Pencarian

Ksatria Putri Tionggoan 2

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso Bagian 2


Sejak pembelotan dan pemberontakan Shan-Yu pecah enam
bulan lalu, amarah Kaisar Yuan Ren Zhan memang kerap
meletup-meletup selaksana dinamit. Emosinya melabil. Entah
sudah berapa ribu narapidana yang telah dipancungnya tanpa
proses pengadilan sebagai reaksi amarahnya.
Bulan sabit masih bertengger di puncak langit. Biasnya yang
82 keperakan menyentuh tubir jendela kamar. Kaisar Yuan Ren
Zhan masih memaku dirinya dalam diam. Hanya sesekali
menatap bulan separo, juga bintang kemukus yang melintas
cepat di kekelaman langit malam melalui daun jendela yang
terpentang. Ia belum bicara sepatah kata pun ketika sehelai
daun yang-liu rontok diembus angin, masuk menelusup dan
tergeletak di lantai samping meja. Dihelanya napas panjang.
Mungkinkah kebesaran Tionggoan akan rontok di tangannya?!
Ada aubade menggugah kesunyian.
Kasim Liu berteriak dengan suara khasnya dari balik gerbang
balairung basilika istana. Memberitahukan kedatangan
seseorang untuk menghadap Sang Kaisar.
"Suruh masuk!" perintah Kaisar Yuan Ren Zhan, masih
menyandar di kursi tembaganya.
Daun pintu terpentang. Tiga orang masuk bersamaan. Kasim Liu dan Jenderal Gau
Ming membungkukkan badannya. Tampak seorang pemuda di
samping mereka, langsung berlutut setelah mengempasempaskan lengan seragam prajuritnya yang memanjang
menutup punggung telapak tangan - salah satu prosedur
penghormatan saat menghadap kaisar, dan kowtow di hadapan
kaisar. "Hormat saya, Bao Ling - Prajurit Kurir Yuan dari Kamp Utara,
83 terhadap Yang Mulia Paduka Kaisar junjungan langit dan bumi."
"Bangunlah," ujar Kaisar Yuan Ren Zhan, mengaba dengan
tangannya. Pemuda itu berdiri. Jenderal Gau Ming maju setindak dari tempatnya berdiri, lalu
mengatupkan tangannya ke depan memberi hormat sebelum
mengurai alasan kedatangannya menghadap Sang Kaisar.
"Yang Mulia, maksud kedatangan hamba beserta Prajurit Kurir
dari Kamp Utara ini hendak menyampaikan keadaan dan
perkembangan pasukan Yuan di zona pertempuran."
Kaisar Yuan Ren Zhan memajukan badannya, mengangkat
punggungnya dari sandaran kursi tembaga. Menatap bergantian
pada dua sosok perwira tinggi dan prajurit madya di
hadapannya. "Sejauh ini perkembangannya bagaimana?"
"Yang Mulia, prajurit-prajurit di Kamp Utara mulai terdesak
mundur karena berkurangnya pasokan amunisi dinamit dari
pusat. Selain itu, pasukan pemberontak Han terus menambah
personel mereka di perbatasan Tung Shao. Pimpinan Kamp
Utara, Kapten Shang Weng meminta bantuan beberapa ribu
prajurit Divisi Kavaleri Danuh untuk menghalau musuh yang
mulai merangsek masuk ke sana . Mereka mengambil jalan
pintas ke bukit Tung Shao agar dapat segera menaklukkan
84 Ibukota Da-du. Menurut data strategi, kalau daerah Tung Shao
dapat diduduki pasukan pemberontak Han, maka otomatis
Ibukota Da-du akan jatuh ke tangan mereka!"
Kaisar Yuan Ren Zhan sontak berdiri.
Ia menggabruk meja di depannya dengan keras sampai pontoh
giok di tangan kanannya menggemeretak. Permaisuri Niang Xie
Erl terlonjak kaget. Kasim Liu bergidik, memeluk tongkat cemeti
serabutnya dengan rupa gelisah. Jenderal Gau Ming
menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena tidak berdaya
menghadapi kekuatan armada perang musuh di zona tempur.
Bao Ling bersikap wajar, berdiri dengan tegap.
"Kurang ajar! Apa jadinya negeri ini kalau semua pejabat di sini
seperti berpangku tangan!" maki Kaisar Yuan Ren Zhan.
"Jenderal Gau, cepat kerahkan semua armada perang sebelum
pasukan pemberontak Han itu merebut Ibukota Da-du!"
"Baik, baik, Yang Mulia!" balas Jenderal Gau Ming gugup
dengan wajah memucat. "Ta-tapi, kita tidak memiliki cadangan
amunisi dinamit lagi, Yang Mulia."
"Saya tidak peduli kalian mau menggunakan cara apa!" teriak
Kaisar Yuan Ren Zhan murka. "Saya hanya mau tahu, pasukan
pemberontak Han itu enyah dari Tionggoan!"
"Ba-baik, Yang Mulia!"
"Jenderal Gau, Anda yang paling bertanggung jawab atas
85 keselamatan negeri ini!"
"Hamba mengerti, Yang Mulia."
Jenderal berbadan tambun itu hanya mengangguk-angguk
dengan sepasang mata lunaknya yang menekuri lantai balairung
basilika istana. Ia seperti kehilangan akal. Sejak Perdana
Menteri Shu Yong memulai lawatannya ke Eropa dalam rangka
kunjungan bilateral tujuh bulan lalu, ia seperti kehilangan partner
yang dapat diandalkan. Memang, selama ini Perdana Menteri Shu Yong-lah yang
menjadi penentu kebijakan militer pasca pemecatan Jenderal
Shan Yu lima tahun lalu. Dan ketika negara dalam keadaan
genting akibat pembelotan dan pengkhianatan mantan Jenderal
Shan-Yu, maka ia seperti jenderal muno yang tidak tahu harus
berbuat apa. Sebagai pemimpin atase militer pusat, ia telah menerapkan
strategi dan taktik yang salah dalam menghadapi serbuan
pasukan pemberontak Han. Daerah yang seharusnya rawan
seperti di Tung Shao luput dari perhatiannya. Daerah Tung Shao
praktis tidak terkawal kecuali kehadiran prajurit-prajurit dari
Kamp Utara yang memang berbarak di daerah itu.
"Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba Bao Ling, menyampaikan
pesan dari Kapten Shang Weng dan Asisten Fa Mulan untuk
segera meminta militer pusat mengirimkan sebanyak mungkin
86 kuda yang ada di Ibukota Da-du," Bao Ling maju setindak,
mengatupkan kedua tangannya menabik, lalu menyampaikan
pesan yang diperintahkan Fa Mulan kepadanya. "Hamba Bao
Ling, sudah menyampaikan manuskrip dari kedua pemimpin di
Kamp Utara itu kepada Jenderal Gau Ming. Permintaan disetujui
apabila ada referensi dari Yang Mulia!"
Kaisar Yuan Ren Zhan melangkah sedepa dari meja, menuruni
satu undakan lebar di depan, berdiri dengan tangan mengepal di
situ. Ditatapnya Jenderal Gau Ming yang masih menundukkan
kepala. "Referensi dari saya?!" teriaknya dengan suara letup,
membahana membelah partikel sunyi. Suaranya nyaring
membentur dinding-dinding bervinyet teratai, memantul
membentuk gaung. "Apakah untuk urusan sepele itu pun saya
harus turun tangan?!"
"Mo-mohon am-ampun, Yang Mulia," ujar Jenderal Gau Ming
dengan tubuh gemetar. "Mak-maksud hamba, hamba tidak ingin
melangkahi keputusan mutlak Yang Mulia...."
"Alasan mati!" teriak Kaisar Yuan Ren Zhan dengan nadi yang
mengurat di sekujur lehernya. "Anda memang tidak becus,
Jenderal Gau!" Bao Ling melihat gelagat yang berbahaya akibat radang amarah
Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia kembali mengatupkan tangannya
87 menghormat. Menyergah santun sebelum emosi Sang Kaisar
mematikan rasionalitas berpikirnya. Bertindak di luar kendali.
Memancung kepala Sang Jenderal yang dianggapnya tidak
becus. "Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba Bao Ling, menganggap
kegagalan prajurit Yuan menghadang pasukan musuh memang
disebabkan oleh faktor yang tidak dinyana. Misalnya adalah,
jumlah pasukan pemberontak Yuan yang jauh di luar prakiraan
sebelumnya akibat partisipan rakyat jelata terutama di daerah
pesisir. Jenderal Gau Ming dan beberapa atase militer tidak
menyangka hal demikian akan terjadi. Makanya, pasokan logistik
dan pengadaan prajurit di Tung Shao agak terlambat sebagai
antisipasi penghadangan pasukan musuh!" tuturnya mengurai
dalih. "Jadi, memang sebelum segalanya terlambat, Tung Shao
selayaknya diblokir untuk memblokade musuh yang menyemut
di tepi Sungai Onon. Itulah sebabnya Asisten Fa membutuhkan
banyak kuda untuk mengelabui pihak musuh sebagai bagian dari
taktik kamuflasenya."
"Taktik kamuflase?!"
"Mohon ampun, Yang Mulia. Taktik itu dipakai untuk
mengantisipasi kekurangan prajurit di pihak kita. Tiga ratus ribu
pasukan pemberontak Han sudah hampir menapaki Tung Shao.
Untuk melawan mereka, tentu diperlukan pasukan yang
88 berjumlah lebih besar. Tapi, kita tidak memiliki banyak prajurit
untuk menandingi mereka meskipun seluruh prajurit yang ada di
Ibukota Da-du ditarik ke sana. Asisten Fa Mulan tidak memiliki
strategi lain kecuali menggunakan siasat okhlosofobia. Taktik
tersebut diharap dapat menjatuhkan mental musuh, dan mundur
dari perbatasan Tung Shao karena menyangka pihak kita
memiliki pasukan lebih besar dari mereka."
"Hebat!" Kaisar Yuan Ren Zhan melonjak, seperti kegirangan.
Matanya berbinar-binar setelah sedari tadi menyipit karena
menggeram. "Laksanakan semua strategi yang dianggap paling
baik untuk menghalau pasukan Si Biram Shan-Yu itu!"
"Baik, Yang Mulia!" angguk Jenderal Gau Ming lega.
"Sekarang, kirim semua prajurit yang ada di Ibukota Da-du ke
Tung Shao!" titah Kaisar Yuan Ren Zhan dengan otot leher yang
sudah mengendur. "Bentengi semua jalan masuk ke Ibukota Dadu! Dan, kumpulkan semua kuda yang ada di sini!"
"Baik, Yang Mulia," angguk Jenderal Gau Ming kembali, melirik
Kaisar Yuan Ren Zhan yang sudah melembut dari balik tepi
caping perwira bertulisan kanji Yuan di atasnya.
"Dan mengenai amunisi dinamit yang habis, saya sudah bersurat
ke Perdana Menteri Shu Yong untuk meminta Sir Arthur
Jonathan di London mengirimkan paket-paket tambahan amunisi
yang baru. Juga beberapa Fo Liong buatan Kerajaan Inggris."
89 "Fo Liong?!" Kalimat itu nyaris bersamaan keluar dari mulut
ketiga orang di hadapan kaisar.
"Fo Liong merupakan persenjataan canggih mutakhir Kerajaan
Inggris. Lebih cepat dari lesatan anak panah. Lebih hebat dari
ledakan dinamit. Fo Liong seperti senjata Dewata. Seperti
semburan api dari mulut naga yang sangat dahsyat," ungkap
Kaisar Yuan Ren Zhan berkonotasi dalam nada bangga.
Wajahnya sedikit sumringah setelah sedari tadi memerah
menahan amarah. "Fo Liong dapat melumpuhkan lawan satu
peleton dari jarak jauh dengan hanya sekali tembakan."
"Mohon ampun, Yang Mulia," Kasim Liu memberanikan diri
bertanya dengan suara kemayunya setelah sedari tadi hanya
diam menyimak. "Apakah Fo Liong sehebat itu?"
"Kamu meragukan apa yang telah saya katakan tadi, Kasim
Liu?!" Kaisar Yuan Ren Zhan seperti menggeram, memelototi
orang tua ringkih yang bertugas mengurusi keperluan dalam
Istana Da-du itu dengan tajam menusuk.
Kasim Liu mundur setindak, membungkuk lalu mengatupkan
kedua tangannya dengan sikap kaku. "Ham-hamba tidak berani
berpikir begitu, Yang Mulia!" ulasnya lekas dengan kalimat
menggagu. "Kami yakin Fo Liong dapat menghancurkan musuh, Yang
Mulia!" timpal Jenderal Gau Ming dengan nada menjilat.
90 "Tidaklah salah apabila tanah Tionggoan ini dipimpin oleh
seorang cendekia berotak cemerlang seperti Anda, Yang Mulia!"
Kaisar Yuan Ren Zhan mengangguk-angguk dibelai pujian.
Ada secuil senyum mengembang di sepasang pelepah bibirnya
yang kecoklat-coklatan. Dialihkannya edaran sepasang mata
ekuatornya ke arah Bao Ling. Mengangguk mengagumi
kejeniusan taktik Fa Mulan di Tung Shao yang telah
disampaikan oleh anak muda di hadapannya.
"Nah, Jenderal Gau, sekarang Anda saya delegasikan
melaksanakan strategi apa saja yang akan diterapkan oleh
Kapten Shang Weng dan Asisten Fa Mulan di Kamp Utara,
termasuk fasilitas kemiliteran yang mereka minta. Segera
laksanakan!" "Terima kasih, Yang Mulia!"
Ketiga pengabdi Istana Da-du itu undur diri setelah bertabe
seperti biasa. Bao Ling sekali lagi melakukan kowtow sebelum
meninggalkan balairung basilika istana. Wajahnya
menyumringah. Ia akan memacu kudanya segera ke Tung Shao
membawa kabar gembira untuk Fa Mulan. Bahwa permintaan
mereka dikabulkan. Jenderal Gau Ming memang selamban kura-kura. Pasti negara
akan hancur di tangannya seandainya Dinasti Yuan tidak
memiliki orang-orang berdedikasi tinggi seperti Fa Mulan dan
91 Shang Weng. Sekian lama permintaan pasokan prajurit dari
Divisi Kavaleri Danuh tidak dipenuhi. Lebih memilih
mempertahankan aset-aset Istana Da-du ketimbang daerah
Tung Shao yang sudah di ujung tanduk.
Di luar gerbang Istana Da-du, setelah diantar oleh Kasim Liu,
Bao Ling dan Jenderal Gau Ming segera menunggangi kuda
mereka yang diikat di sebuah istal kecil berkanopi rumbia khusus untuk menitip kuda-kuda tetamu. Dikawal sepuluh
prajurit berjaksi dan bersenjata tombak yang berlari di belakang
kuda-kuda, mereka pun melarikan kuda masing-masing ke
markas besar atase militer Yuan yang terletak tidak terlalu jauh
dari Istana Da-du. "Prajurit Bao, cepat kirim kawat balasan ke Asisten Fa Mulan
hari ini, bahwa permintaan mereka akan segera dikirim besok.
