Pencarian

Lukisan Horor 2

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu Bagian 2


yang sebenarnya adalah salah satu anggota komite acara
amal, Andra, diam-diam masuk ke ruangan ini bersama
beberapa anggota geng motor..."
"Geng motor apa, Bu?" selaku lagi, berharap-harap
cemas semoga Les tidak terlibat masalah ini.
"Kalau tidak salah, geng motor itu punya nama." Bu
Rita mengingat-ingat. "Rapid Fire. Ya, itulah nama?nya."
"Kami akan mengeceknya," anggukku. "Dan soal sat?
pam yang terluka?" "Nah, ceritanya mereka berhasil menemukan uang itu.
Saat mereka sedang keluar dari ruangan ini, mereka
dipergoki satpam yang mengancam akan menelepon po?
lisi. Akibatnya, si satpam dipukuli hingga babak belur
Isi-Omen2.indd 78 011/I/13 dan harus diopname di rumah sakit selama se?minggu.
Berkat kesaksiannya, kami berhasil mengetahui keterlibat?
an Andra. Sayang sekali, Andra sama sekali tidak mau
mem?bocorkan identitas rekan-rekannya. Na?mun yang
lebih penting adalah uang yang dicuri akhirnya kembali.
Saya curiga, orangtua Andra yang menggantikan uang itu
supaya sekolah tidak menuntut anaknya. Tapi selama
masalahnya selesai, saya juga tak akan mem?perpanjang
urusan. Tentu saja, saya tak akan membiarkan anak
seperti itu berkeliaran di sekolah saya lagi. Andra dike?
luarkan, tidak peduli dia sudah kelas dua belas. Terus
terang, saya tidak mengikuti nasibnya lagi sekarang, tapi
saya masih menyimpan data-datanya. Akan saya berikan
pada kalian." "Lalu insiden yang ketiga itu gimana ceritanya, Bu?"
tanya Erika, kini tampak bersemangat. Sepertinya semua
kejadian mengerikan ini malah menarik sekali baginya.
Terus terang, aku juga merasa setiap cerita terlalu
sederhana. Pasti ada teka-teki lain lagi di baliknya, dan
aku tidak sabar untuk segera menyelidikinya.
"Insiden ketiga justru paling misterius." Bu Rita
menghela napas. "Seorang siswi baru bernama Indah,
memiliki orangtua yang tidak terlalu memaksakan
nilainya, dan kebetulan nilai-nilai siswi ini juga termasuk
di atas rata-rata. Tapi entah kenapa, pada penghujung
hari penerimaan rapor, dia malah gantung diri di kelas?
nya yang kosong, seolah-olah kecewa pada nilai-nilainya.
Menurut orangtua dan teman-temannya, memang Indah
tampak lesu dan muram setelah melihat nilai-nilai rapor?
nya. Tapi tetap saja, tidak ada surat wasiat atau pe?
ninggalan apa pun yang bisa menjelaskan kelakuan
Isi-Omen2.indd 79 011/I/13 Indah. Akhirnya kasus ini ditutup tanpa ada penyelesaian
yang jelas." Bu Rita menyerahkan beberapa lembar
kertas. "Ini semua informasi yang bisa saya berikan pada
kalian. Sekali lagi, tolong rahasiakan semua ini dari
teman-teman kalian, dan jangan sampai menyebarkan
kepanikan. Mengerti?"
"Baik, Bu," jawabku, sementara Erika menyahut sambil
melambai, "Oke!"
Kami keluar dari kantor kepala sekolah dengan penuh
semangat. "Gile, asyik banget!" seru Erika penuh se?mangat. "Kita
mulai dari mana?" Aku menatapnya dengan geli. "Bukannya kita harus
masuk kelas?" "Ngapain?" cemooh Erika. "Sekarang ini kita kan lagi
ketiban tugas menyelamatkan pameran lukisan! Kapan
lagi kita punya alasan yang begini bagus buat bolos?"
"Emang bener sih," anggukku. "Tapi semua orang yang
perlu kita wawancarai kan lagi sekolah juga."
Erika langsung cemberut mendengar jawabanku yang
tepat mengenai sasaran. "Anak-anak geng Rapid Fire nggak sekolah tuh," sang?
gah?nya. "Mungkin, tapi siapa tau ada beberapa yang sekolah
juga. Kita kan nggak tau." Aku menggamit tangannya.
"Ka, gue juga nggak terlalu suka dengan teman-teman
sekelas gue saat ini. Tapi kemarin kita udah sempet
bolos, dan sepagian ini kita nangkring di kantor kepala
sekolah. Gue rasa, nggak ada salahnya kita masuk kelas.
Belum lagi kalo kita mulai berulah macam-macam, bisabisa kita nggak diizinkan menyelidiki lagi. Rugi kan, kalo
Isi-Omen2.indd 80 011/I/13 hanya karena masalah bolos kita harus kehilangan hak
menyelidiki kasus yang begini menarik!"
Erika makin cemberut saja, tapi dia tidak menolak
waktu aku menariknya ke arah koridor sekolah.
"Lo berpengaruh sangat buruk sama gue, tau!" gerutu?
nya sambil mengentak-entakkan kaki di sepanjang
koridor. "Gue tau," sahutku riang.
"Kadang gue sebel sama elo."
"Udah nasib gue."
"Gue nggak mau lo ubah gue jadi anak baik, ngerti?"
"Mana mungkin gue bisa ngubah anak kepala batu
kayak elo, Ka?" Erika melirikku jengkel. "Kenapa tiap kali gue ngomong
sama elo, kata-kata gue kayak mental sih?"
"Mungkin karena gue muka badak."
Kudengar Erika tertawa, dan suara tawanya begitu
menular sehingga aku tertawa juga. Padahal aku biasanya
jarang tertawa lho. "Gawat," katanya sambil menggeleng-geleng. "Punya
sohib kayak elo bener-bener mengancam reputasi buruk
gue." Sepatah kata dalam ucapan itu membuatku girang
banget. "Jadi, kita sohib nih?"
"Kalo yang begini bukan sohib, gue nggak tau lagi
nama?nya apa," kata Erika sambil merangkulku.
Aduh. Senang sekali akhirnya diakui sebagai sohib
oleh Erika si cewek paling menakutkan di seluruh SMA
Harapan Nusantara! "Errrika, Valerrria, kenapa kalian berkeliaran pada jamjam se?gini?"
Isi-Omen2.indd 81 011/I/13 Kami berdua menoleh pada Pak Rufus yang berkacak
pinggang di balik meja piket.
"Kami kan barusan menginterogasi Bu Rita," sahut
Erika dengan nada seolah-olah Bu Rita adalah salah satu
tertuduh dalam kasus kami. "Dia udah ngasih tau semua
yang ingin kami ketahui soal tiga insiden tahun lalu.
Bapak sendiri gimana?"
"Saya kenapa?" tanya Pak Rufus kaget.
"Ada yang perlu Bapak akui pada kami, nggak?" tanya
Erika sambil menatap Pak Rufus dengan mata menyipit.
"Tidak ada," sahut Pak Rufus dengan tampang agak pa?
nik. "Saya tidak tahu apa-apa soal insiden tahun lalu..."
"Bohong!" desak Erika dengan muka bak jaksa pe?
nuntut yang siap melahap korbannya. "Bapak kan guru
piket! Pasti Bapak tahu banyak soal ketiga kasus itu!"
Selama beberapa saat, Pak Rufus hanya menatap kami
tanpa berkata-kata. Lalu guru itu menghela napas.
"Saya tidak tahu apa yang bisa saya tambahkan,
Erika." Kuperhatikan, guru itu memang bisa memanggil
nama Erika tanpa logat Ambon-nya yang kental. "Saya
yakin, semua informasi yang kalian butuhkan sudah di?
beritahukan Bu Rita. Tapi memang ada satu hal yang
mengganggu pikiran saya..."
"Apa itu, Pak?" tanyaku seramah mungkin, berharap Pak
Rufus tidak mendadak menyudahi pembicaraan kami.
Untungnya kekhawatiranku tak beralasan. Malahan
guru itu langsung berbisik pada kami dengan muka
bersekongkol. "Sepertinya, ketiga kasus itu saling berkaitan."
"Apa maksud Bapak?" Kini giliran Erika yang bertanya,
mukanya terlihat seperti hantu penasaran.
Isi-Omen2.indd 82 011/I/13 "Reva, siswi yang jatuh ke kolam renang, kalau tidak
salah pernah terlibat dengan Andra yang men?curi di
ruang?an kepala sekolah. Sepertinya mereka pernah pacar?
an." Ya ampun. Cerita-cerita seperti ini jelas tak mungkin
keluar dari mulut Bu Rita yang tak pernah mengikuti
gosip anak-anak. "Bapak tau dari mana mereka pernah pacaran?" tanya?
ku penuh semangat. "Tahu dong," sahut Pak Rufus pongah. "Saya pernah
me?nangkap basah mereka waktu bolos pada jam pelajar?
an. Mungkin saja mereka hanya berteman, tapi mereka
kan beda tingkatan. Pertemanan semacam itu biasanya
tidak terlalu dekat. Jadi saya duga mereka pacaran..."
"Lalu bagaimana kaitannya dengan kasus ketiga?" sela
Erika tak sabar. "Nah, di sinilah misteriusnya. Indah, siswi baru yang
gantung diri itu, adalah sepupu Reva."
Kami benar-benar terkejut dengan informasi baru itu.
"Apa???" "Saya tidak tahu apa yang terjadi di sini," kata Pak
Rufus muram. "Sama sekali tak ada bukti-bukti yang me?
ngatakan bahwa ketiga kejadian ini berhubungan. Tapi
saya rasa aneh sekali seandainya ketiga kejadian ini tidak
ada kaitannya sama sekali. Pasti ada. Hanya saja kita
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Pak Rufus menghela napas dan berkata lagi, "Yang
lebih saya sesalkan, si Reva itu sebenarnya anak yang
sangat baik. Cara kematiannya saja menunjukkan hal itu.
Sementara teman-temannya sibuk bermain-main, dia
benar-benar mengerjakan tugasnya dengan telaten, me?
Isi-Omen2.indd 83 011/I/13 nyikat ubin-ubin di pinggiran kolam renang sampai
bersih. Dia selalu mematuhi peraturan dan tidak pernah
ber?buat nakal. Sekali-sekalinya dia dihukum adalah ka?
rena bolos bersama Andra, dan itu pun sekali saja."
"Si Andra ini," lagi-lagi Erika menyela, "apa dia anak
nakal?" "Nakal sekali!" dengus Pak Rufus. "Dia memang anggota
geng motor aneh itu?apa itu namanya?Rabbit Fire?"
"Rapid Fire, kaliii, Pak," sahut Erika cempreng.
"Iya, Rapid Fire. Nama yang aneh dan tak ada artinya.
Pokoknya, dia itu memang sering bikin masalah. Saya
juga tidak mengerti kenapa Reva bisa terlibat dengan
cowok seperti dia." Mendadak Pak Rufus memelototiku.
"Seperti kamu, Valeria. Kamu jangan sampai terlibat de?
ngan cowok bandel, ya! Apalagi yang masuk geng motor
segala!" Aku nyaris tersedak. Kenapa tahu-tahu bapak ini bisa
menyinggung soal cowok geng motor? Kan dia tidak
mungkin tahu ketertarikanku pada Les!
"Nggak kok, Pak," sahutku sambil memasang muka
tersipu-sipu. "Saya belum berpikir untuk pacaran."
"Bagus, bagus. Anak SMA memang masih bau ken?cur,
nggak pantas pacaran. Kalian seharusnya fokus pada
pelajaran. Setelah sudah dewasa, kalian mau pacaran de?
ngan berapa banyak cowok pun masih belum telat."
"Pak! Jangan suruh kami pacaran dengan banyak
cowok dong!" teriak Erika, tampak girang karena me?
nangkap basah si guru piket mengatakan sesuatu yang
konyol. "Kami kan anak-anak polos, jangan diajarin yang
nggak-nggak! Tolong, Pak, insaf!"
"Jangan ngaco kamu!" bentak Pak Rufus sambil ce?
Isi-Omen2.indd 84 011/I/13 linguk?an, takut kalau-kalau ada rekannya yang lewat dan
mendengar tuduhan Erika yang bakalan merusak nama
besarnya. "Saya tidak suruh kalian pacaran dengan
banyak cowok. Itu kan urusan kalian. Yang saya maksud,
kalian jangan pacaran dulu sekarang. Apalagi dengan
cowok geng motor yang bandel-bandel. Kasihan orangtua
kalian, capek-capek membesarkan kalian hanya untuk
diberikan pada cowok yang tak bisa menghargai kalian.
Bayangkan betapa sedihnya orangtua Reva, yang kini
harus membesarkan tiga adik Reva tanpa bantuan putri
sulung yang tadinya selalu mereka andalkan itu..."
"Jadi, Reva masih punya adik?" tanyaku kaget.
"Ada tiga dan semuanya masih SD," sahut Pak Rufus
muram. "Setahu saya, kondisi keluarga Reva termasuk
salah satu yang terburuk di sekolah. Bahkan Reva pernah
menunggak uang sekolah selama setengah tahun."
Ternyata masalah ini jauh lebih pelik daripada yang
kami duga. "Lalu bagaimana dengan Indah, saudara se?
pupu?nya? Dia berasal dari keluarga miskin juga?"
"Keluarga Indah tadinya jauh lebih beruntung daripada
keluarga Reva, karena selain pekerjaan ayah Indah yang
cukup stabil sebagai PNS, mereka juga hanya pu?nya satu
anak." Pak Rufus menghela napas. "Kini tidak tahu yang
mana yang lebih malang. Orangtua Indah yang tidak
punya anak lagi, ataukah orangtua Reva yang masih
harus menanggung tiga anak yang masih kecil."
"Lalu gimana dengan Andra?" tanyaku. "Maksud saya,
soal keluarganya." "Andra berasal dari keluarga yang sangat tidak baik.
Ayahnya pejabat yang ketahuan korupsi. Kini dia men?
dekam di penjara, sementara keluarganya yang tadinya
Isi-Omen2.indd 85 011/I/13 kaya-raya kini jatuh miskin." Pak Rufus men?dengus.
"Keluarga seperti itu hanya mencemarkan nama bangsa
kita. Bapaknya tukang korupsi, anaknya tukang bikin
onar. Saya paling benci keluarga seperti itu. Saya yakin,
setelah Andra dikeluarkan dari sekolah, pasti dia tidak


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersekolah lagi dan hanya nongkrong dengan temanteman geng motornya yang tak berguna itu."
Mendadak aku tahu penyelidikan kami akan dimulai
dari mana. "Begitu ya, Pak," ucapku. "Terima kasih atas informasi?
nya, Pak. Sekarang kami akan kembali ke kelas."
Erika mengejarku saat aku meninggalkan Pak Rufus
yang tampak tersinggung karena adegan curhatnya di?
sudahi begitu saja. "Eh, kenapa lo?" tanya Erika sambil menyejajarkan
lang?kah?nya denganku. "Tampang lo kayak orang yang
baru saja kena lotre."
