Pencarian

Sang Pengkhianat 2

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu Bagian 2


Tapi sepertinya mereka salah kalau menganggap hati
Putri Badai akan melemah karena tindakan manis me?
reka. Tanpa ampun Putri Badai mengikuti mereka dan
ber?kata angkuh, "Kalau sudah selesai, kalian boleh pu?
lang dulu. Kami mau beres-beres soalnya."
"Yes, Ma?am," gumam Daniel.
"As soon as possible," tambah Les.
Yah, aku tahu ini rada keji, tapi aku lega mereka mem?
bungkam lantaran takut pada Putri Badai. Habis, ke?
mungkinan lain alasan mereka terdiam karena ocehan
Putri Badai adalah bahwa mereka menyimpan rahasia
dariku. Aku tidak peduli soal Daniel, tapi aku akan sedih
sekali kalau Les menyimpan rahasia dariku.
Terutama kalau mengenai cewek itu.
Setelah koper-koper berjejer rapi di depan pintu?ter?
masuk beberapa milikku yang kutitipkan sebelum datang
ke sini?Pak Mul pun berpamitan seraya membungkuk
se?dikit. "Saya kembali ke rumah dulu, Miss Val," ucapnya
pada?ku lalu dia mengangguk pada ketiga temanku. "Miss
Putri, Miss Aya, Miss Rima."
Aku mengangguk. "Makasih ya, Pak Mul. Hati-hati nye?
tirnya." Isi-Omen6.indd 85 Sepeninggalan Pak Mul, sepertinya kedua cowok yang
tersisa mulai tidak betah dan kepingin ngibrit juga.
"Sebaiknya saya pergi juga, Miss Val," ucap Les dengan
nada yang sama dengan yang digunakan Pak Mul. "Ber?
bahaya kalau saya tetap di sini."
"Saya juga, Miss Rima," sambung Daniel dengan nada
serupa. "Saya takut ditindas sama ibu tirinya Miss."
Keduanya seketika tampak menyesali lelucon konyol
me?reka saat diberi pelototan tak senang oleh Putri Ba?
dai. "Ibu Tiri," gumam Aya dengan suara kagum. "Julukan
baru yang bagus ya, Put! Tapi elo jangan melotot-melotot
gitu dong ke gue. Kan gue cuma berkomentar. Lagian, lo
kagak bosen dipanggil Putri Es mulu?"
Menanggapi ucapan Aya, Putri Badai hanya bersungutsungut tanpa membantah. Mungkin diam-diam dia juga
setuju dengan pendapat Aya.
Dengan susah payah aku menahan tawa. "Bener juga
sih kata Putri Badai, Les. Kami memang harus beres-beres
dulu. Nanti aku kabarin ya kalo semua udah beres. Hatihati pulangnya."
Les mengangguk. "Sampai nanti. Ehm, Val, bisa ke sini
sebentar?" Dengan tampang misterius, cowok itu menarikku agak
menjauh dari teman-temanku.
"Eh?" Aku agak kebingungan, tapi mengikutinya. "Ke?
napa, Les?" Bukan hanya aku yang kebingungan bercampur rasa
ingin tahu. Aku bisa melihat leher-leher memanjang dan
telinga terpasang mengikuti kami, termasuk Putri Badai
Isi-Omen6.indd 86 yang tadi sempat berceramah tentang pentingnya meng?
hormati rahasia orang. Melihat ulah mereka, Les tampak jengkel banget.
"Ah, sudahlah, masa bodoh!" katanya pasrah.
Lalu dia mencium keningku.
Arghhhh, aku malu banget!!!
"Oooh," aku bisa mendengar suara Daniel yang ber?
nada penuh pengertian, membuatku makin bertambah
malu saja. "Apa gue perlu ikutan, Rim?"
"Jangan!" Sekali lagi Rima menunjukkan kemampu?
annya yang tinggi dalam hal menghindar. Kali ini dia
menyelinap di belakang Putri Badai. "Kita kan biasa-biasa
aja." "Waduh, kata-kata itu sangat merusak reputasi gue,"
kata Daniel sambil menggeleng-geleng. "Tapi berhubung
di sini lagi ada ibu tiri, gue jaga sikap dulu deh. Gue
pu?lang dulu ya, sayangku. Nanti kita lanjutkan ke?mesra?
an kita di lain kesempatan. Ladies," dia membungkuk ke
arah kami dengan gaya resmi, "sampai ketemu lagi."
Les juga ikut melambai. Tak lama kemudian kedua
cowok itu pergi dengan kendaraan masing-masing.
"Akhirnya," kata Putri Badai tanpa berusaha menutupi
perasaannya, "pergi juga para pengganggu itu."
"Bener-bener deh." Aya menggeleng-geleng. "Nggak
per?cuma elo dapet julukan baru, Ibu Tiri."
"Habis, mau pergi aja bertele-tele," gerutu Putri Badai.
"Benar-benar pemborosan tenaga dan waktu!"
"Halah, lo kayak nggak inget masa muda aja," goda
Aya. "Memangnya dulu waktu lo pacaran, lo nggak ka?
yak gitu, Put?" "Tentu saja nggak," balas Putri Badai dengan muka
Isi-Omen6.indd 87 ter?hina. "Gila, memangnya aku kelihatan seperti cewek
yang suka menye-menye terhadap pacarnya?"
"Nggak, tapi gue dan Rima juga nggak menye-menye,"
selaku. "Dan udah cukup pembicaraan mengenai cowokcowok ini. Benar-benar pemborosan tenaga dan wak?
tu!" Wajah Putri Badai berubah saat mendengar ucapanku,
membuatku rada keder untuk sesaat. Tapi Aya langsung
menetralisir keteganganku dengan berteriak, "Yay! Setuju!
Tos dulu!" sambil mengajakku ber-high-five. Dari ujung
mataku aku melihat Rima menyembunyikan se?nyum di
balik tirai rambutnya. "Oke." Putri Badai berdeham, tampak malu akibat te?
gur?anku (untunglah, kalau tidak, bisa-bisa aku ngibrit
juga mengikuti jejak Les). "Jadi sekarang kita beres-be?
res?" "Tunggu dulu," ucapku. "Gimana dengan motor gue?
Masih baru nih, jadi tolong jangan disuruh geletakin di
depan rumah begini ya. Nanti kalo dicolong orang, gue
bisa nangis tiga puluh hari tiga puluh malam."
"Lama amat nangisnya," celetuk Aya. "Tapi motor lo
me?mang bagus sih. Dari mana lo punya duit buat beli
motor sekeren ini?" "Ah, sebenarnya motor bekas kok," sahutku jujur.
"Abis, nggak mungkin lah gue bisa beli motor baru de?
ngan kondisi keuangan gue saat ini. Dan kalo sampe
ilang, nggak mungkin gue bisa dapetin gantinya."
"Jangan khawatir," senyum samar membayang di bibir
Rima. "Motor itu nggak akan hilang. Kita punya garasi
yang bagus kok." "Maksudmu, garasi yang dulu digunakan oleh si Butut?"
Isi-Omen6.indd 88 tanyaku mengacu pada gudang jelek yang ter?letak tak jauh
dari rumah Rima. "Bukan," geleng Rima. "Sepeninggalan kalian, gudang
itu dirobohkan. Soalnya, meski butut, mobil Erika waktu
itu cukup menarik perhatian karena sering keluar-masuk
kompleks." "Oh." Ucapan Rima memang benar. Kompleks tempat
tinggal Rima sudah terbengkalai, sampai-sampai dijuluki
Kompleks Terkutuk. Menurut gosip, di zaman dulu ada
pembantaian besar-besaran di kompleks ini, yang dilaku?
kan oleh salah satu penghuni yang sakit jiwa. Rupa-rupa?
nya si penghuni tidak pernah tertangkap dan gosipnya
masih bersembunyi di sekitar sini. Itulah sebabnya satu
demi satu rumah ditinggalkan begitu saja, dan tak ada
orang waras yang berminat membeli rumah di sini
kendati rumah-rumahnya sangat besar. Bahkan anak-anak
preman atau para tunawisma pun tidak berminat men?
cari mati dengan berkeliaran di sekitar sini. Satu-satunya
penghuni rupanya adalah Rima?dan kini kami. Jadi,
kalau ada yang keluar-masuk, pastilah sangat mencolok.
"Jadi, garasinya pindah ke mana, Rim?"
"Agak jauh tempatnya," sahut Rima. "Tepatnya, di
kompleks sebelah." "Walah, jauh dong," keluhku. "Masa tiap kali ngambil
motor gue harus ke kompleks sebelah?"
"Kalo lewat lorong bawah tanah, cuma jalan lima me?
nit kok," kata Rima menerangkan. "Kalau mau, kamu
bisa pergi ke kompleks sebelah dan menungguku di sana.
Aku bisa tiba di sana lima menit tanpa lari."
"Oke," sahutku ragu. "Kalo gitu, gue langsung ke sana
aja ya. Titip koper gue ya, Ay." Aya mengangguk me?
Isi-Omen6.indd 89 nanggapi permintaanku. "Memangnya rumah yang di
kompleks sebelah, nomor berapa, Rim?"
"Tentu saja," senyum Rima muncul lagi saat meng?ucap?
kan angka kesukaan ayahku itu, "nomor 47."
Isi-Omen6.indd 90 Aria Topan SETELAH selesai mengangkut semua koper ke dalam
rumah, aku dan Putri segera menyusul Rima.
Jelas dong, kami berdua kan juga ingin tahu mengenai
garasi yang terletak di rumah nomor 47 di kompleks
sebelah itu. Asal tahu saja, rumah Rima ini juga ber?
nomor 47, demikian juga nomor rumah kediaman ke?
luarga Guntur. Bahkan pelat mobil Benz yang membawa
kami ke sini pun bernomor 47 GNT. Mr. Guntur benarbenar tergila-gila dengan angka 47. Entah apa sebabnya,
tidak ada yang tahu. Dalam waktu singkat kami berhasil mengejar Rima
yang berjalan santai menyusuri lorong bawah tanah itu.
Tidak hanya gelap, dinding lorong itu juga dipenuhi
gambar-gambar seram hasil lukisan Rima yang berbakat
seni namun memiliki selera horor yang tidak kupahami.
