Pencarian

Sang Pengkhianat 3

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu Bagian 3


padaku dengan air muka pasrah. "Iya."
Jadi beginilah rasanya menjadi Putri Badai. Rasanya
perkasa dan berkuasa banget. Muahahahahaha. "Kalo
gitu, jangan banyak bacot lagi. Ayo, buruan jalan! Cepet,
jangan kayak lagi akting dalam adegan slo-mo gitu!"
"Slo-mo?" ulang Gil dengan muka mirip burung beo.
"Slow motion, o?on!"
"Oooh." Serius deh. Menjadi Putri Badai ternyata keren banget.
Setelah kita bentak-bentak orang dengan sadisnya, bukan?
nya menggebuki kita, orang yang kita bentak-bentak
malah menatap kita dengan tampang "plis bentak gue
sekali lagi, habisnya lo keren banget". Tapi tentu saja
tidak semua orang bisa bereaksi begitu. Buktinya Putri
Badai punya banyak banget haters.
Kami berhasil mengikuti Daniel seraya menyeruak
kerumunan yang dipenuhi ucapan-ucapan "Ada apa sih?
Nggak kelihatan nih!", "Pasti ada kutukan baru lagi, gue
jamin pake taruhan nyawa gue!", hingga "Ayo selfie,
mumpung lagi di TKP!" Kami tidak mengindahkan me?
reka dan terus menerjang masuk hingga kulihat sosok
Val dan Putri yang membelakangi kami. Keduanya
berdiri terpaku di tepi lapangan badminton.
Tak jauh dari mereka, aku bisa melihat Erika Guruh
juga sedang berjongkok di tengah-tengah lapangan. Po?
sisi?nya membuatku bisa melihat wajahnya yang belakang?
an ini tampak muram. Saat ini wajahnya tampak ter?
perangah seolah-olah tidak memercayai pandangannya.
163 Isi-Omen6.indd 163 Di sampingnya, berjongkok dengan pose yang sama
dengan Erika adalah Bu Rita si kepala sekolah dan Pak
Rufus sang guru piket garis miring wakil kepala sekolah.
Kenyataan bahwa kepala sekolah dan wakilnya jongkok
bareng anak paling bandel di sekolah sebenarnya terlihat
lucu banget?mereka mirip tiga anak kecil yang sedang
melakukan "panggilan alam bersama"?kalau saja tidak
ada pe?mandang?an lain yang segera menyita perhatian?
ku. Di depan mereka terlihat sebuah sosok yang tengah
terbaring di lantai lapangan badminton. Sosok seorang
siswi yang mengenakan seragam olahraga, dengan kedua
tangan terkatup sopan di atas perut seraya merengkuh
sebuah raket badminton. Sekilas, tidak terlihat sesuatu
yang aneh di sana selain kenyataan bahwa ada yang
tidur-tiduran di tengah-tengah lapangan sambil memeluk
raket badminton seakan-akan benda itu sangat ber?
harga. "Oh no," bisik Rima di sampingku. "Tini!"
Sebelum aku maupun Daniel berhasil mencegahnya,
Rima telah menghambur ke depan. Sambil mengumpatumpat, Daniel menyusulnya. Aku mengikuti di belakang
sambil bertanya-tanya kenapa Daniel tidak ingin Rima
melihatnya. Saat berada di dekat sosok yang sedang berbaring itu,
barulah aku melihat apa yang terjadi pada siswi yang,
dari ucapan Rima, bernama Tini itu.
Sepertinya cewek malang itu belum meninggal, soalnya
warna kulit dan bibirnya masih merona. Jika memang
begitu, pastilah dia sedang dibius, karena tidak mungkin
orang dalam kondisi seperti ini bisa tertidur pulas. Mata?
164 Isi-Omen6.indd 164 nya yang terpejam dijahit dengan benang, demikian juga
bibirnya yang mengatup dan kedua tangannya yang
menyatu. Oke, sepertinya pemandangan ini memang terlalu me?
ngeri?kan untuk kutanggung.
165 Isi-Omen6.indd 165 Rima Hujan Demi Tartarus yang tergelap dari segala yang gelap, ada?
kah iblis yang lebih jahat daripada yang sedang beraksi
kali ini? Rasanya aku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Namun,
tentu saja, aku tidak boleh melakukannya. Sebagai ketua
OSIS, aku harus bersikap tenang dan penuh percaya diri
serta sanggup meyakinkan seluruh murid di sekolah kami
bahwa aku bisa mencegah kejadian semacam ini terjadi
lagi. Kenyataannya, aku bukan cewek super. Bahkan di
antara teman-temanku, akulah yang paling lemah. Tapi,
supaya semua orang tidak panik, terpaksa aku memasang
air muka setenang mungkin?air muka yang sayangnya
belakangan disebut Aya sebagai air muka yang biasa
dimiliki oleh pelaku-pelaku kejahatan dan sama sekali
tidak membuat mereka merasa tenteram.
Kurasakan Daniel menahan lenganku. "Rima, jangan.
Di sini aja." Tanpa menoleh, aku menarik lenganku dari Daniel.
Kusadari Daniel terpaksa mengikutiku dan aku sungguh
merasa tidak enak hati padanya, tapi aku tidak punya
166 Isi-Omen6.indd 166 pilihan lain. Tini adalah anggota Klub Kesenian yang
rajin, juga salah satu anggota kebanggaan Klub
Badminton. Postur tubuhnya yang tinggi membuatnya
pernah disebut dalam artikel di mading dengan kata-kata
"menguasai lapangan badminton seperti rumah sendiri".
Dalam Pekan Olahraga ini, dia salah satu anggota Klub
Badminton yang sangat dijagokan. Satu-satunya kekurang?
an?nya adalah, dia menganggapku aneh, tidak pantas
menjadi ketua Klub Kesenian apalagi menjabat Ketua
OSIS, dan sering berbisik-bisik tentang aku. Meski tahu
soal hal itu, aku tidak pernah mengambil hati, apa?lagi
pada dasarnya dia siswa yang berprestasi.
Kini anak itu mengalami kecelakaan, dan entah ke?
napa aku merasa bersalah karenanya.
Valeria dan Putri berbalik saat mendengar langkahku.
Sama seperti Daniel, keduanya langsung meraih tanganku
untuk menahan langkahku, tapi lagi-lagi aku menepiskan
keduanya dan berjalan terus hingga mendekati Tini yang
sedang terbaring di tengah-tengah lapangan badminton.
Pak Rufus yang tadinya berjongkok di samping Tini lang?
sung berdiri menyambutku.
"Rima," panggilnya muram. "Dia masih hidup."
Aku mengangguk, tidak tahu harus merasa lega atau
malah sedih. Habis, kondisi Tini benar-benar menyedih?
kan. Baik kedua matanya, mulut, maupun kedua tangan?
nya yang menyatu, semuanya dijahit dengan benang
nilon. Jika saat ini dia hanya pingsan atau dibius atau
apa sajalah, pada saat siuman nanti, tak bisa kubayang?
kan betapa histerisnya anak itu.
Yang tidak kalah mengerikan adalah jahitan-jahitan
167 Isi-Omen6.indd 167 yang me?ngatupkan kelopak mata dengan bagian bawah
mata. Kalau diperhatikan baik-baik, jahitan pada mata
tidak terlalu banyak. Mana jahitannya terletak pada
kelopak mata dan bagian bawah mata. Logikanya, jarum
yang di?gunakan tidak mengenai bola mata. Tapi siapa
berani menjamin? Bagaimana kalau saat Tini membuka
mata?nya, bola matanya sudah rusak?
Ya Tuhan, ini benar-benar mengerikan.
Aku turut berjongkok di samping Tini dan merasakan
pandangan Erika jatuh padaku. Pandangan itu lalu ber?
alih ke kedua sisiku, di mana Val dan Putri turut ber?
jongkok bersamaku. "Nggak ada bekas-bekas kekerasan, setidaknya yang
kelihatan," kata Putri datar. "Nggak ada memar atau?pun
luka. Kemungkinan besar dia lang?sung disergap dan
dibius." "Di gudang penyimpanan bola," ucapku perlahan. Se?
mua orang memandangiku dengan takjub seolah-olah
aku barusan mencetuskan ramalan terbaru, jadi aku
buru-buru menjelaskan, "Kelas Tini ada kelas olahraga
sebelum istirahat, dan dia masih pake baju olahraga. Ada
bekas keringat di bagian dada dan ketiak, berarti dia sem?
pat ikut pelajaran olahraga. Kalian tau Pak Aliuk selalu
menyuruh kita langsung ke ruang ganti begitu pelajaran
selesai. Satu-satunya tempat di mana dia bisa disergap
adalah di antara lapangan badminton dan ruang ganti
cewek, yaitu ruang penyimpanan bola. Kuduga, semen?
tara orang-orang ganti baju, si pelaku menyergap Tini,
membiusnya, lalu menjahitnya."
"Gila, sadis amat!" Kudengar seruan Gil di belakangku.
Bisa diperkirakan OJ juga ada di sini. "Kok tega-teganya
168 Isi-Omen6.indd 168 ada yang jahit-jahit temen kita sendiri sementara kita
lagi sibuk belajar?"
"Human is the cruelest animal," gumam Val. "Tapi, Rim,
tubuh Tini kan gede begini. Siapa cewek yang kira-kira
bisa menyergapnya?" "Kenapa harus cewek?" Tiba-tiba Erika nyeletuk. "Bisa
aja cowok masuk ke ruang penyimpanan bola, kan?"
"Kalo cowok, pasti kelihatan aneh karena itu kan rute
menuju ruang ganti cewek," ucap Valeria. "Rute ke ruang
ganti cowok kan melalui koridor yang berseberangan.
Nggak mungkin anak cowok bisa ke sana tanpa melewati
lapangan badminton yang sedari pagi dipenuhi anakanak."
"Bisa kok kalo orangnya menyelinap pada saat per?
gantian pelajaran," balas Erika keras kepala.
"Ucapan Erika memang beralasan," Putri menyetujui.
"Tapi ada satu lagi. Bisa aja pelakunya dua orang ce?wek."
Selama sesaat, terasa kecanggungan yang aneh meme?
nuhi keheningan yang sudah cukup menegangkan ini.
"Apa maksud lo?" tanya Erika akhirnya dengan suara
tajam. "Cuma ngasih tau kemungkinan lain aja kok," sahut
Putri. "Nggak usah masang tampang nggak enak gitu.
Nggak ada yang nuduh kamu sebagai pelakunya kok."
"Wah, makasih," ucap Erika sinis. "Nggak ada tuduhan
ke orang-orang lain di sekitar gue juga? Sodara kembar
gue misalnya?" "Erika, sudahlah," Valeria berkata dengan suara rendah.
"Nggak ada yang berasumsi macam-macam. Putri benerbener cuma ngasih tau kemungkinan lain, dan dia me?mang
nggak salah, kan?" 169 Isi-Omen6.indd 169 Erika diam sejenak. "Sori."
Demi Harmonia, dewi kerukunan dan perdamaian!
Tumben banget Erika menyerah begitu saja. Apakah betul
kata orang, bahwa Eliza berhasil melembutkan hati bru?
tal seorang Erika Guruh? Ah, tidak mungkin. Kebrutalan Erika tidak bisa dijinak?
kan oleh Viktor Yamada dan Valeria Guntur. Jadi tidak
mung?kin Eliza yang licik dan munafik bisa melakukan
yang lebih keren dari mereka berdua, kan?
"Apa yang terjadi?"
Kami semua sontak berdiri saat Ajun Inspektur Lukas
berjalan masuk ke dalam lapangan badminton. Ralat.
Ins?pektur Lukas. Pria itu bertubuh tinggi dan tampan,
de?ngan kulit gelap yang menandakan pria itu sering be?
kerja di bawah sinar matahari. Sebagian besar orang pasti
akan menganggapnya tampan?atau setidaknya me?
narik?namun polisi itu terlalu lurus dan tidak pernah
meng??gunakan kelebihannya itu untuk melemahkan hati
para saksi maupun tertuduh. Seandainya dia bersikap
lebih manipulatif, tentunya jalan kariernya akan lebih
mulus. Tapi, karena dia jujur dan tidak manipulatif, kami
semua sangat menyukainya.
"Wah, yang naik pangkat!" seringai Erika. "Gaya jalan
lo?eh, maksudnya Pak Inspektur?makin keren aja ya!"
"Congrats, Pak Inspektur Lukas," ucapku bersama
Valeria dan Putri seraya menyambut kedatangan polisi
itu. Bukan hanya kami, Bu Rita, Pak Rufus, Daniel, OJ,
bahkan Gil yang seingatku belum pernah bertemu de?
ngan?nya pun turut menyalami.
"Terima kasih," ucap Inspektur Lukas ramah, lalu dia
tersenyum padaku. "Sesuai ramalanmu, Rim, meskipun
170 Isi-Omen6.indd 170 tadi?nya saya pikir kenaikan pangkat saya ini datangnya
lebih cepat." "Ih, itu mah bukan ramalan," celetuk Erika. "Ini kan
sama aja kayak orang-orang yang nari-nari meminta ujan
selama setengah tahun sampe ujannya turun!"
"Sudah untung saya cuma menunggu selama setengah
tahun," ucap Inspektur Lukas tenang, "karena banyak
orang lain yang menunggu sampai bertahun-tahun. Tapi
bukan itu yang akan kita bahas hari ini. Nah, sekarang
kejadian apa lagi yang menimpa sekolah ini... Astaga!"
Bahkan seorang inspektur polisi yang sudah be?rpengalaman
pun tampak shock melihat apa yang terjadi pada Tini. "Apa
yang terjadi? Kenapa bisa ada kejadian begini??"
Dengan singkat dan tepat Pak Rufus menjelaskan
semua?nya, bagaimana teman Tini merasa heran dengan
lenyapnya cewek itu, lalu mencarinya hingga ke lapang?
an badminton dan menemukan Tini terbaring di sini. Si
teman menjerit keras, dan jeritan itulah yang membuat
kami semua berkumpul di sini.
"Mana temannya itu?" tanya Inspektur Lukas. "Dan
maaf, saya ingin tempat ini disegel dengan pita ku?ning.
Untuk sementara tidak ada yang boleh masuk saat ini,
mengerti? Termasuk kalian, Anak-anak! Kalau kita belajar
dari pengalaman yang dulu-dulu, sepertinya insideninsiden semacam ini tidak pernah terjadi sekali saja.
Kemungkinan ini akan terjadi lagi, dan kita harus me?
nemukan jejak pelakunya sebelum si pelaku bertindak
lagi!" Inspektur Lukas memandangi wajah Tini yang di?
penuhi jahitan dan mengernyit. "Kenapa sih ambulans?


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya lama sekali? Kalau sampai anak ini siuman, kita se?
mua bisa gawat!" 171 Isi-Omen6.indd 171 Seolah-olah menjawab pertanyaan Inspektur Lukas,
kelopak mata Tini mulai bergerak-gerak, menandakan dia
mulai siuman. Serta-merta kami semua yang berada di
sekitarnya meloncat mundur karena ketakutan.
"Gimana ini?" Bu Rita yang biasanya selalu jutek dan
penuh wibawa kini bertanya dengan suara setengah
histeris. "Apa yang harus kita lakukan?"
Aku menoleh pada Valeria dan Putri, dan keduanya
juga hanya bisa terbelalak ngeri. Pandanganku beralih
pada teman-teman cowok?Daniel, OJ, dan Gil?namun
mereka juga hanya bisa berdiri dengan tampang pucat
pasi. Inspektur Lukas yang seharusnya berusaha me?
nenang?kan kami malah kelihatan seperti mau muntah.
Pak Rufus lebih parah lagi?guru piket itu tampaknya
sudah siap-siap untuk berpura-pura pingsan dengan me?
nyandarkan tubuhnya pada kursi wasit di samping
lapang?an badminton. "Bekap dia," ucapku berusaha menemukan ide ce?
merlang secepatnya. "Tutup mata dan mulutnya, dan
bilang dia harus berada dalam posisi seperti itu sampai
ambulans datang..." Kami semua hanya melongo saat Erika melayangkan
tinjunya ke muka Tini, dan dalam sekejap cewek itu ber?
geming lagi dengan muka mengerikan namun damai.
"Gila!" teriak Inspektur Lukas. "Apa-apaan kamu,
Erika? Tega-teganya kamu menonjok korban yang muka?
nya sudah berantakan gitu!"
"Daripada dia bangun lalu berusaha buka mata dan
mulut dan menarik-narik tangannya sampai semuanya
ber?darah-darah dan akhirnya mati di depan kita!" balas
Erika dengan tampang malu sekaligus menantang. "Pilih
172 Isi-Omen6.indd 172 mana coba? Mendingan gue tonjok aja sampe pingsan,
kan?" Terus terang, kali ini aku berpihak pada Erika. Katakatanya memang benar. Kalau bukan karena tindakan
cepat?nya, tak terbayangkan betapa besar penderitaan
yang harus dialami Tini. "Benar, Inspektur Lukas. Saya
yakin Tini nggak akan nyalahin Erika untuk ini, malahan
dia akan sangat berterima kasih pada Erika yang udah
nyelamatin dia dari rasa sakit yang jauh lebih besar,
meski pangkal idungnya sekarang memar dan dari
lubang hidungnya keluar darah, pertanda kemungkinan
ada tulang yang patah..."