"Gue tau apa yang harus kita lakukan siang ini,"
kataku dengan kegembiraan yang sulit kutahan-tahan
lagi. Tanganku merogoh kantong rok seragamku dan
mengeluarkan BlackBerry yang diam-diam kubawa ke
sekolah, lalu mulai mengetik pesan untuk sopirku ter?
cinta. "Pak Mul, siang ini kita akan ke Bengkel Montir
Gila." Isi-Omen2.indd 86 011/I/13 "SAYA tidak pernah menyukai perintah-perintah Non
yang seperti ini." Aku sama sekali tidak mengindahkan nada tak senang
yang terang-terangan dilontarkan sopirku yang merasa
dirinya merangkap sebagai pengawalku itu. "Ya nggak apaapa Pak Mul nggak suka dengan perintah saya. Yang
penting Pak Mul melakukan semuanya dengan baik,
kan?" "Tentu saja," ketus Pak Mul dengan bibir bawah lebih
maju tiga senti daripada bibir atasnya. "Meski sekali lagi,
saya tidak setuju dengan keinginan Non. Merusak mesin
yang begini mulus adalah tindak kejahatan yang sangat
serius, Non." "Tindakan kejahatan gimana?" cela Erika sambil
menunjuk-nunjuk mesin yang kapnya sedang terbuka
lebar itu. "Ini kan mobilnya sendiri. Mau dirusak kek,
mau dipretelin sampai tinggal kepingan-kepingan kecil
kek, mau dicat warna pink kek."
"Dicat warna pink?" seru Pak Mul ngeri. "Yang itu tak
bakalan saya bantu. Amit-amit, cat asli Benz yang begini
indah ditimpa dengan warna pink murahan seperti...
seperti..." Isi-Omen2.indd 87 011/I/13 "Hello Kitty?" usulku.
"Hello Kitty!" teriak Pak Mul frustrasi. "Pada?hal mesin
ini tadinya begitu indah, begitu mulus, begitu sem?
purna...." "Kayak lagi kasmaran nih, Bapak," kata Erika sambil
cengar-cengir. "Jadi tindakan Bapak merusak Benz indah
dan mulus ini..." "Jangan disinggung-singgung lagi," potong Pak Mul
dengan air muka sakit hati. "Hanya sekali ini saya laku?
kan ini untuk Non, mengerti?"
"Ya, Pak," sahutku, merasa malu karena sudah melukai
hati Pak Mul yang setia. "Lain kali saya yang rusakin
sen?diri deh." "Jangan juga. Jangan pernah merusak mesin mobil,
Non. Bisa karma." Pak Mul menatap mesin itu sekali lagi
dengan tampang sedih. "Apa sudah saatnya saya me?
manggil orang dari bengkel yang Non maksud?"
Jantungku berdebar sejenak. "Biar saya dan Erika aja
yang pergi ke sana, Pak."
"Tapi berbahaya bagi gadis muda untuk berkeliar?
an..." "Pak, coba liat saya," tukas Erika dengan suara tajam.
"Apa saya keliatan seperti gadis muda?"
Pak Mul menatap wajah Erika yang sangar banget dan
memang lebih mirip cowok ketimbang cewek. "Di balik
dandanan mengerikan itu, Anda tetap gadis muda yang
manis, Non Erika." Bukannya ge-er atau tersipu, Erika malah menoleh
pada?ku dan memutar-mutar jari di pelipisnya. "Sopir lo
udah gila." Sambil menahan rasa geli, aku berpaling pada Pak
Isi-Omen2.indd 88 011/I/13 Mul. "Pak Mul, Bapak tenang aja. Ada Erika di samping
saya, nggak akan ada cowok yang berani mempertaruh?
kan nyawanya demi godaan nggak berarti. Lagi pula,
hanya ada satu orang yang kami inginkan, dan Bapak
akan sulit sekali menemukan orang itu hanya dengan
deskripsi dari kami."
Pak Mul menghela napas. "Baiklah. Saya percaya sama
Non. Hati-hati, ya."
Aku dan Erika segera menyusuri jalan dengan langkahlangkah cepat, lalu membelok ke jalanan lain.
"Sepertinya lo udah nggak sabar banget," ledek Erika
yang berjalan cepat di sampingku. "Daniel patah hati
dong!" "Nggak usah sembarangan ngomong, ah," kataku geli.
"Pertama, gue cuma males jalan pelan-pelan di bawah
sinar matahari yang panas. Kedua, apa hubungannya
sama Daniel?" "Daniel barusan minta nomor telepon lo ke gue."
"Masa?" tanyaku kaget. "Buat apa?"
"Masih pake tanya, lagi," gerutu Erika. "Lo pernah di?
pede?kate-in sama cowok nggak sih?"
Aku berpikir sejenak. "Belum pernah tuh."
"Gila, malang bener!"
Aku meliriknya dengan jengkel. "Memangnya lo per?
nah, selain sama Vik?"
"Jelas banget dong," seru Erika pongah, "nggak
per?nah! Hahaha. Emangnya ada cowok yang berani
mati ngedeketin gue selain si Ojek?"
Oke, Erika memang tidak ada duanya. Urusan begini?an
pun bisa membuatnya bangga banget.
Kami akhirnya menemukan bengkel yang bernama
Isi-Omen2.indd 89 011/I/13 Bengkel Montir Gila itu. Bengkel itu terlihat kecil di bagi?
an depan, namun saat kami memasukinya, rupanya
ruangan di dalamnya cukup besar untuk menampung
be?berapa mobil. Ingar-bingar mesin yang terdengar di?
tambah dengan cowok-cowok bertampang dekil yang
lalu-lalang membuat kami berdua kebingungan.
"Cari aku?" Kami berdua sama-sama menoleh dan melihat Les. Dia
tampak menyilaukan dengan senyum lebar dan tangan
yang sedang memainkan kunci yang biasa digunakan
untuk mengganti ban mobil. Wajahnya, seperti sebagian
besar orang yang berseliweran di situ, agak tercoreng oli
atau apa, tapi sama sekali tidak membuatnya terlihat de?
kil seperti yang lain. Dia tidak mengenakan jaket hitam?
nya, tentu saja, tapi kini aku tahu bahwa di balik jaket
hitam kemarin rupanya dia mengenakan kaus hitam le?
ngan buntung yang kini memberi akses bagi kami untuk
memelototi tangannya yang besar dan berotot.
"Vik lagi ada di sini?" tanya Erika.
Sementara aku masih hanya bisa melongo memandangi
Les (kuharap ilerku tidak menetes).
"Nggak dong, dia kan lagi kerja," sahut Les geli. "Tapi
kalo kamu mau, aku bisa telepon dia dan suruh dia
datang. Dia pasti kaget lihat kamu ada di sini."
"Ah, nggak usah, gue sebenernya nggak terlalu nyariin
dia kok," tolak Erika dengan gaya sombong. "Mana
temen-temen geng motor lo?"
"Ada beberapa sedang benerin motor di situ," sahut
Les lagi sambil menunjuk ke belakang bahunya. "Sisanya
sedang sibuk dengan kerjaan masing-masing. Kenapa?"
"Lagi kepingin kenalan," seringai Erika, dan aku nyaris
mencekik temanku itu saat dia berkata, "Val, gue tinggal
dulu ya. Lo aja yang urus masalah kita, oke?"
Aku berusaha memprotes, tapi mulutku yang tidak
mau diajak kompromi hanya bisa ternganga tanpa me?
ngeluar?kan sepatah kata pun sampai Erika menghilang.
"Ada apa, Val?"
Spontan aku menoleh pada Les, dan menemukan
tatapan itu lagi. Tatapan penuh selidik yang tersembunyi
di balik senyum manis dan wajah polos. Mirip serigala
berbulu domba. Yah, mungkin dia bukan serigala jahat,
tapi pastinya dia bukan orang sembarangan. Kalau dijadi?
kan lawan, dia pasti akan menjadi lawan yang sangat
berbahaya. Aku berusaha menyembunyikan perasaanku yang ter?
ganggu dan tersenyum sopan. "Lagi sibuk nggak?"
"Sibuk pun nggak apa-apa," sahut cowok itu dengan
manis, yang rasa-rasanya mirip dengan nada suaraku
sendiri. "Ada yang bisa kubantu?"
"Sebenarnya mobilku mogok di deket-deket sini. Tadi
waktu lagi nyari-nyari bengkel aku lihat papan nama
bengkel ini dan ingat kamu, jadi aku teringat tawaranmu
dan mampir ke sini."
Jawaban yang manis dan sempurna. Aku sudah merasa
puas sekali dengan ucapanku sampai cowok itu me?nyung?
gingkan senyum yang seolah-olah menertawakanku.
Arghhh, menyebalkan! "Oh, begitu ya?" Aneh, sepertinya dia meragukan katakataku. Apa aktingku kurang jago? Tapi setidaknya aku
sudah menyuruh Pak Mul merusak Benz itu dengan tan?
Isi-Omen2.indd 90 011/I/13 pa belas kasihan. Kalau aku yang merusaknya, sudah
Isi-Omen2.indd 91 011/I/13 pasti kedokku terbuka. "Mobilmu ada di mana? Biar ku?
lihat." "Nggak terlalu jauh kok. Ada di belokan sebelah situ."
"Oh, kalo gitu aku bawa mobil aja supaya bisa diderek.
Yuk, kita jalan." Aku mengikuti Les menuju sebuah mobil pick-up ber?
warna hitam yang baknya dipenuhi berbagai peralatan:
tali-temali, tanda rambu segi tiga berwarna merah, co?
rong oranye. Melihatku lewat, Les buru-buru menyingkir?
kan tali-temali yang sempat tercecer ke bawah, tepat
pada saat salah satu tali menyangkut di kakiku.
Aku bisa saja meloncat dan melewatinya, tapi cowok
ini belum tahu apa-apa soal aku. Oke, dia pernah me?
lihat?ku meloncat turun dari pohon, tapi itu kan bukan
apa-apa. Bisa saja aku memang beruntung bisa mendarat
dengan dua kaki. Jadi aku membiarkan tali itu melilit di
kakiku. Barangkali aku hanya bakalan tersandung dan...
Arghhh. Lilitannya kuat banget dan aku malah ter?
jengkang ke belakang. Tanganku meraih-raih untuk me?
nahan tubuhku tapi tak ada yang bisa diraih.
Tapi lalu sebuah lengan kokoh menahan punggungku.
"Kamu nggak apa-apa?"
Sesaat aku hanya bengong menatap Les yang tampak
begitu dekat di wajahku. Oh, God, kenapa dia begitu de?
kat? Kenapa dia terlihat ganteng, bahkan dalam kondisi
kotor begini? Dan kenapa aku merasa sangat nyaman,
terlalu nyaman, dengan lengan yang melingkari pung?
gungku itu? "Nggak." Aku buru-buru bangkit berdiri, merasakan
se?dikit sengatan kekecewaan harus lepas dari lengan ber?
otot itu. "Thanks ya, udah ditolongin."
Isi-Omen2.indd 92 011/I/13 "Iya, sama-sama."
Les membukakanku pintu, menungguku sampai aku
duduk dengan nyaman di dalamnya, baru menutup
pintu dan menuju kursi di balik kemudi. Kunci mobil
sudah tertancap di dalamnya, jadi kami langsung keluar
dari pelataran parkir. "Jadi, mobilmu ada di mana?"
"Masih di depan lagi, tapi nggak terlalu jauh."
Sesaat kami hanya memfokuskan pembicaraan kami
tentang arah jalan. Saat akhirnya kami mendekati mobil?
ku yang sedang terdampar tak berdaya, kulihat Pak Mul
yang tadinya tampak cemas seraya menunggu kedatang?
an kini langsung tampak cerah.
"Itu sopirku." Aku menunjuk Pak Mul. "Ayo, menepi,
Les." Les menyalakan sen dan menepikan pick-up. "Mau ikut
turun?" Aku mengangguk. "Sebentar ya, aku bukain pintu."
Ayahku mengajarkan, seorang anak perempuan harus
menerima perlakuan hormat dari anak laki-laki. Seandai?
nya diperlakukan tidak hormat, kita tetap harus meminta?
nya. Jadi aku pun tidak memprotes saat cowok itu me?
mutari pick-up dan membukakanku pintu. Jantungku agak
berdebar saat dia mengulurkan tangan, tapi berhubung
tidak sopan menolaknya, aku pun menyambutnya.
Oh, God. Kenapa hanya dengan sedikit sentuhan ini,
jantungku jadi meloncat-loncat tak keruan begini?
Aku mengenyahkan semua perasaan membingungkan
itu dan berkata pada sopirku, "Pak Mul, ini Les, mekanik
dari Bengkel Montir Gila di dekat sini."
Isi-Omen2.indd 93 011/I/13 "Halo, Pak Mul." Les menyalami Pak Mul dan me?
noleh ke arah mesin yang masih terbuka lebar. "Jadi apa
masalahnya, Pak?" "Sepertinya ada yang mengisengi mobil ini saat ter?
akhir ditinggal di bengkel," kata Pak Mul muram. "Se?
bagi?an onderdilnya diganti dengan yang sudah rusak."
Les membungkuk di bawah kap mesin dan meringis.
"Oh, ya, benar banget. Ini sih parah. Banyak yang ha?rus
diganti." "Saya tahu," sahut Pak Mul dengan muka kesal yang
harus diacungi jempol. "Biasanya saya ikut mengawasi
kalau mobil ini dibawa ke bengkel. Tapi terakhir kali saat


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya cuti, rupanya dibawa Tuan Besar ke kantor selama
beberapa hari. Kalau bukan karena kejadian hari ini, saya
tidak akan tahu mobil ini pernah dibawa ke bengkel
waktu itu." "Oke, Bapak nggak usah khawatir. Kebetulan kami
punya onderdil pengganti. Bukan onderdil asli Benz,
tentu saja, tapi cukup untuk sementara hingga Bapak
kembali ke bengkel resmi Benz."
"Baiklah." Pak Mul mengangguk. Sambil membantu
Les memasang pengait dan tali yang menghubungkan
pick-up dengan Benz, dia bertanya, "Jadi Anda teman
Non?" Sambil terus memeriksa mesin di depannya, Les me?
lirik?ku dan tersenyum. "Begitulah kira-kira."
"Jadi saya bisa percayakan mobil ini pada Anda?"
"Yep. Kalau mau ditinggal, tinggal aja. Tapi kalau mau
ditunggui juga nggak apa-apa. Mungkin dua jam juga
sudah beres." "Baiklah, sebenarnya saya masih ada urusan..."
"Tapi saya nggak bisa ikut pulang, Pak Mul," selaku.
"Habis, Erika masih ada di bengkel."
Pak Mul mengangguk lalu berpaling pada Les. "Kalau
begitu, saya titip Non, ya."
Les mengangguk tenang. "Pasti akan saya jaga baikbaik."
Pak Mul berpamitan padaku. "Saya pulang dulu, Non."
"Iya, Pak. Makasih ya. Ada ongkos pulang kan, Pak?"
"Ada, Non. Sampai ketemu besok."
Tak lama kemudian, kami sudah kembali ke bengkel.
Erika masih tidak tampak batang hidungnya, sementara
Les mulai memeriksa mesin dan mencatat onderdil apa
saja yang perlu diganti. Tanpa mengangkat kepalanya
sama sekali, dia bergumam, "Mobil ini rusaknya lucu."
Oh, God. Ketahuan? "Apanya?"
"Terlalu rapi," jelasnya. "Seorang pencuri biasanya ter?
buru-buru. Dia memang harus mengganti semua onderdil
ini dan memasangnya dengan baik supaya nggak ketau?
an, tapi tetap saja nggak perlu serapi ini. Kecuali..."
"Kecuali?" Cowok itu mengangkat wajahnya dan memandangiku
dengan heran. Oh, sial, aku lupa memasang aktingku.
Tanpa sadar, tatapanku berubah tajam, otot-ototku me?
negang, postur tubuhku lebih tegak dan waspada. Aduh,
bodohnya aku. Seorang cewek pendiam yang manis tidak
mungkin bersikap seperti ini!
Tiba-tiba cowok itu tertawa. Kurang ajar, sudah pasti
dia menertawakanku! "Ada yang lucu?" tanyaku dingin.
