Pencarian

Si Tangan Halilintar 3

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Kui Siang tentu saja tidak mengetahui dengan jelas keadaan para pemberontak itu karena ia hanya mendengar penuturan ibunya dan ia baru berusia dua tahun ketika ayah kandungnya gugur dalam perang sebagai seorang pejuang patriot melawan bangsa Mancu yang datang menjajah tanah air. Sebetulnya rombongan penari itu adalah serombongan pendekar patriot yang bertugas menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw untuk rencana pemberontakan terhadap pemerintah Mancu. Pemimpin rombongan itu bernama Ma Giok, seorang guru silat yang terkenal gagah perkasa dan berjiwa patriot. Ma Hong Lian adalah anaknya yang sejak kecil telah ditinggal mati ibunya. Hong Lian dididik ilmu silat oleh ayahnya sendiri sehingga setelah dewasa ia menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan berjiwa patriot pula. Di dunia persilatan Ma Hong Lian dikenal dengan julukan Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita Tit-Ie).
Karena merasa penasaran melihat sepak terjang para pembesar, baik bangsa Mancu maupun bangsa Han yang menjadi pengkhianat dan menghambakan diri kepada pemerintah Mancu, melihat betapa mereka itu memperkaya diri sendiri dengan menindas rakyat, memaksa rakyat membayar pajak untuk dikorup demi menggendutkan perut sendiri, para orang gagah di daerah selatan segera mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan untuk menggerakkan pemberontakan. Akan tetapi usaha mereka itu selalu kandas karena pemerintah memang cerdik dan mendapat dukungan banyak orang pribumi yang berilmu tinggi dan menjadi pengkhianat, orang-orang yang sudah dipengaruhi dengan umpan harta, kedudukan tinggi, atau wanita. Oleh karena gerakan besar mereka selalu gagal untuk menyerang pasukan pemerintah penjajah Mancu, maka kini sisa-sisa para patriot hanya bergerak dengan hati-hati dan sangat terbatas sekali.
Mereka lebih mengutamakan gerakan menentang para pembesar korup yang menindas rakyat dan membasmi kaki tangan mereka. Untuk memberontak terhadap pemerintah, mereka tidak mampu. Maka, jalan satu-satunya untuk membela rakyat adalah secara langsung menentang pembesar-pembesar setempat dan kaki tangan mereka yang menyengsarakan kehidupan rakyat jelata. Ma Giok atau yang biasa disebut Makauwsu (Guru silat Ma) mendapat tugas untuk menghubungi orang-orang di utara yang berjiwa patriot dan memiliki kegagahan. Di samping itu juga bertugas menyelidiki para pembesar yang menjadi kepercayaan kaisar, para pembesar yang memiliki pengaruh besar. Dalam perjalanan untuk melaksanakan tugas ini, Ma Giok menyamar sebagai pemimpin serombongan penari silat. Para pembantunya adalah puterinya sendiri, Ma Hong Lian, dan dua orang murid yang sudah dapat diandalkan.
Dia mendengar bahwa di Keng-koan tinggal seorang pembesar militer yang berpengaruh dan mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Juga dia mendehgar bahwa Thio-ciangkun (Panglima Thio) itu kini membentuk seregu pasukan yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, dipimpin oleh perwira-perwira yang amat lihai sehingga merupakan pasukan yang tangguh yang diberi nama Pasukan Garuda Sakti. Ma Giok segera mengajak rombongannya melakukan penyelidikan ke kota Keng-koan. Akan tetapi, sekali ini Ma Giok terlalu memandang rendah kepada Pembesar Thio itu. Thio-ciangkun terlalu cerdik baginya. Sebelum Ma Giok dan rombongannya sempat berbuat sesuatu, sebaliknya keadaannya malah sudah diketahui para penyelidik yang disebar oleh Thio-ciangkun. Sarna sekali Ma Giok tidak tahu bahwa di dalam kuil di mana dia serombongannya bermalam, atau di tempattempat makan dan di mana saja, telah tersebar mata-mata yang lihai dari Thiociangkun.
Kemudian, sarna sekali tidak tersangka-sangka olehnya, terjadilah penyerbuan itu. Dia sendiri tertawan dan dua orang muridnya tewas, sedangkan anaknya Ma Hong Lian, tidak diketahui bagaimana nasibnya. Malam itu Ma Giok duduk termenung dalam kamar tahanannya. Sudah berbulan-bulan, sedikitnya sudah enam bulan, dia dikurung dalam kamar tahanan ini. Dia dapat menduga mengapa sampai sekarang dia belum juga dibunuh atau dihukum. Tentu Thio-ciangkun ingin mengorek semua rahasia kawan-kawannya dari mulutnya. Namun dia tidak pernah mau mengaku. Yang dia tidak tahu adalah bahwa dia tidak disiksa itu karena usaha Lauw Heng San yang membujuk kepada Thio-ciangkun agar Ma Giok tidak dipaksa dengan kekerasan, melainkan dibujuk dengan halus. "Orang itu berwatak keras," demikian Heng San berkata kepada atasannya yang juga kini telah menjadi ayah mertuanya. "Semakin diancam, semakin dia menantang kematian. Sebaliknya kalau diperlakukan dengan halus, ada harapan dia akan tunduk.
Pula, puterinya belum tertawan dan saya yakin bahwa kawan-kawannya tentu akan berusaha membebaskannya. Dengan demikian, dia dapat kita umpankan sebagai umpan untuk memancing datangnya kawan-kawannya." Nasehat ini diturut dan Ma Giok tidak disiksa, dan memang hal ini yang dikehendaki Heng San yang merasa kasihan kepada ayah dari Ma Hong Lian, gadis yang tak pernah dilupakannya itu. Malam semakin larut, Ma Giok duduk sambil melamun. Enam bulan telah lewat. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Akan tetapi dia tidak peduli akan nasib dirinya. Dia sudah cukup kenyang dan lama hidup di dunia, cukup banyak menderita, kematian isterinya dan mengalami kegagalan dalam perjuangan. Dia tidak takut dan tidak sedih kalau harus mati. Akan tetapi dia teringat kepada anaknya. Dia tidak tahu di mana adanya Hong Lian dan bagaimana dengan nasib puterinya itu. Namun dia tidak putus asa. Hong Lian lolos, berarti puterinya itu tentu selamat. Apalagi dia pernah melihat pengemis gila itu yang bukan lain adalah Tan Kok yang berjuluk Ngo-jiauw-eng (Garuda Kuku Lima), paman gurunya sendiri!
Dia juga percaya bahwa setiap saat susioknya (paman gurunya) itu pasti akan muncul untuk membebaskan dkinya. Ma Giok memandang ke luar pintu dan melihat enam orang perajurit pengawal duduk minum arak sambil main catur dengan gembira. Tidak ada seorangpun di antara mereka memperhatikannya. Saking lamanya dia dikeram di situ, para penjaga itu sudah terbiasa dan menganggap dia sebagai seorang tawanan biasa yang tak berdaya. Ma Giok mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat perwira Lihai Ycmg dulu merobohkannya sehingga dia tertawan. Dia masih merasa penasaran mengingat betapa perwira tinggi kurus itu dapat merobohkannya, padahal untuk daerah selatan, permainan goloknya jarang terkalahkan. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang menjatuhkannya adalah Lui Tiong yang berjuluk Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning), seorang tokoh ahli pedang yang sebelum Lauw Heng San datang, menjadi jagoan nomor satu di antara para pembantu Panglima Thio!
Pada saar itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang memasuki ruangan itu. Ma Giok merasa heran melihat seorang pemuda telah berdiri di situ dan semua perajurit penjaga yang melihatnya lalu menyambut dengan hormat. "Lauw-sicu!" sapa mereka. Pemuda itu adalah Heng San. Dia menaruh telunjuknya ke depan bibirnya dan berbisik, "Sstt, jangan berisik, musuh datang. Kalian jagalah di sini dengan waspada, biar aku yang menyambut mereka di atas!" Setelah berkata demikian, tubuh pemuda itu berkelebat dan lenyap dari ruangan itu. Melihat gerakan Heng San, diam-diam Ma Giok menjadi terkejut sekali dan dia mengeluh dalam hatinya. Pemuda tadi memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang agaknya lebih tinggi daripada tingkat perwira yang merobohkannya. Tak disangkanya sarna sekali bahwa Panglima Thio ternyata memiliki jagoan-jagoan yang demikian banyak dan lihai. Dengan menggunakan gin-kang yang hebat, Heng San sudah meluncur naik ke atas genteng.
Tadi dia sedang melamun dalam kamarnya membayangkan wajah Hong Lian yang tak pernah dapat dilupakannya biarpun ia sudah hidup senang di samping Kui Siang, isterinya yang tercinta dan mencintanya. Kemudian ia teringat akan cerita Perwira Lui Tiong tentang adanya seorang pengemis gila, yang menurut Lui Tiong tentu seorang kawan rombongan Ma Giok. Timbul keinginan daJam hatinya untuk dapat segera :"berternu kembali dengan Ma Hong Lian. Ia, tahu gadis itu akan datang bersama-sama kawan-kawannya, mungkin pengemis itu, datang untuk mencoba membebaskan kawannya. Semua harapan ini terdorong kerinduan hatinya untuk dapat ber'jumpa kembali dengan Hong Lian. Dia menjadi geJisah dan segera dia membenahi pakaiannya dan melakukan perondaan di atas wuwungan rumah-rumah di Keng-koan.
Dalam perondaan ini, dia melihat berkelebatnya tiga bayangan orang. Setelah dibayanginya, dia melihat bahwa mereka itu adalah gadis yang senantiasa dipikirkannya, Ma Hong Lian, bersarna seorang pengemis aneh dan seorang yang berpakaian seperti tosu (pendeta To). Gerakan kedua orang kawan gadiS itu demikian ringan, menandakan bahwa mereka berdua memiliki silat yang tinggi. Cepat Heng San mengambil jalan pintas, menyelinap ke tempat tahanan Ma Giok dan memberi peringatan kepada penpenjaga, kemudian dia sendiri melompat ke atas genteng dan dengan tabah menanti datangnya musuh dengan bertangan kosong saja! Tak lama kemudian, tiga bayangan itu datang melayang di atas wuwungan dan tiba di atas rumah Panglima Thio yang besar, di mana terdapat tempat tahanan itu dan di mana terdapat pula para jagoan Thio-ciangkun.
Begitu mereka berhadapan, di bawah sinar bulan yang remang-remang dibantu sinar lampu yang menyorot dari bawah, Ma Hong Lian segera mengenal Heng San dan ia menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Heng San. "Inilah sekor di antara anjing-anjing peliharaan pembesar jahanam Thio itu!" Mendengar seruan Hong Lian ini, tangan pengemis aneh itu bergerak dan secepat kilat sinar menyambar ke arah tubuh Heng San. Tadinya Heng San memperhatikan kakek pengemis ini dengan heran karena orang itu memang aneh. Pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi diberi hiasan ronce-ronce di sana-sini sehingga aneh, wajahnya juga berlepotan lumpur, mulutnya seperti orang tersenyum-senyum geli, akan tetapi matanya mencorong seperti mata harimau di tempat gelap. Apalagi ketika dia menyerang dengan sinar tadi, Heng San terkejut. Dia melihat bahwa yang dilontarkan kakek itu adalah sebuah hui-to (pisau terbang) yang bentuknya melengkung bengkok.
Huito itu menyambar dengan mengeluarkan suara mendesing. Ketika Heng San mempergunakan kegesitannya mengelak, pisau atau golok terbang itu meluncur lewat lalu dapat berputar dan terbang kembali kepada pemiliknya yang menerimanya dengan sambaran tangan kanan! Bukan main, pikirnya. Dia pernah mendengar akan senjata rahasia seperti ini, namun jarang yang mampu menggunakannya. Orang yang mahir melempar hui-to yang dapat membalik seperti itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Pengemis aneh itu agaknya juga menyadari bahwa lawan yang mampu mengelakkan hui-tonya sedemikian mudah merupakan lawan tangguh. Maka dia lalu menyimpan hui-tonya dan menggunakan tongkatnya yang panjang untuk menyerang HengSan. "Heehhhh!" Bentaknya. Tongkatnya menyambar dengan dahsyat, menunjukkan betapa kuatnya tenaga sin-kang (tenaga sakti) pengemis itu. Heng San melawan dengan mengerahkan kecepatannya.
Pemuda ini memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat dan menghadapi tongkat yang amat berbahaya itu dia segera bersilat dengan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silatnya yang mengandung lima unsur dan berubah-ubah dengan amat cepatnya. Melihat Heng San sudah saling serang melawan pengemis aneh, Hong Lian dan tosu itu hendak melompat ke bawah, Heng San yang sejak tadi menaruh perhatian, maklum bahwa gadis itu tentu akan nekat membebaskan ayahnya, maka cepat dia melompat, meninggalkan pengemis aneh dan menghadang di depan gadis itu. "Nona, puiangiah! Engkau tidak akan berhasil, tiada gunanya, bahkan keseiamatanmu sendiri terancam!"kata Heng San. "Keparat, siapa sudi mendengar nasehatmul" bentak Hong Lian dan iapun sudah menggerakkan pedangnya dengan tangan kanan untuk menyerang Heng San. Heng San cepat rnengelak, akan tetapi dari samping menyambar serangkum angin yang dahsyat.
Dia terkejut dan melompat untuk mengelak. Kiranya tosu itu yang menyerangnya dengan kebutan ujung lengan bajunya dan serangan tosu itu bukan main dahsyatnya. Ketika Heng San melompat, dia dipapaki iagi oleh tongkat si pengemis dan kembali dia sudah bertanding melawan pengemis aneh itu, saling serang dengan serunya. Pengemis itu berkata kepada dua orang kawannya. "Ma-siocia, cepat turunlah bersama Ang-toheng (saudara Ang)!" Setelah berkata demikian, dia memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat sekali sehingga Heng San tak berdaya mencegah gadis dan tosu itu yang berlompatan ke bawah, tentu untuk membebaskan Ma Giok. Heng San khawatir sekali kaiau-kalau gadis itu terancam bahaya. Benar saja kekhawatirannya. Tiba-tiba di bawah terdengar teriakan-teriakan para pengawal "Ada penjahat! Ada penjahat"..!" Terdengar suara senjata berkerontangan, tanda bahwa di bawah telah terjadi perkelhian. Sebentar saja, keributan itu menarik perhatian dan para jagoanpun keluarlah.
