Pencarian

Perawan Disarang Penyamun 2

Anak Perawan Disarang Penyamun Karya Sutan Takdir Alisyahbana Bagian 2


"Apakah gerangan engkau takutkan?" katanya pula melihat perawan itu pucat dan tiada berani lagi melihat kepadanya. "Aku tiada seperti orang yang lain itu, tiada tahu akan iba-kasihan...."
Sejurus diam pula ia dan sudah itu sambungnya dengan suara yang halus: "Alangkah lekas engkau berubah! Bukankah dahulu aku berjanji akan menolongmu, membawa engkau kembali kepada orang tuamu?"
Ketika itu bertambah takut Sayu dan bergesa-gesa dibersihkannya mukanya.
"Waktu itu aku tak dapat melarikanmu, sebab mereka telah bangun! Tidak. aku tidak lupa akan janjiku. Selama masih ada jiwaku, aku pasti akan menolongmu Mengapakah engkau diam juga, katakanlah apa salahku kepadamu.
Dalam pada itu selesailah Sayu membersihkan dirinya dan segera ia naik Kedarat, tergopoh-gopoh menuju ke pondok. Seketika masih terdengar kepadanya suara manis dibuat-buat memanggil namanya, menyuruh ia menanti. Tetapi tak diindahkannya sedikit juapun dan ketika ia tiba di pondok baru senang hatinya, seolah-olah ia terlepas dan bahaya maut.
Tidak, tidak ia percaya kepada laki-laki itu dan hendaknya janganlah ia bersua lagi saat yang serupa itu
Waktu ia duduk termenung di atas tangga itu, maka entah apa sebabnya, ia teringat akan harta-benda yang dapat disamun jabalan itu dari ayah bundanya, bahwa uang sebahagian besar telah dibelanjakan, bahwa gelang dan barang-barang emas yang lain telah dibawa Samad ke Lahat akan dijual
Apakah lagi yang tinggal" Ia pun berdirilah masuk ke dalam. Tetapi tiba di tempat tidur penyamun-penyamun itu terperanjatlah ia melihat kayu lantai pondok itu merah bekas darah.
Tiba-tiba dinginlah badannya dan mukanya putih tiada berdarah sedikit juapun. Saat itu teringat ia akan teman penyamun yang baru mati. Rasa-rasa tampak kepadanya mukanya yang kebiru-biruan dan badannya yang kaku, ketika ia diantarkan oleh Medasing. Sanip dan Tusin ke hutan di hilir sungai. Ia pun ngerilah memikirkan hal itu dan hampir ia rebah oleh tiada berdaya lagi.
Sekonyong-konyong dalam ketakutan yang tiada berhingga itu terdengarlah kepadanya tangga berderak-derak. Ketika itu menggigillah seluruh badannya yang dingin itu, sebab pada sangkanya tentulah hantu si mati yang naik mengunjunginya itu. Dicobanya berteriak minta tolong, tetapi suaranya tak keluar, seakan-akan dikerongkongannya ada sesuatu yang tersempal. Ia tiada berani berbalik melihat ke tangga, sebab takut akan memandang hantu yang ngeri, yang terbayang-bayang di pikirannya.
Tiba-tiba seakan-akan hendak mengatasi ketakutannya, kedengaran kepadanya: "Mengapakah engkau. Sayu, terpancang selaku kaku ini?"
Sekejap tertahan jantungnya berdebar dan darahnya terhenti laksana menjadi beku seluruh tubuhnya. Tetapi waktu itu juga dari belakangnya kedengaran pula kepadanya: "Hai Sayu, apa juga kerjamu itu?"
Ia pun membelokkan mukanya dan tampaklah kepadanya Samad naik ke pondok.
"Mengapakah engkau seperti orang ketakutan ini?" kata Samad sebab sangkanya Sayu takut melihat kedatangannya. "Takutkah engkau melihat aku" Aku tidak akan mengusikmu!"
Yang penghabisan ini dikatakannya dengan senyum dan suara lemah-lembut, seolah-oleh hendak memikat hati perawan itu.
Sayu belum juga menjawab, belum juga terjawab pertanyaan itu. Kepalanya ditundukkannya ke lantai mencoba meredakan hatinya sereda-redanya dan mengumpulkan pikirannya kembali. Perlahan-lahan teringatlah ia akan pertemuannya dengan laki-laki itu di sungai beberapa hari yang telah lalu dan bangkit pula di hatinya perasaan benci dan cemas sebagai sediakala.
Apakah maknanya ia datang sekonyong-konyong itu" Tentu ada juga maksudnya yang kurang baik!
"Adikku, siapakah mengusikmu dan mengapakah engkau serupa ini?" ujar Samad pula dengan suara penuh kasih mesra.
Sayu mual mendengar ia menyebut "adikku" itu.
Diberanikannya hatinya dan perlahan-lahan ditentangnya laki-laki itu dengan pandangan yang angkara. Tetapi Samad rupanya tiada mengindahkan pandangan matanya itu, bahkan ia pun melihat kepada Sayu dengan senyata-nyatanya, sehingga kesudahannya perawan itu terpaksa pula menundukkan kepalanya.
?"Aduh, adikku Sayu, mengapa serupa itu benar" Jawab perkataan kakakmu ini Aku sengaja datang kemari akan menolongmu, akan melepaskanmu dari tangan jahanam-jahanam penyamun itu. Sedih hatiku melihat keadaan adikku serupa ini diperbuat oleh orang yang ganas-ganas itu Ibu-bapak adikku telah disamun dan disiksa mereka, apakah yang adikku nanti jua di sarang penyamun yang tiada berhati dan berjantung manusia sedikit juapun" Sedih hatiku memikirkannya dan sekarang aku hendak menolong adikku, maupun dengan nyawaku sekalipun, asal adikku terlepas dari genggaman manusia yang buas-buas itu. Jadi janganlah takut lagi akan daku, karena maksudku baik semata-mata."
Sejurus sebenarnya terkena hati Sayu oleh perkataannya itu, tetapi bukan oleh manis bunyinya, semata-mata oleh karena seketika bangkit benci kepada penyamun-penyamun itu oleh ingatan kepada perbuatan mereka terhadap kepada ayah-bundanya dan dirinya sendiri.
Tetapi oleh karena sejak semula ada sesuatu di hatinya yang mengatakan kepadanya, bahwa laki-laki itu tak boleh dipercayainya, maka dengan tiada setahunya terpikirlah kepadanya akan kekhianatan dan kejahatan perbuatan Samad itu terhadap kepada teman-temannya. Apakah gunanya membongkar-bongkar sekaliannya itu, apakah maksudnya, ia memburukkan penyamun-penyamun itu padahal mereka itu temannya"
Maka insaflah ia betapa rendah dan kecil perbuatan Samad menjahatkan kawannya sendiri dan keinsafan itu membesarkan dan menguatkan keyakinan yang telah lama ada padanya, yakni, bahwa ia tidak boleh percaya kepada laki-laki yang bercakap manis itu.
Sementara ia memikirkan sekaliannya itu, diamlah ia tiada bergerak-gerak menundukkan kepalanya Beberapa langkah dimukanya berdiri Samad memandang kepadanya, seakan-akan hendak ditelannya bulat-bulat perawan yang suri dan molek itu.
Setelah beberapa lamanya ia menanti, tiada jua beroleh jawab, berkatalah pula ia dengan suara yang lemah-lembut: "Mengapakah engkau masih diam jua." Tidakkah engkau percaya akan perkataanku" Demi Allah aku akan menolongmu, melepaskanmu dari sarang penyamun ini. Nanti engkau kubawa kembali kepada ayah-bundamu. Sebenarnya kasihan aku melihatmu di hutan ini, di tengah manusia yang buas-buas selaku binatang."
"Percayalah, aku takkan berbuat jahat atau aniaya atas dirimu!"
Sayu diam jua, tiada bergerak-gerak mendengarkan sekalian perkataannya itu, seakan-akan suara yang lemah-lembut itu tiba di batu yang keras, yang tiada berperasaan sedikit juapun.
Setelah ditunggunya sejurus lamanya, berkatalah ia giat dan gairah, laksana kesal hatinya perkataannya tiada dijawab: "Sayu, adikku, tiada engkau percaya akan perkataanku" Belumkah cukup lagi sumpahku itu bagimu" Demi Allah kataku, takkan selamat hidupku kalau aku berdusta!"
Sebagai seseorang yang dari kecilnya diajar mengerjakan dan menghormati suruhan agama, pedih hati perawan itu mendengar laki-laki itu bersumpah, sebab telah pasti di hatinya, bahwa bagaimana sekalipun, perkataan Samad tiada boleh dipercaya, bahwa sekaliannya itu. sampai kesumpahnya, tak lain dari pada penutup sesuatu yang rendah, yang tak dikatakannya.
Samad heran memikirkan pekerti perawan itu. Kemarin setelah mengantarkan mayat Amat dikatakannya kepada teman-temannya, bahwa ia kembali ke Lahat akan mendengar-dengar orang yang akan lalu di daerah itu. Tetapi sengaja ia bersembunyi di hutan akan kembali bertemu membujuk Sayu, sebab ia tahu, bahwa hari ini penyamun bertiga itu akan membuat pondok baru di tempat yang lain.
Sekejap terkilat di hatinya hendak melarikan gadis itu dengan kekerasan. Siapakah akan tahu ia melarikannya dan siapakah yang akan menghalangi ia mengerjakan itu dalam hutan yang sunyi-senyap"
Dengan tiada sengaja ia telah terlangkah selangkah ke muka mendekati perawan itu. Tetapi segera bertegak pula, sebab Sayu mengangkat kepalanya sambil berkata: "Ah, tunggulah dahulu, sekarang aku belum dapat memutuskannya, karena pikiranku penuh-sesak, belum tentu sedikit juapun."
Setelah habis katanya, gadis itu pun surut berberapa langkah, sehingga ia tiada berapa jaraknya lagi dari dinding.
Mendengar perkataan itu berubahlah pikiran Samad. Sekarang terasa kepadanya, bahwa kalau dipakainya kekerasan, tentu banyak juga kesukaran yang akan ditemuinya. Baiklah ia sabar menanti dahulu, bukan satu itu saja jalan yang boleh ditempuhnya akan mendapat gadis yang cantik itu. Segera ia berkata pula dengan suaranya sebagai sediakala: "Nah sudahlah, aku akan meneruskan perjalanan ke Lahat. Cobalah tenangkan hatimu dan pikirlah baik-baik kataku tadi." Setelah memandang sekali lagi kepada wajah perawan yang cantik itu, ta pun turunlah perlahan-lahan dari pondok dan terus berjalan hilang-lenyap diantara pohon-pohon kayu yang rapat.
Dengan tiada memandang ke kiri ke kanan perawan itu melangkah pula ke pintu. Dekat tangga ia berhenti sebentar melihat ke pohon-pohon kayu dan ke arah anak air dan tidak berapa lama antaranya ia pun turun ke bawah.
Alangkah riangnya terasa kepadanya dirinya ketika itu! Darah setumpuk di tengah-tengah pondok itu tiada lagi teringat kepadanya. Udara pagi yang sejuk dan jernih amat segar rasanya masuk ke dalam dadanya.
Matahari telah agak tinggi dan sinarnya yang riang-permai telah menembusi susunan daun yang tebal. Ketika itu terasa kepadanya, seolah-olah kesunyian hutan yang sunyi itu sengaja diturunkan Allah baginya akan mengobati hatinya yang luka.
la pun melangkah riang-riang ke anak air akan mandi. Pada pagi itu ialah pertama kali indah sebenar-benarnya indah terasa kepadanya seluruh hutan itu. Beberapa lamanya ia berdiri di tepi anak air melihat kepada air yang berbusa-busa dan berbuih-buih mengalir mengelilingi batu sambil menderu perlahan-lahan, seakan-akan suatu nyanyi yang tiada berhingga merdunya.
Maka ditanggalkannya bajunya dan dengan kain sehingga di atas dada ia melangkah perlahan-lahan ke atas beberapa buah batu di tepi sungai kecil itu. Cahaya matahari bermain di bahu dan dilehernya yang kuning keputih-putihan dan ketika itu sesungguhnya ia menyerupai peri atau dewi yang turun bermain-main, mandi di tengah hutan yang sunyi-senyap pada anak air yang jernih.
Sejurus dicecahkannya ujung kakinya ke dalam air, tetapi segera ditariknya kembali: seluruh badannya terkejut merasai air yang dingin itu.
la pun memandang ke air dan mulutnya yang kecil dan indah itu bergerak, tersenyum amat manisnya. Lupa ia akan sekalian kemalangannya, lupa ia akan ayah-bundanya yang pada waktu itu tak tentu tempat dan keadaannya Ketika itu riang dan girang seluruh tubuh dan hatinya oleh perasaan segera akan segar dan sejuk dalam air yang jernih itu.
Sekonyong-konyong, seolah-olah pada saat itu tiba-tiba datang menggelora di seluruh badannya perasaan gembira, melompatlah ia ke dalam air dan barang yang cair dan bening itu merecik keputih-putihan ke segenap penjuru. Batu-batu di tepi sungai kecil basah oleh riak yang menggulung beartalu-talu, Sejurus lamanya kacau berombak-ombak anak air kecil itu laksana diusik oleh sesuatu yang besar, buas dan ganas. Sejurus yang pendek Sebab segera ia kembali sebagaimana biasa. Dan perawan yang kecil molek itu pun merendamkan tubuhnya yang muda-remaja dalam air yang sejuk itu
Dan ketika ia beberapa lama sesudah itu pulang ke pondok dengan kainnya yang basah, tiada terkira-kira girang dan besar hatinya, seolah-olah tiap-tiap detik terasa kepadanya darahnya mengalir di dalam badannya. berombak-ombak, tak dapat ditahan seperti anak air, yang baru menyegarkan badannya.
Setelah ditukarnya kainnya, diambilnyalah beberapa helai kain yang lain, dibeiitkannya di badannya, sehingga menutup seluruh tubuhnya sebagai telekung. la pun sembahyanglah untuk pertama kali di hutan, di sarang penyamun itu
Sebagai seorang anak yang taat beribadat dari kecil, segala kewajiban agama itu telah menjadi darah-dagingnya. Dan sekarang pun dalam perasingannya di tengah hutan, jauh dari kaum-kerabatnya dan segala manusia, taklah ia hendak meninggalkan pekerjaan yang dianggapnya kewajiban yang pertama,
Pada penghabisan sembahyang bermohonlah ia ke hadirat Allah serwa sekalian alam, moga-moga lekaslah ia terlepas dari azab-sengsara dan terpeliharalah ia hendaknya dari segala bencana dan malapetaka. Pun tak lupa ia minta kepada Tuhan yang kasih-sayang akan hambanya rahmat dan bahagia atas ayah-bundanya yang dicintainya.
Dan setelah selesai sekaliannya itu, maka turunlah ia dari pondok. Sekarang reda dan aman hatinya, tak usah ia cemas karena ia pasti akan mendapat perlindungan dari sesuatu yang gaib dan mahakuasa.
Sekeliling pondok dicarinya ranting dan dionggokkannya pada suatu tempat yang kering. Di sanalah dihidupkannya api dan tiada berapa lama antaranya membubunglah asap alamat ia sedang memasak.
Hari itu pertama kali ia menyediakan makanan bagi kawan penyamun dan dengan hal yang demikian mulailah ia menyelakan dirinya di penghidupan raja-raja rimba yang kukuh dan kuasa, buas dan ganas, yang sangat berlawanan dengan badannya yang lemah dan pekertinya yang lembut.
