Pencarian

Laki Laki Diatas Bukit 1

Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit Bagian 1


BAGIAN I SUASANA KEBISUAN masih menyelimuti mereka
yang lagi duduk mengerumun di depan pondok Ki Tutur. Mereka seolah-olah masih terbayang akan segala
ceritera si kakek penggembala lebah yang baru saja lewat.
Bagi Tunjung sendiri, ceritera kakeknya tadi ternyata di luar dugaan bagi perbendaharaan pengetahuannya selama ini. Ia sama sekali tidak mengerti bahwa
Bogal Respati itulah yang membunuh kedua orang tuanya.
Maka setelah mengetahui hal itu, Tunjung terdiam
bersedih dan marah. Rasanya ia mau menginjak-injak
mayat si Bogal Respati tersebut, namun kebijaksanaannya telah membuatnya sadar, bahwa maksud itu
tidak ada manfaatnya sama sekali.
Bagaimanapun juga, durjana itu telah mati dan tak
perlu lagi untuk disesali oleh siapa pun!
"Sudah sewajarnya ia binasa, Ki Tutur," ujar Wiku
Salaka dengan mendesak. "Perlu pula Anda ketahui,
bahwa Bogal Respati pernah juga mengacau rumah
tanggaku!" "Heehh? Si keparat itupun pernah mengganggu Andika?" ulang Ki Tutur seraya dengan singkat menceritakan segala sepak terjang si Bogal Respati kepada Kakek Wiku Salaka. "Jika demikian, kita mempunyai nasib yang sama!"
"Memang benar," kata Wiku Salaka. "Keluargaku
berantakan. Anak isteriku cerai-berai tak karuan juntrungnya lantaran si Bogal Respati itu!"
"Hmm, sayang sekali," guman Ki Tutur terharu.
"Apakah Andika tidak pernah berusaha mencarinya?"
"Itu terjadi belasan tahun yang silam. Sekarang pun
aku belum pernah mendengar kabar beritanya."
Pertemuan yang tak terduga ini sangat besar manfaatnya bagi Ki Tutur sendiri maupun Wiku Salaka.
Demikian pula tak kurang gembiranya si pendekar
Ngurah Jelantik, Tunjung, Sunutama dan yang lainlain.
Ngurah Jelantik kemudian menceriterakan pengalamannya kepada kakek Wiku Salaka ketika ia bersama beberapa orang penjaga mengejar Nyi Durganti serta Tangan Iblis, sampai terjadi pertempuran dahsyat.
Kakek Wiku Salaka mengangguk-angguk mendengar penuturan Ngurah Jelantik. Dan iapun kemudian
menceriterakan segala maksudnya untuk menyelidiki
gerombolan Tangan Iblis serta mencari jejak Made
Maya yang diculik oleh mereka.
"Untunglah aku telah menemukan Angger!" berkata
Ki Wiku Salaka. "Sebab kami telah mencemaskan kepergianmu yang kelewat lama."
"Terima kasih, Ki Wiku. Sekarang juga kami bersedia membantu Andika untuk menyelidiki kedua hal
tersebut," demikian kata Ngurah Jelantik.
"Kami berduapun bersedia pula membantu Andika,"
ujar Ki Tutur kepada Kakek Wiku Salaka, yang tentu
saja diterima dengan senang hati.
Ketika mereka belum lagi lama beristirahat, mendadak saja terdengarlah seruan dari arah selatan mengagetkan semuanya, "Hoooii Ki Salaka! Sunutama!"
"Ooh, itu Ki Selakriya?!" desis kakek Wiku Salaka
seraya berpaling kepada Sunutama. "Benarkah pandanganku itu, Angger Sunutama!"
"Betul, Kakek. Itulah Ayahanda Selakriya," berkata
Sunutama sambil meloncat menyambut ayahnya. Katanya pula, "Ayah! Rupanya ada kejadian penting, jika
Andika sampai menyusul kami ke tempat ini?!"
"Akupun menyangka demikian, Ki Selakriya," kata
Ki Wiku Salaka. "Adakah sesuatu...?"
"Kejadian hebat. Tapi menggembirakan kita semua,"
seru Ki Selakriya dengan wajah yang penuh perasaan
gembira. "Angger Made Maya telah kembali dengan selamat!"
"Haa? Made Maya telah kembali?" berseru Kakek
Wiku Salaka, Sunutama dan yang lain-lain dengan heran bercampur gembira seperti terlukis pada wajahwajah mereka.
Ki Selakriya kemudian menceriterakan secara singkat tentang peristiwa tersebut.
*** "Tunjung, berangkatlah lebih dahulu bersama saudara-saudara kita ini. Aku akan segera menyusul setelah membereskan rumah dan mengatur lebah-lebah
putih kita!" demikian tutur Kakek Tutur kepada cucunya, si Tunjung.
Tak antara lama, berangkatlah rombongan kecil ini
menuju ke arah selatan, untuk selanjutnya membelok
ke barat daya dan seterusnya menuju ke daerah Gilimanuk tempat tujuan yang terakhir yakni rumah dan
kediaman Saudagar Wayan Arsana.
Bagai iringan semut yang berjalan satu persatu,
mereka menempuh lorong-lorong hutan yang lebat
dengan lambatnya. Paling depan sendiri adalah Pendekar Ngurah Jelantik dan Sunutama, berjalan kaki
sambil membuka jalan, yang kadang-kadang dipenuhi
oleh sulur-sulur dan ranting pepohonan liar di sanasini.
Di belakang mereka, Ki Wiku Salaka, Tunjung serta
Ki Selakriya berkuda. Lalu menyusul pula dengan berjalan kaki, si Tawes dan Paria. Sedang Jeprak berkuda
di sebelah paling belakang, sambil mengawasi segala
sesuatunya dari kemungkinan-kemungkinan bahaya
yang sewaktu-waktu bisa muncul.
Namun sebenarnya tak ada yang harus dikhawatirkan oleh Jeprak. Sebab jauh di belakang mereka, dalam jarak yang sukar diukur, berjalanlah Ki Tutur
dengan lebah-lebah putih piaraannya, yang sepanjang
perjalanan diiringi bunyi gemerisik dan dengungan
lembut bagaikan irama lagu mengalun.
"Paman Ngurah Jelantik," ujar Sunutama memecah
kebisuan, "Apakah si Tangan Iblis dan Nyi Durganti itu
kelewat sakti?" "Aku belum tahu pasti," sahut Ngurah Jelantik.
"Memang mereka tangguh-tangguh dan agaknya Nyi
Durganti menggunakan ilmu hitam pula!"
"Ooh, luar biasa kalau begitu!"
"Memang. Tapi kita belum mencoba kemungkinan
lain, kalau seandainya Nyi Durganti kita hadapi dengan kekuatan yang tergabung!"
"Itu sangat bagus!" sahut Sunutama. "Dan perlu
pula kita menggunakan siasat untuk menghadapi mereka! Bagaimanapun saktinya seseorang, tapi menghadapi siasat lawan haruslah hati-hati! Ehh, itulah ajaran Kakek Wiku Salaka," ujar Sunutama seraya tersipu-sipu malu, sebab ia seolah-olah telah berpidato di
depan pendekar kerajaan seperti Ngurah Jelantik ini.
"Heh, heh. Kau cepat maju, Sunutama," kata Ngurah Jelantik sambil berkelakar menggoda. "Tapi aku iri
kepadamu. Sebab kau yang lebih muda telah memperoleh jodoh sedang aku belum!"
Sunutama agak blingsatan, tetapi tiba-tiba ia berkata pelan diiringi senyum, "Stt, bagaimana dengan dewi
hutan, si Tunjung itu?!"
"Husss! Jangan ngomong keras-keras! Nanti dia
mendengarnya, Sunutama," berkata Ngurah Jelantik
serta tangannya mencablek punggung Sunutama. "Pintar pula kau menggoda orang."
"Hi, hi. Maaf, Paman. Tapi aku yakin bahwa ia patut
menjadi jodoh Andika. Lihatlah dari raut mukanya
yang mirip dengan Paman. Kata orang-orang tua,
orang yang sejodoh pasti memiliki raut muka yang sama."
"Aah ada-ada saja kau."
Begitulah, suasana perjalanan mereka tampak segar
dan gembira. Lebih-lebih setelah diketahui bahwa
Made Maya telah kembali dengan selamat.
Kini satu-satunya pemikiran adalah bagaimana seharusnya menghadapi gerombolan Tangan Iblis yang
sakti itu! Yang terang saja mereka akan berpikir berlipat-lipat, sebelum saat bulan purnama penuh akan tiba beberapa hari lagi. Sebab di saat itulah mereka
akan mendatangi rumah Wayan Arsana untuk menagih tiga peti uang emas serta harta benda sebagai tebusan si Made Maya,
Akhirnya, perjalanan mereka yang cukup panjang
itu berakhir pada sore hari menjelang matahari akan
membenam di garis langit barat.
Mereka disambut oleh I Wayan Arsana dan segenap
penghuni rumahnya dengan rasa syukur dan gembira.
Tetapi yang paling gembira adalah pertemuan kembali
antara Sunutama dan Made Maya.
*** Beberapa hari kemudian di sebuah senja... Di luar
pagar tembok halaman Saudagar Wayan Arsana, terlihatlah adanya kesibukan orang-orang yang lalu-lalang
mempersiapkan sesuatu. Terakhir sekali beberapa orang tampak mengusung
tiga buah peti besar dari kayu yang berukir indah. Ketiganya digotong keluar dari pintu gerbang rumah
Wayan Arsana dan kemudian diletakkan di atas pelataran luas yang ditumbuhi rumput-rumput. Beberapa
gubuk-gubuk tak berdinding dibangun pula di tempat
itu, tak jauh dari ketiga peti berukir.
Salah seorang yang turut bekerja di situ, seketika
memberi rerasan kepada temannya.
"Peti-peti itu dipersiapkan untuk Tangan Iblis! Aku
heran. Bukankah hal itu tidak ada gunanya? Toh Ni
Made Maya telah kembali dengan selamat."
"Ahh, kita tahu apa tentang hal itu? Barangkali Ki
Wayan Arsana memang takut terhadap gerombolan
Tangan Iblis, sehingga mereka harus menyiapkan tiga
peti uang emas dan perhiasan untuknya," ujar seorang
yang lain. "Tapi yang lebih aku herankan adalah Kakek
Wiku Salaka itu. Beliau mempunyai kesaktian yang
hebat! Tapi menjelang penyerahan peti-peti ini, ia telah
hilang, tidak menampakkan diri sama sekali."
