Pencarian

Never Let Me Go 1

Never Let Me Go Karya Kazuao Ishiguro Bagian 1


BAGIAN PERTAMA BAB 1 NAMAKU Kathy H. Usiaku 31, dan aku sudah menjadi perawat selama lebih dari sebelas tahun. Kedengarannya cukup lama, aku tahu, tapi mereka sebenarnya ingin aku meneruskan selama delapan bulan lagi, hingga akhir tahun ini. Dengan begitu akan jadi hampir dua belas tahun. Aku tahu aku menjadi perawat demikian lama bukan karena mereka menganggapku hebat. Ada beberapa perawat yang benar-benar bagus, tetapi disuruh berhenti hanya setelah bertugas dua atau tiga tahun saja. Aku juga tahu seorang perawat yang bekerja selama empat belas tahun meskipun tidak becus. Jadi aku bukan bermaksud membanggakan diri. Tapi aku jelas tahu mereka puas dengan pekerjaanku, dan secara keseluruhan aku pun demikian. Para donorku cenderung pulih lebih baik daripada yang diduga. Masa pemulihan mereka sangat mengesankan, dan nyaris tak satu pun dari digolongkan sebagai "gelisah", bahkan sebelum donasi keempat. Baiklah, mungkin sekarang aku memang menyombongkan diri. Tapi mampu melakukan tugas dengan baik sangat besar maknanya bagiku, terutama soal membuat donor-donorku tetap "tenang". Aku sudah mengembangkan semacam naluri terhadap para donor. Aku tahu kapan harus mendampingi dan menghibur mereka, kapan harus membiarkan mereka sendiri; kapan harus mendengarkan semua yang ingin mereka ungkapkan, dan kapan hanya perlu mengangkat bahu dan memberitahu mereka agar berhenti bersikap murung.
Bagaimanapun, aku tidak membual tentang kemampuanku. Aku kenal perawat yang sekarang masih bekerja, yang sama baiknya denganku namun tidak mendapat pujian setinggi aku. Kalau kau salah satunya, aku bisa memahami kau mungkin kesal"tentang kamar kontrakan yang kutempati, mobilku, dan terlebih tentang bagaimana aku boleh memilih siapa yang ku-rawat. Apalagi aku siswa Hailsham"itu saja cukup untuk membuat orang jengkel. Kata mereka, si Kathy H. boleh memilah dan memilih, dan ia selalu memilih orang-orang dari lingkungannya sendiri: orang-orang dari Hailsham, atau dari salah satu estat kelas atas lainnya. Tak heran ia punya reputasi hebat. Aku sudah cukup banyak mendengar orang mengatakan itu, maka aku yakin kau sudah cukup sering mendengarnya juga, dan mungkin ada benarnya. Tapi aku bukan yang pertama yang diizinkan memilah dan memilih, dan aku tak yakin aku yang terakhir mendapat keistimewaan itu. Bagaimanapun juga, aku sudah cukup banyak merawat donor yang berasal dari segala macam tempat. Pada saat aku selesai, ingat, aku sudah dua belas tahun melakukan tugas ini, dan baru selama enam tahun terakhir mereka membolehkan aku memilih.
Dan mengapa tidak" Perawat bukan mesin. Kau berupaya dan melakukan yang terbaik untuk setiap donor, tapi pada akhirnya semua ini sangat meletihkan. Kau tidak memiliki kesabaran dan tenaga tanpa batas. Jadi kalau kau mendapat kesempatan memilih, tentu saja kau memilih yang sejenis denganmu. Itu wajar-wajar saja. Tidak mungkin aku bisa bertahan selama ini kalau aku tidak memiliki ikatan dengan donor-donorku. Bagaimanapun juga, kalau aku tidak pernah mulai memilih, bagaimana mungkin aku bisa dekat lagi dengan Ruth dan Tommy sesudah bertahun-tahun itu"
Tapi tentu saja sekarang ini semakin sedikit donor yang masih kuingat, hingga bisa dibilang aku tidak begitu banyak memilih. Seperti sudah kukatakan, tugas ini semakin sulit jika kau tidak memiliki hubungan batin yang lebih dalam dengan donor, dan meskipun aku akan merindukan saat-saat menjadi perawat, rasanya cukup tepat bahwa akhirnya aku akan berhenti akhir tahun ini.
Kebetulan, Ruth donor ketiga atau keempat yang kupilih. Waktu itu ia sudah memiliki perawat, dan aku ingat ini memerlukan sedikit keberanian. Tapi akhirnya aku berhasil, dan begitu aku melihatnya lagi, di panti pemulihan di Dover, semua perbedaan kami"meski tak sepenuhnya lenyap"tampak tidak sepenting hal-hal lainnya: seperti fakta bahwa kami tumbuh bersama di Hailsham, fakta bahwa kami tahu dan ingat hal-hal yang tidak diketahui dan diingat orang lain. Kurasa sejak saat itulah, aku mulai mencari donor yang berasal dari masa lalu, dan sebisanya, orang-orang yang berasal dari Hailsham.
Selama bertahun-tahun ada saat-saat aku berusaha melupakan Hailsham, ketika aku mengatakan kepada diriku sendiri sebaiknya aku tidak terlalu sering menoleh ke belakang. Tapi kemudian aku tiba pada suatu titik ketika aku berhenti menolak begitu saja. Ini ada kaitannya dengan laki-laki donor yang pernah kurawat, di tahun ketigaku sebagai perawat; yaitu reaksinya ketika aku menyebut diriku dari Hailsham. Ia baru saja melewati donasi ketiganya, yang tidak berjalan lancar, dan rupanya ia tahu ia takkan bertahan hidup. Ia nyaris tak bisa bernapas, tapi ia memandang ke arahku dan berkata, "Hailsham. Aku yakin tempat itu indah sekali." Lalu keesokan paginya, ketika aku mencoba bercakap-cakap agar ia tidak melulu mengingat keadaannya, dan aku bertanya di mana ia dulu tumbuh besar, ia menyebutkan suatu tempat di Dorset dan wajahnya yang berjerawat nyengir dengan gaya berbeda. Aku pun tersadar betapa tidak inginnya ia diingatkan pada tempat asalnya. Sebaliknya, ia ingin mendengar tentang Hailsham.
Maka selama lima atau enam hari berikutnya, aku menceritakan kepadanya hanya semua yang ingin diketahuinya, dan ia berbaring, tubuhnya terhubung dengan berbagai peralatan, dan senyum lembut muncul di wajahnya. Ia bertanya tentang hal-hal besar dan hal-hal kecil. Tentang para guardian kami, tentang bagaimana kami masing-masing mempunyai peti koleksi di bawah tempat tidur kami, tentang football, rounders, jalan setapak yang mengantarmu mengelilingi seluruh bangunan utama, mengitari semua sudut dan celahnya, kolam angsa, makanannya, pemandangan dari Ruang Seni ke padang pada pagi yang berkabut. Kadang-kadang ia menyuruhku mengatakan berbagai hal berulang kali; hal-hal yang kuceritakan kepadanya baru sehari sebelumnya, ia tanyakan seolah-olah aku belum pernah menceritakannya. "Kalian punya paviliun olahraga?" "Guardian mana yang jadi favoritmu?" Awalnya aku menyangka ini karena pengaruh obat bius, tapi kemudian aku menyadari pikirannya cukup jernih. Ia tak hanya ingin mendengar tentang Hailsham, tapi untuk mengingat Hailsham, seakan-akan itu masa kecilnya sendiri. Ia tahu ia sudah mendekati ajal, jadi itulah yang dilakukannya: menyuruhku menguraikan segala sesuatu kepadanya, agar benar-benar meresap ke dalam dirinya, sehingga mungkin selama malam-malam tanpa bisa tidur, dengan obat-obat bius dan rasa sakit serta kelelahan, batas antara apa yang sebenarnya adalah ingatanku dan apa yang menjadi ingatannya pun mengabur. Waktu itulah aku pertama kalinya mengerti, benar-benar mengerti, betapa beruntungnya kami"Tommy, Ruth, aku, dan kami semua.
SAMBIL melesat mengelilingi negeri sekarang, aku masih melihat hal-hal yang mengingatkanku kepada Hailsham. Kadang-kadang aku melewati sudut padang yang berkabut, atau melihat sebagian dari sebuah rumah besar di kejauhan saat meluncur di sisi lembah, bahkan susunan tertentu pohon poplar di lereng bukit, dan aku berpikir, "Mungkin itu dia! Sudah kutemukan! Sesungguhnya inilah Hailsham!" Kemudian aku melihat bahwa itu mustahil, dan mobilku pun meluncur, pikiranku melantur. Khususnya, ada paviliun-paviliun itu. Aku melihatnya di seluruh negeri, berdiri di ujung lapangan bermain, bangunan-bangunan prefab putih kecil dengan barisan jendela pada ketinggian tidak normal, nyaris tersembunyi di bawah tonjolan atap. Kupikir mereka banyak membangun gedung semacam itu pada tahun lima puluh dan enam puluhan, dan mungkin pada saat itu jugalah bangunan kami didirikan. Saat meluncur melewatinya aku akan terus memandangnya selama mungkin, dan suatu hari nanti bisa-bisa aku bakal menabrakkan mobilku, tapi toh aku tetap melakukannya juga. Belum lama berselang aku meluncur melewati bagian Worcestershire yang lengang dan melihat bangunan di samping lapangan kriket yang mirip Hailsham kami, sehingga aku memutar mobil dan kembali untuk melihat lagi.
selama malam-malam tanpa bisa tidur, dengan obat-obat bius dan rasa sakit serta kelelahan, batas antara apa yang sebenarnya adalah ingatanku dan apa yang menjadi ingatannya pun mengabur. Waktu itulah aku pertama kalinya mengerti, benar-benar mengerti, betapa beruntungnya kami"Tommy, Ruth, aku, dan kami semua.
SAMBIL melesat mengelilingi negeri sekarang, aku masih melihat hal-hal yang mengingatkanku kepada Hailsham. Kadang-kadang aku melewati sudut padang yang berkabut, atau melihat sebagian dari sebuah rumah besar di kejauhan saat meluncur di sisi lembah, bahkan susunan tertentu pohon poplar di lereng bukit, dan aku berpikir, "Mungkin itu dia! Sudah kutemukan! Sesungguhnya inilah Hailsham!" Kemudian aku melihat bahwa itu mustahil, dan mobilku pun meluncur, pikiranku melantur. Khususnya, ada paviliun-paviliun itu. Aku melihatnya di seluruh negeri, berdiri di ujung lapangan bermain, bangunan-bangunan prefab putih kecil dengan barisan jendela pada ketinggian tidak normal, nyaris tersembunyi di bawah tonjolan atap. Kupikir mereka banyak membangun gedung semacam itu pada tahun lima puluh dan enam puluhan, dan mungkin pada saat itu jugalah bangunan kami didirikan. Saat meluncur melewatinya aku akan terus memandangnya selama mungkin, dan suatu hari nanti bisa-bisa aku bakal menabrakkan mobilku, tapi toh aku tetap melakukannya juga. Belum lama berselang aku meluncur melewati bagian Worcestershire yang lengang dan melihat bangunan di samping lapangan kriket yang mirip Hailsham kami, sehingga aku memutar mobil dan kembali untuk melihat lagi.
Kami mencintai paviliun olahraga kami yang kecil, mungkin karena itu mengingatkan kami pada pondok-pondok mungil yang selalu dimiliki orang-orang dalam buku-buku bergambar ketika kami masih kecil. Aku bisa mengingat ketika kami masih di Junior, memohon-mohon kepada para guardian untuk mengadakan kelas berikutnya di paviliun dan bukan di ruang kelas biasa. Lalu saat kami sudah di Senior 2"ketika kami berumur dua belas, hampir tiga belas"paviliun sudah menjadi tempat kau bersembunyi bersama sahabat-sahabatmu bila ingin menghindari seisi Hailsham.
Paviliun cukup besar untuk diisi dua kelompok tanpa mereka saling mengganggu"pada musim panas kelompok ketiga bisa berkumpul di beranda. Tapi idealnya hanya ada kau dan teman-temanmu di paviliun, sehingga sering terjadi perebutan dan perdebatan. Para guardian selalu memberitahu kami agar bersikap sopan, tapi nyatanya, harus ada beberapa pribadi kuat dalam kelompokmu agar bisa mendapat kesempatan menguasai paviliun selama waktu istirahat atau jam bebas. Aku sendiri bukan tipe lemah, tetapi kupikir sebenarnya berkat Ruth-lah kami bisa sesering itu berada di dalam sana.
Biasanya kami duduk menyebar di kursi-kursi dan bangku" kami berlima, enam bila Jenny B. ikut"dan bergunjing dengan asyik. Ada jenis percakapan yang hanya bisa kaulakukan bila berada di paviliun; kami bisa membahas sesuatu yang membuat kami cemas, atau kami berakhir dengan tertawa terbahak-bahak, atau bertengkar habis-habisan. Kebanyakan, itu adalah cara untuk rileks sejenak bersama teman-teman terdekatmu.
Pada siang hari yang sekarang kupikirkan, kami sedang berdiri di atas bangku-bangku, berkerumun di sekitar jendela-jendela yang tinggi. Dengan begitu kami bisa memandang jelas Lapangan Bermain Utara tempat belasan laki-laki dari angkatan kami dan Senior 3 berkumpul untuk bermain football. Matahari bersinar terang, tapi sebelumnya hujan turun karena aku ingat bagaimana sinar matahari mengilat di atas permukaan rumput yang becek.
Seseorang berkata sebaiknya kami jangan terlalu mencolok memperhatikan mereka, tapi kami toh tidak mundur. Lalu Ruth berkata, "Dia sama sekali tidak curiga. Lihat dia. Dia benar-benar tidak curiga."
Ketika ia mengatakan ini, aku memandangnya dan mencari tanda-tanda bahwa ia tidak menyetujui apa yang akan dilakukan para anak laki-laki terhadap Tommy. Tetapi detik berikutnya Ruth tertawa kecil dan berkata, "Si tolol!"
