Pencarian

Panglima Gunung 6

Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 6


Sidang kemudian mendengarkan beberapa laporan dan keputusan yang sudah mudah ditebak sebelumnya, sehingga beberapa orang merasa bahwa sidang itu hanya mirip sandiwara belaka. Habis itu, Kaisar masuk kembali ke istananya diiringi hormat para pembesar, lalu para pembesar pun bubar.
Ketika sedang menuruni anak tangga di depan istana, jenderal Eng menunjukkan muka geram kepada An Bwe yang melewatinya sambil menyalaminya. Kata Jenderal Eng dengan nada mengancam, "Kau belum tahu akibat tindakanmu ini, An Cong-peng."
Untuk menambah gertaknya di ruang sidang tadi, An Bwe sengaja cengengesan dan menyahut, "He-he-he, jenderal, sedikit banyak pihakku sudah mencium komplotanmu dengan Manchu. Kalau belum kuutarakan di sidang, tak lain adalah karena kurang bukti. Tetapi orang-orang Manchu yang ikut menyerbu rumah makan Ceng-san-lau itu rupanya tidak tahan siksaan kami dan mereka sudah mengoceh banyak tentang hubungan mereka denganmu. Jadi, siap-siaplah hidup tanpa kepala."
Wajah Jenderal Eng sampai pucat pasi, ia tidak tahu bahwa gertak itu cuma gertak sambal belaka. Tapi Jenderal Eng percaya, sebab setelah peristiwa keributan di Ceng-san-Iau, Jenderal Eng menyuruh anak buahnya untuk memeriksa mayat-mayat di ajang keributan itu. _Dan menurut anak buahnya, tidak diketemukan mayat-mayat orang-orang Manchu itu, meski mayat-mayat yang lain dari berbagai pihak bisa diketemukan. Maka Jenderal Eng pun berkesimpulan bahwa orang-orang Manchu itu tertangkap hidup hidup, dan Jenderal Eng merasa cemas bahwa orang-orang Manchu itu akan dikorek keterangannya oleh pihak Lai Tekhoa. Itulah yang membuat Jenderal Eng sampai memerintahkan Tong jiu memburu Lai Tek-hoa sampai ke pegunungan,
meskipun akhirnya .malahan Tong Jiu binasa di pegunungan itu. Kini mendengar gertakan An Bwe. Jenderal Eng benar-benar mempercayainya sehingga jantungnya seakan diremas ketakutan.
. An Bwe tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan menuju ke sekolah silat tanpa merek yang dipimpin Yong Sek-tiong. Kedua pengawalnya disuruh pulang lebih dulu ke tangsi.
Di sekolah silat itu, An Bwe disambut empat orang Hong-kun yang menanyainya, "Kakak An, bagaimana sidang kerajaannya?"
Sambil tertawa dan mengambil tempat duduk, An Bwe menjawab, "Aku benar-benar berhasil menggertak Si Pengkhianat itu, dan ia pasti gelisah sekali karena menyangka kita benar-benar sudah mengetahui rahasia komplotannya; Saudara Lai, taktikmu menyingkirkan mayat orang-orang Manchu itu dari Ceng-san-lau benar-benar membuahkan hasil baik. Nah, mumpung Jenderal Eng panik, dan pikirannya tidak cermat, inilah saatnya munculnya penolong-penolong buatnya."
"Apa rencana Kakak?"
"Orang-orang berlogat utara atau timur laut yang kuminta kemarin, sudah kalian pilih?"
"Sudah, Kak," keempat Hong-kun menjawab serempak.
"Benar-benar mereka dapat dipercaya, dan sanggup mengambil keputusan-keputusan mendadak yang tepat pada saat saat kritis" Sebab tugas ini bisa berbahaya."
"Kami yakin, Kak. Yang kami" pilih ini bukan anggota-anggota baru, melainkan anggota-anggota lama yang sudah kami lihat sendiri prestasi mereka dalam bertugas operasi rahasia. Mereka dapat diandalkan."
"Jumlahnya?" "Lima orang. Terdiri dari dua orang anggota kelompoknya Saudara Tam yang berpengalaman karena sering menyusup dan keluyuran di wilayah utara, bahkan pernah beroperasi di liat-ho, ibu kota lama untuk musim panas dari Kaisar kaisar lama Manchu.
Bisa berbahasa Manchu. Dua orang lagi anak buah Saudara Joa. bicaranya berlogat Ho-pak, satu lagi anak buah kelompokku." Yong Sek-tiong menjelaskan. "Tidak seorang pun anak buah Kakak Lai."
Lai Tek-hoa menyambung. "Karena anak buahku orang selatan aemua."
An Bwe mengangguk. "Cukup. Lagi puIa anak buah Saudara Lai pasti banyak yang udah dikenali oleh orang-orangnya Jenderal Eng karena udah sering bentrok dengan mereka. Nah, di mana kelima orang itu?"
"Mereka udah di sini."
"Pertemukan aku dengan mereka, akan kuberitahukan yang harus mereka lakukan."
Jenderal Eng memang gelisah bukan main. Kata-kata An Bwe di persidangan istana siang 'tadi betul-betul menggelisahkannya. Malam itu udara dingin. namun Jenderal Eng Justru merasa gerah dan keringatnya mengalir terus. Ia berJalan hilir-mudik di ruang bukunya. memeras otak mencari Jalan keluar dari kesulitannya yang mengancam. Hidangan makan malam sudah dingin tetapi belum dikecapnya sedikit pun. Sang Jenderal sedang kehilangan selera makannya.
Ketika itulah seorang hambanya mengetuk pintu ruangan dan berkata dengan takut-takut, "Jenderal, ada tamu."
"Kalau urusannya hanya urusan biasa, meski mengaku urusan penting. usir saja mereka!"
"Jenderal, tamu-tamu ini kedengarannya... sama dengan orang-orang dari utara yang beberapa kali pernah menemui Jenderal."
"Bagaimana kau tahu?"
"Logat bicara mereka kukenali. Jenderal."
Terhadap sekutu-sekutu Manchu yang berkuasa itu, Jenderal Eru tak berani menolak. "Baiklah, bawa mereka masuk dan langsung ke ruangan ini."
Pelayan itu menjalankan perintah.
Tak lama kemudian, di ruang tamunya Jenderal Eng menyambut tamu-tamunya.
Para tamu yang datang larut malam itu berjumlah lima orang, semuanya berdandan ala orang utara dan pakaian serta wajah mereka kelihatan berlapis debu, tanda habis menempuh perjalanan jauh. Mereka membawa senjata-senjata, namun jenderal Eng tidak berani memerintah melucuti senjata mereka.
"Saudara-saudara ini siapa?" tanya jenderal Eng, meskipun dalam hati sudah dapat menduga. :
Pemimpin rombongan itu seorang lelaki berwajah persegi bertampang keras berambut gondrong, dengan logat Liaotongnya yang medok ia menjawab, "Aku Tat Hong, pangkat Cam-ciang, bawahan jenderal Ni Kam dari pasukan ke sembilan. Salamku untuk Jenderal Eng. Dan ini adalah empat anak buahku."
jenderal Ni Kam adalah Panglima Tertinggi Manchu.
jenderal Eng membalas salam itu, lalu mempersilakan mereka duduk dan menanyakan apa maksud kedatangan mereka.
Tanpa berbelit-belit, orang yang mengaku bernama Tat Hong itu menjawab, "Panglima Ni prihatin sekali ketika menerima berita kilat dari sini, tentang perkembangan buruk yang mengancam rencana benar kita. Ketika kami berangkat dari Pak-khia, Panglima Ni baru saja menerima berita lewat burung merpati, dari orang kami di Lam-khia, melaporkan bahwa teman-teman kami tertangkap oleh kelompok rahasia yang dulu bersarang di rumah makan Ceng-san-lau. Panglima Ni cepat-cepat mengutus kami, untuk menanyakan kepada jenderal Eng. benarkah ini?"
"Memang benar," jawab jenderal Eng. yang cepat-cepat disambung dengan alas-an untuk membenarkan diri sendiri. "... tetapi penyerangan ke Ceng-san-lau itu bukanlah buah pikiranku. Itu adalah buah pikiran ln Yao yang bertindak tanpa minta persetujuanku. ln Yao sendiri tewas dalam serangan ke Ceng-san-lau itu."
Tat Hong memukul pegangan kursi agak keras, lalu menarik napas sambil geleng-geleng kepala. "Kacau" kacau semuanya... rencana Panglima Ni yang sudah disiapkan bertahun-tahun, bisa-bisa berantakan gara-gara ini semua. Kalau sudah begini, memang paling gampang menyalahkan .orang yang sudah mati, tetapi aku diberi wewenang oleh Panglima Ni untuk menegur ketidak-mampuanmu mengendalikan orang-orangmu, Jenderal. Bagaimana mungkin mereka berani bertindak sendiri tanpa minta persetujuanmu?"
Orang bernama Tat Hong itu mengaku berpangkat cam-ciang (kurang lebih setingkat letnan kolonel) tetapi berani menegur dan memarahi Jenderal Eng dengan mengandalkan pengaruh Panglima Ni.
Jenderal Eng sendiri cuma merah padam wajahnya namun tidak berkutik karena takut kepada Panglima Ni.
Agaknya Tat Hong pun menggunakan kesempatan itu untuk memarahi Jenderal Eng habis-habisan, "Urusan tertangkapnya kelima orang kami itu sudah membuat resah Panglima Ni, tahu-tahu ketika kami tiba di sini, kami mendengar hal yang kurang enak lagi dari orang kami di Lam-khia ini. Kami dengar di tepian Sungai Tiang-kang para nelayan bergolak, menuntut untuk memiliki perahu-perahu yang selama ini dimiliki oleh Thio Po, kerabatmu itu. Kalau kulaporkan kepada Panglima Ni, entah bagaimana marahnya beliau. Perahu-perahu itu penting untuk penyeberangan kami ke selatan besok. dan sekarang nelayan-nelayan mempermasalahkan itu sampai timbul keributan. Bagaimana ini" Belum lagi muncul berita bahwa tadi siang di sidang kerajaan kau dikalahkan oleh An Bwe, yang terang terangan bersimpati kepada Helian Kong itu" Benar?" .
"Tidak benar aku dikalahkan An Bwe. Saudara Tat," sangkal Jenderal Eng. "Kaisar belum memutuskan, berarti belum ada yang kalah maupun yang menang.
"Belum kalah dan belum menang, tetapi sudah ada tanda-tanda kekalahan bukan?" ejek Tat Hong.
"Tidak! Aku akan berusaha sekuat tenaga agar Kaisar menerima usulku untuk menambah kekuatan menumpas kaum nelayan itu!" kali ini Jenderal Eng kelihatannya "meledak". "Kalau Si Bangsat An Bwe itu masih merintangi aku, kalau perlu aku akan bertindak kasar kepadanya!
"Bertindak kasar bagaimana?" pancing Tat Hong.
Karena yakin bahwa yang duduk di depannya itu adalah sekutu yang bisa dipercaya, Jenderal Eng pun blak-blakan membeberkan niatnya, "Banyak pengawal istana yang sudah menjadi kaki tangan Bangsawan Dao, sekutu kuat kita, maka kalau perlu Kaisar bisa diancam agar menyetujui usulku. An Bwe juga bisa kubereskan secara kekerasan dan takkan ada orang Lam-khia ini yang berani menolong dia. Yang kukuatirkan adalah Helian Kong yang berdiri di belakangnya, entah dengan kekuatan sebesar apa. Karena itu, Saudara Tat, bisakah kau mengusahakan bagiku suatu pasukan yang kuat yang bersembunyi di sekitarku, untuk melindungi aku dari kemarahan Helian Kong setelah kubereskan An Ewa?"
Tat Hong nampak berpikir-pikir sebentar, lalu menjawab hati-hati, "Urusan ini agak berbahaya. Panglima Ni tidak memberi aku weWenang untuk memutuskannya. Tetapi dengan komunikasi lewat burung merpati, dalam beberapa hari bisa kuperoleh kepastiannya."
Jenderal Eng mengangguk-angguk maklum.
Kemudian Tat Hong berkata, "Jenderal, kita telah bicara banyak sejak tadi, sampai aku lupa maksud utama kedatanganku. Panglima Ni cemas melihat perkembangan di Lam-khia yang seolah mengancam rencana militer kita, beliau kuatir rencana itu bisa terbongkar oleh musuh sehingga musuh bisa berjaga-jaga terhadap serbuan kita. Karena itu, Panglima Ni menugaskan aku untuk mengambll kembali catatan -tertulis tentang rencana militer kita.Maaf, bukannya Panglima Ni meragukan kemampuan Jenderal dalam menyimpan dan melindungi catatan itu, namun Panglima benar-benar kuatir catatan itu akan jatuh ke tangan yang salah. Panglima menyuruhku mengambil kembali dari tangan Jenderal. Maaf, aku hanya menjalankan perintah Panglima."
"Catatan tertulis tentang rencana militer?" Jenderal Eng melongo.
"Ya." "Saudara Tat, aku benar-benar tidak tahu menahu soal catatan itu. Tak seorang pun memberikan catatan itu kepadaku."
"Lho, teman-temanku yang datang lebih dulu tidak memberikannya kepada Jenderal?"
"Tidak. Aku benar-benar berani bersumpah mengutuk diri dengan tiga puluh enam kutukan, tak ada catatan militer segala di tanganku."
Tat Hong nampak berpikir keras sekian lama, tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu, "Oh ya, barangkali teman-temanku dulu tidak memberikannya kepada Jenderal, tetapi kepada In Yao."
"Lha, In Yaonya sendiri sudah mati, terus bagaimana ini?"
"Dulu semasa hidupnya, ln Yao tinggal di mana, jenderal?"
"Dia pengawal pribadiku, dia kuberi sebuah kamar di sayap timur gedung
kediamanku ini." "Sekarang ditempati siapa?" .
'Belum ditempati siapa-siapa.
"Barang-barang in Yao masih di situ"
"Masih." "Maaf. jenderal. kami harus menggeledah kamar ln Yao'
Jenderal Em tak berani menolak. Sebenarnya ia tersinggung juga. merasa diabaikan sebab "catatan militer" itu tidak diberikan kepadanya, melainkan malah kepada in Yao.
Begitulah, diantarkan oleh salah aeorang bujang di kediaman Jenderal itu ke kamar In Yao. Ketika melewati halaman Samping dan belakang. Tat Hong dan teman-temannya melihat betapa ketatnya penjagaan di situ. Ada puluhan orang bersenjata. dan beberapa orang di antaranya. menurut pandangan Tat Hong, memiliki ilmu yang tinggi.
Melihat itu. Tat Hong bersyukur dalam hati. "Untunglah kami batalkan niat untuk menyerbu tempat ini secara kekerasan. Memang. kalau seluruh kekuatan kami dikerahkan, pastilah kekuatan penJaga tempat ini pun akan dapat kami patahkan. tetapi pasti akan banyak korban berlatuhan dan belum tentu mudah menemukan catatan militer itu. Sekarang dengan sedikit tipu muslihat, kami akan memperolehnya dengan mudah."