"Iya, iya, nggak usah nyindir gitu!" potong Erika sebal,
padahal aku memang bermaksud memujinya. "Gue juga
nggak ngarepin dia berterima kasih kok. Memangnya gue
nggak inget si Tini Marini ini? Dia yang nyinyir banget
soal gue, kan?" Oh iya, aku lupa. Pada awal perkenalanku dengan
Erika, aku membawanya ke ruang Klub Kesenian, dan di
sana dia bertemu dengan Tini dan teman-temannya.
Tanpa sengaja Tini berbisik terlalu keras mengenai ke?
tidak?sukaannya pada reputasi Erika sebagai anak paling
ber?masalah di sekolah. Tentu saja Erika langsung berang
dan balas mengatainya. Sejak itu Erika dan anak-anak
Klub Kesenian tidak pernah akur.
"Saya rasa sebaiknya sekolah ini dikunci dulu hingga
ada jejak mengenai siapa pelakunya," kata Inspektur
Lukas pada Bu Rita dan Pak Rufus. "Kita tidak mau pe?
laku?nya lolos begitu saja, bukan?"
"Tidak bisa, Pak," geleng Bu Rita. "Saya tidak ingin
me?nyebarkan kepanikan di antara anak-anak dan orang?
173 Isi-Omen6.indd 173 tua mereka, juga media massa, tentunya. Kalau bisa, kita
tangani saja secara tertutup. Lagi pula, belum tentu
pelakunya belum kabur sekarang. Memang sedari tadi
kami sudah memberi instruksi kepada petugas sekuriti
untuk menjaga gerbang dan menahan orang-orang yang
men?curigakan, tapi siapa tahu tindakan ini sudah ter?
lambat." Aku tidak yakin Bu Rita benar. Sebenarnya aku per?caya
pelakunya masih ada di sekolah ini. Tetapi, se?andainya
bukan, argumen Bu Rita memang masuk akal. Itu
sebabnya Inspektur Lukas tidak mendebatnya.
"Baiklah kalau begitu. Untuk sementara kita akan ta?
ngani secara tertutup," angguk polisi itu. "Omongomong, mana teman yang menemukan korban itu?"
"Dia ada di klinik bersama Bu Mirna," sahut Pak Rufus
muram. "Dia histeris dan nangis-nangis terus. Nggak
heran, dia melihat temannya berada dalam kondisi
seperti ini." "Oke, saya akan menemuinya," angguk Inspektur Lukas.
"Namanya siapa?"
"Preti." Oke, sekarang perasaanku makin gelisah saja. Kejadian
ini sudah melibatkan dua anggota klubku. Apakah ini
hanya kebetulan belaka, ataukah memang ada kaitannya
denganku? Aku harus mencari tahu. "Inspektur Lukas!"
Polisi itu menoleh padaku.
"Saya akan mendampingi Bapak menginterogasi teman
saya," ucapku sambil memasang muka tidak mau di?
bantah ala Putri Badai (belakangan Aya bilang mukaku
174 Isi-Omen6.indd 174 kayak bertekad untuk menghantui Inspektur Lukas se?
umur hidup dan cewek itu menasihatiku untuk tidak
me?masang muka aneh-aneh lagi). "Itu salah satu
tanggung jawab saya sebagai Ketua OSIS."
Inspektur Lukas sama sekali tidak curiga dengan niat
terselubungku. "Baiklah. Ada bagusnya temanmu
didampingi rekan yang bisa dipercaya ketika diinterogasi.
Mungkin ini akan membuatnya lebih tenang."
Aku meragukan hal itu, mengingat hubunganku de?
ngan teman-teman satu klub tidak terlalu dekat. Sebenar?
nya aku tidak pernah dekat dengan sebagian besar
manusia lantaran reputasiku yang berkesan mistis,
sepertinya orang-orang takut dikutuk olehku atau, lebih
parah lagi, dihantui. Intinya, orang-orang takut padaku,
jadi aku ragu aku bisa membuat Preti merasa tenang.
Tapi apa pun yang terjadi, aku harus mengikuti inte?ro?
gasi ini. Aku harus mencari tahu apakah semua ini ber?
hubungan denganku atau tidak.
Semoga semua ini hanya kebetulan dan aku hanya
kege-eran. "Titip Tini ya," ucapku pada ketiga temanku.
"Jangan khawatir," angguk Valeria. "Serahkan saja pada
kami." "Betul, Rim," sambung Putri. "Kalo ada perkembangan,
nanti kami kabari." "Tenang aja Rim," tambah Aya. "Kalo ada yang nggak
enak yang terjadi, pasti jeritan gue paling kenceng."
Aku balas mengangguk pada ketiga temanku, bersyukur
me?reka semua selalu ada untuk membantu, mendukung,
dan menghiburku. Daniel menyentuh lenganku. "Mau gue temenin?"
175 Isi-Omen6.indd 175 "Nggak usah," senyumku. "Ini bukan sesuatu yang ber?
bahaya. Kalo masih ada waktu, kamu kembali istirahat
aja." "Eh, nggak usah pacaran dulu," celetuk Erika dari be?
la?kang. "Lo udah ditinggalin tuh!"
Astaga! Benar kata Erika, Inspektur Lukas dan Pak
Rufus sudah keluar dari lapangan badminton! Aku pun
ter?birit-birit menyusul mereka menuju klinik yang ter?
letak tak jauh dari perpustakaan dan kantor guru.
Berbeda dengan saat menghadapi murid-murid, Pak
Rufus selalu tampak serius dan berwibawa setiap kali
berhadapan dengan orang-orang dewasa lainnya.
"Saya minta maaf setiap kali selalu menyusahkan In?
spektur Lukas," aku mendengar Pak Rufus berbasa-basi.
"Tidak perlu, Pak," sahut Inspektur Lukas ramah. "Saya
sendiri menyukai sekolah ini dan murid-muridnya,
terutama Erika yang saya dengar juga murid kesayangan
Bapak." "Waduh, gosip dari mana tuh?" Pak Rufus berusaha
me?ng?elak dari reputasi yang tidak diinginkannya itu.
Beliau selalu berkoar-koar tidak pernah pilih kasih?dan
itu memang benar?tapi wajahnya tampak lebih hepi
se?tiap kali beliau memergoki Erika melakukan pe?
langgaran. "Tapi saya akui, belakangan ini Erika sudah
ber?ubah. Dia jadi anak yang jauh lebih baik, rajin, dan
tidak pernah membuat masalah lagi."
Dari belakang aku bisa melihat Inspektur Lukas melirik
Pak Rufus dengan geli, karena guru piket itu sama sekali
tidak terlihat senang. "Dan itu mengecewakan Bapak ka?
rena..." "Karena itu tidak normal!" sergah Pak Rufus dengan
176 Isi-Omen6.indd 176 tampang seolah-olah dia barusan kena tipu. "Erika itu
pada dasarnya tidak jahat, tapi kejailannya jauh melebihi
anak-anak lain. Sepertinya dia terlahir dengan mulut
tanpa rem karena dia selalu mengucapkan hal-hal yang
tidak sepatutnya diucapkan."
"Dan sekarang mendadak dia jadi kalem," ucap In?
spektur Lukas. "Tapi dia bisa juga nonjok orang tanpa
perikemanusiaan seperti tadi. Itu kan Erika ba?nget."
Pak Rufus mendengus. "Itu satu-satunya tanda anak
itu masih Erika Guruh yang lama dan bukannya klo?
ningan tidak jelas dari saudari kembarnya."
"Apa Bapak tidak berlebihan?" tanya Inspektur Lukas
santai. "Dengan mengesampingkan tonjokan brutal tadi,
bukankah semua ini adalah tanda bahwa Erika Guruh
sudah lebih dewasa?"
Lagi-lagi Pak Rufus mendengus. "Dewasa itu macammacam bentuknya, dan menjadi kalem mendadak bukan
salah satunya. Coba lihat saja saya. Meski sudah dewasa,
saya tetap cerewet!"
"Apa itu bukan tandanya Bapak masih belum..." Ins?
pektur Lukas menahan kata-kata sekaligus cengiran yang
hendak disunggingkannya. Sepertinya dia menyadari
bahwa jika Pak Rufus masih belum dewasa karena
cerewet, ini berarti si Inspektur juga belum dewasa ka?
rena sering mendadak jail dalam situasi serius. "Oke,
saya mengerti maksud Bapak. Tapi saya rasa kita tidak
bisa berbuat apa-apa untuk Erika saat ini. Dia berada da?
lam masa transisi untuk menyesuaikan diri dengan ke?
luarganya lagi, bukan?"
"Iya, tapi bukannya itu malah makin mencemaskan?"
Pak Rufus menyembur ke arah telinga Inspektur Lukas.
177 Isi-Omen6.indd 177 "Mereka memprogramkannya supaya mirip dengan anak
yang satunya lagi!" "Kalem, Pak, kalem!" teriak Inspektur Lukas sam?bil
mengusap-usap telinganya yang pasti terkena konta?
minasi liur Pak Rufus. "Soal itu, saya tidak khawatir ka?
rena Erika punya teman-teman yang selalu bisa
mem?bantunya. Benar tidak, Rima?"
Aku gelagapan karena mendadak diajak bicara. "Eh,
soal itu..." Kami tidak sempat melanjutkan pembicaraan kami lagi
lantaran sudah tiba di klinik. Bu Mirna langsung berdiri
dengan tampang lega saat melihat kemunculan kami.
"Pak Rufus, untunglah... Oh, Ajun Inspektur Lukas!"
seru Bu Mirna dengan mata berbinar-binar.
"Inspektur sekarang, Bu," sahut Inspektur Lukas sambil
memberi hormat dengan gaya charming yang pastinya
membuat Bu Mirna makin meleleh. "Jadi ini yang
namanya Preti? Halo, Pret." Inspektur Lukas tertegun se?
jenak menyadari betapa tidak sopannya ucapannya.
"Maaf, maksud saya, halo, Preti. Kamu sudah lebih
baikan sekarang?" Baru saat inilah semua orang menyadari reaksi Preti
yang menakutkan. Dengan tatapan liar seolah-olah se?
dang kerusupan, cewek itu menunjuk-nunjukku dengan
gaya nyaris tak terkendalikan oleh dirinya sendiri.
"Itu dia! Itu dia orang yang membunuh Tini! Tangkap
dia, Pak Polisi! Tangkap dia sekarang juga!"
178 Isi-Omen6.indd 178 Erika Guruh Sebal banget rasanya harus sendirian di saat semua
orang sedang sibuk melakukan penyelidikan yang
sepertinya seru banget. Lebih sebal lagi saat orang-orang yang sibuk me?nye?
lidiki itu kemudian memperlakukanmu seperti objek
yang harus diselidiki. Tak lama sesudah Tini diangkut pergi oleh paramedik,
Putri Badai langsung mendekatiku. Tanpa malu-malu aku
pun langsung memasang wajah penuh permusuh?an.
"Erika," ucap Putri Badai dengan suara anggun me?
nyebalkan mirip suara cewek yang keluar dari mesin
ATM. "Sepagian ini kamu ada di mana?"
"Tentu saja di kelas dan belajar seperti murid-murid
teladan pada umumnya, Ibu Guru Piket... Tunggu dulu!"
Aku menatapnya dengan penuh minat. "Kalo saja rambut
Ibu Guru lebih pendek dan keriting, kulit lebih gelap,
tubuh lebih tinggi, dan ganti jenis ke?lamin?... Ya ampun...
Pak Rufus! Apa yang udah di?laku?kan para ilmuwan gila ter?
hadap Pak Rufus yang malang? Jangan nangis, Pak! Bentar
lagi saya akan kembalikan Bapak ke wujud semula!"
179

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Omen6.indd 179 Kilatan di mata Putri Badai memberitahuku bahwa
cewek itu pasti sudah meninjuku kalau saja tidak ada
saksi di sekitar kami (dan dengan senang hati aku akan
meninju balik). Sayang, cewek itu lebih memilih untuk
menjaga reputasi dan memasang ekspresi datar, dingin,
serta congkak ala Putri Es. "Kami nggak menuduhmu.
Kami hanya ingin tau keberadaanmu pagi ini. Dan ada
saksi yang mengatakan kamu nggak ada di kelas tadi
pagi." Saksi itu tentunya adalah Valeria Guntur, teman se?
kelas?ku sekaligus mantan sobat terbaikku. Nah, siapa
yang pengkhianat sekarang?
"Sori," ucap Val jelas-jelas merasa bersalah. "Tapi Putri
benar kok. Kami nggak berniat nuduh elo. Malah sebenar?
nya lo mungkin saksi kunci semua situasi ini."
"Saksi kunci, saksi gembok, emangnya gue peduli?"
cibirku. "Oke, kalo lo semua kepingin banget tau apa
yang gue lakukan tadi pagi, gue akan umumkan keraskeras. Sepagian ini gue..."
Dari tampang mengernyit yang ditampakkan Aya,
sepertinya mereka sudah siap-siap mendengar informasi
yang melibatkan toilet, diare, dan bau-bauan tidak enak.
"...membantu Bu Rita membungkus goodie bag untuk
anak-anak yatim-piatu."
Dari mulut-mulut melongo di depanku, sudah jelas
jawaban itu tidak pernah terbayang oleh mereka. Jelas,
se?orang Erika Guruh tidak mungkin menjelma dari
cewek brutal tukang palak menjadi cewek manis penuh
kasih yang senang berbuat amal demi dunia yang lebih
baik. Malah mereka mungkin lebih percaya kalau ku?
katak?an aku menghabiskan pagiku dengan mencuri
180 Isi-Omen6.indd 180 goodie bag untuk anak-anak yatim-piatu. Yah, kuakui,
informasi ini memang agak menodai imejku yang sangar
dan penuh kekerasan. "Keren amat!" seru OJ. "Lain kali kalo ada kegiatan
kayak gitu lagi, ajak-ajak gue ya! Nanti gue bawa koncokonco gue juga!"
"Amit-amit," dengusku sambil teringat kembali mimpi
buruk mengerikan di mana aku harus mengikat puluhan
kantong dengan pita. Yah, aku tidak boleh banyak
komplain, mengingat nasib Tini yang lebih tragis dariku.
"Lain kali kalo ada kegiatan kayak gitu lagi, nanti gue
usulin nama lo aja buat gantiin gue."
"Memangnya lo kesambet apa, Ka?" tanya Daniel
takjub bercampur geli. "Lo nggak usah banyak komen, dasar wakil ketua OSIS
teladan," cibirku. "Lagian, bukan salah gue kok. Eliza
yang ngajak gue. Gue cuma kebawa-bawa aja..."
Detik itulah aku baru menyadari bahwa yang mereka
tanyakan bukanlah aku, melainkan Eliza. Gila, aku
benar-benar goblok. Sejak kapan aku jadi selemot ini?
"Kalian nggak usah muter-muter deh," tukasku.
"Langsung to the point aja. Lagi-lagi kalian curiga sama
Eliza ya!" "Tentu saja," sahut Putri Badai spontan. Sepertinya dia
sama sekali tidak merasa perlu tersipu-sipu atau salah
tingkah seperti yang dilakukan kedua temannya yang
lebih bermuka tipis. "Hanya orang bodoh yang meng?
anggap dia udah bertobat."
"Kalo begitu seluruh sekolah ini bodoh, kecuali elo
dan kedua temen lo yang genius-genius itu," sindirku.
"Asal tau aja, Eliza bersama gue sepanjang pagi..."
181 Isi-Omen6.indd 181 Ucapanku terhenti saat menyadari pernyataan itu
salah. Oke, kami memang menghabiskan jam pelajaran
pertama bersama-sama. Setelah itu kami kembali ke kelas
masing-masing. Setahuku, itulah yang terjadi. Ke?
nyataannya, aku tidak tahu apa yang dilakukan Eliza
setelah berpisah denganku. Aku bahkan tidak tahu ada
di mana dia sekarang. Oke, mungkin seharusnya aku curiga juga. Tapi alihalih menampakkan perasaanku, aku malah mengangkat
bahu dan mencibir. "Kalo kalian mencurigai Eliza, se?
harusnya kalian tanya aja sama wali kelas?nya. Kenapa
harus nanya gue?" "Karena lo narasumber yang paling deket di sekitar
sini," jawab Aya polos, "dan sepertinya lo nggak akan
ber?bohong sama kami. Ya udah, kami cari wali kelasnya
deh. Thanks, man. Oh ya, satu lagi, apa Eliza masih
sering berhubungan dengan Nikki?"
Aria Topan memang hebat. Julukannya sebagai si
Makelar memang bukan sesuatu yang didapatnya hanya
karena keberuntungan belaka. Di balik tampang ceria
dan polos itu tersembunyi otak penuh siasat dan kelicik?
an yang luar biasa. Untungnya cewek ini tidak punya
hati yang jahat. Kalau iya, pastinya dia bakalan jadi
psikopat mengerikan. "Jangan khawatir," ucapku rendah seraya mengertakkan
gigi. "Dia nggak pernah berhubungan lagi dengan Nikki.
Itu perjanjian kami."
