Pencarian

Misteri Kalung Setan 1

Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Eliza tengah menekuni pola gaun malam rancangan
terbarunya sewaktu lehernya terasa gatal. Tangannya
menggaruk, kemudian meraba. Detik berikutnya Eliza
terpaksa harus berjuang mempertahankan nyawa. Kalung yang
melingkar di lehernya tiba-tiba bergerak, menggeliat, dan
hidup. Eliza akhirnya menggelepar. Mati dengan sekujur tubuh
hangus, mengeriput. Kalung setan yang melingkari leher Eliza lantas hilang
begitu saja, dan baru muncul belasan tahun kemudian, bersama
anak-anak kalung setan itu yang tak kurang kejam dan buas
untuk mendapatkan raga tiruan, sekaligus
menciptakan racun mematikan.
Kalung setan itu harus dihentikan
dengan menggali kuburan Eliza.
Tetapi sang makhluk justru
semakin merajalela. Tak seorang pun
mampu menghentikannya! NOVEL DEWASA Untitled-2 1 2/2/2011 5:50:40 PM 001/I/15 MC isteri Kalung Setan.indd 1
001/I/15 MC MISTERI KALUNG SETAN 2/2/11 2:24:30 PM isteri Kalung Setan.indd 2
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya,
yang tim?bul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan
yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72: 001/I/15 MC 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
per?buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau
Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
ma?sing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng?
edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
ha?sil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada
Ayat (1) dipidana de?ngan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). 2/2/11 2:24:31 PM isteri Kalung Setan.indd 3
Abdullah Harahap 001/I/15 MC MISTERI KALUNG SETAN 2/2/11 2:24:35 PM isteri Kalung Setan.indd 4
MISTERI KALUNG SETAN Oleh Abdullah Harahap GM 412 01 11 0002 Editor: Asty Aemilia Sampul oleh Eduard Iwan Mangopang
Diterbitkan pertama kali oleh
Paradoks Publishing Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok I, Lt. 5 Jakarta 10270 Imprint Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI Jakarta, Februari 2011 336 hlm; 18 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 6758 - 7
001/I/15 MC Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
2/2/11 2:24:36 PM isteri Kalung Setan.indd 5
001/I/15 MC Untuk Ahmadun Y. Herfanda,
Zen Hae, Eva Tobing, Joel Taher,
Dimas Fuady, Dewa Pratama, dan
Nefa Firman di Dewan Kesenian Jakarta,
Diah Hadaning dan Martin Aleida di
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin,
serta Mikael Johani di mana pun berada.
Disertai hormat dan salutku atas kemauan dan
perjuangan keras mereka dalam mencari lalu
menerjemahkan apa dan bagaimana sastra itu
seharusnya ditempatkan. 2/2/11 2:24:36 PM isteri Kalung Setan.indd 6
001/I/15 MC 2/2/11 2:24:36 PM isteri Kalung Setan.indd 7
Asal Mula ADEMNYA 001/I/15 MC malam menyelimuti lereng-lereng
bukit di kaki Tangkuban Perahu. Duduk nyaman
di antara lekukan awan, rembulan dengan senang
hati menaburkan sinar ke permukaan bumi. Ha?
nya beberapa tempat saja yang tidak beruntung
menikmati kemurahan hati sang ratu malam. Agak?
nya dinding gunung atau pepohonan yang tinggi
menjulang tidak bersedia membagi rezeki. Mem?
biarkan apa pun yang ada di bawahnya terenyak
dalam kegelapan, terkecuali yang mampu mene?
rangi diri sendiri. Sebagai contoh, rumah besar bertingkat di sa?
lah satu sisi bukit. Jika dilihat dari jauh, bias sinar
lampu yang menebar ke luar melalui beberapa jen?
dela tampak seperti sorot berpasang-pasang mata
roh jahat yang mengawasi kegelapan di sekitar?
nya. Mengintai diam-diam. 2/2/11 2:24:36 PM isteri Kalung Setan.indd 8
001/I/15 MC Dengan pandangan dingin membeku.
Dan memang, hawa yang menyeruak ke dalam
rumah juga begitu dingin membekukan tubuh.
Namun, sekelompok orang yang berkumpul di se?
buah ruangan luas dan megah itu sama sekali ti?
dak terganggu. Mereka terlindung oleh jendela-jen?
dela yang tertutup rapat. Dinginnya lantai teredam
pula oleh lapisan karpet lebar, berbulu tebal, dan
rapat. Terlebih nyala api di tungku pemanas, me?
nebar kehangatan yang menyenangkan ke setiap
sudut ruang duduk. Orang-orang yang masih terjaga di ruang du?
duk itu hanyalah kelompok kecil. Empat orang
dewasa duduk santai di sekeliling meja berbentuk
bundar, asyik bermain kartu. Dan seorang bocah
perempuan merebahkan diri setengah menelungkup
di depan tungku pemanas. Dengan tangan kecil?
nya yang mungil giat mencorat-coretkan potlot
warna di buku gambar. Di sebelahnya tergeletak
tas sekolah, beberapa buku pelajaran, serta perleng?
kapan tulis-menulis. Seseorang dari kelompok dewasa itu terdengar
bergumam kesal, "Ampun! Kartu apaan ini"!"
Si bocah perempuan berpaling dari buku gam?
barnya. Memandang lelaki berusia sekitar tiga pu?
luh yang bergumam dan terlihat murung itu,
"Apes lagi, Papa?"
Papanya tidak berkomentar. Sebelumnya, lelaki
itu memiliki kartu tiga, tujuh, dan raja keriting,
2/2/11 2:24:37 PM isteri Kalung Setan.indd 9
001/I/15 MC lalu sembilan sekop. Kartu terakhir telah dibuang?
nya, dan kartu pengganti yang datang memang
As, sialnya sekop pula. Perempuan paruh baya di kursi sebelah lelaki
itu menyeringai melihat kartu buangan tadi. Ce?
pat-cepat ia menyambar lalu mendengus senang,
"Tutup!". Sejumlah uang logam receh seribu rupiah yang
baru dikeluarkan pemerintah menjelang penutup
tahun 2010 bersinar-sinar dalam jilatan lampu dan
segera berpindah tempat. Menambah uang logam
sejenis yang sudah bertumpuk di hadapan perem?
puan paruh baya itu. Lelaki kedua yang duduk di kursi di sisi lain,
dan usianya jelas jauh lebih tua dari lelaki per?
tama, menjatuhkan kartu-kartunya di meja seraya
mengomel, "Kita semua tahu itu kartu yang dia
tunggu. Eh, malah dikasih seenaknya begitu!"
"Maaf, Pak. Lagi nggak konsentrasi, nih!" desah
Papa si bocah seraya memandang istrinya yang du?
duk di seberang meja dengan sikap acuh tak acuh.
"Putri Bapak juga tidak sungguh-sungguh bermain.
Ya, kan?" sindirnya.
Perempuan yang paling muda dari empat orang
dewasa itu hanya menyeringai samar. "Aku lagi
berpikir..." katanya tanpa meneruskan kalimat. Ha?
nya pandangan mata saja yang ia pusatkan pada
gaun malam yang dipakai oleh si perempuan pa?
ruh baya. Lantas bergumam tertarik, "Omong-
2/2/11 2:24:37 PM isteri Kalung Setan.indd 10
10 001/I/15 MC omong, Mama. Gaun yang Mama kenakan rasanya
belum pernah kulihat!"
Ibunya yang sedang mengocok kartu, terse?
nyum manis. "Koleksi lama, Nak. Entah mengapa
aku tadi tergoda untuk membuka salah satu lemari
pakaianku yang sudah lama terkunci. Bagaimana
menurutmu?" "Bukan main. Tetapi modelnya..."
"Kuno, eh" Memang aku membelinya ketika
kau belum nongol dari rahimku. Tetapi waktu itu,
sungguh lagi ngetop, lho!"
"Ada minat, eh?" Lelaki yang lebih muda ber?
ujar sambil lalu. Istrinya diam, mengamat-amati lagi bagian
dada gaun malam sang ibu. Lalu, "Ya, mengapa
tidak. Tinggal menambah sedikit pola kerut,
dan..." Tahu-tahu ia menggeser kursinya ke bela?
kang. "Mumpung ingat, aku akan naik ke kamar?
ku sekarang. Selamat malam semuanya!"
Lalu ia pun berlalu begitu saja. Langsung me?
naiki tangga dan lenyap di lantai atas tanpa me?
noleh sekali pun ke belakang.
Suaminya hanya menggeleng. Dengan muram
ia berkata, "Nah. Bagaimana aku bisa bermain se?
rius" Sudah kubilang, kita ke sini untuk berlibur,
tapi dia masih membawa semua peralatan kerja?
nya!" Lelaki yang lebih tua tertawa lunak.
Rupanya kedongkolannya sudah reda. Terdengar
2/2/11 2:24:38 PM isteri Kalung Setan.indd 11
11 001/I/15 MC kebanggaan dalam suaranya sewaktu ia berkomen?
tar, "Tidak bisa disalahkan. Istrimu pekerja yang
ulet. Dan jangan lupa, Nak. Dua bulan mendatang
dia akan mengikuti kontes. Pesaingnya tidak se?
dikit. Beberapa dari mereka sudah punya nama
besar sebagai desainer terkemuka. Aku kenal putri?
ku, Nak. Dia pantang menyerah..."
"Turunan!" Si perempuan paruh baya menim?
pali, juga terdengar bangga. Lalu, "Hm... Bisa ku?
tebak apa yang tiba-tiba muncul dalam pikiran
putriku yang tak mau diam itu. Kombinasi mode
dari dua generasi!" Ia menguap. "Ah, sudah waktu?
nya aku juga tidur!"
Perempuan itu dengan gembira memasukkan
semua uang logam kemenangannya dalam pundipundi.
"Jika kalian berdua mau begadang sampai pagi,
terserah," katanya, lalu berjalan mendekati bocah
perempuan yang masih menekuni buku gambar?
nya. Pundi-pundinya diperlihatkan pada si bocah.
"Kau bertambah kaya saja, cucuku. Tinggalkan
saja pekerjaan rumahmu. Bukankah kaubilang ma?
lam ini mau tidur sama Nenek?"
Bocah perempuan itu hanya memandang
pundi-pundi di tangan neneknya tanpa minat
serius. Karena ia memang sudah tahu sebelumnya.
Tiap kali keempat orang dewasa itu bermain kar?
tu, selalu untuk kegembiraan semata. Hasil ta?
ruhan selalu pula diperuntukkan menambah ta?
2/2/11 2:24:38 PM

Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isteri Kalung Setan.indd 12
12 001/I/15 MC bungan si bocah. Kembali mencoreti buku gambar?
nya, bocah itu mendengus kalem, "Lagi tanggung,
Nek!" "Turunan lagi!" desah neneknya, tersenyum se?
nang lantas berlalu ke kamar di salah satu sudut
lantai bawah itu. Tinggal dua lelaki di dekat meja.
Keduanya sejenak terdiam, sama-sama menung?
gu. Lalu lelaki yang lebih tua bergerak menuju
tungku pemanas. Ia mencungkil bara dengan pen?
cungkil besi, kemudian menambahkan sepotong
besar kayu bakar. Seraya melirik sekilas pada me?
nantunya di dekat meja, orang tua itu lantas purapura mempelajari gambar yang dibuat si bocah
perempuan. "Oh, oh. Ramai benar. Bikin apa sih,
Cucu?" Tanpa menoleh, si cucu menyahut datar, "Ke?
ramaian pasar. Banyak orang berbelanja..."
"Memangnya kau bisa?"
"Tentu dong. Anak siapa dulu...!"
Sang kakek tersenyum. "Mungkin maksudmu,
cucu siapa!" Dari kursinya, si lelaki muda diam saja, men?
dengarkan tanpa menaruh perhatian sedikit pun.
Pikirannya berkelana ke tempat lain. Sekali ia me?
lirik ke lantai atas, tempat istrinya tadi meng?
hilang. Kemudian, dua-tiga kali ia diam-diam
melirik arloji. 2/2/11 2:24:38 PM isteri Kalung Setan.indd 13
13 001/I/15 MC "Sudah mengantuk juga, eh?"
Lelaki yang lebih muda sedikit terkejut menya?
dari pertanyaan itu ditujukan padanya, bukan
pada bocah perempuannya. Ketika mata mereka
beradu, ia segera memahami apa yang ditunggu
mertuanya. Maka, seraya menyeringai lebar, lelaki
yang lebih muda itu berkata setengah menyindir,
"Ingin menyamakan kedudukan, Pak?"
Sang mertua langsung berseri-seri. Suaranya pun
bersemangat, "Minggu lalu, skorku memang keting?
galan dari kau. Tetapi cuma satu angka!"
Lalu sang mertua berjalan ke lemari rak besar,
membuka salah satu laci, dan mengeluarkan kotak
catur. Ia mengambil langkah panjang menuju meja
semula, duduk di kursi yang tadi ditinggalkan
putrinya. Lalu ia membuka kotak catur dengan
wajah tak sabar. Sementara calon lawannya, lagilagi melirik ke arloji, kemudian ke jam besar di
tembok. Agaknya, menyesuaikan waktu. Saat me?
nyusun bidak-bidak catur di hadapannya, sikap
menantunya pun terlihat agak resah.
"Hitam, eh" Kau yang pilih, Nak. Kau yang
pilih...!" Si menantu memang main sambar saja. Dan
sang mertua dengan gembira menyusun bidak-bi?
dak putihnya di papan catur. Tak lama kemudian,
seolah sudah lama ditunggu dan dipikirkan, pion?
nya sudah digerakkan dengan langkah pembukaan,
d-4. 2/2/11 2:24:39 PM isteri Kalung Setan.indd 14
14 001/I/15 MC Menantunya tidak segera membuat langkah ba?
lasan. Tampak ia sedang berpikir keras, bahkan
sesekali mengeluh samar-samar.
"Hei. Kau kaget dengan langkah pembukaanku
atau... masih dibikin ruwet oleh perilaku istrimu?"
Lelaki yang lebih tua menegur lembut.
"Apa" Oh..." desah si menantu agak terkejut.
Lalu setelah mengawasi papan catur sejenak, ia
menggerakkan bidak hitam ke d-5. Langkah-lang?
kah berikutnya sedikit lebih lancar. Putih c-4 di?
balas oleh hitam, dxc-4, lalu e-3 dibalas e-5. Putih
lagi, gxc-4, dan... hitam tak bergerak. Langkah ba?
lasan sang mertua tertahan, bukan karena tak bisa.
Melainkan karena sang lawan sudah melamun lagi.
Gelisah. Di depan tungku perapian, si cucu ikut terte?
gun. Seperti ayahnya, bocah itu pun tampak ber?
pikir keras dan agak gelisah. "Hm. Ungu atau
merah jambu, ya...?" ia bergumam sendiri.
Agaknya bingung memutuskan, ia lantas me?
noleh ke meja. Kakek dan ayahnya sedang serius.
Bocah itu mengerti, mereka tidak mau diganggu.
Jadi tidak bisa dimintai pendapat atau saran. Hm,
bagaimana, ya" Di kamar tidur lantai bawah, si perempuan pa?
ruh baya sudah pulas di balik selimut tebal dan
hangat. Sementara di kamar lainnya di lantai atas,
si perempuan satunya lagi duduk serius mengha?
