Pencarian

Misteri Lemari Antik 1

Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap Sumber Djvu : Koleksi Kolektor E-Book
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook persembahan Group Fb Kolektor E-Book
Selesai di edit : 6 juli 2018 (Situbondo)
Selamat Membaca ya!!! ***** Misteri Lemari Antik Abdullah Harahap Pendahuluan JULI, 1928 *** SEEKOR kambing berbulu cokelat, gemuk dan sehat mendengus senang ketika merasakan jemari lembut hangat mengusap-usap puting susunya. Dengan pijatan-pijatan lunak dan teratur, dari puting susu kambing itu memancur deras cairan putih segar ke dalam panci tanah di bawahnya. Lalu mendadak, gerakan menyenangkan itu berhenti. Padahal susu yang diperah keluar baru sedikit.
Sejenak sang kambing diam menunggu. Kemudian tubuh binatang itu menegang. Matanya menangkap bayang-bayang hitam jatuh di permukaan tanah. Merambat pelan menaungi rerumputan, kebun sayurmayur. juga sebuah gubuk mungil beratap ijuk. lalu kandang-kandang kecil di sebelahnya. Sengatan panas matahari yang mendadak lenyap dirasakan pula oleh beberapa ekor ayam yang berkeliaran di sekitar gubuk.
9 Ayam-ayam betina berkotek riuh rendah. Yang jantan berlarian kian kemari. Anak-anak ayam mencicit ribut sambil berebutan menyelinap di balik sayap-sayap induknya, bersembunyi ketakutan. Seekor kucing hitam yang tadinya rebahan di tanah berpasir, mengeong nyaring lalu meloncat ke pintu gubuk dan menghilang di dalam. Kambing betina tadi seketika mencium bahaya. Si cokelat mengembik keras, memanggil anak-anaknya. Beriringan mereka lari masuk, bukan ke kandang, melainkan ke dalam hutan. Meninggalkan perempuan yang tadi memerah susunya. Perempuan itu menengadah. menatap langit biru jernih. Namun sesaat kemudian ia tertegun, manakala melihat sekelompok awan hitam pekat keluar dari balik puncak gunung lalu bergantung diam tepat di atas ubun-ubunnya. "Pertanda buruk!" la bergumam, cemas. Kemudian ia membungkuk. Tetapi panci tanah itu telah pecah berantakan. lsinya tumpah. membasahi dan membuat rerumputan berubah putih. Ini tentunya perbuatan induk kambing yang ketakutan itu, pikirnya. Ia harus mencari tanah liat lagi. Membuat panci baru. juga periuk. Karena periuk satu-satunya yang ia miliki sudah retak pula. Tadi malam ia terpeleset, hingga periuk berisi nasi yang baru masak tersenggol jatuh dari atas tungku. Jadi pertanda buruk itu sudah muncul semenjak malam harinya. Perempuan itu membenahi rambutnya yang terurai panjang. menyanggulkannya di bagian tengah atas
kepala. Lehernya kini tampak semakin jenjang. Kegelisahan muncul pada sepasang matanya yang bening bundar. Setetes peluh jatuh dari ujung hidungnya yang mancung. Jatuh di permukaan bibir merah segar. Bibir ranum itu tergetar, lalu mengatup rapat. Si perempuan tahu sesuatu akan terjadi. Namun secara naluriah ia menyadari, apa pun yang kelak terjadi toh ia tidak akan mampu menghindar. Batinnya membisikkan, ada kekuatan gaib yang diam-diam mendekat dan berusaha mengepungnya dari segala penjuru. Sambil tegak mematung. perempuan itu merapal mantra dalam hati. Menjerit tanpa suara, memanggil nama leluhurnya.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki berlari serabutan. la menoleh ke arah menghilangnya si cokelat beserta anak-anaknya tadi. Semak belukar tiba-tiba terkuak di antara pepohonan yang tumbuh rapat. Seorang laki-laki berusia sekitar 30-an tergopoh-gopoh mendatanginya. Begitu melihat si perempuan, lelaki itu langsung berteriak memperingatkan. "Lari, Esih! Cepat, tinggalkan tempat ini! Mereka?"
Teriakan lelaki itu terputus tiba-tiba. Rupanya kakinya terkait akar pohon yang menyembul di tanah. la jatuh terjerembap. Tanpa mengaduh apalagi memperlihatkan rasa sakit ia bergegas bangkit dan mendekati si perempuan dengan wajah gempar.
"Ayo. Esih! Tunggu apa lagi" Cepatlah lari..." ujar
nya. terengah-engah. Melihat si perempuan masih bergeming di tempatnya, ia menjerit. "Kau dengar aku, Sukaesih?" Pundak si perempuan diguncangnya keraskeras. "Kubilang lari! Mereka akan membunuhmu!"
Sukaesih memandangi wajah laki-laki di depannya. Kumis maupun cambang lelaki itu tampak kotor. Wajahnya penuh goresan. begitu pula lengannya. Masygul, ia bergumam, "Kau terluka. Supardi."
"Hanya tergores duri dan... ya ampun, Esih! Kau gila kalau tak mau mendengar kata-kataku. Larilah!"
"Ke mana?" "Tuhanku! Masih juga kau bertanya. Larilah ke mana saja. Sejauh mungkin dari tempat ini. Mereka akan tiba sebentar lagi. Hanya karena aku lebih tahu tempatmu ini yang membuat aku berhasil memotong jalan mereka. Kalau kau tahu siapa yang ikut di antara mereka.?"
"Siapa, Supardi?" tanya Sukaesih. Tenang dan dingin.
"Tonggo!" Supardi setengah menjerit ketika menyebutkan nama itu. "Ia membawa senjata ajaibnya yang terkenal itu. Besi panjang yang dapat menyemburkan api!"
Sukaesih menghela napas panjang. "Besi panjang itu dibuat oleh orang-orang kafir. Apinya juga bukan api alami. Aku tidak takut menghadapinya."
"Mereka akan membakarmu, Esih..." Suara lelaki itu melemah. Sudut-sudut matanya mulai basah.
Sukaesih terkesiap. "Siapa bilang?"
"Orang sekampung ribut tadi malam. Beberapa orang berembuk di balai desa. Baru tadi pagi aku tahu, ketika aku ikut memperbaiki rumah si Aming. Katanya ada orang yang akan ditangkap lalu dibakar hidup-hidup. Si Aming tidak menyebut nama, ia hanya berkata, ,hukum yang pantas untuk seorang penyihir.' dan aku tahu siapa yang mereka maksud."
"Aku bukan tukang sihir!"
"Astaga, Sukaesih. Jangan berbantah lagi. Mereka..."
"Sssshhhh!" Supardi mengatupkan mulut. Ia melihat cuping telinga Sukaesih bergerak-gerak. Tetapi baru agak lama setelahnya ia mendengar suara sayup-sayup, suara orang sahut bersahut. Supardi berputar, wajah semakin pucat. Dengan telapak tangan, ia melindungi matanya dari silau dan sengatan matahari. Ia menatap ke lereng bukit, mencari-cari dengan mata agak dipicingkan. jauh di bawah sana. ia dapat melihat beberapa sosok tubuh menyeberangi anak sungai pada bagian yang dangkal. Sosok-sosok lain tampak menyelinap keluar dari balik pepohonan. Hanya beberapa ratus meter jaraknya dari tempat Supardi dan Sukaesih berdiri. Di antara rombongan yang semakin mendekat itu, kelihatan seseorang mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi. Tangan itu memegang sebuah
benda yang tampak samar-samar, namun dapat diketahui Supardi apa kiranya.
"Besi panjang Tonggo!" Supardi bergumam kecut.
Gumam Sukaesih justru berbeda. Seraya tengadah ke langit ia mengeluh, "Awan hitam itu sudah menghilang!"
"Matilah kita. Esih." Supardi hampir menangis.
"Tidak, Supardi."
"Aku barusan melihat besi berapi si Tonggo."
"Senjata orang kafir itu tak akan melukaiku, Supardi. Tetapi kau. Dan bayiku?" Suara Sukaesih berubah getir. Ia memegang tangan Supardi. menatap lurus ke matanya. Mata Supardi semakin basah. "Aku akan menunggu mereka. Kau masuklah ke gubuk. Selimuti bayiku baik-baik. Kemudian bawa dia pergi sejauh mungkin."
Supardi menoleh lagi ke bawah. Semakin banyak orang terlihat. la berpaling menatap dinding bukit di sebelah lain. Lalu geleng kepala. "Di bawah sana, mcreka siap mencincang aku dan bayimu. Ke atas bukit, tetap akan mereka lihat. Kalaupun aku mampu, di sebelah sana hanya ada jurang terjal menganga. Tak ada jalan lari sekarang, Esih."
"Tetapi banyak tempat untuk bersembunyi. Supardi!"
"Percuma. Mereka toh akan menemukan kami juga."
"Ada yang tahu kau datang ke tempatku ini?"
"Aku yakin tidak."
"Mereka tahu aku punya bayi?"
"Entah." "Juga tidak, kuharap." Sukaesih mendesah getir. "lagi pula, mereka toh cuma mencari aku. Dengar, Supardi. Mereka semakin dekat. Aku tahu, kau tidak akan tega membiarkan aku sendirian. Kau mungkin dapat menolongku melawan mereka semua. Aku sangat berterima kasih. Tetapi terima kasihku akan tiada terhingga, Supardi, apabila kau tolong aku menyelamatkan nyawa anakku."
Supardi hendak membantah, tapi Sukaesih tidak memberi kesempatan dan langsung menyeretnya ke dalam gubuk. Dalam kemarahan bercampur rasa takut. Supardi menginjak seekor anak ayam yang lari serabutan begitu mereka lewat. Ia juga menendang kucing hitam yang keluar dari gubuk dan mengibasngibaskan ekor ke kaki Supardi. Sukaesih tidak lagi mengacuhkan anak ayamnya yang mati remuk, juga tidak mendengar kucing kesayangannya yang mengeong kesakitan. Ia langsung menuju dipan kayu beralas tikar dan jerami. menyelimuti dengan hati-hati sesosok bayi mungil yang tertidur lelap sejak tadi. Bayi perempuan itu diam saja ketika selimutnya dia tambah dua lapis lagi sampai-sampai hampir menutupi wajahnya yang lembut kemerah-merahan. Pun ketika pipinya dicium bertubi-tubi oleh ibunya yang bercuCuran air mata, kemudian berpindah tangan ke
pelukan Supardi. tidurnya tak terusik. "Selain tak berdosa, bayi ini benar-benar tahu diri." Supardi membatin terharu.
"Pardi?" "Ya, Esih?" "Umur bayiku belum seminggu. Kalau terjadi apaapa denganku, dapatkah kau merawatnya?"
"Aku..." "Kau dapat, Supardi. Karena aku percaya kau akan mencintainya, sebagaimana kau mencintai diriku."
"Esih..." "Mendekatlah." Supardi mendekat. Sukaesih mengangkat bibirnya. Ia memegang pipi si lelaki dengan kedua telapak tangan, menariknya sedikit ke bawah. Ketika bibir mereka bertemu, Supardi lemas setengah mati. Hampir saja bayi dalam pelukan tangannya terlepas kalau tak keburu ditahan oleh tangan Sukaesih yang segera menjauhkan bibirnya dari mulut si lelaki.
Beberapa saat Supardi tegak termangu. Wajahnya yang tadi pucat pasi, kini berubah merah padam. Suaranya gemetar ketika berbisik, "Semoga ciuman yang pertama tadi, bukan yang terakhir."
"Berdoalah, Supardi." Sukaesih balas berbisik.
"Esih..." "Mata batinku melihat Tonggo menudingkan besi apinya ke gubukku, Supardi."
Kembali wajah si lelaki memucat. Lalu tanpa ber
kata apa-apa lagi, ia berpaling dan bergegas melangkah keluar gubuk. Sesaat ia berhenti mengedarkan pandang. Tak seorang pun manusia di sekitarnya. Tetapi ia dapat mendengar suara seseorang berseru dari bawah, "Ini pasti jalan menuju gubuk di atas sana!"
Supardi seketika minggat, dengan sekujur tubuh gemetar.
*** WAJAH-WAJAH letih bermunculan dari balik pepohonan. Empat orang yang pertama tiba, tidak segera mendekati gubuk yang pintunya seakan disengaja terbuka. Mereka menunggu sampai semua anggota rombongan lengkap hadir. Baru setelahnya mereka beringsut mengitari gubuk dalam formasi pagar betis. Semakin dekat ke gubuk, wajah-wajah itu sebagian beringas. Namun tak urung satu dua di antara mereka memperlihatkan kegentaran hati.
Laki-laki yang bersenjatakan bedil panjang berbisik perlahan pada orang di sebelahnya, "Kau yakin ia ada di dalam?"
Hidung orang di sebelahnya, seorang lelaki tua kurus dengan punggung agak bongkok tetapi berkaki kekar dan kokoh, mengendus-endus sebentar. lantas
menjawab pasti, dari jauh pun aku sudah mencium bau perempuan itu, Tonggo!"
"Panggillah dia keluar, Darso."
"Pintunya terbuka. Agaknya mengundang kita untuk masuk..."
"Siapa tahu itu jebakan!"
"Takut?" Si tua bongkok bernama Darso menyeringai. Mengejek. "Percuma kau punya besi berapi."
Yang disindir menanggapi tantangan itu dengan gerutuan. Ia memandang orang di sekeliling gubuk seolah-olah meminta dukungan. Semua balas memandang, tatapan mereka seolah menuduh: kaulah pemimpinnya, bukan"
Menyaksikan sinar mata orang-orang di sekelilingnya, Tonggo tidak saja merasa ditantang. Ia terpojok. Sambil mengumpat dalam hati, Tonggo memeriksa senjata di tangannya. Setelah yakin senjata siap tembak, barulah ia memberanikan diri maju ke depan. Senjatanya dikokang. Tiga langkah menjelang pintu, ia tertegun sejenak. Bimbang. Bagaimana kalau yang ia hadapi benar-benar kekuatan sihir" Mampukah peluru menghadangnya.>
Lamat-lamat telinganya menangkap suara halus dari belakang. Bisikan yang disampaikan lewat kekuatan telepati. "Jangan ragu. Aku siap melindungimu."