Aya mengangkat alis. "Perjanjian apa? Perjanjian bah?
wa lo akan melepas temen-temen lama lo, dan dia akan
melepas temen-temen lama dia...?"
Ups. Seharusnya aku tidak berceloteh soal itu. Bagai?
182 Isi-Omen6.indd 182 mana?pun, itu perjanjian rahasia antara aku dan Eliza.
Namun sebelum aku sempat memperbaiki kata-kataku?
dan menutupi rahasia antara aku dan Eliza?mend?adak
saja kami semua dikejutkan oleh Inspektur Lukas yang
menderap masuk ke dalam lapangan badminton sambil
menyeret Rima yang wajahnya nyaris tak terlihat
lantaran ditutupi rambut. Berani taruhan, gara-gara sosok
Rima yang makin seram itulah?dan bu?kan?nya wibawa
si inspektur yang barusan naik pangkat ini?yang
membuat orang-orang langsung minggat saat mereka
mendekat. "Rima!" seru Daniel yang langsung menangkap tubuh
Rima saat cewek itu dilepaskan oleh Inspektur Lukas
yang tampak berang. "Lo nggak apa-apa?"
Rima menggeleng lemah. Dari sela-sela rambutnya, wa?
jah?nya tampak terguncang.
"Ada apa?" tuntut Val. "Apa yang terjadi, Rim?"
Berhubung Rima hanya membungkam, Inspektur Lukas
akhirnya yang menyahut, "Rima adalah tertuduh utama
kejadian kali ini." Ucapan itu membuat kami semua shock sekaligus
langsung memprotes. "Bapak jangan sembarangan ngomong!" teriak Daniel.
Tumben, seingatku dia rada mengidolakan Inspektur
Lukas. Pasti ini omongan cowok yang lagi jatuh cinta.
"Bapak sendiri udah kenal Rima lama. Memangnya se?
lama ini dia per?nah nunjukin dia psikopat yang suka
men?jahit muka orang!"
"Yang bener aja, Pak!" seru Val. "Itu tuduhan nggak
ber?dasar!" "Memangnya kenapa harus Rima yang kena tuduh?"
183 Isi-Omen6.indd 183 sergah Aya. "Kan masih banyak tersangka yang lebih ber?
prospek!" "Itu omongan orang goblok," tukas Putri Badai. "Saya
harap Bapak nggak percaya dengan omong kosong se?
perti itu!" Tentu saja aku ikut menyumbangkan pendapatku yang
objektif. "Iya tuh, bener. Percuma lo naik pangkat kalo
kayak gini aja ketipu, Jun, eh, Tur!"
"Tenang, Anak-anak!" Inspektur Lukas mengangkat
kedua tangannya. "Dengar dulu cerita saya. Menurut
cerita Preti, satu-satunya saksi dalam kejadian ini?kalau
memang dia bisa disebut saksi?awalnya anak-anak di?
suruh bermain voli, tetapi Tini yang yakin akan ikut
Pekan Olahraga cabang badminton mau latihan. Jadi
Preti menemani dia latihan di lapangan ini sementara
yang lain-lain bermain di lapangan sebelah. Setelah jam
olahraga berakhir, guru olahraga kalian menyuruh me?
reka ke ruang ganti bersama teman-teman lain. Dalam
kesibukan di ruang ganti, Preti tidak memperhatikan
bahwa Tini tidak mengikutinya. Setelah kembali ke kelas,
baru dia sadar Tini tidak ada. Dia mengira Tini sudah
pergi lebih dulu ke kantin, jadi dia mencari ke kantin
dan sempat membeli makanan. Karena Tini tidak ke?
lihatan juga, Preti meninggalkan makanannya pada
teman-teman lain dan pergi ke lapangan badminton.
Pada saat itulah dia menemukan Tini dalam kondisi
seperti yang sudah kita lihat."
"Lalu?" tuntut Putri Badai dengan tampang buas se?
olah-olah sanggup memakan Inspektur Lukas. "Apa
hubungannya Rima dalam cerita itu?"
"Menurut Preti, pada saat dia pergi ke ruang ganti, dia
184 Isi-Omen6.indd 184 sempat melihat Rima lewat," jelas Inspektur Lukas. "Me?
mang tidak begitu jelas, tapi menurutnya tidak ada
orang lain di sekolah ini yang punya sosok tinggi kurus
dengan rambut yang terlalu panjang selain Rima. Lagi
pula, menurutnya Rima punya motif untuk mencelakai
Tini. Tini dan Preti pernah berusaha menjegal Rima
waktu Rima mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS. Me?
nurut Preti, ini semacam pembalasan supaya Tini tidak
perlu ikut Pekan Olahraga yang sangat diidam-idamkan
Tini itu." Kami semua terdiam mendengar informasi dari
Inspektur Lukas. Tanpa sadar, tatapan kami semua tertuju
pada Rima yang sejak tadi masih dirangkul Daniel.
Wajah?nya yang menunduk tampak pucat.
"Nah, sekarang, Rima Hujan," ucap Inspektur Lukas
de?ngan suara tajam, "apa kamu mau menjelaskan apa
yang kamu kerjakan pagi ini?"
Rima tergagap. "Saya... Saya..."
"Inspektur Lukas!" Putri Badai langsung berdiri di
antara teman-temannya dan Inspektur Lukas. Cewek itu
tampak seperti Hulk yang tidak tergoyahkan. "Tolong
jaga sikap Bapak! Kenapa Bapak tiba-tiba memperlakukan
teman saya seperti ini? Apa Bapak nggak ingat, kamilah
yang membantu Bapak sedari tadi?"
"Saya tidak menuduh," tukas Inspektur Lukas tegas.
"Saya hanya ingin tahu di mana Rima berada tadi pagi!
Rima, tolong jelaskan sekarang di mana kamu berada
tadi pagi!" "Jelaskan saja, Rim," ucap Aya penuh semangat. "Biar
dia tau lo kagak bersalah sama sekali!"
Semua mata tertuju pada Rima?termasuk aku. Aku
185 Isi-Omen6.indd 185 ingat, tadi pagi Rima tidak masuk kelas. Waktu akhirnya
aku kembali ke kelasku alias XI IPA 1 si kelas elite yang
dipenuhi anak-anak genius nan boring, ketua OSIS kami
itu malah tidak ada di tempat. Sekarang aku jadi pe?
nasaran, di mana Rima berada tadi pagi. Tentu saja,
sedikit pun aku tidak percaya Rima sanggup melakukan
kekejian seperti itu, apalagi tadi dia terguncang banget
waktu menemukan cewek bongsor bernama Tini alias
Tiny alias Mungil dalam kondisi mirip monster seram
buatan Frankenstein, hanya saja lebih seram lagi.
Lagi pula, apa pun yang terjadi di antara kami, sejujur?
nya aku masih sangat menyukai hantu sumur itu.
"Saya... Saya nggak bisa. Maafkan saya."
Aku bisa melihat muka teman-teman Rima yang
melongo dan melotot kaget (yang terakhir ini tentu saja
adalah Putri Badai yang tidak melewatkan setiap ke?sempat?
an untuk memasang muka seangker mungkin). Jadi mereka
juga tidak tahu apa yang dilakukan Rima barusan?
"Kalau kamu tidak bisa bilang, saya tidak akan bisa
membantumu," kata Inspektur Lukas tajam pada Rima.
Rima menunduk. "Maaf, saya betul-betul nggak bisa."
"Jadi lebih baik kamu jadi tersangka daripada
memberitahukan apa yang terjadi?"
Rima diam sejenak, lalu mengangguk.
Semua orang, termasuk aku, menatapnya dengan ce?
mas. "Saya tidak pernah mengerti kalian para abege!"
Dengan tam?pang frustrasi Inspektur Lukas mengacak-acak
rambut?nya yang nyaris tidak ada itu. "Sebenarnya kalian
me?ngerti tidak sih, mana yang lebih penting?"
Rima menunduk lagi. 186 Isi-Omen6.indd 186 "Begini aja!" selaku dengan suara yang kumaksud pe?
nuh wibawa, tapi entah kenapa terdengar cablak. "Gi?
mana kalo kita kasih mereka kesempatan, Tur?"
"Kita?" Val menaikkan alis, bersamaan dengan Putri
Badai mendenguskan kata, "Kesempatan?" dan Inspektur
Lukas berteriak dengan tampang sensi abis, "TUR?!?"
"Dengar dulu," aku melambaikan tangan seolah-olah
aku adalah Julius Caesar dan semua orang ini adalah
prajurit-prajurit rendahan. "Kita kasih mereka waktu tiga
hari untuk membuktikan Rima nggak bersalah. Kalo
mereka berhasil, ya syukurlah, kita nggak perlu kerja
capek-capek. Tapi kalo sampe gagal, tenang aja, Tur,
gue... maksudnya, saya akan membantu Bapak memburu
hantu yang satu ini. Jangan khawatir, saya tau semua
tem?pat persembunyiannya. Dia nggak akan bisa lolos
dari cengkeraman kita deh."
Inspektur Lukas merenung. "Dengan mengesampingkan
panggilan ?Tur? yang jelek dan bikin sakit kuping itu,
saran ini tidak buruk juga."
"Ah, apanya yang jelek dari panggilan ?Tur??" celaku.
"Syukur-syukur Bapak dikira salah satu anggota keluarga


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guntur juga." "No, thanks," tolak polisi yang tidak tahu terima kasih
itu. "Saya menyukai identitas saya apa adanya, dan saya
se?nang dengan pangkat baru saya. Jadi panggil saya
Inspektur, Erika." "Iya, Om." "Jangan panggil saya Om! Saya masih terlalu muda
untuk punya keponakan tua bangka kayak kamu!"
"Eh, ngaca dulu kali kalo ngomong!"
187 Isi-Omen6.indd 187 Kenapa sih polisi ini selalu cool dan keren kalau bicara
dengan orang-orang lain, tapi di saat bicara denganku,
dia berubah jadi resek maksimal? Yah, mungkin salahku
juga. Aku punya kebiasaan suka memprovokasi orang,
tapi sebagai polisi yang sudah berpengalaman?bahkan
sudah berpangkat tinggi begitu?masa sih dia masih bisa
diprovokasi anak SMA imut dan manis seperti aku?
Aku sudah siap menambah balasanku lagi dengan
pedas saat melihat sekilas wajah di antara kerumunan
anak-anak di depan lapangan badminton.
Itu kan Eliza! Awalnya aku langsung lega karena tidak perlu mencaricarinya lagi. Bagaimanapun, aku perlu menanyai keber?
adaannya tadi pagi?mungkin hingga barusan?supaya
dia bersih dari kecurigaan orang-orang. Namun kelega?
anku hanya berlangsung sebentar. Mendadak aku berang
karena yang berdiri di sampingnya, tidak lain dan tidak
bukan adalah Nikki! Apa-apaan ini? Apa selama ini dia diam-diam masih
berteman dengan Nikki? Apa kecurigaan anak-anak ini
benar, bahwa memang Eliza ada kaitannya dengan
peristiwa ini? Tanpa basa-basi aku langsung menghampiri adik
kembarku itu. Aku bisa melihat raut wajahnya yang ter?
kejut seolah-olah tidak menduga aku bakalan memergoki?
nya. Bukannya menungguku meng?hampirinya, dia malah
meninggalkan kerumunan dengan kecepatan tinggi,
sementara Nikki si cewek-bermulut-nyaris-sobek berjalan
ke arah yang berlawanan, sehingga tidak mungkin bagi?
ku untuk mengejar dua-duanya. Ter?paksa aku harus me?
milih salah satu di antaranya. Tebersit dalam pikiranku,
188 Isi-Omen6.indd 188 seandainya ada Val bersamaku, aku tidak bakalan perlu
memilih sama sekali. "Eliza, tunggu!"
Namun adikku itu sama sekali tidak melambatkan
langkah. "Hei, tuli ya?!"
Akhirnya Eliza berhenti. Di luar dugaanku, saat ber?
balik, wajahnya tampak berang.
"Bagus sekali ya!" bentaknya. "Baru aja gue tinggal se?
bentar, lo udah bergabung lagi dengan anak-anak itu!"
Eh? Apa-apaan ini? Kok mendadak situasinya jadi
terbalik begini? "Gue bukannya bergabung sama mereka! Kan tadi ada
yang jerit-jerit, jadi gue langsung dateng ke TKP. Mana
gue tau mereka semua ikutan." Sial, kenapa aku malah
memberi penjelasan panjang lebar begini? "Lo sendiri
gimana? Barusan lo lagi sama Nikki, kan?"
"Ya," sahut Eliza ketus. "Terus kenapa? Memangnya
dia salah? Dia cuma ngasih tau gue soal lo yang ber?
akrab-akrab sama temen-temen lama lo lagi! Bagus deh,
lo boleh main sama temen-temen lama lo, tapi gue
nggak boleh main sama temen-temen gue. Jadi gue harus
gimana? Sendirian aja nungguin elo?"
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan
se?genap kesabaranku yang, omong-omong, cuma sedikit.
"Za, lo tau alasan gue nggak suka lo main sama Nikki..."
"Karena lo anggap dia jahat. Tapi, memangnya tementemen lo kagak jahat sama gue?"
"Whatever!" Sumpah, aku paling benci terlibat dalam
drama seperti ini! "Terserah deh lo mau gimana. Gue
kan udah ngikutin kemauan lo. Dan sekali lagi gue
189 Isi-Omen6.indd 189 tegesin, gue bukannya main sama mereka. Kebetulan aja
kami berada di tempat yang sama! Kalo lo masih mau
rengek-rengek, silakan, tapi lo lakukan sendiri. Gue mau
pergi aja!" Tanpa menunggu jawabannya, aku pun berjalan pergi.
Tak lama kemudian aku mendengar langkahnya di
sampingku. "Iya deh, jangan marah," ucapnya. "Gue cuma nggak
mau kita musuhan kayak dulu lagi. Dan entah kenapa,
rasanya kok hubungan kita rapuh banget, gampang
hancur hanya karena campur tangan pihak lain. Padahal,
kita kan sedarah." Aku tidak bisa membantahnya. Habis, aku juga me?
rasakan hal yang sama. Aku tahu, kalau aku berkeras
sesuai dengan tabiatku yang biasa, sudah pasti kami akan
kembali bermusuhan seperti dulu lagi. Padahal kali ini
aku sudah berjanji akan mempertahankan keluarga?ku
dengan sekuat tenaga. Karena itu aku akan terus bertahan, sekalipun aku
tidak menyukai kondisi ini sama sekali.
190 Isi-Omen6.indd 190 Valeria Guntur Semua orang hanya bisa melongo saat Erika tiba-tiba
meninggalkan kami. "Kenapa Erika mendadak pergi begitu?"
Alih-alih merasa tersinggung, Inspektur Lukas tampak
keheranan?dan agak kecewa. Sesuai pengamatanku,
entah kenapa para penegak hukum?baik polisi maupun
guru piket?sangat menyukai Erika.
"Eh, itu Nikki bukan yang di sebelah Eliza?" celetuk
Aya tiba-tiba. Aku melihat Erika mencoba menghampiri Eliza, na?
mun adik kembarnya itu malah kabur, sementara Nikki
bergerak ke arah yang berlawanan. Mendadak aku tahu
apa yang harus kulakukan.
"Kalian semua tunggu di sini ya," ucapku pada temantemanku. "Biar gue yang ngurus semua ini."
Tanpa menunggu jawaban lagi, aku pun pergi me?nyusul
Nikki. Dengan diam-diam, tentu saja, soalnya aku kepingin
tahu apa yang akan dia lakukan setelah melihat insiden ini.
Tertawa keras-keras seorang diri? Me?nyom?bong?kan hal itu
pada temannya? Menelepon seseorang?
191 Isi-Omen6.indd 191 Jantungku berdebar-debar memikirkan kemungkinan
itu. Kalian ingat ceritaku mengenai siapa dalang kejahat?
an di sekolahku akhir-akhir ini? Ya, orang itu tidak lain
dan tidak bukan adalah ibuku sendiri. Sementara kaki
tangannya di sekolah ini tidak lain adalah cewek yang
kubuntuti saat ini, Nikki.
Salah satu kenangan masa laluku yang baru saja ter?
ingat lagi olehku adalah kebencian dan permusuhan
Nikki yang ditujukan padaku. Rupanya, dulu sekali, kami
pernah bertemu. Nikki adalah anak dari pelayan ke?per?
cayaan ibuku. Mereka berdua juga ikut pergi saat ibuku
meninggalkan rumah ini?tentu saja dengan se?demikian
rupa sehingga kepergian mereka tidak dicurigai oleh
ayah?ku. Tidak dinyana, ibu Nikki meninggal dunia, lalu
Nikki diangkat anak oleh ibuku dan dibesarkan oleh?
nya. Setelah menghabiskan bertahun-tahun bersama, aku
yakin ibuku dan Nikki memiliki hubungan yang erat.
Terkadang aku bahkan bertanya-tanya, apakah suatu hari
nanti ketika harus memilih, ibuku akan memilih Nikki
ketimbang aku? Tentu saja, setiap orang yang menjalani
hidup normal akan berkata, seorang ibu pasti akan lebih
memilih putri kandung ketimbang putri angkatnya. Tapi
ibuku bukanlah ibu yang normal. Beliau memiliki
riwayat penyakit mental yang cukup berat, dan itulah
yang membuat beliau kini tidak segan-segan men?celaka?i
banyak orang demi mencapai tujuannya, yaitu membalas
dendam kepada ayahku yang dianggap?nya sudah me?
nyengsarakan hidupnya. Setelah menyatakan bahwa aku tidak ingin ikut serta
dalam rencananya itu, aku cukup yakin ibuku meng?