Saya sudah menyiapkan seratus ribu prajurit Divisi Kavaleri
Danuh, dan ribuan kuda sesuai permintaan Asisten Fa Mulan!"
ujar Jenderal Gau Ming di atas punggung kudanya.
Diperlambatnya laju kudanya, menyejajari kuda berwarna kelabu
yang ditumpangi oleh Bao Ling yang mengekor di belakang.
"Sekarang kita ke markas besar atase militer Yuan, di sana saya
akan menulis kawat untuk Asisten Fa Mulan."
"Baik, Jenderal Gau!"
"Bagaimana keadaan Kapten Shang Weng?"
92 "Kami belum tahu seberapa parah luka di dadanya. Tapi, Kapten
Shang Weng sudah siuman."
"Saya akan mengutus seorang tabib istana untuk merawat luka
Kapten Shang Weng. Sertai dia ke barak Kamp Utara. Mudahmudahan tabib istana dapat segera menyembuhkan lukanya."
Mereka tiba di depan markas besar atase militer ketika hari


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mulai menggulita. Beberapa prajurit pengawal yang sedari
tadi berlari di belakang kuda langsung membentuk barisan pagar
betis di bahu kiri dan kanan gerbang utama markas besar atase
militer Yuan. Di dalam halaman markas, beberapa prajurit Yuan
yang tengah melakukan latihan tombak sasar, menghentikan
latihan serta sontak berdiri tegap membentuk defile begitu
Jenderal Gau Ming dan Bao Ling masuk melewati mereka.
Setiba di dalam ruangan besar tempat pertemuan para atase
militer, tabib Istana Da-du bernama Ma Qhing sudah menunggu
dengan beberapa perbekalan obat yang akan dibawanya ke
zona tempur Kamp Utara. Setelah mengetahui Shang Weng
terluka parah dalam pertempuran melawan Shan-Yu, Jenderal
Gau Ming sertamerta berinisiatif mengirimkan tabib terbaik dari
Istana Da-du ke zona tempur Tung Shao. Eksistensi Shang
Weng sangat dibutuhkan oleh Kekaisaran Yuan. Pemuda itu
telah menunjukkan dedikasi dan loyalitas yang tinggi selama
mengabdi pada Dinasti Yuan.
93 Bao Ling diserahi manuskrip balasan oleh Jenderal Gau Ming
yang ditulisnya kesusu di atas meja kerjanya - yang penuh
dengan peta-peta strategi dan diorama daerah-daerah zona
tempur. Di diorama tersebut tampak tancapan-tancapan panji
miniatur pada tanah liat yang membentuk teksur bukit, sungai,
danau, dan barak-barak militer.
Bao Ling mengemas manuskrip tersebut ke dalam sabuk
pinggangnya yang terbuat dari kulit ular - dengan kancing kepala
sabuk dari bahan perak berembos sepasang naga yang
mengapit sebuah bolide. Ada kaligrafi berharafiah Yuan di
bawah naga setengah melingkar tersebut.
"Tabib Ma, Prajurit Kurir Bao Ling ini yang akan mengawal Anda
ke Kamp Utara," ujar Jenderal Gau Ming kepada tabib istana tua
itu, lebih menyerupai seruan perkenalan ketimbang informasi
nama orang yang akan mengawalnya ke zona tempur. "Prajurit
Bao, ini Tabib Ma Qhing yang akan merawat Kapten Shang
Weng." Bao Ling mengurai senyum simultan dengan sepasang
tangannya yang mengatup ke depan, menghormat lebih dulu
kepada lelaki berjanggut panjang itu sebagai orang yang lebih
muda. "Hormat saya pada Tabib Ma Qhing," sapanya santun.
Tabib tua yang mengenakan stola beledu biru bermute delima di
94 tengahnya itu mengangguk, membalas hormat Bao Ling. Setelah
berdiri menyambut penghormatan Bao Ling barusan, ia pun
duduk kembali di salah satu kursi jati dengan pilar sandaran
yang berhias vinyet yang-liu di belakang meja pertemuan.
"Tabib Ma, tolong juga sampaikan kotak ini kepada Asisten Fa
Mulan," sodor Jenderal Gau Ming setelah mengambil sesuatu
dari laci bawah mejanya. "Titip pesan bahwa, ini merupakan
simbolitas penghargaan dari Istana Da-du untuknya."
"Apa ini, Jenderal Gau?" tanya Tabib Ma Qhing berbasa-basi
setelah menerima kotak berwarna hitam dari bahan kayu
tersebut. Ia berdiri kembali dari duduknya.
Jenderal Gau Ming menjawab. "Pil Naga."
"Pil Naga?!" Bao Ling mendesis dari seberang meja. Ia
mencondongkan badannya seperti hendak mengetahui apa isi
kotak hitam yang kini telah berada dalam genggaman Tabib Ma
Qhing. Rasanya, ia pernah mendengar kepopuleran Pil Naga
tersebut. Pil Naga memang bukan obat biasa.
"Ramuan obat dari ginseng berkualitas unggul berusia seribu
tahun dari seorang diplomat Korea. Sebenarnya ginseng ini
diberikan Kaisar Yuan Ren Zhan pada hari ulang tahun saya
setahun lalu. Tapi saya pikir, Asisten Fa Mulan lebih
memerlukan obat kebugaran ini untuk kekuatannya menghadapi
serangan musuh di Tung Shao," jelas Jenderal Gau Ming,
95 memaparkan tanpa ditanyai.
Bao Ling menyergah. "Tapi, Pil Naga ini merupakan barang
berharga, Jenderal Gau...."
Pil Naga adalah obat mujarab untuk kebugaran. Merupakan obat
langka seberharga emas permata Istana. Ribuan tahun Pil Naga
tersebut telah menjadi komsumsi kesehatan para kaisar dari
generasi ke generasi. Bao Ling sering mendengar kalau puak bangsawan Istana selalu
menggunakan obat tersebut untuk menambah vitalitas libido.
Tetapi sesungguhnya Pil Naga lebih dari sekedar itu. Konon Pil
Naga tersebut pernah menyembuhkan luka dalam seorang
pendekar handal Tionggoan yang terkena pukulan tenaga
dalam. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa lagi selain fungsi
keperkasaan dan kejantanan.
Jenderal Gau Ming berdeham. "Sudah tidak berarti buat saya.
Justru Asisten Fa Mulan-lah yang lebih membutuhkan Pil Naga
ini," alasannya menjawabi pertanyaan Bao Ling. "Sudahlah. Buat
apa dipikirkan lagi. Barang berharga ini tidak ada apa-apanya
dibandingkan pengorbanan Asisten Fa Mulan, yang sudah
menyabung nyawa di zona tempur. Anggap saja sebagai
ungkapan terima kasih Istana Da-du kepadanya."
Bao Ling dan Tabib Ma Qhing mengangguk bersamaan. Diamdiam Bao Ling memuji sikap welas asih kepemimpinan Jenderal
96 Gau Ming. Sayang, sebagai pemimpin tertinggi atase militer
Yuan, jenderal separo baya itu kurang tanggap dan tangkas
memimpin. Sehingga cuai melakukan terobosan penting
menyelamatkan negara. Sekarang negara tengah berada di
ujung tanduk. Dan Kaisar Yuan Ren Zhan terpaksa
mengeluarkan maklumat ke segenap jajaran rakyat Tionggoan
untuk menjalani wajib militer.
Bersama Tabib Ma Qhing, ia meninggalkan markas besar atase
militer Yuan setelah malam menangkup. Tanpa membuangbuang waktu, dipacunya kudanya menuju Tung Shao. Tabib Ma
Qhing menyertainya dengan menggunakan kereta tandu,
dikawal oleh sepuluh prajurit yang mengekor di belakang dengan
kuda mereka masing-masing.
Mudah-mudah Fa Mulan masih dapat bertahan, harapnya
cemas. Mudah-mudahan bala bantuan prajurit dari Divisi
Kavaleri Danuh dan beberapa ribu kuda yang, telah disepakati
akur oleh Jenderal Gau Ming atas titah Kaisar Yuan Ren Zhan
dapat segera dikirim ke Tung Shao.
Bab 8 Mushu, kilau cahyamu 97 dan binarmu yang tajam adalah nurani yang tak pernah mati
Sertai, sertai aku dalam maharana ini
sebab tanpamu aku mati - Fa Mulan Refleksi Pedang Mushu *** Napasnya terdengar konstan. Ia terbaring dengan sejumlah kain
kasa yang membebati badannya. Punggungnya tercacah.
Dadanya kirinya terkena tohokan tombak. Parah. Namun tak
sedikit pun ia melenguh kesakitan. Pemimpin prajurit dari Kamp
Utara di Tung Shao itu memang telah menunjukkan dedikasi dan
determinasi yang tinggi, sehingga tak sedikit pun bayang-bayang
maut menggentarkannya. Tak sedikit pun besar kekuatan
armada darat musuh pimpinan Shan-Yu membuatnya lari
tunggang-langkang. Ia tetap menyongsong dan menghadang
meski aura kematian serupa bayang hitam renkinang telah
menaunginya. Wajahnya mengeras. Cahaya redup dari pelita minyak samin
menonjolkan rahangnya yang kokoh. Mata elangnya sesekali
memejam menahan rasa sakit yang menggigit di dadanya.
98 Fa Mulan menatap pemuda itu dengan wajah murung. Digigitnya
bibir. Serangkaian pertempuran yang telah dilaluinya bersama
pemuda itu telah mendewasakannya. Ia dapat meresapi
kuintesens tentang arti hidup. Di mana batas hidup dan mati
hanya setipis sutra. Dan laki-laki yang tengah terluka itu banyak
berjasa dalam pembentukan identitas dirinya yang sejati.
Memberinya inspirasi dan warna dalam hari-harinya.
"Bagaimana, Tabib Ma?!"
Tabib tua itu mengangguk-angguk. Dielus-elusnya janggutnya
yang memanjang dan berwarna keperakan, seperti cemeti
serabut senjata khas para rahib perempuan Taoisme Go Mei di
bawah kaki bukit Wudan. Dijawabinya pertanyaan prihatin Fa
Mulan dengan mengurai senyum lunak.
"Tabib...." "Tidak usah khawatir. Kapten Shang tidak apa-apa. Denyut
nadinya teratur, menandakan kalau tidak terjadi sesuatu hal
yang membahayakan pada organ vital dalam tubuhnya. Hanya
saja luka luarnya cukup parah. Tapi tidak akut. Dua minggu lagi
luka di dada kiri Kapten Shang Weng pasti menutup."
"Tapi...." "Biarkan Kapten Shang beristirahat. Jaga dia agar tidak banyak
bergerak. Itu obat yang paling mujarab kalau ingin pemimpin
kalian sembuh." 99 "Tabib...." "Asisten Fa, Anda jangan terlalu mengkhawatirkan keadaan
Kapten Shang. Saya pikir, justru Andalah yang harus bersikap
mawas, bijak menyikapi diri Anda sendiri. Lihat, sepasang
kantung mata hitam di seputar mata Anda. Anda pasti sudah
lama tidak tidur, bukan?"
"Tapi, saya tidak bisa lepas tangan begitu saja. Saya harus
bertanggung jawab atas keselamatan semua prajurit!"
"Tentu. Tapi, Asisten Fa tidak boleh menyiksa dan memaksakan
diri begitu. Kalau badan Anda melemah, itu sama saja berarti
Anda tidak punya kekuatan untuk melawan musuh."
"Terima kasih, Tabib Ma. Tapi, dalam keadaan genting begini
saya rela berkorban...."
"Asisten Fa, kami tahu loyalitas Anda."
"Tapi...." Tabib Ma Qhing merogoh tas kain tebal sejenis goni yang
menyampir di pundaknya. Dikeluarkannya sebuah kotak kayu
mahoni. Mengangsurkan kotak kayu persegi tersebut di bawah
perut Fa Mulan. "Ini untuk Anda, Asisten Fa."
"Apa ini, Tabib Ma?!"
"Ambillah. Di dalamnya ada beberapa butir Pil Naga. Terbuat
dari akar ginseng berusia seribu tahun. Pil Naga ini merupakan
100 ramuan kesehatan dan kekuatan tubuh untuk Kaisar Yuan Ren
Zhan. Sebelum kemari, Jenderal Gau Ming menitipkan pil-pil ini
untuk diserahkan kepada Anda, Asisten Fa."
"Ta-tapi, saya tidak bisa menerimanya, Tabib Ma! Saya tidak
pantas menerima penghormatan setinggi ini!"
Fa Mulan mengatupkan tangan memberi hormat. Ditolaknya
pemberian istimewa dari pihak Istana Da-du untuknya. Tetapi
Tabib Ma Qhing mendesaknya untuk menerima Pil Naga
tersebut. "Terimalah, Asisten Fa. Pihak Istana Da-du menghargai
perjuangan Anda. Makanya, pil-pil ini merupakan simbolitas
pengungkapan terima kasih mereka untuk Anda."
"Tapi...." "Saya tidak berani kembali ke Istana Da-du kalau Anda tidak
mau menerima titipan Jenderal Gau Ming ini, Asisten Fa!"
"Saya bukan pahlawan yang mesti dihargai dengan hadiah
istimewa, Tabib Ma!"
"Anda sudah berjuang mempertaruhkan nyawa di sini."
"Semua prajurit di sini juga mempertaruhkan nyawa mereka."
"Tapi tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah Anda
lakukan untuk Kekaisaran Yuan!"
"Anda terlalu berlebih-lebihan, Tabib Ma!"
Tabib tua itu terbahak. Mengelus-elus kembali janggutnya yang
101 kelihatan terawat dengan baik. Fa Mulan bersikukuh. Belum mau
menerima kotak kayu hitam berisi pil-pil mujarab Istana Da-du
yang diangsurkan kepadanya dengan setengah memaksa tadi.
Ia menghampiri meja kayu yang terletak di tengah tenda milik
Shang Weng. Menuang arak dari guci tembikar ke dua buah
cawan ceper. Diangsurkannya satu cawan arak itu ke Tabib Ma
Qhing yang sudah menghentikan tawanya.
"Silakan minum, Tabib Ma. Hanya arak kampung. Sekedar
menghangatkan badan."
"Terima kasih."
"Tentu tidak selezat arak anggur Istana Da-du."
"Anda terlalu merendah. Padahal, siapa yang tidak mengenal Fa
Mulan yang termashyur itu? Keindahannya melebihi kecantikan
mekarnya yang-liu di taman bunga Istana Da-du. Sejak
menghebohkan kalangan Istana Da-du satu tahun lalu dalam
kasus manipulasi identitas wamil, nama Fa Mulan terus
melegenda. Sekarang, saya baru berjumpa dengan Anda.
Ternyata, legenda itu bukan isapan jempol belaka."
