid 1 58 dengan Yo Tiat. Kalau Yo Tiat berlari ketakutan
dan kemudian meratap-ratap minta ampun,
sebaliknya Liu Gin justru berjalan mendekat
dengan tenang dan menyebutkan namanya
terang-terangan. Sedangkan Yo Tiat tiba-tiba dipenuhi rasa
gembira dan harapan hidup yang meluap.
"Bagus, Lo ji (si kedua)! Kau datang di saat yang
tepat!" "Ya," hanya itu jawaban Liu Gin.
"Lo-ji, bangsat-bangsat Kim-jiok-bun itu
terus mengejar kita berempat dengan tuduhan
palsu, menganggap kita membunuh In Kui-cu.
Mereka tak pernah mau mendengar bantahan
kita, maka kau bunuh mereka! Apakah kau
bawa cambuk mautmu?"
Caping bambu itu bergerak sedikit,
menandakan kepala pemiliknya mengangguk.
Kedua murid Kim-jiok-bun itu bergetar
hatinya. Di tempat-tempat ramai, di depan
pengagum-pengagum mereka, pada saat
mereka banyak teman, mereka bisa bersikap
gagah dan berlagak pendekar-pendekar
Kota Serigala Jilid 1 59 kenamaan. Tapi kini di tempat sepi, di mana
mereka hanya berdua saja harus menghadapi
masalah yang tidak terduga munculnya,
keyakinan diri mereka mulai agak goyah.
Tapi mereka lalu ingat suatu "senjata" yang
biasanya manjur untuk menggertak, yaitu nama
perguruan mereka. Hua Kiam berdehem sekali
untuk memperbaiki suaranya agar tidak
terdengar gemetar, lalu berkata gagah, "Hem,
kebetulan sekali. Kami kemari tidak cuma
menemukan Yo Tiat, tapi muncul pula Liu Gin.
He, Liu Gin, apakah kau belum tahu siapa kami?"
Liu Gin menjawab dengan datar saja. "Tahu.
Sejak di warung kecil aku lihat pakaian kalian
dan lagak kalian aku langsung tahu kalianlah
murid-murid Kim-jiok-bun."
"Bagus. Kalau sudah tahu siapa kami, kenapa
tidak cepat-cepat kau ajak temanmu si Yo Tiat
ini untuk cepat-cepat menyingkir dari sini" Agar
timbul belas kasihan kami untuk mengampuni
kalian?" Kini kedua murid Kim-jiok-bun itu tidak lagi
berani bicara urusan "memotong kepala" segala,
Kota Serigala Jilid 1 60 sebab mulai tidak yakin akan keunggulan
kekuatan di pihak mereka. Cukup asal Liu Gin
dan Yo Tiat kena gertak dan angkat kaki,
mereka boleh lega karena terhindar dari
bentrokan penuh resiko, tanpa kehilangan
muka. Soal membalaskan Pangeran In Kui-cu
"demi martabat perguruan" segala, sebaiknya
diurus besok besok saja kalau sedang banyak
teman mereka. Tapi Liu Gin tidak juga beranjak pergi,
sehingga kedua murid Kim-jiok-bun mulai waswas. Apalagi ketika mendengar hasutan Yo Tiat


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Liu Gin, "Lo-ji, jangan ampuni mereka!
Biarpun sekarang kau lepaskan mereka, kelak
mereka akan tetap mengejar-ngejar kita juga!"
Kedua murid Kim-jiok-bun merasa keadaan
tambah gawat. Hua Kiam tiba-tiba memasukkan
dua jari ke mulutnya untuk bersuit memanggil
teman-temannya. Tapi karena gugup dan takut,
suitannya tidak bunyi. Yang bunyi cuma sebuah
desis sumbang. Saat itulah Liu Gin mengayunkan tangannya
secepat kilat. Seutas cambuk meluncur dari
Kota Serigala Jilid 1 61 telapak tangannya bagaikan seekor ular
terbang, dan tahu-tahu leher Hua Kiam telah
terbelit kencang. Ditambah sebuah sendalan
keras, tenggorokan Hua Kiam berbunyi
sebentar dengan mata mendelik dan lidah
keluar, lalu ambruk terkapar. Dengan kecepatan
sama, cambuk ditarik pulang dan tergulung
kembali di telapak tangan.
(Bersambung Jilid 2) Bantargebang, 19 Mei 2018
Kontributor Image/Buku : Koh Awie Dermawan
Re-Writer : Siti Fachriah
first share in facebook Group : Kolektor E-Book
Kota Serigala Jilid 1 62 Kota Serigala Jilid 2 1 Kota Serigala Jilid 2 1 KOTA SERIGALA Karya : STEFANUS S.P. Jilid II Lenyaplah sisa-sisa keberanian Seng Liok
melihat nasib saudara seperguruannya.
Persetan dengan nama baik perguruan,
nyawalah urusan nomor satu. Cepat dia putar
tubuh untuk mengambil jurus langkah seribu.
Namun Liu Gin lebih cepat melompat dan
meluncurkan cambuknya lagi, membelit leher
korbannya lagi, menyentak lagi. Dan satu nyawa
murid Kim-jiok-bun amblas. Semuanya berlangsung serba singkat.
Jantung Yo Tiat hampir berhenti berdetak
melihat kemahiran membunuh dari teman
lamanya itu. Terasa ada hawa dingin merayapi
punggungnya. Namun melihat Liu Gin telah
menggulung kembali cambuknya, "Permainan
cambukmu jauh lebih hebat dari sepuluh tahun
yang lalu, Lo-ji. Luar biasa. Kedua tikus
Kota Serigala Jilid 2 2 sombong dari Kim-jiok-bun ini bisa kau habisi
begitu cepat." "Terima kasih."
"Lo-ji, tidak percuma kau menyandang
julukan Hong-au-jiat-pian (Cambuk Maut
Pencekik Leher)" Di kegelapan malam, apalagi di bawah
bayangan caping lebar itu, sulit melihat
bagaimana wajah Liu Gin menanggapi sanjung
puji itu. Mungkin bisa ditebak dari suaranya
yang tetap datar tanpa perasaan, "Lo-si (si ke
empat) aku memang mencarimu karena kupikir
sudah tiba saatnya kita berkumpul kembali. Kita
berempat. Lalu kita satukan sobekan-sobekan
peta itu, dan kita gali harta karunnya. Apakah
kau sependapat?" "Jelas sependapat..." sahut Yo Tiat
bersemangat, tapi tiba-tiba semangatnya
mengendor dan suaranya jadi terdengar raguragu. "Tetapi... apakah keadaan di luar sudah
betul-betul aman" Pihak Kim-jiok-bun dan
pihak-pihak yang bersimpati kepada mereka,
masih saja terus mengingini batok kepala kita."
Kota Serigala Jilid 2 3 "Lo-si, kalau kita tunggu sampai betul-betul
aman sambil terus bersembunyi, maka kita
harus menunggu sampai kiamat. Kita harus
berani menyerempet bahaya supaya
bisa segera menikmati harta itu. Toh orang-orang
Kim-jiok-bun ternyata bukan dewa-dewa yang
tak terkalahkan."Liu Gin berkata sambil
menunjuk dua mayat murid-murid Kim-jiokbun.
Yo Tiat mengangguk-angguk. "Benar juga
omonganmu. Tapi supaya peta bisa disambungsambung menjadi lengkap, kita harus lebih dulu
menemukan Lo-toa (si tertua) dan Lo-sam (si
ketiga). Bagaimana?"
"Kita akan mencarinya. Apakah kau tahu di
mana kira-kira mereka berdua sekarang?"
"Sayang, akupun tidak tahu. Sepuluh tahun
aku tidak berani meninggalkan kampung
keparat ini biarpun hanya selangkah."
"Ah, tidak apa-apa, kita bisa mencarinya
perlahan-lahan. Yang penting, seperempat
lembar peta yang harus kau simpan itu, apakah
masih ada padamu?" Kota Serigala Jilid 2 4 Saking bersemangatnya membayangkan
harta karun itu, Yo Tiat sampai tidak
menangkap perubahan nada suara Liu Gin yang
lebih dingin dari semula. Sambil menepuknepuk kantongnya, Yo Tiat menjawab, "Di sini,
di kantongku. Selama sepuluh tahun lembaran
kulit tidak pernah terpisah dari tubuhku,
biarpun cuma sedetik."
Liu Gin tiba-tiba terkekeh menyeramkan,
katanya, "Kalau begitu ya kebetulan. Jadi aku
tidak usah mencari-cari di gubukmu yang bau
itu." "Lo-ji!" Yo Tiat terkesiap karena merasakan
gelagat buruk, dan tahu-tahu dilihatnya seutas
cambuk meluncur dan membelit lehernya.
Dengan dingin tanpa ampun, Liu Gin
menyendal cambuknya, dan jatuhlah korbannya
yang ketiga malam itu. Demikianlah nasib Yo Tiat, tokoh ke empat
dari Leng-san-su-ok. Ternyata begitu dekat
jarak antara harapan hidup yang meluap-luap,
dengan sang maut yang menerkam tanpa
permisi. Kota Serigala Jilid 2 5 "Lo-ji!" Yo Tiat terkesiap karena merasakan gelagat
buruk, dan tahu-tahu dilihatnya seutas cambuk
meluncur dan membelit lehernya.
