Pencarian

Laki Laki Diatas Bukit 2

Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit Bagian 2


ditumpahkan? la tak tahu!
Kalau ia menyalahkan Kakek Wiku Salaka, berkenyataan yang ia dengar malah justeru ibunyalah yang
bersalah dalam ini. Bukankah ia tergila-gila dengan
ketampanan dan kesaktian Bogal Respati, sehingga ia
rela meninggalkan Wiku Salaka!
Itulah sebabnya mengapa ia pernah berteriak untuk
membenci semuanya. la tak sudi lagi untuk bertemu
muka dengan Kakek Wiku Salaka dan keluarganya
meskipun sesungguhnya mereka itu adalah darah dagingnya sendiri!
Namun ketika pertemuannya dengan Ki Selakriya
itu, segala kenangan buruk seperti bangkit kembali.
Usahanya yang telah berbulan-bulan untuk melupakannya dengan mengembara kesana-kemari bersama
sisa-sisa anak buahnya, ternyata tak berhasil kini.
"Persetan dengan semuanya!" gerundal si Tangan
Iblis sendirian. "Tak peduli siapa ayah ibuku! Aku tak
membutuhkan mereka lagi! Tangan Iblis mampu berdi-
ri sendiri di atas kedua kakinya. Aku membenci mereka, karena telah melibatkan diriku dalam kesengsaraan yang sedemikian pedihnya! Yang penting sekarang, aku harus segera kembali ke Pulau Mondoliko! Di
sanalah segala mimpi dan kenangan buruk itu dapat
dilupakan segera. Tak kalah pentingnya, aku kini berhasil memboyong Ki Selakriya, si pematung yang kelak
bakal menyelesaikan rencana besarku bersama sahabat Rikma Rembyak."
Tangan Iblis berhenti sejenak dari gerundalnya,
sambil meneguk mangkuk tuak ke dalam mulutnya,
sampai tercecer-cecer membasahi bajunya. Entah berapa mangkuk tuak yang telah mengisi perutnya. Semua itu untuk melewatkan waktu selama pelayaran ini
dan juga untuk melupakan kenangan buruk yang melengket di otaknya.
Beberapa saat kemudian, gerundalan dari mulut
Tangan Iblis makin pelan dan bertambah pelan, disusul kepala Tangan Iblis rebah ke atas meja saking
mengantuk dan kelelahan. Lalu terdengarlah bunyi
mendengkur berirama, seirama deburan ombak pada
dinding-dinding perahu yang meluncur terus tanpa
henti-hentinya, dari saat ke saat dan dari hari yang satu ke hari yang lain.
Pada suatu senja, setelah mereka berlayar lebih dari
tiga minggu, terdengarlah salah seorang pengawas berteriak dari atas tiang layar, membuat siapa saja yang
mendengarnya menjadi terkejut bercampur rasa takut.
"Hantu lauttt! Hantuuu!" demikian teriak si penjaga
tiang layar seperti orang ketakutan sambil menunjuknunjukkan jarinya ke arah utara.
Segenap awak perahu Tangan Iblis menjadi sangat
heran karena mata mereka belum menangkap benda
apapun, kecuali deburan ombak-ombak yang bergulung-gulung menggemuruh.
Ki Selakriya sendiri saat itu tengah membersihkan
geladak perahu. Tubuhnya kini telah bebas, tidak lagi
diikat pada tiang layar semenjak ia berkata bahwa dirinya bersedia membuat patung singa seperti yang dikehendaki oleh si Tangan Iblis. Namun, meski tubuhnya telah bebas, Ki Selakriya senantiasa diawasi oleh
setiap anak buah Tangan Iblis untuk setiap gerakgeriknya.
Ketika ia mendengar teriakan tadi, cepat ia melayangkan pandangannya ke arah utara. Bersamasama anak buah Tangan Iblis yang lain, ia mendekat
ke dinding lambung perahu sebelah kanan dan menggerombol di situ seperti kawanan semut yang kelaparan.
Tangan Iblis juga berdiri menghadap ke arah utara
seraya berseru, "Kawan-kawan... jangan menjadi panik! Tenang... tenang!" seru Tangan Iblis memperingatkan segenap anak buahnya. "Biar aku yang menghadapi hantu laut, seperti yang kalian takutkan!"
Apa yang mereka tunggu-tunggu ternyata muncul
dengan menakjubkan. Berbareng terangkatnya gelombang laut yang meninggi, muncullah sesosok tubuh
manusia yang tertawa berderak-derak sambil berloncatan meniti buih. Rupanya inilah yang disebut hantu
laut oleh si penjaga tiang layar tadi.
Hal tersebut tidak usah disalahkan, karena siapakah yang bakal menyangkal bahwa sosok tubuh tadi
adalah hantu laut yang muncul dari dalam laut.
Sambil tertawa menyeramkan, si peniti buih tadi
memutarkan tangan kanannya yang menggenggam tali
panjang berujung roda berduri, dengan mengeluarkan
bunyi berdengung-dengung mengerikan.
"Hua, ha, ha, ha. Jangan mendekati daerah perairan Pulau Mondoliko, menyingkir lekasss! perahu kalian terlalu dekat dengan batasnya!" teriak si peniti
buih dengan jelas sampai ke perahu si Tangan Iblis.
Karena itu dapatlah dibayangkan betapa setiap dada orang-orang yang berada di perahu tersebut menjadi kecemasan. Mereka segera dapat mengetahui bahwa
si peniti buih tersebut benar-benar makhluk yang sakti
dan berilmu tinggi pula sukar untuk diukur kekuatannya. Mereka pun masih belum bisa menentukan, apakah si peniti buih tersebut juga manusia biasa ataukah hantu laut seperti yang diteriakkan oleh si penjaga
tiang layar tadi. "Apa maksudmu?!" teriak Tangan Iblis dengan melandasi tenaga dalamnya sehingga suaranyapun terdengar menggeledek menandingi teriakan si peniti buih
tadi. "Siapakah engkau, dan mengapa berani menyombongkan diri, malang-melintang di perairan Pulau
Mondoliko?!" "Huhh?! Engkau berilmu pula rupanya!" sahut si
peniti buih. "Akulah Talipati si peniti buih, pengawal
dari Pulau Mondoliko. Sekali lagi kuperintahkan agar
kalian menjauh dari perairan ini!"
"Ha, ha, ha, ha. Menjauh katamu? Justeru kami
semua akan mendarat di Mondoliko!" teriak Tangan Iblis. "Akupun salah seorang rekan dari Rikma Rembyak!"
"Haa? Betulkah itu? Ooo, kau kira aku mudah percaya begitu saja. Buktikan dulu apakah engkau memiliki kesaktian, sampai berani mengaku sebagai sahabat
dari Rikma Rembyak!"
"Bagus!" desis Tangan Iblis seraya menjangkau sebuah tombak yang dipegang oleh seorang anak buahnya.
"Untuk apa tombak itu, Guru?" bertanya Jimbaran.
"Kau lihat saja nanti," sahut Tangan Iblis. "Aku ingin menunjukkan sekedar contoh, bahwa ia berhadapan dengan Tangan Iblis!"
Selesai menimang-nimang tangkai tombaknya, maka secepat kilat Tangan Iblis melontarkan tombak tadi
ke arah Talipati, si peniti buih, sambil berseru, "Sambutlah tombakku ini jika engkau ingin tahu, dengan
siapakah engkau berhadapan!"
Mendengar seruan Tangan Iblis, Talipati makin
mempercepat putaran roda berdurinya. Apalagi setelah
ia melihat bahwa lawannya yang berada di geladak perahu besar itu telah melontarkan tombaknya.
Talipati sangat kagetnya, sebab tombak tersebut
dengan kecepatan kilat menyambar ke arah dirinya,
tak ubahnya sebatang anak panah yang ditembakkan
dari busurnya. Karenanya, Talipati tanpa ragu-ragu lagi telah mengayunkan senjatanya ke depan mencegat
sambaran tombak Tangan Iblis tadi. "Wusss...
Blaaarr!" Beradunya kedua senjata yang dilandasi pengerahan tenaga dalam tadi menimbulkan letupan yang
nyaring menyerikan telinga, disusul kejadian mengagetkan.
Tubuh Talipati yang terguncang keras akibat benturan senjata terlihat hampir terpelanting. Namun dasar
ia seorang yang kaya siasat, maka sebelum tubuhnya
terpelanting begitu maka kedua kakinya buru-buru
meminjam tenaga benturan tersebut dan memental ke
atas. Sesaat itu pula tampaklah tubuh Talipati mengambang, melenting ke udara laksana capung dengan
gerakan yang mengagumkan sekali, sehingga semua
orang yang berada di dalam perahu, termasuk Tangan
Iblis, Jimbaran, Ki Selakriya dan lain-lainnya, sangat
terpesona. "Hebat!" seru Talipati lantang. "Kau memiliki ilmu
yang hebat dan tenaga dalam sempurna. Tetapi jangan
kau kira bahwa aku lalu takut terhadapmu!"
"Jadi apa maksudmu? Apakah kau belum puas?!"
ujar Tangan Iblis. "Apakah kau ingin mencoba pukulan
maut Telapak Iblisku?!"
"Pukulan Telapak Iblis?!" ulang Talipati setengah
kaget. Agaknya saja ia pernah mendengar tentang pukulan maut tersebut, sehingga mendengar kata-kata
Tangan Iblis tadi, ia menjadi terpekur sesaat. "Ketua Ki
Rikma Rembyak pernah menceritakan hal tersebut,
tentang seorang sahabatnya yang memiliki pukulan
Telapak Iblis dari daerah timur. Nah, baiklah. Jika begitu aku dapat mempercayai Anda. Tapi coba kau tunjukkan terlebih dahulu telapak tanganmu! Sebab aku
pun belum seluruhnya percaya, sebelum aku melihat
ciri-ciri si pemilik pukulan Telapak Iblis seperti yang
pernah diceritakan oleh Ketua Ki Rikma Rembyak."