Beberapa bagian lukisan itu tampak bersinar dalam ke?
gelapan lantaran cat yang digunakan dicampur dengan
fosfor, cocok untuk penerangan ala kadarnya. Beberapa
belokan nyaris saja menyesatkan kami, membuatku ber?
syukur bahwa kami berhasil mengejar Rima sebelum tiba
Isi-Omen6.indd 91 di belokan-belokan itu. Semilir angin sejuk yang ber?asal
dari entah mana membuat tengkukku me?rinding. Meski
sudah beberapa kali datang ke sini, aku tidak pernah
terbiasa dengan suasana gelap dan seram yang
memenuhi rumah ini. Lorong itu berujung pada tangga memutar dari kayu.
Rima yang mendahului kami mengeluarkan serencengan
kunci dan menggunakan salah satunya untuk membuka
pintu kecil yang juga terbuat dari kayu. Ruangan di balik?
nya rupanya adalah ruang keluarga yang tampak normal
dengan meja dari kayu serta sofa-sofa berwarna terang
yang senada dengan kertas dinding dan tirai yang me?
nutupi semua jendela. Yang lucu, pintu yang kami lalui
untuk memasuki ruangan itu bukanlah pintu biasa. Dari
ruangan itu, pintu itu ternyata merupakan salah satu
pintu dari sebuah lemari kayu besar berpintu delapan.
Benar-benar menakjubkan. Kompleks di sebelah kompleks terbengkalai tempat
rumah Rima berada adalah kompleks perumahan untuk
masyarakat kalangan ekonomi menengah. Jadi, sama
seperti rumah-rumah lainnya, ukuran rumah ini tidak
terlalu besar, meski tidak terlalu kecil pula. Memang sih
rumah ini jauh lebih kecil daripada rumah Rima yang
berada di dalam "mantan" komplek elite (dengan semua
gosip mengerikan mengenai Kompleks Terkutuk, tidak
ada orang dari kalangan elite yang berminat tinggal di
dekat-dekat sini), tapi itu tidak masalah. Rumah ini su?
dah memenuhi fungsinya dengan memiliki sedikit sekali
ruangan: sebuah kamar tidur dengan kamar mandi di
lantai atas, sementara di lantai bawah terdapat ruang
keluarga yang cukup luas dan berbatasan dengan dapur,
Isi-Omen6.indd 92 sebuah toilet, dan garasi besar dengan peralatan lengkap
bagai sebuah bengkel mini.
Kurasa pacar Val yang berprofesi sebagai montir itu
bakalan betah tinggal di sini.
Saat kami membuka pintu garasi, Val sudah menunggu
di depan dengan motornya. Cewek itu memandang
takjub ke dalam garasi. "Wow!" Dia menoleh pada Rima. "Bokap gue nggak
merancang rumah ini buat tempat tinggal Les, kan?"
Aku tertawa. "Idih, itu yang gue pikirin tadi!"
"Aku juga," timpal Putri sambil menahan senyum.
"Mungkin saja itu yang terjadi," sahut Rima dengan
ujung bibir terangkat sedikit. "Tapi aku kan nggak berani
nanya. Ini," Rima memisahkan kunci, "untuk membuka
pintu-pintu di rumah ini."
"Buat gue mana?" tanyaku meski tidak punya kendara?
an untuk diparkir. "Nanti akan kuambilkan serepnya di rumah," sahut
Rima. "Juga kunci untuk rumah induk. Kebetulan aku
udah bikinin serepnya untuk kita semua."
Setelah puas melihat-lihat rumah itu, Val mengunci
se?muanya dan kami kembali ke rumah induk. Aku lega
sekali mendapat kamar yang sama sekali tidak gelap dan
suram, melainkan kamar dengan nuansa hijau yang
cocok sekali untukku. Maksudku, hijau kan identik de?
ngan warna duit. Rasanya seperti jodoh, kan? (Atau
barang?kali Rima hanya ingin menyindirku.)
Kamar itu juga sangat besar?merupakan kamar ter?
besar dan termewah yang pernah kumiliki. Meski uang
da?lam tabunganku berjumlah cukup besar, aku tidak
pernah menggunakannya untuk berfoya-foya. Sebelum
Isi-Omen6.indd 93 pindah ke sini, aku tinggal di kos-kosan sederhana de?
ngan kamar berukuran 3 x 3 meter persegi, dengan
kamar mandi yang digunakan bersama. Di sini aku
mendapat kamar dengan ranjang berukuran queen yang
menghadap ke televisi LCD berukuran raksasa, lemari
bermodel walk-in closet yang ukurannya lebih besar
daripada kamar kosku dulu, dan kamar mandi lengkap
dengan bath tub. Rasanya seperti tuan putri saja deh.
Setelah mandi, berberes, dan meloncat-loncat sebentar
di atas ranjang lateks yang supernyaman, aku men?dengar


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunyi telepon yang rupanya berasal dari telepon di atas
nakas tempat tidurku. Dengan curiga aku meng?angkat
gagang telepon. "Halo?" geramku dengan suara semirip mungkin de?
ngan suara cowok. "Aya," terdengar suara Rima yang mirip berbisik-bisik
dari ujung telepon sebelah sana, "ketemu di ruang ma?
kan ya. Nanti kukirimin peta jalannya."
"Oke," sahutku riang. Aku sekarang bahkan punya
telepon internal di dalam rumah! Aku benar-benar keren
deh! Tak lama kemudian aku mendapat BBM dari Rima me?
ngenai jalan menuju ruang makan lengkap dengan
gambar. Tanpa pengarahan dari Rima, sudah pasti aku
bakalan nyasar. Soalnya, rumah Rima ini memang ajaib
banget. Rumah yang dari luar tampak seperti gudang
raksasa ini adalah rumah besar dengan beberapa tingkat
dan lorong bersimpang-siur yang bisa diubah-ubah
jalannya. Sama seperti lorong bawah tanah tadi, loronglorong ini bersuasana muram dengan dinding bergambar
Isi-Omen6.indd 94 seram hasil karya Rima dan penerangan dari cat fosfor
yang ada dalam lukisan. Bila tersesat, kita bisa tahu-tahu
muncul di ruangan yang berisi alat-alat penyiksaan
seperti guillotine alias alat pemancung kepala atau Iron
Maiden, peti mati dengan paku-paku di bagian dalam
peti tersebut. Tapi itu bukanlah yang paling parah.
Gosipnya, ada jebakan-jebakan yang mengarah pada
penjara, lubang berisi air, atau bahkan pipa saluran yang
akan melemparkan kita ke luar rumah. Rumah ini
bagaikan dirancang oleh seorang paranoid yang mengira
penghuni rumah ini bakalan diincar setiap malam.
Padahal, isinya kan cuma kami-kami saja. Rasanya agak
berlebihan kalau setiap hari kami harus mendapat
pengarahan dari Rima hanya supaya tidak tersesat. Tapi,
demi kamar supermewah yang langsung membuatku
betah pada pandangan pertama itu, aku rela bersusah
payah deh. Tidak berarti aku akan menahan diri untuk melayang?
kan protes pada saat aku tiba di ruang makan yang di?
maksud. Seperti kamar kami, ruang makan ini sangat mewah.
Terletak di bagian paling atas dari rumah ini, ruangan
ini memiliki jendela di atas langit-langit yang disebut
de?ngan skylight. Di sana-sini terdapat beberapa petak
tanah lengkap dengan rumput dan tumbuhan yang me?
nebarkan wewangian alami, mengelilingi sebuah meja
kayu berbentuk segi empat yang besar dan?membuatku
girang?dipenuhi berbagai kue dan sepoci teh. Semua
orang sedang menikmati camilan sore seraya me?nantiku
di sana. Kurasa berbeda denganku, mereka tidak sempat
meloncat-loncat di atas ranjang. (Kalau dipikir-pikir, kue
Isi-Omen6.indd 95 memang lebih menarik ketimbang loncat-loncat se?perti
badut sirkus.) "Hei," ucapku sambil menarik kursi dengan satu ta?
ngan dan meraih kue dengan tangan lain, "apa nggak
capek tuh, tiap kali mau ke ruangan tertentu, kita
nunggu dikirimi peta dahulu?"
"Memang repot," angguk Rima, "apalagi aku harus
meng?ubah jalan rahasia setiap hari dengan menutup
jalan yang satu dan membuka jalan yang lain. Tapi, me?
nurut Mr. Guntur, rumah ini bukan sekadar rumah atau
markas untuk kita. Rumah ini semacam tem?pat pelatihan
untuk kita. Kita harus bisa membaca peta dengan cepat,
menyusuri kegelapan dalam kondisi tegang, dan bisa
melakukan semua itu meski hanya sendirian. Kemampu?
an semacam ini harus sudah men?darah-daging dalam
diri kita demi misi-misi yang akan diberikan pada
kita." "Kalo denger ocehan lo, seolah-olah kita bakalan dapet
tugas jadi pembunuh bayaran atau mata-mata," gerutuku
dengan mulut penuh dan tangan sibuk menuangkan teh.
Meski masih bete, di dalam hati aku mulai bersemangat
dengan labirin-labirin yang membingungkan itu.
"Jangan khawatir." Val tersenyum seraya memotong
kuenya dengan garpu. "Sebenarnya peta itu cuma pe?
tunjuk untuk menyusuri lorong kok. Kenyataannya, ada
banyak lorong rahasia lagi yang tersembunyi di balik
dinding. Kalo kita bisa hafal semua lorong ini, lama-lama
kita nggak perlu peta lagi."
"Tapi gue bukan Erika," cetusku.
Mendengar nama Erika membuat garpu Val meleset
dan kue yang dipotongnya hancur berantakan. Ups. Tapi
Isi-Omen6.indd 96 saat dia bicara kemudian, suaranya terdengar tenang se?
olah-olah tak ada hal aneh yang barusan terjadi. "Nggak
butuh Erika untuk hafal semua lorong ini. Gue hafal,
Rima hafal, elo dan Putri pasti juga bisa hafal. Asal
kalian mau keliling-keliling waktu senggang, lama-kelama?
an kalian pasti bisa ingat seluruh tempat ini."
"Lama-lama horor dong muke gue kalo tiap hari JJS di
tempat kayak gini," komentarku. "Pantes Rima jadi kayak
hantu sumur gini. Kalo gue, kali-kali aja cocok jadi
suster ngesot yang teriak-teriak, capede capede..."
"Dan aku juga capek denger keluhanmu dari tadi,"
ketus Putri sambil memandangi Rima. "Lebih baik kita
langsung membahas topik tujuan kita semua berkumpul
di sini. Jadi, apa misi kita kali ini, Rim?"
