Berburu Monster 1
Goosebumps - Berburu Monster Bagian 1
Chapter 1 "KENAPA sih kita harus ke sana?" aku meratap di bangku
belakang mobil. "Kenapa?"
"Gretchen, Dad sudah berulang kali menjelaskan kenapa," ujar Dad sambil menghela
napas. "Mom dan Dad harus ke Atlanta. Ada
urusan dinas!" "Kalau itu sih aku sudah tahu," aku menyahut sambil
mencondongkan badan melewati sandaran bangku depan. "Tapi
kenapa kami tidak boleh ikut" Kenapa kami harus tinggal dengan
Kakek dan Nenek?" "Karena kami bilang begitu," Mom dan Dad menjawab
bersamaan. Karena kami bilang begitu. Begitu kata-kata keramat itu sudah
keluar, tak ada gunanya berdebat. Aku merosot di bangku belakang.
Mom dan Dad mendadak harus berangkat ke Atlanta. Kabarnya
ada urusan kantor yang sangat mendesak. Baru tadi pagi mereka
ditelepon. Ini tidak adil, pikirku. Mereka bisa berkunjung ke kota besar
yang ramai seperti Atlanta. Sedangkan Clark - saudara tiriku - dan
aku terpaksa meringkuk di Mud Town.
Mud Town, alias Kota Lumpur.
Ehm, nama sebenarnya sih bukan Mud Town. Tapi seharusnya
begitu. Tempat itu tak ada bedanya dengan rawa-rawa. Nenek Rose
dan Kakek Eddie tinggal di Georgia bagian selatan - di tengah rawa.
Percaya tidak" Di tengah rawa. Aku memandang ke luar. Sepanjang hari kami meluncur di
jalan bebas hambatan. Dan sekarang kami menyusuri jalan sempit
yang membelah rawa. Hari sudah sore. Pohon-pohon cypress menimbulkan bayangan-
bayangan panjang di alang-alang.
Aku menyembulkan kepala lewat jendela yang terbuka.
Seketika wajahku diterpa angin panas dan lembap. Cepat-cepat aku
duduk lagi dan berpaling ke Clark. Ia sedang asyik membaca komik.
Umur Clark dua belas talum sama seperti aku. Tapi dia lebih
pendek. Jauh lebih pendek. Rambutnya cokelat berombak. Matanya
juga cokelat, dan wajahnya penuh bintik. Tampangnya persis seperti
Mom. Aku termasuk tinggi untuk umurku. Rambutku panjang, lurus,
dan pirang; mataku hijau. Aku mirip Dad.
Orangtuaku bercerai Ketika aku baru berumur dua tahun. Hal
yang sama juga terjadi pada Clark. Ayahku dan ibu Clark menikah
tepat setelah kami berulang tahun ketiga, dan kami bersama-sama
pindah ke rumah baru. Aku suka ibu tiriku. Clark dan aku lumayan akur. Kadang-
kadang sih tingkahnya cukup menyebalkan. Teman-temanku juga
bilang begitu. Tapi kurasa saudara-saudara mereka juga sering
brengsek. Aku menatap Clark. Memperhatikannya membaca.
Kacamatanya merosot di hidungnya.
Ia segera mendorongnya ke atas lagi.
"Clark...," ujarku.
"Ssst!" Ia mengangkat sebelah tangan supaya aku diam. "Lagi seru nih."
Clark penggemar komik. Terutama komik horor. Tapi jangan
disangka ia pemberani - ia selalu ngeri sendiri sesudah selesai
membacanya. Aku kembali memandang ke luar jendela.
Aku menatap pohon-pohon. Memperhatikan dahan-dahan yang
terselubung semacam jaring-jaring kelabu. Ke mana pun aku
memandang, aku melihat jaring-jaring kelabu bergelantungan
bagaikan tirai. Suasana rawa jadi semakin suram.
Mom sempat bercerita soal jaring-jaring itu waktu kami
berkemas tadi pagi. Ia tahu banyak soal rawa. Mom bilang daerah
rawa adalah tempat yang menyeramkan tapi sekaligus indah.
Katanya jaring-jaring itu sebenarnya sejenis tumbuhan yang
hidup di pohon-pohon. Tumbuhan yang hidup di tumbuhan lain. Ajaib, kataku dalam
hati. Benar-benar ajaib. Hampir seajaib Kakek dan Nenek.
"Dad, kenapa Kakek dan Nenek tidak pernah berkunjung ke
rumah kita?" tanyaku. "Clark dan aku tidak pernah ketemu mereka sejak kami masih
empat tahun." "Hmm, mereka memang agak aneh." Dad menatapku lewat
kaca spion. "Mereka tidak suka bepergian. Mereka hampir tidak
pernah keluar rumah. Dan rumah mereka begitu terpencil di tengah
rawa, sehingga orang lain juga sulit mengunjungi mereka."
"Oh, wow!" ujarku. "Kita bakal menginap di rumah sepasang pertapa ajaib."
"Pertapa ajaib yang bau," gumam Clark sambil berpaling dari komiknya.
"Clark! Gretchen!" Mom menegur kami. "Jangan bicara begitu tentang kakek dan
nenek kalian." "Mereka bukan kakek dan nenekku. Mereka kakek dan nenek
dia," Clark membalas sambil menggerakkan dagu ke arahku. "Dan mereka memang bau.
Aku masih ingat kok."
Aku menonjok lengan saudara tiriku. Tapi ia benar. Kakek dan
Nenek memang bau. Bau apak bercampur bau kamper.
Aku kembali merosot di bangku belakang dan menguap lebar.
Rasanya kami sudah berminggu-minggu duduk di dalam mobil.
Dan bangku belakang terasa sempit karena ada aku, Clark dan Charley yang
berdesak-desakan. Charley anjing kami - seekor golden
retriever. Aku mendorong Charley ke samping dan meluruskan kaki.
"Hei, jangan dorong-dorong dia ke sini terus dong!" omel
Clark. Komiknya terjatuh ke lantai.
"Coba duduk tenang, Gretchen," gumam Mom. "Hmm,
seharusnya Charley kita masukkan ke tempat penitipan saja."
"Aku sudah berusaha mencari tempat untuknya," kata Dad.
"Tapi tak ada yang bisa melayani permintaan mendadak."
Clark menyingkirkan Charley dari pangkuannya, lalu meraih ke
bawah untuk memungut komiknya. Tapi aku lebih cepat.
"Ya ampun," gumamku ketika membaca judulnya. "Makhluk dari Lumpur" Mau-maunya
sih kau baca sampah seperti ini?"
"Ini bukan sampah," balas Clark. "Komik ini asyik sekali. Jauh lebih seru
daripada majalah-majalah konyol tentang alam yang selalu kaubaca."
"Ceritanya tentang apa sih?" tanyaku sambil membalik-balik halaman.
"Tentang monster-monster yang mengerikan. Setengah
manusia. Setengah binatang. Mereka memasang perangkap untuk
menjebak orang. Lalu mereka bersembunyi di genangan lumpur. Di
dekat permukaan," jelas Clark. Ia merebut komik yang masih
kupegang. "Lalu bagaimana?" tanyaku.
"Habis itu mereka menunggu. Menunggu dengan sabar -
sampai ada orang yang masuk ke jebakan mereka." Suara Clark mulai bergetar.
"Lalu korban itu mereka bawa ke rawa. Dan dijadikan
budak!" Clark bergidik. Ia memandang ke luar jendela. Menatap
pepohonan cypress yang menyeramkan dan seolah-olah berjanggut
panjang kelabu. Hari sudah mulai gelap. Bayangan pepohonan semakin panjang.
Clark merosot di bangku belakang. Daya khayalnya memang
luar biasa. Ia percaya segala sesuatu yang dibacanya. Dan setelah itu ia jadi
ketakutan sendiri - seperti sekarang.
"Apa lagi yang mereka lakukan?" tanyaku. Aku berusaha
memancing Clark untuk bercerita lebih banyak lagi. Biar ia semakin
ngeri. "Ehm, setelah gelap, monster-monster itu keluar dari lumpur,"
ia kembali angkat bicara. Duduknya semakin merosot. "Dan mereka menculik anak-
anak kecil dari tempat tidur masing-masing. Untuk
dibawa ke rawa. Lantas ditarik ke dalam lumpur. Anak-anak itu tidak pernah
kelihatan lagi." Sekarang Clark betul-betul ketakutan.
"Sebenarnya memang ada makhluk seperti itu yang hidup di
rawa. Aku belajar di sekolah," aku berbohong. "Monster-monster mengerikan.
Setengah buaya, setengah manusia. Berselubung lumpur.
Dengan sisik-sisik runcing yang tersembunyi di balik lumpur. Kalau
sampai kena, sisik-sisik itu bisa membuat dagingmu terlepas dari
tulang." "Gretchen, sudah," Mom memperingatkanku. Clark mendekap
Charley erat-erat. "Hei! Clark!" Aku menunjuk ke luar jendela. Di depan ada
jembatan tua yang sempit. Papan-papannya sudah melengkung semua.
Sepertinya jembatan itu sudah mau ambruk. "Pasti ada monster rawa yang menunggu
kita di bawah jembatan."
Clark mengamati jembatan itu. Charley dipeluknya lebih erat
lagi. Kami mulai melewati papan-papan kayu yang berderak-derak
ketika dilindas ban mobil.
Aku menahan napas. Jembatan ini pasti tidak kuat, kataku
dalam hati. Dad menjalankan mobil pelan-pelan. Pelan-pelan sekali.
Rasanya kami tidak maju-maju.
Clark masih berpegangan pada Charley. Ia terus menoleh ke
luar jendela. Pandangannya seolah-olah terpaku pada jembatan tua itu.
Aku menarik napas lega ketika kami akhirnya mendekati sisi
seberang. Dan kemudian aku memekik kaget - ketika ledakan dahsyat
mengguncangkan mobil kami.
"Aduuuh!" Clark dan aku menjerit waktu mobil kami mulai
oleng tak terkendali. Kami menabrak pinggir jembatan.
Menerobos pagar kayu yang sudah lapuk.
"K-kita bakal tercebur!" seru Dad.
Aku memejamkan mata ketika mobil kami mulai menukik ke
rawa. Chapter 2 MONCONG mobil kami membentur tanah.
Clark dan Charley terlempar kian kemari di bangku belakang.
Ketika mobil kami akhirnya berhenti meluncur, keduanya duduk
menindihku. "Kalian tidak apa-apa?" Mom bertanya dengan suara bergetar.
Ia menoleh ke belakang. "Ehm, kelihatannya sih begitu," sahutku.
Kami semua terdiam sejenak.
Charley memecahkan keheningan dengan perlahan.
"A-apa yang terjadi?" Clark tergagap-gagap.
"Ban kita pecah." Dad menghela napas. "Moga-moga ban serepnya tidak kempis juga.
Malam-malam tidak ada yang bisa
membantu kita di tengah rawa ini."
Aku menyembulkan kepala lewat jendela untuk memeriksa ban.
iernyata Dad benar. Bannya kempis sama sekali.
Wah, kita bcruntung sekali, pikirku. Kita beruntung karena
jembatannya rendah. Kalau tidak...
"Oke, semuanya turun," Mom membuyarkan lamunanku. "Biar Dad bisa ganti ban
serep." Sebelum membuka pintu, Clark memeriksa keadaan sekeliling
dulu lewat jendela. Aku tahu ia agak ngeri.
"Awas, Clark," kataku ketika ia hendak mengeluarkan kakinya yang pendek.
"Monster rawa selalu mengincar korban pendek."
"Lucu sekali, Gretchen. Lucu sekali. Kapan-kapan aku akan
ketawa." Dad menuju ke bagasi untuk mengambil dongkrak. Mom
mengikutinya. Clark dan aku berjalan ke rawa.
"Oh, aduh!" Sepatu basketku yang putih dan masih baru
terbenam dalam lumpur hitam.
Aku menghela napas. Kok ada sih orang yang betah tinggal di tengah rawa" aku
bertanya-tanya heran. Udara pengap sekali. Pengap dan panas. Aku sampai susah
bernapas. Aku mengucir rambutku dan memandang berkeliling.
Tapi tidak banyak yang bisa dilihat. Langit sudah gelap gulita.
Clark dan aku berjalan menjauhi mobil. "Ayo, kita periksa
tempat ini. Mumpung Dad lagi ganti ban," aku mengusulkan padanya.
"Kukira itu bukan ide baik," gumam Clark.
"Tenang saja," desakku. "Apa lagi yang bisa kita kerjakan di sini" Begitu kan
lebih baik daripada bengong."
"Ehm... benar juga sih," sahut Clark ragu-ragu. Kami maju beberapa langkah.
Wajahku mulai gatal. Nyamuk! Ratusan nyamuk. Kami membungkuk dan mengelak sambil menepis serangga-
serangga pengisap darah dari wajah dan lengan masing-masing.
"Aduh! Tempat ini benar-benar parah!" teriak Clark. "Aku tidak mau tinggal di
sini. Aku ikut ke Atlanta saja!"
"Di rumah Nenek keadaannya tidak separah di sini," seru Mom.
"Yeah, pasti," kata Clark seakan-akan tidak percaya. "Aku balik ke mobil saja."
"Ayo dong," aku berkeras. "Coba kita lihat apa yang ada di sebelah sana." Aku
menunjuk rumpun alang-alang yang tampak di
depan. Aku langsung mulai melintasi genangan lumpur. Sambil
berjalan aku menoleh ke belakang - untuk memastikan Clark
mengikutiku. Ternyata ia ikut.
Ketika kami sampai di rumpun alang-alang, kami mendengar
bunyi berdesir di tengah-tengahnya. Clark dan aku memicingkan mata
agar dapat melihat lebih jelas.
"Jangan terlalu jauh, ya," Dad mewanti-wanti. Ia dan Mom
sedang mengeluarkan barang-barang bawaan kami dari bagasi untuk
mencari senter. "Di tempat seperti ini masih banyak ular."
"Ular" Whoa!" Clark langsung melompat mundur. Kalang
kabut ia berbalik dan mulai berlari ke mobil.
"Dasar penakut!" seruku. "Katanya kau mau ikut periksa tempat ini!"
"Tidak jadi!" balasnya. "Dan jangan sebut aku penakut."
"Sori deh," aku minta maaf. "Ayo, kita jalan lagi. Ke pohon itu.
Yang paling tinggi tuh. Setelah itu kita langsung balik ke mobil," aku berjanji.
"Ayo dong!" Clark dan aku mulai berjalan ke pohon itu.
Kami berjalan pelan-pelan. Menembus kegelapan. Menerobos
hutan pohon-pohon cypress.
Tirai-tirai kelabu berayun-ayun dari dahan-dahan. Tirai-tirai itu
tumbuh begitu rapat, sehingga orang yang bersembunyi di baliknya
takkan kelihatan. Kami bisa tersesat di sini, aku menyadari. Tersesat selama-
lamanya Aku merinding ketika tirai-tirai kelabu itu mengenai kulitku.
Rasanya seperti sarang labah-labah. Sarang labah-labah raksasa yang lengket.
"Kita balik saja deh, Gretchen," Clark memohon. "Tempat ini terlalu mengerikan."
"Sedikit lagi," aku berkeras.
Dengan hati-hati kami menerobos di antara pepohonan. Pada
setiap langkah sepatu kami terbenam dalam genangan air lumpur yang
keruh.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangga-serangga kecil berdengung-dengung di telingaku.
Serangga-serangga yang lebih besar menggigit tengkukku. Aku sibuk
menepuk-nepuk. Aku melangkah maju - ke sebidang tanah kering yang
ditumbuhi rumput. "Hei!"
Bidang tanah yang kuinjak mulai bergerak. Mulai membelah air
yang hitam. Aku cepat-cepat melompat turun - dan tersandung akar pohon.
Bukan - bukan akar pohon. "Hei, Clark! Coba lihat ini!" Aku membungkuk agar dapat
melihat lebih jelas. "Apa itu?" Clark berlutut di sampingku dan menatap benda di hadapan kami.
"Ini cypress knee," jelasku. "Mom yang memberitahuku.
Tumbuhnya di dekat pohon cypress."
"Kenapa Mom tidak pernah menceritakan hal-hal seperti itu
padaku?" tanya Clark kesal.
"Mungkin dia kuatir kau bakal takut," sahutku.
"Huh, brengsek," gerutunya sambil membetulkan letak
kacamatanya. "Bagaimana" Kita balik sekarang?"
"Kita sudah hampir sampai. Lihat tuh!" kataku sambil
menunjuk pohon tertinggi. Pohon itu tumbuh di tengah lapangan di
hadapan kami. Clark mengikutiku ke situ.
Udara berbau kecut. Berbagai suara bergema dalam kegelapan. Kami mendengar
erangan-erangan tertahan. Teriakan-teriakan melengking. Suara
makhluk-makhluk rawa, aku menyadari. Makhluk-makhluk rawa yang
tersembunyi. Aku merinding. Tapi aku tetap maju ke pohon tertinggi.
Clark tersandung pohon tumbang. Ia terhuyung-huyung dan
nyaris jatuh ke genangan air lumpur.
"Cukup," gerutunya. "Aku mau balik ke mobil." Meskipun gelap, aku bisa melihat
romannya yang ketakutan. Rawa ini memang menakutkan. Tapi Clark kelihatan begitu
ngeri, sehingga aku mulai cekikikan. Tapi kemudian aku mendengar
langkah. Clark juga mendengarnya. Langkah berat dari tengah rawa yang hitam dan berkabut.
