Pencarian

Panglima Gunung 11

Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 11


Di tebing Siang-long-kiap, Helian Kong melihat pasukan Manchu itu berhenti, lalu mereka kelihatan duduk-duduk di bawah pepohonan serta membuka bekal makanan dan minuman mereka.
Gan Ek-siang yang di sebelah Helian Kong berbisik, "Mereka berhenti untuk beristirahat, takkan lama lagi tentu mereka melanjutkan perjalanan dan mamasuki celah, saat itulah kita gempur dengan batu dan balok."
Namun Helian Kong yang juga orang militer kawakan itu menggeleng. "Aku tidak merasa begitu."
San-cu menduga apa?"
Aku curiga mereka sudah mencium bahaya di Sini. lalu mereka merencanakan sesuatu."
"Merencanakan apa" Mereka hanya berhenti dan makan minum."
"Itu yang terlihat dari sini, sedang barisan belakang mereka tak terlihat dari sini dan bisa saja sedang merencanakan sesuatu."
Gan Ek-siang menepuk jidatnya sendiri. "Ah, benar-benar tak terpikir olehku."
"Saudara Gan, pegang pimpinan di sini. Aku akan bicara dengan Saudara Tek di lereng depan, juga dengan Saudara-saudara yang lain."
"Tetapi masing-masing berjarak saling berjauhan," tiba-tiba Gan Eit-siang kembali menepuk jidatnya sendiri dan berkata sambil tertawa, "Ah, lagi-lagi aku lupa bahwa San-cu bisa bergerak cepat seperti burung terbang. Jarak dan terjalnya tebing-tebing ini adalah rintangan tak berarti buat San-cu."
Ketika Gan Ek-siang mengakhiri kata katanya, Helian Kong sudah tidak didekatnya lagi. Helian Kong telah berlari lari di tebing melebihi kencangnya kelinci. berlompatan dari dahan ke dahan
melebihi tupai, kadang melompati tempat-tempat tak terinjak dengan lompatan bagai elang .
Helian Kong menjumpai Tek Bi-kian yang bersama orang-orangnya ada bersiaga di tebing depan. _
"Ada apa, San-cu?" songsong Tek Bikian si "raja kelinci".
"Saudara Tek. hati-hatilah. Awasi segala penjuru, mungkin musuh diam diam membagi pasukannya dan sebagian hendak menyergapmu. Meski sebagian kelihatan sedang beristirahat. Sebar pengawas-pengawasmu di beberapa arah."
Wajah Tek Bi-kian masih menunjukkan kekurang-pahamannya, bagaimana Sang San-cu memperingatkannya agar mewaspadai pasukan yang sedang makan minum dan "sebentar lagi akan masuk perangkap?"
Terpaksa Helian Kong menambah sedikit Penjelasan, "Dalam menyusun rencana, kita terlalu menganggap tolol mereka. Ternyata, mereka sekarang sudah mencurigai adanya perangkap. Dan kalau aku komandannya, aku Pun akan melakukan hal yang sama. Untuk meyakinkan bahwa celah itu aman dilewati, akan kukirim dua sayap pasukan untuk mencapai tebing-tebing di depan dari tempat yang sama tingginya, alias melewati posisimu sekarang ini, Saudara Tek."
Baru saja Helian Kong selesai bicara, dari arah barat terdengar suara pekik kera panjang-pendek-panjang. Yang memekik itu bukan kera sungguhan. melainkan pengawas yang ditempatkan Tek Bi-kian untuk memberi isyarat. Arti isyaratnya ialah : ada musuh mendekat.
Tek Bi-kian menatap Helian Kong. "Ternyata benar, San-cu. Sekarang bagaimana" Musuh ternyata tidak memasuki perangkap, dan kita harus merubah rencana."
Helian Kong menimbang sebentar, lalu memerintah, "Mundur dan bergabunglah dengan Saudara Gan. Pasukan musuh terlalu kuat untuk dilawan dalam pertempuran jarak dekat."
Teke bi kian mengangguk lalu memerintahkan laskarnya bergerak mundur.
Sementara itu, pasukan Manchu yang
memanjat tebing itu tiba di bekas posisinya Tek Bi-kian tadi, dan menemukan bekas-bekas bahwa serombongan besar orang baru saja meninggalkan tempat itu. Namun ia tidak mengejar karena belum tahu seberapa besar kekuatan yang hendak dikejar. Ia hanya memberi isyarat bahaya untuk pasukan induknya, lalu turun menmggalkan tebing.
Dengan demikian di tebing utara tidak terjadi pertempuran.
Namun di tebing selatan, secepat-cepatnya Helian Kong berusaha menemui Lurah Hui yang memimpin orang-orang di situ, lebih cepat lagi terjadinya bentrokan antara laskar Lurah Hui dengan pasukan Manchu yang menyusur atas tebing itu.
Lurah Hui yang perhatiannya hanya ke _arah pasukan Manchu yang di bawah tebing dan nampaknya sedang makan minum, kaget ketika tiba-tiba ada pasukan Manchu yang muncul dari pepohonan tidak jauh dari posisinya dan langsung menyerbunya. Pengintai yang seharusnya lebih dulu memberi isyarat, agaknya keburu dibungkam oleh pihak Manchu.
Pertempuran di tanah miring yang berpepohonan itu pun tak terhindarkan. Lurah Hui dan laskarnya harus menghadapi pecahan pasukan Manchu yang hampir dua kali lipat banyaknya.
Lurah Hui ingin mengamuk untuk membangkitkan semangat laskarnya dan meruntuhkan semangat musuh, namun dia segera ketemu tandingan, yaitu seorang perwira Manchu yang amat trampil ber-main pedang meskipun tenaganya tak sebesar Lurah Hui yang mampu memainkan tombak besinya seringan memainkan sebatang rotan saja. Perw1ra Manchu itu dengan cerdik memanfaatkan pepohonan yang agak rapat, ia menyelinap kesana kemari sambil menyerang dari antara pepohonan berjarak rapat. Kalau Lurah Hui balas menyerbu, ia mundur, dan Lurah Hui yang bersenjata tombak panjang jadi amat berkurang keleluasaannya.
"He, tikus Manchu! Ayo, kalau berani kita berkelahi di tempat yang lapang!" tantang Lurah Hui" yang naik darah.
Tetapi lawannya menyahut sambil
tertawa, "Sudah asyik main kucing kucingan di sini kok harus pindah ?" Demikian Lurah Hui mengalami kesulitan, sama dengan anak buahnya yang juga mengalami kesulitan karena diserang mendadak oleh pasukan yang dua kali lipat jumlahnya.
Dalam situasi begitulah Helian Kong tiba di arena, kedatangannya sepert seekor elang yang menyambar dari angkasa. Lengan baju kanannya yang kosong itu diselipkan di ikat pinggang, tangan kirinya memegang sebatang pedang pendek yang saat digerakkan menimbulka suara seperti rintihan memanjang yan menyayat hati dan mengacaukan konsentrasi orang lain. itulah pedang Gu-hong kiam (Burung Hong Menangis) hadiah dari Pangeran Kong-ong dulu, meski hadiah yang disertai pamrih ingin memperoleh dukungan Helian Kong merebut tahta. Pedang milik Helian Kong sendiri ialah Tiat-eng Po-kiam (Pedang Pusaka Elang Besi) yang sedang "dititipkan kepada Kim-kong Lama, maka Helian Kong menggunakan pedang pendek
yang hanya lebih panjang sedikit dari pisau belati itu.
Semenjak lengan kanannya buntung, Helian Kong membiasakan diri main pedang dengan tangan kiri. Agak canggung awalnya, namun mulai terbiasa juga, meski untuk mencapai tingkat kemahiran seperti tangan kanannya dulu masih diperlukan banyak ketekunan. Biar begitu, pendekar ulung tetaplah pendekar ulung, kehadiran Helian. Kong di arena tak dapat dipandang remeh.
Helian Kong bukan orang haus darah, di medan laga sekalipun. Tetapi saat itu demi menyelamatkan anak buahnya yang terancam maut, ia bertindak keras. Ia menyelinap kian-kemari dan cahaya serta "rintihan" pedang pendek Gu-hong-kiamnya mengikutinya. Pedang itu meskipun pendek dan tipis, ternyata tajam luar biasa. Senjata-senjata musuh terpotong bila beradu dengannya, bahkan seandainya golok tebal sekalipun. Korban di pihak musuh pun bertumbangan cepat.
Pasukan Manchu jadi kacau. Beberapa perwira mencoba mengendalikan situasi
dengan cara menyusun regu-regu _kecil yang terdiri dari jago-jago berkelahi bukan cara perorangan, untuk membendung laju Helian Kong. Tetapi regu-regu itu hanya dapat menahan Helian Kong sebentar, habis itu mereka berhamburan dan berjungkalan dan Helian Kong pun kembali bergerak ke sana ke mari membuat pasukan Manchu makin berantakan.
Akhirnya komandan pasukan Manchu itu memberi aba-aba pasukannya untuk menarik diri, bergabung kembali dengan pasukan induk di bawah tebing sana.
Komandan pasukan induk itu menerima laporan dari kedua pasukan bawahannya, dan sadar bahwa celah Siang-longtiap di depan terlalu berbahaya untuk dilewati. Komandan pun membawa pasukan mundur beberapa li untuk berkemah.
"Komandan Kulpa butuh bantuan," kata seorang perwira bawahannya. "Dan kita malah berkemah di sini."
Komandannya menjawab. "Kalau kita nekad maju, akan ada korban besar di pihak kita, dan kekuatan yang tersisa
takkan cukup untuk membantu Komandan Kulpa. Untuk menembus celah itu diperlukan .kekuatan yang jauh lebih besar, mungkin kita butuh beberapa meriam, dan juga beberapa jago silat untuk menghadapi Helian Kong yang tetap berbahaya meSkiPUn sudah buntung."
Perwira-perwira bawahannya dapat memahami perhitungan itu.
Sementara itu, laskar gunung di Siang long-tiap juga kecewa karena tidak jadi menghancurkan pasukan Manchu itu.
"Mereka berkemah dekat sebuah mngai kecil, beberapa li di sebelah barat tempat ini," lapor seorang laskar yang disuruh mengikuti diam-diam pasukan Manchu itu.
"Kita harus hati-hati, mereka takkan tinggal diam saja," kata Gan bik-siang.
"Benar. San-cu, bagaimana pikiranmu?" tanya Tek Bi-kian.
"Aku menduga mereka menunggu bantuan dari pasukan induk Jenderal Kim. Kalau mereka datangkan meriam-meriam, akan cukup gawat buat kita. Tebing-tebing ini bisa ditembaki tanpa mampu
membalas." Helian Kong dan para hong-kun lalu memutar otak mencari pemecahan masalah .
Seorang hong-kun tiba-tiba mengusulkan, "Bagaimana kalau kita hadapi kekuatan senjata musuh dengan orang-orang yang pintar ilmu gaib seperti orang-orang Pek-lian-kau (sekte Teratai Putih)" Dalam suatu pertempuran di Se-cuan Utara, kabarnya, pernah orang-orang Pek-liankau menggunakan ilmu gaib sehingga langit gelap dan datanglah angin besar. Ketika langit sudah terang kembali dan angin reda, musuh kembali menembakkan meriam-meriam tanpa menyadari bahwa moncong meriam sudah berubah arah, maka musuh menembaki perkemahan mereka sendiri."
Tetapi Helian Kong menggeleng. 'Berabad-abad yang lalu, Pek-lian-kau adalah perkumpulan pecinta-pecinta tanah air melawan penjajah Mongol. Tetapi makin lama kian berubah jadi sekte kepercayaan yang suka mengorbankan manusia dan suka main ilmu hitam untuk
menyantet orang tak bersalah. Aku kuatir, kalau kita bekerja sama dengan mereka, kita seperti merestui kebejatan mereka dan kita akan kehilangan simpati orang banyak yang merupakan salah satu sumber kekuatan kita."
"Aku punya akal," tiba-tiba Gan Eksiang menepuk pahanya.
"Coba katakan, Kakak Gan."
"Di dekat lereng utara ada sumber air yang airnya berlimpah-limpah namun terbuang percuma ke rawa-rawa. palingpaling hewan-hewan yang memanfaatkannya untuk minum. Kita bisa membelokkan aliran airnya lalu membendungnya, dan jika musuh mulai menembaki tebing kita bobol bendungannya sehingga meriam meriam musuh basah semua."
"Pikiran bagus, mari kita lihat sumber air itu," sambut Helian Kong
Helian Kong dan para hong-kun diantar Gan Ek-siang meninjau sumber air itu, lalu menyetujui gagasan Gan Eksiang tadi. Laskar pun dikerahkan untuk membelokkan aliran air dan membuat bendungan. yang menurut perhitungan
akan dapat untuk membanjiri musuh.