Tonggo menelan ludah. Ia meneruskan langkah sambil memanjatkan doa agar Tuhan menjauhkannya dari ancaman setan laknat terkutuk. Dengan dagu
terangkat ia masuk melalui pintu yang terbuka. Dan untuk yang kedua kalinya. setiba di dalam gubuk ia tertegun lagi. Semula ia berharap akan melihat bendabenda aneh yang biasa dimiliki kaum penyihir. Rempah beraneka ragam, kemenyan yang menguarkan aroma magis, tulang-belulang atau mungkin tengkorak-tengkorak manusia. Tetapi apa yang ia lihat di dalam gubuk sangat mengecewakan hatinya. Selain peralatan masak memasak, ia hanya melihat kursi rotan, lemari kecil, dan sebuah dipan. Di pinggir dipan kayu itu. Sukaesih duduk tenang dengan kaki menjuntai.
Tonggo membasahi kerongkongannya yang kering dengan menelan ludah lagi dan lagi. Keberaniannya mendadak sirna saat menangkap tatapan bening perempuan itu. serta sikap yang begitu tenang dan damai. Sesaat, Tonggo kehilangan kata-kata. la mengalihkan pandang pada seekor kucing hitam yang melingkar di pangkuan Sukaesih. Sepasang mata kucing itu berkilauan menatap kehadiran orang asing di dalam gubuk. Binatang itu memperlihatkan gigi taringnya, sambil mendengus tak senang. Apakah kucing itu makhluk jadi-jadian"
Akhirnya, tuan rumah yang memulai.
"Kudengar, kalian mencari aku." Sukaesih berujar ramah.
"Kok tahu?" rungut Tonggo, curiga. Tetapi kemudian dalam hari ia menambahkan sendiri. "Tentu saja
tahu. kau kan tukang sihir!" Sayang, penampilan perempuan di hadapannya jauh dari sosok tukang sihir dalam dongeng yang dibacakan untuk memaksa seorang anak bandel bergegas naik ke tempat tidur di malam hari. Sejak menghilang beberapa bulan yang lalu dari desa di lembah sana, penampilan Sukaesih justru semakin memesona. Wajahnya tampak begitu segar, sehat, dan senyumnya meruntuhkan hati setiap lelaki yang memandang.
"Ada perlu apa?" tanya Sukaesih polos.
"Kau harus ikut kami ke desa," jawab Tonggo, enggan.
"Untuk?" "Diadili." Senyum di bibir Sukaesih tetap mengembang. Suaranya pun tetap ramah. "Apa kesalahanku?"
Tonggo tiba-tiba merasa jengkel. Bukan dia yang menguasai perempuan itu. melainkan sebaliknya. Harga dirinya terhina. Ia telah membiarkan hatinya larut oleh penampilan perempuan itu, dan lupa bahwa ia harus bertindak tegas. Setelah susah payah mengumpulkan semangat dan kekuatan batin, Tonggo menjawab. "Kita bicarakan itu nanti saja. setiba di desa. Kau harus menjawab banyak pertanyaan. Salah satu saja jawabanmu keliru, maka nasibmu sudah ditentukan!"
"Oleh siapa?" "Jangan mengajakku bersilat lidah. Mereka yang di
luar sana sudah tak sabar menunggu. Ikutlah secara baik-baik. Kalau tidak?"
"Kudengar," potong Sukaesih, "besi yang dapat menyemburkan api itu kan rebut dari kompeni."
"Apa pedulimu, Sukaesih?"
"Tentunya sudah banyak nyawa yang melayang di tanganmu," sahut Sukaesih acuh tak acuh. "Aku akan ikut kalian, Tonggo. Bukan karena takut pada senjata ajaibmu. Aku rela pergi dengan kalian, karena aku yakin tidak bersalah atas apa yang selama ini kalian tuduhkan kepadaku."
Tonggo menghela napas lega. Beban berat yang sejak tadi menekan pundaknya hilang begitu saja. Ia membiarkan perempuan itu berjalan mendahuluinya. Kucing hitamnya menguntit dari belakang. Tetapi dengan bujukan lembut si perempuan, kucing itu mengeong lemah lalu meloncat naik ke dipan, melingkar tenang namun matanya tetap mengawasi punggung Tonggo yang menggiring majikannya. Di luar gubuk, Sukaesih langsung berhadapan dengan belasan pasang mata yang memandang ke arahnya dengan berbagai reaksi. Marah, benci, bercampur segan dan takut.
Sebelum Sukaesih menyadari apa yang terjadi, tahutahu seseorang telah meringkus kedua lengannya yang ditarik ke belakang punggung. Dengan gerakan cepat.
Darso sudah mengikat pergelangan tangan Sukaesih dengan seutas tali tambang yang tersimpul kuat. Puas dengan pekerjaannya, Darso meloncat mundur. Terbungkuk-bungkuk. Seakan takut kalau-kalau perempuan itu membalikkan tubuh lalu menerkam dan merengkah dirinya. Sambil mundur ia terus membiarkan gulungan tali di tangannya jatuh terulur. Ujungnya ia genggam erat-erat.
"Jangan coba coba melepaskan tali itu, penyihir!" ancamnya, sambil menggeram puas. "Tali itu dilumuri minyak bermantra. Setiap gerakan tak dikehendaki kau lakukan, belitan tali di lenganmu akan mengeluarkan panas yang membakar kulit maupun daging, bahkan tulang-tulang lenganmu!"
Wajah Sukaesih memucat. Matanya bersinar marah. Namun sekejap cuma. Sikapnya kembali tenang. Pasrah. Dan saat itulah. manusia di sekitarnya mulai hiruk pikuk. Semua mendadak punya keberanian untuk mencerca.
"Bunuh saja dia sekarang!"
"Biarkan golokku memotong lidahnya yang berbisa!"
"Telanjangi dia!"
"Seret dia ke jurang!"
"Gantung!" "Cincang!" Sambil berteriak-teriak histeris, mereka juga menjambaki rambut si perempuan. menarik-narik bajunya
sampai robek, bahkan bertubi-tubi meludahi mukanya. Tindakan membabibuta itu baru berhenti setelah Tonggo membentak nyaring. "Diam! Diam! Hentikan mulut besar kalian!" Tonggo menahan kemarahannya sejenak, kemudian merendahkan suaranya. "Ayo. Semua kembali ke desa. Jangan lagi membuat keributan yang tidak perlu."
Ketika rombongan yang beringas itu menuruni bukit dengan tangkapan mereka berjalan paling depan. Tonggo justru tampak tak bersemangat. Wajahnya berubah muram. Beberapa kali pula terdengar ia menghela napas panjang.
Darso yang berjalan di dekatnya, bergumam heran. "Kau gelisah."
Tonggo manggut-manggut. "Ada sesuatu yang salah?"
"Perempuan itu."
"Ada apa dengan dia?"
"Entahlah. Yang jelas, ia tidak seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Kita semua tahu. ia punya kekuatan gaib, kekuatan hitam. Tadi di atas sana, ia bisa saja mencederai kita. Sekali saja ia mengucapkan sumpah serapah. orang-orang bodoh itu mungkin sudah pada mati berdiri. Atau berubah wujud jadi makhluk menjijikkan. Herannya, ia tampak begitu pasrah. Memang sempat kutangkap kemarahan di matanya. Tetapi setelahnya. ia diam saja dihina scdemikian rupa."
"Hm, mungkin ia sadar, beberapa di antara kita setara ilmunya dengan dia. Belum lagi besi berapi di tanganmu. ia tidak bodoh."
"Kau benar. Ia tidak bodoh. Kau tahu?"
"Apa?" "Aku curiga ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang aneh itu..."
Ternyata bukan hanya Tonggo yang merasa heran akan sikap Sukaesih. Supardi yang lebih tahu mengenai perempuan itu, tidak saja heran tetapi juga marah melihat Sukaesih diam saja sewaktu dipermalukan. dihina dan diludahi. Di tempat persembunyiannya, Supardi menggeram, menyumpah dan mengutuk. Hasilnya, air matanya semakin membanjir melelehi pipi. Bayi dalam pelukannya menggeliat, lalu merengek. Supardi menciuminya. membujuk dan membisikkan kata-kata menyedihkan. "Aku tahu. Nak. Aku tahu. Kau, seperti juga aku. tidak akan pernah melupakan penderitaan dan hinaan yang diterima ibumu!"
Supardi kemudian menyelinap keluar dari persembunyian. Yakin bahwa semua orang sudah pergi. la berlari ke padang terbuka, berdiri di bibir tebing di depan gubuk, memandang ke bawah. Rombongan itu sudah tak kelihatan lagi. Demikian pula Sukaesih. Batin Supardi membisikkan, bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi atas diri perempuan itu. ia tiba-tiba merasa kehilangan. tanpa ia mampu mencegahnya.
Putus asa, Supardi masuk ke dalam gubuk. Ia rebahkan bayi Sukaesih di atas dipan beralas jerami. Bayi itu menggeliat lagi. Supardi akan menggumamkan bujukan kasih sayang, manakala ia dengar sesuatu bergerak di belakangnya. la berpaling. Sayang, terlambat. Sebelum melihat apa atau siapa yang menimbulkan suara mencurigakan itu, tengkuknya sudah dihantam pukulan keras. Supardi melorot, jatuh. Dua tiga detik sebelum kesadarannya menghilang, ia masih sempat melihat ke arah dipan. Bayi itu lenyap, bersama dengan lenyapnya sosok tubuh orang yang menghantam tengkuknya. Detik berikutnya Supardi tak ingat apa-apa lagi.
*** ROMBONGAN yang turun gunung menggiring tangkapan mereka tidak seberapa jumlahnya. Tonggo masih punya wibawa mencegah mereka berlaku lebih kejam pada Sukaesih. Akan tetapi menghadapi orang sekampung yang sedang marah, Tonggo segera kehilangan pengaruh. Rupanya salah seorang anggota rombongan lebih dulu pulang memberitahu penduduk bahwa mereka berhasil meringkus si penyihir. Maka begitu rombongan memasuki mulut desa, orang sekampung sudah siap menyambut.
Mulanya mereka semua terkesima melihat penampilan Sukaesih. Perempuan itu tak ubahnya makhluk mengerikan atau hantu menyeramkan yang baru keluar dari balik kegelapan. Pakaian Sukaesih compangcamping. Rambut kotor acak-acakan. Wajah maupun tubuhnya dipenuhi debu campur lumpur. Ia telah
dipaksa jatuh bangun sepanjang perjalanan. Terbanting karena terantuk batu atau cabang pohon. Tunggang langgang di jalanan curam. Tiap kali terjerembap di semak belukar atau sawah, ia terpaksa diseret agar rombongan itu tiba di desa sebelum matahari tenggelam di ufuk barat.
Sepanjang perjalanan, hampir semua anggota rombongan bersenang-senang melihat tawanan mereka tersiksa. Kecuali Tonggo dan Darso. Mereka berdua tetap berkepala dingin, memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. Beberapa kali mereka menggelenggeleng takjub, sekaligus ciut nyalinya. Tampaknya hanya kedua orang ini yang menyadari bahwa Sukaesih tak pernah mengeluh menghadapi semua siksaan. Wajahnya memang menggambarkan kesakitan, namun bibir tetap terkatup rapat. Matanya tetap bersinar tajam, menandakan keteguhan hati. Anehnya lagi, sedikit pun tubuhnya tidak mengalami memar atau tergores luka.
Keanehan itu semakin tampak nyata setiba mereka di desa. Penduduk yang mulanya terdiam membisu, pelan-pelan menyingkir memberi jalan seolah takut tersentuh atau terpandang mata si penyihir. Mereka cuma berani berbisik-bisik. Sampai seseorang bergumam, "Makhluk terkutuk itulah yang membuat cucuku tak punya ayah dan ibu?"
Gumaman itu dengan segera memperlihatkan pengaruh. Orang-orang mulai berbicara lebih keras,
kemudian mulai berteriak-teriak marah. disusul jerit dan tangis. Massa seketika berubah histeris. Dari sana sini terdengar jeritan atau seruan membabi buta.
"Kembalikan anak perempuanku!"
"Kau apakan anakku lelakiku yang paling bungsu itu?"
"Menantuku dijadikan tumbal!"
"Tak ada lagi waktu untuk mengadilinya. Bakar dia sekarang!"
"Benar! Lupakan saja rencana untuk menanyai dia! Dia tak akan mengaku!"
"Tombak jantungnya!"
"Tebas lehernya!"
"Lempari kepalanya biar pecah!"
"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
Tonggo membentak-bentak, berteriak teriak memperingatkan. Kemudian setelah melihat amukan penduduk, Darso ikut pula berseru mencegah perbuatan penduduk yang sia-sia itu. Betapa tidak! lontaran tombak ke lambung Sukaesih, mental begitu saja. Mata golok yang menghantam leher, tangan, maupun kakinya, seolah mendadak tumpul. Potongan kayu atau lemparan batu-batu ke kepalanya, memperdengarkan bunyi berderak. Kepala Sukaesih tetap utuh. wajahnya pun tetap mulus.
Melihat keanehan itu, sebagian penduduk menjadi gentar. Ketakutan. Tetapi sebagian lagi membakar se
mangat mereka. "Lihat! Dia memang tukang sihir jahanam! Hanya api yang dapat memusnahkannya!"
"Api! Benar, api!"
"Bakar dia! Bakar dia! Bakar!"
"Ikat dia ke pohon!"
Orang-orang kembali mendekat dan menggerayangi apa saja yang dapat mereka jamah di tubuh Sukaesih. berusaha menarik, membetotnya kian kemari. Sukaesih bergeming. Mulutnya tetap mengatup rapat. Tidak sekali pun ia mengeluh, apalagi marah. Hanya matanya saja yang memancarkan sinar berkilau, sinar aneh yang membuat Darso serta Tonggo gemetar. Dalam hati. Darso merapal semua ajian miliknya, baik itu ajian putih maupun ajian hitam. Ia berusaha melindungi diri dari pengaruh kekuatan setan.
Dengan jantung berdebar, Tonggo mengekang senjatanya. Tonggo tidak berharap si perempuan sihir akan balas mengamuk. Tetapi kalau itu terjadi dan ia ikut diserang, maka hanya senjata besi di tangannya yang dapat menolong. Itu pun tetap membuatnya ragu-ragu. Ia telah menyaksikan berapa banyak batu, potongan kayu, mata golok, ujung tombak. mata lembing yang coba dihantamkan ke tubuh Sukaesih. Hasilnya" Semua mental. llmu yang dimiliki perempuan itu benar-benar bukan sembarangan!
Di saat Tonggo bimbang itulah, ia terpekik kaget. Besi panjang di tangannya tahu-tahu sudah direnggut seseorang. la berteriak marah dan bermaksud me
rampas kembali senjatanya. Tetapi besi panjang itu dengan cepat telah mengarah ke atas, lalu picu ditarik. Sesaat kemudian terdengar bunyi letusan yang menggelegar, tak ubahnya bunyi petir di tengah kesunyian malam. Mendengar bunyi mengagetkan itu, sebagian penduduk buyar berantakan. Sebagian lagi membalikkan tubuh, memandang gusar pada si pengacau. Tetapi seketika, wajah-wajah mereka berubah pucat, kemudian pasrah. Teriakan-teriakan mereka pun pelan-pelan merendah, kemudian hilang ditelan kesunyian yang mendadak menyelimuti desa, dari ujung ke ujung.