' Penggeledahan kamar yang bekas ditempati ln Yao dilakukan dengan diterangi sebatang lilin. Ada pakaian-pakaian. barang-barang sehari-hari. Jimat-Jimat keberuntungan, buku porno, kertas ramalan, obat-obatan dan sebagainya. Dan akhirnya diketemukan Juga sebuah buku tipis dan kecil yang diduga keras sebagai "catatan militer" itu.
Tat Hong girang sekail. namun ia menyembunyikan kegirangannya dan purapura geleng-geleng kepala sambil menyesali ln Yao, "Sungguh gegabah. rencana sepenting ini ternyata disimpan sembarangan macam ini. Tidak heran kalau Panglima Ni merasa kurang tenteram."
Habis itu. Tat Hong lalu menemui kembali Jenderal Eng untuk berpamitan, sambil menunjukkan catatan militer yang sudah diketemukannya.
Sebenarnya, mendapatkan buku tipis itu saja sudah amat menyenangkan Tat Hong dan kawan-kawannya, tak terduga ada yang "lebih menyenangkan" lagi. Jenderal Eng ternyata tidak membiarkan Tat Hong dan teman-temannya pergi dengan tangan kosong. la membekali mereka dengan sekantong besar uang emas, disertai permohonan, "Saudara Tat, tolong agar hal-hal yang kurang enak di sini jangan dilaporkan dulu kepada Panglima Ni. Aku jamin, aku bisa membereskan keadaan, tidak perlu menambah beban pikiran Panglima Ni. Perlawanan para nelayan itu akan kutumpas dengan keras, Kaisar akan kutekan lewat orang orang istana yang sudah bersekutu dengan kami agar setuju usul kami untuk mengirim pasukan lebih banyak menumpas para nelayan itu. Perahu-perahu yang akan digunakan oleh Panglima Ni untuk menyeberangkan pasukannya, akan tetap terjamin ada. Dan tolong juga permintaanku untuk suatu pasukan yang kuat tetapi menyamar untuk setiap saat bisa kugerakkan dalam kota Lam-khia ini.
untuk mengimbangi kekuatan Helian Kong yang melindungi An Bwe yang hendak kusingkirkan secara kekerasan."
Biarpun di tangannya ada kantong uang yang sepantasnya membuat Tat Hong girang, namun dalam hati Tat Hong amat gusar mendengar kata-kata Jenderal Eng itu. Pertama, soal keinginan untuk lebih keras menumpas para nelayan., Kedua, tentang niat menekan Kaisar lewat orang-orang istana yang sudah jadi kaki tangan jenderal Eng. Ketiga soal penyediaan perahu untuk penyeberangan tentara Manchu. Keempat, soal hendak membereskan An Bwe. Kelima, permintaan untuk memasukkan pasukan Manchu dan menyembunyikan pasukan itu dalam kota Lam-khia.
Namun Tat Hong terpilih karena mampu mengendalikan emosinya.. dan lagi pula sasarannya sudah tercapai, yaitu mendapatkan rencana tertulis itu. Meskipun hatinya sangat muak kepada Jenderal Eng, dia pura-pura mengangguk angguk sambil berkata, "jangan sampai mengecewakan Panglima Ni."
Setelah jauh dari kediaman Jenderal Eng, Tat Hong yang nama aslinya Cia Tat-hong, anggota kelompok "gunung hijau" itu menggeram gusar. "Kalau tidak mendengar sendiri, sulit kupahami seorang bangsa Han sejauh itu bekerja untuk bangsa asing demi menjual negerinya sendiri, seperti Jenderal Eng. Seandainya tidak sedang menjalankan tugas, ingin rasanya kucekik lehernya. Orang sudah dekat liang kubur kok bukannya menambah kebajikan malahan merencanakan pengkhianatan besar."
"Uangnya pasti uang haram, kita apakan?"
"Kita serahkan Hu-san-cu An Bwe, bisa digunakan. Atau mungkin bisa dikirimkan kepada teman-teman kita yang sedang berjuang di pesisir Tiang-kang."
Salah seorang temannya mau tak mau tertawa, "Bagaimana perasaan Si Tua Bangka itu kalau tahu bahwa uangnya digunakan untuk membiayai perlawanan terhadap dirinya sendiri?"
Mereka tidak langsung ke rumah An Bwe yang terletak di pinggir jalan besar.
melainkan masuk lorong-lorong kampung yang berbelok-belok untuk muncul di perguruan silat tanpa merek asuhan Yong Sek-tiong. An Bwe dan empat orang Hong-kun berkumpul di situ semua.
Cia Tat-hong melaporkan hasilnya menemui Jenderal Eng sambil menyodorkan buku tipis catatan militer itu.
An Bwe membuka-buka buku tipis itu sambil mengomentarinya, "Rasanya tidak keliru lagi, inilah bukunya. Dengan buku ini, kita tahu rencana serangan Manchu dan bisa . mengadakan persiapan untuk menanggulanginya. San Cu bilang : kalau mengenal musuh seperti mengenal' diri sendiri, seratus kali perang. seratus kali menang. He-he-he, Manchu boleh jaya sejak peristiwa San-hai-koan, peristiwa lt-pian-sek, peristiwa Yang-ciu dan Keteng, namun kali ini akan kena batunya. Buku ini harus segera dikirimkan kepada San-cu Helian Kong."
An Bwe mengangkat wajahnya, dan waktu melihat wajah Cia Tat-hong yang tidak gembira, ia heran dan bertanya, "Eh, Saudara Cia. misimu berhasil baik.
kenapa kau kelihatan kurang gembira" Ada apa".
Cia Tat-hong menarik napas dan menjawab, "Aku berbicara banyak dengan jenderal Eng, Berkat logatku yang kental, dia percaya aku benar-benar utusannya Jenderal Ni. itu Panglima_Tertinggi Manchu. karena itu, dia pun bicara terang-terangan tentang niat busuknya kepadaku. Nah, mendengar niat busuknya itulah yang membuat aku tidak enak hati."
"Coba ceritakan kepada kami."
Secara ringkas Cia Tat-hong menceritakannya. Pendengar-pendengarnya memang agak terpengaruh emosinya, namun An Bwe justru tenang-tenang saja, "Kita beruntung mendengar niat-niat jahat itu. Kita bisa menyiapkan langkah-langkah tandingan yang akan membuat pengkhianat tua itu terjungkir jatuh dari kursinya, bahkan juga Bangsawan Dao yang amat serakah itu." '
Kemudian Cia Tat-hong meletakkan kantong uang pemberian Jenderal Eng di atas meja, sehingga An Bwe bertanya,
'Lho, apa ini" Kali ini Cia Tathong bisa menjawab dengan mengulum senyum "Uang yang tak sedikit jumlahnya. jenderal Eng menyangka aku benar-benar utusan Panglima Manchu, maka ia sogok aku agar aku melaporkan yang baik-baik saja kepada Panglima Manchu!
Tam Yo tertawa, 'Coba kita serbu kediaman jenderal Eng dengan kekerasan, belum tentu rencana militernya kita dapatkan, korban sudah pasti. Dengan cara ini, rencana militer kita dapatkan, malah diberi uang pula."
Yang lain-lain pun tertawa, macam berkelakar mulai muncul seperti biasanya. Kata Lai Tek-hoa, "Menurutku, mungkin jenderal Eng sudah tahu kalau Saudara Cia itu sekelompok denganku. Lalu jenderal Eng titip uang melalui dia untukku sebagai ganti rugi rumah makanku yang terbakar oleh ulah orang-orangnya."
Gelak tawa pun semakin hebat di ruangan itu.
Namun demikian. suasana kelakar itu tidak membuat mereka lalai menyusun
cara untuk menandingi langkah-langkah Jenderal Eng.
*** Musnahnya restoran Ceng-san lau dilalap api, membuat Kapten Eng Liong merasa dirinya jadi kurang berguna
sebagai mata mata jenderal Eng.
Soalnya, Eng Liong memang ditugasi
Jenderal Eng untuk mengawasi orang-
orang yang berada di rumah makan itu,
dan kini yang diawasi sudah kabur semua
entah ke mana, membuat Eng Liong merasa kurang berguna kepada komplotan
Jenderal Eng. Eng Liong merasa bahwa jasa memusnahkan Ceng-san-lau y"ng malam-malam melaporkan kepada In Yao bahwa Un Tong-koan Si "pengkhianat" itu bersembunyi di Ceng-san-lau adalah jasanya. Sialnya,
In Yao tidak melaporkan jasa Eng Liong
itu kepada Jenderal Eng. Malam itu,
bukankah ia begitu menerima laporan Eng Liong, In
Yao langsung mengumpulkan orang dan menyerbu Ceng-sa
-lau tanpa berunding dulu dengan Jenderal Eng. Dan dalam
pertempuran itu In Yao tewas di tangan
Hong-hi-jin (Nelayan Sinting) Co Kim-
hong, maka tak ada yang melaporkan
jasa Eng Liong kepada Jenderal Eng.
Terpaksa Eng Liong melaporkan sendiri
akan jasa-jasanya, dan ia tidak memperoleh hadiah melainkan dampratan karena Jenderal Eng menganggap
pertempuran di Ceng-san-lau itu bencana besar buat pihaknya.
Jenderal Eng menyangka lima orang manchu yang ikut menyerbu ceng-san lau karena diajak- In Yao itu dan dikorek keterangannya
membuat Jenderal Eng marah.
Eng Liong yang merasa hubungannya dengan Jenderal Eng agak renggang setelah peristiwa itu, setiap hari tak ber-henti putar ot eak, bagaimana
memperbaiki kembali hubungannya dengan Jenderal Eng. Supaya
uang-uang emaSpun bisa kembali
gemerincing di kantongnya.
Kalau bisa kutemukan tempat persembunyian baru dari orang-orang Cengsan-lau itu, lalu kuamati gerak-gerik mereka, barangkali aku akan mendapatkan sesuatu yang bisa kulaporkan kepada jenderal Eng untuk menarik perhatiannya."
Rupanya Eng Liong sedang beruntung. Ketika ia aedang bersiap-siap meninggalkan rumahnya untuk berangkat ke tangsi. di depan rumahnya ada dua orang. Satu lelaki berumur empat puluhan dan seorang gadis berusia kira-kira tujuh belas tahun. "Kalian mencari siapa?" tegur Eng Liong. ' Kedua tamu itu nampak ragu ketika melihat pakaian Eng Liong adalah seragam militer. Namun Si Gadis manis menjawab juga, "Kami mencari Kakak Ang Siok-sim."
Kalian sendiri siapa?"
"Kami teman-temannya."
Eng Liong menatap dengan pandangan menyelidik. Adik iparku itu tidak punya banyak teman di Lam-khia ini. Di antara teman-temannya yang sedikit itu adalah sesama pekerja di rumah makan Cengsan-lau yang musnah itu. apakah kalian dari sana?" '
Kedua orang yang mengaku teman Ang Siok-sim itu agak bingung menjawabnya. Mereka enggan mengaku terang terangan sebagai bekas penghuni Cengsan-lau, di depan Eng Liong yang berseragam prajurit kerajaan, namun kalau mereka bersikap sembunyi-sembunyi mungkin juga akan sulit menjumpai AngSiok-sim.
Kedua orang itu memang Nyo Bankit dan Mo Giok-Lin, sisa-sisa penghuni Ceng-san-lau setelah bencana kebakaran itu. Mo Giok-lin yang baru saja pulang dari pegunungan mengikuti Lai Tek-hoa. adalah yang menginginkan kunjungan itu karena sekedar ingin bertemu dengan Ang Siok-sim. Supaya tidak malu, ia mengajak Nyo Ban-kit yang juga bekas penghuni Ceng-san-lau dan teman Ang Siok-sim.
Waktu itulah Ang Siok-sim juga muncul ke halaman depan, dan dengan gembira dan tanpa prasangka apa-apa ia spontan berseru, "Kakak Kit! Adik Lin!"
Panggilan Ang Siok-sim itu memberitahu Eng Liong bahwa kedua tamu itulah yang namanya Nyo Ban-kit dan Mo Gioklin, yang pernah diceritakan oleh Gui Gong kepadanya.
Hati Eng Liong melonjak kegirangan. Setelah sekian lama ia kehilangan jejak akan orang-orang Ceng-san-lau. kini dua orang Ceng-san-lau malah datang sendiri ke rumahnya bagaikan ular cari gebuk. Namun Eng Liong sadar. ia sendirian tak mungkin sanggup menangani mereka sebab ia pernah melihat sendiri orang orang Ceng-san-lau adalah pesilat-pesilat tangguh, dan Eng Liong cuma pesilat kelas kambing. Eng Liong pun menetapkan siasat untuk beramah-tamah dulu. memancing keterangan sampai tahu di mana sarang baru mereka, setelah itu baru dilaporkan jenderal Eng seperti Ceng-san-lau dulu. "Tetapi kali ini laporanku harus langsung kepada Jenderal Eng." kata Eng Liong dalam hatinya.
Karena itu. begitu Ang Siok-sim keluar dan menyebut nama mereka. sikap
Eng Liong pun bersikap amat ramah kepada kedua tamu Itu. "Ah, kalian adalah teman-teman adik iparku. Kalau begitu, silakan masuk dan nikmati karamah-tamahan kami. siok-sim, ajak masuk teman-temanmu."
Ang Siok-sim yang sudah lama juga ingin menjumpai Mo-Giok-lin. melangkah ke pintu dengan wajah berseri-seri, "Kakak Kit. Adik Lin. syukurlah kalian selamat dari kebakaran itu. Aku bingung sekali ketika mendengar tentang peristiwa itu, lalu kalian dan teman-teman lain tak seorang pun yang kelihatan batang hidungnya lagi. Bagaimana yang lain-lainnya" Selamat juga" Kudengar...'banyak mayat ditemukan di tempat kebakaran itu.
Nyo Ban-kit dan Mo Giok-lin tahu bahwa pertanyaan Ang Siok-sim itu tulus. bukan basa-basi, Ang Siok-sim memang sangat memperhatikan teman-temannya.
Mo Giok-lin hampir saja menjawab terang-terangan, tetapi diberi isyarat kedipan mata oleh Nyo Ban-kit yang merasa tidak leluasa menjawab selama masih ada Eng Liong disitu.
Eng Liong agaknya merasakan itu. dengan pintar dia menunjukkan sikap seramah-ramahnya, 'Silahkan kalian bercakap-cakap dengan bebas didalam rumah. Maaf aku tidak bisa menemani, sebab aku harus ke tangsi untuk berdinas."
Lalu pergilah Eng Liong. "Kakak iparmu orangnya ramah, meskipun prajurit," komentar Mo Giok-lin.
"Tidak semua prajurit kerajaan galak menyebalkan," Nyo Ban-kit" yang menjawab. "Banyak yang sikapnya galak keras karena diperintah oleh komandan mereka, namun pribadi mereka sendiri tidak demikian!
Mereka pun mengobrol sampai setengah hari dengan Ang Siok-sim. sekedar saling melepas rasa kangen. Bahkan mereka makan siang di rumah itu .
