Badik Buntung 16
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 16
tandingan, saat mana obat bubuknya masih berhamburan semakin luas di tengah udara, laba-laba
merah pasti tidak akan berani sembarangan bergerak, jikalau mereka berdua bergabung
mengeroyok dirinya, tentu usaha yang sudah diatur dan direncanakan sempurna bakal gagal total.
Di lain pihak, begitu melihat dua belah sudah bergebrak Thian-hi tidak menyia-
nyiakan kesempatan ini, dua harimau saling cakar justru merupakan kesempatan dirinya
untuk menerobos kesana, kalau daya kekuatan bubuk obat itu sudah punah laba-laba merah itu tentu
akan menerjang lagi merintangi mereka, dengan kekuatan mereka bertiga juga belum
tentu mampu membunuhnya, demikian terpikir dalam benak Thian-hi laksana kilat tiba-tiba
badannya melambung ke tengah udara terus menerobos ke depan.
Dalam pada itu dengan sebelah tepukan tangan ke belakang Bok-pak-it-koay
meminjam tenaga benturan yang kuat itu tiba-tiba badannya jumpalitan ke arah sebelah depan dalam
jarak yang lebih jauh lagi. Tapi serta dilihatnya pula Hun Thian-hi juga tengah menerobos
ke dalam sana, ia sangka tujuan orang sama dengan kemauannya, saking gugup segera ia gentayangan
mencegat di depan Thian-hi. Ang-hwat-lo-mo menyeringai, sudah tentu iapun ingin berkesempatan menerjang
masuk dulu kelembah, tapi ia cukup licik bila ia menerjang langsung ia harus menghadapi
rintangan dua orang di depannya, ini akan memakan banyak waktu dan tenaga, setelah berpikir sebentar
tiba-tiba ia menubruk maju kedua telapak tangannya berbareng menepuk ke jalan darah mematikan
di punggung Thian-hi. Gesit laksana kera Thian-hi menggenjot dan menendang mundur Bok-pat-it-koay lalu
menggeser kaki dua langkah kesamping dengan sedikit memutar tubuh, ia tahu bahwa
dirinya sudah terkepung dan sedang digasak dari dua jurusan depan dan belakang, tanpa
sempat berpikir, dua tangannya berkembang kedua arah yang berlawanan, masing-masing
menangkis serangan Bok-pak-it-koay dan hantaman Ang-hwat-lo-mo. Begitu tenaga tiga belah
pihak saling bentur badan Thian-hi lantas mencelat terbang menghindari benturan telak yang
mungkin bisa menghancur leburkan isi perutnya, untung ia cukup cerdik. dengan pukulan
gabungan musuh yang berlawanan ini ia malah berhasil lolos dan terhindar dari elmaut.
Tak nyana bahwa pukulan telapak tangan Ang-hwat-lo-mo tadi juga cuma gertakan
sambel belaka, begitu tenaga pukulannya kebentur oleh perlawanan Thian-hi, orangnya pun
sudah mental ke atas seperti kena pegas meluncur lempang ke depan, dilain kejap kakinya sudah
berlari-lari kencang ke dalam lembah. Sedikit kurang siaga Bok-pat-it-koay menjadi mencak-mencak gusar bahwa Ang-hwat-
lo-mo berhasil menerjang masuk ke dalam sana, dengan menghardik keras ia mengejar
dengan kencang. Adalah dengan tipu pukulannya tadi Ang-hwat-lo-mo berhasil masuk ke dalam sudah
tentu girangnya bukan main, tanpa hiraukan Bok-pak-it-koay dan lain-lain, ia percepat
gerak kakinya, anggapannya tentu kali ini ia bakal berhasil mencapai harapan.
Diluar tahunya burung dewata tiba-tiba muncul di atas udara, setelah pekik
burung berkumandang ditengah udara semakin dekat, tiba-tiba kelihatan pula Bu-bing Loni
meluncur turun, tepat ia menghadang di depan Ang-hwat-lo-mo.
Begitu melihat Bu-bing Loni muncul disini, bercekat hati Thian-hi.
Adalah Ang-hwat-lo-mo lebih kejut dan gusar pula, diam-diam ia mengumpat dalam
hati, "Lagilagi tua renta ini kemari, setiap usahaku yang hampir berhasil selalu dihalangi
olehnya!" namun Bu-bing Loni jauh sukar dihadapi maka ia hentikan kakinya tak berani sembarangan
bertindak. Bu-bing menyeringai lebar, katanya, "Kalian bertiga sama ingin mendapatkan Jian-
lian-hok-ling itu bukan" Aku kuatir tiada seorang pun diantara kalian bertiga yang membabat
untuk memperolehnya!" "Jadi Suthay juga mau ikut merebut?" demikian jengek Ang-hwat-lo-mo.
Dengan hambar Bu-bing pandang mereka bertiga, ujarnya, "Setelah aku berada
disini, kalian harus cepat-cepat keluar dari Bik-hiat-kok ini, tiada keperluan yang harus
kalian kerjakan disini."
Sambil menahan rasa amarah yang bergejolak dalam dada, Ang-hwat-lo-mo tertawa
dibuatbuat. jengeknya, "Mampukah Suthay seorang diri menghadapi makhluk aneh itu?"
"Urusanku tak perlu orang luar ikut campur." demikian sentak Bu-bing Loni.
Meski Bok-pak-it-koay pernah dengar ketenaran nama Bu-bing Loni, tapi melihat
sikap dan tindak-tanduknya tidak merupakan pambek seorang tokoh persilatan nomor satu
apalagi wataknya begini congkak dan takabur, hatinya menjadi terbakar gusar, ejeknya menantang,
"Kau ingin memonopoli sendiri, coba kau hadapi aku lebih dulu."
"Siapa kau?" tanya Bu-bing.
Rasa gusar Bok-pak-it-koay men-jadi2, nada pertanyaan Bu-bing Loni terdengar
begitu hina dan memandang rendah dirinya, betapapun sabar hatinya tak kuasa lagi ia
mengendalikan diri, serunya bergelak tawa, "Siapa aku" Aku adalah aku, jangan harap kau dapat
memonopoli Jianlian- hok-ling itu. Agaknya kau sedang berangan2 kosong!"
Berjangkit alis Bu-bing Loni, matanya beringas memancarkan nafsu membunuh.
Hati Bok-pak-it-koay menjadi ciut, tapi kekuatan lain menyanggah dirinya untuk
memberanikan diri melawan Bu-bing Loni lebih lanjut, katanya dingin, "Laba-laba merah segera
bakal menerjang datang pula, ingin kulihat cara bagaimana kau dapat merobohkannya!"
Bu-bing Loni mandah melirik saja, memang Laba-laba merah saat itu sudah mulai
bergerak menghampiri ke arah mereka berempat.
Sekilas pandang saja Bu-bing Loni lantas tersenyum dingin. jengeknya, "Kau
sangka cuma kau saja yang mampu menunjukkan dia?" - pelan-pelan ia malah menghampiri ke arah
laba-laba merah itu. Bok-pak-it-koay menggendong tangan, dengan acuh tak acuh ia perhatikan Bu-bing
Loni bertindak, ingin dia melihat cara apa yang digunakan Bu-bing Loni untuk membekuk
laba-laba merah yang jahat itu. Begitu Bu-bing Loni muncul hati Ang-hwat-lo-mo menjadi jeri, tapi ia dapat
berpikir dengan kekuatan gabungan tiga orang masa gentar menghadapi Bu-bing Loni. Terutama Wi-
thian-cit-ciatsek menurut anggapannya tidak bakal kalah dibanding ilmu pedang Bu-bing yang Lihay
itu.... apalagi Ang-hwat berdua membantu dari samping tentu tidak sulit mengalahkan Bu-
bing seorang. Tapi bila perlu saja mereka tiga orang bergabung mengeroyoknya, tiga buah pihak
sama-sama adalah musuh kebujutan, bukan mustahil bila masing-masing ingin mencari
keuntungan sendiri2. Adalah jalan pikiran Hun Thian-hi lain pula, yang terpikir olehnya hanyalah cara
bagaimana supaya dia dapat menerjang masuk ke dalam gubuk batu itu untuk membuktikan
apakah benarbenar Ma Gwat-sian beserta gurunya ada di dalam sana. Entah cara bagaimana mereka
berdua bila digelandang masuk ke dalam sana, bagaimana Ang-hwat-lo-mo bisa keluar masuk
mengantar mereka, justru sekarang dirinya tidak kuasa masuk ke dalam lembah.
Dalam pada itu laba-laba merah itu sudah maju semakin dekat ke arah Bu-bing
Loni. Bu-bing Loni berdiri diam siap siaga, bahwasanya ia sendiri pun tidak berani memandang
rendah musuh binatangnya ini, kalau toh dirinya sudan datang dan bersikap takabur adalah aib
bila ia mundur dan tak kuasa melawan. Agaknya laba-laba merah itu juga merasa bahwa musuh yang dihadapi kali ini rada
kuat dan merupakan lawan berat, sedikit pun ia tidak berani ceroboh, segala tindakan
harus diperhitungkan lebih dulu. Pancaran biji mata Bu-bing Loni semakin tajam dengan lekat ia perhatikan setiap
gerak-gerik kedelapan kaki2 panjang laba-laba merah itu, pelan-pelan setapak demi setapak ia
menggeser maju lebih dekat. Dalam jarak kira-kira setombak lebih laba-laba merah menghentikan langkahnya,
agaknya ia belum pernah melihat seorang manusia yang berani menantang dirinya, sesaat
seperti ragu-ragu apakah musuh dihadapannya ini punya andalan untuk mengalahkan dirinya ataukah
merupakan gertak sambel belaka. Demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
Lambat dan pasti ujung mulut Bu-bing mengulum senyum dingin. Tiba-tiba laba-laba
merah merangkapkan seluruh kaki2nya kontan badannya yang segede gantang itu mencelat
terbang, ditengah udara kakinya berkembang pula langsung menubruk kebatok kepala Bu-bing
Loni. Bu-bing menggerakkan badan tanpa menggeser kaki seolah-olah ia bergaja hendak
berkelit kesebelah kiri,laba-laba merah lantas menyemburkan gelagasinya ke sebelah kiri,
tapi secepat itu pula Bu-bing Loni merubah arah kekanan seperti hendak menghindar, laba-laba
merah lagi-lagi menyemburkan gelagasinya membendung jalan mundur Bu-bing Loni, beberapa kali Bu-
bing bergerak ke berbagai arah selalu dirintangi atau dicegat oleh gelagasi, suatu
ketika mendadak ia melesat langsung menubruk ke arah laba-laba merah itu.
Berulang kali laba-laba merah menyemburkan gelagasinya untuk merintangi Bu-bing
melarikan diri, kini mendadak melihat Bu-bing menubruk langsung ke arah dirinya, agaknya
ia tercengang, tanpa sempat banyak pikir iapun mencelat maju menyongsong ke arah Bu-bing Loni.
Ditengah jalan tangan kiri Bu-bing Loni merogoh ke dalam lengan bajunya, selarik
sinar hijau kemilau berkelebat tiba-tiba Badik buntung melesat keluar dari timpukan
tangannya langsung meluncur ke arah tengah-tengah diantara kedua mata laba-laba merah, sementara
tangan kanan Bu-bing sendiri juga memutar pedang panjang, gelombang hawa pedangnya sekaligus
menangkis dan memental balikkan seluruh gelagasi yang membendung dirinya hingga ia sempat
mencelat keluar. Sambitan Badik buntung Bu-bing Loni adalah begitu telak dan cepat luar biasa,
belum lagi labalaba merah menyadar dan tidak sempat berkelit, lagi kontan Badik buntung amblas
seluruhnya ditengah kedua matanya, seketika ia menjerit keras dan aneh, lambat laun
badainya menjadi lemas dan roboh mati. Setelah mencelat keluar dan berdiri tegak Bu-bing Loni unjuk tawa dingin yang
sangat bangga. Sebenar-benarnyalah hatinya pun kebat-kebit, caranya menghadapi laba-laba merah
memang teramat berbahaya sekali, seumpama sambitannya tadi tidak mengenai sasarannya,
pasti seluruh tubuhnya bakal terlibat gelagasi yang beracun itu, ini berarti jiwanya tidak
akan tertolong lagi. Melihat Bu-bing sudah mengunjuk kepandaiannya sejati membunuh laba-laba merah,
tengkuk Bok-pak-it-koay jadi berkeringat dingin. Betapa lihay dan tinggi kepandaian Bu-
bing Loni, mengandal kemampuan sendiri masa kuasa melawannya"
Dasar licik dan berpengalaman luas Ang-hwat-lo-mo dapat meraba kemana jalan
pikiran Bokpak- it-koay. ia tahu bila ia bantu Bok-pak-it-koay menghadapi Bu-bing tentu orang
akan berhutang budi pada dirinya, tapi yang penting sekarang dengan cara, apa pula sampai Hun
Thian-hi sudi berpihak pada mereka, Sekilas ia melirik Thian-hi otaknya mendapat akal, lalu katanya tawar pada Bu-
bing Loni, "Bukankah yang kau gunakan tadi Badik buntung?"
Tujuan Ang-hwat-lo-mo adalah mengadu domba antara Hun Thian-hi dengan Bu-bing
Loni, bila mereka sudah saling berhantam baru dirinya ikut terjun ke dalam gelanggang,
begitulah rencananya. Saat mana Bu-bing sedang mendelik ke arah Bok-pak-it-koay, tiba-tiba mendengar
pertanyaan Ang-hwat-lo-mo, sebagai kawakan Kangouw masa ia tidak tahu kemana juntrungan
pertanyaan ini, dengan geram ia pandang Ang-hwat-lo-mo dengan tajam.
Sudah tentu Hun Thian-hi sendiri juga maklum akan maksud Ang-hwat-lo-mo, ia cuma
tersenyum belaka tanpa bersuara. Laba-laba merah sudah mampus, bila Bu-bing Loni
saling gebrak melawan Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay, tentu dirinya berkesempatan
menerobos
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesana. Maka terdengarlah Bu-bing Loni mengancam, "Kuperintahkan kalian segera keluar
dari lembah ini!" Melihat Hun Thian-hi tidak menunjukkan reaksi apa atas adu dombanya, sedang Bu-
bing sudah unjuk gigi. dengan tertawa tawar ia bertanya kepada Hun Thian-hi, "Apakah kau
sudi keluar?" Dengan kalem Thian-hi tertawa, ia tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo sedang mendorong
dirinya terjun ke dalam pertikaian ini, demi tujuannya sudah tentu ia tidak sudi keluar,
namun bila ia bicara secara langsung, bukankah berarti ia berdiri dipihak Ang-hwat-lo-mo" Tadi
ia sudah melihat gerak gerik Bu-bing Loni sudah tidak begitu gesit dan tangkas seperti dulu waktu
bertempur melawan laba-laba merah, sahutnya tertawa, "Lihat keadaannya dulu!"
Diam-diam Ang-hwat-lo-mo mengumpat Thian-hi akan jawabannya yang licin ini,
hidungnya mendengus, lalu serunya kepada Bu-bing Loni, "Benar-benar, kami akan bertindak
setelah melihat situasi selanjutnya!"
Thian-hi jadi dongkol, dengan jawaban Ang-hwat-lo-mo ini berarti dirinya sudah
diseret kepihaknya secara paksa. Bu-bing Loni menyapu pandang mereka bertiga, ia insyaf bahwa luka dalamnya belum
lagi sembuh, tujuan kali ini merebut Jian-lian-hok-ling justru untuk mengobati luka-
luka dalamnya ini, sudah tentu dalam keadaan sekarang ia tidak ingin bersikap bermusuhan dengan
Thian-hi yang merupakan lawan paling berat, bila mereka tiga musuh bergabung betapapun dirinya
bukan tandingan. Sebentar ia berpikir lalu katanya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, "Baik! Akan
kulihat cara bagaimana kau bertindak menurut situasi. Sekarang kau mau keluar tidak?"
Ang-hwat-lo-mo menyeringai, ujarnya, "Masa sekarang?" - lalu ia berpaling ke
arah Hun Thian-hi. Ia tahu bahwa Bu-bing Loni bertujuan membereskan mereka satu persatu.
Tidak menanti Ang-hwat-lo-mo banyak bacot, Bu-bing bertindak lebih cepat
mengambil posisi yang menguntungkan, tanyanya kepada Hun Thian-hi, "Aku ada sebuah urusan hendak
kuselesaikan dengan kau, kau boleh tetap tinggal, setelah mereka berdua pergi
baru kita bicarakan!" Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo, ia tahu bahwa Bu-bing sedang memelet Thian-hi ke
pihaknya, bila Thian-hi sampai akur dan kerja sama dengan Bu-bing Loni, maka mereka berdua
pasti menghadapi rintangan terbesar untuk keluar dari lembah ini. Ia dapat memastikan
kemungkinan ini karena tujuan Bu-bing Loni dan Hun Thian-hi berbeda, bila sampai mereka
saling mengutarakan tujuan masing-masing, bukan mustahil mereka bisa bersekongkol.
Namun masih ada setitik harapan, yaitu bahwa Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni
adalah musuh kebujutan, tak perlu disangsikan bahwa Hun Thian-hi tentu tidak mengharap
Bu-bing bisa memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, demikian juga Bu-bing tidak akan membiarkan
Hun Thian-hi mencapai tujuannya, hanya selisih paham inilah yang dapat membuat mereka berdua
saling bermusuhan. Cepat Ang-hwat-lo-mo berkata kepada Thian-hi dan Bu-bing Loni, "Kepandaian silat
kalian terpaut tidak banyak, siapa yang dapat memperoleh Jian-lian-hok-ling itu kelak
pasti dapat menjagoi Kangouw sebagai tokoh Bu-lim nomor satu yang tiada tandingannya?"
Bu-bing Loni mendengus ringan. Jikalau Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak
hadir disini, ia tidak perlu kuatir menghadapi Hun Thian-hi, dengan adu domba Ang-hwat-lo-mo
ini ia menjadi sukar membuka suara lebih lanjut....
Setelah berpikir Hun Thian-hi lantas menimbrung dengan suara tawar, "Tujuanku ke
Bik-hiatkok ini bukan karena Jian-lian-hok-ling. Aku cuma ingin menolong orang belaka!" - ia
tahu bila ia turut campur merebutkan Jian-lian-hok-ling jelas ia tidak punya harapan, tujuan
semula adalah menolong Ma Gwat-sian, kenapa pula harus ikut campur urusan tetek bengek"
Bu-bing rada tercengang mendengar penjelasan Thian-hi, dengan lekat ia pandang
rona wajah Thian-hi agaknya ucapannya memang sungguh-sungguh, hatinya menjadi girang, namum
ucapan Thian-hi ini tidak bisa dipercaya seratus persen, bagaimana juga ia harus hati-
hati dan berjaga, sesaat setelah ia berkata, "Itu tidak menjadi soal...."
Tanpa menanti orang bicara habis tiba-tiba Ang-hwat-lo-mo menukas, "Tidak
menjadi soal" Belum tentu ia insyaf bila, situasi berkembang terus demikian tentu tidak menguntungkan bagi
dirinya, terpaksa harus mengubah keadaan, betapapun Hun Thian-hi harus diadu domba supaya
menempur Bu-bing Loni. Melihat Ang-hwat-lo-mo begitu berani menukas kata-katanya, malah nada ucapannya
mengejek dan menyindir, serta merta menegak tinggi kedua alisnya, sorot matanya juga
lantas beringas. Dengan sikap kasar dan tukasan kata-katanya terhadap Bu-bing Loni ini, sudah
tentu Anghwat- lo-mo sudah punya ancang2 dan pegangan, maka ia berkata lebih lanjut, "Jangan
kau tergesa-gesa. Bagaimana juga Hun Thian-hi harus masuk ke dalam lembah, memang
tujuannya hendak menolong orang, tapi siapa dapat menduga bahwa dia tidak akan mengincar
Jian-lian-hokling itu" Bila sekarang kau hendak main paksa terhadap kami kurasa tidak gampang
terlaksana. Hun Thian-hi masih berada disini, dia tidak akan begitu goblok, bukan mustahil
kau nanti bakal menghadapi gebrak terakhir yang menentukan nasibmu!"
Bu-bing termakan oleh profokasi Ang-hwat-lo-mo, sesuai dengan perkataan Ang-hwat
tidak mungkin ia menyampingkan Hun Thian-hi untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo dan Bok-
pak-itkoay. Benaknya lantas bekerja, terpikir olehnya cara yang sempurna bagi kedua belah
pihak yaitu; 'kecuali dapat memastikan bahwa Hun Thian-hi benar-benar tidak mengincar Jian-
lian-hok-ling, urusan selanjutnya gampang diselesaikan.'
Setelah dipikir bolak balik akhirnya Bu-bing bertanya kepada Thian-hi, "Siapa
yang terkurung di dalam rumah batu itu?"
Thian-hi tahu maksud pertanyaan Bu-bing ini, bicara sejujurnya sebenar-benarnya
ia tidak rela membiarkan Bu-bing Loni merebut Jian-lian-hok-ling itu, tapi situasi dapat
membenar-benarkan cuma dia saja yang ada harapan, jawahnya, "Seorang kawan!"
Sebelum angkat bicara lagi Bu-bing menatap Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay
katanya kepada Hun Thian-hi, "Marilah kuiringi kau masuk kesana, setelah kau tolong
keluar kawanmu itu kau harus segera keluar dari Bok-hiat-kok, tak kuijinkan kau ikut andil dalam
perebutan ini, apakah kau setuju?" "Begitupun baiklah!" sahut Thian-hi tersenyum.
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo menjadi gugup mencak-mencak, naga-naganya Thian-hi
tidak ambil perhatian bila Bu-bing memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, malah setuju
kerjasama dengan Bu-bing Loni, bila ini benar-benar terlaksana, pihak dirinya dengan Bok-pak-it-
koay bakal terjepit dan takkan tertolong lagi, entahlah bila muncul suatu kejadian ajaib. Situasi
sudah terbalik, apakah memang sudah nasib dirinya hari ini bakal terjungkal.
Adalah hati Bu-bing menjadi senang, harapannya segera bakal terkabul, bila luka-
luka dalamnya sembuh, ditambah Lwekangnya maju berlipat ganda, masa gentar menghadapi
Hun Thian-hi. Setelah ia lirik ke arah Ang-hwat-lo-mo lalu ia ajak Thian-hi masuk ke
dalam gubuk batu itu. Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak mau tinggal diam, setelah
saling beradu pandang, cepat mereka maju mengejar di belakang mereka, cepat atau lambat hal
ini bakal terjadi, kenapa harus bimbang dan takut"
Tak lama kemudian mereka sudah berada di dalam gubuk batu itu, namun gubuk batu
itu kosong melompong, sesaat Thian-hi mendelong, tiba-tiba ia berpaling mengawasi
Ang-hwat-lo-mo sambil memicingkan matanya.
Ang-hwat-lo-mo sendiri rada diluar dugaan, agaknya heran bagaimana mungkin kedua
orang kurungannya itu bisa lenyap tanpa bekas. Tiba-tiba tergerak hatinya, ujarnya
tertawa, "Bagaimana" Ketemu tidak?"
Geram dan dogkol hati Thian-hi, katanya menyeringai, "Ang-hwat, jangan kau main
bacot dan ngelantur. Dimana mereka kau sembunyikan?"
"Urusan ini kita kesampingkan dulu," demikian ujar Ang-hwat, main ulur waktu,
"Mari kita selesaikan dulu urusan Jian-lian-hok-ling itu."
"Apa-apaan maksudmu ini?" sentak Hun Thian-hi berang.
Bu-bing Loni tersenyum ejek, ia tahu Ang-hwat-lo-mo sedang berusaha menarik
Thian-hi kepihaknya, betapapun ia tidak akan tinggal diam, kalah atau menang gebrakan
kali inilah yang bakal menentukan. Tapi Hun Thian-hi cuma ingin menolong orang yang terkurung
disini tanpa perduli dengan Jian-lian-hok-ling, adakah ia punya akal supaya Thian-hi tidak
memihak kepada Ang-hwat-lo-mo" Waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya diujung dinding sana ditempel
secarik kertas. Tiba-tiba terbayang oleh Bu-bing akan sikap Ang-hwat-lo-mo tadi, tahu dia bahwa
urusan tidaklah sederhana begitu saja, jelas kedua orang itu memang tadi ada disini, tapi
sekarang sudah pergi, hal ini mungkin Ang-hwat-lo-mo sendiri juga belum tahu. Maka ia bertanya kerada
Ang-hwat, "Maksudmu mereka berdua tidak berada di dalam gubuk batu ini?"
"Sudah tentu tidak disana." demikian sahut Ang-hwat sambil bergelak tawa, "Bila
ada matamu kan tidak lamur masa tidak melihat mereka berada disitu."
"Waktu masih berada di mulut lembah tadi apakah kau tahu bila mereka sudah tidak
lagi berada di dalam gubuk ini?" demikian jengek Bu-bing Loni.
"Begitukah anggapanmu?" seru Ang-hwat masih bergelak tawa, "Bila benar-benar
mereka ada di dalam lembah, cara bagaimana bisa pergi meninggalkan tempat ini?"
"Jadi maksudmu bahwa hakikatnya mereka tidak pernah terkurung di dalam gubuk
ini?" demikian Bu-bing Loni menegas.
Ang-hwat-lo-mo merasakan betapa genting urusan ini, ia maklum bahwa Bu-bing
pasti menemukan sesuatu bukti di dalam gubuk itu, sudah tentu ia sudah membayangkan
bagaimana akibatnya nanti. Maka dengan tajam biji matanyapun main selidik ke dalam ruangan gubuk sana,
ingin dia tahu benda apakah yang telah ditemukan oleh Bu-bing.
Thian-hi sendiri juga sudah berpikir ke arah itu, bila Gwat-sian dan gurunya
tidak terkurung di dalam gubuk ini, adalah mustahil Ang-hwat-lo-mo berani memancing dirinya untuk
datang kemari, dan urusan tidak bakal berlarut-larut sampai sekarang.
Sorot mata mereka berbareng ketumbuk pada secarik kertas yang tertempel
didinding itu. Begitu melihat secarik kertas itu, tanpa ayal Ang-hwat-lo-mo lantas mencelat
maju, bila ia dapatkan kertas itu, cukup untuk menekan dan mengancam Hun Thian-hi pula.
"Jangan bergerak!" Bu-bing Loni menghardik rendah seraya melolos pedang.
Apa boleh buat Ang-hwat-lo-mo harus berlaku nekad. ditengah jalan pedangnya pun
dikeluarkan langsung menyongsong ke arah tabasan pedang Bu-bing dari arah
samping, sementara tubuhnya tiba-tiba melambung tinggi, dengan kekerasan ia coba terjang
kesana. Pedang Bu-bing Loni ditaburkan sekencang kitiran, tiba-tiba ujung pedangnya
menyelonong keluar langsung menusuk ke depan mengarah tenggorokan Ang-hwat-lo-mo.
Karena serangan gencar yang mematikan ini Ang-hwat-lo-mo terdesak mundur
berulang-ulang, sungguh hatinya teramat kejut dan ciut bahwa sekali turun tangan Bu-bing tidak
tanggung2 melancarkan ilmu pedangnya yang ganas untuk merangsak dirinya, taburan sinar dan
hawa pedang yang menyamber dingin membuat semangatnya seolah-olah tersedot kaluar
dari badan kasarnya. Selama itu Hun Thian-hi masih berdiri tenang menonton Bu-bing Loni melabrak Ang-
hwat-lomo, tiba-tiba tergerak hatinya, terpikir olehnya bukan mustahil kertas itu tertulis
sesuatu hal yang tidak boleh diketahui orang lain. Maka tanpa ayal cepat ia lantas bertindak.
seruling jade teracung miring, Wi-thian-cit-ciat-sek ia lancarkan dengan segala kemampuannya. serempak
ia serang Bubing Loni berdua.
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tentu Bu-bing menjadi gentar, tak disangka olehnya bahwa Thian-hi bakal
menyergap dirinya, apalagi disaat ia tumplek seluruh tenaga untuk merangsak Ang-hwat-lo-
mo, tak sempat menangkis terpaksa ia berkelit ke arah samping kiri.
Tujuan serangan Thian-hi ini memang hendak mendesak Bu-bing menyingkir rada jauh
dari tempat kertas itu. maka sekali lompat Thian-hi berhasil meraih kertas itu,
sekilas pandang ia dapati tulisan di atas kertas itu berbunyi sebagai berikut, "Untuk mengetahui
jejak kedua perempuan ini, datanglah ke pesisir Ni-hay di Thian-lam!" - tulisan ini tidak
dibubuhi tanda tangan atau nama terang, qaja tulisanaja sama dengan tulisen yang ia baca diluar
hutan tadi. Thian-hi berdiri terlongong. otaknya jadi berpikir, siapakah sebenar-benarnya
orang ini" Sejak kecil ia dibesarkan di Thian-lam tak diketahui olehnya tokoh siapakah yang punya
kepandaian silat sedemikian tinggi dapat menolong keluar dua orang dari Bik-hiat-kok, kejadian,
ini benar-benar suatu hal yang luar biasa. entah apa pula kepentingannya ia menghendaki aku
menyusul kesana" Melihat Hun Thian-hi berhasil merebut kertas itu Bu-bing membanting kaki, baru
saja ia hendak membuka mulut. tiba-tiba rona wajahnya berubah, agaknya ia sedang dirundung
sesuatu kesulitan. Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sama berdiri diam. rona
wajah mereka bertiga mengunjuk mimik yang berlainan, ada yang gusar ada yang rada keheranan
tercampur aduk. Adalah Hun Thian-hi sendiri mengerutkan kening, sekonyong-konyong ia seperti
sadar peristiwa apa yang telah terjadi, hawa harum yang mengembang luas ditengah udara lambat
laun sudah sirna. segera teringat olehnya kejadian apa pula yang bakal terjadi. Baru sampai
disini jalan pikiran Thian-hi, tiba-tiba Bu-bing Loni, Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama
menyerbu ke arah dirinya, tujuan mereka sama hendak merebut kertas rampasannya, cepat Thian-hi
gosokkan kedua telapak tangannya, kontan kertas itu remuk berhamburan, berbareng kakinya
menjejak tanah tubuhnya mencelat mundur berulang-ulang.
"Hun Thian-hi!" seru Bu-bing Loni dengan geram, "Besar benar-benar nyalimu,
berani kau berlawanan dengan aku, apa yang tertulis di atas kertas itu?"