Jimbaran, Ki Selakriya dan lain-lainnya tercengang
oleh ucapan Talipati tersebut. Nampaknya Rikma
Rembyak terlalu ketat menjaga Pulau Mondoliko ini.
Tetapi yang lebih mengejutkan adalah ketika Tangan Iblis mengacungkan lengan kanannya ke depan.
Dengan diam-diam ia mengerahkan jurus awal dari
pukulan mautnya sambil mulutnya komat-kamit. Maka sebentar kemudian terlihatlah telapak tangan kanannya seperti membara merah seolah-olah diselimuti
oleh bara api yang menyala.
"Hahh!" desis orang-orang di sekitar Tangan Iblis
berdiri. Demikian pula Ki Selakriya tak habis kagumnya melihat kehebatan ilmu dari Tangan Iblis.
"Hmm," desah Ki Selakriya seraya mengawasi si
Tangan Iblis. "Ternyata ilmunya semakin hebat sejak
pertempuran berdarah di halaman rumah Ki Wayan
Arsana, beberapa waktu yang silam. Agaknya, selama
itu ia telah memperdalam dan menggembleng ilmunya."
"Ooh! Itulah ciri-ciri yang pernah diceritakan oleh
Ketua Rikma Rembyak!" seru Talipati ketika ia dapat
menyaksikan telapak tangan lawannya yang membara
kemerahan. "Tidak keliru lagi bahwa Andalah si Tangan Iblis!"
"Ha, ha, ha, puaskah Anda sekarang?!" seru Tangan
Iblis diselingi ketawa meriah keriangan.
"Ya, aku telah puas. Dan karenanya haraplah dimaafkan segala kelakuan saya beberapa saat yang lewat," ujar Talipati dengan nada segan. "Sekarang Anda
dengan bebas boleh mendarat ke Pulau Mondoliko."
"Terima kasih. Jika tidak keberatan, Anda silahkan
naik ke perahu kami dan bersama-sama kita menghadap Ketua Rikma Rembyak," berseru pula Tangan Iblis
sambil melambaikan tangannya kepada Talipati, yang
segera menyambutnya dengan lambaian tangan pula.
Sesaat kemudian, Talipati menggerakkan kedua kakinya di atas permukaan air laut, berganti-ganti meloncati buih laut yang bergulung-gulung menuju ke
arah perahu. Mau tak mau Tangan Iblis dan segenap anak buahnya, termasuk Ki Selakriya sendiri menjadi kagum bukan main menyaksikan ketrampilan Talipati meniti
buih dan berjalan di atas permukaan air laut, menuruti buih-buih memutih yang bertebaran laksana pematang-pematang di sana-sini. Sepintas lalu Talipati tak
ubahnya seekor ikan terbang yang meluncur di atas
permukaan air, sehingga tak ada salahnya bila orangorang yang belum mengenal akan mengiranya sebagai
hantu laut yang lagi keluyuran mencari mangsa.
Dalam sekejap mata Talipati telah mendekati lambung perahu besar si Tangan Iblis, kemudian dengan
sekali genjotan kaki tubuhnya melenting ke atas dan
masuk ke dalam geladak perahu.
Seketika dapatlah diketahui perawakan tubuh Talipati yang sebenarnya. Tidak terlalu tinggi tetapi cukup
kekar. Yang aneh adalah rambutnya yang kaku pen-
dek, laksana ijuk. Sedang tubuhnya berkilat seperti
berselaput minyak seluruhnya. Entah apakah itu karena air keringat atau benar-benar minyak seperti dugaan kebanyakan orang di situ.
Yang lebih heran adalah telapak kakinya yang jauh
lebih lebar jika dibandingkan dengan telapak kaki manusia pada umumnya. Agaknya saja, ini sangat berguna dan bermanfaat bagi pekerjaannya, yakni untuk
meluncur dan berloncatan meniti buih. Sedang senjata
talinya yang berujung roda bergigi digantungkan pada
bahu kiri, menambah kegagahan pada dirinya. Wajahnya kelihatan angker dengan kumis yang kaku pula.
Kedua matanya kecil, tapi tajam laksana mata ikan hiu
yang ganas dan pemakan daging.
Talipati segera memperkenalkan diri kepada Tangan
Iblis dan segenap orang-orang di situ yang tentu disambut oleh mereka dengan gembira sekali. Bahkan sebentar kemudian mengalirlah pertanyaan-pertanyaan
berisi kekaguman terhadap ilmu meniti buih si Talipati. Dengan begitu terjalinlah keramahan dan keakraban di antara mereka.
Lain halnya dengan Ki Selakriya. Dadanya seolaholah tergetar melihat bahwa sahabat-sahabat Tangan
Iblis ternyata adalah orang-orang yang berilmu tinggitinggi. Lebih-lebih setelah ia mendengar nama baru seperti Rikma Rembyak dari Pulau Mondoliko. Pastilah
iapun orang sakti! "Aku memang tenaga baru yang menggabung pada
Ketua Rikma Rembyak," ujar Talipati memberi penjelasan. "Karenanya harap dimaafkan bila semula aku belum mengenalmu."
"Ahh tak apa-apa, sobat," sahut Tangan Iblis tenang
diselingi senyum. "Aku memang pergi terlalu lama, sehingga tentunya ada beberapa perkembangan di Mondoliko yang tidak aku ketahui."
"Pulau Bali tentu sangat cantik," sahut Talipati pula. "Sekali tempo aku ingin pergi ke sana."
"Heh, heh, jika Anda memang tertarik," sambung
Tangan Iblis, "aku bersedia dengan senang hati untuk
mengantarkan Anda ke sana."
"Terima kasih."
"Tentunya daerah Andapun sangat menarik," cetus
Tangan Iblis ganti bertanya.
"Benar. Tanjung Losari memang sangat indah," kata
Talipati. "Kalau sobat berada di sana, akan dapatlah
menikmati matahari terbit dan tenggelam. Tapi sayang,
untuk waktu yang lama aku tak dapat kembali ke sana."
"Mengapa?" desis Tangan Iblis.
"Ada sesuatu persoalan yang belum terselesaikan
dan membuat diriku harus segera kabur dari tempat
itu. Lain kali dapat kuceriterakan hal ini kepada Anda."
Tangan Iblis mengangguk-angguk mendengar penuturan Talipati itu. Agaknya saja Tangan Iblis dapat
menebak bahwa persoalan yang patut disingkiri oleh
Talipati adalah persoalan yang buruk. Maka sesaat itu
pula Tangan Iblis lalu teringat akan nasibnya sendiri
yang secara tidak langsung terusir dari Gilimanuk dan
keluarganya sendiri. Dengan demikian, maka Talipati adalah rekan senasib yang kemungkinan mempunyai persoalan yang
sama. Keheningan sejenak membuat Tangan Iblis seperti termangu, tetapi untunglah sesaat kemudian ia
dapat mengatasi hal itu. "Ooh, aku hampir lupa sobat," desis Tangan Iblis
mengatasi keheningan tadi. "Ini adalah sobat Jimbaran
si lengan satu! Dan di sebelahnya adalah Ki Selakriya
si pemahat ulung dari Tanah Bintara."
"Heh? Anda membawa pula seorang pemahat? Apa-
kah pekerjaannya nanti?" bertanya Talipati dengan
nada keheranan dan bercampur mencemooh. "Bukankah yang boleh menjadi sahabat-sahabat dari Ketua
Rikma Rembyak harus terdiri dari orang-orang yang
sakti, berilmu tinggi dan berani bertempur?"
"Tapi ini ada pengecualiannya!" sahut Tangan Iblis
tegas. "Dan aku berhak menentukan sendiri terhadapnya. Mereka semuanya adalah teman-teman dan anak
buahku." Talipati agak kaget oleh kata-kata keras dari Tangan
Iblis. Segera ia dapat menyadari kesalahannya, dan iapun tahulah bahwa sahabat barunya ini adalah seorang yang berwatak keras dan mudah marah. Maka
buru-buru ia berkata lunak, "Maaf sobat. Aku memang
orang yang picik. Selama hidupku aku jarang memperhatikan barang-barang kesenian, sebab selama itu
aku tak sempat. Aku lebih banyak mengadu tenaga,
bertempur dan olah kesaktian. Karenanya harap Anda
tidak berkecil hati oleh kata-kataku yang kurang pantas."
"Heh, heh. Anda adalah sobat yang baik. Sanggup
mengakui kekhilafan sendiri," sahut Tangan Iblis seraya menepuk-nepuk bahu Talipati yang diam-diam
terperanjat kecil, karena tepukan tangan tersebut
sempat menimbulkan rasa kesemutan meski dalam
tempo sekejap saja. Maka semakin sadarlah bahwa ia telah berhadapan
dengan orang yang memiliki kesaktian tinggi dan kemungkinan lebih tinggi daripada kesaktiannya sendiri.
Ki Selakriya sendiri menjadi berdebar-debar mendengar percakapan dua tokoh sakiti yang nadanya
agak keras dan panas ini. Tetapi untunglah suasana
ini segera terhapus oleh kesadaran Talipati sendiri dan
juga atas kebijaksanaan si Tangan Iblis juga. Suasana
keramahan tetap terjalin pada mereka.
"Hooii... daratan! Kita telah sampai!" Terdengar teriak lengkingan salah seorang penjaga tiang layar dari
atas. "Putar haluan kanan!"
Memang demikianlah sebenarnya. Dalam keremangan sinar rembulan, di sebelah utara terlihatlah daratan menghitam menyeramkan, laksana kepala seekor
naga yang lagi mengintip ke permukaan air.
Suasana penuh rahasia menyelimuti pulau tersebut
dan ini dapat dirasakan oleh Ki Selakriya yang berdiri
di dekat dinding perahu. Akan tetapi bagi Tangan Iblis,
Talipati dan yang lain-lain, mungkin justeru sebaliknya. Mereka merasa bahagia dan senang untuk memasuki pulau terpencil ini.