2/2/11 2:24:39 PM isteri Kalung Setan.indd 15
15 001/I/15 MC dapi meja kaca. Kaca itu memancarkan bias lampu
neon dari arah berlawanan. Sehingga kertas-kertas
pola di permukaan meja tampak transparan dan
garis-garis sketsa rancangan gaun malam muncul
lebih jelas. Waktu terus berjalan. Dan si perempuan muda terus sibuk dengan
sketsa polanya. Tubuhnya yang semampai setengah
terbungkuk ke arah meja. Bahkan satu kali, kalung
emas 24 karat yang melingkari lehernya, ikut pula
menyentuh meja. Gerakan leher si perempuan
membuat kalung emasnya yang berat itu ikut pula
terayun-ayun, bergerak seperti hidup...
"Kau melakukan blunder lagi, Nak. Sekak!"
Teguran bernada gembira itu keluar dari mulut
si lelaki yang lebih tua di lantai bawah. Menantu?
nya terjengah, wajahnya malah terlihat sedikit pu?
cat. "Sepertinya kau sakit!"
"Oh, tidak. Aku baik-baik saja, Pak. Ha?nya..."
"Jika kau ingin beristirahat..."
"Hm. Sekak ya?" Lelaki yang lebih muda cepat
menangggapi sambil memaksakan senyum di bibir.
Diawasinya bidak-bidak catur hitam di hadapannya
(tetapi pikirannya masih berada di tempat lain),
lantas bergumam lirih, "Sudah saatnya, barang?
kali...!" "Apa?" 2/2/11 2:24:40 PM Terkejut lagi, si menantu menyeringai sebentar,
lalu menjawab sambil tersenyum, "Kemenangan
untuk Bapak. Tapi kita masih punya banyak wak?
tu, bukan?" Sang mertua merasa ditantang. "Kita lihat saja,
Nak. Kita lihat saja..."
Menantunya memindahkan menteri, dan semen?
tara sang mertua memikirkan langkah balasan un?
tuk meraih kemenangan yang sudah di ambang
pintu, si menantu diam-diam melirik lagi ke arloji?
nya. Sekarang sudah tengah malam.
Lelaki muda itu mengangkat tangan kanan.
Telunjuk jari tangan itu kemudian disorongkan ke
lubang kuping. Lantas menggaruk sebanyak tiga kali, berturutturut.
*** isteri Kalung Setan.indd 16
16 001/I/15 MC Perkara telinga mendadak gatal dapat menimpa
siapa saja. Tidak pandang umur, jenis kelamin,
maupun tempat orang itu tinggal. Menggaruk
pada waktu bersamaan dengan orang lain pun ti?
dak perlu diperdebatkan. Sama halnya dengan
yang dialami dua anak manusia pada malam yang
adem dan nyaman tenteram itu.
Pada detik si lelaki muda dalam rumah besar
2/2/11 2:24:40 PM isteri Kalung Setan.indd 17
17 001/I/15 MC bertingkat di kaki Tangkuban Perahu itu meng?
garuk telinga, seorang lelaki lainnya pun merasa?
kan hal yang sama. Lelaki itu tinggal di sebuah rumah tua yang
terpisah menyendiri dari rumah-rumah lainnya. Di
desa kecil, di sekitar pesisir pantai Pamanukan.
Lelaki itu berpakaian lusuh, bergaya tradisional,
umurnya tidak jelas. Melihat tubuh kurus dan ke?
riput di wajah, maupun rambut serta janggut yang
sudah memutih, bisa kita perkirakan usianya se?
tidaknya 60 tahun. Dan tidak usah diperdebatkan
jika kebanyakan penduduk desa setempat dengan
teguh berkata bahwa umur orang tua itu sudah
melebihi 110 tahun. Sungguh usia yang langka.
Dengan perilaku yang langka pula!
Duduk bersila di lantai tanah di dalam kamar
berdinding papan dengan jendela dan pintu ter?
tutup rapat, lelaki berumur itu pun menggaruk
telinganya sebanyak tiga kali. Berturut-turut. Se?
telahnya, mulut keriputnya berkemak-kemik. Tu?
buh kurusnya bergoyang ke kiri-kanan sementara
tangannya menyambar biji menyan yang kemudian
dilempar-lemparkan ke pedupaan.
Bau kemenyan dengan segera menyesaki kamar
sempit yang dibuat pengap oleh bau-bauan lain.
Bau kulit ular yang masih basah, bau tikus-tikus
putih yang makan, kencing maupun berak di da?
2/2/11 2:24:41 PM isteri Kalung Setan.indd 18
18 001/I/15 MC lam kandang peti di pojok, sampai bau rempahrempah dan segala macam akar-akaran hutan.
Lampu teplok menyinari sebuah boneka kayu
yang tegak di depan si pemilik rumah.
Boneka itu seukuran manusia, hanya tidak ke?
seluruhannya. Cuma sebatas dada ke atas. Jelas
dimaksudkan sebagai boneka perempuan karena
kepala kayu itu pakai rambut palsu. Plus, seuntai
kalung emas melingkar pada leher jenjangnya.
Yang menarik adalah tatanan rambut maupun
kalung emas itu sulit dibedakan dengan tatanan
rambut serta kalung emas perempuan muda yang
tengah asyik dengan pola rancangan gaun malam?
nya, di lantai atas rumah besar bertingkat di kaki
Tangkuban Perahu. Goyang tubuh orang tua bangkotan itu se?
makin keras. Suara yang keluar dari mulutnya pun semakin
jelas, meski susunan katanya sulit dicerna, "...se?
karat tukangan, juragan ampihan, hoaaa...!"
Ia muntahkan cairan ludahnya ke tanah, me?
mutari boneka kayu sebatas dada itu. "Aiii, jam?
brong, Kolang Kilung! Bersama bisa serta darah?
mu, jagalindung... terima dan taburlah... belit dan
cekik, Kolang Kilung, hoooo... jahalaba!"
Sembari membaca mantra yang semrawut itu,
tangannya menyambar tangkas mangkuk kecil di
dekat tempatnya bersila. Dari mangkuk itu kemu?
2/2/11 2:24:41 PM isteri Kalung Setan.indd 19
dian ia kucurkan sejenis cairan berwarna aneh,
membasahi sekeliling kalung emas di leher jenjang
boneka kayu. "Bisa dan darahmu, ambillah, habis?
kan seketika!" Selesai mantra terakhir dan kalimatnya yang
lebih mudah dicerna itu, ia pun menarik mundur
kepalanya, lalu dengan cepat didorongkan ke de?
pan, setengah membungkuk, dan meniup keras ke
arah leher boneka kayu di tanah.
Setelah itu, kepalanya ditarik mundur lagi, tegak
dan diam seperti semula, mata terpejam rapat, mu?
lut kemak-kemik tanpa mengeluarkan suara, dan
telapak tangan ditepuk-tepukkan di kedua paha.
Seiring dengan bunyi tepukan lembut itu, ka?
lung emas di leher boneka kayu, bergerak.
Kemudian menggeliat, hidup.
Dalam tempo singkat, lingkaran kalung itu su?
dah menyempit, lantas mencekik leher boneka
kayu. Si tua bangka bergoyang-goyang lagi. Goyangan
teratur seperti semula. Kian lama kian melemah sampai akhirnya ber?
henti. Masih dengan kelopak mata terpejam rapat,
si tua renta itu duduk diam.
Menunggu. 19 001/I/15 MC *** 2/2/11 2:24:41 PM

Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isteri Kalung Setan.indd 20
20 001/I/15 MC Si bocah perempuan di rumah besar terdongak.
Kepalanya setengah menengadah menatap ke
lantai atas. Apakah ia mendengar sesuatu"
Lantas ia bergumam pelan sendiri. Seakan kha?
watir mengusik keseriusan dua pecatur kawakan di
dekatnya. "Mengapa tidak kutanya Mama saja"
Mama pasti tahu warna terbaik yang harus kuguna?
kan. Hm!" Perlahan ia bangkit. Berjingkat ke arah tangga.
Setelah yakin kakek maupun ayahnya tidak ter?
ganggu oleh kepergiannya, bocah perempuan itu
pun menaiki anak tangga demi anak tangga. Se?
tibanya di lantai atas ia setengah berlari ke kamar
ibunya. Pintu kamar terbuka. Di situlah si bocah terpaku menegun.
Masih tetap duduk di kursi kerjanya meng?
hadapi pola-pola rancangan gaun di meja hias,
sang ibu tampak menggeliat-geliat. Matanya mem?
belalak, mulut terbuka, dan terengah-engah. Kulit
wajah yang semula putih jadi memerah.
Yang lebih menarik perhatian si bocah adalah
tangan ibunya. Dua tangan perempuan itu mencengkeram se?
suatu di leher. Berusaha keras menarik sesuatu itu
jauh-jauh dari leher yang kulitnya tampak mulai
membiru. Lepas dari kesimanya, si bocah melihat apa
2/2/11 2:24:42 PM isteri Kalung Setan.indd 21
21 001/I/15 MC yang ingin dilepaskan ibunya. Tampaknya seutas
tali hitam melilit lehernya atau mungkin malah
mencekik. Dan dua ujung tali yang melingkari
tengkuk ibunya seperti hidup, menggeliat kiankemari. Liar.
Si bocah terpekik ngeri. Namun naluri ingin menyelamatkan nyawa ibu?
nya bereaksi dengan cepat.
Dengan beberapa kali lompatan, bocah itu su?
dah sampai ke kursi ibunya, lalu dengan tangkas
tangan mungil si bocah meraih ujung-ujung tali
yang menggeliat-geliat liar di tengkuk ibunya. Dua
telapak tangan si anak menggenggam sekuat-kuat?
nya lalu, hap...! Benda menyerupai tali berwarna hitam itu, ter?
betot lepas dari leher ibunya.
Si bocah perempuan tidak segera melepaskan?
nya. Ia sedang marah karena benda yang melingkar
itu ia anggap telah menyiksa ibunya. Maka, se?
cepat keberhasilannya merenggut kalung itu hingga
lepas, secepat itu pula si bocah mengumpat galak,
"Kau menyiksa Mama!"
Kemarahannya dilampiaskan si bocah dengan
menggigit salah satu ujung yang menyerupai tali
itu sekeras-kerasnya. Tanpa terduga, benda hitam itu menggelepar,
berusaha membelit tangan si anak perempuan. Si
anak malah mengerkah dan terus mengerkah se?
2/2/11 2:24:42 PM isteri Kalung Setan.indd 22
22 001/I/15 MC makin marah. Sementara benda hitam, kesat na?
mun liar itu meronta semakin liar pula.
Lantas sekonyong-konyong semuanya ber?
akhir. Benda itu mendadak lenyap. Begitu saja, tak
tentu rimba. Namun si anak yang tadi mengerkah
tampak mengalami akibat mengejutkan.
Bocah perempuan itu sempat menggelepar se?
jenak. Selama beberapa saat ia sukar bernapas.
Paru-parunya lantas memompa keras. Berjuang
meraih hawa segar yang masuk lewat pintu ter?
buka. Sesaat kemudian napasnya kembali normal.
Jantung maupun paru-parunya bekerja seperti
biasa. Peredaran darah pun kembali normal.
Bocah perempuan itu menjadi tenang.
Sangat tenang. Ia tidak lagi gempar atau marah seperti tadi.
Ia hanya berdiri diam. Memandangi sosok ibu?
nya yang menelungkup dengan setengah terbenam
pada meja, di antara pecahan kaca. Lampu di se?
belah dalam meja masih menyala. Pecahnya kaca,
membuat nyala lampu kian terang. Sosok ibunya
tampak lebih nyata, terutama pada kulit tubuh.
Kulit yang semula putih kekuningan dan segar
berseri-seri itu, kini berubah warna menjadi biru
tua, lantas dengan cepat menjadi hitam, legam,
dan mengeriput. Seakan terbakar hangus dari da?
lam tubuh. 2/2/11 2:24:43 PM isteri Kalung Setan.indd 23
Tanpa beranjak dari tempatnya, anak perem?
puan itu sudah tahu. Ibunya sudah meninggal. Terdengar langkah-langkah berlari, saling men?
dahului di tangga. Dalam sekejap, dua sosok lelaki
menyerbu ke dalam. Awalnya sunyi, lalu mence?
kam. Kemudian satu di antara dua lelaki itu men?
jerit ngeri. Si bocah perempuan hanya memandang diam.
Tanpa kata. Dan... tanpa air mata.
*** 23 001/I/15 MC Terpisah oleh jarak sekian puluh kilometer dari
rumah besar bertingkat itu, kepanikan juga me?
landa si orang tua di rumah tuanya. Jerit kesakitan
yang samar-samar tertangkap telinganya telah mem?
buka kelopak matanya sesaat tadi.
Lalu, ia pun terpana seketika.
Kalung emas di leher boneka kayu tampak ber?
gerak terlepas seperti direnggut oleh tangan yang
tidak berwujud. Salah satu ujung untaian kalung
masih sempat dilihatnya berubah menjadi semacam
tali kehitam-hitaman. Bahkan titik mata hijau ke?
merahan sebesar ujung jarum jahit masih sempat
terlihat olehnya di ujung bagian kalung yang secara
aneh berubah menjadi bulat dan hitam pekat itu.
Titik mata itu seperti ketakutan.
2/2/11 2:24:43 PM isteri Kalung Setan.indd 24
24 001/I/15 MC Kemudian lenyap begitu saja. Bersamaan de?
ngan lenyapnya wujud hitam pekat di ujung ka?
lung, warna aslinya muncul kembali, setelah ka?
lung yang tampak menggeliat-geliat di udara itu
jatuh terempas ke tanah. Diam tidak bergeming.
Dan itu memang kalung sebenarnya, kalung
emas 24 karat, dan jika tak salah beratnya men?
dekati 100 gram. Sungguh perhiasan yang indah
dan, dilihat dari sudut pandang si orang tua, amat
sangat mahal harganya. Namun, lelaki tua renta itu justru memandang
tanpa minat. Kalung itu memang bukan miliknya. Dan di
atas semua itu, dia sedang dihinggapi keterkejutan
dan kekalutan. Terbata-bata, mulut keriputnya me?
manggil-manggil, "Kolang Kilung... kembalilah!
Ayo, di mana kau, Kolang Kilung...! Apa yang ter?
jadi denganmu" Mengapa...?"
Segala macam dan jenis mantra kemudian di?
kerahkannya. Tetapi benda di hadapannya itu tetap saja
diam, tetap menjadi kalung 24 karat seberat 100
gram. Meski yang ditunggu dan sangat ingin di?
lihat si orang tua adalah sesuatu yang lain.
Yakni seekor ular istimewa. Ular yang teramat
sangat langka didapatkan.
Ular kesayangannya! Bibir keriput itu mengerut penuh harap, "Ko?
lang Kilung...?" 2/2/11 2:24:43 PM isteri Kalung Setan.indd 25
25 001/I/15 MC Sia-sia saja. Makhluk itu sepertinya tidak akan pernah kem?
bali. Begitu menyadari nasib malangnya, tubuh
tua renta dan kurus kering itu, pelan-pelan meng?
geletar. Kemudian, dia pun melolong-lolong.
Lolongan sengsara. Dan, menyedihkan.
2/2/11 2:24:44 PM SATU PERGANTIAN tahun tidak selamanya menda?
isteri Kalung Setan.indd 26
26 001/I/15 MC tangkan perubahan. Kehidupan manusia memang terus berjalan ka?
rena dorongan hati serta naluri atau berkat penga?
ruh lingkungan sekitarnya. Lingkungan pun dapat
berubah atas kehendak alam atau keserakahan ma?
nusia yang mendiami. Namun, tetap saja masih
ada yang berdiri atau berjalan di tempat yang
sama, mengikuti pola kehidupan yang sama pula.