Kota Serigala Jilid 2 6 Sambil menggulung kembali cambuknya, Liu
Gin bergumam sendirian, "Jangan khawatir.
Arwahmu takkan lama sendirian. Kalau Lo-toa
dan Lo-sam sudah kutemukan pula, akan segera
kukirim pula mereka kepadamu, agar kalian
bertiga bisa omong-omong. Sedang soal harta
karun itu, biar aku yang uruskan untuk kalian."
Lalu ia berjongkok menggeledah mayat Yo
Tiat. Diketemukannya lembaran kulit itu,
berbau apek keringat dan arak, namun Liu Gin
tersenyum melihat goresan-goresan di atas
kulit itu masih terbaca. Lalu dikantonginya
benda itu. Selesai. Iapun melangkah pergi meninggalkan tiga sosok mayat yang
bergelimpangan di antara batang-batang ilalang
yang gemerisik terguncang angin malam.
**SF** Mula-mula murid-murid Kim-jiok-bun memandang rendah Yo Siau-hou, lalu
tersinggung karena Yo Siau-hou tidak
menunjukkan sikap gentar terhadap nama Kimjiok-bun, lalu heran karena dua saudara
Kota Serigala Jilid 2 7 seperguruan mereka dikalahkan, dan akhirnya
marah lalu mengeroyok Yo Siau-hou. Akhirnya
toh nafsu membunuh menempati urutan paling
atas, lebih atas dari "martabat perguruan"
segala. Mengeroyok maunya untuk melampiaskan
penasaran. Tapi setelah mengeroyok pun malah
tambah penasaran, sebab setelah puluhan jurus
lewat, mereka bertiga belum juga berhasil Yo
Siau-hou. Ho Su-siau bertiga semakin sengit
menggerakkan pedang. Mau di kemanakan
muka mereka, kalau sampai gagal membunuh si
bocah gunung yang tak keruan aliran silatnya
dengan tongkat buruk ini" Seandainya gerakgerik Yo Siau-hou menunjukkan aliran silat
terkenal, barangkali Ho Su-siau bertiga takkan
sebegitu penasaran. Yo Siau-hou menghindar, menunduk,
menangkis, melompat atau balas menyerang
dengan gerak yang sederhana, nampak wajar
tanpa kelihatan dipaksakan tanpa menganut
pola tertentu yang harus begini atau begitu.
Kota Serigala Jilid 2 8 Otot-otot seluruh tubuhnya seolah terbuat dari
ka... yang begitu lemas, gampang melakukan
gerakan ini itu. Namun tiga batang pedang
lawannya tak pernah berhasil menyentuhnya,
bahkan ketiga lawannya ...lah yang lebih sering
terancam oleh ayunan tongkat yang tepat, kuat
dan terarah. Yo Siau-hou cuma pernah mempelajaril
dasar-dasar silat sederhana dari ayahnya,
sedang kepandaian ayahnya biasa-biasa saja.
Lalu pelajaran amat mendasar itu dikembangkannya sendiri dan gurunya adalah
pikirannya sendiri. Mendisiplin diri sendiri,
menemukan pikiran-pikiran tersendiri, dan
cara-cara latihan sendiri pula. Lari naik turun di
lereng terjal, melempar-lemparkan batu-batu
besar di sungai, berkejaran dengan monyetmonyet di pepohonan, memukul seranggaserangga kecil yang terbang cepat, dan melatih
keberaniannya dengan mencari kawan "latih
tanding" binatang-binatang buas yang berbahaya. Kota Serigala Jilid 2 9 Yo Siau-hou bergerak sewajar air. Ada
saatnya mengalir menyamping karena membentur bebatuan, tapi tak terhalang oleh
batu itu sendiri, menyusup di antara bebatuan.
Dan ada kalanya sang air adalah gelombang
dahsyat yang sanggup meruntuhkan tebingtebing sungai. Ia tidak terpenjara oleh bentuk
jurus, tapi bergerak menurut bagaimana yang
enak sajalah. Dan ketiga lawannya makin putus asa,
seperti tiga orang "penari pedang" yang cobacoba hendak menangkap seekor macan liar.
Sedangkan Yo Siau-hou makin berbesar hati.
Namun pikiran Yo Siau-hou masih dibebani
keselamatan ayahnya, yang dibayangkan pasti
bernasib malang sekali kalau sampai tersusul
oleh dua orang murid Kim-jiok-bun tadi. Ia tahu,
kepandaian silat ayahnya sudah musnah karena
sepuluh tahun tidak latihan dan minum arak
melulu. Maka ia tidak ingin berlama-lama di medan
pertempuran itu, melainkan mulai mencari
Kota Serigala Jilid 2 10 kesempatan untuk lepas dari libatan ke tiga
lawannya. Sambil terus bertahan dan menyerang, ia
mulai bergeser meninggalkan tempat yang rata,
menuju ke lereng yang banyak ditumbuhi
semak-semak berduri. Tiap kali

Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada kesempatan, tongkatnya digunakan memukul
atau mencongkel batu, tanah atau rantingranting kering sehingga benda-benda itu
terangkat beterbangan ke arah ketiga lawannya.
Makin lama makin gencar. Ketiga lawannya makin bingung. Bukan saja
repot menangkis "senjata-senjata rahasia" yang
beterbangan ke arah mereka, tapi juga karena
pertempuran bergeser ke tanah miring yang
banyak semak duri dan batu tajamnya. Pakaian
mereka mulai robek-robek dan sering
tersangkut, kaki mereka juga mulai kesakitan
biarpun terlindung sepatu. Tiap kali mereka
saling mengeluh, menyalahkan tempatnya,
menyalahkan ini itu. Mereka cuma terbiasa
latihan di Lian-bu-thia (bangsal latihan) yang
lantainya rata, bukan di tempat macam itu.
Kota Serigala Jilid 2 11 "Iblis itu curang!" teriak Ho Su-siau geram.
"Kita belum diajari ilmu untuk menghadapi
serangan seperti ini!" teriak murid lainnya yang
matanya kelilipan tanah. "Jurus Heng-ke-kimliang (Melintangkan Belandar Emas) tadi tidak
cocok untuk menangkis hamburan tanah."
Yo Siau-hou jadi heran dan geli mendengar
tanya jawab mereka. Menghadapi segala hal,
bahkan hal yang sekecil-kecilnya, mestikah
murid-murid Kim-jiok-bun ini diajari dulu, tidak
bisa menggunakan pikirannya sendiri"
Lalu mengejeklah ia, "Kalau kalian belum
diajari jurus penangkalnya, baiklah aku saja
yang melatih kalian secara gratis!"
Dan makin deraslah batu, kayu dan tanah
yang beterbangan. "Makin berbahaya!" teriak Ho Su-siau.
"Cobalah dengan jurus.... haep!" Segumpal tanah
tiba-tiba melayang masuk ke mulutnya. Diapun
meludah-ludah sambil membersihkan mulut,
dan beberapa kali mengeluarkan suara seperti
orang hendak muntah. Kota Serigala Jilid 2 12 Yo Siau-hou segera lari ke bawah lereng.
Lereng itu terjal dan licin, tapi tidak ada
masalah baginya yang selama sepuluh tahun
hampir tiap pagi dan sore berlatih lari naik
turun di situ. Maka ia dapat berlari turun seenak
orang lari di tanah datar saja.
"Kejar!" murid-murid Kim-jiok-bun berteriak. Dua murid Kim-jiok-bun yang cidera, Li Shehai dan Yok Lam-heng, segera berteriak-teriak
dengan paniknya, "Jangan tinggalkan kami!
Tunggu! Tunggu! Bagaimana nanti kami kalau.....
aduh!" Sebenarnya, tanpa perlu mereka berteriakteriak macam itu, Ho Su-siau bertiga toh
akhirnya berhenti sendiri. Mereka kaget melihat
lereng tebing begitu terjal, dan melongo melihat
bagaimana Yo Siau-hou meluncur menuruninya
dengan begitu tangkas di kegelepan malam,
seolah-olah di lantai rumahnya sendiri saja.
"Luar biasa! Dia pasti dilahirkan di Tahun
Kelinci...." komentar seorang murid Kim-jiokbun. "...atau Tahun Monyet...."
Kota Serigala Jilid 2 13 "Ho Su-heng, perlu kita kejar ke bawah atau
tidak?" "Cobalah kalian berdua yang turun, aku
menjaga di sini, melindungi Li Su-te dan Yok Sute kalau-kalau diserang bahaya."
"Tapi aku lahir di Tahun Kerbau, Su-heng.
Cobalah dia saja yang...."
"Tidak bisa juga! Aku shio Kerbau! Ho Suheng sendiri shio apa?"
Ho Su-siau cuma menggaruk-garuk tengkuknya dengan rasa mendongkol dan
kecewa. Lalu menjawab, "Bukannya aku takut
jatuh, tapi lereng itu banyak lumut dan duri.
Bagaimana kalau pakaianku kotor atau robek?"
"Iya, memang. Enak lho sebenarnya kalau
ada jalan yang lebar, rata dan tidak terlalu terjal
sampai ke bawah sana. Jadi kita bisa turun
dengan santai." Jalan yang lebar dan rata itu cuma khayalan,
karenanya pengejaranpun dihentikan. "Daripada pakaian kotor dan sepatu rusak...."
dalih mereka sepakat. Kota Serigala Jilid 2 14 "Mari kita rawat dulu saudara-saudara
seperguruan kita yang cidera."