Perlahan-lahan maka perahu besar tersebut membelok ke arah barat laut dan lurus menuju ke daratan
Pulau Mondoliko untuk mendarat ke sana.
Tiba-tiba Jimbaran mengulurkan tangannya yang
menggenggam terompet kulit siput kepada Tangan Iblis
seraya berkata, "Apakah Guru perlu memberi tanda
kepada Ketua Rikma Rembyak?"
"Terimakasih, memang sebaiknya demikian," sahut
Tangan Iblis sekaligus menyambut terompet kulit siput
tadi dan menempelkan pada bibirnya.
"Traaaattt!" terdengar alunan lengking terompet kulit siput menggema udara malam, menyambar bagai
aliran ombak ke segenap arah.
Sungguh hebat tiupan Tangan Iblis ini. Udara seakan-akan tergetar olehnya dan sesaat kemudian setelah ia menghentikan tiupannya, terdengarlah lengking
terompet balasan dari arah pulau, menggema dengan
megahnya. "Mereka telah tahu kedatangan kita!" ujar Tangan


Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis kepada Talipati yang berdiri di sampingnya. "Mudah-mudahan makanan lezat dan segar telah menunggu kita."
Sewaktu perahu makin mendekati pantai, terlihatlah obor-obor api yang melambai bergoyang-goyang dari arah sana, satu pertanda bahwa orang-orang telah
menyambut kedatangan perahu Tangan iblis.
Sebuah bendera Kuning bergambar telapak tangan
merah segera dikibarkan ke atas tiang layar, menimbulkan pemandangan megah bagi perahu yang kini
perlahan-lahan mengarah ke pantai.
Sayup-sayup terdengar sorak-sorai dari arah pantai.
Agaknya mereka tahu bahwa yang datang ini adalah
Tangan Iblis, salah seorang tangan kanan dan sahabat
Rikma Rembyak, si ketua ataupun raja tanpa mahkota
dari pulau terpencil ini.
Dapat diibaratkan bahwa Tangan Iblis adalah pepatih dari Ketua Rika Rembyak, karena kesaktiannya
yang hampir sejajar dan setingkat.
Apabila perahu besar berbendera telapak tangan
merah itu mendarat, para penyambut segera menyerbu
ke dekatnya sambil berteriak dan tertawa-tawa kesenangan, sebab mereka telah tahu akan kebiasaan,
bahwa setiap perahu yang datang pasti membawa hadiah-hadiah dan oleh-oleh yang tidak terdapat di pulau
terpencil ini. Untuk sesaat acara sambutan ini menjadi kacau
dan penuh kebebasan atau mengarah kepada keliaran.
Beberapa awak perahu telah meloncat turun ke atas
pasir ke arah gadis-gadis yang menyambutnya dan
kemudian mereka berjingkrakan menari-nari.
Tangan Iblis, Talipati, Jimbaran, Ki Selakriya dan
beberapa orang turun melewati tangga dengan tenang,
sementara beberapa orang lagi di belakangnya telah
menggotong beberapa peti berat untuk diturunkan.
Mendadak terdengarlah bunyi gong dipukul dan
mulut orang-orang yang tadi berkaok-kaok bebas, seketika diam seperti terkunci oleh dengung gong yang
menggema di udara. Dari balik pinta gerbang batu karang, muncullah
sebuah usungan yang dipikul oleh dua belas orang
yang melangkah dengan perlahan-lahan tapi cukup tegap mendekati tangga perahu Tangan Iblis.
Yang mengagumkan adalah usungan tersebut. Semua berwarna putih, terbuat dari susunan tulang ikan
raksasa. Mungkin sekali dari tulang-tulang ikan lodan
atau ikan paus yang telah dikeringkan dan diawetkan.
Di atas usungan tersebut, duduklah seorang lakilaki muda dengan gagahnya. Rambutnya terlihat berurai panjang awut-awutan, menutupi kedua telinga dan
tengkuknya. Sambil tersenyum-senyum ia melempar
pandang ke arah Tangan Iblis dan rombongannya. Kemudian ia berseru, "Terimalah ucapan selamat datang
dari Rikma Rembyak!"
"Terima kasih, Ketua!" seru Tangan Iblis seraya
membungkuk sedikit. "Salam dan hormat kami untuk
Anda!" Rikma Rembyak kemudian meloncat turun dari atas
usungan untuk menyambut para sahabatnya yang baru saja datang. la menjabat tangan kanan si Tangan
Iblis yang segera disambut oleh sahabatnya ini dengan
akrab. Mereka lalu berpelukan seolah-olah bagai dua
orang saudara yang telah berpisah sekian lama dan
kini bertemu kembali. "Anda telah lama meninggalkan Mondoliko," ujar
Rikma Rembyak. "Banyak sekali soal-soal yang harus
kita bicarakan." "Aku tahu, sobat," desah Tangan Iblis dengan suara
tertahan-tahan seperti tersekat dalam kerongkongan
dan ini membuat Rikma Rembyak tertegun sejenak, lebih-lebih ketika ia rasakan aliran basah yang menetes
ke bahunya. "Heei, kau baik-baik saja bukan, sobat?! Mengapa
engkau ini...?" berbisik Rikma Rembyak kepada sahabatnya yang masih memeluknya. "Mendapat kesulitan?"
"Maaf, Kakang Rikma! Aku telah mengucurkan air
mata, sebab ibuku Nyi Durganti telah tewas!" ujar
Tangan Iblis dalam suara gemetar.
"Tobat! Ooh, kasihan kau, Adi Tangan Iblis. Aku
ikut berduka cita atas hal tersebut... Tapi siapakah
yang telah sekurang ajar dan gegabah, berani turun
tangan terhadap Nyi Durganti itu?"
"Dia... dia adalah ayah kandungku sendiri!"
"Haa, ayah kandungmu sendiri?"
"Benar." "Sampai sekejam itu?" desis Rikma Rembyak heran.
"Tidak begitu soalnya," tukas Tangan iblis. "Mereka
telah berpisah ketika aku masih kecil. Dan pada suatu
saat mereka telah bertemu dan berhadapan dalam pihak yang berlainan sebagai lawan yang harus bertempur mati-matian. Ternyata kemudian, ibuku Nyi Durganti telah roboh oleh pukulan Wiku Salaka, si ayah
kandungku sendiri!" "Sungguh luar biasa peristiwa ini!" Rikma Rembyak
mendesak. "Apakah Nyi Durganti yang sering kau ceriterakan kesaktiannya itu, dapat terkalahkan oleh lawan?"
"Memang aku melihatnya sendiri. Dan ternyata ibuku telah lebih dahulu mengenal bahwa lawan yang dihadapinya itu adalah ayah kandungku sendiri, atau jelasnya adalah bekas suaminya...."
"Hmm, memang lelakon manusia bermacam-macam
ragamnya. Tapi sudahlah, Sobat Tangan Iblis. Yang telah lewat tak perlu kita risaukan. Masih banyak peristiwa-peristiwa yang harus kita hadapi!"
"Terima kasih, Kakang Rikma."
"Marilah kita masuk ke perkampungan kita. Aku te-
lah mulai membangun benteng dari balok-balok batu
karang." "Dan bagaimana dengan bangunan megah yang
pernah Anda ceriterakan dulu? Aku telah membawa
seorang pemahat ulung dari Pulau Dewata."
"Ooo, yah, yah. Itu akan segera kita bicarakan di
pondok besar kita, Adi Tangan Iblis," ujar Rikma Rembyak seraya mengajak para sahabatnya masuk ke dalam perkampungan. Sedang para penyambut, sebagian
masih bersuka-suka di pantai dan sebagian kembali
bersama-sama Ki Rikma Rembyak ke dalam perkampungan.
*** BAGIAN IV DI SEBUAH RUANGAN, dalam pondok yang besar,
terlihatlah beberapa orang berkumpul dan bercakapcakap. Menilik dalam air muka serta gerak pembicaraan dari mereka agaknya saja sesuatu pembicaraan
penting tengah terjadi. Mereka tidak lain adalah Rikma Rembyak, Tangan
Iblis, Talipati, Jimbaran, dan tiga orang lainnya yang
berperawakan kekar dan tegap. Wajah ketiga orang ini
tak kalah seram dengan Rikma Rembyak ataupun
Tangan Iblis. "Saya turut berduka atas kematian Jimbaran dan
para anak buahmu yang lain, Adi Tangan Iblis," ujar
Rikma Rembyak dengan suara berat. "Tapi mereka toh
tewas sebagai orang-orang kita yang setia."
"Memang demikian, Kakang Rikma."
"Yah, masih banyak pendekar-pendekar kita yang
duduk di sebelahmu itu. Mereka adalah Adi Surokolo,
si pendekar berjala maut. Di sebelahnya adalah Wira-
pati pendekar jarum berbisa. Dan yang satu ini, Sarpa
Ireng si ular laut, pendekar yang berilmu segesit ular
laut." Tangan Iblis mengangguk seraya melirik ke arah
mereka bertiga. Kemudian iapun berkata, "Kakang
Rikma Rembyak, aku telah membawa seorang pemahat
ulung yang pasti sangat berguna bagi kita."
"Ooh, aku ingat hal itu. Jadi orang kemarin itulah
yang engkau maksud?" sahut Rikma Rembyak. "Tampaknya memang dialah orang yang patut membantu
kita!" "Memang demikian adalah sesungguhnya, Kakang,"
berkata pula Tangan Iblis. "Aku telah melihat sendiri
betapa ia mencipta dan memahat patung-patung yang
bagus!" "Dan tentang bangunan yang saya maksudkan dahulu ternyata bukan hanya sekedar bangunan untuk
memperindah saja. Tetapi ada manfaatnya yang lain!"
"Uuh?" desis Tangan Iblis kaget. "Apakah kira-kira
yang Kakang maksudkan itu?"
"Jangan kaget, Adi Tangan Iblis. Dengarlah baikbaik mengapa pula sampai kalian kupanggil semua.