Persaudaraan dan kekariban antara kekuasaan dengan kelemahan, antara kekerasan dengan kelembutan, antara penyamun dengan mangsanya.
BAB 9 MEREKA telah pindah ke pondok baru, yang terletak di bahagian lain rimba yang lebat itu. Penghidupan penyamun-penyamun itu telah kembali pula sebagaimana biasa. Siang hari sering mereka berjalan-jalan dan sekali-kali sampailah mereka dekat kampung atau dusun. Tetapi tak pernahlah mereka datang ke dekat dusun tempat orang kenal kepada mereka Biasanya mereka pergi ke tampat yang jauh-jauh dan di sana dicoba mereka berkenalan dengan orang, kalau-kalau dapat mereka tahu siapa yang kaya di dusun itu, siapa yang akan berjalan ke tempat lain membawa uang dan harta-benda yang banyak.
Petang-petang, kalau mereka pulang dari perjalanan serupa itu, sering mereka membawa sayur-sayuran yang dapat dipetik di jalan. Kadang-kadang mereka membawa ayam yang dapat dicuri atau kambing yang ditangkap di tengah padang. Sekaliannya itu dimasak oleh Sayu bagi mereka, la tahu, bahwa sekaliannya diperoleh dengan jalan yang tidak halal, tetapi apakah dayanya"
Dalam pada itu ia pun tak pernah lupa waktu sembahyang-nya bermohon kepada Tuhan serta sekalian alam mengampunkan sekalian dosanya; sebagai seorang perempuan yang lemah tak dapatlah ia berbuat lain dari pada itu.
Dalam berbulan-bulan itu makin lama makin biasalah terasa kepadanya penghidupan di tengah raja-raja hutan dan kesunyian itu, Lambat-laun sesungguhnya dengan tiada diketahuinya dianggapnya dirinya sebahagian dari kawan penyamun itu.
Pagi-pagi ia memasak air panas dan menyediakan kopi. Apabila Medasing, Sanip dan Tusin berjalan, ia mencahari kayu api dan disusunnya baik-baik di bawah pondok. Ada pula masanya ia menangkap ikan di anak air; sehelai kain jarang yang terbawa oleh penyamun itu dahulu, ketika mereka menyamun ayah-bundanya, dibuatnya tangguk. Setiap hari ada saja daun-daun yang dapat dicaharinya di rimba untuk makanan mereka. Tengah hari dan petang biasanya ia masak nasi dan menggulai
Dalam pada itu hati-perempuannya yang suka akan keindahan senantiasa menggerakkan tangannya memperbaiki pondok tempat kediaman mereka.
Penyamun-penyarrmn itu telah mendirikannya kukuh dan kuat dari ramuan yang sekukuh dan sekuat-kuatnya terdapat di rimba itu. Dan ia dengan tangannya yang halus berusaha sedapat-dapatnya melenyapkan kekasaran yang terlekat peda segala perbuatan laki-laki yang kasar-kasar ku. Djiarah dan dihabiskannya sekalian ramuan yang tertarah dan terhaluskan deh tenaga perempuan. Ikatan dan simpulan yang menyekang mata seolah-olah dilenyapkannya; sedikit-sedikit ditambah dan dikuranginya, sehingga pondok tempat tidur dan berhenti melepaskan lelah itu agak menyempal pondok tempat kediaman manusia yang mempunyai perasaan indah dan buruk.
Sementara itu bagi dirinya sendiri di dalam pondok itu dibuatnya sebuah ruang, agar ia terpisah dari laki-laki bertiga itu.
Oleh pekerjaan yang tak habis-habis, yang tiap-tiap hari tetap memakai tenaga dan minatnya agak terlengahlah hatinya.
Tambahan pula pekerti kawan penyamun yang tertib dan khidmat kepadanya, tak sedikit juapun membangkitkan duka citanya atau menyukarkan hidupnya dan demikianlah dalam perasingannya di tengah manusia yang ganas dan kejam itu, tak terasa benar kepadanya kemalangannya. Hanya sekali-kali ia teringat akan ayah-bundanya, tetapi ingatan yang datang menjelma ke dalam kalbunya itu dapat juga didesaknya keluar dengan keyakinannya yang pasti dan bertambah lama bertambah pasti, bahwa sekali tak boleh tidak ia akan kembali ke dusun tempat lahirnya.
Demikian hari bertukar hari, minggu menjelang bulan dan kehidupan pergaulan kecil yang ganjil di tengah rimba yang sunyi-sepi itu tak banyak berubah.
BAB 10 SAMAD telah lama tiada membujuk Sayu lagi. Beberapa lama sesudah pindah ke pondok baru itu dahulu ada sekali lagi ia bercakap dengan Sayu mengajak perawan itu lari dari pondok tempat penyamun itu. Tetapi ketika itu Sayu tak juga memberi jawab yang pasti kepadanya. Sekejap timbul pula di hatinya niat hendak melarikan gadis itu dengan kekerasan, tetapi maksud itu dapat juga dipadamkannya. Sebab kalau terlangsung demikian pastilah selama-lamanya ia akan menjadi seterunya dan itu pun sedapat-dapatnya hendak dijaganya.
Maka sejak itulah rupanya ia berputar haluan. Ia takkan membujuk perawan itu lagi lari bersama-sama meninggalkan hutan itu; pun ingatan akan kekerasan dilenyapkannya.
Tetapi dalam pada itu ia tak sekali-kali berputus asa. Berhari-hari ia memikirkan betapa jalannya, agar maksudnya itu dapat tercapai dengan tiada membangkitkan sangsi dan cenderung gadis itu sedikit juapun. Hendaknya dapat perawan yang cantik itu terserah kepadanya sebagai pertemuan untung, sebagai sesuatu yang telah sepatutnya demikian oleh karena tak dapat dielakkan. Muslihatnya yang keji tak boleh diketahui oleh Sayu, sebab dalam keinsafan akan kerendahan budinya insaf ia seinsaf-insafnya, bahwa ia harus berusaha supaya gadis itu tiada dapat melihat ke dasar sanubarinya seperti dasar sanubarinya itu sebenar-benarnya.
Sebagai suatu gerak terasa kepadanya, bahwa perawan yang suci itu mempunyai ukuran sendiri tentang segala sesuatu dan oleh karena lemahnya tempat ia berdiri ia tiada berani memperlihatkan ukurannya yang hanya teruntuk bagi dirinya sendiri itu.
Ular berbelit-belit dan menggelung di tempat yang gelap, menyembunyikan belangnya pada sinar matahari yang tajam!
Seperti sediakala sampai beberapa hari ia pergi ke Lahat atau Pagar Alam akan mendengar orang yang hendak berangkat membawa uang dan harta
Pada suafu hari ia pergi pula ke Lahat. Di sana didengarnya berita, bahwa dua hari lagi akan bertolak beberapa buah gerobak ke Pagar Alam membawa makanan, alat senjata dan keperluan yang lain. Gerobak itu akan diiringkan oleh sepasukan serdadu, sebab sekalian yang dibawanya ialah untuk keperluan militer di daerah Pasemah.
Mendengar kabar itu terpikir sekali kepadanya sebuah akal yang pasti segera akan menyampaikan cita-cita yang telah lama diidamkannya itu. Setelah ditimbangnya masak-masak, pergilah ia keesokan harinya bergesa-gesa ke rimba tempat pondok itu. Sehari-harian itu tiada berhenti-henti ia berjalan dan pada petang hari sampai pulalah ia pada kawan-kawannya. Diceritakannya, bahwa keesokan harinya akan bertolak dari Lahat seorang Pasemah yang kaya di rantau orang dan sekarang hendak pulang ke tempat lahirnya bersua dengan sanak-saudaranya. Tentu ia banyak membawa uang dan harta benda kaum keluarganya.
Waktu itu sesungguhnya telah lama kawan penyamun itu tiada beroleh sesuatu. Rampasan yang terakhir telah habis, sehingga telah sepatutnya sekarang mereka pergi merampok pula.
Ketika itu juga diputuskan akan berangkat pergi ke lembah Endikat mengadang orang kaya itu.
Tetapi siapakah yang harus pergi" Dua dari pada mereka telah mati dan sekarang hanya tinggal mereka bertiga saja lagi. Medasing yang telah masak mangsai menyamun tentu tak takut atau gentar sedikit juapun, tetapi meskipun demikian lengang jua terasa kepadanya akan merampok bertiga dan sebab itu keluarlah dan mulutnya dengan tiada sengaja: "Engkau Samad. tentu pergi bersama-sama dengan kami."
Sebentar Samad terperanjat mendengar perkataan Medasing itu, sebab tak pernah terpikir kepadanya, bahwa ia akan harus mengikut pula pergi menyamun. Maka sekejap yang amat pendeknya cemaslah ia, tetapi oleh karena ia tak hendak memperlihatkan kecut hatinya dan oleh karena ketika itu ia tak dapat mencari alasan untuk mengelakkan diri, berkatalah ia tegas-tepat "Ya, tentu, aku akan mengikut pula."
BAB 11 MATAHARI baru terpuruk di sebelah barat dan gelap baru teretang, sehingga belumlah rapat benar; di sana-sini masih kelihatan bekas cahaya siang menyerupai kekabur-kaburan.
Maka turunlah Medasing, Tusin dan Sanip diiringkan oleh Samad dari pondok di tengah hutan itu. lengkap dengan senjata masing-masing.
Sayu segera menutup pondok. Meskipun telah beberapa kali ia tinggal seorang diri di tengah rimba yang lebat itu, takutnya belum juga lenyap-lenyap. Pintu dan jendela dikuncinya erat-erat dan ia pun pergilah merebahkan dirinya di tempat tidur yang teruntuk baginya.
Dalam gelap-gulita malam penyamun itu berjalan dengan tiada bercakap-cakap, seolah-olah bisu keempatnya. Samad berjalan dibelakang sekali, sebab ia belum pernah menurut pergi menyamun sekali juapun. Sejak meninggalkan pondok hatinya berdebar-debar, tak senang sedikit juapun dan bertambah lama berjalan bertambah kecutnya. Langkahnya sedikitpun tiada pasti seperti teman-temannya yang biasa bermalam-malam mengembara di tengah rimba. Sekali-kali ia terlanggar kayu atau ranting dan ia pun hampirlah jatuh.
Sementara itu ia tiada berhenti-henti berpikir mencari akal akan melepaskan dirinya dari bahaya yang mengancamnya. Di matanya selalu terbayang-bayang perjuangan yang segera akan terlangsung dengan serdadu yang lengkap alat-senjatanya. Lambat-laun bangkitlah sesalnya atas maksudnya yang jahat akan membinasakan teman-temannya, sebab sekarang nyata kepadanya, bahwa lubang yang digalinya untuk orang lain itu menjadi tempat ia turut terkubur.
Maka setelah beberapa lamanya berjalan timbullah di hatinya sesuatu pikiran yang akan dapat melepaskan dirinya dari bahaya yang telah dicarinya sendiri itu. Kalau sudah dekat tempat yang hendak diserang kelak ia akan tinggal dibelakang dan kalau telah terlangsung perjuangan dengan serdadu-serdadu itu ia akan menjauhkan dirinya. Biarlah orang bertiga itu terus berkelahi, biarlah mereka mati dimusnahkan bedil, asal ia terpelihara Bukankah pada hakekatnya itulah maksudnya yang sebenar-benarnya" Bukankah dari semula dicarinya jalan akan membinasakan mereka bertiga, supaya ia dapat berkuasa atas Sayu, perawan yang jelita itu"
Pikiran itu menguatkan badannya kembali. Lenyaplah cemasnya dan harapan segera akan berkuasa atas perawan yang telah lama diidamkannya itu, menggirangkan hatinya pula.
Sementara itu mereka terus juga berjalan; kadang-kadang mereka mendaki bukit, tetapi ada pula masanya mereka menurun lembah yang dalam, melalui anak sungai yang deras mengalir di antara batu yang besar-besar.
Sekali mereka berhenti di tepi air hendak mengeringkan peluh sambil mendinginkan badan pada air yang sejuk. Setelah badan mereka segar kembali, teruslah mereka berjalan tiada bercakap-cakap sepatah juapun.
Dengan hal yang demikian lambat-laun dekatlah mereka pada tempat yang ditujui. Di muka membentang ngarai yang dalam dan gelap, meskipun di langit bulan bercahaya-cahaya amat indahnya. Itulah lembah Endikat yang harus dilalui sekalian orang yang hendak pergi ke tanah Pasemah Jauh di bawah di dalam lembah yang ngeri itu mengalir sungai Endikat yang kecil dan amat derasnya. Di atas anak air pegunungan yang menderu-deru itu lalu jalan raya yang menghubungkan negeri Lahat dan daratan tinggi Pasemah. Di tepi jalan di bawah sebatang pohon yang rindang dan amat besar, berdiri sebuah rumah penginapan.
Penyamun berempat itu mulailah turun perlahan-lahan ke dalam lembah diantara pohon-pohon yang rapat. Medasing, Sanip dan Tusin berjalan di muka, gagah-berani sebagai sediakala. Tetapi Samad mulai pula cemas, sebab ia takut maksudnya hendak melarikan dirinya itu sia-sia kelak.
Dalam pada itu mereka telah sampai dekat pohon kayu yang besar dan rindang itu. Bulan menyembunyikan dirinya dibalik gumpal awan, laksana tak hendak mempersaksikan pekerjaan penyamun-penyamun itu.
Tiba dibalik pohon mereka berhenti sejurus memandang kepada pondok dan gerobak yang tersusun tiada berapa jauh dari padanya. Tak terkata-kata Medasing. Tusin dan Sanip melihat gerobak yang banyak itu, sebab sangka mereka pastilah tidak boleh tidak orang dibawanya kaya raya lekas mereka turun kebalik pohon. Medasing akan naik berdua dengan Tusin ke atas dan Samad dengan Sanip akan menyelesaikan apa yang menghalangi di bawah
Hal itu sangat membesarkan hati Samad, sebab kalau demikian tentulah Medasing dan Tusin yang pertama kali akan menjadi korban. Itulah sebenarnya yang dicita-citakannya, sebab pada Sanip yang muda itu ia tiada takut sedikit juapun.
Tetapi ketika mereka hendak menyerang teratak itu terlangsung suatu yang selama Medasing menjadi penyamun tak pernah terjadi.
la terpijak sebuah ranting kayu yang besar. Kayu itu patah berderak-derak dan saat itu juga kedengaran bunyi langkah orang di atas pondok dituruti oleh suara yang kasar beberapa kali. Penyamun bertiga itu terkejut dan Samad yang dari semula berdiri melihat dari belakang pohon kayu yang besar, melarikan dirinya.
Seorang laki-laki yang kukuh yang tak tidur, menjaga teman-temannya, mengeluarkan kepalanya dari pondok seraya menyiapkan senjata apinya untuk memusnahkan binatang atau manusia yang telah berani mendekati tempat perhentian mereka.
Maka tampaklah kepadanya tiada berapa jauh dari pondok itu bayang-bayang manusia. Dengan tiada berpikir panjang lagi diangkatnya senapannya dan diacungkannya kepada bayang-bayang yang diantara kelihatan dengan tiada itu.
Di tengah-tengah hutan yang sunyi-senyap itu berdentum letusan, terdengar beberapa pal jauhnya, mengejutkan sekalian binatang rimba. Sekejap yang tak terkira pendeknya terang di muka pondok oleh api yang keluar dari mulut senjata itu. Tetapi setelah habis letusan dan setelah lenyap cahaya yang laksana kilat itu, maka malam yang kelam itu bertambah kelam rupanya oleh asap. Serdadu itu pun taklah dapat melihat yang ditembaknya.