Beberapa hari kemudian, pasukan Manchu yang dulu berhasil merebut kampung dermaga itu pun dipaksa kembali meninggalkan kampung dermaga dalam keadaan yang rusak parah, setelah menjalani pertempuran beberapa hari yang melelahkan. Ketika mereka lewat celah Siang-long-tiap dalam perjalanan kembali bergabung ke pasukan induk, mereka mengalami bencana lagi karena di Sianglong-tiap mereka dihujani batu dan balok oleh laskar gunung.
Dengan prajurit yang tinggal ratusan orang, Kulpa bergabung dengan pasukan yang sedang berkemah di dekat celah Siang-long-tiap itu. Dengan mengandalkan pengaruh gurunya, Kulpa langsung hendak mengambil alih kedudukan sebagai komandan tertinggi dari pasukan itu. Ketika komandan paSukan itu mendebat dan mengatakan bahwa pemindahan jabatan tidak bisa dipindahkan begitu saja tanpa diputuskan oleh jenderal Kim, maka dihadapan belasan perwnra bawahan, Kulpa mengepruk kepala Si Komandan dengan
gada emasnya yang berbentuk patung setan itu, lalu menantang siapa lagi yang berani membantahnya. Demikianlah pasukan itu berpindah tangan dengan gampangnya, dipimpin Kulpa yang ganas dan tak terlalu peduli berapa korban yang jatuh dalam setiap Operasi militer.
Mendengar laporan mata-matanya bahwa Kulpa yang sekarang yang jadi komandan, Helian Kong menarik napas, "Pertempuran mendatang akan lebih habis-habisan."
Sementara medan barat memanas dengan berhadapannya pasukan besar Jenderal Kim Sun-oh berhadapan dengan laskar gunung di bawah "jenderal buronan Helian Kong yang juga dijuluki "kaisar gunung", di selatan juga semakin tegang oleh persaingan para pangeran yang semakin tidak menahan diri, sementara Propinsi Se-cuan yang dipertahankan empat sekawan Li Teng-kok. Sun Kob0ng, Lau Bun-siu dan Ngai Leng-ki.
Berita-berita yang simpang-siur amat mengeruhkan situasi, orang tak bisa menebak apa yang akan terjadi. Pasukan pasukan dengan berbagai seragam muncul di mana-mana, ke sana ke mari. Di sana sini jadi tak ada hukum, lalu gerombolan-gerombolan yang mementingkan diri sendiri pun muncul merampok, memperkosa, membunuh semau-maunya. Tak ada prajurit yang membela rakyat sebab setiap prajurit sedang sibuk dikerahkan ke sana ke mari, atau sedang sibuk menentukan junjungan baru yang akan menguntungkan.
Yang paling sengsara tentu adalah rakyat yang tanpa pelindung lagi. Ingin mengungsi ke mana" Kalau pertempuran berkecamuk di satu tempat, mereka bisa mengungsi menjauhi tempat itu, namun kalau di segala arah terdengar berita perang, mau mengungsi ke mana"
Dalam keadaan kacau itu, laskar gunung bawahan Helian Kong berdatangan dari segala tempat untuk bergabung dengan yang sudah lebih dulu datang di tepian Sungai Besar. Tibanya mereka
tidak bersamaan waktu, yang asalnya dari tempat dekat akan lebih cepat, makin jauh makin lama tibanya. Tetapi semuanya sudah menerima perintah Helian Kong untuk memperkuat pertahanan di sekitar Lam-khia.
Kaum laskar gunung itu tidak berseragam, ciri mereka hanya ikat kepala bertulis "tiga gunung". Penampilan yang tidak berbeda dengan penduduk biasa.
Siang itu sebuah kampung pesisir yang ada dermaganya, yang bernama kampung Hek-san-tin, yang letaknya hanya beberapa li dari tembok kota Lam-khis, didatangi ratusan lelaki bersenjata yang berikat kepala bertulisan "tiga gunung". Pemimpin mereka membawa laskarnya masuk ke kampung dan langsung menjumpai wakil hong-kun di kampung itu. Hong-kunnya sendiri bersama separuh dari laskar gunungnya sedang berada di Siang-long-tiap, yang di kampung itu hanyalah wakil hong-kun dengan kira-kira seratus laskar. Selain itu juga ada prajurit kerajaan berjumlah kira-kira dua ratus orang.
Pemimpin laskar yang baru datang: itu memberi isyarat jari "tiga gunung" lalu berkata kepada Si Wakil hong"kun setempat, "Kakak, aku Him Ki-lai dari Kui-cin. Aku mohon maaf lambatnya aku tiba di sini, karena jauhnya perjalanan.
Wakil hong-kun di Hek-san-tin Itu menangkap logat selatan yang kental dari tamunya ini. dan kepercayaannya timbul. Katanya, "Harap Kakak Him tidak berkata demikian, kami memaklumi jauhnya perjalanan dari Kui-ciu kemari. Namaku lt Tiong-ing, hanya wakil hongkun. Hong-kunnya sedang di garis depan, jauh di barat sana." .
"Seberapa jauh dari sini?" tanya Him Ki-lai.
"Celah Siang-long-tiap jaraknya tiga atau empat hari perjalanan dari sini."
lk Tiong-ing belum selesai bicara. Him Ki-lai sudah mengepal tinjunya dengan bersemangat berkata, "Wah, kalau begitu kami haruslah segera berangkat ke garis depan. Maaf, karena kami belum kenal jalan-jalan di daerah ini'sampai kesasar sejauh ini dari garis depan yang kami tuju."
ik Tiong-ing tertawa dan berkata, "Jangan tergesa-gesa, Kakak Him, situasinya memang panas tetapi tak segawat yang Kakak bayangkan. Kekuatan teman teman kita yang menghadang Manchu di Siang-long-tiap sudah cukup jumlahnya, sebab berdatangan terus dari mana-mana. Kakak. Him dan teman-teman ini habis menempuh perjalanan jauh dari Kiu-ciu, tentu lelah dan lapar. Istirahatlah di sini satu dua hari."
Him Ki-lai tidak langsung menyetujui, "Tetapi teman-teman sedang berjuang di garis depan, mana bisa kami enak enak di sini?"
"Jangan salah memandang situasi, Kakak Him. Yang disebut garis depan bukan Siang-long-tiap saja, tetapi seluruh tempat di tepi Sungai Besar ini adalah garis depan. Kita tidak bisa menebak apakah Manchu akan menyerang menyisir sungai dari barat, ataukah akan menyeberangi Sungai dari utara, atau bahkan muncul di belakang punggung kita di selatan. itu sebabnya kukatakan setiap jengkal tanah
adalah garis depan dan tidak ada garis belakangnya. Kampung ini pun garis depan"
Him Ki-lai mengangguk-angguk mendengar keterangan itu, "Kalau menurut dugaanku, Manchu takkan menyerang Lam-khia langsung, melainkan lebih dulu mengacaukan perhatian kita dengan pasukan barat dan pasukan selatannya, setelah kita bingung baru mereka yang dari utara menyeberangi sungai."
lk Tiong-ing mengangguk, "San-cu juga berpikiran demikian. Nah, Kakak Him, ajaklah beristirahat orang-orangmu." '
"Baiklah, Saudara lk, tetapi soal bahan pangan, jangan sampai kami mengurangi persediaan di tempat ini, sebab kami membawa bekal sendiri."
"Tidak jadi soal."
Demikianlah kampung Hek-sian-tin untuk sementara menerima tamu-tamu dari Kui-ciu itu. Laskar Helian Kong yang dari Kui-ciu itu, segera berbaur dengan laskar setempat, juga dengan prajurit-prajurit bawahan An Bwe yang
menjaga dermaga. Mula-mula orang-orang dari Kui-ciu itu heran melihat hubungan baik antara laskar gunung dengan prajurit kerajaan, padahal di berbagai tempat antara kedua golongan itu seperti air dan minyak. Keheranan mereka barulah terjawab setelah mendengar bahwa komandan prajurit-prajurit 'itu merangkap Hu-san-cu kaum laskar gunung.
Malam itu, ketika matahari sudah tenggelam, Him Ki-lai justru berjalan jalan di pasir tepian, di antara perahu perahu nelayan dan jala-jala yang sedang dijemur.
Waktu lk Tiong-ing kebetulan berjalan juga di tepian itu, dan melihat tingkah Him Ki-lai yang sebentar-sebentar memandang ke arah air Sungai Besar yang luas dalam kegelapan itu, ik Tiong-ing pun mendekat dan bertanya ramah, "Belum tidur, Kakak Him?"
Him Ki-lai menjawab dalam logat selatannya yang kental. "Aku orang selatan belum pernah kulihat laut seluas ini, makanya aku tak puas-puas memandang' agar bisa diceritakan di kampung halaman"
ik Tiong-ing tertawa mendengar jawaban sesederhana dan selugu "teman seperjuangan"nya dari Kui-ciu itu. Katanya, "ini bukan laut. Kakak Him. Sungai Tiang-kang memang amat lebar sehingga kalau kita berdiri di salah satu tepian memandang ke tepian seberang. hampir tak kelihatan. Namun ini baru sungai. Kakak Him. bukan laut."
"oww.." "Perairan inilah yang harus kita waspadai. kita kuatirkan Manchu muncul dari seberang sungai."
"Ya, ya." kembali Him Ki-lai cuma menjawab amat singkat.
"Aku tinggalkan dulu. Kakak Him."
"Silakan, Saudara lk. Aku belum mau cepat-cepat tidur, sebab merasa agak kepanasan. Nanti larut malam sedikit mungkin kantukku akan datang."
Setelah ditinggalkan ik Tiong-ing, kemudian Him Ki-lai ditemui oleh seorang lelaki berdandan nelayan yang mendarat ke tepian dengan sebuah perahu kecil.
' Mulanya lelaki itu berjalan menyisir tepian yang gelap sambil celingukan. " baru kaget ketika lewat dekat Him Kilai dan disapa. "Pulang dari menjaring udang, sobat?"
"Beberapa bulan lagi baru musimnya. belum sekarang."
Tanya jawab soal "udang" itu meyakinkan Him Ki-lai maupun si 'nelayan' itu bahwa mereka menjumpai orang yang memang ingin dijumpai. Si "nelayan" itu pun melangkah mendekat sambil berkata, "Komandan Phui. kau..."
"Di sini kupakai nama Him Ki-lai." potong Him Ki-lai yang ternyata gadungan karena dia adalah Phui Tat-Hong. komandan pasukan Manchu dari pangkalan tersembunyi yang pernah menawan Nona Ma kakak beradik, juga pernah ditugasi oleh Ngo Tat untuk mengurung Helian Kong tapi Helian Kong bisa lolos ditolong Tok-pi Sin-ni.
Phui Tat-liong menyodorkan sehelai ikat kepala "tiga gunung" sambil berkata, "Pakailah. dan bersikaplah santai sambil banyak tertawa meskipun kita akan
membicarakan urusan serius. Agar kalau ada yang melihat kita bercakap-cakap, takkan ada yang curiga."
Mereka pun berbincang. Si Nelayan gadungan tadi berkata, "jenderal Ni Kam ingin Komandan tahu bahwa pasukan besar kita sudah memenuhi Kanal Un-ho dan dalam waktu singkat akan menyerbu langsung ke Lamkhia. Tidak berputar-putar. Mungkin kapal-kapal terdepan akan bentrok dengan kapal-kapalnya The Seng-kong yang hilir-mudik di perairan, tapi kemenangan kita sudah dipastikan. Jenderal Ni suruh aku menanyakan apakah tempat-tempat pendaratan sudah disiapkan?"
jantung Phui Tat-liong berdegup kencang. Bertahun-tahun yang lalu; ia bersama prajurit-prajurit terpilih Kerajaan Manchu, diselundupkan jauh ke selatan untuk' mendirikan pangkalan-pangkalan tersembunyi. Mereka terpilih bukan cuma karena pintar berkelahi, tetapi juga pintar_ menyamar dan pintar menyesuaikan diri dengan penduduk selatan sehingga sulit diketahui kalau mereka adalah prajurit-prajurit Manchu yang pada saatnya nanti akan menjadi bagian rencana Panglima Ni Kam untuk mencaplok selatan. Yang paling berat buat prajurit-prajurit selundupan itu, termasuk Phui Tat-liang, bukan pertempurannya, melainkan keterpisahan mereka dengan keluarga dan orang-orang yang dikasihi selama bertahun-tahun, membunuh kerinduan yang menumpuk tahun demi tahun. Kini yang membuat Phui Tat-liong berdebar senang. setelah mendengar bahwa rencana penyerbuan itu sudah dekat. Phui Tat-liong ingin segera menyelesaikannya, meski tahu pertempuran merebut Lam-khia bakal amat dahsyat dan entah dirinya sendiri pun bisa lolos hidup-hidup atau tidak"
Jawabnya kepada utusan Jenderal Ni Kam itu, "Aku, Komandan Cek dan komandan Goh sudah berada di posisi masing-masing di sekitar Lam-khia. Sengaja kami tidak muncul terlalu banyak agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tetapi kami tetap saling mengirim berita."