192 Isi-Omen6.indd 192 anggapku berpihak pada ayahku. Yah, bukannya anggap?
an itu salah sih. Kalau bisa, aku tidak ingin memihak
dalam pertengkaran orangtuaku, tapi ketika mereka mulai
melibatkan diriku, aku hanya punya dua pilihan: me?
milih salah satu atau meninggalkan keduanya. Dan tidak
mungkin aku meninggalkan ayahku setelah semua yang
sudah dialami beliau, kan?
Untunglah saat ini waktu istirahat sekolah masih ber?
langsung. Meski harus menjaga jarak cukup jauh, aku
bisa membuntuti Nikki tanpa terdeteksi oleh cewek itu.
Bukannya Nikki tidak waspada. Sebaliknya, cewek itu
benar-benar parno. Setiap dua atau tiga detik dia me?
noleh ke belakang dengan mata memancarkan sorot buas
yang mengingatkanku pada hyena gila dalam film The
Lion King. Mana sekarang rambutku yang merah manyala
mem?buatku sulit berbaur di antara murid-murid lain.
Tapi untunglah, selalu ada semak-semak atau pohon
yang bisa kujadikan tempat bersembunyi. Sekolah yang
asri memang memiliki keuntungan tersendiri.
Nikki membelok ke kantin, lalu menduduki se?buah
meja, membuatku kecewa. Apakah semua kecurigaanku
salah? Tapi... ini tidak mungkin. Tidak mungkin Nikki
hanya kebetulan berada di situ. Tidak mungkin dia tidak
memiliki hubungan apa pun dengan insiden itu...
Mataku tertuju pada cowok yang duduk memunggungi
Nikki. Tidak salah lagi, itu kan Damian!
Teman-temanku, termasuk Erika, tahu bahwa Damian
adalah cowok jahat. Namun seperti apa dia sebenarnya,
tidak ada yang lebih tahu dariku. Seperti Nikki, Damian
juga anak angkat ibuku. Sejak kecil Damian sudah harus
menjalani hidup susah bersama ibunya yang selalu sakit193
Isi-Omen6.indd 193 sakitan dan adik yang nakal. Saat ber?anjak remaja,
adiknya hamil di luar nikah. Hanya karena keterbatasan
biayalah yang membuat adiknya itu me?lahirkan bayi
yang kemudian ditinggalkannya begitu si ibu sudah
sehat kembali. Kalau bukan karena bantuan ibuku, sudah
pasti Damian harus putus sekolah demi mengurusi
keluarganya. Tidak heran kini dia sangat setia pada ibu?
ku, bahkan tidak segan-segan memusuhi kami. Prince of
Evil, demikianlah kami diam-diam menjulukinya.
Menurut pendapatku, sebenarnya Damian tidak sejahat
Nikki. Lebih jelas lagi, dia sebenarnya tidak jahat. Hanya
saja, dia memang badung. Kalau dibanding-bandingkan,
dia bagaikan Erika versi cowok. Sama brutal dan ganas,
hanya saja Erika tidak selicik Damian yang sangat pandai
menggunakan daya tariknya. Bahkan Putri Badai yang
sedingin dan searogan Gunung Everest pun tidak kebal
dari pesonanya (jangan bilang-bilang aku berpendapat
be?gitu ya, bisa-bisa aku disate cewek menyeramkan
itu). Sayang sekali, karena utang budinya pada ibuku,
Damian menganggap ibuku orang paling baik hati di
dunia dan semua keinginan ibuku harus diwujudkan
oleh?nya. Segala rencana jahat ibuku dimakluminya ka?
rena ibuku pasti punya alasan yang belum dia ketahui.
Kalau dipikir-pikir lagi, dalam sejarah, seorang raja be?
reputasi buruk pun memiliki bawahan-bawahan yang
berjiwa baik. Nobunaga dari Jepang memiliki Hideyoshi
yang ber?hasil menyatukan Jepang dan mendapat julukan
Taiko. Cao Cao dari Tiongkok memiliki tabib Hua Tuo
yang legendaris. Raja Louis dari Prancis bahkan memiliki
pasukan Musketeers yang terkenal itu.
194 Isi-Omen6.indd 194 Oke, sekarang bukan saatnya aku mengingat-ingat
pelajaran sejarah. Lebih baik aku duduk sedekat mungkin
dengan kedua orang itu. Meski posisi mereka saling mem?
belakangi, aku yakin mereka sebenarnya sedang bercakapcakap. Memang sih, zaman sekarang segala percakapan
rahasia sebaiknya dilakukan dengan menggunakan media
chat seperti BBM, Line, Kakao, dan sejenisnya, tetapi di
sekolah kami yang sederhana ini, sinyal-sinyal sering
mendadak lemot. Tidak heran orang-orang lebih memilih
bicara langsung daripada mengirim pesan-pesan yang
baru tiba sepuluh menit kemudian.
Aku tidak berhasil menemukan tempat duduk yang
cukup dekat untuk menguping. Terpaksa aku pura-pura
menjatuhkan barang lalu mencari-cari benda khayalan
tersebut di bawah meja. "...Gue nggak suka lo deket-deket gue siang bolong
begini." "Lo kira gue seneng ketemuan sama elo dengan cara
begini?" Aku mendengar Nikki membalas ketus ucapan di?
ngin Damian. "Tapi kalo via hape, di sekolah kita sering
nggak ada sinyal. Kalopun berhasil, entah kapan baru lo
jawab. Sebenarnya lo niat nggak sih bantuin Mama?"
Hatiku serasa tersengat menyadari Mama yang di?
maksud Nikki adalah ibuku.
"Tentu saja mau. Hanya saja, gue nggak suka rencana
lo." "Suka atau nggak suka, lo nggak punya pilihan. Me?
mang?nya lo punya rencana yang lebih bagus?"
Damian terdiam lama. "Jadi kali ini apa?"
"Lebih seru dari terakhir. Gue..."
Akhirnya! Apa Nikki akan mengakui perbuatannya saat
195 Isi-Omen6.indd 195 ini? Dengan penuh semangat aku mengeluarkan ponsel?


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku dan menyalakan alat perekam voicenote. Kalau semua?
nya berjalan baik, lima menit lagi Nikki bakalan diciduk
oleh Inspektur Lukas, dan sekolah kami akan ter?bebas
dari kutukan?setidaknya untuk sementara waktu sampai
muncul Nikki-Nikki baru. Aku mendongak untuk
menyesuaikan letak ponsel dengan posisi dua orang
itu. Dan menemukan Damian tengah menatapku.
Ups! Cowok itu mengerutkan alis dan menggerakkan wajah?
nya sedikit. Apa sih maksudnya? Jangan-jangan, dia
ingin menyuruhku pergi sebelum ketahuan partner-nya
yang mengerikan itu? Apa dia memang sebaik itu? Tapi,
haruskah aku pergi sekarang? Aku kan belum men?dapat?
kan apa-apa! Tapi ngeri juga kalau sampai ketahuan Nikki. Bisa
berabe urusannya. Oke deh, aku akan kabur sekarang,
secepatnya... "Waduh, lihat! Ada kucing yang sedang mencuri dengar
diam-diam." Sialan, pelarianku gagal! Lebih bete lagi, aku dikatain
kucing yang mencuri dengar. Tapi setidaknya kucing
masih lucu, beda dengan hyena kurap keparat.
Aku berdiri seraya menepuk-nepuk lututku yang ber?
debu, lalu memasang muka sepolos mungkin saat mem?
balas tatapan Nikki yang curiga. "Mencuri dengar apa?
Ada barang gue yang jatuh kok!"
"Barang apa?" tanya Nikki sambil menyipitkan mata,
seolah-olah hendak membaca perasaan hatiku. Maaf ya,
tapi aku ini salah satu anggota Klub Drama yang terbaik.
196 Isi-Omen6.indd 196 Kalau aku memasang muka polos, dunia pasti akan meng?
anggapku sama imutnya dengan si Tudung Merah.
"Nih," sahutku seraya menggoyangkan ponsel di
tangan?ku. "Sekarang gue lagi ngecek, ponselnya masih
jalan apa nggak." Gila, kalau begini caranya, bisa-bisa
aku yang kena tuduh macam-macam sementara dia se?
benarnya yang bersalah! Oke, aku harus bertindak dulu.
"Oh ya, Nikki, omong-omong, di mana elo tadi pagi?"
Nikki tampak menahan senyum?hal yang membuatku
merasa lega. Habis, senyum cewek ini benar-benar tidak
menyenangkan. "Pertanyaan yang nggak sopan banget
untuk seorang murid baik-baik seperti gue. Ya tentu saja
gue belajar di kelas dong."
"Beneran?" "Kalo nggak percaya, silakan tanya temen-temen se?
kelas gue." Aku memutar otak, dan tidak menemukan satu orang
pun yang kukenal di kelas XI IPS 2. Meski begitu, aku
tidak bisa menelan ucapannya begitu saja. Mungkin aku
terdengar menghakimi, namun aku sudah terlalu banyak
berurusan dengan Nikki, dan semua urusan itu mem?
buktikan dia cewek yang sama sekali tidak polos dan
tidak bisa dipercaya. Jadi kalau aku sampai memercayai
ucapannya hanya karena dia tampak tenang dan tidak
merasa bersalah, itu berarti aku goblok banget dan ke?
lewat naif. "Iya, nanti akan gue tanya. Nggak sulit kok
nyari tau lo bohong atau nggak. Lo sendiri di mana,
Damian?" "Gue sih di luar gerbang sekolah," sahut Damian, "di
Warung Sate Hannibal Lecter. Kalo lo nggak percaya,
silakan tanya abang satenya."
197 Isi-Omen6.indd 197 "Asal lo tau aja, si abang lebih suka sama gue daripada
elo," ancamku, "jadi dia pasti jujur sama gue."
"Nggak masalah." Damian mengibaskan tangannya.
"Tapi yang jelas, mungkin dia lebih suka sama elo, tapi
dia lebih takut sama gue."
Cowok ini benar-benar belagu dan sok hebat. Tapi
kurasa dia memang berkata jujur. Setidaknya, begitulah
yang kutangkap dari percakapan singkat antara dia dan
Nikki yang sempat kucuri dengar.
"Udah puas interogasinya?" tanya Nikki dengan nada
manis yang jelas-jelas sinis banget. "Kalo udah, gue
boleh pergi, Tuan Putri?"
"Ya," sahutku dengan nada sama manisnya. "Silakan
pergi. Keep in mind, gue akan selalu mengawasi kalian."
Mendengar ucapanku, Nikki pun menyunggingkan
senyum. Senyum yang sangat lebar, yang membuat mu?
lut?nya seolah-olah robek akibat senyum itu. "Uh, takut.
Iya deh, kami nggak akan berbuat nakal. Janji."
Jantungku masih berdebar keras saat kedua orang itu
meninggalkanku. Nikki benar-benar menakutkan. Kalau
bisa, aku tidak ingin berhadapan dengannya. Namun
apa daya, sekarang aku sudah tahu watak aslinya. Tak
mung??kin aku berpura-pura menganggapnya tidak ber?
salah. Yang kusayangkan adalah, aku tidak sempat men?
dengar apa-apa dari percakapan mereka. Tapi tidak apaapa. Aku akan bersabar. Dari pengalaman aku tahu, tidak
ada rencana yang sempurna?dan jelas tidak ada rencana
ke?jahatan yang sempurna. Seberapa pun pintarnya me?
reka menutupi kejahatan, pasti akan ada celah. Pasti
akan ada kesalahan atau kecerobohan yang mereka
198 Isi-Omen6.indd 198 lakukan. Yang perlu aku lakukan hanyalah bersikap se?
waspada mungkin. Seandainya saja Erika masih bersamaku, semua ini akan
lebih mudah untuk dipecahkan. Berkat daya ingat foto?
grafisnya, dia bisa memperhatikan hal-hal kecil yang jarang
dilihat orang lain. Untuk pertama kalinya aku tidak bisa
mengandalkan kemampuannya itu. Tapi se?balik??nya, kini
aku juga punya Rima Hujan sang Peramal, Putri Badai si
Hakim Tertinggi, dan Aria Topan si Ma?kelar. Memang tidak
sama dengan Erika yang sudah ber?samaku sejak awal, tapi
kurasa kerja sama kami juga tidak buruk. Mengutip istilah
yang digunakan ayahku, sepertinya kami punya tingkat
sinkronisasi yang cukup baik.
Semoga saja kami sanggup membongkar kasus ini se?
cepatnya. Sebelum korban bertambah lagi.
Aku menghela napas dan membalikkan badan.
Dan menemukan Putri Badai sedang memandangiku.
"Kamu nggak diapa-apain kan sama mereka?" tanyanya
dengan wajah tanpa ekspresi.
Aku tersenyum. "Dia nggak akan berani macam-macam
di depan umum gini. Ngapain lo ngikutin gue?"
"Tentu saja karena cemas," tukasnya. "Tugas mengikuti
Nikki itu nggak bisa dilakukan oleh satu orang aja. Kamu
tau sendiri betapa berbahayanya dia."
"Gue tau." Untuk pertama kalinya aku merangkul
Putri Badai. "Thank you, udah jagain gue."
Cewek yang biasanya dingin itu tampak salah tingkah.
Dia tampak tidak nyaman dirangkul begini. Tapi itu
tidak berarti dia tidak menyukainya, kan? "No problem.
Ayo, kita kembali ke lapangan badminton. Masih ada
Rima yang harus kita tanyai."
199 Isi-Omen6.indd 199 Pada saat tiba kembali di lapangan badminton, aku
me?nemukan Rima tengah diinterogasi oleh Daniel dan
Aya. Cewek itu tampak menyedihkan dikeroyok begitu,
tapi setidaknya Inspektur Lukas sudah pergi. Hanya ada
beberapa bawahannya masih berjaga-jaga di lapangan.
Tatapan Daniel jatuh padaku saat aku mendatangi me?
reka, dan aku memberinya isyarat untuk pergi. Meski
dengan tampang berat hati, cowok itu menurut. Aku me?
lihatnya berbisik pada Rima, mungkin untuk ber?pamitan,
lalu meninggalkan kami semua.
"Hai," sapaku seraya menyeruak di antara Rima dan
Aya. "Kami ketinggalan info baru nggak?"
"Belum," sahut Aya muram sambil melirik Rima. "Dia
masih belum mau cerita apa-apa."
"Rim," aku memegangi kedua tangan Rima yang
menyatu di atas lututnya, "cerita dong. Memangnya ada
apa sih? Rahasia banget ya? Habis, kayaknya lo lebih rela
jadi tertuduh begini daripada ceritain apa yang lo laku?
kan tadi pagi." Rima terdiam lama. "Iya, masalah personal soalnya."
"Masalah personal," dengus Putri Badai. "Memangnya
itu jawaban?" "Yah, dari tadi dia jawabnya gitu melulu." Aya meng?
hela napas. "Pastinya bukan tentang Daniel, karena
cowok itu kelihatan goblok waktu gue labrak tadi. Jadi
kemungkinan lainnya adalah masalah..."
Aya mendadak terdiam, tapi aku tahu kata apa yang
ingin diucapkannya. Keluarga. Meski sudah lama berteman dengan Rima, tidak sekali
pun dia bercerita tentang keluarganya. Meski begitu, aku
200 Isi-Omen6.indd 200 bisa menduga dari bekas luka di wajahnya?yang disem?
bunyikan dengan menggunakan tirai rambutnya yang
seram itu?Rima pasti pernah menjadi korban kekerasan
yang cukup brutal. Aku bertanya-tanya, apakah keluarga?
nya sendiri yang berbuat jahat padanya. Akan tetapi,
tidak peduli seberapa seringnya aku mencoba memancing
pembicaraan mengenai topik ini, Rima tidak pernah
menanggapinya. Pada akhirnya, aku tidak pernah ber?
tanya lagi. Tapi kali ini berbeda. Rima sudah dituduh melakukan
kejahatan. Kalau dia tetap berkeras membungkam, bisabisa dia jadi kambing hitam sungguhan.
"Rima," aku mencoba membujuk lagi, "lo tau kan,
baik lo diem maupun ceritain, kami akan tetap belain lo
abis-abisan. Tapi kalo lo cerita, kan kami juga lebih pede
ngomong sama Inspektur Lukas."
Rima diam lagi. "Maaf ya, aku tetep nggak bisa bilang.
Kalo kalian keberatan, ya aku ngerti kok. Biar aku yang
selesaikan masalah ini sendiri..."
"Enak saja!" sergah Putri Badai. "Kamu tau nggak sih
yang namanya teamwork? Mana mungkin kami biarin
kamu sendirian..." "Oke, nggak apa-apa," aku menyela ucapan Putri Badai.
Ketiga temanku menatapku dengan muka blo?on.
