Pencarian

Sekte Teratai Putih 4

Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp Bagian 4


ke sana kemari." "Nah, betul tidak, Paman?" ejek Au-yang Hou.
"Ceritanya Kakak Yok selamanya begitu, seperti
mendongengi anak kecil saja."
Auyang Hou jengkel, sebab sebenarnya dia
ingin Pamannyalah yang bercerita tentang
kisah-kisah dahsyat dunia kependekaran, tetapi
agaknya Pamannya sendiri malah lebih suka
mendengarkan kisah mimpi yang tidak masuk
akal. Mana ada manusia bersayap yang terbang
di atas mega-mega segala"
"A-hou, kalau kau tidak suka mendengarkan,
pergilah ke sumur lebih dulu untuk mandi." kata
Sebun Beng. Tetapi Auyang Hou tidak mau beranjak.
Tempat itu masih gelap dan berkabut, ia
membayangkan dari balik kabut akan muncul
empat orang seperti yang dilihatnya semalam
melawan Pamannya. Akhirnya dengan sangat terpaksa Au-yang
Hou pun mendengarkan mimpi Liu Yok.
Sekte Teratai Putih 6 28 "Ketika aku sedang bersenang-senang
terbang seperti burung, tiba-tiba aku melihat ke
bawah dan melihat Paman sedang melawan
empat mahluk, seperti manusia juga dan ada
sayapnya seperti aku, mereka berempat
berwajah kejam semua."
Sampai di sini Sebun Beng membatin, "Aku
lebih suka berhadapan dengan mahluk-mahluk
berwajah kejam, daripada menghadapi orangorang yang wajahnya seperti kertas dilukis."
Sementara Liu Yok meneruskan ceritanya,
"Aku melihat, maaf, Paman kelihatannya
terdesak dan sayup-sayup aku mendengar
Paman berteriak memanggilku A-yooookkk'
begitu." Sebun Beng mengangguk dan tertawa,
"Memang betul, saat itu aku memanggilmu."
Auyang Hou tertawa, menganggap Pamannya
berkelakar dengan menggabungkan antara
kejadian di alam jasad dengan kejadian di alam
mimpi. Auyang Hou. sendiri yakin bahwa kedua
alam itu terpisah. .... Sekte Teratai Putih 6 29 Kemudian Liu Yok meneruskan, "Aku tidak
tinggal diam melihat Paman terdesak. Aku
hardik mahluk-mahluk jahat itu dari atas mega,
aku melihat ada pedang keluar dari mulutku
sendiri, mengenai mahluk-mahluk jahat itu
sehingga mereka rebah!"
Sebun Beng menyeringai. Ia jadi susah
membedakan, apakah perkelahian semalam itu
terjadi di Alam kasarnya ataukah di Alam
lembutnya Liu Yok" Atau kedua-duanya" Dia
yang menghadapi ujud kasar dan Liu Yok yang
menghadapi penopang-penopang gaib dari
ujud-ujud kasar itu"
Dan benarkah mimpi cuma kembangnya
tidur" Sebun Beng menarik napas, lalu bangkit dan
berkata, "Ayo kita bersihkan badan bersamasama di sumur. Jangan sampai nanti
berbarengan dengan yang punya rumah, yang
pasti repot sekali karena anaknya saja tujuh
orang." Mereka bertiga segera pergi ke sumur,
menyegarkan tubuh dan mengganti pakaian.
Sekte Teratai Putih 6 30 Yang ingin buang hajat ada juga sebuah tempat
tertutup yang letaknya di pinggiran kolam ikan,
limbah manusia langsung disongsong ikan-ikan
yang kelaparan. Selesai dari sumur, dengan
segar mereka duduk-duduk sambil menunggu
bangunnya si empunya rumah.
Dari rumah sederhana berdinding tanah liat
itu memang sudah terdengar suara-suara
kehidupan. Bayi yang menangis, pintu-pintu
yang dibuka, anak-anak yang bertengkar, dan
ada asap mengepul dari cerobong dapur. Begitu
juga di rumah-rumah lain yang jaraknya
berjauhan satu sama lain.
Ada anak-anak yang mulai berhamburan
keluar rumah. Ada yang langsung kencing di
bawah pohon, atau langsung memberi makan
ikan di kolam. Seorang anak perempuan pergi
ke halaman samping dan heran ketika melihat
di halaman itu bergeletakan empat buah boneka
rumput. Dasar anak-anak, keempat boneka itu
segera diambilnya semua. Si Tuan rumah menyeberangi halaman
belakang untuk menjumpai Sebun Beng dan
Sekte Teratai Putih 6 31 kedua keponakannya. Tanyanya ramah, "Tuantuan, apakah nyenyak tidur Tuan-tuan
semalam" Kami minta maaf sekali lagi, bahwa
kami hanya bisa menyediakan tempat seperti
ini." "Ah, ini sudah baik. Kami tidur nyenyak
sekali." kata Sebun Beng untuk melegakan Tuan
rumah yang baik hati itu.
"Tidak digigiti nyamuk?"
"Tidak. Mungkin nyamuk-nyamuknya sedang
liburan." Tuan rumah tertawa. "Sudah membersihkan
diri?" "Sudah." "Kalau begitu, silakan menunggu sebentar
lagi. Isteriku sekarang sedang memasak. Maaf,
Tuan-tuan." Lalu laki-laki itu pergi ke kebun untuk
mengambil beberapa macam sayur seperti yang
dipesan isterinya. Tak lama kemudian, baik para tamu maupun
keluarga tuan rumah bersama-sama menikmati
hidangan pagi yang enak, meskipun sederhana.
Sekte Teratai Putih 6 32 Tiga anak tuan rumah yang tertua sudah boleh
ikut makan di meja. Kebiasaan di desa, mereka
makan sambil bercakap-cakap dengan ramai,
sementara di kota hal itu dianggap kurang
sopan. Karena Auyang Hou sudah dipesan oleh
Sebun Beng agar jangan lagi bercerita tentang
perjamuan bersama Kaisar, maka Auyang Hou
pun menurut. "Apakah Tuan-tuan akan berangkat melanjutkan perjalanan hari ini?" tanya si Tuan
rumah melihat bungkusan-bungkusan bekal
yang sudah rapi tergendong di punggung tamutamunya.
"Benar," sahut Sebun Beng.
Dilanjutkan oleh Auyang Hou sambil
menepuk-nepuk pedangnya, "Perjalanan kami
ini bukan perjalanan biasa, melainkan memburu
penjahat-penjahat yang berbahaya dan berilmu
tinggi. Itulah sebabnya kami tidak bisa tinggal
berlama-lama di satu tempat, kami harus
bergerak terus!" Sekte Teratai Putih 6 33 Si Tuan Rumah dan keluarganya menatap
Auyang Hou dengan kagum. "Tugas Tuan-tuan
ini tentunya berbahaya, tetapi mulia."
"Yah, sebagai pendekar-pendekar sejati,
tentu saja kami harus mengamalkan ilmu kami.
Kami tidak gentar menghadapi apa pun, demi
menjunjung kebenaran dan keadilan! Kami akan
mengejar penjahat sampai ke mana pun, dan
menumpasnya tanpa ampun!"
"Siapakah sekarang ini penjahat-penjahat
yang sedang Tuan-tuan buru?"
Sebun Beng sudah berdehem keras dua kali,
namun Auyang Hou nyerocos terus, "Bukan
penjahat-penjahat sembarangan, tetapi ahli-ahli
sihir yang bersekutu dengan setan! Ada yang
bisa mengubah diri menjadi burung gagak, ada
yang suka makan anak kecil, ada yang bisa
memanggil arwah untuk dimasukkan ke dalam
boneka-boneka rumput sehingga bonekaboneka itu hidup."
"Semacam Jailangkung?"
"Benar. Tetapi ini bukan sekedar permainan
untuk menanyakan nasib, sebab boneka-boneka
Sekte Teratai Putih 6 34 yang kemasukan roh akan menjadi pembunuhpembunuh yang ganas."
"Astaga...." "Tetapi kami tidak gentar, sebab ilmu kita
lebih tinggi dari mereka. Aku sendiri dijuluki
Siau-pek-him (Beruang Putih Kecil), namaku
sudah terkenal di Se-shia dan sekitarnya, lho!"
"Ooooo..." Tiba-tiba dari halaman samping rumah itu
terdengar jerit tangis anak-anak. Sebun Beng
kaget, namun si Tuan rumah tenang-tenang
saja, "Ah, tidak apa-apa, Tuan. Memang
beginilah rasanya kalau punya anak banyak,
setiap hari ada saja yang bertengkar untuk
perkara sepele-sepele."
Lalu perintahnya kepada isterinya yang
kurus dan kusut, "Bu, suruh diam anak-anak itu.
Memalukan." Tetapi sebelum Sang Ibu beranjak, anak lakilaki yang menjerit tadi telah berlari masuk
sambil menangis, wajahnya berlumuran darah
sehingga mengejutkan orang tuanya maupun
tamu-tamunya. Sekte Teratai Putih 6 35 Si Ibu cepat-cepat memeluknya, "Kenapa"
jatuh?" Anak itu menjawab di sela-sela tangis nya,
"Kakak Lik punya boneka empat biji tetapi tidak
mau membagi-bagi dan tidak mau main-main
bersama. Aku memintanya, malah dia mencakar
mukaku. Kakak Lik jahat! Kakak Lik jahat!"
Ibunya tercengang. Anaknya yang bernama
A-lik dan berusia delapan belas tahun itu adalah
anak keempat yang paling membantu.
Memasak, membersihkan rumah, memetik
sayuran, memandikan ketiga adiknya. Dia
bukan saja tidak pernah bentrok dengan adikadiknya atau kakak-kakaknya, malahan sering
membuatkan mainan-mainan sederhana buat
asik-adiknya. Sulit dipercaya kalau sekarang Si
A-lik itu sampai mencakar adiknya dan
mempertahankan bonekanya.
Sementara sang Ayah tidak berpikir panjang
lagi, langsung diambilnya tongkat rotan yang
biasa untuk menghajar anak-anaknya, dan
melangkah keluar dengan gusar.
Sekte Teratai Putih 6 36 "Pak, jangan keras-keras memukul A-lik?"
pinta Sang Ibu. "Nanti dia sakit dan tidak dapat
membantu aku Jagi....."
"Sudah, obati dulu anakmu."
Sebun Beng pun melangkah keluar diikuti
kedua keponakannya. Kata-kata 'empat boneka"
tadi itulah yang membuat Sebun Beng tertarik
untuk melihat apa yang terjadi. Kalau perlu
turun tangan. Di halaman samping, anak-anak Tuan rumah
sedang berdiri berkerumun, dari arak agak jauh
menatap A-lik yang berdiri menyendiri dengan
empat buah boneka rumput dalam pelukannya.
Sorot mata A-lik penuh permusuhan dan
kebencian cepada siapa saja yang mendekat
untuk nerampas bonekanya.
Ayahnya agak kaget melihat sorot mata A-lik,
begitu berbeda dengan sorot matanya biasanya.
Biasanya lembut dan ceria, sehingga sering
dibelai ibunya sambil didoakan, "Cepat besar
dan cantik ya, Nak" Bukan cuma cantik jasmani
tapi juga cantik rohani, biar kelak diambil isteri
sama seorang jenderal.."
Sekte Teratai Putih 6 37 Ketika anak-anak yang lain melihat ayah
mereka keluar membawa tongkat, maka mereka
pun serempak mengadu, "Ayah, Kakak Lik jahat!
Punya boneka banyak tetapi tidak mau diajak
main bersama-sama!" "Betul! Tadi A-yang malahan dicakar
mukanya!" "Ayah, hajar dia!"


