Pencarian

Manekin 6

Manekin Karya Abdullah Harahap Bagian 6


"Masih ada waktu. Bu. Tak bisakah kau biarkan aku tenang barang sebentar?"
Dari balik pintu terdengar suara gumaman pendek dan lemah, "Maaf..."
Disusul terdengarnya langkah kaki yang menjauh.
Terus saja duduk di kursinya seraya memandangi ambang pintu. Herlambang tanpa sadar menyunggingkan seulas senyuman. Senyuman kecut.
ltulah dia Nawangsih. Adik angkat yang dulu ia nikahi karena utang budi. yang karena sadar betul siapa dirinya. dengan seenaknya menjerit di depan Herlambang. "Tengah malam. Mengapa tak sekalian saja pulang pagi heh?" Dan pernah di lain waktu. "Bekas lipstik siapa ini di kerah bajumu. Heri" Ayo, bilang terus terang! Atau ayahku akan kusuruh mencari tahu!"
Dan begitu Herlambang mengaku-terpaksa pipinya langsung terasa pedas oleh tamparan keras Nawangsih. Sambil Nawangsih menjerit-jerit histeris.
"Memalukan! Memalukan! Pasti pelacur murah pula. Ya ampun! Apa yang kurang pada diriku. Heri?" Dan tentu saja diakhiri oleh ultimatum. "Kau selingkuh sekali lagi. bukan cuma ayahku atau
komandanmu, teman-temanmu sekantor pun akan kuberi tahu!"
ltu waktu masih di Lombok. Kalau tak salah, kira-kira tiga bulan setelah jimat ia terima lalu disimpan sembarangan. Dan ketika itulah Herlambang coba-coba mempraktikkan kehebatan jimat yang ia punyai. Iseng-iseng berharap. tentu saja.
Hasilnya menakjubkan. Sebagai contoh, itu tadi.
Jika dahulunya Nawangsih suka main terobos kalau perlu mendobrak-maka tadi Nawangsih hanya mengetuk pintu. Karena Herlambang tak berhasrat untuk keluar, Nawangsih pun cuma berbicara dari balik pintu itu saja. Juga. sudah lama Nawangsih tidak bersuara keras. Coba saja itu tadi, ketika Herlambang mendenguskan kejengkelannya. jawaban putri kesayangan mertuanya itu betapa terdengar lembut dan manis. Bahkan mendekati pasrah.
"Maaf" lantas berlalu. Dengan patuh.
Herlambang kembali tersenyum-lagi senyuman kecut-ketika teringat apa dulu kata mertuanya yang pensiunan Brigjen itu.
"Hebat, Nak. Mulut kami sampai berbusa tiap kali menasihati Wawang supaya adatnya jangan sampai melilit pinggang. Tetapi kau mampu melakukannya hanya dalam tempo dua tiga malam. llmu apa yang kau pakai untuk mengubah perilakunya, Nak Heri?"
Pertanyaan yang sudah diduga akan tiba. Dan Herlambang sudah mempersiapkan jawabannya. Di. ucapkan dengan enteng. setengah berseloroh. sambil berharap sang mertua menguatkan jawabannya.
"Biasa, Pak," kata Herlambang. "llmu lakilaki!"
Benar saja. Sang mcrtua langsung menimpali.
"Tempat tidur. ya?"
Dan Herlambang pun melaksanakan persiapan yang lainnya. Lewat kata-kata yang diucapkan dengan malu-malu.
"Ah, Bapak...!"
Sang mertua pun tertawalah. Terbahak-bahak
Herlambang menyeringai. Kecut.
Tempat tidur. pikirnya. Maksud sang mertua jelas. sanggama. Dan itu berarti...
Seraya menghela napas panjang. Herlambang mencondongkan tubuh ke depan. Sabuk hitam diraih, kancing ritsletingnya dibuka. Lalu dengan hati-hati. isi sabuk ia keluarkan dan dipaparkan di atas meja.
Tak ubahnya sejumput potongan-potongan benang, belasan helai rambut panjang itu tampak seperti tidak berarti apa-apa. Hitam dan terkesan kusam. bahkan beberapa helai di antaranya sudah memutih. Memang sudah begitu keadaannya sewaktu dulu dicabut dari kepala si pemilik. Setengah menguban. Tidak pula dijalin dengan rapi. Hanya disatukan begitu saja. Lantas bagian tengah serta masing-masing ujungnya diikatkan dalam bentuk simpul.
Itu saja. Sama sekali tidak tampak istimewa.
Namun sebagaimana halnya ketika ia memegang
kumpulan rambut itu, tangan Herlambang masih saja tetap gemetar dan dijalari oleh hawa panas yang aneh. Panas yang hangat. tidak menyengat. Malah seperti menyalurkan perasaan yang nyaman ke dalam diri Herlambang dan memberinya kekuatan hati serta nyali. Lantas, setiap kali hal itu terjadi maka kepercayaan dirinya yang goyah langsung terasa mantap kembali.
Juga sekarang ini. Dengan seringai kecutnya yang perlahan-lahan tampak melenyap. Herlambang berdiri dari kursinya. Dengan wajah kaku dan tanpa memperlihatkan emosi, tali pingggangnya dilonggarkan. Menyusul kemudian ritsleting celana panjangnya diturunkan, sambil mengingat-ingat kembali petunjuk kedua orang dukun dari Lombok itu.
"Jika yang akan Bapak hadapi dan tundukkan seorang laki-laki. jejalkan jimat itu ke pusat. Lalu tutup dengan sabuknya yang harus Bapak ikat dengan posisi melingkari perut, karena pusar dan perut laki-laki paling banyak menyimpan titik lemah...!"
Herlambang lupa-lupa ingat apakah Jaror atau Jembar yang berkata itu. Namun yang mana pun, orang satunya lagi-lah yang kemudian menambahkan.
'Tetapi bila menghadapi perempuan. sabuknya lupakan saja. Cukup helai-helai rambut itu saja yang Bapak belit dan ikatkan pada. maaf, pangkal kemaluan Bapak. Karena sudah dari sono-nya kemaluanlah titik paling lemah seorang perempuan!"
Dan entah Jarot atau Jembar yang seterusnya
menjelaskan, "Bapak yang memakai, tetapi perut atau kemaluan lawanlah yang terkena!"
Teringat pada kalimat terakhir itu, Herlambang menyeringai lebar. Dan setelah meyakinkan jimat terpasang dengan benar. letak celana dalamnya dirapikan kembali. Menyusul kemudian ritsleting celana panjang dikancingkan dengan tarikan cepat dan mantap.
Ada kehangatan yang ia rasakan ketika lima menit kemudian ia turun ke bawah dan tersenyum pada istri serta kedua anaknya yang sama mengalihkan perhatian mereka dari layar televisi. Sementara kedua anaknya kembali memusatkan perhatian pada tayangan film kartun yang sedang mereka tonton. Nawangsih bangkit buru-buru untuk mendampingi dan mengantar sang suami sampai ke teras depan.
Sambil bertanya lembut dan tanpa prasangka.
"Kok Bapak tidak bawa tas?"
"Tak perlu. Cuma pertemuan silaturahmi, ini!"
"Oh"!" Cuma itu. Oh. Tidak diikuti nada menuntut, "Kok aku tidak diajak?"
Diamdiam terbersit perasaan iba di sanubari Herlambang, sehingga saat akan membuka pintu depan, dengan tulus ia merangkul lalu menciumi bibir istrinya. Sesuatu yang sudah lama ia lupakan, dan dahulu selalu dipaksakan oleh Nawangsih.
Selagi sang istri dibuat terheran-heran, Herlambang cepat berkata disertai senyuman lebar.
"Jaga baik-baik kedua anak kita, oke?"
Lantas Herlambang bergegas masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Nawangsih yang tegak ter
mangu-mangu dengan bibir yang terlambat membuka, untuk kemudian mendesahkan bisikan lirih.
"Berhati-hatilah, sayangku...!"
Herlambang tentu saja tidak mendengar. Karena selain cuma bisikan. saat itu ia sudah memutar mobil yang dengan mantap ia gerakkan meluncur menuju pintu gerbang. sambil tangan kirinya membuka laci dasbor sebentar, hanya untuk meyakinkan bahwa pistolnya tetap mendekam dengan setia di dalam laci dimaksud. ia hampir tidak memperhatikan apalagi membalas penghormatan dari kedua orang satpam yang, seperti ketika ia datang tadi, buru-buru berdiri tegak dan memberi hormat dari luar pos jaga mereka.
Saat itu, yang ada dalam pikiran Herlambang hanya dua hal saja.
Pertama adalah jimat, pistol, kepercayaan diri yang kuat. Yang kedua adalah calon lawannya, Rinda Suhandinata. Dengan kemaluannya sebagai titik lemah. Tak peduli ilmu hitam siapa pun yang akan menyertai atau melindunginya, si cantik itu nanti bahkan akan ditelanjangi Herlambang di hadapan suaminya. Lalu...
Lampu merah di pertigaan jalan menghentikan mobil sekaligus juga lamunan Herlambang yang memabukkan. Menunggu sesaat dua sampai akhirnya lampu menyala hijau, barulah mobilnya diluncurkan kembali dengan kecepatan sedang-sedang saja.
Sambil Herlambang bersiul-sini.
Gembira. TIDAK sampai satu menit setelah mobil Herlambang menembus pertigaan jalan dengan mengambil arah lurus menembus kegelapan malam, pesawat HT yang dibiarkan siap pakai di meja kerja Ajun Komisaris Polisi Bursok Sembiring terdengar bergemerisik.
Bursok yang sudah menunggu cepat menyambar dan langsung menekan tombol penerima.
"Kendor pada Elang satu!" terdengar suara panggil pada HT.
"Diterima, Kendor!" jawab Bursok sedikit serak.
"Burung Bangau sudah meninggalkan sarang!"
"Oke. Teruskan pada Elang dua!"
'Roger dan out!" Setelah suara si pelapor melenyap, Bunok menekan tombol lainnya, lantas memanggil.
"Pungguk!" langsung terdengar sahutan pada HT Bursok. "Pungguk di sini...!"
"Kedua merpati kita sudah waktunya dikeluarkan!" Bursok memberi perintah, kini dengan suara lebih tenang. "Tetapi tidak perlu tergesa-gesa dan tetaplah awasi!"
'Roger, Elang Satu!"
'Oke. Out!" Sementara Bursok meletakkan kembali pesawat HTnya, Ajun Inspektur Dua Pamuji yang barusan menerima perintah, keluar dari salah satu mobil yang diparkir di sudut halaman hotel. Tampak sederhana namun rapi, Pamuji yang berpakaian preman dilengkapi jaket murahan berjalan masuk ke dalam hotel dan sebentar kemudian sudah mengetuk pintu salah satu kamar mite.
Prasetyo yang membukakan pintu. Dengan wajah tegang. begitu pula suaranya.
"Ya?" "Siap untuk menghirup udara malam yang segar?" tanya Pamuji dengan senyuman lebar. Menghibur.
"Tunggulah sebentar.?"
Dengan membiarkan pintu tetap terbuka, Prasetyo masuk ke ruang tidur.
Melirik sekilas ke gmn merah hati yang terhampar di atas ranjang. ia meneruskan langkah menuju pintu kamar mandi yang dalam keadaan tertutup. Mengetuk pelan, Prasetyo lalu bertanya dengan suara sedikit dikeraskan.
"Masih lama. Ririn?"
Dari balik pintu terdengarlah suara Rinda menjawab dengan napas agak tersengal.
"Ya ampun! Kok tak sabaran sih" Sudah tahu perut orang lagi mulu..!" Diam saaat, lalu keluhan lirih. "Aduh...!"
Menghela napas panjang. Prasetyo kembali ke pintu depan dan berkata pada Pamuji.
"Tak apa menunggu sebentar" Entah mengapa, barusan tadi istri saya mendadak terserang penyakit mulas...!"
"Tak apa. Komandan bilang memang tak perlu tergesa gesa." jawab Pamuji dengan sabar. Lalu dengan senyuman yang juga sabar. ia menambahkan dengan gumam yang setengah berseloroh.
"Bahkan saya terkadang juga mengalami. Maunya kenciiing terus. Saking tegang!"
Pengakuan yang jujur dan juga lucu. Tetapi jangankan untuk tertawa. untuk tersenyum pun Prasetyo sudah kehilangan selera.
Dan di kamar mandi. Rinda kembali mengeluh.
*** 'TIDAK mau privasinya terganggu. Herlambang sudah memberi instruksi supaya kedatangannya disambut sebagaimana menerima kedatangan tamu biasa. Tanpa harus ada kesibukan mencolok, apalagi yang bersifat seremonial.
Selain itu. Herlambang pun sudah memilih waktu yang ia perkirakan paling cocok. Pukul sembilan malam, pada saat mana ia harapkan tamu-tamu cottage masih berkeliaran entah ke mana-biasanya ke sumber air panas. daya tarik utama daerah Sangkan Hurip-atau pada mengurung diri sambil menonton film-frlm pilihan yang diputar melalui sirkuit paralel ke setiap bangunan setempat. Dengan begitu Herlambang akan terbebas dari tamu-tamu yang mungkin mengenali dirinya sebagai si orang nomor satu, lantas pada ribut mendatangi untuk berkenalan, meminta tanda tangan, dan lebih celaka lagi mengajak berbincang-bincang!
Hasil nyatanya terlihat setiba Herlambang di SANGKAN HURIP INDAH COTTAGE lima me
nit sebelum pukul sembilan. Membelok masuk lalu berhenti sejenak di depan pos jaga, Herlambang menurunkan kaca mobilnya sedikit. Cukup untuk melihat dan berbicara keluar. Petugas jaga tidak berlari-lari untuk menyambut atau tegak memberi hormat. Melainkan keluar dengan tenang. mendekat lalu sedikit membungkukkan badan untuk menyapa dengan santun,
"Selamat malam, Pak Heri!"
