Pencarian

Si Tangan Halilintar 4

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


Kenapa kalau kami yang merampok isteri seorang panglima antek Mancu dicela" Apa bedanya?" "Hemm, jelas besar sekali bedanya. pejuang mencuri dan merampok barang milik pembesar Mancu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan hasilnya untuk beaya perjuangan, akan tetapi engkau merampok demi kesenanganmu sendiri. Seorang pejuang sejati tidak akan mengganggu wanita. Orang-orang seperti engkau ini hanyalah penjahat-penjahat yang berkedok pejuang untuk menutupi kejahatan kalian! Orang-orang macam kalian inilah yang mencemarkan perjuangan, yang membuat para pejuang dianggap penjahat dan perampok. Hanya kebetulan saja kalau malam ini yang kau ganggu adalah isteri seorang panglima pemerintah Mancu. Andaikata wanita itu seorang rakyat biasa, tentu akan kau ganggu juga. Adalah kewajiban kami para pendekar pejuang, bukan hanya untuk menentang pemerintah Mancu, akan tetapi juga membasmi orang-orang seperti kalian yang hanya menyusahkan rakyat jelata!"
"Gila! Jauh-jauh kami datang untuk bergabung dan bekerja sama, malah kami ditentang!" Teng Bhok marah dan memaki sambi! mencabut goloknya. Dia marah karena ucapan Ang Jit Tojin itu tepat mengenai sasaran dan membuka rahasia hatinya. Memang pada dasar hatinya, Teng Bhok dan enam orang kawannya ini ingin membonceng para pejuang demi keuntungan diri mereka sendiri. "Sian-cai! Teng Bhok, engkau dan kawan-kawanmu ini sadarlah, bertaubatlah dan hentikan kesesatan kalian sebagai penjahat dan kami akan menerima tenaga bantuan kalian dalam perjuangan ini dengan senang hati. Akuilah kesalahan kalian, kembalikan perhiasan Nyonya Lauw dan kami akan mempertimbangkan permintaan kalian untuk bergabung." Tentu saja Teng Bhok tidak sudi bergabung kalau dia dilarang merampok atau berbuat sesuka hatinya. Lebih baik menjadi tentara pemerintah penjajah mendapat bayaran tinggi dan kedudukan, daripada harus berjuang tanpa mendapatkan apa-apa!
"Enak saja! Tosu sombong, kami tidak sudi bergabung kalau begitu. Kami dapat bertindak sendiri memusuhi para pembesar. Cepat kembalikan calon isteriku bentaknya sambi! mengacungkan goloknya mengancam. Enam orang anak buahnya juga sudah mencabut golok dan siap berkelahi. Mereka ini memang merupakan orang-orang yang sudah terbiasa memaksakan kehendak mereka sendiri. Orang lain harus menurut kehendak mereka atau mereka akan menggunakan kekerasan. Entah sudah berapa banyak orang tewas menjadi korban keganasan mereka. "Jahanam busuk macam kalian memang tidak pantas dibiarkan-hidup, hanya akan mendatangkan kesengsaraan pada rakyat saja!" Song Kwan membentak dan dia juga mencabut pedangnya. "Ang-totiang (pendeta Ang) dan kempat sute, biar aku sendiri yang membasmi mereka!" Song Kwan, orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap ini memang memiliki watak yang keras.
Akan tetapi juga ilmu pedangnya paling unggul di antara mereka berlima. Dia melompat ke depan Teng Bhok sambil melintangkan pedangnya didepan dada. Teng Bhok yang sudah marah sekali lalu menerjang dengan goloknya dan 6 orang anak buahnya tanpa dikomando juga sudah mengepung Song Kwan karena mereka tadi mendengar betapa pendekar itu menyombongkan diri hendak maju seorang diri menghadapi mereka bertujuh! "Manusia sombong, bersiaplah untuk mampus!" Teng Bhok sudah menggerakkan goloknya menyambar ke arah kepala Song Kwan. "Singggg... Golok itu berdesing menyambar, namun Kiam-sian (Dewa Pedang) Song Kwan dengan amat mudahnya mengelak dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi sinar mencuat ke arah lambung Teng Bhok. Kepala gerombolan ini terkejut sekali dan cepat dia membuang diri kebelakang sehingga terhindar dari maut.
Demikian cepat dan tak terduga serangan balasan pedang di tangan Song Kwan itu sehingga Teng Bhok mengeluarkan keringat dingin. Pada saat itu enam orang anak buahnya sudah menyerang, maka Teng Bhok menjadi berbesar hati dan diapun menyerang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga karena yang dia andalkan hanyalah ketajaman golok dan tenaga kasarnya yang sekuat kerbau.
Akan tetapi Song Kwan segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan tiba-tiba bentuk pedang di tangannya lenyap, berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Gulungan sinar ini selain menjadi perisai yang melindungi seluruh tubuhnya, juga dari gulungan sinar pedang itu menyambar kilatan-kilatan pedang yang mengirim serangan balasan. "Hyaaaaaaahhh... trang-trang-cdngg...!!" Tiga orang pengeroyok berseru kaget ketika golok mereka terlepas dan terpental dari pegangan mereka dan sebelum hilang rasa kaget mereka, tiga orang itu sudah terpelanting roboh disambar kilatan sinar pedang! Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya terkejut sekali. Akan tetapi kembali Song Kwan mengeluarkan pekik melengking dan dia membuat gerakan jurus Ngo-heng Keng-thian (Lima Unsur Melengkung di Langit), sebuah jurus ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut yang amat hebat.
Kilatan pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, lebih cepat daripada kedipan mata dan terdengar Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya berteriak kesakitan dan merekapun roboh satu demi satu sebelum mereka tahu apa yang terjadi. Tujuh orang penjahat itu tewas seketika karena pedang di tangan Song Kwan itu menyerang dengan tepat ke arah bagian yang mematikan! Melihat ini, Ang Jit Tojin menghela napas. "Sian-cai...! Engkau agak terlalu keras, Song-taihiap, akan tetapi pinto tidak menyalahkanmu. Bagaimanapun juga, mereka adalah bangsa kita sendiri. Sayang, di jaman yang buruk ini, di mana bangsa asing Mancu menjajah tanah air kita, terdapat banyak bangsa kita sendiri yang menjadi pengkhianat, sudi menjadi antek penjajah. Dan lebih menyedihkan lagi, terdapat lebih banyak lagi orang-orang seperti mereka yang tidak memperdulikan nasib rakyat jelata yang sudah ditindas penjajah, bahkan mereka masih tega menambah derita rakyaf dengan perbuatan jahat mereka."
"Totiang benar," kata Song Kui, adik kandung Song Kwan yang merupakan orang ke dua Clong-yang Ngo-taihlap, berusia tiga puluh delapan tahun dan berwajah tampan bertubuh sedang. Namun Song Kui ini kalau menghadapi penjahat, bahkan lebih galak dan keras daripada kakaknya, maka dunia kangouw memberi julukan Kiam-mo (Setan Pedang) padanya. "Dosa paling besar para penjahat ini adalah kepura-puraan mereka menjadi pejuang, padahal itu hanya sebagai kedok saja untuk mencari keuntungan demi kesenangan diri mereka sendiri." "Sudahlah," Ang Jit Tojin menghela napas panjang pula. Bagaimanapun juga, mereka adalah juga manusia-manusia dan setelah menjadi mayat, kita harus mengurus mereka sebagaimana mestinya dengan baik-baik." Ang Jit Tojin lalu mengambil perhlasan milik Kui Siang dari saku, baju Teng Bhok, kemudian dia menyuruh para anak buah pejuang untuk mengurus tujuh mayat gerombolan itu dikebumikan bersama semua jenazah yang sudah dipetikan.
Setelan semua penguburan selesai, Ang Jit Tojin mengajak Kui Siang duduk bercakap-cakap di ruangan dalam kuil tua. Nyonya muda ini sudah agak segar karena mendapat kesempatan mengaso dan ia mendapatkan obat gosok dari Ang Jit Tojin untuk mengusir rasa penat dan pegal-pegal pada kedua kaklnya. Mereka, Ang Jit Tojin, lima pendekar Ciongyang, dan Kui Siang, duduk mengelilingi meja kayu sederhana dan duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar. Ang Jit Tojin menyerahkan perhiasan yang diambilnya dari saku baju pada mayat Teng Bhok dan menyerahkannya kepada Kui Siang. Kui Siang membiarkan perhiasan itu bertumpuk di atas meja di depannya dan ia berkata setelah memandangi enam orang pendekar itu satu per satu. "Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada totiang dan para taihiap disini karena tanpa pertolongan cu-wi (anda sekalian) saya tentu sudah membunuh diri daripada diperhina manusia jahat itu." Suaranya mengandung keharuan.
"Jangan bicara demikian, toa-nio. Kami memang bermaksud menyelamatkanmu seperti yang dipesan suamimu. Ketahuilah bahwa suamimu, Lauw Heng San, adalah orang segolongan dengan kami." Kui Siang memandang heran, pandang mata penuh pertanyaan kepada tosu itu. "Orang segolongan" Apa maksud totiang" Bukankah... bukankah suami saya komandan Pasukan Garuda Sakti yang memusuhi golongan totiang?" "Hal itu terjadi karena dia telah tertipu oleh ayah tirimu, toa-nio, sehingga dia menduga bahwa kami adalah segerombolan orang jahat. Akan tetapi dia telah sadar akan kekeliruannya setelah bertemu dengan gurunya yang menjadi seorang di antara kami. Apalagi mendengar bahwa ayah ibunya di dusun Linhan-koan dibunuh kaki tangan Thio-ciangkun. Dia menjadi sadar, marah dan mengamuk di gedung Thio-ciangkun. Akan tetapi sebelumnya dia sudah menitipkan engkau kepada kami agar kami suka melindungimu." "Lalu... lalu... di mana dia sekarang?" tiba-tiba wajah nyonya muda itu menjadi pucat sekali.
Dari pandang mata dan sikap enam orang yang duduk di depannya itu ia mendapatkan firasat yang mengerikan. "Di mana suamiku...?" Ang Jit Tojin mengerutkan alisnya. Berat rasa hatinya untuk meneritakan. Pada dasarnya memang perasaan tosu ini lembut dan peka sekali. Dia memandang kepada Song Kwan dan memberi isarat dengan pandang matanya agar pendekar itu yang bercerita. "Begini, toanio. Setelah dia sadar bahwa dia membantu pihak yang jahat dan memusuhi para pendekar pejuang pembela bangsa dan tanah air, dan mendengar bahwa orang tuanya sendiri dibunuh kaki tangan Thio-ciangkun karena berkenalan dengan Pat-jiu Sin-kai, guru suamimu, maka Lauw Heng San lalu pergi ke gedung Thio-ciangkun mengamuk. Kami menyusl dan membantunya. Ia berhasil membunuh para jagoan di sana, juga berhasil membunuh Thiociangkun, akan tetapi dia sendiri juga tewas." "San-koko...!"
Kui Siang menjerit dan roboh pingsan, terkulai dan tentu akan terjatuh dari kursinya kalau tidak ada bayangan orang yang cepat menyambarnya sehingga ia tidak sampai terjatuh. Bayangan itu bukan lain adalah Ma Giok yang baru saja masuk dan melihat nyonya muda itu terkulai, dia segera menyambar dan menangkapnya sehingga Kui Siang tidak terguling. Ma Giok memondong tubuh Kui Siang, memandang kepada enam orang itu, menggeleng kepala dan berkata halus. "Aih, Kalian terlalu mengguncangnya, tidak seharusnya berita itu disampaikan begitu mendadak." Mendapatkan teguran dari pemimpin para pejuang ini, Ang Jit Tojin menjawab, "Lam-Hong (Naga Selatan), maafkan kami. Pinto yang tadi menyuruh Songtaihiap menyampaikan keterangan itu kepadanya." "Sudahlah, kita harus merawatnya. Kasihan sekali wanita ini. Baru saja kematian suaminya dan juga kehilangan ayah tiri dan ibunya." Dia membawa tubuh Kui Siang ke dalam sebuah kamar di kuil itu dan merebahkannya di atas pembaringan kayu.
Setelah menekan beberapa jalan darah untuk membuat wanita itu tidur pulas agar lahir batinnya dapat beristirahat, Ma Giok keluar menernui teman-temannya. Setelah pemimpin pejuang itu mengambil tempat duduk, Song Kwan bertanya sambil menatap wajah Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu dengan heran. "Ma-enghiong (pendekar Ma), apa yang kaumaksudkan ketika berkata bahwa Lauw-toanio juga kehilangan ibunya?" Ma Giok menghela napas panjang. "Kalian tentu tahu bahwa dahulu, ketika mendiang Bu Kiat masih menjadi panglima, dia adalah seorang rekanku, sama-sama menjadi panglima dalam pasukan pimpinan Jenderal Gouw Sam Kwi. Bahkan kami menjadi sahabat baik dan aku mengenal pula isterinya. Juga Bu Kul Siang yang kini menjadi isteri Lauw Heng San itu baru berusia dua tahun ketika ayah kandungnya tewas dalam perternpuran. Aku hanya mendengar bahwa Nyonya Bu dan anaknya menjadi tawanan rnusuh dan selanjutnya aku tidak mendengar lagi kabar beritanya.
Ketika aku rnenjadi tawanan, baru kuketahui bahwa isteri Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan itu adalah Nyonya Bu Kiat. Karena itu, ketika terjadi keributan dan kalian membebaskan aku, aku segera mencari Nyonya Bu dan puterinya, namun keduanya pergi tiada yang tahu ke mana. Kini, Bu Kui Siang dapat kalian selamatkan, akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Nyonya Bu Kiat. Nah, bukankah itu berarti bahwa Kui Siang sekarang ini telah kehilangan segalagalanya" "Siancai...! Kasihan sekali nyonya muda itu!" kata Ang Jit Tojin, tokoh Butong-pai itu. "Akan tetapi pinto juga hanya mendengar dari penyelidik bahwa isteri muda Pangeran Abagan itu adalah bekas isteri Panglima Bu Kiat yang menjadi pahlawan. Bagaimana ia dapat tiba-tiba rnenjadi isteri seorang pangeran, Mancu, orang yang telah menewaskan suaminya dalam perang?" "Hemm, aku dapat menduganya. Aku masih ingat bahwa Nyonya Bu adalah seorang wanita terpelajar yang berbudi baik.