Bunyi itu semakin dekat. Tepat menuju ke arah kami.
"Ayo!" teriak Clark sambil menarik tanganku. "Kita harus pergi dari sini!"
Tapi aku tidak beranjak. Aku tidak bisa bergerak. Kini aku bisa
mendengar napas makhluk itu. Ia mendengus-dengus. Semakin dekat.
Semakin dekat. Makhluk itu muncul tiba-tiba. Dari balik tirai-tirai kelabu.
Aku melihat sosok hitam yang seperti terbang. Makhluk
penghuni rawa yang besar sekali. Ia menerjang ke arah kami.
Warnanya lebih gelap daripada lumpur rawa yang hitam - dan
matanya menyala-nyala. Chapter 3 "CHARLEY...! Kenapa kau ada di bawah sana?" seru Mom
sambil menghampiri kami. "Mom pikir kalian mengawasi dia."
Charley" Aku lupa sama sekali pada Charley.
Dialah monster rawa yang kulihat.
"Mom sudah mencari kalian ke mana-mana," kata Mom gusar.
"Bukankah Mom dan Dad sudah melarang kalian pergi jauh-jauh?"
"Sori, Mom," aku minta maaf. Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Charley
menubrukku hingga aku terjatuh - ke genangan lumpur.
"Awas, Charley! Awas!" teriakku. Tapi ia malah menaruh
kakinya yang besar di pundakku dan menjilat-jilat wajahku.
Aku bermandikan lumpur. Betul-betul bermandikan lumpur.
"Ayo, sini." Clark menarik pengikat leher Charley. "Kau ketakutan tadi,
Gretchen. Kaupikir Charley monster rawa." Clark tertawa. "Kau benar-benar
ketakutan." "Enak saja," balasku sengit. Aku berusaha membersihkan
lumpur yang menempel pada celana jeans-ku. "Aku cuma pura-pura, supaya kau
ngeri." "Kau benar-benar ketakutan tadi. Ayo, jangan bohong," Clark berkeras. "Mengaku
sajalah." "Aku TIDAK takut." Aku mulai naik pitam. "Siapa yang memohon-mohon balik ke
mobil?" aku mengingatkannya. "Kau! Kau!
Kau!" "Ada apa sih?" tanya Dad. "Dan kenapa kalian ada di tengah rawa sini" Dad kan
sudah bilang kalian tidak boleh jauh-jauh dari
mobil!" "Ehm, sori, Dad," aku kembali minta maaf. "Tapi Clark dan aku bosan harus
menunggu Dad ganti ban."
"Hei! Kau memaksaku kemari!" protes Clark. "Dia yang punya ide untuk menjelajahi
rawa." "Cukup!" kata Dad tegas. "Ayo, kembali ke mobil!"
Sepanjang perjalanan Clark dan aku terus berdebat.
Ban yang pecah memang sudah diganti, tapi sekarang Dad
harus berusaha agar mobil kami bisa kembali ke jalan. Dan itu tidak mudah.
Setiap kali Dad menginjak pedal gas, roda belakang cuma
berputar di lumpur tebal.
Akhirnya kami semua turun dan mendorong mobil.
Akibatnya, Mom dan Clark juga berlepotan lumpur.
Aku memandang rawa yang gelap dan menyeramkan ketika
kami kembali melaju di jalan.
Memandang rawa sambil memperhatikan suara-suara yang
terdengar. Bunyi mengerik yang tajam.
Erangan-erangan tertahan.
Teriakan-teriakan melengking.
Aku sudah sering mendengar cerita mengenai monster rawa.
Dan aku juga pernah membaca sejumlah legenda kuno. Mungkinkah
monster rawa memang ada" tanyaku dalam hati.
Tak sedikit pun terlintas dalam benakku bahwa aku akan segera
menemukan jawabannya. Chapter 4 "YA. Ya. Betul kok."
"Tidak mungkin!" bantahku. "Tidak mungkin mereka tinggal di situ, Dad!"
"Itu rumah mereka," Dad berkeras sementara kami terguncangguncang di jalan tanah
yang sempit dan tidak rata. "Itu rumah Kakek dan Nenek."
"Tidak mungkin itu rumah mereka." Clark menggosok mata.
"Itu pasti cuma bayangan semu. Aku sudah baca buku Makhluk dari Lumpur. Di situ
dikatakan lumpur rawa bisa mengelabui mata kita.
Sehingga kita melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada."
Nah, apa kubilang" Clark benar-benar percaya segala sesuatu
yang dibacanya. Tapi kali ini aku terpaksa sependapat dengannya. Habis, kalau
bukan begitu, bagaimana mungkin aku menjelaskan rumah Kakek dan
Nenek" Mereka tinggal di puri. Puri di tengah rawa. Setengah tersembunyi di balik pepohonan gelap yang
menjulang tinggi. Dad menghentikan mobil di depan pintu masuk. Aku menatap
rumah yang terang karena tersorot lampu mobil.
Rumah itu berlantai tiga. Terbuat dari batu-batu kelabu tua. Di
sisi kanannya berdiri menara. Di sebelah kiri, asap putih tampak
mengepul-ngepul dari cerobong asap yang hitam tertutup jelaga.
"Kupikir rumah di rawa lebih kecil dari ini," gumamku, "dan dibangun di atas
tiang-tiang." "Yeah, gambar di komikku juga begitu," Clark membenarkan.
"Dan coba lihat jendela-jendelanya!" Suaranya bergetar. "Jangan-jangan mereka
vampir yang takut kena sinar matahari."
Aku mengamati jendela-jendela rumah itu. Semuanya kecil.
Dan jumlahnya hanya tiga. Rumah besar itu hanya punya tiga jendela
mungil! Satu jendela si masing-masing lantai.
"Ayo, anak-anak," kata Mom. "Ambil barang-barang kalian."
Mom, Dad, dan Clark turun dari mobil dan menuju bagasi di
belakang. Aku berdiri di depan pintu mobil bersama Charley.
Udara malam terasa dingin dan lembap di kulitku. Aku
menengadah. Menatap rumah tua yang gelap di hadapanku. Rumah tua yang
setengah tersembunyi di balik pepohonan. Di tempat jin buang anak.
Dan kemudian aku mendengar lolongan. Lolongan sedih yang
membuat bulu kuduk berdiri. Dari suatu tempat di tengah-tengah
rawa. Aku merinding. Charley merapat ke kakiku. Aku membungkuk membelainya.
"Suara apa itu?" bisikku padanya. "Makhluk apa yang bersuara seperti itu?"
"Gretchen. Gretchen," Mom memanggilku dari pintu rumah.
Yang lain ternyata sudah masuk.
"Astaga," kata Nenek ketika aku menyusul mereka. "Terakhir kali Nenek melihatmu,
kau masih kecil sekali, Gretchen." Ia
merangkulku dan mendekapku erat-erat.
Baunya persis seperti yang kuingat - apak, seperti benda yang
sudah lapuk. Aku melirik ke arah Clark. Ia memutar-mutar,bola mata.
Aku mundur selangkah dan memaksakan senyum. "Minggirlah,
Rose!" seru Kakek. "Aku juga ingin melihat cucuku."
"Pendengaran Kakek sudah kurang baik," bisik Dad padaku.
Kakek menggenggam tanganku dengan jarinya yang berkerut-
kerut. Ia dan Nenek kelihatan begitu rapuh.
"Kami senang sekali kalian datang kemari!" kata Nenek
gembira. Mata birunya tampak berbinar-binar. "Kami jarang
menerima tamu di sini!"
"Kami sempat kuatir kalian tidak jadi datang," seru Kakek.
"Kami tidak menyangka kalian datang malam-malam begini."
"Ban mobil saya pecah di jalan," jelas Dad.
"Apa" Kau lelah?" Kakek merangkul Dad. "Wah, kalau begitu duduklah, Nak."
Clark cekikikan. Mom segera menyikutnya. Kakek dan Nenek
mengajak kami ke ruang duduk.
Ruangan itu luas sekali. Kurasa ukurannya cukup besar untuk
menampung seluruh isi rumah kami.
Dinding-dindingnya dicat hijau. Hijau suram. Aku memandang
ke atas, ke langit-langit. Menatap lampu kristal dengan dua belas lilin yang
disusun melingkar. Di salah satu dinding ada perapian yang besar sekali.
Dinding-dinding lainnya dipenuhi foto hitam-putih. Semuanya
sudah menguning karena tua.
Di mana-mana aku melihat foto. Foto orang-orang yang tidak
kukenal. Mungkin para kerabat yang sudah meninggal, kataku dalam
hati. Aku menoleh ke pintu yang terbuka, dan mengintip ke ruang
sebelah. Rupanya ruang makan. Sepintas lalu kelihatannya sama besar dengan ruang
duduk. Juga sama gelapnya. Dan sama suramnya.
Clark dan aku mengambil tempat di sofa tua berjok hijau.
Pegas-pegasnya yang sudah tua berderit-derit ketika aku duduk.
Charley mengerang pelan dan berbaring di lantai di depan kaki kami.
Aku memandang berkeliling. Menatap foto-foto yang
tergantung di dinding. Memperhatikan permadani yang sudah
menipis. Mengamati meja-meja dan kursi-kursi yang telah dimakan
usia. Cahaya lilin dari atas membuat bayangan kami menari-nari di
dinding yang gelap. "Rumah ini seram,", bisik Clark. "Dan baunya minta ampun -
lebih parah dari bau Kakek dan Nenek."
Aku berusaha menahan tawa. Tapi Clark benar. Ruangan itu
memang berbau aneh. Apak dan kecut.
Bagaimana mungkin dua orang tua betah tinggal di tempat
seperti ini" aku bertanya-tanya. Bagaimana mungkin mereka betah
tinggal di rumah gelap dan suram ini" Di tengah-tengah rawa lagi.
"Ada yang mau minum?" Nenek membuyarkan lamunanku.
"Bagaimana kalau kubuatkan teh untuk semuanya?"
Clark dan aku menggelengkan kepala.
Dad dan Mom juga menolak. Mereka duduk berseberangan
dengan kami. Sandaran kursi yang mereka duduki sudah bolong-
bolong, dan karet busanya menyembul di sana-sini.
"Hmm, akhirnya kalian datang juga!" seru Kakek pada Clark dan aku. "Kakek senang
sekali. Tapi tolong jelaskan - kenapa kalian baru datang malam-malam begini?"
"Kakek," seru Nenek padanya, "jangan tanya terus!" Kemudian ia berpaling pada
kami. "Kalian pasti kelaparan setelah menempuh perjalanan panjang. Mari ikut ke
dapur. Nenek telah membuatkan
pastel ayam - khusus untuk kalian."
Kami mengikuti Kakek dan Nenek ke dapur. Suasananya serupa
dengan ruangan-ruangan lain. Gelap dan kumuh.
Tapi baunya tidak seapak ruangan-ruangan lain. Aroma pastel
ayam merangsang selera. Nenek mengeluarkan delapan potong pastel dari oven. Satu
potong untuk setiap orang - selebihnya untuk mereka yang mau
tambah. Nenek menaruh sepotong ke piringku, dan aku langsung mulai
makan. Aku memang kelaparan.
Ketika aku mengangkat garpu ke mulut, Charley mendadak
berdiri dan mulai mengendus-endus.
Ia mengendus kursi-kursi yang kami duduki.
Ia mengendus lemari, lalu mengendus lantai.
Ia naik ke meja dan kembali mengendus.
"Charley, jangan!" perintah Dad. "Turun!"
Charley melompat turun. Kemudian ia menghadap kami dan
memperlihatkan gigi. Ia mulai menggeram. Lalu menggonggong. Menggonggong sejadi-jadinya.
"Ada apa dengan dia?" Nenek bertanya dengan kening berkerut.
"Entahlah," jawab Dad. "Dia belum pernah ber tingkah seperti ini."
"Ada apa, Charley?" tanyaku. Aku menggeser kursiku menjauhi meja dan menghampiri
anjing kami. Charley mengendus-endus. Lalu menggonggong. Lalu mengendus-endus lagi.
Aku merinding. "Ada apa, Charley" Apa yang kaucium?"
Chapter 5 AKU meraih pengikat leher Charley. Kemudian aku mengelus-
elusnya. Berusaha menenangkannya. Tapi ia berhasil meloloskan diri
dari peganganku. Ia menggonggong lebih keras lagi.
Kembali kuraih pengikat lehernya dan kutarik tubuhnya ke
arahku. Kukunya menggores-gores lantai ketika ia memberontak.
Semakin keras aku menarik, semakin keras pula Charley
melawan. Kepalanya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Dan ia
mulai menggeram lagi. "Tenang," kataku lembut. "Tenang."
Sia-sia. Akhirnya Clark membantuku menyeret Charley ke ruang
duduk - dan baru di situlah ia mulai tenang.
"Ada apa sih dengan dia?" tanya Clark sementara kami
membelai-belai kepala anjing itu.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entahlah." Aku menatap Charley. Ia tampak gelisah dan terus berputar-putar. Ia
duduk sebentar. Lalu kembali berputar-putar. Begitu seterusnya.
"Aku benar-benar bingung. Dia belum pernah bertingkah
begini. Belum pernah."
Clark dan aku memutuskan untuk menunggu di ruang duduk
bersama Charley sementara Dad dan Mom makan malam. Kami telah
kehilangan selera. "Bagaimana anjing kalian?" Kakek menyusul kami dan ikut
duduk di sofa. "Dia sudah tenang sekarang," jawab Clark sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Senang?" seru Kakek. "Ah, syukurlah kalau begitu."
***************************
Sehabis makan malam, Mom, Dad, Kakek, dan Nenek
mengobrol dan mengobrol dan terus mengobrol - tentang segala
sesuatu yang terjadi sejak mereka terakhir kali bertemu, Sembilan
tahun lalu. Clark dan aku bosan. Betul-betul bosan.
"Apakah kami boleh... ehm, nonton TV?" tanya Clark akhirnya.
"Oh, maaf, Sayang," ujar Nenek, "tapi kami tidak punya pesawat TV."
Clark memelototiku - seakan-akan aku yang salah.
"Kenapa kau tidak menelepon Arnold saja?" usulku. Arnold
anak paling norak di sekitar rumah kami. Dan sekaligus sahabat karib Clark.
"Ingatkan dia untuk mengambil komik barumu."
"Oke," gumam Clark. "Ehm, di mana teleponnya?"
"Di kota." Nenek tersenyum kecut. "Kenalan kami - yang masih hidup - hanya sedikit.
Jadi percuma pasang telepon di sini. Mr.
Donner - pemilik warung serbaada - biasa menerima pesan-pesan
untuk kami." "Tapi sudah seminggu ini kami tidak bertemu dia," Kakek
menambahkan. "Mobil Kakek rusak. Tapi mestinya sebentar lagi
sudah selesai diperbaiki. Dalam minggu ini."
Tak ada TV. Tak ada telepon. Tak ada mobil. Di tengah-tengah rawa. Kali ini giliran aku yang melolot - pada Dad dan Mom.
Aku pasang tampang kesal. Aku yakin mereka akan mengajak
kami ke Atlanta. Aku yakin seratus persen.
Dad melirik Mom. Ia membuka mulut untuk mengatakan
sesuatu. Kemudian ia berpaling padaku. Dan angkat bahu seakan-akan
hendak menunjukkan bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa.
"Wah, sudah waktunya tidur!" Kakek menatap jam tangannya.
"Kalian berdua harus berangkat pagi-pagi besok," katanya kepada Dad dan Mom.
"Dan kalian akan bersenang-senang di sini," kata Nenek kepada Clark dan aku.
"Ya, itu pasti," Kakek mendukungnya. "Rumah tua seperti ini paling asyik untuk
dijelajahi. Kalian bisa bertualang di sini!"
"Dan Nenek akan membuat pie talas yang lezat sekali!" Nenek menimpali. "Kalian
boleh ikut membantu. Kalian pasti suka. Saking manisnya, gigi kalian bisa
tanggal setelah gigitan pertama!"
Clark menelan ludah. Aku mengerang - keras-keras.
Dad dan Mom tidak peduli. Mereka mengucapkan selamat
tidur. Dan sekaligus selamat berlibur. Mereka akan berangkat pagi-
pagi sekali besok. Kemungkinan besar sebelum kami bangun.
Clark dan aku mengikuti Nenek. Kami menaiki tangga tua yang
gelap dan berderit-derit, lalu menyusuri lorong panjang ke kamar kami masing-
masing di lantai dua. Kamar Clark bersebelahan dengan kamarku. Aku tidak sempat
melihat seperti apa kamarnya. Begitu Clark masuk, Nenek segera
menggiringku ke kamar berikut.
Kamarku. Kamarku yang suram.
Kutaruh koperku di samping tempat tidur, lalu memandang
berkeliling. Kamar itu hampir sebesar ruang olahraga! Dan tidak ada satu jendela
pun. Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu redup di samping
tempat tidur. Lantai kamar tertutup karpet buatan sendiri yang sudah tipis dan
kusam. Di dinding di seberang tempat tidur ada lemari pakaian.
Lemarinya miring. Dan laci-lacinya tidak bisa ditutup rapat.
Satu tempat tidur. Satu lampu. Satu lemari. Hanya ada tiga
potong perabot di ruangan luas tanpa jendela itu.
Dinding-dindingnya juga kosong. Tak ada lukisan atau foto
yang menghiasi dinding kelabu itu.