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ikat di pohon!"
"Jangan diberi makan!"
Dan macam-macam lagi celotehan anak-anak
itu. Si Ayah melangkah maju sambil mengangkat
tongkat rotannya, tapi ia tertegun ketika A-lik
menatapnya seperti macan kelaparan. Untuk
menjaga wibawanya di mata anak-anaknya
yang lain, dia membentak, "A-Iik, mau main
boneka bersama saudara-saudaramu atau
tidak?" "Tidak!" jawab anak perempuan itu
mengejutkan ayahnya. Belum pernah anaknya
yang paling bandel sekali pun mengeluarkan
jawaban seperti itu, dan sekarang malah
Sekte Teratai Putih 6 38 anaknya yang "calon isteri jenderal" itu yang
mengeluarkannya. "Kurang ajar! Mau bermain bersama-sama
atau tidak?" "Tidak!" "Mau apa tidak?"
"Tidak!" Maka bertubi-tubilah tongkat rotan itu
menghajar punggung dan pantat anak
perempuan usia delapan tahun itu. Anak itu
ternyata tidak menangis, tidak menjerit, dia
hanya mengerut-ngerutkan tubuhnya menahan
sakit, namun tetap mendekap erat-erat bonekabonekanya. Tiba-tiba Liu Yok menyerobot maju
dan memegangi tangan sang Ayah, "Hentikan,
Bapak, anakmu bisa mati...."
"Mati juga biar! Anak kurang ajar ini."
"Pak, dia bukannya kurang ajar. Dia bersikap
demikian karena dikuasai pengaruh lain."
Si Ayah heran. "Pengaruh apa?"
"Boneka-boneka itu."
Sekte Teratai Putih 6 39 Si Ayah tercengang, kurang percaya. Namun
dia menurut ketika Liu Yok berkata, "Pak,
minggirlah. Biar aku selesaikan ini."
Lalu Liu Yok mendekati A-lik, dan anak
perempuan yang tadinya beringas terhadap
ayahnya sendiri, tidak takut kepada ayahnya
sendiri yang mengancam dengan tongkat,
sekarang berkerut ketakutan melihat Liu Yok.
Ada desis mirip ular keluar dari mulut anak
perempuan itu. "Ampun...... ampun...."
Liu Yok berkata, "Aku benar-benar jemu
kepada kalian. Bahkan anak-anak kecil yang
tidak bersalahpun kalian peralat untuk
memuaskan naluri jahat kalian. Aku tidak akan
mengampuni kalian." Lalu Liu Yok merebut keempat boneka itu,
dan Si Anak Perempuan itu langsung terkulai.
Ketika itulah ibunya sudah keluar pula, dan
langsung memeluknya. Anak-anak lain bersorak-sorak melihat Liu
Yok berhasil merebut boneka-boneka itu.
Mereka mengerumuni Liu Yok sambil menjulurjulurkan tangan ke atas untuk merebutnya.
Sekte Teratai Putih 6 40 Ada desis mirip ular keluar dari mulut anak
perempuan itu. "Ampun... ampun.."
Sekte Teratai Putih 6 41 "Buat aku satu, Paman!"
"Buat aku juga satu!"
"Kami semua akan bermain-main bersamasama dengan rukun, tidak akan bertengkar dan
berkelahi! Kami mau jadi anak-anak manis!"
Tetapi anak-anak itu memperoleh jawaban
mengecewakan dari Liu Yok, "Tidak usah
berebutan, anak-anak manis. Boneka-boneka
jelek ini harus dibakar musnah. Lain kali kalian
akan mendapatkan mainan-mainan yang lebih
bagus, tetapi bukan boneka. Menurut, ya?"
Anak-anak itu tentu saja berebutan
memprotes. "Kenapa harus dibakar, Paman?"
"Boneka bagus kok dibakar?"
"Jangan dibakar, Paman. Kasihan. Nanti dia
menangis." Terharu juga Liu Yok mendengar suara anakanak itu, namun niatnya tidak berubah. Ia juga
merasa sulit bagaimana harus menjelaskan
kepada anak-anak itu, bahwa boneka dapat
menjadi "jembatan" antara dunia kasar dengan
Sekte Teratai Putih 6 42 dunia gaib, dan yang datang dari dunia gaib itu
bukan selalu berpengaruh baik. Jangankan
menjelaskan kepada anak-anak, bahkan orangorang dewasa pun belum tentu menerima
penjelasannya. Maka sekenanya saja Liu Yok menjawab
anak-anak itu, "Boneka-boneka ini jahat,
membuat Kakak kalian menjadi jahat dan
dipukuli Ayah. Kalian sayang Kakak kalian
bukan" Maka boneka-boneka jahat ini harus
dimusnahkan." Lalu, tanpa menghiraukan tatapan mata
kecewa dari anak-anak itu, Liu Yok menuju ke
dapur dan melempar-lemparkan bonekaboneka itu ke tungku yang masih menyala.
Sekejap saja boneka boneka itu pun musnah.
Sebun Beng kemudian berpamitan dan
mengucapkan terima kasih kepada keluarga
peladang itu. Sebenarnya Sebun Beng teringat
juga untuk meninggalkan sepotong uang perak
kepada Tuan Rumah. Namun melihat betapa
tulus Tuan Rumah dan keluarganya dalam
menerima dan menjamu Sebun Beng bertiga,
Sekte Teratai Putih 6 43 mereka nampak bahagia bisa menolong sesama,
maka Sebun Beng membatalkan pemberiiannya. Ia tidak ingin merusak kemurnian watak
Tuan Rumah. Ia kuatir menumbuhkan sifat
"tidak mau menolong kalau tidak mendapat
uang" pada diri si Tuan Rumah di kemudian
hari. Sudah kelewat banyak orang serakah di
permukaan bumi, dan Sebun Beng tidak ingin
menambah lagi satu manusia serakah.
Tanpa imbalan uang pun, ternyata Tuan
Rumah mengantarkan Sebun Beng sampai ke
luar kampung, dengah perasaan tulus seolaholah melepas bepergian keluarga sendiri.
Bahkan disertai pesan agar lain kali mampir
lagi. Sebun Beng pun membalas, tanpa basa-baii
bahwa kelak ia akan berkunjung kembali. Sifat
Sebun Beng yang pada dasarnya juga polos,
memang senang menambah teman dari
kalangan apa pun. Setelah sosok-sosok tubuh Seuin Beng tidak
terlihat lagi di balik lekuk-lekuk pegunungan, si
Tuan Rumah masih sempat mampir ke ladang
seorang temannya untuk mengobrol sebentar,
Sekte Teratai Putih 6 44 setelah itu barulah melangkah balik menuju
rumahnya. Tetapi di jalan yang sepi, tiba-tiba ia
dihadang oleh seorang yang tampang dan
dandanannya cukup aneh. Orang itu tadinya
bersandar pohon di pinggir jalan, namun ketika
melihat petani itu lewat, dia melangkah ke
tengah jalan dan berkata,
"Maaf, Pak, aku menyita waktumu sedikit.
Aku hanya ingin numpang tanya."
"Silakan," sahut Si Petani sambil memperhatikan lawan bicaranya.
Orang yang menghadang itu berusia kira-kira
setengah abad, rambutnya berwarna kuning,
alisnya yang tebal juga kuning, sehingga jadi
aneh bagi orang-orang daratan Cina yang
kebanyakan berambut hitam. Di wajah orang itu
tidak ada kumis atau jenggot, sehingga
mengingatkan kepada para thai-kam (orang
kebiri) yang biasa terdapat di istana Kaisar.
Pakaiannya berwarna kuning emas, dirangkapi
jubah yang kuning emas sampai ke lutut,
sepatunya juga berwarna kuning emas. Di
Sekte Teratai Putih 6 45 bawah sorot matahari yang baru saja muncul
dari belakang bukit, penampilan "manusia
emas" ini memang jadi mengesankan sekali.
Si Peladang yang semalam rumahnya diinapi
Sebun Beng itu pun bertanya dengan ramah,
"Apa yang hendak Tuan tanyakan?"
"Orang-orang yang semalam menginap di
rumah Bapak itu dari mana asalnya?"
"Menurut pengakuan mereka sendiri,
Pamannya berasal dari kota Lok-yang,
sedangkan kedua keponakannya berasal dari
Se-shia. Memang logat bicara mereka pun
berbeda." Si "Manusia Emas" mengangguk-angguk, lalu
tanyanya pula, "Semalam ketika di rumah
Bapak, apakah mereka melakukan sesuatu?"
"Apa yang Tuan maksud dengan melakukan
sesuatu itu?" "Ya misalnya seperti.... bangun tengah malam
lalu membakar Mu (kertas jimat), atau
menggelar sesaji sembahyang, atau memainkan
bok-kiam (pedang kayu) sambil membaca
mantera...." Sekte Teratai Putih 6 46 Si Peladang agak heran mendengar
pertanyaan itu. Namun ia menjawab sambil
menggeleng, "Tidak tahu, Tuan. Semalam saya
dan keluarga saya itu tidur di dalam rumah.
Sedang tamu-tamu saya itu tidur di bekas
kandang sapi yang telah dijadikan gudang
jerami. Jadi kami tidak mengetahui apa yang
mereka lakukan di tengah malam."
"Benar Bapak tidak tahu?"
"Benar. Buat apa saya membohongi Tuan?"
"Apakah tidak ada bekas-bekasnya di pagi
harinya?" "Ooo, ada!" tiba-tiba si Peladang berseru.
Si Manusia Emas pun jadi tertarik, "Apa?"
"Pagi tadi di halaman samping rumah saya,
tiba-tiba saja anak perempuan saya menemukan empat buah boneka rumput, yang
tangannya diberi pedang-pedangan dari kertas
tebal, entah dari mana. Rasanya tidak seorang
pun anak-anak saya yang bisa membuat mainan
seperti itu. Mungkinkah...."
Sekte Teratai Putih 6 47 Si Manusia Emas mengibaskan tangannya di
depan wajah sambil berkata, "Ah, bukan itu!
Bukan boneka! Yang lainnya boneka!"
Sambil menggerutu dalam hati, "Kalau empat
boneka rumput itu memang para Thian-peng
(serdadu langit) kiriman-ku."
Si Peladang jadi bingung, "Apalagi yang Tuan
maksud" Selain boneka-boneka itu rasanya
tidak ada apa-apa lagi, Tuan."
Si Manusia Emas mendesah kesal, lalu
menatap geram ke arah menghilangnya Sebun
Beng bertiga tadi. Penasaran karena ilmu
gaibnya semalam gagal tanpa diketahui sebabsebabnya. Kini ia sedang menyelidiki penyebab
kegagalannya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia lalu
pergi begitu saja meninggalkan lawan
bicaranya. Si Peladang pun menggerutu dalam hati,
"Tidak tahu adat benar mahluk ganjil ini.
Seenaknya mencegat dan menanyai orang
lewat, habis itu terus pergi begitu saja tanpa
mengucapkan terima kasih."
Sekte Teratai Putih 6 48 * * * Suasana tegang dan kewaspadaan masih
meliputi kota Lok-yang sejak peristiwa
penculikan Sun Pek-lian, puteri bungsu
Gubernur Holam itu. Di mana-mana, terutama
di pintu-pintu kota, terlihat penjagaan perajurit
yang Jebih kuat dari hari-hari biasanya. Begitu
pula perajurit-perajurit

Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang meronda berkeliling kota. Siang itu, sekelompok perajurit menjalankan
tugas seperti biasa di pintu gerbang kota.
Namun karena sudah belasan hari tidak terjadi
peristiwa apa-apa yang menggemparkan, para
perajurit itu pun mulai bersikap santai. Mereka
ada yang duduk, ada yang berdiri, sambil
bercakap-cakap ringan. Tiba-tiba dari arah luar kota terlihatlah debu
mengepul, mengiringi seekor kuda yang dipacu
sangat kencang oleh penunggangnya, mendekati
pintu kota. Sambil memacu kudanya habishabisan, penunggangnya juga meneriaki orangorang di jalanan, "Minggir! Minggir!"
Sekte Teratai Putih 6 49 Dan setelah dekat, terlihatlah kuda itu adalah
kuda padang pasir kelas satu, bulunya kuning.
Penunggangnya juga seorang gadis manis yang
terbalut pakaian ringkas berwarna serba kuning
dengan pita rambut yang kuning, memakai
mantel kuning pula yang berkibar-kibar
dibelakang punggungnya karena kencangnya ia
memacu kudanya. Komandan regu penjaga kota tentu saja
curiga melihat ulah penunggang kuda itu. Ia lalu
melompat bangkit dari duduknya dan
meneriaki anak buahnya, "Hentikan dia!
Hentikan dia!" Para perajurit pun serempak berloncatan di
depan pintu kota dan membentuk pagar betis
sambil menodongkan senjata-senjata mereka,
sambil berteriak-teriak serabutan, "Hei,
berhenti! Berhenti!"
Namun kelihatannya penunggang kuda itu
tidak berniat mematuhi perintah perajuritperajurit itu. Sudah dekat dengan pcrajuritperajurit, ia tidak melambatkan kudanya,
malahan membentak, "Minggir!"
Sekte Teratai Putih 6 50 Komandan regu dengan gusar memberi
perintah kepada anak buahnya, "Siapkan panah
dan senapan! Kita bikin mampus perempuan
gila ini kalau perlu!"
Tetapi seorang perajurit bawahannya yang
sudah lebih lama bertugas di Lok-yang, tiba-tiba
berkata, "Komandan, itu Nona Sun Cu-kiok,
puteri sulung Gubernur Sun."
Ketika anak panah sudah dipasang di
busurnya, dan sumbu-sumbu bedil sudah
dipasang dan dinyalakan. Keruan saja si
komandan kelabakan dan buru-buru berteriak
meralat perintah sebelumnya, "Jangan serang!
Jangan lukai! Biarkan lewat!"
Perubahan perintah yang mendadak itu juga
membuat para prajurit kelabakan, untunglah
mereka sempat menahan diri untuk tidak
memanah atau menembak. Dan mereka harus
saling tubruk ketika melompat menyingkir ke
tepi jalan. Sepucuk bedil sempat meletus,
untung hanya menembak udara. Ketika prajuritprajurit itu bangun kembali setelah kuda itu
Sekte Teratai Putih 6 51 berderap lewat, wajah dan pakaian mereka
sudah penuh debu. Si Komandan regu pun segera mendamprat
anak buahnya yang memberi peringatan tadi,
"Edan! Kenapa tidak kamu katakan lebih awal"
Kalau sampai aku melukai Nona Sun biarpun
hanya seujung rambut kan kepalaku bisa
diprotol oleh Tuan Gubernur?"
"Maaf, Komandan... tadi ketika masih jauh
saya belum melihat jelas siapa dia...." sahut
prajurit yang didamprat itu, namun dalam
hatinya dia membalas mendamprat komandannya, "Komandan tidak tahu berterima
kasih, masih untung ada yang memperingatkanmu!" Sementara itu, para perajurit sudah hilang
mengantuknya, dan sibuk membicarakan
penunggang kuda tadi. Sebagian prajurit itu
sudah lama bertugas di Lok-yang dan sebagian
lagi belum lama, maka yang sudah lama itu
memberi penjelasan kepada yang belum lama.
"Penunggang kuda tadi puteri Gubernur!"
"Ha" Betul?"
Sekte Teratai Putih 6 52 "Betul. Dialah Nona Sun Cu-kiok, kakak dari
Nona Sun Pek-lian yang diculik penjahat itu.
Memang dia sudah bertahun-tahun meninggalkan Lok-yang untuk berguru di
Gunung Hong-san." "Luar biasa caranya menunggang kuda. Tidak
banyak kaum lelaki yang bisa menyamai
ketangkasannya, apalagi melebihi, biar dari
kalangan militer sekali pun."
"Memang luar biasa. Kalau kita yang disuruh
menunggang kuda seperti itu, pastilah akan
terjungkal-jungkal dan terseret-seret sanggurdi." "Tentu saja. Semua juga sudah tahu kalau
kamu tidak becus berkuda. Bukankah kamu
tidak diterima mendaftar di pasukan berkuda?"
"Lain kali aku mau mendaftar di pasukan
keledai." "Ah, kamu naik keledai saja pasti ambruk
juga." "Heran juga. Sulit menduga kalau Nona tadi
adalah kakak dari Nona Sun Pek-jian. Nona Sun
Pek-lian lemah-lembut seperti setangkai ranting
Sekte Teratai Putih 6 53 yang-liu, ibaratnya ketiup angin sedikit saja bisa
roboh. Tetapi kakaknya.... wah!"
"Tidak percuma dia berguru bertahun-tahun
di Hong-san." "Rupanya kesukaannya warna kuning, ya"
Kudanya berbulu kuning, pakaiannya serba
kuning, padahal namanya Cu-kiok (Seruni
Ungu)..." kata seorang prajurit muda yang masih
bujangan dan mukanya penuh jerawat, seperti
orang berangan-angan. Seorang prajurit tua yang sok berfilsafat
menyahut, "Namakan tidak menjamin terpenuhinya harapan orang tua" Ada
tetanggaku yang waktu lahirnya diberi nama
Banyak Rejeki, eh, tidak tahunya seumur
hidupnya melarat terus."
Sementara itu, dengan cara berkuda-nya
yang mirip angin puyuh itu Sun Cu-kiok sudah
tiba di gedung gubernuran. Melewati pintu
gerbang halaman gubernuran pun ia tidak
melambatkan kudanya, sehingga prajuritprajurit penjaga berlompatan minggir. Dan
kuda berbulu kuning itu belum berhenti benar,
Sekte Teratai Putih 6 54 ketika Cu-kiok dengan tangkas sudah melompat
turun dari kudanya, mendarat ringan di tanah
sambil membawa bungkusan bekalnya dan
senjatanya. Para prajuritlah yang kemudian
mendapat tugas menenangkan kuda yang masih
melonjak-lonjak itu. "Hei, jangan kasar kepada kudaku!" teriak
Sun Cu-kiok kepada para prajurit, sambil
melangkah masuk ke gedung gubernuran.
"Baik, Nona...."
Puteri sulung Guberbur Ho-lam itu
melangkah naik telundakan di depan gedung
dengan mantel kuning berkibar di belakang
tubuhnya. Ia seorang gadis yang ramping dan
cantik, namun sudah tentu kulitnya tidak
seputih kulit adiknya, Sun Pek-lian, yang jarang
terkena sinar matahari, sedangkan Sun Cu-kiok
setiap hari menggembleng diri di lereng-lereng
Gunung Hong-san. Bahkan senjata yang
dipilihnya juga tidak lazim untuk para wanita
pendekar. Para wanita pendekar biasanya
memilih senjata-senjata yang tidak berbobot
berat, seperti pedang, cambuk, atau golok tipis
Sekte Teratai Putih 6 55 Liu-yap-to (golok daun liu), bahkan ada yang
hanya bersenjata selendang. Tetapi kini Sun Cukiok melangkah sambil memanggul sebuah
Koan-to (golok bertangkai panjang) yang
bobotnya cukup berat, meskipun yang dibawa
Sun Cu-kiok ini lebih ringan dan lebih tipis dari
yang biasa dibawa kaum lelaki.
"Mana Ayah" Mana Ibu?"
Tanyanya kepada hamba-hamba gubernuran
yang menyongsongnya. Sebelum pertanyaan dijawab, dari ruangan
dalam sudah muncul Gubernur dan Isterinya. Si
Nyonya Gubernur langsung berlari memeluk
puteri sulung itu sambil menangis, "A-kiok,
adikmu...." Mata Sun Cu-kiok jadi ikut berkaca-kaca
teringat saudara satu-satunya saudaranya yang
sekarang berada di tangan para penculik. Ia
menepuk-nepuk punggung Ibunya sambil
menghibur, "Aku sudah mendengar dari utusan
Ayah yang tiba di Hong-san, Ibu. Makanya aku
buru-buru kemari. Jangan cemas. A-lian akan
Sekte Teratai Putih 6 56 kutemukan dan kubawa pulang dengan
selamat." Lepas dari pelukan Ibunya, Sun Cu-kiok
memberi hormat kepada Ayahnya yang nampak
lebih kurus dan pucat, "Ayah juga tidak perlu
terlalu berkecil hati. Percayaiah. Aku akan
menyusul penculik-penculik itu dan merebut
kembali saudaraku satu-satunya."
Gubernur Sun menepuk-nepuk pundak
puterinya. "Syukurlah kamu pulang, anakku.
Tetapi aku minta kamu hati-hati dalam
bertindak. Orang-orang Pek-lian-kau itu selain
lihai dalam ilmu gaib, juga bernyali besar dan
kejam. Bahkan mereka berani mengacau pesta
pernikahan Jenderal Wan beberapa waktu yang
lalu." "Percayalah kepadaku, Ayah. Aku di Hongsan bukan bermain-main, tetapi berlatih
bersungguh-sungguh."
Ketika itu seorang bujang-tua gubernuran
sedang melangkah mendekat sambil membawa
nampan, di mana di atasnya ada tiga cawan teh.
Ketika bujang tua itu melewati dekat Sun CuSekte Teratai Putih 6
57 kiok, tiba-tiba Sun Cu-kiok mengelebatkan
golok Koan-tonya secepat kilat di depan wajah
Si Bujang. Si Bujang tua hanya merasa kaget
sedikit dan merasa kulit mukanya dingin, tidak
lebih dari itu, lalu melanjutkan langkahnya
untuk menyuguhkan teh-teh itu.
Nyonya Gubernur pertama-tama mengambilkan cawan untuk suaminya, lalu
untuk puterinya yang baru pulang dari jauh,
setelah itu baru untuk dirinya sendiri.
Tetapi ketika ia hendak menghirup tehnya, ia
membatalkannya sambil menatap ke dalam
cawan dan mengerutkan alisnya. Tanyanya
kepada si Bujang tua yang hendak kembali ke
belakang sambil membawa nampan, "A-hok,
siapa yang menyeduh teh ini?"
Wajah A-hok berseri-seri, siap menerima
pujian, sebab biasanya Nyonya Gubernur itu
selalu memuji teh seduhannya. "Saya yang
menyeduhnya, Nyonya. Tangan saya sendirilah
yang menyeduhnya." Tak terduga kali ini Sang Nyonya
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil Sekte Teratai Putih 6

Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

58 menegur, "Kenapa kerjamu kali ini begitu
ceroboh" Bulu-bulu apa ini yang masuk ke
dalam teh" Jangan-jangan ini. bulu-bulu
hidungmu atau bulu-bulu ketiakmu" He!
Kenapa dengan alis dan kumismu?"
A-hok kaget, lalu meraba wajahnya. Astaga,
tempat alis dan kumisnya tumbuh sudah licin.
Rupanya alis dan kumisnya sudah dibabat oleh
Sun Cu-kiok dengan kelebatan goloknya tadi,
dan rontok ke dalam cawan teh.
Sun Cu-kiok tertawa terkikik dan berkata
kepada Ibunya, "Jangan memarahi Paman Ahok, Ibu. Sengaja aku mencukurnya agar dia
awet muda." Gubernur pun ikut tertawa, meskipun jadi
batal minum teh campur rontokan alis dan
kumis itu. Sejenak dia lupa kemurungan
hatinya. "Hebat kamu, A-kiok," pujinya. Dulu ia marah
karena anak perempuannya ini belajar silat, dan
bukannya belajar sastra dan filsafat seperti
adiknya, sekarang dia mengharapkan kehebatan
Sun Cu-kiok dapat menyelamatkan Sun Pek-lian.
Sekte Teratai Putih 6 59 Sementara si bujang tua A-hok telah
melangkah masuk sambil meraba-raba alis dan
kumisnya yang kini licin. Orang-orang di dapur
nanti tentu akan heran melihat perubahan
wajahnya. "Kapan kau akan mulai berangkat mencari
adikmu, Nak?" tanya Nyonya Sun.
Sun Cu-kiok pun menjawab dengan lugas,
sesuai dengan wataknya, "Makin cepat makin
baik." "Kapan" Tidak hari ini bukan" Ibu masih
kangen kepadamu." "Besok pagi-pagi, Bu. Tidak baik kalau A-lian
terlalu lama di tangan orang-orang Pek-liankau."
Kata Gubernur, "A-kiok, apakah kau perlu
membawa beberapa orang jago gubernuran
untuk menemani perjalananmu?"
"Tidak perlu, Ayah. Mereka akan merepotkan
aku saja." Gubernur Ho-lam sebenarnya cemas juga
akan keselamatan puteri sulungnya ini, tetapi ia
juga tahu kekerasan hati Sun Cu-kiok. Seperti
Sekte Teratai Putih 6 60 dulu, waktu dilarang belajar silat lalu minggat.
Begitu juga sekarang, setelah bilang "tidak"
maka ya "tidak". Gubernur hanya bisa berdoa
agar anaknya itu mampu menjaga dirinya baikbaik.
Pameran ketangkasan anak perempuannya memainkan golok "mencukur"
A-hok tadi agak melegakannya.
Sementara itu Nyonya Sun sudah berkata, "Akiok, ada baiknya sebelum kamu berangkat
besok, hari ini kamu luangkan waktu untuk
berbicara dengan orang-orang dari keluarga
Sebun. Mungkin mereka punya beberapa
keterangan berguna tentang penculik-penculik
itu." "Baiklah, Ibu. Nanti sore aku ke rumah
Keluarga Sebun." "Sekarang, beristirahatlah dulu. Kau baru
saja menempuh perjalanan jauh."
Sore harinya, dalam pakaian kesukaannya
yang berwarna serba kuning tetapi kali ini
tanpa mantelnya, Sun Cu-kiok berjalan kaki
mengujungi rumah Keluarga Sebun yang masih
di dalam kota Lok-iyang juga.
Sekte Teratai Putih 6 61 Nyonya Sebun Beng menyambut kedatangannya dengan ramah, lalu mengajak
duduk di ruangan depan. Ketika Bwe Gin-liong yang sedang ada di
belakang mendapat tahu bahwa Puteri
Gubernur datang berkunjung, Bwe Gin-Liong
pun jadi sibuk sendiri. Buru-buru dia masuk ke
dalam kamarnya untuk mengenakan pakaiannya yang bagus, menghabiskan hampir
sebotoi kecil minyak wangi, bahkan wajahnya
diberinya pupur tipis dan sedikit pemerah bibir.
Setelah sesaat mengagumi ketampanannya
sendiri di depan cermin, dengan penuh percaya
diri dia pun melangkah menuju ruang tamu
dengan langkah diatur seanggun mungkin.
Tiba di ambang pintu ruang tamu, jantung
Bwe Gin-liong berdebar kencang melihat
kecantikan Puteri Gubernur yang sedang
bercakap-cakap dengan Auyang Siau-hong,
Sebun Giok dan Nenek Sebun. Alangkah
cantiknya, biarpun kulit itu tidak seputih kulit
adiknya. Sayang juga kecantikan itu dilengkapi
Sekte Teratai Putih 6 62 mata dan bibir yang menimbulkan kesan bahwa
gadis ini juga rada galak.
Nenek Sebun menyambut kehadiran cucukesayangannya
itu dengan langsung memperkenalkannya kepada tamunya, "Nona
Sun, inilah cucu saya yang paling berbakat,
paling rajin, paling bercita-cita tinggi. Tidak
seperti kedua kakaknya yang malas, kasar, tidak
bercita-cita sama sekali. Cucu saya yang ini
sudah membaca ribuan kitab para penulis
terkenal, dan pernah lulus ujian Han-lim di Ibu
kota..." Sebun Giok dag-dig-dug sendiri mendengar
kebohongan ibunya yang kelewat dahsyat.
Kapan Bwe Gin-liong "membaca ribuan kitab"
sedangkan di Se-shia maupun Lok-yang
kerjanya hanya keluyuran saja" Kapan Bwe Ginliong "lulus ujian Han-lim di Ibukota"
sedangkan meninggalkan kota Se-shia saja baru
kali ini" Tetapi Nenek Sebun terus saja mempromosikan Bwe Gin-liong dengan gaya
tukang obat pinggir jalan, "Karena cucu saya ini
Sekte Teratai Putih 6 63 terlalu rajin memperdalam ilmu dan menambah
pengetahuan, sampai-sampai dia lupa untuk
menikah meskipun usianya sudah cukup.
Padahal banyak gadis baik-baik dari keluarga
ternama yang sampai menawar-nawarkan diri
lho. Bahkan ada seorang puteri dari kerabat
Kaisar, tetapi rupanya hatinya belum tergerak."
Sebun Giok makin ngeri sendiri akan bualan
ibunya yang makin nekad itu, lalu cepat
menukas, "Ibu, Nona Sun datang ke mari untuk
keperluan lain. Bukan untuk menanyakan diri
A-liong." Wajah Nenek Sebun menjadi merah sambil
melirik gusar kepada Sebun Giok, dampratnya
dalam hati, "Anak tidak tahu diuntung!
Dicarikan menantu berderajat tinggi tidak
mau!" Sementara itu, Bwe Gin-liong melangkah
masuk ruangan dengan langkah perlahan dan
anggun yang sudah sering dilatihnya, dalam
jubah sastrawannya lengkap dengan kipas di
tangannya, sambil merasa yakin bahwa Puteri
Gubernur akan terguncang melihatnya. Katanya
Sekte Teratai Putih 6 64 lembut sambil memberi hormat, "Terimalah
salam perkenalan saya, Nona Sun."
Bersambung jilid VII Sumber Image : Koh Awie Dermawan
Yang Ngurutkan Halaman : Kang Hadi
first share in Kolektor E-book
PSW 10/06/2018 04:32 PM Sekte Teratai Putih 6 65 Sekte Teratai Putih 7 1 Sekte Teratai Putih 7 1 << SEKTE TERATAI PUTIH >>
Karya : STEFANUS S.P. Jilid VII *** S UN CU-KIOK memang berdiri dari
kursinya dan membalas hormat, namun
sikapnya biasa-biasa saja dan malahan nyaris
dingin. Malah. diam-diam ia menganggap kalau
dandanan Bwe Gin-liong yang memakai pupur
dan gincu segala itu agak mirip dandanan anakwa-yang. Sun Cu-kiok tidak pernah tertarik
kepada lelaki jenis pesolek begini.
Karena itulah, ketika Sun Cu-kiok kemudian
bercakap-cakap lagi ke urusan pokok, urusan
Pek-lian-kau, dengan Au-yang Siau-hong dan
Sebun Giok, ia tidak lagi menggubris Bwe Ginliong yang duduk juga di ruangan itu dengan
lagak salah-tingkah sendiri.
Sekte Teratai Putih 7 2 Kalau kadang-kadang Bwe Gin-liong nimbrung bicara juga, maka Sun Cu-kiok pun
akan menanggapinya dengan sopan tetapi
singkat dan jelas cuma basa-basi.
Dan akhirnya Sun Cu-kiok merasa sudah
mendapat keterangan cukup, lalu berpamitan
pulang. Meninggalkan antara lain Bwe Gin-liong
yang kecewa. Sebuah rencana pun muncul di benak Ginliong, "Mungkin aku perlu guna-guna dari
seorang dukun yang hebat untuk dapat merebut
hatinya." * * * Esok harinya, pagi-pagi sekali Sun Cu-kiok
sudah meninggalkan Lok-yang sendirian
dengan menunggang kuda kuningnya. Kali ini Si
Kuda kuning tidak dipacunya kencang-kencang,
melainkan perlahan-lahan saja untuk menghemat tenaga. Sekte Teratai Putih 7 3 Berbekal keterangan dari Keluarga Sebun,
dia mengarahkan perjalanannya ke kota Hongyang, untuk menyelidiki kuil lama Hong-kak-si
yang menjadi tempat bersejarah bagi kaum Peklian-kau. Tempat bersejarah, karena ratusan
tahun yang silam Cu Goan-ciang pernah
berdiam di kuil itu sebagai seorang hwesio
miskin, sebelum mulai dengan pergerakannya
yang mengangkatnya menjadi Kaisar pertama
dinasti Beng setelah meruntuhkan dinasti Goan
(Mongol), dengan gelar Kaisar Hong-bu. Ia
adalah tokoh kebanggaan Pek-lian-kau bersama
tokoh-tokoh lainnya, seperti Siang Gi-jun, Han
San-tong, Han Lim-ji dan sebagainya. Orang
Pek-lian-kau tetap memuja patung pendiri
dinasti Beng itu, meskipun Kaisar Hong-bu
pernah juga mencoba memusnahkan Pek-liankau di masa berkuasanya.
Ke arah Hong-yang lah Sun Cu-kiok
mengarahkan perjalanannya.
Pada suatu hari, hari ke sekian dari
perjalanannya, ketika matahari tertutup
mendung tebal sehingga rasanya seperti sudah
Sekte Teratai Putih 7 4 sore, Sun Cu-kiok memasuki sebuah kota kecil
tanpa tembok-benteng yang terletak di kaki
pegunungan perbatasan propinsi Ou-pak. Kota
itu cukup ramai karena letaknya di jalan raya
propinsi, juga ada persimpangan jalannya, salah
satu jalan masuk ke pegunungan propinsi Oupak. Di tempat itu banyak berdiri warungwarung dan penginapan di sepanjang jalan.
Orang-orang di jalanan tentu saja tertarik
melihat seorang gadis cantik berpakaian serba
kuning melakukan perjalanan seorang diri