Lui Tiong, Ban Hok, dan Auwyang Sin keluar dengan senjata di tangan dan segera mengepung gadis dan tosu itu. Hong Lian dan tosu itu terkurung rapat oleh tiga orang jagoan daii sebelas orang perajurit pengawal yang sudah datang berlarian membantu. "Ha-ha-ha! Memang niisib orang she Ma itu baik sekali" Lui Tiong tertawa mengejek. "Kini dia akan ditemani oleh puterinya dan seorang pendeta! Bagus! Jangan bunuh mereka, tangkap hiduphidup!" Setelah berkata demikian, Lui Tiong rnemutar pedangnya maju mendesak, langsung menyerang tosu itu. Akan tetapi di luar dugaan, tosu itu hebat sekali gerakannya. Dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar, dia dapat melindungi dirinya bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya daripada serangan Lui Tiong! Juga Hong Lian mengamuk dengan pedangnya sehingga tidaklah mudah bagi para pengeroyoknya untuk merobohkannya, jangankan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Melihat betapa keadaan tidak mungkin baginya untuk membebaskan ayahnya, Hong Lian menjadi marah sekali. Gerakan pedangnya menjadi ganas dan begitu ia memekik panjang, pedang berkelebat dua kali ke kanan kiri dan robohlah dua orang perajurit yang mengeroyoknya menjadj korban pedangnya. Juga tosu itu berteriak panjang dan sambaran ujung lenlgan bajunya merobohkan seorang pengeroyok karena kepalanya pecah disambar ujung lengan baju yang menjadi keras seperti baja itu. Sementara itu, Heng San yang bertanding melawan pengemis bertongkat, menjadi gelisah sekali mendengar betapa hebatnya pertempuran di bawah. Ada dua kekhawatiran yang bertentangan berkekecamuk dalam hatinya. Di satu pihak khawatir kalau-kalau Hong Lian terluka atau tewas. Kegelisahan ini menghirnpit hatinya dan dia tidak memperdulikan iagi lawannya. Dia melompat rneninggalkan pengemis itu untuk dapat rnelihat dari dekat keadaan di bawah. Pengemis itu memutar tongkatnya dan melompat turun untuk mengejar Heng San.
Akan tetapi ketika dia tiba di bawah, dia melihat betapa dua orang kawannya dikeroyok banyak musuh, maka diapun cepat membantu mereka. Terjunnya pengemis dengan tongkatnya yang lihai itu membuat kepungan agak mengendur. Akan tetapi Heng San tentu saja tidak dapat tinggal diam dan diapun menyerang lagi pengemis itu sehingga kembali tiga orang itu terdesak. Diam-diam tosu dan pengemis itu merasa heran melihat sikap Heng San. Terutama pengemis itu. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Heng San amat tinggi dan kalau pemuda itu menghendaki, tadi tentu sudah dapat merobohkannya. Akan tetapi pemuda itu tidak mau merobohkannya dan kelihatannya seperti ragu-ragu. Seolah-olah pemuda itu mempermainkan mereka, juga mempermainkan kawan-kawannya sendiri. Juga pengemis itu seperti mengenal gerakan Ilmu silat tangan kosong pemuda itu, mengingatkan dia akan kehebatan Ilmu tangan kosong gurunya sendiri!
Melihat keadaan mereka terancam bahaya, pengemis itu berseru, "Mundur" dan tongkatnya berkelebat sedemikian rupa sehingga mengejutkan para pengeroyoknya. Sebetulnya, Heng San mampu menyambut gerakan tongkat ini. Akan tetapi karena dia memang menghendaki agar gadis itu dapat melarikan diri, diapun berpura-pura terkejut dan ikut mundur seperti para jagoan lain. Kesempatan ini dipergunakan tosu dan pengemis Itu untuk melompat dan si pengemis memegang tangan Hong Lian diajak melarikan diri karena gadis itu agaknya nekat. Melihat ini, Lui Tiong menjadi penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi dia didahului Heng San yang berseru nyaring. "Awas, Lui-toako!" Tiba-tiba dari depan menyambar sinar berkelebat. Semua jagoan terkejut karena serangan hui-to ini tidak terduga sebelumnya dan amat cepat datangnya, mengeluarkan suara mendesing. Akan tetapi Heng San telah melompat ke depan dan berjungkir balik.
Dia menggunakan tangannya untuk menyampok sinar itu dari samping sehingga arah hui-to itu melenceng dan hilang di dalam kegelapan malam, tidak mendapatkan korban. "Lihai sekali......!" seruan ini dikeluarkan kedua pihak, baik oleh Lui Tiong dan kawan-kawannya maupun oleh pengemis yang kagum akan gerakan Heng San menangkis hui-to. Lui Tiong dan kawan-kawannya bernapas lega karena tawanan tidak sampai terampas musuh, akan tetapi merekapun menyesal tidak mampu menangkap tiga orang pengacau tadi, bahkan kehilangan tiga orang perajurit yang tewas. Serangan tiga orang pemberontak itu membuat Thio-ciangkun menjadi marah sekali. Dia lalu mengirim utusan ke kota raja untuk minta bala bantuan dan beberapa hari kemudian datanglah sepasukan prajurit kota raja dipimpin seorang panglima dan panglima itu ditemani seorang hwesio berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berbulu seperti orang utan.
Heng San terkejut sekali ketika mendengar bahwa hwesio ini adalah Lui Im Hosiang, seorang tokoh kangouw yang terkenal sakti dan lihai sekali. Semenjak terjadinya penyerbuan malam hari itu, Heng San sering kali kelihatan melamun di dalam rumahnya. Perasaannya menjadi amat tidak enak. Mulai timbul keraguan dalam hatinya. Benarkah Hong Lian dan kawan-kawannya itu merupakan pemberontak-pemberontak yang jahat" ataukah seperti diceritakan isterinya Kui Siang, mereka itu adalah golongan pahlawan, golongan patriot, yaitu orang-orang yang gagah perkasa yang siap membela bangsa dan tanah air dari kekuasaan bangsa asing dengan taruhan nyawa. Dia menjadi ragu. Dia sendiri adalah orang Han, seperti juga Thio-ciangkun, akan tetapi mengapa kini memperhambakan diri kepada kerajaan Mancu dan menentang bangsa sendiri yang menjadi patriot" Dia menjadi bingung. Hong Lian kah yang jahat ataukah dia yang tersesat"
Selagi dia duduk seorang diri melamun di kamar belakang, menghadapi seguci kecil arak, diminum lalu duduk lagi menghela napas panjang, terdengar langkah lembut dan Kui Siang telah berdiri dibelakangnya. Dengan penuh rasa sayang kedua tangan isteri itu memegang pundak Heng San, memijat kedua pundak yang kokoh kuat itu. "San-ko (Kakak San), kenapa sejak tadi engkau melamun dan minum arak seorang diri di sini?" tanya Bu Kui Siang dengan lembut. Heng San menangkap sebelah tangan isterinya, mencium tangan itu lalu berkata, "Siang-moi (dinda Siang), mari duduklah dan kita bicara. Aku perlu sekali mendapatkan teman bicara yang dapat melegakan hatiku saat ini." Kui Siang yang sudah tampak agak membesar perutnya dalam kehamilan tiga bulan itu lalu duduk berhadapan dengan suaminya. la melihat Wajah suaminya seperti orang yang lelah sekali. "Ada apakah, suamiku" Apa yang merisaukan hatimu" Kulihat, semenjak terjadi penyerbuan penjahat yang hendak mernbebaskan tawanan, engkau tampak murung dan gelisah."
"Benar sekali ucapanmu, isteriku. Memang aku sedang gelisah memikirkan peristiwa itu." "Apakah yang menggelisahkan hatimu?" Tentu saja Heng San tidak mau mengatakan bahwa dia memikirkan Hong Lian. "Aku sedang memikirkan kedudukanku sendiri dan kedudukan mereka yang kini aku tentang dan musuhi sesuai dengan kedudukan sebagai komandan pasukan keamanan Garuda Sakti. Sebetulnya, siapakah Ma Giok dan kawan-kawannya itu, Siang-moi" Benar-benarkah mereka itu penjahat, pemberontak yang membuat kekacauan" Ataukah mereka itu orang baik-baik dan aku yang jahat karena memusuhi mereka" Aku menjadi bingung, Siang-moi. "San-ko, mengapa hal itu engkau risaukan" Memang, menurut ibu ada kemungkinan mereka itu adalah para patriot yang membela rakyat Han memusuhi pemerintah penjajah. Akan tetapi klta sarna sekali tidak tahu tentang urusan pemerintah.
Yang jelas bagiku, ayah tiriku adalah seorang yang baik, yang memelihara dan mendidik aku dengan kasih sayang dan juga dia bersikap amat baik kepadamu. Oleh karena itu, wajarlah kalau engkau sebagai pembantu dan juga mantunya membelanya. Apa lagi kenyataannya, orang-orang yang menganggap diri mereka pejuang itu melakukan kekerasan dan kekacauan. Sudah menjadi kewajibanmu untuk membelanya, bukan?" Heng San mengangguk-angguk dan menganggap ucapan isterinya itu cukup beralasan. Orang-orang yang menjadi kawan-kawan Hong Lian itu adalah orang baginya. Dia tidak tahu bagaimana watak mereka, bahkan dia tidak tahu benar orang macam apa adanya Hong Lian, gadis yang menjadi wanita pertama yang merebut hatinya. Sebaliknya, dia mengenal baik ayah mertuanya. Thio-ciangkun adalah seorang pembesar yang baik dan bijaksana. Dan para pembantunya adalah pendekar-pendekar ternama.
Dia tahu, andaikata tidak ada Hong Lian di sana, dia tidak akan ragu memihak Thio-ciangkun. Hanya rasa cintanya terhadap Hong Lian itulah yang membuat dia menjadi ragu dan gelisah! "Engkau benar, Siang-moi, engkau benar....." Suami isteri itu lalu bercakap-cakap dan tiba-tiba datang seorang perajurit anak buah Heng San, melaporkan bahwa dia dipanggil oleh Thio-ciangkun untuk urusan yang penting sekali. Heng San bergegas menghadap Thio Ci Gan. Panglima itu sedang duduk seorang diri dengan alis berkerut dan tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu. "Ah, aku telah menunggu-nunggumu, Heng San. Duduklah!" Setelah duduk, panglima itu menceritakan kepada Heng San bahwa setelah terjadinya penyerbuan para penjahat untuk membebaskan Ma Giok, dia menjadi tidak enak dan setiap malam selalu gelisah. "Oleh karena itu aku merencanakan untuk memindahkan Ma Giok ke kota raja, biarlah para jaksa di sana yang akan memeriksanya."
"Rencana itu baik sekali, ayah," kata Heng San kepada ayah mertuanya. "Berarti kita bebas dari beban menjaga orang yang agaknya menjadi tokoh penting dalam gerombolannya. Heng San merasa ikut lega mendengar keterangan ini. Yang membuat dia gelisah adalah kalau memikirkan tentang Hong Lian yang terpaksa harus berhadapan dengan dia sebagai musuh. "Akan tetapi, semenjak penyerbuan itu, tidak ada tanda-tanda mereka mengadakan aksi. Hal ini malah menggelisahkan hatiku, Heng San. Oleh karena itu, hari ini pergilah engkau melakukan penyelidikan di dalam dan di sekeliling kota. Juga selidiki sekitar jalan yang akan dilalui pasukan yang membawa Ma Giok ke kota raja besok lusa." "Baiklah, ayah." Heng San lalu pulang dan berkemas. Dia tidak memakai pakaian yang ada gambar garuda di bagian dada, melainkan memakai pakaian sederhana dan biasa seperti pakaian penduduk biasa. lsterinya membantunya dan dalam kesibukan itu isterinya mengerutkan alisnya.
"San-ko, aku melihat engkau begini pendiam seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu," tegur sang isteri yang penuh perhatian terhadap suaminya. Heng San yang sudah selesai berkemas merangkul isterinya, mendekap muka isterinya ke dadanya dan dia menghela napas panjang. "Isteriku, aku..... entah mengapa...... merasa amat tidak enak hati, seolah ada sesuatu yang buruk akan terjadi....." "Aih, suamiku. Terus terang saja akupun demikian.... sejak aku bermimpi kemarin dulu...." "Mimpi apa, isteriku?" "Aku bermimpi, kita mendayung perahu berdua.... lalu tiba-tiba perahu terbakar dan aku terjatuh ke dalam lautan.... akan tetapi aku dapat berpegang kepada sepotong papan. Kulihat perahu kita terbakar dan engkau.....ah, engkau di perahuuuu.... " Kui Siang menangis. Heng San mempererat pelukannya dan mencium pipi isterinya. "Siang-moi, itu hanya mimpi. Sudahlah, kita pasrahkan keselamatan kita kepada Thian (Tuhan). Bukankah orang yang melangkah di atas jalan kebenaran selalu dilindungi Thian?" Setelah melepaskan rangkulannya, Heng San siap berangkat.
"Hati-hatilah, San-ko," pesan isterinya. Heng San mulai melaksanakan tugas yang diberikan oleh Thio-ciangkun. Mula-mula dia berjalan-jalan dengan menyamar sebagai orang biasa dalam kota Keng-koan, menyelidiki rumah-rumah penginapan, taman-taman umum, bahkan rumah-rumah makan. Namun tidak menemukan orang, yang mencurigakan. Dia mulai merasa bosan dan kesal, dan juga mulai merasa lelah. Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota sebelah selatan, dia melihat seorang laki-laki tua berjubah lebar berjalan dengan cepat melintas di depannya. Heng San melihat orang itu menoleh dan tersenyum kepadanya, lalu mempercepat langkahnya menuju ke pintu gerbang. Dia menjadi curiga dan cepat membayangi karena merasa seperti mengenal wajah tadi. Setelah orang itu keluar dari pintu gerbang dia menoleh lagi dan melihat Heng San di belakangnya dia lalu berlari cepat! Heng San terkejut karena dia ingat bahwa wajah itu adalah wajah tosu yang ikut menyerbu untuk mernbebaskan Ma Giok, tosu yang amat lihai dan kuat sekali, dengan senjata kedua lengan bajunya yang panjang dan lebar.
Tentu saja dia merasa penasaran dan Heng San lalu menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran. Dengan pengerahan gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) sehingga larinya secepat kijang, akhirnya Heng San dapat memperdekat jarak an tara dia dan orang itu. Pada saat itu mereka sudah tiba di tepi sebuah hutan dan tosu itu berlari memasuki hutan. Sebetulnya, mengejar lawan yang memasuki hutan amatlah berbahaya karena lawan itu akan bersembunyi dan melakukan serangan gelap atau jebakan. Akan tetapi Heng San tidak menjadi gentar dan dengan berani dia mengejar terus, lari memasuki hutan itu. Akan tetapi hutan itu cukup lebat dan dia tidak mengenal daerah hutan itu. Setelah masuk ke dalam hutan, dia kehilangan orang yang dikejar, tidak tahu orang itu lari ke jurusan mana. Heng San maklum bahwa akan percuma saja mengejar orang dalam hutan yang sudah lenyap dan tidak meninggalkan jejak.