Nah, ketahuilah bahwa aku telah mendengar adanya
seorang empu yang berhasil menemukan senjata ampuh. la tinggal di daerah Demak!"
"Senjata ampuh?" ulang Tangan Iblis. "Bukankah
kita cukup mempunyai senjata-senjata ampuh yang
cukup hebat untuk menjaga pulau ini serta melenyapkan lawan-lawan kita?"
"Tapi yang diketemukan dan dibuat oleh empu tersebut lain lagi bentuknya!" sahut Rikma Rembyak.
"Dan kita harus merebutnya!"
"Apakah macamnya senjata itu?"
"Senjata itu berbentuk panah. Namanya adalah Panah Braja Kencar!" ujar Rikma Rembyak dengan suara
bergetar seolah menyebut sesuatu nama yang menakutkan.
"Nama yang bagus!" puji Tangan Iblis seraya mengelus-elus janggutnya. "Seberapa besarkah keampuhannya, Kakang?"
"Hebat keliwat-liwat!" bisik Rikma Rembyak sambil
melotot. "Dengarlah! Bila panah tersebut kita panahkan ke atas sasaran, segera ia akan menyala dan menurunkan asap yang kemudian menyebar ke bawah.
Dan kejadian apakah berikutnya? Kalian boleh menerka!"
Tak seorangpun yang bisa menerka kecuali cuma
mengeluh kesah, seperti tak sabar menunggu kelanjutan ceritera Rikma Rembyak.
"Nah, asap tadi dalam sekejap saja akan menimpa
setiap barang yang berada di bawahnya dan akhirnya
barang-barang tadi akan kering, hangus dan musnah!"
"Luar biasa!" seru Tangan Iblis diiringi oleh suara
bergumam dari orang-orang di sekitarnya. "Senjata
yang terhebat yang pernah aku dengar sekali ini. Jika
ia menimpa segerombolan manusia, pastilah ia akan
melenyapkan sasaran tadi dalam waktu singkat."
"Itulah sebabnya aku ingin merebut senjata Panah
Braja Kencar dari tangan empu tersebut!" ujar Rikma
Rembyak. "Siapakah nama empu yang sakti itu, Kakang?"
"Dia bernama Empu Baskara!" (Lihatlah Seri Naga
Geni 4 dan 5: "Hilangnya Empu Baskara" dan "Diburu
Topeng Reges") "Jadi kita akan berangkat ke Demak dan merebut
senjata tadi?" bertanya Tangan iblis penuh rasa ingin
tahu. "Cukup aku sendiri yang berangkat ke sana!" ujar
Rikma Rembyak. "Adi Tangan Iblis tinggal di pulau ini,
memimpin pembuatan bangunan yang kita rencana-
kan semula!" "Baik, Kakang Rikma Rembyak," sahut Tangan Iblis.
"Menurut Kakang, bangunan tersebut harus merupakan bukit yang mempunyai lobang kepundan. Jadi seperti gunung yang kecil dan menganga!"
"Benar! Ingat baik-baik, Adi Tangan Iblis. Lobang itu
harus cukup lebar dan di dalamnya harus ada ruangan yang cukup besar!"
Sekali lagi Tangan Iblis mengangguk segera membuat corat-coret pada selembar sobekan kain dengan
larutan tinta hitam yang terbuat dari cairan tinta ikan
gurita. Semua pandangan mata terarah pada jari-jari Tangan Iblis yang menggenggam sebilah tangkai kayu dengan ujungnya berserabut seperti bulu. Benda tadi sebentar menari-nari di atas selembar kain, dan kemudian terlihatlah beberapa bentuk-bentuk gambar dari
bangunan yang tengah direncanakan.
Sesudah selesai, Tangan Iblis lalu menyerahkannya
kepada Rikma Rembyak seraya berkata, "Inilah Kakang, bentuk bangunan yang engkau maksudkan. Dan
tentu saja untuk lebih menambah kemegahan serta
keseraman, maka bukit itu tidak sekedar bukit yang
polos, tetapi mempunyai hiasan, yakni merupakan
bentuk kepala singa yang mendongak ke atas. Dan lobang kepundan yang Andika maksud tadi adalah merupakan mulut singa yang menganga!"
Sebentar Rikma Rembyak mengamat-amati gambar
tadi lalu tertawa terbahak-bahak, tak ubahnya anak
kecil yang mendapat hadiah besar dari orang tuanya.
Bahkan saking gembiranya, Rikma Rembyak menepuk-nepuk bahu Tangan Iblis sambil berkata, "Bagus!
Bagus! Kau berotak cemerlang, Adi Tangan Iblis! Patut
engkau menjadi tangan kananku, tak ada salahnya!"
Kemudian Rikma Rembyak menunjukkan gambar tadi
kepada sahabat-sahabatnya yang lain, seperti Talipati,
Surokolo, Jimbaran dan lain-lainnya.
Mereka mengangguk-angguk mengerti dan menyetujuinya.
"Jika demikian, aku beri nama dengan Bukit Kepala
Singa," ujar Rikma Rembyak. "Bagaimana sobat sekalian?"
"Setuju!" ujar Tangan Iblis bersama-sama yang lain.
"Nah, untuk bangunan tersebut, gunakanlah bukit
batu karang di sebelah di utara itu!" Rikma Rembyak
berkata disertai tangannya menunjuk ke arah utara, di
mana terdapat bukit batu karang yang cukup tinggi
dan letaknya kira-kira di tengah pulau.
"Tapi apakah pemahat yang kau bawa itu akan
sanggup mengerjakan Bukit Kepala Singa?" bertanya
pula Rikma Rembyak kepada Tangan Iblis.
"Itu tidak menjadi soal, Kakang Rikma!" jawab Tangan Iblis. "Sebab di samping dia, aku akan menggerakkan orang-orang lain untuk membantunya. Terutama
adalah tawanan-tawanan kita!"
"Hah, ha, ha. Bagus! Semuanya harus kau awasi
sebaik-baiknya, Adi Tangan Iblis! Dan engkau tentu
tak lupa, bagaimana memberi pelajaran dan meladeni
orang-orang yang membangkang!"
"Dilempar ke mulut gurita atau digerogoti oleh mulut ketam-ketam kecil di teluk maut!" seru Tangan Iblis
seraya tersenyum lebar. "Ha, ha, ha. Kau tak lupa akan kegemaran kita,
Adi!" "Jika aku boleh bertanya, Kakang Rikma Rembyak,
bersama siapakah Anda akan menjelajahi daerah Demak guna merebut pusaka Panah Braja Kencar itu?"
"Aku akan menemui guruku di lereng Gunung Muria dan meminta bantuannya. Dialah yang bergelar Ki
Topeng Reges!" "Ooh..., "desis orang-orang yang mendengarnya.
"Kesaktiannya tak usah aku ragukan. Sorot matanya saja cukup menghanguskan dan mematikan sasaran yang dihadapinya," ujar Rikma Rembyak memberi penjelasan.
"Beruntung Kakang Rikma Rembyak mempunyai
seorang guru yang sesakti itu!" kata Tangan Iblis memuji. "Mudah-mudahan senjata tadi dapat Anda miliki
kelak. Akan tetapi, apakah hubungan senjata tersebut
dengan Bukit Kepala Singa?"
"Ho, ho, ho. Kau belum mengerti, Adi Tangan Iblis,"
kata Rikma Rembyak. "Memang aku belum menjelaskan tadi. Terutama kegunaan ruangan di bawah
Bukit Kepala Singa tersebut. Heh, ketahuilah. Kita
akan membangun busur panah yang terbesar. Mungkin seratus kali atau lebih besar berlipat kali daripada
busur panah biasa. Dan busur tadi akan kita pasang
di ruangan tersebut!"
"Sungguh hebat. Namun bukankah panah asli yang
akan Anda cari tadi, cuma berukuran kecil saja?" sahut Tangan Iblis.
"Ya, memang begitu. Rahasia keampuhan Panah
Braja Kencar tidak terletak pada anak panah itu sendiri, tapi terletak pada serbuk-serbuk ramuan yang dipasang pada mata panahnya. Serbuk itulah yang menjalar, menyebar cepat dan kemudian memusnahkan segala sasaran!" berkata Rikma Rembyak.
"Jadi Kakang Rikma akan membuat serbuk maut
itu secara besar-besaran?" sela Tangan Iblis.
Rikma Rembyak mengangguk sambil sekali lagi menikmati gambar rencana dari Bukit Kepala Singa yang
digambari Tangan Iblis. Sesaat kemudian ia berkata,
"Adi Tangan Iblis, coba kita panggil si pemahat Selakriya itu kemari! Aku ingin tahu apakah ia benarbenar bersedia membantu kita."
"Itu lebih baik, Kakang Rikma," ujar Tangan Iblis
setuju. "Biarlah Sobat Surokolo akan memanggilnya," Rikma Rembyak berkata kepada si pendekar berjala maut
yang duduk di sebelah Tangan Iblis. "Bawalah si Selakriya itu kemari dan perlakukanlah ia sebagai tamu kita."
Surokolo membungkuk hormat serta mengundurkan diri, lalu keluar dari ruangan itu. Suasana menjadi
hening sejenak. Di luar angin laut terdengar berdesau
berkejaran melintasi atap pondok tersebut.
Udara sore yang diliputi mendung terasa memanaskan ruangan yang digunakan oleh Rikma Rembyak
dan para pengikutnya. Beberapa orang kelihatan mendatangi meja di ruangan tersebut lalu meletakkan beberapa lodong tembikar berisi air minum dan talamtalam yang berisi makanan.