Aku duduk di tempat tidur, dan menyandarkan punggung ke
kisi-kisi besi di bagian kepala.
Lalu aku meraba-raba selimut yang menutupi tempat tidur.
Ternyata selimut wol. Selimut wol yang kasar dan berbau kamper.
"Selimut ini takkan kupakai," ujarku keras-keras. Tapi aku tahu aku harus
memakainya. Kamarku dingin dan lembap. Sekarang saja
aku sudah mulai menggigil.
Aku segera mengenakan baju tidur dan menyelinap ke balik
selimut tua yang bau. Tapi aku tidak bisa tidur. Aku gulang-guling terus sambil
berusaha mencari posisi nyaman di kasur keras.
Aku menatap langit-langit dan pasang telinga. Aku
mendengarkan suara-suara aneh yang terdengar di rumah tua yang
seram ini. Bunyi berderak dan berderit yang merambat melalui
dinding-dinding. Kemudian aku mendengar suara melolong.
Lolongan mengerikan dari balik dinding.
Lolongan seperti yang terdengar di rawa tadi. Aku langsung
duduk tegak. Kedengarannya suara itu berasal dari kamar Clark.
Chapter 6 AKU terus pasang telinga tanpa berani bergerak.
Sekali lagi terdengar lolongan panjang yang sedih. Tapi
ternyata dari luar. Bukan dari kamar Clark.
"Jangan konyol!" aku memarahi diriku sendiri. "Clark yang suka berkhayal macam-
macam. Bukan kau!" Suara melolong dari rawa itu membuatku merinding.
Suara binatangkah itu" Atau suara monster rawa"
Mukaku kututup bantal. Tapi aku tetap terjaga selama berjam-
jam sebelum akhirnya tertidur.
Ketika bangun aku tidak tahu apakah sudah pagi - atau masih
tengah malam buta. Habis di kamarku tidak ada jendela sama sekali.
Aku melirik arlojiku - 08.30. Ternyata sudah pagi.
Aku menggeledah koper untuk mencari T-shirt baruku, yang
berwarna pink. Aku butuh sesuatu untuk membuatku bersemangat -
dan pink adalah warna kesukaanku. Kemudian aku mengenakan
celana jeans. Dan memakai sepatu kets yang penuh lumpur.
Aku berpakaian dengan cepat. Kamarku mengingatkanku pada
sel penjara, dan aku ingin segera keluar dari sini.
Aku membuka pintu kamar dan mengintip ke lorong.
Sepi. Tapi di seberang pintu kamarku ada jendela kecil. Rupanya
semalam aku tidak memperhatikannya.
Seberkas sinar matahari yang cerah masuk melalui kaca yang
penuh debu. Aku memandang ke luar - ke arah rawa.
Pohon-pohon cypress tampak terselubung kabut tebal. Kabut itu
membuat rawa-rawa berkesan misterius, seakan-akan berasal dari
dunia khayalan. Sesuatu berkepak-kepak di dahan pohon. Ternyata seekor
burung berbulu ungu. Seekor burung berbulu ungu dengan paruh
jingga manyala. Aku belum pernah melihat burung seperti itu.
Kemudian suara tadi terdengar lagi.
Lolongan-lolongan mengerikan. Teriakan-teriakan melengking.
Suara binatang-binatang yang bersembunyi di tengah rawa -
segala macam makhluk yang kemungkinan besar belum pernah
kulihat. Makhluk-makhluk rawa. Monster-monster rawa. Aku merinding. Aku cepat berpaling dari jendela dan menuju
kamar Clark. Aku mengetuk pintu. "Clark!"
Tak ada jawaban. "Clark?" Hening. Aku membuka pintu dan memekik tertahan.
Seprai di tempat tidur Clark tampak acak-acakan
seakan-akan telah terjadi pergumulan.
Dan Clark lenyap tanpa bekas - tak ada yang tersisa selain
piama yang tergeletak di atas tempat tidur.
Chapter 7 "WAAAA!" jeritku.
"Ada apa sih, Gretchen?"
Clark muncul dari balik lemari. Ia memakai T-shirt, topi
baseball, sepatu kets, dan celana piama.
"Ehm... t-tidak ada apa-apa," aku tergagap-gagap. Jantungku masih berdegup
kencang. "Kalau begitu, kenapa kau menjerit?" tanya Clark. "Dan kenapa tampangmu begitu
aneh?" "Aku" Aneh" Kau yang kelihatan aneh, balasku ketus. Aku
menunjuk celana piamanya. "Mana celanamu?"
"Entahlah." Ia menggelengkan kepala. "Mungkin Mom keliru memasukkannya ke
kopermu." Aduh, kenapa aku jadi gugup begini" tanyaku dalam hati. Clark
yang daya khayalnya terlalu hebat, bukan aku, aku kembali
mengingatkan diriku. "Ayo," kataku pada saudara tiriku. "Kita ke kamarku dan cari celana jeans-mu."
Ketika kami mau turun untuk sarapan, Clark berhenti sejenak
dan mengintip melalui jendela di lorong. Kabut tadi telah lenyap.
Tumbuh-tumbuhan yang berselubung embun tampak berkilauan
dalam cahaya matahari. "Pemandangan yang lumayan indah, ya?" gumamku.
"Ya," sahut Clark. "Lumayan. Lumayan seram."
Suasana di dapur juga lumayan menyeramkan. Di pagi hari pun
keadaannya hampir segelap tadi malam. Tapi pintu belakang terbuka,
dan ada sedikit cahaya matahari yang menerangi lantai dan dinding-
dinding. Suara-suara dari rawa terdengar melalui pintu yang terbuka.
Tapi aku berusaha tidak menghiraukan bunyi-bunyian itu.
Nenek berdiri di depan oven. Tangan kanannya memegang
sendok kayu, sedangkan di tangan kirinya ada piring yang penuh
panekuk blueberry. Begitu melihat kami, ia meletakkan sendok dan
piring, lalu Menyekakan tangan pada celemeknya yang sudah lusuh.
Kemudian ia memberikan pelukan selamat pagi kepada kami berdua.
Clark jadi berlepotan adonan panekuk.
Aku menunjuk bercak-bercak di T-shirt-nya, dan cekikikan.
Kemudian aku mengamati T-shirt-ku sendiri. T-shirt-ku yang masih
baru - dan penuh noda blueberry.
Aku memandang berkeliling. Aku butuh sesuatu untuk
membersihkan bajuku. Tapi dapur Nenek ternyata mirip kapal pecah.
Adonan panekuk menetes-netes dari oven, menempel di meja,
dan mengotori lantai. Kemudian aku berpaling ke Nenek. Ia juga tampak berantakan
sekali. Wajahnya coreng-moreng - biru dan putih. Kerut-kerut di
pipinya penuh sisa tepung dan buah blueberry. Hidung dan dagunya
juga berlepotan tepung. "Bagaimana" Kalian bisa tidur nyenyak?" Daerah di sekitar matanya yang biru ikut
berkerut ketika ia tersenyum. Dengan
punggung tangan ia menyingkirkan sejumput rambut kelabu yang
jatuh ke matanya. Tapi akibatnya malah ada adonan panekuk yang
melekat di rambutnya. "Kakek tidur nyenyak," Kakek menyahut, ketika pekik nyaring terdengar dari arah
rawa. "Kakek selalu tidur nyenyak. Habis suasana di sini begitu tenang dan
tenteram." Mau tidak mau aku tersenyum. Mungkin Kakek justru
beruntung pendengarannya kurang baik.
Kakek keluar lewat pintu belakang; Clark dan aku segera
membersihkan diri. Kemudian kami mengambil tempat di meja.
Di tengah meja ada piring lain berisi panekuk blueberry. Yang
ini bahkan lebih besar lagi daripada piring yang dipegang Nenek. Dan tumpukan
panekuknya juga lebih tinggi.
"Sepertinya Nenek menganggap kita rakus," Clark berbisik
sambil mencondongkan badan ke arahku. "Tumpukan panekuk itu
cukup untuk lima puluh orang."
"Yeah," aku membenarkan. "Dan kita terpaksa menghabiskan semuanya. Kalau tidak,
Nenek bisa sakit hati."
"Masa sih?" tanya Clark sambil membelalakkan mata.
Itulah salah satu hal yang paling kusukai pada saudara tiriku. Ia
nyaris percaya apa saja yang kukatakan padanya.
"Ayo, makanlah," kata Nenek sambil membawa dua piring lagi ke meja. "Jangan
malu-malu." Untuk apa Nenek membuat panekuk sebanyak ini" aku
bertanya-tanya. Kami tidak mungkin menghabiskan semuanya. Tidak
mungkin. Aku mengambil beberapa potong panekuk. Nenek menaruh
kira-kira sepuluh potong di piring Clark. Clark langsung pucat.
Nenek menemani kami di meja makan. Tapi piringnya sendiri
tetap kosong. Ia tidak mengambil satu potong pun.
Ada begini banyak panekuk dan dia tidak ambil satu pun. Aku
tidak mengerti, pikirku. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Apa yang sedang kaubaca, Sayang?" Nenek menunjuk komik
Clark. Clark telah menggulung komik itu dan menyelipkannya ke
kantong belakang celana jeans-nya.
"Makhluk dari Lumpur," Clark menjawab sambil mengunyah.
"Oh, menarik sekali," ujar Nenek. "Nenek juga senang membaca. Kakek Eddie juga.
Kami selalu membaca. Kami paling
suka kisah misteri. 'Tak ada yang lebih menarik dari kisah misteri
yang bagus,' Kakek Eddie selalu bilang."
Aku langsung berdiri. Aku baru ingat - hadiah-hadiah untuk
Kakek dan Nenek masih ada di koperku.
Buku! Cerita misteri! Dad sudah memberitahu kami bahwa
mereka suka membaca. "Aku akan segera kembali!" Aku permisi sebentar dan bergegas ke atas.
Aku menyusuri lorong panjang ke kamarku. Tapi kemudian aku
berhenti karena mendengar langkah. Siapa itu"
Aku memandang ke ujung lorong. Dan aku hampir memekik
kaget ketika melihat bayangan gelap di dinding.
Rupanya ada orang. Orang yang sedang mengendap-endap ke arahku.
Chapter 8 AKU merapatkan punggung ke dinding. Aku menahan napas
dan pasang telinga. Bayangan itu menghilang dari pandangan.
Bunyi langkah tadi pun semakin tak jelas.
Masih sambil menahan napas, aku menyusuri lorong yang gelap
dan berliku-liku. Perlahan-lahan aku mengintip dari balik dinding
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyudut. Dan melihatnya.
Bayangan itu. Bentuknya tidak kelihatan jelas dalam cahaya
remang-remang. Bayangan itu tampak bergerak di dinding hijau tua, dan
semakin lama semakin mengecil.
Aku maju dengan sigap namun tanpa bersuara, mengikuti
bayangan tersebut. Bayangan siapa itu" aku bertanya-tanya. Siapa yang ada di sini
selain aku" Aku mendekat. Bayangan di dinding kembali membesar. Jantungku berdegup-
degup ketika aku mengejar sosok misterius itu.
Bayangan di depanku kembali membelok. Aku segera bergegas
maju. Lalu berhenti. Siapa pun yang tadi berjalan di depanku - sekarang berdiri di
situ. Persis di balik belokan.
Aku menarik napas dalam-dalam - dan mengintip dengan hati-
hati. Dan aku melihat Kakek Eddie.
Ia membawa setumpuk panekuk di piring yang besar sekali.
Kok Kakek bisa ada di sini" aku bertanya-tanya. Rasanya aku
melihat dia keluar rumah tadi.
Barangkali Kakek masuk lagi lewat pintu lain, aku akhirnya
menyimpulkan. Ya, pasti begitu. Rumah ini besar sekali. Pasti ada
banyak pintu, lorong, dan tangga yang belum kuketahui.
Tapi kenapa Kakek ada di atas sini sambil membawa setumpuk
panekuk" Mau dibawa ke mana tumpukan panekuk itu"
Wah, ini benar-benar misterius!
Kakek Eddie memegang piring besar itu dengan kedua tangan
sambil berjalan menyusuri lorong.
Aku harus mengikutinya, pikirku. Aku harus tahu dia mau ke
mana. Aku pun menyusuri lorong. Aku tak lagi perlu berhati-hati
untuk tidak bersuara. Kan pendengaran Kakek kurang baik.
Aku berjalan beberapa langkah di belakangnya. Tiba-tiba ada
suara aneh, dan aku langsung berhenti. Suara mengendus-endus. Di
belakangku. Aduh, gawat! Charley! Charley berlari dari ujung lorong. Ia mengendus-endus.
Kemudian ia melihatku - dan berhenti.
"Anjing pintar," bisikku sambil berusaha mengusirnya. "Sana.
Balik sana." Tapi ia malah berlari menghampiriku. Dan menggonggong
keras-keras. Aku menyambar pengikat lehernya ketika ia berusaha
mengecohku - dan berlari mengejar Kakek.
Pengikat lehernya kupegang erat-erat. Gonggongannya semakin
kencang. "Rose?" panggil Kakek Eddie. "Kaukah itu, Rose?"
"Ayo, Charley," bisikku. "Kita harus pergi dari sini."
Aku menyeret Charley melewati belokan - sebelum Kakek
sempat memergokiku. Kemudian aku cepat-cepat masuk ke kamarku.
Charley kutarik sekalian.
Sejenak aku duduk di atas selimut wol yang kasar untuk
mengatur napas. Lalu aku cepat-cepat membongkar koper serta
mengambil buku-buku misteri untuk Kakek dan Nenek.
Mau ke mana Kakek dengan membawa tumpukan panekuk itu"
tanyaku dalam hati ketika aku bergegas menuruni tangga sambil
membawa hadiah-hadiah. Dan kenapa dia mengendap-endap"
Misteri ini harus kupecahkan, aku membulatkan tekad.
Kalau saja aku tahu masalah apa yang bakal kuhadapi, aku
takkan sok tahu seperti itu.
Chapter 9 "KENAPA kalian tidak main di luar saja, sementara Nenek
membereskan piring-piring ini?" Nenek mengusulkan sehabis sarapan.
"Setelah itu kalian bisa membantu Nenek membuat pie talas yang semanis madu!"
"Main?" gumam Clark. "Memangnya kita anak dua tahun?"
"Ayo, kita keluar saja, Clark." Aku menariknya lewat pintu belakang. Sebenarnya
aku sendiri juga tidak berminat menghabiskan
waktu di rawa-rawa. Tapi itu masih mendingan dibandingkan duduk-
duduk di rumah tua yang menyeramkan.
Kami disambut sinar matahari yang terang benderang - dan aku
nyaris memekik kaget. Udara yang panas dan pengap seakan-akan
menekan kulitku. Aku berusaha menarik napas dalam-dalam - untuk
mengusir perasaan yang tidak menyenangkan itu.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" gerutu Clark. Ia juga menarik napas
dalam-dalam. Aku memandang berkeliling dan melihat jalan setapak. Jalan
setapak itu mulai dari belakang rumah dan menuju rawa.
"Kita bisa menjelajahi tempat ini," aku mengusulkan.
"Aku tidak mau jalan-jalan di rawa," sahut Clark.
"Takut apa sih" Monster dari komik?" ejekku. "Makhluk dari lumpur?" Aku tertawa.
"Lucu sekali," omel Clark sambil cemberut.
Kami berjalan beberapa langkah. Sinar matahari menerobos
dedaunan, yang seolah-olah membentuk atap di atas kepala kami, dan
menimbulkan bayangan-bayangan pada jalan setapak.
"Ular," Clark mengakui. "Aku takut ular."
"Tenang saja," ujarku. "Aku akan berjaga-jaga terhadap ular.
Kau berjaga-jaga terhadap buaya."
"Buaya?" Clark langsung membelalakkan mata.
"Ya, tentu," sahutku. "Daerah rawa seperti ini penuh buaya pemakan manusia."
Ada suara menyela. "Gretchen. Clark. Jangan jauh-jauh dari
rumah." Aku menoleh dan melihat Kakek. Ia berdiri beberapa meter di
belakang kami. Apa itu yang dipegangnya"
Gergaji besar. Giginya yang tajam tampak berkilau-kilau dalam
sorot sinar matahari. Kakek menuju gubuk kecil yang baru setengah selesai. Gubuk
itu terletak beberapa meter dari tepi jalan setapak, di antara dua pohon cypress
tinggi. "Oke!" seruku pada Kakek. "Kami takkan jauh-jauh."
"Kalian mau membantu Kakek menyelesaikan gubuk ini?"
balasnya sambil mengangkat gergaji. "Bertukang bisa membangun
rasa percaya diri lho!"
"Ehm, mungkin nanti," jawabku.
"Kalian mau membantu?" tanya Kakek sekali lagi.
Clark menangkupkan telapak tangan di sekitar mulutnya dan
berseru, "NAN-TI!" Kemudian ia kembali berpaling ke jalan setapak.
Dan ia tersandung. Kakinya tersandung sosok gelap yang mendadak muncul dari
balik rumput. Chapter 10 "BUAYA! Ada buaya!" jerit Clark.
Kakek melambai-lambaikan gergajinya. "Nanti saja" Oke!"
"Tolong! Tolong! Kakiku disambar!" ratap Clark.
Aku memandang ke bawah. Menatap sosok gelap di rumput.
Dan tertawa. "Cypress knee," kataku dengan tenang.