Isi-Omen2.indd 94 011/I/13 Menyadari ketidaksenangan dalam nada suaraku, Les
Isi-Omen2.indd 95 011/I/13 berhenti tertawa. "Sori, sori." Tapi dia tetap menyeringai,
dan harus kuakui, seringainya cakep banget. Ah, cowok
ganteng memang rata-rata menyebalkan. "Aku nggak ber?
maksud nertawain kamu, cuma..." Dia tertawa lagi sam?
bil menggeleng-geleng. "Astaga, nyaris kupikir Vik me?
nipu??ku!" Vik? "Apa hubungannya Vik dengan situasi ini?"
Cowok itu menatapku dengan mata berbinar-binar.
"Habis, katanya kamu cewek yang punya karakter dan
kemampuan paling aneh di dunia. Misterius, dingin, dan
nggak bisa diduga. Jago olahraga dan kickboxing, pandai
akting, dan cerdas luar biasa."
Dasar tukang ojek sialan. Tidak kuduga si masam itu
ternyata punya mulut ember yang hobi menggosipiku.
Oke, aku tahu mungkin dia cuma cerita pada orang yang
diklaimnya sebagai sahabat karib, tapi semua kemampu?
anku itu kan rahasiaku! Tidak sepantasnya dia meng?
umum?kannya seenak jidatnya!
Kalau si mulut besar itu ada di depanku sekarang,
akan kubuat dia merasakan kickboxing-ku.
"Aku nggak seperti itu," bantahku, meski tahu bantah?
anku bakalan sia-sia. "Aku cuma cewek biasa kok."
Seringai cowok itu melembut, berubah jadi senyum
yang membuatku terpukau. "Kamu nggak akan pernah
jadi cewek biasa, Val. Kamu cewek paling anggun yang
per?nah kutemui." Eh? "Mirip malaikat yang tak terjangkau manusia biasa."
Oke, ini sudah berlebihan. Apanya dari diriku yang
mi?rip malaikat? Penampilanku yang dia lihat kan pe?
nampil?an cewek cupu dan kuper! "Ngaco kamu, Les."
Isi-Omen2.indd 96 011/I/13 "Serius kok, dan ini bukan cuma gara-gara di pertemu?
an pertama kita, kamu seperti jatuh dari langit." Oh,
God, dia masih ingat rupanya. "Sepandai apa pun kamu
menyembunyikan diri, kamu nggak akan bisa menutupi
pembawaanmu yang satu itu. Kamu juga sangat awas,
terlalu awas untuk cewek biasa. Sekali lagi, lebih mirip
malaikat yang mengawasi tindak-tanduk manusia. Tam?
bahan lagi, kamu sangat cantik."
Tidak salah lagi. Cowok ini pasti sudah gila.
"Tapi tadinya kukira cuma itu. Kukira Vik sengaja
ngerjain aku dengan bilang kamu jago kickboxing dan
akting segala. Jadi tadi aku coba ngetes..."
"Tali itu!" Aku menatapnya tak percaya. "Aku nyaris
celaka, tau!" "Nggak mungkin. Aku siap nyambut kamu kalo kamu
jatuh. Dan ternyata kamu beneran jatuh. Saat itu, aku
bener-bener ngira Vik emang berbohong. Nggak kuduga,
justru itu menunjukkan kamu emang cerdas dan pintar
berakting. Tapi lalu tadi, saat aku menyinggung soal me?
sin yang dipretelin dengan terlalu rapi," dia menyeringai,
"kakimu mengambil ancang-ancang kepingin menendang?
ku." Aku melongo. "Enak aja! Aku nggak begitu!"
"Iya kok, kamu nyaris menyerangku." Les tertawa geli.
"Emang?nya ada apa sih, sampai-sampai kamu kerajinan
ngeganti onderdil mobilmu yang mahal-mahal banget itu
untuk datang ke sini?" Sinar matanya berubah jail saat
ber?tanya, "Kalo cuma ingin ketemu denganku, kamu
nggak perlu alasan apa-apa kok."
Sesaat aku jadi speechless. Oh, God, belum pernah aku
tertangkap basah begini! Isi-Omen2.indd 97 011/I/13 Akhirnya aku berdeham, mengumpulkan segenap har?
ga diriku yang tersisa. "Aku ingin informasi soal anakanak geng motor."
"Oh." Wajah Les berubah jadi pengertian. "Nggak he?
ran kamu datang ke sini. Emangnya ada apa?"
"Itu urusanku."
Les menatapku dengan geli. "Oke. Informasi apa yang
ingin kamu ketahui? Ada nama geng yang spesifik, atau
malahan nama orang secara spesifik?"
"Tunggu dulu." Aku menatapnya dengan jengkel.
"Kamu sendiri juga nggak seperti yang terlihat. Dengan
tampang sok polos yang hobi cengar-cengir, kamu me?
nipu semua orang dan membuat mereka mengira kamu
nggak berbahaya. Dan seperti ular di semak-semak, kamu
menunggu saat yang tepat untuk menyerang."
Bukannya kaget atau apa, cowok itu tetap cengar-cengir.
"Aku jadi tersanjung, tapi aku sama sekali nggak sehebat
yang kamu bilang. Aku cuma montir biasa kok."
"Oh, ya?" Aku tersenyum sinis. "Dari sekian banyak
orang, hanya kamu yang tau soal penyamaranku. Oke?
lah, Vik memang ngasih tau kamu, tapi semua itu nggak
ada gunanya tanpa bukti, dan aku tadi berhasil me?nipu?
m?u, kan? Dan terakhir, nggak mungkin montir tengil
yang cuma mengandalkan tampang bisa jadi ketua geng
motor." Sekali lagi, bukannya kaget, cowok itu malah tertawa
terbahak-bahak. Akhirnya, sambil mengusap mata, dia
berkata masih sambil tertawa, "Aku mengandalkan tam?
pang, ya?" Arghhh. Apa aku sudah keceplosan dan mengatainya
ganteng tanpa kusadari? Isi-Omen2.indd 98 011/I/13 "Itu nggak penting dan nggak ada hubungannya,"
sergah?ku. "Nah, sekarang apa yang kamu ketahui soal
Rapid Fire, terutama anggotanya yang bernama Andra
Mukti?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Les malah menum?
pangkan wajahnya pada tangannya yang diletakkan di atas
pinggiran depan mobilku, dan berkata, "Kamu emang ce?
wek yang menarik sekali. Seandainya saja aku punya kesem?
patan..." Kesempatan? "Kesempatan apa?"
"Nggak apa-apa, cuma sembarangan ngomong. Nah,
kamu kepingin tau soal Rapid Fire." Meski penasaran
dengan maksud perkataannya, sesuatu dalam suaranya
mem?buatku berhenti bertanya-tanya lagi. "Kalau kamu
ingin tau, bukan, itu bukan nama geng motor kami.
Geng kami bernama Streetwolf. Kalo Rapid Fire, geng itu
geng yang lebih liar, geng yang suka nyari masalah. Se?
macam geng kriminal, begitulah. Andra Mukti itu teman?
mu?" "Dia pernah satu sekolah denganku," sahutku sing?kat.
"Berarti kamu nggak deket dengannya." Betul kan
duga?an?ku. Cowok ini otaknya memang boleh juga.
"Bagus. Nggak ada gunanya deket-deket dengan cowok
yang bergabung dengan geng bereputasi buruk seperti
itu. Aku sendiri nggak pernah denger nama Andra Mukti,
tapi nanti pasti akan kucari tau. Sebagai balasannya,"
co?wok itu nyengir lagi, "kamu mau kujemput pulang
seko?lah besok? Mobilmu harus menginap di sini soal?
nya." "Menginap di sini?" protesku. "Tapi kan kamu udah
tau..." Isi-Omen2.indd 99 011/I/13 "Udah tau apa?" tanya cowok itu dengan muka polos.
"Banyak onderdil yang harus diganti, dan aku harus
nyari supplier yang tepat. Bengkel kami kan bengkel yang
biasa melayani mobil-mobil murah, jadi nggak ada stok
onderdil Benz di sini."
Mungkin seharusnya aku membentaknya, tapi entah
kenapa aku malah ketawa. Habis, tampang cowok itu
memang lucu banget sebenarnya. Atau, senyumnya me?
mang sangat menular? Entahlah. Padahal aku bukan ce?
wek yang hobi ketawa-ketiwi lho.
"Kamu ini benar-benar berani mati," ucapku akhir?
nya. "Harus berani," ucapnya sungguh-sungguh. "Kalo nggak,
nggak bisa jadi ketua geng motor lah."
Entah kenapa, ada sesuatu yang menyedihkan dalam
ucapan itu. Seolah-olah tidak ada yang peduli dia hidup
atau mati. Mirip denganku, ya. "Oke," sahutku akhirnya.
Nah, akhirnya dia terkejut juga. "Oke?"
Aku mengangguk. Cowok itu bangkit dari bangkunya perlahan-lahan,
men?dekatiku bagaikan macan mendekati mangsanya.
Napasku tertahan saat dia berdiri di depanku, dekat
sekali, sampai-sampai aku bisa mencium bau keringat
ber?campur bau oli yang selamanya akan selalu meng?
ingatkanku padanya. "Aku serius, nih," katanya sambil menatapku dalamdalam.
"Aku juga serius," balasku agak setengah menantang.
Sesaat kami berdua hanya berpandangan. Aku tidak
100 Isi-Omen2.indd 100 011/I/13 tahu mengapa dia diam saja, tapi yang jelas jantungku
ber?degup begitu cepatnya sampai-sampai aku tidak tahu
apa yang harus kulakukan.
Oh, God. Rasanya seperti...
Mendadak terdengar keributan yang membuat kami
berdua menoleh. Wajahku memucat melihat Erika me?
nyeret seorang cewek yang sedang cemberut ke depan
kami. "Hei!" teriak Erika berang. "Cewek ini bilang dia pacar
lo?" 101 Isi-Omen2.indd 101 011/I/13 MELIHAT cewek yang baru nongol ini, rasa pedeku?ka?
lau aku memang punya perasaan seperti itu?lenyap se?
ketika. Habis, cewek seperti inilah yang jelas-jelas diidamidam?kan para cowok. Rambut panjang berombak yang
dicat kemerahan, mengingatkanku pada rambut para se?
lebriti Korea yang sedang ngetren. Wajah yang dirias
dengan rapi, sangat berlawanan dengan wajahku yang
pucat dan sederhana. Tubuhnya berbalut kaus tanpa le?
ngan berwarna merah yang dipadukan dengan jins hitam
ketat, sementara anggota badan lainnya dipenuhi ber?
bagai aksesori: tangannya dipenuhi berbagai gelang, leher?
nya dililit kalung tali bermata batu ungu, dan jari-jarinya
berhias banyak cincin. Kalau pemimpin geng motor
berambut shaggy kepingin nyari cewek, pasti cewek can?
tik berambut berombak beginilah yang bakalan dipilih.
Oh, God, aku benar-benar tolol. Astaga, kenapa aku
bisa mengira cowok sekeren Les masih single? Jelas-jelas
tidak mungkinlah. Cowok seperti itu, baru jomblo lima
menit saja sudah disambar kiri-kanan. Celakanya lagi,
102 Isi-Omen2.indd 102

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

011/I/13 aku be?nar-benar tersanjung dengan semua ucapannya.
Bagaikan malaikat yang tak terjangkau manusia biasa,
katanya. Yang benar saja. Mungkin yang dimaksudnya
dengan malaikat adalah seperti cowok, soalnya semua
malaikat kan co?wok. Tapi kalau dia sudah punya pacar, kenapa dia tidak
bilang? Bahkan, dia mengajakku pulang bareng segala. Ya,
aku tahu, ini bahkan bukan kencan, tapi cowok yang sudah
punya pacar tak akan mengajak cewek lain untuk pulang
bareng, kan? Meski mungkin menyembunyikan banyak
hal, Les adalah cowok yang tulus, punya integritas, dan
sepertinya tidak suka ber?bohong.
Ataukah aku salah menilainya?
Oke, mungkin aku sudah terlalu menganggap tinggi
diri sendiri. Sepandai-pandainya aku dalam banyak hal,
aku tetaplah cewek lugu dalam masalah cowok dan
cewek. Dan dalam hal ini terbukti bahkan Erika yang
biasanya tak pedulian dalam soal urusan cinta pun lebih
cerdik dibanding aku. Dia berhasil menemukan pacar
Les, sementara aku malah sok beradu pintar dengan
cowok itu. Arghhh. Kenapa aku bisa begini memalukan?
"Les, apa-apaan nih?" Cewek itu melepaskan diri dari
Erika dan menghampiri Les. "Kok cewek itu bilang, lo
sekarang lagi pedekate sama cewek lain?" Tatapannya
ber?henti padaku, dan ada sedikit rasa tersinggung saat
cewek itu mengerutkan alis. "Lo beneran lagi pedekate
sama cewek ini?" Les tertawa sambil mengusap-usap rambut belakangnya
sendiri. "Yah, jangan diumumkan gitu dong. Aku kan
jadi malu." 103 Isi-Omen2.indd 103 011/I/13 "Tapi," cewek itu cemberut dan mengerjap-ngerjapkan
mata, "gimana soal kita, Les?"
Napasku tersentak saat melihat Les merangkul cewek
itu dengan gaya yang begitu santai, seolah-olah dia su?
dah melakukannya ribuan kali. "Na, kamu harus tau, apa
pun yang terjadi, nggak akan ada yang berubah di antara
kita, oke?" "Bagus banget!" Erika menarikku dan merangkulku de?
ngan cara Les merangkul cewek itu. "Untung kami akhir?
nya berhasil memergoki, lo emang cowok nggak beres.
Yuk, Val, kita cabut aja dari sini!"
Les tampak bengong mendengar ucapan Erika, seolaholah tak mengerti kenapa sahabatku itu begitu marah.
Lagi-lagi sesuatu dalam otakku meneriakkan protes. Ini
salah paham. Pasti ada kesalahpahaman. Seharusnya kami
memberikan kesempatan pada Les untuk menjelas?kan.
Namun kesempatan itu tidak pernah ada. Reaksi Erika
ter?lalu cepat, menyeretku dengan kekuatan super yang
tak bisa kulawan. "Val!" Aku merasakan tangan Les menyentuh bahuku, tapi
tangan itu langsung ditepiskan oleh Erika yang meme?
lototi Les dengan mata berapi-api.
"Jangan pernah nyentuh cewek yang bukan punya lo,
tau!" bentak Erika galak.
Les terdiam sejenak. "Sori, tapi," dia menatap kami
de?ngan bingung sekaligus tersinggung, "kenapa tau-tau
kalian marah sama aku?"
Mulut Erika membuka lebar-lebar seolah-olah ingin
menyemburkan api, tapi untungnya yang beneran di?
sembur??kannya hanyalah kata-kata belaka. "Masih tanya,
104 Isi-Omen2.indd 104 011/I/13 lagi! Kenapa lo udah punya cewek, masih berani godain
temen gue?" Mulut Les ternganga. "Apa?"
"Masih berani bilang apa..."
"Ka, cukup!" aku memotong ucapan Erika dengan tegas.
Aku tidak ingin menambahkan satu poin lagi ke da?lam
daftar kekonyolan yang kubuat hari ini. "Dia nggak salah
apa-apa kok. Kami memang cuma ber?teman."
"Oke." Erika memelototi Les. "Mulai sekarang, jangan
dekati dia. Ngerti?"
Les diam sejenak, lalu pandangannya beralih padaku.
"Ada sesuatu yang aku lewatkan?"