Seorang wanita seperti dia tidak mungkin sudi merendahkan diri, baru saja kematian suaminya lalu sudi menjadi isteri muda seorang panglima Mancu, apalagi musuh suaminya, kalau tidak terpaksa sekali. Dan satu-satunya hal yang memaksanya tentu saja puterinya! Ia tentu terpaksa diperisteri Pangeran Abagan yang menyamar sebagai Thio Ci Gan karena ingin menyelamatkan puterinya, Bu Kui Siang yang kemudian menjadi isteri Lauw Heng San." Ang Jit Tojin dan lima orang pen dekar Ciong-yang itu mengangguk-angguk dan kembali tosu itu menggumam. "Kasihan sekali, kini ia harus menderita, hidup seorang diri ditinggal mati suarri dan kehilangan ibu..." "Ya, memang kasihan. Apalagi ia nasih ditambah tugas berat, harus menelihara calon anaknya seorang diri." "Ang-totiang, ketika tadi aku membawanya masuk dan memeriksa kesehatannya, aku mendapat kenyataan bahwa Bu Kui Siang itu telah mengandung, mungkin sudah dua tiga bulan." jawab Ma Giok yang selain seorang ahli silat kenamaan juga seorang yang pandai dalam ilmu pengobatan. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. "Ma-enghiong, sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Song Kwan mewakili para saudara mudanya dan Ang Jit Tojin juga memandang wajah pemimpin itu dengan (Lanjut ke Jilid 06)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06 ingin tahu. "Kita harus cepat meninggalkan kuil ini. Mereka mendatangkan pasukan besar dari kota raja dan tak lama lagi mereka tentu akan menyerbu ke sini. Bagaimanapun juga, gerakan kita berhasil. Kita sudah dapat membunuh Pangeran Abagan dan membasmi kaki tangannya. Kota Keng-koan telah terbebas dari penindasan seorang pangeran Mancu.
Kita harus terpencar, dan masing-masing menghimpun kekuatan di manapun kita berada dan 'melanjutkan gerakan kita menentang para pembesar yang menindas rakyat, mengganggu pemerintah kerajaan penjajah Mancu." Enam orang pendekar itu mengangguk menyetujui. "Dan bagaimana dengan Lauw-toanio?" tanya Ang Jit Tojin. "Hemm, maksudmu Bu Kui Siang" Ia menjadi tanggung-jawabku. Mengingat sahabatku, mendiang Panglima Bu Kiat, dan mengingat pula akan jasa Lauw Heng San, maka sudah menjadi kewajibanku untuk mencarikan jalan terbaik bagi Bu Kui Siang. Aku tahu bahwa mulai sekarang, ia tentu menjadi seorang buruan pemerintah seperti juga kita dan kalau tidak ditolong, wanita lemah seperti ia tentu akan cepat tertawan." "Memang kita tidak boleh membiarkan ia tertawan. Engkau mempunyai tugas yang amat berat, Lam-liong. Ke manakah engkau hendak membawa ia pergi" Dan di mana kami dapat menghubungimu?" tanya Ang Jit Tojin.
"Kukira, mulai sekarang lebih baik kita berjuang sendiri-sendiri untuk melindungi dan menolong rakyat. Dengan berpencar sendiri-sendlri kita akan lebih leluasa bergerak dan lebih mudah bersembunyi dari tangan panjang pemerintah penjajah Mancu. Aku sendiri akan pergi ke Thai-san, menghadap lo-cianpwe (orang tua gagah) Pek In San-jin (Orang Gunung Awan Putih) dan mengabarkan tentang kematian lo-cian-pwe Pat-jiu Sin-kai dan kematian muridnya Ngojiauw-eng Tan Kok. Selain itu, aku hendak mencarikan tempat yang aman bagi Bu Kui Siang di sana. Mungkin untuk sementara waktu, kalau lo-cian-pwe Pek In San-jin mengijinkan, aku akan berada di sana untuk mohon petunjuknya memperdalam Hmu silatku." Demikianlah, para pendekar itu, Ma Giok, Ang Jit Tojin, kelima Ciong-yang Ngo-taihiap yang terdiri dari Song Kwan, adiknya Song Kui, Ciang HuSeng, Bhe Kam, dan Le Bun, dan beberapa orang anggauta pejuang lain yang menjadi anak buah mereka, berkemas dan satu demi satu berpamitan kepada Ma Giok yang menjadi pemimpin mereka, lalu meninggalkan kuil itu.
Setelah semua oran, pergi dan hanya tinggal Ang Jit Tojin yang masih menemaninya karena Ma Giok memang menahannya untuk memberi keterangan kepada Bu Kui Siang, mereka berdua lalu menyadarkan Kui Siang yang masih tertidur pulas karena ditotok jalan darahnya oleh Ma Giok tadi. Wanita itu terbangun dan melihat ada dua orang laki-laki duduk di atas bangku dalam kamar itu, ia segera bangkit duduk, ia mengenal Ang Jit Tojin tosu tinggi kurus berjenggot panjang itu, akan tetapi ia tidak mengenal pria yang seorang lagi. Akan tetapi wajah pria itu tidak mendatangkan rasa takut di hatinya. Wajah seorang laki-laki setengah tua yang tampan gagah, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, pandang matanya tajam dan lembut, mulutnya tersungging senyuman ramah dan penuh pengertian, pakaiannya seperti seorang petani sederhana namun bersih dan rapi. Akan tetapi, begitu tersadar, Kui Siang segera teringat akan suaminya yang dikabarkan telah tewas, maka ia lalu turun dari pembaringan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ang Jit Tojin sambil menangis.
"Totiang..., benarkah... benarkah suami saya telah tewas...?" "Duduklah yang tenang, toa-nio, dan kuatkan hatimu," kata Ang Jit Tojin sambil mernbangunkan Kui Siang dan menuntun wanita itu duduk kembali ke atas pembaringan. "Hentikan tangismu, Kui Siang, dan tabahkan hatimu. Mendiang ayahmu, Bu Kiat, dan mendiang suamimu, Lauw Heng San, adalah pendekar-pendekar gagah perkasa. Mereka tidak akan senang melihat sikapmu yang lemah ini. Hentikan tangismu dan kuatkan hatimu. Ingat akan kandunganmu yang harus kaujaga baik-baik." kata Ma Giok dengan suara lembut berwibawa. Mendengar ini Kui Siang terbelalak memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Ang Jit Tojin, segera memperkenalkan. "Lauw-toanio, ini adalah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam-liong, selama ini menjadi pemimpin kami para pejuang. Mulai sekarang engkau berada dalam per lindungannya." Kui Siang masih memandang heran, saking herannya ia sampai lupa akan kesedihannya dan tidak menangis lagi.
Apalagi mendengar bahwa mendiang ayah kandungnya dan mendiang suaminya tidak suka melihat ia menangis! "Akan tetapi... bagaimana engkau mengenal mendiang ayah kandungku, suamiku dan tahu akan keadaan diriku?" "Kui Siang, tentu saja engkau tidak mengenalku, karena ketika itu engkau masih berusia dua tahun. Aku sudah mengenalmu ketika engkau berusia dua tahun, Ayah kandungmu, mendiang Bu Kiat, adalah rekanku. Kami sarna-sarna panglima dalam pasukan Jenderal Gouw Sam menentang penjajah Mancu. Aku juga mengenal ibumu dengan baik. Dan aku mengenal suamimu karena akulah yang pertama-tama menjadi tawanan Panglima Mancu Thio, ayah tirimu itu yang sesungguhnya adalah seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Sekarang, keadaan kita di sini amat berbahaya. Setiap saat pasukan pemerintah Mancu akan datang menyerbu. Karena itu, semua pejuang sudah pergi dan engkau juga harus cepat melarikan diri karena mulai sekarang engkau dianggap isteri seorang pemberontak.
Aku akan membawamu melarikan diri dan akan melindungimu, Kui Siang." "Lauw-toanio, percayalah. Dalam perlindungan Lam-liong, engkau akan aman dan selamat. Nah, sekarang sudah tidak ada waktu lagi. Cepatlah berkemas dan bawa semua barangmu, toanio." "Benar, Kui Siang. Kita harus pergi sekatarig juga." kata Ma Giok. "Kalau ada pertanyaan lagi, kita bicarakan dalam perjalanan saja." Tidak ada lain jalan bagi Kui Siang kecuali menaati ucapan kedua orang itu. la maklum bahwa ia berada di tangan orang-orang sakti yang dapat dipercaya. Apalagi Ma Giok yang mengaku sebaga sahabat mendiang ayah kandungnya. Dan melihat wajahnya saja sudah menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya. Ia bahkan yakin bahwa seorang iaki-iaki dengan sinar mata, senyum dan sikap seperti, itu tidak mungkin mempunyai watak yang jahat! Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kuil itu dan setelah tiba di Jereng Bukit Ayam, Ang Jit Tojin dan Ma Giok berhenti melangkah.
Tosu itu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat sambil berkata, "Lam-liong, kita berpisah di sini. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dan bekerja sarna kembali di masa mendatang." Ma Giok membalas penghormatan itu. "Ang-totiang, selamat berpisah, dan banyak terima kasih atas bantuanmu selama ini." "Lauw-toanio, jaga baik-baik dirimu dan taatilah semua petunjuk Lam-Hong yang melindungimu." "Terima kasih, totiang." jawab Kui Sing, diilam hatinya merasa terharu karea tosu itu juga bersikap amat baik terhadap dirinya. Ang Jit Tojin lalu berkelebat lenyap lari situ, berlari amat cepatnya. "Nah, sekarang kita mengambil jalan sendiri. Di lereng sana itu terdapat sebuah dusun. Aku akan mencari sekor :uda. Apakah engkau dapat menunggang kuda, Kui Siang?" "Bisa, paman. Suamiku pernah mengajarkan aku menunggang kuda." Lehernya ieperti dicekik ketika ia teringat akan suaminya, namun ditahannya agar tidak nenangis. Mereka lalu menuju ke sebuah dusun yang berada di lereng Bukit Ayam.
Benar saja, Ma Giok bisa mendapatkan sekor kuda yang cukup baik, yang dibelinya agak mahal. sehingga mulai dari dusun itu, kui Siang dapat menunggang kuda, diiringkan Ma Giok yang berjalan kaki. Dalarn perjalanan itu, Ma Giok menceritakari kenibali dengan jelas tentang kematian Lauw Heng San yang menyadari kesalahannya sehingga dia mengamuk, rnembunuh Thio-ciangkun dan para jagoannya dan. dia sendiri tewas. "Bagaimanapun juga, suamimu menjadi. kaki tangan pemerintah penjajah Mancu karena tertipu, dan dia sudah menyadari kesalahanya, bahkan dia tewas sebagai seorang pahlawan pembela tanah air dan bangsa. Dia mati secara terhormat, Kui Siang, patut dibanggakan. Namanya akan tetap dikenang sebagai seorang pahlawan bangsa." Kui Siang tidak menangis akan tetapi ia mengusap beberapa air mata yang mengalir ke atas pipinya. "Akan tetapi setelah ayah tiriku dan suamiku meneninggal, lalu bagaimana dengan ibuku," "Aku sudah berusaha mencari Nyonya Bu, akan tetapi tidak dapat menemukannya.
Yang jelas, ibumu melarikan dirl, akan tetapi tidak ada yang tahu ke mana larinya." "Aduh, kasihan ibu " "Ya, kasihan Nyonya Bu. Akan tetapi percayalah, Kui Siang, orang yang baik seperti ibumu pasti dilindungi Thian dan ia akan selamat. Akan kuselidiki dan cari ke mana ia pergi dan tentu akan kupertemukan denganmu kalau kelak aku berhasil mencarinya." "Terima kasih, paman. Akan tetapi sebetulnya apakah kesalahan ayah Thio Ci Gan maka paman sekalian memusuhinya" Menurut aku, selama aku menjadi anak tirinya, dia adalah seorang yang baik hati. Bahkan suamiku dulu juga memuji-mujinya. Mengapa paman sekalian begitu membencinya?" Sejenak Ma Giok menghela napas panjang. Dia adalah seorang yang berpengalaman luas, bukan saja ahli silat namun juga mengerti tentang persoalan manusia dengan segala ragamnya. Sambi! menuntun kuda yang ditunggangi Kui Siang, akhirnya dia bicara.
"Begitulah keadaan dunia ini, Kui Siang. Kita manusia dipermainkan oleh keadaan yang selalu bertentangan. Keratan Mancu, dalam hal ini tentu saja para pucuk pimpinannya, angkara murka dan menjajah tanah air kita. Tentu saja rakyat Maneu membela negaranya sebagai warga negara yang berbakti kepada bangsa dan tentu saja olehbangsa Maneu sendiri para pembela negara itu dianggap sebagai pahlawan. Ayah tirimu adalah seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Dia seorang yang cerdik dan dia sengaja menyamar menjadi seorang Han bernama Thio Ci Gan yang menjadi anglima kerajaan Mancu. Tentu saja dia seorang warga negara Mancu yang baik karena membela kerajaan bangsanya. mungkin saja diapun seorang yang baik seperti yang kaukatakan tadi. Namun bagi kami, dia adalah seorang kaki tangan penjajah yang amat jahat, yang menindas bangsa kami. Mungkin saja pribadinya baik, akan tetapi sifat pekerjaannya adalah jahat.
Kami golongan pejuang selalu menentang dan memusuhi para pembesar Mancu, tiada bedanya bagi kami apakah mereka itu berpribadi baik atau buruk, karena mereka merupakan kaki tangan penjajah yang menindas rakyat." Kui Siang mendengar banyak keterangan dari Ma Giok sehingga ia mulai mengerti tentang perjuangan para pendekar. Apalagi setelah ia mendengar tentang sepak terjang ayah kandungnya, Bu Kiat, yang mengorbankan nyawa demi perjuangan melawan penjajah Mancu. Bangkit pula semangatnya dan diamdiam iapun bersukur bahwa suaminya tewas sebagai seorang pejuang, bukan sebagai antek penjajah. Mereka berdua melantkan perjalanan mereka menuju Thai-san. Dalam perjalanan jauh yang makan waktu lama itu Ma Giok bersikap baik, kebapakan, sopan dan penuh perhatian terhadap Kui Siang sehingga Kui Siang merasa bersukur dan berterima kasih.
Juga Kui Siang merasa kasihan sekali melihat nasib! Ma Giok, mendengar betapa isterinya telah meninggal dunia datam keributan perang, bahkan belum lama ini, ketika terjadi pertempuran menentangThio-ciangkun, puterinya yang bernama Ma Hong Lian, anak tunggalnya, juga tewas. Kini Ma Giok juga sebatang kara, namun pendekar itu sama sekali tidak pernah memperlihatkan kesedihan, walaupun sebagian rambutnya mendadak telah berubah menjadi putih! Ke mana perginya Nyonya Bu, ibu ndung Bu Kui Siang" Nasib nyonya ini memang amat menyedihkan. Dalam usia muda, baru dua puluh tahun, sebagai seang ibu dari anak yang berusia dua tahun, ia telah ditinggal mati suaminya, panglima Bu Kiat, dan ia sendiri bersama puterinya yang masih kell mennjadi seorang tawanan Thio-ciangkun, panglima pasukan Mancu.