"Bagaimana dengan saudara Hua dan Seng
yang mengejar Yo Tiat?"
"Kalau mereka selamat tak kurang suatu apa,
pastilah akan segera mencari dan bergabung
dengan kita!" "Ya. Kalau tidak kurang suatu apa."
"Pasti mereka selamat. Tidak perlu pusingpusing memikirkan mereka!"
"Eh, di dekat-dekat sini ada yang jualan
makanan enak atau tidak, ya?"
Sementara itu, setelah tiba di kaki lereng, Yo
Siau-hou lalu jalan memutar ke belakang bukit
yang bersebelahan dengan hutan. Ia menduga,
ayahnya tentu lari ke arah itu, sebab ayahnya
tentu memilih lereng yang paling landai, yang
paling mudah dilewati. Ia dapati lereng itu sunyi-sunyi saja. Tak
terdengar suara orang bertempur atau
berkejaran. Bulan yang melengkung sudah
makin bergeser ke balik pegunungan, diiringi
bintang-bintang yang berkerlipan.
Kota Serigala Jilid 2 15 "Ayah pasti lewat sini, mengingat kondisi
tubuhnya sekarang," pikir Yo Siau-hou. "Tapi ke
mana selanjutnya?" Sambil melangkah waspada dengan memegangi tongkatnya erat-erat, ia mulai
mendaki lereng. Ia tidak berani lengah. Siapa
tahu murid-murid Kim-jiok-bun masih penasaran, dan kini sedang menunggu di balik
semak-semak untuk menyergapnya"
Tapi keadaan tetap sunyi saja.
Tiba-tiba mata Yo Siau-hou yang tajam
melihat jejak berupa ranting-ranting semak
yang patah dan rumput ilalang yang rebah
terinjak. Dengan tetap waspada, ia mulai
mengikuti jejak itu. Jantungnya serasa hampir berhenti berdenyut, ketika ujung kakinya menyentuh
sesosok tubuh terbaring di tanah. Sudah beku.
Sesosok mayat murid Kim-jiok-bun, kemudian
diketemukan juga sesosok mayat murid Kimjiok-bun lainnya.
Yo Siau-hou menghentikan langkahnya
dengan perasaan heran, "Apakah ayah yang
Kota Serigala Jilid 2 16 membunuh mereka berdua" Sulit kupercaya.
Lama sekali ayah tidak berlatih silat, berjalan
biasa saja tidak kuat jauh, mana mungkin bisa
membunuh mereka berdua" Tapi.... siapa tahu"
Seorang yang terjepit oleh mara bahaya sering
bisa mengeluarkan kekuatan yang diluar
dugaannya." Hampir saja ia berkesimpulan demikian,
ketika dilihatnya mayat yang ketiga, mayat
ayahnya. Ketenangan Yo Siau-hou
buyar, perasaannya bergejolak. Ia melompat ke dekat
tubuh ayahnya dan berjongkok, meraba dada
ayahnya sambil mengharap mudah-mudahan
masih ada tanda-tanda kehidupan, sampai
harapannya lenyap karena ia pasti bahwa
ayahnya sudah tewas. "Ayah...." suaranya mulai bergetar, disentuhnya kulit wajah yang sudah membeku
itu. Ia tahu, hidup ayahnya penuh kesalahan dan
menjengkelkan pula, namun setelah menghadapi mayatnya, Yo Siau-hou merasa
terharu juga. Kota Serigala Jilid 2 17 "Kim-jiok-bun... Kim-jiok-bun..." berangsurangsur rasa sedihnya berubah menjadi
kemarahan. "Siapa yang mengangkat kalian
menjadi hakim dan sekaligus algojo yang
seenaknya boleh mengejar dan membunuh
orang lain" Kalian sendiri yang menyusun
tuduhan, lalu kalian sendiri pula yang
memutuskan mati hidupnya orang lain, tanpa
menghiraukan pertimbangan apapun kecuali
kebanggaan perguruan kalian sendiri?"
Sebagai manusia biasa, ia tidak luput dari
perasaan berpihak, dan saat itu ia merasa
marah buat ayahnya, satu satunya keluarga
yang masih ia miliki di dunia. Ia mulai geram
terhadap Kim-jiok-bun yang dianggapnya suka
main hakim sendiri. Sesaat ia duduk mematung di samping mayat
ayahnya, menatap tubuh itu lekat-lekat. Awan
hitam yang menghalangi sinar rembulan,
perlahan minggir oleh angin yang lembut
mengalir, cahaya rembulan yang redup pucat
itupun jatuh menyiram bumi.
Kota Serigala Jilid 2 18 Tiba-tiba Yo Siau-hou melihat sesuatu yang
janggal di tubuh ayahnya. Tidak ada luka
pedang di tubuh itu, padahal murid-murid Kimjiok-bun semuanya bersenjata pedang. Ia
periksa lebih teliti, dan menemukan kenyataan
bahwa penyebab kematian ayahnya ada di
leher. Di selingkar lehernya ada bi.... hitam,
agaknya ayahnya tercekik oleh semacam tali
atau cambuk. Tambah kuat kesimpulannya
ketika melihat lidah ayahnya agak terjulur
keluar. "Lalu dengan cara apa matinya murid-murid
Kim-jiok-bun itu?" timbul pertanyaan di
hatinya. Terdorong oleh rasa ingin tahunya, ia teliti
pula kedua mayat murid-murid Kim-jiok-bun
itu. Dan ternyata mereka mati dengan cara yang
sama dengan ayahnya. Tibalah Yo Siau-hou
pada kesimpulan bahwa ayahnya dan muridmurid Kim-jiok-bun tidak sempat saling
membunuh, tapi kedua pihak dibunuh oleh
pihak ketiga yang sama. Entah siapa.
Kota Serigala Jilid 2 19 "Agaknya tadi aku salah tafsir tentang apa
yang terjadi di sini....." pikirnya, dan
kegeramannya terhadap pihak Kim-jiok-bun
pun menyurut cepat. "Ayah dan murid-murid
Kim-jiok-bun ini agaknya menjadi korban dari
orang yang sama." Ia melangkah balik ke dekat mayat ayahnya
untuk memeriksa ulang lebih teliti. Dilihatnya
baju ayahnya tersingkap dan teracak-acak
seperti habis digeledah. Ingatan Yo Siau-hou
langsung kepada lembaran kulit lusuh, benda
kesayangan ayahnya yang ditunggui siang
malam itu. Ia memeriksa bagian dalam baju ayahnya,
dan dugaannya tepat. Lembaran kulit yang tiap
hari oleh ayahnya digelar di meja, dipelototi,
diajak tersenyum dan bicara sendiri itu,
memang sudah lenyap. Padahal ia yakin, benda
itu tentu tidak tertinggal pada saat ayahnya
meninggalkan gubuk, sebab ia tahu ayahnya
lebih suka ketinggalan sepotong tangannya
daripada benda itu. Saat itu Yo Siau-hou mulai
sadar betapa nilai benda yang tadinya ia anggap
Kota Serigala Jilid 2

Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

20 remeh itu, sadar justru setelah lenyap. Kalau
tidak berharga, bagaimana mungkin ada pihak
yang merebutnya tanpa segan-segan mengorbankan tiga nyawa"
"Siapakah pembunuh itu?" Yo Siau-hou
duduk termangu-mangu. Lalu muncullah sebuah tekad, yang tak
disadarinya akan menjadi sebuah keputusan
besar dalam perjalanan hidupnya. "Aku harus
menyelidiki sejelasnya latar belakang masa lalu
yang mengakibatkan segala kejadian ini. Untuk
itu aku harus tinggalkan tempat ini."
Rembulan dan bintang-bintang tergelincir
makin rendah ke belahan barat kubah angkasa
biru tua. Angin malam tak tajam lagi, melembut,
tapi embun turun seperti jarum-jarum es yang
menikam kulit. Kokok ayam liar terdengar dari
hutan. "Hampir pagi......" Yo Siau-hou bangkit dari
duduknya. "Tapi sebelum aku pergi, harus aku
kuburkan dulu mayat-mayat ini agar tidak
disantap hewan-hewan liar."
Kota Serigala Jilid 2 21 Dia lalu kembali ke gubuknya, untuk
mengambil cangkul, lalu kembali ke tempat itu
untuk menguburkan ketiga mayat itu.
Ketika ayam hutan memperdengarkan
kokoknya lagi, di lereng itupun muncul tiga
gunduk kuburan baru. Kuburan ayahnya
terletak agak di atas, lalu kuburan kedua murid
Kim-jiok-bun berdampingan agak di bawah.
"Hong-sui (keletakan tanah) kalian bagus..."
ucapnya kepada tiga arwah yang barangkali
belum pergi jauh. "Selama hidup kalian
bermusuhan, sekarang bertetanggalah dengan
damai." Khusus untuk ayahnya, Yo Siau-hou
bergumam, "Aku tidak suka akan masa lalumu
yang hitam, ayah. Tapi bagaimanapun juga akan
kuselidiki latar belakang kematian ayah. Tapi
aku tidak berjanji untuk membalas pembunuhan dengan pembunuhan pula, sebab
aku tidak tahu mana yang benar atau salah
dalam urusan ini. Tidak mustahil ayah sendiri di
pihak yang salah. Aku tidak mau meniru muridmurid Kim-jiok-bun yang hendak membalas
Kota Serigala Jilid 2 22 dendam kematian In Kui-cu secara membabi
buta, hanya berdasar laporan seseorang yang
belum jelas benar tidaknya."