Fa Mulan terkekeh. Pipinya memerah. Ia menatap orang tua
berbaju dari bahan kain satin itu dengan sikap jengah.
Disibaknya kenangan silam dalam benaknya. Setahun lalu
penyamarannya memang terbongkar oleh satu peristiwa miris.
Ketika bertarung dengan beberapa gerombolan pengacau
102 keamanan Mongol di perbatasan Tembok Besar, ia terluka kena
panah salah seorang barbarian Mongol. Dalam masa perawatan,
identitasnya terbongkar. Tabib yang memeriksa dan merawatnya
terkejut karena pasien prajuritnya ternyata adalah seorang
perempuan. Shang Weng gusar. Ia merasa telah dikelabui selama ini. Maka
sesuai dengan hukum kemiliteran yang berlaku, kepala Fa
Mulan mesti dipenggal! Waktu itu Fa Mulan sudah pasrah. Ia hanya dapat berharap
semoga pengorbanannya selama ini dapat menjadi sumbangsih
yang berharga buat kemakmuran di Tionggoan. Juga berdoa
semoga ayahnya, Fa Zhou, dan juga ibunya, Fa Li, dapat
diberikan kekuatan oleh Dewata untuk tetap bertahan di negeri
yang tengah kisruh ini. Sebenarnya ia kecewa dengan prinsip keras politik Kekaisaran
Yuan. Bukan karena menyesali keputusan penggal kepala yang
ditimpakan kepadanya. Bukan. Tetapi semata karena ia merasa
Kekaisaran Yuan tidak adil bersikap, lantaran lebih memilih
menutup rasa malu atas kecolongan kasus manipulasi identitas
wamil dengan kompensasi hukum penggal ketimbang
mengambil hikmah dari kejadian miris tersebut.


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan pada suatu petang sebelum eksekusi mati, entah dari mana
datangnya keajaiban itu. Bao Ling datang dari Ibukota Da-du,
103 membawa manuskrip berisi titah yang ditandatangani oleh
Kaisar Yuan Ren Zhan. Maklumat tersebut merupakan amar
untuk membatalkan hukuman pancung yang ditimpakan kepada
Fa Mulan, sekaligus mengampuni semua kesalahan Fa Mulan
mengingat jasa-jasanya selama menjadi prajurit Yuan - yang
berjuang gigih melawan para pemberontak Mongol di
perbatasan Tembok Besar, dan menggagalkan beberapa aksi
pemberontak Mongol tersebut yang hendak melintasi Tembok
Besar. Fa Mulan menghirup araknya dengan sekali teguk. Dingin yang
menusuk-nusuk melalui celah-celah pada tenda hanya dapat
diatasinya dengan arak yang menghangati nadinya. Dilihatnya
tabib suruhan Istana Da-du itu minum dengan mimik ringis.
Mungkin keasaman. Tidak semanis arak anggur Istana Da-du
yang gurih. Tetapi hanya air api itulah yang dapat dijadikan
penghangat badan selain unggun.
"Maaf, kami sudah menyusahkan Tabib Ma," ujar Fa Mulan
santun. Mengapresiasikan rasa terima kasihnya dengan
merendah. "Perang ini memang sudah banyak menyusahkan
orang." "Asisten Fa jangan terlalu sungkan," balas Tabib Ma Qhing tidak
kalah hormatnya. "Ini semua sudah menjadi tugas dan tanggung
jawab saya." 104 "Tolong sampaikan terima kasih saya untuk Jenderal Gau Ming.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, Pil Naga tersebut
saya kembalikan kepada beliau. Tolong Tabib Ma mengantarnya
kembali ke Istana Da-du. Serahkan kepada Jenderal Gau Ming.
Saya menghargai pemberian beliau!"
Fa Mulan kembali mengatupkan kedua tangannya ke muka.
Ditatapnya tegas sepasang mata kelabu Tabib Ma Qhing yang
lunak dan berair. Seolah-olah meminta orangtua itu untuk tidak
bersikeras dengan keputusannya.
"Tapi, Anda tidak boleh menolak Pil Naga ini, Asisten Fa!"
"Kenapa?" "Merupakan sebuah penghinaan besar di kalangan Istana Da-du
bila Anda menampik pemberian mereka."
"Saya hargai pemberian mereka...."
"Tapi bukan dengan cara menolaknya, Asisten Fa! Terus terang,
saya tidak berani pulang ke Istana Da-du apabila Anda masih
bersikeras menolak simbolitas penghargaan Kaisar Yuan Ren
Zhan yang diberikan untuk Anda!"
"Tapi...." "Anggap saja saya sedang memohon!"
"Ta-tapi...." "Asisten Fa, Anda jangan keras kepala! Rasanya lebih baik
kepala saya dipenggal ketimbang Anda menolak simbolitas
105 penghargaan yang diberikan Kaisar Yuan Ren Zhan secara tidak
langsung kepada Anda!"
Fa Mulan tersenyum. Dielus-elusnya gagang pedang Mushu-nya
yang tersampir di pinggangnya. Sementara itu Tabib Ma Qhing
sudah hampir menangis, menundukkan kepala dengan ekor
mata bergerak galau. Ditatapnya tanah yang tengah dipijaknya
di dalam tenda dengan rupa gelisah.
Fa Mulan mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Saya terima
pemberian istimewa Istana Da-du ini demi menghindari hukuman
pancung untuk Tabib Ma Qhing yang telah banyak berjasa bagi
kami, prajurit-prajurit di Kamp Utara," ujarnya, mengulum
senyum menahan tawa. Tabib Ma Qhing sertamerta terbahak. Dielus-elusnya janggutnya
yang berwarna keperakan. Kesedihannya sontak melenyap
seolah-olah ditelan dingin udara malam. Seketika orang tua itu
mengatupkan kedua tangannya ke muka. Mengungkapkan rasa
terima kasihnya kepada gadis keras kepala Fa Mulan, sehingga
ia dapat terbebas dari hukuman Istana Da-du.
Mungkin bukan hukuman penggal seperti yang dikatakan Fa
Mulan barusan. Tetapi siapa yang dapat menebak isi hati Sang
Kaisar penguasa segala kemuliaan di Tionggoan ini bila sedang
murka?! Tentu hanya Dewata di langitlah yang tahu!
106 Bab 9 Sesungguhnya jenderal arifah adalah sosok maharesi dimana kala bertempur ia maju tanpa takut mati dan dimana kala terdesak Ia mundur demi keselamatan pebala
Sesungguhnya pula Ia bertempur atas nama cita luhur
dimana absurditas ketenaran
jauh dari nurani Ia adalah satria pejiwa yang tak pernah takut undur
dan merasa terhina karenanya
sebab strata dan jabatan hanyalah anominitas babur
Adalah jauhar tak tak ternilai
jika negara memiliki seorang jenderal luhur yang dapat melindungi rakyat dan Sang Kaisar
107 - Sun Tzu Refleksi Seni Rana *** Rembang petang baru saja menyingkir diganti malam. Bukit
Tung Shao menggelap tanpa gemintang di langit. Hujan masih
menyisakan partikel salju yang menusuk-nusuk kulit dengan giris
dinginnya. Rambun memaksa Fa Mulan meringkuk, dan duduk
di tempat biasa. Menghangatkan dirinya pada sebuah lidah
unggun sembari menghitung detik-detik pertarungan hidup mati
yang sudah di ambang batas.
Dihelanya napas resah. Yao belum kembali ke barak setelah ia nekat menyongsong
musuh di perbatasan Tung Shao. Masih disesalinya keputusan
emosional Yao. Sahabat seangkatannya semasa wamil itu
memang memiliki temperamental panas. Setiap permasalahan
disikapinya dengan berapi-api. Satu kebiasaan buruknya yang
masih terbawa sampai sekarang meskipun ia telah diangkat
menjadi prajurit madya. Yao merupakan anak dari pasangan gembala di dusun gigir
Sungai Onon. Meski ia berdarah Tionggoan, tetapi lingkungan
dan adat istiadat yang diakrabinya sedari kecil berbeda dengan
kebanyakan orang Tionggoan lainnya. Keluarganya hidup
menomad. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya
108 di perbatasan Tionggoan-Mongolia. Sedari kecil pula hidupnya
telah ditempa oleh iklim dan alam yang keras di pegunungan
serta beberapa gurun di daerah dekat Mongolia. Yao tumbuh
menjadi pemuda yang keras, berpendirian tegas, dan
menjunjung harkat serta harga diri setinggi-tingginya.
Karena tidak ingin berkubang terus di dalam kemiskinan, maka
Yao pun menanamkan satu tekad dalam dirinya. Bahwa tidak
selamanya keluarga mereka akan hidup menomad tanpa tempat
tinggal yang tetap dan layak. Ia lantas bekerja keras dan banting
tulang, hidup dari modal otot. Setiap hari ia mengikuti adu gulat
bercapa - sebuah perjudian adu tarung yang marak dan
mendarah daging di Mongolia. Menghidupi orangtuanya yang
sudah uzur dengan uang hasil kekerasan.
Beberapa tahun kemudian ia mengelana ke Ibukota Da-du.
Menjadi centeng salah seorang tauke kelontong kaya di sana.
Sampai keluarnya amanat dari Kaisar Yuan Ren Zhan agar
seluruh warga Tionggoan harus menjalani wajib militer di Kamp
Utara. Di sanalah awal mula perkenalannya dengan Fa Mulan
yang selalu dilandasi ketidakharmonisan.
Ia dan Fa Mulan sebenarnya seperti dua orang musuh yang
bertarung dalam satu selimut. Setiap hari mereka bertengkar
dan adu jotos. Itulah sebabnya di Kamp Utara, Fa Mulan dan
Yao sering diganjar hukuman oleh Shang Weng. Yao yang
109 kelewat keras diantipati oleh Fa Mulan yang selalu ingin
membela prajurit-prajurit lemah jajahan Yao. Setiap memalaki
prajurit-prajurit lemah tersebut, Fa Mulan selalu tampil sebagai
pahlawan. Menentang Yao yang lebih besar tiga kali lipat dari
tubuhnya. Meski kasar tetapi Yao sebenarnya memiliki sifat baik yang
jarang ditampakkannya. Ia setia kawan. Selalu menolong kaum
jelata yang tertindas puak terpandang, bahkan mengorbankan
nyawanya sekalipun. Sayang ia selalu mengambil tindakan
tanpa nalar. Dan menempuh jalan kekerasan reaksi amarah
yang berkobar di dalam hatinya.
Fa Mulan masih menghangatkan tubuhnya di samping unggun.
Sejenak diisinya tadi benaknya yang lowong dengan kenangan
silam. Yao, Chien Po, dan Bao Ling merupakan sahabat
terbaiknya. Dan ia tidak ingin salah satu dari mereka ada yang
gugur sia-sia. Hal itulah yang kerap meresahkannya. Terutama
Yao yang beremosi labil. Ia mengusap wajah. Pasukan pemberontak Han yang sudah semakin dekat dan
berada beberapa mil dari barak meresahkannya. Besok fajar
pasti sudah sampai di sini. Sementara bala bantuan belum
kunjung tiba. Apa boleh buat, pikirnya. Hidup mati manusia
memang sudah ditentukan dari langit. Itulah takdir kematian
110 seseorang yang bernama ajal. Dapat terjadi di dalam situasi apa
pun juga. Kalau ia memang harus terbantai dalam peperangan
besok, maka ia tidak akan pernah menyesali kematiannya yang
menyakitkan itu. Sebab ia merasa telah membela kebenaran.
Dan tidak mati dengan sia-sia.
Baru saja ia akan menikmati bakpaonya ketika beberapa prajurit
berjalan tertatih-tatih dengan tubuh membujur luka. Mereka
adalah prajurit-prajurit yang diperintah ikut serta ke perbatasan
Tung Shao bersama Yao fajar kemarin.
Fa Mulan berdiri. Ia mendekati prajurit-prajurit tersebut. Dan membantu memapah
seorang prajurit yang tertebas golok ke dalam tenda tabib.
Beberapa prajurit dalam tenda keluar dan turut membantu rekan
mereka yang terluka. "Mana Prajurit Madya Yao?!" tanyanya cemas pada seorang
prajurit yang tidak terluka.
"Sudah masuk ke tendanya, Asisten Fa."
"Bagaimana keadaan kalian?"
"Hampir semua rekan-rekan yang berangkat bersama Prajurit
Madya Yao gugur di perbatasan. Kami yang selamat tidak
sampai dua puluh orang. Pasukan pemberontak Han sangat
banyak, Asisten Fa! Kami tidak sanggup menghadang mereka!"
"Baik, baik. Terima kasih. Kamu istirahat saja dulu. Kalau luka,
111 segera ke tenda tabib."
Prajurit bawahan itu mengangguk.
Fa Mulan meninggalkan prajurit itu dengan wajah gusar.
Dilangkahkannya kakinya dengan gerak gegas ke tenda Yao.
Meminta pertanggungjawaban lelaki bertubuh kekar itu.
"Yao!" teriaknya keras di muka tenda Yao.
Yao menyibak daun tenda. Ia keluar dengan wajah bengis.
Tampak segar bugar, tidak mengalami luka sedikit pun. Fa
Mulan sedikit lega. Tetapi tak mengurungkan kemarahannya
yang sudah mengubun sejak fajar kemarin.
"Apa-apaan kamu, Yao!" sembur Fa Mulan berkacak pinggang.
"Sok jagoan begitu!"
Yao mendekat. Ia berdiri persis sejengkal di hadapan Fa Mulan. Ditatapnya ke
bawah dengan sikap tidak bersalah. Gadis atasannya itu
mendongak, masih belum menyurutkan tatapan matanya yang
setajam pedang. "Sudah sedari dulu saya bilang, saya ingin menghalau Jenderal
Shan-Yu di bawah bukit sebelum dia dan pasukannya
mendapatkan kekuatannya kembali, lantas menyerang kemari
dan merobek-robek tubuh kita di sini!"
"Saya tahu kita semua ingin dia enyah dari muka bumi ini!
Semua prajurit di sini ingin memenggal kepalanya! Tapi belum
112 saatnya, Yao! Dia masih terlalu tangguh untuk ditaklukkan!"
"Kita dapat menaklukkannya, Asisten Fa!" balas Yao dengan
kasar. "Tapi selama ini Anda yang terlalu lamban!"
"Kita butuh waktu yang tepat!"
"Waktu yang tepat?!" Yao mendengus. "Sampai kapan?! Sampai
kita lengah dan dia datang dengan seabrek pasukannya yang
ganas lalu mencincang tubuh kita?!"
"Saya punya strategi lain. Bukannya dengan cara emosional
begitu, Yao!" "Strategi apa?!" tanya Yao geram. "Strategi mengulur-ulur
waktu?!" "Kalau itu memang merupakan strategi jitu, kenapa tidak?!"
Yao kembali mendengus keras.
Ia mengibaskan tangan dengan jumawa seolah-olah Fa Mulan
bukan atasannya. Diputarnya tumit hendak masuk kembali ke
dalam tendanya. Tetapi Fa Mulan mencekal pundaknya.