"Malam, Poniman!" sambut Herlambang disertai senyuman samar. "Tamuku sudah tiba belum?"
"Belum, Pak. Tetapi barusan ada telepon yang mengatakan mereka akan sedikit terlambat..!"
"Tidak apa. Begitu mereka tiba. antarkan langsung ke tempatku. Oke?"
Petugas bernama Poniman itu manggut-manggut lalu kembali ke posnya. sementara mobil Herlambang sudah meluncur lagi dan membelok menuju bangunan nomor lima. cottage pribadi keluarganya.
Pada saat itulah Herlambang melihat bagian kedua dari harapannya boleh jadi cuma tinggal harapan. Karena di depan tonage enam tampak tiga orang pria dengan dua orang wanita berpakaian norak sedang duduk mengobrol sambil berdiri. Salah seorang pria itu sedang berbicara dengan kedua tangan memperagakan sesuatu dengan gerakan lucu. Saat mana telinga Herlambang mendengar suara tawa yang berderai-derai dari kelompok kecil tersebut. Dari arah lain terlihat pula dua orang pramulayan mendatangi kelompok dimaksud sambil membawa baki yang tampaknya berisi minuman ringan serta hidangan pembuka untuk makan malam.
Sedikit kecewa dan berharap kelompok kecil itu tidak mengenali dirinya. Herlambang menghentikan mobilnya di depan cottage yang ia tuju. Laci dasbor dibuka untuk mengambil lalu menyelipkan pistolnya ke balik pinggang kemeja yang ia pakai. Baru setelah itu ia keluar dari mobil dengan sikap tak acuh. Namun toh kelompok kecil itu berpaling juga ke arahnya. Untungnya hanya sekilas, karena lelaki yang berdiri tadi sudah kembali angkat bicara.
"Yang tadi itu belum apa-apa. Mau tahu apa yang dipegang oleh istrinya di balik pintu ketika si Kodir berjingkat mendekat?"
"Apa?" salah seorang dari wanita berdandan norak itu-agaknya pelacur asal comot-bertanya dengan suara yang terdengar lengking, sungguh tak enak di telinga.
"Terompet besar dan panjang." jawab yang ditanya. "Maka, begitu pintu dibuka... kwaaauuk...!"
Bahkan Herlambang sendiri sampai ikut tersenyum ketika membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci. Mcnyelinap masuk lalu menutup pintu, ia melihat Budi Raharjo-pengelola cottage-bangkit dari kursi untuk menyongsong sambil mengulurkan tangan.
"Itulah salah satu yang saya tiru dari Anda, Pak Heri. Selalu tepat waktu. Sampai ke menit-menitnya!"
"Kunci menuju sukses, Pak Budi!" komentar Herlambang tersenyum. Namun ketika meneruskan, senyuman di bibirnya sudah melenyap. "Siapa tetanggaku yang berpakaian aneh-aneh itu?"
"Tamu baru, belum satu jam booking tempat.
Cottage nomor sebelas, dan?" si pengelola diam sejenak lalu meneruskan dengan wajah murung, "Mereka memaksa untuk menyewa juga nomor enam. Angka keberuntungan, kata mereka. jadi saya tidak bisa menolak!"
"Hm," Herlambang mengenyakkan pantat di kursi terdekat. "Apa tidak bisa kau suruh supaya mereka ngobrolnya di dalam saja. Atau kalau mau di luar, ya di depan nomor sebelas!"
Budi Raharjo hanya diam menatap.
Herlambang memaklumi. lantas mengeluh. "Iya juga. Langganan atau tamu adalah raja. Sudahlah. Dan omong-omong mengenai yang tadi kau tanyakan di telepon?"
Sementara Herlambang dan orang kepercayaannya terus berbicara mengenai urusan bisnis mereka, di luar cottage nomor enam Hadi Saputra melirik pada kedua pramulayan yang tengah menyimpan hidangan pesanan mereka di atas meja. lantas cepat berdiri sambil menggerutu.
"Sialan kau, Nurjaman. Lelucon konyolmu tadi membuatku ingin kencing!"
Bharada Polwan Melati yang memakai pemerah ekstra tebal pada tulang pipinya nyeletuk dengan kerlingan nakal.
'Boleh ditemani?" Sang Inspektur mendelik. 'Kau sudah tak sabar untuk mengukur punyaku ya?"
Ledak tawa lagi, sementara Hadi Saputra masuk ke dalam bangunan yang mereka tempati sambil tak lupa menutup pintu.
Begitu masuk. ia langsung bergegas menuju ranjang, di sana tergeletak satu pesawat HT yang segera dioperasikan. Detik berikutnya, Hadi Saputra sudah memanggil.
"Elang Dua pada Elang Satu...!"
"Teruskan Elang Dua!" Terdengar suara berat Bursok menjawab panggilan orang kepercayaanmiya itu.
"Bangaunya sudah hinggap untuk bertelur!'
"Hm. Bagaimana dengan merpati kita?"
"Belum ada tanda-tanda...."
"Oke. Biar aku yang urus!"
'Roger. Dan out!" Pada waktu sama. di markas komando.
Bursok menekan tombol lain pada pesawat HT di tangannya. Lantas memanggil.
"Punggguk"!"
Agak lambat. barulah terdengar sahutan Aipda Pamuji. Karena ia sambil harus mengemudi tentunya.
"Pungguk di sini.' "Di mana merpatinya?"
"Bersama saya, Elang Satu. Masih dalam penerbangan!"
"Bagaimana dengan yang betina" Sayapnya cukup kuat?"
"Sebentar tadi memang sempat melemah. Tetapi setelah diberi obat, semangat terbangnya sudah kuat lagi!"
"Oke. Dan jangan jauh-jauh darinya, Pungguk!"
"Pasti!" Bursok baru saja meletakkan kembali pesawat HT-nya di meja ketika pintu ruang kerjanya diketuk dari luar. Seorang anggota berpakaian dinas Sabhara kemudian masuk dan langsung mengentakkan tumit sepatunya ke lantai.
"Lapor. Komandan. Ada tiga enam lima di sektor sembilan!"
Bursok mengernyitkan dahi, lantas mendengus tak senang.
'Pencurian...! Hanya untuk urusan teri itukah aku diganggu?"
Si Sabhara tampak membasahi tenggorokannya lebih dahulu sebelum kemudian menyahuti,
"Seorang penghuni dilaporkan terluka parah karena bacokan golok, Komandan. Saat ini pelaku terkepung massa setempat. Sambil menyandera penghuni lainnya. Termasuk seorang balita...!" Diam sesaat untuk membasahi lagi tenggorokannya, Sabhara itu cepat menambahkan. "Patroli dan satu regu Buser sudah meluncur ke TKP. Komandan!"
Hm. jumlah yang cukup untuk menangani kasus dimaksud.
Tetapi, balita! Bursok menghela napas dan bangkit dengan segera dari kursinya.
'Oke. Aku akan ke sana sekarang!"
Pada saat Bursok ngebut meninggalkan kantornya, di tempat lainnya. Herlambang mengakhiri pembicaraannya dengan si pengelola cottage.
"Kau tahu sendiri, Pak Budi. Dengan pcsisiku sekarang ini, urusan tetek bengek seperti itu tidak akan tertangani lagi olehku. Lebih baik kau sampaikan saja pada ibunya anak-anak di rumah. Lagi pula yang kau utarakan tadi agak relevan dengan kegiatan organisasinya, yayasan ibu-ibu Dharma Wanita!"
"Begitu juga baik, Pak Heri!"
"Bagus, nah, sebelum tamu-tamuku itu datang. tak keberatan bila aku mengambil napas barang sejenak?"
Budi Raharjo menyeringai kecut. lantas pamit dengan sikap takzim. Sambil memberitahu, "Hidangan makan malamnya sudah siap saji. Pak Heri. Semoga Bapak berserta kedua tamu kita nanti menikmatinya dengan gembira. Permisi...!'
Gembira" Herlambang diam-diam menyeringai. Kecut. Makan malam itu. pikirnya, tak lebih dari formalitas. Karena yang kemudian akan terjadi adalah adu kekuatan. Adu kekuatan mental, yang bukan mustahil akan berakhir dengan adu kekuatan ilmu gaib.
Sayang Budi Raharjo tidak melihat senyuman kecut di bibir majikannya itu. karena ia sudah keburu berlalu. Dan begitu menutupkan pintu di belakangnya, pengelola cottage itu melihat salah seorang tamu penghuni pas baru keluar dari dalam eonage 6. Mereka berdua sempat saling menatap, sebelum tamu tersebut melempar senyum lantas duduk di tempatnya semula.
Sambil bertanya pada teman-temannya, "Sampai di mana kita tadi?"
Budi Raharjo terus berlalu, diawasi oleh ekor mata Hadi Saputra. Sementara pencerita di kelompoknya kini berganti orang. yakni wanita norak satunya lagi, Bharatu Polwan Rusmini.
"Aku masih ingat ketika bekas mertuaku muncul dalam keadaan mabok berat. dan..."
Dan, dibalik pintu cottage bersebelahan.
Herlambang mengeluarkan dan meletakkan pistolnya di atas meja, lalu sambil bangkit namun tanpa berpindah tempat, ia membuka gesper ikat pinggang, terus menurunkan ritsleting celana. Setelah memastikan bahwa jimatnya masih terpasang dengan baik dan benar, ia merapikan celana, menyimpan pistol di tempat semula, lantas duduk memikirkan skenario yang sudah direncanakan.
Ia akan membuat suami istri itu tunduk pada kemauannya. Lalu di hadapan sang suami, si cantik Rinda akan ia ajak naik ke tempat tidur. ditelanjangi dan setelah puas menikmati tubuh molek itu. Herlambang tinggal mengusir mereka. Sambil mengingatkan agar suami istri itu melupakan seketika rahasia apa pun yang mereka ketahui mengenai insiden Turen maupun penyebab kematian Rendi Suhandinata.
Tetapi, Herlambang juga tidak boleh mengabaikan kemungkinan lainnya. Bahwa sehebat-hebatnya ilmu seseorang, masih saja ada ilmu lain yang lebih hebat. Jika keadaan itulah nanti yang terjadi. pistol Herlambang-lah yang akan berbicara..
Skenarionya adalah, begitu Herlambang melihat gelagat ilmunya akan kalah, maka pikirannya harus ia alihkan seketika pada benda-benda yang ada di
ruangan yang ia tempati. Sambil sekaligus minta bantuan jimat multi fungsinya untuk membuat benda-benda tersebut menghancurkan diri sendiri. Seperti hancurnya bangku-bangku fiberglass yang telah merenggut nyawa Reinaldi.
Kelanjutan dari skenario kedua itu jelas. Herlambang harus secepatnya mencabut pistol dan menembak mati suami istri itu. Lalu pada semua orang, sambil berwajah pucat dan tampak sangat ketakutan, Herlambang tinggal berkata: terpaksa membela diri. Tentu saja diakhiri dengan gumaman syok.
"Sedikit pun tak kusangka bahwa mereka itu dukun!"
Sempurna! Herlambang tersenyum puas, lantas duduk menyandar di kursinya. menatap ke potret besar berbingkai keemasan yang terpajang di tembok. Potret istri serta anak-anaknya. Dan Herlambang pun mendesah. Bangga.
"Kalian lihat bukan" Otak yang ada di kepalaku adalah otak si Orang Nomor Satu!"
Dan, pada waktu yang hampir bersamaan...
Sebuah taksi meluncur lalu berhenti di depan pos jaga dekat pintu gerbang Sangkan Hurip Indah Cottage. Ketika taksi itu kemudian mundur lantas menghilang di jalan raya, di bekas tempatnya berhenti tampak sudah tegak sesosok tubuh molek semampai dengan potongan rambut sebatas tengkuk.
Diterangi bias lampu gerbang dan lampu-lampu taman yang redup. gaun yang ia pakai membuat penampilannya tampak seronok.
Gaun warna merah hati. Kepada petugas jaga yang keluar tertakjub-takjub dari posnya, ia bertanya lembut disertai senyuman menawan pada bibir mungilnya yang sensual,
"Boleh tahu, yang mana ruang Pak Wali."
*** DAN. bukan cuma Herlambang.
Kelompok kecil yang sedang asyik bercengkerama di ruang 6 pun juga dibuat terheranheran, ketika melihat kedatangan tamu yang berjalan gemulai menuju pintu cottage 5. Petugas jaga yang mendampinginya langsung mengetuk pintu yang segera sudah terbuka. Disusul terdengarnya suara bertanya. Serak.
"Ya?" "Tamu yang ditunggu. Tuan!"
Herlambang tertegak heran di sebelah dalam pintu. Namun hanya sekejap dua. Naluri ingin menjaga nama baik dirinya sebagai wali kota muncul dan langsung beraksi dengan cepat. Herlambang melangkah keluar supaya dirinya tampak jelas oleh siapa saja yang mungkin melihat. Begitu pula suaranya yang kemudian keluar. dibuat sejelas mungkin untuk ditangkap oleh telinga mana pun yang menguping.
"Lho. kok datangnya sendirian?" Herlambang bertanya. Heran. "Suamimu ke mana?"
Agaknya memaklumi maksud tuan rumah. sang tamu pun mengimbangi. Sengaja membuat suaranya terdengar jelas.
"Ada hambatan kecil di tengah perjalanan, Pak Wali. Tetapi beberapa menit lagi. ia pasti sudah tiba di sini"!"
"Hm." Herlambang berpikir sejenak, lalu ganti berbicara pada si pertugas jaga, "Oke, Poniman. Kau kembalilah. Dan begitu suami tamu saya ini tiba, cepat antar kemari!"