Dia mengambil kepu!tusan untuk keluar dari hutan dan memanggil bala bantuan karena sudah diketahui bahwa tosu itu bersarang di dalam hutan sebelah selatan kota. Akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan langkahnya karena dia mendengar suara langkah orang dari belakang. Cepat dia memutar tubuh dan memandang. Jantungnya berdebar keras ketika dia melihat siapa yang menghampirinya. Bukan lain adalah gadis yang selama ini menjadi kenangannya, gadis cantik jelita yang telah memikat hatinya sejak pertemuan pertama. Ma HongLian si pendekar wanita dari Tit-Ie! Hong Lian berhenti melangkah dan berhenti di depannya, dalam jarak empat meter, memandangnya dengan sepasang matanya yang tajam dan indah seperti mata burung Hong. ".... kau.... nona Hong Lian.... kau.... di sini?" tanya Heng San dengan suara gagap. Gadis itu menjawab tenang dan agak ketus. "Akulah yang seharusnya bertanya, Sin-kun Bu-tek, engkau datang ke sini bukankah untuk mencari kami?" Heng San tersenyum dan juga merasa heran.
"Bagaimana engkau dapat mengetahui nama lelucon yang diberikan orang kepadaku itu, nona?" Gadis itu tersenyum mengejek. "Hem, siapa yang tidak mengenal Sin-kun Butek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding), orang gagah perkasa yang telah menjual diri kepada orang kaya?" Heng San tetap tersenyum dan menganggap bahwa gadis itu marah kepadanya dan hendak menang sendiri saja. Dia tetap bersabar dan memandang kagum. "Nona, apakah nona juga sudah mengenal namaku" Aku she (bermarga) Lauw dan namaku...." "Aku tidak perduli engkau she apa dan bernama siapa! Yang kutahu jelas adalah bahwa engkau seorang pemuda yang sudah tersesat jauh, tidak malu menjual diri kepada seorang pembesar kaki tangan kaisar kerajaan Mancu penjajah laknat! Engkau menjadi kaki tangan penindas rakyat!" Heng San memandangnya dengan tersenyurn seolah merasa lucu melihat ulah seorang anak bengal.
"Aih, jangan memutar balikkan kenyataan, nona. Thio-ciangkun adalah seorang pembesar yang bijaksana, dan semua pembantunya adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang membela keadilan dan menjaga keamanan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Adalah engkau dan kawan-kawanmu itulah yang tersesat dan mencari hasil dengan jalan yang mudah dan jahat. Engkau masih muda, nona, janganlah engkau ikut-ikut mereka yang jahat itu. Hiduplah sebagai seorang pendekar wanita yang budiman, sesuai dengan nama julukanmu itu. Aku merasa menyesal sekali melihat keadaanmu yang tersesat sedemikian jauhnya!" Hong Lian memandang dengan heran dan marah, kemudian ia tersenyum meng ejek. "Kalau engkau menganggap aku jahat, kalau aku kauanggap sesat, lalu kenapa beberapa kali engkau sengaja menolongku" Mengapa engkau sengaja membiarkan aku lolos" Apakah dengan cara itu engkau hendak memamerkan kepandaianmu dan hendak menghinaku?"
Heng San memandang dengan sinar mata tajam dan sikapnya bersungguh-sungguh. "Memang aku bodoh, nona. Seharusnya orang-orang seperti engkau dan kawan-kawanmu itu kubasmi habis ltu telah menjadi kewajibanku, baik sebagai seorang yang mengaku menjadi orang gagah, maupun sebagai pemimpin pasukan Garuda Sakti yang kewajibannya rnenjaga keamanan dan membasmi para penjahat. Akan tetapi kepadamu.... " Muka Heng San berubah kemerahan dan berulang kali dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku.... aku tidak dapat melihat engkau tertangkap dan mendapat celaka; Aku..... aku rnerasa kasihan kepadamu, Nona Hong Lian...." Wajah Hong Lian menjadi merah dan ia tampak marah sekali. Ia membantingbanting kakinya dan berkata galak. "Huh! Tak bermalu! Siapa yang ingin kaubela" Siapa yang ingin mendapat kasihanmu" Aku tidak sudi!" "Kau boleh mencaci maki aku, nona.
Engkau boleh menganggap aku musuhmu yang menghalangi pekerjaanmu, akan tetapi betapapun juga, aku..... aku suka padamu....." Tiba-tiba Hong Lian mendekap mukanya sendiri dengan kedua tangan dan ia menangis, tangis yang telah ditahan tahannya sejak tadi, tangis yang keluar dari hati yang jengkel, marah, gemas dan menyesal. Heng San melangkah maju menghampiri dan memandang gadis. itu dengan ragu-ragu. "Nona.... kenapa engkau menangis" Menyesalkah engkau akan segala kesesatan yang telah kau lakukan selama ini" Maritah kembali ke jalan yang benar...." Tiba-tiba Hong Lian membuka kedua tangan yang menutupi mukanya dan matanya yang kemerahan. karena tangis itu menatap tajam wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. "Siapa yang sesat" Aku memang menyesal......menyesal sekali.....!" Heng San menjadi bingung dan tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan gadis itu.
"Nona Hong Lian, kalau sekiranya engkau takut kepada kawan-kawanmu untuk membebaskan diri dari gerombolan jahat itu, percayalah, aku sanggup untuk membebaskan engkau dari mereka. Kalau perlu, aku sanggup membasmi mereka semua dengan kedua tangankul" Hong Lian masih terisak-isak. "Sayang...... engkau menjadi komandan pasukan Garuda Sakti.... " "Kenapa sayang, nona" Akan tetapi..... kalau engkau mau melepaskan dirimu dan keluar dari gerombolan pemberontak dan pengacau jahat itu, akupun akan rela keluar dari pasukan Garuda Sakti. Karena sesungguhnya akupun tidak suka menjadi perwira karena walaupun pekerjaan membasmi para penjahat memang menjadi kewajiban seorang gagah, namun aku tidak suka harus bermusuhan dengan bangsaku sendiri." "Kauw.... kau buta....!" Sebelum Heng San dapat menjawab karena termangu heran dan tidak senang, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan dari dalam rimba muncul dua orang yang segera dikenal Heng San dengan baik.
Mereka berdua itu adalah si tosu dan si pengemis aneh yang tempo hari menyerbu tempat tahanan bersama Hong Lian! "Ha-ha-ha, ternyata Sin-kun Bu-tek bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga lihai sekali memutar lidah! Jika engkau memang seorang gagah seperti yang berkali-kali kaukatakan, jangan engkau memusuhi kami dan tinggalkan gedung Thio-ciangkun. Akan tetapi kalau engkau berkukuh hendak membela pembesar anjing itu terpaksa kami melawan mati-matian. Kalau perlu, kami harus melenyapkan engkau dari muka bumi" kata tosu itu. Heng San tersenyum mengejek mendengar omongan tosu itu. "Engkau berpakaian sebagai pendeta, akan tetapi sesungguhnya engkau seorang jahat yang mengumpulkan kawan-kawan jahat. Perampok, pemberontak dan pengacau yang kerjanya hanya merampok dan mencuri. Akan tetapi aku tidak akan memperdulikan itu semua kalau kalian tidak membujuk dan menyeret seorang gadis memasuki duniamu yang kotor dan sesat itu.
Sekarang, karena kejahatanmu sudah melewati batas dan kalian bertemu dengan aku, jangan harap aku akan dapat mengampuni kalian." Heng San memang merasa benci sekali kepada kawan-kawan Hong Lian yang dianggapnya menjadi sebab kesesatan gadis itu, maka dengan cepat dia lalu maju menyerang tosu itu. Tosu itu mengibaskan lengan bajunya untuk menangkis. "Plakk!" Kepalan tangan Heng San bertemu ujung lengan baju dan keduanya terdorong mundur. Tosu itu membentak marah. "Pinto (aku) Ang Jit Tojin hari ini akan melawan mati-matian!" Maka bertandinglah kedua orang itu dengan seru. Akan tetapi Heng San yang sudah marah sekali dan menganggap bahwa dia bertanding demi kepentingan Hong Lian, untuk membebaskan gadis itu dari pengaruh mereka yang berdosa, tidak. memberi banyak kesempatan k,epada lawannya. Dia mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang hebat, memainkan ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sehingga Ang Jit Tojin terdesak mundur oleh angin pukulan Heng San yang amat dahsyat.
Melihat ini, Tan Kok si Pengemis Aneh berseru marah dan dia memutar tongkatnya sambil berteriak. "Sin Kun Bu-tek, engkau pengkhianat bangsa terimalah kematianmu!" Tongkatnya berputar cepat dan menyambar dengan mengeluarkan angin menderu. Akan tetapi Hengsan tidak merasa jerih. DIa mempergunakan ginkang yang telah mencapai tingkat tinggi dan mengelak dan menangkis semua serangan dua orang lawan yang tua dan lihai itu, akan tetapi sekali ini dia hanya mengalah seperti tempo hari. Dia bermaksud untuk dua orang yang dianggapnya telah menyeret Hong Lian ke dalam kesesatan mereka. Hal ini membuat pengeroyok itu menjadi sibuk karena hasrus menghindarkan diri dari dua kepalan mau Heng San. Hong Lian memandang dengan hati berdebar. Ia tidak membantu karena perasaannya sangat tertekan. Semenjak Ia bertemu dengan pemuda yang dulu merampas hasil curiannya, ia merasa amat kagum kepada pemuda itu.
Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai ilmu silatnya dan berwajah tampan, bersikap baik dan ramah. Ketika ia bertemu lagi dengan Heng San dan mendapat kenyataan bahwa pernuda itu menjadi komandan pasukan Garuda Sakti, menjadi orang kepercayaan Thio-ciangkun, rasa kagum dan sukanya berubah menjadi perasaan benci dan menyesal. Dan baru saja pemuda itu menyatakan cinta kepadanya. Hal ini membuatnya menyesal dan bingung. Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa pemuda itu memperhatikannya karena telah beberapa kali menolong dan membebaskannya, akan tetapi ia masih sangsi. Kini mendengar pernyataan pemuda yang hendak membelanya, dan menyukainya, hatinya merasa sedih dan menyesal. Ah, kalau saja Heng San berdiri di pihaknya. Kalau saja pemuda itu seorang pendekar yang berjiwa patriot. Alangkah bahagianya menyerahkan nasib dirinya kepada seorang pemuda seperti ini.
Ketika itu dari dalam rimba muncul lima orang yang bersenjata pedang dan golok. Mereka segera mengeroyok Heng San yang rnasih mendesak dua orang lawannya. "Hong Lian, kenapa engkau berpeluk tangan saja dan tidak membantu kami?" Tosu itu menegur melihat Hong Lian masih tidak bergerak, hanya memandang seperti orang kehabisan akal. Hong Lian tersentak kaget seperti baru sadar dari mimpi. Ia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Heng San dengan gerakan cepat dan kuat. Heng San mengelak dan dia menjadi bersedih. Kalau hanya dikeroyok pengemis dan tosu itu ditambah lima orang muda yang tidak berapa tinggi kepandaiannya, dia masih dapat melayani mereka dengan mudah. Akan tetapi kini Hong Lian maju mengeroyoknya dan hal ini membuat dia sedih dan juga. marah sekali kepada kawan-kawan Hong Lian itu. Dengan gesit Ia melompat ke sana sini dan kedua tangan kakinya bergerak cepat sehingga dalam waktu cepat dua orang muda yang mengeroyoknya telah dapat dia robohkan. Melihat ketangguhan pemuda itu, si pengemis aneh mengeluarkan seruan yang merupakan isarat bagi para temannya untuk berkumpul di satu jurusan saja sambil mengeluarkan senjata rahasia masing-masing.
Pertama-tama, tiga orang muda dan Hong Lian menyerang dengan senjata rahasia piauw dan pelor besi. Semua senjata rahasia itu meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh Heng San. Pemuda itu cepat melompat ke atas, tinggi sekali sehingga semua senjata rahasia itu meluncur lewat di bawah kakinya. Akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, tiga sinar putih menyambar ke arah tububnya. ltulah gin-piauw (piauw perak) yang dilepas oleh Ang Jit Tojin dengan kuat sekali. Pada saat itu tubuh Heng San berada di udara. Dia cepat mengerahkan gin-kang dan tubuhnya membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali di udara dan dengan cara ini dia berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga batang gin-piauw itu. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, ada lagi tiga batang gin-piauw menyambar. Sebuah menyambar ke arah lehernya, sebuah lagi menyambar ke arah ulu hati dan yang ketiga menyambar ke arah kaki.
Heng San tidak mempunyai waktu untuk mengelak dari semua sambaran piauw itu. Dia menggunakan kaki kiri menendang piauw yang menyerang kaki, menggunakan tangan menyampok terpental piauw yang menyerang dada, lalu miringkan kepala untuk mengelak dari piauw yang mengarah leher. Gerakan pemuda itu sungguh hebat, indah dan luar biasa sehingga mau tidak mau semua lawannya memuji. Akan tetapi pujian yang dikeluarkan dengan suara keras itu membuat Heng San menjadi lengah dan tahu-tahu piauw ke empat meluncur dan biarpun Heng San sudah mencoba untuk miringkan tubuhnya, tetap saja piauw itu menancap di pundak kanannya! Heng San mengaduh dan sambil menggertak giginya dia mencabut piauw itu. Darah mengucur dari pundaknya. Pada saat itu terdengar suara mengaum nyaring dan tahu-tahu sebuah huito (pisau terbang) telah dilontarkan pengemis aneh dan hui-to itu menyambar ke arah tubuh Heng San, disusul oleh hul-to ke dua dan ke tiga!
Karena terluka oleh piauw Ang Jit Tosu, Heng San menjadi marah sekali. Sekarang ada tiga batang hui-to yang menyambar ke arahnya. Dia menyambitkan piauw yang tadi dicabut dari pundaknya, menyambitkan piauw itu sehingga pisau terbang pertama terpukul runtuh ke atas tanah. Hui-to ke dua menyambar dan Heng San meloncat ke atas, kemudian sambil melayang turun dia menendang hui-to ke tiga sehingga hui-to itu mencelat dan terbang ke lain jurusan dengan cepat sekali. Terdengar pekik nyaring ketika hui-to yang tertendang itu menyambar dan disusul robohnya tubuh Hong Lian. Hui-to tadi menancap di dada gadis itu.
