Pencarian

Kilat Pedang Membela Cinta 2

Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


?Aku bersumpah untuk mencari jahanam itu dan dengan pedang ini akan kubalaskan dendam kami. Semoga para Dewata membantuku!? Dalam waktu semalam saja, Darmini yang tadinya merupakan seorang wanita lemah yang tahunya hanya meratap dan menangis, kini menjadi seorang wanita yang dingin dan tabah, penuh dendam kesumat. Dengan tenang ia membersihkan noda darah di tilam pembaringannya karena peristiwa yang baru saja terjadi di atas pembaringannya takkan diberitahukan kepada siapapun juga.
Aib itu akan dibawanya sampai mati, setelah ia berhasil membalas dendam, membunuh jahanam yang memperkosanya, yang telah membunuh kekasihnya. Setelah membereskan semua, ia duduk di atas pembaringan. Pedang yang sudah disarungkan berada di dekatnya, juga bunga teratai layu. Ia tidak menangis lagi. Tidak, mulai saat itu ia tidak menangis lagi. Ia tidak akan memperlihatkan kelemahan lagi. Ia harus menjadi seorang wanita yang kuat, karena hanya kalau menjadi seorang wanita kuat saja ia akan mampu membalas dendam! Mulailah ia mengingat-ingat. Siapa gerangan orang yang memperkosanya tadi, yang juga telah membunuh Ong Cun? Ia merasa menyesal sekali mengapa ia tak sadarkan diri sehingga ia tidak dapat mengenal orang itu.
Biarpun perkosaan itu terjadi di dalam kegelapan, namun kalau ia tidak pingsan, sedikit banyak ia tentu akan dapat mengingat ciri-ciri orang tadi. Sekarang, sama sekali tidak ada ciri-ciri yang teringat olehnya, kecuali suaranya yang parau dan ketawanya yang seperti ringkik kuda. Akan tetapi, suara dapat diatur dan diubah. Bahkan perawakan orang itupun ia tidak tahu, apalagi bentuk wajahnya, tidak tahu pula tua mudanya! Celaka! Akan tetapi, demikian ia memutar otaknya, siapakah yang mempunyai alasan kuat untuk membunuh Ong Cun dan memperkosanya? Kedua perbuatan itu dilakukan tentu karena satu hal, yaitu bahwa orang itu tergila-gila kepadanya dan cemburu melihat ia memilih Ong Cun. Pemerkosanya itupun mengatakan bahwa setelah membunuh Ong Cun, dia harus memilikinya karena sudah lama merindukannya! Siapakah laki-laki yang sudah lama merindukannya?
Terbayanglah beberapa wajah laki-laki. Banyak sudah orang yang pernah mengajukan pinangan kepada dirinya, baik melalui orang tuanya maupun langsung kepadanya, pinangan yang semuanya ditolaknya dengan halus. Kiranya mereka itu tidak mendendam kepadanya, sedikit sekali kemungkinan di antara para peminang yang ditolak itu mengandung dendam dan melakukan pembunuhan terhadap Ong Cun dan perkosaan keji terhadap dirinya itu. Lalu siapa gerangan? Wajah tiga orang penculiknya terbayang terutama sekali si muka hitam bertubuh raksasa itu dan ia bergidik. Orang-orang seperti itu mungkin saja melakukan kecurangan. Mereka adalah penjahat-penjahat kejam dan memang berasalan kalau mereka yang melakukan perbuatan terkutuk itu. Mereka pernah dihajar oleh Ong Cun, hal itu dapat menimbulkan dendam, dan tentang memperkosanya,
Menurut penilaiannya, seorang di antara mereka mungkin saja melakukan hal itu. Ong Cun dibunuh secara keji dan pengecut, walaupun ia tidak melihatnya sendiri namun dapat diduganya bahwa tentu Ong Cun dibunuh secara curang. Kalau tidak, mana mungkin Ong Cun yang gagah perkasa itu dapat dikalahkan lawan lalu meninggalkan gelanggang? Orang seperti kekasihnya itu kalau bertemu lawan, tentu akan menang atau mati di tempat. Kenyataan bahwa Ong Cun lari sampai ke taman dan memanggil-manggilnya, menjadi bukti bahwa dia tentu di serang secara sembunyi dan penyerangnya melarikan diri. Lalu siapa lagi yang dapat dimasukkan catatan sebagai orang yang mungkin menjadi musuh besarnya itu? Panji Sarono! Ah, pemuda itu sudah lama mencintanya, akan tetapi selalu ditolaknya.
Dan Panji Sarono bersama Empu Tanding pernah menegur mengenai pertemuannya dengan Ong Cun di dalam taman, bahkan kemudian Panji Sarono dikalahkan oleh Ong Cun. Pantas sekali kalau pemuda itu menaruh dendam dan membunuh Ong Cun. Memperkosanya? Bukan tidak mungkin bagi orang seperti Panji Sarono. Ia sudah banyak mendengar tentang pemuda itu dari berita diluar. Seorang pemuda mata keranjang, sombong, mengandalkan kedudukan untuk mempermainkan banyak wanita, tidak perduli ia gadis atau isteri orang! Akan tetapi, siapapun orangnya yang telah membunuh Ong Cun dan memperkosa dirinya, jelas adalah seorang laki-laki yang tangguh. Apa dayanya sebagai seorang wanita lemah untuk menghadapinya? Apa yang dapat dilakukannya andaikata ia berhasil menemukan musuh itu? Membalas dendam? Bagaimana caranya?
?Aahhh, Ong Cun, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?? Ia meratap dan mendekap pedang Lian-Hwa-Kiam. Ketika ia mendekap pedang itu, seperti ada penerangan mengusir kegelapan hatinya. Tentu saja dengan pedang ini! Dan untuk itu ia harus belajar bagaimana harus mempergunakan pedang ini sebaiknya! Seolah-olah demikian bisikan suara Ong Cun kepadanya
?Baiklah, kekasihku, baiklah. Aku akan mempelajari ilmu kadigdayaan (kesaktian) dan akan kupergunakan pedangmu ini untuk membalas dendam!? demikian keputusan yang diambilnya.
Pada keesok harinya, segala berjalan seperti biasa seolah-olah malam tadi tidak terjadi sesuatu. Hanya banyak orang yang merasa heran, termasuk Nyi Demang karena malam tadi banyak di antara mereka yang tertidur begitu saja di tempat mereka duduk, seolah-olah mereka tak dapat lagi menahan rasa kantuk dan tidak sempat pindah ke atas pembaringan. Akan tetapi karena tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang mempersoalkan hal itu, tidak tahu bahwa malam tadi mereka tidur karena pengaruh aji penyirepan yang ampuh!
Semenjak kematian Ong Cun, Darmini lebih banyak mengeram diri di dalam kamarnya. Ia tidak menangis lagi, akan tetapi kini wajahnya Nampak dingin dan acuh kehilangan sinar seolah-olah menjadi boneka hidup yang tidak bergairah. Melihat keadaan ini, tentu saja Ki Demang Bragolo dan isterinya menjadi khawatir sekali, prihatin dan berduka. Kurang lebih satu bulan semenjak kematian Ong Cun, pada suatu senja, rumah Ki Demang Bragolo kedatangan tamu. Mereka adalah Empu Tanding dan isterinya. Suami isteri bangsawan ini Nampak agung ketika menuruni kereta yang membawa mereka dari rumah berkunjung ke Kademangan.
Empu Tanding, biarpun usianya sudah enam puluh tahun dan rambutnya sudah putih, namun tubuhnya masih Nampak tegap dan sore itu dia Nampak gagah dan keren dengan pakaian baru, tidak ketinggalan tongkat hitamnya yang berbentuk ular. Isterinya berusia kurang lebih empat puluh dua tahun, kelihatan masih muda dan cantik, dengan pakaian baru pula. Ki Demang Bragolo dan isterinya menyambut kedatangan tamu ini dengan gembira dan heran. Tidak seperti biasanya suami isteri bangsawan yang masih sanak itu kini datang berkereta dan dengan pakaian serba baru, kelihatan dari pakaian dan sikapnya bahwa kunjungan ini adalah kunjungan resmi, bukan sekedar ajang ono antara keluarga belaka. Merekapun menyambut tamu itu dengan sikap Ramah dan hormat. Nyi Demang segera berangkulan dengan Nyi Empu,
?Ah, angin apakah yang menerbangkan Kakang Empu dan Mbakyu ke sini? Selamat datang dan silahkan masuk.? Mereka memasuki ruangan dalam dan sepasang tamu itu dipersilahkan duduk. Pelayan segera datang menghidangkan air the panas dan kueh yang terbuat dari ketan. Setelah berbasa-basi saling menanyakan keselamatan, Ki Empu Tanding menoleh ke kanan kiri dengan mata mencari-cari.
?Eh, adimas Demang, ke mana perginya Nini Darmini? Sejak tadi aku tidak melihatnya!?
?Benar, akupun sudah kangen kepada Nini Darmini! Dimana keponakanku yang cantik itu?? sambung pula Nyi Empu. Ditanya demikian, tiba-tiba saja Nyi Demang menitikkan air mata yang diusahakan untuk dihapus secepatnya.
?Eh, engkau kenapakah Diajeng? Kenapa tiba-tiba menangis!? tanya Nyi Empu. Nyi Demang menghela napas panjang.
?Anak kami itu masih berkabung atas kematian tunangannya, selalu berada di dalam kamar dan jarang sekali keluar, sungguh membuat hati kami merasa prihatin sekali.?
?Itu tandanya bahwa ia seorang tunangan yang setia Diajeng. Akan tetapi kalau dibiarkan berlarut-larut dalam kedukaan juga amat tidak baik. Yang sudah mati tidak akan kembali, kenapa menyiksa diri??
?Benar sekali kata-kata Mbakyu kalian itu,? Empu Tanding berkata. ?Dan kedatangan kami berkunjung inipun ada kepentingan yang berhubungan dengan diri Nini Darmini. Mengingat bahwa kini Nini Darmini telah bebas, tidak terikat pertunangan dengan orang lain maka kami sengaja datang untuk mengajukan pinangan atas diri Nini Darmini, untuk menjadi pasangan atau jodoh putera sulung kami, Panji Sarono.?
Ki Demang Bragolo saling pandang dengan isterinya untuk sejenak lamanya. Ki Demang Bragolo maklum bahwa isterinya tidak suka kalau Darmini dijodohkan dengan Panji sarono karena wanita itu sudah mendengar akan kelakuan Panji Sarono yang buruk, seorang pemuda perayu dan perusak pagar ayu. Akan tetapi, untuk menolak begitu saja pinangan itu, diapun merasa kurang enak, apalagi kini tidak ada alasan untuk menolak karena memang benar bahwa Darmini sudah tidak terikat oleh pertunangan dengan orang lain.
?Aku ingin sekali ada ikatan yang lebih erat antara keluar kita, Diajeng,? kata pula Nyi Empu. ?Kulihat sudah tepat dan serasi sekali kalau Nini Darmini menjadi jodoh Panji Sarono. Tahun ini usia Panji Sarono sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup untuk mempunyai seorang isteri yang sah sebelum dia menduduki suatu jabatan yang akan dimintakan oleh Ayahnya kepada Sribaginda kelak. Aku suka sekali kepada Nini Darmini, anak itu begitu manis dan lemah lembut, cocok dengan puteraku yang juga tampan dan gagah.? Nyi Demang tidak dapat menjawab dan hatinya bingung pula seperti suaminya, Ki Demang Bragolo maklum akan nisi hati isterinya, maka diapun segera berkata sebagai jawaban atas pinangan itu.
?Kami menghaturkan terima kasih atas budi kecintaan Kakang-Mas Empu berdua dan kami bersyukur bahwa andika berdua masih memikirkan keadaan Nini Darmini!?
?Jadi kalian menerima pinangan kami!? Empu Tanding mendesak. Demang Bragolo menarik napas panjang.
?Harap andika jangan tergesa-gesa, Kakang-Mas Empu. Agaknya bagi kami berdua, sungguh tak tahu diri kalau kami menolak pinangan itu, akan tetapi hendaknya diketahui bahwa kami tidak mungkin menerimanya sekarang. Kami harus bertanya dulu kepada anak kami, karena ialah yang akan menjalani pernikahan. Dan kami kira, sekarang belum saatnya bagi kami untuk membicarakan soal perjodohannya dengan orang lain kepada Nini Darmini.?
?Hemm, jadi bagaimana? Kalian menolaknya?? Empu Tanding yang memang wataknya agak keras itu menegaskan.
?Nanti dulu, Kakang Empu, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Harus diingat akan keadaan Nini Darmini yang kau pinang untuk Panji Sarono itu. Ia masih berkabung, masih bingung. Bagaimana kami dapat bicara dengannya tentang perjodohan baru? Karena itulah kami minta waktu, satu dua bulan. Kalau keadaannya sudah membaik, tidak tenggelam dalam kedukaan lagi, barulah kami perlahan-lahan akan bicara dengannya. Nah, itulah sebabnya maka terpaksa kami belum dapat menerima pinangan itu, Kakang Empu.? Empu Tanding sudah mendengar dari puteranya betapa puteranya itu jatuh cinta kepada Darmini akan tetapi selalu Darmini bersikap tidak suka. Hal ini saja sudah membuat dia merasa penasaran, maka kini mendengar jawaban Ayah Ibu Darmini, dia merasa bahwa mereka itu sengaja mencari alasan untuk menolak pinangannya.
?Alasan itu terlalu dicari-cari!? Demikian katanya dengan alis berkerut. ?Jawaban setiap orang anak gadis berada dimulut Ayah Ibunya! Aku tidak percaya bahwa kalian berdua tidak dapat membujuk dan memaksanya. Kalau kalian sudah menerima pinangan, sudah setuju, iapun tinggal menggangguk saja. Katakan saja kalian tidak suka mempunyai mantu Panji Sarono, habis perkara, tidak usah mencari alasan yang bukan-bukan!? Ki Demang Bragolo diam saja, akan tetapi Nyi Demang yang tentu saja tidak berapa gentar menghadapi Kakak kandungnya sendiri, segera membantah.
?Harap Kakang tidak bicara seperti itu! Ketahuilah bahwa anak kami hanya seorang saja, dan Nini Darmini memiliki watak yang amat keras sejak kecil. Bagaimana kami dapat memaksa ia untuk melakukan sesuatu kalau ia tidak menyetujuinya? Apalagi dalam hal perjodohan, bagaimana kami dapat memaksa? Ia bukanlah seekor ayam atau domba yang dapat kami ikat dan serahkan kepada calon suaminya. Kalau sampai kami memaksa dan ia lalu nekat membunuh diri, yang kehilangan bukanlah Empu berdua, melainkan kami juga.?
?Sudahlah, sudahlah, perlu apa ribut-ribut!? Nyi Empu mencela. ?Pertemuan ini dimaksudkan untuk mempersatukan keluarga, membicarakan hal yang menggembirakan, bukan untuk bercekcok. Biarlah mereka rundingkan dulu dengan anak mereka. Kami berdua hanya mengharapkan dari andika untuk memberi kabar keputusan secepat mungkin.?