"Nggak," sahutku cepat-cepat. Astaga, seluruh situasi
berubah begitu cepat. Tadinya begitu menyenangkan,
me?nantang, menggoda?tapi kini yang tersisa hanyalah
kebetean Erika dan pacar Les, serta rasa maluku yang tak
tertahankan lagi. "Aku pulang dulu, Les. Nanti aku akan
suruh Pak Mul ambil mobilnya, ya."
"Besok," ralat Les.
Whatever. "Oke, aku pulang dulu, ya."
"Oke," senyumnya. "Kayaknya aku bakalan dirajam
sampai mati ya, kalau aku nawarin buat nganterin kalian
pulang." "Bagus kalo tau!" tukas Erika di sampingku. "Kalo lo
masih menghargai nyawa lo, mending lo jauh-jauh dari
kami mulai sekarang, oke?"
Tanpa menunggu jawaban Les, Erika menyeretku pergi.
"Ayo, Val, kita tinggalin bengkel tempat asal montirmontir gila ini!"
Aku berusaha menahan diri, tapi akhirnya tetap meno?
leh ke belakang untuk menatap Les terakhir kalinya hari
105 Isi-Omen2.indd 105 011/I/13 itu. Rupanya dia masih berada di tempatnya seraya me?
mandangi kepergian kami, dan saat melihatku berpaling
padanya, dia melambai padaku dengan senyum yang ma?
sih tampak bingung. Kenapa dia harus bingung? Apakah kami yang salah
paham dengan seluruh situasi ini?
Bayangan Les merangkul pacarnya menyergap ingatan?
ku, dan hatiku langsung terasa perih. Tidak, itu bukan
salah paham. Memang aku yang bodoh, sudah me?
nanggapi seluruh situasi ini dengan terlalu lugu.
"Pake noleh, lagi!"
Aku berpaling pada Erika yang berjalan di depanku
sambil menyeret lengan kiriku. "Kenapa nggak boleh?"
"Lo tau apa yang terjadi pada orang-orang yang me?
noleh ke belakang? Mereka jadi tiang garam!"
Meski saat ini perasaanku kacau-balau, aku tak bisa
me?nahan tawaku. "Lo baca Bible juga, Ka?"
"Nggak usah dibesar-besarin. Cuma sekali kok, dan ga?
watnya gue kan nggak bisa lupa segala hal." Setelah
kami sudah cukup jauh dari bengkel, dia berhenti me?
nyeretku. "Lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa apanya?" tanyaku, padahal aku sudah
tahu apa yang dia tanyakan.
"Nggak usah berlagak bodoh. Tentu saja soal cowok
sialan itu." Erika mulai menarik-narik lengan bajunya
hingga ke pangkal lengan. "Duh, gue kepingin mukul si
Ojek karena udah ngenalin kita dengan cowok se?
brengsek itu. Bisa-bisanya dia sok mesra sama lo padahal
dia udah punya cewek lain..."
"Tunggu dulu," selaku. "Kok lo bisa bilang dia sok
mesra sama gue?" "Cih, lo kira gue buta?" balas Erika. "Kan gue ngawas?
in kalian dari jauh!" Oh. Sekarang aku yang malu, ka?
rena saat bersama Les, aku nyaris lupa pada Erika sama
sekali. "Pokoknya, jelas-jelas dia pedekate sama elo. Tapi
abis itu, bisa-bisanya dia peluk cewek gaje itu di depan
lo, dan bisa-bisanya dia nggak merasa bersalah untuk se?
mua itu!" "Udah, udah, lo kayak residivis saat ini," kataku geli,
meski setiap kata-katanya seperti pisau yang menusuk
ulu hatiku. "Nggak apa-apa, Ka. Kan gue sama dia baru
temenan. Tapi memang lebih baik kita tau soal ini dari
awal. Thanks ya, Ka." Mau tak mau aku tersenyum lebar
saat teringat betapa sengitnya Erika membelaku. "Dan
thanks juga udah belain gue tadi."
"Ya dong, harus gue bela," sahut Erika dengan tam?
pang misuh-misuh. "Kesel gue sama cewek itu. Namanya
Nana, dan katanya dia temen sejak kecilnya si Ojek dan
Les." Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan gaya
super?lebay yang membuatnya lebih mirip bencong ke?
timbang cewek yang ditirunya. "Tanpa gue perlu tanyatanya, dia langsung pamer kalo dia dan Les udah pacar?
an sejak lama. Gue nggak suka banget sama cewek itu.
Gayanya centil banget. Ugh." Erika mengentak-entakkan
kaki dengan emosi. "Sebel gue hari ini. Udah capekcapek, nggak dapet informasi berarti."
"Eh, gue sempet dapet info, geng mereka bukan geng
Rapid Fire," cetusku.
"Itu sih gue udah tau dari kapan-kapan," dengus Erika.
"Gue inget motor si Ojek selalu ada tempelan serigala
106 Isi-Omen2.indd 106 011/I/13 gitu, dan di bawahnya ada tulisan Streetwolf kecil-kecil?
107 Isi-Omen2.indd 107 011/I/13 nyaris nggak gue baca kalo gue nggak kepo. Buat apa dia
tempel begituan kalo gengnya bernama Rapid Fire?"
"Lalu kenapa lo masih menyanggupi rencana gue
dateng ke sini?" tanyaku agak jengkel karena Erika tidak
pernah mengatakan hal itu sebelumnya.
"Karena gue pikir mereka tau sesuatu tentang Rapid
Fire," balas Erika, "dan gue kira lo kepingin ketemu co?
wok sialan itu." "Oh." Aku diam sejenak. "Jadi, temen-temen Les
nggak ada yang tau soal Rapid Fire?"
"Yah, taunya gitu-gitu aja sih. Rupanya temen-temen
kita di Bengkel Montir Gila nggak terlalu informatif. Me?
reka nggak tau apa-apa soal Rapid Fire selain geng itu
terdiri atas orang-orang nggak bener. Sering ada gosip-go?
sip nggak baik yang menerpa geng itu. Penyalur narkoba,
misalnya. Tapi tadi siapa namanya itu Donny, juga bi?
lang sama gue, geng mereka sering mendadak digerebek
polisi dengan tuduhan yang nggak-nggak. Seperti waktu
itu mereka dituduh mencuri di supermarket padahal ke?
nyataannya nggak." Erika menyeringai. "Dalam setiap
geng, selalu ada aja yang bermulut ember dan gampang
dikorek-korek. Untung geng gue kecil, cuma tiga orang,
dan semuanya bisa gue andelin. Eh, Cak!"
Erika mencegat sebuah becak yang sedang melenggang
melewati kami dan si tukang becak yang sedang asyik
menggenjot langsung memelototi kami. Tampangnya
yang bete langsung sirna saat aku menyebutkan alamat
rumahku yang memang terletak di kompleks elite, na?
mun kebeteannya muncul lagi saat Erika mengambil alih
pembicaraan dan menawar tarifnya dengan gaya sengit.
Setelah mendapat tarif yang lumayan ideal untuk kedua
108 Isi-Omen2.indd 108 011/I/13 belah pihak (sebenarnya, aku buru-buru menyetujui tarif
yang diinginkan si tukang becak yang malang sebelum
Erika memorotinya), kami berdua menyelinap masuk ke
dalam kendaraan mungil tersebut.
"Setelah korek-mengorek itu," Erika melanjutkan cerita?
nya tanpa kuminta, "gue akhirnya memutuskan buat
nyari gara-gara sama satu-satunya cewek yang berada di
situ. Habis, dia ngeselin banget. Gue lagi capek-capek
inte?rogasi, dia malah berusaha merebut perhatian yang
diberikan ke gue dengan bergenit-genit. Lama-lama kan
gue ilang sabar. Gue tarik dia, dan gue bentak. Eh
bukannya takut, dia malah bilang ke gue, jangan karena
gue pacar si Ojek, gue boleh sok-sokan di depan dia. Ka?
rena gimanapun si Ojek cuma wakil, sementara pacar
dia, si cowok sialan, adalah ketuanya. Dan menurut si
cewek ganjen itu, kalo gue hajar dia, kali-kali aja si Ojek
malah bakal ngebela dia karena mereka tuh temen dari
kecil." Dengan geram Erika meninju pinggiran becak sampai
seluruh becak bergetar. "Neng!" teriak si tukang becak panik. "Jangan hancur?
in mata pencaharian saya dong!"
"Sori, Cak," sahut Erika, tampak malu dengan dirinya
sendiri. "Tuh, gara-gara si cewek ganjen, gue jadi nyaris
bikin orang jatuh miskin! Tuh cewek emang nggak ada
bagus-bagusnya. Bikin gue tambah emosi dari detik ke
detik!" "Tapi dia emang cantik sih," gumamku, teringat be?
tapa sempurnanya gaya cewek itu. "Gaya kayak gitu kan
yang lagi ngetren di mana-mana. Nggak heran Les suka
sama dia." 109 Isi-Omen2.indd 109 011/I/13 "Halah, cewek dangkal yang cuma bisa dandan gitu di
mana-mana banyak. Kalo cowok sialan itu emang suka?
nya nyantol sama cewek dangkal, berarti dia sama dang?
kal?nya. Kita jangan bergaul dengan manusia-manusia
dangkal begitu. Untung semua ini masih permulaan.
Mumpung lo belum tertarik banget sama dia, lebih baik
kita jauh-jauh aja."
Kali ini Erika salah. Sesungguhnya, aku sudah tertarik
banget pada Les. Tapi aku bersyukur Erika tidak me?
nyadari hal itu. Kalau sahabatku sendiri tak tahu soal
itu, berarti aku memang tidak terlalu menunjukkannya
tadi. "Thanks ya, Ka," ucapku sungguh-sungguh. "Seumur
hidup, nggak pernah ada orang yang ngebela gue sampai
begitunya." "No problemo," gumam Erika dengan nada yang terde?


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngar agak malu. Aku tertawa dalam hati. Aneh sekali, dari sekian ba?
nyak orang, justru pada cewek jutek yang suka berantem
inilah aku merasa aku bisa memercayakan diriku. Bah?
kan, dalam keheningan tanpa kata-kata seperti sekarang
ini, aku merasa nyaman bersamanya.
Becak kami melenggang dengan santai, memasuki
gerbang kompleks Imperium Royale Garden. Nama yang
keren banget, ya. Sebenarnya, kompleks ini memang
hanya didiami oleh keluarga-keluarga yang paling ber?
pengaruh di seluruh Hadiputra Bukit Sentul. Keluarga
Hadiputra sebagai pemilik perumahan tinggal di sini,
kabar?nya bersebelahan dengan rumah keluarga inti
Yamada, yang berarti keluarga Vik. Tapi itu bukan berarti
cowok itu tinggal di sekitar sini.
110 Isi-Omen2.indd 110 011/I/13 Jarang sekali ada becak yang nongol di kompleks
kami. Bahkan para pengurus rumah pun biasanya me?
miliki kendaraan pribadi. Itulah sebabnya para petugas
sekuriti kompleks langsung menyerbu ke arah kami, tapi
langkah mereka terhenti saat melihatku.
"Miss Valeria." Begitulah mereka menyapaku.
Aku mengangguk kepada mereka. "Selamat sore, Pak.
Nggak apa-apa ya, becak masuk ke dalam kompleks?"
"Iya, nggak apa-apa, Miss. Silakan masuk."
Erika bersiul saat kami melewati pos sekuriti. "Gile,
di?panggil Miss segala. Emang orang kaya tuh beda, ya...
holy crap!" Cewek itu memelototi rumah pertama yang
kami lewati. "Ini rumah atau istana? Gila, liat taman?nya,
ada rusa segala!" Aku tidak menjawabnya dan hanya menahan senyum.
Aku tahu, rumah-rumah di sini memang keren-keren, tapi
aku sudah terbiasa dengan semua pemandangan ini.
"Hei, liat rumah yang itu! Tamannya banyak tanaman
bentuk-bentuk aneh. Pasti di dalamnya ada Edward
Scissorhands!" "Keren-keren ya, Non," si tukang becak ikut menyum?
bang?kan opini. "Mimpi pun saya nggak bakalan bisa di?
terima kerja di rumah kayak begini."
"Kalo mimpi mah apa aja bisa, Bang," celetukku geli.
"Ya, tapi saya nggak bisa bayangin seberapa kerennya
isi rumah-rumah ini, kalo luarnya aja udah hebat be?
gini." Aku meminta si tukang becak berbelok, dan tak lama
kemudian kami akhirnya tiba di depan sebuah gerbang
dengan angka 47 terukir besar-besar di samping gerbang
tersebut. 111 Isi-Omen2.indd 111 011/I/13 "Ini rumah lo?" tanya Erika terperanjat.
"Yep." "Buset!" Erika menatap rumahku dengan mata nyaris
keluar dari rongganya. "Gue nggak sangka lo sekaya ini,
Val!" "Yang kaya bokap gue, Ka, bukan gue." Aku turun dari
becak dan tersenyum padanya. "Mau masuk?"
"Mauuu!" teriak Erika penuh semangat dan meloncat
turun dari becak. Aku menyerahkan selembar dua puluh ribuan pada si
tukang becak. "Kembaliannya buat Abang aja, ya."
"Makasih, Non," sahut si tukang becak girang. "Kapankapan panggil saya lagi ya, Non."
"Ya, Bang. Sampai ketemu lagi."
Saat kami berbalik ke arah gerbang, pintu membuka
secara otomatis. Yah, tak ada yang istimewa di sini. Me?
mang gerbang ini dijaga oleh dua petugas sekuriti kok.
Kedua petugas itu langsung menyambut kami dengan
gerakan hormat di dahi. "Selamat sore, Miss Valeria."
"Sore," anggukku. "Ini teman akrabku, Erika Guruh.
Lain kali kalau dia datang, tolong dibukakan pintu,
ya." "Baik, Miss." Kami berjalan melintasi pekarangan depan, dan Erika
menyeringai di sampingku. "Jadi sekarang gue dapet free
pass ke dalam sini?"
"Yep, selama lo nggak ketemu bokap gue, lo aman."
"Emang bokap lo kenapa?"
"Nggak apa-apa sih, cuma beliau suka nanya-nanya. Lo
pasti bete." 112 Isi-Omen2.indd 112 011/I/13 Pekarangan depan rumah kami tidak seistimewa pe?
karang?an rumah tetangga-tetangga kami. Hanya lapangan
rumput luas dengan air mancur di tengah-tengah dan
pohon-pohon akasia yang rindang di sekelilingnya.
Bunga-bunga dan dedaunan akasia yang berguguran
memberi nuansa kuning dan cokelat pada rumput yang
hijau. Setiap kali kami berjalan di atasnya, terdengar
bunyi gemeresik daun yang menyenangkan.
Kami menaiki undak-undakan menuju pintu utama
rumah. Saat itu juga pintu terbuka dan kepala pelayan?
ku yang sudah tua, Andrew, nongol di depan. Aku
se?lalu meng?anggap Andrew mirip dengan Alfred-nya
Bruce Wayne. Hanya saja, Andrew sama sekali tidak
mirip de?ngan Alfred yang masih segar-bugar seperti
yang diperan?kan oleh Michael Caine. Sebaliknya,
Andrew sudah tua sekali, dengan tubuh sangat kurus,
kulit yang sudah ke?riput, punggung yang sudah mem?
bungkuk, dan tongkat yang harus digunakan untuk
me?nopang kakinya yang lemah. Meski terdengar tak
ber?guna, Andrew-lah yang mengelola rumah tangga
kami. Beliau orang kepercayaan ayahku?dan juga ke?
per?cayaanku?serta merupakan satu-satunya orang yang
paling tahu tentang keluarga kami.