Kiranya ketika Hong Lian melihat Heng San terluka oleh gin-piauw hatinya merasa kasihan dan ia tidak bergerak dan tidak lagi ikut mengeroyok, hanya memandang dengan gelisah. Darah yang semakin banyak ke luar dari pundak Heng San, membasahi pakaiannya itu amat mengharukan hati Hong Lian sehingga ketika tiba-tiba hui-to yang tertendang oleh Heng San itu menyambar ke arahnya, ia tidak sempat mengelak dan tanpa dapat dicegah lagi hui-to yang tajam runcing itu menancap di dadanya sampai dalam! Melihat peristiwa yang tidak disangka-sangkanya ini, Heng San menjerit keras dan dia melompat dan menubruk tubuh gadis itu. Dia tidak memperdulikan apa-apa lagi, mengangkat kepala gadis itu ke pangkuannya dan berulang-ulang memanggil. "Hong Lian.....! Hong Lian....." akan tetapi tubuh gadis itu terkulai lemas dalam rangkulannya. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu terbuka dan melihat Heng San memeluknya, ia tersenyum lemah.
"Hong Lian....!" Gadis itu menggerak-gerakkan bibirnya akan tetapi yang keluar hanya suara bisikan lemah. Melihat ini Heng San mendekapnya dan mendekatkan telinganya pada mulut gadis itu. "Hong Liang, engkau hendak memesan apakah" Katakan padaku, tentu akan kulaksanakan permintaanmu....." "Kau.... engkau harus bebaskan ayahku...." sehabis berkata demikian, gadis itu terkulai dan tak bernapas lagi, menghembuskan napas terakhir di pangkuan Heng San. Heng San ingin menjerit, ingin menangis, ingin mengamuk. Dia menganggap kematian gadis i tu adalah kesalahan orang-orang yang sekarang mengepungnya. Para pemberontak jahat ini telah menyesatkan Hong Lian dan kini gadis itu menjadi korban, mati dalam keadaan menyedihkan. Mati di bawah tikaman senjata pemimpin mereka sendiri, digerakkan oleh tendangannya, mati dalam tangannya, padahal dia amat mencintai Hong Lian. Dan ini semua gara-gara para pemberontak itu. Ini semua gara-gara tosu jahanam dan pengemis gila itu!
Heng San mengangkat kepala dan memang ke kanan kiri dengan sinar mata nyeramkan. Kawan-kawan Hong Lian melihat betapa serangan mereka malah menewas gadis itu, dan melihat betapa pemuda yang menjadi lawan mereka itu menubruk dan menangisi mayat Hong Lian menjadi terheran-heran, kesima dan tidak mampu bergerak. Kini, melihat pemuda bangkit berdiri dengan sikap dan pandangan mata liar mengerikan, mereka siap dengan jantung berdebar tegang. Wajah Heng San saat itu seperti wajah sekor harimau terluka yang sudah nekat dan haus darah. "Kalian telah membunuhnya! Kalian orang-orang jahat telah menyeretnya ke jurang maut. Kalian harus membayar untuk itu!" teriaknya, dengan suara parau, mengandung tangis, menyeramkan seperti suara iblis yang penuh dendam. Setelah mengeluarkan kata-kata itu dengan suara yang menyeramkan, Heng San ialu meloncat ke depan menubruk orang yang terdekat.
Seorang yang bersenjata golok terpegang olehnya. Heng San menotok pemuda itu sehingga tidak mampu bergerak, lalu memegang kedua kakinya dan memutar-mutar tubuh itu, dipergunakan sebagai senjata dan menyerang semua orang yang mengepungnya. Melihat pengamukan Heng San yang seperti kesetanan itu, bahkan Ang Jit Tojin dan pengemis aneh itu menjadi gentar juga dan mereka melangkah mundur. Dua orang pemuda lain yang mencoba untuk menyerang, dalam beberapa detik saja sudah terkena tendangan kaki Heng San dan terpukul tubuh kawan sendiri sehingga roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Melihat pemuda yang dijadikan senjata itu telah menjadi mayat pula dengan kepala pecah, Heng San melemparkan mayat itu dan mengamuk dengankedua tangan kakinya. Ang Jit Tojin dan pengemis aneh itu lalu menghujani Heng San dengan senjata rahasia mereka. Dua orang itu memang ahli melempar senjata rahasia.
Heng San harus bersikap hati-hati dan mempergunakan kegesitan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini. Dua orang lawan yang sudah merasa jerih itu mernpergunakan kesempatan ini rnelarikan diri ke dalam hutan. "Jangan lari" Heng San rnembentak mengejar. "Ke manapun kalian pergi sebelum aku dapat rnernbunuh kalian, jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Dengan cepat sekali dia rnengejar dan karena ilrnunya berlari cepat memang luar biasa, sebentar saja dia dapat menyusul si pengernis Tan Kok yang lebih lemah gin-kangnya. Dia menyerang pengemis itu dengan dahsyat dan Tan Kok melawan dengan tongkatnya. Melihat ini Ang Jit Tojin juga berlari kernbali untuk membanntu kawannya. Biarpun dikeroyok orang yang rnerupakan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan ilrnu silat yang sudah tinggi tingkatnya, tetap saja Heng San dapat rnendesak mereka.
Tingkat ilmu silat tangan kosong Heng San rnernang sudah hebat sekali bukan hal berlebihan kalau Liok-tai-jin memberi julukan Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa Tanding) kepadanya. Setelah bertempur selama puluhan jurus, tiba-tiba Heng San yang sudah mendesak kedua orang lawannya itu mendapatkan peluang baik. Sambaran lengan baju Ang Jit Tojin dapat dia tangkap dengan tangan kanan, sedangkan dia menggunakan tangan kiri untuk menghantam ke arah leher si pengemis Tan Kok dengan tangan miring. Pada saat itu, tongkat pengemis itupun menyambar ke arah dadanya. Namun Heng San tidak perduli akan serangan pada dadanya itu. Dia memang bertekad untuk mengadu nyawa dan membiarkan dadanya menyambut pukulan tongkat itu. "Prakkk.... bukkkl" Dua pukulan itu hampir berbareng mengenai sasaran. Akan tetapi kalau pukulan tangan kiri Heng San membuat tulang leher Tan Kok patah dan pengemis itu roboh dan tewas seketika, sebaliknya pukulan tongkat pengemis itu yang mengenai dada Heng San yang amat kokoh kuat hanya mendatangkan rasa nyeri dan luka yang tidak berbahaya.
Walaupun demikian, karena dia terluka dalam, dia merasa dadanya panas lalu muntahkan darah segar. Melihat kawannya tewas dan tahu bah wa dia sendiri tidak akan mampu menandingi lawan, Ang Jit Tojin la1u melompat dan meiarikan diri. Heng San mengejar terus. Sebenarnya, walaupun ilmu berlari cepat tosu itu lebih tinggi dari ilmu berlari cepat si pengemis aneh, namun masih be1um dapat menandingi kecepatan lari Heng San. Sekarang, daiam keadaan terluka o1eh hantaman tongkat Tan Kok tadi, hal ini tentu saja mengurangi kecepatan lari Heng San, maka kecepatan mereka menjadi berimbang dan sampai lama jarak antara mereka tetap. tak berubah. Setelah berlari beberapa li jauhnya, tibalah Ang Jit Tojin di depan sebuah kelenteng (kuil) tua yang berdiri di kaki sebuah bukit. Tosu itu lalu melompat memasuki kuil itu dan lenyap. Heng San berhenti, berdiri di depan pintu kuil dan berteriak-teriak. "Tosu siluman! Keluarlah engkau untuk terima binasa.
Jangan engkau mengotorkan tempat ibadah suci ini dengan darahmu yang kotor! Hayo keluar, atau aku akan menyeretmu ke luar!" Heng San terengah-engah dan merasa dadanya panas dan nyeri. Karena tidak mendengar tosu Itu menjawab dan tidak melihat dia ke luar, Heng San menjadi marah sekali. Dia melompat maju, menendang daun pintu kuil sehingga terdengar suara gaduh. Pintu terbuat dari kayu tebal itu pecah berantakan dan pecahannya terbang ke sana-sini. "Tosu siluman, engkau hendak lari ke mana?" bentaknya sambil melompat ke belakang untuk menjaga kalau-kalau diserang senjata rahasia yang ampuh dari tosu itu. Tiba-tiba sesosok tubuh tua tampak keluar darl daun pintu yang sudah pecah ambrol itu. Seorang kakek tua renta berpakaian pengemis yang melangkah perlahan lalu berdiri di depan pintu, berhadapan dengan Heng San dalam jarak empat meter. Heng San memandang wajah kakek itu dan dia membelalak-belalakkan kedua matanya, lalu menggunakan punggung kedua tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya.
Dia tak percaya akan apa yang dilihatnya mengira bahwa itu adalah akibat luka dalam dadanya. Setelah menggosok-gosok kedua matanya, dia kembali memandanng penuh perhatian. Seorang kakek pengemis yang tua sekali dan wajah..., wajah itu, tubuh yang kurus kering itu, pakaian tambal-tambalan itu....! Kakek pengemis dengan sepasang mata mencorong marah. Dan dia melihat lawannya tadi berada di belakang si kakek dengan sikap tegang dan jerih. Dan belakang tosu itu muncul pula lima orang yang kesemuanya tampak gagah perkasa yang sikapnya keren dan penuh semangat. Heng San merasa betapa matanya berkunang dan seluruh tubuhnya lemas. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis tua renta itu. "Suhu.......!" suaranya yang dalam keadaan biasa pasti akan terdengar gembira dan girang itu kini terdengar penuh keraguan melihat betapa Pat-jiu Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Delapan), yaitu gurunya sendiri, kini memandang marah dan betapa Ang Jit Tojin ternyata bersahabat dengan gurunya.
"Heng San sudah gilakah engkau?" Pat-jiiu Sin-kai menegur dengan suara yang terdengar lebih sedih dari pada marah, "Suhu, kalau tecu bersalah, silahkan suhu menghukum tecu. Akan tetapi, sesungguhnya tecu tidak mengerti apa kesalahan tecu sehingga suhu menjadi marah kepada tecu." "Hemm, murid durhaka! tahukah engkau siapa orang-orang yang kau bunuh itu" Tahukah engkau, siapa Ma Giok yang kau tawan itu?" Heng San memandang wajah suhunya dan melihat sepasang mata suhunya masih memancarkan sinar kemarahan, dia menunduk kembali dan menjawab dengan suara tetap walaupun dibayangi keraguan. "Orang-orang yang tecu basmi itu adalah pemberontak-pemberontak jahat yang melakukan kekacauan dan merampok rakyat. Ma Giok adalah seorang pemimpin gerombolan perampok, seorang penjahat berbahaya, suhu." Kemudian, setelah berhenti sebentar dia menambahkan dengan cepat "dan juga dia seorang ayah yang jahat yang menyeret puterinya sendiri ke dalam jurang kejahatan!"
Pat-jiu Sin-kai memandangnya dengan mata melotot, akan tetapi dia menahan perasaannya dan bertanya "Dan tahukah kau siapa Ngo-jiauw-eng yang kau bunuh tadi?" "Ngo-jiauw-eng (Garuda Kuku Lima)" Suhu maksudkan pengemis aneh tadi" Ah, dia orang yang jahat pula. Dia menggunakan kepandaiannya untuk menjadi penjahat dan dia merupakan pemimpin gerombolan pengacau itu." Wajah pengemis tua itu menjadi merah sekali, dadanya serasa hampir meledak saking marahnya dan terasa amat nyeri seperti ditusuk di bagian kiri dadanya. Dia maklum bahwa tekanan perasaan yang amat berat ini membuat penyakitnya kambuh kembali dan jantungnya terserang hebat. Akan tetapi dia masih menekan perasaan hatinya dan bertanya "Dan tahukah engkau, hai anak durhaka, hai murid murtad, siapakah Thio-ciangkun yang kaubela itu?" Terkejutlah Heng San mendengar gurunya mencaci maki dengan marahnya.
Dia memandang gurunya dan merasa semakin heran melihat gurunya memandang kepadanya dengan marah, wajahnya merah dan tangannya menekan dadanya yang sebelah kiri. Dia menjawab dengan bibir gemetar dan suara meragu. "Thio-ciangkun.... adalah seorang pembesar yang.... bijaksana.... seorang yang mengutamakan keadilan yang membela dan menjaga keamanan rakyat yang membasmi para penjahat...." "Cukup! Tutup mulutmu yang kotor, engkau..... engkau manusia rendah budi Engkau...... tidak saja melumuri muka gurumu dengan kotoran, akan tetapi engkau bahkan mengkhianati orang tuamu sendiri, engkau juga mengkhianati bangsa sendiri..... engkau..... engkau...... terkutuk!" Pat-jiu Sin-kai terhuyung-huyung kearah Heng San dengan kedua tangan terkepal, sikapnya hendak menyerang tangan kanan terkepal dan tangan kiri menekan dada. Akan tetapi sebelum dia memukulkan tangannya ke arah kepala Heng San, jantungnya yang terserang tekanan hebat itu tidak kuat lagi sehingga ia menyemburkan darah dari mulut, roboh terpelanting.
Heng San melompat dan memeluk tubuh suhunya, tidak peduli betapa darah dari mulut gurunya yang memancar itu membasahi seluruh pakaiannya, bahkan mukanya juga terkena darah. Dia memeluk gurunya dan meratap-ratap. "Suhu....., suhu..... ampunkan tecu,..... bunuhlah tecu kalau tecu bersalah".., tapi jangan".. jangan menyiksa diri begini".. suhu,".. ampuuun".. suhu"..!" Kini San benar-benar menangis seperti anak kecil. Dia rnemondong suhunya yang kurus dan ringan itu, membawanya lari ke sana sini seperorang kehilangan akal dan memanggilmanggil suhunya, akan tetapi si pengemis sakti telah mati. Akhirnya Heng San mengetahui akan kenyataan ini. Dia meletakkan mayat gurunya di atas tanah, lalu berlutut di dekat mayat suhunya, menangis sambil memukuli kepalanya sendiri. Kemudian dia merangkak menghampiri Ang Jit Tosu dan orang-orang gagah lainnya yang berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata dingin dan marah.