?Baik, Mbakyu, berilah kami waktu paling lama dua bulan, pasti kami akan datang memberi keputusan,? kata Ki Demang Bragolo dengan hati lega melihat betapa Nyi Empu dapat meredakan kemarahan suaminya. Dua orang tamu itu lalu berpamit dan dengan wajah agak muram mereka meninggalkan gedung Kademangan memasuki kereta mereka, tidak seperti ketika mereka datang tadi. Pada malam harinya, dengan hati-hati sekali Nyi Demang Bragolo memasuki kamar puterinya dan mengajak puterinya bicara. Seperti biasa, Darmini hanya melayani pembicaraan Ibunya dengan singkat dan dingin saja. Akan tetapi sikapnya berubah ketika Ibunya bicara tentang kunjungan Ki dan Nyi Empu Tanding sore hari tadi.
?Ada keperluan apakah mereka datang berkunjung, Ibu?? tanya Darmini dan baru sekali ini semenjak kurang lebih sebulan yang lalu Darmini memperlihatkan keinginan tahu. Hal ini menggembirakan hati Ibunya yang segera merangkulnya.
?Mereka datang untuk keperluan yang ada hubugannya dengan dirimu, Nini.? Darmini semakin tertarik. Ia memandang wajah Ibunya penuh selidik lalu bertanya,
?Urusan apakah itu, Ibu??
?Mereka datang untuk meminangmu, Darmini, untuk dijodohkan dengan Panji Sarono.? Darmini tersenyum, senyum dingin dan mengejek yang belum pernah selamanya dilihat oleh Ibu itu kepada bibir puterinya dan diam-diam ia bergidik. Ada sesuatu dalam senyum itu, sesuatu yang kejam membayang, kejam dan aneh. Lalu gadis itu berbisik dan seperti bicara kepada diri sendiri.
..?.sudah kuduga... kesitu juga larinya...? Karena ia bicara dengan bisikan. Ibunya hanya mendengar sedikit dan tidak jelas.
?Nini, kau berkata apa tadi?? Darmini menatap wajah Ibunya.
?Tidak apa-apa, Ibu. Lalu, bagaimana pendapat Kanjeng Rama dan Ibu sendiri? Apakah pinangan itu tidak diterima begitu saja?? Ibunya cepat menggeleng kepala. Kalau menurutkan kata hatinya, ia tentu seketika menolak dan tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan pemuda yang namanya terkenal buruk itu. Seorang pemuda perusak pagar ayu, gila perempuan dan tidak bertanggung jawab. Ia pernah mendengar adanya beberapa orang perawan yang membunuh diri karena mengandung tanpa Ayah, dan besar dugaan umum bahwa yang menghamili perawan-perawan itu bukan lain adalah Raden Panji Sarono!
?Kami belum memberi jawaban, anakku. Kami ingin mendengar dulu pendapatmu bagaimana, dan kami telah minta waktu satu bulan sampai dua bulan baru akan memberi jawaban.?
?Tidak saja, Ibu!? ?Mengapa, anakku? Bukankah Kakak misanmu Panji Sarono seorang pemuda yang tampan, kaya raya dan bangsawan pula?? Ibunya memancing. Sinar berapi mencorong dari sepasang mata gadis itu dan hal inipun baru pertama kali nampak oleh Ibu itu yang menjadi terkejut.
?Ibu, dia seorang pemuda yang jahat sekali. Dia perusak wanita, dia hidung belang, mata keranjang dan perusak pagar ayu! Apakah Ibu rela anaknya menjadi hamba seorang laki-laki macam begitu? Tolak saja, Ibu!? Ibunya mengangguk-angguk.
?Terus terang saja, Ibu sudah mendengar tentang kelakuannya, Nini. Akan tetapi engkau sendiripun tahu, Ayahmu, bagaimanapun juga, adalah bekas kawulo (hamba) mendiang Sang Adipati Wirabumi yang sudah kalah, menjadi kawulo negara taklukan. Sebaliknya, Kakang Empu Tanding adalah seorang pejabat yang mewakili Sang Prabu di Majapahit, utusan pihak pemenang. Dari kedudukan saja kita sudah kalah jauh, apa lagi diingat bahwa Kakang Empu Tanding adalah Kakak kandungku. Karena itulah, maka Ayah dan Ibumu merasa susah sekali menolak. Sungguh terasa berat dan tidak enak, akan tetapi kamipun tidak sudi menerima kalau engkau tidak suka. Jadi, aku bingung sekali, bagaimana kita harus berbuat sekarang?? Kini sikap Darmini nampak benar-benar mengherankan hati Ibunya. Puterinya yang biasanya pendiam dan lemah itu, kini kelihatan begitu tabah dan begitu tenang.
?Jangan takut, Ibu. Ada satu alasan kuat yang membuat Ayah dan Ibu dapat menolak pinangan itu dengan mudah. Aku akan pergi dari rumah ini!? Ibunya terbelalak dan merangkul lagi puterinya.
?Pergi? Engkau seorang gadis... engkau hendak pergi ke mana, anakku?? Dengan halus Darmini melepaskan rangkulan Ibunya. Agaknya ia telah berubah benar, tidak suka akan sifat-sifat kewanitaan yang lemah.
?Itulah yang membuat aku selaman ini berpikir dan mencari-cari, Ibu. Aku ingin bertapa dan mencari Guru yang pandai.?
?Bertapa? Mencari guru? Guru apa, Nini??
?Guru dalam olah keperwiraan, mempelajari aji kesaktian!?
?Kau? Seorang perempuan? Untuk apa, nak?? Darmini memandang wajah Ibunya dengan sinar mata tajam.
?Ibu, lupakah Ibu sudah kepada Ong Cun??
?Ehh? Tentu saja tidak. Akan tetapi apa perlunya diingat terus orang yang sudah meninggal dunia? Ada apa dengan Ong Cun??
?Dia adalah seorang yang memiliki aji kedigdayaan, gagah perkasa. Akan tetapi dia terbunuh juga. Jelas bahwa pembunuhnya adalah seorang yang tangguh, Ibu. Karena itulah aku harus menjadi seorang yang digdaya, yang sakti karena aku hendak mencari pembunuh Ong Cun, untuk membalaskan dendamnya.?
?Ah, untuk apa, Nini? Apa perlunya semua itu? Engkau hanya akan menempatkan dirimu ke dalam bahaya. Engkau seorang wanita akan mampu berbuat apa? Jangan-jangan engkau malah akan menjadi korban.?
?Aku sudah bertekad, Ibu. Kasihan Ong Cu. Nyawanya akan melayang menjadi roh penasaran kalau dendam ini tidak terbalas. Dan dia tidak mempunyai siapapun di sini, kecuali aku. Akulah yang akan membalaskan dendamnya dan untuk itu aku harus belajar kedigdayaan dan bertapa. Sekarang kebetulan ada urusan pinangan ini. Jadi, kepergianku ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, akan tercapai keinginan hatiku, dan kedua, dapat membebaskan Ayah dan Ibu dari keadaan serba salah. Kalau aku pergi bertapa dan berguru, tentu Uwa Empu Tanding akan mengerti bahwa kalian tidak dapat memberi keputusan mengenai pinangan itu.? Nyi Demang Bragolo nampak bingung dan gelisah.
?Akan tetapi, anakku, engkau seorang wanita muda, lalu hendak mencari Guru kemanakah? Duh gusti, kemalangan apa lagi yang harus hamba derita ini?? Dan sepasang wanita itu sudah basah lagi.
?Sudahlah, Kanjeng Ibu, jangan menangis. Lebih baik bantulah aku. Tadinya aku teringat bahwa Uwa Empu Tanding adalah seorang yang memiliki aji kesaktian, demikian kata orang. Benarkah itu??
?Benar sekali, Darmini. Uwamu itu seorang yang digdaya.?
?Tadinya aku berniat untuk bergur kepadanya. Akan tetap sekarang tidak mungkin lagi setelah dia datang meminang dan pinangan itu kita tolak. Aku harus mencari Guru lain, bahkan kalau mungkin lebih digdaya dari pada Uwa Empu. Tahukah engkau, Ibu, siapa Guru Uwa Empu Tanding??
?Guru Uwamu itu adalah Kakak seperguruannya juga yang bernama Empu Kebondanu, seorang Pertapa di dusun Talasan di kaki Gunung Bromo.?
?Apakah dia lebih digdaya dibandingkan Kanjeng Uwa Empu Tanding, Ibu??
?Aku tidak tahu pasti, anakku. Yang kutahu hanyalah bahwa yang bernama Empu Kebondanu adalah seorang Pertapa sakti, dan biarpun dahulunya menjadi Kakak seperguruan, ketika Guru mereka meninggal dunia, Empu Kebondanu yang melanjutkan mendidik Uwamu.?
?Kenapa kalau Kanjeng Uwa menjadi seorang pejabat dan bangsawan, Empu Kebondanu tidak??
?Karena kabarnya dia tidak suka akan keduniawian, lebih suka menjadi seorang Pertapa di dusun Talasan itu.?
?Ah, agaknya dialah orangnya, Ibu. Aku akan pergi ke sana, berguru kepada Empu Kebondanu! Kalau Kanjeng Uwa menjadi muridnya, tentu dia amat sakti, jauh lebih sakti daripada Kanjeng Uwa sendiri.?
?Tapi, anakku, dusun itu jauh sekali, dan engkau seorang anak perempuan!? kata Ibunya khawatir sambil merangkul anaknya.
?Ibu, apakah lebih senang melihat aku berdiam disini dan mati?? Nyi Demang menjerit.
?Tidak, tidak...!? ?Kalau aku tinggal saja disini, sama saja dengan mati, Ibu. Hatiku akan diracuni dendam dan penasaran. Sebaliknya, kalau aku mempelajari ilmu, akan timbul harapan dalam hatiku dan ada gairah semangat untuk hidup. Ibu jangan khawatir, aku akan menyamar sebagai seorang pria, dan kalau Ibu demikian mengkhawatirkan, biarlah Ibu menyuruh seorang yang dapat dipercaya untuk menemaniku pergi ke Talasan mencari Empu Kebondanu.?
?Baiklah, anakku, akan tetapi biarkan Ibumu ini lebih dulu merundingkaan dengan Ayahmu... ahhhh, anakku...? Sambil mengeluh panjang Ibu yang gelisah itu lari keluar dari kamar anaknya untuk menyampaikan berita yang mengejutkan itu kepada suaminya. Mendengar penuturan isterinya, Ki Demang terbelalak.
?Apa?? Untuk beberapa saat lamanya dia tidak mampu berkata-kata. Berita itu terlalu mengejutkan, sama sekali tak pernah disangkanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan memandang isterinya.
?Engkau tentu tahu bahwa ia telah kuanggap sebagai darahku sendiri, sebagai anakku sendiri, apalagi karena kau tidak mempunyai anak lain kecuali Nini Darmini. Sungguh berat rasanya membiarkan dia pergi dari sini, apalagi untuk berguru dan bertapa! Seorang gadis mempelajari aji kesaktian dan bertapa, padahal tidaklah mudah untuk mempelajari ilmu itu, harus berani hidup sengsara, kurang makan kurang tidur. Akan tetapi, kalau kita melarangnya dengan keras, tentu akan berbahaya sekali. Ia sudah bicara tentang kematian, berarti kalau kita melarang, ia akan membunuh diri. Ah, sungguh tidak kusangka akan begini akibat pertunangannya dengan Cina itu...?
?Sudahlah, tidak ada artinya menyesal hal yang sudah lewat. Yang penting sekarang, bagaimana engkau dapat mengatur agar anak kita dapat selamat menghadap Eyang Empu Kebondanu yang terkenal sakti itu.?
?Bagaimana kalau aku sendiri yang mengantarkannya ke sana??
?Tidak, Kanjeng Rama, aku tidak ingin Kanjeng Rama yang mengantarkan aku. Harap dicarikan orang lain saja, atau aku akan pergi seorang diri saja!? Tiba-tiba muncul Darmini. Ki Demang Bragolo dan isterinya terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Darmini telah berada di situ.
?Nini, sudah... Sudah lamakah engkau berada di situ?? Darmini yang baru saja keluar dari balik tihang besar itu mengangguk.
?Sudah sejak tadi, Ibu.? ?Kalau begitu... kau... apakah mendengarkan semua percakapan kami?? tanya pula Ki Demang Bragolo sambil menantap wajah gadis itu penuh perhatian dan selidik. Darmini menghampiri mereka lalu duduk di atas bangku, berhadapan dengan mereka.
?Harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu tidak menjadi kaget atau gelisah mengenai keadaan saya karena apa yang saya dengar tentang hubungan Kanjeng Rama dengan saya tadi sudah sejak lama saya ketahu.?
?Apa...? Kau... kau sudah tahu bahwa engkau bukan...?
?Saya tahu bahwa saya bukan puteri kandung Kanjeng Rama, Ibu.?
?Bagaimana engkau bisa tahu, Nini?? Ki Demang Bragolo bertanya kaget.
?Saya pernah mendengar desas-desus tentang hal itu sejak beberapa tahun yang lalu, akan tetapi karena saya tidak ingin membuat Paduka berdua gelisah, saya pura-pura tidak tahu saja. Dan lagi, apa bedanya bagi saya? Kanjeng Rama demikian baik kepada saya, sudah saya anggap sebagai Ayah kandung sendiri.? Legalah hati suami isteri itu dan Nyi Demang Bragolo lalu duduk di dekat anaknya, merangkul pinggang puterinya.
?Nini, maafkan kami yang tidak pernah menceritakan hal ini kepadamu. Memang sesungguhnya kami sengaja tidak bercerita karena kami khawatir hal itu akan membuat engkau berduka. Sekarang ketahuilah bahwa Ayah kandungmu sendiri telah meninggal ketika engkau masih kecil. Ibumu lalu menikah lagi dengan Ayahmu yang sekarang ini dan karena engkau masih kecil, maka kamipun mengambil keputusan untuk merahasiakan keadaaan dirimu itu, apalagi karena Kanjeng Rama mengganggap engkau sebagai anak kandungnya sendiri.?
?Ibu, hal itu sudah berlalu dan anggap saja bahwa saya tetap tidak pernah mengetahui. Yang saya ingin bicarakan bukan hal itu, melainkan tentang keinginan saya berguru. Saya tidak setuju kalau Kanjeng Rama yang mengantarkan saya, karena dengan demikian berarti belum bulat tekad saya. Saya harus pergi seorang diri saja meninggalkan rumah ini, dan kalau Kanjeng Ibu demikian mengkhawatirkan saya, biarlah ada orang kepercayaan yang mengantar saya sampai ke dusun Talasan di kaki Bromo.? Ki Demang Bragolo mengangguk-angguk dan kelihatan terharu. Dia meraba-raba dagunya yang tidak berjenggot, lalu berkata,
?Aku melihat betapa tekadmu sudah bulat sekali, Nini. Engkau dibara dendam yang mendalam karena kematian tunanganmu. Baiklah, aku akan mencarikan seorang perajurit yang gemblengan untuk mengawalmu sampai ke kaki Bromo, sampai engkau dapat menghadap Eyang Empu Kebondanu.?