"Teman-teman kita yang di bagian
dalam tembok Lam-khia, bagaimana?"
"Komandan Goh yang menghubungi mereka dan dalam pertemuan denganku kemarin malam, Komandan Goh memastikan kesiapan teman-teman kita di sebelah dalam tembok juga sudah menerima perintah Panglima dan sudah siap."
"Baiklah. Akan kulaporkan kepada Panglima."
Beberapa hari kemudian, suasana di perairan Sungai Besar masih terlihat tenang-tenang saja. Perahu-perahu pencari ikan masih terapung-apung tenang, dengan panebar-penebar jala di atasnya.
Tetapi rakyat kecil yang sedang mencari nafkah itu tiba-tiba memucat wajahnya. ketika mereka melihat kapal kapal bermeriam tiba-tiba muncul di perairan itu. _
Beberapa hari terakhir, penduduk sekitar tepian memang sudah terbiasa melihat kapal bermeriam, tetapi yang berbendera dinasti Beng. yaitu kapal-kapalnya Laksamana The Seng-kong dari Hokkian. Kali ini. yang muncul adalah kapal kapal berbendera hitam dengan gambar naga emas berkuku lima, bendera Manchu. Yang berdiri gagah di geladak kapal seragamnya jauh berbeda dengan penumpang-penumpang dari Hok-kian. Kapal-kapal itu muncul berderet-deret dan entah berapa jumlahnya. Yang lambungnya bermeriam hanya belasan buah, dan mengambil posisi melindungi kapal kapal yang tidak bermeriam. Pencari-pencari ikan yang sudah beberapa hari tegang mendengar berita perang, kini tahu bahwa perang benar benar akan meletus di perairan dan pasti juga di tepian-tepiannya. Bergegas para nelayan itu mendayung perahunya ke tepian. Sebagian nelayan itu berasal dari kampung-kampung yang dilatih oleh kaum laskar gunung. Nelayan-nelayan terlatih itu pulang ke kampung masing-masing dan melaporkan apa yang mereka lihat. Sementara itu. di perairan, meriam meriam mulai menggelegar sebab kapal kapal Manchu itu bertemu dengan kapal
kapalnya Laksamana The Seng-kong yang sedang berpatroli. Asap hitam dan bau mesiu memenuhi udara perairan yang biasanya tenang itu. _
Kapal-kapalnya Laksamana The Seng kong dikomandani seorang perwira berjenggot putih yang bernama Joan Po, ada empat kapal berukuran sedang, dua di antaranya bermeriam. Mereka sedang menyusur mengikuti aliran Sungai Besar ke hilir, ketika peneropong mereka melihat iring-iringan kapal Manchu yang keluar dari Kanal Un Ho itu.
Joan Po gusar. namun melihat kekuatan armada lawan jauh lebih besar, dia tidak serta-merta menggempur. Ia hanya menyuruh kapal-kapalnya mengikuti dari kejauhan dan menurunkan bendera-bendera Kerajaan Beng, agar tidak membuat musuh curiga. Kebetulan kedua rombongan kapal dari pihak-pihak yang bermusuhan itu sama-sama sedang menghilir. mengikuti'aliran sungai.
Namun di kapal-kapal Manchu juga ada Peneropongan-peneropongan, dan peneropong itu melapor kepada komandan
mereka bahwa mereka diikuti.
Komandan Manchu yang bernama Hap Hui bertanya kepada peneropongnya, "Kau lihat bendera mereka?"
"Tidak ada benderanya, Komandan, tetapi mereka mengikuti kita terus."
Hap Hui tertawa, "Mereka pasukan musuh, tetapi takut bertindak langsung. kepada kita karena melihat kekuatan kita. Tetapi kita tetap akan menenggelamkan mereka."
"Tetapi mereka di belakang kita dan arus sungai menghalangi kita untuk memutar kapal begitu saja, bagaimana kita memperoleh posisi untuk menembak mereka dengan meriam?"
"Ganti alur lebih ke tepian selatan, begitu ada tepian yang cukup landai untuk mendarat, kita menepi."
"Tetapi kalau mendarat di tempat tempat yang tidak ditentukan dalam rencana, bukankah rencana Panglima Tertinggi Ni Kam bisa kacau?"
"Kita tidak mendarat sungguhan, cuma pura-pura hendak mendarat. Ingin kulihat bagaimana sikap mereka, apakah
tetap hanya membuntuti tanpa berani berbuat apa-apa, ataukah mereka hendak melakukan sesuatu. Beritahu semua kapten."
Di kapal armada Kerajaan Beng, joan Po sendiri meneropong gerak-gerik kapalkapal Manchu itu, dan dia pun cemas bercampur marah, "Mereka benar-benar berniat mendaratkan pasukan rupanya."
"Apa yang bisa kita perbuat?"
"Kekuatan kita amat tak sebanding dengan mereka... tetapi kita tak boleh tinggal diam," gumam Joan Po. Berbeda dengan prajurit-prajurit Lam-khia yang umumnya sudah ketakutan, prajurit-prajurit bawahan Laksamana The Seng-kong ini masih memiliki semangat yang tinggi. "Percepat dengan layar-layar penuh. Meriam, panah, kaitan, semuanya disiapkan!"
Itu perintah untuk bertarung habis habisan Rupanya Joan Po dan seluruh prajuritnya sudah siap gugur.
Demikianlah terjadinya pertempuran hebat di tengah perairan Sungai Besar itu, ketika pasukan air Joan Po nekad mencoba menghentikan pendaratan pasukan air Manchu di bawah Hap Hui. Pertempuran sambil berjalan, sebab kapal kapal mereka sama-sama dibawa air mengalir ke hilir.
Kapal-kapal yang sudah cukup dekat. prajurit dari kedua pihak berlompatan menyeberang ke kapal lawan dan bertempur dengan ganas.
Meriam-meriam dari kedua pihak saling menggempur meremukkan lambung lambung kapal pihak lainnya.
Pertarungan di atas air itu amat sengit, pihak Manchu mendapatkan perlawanan sengit. Tetapi bagaimanapun tingginya semangat prajurit-prajuritnya Laksamana The itu, karena jumlah yang amat tidak sebanding, nampaknya sebelum matahari tenggelam perlawanan mereka akan habis dan mereka akan tertumpas tanpa sisa.
Dari beberapa kampung nelayan di pesisir, datanglah bantuan dengan perahu-perahu nelayan berisi orang-orang memakai ikat kepala "tiga gunung" ditambah dengan penduduk yang sudah dilatih dan terpanggil jiwanya untuk
membela tanah selatan. Kaum laskar gunung bersama para sukarelawan itu pun bertempur dengan bersemangat sekali, namun jumlah yang kalah banyak tetap membuat mereka kalah, cuma menambah korban saja. Agaknya pihak Manchu benar-benar sudah bertekad untuk merebut Lam-khia, maka jumlah pasukan yang hendak diseberangkan pun luar biasa. Ketika matahari sudah lingsir dan cahayanya mewarnai muka air dengan goresan keemasan dan kemerahan yang berguncang, pertarungan pun selesai. Prajurit-prajurit Laksamana The yang dikomandani Joan Po itu habis, juga kaum laskar gunung dan "sukarelawan yang berniat membantu mereka tadi. Namun Hap Hui memperingatkan 'orang-orangnya, "Pertempuran yang di ' sungai sudah selesai, tetapi yang di darat belum mulai, itu adalah pertempuran yang bakal lebih dahsyat dibanding ketika 'merebut Yang-ciu dari Su Kho-boat dulu." !
"Kampung nelayan Hek-san-tin sudah disiapkan oleh Komandan Phui untuk pendaratan kita."
Meski hari sudah gelap, Hap Hui menumpahkan seluruh pasukannya yang puluhan ribu itu ke dermaga kampung Heksan-tin. Tak ada perlawanan, sebab kampung dermaga itu lebih dulu sudah dikuasai pasukan Manchu di bawah pimpinan Phui Tat-liong yang semula datang ke situ dengan menyamar sebagai Him Kilai. Laskar gunung di bawah pimpinan lk Tiong-ing sudah dikalahkan dan kabur bergabung ke kampung Hi-siamtin Timur. Penduduk yang sudah dilatih sebagai sukarelawan itu pun tak bisa berbuat banyak ketika kampung dermaga mereka diduduki pasukan Manchu.
itu sebabnya ketika Phui Tat-Hong menyambut Hap Hui di ujung dermaga. ia tidak menyamar lagi, melainkan dengan bangga mengenakan seragamnya sebagai perwira Manchu. Bertahun-tahun ia bersembunyi di selatan dan mengalami berbagai pertempuran namun tanpa seragam kebanggaannya ini. Ia harus menyabung nyawa dengan menyamar sebagai bajak sungai di Sungai Mutiara, lain kali bertempur dengan seragam prajuritnya Pangeran Lou-ong. dan sebagainya.
Begitu pula dengan prajurit-prajurit Phui Tat-liong yang sudah sepenuhnya mengandalkan kampung Hek-san-tin, semuanya berseragam tentara Manchu. Seragam mereka nampak baru. sebab meskipun sudah bertahun-tahun tetapi hampir tak pernah dipakai.
Phui Tat-hong berdiri di ujung dermaga sambil membawa senjata kebanggaannya, toya perunggu yang digosok mengkilap sehingga kekuning-kuningan seperti emas.
Sedangkan Hap Hui melangkah turun dari kapal, menjejakkan kaki di dermaga sambil menjinjing hong-thian-kek atau tombak berpisaunya, melangkah mendekati Phui Tat-liong. _
Setelah dekat, tiba-tiba Hap Hui menyerang dengan gerak tipu Liong-lenghong-bu (Naga Dan Burung Hong Menari), tombak berpisaunya seolah berubah jadi seekor naga yang melibat lawannya, menyerang serempak tanpa kelihatan mana "kepala" dan mana "ekor"nya.
Phul Tat-liang pun membentak dan toya Perunggunya berkelebat dalam gerak tipu Ce-thian-lo-hai (Si Raja Monyet Mengacau Lautan). Toya perunggunya seolah berubah menjadi pusaran air laut yang dahsyat dan hendak menghisap si "naga menari" untuk dihempaskan remuk ke dasar samudra.
Hap Hui mengubah gerak tipunya. Phui Tat-liong juga. Di bawah cahaya obor-obor. senjata-senjata mereka berkelebatan cepat dan beradu dengan keras sampai belasan kali dan menimbulkan rentetan dentang hebat. Demikian dua perwira Manchu itu saling gebrak sekian lama, tetapi akhirnya mereka sama-sama berhenti, sama-sama tertawa terbahak dan berpelukan akrab.
"Hebat! Hebat! Lima tahun tidak kulihat batang hidungmu. ternyata kau malah lebih hebat dari dulu!" kata Hap Hui.
"Kakak juga meningkat," sahut Phui Tat-hong. "Bagaimana perjalanannya, Kak?"
"Di tengah sungai tadi kami kepergok beberapa cecunguk, tetapi sekarang mereka sudah berbaring tenang di dasar sungai," kata Hap Hui bangga sambil merangkul pundak Phui Tat-liong dan melangkah bersama di dermaga menuju ke daratan. "Dan bagaimana kerja kalian di selatan ini?"
"Tercapai sebagian besar," jawab Phui Tat-liang bangga pula. "Kami berhasil membuat para pangeran berotak udang itu lebih mementingkan diri sendiri-sendiri daripada mendukung Lam-khia dan bersatu, he-he-he. Para pangeran itu memupuk kekuatan bukan untuk menghadapi kita, melainkan untuk gontok-gontokan di antara mereka sendiri. He-hehe. hebat bukan, kelakuan bangsawan bangsawan Beng itu" Sekarang kota Lam-khla malah ditinggalkan sendirian seperti telur di ujung" tanduk. Hanya Helian Kong dan sekumpulan orang-orang nekadnya yang masih mencoba membela Lam-kia, namun perhatian mereka sedang disedot oleh Jenderal Kim."
"He-he-he, jadi kita akan memasuki Lam-khia seperti memasuki rumah kita sendiri?"
"Hampir akan semudah itu. Mungkin ya akan ada perlawanan sedikit-sedikit."
"Pasukan-pasukan kita di sekitar Lam-khia ini apakah hanya pasukanmu saja, Adik Phui?"