Thian-hi tersenyum sinis tak bersuara, tahu dia bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya
sudah tertolong orang, dan tuan penolong itu, sekaligus telah mencangking Jian-Lian-
hok-ling sekalian. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, katanya, "Kalau kita terlalu lama tinggal di
tempat ini, mungkin takkan dapat keluar pula dari sini!"
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan lain juga maklum akan hal ini, tapi Bu-bing Loni
menjengek dingin, "Aku tidak menjadi soal, burung dewata akan cepat membawaku terbang
keluar, tak usah kau kuatir lagi keselamatanku."
Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa, serunya, "Suthay! Kalau begitu maaf kami berdua
harus mundur lebih dulu, kami nantikan Suthay dimulut lembah untuk berundingkan
caranya untuk menyelesaikan hal ini." - habis kata-katanya cepat mereka lantas berlari-lari
kencang kemulut lembah. Mendengar kata-kata Ang-hwat-lo-mo Bu-bing tahu kemana juntrungannya. cepat ia
berseru, "Nanti dulu! Maksudmu kalian hendak mengejar orang itu?"
"Suthay dapat menyelamatkan diri menunggang burung dewata, apakah kau ingin kita
menunggu ajal secara konyol?"'
Betapapun Bu-bing Loni tidak suka orang lain mendahului dirinya mengejar orang
itu, maka dengan mendengus ia berkata pada, Thian-hi, "Kau harus ikut kami kesana, setelah
tiba diluar Bikhiat- kok biar Kami membuat perhitungan dengan kau!"
"Apakah Suthay tidak merasa tindakanmu ini terlalu berbahaya" Hun Thian-hi
merupakan lawan yang tidak gampang diatasi, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan apa pula yang
dapat kau perbuat?" "Itu urusanku dan aku yang bertanggung-jawab. Kau tak usah cerewet!" begitulah
semprot Bubing. Begitulah akhirnya Ang-hwat mengalah bergegas mereka barlari keluar dari Bik-
hiat-kok. sepanjang jalan ini kelihatan laba-laba hijau dan rumput-rumput ular sudah mulai
bergerakgerak.... terlambat sedikit lagi pasti sulit untuk keluar.
Begitu tiba diambang mulut lembah Bu-bing Loni. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-
koay sama menghadang ditengah jalan, tanya Bulbing kepada Hun Thian-hi, "Siapakah orang
yang meninggalkan catatan kertas itu?"
Bila Bu-bing menunggang burung dewata mengejar tuan penolong itu pasti bisa
kecandak dan orang itu belum tentu mampu meloloskan diri, maka Thian-hi menyahut tertawa,
"Akupun tidak tahu, tulisan kertas itu tidak tertanda penulisnya!"
Bu-bing mencak-mencak gusar. ia tahu dengan menunggang burung dewata ia mampu
mengejar, tapi kalau niatnya ini sampai kentara, pasti tiga orang lawannya ini
berusaha merintangi dan menyerang dirinya, kesempatan untuk tinggal pergi pun tiada lagi.
Akhirnya ia bertanya pula dengan suara rada kalem, "Sebenar-benarnya apa yang
tertulis di atas kertas itu?" Thian-hi sengaja main ulur waktu, sahutnya tertawa, "Aku tahu, tapi tak sudi
kukatakan. Bukankah kau bisa mengejar naik burungmu?" ia mendongak memandang kelangit
tampak burung dewata terbang berputar-putar ditengah udara.
Semakin berkobar amarah Bu-bing Loni, menurut perhitungannya semula memang
disaat mereka tiga orang tidak siaga ia hendak mencelat naik ke punggung burung dewata,
tapi setelah dibeber terang-terangan oleh Thian-hi kesempatan ini menjadi hilang.
Akhirnya Bu-bing berkepastian hendak berlaku nekad, bagaimana juga ia harus
berhasil merebut Jian-lian-hok-ling itu, waktu tidak boleh berlarut-larut lagi.
Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sudah menaruh perhatian, mereka tahu
bahwa harapan untuk memperoleh Jian-lian-hok-ling adalah kosong belaka, namun
merekapun tidak rela bila Bu-bing Loni yang bakal mendapatkan, serempak mereka melolos pedang, rona wajah mereka
memperlihatkan tekad yang besar untuk merintangi Bu-bing Loni supaya tiada
kesempatan tinggal pergi naik burung dewata.
Bu-bing mundur kesamping bersiaga, posisi dirinya menjadi serba sulit, namun
lahirnya ia berlaku tenang dan mengulum senyum dingin.
Kata Ang-hwat-lo-mo sembari tertawa, "Bu-bing Suthay, bila kau benar-benar
hendak tinggal pergi, bukankah kau terlalu memandang rendah kami bertiga?"
Bu-hing mendengus sambil mengertak gigi, mau tak mau ia harus berkeputusan
menempur tiga musuhnya bersama, asal dia dapat mencapai punggung burung dewata, segala urusan
ini pasti tak perlu direwes lagi. Ia tahu ketika itu burung dewata sedang terbang rendah berputar di atas
kepalanya cepat ia bergaja hendak mencelat naik. Serentak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama
menggerakkan pedangnya, yang satu membabat perut yang lain menusuk dada, kilauan
tabir pedangnya sangat menyolok mata, serangan dua pedang yang hebat ini mandah
dianggap enteng oleh Bu-bing Loni, yang menjadi perhatiannya paling utama cuma Hun Thian-hi
melulu, melihat Hun Thian-hi tidak turut menyerang, hatinya menjadi rada hambar dan seperti
kecewa, soalnya ia tidak tahu kapan Thian-hi baru akan bertindak menghalangi perjalanannya.
Sedikit ia beragu sementara serangan pedang kedua musuhnya menyerang tiba
terpaksa Bubing tidak berani anggap enteng, dimana pedangnya panjang berputar lalu disendal
keluar segulung hawa pedang yang berkilauan kontan menindih ke depan, sekaligus
memunahkan rangsakan kedua pedang musuhnya. Sementara mendapat peluang ini tubuhnya
mendadak melambung tinggi terus meluncur ke arah punggung burung dewata
Tiba-tiba dalam waktu yang sama Hun Thian-hi juga melejit ke atas, serulingnya
teracungacung ke atas melancarkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, ia serang punggung dan lengan
kiri Bu-bing untuk merintangi orang melarikan diri.
Bu-bing Loni menggerung murka, pedang panjangnya membalik dengan setaker
tenaganya menyongsong ke arah gelombang tenaga pancaran dari Wi-thian-cit-ciat-sek yang
hebat itu. Baru saja ujung pedangnya saling sentuh di tengah jalan, kontan Bu-bing merasa
aneh dan kejut bukan main, bahwa tingkat latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dan Lwekang Hun
Thian-hi sekarang benar-benar diluar perkiraannya semula. Kekuatan Wi-thian cit-ciat-sek laksana
angin lesus yang bergelombang tinggi sukar ditembus, hampir saja pergelangan tangannya yang
memegang pedang tergetar lepas dari tangannya.
Tak berani berayal lagi Bu-bing cepat merubah permainan pedangnya, beruntun ia
lancarkan tiga rangkaian ilmu pedangnya yang paling diagulkan, sinar pedangnya bagai
lembayung memancarkan sinar kemilau menggasak ke arah muka Hun Thian-hi.
Tiba-tiba Hun Thian-hi jadi heran, kelihatannya Bu-bing Loni tidak mampu lagi
melancarkan serangannya yang hebat ini dengan landasan tenaga dalamnya yang kuat itu, tapi
waktu terlalu mendesak untuk ia banyak pikir, harapan satu-satunya cuma ingin merintangi
perjalanan Bu-bing Loni belaka. Cepat ia pun merubah permainan serulingnya dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap
salah satu jurus dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou yang ampuh sekali
untuk mengurung dan membendung jalan keluarnya.
Diluar dugaan seiring dengan perubahan permainannya ini, tiba-tiba pedang
panjang Bu-bing melesat terbang dan berhasil membobol keluar, sedikit terlambat saja pertahanan
Hun Thian-hi menjadi pecah, sehingga Bu-bing Loni berkesempatan mencelat terbang ke atas dan
tepat sekali hinggap di punggung burung dewata, kejap lain ia sudah menghilang di tengah
udara. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay jadi berdiri melongo, semula mereka
beranggapan bahwa Hun Thian-hi cukup berkelebihan untuk merintangi Bu-bing Loni, sungguh diluar
dugaan akhirnya toh Bu-bing berhasil lolos.
Bagi Hun Thian-hi sendiri juga tidak menyangka begini kesudahan usahanya, begitu
tubuhnya meluncur turun dan menyentuh tanah, dalam hati ia sudah berkeputusan untuk tetap
menghadang perjalanan Bu-bing Loni, maka tanpa ayal cepat ia berlari-lari
kencang melesat keluar lembah. Ang-hwat-lo-mo insaf tiada manfaatnya ia merintangi cepat ia menyingkir
kesamping. Tapi justru Bok-pat-it-koay berteriak dan mengejar di belakangnya, "Hun Thian-hi
tunggu dulu, ada suatu hal hendak kuberitahukan kepada kau!"
Thian-hi sudah berhasil melampaui mereka di sebelah depan, ia tidak perlu kuatir
apa lagi, terpaksa ia hentikan langkahnya, tanyanya, "Ada urusan apa lagi?"
Ang-hwat-lo-mo awasi Bok-pak-it-koay dengan pandang heran tak mengerti, entah
urusan apa yang dimaksud dengan Bok-pak-it-koay untuk menahan Hun Thian-hi.
Kata Bok-pak-it-koay, "Tujuanku merebut Jian-Lian-kok-ling bukan untuk
kepentingan sendiri, soalnya ada orang lain membutuhkan, tapi Jian-lian-hok-ling sekarang sudah
lenyap gara-gara kalian!" sampai disini ia menyapu pandang Hun Thian-hi dan Ang-hwat-lo-mo lalu
sambungnya, "Selanjutnya mungkin beliau bisa mencari perkara pada kalian, maka hati-
hatilah!" - habis berkata ia berkelebat lari ke arah timur sana.
"Nanti dulu!" teriak Ang-hwat-lo-mo menyusul.
Bok-pak-it-koay berhenti dan membalikan badan ke arah Ang-hwat-lo-mo.
Ang-hwat-lo-mo beranjak mendekati, Bok-pat-it-koay menjadi tidak sabar, serunya,
"Ada omongan lekas katakan, berani maju lagi kutinggal pergi aku tidak akan gampang
kau tipu." Ang-hwat-lo-mo ingin tahu siapa yang dimaksud oleh Bok-pak-it-koay itu,
sangkanya bila ia dapat membekuk Bok-pak-it-koay tentu orang itu tidak akan mampu berbuat apa-apa
atas dirinya, tapi sekarang terpaksa ia harus berhenti, tanyanya, "Siapa orang yang kau
katakan tadi?" - ia
tahu Bok-pak-it-koay bukan sembarang tokoh persilatan yang bernama kosong, kalau
toh dia dikendalikan orang lain pasti orang itu teramat lihay.
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum membuka suara Bok-pak-it-koay menyeringai tawa sinis, ujarnya,
"Kukatakan juga tidak menjadi soal, beliau adalah Sin-jiu-mo-ih!" kali ini ia benar-benar
berlari pergi tanpa rintangan. Rada bercekat benak Thian-hi, sepak terjang Sin-jiu-mo-ih pernah ia saksikan
sendiri, bilamana ia mau menimbulkan gelombang persengketaan di dunia persilatan, mungkin kalangan
Kangouw bakal geger dan tiada seorang tokoh pun yang mampu mengatasinya.
Sesaat lamanya Ang-hwat-lo-mo terlongong ditempatnya, ia tahu siapa Sin-jiu-mo-
ih dan apa pula kerjanya, dengan hambar ia mendongak keangkasa, akhirnya ia tersenyum pahit
dan berkata pada Hun Thian-hi, "Sudah puluhan tahun aku berkecimpung dalam Kangouw, tapi
tahun2 terakhir ini sering terjungkal dan gagal total, selamanya aku belum pernah dikalahkan
sekian kalinya!" ia tertawa pula dengan hambar.
"Kenapa kau begitu berputus asa. Bila tadi kau tidak masuk ke dalam lembah sana
kau tidak akan mengalami segala pahit getir ini." demikian ujar Thian-hi.
Sesaat merenung Ang-hwat-lo-mo berkata pula tawar, "Yahhhhh! Mungkin tidak
seharusnya aku muncul kembali dalam dunia ramai ini!" ia tenggelam lagi dalam alam
pikirannya, lalu tambahnya tertawa, "Tapi kenyataan aku sudah naik kemari!" ~lalu ia berpaling ke
arah Thian-hi serta katanya, "Selamat bertemu dilain kesempatan!" - ia tinggal pergi dengan
langkah goyang gontai. Membayangi punggung Ang-hwat-lo-mo yang menghilang dikejauhan sana. tiba-tiba
terasa sesuatu keanehan dalam benak Thian-hi, terasa olehnya bahwa Ang-hwat-lo-mo ini
membekal suatu sifat atau watak manusia yang ganjil dan istimewa. Meski berulang kali
dirinya hampir menjadi korban akan keganasannya, namun ia tidak pernah merasa dendam terhadap
Ang-hwat, Thian hi sendiri juga heran akan perasaan hatinya dan sulit untuk memberi
jawaban akan pertanyaan diri sendiri.... Mungkin dalam sesuatu hal ada titik persamaan atas
dirinya dengan Anghwat- lo-mo ini. Begitulah Thian-hi melayangkan pikirannya dengan berdiri terlongong. Tak lama
kemudian sudah berlari-lari di dalam hutan langsung menuju dimana ia berpisah dengan
burung dewata. Setelah tiba tampak burung dewata sedang berbaring di atas rumput, segera ia
naik kepunggung burung dewata terus terbang ke atas langit.
Burung dewata terbang berputar mengitari sekeliling lembah berbahaya itu, namun
tiada sesuatu yang mencurigakan, tiada kelihatan jejak orang dari Ni-hay itu, juga
tidak kelihatan bayangan Bu-bing Loni, Diam-diam ia merasa heran, akhirnya terpaksa ia turun
lagi kebumi. Sesaat Thi-hi menjadi bingung, apakah harus menyusul ke Ni-hay" Atau mengerjakan
apa lagi, kalau sekarang juga langsung menyusul ke Ni-hay mungkin Ni-hay Lojin itu belum
sampai disana, lalu apa yang harus diperbuat dalam waktu senggang ini"
Waktu ia berdiri kebingungan tiba-tiba sesosok tubuh manusia getajangan
menerobos keluar dari dalam hutan, muka orang ini berlepotan darah segar. puluhan langkah
kemudian tak tahan lagi ia tersungkur jatuh ke depan.
Begitu melihat keadaan orang itu lantas Thian-hi berjingkrak kaget seperti
disengat kala, sungguh tak duga bahwa dia bakal menghadapi peristiwa yang menggiriskan ini,
karena orang yang terluka parah ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-mo yang baru belum lama
berpisah. Cepat ia memburu maju, tampak Ang-hwat-lo-mo rebah celentang, raut mukanya sudah
tak dikenal lagi, mulutnya terlihat kemak-kemik tapi suaranya samar-samar tak jelas.
Jantung Thian-hi kebat-kebit dan badan gemetar saking seram, entah siapakah
orang yang sampai hati melukainya sampai sedemikian rupa, Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh
sembarang tokoh, tapi kenyataan ia telah dilukai berat sekali, bukanlah tidak beralasan rasa
kejut dan keheranan Thian-hi Sedang ia berpikir2 ini sementara Ang-hwat-lo-mo sudah tidak bergerak lagi,
jiwanya telah melayang. Hun Thian-hi terlongong mengawasi jazat Ang-hwat-lo-mo, hatinya kosong entah
betapa perasaan hatinya, kejadian berubah begini cepat, sehingga ia sulit mempersiapkan
diri untuk menanggung akibatnya. Tiba-tiba terdengar kesiur angin serta lambaian baju orang. Thian-hi sadar bahwa
telah kedatangan seorang musuh yang kuat, tanpa berani angkat kepala, ia mencelat
mundur lempang ke belakang. Tampak seorang tua yang mengenakan jubah putih tengah berdiri tenang diluar
hutan sebelah sana, orang tua ini angkat kepala menghadap kelangit, mulutnya terdengar
menggumam, "Setindak terlambat aku jadi kehilangan Jian-lian-hok-ling!"
Menghadapi orang tua berjubah putih ini Thian-hi merasakan hatinya tertekan
berat, tenggorokannya menjadi sesak, ia duga bahwa orang tua ini pasti Sin-jiu-mo-ih
Lam In yang telah membunuh Ang-hwat-lo-mo. Naga-naganya kepandaian silatnya tidak begitu hebat tapi kenyataan Ang-hwat-lo-
mo sudah ajal ditangannya dalam waktu yang begitu singkat, mungkin dia punya suatu ilmu
luar biasa yang ganas sekali, maka aku harus lebih hati-hati.
Seorang diri Sin-jiu-mo-ih menggumam lalu dengan sikap acuh tak acuh Lam In
mengerling ke arah Thian-hi, tanyanya, "Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?"
Pelan-pelan Thian-hi manggut-manggut.
Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In tertawa kering dua kali, katanya sambil menunjuk
jenazah Anghwat- lo-mo, "Kau lihat dia" Dia sudah mati bukan?"
Dengan was-was Thian-hi pandang orang lekat-lekat. entah apa yang hendak dia
perbuat atas dirinya. Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata pula, "Kau sedikit lebih pintar dari dia,
kalau tidak kau pun sudah mampus sejak tadi. Aku rada takabur sehingga dia masih kuasa lari
puluhan langkah baru roboh sampai disini."
Bergidik badan Thian-hi, tengkuknya jadi merinding, diam-diam ia bersyukur bahwa
jiwanya telah lolos dari lobang elmaut, untung Ang-hwat-lo-mo gentayangan puluhan
langkah kemudian baru roboh, jika dirinya tadi memburu maju memajang tubuhnya pasti jiwanya pun
sudah celaka dikerjain oleh Tabib iblis bertangan sakti Lam In ini.
Dalam pada itu tabib sakti bertangan sakti Lam In berkata pula, "Betapa pun kau
tidak akan lolos dari tanganku, segera kau pun bakal terkapar di tanah tanpa jiwa." -
sampai disini tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar hijau berkilat seperti mata srigala kelaparan
yang haus darah. Thian-hi menenangkan hati, katanya, "Mengandal apa kau berani bicara begitu
pasti" Kejadian selanjutnya tidaklah bakal berakhir seperti apa yang kau bayangkan."
"Coba kau lihat. Apakah Ang-hwat benar-benar sudah mati?" seringai Lam In.
Thian-hi tertegun, entah apa tujuan Lam In mengucapkan kata-katanya ini.
Lalu terdengar Lam In tertawa dingin, katanya, "Salah dugaanmu!" - sembari
berkata ia mengeluarkan sebuah buntalan kertas dari buntalan kertas ini ia menjemput dua
butir pil warna hitam terus membungkuk tubuh dijejalkan kemulut Ang-hwat.
Sebetulnya Thian-hi hendak maju mencegah, namun kuatir Lam In sengaja mengatur
tipu daya ia tidak berani semharangan maju, terpaksa ia saksikan saja setiap gerak gerik
Sin-jiu-mo-ih Lam In yang aneh ini. Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo memang sudah meninggal, tapi saat mana kelihatan
mulai bergerak-gerak, Thian-hi tersentak mundur lalu berdiri dengan kesima, hampir ia
tidak mau percaya akan pandangan matanya. Ternyata Lam In mampu menghidupkan orang setelah
jiwanya melayang. Pelan-pelan Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata kepada Ang-hwat-lo-mo, "Kau majulah,
bereskan manusia kerdil itu!"
Lagaknya Ang-hwat-lo-mo sudah kena dipengaruh kata-kata Sin-jiu-mo-ih, pelan-
pelan ia berdiri dan terus melangkah maju ke arah Thian-hi dengan kaku.
Bahwasanya hati Thian-hi gentar setengah mati. namun sedapat mungkin ia berlaku
tenang, dengan sikap acuh tak acuh ia menatap ke arah Ang-hwat-lo-mo yang sedang
menghampiri dirinya, pelan-pelan ia berkata kepada Lam In, "Gertak sambelmu ini hanya cukup
menakuti bocah kecil belaka, beranikah kau menempur aku?"
Sin-jiu-mo-ih menggerung gusar, tahu dia bahwa tipu muslihatnya gagal, maka
sekali mengayunkan tangan, jazat Ang-hwat-lo-mo kontan roboh terbanting di tanah,
serunya dingin, "Tapi seluruh kejadian ini benar-benar berada diluar dugaanmu bukan?"
Bab 31 Semangat dan nyali Thian-hi semakin besar, dengan tak kalah dinginnya iapun
balas menjengek, "Begitukah sangkamu" Yang terdahulu memang aku merasa diluar dugaan,
tapi untuk selanjutnya justru kau sendirilah yang bakal merasa diluar dugaan!"
Sin-jiu-mo-ih mengunjuk tawa sinisnya, tangannya mengulap ke belakang, dari
dalam hutan pelan-pelan berjalan keluar seseorang, sekali pandang mencelos hati Thian-hi,
yang muncul ini bukan lain adalah salah satu dari Si-gwa-sam-mo yaitu Kiu-yu-mo-lo.
Berkatalah sin-jiu-mo-ih kepada Kiu-yu-mo-lo, "Ajo bantu aku membekuk Hun Thian-
hi itu!" - cepat Kiu-yu-mo-lo berkelekat maju terus menubruk ke arah Thian-hi.
Jang membuat Thian-hi terkejut adalah bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah sadar dan
tergugah imannya dari sesat kejalan terang, tapi sekarang muncul di tempat ini, pasti dia
telah dikerjain oleh tabib sakti bertangan jail ini.
Begitu Kiu-yu-mo-lo melesat tiba Thian-hi lantas mencelat menyingkir,
kelihatannya kepandaian Kiu-yu-mo-lo sudah jauh lebih maju, setelah terhindar segera ia berteriak kepada
Lam In, "Berhenti dulu!"
Sin-jiu-mo-ih rada bimbang, tapi akhirnya ia berseru kepada Kiu-yu-mo-lo, "Tahan
sebentar. Coba dengar apa yang hendak dia ucapkan!"
Kata Hun Thian-hi, "Bahwasanya apakah tujuanmu coba bicara terus terang saja,
mungkin persoalan ini masih bisa kita rundingkan, jikalau kau keras kepala ingin main
kekerasan, aku bisa naik burung dewata tinggal pergi, apa yang mampu kau perbuat atas diriku?"
"Tujuan apa" Tujuanku adalah Jian lian-hok-ling itu, jikalau kau bisa
menyerahkan sekarang aku tidak ambil panjang urusan ini. Kalau tidak meski kau bisa naik burung
dewata, aku berani bertaruh kau tidak akan mampu lari dari tanganku."
"Kalau begitu marilah kami coba-coba!" demikian tantang Thian-hi sambil tertawa
tawar, lenyap suaranya tiba-tiba ia melejit naik kepunggung burung dewata, burung itu segera
pentang sayap terbang keudara. Sin-jiu-mo-ih terkekeh-kekeh dingin, mendadak sepuluh jarinya terkembang,
puluhan ekor burung-burung kecil berbulu hijau seketika beterbangan, bau obat yang tebal
segera beterbangan di tengah udara dari badan burung-burung hijau kecil itu, kontan terdengar
burung dewata memekik panjang, sayapnya terpentang menggelepar tapi tak mampu terbang ke
tengah udara, kelihatannya seperti berat sekali tak mampu lagi membawa badannya.
"Bagaimana, percaya tidak?" demikian jengek Sin-jiu-mo-ih sambil menyeringai
dingin. Bercekat hati Thian-hi, seruling jade seketika dilolos keluar badan pun cepat
melambung tinggi terus diputar sambil meluncur ke atas, sekaligus ia serang puluhan burung-burung
kecil berbulu hijau yang terbang teramat gesit, tujuannya hendak memukul roboh sekali hantam.
Tapi Sin-jiu-mo-ih ternyata tidak tinggal diam, lagi-lagi ia tertawa panjang,
badannya melejit tinggi laksana seekor burung rajawali langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi.
Sebagai tokoh kelas wahid pada jaman ini sudah tentu Thian-hi tidak gentar
menghadapi segala permainan Sin-jiu-mo-ih, terdengar ia mendengus dingin, serulingnya ditukikkan
miring turun ia lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, segulung sinar putih kemilau segera menyongsong
kedatangan Sin-jiu-mo-ih Berani menghadapi Hun Thian-hi yang terkenal hebat dan lihay ini, sudah tentu
Sin-jiu-mo-ih Lam Im punya bekal yang cukup berkelebihan untuk mengatasi serangan lawan,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak begitu ia meluncur tiba Hun Thian-hi sudah merobah jurus permainannya untuk menyerang
dirinya, tangkas sekali ditengah udara sebelah kakinya menjejak sebelah kaki yang lain, seenteng
asap badannya tiba-tiba melambung lebih tinggi lagi menghindari serangan musuh.
Sudah tentu Thian-hi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, jikalau
sekarang ia tidak segera turun tangan, babak selanjutnya belum tentu bisa memperoleh kesempatan
sebaik ini. Tanpa ayal iapun layangkan tubuhnya menerjang lebih tinggi mengejar pula dengan
rangsakan yang lebih dahsyat. Tiba-tiba Sin-jiu mo-ih mengebutkan sepasang lengan bajunya yang panjang lebar,
bubuk obat warna putih seketika beterbangan di tengah udara, dan yang lebih hebat
seluruhnya menerjang ke arah kepala Thian-hi. Sudah tentu bukan kepalang kejut Thian-hi melihat permainan licik musuh, cepat
serulingnya digentakkan serta dibolang-balingkan di depan tubuhnya, syukur ia berhasil
menghalau bubuk obat itu dengan kekuatan tenaga dalamnya, gebrak selanjutnya ia menjadi jeri
mengejar pula, cepat ia lorotkan tubuhnya meluncur turun ke tanah. Meski ia cukup cekatan tak
urung ada sebagian bubuk obat yang berhasil tersedot ke dalam hidungnya, kontan ia
rasakkan dadanya sesak dan mulut menjadi mual hendak muntah2, yang lebih celaka lagi kepala
terasa pusing dan pandangan berkunang-kunang.
Thian-hi insaf bahwa ia sudah menyedot racun, cepat ia loncat pula ke belakang
keluar dari lingkupan bubuk-bubuk putih itu, terus berdiri tegak mengempos semangat dan tak
berani sembarangan bergerak. Terdengar Sin-jiu-mo-ih tertawa menggila ditengah taburan bubuk obatnya yang
beracun, badannya segera menukik turun secepat burung elang menerkam anak ajam langsung
menepuk ke batok kepala Hun Thian-hi dengan kedua telapak tangannya.
Meski Thian-hi cuma menyedot sedikit saja bubuk obat itu, tapi ia sendiri maklum
bahwa ia sudah keracunan cukup berat, sebisanya ia mengerahkan serulingnya ke atas
memunahkan rangsakan Sin-jiu-mo-ih Lam Im yang sangat berbahaya itu.
Sementara Sin-jiu-mo-ih sendiri juga teramat heran, bagaimana mungkin Hun Thian-
hi tidak segera roboh mampus setelah menyedot obat beracunnya yang sangat jahat, setelah
mencelat mundur sejenak ia berpikir lalu katanya dingin, "Tiada gunanya, meski kau pernah
menelan buah ajaib, sama saja kau bakal mampus ditanganku!" - lalu ia terbahak-bahak lagi
lebih menggila. Dengan berhasilnya Thian-hi menghalau rangsakan Lam Im yang mematikan itu,
kepala Thianhi pun terasa semakin berat pikirannya mulai kabur, setiap perkataan Lam Im seakan-
akan sebuah pukulan godam yang mengetok batok kepalanya sehingga kepalanya terasa hampir
pecah. Selesai berkata segera Lam Im mendesak maju pula kepada Thian-hi, ingin rasanya
sekali hantam ia bikin lawan kecilnya ini mampus seketika, adalah setimpal hukuman ini
bagi Thian-hi karena dialah yang telah menggagalkan usahanya dalam memperoleh Jian-lian-hok-
ling itu. Pandangan Thian-hi kepada Lam In yang berada di depannya semakin kabur, tahu dia
bahwa sembilan bagian dari sepuluh jiwa raganya sudah tercengkeram di tangan Lam Im,
bayangan beberapa raut wajah yang sangat dikenalnya berkelebatan dalam benaknya, terasa
olehnya betapa penderitaan seseorang dalam mendekati ajalnya, banyak alasannya untuk
memperjuangkan hidupnya karena banyak urusan yang belum selesai ditunaikan, dan
lagi segan dan berat rasanya meninggal dunia fana yang membawa banyak kenangan bagi
sanubarinya, suatu pemikiran yang cukup dapat menghibur hatinya cuma bila ia benar-benar
mati, meski ia belum berhasil menunaikan tugasnya tapi tiada seorang pun dalam dunia ini yang
bakal menanggung sengsara karena dirinya.
Dengan menyeringai sadis Lam Im menghampiri pula ke arah Thian-hi, didapatinya
sekarang dengan pasti bahwa Hun Thian-hi sudah kehilangan daya pertahanan terhadap
serangannya. Sekonyong-konyong ditengah udara kumandang sebuah teriakan, "Lam Im nanti dulu!"
Sin-jiu-mo-ih terkejut, sekilas ia melengak, dalam jaman ini orang yang berani
gembar-gembor memanggil namanya cuma beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, sedang
para sahabat karibnya yang aneh2 banyak yang sudah wafat, tak terpikir olehnya siapakah orang
ini yang berani meneriakan namanya secara langsung, cepat ia menengadah melihat ke atas
udara. Thian-hi sendiri juga tersentak sadar mendengar teriakan ini, timbul setitik
harapan dalam sanubarinya, dengan susah payah ia coba angkat kepala mendongak ke atas angkasa.
Seekor burung rajawali yang besar berbulu emas pelan-pelan menukik turun dan
hinggap dimuka bumi, kiranya pindatang ini adalah murid Thay-si Lojin. keruan kejut dan
girang pula hatinya. Thay-si lojin merupakan seorang tokoh yang berjiwa luhur dan berwatak
aneh berkepandaian tinggi pula, maka muridnya itu pasti bukan sembarang tokoh pula,
sekarang dia berani muncul dalam keadaan yang gawat ini. maka harapan hidup jiwanya semakin
besar, dari teriakan atau panggilan tadi dapatlah diduga bahwa beliau pasti kenal akan Sin-
jiu-mo-im Lam Im. Begitu melihat siapa pendatang ini, tergetar benak Sui-jiu-mo-ih Lam Im, cepat
ia memapak maju lalu menjura serta sapanya hormat, "Kiranya kau orang tua yang datang, Lam
Im tidak tahu harap maaf bila kurang hormat!"