?Akan tetapi, Kanjeng Rama. Kalau dapat harap dipilihkan seorang abdi biasa saja dari keluarga kita sendiri. Selain saya tidak senang melakukan perjalanan dengan orang yang sama sekali belum pernah kukenal, juga saya khawatir orang luar itu akan membocorkan rahasia dan menceritakan kepergianku kepada orang-orang lain.
?Biarlah Paman Nala, tukang kebun kita itu saja, yang mengantar Nini Darmini,? kata Nyi Demang. ?Dia sudah belasan tahun mengabdi kepada kita, sejak Darmini masih kanak-kanak, dan dia seorang yang setia dan jujur.?
?Saya setuju, Ibu!? kata Darmini. ?Biar dia yang menemani saya. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, saya akan berangkat. Saya akan memberi tahu Paman Nala sekarang juga.? Dan gadis itupun tanpa menanti jawaban lari masuk ke bagian belakang rumah itu. Ayah dan Ibunya hanya saling pandang dan Nyi Demang lalu menubruk suaminya sambil menangis. Suaminya memeluknya dan mengusap rambutnya, mengeluarkan kata-kata menghibur.
Pemuda itu tampan sekali. Dari pakaiannya saja, dengan baju indah menutup tubuh atasnya, dan kain kepala menutupi rambutnya, mudah diketahui bahwa dia bukan seorang pemuda dusun belaka yang jarang menutup bagian tubuh atas dengan baju. Tentu seorang pemuda bangsawan dari Kotaraja, atau setidaknya tentu seorang pemuda kaya raya dari dari kota. Akan tetapi melihat betapa pakaiannya sederhana saja, lebih tepat kalau dia seorang pemuda putera seorang Ponggawa atau putera seorang Pendeta yang meniru-niru pakaian pemuda kaya akan tetapi tidak mampu membeli pakaian indah yang mahal. Perawakannya sedang atau lebih tepat kecil ramping, sebagian rambut yang tersembul dari kain kepala demikian hitam dan segar. Wajahnya yang lembut dan agak dingin muram itu amat tampan. Kulit kaki dan tangannya juga halus, tanda bahwa pemuda ini jarang bekerja berat. Teman yang berjalan disampingnya itu seorang lak-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun,
Pakaiannya juga sederhana dan sikapnya seperti seorang petani yang biasa bekerja keras. Punggungnya agak bongkok, agaknya karena sejak kecil sampai tua jarang melepas gagang cangkul. Orang ini tinggi kurus, wajahnya lonjong, dan nampak bodoh, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya Ramah, sikapnya gembira, berbeda dengan pemuda itu yang nampak jarang tersenyum, padahal kalau sekali-kali dia tersenyum, nampak betapa wajahnya menjadi tampan sekali! Pemuda itu bukan lain adalah Darmini yang menyamar sebagai seorang pemuda, dan temannya adalah Nala, tukang kebun yang menjadi hamba keluarga Ki Demang Bragolo semenjak Ibu kandung Darmini menikah dengan Demang itu. Ki Nala ini seorang duda yang tidak mempunyai anak, tidak mempunyai keluarga pula, seorang perantau yang datang jauh dari dusun di Pegunungan Kidul dekat pantai laut selatan.
Mereka telah melakukan perjalanan selama beberapa hari dan pada siang hari yang panas itu mereka beristirahat di tepi jalan, tepi sawah dimana tumbuh sebatang pohon beringin dan duduk bercakap-cakap sambil makan ketupat yang mereka beli pagi tadi di sebuah dusun yang mereka lalui. Siang itu matahari terik sekali. Bahkan dibawah pohon beringin itu masih nampak sinar matahari yang menyelinap di antara celah-celah daun pohon, menciptakan garis-garis sinar lurus menimpa bumi. Beberapa ekor burung di dalam phon beringin itu tidak mengeluarkan bunyi, agaknya merekapun merasakan panasnya siang hari itu dan mengaso di dalam perlindungan daun-daun hijau yang sejuk. Namun, setelah melakukan perjalanan yang melelahkaan di antara sengatan terik matahari dan pengapnya debu,
Duduk di atas batu di bawah pohon beringin itu amatlah sejuknya... Apalagi ketika angin semilir menerpa tubuh, segar rasanya. Baju yang basah oleh keringat menjadi kering, dan laparpun terasa oleh perut. Dalam keadaan seperti itu, dialam terbuka, dibawah pohon yang rindang, ditiupi angin lembut, makan ketupat dan sambal tempe yang mereka beli tadi sudah terasa nikmat dan lezat bukan main! Perpisahan dengan Ayah Ibunya terjadi singkat saja. Hari keberangkatan, pagi-pagi sekali dilengkapi tangis Ibunya. Darmini sudah siap bersama Ki Nala ketika Ayah dan Ibunya muncul. Ibunya terbelalak melihat puterinya berpakaian pria dan berubah menjadi seorang pemuda tampan, lalu menubruk, merangkul dan menangis. Darmini mencium kedua pipi Ibunya, lalu melepaskan diri dengan lembut dan berkata,
?Harap Kanjeng Ibu suka menenangkan hati dan jangan memberatkan beban saya dengan kedukaan. Sebaliknya, saya mohon doa restu dan saya membutuhkan kegembiraan dan semangat untuk melakukan perjalanan ini, Kanjeng Ibu.? Mendengar ucapan puterinya, Nyi Demang menghentikan tangisnya. Darmini lalu berlutut menyembah di depan kaki Ki Demang Bragolo.
?Kanjeng Rama, saya mohon diri dan mohon doa restu.?
?Kuberi doa restuku, Nini. Semoga engkau selalu dilindungi Hyang Widhi Wisesa di sepanjang perjalanan dan dapat terkabul cita-citamu.?
?Terima kasih, Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, saya mohon pamit dan doa restu.?
?Anakku...!? Nyi Demang juga berlutut dan merangkul, tak dapat menahan tangisnya.
?Semoga selamat perjalananmu, anakku. Aku akan memujikan siang malam... dan bawalah ini, Nini, perlu untuk bekal di dalam perjalananmu. Ki Nala, hati-hatilah menjaga momonganmu Damini.? Darmini menerima peti kecil berisi perhiasan dari Ibunya, walaupun ia tidak merasa perlu membawa barang berharga itu. Ia sudah membawa pakaian laki-laki yang telah disuruhnya beli Ki Nala semalam, dibuntalnya bersama beberapa pakaian wanita. Ia tidak melupakan pedang Lian-Hwa-Kiam dan juga bunga teratai layu pemberian Ong Cun dahulu!
?Terima kasih, Kanjeng Ibu. Saya berangkat, selamat tinggal!? Dengan cepat Darmini meninggalkan Ayah Ibunya yang mengikutinya dengan pandang mata kabur karena linangan air mata. Kalau tidak dirangkul suaminya, tentu Nyi Demang sudah mengejar puterinya atau jatuh pingsan. Darmini tidak menengok lagi, bahkan berjalan cepat keluar dari rumah gedung orang tuanya. Demikianlah, mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Karena Darmini seorang gadis pingitan, puteri seorang Demang yang tentu saja jarang melakukan perjalanan, dan tidak pernah melakukan perjalanan kaki demikian jauh, maka perjalanan ini merupakan siksaan bagi tubuhnya, terutama sekali kedua kakinya. Akan tetapi, berkat tekadnya yang bulat, didorong oleh dendam sakit hatinya yang setinggi langit sedalam lautan, ia menanggung semua itu tanpa pernah mengeluh sedikitpun juga.
Seringkali Ki Nala menggeleng kepala, penuh rasa iba, juga penuh rasa kagum, melihat betapa gadis yang menyamar pria itu melangkahkan kakinya dengan berat agak terpincang-pincang, namun terus saja ia melangkah tanpa mengeluh, hanya menggigit bibir dengan sinar mata mencorong penuh semangat. Kakek inipun merasa kasihan sekali melihat betapa kalau mereka berhenti, gadis itu memijat-mijat kedua kakinya yang agak membengkak! Ingin dia menggendong momongannya itu, gadis yang dikenalnya sejak gadis itu masih seorang anak kecil yang baru belajar jalan. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengatakannya, karena pernah ketika dia mengusulkan apakah sebaiknya tidak berhenti dulu kalau gadis itu merasa lelah, Darmini membentaknya.
?Paman Nala, jangan sekali-kali mengatakan bahwa aku lelah! Dan ingat, namaku sekarang Darmono, jangan salah sebut sehingga membuka rahasiaku. Engkau harus menyimpan rahasiaku ini dengan taruhan nyawa. Maukah engkau berjanji, Paman?? Ki Nala mengangguk-angguk.
?Baik, dan maafkan saya... eh, Raden Darmono.? Darmini tersenyum mendengar Kakek itu agak meragu, lalu lenyaplah sudah kemarahannya. Ia mendekat dan memegang tangan kanan Ki Nala.
?Engkaulah yang harus maafkan sikapku tadi, Paman. Engkau begini setia, dan aku hanya membentakmu, padahal engkau bermaksud baik.? Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan lagi setelah beristirahat dan makan di bawah pohon beringin. Gunung Bromo yang menjulang tinggi itu kini sudah nampak dekat. Dusun Talasan tidak jauh lagi. Menurut orang terakhir yang mereka tanyai, mereka harus melewati tiga buah hutan lagi dan perjalanan itu akan makan setengah hari, dan mereka akan tiba di dusun Talasan. Ketika mereka tiba di hutan ketiga, hari sudah menjelang malam. Cuaca sudah remang-remang.
?Maaf Raden, malam telah hampir tiba. Apakah tidak lebih baik kalau kita berhenti di luar hutan ini dan melanjutkan besok??
?Tidak, Paman. Hutan ini adalah hutan terakhir menurut keterangan orang yang kita tanyai tadi. Lebih baik cepat-cepat kita tembusi hutan ini dan kita sudah akan tiba di dusun Talasan.?
?Tapi, malam hampir tiba, tentu gelap sekali di dalam hutan.?
?Apakah engkau takut, Paman? Aku tidak!? Mendengar ucapan itu dan melihat sikap gadis yang gagah itu. Ki Nala merasa malu untuk memperlihatkan kekecilan hatinya.
?Kalau begitu baiklah, Raden. Saya tidak takut, saya tadi hanya ingin menguji sampai dimana keberanian hati andika.?
(Lanjut ke Jilid 03) Kilat Pedang Membelah Cinta (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03 Darmini tersenyum mendengar ucapan ini. Kadang-kadang kegembiraan dan kelucuan sikap Ki Nala dapat memancing senyumnya, dan memang seringkali Kakek itu sengaja melucu untuk dapat menggembirakan hati momongannya.
?Mari, Paman, kita percepat jalan kita agar dapat segera sampai di tempat tujuan. Malam ini bulan muncul sore-sore, lumayan untuk menerangi perjalanan kalau sampai kita kemalaman di hutan.? Kadang-kadang Kakek ini sendiri merasa heran akan ketabahan hati momongannya. Demikian beraninya sampai seperti orang nekat yang tidak lagi menghiraukan bahaya.
Akan tetapi, sebagai seorang yang lebih tua dan terutama sekali sebagai laki-laki, tentu saja dia merasa malu kalau memperlihatkan rasa serem dan takutnya memasuki hutan itu padahal hari mulai malam gelap begini. Yang mengharukan hatinya, setiap kali menghadapi bahaya atau kelelahan yang sangat, gadis itu seperti mendapatkan tenaga baru kalau sudah mengeluarkan kembang teratai layu dari saku bajunya, memegangi bunga layu itu dari saku bajunya, memegangi bunga layu itu dan mencium-ciumnya. Sebagai seorang tukang kebun yang sejak dahulu bekerja di keluarga Kademangan, tentu saja dia tahu akan riwayat asmara momonganya ini. Dia tahu pula betapa kekasih dan tunangan momongannya mati terbunuh orang. Bahkan di dalam perjalanan pernah Darmini mengajaknya bercakap-cakap tentang peristiwa pembunuhan itu.
?Paman Nala, masih ingatkah engkau kepada Ong Cun?? demikian tiba-tiba gadis itu bertanya, beberapa hari yang lalu ketika mereka bermalam di dalam gubuk di tengah sawah.
?Tentu saja, Raden.? Dia sudah terbiasa kini menyebut Raden Darmono, kepada gadis momongannya itu. ?Akan tetapi, baikkah membicarakan dia??
?Tidak apa-apa, Paman. Aku terkenang kepadanya, dan aku sudah dapat mengatasi kesedihanku atas kematiannya. Dia... dia seorang yang mulia, gagah dan baik sekali, Paman. Aku cinta sekali padanya.?
?Tentu saja Raden. Sayapun pernah diajaknya bercakap-cakap dan biarpun terhadap seorang tukang kebun seperti saya.?
?Ah, semua itu hanya tinggal kenangan. Dan sekarang yang tinggal daripadanya hanyalah pedang ini, dan... dan layon kembang ini, Paman. Ini setangkai bunga teratai yang dipetiknya dari kolam kita, dan diberikannya kepadaku. Kusimpan selalu bersama pedang ini, sampai matipun aku tidak mau berpisah lagi.? Ki Nala merasa terharu sekali. Dia pernah muda, pernah mempunyai isteri yang juga amat dicintainya. Isterinya itu kemudian lari dengan pria lain, dan untuk beberapa tahun lamanya dia berduka. Untung bahwa mereka belum mempunyai anak dan semenjak itu, dia tidak lagi mau menikah. Akan tetapi, kini melihat cinta yang demikian mendalam dari gadis momongannya, yang masih tetap setia dan mencinta kekasihnya walaupun telah ditinggal mati, membuat dia merasa terharu bukan main.
?Biarpun nasibnya buruk dan telah meninggal dibunuh orang, akan tetapi tunangannya andika itu, siapa lagi namanya...?
?Ong Cun...? ?Oya, Ong Cun, sukar benar teringat oleh saya nama Cina itu. Tunangan andika itu sungguh beruntung sekali mempunyai seorang tunangan seperti andika, Raden.? Darmini terdiam. Percakapan tentang Ong Cun itu menggugah kembali rasa kehilangan dan membangkitkan kembali rasa kehilangan dan kesedihan hatinya.
Memang, duka timbul dari pikiran, timbul dari ingatan. Suatu peristiwa terjadi. Pikiran yang menciptakan si-aku menyambut dan menilai peristiwa itu. Ternyata merugikan si-aku yang penuh ikatan. Ikatan putus dan si-aku merasa dirugikan. Timbullah iba diri dan iba diri ini mendatangkan duka. Setiap kali pikiran teringat, timbullah duka itu. Kalau tidak teringat, dukapun tidak ada! Demikian pula Darmini. Begitu bicara tentang Ong Cun dan teringat bahwa ia telah kehilangan kekasihnya itu, ia merasa sengsara, merasa kesepian, merasa kehilangan, dan timbul iba diri yang mendatangkan duka. Ini tidak benar, celanya kepada diri sendiri. Melemahkan semangat saja. Yang penting sekarang adalah berusaha membalas dendam dan ia sedang pergi untuk mempelajari ilmu agar kelak dapat membalas dendam setelah berhasil menemukan pembunuh Ong Cun, pemerkosa dirinya!