Lalu aku menyadari bahwa bagi Ruth dan yang lain, apa pun yang dilakukan anak laki-laki itu tak ada hubungannya dengan kami; apakah kami setuju atau tidak, sama sekali tak ada pengaruhnya. Kami berkumpul di sekitar jendela-jendela saat itu bukan karena kami menikmati kemungkinan akan melihat Tommy dipermalukan lagi, tapi hanya karena kami sudah mendengar tentang persekongkolan paling baru dan kami agak tergelitik rasa ingin menyaksikannya terlaksana. Pada masa itu, kukira apa yang dilakukan anak-anak laki-laki di antara mereka sendiri tidak serius daripada itu. Bagi Ruth, bagi yang lain, itu sesuatu yang tak ada kaitannya, dan mungkin bagiku demikian juga.
Atau mungkin aku keliru mengingatnya. Mungkin bahkan saat itu, ketika aku melihat Tommy berlari di lapangan, dengan ekspresi gembira yang tidak ditutup-tutupi karena diterima kembali di kelompok itu dan sebentar lagi akan memainkan permainan yang sangat dikuasainya, mungkin aku merasakan tusukan pedih. Yang kuingat Tommy memakai polo shirt biru muda yang dibelinya di Sale bulan sebelumnya"yang sangat dibanggakannya. Aku ingat berpikir begini, "Dia benar-benar tolol, main football mengenakan kemeja itu. Kalau kemeja itu robek, lalu bagaimana perasaannya?" Dengan suara keras aku berkata, tidak kepada siapa-siapa, "Tommy mengenakan kemejanya. Polo shirt favoritnya."
Kupikir tidak ada yang mendengarku, karena mereka semua menertawakan Laura"badut besar di kelompok kami"meniru satu-satu ekspresi Tommy ketika ia berlari, melambai, memanggil, menangkap bola. Anak-anak laki-laki lain bergerak mengelilingi lapangan dengan tenang sambil melakukan pemanasan, tapi Tommy, yang begitu bersemangat, sudah langsung berlari cepat. Aku berkata, kali ini lebih keras, "Dia bakal kecewa sekali kalau kemejanya rusak." Kali ini Ruth mendengarku, tapi ia pasti menyangka aku hanya bergurau, karena ia tertawa setengah hati, lalu melontarkan kelakarnya sendiri.
Lalu para anak laki-laki berhenti menendang-nendang bola, dan berdiri berkerumun di lapangan yang becek, dada mereka naik-turun perlahan sementara menunggu pemilihan anggota tim. Kedua kapten yang muncul adalah dari Senior 3, meskipun semua tahu Tommy pemain yang lebih hebat daripada siapa pun tahun itu. Mereka tos untuk menentukan pilihan pertama, lalu yang menang memandangi kelompok itu.
"Lihat dia," seseorang di belakangku berkata. "Dia sangat yakin akan menjadi yang pertama dipilih. Coba lihat dia!"
Memang ada sesuatu yang lucu tentang Tommy saat itu, sesuatu yang membuatmu berpikir, nah, ya, kalau dia sebodoh itu, dia pantas mendapatkan apa yang akan terjadi. Anak-anak laki-laki yang lain berpura-pura mengabaikan proses pemilihan, berpura-pura mereka tak peduli akan jadi pilihan keberapa. Beberapa mengobrol dengan tenang, beberapa mengikat kembali tali sepatu mereka, yang lain hanya memandang kaki mereka yang membendung lumpur. Tapi Tommy memandang penuh semangat anak laki-laki dari Senior 3 itu, seakan-akan namanya sudah dipanggil.
Laura terus beraksi sepanjang pemilihan tim, meniru semua ekspresi Tommy yang silih berganti: ekspresi cerah dan bergairah pada awalnya; keprihatinan penuh tanda tanya ketika sudah empat pilihan lewat dan ia masih belum dipilih; sakit hati dan panik ketika mulai menyadari apa yang tengah terjadi. Aku tidak terus memandang Laura karena aku memperhatikan Tommy; aku hanya tahu apa yang dilakukan Laura karena yang lain tertawa terus dan mendesaknya meneruskannya. Lalu ketika Tommy tinggal sendiri, dan semua anak laki-laki mulai tertawa tertahan, aku mendengar Ruth berkata,
"Segera dimulai. Tunggu. Tujuh detik. Tujuh, enam, lima..."
Ia tidak sempat menyelesaikannya. Tommy mulai berteriak keras sekali, dan para anak laki-laki, kini tertawa blakblakan, mulai berlari ke Lapangan Bermain Selatan. Tommy maju dua-tiga langkah mengejar mereka"sulit dikatakan apakah nalurinya adalah mengejar dengan marah ataukah panik karena ditinggal. Bagaimanapun juga ia segera berhenti dan berdiri di sana, memandang mereka dengan marah, wajahnya merah padam. Lalu ia mulai berteriak dan menjerit, kata-kata umpatan dan sumpah serapah campur aduk tidak keruan.
Kami sudah cukup sering melihat ledakan amarah Tommy, jadi kami turun dari bangku-bangku dan menyebar ke sekeliling ruangan. Kami berusaha memulai percakapan tentang sesuatu yang lain, tapi suara Tommy tetap terdengar di latar belakang, dan meskipun awalnya kami hanya memutar bola mata dan mencoba tidak menghiraukannya, pada akhirnya"mungkin sepuluh menit setelah beranjak tadi"kami kembali ke dekat jendela-jendela.
Sekarang semua anak laki-laki tidak tampak, dan Tommy sudah tak lagi mencoba mengarahkan teriakannya ke arah tertentu. Ia hanya mengoceh, mengayun-ayunkan lengannya, ke langit, ke angin, ke pagar terdekat. Laura berkata mungkin ia sedang "melatih drama Shakespeare-nya". Yang lain menunjukkan bahwa setiap kali Tommy meneriakkan sesuatu ia mengangkat satu kakinya dari tanah, mengarahkannya ke luar, "seperti anjing kencing". Sebenarnya, aku juga memperhatikan gerakan kakinya itu, tapi yang membuatku terkesan adalah setiap kali ia menginjakkan kakinya ke tanah lagi, bercak-bercak lumpur melayang hingga ke tulang keringnya. Aku teringat lagi kemeja yang begitu disayanginya, tapi ia terlalu jauh sehingga aku tak bisa melihat apakah banyak lumpur mengotorinya.
"Kupikir sebenarnya agak kejam," kata Ruth, "cara mereka selalu membuatnya marah. Tapi itu salahnya sendiri. Kalau dia belajar untuk tetap tenang, mereka takkan mengganggunya lagi."
"Mereka masih akan terus menggodanya," kata Hannah. "Graham K. juga sama pemarahnya, tapi itu justru membuat mereka semakin berhati-hati terhadapnya. Mereka selalu menggoda Tommy karena dia pemalas."
Lalu semua berbicara berbarengan, tentang bagaimana Tommy tak pernah mencoba untuk kreatif, tentang bagaimana ia bahkan tidak memasukkan sesuatu untuk Spring Exchange. Kukira sebenarnya pada tahap itu, di dalam hati kami berharap seorang guardian akan keluar dari gedung dan membawanya pergi. Dan meskipun kami tak ikut ambil bagian dalam rencana terakhir ini untuk membuat Tommy jengkel, bisa dibilang kami ikut menonton dari tepi, dan kami mulai merasa bersalah. Tapi tidak tampak satu guardian pun, maka kami pun berbicara tentang alasan Tommy pantas mengalami semua itu. Lalu ketika Ruth melihat arlojinya dan berkata meskipun masih ada waktu kami harus kembali ke rumah utama, tak ada yang menolak.
Tommy masih mengamuk ketika kami keluar dari paviliun. Rumah utama ada di sebelah kiri kami, dan karena Tommy berdiri di lapangan persis di depan kami, kami tak perlu dekat-dekat dengannya. Lagi pula ia menghadap ke sisi lain dan sepertinya sama sekali tidak melihat kami. Meski begitu, ketika teman-temanku berjalan menyusuri sisi lapangan, aku mulai menghampiri Tommy. Aku tahu ini akan membuat heran yang lainnya, tapi aku terus berjalan"meskipun aku mendengar bisikan Ruth yang mendesakku kembali.
Kukira Tommy tak terbiasa diganggu ketika mengamuk, karena reaksi pertamanya ketika aku mendekat adalah menatapku sejenak, lalu melanjutkan amukannya. Rasanya seolah-olah ia sedang melatih drama Shakespeare-nya dan aku naik ke panggung di tengah-tengah pertunjukannya. Bahkan ketika aku berkata, 'Tommy, kemejamu yang bagus. Kau akan merusaknya," tampaknya ia tidak mendengarkanku.
Jadi aku mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya. Se-telahnya yang lain menganggap ia memang berniat mengabai-kanku, tapi aku cukup yakin ia tidak bermaksud begitu. Tangannya masih bergerak-gerak, dan ia tidak tahu aku bakal mengulurkan tangan. Nah, waktu ia menggerak-gerakkan tangan, ia menyentak tanganku dan memukul sisi wajahku. Sama sekali tidak sakit, tapi toh aku terkesiap, dan juga hampir semua anak perempuan di belakangku.
Saat itulah akhirnya Tommy rupanya menyadari kehadiranku, kehadiran teman-temanku yang lain, dirinya sendiri, bahwa ia berada di tengah lapangan itu, mengamuk, lalu ia menatapku agak nanar.
"Tommy," kataku, cukup tegas. "Seluruh kemejamu penuh lumpur."
"Memangnya kenapa?" gerutunya. Tapi sambil berkata begitu ia memandang ke bawah dan melihat bercak-bercak cokelat, dan nyaris menjerit kaget. Lalu aku melihat kekagetan di wajahnya, ia terkejut bahwa aku mengetahui perasaannya tentang polo shiit itu.
"Tak perlu khawatir," kataku, sebelum keheningan itu mulai membuatnya malu. "Bisa dibersihkan kok. Kalau kau tak bisa membersihkannya sendiri, bawa saja ke Miss Jody."
Tommy memeriksa kemejanya, lalu berkata kesal, "Tidak ada hubungannya denganmu."
Rupanya ia langsung menyesali ucapannya itu, dan menatapku tersipu-sipu, seolah-olah berharap aku akan mengatakan sesuatu yang menghiburnya. Tapi sekarang aku sudah muak dengannya, apalagi teman-temanku memperhatikan"dan sejauh aku tahu, mungkin juga anak-anak lain memperhatikan dari jendela-jendela rumah utama. Jadi aku berbalik sambil mengangkat bahu dan bergabung kembali dengan teman-temanku.
Ruth merangkul bahuku seraya kami menjauh. "Setidaknya kau berhasil membuatnya berhenti mengamuk," katanya. "Kau baik-baik saja" Dasar si sinting."
BAB 2 SEMUA ini terjadi sudah lama sekali sehingga mungkin saja aku keliru mengenai beberapa hal; tapi aku ingat tindakanku menghampiri Tommy siang itu merupakan bagian dari suatu tahap yang sedang kulalui saat itu"sesuatu yang ada kaitannya dengan dorongan untuk menantang diri sendiri" dan aku sudah hampir melupakan hal itu ketika beberapa hari kemudian Tommy menyetopku.
Aku tidak tahu bagaimana kebiasaan di tempatmu, tapi di Hailsham kami harus mengikuti pemeriksaan medis hampir setiap minggu"biasanya di Ruang 18 di lantai paling atas rumah utama"bersama perawat Trisha yang serius, atau si Muka Gagak, julukan kami untuknya. Pagi yang cerah itu sekelompok dari kami menaiki tangga utama untuk diperiksa olehnya, sementara kelompok lain yang baru selesai diperiksa sedang turun. Maka ruang tangga penuh suara berisik yang bergema, dan aku sedang menaiki tangga sambil menunduk, persis di belakang seseorang, ketika sebuah suara di dekatku memanggil, "Kath!"
Tommy, yang sedang turun, berhenti di tangga dengan senyuman lebar yang langsung membuatku jengkel. Beberapa tahun sebelumnya mungkin, bila kami bertemu orang yang kami sukai, kami akan memasang eskpresi seperti itu. Tapi waktu itu kami masih tiga belas tahun, dan ini kan seorang anak laki-laki yang bertemu seorang gadis di depan umum. Aku ingin berkata, "Tommy, bersikaplah dewasa!" Tapi kutahan diriku dan malah berkata, "Tommy, kau menghalangi orang. Begitu pula aku."
Ia melirik ke atas dan benar saja seluruh arus turun mulai macet. Sesaat ia kelihatan panik, lalu ia menyelipkan diri ke dinding di sampingku, sehingga ada cukup ruang untuk orang lewat. Lalu ia berkata,
"Kath, aku sudah mencari-carimu. Aku ingin minta maaf. Maksudku, benar-benar minta maaf. Aku sungguh tak bermaksud memukulmu waktu itu. Aku tidak ingin memukul perempuan, dan meskipun melakukannya, aku takkan pernah mau memukul mu. Aku benar-benar minta maaf."
"Tidak apa-apa. Itu tidak disengaja." Aku mengangguk dan bergerak pergi. Tapi Tommy berkata gembira,
"Kemejaku sudah beres. Sudah bersih lagi."
"Bagus!" "Tidak sakit, kan" Waktu aku memukulmu?"
"Tentu saja. Tengkorak retak. Gegar otak, dan lain-lain. Bahkan si Muka Gagak mungkin akan melihatnya. Itu kalau aku bisa naik ke sana."
"Tapi serius, Kath. Tak ada dendam, kan" Aku sangat menyesal. Sungguh."
Akhirnya aku tersenyum dan berkata tanpa sikap sinis, "Begini, Tommy, itu tidak disengaja dan sekarang sudah seratus persen dilupakan. Aku sama sekali tidak menyimpan dendam."