Biarpun sedih, agaknya Yo Siau-hou tidak
mau kehilangan akal sehatnya. Ia sadar,
ayahnyapun bukan orang baik, membuat terlalu
banyak kesalahan semasa hidupnya, dan
barangkali juga pernah membunuh orang-orang
tak bersalah. Karena kesadaran itulah maka Yo
Siau-hou takkan membiarkan dendam kesumat
memperbudak dirinya. Ketika semburat merah muncul di langit
timur, dan puncak-puncak pegunungan mulai
kena cahayanya yang masih lemah, Yo Siau-hou
melangkah pergi, ditinggalkannya cangkulnya,
gubuknya dan tempat-tempat yang selama ini
menjadi ajang permainannya yang kesepian.
Ia mulai babak baru dalam hidupnya.
**SF** Gembira juga rasanya melangkah di dunia
luas, setelah sepuluh tahun terkurung di sebuah
kampung terpencil yang penduduknya bersikap
tidak bersahabat, terutama Soh Toa. Lalu datang
Kota Serigala Jilid 2 23 murid-murid Kim-jiok-bun yang merasa berhak
membunuh siapapun demi "kebenaran dan
keadilan" dan lebih-lebih lagi demi "kehormatan
perguruan". Tapi itu semua sudah berada di belakangnya.
Selama perjalanannya, saat melewati hutan
dan melihat hewan-hewan liar berkelahi, Yo
Siau-hou membatin, "Makhluk-makhluk ini
disebut buas, liar, kejam dan sebagainya.
Mereka mengenal kemarahan dan berkelahi
apabila lapar. Tapi rasanya hanyalah makhluk
yang namanya manusia, yang secara sengaja
mengajarkan dendam dan kebencian kepada
keturunannya. Entah dengan dalih berbakti
kepada guru dan orang tua, memulihkan nama
baik, menegakkan kehormatan dan sebagainya."
Setelah berjalan lewat sekian lembah dan
gunung, sampailah Yo Siau-hou di tempat
tinggal makhluk yang kabarnya paling pintar
dan beradab. Manusia. Tapi kabarnya juga
paling berbahaya. Itulah kota Ki-siong-koan.
Kota Serigala Jilid 2 24 Tidak semua orang gembira kala mendadak
menjadi tokoh terkenal. Misalnya Yo Siau-hou.
Ketika melewati pintu gerbang Ki-siong-koan, ia
agak kaget melihat di situ tertempel selembar
kertas besar yang berlukiskan wajahnya. Dan
meskipun kemampuan baca tulisnya agak paspasan, bisa juga ia mengartikan huruf-huruf di
atas kertas itu. "Diperingatkan kepada segenap sahabat dari
golongan putih agar waspada! Iblis nomor
empat dari Leng-san-su-ok (Empat Bandit Lengsan) yang bernama Yo Tiat dan berjulukan Tiatkak-..-yo (Kambing Mabuk Bertanduk Besi)
telah meninggalkan sarang persembunyiannya,
diduga keras untuk mengacau kembali di dunia
persilatan!" Membaca sampai di situ, Yo Siau-hou merasa
kata-kata itu agak berlebihan. Orang seperti
ayahnya, tidak mungkin lagi mengacau di dunia
persilatan selagi hidup. Paling-paling ngemplang hutang arak di warung-warung
kecil. Namun ia teruskan juga membaca
pengumuman itu. Kota Serigala Jilid 2 25 "Iblis ke empat itu diikuti oleh iblis cilik yang
amat licik, yang mungkin adalah anaknya, yang
wajahnya terlukis di sini. Ada kemungkinan tiga
iblis Leng-san-su-ok lainnya juga akan
bermunculan kembali. Para sahabat yang
mengetahui jejak mereka, harap segera
memberi kabar kepada Kim-jiok-bun, supaya
bisa segera diambil tindakan. Kim-jiok-bun akan
selalu berada di barisan paling depan dalam
melindungi keselamatan umat manusia!"
Sebagai tanda tangannya adalah lukisan
seekor burung merak, yang maknanya cukup
jelas bagi kaum persilatan.
Yo Siau-hou berdiri di depan pengumuman
itu sambil menyeringai kecut sendirian. Ia
yakin, selebaran itu tidak hanya ada di situ, tapi
juga di berpuluh-puluh tempat lainnya. Ia
benar-benar tidak gembira menjadi terkenal
dengan cara itu. "Rupanya orang-orang Kim-jiok-bun belum
tahu kalau ayah sudah tewas. Mereka mengira
ayah cuma melarikan diri sehingga mereka
sebarkan pengumuman macam ini. Dan karena
Kota Serigala Jilid 2 26 wajahkulah yang mereka lihat, maka wajahku
pulalah yang mereka lukis. Tapi lukisannya agak
tidak mirip, aku digambar lebih tampan dalam
lukisan itu." Tiba-tiba didengarnya dari arah luar kota
derap serombongan kuda mendekat. Yo Siauhou menoleh, dan terkesiaplah ia melihat
sepuluh penunggang kuda berjubah putih, di
bagian dada tersulam gambar merak emas, dan
menggendong pedang di punggung masingmasing. Mereka berkuda dengan gaya angkuh,
dagu sedikit terangkat, bibir agak tersenyum
mencibir, dan nampak tidak terlalu berminat
memandang manusia-manusia "biasa" yang hilir
mudik di sekitar mereka. "Sombong benar mereka," desis seorang
pejalan kaki di pinggir jalan yang baru saja
melompat kaget karena hampir tertabrak kuda.
"Apa mereka menyangka diri mereka itu dewadewa yang baru turun dari langit?"
"Ssst, jangan keras-keras, nanti mereka
mendengar. Mereka adalah tamu-tamu terhormat di rumah Ciu Cong-peng (penguasa
Kota Serigala Jilid 2 27 kota she Ciu) dan sahabat Pek-hou-Bu-koan
(sekolah silat Macan Putih)."
Buat Yo Siau-hou, mereka bukan sekedar
dewa-dewa dari langit, melainkan adalah
malaikat-malaikat maut yang harus dihindari
sejauh-jauhnya. Karena sebelah luar gerbang
kota adalah dataran luas yang tak ada tempat
bersembunyi, maka Yo Siau-hou pun memilih
untuk ke bagian dalam pintu gerbang, dan
langsung menyelinap ke sebuah lorong kecil
terdekat. Tetapi Ho Su-siau yang ada di antara
rombongan Kim-jiok-bun, sempat melihat
berkelebatnya Yo Siau-hou, bahkan masih
mengenalinya pula. Maka berserulah ia, "Iblis
cilik itu di sana!" Lalu murid-murid Kim-jiok-bun itu serempak menghunus pedang dan menderapkan kuda untuk mengejar. Ho Su-siau
kembali berseru, "Tangkap dia hidup-hidup
lebih dulu, untuk ktia tanya tentang nasib Hua
Kiam dan Seng Liok yang sampai sekarang
belum ada kabarnya."
Kota Serigala Jilid 2 28 Murid-murid Kim-jiok-bun itu tanpa
sungkan mengayun-ayunkan cambuk kuda
untuk meminggirkan para pejalan kaki, sambil
berseru dengan gagahnya. "Minggir! Minggir!
Jangan menghalang-halangi kami menangkap
penjahat!" Sambil berlari, Yo Siau-hou sempat
mendengar ucapan itu, dan mencaci dalam
hatinya, "Penjahat gundulmu! Tidak tahu
berterima kasih bahwa akulah yang menguburkan mayat dua teman kalian, yang
kalian tinggalkan begitu saja di lereng itu."
Tapi Yo Siau-hou juga sadar, bahwa saat itu
sepasang kaki yang c... larinya adalah jauh lebih
berguna daripada lidah yang bagaimanapun
fasihnya untuk menjelaskan. Mana mau para
"pembela kebenaran" itu mendengarkan katakata si "iblis cilik?" Begitulah Yo Siau-hou
menyelinap ke lorong itu, yang sempit dan
padat dengan gubuk jembel yang berjubel-jubel.
Itulah tempat tinggal para anggota masyarakat
lapisan paling bawah, di pinggiran kota Kisiong-koan.
Kota Serigala Jilid 2 29 Sementara murid-murid Kim-jiok-bun terus
memburu. "Dia masuk ke lorong itu!"
"Apakah dia tidak terlihat bersama ayahnya,
si iblis tua Yo Tiat"!"
"Pokoknya kejar dan tangkap dulu!"
"Salah satu dari kita cepatlah pergi ke
markas Ciu Cong-peng dan ke gedung Pek-hou
Bu-koan untuk minta bantuan tenaga, agar
menjaga semua jalan-jalan di sekitar sini!"
Untuk dapat mengejar di lorong sempit itu,
terpaksa murid-murid Kim-jiok-bun harus


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun dari kuda. Mereka pun mengejar sambil
tak henti-hentinya mengeluh akan bau lorong
itu, serta menyesali pakaian mereka yang
terciprat kotoran, karena lorong itu becek pula.