"Baik, Tuan!" Petugas jaga itu pun berlalu. Dan tanpa melihat kiri-kanan. Herlambang memperlihatkan sikap acuh tak acuh ketika berbicara lagi pada tamunya. "Ayo. silakan masuk"l"
Begitu pintu depan ruang 5 tampak ditutupkan dari dalam, Hadi Saputra berkata dengan suara direndahkan.
"Jangan melongo begitu. Kalian teruslah berbicara, sementara aku akan mengontak bos." Lalu sambil menekap perutnya. Hadi Saputra pun bangkit dari kursi yang ia duduki. Dengan suara yang kini terdengar lebih jelas. "Aduh, perutku!"
Bharada Melati menimpali sambil cemberut.
"Habis, kau sih. Sudah kubilang. sambalnya pedas. Tetapi..."
Tetapi Hadi Saputra sudah menghilang di balik pintu yang sekaligus ditutup dari dalam.
Melati angkat bahu dan meneruskan berbincangbincang dengan teman kelompoknya. sambil me
nyantap makanan yang terhidang di depan mereka. Namun mata yang awas, pastilah dapat melihat bahwa selera makan kelompok kecil itu sudah menurun. Obrolan mcreka pun tak lagi tedengar jelas.
Di balik pintu kamar yang mereka tempati, Hadi Saputra mendengar suara sahutan yang sedikit berisik dari pesawat HT di tangannya.
"Hambatan kecil?"
"Begitulah yang saya dengar, Elang Satu!" jawab Hadi Saputra.
"Oke. Akan kukonfirmasi pada Punggguk. Kalian tetaplah siaga dan lakukan apa yang terbaik menurut kalian. Saat ini aku sedang dalam perjalanan untuk melihat burung lainnya. Seekor burung buas, dan agaknya perlu dijinakkan!"
Kasus lain dan mengundang bahaya. pikir Hadi Saputra sambil menyahuti, "Roger Elang Satu!"
"Berhati-hatilah. Out! "
Dan di tempat terpisah, Bursok menurunkan kecepatan mobilnya sedikit ketika ia menekan tombol kontak terbuka, sehingga anggota lain kini dapat ikut mendengar. Termasuk kelompok Hadi Saputra.
"Apa yang terjadi di sana. Punggguk?" tanya Bursok begitu panggilannya disahuti.
"Salah satu ban depan mendadak pecah...." terdengar jawaban gelisah Aipda Pamuji. "Dan tahutahu sudah merobohkan pagar rumah di tepi jalan!"
"Separah apa situasinya?"
"Tidak ada yang terluka. Tetapi pemilik pagar
rewelnya minta ampun. Negosiasi ganti rugi agaknya akan berlangsung alot?"
"Supaya tidak berlarut-larut, penuhi saja harga yang dia minta." Bursok mendengus tak senang. "Bagaimana dengan mobilnya?"
"Penyok berat, Elang Satu. Tetapi masih bisa jalan!"
"Bagus. Cepat kalian selesaikan negosiasinya, dan tancaplah secepatnya ke sasaran. Jangan sampai burung bangaunya keburu terbang entah ke mana!"
"Roger, Elang Satu!"
Setelah memutuskan kontak. Bursok kembali tancap gas sambil berpikir, berani juga Prasetyo membiarkan istrinya berangkat lebih dulu untuk mengejar waktu pertemuan yang telah disepakati. Dengan apa pun Rinda pergi dari tempat musibah terjadi, mestinya tetap didampingi. Kalau tidak oleh Prasetyo, ya oleh Pamuji. Boleh saja di tempat mereka itu sekarang sedang berlangsung negosiasi yang alot. namun di tempat tujuan juga akan berlangsung satu negosiasi. Yang pasti jauh lebih alot, bahkan juga disertai adu kekuatan mental!
Salut atas keberanian si cantik Rinda, pikir Bursok. Tetapi...
TKP yang dituju Bursok tahu-tahu sudah tampak di depan mata. Dan perkembangan yang telah terjadi di tempat lainnya pun dengan segera sudah terlupakan.
Masih disanderakah balita yang malang itu"
Yang pasti, situasi saat itu di Sangkan Hurip Indah belum terlalu membahayakan orang yang dicemaskan oleh Butsok. Si cantik bermata lebat dan kontras dengan bibirnya yang justru mungil itu masih selamat dan tampak duduk tenang-tenang di kursinya, sambil bercerita dengan tutur kata yang diucapkan sama tenangnya.
"Maklum dech, Pak Wali. Pagar rumahnnya itu kebetulan masih terhitung baru. Dan si pemilik bilang biaya pembuatannya cukup mahal...!"
Menyimak dan mendengarkan dengan sikap sama tenangnya, Herlambang kemudian mengomentari.
"jadi selagi suamimu bernegosiasi, kau langsung mencegat taksi yang kebetulan lewat." katanya dengan nada bersimpati. "Padahal, tak perlu serepot itu. Bu Rinda. Kalian tinggal menelepon. Dan aku pasti akan menunggu...!"
"Kami sudah terbiasa menepati janji, Pak Wali," ujar sang tamu sambil tetsenyun manis. "Terutama waktu yang disepakati!"
"Hm. Dalam hal itu kita punya prinsip yang sama!" komentar Herlambang. balas tersenyum. "Kita pesan makan malamnya sekarang" Atau menunggu suamimu tiba?"
"Kita tunggu saja. Pak Wali. Toh tak akan lama."
"Jika itu mau Bu Rinda, terserah.!"
Lantas sepi, karena Herlambang tak tahu lagi apa yang mau dibicarakan. juga tidak tahu apakah kekuatan jimatnya sekarang saja ia keluarkan. Karena... ah, sial benar. Mengapa pula ban depan mo
bil mereka harus pecah" Akibatnya. kehadiran tamu Herlambang tidak lengkap. Kalau dilakukan sekarang, kuatir suaminya keburu tiba sementara ilmu Jerot-Jembar hanya ia tujukan pada Rinda seorang!
Dalam kebingungannya karena sang tamu ikutikucan berdiam diri, Herlambang teringat pada sesuatu yang tanpa dipikir panjang langsung ia lontarkan lewat sebuah tanya.
"Sambil menunggu, bagaimana kalau kita melakukan sesuatu lebih dulu?"
Sang tamu seketika mengangkat muka. terkejut. Lantas mendesah curiga.
"Sesuatu?" Herlambang buru-buru memaksakan senyum di bibir. lantas menjelaskan dengan sedikit gugup. "Maksudku. kita sama-sama tahu apa yang akan kita bicarakan nanti. Jadi ah, bagaimana ya?"
Melihat tuan rumahnya kebingungan. sang tamu cepat menanggapi dengan suara dingin, "Katakan saja. Pak Wali. Tak usah ragu. Mumpung tak ada suami saya yang ikut mendengar!"
Seketika, Herlambang menyeringai. Lebar. Niat yang diduga oleh sang tamu. memang sudah ada dalam pikirannya. Tetapi Herlambang memaksudkan pertanyaan tadi untuk hal lain. Dan karena sudah diminta, ia pun lantas menghilangkan keraguannya.
Sama dinginnya seperti tamunya barusan berbicara. Herlambang pun memberitahu. "Maksudku. aku harus berjaga jaga bukan" Aku tidak ingin pembicaraan kita nanti direkam diam-diam. Untuk dijadikan..."
"Oh. itu!" Mendesah begitu, bibir mungil sang tamu tampak mengguratkan senyuman tipis dan kaku. Pertanda si cantik siap untuk memulai adu mental!
Dan langsung membuktikannya melalui tas tangan yang ia bawa ketika tadi tiba. Kancing tas tangannya itu cepat dibuka. lalu diangkat dan sekaligus dibalikkan. Dan isinya pun tumpahlah di atas meja. Seperangkat keperluan kosmetik termasuk sisir, satu dompet yang isinya tampak tebal. tiga lembar kartu kredit, juga telepon genggam.
Herlambang cepat menyambar salah satu tabung lipstik yang bergulir dan nyaris terguling ke lantai. Lalu menyimpannya dengan hati-hati di dekat dompet, sambil diam-diam meyakini dompet itu tak cukup tebal untuk menyimpan alat perekam. Biar yang paling mini sekalipun.
Meluruskan duduknya kembali, Herlambang tersenyum. Puas. Namun cuma untuk isi tas. Karena seraya tersenyum, ia kembali membuka mulut.
"Bagaimana dengan pcnyadap. Bu Rinda?"
"Maksudnya?" tanya sang tamu. Kali ini tanpa ikut tersenyum.
"Aku dengar-dengar kau ini orang berpendidikan..." jawab Herlambang kalem. "jadi pasti tahu betul apa yang aku maksud. Mana tahu ada pihak lain entah siapa, membantumu untuk memasangnya!"
Aneh. Herlambang belum merasakan adanya getaran pada tempat jimatnya terpasang. Mengapa ilmu hitam yang ia kuatirkan belum menyerang" Atau ada yang ditunggu. Tetapi yang mana pun itu. Her
lambang tidak usah kuatir. jimatnya sudah dengan baik. Begitu pula mantra penangkal sekaligus penakluk sudah ia rapalkan diam-diam semenjak tadi. Jarot-Jembar" Jembar-Jarot. Dua kali rapal untuk masing-masing nama.
Atau jimatnya memang sudah mulai beraksi"
Lihat saja buktinya. Tamu cantiknya tiba-tiba tersenyum manis. Lalu tahu-tahu berkata sama manisnya, "Tak usah repot-repot menggeledah tubuhku, Pak Wali. Biar aku sendiri yang melakukannya..!"
Dan sang tamu pun bangkit dengan gemulai. Lebih gemulai lagi gerakan tangan serta pinggul maupun kakinya, ketika dengan tenang ia menanggalkan gaun merah hati yang ia kenakan. Lantas tahu-tahu si cantik sudah tegak dalam keadaan bugil. tanpa lapis apa pun membungkus tubuhnya!
Sementara Herlambang terpana menatap tubuh yang serba menawan di depan matanya, sang tamu mendesah lirih.
"Bagaimana, Pak Wali" Puas?"
Herlambang tidak menyangka, cuma dengan memandang. lidahnya sudah langsung terasa kelu. Bagaimana pula jika menyentuh lalu menikmatinya"
Namun selagi berahi Herlambang mulai terlonjak dengan hebat, si cantik sudah mengenakan pakaiannya kembali. Kali ini dengan gerakan cepat dan tuntas. Dan tahu-tahu ia sudah duduk kembali di tempatnya, seraya berkata dengan senyuman yang masih tetap manis.
"Karena sudah terbukti aku tidak dipasangi alat penyadap. Pak Wali, bagaimana kalau tujuan kita
bertemu langsung saja kita bicarakan sekarang" Dan silakan Bapak yang memulai!"


Manekin Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ap-pa...?" Herlambang menggagap. sambil berjuang keras menurunkan tensi berahinya.
"Silakan Bapak memulai!" jawab yang ditanya. tenang. "Ajukan saja pertanyaan apa yang ingin Bapak ajukan!"
"Hm!" Herlambang seketika menggumam. Serius. Berahinya masih terasa mengganggu, namun akal sehatnya sudah kembali. "Baiklah...!"
Tetapi karena ganggguan berahinya tadi. toh Herlambang masih memerlukan waktu untuk berpikir dari mana harus memulai. Perkembangan yang terjadi berada di luar dugaannya. Ketidakhadiran sang suami masih tetap mengusik. Sehingga mau tidak mau Herlambang harus membatasi dulu keinginannya untuk sementara!
Tersenyum mantap. Herlambang pun angkat bicara.
"Pertanyaan pertama. Bu Rinda. Apa saja yang kau ketahui?"
"Banyak, tentunya!"
"Sebutkan salah satu!" kata Herlambang lagi. Kali ini dengan nada perintah. "Dan langsung ke akar masalah dari pembicaraan kita!"
Diam berpikir sejenak, sang tamu akhirnya menjawab dengan luar biasa tenang, baik dalam sikap maupun caranya memberitahu, melalui satu jawaban pendek dan benar benar langsung pula.
"Ayuningsari!" JAWABAN yang sudah diduga.
Namun toh Herlambang sempat juga tertegun, sebelum kemudian mengajukan pertanyaan berikutnya dengan nada yang enteng. acuh tak acuh.
"Oke. Apa lagi?"
"Janda malang itu hamil." jawab sang tamu. tanpa emosi apa-apa di wajahnya, "Kalian bertengkar, sampai akhirnya dia terjatuh. Kau berusaha meraihnya, tetapi gagal!"
Herlambang pun menatap tercengang. Bukan karena sebutan Pak Wali sudah berubah menjadi 'kau', melainkan oleh apa yang barusan ia dengar. Mencerna sejenak sampai ia merasa yakin telinganya tidak salah dengar, barulah Herlambang membuka mulut.
"Nanti dulu!" ia berkata heran. "Jika Rendi sudah tahu bahwa aku bermaksud meyelamatkan Ayu, mengapa saudara kembarmu itu harus lari?"
"Kau salah mengerti." jawab tamunya tenang.
"Aku menjawab menurut apa yang aku tahu, bukan apa yang diketahui Rendi!"
"Tetapi..." "Yang dilihat lalu dianggap Rendi serta Praka Kartijo, sahabatnya dan mantan sopirmu waktu itu, adalah kau telah mendorong Ayuningsari ke jurang. Maka itu Rendi minggat ketakutan. Buka mulut pada keluarga Ayuningsati, tidak berani. Berhadapan denganmu lebih-lebih lagi!"
"Apa salahnya" Kami bisa berdamai. Dan...'
"Sekarang, menyangkut Rendi sendiri!" Sekali lagi tamu Herlambang memotong, tak peduli. "Kau tahu apa yang ada dalam pikiran Rendi-ku ketika... sebelum dia terbunuh, dia memutuskan untuk berbicara denganmu. sekaligus mengakhiri dosa masa lalu itu?"