Clark membalik. Mulutnya masih terbuka lebar karena ngeri. Ia
mengamati sosok yang tampak di antara batang-batang rumput.
"Cuma batang cypress yang menyembul dari rumput kok," aku menjelaskan. "Namanya
cypress knee. Kan sudah kuberitahu kemarin.
Masa sudah lupa sih?"
"Aku ingat!" ia mencoba berkelit. "Aku cuma mau menakut-nakutimu."
Tadinya aku ingin mengejeknya, tapi kemudian aku berubah
pikiran karena melihat seluruh tubuh Clark gemetaran. Kasihan juga
sih. "Ayo, kita kembali ke rumah saja," aku mengusulkan. "Nenek pasti sudah
menunggu kita. Dia kan mau membuat pie talasnya yang
semanis madu." Sambil jalan, aku bercerita bahwa aku sempat melihat Kakek di
atas tadi. Dan aku juga menyinggung sepiring besar panekuk yang
dibawanya. "Mungkin dia suka makan di tempat tidur," Clark berkomentar.
"Dad dan Mom kan juga suka sarapan di tempat tidur."
"Yah, bisa jadi," ujarku. Tapi sebenarnya aku kurang yakin.
Atau bahkan sama sekali tidak yakin.
"Hmm, kelihatannya kalian cukup senang tinggal di sini," kata Nenek ketika kami
masuk ke dapur. Clark dan aku bertukar pandang dan angkat bahu.
"Sudah siap membuat pie?" tanya Nenek sambil tersenyum.
"Semuanya sudah Nenek siapkan." Dia menunjuk bahan-bahan
membuat pie di atas meja.
"Siapa yang mau menggiling adonan," tanyanya sambil
menatapku, "sementara Nenek memotong talas?"
"Aku saja deh," jawabku.
Clark menghela napas. "Ehm, kalau begitu aku ke ruang duduk
saja. Komikku belum selesai kubaca," katanya agar terbebas dari tugas. "Mom
selalu bilang aku cuma mengganggu di dapur."
"Omong kosong!" balas Nenek. "Kau yang menakar gulanya.
Kita harus pakai gula banyak."
Aku mulai menggiling adonan. Rasanya Nenek terlalu banyak
membuat adonan. Tapi mungkin juga itu cuma perasaanku. Aku tidak
pernah membantu Mom membuat pie. Menurut Mom, aku juga cuma
mengganggu. Setelah adonan selesai digiling, urusan selanjutnya diambil alih
oleh Nenek. "Oke, anak-anak. Kalian duduk saja di meja dan minum segelas susu.
Selebihnya biar Nenek yang tangani."
Sebenarnya Clark dan aku tidak haus. Tapi kami merasa tidak
enak kalau menolak. Kami menghabiskan susu yang diberikan Nenek,
lalu menontonnya membuat pie.
Bukan satu pie, tapi tiga.
"Nenek, kenapa Nenek membuat tiga pie?" tanyaku.
"Untuk persediaan," jelasnya. "Siapa tahu kita mendadak didatangi tamu."
Tamu" pikirku. Tamu"
Aku menatap Nenek sambil mengerutkan kening. Siapa yang
mau berkunjung ke sini" Kakek dan Nenek kan tinggal di ujung dunia.
Ada apa ini" aku bertanya-tanya.
Apakah Nenek memang menunggu tamu"
Kenapa dia selalu memasak terlalu banyak"
Chapter 11 "KERJA bikin haus!" seru Kakek begitu membuka pintu dapur.
Ia langsung menuju lemari es. "Nah! Betul, kan!" Kakek menunjuk kedua gelas susu
yang sudah kosong. "Bagaimana, kalian sudah siap membantu Kakek membuat gubuk?"
"Eddie, anak-anak kemari bukan untuk bekerja!" Nenek
menegurnya. "Kenapa kalian tidak bertualang di rumah ini saja"
Kamarnya banyak sekali lho. Siapa tahu kalian akan menemukan harta
karun." "Ide bagus!" Kakek mengembangkan senyum berseri-seri. Tapi hampir seketika
senyumnya meredup lagi. "Ada satu hal yang perlu kalian ingat. Kalian akan
menemukan kamar yang terkunci. Di ujung
lorong di lantai tiga. Dengarkan baik-baik, anak-anak. Jangan masuk ke kamar
itu." "Kenapa" Memangnya ada apa di dalamnya?" tanya Clark.
Kakek dan Nenek berpandangan dengan cemas. Wajah Nenek
tampak bersemu merah. "Itu gudang," jawab Kakek. "Kami menyimpan bermacam-
macam barang di situ. Barang-barang tua. Barang-barang yang mudah
rusak. Pokoknya, jangan masuk ke situ."
Clark dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami
bersyukur bisa kabur. Kakek Eddie dan Nenek Rose memang ramah -
tapi agak aneh. Sebagian besar lantai dasar terpakai untuk dapur, ruang duduk,
dan ruang makan. Ruangan-ruangan itu telah kami lihat.
Selain itu masih ada perpustakaan. Tapi buku-buku di situ
sudah tua dan berdebu. Membuatku bersin terus. Jadi Clark dan aku
menaiki tangga. Ke lantai dua.
Kami melewati kamar-kamar kami.
Melewati jendela kecil di lorong.
Kami terus menyusuri lorong yang berkelok-kelok - sampai ke
ruangan berikutnya. Kamar tidur Kakek dan Nenek.
"Sebaiknya kita jangan masuk," kataku kepada Clark. "Kakek dan Nenek pasti tidak
senang kalau kita melihat-lihat barang-barang mereka."
"Ayo, masuk saja!" desak Clark. "Kau tidak ingin tahu apakah ada remah-remah
panekuk di sini?" Ia tertawa.
Aku langsung mendorongnya.
"Hei!" gerutunya. Kacamatanya merosot ke hidungnya. "Aku kan cuma bercanda."
Aku membiarkannya berdiri di lorong, dan membuka pintu
sebelah. Pintu itu berat sekali, dan terbuat dari kayu berwarna gelap.
Aku harus mengerahkan seluruh tenaga waktu membukanya.
Aku meraba-raba dinding untuk mencari sakelar lampu. Klik.
Ruangan diterangi cahaya redup kekuningan - dari satu bohlam
berdebu yang tergantung di langit-langit.
Dalam cahaya remang-remang aku melihat kardus-kardus.
Seluruh ruangan dipenuhi kardus. Tumpukan demi tumpukan.
"Hei! Siapa tahu ada sesuatu yang seru di dalam kardus-kardus
itu," ujar Clark sambil mendesak melewatiku.
Ia mulai membongkar kardus terdekat. "Isinya pasti sesuatu
yang besar," katanya sambil menunjuk sisi kardus yang
menggembung. Aku mengintip dari belakang Clark. Udara di ruangan itu
berbau apak dan kecut. Sambil menutup hidung dan memicingkan
mata, aku menunggu sampai Clark selesai membongkar kardus.
"Ya ampun!" serunya.
"Ada apa sih?" tanyaku sambil menjulur-julurkan leher.
"Isinya cuma koran. Koran bekas," lapor Clark.
Kami mengeluarkan koran-koran paling atas - dan menemukan
lebih banyak koran bekas lagi. Koran-koran lama yang sudah
menguning. Kami membuka lima kardus lain.
Lagi-lagi koran bekas. Semua kardus berisi koran bekas. Satu ruangan penuh kardus
berisi koran bekas. Dari zaman sebelum Dad lahir. Kumpulan koran
bekas selama lima puluh tahun.
Untuk apa semua koran lama ini disimpan" aku bertanya-tanya.
"Hei!" Clark sedang memeriksa salah satu kardus di seberang ruangan. "Kau takkan
percaya apa isi yang satu ini!"
"Apa" Apa isinya?"
"Majalah." Ia nyengir lebar.
Kelakuannya mulai menyebalkan. Tapi aku menghampirinya.
Aku suka majalah. Baru maupun lama.
Aku menyelipkan tangan ke dalam kardus dan mengangkat
setumpuk majalah. Tiba-tiba telapak tanganku seperti digelitik.
Aku segera mengintip ke bawah majalah-majalah itu.
Dan menjerit keras-keras.
Chapter 12
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
RATUSAN kecoa berseliweran di sela-sela jariku.
Langsung kulempar semua majalah ke lantai.
Aku mengibas-ngibaskan tangan, agar serangga-serangga
menjijikkan itu terlepas dari tanganku. "Tolong!" pekikku. "Tolong aku!"
Beberapa kecoa mulai merambat di lenganku. Aku berusaha
menepis semuanya - tapi jumlahnya terlalu banyak!
Clark memungut majalah dari lantai dan menggunakannya
untuk memukul-mukul. Tapi ketika majalah itu mengenai lenganku,
semakin banyak kecoa keluar dari sela halaman-halaman.
Dan mendarat di T-shirt-ku. Di tengkukku. Di wajahku!
Aku merasakan seekor kecoa merayap di daguku. Aku
menepisnya - lalu menjentikkan seekor lagi dari pipiku.
Sambil kalang kabut aku menarik komik Clark dari saku
celananya - lalu mulai menepis-nepis dan menyabet-nyabet. Menepis
dan menyabet. Menepis dan menyabet.
"Gretchen! Berhenti!" aku mendengar Clark berteriak. "Mereka sudah kabur.
Berhenti!" Napasku terengah-engah. Aku memandang ke bawah.
Ia benar. Makhluk-makhluk menjijikkan itu ternyata sudah
kabur semua. Tapi seluruh badanku masih terasa gatal. Dan jangan-jangan
bakal gatal terus untuk selama-lamanya.
Aku keluar ke lorong dan duduk di lantai. Aku harus menunggu
sampai jantungku berhenti berdebar-debar sebelum bisa bicara. "Oh, menjijikkan
sekali," erangku akhirnya. "Betul-betul menjijikkan."
"Ya." Clark menghela napas. "Tapi kenapa kau pakai komikku untuk mengusir kecoa-
kecoa itu?" Ia memegang salah satu sudut
komiknya, seakan-akan belum yakin bahwa sudah aman untuk
menyelipkannya kembali ke kantong celana.
Kulitku tetap terasa seperti kesemutan, seolah-olah masih ada
kecoa yang merambat. Aku merinding. Sekali lagi aku mengusap-usap
lengan. "Oke." Aku bangkit dan memandang ke ujung lorong suram.
"Coba kita lihat apa yang ada di kamar sebelah!"
"Benar nih?" tanya Clark. "Belum kapok?"
"Kenapa mesti kapok?" sahutku. "Masa cuma karena serangga-serangga kecil kau
jadi ngeri?" Clark benci serangga. Aku tahu persis. Serangga besar dan
kecil. Tapi dia tidak mau mengakuinya. Karena itu dia malah lebih
dulu menuju ruangan berikut.
Kami mendorong pintu yang berat - dan mengintip ke dalam.
Chapter 13 "WOW! Coba lihat barang-barang ini!" Clark berdiri di tengah ruangan. Ia sedang
berputar perlahan agar bisa mengamati semuanya.
Satu ruangan penuh mainan. Mainan-mainan lama. Bergunung-
gunung. Di salah satu sudut ada sepeda roda tiga yang sudah berkarat.
Roda depannya sudah tidak ada.
"Ini pasti bekas sepeda Dad," ujarku. Rasanya sulit
membayangkan Dad sebagai anak kecil yang naik sepeda roda tiga.
Aku menekan klaksonnya. Ternyata masih berbunyi.
Clark mengeluarkan papan catur yang penuh debu dari peti
kayu. Ia memasang buah catur sementara aku memeriksa barang apa
lagi yang ada di situ. Aku menemukan beruang teddy berkepala penyok karena
tertindih. Lalu ada boneka monyet yang tangannya telah hilang sebelah.
Aku membongkar sejumlah tas berisi serdadu-serdadu mainan.
Seragam mereka tampak lusuh, dan wajah mereka pun sudah tidak
kelihatan jelas. Kemudian aku melihat peti mainan antik. Di bagian depannya
ada gambar komidi putar yang dulu pernah berkilau keemasan, tapi
sekarang sudah memudar. Aku mengangkat tutupnya yang berdebu, dan melihat boneka
porselen yang tengkurap di dalam peti.
Aku mengangkatnya dengan hati-hati. Lalu membaliknya agar
menghadap ke arahku. Pada pipinya ada retakan-retakan halus. Dan ujung hidungnya
telah sempal. Kemudian aku menatap matanya - dan memekik tertahan.
Boneka itu tak bermata. Tak bermata sama sekali. Aku hanya melihat dua lubang hitam di bawah keningnya yang
kecil. "Jadi ini harta karun Nenek?" gumamku. "Ini sih cuma rongsokan!"
Boneka itu segera kukembalikan ke dalam peti. Tiba-tiba
terdengar bunyi berderit.
Dari seberang ruangan. Dari dekat pintu.
Aku menoleh dan melihat kuda-kudaan kayu yang berayun
maju-mundur. "Clark, kau yang mendorong kuda itu, ya?" tanyaku.
"Bukan," sahut Clark pelan-pelan. Ia memperhatikan kuda-
kudaan itu berayun-ayun. Maju-mundur. Berderit-derit.
"Ayo, kita keluar saja," kataku. "Aku jadi merinding di sini."
"Aku juga," kata Clark. "Kepala ratu caturnya dipenggal.
Dikunyah-kunyah sampai putus."
Clark melompati sejumlah kardus dan bergegas ke lorong.
Aku menengok sekali lagi sebelum mematikan lampu. Hih,
seram. "Clark?" Ke mana dia" Aku menoleh ke kiri-kanan.
Clark tidak kelihatan. Padahal baru saja dia masih di sini.
Berdiri di ambang pintu. "Clark" Di mana kau?"
Aku menyusuri lorong yang berkelok-kelok.
Perasaanku mulai tidak enak. Jantungku berdegup kencang.
"Clark" Ini tidak lucu."
Tak ada jawaban. "Clark" Di mana kau?"
Chapter 14 "BOOOO!" Aku langsung menjerit. Clark muncul di belakangku. Dia tertawa sampai terbungkuk-
bungkuk. "Kena kau!" serunya.
"Tidak lucu, Clark," omelku. "Kau cuma konyol. Aku sama sekali tidak takut."
Ia memutar-mutar bola matanya. "Hah, jangan bohong,
Gretchen. Mengaku sajalah - sekali ini saja. Kau benar-benar
ketakutan, ya kan?" "Enak saja!" bantahku. "Aku cuma sedikit kaget. Itu saja."
Kuselipkan kedua tanganku ke kantong celana, agar Clark tidak
melihat tanganku gemetaran. "Kau benar-benar konyol, tahu!"
"Hmm, Nenek kan berpesan agar kita bersenang-senang di sini.
Dan ini benar-benar asyik!" ia menggodaku. "Ke mana kita
sekarang?" "Aku tidak mau ke mana-mana," balasku gusar. "Aku mau mengurung diri di kamar
dan membaca." "Hei! Ide bagus!" seru Clark. "Kita main petak umpet saja!"
"Main" Apa aku tidak salah dengar?" ujarku. "Tadi kau bilang yang suka main cuma
anak dua tahun." "Ini lain," jelas Clark. "Main petak umpet di rumah ini bukan permainan untuk
bayi." "Clark, aku bukan..."
Ia tidak memberi kesempatan padaku untuk menyelesaikan
kalimat itu. "KAU YANG JAGA!" serunya. Seketika ia berbalik dan lari ke ujung
lorong untuk bersembunyi.
"Aku tidak mau main petak umpet," gerutuku.
Oke, kataku dalam hati. Kita selesaikan secepatnya saja. Cari
Clark sampai ketemu. Habis itu kau bisa ke kamar dan membaca.
Aku mulai berhitung lima-lima.
"Lima, sepuluh, lima belas, dua puluh...," kataku keras-keras, sampai seratus.
Kemudian aku mulai menyusuri lorong gelap. Ketika
aku sampai di ujung, lorongnya berbelok - dan menyambung ke
tangga yang menuju lantai tiga.
Aku mulai menaiki tangga kayu yang penuh debu. Tangganya
berputar dan berputar. Aku memandang ke depan, tapi yang terlihat
hanya beberapa anak tangga saja.
Kakiku sendiri pun tidak kelihatan. Keadaan di sini benar-benar
gelap gulita. Tangga itu berderak dan berderit setiap kali aku melangkah.
Langkannya tertutup lap isan debu tebal-tapi aku tetap berpegangan.
Aku naik perlahan-lahan - mendaki tangga putar yang gelap. Semakin
lama semakin tinggi. Aku mulai terengah-engah. Hidungku gatal karena mengisap
debu yang melayang-layang di udara pengap.
Akhirnya aku sampai di puncak tangga, dan memandang ke
lorong lantai tiga. Lorong itu juga berkelok-kelok, sama seperti lorong lantai
dua. Dindingnya juga dicat hijau tua. Dan satu-satunya sumber
cahaya berasal dari jendela kecil.
Perlahan-lahan aku melangkah maju dan membuka pintu
pertama yang kutemui. Ruangan itu ternyata besar sekali. Hampir seluas ruang duduk.
Tapi kosong sama sekali. Ruangan berikut tak kalah besarnya. Dan tak kalah kosongnya.
Dengan hati-hati aku kembali menyusuri lorong gelap.
Udara di atas sini benar-benar panas. Butir-butir keringat
mengalir dari pelipis ke pipiku. Aku menyeka semuanya dengan
Iblis Sungai Telaga 8 Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta Istana Kebahagiaan 3
Chapter 1 "KENAPA sih kita harus ke sana?" aku meratap di bangku
belakang mobil. "Kenapa?"