Ia masih kelihatan ragu, tapi sekarang beberapa siswa yang lebih senior mendorongnya, menyuruhnya menyingkir. Tommy melemparkan senyuman singkat kepadaku dan menepuk pundakku, seperti yang mungkin dilakukannya pada anak yang lebih kecil, lalu masuk ke tengah arus turun. Lalu, ketika aku mulai naik, aku mendengarnya berteriak dari bawah, "Sampai bertemu, Kath!"
Aku menganggap seluruh kejadian itu agak memalukan, tapi ternyata tidak memicu ejekan atau gosip; dan aku terpaksa mengakui, kalau bukan karena pertemuan di tangga itu, mungkin aku tidak bakal menamh perhatian pada masalah-masalah Tommy selama beberapa minggu berikutnya.
Aku melihat sendiri beberapa insiden itu. Tetapi kebanyakan aku mendengar tentang itu, dan ketika aku mendengarnya, aku menanyai orang-orang sampai aku mendapatkan cerita yang kurang-lebih lengkap. Masih terjadi lebih banyak amukan, seperti ketika Tommy menjungkirbalikkan dua meja di Ruang 14, menumpahkan seluruh isinya ke lantai, sementara siswa-siswa lain di kelasnya yang sudah lari ke ujung tangga, memblokir pintu agar ia tidak bisa keluar. Ada saatnya Mr. Christopher terpaksa menelikung tangannya ke belakang untuk menghentikannya menyerang Reggie D. waktu latihan football. Semua juga melihat, ketika para anak laki-laki Senior 2 berlari keliling lapangan, Tommy satu-satunya yang tidak punya pasangan lari. Ia pelari yang baik, dan dengan cepat bisa menciptakan jarak sejauh sepuluh hingga tiga belas meter dengan yang lain, mungkin berpikir ini akan menyamarkan kenyataan tak ada yang mau lari bersamanya. Lalu hampir setiap hari selalu ada cerita bagaimana orang-orang telah mengganggunya. Kebanyakan hal-hal umum"benda-benda aneh di tempat tidur, cacing di dalam serealnya"tapi beberapa kedengaran sangat keji: seperti waktu seseorang membersihkan toilet dengan sikat gigi Tommy, sehingga sikat giginya penuh kotoran. Ukuran tubuh dan kekuatannya"dan kupikir watak pemarahnya"membuat tak ada yang mencoba mengganggunya secara fisik, tapi yang kuingat, selama setidaknya beberapa bulan, insiden-insiden ini terus terjadi. Kupikir cepat atau lambat seseorang akan menganggap semua ini keterlaluan, tapi ternyata masih terus berlanjut, dan tak ada yang mengatakan apa pun.
Aku sendiri mencoba membahasnya suatu kali, di ruang tidur ketika lampu sudah mati. Di ruang tidur Senior, kami hanya tidur sekamar berenam, jadi hanya kelompok kecil kami, dan sering kami justru mengobrol paling intim sambil berbaring dalam gelap sebelum tertidur. Kau bisa membicarakan hal-hal yang takkan kaubahas di tempat lain mana pun, bahkan juga tidak di paviliun. Maka suatu malam aku bicara tentang Tommy. Aku tidak bicara banyak; aku hanya menyimpulkan apa saja yang terjadi padanya dan kubilang itu sebenarnya tidak adil. Ketika aku selesai, keheningan yang aneh menggantung dalam gelap, dan aku menyadari semua menunggu reaksi Ruth"yang biasanya terjadi setiap kali hal yang agak canggung muncul. Aku menunggu, lalu mendengar keluhan dari sisi ruangan tempat Ruth berada, dan ia berkata:
"Pendapatmu benar, Kathy. Itu tidak baik. Tapi kalau dia ingin itu berhenti, dia harus mengubah sikapnya sendiri. Dia sama sekali tak punya apa pun untuk Spring Exchange. Dan apakah dia punya sesuatu untuk bulan depan" Aku berani bertaruh, pasti tidak."
Aku perlu menjelaskan sedikit tentang Exchange yang kami adakan di Hailsham. Empat kali dalam setahun"musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin"kami mengadakan semacam pameran-dan-penjualan semua karya yang kami cipta-kan dalam tiga bulan sejak Exchange terakhir. Lukisan-lukisan, gambar-gambar, barang tembikar; berbagai "patung" yang terbuat dari apa saja yang sedang digandrungi saat itu"kaleng yang sudah penyok mungkin, atau tutup botol yang ditempel ke karton. Untuk setiap karya, kau dibayar dengan kupon Ex-change"para guardian yang menentukan nilai karyamu"lalu pada hari Exchange kau membawa kuponmu tersebut untuk "membeli" barang yang kausukai. Aturannya adalah, kau hanya bisa membeli karya yang dibuat siswa satu angkatanmu, tapi dengan begitu pun masih banyak karya yang dapat dipilih, karena kebanyakan dari kami bisa sangat produktif dalam waktu tiga bulan.
Bila menilik lagi sekarang, aku mengerti mengapa Exchange jadi begitu penting bagi kami. Pertama, itu satu-satunya cara kami, selain Sale"ini sesuatu yang lain lagi, yang akan kuceritakan nanti"untuk memiliki barang pribadi. Misalnya kau ingin menghias dinding di sekitar tempat tidurmu, atau ingin sesuatu untuk dibawa dalam tasmu dan diletakkan di mejamu dari ruang ke ruang, kau bisa menemukannya di Exchange. Sekarang aku juga bisa melihat bagaimana Exchange memiliki pengaruh lebih subtil pada kami semua. Kalau dipikir-pikir, bagaimana kau saling bergantung untuk menghasilkan karya yang mungkin akan menjadi milikmu"itu pasti akan berpengaruh pada hubungan antar-pribadi. Masalah Tommy adalah contoh khas. Kebanyakan, bagaimana orang memandangmu di Hailsham, seberapa banyak kau disukai dan dihormati, erat hubungannya dengan seberapa baik kau dalam "mencipta".
Ruth dan aku sering mendapati diri kami mengingat hal-hal ini beberapa tahun yang lalu, ketika aku merawatnya di panti pemulihan di Dover.
"Itulah yang membuat Hailsham begitu istimewa," kata Ruth suatu kali. "Bagaimana kita didorong untuk saling menghargai karya masing-masing."
"Benar," kataku. "Tapi kadang-kadang, kalau sekarang aku memikirkan Exchange, banyak yang kelihatan aneh. Misalnya, puisinya. Aku ingat kita boleh memasukkan puisi, sebagai ganti lukisan atau gambar. Dan anehnya, kita semua menganggap itu bagus, kita menganggap itu masuk akal."
"Kenapa tidak" Puisi kan penting."
"Tapi yang kita bicarakan karya anak sembilan tahun, kalimat-kalimat pendek yang lucu, semua salah eja, ditulis di buku latihan. Kita menghabiskan kupon kita yang berharga untuk satu buku latihan penuh coretan seperti itu daripada sesuatu yang benar-benar bagus untuk ditempatkan di sekitar tempat tidur kita. Kalau kita begitu tertarik pada puisi seseorang, kenapa kita tidak meminjamnya saja dan menyalinnya di suatu siang" Tapi kau ingat bagaimana waktu itu. Exchange tiba dan hati kita terbagi di antara puisi Susie K. dan jerapah yang Jackie suka buat."
"Jerapah Jackie," kata Ruth sambil tertawa. "Begitu indah. Aku dulu punya satu."
Kami mengobrol seperti ini pada suatu sore musim panas yang cerah, sambil duduk di balkon kecil ruang pemulihannya. Sudah beberapa bulan sesudah donasinya yang pertama, dan sekarang setelah ia melewati masa paling buruk, aku selalu menjadwalkan kunjungan soreku sedemikian rupa agar kami bisa melewatkan sekitar setengah jam di luar, memperhatikan matahari terbenam di atas atap-atap. Banyak sekali antena dan piringan parabola yang terlihat, dan kadang-kadang, tepat di seberang di kejauhan, garis berkilauan dari laut. Aku membawa air mineral dan biskuit, lalu kami duduk di sana, membahas apa saja yang muncul di benak kami. Panti tempat Ruth dirawat waktu itu adalah salah satu favoritku, dan aku sama sekali tidak keberatan jika aku juga berakhir di sini. Ruang-ruang pemulihannya kecil, tapi dirancang dengan baik dan nyaman. Semuanya"dinding, lantai"berlapis ubin putih mengilap, yang selalu dipelihara hingga bersih sekali, sehingga bila kau pertama kali masuk, rasanya hampir seperti masuk ke ruang cermin. Tentu saja, kau tidak melihat bayanganmu tecermin dengan jelas berkali-kali, tapi rasanya nyaris seperti itu. Bila kau mengangkat tangan, atau kalau seseorang bangkit duduk di tempat tidur, kau bisa merasakan gerakan samar-samar di sekelilingmu dalam ubin-ubin itu. Kamar Ruth di panti itu juga mempunyai panel kaca sorong yang besar, jadi ia bisa melihat ke luar dari tempat tidurnya. Bahkan dengan kepala di bantal, ia bisa melihat bidang langit yang cukup luas, dan jika cuaca cukup hangat, ia bisa mendapat udara segar dengan melangkah keluar ke balkon. Aku senang mengunjunginya di sana, senang dengan obrolan ngalor-ngidul kami, dari musim panas hingga awal musim gugur, duduk bersama di balkon, membicarakan Hailsham, Cottage, apa saja yang muncul di benak kami.
"Maksudku," aku melanjutkan, "saat kita berusia segitu, katakanlah sebelas, kita tidak benar-benar tertarik pada puisi masing-masing. Tapi kau ingat seseorang seperti Christy" Christy punya reputasi hebat dalam puisi, dan kita semua mengaguminya untuk itu. Bahkan kau, Ruth, kau tidak berani memerintah dia. Hanya karena kita menganggapnya hebat dalam puisi. Padahal kita tidak mengerti apa-apa soal puisi. Kita tidak peduli. Aneh."
Tapi Ruth tidak menangkap maksudku"atau mungkin ia sengaja menghindarinya. Mungkin ia bertekad untuk mengingat kami semua lebih hebat daripada kenyataannya. Atau mungkin ia tahu ke mana arah pembicaraanku, dan tidak menginginkannya. Bagaimanapun ia menarik napas panjang dan berkata,
"Kita semua menganggap puisi Christy bagus sekali. Tapi aku ingin tahu bagaimana kita menganggapnya sekarang. Coba aku menyimpan beberapa puisinya, aku ingin sekali tahu bagaimana pendapat kita sekarang." Lalu ia tertawa dan berkata, "Aku masih punya beberapa puisi Peter B. Tapi itu jauh sesudahnya, waktu kita di Senior 4. Pasti dulu aku menyukainya. Kalau tidak, aku tidak tahu kenapa aku membeli puisinya. Puisinya sangat konyol. Dia menganggap dirinya terlalu hebat. Tapi Christy memang hebat, aku ingat itu. Lucu sekali, dia langsung berhenti menulis puisi waktu mulai melukis. Padahal dia sama sekali tidak pandai melukis."
Tapi biarlah aku kembali membahas Tommy. Yang dikatakan Ruth kali itu di ruang tidur sesudah lampu-lampu padam, tentang bagaimana Tommy sendiri yang mendatangkan masalah-masalah itu atas dirinya, mungkin menyimpulkan apa yang dipikirkan kebanyakan orang di Hailsham saat itu. Tapi ketika ia mengatakan apa yang dikatakannya, barulah aku menyadari, waktu aku berbaring di sana, bahwa pendapat yang mengatakan Tommy sengaja tidak berusaha sudah beredar sejak Junior dulu. Lalu aku menyadari, dengan ngeri, bahwa Tommy sudah mengalami apa yang dialaminya itu bukan hanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan, melainkan bertahun-tahun.
Tommy dan aku membicarakan ini belum lama berselang, dan ceritanya sendiri tentang bagaimana masalahnya muncul, menegaskan apa yang kupikirkan malam itu. Menurut dia, semua diawali suatu siang di salah satu kelas seni Miss Geraldine. Tommy memberitahuku bahwa sampai hari itu, ia senang melukis. Tapi hari itu di kelas Miss Geraldine, Tommy membuat lukisan cat air ini"gambar gajah berdiri di tengah rumput tinggi"dan itulah yang memulai ini semua. Kata Tommy, ia melakukannya sekadar bergurau. Aku banyak bertanya kepadanya tentang hal ini dan aku menduga itu seperti banyak hal lainnya pada usia itu: tanpa alasan jelas, kau melakukannya begitu saja. Kau melakukannya karena pikirmu mungkin orang-orang akan tertawa, atau karena kau ingin tahu apakah itu akan menimbulkan keonaran. Dan kalau kau diminta menjelaskannya sesudahnya, sepertinya itu tak masuk akal sama sekali. Kami semua juga pernah melakukan hal semacam itu. Tommy memang tidak menjelaskannya seperti itu, tapi aku yakin itulah yang terjadi.
Pokoknya, ia menggambar gajahnya, persis gambar yang mungkin dibuat anak berusia tiga tahun lebih muda. Ia menyelesaikannya tak lebih dari dua puluh menit dan memang menjadi bahan tertawaan, meski bukan persis seperti yang diharapkannya. Meski begitu, mungkin hal itu takkan mengakibatkan apa pun"dan kurasa ini ironi besar"jika bukan Miss Geraldine yang memimpin kelas hari itu.