Dalam kebingungannya Herlambang menjawab seingatnya saja.
"Uang. Dan tentu saja juga kedudukan!"
Sang tamu menggeleng-geleng sinis.
"Yang ada di dalam kepalanya cuma satu hal saja. Membujukmu supaya bersedia menemui keluarga Ayuningsari di Turen. Bicara terbuka pada mereka, lalu bayar mereka dalam jumlah besar. Rendi yakin pengakuanmu akan mereka terima dengan tangan terbuka. begitu pula ganti rugi yang kau berikan. Toh Ayu sudah mati. Peristiwanya pun sudah lama berlalu. Sudah dilupakan orang!"
Diam sejenak untuk memberi kesempatan kepada tuan rumah mencerna penjelasannya, sang tamu kemudian menambahkan, "Jika pun mereka tidak bersedia menerima pengakuan maupun pem
berianmu, mereka tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Karena mereka cuma orang desa pinggiran. Cuma orang kecil. Kau?"
Diam lagi. Dan sebelum Herlambang sempat membuka mulut untuk mengomentari, tamunya sudah keburu angkat bicara lagi. Disertai senyuman tipis. yang terkesan seperti mengejek.
"Kau sudah berubah semakin besar. Dengan pangkat serta kedudukan tinggi pula!"
"Aku..." Herlambang menggagap. Tanpa sadar. "Aku tidak berpikir... sejauh itu!"
"Itu urusanmu. Yang jelas, bila rencana Rendiku jadi terlaksana maka kau akan tetap aman. dan Rendi-ku terbebas dari beban dosa masa lalu yang terus mengejarnya. Dosa karena menutup mulut. Menyedihkan, bukan?"
Herlambang manggut-manggut seperti orang bodoh. Namun dengan cepat ia sudah mengangkat mukanya kembali. Lalu berkata menuduh.
"Itu hanya pembelaanmu saja. Yang tentunya kau karang karang pula!"
Sekali lagi sang tamu menggeleng-geleng. Sinis.
"Dia sendiri yang mengatakannya padaku. Beberapa saat sebelum tangan-tangan pembunuh yang kau kirim datang mengetuk pintu!"
"Kau..." Sekali lagi pula Herlambang menggagap. "Kau... ada di sana" Tetapi malam itu. dia bilang..."
"Rendi-ku tidak menyalahi janji," lagi-lagi sang tamu memotong. "Memang malam itu tidak ada manusia lain di rumahnya kecuali dirinya sendiri!"
"Tetapi barusan. kau bilang..."
Sang tamu mengangkat bahu, acuh tak acuh. "Mari kita sudahi saja tetek bengek yang tak perlu itu!" katanya. "Lebih baik kita bicarakan saja mengenai apa yang kau punya!"
"Yang aku... punya?" Herlambang kian bingung saja. Kian tak mengerti apa yang telah terjadi dengan dirinya.
Mengapa ia tiba-tiba mulai kalah dalam adu mental ini" Ia. seorang wali kota. Berpangkat kolonel pula!
Sang tamu tidak memberi kesempatan pada Hetlambang untuk berpikir, karena tamu cantiknya itu sudah membuka mulut mungilnya lagi.
"Yang aku maksud. anti atau pantangannya...!"
Herlambang makin terbelalak saja.
"Pantangan?" "Benar. Pantangan dari jimatmu !" Angguk sang umu. Kali ini kembali disertai senyuman manisnya yang memukau, untuk kemudian melanjutkan dengan cepat dan nyaris tanpa henti, bagai berondongan senapan mitraliyur. "Pertama, dari sisi pemakaian. Saat digunakan, kau harus dalam keadaan suci dari persetubuhan. Selain itu, jimatmu juga tidak boleh kena darah atau percikan darah, baik itu darahmu sendiri maupun darah orang atau makhluk hidup lainnya... meski cuma darah nyamuk!"
Selagi Herlambang tiba-tiba diam membeku di kursinya dengan wajah berubah pucat saking terkejut luar biasa, tamu cantiknya sudah meneruskan.
"Kedua. dari sisi sasaran atau orang yang dituju. jimat yang sekarang ini kebetulan kau pakai... terpantang pada dua sasaran. Perempuan hamil dan
orang yang punya saudara kembar. Karena jiwa jabang bayi yang dikandung atau jiwa dari si saudara kembar akan membentengi diri dari orang yang kau tuju. Lebih fatal lagi, sekaligus mementahkan keampuhan jimat yang kau punyai."
Lagi, Herlambang menggagap pucat.
"Da-da-ri mana... kau mengetahui... semua itu?"
'Tidak soal, yang penting aku tahu!" jawab sang tamu. Masih tetap tersenyum. Semakin manis, semakin memukau. "Misalnya. pengecualian dari pantangan itu. Kecuali jabang bayi yang sedang dikandung atau kembaran otang yang kau mau sudah mati lebih dulu. Caranya terserah. Asal kematian itu bukan melalui kekuatan jimat yang kau pakai."
Memang itulah semuanya. Lengkap dan diurai dengan sangat jelas!
Namun seakan tiba-tiba menyadari ada yang terlewatkan, sang tamu cepat-cepat menambahkan.
"Oh ya. Di situlah persoalan yang timbul mcngenai Rendi-ku, bukan" Kau sebenarnya bisa membuatnya tunduk dan patuh. Tetapi keburu ingat, dia punya saudara kembar. dan masih hidup pula. Membunuh saudara kembarnya cuma akan menambah urusan. Jadi mengapa tidak langsung Rendi saja" lalu. kau pun mengirim Reinaldi. Tentu saja dengan Markus sebagai ujung tombak!"
Dalam panik oleh keterkejutannya yang amat sangat. otak Herlambang dipaksa untuk bekerja keras. Begitu pula saraf-satafnya. Sampai ke senjata yang tergantung di selangkangannya.
Apa yang terjadi" Tak ada dari pantangan itu
yang hari ini ia langgar. Tetapi mengapa Jarot jembar-nya tidak juga bereaksi"
"Percuma, Herlambang!" sang tamu mendesah, dingin dan hambar. "Karena pemberian si Jarot serta si Jembar-mu itu hanya berlaku pada manusia hidup. atau pada roh yang diperalat manusia hidup itu untuk kepentingan pribadinya!"
Otak Herlambang masih mampu bekerja dengan baik. Tetapi hanya untuk berkata, serak,
"Dan kau..." Sang tamu memberitahu dengan lembut serta khidmat. "Malang bagimu, Herlambang Aku bukanlah kedua-duanya!"
"Lantas... siapa engkau ini sesungguhnya?" tanya sel-sel otak Herlambang yang terlontar keluar melalui mulutnya. Mulut yang terasa tiba-tiba sangat keras, kaku dan sedingin es.
"Pertanyaannya, Herlambang..." sahut yang ditanya. "Bukan siapa. tetapi apa!"
Tamu istimewa di dalam cottage nomor 5 itu memang tidak salah. Karena pada waktu ia meluruskan pertanyaan Herlambang. kelompok kecil di teras cottage yang bersebelahan akhirnya menyadari letak kekeliruan yang sudah terjadi. dan semenjak tadi telah membuat mereka hanya bisa duduk-duduk saja dengan gelisah.
Berawal dari suara mobil yang terdengar mendekat dari arah pintu gerbang, disusul oleh sinar terang dari lampu mobil dimaksud pada saat mobil
tersebut tampak membelok lalu terus meluncur sebelum akhirnya berhenti di depan cottage S. Persis di sebelah mobil Herlambang yang sudah lebih dulu parkir di situ.
Disertai semakin merambatnya kegelisahan mereka. kelompok kecil itu kemudian mengenali Aipda Pamuji yang lebih dulu keluar untuk-dengan sikap sopan seorang sopir-membukakan pintu belakang mobil. Sang Ajun Inspektur Dua yang berpakaian preman dengan penampilan sederhana itu berpurapura tidak melihat ke teras cottage 6. Memang harus begitu!
Namun, bukan itu yang penting.
Melainkan orang yang kemudian menyusul keluar dari dalam mobil. Pertama, Prasetyo yang wajahnya tampak kusut serta lelah, baru kemudian orang terakhir, sosok tubuh molek semampai dengan potongan rambut sebatas tengkuk. Penampilan cantik yang sudah mereka ingat atau kenali. Lengkap dengan gaun yang saat itu ia pakai.
Gaun warna merah hati. Bagaikan tersihir, kelompok kecil di teras voltage 6 pada diam membeku. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka bisa juga membuka mulut. Yakni Hadi Saputra yang bergumam dengan lidah kelu dan nyaris tanpa sadar.
"Asta-. Bu Rinda..."!"
RINDA bukan hanya tidak mendengar.
Begitu turun dari mobil, perhatiannya pun seketika langsung ditujukan ke daun pintu cottage 5. menatap lebar dan tajam. Dengan punggung tertegak kaku. sang suami yang melihat keanehan sikap itu sudah akan bertanya sewaktu Rinda mendahului dengan bisikan pelan namun tajam
"Dia ada di dalam!"
Prasetyo berpaling sekilas ke arah pintu dimaksud, lantas kembali mengawasi wajah istrinya. Dan seketika itu juga langsung tahu. Rona kusut pada wajahnya seketika langsung menghilang. Digantikan rona tegang.
Aipda Pamuji, yang tidak memahami situasi dan sedang berpura-pura naksir bagian depan mobil yang penyok-penyok bekas menabrak pagar, bergumam dengan suara rendah,
"Masuklah sekarang. Saya akan berjaga-jaga di sini!"
Tak seorang pun yang bergerak, dan Pamuji pun
476 menambahkan dengan sabar, "Ayalah. Jangan sampai Pak Wali atau orang-orangnya menjadi curiga!"
Tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah sang istri yang tampak membeku, Prasetyo memberitahu dengan suara yang terdengar serak.
"Yang dimaksud istri saya dengan dia, Ajun Inspektur. bukan Pak Wali!"
Mendengar itu. Pamuji yang sedang membungkuk untuk memeriksa salah satu lampu depan mobil, seketika meluruskan tegaknya, menatap bergantian pada kedua orang di hadapannya. Ia kemudian melirik ke arah pintu cottage 5. Cuma sesaat dua. Lalu saat berikutnya, antara sadar dan tidak, Pamuji berpaling ke arah teras cottage yang berdampingan.
Maksudnya untuk meminta petunjuk.
Dan tampaklah di teras cottage 6. kelompok kecil itu sedang sibuk berembuk, dengan empat tubuh setengah condong ke depan di kursi masing-masing. Mendekatkan muka pada orang kelima, mulut Hadi Saputra tampak sibuk berbicara. Begitu pula dengan kedua tangannya. sibuk bergerak-gerak untuk menegaskan apa yang ia ucapkan lewat mulutnya.
Tentu saja yang dibicarakan dalam rembukan itu tidak terdengar ke sekitar, termasuk oleh telinga Pamuji, karena Hadi Saputra yang saat itu memberi perintah serta petunjuk-petunjuk, berbicara dengan suara rendah, nyaris berbisik. Namun ada beberapa gerakan tangan Hadi Saputra yang maksudnya dipahami oleh Pamuji: persiapan untuk melakukan serbuan mendadak.
Sedikit tegang. Pamuji kembali berpaling pada kedua orang yang harus ia jaga keselamatannya.
Sambil berbicara dengan suara perlahan, ritsleting jaketnya diturunkan sampai bagian depan jaket itu terbuka lebar dan sekaligus memperlihatkan gagang pistol yang menyembul di pinggangnya.
"Dengar dan turuti nasihat saya!" Pamuji berkata. Tenang.tapi dingin. "Begitu kami mulai bergerak. Anda berdua segeralah menyingkir sejauh mungkin. Paham."
Rinda menganggukkan kepala. Dan secara naluriah mendekat pada sang suami yang langsung menggenggam tangannya. Genggaman kuat, namun gemetar.
Dan sementara ketegangan yang mistrius itu berlangsung di luar, maka di balik pintu collage 5 juga berlangsung ketegangan yang sama.
Terutama, pada diri Herlambang.
Perasaan tegang itu muncul setelah tamunya meluruskan pertanyaan Herlambang tadi. Lantas setelah saling menatap beberapa saat sang tamu cantik kemudian mendesah. Lirih, namun terdengar jelas dan tuntas.
"Jika kau memang ingin tahu apa aku ini, baiklah...!"
Sesaat dua tak terjadi apa-apa. Karena sang tamu hanya menatap tanpa berkedip. lurus ke wajah Herlambang yang entah mengapa hanya diam terpukau bagai tersihir.
Kemudian. lantai di bawah kaki mereka tahutahu terasa bergetar.
Dan apa yang semula sudah terencana dengan baik dalam skenario yang disusun oleh Herlambang. mulailah terjadi. Tetapi bukan atas kemauan Herlambang. Benda yang pertama-tama jatuh lantas pecah berderai di permukaan lantai adalah potret besar istri serta anak-anak Herlambang. Baru setelahnya disusul oleh benda-benda lain bersama getaran yang terus saja berlangsung.
Getaran yang semakin kuat dan bertambah kuat.
Bunyi jatuhnya potret di balik pintu cottage 5 membuat mereka yang saat itu berada di luar-termasuk kelompok kecil Hadi Saputra-serempak berpaling ke arah suara terdengar. Sempat kaget sesaat, Hadi Saputra melompat tegak sambil berkata dengan nada memerintah.
'Sekarang!" Namun begitu mereka bangkit berdiri dari kursi masing-masing, kelompok kecil itu langsung pada tertegak menegun lantas saling memandang satu sama lain. Hal yang sama juga terjadi di depan cottage 5. Rinda serta Prasetyo yang sudah bersiapsiap untuk menjauh juga tiba-tiba tertegak diam, lantas saling bertukar pandang dengan Pamuji yang wajahnya tampak seperti bertanya-tanya.