"Gretchen, Dad sudah berulang kali menjelaskan kenapa," ujar Dad sambil menghela
napas. "Mom dan Dad harus ke Atlanta. Ada
urusan dinas!" "Kalau itu sih aku sudah tahu," aku menyahut sambil
mencondongkan badan melewati sandaran bangku depan. "Tapi
kenapa kami tidak boleh ikut" Kenapa kami harus tinggal dengan
Kakek dan Nenek?" "Karena kami bilang begitu," Mom dan Dad menjawab
bersamaan. Karena kami bilang begitu. Begitu kata-kata keramat itu sudah
keluar, tak ada gunanya berdebat. Aku merosot di bangku belakang.
Mom dan Dad mendadak harus berangkat ke Atlanta. Kabarnya
ada urusan kantor yang sangat mendesak. Baru tadi pagi mereka
ditelepon. Ini tidak adil, pikirku. Mereka bisa berkunjung ke kota besar
yang ramai seperti Atlanta. Sedangkan Clark - saudara tiriku - dan
aku terpaksa meringkuk di Mud Town.
Mud Town, alias Kota Lumpur.
Ehm, nama sebenarnya sih bukan Mud Town. Tapi seharusnya
begitu. Tempat itu tak ada bedanya dengan rawa-rawa. Nenek Rose
dan Kakek Eddie tinggal di Georgia bagian selatan - di tengah rawa.
Percaya tidak" Di tengah rawa. Aku memandang ke luar. Sepanjang hari kami meluncur di
jalan bebas hambatan. Dan sekarang kami menyusuri jalan sempit
yang membelah rawa. Hari sudah sore. Pohon-pohon cypress menimbulkan bayangan-
bayangan panjang di alang-alang.
Aku menyembulkan kepala lewat jendela yang terbuka.
Seketika wajahku diterpa angin panas dan lembap. Cepat-cepat aku
duduk lagi dan berpaling ke Clark. Ia sedang asyik membaca komik.
Umur Clark dua belas talum sama seperti aku. Tapi dia lebih
pendek. Jauh lebih pendek. Rambutnya cokelat berombak. Matanya
juga cokelat, dan wajahnya penuh bintik. Tampangnya persis seperti
Mom. Aku termasuk tinggi untuk umurku. Rambutku panjang, lurus,
dan pirang; mataku hijau. Aku mirip Dad.
Orangtuaku bercerai Ketika aku baru berumur dua tahun. Hal
yang sama juga terjadi pada Clark. Ayahku dan ibu Clark menikah
tepat setelah kami berulang tahun ketiga, dan kami bersama-sama
pindah ke rumah baru. Aku suka ibu tiriku. Clark dan aku lumayan akur. Kadang-
kadang sih tingkahnya cukup menyebalkan. Teman-temanku juga
bilang begitu. Tapi kurasa saudara-saudara mereka juga sering
brengsek. Aku menatap Clark. Memperhatikannya membaca.
Kacamatanya merosot di hidungnya.
Ia segera mendorongnya ke atas lagi.
"Clark...," ujarku.
"Ssst!" Ia mengangkat sebelah tangan supaya aku diam. "Lagi seru nih."
Clark penggemar komik. Terutama komik horor. Tapi jangan
disangka ia pemberani - ia selalu ngeri sendiri sesudah selesai
membacanya. Aku kembali memandang ke luar jendela.
Aku menatap pohon-pohon. Memperhatikan dahan-dahan yang
terselubung semacam jaring-jaring kelabu. Ke mana pun aku
memandang, aku melihat jaring-jaring kelabu bergelantungan
bagaikan tirai. Suasana rawa jadi semakin suram.
Mom sempat bercerita soal jaring-jaring itu waktu kami
berkemas tadi pagi. Ia tahu banyak soal rawa. Mom bilang daerah
rawa adalah tempat yang menyeramkan tapi sekaligus indah.
Katanya jaring-jaring itu sebenarnya sejenis tumbuhan yang
hidup di pohon-pohon. Tumbuhan yang hidup di tumbuhan lain. Ajaib, kataku dalam
hati. Benar-benar ajaib. Hampir seajaib Kakek dan Nenek.
"Dad, kenapa Kakek dan Nenek tidak pernah berkunjung ke
rumah kita?" tanyaku. "Clark dan aku tidak pernah ketemu mereka sejak kami masih
empat tahun." "Hmm, mereka memang agak aneh." Dad menatapku lewat
kaca spion. "Mereka tidak suka bepergian. Mereka hampir tidak
pernah keluar rumah. Dan rumah mereka begitu terpencil di tengah
rawa, sehingga orang lain juga sulit mengunjungi mereka."
"Oh, wow!" ujarku. "Kita bakal menginap di rumah sepasang pertapa ajaib."
"Pertapa ajaib yang bau," gumam Clark sambil berpaling dari komiknya.
"Clark! Gretchen!" Mom menegur kami. "Jangan bicara begitu tentang kakek dan
nenek kalian." "Mereka bukan kakek dan nenekku. Mereka kakek dan nenek
dia," Clark membalas sambil menggerakkan dagu ke arahku. "Dan mereka memang bau.
Aku masih ingat kok."
Aku menonjok lengan saudara tiriku. Tapi ia benar. Kakek dan
Nenek memang bau. Bau apak bercampur bau kamper.
Aku kembali merosot di bangku belakang dan menguap lebar.
Rasanya kami sudah berminggu-minggu duduk di dalam mobil.
Dan bangku belakang terasa sempit karena ada aku, Clark dan Charley yang
berdesak-desakan. Charley anjing kami - seekor golden
retriever. Aku mendorong Charley ke samping dan meluruskan kaki.
"Hei, jangan dorong-dorong dia ke sini terus dong!" omel
Clark. Komiknya terjatuh ke lantai.
"Coba duduk tenang, Gretchen," gumam Mom. "Hmm,
seharusnya Charley kita masukkan ke tempat penitipan saja."
"Aku sudah berusaha mencari tempat untuknya," kata Dad.
"Tapi tak ada yang bisa melayani permintaan mendadak."
Clark menyingkirkan Charley dari pangkuannya, lalu meraih ke
bawah untuk memungut komiknya. Tapi aku lebih cepat.
"Ya ampun," gumamku ketika membaca judulnya. "Makhluk dari Lumpur" Mau-maunya
sih kau baca sampah seperti ini?"
"Ini bukan sampah," balas Clark. "Komik ini asyik sekali. Jauh lebih seru
daripada majalah-majalah konyol tentang alam yang selalu kaubaca."
"Ceritanya tentang apa sih?" tanyaku sambil membalik-balik halaman.
"Tentang monster-monster yang mengerikan. Setengah
manusia. Setengah binatang. Mereka memasang perangkap untuk
menjebak orang. Lalu mereka bersembunyi di genangan lumpur. Di
dekat permukaan," jelas Clark. Ia merebut komik yang masih
kupegang. "Lalu bagaimana?" tanyaku.
"Habis itu mereka menunggu. Menunggu dengan sabar -
sampai ada orang yang masuk ke jebakan mereka." Suara Clark mulai bergetar.
"Lalu korban itu mereka bawa ke rawa. Dan dijadikan
budak!" Clark bergidik. Ia memandang ke luar jendela. Menatap
pepohonan cypress yang menyeramkan dan seolah-olah berjanggut
panjang kelabu. Hari sudah mulai gelap. Bayangan pepohonan semakin panjang.
Clark merosot di bangku belakang. Daya khayalnya memang
luar biasa. Ia percaya segala sesuatu yang dibacanya. Dan setelah itu ia jadi
ketakutan sendiri - seperti sekarang.
"Apa lagi yang mereka lakukan?" tanyaku. Aku berusaha
memancing Clark untuk bercerita lebih banyak lagi. Biar ia semakin
ngeri. "Ehm, setelah gelap, monster-monster itu keluar dari lumpur,"
ia kembali angkat bicara. Duduknya semakin merosot. "Dan mereka menculik anak-
anak kecil dari tempat tidur masing-masing. Untuk
dibawa ke rawa. Lantas ditarik ke dalam lumpur. Anak-anak itu tidak pernah
kelihatan lagi." Sekarang Clark betul-betul ketakutan.
"Sebenarnya memang ada makhluk seperti itu yang hidup di
rawa. Aku belajar di sekolah," aku berbohong. "Monster-monster mengerikan.
Setengah buaya, setengah manusia. Berselubung lumpur.
Dengan sisik-sisik runcing yang tersembunyi di balik lumpur. Kalau
sampai kena, sisik-sisik itu bisa membuat dagingmu terlepas dari
tulang." "Gretchen, sudah," Mom memperingatkanku. Clark mendekap
Charley erat-erat. "Hei! Clark!" Aku menunjuk ke luar jendela. Di depan ada
jembatan tua yang sempit. Papan-papannya sudah melengkung semua.
Sepertinya jembatan itu sudah mau ambruk. "Pasti ada monster rawa yang menunggu
kita di bawah jembatan."
Clark mengamati jembatan itu. Charley dipeluknya lebih erat
lagi. Kami mulai melewati papan-papan kayu yang berderak-derak
ketika dilindas ban mobil.
Aku menahan napas. Jembatan ini pasti tidak kuat, kataku
dalam hati. Dad menjalankan mobil pelan-pelan. Pelan-pelan sekali.
Rasanya kami tidak maju-maju.
Clark masih berpegangan pada Charley. Ia terus menoleh ke
luar jendela. Pandangannya seolah-olah terpaku pada jembatan tua itu.
Aku menarik napas lega ketika kami akhirnya mendekati sisi
seberang. Dan kemudian aku memekik kaget - ketika ledakan dahsyat
mengguncangkan mobil kami.
"Aduuuh!" Clark dan aku menjerit waktu mobil kami mulai
oleng tak terkendali. Kami menabrak pinggir jembatan.
Menerobos pagar kayu yang sudah lapuk.
"K-kita bakal tercebur!" seru Dad.
Aku memejamkan mata ketika mobil kami mulai menukik ke
rawa. Chapter 2 MONCONG mobil kami membentur tanah.
Clark dan Charley terlempar kian kemari di bangku belakang.
Ketika mobil kami akhirnya berhenti meluncur, keduanya duduk
menindihku. "Kalian tidak apa-apa?" Mom bertanya dengan suara bergetar.
Ia menoleh ke belakang. "Ehm, kelihatannya sih begitu," sahutku.
Kami semua terdiam sejenak.
Charley memecahkan keheningan dengan perlahan.
"A-apa yang terjadi?" Clark tergagap-gagap.
"Ban kita pecah." Dad menghela napas. "Moga-moga ban serepnya tidak kempis juga.
Malam-malam tidak ada yang bisa
membantu kita di tengah rawa ini."
Aku menyembulkan kepala lewat jendela untuk memeriksa ban.
iernyata Dad benar. Bannya kempis sama sekali.
Wah, kita bcruntung sekali, pikirku. Kita beruntung karena
jembatannya rendah. Kalau tidak...
"Oke, semuanya turun," Mom membuyarkan lamunanku. "Biar Dad bisa ganti ban
serep." Sebelum membuka pintu, Clark memeriksa keadaan sekeliling
dulu lewat jendela. Aku tahu ia agak ngeri.
"Awas, Clark," kataku ketika ia hendak mengeluarkan kakinya yang pendek.
"Monster rawa selalu mengincar korban pendek."
"Lucu sekali, Gretchen. Lucu sekali. Kapan-kapan aku akan
ketawa." Dad menuju ke bagasi untuk mengambil dongkrak. Mom
mengikutinya. Clark dan aku berjalan ke rawa.
"Oh, aduh!" Sepatu basketku yang putih dan masih baru
terbenam dalam lumpur hitam.
Aku menghela napas. Kok ada sih orang yang betah tinggal di tengah rawa" aku
bertanya-tanya heran. Udara pengap sekali. Pengap dan panas. Aku sampai susah
bernapas. Aku mengucir rambutku dan memandang berkeliling.
Tapi tidak banyak yang bisa dilihat. Langit sudah gelap gulita.
Clark dan aku berjalan menjauhi mobil. "Ayo, kita periksa
tempat ini. Mumpung Dad lagi ganti ban," aku mengusulkan padanya.
"Kukira itu bukan ide baik," gumam Clark.
"Tenang saja," desakku. "Apa lagi yang bisa kita kerjakan di sini" Begitu kan
lebih baik daripada bengong."
"Ehm... benar juga sih," sahut Clark ragu-ragu. Kami maju beberapa langkah.
Wajahku mulai gatal. Nyamuk! Ratusan nyamuk. Kami membungkuk dan mengelak sambil menepis serangga-
serangga pengisap darah dari wajah dan lengan masing-masing.
"Aduh! Tempat ini benar-benar parah!" teriak Clark. "Aku tidak mau tinggal di
sini. Aku ikut ke Atlanta saja!"
"Di rumah Nenek keadaannya tidak separah di sini," seru Mom.
"Yeah, pasti," kata Clark seakan-akan tidak percaya. "Aku balik ke mobil saja."
"Ayo dong," aku berkeras. "Coba kita lihat apa yang ada di sebelah sana." Aku
menunjuk rumpun alang-alang yang tampak di
depan. Aku langsung mulai melintasi genangan lumpur. Sambil
berjalan aku menoleh ke belakang - untuk memastikan Clark
mengikutiku. Ternyata ia ikut.
Ketika kami sampai di rumpun alang-alang, kami mendengar
bunyi berdesir di tengah-tengahnya. Clark dan aku memicingkan mata
agar dapat melihat lebih jelas.
"Jangan terlalu jauh, ya," Dad mewanti-wanti. Ia dan Mom
sedang mengeluarkan barang-barang bawaan kami dari bagasi untuk
mencari senter. "Di tempat seperti ini masih banyak ular."
"Ular" Whoa!" Clark langsung melompat mundur. Kalang
kabut ia berbalik dan mulai berlari ke mobil.
"Dasar penakut!" seruku. "Katanya kau mau ikut periksa tempat ini!"
"Tidak jadi!" balasnya. "Dan jangan sebut aku penakut."
"Sori deh," aku minta maaf. "Ayo, kita jalan lagi. Ke pohon itu.
Yang paling tinggi tuh. Setelah itu kita langsung balik ke mobil," aku berjanji.
"Ayo dong!" Clark dan aku mulai berjalan ke pohon itu.
Kami berjalan pelan-pelan. Menembus kegelapan. Menerobos
hutan pohon-pohon cypress.
Tirai-tirai kelabu berayun-ayun dari dahan-dahan. Tirai-tirai itu
tumbuh begitu rapat, sehingga orang yang bersembunyi di baliknya
takkan kelihatan. Kami bisa tersesat di sini, aku menyadari. Tersesat selama-
lamanya Aku merinding ketika tirai-tirai kelabu itu mengenai kulitku.
Rasanya seperti sarang labah-labah. Sarang labah-labah raksasa yang lengket.
"Kita balik saja deh, Gretchen," Clark memohon. "Tempat ini terlalu mengerikan."
"Sedikit lagi," aku berkeras.
Dengan hati-hati kami menerobos di antara pepohonan. Pada
setiap langkah sepatu kami terbenam dalam genangan air lumpur yang
keruh.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangga-serangga kecil berdengung-dengung di telingaku.
Serangga-serangga yang lebih besar menggigit tengkukku. Aku sibuk
menepuk-nepuk. Aku melangkah maju - ke sebidang tanah kering yang
ditumbuhi rumput. "Hei!"
Bidang tanah yang kuinjak mulai bergerak. Mulai membelah air
yang hitam. Aku cepat-cepat melompat turun - dan tersandung akar pohon.
Bukan - bukan akar pohon. "Hei, Clark! Coba lihat ini!" Aku membungkuk agar dapat
melihat lebih jelas. "Apa itu?" Clark berlutut di sampingku dan menatap benda di hadapan kami.
"Ini cypress knee," jelasku. "Mom yang memberitahuku.
Tumbuhnya di dekat pohon cypress."
"Kenapa Mom tidak pernah menceritakan hal-hal seperti itu
padaku?" tanya Clark kesal.
"Mungkin dia kuatir kau bakal takut," sahutku.
"Huh, brengsek," gerutunya sambil membetulkan letak
kacamatanya. "Bagaimana" Kita balik sekarang?"
"Kita sudah hampir sampai. Lihat tuh!" kataku sambil
menunjuk pohon tertinggi. Pohon itu tumbuh di tengah lapangan di
hadapan kami. Clark mengikutiku ke situ.
Udara berbau kecut. Berbagai suara bergema dalam kegelapan. Kami mendengar
erangan-erangan tertahan. Teriakan-teriakan melengking. Suara
makhluk-makhluk rawa, aku menyadari. Makhluk-makhluk rawa yang
tersembunyi. Aku merinding. Tapi aku tetap maju ke pohon tertinggi.
Clark tersandung pohon tumbang. Ia terhuyung-huyung dan
nyaris jatuh ke genangan air lumpur.
"Cukup," gerutunya. "Aku mau balik ke mobil." Meskipun gelap, aku bisa melihat
romannya yang ketakutan. Rawa ini memang menakutkan. Tapi Clark kelihatan begitu
ngeri, sehingga aku mulai cekikikan. Tapi kemudian aku mendengar
langkah. Clark juga mendengarnya. Langkah berat dari tengah rawa yang hitam dan berkabut.