"Selamat sore, Miss Valeria," sapanya sopan.
Andrew selalu sopan padaku, meski aku tidak keberat?
an kalau sekali-sekali dia bersikap kurang ajar padaku.
"Saya sudah dengar dari Pak Mul soal mobil kita yang
mogok. Sayang sekali, mobil yang masih begitu baru
harus masuk bengkel begitu cepat."
Dengan kata lain, dia tahu aku sudah meminta Pak
Mul mempreteli mobil kami.
113 Isi-Omen2.indd 113 011/I/13 Andrew memutar tubuhnya dengan susah payah dan
menghadap Erika. "Dan Anda pastilah Miss Erika Guruh.
Perkenalkan, saya Andrew, pelayan Miss Valeria. Saya su?
dah mendengar sangat banyak tentang Anda."
Bukan dariku, tentu saja.
Erika tampak salting. Sepertinya dia belum pernah ber?
hadapan dengan orang setua Andrew. "Ehm, halo, Kakek
Andrew." Ujung bibir Andrew terangkat. "Andrew saja sudah cu?
kup, Miss. Miss Valeria, kita akan mengundang Miss
Erika untuk makan malam di sini, bukan?"
"Iya, atur aja, Ndrew."
"Baik," angguk Andrew. "Kalau begitu, saya permisi
dulu. Sampai ketemu nanti, Miss Valeria, Miss Erika."
Dengan gerakan susah payah lagi, Andrew meninggal?
kan kami. Aku menggamit Erika dan mengajaknya
berjalan ke arah koridor samping. Meski biasanya sering
bermulut usil, kali ini Erika tidak berkomentar apa-apa
soal Andrew. Kurasa Andrew memang sering membuat
orang-orang asing merasa sungkan dan takut.
Kamarku terdiri atas dua lantai. Lantai bawah berisi
kamar tidur, ruang belajar, dan kamar mandi, sementara
di lantai atas khusus kamar pakaian. Erika melongo?
sepertinya terkesan melihat betapa luasnya kamarku?tapi
aku langsung mengajaknya ke lantai atas.
Meski aku cukup bangga dengan koleksi-koleksi buku
bacaanku, ruang pakaian tetap merupakan ruangan yang
paling kusukai. Saat ini aku bisa melihat Erika juga sa?
ngat tertarik dengan semua koleksiku. Dia mungkin tidak
terlalu tertarik pada pakaian-pakaian indah yang kumi?
liki, tapi dia tak mungkin tak terkesan dengan banyaknya
114 Isi-Omen2.indd 114 011/I/13 rambut palsu yang kumiliki. Semuanya tersimpan rapi di
dalam rak, di atas bulatan-bulatan yang menyerupai ke?
pala manusia. "Malam-malam, ruangan ini pasti creepy," komentar
Erika kagum. "Kok lo bisa koleksi begitu banyak wig
sih?" "Soalnya gue suka," sahutku sambil menghampiri meja
rias. Secara otomatis aku melepaskan kacamataku dan
memasukkannya ke dalam kotak yang tersedia. Lalu aku
mulai melepaskan lensa kontak yang kukenakan. "Gue
suka dengan semua yang berbau penyamaran."
"Yeah, gue tau. Di sekolah, nggak ada yang tau sifat
lo yang sebenarnya. Semua orang mengira lo cewek cupu
yang gampang ditakut-takuti. Mana ada yang tau lo
sebenarnya nggak seperti itu?"
Erika menoleh padaku tepat pada saat aku membuka
rambut palsu yang kukenakan. Dari cermin, aku bisa me?
lihatnya tercengang melihat sosok diriku yang sebenar?
nya. Aku membalikkan badan, dan wajahnya langsung
berubah shock saat menatap mataku. Aku tahu banget
kenapa dia bereaksi seperti itu.
Soalnya, aku punya dua bola mata yang berbeda
warna?nya, dan dua warna itu bukanlah hitam seperti
yang diketahui semua orang.
Dan satu lagi, rambut asliku bukanlah rambut hitam
panjang seperti yang terlihat selama ini.
"Holy crap!" bisik Erika, dan di dalam hati aku
merasa?kan kepuasan karena berhasil mengagetkan teman?
ku yang biasanya tak gampang tertipu itu. "Siapa sih lo
sebenarnya?" "Tentu aja Valeria Guntur," sahutku sambil tertawa.
115 Isi-Omen2.indd 115 011/I/13 "Cuma, yang selama ini lo kenal emang Valeria Guntur
samaran gue. Yang sekarang lo liat barulah Valeria
Guntur yang sebenarnya."
116 Isi-Omen2.indd 116 011/I/13 "JADI kenapa...? Kok bisa...? Ngapain...?"
Sebenarnya lucu juga melihat Erika Guruh yang biasa?
nya sok jagoan kini tergagap-gagap seperti cewek cupu?
maksudku, seperti aku. Selama beberapa saat aku hanya
cengar-cengir sambil menikmati pemandangan langka
itu, sampai akhirnya cewek itu tersadar dan mulai me?
melototiku. "Seneng liat gue kebingungan gini?!" hardiknya.
"Yah, jarang-jarang, kan?" sahutku geli. "Jadi, pertanya?
an?nya apa?" Muka Erika blank sejenak. "Oke, kita bisa mulai de?
ngan pertanyaan ini. Ngapain lo nyamar jadi cewek
cupu dan boring, kalo penampilan lo sebenernya hebring
begini?" "Thank you deh, udah dibilang cupu dan boring," ucap?ku,
merasa harus menyinggung kedua istilah itu meski sedikit
pun aku tak merasa tersinggung. "Yah, masalah?nya,
hebring kok bola mata gue warna-warni gini. Di antara
orang-orang biasa, gue udah ngerasa kayak alien aja."
"Peduli amat, toh alien-nya alien cantik!"
Ah, rupanya dia menganggap tampang asliku cantik.
117 Isi-Omen2.indd 117 011/I/13 "Thanks." Kali ini ucapanku lebih tulus. "Tapi gue nggak
boleh jadi anak yang mencolok."
"Kenapa?" tanya cewek yang paling mencolok di seko?
lahku itu. "Karena gue nggak mau menarik perhatian orang. Ter?
utama," aku terdiam sejenak, menyadari bah?wa ini
ber?arti aku harus membuka rahasia hidupku, "...bokap
gue." Erika menatapku tanpa berkata-kata. Aku tahu, cewek
ini juga punya masalah keluarga yang tak kalah beratnya
dibanding masalah keluargaku. Itu sebabnya aku yakin
dia bisa mengerti perasaanku.
"Bokap gue benci sama gue." Dengan pernyataan
itulah aku membuka ceritaku. "Sebenarnya, bokap dan
nyokap gue nggak terlalu suka akan kehadiran gue di
dunia ini. Sepertinya sejak lahir, gue cuma jadi beban
buat mereka yang suka dengan gaya kehidupan noma?
den. Mau nggak mau, mereka harus membawa gue ba?
reng mereka karena mereka nggak punya keluarga lain
yang bisa diandalin. Tapi kenyataannya, gue dibesarkan
oleh Andrew dan sederet babysitter yang selalu bergontaganti karena nggak cocok sama nyokap gue." Aku meng?
angkat bahu. "Yah, setidaknya hidup gue nggak jelekjelek amat berkat nama Guntur yang gue sandang. Nggak
ada yang berani macam-macam sama gue. Anak-anak
yang pernah meledek dan menghina gue karena muka
gue yang aneh, semuanya dikeluarkan dari sekolah. Tapi,
tentunya elo tau, hal itu cuma bikin gue makin dibenci
dan dikucilkan di sekolah."
Aku membuka kulkas dan mengeluarkan dua minuman
soda dingin untuk kami, juga sekotak cokelat Hersh?y?S
118 Isi-Omen2.indd 118 011/I/13 se?bagai camilan. Tanpa banyak bacot, Erika membuka


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu cokelat yang kemudian dimasukkan ke dalam mulut?
nya, lalu mengambil beberapa untuk dimasukkan ke
dalam tas sekolahnya yang nyaris kosong.
"Lo juga tau, jadi anak yang begitu istimewa," aku me?
nyebutkan kata terakhir ini dengan nada sinis, "pasti
ha?rus sanggup menjaga diri sendiri. Itu sebabnya gue
fokus dengan kemampuan olahraga dan bela diri. Awal?
nya gue juga berusaha punya nilai-nilai bagus supaya
diperhatikan orangtua gue, tapi sia-sia. Mereka terlalu
mencintai dunia mereka."
"Emangnya bokap lo kerja apa sih?" tanya Erika pe?
nasaran. "Gue juga nggak tau." Aku mengangkat bahu. "Yang
gue tau, mereka senang memburu barang-barang seni.
Lukisan, barang-barang pecah-belah, artefak. Terkadang
mereka pergi ke galeri-galeri mewah, terkadang pergi ke
tempat penggalian barang-barang bersejarah. Awal?nya
gue pikir mereka penjual barang-barang seni, tapi lalu
gue menyadari sesuatu. Mereka nggak pernah menjual ba?
rang-barang seni itu."
"Nggak pernah?" Erika mengerutkan alis. "Lo yakin?
Sori, bukannya gue nggak percaya, tapi kita sebagai anak
kecil kan nggak mungkin tau semua urusan orangtua
kita." "Yah, okelah, mungkin mereka menjual sebagian
barang-barang seni itu, tapi cuma yang murah-murah.
Sedangkan yang benar-benar berharga, mereka simpan di
dalam ruang rahasia di kamar mereka."
Erika membelalakkan mata. "Bokap-nyokap lo pu?nya
ruang rahasia?" 119 Isi-Omen2.indd 119 011/I/13 "Iya, bahkan gue yang anak mereka pun nggak boleh
masuk," sahutku jengkel. "Gue nggak pernah tau kenapa
keluarga gue begini kaya. Yang gue tau, orangtua gue se?
lalu sibuk dengan urusan mereka dan nggak pernah ada
untuk gue. Dan semua itu diperparah dengan kecelakaan
itu." Lagi-lagi Erika diam, tahu bahwa sulit bagiku untuk
men?ceritakan bagian yang satu ini.
"Beberapa saat sebelum gue lulus SD, nyokap gue me?
ninggal." Aku menghela napas. "Gue nggak mengerti.
Me?nurut gue, itu semua kecelakaan, tapi sepertinya
bokap gue menyalahkan gue."
Aku memejamkan mata, dan semua itu terulang lagi.
"Lucunya, kecelakaan itu terjadi di sini. Di Indonesia.
Waktu itu kami masih tinggal di daerah Puncak. Gue
lupa gimana ceritanya, tapi waktu kejadian itu, gue lagi
bareng bokap gue, lagi ada pesta di Kedutaan Prancis di
Jakarta. Ceritanya, nyokap gue berniat nyusul, tapi di
tengah jalan, mobilnya nyelip dan terperosok ke ju?
rang." Aku teringat ayahku, yang begitu mendengar berita
tersebut dari polisi yang menelepon ke ponselnya, lang?
sung membawaku meninggalkan kedutaan dan menge?
mudi dengan kecepatan super ke lokasi kejadian. Setiba
di sana, beliau langsung berlari-lari menuruni lereng,
berteriak-teriak seperti orang gila menuju sisa-sisa mobil,
sementara para polisi berusaha menahannya. Semuanya
begitu jelas dalam ingatanku. Pasti karena aku hanya
berdiri di tepi jurang, menyaksikan semua kejadian itu
dengan mata kering, dalam gaun mewah yang dipesan
oleh ibuku supaya jangan mengotorinya, ayahku mengira
120 Isi-Omen2.indd 120 011/I/13 aku tidak menyayangi ibuku dan beliau selalu menyalah?
kan diriku setelah itu. "Rupanya tangki bensinnya bocor. Mobil itu meledak,
bersama dengan nyokap gue di dalamnya. Kami hanya
bisa mengubur sisa-sisa jasadnya yang sama sekali nggak
kami kenali lagi." Sekali lagi aku menghela napas.
"Sejak saat itu, bokap gue sama sekali nggak mau ber?
urusan sama gue lagi. Seolah-olah gara-gara gue nyokap
gue meninggal. Atau mungkin, beliau nyalahin gue.
Seandainya aja nyokap gue yang bersama bokap gue di
kedutaan, dan bukannya gue. Seharusnya gue yang
tinggal di rumah malam itu."
"Itu pemikiran yang aneh," cela Erika. "Emangnya lo
yang bikin nyokap lo tinggal di rumah? Bukan, kan?
Lagian, emangnya kalo lo tinggal di rumah, nyokap lo
nggak akan meninggal? Kalo nyawa emang udah diincar
malaikat kematian, mau ngumpet di lemari besi di dalam
kedutaan juga percuma."
"Yah, gue rasa, banyak orang yang udah ngomong
begitu ke bokap gue, tapi sedikit pun bokap gue nggak
mau maafin gue." Erika diam lama sekali. "Pantas lo benci banget sama
si Ojek." "Sebenarnya, bukan cuma sama Vik...." Aku tersenyum
pahit. "Gue benci sama semua orang yang disukai bokap
gue. Gue nggak abis pikir, kenapa beliau bisa bersikap
seperti manusia normal pada orang-orang itu, bahkan
bisa bersikap kebapakan, sementara sama gue beliau ber?
sikap seperti robot yang begitu dingin dan nggak punya
perasaan? Padahal gue ini anak kandungnya, dan orangorang itu nggak ada hubungan apa pun sama dia!"
121 Isi-Omen2.indd 121 011/I/13 "Yah, seharusnya lo tunjukin dong kemampuan lo!"
kata Erika penuh semangat. "Lo kan bukan anak biasa.
Masa dia nggak bangga ngeliat kemampuan lo?"
"Mana bisa beliau bangga sama gue?" Aku tersenyum
pahit. "Berkali-kali gue tunjukin, gue sanggup dapet
rangking satu, gue sanggup jadi pelari paling cepat, gue
sanggup mainin lagu Chopin dengan piano. Lo tau dia
bilang apa?" Aku berdeham dan berusaha meniru suara
ayahku semirip mungkin. "Menang dari para pecundang
sama sekali tidak ada artinya. Kalau kamu punya kemam?
puan, seharusnya kamu menang dari orang-orang yang lebih
berkualitas daripada mereka ini."
"Dasar bajingan!" umpat Erika kurang ajar.
"Begitukah menurutmu?"
Aku dan Erika langsung membeku mendengar suara
berat dan penuh wibawa itu.
Dengan langkah-langkah besar, ayahku berjalan menye?
berangi kamar dan berdiri di hadapan kami. Hingga
kapan pun, aku selalu menganggap ayahku sosok yang
mengesankan. Tubuhnya tinggi besar, dan meski kulitnya
agak pucat lantaran darah Kaukasia-nya, sosok ayahku
selalu tampak berwibawa dan mengancam. Biarpun baru
berusia empat puluh tahun lebih, rambutnya sudah pu?
tih semua. Sepengetahuanku, rambutnya memang sudah
begini sejak masih muda. Ayahku selalu menatap orang
dengan mata mencorong yang penuh selidik, seolah-olah
setiap orang punya rahasia yang harus dibeberkan saat
ini juga. Intinya, beliau sangat menakutkan.
Tapi kenapa beliau bisa berada di sini? Biasanya beliau
tidak pernah muncul di rumah kami pada siang hari.
122 Isi-Omen2.indd 122 011/I/13 Jangan-jangan Andrew sudah menceritakan kedatangan
Erika, dan ayahku sengaja pulang untuk bertemu teman
pertamaku itu? Tidak. Orang yang begitu dingin tak mungkin ber?
sikap penuh perhatian begitu. Lagi pula, beliau benci
padaku. "Kamu Erika Guruh?" Kali ini, korban incaran si manu?
sia paling menakutkan sedunia adalah temanku yang
malang. "Apa Eliza Guruh adalah saudara kembar?mu?"