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan menunggangi kuda berbulu kuning pula.
Tetapi kalau ada hidung belang yang punya niat
mengganggu, si hidung belang haruslah
memperhitungkan golok Koan-to yang dikempit
Sun Cu-kiok. Golok yang bagian tajamnya
berkilat kebiru-biruan seperti pisau cukur
saking tajamnya. Dan orang akan tahu juga
bahwa Si Cantik baju kuning ini membawa
senjata bukan sekedar untuk gagah-gagahan,
melainkan benar-benar menguasainya. Hal itu
terbaca dari sorot matanya yang tajam dan
tidak gentar beradu pandang dengan siapa pun.
Sekte Teratai Putih 7 5 Sun Cu-kiok melewati sebuah tanah lapang,
di mana kelihatan sekelompok orang-orang
yang nampaknya adalah serombongan wayang
boneka keliling, sedang mendirikan panggung
pertunjukkan dan kemah-kemah mereka.
Agaknya akan bermain sementara di kota kecil
itu. Juga terlihat beberapa orang yang sedang
menurun-nurunkan kotak-kotak wayang dan
alat-alat tetabuhan, ada pula yang mengibarkan
bendera besar bermerk nama rombongan itu.
Namun buat Sun Cu-kiok, yang penting saat
itu adalah makan. Maka ketika menjumpai
sebuah warung, Sun Cu-kiok menghentikan
kudanya dan menambatkannya, lalu melangkah
masuk dengan gagah sambil membawa
bungkusan bekal dan senjatanya, dengan
mengacuhkan saja pandangan orang-orang di
warung kepadanya, terutama kaum lelaki.
Ia langsung memesan makanan dan
minuman, dan ketika pesanannya itu datang, dia
langsung melahapnya tanpa peduli kiri-kanan
lagi. Sekte Teratai Putih 7 6 Maka ketika menjumpai sebuah warung,
Sun Cu-kiok menghentikan kudanya dan
menambatkannya, lalu melangkah masuk
dengan gagah sambil membawa bungkusan
bekal dan senjatanya Sekte Teratai Putih 7 7 Karena duduknya di sudut, dekat dapur
bertembok rendah, dia sempat mendengarkan
dua orang pembantu tukang warung itu
bercakap-cakap sambil bekerja. Yang seorang
lagi merajang sayur, yang lain sambil mencuci
mangkok-mangkok kotor. "Wah, dalam beberapa hari ini kota kecil kita
ini jadi bertambah ramai beberapa kali lipat.
Kemarin dulu datang sebuah rombongan
sandiwara, yang sampai sekarang masih
manggung di lapangan sebelah selatan. Kemarin
datang lagi rombongan tukang akrobat yang
rencananya setiap siang akan bermain di dekat
perempatan jalan. Eh, tidak tahunya hari ini
datang lagi rombongan wayang boneka.
Gelagatnya kota kecil ini bakal jadi ramai
seperti pasar malam."
"Kan malah untung buat warung kita"
Pemasukan uang bisa bertambah?"
"Iya. Besok entah datang apalagi?"
"Asal jangan rombongan mayat pulang
kampung saja. Bisa sirna rejeki kota ini kalau
dilewati rombongan macam itu."
Sekte Teratai Putih 7 8 Baru saja ia berhenti berbicara, tiba-tiba dari
kejauhan sudah terdengar suara gembreng
ditabuh satu-satu, disertai teriakan penonton
berulang-ulang. "Orang mati pulang kampuuuuuung.!" Serempak terjadilah kesibukan luar biasa di
jalanan. Orang-orang di jalanan serempak
mencari tempat persembunyian, dan rumahrumah di pinggir jalan pun menutup pintu dan
jendelanya rapat-rapat. Warung di mana Sun
Cu-kiok juga dimasuki orang-orang yang
menumpang sementara, lalu pintu dan jendela
pun di tutup rapat, maka pengablah ruangan itu
karena asap dari dapur tidak bisa keluar. Wajah
orang-orang di dalam itu terlihat tegang.
Jalanan sudah menjadi sepi. Tidak ada orang
lagi di jalanan, kecuali Si Penabuh gembreng
yang berjalan perlahan-lahan sambil berteriakteriak mengiringi bunyi gembrengnya, "Orang
mati pulang kampuuuuuung! Orang mati pulang
kampuuuuuuuung!" Sun Cu-kiok bisa memahami situasi itu. Ia
pernah mendengar bahwa penduduk Sekte Teratai Putih 7 9 pedalaman Ou-pak dan Ou-lam punya kebiasaan
yang praktis namun menyeramkan. Kalau ada
seorang meninggal dunia di perantauan, jauh
dari rumah, maka dikuburkan di kampung
halaman sendiri tentunya merupakan idamidaman. Tetapi wilayah pedalaman Ou-pak dan
Ou-lam adalah daerah bergunung-gunung yang
sulit dilalui kendaraan semacam gerobak atau
kereta, salah-salah malah bisa tergelincir ke
jurang. Sedangkan kalau menyewa tukang pikul
untuk membawa mayat pulang kampung juga
membutuhkan biaya yang besar, tidak semua
orang mampu. Maka muncullah suatu cara yang
jauh lebih murah. Yaitu dengan menyewa jasa
seorang dukun yang lazim disebut Penggembala
Mayat, yang akan "menyuruh" mayat-mayat itu
berjalan sendiri sampai ke kampunghalamannya. Untuk lebih menghemat biaya lagi,
biasanya beberapa keluarga yang sama-sama
punya kerabat meninggal di perantauan,
bersama-sama menyewa seorang Penggembala
Mayat. Kalau belum punya cukup uang untuk
"honorarium" Penggembala Mayat dan belum
Sekte Teratai Putih 7 10 ada keluarga lain yang kematian keluarga di
perantauan, maka mayat bisa dibalsem dulu
dititipkan di tempat matinya dulu, biasanya di
kuil-kuil. Maka, sekali jalan seorang Penggembala Mayat bisa membawa beberapa
mayat sekaligus, yang lama dan barunya mayatmayat itu berbeda-beda.
Celakanya, ada kepercayaan di antara banyak
orang, bahwa siapa pun yang berpapasan
dengan rombongan mayat pulang kampung
macam itu akan mengalami nasib sial sepanjang
umurnya. Pedagang akan bangkrut, petani akan
gagal panennya karena hama, penjudi akan
kalah habis-habisan sampai berindil, pencopet
akan ketahuan dan digebuki orang sepasar,
wanita hamil akan keguguran, yang masih
perawan tidak akan menikah seumur hidup, dan
sebagainya. Itulah sebabnya dibuatkan peraturan, bahwa ratusan langkah di depan
rombongan mayat berjalan itu harus ada
penabuh gembreng yang meneriakkan "orang
mati pulang kampung" agar orang-orang dapat
minggir dan tidak perlu berpapasan dengan
Sekte Teratai Putih 7 11 rombongan mayat itu. Bahkan ada cerita seram
di Propinsi Kiang-se ada cerita seram,
barangsiapa yang dilihat oleh mayat-mayat itu,
tidak akan lama akan meninggal dunia pula.
Tetapi ada juga mulut jahil yang meremehkan
cerita itu, "Iya kalau mayatnya bisa melihat,
tetapi mayat kan sudah tidak bisa melihat?"
Begitulah, ada yang percaya ada yang tidak,
nyatanya orang-orang tetap tidak mau
mengambil resiko. Tidak ingin berpapasan
dengan rombongan itu. Termasuk Sun Cu-kiok, meski ada juga setitik
rasa ingin tahunya untuk melihat seperti apa
mayat-mayat berjalan itu. Toh dia tidak berani
mengintip keluar. Gadis ini tidak takut kalau
disuruh menerjang ke sarang perampok yang
paling ganas sekali pun, tapi kalau disuruh tidak
menikah seumur hidup, wah, ya nanti dulu..
Ketika itulah di luar terdengar suara seperti
orang banyak yang melompat-lompat bersamasama dan teratur. Bruk! Bruk! Bruk!
Orang-orang di dalam warung tidak ada yang
berani berbicara, bahkan berbicara pun tidak
Sekte Teratai Putih 7 12 berani keras-keras. Mereka hanya bisa
membayangkan, orang-orang mati itu berjalan
bersama-sama dengan melompat-lompat kaku,
sementara Si Penggembala Mayat berjalan di
belakang mereka sambil membacakan mantera.
Ketika suara yang menyeramkan itu sudah
agak menjauh, barulah seseorang dalam warung
itu ada yang bicara perlahan-lahan, "Kalau
didengar dari derap langkahnya, agaknya
mayat-mayat yang pulang kampung kali ini
berjumlah cukup banyak."
"Ya. Kedengarannya begitu. Mungkin sedang
ada wabah penyakit menular di suatu tempat."
"Jangan-jangan tempat ini juga akan
ketularan penyakit?"
Sekali ada yang mulai mengawali bicara,
suara tegang dan seram pun buyar sedikit demi
sedikit. Apalagi ketika di luar mulai terdengar
suara pintu-pintu dan jendela-jendela dibuka
kembali, dan orang-orang mulai berada di jalan
kembali. Sekte Teratai Putih 7 13 Sun Cu-kiok segera membayar makan
minumnya, dan bermaksud melanjutkan
perjalanannya. Sebelum sore barangkali akan
ditemukannya sebuah rumah penginapan yang
nyaman. Tak lama kemudian, ia sudah duduk kembali
di atas pelana kuda kuningnya
dan berada di jalanan. Namun sambil
menunggang kuda, dia juga memasang kuping
baik-baik, jangan sampai sama arahnya dengan
rombongan mayat pulang kampung tadi.
Tetapi baru saja dia sampai ke ujung kota, di
langit yang hitam sudah terdengar suara guruh.
Butir-butir air pun runtuh dari langit, makin
lama makin rapat. Air hujan seperti garis-garis
putih yang rapat seperti kelambu.
Sun Cu-kiok menggerutu, "Sial."
Sun Cu-kiok tidak mau melanjutkan
perjalanannya, sebab kesehatannya bisa
terganggu. Karena itulah dia terpaksa memutar
balik kudanya ke dalam kota kecil itu, meski di
situ nampaknya tidak ada penginapan yang
memuaskan selera Sun Cu-kiok. Selera seorang
Sekte Teratai Putih 7 14 puteri gubernur. Tapi ia memilih untuk
berteduh daripada kehujanan.
la melompat turun dari kudanya di sebuah
bangunan yang memasang merk penginapan.
Seorang pegawai penginapan buru-buru
menyambutnya dan memayunginya, dan
seorang lainnya menyambut kudanya untuk
dituntun langsung ke istal.
Bagian depan bangunan itu adalah sebuah
ruangan besar tanpa penyekat sama sekali,
tetapi di pinggir temboknya penuh tikar-tikar
dan bantal-bantal. Agaknya inilah penginapan
"kelas ekonomi" buat pengembara-pengembara
berkantong tipis. Tetapi di tengah-tengah
ruangan ada perapian dari perunggu yang
sedang menyala berkobar-kobar dan dikerumuni orang-orang yang menghangatkan
badan, semuanya lelaki. Perhatian orang-orang di ruangan itu
tertarik serempak ketika melihat seorang gadis
cantik berpakaian serba kuning melintas
menyeberangi ruangan itu dengan basah kuyup,


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga pakaiannya melekat di kulit.
Sekte Teratai Putih 7 15 Namun golok koan-to yang dipanggul Sun
Cu-kiok juga membuat keder hidung belang
bernyali kecil. Apalagi karena tatapan mata Sun
Cu-kiok lebih tajam dari mata goloknya.
Sudah tentu Sun Cu-kiok tidak akan ikut
berdesakan bersama orang-orang lelaki di kelas
ekonomi itu. Ia mendapat sebuah ruangan
tersendiri di bagian belakang.
Sun Cu-kiok segera memesan kepada
pegawai penginapan, agar di dalam kamarnya
disediakan ember-ember kayu besar, yang diisi
air panas untuk merendam diri. Para pegawai
penginapan tergopoh-gopoh melayani gadis
yang nampaknya tergolong Jian-kim Sio-cia
(Nona Seribu Tahil), sebutan untuk gadis dari
golongan berkantong tebal. Golongan yang
disukai para pengusaha penginapan, dan juga
digemari para garong. Ember kayu besar segera digotong masuk,
lalu diisi dengan air dari ember-ember yang
lebih kecil. Dua orang hidung belang dari ruangan "kelas
ekonomi" agaknya "berminat" kepada Sun CuSekte Teratai Putih 7
16 kiok tanpa memperdulikan resikonya. Mereka
diam-diam mengikuti sampai ke bagian
belakang rumah penginapan itu, dan melihat di
kamar mana Si Baju Kuning itu menginap.
Mereka juga melihat ember kayu yang digotong
masuk, dan hilir mudiknya pegawai-pegawaipenginapan yang membawa air panas dengan
ember-ember kecil. Seorang pegawai penginapan yang baru saja
keluar dari kamar Sun Cu-kiok dengan ember
kosong, dicegat dan ditanyai oleh kedua
manusia hidung belang itu, "Hei, Bung, kamu
dari kamar Si Nona baju kuning tadi, ya?"
"Benar." "Nona itu minta ember dan air panas untuk
mandi?" "Benar. Buat apa kalian tanyakan itu?"
Kedua hidung belang itu bertukar pandangan
sambil menyeringai. Kata yang seorang sambil
menyusupkan sekeping uang ke tangan Si
Pegawai penginapan. "Tidak apa-apa, kok. Cuma
tanya. Ini untuk jajan kamu."
Sekte Teratai Putih 7 17 Setelah pegawai penginapan itu menjauh,
kedua lelaki itu lagi-lagi bertukar seringai. Kata
yang seorang, "Tentu gadis itu hendak
merendam dirinya di air panas."
"Dan tentunya melepas pakaiannya dulu. Hehe-he...."
Pikiran mesum yang dimanjakan pun
akhirnya diwujudkan dalam tindakan. Berjingkat-jingkat mereka mendekati kamar
Sun Cu-kiok tetapi dari arah istal kuda, agar
tidak terlihat oleh orang lain. Dalam cuaca amat
dingin di bawah siraman air hujan lebat seperti
itu, memang orang-orang lebih suka berkerumun di sekeliling api unggun. Dan
meskipun saat itu belum malam, tetapi
mendung tebal di langit membuat suasana
sudah gelap, seperti sore hari.
Kedua orang lelaki itu berjongkok di bawah
jendela, menyiapkan asap pembius yang akan
ditiupkan ke dalam melalui sebuah pipa kecil
dari bambu carang. Yang seorang agaknya
sudah tidak sabar, ia melubangi kertas jendela
Sekte Teratai Putih 7 18 dengan telunjuk yang dibasahi ludah, lalu
mengintip ke dalam kamar.
"Gila, memang mulus anak ini..." desisnya
perlahan. "Biarpun yang kelihatan hanya
sepasang pundaknya."
Namun tiba-tiba dilihatnya Sun Cu-kiok
menamparkan telapak tangannya ke permukaan air, beberapa percik air panas
meluncur deras ke arah jendela bagaikan
peluru-peluru, menembus kertas jendela.
Dan orang yang sedang mengintai di luar
jendela itu tiba-tiba menjerit keras sambil
mendekap mukanya dan bergulingan kesakitan.
Temannya yang sedang menyiapkan obat
bius sambil tersenyum-senyum sendiri membayangkan adegan yang bakal terjadi di
dalam kamar nanti, sekarang kaget bukan main
melihat apa yang dialami temannya. "He, jangan
keras-keras suaramu... nanti...."
Suaranya terhenti, ia tercekik kekagetan
ketika melihat wajah temannya itu berlumuran
darah dan tidak hentinya berteriak kesakitan.
Akhirnya ia tahu bahwa kali ini mereka keliru
Sekte Teratai Putih 7 19 "menggigit batu". Cepat-cepat ia memapah
temannya untuk diajak kabur.
Di kamarnya, Sun Cu-kiok tertawa dingin
sambil menggunakan telapak tangannya sebagai
gayung, menyiram-nyiramkan air hangat ke
kepala dan pundaknya yang tidak masuk ke
dalam air. Katanya sendirian, "Aku masih
bermurah hati hanya membutakan sebelah
matamu hidung belang."
Usai mandi dan berpakaian kembali, Sun Cukiok memanggil para pegawai penginapan
untuk menyingkirkan ember kayu besar itu,
sekalian minta dikirim makanan dan minuman
hangat. Pegawai-pegawai penginapan melakukan perintah-perintahnya dengan sukacita, sebab si Jian-kiam Sio-cia ini begitu royal
memberi hadiah uang. Tidak lama kemudian, di hadapan Sun Cukiok telah terhidang makanan kecil dan
minuman hangat. Meskipun tadi ia sudah
makan di warung, tetapi asyik juga di dalam
udara dingin itu "ngemil" sambil menghirup
minuman panas. Sekte Teratai Putih 7 20 Tiba-tiba telinga Sun Cu-kiok mendengar
suara hujan dari kejauhan, sayup-sayup di
antara gemerasaknya suara air hujan, "Orang
mati pulang kampuuuuung! Orang mati pulang
kampuuuung!" Suara itu makin lama makin dekat.
Sun Cu-kiok pun bergidik mendengarnya.
"Celaka! Tadi bukankah rombongan itu sudah
keluar kota" Kenapa sekarang balik lagi ke
dalam kota" Sialan, orang mati ternyata juga
takut kehujanan. Dan lebih celaka lagi kalau
mereka menginap di sini!"
Kemudian, yang terdengar makin dekat itu
bukan hanya suara teriakan dan suara
gembreng, namun juga derap belasan pasang
kaki yang melompat-lompat berirama. Bruk!
Bruk! Bruk! Cepat-cepat Sun Cu-kiok membuka pintu
kamarnya, lalu bertanya kepada seorang
pegawai penginapan yang kebetulan sedang
lewat di lorong, "Hei, Bung, rombongan mayat
pulang kampung itu tidak menginap di
penginapan ini kan?"
Sekte Teratai Putih 7 21 Pegawai penginapan itu menjawab sambil
tertawa, "Tentu saja tidak, Nona. Memangnya
penginapan ini kepingin bangkrut dengan
menampung tamu-tamu macam itu?"
Sun Cu-kiok pun lega. "Ooo, syukurlah?" lalu
mereka mau menginap di mana.?"
"Mana saya tahu" Mungkin di kuil."
"Ada kuil di sini"
"Ada." "Apakah orang-orang di kuil itu tidak takut?"
"Para pendeta kan punya Hok-mo-iiam-keng
(Mantera Penakluk Setan) Mereka juga tidak
keberatan seandainya kena tulah tidak kawin
seumur hidup." Sun Cu-kiok ikut tertawa mendengar kelakar
pegawai penginapan itu. "Syukurlah, asal tidak
menginap di sini saja. Eh, di mana letak
kuilnya?" Sun Cu-kiok mengharapkan pertanyaan itu
akan dijawab, "Ooo, kuilnya jauh sekali dari sini,
Nona." Sekte Teratai Putih 7 22 Tak terduga inilah jawaban yang diperolehnya dari Si Pegawai penginapan,
"Kuilnya tepat di sebelah penginapan ini."
Habis menjawab, pegawai penginapan itu
terus mengeloyor pergi. Jantung Su Cun-kiok berdesir, tawanya
lenyap. Ternyata malam itu rombongan mayat
pulang kampung bakalan "bertetangga"
dengannya, hanya berselisih selembar tembok.
Setelah sendirian saja di kamarnya, Sun Cukiok masih saja merasa tak tenteram. Ia
berpikir, bagaimana kalau pindah ke
penginapan lain saja" Tetapi ada yang
menahannya, yaitu rasa malu atau disangka
takut. Padahal ya memang takut.
Langit terus menurunkan hujannya sampai
malam. Menjelang tengah malam barulah
rupanya air di langit sudah habis. Langit pun
menjadi bersih, bulan sabit muncul ditemani
bintang-bintang yang berkelap-kelip.
Celakanya, Sun Cu-kiok mengantuk namun
tidak berani tidur. Setiap kali ia mencoba
menutup mata, muncul bayangan mayat-mayat
Sekte Teratai Putih 7 23 yang berlompatan. Dan karena ia terus
memaksakan matanya terbuka, pelipisnya mulai
berdenyut-denyut. Keluhnya dalam hati,
"Celaka, sampai kapan aku harus begini" Kalau
malam ini aku tidak tidur, besok pasti
mengantuk sekali." Sekilas muncul perasaan lain, untuk pergi ke
perapian di ruang depan sambil mengobrol
dengan orang-orang di situ. Tetapi pikiran itu
dibatalkannya sendiri sebelum menjelma jadi
tindakan. Orang-orang yang berada di ruang
depan itu lelaki semuanya, Sun Cu-kiok merasa
sungkan. Makin lama Sun Cu-kiok-makin gelisah.
Suara orang ngobrol di ruangan depan tidak
terdengar lagi, mungkin orang-orang itu sudah
tertidur semuanya. Begitu juga pegawaipegawai penginapan sudah tidak ada lagi yang
kelihatan batang hidungnya.
Ketika malam bertambah sunyi dan Sun Cukiok belum bisa tidur juga, tiba-tiba Sun Cu-kiok
mendengar suara orang bercakap-cakap lagi.
Namun kali ini dalam bahasa yang asing. Sun
Sekte Teratai Putih 7 24 Cu-kiok lega, ia lalu mencari dari mana asal
suara itu, dan sirnalah perasaan leganya
digantikan rasa kaget sampai berkeringat
dingin. Sebab suara-suara itu agaknya datang
dari balik tembok halaman samping rumah
penginapan itu, dari kuil tempat "menginap"nya
rombongan mayat pulang kampung itu!
Apakah mayat-mayat itu bangun tengah
malam begini, lalu bercakap-cakap"
Setelah sekian lama hanya gelisah tanpa
dapat berbuat apa-apa, akhirnya Sun Cu-kiok
jadi nekad. Ia memutuskan untuk menjenguk ke
balik tembok, kalau perlu ia akan menonton
"mayat berbicara" dan siap menanggung
kutukan "tidak kawin seumur hidup".
Demikianlah, puteri Gubernur yang keras