"Nah, itulah barangkali salah satu sebab, mengapa
Ki Wayan Arsana harus menyerahkan peti-peti harta
itu. Aku dengar bahwa Kakek Wiku Salaka menyingkirkan diri jauh-jauh."
"Aku rasa, hal itu ada baiknya juga. Sebab dengan
begitu tidak akan timbul pertempuran antara Kakek
Wiku Salaka melawan Tangan Iblis! Yah, mudahmudahan saja demikian."
Percakapan kedua orang pekerja tadi telah membayangkan sepintas betapa mencengkamnya nama
Tangan Iblis pada mereka. Kegelisahan tampak merayapi mereka, lebih-lebih ketika perlahan-lahan sang
malam mulai menjelma dengan lenyapnya cahaya senja.
Bulan purnama penuh mencungul dari tepi langit
timur dalam cahaya perak keemasan yang mempesona. Kalau pada hakekatnya, pemandangan ini sangat
indah dan menenteramkan hati, tetapi kali ini adalah
sebaliknya. Kemunculan sang rembulan tadi justru
membuat jantung orang-orang yang berdiri di lapangan
rumput itu berdentang-dentang dengan kerasnya.
Mereka telah tahu, bila sang purnama tadi tepat berada di atas kepala, sesuatu pasti bakal terjadi. Yakni
kedatangan gerombolan Tangan Iblis.
Di bawah tiga gubuk tak berdinding itu berdiri pula
dengan tenangnya I Wayan Arsana, Ki Selakriya, Ki
Sukerte, dan Putu Tantri. Demikian pula terdapat si
Tawes, Paria dan Jeprak. Inilah aneh. Di manakah yang lain-lain, seperti Ki
Wiku Salaka dan beberapa pendekar lainnya, tidak
nampak sama sekali batang hidungnya. Barangkali
memang benar perkiraan sementara orang bahwa Kakek Wiku Salaka serta beberapa orang pendekar lain
telah menyingkirkan diri.
Semakin tinggi rembulan merayap ke atas, semakin
tegang suasana yang ditimbulkannya. Belasan orang
pengawal yang menyertai Wayan Arsana di gubuk itu
tampak bersiap-siap menggenggam senjatanya lebih
erat, seperti mereka yakin kalau sebentar lagi akan
timbul pertempuran yang seru di tanah lapang tersebut.
Saudagar Wayan Arsana sebentar-sebentar menatap
ke atas, ke arah bulan yang semakin tinggi mendekati
titik tengah lurus di atas kepala. Sebentar-sebentar ia
mengusap hulu pedangnya yang tergantung di pinggang kiri.
Tiba-tiba saja Jeprak berkata seraya menunjuk ke
arah tenggara. "Lihatlah itu! Mereka telah datang. Gerombolan
Tangan Iblis!" suara Jeprak dengan nada gemetar, sebab ketegangan yang telah lama dinantikan akhirnya
datang juga. Ketegangan tadi memang sudah sepatutnya, seiring
munculnya belasan sosok tubuh manusia yang datang
dari arah tenggara dengan langkah-langkah tak teratur
tapi cukup menggetarkan. Lebih-lebih yang berjalan
paling depan, berambut putih terurai panjang dengan
wajah kakunya, yakni Nyi Durganti.
Di samping agak ke belakang, Tangan Iblis melangkah sangat tenang. Wajahnya yang keras seperti bongkah-bongkah batu karang membuat keseraman yang
memukau. Di belakang mereka berdua, Tampaklah
Jembrana, Jimbaran, Dregil, Arje, Parse dan lainlainnya berjalan menyandang berseragam senjata di
tangannya. Dalam sentuhan sinar rembulan purnama, mereka
tampak seolah-olah barisan hantu yang sedang mendekati mangsanya. Sangat menimbulkan suasana yang
seram. Seiring langkah-langkah mereka yang berat, bergetar pulalah dada orang-orang yang berdiri di dekat ketiga peti harta serta pondok-pondok darurat. Mereka
bagaikan terpukau menyaksikan kedatangan Nyi Durganti, Tangan Iblis dan segenap anak buahnya.
Ketika mereka telah dekat sekali, tertawalah Tangan
Iblis terbahak-bahak seraya berkata kepada Nyi Durganti. "Heh, ha, ha. Lihatlah, Ibu. Orang-orang Wayan
Arsana ketakutan dengan kita dan mereka telah menyiapkan tiga peti harta!"
"Bagus! Memang itulah yang saya kehendaki!" ujar
Nyi Durganti. "Tapi hati-hatilah, Nak! Aku tak melihat
tokoh-tokoh sakti mereka?"
"Barangkali mereka menyingkirkan diri! lari terbiritbirit karena takut melihat kita!" seru Tangan Iblis menyombong lalu disusul suara tertawa anak buahnya.
Kemudian Tangan Iblis menunjuk ke arah Wayan
Arsana dan berkata, "Saudagar Wayan! Apakah petipeti itu berisi harta yang disediakan untuk kami?!"
"Memang benar!" ujar Wayan Arsana sambil membuka ketiga peti berukir tersebut. "Lihatlah, ini berisi
uang emas, dan segala harta benda untuk kalian. Saya
harap kalian puas dan tidak lagi mengganggu kami!"
"Bagus! Tapi satu hal lagi yang harus saya selesaikan di sini! Aku ingin mengadu tenaga melawan Kakek
Wiku Salaka yang pernah menghinaku!" ujar Tangan
Iblis. "Lupakan saja hal itu!" seru Wayan Arsana tenang.
"Barang yang sudah lewat tak usah dipersoalkan lagi!"
"Keparat! Jika si tua bangka itu tidak ada, maka kalian akan kami lumatkan! Bersiaplah untuk itu! Keluarkan setiap senjatamu untuk penghabisan kali!" teriak
Tangan Iblis menggetarkan udara malam.
Tiba-tiba saja ketiga peti tadi bergetar dan berhamburanlah harta emas di situ ke udara, berbareng tiga
sosok tubuh manusia meloncat ke luar dari dalam peti
tersebut dan sesaat kemudian telah mendarat di dekat
Wayan Arsana! Mereka bertiga tidak lain adalah Kakek
Wiku Salaka, Sunutama dan Pendekar Ngurah Jelantik! Kemunculan mereka benar-benar mengejutkan
Tangan Iblis beserta anak buahnya, lebih-lebih Nyi
Durganti sendiri. "Kurang ajar! Kalian main kucing-kucingan!" seru
Tangan Iblis sangat marah. Sambil menoleh kepada
segenap anak buahnya, ia berteriak, "Hancurkan mereka!"
Yang melesat pertama kali adalah Nyi Durganti,
menerjang ke arah Kakek Wiku Salaka dengan menggeram. Sedang Ngurah Jelantik sebaliknya, ia menyerang Tangan Iblis lebih dahulu dengan pedangnya.
"Kami datang, Iblis! Terimalah!"
Dalam detik itu pula, Sunutama. Wayan Arsana, Ki
Selakriya dan yang lain-lain menerjang ke barisan
anak buah Tangan Iblis, sehingga pertempuran hebat
berkobarlah! Sunutama yang masih muda tapi perkasa itupun
telah pula terlibat pertempuran melawan Jembrana.
Kalau pada saat yang lalu ia pernah gentar melihat
tandang gerak si Jembrana, kali ini tidak lagi demikian. Berkat gemblengan dan bimbingan Kakek Wiku
Salaka, Sunutama telah benar-benar tangguh dan kokoh, bagaikan banteng jantan yang siap mendobrak
lawan! Karenanya, Jembrana yang bersenjata penggada besi tidak lagi ragu menggempurkannya ke arah Sunutama dengan gerakan yang hebat, menyambar, berputar-putar dan kemudian menggebrak ke tubuh lawannya tanpa putus-putusnya.
Dalam gerakan gesit tubuh Sunutama melenting ke
sana kemari mengelakkan penggada Jembrana yang
mengejarnya dengan beruntun. Akan tetapi tidak jarang pula ia mematukkan pedangnya dalam gerakan
kilat yang kadang-kadang sukar ditangkap mata.
Hal ini tidak jarang menyebabkan Jembrana memaki dan mengutuk saking geram dan marahnya, meski
dalam hati tak urung ia menaruh rasa kagum kepada
Sunutama! Rasa marah yang berkobar bagaikan obor, rupanya
telah pula merangsang hati Tangan Iblis hingga gerakannya makin bertambah hebat. Pedang lebar di tangan kanannya menebas secepat angin prahara sementara tangan kirinya tidak jarang menyambar dan siap
dengan pukulan mautnya yang dahsyat ke arah Ngurah Jelantik berada.
Dengan sendirinya, Ngurah Jelantik tidak mau memandang enteng lawannya itu. Nama Tangan Iblis cukup menggetarkan setiap orang seperti pula gerakannya yang betul-betul mirip gerakan iblis kelaparan.
Maka Ngurah Jelantik mengetrapkan segala ilmu
dan petunjuk-petunjuk yang telah diterimanya dari Ki
Turut guna menghadapi iblis liar ini. Dengan bera-
ninya ia memapaki setiap serangan Tangan Iblis, sedang di saat lain tubuhnya selalu berkelebat menyelinap di antara sambaran pedang lebar si Tangan Iblis.
Di sebelah tengah dari kancah pertempuran, Kakek
Wiku Salaka seru menghadapi serangan Nyi Durganti.
Keduanya seolah-olah merupakan lawan yang tangguh


Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan seimbang. Senjata tongkat di tangan nenek ubanan berwajah kaku tadi menotok dan menyambar ke
setiap bagian lemah dari lawannya, namun Kakek Wiku Salaka telah menduga hal itu, sehingga ke mana
ujung tongkat Nyi Durganti bergerak, ke situ juga selendang pendek di tangannya mencelat dan membentur, diiringi letupan-letupan yang memekakkan telinga
serta menggetarkan udara.
Tiba-tiba saja Nyi Durganti menyilang-nyilangkan
tangan kirinya di depan kepala bersama bibirnya bergetar mengucapkan mantera, lalu menggeram, "Gerr...
haarh!" Seketika hampir setiap orang terbengong begitu
sempat menatap wajah Nyi Durganti yang tampaknya
berubah menjadi wajah seram bertaring dengan lidah
merah terjulur-julur disertai bau harum menusuk hidung. Geraknyapun berubah liar.