Melihat kelakuan orang semakin lega sanubari Thian-hi, tingkat kedudukan Thay-si
Lojin di Bulim teramat tinggi dan cukup diagungkan tiada yang tidak mengindahkan
ketenaran namanya, dilihat gelagatnya mereka saling berkenalan, maka tiada sesuatu pula yang perlu
dikuatirkan dirinya. Terdengar si orang tua berkata pada Lam Im sambil tertawa, "Selama berpisah
apakah kau baik-baik saja?" Lam Im menundukkan kepala tidak bersuara. Gurunya Sin-chiu-ih-sing adalah
keponakan Thaysi Lojin, beliau banyak mendapat bimbingan dan asuhan sangat berharga dari tokoh
agung ini, demikian juga dirinya tidak sedikit mendapat petunjuk dan bimbingan dari Thay-si
Lojin. Orang tua itu tertawa. ujarnya, "Ilmu ketabiban adalah untuk menolong jiwa
orang, sekali2 pantang digunakan, untuk mencelakai jiwa manusia, ketahuilah hukum karma,
sesuatu yang pernah kau perbuat kelak akan menimpa pula akan dirimu."
Karena berlega hati pertahanan Thian-hi semakin kendor dan akhirnya tidak
tertahan lagi, kepalanya semakin berat, tampak bayangan si orang tua, dan Sin-jiu-lo-jin sama
semakin kabur dan beterbangan di depan matanya, beberapa kali ia melihat Sin-jiu-mo-ih membuka
mulut hendak bicara tapi suaranya tidak terdengar, pelan-pelan kepalanya tertunduk dan
kaki menjadi lemas pula setelah sempoyongan akhirnya ia meloso jatuh dan tidak ingat diri.
*** Entah berapa lama berselang, akhirnya Thian-hi pelan-pelan siuman dari pulasnya,
tatkala itu cuaca sudah gelap gulita, bintang-bintang beterbaran dicakrawala yang cerah
cemerlang, sesaat kemudian ia celingukan kian kemari, sekelilingnya kosong melompong tiada sesuatu
pun yang menarik pandangan matanya.
Thian-hi menjadi keheranan, masih jelas dalam ingatannya ia pernah kena racun
yang sangat jahat. kebetulan si orang tua datang menolong jiwanya, tapi apa yang telah
terjadi selanjutnya ia tidak tahu. Pelan-pelan ia bangkit berdiri, terlihat serulingnya menggeletak di tanah
sebelah kakinya, pelan-pelan dijemputnya senjatanya itu, tampak pada batang serulingnya itu
tertempel secarik kertas, dimana tertulis, "Lam Im sudah kubawa pergi, lekas menyusul ke Ni-hay!"
Thian-hi tahu bahwa orang tua itulah yang meninggalkan pesan ini, sejenak ia
terlongong, lalu menjelajahkan pandangannya kesekelilingnya. tampak burung dewata masih mendekam
di bawah pohon sana, cepat ia menghampiri terus naik ke atas punggungnya dan terbang
langsung menuju keselatan, ke Ni-hay. Waktu terang tanah Thian-hi sudah sampai di Ni-hay dan turun di pesisir yang
berpasir halus, ia periksa keadaan sekelilingnya, dalam hati ia bertanya-tanya siapakah sebenar-
benarnya yang mengundangku kemari kenapa si orang tua juga menyuruhku kemari juga" Sekarang
aku sudah tiba di tempat tujuan jelas tidak akan salah kaprah, kenapa takut-takut lagi,
orang yang mengundang aku pasti akan muncul menemui aku sendiri.
Ia ulapkan tangannya menyuruh burung dewatanya menyingkir pergi, seorang diri ia
beranjak dipesisir Ni-hay yang tak berujung pangkal.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang dari sebuah kapel yang
terdapat dipinggir sebelah atas yang dibangun di atas batu karang dipinggir laut sebelah
depan. sana, Thian-hi menghentikan langkahnya, dalam waktu sepagi ini, masa mungkin ada orang
berkunjung ke tempat ini. jelas pasti orang yang mengundang aku itulah yang memanggil
diriku. Dengan cermat Thian-hi mengawasi ke arah kapel di depan sana, sekarang ganti
terdengar suara gelak tawa yang lantang, tapi arah suaranya sudah berganti tempat
disetelah sana. Thian-hi jadi mengerutkan kening, sabenar-benarnya orang macam apakah yang
mengundang aku kemari" Demikian ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa begini humor dan suka
berkelakar agaknya, entah bagaimana aku bersikap nanti setelah ketemu dengan beliau.
Tampak sebuah sosok bayangan abu-abu berkelebat keluar dari kapel itu lalu
berlari-lari kencang menyelusuri pesisir yang berpasir.
Cepat Thian-hi melompat mengejar, dari kejauhan ia berteriak, "Cianpwe harap
tunggu sebentar!" Agaknya orang itu tidak peduli atau mungkin anggap tidak dengar akan teriakan
Thian-hi, langkah kakinya malah dipercepat. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi kerahkan
tenaganya mengejar lebih pesat pula.
Bayangan abu-abu itu melesat secepat kjlat menuju ke arah sebuah kapel lain
disebelah depan sana, sekali berkelebat tiba-tiba bayangannya lenyap dibailk kapel itu.
Thian-hi langsung mengejar masuk, setiba ia di dalam kapel didapati keadaan
kosong melompong tiada jejak manusia, mau tak mau ia mengerutkan alis. hatinya menjadi
gelisah dan cukup kesal, tapi agaknya orang sengaja main sembunyi2 dan kelakar padanya.
Thian-hi jelajahkan pandangannya mengawasi kesegala pelosok kapel yang tidak
begitu besar ini, tapi sungguh ia tidak habis mengerti kemana orang itu bisa sembunyi dengan
mengelabui matanya, saking kewalahan ia berdiri mematung diam saja, sesaat kemudian ia baru
bersuara, "Untuk keperluan apakah sebenar-benarnya Cianpwe mengundang Wanpwe kemari,
kenapa tidak mau unjuk diri untuk bicara?"
Baru saja habis ia berkata, mendadak terlihat sesosok bayangan melesat terbang
dari puncak kapel terus melesat keluar jauh sana. Cepat Thian-hi melesat keluar kapel belum
jauh ia mengejar tiba-tiba tampak orang itu membalikkan tangan, tampak ia melemparkan segulung
benda kecil warna putih melesat pesat ke arah mukanya.
Sekali raih Thian-hi berhasil menangkap, kiranya itulah segulung kertas, waktu
ia angkat kepala lagi tampak bayangan itu sudah menghilang pula dibalik kapel di depan sana,
cepat Thian-hi membuka lempitan kertas itu, dimana ada tertulis, "Bahwasanya kita tidak pernah
mengundang kau kemari!" Saking dongkol Thian-hi menjublek ditempatnya, sesaat ia sukar berkata-kata.
Gerakkan tubuh orang itu sungguh teramat pesat, ia insyaf bahwa dirinya tidak akan lebih unggul
dan berhasil menyandaknya, tapi apakah dia mudah dipermainkan demikian saja" Tidak! Betapapun
aku harus mencari dan mengejar sampai orang itu muncul, bila orang mau unjukan diri segala
urusan pasti bisa diselesaikan.
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena pikirannya ini cepat Thian-hi melesat pula ke kapel disebelah depan sana.
Baru saja kakinya bergerak tampak pula olehnya sebuah bayangan abu-abu yang lain melesat
keluar dari kapel semula terbang pesat ke arah jurusan lain.
Thian-hi jadi melengak heran, pikirnya, "Kiranya bukan melulu seorang saja, tak
heran dalam tulisan itu ia menyebut "kita", naga-naganya sedikitnya mereka berjumlah dua
orang!" Ia tidak hiraukan bayangan yang bergerak belakang ini, langsung ia menyusul ke
Kapel yang ada di sebelah depan sana. Baru saja kakinya tiba di ambang pintu secarik kertas
melayang jatuh dari langit2 kapel, sekali raih Thian-hi mengambilnya, keadaan kapel kosong
melompong tiada jejak manusia. Gesit sekali Thian-hi jejakkan kakinya melompat mundur keluar kapel, waktu ia
baca tulisan dalam kertas itu seketika darah bergolak di rongga dadanya, saking marah ia
mematung ditempatnya sambil kertak gigi, kiranya tulisan itu berbunyi, "Bujung kau
terlambat datang, aku tinggal pergi, jangan kau marah lho!"
Sesaat lamanya Thian-hi masih terlongong li tempatnya, ia pikir aku terhitung
seorang tokoh kelas wahid juga, sungguh tidak nyana di tempat sejauh ini aku dipermainkan
orang, sukar dipercaya ada orang yang mampu lolos dari pengamatan sepasang matanya yang jeli.
Akhirnya ia bersuara ke arah kapel di depannya itu, "Cianpwe harap jangan main
sembunyi lagi.... aku tahu bahwa kau orang tua masih belum meninggalkan kapel ini, harap
suka unjukkan diri untuk bicara dengan Wanpwe!"
Tidak terdengar penyahutan. Thian-hi berkata lagi, "Cianpwe jangan permainkan
aku lagi, kepandaian silat Cianpwe sungguh membuatku kagum dan takluk benar-benar, silakan
kalian keluar saja!" Maka terdengarlah sebuah suara tawa dari dalam kapel itu, berkatalah sebuah
suara serak yang bernada rendah, "Bujung macammu ini kiranya cerdik juga, tapi aku orang tua
tidak gampang kena kau tipu!" Berdiri diluar kapel Thian-hi menyahut tertawa, "Akupun tidak akan kena
dikelabuhi lagi, cukup aku berdiri diluar sini, kecuali kau melarikan diri. kalau tidak betapa pun kau
akan muncul juga!" Sesaat lamanya suasana menjadi sunyi, kemudian terdengar sebuah dengusan hidung,
suara serak itu berkata pula, "Untuk apa kau bujung ini selalu menguntit aku" Kerjaan
penting tidak kau selesaikan, sehari2an kau melakukan pekerjaan tak genah!"
Diam-diam Thian-hi lantas membatin, "Entah siapa yang bekerja gegabah, usiamu
sudah sedemikian lanjut, tapi bersikap edan2an tak tahu adat. sekarang kau menegur aku
malah" - dalam hati ia membatin begini, tapi mulutnya berkata lain, "Jadi maksud Cianpwe
supaya aku lekas-lekas meninggalkan tempat ini?"
"Benar-benar!" suara serak itu menyahut, "usiamu masih semuda itu tapi sehari2an
mengejar2 perempuan, tidak tahu malu, hayo lekas pulang!"
Thian-hi jadi menyengir, ia garuk2 kepalanya yang tidak gatal, teguran orang
tidak masuk alasan, sejenak ia berpikir lalu serunya, "Kalau begitu baiklah Wanpwe segera
pulang, harap Cianpwe suka capaikan diri merawat mereka berdua." - ia siap melangkah pergi.
"Hai nanti dulu!" suara serak itu berteriak tinggi....
Sebenar-benarnya Thian-hi cuma pura-pura belaka, mendengar teriakan itu, ia
putar balik lagi, katanya, "Ada urusan apa lagi" Cianpwe?"
Kedengarannya orang itu menjadi gugup, katanya, "Masa mau tinggal pergi begitu
saja!" "Habis apa yang harus Wanpwe lakukan?" demikian sahut Thian-hi, "Cianpwe tidak
mau unjuk diri untuk bicara, terpaksa tinggal pergi saja, urusan boleh kita bicarakan lagi
lain kesempatan!" Orang itu mendengus, katanya, "Jangan kau gunakan alasan itu untuk main ancam
terhadap aku ya!" "Sedikitpun Wanpwe tidak berpikiran begitu," demikian Thian-hi berdiplomasi
sambil tertawa, "soalnya aku menurut kehendak Cianpwe supaya aku lekas pulang bukan!"
Baru saja ia selesai bicara mendadak didengarnya kesiur lambaian baju
dibelakangnya, luncurannya sedemikian pesat jarang ditemui selama ini. Sebat sekali ia
berkelebat menyingkir. Tahu-tahu seorang tua yang berbadan kurus kecil sudah muncul dihadapannya.
Mulut orang tua kurus kecil ini mengeluarkan suara aneh, lalu berkata ke arah
kapel, "Lotoa, bocah ini rada aneh sedikit, pukulanku kiranya berhasil dihindari olehnya."
Orang didalam. kapel itu mendengus, dilain kejap tampak sesosok bayangan
melayang turun bentuk orang tua ini hampir sama dengan orang tua yang terdahulu, cuma raut
mukanya tampak sedikit lebih gemuk dan lebih tua. Sejenak ia mengawasi Thian-hi lalu ia tanya,
"Naga-naganya kau memang punya banyak kepandaian tulen, hari ini akan kupaksa kau membojong
seluruh kepintaranmu itu." Mendadak Thian-hi ingat secara reflek tadi ia sudah gunakan langkah Ling-coa-pou
untuk meluputkan diri dari sergapan si orang tua kurus kecil ini, tidak perlu dibuat
heran bila mereka menjadi takjup dan ingin menjajal kepandaiannya. Cepat ia menjura serta berkata,
"Wanpwe Hun Thian-hi, harap tanya nama mulia Cianpwe berdua!"
Orang tua yang rada gemuk menjadi kurang sabar, katanya, "Aku bernama Goan
Tiong, dia bernama Goan Liang, orang menyebut kami Ni-hay-siang-kiam, sudah cukup bukan,
mari sekarang kau boleh unjuk sejurus dua gebrak kepandaianmu."
Dari samping Goan Liang ikut menyela, "Toako main sungkan apa segala" Makin
sungkan kepalanya semakin besar, justru aku tidak percaya kepandaian sejati apa yang dia
miliki, biar kujajal dia lagi betapa tinggi kepandaian bocah keparat ini."
Sembari berkata kakinya sudah melangkah ke depan, keruan Thian-hi merasa kaget,
melihat gerak gerik kedua orang tua yang begitu gesit dan tangkas tadi, Thian-hi tahu
bahwa dirinya bukan tandingan mereka berdua, cepat ia melangkah mundur serta berteriak, "Nanti
dulu!" Goan Liang menghentikan kakinya, tanyanya, "Masih mau ngobrol apa lagi kau?"
Melihat sikap kasar orang Thian-hi jadi gemas dan dongkol, tapi apa boleh buat,
sejenak ia merandek lalu katanya, "Cara ini kurang adil! Kalian menindas bocah kecil,
berdua main keroyok lagi, apakah kalian tidak takut ditertawakan orang, Ni-hay-siang-kiam yang
kenamaan kok mengeroyok bocah kecil?" ~sebenar-benarnyalah baru hari ini ia pertama kali
mendengar nama Ni-hay-siang-kiam ini. Cepat Goan Tiong mencegah Goan Liang, "Loji jangan main kasar. Ucapan bujung ini
memang benar-benar, masa begitu gampang kau hendak menjatuhkan pamor kita selama
puluhan tahun?" Terpaksa Goan Liang mundur pula ke tempatnya semula.
Kata Hun Thian-hi, "Cianpwe berdua mengundang aku kemari entah ada keperluan
apa?" "Konon kabarnya kau bakal menjadi jagoan nomor satu di seluruh kolong langit
ini, apalagi sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, maka kuundang kau kemari untuk belajar
kenal!" "Kalau hanya untuk keperluan itu, tidak perlulah dilanjutkan persoalan ini,
bagaimana ilmu silatku Cianpwe berdua tadi sudah menyaksikan, terpaut terlalu jauh dibanding
kalian berdua, kabar angin kenapa harus dipercaya!"
Goan Tiong menggeleng kepala, "Belum tentu begitu, bukan mustahil hal itu bisa
kenyataan." Thian-hi tertawa besar, "Wah, aku terlalu diagulkan, tapi tokoh-tokoh silat yang
berkepandaian tinggi dalam dunia ini jumlahnya laksana bintang-bintang yang tersebar, di
cakrawala, siapa yang berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu?"
Goan Tiong berdua melengak, sesaat mulut mereka terkancing.
Kata Goan Liang, "Tapi toh pasti ada yang nomor satu bukan, apakah kau sendiri
tidak berani mengakui?" Thian-hi menggeleng kepala, ujarnya, "Soal ini tidak bisa dibicarakan secara
khusus, ilmu teramat luas dan tergantung dari orang-orang yang mempelajarinya, seperti
pepatah ada berkata ada gunung yang lebih tinggi dari gunung yang lain, orang pintar ada pula orang
lain yang melebihi kepintarannya, sulit untuk menentukan nomor satu itu dengan suatu
kepastian dalam teori belaka" "Jite." sela Goan Tiong, "ucapannya memang benar-benar, sudah jangan main debat
lagi, yang terang kami akan menjajal sampai dimana tingkat kepandaiannya, kenapa melantur
segala" "Ya benar-benar, kenapa aku menjadi linglung!" ujar Goan Liang tertawa geli
sendiri. Maka berkatalah Hun Thian-hi, "Kalau Cianpwe berdua sudah berketetapan, akupun
tidak bisa mengelak lagi, cuma bila bertarung secara keras lawan keras bukan mustahil salah
satu pihak bisa terluka dan hal ini akan merugikan nama Cianpwe berdua, maka kuharap Cianpwe
berdua suka mencari cara lain yang lebih sempurna!"
Goan Tiong bergelak-gelak, serunya, "Kau hendak main gertak untuk mempersukar
kami berdua" Betapa pun kami tidak akan dapat kau kelabui, bukankah tadi kau katakan
pelajaran ilmu tergantung bakat dan ketekunan orang yang mempelajarinya" Kepandaian apa yang
paling kau banggakan silakan pamor pada kami, bila kami berdua memang tidak ungkulan, kami
rela mengaku kalah, cara ini kukira cukup menguntungkan bagi kau!"
Thian-hi tertawa-ewa, ujarnya, "Tapi tiada sesuatu pelajaran yang boleh
kubanggakan!" Goan Tiong menarik muka, katanya bersungut, "Jangan kau pungkir lagi, kalau
tidak aku tidak akan main sungkan-sungkan lagi pada kau!"
Apa boleh buat akhirnya Thian-hi berkata, "Bicara mengenai ilmu kebanggaanku,
sebenarbenarnyalah tiada satupun yang kumiliki, tapi Cianpwe mendesakku begini rupa, terpaksa
kuanggap segala pelajaran yang kumiliki itu sebagai ilmu bekalku, lalu bagaimana
baiknya?" "Sombong benar-benar kau," semprot Goan Liang, "Cobalah nanti kau pamer segala
kemampuanku itu, apakah kami berdua mampu melayani kau. Bagaimana cukup puas
belum!" Hun Thian-hi tertawa lebar, memang kesanalah tujuannya semula, untuk gebrak2
yang akan datang betapapun ia pantang menyerah, jika sampai kalah, bila Ni-hay-siang-kiam
dua bangkotan aneh ini mengajukan persoalan2 pelit, pasti dirinya menjadi semakin runyam.
Sejenak Thian-hi berpikir lalu ia berkata, "Guruku diberi julukan Seruling
selatan, seperti apa yang kalian lihat aku pun menggunakan seruling sebagai senjata, maka aku lebih
peka dalam pengetahuanku mengenai nada atau ritme musik, sekarang cobalah kalian dengarkan
irama lagu serulingku ini!" Goan Tiong tertawa besar. serunya, "Sejak lama kudengar huhwa Seruling selatan
punya kepandaian khusus menggunakan irama serulingnya untuk menundukkan musuhnya,
dengan irama seruling menutuk jalan darah sangat kenamaan di dunia persilatan. fsungguh
tak duga hari ini kami memperoleh kesempatan untuk menikmati kepandaian yang tiada taranya
ini!" Thian-hi tertawa-tawa, kesepuluh jarinya sudah mulai bergerak pada posisi
masing-masing di atas lobang batang seruling itu, pelan-pelan ia lekatkan di depan bibirnya,
dengan cermat ia pandang kedua orang di depannya.
"Silakan tiup saja," demikian ujar Goan Tiong dan Goan Liang bersama, "Jangan
kau kuatir kami tidak akan kuat bertahan."
Sebetulnya Thian-hi punya perhitungan atau rencananya sendiri, melihat sikap
orang ia maklum bahwa kedua orang ini tentu sudah menelan Jian-lian-hok-ling itu, kalau tidak
masa berani mereka begitu takabur, agaknya untuk menang dan mengalahkan kedua musuhnya ini teramat
sulit sekali. Tapi bagaimana juga ia harus mencobanya. mengandal lwekang betapapun aku tidak
rela kena dikalahkan tanpa diuji sebelumnya meski aku harus dikeroyok dua.
Dalam kejap lain irama serulingnya sudah mengembang ditengah udara, suaranya
lembut rendah dan merdu sekali irama musik ini kedengaran kalem tapi sebenar-benarnya
sekaligus Thian-hi sudah melagukan Ngo-im-ho-bing (paduan lima nada), sedemikian merdu dan
mengasjikkan sekali mengili hati seperti aliran sungai mengalir gemercik lembut,
pendengarnya pasti teralun ke dalam alam inilah yang mempesonakan.
Gioan Tiong dan Goan Liang berdua diam-diam menjadi heran, sebagai murid Lam-
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siau adalah jamak bila Thian-hi punya kepandaian yang tinggi dan mendalam dalam ilmu
serulingnya ini dan kepandaian ini tentu juga merupakan ilmu khusus yang dipelajarinya sejak kecil
tapi kenapa rasanya begini longgar dan cetek saja pengetahuannya dalam bidang ilmu musik
ini. Tapi meski punya pikiran memandang ringan betapapun mereka selalu siap waspada, soalnya ini
baru merupakan gebrak permulaan.
Irama seruling masih mengembang terus dan nadanya semakin meninggi lalu mengalun
turun pula menyelusuri dataran rendah melebar kesegala penjuru, sekelilingnya seolah-
olah sudah diramaikan oleh kicauan irama berbagai bunyi kicauan burung, baru sekarang Goan
Tiong dan Goan Liang mulai terkejut dan terkesiap hanya kiranya Thian-hi memang cukup
cerdik memancing pendengarannya terjebak ke dalam khayalan pikirannya, sedikit kurang hati-hati
celakalah mereka, cepat mereka mulai mengerahkan hawa murni dan tenaga untuk bertahan.
Tanpa disadari oleh mereka bahwa irama lagu yang dikerahkan dengan kekuatan hawa
murni yang hebat itu bahwasanya sudah merasuk ke dalam hatinya, begitu mereka
mengerahkan tenaga untuk melawan, kontan irama seruling lantas menerjang seperti gelombang laut
yang mendampar batu-batu karang tidak berkeputusan. nada lagunya juga semakin tinggi dan cepat,
suara kicauan burung yang mengasjikkan dan bau kembang yang menyejukkan badan telah lenyap,
kini berganti auman binatang buas yang saling berpaduan dengan rupa rendah, laksana ratusan
kuda berderap langkah dengan lari kencang.
Lambat laun Goan Tiong dan Goan Liang mengunjuk kepayahan, jidatnya basah oleh
keringat, betapa kuat mereka mengerahkan pertahanan namun karena dasarnya semula kurang
kuat dan keterjang pula dari luar dan dalam. sehingga pertahanan yang terjepit itu lama
kelamaan semakin kendor dan hampir bobol sama sekali, jelas mereka sudah tidak kuat lagi
mempertahankan diri.... Biji mata Thian-hi berkilat-kilat, tiba-tiba bibirnya bergerak irama serulingnya
melambung tinggi, seolah-olah membawa semangat kedua lawannya naik ke atas awan mengembang
ditengah angkasa lalu dibantingnya jatuh pula ke tanah, begitulah berulang kali diombang
ambingkan turun naik seperti sebuah sampan kecil dihempas naik turunkan dalam gelombang samudra
yang mengamuk. Goan Tiong sudah tak kuasa lagi mengendalikan diri, cepat ia membuka mulut
lebar-lebar dan menggembor sekeras-kerasnya, demikian juga Goan Liang tidak mau ketinggalan,
mulutnya pun mengeluarkan pekik tinggi yang nyaring, kedua suara mereka berpadu sejajar
melawan irama seruling yang sedang mengamuk seperti angin puyuh ditengah padang pasir. Begitu
dua macam suara saling bentrok, irama seruling Thian-hi rada kena terdesak, keruan Thian-
hi kaget, tahu bahwa bila dilanjutkan cuma membuang-buang tenaga dan belum tentu bisa menang,
ia turunkan serulingnya dan seketika lenyaplah irama lagu yang mengamuk dan memistik hati
itu. Sambil membasut keringat di jidatnya Goan Tiong tertawa dibuat-buat, katanya,
"Gebrakan ini jelas kau tidak mampu mengalahkan kami, coba kau masih punya kepandaian apa
lagi, silakan boyong keluar!" Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Irama serulingku tak dapat menang,
kepandaian lain apa lagi yang aku miliki?"
"Tidak menjadi soal" bukankah kau tadi mengatakan setiap ilmu yang kau bekali
merupakan kepandaian yang sama-sama kau banggakan?" demikian olok Goan Tiong. "Cobalah
belum tentu kau bakal kalah." Terpikir oleh Thian-hi suatu cara untuk memperoleh kemenangan, namun dalam mulut
ia masih merendah, katanya, "Mengandal kepandaian Wanpwe yang masih begini cetlk mana
berani aku bertanding lebih lanjut dengan Cianpwe berdiua?"
Goan Tiong menjadi senang, katanya tertawa lebar, "Kenapa main sungkan-sungkan,
bukankah kau ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek" Cobalah dengan ilmu ini" Konon ilmu ini
cuma merupakan sejurus tunggal yang teramat lihay dikalangan persilatan, hayo beri kesempetan
pada kami berdua untuk menyaksikannya."
"Adanya perintah dari orang yang lebih tua, aku yang lebih muda harus patuh dan
menurut saja. sebelumnyalah meski Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang
tiada taranya di seluruh kolong langit ini, dalam pembawaan Wanpwe yang kurang becus ini, pasti
bukan apa-apa bagi Cianpwe berdua."-demikian Thian-hi masih merendah diri.
Karena diagul2kan Goan Tiong dan Goan Liang menjadi kesenangan. serunya tertawa
besar, "Masa ija. marilah dicoba-coba!"
Pelan-pelan Thian-hi mengacungkan serulingnya. serunya, "Awas Cianpwe! Wanpwe
akan mulai." "Dengan tertawa Goan Tiong dan Goan Liang membuka tangan, maksudnya supaya
Thian-hi mulai saja tak usah kuatir pada mereka, terang sikap mereka ini memandang
rendah. Mereka tetap bertangan kosong, diam-diam Thian-hi mengupat dalam hati. karena
jelas sekali orang terlalu memancang rendah pada Wi-thian-cit-ciat-sek, hal ini malah
membuatnya kuatir, tak enak rasanya mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi dalam keadaan terdesak
begini mau tak mau ia harus melancarkan jurus-jurus ilmunya itu, maka begitu jejakkan kakinya
badannya melambung ke tengah udara dan berputar setehgah lingkaran, serulingnya menutul
kesamping terus ditukikkan kebawah, itulah jurus Wi-thian-cit-ciat-sek salah satu dari
kembangan variasinya, segulung tenaga dahsyat kontan menerjang ke arah Goan Tiong berdua.
Goan Tiong dan Goan Liang berdiri jajar, serempak menekuk dengkul, gerak gerik
mereka serasi benar-benar, sama-sama mendorong kedua telapak tangan ke depan
menyongsong rangsakan Thian-hi. Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya dikolong
langit, masa dapat digempur dan dipunahkan begitu gampang oleh Ni-hay-siang-kiam cukup dengan
songsongan empat pukulan telapak tangan belaka, tujuh jalur tenaga dahsyat berputar dan
saling silang bergantian berputar menyampok balik gelombang pukulan mereka berdua, malah jauh
berkelebihan tenaga yang mendampar itu terus menerpa ke arah mereka berdua.
Seketika dada kedua orang seperti dipukul godam, saking kejutnya serempak mereka
melompat mundur, begitu berdiri tegak pula tangan masing-masing sudah menghunus pedang.
Sebenar-benarnia Thian-hi sendiri tidak melancarkan serangannya sepenuh hati,
apalagi sikap kedua lawannya terlalu memandang enteng, apa boleh buat terpaksa ia kendorkan
tenaga serangannya, tapi saat mana Ni-hay-siang-Kiam sudah keburu melolos pedang, cuma
Thian-hi sudah menarik serangan lebih lanjut maka ia batalkan rangsakan selanjutnya.
Goan liong dan Goan Liang saling pandang, kata Goan Tiong, "Kenapa kau mundur
dan batalkan seranganmu?"
Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, "Tenaga Wanpwe kurang kuat tak kuasa meneruskan
lagi." Ia tahu bila ia mengatakan dirinya sudah menang kedua lawannya ini pasti tidak
terima, betapapun harus dicoba sekali lagi, kini mereka sudah menghunus pedang, ada
lebih baik aku mundur setapak, siapa tahu dengan caraku ini aku bakal memperoleh keuntungan.
Dengan memicingkan mata Goan Liang mengawasi Hun Thian-hi, katanya, "Tapi
jikalau kau kalah. jangan harap kami suka menyerahkan kedua orang itu kepada kau!"
Hun Thian-hi tertawa, katanya, "Sudah tentu aku maklum. tapi tidak mudah aku
mengambil kemenangan!" Goan Tiong dan Goan Liang sama adalah tokoh-tokoh silat kelas tinggi. sudah
tentu mereka tahu kemana jutrungan ucapan Thian-hi. soalnya mereka sudah kebiasaan bersikap
sombong dan takabur, mana bisa mereka mau mandah menyerah"
"Bagaimana?" kata Goan Tiong, "Silakan kau coba sekali lagi!"
Hun Thian-hi sudah tahu bahwa kedua musuhnya pasti akan mendesaknya, ia mandah
tertawa ewa, sahutnya, "Tak perlulah, coba-coba juga sama saja, bila Cianpwe berdua suka
memberi kelonggaran Wanpwe punya suatu cara, tapi entahlah Cianpwe berdua apa setuju?"
"Cobalah kau sebutkan caramu itu!" seru Goan Tiong berdua.
Hun Thian-hi girang, bila dua lawannya ini setuju kemenangan jelas bakal
dicapainya, betapapun usul yang akan diajukan ini sulit untuk ditampik oleh kedua lawan
tuanya ini. Maka ia menambahkan, "Tapi usulku ini agaknya rada kurang menguntungkan bagi Cianpwe
berdua." Goan Tiong dan Goan Liang beradu pandang, terpaksa mereka kertak gigi, sahutnya,
"Baiklah silakan kau sebutkan, sebetulnya cara baik apa?"
Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia berpendapat mengandal ilmu silat ia tidak
mampu mengalahkan kedua lawannya, tapi ia harus mencari suatu akal untuk menundukkan
mereka, akhirnya ia berkata, "Aku ada beberapa persoalan yang sulit dipecahkan. entah
apakah Cianpwe berdua suka memberi petunjuk?"
Lagi-lagi Goan Tiong berdua beradu pandang, kata Goan Tiong, "Maksudmu kau
hendak menguji kami dengan persoalanmu itu untuk menentukan menang kalah?"'
"Bukan begitu maksudku seluruhnya, cuma aku ingin tahu beberapa persoalan,
dengan pengalaman dan pengetahuan Cianpwe berdua yang luas. tentu kalian dapat memberi
penjelasan padaku!" Alis Goan Tiong bertaut, ia merenung sekian lamanya, tidak bisa tidak ia harus
menyetujui permohonan Thian-hi ini. cuma persoalan apakah yang hendak Thian-hi tanyakan"
Ini sulit diketahui, bila perlu nanti setelah kami menang secara kebesaran jiwa kami
serahkan Ma Gwatsian dan gurunya kepada Hun Thian-hi, betapapun aku tidak boleh kalah. Sejenak ia
berpikir apa boleh buat terpaksa ia manggut-manggut, katanya, "Baik, tapi harus ada batasnya,
kau hanya boleh mengajukan tiga pertanyaan!"
Thian-hi manggut-manggut, dengan mengajukan cara ini sudah tentu dia sudah punya
persiapan, setelah berpikir sebentar ia lantas berkata, "Ingin aku tahu cara
bagaimana Ma Gwatsian diantarkan masuk dan cara bagaimana pula keluar dari lembah itu?"
Goan Tiong menyengir girang, sejak tadi hatinya kebat-kebit, entah pertanyaan
apa yang hendak diajukan oleh Hun Thian-hi" Sekarang mendengar pertanyaan yang sepele ini
ia menjadi geli dan berlega hati, bahwasanya mereka paling jelas mengenai hal ini, kalau
tidak masa begitu gampang mereka bisa mendapatkan Jian-lian-hok-ling itu"
"Masa hal yang sepele itu tidak dimengerti! Dimana terdapat Jian-lian-kok-ling
itu disekitarnya pasti terdapat pula Laba-laba darah, laba-laba darah ini setiap setengah bulan
pasti tertidur. Tatkala Cian-lian-hok-ling itu hampir matang baunya yang harum tersuar luas dan
memabukkan, kebetulan pula laba-laba merah itu sedang tertidur, kesempatan inilah digunakan
Ang-hwat untuk memasukan Ma Gwat-sian berdua kesana, begitulah kejadiannya! Soal cara bagaimana
kami menolong mereka keluar, hal ini jauh lebih gampang lagi, kami turun dari
belakang gunung, bukanlah seperti menjinjing kantong saja kami mengeluarkan mereka?"'
Thian-hi manggut-manggut sambil tersenyum, tanyanya pula, "Masih ada sebuah
pertanyaan, yaitu mengenai kuda hijau, apakah Cianpwe berdua tahu soal ini?"
Goan Tiong berdua beradu pandang lagi, tampak rona wajah mereka rada berubah,
kata Goan Tiong pada Hun Thian-hi, "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan ini kepada kami?"
Rada kaget juga Thian-hi mendapat pertanyaan balasan ini, sangkanya kedua orang
ini pasti tidak tahu, dikolong langit ini masa benar-benar ada kuda warna hijau, pasti
obrolan Siau-bin-moim saja sebelum ajal, atau mungkin Jing-san-khek itu sengaja hendak mempersukar
Siau-bin-moim, seumpama memang benar-benar ada kejadian ini, tidak mungkin sekali ia ajukan
pertanyaannya lantas tepat pada orang yang berkepentingan.
Dari perubahan air muka kedua orang ini agaknya mereka pasti tahu seluk beluk
kuda hijau itu, malah persoalan ini agaknya cukup penting, kalau tidak masa mereka kelihatan
bersikap waspada dan hati-hati. Dalam hati ia terkejut namun lahirnya tetap tenang-tenang saja, katanya pula
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil tertawa, "Aku cuma dengar dikolong langit ini ada seekor kuda hijau, kukira Cianpwe pasti
tahu akan kebenar-benaran ini maka kuajukan pertanyaan ini, sebenar-benarnya aku tiada
punya maksud apa-apa!" Goan Tiong menarik muka, katanya dengan sungguh-sungguh, "Apakah benar-benar dan
dapat dipercaya ucapanmu ini?"
Thian-hi tidak tahu apa hubungan atau sangkut paut kedua orang ini dengan Kuda
hijau itu, maka iapun tidak berani memberitahu apa yang dia ketahui. dari cerita Siau-bin-
mo-im, katanya, "Berani sumpah bahwa aku memang tidak tahu bila Cianpwe berdua ada mengetahui
soal kuda hijau itu!" "Urusan ini bukan persoalan sembarangan, dikolong langit cuma beberapa orang
saja yang tahu perihal kuda hijau itu, dari mana kau kisa tahu, lekas kau jelaskan
padaku." Thian-hi menjadi ragu-ragu, entah mengapa begitu penting dan kelihatannya sangat
gawat perihal kuda hijau itu, sebetulnya akulah yang mengajukan persoalan ini kepada
mereka, sekarang berbalik menjadi aku yang diperas keteranganku, serta merta ia menjadi kecewa
dan menyesal, cuma mencari kesulitan sendiri saja.
Sudah tentu iapun segan menjelaskan keseluruhannya, katanya, "Bagaimana keadaan
sesungguhnya aku tidak tahu jelas, aku tidak bisa sembarangan omong!"
Goan Tiong mendengus, sebaliknya Goan Liang lantas bertanya, "Kalau begitu,
percakapanmu ini bisa disimpulkan bahwa persoalan ini menjadi tidak begitu penting menurut
penilaianmu semula!" Hun Tliian-hi manggut-manggut, katanya, "Boleh dikata begitulah, tak tahu aku
kenapa Cianpwe berdua kelihatannya menjadi tegang, sudah tentu aku menjadi segan untuk
meneruskan persoalan ini!" Tanya Goan Tiong lagi, "Persoalan lain aku tidak peduli, tapi bila kau
mendapatkan kuda hijau itu. cara bagaimana kau hendak mengurusnya?"
Thian-hi harus hati-hati, ia tahu bahwa Goan Tiong berdua sedang menyelidik dan
mengorek isi hatinya, nanti akan diketahui olehnya dimana pendirian kedua belah pihak. ia
harus berpikir lebih cermat perlukah ia menjelaskan, bila ia terus terang bukan mustahil mereka akan
bersikap bermusuhan terhadap dirinya,
kalau hal ini sampai terjadi bukan saja perihal kuda hijau itu tidak berhasil
dikorek, Ma Gwatsian dan gurunya pun tidak akan dapat diketemukan atau mungkin pula tidak akan
diserahkan pada dirinya. Thian-hi harus termenung sekian lamanya, Goan Tiong menjadi tidak sabar,
desaknya, "Mau tidak kau menjelaskan terserah pada kau, tapi bila tidak kau jelaskan Ma Gwat-
sian berdua tidak akan kami serahkan kepada kau!" - berhenti sebentar ia melirik memberi isyarat
kepada Goan Liang lalu sambungnya, "CobaJah kau pikir lebih matang, tiga hari lagi kau boleh
datang kemari!" lalu mereka bergerak hendak tinggal pergi.
"Hai, nanti dulu!" teriak Thian-hi membantu maju.
"Apa sekarang juga kau hendak bikin penyelesaian" Begitupun baik!"
Kata Hun Thian-hi, "Ketahuilah bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya pernah menolong
jiwaku, mereka tidak punya sangkut-paut dengan persoalan ini, boleh kujelaskan cuma
setelah kuterangkan, Cianpwe berdua harus berjanji mau melepas mereka keluar!"
Goan Tiong berpikir sebentar lalu manggut-manggut ujarnya, "Begitupun baiklah!"
Pelan-pelan Hun Thian-hi menghela napas, terasa olehnya bahwa urusan tidak bakal
bisa lancar menurut dugaannya semula, maka katanya, "Soal kuda hijau itu, aku mendapat tahu
dari penuturan Siau-bin-mo-im!"
Goan Tiong menggeram sambil membanting kaki dengusnya, "Siau-bin-mo-im?"
Thian-hi menjadi kurang senang melihat sikap orang yang kurang simpatik, kenapa
pula dengan Siau-bin-mo-im" Kenapa pula kelihatannya kau memandang rendah dan
menghina pribadinya" "Beliau teringat akan perihal kuda hijau itu," demikian Thian-hi melanjutkan,
"sebelum ajal beliau ada pesan padaku supaya menanyakan hal ini kepada Jing-san-khek, tapi aku
harus memperoleh Kuda hijau itu lebih dulu, kalau tidak Jing-san-khek tidak akan mau
memberi tahu padaku." "Agaknya kau salah lihat, orang itu adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im,"
demikian Goan Tiong menjelaskan dengan sikap dingin, "Kecuali Mo-bin Suseng tiada orang
kedua yang mau membeberkan rahasia ini kepada orang luar!"
Thian-hi terkejut, namun lahirnya tenang tertawa-tawa, katanya, "Mereka tiga
bersaudara berbentuk sama, kuyakin bahwa beliau Siau-bin-mo-im adanya!"
Goan Tiong menjengek bibir, sindirnya sinis, "Anggapmu aku tidak tahu"
Ketahuilah cuma Mobin Suseng seorang saja yang tahu perihal ini, Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im sama
sekali tidak tahu menahu soal ini!"
Thian-hi tertegun, sungguh tak nyana bahwa urusan bisa berubah begini besar,
soalnya ia sendiri tidak bisa membedakan mana Siau-bin-mo-im atau Mo-bin Suseng tulen.
Betapapun ia tidak percaya manusia tambun pendek yang meregang jiwa itu adalah Mo-bin Suseng,
dengan mata kepalanya sendiri ia saksikan Siau-bin-mo-im mangkat, begitu juga seperti
bayangan setan tahu-tahu Ah-lam Cuncia sudah muncul dihadapannya lalu menghilang pula dengan
langkah seenteng asap mengembang, beliau membawa jenazah Siau-bin-mo-im, mana mungkin
orang itu adalah Mo-bing Suseng! Tengah Thian-hi tenggelam dalam keraguannya, terdengar Goan Tiong berkata
dingin, "Apapun alasanmu tidak berguna lagi, kalau toh kau sudah datang kemari karena pesan Mo-
bin Suseng itu marilah kita bicara terus terang saja, kuda hijau memang berada di tempat kami,
maka silakan bicara terus terang pula padaku saja!"
"Hun Thian-hi semakin melenggong, katanya tertawa, "Moh-bin Suseng adalah musuh
besar yang membunuh ayahku, mana sudi aku mendapat pesannya, harap Cianpwe berdua
tidak salah paham!" Goan Liang segera menibrung, "Berani dia membocorkan perihal ini kepada orang
luar, malah berpura-pura dan bermuka2 begitu mirip sekali, tapi ketahuilah kami berdua tidak
begitu gampang dapat dikelabui dan ditipu mentah-mentah. Gurunya I-lwe-tok-kun kan berada
disini juga, dia sendiri tidak berani datang kemari justru kaulah yang diutusnya kesini!"
Tak habis heran Thian-hi, dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Goan Tiong berdua
begitu kukuh berpendapat bahwa orang yang memberi tahu perihal itu kepadanya adalah Mo-
bin Suseng adanya, malah menuduh dirinya adalah utusan Mo-bin Suseng pula, begitulah pikir
punya pikir semakin besar tanda tanya yang mengganjal sanubarinya, seluruh persoalan ini
benar-benar luar biasa. "Kalau kau benar-benar ingin minta kuda hijau itu boleh kami berikan kepada kau,
cuma asal kau sendiri punya akal dan mampu bekerja sendiri! Mari kau ikut kami." - lalu
mereka mendahului beranjak lari ke arah depan sana.
Tanpa banyak pikir Thian-hi segera mengintil di belakang mereka, pikirnya, Ah-
lam Cuncia agaknya sudah sehat kembali, matanya sudah melihat dan ilmu silatnya sudah pulih
kembali, pastilah tiada sesuatu keperluan apa-apa lagi, aku sendiri tidak punya
kepentingan atas kuda hijau
itu, cuma Ma Gwat-sian masih berada ditangan mereka, terpaksa aku harus ikut
kemanapun mereka menuju, Begitulah dengan berlari-lari kencang Ni-hay-siang-kiam membawa Hun Thian-hi
masuk ke pedalaman terus manjat ke atas gunung, tak lama kemudian mereka sudah beranjak
di dalam hutan-hutan yang lebat di dalam pegunungan yang tinggi dan terjal.
Segala rintangan tidak menjadi penghalang yang berarti bagi mereka, mereka terus
berlari bagai terbang, setiba disebuah tikungan tiba-tiba Goan Tiong berdua berhenti dan
berpaling ke belakang, sekejap saja tahu-tahu Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun di
belakang mereka, sejenak mereka beradu pandang, mata mereka sama memancarkan sorot terang yang
membayangkan rasa kejut hati mereka.
Cepat Hun Thian-hi pun menghentikan luncuran tubuhnya, katanya kepada Goan
Tiong, "Tujuanku cuma minta Ma Gwat-sian bisa dikembalikan secepatnya, tiada niatku
mencari garagara soal kuda hijau apa segala!"
"Kenapa" Apa kau jadi ketakutan?" demikian jengek Goan Tiong dingin.
Thian-hi tertawa2, ujarnya, "Selamanya aku tidak gampang dipancing atau dibuat
marah, aku menjadi heran kenapa Cianpwe berdua agaknya hendak mempersukar diriku hanya
karena soal kuda hijau itu?" Kalau aku tidak gampang terpengaruh oleh keadaan itulah baik", demikian Goan
Liang menyeletuk, "sebaliknya aku menjadi bersedih bagi temanmu itu, bukankah kau
sendiri mengatakan sudah menyanggupi untuk mengurus persoalan ini menurut pesannya,
kenapa sekarang kau harus berhenti ditengah jalan dengan hampa!"
"Ah, memang mungkin aku yang salah. Cuma ilmu silat Ah-lam Cuncia sudah pulih
kembali, jadi agak nya tidak perlu aku bersusah payah lagi," demikian Hun Thian-hi coba
membela diri dengan alasannya Tak duga Goan Tiong menggeram sambil menjebir bibir dengan sinis, katanya,
"Dapatlah seseorang yang pernah menelan Ban-lian-ceng bisa sembuh kembali" Dalam hal ini
bocah berumur tiga tahun pun jangan harap dapat kau apusi. Apalagi bila ilmu silatnya
sudah pulih betulbetul, kenapa pula muridnya harus berpesan kepada kau sebelum ajal."
Thian-hi jadi terbungkam, ia sendiri juga bingung dan sulit meraba kemana
juntrungan persoalan ini, mau tidak mau keyakinan hatinya menjadi goyah, memang ia jadi
bingung bagaimana harus beri penjelasan lebih lanjut. Tersimpul olehnya cara penjelasan
paling baik yaitu diakui bahwa orang yang berpesan sebelum ajalnya itu benar-benar adalah Mo-bin
Suseng bukan Siau-bin-mo-im, tapi apakah mungkin hal ini terjadi" Ia tenggelam dalam
renungannya. Terdengar Goan Tiong berkata dingin, "Penjelasan paling baik bagi kau adalah
bahwa orang itu bukan Siau-bin-mo-im, tapi Mo-bin Suseng adanya. Gurunya berada di tangan kami
betapapun ia tidak akan berani membocorkan rahasia ini, kalau tidak gurunya bakal mengalami
derita dan ancaman elmaut." Bercekat hati Thian-hi, mukanya menjadi masam, batinnya jadi benar-benarlah
orang itu adalah Mo-bin Suseng adanya, hatinya menjadi mendelu dan entah pahit entah getir atau
ia harus bergirang, sesaat lamanya ia jadi sukar merasakan perasaan hatinya.
Goan Tiong mendengus keras-keras lalu menarik Goan Liang berlari pula menuju ke
sebuah perkampungan dan terus lari masuk.
Keruan Thian-hi jadi gugup cepat ia mengejar, teriaknya, "Nanti dulu Cianpwe,
omonganmu belum selesai." "Sekarang tak perlu banyak bicara lagi, marilah kau ikut!" Goan Tiong berseru
tertawa. Tatkala itu cuaca baru saja terang tanah, jalan menuju ke perkampungan masih
sepi tak kelihatan ada bayangan manusia, laksana dikejar setan saja mereka bertiga
beriringan melesat lari ke dalam perkampungan itu. Dalam kejap lain mereka sudah tiba di sebuah kebon
kembang yang teramat luas. Thian-hi loncat ke atas tembok, tampak taman kembang ini kira-kira seluas
beberapa li, dalam kebon kembang ini terdapat berbagai aneka ragam kembang yang indah dan gunung2an
besar kecil serta jembangan yang tersebar dimana-mana. Begitu berada di dalam taman
kembang ini bayangan Ni-hay-sian-kiam lantas lenyap.
Thian-hi jadi dongkol, kenapa kedua orang itu tidak tahu aturan, entah apa
sangkut pautnya kedua orang ini dengan kuda hijau itu, lagaknya mereka tidak sudi menyerahkan
kuda hijau itu kepada Jeng-san-khek, inilah kejadian yang aneh dan amat mengherankan hatinya.
Dari ketinggian tempatnya berdiri terlihat di depan rada jauh sana terdapat
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah bangunan gedung yang tinggi megah, sekitarnya dikelilingi pohon-pohon pendek dan bunga2
yang sedang mekar saling berlomba memperlihatkan keindahannya. Pasti mereka menuju ke sana
itulah, demikian pikir Thian-hi, dua orang itu paling suka menonjolkan diri dan suka
jaga gengsi, betapapun segan untuk melarikan diri, apalagi ilmu silat mereka sudah sedemikian
lihay tentu takkan terjadi hal-hal seperti dugaannya ini.
Thian-hi rada was-was untuk bertindak ke dalam, kuatirnya dalam kebon ini ada
dipasang alat2 rahasia untuk menjebak orang, terpaksa ia melolos serulingnya sekali enjot tubuh
enteng sekali kakinya hinggap di tanah. Baru saja ia berdiri tegak, tiba-tiba Goan Tiong
menerobos keluar dari belakang sebuah gunung2an menghadang di hadapan Thian-hi sambil menghunus
pedang, katanya dingin, "Kami berdua cuma ingin merintangi kau, bilamana kau berhasil
menerjang masuk ke dalam gedung itu, segala urusan bisa segera diselesaikan."
Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, Goan Tiong muncul lagi begitu cepat dan tak
terduga-duga, bila tadi ia langsung menyerang pasti aku terdesak di bawah angin, sekarang ia
menghadapiku dengan persyaratannya ini, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, meski
mereka pernah menelan Jian-liang-hok-ling, agaknya sulit untuk mencapai kemenangan, tapi kalau cuma
menerjang ke sebelah dalam mencapai pintu gedung itu rasanya tidak terlalu sukar.
Tanpa bicara lagi Thian-hi acungkan serulingnya, sementara kakinya beranjak
mendekat, langsung ia menerjang dengan tutukan kedada Goan Tiong. Sangkanya dengan
mengajukan syaratnya itu tentu Goan Tiong akan mati-matian merintangi dirinya, tak nyana
bukan saja menangkis atau melawan ternyata Goan Tiong berkelit mundur lalu lenyap dibalik
gunung2an batu. Thian-hi tidak hiraukan kemana Goan Tiong melenyapkan diri, ia berlari kencang
menerjang terus ke depan. Tapi belum berapa langkah ia maju. tahu-tahu Goan Tiong dan Goan
Liang telah muncul pula mencegat jalannya, dua batang pedang menyamber bersilang dari kanan
kiri membabat keleher Hun Thian-hi, serangan ini cukup ganas dan lihay sekali.
Tergerak hati Thian-hi, kenapa aku tidak main gertak saja terhadap mereka yang
maju dan menyergap bersama ini, meminjam tenaga mereka untuk jumpalitan menerjang ke arah
depan malah" Seiring dengan pikirannya ini, serulingnya cepat ditutukkan ke depan menangkis
tepat pada persilangan kedua pedang lawan. Tak duga baru saja serulingnya menyetuh kedua
senjata musuh kontan ia rasakan segulung tenaga besar menerjang ke arah badannya seketika ia
terpental mundur dan mencelat tinggi sampai terlempar keluar tembok.
Cepat Thian-hi menyedot hawa, mengendalikan badan memberatkan tubuh, waktu
meluncur tubuh tepat kakinya berhasil hinggap di atas tembok, waktu ia angkat kepala pula
bayangan Goan Tiong dan Goan Liang sudah menghilang tanpa bekas.
Berkerut alis Thian-hi, tiba-tiba ia berlari-lari kencang sekali di atas tembok
yang memagari kebon kembang yang luas itu, tak lupa kedua matanya yang jeli mengawasi ke dalam
kebon, apakah bayangan Goan Tiong dan Goan Liang ada kelihatan, tapi sedemikian jauh ia
tak berhasil melihat bayangan apapun kecuali kembang2 dan pepohonan yang hidup subur, sekali
berkelebat Thian-hi mencari posisi lain dari tempatnya yang baru ini ia coba menerjang ke
dalam. Tapi baru saja ia mencapai tanah, tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang sudah muncul pula
terus menyerang dengan pedang masing-masing.
Thian-hi tercengang kaget, sungguh tak duga bahwa gerak kedua orang ini
sedemikian tangkas dan cepat, apalagi seolah-olah sudah tahu sebelumnya dirinya bakal menubruk dari
jurusan mana dan di tempat itu pula mereka sudah menanti. Betapapun sekali ini aku harus
menjajal sampai dimana kepandaian mereka, demikian pikirnya, seruling teracung tinggi miring,
pelan-pelan ia kerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek.
Bab 32 Kelihatannya Goan Tiong berdua bersikap acuh tak acuh, pedang mereka tetap
bergerak menyilang dari kanan kiri, bergerak cepat dan lambat maju mundur langsung
menyongsong ke ujung seruling jade lawan.
Baru saja Hun Thian,hi lancarkan serangan serulingnya, mendadak terasa gelombang
tenaga yang lunak dan kuat mengurung dirinya dari berbagai penjuru, meski kekuatan Wi-
thian-cit-ciatseknya sanggup menggugurkan gunung membelah bumi juga seketika menjadi sukar
dikembangkan lebih lanjut, begitu tenaga sendiri menjadi bujar badannya lantas
membal balik dan terpental mundur ke atas tembok lagi, sedemikian hebat tenaga lontaran ini
sehingga ia bergoyang gontai di atas tembok hampir terlempar keluar.
Hatinya mencelos, selama ia melancarkan Wa-thian-cit-ciat-sek belum pernah
ketemu tandingan sedemikim tangguh, nyata bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek sedikitpun tidak
mampu menunjukkan perbawanya. Sungguh tidak habis heran hatinya, apakah mungkin tenaga yang dikerahkan telah
salah salurannija" Ataukah jurus permainannya yang kurang sempurna" Terbayang olehnya
waktu pertama kali dirinya terjun kegelanggang percaturan dunda persilatan, Ang-hwat-
lo-mo cuma mengajar sejurus Pencacat langit pelenyap bumi, mengandal Lwekang sendiri pada
waktu itu, kenyataan jurus itu dapat menambah sepuluh lipat tenaganya sendiri. Apalagi Wi-
thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang tiada taranya yang tiada bandingannya, masa lebih asor
dibanding Pencacat langit pelenyap bumi" Sebaliknya kalau benar-benar cara penggunaannya.
tak mungkin dirinya sedemikian gampang dipermainkan lawan, yang terang dalam sekejap ia akan
dapat angkat nama dan menggegerkan seluruh dunia persilatan. Begitulah pikir punya
pikir tak terasa ia berdiri berjublek di atas tembok,
Akhirnya pandangannya meneliti keadaan sekitar kebon kembang itu, lambat laun
didapatinya sesuatu yang ganjil dari tumbuhan bunga itu, kiranya setiap tanaman kembang dan
pepohonan yang satu sama lain mempunyai letak yang persis dan jarak yang tertentu teratur
rapi sekali. terang itulah bentuk dari sebuah barisan.
Hatinya jadi was-was bahwa kebon kembang inipun ternyata diatur dengan bentuk
sebuah barisan, kalau tidak. tidak mungkin Goan Tiong dan Goan Liang dapat bergerak
sedemikian lincah dan cepat sekali dalam waktu yang sedemikian singkat pula. Thian,hi insaf untuk
menerjang masuk dan menembus langsung ke gedung besar itu adalah sesukar memanjat langit,
apa lagi bila ia teringat pengalamannya di dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin dulu, ia jadi
jeri untuk sembarangan beranjak ke dalam.
Terpaksa ia putar kayun mengelilingi pagar tembok. Diam-diam ia mencari akal
cara bagaimana. untuk menjebol barisan ini, tapi hakikatnya ia tidak akan memperoleh
kunci pemecahannya karena ia sendiri tidak tahu segala seluk beluk mengenai barisan
apakah yang dihadapinya ini. Saking gemes lalu terpikir olehnya, "Bila Ham Gwat ada disini
perkembangan selanjutnya tentu gampang diatasi, bukankah Ham Gwat juga bisa menyelami
intisari dari rahasia barisan Thay-si-ciang-soat-lian,mo-tin?" semakin dipikir hatinya menjadi gundah,
berbagai pikiran menggejolak dalam becaknya, akhirnya ia menghirup napas dalam-dalam
menghilangkan segala pikiran yang membutakan otaknya, dengan seksama ia mulai lagi meneliti keadaan
dan kedudukan posisi barisan yang aneh ini.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan abu-abu berkelebat diujung pandangan matanya,
sesosok bayangan itu melayang turun dari tengah udara seringan daun melayang
jatuh ke tanah dan akhirnya hinggap di atas tembok disebelahnya.
Waktu menegas lihat seketika hatinya menjadi girang2 kejut, karena pendatang ini
bukan lain adalah Ah-lam Cuncia adanya. Sungguh tak kira bahwa Ah-lam Cuncia bisa muncul
dalam saat dan keadaan yang sulit ini. ini benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan
menggirangkan pula hatinya. Tapi untuk tujuan apa pula Ah-lam datang kemari"
Sambil tersenyum lebar Ah-lam Cuncia menyapa dulu kepada Hun Thian-hi, "Hun-sicu
apa baikbaik saja selama berpisah?"'
Cepat-cepat Hun Thian-hi menjura hormat serta tanyanya, "Entah untuk apakah
Taysu datang kemari?" Ah-lam Cuncia menyapu pandang keadaan kebon kembang di dalam tembok lalu
tertawa, katanya, "Hun-sicu sampai meluruk kemari apakah karena persoalan kuda hijau
itu?" - dengan tawa berseri ia pandang muka Hun Thian-hi.
Dari nada pertanyaan Ah-lam Cuncia, Hun Thian-hi bisa menarik kesimpulan bahwa
beliau pun karena urusan itu pula sehingga datang kemari, keruan hatinya rada terhibur,
sebagai Suheng dari Ka-yap Cuncia, sebagai angkatan tua yang aneh dan serba misterius bagi dunia
persilatan. pasti beliau dengan gampang saja dapat memecahkan rahasia barisan kembang yang rumit
ini. mengandal kepandaiannya, tidak perlu takut lagi menghadapi Goan Tiong berdua.
Belum lagi Hun Thian-hi angkat bicara, keburu Ah-lam Cuncia berkata lagi,
"Jikalau Hun-sicu kemari juga karena kuda hijau, maka Loceng menganjurkan supaya Hun-sicu lekas
pulang saja!" "Semula tujuan Wanpwe bukan kuda hijau itu, hendak menolong Ma Gwat-sian. Tapi
sekarang urusan sudah menjadi berkepanjangan, mau tak mau kedua urusan ini harus
kuselesaikan sekalian!" - lalu ia jelaskan asal mula kejadian ini sampai keadaan yang
menyulitkan ini. Ah-lam Cuncia berpikir sekian lamanya, ujarnya, "Sebab musabab kuda hijau itu
terlalu panjang dan rumit untuk dijelaskan. Mo-bin Suseng memang terlalu membawa adatnya
sendiri, bekerja tanpa perhitungan sehingga terjadilah keadaan yang menyulitkan ini."
Berdetak jantung Thian-hi mendengar ucapan orang, ditariknya suatu kesimpulan
pula bahwa orang yang telah terbunuh oleh pukulannya tempo hari memang benar-benar adalah
Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im seperti yang diduganya semula.
Agaknya Ah-lam Cuncia dapat meraba alam p kiran Thian-hi, dengan tertawa welas
asih ia berkata, "Orarg yang mati itu memang Mo-bin Suseng adanya, sekarang dia sudah
ajal maka budi dan dendam sudah himpas sama sekali."'
Tak tahu Thian-hi bagaimana perasaan hatinya saat itu, Mo-bin Suseng adalah
musuh besar pembunuh ayahnya, ternyata musuh besar sudah mampus oleh tangannya sendiri,
bukankah itu berarti bahwa dia sudah berhasil menuntut balas" Sebenar-benarnyalah ia tidak
terpengaruh akan perasaan haru atau senang, selama ia kelana di Kangouw, cita-citanya cuma
menuntut balas bagi kematian ayahnya, sampai ke ujung langit pun Mo-bin Suseng akan dikejar sampai
berhasil dibunuhnya, tapi selama itu muka asli dan bagaimana bentuk Mo-bin Suseng itu
belum pernah dilihat atau diketahuinya, namun sekarang mendadak diketahui bahwa sebenar-
benarnyalah Mobin Suseng sejak beberapa saat lamanya sudah mampus di tangannya sendiri.
Dengan perasaan kosong ia termangu-mangu mengawasi Ah-lam Cuncia, seolah-olah
bentuk atau raut muka Mo-bin Suseng sudah tidak berkesan lagi dalam ingatannya, dengan
keheranan ia bertanya pada sanubarinya sendiri, "Apakah cita-citaku sudah terkabul?" - sedikit
pun ia tidak merasakan hal ini! "Kau masih punya banyak tugas harus kau kerjakan, banyak pula harapan yang harus
Naga Pembunuh 10 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Kilas Balik Merah Salju 1
tandingan, saat mana obat bubuknya masih berhamburan semakin luas di tengah udara, laba-laba
merah pasti tidak akan berani sembarangan bergerak, jikalau mereka berdua bergabung
mengeroyok dirinya, tentu usaha yang sudah diatur dan direncanakan sempurna bakal gagal total.