Misalnya lereng bukit di kaki Tangkuban Pe?
rahu. Pepohonan yang dahulu tinggi menjulang, kini
hanya tinggal satu-dua batang saja dan satu sama
lain berjarak agak jauh. Reboisasi memang terus
diserukan di mana-mana, begitu pula konservasi
air yang semakin lama agaknya semakin terlupakan
dengan dalih manusia memerlukan rumah untuk
2/2/11 2:24:44 PM isteri Kalung Setan.indd 27
27 001/I/15 MC tempat berteduh, sementara persediaan tanah se?
makin sedikit. Di seputar daerah itu sudah muncul hutan
baru, namun dalam wujud dan aroma yang ber?
beda. Hamparan beledu hijau dari berhektar-hektar
sawah dan hutan subur yang dulu begitu indah
dipandang, kini berganti menjadi warna-warni ti?
dak karuan dari atap-atap rumah, gedung sekolah,
perkantoran, mal, dan entah apa lagi. Bau segar
rerumputan serta humus yang diserap tanah, sudah
diperkosa oleh bau asap kendaraan atau pabrik
yang tumbuh menjamur. Bercampur dengan polusi
dari segala macam sampah kehidupan manusia.
Namun dinding gunung itu bertahan di tempat?
nya semula. Bahkan kini tampak lebih angkuh karena ia ti?
dak pernah tergoyahkan. Kadang kala dinding gu?
nung itu tampak memandang dengan kebencian
tersembunyi karena makhluk yang disebut manusia
telah merenggut bahkan membunuh banyak saha?
bat lamanya. Di lain waktu, pandangannya yang
dingin tampak seperti sedang menunggu.
Menunggu manusia-manusia di bawah sana,
yang kelak akan membunuh diri mereka sendiri!
Selain dinding gunung, masih ada satu lagi
yang tetap berdiri di tempatnya semula.
Yang ini juga tampak diam, menunggu.
Perbedaannya, yang satu ini terpaksa diam. Se?
waktu-waktu, ia dapat saja dilenyapkan oleh ma?
2/2/11 2:24:44 PM isteri Kalung Setan.indd 28
28 001/I/15 MC nusia. Tetapi ia tidak pernah mampu mengajukan
keberatan jika wajah atau salah satu anggota tubuh?
nya dibongkar, dipermak, ditambah, atau ditempeli
apa saja. Tergantung kehendak dan selera manusia
yang menghuninya. Rumah besar bertingkat itu memang telah
mengalami renovasi di sana-sini.
Namun pola dasar bangunan utama serta atap
masih tetap memperlihatkan gaya arsitektur se?
mula, ketika lima belas tahun lalu rumah itu ber?
ganti penghuni. Jendela serta pintu kayu telah di?
gantikan oleh kaca tebal, berwarna gelap, serta
tembus pandang satu arah.
Halaman depan yang dahulu ditaburi kerikil,
kini telah diaspal. Jalan setapak di antara pepo?
honan dan taman yang dahulu berupa tanah keras,
kini telah dilapisi beton aspal. Yang paling men?
jengkelkan adalah pemandangan yang dahulu ter?
buka, sekarang terhalang pagar bersemen dengan
kawat duri di atasnya. Masih ditambah lagi pos
jaga yang tidak terurus di bagian dalam pintu ger?
bang. Menuju lingkungan seperti itulah sebuah mobil


Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jenis van menanjak di jalanan berkelok-kelok dan
terkadang curam. Ada lima sosok manusia di dalam van itu, na?
mun tidak satu pun dari mereka tertarik melihatlihat suasana di sekitar jalan yang mereka tempuh
bahkan ketika memasuki pintu gerbang dan kemu?
2/2/11 2:24:45 PM isteri Kalung Setan.indd 29
dian berhenti di halaman depan rumah. Perubahan
yang begitu banyak terjadi di luar maupun di da?
lam tembok yang mengelilingi rumah besar ber?
tingkat itu sedikit pun tidak menarik minat me?
reka untuk memperdebatkan.
Selain karena tenggelam oleh pikiran masingmasing, mereka juga terlalu sibuk bertukar
obrolan. Ujung dari obrolan itu selalu berakhir
pada keinginan yang sama untuk segera tiba di
tujuan, kemudian bersenang-senang menikmati apa
yang masih dapat dinikmati.
Hanya satu dari lima orang itu yang tidak per?
nah berkomentar. Empat yang lain juga merasa
tidak perlu mengobrol dengannya, apalagi meng?
hendaki komentarnya. Orang itu hanya duduk diam, sendiri, di jok
paling belakang, setengah mengantuk setengah ma?
buk perjalanan. Walau hanya sendirian di jok bela?
kang, bukan berarti ia dapat bergerak leluasa ka?
rena ada bertumpuk-tumpuk koper dan segala
macam barang yang tidak termuat di bagasi yang
sempit. Sementara jok tengah dan jok depan ha?
nya diisi barang seperlunya dan diusahakan sedemi?
kian rupa agar mereka yang duduk di situ merasa
nyaman dan leluasa. Seorang laki-laki setengah baya, berpenampilan
sederhana dan rapi segera menyongsong dengan
wajah berseri-seri. Ia mengucapkan selamat datang
dengan gembira, seraya membukakan pintu depan
29 2/2/11 2:24:45 PM sebelah kiri, disusul pintu tengah mobil. Dari pin?
tu depan sebelah kanan turunlah seorang lelaki
yang juga sudah setengah baya. Wajahnya sedikit
lesu karena lelah menempuh perjalanan jauh. Se?
lain itu dia juga yang paling banyak duduk di
belakang kemudi. Tetapi setelah mengenali orang yang menyam?
but kedatangan mereka, wajah lesunya pun ber?
ubah. Dengan heran ia bertanya, "Masih di sini,
Hartadi?" Dengan ekor mata setengah mengintip ke da?
lam mobil, seakan mencari sesuatu, lelaki penyam?
but tadi menjawab riang, "Masih sampai hari ini,
Tuan Anton. Besok lusa, terus terang saya belum
tahu." Pernyataan itu jelas mengandung tanda tanya.
Dan jelas pula, hanya Anton Suhartono yang ber?
wajah kelelahan itu yang harus menjawabnya.
Maka Anton pun menyeringai. "Kita akan mem?
bicarakannya nanti, Hartadi."
Hartadi mengangguk sopan. "Terima kasih,
Tuan." Setelah itu Hartadi membantu turun wanita
yang keluar dari pintu depan sebelah kiri. Dari
penampilan maupun gambaran usianya, jelas wa?
nita itu adalah istri Anton. Maka Hartadi sekali
lagi mengucapkan selamat datang dengan sedikit
menunduk santun. Wanita itu hanya mengeluh
samar, kelelahan, kemudian berdiri, memandangi
isteri Kalung Setan.indd 30
30 2/2/11 2:24:46 PM isteri Kalung Setan.indd 31
rumah besar di hadapannya tanpa menaruh per?
hatian sedikit pun atas sambutan hangat lelaki
berpenampilan sederhana itu.
Hartadi tetap bersikap tenang.
Ia sudah terbiasa dengan perlakuan semacam
itu. Dengan tenang ia pun mengangguk sopan se?
kali lagi pada seorang pemuda yang turun dari
pintu tengah yang dibukakan Hartadi tadi, meski
pemuda itu berlalu begitu saja. Ada seulas senyum
memang, tetapi senyuman pemuda itu tak lebih
dari sekadar basa-basi. Wanita kedua menyusul turun. Wajahnya ma?
nis, sayang tubuhnya sedikit gemuk. Usianya se?
kitar 20 tahun, sedikit lebih tua dari pemuda tadi.
Sewaktu gadis itu melangkah ke luar mobil,
Hartadi mengulurkan tangan menawarkan ban?
tuan. Tangan Hartadi ditepis, disertai suara meng?
hardik, "Aku bisa turun sendiri!"
Hartadi mundur, masih dengan sopan.
Gadis itu pun turun. Sol sepatu tingginya ter?
sangkut di sisi kaki pintu mobil. Gadis itu lim?
bung dan nyaris jatuh jika ia tidak segera berpe?
gangan ke sisi pintu. Setelah keluar dengan aman,
ia mengomeli Hartadi, "Tahu orang mau jatuh,
kenapa diam saja" Brengsek!"
Hartadi meminta maaf tanpa nada tersinggung.
Ia sedang memikirkan satu lagi kecacatan gadis itu
yang ia gumamkan dalam hati, "Suaranya meleng?
king!" 31 2/2/11 2:24:46 PM Pikiran itu pun segera dilupakan Hartadi.
Ada pikiran lain mengganggu, membuatnya
bingung, kemudian tidak sabar untuk bertanya,
tapi tidak pantas. Dan dia memang tidak punya
hak. Maka ia putuskan untuk mulai menurunkan
barang-barang bawaan tamunya. Hartadi naik le?
wat pintu tengah, ke dalam mobil. Ia sudah siap
menyeret koper pertama yang terlihat olehnya, se?
waktu dari jok belakang ia mendengar keluhan le?
mah dan pendek. Barulah Hartadi mengetahui ada
seseorang di sudut jok belakang. Setengah mering?
kuk, kecapaian. Hartadi menatap, terperanjat.
Sepasang mata bundar dan nyaris tidak ber?
cahaya, balas menatap. Entah mengapa, napas
Hartadi menjadi sesak. Yang pasti Hartadi ingin
marah, tetapi tidak tahu mengapa dan kepada
siapa kemarahan itu harus ia lampiaskan.
Hartadi cepat menguasai diri, lantas berseru
pelan dan takjub. "Astaga, Non Amelia! Bagai?
mana..." Lantas seperti takut kehabisan waktu, Hartadi
pun sibuk alang kepalang. Dalam tempo singkat
semua koper dan barang-barang yang menyesaki
jok belakang sudah terkumpul di luar mobil.
Lalu, setengah membungkuk di pintu, ia me?
mandang iba pada gadis mungil yang tampak sa?
isteri Kalung Setan.indd 32
32 2/2/11 2:24:47 PM isteri Kalung Setan.indd 33
ngat tersiksa itu seraya berucap penuh sayang,
"Ayo, Non. Turunlah. Akan saya bantu..."
Gadis mungil bermata bundar itu berkeluh ke?
sah tak jelas lagi. Kemudian gadis itu bergerak dari tempatnya,
seperti meliuk, lantas turun dengan susah payah.
Hartadi bahkan harus setengah merangkul untuk
membantu gadis itu supaya dapat berdiri tegak
dengan nyaman di atas aspal di dekat tumpukan
barang. Leher gadis itu bergerak miring, memandang
hanya ke sekitarnya, lalu dengan gerak miring
yang sama ia ganti memandangi Hartadi. Tak ada
kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Yang ada
hanya sinar tajam di bola mata bundarnya dan itu
pun sekilas saja. Hartadi tersenyum. Tatapan sekilas dari gadis
itu sempat tertangkap oleh matanya, "Alham?
dulillah, Non masih mengenali saya. Mudahmudahan Non juga tidak lupa nama saya. Hartadi.
Masih ingat kan, Non?"
Gadis itu meluruskan posisi lehernya.
Ia tampak memaksakan senyum. Masih tanpa
kata. Lalu tubuhnya digeliatkan untuk mengendur?
kan otot-otot dan membuang segala perasaan lelah
maupun tersiksa. Liukannya begitu lamban, dan
agaknya tidak banyak yang ia dapatkan dari upaya?
nya tadi karena ia terdengar mengeluh lagi.
Mau tidak mau Hartadi berpaling untuk me?
33 2/2/11 2:24:47 PM nyembunyikan air matanya. Setelah diseka diamdiam, ia berpaling lagi, lalu tersenyum seriang
mungkin. Tangan halus dan lembut di dekatnya,
ia genggam dengan gemetar. Suaranya juga ber?
getar membujuk. "Mari, Non Lia, saya antar ke
dalam rumah...." Gadis itu menurut saja ketika dituntun men?
jauhi mobil. Adegan kecil dan singkat itu tidak diketahui
oleh empat orang lainnya. Pria muda tadi rupanya
sudah berkeliling melihat-lihat sekitar rumah besar
bertingkat itu. Si gadis manis bersuara melengking
sudah terbang ke ayunan besar, dan kini tampak
terayun-ayun dari depan ke belakang sambil men?
jerit kegirangan. Ibu kedua anak itu masih berdiri di tempat
semula. Memandang penuh hasrat dan kekaguman
pada rumah besar di depan matanya. Sementara
sang suami, merangkul pundak wanita itu sambil
tersenyum lebar. Membiarkan istrinya tenggelam
dalam ketakjuban dan semangat hidup yang tam?
pak kembali bergairah setelah sempat mabuk di
tengah perjalanan mereka yang panjang dan sangat
melelahkan. Kemudian terjadilah apa yang semestinya ter?
jadi. Sewaktu Hartadi menuntun Amelia meninggal?
kan mobil dan melangkah berdampingan menuju
beranda, ayunan di tengah taman bunga berkeretak
isteri Kalung Setan.indd 34
34 2/2/11 2:24:48 PM isteri Kalung Setan.indd 35
pelan. Gadis berambut panjang dan lurus yang
duduk di ayunan, memandang terbelalak pada ke?
dua orang itu. Melihat hal itu, senyuman Anton lenyap, na?
mun masih tetap bahagia. Tidak seperti istrinya yang berseru, "Pak Har?
tadi!" Hartadi berhenti, seketika memutar tubuhnya.
Amelia juga berhenti dengan sendirinya, namun
masih menghadap ke arah beranda dengan sedikit
menelengkan leher. Mungkin untuk menikmati
keindahan artistik pada langit-langit beranda.
"Saya, Nyonya..." Hartadi membungkuk so?
pan. "Amelia dapat berjalan sendiri. Dan koper-ko?
per di sana itu," si wanita menggerakkan dagu
sedikit ke arah yang ia maksudkan, "bisa keriput
terpanggang matahari!"
"Tetapi, Nyonya..."
"Eee-eeee"!"
"Maaf, Nyonya. Saya, Nyonya!" kata Hartadi
terbata-bata, lantas meninggalkan Amelia dan kem?
bali menuju mobil. Lewat jendela mobil ia lihat
Amelia memang mampu berjalan sendiri, dan su?
dah masuk ke rumah. Dengan satu koper besar dan satu tas berat di
kedua tangan, Hartadi berjalan ke jalan setapak
yang menuju pintu samping rumah. Baru beberapa
langkah, ia berhenti. "Tuan?"
35 2/2/11 2:24:48 PM Anton menoleh. "Ada apa, Hartadi?"
"Tuan ditunggu di dalam. Ada tamu, dan..."
Hartadi tidak meneruskan kalimatnya karena di
pintu depan tempat Amelia menghilang, muncul
lelaki berpakaian rapi dan perlente. Hartadi me?
neruskan pekerjaannya, sementara lelaki perlente
tadi bergegas mendatangi suami-istri yang masih
saling rangkul di halaman.
"Matahari senja memang tidak sepatutnya di?
lewatkan!" Lelaki perlente itu tertawa lunak seraya
mengulurkan tangan. "Selamat datang. Dan maaf,
barusan saya kepepet mau ke kamar kecil. Jadi
agak terlambat menyambut...."
"Tak apa, Pak Anwar." Anton menyambut
uluran tangan tadi. "Anda tampak lebih gagah dan sehat!"
"Berkat doa Anda juga, Pak Anwar," Anton
menanggapi dengan senyuman. "Terima kasih."
Si gadis bersuara melengking meninggalkan
ayunan dan segera bergabung bersama mereka.
Anton memperkenalkan, "Ini putri kami, Solavina.