"Misi kali ini adalah menyingkirkan semua anggota
Kelompok Radikal Anti-Judges," ucap Rima tanpa banyak
basa-basi, "termasuk Eliza, nggak peduli dia termasuk
komplotan itu atau nggak. Caranya adalah dengan me?
manfaatkan Pekan Olahraga.
"Seperti yang sudah kita semua tau, Pekan Olahraga
ada?lah salah satu ajang paling bergengsi untuk menunjuk?
kan bakat dan kemampuan olahraga di sekolah kita, de?
ngan hadiah menggiurkan berupa mengikuti pertukaran
pelajar ke luar negeri selama setahun. Jika kita bisa me?
masti?kan mereka mengikuti dan memenangkan
pertandingan-pertandingan itu, berarti mereka akan pergi
dari negeri ini selama setahun, cukup untuk mem?beri
kita semua waktu untuk lulus dengan damai dari sekolah
ini." "Jangan lupa, aku lulus duluan," tukas Putri seolaholah takut disangka tidak naik kelas.
Isi-Omen6.indd 97 Rima yang biasanya sering tidak enak hati, kali ini
malah tidak mengindahkan selaan Putri. "Ini berarti, kita
harus mencuri dokumen berisi format pertandingan dan
mengubahnya. Berhubung hadiah itu sangat diminati
banyak orang, yang berarti akan ada banyak pihak yang
nggak segan-segan berbuat curang, format pertandingan?
pun diamankan di rumah orang yang mensponsori
Pekan Olahraga dan hadiahnya ini, yang tidak lain dan
tidak bukan adalah Atase Julius."
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar nama
itu. "Ayah OJ," ucap Val pelan.
"Benar sekali," angguk Rima lalu menoleh padaku.
"Skenario kita sederhana saja. Dengan menggunakan
hubungan Aya dan OJ, kita datang ke rumah Atase
Julius. Sementara Aya menarik perhatian dengan OJ dan
keluarganya, Val dan Putri akan berpura-pura pergi ke
toilet. Toilet itu terletak tidak jauh dari ruang kerja Atase
Julius. Salah satu berjaga di depan toilet dengan berpurapura yang satunya ada di dalam, sementara yang satu
lagi masuk ke ruang kerja Atase Julius dan mengambil
dokumen yang ada di dalam lemari besi. Jadi kita butuh
alat untuk membongkar lemari besi tanpa menimbulkan
kerusakan pada lemari besinya. Aya, denger-dengar kamu
kenal dengan orang yang bisa menyediakan barangbarang kayak gini."
"Ih, kok semua jadi kerjaan gue sih?" tanyaku sewot.
"Gue yang menarik perhatian orang. Gue yang sediain
alat. Nggak adil ah!"
"Maaf," sahut Rima sambil menunduk. "Cuma ini ske?
nario terbaik yang bisa kupikirkan."
Isi-Omen6.indd 98 "Nggak apa-apa, Rim," Val menepuk bahu cewek yang
duduk di sebelahnya itu. "Ayo, lanjutin. Kita denger
dulu sisa rencana sebelum komplain lagi. Oke, Aya?"
Aku menggeram untuk menyatakan aku tidak punya
pilihan lain. "Nah, setelah berhasil mengambil dokumen itu, kalian
harus memberikan dokumennya padaku melalui jendela
ruang kerja," lanjut Rima lagi. "Jadi, sepanjang rencana
ini aku akan bersembunyi di luar jendela ruang kerja
Atase Julius. Ini sebabnya kita harus lakukan di malam
hari. Kalo siang-siang, bisa-bisa aku ketahuan dalam
waktu singkat. Padahal cuma aku yang bisa ngubah doku?
mennya, dan nggak mungkin aku ngubah itu di ruang
kerja Atase Julius. Bisa-bisa kita ketauan kalo kelamaan
berada di dalem. Mungkin kalian belum tau, tapi aku
bisa meniru tulisan orang-orang dengan cukup baik,
sementara dokumen itu ditulis tangan oleh Bu Rita. Aku
yakin bisa mengubah dokumen itu tanpa ketahuan siapa
pun, termasuk oleh penulisnya sendiri.
"Setelah aku selesai ngubah dokumennya sesuai de?
ngan format yang seharusnya yang, omong-omong, akan
aku susun besok setelah menyelidiki siapa lawan-lawan
paling lemah yang bisa kita sajikan, aku akan ngirim
BBM ke kalian lagi, dan kalian akan melakukan hal yang
sama lagi untuk kembali ke ruang kerja Atase Julius. Aku
ngasih kalian dokumennya, kalian masukin ke dalam
lemari besi, selesai. Kita tinggal tunggu hasil pertanding?
an aja." "Kedengerannya nggak sulit," kata Putri tampak puas
dengan skenario itu. Berbeda denganku, tentu saja, yang
masih merasa semua pekerjaan menyebalkan ditimpakan
Isi-Omen6.indd 99 padaku. Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Putri me?
noleh padaku. "Jangan merengut, Ay. Mukamu kelihatan
seperti lagi diare."
"Haha, lucu," tukasku. "Gini ya. Okelah, gue memang
kenal orang yang bisa beliin kita alat untuk membuka
lemari besi. Gampang itu mah. Jelek-jelek gue beliin
stetoskop aja. Tapi gue kepingin tau satu poin yang tadi
lo singgung dengan santainya, Rim. Lo bilang dengan
memanfaatkan hubungan Aya dan Oj..."
"Menggunakan," ralat Rima. "Bukan memanfaatkan."
"Potato, po-tah-to, sama aja, man," ketusku. "Pokoknya,
gue kepingin tau, memangnya apa sih yang ada dalam
bayangan lo saat lo mikirin hubungan Aya dan Oj?"
"Eh, gue bisa jawab!" seru Val ceria sambil meng?acung?
kan tangan. "OJ dan Aya itu diem-diem pacaran setelah
pemilihan anggota baru The Judges!"
"Tapi lalu OJ pergi ke Hongkong," sambung Rima mu?
ram. "Dan Aya langsung dapetin gantinya dengan gam?
pang," tandas Putri sambil menatapku dengan bete. "Se?
karang kamu pacaran sama cowok norak yang juga selalu
pake topi dan jaket ke mana-mana itu, kan? Kalian bisa
jadi pasangan kembar kedua setelah Erika dan Eliza,
tau!" Sialan. Mukaku dibilang kembaran dengan muka jelek
si Gil! "Idih, amit-amit, jelas gue jauh lebih cakep dong!
Lagian, kan masih ada beberapa pasang kembar lain di
sekolah kita. Ternyata Hakim Tertinggi nggak tau segala?
nya ya!" "Hakim Tertinggi kan bukan Tuhan," balas Putri ter?
hadap ejekanku. "Dan yep, aku tau kok, bahkan di geng?
100 Isi-Omen6.indd 100 nya Nikki ada sepasang kembar. Tapi berhubung mereka
bukan kembar identik, mereka nggak terlalu mencolok
dibanding pasangan kembar Erika dan Eliza?atau Gil
dan Aya. Hah!" Kadang aku kepingin menyeret Putri Badai ke gang
sempit, memukulinya sampai pingsan, membungkusnya
dalam paket, lalu mengirimnya ke Alaska. Lalu kami
semua yang berada di sini akan hidup berbahagia selama?
nya. Kurasa bukan cuma aku yang sering membayangkan
skenario beginian tentang Putri Badai. Cewek itu me?
mang tipe cewek populer yang banyak haters-nya. Tapi
salahnya sendiri, selalu bersikap dingin dan jutek tanpa
memikirkan risikonya. Padahal orang lain kan punya
perasaan. Seperti aku sekarang ini. Tega-teganya dia me?
nyamakan mukaku dengan muka Gil yang mirip abangabang di pasar! Kalau mirip cowok cantik sejenis Daniel
sih aku masih bisa terima, tapi kalau mirip Gil, itu kan
berarti aku kelihatan seperti transeksual!
"Sudahlah, nggak usah ngeles lagi, Ay," kata Val sam?
bil nyengir. "Memang bener kata Rima, ini skenario ter?
baik yang bisa kita lakukan. Nggak lucu kalo kita me?
nyelinap masuk ke rumah Atase Julius seperti maling.
Denger-denger dia punya banyak piaraan anjing galak
buat jagain rumah. Memangnya lo mau dikejar-kejar
doggy?" "Kalo gue jawab mau, artinya gue udah sinting," sahut?
ku cemberut. "Iya deh, ini skenario terbaik. Tapi me?
mang?nya alasan apa yang harus kita kasih untuk dateng
ke rumah mereka malem-malem?"
"Mungkin lo bisa bilang kita semua teman-teman dia
101 Isi-Omen6.indd 101 dulu," usul Val. "Gimanapun juga hubungan kita semua
kan lumayan baik sebagai sesama anggota The Judges
dan anggota OSIS." "Dan pasang tampang malu hati dan sungkan karena
menyatronin rumah cowok malem-malem, itu sebabnya
kamu bawa konco," Rima ikut menyarankan. "Tapi ber?
hubung kamu tipe cewek nggak mau rugi, kamu maksain
ke sana demi minta oleh-oleh dari Hongkong."


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhku langsung menegak. "Ada oleh-oleh dari
Hongkong?" "Masa nggak ada?" tanya Rima heran. "Kamu kan, ehm,
pacarnya!" Betul juga. Memang sih sudah bukan pacarnya lagi,
tapi setidaknya aku punya predikat mantan pacar. Sudah
sewajarnya aku minta oleh-oleh meski barangkali tidak
dibelikan. Rima benar banget, aku memang tipe cewek
yang tidak mau rugi. Mumpung aku sudah dimanfaatkan
dalam rencana ini, tidak ada salahnya aku mencari ke?
untungan dengan meminta oleh-oleh yang rada bagusan
sedikit. Sepertinya, aku mulai menyukai rencana ini.