Bunyi itu semakin dekat. Tepat menuju ke arah kami.
"Ayo!" teriak Clark sambil menarik tanganku. "Kita harus pergi dari sini!"
Tapi aku tidak beranjak. Aku tidak bisa bergerak. Kini aku bisa
mendengar napas makhluk itu. Ia mendengus-dengus. Semakin dekat.
Semakin dekat. Makhluk itu muncul tiba-tiba. Dari balik tirai-tirai kelabu.
Aku melihat sosok hitam yang seperti terbang. Makhluk
penghuni rawa yang besar sekali. Ia menerjang ke arah kami.
Warnanya lebih gelap daripada lumpur rawa yang hitam - dan
matanya menyala-nyala. Chapter 3 "CHARLEY...! Kenapa kau ada di bawah sana?" seru Mom
sambil menghampiri kami. "Mom pikir kalian mengawasi dia."
Charley" Aku lupa sama sekali pada Charley.
Dialah monster rawa yang kulihat.
"Mom sudah mencari kalian ke mana-mana," kata Mom gusar.
"Bukankah Mom dan Dad sudah melarang kalian pergi jauh-jauh?"
"Sori, Mom," aku minta maaf. Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Charley
menubrukku hingga aku terjatuh - ke genangan lumpur.
"Awas, Charley! Awas!" teriakku. Tapi ia malah menaruh
kakinya yang besar di pundakku dan menjilat-jilat wajahku.
Aku bermandikan lumpur. Betul-betul bermandikan lumpur.
"Ayo, sini." Clark menarik pengikat leher Charley. "Kau ketakutan tadi,
Gretchen. Kaupikir Charley monster rawa." Clark tertawa. "Kau benar-benar
ketakutan." "Enak saja," balasku sengit. Aku berusaha membersihkan
lumpur yang menempel pada celana jeans-ku. "Aku cuma pura-pura, supaya kau
ngeri." "Kau benar-benar ketakutan tadi. Ayo, jangan bohong," Clark berkeras. "Mengaku
sajalah." "Aku TIDAK takut." Aku mulai naik pitam. "Siapa yang memohon-mohon balik ke
mobil?" aku mengingatkannya. "Kau! Kau!
Kau!" "Ada apa sih?" tanya Dad. "Dan kenapa kalian ada di tengah rawa sini" Dad kan
sudah bilang kalian tidak boleh jauh-jauh dari
mobil!" "Ehm, sori, Dad," aku kembali minta maaf. "Tapi Clark dan aku bosan harus
menunggu Dad ganti ban."
"Hei! Kau memaksaku kemari!" protes Clark. "Dia yang punya ide untuk menjelajahi
rawa." "Cukup!" kata Dad tegas. "Ayo, kembali ke mobil!"
Sepanjang perjalanan Clark dan aku terus berdebat.
Ban yang pecah memang sudah diganti, tapi sekarang Dad
harus berusaha agar mobil kami bisa kembali ke jalan. Dan itu tidak mudah.
Setiap kali Dad menginjak pedal gas, roda belakang cuma
berputar di lumpur tebal.
Akhirnya kami semua turun dan mendorong mobil.
Akibatnya, Mom dan Clark juga berlepotan lumpur.
Aku memandang rawa yang gelap dan menyeramkan ketika
kami kembali melaju di jalan.
Memandang rawa sambil memperhatikan suara-suara yang
terdengar. Bunyi mengerik yang tajam.
Erangan-erangan tertahan.
Teriakan-teriakan melengking.
Aku sudah sering mendengar cerita mengenai monster rawa.
Dan aku juga pernah membaca sejumlah legenda kuno. Mungkinkah
monster rawa memang ada" tanyaku dalam hati.
Tak sedikit pun terlintas dalam benakku bahwa aku akan segera
menemukan jawabannya. Chapter 4 "YA. Ya. Betul kok."
"Tidak mungkin!" bantahku. "Tidak mungkin mereka tinggal di situ, Dad!"
"Itu rumah mereka," Dad berkeras sementara kami terguncangguncang di jalan tanah
yang sempit dan tidak rata. "Itu rumah Kakek dan Nenek."
"Tidak mungkin itu rumah mereka." Clark menggosok mata.
"Itu pasti cuma bayangan semu. Aku sudah baca buku Makhluk dari Lumpur. Di situ
dikatakan lumpur rawa bisa mengelabui mata kita.
Sehingga kita melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada."
Nah, apa kubilang" Clark benar-benar percaya segala sesuatu
yang dibacanya. Tapi kali ini aku terpaksa sependapat dengannya. Habis, kalau
bukan begitu, bagaimana mungkin aku menjelaskan rumah Kakek dan
Nenek" Mereka tinggal di puri. Puri di tengah rawa. Setengah tersembunyi di balik pepohonan gelap yang
menjulang tinggi. Dad menghentikan mobil di depan pintu masuk. Aku menatap
rumah yang terang karena tersorot lampu mobil.
Rumah itu berlantai tiga. Terbuat dari batu-batu kelabu tua. Di
sisi kanannya berdiri menara. Di sebelah kiri, asap putih tampak
mengepul-ngepul dari cerobong asap yang hitam tertutup jelaga.
"Kupikir rumah di rawa lebih kecil dari ini," gumamku, "dan dibangun di atas
tiang-tiang." "Yeah, gambar di komikku juga begitu," Clark membenarkan.
"Dan coba lihat jendela-jendelanya!" Suaranya bergetar. "Jangan-jangan mereka
vampir yang takut kena sinar matahari."
Aku mengamati jendela-jendela rumah itu. Semuanya kecil.
Dan jumlahnya hanya tiga. Rumah besar itu hanya punya tiga jendela
mungil! Satu jendela si masing-masing lantai.
"Ayo, anak-anak," kata Mom. "Ambil barang-barang kalian."
Mom, Dad, dan Clark turun dari mobil dan menuju bagasi di
belakang. Aku berdiri di depan pintu mobil bersama Charley.
Udara malam terasa dingin dan lembap di kulitku. Aku
menengadah. Menatap rumah tua yang gelap di hadapanku. Rumah tua yang
setengah tersembunyi di balik pepohonan. Di tempat jin buang anak.
Dan kemudian aku mendengar lolongan. Lolongan sedih yang
membuat bulu kuduk berdiri. Dari suatu tempat di tengah-tengah
rawa. Aku merinding. Charley merapat ke kakiku. Aku membungkuk membelainya.
"Suara apa itu?" bisikku padanya. "Makhluk apa yang bersuara seperti itu?"
"Gretchen. Gretchen," Mom memanggilku dari pintu rumah.
Yang lain ternyata sudah masuk.
"Astaga," kata Nenek ketika aku menyusul mereka. "Terakhir kali Nenek melihatmu,
kau masih kecil sekali, Gretchen." Ia
merangkulku dan mendekapku erat-erat.
Baunya persis seperti yang kuingat - apak, seperti benda yang
sudah lapuk. Aku melirik ke arah Clark. Ia memutar-mutar,bola mata.
Aku mundur selangkah dan memaksakan senyum. "Minggirlah,
Rose!" seru Kakek. "Aku juga ingin melihat cucuku."
"Pendengaran Kakek sudah kurang baik," bisik Dad padaku.
Kakek menggenggam tanganku dengan jarinya yang berkerut-
kerut. Ia dan Nenek kelihatan begitu rapuh.
"Kami senang sekali kalian datang kemari!" kata Nenek
gembira. Mata birunya tampak berbinar-binar. "Kami jarang
menerima tamu di sini!"
"Kami sempat kuatir kalian tidak jadi datang," seru Kakek.
"Kami tidak menyangka kalian datang malam-malam begini."
"Ban mobil saya pecah di jalan," jelas Dad.
"Apa" Kau lelah?" Kakek merangkul Dad. "Wah, kalau begitu duduklah, Nak."
Clark cekikikan. Mom segera menyikutnya. Kakek dan Nenek
mengajak kami ke ruang duduk.
Ruangan itu luas sekali. Kurasa ukurannya cukup besar untuk
menampung seluruh isi rumah kami.
Dinding-dindingnya dicat hijau. Hijau suram. Aku memandang
ke atas, ke langit-langit. Menatap lampu kristal dengan dua belas lilin yang
disusun melingkar. Di salah satu dinding ada perapian yang besar sekali.
Dinding-dinding lainnya dipenuhi foto hitam-putih. Semuanya
sudah menguning karena tua.
Di mana-mana aku melihat foto. Foto orang-orang yang tidak
kukenal. Mungkin para kerabat yang sudah meninggal, kataku dalam
hati. Aku menoleh ke pintu yang terbuka, dan mengintip ke ruang
sebelah. Rupanya ruang makan. Sepintas lalu kelihatannya sama besar dengan ruang
duduk. Juga sama gelapnya. Dan sama suramnya.
Clark dan aku mengambil tempat di sofa tua berjok hijau.
Pegas-pegasnya yang sudah tua berderit-derit ketika aku duduk.
Charley mengerang pelan dan berbaring di lantai di depan kaki kami.
Aku memandang berkeliling. Menatap foto-foto yang
tergantung di dinding. Memperhatikan permadani yang sudah
menipis. Mengamati meja-meja dan kursi-kursi yang telah dimakan
usia. Cahaya lilin dari atas membuat bayangan kami menari-nari di
dinding yang gelap. "Rumah ini seram,", bisik Clark. "Dan baunya minta ampun -
lebih parah dari bau Kakek dan Nenek."
Aku berusaha menahan tawa. Tapi Clark benar. Ruangan itu
memang berbau aneh. Apak dan kecut.
Bagaimana mungkin dua orang tua betah tinggal di tempat
seperti ini" aku bertanya-tanya. Bagaimana mungkin mereka betah
tinggal di rumah gelap dan suram ini" Di tengah-tengah rawa lagi.
"Ada yang mau minum?" Nenek membuyarkan lamunanku.
"Bagaimana kalau kubuatkan teh untuk semuanya?"
Clark dan aku menggelengkan kepala.
Dad dan Mom juga menolak. Mereka duduk berseberangan
dengan kami. Sandaran kursi yang mereka duduki sudah bolong-
bolong, dan karet busanya menyembul di sana-sini.
"Hmm, akhirnya kalian datang juga!" seru Kakek pada Clark dan aku. "Kakek senang
sekali. Tapi tolong jelaskan - kenapa kalian baru datang malam-malam begini?"
"Kakek," seru Nenek padanya, "jangan tanya terus!" Kemudian ia berpaling pada
kami. "Kalian pasti kelaparan setelah menempuh perjalanan panjang. Mari ikut ke
dapur. Nenek telah membuatkan
pastel ayam - khusus untuk kalian."
Kami mengikuti Kakek dan Nenek ke dapur. Suasananya serupa
dengan ruangan-ruangan lain. Gelap dan kumuh.
Tapi baunya tidak seapak ruangan-ruangan lain. Aroma pastel
ayam merangsang selera. Nenek mengeluarkan delapan potong pastel dari oven. Satu
potong untuk setiap orang - selebihnya untuk mereka yang mau
tambah. Nenek menaruh sepotong ke piringku, dan aku langsung mulai
makan. Aku memang kelaparan.
Ketika aku mengangkat garpu ke mulut, Charley mendadak
berdiri dan mulai mengendus-endus.
Ia mengendus kursi-kursi yang kami duduki.
Ia mengendus lemari, lalu mengendus lantai.
Ia naik ke meja dan kembali mengendus.
"Charley, jangan!" perintah Dad. "Turun!"
Charley melompat turun. Kemudian ia menghadap kami dan
memperlihatkan gigi. Ia mulai menggeram. Lalu menggonggong. Menggonggong sejadi-jadinya.
"Ada apa dengan dia?" Nenek bertanya dengan kening berkerut.
"Entahlah," jawab Dad. "Dia belum pernah ber tingkah seperti ini."
"Ada apa, Charley?" tanyaku. Aku menggeser kursiku menjauhi meja dan menghampiri
anjing kami. Charley mengendus-endus. Lalu menggonggong. Lalu mengendus-endus lagi.
Aku merinding. "Ada apa, Charley" Apa yang kaucium?"
Chapter 5 AKU meraih pengikat leher Charley. Kemudian aku mengelus-
elusnya. Berusaha menenangkannya. Tapi ia berhasil meloloskan diri
dari peganganku. Ia menggonggong lebih keras lagi.
Kembali kuraih pengikat lehernya dan kutarik tubuhnya ke
arahku. Kukunya menggores-gores lantai ketika ia memberontak.
Semakin keras aku menarik, semakin keras pula Charley
melawan. Kepalanya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Dan ia
mulai menggeram lagi. "Tenang," kataku lembut. "Tenang."
Sia-sia. Akhirnya Clark membantuku menyeret Charley ke ruang
duduk - dan baru di situlah ia mulai tenang.
"Ada apa sih dengan dia?" tanya Clark sementara kami
membelai-belai kepala anjing itu.
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entahlah." Aku menatap Charley. Ia tampak gelisah dan terus berputar-putar. Ia
duduk sebentar. Lalu kembali berputar-putar. Begitu seterusnya.
"Aku benar-benar bingung. Dia belum pernah bertingkah
begini. Belum pernah."
Clark dan aku memutuskan untuk menunggu di ruang duduk
bersama Charley sementara Dad dan Mom makan malam. Kami telah
kehilangan selera. "Bagaimana anjing kalian?" Kakek menyusul kami dan ikut
duduk di sofa. "Dia sudah tenang sekarang," jawab Clark sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Senang?" seru Kakek. "Ah, syukurlah kalau begitu."
***************************
Sehabis makan malam, Mom, Dad, Kakek, dan Nenek
mengobrol dan mengobrol dan terus mengobrol - tentang segala
sesuatu yang terjadi sejak mereka terakhir kali bertemu, Sembilan
tahun lalu. Clark dan aku bosan. Betul-betul bosan.
"Apakah kami boleh... ehm, nonton TV?" tanya Clark akhirnya.
"Oh, maaf, Sayang," ujar Nenek, "tapi kami tidak punya pesawat TV."
Clark memelototiku - seakan-akan aku yang salah.
"Kenapa kau tidak menelepon Arnold saja?" usulku. Arnold
anak paling norak di sekitar rumah kami. Dan sekaligus sahabat karib Clark.
"Ingatkan dia untuk mengambil komik barumu."
"Oke," gumam Clark. "Ehm, di mana teleponnya?"
"Di kota." Nenek tersenyum kecut. "Kenalan kami - yang masih hidup - hanya sedikit.
Jadi percuma pasang telepon di sini. Mr.
Donner - pemilik warung serbaada - biasa menerima pesan-pesan
untuk kami." "Tapi sudah seminggu ini kami tidak bertemu dia," Kakek
menambahkan. "Mobil Kakek rusak. Tapi mestinya sebentar lagi
sudah selesai diperbaiki. Dalam minggu ini."
Tak ada TV. Tak ada telepon. Tak ada mobil. Di tengah-tengah rawa. Kali ini giliran aku yang melolot - pada Dad dan Mom.
Aku pasang tampang kesal. Aku yakin mereka akan mengajak
kami ke Atlanta. Aku yakin seratus persen.
Dad melirik Mom. Ia membuka mulut untuk mengatakan
sesuatu. Kemudian ia berpaling padaku. Dan angkat bahu seakan-akan
hendak menunjukkan bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa.
"Wah, sudah waktunya tidur!" Kakek menatap jam tangannya.
"Kalian berdua harus berangkat pagi-pagi besok," katanya kepada Dad dan Mom.
"Dan kalian akan bersenang-senang di sini," kata Nenek kepada Clark dan aku.
"Ya, itu pasti," Kakek mendukungnya. "Rumah tua seperti ini paling asyik untuk
dijelajahi. Kalian bisa bertualang di sini!"
"Dan Nenek akan membuat pie talas yang lezat sekali!" Nenek menimpali. "Kalian
boleh ikut membantu. Kalian pasti suka. Saking manisnya, gigi kalian bisa
tanggal setelah gigitan pertama!"
Clark menelan ludah. Aku mengerang - keras-keras.
Dad dan Mom tidak peduli. Mereka mengucapkan selamat
tidur. Dan sekaligus selamat berlibur. Mereka akan berangkat pagi-
pagi sekali besok. Kemungkinan besar sebelum kami bangun.
Clark dan aku mengikuti Nenek. Kami menaiki tangga tua yang
gelap dan berderit-derit, lalu menyusuri lorong panjang ke kamar kami masing-
masing di lantai dua. Kamar Clark bersebelahan dengan kamarku. Aku tidak sempat
melihat seperti apa kamarnya. Begitu Clark masuk, Nenek segera
menggiringku ke kamar berikut.
Kamarku. Kamarku yang suram.
Kutaruh koperku di samping tempat tidur, lalu memandang
berkeliling. Kamar itu hampir sebesar ruang olahraga! Dan tidak ada satu jendela
pun. Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu redup di samping
tempat tidur. Lantai kamar tertutup karpet buatan sendiri yang sudah tipis dan
kusam. Di dinding di seberang tempat tidur ada lemari pakaian.
Lemarinya miring. Dan laci-lacinya tidak bisa ditutup rapat.
Satu tempat tidur. Satu lampu. Satu lemari. Hanya ada tiga
potong perabot di ruangan luas tanpa jendela itu.
Dinding-dindingnya juga kosong. Tak ada lukisan atau foto
yang menghiasi dinding kelabu itu.