Mendengar bunyi senapan sekonyong-konyong seperti hendak memecahkan anak telinga, berpencarlah mereka berempat, masing-masing menurut arahnya sendiri dengan tak memikirkan temannya.
Ketika itu juga Tusin merasa sesuatu yang ganjil, yang seumur hidupnya belum pernah terasa kepadanya. Rusuknya silu, seolah-olah diraih oleh sesuatu yang ganjil dan sementara itu ia terus jua berlari, bertambah kuat, seakan-akan perasaan silu itu suatu cambuk yang mengerahkan ia lekas berlari.
Tiba-tiba di muka sebuah tebing gelaplah penglihatan dan ia pun berhentilah sejurus, meraba rusuknya. Darah mencoret keluar, tak tertahan-tahan. Nyatalah luka dan keinsafan akan itu melemahkan badannya, la pun rebahlah dan terguling-guling ke bawah tebing yang gelap.
Samad yang lebih dahulu lari dari teman-temannya segera pula berhenti, ketika nyata kepadanya, bahwa ia takkan mungkin lagi kena tembak, karena dilindungi oleh daun yang rapat. Maka perlahan-lahan berbaliklah ia akan melihat akibat tembakan itu.
Sementara itu bulan yang tadinya menyembunyikan dirinya telah keluar kembali dari bilik mega yang tebal di langit dan dengan sinarnya yang permai bercahayalah ia di seluruh hutan yang sunyi-senyap itu. Dari dalam bayang-bayang semak tempat ia bersembunyi itu tampaklah kepadanya beberapa orang laki-laki keluar dari pondok dan gerobak, lengkap dengan senapan dan kelewang, melihat ke kiri dan ke kanan mencari orang yang telah mengusik kesenangan mereka. Ketika itu teranglah kepada Samad, bahwa maksudnya tiada sampai, letusan senapan itu tak membinasakan seorang pun. Bukankah kalau ada yang kena segera mayatnya jatuh ke tangan serdadu dan anak gerobak itu"
Maka sangatlah kecewa hatinya! Apakah yang akan dikerjakannya sekarang" Kalau ia mencari teman-temannya pula, pastilah mereka akan marah kepadanya, karena seterang telah kelihatan rahasianya, telah nyata sekalian maksudnya yang jahat. Hatinya yang busuk menyebabkan timbul sangkaan, bahwa kepastian di hatinya, bahwa Medasing, Tusin dan Sanip tahu akan maksudnya yang tiada baik itu. Oleh sebab itu tak berani ia memperlihatkan maksudnya pada mereka.
Tetapi Medasing yang menyembunyikan dirinya dengan tak mengetahui dimana temannya yang lain, heran mendengar bunyi letusan yang sangat keras itu Letusan demikian tak mungkin bunyi senapan yang biasa didengarnya Tetap ia ingat pula akan kata Samad, bahwa orang yang hendak mereka samun itu sangat kaya. Dan mungkinkah ia mempunyai senapan demikian Amat payahlah ia memikirkan hal itu dan pertahan-lahan ia pun mendekat kembali ke pondok yang diterangi oleh cahaya bulan yang baru keluar dari balik mega yang tebal. Dalam bayang-bayang pohon kayu yang besar itu tampak kepadanya beberapa orang serdadu yang memegang senapan serta beberapa orang anak pedati Ketika itu bertambahlah herannya. Alangkah kayanya orang itu, sehingga ia diiringkan oleh serdadu" Dalam pada itu geramlah ia memikirkan tak dapat menyampaikan maksudnya oleh karena serdadu yang lengkap bersenjata itu.
Dalam memikirkan sekaliannya itu ia berjalan jua dan sekonyong-konyong bertemulah ia dengan Sanip yang rupanya belum lenyap terkejutnya mendengar letusan yang hebat itu. Beberapa lamanya mereka tak bercakap-cakap, masing-masing memandang penuh keheranan. Dalam gelap-guiita itu berbisiklah Medasing "Engkau lihatkah serdadu itu" Manakah orangnya?"
Sanip mengangkat bahunya sambil menggelengkan kepalanya seraya berkata: "Entah!"
Orang berdua itu pun berjalan perlahan-lahan diantara semak-semak mencahari Samad dan Tusin. Tetapi meskipun bagaimana mereka mencahari, tak jua bersua, sehingga akhirnya, telah parak siang, mereka pulang berdua ke pondoknya.
Sejak masa itu tak pernahlah mereka bertemu dengan Samad dan Tusin lagi. Kadang-kadang terbit sangkaan dalam hati mereka bahwa kedua-duanya telah mati, kena tembak letusan malam itu. Tetapi apakah pula sebabnya mereka tak bersua dengan mayat mereka" Dan lagi pula bukankah terang benar kelihatan, bahwa Samad dahulu sekali melarikan dirinya"
Mereka tak insaf sedikit juapun, bahwa bukan perkara mati, bukan perkara kena tembak, yang menyebabkan Samad tak pernah kembali lagi ke pondok itu. Adalah sesuatu yang tersembunyi bagi mereka, oleh karena dalam penghidupan mereka yang ganjil terasing dari manusia itu, tak dapatlah mereka mengaji dan menyelami batin sesamanya, yang lebih banyak relung dan celahnya dari kalbu mereka, raja rimba yang gagah-perkasa.
BAB 12 DI UJUNG sebelah barat dusun Pagar Alam rumah bertambah jarang; kebun yang mengelilingi tiap-tiap rumah bertambah luas, dan rumahnya pun makin kecil, makin menyerupai pondok diladang.
Di mana-mana pohon kopi yang baru setinggi pinggang manusia amat indah naiknya. Diantara daun hijau-tua yang lebar-lebar dan rapat, teronggok bunga yang putih-halus, menyebarkan bau harum-manis ke segenap penjuru. Di sana-sini diantara daun yang rapat tersusun itu telah mulai kelihatan putik yang mula-mula, hijau-muda diapit oleh bunga yang layu.
Jauh sedikit lagi dari kebun kopi yang subur-subur itu membentang rimba, mula-mula menyerupai semak yang rendah, tetapi makin lama makin tinggi dan rapat pohonnya Pada permulaan rimba itu berdiri sebuah pondok kecil, dikelilingi oleh batang ubi kayu setinggi lutut, kubis yang baru bertunas dan anak kopi yang baru dua helai daunnya.
Dalam pondok yang kecil itulah diam Nyi Haji Andun, isteri mendiang Haji Sahak yang semasa hidupnya masuk orang yang terpandang di dusun Pagar Alam.
Benarlah yang dicemas-cemaskannya itu tak dapat dielakkannya.
Tak ada lagi jalan baginya untuk menolong dirinya. Rumahnya telah dijualkannya untuk mengganti uang harga tiga puluh ekor kerbau orang yang lenyap di tangannya, dirampas penyamun yang tiada menaruh iba-kasihan. Harta-bendanya yang lain pun harus dilepaskannya, oleh karena uang harga rumah itu tak cukup untuk mengganti sekaliannya itu.
Dan sekarang ia diam di ujung dusun, tak berharta-bermilik, kehilangan anak dan suami, dengan hati yang remuk.
Kakaknya Bedul suami isteri mengajak ia diam bersama-sama dengan mereka dalam rumah mereka yang kecil.
Ketika itu tak sekejap juapun ia sangsi; ia tak dapat hidup bergantung pada kakaknya yang dahulu hidup atas kemurahan hatinya. Dalam kemalangannya yang tiada berhingga itu, sekejap masih bersinar juga dalam hatinya perasaan akan harga dirinya.
Tetapi bukanlah ia hanya tak hendak diam pada kakaknya itu saja; ajakan kerabatnya yang lain serta sahabatnya yang banyak berutang budi kepadanya ditolaknya belaka.
Dia yang selama ini disegani dan dihormati orang, tak dapat hidup dari pada iba-kasihan! Dan sebab itu dimintanya kepada Bedul menolong membuatkan baginya sebuah pondok jauh di ujung dusun, terpencil dari sekalian kerabat dan kenalannya.
Kesanalah ia pindah bersama-sama dengan Sima, anak angkatnya yang amat setia kepadanya itu, tak usah dilihat dan dikasihani oleh siapa sekalipun.
Mereka berdua beranak bekerja penuh kegembiraan, supaya jangan bergantung kepada orang lain. Dalam sinar perasaan akan harga diri sendiri itu, sesungguhnya beberapa lamanya perempuan yang malang itu dapat tenaganya yang dahulu kembali. Bersama-sama dengan Sima berhari-hari ia merambah dan menebas, tak tahu payah atau letih. Tunggul digali dan tanah dipangkur: kekuatan mereka menyamai kekuatan laki-laki. Segera tiba waktu bertanam; sebahagian dari tanah sekitar pondok itu mereka tanami dengan ubi kayu dan kubis dan sebahagian lagi dengan kopi.
Sekalian pekerjaan yang berat telah selesai, mereka dapatlah melepaskan lelah menantikan usaha mereka berbuah.
Tetapi ketika itulah Nyi Haji Andun tertolak kembali ke dalam jurang yang ngeri, tempat ia sejak beberapa lama terempas. Nyatalah, bahwa kegiatan yang timbul oleh karena ia tak hendak hidup dari pada belas-kasihan orang itu tak dapat membangkitkan tenaga yang kekal.
Waktu ia berhenti bekerja menantikan tanamannya besar mulailah ia diharu kembali oleh pikirannya.
Tiap-tiap hari ia duduk di muka pintu pondok kecil itu memegang jahitan. Dalam pekerjaan yang sentosa dan tak banyak memakai tenaga dan minat itu, perlahan-lahan bangkit dan mengembang kembali kesedihan yang telah terdesak dalam jiwanya oleh kegembiraan bekerja untuk membebaskan hidupnya dari bantuan siapa sekalipun. Makin sehari makin terlepas ia dari pesona keangkuhan hatinya.
Waktu menjahit itu dengan tiada diketahui tangannya bertambah lama bertambah lena. Dengan tiada diketahuinya makin terpisah hatinya dari jahitannya, sehingga pada suatu hari terhentilah ia dalam bekerja itu; matanya memandang tak bergerak-gerak ke tempat yang amat jauh, melalui semak dan hutan ke tepi langit. Tak suatu apa juapun yang kelihatan kepadanya!
Mula-mula kabur tapi bertambah nyata terasa kepadanya kemalangan dirinya kembali. Seperti bayang-bayang dalam cahaya yang kusam timbul dihadapannya ingatan kepada suaminya dan anaknya, amat jauh rasanya. Tetapi telah bangkit sekali kenangan-kenangan itu tak dapat dilenyapkan lagi dan teruslah ia terbayang-bayang dalam kalbunya bertambah terang dan menyenak.
Tiap-tiap hari kembali pula ingatan itu, garis dan coraknya makin nyata dan pasti.
Perempuan yang malang itu telah tenggelam pula dalam lautan kenang-kenangannya sendiri. Berhan-hari ia termenung memegang jahitan di tangan; tiap-tiap hari ia teringat akan suaminya yang dibunuh orang, amat kejamnya; tiada putus-putus datang mendesaknya pertanyaan, apakah jadinya Sayu, anaknya yang amat disayanginya itu"
Maka lambat-laun habislah kegembiraannya, badannya letih-lesu sepanjang hari. Jahitannya dibengkalaikannya dan di mana ia duduk termenung sekali.
Tiap-tiap hari berjam-jam lamanya ia melihat ke suatu tempat, tiada bergerak-gerak menurutkan angan-angannya. Matanya yang tajam dan dalam itu menjadi keputih-putihan dan pandangannya tak tentu maknanya. Ia amat sedikit bercakap-cakap dan apabila Sima bertanya sesuatu kepadanya, terkejutlah ia dan melihat sebagai orang yang keheranan.
Malam hari di tempat tidur amat payah ia memicingkan mata; Sayu tak lenyap-lenyap lagi dari angan-angannya; Terlihat-lihat kepadanya masa kecil anaknya yang amat dicintainya itu Terasa-rasa lagi kepadanya ia memangkunya, ketika ia masih hidup berbahagia bersama-sama dengan suaminya pada waktu permulaan perkawinan mereka! Sekali-kali seakan-akan terdengar kepadanya suara Sayu yang halus dan merdu memanggilnya. Dan apabila letih jaga itu, maka tertidurlah la selaku orang mati oieh kelelahan batin yang tiada berhingga.
Demikianlah berhari-hari dan bertambah lama bertambah hebatlah penyakit di dalam kalbunya itu.
Sekalian perubahan bunda angkatnya itu tiada luput kepada Sima. Bermacam-macam daya-upayanya akan membesarkan hati orang yang dikasihinya itu, Diajaknya ia bercakap-cakap, agar pikirannya terpaling dari pada yang menyusahkan hatinya. Tetapi usahanya itu tak pernah berhasih apa sekalipun diucapkannya tiada dapat membangkitkan minat
Nyi Haji Andun dan meski bagaimana sekalipun gembira ia berkata-kata, akhirnya ia terpaksa terdiam menghadapi patung batu yang tiada dapat digerakkan.
Pelbagai macam makanan yang mungkin dibuatnya disajikannya, tetapi Nyi Haji Andun tak pernah bangkit seleranya: suapnya tetap sebagai orang yang jijik menghadapi makanan.
Pun beberapa orang dukun telah dipanggilnya untuk mengobati bundanya itu, tetapi itu pun tiada berhasil.
Hari terus bertukar hari dan perubahan batin perempuan yang malang itu makin sehari makin mengesan pada badan dan air mukanya, la bertambah kurus, wajahnya pucat dan matanya seolah-olah ditutup oleh kaca yang kabur. Kesehatannya pun bertambah kurang: sendi tulangnya sakit-sakit dan sekali-kali keluar dari mulutnya batuk yang berat dan dalam, mengguncang dadanya yang kosong dan lisut.
Ada kalanya ia tidak tertegakkan badannya dan sehari-harian terbaringlah ia di tempat tidurnya dalam pondok.
Lain dari pada perubahan badannya mulai agak nyata pula kelihatan perubahan pikirannya. Sedang lahirnya ia bertambah lama bertambah lemah, dalam kalbunya sekalian yang terbayang-bayang dalam angan-angannya itu makin terang dan pasti. Wajah anaknya dan kelakuan serta perbuatannya setiap hari terbayang-bayang di matanya, sekaliannya seolah-olah nampak kepadanya dan ada kalanya terasa benar olehnya ia hidup seperti dahulu di rumahnya sendiri dengan suami dan anaknya itu. Dalam keadaan yang demikian sering ia berkata-kata dengan dirinya sendiri, dan baharulah ia insaf akan dirinya apabila Sima menegurnya: maka mengucaplah ia beberapa kali. Tetapi tak berapa lama antaranya ia telah hanyut pula dalam arus angan-angannya yang tak dapat dilawannya lagi itu.
Ibadatnya yang dahulu tak pernah tinggal, makin terabai dan demikian pulalah lenyap tempat bergantungnya yang akhir sekali. Bertambah lama bertambah dalam ia terbenam dalam lumpur kenang-kenangannya, yang mematikan segala harapannya, menyumbat pikirannya, melemahkan badannya dan menyesakkan dadanya.
BAB 13 SUNYI bertambah sunyi dalam pondok tempat penyamun itu; mereka yang dahulu berlima sekarang hanya tinggal berdua lagi. Pada suatu hari Medasing dan Sanip pergi berburu beberapa jauh, masing-masing menyandang tombak dan pada pinggang mereka terbuai-buai parang dalam sarung kayunya.