Tak perlu jauh jauh mencari apa penyebab terjadinya situasi yang mengherankan itu, karena meja di depan Hadi Saputra serta teman sekelompoknya tiba-tiba tampak bergetar sendiri. Salah satu botol
minuman di atasnya dengan cepat berguling lantas jatuh berderai di lantai teras. Diikuti oleh botolbotol lainnya, gelas demi gelas, dan...
Dan pada wakru bersamaan, di sekitar.
Suara benda jatuh atau pecah juga terdengar di bangunan-bangunan cottage terdekat. Diiringi oleh seruan-seruan kaget. Lalu hanya dalam tempo beberapa detik, pintu demi pintu cottage yang berpenghuni sudah pada direnggut membuka dari sebelah dalam. Sosok demi sosok tubuh pun dengan cepat berhamburan keluar. Beberapa di antaranya anak-anak kecil yang berlarian keluar seraya menjerit-jerit ketakutan. Entah siapa di antara mereka yang menjeritkan satu kata pendek tetapi langsung menjelaskan apa yang mereka semua perkirakan terjadi.
"Gempa!" Dan semakin banyaklah orang yang berhamburan keluar, termasuk dari bangunan kantor.
Sambil berteriak-teriak kacau balau, sebagian besar dari mereka lari menyelamatkan diri ke arah jalan raya. Sebagian lainnya berkumpul dan bertahan di tempat terbuka yang dilingkari oleh bangunan bangunan cottage. Wajah-wajah panik atau tegang. Termasuk di antara mereka itu adalah kelompok Hadi Saputra yang tidak menyadari semenjak kapan mereka menjauh dari teras tempat mereka sebelumnya tertegak. Prasetyo berangkulan dengan Rinda. Plus, Pamuji di sebelah mereka, yang tertegak kaku.
Lalu. Budi Raharjo-pengelola-yang sambil menatap ketakutan ke sekitar tempat mereka ber
kumpul. terdengar menggumamkan kata-kata yang menambah tegang suasana.
"Aneh. Di daerah ini belum pernah terjadi gempa. Tetapi mengapa..."
Bola lampu taman di dekat Budi Raharjo berdiri tiba-tiba meledak pecah.
Budi beringsut semakin rapat ke tengah kumpulan yang tanpa diperintah diam-diam saling merapatkan diri, bersamaan dengan meledaknya bola lampu-lampu lainnya. Disusul oleh ledakan salah satu jendela cottage lalu jendela kantor utama.
Hingar-bingar dan menakutkan, sementara tembok satu dua cottage terdekat tampak mulai pula retak dan retak. Dan permukaan tanah di bawah kaki mereka masih saja bergetar. Sampai akhirnya. entah siapa. terdengar berbicara dengan suara tersedak.
"Sebaiknya kita lari saja sekarang!"
Satu dua orang mulai berlari ke arah jalan raya.
Yang lainnya sudah akan menyusul. manakala suara ingar-bingar dari sana sini secara mendadak terdengar berhenti, diikuti oleh melemahnya getaran pada permukaan tanah. Melemah dan terus semakin melemah. Lalu kemudian berhenti sama sekali.
Diam dan sunyi. Sedemikian diam dan sedemikian sunyinya... dan secara tiba-tiba pula.
Yang membuat suasana justru terasa lebih mencekam.
JUGA sangat sunyi mencekam di balik pintu cottage 5.
Yang dimulai oleh ket-japan mata tamu Herlambang. Kerjapan mata yang membuat semua getaran baik di lantai maupun pada tembok yang tampak sudah pada retak, perlahan-lahan berhenti.
Dan pada meja di hadapan Herlambang, ada sesuatu yang tidak sama lagi dengan apa yang sebelumnya terlihat. Isi tas tangan yang tadi ditumpahkan. yang sama sekali tidak ikut bergetar apalagi jatuh selama ingar-bingar yang menegangkan itu berlangsung. Semua benda itu tetap bergeming di tempatnya masing-masing.
Tetapi dengan wujud yang sudah berubah.
Perangkat kosmetik sudah berubah menjadi potongan atau ranting-ranting kayu. Dompet menjadi segumpal batu pipih. Daun-daun kering menggantikan kartu-kartu kredit serta telepon genggam. Sementara tas tangannya sendiri kini hanyalah
segumpal kantong plastik yang tampak sudah lusuh serta kotor berdebu.
Namun pergantian wujud di atas meja itu hanyalah suatu kejutan kecil. Sangat kecil. Nyaris tak punya arti apa-apa. Kejutan besarnya berada di seberang meja. Berhadap-hadapan langsung dengan Herlambang.
Yakni, sang tamu. Pada saat getaran yang kemudian menimbulkan gempa itu di mulai, si tamu cantik dengan tenang serta dengan gerakan gemulai, tanpa bangkit dari kursi yang ia duduki, menurunkan bagian atas gaun merah hatinya perlahan-lahan. Diturunkan sampai sebatas pangkal paha sehingga tubuhnya boleh dibilang kembali sudah bertelanjang bulat seperti tadi.
Sempurna telanjang. Ketelanjangan yang indah. Memesona.
Dan memaksa Herlambang untuk duduk bertahan di kursinya. Tanpa sedikit pun muncul hasrat melarikan diri pada saat gempa buatan itu tadi berlangsung. Lalu selama berlangsungnya gempa tersebut. sesuatu yang luar biasa mengejutkan terlihat berproses setahap demi setahap. Dan semakin memaku Herlambang di tempat duduknya.
Akhir dari proses itu adalah hal yang kemudian terlihat setelah getaran gempa berhenti.
Sang tamu masih tetap duduk telanjang di tempatnya semula. Duduk bergeming. Namun dengan leher tampak sudah terpenggal. dengan kepala yang sedikit terangkat dari penggalan. Sebagian pelipis serta pipinya tampak sudah dalam keadaan somplak.
Terbuka menganga, memperlihatkan rongga yang kosong menghitam. Sementara, pada sisa penggalan lehernya tidak terlihat adanya darah segar yang mengalir. Tidak pula ada daging, urat, maupun tulang. Yang terlihat semata-mata hanyalah lubang yang juga kosong. Menganga.
Dan lebih ke bawah lagi....
Dimulai dari sisa batang leher sampai ke selangkangannya, tubuh tanpa kepala itu tampak dalam keadaan terbelah. Belahan yang cukup lebar untuk memperlihatkan benda-benda aneh pada bagian dalam lambungnya. Benda yang semestinya terpasang pada sebuah mesin. Tak peduli mesin apa, yang pasti bukan pada bagian dalam tubuh manusia!
Lalu. selagi Herlambang diam tercekam, kesunyian di sekitar perlahan-lahan dipecahkan oleh suara lirih dan terdengar sayup. Suara yang berasal dari celah-celah bibir mungil pada kepala terpenggal yang diam mengapung di atas barang tubuhnya. Dalam bentuk kalimat yang benar-benar terdengar sopan.
"Puas melihat, Pak Wali?"
Herlambang tidak menjawab.
Bukan tak mau. Hanya lidahnya saja yang terasa bagai kaku membeku, mulut pun seakan terkunCi.
"Kalau sudah..." Bibir mungil itu bergerak mengulas senyum.
Senyuman manis. Sambil kepala terpenggalnya turun ke bawah, menyatu dengan batang tubuh. Kedua tangan ikut pula bergerak pada waktu bersamaan. menarik gaun merah hatinya ke atas sampai terpasang kembali dengan benar. Gerakan yang di
ikuti oleh menutupnya belahan tubuh. Dan dengan retakan serta lubang tak tentu bentuk pada pelipis serta pipinya kembali pula mengutuh. Halus dan mulus.
Menatap tersenyum pada lawan bicaranya yang diam mematung, si gaun merah hati kembali berbicara. Lembut, menyenangkan.
"Sekarang, Pak Wali...." katanya. "Mumpung mereka yang di luar sana masih belum menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, kau pasti tahu apa yang terbaik untuk dilakukan. bukan?"
Tak ada sahutan. Mulut Herlambang masih tetap terkunci. Namun pada bola matanya yang terbuka lebar tetapi tampak layu itu terlihat adanya sinar redup. Sinar pengertian. Atau barangkali juga, kepatuhan.
"Oke. Lakukanlah itu. Pak Wali. Selamat tinggal!"
Berkata demikian, si gaun merah hati bangkit dari kursinya lantas berjalan dengan langkah gemulai memasuki pintu tembus ke ruang dalam. Sctelah itu sosoknya tidak lagi terlihat.
Dan Herlambang memang tidak punya keinginan untuk melihat. Bahkan berpaling pun tidak. Perhatiannya tetap tertuju pada kursi yang sebelumnya diduduki oleh si gaun merah hati.
"Benar!" ia membatin. Patuh. "Aku tahu. Dan memang. cuma itulah yang terbaik!"
Lalu dengan tenang. tangan kanannya ia susupkan ke balik kemeja santai yang ia pakai. Ketika keluar lagi, tangan Herlambang sudah menggenggam gagang pistol dinasnya yang selama bertahun-tahun
terakhir keaktifannya sebagai perwira militer. sudah diperlakukannya tak ubah sebagai istri kedua.
Dengan tenang pula. pistol kesayangannya itu ia angkat perlahan-lahan. Didekatkan ke mulut yang, anehnya, secara otomatis membuka sendiri. Lebarlebar pula. Ke dalam mana moncong pistol dijejalkan.
Kunci pengaman dibuka. Lalu pelatuknya pun ditarik. Tanpa ragu-ragu.
Aneh. Suara ledakan yang terdengar. tidaklah sedahsyat yang ia bayangkan semula. Malah suarasuara lainnya justru terdengar lebih keras.
Dimulai dari suara terkejut seseorang di luar sana.
"Suara tembakan! Astaga. Kita sudah melupakan Pak Wali!"
Pak Wali" Siapa itu Pak Wali" Apakah maksudnya wali kota" Siapa pula yang terdengar datang berlari-lari lalu mendobrak pintu"
Ya ampun, ributnya. Belum lagi suara terkejut yang sama, dengan perkataan yang sama pula.
"Astaga!" Lalu gumaman-gumaman berisik. Sangat berisik!
Apakah orang-orang sialan itu tidak tahu bahwa si Orang Nomor Satu sudah ingin tidur"
Oh, oh. ltu dia kegelapan sudah datang. Gelap sekali, sangat gelap. juga tampak sangat hitam.
Dan kosong! *** SENYUMLAH. lalu semuanya akan terselesaikan dengan mudah!
Tetapi Bursok baru tersenyum hanya bilamana dianggapnya perlu saja. Dan pada malam itu. mau tidak mau Bunok harus mencatat dalam sejarah hidupnya bagaimana seulas senyum dapat dengan mudah menyelesaikan suatu urusan berbahaya.
Pangkal cerita, si pencuri yang kini menjadi penyandera.
Dari keterangan para saksi di TKP. sudah bisa digambarkan rekonstruksi awal. Bahwa si pencuri masuk dengan melompati pagar, naik ke pohon di halaman untuk tiba di atap. Lalu masuk ke dalam rumah melalui salah satu jendela kamar di lantai atas. Jendela yang bukan cuma tidak dikunci, tetapi juga terlupa lalu ditinggal dalam keadaan tetengah terbuka.
Saat pencuri asyik menggerayangi isi rumah. seisi penghuni rumah tiba dari perjalanan luar kota mcreka. Pencuri yang sedang enak-enak makan di da
pur tak keburu bersembunyi lantas mencoba kabur tapi keburu dihadang oleh kepala keluarga yang punya mmah. Terjadi perkelahian singkat yang berakhir dengan jatuhnya si penghadang oleh beberapa luka bacokan golok. Tiga anggota keluarga yang tak keburu menyingkir saking syok, langsung disandera setelah para tetangga berhamburan datang lalu mengepung rumah TKP.
Pada saat Bursok tiba, ketiga orang sandera yang disekap dalam kamar mandi sudah dibebaskan oleh regu Buser, termasuk korban yang terluka, yang sudah dilarikan ke rumah sakit dan ada kemungkinan besar nyawanya masih tertolong.
Tetapi si pencuri tak bisa dibekuk, karena ia mengunci diri di kamar tempat ia masuk, menjadikan seorang bayi perempuan berusia tiga bulan sebagai sandera. Bayi tersebutlah yang menjadi titik lemah polisi. Ditambah satu titik lemah lainnya yaitu si pencuri yang kini jadi penyandera diduga keras adalah seorang pemula. Bukan kambuhan, apalagi residivis. Dan ia dalam keadaan ketakutan.
Penjahat pemula, ketakUtan, golok, bayi.
Satukan keempat bagian itu. maka akan kau peroleh hasil akhir yang jelas dan nyata: berbahaya!
Buktinya, tidak ada tuntutan apa pun dari si pencuri yang kini dengan status tambahan sebagai penyandera. Dan bujukan agar ia turun lalu menyerah. hanya dijawab dengan memadamkan lampu kamar di lantai atas tempatnya mengunci diri. Lampu-lampu sorot hanya mampu menerangi kayu jendela saja, serta tirai yang menyembunyikan suasana kamar tidur di dalamnya.
Karena di kamar itu tidak ada pesawat telepon maka dengan sendirinya tidak pula ada kontak. Kecuali kontak sepihak. Dari pengeras suara polisi, dari petugas yang mengepung di setiap sudut terdekat ke kamar dimaksud. plus dari massa penonton, termasuk jerit tangis ibu sang bayi.