"Cu-wi (anda sekalian), kalau aku bersalah, mengapa diam saja" Aku, Lauw Heng San, kalau dianggap (Lanjut ke Jilid 05)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05 bersalah, katakanlah apa kesalahanku itu! Kalau kalian tidak mau menga takan, nah, inilah aku. Bunuhlah, aku tidak akan melawan. Tapi sedikitnya, jelaskan dulu mengapa suhu begitu marah kepadaku agar aku tidak mati penasaran." Seorang gagah.yang tinggi besar mencabut goloknya hendak ditimpakan ke leher Heng San yang sudah mandah sa ja dan tidak ingin mengelak atau menangkis. Akan tetapi Ang Jit Tojin cepat mencegah. "Bersabarlah, Cui-enghiong (pendekar Cui. Agaknya anak ini benar-benar telah tertipu. Biarlah aku menceritakan dulu semua hal yang agaknya masih gelap baginya." Mendengar ini, Heng San seger a berlutut di depan Ang Jit Tojin. "Sikap totiang (bapak pendeta) ini saja sudah membuat aku orang she Lauw merasa berterima kasih sekali dan untuk kesalahanku yang sudah-sudah nanti totiang boleh membalas sesuka hatimu.!"
Ang Jit Tojin mengangkat bangun Heng San. "Berdirilah dan dengarkan kata-kataku agar engkau mengerti duduknya persoalan." Heng San lalu bangkit dan dengan mata masih mengalirkan air mata dia mengusap:; dengan punggung tangan dan mendengarkan dengan muka ditundukkan. "KetahqHah, Lauw Heng San. Ma Giok yang sekarang menjadi tawanan Thio-ciangkun itu sebenarnya adalah seorang bekas panglima dari pasukan Gouw Sam Kwie, jenderal yang dengan gigih sampai detik terakhir melawan dan menentang pasukan penjajah Mancu. Biarpun pasukan Jenderal Gouw Sam Kwie telah mengalami kekalahan, namun dalam hati Ma Giok masih menyala api patriot yang tidak rela melihat bangsa Mancu menguasai Cina dan memeras rakyatnya. Ma Giok sama sekali bukan pemirripin gerombolan seperti yang kau sangka. Sebaliknya dia adalah seorang pemimpin segolongan pendekar pembela bangsa dan tanah air yang gagah perkasa dan berani mengorbankan dirinya demi membela bangsanya.
Ma Giok menjadi buruan pemerintah penjajah Mancu dan dia melarikan diri ke selatan dan dia berhasil menggerakkan orang-orang gagah, para pendekar, untuk bersatu melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi usahanya itu mengalami banyak kegagalan karena di antara para pendekar terdapat banyak pengkhianat yang pro pemerintah Mancu. Mereka ini sebetulnya juga orang-orang Han yang tadinya adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi karena pemerintah Mancu mempunyai banyak penasihat yang cerdik pandai, maka banyak orang gagah yang terpengaruh oleh harta benda dan wanita cantik, mau saja menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu, tidak sadar bahwa mereka tertipu." Mendengar ini Heng San mengerutkah alisnya, teringat akan pengalamannya sendiri. Apakah dia termasuk orang yang tertipu karena pengaruh harta dan wanita" Apakah isterinya, Kui Siang, juga merupakan umpan baginya"
"Para pembesar Mancu itu amat cerdik. Mereka menggunakan harta" kedudukan tinggi, atau wanita cantik untuk memikat hati para pendekar sehingga mereka tunduk dan dapat diajak bekerja sama tanpa menyadari bahwa mereka d1jadikan antek penjajah untuk menindas bangsa sendiri. Karena inilah maka usaha Ma Giok banyak mengalami kegagalan. Dengan hati pedih Ma Giok lalu melarikan diri lagi dari pengejaran antek-antek Mancu. Dia lari bersama puteri tunggalnya, yaitu Ma Hong Lian, merantau sambil tiada hentinya melanjutkan perjuangannya. Dia mengumpulkan orang-orang gagah di mana saja untuk membasmi para pembesar kaki tangan kaisar yang menindas rakyat." Heng San teringat kepada Hong Lian yang sudah tewas. "Ahh, Hong Lian.... " dia menengok ke arah mayat gadis itu yang dia tinggalkan tadi. "Jenazahnya sudah kami urus," kata Ang Jit Tojin. Heng San melihat betapa jenazah gurunya juga sudah diangkat ke dalam kuil oleh beberapa orang gagah.
"Usaha Ma Giok dan puterinya mendatangkan ban yak orang gagah yang tadinya tidak acuh, kini timbul dan bangkit kembali semangat mereka. Di antara mereka adalah pin-to (aku) sendiri, dan kawan-kawanku. Bahkan Pat-jiu Sinkai juga tergerak hatinya dan mendukung. Akan tetapi karena dia sendiri sudah sakit-sakitan, dia mencari suhengnya yang ternyata sudah menjadi per tapa di atas puncak bukit dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Maka dia hanya dapat mengajak murid keponakannya, yaitu Ngo-jiauw-eng Tan Kok untuk ikut berjuang dan Tan Kok adalah pengemis aneh yang tewas di tanganmu." Mendengar cerita ini, Heng San menutupi mukanya dengan tangan dan dia menangis penuh penyesalan. Jadi Tan Kok si pengemis aneh itu adalah suhengnya (kakak seperguruannya) sendiri karena gurunya adalah paman guru Ngojiauw-eng Tan Kok. Dia teringat bahwa suhunya, Pat-jiu Sin-kai telah lama berusaha mendapatkan seorang murid untuk dijadikan wakilnya dalam perjuangan yang dimaksud ini karena pengemis sakti itu sering terserang penyakit dan merasa dirinya sudah terlalu tua dan tidak kuat lagi.
Dan setel.ah mendapatkan dirinya sebagai murid, kini dia malah memusuhi kawan-kawan seperjuang gurunya, bahkan "Pin-to sendiri adalah seorang sahabat lama Pat-jiu Sin-kai, maka ketika dia datang kepada pin-to minta bantuan, segera pin-to meluluskan permintaannya dengan senang hati. Pin-to berangkat lebih dulu ke Keng-koan untuk menyusul Ngo-jiauw-eng yang sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Ma-enghiong dan puterinya. Adapun Pat-jiu Sin-kai sendiri hendak pergi ke Ciong-yang untuk mengumpulkan beberapa orang kawan lagi." Heng San mendengarkan cerita itu dengan mata basah dan kini mulailah dia mengerti bahwa dia telah salah sangka, dia telah tertipu oleh ayah mertuanya dan para pembantu Thio-ciangkun. "Sebagai tempat pertemuan telah ditetapkan di sini dan ternyata hari ini Pat-jiu Sin-kai telah dapat mengumpulkan beberapa kawan yang cukup kuat." Ang Jit Tojin menunjuk kelima orang gagah yang berada di situ. "Mereka ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima pendekar besar dari Ciong-yang) yang terkenal dengan kepandaian mereka yang tinggi."
Heng San pernah mendengar nama itu sering dipuji-puji gurunya sebagai pendekar-pendekar besar di jaman ini. Kemudian dia berkata kepada Ang Jit Tojin dengan hati penuh penyesalan. "Tecu memang sudah pantas menerima binasa! Akan tetapi sebelum cuwi turun tangan membebaskan tecu dari tubuh yang kotor ber lumur darah kawan-kawan ini, tecu mohon sedikit keterangan tentang Thio-ciangkun dan para pembantunya. Thio-ciangkun bukan saja telah menjadi atasan tecu, bahkan menjadi ayah mertua tecu"..!" "Bersiaplah untuk mendengar kenyataan yang amat pahit ini; Lauw Heng San. Kami sudah mengetahui bahwa engkau telah menjadi mantu Thio-dangkun dan bahwa isterimu telah mengandung. Engkau mau tahu siapa itu Thio--Ciangkun" Ketahuilah, engkau orang muda yang terlaIu bodoh sehingga dapat tertipu olehnya. Dia adalah sri gala yang berujud manusia, terkenal karena kecerdikan dan kekejamannya. Dia berkuasa besar sekali dan mempunyai pengaruh yang amat besar di istana Kaisar Mancu.
Dialah tukang membasmi para patriot yang gagah perkasa. Dia pula yang membunuh banyak ahli-ahli sastra yang pandai karena mereka menggerakkan semangat rakyat dan membangun jiwa patriot para orang gagah. Entah sudah berapa banyak orang "gagah", pendekar.. pendekar sejati, pahlawan-pahlawan bangsa, tewas di tangannya yang berlumur darah. Thio-ciangkun yang kau junjung tinggi, yang menjadi ayah mertuamu itu bukan -lain adalah tangan kanan Kaisar Mancu dan dia itulah yang sebenarnya menindas rakyat. Thio-ciangkun itu bukan lain adalah seorang pangeran Mancu yang menyamar sebagai bangsa Han sehingga dia dapat mengelabui banyak orang gagah menjadi pengkhianat bangsa. Dan tahukah engkau, Lauw Heng San, bahwa isterimu itu, Kui Siang, bukan bermarga Thio melainkan bermarga Bu?" Heng San mengangguk. "Isteri tecu sudah mengatakan bahwa ia adalah anak tiri Thio-ciangkun." "Hemm, dan tahukah engkau bagaimana ia menjadi anak tiri pangeran jahanam itu dan siapakah ayah kandungnya?" Heng San menggeleng kepala.
"Ayah kandung Bu Kui Siang bernama Bu Kiat, seorang panglima gagah perkasa dalam pasukan Jenderal Gouw Sam K wi. Panglima Bu Kiat tewas dalam pertempuran. Isteri dan anaknya yang baru berusia dua tahun menjadi tawanan. Karena kecantikannya, maka Thio Ci Gan alias Pangeran Maneu itu mengambilnya sebagai selir. Nyonya Bu terpaksa tunduk demi menyelamatkan anak perempuannya, yaitu Bu Kui Siang." Heng San mendengarkan dengan heran dan penasaran, menyesali kebodohannya sendiri. Teringatlah dia akan peristiwa" malam itu ketika dia seperti mabok dan terjadilah hubungan intim an tara dia dan Kui Siang. Tidak mungkin, pikirnya. Dia bukan laki-laki yang demikian lemah sehingga lupa diri oleh nafsu berahi. Ini pasti ada sebabnya! Kalau Kui Siang dijadikan umpan, berarti tentu ada sesuatu dalam minumannya, yang membuat dia iupa diri. Ah, kasihan Kui Siang! "Tentu engkau juga belum mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi pembantunya, yang kau anggap sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa itu" tanya pula Ang Jit Tojin.
"Sepanjang penglihatan mata teeu yang hampir buta ini, para pembantu itu adalah orang-orang yang gagah perkasa, kecuali"eorang hwesio yang baru datang dari kota raja mengiringkan beberapa puluh perajurit bala bantuan." "Hemm, jadi si iblis itu juga sudah datang?" Ang Jit Tojin berseru. "Harap to-heng jangan khawatir. Kalau baru Lui 1m Hosiang saja, kami masih sanggup melawannya." kata seorang di antara Ciong-yang Ngo-taihiap. "Sekarang bersedialah untuk mendengarkan ceritaku yang terakhir" kata Ang Jit Tojin kepada Heng San dengan wajah keren "Teu sudah cukup mendengar dan tecu sudah cukup mengetahui akan kebodohan teeu sendiri. Sekarang tecu hanya menyerahkan jiwa raga ke tangan cu-wi. Terserah, mau disiksa, mau dibunuh, teeu tidak akan melawan. Agaknya tidak ada hal lain yang lebih buruk daripada apa yang telah tecu lakukan. Membunuh suheng sendiri, membunuhi orang-orang gagah pembela bangsa, membunuh".. Hong Lian yang berjiwa patriot, menawan ayahnya yang ternyata seorang pendekar besar, kemudian".. membunuh suhu sendiri.
Ya! Suhu terbunuh oleh tecu! Ada apalagi yang jahat daripada itu" Tecu sudah selayaknya menerima binasa. Hanya satu?" kalau boleh tecu minta?" mohon diselamatkan isteri tecu Bu Kui Siang dan anak dalam kandungannya, kalau bukan demi tecu, ya demi mendiang ayahnya yang patriot sejati".." Sekali lagi air mata bercucuran dari kedua mata pemuda malang itu. "Karena dosamu memang besar sekali, Lauw Heng San, maka biarlah kuceritakan hal ini padamu agar tampak jelas olehmu betapa tolol dan tersesat sikapmu selama ini. Tahukah engkau bahwa selama ini engkau telah membela dan membantu musuh-musuh besarmu sendiri" Musuh besar yang seharusnya kau basmi untuk membalaskan dendam sakit hati ayah-ibumu?" Heng San terkejut dan memandang wajah pendeta itu dengan muka pucat sekali "Apa maksud to-tiang" Ada apa dengan ayah ibuku" Bukankah mereka rnasih berada di Lin-han-koan?" Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepala dan bayangan pada wajah pendeta itu membuat Heng San menggigil. "Apa yang terjadi dengan mereka?" Dia berteriak. "Katakan".. demi Tuhan katakanlah".."
"Tenanglah engkau, orang mudaI" seorang di antara lima. orang gagah itu menegur. Ang Jit Tojin berkata lirih. "Orang tuamu".. ayah ibumu".. telah mati terbunuh".. " Heng San merasa seakan-akan nyawanya melayang. Tiba-tiba tubuhnya menerima pukulan yang luar biasa hebatnya sehingga dadanya yang menderita luka dalam terasa nyeri bukan main. Dia meloneat ke de pan dan menggunakan tangannya untuk mencengkeram ujung baju pendeta itu. Kedua matanya melotot besar dan wajahnya menyeramkan, kedua lututnya menggigil. Demikian kuat ia mencengkeram sehingga ujung kedua lengan baju itu hancur lebur bagaikan kertas tipis saja. "Tolong".. tolong katakan siapa pembunuh ayah ibuku?" Datanglah pukulan terakhir yang merupakan hukuman hebat bagi Heng San, keluar dari mulut Ang Jit Tojin. "Siapa lagi" Siapa lagi pembunuh mereka kalau bukan orang yang kaupuji-puji, kau junjung tinggi, kau bela dan kausembah itu" Pembunuhnya bukan lain adalah Thio-ciangkun dan kaki tanganya" Untuk sejenak Heng San bagaikan berubah menjadi mayat atau patung hidup.