Miss Geraldine adalah guardian favorit semua orang ketika kami seusia itu. Ia lemah lembut, bicaranya halus, dan selalu menghiburmu bila kau membutuhkannya, meskipun kau sudah melakukan hal yang buruk, atau dimarahi guardian lain. Bila suatu kali ia terpaksa memarahimu, selama berhari-hari sesudahnya ia akan menumpahkan perhatian ekstra, seakan-akan ia berutang kepadamu. Sial bagi Tommy bahwa Miss Geraldine mengajar seni hari itu dan bukan, misalnya Mr. Robert atau Miss Emily sendiri"guardian kepala"yang sering memimpin kelas seni. Seandainya salah satu dari keduanya, Tommy pasti bakal dimarahi, ia bisa nyengir, dan hal paling jelek yang mungkin dipikirkan siswa lainnya adalah bahwa itu kelakar konyol. Bahkan mungkin beberapa siswa menganggapnya badut. Tapi karena Miss Geraldine adalah Miss Geraldine, kejadiannya tidak seperti itu. Ia malah berupaya keras untuk memandang lukisan itu dengan kebaikan hati dan pengertian. Dan mungkin karena menduga Tommy bakal dikritik habis-habisan oleh yang lain, ia malah bersikap berlebihan, bahkan menemukan hal-hal yang patut dipuji, menunjukkannya ke kelas. Maka pada saat itulah kebencian dimulai.
"Sesudah kami meninggalkan ruangan," Tommy mengingat-ingat, "saat itulah aku pertama kali mendengar mereka berbicara. Dan mereka tidak peduli aku bisa mendengarnya."
Dugaanku sebelum ia menggambar gajah itu, Tommy sudah punya firasat ia tertinggal dari yang lain"bahwa terutama lukisannya lebih seperti lukisan siswa yang jauh lebih muda daripadanya"dan ia menutupinya sebaik mungkin dengan sengaja membuat lukisan kekanak-kanakan. Tapi sesudah lukisan gajah seluruh masalah itu jadi mencuat ke permukaan, dan sekarang semua memperhatikan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Selama beberapa waktu rupanya ia memang berusaha, tapi baru saja memulai sesuatu, ejekan dan cekikikan langsung terdengar di sekitarnya. Malah semakin keras ia bempaya, semakin menggelikan tampaknya. Maka tak lama kemudian Tommy sudah kembali ke sifat defensifnya semula, membuat karya yang tampak sengaja kekanak-kanakan, karya-karya yang menyatakan ia tidak peduli. Sejak itu masalahnya semakin parah.
Selama beberapa waktu ia hanya menderita pada saat kelas seni"meskipun itu cukup sering, karena kami banyak membuat karya seni di masa Junior. Tapi kemudian masalahnya semakin besar. Ia mulai disisihkan dari permainan, anak laki-laki menolak duduk di sebelahnya saat makan malam, atau berpura-pura tidak mendengar kalau ia mengatakan sesuatu di ruang tidur sesudah lampu-lampu dimatikan. Awalnya tidak begitu menekan. Berbulan-bulan berlalu tanpa insiden, sehingga Tommy menyangka masalah itu telah berakhir, lalu sesuatu yang dilakukannya"atau salah satu musuhnya, Arthur H."membuat semua berlangsung lagi.
Aku tak yakin kapan amukan-amukannya dimulai. Seingatku Tommy memang dikenal karena watak pemarahnya, bahkan saat kami masih di tingkat Infant, tapi ia mengaku itu baru dimulai setelah ejekan-ejekan semakin parah. Pokoknya justru amukan itulah yang memicu orang-orang, memperparah semuanya, dan sekitar masa yang kubicarakan itu"musim panas Senior 2 kami, ketika kami berusia tiga belas"saat itulah penyiksaan mencapai puncaknya.
Lalu semua itu berhenti, tidak sekejap, tapi cukup cepat. Seperti kukatakan, aku memperhatikan dengan cermat situasi sekitar masa itu, jadi aku melihat tanda-tandanya sebelum orang-orang lain. Dimulai dengan suatu periode"mungkin sebulan, mungkin lebih lama"ketika ejekan cukup rutin tapi Tommy tidak meledak marah. Kadang-kadang kulihat ia nyaris meledak, tapi entah bagaimana ia mengendalikan dirinya; pada waktu-waktu lain ia hanya mengangkat bahu dengan tenang, atau bereaksi seakan-akan ia tidak menyadari apa pun. Mula-mula reaksi ini menyebabkan kekecewaan; bahkan mungkin orang-orang jengkel, seakan-akan Tommy mengecewakan mereka. Lalu lama-kelamaan orang-orang mulai bosan dan ejekan mulai dilakukan setengah hati, sampai suatu saat aku tersadar sudah seminggu tak ada ejekan.
Mungkin itu sendiri tidak begitu penting, tapi aku juga melihat perubahan lain. Hal-hal kecil, seperti Alexander J. dan Peter N. berjalan melintasi pelataran bersama Tommy menuju lapangan, dan bertiga mereka mengobrol dengan wajar; perubahan halus namun nyata dalam suara orang ketika nama Tommy disebut. Lalu satu kali, menjelang akhir istirahat siang, kelompok kami duduk di rumput dekat ke Lapangan Bermain Selatan tempat para anak laki-laki, seperti biasa, bermain foot-ball. Aku terlibat dalam percakapan, tapi sambil memperhatikan Tommy, yang kulihat sedang di pusat permainan. Suatu saat ia disandung lawan, dan sesudah bangkit ia menempatkan bola di tanah untuk melakukan sendiri tendangan bebas. Sementara anak-anak laki-laki menyebar sambil menunggu, aku melihat Arthur H."salah satu penyiksa Tommy yang paling besar"berada beberapa meter di belakang punggung Tommy, mulai menirukan sikap Tommy, mengejek cara Tommy berdiri membungkuk di atas bola, tangan di pinggul. Aku memperhatikan dengan cermat, tapi tak satu pun siswa lain menyambut pancingan Arthur. Pasti mereka melihatnya, karena semua mata memandang ke arah Tommy, menunggu tendangannya, dan Arthur tepat di belakangnya"tapi tak ada yang tertarik. Tommy melambungkan bola melintasi rumput, permainan berlanjut, dan Arthur H. tidak mencoba sesuatu yang lain.
Aku gembira dengan perkembangan itu, tapi juga heran. Tak ada perubahan nyata dalam karya-karya Tommy"reputasinya untuk "kreativitas" tetap rendah seperti biasa. Aku bisa mengerti berhentinya ledakan amarah memang sangat membantu, tapi apa yang menjadi faktor kunci amat sulit diraba. Ada sesuatu pada diri Tommy"sikapnya, bagaimana ia memandang mata orang dan berbicara dengan caranya yang ramah dan terbuka" berbeda dari sebelumnya, dan akhirnya itu mengubah sikap orang-orang di sekitarnya. Tapi apa yang menimbulkan ini semua, tidak jelas.
Aku bingung, dan memutuskan untuk menggali sedikit isi hatinya lain kali kami bisa bicara berdua. Kesempatan itu datang tak lama kemudian, ketika aku sedang antre makan siang dan melihat Tommy beberapa langkah di depanku dalam antrean.
Kupikir mungkin ini terdengar aneh, tapi di Hailsham, antrean makan siang adalah salah satu tempat terbaik untuk bicara secara pribadi. Ini ada hubungannya dengan akustik dalam Balairung Utama; dengan semua kebisingan dan langit-langit yang tinggi, selama kau merendahkan suaramu, berdiri cukup dekat, dan memastikan tetanggamu asyik mengobrol sendiri, maka kau punya kesempatan bagus untuk tidak terdengar penguping. Bagaimanapun kami tidak dimanjakan dengan banyak pilihan. Tempat "tenang" justru biasanya yang terburuk, karena selalu ada kemungkinan orang lewat di dekat kami. Dan begitu kelihatan kau mau menyelinap pergi untuk membicarakan rahasia, seluruh tempat seakan merasakannya dalam sekejap, dan kau takkan punya kesempatan.
Jadi ketika aku melihat Tommy beberapa langkah di depanku, aku melambai memanggilnya"aturannya adalah, kau tidak boleh maju melompati antrean, tapi mundur boleh-boleh saja. Ia menghampiriku dengan senyum senang, dan sesaat kami berdiri berdekatan tanpa bicara banyak"bukan karena canggung, tapi menunggu perhatian sekitar mereda. Lalu aku berkata kepadanya,
"Kau kelihatan jauh lebih bahagia belakangan ini, Tommy. Sepertinya semua berjalan lebih mulus sekarang."
"Kau memperhatikan semuanya, bukan, Kath?" Ia sama sekali tidak sinis saat mengatakannya. "Ya, semua baik-baik saja. Aku baik-baik saja."
"Jadi apa yang terjadi" Kau menemukan Tuhan atau apa?"
"Tuhan?" Tommy bingung sejenak. Lalu ia tertawa dan berkata, "Oh, aku tahu. Kau bicara tentang aku tidak... marah-marah lagi."
"Bukan hanya itu, Tommy. Kau membuat semuanya jadi lebih baik untuk dirimu sendiri. Aku memperhatikan. Itu sebabnya aku bertanya."
Tommy mengangkat bahu. "Mungkin aku sudah sedikit lebih dewasa. Dan mungkin yang lain juga. Tidak bisa terus melakukan yang sama. Membosankan."
Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya terus menatapnya, sampai ia tertawa dan berkata, "Kath, kau terlalu ingin tahu. Oke, kupikir mungkin ada sesuatu. Sesuatu yang terjadi. Kalau mau, akan kuceritakan padamu."
"Nah, ceritakan."
"Akan kuceritakan, Kath, tapi jangan disebarkan, oke" Beberapa bulan yang lalu, aku bicara dengan Miss Lucy. Dan sesudahnya aku merasa jauh lebih baik. Sulit dijelaskan. Tapi dia mengatakan sesuatu, dan semuanya terasa lebih baik."
"Jadi apa katanya?"
"Nah.... Masalahnya, mungkin ini kedengaran aneh. Bagiku awalnya kedengaran aneh. Katanya kalau aku tidak mau kreatif, kalau aku benar-benar tidak suka, itu tidak apa-apa. Tidak ada yang salah, katanya."
"Itu yang dikatakannya padamu?"
Tommy mengangguk, tapi aku sudah mulai membalikkan badan.
"Itu omong kosong, Tommy. Kalau kau mau bersikap konyol, aku tidak mau ikut."
Aku benar-benar marah, karena kukira ia membohongiku, justru ketika aku pantas diberi kepercayaan olehnya. Ketika melihat seorang gadis yang kukenal beberapa meter di belakangku, aku mendatanginya, meninggalkan Tommy. Kulihat ia bingung dan sedih serta kecewa, tapi sesudah berbulan-bulan aku lalui dengan mengkhawatirkannya, aku merasa dikhianati, dan aku
tak peduli bagaimana perasaannya. Aku mengobrol dengan temanku"seceria mungkin, dan nyaris tak menoleh ke arah Tommy selama kami mengantre.
Tapi ketika aku membawa piringku ke meja, Tommy muncul di belakangku dan berkata cepat,
"Kath, aku tidak bergurau, seandainya kau menyangka begitu. Akan kuceritakan padamu jika saja kau mau memberiku kesempatan."
"Jangan bicara yang tidak-tidak, Tommy."
"Kath, akan kuberitahu padamu. Aku akan berada di dekat kolam sesudah makan siang. Kalau kau ke sana, akan kuceritakan."
Aku melemparkan pandangan mencela dan pergi tanpa menjawab, meskipun aku sudah mulai mempertimbangkan kemungkinan bahwa ia bukan hanya mengarang-ngarang cerita tentang Miss Lucy. Dan waktu aku duduk bersama teman-temanku, aku mencoba memikirkan bagaimana aku akan menyelinap ke kolam sesudahnya tanpa membuat orang-orang penasaran.
BAB 3 KOLAM itu terletak di selatan rumah utama. Untuk sampai ke sana kau keluar dari pintu belakang, lalu lewat jalan setapak yang berliku-liku, melewati tanaman pakis yang tumbuh tidak teratur, yang pada awal musim gugur masih saja menghalangi jalanmu. Atau kalau tak ada para guardian di sekitar situ kau bisa mengambil jalan pintas melalui semak ke-lembak. Begitu sampai di kolam, kau akan mendapati suasana tenang menunggu, dengan angsa, ilalang, dan rumput air. Tapi itu bukan tempat yang bagus untuk percakapan rahasia"tidak sebagus antrean makan siang. Pertama, kau bisa terlihat jelas dari rumah utama. Dan cara suara melintasi permukaan air sulit diramal; jika ada yang ingin menguping, mudah sekali untuk berjalan melewati jalan lingkar luar dan bersembunyi di semak di seberang kolam. Tapi karena akulah yang memotong pembicaraannya di antrean makan siang, kupikir aku harus berusaha melakukan yang terbaik. Saat itu sudah pertengahan Oktober, tapi matahari bersinar hari itu dan aku memutuskan bisa berpura-pura sedang berjalan tanpa tujuan lalu kebetulan bertemu Tommy.
Mungkin karena aku sangat ingin mempertahankan kesan ini"meski tidak tahu apakah ada yang memperhatikan"aku tidak mencoba mencari tahu dan duduk ketika akhirnya menemukannya duduk di batu besar datar tak jauh dari tepi kolam. Hari itu mungkin Jumat atau akhir pekan, karena aku ingat kami mengenakan pakaian bebas. Aku tidak ingat persis apa yang dipakai Tommy"mungkin kaus football lusuh yang dipakainya meski udara dingin"tapi aku jelas mengenakan atasan marun dengan ritsleting di depan yang kudapat pada suatu Sale di Senior 1. Aku mengitarinya dan berdiri membelakangi kolam, menghadap ke rumah utama, supaya bisa melihat kalau orang-orang mulai berkumpul di jendela-jendela. Lalu selama beberapa saat kami membahas hal-hal sepele yang tidak khusus, seolah-olah kejadian di antrean makan siang tak pernah terjadi. Aku tak yakin apakah demi Tommy, atau demi entah siapa yang menonton, aku mempertahankan sikapku agar kelihatannya tak bermaksud berlama-lama di situ. Aku melihat semacam rasa panik melintasi wajah Tommy, dan seketika aku merasa kasihan padanya karena telah menggodanya, meskipun tidak bermaksud begitu. Maka aku berkata, seolah-olah baru saja teringat,
"Omong-omong, apa katamu tadi" Tentang Miss Lucy mengatakan sesuatu padamu?"