?Paman Nala, Ong Cun terbunuh pada malam Kamis Wage, bukan??
?Maaf, saya tidak ingat lagi, Raden. Agaknya begitulah. Mengapa??
?Aku ingat dan takkan pernah dapat melupakan malam itu dan malam berikutnya.?
?Malam berikutnya? Setelah malam Kamis Wage, malam berikutnya adalah malam Jumat Kliwon! Ada apa dengan malam itu, Raden??
?Benar, Paman, malam Jumat Kliwon.? Diam-diam Darmini mengepal tinju dan bergidik. ?Malam itu serem sekali, Paman, dan aku masih diliputi kedukaan mendalam berhubung dengan kematian Ong Cun. Ingatkah engkau Paman, barangkali ada terjadi sesuatu hal yang menarik di malam Jumat Kliwon itu??
?Malam Jumat Kliwon itu? Di Kademangan memang tidak ada apa-apa, akan tetapi... hiiiihhh...? Ki Nala bergidik seperti orang ketakutan teringat akan sesuatu. Berdebar rasa jantung dalam dada Darmini. Agaknya ada terjadi sesuatu pada malam jahanam itu!
?Apakah yang telah terjadi, Paman? Cepat ceritakan padaku!?
?Saya hanya mendengar saja cerita orang, Raden. Dikabarkan bahwa pada pagi harinya setelah malam Jumat Kliwon itu, orang mendapatkan seorang yang terkenal sebagai dukun dengan nama Eyang Rudiro telah mati terbunuh orang di tanah kuburan yang angker. Hiih, orang itu memang menyeramkan sekali, akan tetapi kematiannya sungguh penuh rahasia. Jelas dia dibunuh orang dikuburan itu, dan disitu masih Nampak bekas kembang menyan berserakan.?
?Siapakah itu Eyang Rudiro, Paman? Aku belum pernah mendengar namanya.?
?Memang lebih baik kalau tidak mendengar nama orang seperti itu dan selamanya tidak usah berkenalan. Dia terkenal sebagai seorang dukun tukang tenung, tukang guna-guna dan segala macam ilmu setan lainnya. Orangnya sudah tua dan tubuhnya bongkok, mukanya... hiiiiih, lebih baik kalau andika tidak pernah melihatnya, Raden. Menyeramkan dan menakutkan, bukan seperti muka manusia.?
Darmini tidak memperhatikan tentang keburukan dan keseraman Kakek yang dinamakan dukun Eyang Rudiro itu. Yang menarik perhatiannya adalah bahwa dukun itu terbunuh orang pada malam Jumat Kliwon, malam jahanam waktu ia diperkosa orang yang tidak dikenalnya. Suatu kebetulan saja? Ataukah masih ada kaitannya? Apakah hubungan atas diri dukun itu dengan perkosaan atas dirinya! Siapa tahu pemerkosanya juga pembunuh dukun itu, seperti ia yakin bahwa pemerkosanya adalah pembunuh Ong Cun. Jahanam itu sendiri mengakuinya sebelum ia pingsan, bahwa jahanam itu telah membunuh kekasihnya, kemudian menggagahinya. Aku harus menyelidiki semua itu.
Akan tetapi tidak sekarang. Tidak, ia hanya seorang gadis lemah. Ia harus belajar dulu menguasai ilmu, agar dengan bantuan pedang Lian-Hwa-Kiam, ia akan mampu melakukan penyelidikan, dan mampu pula membalas dendam, membunuh jahanam yang telah menewaskan Ong Cun dan memperkosanya. Mereka memasuki hutan terakhir dan cuaca menjadi semakin gelap. Pohon-pohon dalam hutan mulai Nampak menakutkan, hitam dan diam, seperti setan-setan atau raksasa-raksasa yang berdiri tegak berbaris untuk menghadang perjalanan mereka berdua. Cabang-cabang besar itu seperti lengan-lengan panjang yang siap menjangkau dan mencengkeram siapa yang berani memasuki hutan itu. Ki Nala bergidik dan tanpa disadarinya, dia makin mendekat Darmini.
?Ada apa Paman?? tanya Darmini ketika merasa betapa sikunya tersentuh lengan pengikutnya.
?Tidak apa-apa, Raden, hanya... huh, kelihatan menyeramkan hutan ini dan hati saya merasa tidak enak...?
?Tenanglah, Paman. Tidak ada apa-apa disini. Pohon-pohon dalam cuaca gelap itu bahkan nampak indah sekali. Lihatlah, di langit timur sudah mulai nampak terang. Bulan akan segera muncul.? Kata-kata ini dipergunakan Darmini bukan hanya untuk membesarkan hati Ki Nala, akan tetapi juga untuk membesarkan hatinya sendiri karena bagaimanapun juga, hutan itu memang nampak sunyi dan menyeramkan.
Untung terdapat jalan setapak yang jelas sehingga mereka dapat mengikuti jalan ini tanpa khawatir akan tersesat jalan. Untuk menenangkan batinnya sendiri, Darmini yang sudah menguluarkan bunga teratai layu dari saku bajunya, menciumi bunga itu dan terbayanglah wajah Ong Cun, tersenyum-senyum kepadanya, seolah-olah merestui dan menyetujui perjalanannya itu. Bunga itu sudah layu, sudah tidak berupa bunga lagi, sudah menjadi benda kering kuning kecoklatan. Namun anehnya, kalau di waktu masih segar bunga teratai itu tidak mengeluarkan bau apa-apa, kini setelah layu dan tidak berujut bunga lagi, mempunyai keharuman yang aneh. Tiba-tiba saja, bunga itu terlepas dari tangan Darmini, yang segera menahan langkahnya.
?Ehhh...? Ia berseru dan membungkuk, memungut bunga yang disayangnya dan yang terjatuh ke atas tanah di depan kakinya itu.
?Syuuuuutt... wirrr... ceppp!?
?Aduhhhhhhh...!? Darmini terkejut bukan main ketika mendengar terikan Ki Nala, apa lagi ketika melihat Ki Nala yang tadi berjalan disampingnya itu kini terpelanting roboh dan berkelojotan!
?Paman Nala...!? teriaknya sambil berlutut dan matanya terbelalak ketika melihat betapa ada sebatang panah menancap di dada pengikutnya itu sampai tembus! Tangan yang hendak mengguncang pundak Kakek itu ditariknya kembali dan iapun hanya dapat memanggil-manggil dengan bingung.
?Paman... Paman Nala..., ah, bagaimana ini...?? Semenjak meninggalkan rumah berganti pakaian pria. Darmini sudah berjanji di dalam hatinya untuk tidak menangis. Hatinya cukup tabah dan biarpun sekarang iaa merasa bingung sekali, akan tetapi ia tidak menangis. Hatinya hanya merasa ngeri melihat betapa tubuh itu berkelojotan. Anak panah! Ada orang yang membunuh Ki Nala! Darmini cepat bangkit berdiri dan memandang ke arah darimana datangnya anak panah itu. Akan tetapi ia tidak melihat apa-apa, hanya mendengar lapat-lapat suara derap kaki kudah menjauh. Pembunuh itu datang berkuda, pikirnya. Akan tetapi mengapa ia membunuh Ki Nala?
?Paman... Paman Nala...? Ia berjongkok kembali. ?Paman, siapa yang melakukan ini dan mengapa?? Kini ia memberanikan diri mengguncangkan pundak orang itu. Akan tetapi tubuh itu sudah diam, tidak berkelojotan lagi. Sinar lemah bulan cukup menerangi muka itu dan Darmini bergidik. Muka Ki Nala itu nampak menyeramkan, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, seperti orang hendak menjerit dan memaki, dan mata itu membayangkan kemarahan!
?Ah, Paman..., maafkan, terpaksa ku tinggalkan engkau disini, Paman,? katanya. Ia memungut bunganya yang terjatuh tadi, dan cepat ia bangkit dan lari dari tempat itu, melanjutkan perjalanan.
Ia kini teringat bahwa anak panah itu datangnya dari arah kiri, dan ia tadi berdiri di sebelah kiri Ki Nala. Hal itu berarti bahwa anak panah itu ditujukan kepadanya, dan kalau saja bunga teratai layu itu tidak jatuh, kalau saja ia tidak membungkuk untuk memungutnya, tentu ialah yang terkena anak panah, bukan Ki Nala! Ia hendak dibunuh, akan tetapi Ki Nala yang menjadi korban. Ia tertolong oleh kembang teratai pemberian Ong Cun! Secara aneh kembang itu tadi terlepas dari jari-jari tangannya dan ia membungkuk, tepat ketika anak panah meluncur! Orang itu bermaksud membunuhnya, pikiran ini membuat Darmini mempercepat larinya, melalui jalan setapak menuju ke arah kaki Gunung Bromo. Rasa ngeri dan takut kalau-kalau pembunuh itu melihat kekeliruannya dan mengejarnya, membuat kedua kakinya seperti ditumbuhi sayap dan ia berlari seperti terbang!
Penat sekali rasanya seluruh tubuh ketika akhirnya Darmini tiba di luar sebuah dusun yang amat sederhana, di kaki Gunung Bromo itu. Terutama sekali kedua kakinya teraa amat lelah dan nyeri, seperti akan patah-patah rasanya semua persendian tulang dari paha kebawah. Akan tetapi, karena tekat yang membaja, Darmini melanjutkan langkahnya, biarpun tertatih-tatih, memasuki dusun itu. Masih sunyi pagi itu, karena masih terlampau pagi. Fajar baru menyingsing dan ayam-ayam jantan berkeruyuk saling bersahutan. Burung-burung juga baru saja keluar, belum begitu banyak, berkicau riang diantara daun-daun pohon. Ketika ia melihat seorang petani memanggul cangkul, hendak keluar dari dusun itu, mungkin hendak ke sawah lading, Darmini cepat menghampirinya dan dengan halus ia bertanya.
?Maafkan saya, Paman. Dapatkah Paman menunjukkan di mana tempat tinggal Eyang Empu Kebondanu? Katanya tinggal di dusun Talasan, apakah benar dusun ini yang bernama Talasan?? Sejenak petani yang usianya empat puluh tahun lebih itu mengamati Darmini dari kepala sampai ke kaki. Agaknya dia kagum melihat orang asing yang masih muda dan amat tampan ini, walaupun nampak kusut dan lelah.
?Benar, orang muda. Dusun ini adalah Talasan. Andika mencari Eyang Empu Kebondanu? Dia bertapa di sebuah guha, disebelah utara dusun ini, agak naik sedikit ke daerah gunung.? Petani itu menuding ke arah utara di mana samar-samar nampak daerah berbatu yang agak tinggi letaknya. Bukan main girang rasa hati Darmini karena ternyata ia tiba di tempat yang dicarinya. Biarpun semalam tadi ia melakukan perjalanan setengah berlari yang amat melelahkan, ditambah lagi rasa takut dan duka karena kematian Ki Nala yang mengerikan, namun terobatlah rasa jerih payah itu karena ia tiba di tempat yang selama ini dicarinya. Apalagi mendengar bahwa memang benar Empu Kebondanu berada di situ!
?Terima kasih, Paman, terima kasih. Andika baik sekali, semoga sawah ladangmu menghasilkan banyak tahun ini!? Darmini sudah membalikkan tubuh untuk pergi menuju ke utara ketika ia mendengar petani itu bertanya,
?Eh, orang muda, nanti dulu. Siapakah andika dan datang dari mana?? Pertanyaan ini tidak menyenangkan hati Darmini yang tak ingin dikenal orang, ingin menyembunyikan keadaan dirinya. Akan tetapi karena petani itu telah bersikap baik dengan pemberitahuan tentang Pertapa yang dicarinya, iapun menjawab singkat,
?Nama saya Darmono dan saya seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggal saya.? Setelah berkata demikian digerakkannya kaki yang nyeri-nyeri itu secepatnya meninggalkan petani yang masih berdiri bengong, lalu melanjutkan perjalanannya ke sawah sambil berkata-kata seorang diri.
?Sungguh aneh orang-orang muda dari kota. Heran, apa yang mereka cari dari seorang Pertapa tua yang hanya pandai mengobati orang sakit? Baru kemarin ada seorang bangsawan muda mengunjungi Empu Kebondanu, dan sekarang, begini pagi sudah ada lagi yang datang. Dia jelas pemuda kota, gerak geriknya dan tutur katanya. Hemm, mengherankan!? Akan tetapi sebagai seorang petani yang sederhana, dia sudah melupakan lagi urusan itu setelah dia mulai mengerjakan tanah yang berbau sedap sepagi itu dengan cangkulnya.
Guha itu sudah nampak ketika Darmini keluar dari pintu dusun sebelah utara. Sebuah guha di daerah yang berbatu gamping (kapur), nampak putih dan berlubang-lubang. Ia tidak ragu lagi menuju ke sebuah guha yang besar karena guha itu jelas nampak ditinggali manusia, bahkan di luar guha terdapat sebuah tempat perapian dan sebuah bangku batu yang panjang. Darmini telah mendengar dari Ayahnya bahwa para Pertapa adalah orang-orang aneh yang wataknya juga kadang-kadang aneh. Dan Ibunya bercerita bahwa Empu Kebondanu ini seorang yang sakti, maka iapun tidak berani lancang dan begitu tiba di depan guha yang nampak sunyi itu, ia terus saja menjatuhkan diri berlutut dan bersila di depan guha setelah menyembah dengan hormatnya. Enak rasanya duduk di situ. Lantai yang didudukinya itu bukan tanah lembab, melainkan batu kering yang halus.
Kedua kakinya terasa berdenyut-denyut dan baru sekarang terasa betapa lelah kedua kakinya, terasa semua perjalanan darah melalui otot-otot dan urat-uratnya. Entah berapa lama ia duduk di situ ia tidak tahu lagi, Matahari telah nampak di ufuk timur ketika terdengar suara batuk-batuk, batuk orang tua, dari dalam guha dan tak lama kemudian keluarlah seorang Kakek dari dalam guha itu. Darmini mengangkat muka memandang. Seorang Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun, mengenakan pakaian serba hitam dan kulitnya, dari kulit kaki yang telanjang, kulit tangan sampai kulit muka dan lehernya, demikian hitam seperti arang, juga nampak kulitnya itu tebal dan kasar. Pantaslah kalau Kakek ini bernama Kebondanu. Sepasang matanya yang lebar itu nampak bersinar dan menambah kebengisan wajahnya, dan suaranya terdengar parau dan kasar ketika ia membuka mulut.
?Jagad Dewa Bathara...! Andika hendak mencari siapakah, orang muda?? Melihat bahwa Kakek itu belum tua benar, hanya se puluh tahun lebih tua dari Ayahnya, bahkan nampaknya tidak lebih tua dari Uwanya, yaitu Empu Tanding, Darmini merasa tidak tepat kalau menyebut Eyang kepadanya. Setelah mempertimbangkannya sejenak, iapun menjawab dengan hormat.