Ya, kau tak salah baca. Biar unik begini, Erika punya
saudara kembar yang, omong-omong, sama sekali tidak
mi?rip dengannya. Wajah mereka memang sama, tapi
sifat mereka sangat bertolak belakang. Saat ini Eliza
sudah tidak bersekolah lagi di sekolah kami. Aku tak
akan menceritakan detail-detail kehidupan pribadi Erika
pada kalian. Biarlah dia sendiri yang bercerita, kalau dia
mau. "Yep," sahut Erika, menatap ayahku dengan muka tak
takut mati. "Om papanya Valeria?"
"Benar," angguk ayahku dengan muka tanpa reaksi
yang dingin sekali. "Dan saya juga orang yang baru saja
kamu sebut bajingan. Sekadar ingin tahu, apa kamu
menganggap saya salah karena merasa tak ada gunanya
anak saya menang dari anak-anak yang jelas-jelas kalah
jauh di bawahnya?" Aku dan Erika sama-sama bengong.
"Nggak sih," sahut Erika. "Saya juga nggak sudi nge?
lawan anak-anak yang bukan level saya, Om."
Ujung bibir ayahku naik sedikit. "Pendapat yang
bagus." Ayahku melirik padaku. "Anak ini lumayan, tapi
lain kali jangan bawa teman-temanmu yang lain ke
rumah tanpa seizin Papa. Papa tidak suka anak-anak
asing berlari-lari di koridor rumah kita."
Lalu, tanpa menunggu jawabanku, ayahku pergi begitu
saja. "Gila, serem banget tuh orang!" teriak Erika dengan
tampang rada terpesona yang tidak pada tempatnya. "Itu
bener-bener bokap lo?"
"Bukan," sahutku datar. "Itu cuma orang asing yang
tau-tau nongol di rumah gue."
Erika sama sekali tidak memedulikan lelucon garingku.
"Nggak nyangka ya, orang seserem itu bisa punya anak
secupu ini! Eh, tapi lo liat nggak? Bokap lo sama sekali
nggak emosi lho, meski udah denger gue ngata-ngatain
dia!" Entah kenapa, Erika tampak malu. Padahal biasanya
cewek itu tidak pernah menyesal mengata-ngatai orang.
"Yang lebih aneh lagi, gue dibilang lumayan. Dan
elo," dia menatapku dengan takjub, "sepertinya barusan
dia muji elo, kan? Meski dengan muka datar kayak
tembok gitu sih. Lalu sedetik kemudian, tau-tau dia udah
jutek lagi. Juteknya aneh pula. Emangnya dia kira umur
lo berapa, punya temen-temen yang masih suka lari-lari
di koridor?" "Jangan tanya gue," ujarku pelan. "Sampai sekarang
pun, beliau tetap misterius bagi gue."
Erika meletakkan sikunya di bahuku. "Tapi setidaknya
lo tau kan, dia menganggap kualitas lo jauh di atas
anak-anak lain?" Aku mengangguk. Di dalam hatiku, terbit rasa senang
123 Isi-Omen2.indd 123 011/I/13 yang tidak sedikit. Ternyata, ayahku menganggapku lebih hebat daripada
anak-anak lain. *** 124 Isi-Omen2.indd 124 011/I/13 Malam itu, setelah Erika pulang, seperti biasa aku meng?
ulang kembali pelajaran sekolah. Biasanya aku berlatih
mengerjakan soal-soal hitungan atau meriset pengetahuan
umum yang berkaitan dengan pelajaran yang kami
terima di sekolah, tapi malam ini pikiranku dipenuhi
kejadian hari ini. Bagaimana aku mengundang Erika ke
dalam kehidupan pribadiku dan membuatnya bertemu
ayahku, bagaimana sikap ayahku yang aneh hingga mem?
buat kami berdua bertanya-tanya, dan bagaimana ayahku
memujiku di sela-sela perkataannya yang sinis seperti
biasa. Aku juga memikirkan masalah yang kami hadapi, ber?
kait?an dengan surat ancaman tentang pameran lukisan
yang akan diadakan sebentar lagi, tentang tiga insiden
menarik yang mungkin berhubungan. Besok kami harus
mendatangi murid-murid yang berkaitan dengan kasus
ini, dimulai dengan teman-teman sekelas Reva.
Sementara tentang Andra, mungkin saja kami masih
bisa mengharapkan informasi dari Les.
Memikirkan Les membuat hatiku terasa nyeri. Sedikit
pun aku tidak menduga, cowok yang terlihat begitu
tulus dan menyenangkan itu ternyata sudah mempermain?
kan perasaanku dengan begitu santai. Mengingat kembali
bagaimana dia merangkul cewek cantik yang menjadi
pacar?nya itu dengan mesra, lagi-lagi menimbulkan rasa
nyeri di hatiku. 125 Isi-Omen2.indd 125 011/I/13 Gila. Aku baru ketemu cowok itu dua kali. Seharusnya
dia tidak berarti apa-apa buatku. Memang sih dia ganteng,
tapi itu kan tidak berarti aku harus langsung tergila-gila
padanya. Aku tak sedangkal itu.
Lalu aku teringat bagaimana cowok itu berjongkok di
depanku saat aku terjatuh di depannya dengan gaya me?
malukan, menyapu rambut depan yang menutupi wajah?
ku dengan lembut. Bagaimana dia membongkar pe?
nyamar?anku sebagai cewek feminin dengan berbagai trik,
menjegalku dengan tali yang membuatku nyaris jatuh,
namun dia berhasil menangkapku dengan sempurna.
Betapa dekatnya dia saat berdiri di depanku, mengajakku
pulang bareng, dan ingatan tentang bau oli bercampur
keringat yang khas memenuhi diriku dengan kerinduan
yang aneh. Betapa dia menatap kepergianku dan Erika
dengan bingung, seolah-olah kami sudah melakukan
sesuatu yang tidak adil terhadapnya.


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh, God, kenapa hatiku jadi terasa begini sesak?
Ponselku berbunyi, dan aku merasa lega luar biasa.
Siapa pun yang menelepon saat ini sudah menyelamat?
kan?ku dari pikiran galau yang tak menyenangkan ini.
"Halo, Valeria?" Terdengar suara halus yang mengingat?
kan?ku pada pemiliknya. "Daniel nih. Lagi ngapain, Val?"
Karena "lagi belajar" terdengar luar biasa cupu (bahkan
aku tak ingin terdengar secupu itu), aku menjawab,
"Mmm, lagi baca-baca."
"Rajin banget." Bahkan jawaban palsu ini pun tetap
membuatku dianggap anak alim. "Nggak nyangka cewek
yang begini manis bisa betah temenan sama Erika."
"Mmm, menurutku, Erika manis juga."
Cowok itu tertawa terbahak-bahak. "Ini pertama kali?
nya aku dengar Erika disebut manis. Kamu benar-benar
aneh deh, Val, dan," aku bisa mendengar nada senyum
dalam suara cowok itu, "rada misterius."
"Masa?" Aku terperanjat. Misterius bukanlah imej yang
ingin kutampilkan di sekolah.
"Iya. Buktinya, kok bisa cewek yang begitu alim seperti
kamu tau-tau keluar dari sekolah sama Erika di tengahtengah jam pelajaran?"
"Oh, itu sih karena aku memang sedang butek sekali
di kelas." "Tapi aku tau lho, jalan keluar yang biasa dipake Erika.
Dan jalan keluar itu nggak mungkin bisa diguna?kan oleh
cewek yang biasa-biasa aja. Cabangnya yang paling rendah
aja tingginya lebih dari satu setengah meter, Val."
"Kamu tau segini banyak?apa kamu pernah ngintip
di toilet cewek?" balasku.
Daniel tertawa lagi. "Nggak sih, tapi udah nggak ter?
hitung seringnya aku nungguin Erika di bawah pohon
itu." "Mmm, kayaknya kamu sayang banget sama Erika."
"?Sayang? sepertinya istilah yang terlalu unyu. Kami
emang akrab, tapi sering berantem juga. Terbukti kan
ke?marin ini kami sampai bikin pertunjukan memalukan
di lapangan." Astaga, bisa juga Daniel yang biasanya selalu cuek jadi
merasa malu. "Tapi demi minta maaf, kalian rela nge?
biarin Erika mukul kalian. Nggak semua orang mau di?
pukuli seperti itu lho."
"Aku juga nggak mau dipukuli cewek yang tenaganya
126 Isi-Omen2.indd 126 011/I/13 nggak kalah sama cowok begitu," balas Daniel. "Tapi
127 Isi-Omen2.indd 127 011/I/13 mau gimana lagi. Memang kami yang salah sih. Tapi,
info buat kamu, aku nggak naksir lho, sama Erika."
Aku menahan senyum. "Aku nggak nuduh kok."
"Yah, siapa tau kamu berpikir begitu. Tapi tipeku bu?
kan cewek kayak Erika."
"Kamu lebih suka Eliza?" tanyaku, teringat bahwa le?
bih dari separuh cowok-cowok di sekolahku pernah jatuh
cinta pada kembaran Erika tersebut.
"Nggak juga. Aku lebih suka cewek-cewek yang diam
dan nggak banyak bicara."
"Ah, sayang sekali. Cewek-cewek pendiam biasanya
nggak suka ditelepon."
"Suka kok, terutama kalo yang nelepon cowok cakep
seperti aku." Biasanya aku tak suka kalau ada cowok yang narsis tak
jelas, tapi Daniel membuatnya terdengar lucu dan gom?
bal. "Terlalu banyak promosi terselubung bisa bikin
cewek-cewek pendiam jadi ngacir ketakutan lho."
"Emangnya kamu takut sama aku, Val?"
Aku berpikir sejenak. Terus terang, kalau di depan
umum, tidak sulit bagiku untuk berpura-pura punya ke?
pribadian yang berbeda dengan diriku yang sebenarnya.
Toh dengan penampilan seperti ini, orang-orang sudah
keburu menganggapku tidak penting untuk diperhatikan.
Tapi di saat sedang menghadapi orang yang memperlaku?
kan?ku sebagai seorang teman, apalagi kalau aku tak
punya maksud tertentu terhadap orang itu (seperti meng?
harapkan informasi), aku lebih senang menjadi diriku
sendiri. "Mmm, nggak tuh. Tapi omong-omong, sebentar
lagi aku harus tidur, Niel."
Oke, sebenarnya aku belum ingin tidur. Hanya saja,
aku mulai takut akan memperlihatkan diriku yang se?
benar?nya pada cowok yang sepertinya tidak sebodoh
yang ditampilkannya itu. "Emang anak manis ya, tidur jam sembilan begini.
Ehm, aku boleh minta waktu dua menit?"
"Boleh sih," sahutku heran. "Emangnya kamu mau
ngapain?" "Diam sebentar ya, Val."
Jantungku serasa berhenti berdetak saat terdengar den?
ting piano yang sangat kusukai, memainkan irama instru?
mental yang romantis banget. Aku langsung mengenali
lagu instrumental itu. Instrumental First Love-nya Utada
Hikaru. Oh, God. Setelah beberapa saat, barulah kusadari aku tengah
menahan napas. Sungguh, aku tidak menduga bisa men?
dengarkan permainan piano yang begitu indah dari se?
orang Daniel. Cowok yang sehari-hari begitu cuek, cowok
yang sanggup menampakkan wajah sangar di saat-saat
berbahaya, ternyata punya hati yang begitu romantis.
Tangan?nya yang suka digunakan untuk memukul, ter?
nyata bisa menari-nari di atas tuts piano dan mencipta?
kan irama yang begitu lembut.
Aku memejamkan mata, menikmati instrumental yang
mengalun menembus hatiku.
Tapi kenapa yang terbayang di pelupuk mataku adalah
Les? Daniel mengakhiri permainan pianonya dengan sem?
purna. Tak ada satu pun kesalahan dalam permainannya
128 Isi-Omen2.indd 128 011/I/13 malam itu. Cowok itu benar-benar hebat?atau barang?
129 Isi-Omen2.indd 129 011/I/13 kali dia hanya terlalu sering memainkannya untuk ce?
wek-cewek yang ingin dirayunya?
Kenapa aku begini sinis ya?
"Good night, Valeria Guntur," ucap Daniel lembut. "Be?
sok kita ngobrol lagi ya. Sweet dream tonight, beautiful."
Sebelum aku sempat menjawab, Daniel sudah menutup
telepon. 130 Isi-Omen2.indd 130 011/I/13 AKU menjerit keras saat sebuah tangan mencengkeram
kepalaku. Saat itu aku sedang duduk di meja kantin
tempat aku dan Erika biasa nongkrong.
"Nggak usah histeris gitu deh."
Aku memelototi Erika yang melepaskan tangannya dari
kepalaku, lalu duduk di sebelahku sambil meletakkan
segelas bubble tea berwarna ungu mencurigakan. "Gimana
nggak histeris? Gimana kalo rapal gue copot?"
"Rapal?" tanyanya heran.
"Rambut palsu," jelasku.
"Oooh. Santai aja, gue nggak berniat ngebuka pe?
nyamar?an lo. Meskipun pasti seru ngeliat mulut-mulut
ter?nganga di seluruh sekolah. Bisa-bisa si Rita keselek
tawon piaraannya sendiri, hahaha."
Aku nyengir teringat rambut Bu Rita yang memang
mirip banget sarang tawon. "Kalo gitu, demi nyelamatin
nyawa Bu Rita, gue harus mempertahankan rapal ini di
tempatnya dong." "Begitulah," seringai Erika. "Udah siap buat ketemu
saksi-saksi kita?" "Lumayan," sahutku, meski kepalaku agak sakit karena
131 Isi-Omen2.indd 131 011/I/13 sudah beberapa hari sulit tidur. Jelas, aku tidak bisa ba?
nyak komplen. Waktu kami tinggal dua hari lagi sebelum
pameran lukisan diadakan. "Tapi apa nggak susah, Ka?
Gue nggak kenal sama anak-anak kelas sebelas. Mana
pasti kelas para saksi itu udah berbeda-beda dong, begitu
kenaikan kelas." "Tenang. Kita punya akses."
"Akses?" tanyaku bingung.
"Koneksi," sahut Erika bangga, "berupa anak-anak
yang nggak naik kelas." Dia memiringkan tubuhnya, me?
manggil-manggil ke arah belakang punggungku. "Hei,
jalan jangan kayak cewek lagi bawa karung beras dong!
Lambat bener!" Aku ikut menoleh ke belakangku. Senyumku mengem?
bang saat tatapanku bertemu dengan Daniel yang sedang
menghampiri kami bersama dua sahabatnya, Amir dan
Welly. Cowok itu juga nyengir ke arahku.
"Hai, Val," sapanya padaku.
"Hai, Val?" teriak Erika cempreng. "Sejak kapan gue
nggak diitung?" "Hah, itu mah risiko yang harus kita tanggung garagara temenan sama orang yang suka memburu-buru
cewek," ketus Welly.
"Hei, jangan merusak reputasi gue dong," kata Daniel
sambil duduk di sebelahku. "Tadi malam tidurnya nye?
nyak, Val?" "Jelas nggak, kalo diliat dari matanya yang kayak
panda langka." Erika menyergah mendahuluiku. "Emang?
nya lo apain dia tadi malam? Cerita horor, ya?"