Tapi semua itu rupanya tidak begitu menarik perhatian Rikma Rembyak, sebab ternyata ia masih saja merenungi lembaran kain yang berisi gambar-gambar
bangunan Bukit Kepala Singa yang sangat menarik
perhatiannya. Dalam rongga matanya seolah-olah telah dapat dibayangkan dengan jelas, betapa mulut Bukit Kepala
Singa itu menganga dan menyemburkan kilatan api
dari lontaran panah Braja Kencar ke udara. Kemudian


Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbayang pula, bagaimana kapal-kapal yang tertimpa
oleh asap dan kilatan cahaya panah tersebut menjadi
musnah dan orang-orang yang menumpangnya pada
terhangus kering, mati seolah belalang yang dibakar
oleh kobaran api. Dengan demikian, pulau tempat kediaman mereka akan menjadi tempat angker, ditakuti
oleh orang-orang luar. Bahkan lebih daripada itu, akan
berarti pula menambah kewibawaan terhadap nama
Rikma Rembyak. Bila sudah demikian, maka ia berhak
untuk menentukan daerah perairan yang lebih luas.
Dan tentu saja, akibatnya setiap perahu ataupun kapal besar yang melewati daerah tersebut, haruslah
membayar pajak kepada Rikma Rembyak, si penguasa
pulau ini! Kembali dalam lamunannya, Rikma Rembyak mengangguk-angguk seraya tersenyum kecil, tanpa memperdulikan para sahabatnya yang asyik meneguk tuak
dan melahap makanan. Yang semata-mata tergambar
dalam ruang matanya, adalah kekuasaan besar apabila ia telah berhasil menguasai Panah Braja Kencar itu!
Meski hal ini belum dicapainya, tapi bisikan hatinya
seolah-olah telah dapat meyakinkan bahwa ia akan
berhasil mendapatkannya. Bukankah ia mempunyai seorang guru yang kelewat
sakti dan pasti sanggup membantunya? Nama Ki Topeng Reges cukup menggetarkan siapa saja yang mendengarnya dan tentu saja ini menambah lebih mudah
akan segala maksud keinginannya. Sebagai seorang
murid yang telah banyak membantu gurunya, maka
sudah sepatutnya bila sekali waktu ia mengharap pertolongan gurunya. Tambahan lagi ia yakin bahwa gurunya yang sangat menyayangi pasti akan mengabulkan permintaannya ini.
Sesaat teringat pula ia, betapa ia telah turut bertaruh nyawa guna membela Ki Topeng Reges dalam merebut Kitab Hijau dari Panembahan Jatiwana maupun
ketika melawan Landean Tunggal dan Rebab Pandan.
(Lihat Seri Naga Geni 7 "Bara Api di Laut Kidul")
Rupanya Rikma Rembyak akan terus melanturlantur dengan lamunannya, seandainya tidak segera
terdengar langkah-langkah kaki manusia yang memasuki ruangan tersebut dari arah pintu masuk.
Hal ini membuat Rikma Rembyak tersentak, seperti
orang yang tergugah dari mimpinya. Ditatapnya orang
yang baru saja melangkah masuk. Mereka tak lain
adalah Ki Selakriya dan Surokolo, yang kemudian
mengambil tempat duduk di hadapan Rikma Rembyak.
Hati Ki Selakriya berdebar-debar ketika diketahui
bahwa ia berada di antara orang-orang yang berperawakan kekar dan berwajah keras menyeramkan. Sorot
mata mereka tiba-tiba seluruhnya tertuju ke arah dirinya sehingga mau tak mau si pematung tua ini tergetar hatinya. Dari sorot mata mereka saja, seolah-olah
dirinya seperti menjadi kerut dan kerdil. Rasanya ia
berada di antara raksasa-raksasa yang kini siap
menghukum atau melahap dirinya.
Apakah tindakannya kini? Akan melawan mereka?
Oh, itu perbuatan bodoh, sebab tentu tak akan banyak
gunanya. Bahkan merupakan tindakan yang sama tololnya dengan orang membunuh diri. Dan seandainya
ia berhasil melawan mereka serta ke luar dari ruangan
tersebut, toh pasti tidak akan seluruhnya dapat meloloskan diri, keluar dari Pulau Mondoliko yang terpencil
ini! Maka satu-satunya jalan ialah menurut kemauan
mereka. Sampai akhirnya ia dibebaskan dari cengkeraman mereka sama sekali. Ki Selakriya tertunduk kini, ia tak kuasa menatap orang-orang di situ.
"Kisanak! Apakah engkau si pemahat Selakriya?"
bertanya Rikma Rembyak memecah keheningan. "Jangan takut-takut, Kisanak."
"Benar, Tuan. Nama saya adalah Selakriya, si pemahat yang terlunta-lunta," ujar Ki Selakriya menunduk.
"Mengapa Kisanak berkata demikian?"
"Karena saya tidak dapat mengetahui apakah suatu
saat saya dapat kembali ke kampung halaman serta
berkumpul kembali dengan sanak keluarga saya," terdengar kata-kata Ki Selakriya diucapkan dengan nada
bergetar, menggambarkan perasaannya yang tertahan
selama ini. Rikma Rembyak manggut-manggut mendengar ucapan si pemahat itu, sebab iapun dapat merasakan betapa Ki Selakriya menjadi cemas akan nasibnya. Maka
berkatalah ia, "Harap dimaafkan jika kami membawamu ke mari dengan cara paksa. Semua itu terdorong
oleh keinginan kami untuk menyertakan Kisanak dalam bangunan yang tengah kami rencanakan."
"Saya pernah mendengar hal itu, Tuan," Ki Selakriya berkata pula. "Ki sanak Tangan Iblis telah mengatakan mengapa ia sampai menculikku kemari."
"Itu telah kau ketahui, dan lebih baik!" sambung
Rikma Rembyak dan kemudian mengulurkan selembar
kain yang semula telah digambari oleh Tangan Iblis.
"Nah lihatlah ini, Ki Sela! Bukankah ini gambaran bentuk dari patung singamu! Tangan Iblislah yang menggambarnya!"
Ki Selakriya keheranan juga melihat corat-coret di
atas selembar kain itu. Tak diduga sampai sedemikian
jauh Tangan Iblis dan sahabat-sahabatnya memperhatikan pahatan hasil karyanya.
Memang gaya patung singa itu diingatnya dari patung-patung singa yang terdapat di Candi Borobudur.
Hanya anehnya, apa yang digambar oleh Tangan Iblis
di situ, hanyalah kepala singa saja dengan menganga
ke atas, seolah-olah tengah mengeluarkan auman marah!
"Ki Selakriya, kau dapat melihatnya, bahwa di sebelah utara atau di tengah pulau ini terdapat bukit batu
karang. Maka kami merencanakan untuk memahat
bukit itu seperti yang terlihat dalam gambar tersebut!
Yaitu dengan bentuk kepala singa yang mengaum ke
atas, seperti kepala patung Singa yang pernah engkau
buat. Jadi jelasnya, engkaulah nanti yang mengepalai
pemahatan Bukit Kepala Singa ini!" demikian ujar
Rikma Rembyak. "Tentang segala kebutuhanmu, boleh
kau katakan kepada Sobat Tangan Iblis."
"Ini pekerjaan raksasa!" ujar Ki Selakriya setengah
gemetar. "Memerlukan puluhan pemahat yang harus
mengerjakannya." "Jangan khawatir. Orang-orang yang akan membantumu akan segera kami carikan, Ki Sela," seru Rikma
Rembyak. "Apapun yang engkau kehendaki akan segera kami usahakan selekasnya!"
"Dan juga tentang kebebasanku, Tuan?"
"Ha, ha, ha. Kau cukup cerdas, Ki Sela!" Rikma
Rembyak berkata. "Itupun akan kami berikan setelah
bangunan Bukit Kepala Singa itu selesai. Engkau boleh pulang dan jika kau kehendaki kamipun akan
mengantarmu. Atau mungkin kau mengingini sendiri,
sebuah perahu untuk berlayar pulang? Itu semua
akan kami berikan, merupakan janji kami yang boleh
kau pegang kenyataannya kelak. Begitu pula kami
akan memberikan hadiah-hadiah kepadamu!"
"Tak begitu-begitu penting, Tuan," sahut Ki Selakriya memberanikan diri. "Yang paling berharga adalah
kebebasanku." "Ha, ha, ha. Sifat senimanmu sangat kuat, Ki Sela!
Tak apalah. Tapi semua ucapanku akan kulaksanakan
dengan tepat. Perkara kau mau menerima hadiah itu
atau tidak terserah kepadamu sendiri. Saya rasa kedua hal itu sama pentingnya! Mana ada orang tak
membutuhkan uang emas atau barang perhiasan yang
bakal kuhadiahkan kepadamu?! Itu dapat dijual dan
cukup untuk membiayai hidupmu sekeluarga. Di mana ada manusia tidak membutuhkan harta benda?
Apakah mereka akan hidup telanjang, tinggal di guagua seperti orang liar? Ha, ha, ha, ha."
Ki Selakriya tertegun oleh ucapan dan kata-kata si
Rikma Rembyak. Meski ia tahu bahwa ucapan itu tidak
semuanya benar, Ki Sela tetap membisu, tanpa berani
berkata-kata lagi. Sebab hal ini akan menimbulkan
kemarahan Rikma Rembyak yang memiliki pandangan
sangat berlainan dengan dirinya sendiri.
Bagi dirinya, harta benda bukanlah jalan mutlak
untuk mencapai kebahagiaan hidup. Masih banyak hal
lain yang tak kalah pentingnya, seperti ketentraman
hati, rasa sumarah dan pengabdian kepada Yang Maha
Kuasa, dan lain-lainnya. Harta benda hanyalah sekedar pelengkap hidup saja, agar manusia tidak telanjang dan dapat makan minum secukupnya.
"Nah, kau tentu tak berkeberatan untuk membangun Bukit Kepala Singa tersebut," ujar Rikma Rembyak. "Sebab kau tak mungkin memilih jalan lain atau
menolaknya, Ki Sela! Kau mestinya sudah paham,
apakah jadinya bila ada orang yang berani menentang
kemauan kami!" Ki Selakriya mengangguk lemah. Bagaimanapun,
memang tak ada jalan lain, kecuali harus menerima
permintaan mereka! Kecuali bila ia menghendaki kematian dan ini berarti ia tak akan dapat menemui sanak keluarganya kembali!