?Maaf, Paman, saya datang mencari Paman Empu Kebondanu.?
?Hemmmm, tanpa diundang dan tanpa memberi-tahu lebih dulu andika datang ke sini mencari aku, siapakah andika dan ada keperluan apakah?? Diam-diam Darmini merasa tidak enak juga menghadapi sikap yang kasar dan sama sekali di luar dugaannya itu. Tadinya ia menggambarkan bahwa seorang Pertapa sakti, tentu Empu Kebondanu lebih berwibawa dan lemah-lembut penuh kebijaksanaan, akan tetapi Kakek ini demikian kasar, walaupun harus diakui memiliki kewibawaan yang besar.
?Maafkan saya, Paman Empu, kalau saya mengganggu. Maksud kedatangan saya ini adalah untuk mohon belas kasihan Paman Empu agar sudi menerima saya sebagai murid.?
?Hemmm, andika ini orang muda hendak belajar apakah??
?Saya ingin mempelajari ilmu bela diri, aji kedigdayaan, Paman Empu.? Tiba-tiba Kakek itu tertawa dan suara ketawanya seperti suara burung hantu, menyeramkan dan menggetarkan lantai yang diduduki Darmini.
?Ha-ha-ha-ha! Tidak begitu mudah, orang muda. Akan tetapi siapakah sebenarnya andika??
?Nama saya... Darmono, dan saya datang dari Lumajang. Saya mau melakukan apa saja untuk dapat menguasai ilmu itu, Paman, betapapun beratnya akan saya lakukan!? Sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar aneh.
?Orang muda, aku masih sangsi apakah benar andika akan bertahan untuk melakukan tapabrata yang berat. Aku ingin mengujimu lebih dulu. Sanggupkah andika bertapa dalam guha yang sunyi, seorang diri saja, dan biar sampai mati tidak boleh menghentikan samadhimu sebelum kusuruh bangun? Sanggupkah andika??
?Saya sanggup, Paman. Asal Paman memberi petunjuk di mana guha itu dan bagaimana saya harus bersikap dalam tapabrata itu.? kata Darmini dengan suara tegas dan kemauan membaja. Ia memang sudah bertekad menahan derita dan kesukaran yang bagaimanapun juga, bahkan rela mempertaruhkan nyawanya untuk dapat menguasai ilmu yang tinggi agar ia mampu mem belas dendam. Kembali Kakek itu tertawa.
?Ha-ha-ha, kemauanmu keras. Nah, disebelah kanan dari guha ini, sejauh kurang lebih seribu langkah, andika akan mendapatkan sebuah guha yang tidak lebar, hanya setengahnya guha ini, akan tetapi amat dalam dan gelap. Masuklah dan setelah tiba di ujungnya, andika harus duduk bersila, mengheningkan cipta, mematikan segala rasa dan tidak akan bangun sebelum aku datang.?
?Hanya itukah, Paman? Baik, akan saya taati perintah Paman,? kata Darmini dan setelah menyembah, iapun bangkit. Terasa betapa nyeri kedua kakinya ketika bangkit.
Setelah beberapa lamanya kaki itu dipakai bersila dan tidak digerakkan, kini ketika digerakkan terasa amat nyeri, kiut-miut rasanya, seperti tertusuk-tusuk tulang kakinya. Namun ia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, terpincang-pincang ia lalu pergi ke arah kanan guha besar itu. Amat sukar melangkahkan kaki yang sudah nyeri-nyeri itu melalui jalan yang penuh dengan batu-batu tajam meruncing. Namun, Darmini melangkah terus sambil diam-diam ia menghitung langkahnya. Setelah kurang lebih seribu langkah, benar saja ia melihat tak jauh di depan, sebuah guha yang tidak terlalu lebar seperti yang diceritakan Empu Kebondanu tadi. Akan tetapi dari jauh saja sudah nampak betapa guha itu gelap, karena lubangnya nampak seperti mulut yang menghitam. Tanpa ragu sedikitpun, setelah meneliti keadaan luar guha, ia masuk ke dalam guha.
Memang guha itu cukup dalam. Ia berjalan terus sampai ke ujungnya. Setelah lorong dalam guha itu tertutup, barulah ia berhenti. Keadaan cuaca memang gelap karena sinar matahari di luar guha masih lemah. Akan tetapi setelah terbiasa, matanya dapat melihat keremangan dan ia lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mencari lantai yang paling rata dan halus, kemudian iapun mulai duduk bersila seperti diperintahkan Empu Kebondanu tadi. Karena kemauannya memang keras sekali dan hatinya mulai tenteram karena ia merasa sudah tiba di tempat tujuan dan bertemu dengan seorang Guru yang sakti, sebentar saja Darmini sudah terlena dalam samadhinya. Ia tidak tahu berapa lamanya ia terlena dalam Samadhi. Ia sadar dari samadhinya karena merasa ada sesuatu yang meraba-raba tubuhnya. Ketika ia membuka mata, cuaca dalam guha tidaklah begitu gelap seperti tadi.
Agaknya matahari yang tadi masih lemah, kini telah naik makin tinggi dan cahayanya yang kuat masuk dari luar mendatangkan cuaca remang-remang. Yang mengejutkan hati Darmini adalah ketika ia melihat adanya seseorang berjongkok di depannya dan agaknya orang inilah yang tadi meraba-raba tubuhnya. Ia terkejut dan hampir bergerak dan menjerit namun segera teringat akan larangan Empu Kebondanu dan iapun teringat akan dongeng tentang orang yang bertapa. Menurut dongeng, orang yang bertapa akan menghadapi banyak godaan setan dan iblis! Maka, iapun diam saja, bahkan memejamkan kembali kedua matanya dan mematikan rasa sekuat mungkin. Akan tetapi, kembali ia terkejut. Kalau hanya godaan ?setan? itu terbatas kepada rabaan saja masih tidak mengapa. Akan tetapi sepasang tangan itu mulai melepaskan kancing-kancing bajunya dan berusaha hendak menanggalkan pakaiannya!
?Keparat...!? Ia membentak dan cepat bangkit berdiri sambil membuka mata dan memandang penuh perhatian. Bayangan itu ternyata seorang laki-laki yang mengenakan sebuah topeng pada mukanya!
?Brett-breeett...!!? Bayangan itu kini menggunakan kedua tangannya untuk merobek-robek pakaiannya sehingga potongan-potongan kain lepas dari tubuhnya, membuat ia dalam keadaan setengah telanjang! Kini sadarlah Darmini bahwa yang dihadapinya bukanlah godaan setan atau iblis, bukan pula godaan yang menjadi ujian bagi samadhinya, melainkan seorang jahanam yang hendak melakukan perbuatan keji terhadap dirinya!
Orang ini hendak memperkosanya, mengulang perbuatan terkutuk di malam jahanam yang pernah dialaminya! Darmini meronta-ronta, akan tetapi orang itu yang ternyata kuat sekali, agaknya menjadi semakin kalap melihat tubuhnya yang setengah telanjang itu. Sambil mengeluarkan gerengan menyeramkan, kedua tangan itu kembali mencengkeram robek sisa pakaiannya. Ketika Darmini mencakar dengan kedua tangannya ke arah dan muka yang bertopeng, kedua tangan Darmini ditangkapnya dengan jari-jari yang Kokoh kuat dan tubuh Darmini tersentak ke depan, tahu-tahu telah dirangkul dan didekapnya amat kuat. Barulah perasaan takut yang amat sangat menyelinap dalam hati Darmini. Ia hendak diperkosa orang lagi! Tiba-tiba ia mengeluarkan jerit melengking, di susul teriakan-teriakan nyaring,
?Jahanam busuk, lepaskan aku! Lepaskan! Aughhppp...? Tiba-tiba teriakannya terhenti ketika sebuah tangan yang kuat menutupi mulutnya. Darmini meronta-ronta sekuat tenaga dan dalam pergulatan ini, semua sisa pakaiannya terlepas, bahkan rambutnya yang disembunyikan di bawah kain kepala juga terlepas dan terurailah rambut yang hitam tebal dan panjang itu.
?Manusia berhati kotor dan hina, lepaskan wanita itu!? Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Darmini melihat berkelebatnya seorang yang pakaiannya serba putih, seorang laki-laki yang kini telah berada di situ. Orang yang menggelutinya tadi tiba-tiba melepaskannya dan membalik dengan kesigapan seekor harimau marah.
?Babo-babo, keparat! Berani engkau mencampuri urusanku?? Tanpa memberi kesempatan kepada orang berpakaian putih itu untuk menjawab, orang berkedok yang berpakaian serba hitam itu tiba-tiba menubruk ke depan dengan pukulan yang amat keras!
?Wuuuuutt...!? Di dalam guha yang sempit itu, pukulan ini menyambar dahsyat, mengeluarkan angin yang menyambar kuat. Namun, si baju putih dengan lincahnya mengelak dan pukulan itu hanya menyambar lewat di atas kepalanya saja. Orang berkedok menjadi semakin marah dan dia sudah menyusulkan serangan berikutnya secara bertubi-tubi.
Melihat betapa dua orang itu kini berkelahi di dalam guha yang sempit, Damini yang tubuhnya menggigil itu cepat merangkak dan mencari buntalan pakaiannya. Sambil terus menonton perkelahian itu, ia mengeluarkan pakaian dan mengenakannya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tentu saja ia masih khawatir sekali. Tak mungkin melarikan diri saat itu karena tempat itu terlalu sempit dan jalan keluar sudah tertutup oleh kedua orang yang kini sedang berkelahi dengan serunya. Terpaksa ia hanya menanti kesempatan baik, membungkus lagi buntalannya dan menalikannya di punggung, siap untuk melarikan diri. Di dalam keremangan itu sukar untuk mengetahui siapa yang unggul di antara kedua orang itu, walaupun diam-diam Darmini mengharapkan kemenangan bagi orang berpakaian putih.
Ia tidak mengenal mereka berdua, akan tetapi si baju putih itu jelas datang untuk menolongnya, bahkan sudah membebaskannya dari bahaya yang dianggapnya lebih mengerikan daripada maut. Orang berkedok itu memang tangguh sekali, gerakannya gesit, serangannya datang dengan cepat, kuat dan bertubi-tubi. Namun orang berpakaian putih itu ternyata lebih hebat. Gerakannya tenang dan mantap, selain itu, agaknya dia memang tidak tergesa-gesa membalas serangan orang. Dia hanya mengelak dan sekali-sekali menangkis, akan tetapi setiap kali dia menangkis dan kedua lengan saling beradu, orang bertopeng itu mengeluh dan terhuyung. Jelas bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih kalah oleh orang berpakaian putih. Setelah yakin akan hal ini, tiba-tiba si topeng itu membentak marah.
?Keparat, mampuslah engkau!? nampak sinar berkilat dan hawa yang menyeramkan menyambar ke arah orang berpakaian putih.
?Hemmm, engkau memang manusia berhati kejam!? bentaknya dan diapun cepat mengelak ketika sebatang keris yang ampuh menyambar ke arah dadanya, elakan ini dilakukan dengan membuang diri ke samping kanan, akan tetapi sambil mengelak, tangan kirinya berusaha memegang lengan kanan lawan, sedangkan tangan kanannya menyambar dengan kecepatan kilat.
?Plakkkk!? Biarpun si topeng berusaha mengelak, tetap saja pundaknya kena ditampar dan tubuhnya terpelanting menabrak dinding guha. Agaknya dia terkejut bukan main dan tanpa banyak cakap lagi, orang itu meloncat keluar dan melarikan diri.
?Pengecut, hendak lari ke mana kau?? Orang berpakaian putih itu juga meloncat keluar dan melakukan pengejaran. Ketika tiba di luar guha, mata mendadak menjadi silau karena matahari di luar guha itu terik sekali. Orang berpakaian putih itu memandang ke sana sini dan akhirnya di sebelah kiri guha itu dia melihat bayangan hitam dari orang yang dikejarnya. Diapun meloncat dan bagaikan seekor kijang muda, dia sudah berloncatan dan berlari cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba orang yang dikejarnya itu lenyap begitu saja. Pengejar itu berhenti dan termangu-mangu memandang ke depan. Si baju hitam bertopeng tadi menghilang ketika tiba di guha besar tempat tinggal Empu Kebondanu!
?Paman Empu...?? bibirnya berkemak kemik. ?Ah, tidak mungkin. Bukan, bukan dia. Tapi siapa dan bagaimana menghilang di sana?? Sejenak dia meragu, lalu melangkahkan kakinya perlahan-lahan ke depan, menghampiri guha itu. Ketika dia tiba di depan guha, dia melihat Empu Kebondanu sedang duduk tanpa baju, hanya bercawat, agaknya kegerahan, di atas batu di depan guhanya, memukul-mukul sebatang tongkat terbuat dari bambu gading atau bambu kuning sambil mendendangkan tembang lirih-lirih. Melihat munculnya pemuda berpakaian putih itu. Empu kebondanu menghentikan tembangnya dan memandang dengan alis berkerut.
?Eh, kiranya engkau, Sridenta. Mau apakah engkau datang mengganggu ketenanganku!? Pemuda yang bernama Sridenta itu memberi hormat dan sembah sambil membungkuk.
?Maaf, Paman. Bukan maksud saya untuk menggangu ketenangan, akan tetapi karena sudah terlanjur lewat disini, saya hanya ingin bertanya apakah Paman baru saja melihat seorang laki-laki yang memakai topeng pada mukanya lewat disini??
?Huh! Laki-laki bertopeng? Tidak, Sridenta, aku tidak melihat ada seorang laki-laki bertopeng lewat di sini. Sudah, janga ganggu aku lagi!? Dan diapun melanjutkan tembangnya sambil mengetuk-ngetuk tongkat bambu kuningnya.
?Maaf dan permisi, Paman,? kata Sridenta sambil memberi hormat dan memutar tubuhnya meninggalkan tempat itu, kembali ke guha tadi. Sementara itu, Darmini yang sudah berganti pakaian itu sudah pula keluar dari dalam guha. Karena iapun bermaksud pergi mengunjungi Empu Kebondanu untuk mengadukan peristiwa yang baru saja dialaminya, maka ia bertemu dengan pemuda berpakaian putih itu, keduanya berhenti melangkahkan kaki, berdiri berhadapan dan saling pandang. Darmini mengamati orang di depannya itu dengan ragu-ragu. Inikah penolongnya tadi. Tadi ia hanya melihat seorang yang pakaiannya serba putih menyerang orang yang hendak memperkosanya, kemudian mengejar keluar guha. Pemuda ini usianya kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan gagah, kulitnya kuning bersih.