Sesuai dengan pesan sungguh sungguh dari Lai Tek-hoa. maka Nyo Ban-kit dan Giok-Iin dilarang keras menyinggung sedikitpun tentang kegiatan rahasia mereka, juga tentang tempat persembunyian baru mereka. Bukannya
Lai Tek-hoa tidak percaya akan kejujuran Ang Siok-sim, namun justru karena Ang Siok-sim kelewat jujur sedangkan orang orang sekitarnya diragukan ketulusannya, seperti Kapten Eng Liong dan Gui Gong.
Namun Nyo Ban-kit merasa tak ada salahnya menceritakan tentang tewasnya Ong Gai-lam dalam pertempuran malam itu. sebab Ong Gai-lam juga bersahabat baik dengan Ang Siok-sim.
Ang Siak-sim memang sedih sekali ketika diberi tahu hal itu. Tanyanya, "Sebenarnya ada urusan apa. sehingga kalian didatangin orang-orang bersenjata dan sampai terjadi keributan yang mengakibatkan tewasnya Kakak Lam?"
Nyo Ban-kit menarik napas, "Aku kehilangan juga, dia sahabatku juga. Tetapi kalau boleh kukomentari kematiannya, dia mati mempertahankan suatu pendirian yang selama ini mengikat seluruh kelompok kami menjadi kesatuan."
"Bisakah Kakak Kit menjelaskan apa urusannya?"
"ingat Un Tong-kaan?"
"ingat, Kak. Dia yang hampir membunuhku, tetapi aku. ditolong seorang berkedok, kemudian malahan kumohonkan kehidupan kepada orang berkedok yang hampir membunuhnya. Un Tong-koen membalas budiku dengan mempertaruhkan nyawa memberitahu bahaya yang mengancamku, yang terakhir. dia menemui aku di Ceng-san-lau, mohon perlindungan dari ancaman bekas teman-temannya sendiri... apakah karena dia Ceng-san-iau didatangi orang-orang bersenjata sampai sekian banyak orang tewas?"
"Ya. Un Tong-kaan minta perlindungan kepada kami karena mempercayai kami, orang-orang bersenjata itu hendak meminta Un Tong-koan. Masa kami serahkan Un Tong-koan begitu saja dan mengkhianati kepercayaannya?"
"Kalau begitu, pasti penyerbu-penyerbu itu datang dari kediamannya Jenderal Eng."
Nyo Ban-kit dan Mo Giok-Iin saling memandang sekejap. Tanpa kata-kata pun mereka saling mengawaskan bahwa pembicaraan sudah menyerempet ke wilayah berbahaya, dan mereka sama-sama tak ingin Ang Siok-sim yang sama-sama mereka sayangi itu terlibat urusan itu dan mendapat kesulitan.
Kata Nyo Ban-kit kemudian. "Saudara Ang. peristiwa itu lebih baik jangan kau bicarakan kepada siapa-siapa, kau bisa terlibat macam-macam kesulitan. Biar kami saja yang mengalaminya, karena kami sudah terbiasa."
Ang Siok-sim mengangguk, "Tentu, akan kukunci mulutku rapat-rapat. aku tidak mau mendapat kesulitan seperti dulu lagi."
Nyo Ban-kit mencomot dan menggigit kueh-kueh yang dihidangkan oleh Nyonya Eng, katanya sambil mengunyah, "Peristiwa itu sudah berlalu, sekarang lebih baik kita menikmati kueh-kueh enak ini. Eh, mana Gui Gong si tukang makan itu" Kenapa tidak kelihatan?"
"Dia mendaftar di Tiat-ciang Bu-siao (Sekolah Silat Telapak Besi), katanya demi mengejar cita-citanya. Aku heran Si Tukang Makan itu bisa juga diterima di sana, padahal latihannya berat lho."
"Kemauan keras adalah kekuatan tersendiri dalam diri manusia yang bisa membuat orang-orang melakukan sesuatu YG tak terduga."
"Eh. Kakak Ang, kenapa kau tidak ikut Kakak Gui masuk sekolah silat itu sekalian" Kabarnya banyak lulusan sekolah itu menjadi orang berpangkat lho."
Ang Siok-sim menggeleng. "Aku cuma tidak ingin belajar berkelahi, aku ingin hidup rukun dengan semua orang."
"Tetapi meskipun sikapmu cinta damai, Kakak Ang pernah hampir dibunuh orang. Rasanya tak salah punya sedikit kemampuan silat untuk jaga-jaga .diri saja, bukan untuk cari perkara."
"Mungkin kau betul juga, Adik Lin, tetapi aku tetap belum berminat."
Obrolan mereka bertiga kesana kemari tanpa pokok pembicaraan .tertentu. Mereka juga menanyakan apakah Ang Siok-sim sudah mendapat pekerjaan baru:. dan Ang Sick-sim menjawab bahwa ia sudah diterima di sebuah perusahaan pengiriman (Plan-hang), meskipun hanya sebagai kuli angkut, berurusan dengan barang-barang, bukan menjadi pian-su
(pengawal) yang harus berkelahi seandainya kiriman barang itu dibegal.
"Wah, berarti kau akan sering bepergian," kata Mo Giok-lin.
"Ya, begitulah. jadi aku bisa melihat tempat-tempat lain di seluruh negeri.'
"Kalau dibegal, bagaimana?"
"Kata teman-teman yang udah lama bekerja di perusahaan pengiriman. kalau ketemu begal belum tentu terjadi adu kekerasan. Biasanya kalau pihak pengawal dan pembegal mencapai kesepakatan harga. rombongan yang lewat cukup membayar sejumlah 'uang jalan' kepada kaum rimba hijau setempat. Bahkan kalau terjadi pertarungan pun, ada tatakrama tak tertulis antara kaum pengawal dengan kaum rimba hijau bahwa orang-orang tak bersenjata yang sekedar jadi kuil untuk cari makan. semacam aku ini, tak boleh diserang. Yang boleh diserang_hanyalah para pian-su yang bersenjata. '
Urusan "kode etik" di kalangan rimba hijau itu sudah tentu jauh lebih dipahami oleh Nyo Ban-kit maupun Mo Giok-lin yang berkecimpung di dalamnya. Namun mereka biarkan Ang Siok-sim mewarnakan dengan bersemangat tentang hal yang baru saja diketahuinya itu.
... tidak lama lagi aku akan berangkat ke selatan," kata Ang siok-sim.
Setelah-lewat tengah hari " Nyo Bang-kit dan Mo Giok-lin pun pulang tujuan kedatangan mereka memang sekedar ingin mengobrol dengan Siak-sim. tidak ada keperluan lain ?" mereka cukup lega melihat Ang Sioksim tak kurang suatu apa , bahkan udah mendapat pekerjaan baru. Sebaliknya Ang Sioksim pun lega " Lai Tek-hoa.. dan lain lainnya juga tak kurang suatu apa. meskipun menyedihkan kematian Ong Gai-lan. Kedua belah pihak merasakan benar nikmatnya sikap saling memperhatikan di tengah tengah kota besar Lam-kia yang situasi umumnya " orangnya garang yang rata-rata mementingkan kepentingan sendiri.
Menjelang sore. Eng Liong pulang dari tangsi. dan yang ditanyakannya kepada
Ang Siok-sim langsung adalah tentang kedua orang dari Ceng-san-lau itu. "Kedua temanmu tadi tidak meninggalkan alamat baru mereka kepadamu?"
"Ang Siok-sim menggeleng. "Kami asyik mengobrol sampai lupa tanya di mana mereka sekarang. Yang penting mereka selamat." ,
Eng Liong geleng-geleng kepala dengan rasa kecewa, '.'Siok-sim. lain kali kalau mereka datang lagi, tanyakan alamatnya. Apakah kau tidak ingin sekali sekali ingin mengunjungi mereka" Misalnya Nona Mo itu?" _
"Baiklah, akan kutanyakan alamat mereka kalau ketemu lagi."
"Tetapi jangan bilang aku yang suruh lho... kan aku cuma mengusulkan demi kebaikanmu sendiri, demi hubunganmu dengan Nona Mo yang nampaknya istimewa.
Wajah Ang Siok-sim agak memerah. namun sedikit-pun belum curiga terhadap kakak iparnya ini.
Kemudian Gui Gong pun pulang, bermandi keringat dan tetap memakai seragam silat Tiat-ciang Bu-siaonya. Nampaknya ia benar-benar bangga menjadi anggota Tiat-ciang Bu-siao. Tubuhnya masih gemuk. namun agak berotot. Ketika melewati halaman depan. ia pamerkan beberapa jurus pukulan kepada Eng Liong dan Ang Siok-sim. setelah itu dengan langkah bangga ia terus menuju ke halaman belakang.
*** Hari yang cerah itu, Kaisar Beng-te sedang bersenang-senang di sebuah danau buatan milik pribadi Bangsawan Dao yang letaknya di luar kota Lam-khia. Hari itu tidak ada sidang kerajaan dan hari-hari seperti itulah yang menyenangkan Sang Kaisar, di mana ia tidak usah pusing pusing menanggapi laporan pembesar pembesarnya.
Bangsawan Dao yang memang ada hubungan keluarga dengan Permaisuri, mengundang Kaisar mengunjungi tempat tamasya pribadinya itu dengan alasan "menyegarkan pikiran agar dapat memimpin kerajaan lebih baik!
Danau buatan itu berasal dari sebuah sungai yang dibendung tanpa mempedulikan sawah sawah dan daerah hilir sungai yang membutuhkan air.tepat di tengah tengahnya ada pulau buatan. atas pulau itu dibangun paviliun indah dengan kebun-kebunnya yang indah. Letak danaunya itu belasan li di luar kota Lamkhia.
Dengan hadirnya Kaisar di tempat Itu, sudah tentu pengamanan tempat itu luar biasa ketat. baik oleh regu-regu paaukan istana maupun regu-regu pengawal pribadi Bangsawan Dao yang seragamnya tidak kalah mentereng dari seragam pengawal-pengawal Kaisar. Para pengawal itu ada yang berjaga di tepian danau buatan. ada juga yang naik perahu-perahu kecil mengikuti perahu yang dinaiki Kaisar dan Bangsawan Dao.
Waktu itu, Kaisar sedang berada di sebuah kapal yang rendah namun lebar. bercat merah, di atasnya dibangun rumah-rumahan beratap indah dicat dengan warna-warna lembut, dengan tirai-tirai tipis merah jambu berbau harum. parabot-perabot mewah dan hidangan-hidangan lezat. dayang-dayang muda dan cantik jelita yang dibawa Kaisar maupun Bangsawan Dao. di tengah pengawalan yang berlapis-lapis.
Berada di atas kapal mewah itu sambil menikmati semilirnya angin dan bau harum bunga-bungaan dari daratan maupun pulau-pulau buatan, di tengah-tengah air yang bening membiru. bisa membuat orang lupa kalau masih berada di dunia yang penuh penderitaan.
Begitu pula Kaisar Beng-ta yang pelan-pelan sedang menghirup arak nomor satu suguhan Bangsawan Dao yang dituangkan oleh dayang-dayang cantik. Hidangan mewah pun dihidangkan hangat hangat di atas tungku hangat dari perak berisi arang membara.
Bangsawan Dao yang menemani Kaisar makan minum. suatu kali mulai menyatakan maksudnya. Katanya. "Ampun Baginda, maafkan kalau kata-kata hamba berikut ini akan mengganggu suasana nyaman kita ini."
Kaisar nampak agak kecewa. namun tidak kaget lagi bahwa undangan Bangsawan Dao itu tentu mengandung pamrih tertentu.
"Tuan Dao. tadi kau bilang agar aku ke sini untuk menyegarkan pikiran, melepaskan diri dari urusan rutin."
"Ampun Baginda, yang hendak hamba katakan ini bukan auatu urusan yang rumit. Asalkan Baginda menyetujuinya dan mengeluarkan surat perintah, hamba bersama jenderal Eng dan hamba-hamba Baginda lainnya yang akan melaksanakannya dan Baginda hanya tahu beres saja."
"Urusan apa?" "Urusannya tidak gawat. tetapi kalau dibiarkan terus akan gawat juga. Apakah Baginda masih ingat Helian Kong?"
"Yang beberapa tahun silam kupecat dari kedudukannya sebagai Gubernur Militer Lam-khia?"
"Betul. Nampaknya Helian Kong itu mendendam kepada Baginda. ia menghilang selama bertahun-tahun. ternyata berhasil menghimpun banyak pengikut bersenjata dan terlatih di pegunungan dan kota-kota. Hamba kuatir. kalau tidak segera diatasi, dia akan merubah pemerintahan Baginda."
Biarpun tadi Bangsaan Dao sudah memohon agar laporannya tidak mengganggu suasana nyaman. toh tetap saja Kaisar kehilangan sebagian besar selera makannya.
Kata Bangsawan Dao pula, "Baginda. bahkan hamba mendengar bahwa pengikut-pengikut Helian Kong sudah merembes masuk di Lam-khia. entah berapa jumlahnya belum bisa dipastikan. Tetapi kalau Baginda menyetujui penambahan kekuatan pasukan untuk Jenderal Eng. jangan kuatir, semuanya akan beres."
Itulah kata-kata yang paling disukai Kaisar dari bawahan-bawahannya. 'Jangan kuatir, semua akan beres."
Bangsawan Dao agaknya tahu cara menekan Kaisar. lebih dulu ditakut-takutl, lalu disodori "jalan keluar" yang enak dan kalau sudah begitu maka biasanya Kaisar akan menurut saja. Kali ini yang diminta ialah pelipat-gandaan kekuatan pasukan untuk Jenderal Eng, yang dikukuhkan dengan surat tertulis bercap kekaisaran. .
Kaisar yang malas berpikir dan malas menimbang akibat-akibat perbuatannya dan enggan pula membahayakan posisinya dengan menentang Bangsawan Dao yang amat berpengaruh ini, sudah hampir menyetujui usul Bangsawan Dao itu. Namun tiba-tiba seorang dayang Bangsawan Dao sendiri menyeletuk, "Baginda harap hatihati. Jangan mempercayai begitu saja Jenderal Eng, apalagi kalau ia sampai memiliki kekuatan pasukan yang besar, ia akan sulit dikendalikan."
Bahwa selagi Kaisar dan Bangsawan Dao berbincang, tiba-tiba seorang dayang Bangsawan Dao sendiri bisa ikut-ikut bicara demikian, sungguh mengejutkan.
Yang paling kaget adalah Bangsawan Dao sendiri. ia menyiapkan penjagaan berlapis-lapis di sekitar danau maupun di dekat perahunya, di perahu pesiar sendiri ada lima orang pengawalnya yang paling dipercayai. tak terduga salah seorang dayangnya 'sendiri malah berani bicara begitu.
"Dian-hoa, gilakah kau?" bentak Bangsawan Dao kepada dayangnya yang cantik itu.