Tubuhnya menjadi kaku dan diam tak bergerak, hanya kedua matanya yang bergerak-gerak memandang kepada Ang Jit Tojin dan pindah kepada kelima orang pendekar dari Ciong-yang itu. Kemudian, tiba-tiba ia memekik keras dan dari mulutnya tersembur darah merah. Dia terhuyung-huyung lalu jatuh pingsan di depan kaki Ang Jit Tojin. Ketika dia sadar kembali, Heng San mendapatkan dirinya telah berbaring di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar. Dia merasa dadanya hangat dan ketika dia meraba, ternyata dadanya telah ditempeli obat ko-yo (obat tempeI) yang hitam dan hangat. Ketika dia mengerling, dia melihat lain tubuh membujur di atas sebuah pembaringan kayu dan ketika dia memperhatikan, ternyata itu adalah. jenazah suhunya. Dia melompat bangun, tidak memperdulikan dadanya yang terasa sakit, lalu dia menubruk dan memeluki jenazah suhunya sambi! menangis. Ang Jit Tojin berlari masuk dan menegurnya.
"Hemm, bagus! Engkau benar-benar seorang jantan! Tadinya tertipu dan menjadi pengkhianat bangsa, kini hanya menangis seperti seorang perempuan cengeng! Ah, sungguh mengecewakan sekali mempunyai murid seperti engkau ini Kasihan sekali sahabatku Pat-jiu Sinkai rnempunyai murid bodoh dan lemah" "Totiang, kenapa aku tidak dibunuh" Kenapa aku malah diobati" Siapa yang melakukan ini?" Pendeta itu menghela napas panjang. "Pin-to memang berhati lemah. Tidak tega membunuh orang yang sedang terluka dan pingsan. Bagaimanapun juga, engkau tersesat karena tertipu. Pula, kami membutuhkan tenaga-tenaga yang kuat dan engkau tentu suka membantu kami melanjutkan perjuangan gurumu membasmi para durjana antek penjajah itu, un tuk membalaskan sakit hati orang tuamu, untuk membalaskan sakit hati gurumu Ataukah engkau begitu pengecut sehingga tidak berani menentang jahanam she Thio dan para jagoannya?" "Cukup"...!!" Heng San membentak, tubuhnya menggigil dan dia tidak memperdulikan lagi sopan santun saking marahnya.
"Kau kira aku ini seorang manusia yang berhati binatang dan sedemikian rendahnya" Lihat, akan kubuktikan kejantananku! Akan kuperlihatkan kepadamu bahwa tidak percuma suhu mengambil aku sebagai muridnya. Akan kuperlihatkan kepada ayah bundaku bahwa mereka tidak percuma. mempunyai anak seperti aku! Lihat, sebelum jenazah suhu menjadi dingin, sebelum kedua mata, suhu tertutup tanah, akan ada banjir darah di gedung Thio-ciangkun Lihat dan dengarlah saja!". Sebelum Ang Jit Tojin dapat menjawab, Heng San sudah melompat keluar dari kuil dan berlari cepat sekali. Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepalanya dan berkata perlahan, "Kasihan anak itu" Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu. telah berdiri di depannya. Wajah pemuda itu sudah berubah, bukan wajah orang biasa lagi, lebih pant as disebut wajah orang gila, atau mayat hidup, atau setan! "Eh, mengapa engkau kembali lagi?" tanya Ang Jit Tojin heran.
"Satu pertanyaan lagi, totiang. Mengapa mereka membunuh orang tuaku, pedagang obat yang tidak berdosa?" "Pedagang tidak berdosa" Ah, di mata srigala tidak ada orang berdosa atau tidak berdosa. Yang penting baginya orang itu mencurigakan atau tidak. Mata srigala itu penuh bayangan para patriot. Suhumu, Pat-jiu Sin-kai, telah lama masuk daftar hitam orang-orang yang harus diburu dan dibunuh. Ketika para penyelidiknya mengetahui bahwa Pat-jiu Sin kai berhubungan baik dengan orang tuaamu, maka orang tuamu juga masuk daftar hitam dan harus dibasmi semua." "Terima kasih, totiang!" Sekali lagi Heng San berkelebat dan menghilang keluar kuil. Ang Jit Tojin segera pergl ke belakang menemui Ciong-yang Ngotaihiap, menceritakan bahwa Heng San telah berlari keluar dan hendak membuat banjir darah di rumah Thio-ciangkun. Seorang di antara lima pendekar itu berkata, "Memang tiada jalan lain bagiriya untuk menebus dosa.
Akan tetapi kita harus dapat menggunakan saat, dan kesempatan baik ini. Lauw Heng San seorang yang kuat dan tinggi ilmu silatnya. Mari kita mengejarnya dan bersama-sama menggunakan kesernpatan ini untuk menghancurkan kekuatan pangeran Mancu yang menyamar sebagai orang she Thio dan kaki tangannya itu dan yang terpenting; membebaskan Ma-enghiong." Demikianlah, mereka berenam mengadakan perundingan, memerintahkan para anak buah untuk mengurus jenazah Pat jiu Sin-kai, Ma Hong Lian, dan murid lain. Setelah itu mereka berenam bergegas mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar Heng San menuju ke kota Keng-koan. Heng San berlari secepatnya dan tiada hentinya hati akal pikirannya menyesali semua perbuatannya. Di dalam hatinya bernyala api besar yang seakanakan hendak membakar dirinya dari dalam.
Api kemarahan terhadap Thio-ciangkun dan kaki tangannya. Dia dapat menduga bahwa suhunya tentu singgah di rumah orang tuanya ketika mencari-cari kawan seperjuangan dan karena dia menjadi orang buruan pemerintah, maka orang tuanya lalu dicurigai dan dibunuh oleh kaki tangan Thio-ciangkun. Dan dia sudah menjadi pembantu Thio-ciangkun, membelanya mati-matian bahkan menjadi mantunya! Kemarahannya membuat Heng San, berlari lebih cepat lagi dan sebentar saja dia sudah tiba di kota. Tiba-tiba dia teringat kepada Liok Ham Sai, pembesar yang dulu ditolongnya dari serangan para pejuang yang ketika itu dianggapnya perampok, lalu memperkenalkannya kepada Thio-ciangkun. Ah, ti-koan itupun seorang kaki tangan pemerintah penjajah Mancu, seorang Han yang menjadi pengkhianat!
Pikiran ini membuat Heng San berlari menuju ke gedung Liok - tikoan. Ketika itu, matahari telah turun ke barat dan hari telah menjadi sore. Heng San melompat ke atas genteng gedung tikoan dan langsung turun ke ruangan belakang. Dia melihat dua orang penjaga sedang bercakap-cakap yang menjadi kaget ketika melihat seorang pemuda yang tiba-tiba berdiri di situ. Akan tetapi mereka segera mengenal bahwa pemuda itu adalah komandan Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka mereka segera menyambut dengan hormat. "Di mana Liok-tikoan?" tanya Heng San singkat. "Beliau berada di taman. Apakah Ciang-kun hendak bertemu dengan Liok- taijin?" Tanpa menjawab, Heng San menggerakkan kedua tangannya dan dua orang penjaga itu terpelanting roboh pingsan seketika! Heng San berlari ke belakang dan dalam taman dia mendapatkan Liok-tikoan sedang duduk makan angin bersama dua orang selir mudanya.
Pembesar gendut pendek itu merasa heran sekali melihat Heng San memasuki taman tanpa memberitahu lebih dulu. Akan tetapi dia segera dapat mengenal pemuda itu dan tersenyum. Sebelum dia dapat menegur atau menyapa, Heng San sudah melompat ke depannya dan sekali kakinya mencuat dengan amat kuatnya ke arah lambung, terdengar suara berdebuk dan tubuh Liok-tikoan terlempar ke udara lalu terbanting jatuh dan tewas seketika! Kedua orang selir itu menjerit, akan tetapi Heng San menggunakan kedua tangannya menangkap mereka dan melemparkan tubuh mereka ke dalam kolam ikan yang berada dekat situ sehingga saking takutnya kedua orang perempuan itu sudah pingsan sebelum tercebur ke dalam air. Heng San memandang tubuh Liok-tikoan dengan puas, lalu ia melompat keluar taman dan langsung berlari cepat ke gedung Thio-taijin. Dia teringat akan isterinya dan cepat menuju ke rumahnya terlebih dulu, rumah yang tidak jauh letaknya dari gedung Thio-ciangkun.
Kui Siang menyambutnya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Baju suaminya berlepotan darah, darah suhunya dan darahnya sendiri. Segera isteri ini memegang lengan suaminya. "San-ko........! Apa........ apa yang terjadi........?" Isteri ini merasa ngeri juga melihat wajah suaminya yang tidak seperti biasanya, wajah itu pucat, kedua matanya merah dan garis-garis wajah itu menunjukkan kemarahan besar. "ui Siang, isteriku, cepat engkau berkemas. Bawa perhiasan dan bekal secukupnya. Engkau harus pergi dari sini, cepat dan jangan banyak bertanya!" Tentu saja Kui Sing terkejut dan merasa heran sekali. Akan tetapi ia adalah seorang isteri yang selain amat. mecinta suaminya, juga amat taat maka tanpa banyak cakap ia lalu berkemas, membawa sedikit pakaian dan hiasan dalam sebuah buntalan kain se:mentara itu Heng San mengambil sebuah kitab. Itu adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hwan Kun-hoat, ilmu silat tangan Kosong yang dulu dipelajarinya dari Pat-jiu Sin-kai.
Akan tetapi telah disempurnakannya sendiri, digubahnya menjadi ilmu silat tangan kosong istimewa yang dia beru nama Silat Tangan Halilintar! "Bawa kitab ini, jangan sampai hilang kelak, engkau harus menyuruh anak kita mempelajari dan mewarisi ilmuku ini. Sekarang, cepat engkau keluar dari kota ini, pergi ke selatan dan cari sebuah kuil di hutan ke dua, di bawah bukit Ayam. dimana ada sahabat-sahabatku yang akan menolongmu!" "Akan tetapi..... apa artinya semua ini" Apa yang terjadi, suamiku?" kata Kui Siang sambil menggendong buntalan itu di punggungnya setelah memasukkan kitab ke dalam buntalan. "Jangan banyak bertanya, kelak engkau akan mengerti. Yang penting, ketahuilah, kalau engkau berada di sini, nyawamu terancam. Nah, pergilah epat, isteriku dan selamat berpisah!" Dia merangkul dan mencium muka isterinya. "Aku cinta padamu, Kui Siang." "Aku..... aku...... pun cinta padamu, San-ko.....!"
Wanita itu terisak dan dengan hati yang tidak karuan rasanya, ia lalu berlari keluar, bingung sekali akan tetapi tetap ingin menaati perintah suaminya. Setelah merasa yakin bahwa isterinya telah pergi menyelamatkan diri dan yakin pula bahwa Ang Jit Tojin yang dia tahu adalah seorang pendeta patriot dan pendekar dan kawan-kawannya tentu mereka akan menolong dan melindungi isterinya. Heng San lalu melompat keluar dan berlari ke arah gedung Thio-ciangkun. Dia langsung masuk dari pintu depan dan yang pertama menyambutnya adalah seorang prajurit anak buahnya sendiri, yaitu anak buah Pasukan Garuda Sakti yang malam itu bertugas jaga di gedung Thio-ciangkun. "Selamat malam, Lauw-ciangkun. Ciangkun dari mana sajakah" Thio-taijin dan para pembantunya mencari-cari sejak tadi." "Antar aku padanya!" kata Heng San singkat sehingga anak buahnya itu memandang heran karena sikap Heng San tidak seperti biasa, akan tetapi ia tidak berani membantah dan segera mengantarkan Heng San ke ruangan tamu yang luas.
Setelah memasuki ruangan itu, Heng San melihat bahwa Thio-ciangkun sedang duduk bercakap-cakap dengan Lui Tiong, Ban Hok, Auwyang Sin dan Lui 1m Hosiang yang sebetulnya adalah paman guru sendiri dari Lui Tiong. Heng San langsung melangkah, menghampiri Thio-ciangkun. Pembesar ini menerimanya dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut kepada mantunya. "Heng San, dari manakah engkau" Kami mencarimu sejak tadi untuk kami ajak berunding." "Jawablah dulu pertanyaanku ini, Benarkah ayah menyuruh bunuh keluarga Lauw Cin tukang obat di dusun Lin-han-kwan?" Mendengar pertanyaan yang diucapkan kurang hormat oleh mantunya ini, dan melihat pakaian Heng San yang berlepotan darah dan wajahnya yang bengis, Thio-ciangkun menjadi heran, akan tetapi menjawab dengan tenang karena belum timbul persangkaan buruk atau kecurigaan dalam hatinya, hanya keheranan.
"Benar, mereka adalah anggauta pemberontak yang berbahaya, mungkin menjadi mata-mata pemberontak, anak buah Pat-jiu Sin-kai yang menjadi buruan kita." "Binatang keji! Srigala terkutuk! Mereka adalah orang tuaku. Rasakan pembalasanku!" Dan tiba-tiba Heng San sudah menerjang ke depan dan menggu:nakan pukulannya yang paling ampuh, dengan mengerahkan seluruh tenagarnya! "Dukkk!!" Kiranya sebelum pukulan itu mengenai dada Thio-ciangkun, dari samping Lui 1m Hosiang telah melompat dan menangkisnya. Dua lengan tangan bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang. "Hemm, aku harus bunuh dulu pendeta palsu inil" Heng San berkata lalu maju menerjang. Lui 1m Hosiang segera meyambutnya dan kedua orang itu berkelai mati-matian. Ternyata Lui im Hosing berkepandaian sangat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi amukan Heng San. Para jagoan lain tidak tinnggal diam terutama Lui Tiong yang memang menaruh dendam dan merasa tidak suka kepala Heng San.
Melihat Heng San sudah bertanding melawan susioknya (paman gurunya), dia berseru nyaring. "Bangsat rendah tak mengenal budi! sudah kusangka engkau bukan manusia baik-baik. Hayo kawan-kawan, kepung dan tangkap dia!" Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan dari luar. "Pengkhianat-pengkhimat kecil, bersiaplah untuk menerima kematian!" Enam bayangan berkelebat nasuk dan mereka itu bukan lain adalah Ang Jit Tojin dan lima orang Pendekar besar dari Ciong-yang! Ang Jit Tojin sudah bergebrak melawan Lui Tiong. Heng San yang sudah terbebas dari pengeroyokan, kini tinggal menghadapi pengeroyokan Auwyang Sin dan Ban Hok yang dibantu pula oleh lima orang perajurit pengawal. Biarpun dia dikeroyok tujuh orang, namun sepak terjang Heng San yang marah seperti kerasukan setan itu dahsyat bukan main sehingga Auwyang Sin dan Ban Hok mengeluarkan keringat dingin dan merasa gentar bukan main.