*** "Hei, OJ!" Cowok itu tampak kaget waktu aku menghampiri?nya
di saat dia sedang ngumpul bareng teman-teman lama?
nya dari KPA alias Kelompok Pencinta Alam. Seperti yang
sudah kuketahui, cowok ini hobi banget masuk organi?
sasi yang aneh-aneh. Dia tidak terlalu ngebet di?suruh
rapat OSIS, tapi aku sering menemukannya sedang
102 Isi-Omen6.indd 102 memunguti sampah di tengah jalan bersama anak-anak
PL alias Peduli Lingkungan (mana baju mereka semua
dekil banget, jadi awalnya kusangka mereka geng
pemulung). Pernah lagi suatu waktu dia mendadak sulit
di?temui, lalu tahu-tahu aku me?nemu?kannya sedang ber?
jualan di warung lantaran ikut kampanye Dukung Usaha
Kecil dan Menengah. Intinya, Oj tuh aneh banget, dan tidak ada yang bakal?
an menyangka dia anak pejabat Kementerian Luar Negeri
yang cukup penting. Sejujurnya, bahkan aku pun baru tahu tentang pekerja?
an ayahnya akhir-akhir ini. Selama ini aku tidak banyak
tanya mengenai keluarganya?aku kan tidak mau di?
sangka matre, meski kenyataannya memang matre?na?
mun dari cerita OJ, aku mengira ayahnya adalah pegawai
kecil yang sering dipindahtugaskan. Seharusnya aku bisa
menduga, tidak ada pegawai kecil yang sering dipindah?
tugaskan ke luar negeri. Entah kebodohan apa yang
membuatku percaya begitu saja bahwa keluarganya tidak
tajir-tajir amat dan orangtuanya harus berusaha keras
untuk membiayai hidupnya. Kalau dpikir-pikir lagi,
mungkin aku hanyalah cewek biasa yang gampang ditipu
di saat sedang jatuh cinta.
Eh, bukannya aku pernah jatuh cinta pada OJ lho.
Aku hanya naksir kok. Seperti kata Putri, dalam waktu
singkat aku berhasil menemukan gantinya. Aku sama
sekali tidak merasa patah hati atau apalah di saat dia
pindah ke Hongkong tanpa permisi. Sedikit bingung dan
tersinggung, tentu saja, tapi hanya itu.
Di sisi lain, bukannya aku tergila-gila juga pada Gil.
Aku hanya senang berteman dengannya. Selain berbakat,
103 Isi-Omen6.indd 103 dia juga polos, menyenangkan, dan bisa membuatku me?
rasa lebih baik di saat aku sedang bete-betenya. Juga ka?
lau kita lihat sekilas saja?atau di saat kita menatap
nanar?dia bisa kelihatan rada ganteng. Dan kalau se?
dang berdiri di atas panggung, dia jadi ganteng
sungguhan. Gil pasti shock kalau tahu aku punya rencana ber?
tandang ke rumah OJ. Oke, jangan pikirkan Gil dulu. Sekarang lebih baik aku
fokus dengan rencana kami.
"Nanti malam ada acara?" tanyaku pada OJ tanpa
malu-malu di depan teman-temannya.
"Waduh, OJ ditembak sama cewek!" seru salah satu
teman cowoknya keras-keras, dan seluruh kumpulan itu
langsung bersorak-sorai untuk menyemangati.
"Jangan iri dong," ucap OJ sambil nyengir, lalu me?
narikku menjauh dari teman-temannya. "Jangan deketdeket sama oknum-oknum ini, Ay. Memangnya kenapa
lo nanyain gue soal acara gue nanti malem? Lo mau ajak
gue pergi?" "Idih, ge-er banget!" cibirku. "Mana oleh-oleh buat
gue?" Muka OJ tampak nge-blank. "Oleh-oleh?"
Dasar bajingan. Dia pasti lupa beli oleh-oleh untukku.
Te?nang, aku harus pasang muka badak. Mungkin perlu
me?nambahkan sedikit sentuhan emosi, seperti ter?sing?
gung karena tidak dibelikan apa-apa. "Iya, oleh-oleh. Lo
kagak lupa kan, beli sesuatu buat gue waktu pulang dari
Hongkong kemaren?" "Oh, oleh-oleh!" seru OJ seolah-olah baru teringat. "Iya,
nggak lupa kok! Besok ya, gue bawain ke sekolah!"
104 Isi-Omen6.indd 104 Waduh, urusannya jadi ribet. Mungkin aku harus men?
desak dengan gaya lebih resek lagi. "Kalo banyak,
mending?an gue jemput ke rumah lo aja nanti malem!
Nggak lucu ah, kalo gue bawa-bawa seharian. Kalo yang
lain-lain ikut mupeng gimana?"
"Oh iya, bener juga." Heh? Jadi dia memang punya
banyak oleh-oleh untukku? "Atau gue yang anterin ke
rumah lo aja?" "Ah, nggak lah, nggak enak," ucapku merendah. "Lo
yang ngasih oleh-oleh, masa masih harus bersusah payah
ke rumah gue lagi? Nggak apa-apa. Gue nggak keberatan
kok. Jadi nanti malam gue ke rumah lo jam tujuh
malam, ya?" Muka OJ jelas-jelas menyiratkan rasa bingung. Yah,
cowok mana sih yang tidak bingung menghadapi cewek
yang agresif dan mengundang dirinya sendiri untuk
datang ke rumah si cowok? Dalam hati aku mulai me?
maki-maki teman-temanku untuk peran yang tidak enak
dan tidak tahu malu ini. Untungnya, OJ terlalu gallant
untuk menolak keinginan seorang cewek dan mem?per?
malukanku. "Oke deh. Terserah lo aja..."
"Apa? Apa? Mau ke mana?"
Shoot. Kenapa si Gil bisa tahu-tahu nongol di sini?!
Bisa-bisa dia kepingin ikutan nimbrung dan seluruh
rencana kami jadi hancur berantakan. Oh no! Aku harus
mengusirnya jauh-jauh. "Nggak ke mana-mana kali,
Gor..." "Lah tadi gue denger ada yang mau ke rumah siapa gitu
jam tujuh malam?" tanya Gil ngotot. "Jangan main
rahasia-rahasiaan dong, Cinta. Hati gue jadi hancur nih."
Shoot! Cowok ini kepo, nyolot, dan omongannya
105 Isi-Omen6.indd 105 norak banget, tapi entah kenapa aku malah merasa
bersalah banget padanya. Mungkin di balik sifat matreku,
se?benarnya aku malaikat lembut dan baik hati.
Hahahaha, tidak mungkin banget. Aku matre, opor?
tunis, tidak mau rugi. Tidak mungkin banget aku lembut
dan baik hati, apalagi dapat embel-embel malaikat segala.
Orang idiot pun tidak bakalan ketipu.
"Gue cuma pergi ke sana buat ngambil oleh-oleh dari
Hongkong, Gor," akhirnya aku berkata. "Nggak ada
maksud apa-apa kok. Ya nggak, OJ?"
"Ehm," OJ mengernyit saat aku menyikut perutnya,
"begitulah." "Kalo cuma oleh-oleh, kan bisa dikasih di sekolah,"
kilah Gil. "Lagian, ngapain juga oleh-oleh dari
Hongkong, Cinta? Hongkong itu kan sekarang bagian
dari China. Di sini banyak barang-barang made in China,
Ay, murah-murah, lagi. Kalo lo mau, nanti gue beliin
satu kantong gede deh!"
Sialan. Cowok ini pintar juga kalau sudah posesif
begini. Yah, sejujurnya sih, aku juga tidak terlalu ber?
nafsu dengan oleh-oleh dari luar negeri. Dijual pun tidak
ada harganya. Beda lagi ceritanya kalau oleh-olehnya
berupa perhiasan dari Tiffany. Masalahnya, aku harus
punya akses ke rumah OJ, tidak peduli alasannya konyol
dan membuatku kelihatan seperti cewek bego yang suka
barang-barang made in China.
"Sori, Gor," ucapku dengan tega seraya membalikkan
tubuh dan membelakangi cowok bertampang malang
bagai anak anjing ditinggal majikannya. "Yang nama?nya
oleh-oleh harus dihargai, dari mana pun asalnya, berapa
pun harganya. Lagian, daripada lo ngurusin urusan gue,
106 Isi-Omen6.indd 106 mendingan lo urusin diri sendiri aja. Band lo masih
tetep dua orang kan anggotanya?"
"Ada yang mau gabung lagi kok!" sahut Gil keras saat
aku berjalan meninggalkannya. "Jadi nggak usah di?urus?
in, anggotanya nambah sendiri! Eh, Cinta, jangan pergi
ke rumah dia ya! Pokoknya kalo lo pergi, gue ikut!"
Ah, gertakan kosong. Dia kan tidak tahu di mana ru?
mah OJ. Aku kembali pada teman-temanku.
"Gimana?" tanya Val dengan tampang cemas. "Berhasil?
kah?" Aku memberinya tanda peace dengan jari telunjuk dan
jari tengahku. "Rencana tahap pertama, sukses."
"Gimana dengan Gil?" Putri mengerutkan alis. "Kami
lihat dia sempat menginterupsi. Dia nggak bertingkah
macam-macam, kan?" "Tentu saja nggak," sahutku ketus. "Gil anak baik kok.
Dia nggak akan jadi halangan."
"Baguslah kalo gitu," angguk Putri. "Aku hanya ingin
memastikan." "Nggak usah khawatir," ucapku meremehkan. "Ini cu?
ma OJ gitu lho. Anaknya gampang kok, apalagi kita se?
mua lebih bejat daripada dia!"
Aku menyadari Rima tidak mengucapkan apa-apa, me?
lainkan hanya memandangi kami.
"Kenapa, Rim?" tanya Val. Tentu saja, bukan hanya aku
yang memperhatikan kebisuan Rima. "Ada yang sa?lah?"
"Nggak," ucap Rima perlahan. "Hanya... Nggak apa-apa."
Cewek itu berusaha tersenyum, tapi hasilnya dia tampak
semakin seram saja. "Semoga semuanya berjalan lancar
ya." 107 Isi-Omen6.indd 107 Seandainya saja Rima berterus terang saat itu. Soalnya,
sesuai reputasinya sebagai sang Peramal, Rima tidak
pernah salah. Karena hanya dia yang menyadari, semuanya kacau
sejak awal. *** Kurang-lebih pukul tujuh malam, mobil yang kami
tumpangi sudah berada di depan rumah keluarga
Julius. Tentu saja, yang mendapat kehormatan untuk menjadi
sopir kami adalah Pak Mul. Si bapak ini, meski ber?
tampang lempeng, kelihatan banget senang kalau diajak
melakukan hal yang tidak-tidak. Selain itu beliau juga
selalu tepat waktu, jago balapan, jadi bisa diandalkan
andai kami butuh melarikan diri, dan, yang terpenting,
tidak pernah kaget meski melihat ulah kami yang anehaneh. Seperti saat ini, ketika Rima sedang menyem?bunyi?
kan diri di bawah dasbor depan kursi penumpang di
samping sopir. Serius, pada saat-saat biasa pun Rima
sudah menakutkan banget. Kini, yang terlihat darinya
hanyalah kepala penuh rambut dan nyaris tanpa wajah.