Ayo, Lavi, berkenalanlah dengan Anwar Sulaeman,
Sarjana Hukum. Dia pengacara yang telah dan
pasti akan banyak membantu kita nanti. Bukankah


Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian, Pak Anwar?"
"Oh, tentu. Tentu saja. Tetapi setahu saya...,"
Matanya mencari-cari, lalu menemukan anak
muda yang tengah asyik mengamat-amati kolam
lebar di salah satu sudut halaman rumah. "Hm.
isteri Kalung Setan.indd 36
36 2/2/11 2:24:48 PM isteri Kalung Setan.indd 37
Agaknya putra Anda yang tampan itu tengah me?
naksir-naksir ikan mana yang nanti harus dikorban?
kan untuk santap malamnya!"
"Persis!" Anton menyeringai lebar. "Dan Rudi
pasti ingin yang paling besar. Nanti saja saya per?
kenalkan padanya...."
"Tentu. Oh ya, selain hawa segar pegunungan,
masih banyak yang dapat kita nikmati di dalam
sana. Mari!" Seketika, Solavina, si gadis bersuara melengking,
terlonjak. "Oh, mengapa aku sampai lupa" Janganjangan Lia sudah mendahuluiku memilih kamar
tidur paling bagus!"
Solavina setengah menjeritkan hal itu seraya
berlari-lari meninggalkan orang-orang di belakang?
nya. Belum juga tiba di beranda, gadis itu sudah
berseru-seru melengking ke dalam rumah, "Awas
kau, Lia! Jangan coba-coba mengakaliku!"
Mendengar hal itu sang pengacara berucap tak
sadar dengan suara yang jelas ia sesali, "Kepada
kakaknya...?" Anton tidak berkomentar. Istrinya cemberut. Di dalam rumah, Solavina kalang kabut me?
nuju kamar di lantai bawah. Ia hampir saja ber?
tabrakan dengan Hartadi yang hendak keluar, ke?
mudian menyadari bahwa hanya ada satu kamar
yang pantas dijadikan kamar tidur di lantai bawah
itu. Tentu saja kamar tidur besar dan bagus. Sudah
37 2/2/11 2:24:49 PM dapat diduga penghuninya kelak ayah dan ibu
Solavina. Barulah Solavina melihat tangga menuju lantai
atas. Ia pun bergegas ke sana sambil terus meng?
omel, diselingi makian kasar.
Amelia memang sudah memasuki salah satu
kamar di lantai atas. Belum terlalu jauh kaki Amelia melangkah ma?
suk. Tetapi cukup untuk mengawasi ke dalam.
Kamar itu luas. Berlapis karpet tebal dan ha?
ngat. Tempat tidurnya besar, meja riasnya juga
besar dan indah, lemari-lemarinya pun megah.
Ada sebuah meja dan dua kursi berjok empuk un?
tuk duduk santai di dekat jendela. Sekilas dari
jendela itu tampak pemandangan lembah yang
indah nun jauh di bawah sana.
Kepala Amelia ditelengkan ke kanan untuk me?
lihat sisi lain kamar itu.
Lukisan besar tergantung di tembok dan tam?
pak pintu yang tembus ke kamar mandi pribadi.
Tetapi selain itu, tidak ada benda apa pun lagi ke?
cuali lantai yang kosong dan hampa.
Amelia tetap menatap kamar itu dengan sepa?
sang mata tak berkedip. Bibir mungilnya ber?
kemak-kemik, mengeluarkan rintihan tertahan.
Lalu ada kilasan sinar di matanya. Kilas ketakutan.
Kemudian napasnya tersengal.
Ia memegangi lehernya yang seakan tercekik.
isteri Kalung Setan.indd 38
38 2/2/11 2:24:49 PM isteri Kalung Setan.indd 39
Lantas terdengar suara melengking menghardik
di belakangnya, "Jadah! Apa kaupikir..."
Tangan Amelia turun perlahan. Tubuhnya juga
memutar perlahan, setengah meliuk. Begitu Amelia
berbalik dan menghadapnya, seketika Solavina
menghentikan makiannya. Ia tersentak kaget me?
lihat wajah kakaknya. Wajah Amelia pucat seputih kapas.
Sepasang mata yang semula hampa, kini ber?
kilat-kilat. Aneh dan menakutkan. 39 2/2/11 2:24:50 PM DUA DI ruang keluarga, Ningsih duduk nyaman di
sofa besar. Matanya tidak berhenti berkeliaran, mengamati
suasana serta benda di sekitarnya. Mata itu me?
naksir-naksir, mengagumi, dan menikmati. Jauh di
sanubari, ia menari-nari, bersorak bahagia. Sesekali,
ia mendengar salah satu dari dua lelaki yang du?
duk tidak jauh darinya, menanyakan sesuatu.
Ningsih terkejut, lantas balik bertanya, "Pak
Anwar bilang apa barusan?" atau terkadang se?
tengah mengeluh, "Aku tak tahu apa-apa mengenai
itu." Tetapi jawaban terbanyak, Ningsih tujukan
kepada suaminya, "Terserah Bapak sajalah!"
Hanya satu kali Ningsih mengeluarkan per?
nyataan yang jelas, "Sudahlah, Lavi. Biar Mama
yang atur nanti!" ucapnya sewaktu Solavina turun
dari lantai atas, mengeluhkan sesuatu tentang
kakaknya, Amelia. isteri Kalung Setan.indd 40
40 2/2/11 2:24:50 PM isteri Kalung Setan.indd 41
Solavina mulanya tidak puas dengan jawaban
sang ibu. Namun, setelah melihat sorot tajam
mata ayahnya, ia kemudian berlalu dengan kecewa.
Beruntung Rudi sudah masuk ke rumah. Dan
Solavina sudah tenggelam dalam kegembiraan ka?
rena Rudi sempat melucu, kemudian mengajak
Solavina melihat-lihat kamar yang akan mereka
tempati. Sementara itu, dua lelaki paruh baya di dekat
Ningsih diam-diam sepakat menyelesaikan urusan
berdua saja. Yang dibicarakan, tentu saja mengenai
penghuni sekaligus penyewa rumah itu sebelumnya,
serta peternakan sapi perah, dan pabrik pengolahan
susu di luar tembok rumah, namun masih ter?
masuk wilayah milik penghuni rumah.
"Kontrak sewa baru berakhir tahun depan!"
Anwar Sulaeman, si pengacara menjelaskan. "Te?
tapi mereka tidak bersedia menunggu. Kerugian
mereka sudah sedemikian sulit diatasi. Beruntung
mereka masih mampu memulai usaha baru, berkat
masa jaya mereka pada tahun-tahun pertama me?
ngelola tempat ini. Tentu saja, usaha baru yang
mereka maksud bukanlah peternakan atau pabrik
pengolahan susu...."
"Itu urusan mereka!" potong Anton, tak sabar.
"Yang penting, mereka tidak menuntut sisa uang
sewa!" Si pengacara tersenyum datar, "Mereka malah
masih meninggalkan beberapa ekor sapi...."
41 2/2/11 2:24:50 PM "Sapi yang sakit-sakitan!" desah Anton, tidak
gembira. "Siapa pun akan segera menjualnya. Kirakira apa Anda tahu siapa yang bersedia membeli,
Pak Anwar?" "Mungkin ada." "Teruskan!" Diskusi mereka masih berlangsung lebih lama
lagi dan agak membosankan. Beruntung istri Har?
tadi bolak-balik membawa minuman segar dan
makanan kecil. Sementara Ningsih mulai rebah
karena mengantuk, sedangkan Rudi dan Solavina
entah ke mana. Biar saja.
Amelia" Ah, dia memang memiliki kepentingan
dalam hal ini, tetapi dia bisa apa"
Sampai akhirnya si pengacara bertanya kha?
watir, "Apakah keputusan Anda sudah dipikirkan
dengan matang, Pak Anton?"
"Pasti. Malah jauh sebelum para penyewa itu
angkat kaki!" jawab Anton Suhartono, jengkel.
"Keluarga saya harus hidup, kan" Lagi pula, apa
salahnya menjual sebagian untuk membangun se?
bagian lainnya dengan keuntungan nyata dan ber?
lipat ganda pula!" "Real estate..." Anwar berdecak kagum. "Selama
ini saya hanya memikirkan mengenai sapi dan
susu!" Ia tertawa. "Agak ketinggalan zaman cara
saya berpikir, eh?" Anton Suhartono akhirnya tersenyum juga.
Bahkan kata-katanya sedikit membela si pengacara.
isteri Kalung Setan.indd 42
42 2/2/11 2:24:51 PM isteri Kalung Setan.indd 43
"Anda berpikir berdasarkan apa yang digariskan
almarhum mertua saya. Tidak ada yang salah de?
ngan hal itu. Anda hanya lupa bahwa saya bukan?
lah mertua saya!" "Betul juga." "Orang harus berpikiran maju, kan?" Anton
berkata penuh semangat. "Maka, itulah yang su?
dah lama saya pikirkan. Rumah megah di lereng
bukit. Orang kaya mana yang tidak berminat,
eh?" "Dan, Anda seorang arsitek..."
"Syukur akhirnya kau mengingat hal itu, Pak
Anwar." "Saya tidak pernah lupa. Hanya saja, sejujurnya
perlu saya beritahu rencana Anda itu kemungkinan
besar akan terbentur beberapa masalah yang perlu
pemecahan bijaksana...."
"Aku tahu. Tetapi, ke mana pun aku pergi se?
belum ini, aku selalu saja memperoleh kesimpulan
yang sama. Urusan kami adalah membangun.
Urusan lingkungan itu bagiannya Menteri PPLH.
Konservasi air" Tanah di daerah ini masih sangat
subur. Persediaan air di tanah, menurut rekananku,
lebih dari cukup meski kami terpaksa menggunduli
permukaan di sana-sini. Soal izin" Mudah saja.
Uang dapat mengatasi banyak hal yang sulit.
Dan...," "Hei. Sepertinya Anda lupa Anda bicara de?
43 2/2/11 2:24:51 PM ngan siapa!" Anwar menegur lembut. Disertai se?
nyum simpul. Anton menjawab sederhana, "Seorang pengacara
tidak akan mengkhianati kliennya. Iya, toh?"
Anwar mengangguk sabar. Lalu sebelum Anton
berbicara lebih banyak, ia segera mendahului de?
ngan nada yang sama sabarnya, "Anda tahu ham?
batan yang saya maksud, Pak Anton?"
Pada saat itulah, Ningsih membuka matanya.
Malah ia merasa perlu untuk duduk tegak de?
ngan mata awas, dan sikap waspada. Kantuknya
seketika hilang tanpa pamit.
Anwar sempat menangkap gerakan dan reaksi
wanita itu, tapi berlagak tidak tahu apa-apa. De?
ngan tenang Anwar melanjutkan, "Klausul 7 di
halaman 12. Atau apakah surat wasiat ini perlu
saya bacakan kembali, Pak Anton?"
Anton melirik ke tumpukan berkas di atas
meja. Beberapa di antaranya sudah terbuka karena
mereka tadi sempat membicarakannya. Tetapi salah
satu map, masih tetap tertutup, bahkan terikat
rapi oleh benang emas. Tanpa bergairah Anton
mendengus, "Lupakan saja!"
Anwar menggeleng sopan. "Tidak semudah itu.
Karena jelas disebutkan, dengan tegas pula, bahwa
hak milik atas rumah maupun tanah sekitarnya,
sepenuhnya jatuh pada Amelia...."
Untuk pertama kali, Ningsih berkomentar. Bi?
isteri Kalung Setan.indd 44
44 2/2/11 2:24:52 PM isteri Kalung Setan.indd 45
caranya getir pula, "Kondisi Amelia tidak memung?
kinkan untuk mengambil keputusan!"
"Saya setuju!" sahut Anwar, tersenyum. "Penye?
lesaiannya, klausul 9. Hak kepemilikan itu berlaku
sampai Amelia sembuh, atau sampai ia dewasa se?
cara hukum untuk mengambil keputusan yang
terbaik menurut dirinya sendiri..." Anwar menarik
napas panjang dan lelah. "Sekarang ia memang
sudah 24 tahun. Sudah lebih dewasa jika dilihat
dari sudut umur. Tetapi ditinjau dari sudut..."
"Hukum," Ningsih menyambar cepat. "Aku me?
mang bodoh. Tetapi menurut sedikit yang kutahu...
hukum mempunyai garis kebijaksanaan tertentu.
Apalagi menyangkut seorang idiot... oh, maksudku,
keterbelakangan mental. Bahkan terkadang aku ber?
pikir Amelia bukan hanya cacat mental. Aku kha?


Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

watir, jangan-jangan jiwanya pun sudah..."
Anwar telah membuka mulut.
Tetapi Anton lebih cepat, "Amelia masih dalam
batas kewarasan, Bu. Dan, tolonglah jangan kau
lupa, Amelia itu anakku. Berarti dia juga anak
Ibu." Ningsih berpaling ke jendela. "Maaf," bisiknya,
samar. "Ibu tenang saja. Nanti kubereskan masalah
ini." "Bereskanlah!" "Hei. Bersabarlah sedikit, Bu. Bukankah
kita..." 45 2/2/11 2:24:52 PM Anwar Sulaeman batuk-batuk kecil, katanya,
"Nanti saja Anda berdua diskusikan hal itu.
Oke?" Ia melihat ke jam dinding karena cuaca di luar
rumah memang sudah mulai gelap.
"Maaf," Anwar cepat berkata. "Saya ada janji
dengan klien lain pukul sembilan nanti. Tetapi se?
belum pergi, akan saya perlihatkan jalan keluar.
Yakni, klausul 10. Intinya, berlaku seperti apa
yang telah diberlakukan selama ini terhadap peng?
gunaan hasil kontrak sewa rumah serta peternakan
yang telah didepositokan atas nama Amelia.
Anda..." Menatap lurus ke mata Anton sesaat, Anwar
Sulaiman kemudian meneruskan, "Anda berhak
mengelola sendiri, menggunakannya sesuai kepan?
tasan dan, tentu saja, dengan mengutamakan ke?
pentingan dan perawatan Amelia..." Anwar diam
lagi sejenak, ia berdesah sambil lalu, "Setahu saya
deposito itu cukup besar. Tentu masih banyak
yang tersisa sehingga tanah di sekitar sini tidak
perlu dijual sebanyak yang Anda sebutkan tadi!"
Anton diam. Ningsih lebih terdiam lagi.
Anwar Sulaeman pura-pura sibuk membenahi
berkas di meja, seraya mengutuk marah dalam
hati. "Jadi itu sebabnya mereka tiba di sini sedemi?
kian cepat! Ya Tuhan, kasihan Amelia...!"
Dari belakang rumah terdengar suara Rudi ter?
isteri Kalung Setan.indd 46
46 2/2/11 2:24:52 PM isteri Kalung Setan.indd 47
bahak-bahak dan Solavina cekikikan. Solavina bah?
kan memekik pendek, "Bangsat kau, Rudi!"
Anwar selesai berbenah, mengamati apakah ma?
sih ada yang belum disimpannya ke dalam tas, se?
telah itu ia menutup, lalu mengunci tasnya. Ia
berdiri, mengucapkan selamat malam, dan berjalan
menuju pintu depan sewaktu Ningsih mengeluh
di belakangnya, "Apakah tidak ada jalan keluar
yang lebih baik, Pak Anwar?"