Aku duduk di tempat tidur, dan menyandarkan punggung ke
kisi-kisi besi di bagian kepala.
Lalu aku meraba-raba selimut yang menutupi tempat tidur.
Ternyata selimut wol. Selimut wol yang kasar dan berbau kamper.
"Selimut ini takkan kupakai," ujarku keras-keras. Tapi aku tahu aku harus
memakainya. Kamarku dingin dan lembap. Sekarang saja
aku sudah mulai menggigil.
Aku segera mengenakan baju tidur dan menyelinap ke balik
selimut tua yang bau. Tapi aku tidak bisa tidur. Aku gulang-guling terus sambil
berusaha mencari posisi nyaman di kasur keras.
Aku menatap langit-langit dan pasang telinga. Aku
mendengarkan suara-suara aneh yang terdengar di rumah tua yang
seram ini. Bunyi berderak dan berderit yang merambat melalui
dinding-dinding. Kemudian aku mendengar suara melolong.
Lolongan mengerikan dari balik dinding.
Lolongan seperti yang terdengar di rawa tadi. Aku langsung
duduk tegak. Kedengarannya suara itu berasal dari kamar Clark.
Chapter 6 AKU terus pasang telinga tanpa berani bergerak.
Sekali lagi terdengar lolongan panjang yang sedih. Tapi
ternyata dari luar. Bukan dari kamar Clark.
"Jangan konyol!" aku memarahi diriku sendiri. "Clark yang suka berkhayal macam-
macam. Bukan kau!" Suara melolong dari rawa itu membuatku merinding.
Suara binatangkah itu" Atau suara monster rawa"
Mukaku kututup bantal. Tapi aku tetap terjaga selama berjam-
jam sebelum akhirnya tertidur.
Ketika bangun aku tidak tahu apakah sudah pagi - atau masih
tengah malam buta. Habis di kamarku tidak ada jendela sama sekali.
Aku melirik arlojiku - 08.30. Ternyata sudah pagi.
Aku menggeledah koper untuk mencari T-shirt baruku, yang
berwarna pink. Aku butuh sesuatu untuk membuatku bersemangat -
dan pink adalah warna kesukaanku. Kemudian aku mengenakan
celana jeans. Dan memakai sepatu kets yang penuh lumpur.
Aku berpakaian dengan cepat. Kamarku mengingatkanku pada
sel penjara, dan aku ingin segera keluar dari sini.
Aku membuka pintu kamar dan mengintip ke lorong.
Sepi. Tapi di seberang pintu kamarku ada jendela kecil. Rupanya
semalam aku tidak memperhatikannya.
Seberkas sinar matahari yang cerah masuk melalui kaca yang
penuh debu. Aku memandang ke luar - ke arah rawa.
Pohon-pohon cypress tampak terselubung kabut tebal. Kabut itu
membuat rawa-rawa berkesan misterius, seakan-akan berasal dari
dunia khayalan. Sesuatu berkepak-kepak di dahan pohon. Ternyata seekor
burung berbulu ungu. Seekor burung berbulu ungu dengan paruh
jingga manyala. Aku belum pernah melihat burung seperti itu.
Kemudian suara tadi terdengar lagi.
Lolongan-lolongan mengerikan. Teriakan-teriakan melengking.
Suara binatang-binatang yang bersembunyi di tengah rawa -
segala macam makhluk yang kemungkinan besar belum pernah
kulihat. Makhluk-makhluk rawa. Monster-monster rawa. Aku merinding. Aku cepat berpaling dari jendela dan menuju
kamar Clark. Aku mengetuk pintu. "Clark!"
Tak ada jawaban. "Clark?" Hening. Aku membuka pintu dan memekik tertahan.
Seprai di tempat tidur Clark tampak acak-acakan
seakan-akan telah terjadi pergumulan.
Dan Clark lenyap tanpa bekas - tak ada yang tersisa selain
piama yang tergeletak di atas tempat tidur.
Chapter 7 "WAAAA!" jeritku.
"Ada apa sih, Gretchen?"
Clark muncul dari balik lemari. Ia memakai T-shirt, topi
baseball, sepatu kets, dan celana piama.
"Ehm... t-tidak ada apa-apa," aku tergagap-gagap. Jantungku masih berdegup
kencang. "Kalau begitu, kenapa kau menjerit?" tanya Clark. "Dan kenapa tampangmu begitu
aneh?" "Aku" Aneh" Kau yang kelihatan aneh, balasku ketus. Aku
menunjuk celana piamanya. "Mana celanamu?"
"Entahlah." Ia menggelengkan kepala. "Mungkin Mom keliru memasukkannya ke
kopermu." Aduh, kenapa aku jadi gugup begini" tanyaku dalam hati. Clark
yang daya khayalnya terlalu hebat, bukan aku, aku kembali
mengingatkan diriku. "Ayo," kataku pada saudara tiriku. "Kita ke kamarku dan cari celana jeans-mu."
Ketika kami mau turun untuk sarapan, Clark berhenti sejenak
dan mengintip melalui jendela di lorong. Kabut tadi telah lenyap.
Tumbuh-tumbuhan yang berselubung embun tampak berkilauan
dalam cahaya matahari. "Pemandangan yang lumayan indah, ya?" gumamku.
"Ya," sahut Clark. "Lumayan. Lumayan seram."
Suasana di dapur juga lumayan menyeramkan. Di pagi hari pun
keadaannya hampir segelap tadi malam. Tapi pintu belakang terbuka,
dan ada sedikit cahaya matahari yang menerangi lantai dan dinding-
dinding. Suara-suara dari rawa terdengar melalui pintu yang terbuka.
Tapi aku berusaha tidak menghiraukan bunyi-bunyian itu.
Nenek berdiri di depan oven. Tangan kanannya memegang
sendok kayu, sedangkan di tangan kirinya ada piring yang penuh
panekuk blueberry. Begitu melihat kami, ia meletakkan sendok dan
piring, lalu Menyekakan tangan pada celemeknya yang sudah lusuh.
Kemudian ia memberikan pelukan selamat pagi kepada kami berdua.
Clark jadi berlepotan adonan panekuk.
Aku menunjuk bercak-bercak di T-shirt-nya, dan cekikikan.
Kemudian aku mengamati T-shirt-ku sendiri. T-shirt-ku yang masih
baru - dan penuh noda blueberry.
Aku memandang berkeliling. Aku butuh sesuatu untuk
membersihkan bajuku. Tapi dapur Nenek ternyata mirip kapal pecah.
Adonan panekuk menetes-netes dari oven, menempel di meja,
dan mengotori lantai. Kemudian aku berpaling ke Nenek. Ia juga tampak berantakan
sekali. Wajahnya coreng-moreng - biru dan putih. Kerut-kerut di
pipinya penuh sisa tepung dan buah blueberry. Hidung dan dagunya
juga berlepotan tepung. "Bagaimana" Kalian bisa tidur nyenyak?" Daerah di sekitar matanya yang biru ikut
berkerut ketika ia tersenyum. Dengan
punggung tangan ia menyingkirkan sejumput rambut kelabu yang
jatuh ke matanya. Tapi akibatnya malah ada adonan panekuk yang
melekat di rambutnya. "Kakek tidur nyenyak," Kakek menyahut, ketika pekik nyaring terdengar dari arah
rawa. "Kakek selalu tidur nyenyak. Habis suasana di sini begitu tenang dan
tenteram." Mau tidak mau aku tersenyum. Mungkin Kakek justru
beruntung pendengarannya kurang baik.
Kakek keluar lewat pintu belakang; Clark dan aku segera
membersihkan diri. Kemudian kami mengambil tempat di meja.
Di tengah meja ada piring lain berisi panekuk blueberry. Yang
ini bahkan lebih besar lagi daripada piring yang dipegang Nenek. Dan tumpukan
panekuknya juga lebih tinggi.
"Sepertinya Nenek menganggap kita rakus," Clark berbisik
sambil mencondongkan badan ke arahku. "Tumpukan panekuk itu
cukup untuk lima puluh orang."
"Yeah," aku membenarkan. "Dan kita terpaksa menghabiskan semuanya. Kalau tidak,
Nenek bisa sakit hati."
"Masa sih?" tanya Clark sambil membelalakkan mata.
Itulah salah satu hal yang paling kusukai pada saudara tiriku. Ia
nyaris percaya apa saja yang kukatakan padanya.
"Ayo, makanlah," kata Nenek sambil membawa dua piring lagi ke meja. "Jangan
malu-malu." Untuk apa Nenek membuat panekuk sebanyak ini" aku
bertanya-tanya. Kami tidak mungkin menghabiskan semuanya. Tidak
mungkin. Aku mengambil beberapa potong panekuk. Nenek menaruh
kira-kira sepuluh potong di piring Clark. Clark langsung pucat.
Nenek menemani kami di meja makan. Tapi piringnya sendiri
tetap kosong. Ia tidak mengambil satu potong pun.
Ada begini banyak panekuk dan dia tidak ambil satu pun. Aku
tidak mengerti, pikirku. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Apa yang sedang kaubaca, Sayang?" Nenek menunjuk komik
Clark. Clark telah menggulung komik itu dan menyelipkannya ke
kantong belakang celana jeans-nya.
"Makhluk dari Lumpur," Clark menjawab sambil mengunyah.
"Oh, menarik sekali," ujar Nenek. "Nenek juga senang membaca. Kakek Eddie juga.
Kami selalu membaca. Kami paling
suka kisah misteri. 'Tak ada yang lebih menarik dari kisah misteri
yang bagus,' Kakek Eddie selalu bilang."
Aku langsung berdiri. Aku baru ingat - hadiah-hadiah untuk
Kakek dan Nenek masih ada di koperku.
Buku! Cerita misteri! Dad sudah memberitahu kami bahwa
mereka suka membaca. "Aku akan segera kembali!" Aku permisi sebentar dan bergegas ke atas.
Aku menyusuri lorong panjang ke kamarku. Tapi kemudian aku
berhenti karena mendengar langkah. Siapa itu"
Aku memandang ke ujung lorong. Dan aku hampir memekik
kaget ketika melihat bayangan gelap di dinding.
Rupanya ada orang. Orang yang sedang mengendap-endap ke arahku.
Chapter 8 AKU merapatkan punggung ke dinding. Aku menahan napas
dan pasang telinga. Bayangan itu menghilang dari pandangan.
Bunyi langkah tadi pun semakin tak jelas.
Masih sambil menahan napas, aku menyusuri lorong yang gelap
dan berliku-liku. Perlahan-lahan aku mengintip dari balik dinding
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyudut. Dan melihatnya.
Bayangan itu. Bentuknya tidak kelihatan jelas dalam cahaya
remang-remang. Bayangan itu tampak bergerak di dinding hijau tua, dan
semakin lama semakin mengecil.
Aku maju dengan sigap namun tanpa bersuara, mengikuti
bayangan tersebut. Bayangan siapa itu" aku bertanya-tanya. Siapa yang ada di sini
selain aku" Aku mendekat. Bayangan di dinding kembali membesar. Jantungku berdegup-
degup ketika aku mengejar sosok misterius itu.
Bayangan di depanku kembali membelok. Aku segera bergegas
maju. Lalu berhenti. Siapa pun yang tadi berjalan di depanku - sekarang berdiri di
situ. Persis di balik belokan.
Aku menarik napas dalam-dalam - dan mengintip dengan hati-
hati. Dan aku melihat Kakek Eddie.
Ia membawa setumpuk panekuk di piring yang besar sekali.
Kok Kakek bisa ada di sini" aku bertanya-tanya. Rasanya aku
melihat dia keluar rumah tadi.
Barangkali Kakek masuk lagi lewat pintu lain, aku akhirnya
menyimpulkan. Ya, pasti begitu. Rumah ini besar sekali. Pasti ada
banyak pintu, lorong, dan tangga yang belum kuketahui.
Tapi kenapa Kakek ada di atas sini sambil membawa setumpuk
panekuk" Mau dibawa ke mana tumpukan panekuk itu"
Wah, ini benar-benar misterius!
Kakek Eddie memegang piring besar itu dengan kedua tangan
sambil berjalan menyusuri lorong.
Aku harus mengikutinya, pikirku. Aku harus tahu dia mau ke
mana. Aku pun menyusuri lorong. Aku tak lagi perlu berhati-hati
untuk tidak bersuara. Kan pendengaran Kakek kurang baik.
Aku berjalan beberapa langkah di belakangnya. Tiba-tiba ada
suara aneh, dan aku langsung berhenti. Suara mengendus-endus. Di
belakangku. Aduh, gawat! Charley! Charley berlari dari ujung lorong. Ia mengendus-endus.
Kemudian ia melihatku - dan berhenti.
"Anjing pintar," bisikku sambil berusaha mengusirnya. "Sana.
Balik sana." Tapi ia malah berlari menghampiriku. Dan menggonggong
keras-keras. Aku menyambar pengikat lehernya ketika ia berusaha
mengecohku - dan berlari mengejar Kakek.
Pengikat lehernya kupegang erat-erat. Gonggongannya semakin
kencang. "Rose?" panggil Kakek Eddie. "Kaukah itu, Rose?"
"Ayo, Charley," bisikku. "Kita harus pergi dari sini."
Aku menyeret Charley melewati belokan - sebelum Kakek
sempat memergokiku. Kemudian aku cepat-cepat masuk ke kamarku.
Charley kutarik sekalian.
Sejenak aku duduk di atas selimut wol yang kasar untuk
mengatur napas. Lalu aku cepat-cepat membongkar koper serta
mengambil buku-buku misteri untuk Kakek dan Nenek.
Mau ke mana Kakek dengan membawa tumpukan panekuk itu"
tanyaku dalam hati ketika aku bergegas menuruni tangga sambil
membawa hadiah-hadiah. Dan kenapa dia mengendap-endap"
Misteri ini harus kupecahkan, aku membulatkan tekad.
Kalau saja aku tahu masalah apa yang bakal kuhadapi, aku
takkan sok tahu seperti itu.
Chapter 9 "KENAPA kalian tidak main di luar saja, sementara Nenek
membereskan piring-piring ini?" Nenek mengusulkan sehabis sarapan.
"Setelah itu kalian bisa membantu Nenek membuat pie talas yang semanis madu!"
"Main?" gumam Clark. "Memangnya kita anak dua tahun?"
"Ayo, kita keluar saja, Clark." Aku menariknya lewat pintu belakang. Sebenarnya
aku sendiri juga tidak berminat menghabiskan
waktu di rawa-rawa. Tapi itu masih mendingan dibandingkan duduk-
duduk di rumah tua yang menyeramkan.
Kami disambut sinar matahari yang terang benderang - dan aku
nyaris memekik kaget. Udara yang panas dan pengap seakan-akan
menekan kulitku. Aku berusaha menarik napas dalam-dalam - untuk
mengusir perasaan yang tidak menyenangkan itu.
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" gerutu Clark. Ia juga menarik napas
dalam-dalam. Aku memandang berkeliling dan melihat jalan setapak. Jalan
setapak itu mulai dari belakang rumah dan menuju rawa.
"Kita bisa menjelajahi tempat ini," aku mengusulkan.
"Aku tidak mau jalan-jalan di rawa," sahut Clark.
"Takut apa sih" Monster dari komik?" ejekku. "Makhluk dari lumpur?" Aku tertawa.
"Lucu sekali," omel Clark sambil cemberut.
Kami berjalan beberapa langkah. Sinar matahari menerobos
dedaunan, yang seolah-olah membentuk atap di atas kepala kami, dan
menimbulkan bayangan-bayangan pada jalan setapak.
"Ular," Clark mengakui. "Aku takut ular."
"Tenang saja," ujarku. "Aku akan berjaga-jaga terhadap ular.
Kau berjaga-jaga terhadap buaya."
"Buaya?" Clark langsung membelalakkan mata.
"Ya, tentu," sahutku. "Daerah rawa seperti ini penuh buaya pemakan manusia."
Ada suara menyela. "Gretchen. Clark. Jangan jauh-jauh dari
rumah." Aku menoleh dan melihat Kakek. Ia berdiri beberapa meter di
belakang kami. Apa itu yang dipegangnya"
Gergaji besar. Giginya yang tajam tampak berkilau-kilau dalam
sorot sinar matahari. Kakek menuju gubuk kecil yang baru setengah selesai. Gubuk
itu terletak beberapa meter dari tepi jalan setapak, di antara dua pohon cypress
tinggi. "Oke!" seruku pada Kakek. "Kami takkan jauh-jauh."
"Kalian mau membantu Kakek menyelesaikan gubuk ini?"
balasnya sambil mengangkat gergaji. "Bertukang bisa membangun
rasa percaya diri lho!"
"Ehm, mungkin nanti," jawabku.
"Kalian mau membantu?" tanya Kakek sekali lagi.
Clark menangkupkan telapak tangan di sekitar mulutnya dan
berseru, "NAN-TI!" Kemudian ia kembali berpaling ke jalan setapak.
Dan ia tersandung. Kakinya tersandung sosok gelap yang mendadak muncul dari
balik rumput. Chapter 10 "BUAYA! Ada buaya!" jerit Clark.
Kakek melambai-lambaikan gergajinya. "Nanti saja" Oke!"
"Tolong! Tolong! Kakiku disambar!" ratap Clark.
Aku memandang ke bawah. Menatap sosok gelap di rumput.
Dan tertawa. "Cypress knee," kataku dengan tenang.
Clark membalik. Mulutnya masih terbuka lebar karena ngeri. Ia
mengamati sosok yang tampak di antara batang-batang rumput.