Di lain pihak, begitu melihat dua belah sudah bergebrak Thian-hi tidak menyia-
nyiakan kesempatan ini, dua harimau saling cakar justru merupakan kesempatan dirinya
untuk menerobos kesana, kalau daya kekuatan bubuk obat itu sudah punah laba-laba merah itu tentu
akan menerjang lagi merintangi mereka, dengan kekuatan mereka bertiga juga belum
tentu mampu membunuhnya, demikian terpikir dalam benak Thian-hi laksana kilat tiba-tiba
badannya melambung ke tengah udara terus menerobos ke depan.
Dalam pada itu dengan sebelah tepukan tangan ke belakang Bok-pak-it-koay
meminjam tenaga benturan yang kuat itu tiba-tiba badannya jumpalitan ke arah sebelah depan dalam
jarak yang lebih jauh lagi. Tapi serta dilihatnya pula Hun Thian-hi juga tengah menerobos
ke dalam sana, ia sangka tujuan orang sama dengan kemauannya, saking gugup segera ia gentayangan
mencegat di depan Thian-hi. Ang-hwat-lo-mo menyeringai, sudah tentu iapun ingin berkesempatan menerjang
masuk dulu kelembah, tapi ia cukup licik bila ia menerjang langsung ia harus menghadapi
rintangan dua orang di depannya, ini akan memakan banyak waktu dan tenaga, setelah berpikir sebentar
tiba-tiba ia menubruk maju kedua telapak tangannya berbareng menepuk ke jalan darah mematikan
di punggung Thian-hi. Gesit laksana kera Thian-hi menggenjot dan menendang mundur Bok-pat-it-koay lalu
menggeser kaki dua langkah kesamping dengan sedikit memutar tubuh, ia tahu bahwa
dirinya sudah terkepung dan sedang digasak dari dua jurusan depan dan belakang, tanpa
sempat berpikir, dua tangannya berkembang kedua arah yang berlawanan, masing-masing
menangkis serangan Bok-pak-it-koay dan hantaman Ang-hwat-lo-mo. Begitu tenaga tiga belah
pihak saling bentur badan Thian-hi lantas mencelat terbang menghindari benturan telak yang
mungkin bisa menghancur leburkan isi perutnya, untung ia cukup cerdik. dengan pukulan
gabungan musuh yang berlawanan ini ia malah berhasil lolos dan terhindar dari elmaut.
Tak nyana bahwa pukulan telapak tangan Ang-hwat-lo-mo tadi juga cuma gertakan
sambel belaka, begitu tenaga pukulannya kebentur oleh perlawanan Thian-hi, orangnya pun
sudah mental ke atas seperti kena pegas meluncur lempang ke depan, dilain kejap kakinya sudah
berlari-lari kencang ke dalam lembah. Sedikit kurang siaga Bok-pat-it-koay menjadi mencak-mencak gusar bahwa Ang-hwat-
lo-mo berhasil menerjang masuk ke dalam sana, dengan menghardik keras ia mengejar
dengan kencang. Adalah dengan tipu pukulannya tadi Ang-hwat-lo-mo berhasil masuk ke dalam sudah
tentu girangnya bukan main, tanpa hiraukan Bok-pak-it-koay dan lain-lain, ia percepat
gerak kakinya, anggapannya tentu kali ini ia bakal berhasil mencapai harapan.
Diluar tahunya burung dewata tiba-tiba muncul di atas udara, setelah pekik
burung berkumandang ditengah udara semakin dekat, tiba-tiba kelihatan pula Bu-bing Loni
meluncur turun, tepat ia menghadang di depan Ang-hwat-lo-mo.
Begitu melihat Bu-bing Loni muncul disini, bercekat hati Thian-hi.
Adalah Ang-hwat-lo-mo lebih kejut dan gusar pula, diam-diam ia mengumpat dalam
hati, "Lagilagi tua renta ini kemari, setiap usahaku yang hampir berhasil selalu dihalangi
olehnya!" namun Bu-bing Loni jauh sukar dihadapi maka ia hentikan kakinya tak berani sembarangan
bertindak. Bu-bing menyeringai lebar, katanya, "Kalian bertiga sama ingin mendapatkan Jian-
lian-hok-ling itu bukan" Aku kuatir tiada seorang pun diantara kalian bertiga yang membabat
untuk memperolehnya!" "Jadi Suthay juga mau ikut merebut?" demikian jengek Ang-hwat-lo-mo.
Dengan hambar Bu-bing pandang mereka bertiga, ujarnya, "Setelah aku berada
disini, kalian harus cepat-cepat keluar dari Bik-hiat-kok ini, tiada keperluan yang harus
kalian kerjakan disini."
Sambil menahan rasa amarah yang bergejolak dalam dada, Ang-hwat-lo-mo tertawa
dibuatbuat. jengeknya, "Mampukah Suthay seorang diri menghadapi makhluk aneh itu?"
"Urusanku tak perlu orang luar ikut campur." demikian sentak Bu-bing Loni.
Meski Bok-pak-it-koay pernah dengar ketenaran nama Bu-bing Loni, tapi melihat
sikap dan tindak-tanduknya tidak merupakan pambek seorang tokoh persilatan nomor satu
apalagi wataknya begini congkak dan takabur, hatinya menjadi terbakar gusar, ejeknya menantang,
"Kau ingin memonopoli sendiri, coba kau hadapi aku lebih dulu."
"Siapa kau?" tanya Bu-bing.
Rasa gusar Bok-pak-it-koay men-jadi2, nada pertanyaan Bu-bing Loni terdengar
begitu hina dan memandang rendah dirinya, betapapun sabar hatinya tak kuasa lagi ia
mengendalikan diri, serunya bergelak tawa, "Siapa aku" Aku adalah aku, jangan harap kau dapat
memonopoli Jianlian- hok-ling itu. Agaknya kau sedang berangan2 kosong!"
Berjangkit alis Bu-bing Loni, matanya beringas memancarkan nafsu membunuh.
Hati Bok-pak-it-koay menjadi ciut, tapi kekuatan lain menyanggah dirinya untuk
memberanikan diri melawan Bu-bing Loni lebih lanjut, katanya dingin, "Laba-laba merah segera
bakal menerjang datang pula, ingin kulihat cara bagaimana kau dapat merobohkannya!"
Bu-bing Loni mandah melirik saja, memang Laba-laba merah saat itu sudah mulai
bergerak menghampiri ke arah mereka berempat.
Sekilas pandang saja Bu-bing Loni lantas tersenyum dingin. jengeknya, "Kau
sangka cuma kau saja yang mampu menunjukkan dia?" - pelan-pelan ia malah menghampiri ke arah
laba-laba merah itu. Bok-pak-it-koay menggendong tangan, dengan acuh tak acuh ia perhatikan Bu-bing
Loni bertindak, ingin dia melihat cara apa yang digunakan Bu-bing Loni untuk membekuk
laba-laba merah yang jahat itu. Begitu Bu-bing Loni muncul hati Ang-hwat-lo-mo menjadi jeri, tapi ia dapat
berpikir dengan kekuatan gabungan tiga orang masa gentar menghadapi Bu-bing Loni. Terutama Wi-
thian-cit-ciatsek menurut anggapannya tidak bakal kalah dibanding ilmu pedang Bu-bing yang Lihay
itu.... apalagi Ang-hwat berdua membantu dari samping tentu tidak sulit mengalahkan Bu-
bing seorang. Tapi bila perlu saja mereka tiga orang bergabung mengeroyoknya, tiga buah pihak
sama-sama adalah musuh kebujutan, bukan mustahil bila masing-masing ingin mencari
keuntungan sendiri2. Adalah jalan pikiran Hun Thian-hi lain pula, yang terpikir olehnya hanyalah cara
bagaimana supaya dia dapat menerjang masuk ke dalam gubuk batu itu untuk membuktikan
apakah benarbenar Ma Gwat-sian beserta gurunya ada di dalam sana. Entah cara bagaimana mereka
berdua bila digelandang masuk ke dalam sana, bagaimana Ang-hwat-lo-mo bisa keluar masuk
mengantar mereka, justru sekarang dirinya tidak kuasa masuk ke dalam lembah.
Dalam pada itu laba-laba merah itu sudah maju semakin dekat ke arah Bu-bing
Loni. Bu-bing Loni berdiri diam siap siaga, bahwasanya ia sendiri pun tidak berani memandang
rendah musuh binatangnya ini, kalau toh dirinya sudan datang dan bersikap takabur adalah aib
bila ia mundur dan tak kuasa melawan. Agaknya laba-laba merah itu juga merasa bahwa musuh yang dihadapi kali ini rada
kuat dan merupakan lawan berat, sedikit pun ia tidak berani ceroboh, segala tindakan
harus diperhitungkan lebih dulu. Pancaran biji mata Bu-bing Loni semakin tajam dengan lekat ia perhatikan setiap
gerak-gerik kedelapan kaki2 panjang laba-laba merah itu, pelan-pelan setapak demi setapak ia
menggeser maju lebih dekat. Dalam jarak kira-kira setombak lebih laba-laba merah menghentikan langkahnya,
agaknya ia belum pernah melihat seorang manusia yang berani menantang dirinya, sesaat
seperti ragu-ragu apakah musuh dihadapannya ini punya andalan untuk mengalahkan dirinya ataukah
merupakan gertak sambel belaka. Demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
Lambat dan pasti ujung mulut Bu-bing mengulum senyum dingin. Tiba-tiba laba-laba
merah merangkapkan seluruh kaki2nya kontan badannya yang segede gantang itu mencelat
terbang, ditengah udara kakinya berkembang pula langsung menubruk kebatok kepala Bu-bing
Loni. Bu-bing menggerakkan badan tanpa menggeser kaki seolah-olah ia bergaja hendak
berkelit kesebelah kiri,laba-laba merah lantas menyemburkan gelagasinya ke sebelah kiri,
tapi secepat itu pula Bu-bing Loni merubah arah kekanan seperti hendak menghindar, laba-laba
merah lagi-lagi menyemburkan gelagasinya membendung jalan mundur Bu-bing Loni, beberapa kali Bu-
bing bergerak ke berbagai arah selalu dirintangi atau dicegat oleh gelagasi, suatu
ketika mendadak ia melesat langsung menubruk ke arah laba-laba merah itu.
Berulang kali laba-laba merah menyemburkan gelagasinya untuk merintangi Bu-bing
melarikan diri, kini mendadak melihat Bu-bing menubruk langsung ke arah dirinya, agaknya
ia tercengang, tanpa sempat banyak pikir iapun mencelat maju menyongsong ke arah Bu-bing Loni.
Ditengah jalan tangan kiri Bu-bing Loni merogoh ke dalam lengan bajunya, selarik
sinar hijau kemilau berkelebat tiba-tiba Badik buntung melesat keluar dari timpukan
tangannya langsung meluncur ke arah tengah-tengah diantara kedua mata laba-laba merah, sementara
tangan kanan Bu-bing sendiri juga memutar pedang panjang, gelombang hawa pedangnya sekaligus
menangkis dan memental balikkan seluruh gelagasi yang membendung dirinya hingga ia sempat
mencelat keluar. Sambitan Badik buntung Bu-bing Loni adalah begitu telak dan cepat luar biasa,
belum lagi labalaba merah menyadar dan tidak sempat berkelit, lagi kontan Badik buntung amblas
seluruhnya ditengah kedua matanya, seketika ia menjerit keras dan aneh, lambat laun
badainya menjadi lemas dan roboh mati. Setelah mencelat keluar dan berdiri tegak Bu-bing Loni unjuk tawa dingin yang
sangat bangga. Sebenar-benarnyalah hatinya pun kebat-kebit, caranya menghadapi laba-laba merah
memang teramat berbahaya sekali, seumpama sambitannya tadi tidak mengenai sasarannya,
pasti seluruh tubuhnya bakal terlibat gelagasi yang beracun itu, ini berarti jiwanya tidak
akan tertolong lagi. Melihat Bu-bing sudah mengunjuk kepandaiannya sejati membunuh laba-laba merah,
tengkuk Bok-pak-it-koay jadi berkeringat dingin. Betapa lihay dan tinggi kepandaian Bu-
bing Loni, mengandal kemampuan sendiri masa kuasa melawannya"
Dasar licik dan berpengalaman luas Ang-hwat-lo-mo dapat meraba kemana jalan
pikiran Bokpak- it-koay. ia tahu bila ia bantu Bok-pak-it-koay menghadapi Bu-bing tentu orang
akan berhutang budi pada dirinya, tapi yang penting sekarang dengan cara, apa pula sampai Hun
Thian-hi sudi berpihak pada mereka, Sekilas ia melirik Thian-hi otaknya mendapat akal, lalu katanya tawar pada Bu-
bing Loni, "Bukankah yang kau gunakan tadi Badik buntung?"
Tujuan Ang-hwat-lo-mo adalah mengadu domba antara Hun Thian-hi dengan Bu-bing
Loni, bila mereka sudah saling berhantam baru dirinya ikut terjun ke dalam gelanggang,
begitulah rencananya. Saat mana Bu-bing sedang mendelik ke arah Bok-pak-it-koay, tiba-tiba mendengar
pertanyaan Ang-hwat-lo-mo, sebagai kawakan Kangouw masa ia tidak tahu kemana juntrungan
pertanyaan ini, dengan geram ia pandang Ang-hwat-lo-mo dengan tajam.
Sudah tentu Hun Thian-hi sendiri juga maklum akan maksud Ang-hwat-lo-mo, ia cuma
tersenyum belaka tanpa bersuara. Laba-laba merah sudah mampus, bila Bu-bing Loni
saling gebrak melawan Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay, tentu dirinya berkesempatan
menerobos
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesana. Maka terdengarlah Bu-bing Loni mengancam, "Kuperintahkan kalian segera keluar
dari lembah ini!" Melihat Hun Thian-hi tidak menunjukkan reaksi apa atas adu dombanya, sedang Bu-
bing sudah unjuk gigi. dengan tertawa tawar ia bertanya kepada Hun Thian-hi, "Apakah kau
sudi keluar?" Dengan kalem Thian-hi tertawa, ia tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo sedang mendorong
dirinya terjun ke dalam pertikaian ini, demi tujuannya sudah tentu ia tidak sudi keluar,
namun bila ia bicara secara langsung, bukankah berarti ia berdiri dipihak Ang-hwat-lo-mo" Tadi
ia sudah melihat gerak gerik Bu-bing Loni sudah tidak begitu gesit dan tangkas seperti dulu waktu
bertempur melawan laba-laba merah, sahutnya tertawa, "Lihat keadaannya dulu!"
Diam-diam Ang-hwat-lo-mo mengumpat Thian-hi akan jawabannya yang licin ini,
hidungnya mendengus, lalu serunya kepada Bu-bing Loni, "Benar-benar, kami akan bertindak
setelah melihat situasi selanjutnya!"
Thian-hi jadi dongkol, dengan jawaban Ang-hwat-lo-mo ini berarti dirinya sudah
diseret kepihaknya secara paksa. Bu-bing Loni menyapu pandang mereka bertiga, ia insyaf bahwa luka dalamnya belum
lagi sembuh, tujuan kali ini merebut Jian-lian-hok-ling justru untuk mengobati luka-
luka dalamnya ini, sudah tentu dalam keadaan sekarang ia tidak ingin bersikap bermusuhan dengan
Thian-hi yang merupakan lawan paling berat, bila mereka tiga musuh bergabung betapapun dirinya
bukan tandingan. Sebentar ia berpikir lalu katanya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, "Baik! Akan
kulihat cara bagaimana kau bertindak menurut situasi. Sekarang kau mau keluar tidak?"
Ang-hwat-lo-mo menyeringai, ujarnya, "Masa sekarang?" - lalu ia berpaling ke
arah Hun Thian-hi. Ia tahu bahwa Bu-bing Loni bertujuan membereskan mereka satu persatu.
Tidak menanti Ang-hwat-lo-mo banyak bacot, Bu-bing bertindak lebih cepat
mengambil posisi yang menguntungkan, tanyanya kepada Hun Thian-hi, "Aku ada sebuah urusan hendak
kuselesaikan dengan kau, kau boleh tetap tinggal, setelah mereka berdua pergi
baru kita bicarakan!" Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo, ia tahu bahwa Bu-bing sedang memelet Thian-hi ke
pihaknya, bila Thian-hi sampai akur dan kerja sama dengan Bu-bing Loni, maka mereka berdua
pasti menghadapi rintangan terbesar untuk keluar dari lembah ini. Ia dapat memastikan
kemungkinan ini karena tujuan Bu-bing Loni dan Hun Thian-hi berbeda, bila sampai mereka
saling mengutarakan tujuan masing-masing, bukan mustahil mereka bisa bersekongkol.
Namun masih ada setitik harapan, yaitu bahwa Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni
adalah musuh kebujutan, tak perlu disangsikan bahwa Hun Thian-hi tentu tidak mengharap
Bu-bing bisa memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, demikian juga Bu-bing tidak akan membiarkan
Hun Thian-hi mencapai tujuannya, hanya selisih paham inilah yang dapat membuat mereka berdua
saling bermusuhan. Cepat Ang-hwat-lo-mo berkata kepada Thian-hi dan Bu-bing Loni, "Kepandaian silat
kalian terpaut tidak banyak, siapa yang dapat memperoleh Jian-lian-hok-ling itu kelak
pasti dapat menjagoi Kangouw sebagai tokoh Bu-lim nomor satu yang tiada tandingannya?"
Bu-bing Loni mendengus ringan. Jikalau Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak
hadir disini, ia tidak perlu kuatir menghadapi Hun Thian-hi, dengan adu domba Ang-hwat-lo-mo
ini ia menjadi sukar membuka suara lebih lanjut....
Setelah berpikir Hun Thian-hi lantas menimbrung dengan suara tawar, "Tujuanku ke
Bik-hiatkok ini bukan karena Jian-lian-hok-ling. Aku cuma ingin menolong orang belaka!" - ia
tahu bila ia turut campur merebutkan Jian-lian-hok-ling jelas ia tidak punya harapan, tujuan
semula adalah menolong Ma Gwat-sian, kenapa pula harus ikut campur urusan tetek bengek"
Bu-bing rada tercengang mendengar penjelasan Thian-hi, dengan lekat ia pandang
rona wajah Thian-hi agaknya ucapannya memang sungguh-sungguh, hatinya menjadi girang, namum
ucapan Thian-hi ini tidak bisa dipercaya seratus persen, bagaimana juga ia harus hati-
hati dan berjaga, sesaat setelah ia berkata, "Itu tidak menjadi soal...."
Tanpa menanti orang bicara habis tiba-tiba Ang-hwat-lo-mo menukas, "Tidak
menjadi soal" Belum tentu ia insyaf bila, situasi berkembang terus demikian tentu tidak menguntungkan bagi
dirinya, terpaksa harus mengubah keadaan, betapapun Hun Thian-hi harus diadu domba supaya
menempur Bu-bing Loni. Melihat Ang-hwat-lo-mo begitu berani menukas kata-katanya, malah nada ucapannya
mengejek dan menyindir, serta merta menegak tinggi kedua alisnya, sorot matanya juga
lantas beringas. Dengan sikap kasar dan tukasan kata-katanya terhadap Bu-bing Loni ini, sudah
tentu Anghwat- lo-mo sudah punya ancang2 dan pegangan, maka ia berkata lebih lanjut, "Jangan
kau tergesa-gesa. Bagaimana juga Hun Thian-hi harus masuk ke dalam lembah, memang
tujuannya hendak menolong orang, tapi siapa dapat menduga bahwa dia tidak akan mengincar
Jian-lian-hokling itu" Bila sekarang kau hendak main paksa terhadap kami kurasa tidak gampang
terlaksana. Hun Thian-hi masih berada disini, dia tidak akan begitu goblok, bukan mustahil
kau nanti bakal menghadapi gebrak terakhir yang menentukan nasibmu!"
Bu-bing termakan oleh profokasi Ang-hwat-lo-mo, sesuai dengan perkataan Ang-hwat
tidak mungkin ia menyampingkan Hun Thian-hi untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo dan Bok-
pak-itkoay. Benaknya lantas bekerja, terpikir olehnya cara yang sempurna bagi kedua belah
pihak yaitu; 'kecuali dapat memastikan bahwa Hun Thian-hi benar-benar tidak mengincar Jian-
lian-hok-ling, urusan selanjutnya gampang diselesaikan.'
Setelah dipikir bolak balik akhirnya Bu-bing bertanya kepada Thian-hi, "Siapa
yang terkurung di dalam rumah batu itu?"
Thian-hi tahu maksud pertanyaan Bu-bing ini, bicara sejujurnya sebenar-benarnya
ia tidak rela membiarkan Bu-bing Loni merebut Jian-lian-hok-ling itu, tapi situasi dapat
membenar-benarkan cuma dia saja yang ada harapan, jawahnya, "Seorang kawan!"
Sebelum angkat bicara lagi Bu-bing menatap Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay
katanya kepada Hun Thian-hi, "Marilah kuiringi kau masuk kesana, setelah kau tolong
keluar kawanmu itu kau harus segera keluar dari Bok-hiat-kok, tak kuijinkan kau ikut andil dalam
perebutan ini, apakah kau setuju?" "Begitupun baiklah!" sahut Thian-hi tersenyum.
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo menjadi gugup mencak-mencak, naga-naganya Thian-hi
tidak ambil perhatian bila Bu-bing memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, malah setuju
kerjasama dengan Bu-bing Loni, bila ini benar-benar terlaksana, pihak dirinya dengan Bok-pak-it-
koay bakal terjepit dan takkan tertolong lagi, entahlah bila muncul suatu kejadian ajaib. Situasi
sudah terbalik, apakah memang sudah nasib dirinya hari ini bakal terjungkal.
Adalah hati Bu-bing menjadi senang, harapannya segera bakal terkabul, bila luka-
luka dalamnya sembuh, ditambah Lwekangnya maju berlipat ganda, masa gentar menghadapi
Hun Thian-hi. Setelah ia lirik ke arah Ang-hwat-lo-mo lalu ia ajak Thian-hi masuk ke
dalam gubuk batu itu. Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak mau tinggal diam, setelah
saling beradu pandang, cepat mereka maju mengejar di belakang mereka, cepat atau lambat hal
ini bakal terjadi, kenapa harus bimbang dan takut"
Tak lama kemudian mereka sudah berada di dalam gubuk batu itu, namun gubuk batu
itu kosong melompong, sesaat Thian-hi mendelong, tiba-tiba ia berpaling mengawasi
Ang-hwat-lo-mo sambil memicingkan matanya.
Ang-hwat-lo-mo sendiri rada diluar dugaan, agaknya heran bagaimana mungkin kedua
orang kurungannya itu bisa lenyap tanpa bekas. Tiba-tiba tergerak hatinya, ujarnya
tertawa, "Bagaimana" Ketemu tidak?"
Geram dan dogkol hati Thian-hi, katanya menyeringai, "Ang-hwat, jangan kau main
bacot dan ngelantur. Dimana mereka kau sembunyikan?"
"Urusan ini kita kesampingkan dulu," demikian ujar Ang-hwat, main ulur waktu,
"Mari kita selesaikan dulu urusan Jian-lian-hok-ling itu."
"Apa-apaan maksudmu ini?" sentak Hun Thian-hi berang.
Bu-bing Loni tersenyum ejek, ia tahu Ang-hwat-lo-mo sedang berusaha menarik
Thian-hi kepihaknya, betapapun ia tidak akan tinggal diam, kalah atau menang gebrakan
kali inilah yang bakal menentukan. Tapi Hun Thian-hi cuma ingin menolong orang yang terkurung
disini tanpa perduli dengan Jian-lian-hok-ling, adakah ia punya akal supaya Thian-hi tidak
memihak kepada Ang-hwat-lo-mo" Waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya diujung dinding sana ditempel
secarik kertas. Tiba-tiba terbayang oleh Bu-bing akan sikap Ang-hwat-lo-mo tadi, tahu dia bahwa
urusan tidaklah sederhana begitu saja, jelas kedua orang itu memang tadi ada disini, tapi
sekarang sudah pergi, hal ini mungkin Ang-hwat-lo-mo sendiri juga belum tahu. Maka ia bertanya kerada
Ang-hwat, "Maksudmu mereka berdua tidak berada di dalam gubuk batu ini?"
"Sudah tentu tidak disana." demikian sahut Ang-hwat sambil bergelak tawa, "Bila
ada matamu kan tidak lamur masa tidak melihat mereka berada disitu."
"Waktu masih berada di mulut lembah tadi apakah kau tahu bila mereka sudah tidak
lagi berada di dalam gubuk ini?" demikian jengek Bu-bing Loni.
"Begitukah anggapanmu?" seru Ang-hwat masih bergelak tawa, "Bila benar-benar
mereka ada di dalam lembah, cara bagaimana bisa pergi meninggalkan tempat ini?"
"Jadi maksudmu bahwa hakikatnya mereka tidak pernah terkurung di dalam gubuk
ini?" demikian Bu-bing Loni menegas.
Ang-hwat-lo-mo merasakan betapa genting urusan ini, ia maklum bahwa Bu-bing
pasti menemukan sesuatu bukti di dalam gubuk itu, sudah tentu ia sudah membayangkan
bagaimana akibatnya nanti. Maka dengan tajam biji matanyapun main selidik ke dalam ruangan gubuk sana,
ingin dia tahu benda apakah yang telah ditemukan oleh Bu-bing.
Thian-hi sendiri juga sudah berpikir ke arah itu, bila Gwat-sian dan gurunya
tidak terkurung di dalam gubuk ini, adalah mustahil Ang-hwat-lo-mo berani memancing dirinya untuk
datang kemari, dan urusan tidak bakal berlarut-larut sampai sekarang.
Sorot mata mereka berbareng ketumbuk pada secarik kertas yang tertempel
didinding itu. Begitu melihat secarik kertas itu, tanpa ayal Ang-hwat-lo-mo lantas mencelat
maju, bila ia dapatkan kertas itu, cukup untuk menekan dan mengancam Hun Thian-hi pula.
"Jangan bergerak!" Bu-bing Loni menghardik rendah seraya melolos pedang.
Apa boleh buat Ang-hwat-lo-mo harus berlaku nekad. ditengah jalan pedangnya pun
dikeluarkan langsung menyongsong ke arah tabasan pedang Bu-bing dari arah
samping, sementara tubuhnya tiba-tiba melambung tinggi, dengan kekerasan ia coba terjang
kesana. Pedang Bu-bing Loni ditaburkan sekencang kitiran, tiba-tiba ujung pedangnya
menyelonong keluar langsung menusuk ke depan mengarah tenggorokan Ang-hwat-lo-mo.
Karena serangan gencar yang mematikan ini Ang-hwat-lo-mo terdesak mundur
berulang-ulang, sungguh hatinya teramat kejut dan ciut bahwa sekali turun tangan Bu-bing tidak
tanggung2 melancarkan ilmu pedangnya yang ganas untuk merangsak dirinya, taburan sinar dan
hawa pedang yang menyamber dingin membuat semangatnya seolah-olah tersedot kaluar
dari badan kasarnya. Selama itu Hun Thian-hi masih berdiri tenang menonton Bu-bing Loni melabrak Ang-
hwat-lomo, tiba-tiba tergerak hatinya, terpikir olehnya bukan mustahil kertas itu tertulis
sesuatu hal yang tidak boleh diketahui orang lain. Maka tanpa ayal cepat ia lantas bertindak.
seruling jade teracung miring, Wi-thian-cit-ciat-sek ia lancarkan dengan segala kemampuannya. serempak
ia serang Bubing Loni berdua.
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tentu Bu-bing menjadi gentar, tak disangka olehnya bahwa Thian-hi bakal
menyergap dirinya, apalagi disaat ia tumplek seluruh tenaga untuk merangsak Ang-hwat-lo-
mo, tak sempat menangkis terpaksa ia berkelit ke arah samping kiri.
Tujuan serangan Thian-hi ini memang hendak mendesak Bu-bing menyingkir rada jauh
dari tempat kertas itu. maka sekali lompat Thian-hi berhasil meraih kertas itu,
sekilas pandang ia dapati tulisan di atas kertas itu berbunyi sebagai berikut, "Untuk mengetahui
jejak kedua perempuan ini, datanglah ke pesisir Ni-hay di Thian-lam!" - tulisan ini tidak
dibubuhi tanda tangan atau nama terang, qaja tulisanaja sama dengan tulisen yang ia baca diluar
hutan tadi. Thian-hi berdiri terlongong. otaknya jadi berpikir, siapakah sebenar-benarnya
orang ini" Sejak kecil ia dibesarkan di Thian-lam tak diketahui olehnya tokoh siapakah yang punya
kepandaian silat sedemikian tinggi dapat menolong keluar dua orang dari Bik-hiat-kok, kejadian,
ini benar-benar suatu hal yang luar biasa. entah apa pula kepentingannya ia menghendaki aku
menyusul kesana" Melihat Hun Thian-hi berhasil merebut kertas itu Bu-bing membanting kaki, baru
saja ia hendak membuka mulut. tiba-tiba rona wajahnya berubah, agaknya ia sedang dirundung
sesuatu kesulitan. Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sama berdiri diam. rona
wajah mereka bertiga mengunjuk mimik yang berlainan, ada yang gusar ada yang rada keheranan
tercampur aduk. Adalah Hun Thian-hi sendiri mengerutkan kening, sekonyong-konyong ia seperti
sadar peristiwa apa yang telah terjadi, hawa harum yang mengembang luas ditengah udara lambat
laun sudah sirna. segera teringat olehnya kejadian apa pula yang bakal terjadi. Baru sampai
disini jalan pikiran Thian-hi, tiba-tiba Bu-bing Loni, Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama
menyerbu ke arah dirinya, tujuan mereka sama hendak merebut kertas rampasannya, cepat Thian-hi
gosokkan kedua telapak tangannya, kontan kertas itu remuk berhamburan, berbareng kakinya
menjejak tanah tubuhnya mencelat mundur berulang-ulang.
"Hun Thian-hi!" seru Bu-bing Loni dengan geram, "Besar benar-benar nyalimu,
berani kau berlawanan dengan aku, apa yang tertulis di atas kertas itu?"