Kemudian ia diambil isteri muda oleh Thio-ciangkun walaupun hatinya menolak, mengingat bahwa Thio-ciangkun adalah musuh mendiang suaminya yang menyebabkan kematian suaminya, namun terpaksa Nyonya Bu menerima karena Thiociangkun mengancam akan membunuh anaknya yang baru berusia dua tahun itu. Demi keselamatan anaknya, ia mengorbankan dirinya. Memang harus diakuinya bahwa Thio-ciangkun mencintanya, juga pembesar itu menyayang Kui Siang seperti anak sendiri. Akan tetapi hati nyonya ini menjadi semakin sakit ketika akhirnya ia mengetahui bahwa suaminya yang memakai nama Thio Ci Gan itu sebetulnya seorang Pangeran Mancu bernarna Abagan. Akan tetapi hal ini disimpannya dalam hati sebagai rahasia dan tidak memberitahukan kepada puterinya. Sikap baik Thio-ciangkun terhadap dirinya dan juga terhadap Kui Siang agak menghibur hatinya. Maka iapun bertahan menjadi isteri Thio-ciangkun sampai delapan belas tahun lamanya.
Akan tetapi, pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa suarninya, dalam memberantas gerombolan pemberontak, telah menawan seorang yang bernama Ma Giok. Dari para pelayan dan pengawal ia mendengar bahwa Ma Giok itu seorang pemimpin pemberontak. Ketika mendapat kesempatan mengintai, ia terkejut sekali mengenal Ma Giok sebagai Ma-ciangkun, panglima yang menjadi rekan mendiang suaminya ketika sama-sama membantu pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi! Maka, iapun dengan lembut dan tidak mecolok ikut membujuk suaminya agar jangan membunuh Ma Giok, dengan alasan yang lama seperti dikemukakan Lauw Heng San bahwa dengan memenjarakannya, maka dapat memancing datangnya para pemberontak lainnya. Kemudian datanglah peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu Lauw Heng San, mantunya, mengamuk dan membunuhi para jagoan, bahkan juga Thio-ciangkun dibunuhnya sehingga mati sampyuh.
Mantunya itu dibantu oleh para pendekar yang memberontak. Dalam keributan ini, Nyonya Bu yang telah menjadi Nyonya Thio itu mencari puterinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia tidak dapat menemukan puterinya. Sementara itu pertempuran masih berlangsung hebat dan bahkan terjadi pembakaran gedung! Nyonya Bu menjadi panik dan iapun melarikan diri lewat pintu belakang. la maklum bahwa malapetaka telah menimpa dirinya lagi. Lauw Heng San telah bersatu dengan pemberontak. Hal ini tentu akan berakibat buruk sekali terhadap diri puterinya, Bu Kui Siang. Dan ia sebagai ibunya pasti akan terlibat pula. Oleh karena itu, wanita yang berusia empat puluh tahun itu dapat mengambil sekor kuda dari belakang gedung dan ia melarikan diri keluar dari kota Keng-koan dengan menunggang kuda. Walaupun bukan seorang ahli, namun sedikit banyak Nyonya Bu pernah belajar ilmu silat di waktu muda dan iapun pandai menunggang kuda.
Ia terus membalapkan kudanya keluar dari pintu gerbang kota Keng-koan sebelah barat. Karena panik melihat mantunya mengamuk, gedung terbakar dan puteri nya melarikan diri, Nyonya Bu Iupa sehingga dalam pelariannya itu ia tidak membawa apapun kecuali pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuhnya. Akan tetapi pakaian dan perhiasan yang dipakainya itu cukup indah dan berharga ntuk menarik perhatian gerombolan yang jahat. Pada masa itu, pemerintah Ceng (Mancu) baru saja berhasil menumpas perlawanan Jenderal Gouw Sam Kwi sehingga pemerintah yang baru saja menang itu belum sempat mengatur keamanan di seluruh Cina yang teramat as itu. Oleh karena itu, dalam suasana yang keruh itu, di mana pasukan penjaga keamanan belum banyak, terjadilah Hukum rimba dan orang-orang yang kuat badannya namun lemah batinnya, dikuasai Nafsunya sendiri dan bertindak sewenang-wenang.
Kecenderungan manusia yang menjadi jahat untuk menyenangkan diri, Merajalela karena pemerintah baru masih belum sempat membenahi keamanan. tambah lagi dengan adanya sikap pemberontak dari rakyat yang sebagian besar tidak suka melihat tanah air dikangkangi orang Mancu dan bangsanya dijajah. Maka keadaan menjadi kacau dan orang-orang mempergunakan setiap kesempatan untuk mencari kesenangan mengumbar nafsu tanpa memperdulikan bahwa perbuatan mereka itu keji dan jahat. Setelah membalapkan kudanya selama setengah malam. dan pagi harinya, akhirnya Nyonya Bu terpaksa menghentikan larinya kuda yang sudah hampir ambruk karena kehabisan napas dan kelelahan itu. ia berhenti di sebuah jalan yang sepi, yang terletak di an tara dua buah bukit. Suasana d1 situ lengang dan sunyi sekali. Mahatarl mulal menylnarkan cahayanya yang hangat, di depan sana tarnpak gerombolan pohon,menandakan bahwa itu adalah sebuah hutan. Nyonya Bu juga lelah sekali namun hatinya merasa lega karena ia sudah dapat menlnggalkan kota Keng-koan.
la tahu bahwa ia sudah berada jauh darl Kengkoan, namun tidak tahu la berada dl mana dan lebih tldak tahu lagl la hendak pergl ke mana. la sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Puterinya, satu-satunya keluarga, tidak tahu pergi ke mana. Mungkin keluarga Thio-ciangkun masih ada. Mungkin putera-puteranya masih ada. Akan tetapi selama ini ia terasing dari keluarga suaminya itu. keluarga suaminya dan isteri pertama suaminya adalah keluarga Mancu dan ia sebagai seorang w'anita Han agaknya dipandang rendah dan diasingkan. Kalau saja Thio-ciangkun tidak menyayang ia dan puterinya, mungkin sudah lama mereka berdua diusir dari gedung Thioiangkun. Nyonya Bu melepas kendali kuda dan membiarkan kudanya minum dari air anak sungai kecil yang mengalir di dekat dan, lalu makan rumput yang tumbuh subur di situ. Ia sendiri kelelahan dan duduk di atas batu di bawah sebatang pohon.
Hatinya sedih dan bingung. Sebelum melarikan diri, ia mendengar bahwa suaminya dan mantunya saling bunuh, berkelahi dan mati sampyuh keduanya tewas. Puterinya menghilang gedungnya terbakar dan ia kehilangan segala-galanya. Akan tetapi Nyonya Bu tidak menangis, melainkan termenung bingung. Air mata wanita itu sudah habis ditumpahkan dalam tangisnya selama bertahun-tahun semenjak ia ditinggal mati Bu Kiat, suaminya yang pertama. la mengorbankan dirinya, membiarkan dirinya diperisteri Thio-ciangkun yang ia ketahui adalah Pangeran Abagan. Hatinya sudah mengeras dan ia hanya dapat merasakan bahagia kalau melihat puterinya, Bu Kui Siang, hidup berbahagia. Akan tetapi sekarang mantunya tewas dan Kui Siang menghilang. Habislah sudah segalanya. Dan ia merasa kesepian bukan main, tak tahu apa yang harus ia lakukan dan ke mana ia harus pergi.
Karena semalam menunggang kuda dan tubuhnya penat sekali, duduk di bawah pohon yang melindunginya dari sengatan matahari pagi, dihembus angin yang bersilir lembut dan sejuk, nyonya Bu tidak dapat menahan rasa kamuknya lagi. Ia bersandar pada batang pohon dan sebentar saja ia sudah tertidur nyenyak. Entah berapa lama ia tertidur pulas, nyonya Bu tidak tahu. Ia terbangun karena merasa rambutnya ada yang menarlk-narik. Ketika ia terbangun dan lembuka matanya, tidak ada siapa-silapa di situ. Karena masih mengantuk, iapun memejamkan kedua matanya kembali. Baru saja matanya terpejam, ia merasa betapa kedua kakinya tersentuh sesuatu. Cepat ia membuka kedua matanya dan kini ia terbelalak, sadar betul melihat kedua kakinya sudah telanjang, tidak bersepatu lagi. Kedua sepatunya telah hilang, entah ke mana dan bagaimana.
Selagi ia kebingungan menghadapi peristiwa aneh hilangnya sepasang sepatunya, tiba-tiba terdengar suara orang terkekeh yang datangnya dari atas. Cepat ia menengadah dan sepasang matanya terbelalak heran dan juga ngeri. Di sana, di atas pohon yang sandarinya tadi, tampak seorang nenek duduk nongkrong di at as sebatang cabang pohon, terkekeh-kekeh dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang (bergantungan) itu diayun-ayun dan kedua kaki itu mengenakan sepasang sepatunya yang hilang! Tangan kanan nenek itu meraba-raba rambutnya dan Nyonya Bu melihat bahwa rambut yang sudah penuh uban itu terhias benda cemerlang yang bukan lain adalah hiasan rambutnya sendiri yang berbentuk sekor burung merak terbuat dari emas dan permata. Dengan heran ia meraba kepalanya dan benar saja, hiasan rambutnya sudah tidak ada.
Teringatlah ia bahwa tadi.ia terbangun karena merasa rambutnya ada yang meraba dan menarik-narik. Kiranya nenek itu yang mencuri hiasan rambut dan sepasang sepatunya! Akan tetapi, ia tidak berani menyatakan perasaan marahnya, bahkan merasa seram dan ngeri. Nenek itu memang menyeramkan, apalagi dilihat dari bawah, sedang duduk ongkang-ongkang di tempat tinggi seperti itu. Sukar ditaksir usianya karena muka itu tidak karuan. Memang masih ada garis-garis kecantikan membekas pada wajah itu, akan tetapi kecantikan yang mengerikan karena sepasang mata itu melirak-lirik, terkadang terbelalak mencorong, terkadang menyipit lucu dan aneh, hidungnya cengar-cengir dan mulutnya memakai gin-cu merah tebal sekali, bibirnya mencap-mencep, senyum-senyum mengejek dan mencibir, dan bergerak-gerak bicara lirih tak jelas artinya. Kulit muka itu dibedaki putih tebal seperti tembok dikapur. Rambutnya memang bersih dan panjang, akan tetapi tidak disisir dan dibiarkan riap-riapan dak karuan, dan rambut itu sudah berrwarna dua namun mengkilap.
Pakaianya juga aneh. Berkembang-kembang, dari kain yang bersih dan baru, akan tetapi penuh tambal-tambalan, tambalan kain baru lagi. Meremang rasa bulu ngkuk Nyonya Bu. Nenek gila! Tentu orang nenek yang gila dan rnenyeramkan sekali, lebih pantas disebut hantu daripada manusia. Tubuhnya kurus dan biarpun sukar mengetahui usianya, namun dilihat rambut yang sudah berwarna dua dan garis-garis di sekitar kedua matanya, tentu usia nenek itu sudah lebih dari enam puluh tahun. "Hi-hi-hehe-heheheh...!" Nenek itu terkekeh-kekeh dan memandang ke arah dua buah kakinya yang bersepatu, seperti anak kecil bergembira karena memakai sepatu baru. Nyonya Bu menabahkan hatinya yang merasa seram. Ia tidak perduli kalau hiasan rambutnya yang mahal diambil nenek itu, akan tetapi sepatu itu amat ia perlukan. Tanpa sepatu, bagaimana ia dapat melakukan perjalanan"
Kaki yang sudah puluhan tahun selalu memakai alas tentu akan terasa nyeri kalau dipakal berjalan telanjang saja. "Heii... nenek yang baik! Kembalikan sepasang sepatuku dan engkau boleh memiliki hiasan rambut itu! Kemballkan kepadaku!" Akan tetapi nenek itu hanya tertawa ha-ha-he-he tanpa memperdulikan Nyonya Bu sarna sekali, bahkan ia lalu mengambil beberapa helai daun pohon dan dimasukkan daun-daun itu ke mulutnya lalu dimakannya dengan enak! Nyonya Bu bergidik. Daun-daun pohon itu kasar dan sarna sekali tidak biasa dimakan orang. "He! Ini ada sekor kuda! Wah, kuda yang besar bagus, tentu mahal sekali harganya!" "Dan ini ada seorang cantik sekali. Biar tidak muda lagi, namun cantik jelita bahkan!" "Ha-ha-ha, beruntung sekali kita pagi ini! Kuda itu boleh kita jual dan hasilnya dibagi antara kalian berempat, akan tetapi kuda betina cantik ini untuk aku sendiri, kalian tidak boleh mengganggnya"
Tiba-tiba muncul lima orang laki-laki. Empat orang diantara mereka menangkap dan memasangkan kendali kuda yang tadi dilepas Nyonya Bu, sedangkan yang seorang lagi menghampiri wanita itu. Nyonya Bu terkejut dan sekilas ia mendongak, akan tetapi nenek gila itu sudah tidak tampak di atas pohon iagi. la bangkit dan memperhatikan lima orang itu dan merasa gelisah. Mereka itu jelas bukan orang baik-baik. Wajah mereka bengis, pakaian lusuh dan sikap mereka kasar sekali. Yang menglmpirinya adaiah seorang laki-laki gemuk pendek dengan kepaia besar, usianya sekitar empat puluh tahun dan dia memegang sebatang golok besar, matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti hendak menelannya bulat-bulat! Nyonya Bu merasa ngeri dan ia mencoba untuk menyelamatkan diri dengan gertakan. "Jangan ganggu aku! Aku adalah isteri Thio-ciangkun panglima di Keng-koan! Kalau kalian berani mengganggu, pasukan keamanan akan datang menangkap kalian!"
Akan tetapi mendengar ucapan itu, lima orang kasar itu tertawa bergelak, dan si pendek gendut itu tertawa sarnpai perutnya bergelombang. "Ha-ha-haha Thio-ciangkun dan pasukannya sudah hancur binasa oleh para pejuang semalam dan engkau hendak menggertak kami, manis" Mari, ikutlah dengan aku dan engkau akan hidup senang!" Setelah berkata demikian, kepala gerombolan Itu menubruk dengan kedua tangan terpentang di kanan kiri. Melihat ini, Nyonya Bu yang pernah belajar silat itu cepat mengelak ke kiri lalu kaki kanannya menendang ke arah perut yang gendut itu. Akan tetapi sejak menjadi isteri Thio-dangkun de lapan belas tahun yang lalu ia tidak pernah lerlatih, gerakannya menjadi kaku, lambat dan tidak bertenaga. "Bukk... bretttt...!" Biarpun kakinya mengenai perut si gendut, namun ia nerasa seperti menendang sebuah karung penuh gandum saja, dan elakannya juga kurang cepat sehingga tangan kanan kepala gerombolan itu masih dapat nencengkeram pundak bajunya sehingga bajunya terobek.