Wajah yang membayangkan ketenangan itu selain tampan juga agung, seperti wajah bangsawan-bangsawan yang masih berdarah Keraton, kumisnya tipis, rambutnya hitam berombak, dadanya bidang dan tubuhnya tegap. Di lain pihak, pemuda yang bernama Sridenta itupun mengamati ?pemuda? yang berdiri di depannya. Inikah gadis yang diselamatkannya tadi? Tadi dalam keremangan dalam guha, dia tidak dapat melihat jelas, hanya tahu bahwa dia menolong seorang gadis dari cengkeraman seorang laki-laki jahanam yang hendak memperkosa gadis itu dan gadis itu sudah dalam keadaan telanjang bulat. Dia memiliki pandang mata yang tajam dan biarpun Darmini menyamar sebagai seorang pemuda dalam penyaraman yang cukup baik, namun dia mencurigainya dan menduga bahwa agaknya inilah ?gadis? tadi.
?Maafkan aku, Ki-Sanak,? kata Sridenta dengan sikap hormat. ?Bolehkah aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?? Hanya ini yang dapat dia tanyakan, karena dia merasa tidak patut untuk bertanya tentang peristiwa tadi. Ada dua hal yang melarang dia bertanya tentang itu.
Pertama, kalau benar yang berdiri di depannya ini gadis yang tadi hendak di perkosa, tentu amat memalukan gadis itu kalau dia bertanya, mengingat betapa dia tadi telah melihatnya dalam keadaan telanjang. Ke dua, kalau benar ini gadis tadi, kenyataan bahwa ia kini menyamar sebagai seorang pemuda jelas menunjukkan bahwa gadis ini hendak menyembunyikan diri bahwa ia seorang wanita. Masih ada kemungkinan lain yang membuat dia harus berhati-hati, yaitu kalau-kalau dugaannya keliru dan orang ini memang benar pemuda yang hitam manis! Seperti juga Sridenta, Darmini juga meragukan apakah benar ini orangnya yang menolongnya tadi. Kalau benar, ia harus menghaturkan terima kasih, akan tetapi disamping merasa hutang budi, ia juga merasa malu sekali. Penolongnya tadi telah melihatnya dalam keadaan telanjang bulat! Maka pertanyaan itu membuat ia merasa bingung untuk menjawabnya.
?Aku... aku hendak pergi ke guha tempat bertapa Paman Empu Kebondanu.? Sridenta terkejut bukan main. Kalau begitu gadis yang ditolongnya tadi adalah orang yang berdiri di depannya, maka pergi ke guha itu sama dengan menyerahkan diri bagi seekor domba kepada seekor srigala yang telah menunggunya disana!
?Maafkan kalau aku berterus terang,? akhirnya dia berkata. ?Apakah... apakah engkau ini gadis yang baru saja terbebas dari cengkeraman seorang penjahat hina dari dalam guha kecil itu?? Dia menuding kearah guha sempit di belakang Darmini. Darmini mengangkat muka memandang wajah itu. Wajah seorang yang gagah dan jujur seperti yang pernah dilihatnya pada wajah Ong Cun, maka timbullah kepercayaannya.
?Dan apakah engkau ini orang berpakaian putih yang tadi telah menyelamatkan gadis itu, kemudian mengejar penjahat bertopeng itu?? ia balas bertanya. Kini yakinlah hati Sridenta bahwa benar orang ini adalah gadis tadi, maka sambil berbisik dia berkata,
?Kalau engkau percaya kepadaku, marilah ikuti aku menjauh dari tempat ini dan kita bicara.? Melihat sikap yang bersungguh-sungguh itu, apa lagi mengingat betapa pemuda ini tadi telah menyelamatkannya, tentu saja Darmini percaya. Agaknya pemuda ini mempunyai suatu rahasia yang hendak disampaikan kepadanya, akan tetapi tidak ingin mengatakannya di tempat itu. Iapun menggangguk dan mengikut pemuda itu mendaki gunung! Setelah melalui jalan berliku-liku dan berada jauh dari daerah berbatu itu, barulah Sridenta berhenti. Darmini juga berhenti, mengatur pernapasannya yang terengah-engah dan menghapus keringatnya di muka dan lehernya dengan sehelai saputangan. Gerakan ini saja bagi yang berpenglihatan tajam sudah menunjukkan sifat kewanitaannya.
?Nah, Ki-Sanak, sekarang ceritakan apa artinya sikapmu yang penuh rahasia ini.? Darmini berkata sambil menatap wajah didepannya itu penuh selidik.
?Sebelumnya, perkenalkan lebih dulu. Namaku Sridenta murid Eyang Panembahan Ganggamurti dilereng Bromo. Apakah andika ini gadis yang berada di dalam guha tadi?? Kedua pipi Darmini berubah merah.
?Kalau benar, mengapa?? ?Maaf,... nona. Kalau benar, sungguh aku merasa heran sekali mengapa setelah terbebas dari malapetaka, engkau bahkan hendak menghadap Paman Empu Kebondanu.?
?Kenapa tidak?? Darmini balas bertanya dan memandang heran. ?Beliau adalah guruku...?
?Ah, jadi engkau adalah murid Paman Empu Kebondanu...? Melihat pemuda itu terkejut mendengar ia murid Kakek itu, Darmini merasa malu. Tentu saja pemuda itu heran karena tadi ketika di serang orang di dalam guha, ia tidak mampu membela diri. Murid macam apa begini lemah?
?Aku... aku baru pagi hari ini diterima menjadi murid dan aku belum mempelajari apa-apa.?
?Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di dalam guha itu, nona??
?Itu merupakan pelajaran pertama atau ujian dari guruku. Aku disuruh bersamadhi disitu dan dipesan tidak boleh keluar sebelum dia datang menyuruhku. Baru saja setengah hari, muncul jahanam itu. Hemm, kalau tidak ada engkau yang menolongku... ah, aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, Ki-Sanak.?
?Tidak perlu berterima kasih, karena semua itu merupakan kewajiban setiap orang. Kita patut berterima kasih kepada Sang Hyang Widhi.?
?Akan tetapi, kenapa engkau melarang aku pergi kepada Paman Empu, dan membawaku ke sini untuk bercakap-cakap??
?Ketahuilah bahwa ada terjadi hal yang aneh sekali. Ingatkah bagaimana aku melakukan pengejaran terhadap orang bertopeng itu? Dia melarikan diri dan lenyap ketika tiba di dekat guha tempat bertapa Paman Empu.?
?Ahhh...?? Darmini terkejut bukan main. ?Tapi... tapi orang bertopeng itu bukan Paman Empu Kebondanu, dia seorang yang masih muda!?
?Benar, nona. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa Paman Empu tahu siapa dia dan bahkan melindunginya.?
?Kalau begitu, sekarang juga aku akan pergi menemuinya dan bertanya!? Darmini yang merasa penasaran hendak melangkah pergi.
?Nona, tahan dulu!? Sridenta meloncat ke depannya dan menggembangkan kedua lengannya. ?Engkau baru saja bebas dari mulut srigala, apakah sekarang bahkan hendak memasuki guha srigala??
?Kau maksudkan... Paman Empu Kebondanu akan mencelakai aku??
?Aku tidak bilang demikian, akan tetapi manusia hina tadi berada di dalam guha Paman Empu yang agaknya melindunginya. Pula, mendengar ceritamu tadi, sesungguhnya engkau belumlah menjadi muridnya karena engkau belum diberi pelajaran apapun, kecuali disuruh Samadhi. Hemm, disuruh Samadhi di dalam guha itu, lalu datang jahanam tadi. Terkutuk! Tidak, percayalah kepadaku, nona. Engkau sama sekali tidak boleh kembali kepada Paman Empu Kebondanu kalau engkau tidak ingin celaka!?
?Akan tetapi, dari tempat jauh aku menempuh perjalanan yang amat sukar mencari Paman Empu Kebondanu, sengaja untuk belajar ilmu kedigdayaan!? Darmini membantah penasaran. ?Bagaimana mungkin aku harus meninggalkan dia setelah dapat kutemukan. Lalu bagaimana denga cita-citaku mempelajari ilmu ketangkasan??
?Nona, kalau boleh aku bertanya, engkau datang dari manakah??
?Dari Lumajang.? ?Ah, dari tempat jauh, dan engkau seorang wanita yang menyamar sebagai pria untuk mencari Guru yang pandai. Aku dapat mengerti bahwa tentu ada alasan yang amat kuat yang memaksamu berbuat demikian berani dan nekat nona. Kalau memang engkau berniat untuk mempelajari ilmu, kenapa tidak menghadap saja guruku, Eyang Panembahan Ganggamurti! Beliau tentu akan dapat membantumu, nona.? Darmini mengerutkan alisnya, sejenak ia meragu. Ia datang dari Lumajang dengan hanya satu tujuan, yaitu berguru kepada Empu Kebondanu yang disohorkan sakti mandraguna itu dan ia sudah berhasil menghadap Kakek itu. Bagaimana kini secara mendadak saja ia harus berganti guru, seorang yang sama sekali belum pernah didengarnya?
?Apakah dia sakti?? tanyanya sambal mengamati wajah pemuda itu. Pemuda itu tersenyum.
?Aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu, nona, karena kalau engkau menanyakan hal itu kepada Eyang Panembahan, tentu beliau akan menjawab bahwa yang sakti hanyalah Hyang Widhi.? Darmini mempertimbangkan dengan akal budinya. Pemuda ini mengaku murid Eyang Panembahan Ganggamurti dan ia sudah melihat sendiri betapa pemuda berpakaian serba putih ini tadi telah mengalahkan orang bertopeng yang mengeluarkan senjata keris pula. Jelas bahwa pemuda ini memiliki kedigdayaan, dan tentu saja gurunya lebih sakti lagi.
Ia mengingat kembali sikap Empu Kebondanu terhadap dirinya. Sikap Kakek itu sungguh tidak menyenangkan, juga wajahnya Nampak bengis. Ia disuruh bersamadhi begitu saja tanpa diberitahu caranya dengan baik. Begitu sembarangan! Dan ia sampai diserang orang akan diperkosa, akan tetapi mengapa gurunya yang hanya tinggal seribu langkah saja dari guha sempit itu tidak datang menolongnya? Kalau memang sakti, tentu Empu Kebondanu akan mengetahuinya dan menyelamatkannya. Ataukah memang sengaja ia mendiamkannya saja? Bukankah Sridenta tadi mengatakan bahwa manusia jahat yang hendak memperkosanya tadi menghilang di guha tempat tinggal Empu Kebondanu? Berpikir demikian menepislah keraguannya. Setelah memandang wajah Sridenta penuh selidik, iapun lalu mengangguk.
?Baikah, aku suka ikut bersamamu menghadap Eyang Panembahan Ganggamurti.? Ia mengerutkan alisnya. ?Akan tetapi, bagaimana kalau beliau tidak suka menerimaku sebagai murid karena aku seorang wanita? Apakah sebaiknya kalau aku tetap menyamar sebagai pria??
?Ah, kurasa tidak perlu demikian, nona. Itulah kesalahanmu ketika engkau menghadap Paman Empu Kebondanu. Aku mengerti, melakukan perjalanan jauh bagi seorang gadis memang tidak aman dan memang sebaiknya kalau engkau melakukan perjalanan dengan menyamar sebagai seorang pemuda. Akan tetapi, setelah berhadapan dengan orang yang berkepentingan, mengapa engkau masih mengaku pria? Hal itu tentu saja merupakan suatu kebohongan dan kepalsuan, padahal engkau datang menghadap untuk mohon menjadi murid.? Darmini mengangguk-angguk dan menyadari kesalahannya.
?Baiklah kalau begitu. Mudah-mudah beliau akan menerimaku.?
?Andaikata Eyang Panembahan tidak menerima sebagai murid, setidaknya beliau tentu akan memberi petunjuk dan jalan yang baik untukmu. Beliau seorang yang amat bijaksana, karena itu ceritakanlah semua keadaan dirimu dan keinginan hatimu kepada beliau.?
?Terima kasih, akan kulaksanakan semua petunjukmu.?
?Kalau begitu, mari kita berangkat. Eh, nanti dulu, aku belum mengetahui siapa namamu, nona.?
?Aku? Namaku Darmono... eh, maksudku Darmini.?
?Tentu kalau menyamar engkau menggunakan nama Darmono, bukan? Mari kita berangkat.? Mereka lalu mendaki Gunung Bromo yang menjulang tinggi dengan puncaknya yang coklat kemerahan tertutup bekas lahar itu. Pemandangan alam di situ indah sekali dan Sridenta menceritakan apa nama bukit-bukit dan dusun-dusun di sekitar tempat itu.
?Bagian lereng ini tidak berbahaya, karena bagian ini tidak pernah di lalui lahar kalau Gunung Bromo mengamuk. Karena itu, Empu Panembahan memilih lereng bagian ini.?
?Siapakah sesungguhnya Eyang Panembahan Ganggamurti itu, dan sudah berapa lama beliau berada di tempat ini.?
?Menurut penuturan Eyang, sudah puluhan tahun beliau bertapa disini dan mengajarkan kebatinan sesuai dengan agama Hindu Budha, juga beliau suka menolong para penduduk di pedusunan sekitar tempat ini yang sedang menderita sakit. Beliau sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, dan beliau tidak pernah mau menceritakan dari mana beliau datang. Nah, nanti kalau sudah menjadi muridnya, engkau akan dapat melihatnya dan mendengarnya sendiri, nona.? Tempat Pertapaan Panembahan Ganggamurti itu nyaman sekali. Sebuah gubuk untuknya sendiri berdiri di tempat yang sejuk, di dekat sumber air yang membentuk sebuah sendang kecil dibawah pohon beringin. Gubuk itu dikelilingi ladang sayur-sayuran, juga ladang tumbuh-tumbuhan obat, yang cukup luas.
Dan di sana sini, jauh di ujung ladang, nampak gubuk-gubuk lain yang menjadi tempat tinggal para cantrik dan murid. Kagum sekali hati Darmini melihat tempat itu karena ia merasakan suatu ketentraman dan kedamaian menyelimuti hatinya begitu kakinya menginjak tanah daerah Pertapaan itu. Kebetulan sekali ketika Sridenta mengajak Darmini menghampiri gubuk di tepi sendang, mereka melihat Sang Panembahan Ganggamurti sedang duduk di depan gubuknya. Gubuk itu cukup besar, dengan dua buah kamar dan ruangan depan yang cukup luas, akan tetapi terbuat dari bahan sederhana saja. Dindingnya dari ayaman bamboo, tihang-tihangnya dari kayu dan lantainya tanah kering, atapnya dari daun nipah. Bahkan perabot rumahnya juga sederhana sekali, meja dan bangku-bangku kayu yang dibuat secara kasar dan sederhana.
Namun, rumah gubuk yang terbuka daun pintu dan jendelanya itu kelihatan demikian sejuk, penuh suasana damai dan tenteram. Banyak orang pergi bertapa dan mengasingkan diri dengan pamrih tertentu, ada yang hendak melarikan diri dari kehidupan Ramai yang tidak disukainya, ada pula yang bertapa untuk mencari sesuatu, menemukan sesuatu yang dianggap lebih baik dan lebih menyenangkan daripada kehidupan sehari-hari. Kalau demikian halnya, maka pergi bertapa itu hanya sekedar pelarian atau sekedar cara untuk mencari kesenangan dalam bentuk lain. Segala bentuk pencaharian timbul dari keinginan mendapatkan sesuatu itu, dalam pakaian apapun, di sebut dengan nama apapun, sudah pasti sesuatu itu dianggap akan menyenangkan, mengguntungkan atau setidaknya di anggap dapat melepaskan orang dari hal-hal yang tidak menyenangkan!