"Ada tiga pasukan. Pasukanku di sini, pasukan Kakak Cek Sum-yan ditugasi merebut dermaga sebelah timur kota untuk menyambut penyeberangan pasukan lain, dan ada pasukan Goh Tok-lip di bukit, bertugas menerobos masuk kota Lam-khia untuk membukakan pintu bagi kita dari dalam. Di dalam kota Lam-khla sendiri sudah ada banyak orang-orang kita yang bersembunyi. Kak, yang akan mendarat di Hek-san-tin ini apakah hanya pasukan Kakak saja?"
"Tidak, di belakangku masih ada pasukan-pasukan lain yang sebesar pasukanku."
"Silakan pasukanmu beristirahat, Kakak Hap."
*** Ketika penduduk kota Lam-khia membuka matanya di pagi hari, berita yang menyergap kuping mereka adalah berita tentang datangnya pasukan Manchu dalam jumlah besar, mendarat lewat beberapa dermaga di sebelah timur dan barat kota raja. Kapal-kapal perang Laksamana The Seng-kong yang dulunya diharap-harap menjadi "benteng terapung" yang akan membentengi Lam-khia di perairan, ternyata perlawanannya berakhir menjelang fajar. Ribuan prajurit gugur, beberapa kapal terbakar, dan kapal-kapal yang tersisa dipaksa kabur ke timur untuk pulang ke pangkalan mereka di Hok-kian.
Bersambung jilid XX. Panglima Gunung Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid 20 LAM-KHIA jadi seperti telur di ujung tanduk. ditinggal sendirian oleh kekuatan-kekuatan pendukung dari propinsi-propinsi yang tak kunjung datang. Pasukan para pangeran ternyata tak kelihatan batang hidungnya setelah ditunggu demikian lama, bahkan ada kabar angin bahwa para pangeran menarik kembali pasukan itu karena mereka tidak takut lagi kepada Helian Kong. Kemudian pasukan dari para jenderal di daerah daerah juga tidak muncul-muncul. Pasukan pemerintah yang ada di Lam-kina saat itu hanyalah pasukan garnisun ibu kota yang jumlahnya tak seberapa dan semangatnya sudah lesu, sudah keok sebelum bertanding. Ada juga pasukan istana yang tak seberapa jumlahnya, dan ada lagi pasukan delapan belas dermaga, namun sebagian besar prajuritnya
berpencaran di luar Lam-khia dan terputus hubungannya dengan Lam-khia.
Tidak heran, ketika Sidang Istana dilangsungkan, aula persidangan itu mirip dengan suasana rumah duka. Kaisar Beng-te duduk di singgasananya dengan sepasang matanya yang kosong, padam, bingung, tak tahu yang harus dilakukannya. Begitu pula wajah para pembesar sipil dan militer yang ada di depannya.
Satu-satunya wajah yang masih menunjukkan semangat di ruangan itu, barangkali hanyalah An Bwe, Panglima Delapan Belas Dermaga.
Suasana ruangan sunyi-senyap tak ada yang berani bicara sebelum diperintahkan oleh Kaisar. Namun Kaisar sendiri tak kunjung mempersilakan pembesar-pembeaarnya bicara. Kaisar hanya menarik napas berulang kali sambil geleng-geleng kepala. Sikap yang menebalkan rasa putus -asa yang menekan hati orang-orang tu. '
Akhirnya An Bwe tidak sabar lagi. sebab kalau dibiarkan saja maka orang orang ini benar-benar akan patah harapan
dan mungkin melakukan tindakan tolol. Menyalahi protokol resmi, sebelum diperintahkan Kaisar, ia telah berani mendahului bicara, "Ampun Tuanku, hamba mohon ampun sebesar-besarnya untuk kelancangan hamba ini."
Kaisar tidak menunjukkan tanggapan, dan beberapa pembesar menatap An Bwe dengan pandangan tidak senang. An Bwe tidak mempedulikan tatapan orang-orang itu, dan meneruskan kata-katanya, "Tuanku, keadaan belumlah segawat yang. kita bayangkan sendiri."
Sekali peraturan protokoler dilanggar An Bwe, yang lain pun berani melanggarnya. Panglima Tertinggi Kerajaan Beng. Jenderal Wan Heng-kui, sebagai atasan An Bwe, melotot, dan sebelum disuruh bicara oleh Kaisar ia sudah mendamprat An Bwe, "Kau bilang begitu untuk meringankan kesalahanmu" Kau sebagai penanggung-jawab delapan belas dermaga, kenapa orang-orang Manchu sampai berhasil mendarat di beberapa dermaga?"
"Pasukan Manchu yang menduduki dermaga-dermaga itu terlalu kuat buat orang-orangku. Namun aku sudah menerima laporan terakhir, bahwa orang-orang'ku bergabung dengan kaum gunung hijau dan dengan beberapa ratus sukarelawan berkumpul di Hi-sian-tin Timur, dan mereka akan menjadi duri di punggung pasukan Manchu," sahut An Bwe. "Tetapi kalau Panglima memerintah akan keluar menggempur Manchu, dengan seberapa pun kekuatan yang ada padaku, aku akan menjalani perintah itu."
Jenderal Wan hanya membuang muka tidak menjawab. la menyesal tidak dulu dulu meninggalkan Lam-khia. Kini, kota sudah dikepung Manchu dan orang-orang ibaratnya sudah seperti ikan dalam jaring.
Apa yang hanya disesali Jenderal Wan dalam hati, diucapkan terang-terangan oleh seorang pembesar sipil yang gendut, "Seandainya kita meninggalkan Lam-khia sejak dulu, nasib kita takkan seburuk ini."
Kata-kata itu membangkitkan kemarahan An Bwe, "Tuan, kita bertahun-tahun dihidupi oleh kerajaan, dimuliakan, diberi derajat, sehingga kau jadi segemuk
itu, apakah kita hanya mau enaknya saja dan tidak mau berkorban sedikit pun?"
Si Pembesar Gemuk hampir mendebat, tetapi bungkam ketika Kaisar yang sejak tadi bengong itu kini mengangkat tangan, dan berkata dengan nada lesu, "Jangan berbantah, kalian. Kalau punya usul,. katakan baik-baik."
Si Pembesar Gemuk cepat-cepat mengusulkan mendahului yang lain-lain, "Hamba mengusulkan, Baginda, agar kita mencari jalan yang aman untuk meninggalkan Lam-khia dan mendirikan pusat pemerintahan baru di selatan. Di sana kita masih punya banyak pendukung."
Ada yang usul agar menanda-tangani perjanjian damai saja dengan pihak Manchu, tentunya tidak gratis melainkan memberi hadiah wilayah tertentu ke pihak Manchu.
An Bwe amat gusar mendengar usul usul macam itu, namun nampaknya usul usul itu mendapat dukungan dari semua pembesar yang hadir, baik sipil maupun militer.
Terdorong kegusarannya. An Bwe jadi lupa tata-tertib, dan ia berteriak mengatasi hiruk-pikuk itu, "Tuan-tuan, keadaan belum seburuk itu sehingga kita harus berlutut di depan orang Manchu! Belum! Masih ada harapan kalau kita masih bersemangat!"
"Makan saja harapan kosongmu itu, An Bwe!" balas seorang pembesar militer lainnya, berteriak pula. "Kau mencelakakan kami dengan harapan-harapan kosongmu! Tidak ada yang lebih baik kecuali mengakui kenyataan saat ini Manchu lebih kuat dan bila tidak mau hancur kita haruslah menawarkan perdamaian kepada mereka, tak ada jalan lain!"
Tetapi An Bwe masih ngotot, "Tidak! Kita masih bisa bertahan di balik benteng, sampai datangnya bantuan dari luar.. Jenderal Helian pasti takkan tinggal diam dan akan menggempur bagian belakang pasukan Manchu yang mengepung kota ini! Dengar, kita hanya bertahan saja dengan panah dan batu dari atas tembok kota, itu saja! Tidak harus kita keluar pintu kota untuk menyongsong mereka. Begitu saja apa sudah tidak
berani?" "'Tidak! Makin kita memperpanjang perlawanan, Manchu akan makin gusar, dan mungkin akan membantai kita seperti mereka membantai rakyat Yang-ciu dan Ke-teng dulu, gara-gara perlawanan jenderal Su Ko-hoat !"
An Bwe sampai berlutut dan memukuli lantai saking gemasnya. sehingga Jenderal Wan Heng-kui membentak, "An Bwe ! Jaga sikapmu. kau masih di depan Sri Baginda!"
"Tidak bisakah kalian bertukar pendapat tanpa ribut-ribut seperti ini" Kalian membuat kepalaku sakit!" suara Kaisar meninggi dan membuat semuanya bungkam. Lalu suaranya kembali merendah lesu. "Entah kapan kembalinya Penasehat Lam, ia sering punya gagasan cemerlang."
Hampir saja An Bwe menyindir, bahwa salah satu "gagasan cemerlang" Lam Peng-hi bertahun-tahun yang lalu ialah mendepak Helian Kong dan jajaran pemerintahan di Lam-khia. Membuat pemerintah di Lam-khia tidak ada wibawanya terhadap daerah-daerah. Namun melihat wajah Kaisar yang kuyu. ANG Bwe berubah dari jengkel menjadi iba. Kaisar memang mengutus Lam Peng-hi ke ibu kota-ibu kota kepangeranan, membawa pesan Kaisar agar perjalanan bala-bantuan ke Lam-khia dipercepat. Tetapi An Bwe tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh Kaisar, yaitu Lam Peng-hi sudah tidak setia lagi kepada Kaisar. Lam Peng-hi telah berkomplot dengan Pangeran Lou-ong di Siao-hin, menyiapkan Pangeran Lou-eng sebagai pengganti Kaisar dinasti Beng Selatan. Lam Peng-hi secara diam-diam dan tidak kentara juga sudah memboyong hampir seluruh hartanya, keluarganya dan orang-orang andalannya ke Siao-hin. Namun di Lam-kia Lam Peng-hi masih meninggalkan orang orangnya yang tidak penting untuk melakukan kegiatan sehari-hari agar timbul kesan bahwa ia masih di Lam-khia. Yang ikut diajak ke Siao-hin antara lain adalah Gui Gong. teman Ang Siok-sim yang gemuk itu, yang ternyata terbukti bisa menjadi kaki tangan yang "baik" bagi Lam Peng-hi. Gampang disuruh apa saja
tanpa banyak tanya. An Bwe pernah melapor kepada Jenderal Wan tentang boyongan tersamar itu, tetapi Jenderal Wan tidak menggubrisnya. Sekarang mendengar keluhan Kaisar, An Bwe merasa iba juga.
Tiba-tiba An Bwe juga sadar, saat itu percumalah berpidato muluk-muluk soal membela negara segala di depan orang-orang yang sedang bingung dan ketakutan itu. An Bwe memutuskan diam diam dalam hati bahwa lebih baik ia menggalang kekuatan dari mana saja untuk mempertahankan Lam-khia. '
Sidang kerajaan yang kacau dan dalam suasana keputus-asaan itu belum menghasilkan keputusan apa-apa, ketika di kejauhan terdengar sayup-sayup dentum meriam. Dalam istana, memang dentum itu tidak menggelegar, hanya terdengar sebagai letupan kecil. Namun bagi orang-orang yang dicengkam ketakutan dan keputus-asaan, itulah ledakan petir di tepi telinga yang merontokkan semangat. ltu tanda bahwa pasukan musuh mulai bertindak.
Wajah Kaisar langsung memucat. "' bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, dan setelah beberapa detik barulah keluar suaranya, "Kalian." uruslah baik-baik semuanya. Aku... aku... kurang enak badan dan harus beristirahat."
Lalu Kaisar pun beranjak ke dalam istana dengan langkah goyah. Para pembesar mengantar undurnya Kaisar dengan berlutut dan berseru "Ban-swe" tetapi kurang serempak.
Dengan demikian, sidang itu bubar begitu saja. Beberapa pembesar sipil dan militer meneruskan pembicaraan di kediaman Jenderal Wan. Tetapi An Bwe tidak ikut pembicaraan itu, ia merasa lebih penting bertindak daripada berbicara.
Jalan-jalan di Lam-khia nampak sepi, meskipun di siang hari bolong. Dentum meriam di luar tembok kota masih terdengar terus'tanpa berhenti.
An Bwe berkuda dan tiba di tangsi pasukan bawahannya, yaitu Pasukan Delapan Belas Dermaga. Memang sebagian besar pasukannya ada di luar kota dan tidak dapat kembali masuk kota karena kota terkepung balatentara Manchu. Tetapi di tangsi itu masih ada kira-kira dua ratus prajurit, dan An Bwe tidak ingin mereka menganggur.