"Ilmu hitam!" desis kakek Wiku Salaka sangat kagetnya. Apalagi setelah hawa panas mengalir dari gerakan Nyi Durganti sampai-sampai rumput di sekeliling
tubuhnya layu lunglai. Biarpun demikian, Kakek Wiku Salaka pantang
mundur. Bibirnyapun berkomat-kamit dan siap menyiapkan puncak ilmu dan tenaga dalamnya, sebab
sewaktu Nyi Durganti menerjang ke arahnya, iapun
menyambutnya. "Hyaatt...! Daarr!" Tongkat Nenek Durganti hancur
terbabat selendang Wiku Salaka, lalu tubuhnya terpental tiga langkah sambil terbatuk-batuk karena na-
fasnya yang sengal-sengal.
Iapun menjadi kaget ketika dari balik semak-semak
di sebelah selatan muncul beberapa orang penjaga
yang dikepalai oleh Made Maya, Tunjung dan Ki Tutur.
Mereka datang dan terjun ke arena pertempuran tersebut. Beberapa orang anak buah Tangan Iblis telah
berkaparan mati. Malah sesaat itu pula tampaklah Jembrana yang
mengamuk dengan hebatnya, bagaikan harimau luka.
Setiap saat geraknya bertambah garang, dengan gada
besinya menyambar dan menyapu setiap bagian tubuh
Sunutama yang tampak. Dengan begitu, maka bagi setiap orang yang melihat
tandang gerak Jembrana, terpaksalah mereka ngeri
dalam hatinya. Mereka dalam jarak cukup jauh saja
sudah dapat mendengar dan merasakan desau sambarannya angin dari penggada besi di tangan Jembrana.
Apalagi jika seperti Sunutama yang langsung menghadapi serangan-serangannya.
Dalam jarak permulaan dari jurus-jurus pertempuran antara Jembrana melawan Sunutama, sepintas lalu seperti dapat dipastikan bahwa pendekar muda murid Ki Wiku Salaka ini pasti akan terpukul roboh oleh
gada besi Jembrana. Namun kadang-kadang memang perkiraan tidak
akan selalu cocok dengan kenyataan yang bakal terjadi. Seperti Sunutama yang kelihatan selalu terdesak
oleh lawannya tadi ternyata hanyalah satu siasat saja.
Pemuda yang berotak cerdas ini membiarkan serangan-serangan lawannya mengalir tanpa berhenti, sebab
sesungguhnya ia secara diam-diam selalu memperhatikan setiap macam jurus dan serangan Jembrana.
Karenanya, banyaklah ia dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari lawannya sehingga hal ini
dapat digunakan dalam mempersiapkan serangan-
serangan balasan yang bakal dilancarkannya kemudian.
Di samping itupun si pendekar muda ini telah banyak mendapat bimbingan, baik dari Ngurah Jelantik
maupun Kakek Wiku Salaka sendiri. Maka sambil bertempur ia secara bertahap menumpahkan segala pelajaran tata kelahi dan segala siasatnya yang dipelajari
dari kedua gurunya tadi. Tidak jarang iapun sengaja memancing kemarahan
Jembrana dengan ejekan dan senda guraunya. "Heh,
jangan ngawur, sobat! Kau harus memutar penggadamu dengan baik! Jika tidak, aku merasa cemas bahwa
ia akan memukul hancur kepalamu sendiri!"
"Setan! Bicaramu terlalu sombong, bocah ingusan!
Marilah kau buktikan, apakah engkau masih mampu
bertahan menghadapi serangan-seranganku ini!" teriak
Jembrana disertai kemarahan yang meluap. "Jangan
kau kira bahwa bertempur akan sama mudahnya dengan pekerjaanmu yang hina, mengukir-ukir batu dan
kayu!" Mendengar ini, hampir saja Sunutama terjangkit
marahnya, tapi untunglah perasaan tadi segera ditahannya dengan cukup menggemeretakkan giginya.
Kemudian katanya pula, "Hah, hah. Memang sangat
mudah, sobat. Dengan pedangku ini aku mampu mengukir patung-patung yang indah. Tapi juga dengan ini
aku sanggup mengukir batok kepalamu!"
"Laknat bobrok! Mulutmu terlalu berharga untuk
diremukkan dengan penggadaku ini! Sebaliknya nanti
kusumbat dengan lumpur busuk sebelum kuinjakinjak dengan telapak kakiku!" geram Jembrana sambil
melipat-gandakan serangannya.
Mendapat serangan gencar ini, Sunutama tak mau
lebih banyak bergurau sebab ia khawatir kalau-kalau
hal tersebut bakal melengahkannya sendiri.
Hanya satu hal yang merupakan keuntungan bagi
Sunutama, bila ternyata Jembrana telah bertempur
dengan disertai kemarahan yang membanjir, sehingga
tidak jarang beberapa kesalahan kecil telah dibuatnya!
*** Di sebelah lain, Ki Selakriya diam-diam merasa
gembira bila puteranya, Sunutama, mampu menghadapi Jembrana dengan baik. Akan tetapi sayang ia tidak sempat mengawasinya lebih lanjut, sebab dia sendiripun sibuk melawan serangan-serangan Dregil, salah seorang anak buah Tangan Iblis yang bersenjata
tombak. Berbeda dengan Sunutama yang bertempur sambil
memancing kemarahan lawan, Ki Selakriya ini lebih
tenang dan waspada. Setiap geraknya diperhitungkan
teliti dan sematang mungkin sebelum ia melancarkan
serangan ke arah lawannya. Ki Selakriya bergerak dengan gesitnya untuk menghadapi tikaman-tikaman
maut dari tombak Dregil yang datang bagaikan paruhparuh garuda yang siap menyobek-nyobek tubuhnya.
Beruntung bahwa dia memiliki bekal yang cukup
untuk pertempuran yang semacam ini. Pedangnya
berputar bagai pusaran air, siap menenggelamkan lawannya.
Kedua lawan itu sambar-menyambar sementara
masing-masing senjatanya berkilapan bergulunggulung mencari sasaran tubuh lawan yang lengah pertahanannya.
Dregil merasa bahwa ia telah gencar melancarkan
serangan tombaknya, namun toh lawannya tadi belum
tampak terdesak ataupun kewalahan. Karenanya pula
tandangnya semakin gesit.
Tombak di tangannya berganti-ganti menyerbu lawan. Sekali-kali ujung tombak itu mematuk-matuk, di
lain saat ia menyambar ke samping kiri atau kanan.
Sedang pangkal tombaknya, juga tak kalah melancarkan serangan, laksana ekor ular naga yang menyabet
kesana-kemari. Menghadapi hal ini, Ki Selakriya tidak lagi cuma
menghindar kesana-kemari. Pedang di tangannya bergerak lebih hebat sampai-sampai hanya terlihat sebagian kilatan cahaya perak sang rembulan yang bersinar-sinar di langit bersih.
Dregil benar-benar terkejut melihat tandang Ki Selakriya. Dalam pandangannya, Ki Selakriya adalah seorang tua, seorang pemahat yang kerjanya mengukir
barang yang halus-halus. Setidak-tidaknya muka Ki
Selakriya akan mencerminkan sifat-sifat tersebut di
dalam tatakelahinya. Ternyata ia telah berhadapan
dengan gerak yang gesit dan ganas malahan tidak jarang di luar dugaannya, Ki Selakriya menyerang sangat cepatnya, seperti seekor burung serigunting menyambar capung.
Sebentar kemudian Dregil mulai tampak berkeringat dan sekali-kali terdesak oleh serangan Ki Selakriya
yang makin menggencar. Walau tombak di tangannya
terus-menerus beraksi, tetapi tidak pernah sanggup
menyentuh tubuh lawannya.
Tidak jarang bahwa tikaman-tikaman tombaknya
yang seperti akan segera menembus tubuh Ki Selakriya, tahu-tahu lawannya ini dengan gesit meliukkan
tubuh, hingga mata tombaknya cuma menikam udara
kosong. Atau mendadak saja, kaki Ki Selakriya telah
menginjak leher tombaknya, selagi senjatanya ini menyabet ke dada Ki Sela. Kemudian dengan meminjam
tenaga pukulan tombak tersebut, Ki Sela gesit menggenjotkan kaki dan tubuhnya melenting ke udara.
"Awas kepalamu, lepas!" seru Ki Selakriya seraya
menyambar ke bawah dan ujung pedangnya menyam-
bar ke arah kepala Dregil. "Hyaaatt!"
"Huh, kau kira mudah untuk merampas kepalaku
yang cuma sebuah ini! Nih, makanlah tombakku!
Huuup!" gerendeng Dregil sehabis mengendapkan tubuh, dan secepat kilat ia menohokkan tombaknya ke
arah lawan. "Traaang!" Pedang Ki Selakriya menebas mata tombak Dregil sebelum sempat mendekati lambungnya
dan akibatnya ujung tombak itu tergeser ke samping
beberapa kaki. Dalam saat yang sekilas ini, tanpa diduga kaki Ki Sela mendupak bahu Dregil dengan kerasnya. "Bukk! Aaah!"
Dregil tergelimpang nyungsep ke tanah seraya memaki-maki, apalagi setelah didapati bahwa tangkai
tombaknya telah patah akibat tertindih oleh berat badannya.
Buru-buru ia memungut potongan ujung tombaknya, tetapi sekali ini Ki Selakriya tidak melewatkan kesempatan baik. Dengan kecepatan luar biasa, ujung
pedangnya menebas miring ke arah lawannya, lalu terasalah bahwa sesuatu terlanggar. "Breeettt! Haaah!
Uh, uh!" Dregil terjajar dengan mulut menyeringai-nyeringai,
lalu tubuhnya gemetar untuk kemudian ambruk ke
tanah dengan lambungnya yang sobek!
*** BAGIAN II KEMATIAN DREGIL sangat mengagetkan si Arje
yang saat itu sedang bertempur pula di dekatnya, melawan seorang penjaga yang bernama Jeprak.
Betapa tidak marah dan geram si Arje, melihat sahabat karibnya telah mati. Maka serangannya menjadi
berkobar-kobar melanda ke arah Jeprak.