Dian-hoa tersenyum manis dan barkata, "Baginda, Paduka Dao keliru tentang Helian Kong. Jenderal Helian memang mempunyai kekuatan pendukung yang besar di mana-mana, bahkan juga di Lam-khia, namun semuanya itu bukan untuk membahayakan Baginda, justru untuk mengamankannya. Manchu takut menyeberang ke selatan karena jeri kepada jenderal Helian. bukan kepada _lainlainnya. Justru jenderal Eng yang berkhianat bersama Paduka Dao, terbukti mereka diam-diam sering menerima utusan-utusan Panglima Manchu sebagai tamu-tamu rahasia mereka."
Wajah Bangsawan Dao berubah-usah tak keruan. Seandainya tuduhan itu diterimanya di tengah-tengah sidang kerajaan oleh seorang pembesar, barangkali ia takkan sekaget ini. Selama ini Bangsawan Dao merasa pengaruhnya sudah menyebar ke mana-mana, bahkan beberapa pengawal Kaisar sudah lebih setia kepadanya daripada kepada Kaisar, Bangsawan Dao boleh bangga mengatakan "kaki dan tanganku ada di mana-mana" dan Juga "mata dan kupingku ada di mana-mana" namun tak ter-duga bahwa dayang Dianhoa yang sudah melayaninya selama hampir tiga tahun itu bersikap demikian. . "Dian-hoa. lancang mulutmu !" Bangsawan Dao kehilangan kendali dan lupa bahwa ia sedang berada di depan Kaisar Beng-te. "Siapa yang udah mengupahmu menyemburkan fitnah keJi itu kemukaku?" Dian-hoa tersenyum manis pula sambil menjawab tenang. "Aku bersikap seperti ini bukan karena disuap. melainkan dengan kesadaran penuh, semenjak aku bersimpati kepada Jenderal Helian empat tahun yang lalu. Dan yang memfitnah itu bukan aku. tetapi kau. bangsat tua. kau memfitnah Jenderal Helian hendak menggulingkan Kaisar padahal kau sendirilah yang merencanakan itu bersama Jenderal Eng dan orang-orang Manchu. Ketahuilah, orang-orang Manchu yang menyerbu ke Ceng-san-lau itu sudah kami taiwan dan mulut merekalah terbongkar rahasia pengkhianatanmu."
Bangsawan Dao dengan gusar berdiri dari duduknya lalu mengayunkan tangan hendak menampar wajah Dian-hoa. Bangsawan Dao bertubuh tinggi dan gemuk, meskipun tidak mahir bersilat dan udah tua. tempelengannya itu diduga pasti akan sanggup menceburkan tubuh Dian hoa yang langsing gemulai itu ke air danau buatan. Namun dugaan normal itu keliru besar, sebab Dian-hoa dengan amat tangkas hanya menggunakan tangan kiri untuk menangkap serangan Bangsawan Dao. Yang ditangkap tepat adalah keempat Jari tangan Sang Bangsawan. karena Sang Bangsawan memukul dengan telapak terbuka, lalu Dian-hoa menekuk Jari-Jari yang berhasil dicengkeramnya itu sehingga Bangsawan Dao menjerit dan ia dipaksa berlutut untuk mengurangi dampak jarinya yang ditekuk itu.
Ketika Dian-hoa melepaskan cengkeramannya. Bangsawan Dao merangkak panik di lantai kapal sambil meneriaki pengawal-pengawalnya, "Tangkap dayang
pengkhianat ini!" Pengawal-pengawal Bangsawan Dao, selain yang ada di tepian danau serta di perahu-perahu kecil & sekitar kapal mewah, juga ada lima orang yang berdiri tangguh yang ada di kapal itu sendiri. Salah seorangnya bertubuh tinggi " dan bernama Gun Sai-tiong, berjulukan Im-kan-pian (Cambuk Dari Neraka). Tadi selama perbincangan Bangsawan Dao dengan Kaisar, para pengawal ini ada di pinggiran kapal, menjauh demi tata-krama, kini setelah terjadi keributan, mereka bergerak serempak.
Bersambung jilid XI Panglima Gunung Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Jilid XI GUN SAI-TIONG adalah kepala regu pengawal pribadi _Bangsawan Dao .
Dengan nama besarnya di rimba persilatan ia malu kalau harus melawan gadis muda macam Dian-hoa dengan cambuknya yang terkenal. Ia melakukan lompatan panjang dan langsung hendak menerkam sepasang pundak Dian-hoa dengan kedua tangan kosongnya.
Menghadapi tubrukan hebat itu, Dianhoa tidak panik, tidak tergesa-gesa. Dengan langkah kaki gemulai di dalam gaun panjangnya yang menutupi kaki, dandanan seragam dayang-dayangnya Bangsawan Dao, dia melangkah ke samping dan lolos dari tubrukan itu. Geraknya tidak mirip gerak pesilat. melainkan lebih cocok gerak penari.
Tubuh Gun Sai-tiong yang menubruk sasaran kosong itu pun menghempas kelantai perahu dan membuat perahu goncang. Dayang-dayang lainnya menjerit panik, ada yang berpelukan sambil menangis. Sedang Kaisar dan Bangsawan Dao sama-sama berdiri gemetar di" tepi arena. ' '
Gun Sai-tiong bangkit pula sambil berseru mengguntur, "Tenang Baginda. hamba akan menangkap pembunuh gelap yang diselundupkan Helian Kong ini!"
Dian-hoa tertawa dingin, "Majikannya dan hambanya sama saja, sudah biasa menjungkir-balikkan kenyataan demi keuntungan sendiri. Siapa yang mau membunuh Kaisar" Kalian sendiri yang bermaksud jahat, kok orang lain yang dituduh?"
Sambil bicara, beberapa jotosan dan tendangan Gun Sai-tiong berhasil dihindarkan pula dengan gaya penarinya. Bahkan karena Gun Sai-tiong agak meremehkan gadis muda ini, suatu kali sebuah tendangan rendah dari Dian-hoa, tendangan yang tak terlihat karena dilakukan di balik gaun panjangnya yang longgar, berhasil mengenai samping lutut Gun Sai-tiong. Tendangan itu meskipun tidak berhasil merobohkan Gun Sai-tiong yang tinggi besar, tetapi membuat sang raksasa menyeringai kesakitan.
Dengan gusar Gun Sai-tiong melolos cambuk panjangnya yang membuatnya beroleh gelar "Si Cambuk Neraka". Cambuknya yang berwarna hitam dan sepanjang tiga meter itu "menari" mengerikan di udara dan mengeluarkan beberapa kali ledakan yang memekakkan kuping.
Sambil meledak-ledakkan cambuknya di udara, Gun Sai-tiong juga membentak, "Demi keselamatan Sri Baginda dan Paduka Dao, terpaksa kuabaikan tata-krama dan menggunakan senjata terhadapmu, bangsat cilik!" '
Dian-hoa mengejek, "Demi'keselamatan Sri Baginda, atau demi keselamatanmu, raksasa jelek" Karena kau tahu tak bisa mengalahkan aku dengan tangan kosong?"
Sebelum peristiwa ini, Gun Sai-tiong dan Dian-hoa sudah sering bertemu karena keduanya sama-sama abdi Bangsawan Dao. Dian-hoa yang diam-diam adalah anggota "kelompok gunung hijau"-nya Helian Kong. sering harus menahan rasa muak melihat kesewenang-wenangan Gun' Sai-tiong dalam menjalankan perintah' Bangsawan Dao kepada orang-orang yang lebih lemah. Sebaliknya Gun Sai-tiong tidak memandang dengan sebelah mata pun kepada Dian-hoa, kecuali sekali sekali tangannya yang jahil suka mencolek tubuh Si Dayang.
Baru kini Gun Sai-tiong terbuka matanya bahwa Si Dayang yang dianggapnya lemah dan sering diganggunya itu ternyata adalah petarung tangguh yang diselundupkan oleh Helian Kong.
Cambuk Gun Sai-tiong meledak dahsyat satu kali di udara. lalu menyabet dahsyat ke tubuh Dian-hoa. Dalam latihan, sabetan ini bisa membelah sehelai papan tebal, tak heran banyak dayang dayang yang menjerit atau menutup muka dengan ngeri melihat sabetan dahsyat itu kini mengancam Dian-hoa.
Di tangan Dian-hoa tidak ada senjata apa-apa, tetapi ada sepoci arak yang tadi hendak dituangnya ke cawan Kaisar.
Dengan lincah Dian-hoa menghindar kesamping sambil menyambitkan tutup poci ke wajah Gun Sai-tiong. Sambitan yang cepat. bertenaga dan tepat. kalau Gun Sai-tiong lengah. tutup poci yang pipih itu bisa menancap di wajahnya.
Namun Gun Sai-tiong tidak lengah. ia berhasil menampar terpental tutup poci itu. Sementara cambuknya yang luput dan cuma menghancurkan sebuah kursi itu kini diulang lagi sambil membentak.
Dian-hoa melayang bagaikan kupukupu di atas kuntum-kuntum bunga. sambil berbuat demikian, tangan kiri memegang poci arak, telapak tangan kanan menekan mulut poci yang tak bertutup lagi dan menghimpun semangat dan kekuatannya. Katanya sambil tertawa, "Komandan Gun, silakan minum araknya mumpung masih hangat."
Itulah kata-kata yang biasa diucapkan oleh dayang-dayang Bangsawan Dao kalau mereka menyuguhkan arak kepada pengawal-pengawal pribadi yang sedang berjaga. Cuma "suguhan arak" kali ini lain dari biasanya. Arak tiba-tiba menyemprot deras dari corong poci, ke seluruh tubuh Gun Sai-tiong. .
Cambuk dahsyat Gun Sai-tiong bisa digunakan untuk menghalau senjata macam tombak, golok dan sebagainya, tetapi semprotan arak adalah urusan lain. Gun Sai-tiong hanya bisa melindungi wajah dengan lengan kirinya yang ditutupkan ke wajah. namun lengan itu sendiri dan seluruh tubuh merasakan betapa sakitnya semprotan arak itu. Setelah semprotan arak reda. dengan berkeringat dingin Gun Sai-tiong melihat kain pakaiannya di sekujur tubuh berlubang-lubang kecil-kecil seperti terkena lelatu api. bedanya ini tidak hangus, dan inilah hasil semprotan arak Dian-hoa tadi. _
Tidak mau mengambil resiko, Gun Sai-tiong menyingkirkan rasa malunya dengan berseru, "Semua pengawal. tangkap pembunuh gelap ini!"
Suaranya menggelegar keras, bukan saja menggerakkan pengawal-pengawal yang di atas kapal merah jambu, melainkan juga yang ada di perahu-perahu kecil. bahkan di tepian danau buatan. Yang
di atas perahu-perahu kecil segera mendayung perahu mendekat ke kapal mewah. yang di tepian pun segera turun ke perahu-perahu yang ditambatkan, lalu mendayungnya ke tengah-tengah danau. Yang bergerak bukan hanya pengawal pengawal pribadi Bangsawan Dao. tetapi juga pengawal-pengawal Kaisar yang dipimpin langsung oleh komandan utamanya Ma Ik-dian.
Salah seorang pengawal pribadi Bangsawan Dao yang sudah ada di kapal mewah sejak tadi. seorang bertubuh pendek gempal dengan muka berbulu. bernama Hai Lun. langsung terjun ke gelanggang hendak membantu Gun Sai-tiong. Jadi, Dian-hoa Si Dayang Cantik itu hendak dikeroyok dua lelaki berotot.
Namun Hai Lun tidak pernah mencapai gelanggang. sebab kakinya dikait orang sehingga ia jatuh tertelungkup. Waktu ia bangun dengan gusar sambil menoleh untuk melihat siapa yang menggaet kakinya, ternyata Juga seorang dayang. Namun kalau melihat seragamnya dayang ini adalah dayangnya Kaisar. bukan dayangnya Bangsawan Dao.
Dayang yang habis menjegal itu lalu tertawa oekikikan, "Maaf, ,Tuan."
Hai Lun masih menganggap itu sebagai kebetulan. Ia tahan amarahnya, dan bangkit untuk melanjutkan langkah memasuki gelanggang. Namun dayang Kaisar tadi tahu-tahu melakukan langkah yang gesit dan menghadapi Hai Lun, "Maaf" sekali lagi Tuan... tadi aku minta maaf dan Tuan belum memaafkan aku, belum lega rasanya perasaanku."
"Sudah! Minggir!" Hai Lun hendak menggunakan lengannya yang berotot untuk menyisihkan Si Dayang.
Tak terduga bahwa Si Dayang menangkis dan menjegal lagi, karena Hai Lun tidak siap, maka terjungkallah dia untuk kedua kalinya.


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hai Lun melompat bangun dan membentak, "Siapa kau?"
"Namaku Cu-kui, simpatisan Jenderal Helian."
' Jawaban itu mengejutkan Semua orang di atas kapal itu. Kaisar terkejut, Bangsawan Dao juga terkejut karena di bawah hidungnya digelar sebuah fakta bahwa bukan cuma ia yang "kaki, tangan, mata dan kupingnya ada di mana-mana" melainkan juga Helian Kong. Kalau semula Bangsawan Dao merasa aman berada di tengah-tengah pengawalan berlapis-lapis dari pengawal pribadinya maupun pengawal-pengawal Kaisar, dan dalam jajaran pengawal Kaisar pun sudah banyak yang disusupi olehnya. Namun setelah dua. dayang itu, satu dayangnya dan satu dayang Kaisar, terang-terangan memunculkan siapa dirinya, Bangsawan Dao jadi tidak tenang. Di antara sekian banyak orang-orang di sekitarnya, berapa persen yang jadi kaki tangannya, dan berapa persen kaki tangan Helian Kong yang sekian lama dapat bersembunyi dengan rapi"
Yang terkejut akan ulah Si Dayang Cu-kui itu ternyata juga Si Dayang Dian-hoa yang tak mengira akan mendapat teman, teman yang belum pernah dikenalnya karena berbeda jalur perintahnya. Ketika Dian-hoa menerima perintah rahasia agar bertindak
mencegah Bangsawan Dao mengakali Kaisar, Dian-hoa cuma terima pesan "ada teman-teman tak terduga yang akan membantumu" namun tidak disebutkan siapa teman-teman itu. Kini "teman tak terduga" itu sudah muncul satu. Keruan Dian-hoa jadi semakin bersemangat menempur Gun Sai-tiong. la melolos "senjatanya dari pinggangnya, yaitu pedang lemas yang bisa disembunyikan melilit pinggang dengan gagang pedangnya menyerupai bros pinggang berbentuk kupukupu.
Melihat senjata dan permainan pedang lawannya, Gun Sai-tiong teringat seorang pendekar wanita. "Kau adalah Ui-tiap Sian-li (Dewi Kupu-kupu Kuning)?"
"Betul sekali, raksasa jelek. Awas pedang!" sahut Dian-hoa, dan kepada Si Dayang Kaisar bernama Cu-kui yang sudah bertarung dengan Hai Lun, Dianhoa berseru, "Senang mengetahui bahwa kau adalah teman seperjuangan, Adik Cu-kui."
Rupanya kedua dayang dari istana yang berbeda itu baru berkenalan hari ini, mereka merasa saling menyukai meskipun sambil tetap menyimpan identitas rahasia masing-masing. Kini setelah identitas masing-masing terbuka, ternyata mereka sama-sama berjuang di bawah satu bendera.