"Cuma batang cypress yang menyembul dari rumput kok," aku menjelaskan. "Namanya
cypress knee. Kan sudah kuberitahu kemarin.
Masa sudah lupa sih?"
"Aku ingat!" ia mencoba berkelit. "Aku cuma mau menakut-nakutimu."
Tadinya aku ingin mengejeknya, tapi kemudian aku berubah
pikiran karena melihat seluruh tubuh Clark gemetaran. Kasihan juga
sih. "Ayo, kita kembali ke rumah saja," aku mengusulkan. "Nenek pasti sudah
menunggu kita. Dia kan mau membuat pie talasnya yang
semanis madu." Sambil jalan, aku bercerita bahwa aku sempat melihat Kakek di
atas tadi. Dan aku juga menyinggung sepiring besar panekuk yang
dibawanya. "Mungkin dia suka makan di tempat tidur," Clark berkomentar.
"Dad dan Mom kan juga suka sarapan di tempat tidur."
"Yah, bisa jadi," ujarku. Tapi sebenarnya aku kurang yakin.
Atau bahkan sama sekali tidak yakin.
"Hmm, kelihatannya kalian cukup senang tinggal di sini," kata Nenek ketika kami
masuk ke dapur. Clark dan aku bertukar pandang dan angkat bahu.
"Sudah siap membuat pie?" tanya Nenek sambil tersenyum.
"Semuanya sudah Nenek siapkan." Dia menunjuk bahan-bahan
membuat pie di atas meja.
"Siapa yang mau menggiling adonan," tanyanya sambil
menatapku, "sementara Nenek memotong talas?"
"Aku saja deh," jawabku.
Clark menghela napas. "Ehm, kalau begitu aku ke ruang duduk
saja. Komikku belum selesai kubaca," katanya agar terbebas dari tugas. "Mom
selalu bilang aku cuma mengganggu di dapur."
"Omong kosong!" balas Nenek. "Kau yang menakar gulanya.
Kita harus pakai gula banyak."
Aku mulai menggiling adonan. Rasanya Nenek terlalu banyak
membuat adonan. Tapi mungkin juga itu cuma perasaanku. Aku tidak
pernah membantu Mom membuat pie. Menurut Mom, aku juga cuma
mengganggu. Setelah adonan selesai digiling, urusan selanjutnya diambil alih
oleh Nenek. "Oke, anak-anak. Kalian duduk saja di meja dan minum segelas susu.
Selebihnya biar Nenek yang tangani."
Sebenarnya Clark dan aku tidak haus. Tapi kami merasa tidak
enak kalau menolak. Kami menghabiskan susu yang diberikan Nenek,
lalu menontonnya membuat pie.
Bukan satu pie, tapi tiga.
"Nenek, kenapa Nenek membuat tiga pie?" tanyaku.
"Untuk persediaan," jelasnya. "Siapa tahu kita mendadak didatangi tamu."
Tamu" pikirku. Tamu"
Aku menatap Nenek sambil mengerutkan kening. Siapa yang
mau berkunjung ke sini" Kakek dan Nenek kan tinggal di ujung dunia.
Ada apa ini" aku bertanya-tanya.
Apakah Nenek memang menunggu tamu"
Kenapa dia selalu memasak terlalu banyak"
Chapter 11 "KERJA bikin haus!" seru Kakek begitu membuka pintu dapur.
Ia langsung menuju lemari es. "Nah! Betul, kan!" Kakek menunjuk kedua gelas susu
yang sudah kosong. "Bagaimana, kalian sudah siap membantu Kakek membuat gubuk?"
"Eddie, anak-anak kemari bukan untuk bekerja!" Nenek
menegurnya. "Kenapa kalian tidak bertualang di rumah ini saja"
Kamarnya banyak sekali lho. Siapa tahu kalian akan menemukan harta
karun." "Ide bagus!" Kakek mengembangkan senyum berseri-seri. Tapi hampir seketika
senyumnya meredup lagi. "Ada satu hal yang perlu kalian ingat. Kalian akan
menemukan kamar yang terkunci. Di ujung
lorong di lantai tiga. Dengarkan baik-baik, anak-anak. Jangan masuk ke kamar
itu." "Kenapa" Memangnya ada apa di dalamnya?" tanya Clark.
Kakek dan Nenek berpandangan dengan cemas. Wajah Nenek
tampak bersemu merah. "Itu gudang," jawab Kakek. "Kami menyimpan bermacam-
macam barang di situ. Barang-barang tua. Barang-barang yang mudah
rusak. Pokoknya, jangan masuk ke situ."
Clark dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami
bersyukur bisa kabur. Kakek Eddie dan Nenek Rose memang ramah -
tapi agak aneh. Sebagian besar lantai dasar terpakai untuk dapur, ruang duduk,
dan ruang makan. Ruangan-ruangan itu telah kami lihat.
Selain itu masih ada perpustakaan. Tapi buku-buku di situ
sudah tua dan berdebu. Membuatku bersin terus. Jadi Clark dan aku
menaiki tangga. Ke lantai dua.
Kami melewati kamar-kamar kami.
Melewati jendela kecil di lorong.
Kami terus menyusuri lorong yang berkelok-kelok - sampai ke
ruangan berikutnya. Kamar tidur Kakek dan Nenek.
"Sebaiknya kita jangan masuk," kataku kepada Clark. "Kakek dan Nenek pasti tidak
senang kalau kita melihat-lihat barang-barang mereka."
"Ayo, masuk saja!" desak Clark. "Kau tidak ingin tahu apakah ada remah-remah
panekuk di sini?" Ia tertawa.
Aku langsung mendorongnya.
"Hei!" gerutunya. Kacamatanya merosot ke hidungnya. "Aku kan cuma bercanda."
Aku membiarkannya berdiri di lorong, dan membuka pintu
sebelah. Pintu itu berat sekali, dan terbuat dari kayu berwarna gelap.
Aku harus mengerahkan seluruh tenaga waktu membukanya.
Aku meraba-raba dinding untuk mencari sakelar lampu. Klik.
Ruangan diterangi cahaya redup kekuningan - dari satu bohlam
berdebu yang tergantung di langit-langit.
Dalam cahaya remang-remang aku melihat kardus-kardus.
Seluruh ruangan dipenuhi kardus. Tumpukan demi tumpukan.
"Hei! Siapa tahu ada sesuatu yang seru di dalam kardus-kardus
itu," ujar Clark sambil mendesak melewatiku.
Ia mulai membongkar kardus terdekat. "Isinya pasti sesuatu
yang besar," katanya sambil menunjuk sisi kardus yang
menggembung. Aku mengintip dari belakang Clark. Udara di ruangan itu
berbau apak dan kecut. Sambil menutup hidung dan memicingkan
mata, aku menunggu sampai Clark selesai membongkar kardus.
"Ya ampun!" serunya.
"Ada apa sih?" tanyaku sambil menjulur-julurkan leher.
"Isinya cuma koran. Koran bekas," lapor Clark.
Kami mengeluarkan koran-koran paling atas - dan menemukan
lebih banyak koran bekas lagi. Koran-koran lama yang sudah
menguning. Kami membuka lima kardus lain.
Lagi-lagi koran bekas. Semua kardus berisi koran bekas. Satu ruangan penuh kardus
berisi koran bekas. Dari zaman sebelum Dad lahir. Kumpulan koran
bekas selama lima puluh tahun.
Untuk apa semua koran lama ini disimpan" aku bertanya-tanya.
"Hei!" Clark sedang memeriksa salah satu kardus di seberang ruangan. "Kau takkan
percaya apa isi yang satu ini!"
"Apa" Apa isinya?"
"Majalah." Ia nyengir lebar.
Kelakuannya mulai menyebalkan. Tapi aku menghampirinya.
Aku suka majalah. Baru maupun lama.
Aku menyelipkan tangan ke dalam kardus dan mengangkat
setumpuk majalah. Tiba-tiba telapak tanganku seperti digelitik.
Aku segera mengintip ke bawah majalah-majalah itu.
Dan menjerit keras-keras.
Chapter 12
Goosebumps - Berburu Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
RATUSAN kecoa berseliweran di sela-sela jariku.
Langsung kulempar semua majalah ke lantai.
Aku mengibas-ngibaskan tangan, agar serangga-serangga
menjijikkan itu terlepas dari tanganku. "Tolong!" pekikku. "Tolong aku!"
Beberapa kecoa mulai merambat di lenganku. Aku berusaha
menepis semuanya - tapi jumlahnya terlalu banyak!
Clark memungut majalah dari lantai dan menggunakannya
untuk memukul-mukul. Tapi ketika majalah itu mengenai lenganku,
semakin banyak kecoa keluar dari sela halaman-halaman.
Dan mendarat di T-shirt-ku. Di tengkukku. Di wajahku!
Aku merasakan seekor kecoa merayap di daguku. Aku
menepisnya - lalu menjentikkan seekor lagi dari pipiku.
Sambil kalang kabut aku menarik komik Clark dari saku
celananya - lalu mulai menepis-nepis dan menyabet-nyabet. Menepis
dan menyabet. Menepis dan menyabet.
"Gretchen! Berhenti!" aku mendengar Clark berteriak. "Mereka sudah kabur.
Berhenti!" Napasku terengah-engah. Aku memandang ke bawah.
Ia benar. Makhluk-makhluk menjijikkan itu ternyata sudah
kabur semua. Tapi seluruh badanku masih terasa gatal. Dan jangan-jangan
bakal gatal terus untuk selama-lamanya.
Aku keluar ke lorong dan duduk di lantai. Aku harus menunggu
sampai jantungku berhenti berdebar-debar sebelum bisa bicara. "Oh, menjijikkan
sekali," erangku akhirnya. "Betul-betul menjijikkan."
"Ya." Clark menghela napas. "Tapi kenapa kau pakai komikku untuk mengusir kecoa-
kecoa itu?" Ia memegang salah satu sudut
komiknya, seakan-akan belum yakin bahwa sudah aman untuk
menyelipkannya kembali ke kantong celana.
Kulitku tetap terasa seperti kesemutan, seolah-olah masih ada
kecoa yang merambat. Aku merinding. Sekali lagi aku mengusap-usap
lengan. "Oke." Aku bangkit dan memandang ke ujung lorong suram.
"Coba kita lihat apa yang ada di kamar sebelah!"
"Benar nih?" tanya Clark. "Belum kapok?"
"Kenapa mesti kapok?" sahutku. "Masa cuma karena serangga-serangga kecil kau
jadi ngeri?" Clark benci serangga. Aku tahu persis. Serangga besar dan
kecil. Tapi dia tidak mau mengakuinya. Karena itu dia malah lebih
dulu menuju ruangan berikut.
Kami mendorong pintu yang berat - dan mengintip ke dalam.
Chapter 13 "WOW! Coba lihat barang-barang ini!" Clark berdiri di tengah ruangan. Ia sedang
berputar perlahan agar bisa mengamati semuanya.
Satu ruangan penuh mainan. Mainan-mainan lama. Bergunung-
gunung. Di salah satu sudut ada sepeda roda tiga yang sudah berkarat.
Roda depannya sudah tidak ada.
"Ini pasti bekas sepeda Dad," ujarku. Rasanya sulit
membayangkan Dad sebagai anak kecil yang naik sepeda roda tiga.
Aku menekan klaksonnya. Ternyata masih berbunyi.
Clark mengeluarkan papan catur yang penuh debu dari peti
kayu. Ia memasang buah catur sementara aku memeriksa barang apa
lagi yang ada di situ. Aku menemukan beruang teddy berkepala penyok karena
tertindih. Lalu ada boneka monyet yang tangannya telah hilang sebelah.
Aku membongkar sejumlah tas berisi serdadu-serdadu mainan.
Seragam mereka tampak lusuh, dan wajah mereka pun sudah tidak
kelihatan jelas. Kemudian aku melihat peti mainan antik. Di bagian depannya
ada gambar komidi putar yang dulu pernah berkilau keemasan, tapi
sekarang sudah memudar. Aku mengangkat tutupnya yang berdebu, dan melihat boneka
porselen yang tengkurap di dalam peti.
Aku mengangkatnya dengan hati-hati. Lalu membaliknya agar
menghadap ke arahku. Pada pipinya ada retakan-retakan halus. Dan ujung hidungnya
telah sempal. Kemudian aku menatap matanya - dan memekik tertahan.
Boneka itu tak bermata. Tak bermata sama sekali. Aku hanya melihat dua lubang hitam di bawah keningnya yang
kecil. "Jadi ini harta karun Nenek?" gumamku. "Ini sih cuma rongsokan!"
Boneka itu segera kukembalikan ke dalam peti. Tiba-tiba
terdengar bunyi berderit.
Dari seberang ruangan. Dari dekat pintu.
Aku menoleh dan melihat kuda-kudaan kayu yang berayun
maju-mundur. "Clark, kau yang mendorong kuda itu, ya?" tanyaku.
"Bukan," sahut Clark pelan-pelan. Ia memperhatikan kuda-
kudaan itu berayun-ayun. Maju-mundur. Berderit-derit.
"Ayo, kita keluar saja," kataku. "Aku jadi merinding di sini."
"Aku juga," kata Clark. "Kepala ratu caturnya dipenggal.
Dikunyah-kunyah sampai putus."
Clark melompati sejumlah kardus dan bergegas ke lorong.
Aku menengok sekali lagi sebelum mematikan lampu. Hih,
seram. "Clark?" Ke mana dia" Aku menoleh ke kiri-kanan.
Clark tidak kelihatan. Padahal baru saja dia masih di sini.
Berdiri di ambang pintu. "Clark" Di mana kau?"
Aku menyusuri lorong yang berkelok-kelok.
Perasaanku mulai tidak enak. Jantungku berdegup kencang.
"Clark" Ini tidak lucu."
Tak ada jawaban. "Clark" Di mana kau?"
Chapter 14 "BOOOO!" Aku langsung menjerit. Clark muncul di belakangku. Dia tertawa sampai terbungkuk-
bungkuk. "Kena kau!" serunya.
"Tidak lucu, Clark," omelku. "Kau cuma konyol. Aku sama sekali tidak takut."
Ia memutar-mutar bola matanya. "Hah, jangan bohong,
Gretchen. Mengaku sajalah - sekali ini saja. Kau benar-benar
ketakutan, ya kan?" "Enak saja!" bantahku. "Aku cuma sedikit kaget. Itu saja."
Kuselipkan kedua tanganku ke kantong celana, agar Clark tidak
melihat tanganku gemetaran. "Kau benar-benar konyol, tahu!"
"Hmm, Nenek kan berpesan agar kita bersenang-senang di sini.
Dan ini benar-benar asyik!" ia menggodaku. "Ke mana kita
sekarang?" "Aku tidak mau ke mana-mana," balasku gusar. "Aku mau mengurung diri di kamar
dan membaca." "Hei! Ide bagus!" seru Clark. "Kita main petak umpet saja!"
"Main" Apa aku tidak salah dengar?" ujarku. "Tadi kau bilang yang suka main cuma
anak dua tahun." "Ini lain," jelas Clark. "Main petak umpet di rumah ini bukan permainan untuk
bayi." "Clark, aku bukan..."
Ia tidak memberi kesempatan padaku untuk menyelesaikan
kalimat itu. "KAU YANG JAGA!" serunya. Seketika ia berbalik dan lari ke ujung
lorong untuk bersembunyi.
"Aku tidak mau main petak umpet," gerutuku.
Oke, kataku dalam hati. Kita selesaikan secepatnya saja. Cari
Clark sampai ketemu. Habis itu kau bisa ke kamar dan membaca.
Aku mulai berhitung lima-lima.
"Lima, sepuluh, lima belas, dua puluh...," kataku keras-keras, sampai seratus.
Kemudian aku mulai menyusuri lorong gelap. Ketika
aku sampai di ujung, lorongnya berbelok - dan menyambung ke
tangga yang menuju lantai tiga.
Aku mulai menaiki tangga kayu yang penuh debu. Tangganya
berputar dan berputar. Aku memandang ke depan, tapi yang terlihat
hanya beberapa anak tangga saja.
Kakiku sendiri pun tidak kelihatan. Keadaan di sini benar-benar
gelap gulita. Tangga itu berderak dan berderit setiap kali aku melangkah.
Langkannya tertutup lap isan debu tebal-tapi aku tetap berpegangan.
Aku naik perlahan-lahan - mendaki tangga putar yang gelap. Semakin
lama semakin tinggi. Aku mulai terengah-engah. Hidungku gatal karena mengisap
debu yang melayang-layang di udara pengap.
Akhirnya aku sampai di puncak tangga, dan memandang ke
lorong lantai tiga. Lorong itu juga berkelok-kelok, sama seperti lorong lantai
dua. Dindingnya juga dicat hijau tua. Dan satu-satunya sumber
cahaya berasal dari jendela kecil.
Perlahan-lahan aku melangkah maju dan membuka pintu
pertama yang kutemui. Ruangan itu ternyata besar sekali. Hampir seluas ruang duduk.
Tapi kosong sama sekali. Ruangan berikut tak kalah besarnya. Dan tak kalah kosongnya.
Dengan hati-hati aku kembali menyusuri lorong gelap.
Udara di atas sini benar-benar panas. Butir-butir keringat
mengalir dari pelipis ke pipiku. Aku menyeka semuanya dengan
Iblis Sungai Telaga 8 Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta Istana Kebahagiaan 3