Menghentikan langkahnya. Masih ingin meminta tanggung jawab
prajurit madya itu atas hilangnya hampir seratus nyawa prajurit
Yuan dengan sia-sia. "Yao, kamu sudah bertindak gegabah!"
"Paling tidak saya memiliki keberanian daripada hanya
berpangku tangan seperti Anda, Asisten Fa!"
"Apa yang telah kamu lakukan itu sangat berbahaya, dan
113 mengancam keselamatan nyawa kamu sendiri!"
"Saya tidak takut!"
"Saya hargai keberanian kamu. Tapi, tindakanmu itu sama juga
dengan mengantar nyawa. Untung kamu masih dilindungi
Dewata sehingga dapat kembali ke sini. Tahu tidak,
perbuatanmu yang menyongsong ke markas musuh itu seperti
anjing yang masuk ke kandang macan!"
"Saya bukan prajurit pengecut!"
"Tapi bukan dengan begitu kamu boleh bertindak gegabah. Saya


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ingin ada prajurit Yuan yang mati konyol!"
"Maaf, semoga prakiraan saya ini tidak benar! Bahwa apa yang
telah Asisten Fa uraikan barusan hanya sebentuk dalih untuk
menutupi sepotong rasa takut!"
Fa Mulan terkesiap. Ia sama sekali tidak menyangka Yao dapat selancang itu. Ia
merasa tidak punya wibawa dan harga diri sebagai pemimpin.
Ditariknya lengan kokoh Yao dengan sekali entak. Lelaki
berwajah keras itu terantuk. Mendekat sejurus setelah menjauhi
Fa Mulan tadi. "Yao! Kalau saja saya sendiri memiliki kemampuan untuk
mengalahkan Jenderal Shan-Yu dan ratusan ribu pasukan
pemberontak Han itu, maka detik ini juga saya akan menantang
mereka di bawah bukit! Detik ini juga saya akan bertarung
114 dengan mereka! Tapi, saya tidak mempunyai kemampuan untuk
itu. Kita lemah, Yao. Lemah! Karenanya, saya tidak ingin
bertindak tanpa melalui seleksi otak! Kenapa?! Karena saya
tidak ingin mati sia-sia. Tanpa kita, siapa lagi yang akan
membela rakyat Tionggoan?! Apa kamu mengharap para arwah
di alam baka untuk menghalau mereka?! Coba kamu renungkan
hal itu, Yao!" Namun Yao tidak mau tahu.
Ia malah menatap sepasang mata Fa Mulan dengan bias
menantang. Mencibirkan bibirnya dengan bahasa cemooh.
Membuang mukanya kemudian dengan sikap pongah. Berkacak
pinggang seperti tokoh protagonis Eng Tay dalam opera
mashyur Sam Pek Eng Tay, yang sering dipertunjukkan salah
satu kelompok opera keliling di Ibukota Da-du.
"Kalau takut bilang saja!"
Yao sudah mengarah kasar.
Kalimat-kalimatnya sudah tidak terkontrol. Fa Mulan tidak dapat
membendung amarah yang mengubun di kepalanya.
Diterjangnya Yao yang memiliki tubuh tiga kali lebih besar
darinya dengan wushu tingkat dasar.
Yao mengelak. Tangan kanannya menangkis satu tendangan ke arah dadanya.
Ia terundur sedepa menahan tendangan Fa Mulan yang
115 bertenaga. Sedikit terkesiap. Sama sekali tidak menyangka
tubuh sekecil itu memiliki chi sekuat kuda. Dikembangkannya
otot-ototnya. Tubuhnya memekar seperempat kali lipat dari
ukuran tubuhnya yang biasa. Mengangkang dengan tubuh
sedikit membungkuk. Siap menangkap tubuh lawan, serta
meremukkan tulang-tulangnya saat berada dalam pelukan dan
telikung kedua tangannya yang sekokoh baja. Gulat Mongolia
memang mengerikan. Fa Mulan mencecar dengan tusukan-tusukan telapak tangannya.
Sambil melompat-lompat dan sesekali bersalto menghindari
kaitan kaki Yao, dihujaninya tubuh kekar lawannya itu dengan
pukulan telapak. Beberapa menerpa dada dan pundak. Tetapi
tubuh besar itu tak bergeming. Kokoh seperti tembok. Yao tetap
berdiri memaku pada tanah. Hanya sesekali menggebah
pukulan-pukulan telapak Fa Mulan dengan kibasan-kibasan
cakarnya. Suasana di barak Kamp Utara mulai meriuh. Para prajurit keluar
dari tenda masing-masing. Keheningan malam yang dipecahkan
oleh suara pertarungan menyita perhatian mereka.
Shang Weng menyimak suara gaduh di luar. Ia terbangun dari
amben tenda. Berjalan dengan langkah rangkak - tidak dapat
sepenuhnya bangun karena lukanya yang belum purna sembuh.
Disibaknya daun tenda dari dalam. Di balik api unggun yang
116 meranggas, dilihatnya sepasang prajurit yang berkelahi.
Perseteruan masih berlangsung sengit. Api unggun yang terletak
tidak jauh dari arena pertarungan tampak melelatu,
memercikkan bunga-bunga api akibat embusan angin hasil
perkelahian. Yao masih berusaha menangkap tubuh mungil lawannya. Satu
pelukannya yang secepat lesatan anak panah meleset. Fa
Mulan merunduk, dan berdiri dengan kedua belah telapak
tangannya di tanah sebagai penyangga tubuh kala kakinya
mengentak, menendang kepala Yao yang sekeras batu di atas.
Yao terundur tiga tindak dengan langkah sempoyongan. Tetapi
kakinya masih terlalu kuat untuk dibuat terkulai. Ia masih berdiri
dengan sikap kuda-kuda setelah pusingnya hilang.
Pemuda kekar bercambang itu semakin kalap.
Ia berteriak menghimpun tenaga. Ditubruknya tubuh Fa Mulan
yang baru saja mendaratkan sepasang kakinya yang
menendang tadi. Fa Mulan nyaris terjatuh ke belakang, tetapi
satu kakinya menumpu seperti tongkat pada tanah bersalju,
kemudian mendorong sekuat tenaga tubuh kekar yang
menelikungnya dari depan itu dengan dengan bahu kanan dan
kiri bergantian. Taichi Chuan yang dipergunakan Fa Mulan mampu mendorong
tubuh besar itu sehingga terlepas, lalu satu lesatan tendangan
117 putarnya yang mengarah ke dahi Yao pun telak mengena. Yao
tersepak tumit Fa Mulan dari jurus Kibasan Ekor Hong - salah
satu gerakan dari kungfu ciptaannya, Tinju Hong Terbang. Ia
pun terempas dan jatuh ke tanah dengan pandangan melamur.
Yao berusaha bangkit. Tetapi kepalanya memening. Disekanya bibirnya yang berdarah.
Fa Mulan menghampirinya. Menyudahi pertarungan dengan
melontarkan kalimat-kalimat bijak.
"Yao, saya tidak bermaksud bertarung denganmu. Saya tidak
bermaksud melukaimu. Kamu bukan musuh saya. Kamu adalah
sahabat saya. Tapi, saya terpaksa melakukan semua itu tadi
karena tidak ingin dianggap lemah. Saya ingin kamu sadar
bahwa pertempuran itu tidak hanya melawan musuh jasadi.
Tidak hanya dengan pedang dan tombak. Tapi pertempuran itu
juga dilakukan untuk melawan angkara murka yang berasal dari
dalam tubuh kita sendiri. Emosi dan amarah yang berasal dari
dalam hati dan pikiran kita itu juga merupakan musuh yang
harus dilawan dalam sebuah pertempuran!"
Yao meringis kesakitan. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya seolah-olah hendak
mencari keseimbangan, menumpu kalibrasi pandangannya yang
mengganda akibat tendangan sekeras godam Fa Mulan
barusan. 118 "Yao, andai saja saya ingin membunuhmu, sedari tadi pedang
Mushu ini sudah menancap di dadamu!" Fa Mulan mengeluselus gagang pedang Mushu-nya seperti kebiasaannya. "Tapi
tidak saya lakukan karena kamu sebenarnya tengah bertempur
dengan amarahmu sendiri. Bukan dengan saya. Amarahmu itu
merucahmu, Yao. Kalau tidak lekas kamu singkirkan dalam
sebuah pertempuran batin, maka musuh dalam hati dan
pikiranmu itu akan membunuhmu!"
Yao terduduk memeluk lutut di tanah.
Ia diam menyimak. Menundukkan kepala dengan hati
berkecamuk malu. Ia memang harus memboko rasionalitas
dalam benaknya yang hilang tercuri oleh musuh muasal diri. Dan
ia harus bertempur dengan musuh yang berasal dari dalam
dirinya sendiri itu. Membelasahnya sehingga kabur dari batinnya.
"Cepat ke tenda tabib, Yao. Basuh lukamu dengan obat.
Beristirahatlah setelah diobati. Besok fajar kita pasti bertempur
lagi dengan musuh yang sudah menapaki Tung Shao. Lupakan
kejadian barusan. Anggap saja kita sedang berlatih kungfu!"
Fa Mulan melangkah ke arah tenda Shang Weng untuk
mengontrol keadaan atasannya itu. Lima tindak melangkah ia
menoleh ke belakang. Yao masih terduduk memeluk lutut. Lelaki
kekar yang telah ditundukkannya tadi mengangkat kepala.
Mendongak menatap hampa pada langit tak berbintang.
119 Yao menghela napas panjang.
Samar dilihatnya punggung gadis yang telah mengalahkannya
tadi menirus, lalu menghilang di balik daun tenda setelah
mengalihkan pandangan dari layar lebar langit.
Ia menggigit bibir. Gadis itu memang tangguh. Ia seperti perempuan jelmaan para
dewa, dirida segala purna yang tidak diradi pada sembarang
orang. Kekalahannya ini bukan birang. Bukan sesuatu yang
pantas disesali. Gadis itu telah menyadarkannya.
Musuhnya memang bukan hanya pasukan pemberontak Han.
Bukan hanya Shan-Yu. Bukan hanya sebentuk musuh-musuh
jasadi. Tetapi juga jahiliah yang bermuasal dari dalam dirinya
sendiri. Diam-diam ia bersyukur memiliki sahabat sekaligus pemimpin
seperti Fa Mulan. Gadis itu memang prajurit jelmaan Dewata, prajurit garda langit!
Bab 10 Tataplah aku patriot dalam binar gentar mataku
dan diam kemu bibirku 120 Ajari aku menari pada padang lalang sekalipun
- Fa Mulan Nyanyian Padang Maharana *** Fa Mulan melangkah hati-hati, masuk melewati beberapa sangu
tempur di dalam tenda Shang Weng. Penerangan di dalam
tenda membias temaram. Pelita di atas meja sudah meredup,
nyaris kehabisan bahan bakar minyak samin. Merupakan
rutinitas hariannya setiap petang untuk mengisi dan menambah
bahan bakar penerangan di dalam tenda Shang Weng tersebut.
Kondisi pemuda itu sudah lebih membaik setelah dirawat khusus
oleh Tabib Ma Qhing. Luka pada kulit luar di alur iga ketiga dada
kirinya sudah sedikit menutup meski belum mengering benar.
Fa Mulan berhenti di meja kayu tenda. Duduk di salah satu
bangku. Menuang minyak samin dari botol tembikar bekas arak
kampung ke wadah perak berbentuk teratai pelita. Sejenak
ditatapnya wajah tampan Shang Weng yang sudah setengah
terjaga setelah selesai menuang.
"Mulan...." Fa Mulan berlari setengah tergopoh ke samping amben
atasannya itu. Dipapahnya punggung lelaki berbadan tegap itu
yang hendak berdiri dan berjalan ke arah meja.
121 "Kapten Shang...."
"Saya sudah tidak apa-apa."
"Anda perlu banyak beristirahat. Jangan banyak bergerak dulu."
Shang Weng bersikeras melangkah. Ia terhuyung. Fa Mulan
menyangga tubuh pemuda itu dengan bahunya. Wajah mereka
nyaris bersentuhan. Fa Mulan memalingkan wajahnya dengan
rupa jengah. Shang Weng mengurai senyum simpul.
"Kenapa Anda tersenyum?!" tanya Fa Mulan setelah
mendudukkan tubuh Shang Weng di salah satu bangku kayu.
"Tidak apa-apa," elak Shang Weng, menggeser sedikit posisi
pelita minyak samin di atas meja. "Hanya...."
"Hanya apa?" cecar Fa Mulan, masih menyembunyikan
wajahnya yang kemerah-merahan.
"Hanya saya baru menyadari kalau ternyata Fa Mulan itu
sebetulnya cantik!" Fa Mulan nyaris terjatuh dari bangkunya. Sanjungan mendadak
dari Shang Weng melambungkan hatinya. Ia serasa tak berpijak
di tanah. Inilah pujian terindah dalam hidupnya selain pujian
yang selalu didengungkan oleh ayahnya.
"Sa-saya...." "Saya berkata apa adanya, Mulan."
"Ta-tapi...." "Kenapa? Tidak mau mengakui bahwa kamu sebetulnya cantik
122 seperti bunga yang-liu?"
Fa Mulan menahan senyumnya.
Pipinya semakin memerah seperti buah persik yang meranum.
Baru kali ini pulalah ia merasa menjadi perempuan. Segenap
kegarangannya hilang ditelan litani. Pemuda itu memang telah
menyayapinya dengan sanjungan sehingga ia seolah terbang ke
negeri para dewa. Di mana keindahan yang tiada tara
dihamparkan di depan matanya. Maharana yang bakal
memporak-porandakan mereka besok mendadak lenyap
benaknya. Cinta telah menyaput keresahan hatinya.
"Luka Anda bagaimana, Kapten Shang?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan!"
"Tapi...." "Hei, dahimu berjelaga!"
Shang Weng sporadis mengeluarkan saputangan dari saku
seragamnya. Disekanya dahi dan kening Fa Mulan yang
ditempeli jelaga arang. Fa Mulan termangu. Sesaat serupa arca.
Mematung lama sampai pemuda yang diam-diam dicintainya itu
selesai menyeka. "Kamu berkelahi lagi, bukan?"
"Ti-tidak!" "Jangan bohong! Tadi saya mengintip dari balik daun tenda.
Pasti dengan Yao!" 123 "Kami sedang latihan kungfu."
"Kalau berdalih, coba cari alasan yang lebih tepat."
"Tapi...." Shang Weng kembali mengurai senyum. "Untung saya terluka,
jadi tidak punya tenaga untuk menyambuk punggung kalian
berdua sebagai hukuman."
Fa Mulan tersenyum, lalu menundukkan kepalanya. Merasa
bersalah telah membohongi pemimpin tertinggi di Kamp Utara
itu. Shang Weng bertanya perihal perkelahian gadis itu barusan.
"Persoalan apa lagi?!"
Fa Mulan menggigit bibirnya.