Hai Lun mengeluarkan senjatanya berupa sepasang martil besi, yang ketika digerakkan dengan kencang menimbulkan angin hebat sampai kelambu-kelambu merah jambu di kapal indah itu pun berkibaran kencang. Kapal pesiar yang seolah paviliun terapung itu pun sekarang berantakan semua perabotannya, karena menjadi ajang perkelahian.
Lawan Hai Lun, mengeluarkan senjatanya yang ternyata?" hanya sehelai selendang merah jambu. Namun di kedua ujung selendang itu ada kaitan kaitan kecil dari emas yang bisa merobek kulit. Selendang itu sendiri dimainkan dengan aneh, kadang meliuk lemas, di lain saat mendesing bagaikan toya baja.
Tersisa tiga orang pengawal pribadi Bangsawan Dao di atas kapal itu,
belum turun tangan. Dua di antaranya bersiap turun tangan membantu Gun Sai tiong dan Hai Lun, namun yang satu malahan berkata kepada kedua temannya.
"Lebih baik kalian tidak usah ikut campur, buat apa mempertaruhkan mati hidup untuk tokoh yang sedang meluncur _ menuju keruntuhan semacam Si Pengkhianat she Dao itu?"
Kedua pengawal itu tercengang, sebab yang berkata itu adalah orang nomor dua dalam jajaran pengawal Bangsawan Dao. Namanya lbun Lok, bersama pengawal pengawal lain juga beberapa kali menjalankan*"tugas kotor" dari Bangsawan Dao. Sekarang omongannya.kok seperti ini"
"Kakak lbun, kau..."
"Aku juga orangnya Jenderal Helian, seperti kedua dayang itu," sahut Ibun Lok kalem dan tegas, dan didengar pula oleh Bangsawan Dao yang semakin kehilangan rasa amannya. Ternyata selama ini bukan cuma ia menyusupkan kaki tangan ke pihak lain, ternyata orang orang dekat di sekitarnya pun disusupi orang-orang pihak lain. Ibun lok ini bahkan amat dipercaya oleh Bangsawan Dao.
Kedua orang pengawal pribadi Bangsawan Dao yang dicegah lbun Lok itu sama-sama bingung. Yang seorang tidak tahu harus bertindak bagaimana. yang seorang lagi mengambil keputusan untuk meringkus lbun Lok demi mendapat hadiah dari Bangsawan Dao, mungkin menggantikannya sebagai orang nomor dua di bawah Gun Sai-tiong. Dalam latihan bersama antara pengawal-pengawal Bangsawan Dao, memang lbun Lok menunjukkan ketangguhan di atas pengawal pengawal lain, ia hanya bisa diungguli oleh Gun Sai-tiong. Namun kini lbun Lok dalam posisi membelakangi Si Pengawal yang ingin menyergapnya itu. sebab lbun Lok sedang menonton jalannya pertempuran antara dua dayang melawan Gun Sai-tiong dan Hai Lun.
Pengawal itu tiba-tiba menggerakkan tangan hendak mencengkeram urat nadi di bagian pinggang, ia menyerang dari belakang dan yakin ibun Lok takkan lolos.
Ternyata lbun Lok bergerak bersamaan. tanpa mengubah posisi tubuhnya yang membelakangi lawan. ia melakukan jotosan melingkar dengan tinju kanan. dari pinggang kanan naik melewati atas pundak kiri dan menghunjam ke wajah pembokongnya. Si Pengawal yang hendak berkhianat itu mencelat jatuh ke air danau buatan.
lbun Lok tertawa, "Bagaimana dengan jurus kepiting'ku barusan" Lumayan kan?"
Pengawal yang satu lagi tak punya nyali untuk melawan lbun Lok. Katanya, "Kakak lbun, siapa pun _dirimu. tetapi kita pernah bersama-sama sekian tahun. Hendaknya Kakak mengingat."
Ibun Lok tertawa ramah sambil menepuk pengawal yang sudah pucat pasi itu. "jangan kuatir, kami bawahan Jenderal Helian punya prinsip : kalau tidak perlu melukai orang. sebisa-bisanya jangan melukai. Beda dengan Si Tua Bangka kotor itu yang tak segan-segan menyuruh kita membunuh orang. asalkan dia tidak senang sedikit saja. Kan takkan kuapa-apakan asalkan tidak menghalangi. Tugasku sekarang ialah merangkap Si
Tua korup itu, atas perintah Jenderal Helian."
Tanpa penghalang lagi,.lbun Lok melangkah mendekati Bangsawan Dao yang menyaksikan semua yang terjadi, sehingnga bangsawan itu sampai berlutut di hadapan pengawalnya yang biasanya disuruh-suruh dan dicaci-maki kalau gagal itu, "Pendekar lbun, tolong... tolong jangan apa-apakan aku... aku bisa membuatmu kaya."
lbun Lok tidak menggubris, ia malah berkata kepada Kaisar, "Maafkan kalau semua ini mengejutkan Baginda. Tetapi hamba jamin. Baginda akan kembali dengan selamat di istana. Tugas yang diberikan jenderal Helian bukan untuk mencelakai Baginda kok, melainkan hanya memotong penyakit busuk di tubuh dinasti Beng ini, sebelum menjalar lebih jauh dan membusukkan seluruh dinasti."
Kaisar Beng-te cuma mengangguk angguk dengan wajah pucat. ia tidak peduli siapa yang bakal menang dalam keributan itu, entah kaki tangan Bangsawan Dao entah pengikut-pengikut Helian Kong yang muncul tak terduga-duga. Sedangkan lbun Lok tak menggubrls sedikitpun rengekan Bangsawan Dao. la cengkeram tengkuk Bangsawan Dao lalu diangkat seperti menjinjing seekor anak kucing saja. Jubah indah Bangsawan Dao dirobek untuk dijadikan pengikat tangan dan kaki Si Bangsawan. Ketika mulut Si Bangsawan belum mau diam juga, lbun Lok merobek lagi jubah Si Bangsawan untuk menyumpal mulut Si Bangsawan. Pertarungan antara dua dayang melawan dua pengawal pribadi Bangsawan Dao sangat seru di atas kapal yang tidak terlalu luas itu. Sebenarnya, kedua pengawal pribadi Bangsawan Dao unggul selapis dibanding lawan-lawan mereka. Namun Gun Sai-tiong dan Hai Lun juga sadar bahwa situasi sekitarnya tidak menguntungkan mereka. Di atas kapal itu saja, lbun Lok yang ternyata juga pengikut Helian Kong itu keluyuran bebas, dan kalau terjun ke gelanggang pasti menjungkir-balikkan keseimbangan.Ini disadari oleh Gun Sai-tiong maupun Hai Lun. Gun Sai-tiong mengharapkan bantuan dari teman-temannya di atas perahu-perahu kecil maupun di tepian. namun ketika ia menyempatkan diri menoleh ke arah itu. iapun tak berani mengharapkan teman-temannya lagi. Sebab ia lihat perahu-perahu keeil maupun di ' tepian sudah berkobar pertarungan sengit, agaknya kaki tangan Helian Kong sudah menampakkan semuanya, dan ternyata jumlahnya kurang lebih sama dengan kaki tangan Bangsawan Dao. Baik pengikut Helian Kong maupun pengikut Bangsawan Dao sama-sama berpakaian seragam pengawal. ada yang berseragam pengawal Kaisar, ada yang berseragam pengawal Bangsawan Dao. Komandan Pengawal Kaisar, Ma Ik-dian, ternyata tidak ragu-ragu mengumumkan dirinya adalah pengikut Jenderal Helian.
Yang bingung ialah pengawal-pengawal Kaisar yang sejati, yang tidak memihak Bangsawan Dao maupun Helian Kong, mereka tidak tahu harus memihak siapa dalam pertempuran kacau balau itu" Akhirnya seorang perwira pengawal Kaisar mengajak teman-temannya untuk berperahu ke tengah danau untuk menjamin keselamatan Kaisar.
Untuk mendekati kapal mewah itu pun tidak gampang. sebab di atas permukaan danau buatan. pengikut-pengikut Bangsawan Dao dan Helian Kong pun sedang bertempur sengit. Mereka bertarung bukan cuma di atas perahu-perahu. bahkan sudah saling menembakkan senjata api serta panah, dan beberapa sosok mayat sudah terapung di air.
Semua itu terlihat oleh Gun Sai-tiong.
Gun Sai-tiong memang komandan pengawal Bangsawan Dao. dan sudah lama dipercaya menjaga keselamatan Sang Bangsawan, kadang-kadang diberi tugas yang amat dirahasiakan. Namun ia tetap seorang pengawal upahan yang tak kenal istilah "setia sampai mati". Melihat keadaan memburuk, biarpun ia sedang mengungguli Dian-hoa. ia tak berpikir panjang lagi untuk melompat meninggalkan kapal dan mencebur ke air danau buatan dan berenang cepat ke tepian
yang aman. Melihat ulah komandannya yang meninggalkannya begitu saja. Hal Lun mengumpat dalam hati. Ia terjun ke gelenggang karena memenuhi seruan komandannya. sekarang malah ditinggal begitu saja. Lebih celaka lagi. ia tidak berani meniru tindakan Gun Sai-tiong karena ia tidak bisa berenang.
Untunglah Ibun Lok berseru kepad: Cu-kui dan Dian-hoa berdua, "Adik Hoa. Adik Kui. biarkan temanku ini pergi. Ia memang pengawal Si Tua Bangka she Dao. tetapi tidak ikut bertanggung jawab akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan Si Tua Bangka. la cuma suruhan yang tak bisa menghindari tugas. seperti dulu juga terpaksa aku lakukan."
Cu-kui melompat mundur dari gelanggang dan Hai Lun tidak memburunya. Hai Lun cuma mengatakan sepatah kata terima kaSih yang singkat.
Sementara lbun Lok mengangkat tubuh Bangsawan Dao hanya dengan satu tangan. lalu berkata keras-keras keseluruh danau,. "Teman-teman dari pihak mana pun! Si Tua Bangka pengkhianat ini sudah di tangan kami. dan kami kaum 'gunung hijau' akan menghukumnya sesuai dengan kesalahannya! Teman-teman yang selama ini mendukungnya. Silakan pilih. mau mempertaruhkan nyawa untuknya atau mau pergi secara baik-baik saja" Kalau mau pergi secara baik-baik. kami kaum 'gunung hijau' bukanlah kaum haus darah yang tak suka mengampuni. Teman-teman yang seperjuangan dengan kami, dimohon melepaskan teman-teman yang ingin pergi."
Seperti Gun Sai-tiong. rata-rata pengawal-pengawal Bangsawan Dao bermental pengawal upahan. dan kini mereka melihat Sang Pengupah sudah diringkus.
mereka merasa tak ada artinya melakukan perlawanan. Ketika mereka diberi kesempatan pergi oleh pengawal-pengawal yang menjadi pengikut Helian kong.. mereka pun menepi dengan cepat. mereka lalu kabur dengan kuda mereka. Mengikuti Gun Sai-tiong yang berkuda dengan pakaian basah kuyup karena " berenang.
Sementara Itu. dayang-dayang sudah ditenangkan oleh Dian-hoa dan cu-kui.
* ** Pengawal-pengawal Kaisar yang lain pun sudah naik ke kapal, dan lega melihat Kaisar tak kurang suatu apa pun kecuali masih gemetar tubuhnya. *
Kapal besar didorong menepi. lalu' seluruh rombongan balik ke Lam-khia' Kaisar duduk dalam sebuah kereta besar! bersama dayang-dayangnya, dikawal pengawal-pengawalnya sendiri. Bangsawan Dao juga naik keretanya sendiri, namun bedanya dalam keadaan sebagai tawanan, . yang mengawalnya ialah pengikut-pengikut Helian Kong yang semula menyamar sebagai pengawal-pengawal Kaisar maupun Bangsawan Dao. Penyamaran bukan untuk sehari dua hari, namun bertahun' tahun. '
Hari-hari berikutnya, Kaisar yang lemah pendirian dan mudah bingung terpaksa harus "dituntun" oleh pengikutpengikut Helian Kong untuk mengambil keputusan-keputusannya. Tindakan tegas diumumkan oleh Kaisar di suatu sidang kerajaan, bahwa Bangsawan Dao dan ' Jenderal Eng dilucuti dari semua kedudukan dan pangkatnya, lalu dimasukkan penjara. An Bwe dinaikkan pangkatnya dari Cong-peng ke Ciangkun dan menggantikan Eng Thian-bok sebagai penanggung jawab delapan belas dermaga. Kaisar juga didorong untuk mengirim utusan utusan ke wilayah para pangeran maupun para jenderal agar mengirimkan sepertiga pasukan masing-masing ke Lam-khia. Ketika Kaisar ragu-ragu apakah perintahnya akan digubris oleh para pangeran dan jenderal itu, Kaisar mendapat jaminan dari kaum "gunung hijau" bahwa para pangeran dan jenderal pasti mematuhi. kalau tidak patuh, akan dihancurkan oleh kaum "gunung hijau" itu. Sejauh itu Kaisar tidak bertemu muka sendiri dengan Helian Kong, hanya melalui orang-orangnya yang tampil terang-terangan, namun "terasa benar betapa berpengaruhnya Helian Kong di seluruh wilayah selatan itu, Kaisar sendiri sampai merasa takut, bahwa seandainya ia tidak mematuhi pesan Helian Kong maka dirinyalah yang akan dihancurkan.
Setelah An Bwe yang kini dipanggil Jenderal An, menjadi panglima delapan belas dermaga, komando pertama yang dikeluarkannya ialah melarang para prajurit meneruskan perang . dengan kaum nelayan yang dibantu dan dilatih kaum "gunung hijau".
Singkatnya, Lam-khia membersihkan pengkhianat-pengkhianat di dalam tubuh sendiri. sambil menyiapkan pertahanan untuk menghadapi serbuan Manchu. Serbuan Manchu yang dibayangkan itu adalah berdasarkan rencana tertulis yang didapatkan dari kediaman Jenderal Eng oleh Cia Tat-hong dan teman-temannya yang mengaku sebagai utusan-utusan Panglima Tertinggi Manchu bermodal logat bicara mereka.
Selagi kota Lam-khla mengalami pergeseran kekuaaaan besar-besaran yang didalangi Helian Kong dari belakang layar itu, seekor burung merpati dilepaskan ke udara oleh salah aeorang penduduk Lam-khia. Burung itu terbang melesat dengan sebuah berita terikat di kakinya, dan setelah menempuh perlalanan sekian lama, burung merpati itu tiba di markas Panglima Tertinggi Manchu di Pak-khia, bukan hanya seekor tapi beberapa ekor yang datang dari beberapa Jurusan untuk menjaga kalau disambar elang.
beritanya tetap sampai kepada Jenderal Ni Kam yang bergelar Bangsawan Cin Ong.
Seorang perwira tinggi menghadap Jenderal Ni Kam, berlutut militer secara Manchu, dan melapor. "Lapor, Panglima. Ada berita dari orang kita di Lam-kms melalui burung-burung merpati."