Lorong itu ternyata bercabang-cabang di
bagian dalamnya, dan murid-murid Kim-jiokbun mulai kebingungan ke mana harus
mengejar Yo Siau-hou. Mereka memecah diri
menjadi dua-dua orang untuk mengejar
berpencaran. Tangan kanan memegang pedang,
tangan kiri menutup hidung. Penghuni
Kota Serigala Jilid 2 30 perkampungan itu ternyata amat bebas dalam
soal membuang hajat, kalau perlu di depan
pintu juga boleh. Tidak mengherankan kalau
lorong itu berceceran dengan tumpukan tinja di
mana-mana. Inilah yang memperlambat
pengejaran murid-murid Kim-jiok-bun.
Tidak lama kemudian, bantuan dari Ciu
Cong-peng serta murid-murid Pek-hou Bu-koan
pun tiba, dan langsung ikut mengaduk
perkampungan jembel itu. Berulang kali Yo Siau-hou berhasil
menghindari atau bersembunyi dari pengejarpengejarnya, berkat ruwetnya lorong-lorong di
situ. Namun ketika musuh-musuhnya mulai
menjaga beberapa mulut lorong, dan sebagian
terus mengejar, Yo Siau-hou mulai merasa
terancam. "Permainan petak umpet" itu tak
mungkin dilanjutkan tanpa batas waktu. Maka
sambil terus bergerak, ia mulai memutar otak.
Jumlah musuh yang begitu banyak, takkan bisa
dilawannya sendirian. Akalpun ditemukan. Sambil berlari menyusup-nyusup di antara gubuk berjubelKota Serigala Jilid 2
31 jubel itu, berteriaklah ia sekeras-kerasnya,
"Kebakaran! Kebakaran!"
Gubuk-gubuk itu memangnya terbuat dari
kayu, jerami dan kain-kain lusuh, maka teriakan
"kebakaran" itu langsung menggemparkan
seluruh penghuninya. Para jembel berlompatan
keluar dari gubuk-gubuk mereka, berlari
simpang siur, saling tubruk dan ikut-ikutan
meneriakkan "kebakaran" itu. Barang-barang
dikeluarkan dari gubuk-gubuk sehingga lorong
yang sempit jadi bertambah sempit, bahkan di
beberapa bagian tersumbat sama sekali. Ada
juga yang sudah membawa air, tapi masih
bingung mau disiramkan ke mana"
"Mana apinya"!"
"Tidak tahu!" "Kita cari! Padamkan sebelum seluruh
tempat ini habis jadi abu!"
"Siapa orang-orang bersenjata yang bermunculan itu?" "Mungkin hendak membantu kita memadamkan api!" Kota Serigala Jilid 2 32 Dan kepanikan yang merambat cepat itu
benar-benar amat mengganggu para pengejarpengejar Yo Siau-hou.
Dua murid Kim-jiok-bun hampir berhasil
menyusul Yo Siau-hou, namun tiba-tiba muncul
seorang jembel yang meletakkan sebuah meja
reyot begitu saja di tengah lorong sempit, tepat
di depan kedua murid itu. Terjadi tubrukan
yang menabrak maupun yang ditabrak samasama jatuh tunggang-langgang, ... meja itu
sempat menghasilkan sebuah benjolan di jidat
salah satu murid Kim-jiok-bun itu.
Si murid benjol dengan geram melompat
bangun dan sudah mengangkat pedangnya
untuk menebas kepala si jembel, tetapi saudara
seperguruannya cepat mencegah, "Jangan, Sute!
Jangan sembarangan membunuh orang di
wilayah kekuasaan Ciu Cong-peng ini, agar tidak
menyinggung perasaannya. Lebih baik kita
teruskan mengejar si iblis cilik itu."
Si murid benjol melampiaskan kegeramannya dengan menendang meja reyot
itu sehingga mencelat sampai ke atap gubuk.
Kota Serigala Jilid 2 33 Lalu ia dan saudara seperguruannya meneruskan pengejaran, menyusup-nyusup di
lorong yang jadi padat dengan barang-barang
tak keruan serta orang-orang panik yang sedang
mencari "di mana apinya" itu.
"Iblis cilik itu penuh dengan akal bulus!"
teriak murid-murid Kim-jiok-bun marah. Marah
campur putus asa. Sekarang untuk menemukan
Yo Siau-hou, sama sulitnya dengan coba
menemukan sebatang jarum di dalam kolam
yang bergelombang. Yo Siau-hou sendiri mulai memikirkan jalan
keluar dari perkampungan itu. Sudah beberapa
kali ia hampir mencapai mulut lorong, tapi
senantiasa dilihatnya tempat-tempat itu sudah
dijaga musuh. Namun otak sang buruan tidak kehabisan
akal, ia mencoba menemukan jalan keluar tanpa
lewat mulut lorong. Diapun masuk ke dalam
satu gubuk yang berdesakan itu, mengejutkan
penghuninya yang sedang berkemas-kemas.
"Siapa kau?" bentak si penghuni gubuk.
Kota Serigala Jilid 2 34 "Numpang lewat..." jawaban Yo Siau-hou
sama sekali tidak pas dengan pertanyaannya. Ia
sendiri langsung menerobos ke bagian belakang
gubuk itu. Di belakang deretan gubuk itu ada parit kecil
yang airnya hitam, berbusuk, tidak mengalir
dan menjadi sarang nyamuk. Parit itu
membatasi dengan gubuk sebelah sini dengan
deretan gubuk di seberangnya. Di kedua
pinggirannya banyak barang rongsokan
bertumpuk-tumpuk. Di atas parit disilangkan
beberapa lembar papan sebagai "jembatan"
untuk berbagai keperluan.
Yo Siau-hou menyusuri tepi parit itu, tapi
akhirnya berhenti ketika di depannya ada
tembok tinggi lumutan dan parit itu menerobos
lewat bagian bawah tembok. Seringan seekor
kucing Yo Siau-hou melambungkan tubuh ke
atas dinding setinggi hampir tiga meter itu.
Di balik dinding ada lorong lain lagi, tapi
agak lebar dan bersih, tidak seperti lorong
kediaman para gelandangan tadi. Dua orang
Kota Serigala Jilid 2 35 murid Kim-jiok-bun nampak berjalan hilir
mudik di situ dengan pedang terhunus.
"Kalau cuma dua orang, gampang diatasi...."
pikir Yo Siau-hou sambil merunduk di atas
dinding. Maka melompatlah ia dari atas tembok
bagaikan seekor macan tutul, pinggiran telapak
tangannya deras menimpa tengkuk salah satu
murid Kim-jiok-bun sehingga langsung roboh
pingsan. Murid yang satu lagi terkejut dan memutar
tubuh, lalu pasang kuda-kuda dan mengangkat
pedangnya untuk persiapkan sebuah jurus.
Namun ia terlalu lambat bertindak, sebab Yo
Siau-hou bagaikan terbang cepatnya telah
melompat mendekati nya, amat dekat. Kedua tangan Yo Siau-hou
tangkas mencengkeram tangan lawan yang
memegang pedang untuk diangkat, bersamaan
dengan lututnya yang naik menghantam rusuk
lawannya. Selagi murid Kim-jiok-bun itu masih
berpikir mau menggunakan jurus apa, tahu-ta
Kota Serigala Jilid 2 36 Maka melompatlah ia dari atas tembok bagaikan
seekor macan tutul, pinggiran telapak tangannya deras
menimpa tengkuk salah satu murid Kim-jiok-bun
sehingga langsung roboh pingsan.
Kota Serigala Jilid 2 37 hu pandangannya berkunang-kunang dan
pingsan pula. Tapi dari ujung lorong terdengar teriakan
murid-murid Kim-jiok-bun lainnya.
"Itu dia iblisnya!"
"Panggil semua teman-teman kemari!"
Tidak ada jalan lain bagi Yo Siau-hou kecuali
secepatnya menyusup ke sebuah lorong lainnya.
Hari yang sudah mulai sore memberinya sedikit
harapan, sebentar lagi kalau gelap tentu lebih
mudah meloloskan diri dari kejaran pendendam-pendendam mata gelap itu.
Tapi karena terburu-burunya ia keliru
masuk sebuah lorong yang lurus, lebar, tak ada
persimpangannya, sedang di kiri kanannya
adalah tembok-tembok tinggi dan pintu-pintu
kecil yang tertutup rapat. Agaknya bagian
belakang dari gedung-gedung besar yang
menghadap jalan raya. "Celaka, kalau lari di sini,
lama-lama aku bisa tertangkap," pikirnya.
Tapi ia tidak mungkin berbalik. Maka
sebelum terlihat oleh murid-murid Kim-jiokbun, iapun melompati dinding yang sebelah kiri.
Kota Serigala Jilid 2 38 Iapun sampai ke sebuah tempat yang
agaknya adalah gudang kayu dan arang, di
belakang sebuah dapur besar yang sibuk dan
terus-menerus mengepulkan bau masakan yang
sedap. Dari balik dinding dapur, ribut terus
suara daging dicacah atau digoreng, dan
percakapan para juru masak yang rupanya
berjumlah banyak. Cacing-cacing dalam perut Yo Siau-hou
memberontak. Sehari penuh ia baru makan
sekali, tadi pagi. Kemudian hampir satu hari ia
menghabiskan waktu untuk berkejar-kejaran
dengan murid-murid Kim-jiok-bun serta
sekutu-sekutunya. Patut kalau sore harinya ia
bertambah lapar. Tapi ia singkirkan dulu soal isi perut, sebab
di balik tembok terdengar derap orang berlarilari. Tentu merekalah pengejar-pengejarnya.