Sayu tinggal sendirian di pondok. Dalam waktu yang akhir ini perasaannya bertambah lapang. Pertama-tama orang yang tak dipercayainya yang telah beberapa kali mengajak ia lari, tak pernah datang-datang lagi. Tetapi lain dari pada itu di dalam sanubarinya ada suatu perasaan yang senantiasa menggembira-kan hatinya. Sekalian pekerjaan dikerjakannya dengan riang dan suka, malahan sekali-kali, kalau ia sedang seorang diri, keluar dari mulutnya suara perlahan-lahan, menyanyikan lagu yang teringat kepadanya dari masa kecilnya.
Dalam waktu yang akhir ini agak sering pula ia teringat akan ayah bundanya tetapi meskipun demikian hatinya tak sedih, sebab ingatannya itu amatlah jauh bedanya dari dahulu: bukan perceraian dengan orang yang dicintainya itu yang nampak kepadanya, tetapi dimukanya terbayang-bayang pertemuan yang menurut keyakinannya yang pasti, segera akan menjelma.
Kedua penyamun yang pergi berburu itu pun pagi itu sangat girang. Dalam perjalanan mereka diantara semak-semak yang masih basah oleh embun tak putus-putus mereka berolok-olok, bersenda-gurau, seakan-akan cahaya matahari yang baru naik di sebelah timur diantara pohon-pohon hutan terus menerus bersinar ke dalam hati mereka.
Setelah beberapa lama berjalan tiada berhenti-hentinya. tibalah mereka di suatu tempat yang agak lapang. Pohon kayu yang besar-besar berkuak dan diantaranya tumbuh lalang, di sana-sini disela oleh tumbuh-tumbuhan rendah yang lain Jauh sedikit lagi bertemu pula pohon-pohon itu dan di antara kumpulan pohon kedua belah pihaknya itu terluang kosong enam tujuh langkah lebarnya, laksana suatu gerbang yang kiri-kanannya dipagari oleh batang kayu yang hijau permai. Dari gerbang itu dapatlah orang melihat terus ke tanah yang berbukit-bukit, sejauh-jauh mata memandang penuh ditumbuhi oleh lalang muda yang tiada terkata-kata indahnya.
Rupanya dekat gerbang itu terhentilah rimba-belukar, disambut oleh padang lalang yang tiada terhingga lebarnya dari bukit terus ke bukit yang lain.
Pada malam hari sekalian penduduk rimba itu berkumpul di padang lalang. Rusa dan kijang pergi makan pucuk-pucuk yang lezat rasanya dan harimau pergi ke sana untuk mencahari kijang yang pergi mengenyangkan perutnya. Dan pada siang hari penunggu rimba itu pulang ke rimba melalui gerbang itu untuk menyembunyikan diri sampai matahari terbenam.
Medasing dan Sanip beberapa lamanya berdiri di bawah sepohon kayu di tepi tanah lapang kecil yang dilingkungi oleh pohon-pohon itu.
Semalam rupanya hari hujan, sebab di sana-sini pada tempat yang tiada ditumbuhi oleh lalang, tanah kelihatan masih basah dan lunak. Tiap-tiap tempat yang demikian diamat-amati oleh orang berdua itu, sebab mereka mencari-cari jejak rusa atau kijang.
Beberapa lamanya mereka berjalan pula menunduk ke tanah. Sekonyong-konyong berhentilah Sanip mengamat-amati beberapa garis tak berapa jauh dari kakinya. Tampaklah kepadanya beberapa jejak dan sambil menunjuk berbisiklah ia kepada Medasing: "Lihatlah nenek, si tua."
Setelah beberapa lamanya mereka melihat bekas kaki binatang yang buas itu, teruslah mereka berjalan, tak putus-putus memandang ke tanah.
Sepuluh lima belas langkah dari tempat itu mereka berhenti pula, sebab oleh Medasing kelihatan jejak yang telah lama dicarinya. Di tanah itu teranglah nampak bekas belah kuku binatang dan melihat kepada besarnya pastilah keyakinan mereka, bahwa jejak itu jejak rusa. Bekas kaki itu sekaliannya menuju ke hutan diantara pohon kayu yang tak ditumbuhi suatu apapun, sehingga amat mudah mereka menurutnya.
Kadang-kadang jalan yang ditempuh mereka itu sempit dan dahan dan daun kayu tak berapa tingginya dari tanah. Ada pula masanya jalan itu lapang, sehingga mereka senang lalu, seolah-olah di jalan yang sengaja dibuat untuk manusia.
Demikian orang bedua itu berjalan perlahan-lahan, senantiasa melihat ke tanah dengan tiada bercakap-cakap. Jejak binatang yang dituruti mereka itu tak putus-putus menuju ke tanah rimba yang makin banyak turun-naiknya: ada ketikanya mereka lalu di tepi jurang dan ada pula waktunya menurun benar ke dalam lembah atau mendaki ke atas bukit.
Setelah beberapa lamanya tibalah orang berdua itu pada tempat yang berumput-rumput. Jejak itu sekonyong-konyong hilang. Sebagai orang yang sering berburu dan paham akan pekerti tiap-tiap binatang, tahulah mereka, bahwa tempat rusa itu tentu tak berapa jauh dari sana. Sebab apabila rusa itu dekat pada tempat ia bersembunyi, biasanya melompatlah ia beberapa kali, sehingga manusia atau binatang yang menurutnya kehilangan jejaknya.
Medasing dan Sanip surut beberapa langkah memandang ke sekelilingnya. Empat lima puluh langkah dari pada mereka tampak kepada mereka semak yang rapat Menurut dugaan mereka tak dapat tidak rusa yang dicari itu menyembunyikan dirinya di tempat itu. Maka sejurus diamlah mereka melihat dari mana angin bertiup, sebabnya untuk mendekati tempat persembunyian rusa itu mereka tak boleh datang dari arah angin. Kalau binatang itu tercium bau manusia segera ia akan lari sebelum dapat didekati.
Segera nyatalah kepada mereka, bahwa tempat mereka berdiri itu telah benarlah. Perlahan-lahan, sambil membungkuk-bungkuk mereka pun maju ke muka seraya mengangkat tombak, siap akan melemparkannya. Mata mereka yang tak berpisah-pisah dari semak yang tiada berapa jauh lagi antaranya itu bersinar-sinar.
Setelah dekat orang berdua itu pun bercerailah, Medasing pergi ke sebelah kiri dan Sanip ke sebelah kanan Masing-masing memandang ke tengah-tengah semak itu diantara celah-celah daun beberapa perdu yang amat rapat.
Sekonyong-konyong berdengung udara, dituruti oleh bunyi sesuatu yang keras tiba di tanah dan pada saat itu juga keluar dari belukar yang rapat itu seekor rusa yang besar, tanduknya bercabang-cabang, melompat berlari amat cepatnya.
Dari luar semak itu tampak kepada Medasing binatang itu mengangkat kepalanya hendak lari. Rupanya, meskipun bagaimana perlahannya mendekat, kedengaran juga kepadanya, sehingga ia hendak melarikan diri. Tetapi Medasing tak menunggu sedikit juapun lagi, dilemparkannya tombaknya ke arah binatang yang telah bersiap itu.. Tetapi malang, tombak itu tak tepat menuju yang dikehendakinya, hanya di kulit perutnya dan sebagai akibat melompatlah rusa itu berlari diantara pohon-pohon.
Sanip tak sempat lagi menombakkan lembingnya; oleh cepatnya binatang itu melompat keluar ia terkejut sejurus, sehingga tak sempat memakai senjatanya.
Orang berdua itu pun berlarilah sekuat-kuatnya mengejar rusa itu, Sanip dengan tombak dan Medasing hanya dengan parangnya yang tergantung disisinya sebelah kiri.
Oleh karena tanduknya yang rangga, rusa itu tak dapat berlari sekuat-kuatnya dalam hutan itu, sehingga orang berdua itu tak jauh ketinggalan dibelakangnya. Beberapa lamanya mereka berlomba-lomba mengejarnya, makin lama berlari makin dekatlah mereka; rupanya rusa itu amat payah melarikan dirinya, sebab tanduknya yang bercabang-cabang itu tiada berhenti-henti tersangkut.
Pada suatu saat telah dekat benar Medasing dan Sanip pada rusa itu. Kedua-duanya amat gembira dan girang, rasa-rasa binatang liar itu telah di tangan mereka. Seorang pun tak memikirkan bahaya atau apa sekalipun. Tetapi sekonyong-konyong ketika Sanip mengacukan tombaknya, nampaklah kepadanya rusa itu lenyap ke bawah diantara semak yang rapat. Melihat itu sangatlah heran hatinya dan dicobanya menahan larinya, tetapi...sia-sia, sebab oleh kecepatannya ia tak dapat berhenti lagi dan...turut pula terjerumus ke dalam jurang yang dalam, diturut oleh Medasing.
Sejurus kedengaran suara mereka berteriak dan bunyi mereka terjerumus di semak di dalam jurang itu. Sudah itu kembali pula sunyi-senyap di keliling mereka.
Medasing yang mula-mula tak tahu apa yang terjadi atas dirinya, mencoba dengan segala tenaganya akan mengangkat badannya dan ketika itu terasalah kepadanya sakit yang tiada berhingga pada tangannya. Rupanya oleh jatuh itu patah siku kanannya dan oleh kesakitan itu baharulah ia insaf akan apa yang terjadi atas dirinya. Sejurus yang pendek gelap pemandangannya dan badannya pun hampir pula rebah kembali ke tanah, tetapi pada saat itu juga geram hatinya, bangkit kebuasan penyamunnya dan dengan melonjak terduduk pulalah ia. Tangannya yang sakit itu ditarikkannya dan dicobanya meluruskannya, tetapi meski bagaimana sekalipun diadunya gerahamnya dan dikeraskannya lehernya, sakit yang dideritanya itu lebih keras dan buas dari hatinya yang tak tahu iba-kasihan, tak tahu sakit silu. Dalam perjuangan hatinya yang keras dengan kesakitan pertama kalilah ia seumur hidupnya mengaduh.
Beberapa lamanya ia tiada bergerak-gerak, melawan kesakitan sikunya yang sampai terus ke sumsumnya. Lambat-laun teranglah pemandangannya; makin lama makin nyata kepadanya apa yang terjadi atas dirinya, la pun memandanglah perlahan-lahan kesekelitingnya dan dengan tiada disengajanya kelihatan kepadanya di sisi kirinya Sanip tak bergerak-gerak Tombaknya yang tajam itu menembusi dadanya dan sementara itu tak putus-putus darah mengalir dari belakangnya, tempat tombak itu keluar dari badannya.
Mula-mula tak dapat ia percaya akan apa yang terjadi atas diri temannya itu; disangkanya bahwa sekaliannya itu penglihatan matanya belaka, disebabkan oleh tangannya yang sakit. Maka digosoknyalah matanya dengan tangan kirinya beberapa kali, tetapi meskipun demikian pemandangannya itu tiada berubah.
Ketika itu ia lupa akan tangannya yang patah itu; matanya tak di-pisah-pisahkannya dari temannya.
Perlahan-lahan digerakkannya badannya sehingga ia menghadap kepada Sanip. Sekarang percayalah ia akan matanya dan apa yang dilihatnya rupanya waktu jatuhnya tadi, oleh sesuatu hal yang tak dapat dikira-kira, tombak yang dipegangnya itu terbelok, sehingga matanya menghadap ke atas menyambut badannya yang berat, sehingga terus menerus melalui jantungnya.
Medasing mengulurkan tangan kirinya kepada temannya itu dan dicobanya menolakkannya, supaya ia menghadap kepadanya. Mula-mula usahanya itu sia-sia. tetapi setelah ia berkuat sedikit berbaliklah Sanip. Ketika itu tampaklah kepadanya, bahwa matanya telah kabur, tak bersinar lagi, Sanip telah mati.
Sejurus lamanya Medasing tepekur, tak bergerak-gerak sedikit juapun. Ketika itulah sebenarnya pertama kali ia heran melihat mayat manusia. Dan dengan tiada diketahuinya pada saat itu menyelip suatu perasaan ke dalam kalbunya yang selama ini keras mati sebagai batu. Dalam kesunyian alam yang jernih itu terasa kepadanya dengan tiada insaf sedikit juapun. betapa repas dan rapuhnya hidup manusia. Bukankah sejurus yang telah lalu temannya itu masih melompat dan berlari, giat dan gembira, laksana hidup di dunia ini tak sudah-sudahnya. Dan sekarang badannya yang riang dan ringan itu telah kaku dan keras, tak bergerak-gerak lagi selama-lamanya.
Sesuatu berubah dalam hatinya, laksana tasik yang teduh dibalik gunung pada suatu ketika beriak-riak oleh angin yang bertiup dari celah-celah batu dan tebing yang tinggi-tinggi. Dan riak-riak yang lemah-lembut ttu tfba di batu hatinya, seolah-olah gelas yang keras tetapi bening sekonyong-konyong lembab dan kabur oleh uap yang tak tenlu dari mana datangnya
Setema ini mati itu baginya sesuatu yang biasa, yang tak ada ganjilnya, sehinga tiap-tiap kali ia membunuh orang itu tak pernah terasa kepadanya ngeri atau sedih sedikit juapun. Tetapi sekali ini lain halnya. Kepadanya tampak, bahwa mati itu menghentikan, memutuskan sesuatu kehidupan yang riang dan gembira, yang bertahun-tahun hidup bersama-sama dengan dia, keinsafan inilah membangunkan di hati-sanubarinya perasaan yang belum pernah dirasainya.
Dalam tepekur itu sekonyong-konyong ia terkejut karena tangannya mendenyut, sangat sakit, seolah-olah akan putus lakunya ditarik orang. Dan... ia pun ingat pula akan keadaannya. Perasaannya yang sayup-sayup terasa itu hilang melayang di angkasa, bertambah lama bertambah jauh, ditiup oleh angin yang deras.
Maka terpikirlah kepadanya, bahwa tak ada gunanya lagi ia tinggal lama-lama di tempat itu. Sanip telah berpulang dan ia takkan hidup lagi....
Dengan hal yang demikian memandanglah ia ke atas tebing yang beberapa kali manusia tingginya. Ketika itu ia ingat segala yang dikerjakannya sebelum terjadi malapetaka itu dan ia pun berpalinglah mencahari rusa yang membawanya ke dalam jurang itu. Maka tampaklah kepadanya dimukanya pohon-pohon kayu yang kecil berkuak, menunjukkan tempat lalu binatang hutan itu, tak tentu ke mana perginya.
Ingatan kepada rusa itu segera hilang dan ketika itu terpikirlah kepadanya, betapa jalannya akan naik ke atas akan pulang ke pondok. Ia pun memandanglah kepada tebing yang tiada berapa jauh dari padanya itu. Dengan tangan kirinya ia berpegang pada serumpun kecil yang tumbuh di tepinya, tetapi ketika ia mengangkat tangan kanannya hendak memegang rumpun yang lain agar dapat terus memanjat ke atas, ketika itulah terasa kepadanya sakit tiada berhingga, la pun surut pula beberapa langkah dan dengan hal yang demikian nyatalah kepadanya, bahwa dengan jalan serupa itu tak mungkin ia dapat keluar dari jurang yang dalam itu.
Maka memandanglah pula ia kesekelilingnya dan di sebelah kiri tampak kepadanya pohon-pohon itu kurang rapat. Dengan tak berpikir panjang lagi ia berjalan ke jurusan itu. Beberapa lamanya ia tiba di tepi anak air kecil yang berbatu-batu dan mengalir amat derasnya. Sejurus ia berhenti di sana membersihkan badannya dan sudah itu terus pula ia berjalan ke sebelah hilir mencahari tempat yang rendah agar dapat naik ke atas tebing.