Tonggo sendiri terpaksa menelan ludah. la berdesah kaku. '.Ah Pak Lurah kiranya."
Laki-laki setengah baya berwajah keras dengan sinar mata berwibawa yang disebut Pak Lurah, menurunkan besi panjang yang larasnya masih mengepulkan asap. Senjata itu diserahkannya kembali pada si pemilik, sambil bergumam dingin, "lsi lagi!"
Tonggo menerima senjata miliknya dengan senang hati. la tarik keluar kantong mesiu dari tali pinggangnya yang lebar. Bersiap-siap mematuhi perintah. Sementara itu, Pak Lurah berjalan beberapa langkah ke depan. Orang-orang menyeruak memberi jalan, sampai akhirnya lelaki setengah baya bertubuh kekar itu menghentikan langkah. Di depannya, tegak diam Sukaesih yang penampilannya di mata penduduk tamPak semakin menyeramkan. Tetapi di mata Pak
Lurah. justru tampak sangat menyedihkan. Mereka saling bertukar pandang sejenak. Semua yang menyaksikan, menunggu dengan diam campur khawatir.
Keadaan sunyi senyap itu mendadak dipecahkan suara bergumam Pak Lurah. "Hari sudah gelap."
Itu saja! Penduduk tercengang, namun tak seorang pun berani membuka mulut. Hanya Tonggo yang mengerti. la mengangguk, yang segera diikuti Darso.
Masih tetap mengawasi lurus ke mata si perempuan, Pak Lurah berkata lagi, "Besok saja. Menjelang tengah hari."
Usai berkata demikian, Pak Lurah membalikkan tubuh. Ia tidak segera berlalu, karena untuk pertama kalinya Sukaesih membuka mulut. Suaranya tenang, dingin, menusuk sampai ke sumsum.
"Aku ingin bicara."
Tanpa berpaling, Pak Lurah menyahut, "Bukan di sini tempatnya."
Lalu ia pun pergi. Dipandangi si perempuan sihir dengan mata berapi-api, dipandangi penduduk dengan mata segan setengah kebingungan.
Kebingungan mereka itu baru buyar setelah Darso berseru lantang. "Kalian dengar apa perintah Pak Lurah" Hari sudah mulai gelap. Kalau kalian semua ingin memusnahkan perempuan ini beserta ilmu sihirnya yang terkutuk, esok sianglah waktunya. llmu
sihirnya baru musnah apabila terbakar oleh api dari bumi dan api dari matahari!" Ia memandang berkeliling untuk meyakinkan bahwa semua orang dapat mencerna kata-katanya. Lalu ia melanjutkan, "Sekarang, bantu aku menyeret tukang sihir ini dan menguncinya di kandang kuda!"
Merasa yakin akan keampuhan mantra-mantra yang telah dirapalkannya semenjak tadi. Darso mendekati Sukaesih. Ia tidak menjamah tubuh perempuan yang tampak semrawut dan memelas itu. Ia sambar ujung tali yang terjulai di tanah, menariknya. dan kemudian menggiring Sukaesih dengan tangannya yang masih terikat ujung tali yang lain. Sejumlah tenaga sukarelawan kemudian membantunya, bahkan ada yang berani mendorong perempuan sihir itu disertai suara membentak kasar, "Ayo, jalan! Atau kau kuperkosa!"
Mereka lalu menggiring Sukaesih ke kandang kuda dimaksud, tak ubahnya menggiring kerbau ke tempat jagal. Tonggo tetap diam di tempatnya. Memperhatikan dengan kelopak mata tidak berkedip. Pelan-pelan, ia bergumam seorang diri. "Ia menyembunyikan sesuatu. Pasti!"
Malam pun, semakin menggelap jua.
*** LEPAS waktu Isya, Pak Lurah berjalan seorang diri menuju kandang kuda tempat Sukaesih disekap penduduk. Ada sekitar tujuh atau delapan orang lelaki berjaga-jaga di sekitar kandang, dipimpin oleh Darso.
Melihat siapa yang datang, Darso bergegas menyongsong sambil meludahkan sisa kunyahan tembakau dari mulutnya. Tanpa ditanya. setelah mengangguk hormat Darso langsung berujar, "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak. Penyihir itu juga tak akan mampu meloloskan diri dari kurungan yang telah kubuat."
Pak Lurah mengawasi tanah di depan kakinya. Di antara serakan jerami. debu dan tahi kuda, ia lihat cairan hitam pekat berkilat-kilat dalam jilatan lampu obor. Cairan itu ditumpahkan mengelilingi kandang
kuda, tanpa terlewat walau seujung jarum. Baunya apak menusuk hidung. sehingga Pak Lurah menyempitkan lubang-lubang pernapasannya.
Darso menyeringai. Katanya, "Maklum, Pak. Terbuat dari ramuan minyak damar, dicampur kencing kuda, darah ular, dan... ah, maaf, sedikit tahiku sendiri."
"Hem!" Pak Lurah mendengus, lalu menatap atap kandang. Atap itu penuh ditaburi rempah-rempah dengan bau sangit alang kepalang. Di antara taburan aneka ragam rempah itu terlihat bangkai seekor ular hitam. Melingkar tepat di atas pintu masuk kandang. "Perlukah semua itu?" dengus Pak Lurah. tanpa menyembunyikan perasaan jijik yang membuat perutnya mual.
"Agar tak satu pun yang dapat keluar masuk. Pak Lurah."
"Siapa yang masuk" Siapa yang keluar?"
"Roh jahat!" "Tetapi aku mau masuk ke dalam. Dan aku tak berhasrat tidur di kandang kuda!"
Sindiran itu membuat kuping Darso memerah. Katanya, malu-malu, "Ah. Apalah arti ilmuku, dibanding ilmu yang Pak Lurah miliki!"
"Karena itu, jangan kau campuri urusanku. Setuju?"
Darso membungkuk dalam-dalam. "Dengan senang hati. Pak Lurah."
Penguasa desa itu memandang orang-orang yang mengitari mereka. "Kalian juga!" katanya.
Mereka semua mengangguk, kemudian pergi diikuti Darso. Setelah agak jauh, mereka berhenti. Lalu duduk bergerombol, sambil semua mata mengawasi ke arah kandang kuda. Bisikan mereka campur aduk. Dan baru berhenti setelah Darso mendengus kesal. "Diam semua! Terkutuklah kalian yang berpikiran bahwa Pak Lurah berjiwa bejat. Jangan menyamakan diri beliau dengan jiwa kotor kalian. Sekarang, tutup mulut! Biarkan aku bersemadi. Siapa tahu Pak Lurah sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan kita!"
Tak jauh dari mereka. Pak Lurah mendekapkan kedua lengan di depan dada. Matanya dipejamkan, mulut komat-kamit. Setelah beberapa helaan napas, ia melangkahi benteng gaib ciptaan Darso dengan mata terpejam. Ia baru membuka mata setelah melewati pintu kandang. Gelap di dalam. Tak ada suara kuda mendengus atau menyepak-nyepak. Kuda-kuda di dalam kandang itu telah disingkirkan begitu ada kabar Sukaesih telah diringkus rombongan pencari di lereng gunung.
Tetapi ada desah napas lain.
Lembut, teratur. "Aku hampir tak percaya kau bersedia datang." Terdengar suara rendah dalam kegelapan kandang.
"Aku sudah berjanji," sahut Pak Lurah.
"Mau duduk di dekatku?" Terdengar ajakan ramah.
"Terima kasih. Aku di sini saja."
"Aku tidak lagi menggairahkan, ya?"
"Bukan itu sebabnya." Pak Lurah merendahkan suaranya, mendekati bisikan. Ia memperingatkan, "Darso bisa mendengar percakapan kita."
"Aku tahu. Dan aku tahu pula, ia sedang menguping. la pikir ia hebat, ya" Benteng yang ia buat di sekeliling kandang, diam-diam kumanfaatkan untuk membentengi diriku sendiri. Tak satu pun yang terjadi atau kita percakapkan di dalam sini dapat disedot hawa gaib dari luar!"
"Aku datang sebagai kepala desa. Sukaesih!" desah si lelaki, memperingatkan.
"Dan aku memang tidak mengharapkan kehadiranmu sebagai seorang jantan yang perkasa, Buyung!" balas si perempuan, tak kalah sengit.
Pak Lurah tersinggung oleh sindiran si perempuan tahanan mereka. Tetapi ia dapat menguasai emosinya. Katanya, "Kau bilang, kau ingin membicarakan sesuatu."
"Ya." Sukaesih menggeliat dalam kegelapan.
"Katakanlah. Cepat!"
"Mengapa buru-buru?" tanya Sukaesih lembut, lalu tertawa ringan. "Dulu, kau begitu sabar," lanjutnya.
"Yang lalu sudah berlalu, Esih!"
"Ah. Aku lupa."
"Apa yang akan kau bicarakan?"
"Pengakuan. Buyung! Pengakuan dari engkau sen
diri. Tidak padaku. Tetapi pada semua orang di luar sana. Bahwa aku tidak bersalah!"
"Kau berlebihan," ujar Pak Lurah tenang.
"Aku tidak bersalah!" Sukaesih setengah memekik. "Kau tahu, dia yang bersalah!"
"Dia?" "Jangan berlagak tidak paham siapa orang yang kumaksud, Pak Lurah!"
"Kau salah tafsir," sahut kepala desa itu. "Dia memang bersalah. Tetapi tidak seluruhnya. Ia tidak akan berkelakuan semengerikan itu kalau kau tidak membuat dirinya berubah wujud sama mengerikannya!"
"la memaksaku!"
"Tetapi kau tidak perlu berlaku sekejam itu padanya, Sukaesih."
"Tidak perlu" Lupakah kau, apa akibatnya kalau keinginannya yang begitu menjijikkan kuterima begitu saja" janinku akan dikotorinya! Dengar" Janinku akan dikotorinya. Dan kau tahu, janin itu bukan hanya milikku seorang!"
"Sudahlah. Masa silam telah lama kulupakan."
"Hebat!" "Apa boleh buat. Sukaesih. Bukan aku yang menghendaki. Kalau waktu itu kau patuhi permintaanku..."
"Aku ingin punya keturunan dari seseorang yang... waktu itu, kucintai. Dan kukira juga mencintaiku. Hanya itu yang kudambakan dalam hidupku yang
penuh siksaan dan nestapa. Kau dengar, Pak Lurah." suara Sukaesih menusuk dalam. "Aku sudah lama mendambakan seorang anak. Dan kini, aku telah memilikinya. Karena itu, katakanlah pada mereka siapa yang sesungguhnya bersalah. Agar mereka membiarkan aku pergi dengan bebas!"
"Mereka tidak akan membiarkan kau pergi."
"Mereka harus!" Sukaesih menggeram. "Aku sudah berbuat baik pada mereka semua. Kutelan semua siksaan dan hinaan, karena aku tahu mereka semua tidak bersalah. Mereka hanya tidak tahu yang sebenarnya. Mereka tidak sadar apa yang telah mereka pikirkan tentang aku, tidak sadar akan apa yang mereka lakukan terhadapku. Aku hanya perlu bertahan. Tidak perlu membalaskan sakit hati. Kuampuni mereka! Sebagai imbalannya, mereka harus merelakan aku pergi!"
"Mereka dipenuhi dendam kesumat, Sukaesih. Mereka sudah tak tahan menghadapi bencana-bencana mengerikan yang terus menerus harus mereka alami..."
"Bukan aku penyebabnya, Pak Lurah!"
"Mereka tidak tahu itu."
"Mereka harus tahu!"
"Maaf, Sukaesih. Sia-sia kau berharap, bahwa aku akan memberitahu mereka siapa sebenarnya penyebab dan sumber dari bencana itu!" Ia diam sejenak, menunggu reaksi. Karena tak ada sahutan atau reaksi
apa-apa. Pak Lurah menambahkan. "Atau kau yang akan mengatakannya pada mereka?"
Hening. Menyentak. Dan menyakitkan hati.
Pak Lurah menghela napas panjang. Dengan sabar ia menjelaskan apa yang sebenarnya tidak perlu ia jelaskan, karena sadar siapa orang yang ia hadapi. "Kau tidak akan mengatakannya. Karena kau tahu. kalau rahasia itu kau ungkapkan, maka akan kukatakan pula pada mereka bahwa kau sudah melahirkan seorang bayi. Itulah sebabnya kau diam saja ketika diperlakukan semena-mena, bukan" Kau harus tabah, harus kuat. harus sanggup menahan semua azab. demi keselamatan anakmu. Sekali kau lemah. maka mereka akan tahu kau punya keturunan. Akibatnya, kita berdua sama-sama tahu kalau ilmu sihir harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Itu berarti, keturunan si tukang sihir harus pula ikut dimusnahkan..."
"Tidak!" Suara Sukaesih berubah gemetar. "Mereka tidak boleh melakukan itu. Mereka tidak boleh membakar anakku. Kau... kau tidak akan membiarkan mereka melakukannya! Kau tak akan tega mereka membakar bayiku, karena bayi itu toh masih?"
Pak Lurah menukas, "Jadi. keadaan tak mungkin lagi diperbaiki. Bukankah demikian Sukaesih?" tandasnya.
Sukaesih muncul dari kegelapan. Dengan lengan masih terikat di belakang punggung. ia merayap men
dekati lelaki yang tegak di ambang pintu kandang. Dalam jangkauan nyala obor dari luar, samar-samar tampak Sukaesih seperti seorang pengemis hina yang rela menjilati telapak kaki seseorang demi sebutir nasi untuk mengobati laparnya. "Pak Lurah... kumohon..."
Si lelaki meloncat mundur. Berseru dengan suara bergetar, "Jangan berlaku sehina itu terhadapku, Sukaesih!"
"Pak Lurah..." "Aku harus pergi sekarang. Keinginanmu telah kudengar. Sayang. aku tak mungkin memenuhinya. Esih. Benar, hidupmu kini hancur berantakan. Tetapi kau telah lebih dulu membuat kehidupanku dan keluargaku runtuh tak berarti. Maafkan aku, Sukaesih. Bukan aku menyimpan dendam. Sungguh, jauh dari itu. Kita harus menyadari. bahwa apa yang kini kita alami adalah sebagai akibat dari kebodohan yang pernah kita perbuat. Dan..."