"Oh...." Tommy memandang melewatiku ke kolam, berpura-pura ia sudah melupakan topik itu. "Miss Lucy. Oh itu."
Miss Lucy adalah guardian yang paling bugar di Hailsham, meskipun penampilannya tidak membuatmu menduga begitu. Sosoknya pendek gemuk, hampir seperti bulldog, dan rambut hitamnya yang jarang, kalau tumbuh, tumbuh berdiri sehingga tak pernah menutupi telinga atau lehernya yang gemuk. Tapi ia benar-benar kuat dan bugar, dan bahkan ketika kami sudah lebih besar, kebanyakan dari kami"bahkan anak-anak laki-laki" tidak bisa menyamainya saat berlari keliling lapangan. Ia hebat dalam hoki, bahkan mampu bermain bersama anak-anak laki-laki tingkat Senior di lapangan football. Aku ingat pernah menonton ketika James B. mencoba menjegalnya ketika ia lewat, tapi malah terjatuh sendiri. Ketika kami masih di tingkat Junior, ia bukan guardian seperti Miss Geraldine, yang kaudatangi kalau kau kesal. Bahkan ia cenderung tidak banyak bicara kepada kami ketika kami masih lebih kecil. Baru di tingkat Senior kami mulai menghargai gayanya yang lincah.
"Kau mengatakan sesuatu," kataku kepada Tommy. "Sesuatu tentang Miss Lucy mengatakan bahwa tidak apa-apa jika tidak kreatif."
"Dia memang mengatakan sesuatu seperti itu. Katanya aku tak perlu khawatir. Jangan pedulikan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa bulan yang lalu. Mungkin lebih lama."
Di rumah utama, beberapa Junior berhenti di jendela lantai atas dan memperhatikan kami. Tapi sekarang aku berjongkok di depan Tommy, sudah tidak berpura-pura lagi.
"Tommy, rasanya aneh kalau dia berkata begitu. Kau yakin tidak salah dengar?"
"Tentu saja." Suaranya tiba-tiba merendah. "Dia mengatakannya bukan hanya satu kali. Kami berada di ruangannya dan dia bicara panjang-lebar tentang hal itu."
Ketika Miss Lucy pertama kali meminta Tommy datang ke kantornya sesudah Apresiasi Seni, Tommy menjelaskan, ia menyangka akan diceramahi lagi tentang bagaimana ia harus berusaha lebih keras"sesuatu yang pernah disampaikan beberapa guardian, termasuk Miss Emily sendiri. Tapi ketika mereka berjalan dari rumah utama menuju ke Orangery"tempat para guar-dian tinggal"Tommy mulai curiga kali ini berbeda. Lalu, begitu ia duduk di kursi santai Miss Lucy"Miss Lucy tetap berdiri di dekat jendela"ia meminta Tommy menceritakan seluruh kisahnya, dari sudut pandangnya, tentang semua yang terjadi padanya. Maka Tommy mulai membeberkannya. Tapi di tengah-tengah mendadak Miss Lucy menyela dan mulai berbicara sendiri. Katanya ia kenal banyak siswa, yang untuk waktu lama merasa sangat kesulitan untuk menjadi kreatif: melukis, menggambar, puisi, bertahun-tahun tak ada yang berjalan baik. Lalu suatu hari mereka berbelok dan mekar. Mungkin saja Tommy adalah salah satu dari mereka itu.
Tommy sudah pernah mendengar tentang hal ini sebelumnya, tapi ada sesuatu tentang sikap Miss Lucy yang membuatnya mendengarkan dengan saksama.
"Aku tahu," katanya kepadaku, "dia berniat mengatakan sesuatu. Sesuatu yang berbeda."
Benar saja, tak lama kemudian Miss Lucy mengatakan hal-hal yang sulit diikuti Tommy. Tapi ia terus mengulanginya hingga akhirnya Tommy mulai mengerti. Katanya, bila Tommy mencoba sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bisa kreatif, itu tidak apa-apa, ia tak perlu cemas. Salah kalau ada yang menghukum atau menekannya dengan cara apa pun, baik itu siswa maupun guardian. Itu bukan salah Tommy. Dan ketika Tommy protes bahwa boleh saja Miss Lucy bilang begitu, tapi semua orang tetap saja menganggap itu salahnya, Miss Lucy mengeluh dan memandang ke luar jendela. Lalu katanya,
"Mungkin ini tak banyak membantu. Tapi ingat ini. Setidaknya ada satu orang di Hailsham yang punya pandangan berbeda. Setidaknya satu orang yang percaya kau siswa yang sangat baik, sebaik siswa manapun yang pernah ditemuinya, tak peduli seberapa kreatifnya dirimu."
"Dia bukan bergurau, kan?" aku bertanya kepada Tommy. "Bukan cara licik untuk memarahimu?"
"Sama sekali bukan sesuatu macam itu. Bagaimanapun..." Untuk pertama kali ia tampak waswas ada yang menguping dan menoleh ke rumah utama. Para Junior di jendela sudah kehilangan minat dan pergi; beberapa gadis dari angkatan kami berjalan menuju paviliun, tapi mereka masih cukup jauh. Tommy menoleh kembali padaku dan berbisik,
"Waktu dia mengatakan semua ini, dia gemetar."
"Apa maksudmu, gemetar?"
"Gemetar. Karena marah. Aku melihatnya. Dia sangat marah. Marah yang dipendam jauh di dalam hati."
"Pada siapa?" "Aku tak yakin. Bukan padaku pokoknya, itu yang penting!" Tommy tertawa, lalu kembali serius. "Aku tidak tahu dia marah kepada siapa. Tapi dia memang marah."
Aku bangkit berdiri karena betisku sakit. "Ini aneh sekali, Tommy."
"Lucunya, percakapan dengannya itu memang membantu. Sangat membantu. Waktu tadi kauhilang sepertinya semua lebih baik sekarang, itu karena percakapan tersebut. Karena setelah-nya, ketika aku memikirkan apa yang dikatakannya, aku menyadari ia benar, bahwa itu bukan salahku. Oke, aku tidak menanganinya dengan baik. Tapi jauh di dalam, itu bukan salahku. Itulah bedanya. Dan setiap kali aku merasa bimbang tentang hal itu, aku melihat Miss Lucy berjalan, atau aku sedang ikut salah satu pelajarannya, dan ia tidak bilang apa-apa tentang percakapan kami, tapi aku memandangnya, dan kadang-kadang ia melihatku dan mengangguk kecil. Dan itu saja yang kubutuhkan. Tadi kau bertanya apakah ada sesuatu yang terjadi. Nah, itulah yang terjadi. Tapi, Kath, dengar, jangan bilang apa-apa kepada siapa pun tentang ini, ya?"
Aku mengangguk, tapi bertanya, "Apakah dia memintamu berjanji seperti itu?"
"Tidak, tidak, dia tidak memintaku berjanji apa pun. Tetapi kau tidak boleh bilang siapa-siapa. Kau harus benar-benar berjanji."
"Baiklah." Gadis-gadis yang menuju paviliun sudah melihatku dan melambai memanggilku. Aku balas melambai dan berkata kepada Tommy, "Sebaiknya aku pergi. Kita bisa bicara lagi tentang ini segera."
Tapi Tommy mengabaikan ini. "Ada sesuatu yang lain," ia melanjutkan. "Sesuatu yang lain yang dikatakannya tak bisa benar-benar kupahami. Aku sebenarnya ingin menanyakannya padamu. Katanya kita tidak cukup diajari, sesuatu semacam itu."
"Cukup diajari" Maksudmu menurut dia seharusnya kita belajar lebih keras daripada yang sudah kita lakukan?"
"Tidak, kupikir maksudnya bukan itu. Yang dibicarakannya adalah, kau tahu, tentang kita. Apa yang akan terjadi pada kita kelak. Donasi dan segalanya."
"Tapi kita sudah diajari tentang semua itu," kataku. "Jadi apa maksudnya, ya" Apakah menurut dia ada hal-hal yang belum diberitahukan kepada kita?"
Tommy berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Kukira bukan itu maksudnya. Dia hanya menganggap kita tidak cukup diajari tentang hal itu. Karena katanya dia ingin bicara sendiri tentang hal itu kepada kita."
"Tentang apa tepatnya?"
"Aku tak yakin. Mungkin aku keliru, Kath, entahlah. Mungkin maksudnya sesuatu yang sepenuhnya berbeda, sesuatu yang lain tentang aku tidak kreatif. Aku benar-benar tidak mengerti."
Tommy memandangku seolah-olah berharap aku tahu jawabannya. Beberapa saat aku terus berpikir, lalu kataku,
"Tommy, pikirkanlah dengan saksama. Katamu dia jadi marah..."
"Well, kelihatannya begitu. Dia tenang, tapi gemetar."
"Baik, apa pun. Katakanlah dia memang marah. Apakah ketika marah dia mulai mengatakan hal-hal lain ini" Tentang bagaimana kita tidak cukup diajari mengenai donasi dan sebagai-nya?"
"Sepertinya begitu..."
"Nah, Tommy, pikir. Kenapa dia membahasnya" Dia bicara tentang kau dan tentang kau tidak berkarya. Lalu tiba-tiba dia mulai bicara tentang hal lain. Apa hubungannya" Kenapa dia bicara tentang donasi" Apa hubungannya dengan kau kreatif?"
"Aku tidak tahu. Pasti ada alasannya, kurasa. Mungkin satu hal mengingatkannya pada yang lain. Kath, sekarang kau sendiri jadi gelisah tentang ini."
Aku tertawa karena ia benar: aku mengerutkan kening, berpikir. Sebenarnya benakku melantur ke mana-mana sekaligus. Dan cerita Tommy tentang pembicaraannya dengan Miss Lucy mengingatkanku pada sesuatu, mungkin serangkaian hal, insiden-insiden kecil dari masa lalu yang berkaitan dengan Miss Lucy yang memang membuatku bingung.
"Hanya saja..." Aku berhenti dan mendesah. "Aku tak bisa menjelaskannya dengan tepat, bahkan juga tidak kepada diriku sendiri. Tapi semua ini, yang kaukatakan ini, cocok dengan berbagai hal yang mengherankan. Aku selalu memikirkan hal-hal ini. Misalnya mengapa Madame datang dan mengambil lukisan-lukisan terbaik kita. Sebenarnya itu untuk apa?"
"Untuk Galeri."
"Tapi memangnya apa galerinya" Dia selalu datang kemari dan mengambil karya terbaik kita. Pasti dia sudah punya segunung sekarang. Aku pernah bertanya kepada Miss Geraldine, sudah berapa lama Madame datang ke sini, dan katanya sejak Hailsham berdiri. Galeri apa sih itu" Mengapa dia harus punya galeri berisi karya-karya kita?"
"Mungkin dia menjualnya. Di luar sana, mereka menjual apa pun."
Aku menggeleng. "Tidak mungkin. Itu ada kaitannya dengan apa yang dikatakan Miss Lucy kepadamu. Tentang kita, bagaimana suatu hari nanti kita akan mulai memberi donasi. Aku tidak tahu kenapa, tapi sudah lama aku memiliki firasat ini, bahwa semuanya terkait, meskipun aku tak bisa mengerti bagaimana. Aku harus pergi sekarang, Tommy. Jangan cerita kepada siapa-siapa dulu, tentang apa yang kita bahas."
"Tidak. Dan jangan cerita kepada siapa-siapa tentang Miss Lucy."
"Tapi apakah kau akan memberitahuku kalau dia mengatakan sesuatu yang lain semacam itu kepadamu?"
Tommy mengangguk, lalu menoleh lagi ke sekitarnya. "Seperti katamu, lebih baik kau pergi, Kath. Sebentar lagi ada yang bisa mendengar kita."
Galeri yang dibahas Tommy dan aku sudah menjadi bagian dari hidup kami. Semua membicarakannya seolah-olah galeri itu memang ada, meskipun sebenarnya tak satu pun dari kami yang tahu pasti. Aku yakin, sama dengan yang lain, aku tak ingat bagaimana atau kapan aku pertama kali mendengar tentangnya. Yang jelas bukan dari para guardian: mereka tak pernah menyebut-nyebut soal Galeri, dan ada aturan tak tertulis bahwa kami tak boleh membahas masalah ini di depan mereka.
Sekarang kukira itu sesuatu yang diturunkan dari generasi ke generasi para siswa Hailsham. Aku ingat ketika aku baru berusia lima atau enam, duduk di depan meja rendah di samping Amanda C., tangan kami lembap karena tanah liat. Aku tak ingat apakah ada anak lain bersama kami, atau guardian mana yang sedang bertugas. Yang kuingat hanya Amanda C."yang setahun lebih tua dariku"melihat apa yang sedang kubuat dan berseru, "Itu benar-benar bagus, Kathy! Bagus sekalil Aku berani bertaruh itu pasti akan masuk Galeri!"
Saat itu aku pasti sudah tahu tentang Galeri, karena aku ingat gairah dan kebanggaan ketika ia mengatakan hal itu"lalu saat berikutnya, aku berpikir, "Itu konyol. Belum ada di antara kami yang cukup hebat untuk masuk ke Galeri."
Ketika kami bertambah besar, kami terus membicarakan Galeri. Kalau ingin memuji karya seseorang, kau mengatakan, "Itu cukup bagus untuk Galeri." Dan sesudah kami mengenal kesinisan, setiap kali kami melihat karya jelek yang patut ditertawakan, kami berkata, "Oh ya! Yang itu langsung masuk Galeri!"