Demikianlah ia terus pulang ke pondoknya.
Bab 14 TELAH lewat tengah hari ketika Medasing tiba kembali di pondok. Sayu duduk di muka pintu di atas tangga, sehingga dari jauh tampak kepadanya laki-laki itu datang. Setelah Medasing tiada berapa jauh lagi jaraknya, kelihatanlah kepadanya, bahwa orang yang kukuh dan kuat itu tiada seperti sediakala. Jalannya lambat dan tangan kanannya tak bergerak-gerak tergantung di sisinya, seolah-olah ia tak berkuasa atas anggota badannya yang sebelah itu. Lagi pula tampak kepada perawan itu mukanya bergaris-garis.
Ketika Medasing dua tiga puluh langkah lagi dari pondok masuklah Sayu ke dalam, sebagaimana biasa setiap hari, sekali ini pun diperlihatkannya, bahwa ia tak hendak hidup berjinak-jinakan dengan orang yang melarikannya itu. Kedalam ia pergi ke sudut tempat tidurnya yang terpisah.
Tak berapa lama antaranya kedengaran kepadanya bunyi langkah dekat tangga dan sejurus sesudah itu terdengar pula bunyi orang mendaki tangga Tetapi sekonyong-konyong sampai ke telinganya suatu bunyi yang ganjil, seobh-obh ada suatu yang jatuh. Sekejap terperanjatlah ia, tetapi segera pula ia biasa kembali. Beberapa saat lamanya sunyi-senyap pula seluruh pondok itu...tetapi tiba-tiba kedengaran kepadanya bunyi orang mengaduh. Ketika itu juga dengan tiada diketahuinya ia telah berdiri menuju ke pintu. Di bawah di muka tangga pondok tampak kepadanya Medasing. penyamun yang gagah-berani itu, terlentang tak bergerak-gerak dan matanya tertutup selaku orang yang tidur nyenyak.
Melihat itu jejurus lamanya seolah-olah berhenti darahnya mengalir di dalam badannya, karena terperanjat amat sangat....Mengapakah gerangan Medasing" Dimanakah Sanip kawannya berjalan bersama-sama tadi"Apakah akan dikerjakannya"
Beberapa lamanya tak tentu pikiran perawan itu; bermacam-macam pertanyaan mendesak ke dalam hatinya.
Tetapi akhirnya insaflah ia, bahwa ia harus berusaha selekas-lekasnya menolong laki-laki itu. Sebagai kilat turunlah ia ke bawah. Dalam sekejap ia telah berdiri disamping laki-laki yang terlentang itu, tak tahu apa yang akan dikerjakannya. Tetapi seakan-akan saat itu masuk ke hatinya sesuatu ilham, dengan cepat dicobanya mengangkat badan yang tiada bergerak-gerak dan licin oleh keringat itu. Tetapi bagaimana sekalipun ia berusaha, perbuatannya itu tak berhasil, sebab tenaganya tak cukup mengangkat badan yang jauh lebih besar dan berat dari badannya sendiri.
Sementara itu Medasing tak jua bergerak-gerak, rupanya ia pingsan. Ketika naik tangga tadi tak tentu lagi perasaannya oleh letihnya dan oleh sikunya yang amat sakit, dan dengan tiada dapat ditahannya ia pun terhempaslah ke bawah. Tangannya yang patah terbanting dan terimpit oleh badannya dan oleh sakit yang tiada berhingga ia pun tiada kabarkan diri.
Mujurlah Sayu ingat, bahwa orang yang pingsan harus dibangunkan dengan air. Segera ia naik ke pondok mengambil gerigik untuk menjemput air di anak sungai. Kepala dan dada laki-laki itu diusap dan dibasahkan-nya beberapa kali.
Selama ia mengerjakan pekerjaan itu, taklah ia ingat akan suatu apa. Yang tampak dimukanya hanyalah laki-laki yang pingsan, yang segera harus ditolongnya. Sebabnya, kalau laki-laki itu mati apakah jadinya, seorang diri di tengah rimba yang lebat dan sunyi-senyap"
Beberapa lamanya ia membasahi kepala dan badan laki-laki itu. maka lambat-laun Medasing pun membukakan matanya, la telah siuman kembali. Dan ketika ia memandang kepada Sayu, ketika itulah pertama kali perawan itu berpandangan dengan penyamun itu. Entah, oleh malu, entah oleh takutnya, lekas dibuangnya mukanya memandang ke tempat lain.
Medasing memberi isyarat menyatakan ia haus. Segera Sayu membawa gerigik yang berisi air itu ke mulutnya, sehingga ia dapat minum sepuas-puasnya. Perlahan-lahan kembalilah pula tenaga laki-laki itu sehingga ia dapat berdiri. Tetapi ketika itu tangannya lebih sakit dari semula, waktu ia baharu jatuh di jurang. Akan naik pondok itu pun Sayu harus menolongnya, supaya ia jangan terhempas pula.
Sejak hari itu penyamun yang gagah-perkasa itu tak meninggalkan tempat tidurnya dan badannya hangat beruap-uap Sebentar-bentar ia selaku orang yang tak mengetahui diri, bercakap-cakap tak tentu ujung-pangkalnya, tetapi terutama sekali tentang penyamunannya yang ngeri-ngeri.
Beberapa hari demikianlah halnya dan dalam masa itu Sayu tak terkira-kira takutnya Bagaimanakah halnya, kalau penyamun itu mati"'' Apakah akan dikerjakannya seorang diri dengan mayatnya dan kemanakah ia harus melarikan diri dalam hutan yang lebat, yang tiada diketahuinya letaknya itu"
Tetapi manusia itu makhluk yang mudah membiasakan dirinya dan demikian pulalah perlahan-lahan hilang canggung Sayu sebagai seorang yang lahir dan hidup di pangkuan agama, tawakkallah ia akan nasibnya, badan dan nyawanya diserahkannya kadapa Allah yang Mahakuasa.
Beberapa hari sesudah itu ia telah berusaha menolong penyamun, yang oleh perjalanan nasib yang sangat ganjil, telah menjadi kawannya itu. Di belukar tiada jauh dan teratak dikumpulkannya taruk kayu dan sekalian-nya ditumbuknya lumat-lumat. Dan daun yang telah ditumbuk itu dibalutkannya pada sikut Medasing yang patah dan telah menjadi bengkak.
Demikianlah setiap hari. Demam Medasing perlahan-lahan makin berkurang dan sakit tangannya pun susut, meskipun bengkaknya belum berubah
Oleh sebab tiap-tiap hari merawati penyamun itu. lambat-laun hilang takut Sayu kepadanya. Demikianlah pada suatu hari diberanikannya hatinya bertanya kepada Medasing, dimana Sanip ditinggalkannya. Ketika itulah didengarnya cerita perburuan yang sial itu dari mula sampai akhirnya.
Beras dan lauk-pauk yang ada pada mereka tak seberapa lagi sejak Samad tak memperlihatkan dirinya dan dalam beberapa hari yang akhir ini makanan yang sedikit itu telah bertambah susut pula. Sayu tahu akan hal itu dan tiap-tiap kali kalau ia melihat beras itu tak beberapa lagi tinggalnya, terpikirlah kepadanya bagaimanakah ia akan mencaharinya pula, supaya jangan mati kelaparan di tengah hutan itu. Medasing telah tetap tak dapat mencahari makanan untuk beberapa lamanya, sebab tangan kanannya yang patah belum juga sembuh dan dapat dipakainya. Maka timbullah di hati perawan itu lambat-laun suatu pikiran, mula-mula kabur dan tak nyata, tetapi bertambah lama bertambah pasti dan terang.
Kalau ditinggalkannya Medasing seorang diri di rimba itu, sebenarnya tak seorang juapun dapat mengalanginya. Tetapi apakah yang akan terjadi atas dirinya, sebab ia tiada tahu jalan sedikit juapun dalam hutan yang lebat itu. Tentu akhirnya ia akan dimusnahkan oleh binatang hutan atau mati kelaparan seorang diri di dalam sunyi-senyap.
Lagi pula tak sampai hatinya hendak meninggalkan Medasing sakit, tiada berdaya seorang diri di rimba itu. Meskipun laki-laki itulah pangkal kemelaratannya, meskipun kepala penyamun yang buas itulah yang menganiaya ayah-bundanya, sehingga tak tentu apa jadi mereka sekarang ini, dalam penghidupannya yang aman di tengah-tengah rimba diantara penyamun-penyamun yang tak mengusiknya itu. dengan tiada setahunya tumbuh di kalbunya tali perhubungan dengan mereka. Bukan dalam perbuatan mereka yang buas, tetapi dalam perasaan hidup, terasing dari manusia yang lain, jauh terpencil di tengah rimba!
Lambat-laun terpikir kepadanya akan mengajak Medasing meninggalkan pondok di tengah hutan itu, kembali ke dusun, agar jangan mati tak keruan karena kelaparan.
Makin sehari makin pastilah pikirannya itu dan pada suatu hari berkatalah ia: "Beras dan lauk-pauk kita bertambah lama bertambah sedikit dan dalam empat lima hari ini pasti akan habis!"
Sebentar terbelalak mata Medasing mendengar perkataan itu. Selama ini tak pernah ia mengingatkan yang demikian, pada mulanya tampaklah, bahwa ketika itu sangat sebal hatinya, tak dapat berbuat suatu apa.
Sayu mengerling sebentar kepada singa yang tertambat itu melihat akibat perkataannya. Setelah tampak kepadanya perubahan muka Medasing, diamlah ia tiada meneruskan maksudnya, sebab nyata kepadanya saat itu tak baik untuk membuka bicara.
Sehari lalu pula di tengah hutan yang sunyi-senyap itu. Sayu menyimpan maksudnya di dalam hatinya, tetapi keinginan hendak mengatakan yang terkandung di dalam kalbunya itu mendesak-desak lebih kuat dari sediakala.
Di dalam hatinya terpikir kepadanya, betapakah baiknya kalau ia dapat menggerakkan hati penyamun itu pulang bersama-sama dengan dia ke Pagar Alam, ke rumah ayah-bundanya. Dengan jalan yang serupa itu akan terlepaslah ia dari kesunyian di tengah hutan yang jauh dari tempat kediaman manusia itu.
Maka ketika ia menyajikan makan Medasing hari itu berkatalah pula ia dengan lemah-lembut, bahwa beras telah berkurang pula dan hanya cukup lagi untuk dua tiga hari.
Raja hutan itu pun mengerutkan keningnya, membelalakkan matanya pula dan dengan segela tenaganya ia pun berdirilah. Sebenarnya dalam beberapa hari yang akhir ini demamnya telah hampir lenyap, meskipun tangannya yang sakit itu masih bengkak. Beberapa kali ia berjalan putang-balik di atas teratak kayu itu. Akhirnya ia duduk sambil menggetap geraham. Rupanya sangat kesal hatinya memikirkan keadaan dirmya dan keadaan makanan yang hampir habis itu.
Maka tiba-tiba keluarlah dari mulutnya, parau dan hampir tak kedengaran, karena ditahan rupanya: "Dimanakah mencari beras di tengah rimba ini?"
Pada suaranya nyata kedengaran betapa panas hatinya memikirkan kelemahannya masa itu dan dimukanya yang kasar tampak di bawah telinganya urat meregang, laksana ombak yang menggulung lakunya. Sambil mendepakkan lidah direbahkannya pula badannya dengan geram.
Sayu tak putus-putus mengamat-amatinya. Sejurus kecut hatinya melihat perangai kepala penyamun yang ganjil itu, tetapi setelah ia merebahkan dirinya bangkit pula beraninya.
Kalau tak sekarang apabila pulakah ia akan mengeluarkan sekalian isi sanubarinya, apalagi kalau dipikirkan, bahwa dalam dua tiga hari mereka akan keputusan makanan.
Maka ujamya pula menyambung kata yang mula-mula: "Baiklah kita meninggalkan hutan tni, kembali ke Pagar Alam, kalau tidak pastilah kita mati kelaparan."
Sambil berkata, dengan tiada terasa kepadanya, mengalirlah di pipinya yang halus air mata tak berhenti-henti. Dari matanya air yang jernih itu menyisi hidung sampai ke bibir dan ketika terasa kepadanya sesuatu yang asin, barulah ia insaf, bahwa ia menangis.
Rupanya telah lama ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya, tertutup oleh perasaan yang tak tentu, yang sekali ini keluar menjelma menjadi air mata. Dengan hal yang demikian terbukalah yang selama ini tak kelihatan dikandungnya. Ketika itulah insaf pula ia akan kemalangan dirinya, terasing dari kaum-kerabat di tengah hutan. Maka bangkit pilunya, seakan-akan pada saat itu kedengaran kepadanya sayup-sayup suara segala orang yang mengelilinginya dari kecilnya.
Ditundukkannya mukanya dan perlahan-lahan ia berbelok ke arah lain. Dengan tiada setahunya ia kerjakan menuju tangga tiada mengeluarkan sepatah kata juapun. Di dalam pondok itu amat sempit terasa kepadanya, sehingga sesak napasnya mengandung kenang-kenangan yang memenuhi kalbu dan pikirannya. Ia pun turun ke bawah dan seolah-olah ia suatu pesawat yang telah diputar dan ditetapkan tujuannya, melangkahlah ia terus ke arah anak air yang tiada berapa jauh dari pondoknya. Dan laksana sekaliannya telah ditetapkan dan dipastikan dari semula, tiba-tiba ia berhenti di tepi anak air itu sambil memandang ke belakang.
Sekaliannya itu dikerjakannya dengan tiada setahunya Waktu itu sebenarnya ia menyerupai sesuatu yang tiada berjiwa, yang dijalankan oleh buatan yang tak pandai berpikir dan merasa. Hatinya, seluruh jiwanya, jauh tak terkira-kira jauhnya melayang ke tempat yang hanya hidup di kenang-kenangannya.
Setelah beberapa lamanya berdiri itu ia melangkah ke sebuah batu, tak berapa jauh dari padanya. Ia pun duduknya pula memandang ke bawah, ke air yang berputar-putar mengalir mengelilingi batu...
Ketika itu matahari mulai rendah di sebelah barat dan pohon-pohon di tepi sungai itu selaku disepuh puncaknya. Sekaliannya bercermin di air yang gelisah, laksana hendak melihat bayang-bayang emas urai di puncaknya.
Di bawah ponoh-pohon itu amat ganjil rupanya, kegelapan senja menyelinap seakan-akan hendak menyembunyikan sesuatu rahasia.
Sinar matahari yang kuning-juita, yang menurunkan silap cahayanya dari pohon-pohon yang tinggi kepada perawan yang termenung di tepi anak air itu, sehingga air mata yang tiada diketahuinya mengalir di pipinya, berkilau-kilauan rupanya, sinar matahari itu pulalah dapat menembusi daun-daun yang rapat dan suatu kumpulan yang kecil masuk ke pondok yang sunyi-senyap di tengah hutan itu melalui atapnya, sehingga di dindingnya tampak sebuah bundaran kecil yang bercahaya-cahaya, seolah-olah hendak mempersaksikan pula perjuangan batin raja hutan, yang telah bermusim-musim menjadi temannya dalam kesunyian alam yang tiada berhingga itu.
Medasing sangat heran melihat perangai Sayu yang ganjil itu. Termenung ia memikirkannya, sementara matahari di barat turun tiada berhenti-henti, makin lama makin rendah.