Seorang prajurit sejati memang pantang mengurai dusta.
Apapun persoalannya. Seberat apapun kasusnya. Toh pemuda
itu sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri perkelahiannya
dengan Yao tadi. Ia tidak dapat mengelak cecaran pertanyaan
Shang Weng itu dengan mengatakan tidak ada apa-apa. Pasti
bukan tanpa sebab kalau ia bertarung sengit dengan Yao
barusan. Dan akhirnya diputuskannya untuk lugas berterus
terang setelah menimbang-nimbang sejenak.
"Yao tidak dapat menahan amarahnya," jawab Fa Mulan tanpa
sedikit pun terdengar nada mendiskreditkan atau mengadu. "Dia


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nekat menyongsong Jenderal Shan-Yu di perbatasan."
124 "Yao keras kepala. Dari dulu...."
"Saya menegurnya. Tapi dia tidak terima!"
"Anak itu mesti diganjar pelajaran!"
"Makanya, kami berkelahi."
"Saya tidak dapat menyalahkan kamu kalau begitu."
"Terima kasih, Kapten Shang."
"Lalu, bagaimana nasib prajurit-prajurit lainnya?"
Fa Mulan menghela napas sampai dadanya dipenuhi oksigen.
"Nah, inilah yang membuat saya kalap tadi!"
"Kenapa?!" "Nyaris seratus prajurit pilihan yang menyertainya gugur sia-sia
di perbatasan!" "Kurang ajar Si Yao itu!"
Shang Weng menggabruk meja.
Fa Mulan terlonjak. Sama sekali tidak menyangka atasannya itu
akan mengguntur gusar. Ia sedikit menyesal telah menceritakan
kejadian yang sesungguhnya di saat pihak Yuan sudah di
ambang kehancuran. Tetapi ia tidak bisa mengarang kisah di
hadapan sang pemimpin. Ia tidak bisa merangkai utopia
sehingga tercipta ketenangan di benaknya yang babur.
"Maaf, Kapten Shang!" Fa Mulan mengatupkan tangannya
menghormat. "Ini insiden. Yao sudah menyesali perbuatannya.
Sebenarnya bukan maksud dia untuk bertindak gegabah. Hanya
125 saja dia menganggap saya lamban mengeksekusi pasukan
pemberontak Han beberapa bulan lalu saat terdesak mundur di
gigir Sungai Onon." "Tapi...." "Mohon Kapten Shang jangan menghukumnya!" Fa Mulan masih
mengatupkan tangan di muka wajahnya. "Dia sudah sangat
terpukul dengan kejadian di perbatasan itu. Semua yang dia
lakukan itu demi kebaikan Kekaisaran Yuan juga. Dia bernafsu
membunuh Jenderal Shan-Yu. Cuma sayang dia tidak
memikirkan akibat yang ditimbulkannya, yang memakan banyak
korban di pihak kita."
Shang Weng mengatupkan gerahamnya.
Amarahnya mengubun. Dipejamkannya mata sesaat untuk
menetralisir darah yang berdesir di sekujur nadinya. Fa Mulan
menggigit bibir. Ia khawatir dan menggamangkan Yao yang
mungkin akan mendapat hukuman pancung!
Ia tahu watak keras Shang Weng.
Pemuda itu seperti tidak pernah mengenal bahasa kompromi. Ia
menjunjung sebuah prinsip yang sampai mati pun akan terbawa
dalam kubur. Bahwa harga diri melebihi segalanya!
Sekian tahun ia mengabdi pada Kekaisaran Yuan, sekian tahun
pula ia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan
para leluhurnya, para pewarga marga Shang yang sudah
126 meninggal namun tetap hidup dengan gaung moralitas dan
kebajikan sejatinya. Pemuda itu adalah pemburu ektoterm.
Ia sangat membenci kezaliman. Tidak ada tempat di hatinya
untuk para rudapaksa, yang korup dan tiran seperti Shan-Yu.
Yura harus ditegakkan demi keadilan zamin. Supaya bijana yang
telah dipijaknya sejak kali pertama menghirup lafaz kehidupan
terbebas dari segala angkara. Salah satu bentuk bakti moral
untuk para leluhurnya! "Setelah pertempuran ini, Yao harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang tidak berotak itu!" ancam Shang Weng
gusar. "Pembangkangannya itu harus mendapat ganjaran
hukuman yang seberat-beratnya!"
Fa Mulan langsung menjatuhkan dirinya ke tanah.
Ia berlutut di hadapan Shang Weng. Sepasang tangannya
mengepal di muka. Memohon dengan hormat di bawah kaki
pemuda yang masih mengatupkan gerahamnya itu. Agar
mengurungkan niatnya menghukum Yao yang sudah melakukan
pelanggaran berat dalam kemiliteran.
"Saya yang salah, Kapten Shang!" serunya dengan suara
memarau. "Saya yang tidak becus mengawasinya sehingga
bertindak di luar kendali. Seharusnya saya yang bertanggung
jawab atas kejadian miris di perbatasan itu! Kalau Anda hendak
127 menghukum Yao, maka hukumlah saya terlebih dahulu.
Dipancung pun saya rela, Kapten Shang!"
Shang Weng mengibaskan tangannya. Sikapnya sedikit melunak
termakan iba. Diam-diam dikaguminya Fa Mulan yang memiliki
solidaritas setinggi langit. Ia memang layak menjadi pemimpin
para prajurit. "Bangunlah," perintahnya. "Yah, sudahlah...."
Fa Mulan sontak berdiri dengan wajah sumringah. "Jadi, Kapten
Shang sudah memaafkan Yao, bukan?!"
Pemuda itu diam. Tidak mengangguk, juga tidak menggeleng.
Namun suaranya tidak mengguntur lagi ketika ia menjawabi
pertanyaan antusias Fa Mulan yang masih menggaung euforis
tadi. "Siapa yang bilang begitu?! Apa kata prajurit-prajurit lainnya
nanti? Di mana letak keadilan itu kalau saya membebaskan Yao
tanpa syarat?" Wajah Fa Mulan mengerut. "Jadi?!"
"Yao tetap akan dijatuhi sanksi administratif. Mungkin dia dipecat
dari dinas militer, atau pangkatnya diturunkan setingkat."
Urat syaraf Fa Mulan mengendur. Rengsanya menguap.
Badannya menegak. Respirasinya normal kembali. Ia lega.
Sangat lega. Yang pasti, Yao tidak akan dipancung! Ia duduk
kembali ke bangkunya. Menatap sepasang mata elegan di
128 hadapannya dengan sakinah.
"Kamu agak kurusan," ujar Shang Weng lembut, menggeser
amarahnya dengan topik lain.
"Kapten Shang...."
"Mulan, kamu sudah banyak menderita!"
"Saya...." "Tidak sepantasnya gadis seperti kamu menempuh bahaya,
menyabung nyawa untuk mempertahankan negara."
"Urusan mempertahankan negara merupakan kewajiban setiap
orang, Kapten Shang. Tidak dibeda-bedakan oleh jenis
kelaminnya." "Tapi...." "Saya tidak merasa istimewa karena dalih satu-satunya
perempuan yang menjadi prajurit Yuan, Kapten Shang!
Sekarang, pada saat negara sedang di ujung tanduk, siapa pun
dapat mengaplikasikan diri bela negara. Tidak mesti hanya di
kemiliteran. Gadis-gadis lain yang menyiapkan segala keperluan
logistik misalnya, juga otomatis telah ikut bersumbangsih
mempertahankan negara. Para perempuan yang membantu
suaminya di sawah di daerah Yunan pun turut berjasa secara
tidak langsung. Jadi, jangan bedakan saya dengan para prajurit
lainnya." "Makanya saya simpati sama kamu, Mulan. Padahal, gadis129
gadis sebayamu pasti sudah disunting orang. Melahirkan anak
bagi suami mereka. Hidup damai di bawah naungan rumah
besar. Bukannya tenda reyot di barak militer bikin sengsara ini."
"Kalau tidak salah sudah seribu kali Anda mengatakan hal yang
sama, Kapten Shang."
"Kenyataannya...."
"Kenyataannya saya tidak setegar sangkaan Anda, Kapten
Shang!" Shang Weng terbahak. "Tentu. Soalnya kalau tidak, pasti pipi
kamu tidak akan terbakar seperti tadi saat saya mengatakan
kamu cantik!" "Anda...." "Kamu tetap perempuan."
"Maaf, Kapten Shang. Saya tidak suka diolok-olok begitu!" Fa
Mulan mendengus, melipat tangannya di dada pura-pura sewot.
"Saya tidak mengolok-olokmu. Tapi, memujimu!"
"Apa bedanya?!"
Shang Weng terbahak sampai terbatuk. Dielus-elusnya dadanya
yang menyeri. Fa Mulan prihatin. Mengangkat tubuhnya dari
bangku. Hendak menyentuh bahu pemuda itu tanpa sadar.
"Saya kualat!" aku Shang Weng setelah meredakan tawanya.
"Kualat kenapa?" Fa Mulan mengernyitkan dahinya.
Mengempaskan kembali pinggulnya di bangku.
130 "Dewata di langit marah karena gadisnya dipermainkan."
"Kapten Shang!"
Pemuda berwajah aristokrat itu kembali mengurai tawa. Fa
Mulan menyambut tawa atasannya itu dengan memberengutkan
bibir. Sejak kehadiran dirinya diterima seutuhnya sebagai
seorang prajurit - bukannya gadis yang menyamarkan identitas
dirinya, Shang Weng tampak lebih akrab dengannya. Dulu,
selain dengan Yao, Fa Mulan paling sering bertengkar dengan
Shang Weng. Bahkan mereka sering berduel di luar barak
setelah melepas simbol-simbol Yuan. Bertarung atas nama
pribadi. Lepas dari strata jabatan, antara atasan dan bawahan.
Dan hasilnya selalu berimbang!
Berimbang, karena seorang Fa Mulan tidak pernah
menggunakan kekerasan untuk menyadarkan sahabatnya yang
dianggap infair. Sekelumit pertarungannya dengan Yao saat
masih berstatus prajurit wamil dulu masih mengiang di benak.
"Saya tidak memiliki alasan untuk menaklukkan Yao di depan
banyak orang, Bao Ling. Dia bukan musuh Yuan."
"Saya tahu kamu mengalah, Mulan. Tapi kalau terus-menerus
mengalah, maka anak itu akan semakin besar kepala. Padahal,
saya tahu kalau kualitas wushu-mu jauh di atas Yao."
"Apa lantas dengan begitu saya dapat mempermalukan dia di
muka umum?" 131 "Bukan begitu...."
"Sudahlah, Bao Ling. Sejahat bagaimanapun Yao, toh dia tetap
adalah sahabat kita."
"Saya tahu. Tapi, kalau tidak kamu kasih pelajaran dengan
menundukkannya sekali-dua, maka dia tidak akan berhenti
dengan ulahnya yang suka 'menjajah' orang kecil."
"Selama perbuatannya belum keterlaluan, saya tidak akan
bertindak apa-apa." "Tapi, dia akan semakin menjadi-jadi!"
"Dibunuh pun percuma. Menyadarkan Yao bukan dengan
menaklukkan fisiknya, tapi yang terutama adalah hati dan
pikirannya." "Saya tidak yakin anak itu akan menjadi baik."
"Seseorang dapat berubah. Beri dia kesempatan untuk sadar."
"Dia akan sadar kalau sudah ditundukkan."
"Dia tidak akan pernah sadar dengan semua kesalahannya jika
dikasari dan disakiti. Boleh jadi malah Yao akan menyimpan
dendam." "Tapi kalau tidak...."
"Dendam dan benci tidak akan pernah berhenti bila dibalas
dengan dendam dan benci. Namun sebaliknya, dendam dan
benci dapat berakhir bila dibalas dengan cinta dan kasih."
"Anak itu tidak pernah mengenal yang namanya cinta dan kasih.
132 Sikapnya bukan prajurit, tapi barbar."
"Untuk itulah Yao tidak saya kasari, Bao Ling. Bukannya saya
mengalah, tapi saya hanya ingin menyadarkannya dengan
pekerti. Menundukkannya dalam perkelahian bukanlah cara
yang tepat dan efektif untuk menyadarkannya. Hal itu malah
akan menambah runyam masalah. Saya masih berprinsip
bahwa, lidah seorang pebijak lebih tajam ketimbang pedang dan
tombak manapun." "Jadi, kamu masih berusaha membujuknya supaya menjadi
baik?" "Itu kewajiban kita sebagai teman."
"Tapi anak itu tidak pernah menganggap kita sebagai teman."
"Untuk itulah menjadi tugas kita menyadarkannya."
"Menyadarkan anak itu sama juga berhadapan dengan batu."
"Sekeras apa pun, batu juga dapat aus dan hancur bila digerus
oleh air yang bersifat lembut."
"Kamu terlalu membelanya, Mulan."
"Demi persaudaraan, dengan mengorbankan jiwa pun saya siap
untuk itu." Apakah patriotisme itu selaksana partitur yang telah tertuangi
nada-nada miris, dan dimainkan oleh sitar kematian dedewi atas
maharana ini?! Lantas di manakah letak irama keadilan yang
senantiasa menyejukkan jiwa-jiwa nan kerontang?!
133 Itulah yang kerap menghantuinya.
"Jangan marah," sergah Shang Weng separo tertawa,
menggugah lintas kenangan silam gadis itu semasa menjadi
prajurit wamil dulu. "Fa Mulan memang jelmaan para dewa di
langit!" "Semoga Dewata mau mengampuni pemimpin Kamp Utara,
Kapten Shang Weng," Fa Mulan mengatupkan telapak
tangannya cepat, memohon seperti sedang berdoa. Matanya
memejam dengan mulut kemu. "Bukan maksud dia...."
"Mulan...." "Kapten Shang Weng!" desis Fa Mulan perlahan, seperti
berbisik. "Anda sudah keterlaluan!"
"Kenapa?" "Kalau Dewata mendengar apa yang telah Kapten Shang
ucapkan tadi, bisa kualat kita! Besok dalam pertempuran kita
akan mendapat musibah! Sebuah bencana akan ditimpakan
Dewata kepada kita karena murka!"
Shang Weng menahan tawanya. Ia terkikik. Fa Mulan
melototinya sambil menempelkan jari telunjuk tangan kanannya
di bibir. "Mohon Dewata mengampuni," Fa Mulan kembali berkomatkamit dengan mata memejam serupa maharesi. "Besok kami
akan bertempur. Tolong Dewata lindungi dan berkati kami
134 semua." "Maaf," sahut Shang Weng setelah melihat kelopak mata Fa
Mulan membuka dan selesai dengan upacara ritualnya.
"Untuk apa?!" "Lupa kalau besok kita bertempur dengan pasukan pemberontak
Han." "Makanya...." "Makanya saya tidak ingin mengolok-olokmu lagi. Nanti Dewata
tidak memberkati kita."