"Kemana kaburnya bangsat itu?" terdengar
suara di luar tembok. "Mungkinkah dia melompati tembok-tembok
ini, dan masuk ke dalam salah satu halaman
belakang rumah-rumah ini?"
Kota Serigala Jilid 2 39 Di balik tembok, Yo Siau-hou mendengarkannya dengan berdebar-debar.
Kalau murid-murid Kim-jiok-bun itu melompati
tembok pula, perjumpaan takkan terhindari,
dan itu berarti ia sendirian harus menghadapi
lawan yang entah berapa jumlahnya.
Terdengar suara seorang murid Kim-jiokbun di luar tembok, "Tidak mungkin dia
melompati tembok setinggi ini, tidak
sembarangan orang bisa melompatinya.
Bangsat itu hanya berkepandaian silat kelas
kambing, lebih banyak ngawurnya daripada
teorinya. Ia cuma pintar dengan macam-macam
akal bulus seperti meneriakkan kebakaran, atau
menyergap selagi kita tidak siap."
Yo Siau-hou lega mendengarnya, tapi juga
mendongkol mendengar penilaian murid-murid
Kim-jiok-bun atas kemampuan dirinya. Katanya
dalam hati, "Memang lebih baik kalian cepat
pergi sejauh-jauhnya. Takkan ada orang di
dunia yang sanggup melompati tembok ini
selain pendekar-pendekar Kim-jiok-bun yang


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kota Serigala Jilid 2 40 maha perkasa dan berkepandaian setinggi
langit." Di luar dinding terdengar lagi, "Kalau begitu,
kemungkinan besar bangsat itu pasti sudah lari
ke bagian kota yang lain. Jadi tidak ada lagi
gunanya kita aduk-aduk perkampungan jembel
yang bau ini, sampai kakiku sudah menginjak
tumpukan tinja dua kali."
"Ya. Bahkan mungkin dia sudah kabur keluar
kota. Mana dia berani tinggal lebih lama di kota
ini, kalau dia tahu jejaknya sudah kita ketahui
disini?" "Itu masuk akal sekali."
"Kalau begitu, cepat kita kumpulkan
saudara-saudara seperguruan kita untuk segera
mengejar ke empat penjuru. Barangkali dia
belum jauh dari kota, dan masih bisa kita susul."
"Tapi hari hampir gelap."
"Tidak apa-apa. Ayo cepat!"
Begitulah, cukup dengan penilaian gegabah
bahwa "si bangsat berkepandaian kelas
kambing tak mungkin melompati tembok" maka
murid-murid Kim-jiok-bun itupun tinggalkan
Kota Serigala Jilid 2 41 tempat itu. Di balik tembok, Yo Siau-hou
berdesah lega. Keadaan langit makin gelap, apalagi di
tempat sembunyi Yo Siau-hou. Cahaya matahari
tertahan oleh dinding itu. Nyamuk-nyamuk
mulai beterbangan keluar dari parit, untuk
bersantap malam. **SF** Seekor kucing dengan moncong menggigit
sepotong daging goreng, tiba-tiba melompat
dari arah dapur, diiringi caci-maki para juru
masak. Yo Siau-hou kaget dan buru-buru
mengerutkan tubuh di balik setumpuk arang.
Namun dia lega kembali, sebab orang-orang di
dapur agaknya tidak mengejar kucing maling itu
sampai ke situ. Dengan rasa iri, kini Yo Siau-hou
menyaksikan kucing itu kini menikmati hasil
curiannya di atas setumpuk kayu bakar. Rasa
lapar Yo Siau-hou bangkit kembali, sungguh
ingin rasanya ia punya ilmu gaib merubah
dirinya menjadi kucing, dicaci maki sedikit tak
apa-apalah. Kota Serigala Jilid 2 42 "Keparat," desisnya sambil menggerakgerakkan tangan yang menghalau nyamuknyamuk lapar yang mengerumuni kepalanya.
"Bukan mendapat makanan, malahan akan
menjamu nyamuk-nyamuk ini dengan darahku."
Tiba-tiba dari sudut lain ruangan gelap itu
terdengar suara tangisan lirih dari seorang
perempuan, bahkan agaknya perempuan muda.
Karena ingin tahunya, dia melangkah keluar
dari balik tumpukan arang tersebut dan
mendekati ke arah suara tangisan. Oleh bantuan
cahaya api remang-remang yang menyorot dari
arah dapur, ia lihat seorang gadis berpakaian
bagus tengah berdiri menghadap tembok,
mukanya menunduk dan ditutupi kedua telapak
tangannya, pundaknya nampak bergetar
perlahan. Dialah yang menangis.
"Gadis yang berpakaian sebagus ini, tentunya
dari keluarga kaya," pikir Yo Siau-hou heran.
"Tapi kenapa menangis?"
Sengaja Yo Siau-hou memperkeras bunyi
langkahnya, sehingga gadis itu kaget dan
memutar tubuhnya. Yo Siau-hou segera melihat
Kota Serigala Jilid 2 43 seraut wajah gadis belasan tahun yang cukup
manis sebenarnya, namun wajah itu dilapisi
pupur dan gincu tebal. Dan gara-gara
tangisannya, rias wajahnya jadi berantakan
sehingga wajahnya nampak lucu. Sorot mata
gadis itu memancarkan keheranan ketika
melihat seorang tak dikenal di gudang belakang
itu. Yo Siau-hou yang kemudian mendahului
dengan nada yang polos, "Kenapa menangis?"
"Bukan urusanmu," perempuan muda itu
menjawab singkat sambil mengusap-usap
wajahnya, mencoba menata rias wajahnya
kembali, tapi malah tambah tak keruan.
Tapi Yo Siau-hou malah bertanya lagi,
"Pakaianmu bagus, rumahmu sebesar ini,
kenapa masih menangis juga! Sedangkan aku
yang tidak punya apa-apa, dibenci dan dikejarkejar, selalu berusaha untuk gembira."
Usaha menghibur yang tulus itu agaknya
mulai mempengaruhi gadis itu. Jiwanya yang
gersang seperti mendapat titik-titik embun, biar
bagaimanapun sedikitnya. Atau seperti seorang
Kota Serigala Jilid 2 44 yang hampir tenggelam di sungai yang deras
tiba-tiba menemukan sebuah pegangan, biarpun
tidak tahu dari mana datangnya. Pepatah
mengatakan, "orang yang hampir tenggelam,
sehelai rumput pun akan digenggamnya kuatkuat". Sa... si gadis meluapkan isi hatinya, "Kau
cuma melihat besarnya rumah yang bukan
rumahku, bagusnya pakaian yang bukan
pakaianku pula." "Ooo, jadi milik siapa rumah sebesar ini?"
"Milik... milik... entahlah. Aku cuma bekerja di
sini." Gadis itu tiba-tiba menjadi gugup dan
menundukkan kepalanya. "Luar biasa. Kalau seorang pekerja seperti
kau saja berpakaian sebagus ini, tempat macam
apa ini" Apakah gedung pejabat tinggi, atau...."
Lupa sejenak akan kesedihannya, gadis itu
tiba-tiba tertawa tertahan. Sikap Yo Siau-hou
yang agak ketolol-tololan itu agak menghiburnya juga, sedikit menyegarkan.
"Tempat ini dinamai Ban-hoa-lim (Rimba
Selaksa Bunga)." Kota Serigala Jilid 2 45 "Bunga Selaksa Bunga" Kok aneh benar
namanya. Gedung yang begini bagus, sama
sekali tidak mirip hutan, kenapa dinamai
demikian" Apakah ini semacam tempat untuk
berjualan bunga, begitu?"
Sepercik rasa pedih menyengat hati gadis itu
mendengar kata-kata "berjualan bunga" itu.
Tapi diapun maklum kalau Yo Siau-hou
mengucapkannya tanpa bermaksud menyakiti
hatinya. "Ya, tempat bunga-bunga segar yang dipetik
dari desa, lalu dijual di sini..." gadis itu
menjawab lirih sambil menunduk lagi. "Sobat,
tentunya kau juga berasal dari desa, bukankah
begitu?" "Lho, darimana kau bisa tahu?"
"Sebab setiap laki-laki di kota ini, atau kota
lain, dengan mudah bisa tahu tempat macam
apa Ban-hoa-lim ini."
Yo Siau-hou menggaruk-garuk kepala
dengan agak kebingungan. Kalau lelaki dari
kota, kenapa harus "dengan mudah bisa tahu"
macam apa tempat ini" Dan kenapa yang belum
Kota Serigala Jilid 2 46 tahu lantas gampang ditebak kalau datang dari
desa" Kemudian gadis itu bertanya, "Rasanya
belum pernah kulihat kau di tempat ini,
tentunya kau bukan pegawai di sini kan"
Kenapa sampai masuk kemari?"
"Maaf. Maaf. Aku dikejar-kejar orang yang
mau membunuhku, dan tanpa pikir panjang lalu
mencari tempat persembunyian yang aman.