Anwar membalikkan badan. Memandangi suami-istri itu sejenak, kemudian
ganti memandang ke lantai atas, tempat Amelia
tadi naik dan belum juga turun. Membayangkan
Amelia terlunta-lunta menyedihkan di atas sana,
rasanya Anwar ingin menangis. Dan setelah kem?
bali menatap suami-istri di hadapannya, kembali
terlihat jelas raut wajah mereka yang penuh harap,
namun berbau ketamakan. Kesedihan Anwar
Sulaiman seketika tersentak oleh kemarahan.
Anwar berusaha sekuat tenaga untuk menenang?
kan diri, lalu bergumam datar, "Tentu saja ada,
Nyonya, dan juga mudah...."
"Katakan!" Ningsih menyerbu.
"Jika Amelia, anak tiri Nyonya, mati men?
dadak. Paham maksud saya, Nyonya?"
Tanpa menunggu reaksi, Anwar Sulaeman mem?
balik badannya kembali, lantas bergegas meninggal?
kan ruangan yang seakan dipenuhi jarum beracun
yang diarahkan ke sekujur tubuhnya.
47 2/2/11 2:24:53 PM Di luar pintu, berdiri sejenak di beranda,
Anwar berucap, "Ya Tuhan, berkata apa aku
barusan?" Padahal sejak mereka belum tiba, ia sudah me?
rencanakan untuk bercengkerama meski sejenak
bersama Amelia. Ia ingin tahu lebih banyak me?
ngenai perkembangan mental anak gadis yang
malang itu. Sejauh mana Amelia mengerti tentang
artinya hidup dan kehidupan.
Nyatanya kini, bukan saja rencana itu terpaksa
harus ia tunda hingga kesempatan mendatang. Ia
bahkan didatangi pemikiran pasti bahwa Amelia
bahkan tidak memahami hidup dan kehidupan
manusia di sekitarnya. Padahal manusia di sekitar?
nya hanya berjumlah empat orang. Dan satu di
antaranya bahkan ayah kandungnya sendiri!
Sejak semula Anwar semestinya sudah menduga
semua itu. Lalu, apa yang dia lakukan" "Amelia mendadak
mati...!" Anwar tak henti mengutuk diri sendiri ketika
menuruni beranda. Ia baru agak terhibur sewaktu seseorang dengan
cepat menyusul, menemaninya menuju mobil di
halaman, dan membukakan pintu untuknya de?
ngan gaya orang itu yang selalu tertib, sopan, dan
penuh hormat. "Kau tahu, Hartadi?" Anwar terusik untuk me?
lampiaskan sedikit kemarahannya.
isteri Kalung Setan.indd 48
48 2/2/11 2:24:53 PM isteri Kalung Setan.indd 49
"Ada apa, Tuan Pengacara?"
Sebutan itu sudah sering didengar Anwar. Beda?
nya kali ini, Anwar tersedak, dan sempat berpikir
untuk beralih mata pencaharian saja. Ia tersenyum
pahit, lantas memberitahu, "Entah beruntung
entah tidak, Hartadi. Kau bakal punya nyonya
majikan yang hebat!"
Hartadi diam saja. "Memangnya dia pikir siapa dia, eh?" dengus
Anwar tak peduli, seraya masuk ke mobil. "Bang?
sawan berdarah biru, huh?"
Hartadi menutupkan pintu mobil perlahan.
Anwar menghidupkan mesin, sambil menerus?
kan umpatannya, "Haram jadah. Pelayan tak tahu
diri!" Hartadi tetap diam. Matanya mengikuti mobil
itu berlalu menuju gerbang, kemudian lenyap di
balik keremangan senja. Seujung rambut pun Hartadi tidak merasa ter?
luka, apalagi terhina. Ucapan sarkastis tuan pengacara itu, diterima
Hartadi apa adanya. Ada dua hal ia peroleh dari
ucapan sarkastis itu. Pertama, ia tahu ucapan itu
sesungguhnya tidak ditujukan pada dirinya, walau?
pun Hartadi memang seorang pelayan. Hal kedua
adalah seberapa gagah, perlente, dan tingginya
ilmu sang pengacara, tetap saja beliau manusia
biasa. Hartadi menarik napas panjang, lalu berjalan
49 2/2/11 2:24:54 PM gontai menuju pintu masuk samping rumah yang
menuju langsung ke tempat ia seharusnya ber?
ada. Hartadi sendiri yang menentukan kebiasaan
tersebut. Juragan Besar yang sudah lama mening?
gal, begitu pula Nyonya Besar yang meninggal le?
bih cepat, pernah menegur kebiasaan Hartadi itu.
Tetapi Hartadi teguh pada pendiriannya. Pintu
depan hanya boleh dilaluinya jika memang perlu
dan harus. Menurut pandangan Hartadi yang se?
derhana, pintu depan itu hanya pantas menjadi
hak juragan atau tamu terhormat mereka saja.
Bukan untuk dirinya atau istrinya.
Sewaktu melangkah ke pintu, ia mendengar
suara samar di atas. Suara itu berasal dari balik jendela yang ter?
tutup. Hartadi belum sempat melihat siapa yang telah
naik ke lantai atas. Tetapi ia tahu siapa yang saat
ini berada di balik jendela itu.
Hartadi kemudian masuk ke dapur.
Pada istrinya yang sedang sibuk menyiapkan
hidangan makan malam, Hartadi mengeluh, "Aku
mencemaskan Non Lia."
isteri Kalung Setan.indd 50
50 2/2/11 2:24:54 PM isteri Kalung Setan.indd 51
TIGA KECEMASAN Hartadi memang beralasan.
Di kamar tidur yang jendelanya diperhatikan
Hartadi itu, Amelia sudah tergerak untuk naik ke
ranjang besar. Keterkejutannya telah hilang berkat
kemunculan Solavina. Amelia idiot, itu memang betul. Tetapi seperti
orang-orang lainnya yang jauh lebih normal dari
dirinya, Amelia juga memiliki alam bawah sadar.
Alam bawah sadar itulah yang selama ini mem?
beri dorongan pada Amelia untuk tetap bertahan
hidup dan senantiasa melindungi dirinya. Meski,
pada saat-saat diperlukan, alam bawah sadarnya
mendadak hilang keseimbangan, tidak kuasa mem?
bantu Amelia, walau hanya untuk menahan leher?
nya agar tidak teleng terlalu dalam.
Alam bawah sadar yang sama memberitahu
Amelia apa yang dikehendaki Solavina. Lantas
Amelia merasa tercambuk dari dalam. Dan cam?
51 2/2/11 2:24:55 PM bukan itu menyakitkan, amat sangat menyakit?
kan. Kini perasaan lelahnya muncul kembali, bahkan
lebih parah. Maka Amelia pun melangkah ke tem?
pat tidur, lantas naik dengan cara biasa seperti ke?
tika ia harus mencapai tempat yang sedikit jauh
dari telapak kakinya, yaitu bersusah payah dengan
tubuh meliuk-liuk. Dan terdamparlah ia di sana.
Dalam temaram kamar yang kemudian meng?
gelap karena pergantian waktu.
Senja sudah menuju malam. Itulah salah satu
hal yang diketahui Amelia dari sedikitnya penge?
tahuan yang mampu diraihnya tahun demi tahun
belakangan ini. Salah satu pelajaran yang diperoleh
dari guru-guru privatnya adalah jika tubuh rebah,
berarti tubuh ingin beristirahat. Jika mata lelah,
berarti mata ingin tidur.
Amelia mencerna semua itu, lalu mencoba ti?
dur. Tetapi dari bantal yang sedikit tinggi, matanya
justru tertuju ke permukaan kosong di sebelah
pintu kamarnya. Rasanya ada yang hilang dari per?
mukaan itu. Ia tidak tahu apa, tetapi ia coba men?
duga-duga. Sebuah meja. Tetapi meja apa"
Dan mengapa ada cahaya memantul dari balik
meja itu" Masih ada lagi yang coba dicerna dan diingat
isteri Kalung Setan.indd 52
52 2/2/11 2:24:55 PM isteri Kalung Setan.indd 53
Amelia. Ingatannya teramat lemah. Tetapi lambat
laun ia memahami keinginannya sendiri.
Ada meja. Tentu ada yang memilikinya. Atau
memakainya. Siapa" Oh ya, seseorang, seperti dirinya. Perempuan.
Tetapi mengapa perempuan itu tampak membung?
kuk ke meja" Apa yang tengah dilihatnya"
Amelia mengerjapkan matanya yang semakin
lelah. Bayangan samar dan kacau itu menghilang,
lalu muncul gambaran yang jelas, serta nyata.
Bayangan itu lukisan besar yang tergantung
pada tembok di dekat pintu. Apakah lukisan itu
sudah ada di sana jauh sebelumnya, atau baru di?
pasang tadi pagi. Entah oleh siapa, Amelia tidak
terlalu peduli. Perhatiannya lebih tertarik pada lukisan itu sen?
diri. Dengan gembira, Amelia melihat pemandangan
anak sungai yang mengalir tenang. Dinaungi pe?
pohonan rimbun dengan latar belakang langit biru
keperakan. Satu-satunya makhluk di lukisan itu
adalah kelinci besar dan gemuk, tengah memamah
sesuatu di dekat rerumputan yang hijau seperti
zamrud.

Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh, oh, ada lubang di belakang kelinci itu.
Terlindung akar-akar pepohonan. Tentu lubang
persembunyian si kelinci. Barangkali di sana ada
teman-temannya, anak-anaknya, dan...
53 2/2/11 2:24:55 PM Tiba-tiba mata bundar Amelia membelalak le?
bar. Dari lubang itu terlihat sesuatu merayap ke
luar. Sesuatu yang bulat, panjang dan hitam legam
dengan bagian depan yang tumpul. Sesuatu itu
terus saja merayap, terkadang meliuk-liuk.
"Kok seperti aku!" Amelia ingin berseru. Sa?
yang yang keluar dari mulutnya hanya, "Aaa...
uuubaaa... tah, tah... oh... sshisss, shhhiiisss!"
Amelia sadar mulutnya mendesis.
Tetapi mengapa ada desis lain yang ia dengar"
Oh, oh. Desis itu datang dari makhluk hitam
yang telah sepenuhnya keluar dari lubang di ba?
wah akar-akar pepohonan. Makhluk itu panjang,
tetapi tak jelas bagian kepala dan ekornya karena
ukuran dari ujung satu ke ujung lain persis sama.
Baru setelah makhluk itu mengangkat salah satu
ujungnya perlahan, Amelia tahu bagian itu tentu
kepala sang makhluk. Karena perlahan terlihat
pula dua bintik hijau kemerahan di ujung yang
terangkat itu. Amelia ingin bangkit. Tetapi ia cuma mampu mengibaskan tangan.
Amelia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Tetapi
hasilnya cuma, "Aaa... uuu, baa... tah, tah!"
Kelinci itu tidak melihat makhluk yang muncul
dan tengah mendatangi dirinya. Kelinci itu tidak
mendengarnya. Kelinci itu tetap makan dengan
isteri Kalung Setan.indd 54
54 2/2/11 2:24:56 PM isteri Kalung Setan.indd 55
lahap. Apakah kelinci itu tidak tahu ada bahaya
mengerikan di belakangnya"
Amelia mulai menggelepar karena takut pada
nasib si kelinci. Dan ia menggelepar lebih hebat lagi sewaktu
menyaksikan makhluk hitam itu menurunkan ke?
pala, merayap lagi, lagi, dan lagi... untuk memberi
tempat kepada satu, dua, tujuh, tiga puluh... oh,
ratusan makhluk sejenis yang berlomba ke luar
lubang. Dipimpin oleh makhluk pertama, ratusan
makhluk yang sama mengerikan itu meliuk liar
dan semakin liar ketika sudah melampaui kanvas
lukisan, dan merayapi bingkainya. Penuh di ke?
empat sisi bingkai, makhluk-makhluk itu beralih
menuju tembok. Di sana, mereka semua melekat
diam. Itu pun sebentar. Ada sesuatu yang meng?
usik mereka. Oh, sosok seseorang. Perempuan.
Perempuan itu masuk melalui pintu, dan me?
noleh ke tempat tidur. Astaga, wajah itu. Bukan?
kah itu wajah Amelia sendiri" Tetapi hidungnya
kok tidak begitu bagus, agak besar. Jika hidung itu
lebih kecil sedikit, lebih mencuat pula ke de?
pan... Amelia meraba hidungnya sendiri.
Dan itulah yang ia rasakan. Hidungnya sedikit
lebih kecil dan lebih mencuat ke depan ketimbang
hidung perempuan yang baru masuk ke kamar itu.
55 2/2/11 2:24:56 PM Hal itu juga yang membedakan mereka berdua.
Selebihnya mirip. Baik mata, dahi, hidung, dagu,
maupun leher.... Astaga, leher itu... sesuatu yang melingkarinya.
Oh, ternyata makhluk pemimpin tadi. Si perem?
puan tersentak kaget. Ia terlambat. Makhluk itu telah melilit lehernya. Semakin
lama lilitannya semakin mencekik. Yang lebih me?
nakutkan, warna makhluk itu berubah-ubah. Se?
bentar hitam legam sebentar kuning keemasan,
seperti kalung. Dan kalung emas itu juga terus
membelit, terus mencekik.
Amelia berusaha bangkit. Untuk menolong. Tapi sekujur tubuhnya bukan saja begitu le?
mah, tetapi juga panas. Sangat panas dan uap pa?
nas itu membakar dari dalam tubuhnya, meng?
hancurkan apa saja yang dilaluinya, membakar te?
rus hingga ke atas, merayap di kerongkongan dan
tenggorokan Amelia dalam bentuk cairan meng?
gelegak. Tak tahan, Amelia meronta.
Gagal meronta, ia menggelepar, dan terus
menggelepar. Lalu samar-samar terdengar suara sesuatu pecah
berantakan. Seperti kaca. Perempuan itu lenyap
dari pandangannya. Tetapi makhluk-makhluk itu
masih ada. Masih melekat diam di tembok.
isteri Kalung Setan.indd 56
56 2/2/11 2:24:57 PM isteri Kalung Setan.indd 57
Ke mana pemimpinnya" Dan cairan apa yang
terasa mengalir dari sudut bibir Amelia"
Ada yang mendekat. Lalu terdengar suara memanggil pelan, "Non"
Non Amelia...?" Amelia tidak berani menoleh ke pintu. Ia me?
natap tembok tanpa berkedip.
Aneh. Begitu terdengar suara menyebut nama
Amelia, dengan serempak mahluk-mahluk itu
menghilang. Semua lenyap begitu saja. Tanpa meninggalkan
bekas, tanpa bersuara. *** Dari pintu, Hartadi melihat sosok yang berbaring
di atas ranjang besar. Semula ia mengira sosok itu
tidur, tetapi kemudian tampak menggeliat, seperti
berusaha bangun, namun gagal. Hartadi menggapai
ke tembok di sisi pintu. Setelah menemukan sa?
kelar, ia menekan, dan seketika kamar tidur itu
pun terang benderang. Amelia memang terjaga, tetapi wajahnya sangat
pucat. Dari sudut-sudut bibirnya mengalir buihbuih kekuningan. Dan, tubuh gadis itu meng?
gelepar hebat sampai tempat tidurnya bergun?
cang. Hartadi menghambur masuk seraya berseru ter?
tahan, "Ya Tuhan! Non Amelia...!"
57 2/2/11 2:24:57 PM Hartadi memberanikan diri memegangi lengan
Amelia, menekannya ke kasur. Tetapi lengan-le?
ngan mungil itu melawan, bahkan kemudian men?
dorong dengan kuat hingga Hartadi kewalahan.
Khawatir upayanya akan semakin menyakitkan ga?
dis itu, Hartadi melepaskan genggamannya dan
buru-buru meninggalkan kamar, setengah berlari
menuruni tangga menuju lantai bawah. Dua-tiga
anak tangga ia lompati sekaligus.