Shang Weng pura-pura serius. Padahal tawanya sudah hampir


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeruak. Tetapi masih tertahan di tenggorokannya. Sama
sekali tidak menyangka Fa Mulan yang demikian tangguh dapat
sereligius itu. Sangat menyanjung fenomena tentang Sang
Pencipta! Ia kelihatan jadi lain. Bukannya Fa Mulan yang gagah
dengan pedang Mushu-nya. Bukannya Fa Mulan yang berjiwa
pemimpin. Ia seperti kanak-kanak kini.
Fa Mulan terkesiap. Nyaris kembali jatuh dari duduknya di bangku. Kali ini ia tidak
tengah berada di hamparan nirwana, tetapi tengah menyaksikan
bayangan hamparan salju yang dilumuri dengan darah. Ia
memekik tanpa sadar. Besok adalah hari maharana!
"Kapten Shang, besok pasukan pemberontak Han pasti sudah
sampai di sini! Saya khawatir dengan kondisi Anda yang belum
135 pulih. Sekarang saya akan minta Bao Ling mengantar Anda
mengungsi ke Ibukota Da-du! Mumpung masih ada waktu untuk
kabur, maka malam ini juga Kapten Shang harus keluar dari
zona tempur ini!" Fa Mulan bangkit dari bangkunya, hendak
melangkah keluar tenda. Menyiapkan segala keperluan dan
sekedar bekal dalam perjalanan kabur Sang Komandan.
Namun langkahnya terhenti. Shang Weng menarik tangannya.
"Mulan, kamu pikir saya ini pengecut apa?!" sembur Shang
Weng dengan wajah cua. "Prajurit macam apa saya ini kalau
melarikan diri begitu?!"
"Tapi, Anda sedang terluka!" balas Fa Mulan, masih berusaha
melangkahkan kakinya. "Kalau Anda tetap bersikeras di sini, itu
sama juga Anda memasang tubuh untuk dibantai percuma!"
"Tidak, Mulan!" Shang Weng berdiri, memegangi bahu Fa
Mulan. "Saya tetap di sini! Sebagai pemimpin Kamp Utara,
meskipun kepala saya terpenggal besok, saya akan tetap di sini
menyertai kalian!" "Saya sudah menggantikan posisi Anda, Kapten Shang!" teriak
Fa Mulan bersikeras mengungsikan Shang Weng ke Ibukota Dadu. "Saya sudah memiliki strategi untuk menghalau mereka.
Anda jangan khawatir. Keselamatan Anda lebih penting untuk
moralitas prajurit-prajurit yang akan bertempur di kemudian hari."
"Tidak!" tolak Shang Weng emosional. "Saya tetap di sini!"
136 "Kenapa Anda bersikeras kepala batu begitu, Kapten Shang?!"
Fa Mulan panik, tidak dapat mengendalikan emosinya.
"Saya tidak mau dianggap pengecut!"
"Tidak ada yang menganggap Kapten Shang begitu!"
"Tapi...." "Kapten Shang tetap seorang satria meskipun tidak harus
menumpahkan darah di zona tempur ini!"
"Kalau saya kabur ke Ibukota Da-du, maka sama juga saya telah
mati berkalang malu!"
"Kapten Shang!" Fa Mulan menjerit. "Semua ini demi kebaikan
Kapten Shang! Semua ini demi kebaikan Kekaisaran Yuan! Saya
tidak ingin prajurit-prajurit Yuan tanpa pemimpin! Kita tidak boleh
berharap terlalu banyak pada atase militer Yuan, para jenderal
yang egosentris di pusat itu!"
"Kamu jangan mendesak saya, Mulan!" Shang Weng bersikukuh
untuk tetap tinggal di zona tempur. "Ini perintah atasan!"
"Saya tidak peduli Anda siapa, Kapten Shang! Saya tidak peduli
sekalipun Anda Kaisar!" Fa Mulan masih menentang tanpa
digentari strata jabatan. "Kalau demi kebaikan Kapten Shang
tetap juga menolak, maka saya tidak akan segan-segan lagi,
meskipun berlaku kasar terhadap Kapten Shang!"
"Ka-kamu...." "Coba berpikir rasional, Kapten Shang!" Fa Mulan menatap
137 nanar sepasang mata bagus di hadapannya dengan benak
merompa. Inkarserasi kebatuan sikap Shang Weng seperti
mengurungnya dalam satu kalpa inkarnasi yang melelahkan.
"Kalau kita berdua terbantai di sini, siapa lagi yang dapat
memimpin pasukan di Kamp Utara?! Makanya, saya harap
Kapten Shang dapat bijak mengenyahkan sepotong kalimat
yang bernama satria itu, jika pada kenyataannya hanya menjadi
korban penggal di zona tempur ini!"
"Saya masih punya harga diri!"
"Kalau harga diri itu tidak dapat membawa manfaat apa-apa,
apalah artinya harga diri Anda itu, Kapten Shang?!"
"Sa-saya...." "Anggap saja saya sedang memohon, Kapten Shang!"
"Tapi...." "Kapten Shang, saya mohon!" Fa Mulan menjatuhkan dirinya.
Sepasang lututnya berdebum di tanah. Untuk kedua kalinya ia
berlutut memohon. Keadaan segenting ini memang harus
diantisipasi secepat mungkin. Harga diri, prisnsip, dan martabat
seperti menjadi pranata. Membentuk idealisme getas. Sehingga
menjadi beban rasionalitas.
Pemuda yang masih dibebati kain kasa itu terperangah. Tidak
menyangka Fa Mulan akan sengotot begitu. Ia merunduk.
Mengangkat tubuh mungil di hadapannya, dan menuntunnya
138 berdiri. Tetapi ia belum mau mengalah untuk mengungsi.
Harga diri lebih dari segalanya!
"Berdirilah, Mulan!" bentaknya. "Sampai seratus tahun pun kamu
berlutut meminta saya mengungsi, saya tidak akan pernah
melakukan hal sepengecut begitu!"
"Kapten Shang!"
"Saya tetap akan menjunjung nilai-nilai luhur para leluhur marga
Shang. Seorang satria tidak boleh menyembunyikan kepalanya
seperti kura-kura! Saya akan melawan mereka, meskipun kedua
tangan dan kaki saya dipotong!"
Mata Fa Mulan memerah. Diusapnya wajah. Entah harus berbuat apa untuk melunakkan
kekerasan hati Shang Weng. Gengsi dan harga dirinya lebih
tinggi dari Hwasan. Andai saja pemuda tidak terluka, maka ia
pasti akan berusaha menaklukkan kekerasan hati pemimpinnya
itu dalam sebuah pertarungan.
"Pergilah, Kapten Shang!" usir Fa Mulan dengan suara paruh
tangisnya. "Sebelum segalanya terlambat!"
"Saya tidak bisa berpangku tangan melihat kamu terbantai di
sini!" "Saya bisa jaga diri."
"Saya tidak akan dapat memaafkan diri saya sendiri seandainya
kamu terbantai di sini sementara saya tidak berbuat apa-apa di
139 Ibukota Da-du!" "Arwah saya tidak akan menuntut apa-apa dari Kapten Shang
seandainya tewas dalam pertempuran besok!"
"Saya tidak ingin kamu mati!"
"Semua orang pasti mati. Tinggal menunggu waktunya saja.
Kalau saya takut mati, sedari dulu saya tidak akan mendaftarkan
diri saya sebagai wamil. Sedari dulu saya pasti telah melarikan
diri dalam penggemblengan yang keras di Kamp Utara ini!"
"Ta-tapi, saya tidak ingin kamu mati!"
"Saya tidak takut mati! Ini risiko prajurit!"
"Saya ingin menyertai kamu bertempur besok! Saya akan
mengawal kamu!" "Apa?!" Fa Mulan meledakkan tawa kecilnya dalam nada sinis.
"Kapten Shang bermaksud mengawal saya?! Jangankan
membantu saya, mengangkat pedang pun mungkin Kapten
Shang tidak sanggup!"
"Ka-kamu...." "Saya hargai keputusan Kapten Shang yang tulus ingin
membantu saya. Tapi, saat ini tidak mungkin Kapten Shang
dapat mengaplikasikan suri teladan sebagai seorang pemimpin
yang baik! Situasinya tidak memungkinkan. Bagaimana Kapten
Shang dapat menolong orang lain kalau diri sendiri saja tidak
dapat ditolong?!" 140 "Kita bertempur bersama-sama."
"Saya tidak ingin dibebani oleh pesakit!" tegas Fa Mulan tanpa
rasa sungkan, berterus terang. "Maaf, Kapten Shang!"
Shang Weng melotot. "Kamu harusnya sudah dipenggal!"
"Seharusnya. Seharusnya, Kapten Shang. Namun sayang
negara dalam kondisi chaos," bela Fa Mulan enteng, "sehingga
saya dapat meluputkan diri dari hukuman penggal Anda itu,
Kapten Shang! Saya akan berasumsi di hadapan Kaisar Yuan
Ren Zhan bahwa, apa yang telah saya lakukan itu demi
kebaikan Dinasti Yuan. Kaisar Yuan Ren Zhan pasti dapat
menakar keadilan, mana yang benar dan mana yang salah.
Karena apa yang telah saya perbuat, yang bagi Kapten Shang
mungkin dianggap pembangkangan ini, semata-mata demi
keselamatan aset negara! Saya berusaha menyelamatkan aset
potensial Dinasti Yuan. Aset potensial itu adalah Anda, Kapten
Shang!" "Ta-tapi...." "Kapten Shang sudah berkontribusi banyak dalam pertempuran
besok kalau menuruti saran saya mengungsi ke Ibukota Da-du!"
"Sampai mati pun saya akan tetap di sini!"
Rambun masih menyelimuti barak Kamp Utara. Fa Mulan
menggigil. Maharana di depan mata. Tetapi lelaki berpendirian
setegar karang itu tak juga luluh. Malah menebarkan partikel
141 gamang serupa laksa jarum yang menusuk-nusuk hatinya.
Dewata seperti mengabaikan doa-doanya!
Sudah dua hari Bao Ling datang membawa kawat balasan dari
Jenderal Gau Ming. Namun bala bantuan yang termaktub akur
dalam manuskrip belum kunjung tiba. Penantiannya lebih
menyakitkan ketimbang musuh itu sendiri!
Fa Mulan melangkah dengan putus asa.
Moralitas yang hendak diaplikasikannya terbentur dinding
pondik. Pemuda itu adalah benteng keangkuhan. Ia tak sanggup
meruntuhkan jumawitas Shang Weng. Lelaki itu kokoh tak
tergoyahkan. "Fa Mulan...." Ada satu cekalan keras menariknya kembali, mendekat nyaris
berbenturan wajah. Shang Weng memeluknya. Tiba-tiba.
Jantungnya serasa tertombak! Napasnya seolah berhenti, putus
di kerongkongan seperti mati!
"Sa-saya tidak ingin kamu mati!" seru pemuda itu dengan nada
gugup. "Saya mencintai kamu!"
Ada sayap yang mengambangkannya dari tanah. Gerbang
svargaloka seperti terpentang kembali. Hamparan sejumlah
bunga telah terlihat indah di sana. Namun diurungkannya untuk
terbang. Sebab masih banyak tugas yang menantinya di tanah
para pendosa. Menanti kehadiran sepasang tangannya untuk
142 membilas sempelah darah merah yang menyelubung bumi.
"Kapten Shang...."
"Kalau kamu mati, saya juga ikut mati! Saya menyertaimu
sampai mati!" Fa Mulan menggeleng. Pelukan melepas. Pemuda itu terpana
seperti terpanah! "Maaf, Kapten Shang! Saya merasa tidak etis Anda membahas
masalah pribadi di saat keadaan negara sedang genting."
"Mungkin besok saya tidak punya kesempatan lagi!"
Fa Mulan mengusap wajah. Sejenak mematung sebelum melanjutkan langkahnya yang
tertunda. Ia sudah sampai di daun tenda ketika sebuah teriakan
memaku sepasang kakinya di tanah.
"Saya tidak ingin dua kali kehilangan orang yang saya cintai,
Mulan!" "Mak-maksud Kapten Shang...."
"Shiaw Ing telah dipampas oleh pembatil Han! Saya tidak ingin
kamu mengalami nasib yang sama dengan gadis itu!"
Fa Mulan terkesima. Sebuah pangkal kisah menyedot serupa besi sembrani. Seperti
lektur filsuf Konfusius yang asyik ditelusuri dengan kontemplasi.
Menarik untuk disimak lebih jauh.
"Shiaw Ing?!" 143 Seperti sudah mengetahui pertanyaannya, pemuda berbadan
tegap itu langsung menjawab.
"Dia kekasih saya. Sudah meninggal tujuh tahun lalu. Sebuah
kelompok perompak bernama Kelompok Topeng Hitam telah
menghancurkan segalanya. Kaki tangan Han Chen Tjing itu
bukan saja merampok harta benda keluarga saya di Tiangjin,
tapi juga menggagahi Shiaw Ing yang saat itu berkunjung ke
rumah. Sebuah kebiadaban telah merampas kesuciannya. Dia
menghabisi nyawanya sendiri karena tak kuasa menanggung
malu. Tragedi itu memicu amarah saya sehingga menjadi
predatoris. Saya masuk militer. Saya telah bersumpah untuk
menumpas Han Chen Tjing dan antek-anteknya! Saya ingin
menumpas kebatilan! Demi Shiaw Ing, juga demi tegaknya
ketenteraman di negeri Tionggoan ini!"
Fa Mulan melepas secuil senyum tanpa sadar. Entah karena
dorongan apa. Tetapi tidak ada sinisme yang membasa dari
pelepah bibirnya yang rekah. Mungkin gejala takjub. Kisah sepat
yang sama sekali jauh melakon dari benaknya.
Pemuda itu memang terluka!
Selama ini ia tidak pernah mengetahui kalau jalinan kisah masa
lalu Shang Weng mengalun getir. Setahunya, pemuda itu lahir
dari keluarga biasa-biasa saja di Tianjing - sebuah daerah
kabupaten di Tionggoan Selatan. Masuk militer jauh sebelum
144 keluarnya maklumat wamil Kaisar Yuan Ren Zhan. Reputasi
akademiknya luar biasa. Ia merupakan kader di kemiliteran.
Orang kepercayaan Jenderal Gau Ming. Sangat menonjol dalam
strategi perang, namun tidak memiliki ilmu silat istimewa kecuali
keterampilannya memainkan hampir semua alat dan senjata
organik perang serta keunggulan insting tempurnya. Ia sangat
memuja Sun Tzu. Bukan religius dan tidak agamis. Tetapi
senang membaca lektur Konfusius yang bijak.
Serangkaian pertempuran telah membentuk sosoknya menjadi
momok. Ia adalah gergasi perang. Predator bagi semua
mangsa. Tidak ada pengampunan bagi lawan yang sudah
takluk. Ia mencacah kebatilan. Melawan kejahatan dengan
kekerasan. Pedangnya senantiasa berlumuran darah. Namun ia
heroik. Selalu membela rakyat jelata yang tertindas. Sulung dari
sembilan bersaudara itu memang menyimpan sekelumit misteri.