Ternyata tangsi itu kelihatan sama lengangnya dengan jalan-jalan di Lamkhia. Setelah An Bwe berkeliling dan berteriak-teriak sampai tenggorokannya sakit, barulah muncul belasan prajurit dengan sikap ogah-ogahan. Melihat jumlah sekecil itu, An Bwe meluap marahnya, "Mana teman-teman kalian?"
Yang pangkatnya tertinggi dari belasan prajurit itu menjawab dengan kalimat tak lancar, bahwa sudah dua hari banyak prajurit yang tidak datang ke tangsi tanpa penjelasan. Tapi ada juga yang dengan penjelasan yang berbeda beda satu dengan yang lain. Ada yang mengaku jatuh sakit mendadak dan isterinyalah yang melapor, ada yang bilang
anaknya jatuh dari pohon, ada yang bilang neneknya terpeleset di dapur_ sehingga pinggulnya patah, ada yang bilang isterinya luka parah diseruduk kambing di pasar, dan sebagainya.
Wajah An Bwe merah-padam, namun ia malahan tertawa dingin dan menyindir, "Wah, hebat benar pasukan kita ini. dalam satu hari saja bisa mengumpulkan alasan sebanyak itu untuk ketidak-hadiran prajurit-prajuritnya."
Prajurit-prajurit itu cuma menundukkan kepala.
Kepala mereka terangkat serempak ketika An Bwe membentak, ."Sekarang ambil senjata dan pergi ke tembok kota!"
Dentum meriam-meriam Manchu masih terdengar. Perintah An Bwe itu menciutkan nyali, dan prajurit yang pangkatnya tertinggi itu menjawab, "Jenderal, bukankah tugas itu adalah tugas Pasukan ibu Kota" Sedang kita ini Pasukan Pengawal Dermaga yang..."
"Di saat segawat ini, tiap prajurit berkewajiban membela Lam-khia! Di luar tembok kota sana. bahkan banyak kaum nelayan dan rakyat jelata biasa yang mempertaruhkan nyawa membela negeri, apalagi kita yang berseragam, yang tiap saat melantangkan pengakuan sebagai tiang dinasti, yang hidup dari gaji yang diberikan kerajaan."
"Tetapi... apakah kita tidak lebih baik menunggu perintah Panglima Tertinggi?"
An Bwe mendongkol, "He, kapan aku mengangkatmu sebagai penasehatku" Urusan dengan Jenderal Wan adalah tanggung-jawabku, dan kewajiban kalian adalah menjalani perintahku!"
"Tetapi, Jenderal..."
?"Kalau kalian jalani perintahku, kalian belum tentu mati, tetapi kalau kalian membantah, kalian harus bertempur dengan aku di sini dan aku jamin kalian takkan ada yang hidup seorang pun. Aku malu punya prajurit-prajurit penakut seperti kalian," sambil mengancam seperti itu, An Bwe juga sudah menghunus pedangnya.
Prajurit-prajurit itu salah-tingkah sejenak, biarpun mereka ada belasan orang dan An Bwe sendiri, mereka percaya
mereka akan kalah dan terbunuh. Akhirnya mereka berkata, "Kalau jenderal memerintahkan kami bertempur. Ya tentu saja kami mematuhi perintah."
An Bwe menarik napas. masygul juga ia bahwa prajurit-prajurit Lam-khia maju ke garis depan dengan semangat yang loyo. Tetapi An Bwe berharap, setelah di garis depan nanti, para prajuritnya akan terbangkit semangatnya.
An Bwe sendiri menyusuri jalan-jalan Lam-khia yang lengang, mampir ke tangai-tangsi para prajurit dari berbagai pasukan, mencoba mencari tenaga untuk membela Lam-khia.
Usahanya itu nyaris merupakan kesia-siaan. Prajurit-prajurit di seluruh Lam-khia tiba-tiba saja hampir seluruhnya "libur" secara serempak tanpa berjanji lebih dulu. Prajurit-prajurit yang
ada di tangsi-tangsi terlalu sedikit jumlahnya. Namun yang sedikit itu pun kebanyakan bersikap menolak ajakan An BWe. Ada yang menyambutnya dengan acuh tak acuh atau dengan keramahan basa-basi, ada yang terang-terangan menolak karena mereka beralasan bahwa mereka tidak di bawah perintah langsung An Bwe, dan mereka hanya mau diperintah oleh atasan langsungnya, padahal atasan langsungnya sedang "libur" entah ke mana.
Namun upayanya itu juga tidak sepenuhnya siaasia. Ada juga prajurit-prajurit, meski kecil jumlahnya, yang tergerak hatinya, lalu mereka berangkat ke tembok kota tanpa mengindahkan jalur komandan yang resmi.
An Bwe sendiri setelah mengelilingi tangsi-tangsi dengan hasil sedikit, lalu berpacu ke arah tembok kota untuk mengatur perlawanan.
Jalan-jalan di Lam-khia sepi seperti kota terserang wabah, namun makin dekat ke tembok kota, An Bwe melihat sesuatu yang membuat dadanya panas oleh rasa haru. Dada yang semula sesak oleh kejengkelan melihat kepengecutan sebagian besar prajurit. An Bwe melihat semangat perlawanan yang bangkit di kalangan warga Lam-khia yang. bukan prajurit. Semangat yang mula-mula hanya
menyala di kalangan pengikut pengikut Helian Kong yang biasa disebut kaum "gunung hijau", lalu merembet ke banyak orang lainnya. Anggota-anggota berbagai organisasi, seperti'Kai-pang (Serikat Pengemis), siswa-siswa perguruan-perguruan silat, jago-jago perorangan, kuli-kuli di pasar, orang-orang yang terketuk hatinya, orang-orang yang sudah bosan dianggap tak berarti oleh tata-pergaulan yang keras di masyarakat kota besar seperti Lam-khia.
Lai Tek-hoa dan orang-orang "gunung hijau" menyongsong An Bwe yang adalah Hu-san-cu kaum "gunung hijau". Lapor Lai Tek-hoa, "Sejak pagi orang-orang Manchu menembaki tembok kota tetapi mereka tidak menyerbu ke tembok. Kami sudah menyiapkan batu-batu dan balok-balok besar kalau mereka coba-coba memanjat."
An Bwe memang melihat di atas tembok itu tersedia banyak batu-batu dan balok-balok, bahkan masih ditambah terus dari bawah. Kata An Bwe, "Musuh mencoba meruntuhkan semangat kita
dengan suara meriam-meriam mereka. Kalau kita patah semangat, kita akan jadi makanan empuk mereka. Kita harus terus menampakkan diri di atas tembok kota ini, agar mereka melihat kita dan tahu kita tidak bersembunyi ketakutan seperti kura-kura. Terus kumpulkan kayu dan batu di sini."
"Juga panah dan lembing," sahut Lai Tek-hoa.
An Bwe mengangguk-angguk. Ia melihat banyak panah dan lembing juga bertumpuk-tumpuk di situ. Selain panah panah dan lembing-lembing milik tentara kerajaan yang cukup baik buatannya. juga banyak yang buatan penduduk sendiri yang kurang memadai, namun bisa memperkuat perlawanan para sukarelawan mendadak itu.
Kemudian An Bwe memandang ke sebelah luar tembok. dan ia melihat pasukan Manchu dalam jumlah besar bertebaran di sekeliling kota. Bendera-bendera berkibaran di mana-mana. Topi-topi caping prajurit-prajurit Manchu itu dilihat dari atas tembok itu nampak seperti
jamur-jamur yang tumbuh di musim hujan. Meriam-meriam mereka menembaki temBok kota terus menerus, namun tembok Lam-khia yang terbuat dari batu-batu besar pahatan itu tak bergeming.
An Bwe membayangkan, "Tetapi orang orang Manchu itu pun pasti melihat ke atas tembok dan melihat kami berjajar seperti burung gereja di atas tembok. Mudah-mudahan mereka sadar bahwa kami pun bukan makanan empuk."
An Bwe kemudian menyuruh para prajurit yang ada di atas tembok kota untuk mengatur pembagian giliran di antara para sukarelawan. "Jangan semuanya terus berjaga, tetapi harus dibagi agar sebagian berjaga dari sebagian beristirahat. Bergantian. Jangan sampai saat serbuan datang nanti, semua dari kita kelelahan karena tidak beristirahat sama sekali."
Pembagian _siapa yang harus berjaga dan siapa yang beristirahat pun dilakukan oleh para prajurit. Para prajurit berangkat ke garis depan ini dengan
semangatnya, tetapi mereka "ketularan" semangat para sukarelawan alias "prajurit tiban" ini setelah digaris depan. Agaknya para prajurit itu pun merasa malu sendiri.
An Bwe senang melihatnya, "Nah, sekarang akan kukelilingi tangsi-tangsi untuk sekali lagi membangkitkan semangat para prajurit yang masih di sana. Barangkali saja mereka akan terbangkit semangatnya setelah kuceritakan tentang semangat kalian di sini."
An Bwe lalu hendak meninggalkan tembok kota itu sendirian saja, seperti datangnya tadi, namun Cui-gu (si "kerbau mabuk") Yong Sek-tiong dan Bu-wan (si "lutung menari") Joa Kian-pin mengikutinya sambil berkata, "Kakak An, kau sudah menjadi pengobar semangat perlawanan di kota ini, siapa tahu kaki tangan Manchu yang sudah menyusup di kota ini akan mengincar nyawamu. Biar kami bersama Kakak."
An Bwe mengakui masuk akalnya kata-kata kedua hulubalang "gunung hijau" itu, ia mengangguk dan tidak keberatan ditemani. Mereka bertiga berkeliling menyebar semangat di tangsi-tangsi tentara, di sekolah-sekolah silat, di lorong-lorong, di pinggir-pinggir jalan. Setelah itu, mereka bertiga menuju kediaman An Bwe untuk beristirahat.
Sambil berkuda Yong Sek-tiong bertanya, "Kakak An, Kakak ke sana ke mari membangkitkan semangat orang orang pinggiran jalan, kenapa Kakak malah tidak menghubungi jenderal Wan atau panglima-panglima lainnya?"
An Bwe tersenyum kecut, "Sudah. Tadi pagi di sidang kerajaan. Aku malu bercerita tentang mereka."
joa Kian-pin mengertak gigi dengan gemas, "Di bawah komandan-komandan bernyali tikus macam itu, mana bisa diharapkan prajurit-prajurit bersemangat tinggi?"
"Terus terang, aku iri kepada prajurit-prajurit Manchu. Meskipun mereka itu musuh." _
"Jangan terlalu kecewa, Kak. Semangat perlawanan yang spontan dari rak yat Lam-khia itu pun menggembirakan.
Ketiga orang tokoh "gunung hijau itu makan dan melepaskan penat sejenak di rumah An Bwe. Suara meriam di luar tembok kota masih terus terdengar, meskipun hari sudah mulai gelap.
"Orang-orang Manchu itu benar-benar ingin merontokkan semangat seisi Lamkhia," gerutu An Bwe. "Padahal tanpa suara meriam itu pun sudah banyak yang rontok nyalinya." '
"Yang ketakutan biarlah disiksa ketakutan mereka sendiri, yang berani biarlah berjuang, yang acuh tak acuh biarlah tetap acuh tak acuh. Tetapi Kakak An pun jangan sampai tersiksa oleh kejengkelan Kakak sendiri."
Istirahat mereka berakhir, ketika seorang anggota kaum Gunung Hijau datang melapor bahwa prajurit-prajurit Manchu mulai bergelombang mendekati kota. Meriam-meriam mereka juga mulai didorong lebih dekat dan di arahkan menembak pintu-pintu kota.
An Bwe bersama Yong Sek-tiong dan Joa Kian-pin pun bergegas ke tembok kota. Dalam perjalanan, mereka senang melihat beberapa kelompok sukarelawan
baru juga sedang menuju tembok kota meskipun dengan menyandang senjata seadanya atau besi penyodok arang"
Tiba di atas tembok kota, An BWe melihat prajurit-prajurit Manchu dalam jumlah besar mendekati tembok dengan membawa obor-obor dan tangga-tangga panjang.
An Bwe merasa ketegangan pada orang-orang di pihaknya, dan ia menasehatkan, 'Jangan tegang. Kita dalam posiis lebih menguntungkan untuk menyerang.


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita panah sekarang?" tanya seoran sukarelawan di sebelah An Bwe yang sehari-harinya adalah tukang jual obat di pinggir jalan, yang bisa silat sedikit sedikit. Wajahnya berkeringat karena tegang, tangannya sudah memegang busur dan anak panah. Di pinggangnya ada bumbung anak panah, dan di sebelahnya tersandar tombak berpisaunya (hong Ubian-kek) yang biasanya dimainkan di pinggir jalan untuk menarik pembeli.