Suara gaduh orang bertengkar di luar membuat ucapan Pak Lurah menggantung. tak sempat memungkasinya.
Tanpa memedulikan isak tangis Sukaesih. Pak Lurah bergegas meninggalkan kandang. Ia tidak lupa melindungi diri dari pengaruh gaib benteng pertahanan yang dibuat Darso. Bergegas ia mendatangi sumber kegaduhan. Terlihat Darso dan teman-temannya bertengkar dengan seorang laki-laki yang ke
mudian dikenali Pak Lurah sebagai satu-satunya tukang kayu di desa mereka.
"Ada apa, Darso?" tanya Pak Lurah.
"Ini, Pak. Supardi. Ia memaksa bertemu dengan perempuan sihir itu."
"Astaga!" Pak Lurah tercengang. "Perlu apa kau menemui perempuan itu?"
"Sudah kubilang pada mereka ini." kata Supardi, terengah-engah. Ia nampak sangat keletihan. wajahnya kelihatan sakit. "Aku ini bujangan tua. Sebelum aku benar-benar lapuk, aku ingin ketemu jodoh. Sudah berapa orang gadis atau janda yang kukencani. tetapi tak seorang pun yang benar-benar cocok di hati."
"Lantas?" "Bukankah tukang sihir itu dulunya seorang tabib masyhur yang ilmunya mandraguna" Dulu, ia seringkali menolong orang sakit atau orang-orang yang menemui kesulitan macam-macam. Jadi, sebelum ia kita bakar esok siang. sebelum ia kita bunuh sampai mati. sebelum ilmunya benar-benar musnah. biarkanlah aku meminta pertolongannya. Barangkali saja, perempuan sihir itu masih mempunyai sisa-sisa kebaikan yang..."
"Ia perempuan jahat. Ia terkutuk! Kau akan disumpahinya menjadi seekor anjing buduk!" bentak Darso.
"Biarkan dia. Darso." tukas Pak Lurah. menengahi.


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau terjadi apa-apa. bukankah aku, bahkan kau juga dapat mengatasinya?"
Setelah menimbang-nimbang sejenak, dan bangga ilmunya "dianggap" juga oleh Pak Lurah, Darso terpaksa menyetujui. Ia kemudian berjalan ke arah kandang kuda. diikuti Pak Lurah dan yang lain-lain. Tiba di depan kandang, Darso memandang orangorang yang mengelilinginya dengan seringai malumalu. la tanggalkan tali pengikat celananya, menurunkannya pelan-pelan. Di balik celana itu. ia tidak memakai apa-apa lagi. Seorang temannya menggerutu, menertawakan. Darso memaki. lantas, dengan seenaknya ia pun kencing, sembari memercikkan air seninya ke cairan hitam di depan pintu kandang. Kemudian meludah.
"Nah. Kau boleh masuk sekarang, bung," katanya, bersungut pada Supardi. "Barangkali, supaya kau cepat ketemu jodoh. perempuan itu akan mengajukan syarat. Siapa tahu, ia mengajakmu tidur. Dan kalau kau mulai ditelanjanginya, Pardi, maka ingatlah..."
"Cabul!" dengus Pak Lurah pendek.
Darso menalikan kembali celananya dengan wajah tak senang. lantas membentak ke arah Supardi. "Masuk, kubilang. Dan berdoa saja, waktu keluar nanti perabotmu masih utuh!"
Diiringi gelak tertahan orang-orang di belakangnya, Supardi menyelinap masuk ke dalam kandang. Darso beserta teman sekelompoknya ribut menduga-duga
syarat apa yang diminta si tukang sihir sebagai imbalan keinginan Supardi. Ucapan mereka sangat jorok. Tapi Pak Lurah tak peduli kini. Ia tetap berdiri agak jauh dari mereka. Menatap lurus ke arah kandang, sikapnya tenang dan wajar-wajar saja. Tak seorang pun yang tahu, ia tengah memusatkan pikiran dengan gendang telinga berdenyut-denyut. Berharap, akan mendengar sesuatu.
Namun sampai Supardi keluar dari kandang dan Darso menyempurnakan tutup bentengnya yang sempat terbuka. Pak Lurah tak berhasil menguping pembicaraan Supardi dan Sukaesih. Dengan kecewa, ia mengawasi si pemuda yang melenggang dengan senyum dikulum, tanpa menjawab serangan pertanyaan dari Darso dan teman-temannya. Mereka semua mendongkol setengah mati, menatap Supardi menyelinap hilang dalam kegelapan malam.
Pak Lurah sendiri kemudian pulang ke rumahnya, dengan benak dipenuhi berbagai pertanyaan.
*** Setelah cukup jauh berjalan dan yakin tidak seorang pun mengikutinya, Supardi lantas jatuh bersimpuh di tanah. Sambil menjambaki rambutnya dan memukul-mukul tanah sekuat-kuatnya, ia meratap. "Sukaesih malang, kekasihku sayang! Masih juga kau memaafkan kealpaanku! Mestinya kau hukum aku, kau sumpahi. Kau jadikan cacing hina pun, aku rela. Dengan apa lagi aku harus menebus kesalahanku?"
Ia terus memukul-mukul tanah dengan air mata bercucuran.
"Supardi, cepatlah!" Telinganya menangkap bisikan samar. Supardi kaget, memutar kepalanya mencari sumber suara. Tak ada siapa-siapa. Matanya tidak menangkap apa pun kecuali kegelapan malam sepekat tinta. "Tunggu apa lagi, Pardi" Mereka akan membakarku, kau dengar" Kau ingin mereka melakukan itu padaku" Kau tega, sayangku?"
"Sukaesih!" bisik Supardi, terperanjat.
Ia kemudian menyeka air matanya dan bergegas bangkit menembus kegelapan menuju rumah yang hanya ditempatinya sendirian. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, Supardi mulai mengumpulkan bilah papan terbaik. halus tanpa cacat, keras dan kokoh. Semua perlengkapan bertukang ia kumpulkan di dekatnya. Setelah menarik napas berulang-ulang untuk menenangkan pikiran, hati, maupun debar jantungnya, ia tepekur. Dan berbisik pelan, "Aku siap, Esih."
Di dalam kandang kuda, Sukaesih meratap dengan pipi dibasahi cucuran air mata. "lbu dan Nenek! Ampunilah aku yang tidak tahu malu ini. Aku terpaksa mengusik ketenteraman kalian di alam sana. Terpaksa melanggar sumpah. Aku tak ingin, tetapi mereka memaksaku. Mereka telah merampas anakku! Merampas turunan kalian, darah daging kalian, penerus nama kalian. Oleh karena itu, kumohon dengan segenap jiwa dan raga. Bangkitlah, dan menyatulah dengan sukmaku!"
*** Rumah Supardi mulai riuh dengan irama palu beradu dengan pahat kayu. Sambil bekerja, Ia terus memikirkan Sukaesih, membayangkan perempuan itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Meresapi sosok Sukaesih dari baju luar sampai ke hati nurani.
Supardi beruntung, dengan keluguan dan sedikit tipu daya ia berhasil menemui Sukaesih yang tengah
ditawan Darso dan kawan-kawan. Di hadapan perempuan itu, ia meratap memohon ampun atas kelalaiannya. Mendengar bayinya hilang dicuri orang, Sukaesih terdiam beberapa saat. Selanjutnya, embusan napasnya adalah erangan kepedihan. Melolong pilu, meratapi ketidakberdayaan. Tubuhnya bergetar hebat, menahan liukan dari rasa tersiksa. Hawa panas memancar dari sekujur tubuhnya. Sorot mata yang semula teduh dan penuh pengertian, berubah semerah saga, berapi-api, menyalakan kemarahan penuh dendam dan sakit hati.
Tidak tahan dengan pancaran hawa panas yang seakan mampu melepuhkan kulit tubuhnya, Supardi memekik dan menggelepar kesakitan. lba melihat Supardi, Sukaesih sadar ia harus bisa menahan diri. Tarikan napasnya yang terengah-engah perlahan berubah tenang. Setelah semedi dalam beberapa hitungan, Sukaesih berbicara pelan dan hati-hati pada Supardi. la menyuruh Supardi melakukan sesuatu untuknya. Sesuatu, yang tidak saja akan memberinya kesempatan membalaskan dendam dan sakit hati, juga membuatnya akan tetap berada di dekat Supardi, sampai akhir hayat mereka berdua tiba.
Menjelang pagi, bilah papan itu telah mempunyai bentuk. Menyerupai daun pintu, namun dalam ukuran kecil. Bukan pintu rumah, melainkan pintu sebuah lemari. Bukan pula pintu lemari biasa. Ukiran yang halus menghiasi bidang permukaannya. Di bawah
sinar lampu damar yang temaram. menyembul ukiran sesosok perempuan.
Matahari beranjak naik. Sementara penduduk berbondong-bondong menyaksikan Sukaesih digiring dan diikat pada sebuah balok kayu lalu dipancangkan di tengah alun-alun, si tukang kayu terus memoles dan menghaluskan ukirannya. Sosok perempuan dalam ukiran pintu lemari semakin mendekati wujud Sukaesih.
Di alun-alun desa, berikat-ikat kayu bakar ditumpuk mengelilingi balok kayu. kian lama kian membukit, hampir-hampir mencapai ujung kuku Sukaesih yang terikat tinggi di atasnya. Jauh di sudut desa, di bawah jemari si tukang kayu, wujud Sukaesih semakin nyata pula. Keahlian tangan sang pengukir mampu membuat sepasang bola mata Sukaesih bersinar-sinar cemerlang. Membentuk lekuk bibir yang tersenyum ramah mengundang. ltulah gambaran Sukaesih dalam jiwa si tukang kayu, sosok kekasih tercinta yang penuh kasih sayang.
Menjelang tengah hari. orang-orang mulai ramai membicarakan Pak Lurah yang beralasan sakit hingga tidak bisa datang menyaksikan upacara pembakaran si perempuan sihir. Tetapi ketidakhadiran Pak Lurah dengan segera mereka lupakan, begitu Darso muncul membawa obor besar yang apinya menyala-nyala. Ia berjalan paling depan, dikawal oleh Tonggo dengan penuh kewaspadaan. Di belakangnya, beberapa orang
berjalan mengiringi dengan obor-obor yang lebih kecil.
Orang sedesa, tumpah ke alun-alun. Kecuali Pak Lurah yang duduk bersemedi di ranjang kamar tidurnya. Ah. dan Supardi juga. Tukang kayu itu keluar dari rumahnya begitu matahari naik semakin tinggi, menggantung di langit biru jernih. la tegakkan pintu lemari itu di tanah. dengan ukiran Sukaesih menghadap alun-alun.
Alun-alun itu tidak tampak dari halaman rumah Supardi karena terhalang rumah-rumah penduduk serta pepohonan yang tumbuh rapat di sana-sini. Namun dengan bantuan kekuatan batin Sukaesih yang disalurkan ke tubuh Supardi saat mereka berbicara di kandang kuda tadi malam, indera keenam Supardi dapat menangkap keadaan di alun-alun. Setelah yakin posisinya tepat, Supardi meluruskan tegak pintu lemari di depannya, dengan jemari mencengkeram kuat pada kedua sisi pintu berukir itu.
Perlahan Supardi mulai merasakan getaran pada pegangan tangannya. Pintu lemari itu seakan-akan ditarik oleh tangan-tangan gaib, dibetot ke arah alun-alun. Di belakangnya. Supardi bertahan dengan sekuat tenaga. Meski hawa panas matahari mulai terasa mengitari sekeliling rumah. namun daun pintu di depannya justru sebaliknya. Daun pintu itu terasa dingin, membeku. Otot-otot tubuh Supardi menyembul kencang. buku-buku jarinya
memutih. Tubuh Supardi mulai kuyup oleh peluh yang seakan menyembur dari pori-pori kulitnya. Tarikan tangan-tangan gaib pada pintu semakin keras. Supardi terus bertahan. Bibirnya terus komatkamit membisikkan nama kekasihnya dengan segenap rasa cinta dan kasih sayang.
"Sukaesih, Sukaesih, Sukaesih...!"
Sukaesih mengabaikan nyala api yang mulai berkobar di bawahnya. Matanya terpejam rapat. Telinganya ditulikan agar tidak mendengar suara tempik sorak manusia di sekelilingnya, Berusaha konsentrasi untuk menangkap panggilan sayup-sayup dari arah rumah Supardi. Ia bisa merasakan ketulusan kasih sayang pemuda itu. Perasaan yang membuatnya terharu sekaligus didera rasa sedih tak terperi. Kenyataan bahwa perasaan kasih sayang yang begitu tulus tidak akan pernah ia miliki perlahan membangkitkan kembali benih-benih kemarahan dan dendam yang menuntut pembalasan.
lalu mendadak, ketika matahari tepat mencapai ubun-ubun, Sukaesih membuka matanya. Lidah api mulai menjilati kakinya. Ditatapnya gerombolan manusia di bawahnya dengan mata terpentang lebar. bersinar buas dan jalang. Bibirnya menyeringai, lalu dari mulutnya keluar suara lirih namun melengking menusuk telinga.
"Kalian gerombolan binatang-binatang terkutuk! Kalian telah mencuri bayiku! Demi raja dan ratu
setan jahanam dalam kegelapan yang terkutuk, kalian akan menerima pembalasanku!"
Sukaesih kemudian memperdengarkan lolongan panjang yang meremangkan bulu roma. Kobaran api di bawahnya bertemperasan, meliuk-liuk bagai tertiup badai. Matahari yang tadi bersinar garang seakan ikut tersentak lantas menyembunyikan diri di balik awan hitam pekat yang entah dari mana datangnya. Pekat berarak-arakan di langit, melingkupi alun-alun desa di bawahnya dengan kesuraman yang menakutkan.
Semua yang hadir terkesiap ngeri.
Di kamar tidurnya, Pak Lurah merintih.
Di halaman rumahnya, Supardi mengerang menahan siksaan sakit yang menyerang ototnya dan nyaris memutuskan urat-urat tubuhnya. Bersamaan dengan lenyapnya lolongan seram di alun-alun, daun pintu lemari di depan Supardi bergetar hebat seakan didorong dan ditekan dengan kekuatan penuh dari atas. Bagian bawah daun pintu itu melesak beberapa inci ke tanah. Supardi merasakan angin dingin menusuk sumsum. menampari telapak tangannya dengan pukulan tajam. Tamparan demi tamparan itu begitu keras menimbulkan bunyi berdetas, begitu dinginnya sampai jemari Supardi membeku dan membiru.