Ia introver. Ia sangat kejam terhadap prajurit cuai. Digemblengnya wamil
sehingga sekeras baja. Mentalitas yang telah dibentuknya
sebelum berperang telah mendatangkan antipati semua wamil.
Ia serupa ektoterm. Tetapi ia sangat arif memutuskan suatu
masalah. Idealisme. Gigih dan tidak gampang menyerah.


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dendam, bahkan lebih jahat dari pembatil itu sendiri, Kapten
Shang!" 145 "Kamu tidak tahu bagaimana rasanya sakit kehilangan orang
yang dikasihi!" "Mungkin. Tapi dendam yang membara di hati Kapten Shang
akan menikam seumur hidup. Sakitnya jauh lebih sakit
ketimbang pada saat Kapten Shang menerima kenyataan tragis
itu!" "Saya tidak ingin terluka untuk kedua kalinya!"
Fa Mulan menggigit bibir.
Ia mengerti makna kalimat itu. Namun tak diterjemahkannya
karena mungkin besok mereka memang tidak memiliki waktu
lagi karena diberangsang maharana menjadi abu. Dan ia lebih
memilih menyimpannya sebagai cerita indah tak berbingkai.
Fa Mulan kembali melangkah tepat ketika sebuah teriakan
menggema di gendang telinganya.
"Asisten Fa!" Bao Ling menguak daun tenda. Wajahnya
sumringah. "Bala bantuan sudah datang!"
Di luar, terdengar riuh derap-derap langkah kaki kuda serupa
guruh. Fa Mulan berlari keluar tenda. Menyambut prajurit Divisi
Kavaleri Danuh yang menyemut di luar barak. Juga ribuan kuda
tanpa penunggang. Ia tersenyum. Mengelus-elus gagang
pedang Mushu-nya yang menyampir dengan gagah di
pinggangnya. Dewata mengabulkan doa-doanya!
146 Bab 11 Kularikan kegamanganku ke Gobi
bercerita pada basir pasir
dan sekawanan rajawali tentang perintah Si Raja Gurun
Ayah segala nomad yang diamanatkan kepadaku
Ia berkata taklukkan Tionggoan agar kita dapat bernaung
dalam sebuah negeri Istana
namun tak kugubris seruannya
sebab ambisi hanya majas fatamorgana
- Kao Ching Temujin Suatu Hari *** Gumpalan awan menghitam di bujur ekuator langit. Beberapa
walet beterbangan mengitari barak-barak di bawah kaki bukit
Tung Shao. Di antaranya menelusup di rimbunan daun bambu.
Sesekali melesat sangat rendah, mendekati beberapa pasukan
Han yang sedang mengaso. Ada meja hyang yang ditata menghadap sebelah timur. Dialasi
satin kuning telur dengan seperangkat alat pemuja, meja kayu
persegi itu tampak angker mengundang pewaka. Jenderal
147 separo baya, Shan-Yu, mengenakan jubah kelabu menjuntai
menyisir tanah. Mengibaskan pedang perak ularnya di atas
kepala, sejurus mengarahkannya ke depan, menusuk selembar
fu yang tergeletak di samping paidon bersetanggi ladan.
Diangkatnya fu itu ke atas api lilin yang sedang mengobar.
Bibirnya bergetar kemu. Serangkaian mantra mengalir
bersamaan dengan mengabunya jimat dari kertas tersebut.
Sebasung manekin jerami berdiri di depan paidon yang masih
menyembulkan tabir asap. Simbol-simbol aneksorsis, wujud
kasatmata dalam manekin yang ia buat dan diurapi dengan rohroh para arwah gentayangan.
Ritual bulanannya. Ia hidup dari autotrop hawa dingin tsar chi.
Ilmu Telapak Penghancur Tengkorak ciptaan Auw Yang Pei San
yang ia dalami mesti dialiri dengan tenaga negatif yang berasal
dari makhluk-makhluk halus dimensi lain. Setiap rembulan
memurna gelap, ia akan mengundang arwah-arwah untuk
bersekutu. Menghimpun kekuatan gelap demi mewujudkan
ambisinya. Agar suatu saat kelak tidak ada pendekar manapun
di Tionggoan mampu mengalahkannya.
Ia akan menjadi penguasa di negeri itu!
"Jenderal Shan-Yu...."
Ada sapaan yang melantun tepat ketika ia telah menyelesaikan
ritualnya. Ia melepas jubah kelabu bersulam emas membentuk
148 gambar anominitas di belakangnya. Disampirkannya pedang ular
peraknya di punggung setelah memasukkannya ke dalam
sarung ukir bambu kuning. Sebilah tali serupa pita merah
mengikat pada pundak sebagai pegangan pedang ular
peraknya. "Ada utusan dari Mongol yang ingin bertemu, Jenderal Shan,"
jawab salah seorang pasukan Han yang mengenakan lemena.
Jenderal bermata elang itu mengangguk, mengaba dengan
tangannya supaya orang itu menyingkir. Ia berjalan perlahan
menuju tenda induk. Tempat pertemuan dan rapat militer biasa
dilakukan. "Hormat saya, Kao Ching, utusan Pemimpin Agung Mongolia,
Genghis Khan!" sapa seorang pemuda bertubuh terbilang kecil
untuk orang-orang Mongol menyambut kehadirannya di tenda
induk. Tampak mengepalkan tangannya ke muka wajah.
Menghormat lebih dahulu. Shan-Yu mengangguk sebagai balasan. Tangannya mengaba,
menunjuk sebuah kursi guci tembikar yang mengelilingi meja
persegi porselen. Pemuda berkostum gembala dengan busur
yang menyampir di punggungnya itu duduk di salah satu bangku
berembos burung hong. "Senang berjumpa dengan Anda, Pendekar Kao," balas ShanYu berformalitas dengan wajah dingin. "Ada angin apa yang
149 membawa Anda kemari?"
Ia sudah mendengar nama mashyur Kao Ching. Seorang anak
gembala berayah Mongol dan beribu Han yang dipelihara oleh
kaum nomad Mongol. Jawara memanah itu dijuluki Si Pendekar
Danuh. Akurasitas bidikan anak panahnya tak tertandingi oleh
siapa pun. Mampu menjatuhkan dua burung dalam satu kali
bidikan. Selama beberapa tahun sepeninggal ayah kandungnya,
ia dipelihara oleh Genghis Khan. Tetapi kemudian berpisah
karena Kao Ching diambil kembali oleh ibu kandungnya, dan
hidup bersama di Provinsi Kiangsu, Tionggoan Utara. Di
Tionggoan, Kao Ching sangat populer karena kerap memenangi
sayembara memanah yang sering diadakan oleh puak
terpandang dan kalangan bangsawan di Istana. Namun
beberapa tahun kemudian ia menghilang dari Provinsi Kiangsu,
kembali tanpa ibunya ke Ulan Bator.
Kao Ching tersenyum. "Hanya ingin menyampaikan salam
Genghis Khan untuk Anda, Jenderal Shan."
Shan-Yu terbahak. "Temujin selalu begitu. Pantas dia disegani
banyak lawan." Kao Ching tersenyum mengikuti derai tawa Shan-Yu. Temujin
adalah nama kecil Genghis Khan, pemimpin kaum nomad
Mongol yang berusaha mencari identitas diri dengan
menaklukkan negara lain. Merebut wilayah kekuasaan negara
150 lain taklukannya supaya rakyat Mongol dapat menetap dan
bertempat tinggal. "Kalau boleh tahu, mungkin ada hal lain yang ingin
disampaikannya kepada saya di balik titipan salamnya?" ShanYu bertanya, hendak langsung ke pokok masalah. Ia sudah tahu
benar tabiat pemimpin nomad Mongol itu. Ia tidak ingin
membuang-buang waktu berbasa-basi. Fajar nanti pasukannya
akan memulai penyerangan besar-besaran ke puncak bukit
Tung Shao. Membantai prajurit-prajurit Yuan pimpinan mantan
prajurit wamil Fa Mulan dan atasannya, Kapten Shang Weng.
Pemuda jago danuh itu kembali mengatupkan kedua tangannya
ke muka wajah. "Maaf, Jenderal Shan. Pemimpin kami
menyampaikan kalau sudah beberapa bulan ini pasukan Han
pimpinan Anda yang berada di gigir Sungai Onon telah
meresahkan penduduk sekitar. Mereka kadang-kadang
merampok dan memperkosa warga di dusun perbatasan. Itulah
sebabnya saya diutus kemari untuk menyampaikan keresahan
rakyat Mongol kepada Anda."
Wajah Shan-Yu memerah. Sesaat. Tetapi ia kemudian terbahak
seolah tidak termakan singgungan. Kao Ching menganggukangguk seolah membiramai tawa lelaki beralis bulan sabit
tersebut. "Saya baru mendengar hal itu dari Anda, Pendekar Kao," sahut
151 Shan-Yu dingin. "Tentu saja saya akan memenggal kepala
prajurit saya itu bila memang bertindak arogan seperti yang
Anda katakan tadi!" "Genghis Khan akan sangat berterima kasih bila Anda turun
tangan menangani masalah itu," tutur Kao Ching santun.
"Tentu, tentu. Saya tidak ingin mengecewakan Temujin. Kedua
kubu kita seharusnya bersatu, karena sama-sama memiliki
tujuan menggulingkan Kekaisaran Yuan!"
Kao Ching mengangguk. Ia melenguh dalam hati. Tentu saja
kalimat dari Shan-Yu itu hanya perona manis. Sebab ribuan
tahun kaum nomad Mongol tidak pernah akur dengan suku Han.
Namun memang kali ini kedua kubu yang sering bertikai itu
memiliki tujuan yang sama. Merebut wilayah kekuasaan Kaisar
Yuan Ren Zhan yang sangat luas dan gembur!
"Sampaikan salam balik untuk Temujin. Tolong katakan supaya
beliau tidak usah khawatir," ujar Shan-Yu, masih berusaha
bersikap manis. "Saya akan mengawasi pasukan Han lebih
ketat!" "Terima kasih, Jenderal Shan," balas Kao Ching. "Pasti akan
saya sampaikan pesan Anda."
Shan-Yu mengangguk-angguk. Ekor matanya menatap sinis
pada pemuda di depannya. Ia mengatupkan rahang menahan
amarah. Wibawanya teremehkan oleh kaum nomad pimpinan
152 Genghis Khan. Huh, dipikirnya siapa dia?! makinya dalam hati.
Suku gembala temurun peternak kuda di gurun. Bisa apa dia
selain bergerombol memanjat Tembok Besar?!
Suasana dalam tenda induk yang diambangi kebisuan seperti
menyebarkan atmosfer permusuhan. Dua sosok itu mengarca.
Seolah bertempur di alam benak masing-masing. Kao Ching
mengedarkan mata, menyusuri benda-benda di bawah tenda
kempa kulit seukuran lima kali tenda biasa prajurit. Tatapannya
memusat pada satu titik. Di belakang sebuah meja kerja tampak
selembar lukisan monokrom tujuh ekor kuda dengan grafiti kanji
di bawahnya. Di lantai tanah, tampak selembar kulit kempa
macan tutul menengkurap dengan kepalanya yang masih utuh diawetkan.
Shan-Yu mengelus-elus pedang ular peraknya di hadapan Kao
Ching. Sebuah simbolitas penantangan. Selama menjadi
kakitangan Han Chen Tjing, ia pernah sekali terlibat bentrok
dengan beberapa barbarian Mongol. Terutama untuk daerah
bagian selatan dekat perbatasan Tembok Besar, kedua kubu itu
sering berpapasan. Kaum nomad Mongol memang sangat
membencinya. Sewaktu masih menjabat di militer Dinasti Yuan,
Shan-Yu banyak membinasakan barbarian Mongol yang
berusaha melewati Tembok Besar. Genghis Khan sangat
dendam kepadanya. 153 "Saya tidak mau berlama-lama mengganggu Jenderal Shan
lagi." Shan-Yu mengangguk membalas pamitan anak muda
peranakan Mongol itu, masih dengan wajah sedingin salju.
Seekor walet nyaris menabrak pucuk tenda ketika Kao Ching
bertabe pamit. Tidak banyak hal yang dapat ia lakukan untuk
meraba kekuatan pasukan Han yang terdiri dari kumpulan rakyat
jelata. Mirip dengan barbarian Mongol, pikirnya. Mereka
memang menggunakan kekuatan jelata. Tinggal mana yang
lebih cerdik dan memiliki strategi taktis untuk dapat merebut
negeri Tionggoan yang subur.
Bab 12 Ketika aku mendapat sebuah kemenangan
aku tidak mengulang taktik itu
namun merespons berbagai keadaan
dalam cara-cara yang tidak terbatas
Taktik-taktik militer mirip dengan air
seperti air membentuk alirannya
berdasarkan permukaan sebuah pasukan menang dengan menyesuaikan diri terhadap musuh yang dihadapinya
154 Dan sama seperti air yang inkonstansi
dalam perang pun tak pernah ada kondisi yang konstansi
- Sun Tzu Refleksi Seni Rana *** Aroma kemenangan memang sudah selenggang. Kurang lebih
seratus ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh membentuk pagar
betis, merangkai rantai manusia yang menutup Tung Shao dari
sebelah timur sampai barat. Di belakang rantai manusia, ribuan
kuda tanpa penunggang telah berbarikade serupa defile. Kurang
lebih sepuluh ribu prajurit Divisi Infanteri yang masih tersisa
memegang panji-panji dan umbul-umbul Dinasti Yuan bertiang
tombak. Mereka melangkah perlahan menuruni bukit, seolah
hendak menyongsong pasukan pemberontak Han di bawah
bukit. Fa Mulan telah mendelegasikan masing-masing Pati memegang
kendali atas seratus ribu kuda tanpa penunggang beserta
prajurit di garda depan. Bao Ling bertanggung jawab atas
barikade selatan. Chien Po pada barikade utara. Sementara Yao
dan ia sendiri memegang kendali perintah di barikade timur dan
barat. Dari kejauhan kesatuan barikade tersebut membentuk
asumsi kekuatan tetralogi yang sangat tangguh. Sebuah empat
155 mata rantai yang saling mengikat, dan mendukung antara satu
dengan lainnya. "Yao, Chien Po, Bao Ling!" Fa Mulan berteriak, memimpin di
garis depan. "Kerahkan semua armada untuk merangkak
perlahan! Semua prajurit Divisi Kavaleri Danuh dan Divisi
Infanteri merengsek maju, berteriak sekeras-kerasnya!"
Maka yang terjadi berikutnya adalah puncak Tung Shao
menyemut oleh prajurit Yuan. Menghitam seperti arak-arakan
gemawan yang siap menjelma menjadi badai hujan. Dari kaki
bukit, Shan-Yu terpana. Tubuhnya menggigil. Ia serasa tak
percaya. Teriakan-teriakan yang menggema sampai ke bawah
bukit bagai raungan halilintar. Ia serasa berhadapan dengan
avalans. Siap melumat dan menguburnya di dalam endapan


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salju yang akan membekukan tubuhnya. Napasnya seketika
tercekat. "Mundur! Mundur semuanya! Mundur kembali ke barak Utara!"