Betapa seperti itu hanya merupakan suatu bentuk pengejaran keinginan belaka dan dalam bentuk apapun juga, pengejaran kesenangan menuntun kita kepada kesengsaraan! Ada orang mengejar harta benda dan perbuatan ini menimbulkan perbuatan-perbuatan yang tidak benar, korupsi, penipuan, pencurian, dan sebagainya lagi. Ada orang mengejar kedudukan dan pengejaran inilah yang menimbulkan pemberontakan, perebutan kekuasaan dan sebagainya. Pengejaran kesenangan melalui nafsu sex menuntun kepada perbuatan yang tercela seperti perkosaan, pelacuran, perjinaan dan sebagainya lagi. Banyak orang bilang pergi bertapa karena ingin menjadi baik, ingin bebas, ingin bersih, ingin sempurna dan sebagainya, yang pada hakekatnya adalah ?ingin senang? dalam bentuk terselubung.
Akan tetapi Sang Panembahan Ganggamurti bukan Pertapa semacam ini. Dia tidak mencari sesuatu. Dia pergi bertapa dan tinggal di tempat sunyi itu adalah karena dia memang suka dan merasa cocok tinggal di tempat sunyi dan berhawa bersih. Pula, dia merasa bahwa tinggal di tempat yang Ramai tidak ada gunanya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. puluhan tahun sudah dia tinggal di Gunung Bromo, memberi pelajaran tentang kehidupan, melalui Agama Hindu Buddha, juga mengobati orang-orang dusun yang sakit dan minta tolong kepadanya. Banyak pula dia menerima cantrik (murid Pendeta) yang dipilihnya di antara mereka yang memiliki kesadaran dan kemauan keras, juga mereka yang berbakat. Dia mengajarkan ini sari pelajaran agama kepada para cantrik, dan untuk membuat mereka sehat lahir batin,
Dia mengajarkan pula beberapa bentuk olah raga kedigdayaan agar mereka dapat membela diri terhadap bahaya yang mengancam keselamatan badan mereka. Satu-satunya murid yang khusus dilatih ilmu-ilmu kedigdayaan, aji-aji kesaktian hanyalah Sridenta. Para cantrik di situ merasa heran akan hal ini, namun mereka tidak berani bertanya dan mereka yakin bahwa Guru mereka tentu mempunyai alasan kuat mengapa Sridenta dibedakan dari para cantrik lain. Merekapun dapat menduga bahwa pemuda yang menjadi murid Pendeta itu tentu bukan pemuda sembarangan, walaupun Sridenta sendiri tidak pernah mau menceritakan darimana dia datang. Pribadinya diliputi penuh rahasia walaupun sikapnya amat Ramah dan lembut terhadap para cantrik. Akan tetapi, diapun tidak menolak ketika para cantrik menyebutnya Raden, sedangkan dia menyebut Kakang kepada semua cantrik.
Diterimanya sebutan Raden ini saja sudah menunjukkan bahwa dia berdarah bangsawan. Para cantrik menyebutnya Raden karena mendengar betapa Sang Panembahan Ganggamurti kadang-kadang menyebut Raden pula kepada pemuda itu, walaupun lebih sering Kakek itu menyebutnya angger atau kulup. Ketika Sridentan membawanya menghadap Sang Panembahan Ganggamurti yang sedang duduk diatas sebuah batu besar di depan gubuknya, Darmini ikut pula menjatuhkan diri, menyembah lalu duduk bersimpuh dengan sikap hormat. Akan tetapi iapun mengamati Kakek tua renta itu dan segera ia merasa suka, tunduk dan hormat karena Kakek ini memiliki pribadi yang demikian halus lembut dan penuh damai, sama sekali berbeda dengan wajah Empu Kebondanu yang berwajah bengis.
?Angger Sridenta, siapakah yang kau bawa menghadap ini?? tanya Kakek itu dengan lembut.
Memang Kakek ini memiliki wibawa yang lembut, membuat orang mau tak mau menaruh hormat. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, dan seperti juga Sridenta, Kakek inipun memakai pakaian serba putih, bahkan tidak dapat dinamakan pakaian karena hanya merupakan kain putih panjang yang dilibatkan di tubuhnya yang kurus tinggi. Sridenta menyembah dengan hormat, lalu dengan suara lirih namun jelas dia menceritakan tentang pertemuannya dengan gadis yang berpakaian pria itu. Diceritakannya betapa dia mencegah perbuatan jahat seorang laki-laki bertopeng yang hendak memperkosa Darmini dan betapa gadis ini baru saja berguru kepada Empu Kebondanu dan oleh Kakek itu disuruh bertapa di dalam guha sempit dan tahu-tahu muncul laki-laki bertopeng yang hendak memperkosanya.
?Saya berhasil menandingi orang bertopeng itu, Eyang. Dia lari keluar guha dan saya mengejarnya karena saya ingin melihat siapa adanya orang yang mempunyai perbuatan jahat itu. Akan tetapi dia menghilang di dekat guha Pertapaan Paman Empu Kebondanu, dan ketika saya bertanya kepada Paman Empu, beliau menyatakan tidak melihat orang bertopeng. Karena saya merasa yakin bahwa akan berbahaya sekali bagi nona ini untuk melanjutkan berguru kepada Paman Empu Kebondanu, maka saya telah melakukan kelancangan, membawanya menghadap Eyang untuk menerima petunjuk.?
Kakek itu mendengarkan keterangan Sridenta dengan penuh kesabaran, kadang-kadang mengagguk-angguk dan memandang kepada wajah gadis yang menyamar pria itu. Penglihatannya yang amat tajam itu dapat melihat kedukaan besar menggores batin wanita muda itu dan diapun merasa amat iba hati, akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata gadis itu yang juga mendatangkan perasan khawatir dalam batin Sang Panembahan, yaitu kekerasan hati dan dendam! Setelah muridnya itu selesai memberi keterangan, Kakek itu kini memandang kepada Darmini dan bertanya dengan Ramah dan halus,
?Anak yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?? Darmini menyembah dulu sebelum menjawab, kemudian iapun menjawab dengan suara biasa, suara wanita berbeda dengan suaranya ketika ia dalam penyamaran.
?Eyang Panembahan, nama saya Darmini dan saya datang dari Lumajang,? jawabnya dengan singkat karena Darmini tidak ingin menceritakan riwayat dirinyaa yang penuh dengan duka dan aib. Kakek itu mengangguk-angguk, dapat menduga bahwa gadis ini hendak menyembunyikan rahasia dirinya.
?Dan engkau seorang gadis, bagaimana sampai datang berguru kepada Empu Kebondanu??
?Di Lumajang saya mendengar bahwa Empu Kebondanu adalah seorang Pertapa sakti, oleh karena itu saya datang menghadap padanya dan minta diberi pelajaran ilmu kedigdayaan.?
?Jagad Dewa Bathara...!? Sang Panembahan Ganggamurti berseru. ?Angger, seorang wanita seperti engkau ini mengapa hendak mempelajari ilmu kedigdayaan? Untuk apakah, angger? Bukankah seyogjanya wanita mempelajari segala macam ilmu kelembutan yang mendatangkan ketentraman, keindahan dan kedamaian?? Darmini tetap tidak ingin menceritakan riwayatnya, apa lagi di situ terdapat Sridenta, dan juga tiga orang cantrik yang kebetulan menghadap Kakek Pendeta itu. Agaknya Sang Panembahan Ganggamurti memiliki perasaan yang teramat peka, memiliki indera ke enam yang penuh kekuatan sehingga dia dapat merasakan getaran yang tidak dirasai oleh orang lain yang masih tidur indera keenamnya itu. Diapun berkata kepada murid-muridnya,
?Raden Sridenta, dan kalian para cantrik, harap suka mundur lalu agar aku dapat bicara empat mata dengan Nini Darmini.? Sridenta dan tiga orang cantrik itu mengundurkan diri dan kini Darmini seorang diri berhadapan dengan Kakek tua renta itu. Sukar menaksir berapa usia Kakek ini, tentu sudah lebih dari tujuh puluh tahun.
?Nah, angger Nini Darmini, sekarang ceritakanlah, apa yang menyebabkan engkau, seorang wanita muda, sampai bersusah payah menyamar sebagai pria dan ingin sekali mempelajari ilmu kedigdayaan. Untuk apa engkau mempelajari ilmu untuk berkelahi itu??
?Ampunkan saya kalau saya tidak dapat menceritakan riwayat diri saya yang penuh penasaran dan aib, Eyang. Akan tetapi yang sudah pasti saya melihat banyaknya peristiwa yang membuat hati merasa penasaran, betapa banyaknya orang jahat sekali berkeliaran di dunia ini, seperti yang diceritakan oleh Raden Sridenta tadi betapa disinipun terdapat orang yang hampir saja memperkosa saya. Nah, melihat kenyataan itu, Eyang, saya ingin sekali mempelajari aji kesaktian untuk menentang kejahatan, untuk membela diri sendiri dan membela mereka yang lemah tertindas, mereka yang menjadi korban kejahatan dan kekerasan. Tanpa memiliki kedigdayaan, saya tidak berdaya dan hanya akan selalu menderita dan merasa penasaran.?


Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar jawaban ini, Sang Panembahan Ganggamurit mengangguk-angguk. Tanpa bercerita sekalipun dia dapat mengetahui bahwa gadis ini telah menderita perlakuan buruk yang mendatangkan perasan penasaran dan dendam. Maka diapun berkata sambil memejamkan mata.
?Ommm... shanti-shanti-shanti... semoga perdamaian meliputi hati seluruh umat manusia! Nini Darmini, dendam merupakan racun yang amat jahat dan yang akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri karena dendam melahirkan kebencian dan kekejaman. Kebencian membutakan mata dan menyeret orang kepada perbuatan yang kejam dan jahat. Kalau saja engkau dapat melenyapkan api kebencian dan dendam yang membakar dalam hatimu itu, Nini...? Darmini merasa terkejut. Memang tak dapat disangkal bahwa yang mendorongnya pergi mencari Guru untuk mempelajari ilmu kesaktian adalah dendamnya karena kematian Ong Cun dan karena perkosaan terhadap dirinya! Ia lalu menyembah dengan suara penuh duka ia berkata,
?Saya mohon petunjuk Eyang Panembahan...? Ia menyerahkan diri karena ia merasa yakin bahwa hanya Kakek inilah agaknya yang dapat menolongnya.
?Jagat Dewa Bathara...! Agaknya para Dewata yang menuntunmu ke sini, Darmini. Ilmu kedigdayaan, aji kesaktian harus dipelajari dengan hati bersih, dan memang sepatutnya dipergunakan untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan. Tidak boleh sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan, dan berbuat atas dasar dendam kebencian juga merupakan suatu kejahatan. Kalau engkau benar-benar hendak mempelajari ilmu kedigdayaan, aku mau membantumu, akan tetapi hanya dengan syarat bahwa engkau harus lebih dulu melenyapkan dendam dari dalam hatimu. Bagaimana, Nini??
Darmini mengerutkan alisnya. Ia ingin mempelajari aji kesaktian memang harus untuk membalas dendam! Akan tetapi kini terbukalah hatinya dan ia menjadi lebih waspada. Ia dapat menangkap apa yang dimaksudkan oleh Kakek itu dan ia dapat melihat kebenaran yang terkandung di dalamnya. Ia menyembah lagi.
?Maaf, Eyang. Bagaimana kalau kepandaian itu kelak saya pergunakan untuk mencari orang yang melakukan kejahatan dan menghukumnya?? Ia berhenti sebentar lalu menyambung cepat. ?Bukan karena dendam, melainkan karena membela keadilan dan kebenaran, yaitu bahwa yang melakukan kejahatan haruslah dihukum, dan orang yang telah diperlakukan jahat tanpa dosa haruslah dibela.? Kakek itu tersenyum.
?Tidak tahukah engkau, Darmini, bahwa tanpa engkau bersusah payah sekalipun, hukum terhadap setiap perbuatan itu memang sudah ada? Orang takkan mampu menghindar dari hukum setiap perbuatannya, karena hukum itu sudah melekat pada perbuatan itu sendiri! Hanya tinggal menanti kembang dan buahnya saja. Hukum Karma takkan pernah lengah atau tidak adil, Nini, perbuatan apapun juga sudah membawa hukumnya sendiri, hal itu sama bulatnya dengan sebuah piring sehingga tidak lagi diketahui mana ujung pangkalnya. Mari kita sama lihat, apakah benar engkau dapat melenyapkan dendam itu dari dalam hatimu. Kalau sudah bersih dari dendam, barulah aku akan mau mengajarkan ilmu kepadamu.? Darmini menjadi girang bukan main dan iapun cepat menyembah.
?Terima kasih, Eyang. Hanya Eyanglah gantungan harap saya, dan saya akan mentaati petuah dan perintah Eyang.? Kakek itu lalu menoleh ke kanan dan memanggil, suaranya perlahan saja.
?Angger Sridenta, ke sinilah, angger!? Darmini menoleh ke kiri, untuk melihat. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda yang dipanggilnya itu. Akan tetapi, ia melihat bayangan Sridenta berjalan cepat dari jauh dan sebentar saja pemuda itu sudah berada di situ, duduk bersimpuh dan menyembah kepada Sang Panembahan Ganggamurti sambil bertanya,
?Eyang memanggil saya?? Diam-diam Darmini terkejut. Pemuda itu tadi agaknya berada di ladang, melihat betapa celananya digulung sampai ke atas lutut dan betisnya penuh lumpur, juga kedua lengan bajunya digulung, kedua tangan berlumpur pula. Ladang itu tidak nampak dari situ, amat jauh, akan tetapi bagaimana pemuda itu mampu mendengar suara Kakek itu yang memanggilnya begitu lirih? Apakah pemuda itu memiliki pendengaran sakti, ataukah Kakek itu yang mengeluarkan suara sakti tadi?
?Benar, angger. Mulai hari ini, berikan pondokmu untuk Darmini dan engkau boleh tinggal bersamaku di gubuk ini, menempati kamar belakang yang kosong.? Wajah yang tampan itu berseri.
?Jadi... Diajeng Darmini diterima menjadi murid Eyang?? Kakek itu mengangguk.
?Tergantung dari ia sendiri, kalau ia dapat membersihkan hatinya dari dendam kebencian...?
?Akan saya coba dan saya taati semua petunjuk Eyang!? kata Darmini. ?Dan sayapun mengharapkan petunjuk dari andika, Raden Sridenta.? Demikianlah, mulai hari itu, Darmini tinggal di Pertapaan Eyang Panembahan Ganggamurti, dan untuk tahap pertama, Kakek itu memberi petunjuk kepada Darmini untuk bersamadhi dan menenangkan hati, mempelajari dendamnya sehingga dendam kebencian itu lenyap dari dalam hatinya, membuat batinya bersih dan siap untuk menerima pelajaran ilmu-ilmu kesaktian dan kedigdayaan.