Thian-hi tersenyum sinis tak bersuara, tahu dia bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya
sudah tertolong orang, dan tuan penolong itu, sekaligus telah mencangking Jian-Lian-
hok-ling sekalian. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, katanya, "Kalau kita terlalu lama tinggal di
tempat ini, mungkin takkan dapat keluar pula dari sini!"
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan lain juga maklum akan hal ini, tapi Bu-bing Loni
menjengek dingin, "Aku tidak menjadi soal, burung dewata akan cepat membawaku terbang
keluar, tak usah kau kuatir lagi keselamatanku."
Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa, serunya, "Suthay! Kalau begitu maaf kami berdua
harus mundur lebih dulu, kami nantikan Suthay dimulut lembah untuk berundingkan
caranya untuk menyelesaikan hal ini." - habis kata-katanya cepat mereka lantas berlari-lari
kencang kemulut lembah. Mendengar kata-kata Ang-hwat-lo-mo Bu-bing tahu kemana juntrungannya. cepat ia
berseru, "Nanti dulu! Maksudmu kalian hendak mengejar orang itu?"
"Suthay dapat menyelamatkan diri menunggang burung dewata, apakah kau ingin kita
menunggu ajal secara konyol?"'
Betapapun Bu-bing Loni tidak suka orang lain mendahului dirinya mengejar orang
itu, maka dengan mendengus ia berkata pada, Thian-hi, "Kau harus ikut kami kesana, setelah
tiba diluar Bikhiat- kok biar Kami membuat perhitungan dengan kau!"
"Apakah Suthay tidak merasa tindakanmu ini terlalu berbahaya" Hun Thian-hi
merupakan lawan yang tidak gampang diatasi, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan apa pula yang
dapat kau perbuat?" "Itu urusanku dan aku yang bertanggung-jawab. Kau tak usah cerewet!" begitulah
semprot Bubing. Begitulah akhirnya Ang-hwat mengalah bergegas mereka barlari keluar dari Bik-
hiat-kok. sepanjang jalan ini kelihatan laba-laba hijau dan rumput-rumput ular sudah mulai
bergerakgerak.... terlambat sedikit lagi pasti sulit untuk keluar.
Begitu tiba diambang mulut lembah Bu-bing Loni. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-
koay sama menghadang ditengah jalan, tanya Bulbing kepada Hun Thian-hi, "Siapakah orang
yang meninggalkan catatan kertas itu?"
Bila Bu-bing menunggang burung dewata mengejar tuan penolong itu pasti bisa
kecandak dan orang itu belum tentu mampu meloloskan diri, maka Thian-hi menyahut tertawa,
"Akupun tidak tahu, tulisan kertas itu tidak tertanda penulisnya!"
Bu-bing mencak-mencak gusar. ia tahu dengan menunggang burung dewata ia mampu
mengejar, tapi kalau niatnya ini sampai kentara, pasti tiga orang lawannya ini
berusaha merintangi dan menyerang dirinya, kesempatan untuk tinggal pergi pun tiada lagi.
Akhirnya ia bertanya pula dengan suara rada kalem, "Sebenar-benarnya apa yang
tertulis di atas kertas itu?" Thian-hi sengaja main ulur waktu, sahutnya tertawa, "Aku tahu, tapi tak sudi
kukatakan. Bukankah kau bisa mengejar naik burungmu?" ia mendongak memandang kelangit
tampak burung dewata terbang berputar-putar ditengah udara.
Semakin berkobar amarah Bu-bing Loni, menurut perhitungannya semula memang
disaat mereka tiga orang tidak siaga ia hendak mencelat naik ke punggung burung dewata,
tapi setelah dibeber terang-terangan oleh Thian-hi kesempatan ini menjadi hilang.
Akhirnya Bu-bing berkepastian hendak berlaku nekad, bagaimana juga ia harus
berhasil merebut Jian-lian-hok-ling itu, waktu tidak boleh berlarut-larut lagi.
Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sudah menaruh perhatian, mereka tahu
bahwa harapan untuk memperoleh Jian-lian-hok-ling adalah kosong belaka, namun
merekapun tidak rela bila Bu-bing Loni yang bakal mendapatkan, serempak mereka melolos pedang, rona wajah mereka
memperlihatkan tekad yang besar untuk merintangi Bu-bing Loni supaya tiada
kesempatan tinggal pergi naik burung dewata.
Bu-bing mundur kesamping bersiaga, posisi dirinya menjadi serba sulit, namun
lahirnya ia berlaku tenang dan mengulum senyum dingin.
Kata Ang-hwat-lo-mo sembari tertawa, "Bu-bing Suthay, bila kau benar-benar
hendak tinggal pergi, bukankah kau terlalu memandang rendah kami bertiga?"
Bu-hing mendengus sambil mengertak gigi, mau tak mau ia harus berkeputusan
menempur tiga musuhnya bersama, asal dia dapat mencapai punggung burung dewata, segala urusan
ini pasti tak perlu direwes lagi. Ia tahu ketika itu burung dewata sedang terbang rendah berputar di atas
kepalanya cepat ia bergaja hendak mencelat naik. Serentak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama
menggerakkan pedangnya, yang satu membabat perut yang lain menusuk dada, kilauan
tabir pedangnya sangat menyolok mata, serangan dua pedang yang hebat ini mandah
dianggap enteng oleh Bu-bing Loni, yang menjadi perhatiannya paling utama cuma Hun Thian-hi
melulu, melihat Hun Thian-hi tidak turut menyerang, hatinya menjadi rada hambar dan seperti
kecewa, soalnya ia tidak tahu kapan Thian-hi baru akan bertindak menghalangi perjalanannya.
Sedikit ia beragu sementara serangan pedang kedua musuhnya menyerang tiba
terpaksa Bubing tidak berani anggap enteng, dimana pedangnya panjang berputar lalu disendal
keluar segulung hawa pedang yang berkilauan kontan menindih ke depan, sekaligus
memunahkan rangsakan kedua pedang musuhnya. Sementara mendapat peluang ini tubuhnya
mendadak melambung tinggi terus meluncur ke arah punggung burung dewata
Tiba-tiba dalam waktu yang sama Hun Thian-hi juga melejit ke atas, serulingnya
teracungacung ke atas melancarkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, ia serang punggung dan lengan
kiri Bu-bing untuk merintangi orang melarikan diri.
Bu-bing Loni menggerung murka, pedang panjangnya membalik dengan setaker
tenaganya menyongsong ke arah gelombang tenaga pancaran dari Wi-thian-cit-ciat-sek yang
hebat itu. Baru saja ujung pedangnya saling sentuh di tengah jalan, kontan Bu-bing merasa
aneh dan kejut bukan main, bahwa tingkat latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dan Lwekang Hun
Thian-hi sekarang benar-benar diluar perkiraannya semula. Kekuatan Wi-thian cit-ciat-sek laksana
angin lesus yang bergelombang tinggi sukar ditembus, hampir saja pergelangan tangannya yang
memegang pedang tergetar lepas dari tangannya.
Tak berani berayal lagi Bu-bing cepat merubah permainan pedangnya, beruntun ia
lancarkan tiga rangkaian ilmu pedangnya yang paling diagulkan, sinar pedangnya bagai
lembayung memancarkan sinar kemilau menggasak ke arah muka Hun Thian-hi.
Tiba-tiba Hun Thian-hi jadi heran, kelihatannya Bu-bing Loni tidak mampu lagi
melancarkan serangannya yang hebat ini dengan landasan tenaga dalamnya yang kuat itu, tapi
waktu terlalu mendesak untuk ia banyak pikir, harapan satu-satunya cuma ingin merintangi
perjalanan Bu-bing Loni belaka. Cepat ia pun merubah permainan serulingnya dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap
salah satu jurus dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou yang ampuh sekali
untuk mengurung dan membendung jalan keluarnya.
Diluar dugaan seiring dengan perubahan permainannya ini, tiba-tiba pedang
panjang Bu-bing melesat terbang dan berhasil membobol keluar, sedikit terlambat saja pertahanan
Hun Thian-hi menjadi pecah, sehingga Bu-bing Loni berkesempatan mencelat terbang ke atas dan
tepat sekali hinggap di punggung burung dewata, kejap lain ia sudah menghilang di tengah
udara. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay jadi berdiri melongo, semula mereka
beranggapan bahwa Hun Thian-hi cukup berkelebihan untuk merintangi Bu-bing Loni, sungguh diluar
dugaan akhirnya toh Bu-bing berhasil lolos.
Bagi Hun Thian-hi sendiri juga tidak menyangka begini kesudahan usahanya, begitu
tubuhnya meluncur turun dan menyentuh tanah, dalam hati ia sudah berkeputusan untuk tetap
menghadang perjalanan Bu-bing Loni, maka tanpa ayal cepat ia berlari-lari
kencang melesat keluar lembah. Ang-hwat-lo-mo insaf tiada manfaatnya ia merintangi cepat ia menyingkir
kesamping. Tapi justru Bok-pat-it-koay berteriak dan mengejar di belakangnya, "Hun Thian-hi
tunggu dulu, ada suatu hal hendak kuberitahukan kepada kau!"
Thian-hi sudah berhasil melampaui mereka di sebelah depan, ia tidak perlu kuatir
apa lagi, terpaksa ia hentikan langkahnya, tanyanya, "Ada urusan apa lagi?"
Ang-hwat-lo-mo awasi Bok-pak-it-koay dengan pandang heran tak mengerti, entah
urusan apa yang dimaksud dengan Bok-pak-it-koay untuk menahan Hun Thian-hi.
Kata Bok-pak-it-koay, "Tujuanku merebut Jian-Lian-kok-ling bukan untuk
kepentingan sendiri, soalnya ada orang lain membutuhkan, tapi Jian-lian-hok-ling sekarang sudah
lenyap gara-gara kalian!" sampai disini ia menyapu pandang Hun Thian-hi dan Ang-hwat-lo-mo lalu
sambungnya, "Selanjutnya mungkin beliau bisa mencari perkara pada kalian, maka hati-
hatilah!" - habis berkata ia berkelebat lari ke arah timur sana.
"Nanti dulu!" teriak Ang-hwat-lo-mo menyusul.
Bok-pak-it-koay berhenti dan membalikan badan ke arah Ang-hwat-lo-mo.
Ang-hwat-lo-mo beranjak mendekati, Bok-pat-it-koay menjadi tidak sabar, serunya,
"Ada omongan lekas katakan, berani maju lagi kutinggal pergi aku tidak akan gampang
kau tipu." Ang-hwat-lo-mo ingin tahu siapa yang dimaksud oleh Bok-pak-it-koay itu,
sangkanya bila ia dapat membekuk Bok-pak-it-koay tentu orang itu tidak akan mampu berbuat apa-apa
atas dirinya, tapi sekarang terpaksa ia harus berhenti, tanyanya, "Siapa orang yang kau
katakan tadi?" - ia
tahu Bok-pak-it-koay bukan sembarang tokoh persilatan yang bernama kosong, kalau
toh dia dikendalikan orang lain pasti orang itu teramat lihay.
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum membuka suara Bok-pak-it-koay menyeringai tawa sinis, ujarnya,
"Kukatakan juga tidak menjadi soal, beliau adalah Sin-jiu-mo-ih!" kali ini ia benar-benar
berlari pergi tanpa rintangan. Rada bercekat benak Thian-hi, sepak terjang Sin-jiu-mo-ih pernah ia saksikan
sendiri, bilamana ia mau menimbulkan gelombang persengketaan di dunia persilatan, mungkin kalangan
Kangouw bakal geger dan tiada seorang tokoh pun yang mampu mengatasinya.
Sesaat lamanya Ang-hwat-lo-mo terlongong ditempatnya, ia tahu siapa Sin-jiu-mo-
ih dan apa pula kerjanya, dengan hambar ia mendongak keangkasa, akhirnya ia tersenyum pahit
dan berkata pada Hun Thian-hi, "Sudah puluhan tahun aku berkecimpung dalam Kangouw, tapi
tahun2 terakhir ini sering terjungkal dan gagal total, selamanya aku belum pernah dikalahkan
sekian kalinya!" ia tertawa pula dengan hambar.
"Kenapa kau begitu berputus asa. Bila tadi kau tidak masuk ke dalam lembah sana
kau tidak akan mengalami segala pahit getir ini." demikian ujar Thian-hi.
Sesaat merenung Ang-hwat-lo-mo berkata pula tawar, "Yahhhhh! Mungkin tidak
seharusnya aku muncul kembali dalam dunia ramai ini!" ia tenggelam lagi dalam alam
pikirannya, lalu tambahnya tertawa, "Tapi kenyataan aku sudah naik kemari!" ~lalu ia berpaling ke
arah Thian-hi serta katanya, "Selamat bertemu dilain kesempatan!" - ia tinggal pergi dengan
langkah goyang gontai. Membayangi punggung Ang-hwat-lo-mo yang menghilang dikejauhan sana. tiba-tiba
terasa sesuatu keanehan dalam benak Thian-hi, terasa olehnya bahwa Ang-hwat-lo-mo ini
membekal suatu sifat atau watak manusia yang ganjil dan istimewa. Meski berulang kali
dirinya hampir menjadi korban akan keganasannya, namun ia tidak pernah merasa dendam terhadap
Ang-hwat, Thian hi sendiri juga heran akan perasaan hatinya dan sulit untuk memberi
jawaban akan pertanyaan diri sendiri.... Mungkin dalam sesuatu hal ada titik persamaan atas
dirinya dengan Anghwat- lo-mo ini. Begitulah Thian-hi melayangkan pikirannya dengan berdiri terlongong. Tak lama
kemudian sudah berlari-lari di dalam hutan langsung menuju dimana ia berpisah dengan
burung dewata. Setelah tiba tampak burung dewata sedang berbaring di atas rumput, segera ia
naik kepunggung burung dewata terus terbang ke atas langit.
Burung dewata terbang berputar mengitari sekeliling lembah berbahaya itu, namun
tiada sesuatu yang mencurigakan, tiada kelihatan jejak orang dari Ni-hay itu, juga
tidak kelihatan bayangan Bu-bing Loni, Diam-diam ia merasa heran, akhirnya terpaksa ia turun
lagi kebumi. Sesaat Thi-hi menjadi bingung, apakah harus menyusul ke Ni-hay" Atau mengerjakan
apa lagi, kalau sekarang juga langsung menyusul ke Ni-hay mungkin Ni-hay Lojin itu belum
sampai disana, lalu apa yang harus diperbuat dalam waktu senggang ini"
Waktu ia berdiri kebingungan tiba-tiba sesosok tubuh manusia getajangan
menerobos keluar dari dalam hutan, muka orang ini berlepotan darah segar. puluhan langkah
kemudian tak tahan lagi ia tersungkur jatuh ke depan.
Begitu melihat keadaan orang itu lantas Thian-hi berjingkrak kaget seperti
disengat kala, sungguh tak duga bahwa dia bakal menghadapi peristiwa yang menggiriskan ini,
karena orang yang terluka parah ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-mo yang baru belum lama
berpisah. Cepat ia memburu maju, tampak Ang-hwat-lo-mo rebah celentang, raut mukanya sudah
tak dikenal lagi, mulutnya terlihat kemak-kemik tapi suaranya samar-samar tak jelas.
Jantung Thian-hi kebat-kebit dan badan gemetar saking seram, entah siapakah
orang yang sampai hati melukainya sampai sedemikian rupa, Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh
sembarang tokoh, tapi kenyataan ia telah dilukai berat sekali, bukanlah tidak beralasan rasa
kejut dan keheranan Thian-hi Sedang ia berpikir2 ini sementara Ang-hwat-lo-mo sudah tidak bergerak lagi,
jiwanya telah melayang. Hun Thian-hi terlongong mengawasi jazat Ang-hwat-lo-mo, hatinya kosong entah
betapa perasaan hatinya, kejadian berubah begini cepat, sehingga ia sulit mempersiapkan
diri untuk menanggung akibatnya. Tiba-tiba terdengar kesiur angin serta lambaian baju orang. Thian-hi sadar bahwa
telah kedatangan seorang musuh yang kuat, tanpa berani angkat kepala, ia mencelat
mundur lempang ke belakang. Tampak seorang tua yang mengenakan jubah putih tengah berdiri tenang diluar
hutan sebelah sana, orang tua ini angkat kepala menghadap kelangit, mulutnya terdengar
menggumam, "Setindak terlambat aku jadi kehilangan Jian-lian-hok-ling!"
Menghadapi orang tua berjubah putih ini Thian-hi merasakan hatinya tertekan
berat, tenggorokannya menjadi sesak, ia duga bahwa orang tua ini pasti Sin-jiu-mo-ih
Lam In yang telah membunuh Ang-hwat-lo-mo. Naga-naganya kepandaian silatnya tidak begitu hebat tapi kenyataan Ang-hwat-lo-
mo sudah ajal ditangannya dalam waktu yang begitu singkat, mungkin dia punya suatu ilmu
luar biasa yang ganas sekali, maka aku harus lebih hati-hati.
Seorang diri Sin-jiu-mo-ih menggumam lalu dengan sikap acuh tak acuh Lam In
mengerling ke arah Thian-hi, tanyanya, "Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?"
Pelan-pelan Thian-hi manggut-manggut.
Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In tertawa kering dua kali, katanya sambil menunjuk
jenazah Anghwat- lo-mo, "Kau lihat dia" Dia sudah mati bukan?"
Dengan was-was Thian-hi pandang orang lekat-lekat. entah apa yang hendak dia
perbuat atas dirinya. Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata pula, "Kau sedikit lebih pintar dari dia,
kalau tidak kau pun sudah mampus sejak tadi. Aku rada takabur sehingga dia masih kuasa lari
puluhan langkah baru roboh sampai disini."
Bergidik badan Thian-hi, tengkuknya jadi merinding, diam-diam ia bersyukur bahwa
jiwanya telah lolos dari lobang elmaut, untung Ang-hwat-lo-mo gentayangan puluhan
langkah kemudian baru roboh, jika dirinya tadi memburu maju memajang tubuhnya pasti jiwanya pun
sudah celaka dikerjain oleh Tabib iblis bertangan sakti Lam In ini.
Dalam pada itu tabib sakti bertangan sakti Lam In berkata pula, "Betapa pun kau
tidak akan lolos dari tanganku, segera kau pun bakal terkapar di tanah tanpa jiwa." -
sampai disini tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar hijau berkilat seperti mata srigala kelaparan
yang haus darah. Thian-hi menenangkan hati, katanya, "Mengandal apa kau berani bicara begitu
pasti" Kejadian selanjutnya tidaklah bakal berakhir seperti apa yang kau bayangkan."
"Coba kau lihat. Apakah Ang-hwat benar-benar sudah mati?" seringai Lam In.
Thian-hi tertegun, entah apa tujuan Lam In mengucapkan kata-katanya ini.
Lalu terdengar Lam In tertawa dingin, katanya, "Salah dugaanmu!" - sembari
berkata ia mengeluarkan sebuah buntalan kertas dari buntalan kertas ini ia menjemput dua
butir pil warna hitam terus membungkuk tubuh dijejalkan kemulut Ang-hwat.
Sebetulnya Thian-hi hendak maju mencegah, namun kuatir Lam In sengaja mengatur
tipu daya ia tidak berani semharangan maju, terpaksa ia saksikan saja setiap gerak gerik
Sin-jiu-mo-ih Lam In yang aneh ini. Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo memang sudah meninggal, tapi saat mana kelihatan
mulai bergerak-gerak, Thian-hi tersentak mundur lalu berdiri dengan kesima, hampir ia
tidak mau percaya akan pandangan matanya. Ternyata Lam In mampu menghidupkan orang setelah
jiwanya melayang. Pelan-pelan Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata kepada Ang-hwat-lo-mo, "Kau majulah,
bereskan manusia kerdil itu!"
Lagaknya Ang-hwat-lo-mo sudah kena dipengaruh kata-kata Sin-jiu-mo-ih, pelan-
pelan ia berdiri dan terus melangkah maju ke arah Thian-hi dengan kaku.
Bahwasanya hati Thian-hi gentar setengah mati. namun sedapat mungkin ia berlaku
tenang, dengan sikap acuh tak acuh ia menatap ke arah Ang-hwat-lo-mo yang sedang
menghampiri dirinya, pelan-pelan ia berkata kepada Lam In, "Gertak sambelmu ini hanya cukup
menakuti bocah kecil belaka, beranikah kau menempur aku?"
Sin-jiu-mo-ih menggerung gusar, tahu dia bahwa tipu muslihatnya gagal, maka
sekali mengayunkan tangan, jazat Ang-hwat-lo-mo kontan roboh terbanting di tanah,
serunya dingin, "Tapi seluruh kejadian ini benar-benar berada diluar dugaanmu bukan?"
Bab 31 Semangat dan nyali Thian-hi semakin besar, dengan tak kalah dinginnya iapun
balas menjengek, "Begitukah sangkamu" Yang terdahulu memang aku merasa diluar dugaan,
tapi untuk selanjutnya justru kau sendirilah yang bakal merasa diluar dugaan!"
Sin-jiu-mo-ih mengunjuk tawa sinisnya, tangannya mengulap ke belakang, dari
dalam hutan pelan-pelan berjalan keluar seseorang, sekali pandang mencelos hati Thian-hi,
yang muncul ini bukan lain adalah salah satu dari Si-gwa-sam-mo yaitu Kiu-yu-mo-lo.
Berkatalah sin-jiu-mo-ih kepada Kiu-yu-mo-lo, "Ajo bantu aku membekuk Hun Thian-
hi itu!" - cepat Kiu-yu-mo-lo berkelekat maju terus menubruk ke arah Thian-hi.
Jang membuat Thian-hi terkejut adalah bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah sadar dan
tergugah imannya dari sesat kejalan terang, tapi sekarang muncul di tempat ini, pasti dia
telah dikerjain oleh tabib sakti bertangan jail ini.
Begitu Kiu-yu-mo-lo melesat tiba Thian-hi lantas mencelat menyingkir,
kelihatannya kepandaian Kiu-yu-mo-lo sudah jauh lebih maju, setelah terhindar segera ia berteriak kepada
Lam In, "Berhenti dulu!"
Sin-jiu-mo-ih rada bimbang, tapi akhirnya ia berseru kepada Kiu-yu-mo-lo, "Tahan
sebentar. Coba dengar apa yang hendak dia ucapkan!"
Kata Hun Thian-hi, "Bahwasanya apakah tujuanmu coba bicara terus terang saja,
mungkin persoalan ini masih bisa kita rundingkan, jikalau kau keras kepala ingin main
kekerasan, aku bisa naik burung dewata tinggal pergi, apa yang mampu kau perbuat atas diriku?"
"Tujuan apa" Tujuanku adalah Jian lian-hok-ling itu, jikalau kau bisa
menyerahkan sekarang aku tidak ambil panjang urusan ini. Kalau tidak meski kau bisa naik burung
dewata, aku berani bertaruh kau tidak akan mampu lari dari tanganku."
"Kalau begitu marilah kami coba-coba!" demikian tantang Thian-hi sambil tertawa
tawar, lenyap suaranya tiba-tiba ia melejit naik kepunggung burung dewata, burung itu segera
pentang sayap terbang keudara. Sin-jiu-mo-ih terkekeh-kekeh dingin, mendadak sepuluh jarinya terkembang,
puluhan ekor burung-burung kecil berbulu hijau seketika beterbangan, bau obat yang tebal
segera beterbangan di tengah udara dari badan burung-burung hijau kecil itu, kontan terdengar
burung dewata memekik panjang, sayapnya terpentang menggelepar tapi tak mampu terbang ke
tengah udara, kelihatannya seperti berat sekali tak mampu lagi membawa badannya.
"Bagaimana, percaya tidak?" demikian jengek Sin-jiu-mo-ih sambil menyeringai
dingin. Bercekat hati Thian-hi, seruling jade seketika dilolos keluar badan pun cepat
melambung tinggi terus diputar sambil meluncur ke atas, sekaligus ia serang puluhan burung-burung
kecil berbulu hijau yang terbang teramat gesit, tujuannya hendak memukul roboh sekali hantam.
Tapi Sin-jiu-mo-ih ternyata tidak tinggal diam, lagi-lagi ia tertawa panjang,
badannya melejit tinggi laksana seekor burung rajawali langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi.
Sebagai tokoh kelas wahid pada jaman ini sudah tentu Thian-hi tidak gentar
menghadapi segala permainan Sin-jiu-mo-ih, terdengar ia mendengus dingin, serulingnya ditukikkan
miring turun ia lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, segulung sinar putih kemilau segera menyongsong
kedatangan Sin-jiu-mo-ih Berani menghadapi Hun Thian-hi yang terkenal hebat dan lihay ini, sudah tentu
Sin-jiu-mo-ih Lam Im punya bekal yang cukup berkelebihan untuk mengatasi serangan lawan,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak begitu ia meluncur tiba Hun Thian-hi sudah merobah jurus permainannya untuk menyerang
dirinya, tangkas sekali ditengah udara sebelah kakinya menjejak sebelah kaki yang lain, seenteng
asap badannya tiba-tiba melambung lebih tinggi lagi menghindari serangan musuh.
Sudah tentu Thian-hi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, jikalau
sekarang ia tidak segera turun tangan, babak selanjutnya belum tentu bisa memperoleh kesempatan
sebaik ini. Tanpa ayal iapun layangkan tubuhnya menerjang lebih tinggi mengejar pula dengan
rangsakan yang lebih dahsyat. Tiba-tiba Sin-jiu mo-ih mengebutkan sepasang lengan bajunya yang panjang lebar,
bubuk obat warna putih seketika beterbangan di tengah udara, dan yang lebih hebat
seluruhnya menerjang ke arah kepala Thian-hi. Sudah tentu bukan kepalang kejut Thian-hi melihat permainan licik musuh, cepat
serulingnya digentakkan serta dibolang-balingkan di depan tubuhnya, syukur ia berhasil
menghalau bubuk obat itu dengan kekuatan tenaga dalamnya, gebrak selanjutnya ia menjadi jeri
mengejar pula, cepat ia lorotkan tubuhnya meluncur turun ke tanah. Meski ia cukup cekatan tak
urung ada sebagian bubuk obat yang berhasil tersedot ke dalam hidungnya, kontan ia
rasakkan dadanya sesak dan mulut menjadi mual hendak muntah2, yang lebih celaka lagi kepala
terasa pusing dan pandangan berkunang-kunang.
Thian-hi insaf bahwa ia sudah menyedot racun, cepat ia loncat pula ke belakang
keluar dari lingkupan bubuk-bubuk putih itu, terus berdiri tegak mengempos semangat dan tak
berani sembarangan bergerak. Terdengar Sin-jiu-mo-ih tertawa menggila ditengah taburan bubuk obatnya yang
beracun, badannya segera menukik turun secepat burung elang menerkam anak ajam langsung
menepuk ke batok kepala Hun Thian-hi dengan kedua telapak tangannya.
Meski Thian-hi cuma menyedot sedikit saja bubuk obat itu, tapi ia sendiri maklum
bahwa ia sudah keracunan cukup berat, sebisanya ia mengerahkan serulingnya ke atas
memunahkan rangsakan Sin-jiu-mo-ih Lam Im yang sangat berbahaya itu.
Sementara Sin-jiu-mo-ih sendiri juga teramat heran, bagaimana mungkin Hun Thian-
hi tidak segera roboh mampus setelah menyedot obat beracunnya yang sangat jahat, setelah
mencelat mundur sejenak ia berpikir lalu katanya dingin, "Tiada gunanya, meski kau pernah
menelan buah ajaib, sama saja kau bakal mampus ditanganku!" - lalu ia terbahak-bahak lagi
lebih menggila. Dengan berhasilnya Thian-hi menghalau rangsakan Lam Im yang mematikan itu,
kepala Thianhi pun terasa semakin berat pikirannya mulai kabur, setiap perkataan Lam Im seakan-
akan sebuah pukulan godam yang mengetok batok kepalanya sehingga kepalanya terasa hampir
pecah. Selesai berkata segera Lam Im mendesak maju pula kepada Thian-hi, ingin rasanya
sekali hantam ia bikin lawan kecilnya ini mampus seketika, adalah setimpal hukuman ini
bagi Thian-hi karena dialah yang telah menggagalkan usahanya dalam memperoleh Jian-lian-hok-
ling itu. Pandangan Thian-hi kepada Lam In yang berada di depannya semakin kabur, tahu dia
bahwa sembilan bagian dari sepuluh jiwa raganya sudah tercengkeram di tangan Lam Im,
bayangan beberapa raut wajah yang sangat dikenalnya berkelebatan dalam benaknya, terasa
olehnya betapa penderitaan seseorang dalam mendekati ajalnya, banyak alasannya untuk
memperjuangkan hidupnya karena banyak urusan yang belum selesai ditunaikan, dan
lagi segan dan berat rasanya meninggal dunia fana yang membawa banyak kenangan bagi
sanubarinya, suatu pemikiran yang cukup dapat menghibur hatinya cuma bila ia benar-benar
mati, meski ia belum berhasil menunaikan tugasnya tapi tiada seorang pun dalam dunia ini yang
bakal menanggung sengsara karena dirinya.
Dengan menyeringai sadis Lam Im menghampiri pula ke arah Thian-hi, didapatinya
sekarang dengan pasti bahwa Hun Thian-hi sudah kehilangan daya pertahanan terhadap
serangannya. Sekonyong-konyong ditengah udara kumandang sebuah teriakan, "Lam Im nanti dulu!"
Sin-jiu-mo-ih terkejut, sekilas ia melengak, dalam jaman ini orang yang berani
gembar-gembor memanggil namanya cuma beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, sedang
para sahabat karibnya yang aneh2 banyak yang sudah wafat, tak terpikir olehnya siapakah orang
ini yang berani meneriakan namanya secara langsung, cepat ia menengadah melihat ke atas
udara. Thian-hi sendiri juga tersentak sadar mendengar teriakan ini, timbul setitik
harapan dalam sanubarinya, dengan susah payah ia coba angkat kepala mendongak ke atas angkasa.
Seekor burung rajawali yang besar berbulu emas pelan-pelan menukik turun dan
hinggap dimuka bumi, kiranya pindatang ini adalah murid Thay-si Lojin. keruan kejut dan
girang pula hatinya. Thay-si lojin merupakan seorang tokoh yang berjiwa luhur dan berwatak
aneh berkepandaian tinggi pula, maka muridnya itu pasti bukan sembarang tokoh pula,
sekarang dia berani muncul dalam keadaan yang gawat ini. maka harapan hidup jiwanya semakin
besar, dari teriakan atau panggilan tadi dapatlah diduga bahwa beliau pasti kenal akan Sin-
jiu-mo-im Lam Im. Begitu melihat siapa pendatang ini, tergetar benak Sui-jiu-mo-ih Lam Im, cepat
ia memapak maju lalu menjura serta sapanya hormat, "Kiranya kau orang tua yang datang, Lam
Im tidak tahu harap maaf bila kurang hormat!"