"Isi beritanya?" tanya jenderal Manchu itu.
"Bangsawan Dao agaknya berlaku kasar kepada Kaisar karena yakin sudah menggenggam dukungan dari orang-orang di sekitar Kaisar, termasuk pengawal pengawal Kaisar. Namun ternyata pengikut-pengikut Helian Kong Juga sudah menyusup ke dekat Bangsawan itu. dan ketika Kaisar yang tak berwibawa itu terancam, pengikut-pengikut Helian Kong muncul membelanya. Seluruh komplotan Bangsawan Dao dan Jenderal Eng tergulung. Kekuatan para pangeran dan Jenderal di selatan sebagian dikerahkan ke sekitar Lam-khia dibawah ancaman Helian Kong. Tetapi Helian Kongnya sendiri tidak muncul secara pribadi, tak ada 1 orang kita yang melihatnya, meski pengaruhnya terasa sekali."
Jenderal Ni mengangguk-angguk.
Sudah tentu laporan yang dibawa oleh burung-burung merpati itu tidak sepanjang lebar itu, sebab yang dibawa hanyalah sehelai kertas kecil berisi kata-kata kode yang singkat-singkat namun dimengerti o|eh markas Jenderal Ni Kam.
Jenderal Ni Kam kemudian memerintah. "Panggil Kun-su (Penasehat Militer) kemari."
Perwira itu pergi, lalu beberapa saat kemudian kembali bersama seorang tua kurus berjubah sederhana. namun bermata tajam. Usia orang itu sudah tujuh puluh tahun lebih.
Jenderal Ni berdiri untuk menghormat orang tua itu, "Silakan duduk, Kun-su.
ma'af aku mengganggu ketenangan Kunsu.
Orang tua itu bernama Kat Huon dan sudah menjadi penasehat militer Manchu sejak Pangeran Toh Sek-kun menjadi Panglima Tertinggi (dalam "Kembang Jelita Peruntuh Tahta" bag. I & II ), setelah Pangeran Toh Sek-kun dipecat karena peristiwa pembantaian rakyat sipil di Yang-ciu dan Ke-teng. lalu diganti Jenderal Ni Kam, Kat Huyong tetap dalam kedudukannya.
"Kun-su, ada laporan perkembangan di Lam-khia." lalu Ni Kam mengulang kembali laporan yang didengarnya tadi.
Mendengar itu, Kat Hu-yong merenung, lalu berkata, "Rapat benar Helian Kong bersembunyi. Sudah melakukan perubahan sebesar itu di Lam-khia. dia masih belum memperlihatkan batang hidungnya, juga masih belum memperlihatkan seluruh kekuatannya. Apakah dia tahu bahwa kita sedang memancingnya keluar untuk menghitung kekuatannya?"
"Entahlah, Kun-su. Ini menandakan Helian Kong benar-benar lawan kita yang paling berat. Bukan para pangeran yang cuma pintar mendandani pengawal-pengawalnya dengan seragam mentereng. atau Para jenderal Beng yang prajurit-prajuritnya cuma bisa petentengan kepada rakyat yang lemah."
Kat Hu-yong menyetujui pendapat itu Helian Konglah lawan berat Manchu & selatan. Perhitungan militer takkan lengkap tanpa menghitung tindak-tanduk dan kekuatan Helian Kong, susahnya Helian Kong amat terselubung dan sulit dihitung.
'Bagaimana pendapat Kun-su" Apakah kita akan berdiam diri saja dan takut melangkah ke selatan" Padahal kekuatan militer kita sekarang ini sudah amat besar. Pasukan kita yang dipimpin Bu Samkui di sebelah barat sudah mematahkan pertahanan pasukan Thio Hian-tlong di " Utara. Masa langkahku harus kalah cepat dengan langkah Bu Sam-kui gara-gara aku masih terus meraba-raba dalam kegelapan tentang posisi dan kekuatan Helian Kong?"
"jangan berkecil hati, Panglima. .Jangan melihat sisi buruknya terus. Melihat perkembangan di Lam-khia, retidak-tidaknya setengah dari rencana tahap pertama kita sudah berhasil, yaitu mengecoh Lam-khia dengan rencana militer "yang akan membuat mereka berjaga-jaga di tempat-tempat yang salah!
'Yang kukuatirkan adalah Bu Samkui."
Kat Hu-yong sebagai penasehat berotak tajam. sebenarnya dapat merangkap arah kata-kata Ni Kam itu, namun untuk memancing isi hati Ni Kiam tentang Bu Sam-kui, sengaja Kat Hu-yong pura-pura bertanya. "Ada masalah apa dengan Bu Sam-kui" Meskipun dia adalah bekas panglima dinasti Beng, namun sudah bergabung dengan kita. ia sudah membukakan San-hai-koan untuk pasukan kita. dan lihatlah betapa bersemangatnya dia memimpin pasukan kita. memburu Li Cuseng di Pegunungan Kiu-kiong-san, sampai Li Cu-seng mati."
"Kun-su ini berlagak bodoh rupanya. Tindakan-tindakan Bu Sam-kui itu belum menjamin dia setia kepada kita. Membukakan pintu San-hai-koan dan mengejar Li Cu-seng di Kiu-kong-san itu dilakukan Bu Sam-kui bukan karena setianya kepada kita, melainkan demi cemburunya yang meluap-luap kepada Li Cuseng
gara-gara seorang perempuan cantik bernama Tan Wan-wan. Sekarang Bu Samkui maju pesat di sayap barat, dia orang yang jiwanya mudah goyah dan mudah mengambil keputusan gegabah. Aku kuatir kalau dia berhasil menguasai proinsi Secuan yang kaya dengan beras itu, dia tergoda untuk berbalik melawan kita kembali."
Kat Hu-yong tersenyum sambil mengelus jenggot putihnya, "Jangan panik, Panglima. Rencana Tahap Pertama kita memang belum berhasil menarik keluar Helian Kong dari persembunyiannya. tetapi rencana berikutnya pasti akan membuat Helian Kong semakin tampak."
"Kun-su, apakah tidak terlalu pagi untuk menjalankan Rencana Kedua. padahal" kekuatan musuh belum terhitung pasti" '
Kat Hu-yong menggeleng. "Tidak. Panglima. usul hamba, kita menyesuaikan diri dengan perkembangan. Rencana Kedua kita singkirkan dulu sementara. kita lompat langsung ke Rencana Ketiga. kurasa Helian Kong panti akan muncul semakin terang."
Mereka berbincang beberapa aaat. lalu Ni Kam memanggil seorang perwiranya untuk diberi perintah. "Lepaskan merpati-merpati ke selatan. Kirim perintahku, pasukan-pasukan agar menjalankan Rencana Nomor Tiga."
"Baik, Panglima."
Setelah terjadinya perubahan perubahan mengejutkan. pelan pelan situasi di Lam-khla normal kembali. Namun kesiagaan para prajurit nampak di aana aini. Desas desus penyerangan Manchu terdengar di mana-mana. namun rakyat merasakan perubahan sikap prajurit tanpa mengetahui sebabnya. .
"Serdadu terdadu sekarang kok baik baik ya" Tidak seperti dulu. Dulu galakgalak. Kenapa ya?"
"Entahlah." Perubahan sikap para prajurit itu memang mengherankan rakyat kecil yang tidak tahu apa apa tentang pergantian
di kalangan atas. jatuhnya Jenderal Eng juga membuat Eng Liong kelabakan, merasa kedudukannya amat berbahaya. Apalagi ketika mendengar desas-desus bahwa kejatuhan Sang Jenderal karena terlibat rencana pengkhianatan "menjual negara" segala, membuat Eng Liong jadi susah tidur selama beberapa malam. Hari-hari itu Eng Liong sibuk mendekati dan meyakinkan banyak pihak bahwa dirinya benar-benar tidak tahu menahu kalau Jenderal Eng itu ternyata pengkhianat. Tentu saja untuk "mendekati dan meyakinkan" itu tidak cukup cuma dengan mulut dan ludah yang muncrat-muncrat melainkan tangannya harus membawa oleh-oleh yang cukup berharga. Banyak orang yang dulu memberi hadiah kepada Eng Liong, mohon agar diperkenalkan dengan Jenderal Eng, sekarang balik memeras Eng Liong. Eng Liong sendiri ya harus rela diperas, agar batok kepalanya bisa tetap nongkrong di atas lehernya. Untung bagi Eng Liong, juga bagi
ratusan kaki tangan Bangsawan Dao maupun jenderal Eng. bahwa "kaum gunung hijau" telah mengusulkan ke pihak istana agar para kaki tangan yang sekedar diperintah itu tidak perlu ditangkap, cukup diberi peringatan keras. Pertimbangannya, kerajaan sedang membutuhkan tenaga sebanyak-banyaknya untuk menghadapi Manchu.
Pagi itu. suasana di rumah Kapten Eng Liong tak berbeda dengan biasanya. Eng Liong sudah selesai latihan pagi, mandi dan sarapan, lalu siap berangkat ke tangsi dengan seragamnya yang rapi. Isterinya sibuk di dapur. anak-anaknya berkeliaran di sekitar rumah dan sibuk dengan mainan mereka.
Yang sedikit beda ialah Ang Siok-sim. Pemuda ini sudah mendapat pekerjaan baru di sebuah pian-hong, perusahaan pengawalan yang bermerek Kim-nai Piauhang (Perusahaan Pengawalan "Singa Emas"). Biasanya Ang Sick-sim berangkat pagi dan pulang sore begitu saja. biarpun hanya sebagai tukang angkut barang-barang. ia nampak cukup senang dengan
pekerjaan barunya itu. Namun pagi itu
ia nampak lebih gembira dari biasanya,
Aku akan melihat beberapa kota di pesisir timur. Aku terpilih dalam rombongan antar barang yang menuju ke Makao."
"Kota yang seratus lima puluh tahun
yang lalu diserahkan oleh Kaisar dinasti
Beng kepada orang-orang Portugis yang
berjasa mengamankan jalur dagang laut
timur?" katanya kepada Nyonya Eng Liong kakak perempuannya.
"sudah kucucikan beberapa helai pakaian untuk kau bawa selama diperjalanan."
"Benar. Aku harus membawa beberapa helai pakaian.
Kemarin sudah kucucikan, juga sudah
kubuatkan beberapa macam kue kering
Terima kasih, Kak, tetapi soal makan
di perjalanan adalah tanggung jawab perusahaan."
"Bawa saja." Dengan membawa bungkusan yang
sudah disiapk an kakaknya, berangkatlah Ang Siok sim.
Tiba di kantor Kim-sai Piau-hang,
Ang Siok-sim bersama kuli-kul" lainnya
harus memeras keringat menaik-naikkan barang ke atas kereta-kereta. Selain akan mengawal barang-barang, juga ada beberapa orang yang menempuh perjalanan jauh.
Setelah barang-barang selesai diangkat ke kereta, rombongan pun berangkat. Rombongan dipimpin seorang pengawal senior yang pintar main toya bernama _Jun Lip. Bukan cuma tangguh bertarung, tetapi juga pintar berunding dengan kaum rimba hijau. Dalam bisnis pengawalan perjalanan, kepintaran bertarung bukan satu-satunya modal, melainkan juga persahabatan baik dengan kaum rimba hijau di tempat-tempat yang bakal dilalui. Dan pengawal bernama Jun Lip memiliki semua modal itu, ia punya persahabatan dengan beberapa "raja gunung" atau "jenderal gunung" (istilah untuk pentolan pentolan begal yang merajai tempat tempat tertentu) di beberapa tempat yang bakal dilalui. Selain itu, masih ada tiga puluh orang piau-su bersenjata yang akan menyertainya. Ditambah lebih kurang sepuluh orang kuli angkut, termasuk Ang Siok-sim. Para kuli angkut ini diberi tanda khusus di pakaian mereka. apabila sampai terjadi bentrokan dengan kaum rimba hijau, mereka tidak akan ikut diserang, sesuai dengan "tata-krama" kaum rimba hijau yang sudah dijalankan berabad-abad.
'Ang Siok-sim mengikuti perjalanan itu dengan kegembiraan meluap-luap karena hendak melihat tempat-tempat yang selama ini belum dilihatnya. Dalam umurnya yang hampir seperempat abad. dia baru melihat kampung kelahirannya dan Lam-khia saja.
Yang membuat perjalanan lebih menyenangkan, bukan hanya pemandangan sepanjang jalan, melainkan juga obrolan para piau-su dan kuli yang ikut dalam rombongan. Banyak di antara mereka yang sudah melakukan perjalanan puluhan kali, dan banyak pula cerita-cerita menarik yang mereka pamerkan kepada Ang Siok-sim. Bukan cuma pemandangan pemandangan indah. tetapi juga kebiasaan-kebiasaan unik dari penduduk di tempat-tempat yang mereka lewati.
piau-su umumnya lebih suka membangga
kan pengalaman tegang mereka ketika
bertempur dengan para bandit, di darat maupun di sungai, Ada luka-luka di tubuh
mereka yang mereka banggakan untuk
membenarkan cerita mereka, Para kuli
yang "pupuk bawang" dalam urusan pertarungan atau adu senjata, ternyata juga
punya cerita lain yang tidak kalah menegangkan, Ada Cerita ketika suatu kali
Kim-sai Piau-hang menerima titipan berupa barang-barang peninggalan seorang
Sam-koh (arti hurufnya ialah "bibi ke
, namun istilah itu digunakan untuk
menyebut wanita yang ahli dalam ilmu
gaib) untuk keluarganya di kota lain.
Sepanjang perjalanan ternyata banyak
peristiwa ganjil yang mendirikan bulu
kuduk, namun setelah barang-barang itu
tiba di tujuan dan dipindah-tangankan
kepada yang berhak menerima, ternyata
periStiwa peristiwa gaibnya juga berhenti
dengan sendirinya, Entah sampai di mana
kebenaran cerita temannya itu, yang
terang Ang Siok-sim merasa perjalanan benar-benar menyenangkan
Kehadiran Ang Siok-sim menyenangkam para kuli. Mereka udah sering melakukan
perjalanan, beberapa orang
mengeluh sudah jemu namun memaksa
diri tetap bekerja karena sul"t memperoleh pekerjaan lain,
Ang siok sim yang polos dan periang itu ternyata
mempengaruhi kejemuan, sehingga perjalan itu memang terasa lain dari biasanya.
Baru belasan li rombongan meninggalkan kota Lam-khia, tiba-tiba di
belakang mereka terdengar suara derap
kuda, dan bentakan, "Minggir Minggir!
Ternyata ada sebuah iring-iringan
yang agaknya membawa pejabat resmi
kerajaan, yang menaiki sebuah kereta
yang ditarik dua ekor kuda tegar, dengan
pengawal berkuda yang cukup banyak,
hampir dua ratus orang, Bukan cuma
banyak, tetapi Juga lengkap bersenjata api.
Jun Lip sebagai pemimpin rombongan
Kim-sai Piau-hong menyuruh rombongannya menepi.