Suatu dorongan gaib kemudian melemparkan tubuh Supardi ke tanah. Sedangkan pintu lemari itu tetap tegak di tempatnya semula. dengan bagian bawahnya melesak lebih dalam ke tanah. Supardi yang
tidak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya, bergegas bangkit dan menyambar pintu itu, mempertahankannya. la berteriak panik, memohon agar kekuatan gaib yang telah menyerangnya enyah. dan membiarkannya menjaga Sukaesih.
"Jangan kalian ganggu Sukaesihku!" Supardi kini meratap disertai isak tangis.
Beberapa saat kemudian Supardi menyadari bahwa suasana di sekitarnya sudah kembali seperti biasa. Isak tangisnya mereda. Ia merasakan sengatan panas matahari, mendengar bunyi kambing mengembik, melihat seekor ayam jantan mengejar ayam betinanya, dan seekor anjing yang tadinya bersembunyi di kolong rumah, menyembulkan kepala dengan mata curiga. Indera keenam Supardi membisikkan, walaupun segala sesuatu telah kembali pada kehidupan yang biasa, pintu lemari dalam pegangannya seolah bukan lagi miliknya seorang.
Bimbang, ia bergerak ke depan. Memutar sampai ia tegak berhadap-hadapan dengan bagian depan pintu lemari. Alangkah terkejutnya Supardi! Wajahnya berubah pucat pasi. Pada permukaan daun pintu, ukiran mata cemerlang Sukaesih telah berubah warna menjadi hitam kemerahan. Pancaran kasih di matanya berubah menjadi sinar kedengkian makhluk setan. Begitu pula senyum manis pada lekuk bibirnya telah berganti seringai kejam, seringai yang menebarkan benih-benih dendam kesumat iblis jahanam."
*** Di alun-alun, orang-orang berlarian panik.
Api unggun masih berkobar-kobar. Pekat sudah menepi, berganti langit yang kembali membiru jernih. Matahari kembali menyengat tanpa belas kasihan. Tonggak kematian masih tetap terpancang di tengah api unggun. Tetapi Sukaesih tak lagi terikat pada balok kayu itu. Tali-tali pengikatnya tampak masih melingkar kemudian meluncur jatuh ke dalam kobaran api. Namun si perempuan sihir, sudah lenyap tak berbekas!
*** Pandeglang Juli 1984 CUACA siang itu sangat tidak menyenangkan. Matahari bersinar garang. Panas menggigit. Dan se pertinya angin begitu malas berembus. Seorang pejalan kaki di trotoar seenaknya menyepak keranjang bekas yang menghalangi jalan. Keranjang itu terbang menghantam tiang listrik, mental kembali ke tengah jalan dan menghantam roda depan sebuah sepeda motor yang sedang melaju kencang. Keranjang bekas terlindas. Namun tak urung pengendara sepeda motor kaget setengah mati. Rem tangan dicengkeram mendadak. Motornya berhenti, tersendat sendat. Si pengendara membentak si pejalan kaki, "Bang sat!" "E-eee. Nggak ujung nggak pangkal, marah marah. Ngajak berkelahi?" Si pejalan kaki membalas, tak kalah sengit.
"Ho! Jadi kau belum kenal siapa Edi Naga, ya?" Si pengendara turun dari motornya. "Kuinjak kau. Biar gepeng!"
Keduanya sama sama menyingsingkan lengan baju. Sambil saling mendekat, mereka memasang wajah beringas. Otot lengan si pejalan kaki menggembung kekar. Otot lengan si pengendara biasa biasa saja, tapi lengan itu dirajah dengan tato bergambar naga yang menyeringai buas. Orang orang di sekitar mulai ber kerumun, ingin tahu apa yang terjadi. Juga seorang polisi lalu lintas yang sedang bertugas jaga di perempatan.
"Hei! Apa apaan itu?" teriak si polisi yang bergegas datang untuk melerai. Derap sepatu dinasnya yang khas, mengalihkan perhatian si lengan ber-tato naga dan si pejalan kaki. Melihat polisi yang benar benar datang menghampiri, rupanya nyalinya ciut juga. Ia langsung memutar langkah. Meloncat naik ke sepeda motor dengan tangkas, lantas tancap gas. Kabur.
"Pengecut! Jangan lari kau!" Lawannya, si pejalan kaki berteriak mengejar. Malang, ia tidak melihat siapa yang datang dari arah berlawanan. Tak ayal lagi, ia bertubrukan dengan si polisi. Terdengar suara berdebuk ketika keduanya jatuh ke jalan aspal. Orang orang yang menyaksikan di pinggir jalan sontak ter tawa terbahak, buat mereka adegan itu tak lebih dari lawakan.
Tapi tidak dengan si polisi, ia marah. Lantas
mencengkeram kerah baju orang yang menubruknya. "Ayo, ikut aku ke kantor!" dengusnya garang.
Barulah si penubruk sadar dari seketika menjadi pucat pasi. "Jangan nangkap saya, Pak. Dia yang mestinya Bapak tangkap. Si Edi Naga! Gara-gara dia, aku?"
"Siapa?" si polisi terkesiap.
"Edi Naga. Tak salah lagi. Saya lihat tato di lengan nya. Sungguh, Pak?"
"Wah!" Polisi lalu lintas itu jengah. Ia celingukan mencari cara untuk mengejar orang yang seharusnya ia tangkap. Ketika melihat ada dua sepeda motor menganggur di dekatnya, ia lantas mendekat. Vespa yang terpakir dilewatinya, lalu menuding sepeda mOtOr Yamaha. "Siapa punya ini?" serunya tak sabar pada orang yang menunggu aksi selanjutnya.
Dari tengah kerumunan tampak sebuah tangan mengacung. "Saya, Pak. Ojek butut, tapi kalau soal ngebut..."
"Oh, kau itu Dang! Pinjami aku kunci ojekmu. Cepat!"
Setelah petugas negara itu tancap gas dan hilang di balik tikungan, kerumunan orang orang mulai bubar satu per satu. Dua orang pria yang tengah membeli rokok di warung yang berada tak jauh dari lokasi kejadian, berjalan ke arah vespa. Tenang tenang keduanya menaiki kendaraan yang tadi di
pandang sebelah mata oleh polisi. Yang berbaju
batik mengemudi. Yang duduk di boncengan belakang, berbaju safari.
"Sayang bukan punyaku yang dipinjam polisi tadi," ujar si baju batik. Vespanya ia pacu meninggalkan alun alun, memasuki jalan menurun arah ke Labuan.
"Kok sayang" Mestinya kan untung," timpal si baju safari.
"Kalau motorku yang dipakai dan Edi Naga tertangkap, motorku bakal punya sejarah."
"Memangnya siapa sih Edi Naga itu?"
"Masa kau nggak tahu, Med?"
"Aku kan orang baru di Pandeglang ini, Harlas."
"Oh ya. Aku lupa. Baiklah kujelaskan. Kalau Edi Naga tahu saat ini sakumu penuh uang, pasti si pe
jalan kaki yang menyepak keranjang tadi tidak akan dia pedulikan."
"Maksudmu, Edi Naga itu penodong?"
"Ya penodong, ya penjambret, ya perampok. Kalau kepepet, dia bisa jadi pembunuh. Konon punya ilmu siluman, sehingga sering lolos dari kejaran polisi."
"Wah!" "Makanya. Kutemani kau belanja. Biar uangmu aman. Sekalian aku dapat komisi. Urusan begini, biasa nya dua puluh persen!"
"Kok murah!" Dan mereka tertawa, mengakak.
Setelah tawa mereka reda, Harlas yang mengenakan kemeja batik bertanya sungguh sungguh, "Omong
omong soal harga murah, Ismed. Mengapa harus membeli perabotan bekas" Nanti di toko mebel itu, kau tinggal bilang bahwa kau ini dari kantor Depdikbud. Mereka akan senang hati mempersilakan kau memilih yang paling baru, yang paling baik. Dengan harga miring pula. Apalagi kalau mereka tahu kalau kau ini seorang kepala seksi."
"Memangnya kalau kepala seksi kenapa rupanya?"
"Kau akan dianggap menak, orang terhormat. Begitulah kebiasaan orang di sini. Dan sebagai menak, kau pantas mendapat harga di bawah pasaran. Tunai boleh, mengangsur juga tak apa. Dan kau bisa bayar kapan kau mau, tanpa batas waktu."
"Masa iya?" "Kalau tak percaya, potong kupingku, bung! Aku asli orang sini. Bukan menyombong, tapi begitulah tradisi turun temurun di daerah ini. Apalagi kalau si empunya barang orangnya sudah haji. Jangankan soal waktu pembayaran, jumlah uang angsuran perbulan pun tidak diwajibkan harus segini atau segitu. Bulan ini kau angsur seratus ribu rupiah, bulan depannya lima belas ribu pun tak bakal usil dia."
"Dan kalau bulan ini tak punya duit untuk mengangsur?"
"Masih ada bulan berikutnya."
"Dendanya?" "Tanpa denda. Bahkan, biar namanya kredit tidak ada beban bunga."
"Kalau tak bayar bayar?"
"Hm... kau jadi bernafsu, Ismed. Rupanya ada minat menipu, ya?" Harlas tertawa, lalu melanjutkan penjelasannya, "Si pemilik barang tak takut."
"Tentu saja tidak takut." dengus Ismed. "Mereka bisa menyita barang kembali. Kalau perlu, dengan bantuan polisi."
"Tidak juga. Barang yang kau ambil tetap milikmu, tetap hutangmu."
"Andai tak sanggup melunasi?"
"Kau akan sanggup."
"Sudah kubilang, kalau tidak sanggup!"
"Mereka percaya, kau tetap sanggup membayarnya. Tidak sekarang, pasti nanti."
"Nanti itu tidak ada batas waktu."
"Ada, bung!" "Kapan?" "Kelak, bila kita semua sudah mati. Tuhan akan mengumpulkan kita di Padang Mahsyar. Di sanalah kita pasti akan bertemu lagi. Di sana, yang punya hutang harus melunasi hutangnya, yang punya piutang berhak menagih piutangnya."
"Bukan main!" Ismed berseru takjub.
"Inilah Pandeglang, kawan. Kuucapkan selamat datang!" Harlas tersenyum. "Apakah aku lupa menyampaikan ucapan itu ketika batang hidupmu nongol di kota ini sebulan yang lalu?"
"Memang kau lupa," tukas Ismed juga tersenyum.
"Tetapi bicara soal utang piutang, kau belum kenal Farida." Menyebut nama itu, pandangan Ismed sempat menerawang sebentar. "Dia sangat anti berutang. Biar sudah terjepit tak punya duit, ia selalu menemu kan lobang untuk meloloskan diri. Misalnya dengan memasukkan ke dalam periuk sekaligus; beras, kang kung, dan kepala ikan asin. Tambah sebutir cabe, seiris bawang dan sejumput garam. Jadilah masakannya istimewa itu. Cepat, praktis, dan tentu, irit."
Harlas tercengang sejenak. Kemudian tertawa. "Kalau tak ada lagi yang bisa dihemat?" celctuknya menggoda.
"Ya, puasa!" Tawa Harlas kian bergelak. "Memang kau tahan?"
"Kadang kadang."
"Kalau sudah tak tahan?"
"Ya, ngutang di luar. Diam-diam."
"Kalau istrimu tahu?"
"Gawat." "Gawatnya?" "Ia akan pakai celana dalam tujuh lapis!"
"Astaga! Ha ha ha." Harlas tidak dapat menahan tawanya terpingkal pingkal. "Tetapi biar kata berlapislapis, kau kan laki laki. Masih bisa kau copot dengan paksa."
"Boleh coba. Tetapi kusarankan, lebih baik cari se lamat saja."
"Masa iya?" "Dia punya ban cokelat karate, kalau kau ingin tahu."
"Oh, oh, oh... payah kalau begitu."
"Tidak begitu payah, sebenarnya."
"Bagaimana pula itu, Met?"
"Soalnya, Ida cemburuannya nggak ketulungan. Aku tinggal mengancam, Kalau kau tak kasih, Ida, aku akan pergi. Banyak lobang lain yang masih menganggur" Nah, bila sudah begitu dia pasti menyerah. Pasrah. Mulanya dia bersikap dingin memang. Seperti batang pisang. Tapi kalau sudah digoyang..."
"Yang kau bicarakan itu istrimu, Ismed!" Harlas memperingatkan.
"Wah. Aku kelepasan. Jangan kau laporkan ke Farida, ya."
"Baiklah. Kalau begitu, hari ini aku kebagian dua puluh lima persen. Untuk mengamankan uangmu dua puluh persen, untuk tutup mulut lima persen."
"Sialan!" Mereka masih terus bercanda, sampai vespa dibelok kan Harlas memasuki halaman sebuah toko mebel menjelang persimpangan Cibiuk, kelurahan Maja. Perabotan rumah tangga berbagai jenis terpajang rapi, baik di halaman maupun di ruang depan toko. Baik yang terbuat dari bahan kayu, besi, maupun keramik. Melihat sepintas Ismed membatin, bahwa selera orang Pandeglang tak begitu jauh ketinggalan dengan selera
orang Bandung yang selalu keranjingan model terbaru.
Harlas menggumamkan sesuatu pada seorang perempuan muda yang segera bangkit dari duduknya melihat ada calon pembeli muncul. Perempuan itu segera menghilang di balik pintu ke ruang dalam. Tak lama, ia kembali dengan seorang lelaki setengah umur, bertubuh sedang dan berkopiah beludru. Wajahnya yang jernih tampak riang ketika mengenali tamunya.
"Assalamualaikum, Pak Haji," sapa Harlas, takzim.
"Waalaikumsalam. Aduh, Nak Guru... ke mana saja kok lama menghilang. Sudah lupa ya, sama orang tua cerewet ini?" sambut Pak Haji sambil mengulur kan tangan untuk bersalaman.
"Maklum, Pak Haji. Usai penerimaan siswa baru, saya harus ikut penataran Pancasila di Cibodas. Habis itu, ada perubahan kurikulum. Lalu ada beberapa orang tamu dari pusat yang harus diantar meninjau. Dan..."
"Sibuk. Benar benar sibuk!" tulus Pak Haji sambil menepuk bahu Harlas. "Bapak harap kau sekeluarga sehat sehat saja."
"Terima kasih, Pak Haji. Oh ya, perkenalkan. Ini Ismed Effendi. Dulu teman satu kelas waktu SMA di Bandung. Nasib menghendaki kami bertemu lagi. Namun biar namanya aku seorang kepala sekOlah, kalau mau menemui beliau ini harus lebih dulu mengisi
buku tamu, dan harus duduk menunggu perkenan beliau untuk bertemu."