Tampaklah kulit pundaknya yang putih mulus. "Ha-ha-ha-ha, kakimu kecil mungil dan lunak dan kulit tubuhmu... waaahh, putih mulus... hemmm, hebat sekali...!" si pendek gendut menjadi semakin bergairah dan ia sudah bergerak hendak menubruk lagi, ditertawai oleh empat orang anak buahnya yang sudah dapat menguasai kuda. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencuit dan tampak sinar hijau menyambar ke arah muka kepala gerombolan itu. "Cuiiiittt... capp... aauugghhhh...!" Tubuh si gendut pendek, terjengkang dan darah muncrat membasahi mukanya. Sehelai daun telah menancap di dahi, antara kedua matanya dan tubuhnya yang pendek gendut itu berkelojotan sebentar lalu diam, tewas seketika. Nyonya Bu terkejut sekali dan terbelalak memandang mayat kepala gerombolan yang menggeletak terlentang di depannya. Empat orang anak buah gerombolan itupun terkejut dan sejenak mereka hanya terbelalak memandang.
Kemudian mereka menjadi marah sekali. Mereka mengira bahwa pemimpin mereka tentu dibunuh oleh Nyonya Bu. Maka tanpa dikomando lagi mereka berempat mencabut golok dan menyerbu ke arah wanita itu dengan golok terangkat, siap untuk membacok, dan mulut mereka mengeluarkan teriakan marah. Nyonya Bu hanya tertegun, tak mampu bergerak dan sudah pasrah karena ia tahu bahwa tidak mungkin ia melepaskan diri dari ancaman orang itu. "Cuit-cuit-cuit-cuitt"!" Empat sinar hijau menyambar dari atas dan empat orang pendajahat itu tersentak ke belakang seperti diterjang sesuatu, mulut mereka mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuh mereka terjengkang. seperti halnya pemimpin mereka, di dahi masing-masing menancap sehelai daun dan agaknya daun itu menanxap dalam sekali sehingga darah muncrat-muncrat, mata terbelalak, tubuh berkelonjotan sebenntar lalu terdiam.
Mereka semua tewas seketika! Suasana yang sunyi menyeramkan menyusul peristiwa mengerikan itu. nyonya Bu hanya berdiri terbelalak, memandang lima mayat di depannya dan merasa kedua kakinya lemas. Ditahan-tahannya agar tidak roboh pingsan saking ngerinya. Tiba-tiba terdengar suara tawa aneh itu dari atas, terkekeh-kekeh. "Hi-hi-'heh-heh-heh-heh!" Nyonya Bu mendongak dan melihat nenek gila tadi sudah duduk pula di atas sebatang batang pohon, kedua kakinya yang bersepatu itu terayun-ayun dan sambil matanya rnelirak-lirik menggelikan, mulutnya tersenyum mengejek dan iapun bernyanyi dengan suaranya yang melengking tinggi sehingga terdengar aneh sekali, membuat Nyonya Bu mengkirik (berdiri bulu romanya). "Yang hidup harus mati agar yang mati bisa hidup Yang hidup mematikan agar yang mati menghidupkan Haya-haya.mo ya-ya-ya..." Nyonya Bu merasa ngeri. Apakah ia yang hidup juga akan dibunuh"
Diam-diam ia meraba gagang pisau belati yang tadi dibawanya dari rumah untuk berjaga diri dan yang tadi belum sempat ia pergunakan karena lupa. Akan tetapi pada saat itu iapun menyadari bahwa si nenek gila itu adalah seorang yang sangat sakti, yang dapat membunuh lima orang jahat yang kuat itu hanya dengan sehelai daun! Bagaimana mungkin itu" Akan tetapi kenyataannya begitulah. Lima orang itu semua tewas hanya karena daun pohon yang menancap di dahi mereka masing-masing. Daun yang basah dan lunak! Dan bagaimanapun juga, nenek gila itu telah menyelamatkannya dari malapetaka yang mungkin lebih mengerikan daripada maut sendiri. Tiba-tiba dalam keputus-asaannya tadi, dalam kesendiriannya, ia seperti mendapatkan pegangan kuat. Mengapa tidak" Cepat Nyonya Bu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah nenek yang duduk di atas pohon itu. "Bibi yang sakti... bibi yang budiman..." "Hushh!" Nenek itu memotong dengan marah.
"Memangnya aku ini bibimu" Kapan aku kawin dengan pamanmu" Hihi-heh-heh-heh! Kurang ajar kamu! Aku ini Kui-bo (Biang Hantu), sebut aku Kui bo atau... kamu ingin menernani lima orang itu?" Cuiiiitt...! Sinar hijau neluncur dan sehelai daun rnenancap di atas batu dekat Nyonya Bu. Wanita ini terbelalak pucat. Sehelai daun dapat nenancap dalarn sebuah batu yang keras! mustahil, akan tetapi kenyataannya demikian! "Kui-bo...!" Nyonya Bu menyembah berulang-ulang. "Ampunkan saya. Saya menghaturkan beribu terima kasih..." "Tidak cukup! Sepatutnya berlaksa!" nenek itu terkekeh lagi. "Dasar gila", pikir Nyonya Bu. Apa boleh buat, ia harus menaati perintah nenek gila itu. "Baiklah, Kui-bo. Saya menghaturkan berlaksa terima kasih atas pertolongan Kui-bo menyelamatkan saya dari ancaman orang jahat ini." "Huh, siapa jahat" Mereka itu bukan jahat, melainkan gila ya, gila basah"
Nenek itu kembali tertawa terkekeh-kekeh sehingga biarpun merasa ngeri, akan tetapi Nyonya Bu juga rnerasa lucu sekali. "Heh, kenapa engkau tidak. tertawa" Engkau tidak senang ya melihat aku tertawa?" nenek itu membentak marah dan Nyonya Bu terkejut sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak tahu harus berbuat apa. Untuk tertawa ia takut kalau-kalau disangka mentertawakan nenek itu, kalau tidak, nenek itu marah-marah dan menyangka ia tidak suka melihat nenek itu tertawa. Sungguh serba salah.
"Ti... tidak, Kui-bo... tentu saja aku senang melihat engkau tertawa." akhirnya Nyonya Bu berkata membela diri. "Kalau senang, mengapa tidak ikut tertawa" Hemm, aku mau membuat engkau ikut tertawa sampai puas!" setelah berkata demikian, nenek itu tertawa lagi, akan tetapi sekarang suaranya berbeda, terdengar aneh sekali, mengikik seperti bukan suara manusia Dan tiba-tiba terjadi keanehan nyonya Bu tiba-tiba tertawa bergelakada sesuatu yang membuat ia harus tertawa, seolah perutnya digelitik. Ia hendak bertahan, akan tetapi tidak mampu dan iapun tertawa bergelak, lalu terkekeh-kekeh, merasa geli bukan main sampai ia menekuk pinggangnya, membungkuk-bungkuk sambil menekan perutnya, terus tertawa terpingkal-pingkal. "ha ha ha... heh heh... hi hi hih... aduuhh... ampun... ha ha ha... he he he... ampun, Kui-bo... hi hi hi...?" Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dari atas pohon dan sekali ia menepuk punggung Nyonya Bu, wanita itu berhenti tertawa.
Tubuhnya terasa lemas dan iapun terkulai ke atas tanah, lalu menangis terisak-isak, sesenggukan Sikap nenek itupun berubah seketika Ia berhenti terkekeh, lalu berloncat-loncat seperti anak kecil bermain-main ia mengitari Nyonya Bu, kemudian melihat betapa wanita itu tetap saja menangis sedih, nenek itu tiba-tiba mendekam di samping Nyonya Bu dan ikut pula menangis. Tangisnya amat lantang, berkaok-kaok seperti anak kecil digebuk! Mendengar tangis ini, Nyonya Bu yang sedang berduka karena teringat akan nasibnya yang buruk, menjadi terkejut dan heran. Ia berhenti menangis. Saking herannya dan mengangkat muka memandang ke arah nenek yang menangis berkaok-kaok itu. Ia terbeialak melihat nenek itu rnenangis sungguh-sungguh bukan sekedar berteriak-teriak, melainkan juga air matanya bercucuran. "Kui-bo..., kenapa engkau menangis"' Nyonya Bu yang lupa kesedihannya dan tangisnya berhenti sama sekali, bertanya merasa kasihan.
Nenek itu menghentikan tangisnya dan mengambil sehelai saputangan dari balik ikat pinggangnya, lalu menyusut hidungya dengan suara nyaring. "Heh" Engkau bertanya mengapa aku menangis" Tanyalah kepada dirimu endiri, kenapa engkau menangis, karena aku menangis hanya mengikutimu saja." Nyonya Bu menghela napas. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang nenek gila, akan tetapi nenek gila yang amat lihai. Nenek gila yang sakti, yang membunuh banyak orang dengan begitu mudahnya, hanya mengguakan daun-daun! Iamengerling ke arah mayat-mayat itu dan bergidik. "Kui-bo, aku merasa ngeri sekali melihat mayat-mayat itu. Marilah kita pergi ke tempat lain untuk bicara dan akan kuceritakan mengapa aku bersedih dan menangis." Nenek itu menoleh ke arah mayat-mayat dan ia terkekeh. Tertawa dengan air mata masih membasahi mata dan pipinya. "Heh-heh-heh, kenapa ngeri"
Ketika mereka masih hidup dan dapat bergerak sekalipun, tidak mengerikan. Kenapa setelah mati dan tidak mampu apa-apa lagi, mereka mengerikan" Kenapa manusia takut kepada orang mati" Heh-heh-heh, alangkah tololnya. Kalau. kau merasa ngeri, hayo kita pergi ke tempat lain." Tiba-tiba nenek itu mengulurkan tangan kirinya dan menangkap lengan kanan Nyonya Bu, ditariknya dan diajaknya pergi. "Nanti dulu, Kui-bo. Kudaku... Nyonya Bu menengok ke arah kudanya yang masih makan rumput. "Heh-heh, kuda" Untuk apa?" Nenek itu berhenti dan bertanya heran. "Untuk apa" Tentu saja untuk ditunggangi. Untuk apa lagi?" tanya nyonya Bu, tidak kalah herannya walaupun ia sudah tahu bahwa nenek itu berotak miring. "Bodoh! Tolol banget kamu!" Nenek dan memaki. "Apa engkau tidak rnernpunyai kaki" Hayo jawab, apa engkau tidak mempunyai kaki?" Nenek itu memegang pundak Nyonya Bu dan rnengguncangnya.
"Eh... eh, punya, Kui-bo, punya..." "Nah, kalau punya kaki, untuk apa kakimu itu" Mengapa untuk berjalan saja, harus meminjam kaki kuda. Malas kau! bodoh kau!" Nenek itu menarik lagi lengan Nyonya Bu, diajak pergi. "Ya... ya..., kuda boleh ditinggal, kan tetapi buntalanku itu, berisi pakaian dan uang " "Untuk apa pakaian dan uang" Kalau butuh itu, ambil saja dari mereka yang nemiliki berlebihan. Sudah, jangan cerewet. Kutampar nanti kau!!" Nyonya Bu tidak berani bicara lagi dan membiarkan dirinya diseret oleh nenek itu menjauhi tempat di mana mayat-mayat itu menggeletak. Nenek itu berhenti di bawah sebuah pohon besar, melepaskan tangan Nyonya Bu dan duduk di atas sebuah batu. "Hayo duduk dan ceritakan rnengapa tadi engkau menangis!" katanya. Nyonya Bu duduk dan tidak berani membantah. Nenek gila ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau tidak dituruti permintaannya, mungkin saja ia dibunuh.
Kalau hanya dibunuh masih mending, bagaimana kalau ia disiksanya" ia bergidik ngeri. Maka berceritalah ia dengan sejujurnya. "Aku bernama Nyonya Bu, delapan belas tahun yang lalu, suamiku tewas dalam perang dan aku rnenjadi tawanan lalu dipaksa menjadi isteri Thio-ciangkun dan tinggal di kota Keng-koan." "Mengapa suamimu tewas perang?" "Suamiku bernama Bu Kiat dan menjadi seorang perwira dalam pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi menentang penyerbuan pasukan Mancu." Nenek itu melompat turun dari batu dan berjingkrak menari-nari. "Heh-heh, bagus, bagus! Kalau begtu suamimu itu masih rekan seperjuanganku... Heh-heh-heh!" Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti tertawa dan menari, lalu bertanya kepada Nyonya Bu, nadanya penuh teguran. "Eh, siapa itu Thio-ciangkun?" Dengan terus terang Nyonya Bu menjawab. "Thio Ciangkun (Perwira Thio) adalah Thio Ci Gan, akan tetapi dia setulnya adalah Pangeran Abagan."
"Hee" Seorang pangeran Mancu?" "Benar, kui-bo." "Keparat! Dan engkau lalu menjadi isterinya setelah suamimu tewas?" Tiba-tiba tangan kiri nenek itu mencengkeram leher Nyonya Bu. Nyonya Bu yang sudah merasa putus asa hidup di dunia ini menjadi nekat "Hik-hik!" la terkekeh walaupun lehernya dicekik. "Mau bunuh aku" Lekas bunuh, akupun tidak suka lagi hidup di dunia ini bunuhlah, kui-bo!" Aneh sekali. Ditentang begitu nenek malah hilang marahnya. Ia melepaskan cekikannya dan mengomel. "Tak tahu malu, suaminya yang pejuang terbunuh malah menjadi isteri orang Mancu! Huh, wanita macam apa kau ini!" Teguran seperti itu lebih menyakitkan daripada kematian sekalipun. Wajah Nyonya Bu menjadi merah. Ia turun dari atas batu dan dengan dada membusung ia menentang pandang mata nenek itu dan berkata lantang. "Kui-bo, jangan sembarangan saja menuduh. Kalau saja tidak ada hal yang memaksaku, sampai matipun aku tidak sudi menjadi isteri pangeran Mancu.
Akan tetapi aku terpaksa. Aku tertawan bersama anak tunggalku, anak perempuan yang baru berusia dua tahun. Kalau aku menolak, tentu anakku itu akan dibunuh! Demi menyelamatkan anakku maka terpaksa aku mengorbankan diri menjadi isteri Pangeran Mancu itu." Nenek itu mengangguk-angguk, agaknya otaknya yang miring itu dapat memahami hal ini. Tiba-tiba ia menjadi marah. "Di mana pangeran Mancu iblis laknat itu kini berada" Akan kuhancurkan kepalanya?" "Percuma, Kui-bo. Dia sudah mampus." "Eh" Siapa yang lancang mendahului aku membunuhnya" Akan kuhajar pembunuh lancang itu. Dia mengecewakan hatiku!" Nenek yang miring otaknya itu mencak-mencak marah. Nyonya Bu menghela napas panjang. dasar orang gila, pikirnya, bicaranya tidak karuan. "Tidak ada gunanya, kui bo. Pembunuhnya juga sudah mati." Nenek itu memandang dengan mata terbelalak dan tampak bingung.