Ang Siok-sim melihat, perwira yang memimpin pengawalan itu adalah seorang yang sudah dikenalnya sebagai rekan dari kakak iparnya. Seorang yang sudah berpangkat Cian-bu (Kapten). Teman kakak iparnya itu dalam seragam militernya menunggang kuda paling depan.
Karena perwira itu berwatak ramah seperti yang Ang Siok-sim ketahui, maka Ang Siok-sim berani memanggilnya. "Kakak Kang!"
Kapten Kang menoleh, lalu sambil tersenyum meminggirkan kudanya, namun juga memerintahkan agar rombongannya berjalan terus, "Eh, Siok-sim, kenapa di sini?"
"Aku kan kerja di Kim-sai Piau-hang" Sekarang sedang hendak mengantar barang ke Makao. Eh, Kak, Kakak sendiri kelihatannya juga hendak berjalan jauh?"
"Ya, aku hendak mengawal Menteri Lim ke Siao-hin, untuk menemui Pangeran Lou-ong. Sudah ya" Besok kalau sudah di Lam-khia, kita ngobrol lagi."
"Selamat jalan, Kak, semoga selamat."
Kapten Kang menderapkan kudanya _menyusul rombongannya, sambil tersenyum dan melambai kepada Ang Sick-sim.
jun Lip diam-diam membatin, "Rupanya memang bukan aku saja yang senang kepada Si Bocah Ang Siok-sim ini, melainkan banyak orang lain, dari kalangan kuli-kuli Piau-hang sampai seorang per-wira. Bocah ini memiliki sesuatu dalam dirinya, entah apa, yang membuat orang lain ketularan bergembira kalau dekat dekat dengannya."
Rombongan Kim-sai Piau-hang pun berangkat kembali. jun Lip berjalan di dekat Ang Siok-sim dan bertanya, "Saudara Ang, kenal komandan tadi?"
"ia teman kakak iparku. Kakak iparku juga kapten. Kapten Eng Liong."
"Kau punya kakak ipar seorang perwira yang bisa menolongmu masuk jadi tentara. kenapa malah jadi kuli Piauhang?"
"Aku tidak senang bawa-bawa senjata, menangkapi orang, apalagi kalau sampai melukai."
"Kalau yang ditangkap itu orang jahat.Bagaimana ?"
"Hati orang siapa tahu" Banyak orang yang kelihatannya melakukan kejahatan namun sebenarnya wataknya tidak jahat. ia lakukan itu karena terpaksa."
Jun Lip tersenyum mendengar jawab-an itu. ia kemudian meninggalkan Ang Siok-sim karena ada seorang pengawal zgng meminta petunjuknya tentang suatu hal.
Karena rombongan itu meninggalkan Lam-khia setelah tengah hari. maka ketika matahari mulai terbenam, rombongan itu belum jauh dari Lam-khia. Mereka masih di sekitar Lam-khia di mana masih mudah melihat bekas-bekas garapan tangan manusia. Ladang-ladang, sawah sawah, empang-empang, kampung-kampung yang letaknya tidak terlalu berjauhan satu sama lain.
Namun karena dianggap berbahaya melanjutkan perjalanan di malam hari, Jun Lip memerintahkan rombongannya berhenti di pinggiran sebuah kampung, di tanah lapang, tepat berseberangan jalan dengan sebuah kuil Dewa Bumi.
Dua buah kereta penumpang
di tengah, didekatkan dengan kereta-kereta barang, agar mudah dipertahankan seandainya ada serangan. Kuda-kuda penarik kereta dilepas, ditambatkan agak jauh agar bau kotorannya tidak mengganggu, di tempat yang banyak rumputnya. Antara kereta-kereta dan kuda-kuda dibuat api unggun besar untuk penerangan dan menghangatkan, namun beberapa sudut lainnya juga ditancapi obor. Giliran jaga diatur oleh Jun Lip, yang ingin membersihkan tubuh dipersilakan menumpang pada salah satu rumah di kampung itu.
Ketika malam semakin dingin, seluruh anggota rombongan berdiang di seputar api unggun sambil mengobrol dan memakan bekal mereka. Baik pengawal, kuli maupun orang-orang yang harus diantar sampai ke tujuan. '
Ada enam orang yang harus diantar. Tiga orang diantaranya agaknya sekeluarga, terdiri dari seorang gadis berusia kira-kira sembilan belas tahun, adik perempuannya yang kira-kira empat belas tahun, dan seorang perempuan setengah baya yang mereka panggil "bibi". Mereka memakai kereta mereka sendiri, bawa kusir kereta sendiri, hanya saja minta jasa pengawalan Kim-sai Piau-hang sampai ke Makao. Tiga orang lagi nampaknya orang tak kenal .satu sama lain, mereka memakai kereta kepunyaan Kimsai Piau-hang.
Yang menarik perhatian orang-orang itu ialah kakak beradik perempuan itu, yang mengaku she Ma. Si Kakak adalah Ma Wan-yok, adiknya Ma Wan-san, bibinya dipanggil Bibi Ma begitu saja. Yang menarik, bukan cuma karena keelokan mereka, namun karena kedua gadis ini bertampang blasteran antar bangsa Han dengan bangsa Portugis. Dandanan mereka tetap dandanan orang Han, percakapan mereka juga bahasa Han yang fasih, meskipun antara kakak beradik itu kadang diseling ungkapan-ungkapan bahasa Portugis, yang oleh Si Bibi Ma sendiri bahkan tak dipahami. Si Bibi Ma ini agaknya asli orang Han, bukan blasteran. Kedua gadis itu juga memakai kalung perak berbentuk salib, menimbulkan duaaan bahwa mereka sudah_menganut agama orang Portugis pula. Mata mereka hijau sehingga beberapa kuli berbisik bisik dan menyebutnya "seperti kucing", tetapi diembel-embeli "tapi aku mau kalau dapat isteri kucing ini." Dan kalau melihat tujuan mereka ke Makao, tidak heran, sebab sejak tahun 1516 di jamannya Kaisar Wan-ii, Makao diserahkan kepada Portugis sebagai tanda terima kasih setelah armada kapal Portugis mengamankan jalur perdagangan laut dari kawanan bajak laut. Tahun 1557, Makao bukan hanya ditempati pelaut-pelaut Portugis melainkan juga orang-orang sipil Portugis, sehingga jadi kota yang campur aduk antara dua bangsa, baik bahasanya, gaya bangunannya, bahkan terjadi perkawinan campur yang antara lain menghasilkan arang-orang macam Ma Wan-yok dan Ma Wan-san ini. Berbeda dengan kebanyakan gadis timur yang suka main malu menampakkan diri di depan orang banyak, kedua gadis she Ma itu dengan bebas ikut berdiang dan mengobrol di sekitar api unggun, dan Jun Lip sudah memesan anak buahnya agar berlaku
sopan sebab mereka membawa nama baik Kim-sai Piau-hang.
Ketika orang-orang itu sedang enak enak mengobrol, tiba-tiba di dalam kampung terdengar suara tetabuhan, kedengarannya ada pertunjukan wayang boneka (wayang potehi). Sejak tadi, mereka memang melihat orang-orang dari kampung-kampung yang berdekatan berdatangan ke kampung itu, rupanya ingin ikut menonton wayang boneka di kampung tetangga.
Rombongan Kim-sai Fian-hang itu umumnya berasal dari kota besar seperti Lam-khia yang juga disebut Kim-bug. maupun Makao, kota bandar antar bangsa yang tidak kekurangan pertunjukan hiburan. Maka daya tarik suara tetabuhan itu hampir tak ada bagi rombongan Kimsai pian-hang itu. Umumnya mereka ingin menggunakan waktu untuk beristirahat atau mengobrol di situ, daripada berdesakan nonton wayang potehi.
Tetapi buat Ma Wan-san yang masih punya sifat kekanak-kanakan. keramaian apapun menarik perhatiannya. ia mengangkat kepalanya, lalu menarik narik
lengan kakaknya, "Eh, Kakak Yok, ada keramaiam di sana itu"
Kalau ada ramai-rama", memang
mau apa" Lihat yuk." "Ah, lebih baik beristirahat saja.
Besok masih berjalan jauh."
Ayo Kak,antar aku melihat keramaian.
Sebentar..saja." Jun Lip tersenyum mendengar ucapan
Ma Wan-san kepada kakaknya mengingatkan dia pada
dua anak perempuannya. nampaknya Sang Kakak bersiteguh tak mau keluar.
Tetapi permohonan yang gigih dari saudaranya.
Ma Wan-yok tak tahan juga,
Baik, pergilah, tetapi dengan Bibi Ma
Dan kalau tidak merepotkan..."
Sambil menatap Jun Lip dan orang orangnya tanpa kata kata.
Jun Lip paham,Tentu saja ada orang kim sai Piau-hang dengan
senang hati mengantarnya.
Jun Lip menyapa orang orangnya dengan pandangannya dan memilih orang yang tak bakal memalukan kelompoknya.
Tiba-tiba berhenti pada Ang Siok-sim,
lalu katanya, "Ang Siok-sim, antar mereka-
(maaf satu halaman tak bisa di baca)
Ma Wan-yok dan Ma Wan-san cepat pulang. dan mereka menyewa jasa pengawalan Kim-sai Piau-hang yang terkenal baik pelayanannya.
Dari percakapan itu. Ang Sink-sim memperoleh kesan kalau kakak beradik she Ma itu adalah anak-anak dari seorang yang kaya. berpengaruh di Makao, agak terpengaruh gaya hidup orang barat, dan agaknya oleh Sang Ayah juga agak dibebaskan bepergian meskipun dalam batas tertentu.
"Seperti apa negeri ibumu itu, apakah seperti negeri ini?" tanya Ang Sink-sim ingin tahu saja.
"Aku belum pernah melihatnya. Ayah yang pernah naik kapal ke sana, bersama ibu. Tetapi perjalanannya lamaaa... sekaki. Melewati banyak negeri dengan penduduknya yang aneh-aneh dan adat adatnya yang lain dari adat di sini."
Dengan menemani Ma Wan-san, Ang Siok-sim ternyata tidak cuma beruntung bisa menonton wayang boneka yang kebetulan melakonkan cerita kegemarannya, tetapi juga beruntung kenyang berbagai makanan karena ditraktir Ma Wan-san yang membawa banyak uang, dan di sekitar lapangan tempat dipentaskannya wayang boneka itu ada banyak penjual makanan.
Ang Siok-sim pun "membalas jasa" dengan menolong Ma Wan-san memahami jalannya cerita, karena Ang Siok-sim sudah sangat hapal ceritanya.
Sementara itu. setelah Ma Wan-san bertiga meninggalkan rombongan, salah seorang penumpang kereta menguap lebar sambil berkata, "Ah, aku mengantuk sekali. Maaf sobat-sobat, tidak bisa menemani kalian mengobrol lebih lama."
Orang itu adalah seorang lelaki kurus berdandan perlente. la bangkit, namun tidak langsung menuju ke kereta untuk tidur, melainkan ke semak-semak gelap tidak jauh dari situ, dan orang-orang memaklumi keperluannya. pasti untuk buang air kecil.
Tak ada yang curiga, tetapi orang itu sebetulnya melakukan sesuatu lebih dari sekedar buang air kecil. Ketika ia sedang buang air kecil di tempat gelap
di bawah sebatang pohon. tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara seseorang, "Ssst."
Dengan sikap tubuh tak berubah. orang itu menjawab, "Yang kecil sedang menonton wayang boneka di kampung. yang besar tetap dalam rombongan."
"Kita culik sekarang, yang kecil itu?" tanya orang di atas pohon. '
"Yang kecil itu kurang disayang oleh Ma Bian, kalau hanya dia yang diculik. kurang pengaruhnya untuk menggertak Ma Bian. Tunggu sampai ada kesempatan menculik kedua-duanya. Tunggu isyaratKu."
Lalu Si Lelaki Kurus balik ke rombongannya dengan menunjukkan wajah ramahnya. la menggelar sehelai tikar tebal di bawah kolong kereta, lalu menyelimuti dirinya dan tidur pulas.
Satu demi satu orang-orang itu mulai tidur. Kereta-kereta hanya diperuntukkan tidur kaum wanita.
Ma Wan-yok gelisah karena adiknya belum pulang juga, namun ketika ia hampir meminta Jun Lip untuk memerintahkan orang menyusul. ternyata Ma Wan-san sudah muncul bersama Bibi Ma dan Ang Siok-sim. Malah adiknya membawa banyak gula-gula. kacang goreng, kuaci dan sebagainya.
Ma Wan-yok menggerutui adiknya. namun lega juga. Tak lupa ia berterima kasih kepada Ang Siok-sim. Lalu ketiga wanita itu memasuki kereta mereka untuk tidur.
Ketika matahari terbit. rombongan itu pun bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Barang-barang dibenahi, orang orang yang ingin mandi atau buang air terpaksa menumpang ke orang kampung. Setelah semuanya beres. rombongan pun berangkat. Bendera bergambar seekor singa emas dikibarkan di atas gerobak gerobak barang.
Setelah perjalanan setengah hari. Ang Siak-sim mulai melihat perubahan pemandangan. Tanah-tanah tidak lagi datar, melainkan berlekak-lekuk. Sawah dan ladang makin sedikit. lebih banyak hamparan-hamparan tanah belukar atau ilalang yang tak tergarap.
hutan-hutan. Kampung-kampung" berjauhan letaknya satu dengan yang lain, jalanan tidak selebar dan_ serata semula. namun kadang-kadang mereka masih berpapasan juga dengan orang-orang dalam perjalanan.
Jun Lip memberi petunjuk kepada orang-orangnya untuk lebih berwaspada. Beberapa pengawal yang semula menaruh senjatanya di gerobak agar dapat berjalan santai, kini mengambil senjatanya dan membawanya sendiri.
Melihat perubahan sikap itu, Ang Siok-sim bertanya kepada seorang kuli berusia setengah abad yang sudah berpengalaman, "Paman, apakah kita masuk daerah gawat?"
Kuli itu menjawab. "Tenang saja, cuma sikap jaga-jaga kok. Dulu. aku pernah lewat tempat ini dan ketemu gerombolan penjahat yang bersarang sekitar sini, tetapi tidak terjadi bentrokan. Kami boleh lewat dengan membayar uang tertentu." .
"Syukurlah." Ang Siok-sim mengangguk-angguk. "Kalau dipikir. orang-orang
yang hidup di gunung dan disebut bandit pun bisa diajak bicara baik-baik sampai tak perlu berkelahi. Di Lam-khia, aku heran melihat orang-orang kota yang mengaku berpendidikan lebih dan tahu aturan, ternyata begitu mudah cabut senjata untuk saling hantam, malah saling membakar rumah segala."
Si Kuli setengah baya berkata pula, "Tetapi juga tidak semua bandit-bandit di gunung ini mudah dilewati begitu saja. Ada yang ngotot ingin merampas barang atau orang yang di bawah lindungan kita, dan pertarungan tak terhindar."
Baru saja orang itu selesai bicara, tiba-tiba di udara berdesing sebatang panah bersuara. lun Lip mengisyaratkan agar anak buahnya bersiaga, "Ada sobat sobat dari kaum rimba hijau di depan."