Sahut An Bwe sambil menepuk bahunya "Tunggu sampai lebih dekat lagi
jangan sampai membuang tenaga dengan sia-sia."
Kebanyakan sukarelawan di atas tembok kota itu belum pernah menghadapi perang sungguhan, tak heran banyak yang tegang. Ini bukan perang perangan seperti waktu masa kanak-kanak mereka. Bahkan siswa-siswa sekolah silat juga banyak yang tegang. sebab mereka baru mengalami perkelahian dengan urutan teratur. Tetapi sebagian kecil dari sukarelawan ada juga yang pernah mengalaml perkelahian sungguhan, melawan perampok atau bahkan ada yang pernah ikut perang sungguhan di utara sana. Mereka ini mencoba memberi petunjuk-petunjuk praktis kepada teman-temannya.
Sementara itu. sambil bersorak-sorai prajurit-prajurit Manchu mulai berlari lari mendekati tembok. Pembawa-pembawa tangga maju di depan dengan dilindungi teman-teman yang membawa tameng. Lalu mereka menyandarkan tangga-tangga ltu di tembok dan memeganginya kuat-kuat dari bawah agar tangganya
tidak didorong roboh dari atas. Pemanjat-pemanjat tangga yang beranipun mulai beraksi. Mereka menggigit pedang mereka di mulut. dengan sebelah tangan digunakan memegang tameng di atas kepala seperti payung. dan tangan lain membantu sepasang kaki untuk memanjat. Pemanjat-pemanjat ini nampak begitu tangkas, mereka nampaknya sudah berlatih cukup lama untuk ini. Ada yang setiap kali injakannya, beberapa anak tangga terlampaui sekaligus, sementara pemanjat-pemanjat lain ikut di bawahnya.
Dari atas tembok, hujan panah, lembing. batu dan kayu pun menyambut aksi musuh itu. Banyak prajurit Manchu kena dan terjungkal, namun yang rontok itu adalah jumlah yang tidak seberapa dibandingkan gelombang manusia yang sedang mendampar tembok.
Para sukarelawan di atas tembok berbesar hati karena mereka dalam posisi unggul. Semangat meningkat. PihakManchu juga membalas membalas memanah tapi kurang kuat luncurannya karena gaya tarik bumi.
Tetapl di pihak Manchu ada sesuatu yang tidak diperhitungkan para sukarelawan Lam-khia. Di tengah-tengah pasukan Manchu ada regu-regu bersenjata api anak buah Phui Tat-liong. dengan bedil bedil dalam jumlah besar hasil rampasan di Sungai Mutiara dulu.
Regu-regu penembak itu menyelinap maju tanpa kentara di tengah-tengah gelombang manusia. Mereka sudah berlatih hanya menembak musuh di bagian tembok kota yang hendak dipanjat oleh teman-teman mereka.
Begitulah. dalam keremangan malam yang tak terjangkau cahaya obor dari kedua pihak. penembak-penembak itu berjongkok, mengincar. dan tahu-tahu suara senapan terdengar beruntun seperti mercon renteng dan sukarelawan-sukarelawan di beberapa bagian tembok yang hendak dipanjat prajurit Manchu, berjungkalan ditembus peluru.
Sukarelawan-sukarelawan Lam-khla terkejut. Ada anggota-instan "gunung hijau" yang berteriak-teriak. "Berlindung! Berlindung! jangan munculkan seluruh badan di luar tembok!" _
Para sukarelawan pun berlindung di balik tonjolan-tonjolan tembok dengan semangat agak terpukul. Mata mereka nanar melihat belasan teman mereka yang tertembus peluru.
"Jangan berdiri kebingungan saja! Tolong teman-teman yang masih bisa ditolong!"
Dengan bantuan penembak-penembak itu, para pemanjat bertambah leluasa naik sampai ke atas tembok. Para pemanjat umumnya adalah prajurit-prajurit yang keberanian dan ketrampilannya menonjol di antara teman-teman mereka.
Beberapa sukarelawan Lam-khia berteriak. "Awas, musuh memanjat! Jatuhkan dengan lemparan batu atau balok!"
Tetapi ada yang menjawab, "Nanti kalau muncul di pinggir tembok, kita kena tembakan lagi."
"Jangan takut. Bedil-bedil itu tidak bisa ditembakkan terus menerus, dibutuhkan waktu sejenak untuk mengisinya kembali. Kita _punya peluang sedikit."
Penganjur itu bukan cuma menganjurkan, tetapi memberi contoh. Ia mengangkat sebuah batu lalu ditimpakan ke arah seorang prajurit Manchu yang sedang memanjat. Prajurit itu terpental ke bawah. Beberapa sukarelawan bernyali besar pun mengikuti jejaknya. Prajurit prajurit Manchu berjatuhan ke bawah, namun pemanjat-pemanjat baru beraksi tanpa kenal takut.
Dan bedil-bedil pun rupanya sudah selesai diisi dan mulai menyalak dalam kegelapan, beberapa pelempar batu di atas tembok pun lagi-lagi tumbang ditembus peluru. .
Namun begitu bedil bungkam, para penganjur bernyali besar kembali berseru, "Musuh habis menembak, ini kesempatan kita! Ayo!"
Begitulah, kedua pihak berusaha memanfaatkan peluang masing-masing, sekecil apapun.
Pihak Manchu memecah regu-regu penembak itu untuk dipencarkan di berbagai arah. Mereka ditugasi memudahkan pemanjat-pemanjat mencapai bagian atas tembok.
Namun bagaimanapun bedil-bedil itu cukup menggoncangkan semangat tempur sukarelawan Lam-khia.
An Bwe dapat merasakan kemerosotan semangat. Tiba-tiba ia ingat bahwa di tangsi-tangsi pasukan-pasukan di Lamkhia juga tersimpan senjata-senjata api, meskipun jumlahnya kalah jauh dibandingkan dengan yang punyai musuh, namun mungkin bisa untuk mengatrol semangat orang-orang.
An Bwe lalu mengajak Yong Sek-tiong dan joa Kian-pin yang selalu mendampinginya, "Saudara Yong dan joa, mari kita ambil senjata-senjata api di tangsi tangsi. Daripada disimpan saja kan lebih baik digunakan?"
"Baik!" "Ajak beberapa orang untuk mengangkatnya!"
Sambil berjalan melompat-lompati tubuh-tubuh yang bergeletakan di atas tembok, An Bwe dan beberapa orang lagi meninggalkan tembok yang tengah diserang itu. Suara dentuman meriam juga terus terdengar.
Sebelum pergi, An Bwe meneriakkan kata-kata pembakar semangat. "jangan takut! Kami ambilkan senjata-senjata api di tangsi! Bertahanlah terus!"
Yang pertama kali dituju An Bwe adalah tangsinya sendiri, tangsi Pasukan Delapan Belas Dermaga.
Dan ia menjumpai tangsinya itu sesepi kuburan, tak kelihatan batang hidung seorang pun. Pintu depan tangsi terbuka lebar tanpa terjaga, tanpa cahaya sedirkit pun.
An Bwe mengambil sebatang obor dan menyalakannya, lalu melangkah ke gudang senjata. la melangkah sambil menggerutu, "Pengecut-pengecut yang tak punya tanggung-jawab kecuali terhadap perutnya sendiri. Bagaimana kalau ada orang tak bertanggung-jawab menjarah gudang senjata" Bagaimana kalau ada kaki tangan Manchu menghancurkan gudang senjata?"
Namun gerutunya berkurang ketika melihat pintu gudang senjata masih terkunci rapat, gemboknya yang besar masih terpasang di tempatnya.
"Kakak bawa kuncinya?" tanya Yong Sek-tiong.
"Kuncinya dibawa seorang letnanku. Saudara Yong, hancurkan saja gemboknya dengan martil-martil bajamu."
Senjata andalan Yong Sek-tiong memang sepasang martil baja. la melolosnya dari ikat pinggangnya. lalu dengan kekuatan hebatnya yang membuat ia sampai dijuluki "kerbau mabuk" ia menghantam gembok pintu gudang senjata itu.
Dengan dua kali pukul saja. gembok yang kokoh itu runtuh ke tanah.
An Bwe menyerahkan obor kepada salah seorang sambil berpesan. "Kamu berdiri di luar saja. Isi gudang banyak bahan peledak yang berbahaya kalau berdekatan dengan api."
Lalu An Bwe melangkah masuk.
Dalam gudang hanya ada dua puluh pucuk senapan. kuno dan kurang terawat. Namun An Bwe memerintahkan juga agar itu dibawa ke tembok kota bersama peluru-pelurunya dan tong-tong berisi bubuk mesinnya.
Tiga orang ditugaskan untuk itu.
An Bwe dan yang lain-lainnya meneruskan berkeliling tangsi untuk mengambil senjata-senjata api.
Di tangsi-tangsi lain ternyata tidak selancar yang pertama. Di suatu tangsi. mereka hanya menjumpai tangsi yang kosong melompong dan gudang senjata yang kosong melompong pula dengan pintu-pintunya terbuka lebar.
"Ada yang mendahului kita" desis An Bwe dengan jantung berdegub. "Kawan atau lawan?"
"He. siapa itu?" joa Kian-pin tiba tiba meneriaki sesosok tubuh yang sedang mengendap di pojok gelap.
Orang itu mencoba kabur sempoyongan, namun tak bisa luput dari kejaran Joa Kian-pin. Orang itu tertangkap lalu diseret ke depan An Bwe. ltulah seorang rajurit tua yang seragamnya tidak lengkap lagi. Hidungnya merah dan seluruh tubuhnya berbau arak.
"Siapa kamu?" tanya An Bwe.
Si Prajurit Tua gentar melihat seragam An Bwe. la berlutut dan berkata, "Ampun. jenderal. saya sudah tua dan sudah tidak mampu bertempur. Di tangsi ini saya hanya bertugas membersihkan gudang ."
"Aku takkan menyuruhmu bertempur Cuma ingin kutanyakan, dikemanakan isi gudang ini?"
"Tadi ada pasukan istana datang dan mengambil seluruh senapan, peluru dan tong-tong mesiu. Katanya akan digunakan untuk memperkuat perlindungan istana. Sekarang semua pembesar sudah berkumpul di istana agar tidak sulit melindunginya."
An Bwe geleng-geleng kepala, "Dalam situasi segawat ini, mereka -lebih mengutamakan perlindungan diri sendiri daripada pertahanan seluruh Lam-khia."
Namun setelah gudang itu diperiksa, ternyata ada juga beberapa bedil tua yang tergeletak di sudut, yang tidak dibawa pengawal-pengawal istana karena dianggap barang rongsokan. Namun An Bwe melihat benda-benda itu masih bisa diPakai asal dibersihkan dulu. Maka dia pun menyuruh membawanya ke tembok kota.
Demikianlah An Bwe berkeliling dari tangsi ke tangsi, memunguti senjata-seniata yang disisakan oleh pengawal pengawal istana.
Ternyata tidak seluruhnya mengecewakan. Di suatu tangsi yang komandannya berjiwa patriotik namun tak berani bertindak tanpa perintah Jenderal Wan, An Bwe malahan dipinjami hampir lima puluh pucuk senapan yang cukup baru, bahkan dua pucuk meriam kecil, dengan mesinnya.
"Kau berjiwa gagah, Komandan," puji An Bwe kepada komandan tangsi itu. "Tetapi kenapa masih di sini saja dan tidak ke garis depan?" .
"Tidak ada perintah dari Jenderal Wan."
"Percuma menunggu perintah darinya, sampai kapan pun takkan berani memberi perintah itu. Dia sedang meringkuk ketakutan sekarang. Kalau kau punya nyali, turuti kobaran semangatmu."
Komandan tangsi itu merenung sebentar, ia tahu An Bwe memang perwira yang paling terang-terangan menyatakan simpatinya kepada Helian Kong, bahkan di sidang istana sekalipun. Dan setelah merenung, akhirnya komandan itu berkata. "Aku dan pasukanku dan seluruh persenjataan di tangsi ini, ikut ke tembok kota. Kalau dianggap melanggar disiplin ya biarlah."
An Bwe tersenyum lebar. "Itu baru. prajurit sejati."
Di tembok kota prajurit-prajurit Manchu tak kenal lelah memanjat tembok. Semalam-malaman mereka terus meng-gempur, dan karena mereka berjumlah amat besar, pasukan-pasukan mereka bisa bergantian. Bila yang sebagian menyerang yang lain mundur ke garis belakang untuk menyegarkan tenaga.
Sedang para sukarelawan Lam-khia tidak punya pengganti. Mereka dipaksa sibuk terus sampai fajar hampir merekah.' Korban di antara mereka pun cukup banyak.