"Mau gimana lagi? Kita nggak bisa maksa dia cerita,"
jelas?ku dengan suara rendah. "Rima berhak punya raha?
sia pribadi, dan sebagai temen-temennya, kita wajib res?
pek. Lagian, kita semua tau dia nggak bersalah. Cukup
itu aja kan yang perlu kita ketahui? Lagian, kalo kalian
pu?nya rahasia pribadi, memangnya kalian mau kami
maksa kalian mengakui rahasia itu?"
201 Isi-Omen6.indd 201 Aya mengamatiku. "Kenapa gue punya perasaan lo
juga punya rahasia yang ingin lo simpen?"
Aku berusaha menyembunyikan kekagetanku. Cewek
ini memang tidak percuma menyandang gelar si Makelar.
Kecerdikannya memang jauh di atas rata-rata. Rasanya
aku ingin berpaling supaya dia tidak bisa membaca isi
hatiku, bagaimana aku tidak ingin mereka tahu, bahwa
otak dari semua kejahatan yang dilakukan di sekolah
kami adalah ibuku sendiri. "Tentu dong, gue punya
rahasia. Memangnya kalian nggak punya?"
"Memang sih," sahut Aya ringan. "Oke, gue nggak
akan tanya lagi, Rim. Don?t worry. Ya nggak, Put?"
Putri Badai hanya memasang tampang masam saat
kami semua memandanginya dengan wajah penuh harap
(dan setengah memaksa). "Memangnya aku punya pilih?
an apa lagi? Kalo terserah aku sih, kamu nggak akan le?
pas segampang ini, Rim."
Rima mengangguk. "Aku bener-bener menghargai ini.
Thanks ya, semua." "Nggak perlu thanks-thanks," tukas Putri Badai. "Aku
me?lakukan ini juga bukan dengan tulus kok."
"Kalo gue sih tulus," kata Aya sambil menunjuk kedua
pipi?nya, "jadi bolehlah lo berterima kasih, mungkin de?
ngan traktir barang satu-dua kali. Makanan kantin juga
no problemo kok. Gue orangnya gampangan."
"Yang penting niatnya," ucapku pada Putri Badai.
"Nggak rela tapi tetap melakukan, itu namanya pengorban?
an." Putri Badai melirikku, lalu melengos. Tapi aku bisa me?
lihat senyum tipis yang membayang. Yah, baguslah. Se?
tidak??nya sekarang semua orang sudah berdamai kem?bali.
202 Isi-Omen6.indd 202 "Sekarang waktunya kamu cerita gimana pengalaman?
mu membuntuti Nikki," ucap cewek dingin itu tiba-tiba.
"Tadi kamu belum cerita apa-apa, kan?"
"Karena nggak ada yang bisa gue ceritain," sahutku
muram. "Waktu gue lagi kepingin merekam pembicaraan
mereka, tau-tau aja gue ketauan."
"Rookie mistake." Aya tersenyum pongah seolah-olah
dia sendiri seorang pakar dalam hal kuping-menguping.
"Dalam kondisi kayak gitu, jangan pernah berpikir untuk
ngerekam macam-macam. Udah bagus lo bisa denger
pem?bicaraan mereka. Dengan begitu kita bisa tau ren?
cana mereka, lalu menangkap basah mereka pada saat
me?lakukan kejahatan. Kalo lo mendapat kesempatan me?
rekam, setelah mengatur alatnya, lo harus jauh-jauh dari
alat perekam itu. Jadi kalo lo ketauan, alat perekam lo
tetep aman." Sial. Aya benar juga. Seharusnya aku tidak buru-buru
mengumpulkan bukti, apalagi memegangnya sembari me?
nguping. Tambahan lagi, posisiku tadi cukup terbuka dan
gampang ketahuan, sementara lawan kami bukan orang
sembarangan. Aku memang bodoh.
"Maaf," gumamku malu.


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak apa-apa." Aya menepuk bahuku. "Itu tandanya
elo memang kagak sempurna."
"Tapi apa pun yang terjadi, kita nggak bisa me?no?
lerir kesalahan lagi," tegas Putri Badai. "Rima sudah
di?anggap tersangka. Kalo kita nggak cepat-cepat me?nye?
lesaikan kasus ini, bukan hanya bertambah banyak
murid-murid sekolah kita yang menjadi korban, tetapi
posisi Rima juga akan semakin gawat. Aku curiga,
untuk ke depan?nya, akan ada lebih banyak bukti lagi
203 Isi-Omen6.indd 203 untuk me?ngambing?hitamkan Rima. Jadi kita harus ber?
tindak cepat." "Masalahnya," ucap Aya murung, "memangnya apa
yang bisa kita lakukan sekarang?"
Bahkan Rima pun, yang merupakan ahli strategi di
antara kami, tidak sanggup menjawab pertanyaan se?
derhana itu. "Sudahlah," ucapku. "Untuk sementara kita jangan
pikirkan dulu. Kejadian tadi pasti udah bikin kita semua
kacau-balau. Mungkin setelah satu atau dua hari, pikiran
kita bisa lebih jernih dan kita bisa mikirin rencana yang
bagus." Semua menyanggupi kata-kataku. Namun berhubung
tidak ada yang bernafsu meneruskan makan siang, kami
semua kembali ke kelas masing-masing. Lantar?an punya
kelas yang sama, aku berjalan ber?sama Rima.
"Jangan depresi ya, Rim," hiburku padanya. "Kita pasti
bisa pecahkan kasus ini."
Rima mengangguk, tapi tidak menyahut sepatah kata
pun. Kuduga dia sebenarnya lebih shock daripada yang
ditampakkannya. Mendadak ponselku bergetar. Aku mengeluarkan benda
itu dan mengeceknya. Rupanya ada sebuah e-mail yang
dikirim untukku. Namun alamat e-mailnya tidak ku?
kenali. "Dear Val, dari seseorang yang dekat di hatimu."
Dekat di hatiku? Les-kah?
Aku membuka e-mail itu, namun ternyata isinya ko?
song. Yang ada hanyalah sebuah voicenote berukuran ke?
cil. Aku menahan senyum, membayangkan Les merekam
suaranya sendiri untukku. Rekaman itu pasti bakalan
204 Isi-Omen6.indd 204 membuat perasaanku lebih baik. Aku pun membuka file
rekaman suara itu. Kasih ibu kepada beta Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia...
Suara nyanyian anak kecil itu menggema di koridor
se?kolah?ku, membuat seluruh tubuhku langsung gemetar?
sampai-sampai aku menjatuhkan ponselku. Rima yang
berjalan duluan segera kembali dan membantuku me?
mungut benda yang masih terus mengeluarkan suara
ter?kutuk itu. "Valeria?" tanyanya cemas. "Ada apa?"
Aku sama sekali tidak sanggup menjawab.
Mana mungkin aku bisa memberitahunya, bahwa
rekaman suara itu adalah rekaman suaraku sendiri ketika
masih kecil? 205 Isi-Omen6.indd 205 Putri Badai Salah satu hal yang paling sulit dibendung di dunia ini
adalah gosip. Tidak peduli bagaimana semua orang yang berke?pen?
tingan menutupi kejadian itu, pada akhirnya semua
murid tahu juga apa yang terjadi pada Tini. Ke mana
pun aku pergi, aku selalu mendengar bisik-bisik tentang
wajah dan tubuh yang dijahit, kutukan yang menimpa
Pekan Olahraga, dan Rima Hujan sebagai tersangka.
Oceh?an mereka terdengar bodoh, tentu saja. Seperti kata
Socrates, "Strong minds discuss ideas, average minds discuss
events, weak minds discuss people."
Bu Rita salah besar dengan mengira penyelidikan ter?
tutup tidak bakalan menimbulkan kegemparan. Ke?nyata?
annya, berita tidak penting seperti siapa memacari siapa
saja sudah membuat murid-murid sekolah kami bergosip
dengan seru, apalagi kejadian sehebat ini.
Di sisi lain, bukannya segala gosip itu tidak berguna.
Inspektur Lukas tidak mau memberitahukan penemuan?
nya pada kami dengan alasan penyelidikan masih
berlangsung?tidak adil, soalnya kami diharuskan mem?
206 Isi-Omen6.indd 206 beritahukan hasil penyelidikan kami?jadi kami terpaksa
me?nyelidiki sendiri. Hanya dalam waktu setengah hari
aku sudah mendapatkan banyak info. Dari beberapa pem?
bicaraan yang kucuri dengar, aku menyimpulkan bahwa
Preti, cewek aneh yang menuduh Rima sebagai pe?laku,
ternyata hanya melihat sosok tinggi kurus berambut
sangat panjang melintas di luar pagar kawat saat dia
melewati jalan kecil yang menghubungkan ruang ganti
dengan lapangan badminton. Tidak ada bukti lain yang
bisa mendukung ucapannya itu, sehingga tuduhan?nya
itu sebenarnya tidak berdasar. Akan tetapi, menurut pen?
dapat umum, Rima punya motif karena sering diper?sulit
Tini, Preti, dan teman-teman lain di Klub Kesenian. Bagi
mereka, itulah cara Rima membalas dendam pada
anggota-anggota Klub Kesenian.
Aku juga berhasil menyelidiki alibi setiap orang yang
kucurigai?dan sayangnya sejauh ini semuanya tidak
mem?buahkan hasil yang menyenangkan. Sesuai pengaku?
an?nya, Nikki memang berada di dalam kelas?terbukti
dari absensi dan tugas yang dikumpulkan. Damian, me?
nurut tukang sate yang sepertinya cukup jujur?terutama
setelah ditakut-takuti Rima yang tingkat keseramannya
bertambah beberapa level di tengah warung yang hanya
diterangi lampu minyak?memang sedang bersamanya
pada saat kejadian sedang berlangsung (bahkan dia me?
nunjukkan bon berisi daftar makanan dan harga yang
dihabiskan Damian waktu itu, yang, omong-omong,
lumayan besar jumlahnya). Sedangkan Eliza sempat
meng?habiskan sebagian besar waktunya di ruang kantor
kepala sekolah, dan hal ini dikonfirmasi sendiri oleh Bu
Rita. 207 Isi-Omen6.indd 207 Apa ada orang lain lagi yang bertindak? Kalau iya,
siapa? Aku tidak sanggup menghilangkan kecurigaanku saat
bertemu Damian di rumah OJ. Pada saat kami hendak
pulang, cowok itu masih berada di dalam rumah OJ
selama beberapa waktu yang cukup lama. Jangan-jangan
dia berhasil menemukan format pertandingan yang kami
permak malam itu, lalu menyalinnya atau apa sajalah,
ke?mudian menggunakannya sebagai acuan untuk me?
nyebabkan kecelakaan ini. Maksudku, daftar nama atlet
badminton kan baru diumumkan pada saat Tini di?
celakai. Lebih tepatnya lagi, Tini dicelakai bahkan se?
belum daftar nama atlet badminton diumumkan. Jadi
pelakunya pasti sudah tahu Tini akan ikut serta dalam
pertandingan sebelum nama-nama diumumkan.
Tidak salah lagi. Tidak peduli apa kata tukang sate,
Damian pasti terlibat. Aku harus bicara padanya.
Eh, tunggu dulu. Ini semua bukan alasan yang ku?
karang-karang hanya supaya aku bisa bicara lagi dengan
Damian. Apa pun perasaanku dulu pada si cowok iblis
ter?sebut, aku tidak berniat lagi meneruskannya. Lagi
pula, aku sangat yakin, sikap Damian padaku yang sok
romantis dan lebay banget di rumah OJ, seolah-olah dia
belum bisa melupakanku, hanyalah strategi licik cowok
itu untuk membuatku lupa fokus. Mungkin dia lupa
bahwa lawannya adalah Putri Badai si cewek dingin yang
hatinya tidak gampang tergerak atau, menurut beberapa
orang, kemungkinan besar memang tidak punya hati.
Mana mungkin aku jatuh dalam jebakan sebodoh itu?
Jadi kalian tidak usah salah paham. Aku tidak bikin-bikin
208 Isi-Omen6.indd 208 alasan kok. Aku memang harus bicara dengannya. Asal
tahu saja, sebenarnya aku malah memandang rendah
cowok goblok yang bisa-bisanya bersekutu de?ngan cewek
jahat. Aku tidak peduli apa hubung?an mereka, meski
menurutku mereka rada men?curigakan. Menurutku
Damian sebenarnya tidak suka pada Nikki. Tidak mungkin
dia suka pada cewek se?culas itu. Memang sih Nikki punya
gaya keren ala cewek-cewek K-pop, tapi fisik kan tidak
berarti segalanya. Ya tidak? Ya tidak?
Oke, mungkin aku kedengaran nyolot, tapi sekali lagi
ku?tegaskan: aku tidak berniat berurusan lagi dengan
Damian. Sedikit pun aku tidak peduli dengan siapa pun
yang disukai cowok itu. Silakan saja dia mau suka pada
Nikki kek, Nikko kek, pokoknya itu bukan urusan?ku
sama sekali... "Putri...." Rasanya jantungku nyaris copot saat mendengar suara
rendah itu. Aku menoleh dan mendapatkan Damian
berdiri di depanku. Kenapa sih dia bisa muncul men?
dadak begitu? Apa dia tidak tahu, orang yang jan?tung?
nya lemah bisa mati kalau dikagetkan begitu? Yah,
jantungku sih lumayan kuat, tapi tetap saja, aku kaget
banget sampai rasanya mau pingsan.
Bukan karena aku masih menyimpan perasaan pada?
nya. Kalau ada yang berani menuduhku begitu, akan
kujotos mukanya sampai tidak berbentuk lagi.
Gawat. Jantungku berdebar-debar tidak keruan. Rasa?
nya terdengar begitu keras, sampai-sampai aku takut
Damian juga mendengarnya. Mana saat ini ruangan kelas?
ku sudah kosong melompong. Maklumlah, begitu bel
pulang berbunyi, semua murid tidak sabar untuk keluar
209 Isi-Omen6.indd 209 dari kelas secepatnya. Hanya aku yang masih berada di
dalam kelas lantaran tertahan oleh tugas-tugas sebagai
ketua kelas. Dan kini ada Damian juga.
"Apa?" bentakku. "Jangan abis-abisin waktuku. Aku
ba?nyak pekerjaan, tau?"
"Tapi lo yang manggil gue ke sini."
Oh ya, aku lupa. Kenapa aku bisa lupa hal sepenting ini?
Biasanya aku tidak seceroboh ini. Lagian, ini kan Damian.
Seharusnya aku memasang gaya supercool saat ber?temu
dengannya dan tidak malu-maluin sedikit pun.
"Apa gue salah waktu?" Cowok itu mengerutkan alis.
"Sori, gue pikir sekarang. Kalo memang bukan..."
"Sudahlah!" Sebelum dia sempat mengeluarkan ponsel?
nya dan mengecek pesan yang kukirim padanya, aku
segera membentak supaya dia tetap mengira ini adalah
kesalahannya. Kalau nanti-nanti dia menyadari aku yang
salah, peduli amat. Kejadiannya sudah lewat kok. "Mum?
pung sudah ketemu, kita selesaikan saja semuanya!"
"Selesaikan apa?" tanya cowok itu seraya mengangkat
alis?. Kurang ajar, kenapa sih dia ganteng banget?!
"Memangnya ada sesuatu di antara kita yang perlu di?
selesaikan?" "Ya ada dong!" ketusku sambil berusaha mem?
bayangkan sesuatu yang tidak keren tentang Damian.
Se?perti bau ketiaknya saat ini. Cowok itu sedang ber?ke?
ringat, jadi bau ketiaknya pasti sedang dahsyat-dahsyat?
nya. Tapi sial, tampangnya waktu berkeringat keren ba?
nget. "Aku hanya ingin tau satu hal. Aku harap kamu
mau jawab sejujurnya."
Mendadak cowok itu tampak waswas. "Tentang apa?"
210 Isi-Omen6.indd 210 "Tentang apa yang kamu lakukan di rumah OJ waktu
kami pulang." "Oh, itu." Aneh, cowok itu berubah santai kembali.
Me?mangnya apa yang dia kira hendak kutanyakan? "Kan
lo juga tau waktu itu gue di toilet. Kebetulan gue rada
mules abis ngobrol sama elo, jadi..."
"Nggak usah dijelaskan panjang lebar," ucapku dengan
nada jijik. Rupanya tidak butuh usaha untuk mem?bayang?
kan sesuatu yang tidak keren tentang Damian. Tanpa
diminta cowok itu merusak imejnya sendiri. "Lagian aku
rasa kamu bohong." "Bohong?" senyum cowok itu. "Memangnya lo pikir
gue ngapain waktu kalian semua nggak ada?"
Hmm, dia memancing. Sayang, aku terlalu cerdik un?
tuk terjebak kata-katanya. "Aku curiga, kamu rada naksir
dengan mamanya OJ." Kini mata cowok itu nyaris keluar saking kagetnya.
"Apa?!?" "Memangnya aku salah?" tanyaku seraya mengangkat
bahu dengan gaya meremehkan. "Tipemu kan wanitawanita yang lebih tua gitu. Waktu itu aku pernah me?
mergokimu dengan wanita yang sepertinya akrab dengan
keluargamu. Lalu waktu di rumah OJ, sepertinya kamu
asyik menggoda mamanya OJ!"
"Enak aja!" sergah cowok itu jengkel. "Memangnya
kapan gue godain nyokapnya OJ?"