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati ini kalau sudah mengambil keputusan akan
siap menerima segala resikonya. Ia segera
mengganti pakaiannya dengan ya-heng-ih
(pakaian pejalan malam) yang ringkas dan
berwarna hitam, lengkap dengan saputangan
untuk menutup separoh muka. Tentu sulit
membawa golok Koan-tonya, maka ia hanya
Sekte Teratai Putih 7 25 membawa sepasang belati untuk diselipkan di
sepasang sepatunya. Begitulah, ketika seluruh penginapan itu
sudah sunyi-senyap dan yang berhadapan
hanyalah dengkur bersahut-sahutan dari
ruangan depan, Sun Cu-kiok memadamkan lilin
di kamarnya, lalu menyelinap keluar. Desir
langkahnya begitu lembut, hampir tidak
terdengar, tidak lebih nyaring dari suara air
menitik-nitik dari tepian atap, sisa air hujan.
Lebih dulu ia melompat ke atas genteng, lalu
mengendap mendekati tembok pembatas. Mulamula ia ragu-ragu juga, tetapi akhirnya nekad.
Makin dekat tembok itu, makin jelas orangorang bercakap-cakap meskipun perlahan. Sun
Cu-kiok heran mendengar bahasa yang
digunakan dalam percakapan itu ternyata
bahasa Jepang, bahasa negeri tetangga. Sun Cukiok pernah diajak ayahnya mengunjungi kotabandar Hangciu di mana kapal-kapal asing
banyak yang berlabuh di situ, dari berbagai
negara, bahkan dari benua-benua yang jauh.
Penumpang-penumpang kapal biasa Sekte Teratai Putih 7 26 berkeliaran di kota, di antaranya orang-orang
Jepang. Maka sedikit banyak Sun Cu-kiok kenal
juga bahasa Jepang. Pikirnya heran, "Aneh, kenapa bisa muncul
orang Jepang sebanyak ini di pedalaman yang
jauh dari pelabuhan ini" Apakah orang-orang
mati yang pulang kampung itu adalah orangorang Jepang" Kenapa dibawa ke pedalaman
sampai sejauh ini" Sun Cu-kiok terus mengendap. Ia merencanakan akan melompat ke atas istal
kuda yang merapat ke tembok pembatas, dari
situ dia akan bisa melihat apa yang terjadi di
balik tembok. Demikian rencananya.
Tetapi, baru saja ia melompat dan mendarat
ringan di atas atap istal, ia langsung menyadari
kecerobohannya dalam pengalaman, la rupanya
tidak memperhatikan lebih dulu atap istal itu.
Begitu ia mendarat di istal, kakinya hampir saja
menginjak kaki orang lain yang rupanya sedang
berada di atas atap itu juga. Bukan cuma satu
orang bahkan, tetapi , tiga orang. Tiga orang
yang berdandan seperti Sun Cu-kiok dan
Sekte Teratai Putih 7 27 mereka hampir-hampir tidak kelihatan ketika
bertiarap di atas genteng, rupanya juga sedang
mengintai ke kuil tempat menginapnya
rombongan orang mati pulang kampung itu.
Mereka rupanya sadar akan kehadiran Sun
Cu-kiok. Mereka menoleh serempak.
Selagi Sun Cu-kiok kelabakan harus bersikap
bagaimana, salah seorang dari tiga Ya-heng-jin
(Pejalan malam) itu menggerak-gerakkan
tangannya sebagai isyarat kepada Sun Cu-kiok.
Katanya lirih dari balik kedoknya, "Adik Cui,
berjongkoklah atau bertiaraplah. Nanti terlihat
dari balik tembok." Sun Cu-kiok tahu bahwa dirinyalah yang
dipanggil "Adik Cui" itu, rupanya tiga orang itu
mengiranya teman mereka, karena mereka
tidak melihat wajah Sun Cu-kiok yang
tersembunyi di balik kedok. Supaya tidak timbul
keributan, Sun Cu-kiok mengangguk lalu
berjongkok di dekat kaki ketiga orangnya itu
sambil berkelakar dalam hati sendiri, "Empat
penjuru manusia adalah saudara. Baru saja aku
Sekte Teratai Putih 7 28 keluar kamar, aku sudah mendapat tiga Kakak
yang entah dari mana."
Namun ia merasa agak bersyukur juga.
Dengan demikian ia tidak usah menjenguk ke
balik tembok dengan resiko "tidak kawin
seumur hidup", cukup mengetahui keadaan di
balik tembok dengan "pinjam mata" ketiga
"kakak"nya itu. Memang tadinya ia sudah nekad
menanggung resiko apa pun, tetapi kalau resiko
itu bisa dihindari ya syukurlah.
Salah seorang Pejalan malam yang
punggungnya menggendong golok itu pun
berkata lirih, "Ternyata mereka hanyalah
mayat-mayat gadungan. Orang-orang hidup
yang pura-pura jadi mayat pulang kampung,
supaya orang-orang di jalanan ketakutan dan
menyingkiri mereka."
Kawannya menyahut, "Ya. Mana ada mayat
makan-makan dan berbicara?"
"Dan Si Penggembala Mayat serta membantunya yang berteriak-teriak sambil
menabuh gembreng itu, tentunya juga
gadungan?" Sekte Teratai Putih 7 29 "Jelas." "Para hwesio di kuil yang diinapi itu."
"Kemungkinan besar juga gadungan."
Salah seorang Pejalan malam itu tiba-tiba
tertawa tertahan dan berkata perlahan-lahan,
"Menarik sekali. Mayat gadungan, dukun
gadungan, pendeta gadungan, dan kita yang
mengintai juga rombongan wayang boneka
gadungan. Betul adik, Adik. Cui?"
Sun Cu-kiok hiengangguk-angguk sambil
menjawab dalam hati, "Dan aku pun Adik Cui
gadungan." Orang yang menggendong golok itu cepatcepat memperingatkan, "Ssst.... jangan keraskeras."
"Kenapa orang-orang itu menyamar jadi
mayat berjalan?" "Mereka orang Jepang. Kalau menyamar jadi
orang biasa tentu akan muncul kesulitan urusan
bahasa, salah-salah penyamarannya terbongkar.
Lalu mereka menyamar jadi mayat-mayat yang
tidak usah berbicara kepada siapa pun, bahkan
orang-orang minggir semua."
Sekte Teratai Putih 7 30 "He-he-he, mereka tentu tidak menduga
kalau malam ini kita justru sudah tahu kedok
mereka." "Apa maksud mereka?"
"Entahlah. Tak seorang pun dari kita bisa
berbahasa Jepang." "Apa kira-kira pengaruhnya terhadap
rencana kita?" "Masih perlu diselidiki."
"Terus bagaimana dengan kita sekarang?"
"Kita pulang, dan laporkan kepada Kakak
Jing." Mereka lalu bergerak hati-hati meninggalkan
tempat itu. Mereka memang tidak diberi
perintah menyerang, melainkan hanya disuruh
menyelidiki kelompok-kelompok lain dalam
kota kecil itu. Kini mereka pergi. Salah seorang
memberi isyarat "Adik Cui" agar mengikutinya,
dan "Adik Cui" pun mengikutinya dengan patuh.
Hati Sun Cu-kiok lega setelah mendengar
dari ketiga Ya-heng-jin itu, bahwa mayat-mayat
itu ternyata hanya mayat-mayat gadungan.
Tetapi berbareng dengan sinarnya rasa seram
Sekte Teratai Putih 7 31 Sun Cu-kiok, muncullah watak usilnya yang
suka ikut campur. Ia sekarang jadi ingin tahu
siapa ketiga Ya-heng-jin itu, meskipun tadi
sudah didengarnya kalau mereka berasal dari
rombongan wayang boneka yang juga
gadungan. Tetapi Sun Cu-kiok ingin tahu lebih
jauh. Tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya
pun tidak apa-apa. Begitulah, ia berjalan
bersama ketiga orang Ya-heng-jin itu.
Ketika Ya-heng-jin itu sebenarnya heran
juga, Adik Cui yang biasanya banyak omong itu,
sekarang kok begini pendiam"
Mereka berempat berlari-Jari kecil melalui
tempat belukar di pinggiran kota. Dan Sun Cukiok tidak heran lagi ketika tahu bahwa arah
yang dituju adalah tempat berkemahnya
rombongan wayang boneka segala. Bahkan
sudah memasang panggung pertunjukan pula.
Sambil berjalan, Sun Cu-kiok berpikir,
"Ternyata yang terjadi di kota kecil ini cukup
menarik. Ada beberapa kelompok dalam
penyamaran yang mungkin saja berbenturan
kepentingan." Sekte Teratai Putih 7 32 Tiba-tiba ketiga Ya-heng-jin itu berhenti
berlari, sehingga Sun Cu-kiok pun ikut berhenti
berlari. Mereka melihat dari arah lain ada
seorang perempuan berlari-lari sambil mendekap dada dengan telapak tangannya,
jalannya sempoyongan. Dandanan maupun
potongan tubuh dan juga model rambutnya
sama benar dengan Sun Cu-kiok, tetapi kain
penutup mukanya sudah melorot turun di leher
sehingga terlihatlah wajahnya yang tidak sama.
Ketiga lelaki Pejalan-malam itu kaget dan
berseru serempak, "Adik Cui!"
Mendengar itu, Sun Cu-kiok tahu bahwa
"peranan"nya sudah habis. Pikirnya, "Nah,
berhubungan Adik Cui yang aseli sudah muncul,
Adik Cui gadungan pun mohon diri."
Begitu berpikir, begitu pula dia bertindak. Ia
langsung membalik tubuh dan me-ngeloyor
kalem. Tetapi salah seorang Ya-heng-jin melompat
menghadang sambil membentak, "Berhenti!"
Sementara Si Ya-heng-jin yang menggendong
golok cepat-cepat melompat maju untuk
Sekte Teratai Putih 7 33 memapah tubuh Si Adik Cui sejati yang
sempoyongan hampir roboh.
Sementara lelaki yang menghadang Sun Cukiok itu telah melolos pedang Liang-ciat-kun
(Ruyung Ruas Ganda atau Nunchaku) dari
belakang pinggangnya sambil membentak
garang, "Perempuan keparat, kamu berani
mencoba memata-matai kami dengan menyamar sebagai salah seorang teman kami?"
Sun Cu-kiok tertawa di balik kedoknya. Ia
membungkuk, dan tegak kembali setelah
melolos sepasang belati yang diselipkan di
sepatunya dalam gerakan kilat. Katanya, "Lho,
siapa yang menyamar sebagai Adik Cui kalian"
Bukankah tadi kalian sendiri yang menamai aku
Adik Cui dan mengajak aku mengikuti kemari"
Aku ya menurut saja."
"Tetapi kenapa kau diam saja dan tidak
mengaku terus-terang kalau bukan Adik Cui?"
"Aku hendak menjelaskan, tetapi temanmu
yang membawa golok itu sudah berkata agar
aku tidak berkata keras-keras, katanya jangan
Sekte Teratai Putih 7 34 sampai ketahuan mayat-mayat gadungan di kuil
itu. Nah, siapa yang salah?"
Jawaban yang tangkas dan seenaknya itu
membuat Si Pejalan malam bungkam tak
berkutik. Namun jelas kalau masih marah, dan
belum akan menyudahi masalahnya begitu saja.
Ia tetap menghadang dengan sikap kokoh dan
sepasang tangan memegang sepasang Liangciat-kunnya.
Sementara itu, seorang Pejalan malam lagi,
yang tubuhnya gemuk namun gerak-geriknya
lincah, telah ikut mengepung
Sun Cu-kiok pula. Senjatanya ialah sepasang