Ciong-yang Ngo Tai-hiap sudah mengepung Lui 1m Hosiang dan terjadilah perkelahian yang seru. Mereka berlima mempergunakan Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) yang mengangkat nama mereka sebagai pendekar-pendekar besar yang amat terkenal. Amukan Heng San semakin hebat. Lima orang perajurit itu sudah berpelanting dan disambar tamparan tangan dan tendangan kaki Heng San. Auwyang Sin dan Ban Hok semakin gentar. Akan tetapi mereka tidak sempat melarikan diri karena Heng San terus mendesaknya dan pada suatu kesempatan terbuka, Heng San menyerang sambil memekik dahsyat. "Haaaiiiiiiittttt....!" Pukulan tangannya menghantam dada Ban Hok dan kaki kirinya mencuat ke arah lambung Auwyang Sin. Kedua orang itu menjerit dan roboh tak berkutik lagi. Tulang-tulang iga Ban Hok patah-patah dan isi lambung Auwyang Sin terguncang hebat dan rusak. Pada saat itu datang belasan orang perajurit yang mengeroyoknya.
Namun, Heng San terus mengamuk. Belasan macam senjata tajam dan runcing menghujani tubuhnya. Pakaiannya koyak-koyak namun tubuhnya terlindung ilmu kekebalan sehingga hanya lecet-lecet dan berdarah-darah. Namun, belasan orang itupun dapat dirobohkan satu demi satu. Sungguh hebat sepak terjang Heng San. Benar-benar dia pantas disebut Pukulan Sakti Tanpa Tanding! Sementara itu, Ciong-yang Ngo-taihiap yang mengeroyok Lui Im Hosiang dapat pula menjepit pendeta sesat yang kosen itu sehingga pada kesempatan terakhir lima batang pedang dengan berbareng bersarang ke dalam tubuh yang berbulu seperti monyet itu dan Lui Im Hosiang memekik seram lalu terkulai roboh dan tewas seketika. Setelah merobohkan Lui 1m Hosiang lima orang pendekar itu segera menyerbu para perajurit yang masih mengeroyok Heng San. Melihat datangnya bantuan ini, Heng San lalu meninggalkan para pengeroyoknya karena ia melihat betapa Ang Jit Tojin masih belum berhasH mengalahkan Lui Tiong yang membela diri mati-matian.
Heng San berteriak keras dan sebuah serangan tangan kanannya dilancarkan dengan hebat ke lambung si harimau muka kuning. Lui Tiong mengelak, akan tetapi pada saat itu kebutan ujung lengan baju Ang Jit Tojin menyerempet mukanya sehingga dia terhuyung ke belakang. Saat itu dipergunakan oleh Heng San untuk mengayun kepalan dan dengan mengeluarkan suara keras pecahlah kepala Lui Tiong dihantam kepalan maut Heng San! Terdengar suara tawa menyeramkan seperti suara iblis sendiri. Bahkan Ang Jit Tojin sendiri merasa bulu tengkuknya meremang melihat betapa Heng San dengan tubuh penuh darah, juga kedua kepalannya menjadi merah karena darah para korbannya, berjalan perlahan sambil menyeringai menghampiri Thio-ciangkun! Sebagai seorang panglima perang Thiociangkun atau Thio Ci Gan yang nama aslinya adalah Pangeran Abagan, tidak melarikan diri. Dia cukup jantan untuk menghadapi semua itu dengan gagah. Dia berdiri di situ dengan sebatang golok di tangan, menyaksikan betapa para jagoannya tewas seorang demi seorang Pangeran Mancu itu menghela napas panjang melihat kegagahan luar biasa dari Heng San.
Dia merasa menyesal mengapa dia salah tangan membunuh Lauw Cin dan isterinya, tidak tahu bahwa mereka adalah orang tua Heng San. Dia benarbenar merasa kehilangan seorang pembantu yang hebat, yang sudah menjadi mantunya pula. Dia maklum bahwa saat binasanya telah tiba. Akan tetapi dia hendak mati sebagai seorang panglima yang membela bangsanya, dengan golok di tangan. Maka ketika Heng San menghampirinya dengan sikap yang menyeramkan, dia menanti dengan tenang, dengan golok di tangan, siap untuk melawan sampai darah terakhir! Tiba-tiba Heng San mernekik nyaring dan maju menerjang dengan ganasnya. Akan tetapi ternyata Pangeran Mancu itu bukan seorang lemah. Ilmu silatnya cukup tinggi, gerakannya gesit dan tenaganyapun besar. Dia mengelak dan balas menyerang hebat dengan goloknya. Pada saat itu tenaga Heng San hampir habis. Yang menggerakkan kaki tangannya hanya kenekadan dan hawa amarah yang besar didorong sakit hati yang mendalam. Ketika itu, para pendekar telah berhasil membasmi para pengawal.
Mayat berserakan dan bertumpuk di ruangan yang luas itu. Semua pendekar berdiri dan menonton perkelahian mati-matian antara Heng San dan Pangeran Abagan alias Thio Ci Gan. Ketika Ciong-yang Ngo-taihiap hendak membantu, Ang Jit Tojin mencegah mereka. "Biarkan dia sendiri yang membalas dendamnya," kata pendeta itu. Karena sudah merasa letih sekali dan kehabisan tenaga, Heng San merasa bahwa tidak mungkin dia dapat merobohkan lawan dengan cara biasa karena lawannya ternyata eukup tangguh. Maka dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu untuk mengadu nyawa. Tiba-tiba dia menggunakan jurus Kong-ciak-kaipeng (Burung Merak Membuka Sayap), kedua tangannya terpentang lalu dia menerkam, tidak memberi jalan keluar bagi lawannya untuk mengelak. Melihat kesempatan ini, Pangeran Abagan lalu menusukkan goloknya ke arah dada Heng San. "Ceppp..... kekkk......!" Golok itu menembus dada Heng San, akan tetapi kedua tangan Heng San yang menjadi seperti cakar-cakar baja itu juga berhasil mencengkeram leher lawan. Keduanya roboh dan Heng San berada di atas tubuh Pangeran Abagan.
Ang Jit Tojin dan kawan-kawannya menghampiri dan ternyata kedua orang itu sudah tewas. Golok Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan menembus dada Heng San sedang jari-jari kedua tangan Heng San mencengkeram leher lawan sehingga tulang leher itu patah dan biarpun sudah mati, tetap saja kedua tangan Heng San tidak dapat dilepaskan dari leher itu! Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar dari Ciong-yang itu menundukkan kepala dan menindas rasa haru yang menindih hati mereka. Mereka lalu menceari Ma Giok yang mereka ketemukan terbelenggu di sebuah kamar tahanan. Mereka lalu membebaskan Ma Giok dan juga membebaskan seluruh keluarga Thiodangkun. Sebagian besar dari keluarga itu memang sudah melarikan diri ketika pertempuran terjadi. Setelah gedung itu kosong, para pendekar lalu membakar gedung itu sehingga semua yang berada dalam gedung itu menjadi makanan api, termasuk mayat mereka yang tewas, juga jenazah Lauw Heng San.
Tentu saja kota Keng-koan menjadi gempar dan ketika pasukan pembantu dari luar berdatangan, para pendekar sudah melarikan diri dari situ, meninggalkan gedung Thio-ciangkun yang menjadi lautan api. Sambi! menangis terisak-isak wanita muda itu berlari, tersaruk-saruk memasuki kegelapan malam. la adalah Bu Kui Siang, isteri Lauw Heng San yang menaati perintah suaminya untuk melarikan diri ke luar dari rumah, ke luar dari kota Keng-koan dan menuju ke sebelah selatan di luar kota. Hatinya kacau, bingung, gelisah tak menentu. Ia diharuskan membawa buntalan pakaian dan perhiasan melarikan diri ke luar dari kota malam-malam gelap begitu, disuruh pergi ke sebuah kuil yang berada di hutan ke dua di kaki Bukit Ayam. Padahal ia sama sekali tidak tahu dan tidak dapat menduga mengapa ia harus melarikan diri, tidak tahu apa yang telah, sedang dan akan terjadi! Kalau ia membayangkan keadaan suaminya, dengan pakaian berlepotan darah, pakaian cabik-cabik wajahnya begitu menyeramkan, hatinya terasa seperti diremas-remas.
Pasti telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Akan tetapi apa" Tidak ada yang dapat ditanyai. Ia tidak tahu apa perlunya harus melarikan diri. Akan tetapi karena ia percaya sepenuhnya kepada suami yang amat dicintanya, maka iapun menaatinya dengan membuta. Disuruh melarikan diapun melarikan diri, nekat tersaruk-saruk di malam gelap, hanya diterangi sinar bintang yang bertaburan di langit. Karena malam gelap dan ia tidak mengenal jalan, maka Kui Siang akhirnya hanya melangkah perlahan-lahan. Hatinya diliputi rasa takut yang hebat. Bukan saja takut dan gelisah membayangkan yang bukan-bukan akan terjadi pada suaminya melainkan juga ngeri melihat kegelapan di sekelilingnya. Ketika ia tiba di hutan pertama, ia melihat pohor pohon besar itu di dalam kegelapan seperti berubah menjadi bentuk-bentuk iblis dan hantu yang bergerak-gerak seperti hendak menerkamnya. Suara pohon tertiup angin berdesir dan berdesah-desah amat menakutkan, diselingi suara burung dan kutu-kutu malam yang saling sahut dari dalam hutan.
Hampir pingsan ia ketika tiba-tiba terdengar suara berkerosak, mungkin ada binatang terkejut dan lari dalam semak-semak ketika ia lewat. "Thian (Tuhan)..... lindungilah hamMu ini..... " ia berdoa sambil terus melangkah maju satu-satu dan perlahanhan. Kakinya terasa hampir patah, tubuhny'a sudah lemas dan kulit kakinya lecet-lecet oleh sepatu karena wanita itu tidak biasa melakukan perjalanan jauh di atas jalan yang kasar dan keras penuh batu itu. Hampir ia tidak kuat dan ia berhenti sebentar, berdiri dan mengatur napas tiba-tiba terdengar suara orang dan nampak ada sinar api bergerak dari dalam hutan. Hati Kui Siang menjadi gembira. Ada orang Ini berarti ia akan mempunyai teman seperjalanan. Dan orang-orang itu membawa obor pula! Sudah tampak bayangan tujuh orang laki-laki dan mereka semua masing-masing membawa sebatang obor. Mereka segera datang mendekat ketika mendengar suara wanita berseru. "Heii, kawan-kawan.....! Ke sinilah dan tolonglah aku.....!"
Setelah tiba dekat, mereka mengepung Kui Siang dan mengangkat obor mereka tinggi-tinggi. Mula-mula tujuh orang yang wajahnya kasar dan bengis itu tampak ketakutan. Siapa yang tidak takut melihat di tepi hutan liar, pada malam hari lagi, seorang wanita yang demikian cantiknya" Mereka mengira bahwa mereka bertemu dengan sebangsa siluman. Walaupun mereka itu orangorang yang biasa melakukan kekerasan dan tukang-tukang berkelahi, namun kalau disuruh berhadapan dengan siluman tentu saja mereka ketakutan! "Ia..... ia..... siluman.....!" Beberapa buah mulut berbisik ketakutan dan semua kaki sudah siap untuk meiarikan diri. Akan tetapi laki-Iaki brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun, membentak mereka. "Goblok! Jangan lari, jangan takut lihat, kedua kakinya bersepatu dan menginjak tanah. Lihat, matanya tidak liar dan tidak ada ekor menonjol keluar dari pinggulnya. Ia bukan siluman, kawan. Ia manusia, seorang wanita yang cantik sekali!"
Si brewok ini adalah pemimpin gerombolan itu dan mendengar ucapan pemimpin mereka itu, para anak buahnya menjadi berani dan setelah mereka merasa yakin bahwa yang mereka hadapi adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan bukan siluman, mereka tertawa-tawa. Akan tetapi karena si brewok itu sudah menghampiri Kui Siang, maka merekapun tidak berani mengganggu, hanya menonton dengan mata liar, haus dan kagum. "Nona, siapakah engkau dan mengapa malam-malam begini berada di hutan ini seorang diri?" tanya si brewok sambil menatap wajah cantik itu dengan sepasang matanya yang besar. Setelah kini berhadapan dekat dengan tujuh orang itu, Kui Siang menjadi takut karena melihat betapa mereka itu berwajah menyeramkan, tampak berngis dan kasar, memandang kepadanya dengan mata melotot seolah hendak menelannya bulat-bulat dengan pandang mata mereka. Berbagai bayangan menakutkan menyusup di benaknya dan ia menjadi pueat, tubuhnya gemetaran.
Melihat ini, si brewok yang bertubuh tinggi besar itu tertawa bergelak sambil mendongak sehingga tampak perutnya yang gendut terguneang. "Ha-ha-ha-ha! Jangan takut, nona manis. Ketahuilah, aku adalah T eng Bhok, seorang pendekar yang memimpin kawan-kawan ini untuk bergabung dengan para pejuang. Kami adalah orang-orang gagah yang tidak pantas ditakuti. Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa malam-malam berada di sini?" Mendengar inl, timbul keberanian dalam hati Kui Siang. Ia Ingin mempergunakan nama suaminya untuk menakut-nakuti mereka. "Aku bukan nona, melainkan seorang nyonya. Suamiku adalah Panglima Lauw Heng San, komandan Pasukan Garuda Sakti...." "Wah, ia isteri musuh kita! Bunuh saja, Teng-toako (Kakak Teng)!" teriak seorang anak buahnya dan yang lain juga berteriak-teriak. "Kalau kita membunuhnya, kita tentu mendapatkan pahala karena membuat jasa besar!" kata yang lain.
Tentu saja Kui Siang menjadi semakin ketakutan, apalagi melihat mereka mencabut golok. "Diam kalian semua!" Teng Bhok membentak. Semua orang terdiam. "Simpan golok kalian!" Dia membentak lagi. Semua anak buahnya menurut. "Suaminya memang musuh kita, akan tetapi perempuan ini milikku, tidak boleh ada yang mengganggu! Hei, nyonya, mulai saat ini engkau harus menuruti semua kata-kata dan kehendakku. Kalau tidak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku biar dijadikan rebutan!" Kui Siang menggigil mendengar ancaman ini. Ia dalah seorang wanita lemah akan tetapi cukup cerdik untuk memaklumi bahwa ia berada dalam keadaan yang gawat dan berbahaya sekali. "Aku akan taat..... kasihanilah aku, Teng-enghiong (Pendekar Teng), kasihanilah seorang wanita yang tidak berdaya...." Teng Bhok tertawa, senang sekali hatinya disebut eng-hiong (pendekar) dan hatinya terasa mongkok (bangga). "Haha, engkau akan selamat di bawah perlindunganku.