Ismed dongkol tidak kepalang. Ingin ia tonjok mulut kawannya agar berhenti berkicau secara berlebihan. Tetapi sambutan tuan rumah yang begitu ramah tamah tak dapat diabaikannya. Mereka diajak masuk ke ruang dalam, disuguhi minuman dingin dan penganan ringan. Baru setelah itu masuk ke tujuan semula Ismed dan Harlas datang ke toko.
Tetap riang dan tetap ramah seperti pada keluarga sendiri, pemilik toko bergegas mengajak Ismed untuk memilih perabotan di ruang depan. Untung Harlas keburu menengahi.
Katanya, masih meledek sahabatnya, "Maaf, Pak Haji. Agaknya, beliau ini penggemar barang antik."
Hampir Ismed memaki Harlas, kalau pemilik toko tidak lebih dulu angkat suara dengan nada menyesal.
"Tetapi, Nak, kami tidak menjual barang antik. Terlalu banyak risiko. Lagi pula..."
"Maksud Pak Kepala Sekolah begini, Pak Haji," sela Ismed sambil mendelik pada temannya. "Kami sedang mencari perabotan bekas." Sambil menerang kan, ia pergunakan kesempatan yang ada sebaik baiknya. Saat lolos dari pengamatan tuan rumah, kaki Ismed yang bersepatu memijak kaki Harlas yang cuma bersandal jepit.
"Eh, Nak Guru!" Pemilik toko terkejut melihat perubahan raut wajah Harlas. "Kau sakit, agaknya."
Cepat Ismed menarik mundur sepatunya.
Harlas menjawab terengah-engah, "Bukan sakit, Pak Haji. Geli, begitu. Ada seekor tikus busuk meng gerogoti sandalku."
Pemilik toko jadi kalang kabut meneriaki pembantunya yang segera berlarian mencari ke mana tikus itu lari. Tentu saja usaha mereka sia sia belaka. Kepanikan itu dimanfaatkan Harlas dan Ismed untuk saling bertengkar berbisik-bisik. Akhirnya mereka menahan tawa saat tuan rumah menemui mereka kembali dengan jidat berkilat dibasahi peluh.
"Tak akan jauh tikus itu lari," ia mengomel. "Kucingku, si Macan lagi dibujuk supaya ikut mencari. Si Macan rupanya kekenyangan malah tidur bermalas malas di luar sana. Oh ya, ya. Perabotan bekas, Pak Ismed" Ayo, saya tunjukkan tempatnya..."
"Pak Haji, panggil saya dengan sebutan yang sama kalau Bapak memanggil Harlas," Ismed memprores, tak enak.
"Oh. Anak juga guru?"
"Bukan. Saya..."
"Kepala seksi. Hm, ya, Nak Kepala Seksi..." Pe milik toko geleng geleng kepala. "Kok tak enak menyebutnya," ia mengomentari sendiri. "Tak apa kalau kusebut nama saja?"
"Begitu lebih baik. Terima kasih, Pak Haji."
"Syukurlah. Sampai di mana pembicaraan kita tadi. Oh ya, perabotan bekas. Tempatnya di belakang.
Tetapi Nak Ismed, di depan banyak yang bagusbagus. Silakan pilih mana yang Nak Ismed suka. Mengenai harga dan pembayaran..."
"Jadi tempatnya di belakang," potong Ismed segera, namun sopan. "Boleh saya melihat lihat, Pak Haji?"
Di halaman belakang, ada sebuah gudang besar dan lebar. Tiga orang karyawan tengah membersihkan dan memperbaiki perabotan yang ada di dalamnya ketika mereka masuk. Dijelaskan oleh pemilik toko, bahwa perabotan bekas itu ia dapatkan dari pemilik semula yang ingin punya model baru secara tukar tambah. Umumnya, mereka kalangan menengah ke atas. Sebab kalangan bawah yang bekerja sebagai penyawah atau tukang kebun, baru melepas lemari misalnya-setelah lemari itu tinggal potongan papan yang hanya pantas untuk membesarkan api di tungku.
"Karena itu, Nak Ismed, biar namanya barang be kas, model dan mutunya tetap terjaga," komentar pemilik toko sedikit berpromosi. Dan memang. sewaktu Ismed melihat sana melihat sini, komentar Pak Haji benar adanya. Paling tidak, model barang bekas itu telah dipermak tukang-tukang kayunya. Atau kalau masih bagus, dibersihkan dan dirawat dengan telaten.
Sambil melihat lihat, Ismed mengingat jumlah dana yang tersedia untuk membeli perlengkapan rumah. Ia juga bertanya tanpa segan harga perabotan bekas dan
perabotan baru, sekadar perbandingan. Kenyataannya, kalau ia membeli perabotan baru, paling ia hanya mendapatkan satu meja rias untuk Farida dan satu set meja tamu. Kalau yang dibelinya perabotan bekas di gudang itu, maka ia dapat tambahan satu bufet, satu lemari besar dan satu tempat tidur nomor dua. Komplet. Begitu Farida datang dari Bandung, rumah mereka sudah benar-benar siap pakai.
Setelah mereka berbincang dan berhitung-hitung, Pak Haji mengingatkan, "Apakah Nak Ismed tidak melupakan meja makan?"
ISmed ragu ragu. Ia tahu batas keuangannya. Maka dengan sopan ia menolak. "Kita dapat makan di mana saja bukan, Pak Haji" Asal tak berdiri saja. Tabu."
"Juga tabu kalau makan di tempat tidur. Kata orang tua tua dulu, kalau makan di tempat tidur, maka anak yang dilahirkan di tempat tidur itu bakal susah diatur, jorok perilaku dan cara hidupnya," ujar Pak Haji tersenyum manis. "Tak usah pikirkan soal uang. Sekadar tanda kekeluargaan, Bapak akan hadiah kan untuk Nak Ismed satu set meja makan. Hsst, jangan memprotes. Lihat dulu mejanya..."
Pegawai toko segera menurunkan kursi kursi yang disusun rapi di atas sebuah lemari kecil. Ada pun mejanya diletakkan dengan posisi terbalik sehingga bidang permukaan meja menutupi lemari tadi. Meja beserta kursi-kursinya memang kuat. Dengan sedikit
polesan, perlengkapan itu akan tampak seperti baru lagi. Ismed memperhatikan dengan saksama, semula matanya agak terpicing dengan alis yang nyaris bertaut, tetapi kemudian Ismed terbelalak.
Ia tidak hanya memperhatikan meja atau kursi makan saja.
Benda itu membetot seluruh perhatian lsmed. Perlahan wajahnya berubah tegang dengan sinar mata takjub. Ada sesuatu yang seakan akan melecut saraf saraf tubuhnya, menekan jaringan sel-sel otaknya. Ia tegak kaku bagaikan terkena mantra yang membuatnya membatu.
Ketika menyimak apa yang jadi sasaran perhatian tamunya, pemilik toko memperlihatkan wajah tak senang. Harlas yang juga ikut memperhatikan, heran melihat sikap aneh sahabatnya yang mendadak ter paku memandang lemari di hadapan mereka. Ia sendiri sempat terpesona melihat daun pintu lemari mungil itu.
Ukiran pada daun pintu itu menggambarkan se orang perempuan muda rupawan duduk santai di rerumputan. Lekuk tubuh yang sempurna dibiarkan terbuka tanpa sehelai benang pun menutupinya. Berlatar belakang sebuah gubuk kecil di lereng gunting, suasana tampak begitu damai dan tenang. Sebelah tangannya naik membentuk siku-siku dengan jemari menyusup di balik kepala, menggeraikan rambutnya yang panjang bergelombang. Tangan lain turun me
nutupi sebelah payudaranya yang kencang padat, dengan telapak membelai kepala seekor anak kambing jantan yang rebah di pangkuan si perempuan.
Ukiran pada daun pintu itu pasti dikerjakan oleh tangan yang tidak saja ahli dalam bidangnya, namun seakan mengandung kekuatan magis. Gambaran perempuan itu begitu hidup. Namun kesempurnaan ukirannya tidak dapat menutupi kesan seram, karena senyuman di bibirnya justru menyiratkan seringai kejam. Dan sepasang mata di bawah lengkung alis yang indah memancarkan tatapan penuh dengki, mengumandangkan benci dan dendam kesumat.
Harlas menelan ludah, lantas menyikut pinggang sahabatnya.
"Med. Ismed. Sikapmu memalukan," bisiknya di telinga Ismed.
Tanpa bergerak, Ismed menyahut dengan suaranya bergetar. "Kau bilang... kau sudah tak sabar ingin melihat seperti siapa Farida itu..."
"Hei! Apa yang kau bicarakan ini, Ismed Effendi?"
"Ida." "Farida?" "Ya." "Tetapi ia?" "Ia di depan kita sekarang. Har-las."
*** PULANG ke Pandeglang, mereka berdua ber tengkar. Bertengkar benar benar. Yang mereka pertengkarkan pun sepele saja. Lemari berpintu ukir itu, beli atau tidak. Begitu mereka tinggalkan toko mebel Pak Haji, Harlas langsung menggerutu.
"Aku malu ketemu Pak Haji lain kali."
Ismed diam saja. Pikirannya menerawang tak menentu. jiwanya gelisah.
Ia tak habis pikir, mengapa ia sangat dipengaruhi oleh ukiran perempuan itu. Terjadi pertentangan di batin Ismed. Diam diam ia takut dan merasa seram melihat sorot mata dan senyum si perempuan. Tapi sebaliknya, ia mendadak sangat ingin memiliki lemari iru. Ia yakin, lemari itu akan menjadi sebuah kejutan besar untuk istrinya, Farida. Farida yang manja, yang penuh kasih sayang. Tetapi yang juga suka memper
olok olokkan sang suami yang selalu lupa memberi hadiah ulang tahun untuk sang istri. Kalaupun ingat, hadiah ulang tahun si suami sering kali salah. "Aku senang sepatu ini," kata Farida suatu hari. "sayang tumitnya ketinggian ya." Lain kali, "Kok beli gelang berlian segala, padahal tadinya aku cuma ingin di hadiahi ciuman." Ah, Farida....
Merasa didiamkan, Harlas tambah sengit. "Kau dengar" Pak Haji pikir aku sama bejatnya dengan kau!"
"Bejat?" Baru Ismed tergugah.
"Ya! Berjiwa bejat, berpikiran kotor, berkelakuan menjijikkan!"
"Lho. Kok aneh?"
"Kau memaksa mengambil lemari itu."
"Lantas?" "Aku malu!" "Kok malu?" "Karena aku mk mampu menasihati kau. Agar lemari itu kau lupakan saja. Terus terang, aku juga takut."
"Takut?" "Ismed, apa kau lupa cerita cerita yang diungkap kan Pak Haji mengenai asal usul lemari terkutuk itu?"
"Terkutuk, Harlas?"
"Ya, terkutuk!"
"Apanya yang terkutuk?"
"Perempuan itu! Senyumnya, matanya, kebugilan nya. Perempuan itu mengemong kambing pula. Tahukah kau, sebagian orang berpendapat bahwa kambing adalah perlambang setan jahanam?"
"Yang aku tahu, dalam kitab kitab suci setan itu berwujud ular. Yang menggoda Hawa agar membujuk Adam memakan buah larangan," tukas Ismed seenak nya.
"Tetapi kitab kitab suci juga banyak menceritakan tentang kehidupan orang orang murtad di jaman Rasul Rasul. Tentang para penyembah patung, pemuja berhala. Kebanyakan patung itu dibuat oleh para pengingkar Tuhan dalam wujud kambing!"
"Oke, tentang kambing. Dan si perempuan?"
"Ia juga setan! Perempuan setan!"
Ismed berubah tegang. Bertanya dengan nada suara dingin, "Siapa bilang dia perempuan setan?"
"Pak Haji." "Aku tak dengar Pak Haji mengatakan dia itu setan, Har-las."
"Dia mengatakannya Dia bilang, mata perempuan itu dari tubuh setan. Dia tak pantas dimiliki manusia manusia bermoral!"
"Aku sudah memilikinya, Harlas." Suara Ismed ber tambah tajam. Tetapi Harlas tak menangkap perbedaan suara sahabatnya. Ia terus bernafsu dengan kata katanya.
"Kau masih dapat membuangnya."
"Di... buang?" "Dibuang!" "Tetapi, dia dan aku sudah menikah, Harlas."
"Perempuan setan itu" Apakah kau..." Umpatan Harlas terputus. Sekoyong koyong ia menyadari subjek pembicaraan mereka yang ternyata berbeda satu dengan lainnya. Diam diam ia juga merasakan adanya ketegangan pada orang yang duduk di boncengan sepeda motornya. Harlas kaget sendiri. Terengah se bentar, gugup. Katanya, "Ismed. Aku tidak bicara ten tang Farida. Aku biara mengenai perempuan di daun pintu lemari itu."
"Dia Farida. Sudah kubilang, dia Farida!"
"Cuma mirip, Ismed." Harlas membujuk.
"Karena ukiran itu cuma benda. Tetapi coba beri ia daging, darah. Beri ia kehidupan. Maka dia akan jadi Farida!" Ismed tetap bersikeras.
"Baiklah. Kau sendiri mengatakan itu cuma benda. Jadi, kita Sudahi saja sampai di sini." Harlas ikut ikutan gusar. Lalu antara sadar dan tidak, ia mengumpat lagi. "Benda mati sialan!"
"Dia bukan benda mati. Dan dia tidak sialan!" Ismed berteriak.
Harlas sampai hilang kendali sesaat. Vespanya me lenceng ke tepi jalan membentur pilar trotoar, miring dan lari ke tengah jalan. Hanya secara naluriah Harlas berhasil menguasai posisi Vespa agar tidak terjatuh dan terhindar dari hantaman bus antar kota yang melaju
dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Supir bus yang sempat terperanjat meneriaki Harlas dengan umpatan "babi buduk" yang membuat Harlas sangat marah. Tetapi mengejar bus itu dan mengajak Supirnya berkelahi di depan umum, akan jadi bahan tertawaan orang sekota. Alih alih, Harlas hanya bisa marah pada diri sendiri. "Kalau begini, aku bisa gila!"
"Kau maksud, aku yang membuatmu gila?" tukas Ismed.
"Ya!" balas Harlas tak kalah sengit.
"Baiklah. Turunkan aku. Kita berpisah di sini!" rungut Ismed.
Aneh memang. Harlas langsung menepikan Vespa. Begitu Ismed meloncat turun, Harlas kemudian ber lalu. Tanpa menoleh noleh lagi ke belakang. Ia kebut Vespanya, seperti takut kalau tak segera tiba di rumah ia benar-benar keburu sakit jiwa.