Wakitu meluncur dengan amat cepatnya kalau tidak diperhatikan. Hari, bulan dan tahun meluncur begitu saja dan tahu-tahu bertahun-tahun telah lewat sebelum kita menyadarinya. Kalau kita, orang-orang dewasa menengok ke belakang, ke dalam masa kanak-kanak kita maka terbayanglah semua peristiwa di masa kita masih kanak-kanak, seolah-olah baru kemarin atau kemarin dulu saja terjadinya, padahal, sudah belasan atau puluhan tahun kita tinggalkan! Apa lagi kalau peristiwa yang terjadi di waktu yang lalu itu amat mengagumkan, maka lewat puluhan tahun juga, kalau kita membayangkan, seolah-lah baru terjadi kemarin. Kalau kita menengok ke masa lampau, kita terkejut mengetahui bahwa hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu!
Demikianlah, lima tahun telah lewat sejak peristiwa yang terjadi di Lumajang, ketika Ong Cun terbunuh tanpa ada yang mengetahui siapa yang telah membunuhnya. Kini kita beralih ke Tiongkok, negara Cina yang berada jauh sekali dari Lumajang atau Majapahit, jauh di utara melalui lautan yang amat luas. Kota Thian-Cin terletak di sebelah tenggara Kotaraja Peking. Thian-Cin merupakan sebuah kota yang besar dan penting sebagai pusat perdagangan karena kota ini menghubungkan Kotaraja dengan pantai lautan Pohai. Karena kota ini besar dan Ramai dengan perdagangannya maka dusun-dusun disekitarnya juga ikut makmur. Setiap hari para petani dari dusun menjual hasil tanaman mereka ke kota Thian-Cin. Di sebuah dusun yang di sebut Kim-Ke-Bun yang letaknya di sebelah barat kota Thian-Cin, tinggal Kwee Lok dan Ong Bi Kwi. Kita sudah mengenal Kwee Lok, yaitu Sute dan juga Adik misan dari Ong Cun.
Ketika rombongan yang dipimpin Laksamana The Ho kembali ke Tiongkok, setelah rombongan dibubarkan di Kotaraja, Kwee Lok segera pulang ke Kim-Ke-Bun, dan disambut oleh Kakek Ong Kui dan puterinya yang bernama Ong Bi Kwi. Kakek Ong Kui ini Ayah Ong Cun. Dengan sedih Kwee Lok menceritakan tentang kematian Ong Cun terbunuh orang secara gelap. Dapat dibayangkan betapa sedihnya keluarga Ong mendengar tentang kematian Ong Cun jauh di negeri asing itu. Ong Kui, yang hanya mempunyai seorang putera disamping puterinya, menangis sedih, juga puterinya yang ketika itu baru berusia empat belas tahun menangis. Habislah harapan Ong Kui. Dia seorang duda dan harapan satu-satunya hanya kepada puteranya, yang diharapkan akan menjadi tulang punggung keluarganya kelak, dan menjadi pelindung di hari tuanya.
Akan tetapi Ong Cun tewas di negeri asing, bahkan kuburannya tak mungkin dia kunjungi! Kwee Lok yang yatim piatu menghibur orang tua dan gadis remaja itu dan timbullah keinginan Ong Kui mengangkat Kwee Lok sebagai puteranya, pengganti Ong Cun yang mati. Kwee Lok adalah keponakan isterinya, sudah yatim piatu pula, dan sejak kecil menjadi saudara misan, sahabat baik, dan bahkan Sute (adik seperguruan) dari Ong Cun. Kwee Lok yang hidup sebatangkara itu menerima pengangkatan itu dan jadilah dia putera angkat Ong Kui dan Kakak angkat Ong Bi Kwi. Ketika Bi Kwi mendengar cerita Kwee Lok tentang kematian Kakaknya di Pulau Jawa, tentang pertunangan Kakaknya dengan seorang gadis jawa, timbul keinginan hati Bi Kwi untuk mencari pembunuh Kakaknya!
Ia amat mencinta Kakaknya yang menjadi saudara tunggal itu, dan mendengar betapa Kakaknya dibunuh orang, ia merasa sakit hati sekali. Ketika itu, seperti juga Ong Cun, Ong Bi Kwi telah mempelajari ilmu silat dan semenjak kembalinya Kwee Lok, ia semakin tekun berlatih, bahkan atas perkenan Ayahnya, ia belajar silat yang lebih tinggi di perguruan Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi, biarpun dia sudah mengangkat Kwee Lok sebagai putera, sebagai pengganti Ong Cun, tetap saja hati Ong Kui tak pernah dapat terhibur. Dia jatuh sakit dan tubuhnya semakin lemah. Akhirnya, dua tahun semenjak dia mendengar akan kematian puteranya, Ong Kui meninggal dunia. Di depan Kwee Lok dan Bi Kwi yang menangisinya, Kakek ini meninggalkan pesan agar Kwee Lok suka membimbing Bi Kwi sebagai adiknya, dan mencarikan jodoh yang baik.
Adapun semua peninggalannya, rumah dan sawah ladang, diberikannya kepada Kwee Lok. Kemudian matilah Kakek Ong Kui. Tentu saja Bi Kwi merasa semakin terpukul batinnya. Kini ia sebatang kara, dan semakin besar tekadnya untuk menamatkan pelajaran silatnya, kemudian ia akan berlayar ke selatan, ke Majapahit untuk mencari pembunuh Kakaknya yang menyebabkan hancurnya keluarganya. Ia tahu bahwa Ayahnya meninggal dunia karena duka kehilangan Ong Cun. Kini ia telah tamat dan usia Bi Kwi sudah sembilan belas tahun. Berkali-kali, selagi ia menjadi murid Siauw-Lim-Pai, semenjak ia berusia enam belas tahun, Kakak angkatnya, Kwee Lok membujuknya untuk menerima pinangan. Akan tetapi dengan keras ia menolaknya.
?Aku ingin menamatkan pelajaran silatku lebih dulu, Twa-Ko.? Demikian ia selalu menolak. Sekarang ia telah tamat dan kembali Kakak angkatnya itu membujuk dan mendesaknya agar ia mau menikah. Mereka berdua duduk di ruangan dalam, melarang pelayan memasuki ruangan itu ketika kembali Kwee Lok membujuknya.
?Kwi-moi (adik Kwi), sekarang usiamu sudah sembilan belas tahun. Sudah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa dan agak terlambat untuk segera menikah.?
?Twa-Ko, aku belum mempunyai keinginan untuk itu.? Bi Kwi menolak sebelum Kakaknya bicara lebih panjang.
?Ah, engkau tidak boleh selalu menolak, Kwi-moi. Engkau harus ingat akan kedudukan aku. Bukankah aku telah menjadi Kakakmu, diangkat anak oleh Ayah kandungmu? Dan lupakah engkau akan pesan terakhir dari Ayah kita bahwa aku harus mengurusmu dan mencarikan jodoh yang baik untukmu? Kalau engkau terus menolak, engkau sungguh membikin aku merasa tidak enak dan susah. Bagaimana kelak aku dapat bertemu dengan Ayahmu dan juga dengan Kakak kita Ong Cun kalau aku mati? Aku akan merasa malu sekali karena tidak dapat memenuhi tugasku dengan baik, Kwi-moi, harap engkau sekali ini jangan menolak lagi.? Bi Kwi mengangkat mukanya menatap wajah Kakak angkatnya, yang juga merupakan Kakak misan, juga Kakak seperguruan karena mereka berdua sama-sama menjadi murid Tiong Sin Hwesio ketua Kuil Siauw-Lim-Pai yang juga menjadi Guru mendiang Ong Cun juga.
Kwee Lok menatap wajah Adik angkatnya. Keduanya saling pandang sampai beberapa lamanya. Bi Kwi mengamati wajah Kakak angkatnya untuk menyelidiki isi hati Kakak angkatnya itu. Namun, wajah yang tampan dan gagah itu tidak memperlihatkan apa-apa, matanya tetap tajam menusuk, kumisnya yang tipis menambah ketampanan wajahnya dan rambutnya di sisir rapi, pakaiannya juga bersih. Kakak angkatnya ini memang seorang laki-laki yang tampan, gagah dan pesolek! Di lain pihak, Kwee Lok juga mengamati wajah adiknya, dengan alis berkerut karena dia mulai tidak senang melihat gadis itu selalu menolak. Wajah Adik angkatnya ini cukup manis, berbentuk bulat telur dan kulit mukanya putih bersih. Mirip sekali dengan wajah Ong Cun. Seorang gadis yang jelita dan tentu banyak pemuda yang akan suka menjadi suaminya.
?Twa-Ko, kenapa engkau begitu mendesakku untuk menikah?? Bi Kwi kini bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia seorang gadis yang cerdik sekali dan sudah biasa bersikap teliti.
?Kenapa? Engkau masih bertanya lagi? Aku adalah satu-satunya keluargamu, Kakak angkatmu, juga pengganti Ayah Ibumu yang sudah tiada, pengganti Kakak kandungmu yang sudah tiada. Aku harus mentaati pesan terakhir dari Ayah kita. Dan mengingat bahwa engkau kini telah berusia sembilan belas tahun, sungguh amat terlambat. Aku seolah-olah mendengar setiap kali dalam mimpiku betapa Ayah kita menegurku.? Dia berhenti sebentar untuk menarik napas panjang, kemudian melanjutkan. ?Dan ingatlah, adikku. Bukankah sudah berkali-kali engkau minta waktu kepadaku, selalu mengatakan bahwa engkau akan menamatkan dulu pelajaran ilmu silatmu? Bukankah sekarang telah tamat dan aku telah sabar menanti sampai tiga tahun? Bagaimana sekarang engkau hendak melanggar janji dan menolak lagi??
?Twa-Ko, aku sama sekali tidak melanggar janji, karena aku selamanya belum pernah berjanji padamu. Ingat baik-baik. Ketika engkau membujuk aku, aku hanya mengatakan bahwa aku ingin menamatkan pelajaran silatku lebih dulu. Aku tidak pernah berjanji bahwa setelah tamat aku akan mau menikah!?
?Akan tetapi, apa sih sebenarnya yang menyebabkan engkau menolak terus seperti ini? Kalau engkau memiliki pilihan hatimu sendiri, katakan siapa dia! Kalau menurut penyelidikan dan penilaianku dia cukup baik untukmu, aku tidak akan berkeberatan.?
?Tidak, Twa-Ko. Aku tidak mempunyai pilihan hati. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan untuk menikah, karena aku pada saat ini hanya mempunyai satu saja keinginan.?
?Apakah itu?? ?Pergi ke Jawa, ke Kerajaan Mahapahit, ke Lumajang dan mencari pembunuh Kakakku!?
?Engkau mendendam! Bukankah hal itu merupakan usaha yang sama sekali tidak mungkin!?
?Kenapa tidak mungkin?? ?Lumajang itu jauh sekali, adikku. Dan pembunuh itupun tidak diketahui siapa adanya! Dan disana terdapat banyak sekali orang sakti yang memiliki kesaktian luar biasa dan aneh-aneh. Engkau tidak dapat mengerti Bahasa mereka, bagaimana engkau dapat mencari dan menemukan pembunuh Kakak kita Ong Cun??
?Hemm, betapapun jauhnya, bukan tidak mungkin dikunjungi, Twa-Ko. Buktinya engkau pernah juga berkunjung kesana. Dan tentang bahasa, dapat kupelajari. Akupun tidak takut menghadapi pembunuh Cun-twako, betapapun saktinya. Pendeknya, aku harus pergi ke sana, Twa-Ko.? Kwee Lok menggeleng-gelang kepalanya. Tak disangkanya bahwa Adik angkatnya ini mempunyai kemauan yang demikian besarya, sudah demikian nekat. Dia menarik napas panjang.
?Dan ingat akan biayanya, Kwi-moi. Biayanya bukan sedikit untuk pergi ke sana. Dengarkan baik-baik. Tentang dendam itu, perlahan-lahan dapat kita bicarakan. Kalau engkau sudah menikah, suamimu yang mengajakmu melawat ke sana dan aku akan membantumu mencari musuh pembunuh Kakakmu itu. Akan tetapi, lebih dulu engkau harus menikah dengan calon suamimu itu.?
?Dan kalau sudah menikah aku lalu harus terikat dan harus mentaati semua kemauan suamiku? Tentu dia tidak akan mengijinkan aku pergi ke selatan! Pula, siapakah calon yang agaknya sudah kau sediakan untukku itu, Twa-Ko??
?Dia seorang yang hebat, adikku. Dan sejak engkau berusia lima belas tahun, dia sudah jatuh cinta padamu dan sampai sekarang pun dia masih menantimu! Dia seorang laki-laki yang bukan saja berdarah bangsawan, kaya raya, Ayahnya memiliki kekuasaan besar di Thian-Cin. Dia adalah Cu Hok Sim, putera pembesar di Thian-Cin. Ayahnya, Cu-Taijin (pembesar Cu) adalah jaksa yang memiliki kekuasaan besar di Thian-Cin...?
?Apa?? tiba-tiba Bi Kwi bangkit berdiri dan memandang kepada Kakak angkatnya dengan mata terbelalak. Kwee Lok tersenyum, mengira bahwa Adik angkatnya itu terkejut dan heran mendengar bahwa calon itu adalah putera bangsawan tinggi yang kaya raya dan terkenal berkuasa besar itu.
?Jangan heran, adikku. Dia adalah seorang sahabat baikku dan...?
?Justeru aku merasa heran sekali mengapa engkau dapat bersahabat dengan seorang seperti dia, Twa-Ko! Bukankah dia yang terkenal dengan sebutan Cu-Kongcu (tuan muda Cu), laki-laki yang suka mempermainkan anak bini orang dengan mengandalkan kedudukan Ayahnya dan kekayaannya, dibantu oleh segala macam penjahat besar yang menjadi kaki tangannya!?
?Ah, itu hanyalah fitnah belaka, adikku. Biasalah di dunia ini, kalau ada orang yang berhasil dalam hidupnya, banyak orang lain menjadi iri hati dan suka menyebarkan fitnah dan kabar kosong! Memang dia telah mempunyai beberapa orang selir walaupun dia belum menikah dan diantara selirnya itu berasal dari dusun kita. Apa salahnya itu? Seorang putera bangsawan yang kaya raya, sudah biasa memiliki beberapa orang selir! Dan kalau dia ditakuti karena kedudukan Ayahnya yang tinggi, itupun bukan salahnya. Tentang menggunakan kekayaan, siapa tidak mengenal keroyalan Cu-Kongcu menolong orang yang kesusahan dengan uangnya? Dan yang disebut penjahat-penjahat besar itu adalah pasukan pengawalnya yang memang terdiri jago-jago silat dan itu hanya menunjukkan kebesarannya.?
Belalang Kupu Kupu 9 Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel Pedang Keadilan 7
^