Hasilnya sama saja. Kamar di balik jendela terkunci itu tetap sunyi sepi. Satu-satunya tanda bahwa penyandera masih berjaga-jaga adalah suara-suara napas berat atau langkah-langkah kaki gelisah yang terdengar hingga luar pintu tempatnya berada. Sang bayi" Tak terdengar suara tangisannya sama sekali. Harapan bahwa bayi itu masih hidup cuma tergantung dari penjelasan sang ibu. Bayi itu sedang tidur ketika musibah terjadi. Baru menyusu pula.
"lalu, biasanya, dia akan tidur sekitar dua jam. Dan benar-benar pulas. Tak terganggu oleh suara apa pun juga!"
Kecuali bom. barangkali. Tetapi tidak ada ledakan bom. Dan tidak lucu jika harus duduk-duduk dua jam, hanya untuk menunggu terdengarnya tangis si bayi sebagai petnyataan bahwa dia masih tetap ingin hidup di dunia yang semakin semrwut ini!
Apa boleh buat. si orang nekat terpaksa harus turun. Eh. salah. naik ke atas! Tentu saja didahului oleh penjelasan melalui pengeras suara bahwa mereka ingin memastikan bahwa si bayi malang masih hidup.
"jika tidak," Bursok mengancam dengan lembut. "maka kau harus mulai berdoa!"
lampu di balik tirai jendela atas itu pun seketika tampak menyala. Pertanda dia juga masih ingin hidup, pikir Bursok tersenyum. Namun cuma senyuman samar. seperti biasa. Senyum yang dengan segera melenyap pula oleh suara permintaan yang terdengar ketakutan dari atas sana. Suara seseorang yang jelas keranjingan pada film-film detektif. Karena hasil dari permintaannya adalah tangga didatangkan untuk dipanjat Bursok. Permintaan lainnya, si negosiator harus benar-benar bersih dari benda apa pun yang bisa dipergunakan sebagai senjata.
lalu, disaksikan oleh ratusan pasang mata serta diterangi sinar lampu-lampu sorot yang terang benderang pula, Bursok pun memanjatlah. Sambil telanjang dari kaki sampai kepala, minus celana pendek yang menutupi cawat tentunya. Celana pendek yang dipinjamkan oleh salah seorang tetangga korban.
Maka itu Bursok sangat bersyukur alang kepalang ketika begitu ia sudah menyelinap masuk, jendela plus tirainya langsung pula ditutupkan dengan cepat di belakangnya. la nyaris tak bisa menutupi keterkejutannya setelah kemudian melihat apa yang dihadapinya. Pria tak dikenal dengan golok yang masih dimerahi bekas darah tergenggam di tangan. Dan bilah golok itu direbahkan pada dada sosok kecil kemerah-merahan yang terbungkus rapat oleh bedeng. Hanya diperlukan sedikit sentuhan saja, maka mata golok itu akan langsung menikam leher sang bayi.
Bursok pun lantas menyadari betapa ia harus ekstra hati-hati.
Karena jika tidak, percumalah ia berbugil ria!
Tak ada kursi ekstra di kamar tidur yang dimasuki Bursok, kecuali bangku toilet yang tampak tersimpan di salah satu sudut. Sudut terjauh tidak hanya dari pintu atau jendela. tetapi juga dari ranjang. Di tepi ranjang itulah Bursok kemudian memilih untuk duduk, karena sudah tahu mengapa dan untuk siapa bangku toilet itu ditempatkan di sana. Dan memang benar. Karena ke bangku itulah si penyandera dengan cepat kembali lantas duduk menghadap ke arah Bunok. Dengan wajah pucat dan sorot mata yang liar oleh ketakutan, serta ujung celananya samar-samar tampak bergetar. Pertanda betis di sebaliknya pasti juga sedang gemetar.
Siapa pula yang tidak takut dengan sekian banyak polisi di luar maupun pada sudut-sudut strategis di dalam rumah. Tambahan itu dengan ratusan massa yang sedang marah di bawah sana. maka dokter jantungmu pun pasti akan dibuat sibuk!
Tak ada tegur sapa. Atau perkenalan.
Selama beberapa detik. cuma ada saling menatap. Tatapan liar di sudut kamar. melawan tatapan dingin dan tenang di tepi ranjang.
Dan pada detik pertama, Bursok langsung yakin bahwa ia sebenarnya dapat melumpuhkan lawannya dengan cepat dan mudah. Postur di balik jaket serta pakaian dari bahan yang serba murah itu tampak sedang-sedang saja, malah terkesan kurus. Mata Bursok yang sudah terlatih juga menangkap kesederhanaan pada wajah di hadapannya. Wajah yang
benar-benar tampak lugu, dengan kulit yang halus. termasuk kulit lengannya, pertanda si pemilik kulit adalah seorang pekerja halus. Administrasi atau semacam itu.
Tetapi, golok dan bayi! Bursok menahan napas lalu bertanya selembut mungkin.
"Bagaimana dengan bayinya?"
Agak lambat, barulah terdengar jawaban.
Parau, akibat kerongkongan yang kering kerontang.
"Ti...dur !" Karena Bursok tidak dapat melihat kebenarannya dengan jelas, ia menegaskan dengan pertanyaan yang kedua.
"Yakin?" Jawaban datang lebih cepat. Dan tanpa raguragu.
"Tuhan jadi saksiku!"
Tuhan" Masih saja kau berani menyebut kemahabesaran nama-Nya"
Pertanyaan mengejek itu sudah menempel di ujung lidah Bursok. Namun dengan cepat ditelannya kembali. lalu ia ganti dengan kalimat pembujuk.
"Boleh aku menyentuhnya?"
Tangan yang menggenggam gagang golok tampak bergetar tiba-tiha. Dan mata golok pun lebih mendekat ke leher bayi. Meski tidak terlalu dekat. tetapi Bursok menganggap pertanyaannya barusan sebagai suatu kesalahan pertama.
Mudah-mudahan tidak ada lagi kesalahan berikutnva!
"Oke. Oke.?" Bursok memaksakan diri untuk tersenyum. "Aku percaya dia masih hidup. Namun telanjur aku sudah kau buat bertelanjang ria. Aku ingin berhangat-hangat sebentar di sini. Tak apa kan?"
Diam. Diam yang sepi. Dan kembali Bunok harus menahan napas sebelum akhirnya kembali memulai.
"Apa masalahmu?"
Diam lagi. Sambil mata itu semakin liar.
"Boleh tahu apa yang kau inginkan?" Bursok mengganti pertanyaannya.
Mata itu sedikit lebih tenang. Lalu, "Keluar dari sini. Tanpa terluka!"
"Gampang. Serahkan saja bayinya padaku!"
Gelengan kepala. "Tidak. Dia ikut denganku, Karena cuma dia jaminanku satu-satunya!"
Itu sudah pasti. Dan Bursok bukan mengajukan permintaan yang bodoh. Ia hanya mencoba-coba. Dan percobaan berikut adalah suatu ancaman, yang diucapkan dengan tenang. bahkan lembut.
"Aku sudah telanjur masuk ke sini. jadi, langkahi mayatku dulu. Baru setelah itu dia boleh kau bawa pergi!"
Ada senyuman. Bukan senyuman mengejek. apalagi senang. Melainkan senyuman pasrah. Sepasrah kata-kata yang kemudian terdengar.
"Kalau begitu. aku tak akan ke mana-mana. Begitu pula bayinya!"
Kembali ke titik nol. pikir Bursok.
Ah Lalu ia mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab. Tetapi dengan kalimat berbeda.
"Tampaknya kau punya masalah besar. Boleh tahu, apa?"
Diam lagi sejenak. Lalu air mata meleleh ke pipi yang pucat itu.
"Istriku..." jawab si penyandera. membata-bata. "Mulanya kami sangka demam biasa. Tetapi dokter puskesmas memaksa diopname ke rumah sakit... atau istriku mati. Dia langsung dioperasi. Kista, kata mereka. Semacam tumor ganas. Dan peranakan istriku tahu-tahu... sudah diangkat!"
Sepi lagi. sebelum akhirnya Bursok berkata menghibur,
"Kalian bisa mengangkat anak, kalau mau...!"
Gelengan kepala. Dengan tambahan lelehan air mata lagi.
"Persoalannya bukan itu. Karena kami sudah punya anak, yang kini sudah duduk di bangku kelas lima SD. Namanya. Dewi...!"
"Pasti anak yang cantik!"
Tak ada senyuman. Juga tidak tanggapan. Yang ada hanya rona wajah yang semakin pucat saja. Dan mata itu pun tidak tampak liar lagi. Sinar mata itu kini tampak tertekan. Bursok tidak ingin terpengaruh. Maka ia luruskan kembali pembicaraan mereka.
"Kalau begitu, apa persoalannya?"
'Rumah sakit!" "Rumah sakit?" Bursok mengernyitkan dahi.
Ada anggukan. Tetapi anggukan marah. Yang untungnya tidak sampai membuat letak golok di dada bayi itu bergeser maju!
404

Manekin Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Rumah sakit"." Sebutan itu diulangi lagi. Dengan nada marah. "Istriku tidak mereka perbolehkan keluar meski sudah sembuh. Jumlah yang mereka minta terlalu melangit untuk kutebus. Tanpa mereka mau tahu aku cuma pegawai rendahan di sebuah percetakan. Dan... sudah setengah tahun pula di-PHK. Percetakan itu bangkrut dan?" Helaan napas, gelengan kepala. dan kemarahan lagi. "Padahal bukan aku yang minta. Mereka yang memaksa supaya istriku dibawa ke rumah sakit. Tetapi andai lebih dulu diberitahu bayarannya akan semahal itu, kami cukup memakai obat-obat kampung saja. Atau... ke dukun!"
Yang belum tentu menyelamatkan isttimu, pikir Bursok.
Tetapi bukan saat dan bukan tempatnya untuk meributkan mana yang lebih baik, rumah mkit atau dukun. Ada bayi di hadapan mereka. Bayi yang nyawanya berada di ujung tanduk. Mereka harus segera kembali ke situ, sebelum tanduknya keburu menggeliat ke arah yang tidak dikehendaki!
"Begini saja," Bursok mengajukan penawaran, "Kami akan menangani urusan rumah sakit, sehingga kau bisa berkumpul kembali dengan istrimu. Dan..."
Bursok berhenti, mengangkat muka sedikit untuk meyakinkan apa yang barusan seperti dilihatnya. Setelah memperoleh kepastian, barulah ia membuka mulut lagi. Dengan sikap acuh tak acuh, agar lawan bicaranya tak curiga dan menganggapnya sebagai tipu muslihat.
"Tahukah kau. bayi di tanganmu itu... tersenyum!"
Cara yang bagus. Bukan: "He. lihat. Bayi itu tersenyum!"
Dan tanpa curiga apa-apa. pria berusia 30-an itu menunduk untuk melihat. Dan bukan pula cuma sebentar. Pria itu terus melihat selama beberapa detik. Tampak seperti tertegun.
Kesempatan bagus untuk beraksi!
Tetapi Bursok tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Golok mungkin saja dapat ia rebut. sekaligus melumpuhkan pemiliknya. Namun Bursok bukan dewa Wisnu. Sehingga Bursok perlu tambahan tangan lain untuk juga sekaligus menyelamatkan sang bayi yang mungkin saja terjatuh atau, boleh jadi, sengaja dijatuhkan!
Otak Bursok sedang bekerja keras untuk menyabarkan diri ketika telinganya menangkap gumaman lirih si penyandera.
"Heran. Dia bukannya ketakutan. Dia terus menatapku. Sambil tersenyum!"
Syukurlah. Entah keajaiban apa yang telah membangunkan bayi itu sebelum waktunya... dan bukan pada waktu yang tepat pula. Namun yang pasti, bayi itu masih hidup dan baik-baik saja... untuk sementara ini!
Dan Bursok pun berkata dengan hati-hati.
"Barangkali" dia menyukai dirimu!"
Tanpa berpaling pada Bursok. juga tanpa terlihat ketakutan. pria itu bergumam curiga. Namun nadanya bukan curiga atas keselamatan dirinya dan serbuan mendadak. "Jangan-jangan..."
Lantas diam. Mau tidak mau Bursok dibuat penasaran juga.
"Jangan-jangan apa?"
Barulah si lelaki mengangkat muka kembali. Melihat lurus ke wajah Bursok namun dengan pandangan menerawang. Seakan pada diri sendiri. ia kemudian menjawab. lirih.
"Seperti Dewi. Anakku satu-satunya. Yang ketika kutinggalkan tadi pagi, sedang terbaring lemah di rumah kontrakan kami"!"
Bursok mengernyitkan dahi. "Sakit apa pula anakmu itu?"
Pria itu tersenyum. Sedih. Tanda bahaya dalam dirinya entah mengapa tahu-tahu sudah melenyap.
"Secara fisik. Dewi baik-baik saja. Tetapi dia... sangat perasa. Dia terus-menerus memikirkan ibunya. Sampai lupa pada nasib malangnya sendiri!"
"Nasib malang bagaimana?"
"Terancam putus sekolah!" jawab yang ditanya. Getir. Menarik napas panjang sejenak. ia lantas meneruskan. "Selain untuk keperluan ibunya, untuk Dewi-lah aku mencuri sekarang ini. Aku sangat mengasihi dirinya. Selain karena semata wayang, dia juga anak yang pintar di sekolahnya. Selalu masuk ranking!"
Pegawai kecil, di-PHK pula. lstri disandera oleh rumah sakit, anak satu-satunya terancam putus sekolah.
Bursok terenyuh, tetapi tak suka jika perasaan itu sampai mempengaruhi dirinya. Maka seperti tadi. pembicaraan mereka ia luruskan pula kembali.
'Apa maksudmu tadi bayi di tanganmu itu... seperti Dewi-mu?"