Sepasang pedang pendek pada tangan Arje bergantiganti silih menyambar ke tubuh lawan. Tak ubahnya
hempasan-hempasan ombak laut selatan yang ganas
serta tanpa berhenti bergulung-gulung ke tepi.
Kedua pedang tersebut mengeluarkan sinar berkilapan, terkena pantulan cahaya rembulan, membuat kesan yang menyeramkan dan menimbulkan rasa gentar.
Pedang si Jeprak berkali-kali kewalahan menahan
serangan sepasang pedang pendek lawannya. Terlebih
lagi bahwa setiap pukulan kedua pedangnya, selalu dilambari dengan tenaga dalam yang tersalur baik. Sehingga karenanya, hampir setiap benturan pedang, Jeprak menjadi tergetar tangannya, disertai rasa pedih
yang menyengat-nyengat. Maka tidak jarang ia menggunakan kedua belah tangannya guna menggenggam
hulu pedangnya. Tetapi ternyata hal ini merupakan satu langkah kekeliruan yang pernah diperbuatnya! Dengan menggunakan kedua belah tangannya tadi, Jeprak
menjadi kekurangan kewaspadaan maupun keseimbangan geraknya.
Dan jika pada suatu ketika ia terpaksa menangkis
pedang kanan Arje, tiba-tiba saja pedang lawan yang
sebelah kiri berkelebat menyambar sangat cepatnya.
"Wesstt! Aduuuhh!" teriak Jeprak ketika perutnya
merasa disinggahi oleh sebuah sambaran benda dingin
yang tidak lain adalah pedang kiri lawannya!
Dengan terhuyung, Jeprak masih berusaha menahan dirinya untuk tetap tegak, namun sejurus kemudian ia terguling roboh di atas tanah, sedang darah segar mengalir dari luka perutnya.
"Ha, ha, ha, mampus kau sekarang!" seru Arje dengan sombongnya. "Cuma begitu saja kekuatan pengawal dari Wayan Arsana?!"
Belum sesaat selesai bicara, Arje sangat terkejut se-
bab sesosok bayangan manusia telah menerjangnya
sambil berteriak, "Keparat! Akulah yang bakal menuntut balas kematian saudara Jeprak!"
"Haa! Seorang lagi akan mengantar nyawa!" teriak
Arje seraya menebaskan kedua pedang pendeknya.
"Trang Trang Traaang!" Arje menjadi terkejut lebih
dahulu sebab nyatanya kedua pedang kebanggaannya
dapat ditangkis oleh tongkat pendek lawannya yang
berujung dua, dan terbuat dari logam putih.
"Heeh, heh! Akulah Paria! Hadapilah aku tanpa segan-segan!" seru Paria dengan lantang.
"Bagus! Akan terpenuhi keinginanmu tadi!" teriak
Arje seraya melesat menyerang ke arah Paria dan pertempuran hebat berlangsung kembali.
Bagaimanapun pedang pendek Arje berputar, tetapi
sekali ini lawan yang dihadapi mempunyai kepandaian
cukup tinggi dan melebihi kepandaian lawannya yang
terdahulu. Tongkat pendek bercabang milik Paria ternyata
sanggup berputar dan ujungnya mengurung gerakan
pedang si Arje laksana leher-leher elang yang melentur-lentur siap menyambar pedang-pedang tadi.
Dan rupanya Arje tidak begitu menyadari bahaya
tongkat bercabang milik Paria. Selama ini ia belum
pernah melihat senjata yang serupa itu, apa lagi menggunakannya.
Oleh sebab itu ketika keduanya telah bertempur puluhan jurus, tiba-tiba saja Arje telah dibikin terkejut
karena pedang kirinya telah tertahan sesuatu, tanpa
mampu bergerak sedikitpun.
"Heh?" desis Arje serta memperhatikan pedang kirinya dan ternyata pedang tadi telah terjepit oleh ujung
cabang tongkat pendek si Paria, yang menjepit bagaikan capit seekor kepiting.
Tetapi sebelum Arje sempat berbuat sesuatu dan
sadar akan apa yang terjadi, tahu-tahu tongkat cabang
Paria telah dipelintir ke samping sehingga tanpa ampun lagi, pedang kiri Arje terpelanting lepas dari tangannya.
"Nah, cobalah mulutmu menyombong lagi, keparat!
Pedangmu kini tinggal sebuah saja! Hayo, terimalah
seranganku berikutnya!" demikian teriak Paria seraya
menyerbu ke arah lawannya kembali.
Arje mengumpat begitu pedangnya tinggal sebuah
saja dan baru tahulah sekarang, betapa tongkat baja
bercabang dari lawannya itu tidak bisa dipandangnya
ringan. Dengan hanya pedangnya yang tinggal sebuah, Arje
melawan kembali dan ia harus menggunakan satu siasat ataupun gerak tipuan guna menghancurkan serangan lawan.
Begitulah, ketika suatu saat Paria menangkis pedangnya, Arje secepat kilat melancarkan pukulan tangan kirinya ke dagu Paria dengan kerasnya. "Praaak!"
Seketika tubuh Paria terjajar ke belakang dan terhuyung-huyung sebab pukulan Arje yang tadi menyambar dagunya, terasa bagai sebuah palu godam
yang melanggar tanpa tanggung-tanggung dahsyatnya.
"Sekarang mampus kau!" teriak Arje seraya mengejar Paria yang lagi terhuyung disertai tebasan pedangnya. Akan tetapi dengan tidak diduga, kaki Paria mengait kaki Arje yang seketika jatuh terguling di tanah.
Tanpa menunggu, Paria menubruk si Arje dan keduanya jatuh terguling-guling di tanah, tindihmenindih silih berganti dengan senjata masih di tangan masing-masing.
"Hekkk!" geram Arje sambil membeliak. "Kau...
kau... keparat...!" kata-kata Arje terhenti sampai di situ
sebab tubuhnya terkapar lunglai dengan tongkat bercabang milik pengawal Paria telah menancap dadanya.
Sementara itu, Paria sendiri cuma tergores kecil
oleh pedang pendek lawannya dan lukanya meneteskan darah. Namun itu tidak berarti bagi si pengawal
yang gagah berani ini. *** Pertempuran sengit di bawah sinar perak sang rembulan terus berlangsung, tanpa mempedulikan berapa
banyak korban manusia yang jatuh pada kedua belah
pihak, yakni pihak Wayan Arsana melawan pihak Tangan Iblis. Dari pihak Wayan Arsana tidak kurang dari
lima orang pengawalnya telah roboh terluka parah
ataupun mati tergeletak di tanah. Sedang pihak Tangan Iblispun tidak sedikit pula kehilangan orangorangnya, seperti kematian Dregil dan si Arje yang terkenal cukup tangguh itu.
Pertempuran tidak menjadi reda hanya disebabkan
oleh kematian orang-orang yang kini bergeletakan di
tanah dan rerumputan itu. Selama semangat dan keberanian masih bersemayam di relung hati orangorang yang berada di kancah pertempuran ini, pertempuran akan masih tetap berkobar.
Yang tidak kalah serunya adalah perang tanding antara Putu Tantri, si dara bersenjata sepasang kipas perak, melawan si Parse yang menggenggam rantai. Keduanya sama-sama sangat tangguhnya dalam oleh kesenjataan dan tata kelahi. Sehingga karenanya, belum
ada tanda-tanda siapa bakal keluar sebagai pemenangnya meskipun keduanya telah bertempur belasan
jurus. Kalau rantai di tangan Parse sanggup menyambarnyambar sehebat pusaran angin, maka sepasang kipas
perak Putu Tantri menyambar-nyambar menimbulkan
angin dingin yang setiap kali sanggup membabat putus
segala rintangan yang berada di hadapannya.
Berkali-kali kedua senjata tadi bertemu dan berdentang, menerbitkan bunga-bunga api berloncatan ke
udara. "Heh, heh, kau memang hebat, Nona. Sebab itu,
jangan salahkan jika aku terpaksa melawanmu habishabisan," ujar Parse yang bertubuh gemuk itu sambil
melototkan mata. "Tak usah dengan kata-kata! Buktikan saja kesanggupanmu itu!" berseru Putu Tantri sementara kedua
kipas peraknya menyerang dengan hebat ke arah lawan.
Parse yang bertubuh gemuk dan bersenjata rantai,
memiliki kekuatan yang menakjubkan. Namun perkara
kegesitan untuk berlompatan kesana-kemari ia kurang
menguasainya karena keadaan tubuhnya memang tidak mengijinkan untuk diajak seperti itu.
Berkali-kali ia terpaksa bergerundal karena lawannya si dara berkipas perak ini, dengan lincah berloncatan kesana-kemari sambil sekali-sekali menyabetkan
kipas peraknya. Walaupun Parse telah berkali-kali menyerang dengan rantainya, toh masih belum sanggup mendesak
Putu Tantri. Karenanya Parse makin menyadari bahwa
sepasang kipas perak di tangan dara itu bukanlah senjata yang sepele saja. Maka ia menjadi lebih berhatihati.
Ketika suatu saat Parse melecutkan rantainya, dengan sigap Putu Tantri menangkis dan kemudian menjepit senjata tersebut dengan kedua kipasnya!
"Sreettt!" Parse kaget seketika, begitu rantai di tangannya kena dijepit lawan. Secepat kilat ia berusaha
menghentaknya, tapi sungguh menakjubkan, bahwa ia
tak berdaya sama sekali. Seolah-olah senjata rantainya
tengah dijepit oleh jari-jari seorang raksasa.
"Hyaatt!" Dengan gerakan tak terduga, Putu Tantri
meminjam tenaga tarikan dari lawannya dan melesatlah ia ke arah Parse. "Breett! Eaarrgghh!"
Dada Parse tersobek oleh tebasan kipas perak Putu
Tantri dan tubuhnya roboh bergulingan di tanah dengan bermandi darah dan sesaat kemudian, mati.
Kemudian Putu Tantri menerjang ke arah lawanlawannya yang lain, bagai seekor banteng mengamuk.
***

Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak jauh dari tempat itu, Ki Sukerte tengah gigih
menghadapi serangan pedang kembar di tangan Jimbaran. Sejak dari jurus yang mula-mula, pertempuran
ini sudah nampak berat sebelah dan tidak seimbang.
Ini tak usah diherankan, sebab Jimbaran tergolong
tangan kanan dari Jembrana dan juga murid dari Tangan Iblis! Dengan demikian segala ilmu yang dimilikinya benar-benar luar biasa.