Gila banget, kan? Mana di luar sudah gelap banget. Aku
saja berusaha tidak menengok-nengok ke bagian depan
untuk menghindari adegan menjerit tiba-tiba. Tapi muka
Pak Mul malah datar-datar saja.
Meski cukup bagus dan tidak berukuran kecil, rumah
kediaman keluarga Julius tidaklah besar-besar banget, per?
tanda pejabat satu ini cukup jujur dan tidak hobi comot
duit di sana-sini. Berlantai dua, rumah itu terletak di
108 Isi-Omen6.indd 108 salah satu kompleks perumahan untuk rumah-rumah
keluarga menengah ke atas. Pagar jerujinya tidak terlalu
tinggi tapi terlihat cukup berbahaya, dengan kawat me?
lingkar-lingkar di bagian atasnya.
"Ups," ucapku seraya mengamati pagar itu. "Gimana
cara?nya lo manjat pagar itu, Rim?"
"Dengan perlahan-lahan," sahut Rima seolah-olah aku
orang goblok yang tidak tahu bagaimana cara memanjat
pagar. "Tenang saja, di belakang ada lampu jalan yang
berdekatan dengan sebuah pohon. Kalo aku memanjat
di situ, nggak akan ada yang perhatiin."
Mungkin kalau ada yang memperhatikan pun, mereka
akan mengira mereka hanya berkhayal. Habis, tam?pang
Rima kan kayak hantu, dan rasanya tidak masuk akal
banget hantu memanjat pagar padahal mereka bisa ber?
jalan menembusnya. Sebaiknya aku tidak mengkhawatirkan Rima. Bagai?
manapun, cewek itu sanggup melakukan hal-hal aneh di
luar akal sehat manusia biasa. Lebih baik aku meng?
khawatirkan diriku sendiri saja.
"Oke kalo gitu," aku menarik napas. "Mari kita cabut."
"Good luck, Rima, Pak Mul," ucap Val sebelum me?ning?
gal?kan mobil. "Kalo ada apa-apa, kirim BBM aja ya."
"Oke," sahut Rima dari bawah dasbor.
"Baik, Miss Val," Pak Mul ikut nimbrung.
"Titip Rima, Pak Mul," ucap Putri.
"Baik, Miss Putri."
Kami bertiga keluar dari mobil dan menghadap ger?
bang pagar yang tinggi. Sebuah bel menempel di sisi
kiri. Bukan jenis bel keren yang biasa ada di film-film?
kalian tahu, bel dengan interkom dan kamera?me?
109 Isi-Omen6.indd 109

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lainkan bel biasa yang sederhana saja. Aku menekan bel
tersebut. Alih-alih pengurus rumah atau tukang taman atau
apalah, OJ-lah yang nongol dari balik pintu depan dan
berjalan ke arah pagar menyambut kami.
"Hai," sapanya sambil tersenyum. "Bukan Aya doang
yang datang ternyata."
"Haha, iya nih," tawaku canggung. "Maklum, jarangjarang ke rumah cowok malem-malem. Enaknya gue
bawa bodyguard aja."
"Yah, lo bawa bodyguard yang tepat," seringai OJ. "Gue
belum lupa lho, betapa lihainya mereka. Gue aja pasti
kalah kalo dihajar salah satu dari kalian. Oh iya, sori se?
belumnya, nanti mungkin kalian bakalan dikerubuti
doggy-doggy gue. Biasalah, tadi bokap gue ngelepas abis
magrib." SHOOT!! Bagaimana cara Rima menghadapi anjinganjing penjaga yang konon galak-galak itu?!
Aku bertukar pandang dengan Val dan Putri. Muka
mereka tidak kalah cemas dengan apa yang ku?rasa?kan
saat ini. Tapi sebelum kami sempat membahas plan B
ten?tang merencanakan ulang cara Rima memasuki pe?
karangan rumah tersebut, OJ sudah membuka pintu
pagar seraya mengusir segerombolan anjing Siberian
Husky yang sedang mengerubutinya. Sejujurnya, kalau
tidak sedang mengkhawatirkan nasib Rima, aku bisa
meng?anggap anjing-anjing itu luar biasa cantik. Bagai?
mana tidak? Anjing-anjing itu kerabat jauh serigala,
dengan warna putih dan abu-abu mendominasi bulu
mereka yang tebal. Mereka bagaikan kaum bangsawan
kaum anjing, dan dalam khayalanku, seharusnya mereka
110 Isi-Omen6.indd 110 menemani Putri Badai kalau cewek itu berhasil kupaket?
kan ke Alaska, dan di sana mereka akan mengelu-elukan
Putri sebagai ratu mereka.
"Ayo, nggak apa-apa, mereka nggak gigit kok," kata OJ
sambil mempersilakan kami masuk, tapi bahasa tubuhnya
jelas-jelas memagari kami dari anjing-anjing cantik na?
mun seram itu. "Menggonggong aja nggak, jadi nggak
usah khawatir." Kami bertiga, termasuk Putri, terbirit-birit menuju
pintu masuk, dan sangat lega saat pintu itu akhirnya di?
tutup di belakang kami. "Silakan duduk," kata OJ sambil tetap berdiri. "Se?
bentar ya, gue akan panggil orangtua gue..."
Belum sempat pantat kami menempel di sofa, ter?
dengar suara riuh gonggongan anjing yang aneh.
Belakangan aku baru menyadari bahwa suara gonggongan
Siberian Husky tidak selucu tampangnya, tapi saat itu
aku tidak ingat apa-apa selain ketakutan yang amat sa?
ngat karena membayangkan Rima berdarah-darah di?
keroyok anjing-anjing itu.
Tanpa banyak cincong, aku, Val, dan Putri lang?sung
meloncat ke arah pintu dan membuka benda itu, tanpa
peduli bahwa kami hanyalah tamu rumah tersebut.
Untungnya, OJ juga tidak sempat memperhatikan ulah
aneh kami lantaran dia sendiri melakukan hal yang sama
dengan kami?hanya saja, dia sedikit lebih lambat.
Aku tidak ingat siapa yang berhasil membuka pintu
itu. Pokoknya, tahu-tahu saja pintu sudah terbuka lebar,
sementara aku, Putri, Val, dan OJ memandangi pekarang?
an dengan shock. Di depan mata kami, alih-alih Rima,
tampaklah dua orang cowok yang sedang sibuk mengusir
111 Isi-Omen6.indd 111 anjing-anjing Siberian Husky dengan sapu lidi yang ke?
mungkinan besar mereka temukan di pekarangan. Wajah
kedua cowok itu familier bagiku?terlalu familier.
"Oh, Cinta!" seru Gil girang saat melihat kemunculan?
ku. "Udah nyampe lama? Maaf ya, gue agak telat. Abis
susah bener sih nyari rumah ini. Semuanya kelihatan
sama di malam hari. Ya nggak, Dam?"
"Ya," sahut rekan senasib seperjuangan Gil yang kini
tampak terpana ke arah kami, tepatnya ke arah Putri.
"Halo, semuanya, kita ketemu lagi."
Shoot! Itu rekan boyband Gil sekaligus mantan pacar
Putri Badai, Damian Erlangga!
Sepertinya, sepulang dari sini aku bakalan kena sem?
prot. 112 Isi-Omen6.indd 112 Putri Badai SELAMA beberapa detik yang terasa seperti selamanya,
aku tidak bisa berpikir. Seharusnya aku merasa lega karena ketakutanku tidak
berdasar, bahwa bukan Rima yang dikerubuti anjinganjing itu. Akan tetapi aku nyaris tidak merasakan kelega?
an itu. Sebaliknya, ketegangan yang kurasakan semakin
meningkat. Tatapanku terpaku pada cowok iblis sialan
yang juga membalas tatapanku dengan sorot mata was?
pada dan penuh selidik. Seolah-olah jika aku men?dadak
mengeluarkan busur dan anak panahku, dia sudah siap
menghindarinya. Apa-apaan sih cowok itu? Kenapa dia bisa berada di
sini? Jangan bilang dia hanya ingin menemani Gil,
karena itu jelas tidak benar. Seorang Damian Erlangga
terlalu berhati-hati untuk melakukan permainan slebor
seperti ini. Pasti dia punya rencana rahasia di balik
tingkah konyol begitu. Ya Tuhan. Aku sudah lupa betapa tampannya dia, de?
ngan tubuh tinggi yang nyaris menyamai OJ yang me?
113 Isi-Omen6.indd 113 mang jangkung banget, rambut pendek yang kini mulai
memanjang, mata yang menyorot tajam, dan bibir yang
menyunggingkan senyum sinis yang licik. Rasanya sudah
lama sekali sejak aku bertatap muka begitu dekat dengan?
nya. Rasanya juga baru kemarin dia menggenggam ta?
ngan?ku, genggaman kuat yang seolah-olah tidak ingin
melepaskanku. Padahal kejadian itu sudah beberapa
bulan berlalu. Setelah itu, dia pindah kelas dengan ala?
san pelajaran kelas XII IPA 1 terlalu sulit. Lalu dia
pindah ke kelas XII IPA 2 dan dia menjadi ke?tua geng
untuk anak-anak IPA yang bandel-bandel (dan, omongomong, termasuk lumayan langka). Sejak saat itu kami
tidak pernah bertemu lagi.
Atau itulah yang kuyakinkan pada diriku. Bukannya
kami benar-benar tidak pernah ketemu lagi. Toh sekolah
kami tidak terlalu besar, dengan ukuran kantin yang paspasan pula. Lebih celakanya lagi, kelas kami bersebelah?
an. Setiap hari kami pasti ketemu beberapa kali, entah
itu di koridor sekolah maupun di kantin, atau di luar
pekarangan sekolah saat jam pelajaran belum dimulai
atau sudah berakhir. Pada saat-saat seperti itu aku ber?
pura-pura tidak melihatnya. Tapi, setiap kali aku men?
curi-curi lihat padanya, aku selalu menangkap basah dia
sedang melihat ke arahku juga.