"Heh" bagaimana ini" Lalu siapa yang harus kubunuh" Apa yang terjadi, Nyonya Bu?" "Begini, Kui-bo. Setelah anakku itu berusia dua puluh tahun, ia menikah dengan seorang pendekar bernama Lauw leng San. Pendekar itu terbujuk oleh Thio-ciangkun?" "Huh, nama palsu. Sebut saja Pangean Abagan!" bentak nenek itu. "Lauw Heng San yang menjadi mantuku itu terbujuk oleh Pangeran Abagan. Dia mengira bahwa Pangeran Abagan adalah seorang ayah mertua dan pembesar yang baik. Maka diapun ikut dan membantu para pembesar untuk menlumpas para pejuang yang menentang pemerintah Mancu dan menganggap mereka itu pengacau dan penjahat" "Wah, tolol benar mantumu itu, Mantu apa itu, pecat saja dan ceraikan dari anakmu!" Nenek itu kembali rnarah dan kalau marah sinar matanya mencorong seperti mata kucing di waktu malam gelap. "Nanti dulu, Kui-bo, kulanjutkan ceritaku.
Mantuku itu kemudian menyadari bahwa Pangeran Abagan adalah orang Mancu yang jahat, bahkan ia men dengar bahwa Pangeran Abagan membunuh banyak pendekar pembela negara dan bangsa. Maka, kemarin, Lauw Heng San mengamuk, dikeroyok para jagoan anak buah Pangeran Abagan. Heng San mengamuk, banyak jagoan dibunuhny, dan dia akhirnya mati saling bunuh dengan Pangeran Abagan. Melihat keributan ini, aku melarikan diri naik kuda, tidak tahu ke mana perginya puteriku yang melarikan diri lebih dulu. Sampai akhirnya aku tiba di sini bertemu denganmu, Kui-bo. Ahh, rasanya aku lebih baik mati saja. Sejak suamiku, Bu Kiat, tewas, nasib diriku terus dirundung malang. Harapanku satu-satunya hanya pada puteriku. Kalau puteriku berbahagia, akupun reia berkorban dan menanggung kesengsaraan. Akan tetapi sekarang" ah, lebih baik aku mati saja, Kui-bo?" Nyonya Bu menangis iagi.
"Stop, stop! Jangan menangis lagi, nanti aku ikut menangis. Kau ingin mati" tidak tahan hidup lagi" Pengecut, penakut, tidak pantas kau menjadi isteri seorang pendekar patriot seperti Bu Kiat apa kau tidak ingin membalas kejahatan perwira anjing Mancu?" "Aduh, Kui-bo, bagaimana mungkin" Aku hanya seorang wanita yang Ielah dan sudah mulai tua. Tentu saja aku ingin membasmi penjajah Mancu yang telah membunuh suamiku dan kini membuuh mantuku dan membuat puteriku melarikan diri entah ke mana. Hidupku sengsara semenjak bangsa Mancu menjajah tanah air kita. Aku ingin membalas lendam, akan tetapi bagaimana?" "Ho-ho-heh-heh, dasar perempuan goblok! Lihat aku ini. Apa aku ini kurang tua" Akan tetapi aku sudah membunuh banyak anjing Mancu. Jadilah muridku dan engkau akan dapat membunuh banyak musuh!" Mendengar ini, Nyonya Bu ialu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki nenek itu.
"Su-bo (Ibu guru), te-cu (murid) suka sekali kalau Subo sudi mengajarkan ilmu kepada te-cu" "Hemm, kalau engkau benar-benar ingin menjadi muridku, mulai sekarang engkau harus tunduk dan taat kepadaku, melaksanakan semua perintahku, Engkau sanggup?" "Te-cu sanggup, su-bo!" "Nah, perintahku yang pertama. Mulai saat ini engkau tidak boleh menyebut Subo kepadaku. Sebut saja Kui-bo karena aku dikenal sebagai Pek-sim Kui-bo (Biang Iblis Berhati Putih). Dan aku akan tetap menyebutmu Nyonya Bu!" "Baik, Kui-bo." kata Nyonya Bu dengan sikap taa t. Ia tahu bahwa gurunya ini seorang nenek yang sakti sekali akan tetapi wataknya aneh, seperti orang gila. Kalau tidak di turuti kehendaknya, bisa repot dan berbahaya sekali. Mungkin ia akan dibunuhnya seketika. Nyonya Bu tidak tahu bahwa nenek itu, biarpun seperti orang gila, namun ia dapat membunuh dengan kejam hanya kepada orang jahat, dan tidak pernah mengganggu orang baik-baik, bahkan selalu menolong orang yang tertindas.
Karena itu dunia kangouw (sungai telaga, persilatan) memberinya julukan Biang Iblis Berhati Putih. "Bagus! Nah, sekarang marl kita pergi." Pek-sim Kui-bo memegang tangan Nyonya Bu dan membawanya berlari. Nyonya Bu terkejut bukan main. ia menggerakkan kedua kakinya untuk ikut berlari, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah, akan tetapi tubuhnya meluncur dengan cepatnya. ia melihat nenek itu berlari cepat sekali dan ia merasa seolah dirinya dibawa terbang! Setelah matahari condong ke barat, barulah Pek-sim Kui-bo berhenti. Mereka. telah berlari jauh sekali, melewati dua buah bukit dan keluar masuk beberapa buah hutan besar. Ketika Pek-sim Kui-bo berhenti di sebuah hutan, ia melepaskan tangan Nyonya Bu dan sambil menengadahkan mukanya ke atas, hidungnya kembang-kempis mencium-cium.
Melihat ini, Nyonya Bu otomatis juga memperhatikan dan menyedot-nyedot dengan hidungnya untuk dapat mencium apa yang agaknya menarik hati nenek itu. Akhirnya ia mencium bau sedap dari daging dibakar dan tahulah ia mengapa nenek itu berhenti. Agaknya bau daging dibakar itulah yang membuat nenek itu berhenti. Kalau tidak, agaknya ia tidak akan pernah menghentikan larinya yang seperti terbang. "Aduh-aduh"!" Tiba-tiba Pek- sim Kui-bo terbungkuk-bungkuk dan menekan perutnya dengan kedua tangannya dan mukanya tampak seperti orang kesakitan. Melihat ini, Nvona Bu terkejut dan cepat menghampiri "Kui-bo, ada apakah" Apamu yang sakit?" "Aduh?". aduh?". perutku!" nenek itu mengeluh. "Ada apa dengan perutmu" Sakitkah?" Nenek itu mengangguk sambil menekan perutnya. "Sakit apakah, Kui-bo" Mulas?" "Tidak, akan tetapi perih sekali?"", lapar?".!" Mendengar ini, tak tertahankan lagi.
Nyonya Bu tertawa terkekeh-kekeh saking gelinya melihat ulah nenek itu mencium bau daging bakar mendadak perutnya terasa lapar dan ia mengerang kesakitani. Nenek itu begitu mendengar orang tertawa lalu tertawa bergetak, akan tetapi segera tawanya berubah menjadi tangis dan ia berteriak-teriak, ?"".lapar! Lapar?".!" "Mari, Kui-bo, kita datangi orang yang memanggang daging itu. Mungkin dia mau membagi sedikit untuk kita." kata Nyonya Bu yang tiba-tiba juga merasa betapa lapar perutnya. Menurutkan nalurinya sebagai seorang ibu yang menghadapi seorang anaknya yang rewel,. Nyonya Bu juga menggandeng tangan Pek-sim Kui-bo dan menariknya, rnengajaknya memasuki hutan menuju ke arah dari mana datangnya bau sedap daging panggang itu. Pek-sim kui-bo menurut saja dengan lagak manja. Seperti anak kecil merengek kepada ibunya Ketika mereka tiba disebuah lapangan rumput yang terbuka di tengah hutan itu.
Mereka melihat asap mengepul dan ternyata memang ada seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun duduk menghadapi api unggun dan memanggang dua ekor kelenci gemuk yang sudah dikuliti. Agaknya laki-laki itu memberi bumbu kepada dua ekor kelenci yang dipanggangnya maka tercium bau yang sedap seperti bau bawang dimasak. Bahkan Nyonya Bu sendiri yang juga merasa lapar itu terpaksa menjilat bibir dan menelan ludah melihat daging yang kemerahan dan mengeluarkan bau sedap itu. Ketika mendengar langkah orang laki-laki itu menoleh dan melihat dengan heran kepada dua orang wanita itu. Tentu saja ia merasa heran melihat dua orang wanita tiba-tiba muncul dalam hutan lebat itu. Apalagi melihat nyonya Bu yang dalam usia kurang lebih empat puluh tahun masih tampak cantik jelita dengan bentuk tubuh yang menggairahkan.
Melihat laki-laki itu menengok dan tampak wajahnya yang berkumis, berjienggot dan bercambang tebal, Nyonya Bu lalu melangkah maju dan merangkap kedua tangan depan dada sambil mem)ungkuk sebagai penghormatan. "Sobat, kami berdua sedang merasa lapar sekali. Kalau boleh kami ingin minta sedikit daging yang kau panggang itu." kata Nyonya Bu dengan halus dan sopan. Laki-laki itu bangkit berdiri menghadapi Nyonya Bu, mengamati wanita itu dari rambut sampai ke kakinya, kemudian nenyeringai lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba-raba jenggotnya. "Nona yang baik, apakah kalian hanya datang berdua saja?" Nyonya Bu mengangguk, tidak perduli walaupun orang menyebutnya nona" "Tidak ada laki-laki yang mengantar kalian?" Kembali Nyonya Bu menjawab dengan gelengan kepala saja. Laki-laki itu tampak gembira, lalu melirik ke arah Pek-sim Kui-bo dan dia lalu berkata, "Nona, makanan tidak dapat diberikan dengan cuma-cuma begitu saja."
"Aku mau membelinya, menukamya dengan cincin ini?".." Nyonya Bu hendak mencabut sebuah cinci kecil dari jari manisnya. "Wah, aku tidak ingin cincinnya. Yang kuinginkan adalah jarinya!" kata laki-laki itu. Nyonya Bu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Jarinya" mana mungkin jariku ini kuberikan padamu?" tanyanya, masih tidak mengerti. "Ha-ha-ha, kalau jarinya tidak bisa diberikan karena menempel pada tangannya, berikan saja tanganrnu kepadaku!" "Tapi". tapi?"" Nyonya Bu membantah sambil memandang kirinya. Mana mungkin".." diberikan" "Ha-ha-ha-ha, tangan yang menempel pada tubuhmu. Semua anggauta tubuhmu tidak dapat dipisah-pisahkan, maka berikan saja seluruh tubuhmu padaku, nona." Wajah Nyonya Bu menjadi merah. "Apa maksudmu?" tanyanya ketus. "Masa engkau tidak tahu" Mari makan bersamaku, nona manis, kemudian kita berdua pergi bersenang-senang.
Adapun nenek ini?". nenek buruk gila seperti setan ini, biar saja ia kelaparan dan masuk ke neraka".. heiii! Apa yang kau lakukan itu" Kembalikan dagingku!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu nelihat betapa Pek-sim Kui-bo tiba-tiba maju dan menyambar sekor kelenci panggang yang langsung menggigit dan nemakan. Tentu saja dia marah sekali dan cepat dia menerjang maju hendak nerampas kembali daging kelenci itu. Akan tetapi sekali kakinya mencuat, laki-laki itu tertendang dan terlempar ke belakang lalu terbanting roboh! Laki-laki itu menjadi marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya, kemudian sambil menggereng seperti sekor binatang dia berlari ke arah Pek-sim Kui-bo lalu menyerangnya dengan golok di tangan. Golok itu menyambar ke arah kepala nenek itu. Nenek itu masih memegang kelinci panggang di tangan kiri, lalu menggunakan tangan kanannya menyambut golok yang menyambar ke kepalanya.
Dengan tangan kosong ia menyambut golok tajam yang membacok itu. Golok bertemu dengan tangan yang kurus danJ jari-jari tangan nenek itu telah dapat menangkap golok. Laki-laki itu tentu saja merasa heran dan penasaran melihat goloknya ditangkap begitu mudah oleh tangan si nenek. Dia mengerahkan tenaga untuk menarik dan mengiris tangan nenek itu agar terbabat putus. Akan tetapi, ia sarna sekali tidak mampu menggerakkan goloknya. Golok itu seperti menempel pada tangan itu, sama sekali tidak dapat ditarik kembali. Bahkan nenek itu menarik dengan sentakan dan sekali tangannya merenggut, golok itu telah terlepas dari pegangan pemiliknya Kemudian, sambi! Terkekeh membawa golok ke mulutnya dan nenggigit lalu makan golok itu seperti yang dilakukan kepada daging kelenci tadi. Terdengar suara krek-krek berkerontokan seperti orang makan krupuk!
Laki-laki itu, juga Nyonya Bu sampai bengong terlongong melihat nenek itu makan golok. Hanya sebentar laki-laki itu terbengong, karena ia segera maklum bahwa lia berhadapan dengan seorang nenek yang memiliki kesaktian seperti iblis. Maka dia menjadi takut sekali. Tanpa pamit lagi dia memutar tubuhnya dan nelompat hendak melarikan diri meninggalkan nenek yang berbahaya itu. Akan tetapi, Pek Sim Kui-bo tiba-tiba menyemburkan pecahan-pecahan golok dari mulutnya ke arah tubuh laki-laki yang melarikan diri itu. Tampak beberapa sinar kecil meluncur dan nengenai punggung laki-laki itu. Orang tu menjerit kesakitan lalu roboh tertelungkup, berkelojotan sebentar lalu terdiam, mati karena potongan-potongan golok itu menancap dalam sekali di tubuhnya. Nenek itu membuang sisa golok lalu bersila dekat api unggun, melanjutkan makan daging kelinci dan berkata kepada Nyonya Bu. "Hayo, Nyonya Bu. Kau menunggu apa lagi" Bukankah tadi kau bilang mau makan. Nih, kelencinya masih seekor.
Makan dan duduklah di sini!" Nyonya Bu memang tadi tertegun. Bukan saja melihat kehebatan ilmu kepandaian nenek itu yang amat luar biasa, akan tetapl juga melihat betapa nenek itu demikian mudahnya membuhuh orang. Ia tidak berani membantah, lalu duduk di dekat si nenek, menghadapl apl unggun dan ia mengambil kelinci ke dua dan makan daglng kelinci sambil berusaha keras melupakan mayat orang yang menggeletak tak jauh di belakangnya. ia tidak mau banyak bertanya tentang peristiwa tadi karena ia tahu bahwa nenek itu tentu akan menjawab dengan kacau dan malah membingungkan hatinya. Ia ingin memikirkan dan mengambil kesimpulan sendiri. Laki-laki itu memang bukan Orang baik-baik, pikirnya. Jelas bahwa laki-laki itu hendak kurang ajar kepadanya, dan andaikata dilanjutkan, mungkin saja laki-laki yang kelihatan kasar itu akan mempergunakan kekerasan untuk memperkosa atau memaksanya menuruti semua kehendaknya yang mesum.