Kegigihan pemanjat-pemanjat tembok dari pihak Manchu seperti semut-semut mencium bau gula, ditambah bantuan penembak-penembak yang menembaki bagian atas tembok yang hendak dipanjat maka menjelang fajar sudah beberapa bagian tembok Lam-khia berhasil dipanjat sampai ke atasnya. Di beberapa bagian tembok Lam-khia pun terjadi pertempuran jarak dekat antara prajurit prajurit Manchu dengan para sukarelawan Lam-khia.
Para sukarelawan agak kewalahan karena mereka lelah dan mengantuk. Sedangkan prajurit-prajurit Manchu masih segar, mereka juga tergembleng keras dan bersemangat tinggi, apalagi berjumlah lebih banyak. ,
Orang-orang kaum Gunung Hijau di antara para sukarelawan adalah orang orang yang paling gigih, paling bersungguh-sungguh melawan. Namun mereka pun manusia-manusia biasa, bukan otot kawat balung wesi, mereka sudah memeras tenaga dan pikiran sehari semalam lebih tanpa ada orang lain yang menggantikan. Karena itu merekalah yang paling'banyak di titik-titik pertempuran paling panas. Semangat mereka menggugah hati sukarelawan-sukarelawan lainnya
sehingga di beberapa bagian "pasukan Manchu terbentur perlawanan yang tak terduga.
An Bwe tidak mempedulikan kelelahannya. ia terus bertarung seperti singa kelaparan. Pedangnya seolah sudah dicat merah dengan darah, namun prajurit-prajurit Manchu terus berkerumun mendesaknya.
Orang-orang dari kaum Gunung Hijau lainnya pun bertempur segigih dia.
Tetapi, bersamaan dengan munculnya matahari, bukannya "semakin sedikit prajurit Manchu yang di atas tembok, malahan semakin banyak. Korban di kedua pihak sudah amat banyak. Sulit mencari tempat memijakkan kaki di atas tembok itu tanpa menginjak mayat orang. Bahkan ada yang harus menginjak mayat bertumpuk lebih dari satu.
Di bagian-bagian tembok yang tak mampu lagi_ dijaga oleh pihak sukarelawan, pihak Manchu dengan leluasa memasang tangga-tangga, di situ dan membanjirkan prajurit-prajuritnya ke atas tembok.
An bwe tahu kenyataan itu dan dadanya merasa sesak. ia meraung seperti singa.
An Bwe paham kenapa pasukan Manchu begitu bersemangat, sebab di kejauhan, di sebuah bukit di luar Lam-khia, berkibar sebuah bendera besar Ngo-jiaukim-liong-ki, berdampingan dengan bendera besar lain bertulis huruf "Ni". yang berarti Panglima Tertinggi Manchu, Jenderal Ni Kam sendiri secara pribadi hadir dalam pertempuran.
"Seandainya prajurit-prajurit dinasti Beng bersemangat sehebat prajurit-prajurit 'musuh ini, seandainya para pembesar militer sendiri sudi hadir di .medan dan bukan hanya bersembunyi..." An Bwe sempat juga berangan-angan di tengah riuhnya baku-bantai itu.
Ketika itulah di daratan yang jauh sana, di belakang pasukan induk Manchu, tiba-tiba sayup-sayup terdengar sorak perang pula.
Agaknya pasukan Manchu yang sedang menyerang Lam-khia itu pun diserang dari belakang.
An Bwe mendengarnya biarpun hanya sayup-sayup, dan dia pun berteriak untuk membesarkan semangat para sukarelawan Lam-khia, "itu laskar kita! Laskar kita terus berdatangan dari pegunungan dan tak terhitung banyaknya !"
Dalam hati An Bwe merasa bahwa istilah "tak terhitung banyaknya" itu agak berlebihan; tetapi tidak apalah membual sedikit untuk mengobarkan semangat para sukarelawan, sekaligus untuk menggertak prajurit-prajurit Manchu.
Sementara para sukarelawan menyabung nyawa membela Lam-khia, di Istana Kaisar, di tengah pengawalan ketat yang berlapis-lapis, Kaisar dan sekumpulan pembesar sipil dan militer yang gemuk gemuk dan berpakaian bagus-bagus itu sedang membicarakan situasi.
"Jadi, banyak penduduk kota yang melawan Manchu?" tanya Kaisar setelah mendengar laporan.
"Benar, Baginda," sahut seorang pembesar militer yang melapor.
"Mungkinkah rakyat bergerak sendiri tanpa ada yang menganjurkan?"
"Memang ada yang menganjurkannya. Baginda, yaitu Jenderal An Bwe."
Kaisar mengalihkan pandangan ke pembesar-pembesar lainnya dan melontarkan pertanyaan, "Bagaimana pendapat kalian?"
Seorang pembesar militer berlutut dan berkata, "Ampun, Baginda, ditinjau dari pandangan disiplin militer An Bwe sudah melakukan pelanggaran berat. ia mengajak beberapa pasukan dari beberapa tangsi, padahal pasukan-pasukan itu punya komandan-komandan sendiri. An Bwe mengacak-acak tata-tertib, kalau tidak dihentikan, pasukan kerajaan kita ini hanya akan menjadi gerombolan bersenjata yang tidak kenal aturan, bertindak semau-maunya sendiri."
Kemudian disambung oleh seorang pembesar sipil, "Hamba kuatirkan perlawanan rakyat itu akan membuat pihak Manchu gusar, dan akan terulang peristiwa berdarah di Yang-ciu dulu."
Banyak orang terguncang hatinya ketika diingatkan peristiwa Yang-ciu itu. itulah peristiwa ketika rakyat Yang-ciu bahu-membahu dengan prajurit-prajurit Kerajaan Beng di bawah pimpinan jenderal Su Ko-hoat melawan Manchu. Su Ko hoat gugur, perlawanan rakyat Yang-ciu dipatahkan, namun korban di pihak Manchu juga sangat banyak dan menggusarkan Panglima Tertingginya, hingga memerintahkan pasukannya agar "menghukum" rakyat Yang-ciu. Terjadilah pernbantaian selama sepuluh hari. _
Seorang pembesar sipil mencoba menghibur orang-orang di situ, "Tetapi jangan terlalu dihantui peristiwa itu. Bukankah pihak istana Manchu menunjukkan penyesalannya atas peristiwa itu dengan memecat dan mengganti Panglima Tertingginya?"
Tetapi pembesar yang lain lagi tetap menyebarkan ketakutan, "Biarpun mereka menyesal, tetapi kalau kita membangkitkan lagi kemarahan mereka, bisa saja peristiwa Yang-ciu terulang di sini."
"Astaga, lalu bagaimana sikap kami?"
"Harus ada tindakan!"
"Baginda, hamba ulangi usul hamba untuk menawarkan pakta perdamaian kepada Manchu."
"Tetapi menawari mereka tentu tidak cuma-cuma."
"Tentu saja. Tetapi dibandingkan bencana mengerikan seperti di Yang-ciu, tak ada pengorbanan cuma-cuma di pihak kita."
"Tetapi kalau kita ingin berdamai, tingkah An Bwe yang diluar kendali itu haruslah dihentikan dulu. Tingkahnya dapat menimbulkan kesan di pihak-Manchu bahwa kita tidak bersungguh-sungguh. dan percumalah segala tindakan yang kita ambil."
Kaisar mengangguk-angguk lalu menoleh kepada Jenderal Wan, "Jenderal Wan, An Bwe adalah bawahanmu. Kendalikan dia." "
Jenderal Wan berlutut, "Akan hamba coba."
Kata "coba" dalam jawabannya itu menyiratkan bahwa Jenderal Wan sendiri tidak yakin bisa mengendalikan An Bwe.
"Kalau begitu, jalankanlah secepatnya. supaya utusan perdamaian bisa segera dikirim."
Jenderal Wan pun meninggalkan istana dengan membawa pasukan yang kuat_ dan bersenjata lengkap. Mereka berbaris di jalanan Lam-khia yang lengang, meskipun matahari sedang di tengah langit. Dentum meriam dan sorak-sorai perang terdengar sayup-sayup.
Tiba dekat tembok kota, Jenderal Wan melihat betapa gigihnya perlawanan para sukarelawan. Rumah-rumah yang berdekatan dengan tembok kota sudah berubah menjadi tempat perawatan yang luka-luka dengan tenaga dan perlengkapan seadanya. Sekaligus dapur umum.
Bila Jenderal Wan mendongak ke atas tembok kota, dilihatnya para sukarelawan berderet-deret di atas tembok. menghadap ke luar kota, memanah, melempar lembing. menjatuhkan batu. Bagian tembok yang dilihat jenderal Wan itu kebetulan adalah yang belum dipanjat Manchu.
jendral Wan melihat orang-orang lanjut usia, wanita dan kanak-kanak ternyata punya kegiatan pula. Mereka naikturun undakan tembok kota untuk membawakan makanan, minuman, lembing lembing dan panah-panah buatan sendiri. batu-batu dan kayu-kayu. Bahkan ketika tidak ada lagi batu-batu, pot-pot bunga pun tak jadi soal, kalau menimpa jidat musuh akan lumayan juga. Mereka juga mengangkut turun sukarelawan-sukarelawan yang terluka untuk dirawat.
Melihat itu semua, hati kecil Jenderal Wan tersentuh oleh rasa malu. Di kala situasi aman, prajurit-prajurit berseragam mentereng dan berbaris di jalan-jalan Lam-khia, memaksakan perlakuan istimewa di tempat-tempat umum dengan sikap galak mereka, menepuk dada sambil berkata, "Apa jadinya negeri ini tanpa kami" Jadi hormatilah kami sedikit."
Kini mahluk-mahluk gagah itu tak kelihatan banyak di atas tembok kota. Hanya beberapa gelintir di sana-sini.
Ketika para sukarelawan melihat kedatangan Jenderal Wan dan regunya yang bersenjata lengkap itu, mereka bersorak sorak gembira. Mereka sudah kelelahan. dan sekarang mereka gembira karena menyangka akan dibantu.
"jenderal Wan dan pasukannya datang ! Jenderal Wan dan pasukannya datang!"
"Horeee ! Bala bantuan datang!"
"Hidup jenderal Wan! Hidup jenderal Wan !"
Jenderal Wan malah menjadi kikuk sendiri mendengar itu.
ia mencoba bicara dengan mengeraskan suara, "Mana An..."
Tetapi suaranya tak terdengar, selain karena orang-orang masih bersorak-sorak, juga karena suara jenderal Wan sendiri serasa terganjal di tenggorokan.
Rupanya orang-orang ketika melihat mulut jenderal Wan bergerak, lalu mereka diam sendiri. Mereka pasang kuping, ingin mendengar apa yang hendak diucapkan Sang jenderal.
jenderal' Wan harus berdehem-dehem dulu agar tenggorokannya lega dan suaranya mantap, "Mana An Bwe"!"
Para sukarelawan saling menoleh, mereka mulai merasa bahwa kedatangan jenderal Wan tidak seperti yang mereka harapkan. Banyak yang menatap Sang jenderal dengan tatapan bertanya-tanya, dan tatapan itu terasa menusuk hati jenderal Wan, membuat ia agak salah tingkah biarpun ia sedang dalam seragam jenderalnya yang mentereng dan dikitari prajurit-prajuritnya yang gagah-gagah.
Namun untuk menutupi kegugupannya. ia masih juga berusaha bersuara lantang, "He, mana An Bwe"!"
Seorang sukarelawan menjawab, "jenderal An tidak di sini. Entah di bagian mana dia."
jenderal Wan berusaha nampak seberwibawa mungkin. Katanya. "Perlawanan kalian memang hebat. tetapi harus ditertibkan! Kaisar masih berkuasa dan dialah yang berhak menggerakkan rakyat. bukan An Bwe!"
Lalu jenderal Wan pergi bersama pasukannya, meninggalkan para sukarelawan yang melongo terheran-heran.
"Lho, jadi jenderal Wan tidak jadi bertempur bersama kita?"
"Siapa bilang dia akan bertempur bersama kita" Kita sendirilah yang salah sangka."
"Sudahlah. Mari kita bantu teman teman kita." _
Dalam pada itu, Jenderal Wan akhirnya tiba juga di bagian tembok kota di mana ada An Bwe. Jenderal Wan kaget meihat di atas tembok kota sudah banyak prajurit Manchu.
Sedangkan An Bwe sedang bertarung dengan Phui Tat-liong. x
Phui Tat-liong dengan toya perunggunya yang kuning mengkilat itu menggempur bagaikan gelombang lautan yang dahsyat menggulung. Sedangkan An Bwe memainkan pedang dengan tangkas dan lincah seperti garuda mengamuk.
Keduanya sebetulnya seimbang. Bedanya An Bwe sudah kelelahan karena ia sudah berada di atas tembok kota semenjak kemarin siang, sedangkan Phui Tat-Hong baru terjun ke gelanggang sejak fajar tadi. Namun meskipun menang segar, Phui Tat-Hong tidak memandang remeh lawannya.