Tapi apakah kami benar-benar percaya adanya Galeri" Sekarang ini, aku tidak yakin. Seperti sudah kukatakan, kami tidak pernah menyebut-nyebutnya kepada para guardian dan kalau diingat-ingat lagi, sepertinya itu peraturan yang kami terapkan kepada diri sendiri, sama seperti setiap hal yang diputuskan para guardian. Ada suatu saat yang kuingat dari masa ketika kami berusia sebelas. Kami ada di Ruang 7 pada suatu pagi musim dingin yang cerah. Kami baru saja selesai dengan pelajaran Mr. Roger, dan beberapa dari kami masih tinggal di kelas untuk bercakap-cakap dengannya. Kami duduk di meja, dan aku tak ingat persis apa yang kami bicarakan, tapi Mr. Roger, seperti biasa, membuat kami tertawa dan tertawa. Lalu Carole H. berkata sambil cekikikan, "Mungkin malah bisa terpilih untuk Galeri!" Ia langsung menutup mulutnya dengan tangan sambil berkata "Uups!" dan suasana tetap ceria; tapi kami semua tahu, termasuk Mr. Roger, bahwa Carole sudah membuat kesalahan. Tidak serius memang: sama seperti bila salah satu dari kami mencetuskan kata kasar, atau menyebut seorang guardian dengan julukannya. Mr. Roger tersenyum maklum, seakan-akan berkata, "Biar saja, kita akan berpura-pura kau tidak mengatakan itu," lalu kami melanjutkan percakapan seperti sebelumnya.
Meskipun bagi kami Galeri tetap samar, yang cukup nyata adalah kedatangan Madame yang biasanya dua kali"kadang-kadang tiga atau empat kali"setiap tahun untuk memilih karya-karya terbaik kami. Kami memanggilnya "Madame" karena ia orang Prancis atau Belgia"hal itu masih dipertentangkan"dan begitulah para guardian selalu memanggilnya. Ia wanita tinggi, kurus, dengan rambut pendek, mungkin masih cukup muda, meskipun pada masa itu kami tak menganggapnya begitu. Ia selalu mengenakan setelan kelabu yang penuh gaya, dan tidak seperti para tukang kebun, tidak seperti para sopir yang mengantar suplai kami"tidak seperti hampir semua orang lain yang datang dari luar"ia tidak mau berbicara dengan kami dan menjaga jarak dengan kami dengan tatapannya yang dingin. Bertahun-tahun kami menganggapnya angkuh, tapi pada suatu malam, ketika kami berusia sekitar delapan, Ruth mengajukan teori lain.
"Dia takut kepada kita," ujarnya.
Kami berbaring dalam gelap di kamar tidur. Di tingkat Junior, kami tidur berlima belas sekamar, maka kami tidak mengobrol panjang dan intim seperti saat di asrama Senior. Tapi kebanyakan dari kami yang nantinya "segeng" memiliki tempat tidur berdekatan waktu itu, dan sudah terbiasa mengobrol sepanjang malam.
"Apa maksudmu, takut pada kita?" seseorang bertanya. "Bagaimana mungkin dia takut pada kita" Apa yang bisa kita lakukan padanya?"
"Aku tidak tahu," kata Ruth. "Aku tidak tahu, tapi aku yakin dia takut. Dulu kusangka dia hanya angkuh, tapi ada sesuatu yang lain, sekarang aku yakin. Madame takut pada kita."
Kami berdebat tentang hal ini beberapa hari berikutnya. Kebanyakan dari kami tidak setuju dengan teori Ruth, tapi itu justru membuatnya semakin bertekad membuktikan dirinya benar. Maka akhirnya kami menyepakati suatu rencana untuk menguji teorinya kali berikut Madame datang ke Hailsham.
Meskipun kunjungan Madame tak pernah diumumkan, selalu cukup jelas kapan kedatangannya. Persiapan menjelang kedatangannya dimulai berminggu-minggu sebelumnya, para guardian memilah semua karya kami"lukisan, sketsa, barang tembikar, semua esai dan puisi. Biasanya ini berlangsung hingga sekurang-kurangnya dua minggu, dan di pengujungnya empat atau lima karya dari setiap angkatan Junior dan Senior sudah berada di mang biliar. Ruang biliar ditutup selama periode itu, tapi kalau kau berdiri di atas tembok rendah di teras di luarnya, kau bisa melihat lewat jendela tumpukan barang yang semakin banyak. Begitu para guardian mulai menyusunnya, di atas meja dan standar, seperti versi miniatur Exchange kami, kau tahu Madame akan datang satu-dua hari lagi.
Pada musim gugur yang sekarang kubicarakan, kami bukan hanya harus tahu harinya, melainkan juga momen saat Madame muncul, karena ia sering tinggal tak lebih dari satu-dua jam. Maka begitu melihat karya-karya mulai ditata di ruang biliar, kami memutuskan untuk bergantian berjaga.
Tugas ini dipermudah oleh tata letak pekarangan dan bangunan. Hailsham berdiri di lembah dengan padang-padang menanjak di semua sisi. Itu artinya dari hampir semua jendela kelas di rumah utama"bahkan dari paviliun"kau bisa melihat dengan jelas jalan sempit panjang yang melewati padang dan tiba di gerbang utama. Gerbangnya sendiri masih cukup jauh, dan setiap kendaraan harus melewati jalan setapak berkerikil, melewati semak dan kebun bunga, sebelum akhirnya sampai di halaman depan rumah utama. Berhari-hari kami takkan melihat satu pun kendaraan melewati jalan sempit itu, dan kalaupun ada yang datang adalah van atau truk yang membawa persediaan makanan, tukang kebun, atau pekerja. Mobil jarang lewat, dan melihat satu di kejauhan kadang-kadang sudah cukup menimbulkan keonaran selama pelajaran.
Siang hari waktu mobil Madame terlihat melewati padang, cuaca cerah dan berangin, dengan beberapa awan badai mulai berkumpul. Kami di Ruang 9"di lantai satu di bagian depan rumah utama"dan ketika berita itu tersiar, Mr. Frank yang malang, yang berusaha mengajari kami mengeja, tidak mengerti mengapa tiba-tiba kami sangat resah.
Rencana yang sudah kami buat untuk menguji teori Ruth sederhana sekali: kami berenam menunggu Madame di suatu tempat, lalu "serentak keluar" mengerumuninya. Kami akan tetap bersikap sopan dan terus berjalan, tapi kalau kami melakukannya tepat waktu, dan Madame terkejut, kami akan melihat" Ruth bersikeras"bahwa Madame memang takut pada kami.
Kekhawatiran utama kami adalah kami takkan mendapat kesempatan selama waktu singkat ia berada di Hailsham. Tapi ketika pelajaran Mr. Frank hampir selesai kami bisa melihat Madame, tepat di pelataran, memarkir mobilnya. Kami berunding cepat di puncak tangga, lalu mengikuti siswa lainnya menuruni tangga dan berkeliaran persis di sebelah dalam ambang pintu utama. Kami bisa melihat ke luar ke pelataran yang terang benderang tempat Madame masih duduk di belakang kemudi, merogoh-rogoh tas kantornya. Akhirnya ia keluar dari mobil dan melangkah ke arah kami, mengenakan setelan kelabunya seperti biasa, tas kantornya dipegang erat dengan kedua tangan. Ruth memberi tanda dan kami pun berjalan santai, bergerak menuju Madame, tapi seolah-olah dalam mimpi. Baru ketika Madame berhenti dengan kaku kami masing-masing bergumam, "Permisi, Miss," lalu berpencar.
Aku takkan pernah lupa perubahan aneh yang seketika menerpa kami. Hingga saat itu, selumh perkara tentang Madame ini kalau bukan kelakar, mungkin lebih merupakan perkara pribadi yang ingin kami selesaikan di antara kami sendiri. Kami tidak banyak memikirkan bagaimana Madame sendiri, atau orang lain, akan bereaksi. Maksudku, hingga saat itu, masalah itu bisa dianggap ringan, dengan sedikit unsur nekat. Dan toh Madame tidak bersikap lain daripada yang sudah kami ramalkan: mematung dan menunggu kami lewat. Ia tidak menjerit, atau bahkan terkesiap kaget. Tapi kami memperhatikan reaksinya dengan saksama, dan mungkin itulah sebabnya efeknya sangat besar bagi kami. Ketika Madame berhenti, aku segera menatap wajahnya" yang lain juga melakukannya, aku yakin. Dan sekarang pun aku masih bisa melihatnya, perasaan ngeri yang ditekannya, ngeri bahwa salah satu dari kami benar-benar menyenggolnya tanpa sengaja. Dan meskipun terus berjalan kami merasakannya; rasanya seolah kami melangkah dari sinar matahari ke bayangan yang dingin. Ruth benar: Madame memang takut terhadap kami. Tapi rasa takutnya terhadap kami sama seperti rasa takut terhadap laba-laba. Kami tidak siap untuk itu. Tak pernah terlintas di benak kami untuk bertanya bagaimana perasaan kami jika dianggap seperti itu, menjadi laba-laba.
Saat kami menyeberangi pelataran dan tiba di lapangan rumput, kami sudah menjadi kelompok yang sangat berbeda dari yang menunggu dengan penuh semangat Madame keluar dari mobilnya. Hannah kelihatan hampir menangis. Bahkan Ruth juga tampak sangat terguncang. Lalu salah satu dari kami"kupikir itu Laura"berkata,
"Kalau dia tidak suka pada kita, mengapa dia menginginkan karya kita" Mengapa dia tidak menjauhi saja kita" Siapa yang memintanya datang kemari sebetulnya?"
Tak ada yang menjawab, dan kami meneruskan langkah ke paviliun, tanpa mengatakan apa-apa lagi tentang apa yang baru saja terjadi.
Sekarang ketika mengingatnya kembali, bisa kulihat pada usia itulah kami mengetahui beberapa hal tentang diri kami sendiri" tentang siapa kami, bagaimana kami berbeda dari para guardian, dari orang-orang di luar"tapi belum memahami apa artinya semua itu. Aku yakin semasa kanak-kanakmu, kau juga mempunyai pengalaman seperti yang kami alami hari itu; serupa meskipun bukan mengenai detailnya, melainkan pada hakikatnya, pada perasaannya. Karena sebenarnya tak penting seberapa baik para guardian mempersiapkanmu: semua ceramah, video, diskusi, peringatan, tak satu pun dari semua itu benar-benar bisa menyadarkan kami. Tidak ketika kau berusia delapan tahun, dan kau berada bersama-sama di tempat seperti Hailsham; bila kau mempunyai guardian seperti kami; jika para tukang kebun dan pengantar barang berkelakar dan tertawa bersamamu dan memanggilmu "Sayang".
Bagaimanapun juga, sebagian dari itu pasti meresap entah di mana. Harus meresap, karena ketika suatu momen semacam itu tiba, sebagian dirimu sudah menunggu. Mungkin sejak kau berusia lima atau enam sudah ada bisikan di bagian belakang benakmu, berkata, "Suatu hari, mungkin tak lama lagi, kau akan tahu bagaimana rasanya." Maka kau menunggu, meskipun kau tak tahu persis, menunggu momen ketika kau menyadari dirimu berbeda dengan mereka; bahwa ada orang-orang di luar sana, seperti Madame, yang tidak membencimu atau ingin mence-deraimu, tapi toh bergidik saat memikirkanmu"tentang bagaimana kau diwujudkan di dunia ini dan mengapa"dan ngeri membayangkan tanganmu menyentuh mereka. Kali pertama kau melihat dirimu seperti itu melalui mata orang lain, adalah momen mengerikan. Seperti berjalan melewati cermin yang sudah setiap hari kaulewati, dan mendadak cermin itu menunjukkan sesuatu yang lain kepadamu, sesuatu yang meresahkan dan aneh.
BAB 4 AKHIR tahun ini aku bukan perawat lagi, dan meskipun aku mendapat banyak manfaat darinya, terpaksa kuakui aku menyambut gembira kesempatan untuk berisbrahat" untuk berhenti dan mengingat-ingat. Aku yakin sebagian karena itu"yaitu bersiap menghadapi masa-masa santai"yang membuatku terdorong untuk menata semua kenangan lama ini. Yang sebenarnya kuinginkan, kurasa, adalah untuk meluruskan semua yang terjadi antara aku, Tommy, dan Ruth setelah kami dewasa dan meninggalkan Hailsham. Tapi kini aku menyadari bahwa banyak yang terjadi kemudian, bersumber dari masa-masa kami di Hailsham, dan itulah sebabnya aku ingin mengamati kenangan masa awal ini dengan lebih cermat. Misalnya rasa ingin tahu tentang Madame. Di satu sisi itu hanyalah petualangan kami sebagai kanak-kanak. Tapi di sisi lain, seperti yang akan kaulihat, itu adalah awal proses yang terus bertumbuh selama bertahun-tahun hingga menguasai seluruh hidup kami.
Sesudah hari itu, diskusi mengenai Madame, meski tidak tabu, jadi sangat jarang. Dan ini segera menyebar ke hampir seluruh siswa angkatan kami. Menurutku, kami masih tetap penasaran tentang dia, tapi kami merasa jika kami mendesak lebih jauh"tentang apa yang dilakukannya dengan karya kami, apakah benar ada galeri"akan membawa kami masuk ke wilayah yang belum siap kami hadapi.
Namun topik Galeri sesekali masih muncul, sehingga ketika beberapa tahun kemudian Tommy bercerita di dekat kolam tentang pembicaraannya yang aneh dengan Miss Lucy, aku merasa ada yang menggelitik ingatanku. Baru setelahnya, ketika aku meninggalkan Tommy duduk di batu dan bergegas ke lapangan untuk mengejar teman-temanku, ingatan itu kembali kepadaku.
Sesuatu yang pernah dikatakan Miss Lucy di tengah pelajaran. Aku ingat karena waktu itu aku heran, dan juga karena itu jarang terjadi, yaitu saat Galeri disebut dengan blakblakan di depan seorang guardian.