Pedang-pedangnya mampu bergulungan menyambar lawannya secepat prahara, membuat Ki Sukerte
yang hanya bersenjata sepucuk keris itu, terdesak terus-menerus.
Rupanya, Ki Sukertepun telah berusaha matimatian menghadapi serangan-serangan Jimbaran yang
makin mengganas. Gerakan kerisnya selalu saja tenggelam dalam putaran pedang Jimbaran, tak ubahnya
setetes air yang dituangkan ke dalam samudera, lenyap tanpa bekas!
"Ha, ha, ha. Pulanglah saja, sobat!" seru Jimbaran
setengah mengejek. "Aku masih memberi kesempatan
bagimu untuk kabur dari hadapanku ini!"
Ki Sukerte sangat marah mendengar kata-kata itu
lalu berseru pula ia dengan lantang, "Untuk apa mundur? Sudah semestinya laki-laki mati di medan laga!"
"Ucapanmu sungguh bagus!" teriak Jimbaran. "Harus kau buktikan hal itu sekarang!" Demikian selesai
dengan kata-katanya, Jimbaran menerjang dengan jurus-jurus puncak dari ilmu pedangnya, dan ini benarbenar di luar dugaan bagi lawannya!
Kedua pedang Jimbaran seolah-olah menjadi ratusan mata pedang yang menyambar ke arah Ki Sukerte
dengan dahsyatnya. Tanpa tanggung-tanggung, Ki Sukerte meloncat ke
atas, menghindari pedang lawannya. Tapi Jimbaranpun lebih gesit lagi. Begitu ia melihat lawannya melesat ke udara, iapun menjejakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melenting pula, sementara kedua pedangnya
bergerak menebas sangat cepatnya. "Seett! Srett!"
"Aaauuuggghhh!" jerit Ki Sukerte ketika tiba-tiba
pedang Jimbaran berbareng menggasak lambungnya.
Seketika itu juga tubuhnya runtuh ke atas tanah seperti seekor burung yang tertembak panah!
Melihat ayahnya roboh, Putu Tantri meloncat segera
ke tempat tersebut lalu mendekap tubuh Ki Sukerte
seraya menangis terisak-isak seperti anak kecil.
"Ayah! Oh, Ayah! Huuuu..." Putu Tantri seperti terlupa akan dirinya sendiri. la tidak ingat lagi bahwa ia
masih berada di gelanggang pertempuran.
Dengan meratapi tubuh ayahnya yang berlepotan
darah Putu Tantri tenggelam dalam kedukaan dan rasa
kehilangan yang tak terkira besarnya. Seolah-olah ia
terlupa bahwa di sekitarnya penuh dengan bahaya
yang setiap saat dapat merenggut nyawanya. Yang dirasakan dan tampak dalam pikirannya hanyalah dirinya, serta tubuh ayahnya. Keduanya seolah terdampar di tanah kosong yang gersang dan kering, tanpa
manusia lain di sekitarnya.
Memang sesungguhnyalah bahwa Putu Tantri telah
terhanyut perasaannya. Dalam saat itu juga, Jimbaran yang masih berdiri di
situ dapat melihat si Putu Tantri selagi meratapi ayah-
nya. Maka iapun segera melangkah ke arah pendekar
puteri tersebut dan siap dengan tebasan kedua pedangnya!
Tetapi mendadak saja sesosok tubuh lain telah melesat dan menghadang di tengah jalan sehingga Jimbaran menjadi kaget olehnya.
"Huh, kaupun sudah bosan hidup, haa?!" sapa
Jimbaran selagi menatapi seorang lawan yang berdiri
di hadapannya sambil menggenggam tongkat pendek
bercabang. "Siapa namamu?!"
"Aku Paria!" ujar lawan yang tegap berdiri di hadapannya. "Akulah lawanmu sekarang! Jangan kau
ganggu gadis itu!" "Keparat! Kau berlagak jadi pahlawan, hah?!" seru
Jimbaran sambil bersiaga dengan kedua pedangnya.
"Rasakan pedangku ini. Hyaattt!"
Seketika itu pula terjadilah pertempuran seru antara Paria dan Jimbaran. Kedua senjata mereka saling
kejar-mengejar dan beradu mencari sasaran masingmasing.
Rupanya memang ilmu pedang Jimbaran cukup hebat, sebab hal ini dapat dirasakan oleh Paria yang selalu tergeser surut sedikit demi sedikit.
Oleh sebab itu pula, Paria selalu berhati-hati sementara tongkat bercabangnya siap menunggu kesempatan beraksi. Dan akhirnya, pada suatu saat tongkat
tadi benar-benar mendapat kesempatan baik.
"Claang! Treekk!" Tahu-tahu pedang kanan Jimbaran kena dijepit oleh tongkat cabang Paria. Akan tetapi
sayang, bahwa Jimbaran lebih gesit bertindak.
Demikian pedang kanannya kena dijepit lawan maka pedang kirinya menyabet ke depan. "Claap!" Secepat
kilat Paria sempat mengelak dan berbareng itu ia
menghentakkan tongkatnya sekuat tenaga.
"Uuh?!" desis Jimbaran begitu pedang kanannya
terpelanting lepas dari jari-jemari tangannya, akibat
hentakan tongkat Paria. Berbarengan itu pula, Jimbaran melihat kesempatan baik terbukti pedang kirinya tiba-tiba menerobos
ke depan. "Jlepp! Aaduuhhh!" Paria menyeringaikan mulutnya. Sesaat Paria berteriak ketika dadanya ditembus
oleh pedang Jimbaran dan darahnya muncrat ke luar,
disusul dengan robohnya tubuh yang telah tak berdaya
ini ke tanah. Tanpa terduga sama sekali, sesosok bayangan manusia berkelebat menghampiri Jimbaran dan sebuah
pedang di tangan si pendatang tadi menebas dengan
cepat ke arah Jimbaran. "Wesss... classs!"
Lengan kiri Jimbaran bersama pedangnya terlepas
kutung oleh pedang si pendatang yang tidak lain adalah pengawal Tawes, dan kemudian tercampak di atas
tanah. Jimbaran mendesis kesakitan, sambil tak hentinya
menatap ke arah tangan kirinya yang telah buntung
dan hilang! Darah segar melontak ke luar seperti mata
air yang tak habis-habisnya dari pangkal lengan kiri
tersebut. Malah kemudian rasa berkunang-kunang telah menyerang mata Jimbaran akibat darahnya yang
mengalir ke luar terus-menerus.
Sebelum Tawes mampu berbuat lain, Jimbaran telah melesat kabur ke arah selatan sambil menggerunggerung tangisnya dan meninggalkan medan pertempuran.
*** Tidaklah kalah serunya pertarungan mati-matian
antara Sunutama melawan Jembrana. Sudah tak terhitung lagi jurus-jurus yang telah mereka gunakan dalam mengadu ketangkasan dan ilmu yang dimilikinya
Tapi sejauh itu, penggada Jembrana yang selalu menyambar bagaikan halilintar, belum mampu menyentuh tubuh Sunutama. Hal ini membuat Jembrana makin penasaran, sebab gerakan Sunutama benar-benar
lincah, bagai bayangan yang senantiasa berpindah
tempat apabila serangan-serangan datang mengejarnya.
Karenanya pula, secara perlahan-lahan moril Jembrana menjadi mengkerut, melihat segala serangannya
selalu kandas di tengah jalan.
Meskipun sekali-sekali senjatanya sempat beradu
dengan pedang Sunutama, tapi sama sekali tak memberi pengaruh apapun bagi lawannya yang masih muda ini. Keduanya tergetar surut beberapa langkah.
Malahan pedang Sunutama terasa sangat membahayakan bagi dirinya. Sekali-sekali pedang tersebut
mematuknya bagai paruh garuda dan sekali tempo
mengejarnya laksana ular. Maka makin nyatalah bahwa ia terdesak oleh lawan mudanya ini terus-menerus.
Beberapa kali ia berusaha menjaga keseimbangan
tubuhnya ketika ia merasa bahwa nafasnya berdesakan tersengal, membarengi gerakan tubuhnya yang
limbung. Namun Sunutama tidak pula lekas-lekas menyudahi pertempuran ini, sebab sesungguhnya pertahanan
Jembrana masih cukup kuat. Penggada lawannya masih saja menyambar-nyambar melindungi tubuhnya
dan ini sudah dimaklumi oleh Sunutama, bahwa gerakan-gerakan tersebut dilakukan Jembrana hanya sekedar untuk melindungi dirinya. la hanya mampu bertahan saja sekarang.
Kini Sunutama tinggal menanti saat yang baik untuk merobohkan Jembrana yang telah sangat kerepotan dan ketika sambaran gada lawannya agak ketinggian, detik itu pula pedang Sunutama telah meluncur
dengan kecepatan kilat ke arah lawannya. "Hyaatt, terimalah ini!"
Dengan tepatnya mata pedang Sunutama telah
menghunjam tembus dada Jembrana dan seketika itu
pula robohlah ia dengan menjerit parau. "Eaarrhh!"
Dalam saat itu pula, Nyi Durganti yang telah mengatur tenaganya segera melambung tinggi untuk menerkam ke arah kakek Wiku Salaka, sementara jari-jari
tangannya mengembang, bagai sepasang cakar garuda
yang siap menyobek tubuh lawan, seraya berteriak,
"Kakek tua! Terimalah seranganku berikutnya.
Heaattt!" Kakek Wiku Salaka lebih gesit pula. la menyambut
terkaman tadi dengan lecutan selendang pendeknya
hingga sekejap kemudian terjadilah benturan tenaga
dalam. "Blaarr!"
Tubuh nenek Durganti runtuh ke tanah, terhempas
dengan kerasnya bagai garuda yang patah sayap, sementara Kakek Wiku Salaka sendiri masih berdiri pada
tempatnya dengan dada sesak. la mengawasi lawannya
yang dengan susah payah mencoba duduk mengatur
tenaganya kembali. Namun sia-sialah usahanya sebab
sesaat kemudian terlontaklah darah kental kehitaman
dari mulut Nyi Durganti. Dalam pada itu, Tangan Iblis yang bertempur tak
jauh dari tempat tersebut, menjadi kaget melihat
ibunya roboh dan saat yang pendek ini cukup membuat kelengahan dirinya.