Ningsih baru saja mengomel sesuatu pada
suaminya sewaktu dikejutkan oleh keributan yang
ditimbulkan Hartadi. Ningsih berpaling seketika,
dan sempat melihat pelayan itu hampir terjerem?
bap di anak tangga terbawah jika tidak keburu
berpegangan. Masih terpengaruh oleh amarah karena merasa
terhina oleh sindiran Anwar Sulaeman, Ningsih
lantas menghardik berang, "Pelayan goblok! Kau
kesurupan atau apa, hah"!"
Anton meletakkan berkas yang ditinggalkan
sang pengacara untuk ia pelajari, lalu memandang
heran pada Hartadi yang pucat, napasnya pun ter?
sengal. Ucapan Anton sedikit lebih berperikema?
nusiaan, "Setan apa yang mengejarmu, Hartadi?"
Terbata-bata Hartadi menjawab, "Setan kesu?
rupan! Eh, maaf, Tuan. Bukan setan, tetapi... Non
Amelia. Dia..." Anton mengerutkan dahi. "Ada apa dengan
Amelia?" isteri Kalung Setan.indd 58
58 2/2/11 2:24:57 PM isteri Kalung Setan.indd 59
Tanggapannya cuma, ada apa dengan dia"
Hartadi-lah kini yang heran. Bingung meman?
dangi sikap kedua majikannya yang tetap tenang,
bahkan seperti acuh tak acuh. Dalam kebingungan?
nya, Hartadi lantas memberitahu apa yang dilihat?
nya, dan menambahkan dengan cemas, "...cepat?
lah, Tuan. Jika tidak segera ditolong, Non bisa..."
Hartadi tidak berani melanjutkan.
Ningsih bangkit dari sofa. Mengambil tas ta?
ngan dari meja seraya mengeluh pada suaminya,
"Bapak saja yang mengurus anak itu. Aku harus
memasukkan pakaianku ke lemari!"
Anton memandangi istrinya berlalu, lantas ber?
sandar di tempat duduk dengan murung.
Hartadi ingin menangis rasanya, "Tuan?"
Tetapi Anton tetap tenang, katanya, "Hanya
ayan, Hartadi. Sebentar juga berhenti sendiri..."
Karena Hartadi masih tak beranjak dari hadapan?
nya, Anton pun mendengus tak senang, "Kami
semua sudah lapar, Hartadi!"
"Saya, Tuan," desah Hartadi, lirih. Seraya me?
lirik cemas ke lantai atas, Hartadi menjauhi tangga
dengan gontai. Di belakangnya, Anton tiba-tiba bertanya, "Ada
persediaan telur ayam?"
"Mungkin masih ada, Tuan."
"Usahakan supaya ada, Hartadi. Dan sertakan
dalam hidangan malam nanti!"
"Digoreng atau..."
59 2/2/11 2:24:58 PM "Mentah saja. Tiga butir. Jangan lupa!"
Tiga butir telur mentah. Sungguh hidangan makan malam yang aneh,
pikir Hartadi bingung. Belum lagi keluhan tadi, "...kami semua sudah
lapar!" Sementara di lantai atas, nona majikannya
sedang sekarat. Hartadi berjalan menuju dapur dengan sekujur
tubuh bergetar. isteri Kalung Setan.indd 60
60 2/2/11 2:24:58 PM isteri Kalung Setan.indd 61
EMPAT MAU tidak mau pengacara yang banyak lagak
itu harus setuju juga, pikir Anton Suhartono se?
waktu menaiki tangga. Risikonya terlalu tinggi jika meneruskan peter?
nakan ini. Mana harga susu mentah semakin jatuh
saja karena persaingan yang semakin tidak sehat.
Sudah waktunya memikirkan jenis usaha baru. Un?
tuk itu dia perlu modal. Memang mudah mem?
peroleh pinjaman dari bank, tetapi itu perlu waktu
dan banyak hal perlu diselesaikan lebih dulu. Pada?
hal Anton membutuhkan sejumlah uang tunai,
dan harus sesegera mungkin. Bahkan belanja ru?
mah tangganya untuk bulan depan pun, Anton
sudah tidak punya! "Andaikan si perlente itu tahu!" batin Anton,
getir. "Deposito, katanya! Apa dia tidak mau me?
ngerti, mengapa kami terlempar dari satu kota ke
lain kota. Mengais-ngais kehidupan yang masih
61 2/2/11 2:24:59 PM tersisa" Bahkan gunung pun bila terus digali bakal
habis juga!" Tanpa terasa, Anton sudah tiba di depan pintu
kamar tidur yang ditujunya. Nyaris pula terlewati
jika telinganya tidak menangkap suara tersengal di
sisi kanannya. Anton membalikkan badan, meman?
dang ke dalam, lewat ambang pintu yang ter?
buka. Amelia terkulai di atas tempat tidur.
Tidak menggelepar lagi, sebagaimana dikhawatir?
kan Anton. Memang masih pucat, dan mulut
Amelia juga masih berbuih di atas bantal yang
tampak basah, lembap kekuning-kuningan. Berdiri
tegak mematung, Anton didatangi pemikiran lain.
Pada tahun-tahun pertama Amelia sakit, Anton
bertahan hidup, demi Amelia, tetapi banyak tahun
setelahnya, Anton beserta istri dan dua anaknya
yang lain dapat bertahan hidup, berkat Amelia!
Anton merintih diam-diam.
Ia masuk ke dalam, langsung menuju pintu
kamar mandi. Setelah berada di dalam kamar mandi, dinyala?


Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kannya air dingin dan panas sekaligus. Posisinya
diatur rapi agar air yang mengucur ke dalam bak
tidak terlalu panas. Setelah itu ia menyambar se?
helai handuk kecil dari gantungan, dan kembali ke
kamar tidur. Ia menyeka keringat dan sisa buih dari wajah
pucat pasi anaknya, sambil berkata menghibur,
isteri Kalung Setan.indd 62
62 2/2/11 2:24:59 PM isteri Kalung Setan.indd 63
"Kau akan kuat kembali, sayangku. Kemudian kita
akan main ayunan sampai kita lelah. Dan besok
pagi, kau akan kuajari memancing ikan atau mau
langsung dijaring juga boleh. Setelah itu..."
Kelopak mata Amelia mengerjap.
Kemudian wajahnya yang sudah kering dan
bersih, bergerak ke samping. Matanya menatap ke
atas, ke wajah ayahnya. Sambil mengangkat se?
belah tangan dan menunjuk-nunjuk ke lukisan di
tembok, ia berkeluh kesah, "...buuuu... la-laaa...
urr, tah, tah!" Anton melihat, selain menunjuk-nunjuk, ta?
ngan anaknya juga bergerak melingkar-lingkar. Se?
jenak mengamati lukisan yang dimaksud anaknya,
kemudian Anton tersenyum, "Itu kelinci, Nak,
bukan ular!" "Tuu... oh, bangla... loo, lo, lo, shiissshh...
shissh...," mulut pucat itu membuka-tutup, tangan
Amelia menunjuk-nunjuk, dan membuat gerakan
setengah melingkar, disusul gerakan-gerakan yang
tampak rumit dengan bantuan tangannya yang
satu lagi. "Oh. Lubang di bawah akar pohon. Ah, yang
benar saja. Masa ada ular di sana. Ratusan pula
jumlahnya..." Boleh saja mengkhayal, Amelia. Tapi
mbok ya jangan kelewatan begitu!" Anton meng?
akhiri kalimatnya dengan tertawa lunak.
Tangan kanan Amelia kemudian beralih. Tela?
63 2/2/11 2:24:59 PM pak menutupi rok, pas di selangkangan. "Piip,
ah... syissss!" "Oh, mau pipis, ya" Bagus. Setelah itu, mandi
sekalian. Papa sudah siapkan air hangat dalam bak.
Nah, bangunlah. Akan Papa bantu kau buka
baju." Anton membungkuk, merangkul pundak anak?
nya. Amelia dibantu duduk, kemudian turun dari
tempat tidur, lantas Anton bergerak ke belakang
Amelia. Dengan hati-hati, ritsleting di punggung
rok terusan gadis itu diturunkan hingga rok itu
lepas. Sebelah tangan Amelia bergerak ke belakang
lewat pundak, tetapi tangan itu rupanya masih le?
mah dan tampak gemetar, sehingga gagal mem?
buka kaitan kutangnya. "Sudah. Biar Papa yang buka...," Anton sengaja
menepis lembut tangan anaknya.
Gerakan-gerakan Amelia telah membantu ba?
gian atas rok jatuh dan menggantung sebatas ping?
gang. Dan, godaan itu pun tiba.
Sebelum membuka tali kutang Amelia, setengah
sadar telapak tangan Anton mengusap punggung
dan pundak gadis itu dengan jemari bergetar.
Suaranya lebih gemetar lagi, "Pernahkah kubilang,
Amelia, kulitmu begitu halus... persis kulit ibu?
mu... Bentuk pundak kalian pun sama. Begitu
pula matamu, bibirmu..."
Kutang itu kemudian dilepasnya dari kaitan,
isteri Kalung Setan.indd 64
64 2/2/11 2:25:00 PM isteri Kalung Setan.indd 65
namun talinya masih menggantung di pundak
Amelia. Anton menggeser tali penghalang itu.
Membiarkannya jatuh melalui lengan-lengan mulus
Amelia. Anton ingin menarik mundur tangannya.
Tetapi gagal. Bahkan tangannya mengusap lebih
keras dan liar. Telapak tangan Anton terus turun
dari pundak, kemudian diselipkan lewat ketiak,
terus ke depan, meraba. Suara Anton kini tersengal, "Tetapi payudara?
mu, sayangku... jauh lebih... subur, dan..."
Dan, Anton sudah meremas payudara Amelia.
Lalu ketika puting payudara itu terusap, Amelia
mengeluh keras, "Uh, ah... taah, shissh!"
Keluh kesah Amelia bukanlah keluh kesah wa?
nita yang gairahnya terbangkit. Nadanya tegas,
geliat tubuhnya pun kaku. Bahkan kepalanya su?
dah teleng ke kiri, seakan terlepas dari tulangnya.
Itu pernyataan protes. Tetapi Anton, tidak seperti beberapa kali se?
belumnya dialaminya, kali ini dia tidak segera sa?
darkan diri. Biasanya ia langsung mundur terkejut,
menyesal dan merasa berdosa. Namun entah
bagaimana, kali ini godaan itu datang lebih kuat.
Mendesak dan menyerbu kejantanannya dengan
hebat. Cepat sekali tangannya bergerak dan sudah
membalikkan tubuh gadis itu untuk meraih bibir
ranum itu dengan bibir Anton yang langsung me?
magut, panas dan berapi-api.
65 2/2/11 2:25:00 PM Lalu seseorang berseru tertahan di luar kamar,
"Hei, Lavi. Belum selesai beraknya"!"
Itu suara Rudi. Orangnya tidak terlihat. Tetapi
suara itu begitu dekat dan nyata. Jadi Rudi ada di
luar kamar, dan itu berarti di seberang kamar
Amelia. Anton merenggang terperanjat bersamaan ke?
tika terdengar sahutan Solavina dengan suara tere?
dam, "Anak tolol! Orang lagi mulas... didesak-de?
sak!" Suara kedua itu tentunya berasal dari pintu ka?
mar mandi tertutup yang terletak di antara dua
kamar yang berdampingan. Anton bergegas menjauhi Amelia yang saat itu
pula sudah memutari tempat tidur untuk masuk
ke kamar mandi. Dan sosok tubuh Rudi tampak
berlalu di luar ambang pintu yang menganga ter?
buka. Lewat terus tanpa menoleh, namun dengan
mulut memaki-maki, "Bilang, kek, dari tadi! Aku
disuruh nungguin orang berak! Jadah sialan. Ya
sudah, aku numpang mandi di kamar Mama
saja!" Suara itu terus menjauh, dan lenyap di lantai
bawah. Amelia sudah lenyap pula di balik pintu kamar
mandi yang ditutup perlahan dari dalam. Anton
keluar dari kamar tidur yang mendadak hawanya
sangat panas dan menyesakkan itu. Lalu menyusul
isteri Kalung Setan.indd 66
66 2/2/11 2:25:01 PM isteri Kalung Setan.indd 67
turun ke lantai bawah dengan kejantanan dan
gairah yang sudah terbunuh dengan begitu cepat.
Ketika melewati pintu terbuka di kamar tidur
utama di lantai bawah itu, terdengar Rudi dan
ibunya saling mengomel, rupanya juga berebut ka?
mar mandi. Seperti biasa, Ningsih mengalah.
Ia keluar dari kamar untuk pergi ke dapur. Pasti
untuk melihat-lihat apakah hidangan makan malam
sudah siap, sekaligus meyakinkan apakah tersedia
sambal dalam jumlah yang cukup dan harus pedas
pula. Solavina akan uring-uringan jika jatah sambal?
nya kurang, apalagi bila terasa manis. Ningsih juga
belum terlepas dari pengaruh akhir pertemuannya
dengan si pengacara tadi, ditambah lagi keributan
kecil gara-gara penyakit Amelia kambuh. Semua itu
tentu membuat Ningsih mumet dan tidak menaruh
perhatian pada hal-hal di sekitarnya.
Anton selamat. Padahal sewaktu istrinya muncul dari kamar, ia
sempat pucat dan gugup karena sempat berpikir
bahwa Rudi tahu dan telah memberitahu ibunya.
Anton gembira istrinya lewat begitu saja. Tetapi
kegugupannya tidak segera reda. Anton lalu ke
luar rumah dengan pikiran menerawang.
Setibanya di luar rumah, ia berjalan tanpa
tujuan sampai akhirnya melihat bangku semen di
pinggir kolam. Di sanalah Anton kemudian mengenyakkan
67 2/2/11 2:25:01 PM bokongnya yang masih gemetar. Menenangkan pi?
kiran sambil berharap air kolam yang jernih mem?
bantunya mengurangi ketegangan dengan melihat
ikan emas dan mujair di kolam itu berkeliaran, di
bawah cahaya rembulan. Tetapi air kolam keruh. Kekeruhan itu lebih kental lagi di saluran ma?
suknya air. Ah, tentu saja. Bukankah tadi sore ke?
tika ia membelokkan mobil memasuki pintu ger?
bang, Hartadi sedang sibuk memperbaiki saluran"
Hartadi tampak gembira melihat kedatangan me?
reka. Saking gembiranya, pacul di tangan dilempar?
kan begitu saja. Pacul! Hei, apa yang dapat diperbuat dengan
sebuah pacul" Dengan sebuah sekop pula!
Astaga, Anton sudah melupakan apa yang se?
menjak di Pandeglang terus memenuhi benaknya,
dan membuatnya gelisah sepanjang perjalanan.
Anton begitu tak sabar. Bahkan diam-diam ia ta?
kut terlambat. Siapa tahu ia didahului sese?
orang... Ah, siapa pula yang mendahului Anton"
Hanya dia seorang yang tahu!
*** Kemurungan dan perasaan berdosa Anton lenyap
seketika. isteri Kalung Setan.indd 68
68 2/2/11 2:25:02 PM isteri Kalung Setan.indd 69
Matanya liar mencari dengan bantuan sinar te?
maram rembulan. Akhirnya ia melihat pacul itu
tergeletak di rerumputan. Mata pacul setengah ter?
benam di selokan. Ia bangkit dari duduknya. Pacul
itu dipungut dan ditimang-timang. Ah, tidak
begitu berat. Mata pacul pun tampaknya terawat
baik. Bagaimana dengan sekop"
Tentunya ada di gudang, dan gudang ada di
bagian dalam bangunan. Jika belum dialihkan oleh
penyewa yang baru saja angkat kaki, gudang itu
masih bersebelahan dengan kamar mandi pelayan
itu. Anton harus masuk ke sana. Dan besar ke?
mungkinan ia akan berpapasan dengan seseorang,
yang tentu akan bertanya, "Malam-malam begini
menggotong sekop. Apa yang mau digali"!"