Kami sedang asyik membahas apa yang kemudian kami sebut "kontroversi kupon". Tommy dan aku membahas kontroversi kupon beberapa tahun yang lalu, dan awalnya kami tidak bisa sepakat tentang kapan terjadinya. Kataku kami berumur sepuluh saat itu; menurut Tommy jauh sesudah itu, tapi akhirnya ia sepakat denganku. Aku cukup yakin diriku benar: kami di Junior 4"beberapa waktu sesudah insiden dengan Madame, tapi masih tiga tahun sebelum pembicaraan kami di dekat kolam.
Kontroversi kupon menurutku adalah bagian dari sikap kami yang semakin serakah sementara kami bertambah besar. Bertahun-tahun"sepertinya aku sudah mengatakannya"kami menganggap jika karya kami terpilih masuk ke ruang biliar, meski tidak diambil Madame, merupakan kemenangan besar. Tapi saat berusia sepuluh, kami semakin tidak yakin tentang hal itu. Exchange dengan sistem kupon sebagai mata uang, memberi kami pandangan tajam untuk menentukan harga karya yang kami hasilkan. Pikiran kami dipenuhi oleh T-shirt, mendekorasi ruang di sekitar tempat tidur kami, memberi meja kami sentuhan pribadi. Dan tentu saja, ada "koleksi" kami yang perlu dipikirkan.
Aku tidak tahu apakah kau memiliki "koleksi" di tempat asalmu. Kalau kau bertemu mantan siswa Hailsham, kau selalu akan menemukan cepat atau lambat mereka akan bernostalgia tentang koleksi mereka. Pada saat itu tentu saja kami menganggap itu memang sudah seharusnya. Masing-masing memiliki peti kayu dengan namamu di atasnya, berisi barang-barang milikmu yang kauperoleh dari Sale atau Exchange. Aku ingat satu-dua siswa yang tidak begitu memedulikan koleksi mereka, tapi kebanyakan dari kami memeliharanya dengan cermat, mengeluarkan barang-barang untuk dipajang, dan menyimpan yang lain dengan hati-hati.
Masalahnya, ketika kami berusia sepuluh, anggapan bahwa merupakan kehormatan besar jika karya kami diambil, tak sejalan dengan perasaan bahwa kami kehilangan barang-barang kami yang paling laku dipasarkan. Semua ini mencapai puncaknya dalam kontroversi kupon.
Awalnya beberapa siswa, kebanyakan laki-laki, menggerutu kami seharusnya mendapat kupon sebagai kompensasi bila Madame mengambil sesuatu. Banyak siswa menyetujui hal ini, tapi yang lain marah atas gagasan ini. Selama beberapa waktu perdebatan berlangsung di antara kami, lalu suatu hari Roy J." yang satu angkatan di atas kami, dan yang karya-karyanya banyak diambil Madame"memutuskan untuk menghadap Miss Emily tentang hal itu.
Miss Emily, kepala guardian kami, lebih tua daripada para guardian lainnya. Ia tidak begitu tinggi, tapi sesuatu dalam sikapnya, selalu berdiri tegak dengan dagu terangkat, membuatmu berpikir ia jangkung. Rambutnya yang keperakan diikat, tapi beberapa helai selalu lepas dan berkibar di sekitar kepalanya. Kalau aku pasti jengkel, tapi Miss Emily tak pernah menghiraukannya, seakan-akan itu sama sekali tidak penting. Di sore hari ia kelihatan sangat berantakan, dengan beberapa helai rambut lepas di mana-mana, yang tidak mau disingkirkannya dari wajahnya saat ia berbicara denganmu dengan suaranya yang tenang dan tegas. Kami semua takut padanya dan tidak memperlakukannya seperti cara kami memperlakukan guardian yang lain. Tapi kami menganggapnya adil dan menghormati kepu-tusan-keputusannya; dan bahkan ketika masih di tingkat Junior, sepertinya kami mengakui bahwa kehadirannya, meskipun menakutkan, membuat kami merasa aman di Hailsham.
Butuh nyali untuk menemuinya tanpa dipanggil; untuk menemuinya dengan jenis tuntutan seperti yang diajukan Roy, rasanya sama dengan bunuh diri. Tapi Roy tidak dimarahi seperti yang kami semua perkirakan, dan pada hari-hari berikutnya, ada laporan-laporan bahwa para guardian membahas"bahkan memperdebatkan"masalah kupon. Akhirnya, diumumkan bahwa kami akan mendapat kupon, tapi tidak banyak karena dengan terpilihnya karya kami oleh Madame, sudah merupakan "kehormatan yang sangat istimewa". Keputusan ini tidak diterima dengan baik oleh kedua belah pihak, dan perdebatan masih terus berlangsung.
Hal inilah yang melatari Polly T. mengajukan pertanyaannya kepada Miss Lucy pagi itu. Kami sedang di perpustakaan, duduk mengelilingi meja ek besar. Aku ingat ada batang kayu dibakar di perapian, dan kami sedang membacakan naskah drama. Lalu sebuah dialog dalam drama itu membuat Laura melontarkan kelakar tentang masalah kupon, dan kami tertawa, termasuk Miss Lucy. Lalu Miss Lucy mengatakan karena toh semua orang di Hailsham sibuk membicarakannya, sebaiknya kami lupakan saja membaca naskah drama itu dan menghabiskan sisa jam pelajaran dengan berdiskusi mengenai kupon. Dan ketika itulah Polly bertanya, sekonyong-konyong, "Miss, mengapa sebenarnya Madame mengambil karya-karya kami?"
Kami terdiam. Miss Lucy jarang sekali marah, tapi jika ia marah, kau pasti tahu, dan sejenak kami menyangka Polly bakal disemprot. Tapi kemudian kami melihat Miss Lucy tidak marah, hanya merenung. Aku ingat merasa marah sekali kepada Polly karena dengan bodohnya melanggar aturan tak tertulis itu, tapi sekaligus sangat ingin mengetahui jawaban yang akan diberikan Miss Lucy. Dan jelas aku bukan satu-satunya yang merasa begini: hampir semua melemparkan pandangan marah ke arah Polly, sebelum menoleh dengan penuh semangat kepada Miss Lucy"sikap yang sebenarnya, kupikir, tidak adil terhadap Polly yang malang. Sesudah waktu yang terasa lama sekali, Miss Lucy berkata,
"Yang bisa kukatakan hari ini hanya bahwa itu demi tujuan yang baik. Tujuan yang sangat penting. Kalau aku mencoba menjelaskannya kepada kalian sekarang, kukira kalian tidak akan mengerti. Suatu hari, kuharap, itu akan dijelaskan kepada kalian."
Kami tidak mendesaknya. Suasana di sekitar meja berubah, dipenuhi rasa malu mendalam, dan meskipun masih penasaran, kami ingin pembicaraan itu beralih dari wilayah berbahaya ini. Saat berikutnya, kami semua merasa lega waktu berdebat lagi" mungkin agak dibuat-buat"tentang kupon. Tapi kata-kata Miss Lucy membuatku bertanya-tanya dan selama beberapa hari berikutnya aku memikirkannya. Itulah sebabnya siang itu di dekat kolam, ketika Tommy menceritakan pembicaraannya dengan Miss Lucy, tentang bagaimana ia bilang bahwa kami "tidak cukup diajari" tentang beberapa hal, ingatan tentang saat itu di perpustakaan"bersama satu atau dua episode kecil semacam itu"mulai menggelitik pikiranku.
SELAGI membahas soal kupon, aku ingin mengatakan sedikit tentang Sale, yang sudah beberapa kali kusebut. Sale penting bagi kami karena begitulah cara kami memperoleh barang-barang dari luar. Polo shirt Tommy, misalnya, berasal dari Sale. Dari sanalah kami mendapatkan pakaian kami, mainan kami, benda-benda khusus yang bukan dibuat siswa lain.
Sekali sebulan van putih besar menyusuri jalan panjang itu dan kau bisa merasakan gairah bergetar di seluruh rumah dan sekitarnya. Saat van memasuki pelataran sudah ada segerombolan menunggu"terutama para Junior, karena saat kau sudah lewat dua belas atau tiga belas, tak pantas lagi untuk terang-terangan memperlihatkan gairahmu. Tapi sebenarnya kami semua sangat bergairah.
Kalau diingat-ingat lagi, lucu rasanya kami begitu bersemangat, karena biasanya Sale merupakan kekecewaan besar. Biasanya tak ada yang istimewa dan kami membelanjakan kupon kami hanya untuk memperbarui barang yang sudah usang atau rusak dengan barang yang kurang-lebih sama. Tapi yang penting adalah, kupikir, kami semua pernah menemukan sesuatu di Sale, sesuatu yang jadi istimewa: jaket, jam tangan, gunting prakarya yang tidak pernah dipakai tapi disimpan dengan bangga di samping tempat tidur. Kami semua pernah menemukan sesuatu semacam itu, jadi sekeras apa pun kami berpura-pura tidak begitu, kami tak bisa mengenyahkan rasa penuh harap dan gairah.
Sebenarnya ada gunanya berada di dekat van ketika muatannya sedang dibongkar. Yang kaulakukan"kalau kau salah seorang Junior"adalah mengikuti kedua laki-laki berpakaian kerja yang mengangkut kotak-kotak kardus besar menuju dan dari gudang, lalu bertanya apa isinya. "Banyak sekali barang, Sayang," biasanya jawabannya. Lalu kalau kau terus bertanya, "Tapi banyak pilihannya?" mereka cepat atau lambat akan tersenyum dan berkata, "Oh, sepertinya begitu, Sayang. Pilihannya banyak," yang membuat anak-anak bersorak-sorai.
Kotak-kotak kardus itu sering terbuka bagian atasnya, sehingga kau bisa melihat sekilas berbagai barang, dan kadang-kadang, meskipun sebenarnya tidak boleh, para petugas membolehkanmu memindahkan beberapa barang agar bisa melihat lebih jelas. Itulah sebabnya, saat Sale berlangsung sekitar seminggu kemudian, berbagai desas-desus beredar, mungkin tentang setelan olahraga tertentu atau kaset, dan bila ada masalah, hampir selalu karena beberapa siswa menginginkan barang yang sama.
Sale sangat kontras dengan suasana Exchange yang sangat tenang. Sale diadakan di Ruang Makan, berlangsung sangat ramai dan penuh sesak. Bahkan saling mendorong dan berteriak merupakan bagian dari kegembiraan, dan kebanyakan berlangsung ceria. Kecuali, seperti sudah kukatakan, sesekali keadaan jadi kacau, siswa-siswa saling berebut dan tarik-menarik, kadang-kadang berkelahi. Maka para pengawas mengancam akan membubarkan acara itu, dan kami harus menghadapi omelan Miss Emily pada pertemuan esok paginya.
Setiap hari di Hailsham selalu dimulai dengan pertemuan, yang biasanya singkat"beberapa pengumuman, kadang-kadang sebuah sajak yang dibacakan siswa. Miss Emily jarang banyak bicara; ia hanya duduk sangat tegak di panggung, mengangguk mengiyakan apa pun yang sedang dikatakan, terkadang menatap marah orang-orang yang berbisik di tengah kerumunan. Tapi pada suatu pagi sesudah Sale yang gaduh, segalanya berbeda. Ia menyuruh kami duduk di lantai"biasanya kami berdiri saat pertemuan"dan tidak ada pengumuman maupun pertunjukan, hanya Miss Emily berbicara kepada kami selama dua puluh, tiga puluh menit, kadang-kadang bahkan lebih lama lagi. Ia jarang mengeraskan suara, tapi ada sesuatu yang keras pada dirinya pada kesempatan-kesempatan semacam itu dan tak satu pun dari kami, bahkan juga tidak para Senior 5, berani bersuara.
Kami benar-benar merasa bersalah telah mengecewakan Miss Emily, tapi meski berusaha keras, kami tidak dapat memahami ceramah-ceramahnya. Sebagian karena bahasanya. "Tidak layak mendapat hak istimewa" dan "penyalahgunaan kesempatan": inilah dua ungkapan yang berhasil diingat kembali oleh Ruth dan aku ketika kami mengenang masa itu di kamarnya di Dover. Maksudnya secara umum cukup jelas: kami semua sangat istimewa, sebagai siswa Hailsham, sehingga semakin mengecewakan jika kami bertingkah buruk. Namun selebihnya, semua kabur. Kadang-kadang ia berbicara begitu bersemangat lalu tiba-tiba berhenti dengan sesuatu seperti: "Apa itu" Apa itu" Apa yang menghambat kita?" Lalu ia berdiri di sana, mata terpejam dan dahi berkerut seakan-akan mencoba mencari jawaban. Dan meskipun merasa bingung dan canggung, kami duduk sambil berharap ia menemukan apa pun yang dibutuhkannya dalam benaknya. Kadang-kadang ia melanjutkan sambil menghela napas pelan"pertanda kami akan dimaafkan"atau bisa saja meledak dari sikap diamnya dengan, "Tapi aku tidak mau dipaksa! Tidak! Hailsham juga tidak!"
Ketika kami mengingat-ingat kembali ceramah-ceramah panjang ini, Ruth berkomentar sebenarnya aneh ceramah-ceramah itu tak dapat dipahami, mengingat Miss Emily, di ruang kelas, bisa berbicara sangat jelas. Ketika aku menyebut kadang-kadang aku melihat ketua guardian itu berkeliaran di Hailsham seperti sedang bermimpi, sambil bicara kepada dirinya sendiri, Ruth tersinggung dan berkata,
"Dia tidak pernah seperti itu! Bagaimana mungkin Hailsham jadi seperti itu kalau orang yang memimpinnya bodoh" Miss Emily punya kecerdasan begitu tajam sampai-sampai bisa digunakan memotong kayu."
Aku tidak mendebatnya. Memang, Miss Emily bisa luar biasa cerdik. Misalnya, kau berada di suatu tempat yang tidak seharusnya, di rumah utama atau halaman, dan kau mendengar seorang guardian datang, kau sering bisa bersembunyi di suatu tempat. Hailsham penuh tempat bersembunyi, baik di dalam maupun di luar gedung: lemari, sudut, semak, dan pagar. Tapi kalau kau melihat Miss Emily yang datang, hatimu langsung ciut karena ia selalu tahu di mana kau bersembunyi. Seakan-akan ia punya indra tambahan. Kau bisa masuk ke dalam lemari, menutup rapat pintunya, dan sama sekali tidak bergerak, dan kau tahu langkah Miss Emily akan berhenti di luarnya, dan suaranya akan berkata, "Baiklah. Keluarlah."