' An Bwe memeras kekuatannya agar dapat mempertahankan tembok selama mungkin. Ia berharap serangan kaum Gunung Hijau di bagian belakang pasukan Manchu akan menguntungkan secara jangka panjang. Meski sadar pula bahwa harapan itu bisa saja mengecewakan.
Tengah An Bwe bertarung sepenuh perhatiannya, tiba-tiba ada yang meneriakinya, "Jenderal An, Jenderal Wan mencarimu!"'
"Katakan, aku belum bisa menemuinya!" sahut An Bwe sambil terus bertarung.
"Sudah kami katakan, tetapi Jenderal Wan memaksa harus bertemu denganmu!"
Phui Tat-liong mengejek, "Lebih baik kau temui dulu. Nanti gajimu dipotong lho!"
An Bwe mengertak gigi sambil menyabetkan pedangnya dengan sengit, namun Phui Tat-liong bisa menghindarinya. Dalam hatinya, An Bwe memaki atasannya sendiri, Jenderal Wan, yang dianggapnya tidak tahu gelagat. Tidak tahu situasi..
Namun setitik pikiran lain muncul di sela-sela gemuruh keJengkelan dalam dadanya, Jangan-jangan kedatangan Jenderal Wan itu bisa menguntungkan perJuangan para sukarelawan yang meskipun masih bersemangat tinggi namun tak kuasa menghentikan merosotnya tenaga karena kelelahan. Rasanya memang mustahil Jenderal Wan tiba-tiba mau bergabung dengan para sukarelawan, tetapi siapa tahu"
Akhirnya An Bwe memutuskan untuk menemui Jenderal Wan, entah apa yang hendak dibicarakan.
"Di mana Jenderal Wan?" teriaknya kepada si pembawa pesan.
Phui Tat-liang menggempur bertubi tubi dengan toya perunggunya sambil mengejek, "Ha, akhirnya takut dipotong gajinya Juga ya?"
An Bwe tidak peduli. Sambil terus meladeni Phui Tat-hong, ia memandang ke sekelilingnya, mencari orang yang bisa
menggantikannya menahan Phul Tat-liong yang garang. Phui Tat-liang ini kalau tidak dihadang orang yang pantas, amukannya bisa meruntuhkan semangat para sukarelawan.
_ Tidak jauh dari An Bwe, nampaklah Tiat-ap (si "bebek besi") Lai Tek-hoa yang gemuk pendek itu sedang bertempur dengan sekawanan prajurit Manchu. Dandanannya yang biasanya rapi mirip cukong sungguhan itu, kini sudah tak keruan. Jubahnya robek-robek dan kotor, topinya entah kabur ke mana. Toh dalam pertempuran segarang itu, senjatanya tetaplah sui-poa baja. Tetapi kali ini untuk memperkuat perlawanannya, di tangan kirinya ia memegang senjata tambahan yang jarang sekali dikeluarkannya. Senjata yang menjadi Ciri khas perguruannya, yaitu sebatang tongkat pendek yang namanya aneh, Ap-Jui-koai (Tongkat Mulut Bebek) sebab di ujung tongkat ada alat penjepit yang mirip mulut bebek. Penjepit bisa digerak-gerakkan dari bagian pegangannya, bisa menjepit senjata musuh, tetapi juga bisa ditangkupkan untuk menusuk dan bisa untuk menghantam.
Juga tidak jauh dari An Bwe. hongkun kaum Gunung Hijau lainnya. si "kambing terbang" Tam Yo agaknya berada di bagian tembok yang belum terpanjat oleh orang Manchu. maka ia hanya sibuk di pinggir tembok sambil bersama sukarelawan-sukarelawan lain melempar-lemparkan batu-batu dan lemblng-lembing untuk mencegah pemanjatan musuh. Pencegahan yang sebetulnya sudah berkurang artinya, sebab di bagian-bagian tembok lainnya prajunt-prajunt Manchu sudah memanjat ke atas tak terbendung lagi.
An Bwe pun meneriaki kedua hulubalangnya itu. "Saudara Lai, Saudara Tam, gantikan aku sebentar!"
Setelah bergebrak puluhan jurus dengan Phui Tat-hong, An Bwe bisa menakar bahwa kekuatan Phul Tat-hong takkan bisa ditahan hanya oleh seorang hong-kun. harus dua orang. Itulah sebabnya ia memanggil Lai Tek-hoa dan Tam Yo sekaligus.
Demikianlah perlawanan atas Phui Tat-hong digantikan kedua hong-kun itu.
An Bwe bergegas meninggalkan tembok itu untuk memenuhi panggilan Jenderal Wan.
Jenderal Wan menjumpai An Bwe di sebuah tempat aman yang agak jauh dari tembok kota, di sebuah gapura tengah kota, dikelilingi pengawal-pengawalnya yang mentereng dan bersenjata lengkap.
An Bwe tetap menjalankan tata-tertib dengan memberi hormat secara militer.
Jenderal Wan yang duduk di atas kudanya, dengan alis berkerut menanyai An Bwe. "An Bwe, lancang benar tindakanmu. Atas perintah siapa kau adakan penghimpunan tenaga dan pengerahan pasukan secara liar ini?"
An Bwe agak kecewa. ternyata undangan Jenderal Wan tidak menyiratkan sedikit pun harapan bagi kaum sukarelawan. Namun ia jawab juga dengan mantap, "Musuh sudah menyerbu, lalu rakyat bergerak membela kotanya. Juga sebagian kecil prajurit-prajurit di tangsi-tangsi. Secara resmi memang belum ada perintah Panglima Tertinggi, tetapi keadaan
sudah amat mendesak. kami tak sempat berpikir-pikir lagi."
"Enak saja jawabanmu. Mau jadi apa kerajaan ini kalau seorang pembesar militer macam kau, yang mestinya jadi teladan, malah memberi contoh bertindak tanpa aturan begini?"
An Bwe sedang lelah dan hatinya panas, pengendalian dirinya pun kendor. Sikap dan suara jenderal Wan membuatnya naik darah, "Jadi seharusnya kami menunggu perintah para pengecut yang sedang terkencing-kencing ketakutan di istana?"
"An Bwe! Bicaramu keterlaluan! Kau_ pikir kami di istana tidak memikirkan apa-apa?"
"Seandainya kalian berhasil menyepakati suatu tindakan pun, pasti suatu tindakan tolol."
jenderal Wan memeritahkan pengawal-pengawalnya, "Tangkap dia! Kalau melawan, buat tubuhnya berlubang-lubang seperti sarang tawon dengan peluru-pelulu kalian!"
An Bwe sadar, sehebat-hebatnya dirinya, ia takkan bisa menghindar hujan peluru yang bakal dimuntahkan puluhan moncong senapan para pengawal Jenderal Wan itu. ia hanya tertawa pahit sambil berkata, "Alangkah bergunanya kalau kalian bersama senapan-senapan itu ada di tembok kota sana. Yang ada di sana hanya beberapa pucuk senapan tua yang tak memadai. Dan kalian salah bidik, harusnya kalian bidik orang-orang Manchu yang sedang merampok pusaka leluhur kalian."
Prajurit-prajurit itu tersentuh hatinya, namun mereka tidak berani tidak menjalankan perintah Jenderal Wan. Sementara An Bwe menatap tajam kepada Jenderal Wan sambil berkata, "Seandainya sikapmu segagah ini kepada musuh di luar tembok sana, bukan kepada teman sendiri."
Waktu itu sebenarnya Jenderal Wan sendiri sedang gelisah diusik hati kecilnya sendiri. sejak ia melihat gigihnya perjuangan para sukarelawan tadi. Diusik rasa malu yang tajam. Kini mendengar ucapan An Bwe. Jenderal Wan pun meledak kemarahannya dan tiba-tiba terluncurlah perintahnya, "Tembak!"
Perintahnya tidak segera dilaksanakan, sebab para prajurit pemegang senapan pun tercengang dan tidak segera mempercayai perintah itu. Baru ketika perintah diulangi, berletusanlah senapan mereka dan tubuh An Bwe tumbang berlubang-lubang. Itulah yang diperolehnya.
Mata Jenderal Wan nanar menatap tubuh An Bwe yang tergeletak. Tiba-tiba ia ketakutan sendiri. Tadi dalam emosinya ia menyuruh menembak, sekarang ia baru sadar bahwa An Bwe bukan cuma bawahannya, melainkan juga seorang tokoh kaum Gunung Hijau. Bagaimana kalau kaum itu mendendamnya, dan merupakan suatu mimpi buruk bahwa pemimpin golongan itu adalah Helian Kong yang amat menakutkan itu, meskipun kabarnya sudah jadi orang cacad.
Namun nasi sudah jadi bubur. An Bwe sudah mati karena perintahnya. '
Kata jenderal Wan kepada pengawal pengawalnya dengan wajah pucat dan bibir gemetar, "Peristiwa ini tidak boleh
diketahui siapa pun! Kalau ada yang membocorkan di antara kalian, akan dikenai hukuman paling barat, yaitu hukum picis ditabur garam! Paham?"
Kali ini pengawal-pengawalnyalah yang pucat wajahnya. Hukuman itu amat ditakuti. Terhukumnya bisa mati pelanpelan setelah dua hari lebih dengan kesakitan yang amat hebat. Karena itu, dengan suara tak jelas para prajurit itu menjawab, "Kami paham!"
"Bawa dan lenyapkan mayat itu tanpa ada yang tahu selain kita!"
_Dengan wajah ditutupi, mayat An Bwe pun dibawa dari situ untuk dilenyapkan diam-diam di suatu tempat.
Para sukarelawan bertahan amat gigih tanpa tahu nasib penganjur mereka, An Bwe. Rasanya tidak ada yang berubah meskipun ditinggalkan An Bwe, sebab para hulubalang kaum Gunung Hijau pun mengobarkan semangat tidak kalah dengan An Bwe.
Kalaupun perlawanan para sukarelawan itu harus habis sedikit demi sedikit. itu adalah karena para sukarelawan kehabisan tenaga. _
Pasukan Manchu sekarang tidak perlu lagi memanjat tembok, sebab dua buah pintu kota sudah berhasil dijebol dengan meriam, dengan demikian pasukan Manchu pun membanjir masuk kota Lam-khia tanpa perlawanan yang berarti.
Sukarelawan yang bertempur di atas tembok jadi kehilangan arti. Buat apa mempertahankan tembok, sementara musuh sudah ada di sebelah dalam tembok" Perlawanan yang dilanjutkan hanya punya satu arti : bunuh diri massal.
Para hulubalang Gunung Hijau menyadari ini. Betapapun kemarahan seolah menggedor-gedor jantung mereka, namun mereka tidak lupa ajaran yang ditanamkan kuat-kuat oleh Helian Kong, yaitu pengorbanan harus menghasilkan sesuatu. bukan berkorban sekedar berkorban saja. Karena itu. di berbagai pertempuran. laskar " Gunung Hijau menggerakkan kaumnya untuk mundur meninggalkan
tembok kota dan menghilang masuk kota Lam-khia yang penuh ribuan lorong dan gang seperti sarang laba-laba itu.
Mereka agak tertolong oleh malam yang turun.
Begitulah sukarelawan sukarelawan Lam-khia tercerai-berai dalam kelompok kelompok kecil dan menghilang seperti air meresap di tanah kering. Mereka juga mencari persembunyian sendiri-sendiri dan saling tidak mengetahui bagaimana nasib teman-teman yang lain.
Pasukan Manchu berhasil memasuki Lam-khia dan menawan Kaisar. _
Pihak Manchu lalu menunjuk Khek Khek Bok menjadi Cong-tok, Gubernur Militer. di Lam-khia. '
Keberhasilan Manchu melangkahi Sungai Tiang-kang itu tidak membuat para pangeran dinasti Beng bersatu karena merasakan bahaya yang sama. melainkan mereka justru merasa beroleh kesempatan untuk mengangkat dirinya sendiri-sendiri menjadi Kaisar.
Hampir bersamaan, Pangeran Tongong di Hok-kian memproklamirkan dirinya
menjadi Kaisar Hong-bu. Pangeran Kui Ong menobatkan diri menjadi Kaisar Englek. Pangeran Lou-ong di Siao-hin sedikit lebih cerdik. la sadar, kalau buru-buru mengumumkan diri sebagai Kaisar akan menimbulkan sikap antipati kaum pecinta negeri. Maka ia tidak cepat-cepat mengangkat dirinya,melainkan mencoba menghimpun semua pecinta negeri ke pihaknya.
TAMAT Kutukan Berdarah 2 Wiro Sableng 191 Jabrik Sakti Wanara Cumbuan Menjelang Ajal 2
^