Melihat kelakuan orang semakin lega sanubari Thian-hi, tingkat kedudukan Thay-si
Lojin di Bulim teramat tinggi dan cukup diagungkan tiada yang tidak mengindahkan
ketenaran namanya, dilihat gelagatnya mereka saling berkenalan, maka tiada sesuatu pula yang perlu
dikuatirkan dirinya. Terdengar si orang tua berkata pada Lam Im sambil tertawa, "Selama berpisah
apakah kau baik-baik saja?" Lam Im menundukkan kepala tidak bersuara. Gurunya Sin-chiu-ih-sing adalah
keponakan Thaysi Lojin, beliau banyak mendapat bimbingan dan asuhan sangat berharga dari tokoh
agung ini, demikian juga dirinya tidak sedikit mendapat petunjuk dan bimbingan dari Thay-si
Lojin. Orang tua itu tertawa. ujarnya, "Ilmu ketabiban adalah untuk menolong jiwa
orang, sekali2 pantang digunakan, untuk mencelakai jiwa manusia, ketahuilah hukum karma,
sesuatu yang pernah kau perbuat kelak akan menimpa pula akan dirimu."
Karena berlega hati pertahanan Thian-hi semakin kendor dan akhirnya tidak
tertahan lagi, kepalanya semakin berat, tampak bayangan si orang tua, dan Sin-jiu-lo-jin sama
semakin kabur dan beterbangan di depan matanya, beberapa kali ia melihat Sin-jiu-mo-ih membuka
mulut hendak bicara tapi suaranya tidak terdengar, pelan-pelan kepalanya tertunduk dan
kaki menjadi lemas pula setelah sempoyongan akhirnya ia meloso jatuh dan tidak ingat diri.
*** Entah berapa lama berselang, akhirnya Thian-hi pelan-pelan siuman dari pulasnya,
tatkala itu cuaca sudah gelap gulita, bintang-bintang beterbaran dicakrawala yang cerah
cemerlang, sesaat kemudian ia celingukan kian kemari, sekelilingnya kosong melompong tiada sesuatu
pun yang menarik pandangan matanya.
Thian-hi menjadi keheranan, masih jelas dalam ingatannya ia pernah kena racun
yang sangat jahat. kebetulan si orang tua datang menolong jiwanya, tapi apa yang telah
terjadi selanjutnya ia tidak tahu. Pelan-pelan ia bangkit berdiri, terlihat serulingnya menggeletak di tanah
sebelah kakinya, pelan-pelan dijemputnya senjatanya itu, tampak pada batang serulingnya itu
tertempel secarik kertas, dimana tertulis, "Lam Im sudah kubawa pergi, lekas menyusul ke Ni-hay!"
Thian-hi tahu bahwa orang tua itulah yang meninggalkan pesan ini, sejenak ia
terlongong, lalu menjelajahkan pandangannya kesekelilingnya. tampak burung dewata masih mendekam
di bawah pohon sana, cepat ia menghampiri terus naik ke atas punggungnya dan terbang
langsung menuju keselatan, ke Ni-hay. Waktu terang tanah Thian-hi sudah sampai di Ni-hay dan turun di pesisir yang
berpasir halus, ia periksa keadaan sekelilingnya, dalam hati ia bertanya-tanya siapakah sebenar-
benarnya yang mengundangku kemari kenapa si orang tua juga menyuruhku kemari juga" Sekarang
aku sudah tiba di tempat tujuan jelas tidak akan salah kaprah, kenapa takut-takut lagi,
orang yang mengundang aku pasti akan muncul menemui aku sendiri.
Ia ulapkan tangannya menyuruh burung dewatanya menyingkir pergi, seorang diri ia
beranjak dipesisir Ni-hay yang tak berujung pangkal.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang dari sebuah kapel yang
terdapat dipinggir sebelah atas yang dibangun di atas batu karang dipinggir laut sebelah
depan. sana, Thian-hi menghentikan langkahnya, dalam waktu sepagi ini, masa mungkin ada orang
berkunjung ke tempat ini. jelas pasti orang yang mengundang aku itulah yang memanggil
diriku. Dengan cermat Thian-hi mengawasi ke arah kapel di depan sana, sekarang ganti
terdengar suara gelak tawa yang lantang, tapi arah suaranya sudah berganti tempat
disetelah sana. Thian-hi jadi mengerutkan kening, sabenar-benarnya orang macam apakah yang
mengundang aku kemari" Demikian ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa begini humor dan suka
berkelakar agaknya, entah bagaimana aku bersikap nanti setelah ketemu dengan beliau.
Tampak sebuah sosok bayangan abu-abu berkelebat keluar dari kapel itu lalu
berlari-lari kencang menyelusuri pesisir yang berpasir.
Cepat Thian-hi melompat mengejar, dari kejauhan ia berteriak, "Cianpwe harap
tunggu sebentar!" Agaknya orang itu tidak peduli atau mungkin anggap tidak dengar akan teriakan
Thian-hi, langkah kakinya malah dipercepat. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi kerahkan
tenaganya mengejar lebih pesat pula.
Bayangan abu-abu itu melesat secepat kjlat menuju ke arah sebuah kapel lain
disebelah depan sana, sekali berkelebat tiba-tiba bayangannya lenyap dibailk kapel itu.
Thian-hi langsung mengejar masuk, setiba ia di dalam kapel didapati keadaan
kosong melompong tiada jejak manusia, mau tak mau ia mengerutkan alis. hatinya menjadi
gelisah dan cukup kesal, tapi agaknya orang sengaja main sembunyi2 dan kelakar padanya.
Thian-hi jelajahkan pandangannya mengawasi kesegala pelosok kapel yang tidak
begitu besar ini, tapi sungguh ia tidak habis mengerti kemana orang itu bisa sembunyi dengan
mengelabui matanya, saking kewalahan ia berdiri mematung diam saja, sesaat kemudian ia baru
bersuara, "Untuk keperluan apakah sebenar-benarnya Cianpwe mengundang Wanpwe kemari,
kenapa tidak mau unjuk diri untuk bicara?"
Baru saja habis ia berkata, mendadak terlihat sesosok bayangan melesat terbang
dari puncak kapel terus melesat keluar jauh sana. Cepat Thian-hi melesat keluar kapel belum
jauh ia mengejar tiba-tiba tampak orang itu membalikkan tangan, tampak ia melemparkan segulung
benda kecil warna putih melesat pesat ke arah mukanya.
Sekali raih Thian-hi berhasil menangkap, kiranya itulah segulung kertas, waktu
ia angkat kepala lagi tampak bayangan itu sudah menghilang pula dibalik kapel di depan sana,
cepat Thian-hi membuka lempitan kertas itu, dimana ada tertulis, "Bahwasanya kita tidak pernah
mengundang kau kemari!" Saking dongkol Thian-hi menjublek ditempatnya, sesaat ia sukar berkata-kata.
Gerakkan tubuh orang itu sungguh teramat pesat, ia insyaf bahwa dirinya tidak akan lebih unggul
dan berhasil menyandaknya, tapi apakah dia mudah dipermainkan demikian saja" Tidak! Betapapun
aku harus mencari dan mengejar sampai orang itu muncul, bila orang mau unjukan diri segala
urusan pasti bisa diselesaikan.
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena pikirannya ini cepat Thian-hi melesat pula ke kapel disebelah depan sana.
Baru saja kakinya bergerak tampak pula olehnya sebuah bayangan abu-abu yang lain melesat
keluar dari kapel semula terbang pesat ke arah jurusan lain.
Thian-hi jadi melengak heran, pikirnya, "Kiranya bukan melulu seorang saja, tak
heran dalam tulisan itu ia menyebut "kita", naga-naganya sedikitnya mereka berjumlah dua
orang!" Ia tidak hiraukan bayangan yang bergerak belakang ini, langsung ia menyusul ke
Kapel yang ada di sebelah depan sana. Baru saja kakinya tiba di ambang pintu secarik kertas
melayang jatuh dari langit2 kapel, sekali raih Thian-hi mengambilnya, keadaan kapel kosong
melompong tiada jejak manusia. Gesit sekali Thian-hi jejakkan kakinya melompat mundur keluar kapel, waktu ia
baca tulisan dalam kertas itu seketika darah bergolak di rongga dadanya, saking marah ia
mematung ditempatnya sambil kertak gigi, kiranya tulisan itu berbunyi, "Bujung kau
terlambat datang, aku tinggal pergi, jangan kau marah lho!"
Sesaat lamanya Thian-hi masih terlongong li tempatnya, ia pikir aku terhitung
seorang tokoh kelas wahid juga, sungguh tidak nyana di tempat sejauh ini aku dipermainkan
orang, sukar dipercaya ada orang yang mampu lolos dari pengamatan sepasang matanya yang jeli.
Akhirnya ia bersuara ke arah kapel di depannya itu, "Cianpwe harap jangan main
sembunyi lagi.... aku tahu bahwa kau orang tua masih belum meninggalkan kapel ini, harap
suka unjukkan diri untuk bicara dengan Wanpwe!"
Tidak terdengar penyahutan. Thian-hi berkata lagi, "Cianpwe jangan permainkan
aku lagi, kepandaian silat Cianpwe sungguh membuatku kagum dan takluk benar-benar, silakan
kalian keluar saja!" Maka terdengarlah sebuah suara tawa dari dalam kapel itu, berkatalah sebuah
suara serak yang bernada rendah, "Bujung macammu ini kiranya cerdik juga, tapi aku orang tua
tidak gampang kena kau tipu!" Berdiri diluar kapel Thian-hi menyahut tertawa, "Akupun tidak akan kena
dikelabuhi lagi, cukup aku berdiri diluar sini, kecuali kau melarikan diri. kalau tidak betapa pun kau
akan muncul juga!" Sesaat lamanya suasana menjadi sunyi, kemudian terdengar sebuah dengusan hidung,
suara serak itu berkata pula, "Untuk apa kau bujung ini selalu menguntit aku" Kerjaan
penting tidak kau selesaikan, sehari2an kau melakukan pekerjaan tak genah!"
Diam-diam Thian-hi lantas membatin, "Entah siapa yang bekerja gegabah, usiamu
sudah sedemikian lanjut, tapi bersikap edan2an tak tahu adat. sekarang kau menegur aku
malah" - dalam hati ia membatin begini, tapi mulutnya berkata lain, "Jadi maksud Cianpwe
supaya aku lekas-lekas meninggalkan tempat ini?"
"Benar-benar!" suara serak itu menyahut, "usiamu masih semuda itu tapi sehari2an
mengejar2 perempuan, tidak tahu malu, hayo lekas pulang!"
Thian-hi jadi menyengir, ia garuk2 kepalanya yang tidak gatal, teguran orang
tidak masuk alasan, sejenak ia berpikir lalu serunya, "Kalau begitu baiklah Wanpwe segera
pulang, harap Cianpwe suka capaikan diri merawat mereka berdua." - ia siap melangkah pergi.
"Hai nanti dulu!" suara serak itu berteriak tinggi....
Sebenar-benarnya Thian-hi cuma pura-pura belaka, mendengar teriakan itu, ia
putar balik lagi, katanya, "Ada urusan apa lagi" Cianpwe?"
Kedengarannya orang itu menjadi gugup, katanya, "Masa mau tinggal pergi begitu
saja!" "Habis apa yang harus Wanpwe lakukan?" demikian sahut Thian-hi, "Cianpwe tidak
mau unjuk diri untuk bicara, terpaksa tinggal pergi saja, urusan boleh kita bicarakan lagi
lain kesempatan!" Orang itu mendengus, katanya, "Jangan kau gunakan alasan itu untuk main ancam
terhadap aku ya!" "Sedikitpun Wanpwe tidak berpikiran begitu," demikian Thian-hi berdiplomasi
sambil tertawa, "soalnya aku menurut kehendak Cianpwe supaya aku lekas pulang bukan!"
Baru saja ia selesai bicara mendadak didengarnya kesiur lambaian baju
dibelakangnya, luncurannya sedemikian pesat jarang ditemui selama ini. Sebat sekali ia
berkelebat menyingkir. Tahu-tahu seorang tua yang berbadan kurus kecil sudah muncul dihadapannya.
Mulut orang tua kurus kecil ini mengeluarkan suara aneh, lalu berkata ke arah
kapel, "Lotoa, bocah ini rada aneh sedikit, pukulanku kiranya berhasil dihindari olehnya."
Orang didalam. kapel itu mendengus, dilain kejap tampak sesosok bayangan
melayang turun bentuk orang tua ini hampir sama dengan orang tua yang terdahulu, cuma raut
mukanya tampak sedikit lebih gemuk dan lebih tua. Sejenak ia mengawasi Thian-hi lalu ia tanya,
"Naga-naganya kau memang punya banyak kepandaian tulen, hari ini akan kupaksa kau membojong
seluruh kepintaranmu itu." Mendadak Thian-hi ingat secara reflek tadi ia sudah gunakan langkah Ling-coa-pou
untuk meluputkan diri dari sergapan si orang tua kurus kecil ini, tidak perlu dibuat
heran bila mereka menjadi takjup dan ingin menjajal kepandaiannya. Cepat ia menjura serta berkata,
"Wanpwe Hun Thian-hi, harap tanya nama mulia Cianpwe berdua!"
Orang tua yang rada gemuk menjadi kurang sabar, katanya, "Aku bernama Goan
Tiong, dia bernama Goan Liang, orang menyebut kami Ni-hay-siang-kiam, sudah cukup bukan,
mari sekarang kau boleh unjuk sejurus dua gebrak kepandaianmu."
Dari samping Goan Liang ikut menyela, "Toako main sungkan apa segala" Makin
sungkan kepalanya semakin besar, justru aku tidak percaya kepandaian sejati apa yang dia
miliki, biar kujajal dia lagi betapa tinggi kepandaian bocah keparat ini."
Sembari berkata kakinya sudah melangkah ke depan, keruan Thian-hi merasa kaget,
melihat gerak gerik kedua orang tua yang begitu gesit dan tangkas tadi, Thian-hi tahu
bahwa dirinya bukan tandingan mereka berdua, cepat ia melangkah mundur serta berteriak, "Nanti
dulu!" Goan Liang menghentikan kakinya, tanyanya, "Masih mau ngobrol apa lagi kau?"
Melihat sikap kasar orang Thian-hi jadi gemas dan dongkol, tapi apa boleh buat,
sejenak ia merandek lalu katanya, "Cara ini kurang adil! Kalian menindas bocah kecil,
berdua main keroyok lagi, apakah kalian tidak takut ditertawakan orang, Ni-hay-siang-kiam yang
kenamaan kok mengeroyok bocah kecil?" ~sebenar-benarnyalah baru hari ini ia pertama kali
mendengar nama Ni-hay-siang-kiam ini. Cepat Goan Tiong mencegah Goan Liang, "Loji jangan main kasar. Ucapan bujung ini
memang benar-benar, masa begitu gampang kau hendak menjatuhkan pamor kita selama
puluhan tahun?" Terpaksa Goan Liang mundur pula ke tempatnya semula.
Kata Hun Thian-hi, "Cianpwe berdua mengundang aku kemari entah ada keperluan
apa?" "Konon kabarnya kau bakal menjadi jagoan nomor satu di seluruh kolong langit
ini, apalagi sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, maka kuundang kau kemari untuk belajar
kenal!" "Kalau hanya untuk keperluan itu, tidak perlulah dilanjutkan persoalan ini,
bagaimana ilmu silatku Cianpwe berdua tadi sudah menyaksikan, terpaut terlalu jauh dibanding
kalian berdua, kabar angin kenapa harus dipercaya!"
Goan Tiong menggeleng kepala, "Belum tentu begitu, bukan mustahil hal itu bisa
kenyataan." Thian-hi tertawa besar, "Wah, aku terlalu diagulkan, tapi tokoh-tokoh silat yang
berkepandaian tinggi dalam dunia ini jumlahnya laksana bintang-bintang yang tersebar, di
cakrawala, siapa yang berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu?"
Goan Tiong berdua melengak, sesaat mulut mereka terkancing.
Kata Goan Liang, "Tapi toh pasti ada yang nomor satu bukan, apakah kau sendiri
tidak berani mengakui?" Thian-hi menggeleng kepala, ujarnya, "Soal ini tidak bisa dibicarakan secara
khusus, ilmu teramat luas dan tergantung dari orang-orang yang mempelajarinya, seperti
pepatah ada berkata ada gunung yang lebih tinggi dari gunung yang lain, orang pintar ada pula orang
lain yang melebihi kepintarannya, sulit untuk menentukan nomor satu itu dengan suatu
kepastian dalam teori belaka" "Jite." sela Goan Tiong, "ucapannya memang benar-benar, sudah jangan main debat
lagi, yang terang kami akan menjajal sampai dimana tingkat kepandaiannya, kenapa melantur
segala" "Ya benar-benar, kenapa aku menjadi linglung!" ujar Goan Liang tertawa geli
sendiri. Maka berkatalah Hun Thian-hi, "Kalau Cianpwe berdua sudah berketetapan, akupun
tidak bisa mengelak lagi, cuma bila bertarung secara keras lawan keras bukan mustahil salah
satu pihak bisa terluka dan hal ini akan merugikan nama Cianpwe berdua, maka kuharap Cianpwe
berdua suka mencari cara lain yang lebih sempurna!"
Goan Tiong bergelak-gelak, serunya, "Kau hendak main gertak untuk mempersukar
kami berdua" Betapa pun kami tidak akan dapat kau kelabui, bukankah tadi kau katakan
pelajaran ilmu tergantung bakat dan ketekunan orang yang mempelajarinya" Kepandaian apa yang
paling kau banggakan silakan pamor pada kami, bila kami berdua memang tidak ungkulan, kami
rela mengaku kalah, cara ini kukira cukup menguntungkan bagi kau!"
Thian-hi tertawa-ewa, ujarnya, "Tapi tiada sesuatu pelajaran yang boleh
kubanggakan!" Goan Tiong menarik muka, katanya bersungut, "Jangan kau pungkir lagi, kalau
tidak aku tidak akan main sungkan-sungkan lagi pada kau!"
Apa boleh buat akhirnya Thian-hi berkata, "Bicara mengenai ilmu kebanggaanku,
sebenarbenarnyalah tiada satupun yang kumiliki, tapi Cianpwe mendesakku begini rupa, terpaksa
kuanggap segala pelajaran yang kumiliki itu sebagai ilmu bekalku, lalu bagaimana
baiknya?" "Sombong benar-benar kau," semprot Goan Liang, "Cobalah nanti kau pamer segala
kemampuanku itu, apakah kami berdua mampu melayani kau. Bagaimana cukup puas
belum!" Hun Thian-hi tertawa lebar, memang kesanalah tujuannya semula, untuk gebrak2
yang akan datang betapapun ia pantang menyerah, jika sampai kalah, bila Ni-hay-siang-kiam
dua bangkotan aneh ini mengajukan persoalan2 pelit, pasti dirinya menjadi semakin runyam.
Sejenak Thian-hi berpikir lalu ia berkata, "Guruku diberi julukan Seruling
selatan, seperti apa yang kalian lihat aku pun menggunakan seruling sebagai senjata, maka aku lebih
peka dalam pengetahuanku mengenai nada atau ritme musik, sekarang cobalah kalian dengarkan
irama lagu serulingku ini!" Goan Tiong tertawa besar. serunya, "Sejak lama kudengar huhwa Seruling selatan
punya kepandaian khusus menggunakan irama serulingnya untuk menundukkan musuhnya,
dengan irama seruling menutuk jalan darah sangat kenamaan di dunia persilatan. fsungguh
tak duga hari ini kami memperoleh kesempatan untuk menikmati kepandaian yang tiada taranya
ini!" Thian-hi tertawa-tawa, kesepuluh jarinya sudah mulai bergerak pada posisi
masing-masing di atas lobang batang seruling itu, pelan-pelan ia lekatkan di depan bibirnya,
dengan cermat ia pandang kedua orang di depannya.
"Silakan tiup saja," demikian ujar Goan Tiong dan Goan Liang bersama, "Jangan
kau kuatir kami tidak akan kuat bertahan."
Sebetulnya Thian-hi punya perhitungan atau rencananya sendiri, melihat sikap
orang ia maklum bahwa kedua orang ini tentu sudah menelan Jian-lian-hok-ling itu, kalau tidak
masa berani mereka begitu takabur, agaknya untuk menang dan mengalahkan kedua musuhnya ini teramat
sulit sekali. Tapi bagaimana juga ia harus mencobanya. mengandal lwekang betapapun aku tidak
rela kena dikalahkan tanpa diuji sebelumnya meski aku harus dikeroyok dua.
Dalam kejap lain irama serulingnya sudah mengembang ditengah udara, suaranya
lembut rendah dan merdu sekali irama musik ini kedengaran kalem tapi sebenar-benarnya
sekaligus Thian-hi sudah melagukan Ngo-im-ho-bing (paduan lima nada), sedemikian merdu dan
mengasjikkan sekali mengili hati seperti aliran sungai mengalir gemercik lembut,
pendengarnya pasti teralun ke dalam alam inilah yang mempesonakan.
Gioan Tiong dan Goan Liang berdua diam-diam menjadi heran, sebagai murid Lam-
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siau adalah jamak bila Thian-hi punya kepandaian yang tinggi dan mendalam dalam ilmu
serulingnya ini dan kepandaian ini tentu juga merupakan ilmu khusus yang dipelajarinya sejak kecil
tapi kenapa rasanya begini longgar dan cetek saja pengetahuannya dalam bidang ilmu musik
ini. Tapi meski punya pikiran memandang ringan betapapun mereka selalu siap waspada, soalnya ini
baru merupakan gebrak permulaan.
Irama seruling masih mengembang terus dan nadanya semakin meninggi lalu mengalun
turun pula menyelusuri dataran rendah melebar kesegala penjuru, sekelilingnya seolah-
olah sudah diramaikan oleh kicauan irama berbagai bunyi kicauan burung, baru sekarang Goan
Tiong dan Goan Liang mulai terkejut dan terkesiap hanya kiranya Thian-hi memang cukup
cerdik memancing pendengarannya terjebak ke dalam khayalan pikirannya, sedikit kurang hati-hati
celakalah mereka, cepat mereka mulai mengerahkan hawa murni dan tenaga untuk bertahan.
Tanpa disadari oleh mereka bahwa irama lagu yang dikerahkan dengan kekuatan hawa
murni yang hebat itu bahwasanya sudah merasuk ke dalam hatinya, begitu mereka
mengerahkan tenaga untuk melawan, kontan irama seruling lantas menerjang seperti gelombang laut
yang mendampar batu-batu karang tidak berkeputusan. nada lagunya juga semakin tinggi dan cepat,
suara kicauan burung yang mengasjikkan dan bau kembang yang menyejukkan badan telah lenyap,
kini berganti auman binatang buas yang saling berpaduan dengan rupa rendah, laksana ratusan
kuda berderap langkah dengan lari kencang.
Lambat laun Goan Tiong dan Goan Liang mengunjuk kepayahan, jidatnya basah oleh
keringat, betapa kuat mereka mengerahkan pertahanan namun karena dasarnya semula kurang
kuat dan keterjang pula dari luar dan dalam. sehingga pertahanan yang terjepit itu lama
kelamaan semakin kendor dan hampir bobol sama sekali, jelas mereka sudah tidak kuat lagi
mempertahankan diri.... Biji mata Thian-hi berkilat-kilat, tiba-tiba bibirnya bergerak irama serulingnya
melambung tinggi, seolah-olah membawa semangat kedua lawannya naik ke atas awan mengembang
ditengah angkasa lalu dibantingnya jatuh pula ke tanah, begitulah berulang kali diombang
ambingkan turun naik seperti sebuah sampan kecil dihempas naik turunkan dalam gelombang samudra
yang mengamuk. Goan Tiong sudah tak kuasa lagi mengendalikan diri, cepat ia membuka mulut
lebar-lebar dan menggembor sekeras-kerasnya, demikian juga Goan Liang tidak mau ketinggalan,
mulutnya pun mengeluarkan pekik tinggi yang nyaring, kedua suara mereka berpadu sejajar
melawan irama seruling yang sedang mengamuk seperti angin puyuh ditengah padang pasir. Begitu
dua macam suara saling bentrok, irama seruling Thian-hi rada kena terdesak, keruan Thian-
hi kaget, tahu bahwa bila dilanjutkan cuma membuang-buang tenaga dan belum tentu bisa menang,
ia turunkan serulingnya dan seketika lenyaplah irama lagu yang mengamuk dan memistik hati
itu. Sambil membasut keringat di jidatnya Goan Tiong tertawa dibuat-buat, katanya,
"Gebrakan ini jelas kau tidak mampu mengalahkan kami, coba kau masih punya kepandaian apa
lagi, silakan boyong keluar!" Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Irama serulingku tak dapat menang,
kepandaian lain apa lagi yang aku miliki?"
"Tidak menjadi soal" bukankah kau tadi mengatakan setiap ilmu yang kau bekali
merupakan kepandaian yang sama-sama kau banggakan?" demikian olok Goan Tiong. "Cobalah
belum tentu kau bakal kalah." Terpikir oleh Thian-hi suatu cara untuk memperoleh kemenangan, namun dalam mulut
ia masih merendah, katanya, "Mengandal kepandaian Wanpwe yang masih begini cetlk mana
berani aku bertanding lebih lanjut dengan Cianpwe berdiua?"
Goan Tiong menjadi senang, katanya tertawa lebar, "Kenapa main sungkan-sungkan,
bukankah kau ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek" Cobalah dengan ilmu ini" Konon ilmu ini
cuma merupakan sejurus tunggal yang teramat lihay dikalangan persilatan, hayo beri kesempetan
pada kami berdua untuk menyaksikannya."
"Adanya perintah dari orang yang lebih tua, aku yang lebih muda harus patuh dan
menurut saja. sebelumnyalah meski Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang
tiada taranya di seluruh kolong langit ini, dalam pembawaan Wanpwe yang kurang becus ini, pasti
bukan apa-apa bagi Cianpwe berdua."-demikian Thian-hi masih merendah diri.
Karena diagul2kan Goan Tiong dan Goan Liang menjadi kesenangan. serunya tertawa
besar, "Masa ija. marilah dicoba-coba!"
Pelan-pelan Thian-hi mengacungkan serulingnya. serunya, "Awas Cianpwe! Wanpwe
akan mulai." "Dengan tertawa Goan Tiong dan Goan Liang membuka tangan, maksudnya supaya
Thian-hi mulai saja tak usah kuatir pada mereka, terang sikap mereka ini memandang
rendah. Mereka tetap bertangan kosong, diam-diam Thian-hi mengupat dalam hati. karena
jelas sekali orang terlalu memancang rendah pada Wi-thian-cit-ciat-sek, hal ini malah
membuatnya kuatir, tak enak rasanya mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi dalam keadaan terdesak
begini mau tak mau ia harus melancarkan jurus-jurus ilmunya itu, maka begitu jejakkan kakinya
badannya melambung ke tengah udara dan berputar setehgah lingkaran, serulingnya menutul
kesamping terus ditukikkan kebawah, itulah jurus Wi-thian-cit-ciat-sek salah satu dari
kembangan variasinya, segulung tenaga dahsyat kontan menerjang ke arah Goan Tiong berdua.
Goan Tiong dan Goan Liang berdiri jajar, serempak menekuk dengkul, gerak gerik
mereka serasi benar-benar, sama-sama mendorong kedua telapak tangan ke depan
menyongsong rangsakan Thian-hi. Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya dikolong
langit, masa dapat digempur dan dipunahkan begitu gampang oleh Ni-hay-siang-kiam cukup dengan
songsongan empat pukulan telapak tangan belaka, tujuh jalur tenaga dahsyat berputar dan
saling silang bergantian berputar menyampok balik gelombang pukulan mereka berdua, malah jauh
berkelebihan tenaga yang mendampar itu terus menerpa ke arah mereka berdua.
Seketika dada kedua orang seperti dipukul godam, saking kejutnya serempak mereka
melompat mundur, begitu berdiri tegak pula tangan masing-masing sudah menghunus pedang.
Sebenar-benarnia Thian-hi sendiri tidak melancarkan serangannya sepenuh hati,
apalagi sikap kedua lawannya terlalu memandang enteng, apa boleh buat terpaksa ia kendorkan
tenaga serangannya, tapi saat mana Ni-hay-siang-Kiam sudah keburu melolos pedang, cuma
Thian-hi sudah menarik serangan lebih lanjut maka ia batalkan rangsakan selanjutnya.
Goan liong dan Goan Liang saling pandang, kata Goan Tiong, "Kenapa kau mundur
dan batalkan seranganmu?"
Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, "Tenaga Wanpwe kurang kuat tak kuasa meneruskan
lagi." Ia tahu bila ia mengatakan dirinya sudah menang kedua lawannya ini pasti tidak
terima, betapapun harus dicoba sekali lagi, kini mereka sudah menghunus pedang, ada
lebih baik aku mundur setapak, siapa tahu dengan caraku ini aku bakal memperoleh keuntungan.
Dengan memicingkan mata Goan Liang mengawasi Hun Thian-hi, katanya, "Tapi
jikalau kau kalah. jangan harap kami suka menyerahkan kedua orang itu kepada kau!"
Hun Thian-hi tertawa, katanya, "Sudah tentu aku maklum. tapi tidak mudah aku
mengambil kemenangan!" Goan Tiong dan Goan Liang sama adalah tokoh-tokoh silat kelas tinggi. sudah
tentu mereka tahu kemana jutrungan ucapan Thian-hi. soalnya mereka sudah kebiasaan bersikap
sombong dan takabur, mana bisa mereka mau mandah menyerah"
"Bagaimana?" kata Goan Tiong, "Silakan kau coba sekali lagi!"
Hun Thian-hi sudah tahu bahwa kedua musuhnya pasti akan mendesaknya, ia mandah
tertawa ewa, sahutnya, "Tak perlulah, coba-coba juga sama saja, bila Cianpwe berdua suka
memberi kelonggaran Wanpwe punya suatu cara, tapi entahlah Cianpwe berdua apa setuju?"
"Cobalah kau sebutkan caramu itu!" seru Goan Tiong berdua.
Hun Thian-hi girang, bila dua lawannya ini setuju kemenangan jelas bakal
dicapainya, betapapun usul yang akan diajukan ini sulit untuk ditampik oleh kedua lawan
tuanya ini. Maka ia menambahkan, "Tapi usulku ini agaknya rada kurang menguntungkan bagi Cianpwe
berdua." Goan Tiong dan Goan Liang beradu pandang, terpaksa mereka kertak gigi, sahutnya,
"Baiklah silakan kau sebutkan, sebetulnya cara baik apa?"
Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia berpendapat mengandal ilmu silat ia tidak
mampu mengalahkan kedua lawannya, tapi ia harus mencari suatu akal untuk menundukkan
mereka, akhirnya ia berkata, "Aku ada beberapa persoalan yang sulit dipecahkan. entah
apakah Cianpwe berdua suka memberi petunjuk?"
Lagi-lagi Goan Tiong berdua beradu pandang, kata Goan Tiong, "Maksudmu kau
hendak menguji kami dengan persoalanmu itu untuk menentukan menang kalah?"'
"Bukan begitu maksudku seluruhnya, cuma aku ingin tahu beberapa persoalan,
dengan pengalaman dan pengetahuan Cianpwe berdua yang luas. tentu kalian dapat memberi
penjelasan padaku!" Alis Goan Tiong bertaut, ia merenung sekian lamanya, tidak bisa tidak ia harus
menyetujui permohonan Thian-hi ini. cuma persoalan apakah yang hendak Thian-hi tanyakan"
Ini sulit diketahui, bila perlu nanti setelah kami menang secara kebesaran jiwa kami
serahkan Ma Gwatsian dan gurunya kepada Hun Thian-hi, betapapun aku tidak boleh kalah. Sejenak ia
berpikir apa boleh buat terpaksa ia manggut-manggut, katanya, "Baik, tapi harus ada batasnya,
kau hanya boleh mengajukan tiga pertanyaan!"
Thian-hi manggut-manggut, dengan mengajukan cara ini sudah tentu dia sudah punya
persiapan, setelah berpikir sebentar ia lantas berkata, "Ingin aku tahu cara
bagaimana Ma Gwatsian diantarkan masuk dan cara bagaimana pula keluar dari lembah itu?"
Goan Tiong menyengir girang, sejak tadi hatinya kebat-kebit, entah pertanyaan
apa yang hendak diajukan oleh Hun Thian-hi" Sekarang mendengar pertanyaan yang sepele ini
ia menjadi geli dan berlega hati, bahwasanya mereka paling jelas mengenai hal ini, kalau
tidak masa begitu gampang mereka bisa mendapatkan Jian-lian-hok-ling itu"
"Masa hal yang sepele itu tidak dimengerti! Dimana terdapat Jian-lian-kok-ling
itu disekitarnya pasti terdapat pula Laba-laba darah, laba-laba darah ini setiap setengah bulan
pasti tertidur. Tatkala Cian-lian-hok-ling itu hampir matang baunya yang harum tersuar luas dan
memabukkan, kebetulan pula laba-laba merah itu sedang tertidur, kesempatan inilah digunakan
Ang-hwat untuk memasukan Ma Gwat-sian berdua kesana, begitulah kejadiannya! Soal cara bagaimana
kami menolong mereka keluar, hal ini jauh lebih gampang lagi, kami turun dari
belakang gunung, bukanlah seperti menjinjing kantong saja kami mengeluarkan mereka?"'
Thian-hi manggut-manggut sambil tersenyum, tanyanya pula, "Masih ada sebuah
pertanyaan, yaitu mengenai kuda hijau, apakah Cianpwe berdua tahu soal ini?"
Goan Tiong berdua beradu pandang lagi, tampak rona wajah mereka rada berubah,
kata Goan Tiong pada Hun Thian-hi, "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan ini kepada kami?"
Rada kaget juga Thian-hi mendapat pertanyaan balasan ini, sangkanya kedua orang
ini pasti tidak tahu, dikolong langit ini masa benar-benar ada kuda warna hijau, pasti
obrolan Siau-bin-moim saja sebelum ajal, atau mungkin Jing-san-khek itu sengaja hendak mempersukar
Siau-bin-moim, seumpama memang benar-benar ada kejadian ini, tidak mungkin sekali ia ajukan
pertanyaannya lantas tepat pada orang yang berkepentingan.
Dari perubahan air muka kedua orang ini agaknya mereka pasti tahu seluk beluk
kuda hijau itu, malah persoalan ini agaknya cukup penting, kalau tidak masa mereka kelihatan
bersikap waspada dan hati-hati. Dalam hati ia terkejut namun lahirnya tetap tenang-tenang saja, katanya pula
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil tertawa, "Aku cuma dengar dikolong langit ini ada seekor kuda hijau, kukira Cianpwe pasti
tahu akan kebenar-benaran ini maka kuajukan pertanyaan ini, sebenar-benarnya aku tiada
punya maksud apa-apa!" Goan Tiong menarik muka, katanya dengan sungguh-sungguh, "Apakah benar-benar dan
dapat dipercaya ucapanmu ini?"
Thian-hi tidak tahu apa hubungan atau sangkut paut kedua orang ini dengan Kuda
hijau itu, maka iapun tidak berani memberitahu apa yang dia ketahui. dari cerita Siau-bin-
mo-im, katanya, "Berani sumpah bahwa aku memang tidak tahu bila Cianpwe berdua ada mengetahui
soal kuda hijau itu!" "Urusan ini bukan persoalan sembarangan, dikolong langit cuma beberapa orang
saja yang tahu perihal kuda hijau itu, dari mana kau kisa tahu, lekas kau jelaskan
padaku." Thian-hi menjadi ragu-ragu, entah mengapa begitu penting dan kelihatannya sangat
gawat perihal kuda hijau itu, sebetulnya akulah yang mengajukan persoalan ini kepada
mereka, sekarang berbalik menjadi aku yang diperas keteranganku, serta merta ia menjadi kecewa
dan menyesal, cuma mencari kesulitan sendiri saja.
Sudah tentu iapun segan menjelaskan keseluruhannya, katanya, "Bagaimana keadaan
sesungguhnya aku tidak tahu jelas, aku tidak bisa sembarangan omong!"
Goan Tiong mendengus, sebaliknya Goan Liang lantas bertanya, "Kalau begitu,
percakapanmu ini bisa disimpulkan bahwa persoalan ini menjadi tidak begitu penting menurut
penilaianmu semula!" Hun Tliian-hi manggut-manggut, katanya, "Boleh dikata begitulah, tak tahu aku
kenapa Cianpwe berdua kelihatannya menjadi tegang, sudah tentu aku menjadi segan untuk
meneruskan persoalan ini!" Tanya Goan Tiong lagi, "Persoalan lain aku tidak peduli, tapi bila kau
mendapatkan kuda hijau itu. cara bagaimana kau hendak mengurusnya?"
Thian-hi harus hati-hati, ia tahu bahwa Goan Tiong berdua sedang menyelidik dan
mengorek isi hatinya, nanti akan diketahui olehnya dimana pendirian kedua belah pihak. ia
harus berpikir lebih cermat perlukah ia menjelaskan, bila ia terus terang bukan mustahil mereka akan
bersikap bermusuhan terhadap dirinya,
kalau hal ini sampai terjadi bukan saja perihal kuda hijau itu tidak berhasil
dikorek, Ma Gwatsian dan gurunya pun tidak akan dapat diketemukan atau mungkin pula tidak akan
diserahkan pada dirinya. Thian-hi harus termenung sekian lamanya, Goan Tiong menjadi tidak sabar,
desaknya, "Mau tidak kau menjelaskan terserah pada kau, tapi bila tidak kau jelaskan Ma Gwat-
sian berdua tidak akan kami serahkan kepada kau!" - berhenti sebentar ia melirik memberi isyarat
kepada Goan Liang lalu sambungnya, "CobaJah kau pikir lebih matang, tiga hari lagi kau boleh
datang kemari!" lalu mereka bergerak hendak tinggal pergi.
"Hai, nanti dulu!" teriak Thian-hi membantu maju.
"Apa sekarang juga kau hendak bikin penyelesaian" Begitupun baik!"
Kata Hun Thian-hi, "Ketahuilah bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya pernah menolong
jiwaku, mereka tidak punya sangkut-paut dengan persoalan ini, boleh kujelaskan cuma
setelah kuterangkan, Cianpwe berdua harus berjanji mau melepas mereka keluar!"
Goan Tiong berpikir sebentar lalu manggut-manggut ujarnya, "Begitupun baiklah!"
Pelan-pelan Hun Thian-hi menghela napas, terasa olehnya bahwa urusan tidak bakal
bisa lancar menurut dugaannya semula, maka katanya, "Soal kuda hijau itu, aku mendapat tahu
dari penuturan Siau-bin-mo-im!"
Goan Tiong menggeram sambil membanting kaki dengusnya, "Siau-bin-mo-im?"
Thian-hi menjadi kurang senang melihat sikap orang yang kurang simpatik, kenapa
pula dengan Siau-bin-mo-im" Kenapa pula kelihatannya kau memandang rendah dan
menghina pribadinya" "Beliau teringat akan perihal kuda hijau itu," demikian Thian-hi melanjutkan,
"sebelum ajal beliau ada pesan padaku supaya menanyakan hal ini kepada Jing-san-khek, tapi aku
harus memperoleh Kuda hijau itu lebih dulu, kalau tidak Jing-san-khek tidak akan mau
memberi tahu padaku." "Agaknya kau salah lihat, orang itu adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im,"
demikian Goan Tiong menjelaskan dengan sikap dingin, "Kecuali Mo-bin Suseng tiada orang
kedua yang mau membeberkan rahasia ini kepada orang luar!"
Thian-hi terkejut, namun lahirnya tenang tertawa-tawa, katanya, "Mereka tiga
bersaudara berbentuk sama, kuyakin bahwa beliau Siau-bin-mo-im adanya!"
Goan Tiong menjengek bibir, sindirnya sinis, "Anggapmu aku tidak tahu"
Ketahuilah cuma Mobin Suseng seorang saja yang tahu perihal ini, Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im sama
sekali tidak tahu menahu soal ini!"
Thian-hi tertegun, sungguh tak nyana bahwa urusan bisa berubah begini besar,
soalnya ia sendiri tidak bisa membedakan mana Siau-bin-mo-im atau Mo-bin Suseng tulen.
Betapapun ia tidak percaya manusia tambun pendek yang meregang jiwa itu adalah Mo-bin Suseng,
dengan mata kepalanya sendiri ia saksikan Siau-bin-mo-im mangkat, begitu juga seperti
bayangan setan tahu-tahu Ah-lam Cuncia sudah muncul dihadapannya lalu menghilang pula dengan
langkah seenteng asap mengembang, beliau membawa jenazah Siau-bin-mo-im, mana mungkin
orang itu adalah Mo-bing Suseng! Tengah Thian-hi tenggelam dalam keraguannya, terdengar Goan Tiong berkata
dingin, "Apapun alasanmu tidak berguna lagi, kalau toh kau sudah datang kemari karena pesan Mo-
bin Suseng itu marilah kita bicara terus terang saja, kuda hijau memang berada di tempat kami,
maka silakan bicara terus terang pula padaku saja!"
"Hun Thian-hi semakin melenggong, katanya tertawa, "Moh-bin Suseng adalah musuh
besar yang membunuh ayahku, mana sudi aku mendapat pesannya, harap Cianpwe berdua
tidak salah paham!" Goan Liang segera menibrung, "Berani dia membocorkan perihal ini kepada orang
luar, malah berpura-pura dan bermuka2 begitu mirip sekali, tapi ketahuilah kami berdua tidak
begitu gampang dapat dikelabui dan ditipu mentah-mentah. Gurunya I-lwe-tok-kun kan berada
disini juga, dia sendiri tidak berani datang kemari justru kaulah yang diutusnya kesini!"
Tak habis heran Thian-hi, dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Goan Tiong berdua
begitu kukuh berpendapat bahwa orang yang memberi tahu perihal itu kepadanya adalah Mo-
bin Suseng adanya, malah menuduh dirinya adalah utusan Mo-bin Suseng pula, begitulah pikir
punya pikir semakin besar tanda tanya yang mengganjal sanubarinya, seluruh persoalan ini
benar-benar luar biasa. "Kalau kau benar-benar ingin minta kuda hijau itu boleh kami berikan kepada kau,
cuma asal kau sendiri punya akal dan mampu bekerja sendiri! Mari kau ikut kami." - lalu
mereka mendahului beranjak lari ke arah depan sana.
Tanpa banyak pikir Thian-hi segera mengintil di belakang mereka, pikirnya, Ah-
lam Cuncia agaknya sudah sehat kembali, matanya sudah melihat dan ilmu silatnya sudah pulih
kembali, pastilah tiada sesuatu keperluan apa-apa lagi, aku sendiri tidak punya
kepentingan atas kuda hijau
itu, cuma Ma Gwat-sian masih berada ditangan mereka, terpaksa aku harus ikut
kemanapun mereka menuju, Begitulah dengan berlari-lari kencang Ni-hay-siang-kiam membawa Hun Thian-hi
masuk ke pedalaman terus manjat ke atas gunung, tak lama kemudian mereka sudah beranjak
di dalam hutan-hutan yang lebat di dalam pegunungan yang tinggi dan terjal.
Segala rintangan tidak menjadi penghalang yang berarti bagi mereka, mereka terus
berlari bagai terbang, setiba disebuah tikungan tiba-tiba Goan Tiong berdua berhenti dan
berpaling ke belakang, sekejap saja tahu-tahu Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun di
belakang mereka, sejenak mereka beradu pandang, mata mereka sama memancarkan sorot terang yang
membayangkan rasa kejut hati mereka.
Cepat Hun Thian-hi pun menghentikan luncuran tubuhnya, katanya kepada Goan
Tiong, "Tujuanku cuma minta Ma Gwat-sian bisa dikembalikan secepatnya, tiada niatku
mencari garagara soal kuda hijau apa segala!"
"Kenapa" Apa kau jadi ketakutan?" demikian jengek Goan Tiong dingin.
Thian-hi tertawa2, ujarnya, "Selamanya aku tidak gampang dipancing atau dibuat
marah, aku menjadi heran kenapa Cianpwe berdua agaknya hendak mempersukar diriku hanya
karena soal kuda hijau itu?" Kalau aku tidak gampang terpengaruh oleh keadaan itulah baik", demikian Goan
Liang menyeletuk, "sebaliknya aku menjadi bersedih bagi temanmu itu, bukankah kau
sendiri mengatakan sudah menyanggupi untuk mengurus persoalan ini menurut pesannya,
kenapa sekarang kau harus berhenti ditengah jalan dengan hampa!"
"Ah, memang mungkin aku yang salah. Cuma ilmu silat Ah-lam Cuncia sudah pulih
kembali, jadi agak nya tidak perlu aku bersusah payah lagi," demikian Hun Thian-hi coba
membela diri dengan alasannya Tak duga Goan Tiong menggeram sambil menjebir bibir dengan sinis, katanya,
"Dapatlah seseorang yang pernah menelan Ban-lian-ceng bisa sembuh kembali" Dalam hal ini
bocah berumur tiga tahun pun jangan harap dapat kau apusi. Apalagi bila ilmu silatnya
sudah pulih betulbetul, kenapa pula muridnya harus berpesan kepada kau sebelum ajal."
Thian-hi jadi terbungkam, ia sendiri juga bingung dan sulit meraba kemana
juntrungan persoalan ini, mau tidak mau keyakinan hatinya menjadi goyah, memang ia jadi
bingung bagaimana harus beri penjelasan lebih lanjut. Tersimpul olehnya cara penjelasan
paling baik yaitu diakui bahwa orang yang berpesan sebelum ajalnya itu benar-benar adalah Mo-bin
Suseng bukan Siau-bin-mo-im, tapi apakah mungkin hal ini terjadi" Ia tenggelam dalam
renungannya. Terdengar Goan Tiong berkata dingin, "Penjelasan paling baik bagi kau adalah
bahwa orang itu bukan Siau-bin-mo-im, tapi Mo-bin Suseng adanya. Gurunya berada di tangan kami
betapapun ia tidak akan berani membocorkan rahasia ini, kalau tidak gurunya bakal mengalami
derita dan ancaman elmaut." Bercekat hati Thian-hi, mukanya menjadi masam, batinnya jadi benar-benarlah
orang itu adalah Mo-bin Suseng adanya, hatinya menjadi mendelu dan entah pahit entah getir atau
ia harus bergirang, sesaat lamanya ia jadi sukar merasakan perasaan hatinya.
Goan Tiong mendengus keras-keras lalu menarik Goan Liang berlari pula menuju ke
sebuah perkampungan dan terus lari masuk.
Keruan Thian-hi jadi gugup cepat ia mengejar, teriaknya, "Nanti dulu Cianpwe,
omonganmu belum selesai." "Sekarang tak perlu banyak bicara lagi, marilah kau ikut!" Goan Tiong berseru
tertawa. Tatkala itu cuaca baru saja terang tanah, jalan menuju ke perkampungan masih
sepi tak kelihatan ada bayangan manusia, laksana dikejar setan saja mereka bertiga
beriringan melesat lari ke dalam perkampungan itu. Dalam kejap lain mereka sudah tiba di sebuah kebon
kembang yang teramat luas. Thian-hi loncat ke atas tembok, tampak taman kembang ini kira-kira seluas
beberapa li, dalam kebon kembang ini terdapat berbagai aneka ragam kembang yang indah dan gunung2an
besar kecil serta jembangan yang tersebar dimana-mana. Begitu berada di dalam taman
kembang ini bayangan Ni-hay-sian-kiam lantas lenyap.
Thian-hi jadi dongkol, kenapa kedua orang itu tidak tahu aturan, entah apa
sangkut pautnya kedua orang ini dengan kuda hijau itu, lagaknya mereka tidak sudi menyerahkan
kuda hijau itu kepada Jeng-san-khek, inilah kejadian yang aneh dan amat mengherankan hatinya.
Dari ketinggian tempatnya berdiri terlihat di depan rada jauh sana terdapat
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah bangunan gedung yang tinggi megah, sekitarnya dikelilingi pohon-pohon pendek dan bunga2
yang sedang mekar saling berlomba memperlihatkan keindahannya. Pasti mereka menuju ke sana
itulah, demikian pikir Thian-hi, dua orang itu paling suka menonjolkan diri dan suka
jaga gengsi, betapapun segan untuk melarikan diri, apalagi ilmu silat mereka sudah sedemikian
lihay tentu takkan terjadi hal-hal seperti dugaannya ini.
Thian-hi rada was-was untuk bertindak ke dalam, kuatirnya dalam kebon ini ada
dipasang alat2 rahasia untuk menjebak orang, terpaksa ia melolos serulingnya sekali enjot tubuh
enteng sekali kakinya hinggap di tanah. Baru saja ia berdiri tegak, tiba-tiba Goan Tiong
menerobos keluar dari belakang sebuah gunung2an menghadang di hadapan Thian-hi sambil menghunus
pedang, katanya dingin, "Kami berdua cuma ingin merintangi kau, bilamana kau berhasil
menerjang masuk ke dalam gedung itu, segala urusan bisa segera diselesaikan."
Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, Goan Tiong muncul lagi begitu cepat dan tak
terduga-duga, bila tadi ia langsung menyerang pasti aku terdesak di bawah angin, sekarang ia
menghadapiku dengan persyaratannya ini, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, meski
mereka pernah menelan Jian-liang-hok-ling, agaknya sulit untuk mencapai kemenangan, tapi kalau cuma
menerjang ke sebelah dalam mencapai pintu gedung itu rasanya tidak terlalu sukar.
Tanpa bicara lagi Thian-hi acungkan serulingnya, sementara kakinya beranjak
mendekat, langsung ia menerjang dengan tutukan kedada Goan Tiong. Sangkanya dengan
mengajukan syaratnya itu tentu Goan Tiong akan mati-matian merintangi dirinya, tak nyana
bukan saja menangkis atau melawan ternyata Goan Tiong berkelit mundur lalu lenyap dibalik
gunung2an batu. Thian-hi tidak hiraukan kemana Goan Tiong melenyapkan diri, ia berlari kencang
menerjang terus ke depan. Tapi belum berapa langkah ia maju. tahu-tahu Goan Tiong dan Goan
Liang telah muncul pula mencegat jalannya, dua batang pedang menyamber bersilang dari kanan
kiri membabat keleher Hun Thian-hi, serangan ini cukup ganas dan lihay sekali.
Tergerak hati Thian-hi, kenapa aku tidak main gertak saja terhadap mereka yang
maju dan menyergap bersama ini, meminjam tenaga mereka untuk jumpalitan menerjang ke arah
depan malah" Seiring dengan pikirannya ini, serulingnya cepat ditutukkan ke depan menangkis
tepat pada persilangan kedua pedang lawan. Tak duga baru saja serulingnya menyetuh kedua
senjata musuh kontan ia rasakan segulung tenaga besar menerjang ke arah badannya seketika ia
terpental mundur dan mencelat tinggi sampai terlempar keluar tembok.
Cepat Thian-hi menyedot hawa, mengendalikan badan memberatkan tubuh, waktu
meluncur tubuh tepat kakinya berhasil hinggap di atas tembok, waktu ia angkat kepala pula
bayangan Goan Tiong dan Goan Liang sudah menghilang tanpa bekas.
Berkerut alis Thian-hi, tiba-tiba ia berlari-lari kencang sekali di atas tembok
yang memagari kebon kembang yang luas itu, tak lupa kedua matanya yang jeli mengawasi ke dalam
kebon, apakah bayangan Goan Tiong dan Goan Liang ada kelihatan, tapi sedemikian jauh ia
tak berhasil melihat bayangan apapun kecuali kembang2 dan pepohonan yang hidup subur, sekali
berkelebat Thian-hi mencari posisi lain dari tempatnya yang baru ini ia coba menerjang ke
dalam. Tapi baru saja ia mencapai tanah, tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang sudah muncul pula
terus menyerang dengan pedang masing-masing.
Thian-hi tercengang kaget, sungguh tak duga bahwa gerak kedua orang ini
sedemikian tangkas dan cepat, apalagi seolah-olah sudah tahu sebelumnya dirinya bakal menubruk dari
jurusan mana dan di tempat itu pula mereka sudah menanti. Betapapun sekali ini aku harus
menjajal sampai dimana kepandaian mereka, demikian pikirnya, seruling teracung tinggi miring,
pelan-pelan ia kerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek.
Bab 32 Kelihatannya Goan Tiong berdua bersikap acuh tak acuh, pedang mereka tetap
bergerak menyilang dari kanan kiri, bergerak cepat dan lambat maju mundur langsung
menyongsong ke ujung seruling jade lawan.
Baru saja Hun Thian,hi lancarkan serangan serulingnya, mendadak terasa gelombang
tenaga yang lunak dan kuat mengurung dirinya dari berbagai penjuru, meski kekuatan Wi-
thian-cit-ciatseknya sanggup menggugurkan gunung membelah bumi juga seketika menjadi sukar
dikembangkan lebih lanjut, begitu tenaga sendiri menjadi bujar badannya lantas
membal balik dan terpental mundur ke atas tembok lagi, sedemikian hebat tenaga lontaran ini
sehingga ia bergoyang gontai di atas tembok hampir terlempar keluar.
Hatinya mencelos, selama ia melancarkan Wa-thian-cit-ciat-sek belum pernah
ketemu tandingan sedemikim tangguh, nyata bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek sedikitpun tidak
mampu menunjukkan perbawanya. Sungguh tidak habis heran hatinya, apakah mungkin tenaga yang dikerahkan telah
salah salurannija" Ataukah jurus permainannya yang kurang sempurna" Terbayang olehnya
waktu pertama kali dirinya terjun kegelanggang percaturan dunda persilatan, Ang-hwat-
lo-mo cuma mengajar sejurus Pencacat langit pelenyap bumi, mengandal Lwekang sendiri pada
waktu itu, kenyataan jurus itu dapat menambah sepuluh lipat tenaganya sendiri. Apalagi Wi-
thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang tiada taranya yang tiada bandingannya, masa lebih asor
dibanding Pencacat langit pelenyap bumi" Sebaliknya kalau benar-benar cara penggunaannya.
tak mungkin dirinya sedemikian gampang dipermainkan lawan, yang terang dalam sekejap ia akan
dapat angkat nama dan menggegerkan seluruh dunia persilatan. Begitulah pikir punya
pikir tak terasa ia berdiri berjublek di atas tembok,
Akhirnya pandangannya meneliti keadaan sekitar kebon kembang itu, lambat laun
didapatinya sesuatu yang ganjil dari tumbuhan bunga itu, kiranya setiap tanaman kembang dan
pepohonan yang satu sama lain mempunyai letak yang persis dan jarak yang tertentu teratur
rapi sekali. terang itulah bentuk dari sebuah barisan.
Hatinya jadi was-was bahwa kebon kembang inipun ternyata diatur dengan bentuk
sebuah barisan, kalau tidak. tidak mungkin Goan Tiong dan Goan Liang dapat bergerak
sedemikian lincah dan cepat sekali dalam waktu yang sedemikian singkat pula. Thian,hi insaf untuk
menerjang masuk dan menembus langsung ke gedung besar itu adalah sesukar memanjat langit,
apa lagi bila ia teringat pengalamannya di dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin dulu, ia jadi
jeri untuk sembarangan beranjak ke dalam.
Terpaksa ia putar kayun mengelilingi pagar tembok. Diam-diam ia mencari akal
cara bagaimana. untuk menjebol barisan ini, tapi hakikatnya ia tidak akan memperoleh
kunci pemecahannya karena ia sendiri tidak tahu segala seluk beluk mengenai barisan
apakah yang dihadapinya ini. Saking gemes lalu terpikir olehnya, "Bila Ham Gwat ada disini
perkembangan selanjutnya tentu gampang diatasi, bukankah Ham Gwat juga bisa menyelami
intisari dari rahasia barisan Thay-si-ciang-soat-lian,mo-tin?" semakin dipikir hatinya menjadi gundah,
berbagai pikiran menggejolak dalam becaknya, akhirnya ia menghirup napas dalam-dalam
menghilangkan segala pikiran yang membutakan otaknya, dengan seksama ia mulai lagi meneliti keadaan
dan kedudukan posisi barisan yang aneh ini.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan abu-abu berkelebat diujung pandangan matanya,
sesosok bayangan itu melayang turun dari tengah udara seringan daun melayang
jatuh ke tanah dan akhirnya hinggap di atas tembok disebelahnya.
Waktu menegas lihat seketika hatinya menjadi girang2 kejut, karena pendatang ini
bukan lain adalah Ah-lam Cuncia adanya. Sungguh tak kira bahwa Ah-lam Cuncia bisa muncul
dalam saat dan keadaan yang sulit ini. ini benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan
menggirangkan pula hatinya. Tapi untuk tujuan apa pula Ah-lam datang kemari"
Sambil tersenyum lebar Ah-lam Cuncia menyapa dulu kepada Hun Thian-hi, "Hun-sicu
apa baikbaik saja selama berpisah?"'
Cepat-cepat Hun Thian-hi menjura hormat serta tanyanya, "Entah untuk apakah
Taysu datang kemari?" Ah-lam Cuncia menyapu pandang keadaan kebon kembang di dalam tembok lalu
tertawa, katanya, "Hun-sicu sampai meluruk kemari apakah karena persoalan kuda hijau
itu?" - dengan tawa berseri ia pandang muka Hun Thian-hi.
Dari nada pertanyaan Ah-lam Cuncia, Hun Thian-hi bisa menarik kesimpulan bahwa
beliau pun karena urusan itu pula sehingga datang kemari, keruan hatinya rada terhibur,
sebagai Suheng dari Ka-yap Cuncia, sebagai angkatan tua yang aneh dan serba misterius bagi dunia
persilatan. pasti beliau dengan gampang saja dapat memecahkan rahasia barisan kembang yang rumit
ini. mengandal kepandaiannya, tidak perlu takut lagi menghadapi Goan Tiong berdua.
Belum lagi Hun Thian-hi angkat bicara, keburu Ah-lam Cuncia berkata lagi,
"Jikalau Hun-sicu kemari juga karena kuda hijau, maka Loceng menganjurkan supaya Hun-sicu lekas
pulang saja!" "Semula tujuan Wanpwe bukan kuda hijau itu, hendak menolong Ma Gwat-sian. Tapi
sekarang urusan sudah menjadi berkepanjangan, mau tak mau kedua urusan ini harus
kuselesaikan sekalian!" - lalu ia jelaskan asal mula kejadian ini sampai keadaan yang
menyulitkan ini. Ah-lam Cuncia berpikir sekian lamanya, ujarnya, "Sebab musabab kuda hijau itu
terlalu panjang dan rumit untuk dijelaskan. Mo-bin Suseng memang terlalu membawa adatnya
sendiri, bekerja tanpa perhitungan sehingga terjadilah keadaan yang menyulitkan ini."
Berdetak jantung Thian-hi mendengar ucapan orang, ditariknya suatu kesimpulan
pula bahwa orang yang telah terbunuh oleh pukulannya tempo hari memang benar-benar adalah
Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im seperti yang diduganya semula.
Agaknya Ah-lam Cuncia dapat meraba alam p kiran Thian-hi, dengan tertawa welas
asih ia berkata, "Orarg yang mati itu memang Mo-bin Suseng adanya, sekarang dia sudah
ajal maka budi dan dendam sudah himpas sama sekali."'
Tak tahu Thian-hi bagaimana perasaan hatinya saat itu, Mo-bin Suseng adalah
musuh besar pembunuh ayahnya, ternyata musuh besar sudah mampus oleh tangannya sendiri,
bukankah itu berarti bahwa dia sudah berhasil menuntut balas" Sebenar-benarnyalah ia tidak
terpengaruh akan perasaan haru atau senang, selama ia kelana di Kangouw, cita-citanya cuma
menuntut balas bagi kematian ayahnya, sampai ke ujung langit pun Mo-bin Suseng akan dikejar sampai
berhasil dibunuhnya, tapi selama itu muka asli dan bagaimana bentuk Mo-bin Suseng itu
belum pernah dilihat atau diketahuinya, namun sekarang mendadak diketahui bahwa sebenar-
benarnyalah Mobin Suseng sejak beberapa saat lamanya sudah mampus di tangannya sendiri.
Dengan perasaan kosong ia termangu-mangu mengawasi Ah-lam Cuncia, seolah-olah
bentuk atau raut muka Mo-bin Suseng sudah tidak berkesan lagi dalam ingatannya, dengan
keheranan ia bertanya pada sanubarinya sendiri, "Apakah cita-citaku sudah terkabul?" - sedikit
pun ia tidak merasakan hal ini! "Kau masih punya banyak tugas harus kau kerjakan, banyak pula harapan yang harus
Naga Pembunuh 10 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Kilas Balik Merah Salju 1