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

golok Siang-hap-to, sepasang golok yang pendek
tetapi lebar dengan pelindung tangan di
gagangnya. Si Gemuk ini langsung berkata,
"Nona, kami tidak mau berdebat bertele-tele
soal siapa benar siapa salah. Di rimba persilatan
yang berlaku adalah hukum rimba, yang kuat
itulah yang benar, dan yang menentukan. Nah,
sekarang turutilah kehendak kami!"
Sekte Teratai Putih 7 35 Sambil bicara, ia gerak-gerakkan sepasang
goloknya seperti sedang mencincang daging
babi di pasar. Gayanya mengancam.
Namun Sun Cu-kiok menanggapinya dengan
ringan sambil tertawa-tawa, "Aku setuju kalau
kalian mau memakai hukum yang kuat
menentukan, tetapi kenapa kalian sudah buruburu menentukan, padahal belum tentu pihak
kalian yang kuat?" "Perempuan keparat ini memang harus
mendapat pelajaran pahit." geram Si Pemegang
Liang-ciat-kun sambil memutar mutar sepasang
ruyungnya dengan cepat, sehingga mencuat-cuit
membelah udara Sambil bicara, ia gerak-gerakkan sepasang
goloknya seperti sedang mencincang daging
babi di pasar malam. Saat kedua orang itu hampir bertindak atas
Sun Cu-kiok, tiba-tiba Si Penggendong Golok
yang memapah Adik Cui itu berteriak, "Tahan!"
Si pemegang Liang-ciat-kun menghentikan
langkahnya sambil menoleh, "Kenapa, Kak?"
Sekte Teratai Putih 7 36 Sambil bicara, ia gerak-gerakkan sepasang
goloknya seperti sedang mencincang daging
babi di pasar malam. Sekte Teratai Putih 7 37 Orang yang memapah gadis yang terlupa itu
menjawab, "Biarkan Nona itu pergi. Tidak ada
gunanya menambah musuh, sementara urusan
kita sendiri belum selesai."
"Tetapi dia berusaha memata-matai kita,
Kak." "Biarkan dia pergi. Toh dia belum berhasil
mengetahui apa-apa."
"Tadi dia sudah mendengar, bahwa kita
adalah yang menyamar sebagai rombongan
wayang boneka itu."."
"Baru itu, yang lain-lainnya belum. Dia belum
tahu siapa kita sebenarnya. Dia belum cukup
membahayakan kita." Mendengar Tanya-jawab orang-orang itu,
Sun Cu-kiok merasa agak diremehkan. Pikirnya,
"Hem, saat ini memang belum kuketahui banyak
tentang kalian. Tetapi tunggulah saatnya, kalian
takkan dapat meremehkan aku lagi."
Demikianlah watak Sun Cu-kiok. Biarpun
dalam urusan yang tidak ada sangkut paut
dengan dirinya, namun tak segan-segan
melibatkan diri kalau perasaannya Sekte Teratai Putih 7 38 menghendaki demikian. Kali ini perasaannya
tersinggung hanya oleh kata-kata Si Penggendong Golok, "Dia belum cukup
membahayakan kita." Si Penggendong Golok itu rupanya punya
cukup pengaruh atas Si Pemegang Liang-ciatkun dan Pemegang Siang-hap-to, sehingga
mereka mau tidak mau harus menurut.
Sun Cu-kiok pun menyelipkan sepasang
belatinya di sepatunya, lalu memberi hormat
kepada ketiga orang itu sambil tertawa. "Kakakkakak yang baik, ternyata hanya cukup sekian
tali persaudaraan kita. Adik Cui-mu ini mohon
pamit." Selesai kata-katanya, langsung dia Memperagakan ilmu meringankan tubuhnya
untuk pergi secepat terbang dari tempat itu. Hal
itu memang membuat lawan-lawannya terkejut.
Si Pemegang Liang-ciat-kun dan Si Pemegang
Siang-hap-to pun menyimpan kembali senjatasenjata mereka, lalu mendekati Si Adik Cui dan
bertanya hampir bersamaan, "Bagaimana
keadaan Adik Cui?" Sekte Teratai Putih 7 39 Sang Kakak menjawab dengan prihatin
didahului helaan napas, "Kita harus lebih hatihati bertindak. Di kota ini banyak jagoan
tangguh yang bersembunyi. Adik Cui bukan
pesilat sembarangan, tapi dia agaknya terkena
pukulan Tiat-se-ciang (Telapak Pasir Besi) yang
cukup telak. Memang tidak berbahaya sekali,
tetapi membutuhkan pengobatan yang lama
untuk kesehatannya."
Si Pemegang Liang-ciat-kun tadi sudah
menurunkan kedoknya, sehingga terlihat
wajahnya yang keras. Sebenarnya ia seorang
yang tampan, tetapi entah kenapa di wajah
tampan itu ada sesuatu yang susah
menimbulkan simpati orang. Dia adalah kekasih
dari gadis yang terluka itu, tidak heran kalau dia
geram sekali. Sedang Si Penggendong Golok itu
adalah kakak kandung dari Si Gadis
Geram Si Pemegang Liang-ciat-kun, "Kalau
begitu, rombongan sandiwara itu pasti hanya
selubung penyamaran, tak ubahnya dengan
rombongan mayat gadungan itu. Jangan-jangan
merekalah anjing-anjingnya orang Manchu?"
Sekte Teratai Putih 7 40 "Yang mana yang anjing Manchu antara dua
kelompok itu, entah rombongan mayat hidup
atau rombongan sandiwara, kita tidak boleh
gegabah menentukan. Jangan sampai salah
perhitungan sehingga rencana kita berantakan."
"Dan masih satu lagi. Menurut cerita
penduduk, di dekat perempatan jalan itu ada
rombongan akrobat yang sudah bermain di situ
selama beberapa hari. Entah kelompok dari
mana saja mereka." "Hem, tulang yang putih memancing
datangnya kawanan anjing. Seratus ribu tahil
emas adalah daya tarik yang cukup kuat buat
pihak mana saja untuk mengantonginya."
Si Gemuk yang bersenjata Siang-hiap-to juga
sudah melepas kedoknya. Ia juga seorang yang
masih muda, la begitu gemuk sehingga
kepalanya yang bundar itu seolah-olah langsung
menempel di tubuhnya yang sama bundarnya.
Usulnya, "Bagaimana kalau kita lepas bonekaboneka Thian-peng (serdadu langit) agar musuh
tahu rasa?" Sekte Teratai Putih 7 41 Orang-orang yang menggendong golok itu
kontan melotot ke arahnya, "Usul yang bodoh.
Dengan melepas boneka-boneka Thian-peng,
kita justru akan membuka selubung penyamaran kita sendiri. Sekarang ini lebih baik
kita bawa dan obati Adik Cui dulu."
Mereka kemudian membawa pulang gadis
yang terluka itu ke kemah-kemah dari
rombongan wayang boneka itu di lapangan.
Malam itu, lapangan itu masih sepi, karena
rombongan wayang boneka itu belum
menggelar lakon apa-apa. Maklum, sorenya
hujan lebat, siapa sudi menonton"
Sementara itu, ketika Sun Cu-kiok sedang
berjalan kembali ke penginapannya, mendadak
dari depan terlihat empat sosok bayangan yang
sedang melangkah dengan cepat. Salah seorang
dari mereka bertubuh cukup istimewa,
jangkung dan kurus seperti tiang bendera. Dan
Sun Cu-kiok pun tidak heran lagi kalau
menemui keempat orang itu pun mengenakan
kedok, seperti dirinya. Sekte Teratai Putih 7 42 Diam-diam geli juga Sun Cu-kiok, "Kota kecil
ini kalau siang hari kelihatannya biasa-biasa
saja, tetapi ternyata di malam hari ramai juga.
Banyak orang keluyuran di balik kedok untuk
mencoba mengintip rahasia orang lain."
Dia ingin menghindari saja pertemuan
dengan empat orang berkedok itu. la sudah
mengantuk dan ingin segera tidur. Tetapi ia
sudah dilihat oleh salah satu dari keempat
orang itu, yang langsung menudingnya sambil
berkata kepada teman-temannya, "Nah, itu
buruan kita tadi!" Si Tiang Bendera bersuara pula, "Hebat juga
perempuan keparat ini, tadi dia sudah terkena
pukulanku tetapi masih bisa berlari sejauh ini.
Namun kali ini dia takkan lolos lagi."
Sun Cu-kiok mendengarnya dan menggerutu
dalam liali, "Mereka pasti juga mengira aku
sebagai Adik Cui dari rombongan wayang
boneka gadungan tadi. Bedanya, orang-orang
yang tadi adalah kawan-kawannya Si Adik Cui,
sedangkan yang ini adalah musuh-musuhnya."
Sekte Teratai Putih 7 43 Sementara itu, keempat orang itu telah
berlari-lari ke arah Sun Cu-kiok. Yang paling
cepat larinya adalah Si Tiang Bendera yang
selain panjang-panjang kakinya juga cepat
langkahnya. Begitu dekat Sun Cu-kiok, langsung
saja telapak tangannya hendak menebas ke
ubun-ubun Sun Cu-kiok dibarengi makian,
"Perempuan bedebah, kau tidak akan lolos lagi
malam ini!" Sun Cu-kiok diam-diam membatin, "Tidak
enak juga menjadi Adik Cui, sudah berulang kali
mendapat sebutan perempuan keparat atau
perempuan bedebah." Cepat Sun Cu-kiok menghindar ke samping
sambil berkata, "Sabar, Bung Jangkung, aku
bukanlah orang yang kalian cari..."
"Omong kosong! Kau anggap mataku sudah
buta sehingga tidak mengenalimu lagi damprat
Si Jangkung kurus. Pukulannya luput dia
susulkan tendangan ke ulu hati Sun Cu-kiok
dengan kakinya yang panjang itu.
Sun Cu-kiok mendongkol. Ia tidak
menghindar lagi, sambil setengah berjongkok
Sekte Teratai Putih 7 44 dia menyambar tumit kaki yang menendang itu
untuk didorong sekalian ke atas. Sun Cu-kiok
adalah seorang gadis yang bertenaga seperti
laki-laki sehingga memilih menggunakan
senjata Koan-to. Maka dorongan ke atasnya
terhadap kaki Si Jangkung itu membuat Si
Jangkung sempoyongan hampir ambruk. Si
Jangkung sekalian saja melompat bersalto ke
belakang untuk mematahkan daya dorong Sun
Cu-kiok. Begitu keseimbangannya pulih, Si Jangkung
kembali siap menerjang dengan sebuah jotosan,
tetapi langkahnya terhenti oleh bentakan salah
seorang kawannya, "Tahan!"
Si Jangkung langsung menunjukkan sikap
begitu patuh. Sun Cu-kiok yang melihatnya pun
langsung teringat akan sikap seorang prajurit
yang baik di depan komandannya. Mungkin
orang-orang ini adalah prajurit-prajurit rahasia
pemerintah yang sedang menjalankan tugas
dalam selubung penyamaran"
Yang membentak adalah seorang lelaki
ramping tegap, rambut dan alisnya sudah
Sekte Teratai Putih 7 45 berwarna kelabu, namun matanya tajam.
Sayang wajahnya pun tidak kelihatan sebagian
besar karena tertutup selembar kain terjulai
dari pangkal hidung ke bawah. Ia memakai
jubah panjang biru-tua, langkahnya mantap dan
terjaga benar-benar.

Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naluri Sun Cii-kiok memperingatkan bahwa
orang ini lebih berbahaya dari Si Jangkung,
seandainya terjadi perkelahian.
Namun ternyata orang itu justru memberi
hormat dan berkata dengan sungkan kepada
Sun Cu-kiok, "Maafkan kelancangan teman saya
tadi, Nona. Kami keliru, Nona bukanlah orang
yang sedang kami kejar, meskipun mirip sekali."
"Syukurlah. Bagaimana Tuan bisa membedakannya?" "Orang yang kami kejar itu tidak setangkas
Nona. Lagipula ia sudah terluka oleh pukulan
seorang temanku, sehingga makin tidak tangkas
lagi...." jawaban orang itu menyenangkan hati
Sun Cu-kiok yang merasa disanjung. "Dapatkah
sekarang kami minta tolong kepadamu, Nona?"
Sekte Teratai Putih 7 46 "Pertolongan apa?" Sun Cu-kiok tumbuh
setitik rasa simpatinya terhadap kelompok ini.
Tidak seperti kelompok wayang boneka
gadungan tadi, yang seenaknya saja menilainya
"belum cukup membahayakan kita".
"Apakah Nona melihat seorang perempuan
yang berpakaian ringkas seperti Nona dan...."
Belum selesai orang itu menjelaskan, Sun Cukiok sudah menjawab dengan bersemangat, "Ya,
ya, ya, aku lihat tadi! Dia lari ke sana. Ke arah
kemah-kemah rombongan wayang boneka itu.
Itu rombongan kesenian gadungan, kalau perlu
boleh langsung diserang saja!"
"Terima kasih atas petunjukmu, Nona."
Orang-orang itu lalu menuju ke arah yang
ditunjukkan Sun Cu-kiok. Sun Cu-kiok memandang punggung orangorang itu menjauh sampai lenyap di kegelapan
malam, sambil berkata, "Nah, selamat berkelahi
dan menghangatkan badan. Sayang, aku
mengantuk dan belum sempat menyaksikan
perkelahian kalian."
Sekte Teratai Putih 7 47 Lalu dia pulang ke kamar penginapannya,
mencopot pakaian Ya-heng-ihnya untuk ditukar
dengan pakaian biasa, lalu masuk ke bawah
selimutnya dan tidur pulas. Kali ini ia tidak lagi
dihantui bayangan mayat yang melompatlompat, karena tadi ia telah mendengar dari
orang-orang di rombongan wayang boneka itu
bahwa mayat-mayat itu gadungan semua.
Ia justru mulai merasakan keasyikan
semacam permainan "petak umpet" antara
beberapa pihak yang berkumpul di kota kecil
itu. Dia tertarik untuk sedikit ikut
"memeriahkan" permainan itu, dan untuk
sementara jadi lupa kepada adiknya yang masih
ditawan orang-orang Pek-lian-kau.
Sun Cu-kiok bangun kesiangan. Dan sesuai
dengan wataknya, begitu sadar maka watak
usilnya pun muncul kembali. Ia ingin "petak
umpet" di kota kecil itu bertambah ramai
dengan masuknya peserta-peserta baru ke
gelanggang. Dan ia langsung teringat kepada
rombongan mayat gadungan itu. Kalau benar
mereka hanyalah orang-orang hidup yang
Sekte Teratai Putih 7 48 menyamar sebagai mayat-mayat, tentunya
punya tujuan juga. Alangkah baiknya kalau
mereka dipancing untuk "ikut bermain" pula.
Sebenarnya saat itu Sun Cu-kiok belum
melihat adanya kaitan kepentingan antara
urusannya sendiri dengan rombongan yang
mana pun juga. Sun Cu-kiok hanya jemu melihat
kota kecil yang terlalu sepi itu, lalu ingin
"menyelenggarakan keramaian" sedikit.
Cahaya matahari pagi sudah menerpa kertas
jendela yang berlubang-lubang karena peristiwa Sun Cu-kiok dan hidung belang
kemarin. Selagi gadis itu masih berbaring bermalasmalasan di tempat tidurnya, tiba-tiba pintu
kamar diketuk dari luar dan ada yang
memanggilnya perlahan, "Nona Sun..."
Sun Cu-kiok agak heran, la belum
memperkenalkan namanya kepada seorang pun
di kota kecil itu, bahkan juga kepada pengurus
rumah penginapan, kenapa tiba-tiba ada yang
mengetahui namanya" Sekte Teratai Putih 7 49 Cepat-cepat ia bangkit, merapikan rambut,
mencuci muka dengan air dingin di baskom,
mengkumur mulutnya agak lama, lalu ia
membuka pintu kamarnya dan melihat seorang
pegawai penginapan berdiri di depan kamarnya
dengan tangan memegangi sepucuk surat.
Pegawai penginapan itu memberi hormat
dan berkata, "Maaf, saya telah membangunkan
Nona Sun." "Tidak. Aku sudah bangun dari tadi. Eh,
darimana kamu tahu aku she Sun?"
"Pagi ini ada orang menyuruh saya
menyampaikan surat ini. Ia sebutkan nama
Nona dengan ciri-cirinya seperti kuda kuning,
pakaian serba kuning, golok Koan-to, maka ya
langsung saja saya tahu bahwa Nonalah yang
dimaksud." "Siapa yang membawa surat itu?"
"Tidak tahu. Dia hanya menyampaikannya
disertai pesan singkat, terus pergi lagi."
"Baik. Suratnya sudah aku terima."
"Nona ada perintah apa?"
"Buatkan air panas seperti kemarin."
Sekte Teratai Putih 7 50 "Baik, Nona Sun."
"Dan setelah itu, bikinkan aku masakan
seperti yang kemarin malam. Ho-yap-dang-suntheng (kuah rebung muda dimasak dengan
daun teratai). Enak sekali yang kemarin itu."
Si Pegawai penginapan tersenyum bangga.
"Nona mulai ketagihan masakan penginapan
kami ya" Memang, masakan kami menerima
banyak pujian, sudah terkenal kelezatannya di
mana-mana, bahkan..."
"Jangan membual. Aku tahu masakanmasakan yang enak-enak itu bukan buatan
dapur kalian sendiri, melainkan dipesankan
dari rumah makan di seberang jalan. Sedangkan
masakan bikinan kalian sendiri tidak keruan
rasanya. Maka masakan pesananku nanti kalian
pesankan di rumah makan seberang jalan saja,
jangan coba-coba masak sendiri."
Pelayan penginapan itu menyeringai lalu
pergi. Sun Cu-kiok lalu membaca surat tadi, dan ia
semakin heran. Dalam surat itu, Si Penulis
ternyata sudah mengenal nama Sun Cu-kiok,
Sekte Teratai Putih 7 51 bahkan juga tahu kalau dia adalah puteri
Gubernur di Ho-larn, bahkan juga mengucapkan
simpati untuk musibah yang sedang menimpa
keluarga Gubernur di Ho-lam dengan diculiknya
Sun Pek-lian oleh orang-orang Pek-lian-kau.
Seterusnya, isi surat itu mengundang Sun Cukiok nanti malam untuk datang ke belakang
panggung sandiwara di lapangan selatan kota
kecil itu, tidak disebutkan untuk keperluan apa.
Di bagian penutup surat itu tertulis nama
pimpinan rombongan sandiwara itu, Cong-peng
Oh Tong-san. Cong-peng adalah pangkat
kemiliteran yang cukup tinggi, seorang Congpeng berhak memimpin pasukan sampai tiga
puluh ribu perajurit, seorang Cong-peng juga
berhak dikuasakan bidang keamanan dari
sebuah kota besar seperti Lok-yang. Panglima
kota Lok-yang bernama Ji Tong-kiam, juga
berpangkat Cong-peng. Maka kuatlah dugaan
Sun Cu-kiok bahwa rombongan sandiwara di lapangan selatan itu pun gadungan belaka.
Mereka mungkin sekelompok anggota pasukan
rahasia dari istana yang sedang menyamar,
Sekte Teratai Putih 7 52 namun ternyata mereka bersikap cukup blakblakan terhadap Sun Cu-kiok.
Sehabis mandi air hangat dan sarapan pagi,
otak Sun Cu-kiok mulai berputar. Akankah ia
memenuhi undangan itu" Kalau memenuhi,
berarti akan sehari semalam lagi tertahan di
kota kecil itu. Pikir punya pikir, Sun Cu-kiok
akhirnya memutuskan untuk memenuhinya,
siapa tahu mendapat secerah petunjuk untuk
mencari jejak penculik-penculik adiknya. Tetapi
untuk memenuhi undangan itu masih harus
malam nanti, lalu apa acaranya sehari ini"
Orang yang tidak betah diam seperti Sun Cukiok sudah tentu tidak mungkin menghabiskan
waktunya hanya dengan tidur-tiduran dalam
kamar saja. Tiba-tiba Sun Cu-kiok ingat rombongan
mayat pulang kampung itu. Kalau siang-siang
begini, mayat-mayat gadungan itu tentu
berpura-pura jadi mayat sungguhan, alangkah
asyiknya kalau menjahili mereka, piki Sun Cukiok. Hitung-hitung sebagai pembalasan, karena
kemarin ia sampai tidak bisa tidur gara-gara
Sekte Teratai Putih 7 53 membayangkan mayat-mayat berlompatan.
Demikianlah cara berpikir puteri Gubernur Holam ini. Kemarin dia susah tidur karena
ketakutan bayangannya sendiri, tetapi ia tidak
mau mengakui itu sebagai kesalahannya sendiri,
sebaliknya menimpakan kesalahan kepada
rombongan mayat pulang kampung itu. Dan
cukup dengan bekal pemikiran macam itu, Sun
Cu-kiok merasa sah saja kalau dia membalas
dendam. Keluar dari penginapan, ia langsung
mendekati pintu kuil di mana rombongan orang
mati pulang kampung itu bermalam. Di depan
pintu kuil sudah dipasangi tanda peringatan
bahwa di kuil sedang ada rombongan yang
dipercaya membawa nasib sial itu. Toh Sun Cukiok masuk kepintu kuil itu dengan tegang,
menimbulkan keheranan beberapa orang yang
berada di jalanan. "Gadis itu mencari penyakit...." bisik
beberapa orang. "Sayang, gadis secantik itu
bakal terkena tulah tidak laku kawin seumur
hidup..." Sekte Teratai Putih 7 54 Sementara itu Sun Cu-kiok sendiri sudah
sampai di bagian depan kuil, di mana ada
patung Buddha besar dari tanah-liat yang dicat
dengan warna emas. Ruangan itu temaram
suasananya, meski di siang hari bolong, sebab
pintu masuknya ditutupi tirai kain tebal
berwarna merah tua, hanya cahaya lilin di altar
yang menerangi, itu pun cahayanya masih
dikurangi lagi oleh asap tebal dari pedupaan
yang seperti kabut memenuhi ruangan itu.
Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Di lantai
terdapat beberapa buah bantal bundar yang
biasa dijadikan alas duduk para hwesio ketika
bersembahyang. Tiba-tiba dari pintu dalam di samping patung
Buddha, muncullah dua orang hwesio yang
masing-masing berusia tidak melebihi empat
puluh tahun. Otot-otot tegap mereka terbayang
dari balik jubah kependetaan mereka. Dan
berbeda dengan para hwesio yang umunya
berairmuka sabar dan bermata lembut, kedua
hwesio ini justru bersikap kurang ramah
dengan mata memancarkan kecurangan.
Sekte Teratai Putih 7 55 "Buat apa Nona datang kemari?"
Jawab Sun Cu-kiok sambil tersenyum ramah,
"Kedatanganku terutama untuk mengucapkan
syukur dan memohon berkah. Kedua, ingin
memeriksa mayat-mayat yang pulang dipulangkampungkan itu, apa boleh?"
"Untuk apa?" "Siapa tahu di antara mereka ada sanak
keluargaku?" "Nona berasal dari mana?"
"Aku dari Keluarga Sun di Lok-yang."
"Ooo, sudah pasti di antara orang-orang mati
itu tidak ada sanak keluarga Nona, sebab
mereka semuanya adalah orang-orang dari Oulam Tengah, dan tidak ada yang bernama
keluarga Sun." Sikap kedua pendeta itu malah menambah
kecurigaan Sun Cu-kiok dan membuatnya
pantang mundur, "Orang bersanak keluarga kan


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak harus shenya sama" Aku juga punya sanak
keluarga dari Ou-lam Tengah. Mungkin saja ada
yang meninggal di perantauan, sekarang
kebetulan berpapasan dengan rombongan
Sekte Teratai Putih 7 56 orang mati pulang kampung di sini, kalau aku
diam saja, aku akan dicacai-maki oleh seluruh
sanak keluargaku di Ou-lam dan dianggap
mengabaikan ikatan persaudaraan.
"Wilayah Ou-lam Tengah itu luas, ada
belasan kota dan ratusan desa. Sanak keluarga
Nona itu tinggal di kota atau di desa apa?"
Sun Cu-kiok tahu, sekalipun ia menyebut
nama sebuah kota atau desa, kedua pendeta
yang mungkin juga gadungan ini pasti akan
menjawab bahwa di antara mayat-mayat itu
tidak ada yang dari sana. Dengan demikian Sun
Cu-kiok akan kehilangan dalih untuk ngotot
"mencari sanak keluarga"nya.
Maka Sun Cu-kiok pun menjawab dengan
cerdik, "Wah, sanak keluargaku di Ou-lam
Tengah itu banyak sekali, tersebar di setiap kota
dan desa. Aku mohon diperbolehkan melihatlihat dulu, ya syukur kalau di antaranya tidak
ada sanak keluargaku."
Saat itu, kedua belah pihak sudah sama-sama
menyadari bahwa pihak lain sedang cari garagara. Hanya saja, kedua belah pihak masih
Sekte Teratai Putih 7 57 berusaha menyelubungi sikap masing-masing
dengan kata-kata yang masuk akal.
Kata salah seorang pendeta, "Apakah Nona
tidak takut kena tulah" Kalau seorang gadis
melihat mayat-mayat yang sedang dipulangkampungkan, dia akan kena tulah tidak laku
kawin seumur hidup. Malah ada yang sakit dan
mati. Sungguh sayang kalau Nona sampai
mengalami hal-hal seperti itu."
Kalau seorang perawan ditakut-takuti akan
"tidak kawin seumur hidup", biasanya pasti
akan mundur teratur. Tetapi sejak Sun Cu-kiok
tahu bahwa mayat-mayat itu hanyalah
gadungan, gertakan itu tidak mempan lagi
buatnya. Jawabannya benar-benar menjengkelkan kedua hwesio itu, "Ah, tidak
kawin juga tidak apa-apa, memangnya kawin itu
suatu keharusan" Hi-hi-hi, buktinya bapakbapak pendeta ini tidak punya istri juga tidak
apa-apa. Tidak kawin ya paiing-paling jadi
nikoh (hwesio perempuan), hi-hi-hi..."
Kedua hwesio itu kentara sekali kalau
menahan rasa gusar mereka, terutama yang
Sekte Teratai Putih 7 58 lebih muda, "Kata-kata Nona benar-benar
sembrono. Dan sikap Nona sama sekali tidak
kelihatan seperti seorang yang sedang
berkabung." "Kenapa harus bersedih sekarang, sedangkan
aku hanya ingin melihat-lihat, dan belum tentu
di antara mereka ada sanak-keluargaku" Nah,
boleh lihat tidak?" "Kami sarankan sebaiknya tidak usah, Nona.
Demi kebaikan Nona sendiri."
"Bukankah tadi sudah kukatakan, bahwa aku
siap menerima segala resiko?"
Si Hwesio yang lebih muda sudah
mengepalkan tinjunya dan siap menerjang ke
depan, tetapi rekannya yang lebih tua
memalangkan lengannya dan menghalanginya
bertindak. Kata hwesio yang lebih tua itu, "Kalau begitu,
kami tidak berhak menghalang-halangi Nona
lagi. Silakan mengikuti kami."
"Baik, silakan bapak-bapak pendeta berjalan
di depan." Sekte Teratai Putih 7 59 Sun Cu-kiok lalu berjalan mengikuti kedua
pendeta itu melalui sebuah lorong panjang,
dengan pintu-pintu kamar tertutup di kiri
kanannya. Tentu itulah asrama para pendeta.
Lorong itu remang-remang sebab cahaya hanya
ada di ujung lorong. Sambil melangkah, hwesio yang lebih tua itu
bicara keras-keras seolah-olah Sun Cu-kiok itu
orang tuli, "Beginilah keadaan kuil kami, Nona.
Kuil ini dulu dibangun dengan sumbangan dari
Kaisar Sun-ti...." dan seterusnya.
Mula-mula Sun Cu-kiok heran, buat apa
pendeta ini berbicara panjang lebar dengan
suara keras tentang hal-hal yang tidak
ditanyakan" Naryiun kemudian ia paham.
Pastilah suara keras itu dimaksudkan sebagai
peringatan kepada teman-temannya yang
menyamar jadi mayat agar bersiap-siap dengan
penyamaran mereka, sebab ada yang akan
"mencari sanak keluarganya".
Yakin akan dugaannya itu, Sun Cu-kiok
tertawa dingin dalam hati sambil membatin,
"Hem, yang dianggap mayat-mayat itu mungkin
Sekte Teratai Putih 7 60 sekarang sedang duduk-duduk makan kwaci.
Maka Si Gundul ini memperingatkan dengan
suaranya, supaya mereka berhenti dulu makan
kwaci lalu pura-pura berbaring kaku. Hem....
lihat saja nanti." Mereka tiba di sebuah pendapa belakang kuil
itu. Di ruangan itu, di atas lantai, terbaring
berderet-deret lima belas sosok tubuh yang
berkerudung kain dan hanya kelihatan kakinya.
Bau dupa memenuhi ruangan dan menusuk
hidung. Memang ada yang sedang makan kwaci
dan minum-minum. di situ, namun bukan
mayat-mayat itu, melainkan Si Dukun
Penggembala-mayat dan pembantunya yang
sering menabuh gembreng sambil berteriakteriak itu.
Kembali Sun Cu-kiok mengumbar prasangka
dalam pikirannya, "Sungguh cerdik orang-orang
ini. Untuk memberi dalih akan adanya kulit
kwaci yang bertebaran di lantai, maka dua
orang itu pura-pura makan kwaci."
Sementara Si Hwesio yang lebih tua telah
berkata kepada Sun Cu-kiok, "Nah, inilah yang
Sekte Teratai Putih 7 61 ingin Nona lihat. Apa yang menarik dengan
mayat-mayat yang sudah beberapa hari
diawetkan ini?" Memang bau ramuan pengawet mayat juga
tercium tajam di ruangan itu, bersaing tajam
dengan bau dupa. Sun Cu-kiok tetap ngotot dengan dalih
palsunya, "Sudah kukatakan tadi, aku hanya
ingin melihat-lihat, siapa tahu ada sanakkeluargaku di antara mereka."
"Kalau begitu silakan."
Sun Cu-kiok lalu berjongkok di sebelah tubuh
berkerudung yang ada di ujung deretan. Ia
singkapkan penutup wajah tubuh itu, dan
melihat seraut wajah yang pucat, terpejam,
tidak bernapas, bahkan ada beberapa bagian
kulitnya yang kebiru-biruan, dan berbau
ramuan pengawet mayat. Namun Sun Cu-kiok tetap yakin bahwa orang
itu hanya pura-pura mati.
Lalu sambil membuka penutup tubuh-tubuh
berikutnya, Sun Cu-kiok memutar otak, mencari
Sekte Teratai Putih 7 62 Sun Cu-kiok lalu berjongkok di sebelah tubuh
berkerudung yang ada di ujung deretan.
Sekte Teratai Putih 7 63 akal agar mendapatkan alasan untuk merabaraba tubuh itu mencari denyut jantung mereka.
Akhirnya ia menemukan juga alasannya.
Pada mayat yang keenam, ia geleng-geleng
kepala sambil berkata dengan sedih, "Paman Ahok, tak kusangka hanya sekian saja umurmu...."
Bersambung jilid VIII Sumber Image : Koh Awie Dermawan
Yang Ngurutkan Halaman : Kang Hadi
first share in Kolektor E-book
PSW 10/06/2018 05:39 PM Sekte Teratai Putih 7 64 Sekte Teratai Putih 8 1 Sekte Teratai Putih 8 1 << SEKTE TERATAI PUTIH >>
Karya : STEFANUS S.P. Jilid VIII *** Y ANG disebut "Paman A-hok" itu adalah
seorang lelaki setengah baya dengan
wajah berbentuk persegi, kumis dan jenggotnya
dicukur pendek kaku. Sudah tentu Sun Cu-kiok
tidak benar-benar mengenali mayat itu, "Paman
A-hok" juga diucapkan sembarangan saja
karena teringat bujang tua di gubernuran yang
namanya A-hok dan pernah ia cukur alis dan
kumisnya. Dengan muka sedih sambil terus pura-pura
meratap, Sun Cu-kiok mulai meraba-raba pipi
"Paman A-hok" itu. Ia berharap akan meraba
pipi yang hangat sebagai bukti kepalsuan mayat
itu, ternyata yang dirabanya adalah yang benarbenar dingin seperti pipi mayat umumnya.
Sekte Teratai Putih 8 2 Tetapi Sun Cu-kiok masih juga mentertawakannya dalam hati, "Boleh juga lagakmu.
Tetapi hari ini harus kubongkar kedok kalian
agar tidak dapat lagi menakut-nakuti orang...."
Lalu tangannya dengan gerakan tidak
kentara berpindah ke lubang, mencari
hembusan napas dari situ. Terasa tidak ada
hembusan napas, namun Sun Cu-kiok tetap
menaruh tangannya di depan lubang hidung
"Paman A-hok" sambil berkata dalam hati,
"Ayoh, mayat gadungan, ingin kulihat berapa
lama kamu pura-pura tidak bernapas."
Namun kedua hwesio serta Si Penggembala
Mayat dan pembantunya itu agaknya membaca
niat hati Sun Cu-kiok. Hwesio yang lebih tua pun
tertawa mengejek, "Nona ini orang aneh juga.
Mayat kok dicari hembusan napasnya, ya jelas
tidak ada...." Sun Cu-kiok agak canggung karena akalnya
terbongkar. Tetapi ia terus nekad untuk purapura mewek-mewek sambil meratap sedih,
"Ooo, Paman A-hok, selama ini Paman bersikap
baik kepadaku, kenapa Paman meninggalkan
Sekte Teratai Putih 8 3 aku begini cepat" Ooo, Paman, semoga
perjalananmu ke alam baka lancar dan tidak
mendapat rintangan...."
Dan tangannya tetap saja di dekat lubang
hidung orang itu sambil mendamprat dalam
hati, "Ayo bedebah, bernapaslah! Lucuti
kedokmu sendiri!" Tetapi "Paman A-hok" itu tetap saja tidak
bernapas setelah sekian lama.
Sebuah pikiran menyelinap ke kepala Sun
Cu-kiok, "Jangan-jangan yang aku pegangpegang ini memang mayat sungguhan?"
Namun ingatan lain datang, "Guruku pernah
bercerita, bahwa di kalangan persilatan ada
ilmu yang namanya Ku-siok-kang (Ilmu Kurakura Bersembunyi), di mana seseorang yang
melatihnya dapat menahan napas cukup lama,
misalnya ketika sedang bersembunyi di dalam
air untuk menghindari kejaran musuh. Bedebah
ini agaknya pernah mempelajari Ku-siok-kang
sehingga mampu tidak bernapas sekian lama.
Bagus. Tetapi pernah aku mendengar ada ilmu
Sekte Teratai Putih 8 4 yang membuat jantung berhenti berdetak. Nah,
biar aku cek jantungnya...."
Telapak tangan Sun Cu-kiok sekarang
ditempelkan di dada kiri "Paman A-hok. tentu
saja sambil tetap pura-pura sedih.
Kembali salah seorang hwesio mengejek,
"Mencari denyut jantung, Nona?"
Dan memang Sun Cu-kiok tidak berhasil
menemukan denyut jantung yang paling lemah
sekali pun! Sun Cu-kiok jadi nekad, tanpa
mempedulikan suara tawa mengejek dari para
pendeta itu, ia menempelkan kupingnya ke
dada "Paman Hok" untuk mencoba mendengar
denyut jantungnya. Tidak ada!
Kini Sun Cu-kiok hanya bisa mendengar