"Mana mungkin lah. Gue mah orangnya baik banget,
nggak mungkin gue usilin cewek semanis Val. Kalo sama
132 Isi-Omen2.indd 132 011/I/13 elo sih, lain lagi perkaranya." Oke, cowok ini memang
punya tampang yang agak-agak kelewat manis, terutama
kalau dia bertopang dagu sambil tersenyum-senyum me?
natapku begitu. "Nah, kenapa lo tau-tau nyuruh kami
semua ngumpul di sini, Ka?"
"Begini. Ada beberapa anak kelas sebelas yang kepingin
gue korek-korek," kata Erika dengan muka keji yang tam?
pak lucu. "Kalian kenal nggak orang-orang ini?"
Erika mengedikkan dagu padaku, dan aku menggeser
kertas berisi nama anak-anak yang dijadikan saksi mata
dalam insiden kolam renang ke tengah-tengah meja.
Daniel, Welly, dan Amir langsung menjulurkan leher me?
reka. "Oh, anak-anak ini." Mungkin aku hanya berilusi, tapi
sesaat cowok gendut yang ramah itu tampak tegang. Ya,
pasti aku cuma berilusi, karena belakangan dia mence?rocos
dengan gaya santai yang sudah menjadi pembawa?an?nya
sehari-hari. "Nggak susah kok nyarinya. Me?reka semuanya
ngumpul di kelas XII IPA-2. Tuh, mereka itu anak-anak
cupu yang duduk di salah satu meja tengah."
Ada beberapa meja favorit di kantin, tapi meja-meja
tengah bukanlah salah satunya. Meja-meja itu terletak di
tengah-tengah kantin, sehingga orang-orang yang ber?
seliweren sering menyenggol atau menginjak kaki orangorang yang duduk di sekeliling meja-meja itu. Terkadang
bahkan ada insiden penumpahan makanan. Intinya, se?
mua orang yang bisa memilih meja tak bakalan mau
duduk di meja-meja tengah. Hanya anak-anak yang tak
punya pilihan sajalah yang terpaksa duduk di sana.
Meja yang ditunjuk Amir, seperti meja-meja tengah
lain?nya, ditempati oleh anak-anak yang jelas-jelas bukan?
133 Isi-Omen2.indd 133 011/I/13 lah anak populer di sekolah kami. Buku-buku pelajaran
menumpuk di meja, sementara sebagian tampak sedang
menyalin catatan dengan tampang ambisius. Sisanya se?
dang menghafal nama-nama Latin (dan salah-salah pula,
kalau melihat muka mereka yang bete saat mencoba
mengintip buku pelajaran mereka). Sekilas pandang saja
sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa mereka
bukanlah anak-anak paling cemerlang di angkatan me?
reka. Begitu mengetahui tujuannya, Erika langsung me?ning?
gal?kan meja kami. Tentu saja, aku tak mau ketinggalan
adegan seru dan segera mengikutinya. Namun rupanya
ketiga cowok yang sekarang menjajah meja kami sama
sekali tidak tertarik untuk mengikuti kami. Mereka malah
langsung menyuruh-nyuruh orang di dekat meja untuk
membelikan mereka makanan.
"Hei, kalian!" Tanpa malu-malu, Erika menggebrak
meja itu dan membuat semua orang di sekelilingnya ter?
lonjak ketakutan. "Yang mana yang namanya Okie, Dian,
Santi, dan Chalina?"
"Saya Okie," ketus cowok pucat yang tampaknya me?
rasa sangat keren dengan kaus berlogo Superman di balik
seragamnya. "Sa... saya Dian." Cowok tinggi kurus, memakai kaca?
mata tebal dengan muka mirip belalang dan suara ter?
gagap. "Saya Santi." Cewek berambut sebahu dengan tubuh
pen?dek mungil dan wajah tegang.
"Dan saya Chalina." Cewek berambut panjang dan ber?
muka penuh bekas jerawat yang terlihat agak sombong.
"Bagus," angguk Erika garang sambil memandangi yang
134 Isi-Omen2.indd 134 011/I/13

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain. "Selain kalian berempat, yang lain tolong hengkang
dari meja ini. Buruan!"
Hanya dengan satu perintah itu saja, semua orang
lang?sung kabur tanpa banyak cincong. Hawa pembunuh
yang dipancarkan mata Erika memang selalu bikin keder
setiap orang yang masih menghargai nyawa.
"Nah, kalian, apa yang bisa kalian ceritakan soal ke?
mati?an temen kalian Reva?"
Dari tampang-tampang yang terlihat kaget banget,
jelas keempat anak ini sama sekali tidak menyangka
bakal?an diinterogasi soal kecelakaan tahun lalu.
"Kenapa mendadak nanyain soal Reva lagi?" tanya Okie
dengan muka tak senang. "Bukannya kasus itu udah
dianggap selesai oleh polisi?"
"Polisi ya polisi, gue ya gue!" bentak Erika sekenanya.
"Polisi kan nggak ada hubungannya sama Reva, tapi gue
kan ada!" Bukan cuma keempat anak itu yang menatap Erika
dengan heran. Bahkan aku pun tidak menyangka dia
bakalan bilang begitu. "Emangnya ka-kamu apanya Reva?" tanya Dian takuttakut.
"Gue anaknya bapak dari temen anaknya nyokap si
Reva!" sahut Erika pongah.
Tawaku nyaris menyembur saat mendengar ucapan
yang sekilas terdengar membingungkan itu. Astaga, Erika
benar-benar pandai menyusun kalimat-kalimat licik yang
menyesatkan. Ngomongnya berbelit-belit, padahal anak?
nya nyokap si Reva, ya Reva juga. Sedangkan yang di?
maksud dengan anaknya bapak dari teman Reva, bisa
siapa saja yang ada di sekolah kami. Jadi sebenarnya
135 Isi-Omen2.indd 135 011/I/13 Erika tidak berbohong (kecuali bahwa dia tidak benarbenar mengenal Reva). Hanya saja, dengan mengucapkan
se?mua itu secara cepat membuatnya terdengar seperti sa?
lah satu keluarga Reva. Aku bersyukur banget punya partner sehebat cewek
ini. Sementara anak-anak itu masih sibuk mencerna ucap?
an Erika, cewek itu sudah membentak-bentak lagi. "Po?
kok?nya, urusan Reva ya urusan gue juga. Jadi jangan
samain gue sama polisi-polisi yang cuma mengerjakan
tugas doang. Bagi gue, ini masalah pribadi! Gue nggak
sudi kematian sodara gue dianggap sebagai kecelakaan
aja. Pasti ada sesuatu di balik semua ini!"
Keempat anak itu semakin ketakutan saja saat Erika
mulai memukul-mukuli punggung mereka, seolah-olah
dengan begitu keempat anak itu akan memuntahkan
semua informasi yang kami butuhkan.
"Coba kalian inget-inget lagi, apa sebenarnya yang ter?
jadi waktu itu? Apa ada keanehan yang terjadi waktu
itu? Apa Reva ngelamun melulu? Atau ada yang sengaja
naruh sabun di depan kaki Reva? Tolong dipikir pake
otak ya, jangan pake dengkul!"
Tampak jelas keempat anak itu berusaha memeras otak
mereka, mengingat-ingat kejadian yang baru lewat se?
tahun itu. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka
amnesia begitu?gara-gara terlalu takut dipukuli ataukah
memang tidak peduli dengan teman mereka. Yang aku
tahu, seandainya ada teman sekelasku yang tewas di de?
panku, aku tak bakalan melupakan satu detail pun ten?
tang kejadian itu. "Kami nggak terlalu kenal Reva," Chalina si cewek ber?
136 Isi-Omen2.indd 136 011/I/13 muka bolong-bolong dengan bedak ketebalan akhirnya
berkata. "Dia anak yang aneh dan suka menyendiri.
Nggak pernah mau gabung dengan geng kami. Mungkin
dia minder, karena dia nggak pinter, cantik, atau kaya,
pokok?nya nggak setara dengan kami-kami ini."
Aku memandangi muka yang bolong-bolong itu
(omong-omong, ada tompel yang cukup besar di pipinya,
yang sepertinya berusaha ditutupinya dengan bedak
tebal), pergelangan tangannya yang cuma dihiasi jam
ta?ngan lima puluh ribuan, kertas ulangannya yang ber?
gores angka "75" dari guru. Di mana-mana, selalu ada
saja orang yang pedenya kelewatan begini.
"Eh elo, kalo narsis tuh tolong jangan sampe overdosis
gitu ya!" Oh, God, aku lupa aku sedang bareng cewek
paling blakblakan di seluruh dunia. "Udah muka kem?
baran sama amplas, sepatu merek Macan Terbang, mana
nilai ulangan lo cuma segini." Sebelum si cewek ber?
muka bolong-bolong sempat bertindak, Erika sudah me?
nyambar kertas ulangannya. "Astaga, gue musti omelin
si Didik nih! Nggak teliti banget meriksanya, yang salah
juga dibenerin! Harusnya cuma dapet nilai gocap nih!
Gue protes ya, ke Didik!"
Chalina merebut kertas ulangannya dengan begitu
keras sehingga kertas itu nyaris robek menjadi dua bagi?
an, lalu menyumpalkan benda itu ke saku roknya.
"Cih, begitu aja panik," cibir Erika, lalu memandangi
yang lain. "Terus, apa lagi yang bisa kalian ceritain soal
Reva? Kali ini tolong jangan pake narsis-narsisan ya. Kalo
gue sampe muntah, gue bakalan muntah di kepala
kalian, tau?!" "Re-Reva itu anak manis." Tiba-tiba Dian berkata,
137 Isi-Omen2.indd 137 011/I/13 lagi-lagi dengan suara yang tergagap-gagap. Aku menduga
apakah dia hanya sekadar gugup ataukah memang gagap
dari sononya. "Ka-kami semua suka padanya. Setidaknya,
se-sebagian dari kami suka padanya." Tidak sulit men?
duga maksud tersirat Dian saat melihat Chalina mendelik
pada cowok kurus itu. "Tapi dia memang nggak mau ber?
gaul dekat dengan ka-kami atau kelompok mana pun di
kelas. Saat ke-kerja bakti di kolam renang, dia pun hanya
menyendiri. Ka-kami semua sibuk menggunakan waktu
yang ada untuk ngobrol dan main. Kebetulan waktu
itu..." Dian terdiam, matanya melirik Chalina yang tampak
semakin berang. "Chalina menghina Reva," kata Okie mendadak,
tampak tidak ragu mengadukan temannya yang menye?
balkan itu. "Dia bilang, Reva nggak ada gunanya selain
buat disuruh-suruh."
"Tapi gue kan nggak deket-deket dia!" bentak Chalina
tampak panik. "Yang deket-deket dia tuh si Santi!"
"Gue cuma mau menghibur si Reva," kata Santi cepat.
"Habis, dia kayaknya sedih banget denger omongan lo,
Cha." "Yah, siapa tau elo yang nuangin air sabun di situ biar
si Reva tergelincir," balas Chalina.
"Emangnya ada air sabun di situ?" tanyaku, bersuara
untuk pertama kalinya. Rupanya tak ada yang memedulikanku saking asyiknya
bertengkar. "Lo juga punya kesempatan, Cha," kata Okie. "Lo sem?
pet nyiram air kotor ke arah Reva, kan?"
"Iya, tapi kan nggak kena!" sergah Chalina sengit.
"Yah, si-siapa tau dia kepeleset air kotor yang licin!"
Dian si gagap ikut-ikutan menyalahkan Chalina.
"Cukup!" bentak Erika, dan semua langsung terdiam.
"Pada denger nggak sih? Temen gue ini nanya something!"
Semua berpaling padaku dengan heran, dan tidak sulit
bagiku untuk memasang wajah merah.
"Mmm, emangnya di daerah yang dibersihin Reva itu
ada jejak air sabun atau air kotor?" tanyaku dengan
suara mencicit yang bertolak belakang dengan suara
galak Erika. "Sebenarnya nggak ada," geleng Okie. "Tapi buktibukti seperti itu kan gampang dihapus. Waktu Reva ja?
tuh, semua langsung panik. Bisa aja waktu itu digunakan
untuk menghapus jejak."
"Jadi menurut kalian, si Chalina ini sempet melakukan
sesuatu?" tanya Erika dengan nada tajam.
Ketiga temannya saling memandang dengan rikuh,
tapi tak sekali pun mereka menatap ke arah Chalina
yang tam?pak panik dan berang.
"Kalian semua pengkhianat!" jeritnya akhirnya. Dikibas?
kan?nya rambut panjangnya yang dicat merah dan direbonding tersebut, lalu diraupnya beberapa buku di atas
meja. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menghambur pergi
dengan langkah-langkah dientakkan.
"Si tertuduh udah pergi," kata Erika ringan, sedikit
pun tak menaruh perhatian pada luapan emosi Chalina.
"Jadi sekarang, ayo terus terang. Menurut kalian, apakah
Chalina memang terlibat dalam kecelakaan yang dialami
Reva?" 138 Isi-Omen2.indd 138 011/I/13 "Mungkin," sahut Santi enggan.
139 Isi-Omen2.indd 139 011/I/13 "Kemungkinan besar," sahut Dian setelah ragu se?
jenak. "Pasti!" tegas Okie. "Chalina orangnya jahat, tapi ter?
hadap Reva, dia lebih jahat lagi. Soalnya, dia naksir sama
cowok Reva, Andra." Nah, ini baru informasi. "Lo tau dari mana?" tanya Erika mengerutkan alis, se?
olah-olah menyangsikan keterangan Okie.
"Semua juga tau," kata Okie sambil memandangi
teman-temannya. "Betul, kan?"
"Iya," sahut Dian mengakui. "Me-menurut Chalina, Reva
nggak cukup cantik untuk jadi pacar Andra, jadi dia sesering menghina-hina Reva di kelas. Padahal kami se?mua
sebenarnya merasa Re-Reva lebih cantik daripada Chalina,
tapi," Dian mengangkat bahu, "nggak ada yang mau
berantem sa-sama Chalina. Abisnya dia itu ngotot banget.
Kita nggak akan bisa me-menang me?lawan dia."
"Siapa bilang?" Erika mengangkat alis. "Barusan dia
pergi tuh, dan itu bukan karena dikejar tinju gue. Meski
dari tadi gue udah kepingin nonjok dia sih. Tapi
kalianlah yang bikin dia pergi."
"Benar juga," seringai Dian. "Bisa juga kita ngusir si
Chalina." "Tentu aja bisa," tegas Erika. "Kalian bertiga, dia cuma
sendirian. Kalo sampai dia yang menang, itu berarti
kalian yang goblok."
"Mmm, selain masalah Andra," selaku malu-malu, "ma?
sih ada informasi lain yang kira-kira menunjukkan
Chalina sanggup mencelakai Reva?"
"Ba-banyak sebenarnya," sahut Dian, yang kini, meski
masih gagap, sepertinya tak malu-malu lagi membongkar
140 Isi-Omen2.indd 140 011/I/13 kejahatan Chalina. "Kan Cha-Chalina sering sekali menin?
das Reva. Pernah baju olahraga Reva dicemplungin ke
selokan deket la-lapangan. Pernah juga tas Reva dium?
petin sampe Reva di-diomelin guru. Yang parah, pepernah
sekali HP-nya Chalina diumpetin di dalam tas Reva, lalu
Chalina nangis ke guru dan bilang HP-nya ilang. Reva
sempat dituduh mencuri, tapi untungnya dia dibelain
Pa-Pak Rufus yang waktu itu bertugas menggeledah. Akhir?
nya kejadiannya didiamkan begitu aja. Chalina pasti bebete banget Reva nggak dapet hukuman apa-apa."