Seperti yang dilakukan Pangeran Abagan! Betapa banyaknya laki-laki macam itu. Kalau melihat wanita yang menarik hatinya, selalu berusaha sekuatnya untuk memilikinya, untuk memuaskan nafsu-nafsunya, kalau perlu menggunakan cara apapun, cara kasar, keji dan jahatpun akan dilakukannya demi tercapai keinginan hatinya yang terdorong nafsu birahi. Akan tetapi, mengapa harus dibunuh'" Tiba-tiba nenek itu terkekeh. "Heheh-heh, engkau menyayangkan bahwa anjing jantan itu kubunuh?" Ditanya secara tiba-tiba demikian, padahal ia memang sedang memikirkan tentang laki-laki itu, tentu saja ia terkejut sekali. "Ah, sama sekali aku tidak menyayangkan hal itu, Kui-bo. Hanya aku tidak mengerti mengapa dia harus dibunuh?" "Ooo, begitu, ya" Jadi engkau, suka melihat laki-laki itu hidup, memperkosamu dan membunuhku" Begitu maumu?" Nyonya Bu terkejut. Hal ini sam.a sekali tidak ia bayangkan. "Oh, tidak!
Tidak! Ah, kalau begitu memang engkau yang benar. Sebaiknya dia dibunuh seratus kali dibunuh!" Nenek itu tidak berkata-kata lagi, hanya terkekeh-kekeh sambil menggerogoti daging kelinci yang gemuk dan meneteskan gajih yang berminyak. Setelah makan kenyang, Nyonya Bu mengajak Pek-sim Kui-bo mencari air c.untuk minum. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan seperti tadi, Pek-sim Kui-bo rnenggandeng tangan Nyonya Bu dan membawanya lari seperti terbang cepatnya. Pek-sim Kui-bo membawa Nyonya Bu ke lereng dekat puncak gunung Kui san dan di sanalah ia menggembleng Nyonya Bu yang mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya serta dapat mewarisi semua kesaktian Pek-sim kui-bo. Akan tetapi celakanya, Nyonya Bu tidak hanya mewarisi kesaktiannya, akan tetapi ia juga mewarisi atau ketularan gilanya!
Bu Kui Siang menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan. la tidak mau melarikan kudanya cepat-cepat karena merasa kasihan kepada Ma Giok yang berjalan di samping kudanya. Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang amat jauh dan selama ini, Ma Giok hanya ber jalan kaki dan ia menunggang kuda. "Paman Ma, apakah Thai-san yang menjadi tujuan kita itu masih jauh?" tanya Kui Siang. Mereka sudah melakukan perjalanan hampir sehari suntuk hari itu dan saat itu sudah hampir senja. "Masih, Kui Siang. Mungkin satu bulan lagi kita baru akan tiba di sana..?"Satu bulan lagi" Ah, betapa jauhnya. Engkau yang berjalan kaki tentu lelah sekali, paman!" "Ah, tidak. Aku sudah biasa berjalan. Oya, di depan sana terdapat sebuah dusun yang cukup besar. Kalau aku tidak salah ingat, itu dusun Lian-ki-jung dan di sana terdapat rumah penginapan berikut rumah makan. Kita dapat beristirahat, mandi dan makan enak malam ini" Kui Siang merasa bahwa pria ini, sengaja mengalihkan perhatiannya tentang perjalanan jauh yang harus ditempuh dengan jalan kaki.
"Paman Ma, di dusun itu tentu ada orang menjual kuda!" "Ya, memang ada. Akan tetapi kuda kita ini masih kuat dan belum perlu diganti." "Bukan untuk mengganti kuda ini, paman. Akan tetapi kita harus membeli sekor kuda untukmu." "Ah, tidak periu, Kui Siang. Aku masih kuat berjalan." "Tidak, paman. Aku masih mempunyai gelang dan perhiasan, masih berlebihan kalau hanya untuk membeli sekor kuda yang baik!" Ma Giok menggeleng kepalanya. "Tidak perlu membeli kuda, Kui Siang. Biarlah aku berjalan saja." Kui Siang mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, setibanya di dusun itu, lku mau menjual saja kuda ini, paman." "Eh" Dijual" Kenapa" Kuda ini pemting sekali untuk tungganganmu!" "Kalau paman ber jalan kaki, akupun ngin berjalan saja. Kita ini hanya berdua, paman. Kita melakukan perjalanan bersama sehingga sepatutnya kalau berat sarna dipikul dan ringan sama dijinjing. Mana mungkin aku enak-enakan saja menunggang kuda dan engkau bersusah payah berjalan kaki"
Nah, pendeknya aku sudah mengambil keputusan tetap untuk senasib sependeritaan denganmu, paman. Kalau aku menunggang kuda, engkaupun harus menunggang kuda. kalau engkau berjalan kaki, akupun harus lerjalan kaki! Ma Giok dapat menangkap keputusan yang tidak dapat diubahlagi dalam ucapan Kui Siang itu dan dia merasa senang. Wanita muda ini memiliki watak yang baik, tidak ingin senang dan enak sendiri, juga mengenal budi, "Baiklah, Kui Siang. Biarlah aku juga akan menunggang kuda. Tidak mungkin membiarkan engkau berjalan kaki. Kandunganmu sudah besar, jalan kaki terlalu jauh amat tidak baik bagi engkau dan bagi anak dalam kandunganmu." Mereka memasuki dusun Lian-ki- jung. Siang telah berganti sore dan begitu memasuki dusun itu, mereka mendengar suara ribut-ribut di depari sana. Rumah-rumah penduduk di kanan kiri jalan tampak tertutup pintu dan jendelanya dan di luar rumah tampak sepi.
Agaknya semua orang telah bersembunyi dalam rumah masing-masing. Akan tetapi di sana, di depan sebuah mewah, sedang terjadi keributan dan agaknya sedang terjadi perkelahian banyak orang.melihat ini, Ma Giok berkata kepada Kui Siang. "Engkau berhenti dulu di siri, Kul Siang. Bawa kudamu masuk pekarangan rumah di sebelah kiri itu." Setelah melihat Kui Siang dan kudanya bersembunyi, Ma giok lalu berlari cepat ke depan. Setelah tiba di depan rumah gedung tu, di pekarangan rumah dan juga di atas jalan raya depan rumah, banyak orang sedang berkelahi menggunakan senjata tajam. Dia melihat dua belas orang berpakaian seperti perajurit pemerintah sedang melawan pengeroyokan lebih dari tiga puluh orang. Dia cepat nendekati dan karena dia tidak tahu sebab perkelahian dan tidak mengenal siapa puluhan orang itu, dia merasa ragu untuk berpihak siapa. Tentu saja dia akan membantu orang-orang yang pakaiannya menunjukkan bahwa mereka rakyat biasa yang melawan seregu pasukan perajurit Mancu, kalau saja dia mengenal orang-orang itu.
Akan tetapi dia rnelihat betapa orang-orang itu sikapnya buas. Empat orang perajurit Mancu telah menggeletak mandi darah dan yang delapan orang lagi sudah terdesak hebat. Tiba-tiba Ma Giok mendengar jeritan beberapa orang wanita. Dia memasuki pekarangan dan melihat beberapa orang berwajah bengis sedang memondongtiga orang wanita dan dibawa lari. Dan juga ada lima orang sedang mengangkut barang-barang berharga dari dalam rumah itu. Ma Giok mengerutkan alisnya. Kalau mereka itu pejuang, tentu tidak akan menculik wanita dan merampok. Alisnya berkerut. Dia sudah sering melihat penjahat-penjahat yang memakai kedok pejuang untuk melakukan perampokan dan penculikan wanita. Orang-orang seperti itu lebih jahat dari pada perampok dan lebih merugikan daripada musuh yang sebenarnya. Perbuatan mereka itu mencemarkan kehormatan para pejuang dan mngotori arti perjuangan mempertahan nusa dan bangsa.
Ma Giok tidak ragu-ragu lagi. Dia melompat dan menghadang tiga orarg yang memondong tiga orang wanita yang menjerit-jerit itu. Kaki tangannya bergerak cepat dan tiga orang itu berpelantingan. Tiga orang wan ita yang tadinya mereka pondong itu terlepas dari pondongan dan ikut jatuh pula. Mereka menjerit dan segera melarikan diri lagi ke dalam gedung. Ma Giok tidak berhenti di situ. Cepat dia menerjang lima orang yang mengangkut barang-barang dan seperti tiga orang tadi, lima orang inipun berpelantingan jatuh ketika Ma Giok menyerang mereka dengan gerakan cepat sekali. Melihat ini, mereka yang masih bertempur meiawan deiapan orang perajurit itu menjadi panik dan kacau karena di antara delapan orang yang dirobohkan Ma Giok itu terdapat tiga orang pemimpin mereka. Maka, setelah deiapan orang itu bangkit dan memberi tanda suitan-suitan, mereka semua lalu berloncatan dan melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah gedung itu.
Para perajurit menolong empat orang rekan mereka yang terluka parah, dan sebagian lagi ada yang memberi hormat kepada Ma Giok dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi pada saat itu terdengar jerit tangis dari dalam gedung. Beberapa orang perajurit cepat lari masuk gedung dan tak lama kemudian mereka keluar lagi. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang tampak bingung dan sedih keluar bersama para perajurit tadi. Dari pakaiannya, tahulah Ma Giok bahwa orang itu tentu seorang pembesar pemerintah baru Mancu. Rasa tidak suka memenuhi hati Ma Giok. Sebagai seorang pejuang yang setia kepada kerajaan Beng yang sudah jatuh dan yang memusuhi orang Mancu yang menjajah, tentu saja dia merasa tidak suka kepada pembesar Mancu ini. Agaknya pembesar Mancu itu sudah mendengar laporan para perajurit.
Dia segera memberi hormat kepada Ma Giok dengan mengangkat kedua tangan depan dada "Tai-hiap (pendekar besar), banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi?" harap tai-hiap tidak kepalang menolong kami. Putera kami?" dan isterinya, yang baru sepekan menikah". "'tadi dilarikan penjahat lewat pintu belakang. Tolonglah, tai-hiap?" tolong selamatkan mereka?"" Dia memberi hormat berulang-ulang, mengangkat kedua tangan dan memmbungkuk-bungkuk. Mendengar ini, Ma Giok mengerutkan alisnya. "Aku titip keponakanku di sini!" katanya. "Di mana keponakanmu, tai-hiap" Kalian cepat ikut tai-hiap dan mengawal keponakannya ke sini!! perintah pembesar itu kepada para perajurit. Lima orang perajurit lalu mengikuti Ma Giok yang kembali ke tempat di mana Kui Siang menanti.
Kui Siang girang melihat Ma Giok muncul, akan tetapi ia memandang kepada lima orang perajurit Mancu dengan alis berkerut. Melihat mereka, teringatlah ia akan para perajurit pengawal ayah tirinya. Betapa dahulu para perajurit Mancu bersikap sangat hormat kepadanya karena ia adalah puteri Pangeran Abagan dan isteri Lauw Heng San, komandan dari pasukan Garuda Sakti yang terkenal. "Kui Siang, engkau ikut mereka dan menunggu aku di rumah pembesar itu. Aku harus mengejar para penjahat yang menculik putera dan mantu sang pembesar itu" kata Ma Giok dan tanpa menanti jawaban dia sudah melompat dan berlari cepat mengejar ke arah larinya para penjahat tadi. Karena sudah dipesan Ma Giok, pula karena bagi ia sendiri, para perajurit Mancu tidak mendatangkan kesan buruk karena biasanya mereka itu bersikap baik kepadanya.
Kui Siang mengangguk ketika lima orang itu memberi hormat kepadanya dan mempersilahkan ia menjalankan kudanya menuju ke rumah gedung pembesar itu. Lima orang perajurit itu mengawalnya dan Kui Siang bertanya kepada perajurit yang berjalan di dekat kudanya. "Siapakah nama pembesar atasan kalian itu" Dan apa pangkatnya?" Perajurit itu menjawab dengan sikap hormat. "Beliau adalah seorang pembesar pemungut pajak dan bernama Souw Bu Lai, baru beberapa bulan datang dari kota-raja Peking." Kui Siang dapat menduga bahwa pembesar yang bernama Souw Bu Lai itu tentu nama aselinya Sabulai, nama Mancu. Setelah tiba di depan gedung itu, pembesar Souw Bu Lai yang bertubuh jangkung kurus bersama isterinya menyambut Kui Siang. Melihat Kui Siang adalah seorang wanita muda yang sedang mengandung, Nyonya Souw lalu membantunya turun dari kuda, dibantu pula oleh dua orang pelayan.
"Marilah, nak, mari istirahat di dalam." kata nyonya gemuk itu dengan ramah, sambil mengandeng tangan Kui lang. Juga Souw-taijin (pembesar Souw) memberi hormat dan bersikap ramah. "Maafkan kami kalau kami mengganggu, sehingga perjalananmu dengan pamanmu menjadi terganggu, toanio (nyonya)." kata Souw-taijin. Melihat sikap mereka yang ramah dan horrmat itu, senang juga hati Kui Siang dan iapun ikut memasuki gedung. Karena memang sejak kecil sudah terbiasa bergaul dengan keluarga bangsawan, maka Kui Siang tidak merasa canggung. Melihat sikap Kui Siang yang pandai menyesuaikan diri dan tidak malu-malu, keluarga itu juga merasa suka kepada nyonya muda itu. Ketika Kui Siang diajak makan dan berbincang-bincang di ruangan daJam, keJuarga pembesar itu bertanya tentang keadaan keluarganya. Tentu saja pertanyaan yang wajar ini tidak dapat dihindarkan Kui Siang dan terpaksa ia harus menjawab dan menceritakan riwayatnya.
Akan tetapi, ia tidak mau bercerita tentang ayah tirinya, Pangeran Abagan atau pembesar Thio Ci Gan, juga ia tidak menceritakan bahwa mendiang suaminya adalah seorang perwira yang memimpin pasukan Garuda Sakti yang terkenal. "Nama saya Bu Kui Siang," ia memperkenalkan diri dengan suara lembut, "suami saya sudah meninggal dunia terbunuh orang-orang jahat. Pamanku Ma Giok yang kini mengejar penjahat menyelamatkan diriku sehingga tidak ikut terbunuh." "Ah?".., kasihan sekali engkau, nak!" kata Nyonya Souw sambil memegang lengan Kui Siang. Menerima sikap mereka yang akrab dan mengasihaninya itu, Kui Siang menjadi terharu dan ia tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata. "Hemm, penjahat-penjahat itu harus dihukum berat!" geram Souw-taijin gemas, teringat akan keadaannya sendiri yang diganggu penjahat.