Ismed merasa sangat terhina. Sepanjang jalan ia tidak berhenti merutuki Harlas dan menumpahkan kekesalannya. Baru setelah mendapatkan kamar kosong di hotel. pelan pelan ia merasa menyesal. Harlas seorang sahabat sejati. Bukan saja karena mereka dulu pernah satu kelas di sekolah, satu tempat tidur di rumah kos mereka. Tetapi juga karena Harlas pernah berkelahi untuknya. Itu terjadi ketika Ismed sedang terbaring sakit dan pemilik rumah masih tega menagih sewa kos yang telah beberapa bulan dirunggak Ismed.
Ketika ayahnya di kampung meninggal dunia, keluarga mereka benar benar kehilangan tempat bergantung. Ia meremas telegram yang mengantarkan kabar duka dan menyuruhnya segera pulang. Ismed bersujud, memohon ampunan Tuhan karena tak hadir dalam upacara penguburan ayahnya. Bukan tak mau. Tetapi kalau ia pulang, ia mungkin tidak akan bisa kembali sekolah, cita citanya akan musnah. Sejak itu pula, ia tidak pernah lagi menerima kiriman uang. Lalu sambil sekolah, ia jungkir balik mencari pekerjaan. Jadi calo karcis, pengemudi becak bahkan kuli pengangkut sampah. Hasilnya sekadar cukup untuk bertahan hidup. Bila perlu, makan cuma sekali sehari di warung emperan. Yang penting ia tetap bisa meneruskan sekolah.
Tetapi ia bukan manusia super. Kondisinya dengan cepat merosot. Ia jatuh sakit. Jangankan untuk membayar uang kos, untuk membeli pil sakit kepala pun ia sudah tak bisa berpikir. Ia hanya dapat bertahan hidup berkat bantuan sahabat sahabatnya saja, terutama Harlas.
Setelah terjadi pemukulan terhadap pemilik rumah, ributlah orang sekampung. Untung dapat didamaikan, itu pun setelah tunggakan sewa kos Ismed dilunasi Harlas dari hasil patungan dengan beberapa orang kawan. Tetapi Harlas harus angkat kaki dari rumah itu. Ia mengajak Ismed ikut kos dengannya di rumah yang lebih kecil dan lebih murah. Hanya saja harus
tabah untuk berjalan kaki sejam lebih saat pulang dan pergi ke sekolah.
Entah siapa yang memberi tahu, peristiwa memalukan itu sampai juga pada keluarga Ismed di kampung. Salah seorang pamannya akhirnya memahami tekad bulat Ismed. Ismed disuruh berhenti kerja serabutan lalu didukung untuk maju sebagai seorang berpendidikan yang bakal jadi kebanggaan keluarga. Akhir nya Ismed dapat dengan tenang menekuni studinya.
Tamat SMA Ismed melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Namun sejak itu pula ia dan Harlas jarang bertemu dan hanya saling memberi kabar lewat surat menyurat.
Rupanya Harlas mengambil program diploma di IKIP. Lulus Diploma .ia langsung diangkat sebagai guru dan dikirim ke daerah terpencil sebagai batu loncatan untuk jabatan yang lebih tinggi. Beberapa kali ia menjalani tugas belajar, sampai akhirnya ia di tempatkan di kota kelahirannya sendiri, Pandeglang. Pelan pelan kariernya meningkat dari hanya sebagai guru, kepala bagian, lalu kepala sekolah. Namun dengan setia ia tetap menyurati Ismed, mengabarkan kemajuan kariernya serta menanyakan keadaan sahabat nya.
Ismed mulanya rajin membalas surat-surat Harlas. Tetapi kesibukannya menghadapi kuliah terutama menjelang ujian sarjana, sangat menyita waktunya. Dan kalaupun ia masih sempat menulis surat, bukan
lagi ditujukan kepada Harlas melainkan untuk kekasih nya seorang, Farida. Makin lama, kehadiran surat Harlas pun semakin jarang karena sering tak berbalas. Ismed mulai melupakan sahabatnya itu. Perhatiannya lebih terpusat pada ujian ujiannya, kemudian pekerjaannya, kemudian lagi kariernya. Semua itu ditujukan untuk satu tekad: Ismed baru akan melamar Farida jadi istrinya, apabila ia sudah cukup mapan untuk membina rumah tangga. Harlas sudah tak pernah di pikirkannya lagi. Sampai akhirnya, takdir meng hendaki Harlas kembali munCul dalam kehidupan nya.
Beberapa bulan yang lalu Ismed mendapat rekomendasi dari kantor pusat untuk kenaikan jabatan dari wakil kepala seksi menjadi kepala seksi. Namun kendalanya, orang yang tersedia dan mampu menjabat kedudukan empuk itu sudah bertebaran di Bandung. Jadi Ismed harus rela ditempatkan di kota yang lebih kecil.
"Kalau Pak Ismed berprestasi, kelak juga bisa loncat ke Bandung lagi," kata pimpinannya. "Bapak lupakan dulu pikiran hanya setahun dua di Pandeglang sana. Pikirkan saja bagaimana dapat bekerja baik dan lebih baik lagi, meski itu butuh waktu yang tidak sedikit."
Nyatanya, untuk benar benar menduduki jabatan itu. Ismed harus menunggu hampir satu tahun. Tetapi birokrasi itu tidak mengecilkan hatinya. Karena begitu mendengar Ismed akan ditempatkan jauh dari
Bandung, Farida langsung menuntut, "Kita kawin sekarang, atau silakan cari gadis lain!"
Setelah dilantik, Ismed lebih dulu berangkat sendiri an ke Pandeglang. Ia harus mengenal situasi dan kondisi pekerjaannya, jadi tak ingin diganggu urusan tetek bengek lainnya. Baru setelah cukup beradaptasi, Farida boleh menyusul. Tentu saja Farida uring uringan.
"Mana bisa!" Suara Farida melengking. "Kau akan segera lupa padaku. Kudengar gadis gadis di sana pintar menggaet lelaki, biar sudah punya istri. Kalau perlu, mereka pakai dukun!"
"Kau percaya omongan brengsek itu, eh?"
"Percaya sih tidak?"
"Jadi, beres, kalau begitu." Ismed tertawa.
"Beres apanya! Siapa tahu, omongan itu jadi kenyataan."
"Dan kalau ya?"
"Bukan saja si gadis, dukunnya pun akan kulabrak habis!"
"Nah, beres kalau begitu," kata Ismed lagi.


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum!" "Apalagi?" "Pertama, jangan kaget kalau aku tiba tiba muncul di Pandeglang."
"Pasti aku kaget. Dan karena ada yang pertama pasti ada yang kedua?" pancing Ismed geli.
"Masuk kamar kau sekarang."
"Aku saja" Masa kau tega, Ida."
"E-ce, masih belum masuk juga ya?"
"Ini maksa, apa?"
"Maksa." "Jadi aku mau diperkosa, ya?" Ismed bersungut sungut. Tentu saja hanya pura pura, seraya mendorong pintu kamar.
Di belakangnya Farida berjalan membuntut, masih tetap uring-uringan. Belum juga pintu dikunci, Farida sudah menerkamnya. Ismed sampai terseret ke lantai. Setengah jam lamanya mereka "melantai' baru kemudian mandi. Setelah segar, Farida mengajak naik ke tempat tidur, dan tidak memberi suaminya kesem patan untuk istirahat sampai menjelang subuh.
Akhirnya ia dilepas juga pergi ke Pandeglang untuk memulai tugas. Banyak pekerjaan, banyak orang yang harus ditemui dan menemuinya. Menjelang senja, baru ia bisa meninggalkan kantor dengan tubuh lesu dan kepala pusing. Ia langsung kembali ke hotel. Se belum berbelok ke lorong kamarnya, ia berpesan pada pelayan hotel agar tidak seorang pun boleh meng ganggu tidurnya. Seperti kebingungan mendengar instruksi tersebut, pelayan hotel diam saja. Dan ber lalu sebelum Ismed sempat bertanya.
Begitu tiba di depan kamar, baru Ismed tahu sebab nya.
Harlas tengah enak enak minum kopi, dan dengan temannya dia berkata. "Kalau kau tetap mau tidur
sekarang, aku akan lompat ke bawah. Orang akan ribut semua dan kau tetap tak bisa tidur karenanya!"
Mereka kemudian terbahak lalu saling teriak dan berangkulan. Bertahun tahun tidak bertemu rasanya begitu banyak yang ingin diceritakan. Pandeglang hanya kota kecil, informasi kepindahan Ismed begitu mudah untuk sampai di telinga Harlas. Setelah puas tanya ini tanya itu, Harlas mengultimatum, "Kemasi barang barangmu. Pindah dari sini."
"Apa?" "Kau ke rumahku sekarang juga."
"Hei, tunggu dulu!"
"Istriku tidak mau disuruh menunggu sendirian di rumah. Itu satu. Dua: aku tahu kau diberi dana cukup untuk tinggal di hotel. Di rumahku, semua cuma-cuma. Artinya, kau dapat berhemat. Terakhir tetapi yang terpenting: kalau kau menolak, kuanggap kau tak pernah hadir dalam kehidupan masa laluku, sehingga tidak perlu aku mengingat-ingat punya sahabat bernama Ismed!"
Suaranya bernada sungguh sungguh. Kehidupan masa lalu! Ismed teringat semuanya, malu pada diri nya. Ia jadi salah tingkah. Tak tahu akan berkata apa. Harlas memahami, lantas berujar lembut, "Gampang kalau mau minta maaf. Caranya mudah, saja. Ayo, kita angkat kopermu!"
Harlas yang baik.1 Dan Ismed telah membuatnya sakit hati siang ini. Perbuatan yang sungguh tidak patut, tidak pantas untuk seorang intelek dan punya kedudukan terhormat pula. Itu dari sudut pandang jabatan. Belum lagi kalau dihitung dari segi moral.
Ismed rebah di pembaringan. Terpejam, dengan belakang kepalanya berdenyut denyut. Sakit. Ia kaji dan kaji lebih dalam. Akhirnya sampai pada kesimpul an, pertengkaran itu sebenarnya tidak perlu terjadi kalau ia tidak emosional dan mau memahami sikap sahabatnya. Harlas sedang diliputi perasaan takut. Yang dia takuti bukanlah tentang dirinya sendiri. Yang dia takuti justru bayangan hal buruk yang akan menimpa diri Ismed. Dibolak balik bagaimanapun, perasaan takut Harlas didorong oleh naluri ingin melindungi keselamatan Ismed.
Itulah Harlas! Ismed mengerang dalam tidurnya. Belakang kepala nya bertambah sakit. Rasanya ia ingin memukuli kepala sendiri. Bukan untuk melenyapkan perasaan sakit itu. Melainkan untuk menyatakan penyesalan yang teramat sangat setelah ia menyadari kebodohan pikirannya, menyadari kebutaan jiwanya.
Semua gara gara lemari aneh itu!
Ia teringat ucapan Pak Haji.
"Tadinya aku bermaksud membongkar lemari ini. Aku tak suka motif daun pintunya. Tetapi buatannya begitu kuat. Seakan mengandung besi, tak satu pun
alat pertukangan kami yang mampu mengorek satu serpihan saja dari ukiran memalukan itu. Begitulah lemari ini tersimpan di pojok sini. Pikiran untuk mencari seorang yang betul betul ahli untuk menukangi nya entah mengapa terlupa begitu saja. Barang barang datang dan pergi silih berganti. Dan lemari ini lantas terlupakan," ujar Pak Haji sambil mengawasi benda dimaksud dengan pandangan tak senang. "Sudahlah, Nak. Cari yang lain saja. Jangan yang ini. Setelah melihatnya kembali, kini terniat olehku untuk membakarnya saja."
"Jangan!" potong ismed, tersedak. "Berapa pun harganya. akan kubeli."
"Tetap akan mengambilnya, Nak?" tanya Pak Haji seraya mengerling ke arah Hai'las. "Kukira, ini bukan hadiah yang pantas untuk istrimu."
"Biarlah Ida kelak yang menentukan," jawab Ismed mantap.
"Nanti dulu, Nak," ujar Pak Haji melembut. "Kau tak kenal siapa orang terakhir yang memiliki lemari ini. Aku kenal. Ia orang berpengaruh di kota ini. Usia nya belum limapuluhan. Tetapi ketika ia minta aku mengambil lemari ini-tanpa minta penggantian-aku sungguh terkejut. ia tampak bertambah tua dua puluh tahun. Berubah kurus, pucat, kehilangan gairah hidup dan selalu dibayangi ketakutan. Kau tahu apa kata si malang itu" Suatu hari ia pergoki anak lelakinya ber buat tak senenoh dengan "menggauli" daun pintu
lemari ini. Malamnya, anaknya mati mengerikan. Mulutnya berbusa, kulit tubuhnya kering. Lama ia berpikir kenapa anak kesayangannya bisa mati mendadak, semengerikan itu pula. Lalu suatu malam, ia berdiri tanpa sengaja di depan lemari ini. Tiba tiba suatu tarikan gaib menyeretnya mendekat ke daun pintu lemari. Disusul dengan bisikan gaib mengajaknya berbugil. Lalu ia mengucap istigfar, dan lenyaplah godaan itu. Tetapi semenjak itu seisi rumah diganggu hal hal aneh. Jerit tangis perempuan yang tak kelihaian wujudnya, perabotan perabotan yang melayang sendiri, dilemparkan, jatuh sendiri dan hanCur sendiri. Berikutnya, tukang kebun mereka mati pula. Keadaan nya sama dengan keadaan anaknya dulu: mulut berbusa dan kulit kering bersisik. Lalu ia putuskan membuang jauh-jauh lemari ini dari rumahnya."
"Bapak percaya semua omong kosong itu?" tanya Ismed, tenang.
"Hampir." "Kok hampir?" "Kebetulan aku bertamu ke rumahnya waktu ia berniat membuang lemari ini. Aku lalu disuruh menyingkirkannya. Sejak lemari ini ia beli, setan terkutuk dan segala macam roh jahat laknat menghancurkan kehidupan rumah mangga bahkan kariernya. Itu kata dia. Tetapi aku sering dengar ia suka menyepi ke tempat tempat keramat. Keluarganya bilang, karena ingin memerangi pengaruh jahat yang menghantui rumah
mereka. Tetapi orang-orang dekatnya di kantor me ngatakan, ia sedang menuntut ilmu untuk mempertahankan jabatannya. Ia rupanya telah membuat beberapa kekeliruan sehingga terancam dipecat tidak hormat. Timbul desas desus kalau bencana yang me nimpa keluarganya diakibatkan ulahnya sendiri. Konon, ia gagal memenuhi syarat roh jahat pujaannya."