"Aku nggak akan nyalahin kamu," aku memasang tam?
pang polos. "Mamanya OJ memang cantik dan ramah.
Sementara kamu berusia tujuh belas tahun tapi mirip
cowok berusia tiga puluh tahun, beliau kelihatan baru
berusia dua puluhan..."
211 Isi-Omen6.indd 211

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lo gila ya? Mana mungkin gue kelihatan kayak tiga
puluh tahun!" Hihihi. Ternyata cowok juga sensi kalau dikatain lebih
tua. "Coba aja kamu ngaca kalo kamu nggak percaya.
Tapi itu nggak penting. Yang lebih penting adalah, saat
itu kamu berusaha menggoda mamanya OJ. Bener
nggak? Ayo, ngaku!" Cowok itu menatapku seolah-olah ingin menelanku.
"Hei, gue memang bejat, tapi gue nggak sebejat itu, tau?"
"Oh ya?" Wajahku sengaja kubikin blo?on. "Kalo gitu,
kamu ngapain dong waktu itu? Aku yakin banget kamu
berusaha pedekate sama mamanya OJ..."
Jantungku nyaris berhenti berdetak saat cowok itu
mem?bekap mulutku dengan tangannya yang besar.
Berani taruhan juga, mataku sekarang tidak kalah lebar?
nya dengan mata si cowok iblis yang tengah melotot
dengan sangarnya padaku itu.
"Jangan pernah nuduh gue sebejat itu!" bentak cowok
itu kasar. "Lo tau sendiri, cewek yang gue suka cuma
elo!" Dasar cowok iblis kurang ajar. Berani-beraninya dia
membekap mulutku dengan tangannya yang kotor dan
bau! Apa dia tidak ingat bahwa aku ini Putri Badai?
Celakanya, bukannya mengamuk, aku malah ter?sipusipu. Wajahku terasa panas banget, dan seandainya aku
punya kesempatan untuk berkaca saat ini, aku pasti bisa
melihat wajahku semerah batu bata. Kalaupun cowok
sialan ini melepaskan tangannya, aku tak bakalan bisa
membalasnya sepatah kata pun.
Selama beberapa saat kami berdua hanya bertatapan.
Angin semilir bertiup di luar kelas, membuat dahan212
Isi-Omen6.indd 212 dahan pohon dan dedaunan membentur-bentur daun
jendela. Di kejauhan, terdengar suara cowok-cowok se?
dang berteriak-teriak di lapangan futsal. Sayup-sayup
mengalun dentingan piano yang, bisa kutebak, berasal
dari ruang musik lama. Rasanya di dunia ini hanya ada aku dan Damian.
Perlahan Damian melepaskan tangannya. Tapi rasanya
tetap saja sesak banget. Oh iya, aku lupa bernapas dari
tadi. Pastinya ini salah satu hal terbodoh yang pernah
di?lakukan oleh seorang manusia. Bukannya yang nama?
nya bernapas itu otomatis? Kenapa aku bisa sampai lupa
bernapas? Semuanya gara-gara cowok iblis ini.
"Damian...." Akhirnya aku berhasil bicara, meskipun
de?ngan suara kelu yang terdengar janggal bahkan di
telingaku sendiri. "Aku boleh tau siapa wanita itu?"
"Wanita yang mana?" tanya cowok itu dengan mata
yang sepertinya terlalu fokus padaku, sampai-sampai aku
curiga dia tidak terlalu mendengarkan ucapanku.
"Wanita berambut panjang yang datang ke rumahmu
waktu itu." Sepertinya karena ucapanku, mendadak Damian ter?
sadar. Dengan tampang heran dia menatapku. "Memang?
nya lo nggak kenal?"
Pertanyaan yang aneh banget. "Nggak."
"Oh, begitu." Cowok itu merenung sejenak. "Beliau
itu... nyokap angkat gue."
"Nyokap angkat?" tanyaku bingung.
"Ya." Damian mengangguk. "Dari kecil gue udah
nggak punya bokap. Nyokap gue yang membesarkan gue
dan kakak gue dengan susah payah. Gara-gara dulu
213 Isi-Omen6.indd 213 terlalu keras bekerja di pabrik, nyokap gue sekarang
sakit-sakitan. Lebih parah lagi, kakak gue pake hamil di
luar nikah segala. Abis ngelahirin, dia ninggalin baby-nya
ke nyokap gue, lalu kabur entah ke mana. Waktu itu gue
nyaris DO demi ngegantiin nyokap gue kerja. Tapi, lalu
beliau muncul." Aku terdiam lama. "Apa ini yang kamu maksud soal
utang budi?" Damian terperanjat. "Hah?"
"Kamu pernah bilang kamu berutang budi pada sese?
orang, karena itu kita akan terus berada di pihak yang
berlawanan. Apa ada kaitannya dengan nyokap angkatmu
itu?" Sekarang cowok itu gelagapan. "Ehm, soal itu, gue,
ehm..." Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat memenuhi
udara. Aku dan Damian bertatapan dengan tegang.
"Lapangan futsal!" teriak kami bersama-sama.
Aku berlari mendahului Damian menuju lapangan
futsal. Dari kejauhan saja aku bisa melihat semua orang
berkerumun mengelilingi sesuatu?atau seseorang. Pikiran
itu begitu mengerikan sampai-sampai aku tidak memper?
hatikan hal lain lagi. Akibatnya, begitu memasuki lapang?
an, aku nyaris kepeleset lantaran menginjak bola yang
telantar. Namun sebelum aku sempat terkapar dengan
gaya memalukan?astaga, bahkan bayangan itu saja su?
dah membuatku malu luar biasa?Damian sudah me?
nangkapku dari belakang. "Tenang," bisiknya di dekat bahuku. "Nggak usah buruburu gitu, Non."
214 Isi-Omen6.indd 214 Tanpa menyahutinya, aku menyentakkannya. Untung
saja orang-orang lain begitu terpaku pada pemandangan
lain sehingga insiden aku mendapat backhug dari Damian
tidak sempat dipergoki satu orang pun.
Kecuali Gil. Cowok tengil itu langsung menghampiri sobatnya de?
ngan cengiran lebar di mulutnya.
"Jangan salah paham," gumam Damian. "Ini cuma ke?
celakaan..." Aku tidak sempat mendengar kelanjutannya lagi ka?
rena aku sibuk menyeruak kerumunan di tepi lapangan.
Rupanya aku kalah cepat. Di barisan de?pan sudah ada
Valeria dan Erika yang sedang berjongkok di depan
sebuah sosok yang tengah terbaring di tengah-tengah
padang ilalang di pinggir lapangan futsal.
Yang tidak lain adalah Bima, kapten tim futsal sekolah
kami, yang kebetulan juga merupakan teman sekelasku
sekaligus menjabat sebagai wakil ketua kelas di kelasku.
Tidak sulit menebak kondisi Bima yang malang. Se?
perti yang terjadi pada Tini, beberapa anggota tubuh
cowok itu dijahit: mata, mulut, dan kedua tangan yang
sedang memeluk bola sepak. Meski sudah pernah me?lihat?
kondisi tersebut, aku masih saja terguncang saat melihat?
nya. Aku tidak menyalahkan anak-anak yang sedang
ber??kerumun yang semuanya terpaku, beberapa menangis.
Memang pemandangan ini terlalu mengerikan untuk
dilihat anak-anak seusia kami.
Meski berada di tempat terbuka dan ramai, aku cukup
yakin Bima tidak terlihat siapa pun juga lantaran di??
kelilingi rumput ilalang lebat setinggi lutut. Hanya orang
215 Isi-Omen6.indd 215 yang sengaja datang ke sini yang bisa melihat ke?ber?
adaan Bima. "Udah nanya siapa yang nemuin?" tanyaku dengan
suara rendah pada Valeria. Saat Valeria menggeleng, aku
langsung bertanya pada kerumunan dengan suara keras,
"Siapa yang tadi nemuin Bima?"
"Gu... gue." Yang menyahut adalah cowok yang berdiri di dekatku.
Namanya Dimas, dan setahuku dia teman satu tim Bima
yang menjabat sebagai kiper. Cowok itu tam?pak ter?
guncang hebat, dengan wajah pucat pasi yang dipenuhi
air mata dan ingus. "Sebenernya gue nggak bermaksud nyari Bima. Gue
cuma kepingin kencing... Eh, kami anak-anak tim futsal
biasa kok kencing di tepi lapangan kalo lagi latihan. Pas
lagi kencing, gue lihat ada yang aneh. Jadi gue mencoba
mendekat dan ternyata itu Bima."
Berhubung kondisi Bima tampak baru, kemungkinan
dia baru dipindahkan setelah anak-anak pulang sekolah.
Aku pun kembali bertanya pada kerumunan, "Apa ada
yang lihat hal-hal yang mencurigakan di lapangan se?
belum kejadian ini?"
Selama beberapa saat tidak ada yang menjawab. Lalu
tiba-tiba Dimas berkata canggung, "Eh, bukannya elo
tadi memang ada di sini, Put?"
Hah? Dimas mengedarkan pandangannya. "Bener, kan? Atau
gue salah lihat?" "Iya, benar," sahut salah satu teman satu timnya.
"Kami tadi melihat elo keluar dari dalam situ kok. Dan
baru lima menit lalu pergi."
216 Isi-Omen6.indd 216 "Gue udah kebelet kencing dari kapan-kapan, Put,"
timpal Dimas, "tapi gara-gara gue lihat elo di sana, gue
tahan-tahan. Semua juga tau elo paling nggak suka lihat
orang melanggar peraturan..."
Aku menatap semua orang sambil melongo. "Tapi, aku
nggak ada di sini! Barusan aku dari kelas kok. Ada saksi?
nya. Ya nggak, Damian?"
Semua orang menoleh pada Damian yang berdiri di
ke?rumunan belakang. Cowok itu menatapku sambil me?
ngerutkan alis. "Kenapa lo nanya gue?"
Hah? "Kan tadi kita berdua ada di dalam kelas."
"Gue tau gue ganteng," ucap Damian muram. "Tapi lo
nggak usah ngimpi gitu, Put. Kita nggak pernah bareng?
an kok. Gue tadi lagi latihan musik bareng Gil. Ya
nggak, Gil?" Cowok yang lebih pendek itu tampak melongo men?
dengar ucapan Damian. "Ya sih, tapi..."
"Nah, kan?" Damian tersenyum sinis. "Kenapa lo pake
bohong sedang bersama gue segala? Apa ada yang lo
tutupi?" Cowok itu diam sejenak sebelum melanjutkan
de?ngan suara dramatis, "Atau elo orang yang udah men?
celakai Bima?" Rasanya aku tidak bisa memercayai hal ini. Cowok itu
berbohong untuk menjatuhkanku! Sudah begitu sering
aku ditusuk dari belakang oleh orang-orang yang tak ter?
duga, namun kali ini benar-benar keterlaluan...
Karena saat ini aku tidak bisa berbohong pada diri sen?
diri lagi. Terlepas dari apa pun yang pernah kukatakan
tentang Damian, aku memang mencintai cowok iblis ke?
parat itu. Aku mencintainya meski dia jahat padaku sejak
awal, aku mencintainya meski kami tidak bicara selama
217 Isi-Omen6.indd 217 berbulan-bulan, aku bahkan tetap mencintainya di saat
aku mendengar kata-kata dusta dan penuh fitnahan
itu. Aku memang orang terbodoh di dunia.
218 Isi-Omen6.indd 218 Erika Guruh Bukannya aku belain si Putri Es.
Faktanya, dia tidak mungkin melakukan hal itu. Cewek
itu memang punya banyak kekurangan, termasuk di
antaranya tidak berhati. Kata "belas kasihan" mungkin
tidak tercatat dalam KBBI versi Putri Badai, dan yang
menarik perhatiannya cuma tetek-bengek membosankan
se?jenis reputasi sekolah. Tapi, cewek itu jelas tidak
bodoh. Dia tidak bakalan meninggalkan jejak setitik pun
se?telah melakukan kejahatan?apalagi menampakkan
dirinya di depan, bukan hanya satu, melainkan sege?
rombolan saksi. Namun ada fakta lain juga yang aku tahu pasti. Fakta
yang menentang ucapan Putri.
"Erika," tiba-tiba Damian memanggilku. Akibatnya,
semua pandangan terarah padaku. Sebenarnya aku tidak
peduli maupun terganggu dengan semua perhatian itu.
Yang lebih menggangguku adalah bagaimana Damian
ber?tindak bagaikan dirigen yang mengatur jalannya se?
buah konser. Semua orang bergerak sesuai keinginannya.
"Tadi lo juga nonton kan gue latihan sama Gil?"
219 Isi-Omen6.indd 219 Dasar anak kurang ajar! Kenapa mendadak dia men?
jadikanku sebagai saksi? Lagi pula, bukan aku yang ingin
menonton latihan mereka kok, melainkan Eliza! Aku
meng?akui, aku memang lumayan senang dengan gaya
musik Gil dan Damian yang rada-rada keren, tapi aku
kan bukan groupie. Kalau cuma latihan sih aku tidak
berminat menonton, beda halnya kalau mereka meng?
adakan konser yang ingar-bingar di mana aku bisa me?
nyodok-nyodok orang sesukaku dan tidak ada yang
berani memprotes. Aku melirik Putri yang menatapku dengan sinar mata
nyalang yang, entah kenapa, malah membuatku merasa
kasihan padanya. Bukan hanya dia, melainkan Val
beserta Rima dan Aya yang juga sudah bergabung di
barisan depan, mereka semua menatapku penuh harap.
Apa daya, aku terpaksa mengecewakan mereka semua.
"Iya," ketusku. "Latihannya jelek banget, sampe-sampe
gue ketiduran, tau?"
Oke, sebenarnya bukan karena itu aku ketiduran.
Masalahnya, aku ngantuk banget selama dua pelajaran
ter?akhir! Kurasa itu gara-gara aku kekenyangan. Kuakui,
pemandangan tentang Tini yang mengerikan tidak
melenyapkan nafsu makanku. Bagaimanapun, aku kan
butuh tenaga besar untuk melewatkan hari, apalagi
sepulang sekolah aku harus pergi kerja. Setelah aku dan
Eliza berbaikan kembali, kami berdua pergi ke kantin
dan makan-makan. Selesai makan aku jadi terkantukkantuk. Aku melewatkan dua pelajaran terakhir dalam


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kondisi antara sadar dan tidak, dan sama sekali tidak
punya tenaga untuk menolak Eliza saat diajak nonton
220 Isi-Omen6.indd 220 latihan musik yang rada-rada kacau itu. Kupikir setidak?
nya aku bisa tidur sebentar sebelum pergi ke kantor.
Tentu saja itu semua sebelum aku mendengar teriakan
penuh kengerian itu. Kini, meski kepalaku masih sakit, kesadaranku pulih
se?utuhnya. Sambil berusaha tidak mengacuhkan rasa
sakit yang membuat kepalaku serasa ditonjok seribu
preman yang dendam padaku, aku berusaha memusatkan
per?hatian pada insiden di depanku. Situasi bertambah
se?makin pelik dengan kemunculan si inspektur kepo
yang tidak pernah mau ketinggalan berita tetapi juga
selalu datang terlambat. Seperti kali ini. Teriakan tadi
kan begitu keras sampai-sampai setengah dari anak-anak
yang belum pulang berkumpul di sini, tapi si om-om ini
malah baru nongol sekarang. Itu pun, kurasa, karena aku
meneleponnya tadi. Kalau tidak, barangkali om-om ini
tidak bakalan nongol. Jangan-jangan karena pengaruh
usia, dia mulai tuli. Sumpah, aku heran banget kenapa
si Om Lukas ini bisa naik pangkat. Kalau aku jadi atasan?
nya sih, dari kapan-kapan sudah ku?turun?kan pangkatnya
hingga jadi tukang bersih-bersih di jalan.
Sayangnya, kenyataan tidaklah seindah angan-angan.
Om-om ini menyeruak kerumunan dengan tampang be?
rang yang rada-rada tidak masuk akal. Maksudku, keter?
lambatan itu kan kesalahannya sendiri. Kenapa dia harus
kelihatan seolah-olah seluruh harta bendanya baru saja
dibawa kabur oleh calon pengantinnya yang ternyata
ber?selingkuh dengan sahabatnya sendiri? Oke, aku tahu
ini ke?dengarannya seperti drama picisan, tapi serius deh,
tam?pang si inspektur benar-benar pahit dan geram.
"Oke, dua kali kejadian dalam satu hari sudah cukup!"
221 Isi-Omen6.indd 221 geramnya, lalu menyalak pada bawahan-bawahannya
yang malang. "Segel tempat ini!" Setelah itu dia me?
nyalak pada kami semua. "Dengar semuanya! Sekolah ini
akan ditutup hingga semua orang selesai diintero?gasi!"
APA?! Seluruh khalayak ramai langsung memprotes, termasuk
aku yang tentu saja mengeluarkan teriakan stereo tepat
di depan muka si inspektur. "Nggak bisa gitu, Tur!
Sebagian dari kami kudu nyari sesuap nasi dan segunung
berlian, man!" "Tunda dulu nafsu duniawimu, Dik!" bentak Inspektur
Lukas. "Sekarang semuanya jadi personal. Pokoknya saya
ingin pelakunya ditangkap hari ini juga!"