Selama ini tak pernah ia memikirkan keadaan perawan yang dilarikannya itu. Betapa pulakah mungkin terluang di sudut hatinya untuk menimbang dan merasa akan nasib orang lain"
Baginya hidup maknanya perjuangan dan dalam perjuangan itu ia harus menjaga dan memelihara dirinya sendiri.
Air mata" Dalam penghidupan yang ganas lambat-laun telah menjadi keyakinan yang pasti kepadanya, bahwa air mata ialah sesuatu yang telah semestinya ada di pihak musuhnya berhubung dengan perbuatannya.
Tetapi alangkah lainnya air mata yang dilihatnya sekali ini" Dalam perasaan dan pengalamannya air mata itu hanyalah mungkin timbul disebabkan kesakitan badan, sebab badan itulah yang bisa disakitinya. Tetapi dari manakah datangnya kesakitan itu pada Sayu, perempuan yang menjaga dan merawatinya itu"
Demikianlah penyamun itu termenung di pembaringannya, memikirkan soal yang biasa sebisa-bisanya, tetapi sulit dan ganjil dalam penghidupannya yang terasing itu.
Matahari bertambah lama bertambah rendah jua. Hanya dahan-dahan yang tertinggi benar masih kena sinarnya yang permai. Di bawah, diantara pohon-pohon yang rapat telah gelap seolah-olah ketika itu sekalian yang rendah di tanah diwarnai oleh tangan yang gaib dengan kelabu kehitam-hitaman.
Dari jauh sekali-kali kedengaran sayup-sayup bunyi teriak, tak tentu dari mana dan dari siapa, hanya sebagai teriak penghabisan dari hari yang akan lenyap.
Di pondok itu termenung seorang laki-laki dan di tepi sungai duduk seorang perempuan muda tepekur, menurutkan pikiran dan kenang-kenangan pelbagai ragam. Kedua-duanya mendengar suara sanubarinya, hanya akibatnya berlainan Yang kukuh-kuasa menjadi lemah dalam kekukuhan dan kekuasaannya dan yang lemah menjadi kukuh-kuasa dalam kelemahannya...,
Perlahan-lahan turun malam dengan sayapnya yang kelabu-lembayung meliputi seluruh hutan yang hijau itu menjadi hitam, tak tentu coraknya
Bab 15 SEMALAM-MALAMAN itu Medasing hampir tak memicingkan matanya sekejap juapun oleh karena banyak yang mendesak pikiran dan hatinya.
Penghidupan sebagai penyamun dan pembunuh manusia, sebagai raja belukar dan kesunyian terbayang-bayang dimukanya dari mula sampai kepada yang terkemudian, ketika badannya sendiri ditimpa marabahaya, sehingga ia, raja penyamun yang kuat dan gagah-berani, hidup terserah kepada belas-kasihan seorang perempuan yang lemah.
Akhirnya mesti diakuinya dalam hatinya, bahwa penghidupan lama itu tak dapat diteruskan lagi.
Dan dalam perjuangan batinnya yang hebat itu perlahan-lahan timbullah di dalam kalbunya sifat asasi yang bertahun-tahun terdesak dan selaku mati oleh pergaulan dan penghidupannya. Perlahan-lahan dengan tiada insyafnya, bangkitlah hasratnya akan penghidupan yang aman dan sentosa.
Ucapan Sayu mengajak ia pulang ke dusun tempat pergaulan manusia, tak dapat dienyahkannya lagi dari pikirannya dan ketika di tengah hutan yang sepi itu berbunyi suara burung yang pertama memaklumkan siang, telah lenyap ragu dan sangsi dalam sanubarinya : ia akan meninggalkan rimba yang bertahun-tahun menjadi tempat kediamannya seperti segala binatang buas dan penghuni rimba yang lain.
Demikian parak siang Medasing meninggalkan tempat pembaringannya membangunkan Sayu. Kepada perawan itu dikatakannya, bahwa mereka pagi-pagi itu juga akan berangkat ke Pagar Alam.
Setelah berkemas dan membersihkan badan, berjalanlah orang berdua itu beriring-iring; Sayu di muka membawa sebuah bungkusan kecil, Medasing di belakang membawa lembing di tangan kirinya. Tangan kanannya yang sakit tergantung disisi badannya, belum juga dapat digerakkannya sekehendak hatinya.
Hutan yang mereka lalui bertambah lama bertambah terang. Pohon yang besar-besar bertambah lama bertambah nyata: satu per satu melepaskan dirinya dari selubung yang kabur-hitam.
Ketika mereka keluar rimba melintasi padang, tampaklah kepada mereka matahari baharu timbul, amat jauh dibalik bukit yang biru-kelabu. Pada ketika itu sesungguhnya terasa kepada Sayu dan Medasing laksana mereka menuju ke terang-cuaca. meninggalkan gelap-gulita di belakang untuk selama-lamanya. Dan sinar matahari pagi-pagi yang merah kuning itu. bagi mereka seakan-akan lambang petunjuk ke arah penghidupan yang baru yang menantikan mereka.
Segar dan ringan langkah mereka mendaki dan menurun, menyeberang sungai dan meretas rimba dan beberapa lama antaranya sampailah di jalan pedati yang menuju ke Pagar Alam.
Sehari-harian mereka berjalan, hanya sekali-kali berhenti pada tempat yang teduh di tepi jalan.
Dan ketika matahari telah hampir terbenam dibalik pegunungan yang hening dan sunyi, musafir berdua itu masuk di dusun yang ditujunya.


Anak Perawan Disarang Penyamun Karya Sutan Takdir Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nampak lagi kepada Sayu jalan ke rumah tempat kediamannya sejak kecilnya, Telah lebih setahun lamanya sekaliannya itu tak dilihatnya.
Tetapi alangkah pendek terasa kepadanya waktu yang baharu silam itu: suatu mimpi yang ngeri.
Lapanglah dadanya dan ringan dan segar kembali langkahnya meskipun sejauh itu yang dijalaninya hari itu.
Dari jauh kelihatan kepadannya rumah ayah-bundanya, lebih indah dan lebih kukuh dari rumah sekitarnya. Maka besarlah hatinya tiada terkata-kata dan langkahnya bertambah lama bertambah cepat, sehingga Medasing tertinggal jauh di belakangnya
Tangga yang tinggi dan curam itu dilompat-lompatinya dan dalam sekejap ia telah berdiri di atas rumah. Tetapi tiba-tiba di atas ia tertegun sejurus, sebab dihadapannya berdiri seorang laki-laki, bukan ayahnya, tak dikenalinya,
"Dimanakah ayahku?" katanya tergesa-gesa. Laki-laki itu memandang kepadanya, heran melihat gadis yang tak malu sedikit juapun itu.
"Ayahmu"... Tak tahu aku Siapa namanya?"
Beberapa lamanya Sayu diam, mencari perkataan. Tetapi tiba-tiba seperti tiada tahan menanti lagi, katanya: "Haji Sahak!"
"Haji Sahak" Bukankah Haji Sahak telah mati?"
"Telah mati," kata Sayu pula, seakan-akan ia hendak merasakan makna perkataan itu Tetapi pada waktu itu ia masih terlampau gembira akan insaf sebenar-benarnya akan yang terdengar kepadanya itu. Dengan tak berpikir panjang lagi tanyanya pula:
"Rumah siapakah ini" Bukankah rumah Haji Sahak?"
"Dahulu, tetapi sekarang...." Jawab laki-laki itu angkuh.
"Ah, bukan rumah ayahku lagi ini?"
"Sekarang aku yang empunyanya!" jawab laki-laki itu pula menekan perkataan Sayu, seolah-olah tak hendak memanjangkan bicara.
Beberapa lamanya Sayu terpaku bersandar pada terali tangga rumah yang tinggi dan curam itu, seakan-akan ia tiada percaya akan jawab yang pasti-pendek yang didengarnya.
Tetapi akhirnya ia turun jua, tak insaf kemana tujuan dibawa kakinya. Belum dapat ia memikirkan betapa rumah itu mungkin menjadi rumah orang lain. Tetapi sesungguhnya tak ada sedikit juapun isinya yang menyerupai isi rumah ayah-bundanya dahulu.
Maka teruslah ia berjalan, masih heran mendengar jawab laki-laki yang ganjil itu.
Sejurus lamanya bertemulah ia dengan seorang perempuan tua, lalu bertanya: "Dimanakah rumah Haji Sahak, nenek?"
"Haji Sahak" Aku tiada kenal akan Haji Sahak!"
"Haji Sahak, orang negeri ini yang berdagang di Palembang dahulu!"
"Bukan Haji Sahak itu sudah mati?"
Tersiraplah darahnya mendengar itu. Sekonyong-konyong teresap ke dalam hatinya makna perkataan yang tiada dapat diinsafkannya itu.
Jadi ayahnya telah mati, telah berpulang. Maka pucatlah mukanya dan sesak dadanya, tetapi saat itu juga ia teringat akan bundanya, lalu bertanya.
"Dan isterinya, Nyi Haji Andun, dimanakah sekarang?"
"Istrinya tinggal di ujung jalan ini' Berjalan terus, jauh di pondok penghabisan sebelah kiri."
Sayu tiada dapat menahan hatinya lagi dan dengan tiada berkata sepatah juapun, usahkan mengucapkan terima kasih, berlarilah ia sepanjang jalan pada senja raya itu.
Sejurus lamanya perempuan tua itu mengamat-amati gadis muda yang amat ganjil bertanyakan Haji Sahak yang telah lebih dari setahun mati disamun orang di lembah Lematang, Rasa-rasa ada ia bersua dengan gadis itu dahulu, tetapi entah dimana dan pabila, tak dapat lagi dikenang kan oleh ingatannya yang telah berat dan kaku. Jauh, dalam cahaya senja yang kabur lenyaplah perempuan muda itu dari pandangannya
Terus, terus Sayu bergesa-gesa ke pondok kecil, tempat bundanya yang telah sekian lamanya tak dilihatnya. Jauh di belakangnya berjalan Medasing, tak tentu perasaan dan pikiran mengikuti perawan yang mendudu, didorong oleh sesuatu kekuatan gaib.
Bab 16 NYI HAJI ANDUN tak dapat ditolong lagi, lahir dan batin ia hanya tinggal sisa manusia.
Telah beberapa lama ia tidak berdaya lagi turun ke bawah, sehari-harian ia tidur terlentang di tempat tidur dan jika sekali-kali hendak duduk haruslah ia dibantu oleh Sima. Badannya kurus, kulit bergelambir melekat pada tulang. Di seluruh kaki dan tangannya bersilang-silang urat kebiru-biruan dan di sana-sini berbayang tulang jarinya dibalik kulit yang putih pucat.
Mukanya yang berisi dan indah bentuknya dahulu telah berbukit dan berlembah-lembah : cekung kiri-kanan mulut dan menjorok kemuka bersendi-sendi pada tulang pipi di bawah mata.
Matanya terpuruk ke dalam, dilingkungi oleh lingkaran yang kebiru-biruan. Pada muka yang kecil-lisut itu adalah mata sepasang itu terlampau besar rupanya. Cahayanya pun telah berubah dari dahulu, tak tenang, membayangkan kegelisahan hatinya menurutkan sayap angan-angan mendekati suami dan anaknya yang dicintainya. Bersinar-sinar matanya memandang ke sekelilingnya, penuh kegembiraan batin yang hampir-hampir menyerupai kebuasan.
Makin lemah tenaganya dan makin payah ia menggerakkan dirinya, makin jalanglah rupa matanya. Adalah laksana rindu dan hasrat kepada orang berdua yang dicintainya, yang tak dapat disampaikannya itu, lambat-laun dalam sanubarinya yang remuk oleh kedukaan, berubah menjadi sebangsa amarah yang tak tentu kemana tujuannya.
Jarang benar ia termenung memandang ke suatu tempat menurut kenang-kenangannya sebagai sediakala. Hatinya telah terlampau letih, segala perasaannya menjadi kabur, tak puas, gembira sebal, tak tentu arahnya.
Dan kalau sekali-kali ia termenung jua, maka tak boleh tidak akhirnya ia berteriak dengan suara yang parau memanggil Sima, selaku orang yang tiba-tiba kemasukan:
"Sima. Sima lekaslah, lihatlah Sayu datang! Sambutlah lekas anakku itu.!"
Sima, anak gadis yang penuh kasih-sayang kepada perempuan, tempat ia berhutang budi itu, tergesa-gesa turun ke bawah, seolah-olah sesungguhnya kakak angkatnya itu pulang kembali.
Perlahan-lahan redalah Nyi Haji Andun dengan sendirinya, khayal anaknya yang kelihatan kepadanya dalam angan-angannya itu lenyap pula tak tentu kemana perginya. Sima naiklah pula ke atas ke dalam pondok menghadapi orang yang dikasihinya itu. Sesungguhnyalah bunda angkatnya itu tak pernah diabaikannya. Siang malam ia berjaga-jaga di sisinya. Badannya sendiri telah kurus melanjai oleh karena tak tentu tidur dan makan. Rumah dan kebun sekelilingnya terbengkalai, tak sempat diselenggarakannya Kubis yang telah mulai mengorak daunnya hilang-lenyap di tengah rumput dan tumbuh-tumbuhan yang lain dan batang kopi yang dengan susah-payah ditanam dahulu tak banyaklah tinggal sisanya lagi. Sekitar pondok itu telah menghutan pula, seperti kebun yang telah lama ditinggalkan manusia.
Beberapa hari yang akhir ini penyakit Nyi Haji Andun bertambah payah; batuknya makin mendalam, sekali-kali ia meludahkan dahak bercampur darah. Malam-malam badannya hangat dan ia pun mengigau, berkata-kata tak tentu. Tetapi meskipun demikian terutama sekalilah disebutnya nama sayu.
Berangsur-angsurlah berkurang liar matanya; sinarnya yang gem-brra-buas pun telah lenyap, berubah menjadi kusam-luyu seperti kaca kena uap.
Perubahan itu amat mencemaskan hati Sima; bangkit was-wasnya seakan-akan ada suatu gerak yang tiada baik terasa kepadanya. Tak sampai lagi hatinya menjaga perempuan yang sakit itu seorang diri.
Demikianlah pada suatu hari, ketika bundanya itu tertidur, ia turun perlahan-lahan pergi ke rumah Bedul dua suami-istri mengajak mereka menemaninya menjaga di pondok kecil, jauh di ujung dusun itu.
Sejak hari itu dapatlah ia melepaskan lelah sedikit, berganti-ganti dengan mereka menghadapi orang sakit yang dicintainya itu.
Hari itu Bedul pergi ke ladang. Isterinya pulang ke rumah, sebab ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.
Sehari-harian Nyi Haji Andun tidur nyenyak di atas tikar kumal di sisi dinding.
Melihat bundanya demikian, Sima turun perlahan-lahan, Tiba dibawah ia melihat-lihat sekeliling pondok; tiba-tiba bangkit ingin hatinya mencabut ubi kayu untuk direbus.
Petang hari ketika Bedul dan isterinya kembali, pekerjaannya telah selesai pula. Setelah membersihkan dirinya ia pun duduk menghadapi bundanya yang ketika itu baru bangun, bersama-sama orang dua suami-isteri itu.
Meskipun selama itu ia tidur, Nyi Haji Andun letih rupanya. Tak bergerak-gerak terlentanglah ia di tempat tidurnya dan matanya yang layu itu tak dipisah-pisahkannya dari kasau pondok yang melintang di atasnya.
Badannya agak panas dan bertambah lama panasnya itu rupanya bertambah jua.