Itu yang terjadi pada Sylvie C. suatu kali di puncak tangga lantai dua, dan saat itu Miss Emily marah besar. Ia tidak pernah berteriak seperti, misalnya yang dilakukan Miss Lucy kalau ia marah padamu, tapi justru bila Miss Emily marah, itu lebih menakutkan. Matanya menyipit dan ia berbisik marah kepada dirinya sendiri, seolah-olah ia membahas dirimu dengan rekan tak kasatmata mengenai hukuman yang cukup buruk bagimu. Caranya melakukannya membuat sebagian dirimu ingin mendengar dan sebagian lagi sama sekali tidak ingin. Tapi biasanya dengan Miss Emily takkan terjadi sesuatu yang mengerikan. Ia nyaris tak pernah memberi detensi, menyuruhmu melakukan tugas, atau membatalkan hak istimewa. Meski begitu kau merasa sangat ngeri, hanya karena tahu kau sudah jatuh dalam penilaiannya, dan kau ingin segera melakukan sesuatu untuk menebusnya.
Tapi masalahnya kau tidak bisa meramalkan reaksi Miss Emily. Sylvie mungkin menerima porsi penuh waktu itu, tapi saat Laura tertangkap basah berlari melewati kebun kelembak, Miss Emily hanya membentak, "Tidak boleh ada di sini, Nak. Pergi sana," dan melenggang pergi.
Lalu ada saat aku mengira ia benar-benar marah padaku. Jalan setapak kecil yang mengelilingi seluruh bagian belakang rumah utama merupakan favoritku. Jalan itu menyusuri semua sudut, semua bangunan tambahan; kau harus menyusup lewat semak-semak, kau masuk ke bawah lengkungan penuh tanaman ivy, dan melewati gerbang yang sudah karatan. Dan sepanjang waktu kau bisa memandang lewat jendela-jendela, satu demi satu. Kupikir aku menyukai jalan itu karena aku tak pernah tahu apakah sebenarnya ada larangan untuk lewat di situ. Yang pasti, bila sedang ada pelajaran, kau tidak dibenarkan lewat di situ. Tapi pada akhir pekan atau sore hari"hal itu tak pernah jelas. Kebanyakan siswa menghindarinya, dan mungkin perasaan bisa menjauh dari semua orang lain menjadi bagian dari pesona jalan itu bagiku.
Pokoknya aku sedang berjalan-jalan pada suatu sore yang cerah. Seingatku saat itu aku di tingkat Senior 3. Seperti biasa aku memandang ke ruang-ruang kelas yang kosong sambil berjalan lewat, dan tiba-tiba aku memandang ruang kelas berisi Miss Emily. Ia sendirian, mondar-mandir, bicara pelan sambil menunjuk dan mengucapkan kata-kata kepada hadirin tak kasatmata di ruangan itu. Kuduga ia sedang melatih pelajaran atau mungkin salah satu ceramahnya untuk pertemuan, dan aku sudah akan bergegas lewat sebelum ia melihatku, tapi tepat saat itu ia berbalik dan langsung menatapku. Aku membeku, berpikir habislah aku, tapi kemudian kulihat ia melanjutkan kesibukannya, hanya saja sekarang ia menujukan omongannya kepadaku. Lalu dengan wajar ia menoleh untuk memandang siswa imajiner di bagian lain ruangan itu. Aku menyelinap pergi melalui jalan kecil itu, dan sepanjang hari berikutnya ngeri membayangkan apa yang bakal dikatakan Miss Emily kalau ia melihatku. Tapi ia sama sekali tidak menyinggungnya.
SEBENARNYA bukan itu yang ingin kubicarakan sekarang ini. Yang kuinginkan adalah membicarakan beberapa hal tentang Ruth, tentang bagaimana kami bertemu dan menjadi teman, tentang masa awal kami bersama-sama. Karena akhir-akhir ini semakin sering aku meluncur melewati padang di sore yang panjang, atau mungkin minum kopi di depan jendela besar di sebuah pompa bensin, dan aku mendapati diriku memikirkannya lagi.
Ia bukan seseorang yang langsung menjadi temanku. Aku ingat, pada usia lima atau enam, bermain bersama Hannah dan Laura, tapi tidak dengan Ruth. Aku hanya punya satu ingatan samar tentang Ruth dari masa awal kehidupan kami.
Aku sedang bermain di bak pasir. Ada beberapa anak lain di sana bersamaku, tempatnya terlalu sesak dan kami mulai kesal terhadap satu sama lain. Kami berada di luar, di bawah cahaya matahari yang hangat, maka mungkin itu bak pasir di area bermain Infant, mungkin juga pasir di ujung tebing panjang di Lapangan Bermain Utara. Pokoknya cuaca panas dan aku haus serta tidak senang karena ada banyak anak di dalam bak pasir. Lalu Ruth berdiri di sana, bukan di pasir bersama kami, tapi beberapa meter dari kami. Ia sangat marah pada dua gadis di belakangku, tentang sesuatu yang terjadi sebelumnya, dan ia berdiri di sana sambil memandang marah ke arah mereka. Kuduga saat itu aku hanya mengenal Ruth sambil lalu. Tapi ia pasti sudah meninggalkan kesan mendalam padaku, karena aku ingat bagaimana aku sengaja menyibukkan diri melanjutkan apa pun yang sedang kulakukan di pasir, karena sangat takut ia akan mengalihkan tatapan marahnya kepadaku. Aku tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi sangat berharap ia tahu aku tidak berteman dengan gadis-gadis di belakangku, dan tidak ambil bagian dalam apa pun yang membuatnya kesal.
Dan itulah yang kuingat tentang Ruth di masa awal. Kami satu angkatan, jadi kami pasti cukup sering bertemu, tapi selain insiden di bak pasir, aku tidak ingat berhubungan dengannya hingga tingkat Junior beberapa tahun kemudian, ketika kami berusia tujuh, hampir delapan.
Lapangan Bermain Selatan adalah yang paling sering digunakan para Junior, dan di sanalah, di sudut dekat pohon poplar, Ruth menghampiriku pada waktu jam makan siang, memandangku dari atas ke bawah, lalu bertanya,
"Kau mau naik kudaku?"
Aku tengah bermain dengan dua atau tiga teman, tapi jelas Ruth hanya berbicara khusus kepadaku. Ini membuatku senang, tapi aku sengaja seolah mempertimbangkannya dulu sebelum menjawab.
"Well, apa nama kudamu?"
Ruth maju selangkah. "Kuda terbaikku," katanya, "adalah Thunder. Aku tak bisa mengizinkanmu menungganginya. Dia terlalu berbahaya. Tapi kau boleh naik Bramble, selama kau tidak menggunakan cemetimu. Atau kalau mau, kau boleh naik yang mana saja selain Thunder." Ia menyebut sederet nama yang sekarang tak kuingat lagi. Lalu ia bertanya, "Kau sendiri punya kuda?"
Aku memandangnya dan berpikir sebelum menjawab, "Tidak. Aku tidak punya kuda."
"Sama sekali?" "Sama sekali." "Baiklah. Kau boleh naik Bramble, dan kalau kau menyukainya, kau boleh memilikinya. Tapi jangan gunakan cemetimu padanya. Dan kau harus ikut sekarang juga."
Teman-temanku sudah berpaling dan melanjutkan apa yang tengah mereka lakukan. Jadi aku mengangkat bahu dan pergi dengan Ruth.
Lapangan penuh anak-anak yang bermain, beberapa jauh lebih besar daripada kami, tapi Ruth melewati mereka dengan penuh tekad, selalu satu-dua langkah di depanku. Ketika kami hampir sampai di pagar kawat yang berbatasan dengan kebun, ia berbalik dan berkata,
"Oke, kita naik kuda di sini. Kau menunggang Bramble."
Aku menerima tali kekang tak kasatmata yang diulurkannya, lalu kami melaju, melonjak-lonjak di pagar, kadang-kadang pelan, kadang-kadang berderap cepat. Keputusanku memberitahu Ruth bahwa aku tidak punya kuda sudah tepat, karena setelah beberapa saat aku menunggang Bramble, ia membolehkanku mencoba beberapa kudanya yang lain, meneriakkan segala macam perintah tentang bagaimana harus menangani kelemahan masing-masing kuda.
"Sudah kubilang! Kau harus bersandar ke belakang kalau menunggang Daffodil! Kurang! Dia tidak suka kalau kau tidak benar-benar condong ke belakangV'
Rupanya aku melakukannya cukup baik, karena akhirnya ia mengizinkanku mencoba menunggang Thunder, kuda favoritnya. Aku tidak ingat berapa lama waktu yang kami habiskan dengan kuda-kudanya hari itu: rasanya cukup lama, dan kupikir kami bermain dengan asyik sekali. Tapi mendadak, tanpa alasan yang bisa kumengerti, Ruth menghentikan semuanya, berkeras aku sengaja membuat kuda-kudanya kelelahan, dan bahwa aku harus memasukkan masing-masing kuda kembali ke istalnya. Ia menunjuk ke suatu bagian pagar, dan aku mulai menuntun kuda-kuda ke sana, sementara Ruth semakin kesal kepadaku, mengatakan aku melakukan semuanya salah. Lalu ia bertanya,
"Kau suka Miss Geraldine?"
Mungkin itu pertama kalinya aku benar-benar memikirkan apakah aku menyukai seorang guardian. Akhirnya aku berkata, "Tentu aku suka dia."
"Tapi apakah kau benar-benar menyukainya" Menganggapnya istimewa" Menganggapnya favoritmu?"
"Ya. Dia favoritku."
Ruth menatapku lama sekali. Akhirnya ia berkata, "Baiklah. Kalau begitu, kau boleh menjadi salah satu pengawal rahasia."
Kami mulai berjalan kembali ke rumah utama dan aku menunggunya menjelaskan maksudnya, tapi ia tidak melakukannya. Namun beberapa hari kemudian aku pun tahu.
BAB 5 AKU tidak tahu pasti berapa lama kegiatan "pengawal rahasia" berlangsung. Ketika Ruth dan aku membahasnya selagi aku merawatnya di Dover, ia mengatakan hanya dua atau tiga minggu"tapi aku yakin itu pasti salah. Mungkin ia malu mengenainya, sehingga semua itu menyusut dalam ingatannya. Menurutku hal tersebut berjalan sekitar sembilan bulan, bahkan satu tahun, waktu kami berusia sekitar tujuh, hampir delapan.
Aku tak pernah tahu pasti apakah Ruth sendiri yang men-ciptakan pengawal rahasia, tapi tak diragukan dialah pemimpinnya. Kami sekitar berenam sampai sepuluh, jumlahnya berubah setiap kali Ruth mengizinkan seorang anggota baru masuk atau mengeluarkan seseorang. Kami yakin Miss Geraldine guardian terbaik di Hailsham, dan kami membuat sesuatu untuk diberikan kepadanya"teringat olehku kertas besar dengan tempelan bunga-bunga kering. Tapi alasan utama keberadaan kami tentu saja untuk melindunginya.
Ketika aku bergabung dengan para pengawal, Ruth dan yang lain sudah lama sekali mengetahui rencana penculikan Miss Geraldine. Kami tak pernah benar-benar mengetahui siapa otak di baliknya. Kadang-kadang kami mencurigai beberapa anak laki-laki tingkat Senior tertentu, kadang-kadang anak-anak laki-laki di angkatan kami sendiri. Ada seorang guardian yang tidak begitu kami sukai"Miss Eileen"yang selama beberapa waktu kami duga merupakan otak di balik rencana penculikan itu. Kami tidak tahu kapan penculikan akan dilakukan, tapi satu hal yang kami yakini adalah, itu melibatkan hutan.
Hutan berada di puncak bukit yang menjulang di belakang Hailsham House. Kami hanya bisa melihat pinggiran gelap pepohonan, tapi aku bukan satu-satunya dari anak-anak sebayaku yang merasakan keberadaan hutan itu siang dan malam. Bila situasinya buruk, rasanya seolah-olah hutan merentangkan kegelapan ke atas seluruh Hailsham; kau hanya perlu menoleh atau menghampiri jendela dan di sanalah dia, menjulang di kejauhan. Yang paling aman adalah bagian depan rumah utama, karena kau tak dapat melihat hutan dari jendela mana pun di situ. Meski begitu, kau tak pernah benar-benar bisa melepaskan diri darinya.
Ada banyak kisah mengerikan tentang hutan. Suatu kali, tak lama sebelum kami di Hailsham, seorang anak laki-laki bertengkar dengan teman-temannya dan lari hingga melewati perbatasan Hailsham. Tubuhnya ditemukan dua hari kemudian, di hutan, terikat ke pohon dengan kaki dan tangan terpotong. Ada lagi desas-desus tentang hantu seorang gadis yang berkeliaran di antara pepohonan. Tadinya ia siswa Hailsham, sampai suatu hari ia memanjat pagar hanya untuk melihat seperti apa dunia di
luar sana. Itu terjadi jauh sebelum masa kami, ketika para guardian jauh lebih tegas, bahkan kejam, dan sewaktu gadis itu mencoba masuk kembali, ia tidak diizinkan. Ia terus berkeliaran di sekitar pagar, memohon-mohon agar diperbolehkan masuk, tapi tak ada yang membolehkan. Akhirnya ia pergi ke suatu tempat di luar sana, lalu sesuatu terjadi dan ia tewas. Tapi hantunya selalu gentayangan di sekitar hutan, menatap Hailsham, mendambakan diperbolehkan masuk.
Pembunuh Di Balik Kabut 1 Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead Berburu Monster 1
^