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

detak jantungnya sendiri yang mengamuk
seperti tambur yang ditabuh seorang pemabuk.
Celaka kalau mayat-mayat ini bukan gadungan
melainkan mayat-mayat asli! Tadi Sun Cu-kiok
dengan gagah bisa berkata "siap menanggung
semua resiko" karena hanya menyangka hanya
akan bertemu dengan mayat-mayat gadungan,
tak tahunya dia bertemu dengan mayat pulang
Sekte Teratai Putih 8 5 kampung asli. Padahal menurut kata orang,
sekedar bertemu muka saja sudah membawa
nasib sial seumur hidup, sekarang Sun Cu-kiok
bukan cuma sudah bertemu muka, bahkan
sudah memegang-megang pipinya, dadanya dan
bahkan menempelkan kupingnya di dada mayat
itu! Ancaman kutuk tidak kawin seumur hidup
alias jadi perawan tua benar-benar menggentarkan gadis yang biasanya bernyali
besar itu!' Dalam paniknya, Sun Cu-kiok jadi nekad.
Untuk berusaha terakhir kalinya membuktikan
bahwa mayat itu gadungan, ia mulai mengkitikkitik bagian rusuk samping mayat itu! Dan yang
dikitik-kitik tetap saja diam tak bergeming.
Runtuhlah semangat Sun Cu-kiok. Dengan
murung ia meninggalkan tempat itu tanpa
pamit. Tidak diperdulikannya Si Pendeta yang
lebih tua yang mengejek, "He, Nona belum
selesai memeriksa semua mayat-mayat itu!
Nona baru memeriksa enam mayat, padahal
semuanya ada lima belas. Siapa tahu Nona
masih dapat menemukan sanak keluarga Nona
Sekte Teratai Putih 8 6 yang masih ada napasnya atau masih berdenyut
jantungnya atau bahkan masih bisa tertawa
kalau dikitik-kitik."
Hwesio yang lebih muda ikut mengejek pula,
"Kelak kami akan membantu mendoakan
upacara pencukuran rambut sebagai nikoh!"
Setelah Sun Cu-kiok sudah diyakini keluar
dari kuil itu, Si Dukun Penggembala mayat itu
tiba-tiba berkata perlahan, "Gadis usil itu sudah
pergi. Aman." Kata-kata itu seolah-olah sebuah mantera
ajaib saja, sebab tiba-tiba nampak dada mayatmayat itu mulai naik turun perlahan-lahan,
bergelombang sedikit, dan lima belas mayat
beku itu mulai bernapas! Bahkan ada yang
mulai membuka mata, duduk dan menggeliatkan pinggang yang pegal!
"Siapa perempuan tadi?" tanya seorang
"mayat" kepada Si Penggembala mayat dalam
bahasa 3epang. "Tadi sempat kulirik sebentar,
cantik juga." Sekte Teratai Putih 8 7 "Mayat-mayat" itu tertawa serempak.
"Mayat" yang disebelahnya memaki rekannya
itu, "Ini barulah mayat mata keranjang."
Sementara Si Penggembala Mayat menjawab
dalam bahasa Jepang pula,
"Aku tidak tahu dari mana dia. Tahu-tahu
datang begitu saja dan ingin memeriksa mayatmayat. Tetapi dia pasti kecewa."
Kini semua pandangan dialihkan kepada Si
Hwesio. Hwesio itu pun menggeleng dan
menjawab dengan bahasa Jepang yang kurang
fasih, menandakan kalau dia bukan orang
Jepang aseli, "Aku juga tidak tahu dari mana dia.
Begitu saja dia datang, katanya mau
bersembahyang dan melihat-lihat kalau-kalau
ada-sanak keluarganya yang mati. Aku sudah
berusaha mencegah dengan kata-kata, tetapi
gagal. Aku tidak mau mencegah dengan
kekerasan, sebab hal itu akan mencurigakan
orang. Tetapi sekarang ini, setelah dia
memeriksa sendiri, pastilah kecurigaannya
sudah berkurang banyak."
Sekte Teratai Putih 8 8 Kemudian mayat gadungan "Paman Hok"
telah berkata terkekeh-kekeh, "Yang paling
beruntung adalah aku. Tangannya yang halus
dan lembut tadi sempat mengusap-usap pipiku,
meraba-raba hidungku dan badanku, bahkan
kepalanya diletakkan di dadaku pula. Ha-ha-ha,
kalau aku tidak sedang menyamar sebagai
mayat, pastilah kubalas kupeluk dia....ha-haha...."
Orang-orang di_ ruangan itu tertawa
semuanya, tetapi Si Penggembala mayat cepatcepat memperingatkannya dengar suara
tertahan, "Ssst, jangan keras-keras, Di balik
tembok sebelah itu adalah rumah penginapan
yang banyak orangnya, Jangan sampai ada yang
mendengar tertawa kalian, lalu curiga dan
mengintip kemari." "Tetapi apa sebenarnya yang masih kurang
pada penyamaran kita, sehingga gadis itu
mencurigai kita dan memeriksa kita?"
"Padahal bukankah penyamaran kita cukup
sempurna" Kita pakai obat pemucat kulit,
memakai bau-bauan dari ramuan pengawet
Sekte Teratai Putih 8 9 mayat sampai kepalaki pusing menciumnya.
Bahkan sampai aki sendiri hampir-hampir
percaya bahwa aki sudah mati benar-benar. Kok
masih adc juga yang mencurigai kita?"
"Yang penting kita harus lebih berhati-hati.
Supaya rencana kita tidak gagal. Tidak semua
orang setolol yang kita sangka dan mudah saja
dikelabuhi." "Eh, Arashi, tadi kamu diapakan saja?"
Si "Paman A-hok" yang nama sebenarnya
adalah Arashi itu pun menjawab, "Pipi, hidung
dan pipiku dipegang-pegang. Lalu dikitik-kitik."
"Wah, komplit juga usahanya untuk
membongkar kedok kita. Tetapi setelah jelasjelas tidak menemukan hembusan napas dan
detak jantung, kenapa masih mengkitik-kitik
juga?" Si Hwesio yang sebenarnya adalah orang
Cina, menerangkan dengan bahasa Jepangnya
yang kedodoran, "Sebab di negeri ini ada ilmu
yang disebut Ku-siok-kang, membuat orang
mampu untuk tidak bernapas sekian lama.
Rupanya gadis itu tadi menyangka Tuan Arashi
Sekte Teratai Putih 8 10 memiliki ilmu itu, maka ia berusaha
meyakinkan dugaannya dengan mencoba
memeriksa detak jantung segala*"
"He-he-he, gadis itu pasti tidak menyangka
kalau kita punya ilmu yang lebih lihai dari Kusiok-kang. Dengan Ninjitsu kita, kita bukan saja
hanya bisa berhenti bernapas, bahkan bisa
menyuruh jantung berhenti berdetak.
"Itulah kelebihan ilmu-ilmu kita dibandingkan ilmu-ilmu di daratan ini. Biarpun
ilmu-ilmu kita akarnya dari sini, tetapi
berkembang lebih subur di negeri kita dan
menjadi lebih lihai."
Mendengar kata-kata bernada menyombongkan diri itu, Si Hwesio sebagai
"orang daratan" merasa kurang senang, ia
menyentil balik, "Memang di kalangan
persilatan negeri kami, ilmu semacam Ku-siokkang atau pura-pura mati atau pura-pura
menjadi sebatang pohon dan sebagainya itu
kurang berkembang di kalangan para pendekar
yang punya harga diri. Yang belajar ilmu-ilmu
semacam itu biasanya hanyalah para pencoleng,
Sekte Teratai Putih 8 11 untuk menyelamatkan diri dari kejaran orang,
misalnya sehabis mencuri ayam atau mencuri
jemuran...." Kata-kata itu membuat kelima belas "mayat"
itu seketika berwajah tegang. Mereka adalah
jago-jago dari kalangan Ninja di Jepang. Ahli
dalam hal yang aneh-aneh seperti menyelam di
air, menghilang, mengubur diri, menjebak
orang, meracuni orang, pura-pura mati, purapura menjadi batang pohon atau batu besar,
dan sebagainya. Oleh kalangan "terhormat" di
Jepang, yaitu kaum Samurai (perajurit) Yang
memegang teguh Bushido (etika ksatria), kaum
Ninja ini dianggap sampah, pengecut dan
sebagainya karena kepandaian mereka yang
aneh-aneh itu. Cara bertempur kaum Ninja
dianggap tidak mendatangkan kehormatan oleh
kaum Samurai. Kini, kelima belas Ninja itu
setelah datang ke negeri Cina, mendapat suara
yang senada kontan mereka tersinggung.
Salah seorang Ninja itu berkata, "Ah, ternyata
di mana-mana sama saja. Tidak di negeri sendiri
tidak di negeri orang, ada saja orang-orang
Sekte Teratai Putih 8 12 munafik yang menamakan diri kesatria dan
menganggap sebersih dewa-dewa di langit,
memandang remeh orang-orang semacam kami.
Tetapi, mereka juga tidak malu-malu
mengundang dan minta tolong kepada orangorang macam kami bila sedang butuh."
Si Hwesio, yang lebih tua maupun yang lebih
muda, jadi tegang mendengar sindiran balik itu.
Mereka sudah mengepal tinju, siap melabrak.
Mereka yakin bisa menghajar kawanan Ninja itu
asal kawanan Ninja itu "tidak aneh-aneh".
Si Penggembala Mayat sadar, kalau
pertengkaran itu dibiarkan, bisa berlanjut
menjadi perkelahian yang memecah belah diri
sendiri dan sangat merugikan. Maka berkatalah
ia, "Setiap ilmu ada gunanya, menurut situasisituasi tertentu. Tidak ada gunanya saling
merendahkan." Agaknya Si Penggembala Mayat yang tentu
saja juga gadungan karena yang digembalakan
juga gadungan, punya wibawa kuat di dalam
kelompok itu. Begitu ia bersuara, orang-orang
pun tidak berani bertengkar lagi.
Sekte Teratai Putih 8 13 Tiba-tiba dari luar ruangan masuk lagi
seorang hwesio, di tangannya ada secarik surat
kecil dan tipis, kertas macam itu biasanya
dijadikan surat kilat, dimasukkan dalam
bumbung yang kecil dan ringan untuk diikatkan
di kaki seekor burung merpati pos.
Semua perhatian teralih kepada orang yang
baru datang itu. "Ada apa?" tanya Si Penggembala mayat
sambil turun dari bangkunya dan melangkah
mendekat. "Sudah ada berita. Sasaran kita tinggal
seratus li dari sini."
"Bagus. Kita siapkan penghadangan sesuai
dengan rencana." "Apakah kita akan berangkat sekarang?"
"Jangan. Nanti malam saja."
"Kenapa?" "Bisa menimbulkan kecurigaan pihak lain."
"Ah, siapa yang akan mencurigai rombongan
mayat pulang kampung?"
"Jangan gegabah. Buktinya siang ini kita
didatangi seorang gadis yang mencurigai kita.
Sekte Teratai Putih 8 14 Aku yakin, di kota ini sebenarnya bukan cuma
satu-dua orang yang sedang mengawasi kita.
Kita berangkat nanti malam."
Keputusan Penggembala Mayat sebagai
pimpinan tertinggi kelompok itu pun tidak
dibantah lagi. Sementara itu, Sun Cu-kiok meninggalkan
kuil itu dalam keadaan bingung. Ia menyangka
dirinya telah benar-benar ketemu mayat pulang
kampung dan tidak akan kawin seumur hidup.
Dalam keadaan bingung, ia ambil kuda
kuningnya di istal penginapan sambil membawa
goloknya, lalu memacu kudanya keluar kota
kecil. Tanpa tujuan. Tiba di kota kecil itu, ia melihat sebuah bukit
kecil, dan seperti orang gila ia memacu kudanya


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menaiki bukit itu. Tiba di atas bukit, nampak
pemandangan di sekitarnya indah sekali. Kota
kecil di bawahnya nampak pula.
Di tempat seindah itu, tentunya orang akan
merasa lega, tetapi Sun Cu-kiok tetap saja
murung. Ia lalu turun dari kuda dan duduk
melamun sambil memeluk lutut, membiarkan
Sekte Teratai Putih 8 15 kudanya makan rumput. Sun Cu-kiok lalu
membenamkan wajahnya ke antara lututlututnya dan menangislah ia terisak-isak. Puteri
Gubernur di Ho-lam yang bandel dan seolaholah tidak ada yang ditakutinya itu, ternyata
masih ada juga yang ditakutinya, yaitu tidak
Budi Kesatria 14 Goosebumps - 29 Darah Monster Iii The Hunger Games 3
^