Sekarang musuh-musuhku sudah pergi. Kalau
kau keberatan aku ada di sini, aku akan pergi
sekarang juga." "Tidak. Jangan. Aku kan tidak mengusirmu?"
cegah si gadis, yang tiba-tiba merasa agak berat
kalau ditinggalkan begitu saja. Saat itulah
terdengar perut Yo Siau-hou "berkeruyuk"
kelaparan demikian kerasnya, sehingga tahulah
si gadis, bahwa perut itu cuma berisi angin.
"Tunggu di sini ya" Jangan kemana-mana.
Aku ambilkan makanan untukmu," kata si gadis.
Rejeki nomplok itu tentu saja menggembirakan Yo Siau-hou, meskipun agak
merasa malu karena suara perutnya yang begitu
Kota Serigala Jilid 2 47 tak tahu malu. Maka ia cuma mengangguk
dengan rasa terima kasih.
Tapi sebelum si gadis mulai melangkah ke
gang yang menghubungkan gudang dengan
dapur, dari ujung lain gang itu terdengar suara
langkah dua orang mendekat. Terdengar pula
suara seorang perempuan tua memanggilmanggil, "A-kui.... A-kui..."
"Yang memanggil-manggil itu ibumukah?"
tanya Yo Siau-hou ringan saja.
Tapi ia heran melihat wajah gadis bernama
A-kui itu mendadak menunjukkan rasa cemas.
Katanya dengan suara tertahan, "Sembunyilah.
Cepat, sembunyi." Yo Siau-hou tidak tahu kenapa terjadi
perubahan sikap begitu tajam, namun melihat
wajah A-kui amat tegang dan memohon pula,
tanpa pikir panjang ia melompat ke balik
setumpuk kayu bakar yang gelap. Kembali
bergabung dengan nyamuk-nyamuk yang masih
belum kenyang-kenyang juga.
Langkah-langkah kaki dan suara memanggilmanggil itu semakin dekat, dan akhirnya
Kota Serigala Jilid 2 48 berhenti di tempat Yo Siau-hou berbicara
dengan A-kui tadi. Suara seorang perempuan
tua yang marah terdengar, "Apa-apaan kau ini,
A-kui"! Banyak tamu-tamu menanyakanmu, dan
kau malahan sembunyi di sini" Kenapa"!"
A-kui menjawab takut-takut, "Tidak apa-apa,
ibu. Aku akan segera keluar menjumpai tamutamu."
Suara si perempuan tua terdengar meninggi,
"Dan apa-apaan pula rias wajahmu yang seperti
siluman itu"! Ha"! Oh, bagaimana mungkin
menemui tamu-tamu dengan muka corengmoreng seperti itu" Kau menangis lagi, ya"!
Tidak senang kerja di sini"! Lebih suka ibu dan
adik-adikmu masuk penjara di Long-koan
karena tak sanggup membayar hutang kepada
Lam Tai-jin (pembesar Lam) He"! Ayo jawab!"
"Tidak, ibu. Aku... aku senang kerja di sini,
aku menangis cuma karena teringat ibu dan
adik-adikku. Tapi aku akan segera ke depan
untuk menemui tamu-tamu."
Suara si perempuan tua menurun, tanda
kejengkelannya menurun pula setelah Kota Serigala Jilid 2 49 mendengar kepatuhan A-kui. "Baiklah. Aku
maafkan kau kali ini. Ingat baik-baik nasehatku
yang dulu, ketika pertama kali kau datang dan
mulai kerja di sini. Layanilah tamu sebaikbaiknya. Kalau ada seorang tamu kaya atau
berpangkat menyukaimu, kau akan ditebus dan
dijadikan selirnya, kau akan menemukan masa
depan yang baik. Penuh kecukupan sandangpangan. Jauh lebih beruntung daripada
menggarap tanah sempit peninggalan ayahmu
di desamu dulu." "Ya, ibu..." "Dan kalau sampai kau temui nasihat sebaik
itu, yang juga diimpikan semua teman-temanmu
di sini, berarti kau bisa menolong ibu dan adikadikmu di desa. Mudah saja kau kirimkan
kepada mereka itu dua atau tiga karung beras
atau segulung kain sutera, atau uang lima puluh
tahil. Karena itu jangan bodoh, berpikirlah jauh
ke depan." "Ya, bu..." "Nah, sekarang masuklah ke dalam. Riaslah
kembali wajahmu dan jangan coba-coba
Kota Serigala Jilid 2

Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

50 membangkang! Jangan membuat Ban-hoa-lim
semakin sepi dari pengunjung karena
pelayanan yang kurang baik! Ayo, cepat!"
Mendengar semuanya itu, Yo Siau-hou di
tempat persembunyiannya tetap belum paham
macam apa "pekerjaan" A-kui itu. Pikirnya,
"Mungkin majikan A-kui sedang mengadakan
pesta dan banyak tamu-tamu yang datang, lalu
A-kui disuruh membantu melayani membawakan hidangan."
Maka Yo Siau-hou berpikir pula, biarpun Akui menangis, toh "tidak terlalu menderita",
cuma sekedar "kangen kepada ibu dan adikadiknya di desa" seperti pengakuannya tadi.
Dan bagi Yo Siau-hou, itu bukan masalah.
"Cepat!" perempuan tua itu membentak lagi.
"Baik, ibu. Tapi sebelumnya.... bolehkah aku
minta sesuatu?" "Apa?" "Ada seorang.... seorang.... kakak sepupuku
dari desa datang menemuiku, membawa berita
tentang ibu dan adik-adikku. Seharian dalam
perjalanan, dia belum.... belum makan...."
Kota Serigala Jilid 2 51 "Di mana kakak sepupumu itu?"
A-kui lalu berseru ke arah tumpukan kayu
bakar, "Piau-ko (kakak sepupu), kemarilah."
Sesaat Yo Siau-hou masih mendekam raguragu di tempat sembunyinya. Ia masih kurang
yakin bahwa dirinyalah yang dipanggil "kakak
sepupu" itu, oleh A-kui yang kenalpun baru satu
jam. Ia khawatir, jangan-jangan kalau dirinya
sudah terlanjur muncul, ternyata ada orang lain
yang muncul, yang benar-benar Piau-konya Akui" Tapi kalau benar dirinya yang dipanggil,
kenapa harus membohongi perempuan tua itu"
Apakah perempuan tua itu begitu galak dan
pelit" "Piau-ko, keluarlah. Tidak apa-apa...."
Akhirnya Yo Siau-hou berdiri juga dan
melangkah keluar dari persembunyiannya,
sambil menyeringai seramah mungkin. Ternyata memang dirinyalah "piau-ko" itu,
sebab A-kui melambai ke arahnya, dan tidak ada
orang di belakangnya. Kini ia melihat bagaimana tampang
perempuan galak yang dipanggil "ibu" oleh AKota Serigala Jilid 2
52 kui. Tadinya ia mengira akan berhadapan
dengan seorang perempuan tua yang
berdandan bagai bangsawan dan mungkin juga
membawa tongkat. Ternyata dugaannya keliru.
"Ibu" A-kui itu sukar ditaksir umurnya, sebab
kulit wajahnya tertutup lapisan bedak tebal
yang jumlahnya cukup untuk menambal lubang
tikus di kaki tembok. Seputar matanya diberi
warna biru tebal sehingga seperti habis dijotos
matanya, bibirnya bergincu tebal. Ia memegang
saputangan merah, sedang disanggulnya
ditancapi kembang palsu yang besar, berwarna
merah pula. Di rambut, telinga, leher dan jarijari tangannya penuh dengan perhiasan mahal
yang berebutan tempat. Begitu melihatnya,
sekuat tenaga Yo Siau-hou berusaha menguasai
kesadarannya bahwa makhluk di depannya itu
adalah manusia, bukan jenis makhluk lain.
Di sebelah perempuan itu berdiri tegap
seorang lelaki berotot kekar, berbaju pendek,
dandanan khas para tukang kepruk. Ia terusmenerus menatap Yo Siau-hou dengan
pandangan dingin mengancam.
Kota Serigala Jilid 2 53 "Inilah kakak sepupuku yang datang dari
desa itu, ibu." A-kui berkata kepada si "ibu".
Lalu ditolehnya Yo Siau-hou sambil mengedipkan mata, sebagai isyarat agar Yo
Siau-hou menyesuaikan diri dengan lakon
bohong itu. Ini sebuah pelajaran baru bagi Yo Siau-hou
sejak ia terjun ke tengah-tengah masyarakat,
bahwa supaya tidak copot, orang haruslah
sedikit-sedikit belajar bohong. Meskipun
"sedikitnya" tiap orang itu berbeda-beda. Ada
orang yang membohongi seluruh negeri dan dia
berpendapat bahwa bohongnya itu barulah
"sekedarnya" saja.
Dan Yo Siau-hou menunjukkan kepintarannya dalam pelajaran pertama,
"Benar, ibu. Aku kakak sepupunya A-kui."
Si "ibu" agaknya percaya. "Baiklah, biarlah Asiong ambilkan makan untuk kakak sepupumu
ini. Tapi kau harus segera keluar menemui
tamu-tamu." "Baiklah, ibu. Piau-ko, kau disini saja ya?"
Kota Serigala Jilid 2 54 Yo Siau-hou mengangguk. ia bersyukur juga,
sebentar lagi perutnya akan terisi, dan ia tak
usah lagi iri kepada kucing di sudut ruangan itu.