"Mereka sudah dihajar oleh Paman Ma Giok dan sahabat-sahabatnya." kata Kui Siang, teringat betapa pangeran Mancu yang menjadi ayah tirinya dan para anak buahnya telah terbunuh oleh mendiang suaminya dan para pendekar, termasuk Ma Giok. "Dan sekarang, engkau dan pamanmu hendak pergi ke manakah?" tanya Nyonya Souw. "Karena saya tidak mempunyai keluarga lain lagi, Paman Ma Giok mengajak saya untuk pergi ke Thai San, di mana dia akan tinggal." kata Kui Siang dengan suara sedih karena ia teringat akan ibu kandungnya yang tidak ketahui ke mana lari atau perginya. "Sudahlah, toa-nio, harap kuatkan hati dan jangan terlalu menuruti hati sedih, terlalu berduka amat tidak baik bagi kandunganmu." kata Souw-taijin. "Benar, Kui Siang?". eh, kupanggil namamu begitu saja, ya" Aku merasa dekat denganmu seolah engkau anggauta keluarga kami sendiri. Jangan terlalu bersedih.
Kalau engkau sudah tidak mempunyai keluarga lagi, anggaplah kami sebagai keluargamu dan engkau tinggallah saja di sini bersama kami." kata Nyonya Souw dengan ramah. "Wah, usul yang baik sekali itu!" kata, Souw-taijin. "Aku setuju, Kui Siang., Tinggallah di sini bersama kami, kalau tidak selamanya ya sampai engkau melahirkan dan anakmu menjadi besar. Kami tidak tega melihat engkau yang sedang mengandung begini melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan." Kata-kata ini terdengar wajar, tidak dibuat-buat atau sekedar pemanis bibir belaka. Kui Siang menjadi terharu sekali. Kembali, setelah Pangeran Abagan yang menjadi ayah tirinya, la bertemu dengan pembesar Mancu dan isterinya yang amat baik hati la semakin yakin bahwa tidak semua orang Mancu itu jahat, juga tidak semua orang Han itu baik. Yang jahat adalah para penguasa Mancu, pemerintahnya, yang menjajah tanah air bangsa Han.
"Terima kasih kepada Souw-taijin dan Souw-hujin (Nyonya Souw) berdua. Soal itu harus dibicarakan dengan Paman Ma, karena dialah yang berhak memutuskan apa yang harus saya lakukan. Hanya dialah (Lanjut ke Jilid 07)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07 pelindung saya dan saya akan mentaati segala petunjuknya." Souw-taijin mengangguk-angguk. "Dia seorang pendekar sakti yang pantas kautaati. Mudah-mudahan dia dapat menyelam atkan putera dan mantu kami." Putera pembesar Souw yang ditawan gerombolan itu bernama Souw Cln, berusia dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan sikapnya lembut, seorang yang telah lulus dalam pelajaran kesusasteraan. Baru sepekan yang lalu Sduw Cin melangsungkan pernikahannya dengan Lui In, isterinya yang baru berusia delapan belas tahun, yang kini ikut pula terculik bersamanya. Pernikahan itu menghebohkan di kalangan para pejabat bangsa Mancu, juga menggegerkan para pejuang karena Souw Cin adalah seorang bangsa Mancu aseli, sedangkan Lui In adalah seorang gadis bangsa Han aseli.
Akan tetapl Souw-taijin yang bijaksana tidak memperdulikan perbedaan. ras ini. Dia menyetujui pernikahan itu karena dia tahu benar bahwa perjodohan itu berdasarkan cinta kasih kedua pihak. Akan tetapi ternyata perkawinan itu mendatangkan akibat buruk, yaitu diserangnya keluarga pembesar Souw pada hari itu, bahkan sepasang pengantin yang baru sepekan menikah itu sempat diculik dan dilarikan gerombolan. Sepasang suami isteri muda itu dilarikan naik ke sebuah bukit kecil yang permukaannya penuh dengan hutan lebat. Baik Souw Cin maupun Lui In, keduanya tidak mampu meronta atau berteriak karena mereka telah lemas oleh totokan dua orang pimpinan gerombolan yang kini memanggul mereka sambil lari bersama kawan-kawannya yang kesemuanya berjumlah tiga puluh orang. Akhirnya mereka tiba di puncak bukit, dalam sebuah hutan cemara. Di tempat terbuka, di mana pohon-pohonnya sudah. ditebang, terdapat beberapa buah rumah darurat terbuat dari kayu dan bambu.
Mereka membentuk lingkaran yang besar dan dua orang tawanan itu diturunkan di tengah-tengah lingkaran. Souw Cin diturunkan dengan kasar, setengah dibanting sehingga pemuda Mancu itu terguling. Akan tetapi Lui In diturunkan perlahan-lahan. "Kalian berlutut, beri hormat kepada para pimpinan kami!" bentak seorang anak buah gerombolan yang tinggi besar dan brewok. Yang disebut pimpinan itu adalah orang yang memondong tawanan tadi, ditambah seorang lagi. Mereka bertiga duduk di sebuah bangku, sedangkan para anak buah berjongkok atau duduk di atas tanah. Di sebelah mereka terdapat pula tiga bangku kosong, yaitu tempat duduk tiga orang pemimpin lain yang tadi dirobohkan Ma Giok dan sekarang berada di dalam rumah untuk mengobati luka-luka mereka. "Hayo berlutut!" bentak lagi si brewok kemuka Souw Cin dan Lui In yang duduk bersimpuh di atas tanah depan para pimpinan itu tidak segera berlutut memberi hormat.
"Kalian ingin disiksa, ya?" si brewok yang agaknya menjadi algojo Itu melangkah maju dan menampar muka Souw Cin. "Plakk! Tubuh Souw Cin terguling dan pipi kirinya membengkak. Lui In menubruknya dan menangis. Akan tetapi mereka berdua tetap tidak mau berlutut, hanya duduk sambil berangkulan. Tiga orang pimpinan lain yang tadi merawat l1.1ka mereka klni mune1.1l dan a tas bangku-bangku yang kosong. Seorang di antara mereka, yang bertubuh. tinggi kurus dan mukanya kuning, melihat algojo hendak menjambak rambut panjang Lui In, cepat mengangkat tangan. "Hentikan! Aku akan memeriksa mereka!" Algojo itu tidak jadi menyiksa dan melepaskan rambut panjang Lui In. "Heh, kalian berdua! Tidak tahukah Kalian siapa kami" Siapa aku?" bentak pemimpin gerombolan bermuka kuning itu. Souw Cin dan Lui In mengangkat muka memandang ke arah si muka kuning, lalu kepalanya menggeleng sebagai jawaban bahwa mereka tidak mengenal mereka.
"Hemm, orang-orang Mancu memang sombong dan bodoh! Ketahuilah engkau, heh Souw Cin orang Mancu keparat, kami adalah para pejuang, orang-orang Han yang membela kerajaan Beng dan menentang kalian para penjajah Mancu! Dan aku adalah Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning), satu di antara Enam Harimau yang memimpin pasukan pejuang ini!" Mendengar ucapan itu, Souw Cin menatap dengan muka berubah pucat karena dia maklum bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Dia hanya mempererat rangkulannya kepada isterinya siap untuk mati bersama isterinya. "Dan engkau, Lui In, perempuan rendah dan hina tak tahu malu! Engkau adalah seorang wanita Han, bagaimana mau merendahkan diri diperisteri seorang penjajah Mancu" Engkau pengkhianat! Kalian berdua harus dihukum dan dengarlah keputusan hukuman bagi kalian! Souw Cin, isterimu akan dlperkosa beramai-ramai di depan matamu, baru kaml akan membunuhmu!"
"Tidak....!!" Souw Cln bangkit berdiri sehingga Lui In yang didekapnya dengan erat itu terbawa berdiri pula. "Kalau kalian mau membunuhku, lakukanlah! Akan tetapi jangan mengganggu Lui In, Ia tidak bersalah apa-apa dan bukankah ia itu sebangsa dengan kalian?" Pada saat itu ternyata totokan yang membuat Souw Cin dan Lui In tidak mampu bicara telah habis pengaruhnya dan mereka mampu menggerakkan semua anggauta tubuh dan dapat mengeluarkan suara. "Ha-ha-ha!!" Kepala gerombolan nomor satu yang berjuluk Harimau Muka Kuning itu tertawa. "Justeru kami ingin engkau melihat isterimu diperkosa beramai-ramai itulah sebagian dari hukumanmu!" "Tidak! Tidak, jangan ganggu isteriku!" Souw Cln memeluk isterinya yang mulai menangis tersedu-sedu. Ui-bin-houw menjulurkan tangannya, menangkap lengan Lui In dan menariknya dengan kuat agar wanita itu terlepas dari rangkulan suaminya.
Akan tetapi suami isteri itu berangkulan sedemikian eratnya sehingga ketika Lui In tertarik, Souw Cin juga ikut terbetot. Agaknya mereka tidak dapat dipisahkan lagi. Si Harimau Muka Kuning marah dan memerintahkan kepada algojonya yang brewok ltu. "Pisahkan mereka!" Sang algojo nampaknya gembira dengan perintah ini. Sambil menyeringai lebar dia menghampiri suami isteri itu. "Heh-heh, kalau perlu kupatah-patahkan semua jari tanganmu, orang Mancu, agar engkau tidak dapat lag! memegangi isterimu. Ha-ha-ha!" Algojo yang tinggi besar dan brewok itu menggerakkan tangannya yang besar dan panjang, menangkap lengan Souw Cln dan agaknya ia hendak melaksanakan ancamannya, yaitu mematah-matahkan semua jari tangan pemuda Mancu itu. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Lepaskan tanganmu!" dan sebuah kerikil menyambar, tepat mengenai tangan algojo yang mencengkeram tangan Souw Cin.
"Takk?" aduuhh?"!" Algojo itu melepaskan pegangannya dan menyeringai kesakitan. Punggung tangannya terasa nyeri sekali dan ketika dia memandangnya, temyata punggung tangannya itu luka berdarah. Sesosok bayangan berkelebat melewati kepala anak buah gerombalan yang membuat lingkaran, tahu-tahu sudah berhadapan dengan algojo itu. Sang algojo terkejut akan tetapi juga marah sekali. Dengan mata melotot lebar menghardik. "Kamu yang menyambit tanganku tadi?" Penyambit yang kini masuk ke dalam lingkaran itu adalah Ma Giok. Dia mencari dan mengejar para gerombolan dan dengan mudah dapat menemukan mereka di puncak bukit itu dan menolong Souw Cin yang terancam algojo itu. "Benar, aku yang melakukannya!" kata Ma Giok dengan Iantang. "Jahanam, engkau sudah bosan hidup!" teriak algojo itu yang cepat mencabut sebatang golok besar dari pinggangnya dan tanpa banyak kata lagi dia menyerang dengan sambaran goloknya ke arah leher Ma Glok.
Agaknya dia akan memenggal leher Ma Giok dengan sekali sabetan. Akan tetapi dengan mudah Ma Giok menundukkan kepalanya sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum algojo itu tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja dia sudah diserang seperti sambaran kilat. "Wuutt?" krekk!" Tulang lengan kanannya patah dan golok itu terlepas dan tangan kanan Ma Giok menyusul ke arah tengkuknya. "Desss?"!" Tubuh aIgojo yang tinggi besar itu terpelanting dan dia tidak mampu bangun kembali.! Melihat ini, enam orang pimpinan yang disebut Enam Harimau itu sudah berloncatan bangkit. Mereka segera mengenal Ma Giok yang tadi membuat mereka melarikan diri. Enam orang pemimpin gerombolan itu menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut golok mereka dan menyerang sambil mengepung Ma Giok. Pendekar ini sudah pula mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan begitu dia menggerakkan pedang itu, tampak gulungan sinar berkelebatan menyambut serangan enam batang golok itu.
Terdengar suara berkerontangan berulang-ulang disusul patahnya golok dan robohnya enam orang pimpinan gerombolan, lima orang di antaranya terluka parah, hanya seorang saja yang terluka ringan pada pundaknya karena dia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat teman-temannya. Dia adalah Ui-bin-houw yang terluka pundak kanannya. Ma Giok sudah menyarungkan pedangnya kembali dan dia bertolak pinggang, membentak dengan suara nyaring berpengaruh. "Hayo, siapa lagi yang hendak mencari kematian! Aku, Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok yang akan mengakhiri kejahatan kalian!" "Lam-liong?".!!?"" banyak suara menyebut julukan ini dan mereka nampak gentar. Bahkan Ui-bin-houw segera berlutut, diturut oleh semua anak buahnya. "Maafkan kami, tai-hiap. Karena tidak mengenal, maka kami berani lancang menyerang tai-hiap. Akan tetapi, kalau tai-hiap benar Lam-liong, kenapa taihiap membela jahanam Mancu ini"
Dia adalah Souw Cin, putera Souw-taijin, pembesar Mancu yang sudah sepatutnya kita basmi! Bukankah tai-hiap terkenal sebagai pemimpin para pejuang" Kami juga pejuang yang menentang penjajah Mancu, tai-hiap!" Ma Giok mengerutkan alisnya yang hitam tebal. "Hemm, pejuang macam apa kalian ini" Merampok harta, menculik wanita, semua untuk kesenangan kalian. Pejuang sejati tidak melakukan, kekejian seperti ini. Kalian hanya segerombolan perampok keji dan jahat yang menggunakan kata perjuangan sebagai kedok! Orang-orang macam kalian ini bahkan mencemarkan nama dan kehormatan para pejuang sejati. Penjahat-penjahat macam kalian sudah sepatutnya dibasmi habis!" Semua anggauta gerombolan menjadi pucat ketakutan. Ui-bin-houw cepat berlutut dan memberi hormat. "Ampun, taihiap. Ampunkan kami yang bodoh. Mulai saat ini kami berjanji akan menjadi pejuang-pejuang yang baik!" Ma Giok sudah terbiasa dengan janji orang-orang macam ini.
Dalam perjalanannya sebagai pejuang yang sudah bertahun-tahun berjuang menentang penjajah semenjak bangsa Mancu berkuasa, dia sudah bertemu dengan banyak gerombolan yang membonceng nama perjuangan untuk melakukan kejahatan demi kesenangan mereka sendiri. Dia tersenyum mengejek dan berkata singkat," kita sama lihat saja nanti!" Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada Souw Cin dan Lui In yang masih saling berangkulan. "Mari, kuantar kalian pulang." Suami isteri in1 merasa lega sekali. Sama sekali mereka tidak menyangka akan dapat lolos demikian mudahnya dari ancaman maut. Mereka cepat bergandeng tangan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Ma Giok yang menjaga agar mereka tidak diganggu atau diserang. Akan tetapi gerombolan itu agaknya sudah kehilangan nyali mereka dan tidak berani mengganggu Naga Selatan yang amat lihai itu. Tentu saja kedatangan mereka bertiga disambut dengan keharuan dan kegembiraan.