Rikma Rembyak tersenyum lebar mengetahui kesanggupan Ki Selakriya, maka tiba-tiba saja ia mengangkat mangkuk-mangkuk berisi tuak sambil berseru, "Sobat-sobat semua, Ki Sela bersedia mengerjakan
Bukit Kepala Singa! Karenanya, marilah minum sepuas-puasnya untuk menyambut hal ini! Dan Ki Sela,
terimalah mangkuk minuman ini!"
Ki Selakriya sekali lagi, terpaksa menerima permintaan mereka dan menyambut semangkuk tuak dari
tangan Rikma Rembyak. Sementara itu para sahabat
Rikma Rembyak lainnya telah berkali-kali meneguk
minumannya tanpa segan-segan.
Entah berapa mangkuk tuak Ki Selakriya telah meneguknya, sebab kalau semula ia cuma meneguknya
satu dua mangkuk saja, tapi akhirnya ia terpaksa lebih
banyak lagi. Beberapa orang di sampingnya rupanya telah mulai
setengah mabuk atau pening-pening. Seperti Talipati,
Sarpa Ireng dan yang lain berkali-kali memaksa menuangkan mangkuk-mangkuk berisi tuak ke dalam mulut
Ki Selakriya. Akhirnya yang teringat kemudian, adalah pandangan matanya berkunang-kunang, lalu terasa tubuhnya
dituntun keluar ruangan untuk kembali ke rumah
pondokannya semula. Dan agaknya ia dapat memastikan bahwa orang yang mengantarnya adalah si Surokolo. Dan malam itu ia tidur dengan pulasnya, tanpa
mengingat kejadian-kejadian apa yang bakal dijumpainya pada keesokan harinya. Baginya itu lebih baik
demikian. Kini ruang tersebut telah sepi kembali. Ketua Rikma
Rembyak yang berambut awut-awutan dan berjubah
merah telah meninggalkan ruangan, demikian pula
yang lain. Bagi yang mabuk, terpaksalah pengawalpengawal menolong mereka, mengantarnya kembali ke
rumah masing-masing. Pulau Mondoliko telah ditelan
malam. Bulan sebentar-sebentar tersaput awan mendung
yang berarak-arak terbawa angin malam seakan-akan
menghalangi sinar perak yang menerangi pulau terpencil ini. Sekali-kali terdengar pekikan burung hantu,
menambah keseraman suasana malam di pulau ini.
*** BAGIAN V DALAM KELEMBUTAN sinar matahari pagi, Ki Selakriya tengah memutari bukit karang yang terletak
hampir tepat di tengah pulau terpencil ini. Dilihat dan
diperiksanya benar-benar keadaan batu-batuan yang
terdapat di situ, sebab hal ini harus diketahuinya benar-benar sebelum ia memulai pekerjaannya.
Apa yang kini dihadapinya adalah satu tanggung
jawab yang besar dan selama ini belum pernah ia
mengalaminya. Karenanya pula ia harus lebih berhatihati dan cermat untuk memperhitungkan segala sesuatunya. Baik keadaan batu-batuan bukit karang tersebut, alat-alat yang dipergunakan untuk memahatnya,
maupun jumlah orang-orang yang bakal mengerjakannya. Itu semua diperhitungkan dengan masak-masak.
Begitu pula tak kalah pentingnya gambar-gambar rencana dari Bukit Kepala Singa itu sendiri. Ternyata Ki
Selakriya telah membuat gambar yang lebih terperinci
lagi, lengkap dengan ukir-ukirannya sekali.
Namun sementara itu, tetap terselip juga rasa kekagumannya kepada Tangan Iblis. Tak dikiranya sama
sekali bahwa orang yang lebih banyak berurusan dengan pekerjaan-pekerjaan yang kasar dan tidak jarang
mengadu nyawa, ternyata memiliki cetusan pikiran
dan gagasan yang demikian hebatnya dan indah.
"Ki Sela, berapa lamakah kira-kira Bukit Kepala
Singa ini dapat selesai?" bertanya Tangan Iblis ketika
ia mengikuti Ki Selakriya pagi itu.
"Aku belum bisa memastikan," jawab Ki Selakriya.
"Mungkin enam bulan atau lebih, barangkali setahunlah baru selesai."
"Jika seandainya berbakat, ingin pula rasanya aku
membantumu, Ki Sela," ujar Tangan Iblis kembali.
"Ah, tak seharusnya demikian, Tuan. Bukankah ini
pekerjaan bagi para tawanan saja?!"
"Hah, benar... Maaf aku telah membawamu ke tempat ini dengan paksa. Tapi jangan khawatir, Ki Sela.
Engkau pasti bebas secepat Bukit Kepala Singa ini selesai!"
"Akupun berharap demikian, Tuan."
"Kau menyesal Ki Sela?"
"Tak perlu kusesali, Tuan. Bagaimanapun juga aku
selalu menghadapi lelakonku dengan tulus dan dada
terbuka." Tangan Iblis terbungkam oleh percakapan sesaat
ini. Hatinya seolah-olah telah terketuk oleh cahaya kebenaran. Akan tetapi rupanya saja ia kurang mendengarnya, atau mungkin pula memang belum waktunya
ia dapat mendengar dan terbuka hatinya oleh ketukan
tadi. Terbukti bahwa Tangan Iblis membuang muka
dan mendesah kesal, kemudian meninggalkan Ki Selakriya dan Surokolo di tempat itu. Hal ini tentu saja
membuat mereka berdua saling berpandang penuh
tanda tanya. Pada hari-hari berikutnya, pekerjaan raksasa itu telah mulai dilaksanakan. Di sana-sini di segenap lorong
dari bukit karang itu terdengar bunyi berdentangdentang nyaring dan mengumandang, berasal dari pahat dan palu yang menakik sisi-sisi permukaan dari
bukit karang ini, silih berganti. Berpuluh-puluh orang
telah membantu Ki Selakriya dalam pekerjaan ini. Mereka kebanyakan adalah orang tawanan atau budak
belian dari Rikma Rembyak.
Bunyi berdentang ini mulai mengalun sejak munculnya pagi sampai malam tiba, bagaikan irama lagu
yang menyayat-nyayat seperti tersayatnya wajah-wajah
bukit karang yang telah dipahat-pahat tanpa hentinya.
Sehari demi sehari pekerjaan itu telah berjalan den-
gan lancarnya. Hampir sepuluh permukaan batu karang di bagian bawah telah terpahat, sementara belasan tangan kayu dan tali-temali kelihatan terpanjang
di sana-sini, ditempatkan pada bagian-bagian yang
sukar dicapai. Sungguh pekerjaan yang tidak ringan! Salah-salah
bila nasib malang, mungkin mereka akan terjatuh ke
bawah dan menemui ajal. Maka tak heran bila satu
dua di antara para pekerja ini ada yang bergerundalan
dengan teman di sebelahnya.
"Pekerjaan gila! Apa pula gunanya memahat bukit
karang ini?" ujar salah seorang pekerja yang bertubuh
penuh keringat. la masih cukup muda.
"Huss! Jangan bicara seenaknya saja. Kalau sampai
terdengar oleh para pengawas, celakalah kita," desah
teman di samping yang berkumis lebat.
"Baiklah, aku tak akan keras-keras berkata," ujar si
muda. "Tapi cobalah kita pikir baik-baik. Apakah kita
akan segera dibebaskan oleh mereka, seandainya pekerjaan ini telah selesai?"
Tiba-tiba keduanya membisu, manakala dua orang
penjaga lewat di dekatnya seraya membentak.
"Hayo bekerja lagi! Jangan banyak ngobrol! Apa kalian ingin merasakan ini, hah?! Taaarrr!" sebuah pukulan cambuk melanda punggung si pemahat muda yang
seketika meringis menahan sakit. Tapi ia tidak berani
berbuat apapun. Akhirnya mereka bekerja kembali, setelah kedua
orang penjaga itu bergegas ke arah lain. Sedang di sana-sini masih sibuk para pemahat yang bekerja mengikis dan memahat permukaan bukit karang itu. Maka
sesungguhnya pekerjaan tersebut tidak sedikit mencucurkan keringat dan darah dari orang-orang tawanan
yang dipimpin oleh Ki Selakriya ini. Iapun secara tidak
langsung adalah seorang tawanan juga. Meskipun ta-
wanan yang diperlukan secara baik dan cukup hormat.
Namun hati Selakriya sering sedih bila dilihatnya
salah seorang dari pembantu-pembantunya mendapat
pukulan cambuk atau siksaan, karena kesalahan yang
tidak terlalu besar. Hal ini hampir membuat Ki Selakriya menarik satu kesimpulan bahwa semua pengikut
dan penghuni perkampungan Rikma Rembyak ini terdiri dari orang-orang yang berperangai kasar, kejam,
dan tidak berperikemanusiaan.
Ternyata dugaannya itu tidak seluruhnya benar,
sebab ketika pada suatu hari ia kehausan di atas bukit
karang tersebut, tiba-tiba saja seorang gadis cantik berusia sangat muda telah memberinya selodong air minum seraya berkata dengan ramahnya. "Terimalah air
minum ini, Bapak, sekedar penghapus dahaga dan penyegar badan."
"Terimakasih, Angger yang baik hati. Tapi siapakah
Andika ini?" "Namaku Andinisari, Bapak," sahut si gadis belia.
"Nama yang bagus. Dan di manakah engkau tinggal? Selama berada di pulau ini, belum pernah aku
mengenalmu," ujar Ki Selakriya.