Tidak lama kemudian, A-siong si tukang
pukul sudah datang membawakan semangkuk
nasi besar, dan semangkuk lagi lauk pauk
gabungan sisa-sisa makanan para tamu. "Kalau
mau minum, di sebelah gudang ini ada sumur,"
kata A-siong sama sekali tidak ramah. Namun
Yo Siau-hou menerima rejekinya dengan ucapan
terima kasih. Kemudian si "ibu" serta A-siong dan A-kui
meninggalkan tempat itu, dan Yo Siau-hou
menikmati makanannya. Kini ganti si kucinglah
yang iri kepadanya. Setelah perut menjadi kenyang dan
pikiranpun tenang kembali, Yo Siau-hou duduk
dengan nyaman. Sifatnya yang serba ingin tahu
itu kembali kambuh. Tempat seperti apa Banhoa-lim ini" Apa pula "pekerjaan" A-kui di
tempat ini" Tak dapat menahan dorongan hatinya, ia
memutuskan untuk melihat ke bagian depan,
Kota Serigala Jilid 2 55 yang menurut A-kui adalah "tempat menjual
bunga". Kalau ada orang setempat yang tanya, ia
sudah siap mengaku sebagai "kakak sepupunya
A-kui", sekalian untuk memahirkan teknik
bohongnya. Ia bangkit. Mula-mula hanya melongoklongok di gang yang menghubungkan gudang
dengan dapur. Di bagian depan sana, sayupsayup memang terdengar suara banyak orang
tengah bergembira-ria. Ada yang bercakapcakap ramai, perempuan
bernyanyi, ada musiknya segala. Lalu ia menyusuri, dan akhirnya keluar dari
gang itu, tiba di sebuah halaman luas yang
membuatnya ternganga kagum. Ada kolamkolam air jernih yang ditumbuhi teratai putih
dan jingga, deretan pohon-pohon bunga besar
dan kecil yang rapi, pondok-pondok kecil yang
berpencaran dan diterangi lentera-lentera
indah. Bahkan beberapa pohon pun digantungi
lentera. Suasana foya-foya segera terasa. Ada
orang-orang makan minum di pondok-pondok
indah itu, diladeni gadis-gadis berpupur tebal
Kota Serigala Jilid 2 56 yang bertingkah laku ramah berlebihan bahkan
manja. Hilir mudik pula pelayan-pelayan
membawa nampan-nampan, berisi hidangan
baru dari dapur, maupun yang tinggal sisa-sisa
yang akan dibuang. Di tepi kolam terbesar yang
ada di tengah, ada sebuah loteng bercat merah,
pintu-pintu dan jendela-jendelanya juga bertirai
merah. "Rupanya di rumah A-kui ini benar-benar
sedang berlangsung pesta besar," pikir Yo Siauhou dengan kagumnya.
Setelah berdiri sekian lama di mulut gang
tanpa ada yang menegurnya, karena semua
orang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri,
maka Yo Siau-hou tambah berani. Ia mulai
melangkah ke halaman luas itu.
Ternyata tetap tidak ada yang menanyai Yo
Siau-hou, biarpun beberapa orang berpapasan
dengannya dan meliriknya sekejap dua kejap.
"Tidak apa-apa, asal tidak berpapasan dengan
murid-murid Kim-jiok-bun," pikir Yo Siau-hou
semakin tenang. Maka iapun berjalan-jalan
Kota Serigala Jilid 2 57 memuaskan diri melihat-lihat ikan di kolam,
bunga, wajah-wajah cantik.
Tiba-tiba dari arah sebuah pondok
berlentera, didengarnya seorang tamu berteriak
memanggilnya, "Hei, kemarilah!"
Yo Siau-hou yang sedang jongkok di tepi
kolam itupun menoleh. Dilihatnya dalam
pondok tak berdinding itu ada seorang lelaki
setengah abad, gemuk dan berpakaian bagus.
Meja di depannya penuh sisa-sisa hidangan,
dengan tangan kiri merangkul seorang gadis
berbedak tebal, dan tangan kanan masih
memegang cawan arak. Di sebelah kanannya
juga ada seorang gadis lainnya, yang sambil
tersenyum-senyum dan melirik-lirik ke arah si
tuan gemuk, tiap kali menggunakan sumpitnya
untuk menyuapi si tuan gemuk itu.
Yo Siau-hou agak kagum melihat adegan itu.
Kesimpulannya, "Alangkah bahagianya mereka.
Lelaki itu pasti seorang ayah yang baik,
buktinya kedua puterinya itu nampak amat
sayang kepadanya, dan meladeni ayah mereka
seperti itu." Kota Serigala Jilid 2 58 "He, ke sini! Kenapa melongo saja?" si tuan
gemuk kembali meneriaki Yo Siau-hou.
Yo Siau-hou mendekat, dan si tuan gemuk
memerintah, "Cepat ambilkan lagi seporsi
kepiting saus tomat, dan jangan lupa arak Koliang!"
"Rupanya dia mengira aku adalah pelayan di
sini," pikir Yo Siau-hou. "Tapi baiklah kuturuti
saja perintahnya. Hitung-hitung sumbangan
tenagaku ini untuk membalas kebaikan A-kui
yang memintakan makan untukku tadi."
Maka diapun mengangguk hormat, lalu pergi
ke dapur untuk mengambilkan pesanan itu.
Keadaan dapur begitu sibuk karena
berpuluh-puluh pelayan yang datang pergi, para
juru masak juga tidak sempat memperhatikan
satu-persatu siapa saja pelayan yang
mengambilkan pesanan para tamu itu.
Pokoknya dilayani saja, sebab Ban-hoa-lim ingin
menunjukkan pelayanan yang selancarlancarnya. Tidak heran kalau beberapa saat
kemudian Yo Siau-hou sudah keluar dari dapur
Kota Serigala Jilid 2 59 sambil membawa nampan berisi masakan
pesanan si tuan gemuk. Tapi langkahnya terhenti, ketika A-siong
menghadang jalannya dan menunjukkan muka
yang angker. "Kau mencuri makanan dari
dapur" Makan yang kuberikan di gudang tadi
masih kurang?" geram A-siong.
"Bukan begitu..." sahut Yo Siau-hou tenang.
"Tuan gemuk di pondokan itu minta diambilkan
masakan ini, karena aku dikiranya pelayan di
sini. Makanya aku layani saja."
"Benar begitu?"
"Kalau kau tidak percaya, mari ikuti aku
menghadap tuan itu. Kau akan bisa
membuktikan bahwa aku tidak berbohong.
Mari...." "Kalau benar begitu, ya tidak apa-apa. Aku
percaya kepadamu, karena kau adalah kakak
sepupu A-kui. Tapi kenapa keluyuran sampai ke
sini, padahal seharusnya tinggal saja di gudang
arang itu?" "Karena aku tertarik suasana di sini, lalu
kemari untuk melihat-lihat saja. Ketika aku
Kota Serigala Jilid 2 60 dikira pelayan, aku turuti saja perintahnya.
Hitung-hitung untuk membalas kebaikan kalian
yang sudah memberiku makanan."
"Bagus. Kerjalah yang baik. Kalau kau bisa


Kota Srigala Karya Stefanus S P di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterima menjadi pegawai di sini, beruntunglah
kau." Yo Siau-hou cuma mengangguk, terus
hendak berjalan lagi membawa nampannya.
Tapi A-siong berkata lagi, "Tunggu!"
"Ada apa lagi?"
"Masakan apa yang kau bawa?"
"Kepiting saus tomat."
Tangan kiri A-siong tiba-tiba terulur
membuka tutup pinggan, bau sedap masakan
yang merangsang hidungnya membuatnya lupa
daratan. Tangan kanannyapun ikut terulur
untuk memotes cakar kepiting yang gemuk itu,
sambil berkata, "Tuan gemuk itu punya sakit
jantung. Tidak baik bagi kesehatannya kalau
sampai menghabiskan kepiting sebesar ini. Jadi
aku hanya mencegah agar dia jangan sampai
sakit lebih parah." Kota Serigala Jilid 2 61 Lalu pergilah A-siong sambil menggigiti sapit
kepiting yang berdaging putih gemuk itu.
Yo Siau-hou melongo. Ditatapnya kepiting
cacad di dalam pinggan itu sambil berpikir,
"Alangkah janggalnya kalau kepiting buntung
itu disuguhkan kepada tamu. Supaya kelihatan
lebih sopan, baiknya diseimbangkan saja."
Maka sebelah tangan Yo Siau-hou terulur
mengubek pinggan itu, memotes sapit kepiting
yang masih tertinggal untuk dimasukkan ke
kantongnya. Pinggan ditutupnya kembali, dan
berjalanlah ia ke meja si tuan gemuk, yang
langsung menikmati hidangan itu tanpa
bertanya ke mana perginya sepasang sapit
kepiting. (Bersambung Jilid 3) Bantargebang, 20 Mei 2018
Kontributor Image/Buku : Koh Awie Dermawan
Re-Writer : Siti Fachriah
first share in facebook Group : Kolektor E-Book
Kota Serigala Jilid 2 62 Kota Serigala Jilid 3 1 Kota Serigala Jilid 3 1 KOTA SERIGALA Karya : STEFANUS S.P. Jilid III Sedangkan Yo Siau-hou mencari tempat
Misteri Rumah Berdarah 3 Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan Kembalinya Sang Raja 3
^