Tiga ratus ribu pasukan pemberontak Han mundur cepat dari
zona tempur. Shan-Yu menggeram dengan wajah memerah
menahan malu. Ia telah dikalahkan oleh prajurit wamil, Fa
Mulan. Digebahnya pasukannya kembali ke gigir Sungai Onon,
menyeberangi derasnya gelombang air. Dan pulang ke kamp
mereka setelah melintasi Danau Baikal di perbatasan Mongolia.
"Keparat! Bala bantuan Yuan lebih besar dari jumlah pasukan
156 kita!" gusar Shan-Yu pada asistennya, Ta Yun.
"Da-dari mana mereka dapat memperoleh tambahan prajurit
sedemikian cepatnya, Jenderal Shan?!"
Shan-Yu menggeleng di atas punggung kuda putihnya. "Tidak
tahu. Tapi, saya rasa Kaisar Yuan Ren Zhan telah menghimpun
rakyat di pesisir untuk menjadi wamil."
"Tapi, bukankah rakyat di pesisir telah bersimpati pada kita,
Jenderal Shan?" tanya Ta Yun yang mengenakan bandana dari
bahan mohair di atas kepalanya yang berambut lebat
sepinggang. "Tidak, tidak semuanya!" jawab Shan-Yu separo membentak.
"Kaisar Berengsek itu sudah menyuap orang-orang itu supaya
mau ikut dengan mereka!"
Daerah pesisir yang dimaksud adalah semenanjung Hainam.
Sebuah negeri kepulauan kecil dengan penduduk padat. Masih
independen. Orang-orang dari negeri putih baru saja
meninggalkan daerah itu karena dianggap tidak memiliki lahan
apa-apa yang dapat digarap kecuali ikan dan garam.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan, Jenderal Shan?!" tanya Ta
Yun, sang pendekar bertubuh karang berohkan senjata trisula.
Dadanya yang menggelembung telah menggambarkan kekuatan
fisiknya yang sekuat banteng.
"Untuk sementara kita kembali ke kamp dulu. Setelah itu, saya
157 akan berkonfirmasi dengan Pimpinan Han yang masih berada di
perbatasan Tembok Besar. Mungkin kita himpun kekuatan baru
lagi. Lalu kembali menggempur pihak Yuan."
"Tapi, apakah kita telah membuang-buang waktu, Jenderal
Shan?" "Maksudmu, kita tetap melawan prajurit Yuan yang berjumlah
kurang lebih satu juta personel itu?!"
"Bukan...." "Kalau saya meladeni mereka bertempur tadi, sama juga saya
bunuh diri!" "Ten-tentu...."
"Jadi selagi ada waktu untuk lolos, lebih baik kita kabur dulu.
Sampai suasana kondusif untuk melakukan penyerangan
kembali." "Ya-ya! Seharusnya memang begitu, Jenderal Shan!"
Ta Yun tergagap. Trivialitas berpikirnya mengubunkan amarah Shan-Yu. Segera
diakurinya dalih Shan-Yu untuk menarik diri dari zona tempur.
Aversinya itu memang demi keselamatan semua pasukan Han.
"Mungkin pasukan yang berasal dari Tung Shao ini akan
membantu pasukan Pemimpin Han di perbatasan Tembok
Besar. Mungkin kita akan mendobrak pertahanan musuh yang
sedikit melemah di sana. Beberapa ribu pasukan kita di sana
158 telah berhasil menaklukkan prajurit Yuan," ujar Shan-Yu menuai
harapan. "Apa boleh buat. Ternyata strategi kita gagal di Tung
Shao. Padahal, mulanya daerah itu telah diprakirakan akan
dapat dengan mudah kita rebut. Justru sebaliknya dengan
daerah di perbatasan Tembok Besar yang sama sekali tidak
menjadi target kemenangan, kecuali untuk membuyarkan
konsentrasi pakar strategi perang Yuan! Huh, saya tidak
menyangka Fa Mulan dapat mengkoordinir semua prajurit Yuan
secepat dan setangkas itu!"
Ta Yun mengepalkan tangannya di atas punggung kuda ketika
melewati daerah paya di gigir Sungai Onon.
"Keparat Si Anak Kampung Fa Mulan itu! Akan saya bunuh dia
kalau ketemu!" teriaknya tertahan menahan geram.
Shan-Yu mengangguk. "Padahal beberapa waktu lalu, saya
sudah nyaris membunuh pemimpin Kamp Utara, Shang Weng,
di dusun Nio. Untung dia dapat kabur. Tapi saya yakin dia
terluka parah. Bahkan mungkin tewas di atas bukit sana!"
"Jangan khawatir, Jenderal Shan," Ta Yun menghibur. "Saya
sudah menyusupkan beberapa orang jasus di Ibukota Da-du.
Mereka akan membunuh perwira-perwira Yuan bila tidak
terkawal nanti!" "Bagus!" "Bahkan beberapa di antaranya sudah menelusup ke dalam
159 lingkungan Istana Da-du, meskipun belum sampai ke Area
Terlarang Kaisar Yuan Ren Zhan karena ketatnya pengawalan."
"Tinggal menunggu waktu saja, kepala Kaisar Yuan Ren Zhan
akan saya serahkan kepada Han Chen Tjing!"
Shan-Yu terbahak. Mafelanya yang berwarna coklat tanah mengibar diembus angin
sungai. Ratusan ribu serdadu mengekor di belakangnya.
Beberapa ribu pasukan mengusung peralatan tempur di pundak
mereka. Sebagian lagi duduk di pedati dan muntit kuda yang
mengangkut logistik militer.
Keciprat air yang mengirama oleh sapuan ratusan ribu pasang
kaki di tepi sungai menimbulkan bunyi mayor. Burung-burung
gereja beterbangan dari dahan-dahan rerimbunan daun bambu.
Merasa terusik oleh sekelompok makhluk pengganggu. Mereka
ketakutan, menjauh ke arah bukit. Dan hinggap di belantara
pinus yang sudah tak berambun.
Pagi baru saja disaput oleh siang ketika mereka tiba di dermaga
Sungai Onon. Dermaga tersebut merupakan dermaga darurat
yang sengaja dibangun sewaktu penyerangan ke bukit Tung
Shao. Di sana masih menyandar ribuan perahu dan rakit bambu.
Dermaga itu dijaga oleh seribu orang serdadu Han, yang khusus
bertugas mengawasi keselamatan transportasi air sederhana itu.
Tidak ikut menyerang ke kaki bukit Tung Shao.
160 Shan-Yu turun dari punggung kudanya.
Langkahnya diikuti Ta Yun yang mengekor hendak mengaso.
Mereka duduk di rerimbun bambu, menyandarkan punggung
pada batang bambu sembari menunggu barkas khusus untuk
para perwira tinggi yang sedang disiapkan oleh beberapa
serdadu. Kali ini air sungai tidak terlalu menderas. Jadi mereka
dapat menjauh dari kejaran prajurit Yuan dengan mudah.
Sewaktu mereka melakukan penyerangan beberapa bulan lalu,
air sungai sedikit meluap karena avalans salju dari bukit Tung
Shao. Shan-Yu tidak mau menempuh risiko masuk bersembunyi
menelusup ke dusun-dusun. Cepat atau lambat mereka pasti
akan tertawan. Apalagi penduduk dusun-dusun sekitar juga
sudah mengantipati kehadiran pasukan Han, yang dianggap
telah mengganggu ketenteraman mereka. Bahkan beberapa
dusun telah mereka hancurkan, dijadikan markas militer dan
lumbung logistik. "Jenderal Shan, apa tidak ada cara lain untuk menghadapi
kekuatan besar mereka selain kolaborasi pasukan dari daerah
perbatasan Tembok Besar?" Ta Yun bertanya, lebih menyerupai
bahan pemecah kebisuan ketimbang pertanyaan strategi.
"Maksudmu...." "Maksud saya, apakah kita tidak dapat bekerja sama dengan
161 Temujin...." Shan-Yu sontak berdiri dari duduknya. Ditatapnya sepasang
mata sipit di hadapannya dengan tubuh membahang. Suaranya
menggelegar. "Saya tidak sudi bekerja sama dengan kaum
nomad!" Ta Yun terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Ada dalih yang
hendak diutarakannya. Tetapi urung terucap karena tergebah
amarah Shan-Yu yang sudah meledak-ledak. Tentu saja bukan
bekerja sama harafiah. Namun hanyalah bagian dari strategi
pinjam tangan. Artinya, kaum barbarian Mongol dibiarkan
bertempur di garis depan dengan prajurit Yuan sampai kedua
belah pihak melemah. Dan ketika itu mereka akan masuk
menyerang dari belakang memanfaatkan keadaan.
"Temujin terlalu angkuh!" damprat Shan-Yu. "Bagaimana
mungkin kita dapat bekerja sama dengan orang seperti itu!
Apalagi, kita memiliki kepentingan politik yang sama. Huh,
mustahil Si Mongol Tua ingin berbagi tanah Yuan yang gembur."
"Maafkan atas kelancangan saya tadi, Jenderal Shan!" Ta Yun
bangkit berdiri, mengatupkan sepasang tangannya cepat di
pangkal kalimat tabiknya. "Saya memang belum berpengalaman.
Mohon Anda memaklumi."
"Lebih baik kita pikirkan strategi lain ketimbang harus bekerja
sama dengan orang yang maneris begitu!"
162 Ta Yun mengangguk. Diakurinya dengan terpaksa kalimat ShanYu yang mangkas. Dihelanya napas. Sebaiknya ia tutup mulut
saja. Para perwira tinggi selalu merasa tinggi. Jarang mau
menerima masukan dan usul bawahannya. Sifat laten Shan-Yu
itu setali tiga uang dengan pemimpin tertingginya, Han Cheng
Tjing. Selain keras kepala, mereka juga sama-sama ambisius!
"Maaf, Jenderal Shan," sapa seorang serdadu yang
membungkuk dalam-dalam. "Barkas untuk Anda sudah siap.
Apakah kita dapat berangkat sekarang?"
Shan-Yu mengangguk. Bab 13 Angin mengajarku menari melambungkan aku setingkat
aku seperti walet di udara
Kepak-kepaknya mengirama menyatu dengan awan nan putih
Inilah kehalusan budi yang diajarkan alam padaku
- Fang Wong Refleksi Taichi Chuan *** 163 Keberhasilan Fa Mulan memukul mundur musuh disambut
gegap gempita oleh pihak Istana Da-du. Kaisar Yuan Ren Zhan
tidak pernah segembira kali ini. Berkali-kali ia memuji kecerdikan
strategi dan taktik kamuflase Fa Mulan di Tung Shao. Para atase
militer di markas besar militer pusat sama sekali tidak
menyangka Fa Mulan dapat menerapkan strategi jitu untuk
menggentarkan lawan tanpa terjadi pertumpahan darah. Mereka
sepakat untuk menaikkan pangkat Fa Mulan pasca
pemberontakan Han nanti. Sementara itu berita tentang mundurnya pasukan Han pimpinan
Jenderal Shan-Yu dari zona tempur Tung Shao menjatuhkan
moral pasukan Han lain, yang beberapa di antaranya sudah
melintasi Tembok Besar. Han Chen Tjing kecewa. Karena
daerah yang dianggapnya lemah dan hanya dijaga prajurit Divisi
Infanteri, justru dapat menaklukkan serdadunya yang
berkekuatan sangat besar.
Ia sekarang seperti mati kutu.
Di perbatasan Tembok Besar sendiri sudah tidak mudah mereka
lewati lagi. Kaisar Yuan Ren Zhan telah menambah armada
perangnya dengan satu divisi baru yang sangat tangguh, Divisi
Kavaleri Fo Liong. Prajurit-prajurit Yuan itu dibekali dengan Fo
Liong. Sebuah senjata pemusnah massal. Dapat
menghancurkan lawan satu peleton dari jarak jauh dengan sekali
164 tembakan. Keparat, makinya dalam hati.
Persekutuan dengan Setan Putih! Kaisar Yuan Ren Zhan
memang harus dipenggal. Kepalanya akan dipersembahkan
untuk para leluhur Han, sumpahnya.
Han Chen Tjing melompat seperti terbang.
Ditumpahkannya amarahnya dengan serangkaian jurusnya yang
memukul angin. Kibasan-kibasan Telapak Tangan Besi-nya
berdesing-desing. Membelah beberapa dahan-dahan pohon
cemara udang tanpa senjata, hanya dengan telapak tangannya
yang sekuat sangkur baja.
Mantan biksu itu berputar-putar sesaat seperti propeler,
menghamburkan pasir ke segala arah. Beberapa dari partikel
pasir itu melubangi dedaunan akasia di dalam halaman rumah.
Ia masih berputar, berkelebat seperti kepak-kepak elang, lalu
berhenti pada satu titik ketika tangannya yang kokoh seperti
beton itu menghantam satu batang pohon cemara udang.
Tenaga dalam Kingkong-nya membekas di pohon. Lalu selang
berikutnya batang pohon tersebut berderak, membelah dan
patah. Sepuluh tahun yang lalu ia dikeluarkan dari biara Shaolin setelah
bertarung dan melukai Fang Wong. Di biara Shaolin, Han Chen
Tjing sering melakukan keonaran. Ia juga indisipliner. Selain itu
165 ia diam-diam selalu belajar ilmu silat dari perguruan hitam. Biksu
Pha Tou mengusirnya dengan paksa setelah berduel di halaman
biara. Pertarungan tersebut berlangsung seimbang. Pada waktu itu
Biksu Pha Tou sama sekali tidak menyangka Han Chen Tjing
dapat menandinginya. Padahal ia sudah mengerahkan seluruh
kemampuan kungfunya. Bahkan kungfu yang belum diajarkan
kepada murid-murid baru. Dalam akhir pertarungan itu, Han Chen Tjing dapat ditaklukkan.
Tetapi Biksu Pha Thou terluka parah. Dan akhirnya meninggal
dunia setahun kemudian akibat akumulasi pukulan Telapak
Tangan Besi Han Chen Tjing, yang menghancurkan organ
dalam tubuh biksu tua wakil pemimpin biara itu.
Han Chen Tjing kabur dari biara Shaolin dengan menanggung
malu. Ia tidak rela. Dan berniat membalas dendam suatu hari.
Berbekal kesumat itulah ia semakin giat mempelajari beberapa
ilmu silat yang ada di Tionggoan. Ia ingin membalas
kekalahannya saat bertarung dengan Biksu Pha Tou.
Tiga tahun setelah kejadian miris itu, ia kembali ke Shaolin
hendak menantang Biksu Pha Tou. Namun alangkah kecewanya
Terkurung Di Perut Gunung 2 Trio Detektif 48 Bisnis Kotor Pedang Kayu Harum 19
^