Coba kulihat isi buntalanrnu itu!" Karena takut orang itu akan mempergunakan kekerasan, terpaksa Kui Siang menyerahkan buntalan pakaiannya. Di bawah sinar banyak obor yang cukup terang, Teng Bhok memeriksa isi buntalan. Dia tertawa girang ketika menemukan perhiasan yang amat berharga itu dan segera menyimpannya dalam kantung bajunya! Ketika menemukan kitab yang diberikan Lauw Heng San kepada isterinya itu, Teng Bhok menyeringai dan membuangnya ke atas tanah. Dia dan enam orang anak buahnya adalah orang-orang buta huruf, apa gunanya kitab itu" Setelah mengaduk-aduk isi buntalan dan melihat bahwa yang ada hanya pakaian wanita, Teng Bhok mengikat lagi buntalan itu dan menyerahkan kepada Kui Siang. "Nih, bawalah buntalanmu." Kui Siang menerima buntalan itu tanpa mencela. Kitab yang dibuang tadi telah ia ambil dan ia simpan di balik pakaiannya. Baginya, kitab itu yang terpenting daripada segalanya.
Setelah menyerahkan buntalan, Teng Bhok menoleh kepada enam orang anak buahnya dan sambil menyeringai dia berkata, "Sekarang kalian menjauhlah dari sini, tinggalkan kami berdua dan jangan ganggu aku!" Enam orang itu tertawa-tawa dan pergi meninggalkan tempat itu. Kini hanya Teng Bhok dan Kui Siang berdua saja yang berada di situ. Teng Bhok lalu menancapkan gagang obornya di atas tanah, lalu dia menghampiri Kui Siang dan berkata. "Siapa namamu?" "..... Nyonya Lauw Heng San..... " "Hush! Maksudku nama kecilmu!" "Namaku Bu Kui Siang....." "Nama yang bagus, secantik orangnya Nah, Kui Siang, mulai sa at ini engkau menjadi isteriku tersayang!" Si brew ok tinggi besar itu makin mendekat. Kui Siang melangkah mundur dan tiba-tiba timbul keberanian luar niasa dalam hatinya melihat kehormatannya terancam. Lebih baik mati daripada ternoda lakilaki jahanam ini! Ia tidak takut mati.
"Teng-enghiong, aku adalah seorang wanita baik-baik. Aku bersedia menjadi isterimu, akan tetapi secara terhormat, dengan pernikahan yang sah. Kalau engkau memaksaku dan memperkosa aku, maka aku pasti akan membunuh diri! Jangan engkau sentuh aku sebelum engkau menikahi aku dengan sah!" Suara wanita itu kini sama sekali tidak mengandung rasa takut, bahkan mengancam! Akan tetapi T eng Bhok yang sudah dibakar nafsu berahinya itu menganggap ucapan itu hanya gertak sambal belaka. "Ha-ha-ha, bagaimana engkau hendak membunuh diri, manis" Engkau tidak punya racun, tidak punya senjata tajam mau bunuh diri, aku selalu dapat mencegahmu, ha ha ha?" "Hemmm, kau kira aku begitu bodoh" aku dapat melompat ke jurang, aku dapat membenturkan pecah kepalaku pada batu, dinding dan lain-lain, atau aku dapat menggigit lidahku sendiri sampai putus dan mati kehabisan darah! Masih ada seribu cara untuk membunuh diri" Teng Bhok terkejut.
Benar juga, pikirnya. Dia sudah tergila-gila melihat wanita yang amat cantik ini. Sayang kalau membunuh diri. Dia ingin Kui Siang menjadi isterinya yang akan menghiburnya selamanya "Aih, jangan lakukan itu, sayang...... " Dia menahan diri dan tidak berusaha merangkul lagi. "Kalau begitu, hentikan niatmu memperkosa aku!" Kui Siang menghardik. "Tapi engkau benar mau kuperisteri secara terhormat, kunikahi dengan sah?" "Kita lihat saja perkembangannya nanti. Kalau engkau tidak bersikap kasar dan kurang ajar kepadaku, tentu aku bersedia." Teng Bhok sudah tergila-gila kepada Kui Siang dan dia tidak ingin kehilangan wanita itu, maka dia mengangguk. "Baik, Kui Siang, aku akan sabar menanti sampai kita menikah dan engkau menyerahkan dirimu dengan suka rela kepadaku!" Setelah berkata demikian Teng Bhok memanggil enam orang anak buahnya.
Mereka bermunculan dan merasa heran mengapa pemimpin mereka tampaknya masih belum melakukan apa-apa terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi mereka tidak berani bertanya. "Hayo kita lanjutkan perjalanan. Mari Kui Siang, engkau ikut denganku." Rombongan itu melanjutkan perjalanm mereka dan Kui Siang terpaksa mengikut laki-laki tinggi besar brewok itu. Bagaimanapun juga, untuk sementara ia selamat dari perkosaan. Dan perasaan wanitanya menyadarkan bahwa laki-laki kasar ini agaknya benar-benar jatuh cinta padanya sehingga menuruti permintaan dan syaratnya. Masih banyak waktu dan kesempatan baginya untuk dapat membebaskan diri dari laki-laki kasar ini. Dalam hatinya ia tidak percaya bahwa laki-laki seperti ini seorang pendekar patriot. seorang pejuang. Menurut cerita ibunya, seorang pendekar pejuang adalah seorang yang budiman, bukan pengganggu wanita seperti Teng Bhok dan anak buahnya ini yang sepak terjangnya seperti perampok!
Perhiasannya juga sudah dirampas orang kasar ini. Untung bahwa kitab pemberian suaminya itu tidak dirampas. Ia hanya mempertahankan kitab itu dengan segala kemampuannya, karena kitab itu diperuntukkan anak yang dikandungnya! Teringat.kan ini, ia teringat kepada suaminya. hampir ia menangis menjerit-jerit kalau teringat suaminya. Apa yang terjadi" Ia belum mengetahui apa yang terjadi dan kini ia terjatuh ke tangan gerombolan orang kasar dan jahat! Karena perjalanan itu tidak dapat cepat walaupun menggunakan obor, pada kesokan harinya barulah rombongan itu tiba di tempat yang dituju. Ketika melihat bahwa mereka berada di depan sebuah kuil tua di kaki bukit, Kui Siang terbelalak dan jantungnya berdebar keras. Bukankah ini kuil di kaki Bukit Ayam seperti yang diceritakan suaminya, kemana ia harus pergi dan di situ terdapat sahabat-sahabat suaminya" Ia menanti dan memandang ke arah kuil dengan harap-harap cemas.
Di ruangan depan kuil itu tampak ada enam buah peti mati berjajar dan seorang tosu memimpin sembahyangan. Yang bersembahyang ada belasan orang bersama tosu itu. Melihat ini, Teng Bhok memberi isarat kepada Kui Siang dan enam orang anak buahnya untuk maju menghampiri kuil. Ang Jit Tojin, tosu yang memimpin upacara sernbahyang itu, setelah mengetahui akan kedatangan serombongan orang itu, cepat keluar dan menyambut mereka di pekarangan kuil. Dia segera ditemani lima orang gagah yang bukan lain adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (lima pendekar besar dari Ciong-yang). Para pendekar ini siap siaga melihat tujuh orang yang berwajah bengis dan bersikap kasar itu, akan tetapi merekapun merasa heran sekali melihat ada seorang wanita muda yang cantik jelita dan berpakaian seperti bangsawan menggendong buntalan pakaian datang bersama rombongan laki-laki kasar itu.
Teng Bhok. yang memimpin rombonganya memandang kepada Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar gagah perkasa dari Ciong-yang dan dia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan secara sembarangan, diturut oleh enam orang anak buahnya. Sebagai orang-orang yang rnempelajari tata susila Ang Jit Tojin dan lima orang kawanya membalas penghormatan itu. "To-tiang," kata Teng Bhok dengan suaranya yang nyaring. "Kami mendengar bahwa para pendekar pejuang berada di kuil ini dan kami ingin menjumpai mereka. Benarkah kami berhadapan dengan para pendekar yang berjuang melawan emerintah Mancu penjajah?" Ang Jit Tojin mengangguk dan sambil memandang dengan sinar mata penuh selidik dan berkata, "Benar, kami adalah pimpinan para pendekar pejuang. Pinto bernama Ang Jit Tojin dan lima orang rekan ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap siapakah cu-wi (anda sekalian) dan apa keperluan cu-wi mencari kami?" Teng Bhok tertawa dengan bangga.
"Ha-ha-ha, kebetulan sekali kami dapat menemukan para pendekar pejuang. Perkenalkan, kami adalah pendekar-pendekar dan aku menjadi pemimpinnya. Namaku Teng Bhok berjuluk Pat-jiu Hekwan (Lutung Hitam Bertangan Delapan)! Keperluan kami menjumpai kawan-kawan adalah untuk bergabung, bersama-sama berjuang melawan para pembesar Mancu!" "Bagus!" kata Ang Jit Tojin dengan girang. Baginya tidak peduli orang sikapnya halus atau kasar, pintar atau bodoh, asal berwatak pendekar dan bersemangat untuk menentang pemerintah penjajah Mancu, tentu saja dapat diterima sebagai kawan seperjuangan. "Akan tetapi, siapakah nona ini?" Dia bertanya heran sambi! menunjuk kepada Kui Siang yang nampak pucat dan gelisah karena ia sarna sekali tidak menyangka bahwa yang dimaksudkan sabahat oleh suaminya adalah para pejuang ini.
Bukankah selama ini suaminya membantu ayah tirinya menentang dan membasmi para pemberontak" "Oh, ha-ha-ha, ia adalah calon isteriku, to-tiang. Setelah kami diterima menjadi anggauta pasukan pejuang, aku kan segera melangsungkan pernikahanku dengan calon isteriku yang cantik jelita seperti bidadari ini, ha-ha-ha!" Ang Jit Tojin dan Ciong-yang Ngo-tahiap mengerutkan alisnya mendengar ucapan yang kasar itu. Kui Siang melihat sikap tosu dan lima orang gagah itu dan tahu bahwa mereka merasa tidak senang, laka iapun cepat melangkah maju dan berkata dengan suara lantang. "To-tiang dan eu-wi tai-hiap! Apa ang dikatakannya itu bohong belaka!" "Hai, diam kau!" Teng Bhok membentak. "Biarkan dia bicaraP' Tiba-tiba orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat berseru sambil memandang kepada Teng bhok. dengan sinar mata mencorong.
"Lanjutkan bicaramu, nona!" sambungnya kepada Kui Siang. "Saya bernama Bu Kui Siang, isteri dari Lauw Heng San komandan Pasukan Garuda Sakti" "Ha-ha, ia isteri musuh besar kita! Karena itu aku sengaja menangkapnya! Bagaimana, kawan-kawan" jasaku besar, bukan?" kata Teng Bhok bangga. Akan tetapi Ang Tit Tojin terkejut bukan main mendengar pengakuan Kui Siang ini. Dia sudah mendengar akan wanita ini dari para penyelidik, akan tetapi dia belum pernah melihatnya sendiri sehingga tadi tidak mengenalnya. Setelah mengetahui bahwa wanita itu isteri Lauw Heng San, dengan gerakan cepat sekali Ang Jit Tojin maju dan menyambar lengan wanita itu, ditarlknya sehingga kini Kui Siang berdiri di dekatnya, jauh dari Teng Bhok dan enam orang anak buahnya. "Heii, to-tiang! Apa yang kaulakukan ini?" tanya Teng Bhok sambil mengerutkan alisnya.
"Toa-nio, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau bisa tertawan oleh mereka itu?" Mendengar pertanyaan yang nadanya lembut bersahabat itu, hati Kui Siang merasa lega dan ia teringat kepada suaminya lalu mengusap beberapa butir mata yang mengalir turun. "Malam tadi suami saya pulang dalam keadaan yang menyedihkan. Pakaiannya penuh darah, mukanya pucat dan dia menyuruh saya cepat berkemas, membawa pakaian dan perhiasan. Tanpa sempat memberi penjelasan dia memerintahkan agar saya malam itu juga melarikan diri luar kota dan menuju ke kuil di kaki kit Ayam ini. Saya tidak tahu apa yang terjadi dan dia juga tidak memberitahu, hanya bilang bahwa berbahaya sekali bagi sava kalau saya tinggal di rumah dan bahwa saya akan mendapat pertolongan dari para sahabatnya di kuil ini. Terpaksa saya menaati perintahnya, melarikan diri di malam tadi. Di tengah perjalanan sava bertemu dengan mereka ini. Perhiasan saya dirampas dan dia ini akan memaksa saya mimjadi isterinya.
Tadinya ia hendak memperkosa saya, akan tetapi saya mengancam akan membunuh diri dan... dan dia mengajak saya ke sini. "Hemmm...! Jahanam busuk macam kalian ini mengaku pendekar dan hendak menjadi pejuang?" bentak Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang pertama Ciong-yang Ngo-tahiap yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. Ang Jit Tojin memberi isarat kepada Song Kwan agar bersabar dan dia memandang kepada Teng Bhok dengan alis berkerut, "Saudara Teng Bhok, benarkah apa yang diceritakan Nyonya Lauw Heng San ini?" Teng Bhok tersenyum dan mengangguk. " To-tiang, apa salahnya" ia jelas isteri komandan Pasukan Garuda Sakti, musuh besar kita! Apa salahnya kaiau aku merampas barangnya dan hendak memaksanya menjadi isteriku" Ini merupakan tugas kita kaum pejuang, bukan"!
"Toa-nio, masuklah dan beristirahatlah dalam kuil dan jangan khawatir, kami akan melindungimu." kata Ang Jit Tojin kepada Kui Siang, melihat wanita itu tampak lelah sekali dan gelisah. "Terima kasih, to-tiang." kata Kui Siang dan ia membawa buntalannya memasuki kuil. "Ang Jit Tojin! Aku minta penjelasan, bagaimana ini" Tidak salahkah penglihatan dan pendengaranku bahwa engkau sebagai pimpinan para pejuang malah melindungi isteri musuh besar kita?" Teng Bhok bertanya dengan marah. Ang Jit Tojin menatap wajah Teng Bhok dengan sinar mata tajam penuh teguran. "Teng Bhok, engkau merampok dan hendak memperkosa wanita! Perbuatanmu itu sama sekali bukan perbuatan pendekar, melainkan perbuatan penjahat! penjahat seperti engkau ini hendak menjadi pejuang" Ingatlah, pejuang bukanlah penjahat keji!" "Ang Jit Tojin, ini tidak adil! Sudah anyak aku mendengar bahwa para pejuang suka mencuri dan merampok harta enda para pembesar kerajaan Mancu yang dimusuhinya!
Bila Pedang Berbunga Dendam 8 Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Pendekar Sadis 11
^