"Tak ada persoalan kalau begitu," gumam Ismed, gembira. Sementara Harlas yang takut oleh sorot mata dan senyum perempuan di daun pintu lemari, sudah menyingkir jauh-jauh.
"Masih ada, Nak," desah pemilik toko.
"Oh ya?" "Setelah lemari ini kusimpan, seorang dua orang sempat melihatnya. Mereka bilang, lemari itu sudah acap kali berpindah tangan. Tiap kali pindah, tiap kali meminta korban. Ada yang mati, ada yang sakit ingatan, ada pula yang hilang raib tak tentu rimba."
"Itu sebabnya Pak Haji ingin membongkar ukirannya?" tukas Ismed.
"Ya. Tetapi seperti sudah kubilang, usaha kami ter nyata gagal. Dan kemudian aku dengan cepat telah melupakan bahwa aku menyimpan benda ini di gudangku sendiri. Yang aneh, aku tidak punya sifat pelupa. Obeng yang tertinggal di tempat pekerjaan seminggu sebelumnya, masih dapat kuingat dan ku temukan dengan segera di tempat semula. Itu kalau belum ada yang memindahkan."
"Mungkin itu karena Pak Haji sudah mulai uzur.
"Aku belum terlalu tua, Nak Ismed. Jadi..."
"Ah, maaf. Yang pasti, lemari ini tetap ingin ku miliki. Apa pun syarat yang Bapak tentukan!" ujar Ismed, teguh.
Lama orang tua itu berpikir, sambil sesekali melirik dengan segan pada daun pintu lemari di depannya. Setelah menghela napas, akhirnya Pak Haji berkata de ngan enggan, "Baiklah. Syaratku cuma satu saja. Begitu istrimu mengatakan tidak, segeralah bakar lemari ini!"
"Dibakar" Mengapa harus dibakar?"
"Tak tahulah. Aku cuma sekadar teringat tentang dongeng dari masa. silam. Dongeng tentang perempu an sihir."
Lalu orang tua itu bergegas pergi menyusul Harlas ke ruang tamu. Kelihatan dari sikapnya, ia tak suka ber lama lama di dekat lemari mungil yang penuh riwayat itu. Waktu Ismed kemudian menyusul pula, ia dapati kedua orang itu berbisik bisik dengan serius. Pembicaraan mereka diputuskan begitu Ismed muncul.
Pulangnya, Harlas ngomong yang bukan bukan.
Ismed emosi. Waktu berpisah di tengah jalan, mereka seakan di rasuki kedengkian! Dan seketika, persahabatan mereka nyaris di ambang kehancuran.
"Astaga. Itu tak boleh terjadi," keluh Ismed seraya meloncat turun dari tempat tidur.
*** IA harus menemui Harlas sesegera mungkin. Minta maaf atas kekeliruannya. Ia akan mentraktir Harlas nonton film di Rangkasbitung sebagai bukti mereka telah berbaikan kembali. "Dengan catatan," nanti ia akan berkata pada sahabatnya itu, "jangan kita singgung singgung lagi mengenai lemari itu. Biarlah Farida kelak yang menentukannya."
Lalu ia berendam sepuas puasnya di kamar mandi, sampai tubuhnya yang gerah menjadi segar kembali. Semua barang miliknya masih di rumah Harlas. Jadi sehabis mandi, ia tetap mengenakan pakaian semula meski sudah bau keringat.
Keluar dari hotel, hari sudah senja.
la melambai pada ojek yang kebetulan lewat. Naik di boncengan belakang ia sebut alamat yang dituju, Cadasari, daerah tempat tinggal Harlas. Dalam hati ia
berharap Harlas akan membuka pintu lebar-lebar menyambut kedatangannya. Baru saja ojek melaju beberapa meter, mendadak ia ingat janjinya dengan pe milik toko mebel. Maka ia minta pengemudi ojek membelok ke jalan lain, menuju rumah yang baru kemarin ia lunasi kontrak sewanya. Ternyata Pak Haji tidak menyalahi janji. Di halaman rumah yang bakal ditempatinya bersama Farida, tampak sebuah truk di parkir dan perabotan yang ia beli sudah hampir selesai diturunkan.
Hei, siapa pula yang berani beranian mengambil kunci yang ia titipkan di rumah sebelah" Kok pintu sudah terbuka, dan sebagian barang bahkan sudah dimasukkan ke dalam!
Setelah membayar ongkos ojek, Ismed bergegas memasuki halaman rumah. Ia tak melihat Pak Haji, tetapi mengenali dua orang pegawai toko mebel yang sibuk bekerja dibantu beberapa orang lain. Dari dalam rumah, seseorang keluar dan bersungut marah pada orang orang yang sedang sibuk bekerja.
"Hati hati menggeser bufet itu. Lihat, peliturnya lecet kalian buat!" Sambil ia mengusap bagian bufet yang diomelkannya.
Ismed tersenyum setelah mengetahui siapa yang mengomel itu. Sekali lagi, Harlas telah menunjukkan kesejatiannya sebagai seorang sahabat. Tetapi karena kehadirannya, biar sudah diketahui namun tetap dianggap angin lalu, membuat Ismed agak dongkol
juga. Ia menyambar kursi jok dan membawanya masuk ke dalam. Caranya membawa dibuat seapik mungkin, seakan membawa sebutir telur di kepala, membuat gerak-geriknya tampak menggelikan.
"Maaf, Pak Omel. Numpang lewat sedikit," gurau nya, ketika melewati orang yang masih tegak memerintah di depan pintu.
"Enak, ya" Milih yang enteng!"
"Maklum Pak, lagi suntuk pikiran"
"Siapa suruh kerja pakai pikiran" Pakai tangan dan kaki, tahu?"
"Eh, berlagak!"
"E-ee, mengomel pula kau. Mau dipecat ya?"
"Nggak deh, ampun!" Lantas Ismed terbirit birit menggotong kursinya ke dalam rumah. Habis itu ia kembali keluar. Kali ini mengangkut beban agak berat, sofa. Ternyata tak bisa diangkatnya sendirian.
"E, Pak Ontel. Mau bantu aku atau kita gantian jadi mandor?"
"Brengsek!" gerutu yang disindir, lalu membantu Ismed mengangkat sofa besar itu ke dalam rumah. Tiba di dalam, sofa mereka letakkan. Lantas duduk bareng di atasnya.
"Punya acara nggak malam ini?" tanya Ismed, tanpa menoleh pada teman bicaranya.
"Anu-aku penuh." Yang ditanya menjawab tanpa menoleh.
"Kosongkan sedikit," tawar Ismed.
"Gantinya?" "Nonton Film. Ke Rangkas."
"Plus istri dan empat anak anakku?"
"Boleh. Asal bayar masing masing!"
"Bangkrut, ya?"
"Hampir." "Kasihan!" "Terima kasih. Ayolah, Harlas..."
"jadi kita nonton berdua saja?"
"He-eh." "Terima kasih. Sayang, aku banyak kerjaan hari ini."
Dan Har-las benar-benar sibuk sepanjang senja hingga malam. Menata letak, memindahkan perabotan yang ini ke sana dan yang itu digeser ke sini, begitu seterusnya, sampai ia merasa puas. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. jadi memang mereka tak punya waktu pergi nonton film ke Rangkasbitung. Dan itu memang tak perlu. Mereka toh sudah berbaikan kembali.
"Sekarang kita ke rumahku," kata Harlas kemudian. "Ibunya anak-anak tadi beli paha kambing. Katanya mau disate. Dan kalau kau tak mau ikut, maka aku yang bakal disate!"
Sambil mengunci pintu, Ismed bertanya kecut, "Jadi sudah kau ceritakan padanya bahwa kita Sempat berperang?"
"Aku kelepasan. Habis, jengkel."
rasti istrimu marah padaku, Harlas."
"Justru aku yang habis dimaki."
"Kasihan." "Jangan mengasihani aku, bung. Nanti malam aku masih bisa mengeloni istriku. Kau?"
"Nebeng, kalau boleh."
"Jadah!" "Bagaimana asal mula kau bisa diterima jadi suami nya?"
"Pertanyaanmu terbalik, bung."
"Tidak. Ia cantik. Kau jelek..."
"jadah!" "Dan bagaimana si jadah itu akhirnya berhasil memetik bunga desa?"
"Kami piknik berdua. Mulanya kami tak serius." Harlas memulai ceritanya. "Maklum, aku cuma seorang guru. Sedang ayahnya, selain keturunan menak, juga kaya raya. Kau tahu" Tidak hanya memiliki kebun cengkeh berhektar hektar, ayahnya juga punya dua kapal penangkap ikan di Labuan!"
"Aku tak tanya kekayaan mereka. Yang kutanya, bagaimana kau menundukkannya?"
"Dengan bantuan hujan."
"Hujan?" "He-eh. Hujan. Waktu itu kami terjebak di kaki bukit. Jauh dari kampung yang dihuni manusia. Kebetulan ada dangau. Kami masuk. Dan hujan kian menderas. Rupanya ia sangat penakut. Mendengar
bunyi petir dan guntur menggelegar, ia terus lengket di tubuhku. Tak mau lepas."
"Ah, kau yang tak mau lepas," tembak Ismed.
"Itu ada benarnya juga." Harlas tertawa malu.
"Dan kalian terus lengket?"
"Ya." "Waktu cuaca cerah kembali, air masih terus me ngalir. Bukan air hujan. Melainkan air matanya, begitu" Betul kan, dugaanku?"
"Salah. Ia tak menangis. Ia hanya menuntut supaya aku segera melamarnya pada orangtuanya. Setelah kuiyakan, baru ia menangis."
"Bapaknya menerima lamaranmu?"
"Tidak. Aku malah hampir ditembak. Untung tak jadi."
"Mengapa tak jadi?"
"Karena anak gadisnya keburu berdiri di antara kami. Anak gadisnya bilang, 'Tembaklah aku sekalian. Itu berarti kau menembak cucumu sendiri" Dan sang ayah jatuh pingsan mendengarnya."
"Kok bisa begitu?"
"Habis" Aku takut menghadapi ayahnya. Takut ditolak. Tetapi setelah dia hamil empat bulan, apa boleh buat. Kudatangi ayahnya. Bertekad, lamaranku diterima atau aku mati. Tak ada pilihan lain."
"Tetapi selama aku di rumahmu, kulihat hubunganmu dengan mertuamu sangat akrab."
"Jelek jelek begini, aku menantu kesayangan, lho.
Menantu yang paling tahu bagaimana menghormati mertua."
"Ala, berlagak pula!"
"Serius. Buktinya, biar punya kunci, tak pernah kubuka rahasia mertuaku laki laki." Harlas bimbang se jenak. "Wah, aku telanjur ngomong. Tetapi untuk kau, tak apalah. Asal janji, simpan untuk dirimu sendiri. Bahkan istriku sendiri tak pernah tahu. Bagaimana?"
"Iya deh." "Ucapkan janjimu."
"Baik. Rahasia akan kusimpan baik baik. Kalau janji ini kulanggar, maka aku akan... potong bebek angsa masak di kuali."
"Boleh juga itu."
Mereka tertawa terbahak bahak.
Kemudian Harlas menceritakan bahwa suatu ketika ia memperoleh bukti bahwa mertuanya yang di rumah selalu berlagak suci, ternyata punya istri simpanan. Seorang perempuan bekas pelacur. Setelah di nikahi, perempuan itu malah memeras mertua Harlas habis habisan. Uang dan perhiasan hasil memeras, kemudian dipakai untuk membeli cinta lelaki lain yang seusia dan lebih pantas untuknya. Karena takut anaknya cacat, mertua Harlas menggugurkan kandungan istri mudanya. Pelacur itu tak peduli. la butuh
uang, bukan anak. Lagi pula ia sudah punya seorang anak dari bekas Suaminya terdahulu. sebelum ia menjadi pelacur.
Anak yang cuma sebiji mata wayang itu, perempuan. Meski lahir dari rahim seorang perempuan yang melacurkan dirinya, sang ibu gigih mengarahkan agar putri tersayangnya menjadi orang terhormat di kemudian hari, tidak seperti dirinya. Untuk menutupi jejak aib, si anak dititipkan pada seorang famili yang mau mengangkat anak. Tetapi bagaimanapun menyembunyikannya, yang busuk itu berbau juga. Akhirnya ada orang yang tahu. Orang itu masih keluarga dekat Harlas. Suatu hari orang itu datang menemui Harlas, marah marah.
"Percuma punya keluarga kepala sekolah. Toh, anak ku tetap tak diterima di SMP di mana kau punya kuasa!" Meski Harlas sudah menjelaskan bahwa nilai anak tersebut terlalu payah untuk ditolong, terlebih lagi lulus SD pun berkat uang sogok, orang itu tetap tak mau terima. Harlas memang senang membantu orang, selama orang itu pantas dibantu. "Tetapi meng apa si anu kalian terima, padahal dia dari rayon lain?" teriaknya seraya menyebut nama seorang murid baru di SMP tempat Harlas menjadi kepala sekolah. Harlas ingat nama itu, karena ia menempati ranking pertama di SD dan juga saat testing masuk SMP. Hanya saja, Panitia Penerimaan Siswa Baru membantunya untuk pindah rayon.
"Tetapi ia tak pantas dibantu. Ia anak pelacur!" maki famili Harlas sewot.
Harlas tentu saja terkejut. Ia tak menyangka calon
murid dengan nilai tertinggi itu, anak seorang pelacur. Namun ketika ada ancaman akan membeberkan rahasia anak itu, naluri ingin melindungi muncul dalam diri Harlas.
"Begini saja," bujuk Harlas dengan suara rendah, "anak Paman akan kuusahakan bisa masuk di SMP Negeri di Menes. Tetapi kasihanilah anak orang lain, yang punya masa depan cemerlang hanya tak ber untung punya orangtua terhormat seperti Paman. Tidak perlulah Paman beberkan aib orang lain. Cukup kita kita saja yang tahu."
Setelah mendengar janji Harlas, barulah familinya terbujuk. Dan baru pada tahun kedua, Harlas menemukan bukti yang menguatkan, bahwa anak perempuan yang jadi bintang pelajar di kelasnya, tak lain adalah putri kesayangan si pelacur yang ternyata istri muda mertuanya.
Setelah menimbang nimbang, Harlas mendatangi pelacur itu untuk membujuknya. "Aku tahu, sebagian uang hasil memeras mertuaku, kau pergunakan untuk masa depan putrimu. Namun, bagaimana kalau kita ambil jalan tengah saja. Lepaskan mertuaku dari cengkeramanmu, maka nama baik putrimu tetap ku jaga serta kujamin kelangsungan pendidikannya."
Neraka Lembah Tengkorak 2 Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 11
^