Jadi, lupakan saja sekop. Apalagi ada ember di
dekatnya. Sampah galian dari saluran ditumpahkan Anton
dari ember, lalu ia gelisah sendiri ketika sadar sam?
pah itu justru ditumpahkannya ke kolam. Seketika
terdengar suara berkecipak yang riuh, dan banyak
kepala ikan berbagai ukuran serabutan di dalam
air. Berebut sampah yang mereka kira limpahan
makanan segar. Ikan-ikan itu tidak lagi menarik perhatian
Anton. Ia juga tidak tertarik memikirkan akan ada yang
69 2/2/11 2:25:02 PM ribut jika tiba waktunya makan malam, "Papa ke
mana, sih?" Ataupun jika Ningsih mengomentari seperti
biasa, "Kalian toh sudah tahu adat Ayah kalian.
Pergi atau makan kapan dia suka. Memang me?
nyusahkan, tapi..." Anton bergumam gembira, "Kalian makanlah
dulu. Sampai muntah pun jadi!"
Lantas Anton menyelinap ke luar pintu ger?
bang. Sudah malam, Anton sempat sibuk mencari
arah karena letak jalan lama yang akan ia lalui su?
dah berpindah tempat, dan setelah belasan tahun,
pasti banyak hal lain yang juga sudah berubah.
Tetapi ia tahu betul, satu hal yang tidak boleh
diubah atau bahkan diusik oleh siapa pun peng?
huni atau penyewa rumah besar serta tanah peter?
nakan di sekitarnya. Makam keluarga! Ke sanalah Anton Suhartono melangkah tanpa
peduli hawa malam yang sejuk, namun meng?
gigit.

Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disulutnya sebatang rokok. Oh ya, dia lupa
membawa senter, tetapi sekotak korek api bukan
melulu dihabiskan untuk menyalakan rokok se?
mata. Korek api pun dapat dipergunakan untuk
membaca tulisan di batu nisan seseorang. Kerangka
di bawah batu nisan itu juga tidak perlu dicermati
karena apa yang harus diterangi korek api itu
nanti adalah hal lain. Sesuatu yang seharusnya
isteri Kalung Setan.indd 70
70 2/2/11 2:25:02 PM isteri Kalung Setan.indd 71
masih ada di antara tumpukan tulang belulang
itu. Anton pun berjalan semakin cepat. Semakin
tak sabar. Rembulan di langit terseok-seok, mengikuti.
Barangkali juga ikut mendengarkan seruan Anton
yang riang gembira, "Oh, harta karunku. Ini aku
datang padamu. Si penggali kubur!"
Sebenarnya, ada betumpuk-tumpuk harta karun
lain yang bisa dilego kapan saja Anton mau.
Di belakang Anton, ada rumah besar dan ber?
tingkat pula. Di sekitar, ada berhektar-hektar tanah
dengan kondisi harga rumah dan tanah yang
sedang melambung pula. Sungguh sangat meng?
goda, sangat menggiurkan. Sementara yang ia buru
sekarang ini, hanya benda kecil yang nilainya tidak
seberapa. Tetapi benda yang tidak seberapa itu da?
pat berarti banyak untuk masa depan Anton dan
keluarganya. Seperti ketika benda itu pernah memberi begi?
tu banyak arti pada hari-hari Anton di masa lalu.
Anton pun akhirnya tiba di tempat yang dituju?
nya. Disambut kesunyian kuburan.
Di depan batu nisan yang tegak membeku, se?
akan membalas tatapannya.
71 2/2/11 2:25:03 PM LIMA DI rumah yang ditinggalkan, kehidupan terus
berjalan. Keributan kecil sempat terjadi di meja makan.
Bagaimana tak ribut. Tokoh utama di rumah
itu tidak tampak batang hidungnya, walau sudah
dicari ke sana kemari. Sempat timbul banyak
duga, masing-masing berusaha memperkuat dugaan
sendiri. Akhirnya Ningsih menganggap dugaannya
paling benar, "Paling-paling Ayah kalian pergi me?
lihat sapi-sapi yang sakit itu. Ingin cepat tahu, se?
harga berapa kira-kira laku dijual!"
Solavina nyeletuk, "Yang ingin cepat tahu itu,
Papa atau Mama?" Ningsih tersentak, "Tutup mulutmu, Lavi! Dan
ingat, kau yang paling banyak menghabiskan
uang!" Solavina cemberut. Rudi terkekeh. isteri Kalung Setan.indd 72
72 2/2/11 2:25:03 PM isteri Kalung Setan.indd 73
Odah, istri Hartadi, yang bolak-balik dari da?
pur ke meja makan untuk memenuhi perintah
atau permintaan yang tak kunjung habis dari para
majikannya, pura-pura tidak mendengar obrolan
mereka. Sementara Hartadi yang sesekali ikut
membawakan sesuatu, lebih mencurahkan per?
hatiannya pada kamar di lantai atas. Ketiga orang
itu seperti tidak menyadari bahwa ada satu orang
lagi yang belum turun untuk makan malam. Dan
Hartadi tidak berani naik untuk memanggil
Amelia karena tidak ada perintah.
Baru setelah makan malam berakhir, keluar pe?
rintah beruntun dari mulut Ningsih. Namun tak
satu pun bersangkutan dengan Amelia. Perintah
pertama pada Odah, "Begitu suamiku pulang,"
katanya, dengan memberi tekanan pada kata
"suamiku", "...segera hidangkan makan malamnya.
Jangan lupa, panasin dulu!"
"Baik, Nyonya."
Kepada Hartadi, "Biarkan telur-telur itu di tem?
patnya!" Hartadi tidak jadi mengangkat mangkuk kristal
berisi tiga butir telur ayam mentah yang masih
utuh, tidak disentuh, lalu Hartadi diam, dengan
patuh mendengarkan perintah berikut, "Cari dua
pelayan lagi. Satu anak perempuan tanggung, khu?
sus membereskan kamarku dan membantu
menyisir rambutku. Satu lagi, kira-kira seumurmu,
khusus mencuci pakaian dan menyetrika. Jadi
73 2/2/11 2:25:04 PM tidak akan berantakan kalau hanya istrimu yang
mengerjakan!" "Tetapi, Nyonya. Odah sudah biasa, dan..."
"Eee. Bukannya berterima kasih tugas istrimu
diringankan!" Ningsih mendelik, "Aku ingin se?
muanya sudah tampak bersih dan rapi ketika
suamiku siap meninggalkan rumah, terutama se?
waktu dia pulang. Paham?"
Hartadi gagap, meminta maaf.
Dan sekali lagi Solavina nyeletuk, "Berangkat
ke mana dan pulang dari mana, Mama?"
"Lavi?" Solavina cemberut, Rudi menahan tawa.
"Agaknya kau lupa, Lavi. Ayahmu sudah capek
jadi kuli orang lain. Dia akan segera jadi direktur.
Semestinya kau tahu terima kasih. Apalagi ayahmu
sudah menjanjikan kursi sekretaris untukmu. Se?
lain itu..." "Aku ada di sini," Rudi menyela, santai. Meng?
umumkan kehadirannya. Barulah Ningsih tersenyum, "Mana mungkin
Mama melupakanmu, Rudi" Yang benar saja.
Tetapi... waktu itu Mama sudah pernah bilang,
kau harus masuk Perguruan Tinggi. Berusahalah
sekeras mungkin agar kelak jika ayahmu sudah
tua, kau siap menggantikan posisinya sebagai direk?
tur!" "Yaaa, masih lama dong, Mama"!"
"Mama juga mengerti. Tentu saja kau tidak
isteri Kalung Setan.indd 74
74 2/2/11 2:25:04 PM isteri Kalung Setan.indd 75
usah menunggu sampai ayahmu pensiun. Jika kau
sudah Sarjana, kau bisa menduduki kursi lain se?
bagai batu loncatan, ya, toh" Lagi pula ayahmu
bilang, meski kau harus kuliah, kau bakal punya
saham sendiri. Keuntungannya setiap bulan dapat
kauambil, dan..." Solavina merengek tak sabar, manja, "Jadi eng?
gak kita turun ke kota, Mama" Nanti diskonya
keburu bubaran, ah!"
Ningsih terkejut dan bangkit dari kursinya, "As?
taga, sampai lupa. Ayolah. Tetapi singgah dulu di
pasar swalayan, ya" Mama kehabisan kuteks,
nih!" "Dan satu jaket!" Rudi cepat mengingatkan.
"Di sini dinginnya bukan main. Dan tolong pilih
yang tebal!" "Kau enggak ikut?" Ibunya mengernyit.
Rudi menunjuk ke mangkuk berisi telur men?
tah. "Jika Papa lihat telurnya masih di sini, Lavi
tak bakal jadi sekretaris. Dan aku kehilangan sa?
ham!" Habis berkata demikian, Rudi menguap
lebar-lebar. "Bilang saja ngantuk. Apa sih susahnya?" Sang
ibu tersenyum. "Sebentar, Lavi. Mama ambil tas
dulu...." Tak lama kemudian, Ningsih dan putrinya su?
dah menghilang di kegelapan malam.
Hartadi memperhatikan sampai lampu belakang
mobil yang mereka naiki tak terlihat lagi, lantas
75 2/2/11 2:25:05 PM menutup pintu depan dan kembali masuk ke ru?
mah. Di sana dilihatnya Rudi menyendokkan se?
dikit nasi dan lauk pauk seadanya ke piring. Se?
gelas air putih dijejalkan hati-hati di antara butirbutir telur dalam mangkuk kristal. Dengan piring
dan mangkuk di masing-masing tangan, Rudi per?
gi ke tangga, menuju lantai atas.
Hartadi sempat memandang bingung pada
telur-telur mentah di mangkuk itu. Tetapi sedikit?
nya ia merasa lebih lega sekarang karena toh me?
reka ingat pada Amelia juga, meski begitu lambat,
dan hidangan yang dibawa ke atas pun seadanya.
Lantas Hartadi membenahi yang masih tersisa
di meja, membawanya ke dapur. Di sana, istrinya
langsung menyambut dengan umpatan, "Lagaknya,
huh!" "Siapa yang berlagak, Odah?" tanya Hartadi,
kalem. "Perempuan sialan itu. Siapa lagi?"
"Huss. Jangan keras-keras. Lagi pula, dia itu
nyonya kita..." "Nyonya, huh! Bahkan lebih nyonya daripada
Nyonya Besar yang sudah almarhumah. Dibanding?
kan Nyonya Kecil yang juga sudah almarhumah,
dia itu tak ada seujung kuku! Apa dia bilang tadi"
Pelayan khusus untuk menyisir rambutnya" Wah!
Bukan main! Belum lagi disko! Kuteks! Dan pan?
dangan matanya yang menghina ketika tadi dia
mengatakan "suamiku" pada majikannya..."
isteri Kalung Setan.indd 76
76 2/2/11 2:25:05 PM isteri Kalung Setan.indd 77
"Bekas majikan, Odah. Dan memang suami
sahnya." Hartadi berusaha sabar meski dalam hati
ia pun jengkel alang kepalang.
"Memang! Tapi mbok ya ingat sedikit dong,
dari kubangan mana dia berasal! Apa dia kira aku
sudah lupa, bagaimana dua puluh tahun silam dia
berkeluh kesah di sini. Di dapur ini! Mengomel
tentang Non Amel yang katanya sudah banyak
omong, banyak tanya, bahkan liar. Dia sampai
menangis di sini. Dia bilang mau berhenti saja
jadi pelayan Non Amel. Jika aku tidak mengingat?
kannya untuk sabar, entah jadi apa dia sekarang!"
Hartadi termenung. Ada satu-dua kata istrinya
yang terasa begitu mengusik, kemudian menusuk
di lambung. Banyak omong... banyak tanya... liar!
Hartadi menafsirkannya sebagaimana ia pernah
mengenal Amelia di kala bocah: bijak, pintar, dan
maunya bergerak terus. Jika tidak seluruh tubuh,
ya tangan atau kaki dan mulutnya, tentu saja!
Hampir setiap orang tua mendambakan anak de?
ngan tipe itu. Tetapi dengan anak seperti Amelia yang seka?
rang berada di lantai atas, bahkan Hartadi pun
diam-diam bergidik. Amit-amit!
"Coba simak, Kang," Odah terus saja meracau,
"Bicara apa mereka di meja makan tadi" Masa de?
pan yang hebat-hebat pula. Apa Ningsih itu tak
sadar harta siapa yang telah dan kelak akan me?
reka habiskan, eh?" Odah tampak benar-benar
77 2/2/11 2:25:05 PM marah. "Sungguh sayang! Mestinya dulu, ketika
ibunya Non Amel memergoki sang suami ke?
tiduran di kamar pelayan mereka, telanjang pula
dua-duanya... dia bunuh saja pelayan itu. Paling
tidak ya, dilempar ke penjara. Ini, malah diberi
uang!" "Supaya dia mau pergi baik-baik, Odah. Dan
supaya dia tutup mulut..."
"Nyatanya, Kang, si Ningsih yang tak tahu di?
untung itu, masih mengejar-ngejar Tuan Anton
juga, ya, kan"!"
"Salah, Odah. Kita berdua tahu, Tuan Anton
yang mengejar Ningsih. Yang patut disayangkan,
ibunya Non Amel mengeluh pada kita, bukan
pada almarhum Juragan Besar. Tetapi bagaimana
lagi" Dia sangat mencintai suaminya, sekaligus ta?
kut pada kemarahan Juragan Besar!"
"Sampai dia termakan guna-guna!" Odah me?
ngeluh, sedih. Tiba-tiba wajahnya pucat pasi. De?
ngan gemetar, ia memegangi tangan suaminya,
"Aduh, Kang, celaka!"
"Lho. Ada apa?"
"Aku lupa, si Ningsih itu suka mengguna-guna
orang. Jangan-jangan karena omonganku barusan..."
"Kita diteluhnya pula?" Hartadi berujar sedih.
"Sudah selemah itukah imanmu, Odah?"
"Maaf, Kang. Aku begitu terkejut dan takut
sendiri..."

Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isteri Kalung Setan.indd 78
78 2/2/11 2:25:06 PM isteri Kalung Setan.indd 79
"Sebaiknya kau lekas ambil air wudu. Salat su?
nah, sana!" "Iya, Kang." Tetapi setelah istrinya berlalu dari hadapannya,
Hartadi toh bergidik sendiri. Saking merasa seram,
bulu kuduknya berdiri. Ia tidak berpikir tentang
guna-guna atau teluh, karena ia sangat yakin, jika
ia tetap dekat dengan Tuhan, teluh yang bagai?
manapun hebatnya akan mental sendiri.
Tetapi, Hartadi seram karena kembali diingat?
kan pada peristiwa masa lalu itu.