Jadi personal? "Memangnya Bapak diapain gitu?"
"Barusan ada yang mengurung saya di toilet!"
HAHAHAHAHAHAHA. Ups. Si mantan ajun ini menatapku seolah-olah ingin
memangsaku sekarang juga. Padahal aku tidak ketawa
benaran lho, melainkan hanya tertawa dalam hati. Cih,
daripada polisi ini melampiaskan kekesalananya padaku,
lebih baik aku menahan tawa dan memasang wajah ikut
marah juga. "Waduh, perlu saya cari biang keroknya?"
Inspektur Lukas melotot padaku. "Justru tadinya saya
?pikir kamu pelakunya!"
"Lho, enak aja!" protesku. "Dalam kondisi seperti ini,
mana mungkin saya menjaili Bapak dan menghalangi
proses investigasi? Senakal-nakalnya saya, saya masih tau
diri. Lagian, dari tadi saya tidur-tidur?an mulu. Kalo nggak
percaya, tanya saja Pak Tarmono yang tadi ngajar saya!"
Polisi itu diam sejenak. "Hmm, saya pikir juga gitu.
Sudah??lah, nanti saja saya urus yang satu itu. Sekarang
222 Isi-Omen6.indd 222 kita urus masalah yang lebih penting dulu. Saya sudah
me??manggil tambahan orang dari markas, jadi saya rasa
kami tidak butuh bantuanmu. Meski begitu, terima kasih
untuk niatnya." "Ya sudah," jawabku enteng, meski dalam hati agak
kecewa. Sebenarnya seru juga sih kalau bisa kerja bareng
polisi. Bukan berarti aku kepingin jadi polisi lho. "Kalo
gitu, selamat bekerja..."
"Eits, jangan pergi dulu! Kamu orang pertama yang
harus diinterogasi, Erika!"
Ah, sial. Begini deh risikonya jadi orang yang selalu
nongol duluan. "Cih, dasar nggak tau terima kasih! Saya
yang manggil, saya juga yang jadi tersangka utama!"
"Siapa yang menjadikan kamu tersangka utama?" cetus
In?spektur Lukas. "Tenang saja. Kamu ini cuma figuran
kok." Itu lebih menyakitkan lagi. "Gitu ya? Ya udah deh.
Cepet?an selesaikan urusannya. Kalo udah, saya boleh
pulang, kan?" "Iya deh, boleh."
Semua murid, guru, petugas kebersihan, bahkan sat?
pam dan penjaga kantin dihalau ke lapangan, sementara
interogasi dilakukan secara darurat di meja kantin oleh
beberapa polisi sekaligus. Aku sendiri diinterogasi oleh
Inspektur Lukas?interogasi yang membosankan banget.
Pertanyaannya cuma itu-itu saja. Dalam waktu lima
menit aku berhasil membebaskan diri dan menyeruak
keluar dengan selamat dari kerumunan yang dijaga oleh
polisi-polisi yang tidak bertugas menginterogasi. Di luar
kantin, semuanya sepi banget. Sepertinya aku bisa pergi
kerja tanpa banyak halangan.
223 Isi-Omen6.indd 223 Sayangnya, berhubung aku pulang bersama Eliza, aku
ter?paksa menunggu hingga adik kembarku itu selesai di?
interogasi juga. Anak itu ternyata berdiri di barisan pa?
ling belakang dari kerumunan besar yang me?menuhi
lapang??an. Tanpa banyak cincong, aku lang?sung meng?
hampirinya. "Kejadian yang sama lagi?" Dia menyambutku dengan
wajah cemas. Aku mengangguk. "Lo sendiri, kenapa cuma berdiri di
sini? Sono ke depan dan minta diinterogasi!"
"Iya," sahut Eliza muram. "Tadi gue denger ucapan
Inspektur Lukas. Katanya, kalo nggak diinterogasi, kita
nggak boleh pulang ya?"
"Biasalah, diktator," cibirku. "Makanya cepetan lo setor
muka, abis itu kita pergi kerja."
Eliza mengangguk patuh, lalu buru-buru menyeruak
kerumunan dan menghampiri Inspektur Lukas.
Aku memandang kepergian Eliza dengan lega. Aku
tahu, banyak orang menganggap Eliza pandai berbohong
dan berakting?yah, aku juga menganggapnya begitu
sih?tapi kurasa saat ini dia tidak berpura-pura tidak
tahu apa-apa mengenai semua kejadian ini. Sikapnya be?
gitu natural, tidak terlalu tertarik dengan semua kejadian
ini dan hanya ingin semuanya cepat-cepat selesai...
Eh, tunggu dulu. Apa betul itu natural?
Seluruh makhluk hidup di sekolah kami membicarakan
kejadian hari ini dengan berbagai cara. Guru-guru ber?
bisik-bisik mengenainya, murid-murid membahasnya
terang-terangan, bahkan petugas kebersihan, penjaga
sekolah, dan para satpam juga mencuri-curi waktu untuk
bergosip-ria. Berani taruhan, kucing-kucing yang suka
224 Isi-Omen6.indd 224 berkeliaran di kantin pun membicarakan insiden-insiden
ini dalam bahasa mereka sendiri.
Lalu kenapa Eliza tidak tertarik sedikit pun saat ini?
Memang tadi dia sempat mengintip di depan lapangan
badminton, tapi saat ini dia bahkan tidak menanyakan
siapa yang jadi korban. Gila, aku tidak boleh mencurigai Eliza hanya karena
masalah sepele begini. Tadi saja aku sudah membuatnya
sakit hati karena menuduhnya masih akrab dengan
Nikki, dan sekarang aku menuduhnya lagi hanya karena
dia tidak bertanya-tanya?
Kenapa sih dia tidak bertanya-tanya? Kenapa dia ke?
lihatan sama sekali tidak tertarik pada kasus ini?
Pemikiranku berlebihan tidak sih?
Aku mengamati Eliza yang berjalan ke arah Inspektur
Lukas. Kuperhatikan, polisi itu sendiri yang meng?intero?
gasi Eliza, menandakan dia pun mencurigai adik kembar?
ku itu. Aku berusaha membaca gerak bibir mereka.
Kamu sudah bertindak benar untuk mengajukan diri untuk
diinterogasi. Ya, Pak, soalnya saya harus kerja setelah ini. Karena saya
masih pegawai baru, saya nggak berani telat.
Kalau begitu, kita langsung saja ya. Di mana kamu
berada pada waktu kejadian tadi?
Saya nonton latihan Gil dan Damian bersama Erika. Erika
tam?paknya ngantuk banget waktu keluar dari kelas tadi, dan
waktu nonton latihan, dia ketiduran. Sepertinya dia kecapek?
an karena belakangan ini kantor kami memang sangat
sibuk. Begitu. Sebelum mendengar teriakan tadi, apa kamu me?
lihat sesuatu yang mencurigakan?
225 Isi-Omen6.indd 225 Nggak sama sekali... Tanya-jawab itu berlangsung sepuluh menit, hampir
tiga kali lebih lama dari yang kujalani. Beberapa per?
tanyaan diajukan dua kali, bahkan tiga kali, mungkin
untuk menjebak Eliza memberikan jawaban yang ber?
beda. Namun sepertinya semuanya berjalan lancar. Wajah
Inspektur Lukas nyaris tampak kecewa saat menyudahi
interogasi itu. Sementara aku merasa lebih lega.
"Udah?" tanyaku saat Eliza menghampiriku. "Lama
bener! Nyaris gue cabut duluan!"
"Jangan dong. Kalo lo cabut duluan, gue pergi sama
siapa?" tanya Eliza seraya melingkarkan lengannya ke
lenganku. Oke, aku jadi risi kalau dia sok akrab begitu.
Seumur hidupku, kami berdua tidak pernah akrab-akrab
amat. Namun, belakangan ini dia memperlakukanku se?
olah-olah aku adalah orang terdekat yang sangat di?
sayanginya. Bukannya aku keberatan sih. Sejujurnya,
meskipun canggung, aku senang mendapat perlakuan
seperti ini. Kurasakan tatapan tajam dari jauh.
Lagi-lagi anak-anak itu. Val, Rima, Putri Badai, dan
Aya. Rima langsung menunduk saat aku menoleh pada
mereka, Putri Badai terang-terangan memelototiku, se?
mentara Aya pura-pura memeriksa ponselnya. Hanya Val
yang menyunggingkan senyum padaku, tapi senyum itu
kini terlihat hambar. Tanpa perlu kekuatan super?natural
pun aku bisa membaca pikiran mereka saat ini.
Dasar pengkhianat. "Dasar cewek-cewek sirik," cibir Eliza dengan suara
226 Isi-Omen6.indd 226 pelan. "Kalo nggak seneng, langsung ngomong kek,
ngapain sih main pelotot-pelototan segala?"
"Sudahlah," ucapku murung. "Nggak usah urusin me?
reka. Yuk, kita harus buru-buru nih, kalo nggak mau di?
suguhi muka supermasam dari bos jelek!"
Eliza tertawa. "Cuma lo yang bilang dia jelek, Ka! Kalo
menurut gue, dia cakep banget!"
Aku memberengut. "Maksud lo apa? Naksir?"
"Ah, nggak lah." Eliza tersenyum manis. "Nggak nolak
sih kalo dikasih, tapi gue takut sama pacarnya yang
galak." "Kok nggak nolak? Memangnya pacar lo, si Ferly, ke
mana?" "Udah putus." "Ah, yang bener?" tanyaku kaget. "Kok bisa?"
Percaya atau tidak, aku punya cinta pertama yang tak
terbalas. Namanya Ferly, dan sepanjang yang kuketahui,
dia dan Eliza saling menyukai sejak awal?atau saling
men?cintai, tepatnya, soalnya mereka berdua sudah me?
lakukan banyak hal-hal gila demi satu sama lain. Selama
ini kukira mereka berpacaran jarak jauh lantaran Ferly
sudah pindah ke Jakarta. Makanya aku kaget banget
waktu mendengar kini mereka sudah putus.
"Yah, namanya juga LDR." Eliza mengangkat bahu.
"Ke?banyakan memang nggak akan langgeng, kan?
Apalagi gue kan banyak prospek di sini gitu lho. Kayak?
nya nggak adil deh kalo gue terikat dengan seorang
cowok yang perhatiannya cuma sekali-sekali, sementara
di sini banyak yang perhatiin setiap hari."
Untuk seorang cewek populer normal, kurasa katakatanya lumayan masuk akal. Egois, tapi masuk akal.
227 Isi-Omen6.indd 227 Namun berhubung kata-kata ini diucapkan Eliza, perasa?
an?ku langsung tidak enak. Habis, banyak prospek? Ba?
nyak yang perhatiin dia setiap hari? Dia tidak ber?maksud
menyinggung bahwa salah satunya adalah si Ojek,
kan? Ya Tuhan. Aku jadi cemburuan. Hoek. Cuih cuih,
amit-amit. Aku bukan orang seperti itu. Aku kan cool
dan cuek. Lagi pula, kan si Ojek yang mengemis-ngemis
untuk jadi pacarku, bukan aku yang mengemis-ngemis
padanya. Tidak mungkin mendadak dia berpaling ke lain
hati hanya karena ada cewek yang lebih menarik, kan?
Cewek menarik yang punya muka sama denganku,
hanya saja lebih baik dariku dalam segala bidang.
Arghhhhh, sial!!! Kenapa hidupku jadi rumit hanya
karena hal-hal sepele begini?
"Oh gitu." Tanpa bisa kucegah, suaraku jadi ketus. Aku
memang tidak pandai berakting, apalagi di depan orang


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah lama mengenalku. "Ya udah, jangan lambatlambat lagi. Nanti kita diomelin."
"Nggak mungkin. Vik kan orangnya baik. Lo aja yang
suka berprasangka yang nggak-nggak. Kasian dia, tau?"
Brengsek. Aku paling sebal kalau Eliza mulai mem?
bolak-balikkan kata-kataku seperti ini. "Eh, kenapa men?
dadak gue dibilang berprasangka? Gue kan cuma ke?
pingin lo jalan cepetan! Tau nggak, berapa waktu
ter?buang percuma gara-gara gue nungguin elo?"
Eliza memelototiku. "Lo jahat banget sih. Kan gue ber?
maksud baik. Kenapa lo tiba-tiba bentak gue? Kalo lo
nggak ikhlas gue nebeng, ya udah bilang aja, nggak usah
pake hina-hina gue segala!"
Cih. Memang aku tidak ikhlas ditebengi, apalagi sudah
228 Isi-Omen6.indd 228 berapa kali Eliza memaksaku untuk menyerahkan posisi
ke?hormatan alias jadi sopir si Butut. Meskipun butut, itu
ken?daraan kebanggaanku. Mana sudi aku me?nyerah?
kannya dengan hati tulus? Aku kan bukan malaikat baik
hati dan lemah lembut. Demi Tuhan, aku ini Erika
Guruh, makhluk paling brutal di seluruh se?kolah kami!
Ke?sabaranku sudah di ujung tanduk. Me?mangnya dia
tidak mengerti hal itu?! Saking betenya satu sama lain, kami berjalan menuju
tempat parkir tanpa berbicara sama sekali. Lagi saling
berdiam-diaman begini, tahu-tahu saja terdengar bunyi
langkah di belakang kami. Aku melirik ke belakang.
Eh, ada si Val! "Ih, kenapa cewek itu ngebuntutin kita?" bisik Eliza
jelas-jelas tidak senang. "Apa dia mencurigai kita sebagai
pelakunya?" "Belum tentu," gumamku. "Biarin aja. Bisa aja dia ha?
nya kebetulan lewat."
"Iya, barangkali bapaknya yang tajir itu udah beliin
dia mobil mewah dan keren," ucap Eliza tanpa bisa
menyembunyikan nada irinya.
"Kalo iya, itu hak dia," ucapku dengan suara rendah,
lalu membuka pintu si Butut dan masuk ke dalam.
Untunglah kali ini Eliza tidak memaksa jadi sopir lagi.
Sambil memasang sabuk pengaman, aku mengamati Val
dari spion tengah. Rupanya dia tidak membuntutiku.
Cewek itu pergi ke... Astaga, dia pergi ke tempat parkir motor!
Aku hanya bisa melongo saat melihat Val menghampiri
sebuah motor dan mencomot helm di atasnya. Dengan
gerakan luwes dan santai seolah-olah sudah ribuan kali
229 Isi-Omen6.indd 229 melakukannya, Val mengenakan helm seraya duduk di
atas motor. Holy crap, cewek itu keren banget!
"Ih, norak, rupanya dia naik motor sekarang," ku?
dengar Eliza mencibir dari samping. "Mungkin bapaknya
memang nggak setajir gosip."
"Iya," gumamku seraya melirik logo BMW kecil yang
melekat pada motor tersebut, "melainkan jauh lebih
tajir." "Konglomerat dong," ucap Eliza sinis. "Tapi anaknya
biasa aja ya. Nggak bawa Lamborghini ke sekolah. Tasnya
pun nggak ada merek... Eh, kurang ajar! Motornya BMW!
Kok bisa?!" Sebenarnya aku takjub juga Eliza bisa menemukan
logo imut tersebut, tapi kurasa sedari tadi dia memang
terus mengamati motor baru Val yang keren banget.
Alih-alih menanggapi ucapannya yang jelas-jelas di?
penuhi rasa iri, aku langsung memajukan mobil untuk
keluar dari lapangan parkir. Namun, sebelum sem?pat
melewati gerbang parkir?yang saat ini dijaga oleh polisi
alih-alih satpam seperti biasanya?motor Val me?nyelip
ke depanku. "Waduh," seru Eliza kesal, "nantang tuh dia! Ayo,
kejer dia terus pepet dia sampe jatuh!"
"Gila lo, gue nggak akan celakain temen gue sendiri!"
teriakku, namun adrenalin mulai mengalir di darahku.
Sejak punya si Butut?atau lebih tepatnya lagi, sejak bisa
menyetir?aku belum pernah kebut-kebutan. Kini melihat
Val di depanku, aku jadi terpancing. Aku memandangi
Val yang menaikkan kaca helmnya lalu berpaling padaku
sejenak, kemudian menutupnya kembali. Kali ini Eliza
230 Isi-Omen6.indd 230 tidak salah?gaya Val barusan benar-benar menantang.
Mungkin ini memang sudah waktunya aku mengeluarkan
bakat terpendamku, yaitu jadi pembalap terhebat di
dunia. "Tapi nggak ada salahnya kita unjuk gigi, biar dia
tau siapa kita!" "Iya!" seru Eliza lagi. "Ayo kita tunjukkan siapa kita!
Biar dia nggak berani macem-macem lagi!"
Aku tidak menyahuti Eliza lagi, melainkan berkonsen?
trasi penuh dengan permainan baru yang sepertinya me?
nyenangkan ini. Jelek-jelek begini, si Butut punya ke?
cepatan yang lumayan. Meski dengan susah payah, aku
berhasil menyamai kecepatan motor Val yang sudah
melesat duluan. Val berpaling padaku, lalu menyunggingkan senyum
tipis. Aku memindahkan gigi persneling dan menginjak gas
lebih dalam, lalu melaju dengan anggun mendahului
motor BMW Val. Eliza tertawa seraya mencela, "Idih, percuma naik
motor keren tapi jalannya kayak bajaj..."