Serius deh, saat-saat itu adalah saat-saat yang paling
ku?tunggu-tunggu sepanjang hari, saat-saat paling men?
debarkan, saat-saat paling membahagiakan, sekaligus juga
saat-saat yang paling menegangkan bagiku. Setiap kali
pergi ke sekolah atau keluar dari kelas, aku selalu me?
masti?kan penampilanku sudah rapi. Tidak boleh ada
adegan cabe nyelip di gigi, makan sambil nyembur114
Isi-Omen6.indd 114 nyembur, atau terbirit-birit ke toilet. Pokoknya, aku harus
secantik dan seanggun tuan putri.
Semuanya demi cowok iblis jahat ini.
Bukannya aku masih jatuh cinta padanya atau apa.
Toh tak ada yang benar-benar terjadi di antara kami.
Pacaran pun hanya pura-pura, jadi agak berlebihan kalau
ada yang menyebutnya sebagai mantan pacarku. Selama
masa pacaran pura-pura itu kami sebenarnya saling ber?
musuhan. Setiap hari dia membuatku darting alias darah
tinggi, membuatku menahan diri sekuat tenaga untuk
tidak memanahinya sampai dia kabur sambil terkaingkaing. Intinya, tidak pernah ada masa-masa manis dan
bahagia bersamanya seperti masa pacaran pasanganpasangan lain. Jadi tidak ada gunanya memikirkan masamasa bersamanya dulu.
Faktanya, setiap malam, sebelum tidur, aku selalu di?
hantui masa-masa itu. Caranya melemparkan tas ke atas meja kami pada saat
kami masih jadi teman duduk sebangku. Seringainya saat
dia menggodaku dan sengaja membuatku marah. Suara?nya
yang mengalun lembut pada saat dia sedang me?nyanyi,
kontras dengan penampilannya yang kasar dan jahat.
Aku pasti sudah mulai gila karena aku kangen banget
mendengar lagu Cewek Paling Jutek, lagu yang dicipta?kan?
nya untuk meledekku, lagu yang dulu selalu membuatku
darting. Ya Tuhan, aku kangen sekali pada cowok sialan ini, dan
aku tidak bisa mengatakannya pada siapa pun juga.
Aku benci keadaan ini. Dan aku benci kenyataan bahwa saat ini dia berada
dekat sekali denganku bukanlah karena kangen padaku
115 Isi-Omen6.indd 115 juga, tapi punya niat terselubung untuk mencelakaiku
dan teman-temanku. Oke, hentikan semua rengekan ini. Aku adalah Putri
Badai. Aku Hakim Tertinggi yang paling berkuasa di
sekolah. Yang lebih penting lagi, saat ini aku sedang me?
lakukan misi penting yang mungkin akan menye?lamat?
kan hidup banyak orang. Jadi, aku tidak boleh lemah
hati karena cowok iblis yang licik ini.
Kurasakan Aya mendekatiku. "Kita biarin aja atau kita
tolong mereka?" "Biarin aja," jawabku keras-keras sambil membalik
badan. Aku tahu, Damian pasti mendengar ucapanku.
Sam?bil berjalan masuk, aku berkata, "Salah mereka sen?
diri sudah menyelinap tanpa permisi. Ini jadi pelajaran
juga bagi mereka supaya mereka nggak akan berbuat se?
enaknya lagi. Ayo, kita masuk saja."
"Sadis," aku bisa mendengar Aya berkomentar kaget,
tapi aku tidak peduli. Itu sudah merupakan perananku?
menjadi cewek dingin dan jutek yang tidak segan-segan
menegur atau menghukum tegas supaya orang-orang jadi
segan dan tahu diri. Sementara peranan untuk menjadi pemimpin yang bijak?
sana dan baik hati tentu saja jatuh ke tangan Valeria. "OJ,"
ucapnya dengan nada prihatin. "Bisa tolong panggil doggydoggy-nya biar nggak ada yang luka?"
"Oke," sahut OJ dengan patuh, lalu bersiul dan me?
manggil doggy-doggy-nya. Mendengar langkah-langkah
ber??derap di belakangku, aku mengasumsikan semua
orang sudah berada dalam kondisi aman dan selamat.
Semoga Rima akan baik-baik saja.
"Ada keributan apa tadi?"
116 Isi-Omen6.indd 116 Dari tangga muncullah sepasang suami-istri yang tentu
saja adalah Atase Julius dan istrinya. Sama seperti OJ,
Atase Julius bertubuh tinggi dengan tampang seorang
ku?tu buku yang lugu. Namun saat beliau meng?ulur?kan
ta?ngan untuk menjabatku, jabatannya mantap dan suara?
nya juga berwibawa. "Halo, saya papanya OJ."
"Saya Putri, Om."
"Putri?" senyum Atase Julius.
"Dia Putri Badai yang seram itu, Pa, yang waktu itu
kuceritain itu lho!" sela OJ dengan suara malu-malu tapi
tidak takut mati. Habis, dengan muka sungkan begitu
dia berani mempermalukanku di depan orangtuanya! De?
ngan ucapan itu kan berarti dia mengaku sudah meng?
gosipiku di belakangku. Dasar anak kurang ajar!
"Oh, Putri Badai!" Eh, beliau mengenali namaku? "Om
kenal papamu! Kami dulu satu sekolah. Papamu anak
yang baik, cuma agak nakal, jadi sempat nggak naik
kelas." Ya Tuhan, ayah dan anak ini sama-sama punya
ke?biasaan membuatku malu! "Lalu yang cantik ini...
Astaga, kamu Valeria Guntur?"
Valeria menatap Atase Julius dengan pandangan ber?
tanya-tanya. "Ya, Om."
"Om juga kenal orangtuamu!" Apa-apaan ini? Kenapa
semua orangtua jadi saling mengenal? Jangan-jangan...
karena mengenal orangtua kamilah, anak-anak ini dipilih
oleh Mr. Guntur untuk menjadi anggota The Judges?
"Astaga, kamu mirip sekali dengan mamamu!"
Wajah Valeria langsung berubah saat mendengar ibu?
nya disinggung-singgung. Menyadari perubahan hati ce?
wek itu, buru-buru Atase Julius menambahkan, "Maafkan
117 Isi-Omen6.indd 117 Om. Om benar-benar nggak sensitif sudah menyinggung
mamamu yang sudah meninggal. Om turut berdukacita,
Val." "Makasih, Om," senyum Valeria tampak murung. "Dan
nggak perlu minta maaf. Om baik sekali."
Aku dan Valeria sedang menyalami ibu OJ yang
anggun, cantik, dan masih tampak muda ketika ayah OJ
ber?seru, "Dan kamu pasti Aya! OJ seharian ini su?dah ber?
koar-koar bahwa kamu akan datang, jadi Om nggak
boleh pulang terlambat dan harus mandi dulu segala.
Waktu di Hongkong juga dia sering minta pulang.
Sayang?nya kami nggak punya kerabat di sekitar sini, jadi
nggak mungkin dia pulang seorang diri dan tinggal sen?
dirian. Kami juga nggak mungkin pulang karena punya
pekerjaan penting di sana..."
"Om, kenalin... saya...," buru-buru Gil menyela di antara
Atase Julius dan Aya, "nama saya Gil. Saya pacar baru
Aya." "Bukan!" bantah Aya dengan suara malu. "Gor, minggir
ah kamu! Nggak sopan, tau?"
Oke, aku tidak menyangkal kondisi ini benar-benar
kacau-balau. Tapi semua ini bukan urusanku lagi, melain?
kan urusan Aya. Biarlah dia melakukan misi khususnya
untuk minta oleh-oleh atau apa sajalah untuk mengalih?kan


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatian keluarga OJ dari kami. Meski bikin suasana jadi
ricuh, sebenarnya Gil bukanlah halangan yang berbahaya.
Ma?lah?an mungkin saja dia bisa dimanfaatkan untuk
membuat adegan heboh yang menarik perhatian.
Aku bertukar pandang dengan Valeria yang meng?
angguk samar padaku. "Maaf, Tante," aku menyunggingkan senyum yang ku?
118 Isi-Omen6.indd 118 harapkan tampak malu-malu pada ibu OJ, "boleh saya
pinjam toiletnya?" "Oh ya, silakan!" sahut ibu OJ ramah. "Ada di sebelah
sini tempatnya." Sejujurnya, aku tidak menyangka rumah OJ ternyata
begini kecil. Ukurannya bahkan tidak sampai seperempat
rumah orangtuaku. Pergi ke toilet tidak berarti kami bisa
lenyap sepenuhnya dari pandangan orang-orang di sana.
Sebuah lemari pajangan melindungi kami, tapi kalau ada
yang menoleh ke sini, sudah pasti kami bakalan ter?
tangkap basah. "Kamu yang masuk saja," bisikku pada Val. "Ada Damian
di sini. Kalo dia mulai kepo, aku bisa menghalanginya."
"Oke." Tanpa membuang-buang waktu, Val lenyap ke balik
ruangan di dekat toilet yang tentunya adalah ruang kerja
Atase Julius. Sementara itu dengan sigap aku me?nyalakan
lampu toilet, lalu menutup pintunya. Orang akan
menyangka Val di dalam toilet, dan aku sedang me?
nunggunya. Baru saja aku me?lepaskan gagang pintu,
terdengar suara dari be?lakangku.
"Antre nih ceritanya?"
Aku berbalik dengan cepat dan mendapati Damian
sedang mengawasiku. "Kamu mau apa?" ketusku.
Cowok itu memasang wajah sepolos mungkin. Sayang?
nya, upayanya gagal total karena tidak ada kepolosan se?
dikit pun di wajah licik itu. "Mau pipis, tentu aja."
"Maksudku ngapain kamu datang ke sini?"
"Oh." Cowok itu menyeringai. "Memangnya nggak
cu?kup jelas?" 119 Isi-Omen6.indd 119 Aku memandangi cowok itu lekat-lekat. Apakah dia
akan berkata jujur ataukah berniat menipuku dengan
alasan yang masuk akal? "Aku nggak suka main tebaktebakan."
"Ampun deh." Cowok itu menggeleng-geleng seraya
menghela napas. "Lama nggak ngobrol, tetep aja jutek
begini. Sumpah mati gue nggak ngerti kenapa gue bisa
begini kangen sama elo."
Jantungku serasa berhenti berdetak sesaat mendengar
ucapan itu. "Nggak usah gombal. Tiap hari juga ketemu
di sekolah." "Tapi... kita nggak kayak dulu lagi, kan?"