Seakan mendadak teringat, pria yang istrinya disandera oleh pihak rumah sakit dan kini berbalik menyandera bayi orang lain, tiba-tiba menggerakkan tangannya yang menggenggam golok. Bursok terkejut. dan sudah sempat terniat untuk melompat lantas menyerbu. Namun seketika itu pula niatnya diurungkan.
Diurungkan oleh mata elangnya yang terlatih dan dapat membedakan mana gerakan berbahaya dan mana yang tidak.
Benar saja. Dengan tangan kiri tetap memangku dan mendekap bayi erat-erat ke dadanya, tangan kanan pria yang menggenggam golok itu bergerak ke bagian pantat bayi. Lantas meraba-raba. Sambil lubang lubang hidungnya kembang kempis membaui sesuatu yang tidak tercium dari tempat Bursok duduk bersiaga.
Dan terdengarlah gumaman lirih itu.
"Nah, apa kubilang. Biar bayi ini pakai popok. aku tahu betul bahwa dia..."
Bursok diam menunggu. Dan pria itu mengakhiri. "Berak!" Bursok menahan diri untuk tidak tertawa. Lantas bertanya, heran,
"Dari mana kau tahu?"
'Senyumannya!" "Oh?" Berbalik lagi mengawasi Bursok, golok diletakkan
Lantas diam. Mau tidak mau Bursok dibuat penasaran juga.
"Jangan-jangan apa?"
Barulah si lelaki mengangkat muka kembali. Melihat lurus ke wajah Bursok namun dengan pandangan menerawang. Seakan pada diri sendiri. ia kemudian menjawab. lirih.
"Seperti Dewi. Anakku satu-satunya. Yang ketika kutinggalkan tadi pagi, sedang terbaring lemah di rumah kontrakan kami...!"
Bursok mengernyitkan dahi. "Sakit apa pula anakmu itu?"
Pria itu tersenyum. Sedih. Tanda bahaya dalam dirinya entah mengapa tahu-tahu sudah melenyap.
"Secara fisik. Dewi baik-baik saja, Tetapi dia" sangat perasa. Dia terus-menerus memikirkan ibunya. Sampai lupa pada nasib malangnya sendiri!"
"Nasib malang bagaimana?"
"Terancam putus sekolah!" jawab yang ditanya. Getir. Menarik napas panjang sejenak. ia lantas meneruskan. "Selain untuk keperluan ibunya. untuk Dewi-lah aku menanti sekarang ini. Aku sangat mengasihi dirinya. Selain karena semata wayang, dia juga anak yang pintar di sekolahnya. Selalu masuk ranking!"
Pegawai kecil, di-PHK pula. lstri disandera oleh rumah sakit, anak satu-satunya teranmm putus sekolah.
Bursok terenyuh, tetapi tak suka jika perasaan itu sampai mempengaruhi dirinya. Maka seperti tadi, pembicaraan mereka ia luruskan pula kembali.
"Apa maksudmu tadi bayi di tanganmu itu... seperti Dewi-mu?"
Seakan mendadak teringat, pria yang istrinya disandera oleh pihak rumah sakit dan kini berbalik menyandera bayi orang lain. tiba-tiba menggerakkan tangannya yang menggenggam golok. Bursok terkejut, dan sudah sempat terniat untuk melompat lantas menyerbu. Namun seketika itu pula niatnya diutungkan.
Diurungkan oleh mata elangnya yang terlatih dan dapat membedakan mana gerakan berbahaya dan mana yang tidak.
Benar saja. Dengan tangan kiri tetap memangku dan mendekap bayi erat-erat ke dadanya, tangan kanan pria yang menggenggam golok itu bergerak ke bagian pantat bayi. Lantas meraba-raba. Sambil lubang-lubang hidungnya kembang kempis membaui sesuatu yang tidak tercium dari tempat Bursok duduk bersiaga.
Dan terdengarlah gumaman lirih itu.
"Nah, apa kubilang. Biar bayi ini pakai popok. aku tahu betul bahwa dia?"
Bursok diam menunggu. Dan pria itu mengakhiri. "Berak!" Bursok menahan diri untuk tidak tertawa. lamtas bertanya, heran,
"Dari mana kau tahu?"
"Senyumannya!" "Oh?" Berbalik lagi mengawasi Butsok, golok diletakkan
kembali oleh pria itu di atas dada bayi dengan gagang tetap tergenggam. Sementara sang bayi terus menatap diam ke wajah penyanderanya dengan mulut mungilnya yang kemerah-merahan terus pula tersenyum.
Syukurlah bayi itu belum mengenali benda tajam bergelimang darah di dekat lehernya. pikir Bursok lega. lantas ia bertanya ingin tahu.
"Apa yang membuat senyumannya tampak berbeda di matamu?"
'Bukan berbeda. Tetapi begitulah dengan Dewi...!"
Kembali lagi pada si anak satu-satunya. Maka Bursok memutuskan untuk diam menunggu.
"Sewaktu masih bayi," pria itu pun memberitahu, "Dewi-ku punya kebiasaan yang tak akan pernah kulupakan. Di pangkuan orang lain, kalau mau berak. ia pasti ribut menangis. Atau kalau tak ribut, ya cuma berak begitu saja. Tanpa pemberitahuan apa-apa. Eh. tiap kali di pangkuanku, pasti dia selalu tersenyum. Seolah-olah malu. Atau barangkali. supaya aku tidak marah dia kotori!"
Lalu dengan mata menerawang dan tampak berselaput bahagia, pria itu menceritakan perilaku lainnya dari sang putri yang membuat mereka sangat dekat satu sama lain. Sementara Bursok mulai tidak sabar oleh pembicaraan yang berlarut larut dan semakin melantur ke mana-mana.
Bagaimana bisa sabar. Ada urusan yang jauh lebih besar menunggu Bursok di luar sana. Urusan yang tidak hanya menyangkut reputasi banyak pihak, namun boleh jadi
juga akan mengambil nyawa seseorang. Karena adalah aneh bahwa Prasetyo membiarkan istrinya masuk sendirian ke kandang singa. Dan Bursok sudah mulai berpikir, bahkan diam-diam sangat berharap, bahwa yang masuk ke kandang singa itu bukanlah Rinda, melainkan...
*** Kicauan dari sudut kamar berhenti tiba-tiba.
Penyandera bayi itu kini tampak tidak lagi bahagia. Dan selain murung kembali, di wajah yang lugu itu juga mulai terlihat tanda-tanda kemarahan. Itu membuat Bursok terkejut dan berpikir-pikir apa kiranya kesalahan yang telah ia perbuat.
Rasanya tidak ada. Dan Bursok mulai memikirkan hal lainnya. Andai terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki, mana yang lebih dulu ia rebut. Golok atau bayi" Atau tinju saja dulu muka orang itu. baru kemudian...
"Apa yang sudah kuperbuat?"
Pertanyaan yang di luar dugaan itu bukan keluar dari mulut Bursok, melainkan dari mulut lawan bicaranya. Ia tampak gelisah kembali. sebelum ia dengan tiba-tiba mengangkat bayi di pangkuannya!
Bursok sudah akan melompat untuk menerjang. ketika menyadari bahwa bayi itu tampak seperti disodorkan ke arah dirinya. Sambil pria yang memeganginya berkata dengan suara bergemetar,
"Ambillah...!" Bursok duduk tegang. Tak yakin.
Dan seakan menyadari sesuatu. pria itu mengeluh samar-samar. Lalu golok di genggamannya per. lahan-lahan ia turunkan dan diletakkan ke lantai. Setelah itu, sebelah kakinya tahu-tahu sudah ber
gerak. Dan golok berdarah itu pun meluncurlah ke arah Bursok. Bahkan kemudian lenyap di bawah ranjang tidur.
Pria itu kemudian berdiri. Tidak lagi gemetar, tetapi tampak mantap. Namun toh ketika dengan setengah tak percaya Bursok mengambil alih sang bayi dari tangannya. pria itu tetap saja bermuram durja.
"Entah apa yang nanti harus kukatakan pada Dewi," gumamnya. Gerit. "Juga pada ibunya. Mereka akan malu besar. Dan..."
Mendekapkan bayi rapat-rapat ke dadanya dan siap untuk mati bila pria itu berubah pikiran, Bursok cepat menanggapi.
"Percayakan saja itu padaku. Aku sendiri nanti yang berbicara pada mereka!"
"Terima kasih!"
Lalu pria itu duduk kembali di tempatnya semula. Dengan sinar mata serta rona wajah yang tampak jelas sedang hancur luluh. Bursok terenyuh. lalu berkata dengan lembut, "Satu lagi... dan ini sungguh-sungguh keluar dari hatiku yang tulus!"
Pria lugu itu mengangkat muka. Diam menatap.
"Jelas nanti kau terpaksa dipenjara," Bursok memberitahu, "tetapi yakinlah, Dewi-mu akan meneruskan sekolahnya. Sampai ke perguruan tinggi pun jadi. Tentu saja sebatas kemampuanku... sebagai Bapak asuhnya!"
Mulut pucat di depan Bursok tidak berterima kasih. Mata layunya saja yang menyiratkan terima kasihnya. Bursok tersenyum untuk menguatkan hati
pria lugu itu lalu berjalan mendekati pintu. Bursok sudah akan melakukan prosedur rutin sewaktu ia tiba-tiba teringat sesuatu lantas berhenti dan berpaling sambil bertanya.
"Oh ya. Sambil lalu. Boleh aku tahu siapa namamu?"
Agak lambat. barulah bibir pucat itu membuka.
"Dayat..." ia memberitahu. "Lengkapnya Dayat Diraatmaja. Dan Bapak?"
"Bursok Sembiring!"
Baru setelah itu prosedur rutin dijalankan. Dua ketukan berturut-turut pada daun pintu. Berhenti sesaat. tambah satu ketukan. berhenti lagi, lalu tambahan lagi dua ketukan penutup. Sandi aman untuk petugas Buser yang berada di luar pintu.
Setelahnya, anak kunci pun diputar.
Lalu pintu dibuka lebar-lebar.
BURSOK benar-benar dibuat jengkel oleh aplaus luar biasa, baik dari massa penonton maupun anak buahnya. Ia merasa dirinya bukanlah aktor pujaan dan juga tidak merenggut sukses apa-apa di atas panggung berupa kamar tidur sempit di lantai atas sana.
Maka setelah menyerahkan bayi pada sang ibu. Bursok cepat mengambil alih pengeras suara dari tangan seorang brigadir di dekatnya. Lantas seraya mengawasi mobil Buser yang meluncur pergi bersama tahanan mereka, Bursok pun berbicara dengan lantang pada massa yang mengelu-elukan dirinya.
"Kumohon diam dan tolong dengarkan sebentar!"
Perlahan-lahan, aplaus tepuk tangan maupun suat-suit itu menurun lalu berhenti. Dan di tengah kesunyian yang terasa bagai mendadak itu, Bursok pun memberitahu.
"Untuk kalian semua ketahui saja. Sesungguhnya bukan aku. tetapi bayi hebat itulah yang telah menyelamatkan dirinya sendiri!"
Tetap sunyi. Dengan ratusan wajah yang diliputi tanda tanya.
Namun, begitu Bursok mengembalikan pengeras suara ke tangan brigadirnya dan berjalan masuk kembali ke rumah TKP. aplaus itu tahu-tahu meledak kembali dan nyaris tanpa henti. Bursok terpaksa menyabarkan diri ketika menutup pintu kemudian melepas celana pendek dan, dengan gembira. kembali mengenakan pakaiannya sendiri.
Sayang, kegembiraan itu tiba-tiba terganggu begitu saja. Seorang Sabhara yang tadi ia titipi HT dinasnya datang mendekat dan mengembalikan HT Bursok seraya melapor.
"Ada kontak, Komandan!"
Bursok menyambar HT dimaksud dan langsung berbicara. "Elang Satu di sini!"
"Ada paket kejutan untuk Anda. Komandan!" Terdengar suara Hadi Saputra yang agaknya setengah syok sampai melupakan kode panggil. "Bangau tidak bersama kita lagi. Juga tidak lagi bisa terbang. Untuk selamanya!"
Artinya. seluruh warga Cirebon terpaksa merelakan kematian wali kota mereka yang baru. Bursok sempat terkejut. Namun cuma sesaat. Cepat sekali ia sudah kembali tenang. Luar biasa tenang. Bahkan suaranya terdengar sangat lembut manakala ia bertanya pada pesawat HT-nya.
"Bagaimana dengan kedua merpati."
"Masih syok. Tetapi mereka baik-baik saja!'
Bursok lebih dulu harus membasahi kerongkongannya sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya.
"Pengirim paket?"
"Seperti biasa. Lenyap tanpa meningalkan jejak!"
Jejaknya ada di tanganku. pikir Bursok. Dan di mulut ia berkata, "Oke. Kalian uruslah paketnya dan nanti serahkan laporan selengkapnya di mejaku. Out!"
Dan beberapa menit kemudian Bursok sudah sendirian lagi. Sendirian di dalam mobilnya yang ia pacu dengan kecepatan tinggi. Bukan ke Sangkan Hurip.
Tetapi ke Kemlaten. Tiba di tempat yang dituju, Bursok berjalan mantap dan tidak ragu-ragu melewati blok demi blok kuburan sampai akhirnya berhenti di dekat kuburan Rendi Suhandinata. Menari-cari dengan matanya sebentar. Bursok kemudian duduk di pinggiran kuburan terdekat yang sepenuhnya terbuat dari beton padat.
Pistolnya dikeluarkan. la memutar silinder untuk memastikan semua lubang di dalamnya terisi peluru. Kunci pengaman dibuka. Lalu dengan pistol siap tembak tetap tergenggam di tangan yang ia rebahkan pada pahanya, Bursok menengadah sejenak mengawasi rembulan di langit malam. Seakan berharap supaya rembulan itu sudi kiranya turun dari langit untuk menemaninya barang sejenak.