Ang Siok-sim mendapat pengetahuan baru, bahwa istilah "sobat-sobat rimba hijau" adalah istilah yang lebih halus untuk "kaum bandit".
Sementara itu, di depan terlihat munculnya serombongan orang bersenjata dari balik pohon-pohonan,
wajah mereka rata rata memang keras. Pemimpinnya seorang lelaki berikat kepala dan memanggul tombak. Ia mengangkat tangannya dan ber-aru. "Salamku untuk Saudara Jun!"
Agaknya kedua pihak sudah saling kenal. sebab sikap Jun Lip pun nampak tidak tegang. malah sambil tertawa membalas salam itu, "Salamku juga untukmu, Saudara Niao. Kau nampak lebih gemuk dari dulu. apakah banyak orang lewat wilayahmu?"
Pemimpin bandit itu tertawa. katanya sambil melangkah mendekat. "Saudara jun, sekarang ini aku sudah tidak berdiri sendiri. melainkan sudah bergabung dengan kaum 'gunung hijau' yang punya tujuan perjuangan luhur dan terarah. Karena posisi kami yang baru inilah kami terpaksa menerapkan beberapa peraturan baru, demi menyesuaikan diri."
"Kenaikan 'uang jalan'?" Jun Lip coba menerka.
Ternyata Si Kepala Bandit menggeleng. "Tidak. 'Uang jalan' tidak naik. namun demi menanggulangi ancaman Manchu dari utara. sekarang kami harus memeriksa semua barang dan orang yang melewati tempat kami. Kalau didapati bukti-bukti adanya benda atau sikap orang atau hal-hal lain yang membahayakan negara. kami harus merampasnya. Jadi sekarang kami akan mengadakan penggeledahan. Terhadap kaum wanita. kami akan berlaku sopan. sebab pejuang pejuang wanita kamilah yang akan menggeledah mereka."
Di antara "tentara gunung" itu memang nampak beberapa bandit perempuan biarpun mereka berdandan seperti laki laki.
Jun Lip mengerutkan alisnya yang sudah berwarna abu-abu. "Numpang tanya Saudara Niao. yang dimaksud barang dan orang yang membahayakan itu yang seperti apa" ini harus ada batunya yang tegas. agar kita tidak menemukannya semau selera kita saja dan merugikan orang lain."
Pertanyaan ini memang masuk akal. dan Si Kepala Bandit she Niao hanya dapat menggaruk-garuk
lama, sebelum akhirnya menyahut. "Sancu (Penguasa Gunung) tidak memberikan peraturan secara terperinci, tetapi diserahkan kepada pendapat kita sendiri. Misalnya beberapa hari yang lalu, datang rombongan dari selatan membawa puluhan puncuk senjata api baru. Ketika ditanya jawabannya mencurigakan. maka ya kami sita dan orangnya pun kami tahan. sampai penyelidikan kami jelas."
"Wah, nampaknya pemerintah kerajaan sendiri ,tak secermat dan sepeduli ini, sampai menggeledah dan menahan orang segala." Sulit ditebak kata-kata Jun Lip ini memuji atau menyindir. "Tetapi perusahaan Kim-sai Piau-hang kami telah menerima kepercayaan dari pelanggan pelanggan kami, bagaimana mungkin kami khianati kepercayaan para pelanggan itu dengan membiarkan barang atau orang yang kami kawal diambil orang di tengah jalan" Bisnis Kim-sai Piau-hang bisa ambruk dan ratusan pian-su yang mengandalkan nafkah dalam perusahaan kami bisa berubah jadi penganggur semua."
"Itu amat kusesalkan kalau sampai terjadi," kata orang she Niao sopan sambil menarik napas. Tetapi negeri leluhur terancam. Saudara Jun, timbanglah serrdiri, mana yang lebih berat. Keselamatan tanah air atau nama baik Kim-sai Piauhang?"
"Tentu saja keselamatan tanah air, tetapi menggeledah semua orang yang lewat, apakah tidak berlebihan?"
"Tidak. ini tidak berlebihan kalau mengingat betapa liciknya orang Manchu bekerja. Siapa sangka seorang juragan perahu di tepian Tiang-kang ternyata diperalat Manchu dan perahu-perahunya akan dipakai untuk menyeberangkan prajurit Manchu kelak" Tak ada yang menyangka sebelumnya, namun terjadi demikian, untung teman-teman kami di tepian bisa membongkarnya."
jun Lip benar-benar tidak suka mengalami hal itu. Pasti amat sulit untuk menjaga mulut sekian banyak penumpang agar tidak menyebar luaskan kejadian yang bisa merosotkan kepercayaan terhadap Kim-sai Plan-hang itu. Namun
Lip merasa tak mampu menentang.
pihaknya hanya ada tiga puluh orang
piau-su yang bisa bertempur, para kul"
jelas tak bisa diharapkan membantu,
sedang di pihak penghadangnya taksir
ada sekitar seratus lima puluh bandit.
Satu banding lima. Karena itulah akhirnya dengan berat hati Jun Lip mengijinkan pemeriksaan itu, sambil coba menghibur diri sendiri, "Pasti bukan hanya
Kim-sai Piau-hang yang mengalami kejadian tidak enak ini. Pasti semua Piau-
hang. Lagi pula, para penumpang tentu
maklum, aku mengalah juga demi keselamatan mereka."
Begitu pula para pengawal Kim-sai
Piau-hang lainnya juga merasa tersinggung akan penggeledahan itu, namun rasa
tersinggung mereka sedikit berkurang


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika melihat Si Kepala Berandal she
Niao ternyata juga tidak sewenang-wenang menggunakan kesempatan itu. Malah
Si Pemimpin Berandal menyempatkan
diri secara langsung memohon maaf ke-
pada para penumpang, yang diucapkannya
dengan rasa sungkan, sambil menambahkan..
ini bukan kesalahan Kim-Piau-hang."
Habis itu, barulah penggeledahan
berlangsung. Habis itu, barulah penggeledahan
langsung. Para berandal tidak main
obrak-abrik barang-barang begitu saja,
melainkan membuka peti-peti tidak dengan kasar, memeriksa, menaruh kembali
letak barang-barang sebisa-bisanya seperti semula. Ketika penggeledahan.
pihak berandal menepati janjinya, berandal lelaki menggeledah anggota rombongan
yang lelaki, berandal perempuan
menggeledah anggota rombongan
perempuan. Biarpun perempuan-perempuan dalam rombongan itu risih juga
tubuh mereka diraba-raba, tetapi
mereka menganggap perlakuan para berandal itu sudah berusaha untuk sebaik
mungkin. Melihat semua itu, Jun Lip diam-diam
membatin, "Entah siapa kaum gunung
hijau' yang disebut-sebut orang she Niao
ini sehingga dapat mengendalikan kawanan yang cukup kuat ini, bahkan mengubah mereka menjadi berandal-berandal
yang sopan " Ketika itu, seorang berandal yang menggeledah Si Kurus perlente penumpang rombongan, tiba-tiba menemukan sebuah giok leng (lencana batu kumala) tersembunyi di pinggang lelaki kurus itu. Lencana yang biasanya dimiliki pejabat-pejabat kerajaan.
Si Berandal rupanya buta huruf dan tak bisa membaca tulisan di lencana itu, maka ia memanggil kepalanya, "Kakak Nian, tolong kemari sebentar!"
Bersambung jilid 12 Panglima Gunung Karya : STEVANUS SP. Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid XII NIAO BENG,Si Kepala Berandal melangkah mendekat ketika
ditunjuki lencana itu dan membaca lencana, ia berkata kepada Si Kurus Perlente, "Tuan agaknya seorang pejabat
kantor Peng-po Ceng-tong (Kementerian
Perang) di Lam-khia. Dapatkah Tuan sebutkan nama Tuan?"
Lelaki kurus perlente itu masih coba
bersikap garang kepada kawanan. berandal, "Ya, aku pejabat Peng-po Ceng-tong.
Kalian kawanan orang liar ini, dengan
hak apa berani mengadakan pos pemeriksaan liar ini" Siapa yang mengangkat
kalian" Niao Beng menjawab sopan,
kami ditugaskan San-cu Yang kalian sebut San-cu itu mahluk liar dari mana"
Suara Niao Beng meninggi tanda emosinya juga naik, "San-cu itu bukan mahluk liar, dia adalah orang yang benar-benar tulus dan peduli akan keselamatan tanah air tanpa pamrih. Dan ia amat berkuasa, ia bahkan berkuasa meLebihi Kaisar yang di Lam-khia. Tahukah Tuan, siapa yang membuat perubahan besar di Lam-khia, yang diawali dari penangkapan Bangsawan Dao di danau buatan" itulah San-cu kami! Kaisar di Lam-khia yang sudah bertahun-tahun begitu lemah di bawah kendali Bangsawan Dao dan Jenderal Eng, sekarang bebas, siapa yang membebaskannya" Itulah San-cu kami"
Si Kurus Perlente bungkam, merasa agak gentar juga. Sebagai pejabat kelas menengah di Lam-khia, ia dengar juga pergeseran besar-besaran di kalangan atas. Pergeseran yang . menurut pikiran normal kebanyakan orang akan dianggap mustahil terjadi mengingat kuat dan meluasnya pengaruh Bangsawan Dao di mana mana, namun toh Bangsawan Dao terjungkal juga, sehingga orang menduga
bahwa ada "seseorang di belakang layar" yang entah siapa yang sudah menjungkalkan Bangsawan Dao. Seseorang yang pasti lebih kuat dan lebih berkuasa dari Bangsawan Dao dan komplotannya. Kini Si Kurus Perlente tiba-tiba mendengar dari mulut seorang beranda! pegunungan, yang mengaku bahwa "tokoh di belakang layar" dalam perubahan besar di Lamkhia itu bukan lain ialah orang yang dipanggil "San-cu" (atau penguasa gunung). Setengah percaya setengah tidak Si. Lelaki Perlente mendengar itu, yang terang, ia sadar bahwa kawanan berandal ini kalau sampai marah akan membahayakan seluruh rombongan. termasuk Si Kurus Perlente sendiri.
Akhirnya Si Kurus Perlente mengubah sikap, wajahnya berubah ramah sekali, "Jangan marah, Saudara. Sikapku tadi hanya untuk menjajagi saja kok. Sesungguhnya, aku mewakili pihak kerajaan, merasa bangga dan terharu melihat warga biasa semacam saudara-saudara ini begitu peduli pada keamanan tanah air tercinta ini. Memang,
terhadap tanah air tidak hanya terbatas
di pundak para prajurit semata, melainkan juga..
Hampir saja Si Kurus Perlente berpidato, seandainya Niao Beng tidak cepat-cepat menukas, "Kami tanya nama
Tuan dan belum dijawab,"
WOh, maaf. Namaku Ong Sek-thai."
Dan sedang menuju ke mana?"
"Makao. "Dengan tujuan apa?"
"Kebetulan aku sedang dapat cuti,
lalu aku ingin lihat-lihat saja kota Makao.
Kudengar kota itu tambah ramai dan
bagus." Niao Beng tak punya alasan mengapa-apakan Si Kurus Perlente, meski Jawaban
Si Kurus Perlente terasa kurang tulus.
la kembalikan lencana giok itu dan menyuruh anak buahnya meneruskan penggeledahan sampai selesai.
Seorang berandal wanita tiba-tiba
mendekati Niao Beng dan melapor pula,
"Kakak Niao, pada keluaga Ma itu ada
yang tidak seperti biasanya."
"Yang mana keluarga Ma?"
"Tiga orang wanita itu..
Perempuan menunjuk Bib" Ma, Ma Wan-yok dan Ma Wan-san yang berdiri di
dekat kereta mereka, Niao Beng mendekati mereka dan
bertanya kepada anak buahnya, Apa
yang kau anggap tidak biasa pada mereka"
Sebelum Si Berandal Perempuan menJawab, Ma Wan-yok sudah mendahului,
"Barangkali tampang blasteran kami ini
yang dianggapnya aneh, padahal kalau
kalian sampai ke Makao, tampang macam kami ini bisa banyak kalian jumpai."
"Bukan tampang kalian," bantah Si Berandal. "Namun bahwa kalian, puteri-
puteri Ma Bian yang bekerja pada pemerintah Portugis sebagai salah seorang
pengawal gudang senjata, kenapa keluyuran ke Lam-khia?"
Ma Wan-yok mendebat, "Lho,anehnya kami ke Lam-khia untuk mengunjungi sanak keluarga yang meninggal"
Dan apa sangkut-paut kecurigaan kalian dengan pekerjaan ayahku sebagai penjaga gudang senjata?"
Niao Beng mengangkat tangan melerai perdebatan, lalu ia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ma Wan-yok, dan Niao Beng menganggap jawaban gadis blaster itu cukup meyakinkan dan tidak pantas dicurigai.
Penggeledahan selesai, Niao Beng berkata kepada Jun Lip, "Saudara Jun, kami tidak punya alasan untuk menahan orang maupun barang yang ada dalam rombongan ini. Maafkan kami sudah menghambat perjalanan kalian. Selamat jalan!"
Jun Lip pun berbasa-basi menyatakan "tidak apa-apa", dan meskipun Niao Beng tidak memintanya. toh Jun Lip sodorkan juga "uang jalan" yang sudah disiapkannya kepada Niao Beng sebagai tata-krama dunia rimba hijau. Niao Beng pun menerimanya dan mengantonginya sambil tertawa lebar.
Perjalanan dilanjutkan. Beberapa gerutuan muncul akibat gangguan itu, tetapi Jun Lip diam-diam menilai bahwa pemeriksaan oleh Niao Beng dan teman temannya jauh lebih sopan dibandingkan pemeriksaan di pos-pos resmi yang dijalankan petugas-petugas kerajaan. Di pos-pos resmi itu sering para petugasnya cari gara-gara hanya untuk merambah _isi kocek mereka, misalnya dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang kesannya mengada-ada. Bahkan tidak jarang kaum wanita mendapat perlakuan kurang sopan. Namun Jun Lip tidak mengatakan itu, mengingat dalam rombongannya ada Ong Sek-thai yang pejabat kerajaan.
"Namun benarkah keadaan sudah begitu gawat, sehingga seolah-olah bayangan orang Manchu menghantui di manamana?" tanya Jun Lip dalam .hati. tanpa memperoleh jawaban.
Ketika matahari terbenam di hari ke dua perjalanan itu, rombongan mendapat sebuah kampung 'yang agak terpencil namun ramai. Yang membuat kampung itu ramai, karena letaknya ada di sebuah simpang jalan dari beberapa arah. Kampung itu juga berjauhan dari
kampung lain. Maka kampung itu jadi
membuka kesempatan bagi penghuni penghuninya untuk menambah penghasilan
dengan membuka usaha -usaha yang ada sangkut-pautnya dengan keperluan perjalanan. Ada yang buka penginapan besar
dengan halaman luas untuk kereta-kereta,
Pendekar Aneh Naga Langit 38 Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria Jubah Tanpa Jasad 2
^