Ya Tuhan. Aku tahu cowok ini jahat, tapi kenapa dia
begitu memesonaku? Reputasinya memang tidak salah
sebagai Prince of Evil. Aku nyaris tidak bisa mengelak
saat dia berusaha meraih tanganku. Untung saja, seper?
sekian detik sebelum dia menyentuhku, aku berhasil me?
langkah mundur. Gawatnya, punggungku sudah me?
nempel pada dinding. Rasanya aku seperti terpojok.
"Stop," bisikku seraya mengangkat telapak tanganku
untuk menahan Damian saat cowok itu melangkah maju
mendekatiku. "Kamu tau kita ada di pihak yang ber?beda."
"Itu benar," gumamnya. "Tapi perasaan itu kan nggak
bisa diatur-atur seenak jidat. Lo pikir gampang ngelupain
lo begitu aja?" Cowok itu berusaha melangkah maju lagi dan lagi-lagi
aku menahannya dengan telapak tanganku menahan
dada?nya. Ya ampun, bodi cowok ini sekeras batu. Semua?
nya penuh otot. Kalau dia berniat melakukan sesuatu
padaku, aku tak bakalan bisa menghentikannya.
120 Isi-Omen6.indd 120 Aku mendongak pada cowok itu, dan sekali lagi me?
nyadari betapa kontrasnya kami berdua. Tubuhku ter?
masuk agak pendek dibanding teman-temanku, semen?
tara cowok ini malah lebih tinggi dari kebanyakan
co?wok seusia kami. "Kamu belum menjawab. Buat apa
kamu ke sini?" "Gue..." Damian tampak blank sejenak, seolah-olah
lupa dengan apa yang ingin diucapkannya. "Ehm, gue
kepingin ikutan main."
Aku menyipitkan mataku. "Kepingin ikutan main?"
Cowok itu menyunggingkan seringainya yang jail dan,
sayangnya, sangat memesonaku. "Lo kira gue bego?
Nggak mungkin Aya bikin-bikin alasan untuk datang ke
sini, dan nggak sendirian pula. Saat melihat lo dan Val
ikutan turun dari mobil tadi, gue langsung yakin banget
pasti ada sesuatu yang seru di sini. Tentunya gue nggak
mau ketinggalan dong."
Aku menahan napas dan berusaha menjaga mukaku
tetap dingin. "Kamu terlalu banyak berimajinasi. Mung?
kin karena terlalu kangen sama aku?"
"Mungkin," sahut cowok itu sambil tersenyum lebar.
"Mungkin memang gue cuma bikin-bikin alasan supaya
bisa berduaan lagi dengan lo seperti sekarang ini."
"Kita nggak cuma berdua," balasku. "Dan asal tau aja,
mungkin sekarang Val lagi ketakutan di dalam toilet dan
nggak berani keluar gara-gara tingkahmu yang bikin dia
salting. Mendingan kamu pergi dulu deh."
"Tapi," protes cowok itu, "gue beneran kebelet."
"Tahan lima menit lagi nggak bikin kamu mati."
"Nggak sih, cuma bikin gue tersiksa setiap detiknya.
Kenapa sih lo suka nyiksa gue?"
121 Isi-Omen6.indd 121 Aku tidak bisa menahan senyum. "Nggak bisa men?
derita sedikit untuk cewek yang katanya lo kangenin?"
Sekali lagi cowok itu menghela napas. "Udah nasib
gue tergila-gila sama cewek jahat yang juga pinter. Iya
deh, gue ngalah. Biar lo cewek-cewek melakukan urusan
kalian." Oke, aku kesal juga dengan ucapannya barusan. Dasar
cowok iblis. Berani-beraninya dia mengataiku jahat! Pada?
hal siapa sih yang berada di pihak orang jahat? Dia,
kan? Ya, kan? Sepeninggal Damian, aku langsung mengetuk pintu
ruang kerja. Seketika itu juga Val menyelinap keluar.
"Semuanya baik-baik aja?" tanyaku ingin tahu.
"Peralatan dari Aya keren banget," sahut Val. "Gue
ber?hasil buka lemarinya dalam waktu kurang dari dua
menit. Dan untung banget Rima juga udah ada di luar.
Dia nggak bilang apa-apa sih, tapi karena dia nggak
komplain, gue asumsiin dia aman dari gangguan anjinganjing Siberian cakep itu."
Aku mengangguk lega. "Baguslah kalo gitu."
"Tapi gila aja, ngapain sih si Damian tadi?" keluh Val.
"Untung gue nguping dulu sebelum keluar. Kalo nggak,
celakalah kita!" "Cowok itu curiga sama kita," sahutku rendah. "Kita
harus hati-hati sama dia."
"Gue tau," sahut Val muram. "Gue ke toilet dulu ya!
Gara-gara tegang tadi, gue jadi beneran kepingin pipis."
Oke, sekarang aku juga jadi kepingin pipis. Ternyata
semua kejadian ini memang menegangkan banget.
Kami berdua kembali ke ruang keluarga. Di sana se?
mua rupanya sudah rukun dan sedang asyik menikmati
122 Isi-Omen6.indd 122 es jeruk segar bersama kue-kue kering. Aku me?mandangi
Aya, tapi yang bersangkutan malah asyik me?nimangnimang setiap oleh-oleh yang didapatnya, mulai dari
gantungan kunci Disneyland hingga kaus bergambar
naga dengan tulisan "I Love Hongkong".
"Gue berani taruhan gue pernah lihat kaus ini di
Cihampelas Bandung," kata Gil sambil menunjuk-nunjuk
kaus pasaran tersebut. "Coba lo periksa labelnya, mung?
kin ada tulisan Made in Indonesia?"
"Enak aja!" teriak OJ dan ayahnya nyaris serempak, OJ
dengan nada bete dan ayahnya dengan nada nyaris geli.
Gil benar-benar beruntung sudah diberkati dengan wajah
yang sangat polos, bertolak belakang dengan rekan satu
band-nya yang dikutuk dengan muka yang tidak bisa
dipercaya. Jadi, meski melontarkan ucapan-ucapan yang
tidak begitu menyenangkan, sulit sekali bagi semua
orang untuk membencinya. Malahan komentar-ko?mentar?
nya itu terdengar lucu. "Coba dilihat," ibu OJ ikut-ikutan menimbrung, "ini
tulisannya Made in Russia kok."
"Ah, yang bener?!" Gil langsung memelototi label baju?
dari jarak dekat. "Ah, Tante! Nyaris saya kena tipu, Tan!"
Ibu OJ tampak terkekeh-kekeh, sementara orang-orang
lain tampak girang lantaran cowok paling ribut di ruang?
an itu akhirnya berhasil dikerjain juga. Sepertinya semua
orang sedang mengalami saat-saat yang menyenangkan.
Kecuali, tentu saja, aku dan Valeria yang berusaha
memasang tampang ikutan hepi seraya menyembunyikan
keringat dingin yang mengalir di pelipis, tengkuk, dan
bagian belakang betis kami. Mana kami harus menajam?
kan kuping untuk menunggu BBM dari Rima. Ya Tuhan,
123 Isi-Omen6.indd 123 rasanya betul-betul sulit berkonsentrasi pada acara sosiali?
sasi yang membosankan ini. Semoga reputasi jutekku
menolong jika ada yang menganggap tampangku terlalu
lempeng saat gurauan-gurauan meaningless dilontarkan.
"Putri sepertinya dari tadi nggak tertarik dengan
obrolan kita?" Yang berani bilang begitu, siapa lagi kalau
bukan si cowok iblis sialan?
"Maaf," jawabku berusaha sesopan mungkin, tapi aku
menyadari nada suaraku masih terdengar dingin dan
angkuh. "Rasa humor saya memang sedikit sekali. Tolong
abaikan saja saya." "Ah, mana bisa begitu?" tanya ibu OJ dengan cemas.
"Bisa-bisa kami dianggap tuan rumah yang buruk!
Memang?nya kenapa selera humormu sedikit, Nak? Apa
karena lelucon buatan kami nggak terlalu lucu?"
Ya. Itulah jawaban yang tebersit dalam hatiku, tapi
aku menjawab sopan, "Ini memang sudah pembawaan
saya, Tante. Nggak apa-apa kok."
"Mungkin Putri merasa kurang lucu karena percakapan
kita kurang melibatkan dia," saran si cowok iblis yang
sudah kembali lagi pada profesinya sebagai tukang bikin
darting. "Saran saya sih, dalam setiap pembicaraan kita,
kita harus selalu mengikutsertakan Putri."
Dasar bajingan kelas tinggi! Aku mengertakkan gigi
kuat-kuat seraya menahan diri untuk menonjok cowok
usil itu sekarang juga. "Terima kasih, tapi nggak perlu.
Saya memang orangnya sensitif, jadi agak sulit diajak
bercanda. Saya lebih cocok jadi pendengar daripada pem?
bicara." "Putri sangat merendah," kata Damian dengan muka
serius. "Padahal tadinya dia itu ketua OSIS lho. Dia ter?
124 Isi-Omen6.indd 124 biasa memberi perintah. Oh iya, omong-omong soal ke?
tua OSIS, di mana Rima? Bukannya dia cukup akrab
dengan kalian juga?"
Rasanya jantungku berhenti berdetak sejenak, dan aku
cukup yakin teman-temanku juga merasakan hal yang
sama. "Betul," sahut Aya dengan wajah merah. "Tapi malam
ini dia punya kegiatan yang sebaiknya nggak diceritakan
ke orang lain." Aku menatap Aya dengan tegang. Dasar si goblok!
Kenapa dia bisa ngomong begitu?
"Oh ya?" tanya Damian seraya memasang wajah datar,
sementara yang lain-lain, yang tentunya lebih lugu dari?
pada si licik itu, tidak segan-segan menampakkan wajah
pe?nasaran dan kepo banget. "Memangnya dia lagi ngapa?
in?" "Tapi jangan bilang-bilang ke dia kalo gue udah ngasih
tau kalian ya." Sambil merunduk di tengah-tengah meja,
Aya berbisik dengan suara yang pastinya terdengar jelas
oleh semua orang. "Dia lagi datang bulan hari per?tama."
Jawaban itu jelas tidak terduga oleh siapa pun. Ibu OJ
langsung manggut-manggut penuh pengertian, se?mentara
yang cowok-cowok langsung speechless sambil ter?sipusipu. Sementara itu, aku berusaha memasang muka datar
sedatar-datarnya. Oke, serius. Setelah meng?umum?kan dan
menegaskan aku tidak punya selera humor barusan, kini
mendadak aku kepingin ketawa ba?nget. Senang betul
rasanya melihat Aya berhasil mengerjai semua orang,
terutama si kepo Damian yang kini tampak salting.