"Aku tinggal bersama Ki Rikma Rembyak, sebab dia
adalah ayahku. Nah, permisi dulu, Bapak. Silahkan
Andika minum dengan puas!" Habis berkata demikian
Andinisari telah melesat pergi meninggalkan Ki Selakriya yang terbengong sambil menggenggam selodong
air minum. Menjelang minggu kedua belas, bentuk kasar dari
Bukit Kepala Singa itu telah tampak. Kemudian pada


Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minggu-minggu berikutnya Ki Selakriya beserta para
pembantunya tinggal memperhalus dan menyempurnakan Bukit Kepala Singa ini dengan sangat hati-hati
dan cermat. Diam-diam Ki Selakriya merasa berbangga hati me-
lihat bukit tersebut telah mendekati kesempurnaan.
Siapakah orangnya yang tidak menjadi senang bila salah satu dari gagasannya telah berdiri dengan megah.
Namun yang lebih senang bagi Ki Selakriya adalah kebebasannya yang telah dinantinya, dan oleh sebab itu
kerjanya makin bertambah giat.
Sejauh itu, Ki Selakriya tak kurang berterima kasihnya kepada Andinisari yang selalu berbaik hati untuk membawakan minum dan sekedar makanan ke
atas Bukit Kepala Singa. Bahkan dari ceritera-ceritera
gadis tersebut, dapatlah Ki Selakriya mengetahui bahwa Rikma Rembyak telah menyeberang ke daratan
pantai Jepara untuk menemui gurunya. Sayang Andinisari tidak mengetahui apakah kepentingan ayahnya
sampai menyeberang ke pesisir utara Jawa itu. Hal inipun tidak menjadi pemikiran bagi Ki Selakriya sendiri
karena ia tak mau mencampuri urusan Rikma Rembyak.
Bulan demi bulan pekerjaan menyempurnakan Bukit Kepala Singa itu terus berjalan dan makin terlihatlah betapa megah dan menyeramkan bangunan tersebut. Lobang kepundan yang merupakan mulut Singa
itu menganga ke atas dan lobang tersebut terus ke bawah, menembus dasar bukit yang kini tengah dibuatkan sebuah ruang besar dengan beberapa pintu masuk yang tersembunyi.
Mengetahui ukuran ruang dalam perut bukit ini, Ki
Selakriya menjadi penuh tanda tanya. Gerangan untuk
keperluan apakah ruangan sebesar itu? Untuk tempat
persembunyian, untuk menyimpan harta benda atau
sebagai benteng pertahanan? Ki Selakriya tidak mengetahuinya, apalagi para sahabat Rikma Rembyak yang
ditanyai, tak bersedia menjawabnya, termasuk si Tangan Iblis sendiri. Demikian pula Andinisari juga berkata, bahwa ia tidak mengetahui kegunaan ruangan ter-
sebut, karena ayahnya tidak pernah menceriterakan
hal itu kepadanya. Maka sedikit demi sedikit terseliplah kecurigaan dalam hati Ki Selakriya terhadap ruangan dalam perut
bukit tersebut. Dan akhirnya kecurigaannya memuncak ketika sebulan kemudian Rikma Rembyak telah tiba kembali dari kunjungannya di daerah Jepara.
Hampir seluruh penghuni pulau diharuskan berbondong-bondong menyambutnya ke bandar kecil di
sebelah selatan. Ki Selakriya sendiri dan para tawanan
juga berdatangan ke sana. Suara terompet kulit siput
mengalun di udara. Mereka akhirnya dapat melihat sebuah perahu layar berukuran besar berlabuh di bandar.
Di atas geladak perahu, Ketua Rikma Rembyak melambai-lambai ke arah semua penghuni pulau yang
menyambut. Wajahnya kelihatan sangat cerah dan
gembira. Agaknya saja ia banyak memperoleh kesenangan selama kunjungannya ke pesisir Jawa.
Lebih-lebih ketika Rikma Rembyak menatap ke pusat Pulau Mondoliko, tercengang kagumlah ia! Hampirhampir ia tak dapat mempercayai penglihatannya sendiri, sebab Bukit Kepala Singa yang dicita-citakan itu
telah berdiri dengan megah, sampai-sampai ia mendesis saking kagumnya, lalu berkatalah ia, "Para sahabat
dan segenap penghuni pulau ini! Aku telah datang
kembali dengan membawa pusaka sakti yang tak ternilai. Lihatlah pula seorang sahabat baru yang berdiri di
sebelahku ini. la bersedia menggabung kepada kita.
Namanya adalah Monjong Belis. Dan lebih gembira lagi
bila ternyata Bukit Kepala Singa itu telah berdiri dengan megah! Nah, karena kegembiraanku itu, terimalah
hadiah uang emas ini!" (Lihat Seri Naga Geni ke 9 "Misteri Kapal Hantu")
Selesai berkata, Rikma Rembyak segera membuka
sebuah peti besar di depannya lalu memungut segenggam uang emas dan disebarkan ke arah para penyambut. Seketika terjadilah rebutan memungut uang emas
yang sedikit banyak menimbulkan pemandangan
menggembirakan. Sesudah selesai Rikma Rembyak mengobralkan
uang emasnya, ia kemudian turun ke darat diiringi
Monjong Belis dan segera disambut oleh Tangan Iblis,
Surokolo, Jimbaran dan sahabat-sahabatnya yang
lain. Mereka menuju ke rumah besar Rikma Rembyak,
sementara orang-orang pada bubar, kembali ke tempat
masing-masing. Sejak saat dan peristiwa kedatangan Rikma Rembyak itu, Ki Selakriya menjadi tidak tenteram hatinya.
Penyelesaian Bukit Kepala Singa tinggal beberapa
minggu lagi, terutama menyelesaikan pahatan-pahatan
bentuk gigi singa pada mulut kepundan.
Sepuluh orang membantu Ki Selakriya dalam hal
ini. Satu demi satu bentuk gigi singa dipahat dan diukirnya dengan teliti serta hati-hati. Mereka bersebelas
tampak sangat sibuk, di sela bunyi dentang pukulan
pahat dan palu. Namun ada hal yang lebih penting bagi Ki Selakriya.
Sambil mengukir tepian dari lobang kepundan ini,
pandangan matanya tak henti-henti menembus ke
arah dasar kepundan. Pada perut bukit ini, terlihatlah adanya kesibukan
yang sangat menarik bagi Ki Selakriya. Jauh di bawah
sana terlihatlah beberapa anak buah Rikma Rembyak,
keluar masuk melewati pintu-pintu rahasia yang terbuka lebar.
Pintu-pintu tersebut, Ki Selakriya masih mengingatnya baik-baik sebab ia masih sangat hafal akan segala sudut dan seluk-beluk dari denah Bukit Kepala
Singa itu. Malahan secara diam-diam, selama ini pula
Ki Selakriya telah menggambarkan denah tersebut pada ikat pinggang kulitnya di sebelah dalam. Semua dalam ukuran yang sangat kecil.
Makin lama semakin tertariklah ia kepada kesibukan-kesibukan di perut bukit yang dapat diintainya
dari sebelah atas itu. Sebagian anak buah Rikma
Rembyak tampak mengusung kayu-kayu berukuran
panjang ke dalam ruangan ini, sementara yang lain
mengatur tali-temali yang berukuran besar pula.
Ya! Semuanya dalam ukuran besar seperti rodaroda kayu, engsel-engsel logam dan landasan balokbalok. Inilah yang sangat menarik perhatian Ki Selakriya.
"Apakah mereka akan membuat tambang di sini?"
demikian pikirnya. "Tapi aneh. Aku belum mendengar
tentang adanya biji-bijian batu atau logam yang berharga. Jika bukan itu maksudnya, pastilah ada sebabsebab lain dan inilah yang ingin aku ketahui!"
Begitulah, sambil memimpin pekerjaan tadi, Ki Selakriya senantiasa mencatat peristiwa-peristiwa dalam
perut bukit ini ke tengah otaknya baik-baik.
"Barangkali mereka akan membangun benteng di
perut Bukit Kepala Singa ini. Tapi...," pikiran Ki Selakriya tiba-tiba berdebat sendiri manakala ia mulai melihat titik-titik terang perihal kesibukan-kesibukan di
bawah sana. Tampak olehnya sebuah kayu panjang dan besar
dengan kedua ujung yang mengecil langsing. Pada bagian tengah dirangkapi oleh lapisan-lapisan kayu yang
lain, terikat oleh belitan-belitan tali raksasa.
"Haahh! Busur panah raksasa! Apakah mereka sudah gila?" Desis menggumam terdengar dari mulut Ki
Selakriya ketika lebih jelas ia melihat bahwa di antara
kedua ujung kayu yang besar dan panjang itu, dihu-
bungkan oleh seutas tali raksasa yang terpilin berpintal-pintal. "Lalu sasaran apakah yang bakal ditembak
dengan panah sebesar itu?"
Pertanyaan Ki Selakriya tak terjawab dan berhenti
hingga di situ saja. Kiranya yang tahu jawabannya hanyalah Rikma Rembyak sendiri atau pembantupembantu dekatnya saja.
Meskipun demikian, Ki Selakriya tidak bisa melupakan busur panah raksasa itu. Mungkin buat selama
hidupnya ia tak akan lupa, sebab bukankah dia sendiri ikut membangun Bukit Kepala Singa ini? Dengan
begitu, maka iapun turut bertanggung jawab di dalam
hati. Jika ternyata seperti busur raksasa yang dilihatnya itu telah melengkapi Bukit Kepala Singa untuk kepentingan-kepentingan jahat, maka akan menderitalah
hati Ki Selakriya! Akhirnya, setelah beberapa minggu kemudian, selesailah pekerjaan terakhir dalam membangun Bukit
Kepala Singa ini. Mulut kepundan yang lebar itu kini
telah berbentuk mulut singa yang menganga ke atas
dengan deretan gigi-giginya yang besar berukir indah,
dan selesailah pekerjaan laki-laki di atas bukit tersebut.