Ketika matahari hampir mencecah kaki gunung Dempo di sebelah barat, Nyi Haji Andun mulai gelisah. Beberapa kali ia membalik ke kiri ke kanan, seakan-akan ada yang menyekang di bawah tempat tidurnya.
Setelah beberapa lama antaranya memandanglah ia kepada Sima dengan matanya yang kabur, penuh kasih mesra. Heran gadis itu melihat bundanya, sebab telah lama ia tiada memandangnya demikian. Perlahan-lahan, hampir tak kedengaran keluar dari mulutnya putus-putus: "Tolonglah.. .bawa aku ke pintu.
Sekejap ia menggerakkan tangannya hendak mengusap dadanya seakan-akan ada yang tersangkut di sana, lalu katanya pula: "lemas benar badanku....Biarlah aku melihat keluar...."
Mendengar itu Sima memandang kepada Bedul dengan isterinya.
Meskipun senja telah turun, Nyi Haji Andun diangkat orang bertiga itu juga ke muka pintu, seakan-akan pada waktu itu tak akan seorang juapun diantara mereka yang berani menyangkal permintaannya.
Perempuan yang malang itu melihatlah keluar, laksana ia untuk penghabisan hendak meresapkan ke dalam sanubarinya keindahan alam di dataran tinggi tanah Pasemah pada senjakala itu.
Sebahagian dari matahari telah hilang dibalik gunung Dempo. Bahagiannya yang lain masih kelihatan sebagai nyiru emas yang kuning berkilau-kilauan, melayangkan sinarnya melalui hutan dan pandangan ke puncak bukit dan gunung.
Awan tipis yang menyelubungi puncak gunung Dempo yang tinggi itu mulai menjauh, sehingga kelihatanlah ia sebagai sesuatu yang mahaperkasa, tegap dan padu. Di puncaknya warna biru-kelabu itu perlahan-lahan berubah menjadi ungu dan akhirnya kemerah-merahan sebagai bara yang belum padam.
Setelah beberapa lamanya memandang tak berpisah-pisah ke arah susunan rona sekeliling gunung raksasa itu, maka berbalik pula Nyi Haji Andun menghadapi orang bertiga yang duduk di sisinya. Lemah-lembut seperti orang yang minta dipercayai, keluarlah dari mulutnya: "Sima, engkau...tak percaya, bahwa Sayu akan pulang?"
Tetapi ia diam pula seperti mengumpulkan kekuatan dan matanya memandang tak terkira amat jauhnya.
Gadis yang kecil-ramping itu melihat kepadanya, sebentar bimbang apa yang hendak diucapkannya, laksana perkataan yang bersahaja kekanak-kanakan itu. tiba-tiba menyerbu kepadanya, meremukkan hatinya. Sekejap ia berjuang melawan duka citanya, dan iba-mesra jawabnya: "Masakan aku tidak percaya!''....tetapi suaranya menggetar sesaat mengucapkan perkataan yang berlawanan dengan hatinya itu.
Tetapi dengung suaranya belum keluar-melenyap dari pondok itu. ketika dari bawah kedengaran bunyi langkah manusia tergopoh-gopoh dan sekejap yang amat pendeknya tangga kayu bergoyang membuai pondok kecil itu...dihadapan mereka menyembul kepala Sayu, kusut mangsai, sesak napas...
Dari sisi pondok itu sekonyong-konyong ia melompat beberapa buah anak tangga...,Sima dan isteri Bedul berteriak, terkejut, mundur menumpang badan ke belakang; Nyi Haji Andun menggigil dari kepala sampai ke kaki, matanya membelalak memutih.
Tetapi segera keluar dari mulut Bedul, heran tak percaya: "Sayu!?"
Sejurus antaranya Sayu telah naik ke atas pondok, maka ramailah bunyi sedu orang meratap bertangis-tangisan, sedih oleh kegirangan pertemuan yang penuh kesedihan,
BAB 17 IA TAK DAPAT lagi menemui pagi-pagi.
Kegirangan yang datang sekonyong-konyong itu terlampau hebat bagi badannya yang telah tiba pada watas tenaganya.
Tetapi sebelum ia menutup matanya untuk selama-lamanya ia telah mengecap kenikmatan pertemuan dengan biji matanya, yang dinantikan dan dihasratkannya dengan seluruh jiwanya, sehingga merusakkan dirinya, rohani dan jasmani.
Telah sampai yang telah diharap-harapkannya!
Khayal pertemuan dengan anak tunggalnya itu menghilang sendiri dan ia pun dapat menuju ke akhirat menurut langkah karib hidupnya dengan hati yang tenang dan perasaan yang puas.
Aman dan sentosa seperti di luar alam pada waktu hampir parak siang itu, hayatnya bercerai dengan bungkusan badannya yang fana, dihadapi oleh sekalian orang yang mencintainya.
Dan pada waktu sunyi-senyap, ketika segala makhluk laksana menahan napasnya, Medasing perlahan-lahan menjauhkan diri dari orang yang tersedu-sedu menangis amat sedihnya itu, turun ke bawah menghilangkan badannya dalam gelap-gulita.
Berpuluh kali ia telah menghadapi orang memutus nyawa... luka berlumur darah, hancur-remuk badannya, berteriak-teriak.... Tetapi belum pernah sesesak itu dadanya, ketika ia melihat perempuan, kulit melekat pada daging itu, menghembuskan napasnya yang penghabisan, tak bergerak, tak berbunyi, lemah-lembut seperti kanak-kanak yang terlelap
Jauh di dalam hatinya menyayat dan membakar keinsyafan akan dosa yang tak ada bandingannya!
Beberapa lama ia berdiri di hadapan pondok itu; tak bergerak-gerak. Di sebelah timur membayang cahaya ungu-kabur antara nampak dan tiada, la pun memandang kepada utusan siang itu.
Perasaan yang tak tentu meresap ke dalam kalbunya, membangkit
DUA HALAMAN HILANG T__T apabila anaknya bersedih hati, dan bersuka cita apabila anaknya bersuka cita.
Tak seorang juapun yang datang kepadanya minta petuah dan pertolongan yang kembali dengan hampa tangan. Dalam segala hal akalnya yang panjang dan hatinya yang penyayang dapat mencahari jalan menolong dan membesarkan hati.
Demikianlah ia sangat dicintai anak buahnya.
Dan isterinya yang dikenal oleh hampir segala penduduk Pasemah sampai jauh dari Pagar Alam! la pun tak kurang kasih-sayang kepada anak buah! Kepada tiap-tiap orang ada saja yang dikatakannya yang membesarkan hati dan bagi tiap-tiap orang laksana ada disediakannya perkataan yang halus dan senyum yang lemah-lembut yang terang membayangkan kalbunya yang lapang dan penyayang.
Kalau ada sesuatu yang terjadi di Pagar Alam, ia tak pernah ketinggalan: pada perkawinan, pada kematian. waktu baik, waktu buruk, ia senantiasa mengepalai segala perbuatan anak buahnya. Dan kalau ada kesusahan taklah ia memandang siang atau malam, dekat atau jauh, asal sebenar-benarnya orang perlu akan bantuan tangan dan hatinya yang pemurah dan pengasih
Dua tahun yang telah laki dua suami-isteri yang sangat dikasihi oleh rakyatnya itu naik haji anak beranak menyampaikan suruhan agama. Dua tahun lamanya tanah Pasemah seakan-akan sarang unggas yang tertinggal dan dua tahun pula lamanya rakyat Pasemah dengan hasrat menantikan pesirah mereka kembali.
Sekarang waktu pesirah Karim dengan anak-isterinya kembali ke tengah-tengah mereka, mereka hendak memperlihatkan cinta dan terima kasih mereka kepada kepala mereka yang sekian lamanya meninggalkan mereka itu.
Di Pagar Alam orang ayik menghiasi rumah pesirah Karim dan dari beberapa dusun sekitarnya orang berkumpul akan mengadakan peralatan yang amat besar: ada yang membawa ayam, ada yang membawa kambing dan ada pula yang membawa beras, orang akan bersuka-sukaan menunjukkan kegirangan hati.
Lain dari pada itu sampai berpal-pal sepanjang jalan dari Pagar Alam penuh berhiaskan daun dan lain-lain. Tiga puluh pedati sengaja pergi ke Lahat untuk menjemput dan di beberapa tempat di tengah jalan didirikan tempat perhentian, lengkap dengan ayapan dan santapan. Tetapi diantara sekaliannya itu tempat perhentian di lembah Lematanglah yang terbesar dan terindah. Sebuah rumah kecil tempat kediaman dan sebuah balai yang besar, sekaliannya dari pada bambu dan penuh dihiasi oleh berbagai jenis daun yang disusun dan disemat amat permai. Dan persediaan cukup untuk lima puluh orang sehari semalam!
Tiba dihadapan balai dan rumah kecil berhentilah ketiga puluh pedati itu. Anak pedati masing-masing menanggalkan sapinya. Orang yang keluar dari balai bergesa-gesa pergi menuju ke pedati yang ketiga, yang lebih besar, lapang dan indah dari yang lain. Dari dalam pedati itu keluar seorang laki-laki yang besar badannya, memakai jubah putih berenda hitam dan serban berbintik keputih-putihan, diikuti oleh seorang perempuan yang berpakaian haji sampai tertutup mukanya. Itulah pesirah Karim suami isteri.
Laki-laki perempuan yang mendekati pedati itu berganti-ganti mencium tangan orang berdua suami-isteri itu.
Dari pedati yang keempat disambut orang seorang anak laki-laki yang berumur enam tahun dan seorang anak perempuan yang berumur sepuluh tahun, kedua-duanya anak pesirah Karim yang mengikuti ayah-bundanya pergi ke tanah suci.
Mereka berempat itu perlahan-lahan dibawa orang ke rumah kecil yang tersedia bagi mereka. Sesudah itu orang lain pergi duduk di balai di atas permadani dan tikar yang telah dihamparkan menanti pesirah Karim bertukar pakaian dan menyegarkan badan.
Tak beberapa lama antaranya datanglah pula ia ke balai menemui anak buahnya, sedang isterinya tinggal di rumah kecil bercakap-cakap dengan beberapa orang perempuan yang mengikut menyongsong sampai ke tengah hutan yang lebat itu.
Maka pada permulaan malam itu ramailah percakapan dalam balai di tengah rimba itu. Pesirah Karim menceritakan pengalaman dan penglihatannya di jalan dan di negeri asing; sering pula ia bertanyakan keadaan anak buahnya sepeninggalnya dan senantiasa giranglah ia rupanya, kalau diceritakan kepadanya kemakmuran anak buahnya dalam dua tahun yang silam itu: tentang hasil padi yang baik, tentang perkawinan, kelahiran dan sebagainya.
Sementara itu, di bawah orang terus bermasak-masak dan menyediakan makanan bagi sekaliannya. Siang tadi dipotong seekor kerbau untuk menjamu sekalian yang hadir.
Malam itu pertama kali pesirah Karim yang menjadi kepala anak buahnya dalam segala urusan dunia, menjadi pemuka mereka pula berbakti kepada Allah. Pada sembahyang magrib dan isya orang banyak meminta supaya ia menjadi imam.
Dan setelah habis sembahyang isya, sebelum makan, orang mendoa selamat, mengucapkan syukur kepada Tuhan semesta alam telah bersua kembali dengan kepala yang mereka cintai itu.
Habis makan masih beberapa lama orang bercakap-cakap di balai. Tetapi lambat-laun seorang-seorang anak pedati mengundurkan diri mencahari tempat merebahkan diri, ada yang oleh karena letih perjalanan sehari-harian dan ada pula oleh karena mengingatkan, bahwa pesirah Karim pasti hendak melepaskan lelahnya. Akhirnya pesirah Karim pulang ke rumah kecil tempat anak-isterinya, diiringkan oleh pembarap dan peroatin yang menjemput sampai ke lembah Lematang.
Di beranda rumah kecil tak beberapa jauh dari balai itu duduklah di lantai, di atas permadani, laki-laki bertiga itu menghadapi pelita damar yang sebentar-sebentar harus dikikis agar apinya jangan padam. Bermacam-macamlah yang hendak diketahui pesirah Karim tentang anak buahnya dan negerinya sepeninggalnya.
Tetapi suara mereka pun makin malam makin perlahan-lahan dan kuap yang seorang biasanya lekas dibalas oleh yang lain. Di dalam tak kedengaran lagi suara manusia. Sekaliannya telah merebahkan diri pada malam yang dingin di tengah pegunungan itu.
Di bawah, di pedati yang tiga puluh, telah lelap anak pedati, tak memikir dan tak mengingatkan suatu apa. Dalam sunyi-senyap malam yang aman dan sentosa itu, sekali-kali terdengar bunyi keruh dan dengkur, naik-turun, laksana menurut suatu aturan. Dan kadang-kadang kedengaran bunyi seorang keluar dari pedati pergi menuju sapinya yang tertambat tak berapa jauh dari sana, memindahkannya ke tempat yang lain, agar dapat binatang itu makan sekenyang-kenyangnya untuk perjalanan keesokan harinya.
Telah jauh malam pembarap dan peroatin pun bermohon mengundurkan diri. Esok dan lusa masih panjang waktu untuk menceritakan segala yang perlu kepada kepala mereka yang baru datang itu.
Setelah mereka turun akan mencahari tempat memicingkan mata di balai, berdirilah pula pesirah Karim mengeluh kepenatan duduk. Sekejap lamanya ia melihat ke kiri ke kanan di beranda yang kecil itu. Ia pun berjalan beberapa langkah dan dari atas tangga ia memandang ke bawah, ke arah orang berdua yang kabur kelihatan berjalan dalam bayang-bayang pedati menuju ke balai. Dan melihat sapi dan pedati sebelah hilir yang kabur-terang dalam cahaya bulan yang diliputi awan-tipis. bangkit dalam hatinya keinginan hendak melihat anak buahnya tidur. Maka dengan tak berpikir sekejap juapun lagi, turunlah ia ke bawah, seolah-olah tak ada kantuknya dan tak sedikit juapun lelah badannya.
Perlahan-lahan ia berjalan di sisi barisan pedati yang tiga puluh itu. Di muka tiap-tiap gerobak ia berhenti sebentar melihat ke dalam, ke tempat berbaring anak pedati di dalam kelam. Hampir sekaliannya lelap tidurnya dalam udara yang jernih pada malam yang terang sabak itu.
Setelah dijalaninya sebahagian yang besar dari tiga puluh pedati itu, ia terus menuju ke lalang rendah, tak berapa jauh dari tepi jalan, tempat sapi makan. Beberapa lamanya ia tegak terpaku melihat sekalian hewan itu tak berhenti-henti berdesir-desir dan berderus-derus menarik lalang muda dengan lidahnya, seakan-akan seumur hidupnya baharu sekali itulah ia melihat sapi makan lalang. Dan bunyi kelintang yang banyak itu bagi telinganya jauh lebih merdu dan sediakala laksana bunyi kayu yang berulang-ulang itu dinyaringkan oleh kesunyian yang bersimaharajalela di kerajaan tumbuh-tumbuhan di tengah pegunungan itu. Dihampirinya seekor sapi yang telah beberapa lama diamat-amatinya; punggung binatang itu ditepuk-tepuknya perlahan-lahan dengan tangannya yang lebar. Sapi yang besar itu berhenti makan dan mengangkat kepalanya sambil mendengus-dengus, seolah-olah ada yang tercium kepadanya.
Pesirah Karim berdecap-decap mengerutkan bibirnya dan tangan kanannya yang tak berhenti-henti menepuk-membelai. dipindahkannya ke leher sapi yang lebar dan halus seperti beledu. Dari mulutnya keluar lemah-lembut. "Kuning, Kuning!"