Maka saat itu pula, pukulan tenaga dalam dari tangan kiri Ngurah Jelantik telah menerjang pundaknya!
Dengan mengerang, Tangan Iblis terpental di atas tanah. Pundaknya seolah-olah bagai remuk dan terbakar
oleh bara api yang berbongkah-bongkah.
Melihat pemimpin-pemimpinnya banyak yang roboh, sebagian besar anak buah Tangan Iblis kabur me-
larikan diri. Kakek Wiku Salaka masih berdiri terpaku memandangi Nyi Durganti yang terkapar di tanah. Satu perasaan aneh segera menyelinapi hatinya, tatkala ia melihat sorot mata Nyi Durganti yang beriba-iba.
"Kakang Panji Salaka... kau telah mengalahkan
aku... oh...!" rintih Nyi Durganti kepada kakek ubanan
yang masih berdiri terpaku di hadapannya.
Seketika wajah Kakek Wiku Salaka menjadi tegang
sebab lawan yang telah dirobohkan itu, dapat memanggil nama mudanya. Satu nama yang biasa dipanggilkan oleh isterinya! Dan tidak oleh orang lain!
"Hah?!" desis Kakek Wiku Salaka dengan kagetnya
serta membelalakkan mata. Karenanya, ia segera mendekati Nyi Durganti seraya berseru, "Apa yang kau sebutkan tadi? Kau memanggil aku dengan nama Panji
Salaka?!" Sikap Kakek Wiku Salaka menarik perhatian orangorang di sekitarnya. Wayan Arsana, Sunutama, Made
Maya, Ngurah Jelantik dan yang lain-lainnya segera
mengerumuni Kakek Wiku Salaka.
"Benar, Kakang Panji. Aku merasa senang bahwa
akhirnya aku roboh oleh tanganmu!" desah Nyi Durganti.
"Siapa kau hah? Aku tak mengenal wajahmu, tapi
suaramu aku tak akan bisa melupakan. Apakah...
apakah... kau...," ujar Kakek Wiku Salaka ragu-ragu.
"Memang... dugaanmu tepat," ujar Nyi Durganti pelan seraya tangan kanannya mengusap wajahnya. Tiba-tiba satu kulit tebal dari wajah kakunya terbuka
mengelupas dan terlihatlah wajah perempuan tua dengan raut muka yang masih cantik dan kuning. "Akulah
isterimu... Ktut Mirah!"
"Mirah! Miraaahku!" lolong Kakek Wiku Salaka seraya mendekap tubuh Nyi Durganti. "Aku tak nyana
menjumpaimu dalam keadaan semalang ini...!"
"Biarlah... Ini sebagai tebusan dosaku... karena aku
telah meninggalkanmu, belasan tahun yang lalu. Aku
tergila-gila dan minggat bersama Bogal Respati sebab...
tertarik ketampanan dan kesaktiannya," desah Nyi
Durganti. "Jangan kau ungkat-ungkit lagi peristiwa itu, Mirah," ujar Kakek Wiku Salaka terharu. "Anak-anak kita
telah terpisah karenanya. Untunglah Candrasasi dapat
kupelihara baik-baik dan akhirnya ia telah kawin dengan Wayan Arsana."
"Yah, yah. Aku tahu dan Made Maya adalah anak si
Candrasasi bukan?" ujar Nyi Durganti lemah terbatukbatuk.
"Heei, kau telah tahu hal itu, Mirah?"
"Aku telah mengenalnya. Bukankah ia mengenakan
subang seperti yang kupakai ini?" kata Nenek Durganti
sambil memperlihatkan subang emas pada telinganya.
"Nenek!!!" seru Made Maya dengan mencium jarijemari Nyi Durganti. Air matanya mengucur deras, apa
lagi setelah ia teringat sewaktu dipondong oleh neneknya ini. "Jangan meninggalkan kami, Nek! Jangan...!"
"Ooh, alangkah bahagianya aku dipanggil nenek
oleh cucuku. Panggillah aku seperti itu lagi, Maya."
"Nenek...! Nenek Ktut Mirah...!"
"Cucuku... bocah ayu. Dugaanku tidak meleset, ketika aku memondongmu... aku merasa getaran aneh...
dan ternyata itu adalah getaran tali kekeluargaan...."
Suasana sangat mengharukan. Ditambah pula setelah dari lingkaran orang-orang itu, muncul isteri
Wayan Arsana, yakni Candrasasi. Iapun mendekat Nyi
Durganti serta menatap. "Ibu... oh, Ibuuuu!"
"Gembira! Aku bersyukur dapat bertemu dan terbaring di antara kalian," ujar Nyi Durganti. "Selama ini
aku telah mengenakan topeng untuk menyembunyikan
wajahku. Tapi kini, tidak perlu lagi demikian...."
"Jangan berkata demikian, Mirah," ujar Kakek Wiku
Salaka. "Kau akan sembuh...."
"Tidak! Aku... merasa payah sekali... dan lebih baik
aku berakhir hidupku ditunggui oleh kalian. Tapi...
Kakang Panji Salaka... tentu kau ingin mengetahui puteramu yang telah aku bawa lari dan aku pisahkan dari Andika...?"
"Yaa...! Di mana dia sekarang?!" ujar Kakek Wiku
Salaka terkejut. "Kau baru menyebutnya sekarang!"
Nyi Durganti menggeserkan kepalanya dan menatap
ke arah Tangan Iblis yang berdiri gemetar tak jauh dari
tempat itu! Lalu berkatalah nenek tua ini sambil menunjukkan jarinya. "Dia. Dialah, puteramu sendiri,
Kakang Panji Salaka. Namanya Sugatra, tapi bergelar
Tangan Iblis!" "Jagad Dewa!" desis Kakek Wiku Salaka. "Jadi dialah anakku laki-laki yang telah sekian besarnya!"
"Angger Tangan Iblis!" seru Nyi Durganti sambil
menggapai ke arah Tangan Iblis yang termangu-mangu
bingung. "Dialah ayahmu sejati. Ki Wiku Salaka!"
"Hah? Dia ayahku?!" seru Tangan Iblis kaget. Perasaannya terguncang hebat mendapati kenyataan yang
amat pahit dan tragis. Bagaimanapun dia harus menerima kenyataan bahwa orang yang semula sangat didendami, ternyata adalah ayahnya sendiri.
Selama itu, ia hanya mengenal Ki Bogal Respati
yang pernah membimbingnya dalam banyak hal. Namun ternyata sebaliknya, bahwa orang tersebut bukan
ayahnya. "Tidak! Kalian bohong!" seru Tangan Iblis yang kebingungan dan kehilangan arah. Wajahnya menjadi
pucat dan air matanya berlinang-linang menatapi
ibunya yang kini terbaring di antara orang-orang yang
pernah menjadi musuhnya. "Barangkali aku memang tidak berayah ibu. Aku lahir sendiri di dunia ini! Ha, ha, ha! Aku benci dengan
kalian! Aku benci! Benciiiii...!"
Sambil berteriak melengking seperti orang tak waras, Tangan Iblis berjingkrak lalu kabur ke arah selatan. Sayup-sayup masih terdengar teriakan dan lolongan dari mulutnya ketika tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon hutan.
"Dia memang anak yang bandel...," guman Nyi Durganti kepada orang-orang di sekelilingnya. "Kakang
Panji Salaka..., semoga kelak Andika dapat menginsyafkan Sugatra si Tangan Iblis. Engkau tak keberatan, bukan?" Demikian ujar Nenek Durganti yang makin parah keadaannya. Napasnya terasa memburu tak
teratur. "Akan kupenuhi permintaanmu, Mirah," berkata
Kakek Wiku Salaka. "Aku tak keberatan."
"Syukurlah... akupun minta maaf kepadamu... Kakang Panji... dan juga kepada kisanak sekalian... Aku
telah banyak membuat dosa... uh... uh... Kakang Panji... Candrasasi... cucuku Made Maya... uh... dekaplah
aku lebih erat... pandanganku makin kabur... gelap...
sepi sekali... aku tidak mendengar apa-apa... uh... aku
pamit... ahh...." "Ibuuuu!" teriak Candrasasi.
"Oh, Nenekkk!" Made Maya meratap sedih.
"Aku telah memaafkanmu, Mirah!" gumam Kakek
Wiku Salaka dengan terisak. "Semoga Dewata menerimamu... dan engkau mendapat jalan terang."
Suasana berkabung mencekam setiap dada orang di
lapangan rumput itu. Cahaya perak sang rembulan
masih menerangi alam di situ, meskipun ia telah condong sekali ke arah barat.
Dari arah hutan terdengarlah lolongan burung hantu, bagaikan ikut bersedih atas korban-korban yang ja-
tuh dalam kancah pertempuran tadi. Satu dua ekor
kunang-kunang masih menampakkan diri untuk berkelana di antara celah rerumputan. Mungkin buat menikmati sisa udara malam yang hampir berakhir, sebab dari arah timur mulai terdengarlah kokok ayam
hutan yang bersahutan menyambut ujung sinar pagi.
Di saat itu beberapa orang tampak memeriksa di
bekas medan pertempuran, untuk menolong mereka
yang terluka dan merawat mereka yang tewas.
Sedang Ki Wiku Salaka sendiri telah memondong
tubuh Nyi Durganti atau Ktut Mirah yang telah membisu tak bernyawa, kemudian berjalan pelan-pelan ke
arah pintu gerbang rumah Wayan Arsana.
Di belakangnya, mengiringlah Candrasasi, Wayan
Arsana, Made Maya, Sunutama, Ki Selakriya dan lainlainnya dengan langkah yang berat dan perlahan, sebagai gambaran dari kedukaan hati mereka.
Made Maya berjalan dengan terhuyung di dalam
bimbingan suaminya, Sunutama. Isakan kecil sekalikali terdengar dari mulutnya. Karenanya, berkali-kali
Sunutama menghibur. "Kesedihanmu itu kita bagi bersama, Maya. Ketahuilah, bahwa akupun menyesali kematian Nenek
Durganti. Jika saja bencana itu tidak terjadi, pastilah
nenekmu akan sempat menimang-nimang anak kita
kelak," ujar Sunutama kepada isterinya. "Tapi semuanya telah terjadi, Maya. Manusia hidup di marcapada
dengan segala lelakon yang telah digariskan oleh Dewata. Karenanya, kita wajib menerima dengan tulus
apa yang menimpa diri kita, sebagai rasa sedih dan
gembira yang silih berganti datangnya. Nah, hapuskanlah kedukaanmu tadi. Lihatlah ke ujung fajar
di kaki langit timur itu. Dialah cahaya harapan kita.


Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua lelakon sedih akan berakhir di ujung fajar, dan
masa depan yang lebih terang akan kita jelang bersa-
ma." Made Maya mengangguk perlahan sambil menatap
ke wajah suaminya seraya tersenyum, dan melihat ini,
jari-jari Sunutama segera mengusap air mata di pipi isterinya.
Beberapa hari kemudian, setelah suasana berkabung itu sirna tersapu oleh waktu, bersemayam kembalilah roman-roman muka yang penuh kegembiraan
dan harapan. Ki Selakriya telah menyelesaikan beberapa buah patung yang indah-indah, sebelum ia melakukan perjalanan ke Pulau Jawa. la bermaksud menengok sanak keluarganya yang tinggal di daerah Demak, sebab sudah
cukup lama ia meninggalkan mereka.
"Aku tak akan lama, Sunutama," ujar Ki Selakriya.
"Aku segera kembali kemari. Aku akan tinggal bersama
kalian, menghabiskan masa tuaku."
"Terima kasih, Bapak." Sunutama menjadi senang
dengan keterangan ayahnya tersebut. Karena sesungguhnya ia tengah menantikan sesuatu yang sangat
penting dalam hidupnya. "Jangan kelewat lama, Bapak," berkata pula Made
Maya yang duduk di sebelah suaminya. "Andika harus
menyaksikan dan merestui bayi yang kelak akan kulahirkan." Berkata demikian si Made Maya, seraya mengusap perutnya yang mulai kelihatan besar dengan
tersenyum manis. Ki Selakriya terkekeh tertawa mendengar tutur menantunya, si Made Maya. Hatinya ikut gembira ketika
melihat kebahagiaan keluarga baru Sunutama ini.
"Tentu. Tentu! Aku akan ikut menimang-nimang si
buyung kecil cucuku."
"Apakah segala sesuatunya telah disiapkan, Bapak?"
"Yah. Dua tiga hari akan selesai."
"Eeh. Kami akan mengantarkan Bapak sampai ke
pelabuhan," ujar Sunutama. "Juga Paman Ngurah Jelantik, Tanjung dan Ki Tutur. Mereka bertiga ingin pula melepaskan keberangkatan Bapak, sebelum ketiganya kembali ke rumahnya."
"Hmm, pendekar Ngurah Jelantik dan si Tunjung
telah saling menyinta. Semoga mereka mendapat kebahagiaan dan segera kawin," ujar Ki Selakriya.
"Yah. Kamipun berharap demikian, Bapak. Mereka
seolah-olah telah menjadi bagian keluarga kita," sahut
Sunutama pula. "Mereka telah saling ikut mengalami
suka duka bersama kita, dan tak sedikit kita berhutang budi kepadanya."
Percakapan mereka tertunda ketika Wayan Arsana
datang ke tempat mereka duduk-duduk dan kemudian
berkata, "Ki Sela, telah aku pesankan perahu untuk
Andika menyeberang Pulau Jawa."
"Ah, terima kasih, Ki Wayan. Aku lalu menjadi teringat ketika saat-saat yang silam, Andika juga telah
memesan perahu untuk penyeberangan kita ke Gilimanuk," berkata Ki Selakriya sambil tersenyum lebar.
"Tak tahunya kita bakal menjadi keluarga."
"Heh, heh, heh. Ya. Ya. Akupun teringat itu," kata
Wayan Arsana kemudian. "Perahu ini nanti boleh engkau perintah sekehendak Andika. Jika Ki Sela ingin
menempuh jalan darat sampai ke Demak, perahu tersebut akan membawa Andika sampai ke Banyuwangi
saja. Tapi jika Andika ingin terus melewati jalan lautan, maka ia akan membawa Andika langsung sampai
ke Bandar Kali Tungtang."
Ketika beberapa hari kemudian persiapan telah
rampung maka berangkatlah Ki Selakriya dan para
pengantarnya ke Gilimanuk. Mereka berkuda sampai
di sana. Setelah itu, dengan perahu yang telah dipesan, Ki
Selakriya bertolaklah dari Bandar Gilimanuk, meninggalkan para pengantarnya yang masih melambailambaikan tangan mengiringi keberangkatannya.
Perahu besar tersebutpun meluncur dengan lajunya
menempuh permukaan air yang mengalir berkilatan
oleh cahaya matahari pagi. Mereka seolah-olah tak
mengenal akan bahaya apapun yang sewaktu-waktu
bisa terjadi. Mereka tak tahu, bahkan Ki Selakriya pun tak mengenal dan bakal menduga bahwa salah seorang penumpangnya yang bercaping dan selalu menunduk itu,
tidak lain adalah Sugatra atau Tangan Iblis!
*** BAGIAN III KI SELAKRIYA TERCENUNG di buritan memandangi daratan Pulau Dewata yang makin mengecil di permukaan air dan jauh, seperti tenggelam ke dalam laut.
Dihirupnya udara lautan yang segar dengan sepuas-puasnya, sementara beberapa butir air mata
mengembang di kedua sudut matanya.
Satu perasaan baru bercampur bahagia mengisi
rongga dadanya karena satu-satunya harapannya sebagai orang tua telah terkabul. Sunutama telah menikah dan berkeluarga, bahkan dalam waktu yang tak
lama lagi mereka berdua akan dikaruniai seorang
anak. Inilah berarti bahwa iapun bakal menimang cucu yang pertama!
Yah, selintas ia teringat sewaktu dahulu ia membawa Sunutama menyeberang ke Pulau Bali untuk bekerja pada Saudagar Wayan Arsana. Tak tahunya, Sunutama bakal diambil menantu oleh saudagar tersebut
dan kawin dengan puterinya yang bernama Made
Maya. Sungguh ia merasa berbahagia sekali. Ki Selakriya
seperti mendapat reruntuhan gunung emas yang tak
ternilai besarnya. Maka pelayarannya ini sangat menggembirakan kalbunya, segembira burung camar laut
yang melayang-layang di permukaan air laut.
Ki Selakriya masih saja bergembira menikmati pelayaran ini, sampai suatu saat ia menjadi terkejut ketika dirasanya perahu yang ditumpanginya ini, merubah
haluan ke utara. "Heei, para kisanak! Mengapa berganti arah?! Bukankah aku hanya menghendaki sampai di Banyuwangi saja?" ujar Ki Selakriya dengan heran dan bercampur curiga.
"Aku tahu hal itu, Tuan," sahut si pemilik perahu
yang berdiri di sebelahnya. "Tapi terpaksa rencana itu
mesti berubah, sekarang!"
"Berubah? Apa maksudmu?!" tanya Ki Selakriya
semakin tidak tahu sambil mengawasi si pemilik kapal
yang berdiri dengan tenangnya.
Sebenarnya ia heran pula menatap perawakan si
pemilik kapal yang cukup tegap, berkumis lebat dan
berjenggot tebal. Tiba-tiba ketika tatapan matanya
sampai kepada lengan kiri si pemilik kapal, hati Ki Selakriya berdesir seketika.
Ternyata lengan kiri orang itu telah buntung! Jadi ia
cuma bertangan sebelah saja! Ini membuat Ki Selakriya bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri. "Heh,
gerangan apakah yang membuat kemalangannya,
sampai lengan kirinya buntung begitu?"
"Maaf, Tuan. Aku katakan terpaksa karena sesungguhnya, ini adalah kehendak majikan saja," berkata si
pemilik kapal seraya melempar pandangannya ke arah
salah seorang bercaping lebar yang duduk di sudut perahu.
"Kehendak majikanmu?" desah Ki Selakriya tak habis heran. "Siapa dia dan apa maksudnya?"
"Tuan bisa bertanya sendiri kepadanya," berkata
pula si pemilik kapal seraya menunjukkan jarinya ke
arah orang bercaping tadi.
Ki Selakriya segera berpaling ke arah si caping lebar
dan bersiaga melancarkan pertanyaan-pertanyaannya.
Namun sebelum Ki Selakriya cukup membuka mulutnya, si caping lebar telah berkata lebih dahulu dengan
diiringi tertawa cekakakan yang menyeramkan.
Lebih terkejutlah kiranya Ki Selakriya mendengar
suara tawa demikian itu! Dan sebagai puncak dari kekagetannya ialah ketika
si tokoh misterius yang bercaping itu berdiri sambil
membuka capingnya, disusul suara tertawa yang meledak dari mulutnya. "Ha, ha, ha. Kau tak usah kaget,
sobat! Inilah aku, Sugatra si Tangan Iblis!"
Keadaan dan suara di depannya ini jauh lebih mengagetkan daripada seribu guntur yang meledak bersama, hingga untuk beberapa saat, Ki Selakriya terpaku
seperti patung dengan mata terbeliak.
Ya, di depannya memang berdiri tegap tak ubahnya
bukit karang, si Tangan Iblis sambil tertawa lebar! Begitu keras suara tertawa itu sampai udara di sekitarnya seolah-olah terguncang dibuatnya.
Ki Selakriya akhirnya dapat menguasai dirinya
kembali setelah sekian saat terpaku bagai terkena sihir
jahat. la melangkah surut untuk mendekati si pemilik
kapal serta mencari perlindungan kepadanya jika
mungkin. Akan tetapi sekali lagi ia seperti terpaku kaget apabila si pemilik kapal tadi tertawa pula terkekeh-kekeh
seraya tangan kanannya mencopot dan melepas kumis
jenggot yang semula melekat di wajahnya.
Bukan main terguncangnya dada Ki Selakriya, bila
laki-laki tersebut, yang cuma bertangan sebelah itu, tidak lain adalah Jimbaran! Salah satu murid Tangan
Iblis yang berhasil lolos dari medan pertempuran beberapa saat yang lalu.
"Hua, hah, hah, hah, ha, ha, ha. Kau persis seekor
kambing tua yang masuk perangkap para harimau,
sobat!" Ucapan Jimbaran tadi tak ada salahnya, sebab keadaan Ki Selakriya memang telah terjepit di antara musuh-musuh lamanya! Apakah ia akan melawan?! Hal
itu masih dipikirkan oleh Ki Selakriya sendiri sebab
bukankah Ki Selakriya selalu berbuat sesuatu dengan
dipikir baik-baik. Para awak perahu lainnya, rupanya adalah juga
termasuk anak buah Tangan Iblis. Mereka tersenyumsenyum saja melihat kebisuan Ki Selakriya.