Rembulan tak jua beranjak dari tempatnya dan bursok pun segera menurunkan arah pandangnya. Lalu duduk diam.
Menunggu. YANG ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Berjalan mendekat melewati nisan demi nisan dengan langkah tenang dan tampak gemulai. sebelum kemudian berhenti di hadapan Bursok, dengan kuburan Rendi sebagai pembatas mereka.
Saling menatap beberapa detik tanpa bertukar salam, bibir mungil yang merah segar itu akhirnya bergerak membuka dengan caranya yang khas: terkesan sensual.
"Aku tahu kau pasti menunggu di sini, Komandan." katanya. Lirih dan terdengar sayup. "Apakah kau datang untuk menangkapku?"
"Pada saat aku tadi tiba di sini, ya!" jawab Bursok. Mengakui. "Tetapi selagi menunggu. pikiranku berubah...!"
"Mengapa?" Bursok menghela napas. "Dipikir-pikir, tak enak rasanya jadi bahan tertawaan orang!"
"Bahan tertawaan?"
"Kami tak punya tempat memadai untuk menahan dirimu!" Bursok menjelaskan. "Jika pun ada, apa setelahnya" Kau kami antar ke pengadilan dalam keadaan utuh dan hidup, seperti halnya penampilanmu sekarang ini. Namun di depan hakim, kau bisa saja tiba-tiba berubah jadi dirimu yang asli. Yang tak bisa bergerak, apalagi diajak bicara!"
Diam sejenak. Bursok menambahkan dengan seringai kecut.
"Jangan-jangan aku nanti malah ditanyai. Dari toko mana aku mengambilmu!"
Si gaun merah hati tersenyum, manis.
"Tidak usah kecewa, Komandan. Paling kurang, kau sudah tahu apa sebenarnya yang kau hadapi. Dan kasus itu kini sudah berakhir!"
Bursok diam saja. Bibir mungil itu membuka lagi.
"Terlepas dari semua itu. Komandan, dengan jujur harus kuakui bahwa tanpa sadar, aku telah ikut terjebak dalam permainanmu!"
"Permainan?" tanya Bursok berlagak bodoh.
"Umpan pancing!" Ganti si gaun merah hati memberi penjelasan. "Yang kau lemparkan ke alamat Herlambang. Dan tanpa berpikir panjang, aku ikut-ikutan menyambarnya!"
Bursok kembali diam. Tak berkomentar.
"Mengapa, Komandan"'
"Apanya yang mengapa" Bursok masih berlagak bodoh.
"Kau membiarkan aku tetap bebas berkeliaran. Supaya aku bisa dengan leluasa menghancurkan lalu menelan Herlambang!" Si gaun merah hati meng
ingatkan apa yang sebelumnya memang sudah ada dalam pikiran Bursok. "Boleh tahu alasannya?"
Bursok mempermainkan pistol di tangannya. Bukan untuk menembak, tetapi untuk membantunya berpikir apakah pertanyaan itu perlu dijawab atau tidak. Sampai kemudian... ah. mengapa pula harus bingung-bingung. Toh nanti si pendengar akan membawa jawaban itu bersama dirinya ke alam kubur!
Dan Bursok pun memberitahu.
"Sebenarnya," ia memulai. "bermuara dari perasaan jenuh. jenuh karena kami sudah berlelahlelah. Sampai melupakan anak istri, bahkan juga lupa kami tidak punya nyawa cadangan. Tetapi apa yang kami harus lihat sebagai hasil akhirnya?"
Diam sejenak dan tampak murung, Bursok meneruskan.
"Sudah berulang kali terjadi, orang sekaliber, atau mendekati kaliber Herlambang, cuma dihukum seumur jagung. Malah pernah terjadi. cuma dimutasi. Tanpa harus menginjakkan kaki di pengadilan. Mereka lantas bebas berkeliaran. dan ada yang tumbuh semakin besar. Sambil tersenyum mengejek ke arah kami, tentunya!"
"Separah itu?" "Separah itu!" Angguk Bursok, mengulangi. Pistol ia masukkan ke sarungnya di bawah ketiak, mengancingkan jaket, lantas bangkit berdiri seraya berkata, "Sudah waktunya aku pergi. Tetapi masih ada yang mengusik pikiranku...."
"Apa?" Bursok menatap lurus-lurus ke sepasang mata
lebar di hadapannya tanpa mengetahui mata apa sesungguhnya yang ia tatap. Lalu ia memberitahu.
"Suaramu selalu suara Rinda. Tanpa sekali pun kau mengeluarkan suara saudara kembarnya. Berarti bukan roh Rendi yang bersemayam di tubuhmu...!"
Bursok diam lagi, memikirkan perkataan apa yang paling tepat untuk diutarakan. sementara lawan bicara diam pula. Menunggu.
Ah. dapat juga akhirnya. Dan Bursok langsung mengutarakannya.,
"Apa yang membuatmu hidup?"
Pertanyaan sederhana, namun jelas.
Si gaun merah hati tersenyum lagi. Manis sekali. Lantas balik bertanya.
"Kalau saya boleh tahu pengamatanmu selama ini. Komandan. apa yang kau temukan dalam diri Rinda" Menyangkut jiwanya. maksudku!"
Bursok mengingat-ingat sebentar, baru menjawab.
"Di luar tampak tegar. Tetapi di dalam, sebenarnya sangat rapuh. Malah bisa kubilang... terbelah dua!"
"Oleh cinta kasihnya pada Rendi?"
Bursok mengangguk. "Nah, Komandan!" si gaun merah hati memberitahu. "Dengan itulah aku sesungguhnya hidup. Dengan bagian dari belahan jiwa Rinda. Di dalam mana cinta kasih mereka saling menyatu dengan kuat. Hanya saja, sayang aku terlambat meraihnya!"
"Terlambat bagaimana?"
Ketika menjawab, suara si gaun merah hati semakin lirih. Malah terkesan amat getir.
"Aku baru berpikir untuk meraih belahan jiwa Rinda itu, bukan sebelumnya. Tetapi setelah Rendiku yang berlumuran darah mendatangiku kembali ke ruang makan. Melihat bagaimana diriku dirusak oleh salah seorang dari manusia biadab itu. lalu mendesahkan hasratnya padaku..."
"Hasrat?" "Benar. Hasrat untuk membalas. Dan itulah yang sudah kulakukan, bukan?"
Benar, pikir Bursok. ltulah yang telah dia lakukan. dan pada akhirnya telah pula disetujui Bursok. Tetapi, hidup lalu bangkit dengan belahan jiwa seseorang.
Belahan jiwa yang tak nyata, tak terlihat!
lantas apa dan bagaimana sesungguhnya wujud dari jiwa itu sendiri"
"Komandan?" "Heh?" "Sekadar ingin tahu. Bagaimana kalian nanti memutuskan kasus Herlambang?"
Di tengah perjalanan tadi, Bursok penasaran mengontak ke Sangkan Hurip untuk memperoleh sedikit gambaran mengenai apa sesungguhnya yang sudah terjadi. Dari laporan Hadi Saputra inilah kini Bursok menjawab pertanyaan si gaun merah hari.
"Bunuh diri. Dengan alasan yang belum diketahui dan masih akan diselidiki!"
"Persetan dengan dia'" Si gaun merah hati menggeleng. tak senang. Tetapi dengan cepat ia sudah tersenyum kembali. Seakan pikiran mengenai Her
lambang yang wali kota itu, tak lebih dari gangguan seekor nyamuk saja. "Yang aku maksud, pihak lainnya!"
Atau dirinya. Sebagai pembunuh Herlambang, dan sebelumnya, pembunuh Reinaldi sampai ke Markus.
Berpikir ke situ, Bursak ingin marah namun menahan diri karena kemarahannya tak mungkin dilampiaskan. Maka dengan sabar Bursok pun memberitahu.
"Resminya, identitas dan keberadaan dirimu masih dicari," katanya. Ikut-ikutan lirih, ikut-ikutan getir. "lalu kelak suatu hari, kasusmu akan ditutup. Dengan tinta merah: tak terpecahkan. Yang, tentu saja, akan berakibat tak enak untuk reputasiku!"
Terdiamlah si gaun merah hati.
Diam yang tampak terharu biru. lantas menggumamkan penyesalannya melalui kalimat pendek namun terdengar manis.
"Hormatku untukmu, Komandan!"
Bursok cuma mengangkat pundak dan berjalan untuk pergi ketika pada langkah ke sekian, di belakangnya terdengar suara lirih itu bertanya lembut.
"Tidak ada cium perpisahan?"
Bursok tertegun sesaat. lalu seraya tersenyum lebar untuk pertama kalinya sepanjang hari dan malam itu, ia meneruskan langkah. Langkah-langkah yang tampak tenang. tanpa sekali pun menoleh ke belakang.
Si gaun merah hati hanya berdiri menatap dengan mata lebarnya yang bulat indah. serta bibir
mungilnya yang merah segar itu perlahan tampak
mengulas senyum. Senyuman tipis. Dan misterius.
*** BESOK siangnya. kedua saksi utama mereka muncul di Polresta untuk mengajak Bursok makan siang sekalian pamitan pulang ke Jakarta. Karena kebetulan memang waktu istirahat dan tidak ada hal yang terlalu penting yang tak bisa ditinggalkan, Bursok memenuhi ajakan itu dengan senang hati.
Dan dari sekian banyak obrolan mereka sambil menikmati makan siang di sebuah restoran eksklusif. hanya satu topik kecil saja yang dianggap Bursok berguna untuk diingat lalu dikenang. Dimulai oleh Prasetyo yang berkata malu malu.
"Setelah selama ini menolak, begitu bangun pagi tadi istriku tahu-tahu menyatakan setuju untuk mengandung!"
"Oh?" desah Bursok. Agak kaget oleh pemberitahuan yang tidak di sangka sangkanya itu.
"Maksud suami saya. Komandan," Rinda cepat menyela dengan senyuman lucu. "adalah menyangkut anak pertama kami nantinya. Setelah lahir.
514 tentu. Dan juga... ini harapan kami berdua, jika yang lahir itu lelaki!"
lagi terucap, "Oh?"
Dan Rinda pun memberitahu, "Kami bermaksud meminta izin Anda agar kiranya tidak keberatan apabila nama Anda nanti kami berikan pada anak kami!"
'Bursok Sembiring?" "Sembiring-nya sih tidak!" jawab Rinda tertawa. 'Cukup Bursok-nya saja. Sang ayah punya hak juga. bukan?"
"Jadi?" "Namanya nanti. Komandan..." Prasetyo yang kini memberitahu. Dengan khidmat. "Bursok Prasetyo!"
Bursok Prasetyo! Nama yang tidak sinkron. pikir Bursok. Tetapi sudahlah.
"Oke. Kalian beritahulah aku nanti bila anak hebat itu sudah lahir!"
Suami istri yang berbahagia itu memenuhi janji mereka satu tahun kemudian. Bukan melalui telepon, tetapi melalui surat yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh Rinda Suhandinata.
Dalam suratnya yang bertulis tangan secantik orangnya itu. Rinda antara lain berkata. "Putra pertama kami itu benar-benar gagah seperti ayahnya. Dan juga lucu, seperti orang yang nama depannya ia pakai".!'
Bursok mengemyitkan dahi.
Lucu, dia bilang. Aku"!
Setelah saling mengunjungi satu dua kali, tiga tahun berikutnya ganti Bursok yang mengirim kabar.
"Alasan klise, tetapi demikianlah nyatanya. Para penghuni Kemlaten harus berlapang dada untuk sesegera mungkin pindah tempat istirahat ke pemakaman lain!"
Dan pada hari penggusuran itu, Rinda bersama suaminya lebih dulu menyinggahi Bursok untuk saling melepas rindu. Tergerak oleh dorongan aneh yang tidak bisa ia hindari, Bursok mendampingi suami istri itu pergi menyaksikan pembongkaran kuburan Rendi. yang ker-angkanya nanti akan mereka pindahkan ke pinggiran kota Jakarta, berbatasan dengan kabupaten Bogor.
Sebelumnya, Bursok sudah tahu. Namun toh begitu liang lahat semakin terbuka. Bursok tetap saja dibuat tertegun. Ditingkahi suara-suara kaget di sekitarnya. Bursok diam mengawasi apa yang terlihat di liang lahat.
Sang menekin alias si boneka pop yang tampak tetap utuh lengkap dengan gaun merah hatinya. saling berangkulan dengan jasad Rendi yang sudah berupa tulang kerangka.
Setelah keributan yang sempat terjadi perlahanlahan mulai reda. Bursok mendengar suara Prasetyo yang bertanya parau pada istrinya.
"Kita ke manakan manekin itu, Ririn?"
"Satukan lagi nanti," jawab Rinda. Lembut dan tenang. "Dengan Rendi-ku!"
Bursok tidak menoleh. Ia lebih tertarik untuk mengawasi sosok boneka
yang sudah diangkat dari Liang lahat dan sedang dipisahkan dengan hati-hati dari bagian kerangka Rendi. Rambutnya yang sebatas tengkuk itu tidak tampak kusut sama sekali. Wajah cantiknya pun tetap bersih dan halus. Dengan sepasang mata bulatnya terbuka lebar. tanpa sekali pun berkedip.
Dan, bibir mungilnya yang masih saja merah
segar! Tersenyum samar. Namun tampak betapa bahagia!
Catatan : Buat pembaca ebook ini yuk gabung ke Group fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan ebook terbaru dan pembaca yang suka baca cerita silat dan novel secara online bisa juga kunjungi http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain cerita ya !!!
Terimakasih. Tamat Bandung. September Kelabu.


Manekin Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pesanggrahan Telaga Warna 2 Pendekar Mabuk 96. Tawanan Bermata Nakal Macan Macan Betina 1
^