"Gue pernah liat Chalina pergi sama Andra," cetus
Santi tiba-tiba. "Maksud lo?" teriak Erika, sementara napasku tersentak
saking kaget mendengarnya. "Andra main gila sama
Chalina, gitu?" "Gue nggak tau kepastiannya," geleng Santi. "Kan gue
cuma ngeliat dari jauh. Tapi emang sepertinya hubungan
me?reka bukan sekadar kenalan. Andra kan kakak kelas
kami, jadi sebenarnya kami nggak mungkin berteman
sama dia. Kecuali kalo disengaja, tentunya."
Tepat saat itu bel tanda istirahat berbunyi. Yah, setelah
di?pikir-pikir, memang tidak ada yang bisa kami tanyakan
lagi. "Oke deh, kalo gitu," kata Erika menyudahi acara inte?
rogasi kami. "Thanks buat kerja sama kalian. Kalo ter?
ingat info lain, tolong kabari kami ya!"
Kami berjalan menjauhi kelompok itu yang langsung
buru-buru memunguti buku-buku mereka dan kembali
ke kelas. "Gimana menurut lo, Val?" tanya Erika sambil me?
ngetuk-ngetuk bibirnya. "Nggak ada cara lain," sahutku. "Kita harus temui si
Andra." "Tapi kan dia udah nggak sekolah di sini lagi."
"Kita bisa coba cari ke rumahnya," usulku.
"Halah," cela Erika. "Anak nakal kayak gitu mana
mung?kin ada di rumah? Kita bakalan buang-buang waktu
aja." Kami tiba di meja yang kami tempati tadi, tempat
Daniel, Amir, dan Welly masih asyik nongkrong dan tak
kelihatan kepingin kembali ke kelas.
"Kayaknya lo berdua udah bikin ngamuk salah satu
cewek tadi, ya," komentar Amir geli.
"Tepatnya, siapa lagi kalau bukan si tukang cari garagara," seringai Welly yang langsung menangkis saat Erika
melayangkan tinjunya. "Jadi, berhasil nggak kalian korek-korek?" tanya Daniel
ingin tahu. "Emangnya lo kepingin tau apa dari me?
reka?" "Bukan sesuatu yang penting," sahut Erika sambil me?
lambai dengan gaya meremehkan. "Gue cuma kepingin
tau soal salah satu temen mereka. Yuk, kita masuk ke?
las." "Eh, elo kepingin masuk kelas?" tanya Welly kaget.


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tumben." "Iya dong. Abis ini kan pelajaran kesukaan gue, olah?
raga!" Erika berjalan dengan riang di depan kami, dikawal
oleh Welly dan Amir. Di belakang mereka, Daniel me?
nemaniku berjalan. 141 Isi-Omen2.indd 141 011/I/13 "Kayaknya temenan sama kamu rada mengubah sifat
142 Isi-Omen2.indd 142 011/I/13 Erika, ya," komentar Daniel. "Sekarang sepertinya dia
jadi lebih semangat dan ceria dibanding dulu."
"Baguslah kalo emang begitu," ujarku. "Tapi sebenar?
nya itu bukan karena aku kok. Kurasa itu emang sifat
Erika yang sebenarnya, dan sekarang ini dia udah lebih
nyaman mengekspresikan dirinya sendiri."
"Mungkin," sahut Daniel lembut. "Tapi kamu yang
membuat dia merasa nyaman di sekolah yang tadinya
dia benci ini, Val. Thank you, ya!"
"Lho, kok kamu yang berterima kasih, Niel?"
"Karena dia salah satu temanku yang paling berharga."
Wajah Daniel berubah suram. "Sayangnya, aku justru
berkhianat pada saat dia butuh dukungan. Mungkin aku
nggak akan bisa menghapus kesalahan itu selamanya,
tapi setidaknya aku cukup bahagia kalau sudah melihat?
nya gembira." Tidak nyangka banget, cowok yang terlihat cuek ini
sebenarnya baik sekali. "Erika beruntung sekali ya, punya
teman seperti kamu."
"Sama, aku juga mau bilang, Erika beruntung punya
temen kayak kamu," seringai Daniel. "Nah, kalau kita
sama-sama mau jadi temen Erika selamanya, berarti kita
bakalan sering-sering ketemu dong."
Aku tersenyum. "Ya, kira-kira gitu deh."
"Hmm. Seru juga ya, kalo kita berdua jadian."
Aku menahan tawaku. "Ngaco kamu, Niel. Udah, sono
kamu masuk ke kelas."
Cowok itu nyengir, tapi tidak membantahku sama se?
kali. Berarti tidak mungkin kan, dia benar-benar menyukai?
ku? *** Sambil berjalan keluar dari kelas, aku menatap selebaran
itu dengan bingung. Selebaran itu dibagikan pada saat kami sedang belajar
tadi. Sebenarnya, daripada selebaran, surat itu lebih tepat
disebut sebagai undangan.
Hai, Siswa-siswi SMA Harapan Nusantara!
Datanglah ke pameran lukisan paling akbar tahun ini
di auditorium sekolah kita yang tercinta pada tanggal
13-03-2013. Jangan lupa mengajak teman dan saudara
yang bersekolah di tempat lain. Untuk setiap satu orang
yang kalian ajak, kalian berhak mendapatkan sepuluh
poin tambahan dalam pelajaran Kesenian.
Sampai ketemu nanti! Salam kompak markompak, Guru Kesenian, Klub Kesenian, Sie Kesenian OSIS
143 Isi-Omen2.indd 143 011/I/13 Gawat. Aku memikirkan nilai pelajaran kesenianku
yang pas-pasan. Cuma tujuh puluh. Yep, tadi aku mener?
tawakan nilai 75 yang didapatkan Chalina, kini aku ha?
rus mengkhawatirkan nilai kesenianku yang berada di
bawahnya. Karma is truly a bitch. Aku harus membawa seseorang ke pameran ini. Tapi
siapa? Memangnya siapa lagi anak-anak seusia kami atau
mini?mal tidak jauh-jauh amat dari usia kami yang ku?
kenal, selain Les? 144 Isi-Omen2.indd 144 011/I/13 Tidak. Aku tidak bisa mengajak Les setelah semua ade?
gan kacau kemarin. Kami sudah kabur begitu saja begitu
tahu dia punya pacar. Maksudku, helooo, jelas banget
kan kalau tadinya aku punya niat tersirat terhadapnya?
"Hei, Val!" "Tunggu kami!" Tanpa menoleh pun aku tahu pemilik suara-suara yang
memanggil-manggilku itu adalah Erika dan Daniel. Aku
sudah siap membalikkan badan dan melambai pada me?
reka, tapi mendadak mataku bertabrakan dengan sese?
orang di depanku, seseorang yang berdiri di antara para
penjemput bermuka bete, seseorang yang tampak sangat
mencolok karena senyumnya yang lebar. Seseorang yang
baru saja mampir dalam pikiranku.
Les. 145 Isi-Omen2.indd 145 011/I/13 "HAI." Sesaat aku hanya bisa bengong sekaligus panik. Apa
yang harus kulakukan sekarang? Berbalik dan ngacir de?
ngan kecepatan super? Menamparnya dan pergi dengan
gaya sok? Ketawa sambil tepuk-tepuk bahunya? (Yang
terakhir ini bukan aku banget!)
Sudahlah, bersikap seperti biasa saja.
Aku segera menghampirinya dengan gaya sewajar
mung?kin. Oh, God, cowok ini keren banget dengan pakai?
an?nya yang serbahitam, nangkring di atas motor Ninjanya yang gede banget itu.
"Hai." Aku tersenyum manis. "Ngapain kamu datang
ke sini?" "Lho, kan kemarin aku udah janji mau jemput kamu,"
kata Les heran dan bingung. "Kamu nggak lupa kan sama
janji kita?" Mana mungkin aku lupa? Hanya saja, tadinya kupikir
janji itu sudah batal setelah acara ribut-ribut yang meng?
akhiri pertemuan kami kemarin.
"Tadi pagi kamu ke sini naik apa, Val?"
"Dianter Pak Mul pakai mobil bokapku."
146 Isi-Omen2.indd 146 011/I/13 "Oh ya, tentu saja, pasti ada satu mobil lagi di rumah,
atau mungkin lebih." Mungkin seharusnya aku ter?
singgung lantaran kekayaanku disinggung-singgung se?
olah-olah aku cewek tajir dan manja yang selalu dipe?
nuhi keinginannya. Masalahnya, di rumah memang
ma?sih ada beberapa mobil lagi. Jadi aku tidak bisa mem?
bantahnya dan hanya bisa merasa bersalah. "Nggak apaapa kan kalo kamu kuantar pulang naik motor?"
"Apa-apa dong!" Jawaban ini diberikan oleh Erika yang
nongol dengan muka berang. "Ngapain lo muncul di
sini lagi, hah? Kepingin gue tonjok sampe mental ke
ujung bumi?" "Ya jelas nggak lah," sahut Les spontan sekaligus lang?
sung waswas. "Tapi kenapa kamu marah banget sama aku,
Ka?" "Ya jelas marah lah," balas Erika dengan nada semirip
mung?kin dengan nada Les menjawabnya tadi. "Berani
tepe-tepe di sekitar sini, sementara di belakang nyem?
bunyi?in pacar." "Tepe?" "Tebar pesona, O?on!"
"Oh. Lalu apa maksudmu soal pacar?" tanya Les bi?
ngung, lalu mulutnya membentuk huruf "O" selama
satu-dua detik seakan-akan barusan mendapat pencerahan
dari langit. "Maksudmu Nana?"
"Nana kek, nenek kek, peduli amat! Pokoknya kami
nggak sudi berurusan dengan cowok yang punya cewek
psikopat! Ayo, Val!" Erika merenggut tanganku. "Kita pu?
lang sama Daniel aja."
"Val." Aku tersentak saat Les memegangi sikuku yang satu
147 Isi-Omen2.indd 147 011/I/13 lagi. Lebih kaget lagi waktu Erika menarikku dari sisi lain
dengan muka supernyolot. Erika memelototi Les dengan
muka mengerikan yang bakalan bikin ngacir cowokcowok yang bernyali normal, tapi rupanya Les lebih
tahan banting. "Mau dengar penjelasanku?" tanyanya sambil menatap?
ku penuh harap. Aduh, sekarang aku yang tak enak hati. "Kamu nggak
perlu ngejelasin apa-apa, Les. Kita kan hanya teman
yang baru kenal." Oke, kenapa aku harus menambahkan kalimat terakhir
itu? Soalnya, Les langsung terperangah, seolah-olah katakataku sudah menamparnya. Padahal aku tidak mengadaada. Kami bukan siapa-siapa?kami hanyalah teman biasa
yang baru kenal. Dia tidak berutang penjelasan apa pun
padaku. "Oke, kita emang cuma temen yang baru kenal," kata?
nya akhirnya. "Tapi aku nggak ingin kita mengakhiri se?
mua ini dengan prasangka buruk. Jadi, mau dengerin
aku sekali ini aja?"
Aku ingin sekali menolaknya, terutama hanya supaya
Erika tidak bikin keributan yang bikin kami semua di?
ciduk hansip sekolahan, tapi Les menyelaku sebelum aku
sempat bicara. "Setelah ini, kalo kamu nggak mau berurusan dengan?
ku lagi, aku ngerti kok."
Selama beberapa saat kami berdua hanya saling me?
natap, lalu akhirnya kuputuskan untuk mengambil risiko
dan berpaling pada cewek bermuka Godzilla di samping?
ku. "Maaf ya, Ka, gue jalan sama dia dulu."
Kini pelototan seram Erika yang setajam sinar laser
148 Isi-Omen2.indd 148 011/I/13 beralih padaku. Gawat. "Kalo lo diapa-apain sama dia?
Atau cewek psikopatnya?"
"Aku nggak akan apa-apain dia," kata Les tegas.
"Promise. Kalo Val ingin pulang, aku akan anterin dia
pulang. Kalo aku melanggar janjiku, Vik tau di mana
aku. Aku nggak akan bisa kabur."
"Val," tegur Daniel yang berdiri di samping Erika, me?
mandangi?ku dengan tampang prihatin dan cemas.
"Kamu yakin nggak akan apa-apa?"
Aku menyunggingkan senyum selebar-lebarnya pada
Daniel, berusaha menenangkannya sekaligus berharap
tampangku tak seseram cewek-cewek dalam video klip
lagu Black Hole Sun yang senyumnya tak mencapai mata.
"Nggak apa-apa kok. Aku... percaya sama dia. Kamu
anterin Erika pulang aja, ya."
Aku berbalik pada Les, yang menyodorkanku helm per?
tama yang kusentuh dan kukenakan seumur hidupku.
Sambil berusaha seanggun mungkin, aku mengenakan
benda yang kelihatan bagaikan barang dari luar angkasa
itu di kepalaku. Dasar tali keparat. Kenapa benda itu tidak mau kukait?
kan? "Sini kubantu."
Badanku membeku sementara Les membantuku me?
ngait?kan tali helm itu. Oh, God, kenapa dia menatapku
lekat-lekat seakan bisa membaca pikiranku? Apa dia
benar-benar bisa membaca pikiranku?
Gawatnya, bukan cuma Les yeng memandangiku de?
ngan konsentrasi penuh. Aku yakin di belakangku masih
ada Erika dan Daniel yang tatapannya menghunjam
punggungku, sampai-sampai kukira punggungku bakalan
149 Isi-Omen2.indd 149 011/I/13 bolong-bolong dibuat mereka. Oke, setelah sekian lama
menjadi cewek tak kasatmata, perhatian dari segala arah
begini membuatku mual banget. Mana jantungku yang
tidak tahu malu meloncat-loncat kegirangan saat Les
mem?bantuku duduk di jok belakang.
He?s such a gentleman. "Gue jalan dulu ya, Ka," pamitku pada Erika.
"Telepon-telepon kalo ada apa-apa," kata Erika, pelotot?
an betenya kini berganti korban ke arah Les.
"Iya, nggak usah khawatir deh. Bye, Niel."
"Dah, Val." Kedua tanganku spontan memeluk pinggang Les eraterat saat motor itu meninggalkan sekolah. Aduh, kenapa
sih semua orang bisa naik motor dengan gaya santai dan
nyaman, sementara aku seperti cewek tak tahu malu
yang menerkam cowok di depanku dengan muka be?
ngis? "Kita mau ke mana?" tanyaku sekeras mungkin meng?
atasi deru knalpot motor.
"Gimana kalo kita jalan-jalan ke Taman Flam?
boyan?" Taman Flamboyan adalah salah satu taman terbesar di
kompleks perumahan kami. Disebut Taman Flamboyan,
tentu saja, karena taman itu dipenuhi pohon-pohon flam?
boyan. Pada saat-saat tertentu, bunga-bunga flamboyan
akan berguguran ke tanah, membentuk permadani alam
berwarna-warni yang amat indah. Pada sore hari, taman
itu akan dipenuhi anak-anak yang datang ke arena
bermain di sana, dan udara akan lang?sung dipenuhi
dengan tawa, tangis, dan bau ompol yang kental. Sama
sekali tidak ada romantis-romantisnya. Tapi siang-siang
150 Isi-Omen2.indd 150 011/I/13 begini, terutama saat sinar matahari se?dang panaspanasnya, taman itu pastilah sangat sepi, sementara


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udara hanya diisi wangi bunga yang sedang bersemi dan
bangkai daun yang sudah tergeletak mati di atas tanah.
Oke, kenapa aku menyebut soal bangkai daun yang
tergeletak mati? Sekarang tempat ini jadi terdengar tidak
romantis lagi. Tiba di depan taman itu, Les segera memarkir motor.
Terminal Cinta Terakhir 3 Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan Tikam Samurai 7
^