Souw-taijin menyuruh puteranya dan mantunya untuk berlutut di depan Ma Giok dan menghaturkan terima kasih. Dia sendiri bersama isterinya berulang kali menjura dan mengucapkan terima kasih. Ma Giok cepat mengangkat bangun suami isteri muda itu., Lalu dia memandang kepada Kui Siang yang ikut menyambut dengan girang. "Kui Siang, mari kita lanjutkan perjalanan." kata Ma Giok. Kui Siang mengangguk, akan tetapi Souw-taijin dan isterinya cepat menjura kepada Ma Giok dan berkata, "Ma-taihiap, kami rnengharap dengan sangat agar taihiap dan Kui Siang tinggal saja di sini. Kami akan merasa senang sekali." kata pembesar Mancu itu. Ma Giok menggeleng kepala keraskeras. Bagaimana mungkin dia tinggal di rumah seorang pembesar Mancu" Dia yang biasanya memimpin para pejuang yang menentang pemerintah Mancu! "Tidak, Souw-taijin. Saya harus pergi melanjutkan perjalanan sekarang juga." katanya.
Tiba-tiba Nyonya Souw berkata. "Kalau tai-hiap tidak bisa, biarkanlah Kui Siang tinggal di sini, taihiap. Kami merasa kasihan kepadanya. Kandungannya besar dan perjalanan jauh akan buruk sekali terhadap kesehatannya. Setidaknya biarkan ia sampai melahirkan anaknya di sini. Ma Giok hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan keadaan Kui Siang. Bagaimanapun juga, dia tidak berhak memutuskan dan diapun maklum bahwa apa yang dikatakan nyonya pembesar itu benar. Kui Siang akan menderita kalau harus melakukan perjalanan jauh dengan kandungan yang telah besar. Maka, dia lalu memandang kepada Kui Siang dan bertanya. "Bagaimana pendapatmu, Kui Siang?" Wanita itu balas memandang dan tersenyum, senyum manis penuh kepasrahan kepada pendekar itu, lalu berkata lirih, "Aku hanya menurut dan menaati apa yang kauputuskan, paman. Terserah kepada keputusanmu. Ma Giok menghela napas lega.
Biarpun dia tidak akan menghalangi kalau Kui Siang memilih tinggal di rumah pembesar Mancu itu, namun di dalam hatinya dia akan merasa kecewa. "Nah, Souw-taijin dan Souw-hujin, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sekarang juga dan terima kasih atas kebaikan hati ji-wi (kalian berdua}." Souw-taijin dan isterinya merasa kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat memaksa kalau kedua orang itu memang bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menghela napas panjang, Souw Bu Lai berkata, "Kalau ji-wi (kalian berdua) hendak melanjutkan perjalanan, kami tidak dapat menahan. Akan tetapi, kulihat kuda tunggangan Kui Siang sudah lemah karena kelelahan. Karena itu terimalah sumbangan dua ekor kuda dari kami agar ji-wi dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Kami harap jiwi tidak akan menolak pemberian kami ini karena hal itu akan membuat hati kami menderita sekali."
Karena khawatir kalau-kalau Ma Giok yang pemimpin pejuang itu akan berkeras menolak, Kui Siang mendahului. "Baiklah, kami terima pemberian tai-jin dengan rasa syukur dan terima kasih. Akan tetapi tai-jin sekeluarga harap berhati-hati karena banyak orang jahat yang dapat mengganggu tai-jin." "Jangan khawatir, Kui Siang. Kami telah minta bala bantuan dari kota Jiangli dan sebentar lagi tentu datang sepasukan perajurit yang akan bertugas sebagai penjaga keamanan di sini." Ma Giok tentu saja tidak dapat menolak lagi pemberian itu karena Kui Siang sudah mendahuluinya menerima. Dua ekor kuda yang besar dan kuat diberikan kepada mereka, bahkan Souw-taijin membekali dengan sekantung emas yang diselipkan di sela kuda. Setelah berpamit, berangkatlah Ma Giok dan Kul Siang, melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Gunung Thai-san. Dua ekor kuda itu ber jalan perlahan di jalan sunyi itu. Sudah tiga hari mereka meninggalkan dusun Lian-ki-jing.
Kesunyian itu membuat Kui Siang mendapat kesempatan untuk mengeluarkan gagasan yang membuat ia bingung semenjak ia meninggalkan keluarga Souw di Lian-ki-jing itu. "Paman Ma, aku merasa heran sekali dan tidak mengerti?"" Ma Giok yang menunggang kuda di sebelah kiri Kui Siang, menoleh dan memandang wanita itu sambil tersenyum. "Apa yang kauherankan dan tidak kau mengerti itu?" Kui Siang memandang lagi ke depan dan menjalankan kudanya perlahan-lahan. "Ketika aku masih menjadi puteri Pangeran Abagan yang. menyayangku, aku menganggap bahwa dia seorang yang baik dan para pejuang yang kuanggap sebagai penjahat dan pengacau adalah orang-orang jahat. Kemudian, setelah terjadi keributan yang mengakibatkan tewasnya suamiku, aku melakukan perjalanan bersamamu, aku sering mendengar paman bercerita ten tang para pejuang yang gagah perkasa, pembela nusa bangsa yang budiman dan tentang orang-orang Mancu yang menjadi pembesar sebagai orang-orang jahat.
Aku mulai merasa kagum kepada para pendekar pejuang dan mulai merasa benci kepada orang-orang Mancu. Akan tetapi apa yang kualami semenjak melarikan diri dari gedung Pangeran Abagan, aku melihat kenyataan yang sungguh amat berlawanan dengan apa yang kau ceritakan, paman. Aku menjadi bingung dan ragu. Beberapa kali aku bertemu dengan para pejuang yang merampok dan jahat, suka memperkosa wanita. Sebaliknya, bukan hanya Pangeran Abagan yang baik hati, melainkan juga Pembesar Souw Bu Lai itupun seorang Mancu yang baik hati." Wanita itu berhenti bicara dan menoleh, memandang kepada Ma Giok dengan sinar mata bertanya. Sebelum menjawab Ma Giok menarik napas panjang. "Akupun seringkali melihat kenyataan yang memuakkan dan membuat aku marah, Kui Siang. Mereka yang jahat itu sebetulnya bukan pejuang sejati, melainkan pejuang palsu, hanya. orang-orang jahat yang berkedok perjuang untuk menutupi kejahatan mereka.
Mereka itu adalah orang-orang yang mencemarkan kehormatan para pejuang sejati. "Dan paman tentu akan menentang orang-orang jahat yang menggunakan nama pejuang itu, bukan?" "Tentu saja! Mereka orang jahat dan sebagai seorang pendekar aku harus membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar namun lemah tertindas!" "Dan engkau juga menentang pembesar Mancu, walaupun pembesar itu baik hati?" Ma Giok meragu, lalu menghela napas kembali. "Di sini kadang terjadi pertentangan batin dalam hatiku, Kui Siang. Sebagai seorang patriot pejuang pembela tanah air dan bangsa, aku harus menentang setiap orang Mancu karena mereka menjajah tanah air kita. Akan tetapi sebagai seorang pendekar, aku harus membela yang benar dan menentang setiap orang penjahat, tidak peduli bangsa dan dari golongan apa penjahat itu. Seperti Souw-taijin itu, kalau aku ingat bahwa dia seorang pembesar Mancu, seharusnya aku menentangnya.
Akan tetapi di lain pihak aku melihat dia seorang yang baik hati dan diganggu oleh orang-orang jahat, maka aku harus membela dan menolongnya. Aku sendiri menjadi bingung kalau menghadapi kenyataan seperti itu." Kui Siang mengerutkan alisnya yang keci1 panjang dan hitam. Ia ikut memikirkan persoalan yang dihadapi Ma Giok. Kemudian ia berkata, "Aku mempunyai pendapat dan gagasan, paman. Akan tetapi sebelum kukatakan itu, kuharap lebih dulu agar paman suka memaafkan kelancanganku ini." Ma Giok tersenyum. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Dan sama sekali tidak lancang kalau engkau mempunyai gagasan. Mungkin pendapatmu itu dapat menjadi bahan pertimbangan untuk aku. Katakanlah bagaimana pendapatmu dan apa gagasanmu itu?" "Begini, paman. Bangsa Mancu menjatuhkan kerajaan Beng dengan perang. Kalau para pejuang hendak mengusir penjajah Mancu, tentu harus melalui periempuran, berarti perang yang melibatkan banyak orang.
Karena ltu, seyogyanya paman dapat memisahkan antara tugas patriot yang berjuang dan tugas pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Untuk berperang mengusir penjajah, paman membutuhkan pasukan yang besar dan kuat. Akan tetapi kalau paman berada seorang diri seperti sekarang inl, tidakkah lebih baik kalau paman menempatkan diri sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan" Paman dapat menentang siapa saja yang jahat, baik dia orang Han, orang Mancu, atau orang berbangsa apapun juga. Dan paman membela mereka yang benar akan tetapi lemah tertindas, juga tidak perduli orang itu dari golongan manapun. Paman sekarang menjadi pendekar. Kelak, kalau saatnya tiba dan dapat dihimpun pasukan besar untuk memerangi penjajah, baru paman sebagai pahlawan patriot. Bagaimana pendapat paman?"" Mendengar ucapan itu, Ma Giok mengerutkan alisnya dan matanya setengah dipejamkan, dia berpikir keras dan menimbang-nimbang.
Akhirnya dia membuka matanya dan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Kui Siang dan berkata lantang bernada gembira. "Bagus! Tepat sekali pendapat dan gagasanmu itu, Kui Siang. Tadinya ada juga pikiran seperti itu menyelinap dalam benakku, akan tetapi aku masih ragu-ragu. Sekarang, mendengar pendapatmu, aku menjadi lega dan hatiku menjadi tetap. Baik, mulai saat ini aku akan berpikir dan bertindak sebagai pendekar dan kelak, kalau saatnya tiba, kalau ada pasukan besar dan kuat yang siap bertempur, baru aku akan bertindak sebagai seorang pejuang." "Terima kasih kalau paman setuju dengan pendapatku, aku merasa girang sekali!" kata Kui Siang. Wanita itu semakin kagum kepada Ma Giok yang ternyata adalah seorang pendekar yang sakti, berwibawa, dan dapat menerima pendapat orang lain yang berarti bahwa dia memiliki kerendahan hati. Juga selama dalam perjalanan ini Ma Giok selalu bersikap ramah, sabar, penuh pengertian dan selalu menjaganya dengan penuh perhatian.
Diam-diam ia merasa berhutang budi dan berterima kasih sekaIi. Kalau tidak ada perlindungan Ma Giok, tentu ia sudah celaka dan bukan mustahil kalau sekarang ia telah tewas. Perjalanan mereka kini semakin lambat. Kandungan Kui Siang sudah tua dan hal ini menghalangi ia me!akukan perjalanan cepat. Kuda yang ditungganginya hanya berjalan perlahan saja. Ma Giok tidak memperkenankan ia membedal kudanya, karena kalau kudanya berlari congklang, tentu tubuh Kui Siang akan terguncang-guncang dan hal ini akan berbahaya sekali bagi kandungannya. Pada suatu senja mereka tiba di sebuah hutan. Ma Giok menghentikan perjalanan, lalu melompat naik ke atas pohon yang paling tinggi, melihat ke sekelilingnya. Dia merasa girang melihat sebuah dusun tak jauh di luar hutan, maka cepat dia melompat turun kembali. "Di luar hutan ini, tidak terlalu jauh, terdapat sebuah dusun. Aku melihat banyak atap rumah, menunjukkan bahwa dusun itu cukup besar.
Sebelum gelap kita akan dapat tiba di sana. Mari kita lanjutkan perjalanan ke dusun itu, Kui Siang." Akan tetapi, tiba-tiba dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik. Ma Giok cepat me lompat turun karena melihat kuda tunggangan Kui Siang mengangkat kedua kaki depan ke atas. Dia khawatir kalau Kui Siang terjatuh. Dengan sigap dia menangkap kendali di moncong kuda sehingga kuda itu tenang kembali. Kui Siang juga segera turun dari atas punggung kuda. "Ada apakah dengan kuda kita?" tanya wan ita itu. "Mereka tentu mencium bahaya, entah ada. harimau atau ada orang." kata Ma Giok dan dengan penuh kewaspadaan dia berdiri tegak dalam keadaan siap menghadapi bahaya. Tak lama kemudian, telinganya mendengar jejak langkah orang-orang menghampiri tempat itu. Kemudian muncullah dua belas orang, dipimpin oleh seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Dia tampak.gagah perkasa dan usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Di punggungnya terselip senjata siang-kiam (sepasang pedang). Ketika Ma Giok memperhatikan, tahulah dia bahwa dua belas orang itu adalah orang-orang yang pernah mengeroyoknya ketika mereka menyerbu rumah Pembesar Souw di dusun Lian-ki-jing tempo hari. Akan tetapi yang memimpin mereka ini adalah seorang. yang belum pernah dilihatnya. Dua belas orang itu menuding ke arah Ma Giok dan berkata kepada laki-laki muka hitam yang memimpin mereka. "lnilah orangnya, Can-taihiap (pendekar Can)." Pria muda itu bernama Can Ok dan dia terkenal sebagai seorang tokoh kangouw yang membenci dan memusuhi penjajah Mancu, walaupun ia juga dikenal sebagai seorang tokoh sesat yang tidak pantang melakukan bermacam kejahatan. Mendengar dari gerombolan itu betapa Ma Giok yang tadinya dikenal sebagai pimpinan para pejuang menentang Mancu ini, kini malah membela Pembesar Souw, seorang Mancu, dia menjadi marah dan bersama dua belas orang anggauta gerombolan itu dia mencari dan mengejar Ma Giok.
Pada sore hari itu rombongan ini berhasil menemukan Ma Giok dan Kui Siang di dalam hutan itu. Can Ok melangkah maju menghadapi Ma Giok dan sejenak kedua orang itu saling pandang dengan penuh perhatian seperti dua ekor ayam jago hendak berlaga. "Hemm, jadi inilah yang bernama Ma Giok berjuluk Lam-liong, yang tadinya terkenal sebagai seorang pejuang akan tetapi sekarang menjadi pengkhianat dan membela penjajah Mancu?"Suara Can Ok besar dan lantang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Ma Giok dan tangan kanannya bertolak pinggang. Ma Giok tersenyum mengejek. Orang ini memimpin para anggauta gerombolan penjahat itu, tentu bukan orang baik-baik dan hal ini kentara pula dad sikapnya yang sombong. "Benar, aku Ma Giok Siapakah engkau, sobat dan apa maksud kalian menghadang perjalananku?" "Pengkhianat! Ketahuilah bahwa aku Can Ok yang terkenal sebagai tokoh pejuang yang selalu menentang penjajah Mancu.
Jodoh Rajawali 21 Jatuh Cinta Sama Lo! No Way! Karya Rere Nurlie 3200 Miles Away From Home 4
^