Maka pada suatu malam yang cerah, Ki Selakriya
telah dipanggil ke rumah besar Rikma Rembyak. Ternyata ketika pemahat tua itu tiba di sana, telah berkumpul pula pembantu-pembantu Rikma Rembyak,
seperti Tangan Iblis, Surokolo, Talipati, Monjong Belis
dan lain-lainnya. Mereka telah menunggu kedatangan
Ki Selakriya. "Ki Selakriya! Tentu engkau kaget setelah kupanggil
ke ruang ini. Ketahuilah bahwa kami ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepadamu. Subuh nanti kau akan dibebaskan dan Sobat
Tangan Iblis serta Surokolo akan mengantarmu den-
gan perahu sampan sampai ke daratan pantai Jepara."
"Terima kasih, Tuan," ujar Ki Selakriya dengan gemetar.
"Dan ini, Ki Sela. Terimalah uang emas sebagai hadiah jerih payahmu. Terimalah nanti dengan baik. Dan
ingat! Engkau harus merahasiakan tentang pekerjaanmu di pulau ini! Tahu?! Baik! Nah, bersiaplah sekarang juga, Ki Sela!" demikian kata Rikma Rembyak
seraya menunjukkan peti kecil berukir indah. "Peti ini
akan kau terima dari tangan Sobat Surokolo, setiba
engkau di daratan pantai Jepara."
Betapa rasa kegembiraan Ki Selakriya tidak terukur
lagi ketika mendengar ucapan Ketua Rikma Rembyak
tadi. Dan malam itu juga ia telah berkemas, bersiapsiap untuk keberangkatannya pada dini hari nanti.
Maka apabila saat itu tiba, Ki Rikma Rembyak, beberapa pembantu dan juga Andinisari telah mengantar
Ki Selakriya sampai ke bandar yang terletak di sebelah
selatan. Tak lama kemudian perahu yang membawa Ki Selakriya telah berlayar bersama Tangan Iblis, Surokolo
dan beberapa awak perahu lainnya. Sebelum perahu
itu lenyap dari pandangan mata, Andinisari masih saja
melambai-lambaikan tangannya, terutama ditujukan
kepada Ki Selakriya, si pematung tua yang karyakaryanya mengagumkan itu.
Perahu itupun telah meluncur dengan pesat menuju
ke arah selatan, sementara sang purnama telah condong ke cakrawala barat. Daratan Pulau Mondoliko
makin menjauh dan tiba-tiba saja seisi perahu ini dikejutkan oleh alunan terompet siput yang ditiup dari
arah pulau dengan terputus-putus, seperti tanda bahaya nampaknya.
"Lihat di sebelah timur itu!" seru Tangan Iblis. "Ada
tawanan yang lari dengan perahu!"
Dan apa yang dikatakan oleh Tangan Iblis ini dapat
dilihat pula oleh Ki Selakriya pula. Tampaklah dalam
cahaya redup sang rembulan, sebuah perahu layar kecil meluncur di sebelah timur, mengarah ke selatan
pula. "Tapi percuma saja!" desis Tangan Iblis. "Mereka sebentar lagi akan musnah. Ki Sela, perhatikan puncak
Bukit Kepala Singa itu!" demikian ujar Tangan Iblis seraya menunjuk ke arah puncak Bukit Kepala Singa
yang masih tampak cukup jelas.
Ki Selakriya tak habis mengerti, tapi sebentar kemudian kagetlah ia bukan kepalang ketika dari puncak
bukit itu meluncur sebuah cahaya kebiruan ke udara
dengan pesatnya, tak ubahnya sebuah bintang berekor. Cahaya ini menuju ke arah selatan, kemudian
menukik ke bawah, seakan hendak mengejar perahu
yang melarikan diri itu. Saat itu juga menyebarlah
asap biru yang mengembang ke segala arah, menerkam pula ke perahu tadi dan ikut menyala biru mengerikan. Detik berikutnya perahu tersebut terbisu, terkatung-katung tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan bagi penumpangnya.
"Mereka telah musnah!" desah Tangan Iblis pendek.
"Ooh?!" keluh Ki Selakriya dengan badan lemas. Kiranya baru sekaranglah ia mengetahui apakah gunanya Bukit Kepala Singa dengan ruang di dasar bukit
serta busur panah raksasa yang pernah dilihatnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali berharap
bahwa suatu saat Bukit Kepala Singa itu harus musnah. Jika tidak, pasti bahaya besar akan mengancam.
Pelayaran terasa singkat dan mereka telah mendarat di pantai Jepara. Tangan Iblis dan Surokolo kemudian menurunkan Ki Selakriya sambil mengucapkan
kata-kata perpisahan dan saat itu pula Surokolo menyerahkan peti uang emas kepada Ki Selakriya.
"Selamat tinggal, Ki Sela!" seru Tangan Iblis dari buritan perahu yang kini telah berlayar kembali meninggalkan daratan. Sebentar saja perahu tersebut melaju
ke arah utara dengan pesat.
Dengan langkah dan perasaan yang lemah tak karuan tertimbun pula kekecewaan, Ki Selakriya berjalan
kaki untuk menuju ke Demak dan menemui sanak keluarganya. Ternyata setelah dihitung-hitungnya, hampir lima tahun lebih ia ditahan di Pulau Mondoliko
yang terpencil itu. Ki Selakriya akhirnya menetap di daerah utara Demak dan meneruskan pekerjaannya sebagai pemahat
yang ulung. Hidupnya mulai agak tenang. Sekali-sekali
bila ada sanak keluarganya yang melawat ke daerah
timur, Ki Sela selalu menitipkan surat-surat untuk keluarga Wayan Arsana dan Sunutama di Gilimanuk.
Namun kenangannya kepada Bukit Kepala Singa itu
tak dapat terlupakan. Sebagai kenangan ia membuat
tiruannya dari batu putih dan diletakkannya di atas
meja kecil beralaskan kain sutera merah. Begitulah,
bertahun-tahun ia menanggung perasaan risau tentang bukit tadi sampai akhirnya pada suatu hari dikunjungi oleh putera Sunutama yang bernama Sekarwangi, seorang gadis kecil yang akan menemaninya dalam waktu lama. Sejak itu Ki Selakriya merasa tenteram karena didampingi oleh cucu tercinta.
Akan tetapi sayang sekali. Pada suatu hari secara
tiba-tiba muncullah Tangan Iblis di halaman rumahnya, membuat Ki Sela kaget bukan buatan.
"Apa maumu, Tuan?" ujar Ki Sela.
"Atas perintah Ki Rikma Rembyak, engkau harus
kembali ke Pulau Mondoliko, Ki Sela! Ada hal penting
yang harus kau kerjakan di sana!" demikian ujar Tangan Iblis seraya menatap tajam.
"Tidak! Aku tak mau kembali ke sana! Pulau itu ter-
kutuk!" "Keparat! Jika begitu terimalah ini. Hyaat! Plaak!"
Telapak tangan kanan si Tangan Iblis dengan tibatiba melayang ke dada Ki Selakriya yang seketika roboh dengan bekas telapak tangan yang mengecap kemerahan. Ki Sela tak berkutik, sedang Tangan Iblis
melesat pergi sembari ketawa puas.
Begitulah sampai akhirnya Sekarwangi meratap dan
memeluk tubuh kakeknya yang disandarkan di bawah
pohon sawo di halaman rumah.
"Nah, begitulah selengkapnya ceritera dan pengalamanku, Tuan-tuan! Ah, tentunya terlalu panjang ceritera tadi, sampai Andika semua tertahan berhari-hari
di rumahku ini. Maafkan aku," demikian ujar Ki Selakriya yang duduk di samping Sekarwangi. Di hadapan
mereka tampaklah Mahesa Wulung, Pandan Arum,
Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro.
Mereka seperti masih terpaku akan semua ceritera
Ki Selakriya yang baru saja berakhir tadi. Terlebih lagi
bagi Mahesa Wulung yang merasa berkepentingan sekali dengan Ki Rikma Rembyak dan Bukit Kepala Singa
itu. Bukankah rahasia panah Braja Kencar masih berada di tangan Ki Rikma Rembyak sampai saat ini.
Oleh sebab itu adalah menguntungkan sekali jika ia
sampai dapat berkenalan dan berjumpa dengan Ki Selakriya ini. Iapun teringat bahwa pemahat tua ini
mempunyai salinan denah dari Bukit Kepala Singa dan
sedikit banyak mengetahui seluk beluk rahasia bukit
tersebut. "Kami merasa senang dengan ceriteramu, Ki Sela,"
berkata Mahesa Wulung. "Justru kami tengah menyelidiki jejak Ki Rikma Rembyak dan gerombolannya."
"Ya, ya. Jika saja Tuan dapat menghancurkan Bukit
Kepala Singa itu...," keluh Ki Selakriya dengan muka
sedih. "Jangan risau, Ki Sela. Aku dan kawan-kawanku
berharap demikian karena pulau tersebut sangat
membahayakan keselamatan perahu-perahu serta
kapal armada Demak. Bahkan mungkin pula jika kekuatan panah di dasar Bukit Kepala Singa itu sangat
besar, dapatlah ia mencapai kota-kota dan memusnahkan kita. Ketahuilah Ki Sela, bahwa kami pernah
menghancurkan sebuah Kapal Hantu yang bersenjata
Panah Braja Kencar, berikut pemimpinnya bernama
Monjong Belis atau Monjong Iblis!"
"Ooh, syukurlah, Tuan," kata Ki Selakriya seraya
membuka ikat pinggang kulitnya. "Andika boleh melihat rahasia Bukit Kepala Singa yang terkutuk itu. Bukalah selembar lapisan kulitnya di sebelah dalam dan
Tuan akan mendapatkan denah tersebut."
Mahesa Wulung mengerjakan permintaan Ki Selakriya, dan benar juga, ia mendapatkan denah rahasia
itu. Maka semua perhatian menjadi tertuju ke arahnya.
Selesailah sudah seri Naga Geni 21, "Laki-laki di
Atas Bukit" dan segera menyusul kepada pembaca Seri
Naga Geni yang ke 22, berjudul "Jejak Telapak Iblis".
TAMAT Scan/Edit: Clickers PDF: Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Si Bungkuk Pendekar Aneh 3 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Samurai Terakhir 5
^