Sapi yang mengerti itu memandang kepadanya, sebab ia ingat kembali akan suara yang selama itu tak didengarnya. Maka digosokkannya lehernya pada tangan pesirah Karim dengan manjanya.
Dari sapinya itu pesirah Karim berjalan perlahan-lahan menuju ke balai yang ketika itu telah gelap oleh sebab pelita yang terletak ditengah-tengahnya hampir padam. Lantai bambu yang beralaskan tikar itu berderit-derit diinjaknya, tetapi ketika ia ingat, bahwa di balai itu tempat anak buahnya tidur, ditahannyalah langkahnya, sebab ia tidak hendak membangunkan mereka. Mula-mula sekali dikikisnya pelita damar yang hampir padam itu dan tak berapa lama antaranya balai itu terang pula.
Di sudut tak berapa jauh dari padanya kelihatan beberapa orang tidur tak tentu arahnya. Perlahan-lahan pesirah Karim menuju kepada mereka. Beberapa lama ia mengamat-amati orang yang tidur lelap itu. Dalam hatinya diusahakannya mengenalinya satu per satu dan giranglah perasaannya ketika ia dapat kenal kembali akan mereka dan dapat puia menghubungkannya dalam susunan pergaulan yang diperintahinya dua tahun yang telah lalu: Ali, anak orang tua yang tinggal dekat kalangan, Yusuf, suami Janawar yang tinggal antara dua rumah dari rumahnya, demikianlah seterusnya. Dan dalam hatinya terbayang dusun tempat kediamannya dan anak-buahnya, seperti ditinggalkannya dahulu.
Ketika tiba di luar kembali beberapa lamanya ia berdiri di sisi balai memandang ke sekelilingnya dalam cahaya yang baru keluar dari selubung awan.
Tetapi...apakah itu yang bergerak perlahan-lahan antara kelihatan dengan tiada dalam tempat yang gelap di jalan ke arah Pagar Alam, tak berapa jauh dari balai"
Pesirah Karim menajamkan matanya melihat bayang-bayang yang menyerupai manusia itu dan tiada setahunya ia sudah mendekat beberapa langkah.
"Siapa?" katanya menyegak sekonyong-konyong, sebab dalam hatinya bangkit sangkaan yang tak baik. Siapa pulakah yang menyelinap di tempat yang gelap pada tengah malam yang sepi itu"
Tetapi belum datang berbalas gaung suaranya dari rimba yang lebat pada tebing sekeliling lembah, tiba-tiba bayang-bayang yang kabur itu jatuh meniarap di kakinya. Terkejut surut ia selangkah, tetapi segera ia mendekat pula, setelah terdengar kepadanya suara yang lemah, mengharap iba: "Ampunkan aku! Bukan orang jahat.!"
Pesirah Karim menunduk mengangkat menegakkan laki-laki yang menyembah kakinya itu dan dibawanya kehadapan balai, ke cahaya pelita damar yang sedang berkelip-kelip. Maka kelihatanlah kepadanya laki-laki itu: berkain dari pinggang sampai ke lutut, tak berbaju. Badannya yang agak tinggi itu kurus-lisut, tulang rusuknya tersusun mengalur-alur dadanya dan mukanya pucat berkerut-kerut. Tetapi dalam cahaya merah-kabur itu terang kelihatan, bahwa usianya belum tua. rambutnya masih hitam, mulutnya terperenyup oleh tiada bergigi, sangat berlawanan dengan rupa badannya dan cahaya mukanya yang leyu-lesu.
"Engkau dari mana?" tanya pesirah Karim, mula-mula kuat hampir menghardik, tetapi segera menahan suara oleh karena ingat, bahwa sekalian orang sekelilingnya tidur lelap!
"Aku seorang musafir hendak pulang ke dusun Pulau Pinang."
"Dari mana engkau tengah malam ini?" tanya pesirah Karim pula sambil menilik laki-laki itu dengan siasat. Ada sesuatu yang rasa-rasa dikenalinya, tetapi pada saat itu tak insaf ia apa yang menarik hatinya pada laki-laki yang ganjil itu. "Aku tadi dari Pagar Alam, berjalan perlahan-lahan, tetapi telah lama benar alat merantau, tidak pulang-pulang."
"Dan sekarang mi.. ."
"Sekarang aku minta dikasihi menumpang menginap di sini."
Dan perkataan yang diucapkannya penghabisan itu, hampir tak kedengaran, lena-letih membayangkan kelelahan badan dan hatinya.
Pesirah Karim terdiam pula melihat laki-laki itu dari kaki sampai ke kepalanya.
Tidak, orang yang selisut dan selesu itu takkan dapat berbuat jahat dan ingatan yang bukan-bukan itu dilenyapkannya dari dalam hatinya.
"Carilah sendiri tempat bagimu di balai ini!" katanya dan setelah melengos penghabisan ia pun berbelok melangkah meninggalkan laki-laki itu menuju ke jalan.
Dimukanya di seberang jalan membujur jurang sungai Lematang, gelap dan penuh rahasia dalam malam yang sunyi-senyap. Bunyi derus air yang naik dari dasarnya yang tak kelihatan dan tak dapat dilihat, laksana suara yang gaib, yang datang dari tempat yang gaib, membangkitkan perasaan yang jauh-sayup bagi siapa yang mendengar.
Di seberang jurang yang hitam melintang itu memagar tebing gunung yang hitam pula. Puncaknya yang hitam itu berkelok-kelok seperti bentangan gulungan kertas hitam yang miring digunting, tak tentu aturan bentuknya. Dibalik tebing hitam itu membentang langit yang kelabu-jernih, penuh bertatahkan bintang berkelip-kelipan, penaka beribu-ribu kunang-kunang yang terbang amat jauhnya. Awan halus yang bersambung-sam-bung dan senantiasa berubah rupa, berarak perlahan-lahan dari bulan yang seperdua penuh, menuju kebalik pagar hitam, yang seolah-olah tersandar pada tepi langit.
Pemandangan yang dahsyat di tengah rimba pada tengah malam yang sunyi itu meresap ke dalam hatinya, membangkitkan perasaan yang ganjil dan sayup-sayup yang membubung halus laksana uap embun yang tiada kelihatan pada pagi hari, apabila sinar matahari belum memancarkan panasnya.
Dua tahun lamanya ia di negeri orang, melihat bermacam-macam tamasya dan keganjilan yang belum pernah ditemuinya seumur hidupnya. Jaranglah ia teringat akan tanah-aimya di tengah pegunungan itu, oleh karena berjenis-jenis pemandangan yang baru mendesak kedalam jiwanya.
Tetapi sekarang, pulang kembali di daerah tempat penghidupannya yang lama dan tempat rakyat yang terserah kepadanya, insaflah ia oleh perbandingan yang tak sengaja terlangsung di dalam sanubarinya, akan tali yang mengikatnya kepada hutan dan padang, gunung dan lurah yang melukisi tanah airnya.
Setelah beberapa lamanya tak bergerak-gerak memandang ke jurang, ke gunung dan ke langit dihadapannya, menolehlah ia ke belakang, ke tebing yang curam, yang rendah sedikit dari kepalanya. Maka kelihatanlah kepadanya diantara bayang-bayang pohon setinggi manusia itu cahaya bulan menembusi susunan daun, turun ke bawah menusuk gelap-gulita. Dan di atas daun dan dahan bersimaharajalela sinar bulan, tak terusik, tak terganggu, di seluruh hutan yang tiada berwatas.
Maka melihat sinar bulan bermain-main dibawah, diantara dan di atas pohon-pohon yang setinggi manusia itu, uap kenang-kenangan yang halus, yang membubung dari dasar celah-celah sanubarinya, makin terang dan berupa, makin mendesak dan menyenak.
Dan nampaklah oleh mata jiwanya diantara pohon-pohon itu gambar dirinya sendiri, buas dan ganas, hendak menyerang, memukul dan membunuh.
Berpuluh jiwa manusia telah dipunahkannya, dihentikannya keras dan kejam, pada permulaan, pada pertengahan dan pada penghabisan perjalanannya di dunia ini. Tua dan muda, ketika itu baginya tak ada bedanya, asal dapat ia memuaskan nafsunya akan kekayaan dan harta.
Maka kelihatanlah kepadanya sekalian temannya satu per satu: Amat, Sohan, Tusin, Sanip dan Samad.
Sekejap terhenti pikirannya pada kenangan kepada temannya yang akhir itu. Samad...Samad..Rupanya terbayang di dalam hatinya.... Kemanakah perginya dahulu".... Alangkah banyak persamaan air mukanya dengan laki-laki yang kurus-lisut, yang baharu dilihatnya itu....
Ia pun hampir berbalik kembali hendak menemuinya di balai!
Tetapi laksana banjir yang tiada dapat ditahan-tahan mendorong ke dalam hatinya ingatan akan perjuangan yang hebat empat lima belas tahun yang lalu, ketika ia dengan teman-temannya menyamun saudagar Haji Sahak yang baharu pulang dari menjual kerbaunya di Palembang, Dan bayang-bayang Samad pun hilanglah dari matanya!
Nampaklah terang dan nyata dihadapannya pondok tempat saudagar itu bermalam anak-beranak. Betapa ia dengan teman-temannya menyerang pondok dan gerobak, betapa ia menikamkan lembingnya ke badan orang yang tiada berdosa itu dan betapa ia membantingkan perempuan isteri Haji Sahak yang hendak menolong suaminya. Dan anak perawan yang ditarik dan diseretnya melalui semak dan rimba dengan tak menaruh iba-kasihan ke pondok yang jauh tersembunyi di tengah hutan...
Sekaliannya jelas nampak kepadanya seolah-olah terlangsung pada saat itu juga.
Maka hancur-remuk rasa hatinya dan dengan tak berpikir sesaat juapun berbeloklah ia, berjalan melangkah besar-besar menuju ke rumah tempat tidur anak-isterinya.
Tangga kayu yang tinggi-tinggi itu berderak-derak dinaikinya dalam dua tiga langkah saja. Pelita damar yang hampir padam terletak di beranda, tidak dipedulikannya sedikit juapun. Segera dibukanya pintu menuju ke ruang tempat tidur anak-isterinya. Maka dihadapannya kelihatanlah kepadanya orang yang dicintainya itu, tidur nyenyak, tiada insaf akan suatu apa. Laksana oleh suatu kekuasaan yang gaib dan mahakuasa, tertegunlah ia memandang kepada mereka; kalbunya yang penuh-sesak itu pun redalah. Orang-orang yang tidur lelap dihadapannya itu hilanglah dari pemandangannya. Dan sebagai gantinya kelihatanlah kepadanya perawan yang suci, yang menjaganya selama ia sakit di tengah rimba. Yang dalam kelemahannya dapat menguasai badannya yang kuat-kasar dan nafsunya yang kejam-keji. Yang memimpinnya dari hutan belantara yang lebat ke dusun tempat kediaman yang mulai dan suci yang hilang-lenyap dari jiwanya oleh penghidupannya dan pergaulannya sebagai penyamun.
Dan setelah hidupnya terikat oleh tali jasa dan budi pada hidup perawan itu!
Tenaganya yang payah dicahari bandingannya tak pernah meninggalkan badannya. Di mana-mana ia ditakuti orang oleh kekuatannya yang lebih dari manusia biasa. Dan tenaganya itu serta pikirannya yang tajamlah yang menjadikan ia kaya dan hartawan di tengah pergaulan manusia. Sebab tanah Pasemah yang subur itu pengasih-penyayang kepada sekalian manusia yang kuat, rajin bekerja dan berakal.
Tetapi bukan kekuatannya yang ditakuti orang, bukan pikirannya yang tajam dan bukanlah kekayaannya yang banyak yang menyebabkan orang senegerinya, sampai-sampai jauh di bahagian Pasemah yang lain, hormat, malu dan segan kepadanya, yang menyebabkan ia berbahagia dalam hidupnya.
Dan ketaatan akan ibadat, sifat pengasih dan pemurah dan budi yang halus, yang meninggikan derajat di tengah manusia dan menetapkan tempat yang terpilih di akhirat yang esa, sekaliannya Sayulah yang membangkitkan di dalam jiwanya. Sebab lain dari pada segala yang fana itu ada yang lebih berharga, yang tiada turut terkubur dengan bungkusan hayat.
Maka pada tengah malam yang sunyi-senyap itu, laki-laki yang kuat dan besar itu meniarap mencium kedua anaknya berganti-ganti dan sebelum ia merebahkan dirinya akan memicingkan mata, ia menengadah ke atas, menoda sejurus, mengucapkan syukur atas tuntunan Ilahi yang.
Bab 18 TETAPI sebelum berangkat itu mereka telah bersua sebagai sahabat seperti empat lima belas tahun yang telah lalu.
Samad menceritakan kemelaratan dan kesengsaraannya dalam pengembaraan sejak perceraian pada malam perampokan yang sial itu. Malang datang menimpa malang, segala yang dipegangnya tak menjadi dan sekalian usahanya tiada berhasil. Jauh perjalanannya dan banyak negeri yang telah dikunjunginya, tetapi di mana-mana sial yang ditemuinya
Tetapi dalam menceritakan nasibnya yang sedih sesedih-sedihnya itu. tiada terbuka sedikit juapun rahasia pengembaraannya yang ganjil itu: apa sebabnya ia tak kembali ke pondok di hutan, mengapa ia meninggalkan tanah Pasemah, pergi mengedari rantau orang.
Banyaklah sudah yang dialami dan dideritanya, tetapi meskipun demikian perasaan keinsafan akan dosa yang menyala-nyala membakar di dalam jiwanya, tak kunjung-kunjung lenyap. Ke mana-mana ia pergi diturutinya dan didorong-dihalaunya, terus, terus mengembara, tak berhenti-henti: pulang kembali ke tanah Pasemah berarti berhadapan dengan Medasing dan teman-temannya, yang menurut keyakinannya yang pasti, telah insaf akan tipu-dayanya yang rendah.
Sampai suatu masa Ketika tenaganya telah berkurang, ketika sekalian harapannya akan bahagia telah tumpas-lepas. Dalam kelemahannya yang terang-terasa kepadanya itu, bangkit di sudut jiwanya, jauh di negeri orang, perasaan rindu-sendu hendak pulang melihat anak-isterinya yang dahulu tak pernah diacuhkannya....
Pesirah Karim mengajaknya membawa anak-isterinya mengikutinya ke Pagar Alam. Di sana ia akan dapat hidup aman-sentosa sampai hari tuanya.
Tetapi Samad tetap menolak ajakan itu, dan ketika pesirah Karim bertanya kepadanya apa sebabnya, ia tak dapat, tak mungkin dapat menjawab.
Yang telah lima belas tahun dikuncimatinya dalam jiwanya, pasti tak mungkin dikeluarkannya dalam sekejap!
Tidak, tidak, ia takkan dapat hidup dekat pesirah Karim suami-isteri, seperti gelap-gulita tak dapat bersanding dengan terang-cuaca.
Demikianlah mereka bertolak sama-sama meninggalkan lembah Lematang, masing-masing menurut arahnya!
Tetapi seorang di mercu kebesaran dan kemuliaan hidup manusia, diiringkan oleh berpuluh-puluh orang, penuh kegirangan dan bahagia dan yang seorang lagi lemah-letih, hina-miskin dan sebatang kara menuju harapan yang tak dapat diharapan.
TAMAT Manusia Harimau Jatuh Cinta 2 My Lovely Gangster Karya Putu Felisia Badik Buntung 16
^