Melihat ini Ki Selakriya tidak tanggung-tanggung
buat menghunus kerisnya dari pinggang, tetapi Tangan
Iblis dan Jimbaran cuma tertawa manis menganggap
sepi atas sikap orang tua itu. Malahan sejurus kemudian, Jimbaran menggebrakkan kakinya ke lantai perahu, disusul pintu geladak terbuka, lalu bermunculan
beberapa orang berwajah garang yang serentak mengepung Ki Selakriya!
"Heh, heh, heh. Sarungkan kembali kerismu, sobat.
Aku tak menghendaki pertempuran sekarang!" seru
Tangan Iblis. "Lalu apa maksudmu ini?!" bertanya Ki Selakriya.
"Kau akan segera tahu, nanti!"
"Keparat! Kalian boleh mempermainkan aku, tapi
coba hadapi dulu kerisku ini! Hyaattt!" teriak Ki Selakriya.
Ternyata mereka telah bersiaga dengan senjatasenjatanya, hingga serangan Ki Selakriya dengan mudah ditangkisnya berkali-kali oleh mereka.
Melihat kenekatan Ki Selakriya, tiba-tiba saja Tangan Iblis bergerak cepat melesat ke depan, menyerang
Ki Selakriya dengan pukulan-pukulan tangan kosong.
"Kau harus tunduk kepadaku, Ki Selakriya! Hup! Hup!
Hup!" Mendadak tangan pemimpin gerombolan ini bergerak sangat cepat. Satu tangan menotok punggung Ki
Selakriya dan tangan satunya lagi menotok kepala lawannya. "Tuk... tuk!"
Tanpa berteriak, Ki Selakriya terguling roboh di lantai geladak dan tidak sadarkan diri, sedang kerisnya
terpelanting lepas dari jari-jarinya.
"Ayo lekas ikat dia di tiang layar ini!" teriak Tangan
Iblis yang segera dituruti oleh anak buahnya. Maka sebentar kemudian tubuh Ki Selakriya telah terikat pada
tiang layar perahu besar tersebut.
Dengan perlahan, Tangan Iblis mengambil segayung
air untuk kemudian disiramkan ke wajah Ki Selakriya
yang masih pingsan itu. Maka tak lama kemudian si
pemahat ini tersadar kembali sambil mengeluh berat.
Bersamaan itu pula, Tangan Iblis, Jimbaran dan para anak buahnya yang lain, tertawa berderai terbahakbahak, tak beda dengan sekumpulan makhluk liar
yang tengah mengerumuni calon korbannya.
"Ha, ha, ha, ha, lihatlah teman-teman! Tamu kita
telah siuman!" ujar Tangan Iblis seraya ketawa.
"Kambing tua ini sekarang tidak berkutik lagi!"
"Akan kita apakan, Kakang?" sahut Jimbaran pula.
"Kita bikin satai atau gulai saja? Aah, tapi daging tuanya pasti kelewat alot! Hi, hi, hi, hi."
Ki Selakriya cuma berdiam diri mendengar ejekan
orang-orang di sekelilingnya. Memang sesungguhnya ia
tak berdaya dan tak ada gunanya ia menunjukkan perlawanan kepada mereka. Paling-paling ia mampu berkata dengan nada yang mengkal. "Lekas katakan apa
maksud kalian sebenarnya sampai menculik diriku?!
Apa kalian ingin membalas dendam? Ingin membunuhku, atau menghendaki nyawaku?! Jika begitu, lekaslah laksanakan niatmu tersebut, supaya hatimu
yang haus darah itu segera akan puas!"
"Plaarrr!" Tiba-tiba saja Tangan Iblis menampar mulut Ki Selakriya disertai gerundalan. "Maaf, aku terpaksa menampar mulutmu yang mulai ngoceh dengan
ngawur! Jika aku menghendaki kematianmu, sudah
sejak tadi pasti dadamu telah kulobangi dengan pukulan telapak mautku ini!"
"Lalu apa maksud dan keinginanmu?!"
"Aku tak menghendaki nyawamu! Juga kematianmu
pun tidak! Nah, kau dengar sekarang! Yang aku inginkan adalah hasil karyamu!"
Ki Selakriya sangat terkejut dan hampir-hampir saja
ia tak dapat mempercayai pendengarannya. Itulah sebabnya, maka Ki Selakriya bergumam, "Hasil karyaku?! Aku menjadi semakin linglung dengan katakatamu!"
"Jangan berlagak bodoh!" sahut Tangan Iblis. "Engkau seorang pemahat yang ulung! Aku pernah melihat
dua buah patung singamu di depan pintu gerbang rumah si Wayan Arsana! Kau tahu, aku sangat tertarik
akan patung-patung tersebut!"
"Apa hubungan patung singa tadi dengan dirimu?"
ujar Ki Selakriya disertai perasaan heran.
"Kau harus membuat patung yang serupa untuk diriku!" Tangan Iblis membentak keras. "Kepala dari patung singa yang mendongak ke atas itu, sangat menarik dan mengagumkan hatiku! Nah, di suatu tempat,
kau harus bekerja untuk diriku! Kau harus membuat
patung kepala singa!"
"Hmm, kau seperti yakin, bahwa aku pasti akan
memenuhi keinginanmu?" desis Ki Selakriya dengan
tenangnya. "Memang demikian!" sahut Tangan Iblis. "Kau tak
bakal mampu menolaknya! Lihat saja nanti. Pertama,
kau telah berada di tangan kami. Kedua, pekerjaan
yang bakal engkau laksanakan tadi, adalah sesuai
dengan bakat dan kepandaianmu. Jika pekerjaanmu
telah selesai, engkau akan kubebaskan kembali dan
mendapat hadiah penghargaan yang setimpal."
"Dan bagaimana jika aku menolaknya?" berkata Ki
Selakriya pula, seraya menatap ke arah lawannya.
"Kau akan memperoleh kematian secara lambat.
Kulitmu akan disabet dan daging tubuhmu akan dikerat, dipotong sedikit demi sedikit sambil dibubuhi air
asam dan garam!" ujar Tangan Iblis disertai sorot mata
yang tajam. Ki Selakriya terdiam dengan terperanjat begitu
mendengar kata-kata ancaman si Tangan Iblis. Sungguh mengerikan siksaan yang dikatakan tersebut, dan
itu seolah-olah terbayang di dalam pelupuk matanya,
sehingga kemudian terasalah bahwa bulu tengkuknya
meremang berdiri. la pun makin terbungkam tanpa berani mengucapkan kata-kata lagi, sebab sangatlah tolol untuk
menentang Tangan Iblis selagi tubuhnya tak berdaya
apa-apa. "Nah, tentunya akan lebih baik bila mulutmu tidak
lagi mengucapkan kata yang sombong dan membangkang!" berkata Tangan Iblis seraya menuding ke arah
Ki Selakriya yang kini menundukkan kepala.
Sambil memberengut, Tangan Iblis kemudian melangkah meninggalkan Ki Selakriya yang terikat pada
tiang layar. Demikian pula dengan yang lain-lain, mereka kembali ke tempat tugas masing-masing.
Perahu besar mereka meluncur dengan pesatnya,
memecah permukaan air laut, menimbulkan bisa me-
mutih tersebar pada buritan perahu. Mula-mula berganti haluan mengarah ke utara, menyusuri sepanjang
selat Madura dan selanjutnya membelok ke barat laut,
sebelum akhirnya membelok ke barat sama sekali.
*** Selama pelajaran ini, Ki Selakriya masih tetap terikat pada tiang layar. Wajah dan kulit tubuhnya tampak kemerah-merahan karena tamparan angin serta
sentuhan sinar matahari yang menyengat-nyengat.
Agaknya saja, Tangan iblis benar-benar berusaha
mematahkan kekerasan sikap Ki Selakriya, si pemahat
yang kini telah diculiknya. Namun di tengah-tengah
perlakuan yang kejam tadi, si Tangan Iblis tidak lupa
untuk memberi minum serta sekedar makanan kepada
tawanannya. Bagaimanapun juga sikapnya, Tangan Iblis tidak
akan sembarangan memperlakukan Ki Selakriya, sebab ia sangat membutuhkan akan kerja tangan dan
daya cipta dari si pemahat itu.
Sementara itu, Ki Selakriyapun rupanya telah menjadi agak lunak sikapnya. Setelah ia mendengar akan
ancaman hukuman serta keadaan dirinya yang terjepit
di antara kekuasaan Tangan Iblis, maka terpaksalah ia
harus tunduk di hadapan lawan. Tak ada jalan lain
baginya. Dengan sendirinya, Ki Selakriya sanggup juga
memperlunak sikap. Ternyata pengalaman telah menimpa dirinya untuk berbuat lebih bijaksana dalam
saat-saat kritis yang harus dihadapi.
"Biarlah aku sementara menuruti kemauannya. Aku
ingin mengetahui apakah sebabnya ia sangat tertarik
dengan patung singaku?" demikian pikir Ki Selakriya
di dalam hati. "Akupun mulai tertarik dengan peristiwa
ini." Dalam saat yang bersamaan, si Tangan Iblis sibuk


Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir pula di dalam kamar buritan. Kepalanya dipenuhi dengan persoalan-persoalan yang sangat padat.
Semenjak kematian ibunya, Nyi Durganti, ia telah melarikan diri, menyingkir jauh-jauh dari rumah Saudagar Wayan Arsana.
Baginya, ia telah melupakan peristiwa pertempuran
di Gilimanuk, yang dalam perjalanan hidupnya seperti
sebuah mimpi buruk. Satu-satunya ibu yang dicintai
telah tewas di tangan musuhnya, si kakek tua Wiku
Salaka. Dan ternyata, kakek tersebut adalah ayah
kandungnya sendiri! Bukankah ini seperti mimpi buruk saja?
Tetapi, bagaimanapun juga ia harus menerima kenyataan tersebut. Siapakah yang paling bersalah dalam hal ini, dan kepada siapakah kesalahan tadi harus
Pendekar Aneh Naga Langit 37 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Rahasia 180 Patung Mas 3
^