Aku dan Eliza hanya melongo saat motor Val melewati
kami, jauh di depan, tanpa perlu bersusah payah. Yah,
me?mang jauh sih tarafnya. Yang satu mobil tua yang
siap dipensiunkan selamanya, yang satu lagi motor baru
yang sepertinya memang dirancang untuk kecepatan
tinggi. Nasib orang miskin memang begitu deh.
Meski harus kuakui, tadi aku juga semangat banget
kepingin balapan. Jadi sebenarnya aku yang tidak tahu
diri juga. "Apa lo bilang tadi, Za?" tanyaku.
"Nggak apa-apa," gumam Eliza. "Ayo, kita ke kan?tor."
231 Isi-Omen6.indd 231 Oke, mungkin aku terdengar agak gila, tapi aku senang
juga dikalahkan oleh Val, hanya untuk membuat kesal
Eliza. Habis, kesabaranku dalam hal menghadapi Eliza
sudah mulai menipis. Setiap ucapannya membuatku naik
darah, dan aku hanya bisa bertahan hingga saat ini ber?
kat pengendalian diri sekuat tenaga yang sepertinya
bikin usiaku berkurang sepuluh tahun. Batal deh, impian?
ku untuk jadi nenek-nenek perkasa di usia seratus tahun.
Kalau begini caranya, bisa-bisa aku sudah jadi abege peot
dalam waktu lima tahun saja.
Tiba di kantor, Eliza langsung menghilang entah ke
mana sementara aku langsung menuju mejaku. Baru saja
aku menyalakan komputer, muncul tampang masam
yang sudah bisa diduga bakalan menerorku. Begitu me?
lihat tampang tersebut, rasanya aku ingin me?neriakkan
frustrasiku hari ini. Rasanya aku ingin bercerita tentang
dua insiden mengerikan di sekolah, bagaimana pe?
mandang?an itu bakalan menghantui mimpiku ber?bulanbulan, juga tentang kecurigaanku pada Eliza.
Tentu saja, aku tidak mungkin melakukan hal itu. Bisabisa kami jadi tontonan gratis. Tambahan lagi, lebih enak
melakukannya di saat jam kantor berakhir?pada saat aku
sudah bebas merdeka, bukannya masih jadi budak perusaha?
an yang bakalan diomeli hanya karena menggunakan jam
kantor untuk hal-hal pribadi. Jadi, alih-alih curcol, aku
malah hanya memberengut me?mandanginya.
"Hei," salak si Ojek dengan nada bossy. "Gimana ke?
maju?an kerjaan kamu? Firewall di server udah dipasang
be?lum?" "Sabar dong," gerutuku. "Pantat gue belum nempel juga
sama kursi, udah ditagih dengan muka debt collector."
232 Isi-Omen6.indd 232 "Harus dong. Kalo nggak, bisa kalah sama preman ka?
yak kamu." Sialan. Kalau dipikir-pikir, mendingan jadi debt collector
dari?pada jadi preman. Kesannya aku kere banget. Tapi
mau tidak mau, aku jadi nyengir. "Tenang, Jek. Lo kan
Raja Neraka. Kalo nyamar jadi debt collector, setan pun
pasti bayar semua utangnya berikut bunga seratus
persen." "Kamu kira aku lintah darat?" Kini si Ojek ikut-ikutan
nyengir. "Yah, aku nggak nagih sih, cuma kepingin tau
prosesnya sampe di mana. Rupanya baru nyampe pantat
nempel di kursi." "Iya, proses itu paling penting. Nggak mungkin gue
kerja sambil berdiri."
"Oh, begitu." Si Ojek manggut-manggut. "Baiklah kalo
gitu. Aku nggak akan ganggu lagi..."
"Surprise!!!" Aku dan Ojek sama-sama melongo saat semua orang
kantor muncul sambil mengenakan topi kerucut, semen?
tara Eliza membawakan sebuah kue tar yang sangat be?
sar. Semua menyanyikan lagu Happy Birthday dengan
suara yang, menurutku, terdengar sumbang dan me?ngeri?
kan. Si Ojek menoleh padaku dan berbisik heran, "Eh, me?
mangnya hari ini hari ulang tahunku?"
"Mana gue tau?" tanyaku rada panik. Yang benar saja,
aku punya daya ingat fotografis, tapi selama setahun
lebih aku pacaran dengan si Ojek, dia tidak pernah ber?
ulang tahun! Atau lebih tepatnya lagi, aku tidak pernah
sadar seharusnya dia punya hari ulang tahun! Gawat,
padahal sewaktu ulang tahunku kemarin, dia mengajakku
233 Isi-Omen6.indd 233 makan international buffet di JW Marriot. Aku makan
banyak sekali sampai-sampai diare hebat di dalam toilet
hotel. Dan setelah diberikan pengalaman luar biasa begitu,
aku bahkan tidak tahu hari ulang tahunnya? Aku benarbenar pacar yang memalukan.
Saat kerumunan itu mendekat, aku melihat mimpi
buruk berikutnya. Kue ulang tahun yang besar itu ter?
nyata juga memuat foto-foto para karyawan. Siapa pun
yang membuat rancangan kue ini pasti punya selera
yang luar biasa jeleknya, tapi itu bukanlah masalah
besar. Yang membuatku ngeri adalah fotoku yang lagi
tidur dengan kaus yang sobek di bagian ketiak?untung
saja aku selalu mencabut habis bulu ketiakku, kalau
tidak, lebih baik aku mati saja sekarang?lengkap dengan
iler yang menggantung di sudut bibir. Sementara itu, di
sampingku, ada foto Eliza yang mengenakan gaun
pendek yang seksi, nyaris berdampingan dengan foto si
Ojek yang berada di tengah-tengah kue. Meski wajah
kami sama, semua orang bisa membedakan kami dengan
sejelas-jelasnya. Aku si jelek dan slebor, Eliza si cewek
cantik yang memesona. Dasar tukang backstabbing! Bisa-bisanya dia memper?
malu?kanku dengan cara sengaja menonjolkan perbedaan
kami berdua seperti ini! Yah, biasanya aku memang tidak
tahu malu, tapi entah kenapa, sekarang aku benar-benar
ingin lenyap dari ruangan ini. Apalagi saat ter?dengar
suara tercekik dari arah si Ojek. Sepertinya dia shock
hebat melihat fotoku yang vulgar itu.
"Ayo, bikin permohonan lalu tiup lilinnya!" Terdengar
seruan-seruan mendesak pada saat lagu berakhir. Si Ojek
234 Isi-Omen6.indd 234 menoleh padaku dengan air muka tersiksa. Meski dunia
rasanya suram, sepertinya aku sedikit lebih senang saat
melihat si Ojek juga tidak menyukai kondisi ini.
"Ikutin aja, Jek, daripada lo digebukin massa," saranku
meski aku juga berharap dia menghancurkan kue sialan
itu lalu menembaki seluruh isi ruangan ini dengan
senapan mesin (kecuali aku, tentu saja).
Tapi lalu si Ojek meniup lilin dengan cepat. Sepeng?
lihat?anku, ada minimal sepuluh titik ludah menyembur
ke kuenya. Hahaha. Lumayan juga, meski lebih baik dia
meng?hancurkan kue jelek keparat itu sih.
"Kak Vik, happy birthday ya!" ucap Eliza dengan suara
lantang?dan, ewww, aku tidak salah liat, cewek itu me?
masang tampang manja yang biasa digunakannya untuk
memikat cowok! "Semoga Kak Vik panjang umur, se?
makin ganteng dan sukses, dan nggak lupa sama kitakita di sini!"
"Amin!" Semua orang langsung bersorak dan bertepuk
tangan menyambut ucapan itu. Lalu, seperti yang bisa
diduga, mimpi burukku menjadi lengkap saat semua
mulai berteriak-teriak lagi. "Cium! Cium! Cium!"
Rasanya semua darah lenyap dari wajahku. Aku me?
mandangi Eliza yang tampak kaget lalu tersipu-sipu, lalu
si Ojek yang bertampang nyaris tanpa ekspresi. Asal tahu
saja, di kantor, aku dan si Ojek memang merahasiakan
hubungan kami. Selain karena peraturan perusahaan lu?
mayan ketat dalam masalah hubungan cinta antar rekan
kerja, kami juga bukan tipe yang suka cipika-cipiki di
depan umum sambil ketawa malu-malu. Itulah sebabnya,
tidak ada yang tahu soal aku dan si Ojek yang ber?
pacaran. 235 Isi-Omen6.indd 235 Dan itu sebabnya, bisa jadi semua orang menganggap
Eliza lebih cocok berpasangan dengan si Ojek ketimbang
diriku. Meski bertampang mirip, Eliza manis dan me?
mikat, sementara aku membuat orang-orang terbirit-birit.
Tidak heran semua orang ingin cewek yang begitu me?
nyenangkan seperti Eliza berpasangan dengan bos kami
yang jutek. Barangkali seluruh dunia berharap kejutekan
si Ojek bisa berkurang berkat pengaruh Eliza yang ramah


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan baik hati. Ah, sial. Tidak peduli harapan orang-orang sekantor
(jangankan cuma orang-orang sekantor, memangnya
sejak kapan aku peduli dengan harapan dunia?), aku
tidak ingin si Ojek memenuhi keinginan semua orang
dengan mencium Eliza saat ini. Seandainya saja si Ojek
menghancurkan kue tar jelek sialan itu...
"Sori," ucap si Ojek dengan suara sedingin es yang
bah?kan membuat bulu kudukku meremang, meski aku
tahu aku bukan sasaran kemarahannya. "Tidak boleh ada
acara cium-ciuman di kantor ini. Tidak peduli siapa
orang?nya, yang berani berciuman di kantor ini akan
dihukum seberat-beratnya."
Acara ulang tahun yang meriah langsung berubah
hening?dan dipenuhi wajah-wajah penuh kengerian.
Bahkan Eliza pun tampak pucat pasi.
"Lagi pula," si Ojek tiba-tiba menarik tanganku, mem?
buatku langsung menabrak bahunya yang sekeras batu,
"saya nggak akan mencium cewek lain selain pacar
sendiri. Bukan saja itu perbuatan yang tidak bermoral,
melainkan juga kemungkinan saya bakalan dibunuh oleh
pacar sendiri. Betul nggak, Ngil?"
Kurasa di seluruh ruangan ini, hanya aku yang muka?
236 Isi-Omen6.indd 236 nya bersinar-sinar seperti baru saja mendapat penglihatan
surgawi. "Iya, kalo berani cium cewek lain, lo nggak
akan bisa pulang ke rumah dengan selamat."
"Nasibku deh," seringai si Ojek. "Ya udah, kalau kalian
mau, silakan potong kuenya dan bagikan di antara
kalian. Saya tidak makan kue ulang tahun." Hmm, pasti
dia juga sadar ludahnya menyembur-nyembur tadi waktu
meniup lilin. "Ayo, Ngil, ke kantorku sebentar."
Sambil menahan diri untuk tidak melakukan tarian
techno di depan anak-anak kantor yang sempat bikin aku
nyaris stroke tadi, aku mengikuti si Ojek ke dalam kantor?
nya. "Kenapa?" tanyaku pongah. "Masih ada kerjaan gue
yang kurang?" "Nggak sih," sahut si Ojek sambil mengempaskan
pantat?nya di atas sofa di dalam kantornya. "Aku hanya
ingin menyelamatkanmu dari suasana canggung di luar
sana." "Oh, beribu-ribu terima kasih kalo gitu," ucapku sinis
sambil duduk di sampingnya. "Hamba sangat bersyukur
sudah diselamatkan."
"Sama-sama," balas si Ojek dengan nada yang tidak
kalah sinis. "Dan terima kasih juga untuk nggak pernah
ingat ulang tahunku."
Aku jadi salah tingkah. "Eh, soal itu..."
"Udah, nggak usah memasang tampang bersalah gitu,"
cela si Ojek. "Aku serius kok. Aku udah punya semua
yang kuinginkan, dan aku nggak berminat nyusahin
kamu dengan kado atau acara-acara aneh semacam ini.
Asal kamu bersamaku, itu udah cukup."
Aku memandangi si Ojek dengan takjub. Kok bisa ya
237 Isi-Omen6.indd 237 dia begitu sempurna? Yah, berhubung tampangnya bete
senantiasa, sebenarnya dia tidak sempurna-sempurna
amat sih. Tapi di dunia yang dipenuhi ketidaksempurnaan
ini, dia yang paling mendekati makhluk sempurna deh.
"Jek." "Kenapa?" "Just curious," wajahku berubah panas saat me?nyinggung
topik ini, "memangnya lo nggak kepingin nyium gue atau
apalah?" "Atau apalah?" Si Ojek tertawa. "Apa itu ?atau apa?
lah??" Gawat, wajahku makin panas saja. Seharusnya aku me?
nutup mulut sialku. "Yah, maksud gue pacaran kayak
pasangan-pasangan lain."
"Apa tuh maksudnya?" Si Ojek memajukan tubuhnya
hingga wajahnya dekat sekali padaku. "Kamu minta dicium gitu ya?"
"Hiii, nggak!" Aku mendorong muka si Ojek sampai
cowok itu mental ke belakang. Dengan bete cowok itu
berteriak, "Hei!"
Aku mulai terpingkal-pingkal. Anehnya, si Ojek tidak
jadi bete, melainkan cengar-cengir juga.
"Yah, soal begituan, buatku nggak penting kok," kata?
nya akhirnya. "Seperti kataku tadi, yang paling penting
adalah kita bersama-sama. Untuk hal-hal lain, aku bisa
nunggu sampe kamu gede nanti. Asal tau saja, suatu saat
kamu bakalan mohon-mohon supaya kucium."
Arghhh! Wajahku jadi panas lagi! "Mimpi aja lo sampe
tua!" Si Ojek tertawa. "Mau taruhan?"
"Haha, sini gue pertaruhkan seluruh kekayaan gue!"
238 Isi-Omen6.indd 238 seruku girang. "Kasian lo, Jek. Kali ini lo bakalan bang?
krut gara-gara gue!"
Tahu tidak? Pada akhirnya, dia yang menang.
239 Isi-Omen6.indd 239 Valeria Guntur Aku menghentikan motorku tepat di depan bengkel
Montir Gila. Semua orang menoleh dengan tatapan kagum. Bukan
padaku, tentu saja, melainkan pada motorku. Hampir
semua montir di bengkel ini adalah maniak motor. Tidak
heran mereka semua tampak terpesona melihat kedatang?
anku. Dari antara cowok-cowok penuh debu dan noda
oli, seorang cowok menyeruak dengan tubuh tinggi dan
tidak kalah jorok dengan yang lainnya.
Meski begitu, dia cowok jorok kesayanganku.
"Hai." Les melepaskan helmku dengan tangannya yang
berbalut sarung tangan yang sudah mulai rombeng.
Meski sudah terbiasa melihatnya, aku tetap saja terpaku
bagai terhipnotis saat cowok itu menatapku dari begitu
dekat. Oh God, cowok ini benar-benar ganteng. Setiap
kali dia melihatku, dia selalu menyunggingkan senyum
yang memamerkan sederet gigi putih bersih?warna yang
sangat kontras dengan pakaiannya yang nyaris tak bisa
dikenali lagi warna aslinya. Tapi, meskipun dekil, aku
juga suka banget melihat pakaiannya. Kaus yang lengan?
240 Isi-Omen6.indd 240 nya sudah digunting sehingga menjadi kaus tanpa le?
ngan yang santai dan celana gombrong tiga perempat,
tidak malu-malu memamerkan tubuh yang penuh otot
dan kulit berwarna terang yang saat ini dipenuhi banyak
noda seperti pakaiannya. Tidak kalah keren, rambutnya
yang dicat merah saat ini tampak acak-acakan. Bukannya
lebay, tapi setiap kali melihatnya, aku selalu merasa
jatuh cinta lagi. "Kamu kelihatan seperti pembalap pro?
fesional." Aku membalas senyumnya sambil menyodorkan se?
buah kantong. "Aku bawain makan siang nih. Cuma
bakmi yang dibeli di sekolahan sih, tapi enak banget
lho." "Thank you, Val." Les menerima kantong itu sambil
nyengir lebih lebar lagi. "Waduh, lama-lama aku bisa ke?
biasaan nih, minta dianterin makan siang mulu!"
"Ah, nggak apa-apa kok," ucapku. "Kan sekalian."
"Ih, enaknya si Les!" celetuk teman montir Les yang
ber?tubuh tinggi kurus dan bernama Randy. "Gue juga
mau dong, dibawain makan siang!"
"Hush, hush!" Les berjalan ke arah teman-temannya
dan langsung menendang-nendang, membuat kerumunan
yang tadinya menontonin kami itu buyar seketika.
"Nggak usah ganggu-ganggu cewek gue! Kalo mau, ya
cari pacar sendiri!"
"Nggak bisa!" teriak Donny, teman dekat Les yang
rada pendek tapi berwajah manis. "Nggak ada cewek se?
taraf Val yang mau sama kita, tauuuu! Cuma dia seorang
Api Di Bukit Menoreh 17 Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Setan Untukmu Aku Ada 1
^