Ketika ia terbangun oleh suara ribut-ribut di
tengah malam buta, lalu ketika ia tiba di tempat
keributan itu berasal, ia melihat sesosok tubuh ter?
telungkup di antara pecahan kaca meja. Wujudnya
begitu mengerikan. Belum habis kengerian Hartadi
sudah muncul kengerian lain. Mereka semua ter?
lambat mencegah Nyonya Besar yang juga terba?
ngun, lalu menuju lantai atas. Begitu melihat ke?
adaan putrinya, jantung Nyonya Besar yang me?
mang sudah bertahun-tahun begitu lemah, lang?
sung kambuh. Keesokan harinya dua jenazah sekaligus harus
mereka kuburkan. Teringat kejadian mengerikan yang juga sangat
menyedihkan hatinya itu Hartadi lantas menyusul
istrinya menunaikan salat sunah. Ia harus mendoa?
kan keselamatan dirinya, istri, dan dua anaknya
yang sudah menikah dan tinggal di kota lain. Dua
79 2/2/11 2:25:06 PM Nyonya-nya almarhum pun ingin didoakannya
kembali. Begitu pula Juragan Besar, orang yang
baik, meski sakit-sakitan setelah ditinggal mati istri
dan putrinya, tetapi kebaikannya tidak pernah
sirna. Bahkan sebelum berangkat haji ke Mekah, Ju?
ragan Besar sempat memberitahu Hartadi bahwa
peternakan dan rumah besar akan disewakan pada
orang lain. Hartadi dihadiahi sepetak tanah dan
sejumlah besar uang, sambil diingatkan, "Sudah
saatnya kau berpikir lebih maju. Jangan jadi pe?
layan seumur hidupmu!"
Tetapi agaknya, Hartadi sudah ditakdirkan jadi
pelayan karena penyewa itu meminta ia tetap ting?
gal dengan gaji lebih baik. Namun Hartadi tidak
akan pernah lupa karena tanah dan sejumlah uang
pemberian Juragan Besar-lah, anak-anak Hartadi
bisa sekolah tinggi, sukses, hidup mandiri, dan
yang terpenting, tak satu pun jadi pelayan. Semua
itu berkat Juragan Besar. Jadi, Hartadi juga merasa
wajib mendoakan Juragan Besar yang meninggal
di Tanah Suci. Sewaktu akan masuk ke kamar mandi, ia mende?
ngar suara aneh dari lantai atas. Ia tahu suara siapa
itu, jadi bertambah lagi satu orang dalam daftar
yang ingin didoakan Hartadi dalam salatnya nanti.
Doa yang ini tentu berbeda dengan sederet doa se?
belumnya, "Ya Allah, kasihani dan lindungilah Non
Amel. Berikanlah kesembuhan untuknya..."
isteri Kalung Setan.indd 80
80 2/2/11 2:25:07 PM isteri Kalung Setan.indd 81
Hartadi lantas mengambil wudu.
Dengan khusyuk. Suara di atas semakin gaduh, Hartadi mende?
ngarnya, tetapi segera dilupakan. Menganggap
suara itu diciptakan setan untuk mengganggu ke?
khusyukannya, melemahkan doa-doanya.
Lagi pula, di atas masih ada Tuan Muda Rudi
Suhartono. Anak muda itu tentulah akan membantu, jika
Amelia kesurupan lagi. Dengan pikiran serupa, Hartadi kemudian
pergi salat bersama istrinya di kamar mereka. Tan?
pa menyadari di lantai atas Amelia tidak sedang
kesurupan, malah sedang terancam bahaya.
Bahaya, yang jauh lebih besar daripada kesu?
rupan. 81 2/2/11 2:25:07 PM ENAM BAHAYA itu justru datang dari pihak Rudi.
Semula Rudi tidak punya niat jahat. Memikir?
kannya pun tidak. Apa yang sebelumnya tak henti dipikirkan
Rudi setibanya di tempat kediaman mereka yang
baru adalah secepatnya kembali ke kota, membeli
jaket baru, kemudian bermain biliar. Adapun Sola?
vina yang semula memaksa ingin ikut, terserah apa
maunya saja. Rudi juga sudah menunjukkan jalan
keluar, "Karena kau lebih keranjingan ajojing di
lantai disko, ajak saja Papa atau Mama untuk men?
dampingimu nanti!" Demikianlah rencana Rudi. Dan mestinya se?
mua akan berjalan baik-baik saja. Tetapi keadaan
berkehendak lain. Rencana Rudi langsung beran?
takan. Hanya dikarenakan tontonan gratis yang
cuma berlangsung sekejap di depan mata Rudi.
Untuk dua kamar tidur yang masing-masing
isteri Kalung Setan.indd 82
82 2/2/11 2:25:08 PM isteri Kalung Setan.indd 83
ditempati Rudi dan Lavi, hanya tersedia satu ka?
mar mandi. Selesai memasukkan isi kopernya ke
lemari, Rudi pun pergi ke kamar mandi tersebut.
Ternyata kakaknya sudah lebih dulu di dalam.
Rudi mengeluh, "Masih lama enggak, Lavi?"
"Cari saja tempat lain!" Kakaknya menyahut
sengit dari balik pintu. Mulanya Rudi berpikir untuk menunggu saja.
Tetapi kemudian teringat pada cerita ayah me?
reka sebelumnya bahwa kamar tidur satunya lagi
di lantai atas itu, punya kamar mandi sendiri.
Solavina sudah jauh-jauh hari menghendaki kamar
tidur itu untuk dirinya sendiri. Tetapi setibanya di
rumah ini, agaknya Lavi kalah cepat dengan
Amelia. Solavina bermaksud mengusir kakak tiri
mereka itu, tetapi, "Wajahnya begitu mengerikan.
Entah mengapa aku lantas ngeper begitu saja!"
Begitu kata kakaknya sore tadi ketika mengeluhkan
nasib sialnya. Rudi lantas memutuskan untuk menumpang
mandi di kamar Amelia. Jika sudah terpakai, ia
terpaksa kembali menunggu dengan sabar. Rudi
pun berjalan menuju kamar tidur Amelia sambil
senyum-senyum memikirkan laporan Solavina tadi.
"Mengerikan, heh" Apa barangkali Amelia men?
corat-coret mukanya dengan cat bibir warna-warni"
Aku jadi penasaran, nih!"
Kemudian Rudi berbelok, memasuki pintu
83 2/2/11 2:25:08 PM yang kebetulan menganga terbuka. Baru satu lang?
kah, Rudi sudah tertegun dan memandang ter?
cengang ke dalam kamar. Ia mengenali punggung
ayahnya, lalu melihat lengan-lengan kokoh sang
ayah tengah merangkul seseorang. Dari bentuk
rambut, lengan, dan pundak yang begitu halus
dan lembut, Rudi segera menyadari, yang tengah
dirangkul ayahnya adalah Amelia.
Seorang ayah merangkul anak gadisnya, itu sih
wajah-wajar saja. Tetapi Amelia setengah telanjang.
Lengan-lengannnya terkembang ke samping karena
di bawahnya menyusup lengan-lengan sang ayah,
dan gerakan-gerakan lengan itu seperti mengusap,
atau boleh jadi sedang meremas. Apakah itu juga
wajar" Rudi ingat betul bagaimana ia sampai harus
menarik langkah mundur, tanpa bersuara. Berbagai
perasaan berkecamuk dalam dirinya. Terkejut,
ingin muntah, bercampur dengan berahi yang
bangkit, disusul perasaan cemburu, kemudian ma?
rah. Dengan amarah itu ia berjalan kembali ke
tempat semula, lantas kemarahan itu dilampiaskan?
nya ke pintu kamar mandi yang masih tertutup,
"Hei, Lavi! Belum selesai beraknya?"
Rudi berseru cukup keras untuk didengar oleh
telinga siapa saja di dalam rumah itu, terutama
ayahnya. Solavina mengomel dari balik pintu ka?
mar mandi, dan Rudi membalas omelan itu tetap
dengan suara keras sambil berjalan ke lantai ba?
isteri Kalung Setan.indd 84
84 2/2/11 2:25:08 PM isteri Kalung Setan.indd 85
wah. Rudi yakin ayahnya akan tergesa-gesa meng?
hentikan kelakuannya, keluar dari kamar Amelia,
dan Rudi tidak sudi bertemu dengannya. Jalan
terbaik untuk menghindar adalah menyelinap ma?
suk ke kamar ibunya, dan di sanalah ia numpang
mandi. Semua bayangan itu membuat Rudi tidak ber?
nafsu lagi turun ke kota.
Ia lebih tergoda pada nafsu lain. Gairah yang
terpendam. Dan memang sudah sekian tahun ter?
pendam. Amarah Rudi pun segera memerlukan
penyaluran. Paling tidak, ia menghendaki jawaban
Amelia, "Mengapa kalau ayahmu yang berbuat,
kau diam saja, heh"!"
Tetapi, selagi menunggu Amelia makan malam,
yang keluar dari mulut Rudi adalah pertanyaan
yang sangat sulit dijawab oleh Amelia, bahkan
oleh Rudi sendiri, "Mengapa kita harus lahir dari
ayah yang sama, Amelia"!"
Amelia berhenti mengunyah, memandang tak
mengerti, tersenyum geli, lantas menyuapkan ma?
kanan lagi ke mulutnya. Kemudian kepalanya te?
leng ke satu sisi. Dan perlahan mulutnya pun
mengunyah lebih lambat. Sepasang mata Amelia
terbuka lebar, memandang tidak berkedip ke tem?
bok di belakang Rudi, sedikit di atas lantai. Ke?
pala cecak besar muncul dari balik kaki lemari.
Rudi tidak memperhatikannya. Rudi terus saja
tenggelam oleh pikirannya sendiri, "Seandainya,
85 2/2/11 2:25:09 PM Lia, ayahmu bukan ayahku maka... Oh, persetan
dengan semua perempuan yang pernah kupacari
atau pelacur murahan yang pernah ku..."
Rudi tersentak sendiri. Mengerling cemas ke
arah Amelia, lantas merasa lega karena Amelia tam?
pak tidak mendengarkan, dan Rudi pun terus la?
rut, "Kau kan tahu, jika yang lain sedang sibuk
atau malas, akulah yang menolong membukakan
atau memakaikan pakaianmu. Bahkan semasa ke?
cil, sering kali aku ikut mandi bersamamu... di
bak yang sama. Lantas kau tahu apa yang kemu?
dian kualami, begitu aku beranjak remaja?"
Amelia berhenti mengunyah.
Kepalanya masih saja teleng ke arah yang sama.
Memandangi cecak yang merayap di sepanjang
tembok, kemudian berhenti seperti menunggu.
Barangkali ada nyamuk hinggap di dekat cecak itu
atau terbang di sekitarnya.
"Beberapa kali menjelang tidur, Lia. Aku
membayangkan wajahmu yang begitu cantik, juga
lekuk sampai ke sudut-sudut lain tubuhmu... yang
terbentuk bagus dan sempurna. Kukhayalkan aku
telanjang bersamamu. Kau bergoyang dalam
pelukanku, dan... tahu-tahu saja aku sudah
orgasme, Amelia. Kaudengar itu" Aku sedemikian
menikmati khayalanku. Aku hidup dengan
khayalan itu! Aku..."
Amelia bangkit hati-hati dari duduknya. "Tah,
tah..." isteri Kalung Setan.indd 86
86 2/2/11 2:25:09 PM isteri Kalung Setan.indd 87
Dan tahu-tahu saja ia sudah menghambur
melewati Rudi menuju pintu yang sebelumnya
sengaja ditutup Rudi. Rudi menyentak sadar. "Hei, mau ke mana..."
Cecak itu dengan cepat merayap ke atas.
Tetapi, hap! Amelia sudah menepukkan telapak
tangan. Cecak itu terperangkap.
"Hihi... hiii..." Amelia terkekeh geli, tetapi
jemarinya meraup juga. Mungkin karena geli, ia
kurang sigap. Cecak itu meloncat lepas, jatuh ke
lantai. Terenyak sebentar, kemudian kabur ke
kolong tempat tidur. Amelia lantas memburu, sampai merangkakrangkak. Cecak itu membelokkan larinya, dan
tampaknya akan lolos. Tetapi Amelia cepat sekali


Misteri Kalung Setan Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjatuhkan seluruh tubuhnya di lantai dengan
dua tangan menyambar ke depan. Hap!
Tertangkap! Amelia merayap duduk, wajahnya gembira,
"Dadd... daah... paaat... hihi..."
Mendadak Amelia diam. Kegembiraannya di?
gantikan oleh kebingungan, sewaktu memperhati?
kan cecak yang menggelepar lemah di antara te?
lunjuk dan ibu jarinya. Cecak itu kini diam, tidak
bergerak. Amelia menggerakkan-gerakkan cecak itu
di depan mata. Pandangannya mencari-cari. Rupa?
nya cecak itu kini tidak punya ekor sama sekali.
Padahal tadi begitu panjang!
Rudi yang sudah sadar sepenuhnya, segera me?
87 2/2/11 2:25:10 PM mahami apa yang tengah berlangsung. Pelan-pelan
ia bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah pintu,
tempat cecak itu pertama kali terperangkap. Rudi
membungkuk, memungut sesuatu dilantai. Ekor
cecak. Menggelepar liar di telapak tangan Rudi.
Rudi menekankan telapak tangannya sedikit, se?
hingga gelepar ekor cecak itu melemah. Baru ke?
mudian dibawa ke hadapan Amelia. Telapak ta?
ngannya dibuka perlahan. Amelia terperanjat. Kepalanya ditarik mundur
ke belakang. "Caaa-caaahhh... uh, uh, shissh...
cing. Tah, tah?" Rudi tersenyum sendiri. "Bukan, Amelia. Ini
bukan cacing. Tetapi ekor cecak di tanganmu itu.
Pasti putus waktu kaukeprok tadi. Tak usah ta?
kut!" Tangan kiri Amelia terulur ke depan. Lalu de?
ngan hati-hati menjepit ekor cecak itu di antara
telunjuk dan ibu jarinya. Ekor itu meronta lemah.
Amelia menengadah, menatap Rudi dengan bi?
ngung, "Hi... duhh, ah... hii.. dup?"
"Keistimewaan cecak, Amelia. Tetapi sebentar
juga bakal mati sendiri!"
Dan memang akhirnya ekor cecak itu terkulai
layu. Mati. Sementara Amelia dengan susah payah
gagal menyatukan ekor ke tubuh cecak. Amelia
tampak kecewa. Cecak itu pun tidak lagi menarik
hatinya. Dibiarkannya jatuh sendiri di lantai. Me?
ngetahui dirinya selamat, cecak itu tidak mem?
isteri Kalung Setan.indd 88
88 2/2/11 2:25:10 PM isteri Kalung Setan.indd 89
buang waktu, lalu minggat begitu cepatnya, lenyap
di kolong tempat tidur. Amelia tidak bernafsu untuk mencari ke mana
cecak itu menghilang. Wajahnya tampak sedih. "Tak perlu menyesali diri, Amelia," ujar Rudi
seraya pergi mengambil mangkuk berisi tiga butir
telur ayam mentah itu, dibawanya ke dekat
Amelia. Ia pun duduk di hadapan gadis itu. "Ekor?
nya nanti akan tumbuh lagi, ini. Lupakanlah. Dan
makan obatmu sekarang. Jika terlambat, ayanmu
bisa kambuh sebentar lagi..."
Tak ada reaksi. Ayan, Rudi membatin. Sudah mentalnya ter?
ganggu, ayan pula! Rudi memandangi wajah gadis di hadapannya
dengan penuh cinta, bercampur iba. Amelia masih
tenggelam dalam kekecewaannya. Rudi lantas
mengambil sebutir telur, diletakkannya ke tangan
Amelia, "Ayo, makanlah..."
Amelia memandangi telur di tangannya.
Kekecewaannya menghilang. Matanya kembali
Pendekar Sadis 1 03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Petualang Asmara 11
^