Aku benar-benar sudah lupa betapa cerdiknya Aya.
Sayangnya, kegembiraanku hanya bertahan beberapa
125 Isi-Omen6.indd 125 menit kemudian. Tiba-tiba Atase Julius berdiri seraya ter?
senyum. "Nah, sudah waktunya saya kembali bekerja, Om ting?
gal dulu ya..." "Jangan!" Ucapan terakhir ini diteriakkan olehku, Valeria, dan
Aya secara serentak. Tentu saja, semua melongo seraya
me?mandangi kami. "Om, Om kan cowok paling ganteng di ruangan
ini," kata Aya dengan rayuan gombal ala tukang obat.
"Kalo nggak ada Om, pemandangan jadi lebih gersang
nih!" "Dan," tambah Val cepat, "kalo Om pergi, nggak lama
kemudian pasti Tante ikutan pergi. Tante kan paling seru


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sini! Kalo Tante pergi, kami pasti jadi cepet bosen."
Ternyata teman-temanku jago ngegombal semua.
Hanya aku satu-satunya yang tidak menguasai seni ter?
sebut. "Benar, Om, Tante. Lagian saya juga ingin tau soal
papa saya yang nggak naik kelas tadi."
Haishhh. Aku memang bodoh dalam hal seperti ini.
"Baiklah," ayah OJ tersenyum. "Kalau gitu saya akan
tinggal sebentar lagi."
"Begitu juga saya," sambung ibu OJ.
Baguslah. Tidak percuma aku mengaku ingin tahu ten?
tang masa lalu ayahku yang memalukan. Setidaknya
rencana kami akan tetap berjalan dengan baik.
"Kalian bener-bener mencurigakan." Mendadak ku?
dengar bisikan dari belakangku. "Apa sih yang sebenar?
nya kalian rencanakan?"
Aku menoleh ke belakang, dan melihat Damian sedang
bertengger di sandaran sofa yang kududuki. Gayanya sok
126 Isi-Omen6.indd 126 manis dan sok romantis, tapi aku tahu lebih baik. Dari
posisi itu dia akan jauh lebih gampang menyiksaku de?
ngan komentar-komentar jail yang hanya bisa didengar
olehku. Mungkin aku harus memberinya sedikit pelajaran.
Aku bersandar pada sofa hingga bisa merasakan tangan
cowok itu di punggungku. "Kamu terlalu mengada-ada deh," aku balas berbisik
sambil berusaha memasang wajah yang tak kalah licik
dan jahat. Oke, aku tidak tahu bagaimana caranya me?
masang wajah jahat dan licik. Pokoknya aku berusaha
sajalah. Aku menyunggingkan senyum sesinis mungkin
dengan ujung bibir terangkat sebelah dan menggerakgerakkan alis. "Nggak semua orang selalu punya niat
jahat seperti kamu, Damian."
Cowok itu tertegun memandangiku. Gawat. Kalau
d?ipikir-pikir lagi, sepertinya aku sudah bertingkah konyol
ba?nget. Daripada bergaya-gaya jahat, aku lebih mirip se?
dang berusaha menggoda Damian. Ini betul-betul me??
malu?kan dan merendahkan reputasiku! Aku ini Putri
Badai, Hakim Tertinggi, dan aku tidak akan merendahkan
diri dengan berkedip-kedip menggoda cowok, apalagi
cowok jahat seperti Damian!
Sudahlah. Daripada menyesali nasib, lebih baik aku
me?narik diri dan kembali berpura-pura tertarik dengan
pembicaraan membosankan di depanku ini.
Kurasakan jari kelingking kaki Valeria mendadak me?
nyenggol jari kelingking kakiku. Hampir saja aku tidak
menyadarinya. Untung aku tipe orang yang gampang
ter?ganggu oleh sikap kurang ajar jenis apa pun juga.
"Ke toilet lagi yuk," ucap Valeria dengan tampang me?
127 Isi-Omen6.indd 127 melas yang sangat meyakinkan. "Kayaknya gue ke?
banyakan minum nih."
Pasti Rima sudah menghubunginya. Aku harus ber?purapura menolaknya. "Masa ke toilet aja harus ku?temen?in?"
"Ayolah, temenin gue." Valeria menggandeng tangan?
ku. "Gue nggak enak berkeliaran di rumah orang sendiri?
an. Lagian, lo juga banyak minum. Masa nggak kepingin
pipis?" Gila, cewek ini sakti juga. Sekarang aku mendadak jadi
kebelet lagi. "Iya deh. Maaf ya, Om, Tante. Kami permisi ke
toilet sebentar." "Eh, sekalian! Saya juga harus kembali ke ruang kerja!"
Aku dan Valeria hanya melongo saat Atase Julius ikut
bangkit dari sofa. "Maaf ya, anak-anak. Saya tau kalian
masih ingin ditemani, tapi saya masih ada banyak pe?
kerjaan untuk malam ini. Kalian bisa tinggal sampai
malam kok, selama orangtua kalian mengizinkan. Kami
nggak akan terganggu, soalnya teman-teman OJ banyak
kok yang sering nongkrong di sini sampai tengah ma?
lam." "Gimana nih?" bisikku pada Valeria sambil menyem?
bunyikan kepanikanku. "Nggak tau," balas Valeria. "Mana gue belum tutup
lemari besinya, lagi."
Gila, gawat benar! "Kenapa nggak ditutup?"
"Kan menghemat waktu. Tapi gue rapetin kok, jadi
kalo cuma sekilas lihat, kelihatan tertutup. Cuma kalo
beliau teliti..." "Beliau nggak boleh masuk ke dalam ruang kerjanya,"
tandasku sambil berjalan mendahului Valeria. "Lo yang
masuk ke dalam ya, sekarang juga." Tanpa menunggu
128 Isi-Omen6.indd 128 jawaban Valeria, aku menghampiri Atase Julius. "Om,
saya boleh tanya?" "Oh ya." Ayah OJ menatapku dengan heran. "Tentu
saja boleh, Put." "Om teman satu sekolah papa saya?"
"Iya, bener, Put."
Aku mengerling ke arah Valeria. Dia berhasil memasuki
ruangan kerja Atase Julius tanpa terlihat. Yes! "Kalo gitu,"
aku pun memalingkan wajah, berusaha menampilkan
tampang sedih dan memelas, "Om pasti kenal Om Ricky
juga." Sepertinya pancinganku mengena, karena ayah OJ
langsung terdiam dan tampak canggung.
"Iya, Om kenal," ucapnya akhirnya dengan suara pelan.
"Put, Om turut menyesal..."
"Jangan, Om," sahutku dramatis. "Semua yang terjadi
memang udah yang terbaik buat saya. Saya... saya dan anak
Om Ricky memang nggak berjodoh." Melihat gelagat ayah
OJ yang seolah-olah kepingin kabur, aku berusaha me?
nahannya. "Om, Om pernah denger berita terbaru tentang
anak Om Ricky? Papa saya nggak mau ngasih tau."
"Waduh, Om juga nggak tau, Put," ucap Atase Julius
tampak tak enak hati. "Setahu Om, anaknya masih
belum sekolah karena masih pemulihan ya, akibat luka
pada waktu pementasan drama kemarin!"
"Iya, tapi saya curiga itu cuma alasan," kilahku. "Abis,
ada temen lain yang juga luka parah seperti dia, tapi
udah sekolah sejak lama."
Tentu saja, aku mengacu pada Eliza Guruh, tapi pasti
ayah OJ tidak mengenalnya.
"Begitu ya?" Atase Julius berdeham. "Maaf, Put, Om
129 Isi-Omen6.indd 129 nggak tahu. Nanti akan Om tanyakan pada Om Ricky.
Bagaimana?" Aku mengangguk. "Makasih, Om."
"Nah, sekarang Om harus pergi dulu..."
Aduh, Valeria belum keluar-keluar juga!
"Jangan dulu, Om!" Gawat, suaraku terdengar his?teris!
Lebih parah lagi, semua orang langsung ikut me?noleh
padaku. Buru-buru aku menurunkan nada suara?ku, tetapi
tetap menggunakan suara panik supaya nada suara?ku
yang histeris tadi tidak mencurigakan. Untuk meyakin?
kan supaya pria itu tidak kabur karena takut dengan
reaksiku yang berlebihan, aku sengaja mencekal lengan
bajunya. "Om, Om harus kasih tau saya, apa... dia baikbaik saja? Apa dia mau pindah sekolah?"
"Putri." Sumpah, aku jadi tidak enak hati saat melihat
ayah OJ benar-benar ketakutan menghadapiku. Padahal
dia kan pejabat di konsulat yang sudah terbiasa ber?
kecimpung dalam dunia politik dan banyak menghadapi
musuh-musuh dalam selimut yang menakutkan. Mung?
kin aku lebih menakutkan daripada orang-orang yang
biasa dia hadapi itu. "Maaf ya, Put, Om benar-benar
nggak tahu. Om memang pernah dengar soal ren?cana
Ricky untuk mengirim anaknya ke luar negeri, tapi Om
belum tahu kepastiannya seperti apa. Kalau kamu mau
ber?sabar, Om berjanji akan menanyakan rencana Om
Ricky untuk anaknya, oke? Gimana?"
Dari ujung mataku, aku melihat Valeria keluar dari
ruang kerja Atase Julius. Akhirnya!
"Baiklah, Om," ucapku dengan suara tergetar. "Janji
ya, Om, Om akan tanyain. Soalnya papa saya nggak mau
berurusan lagi dengan Om Ricky selamanya."
130 Isi-Omen6.indd 130 Wajah Atase Julius terlihat lega luar biasa. "Ya, tenang
saja. Pasti akan saya tanyakan. Nah, sekarang saya kem?
bali dulu ke ruang kerja saya. Permisi."
Begitu aku melepaskan cekalan tanganku pada lengan
bajunya, Atase Julius langsung menderap?setengah ter?
birit-birit, kurasa?menuju ruang kerjanya. Sementara itu,
Valeria berjalan melewatiku dan berbisik, "Nice job."
Yep. Tapi setelah ini, kemungkinan besar OJ akan di?
larang keras oleh orangtuanya untuk mengundang Putri
Badai si cewek psikopat yang masih saja tergila-gila pada
mantan pacar yang mencampakkannya.
Aku menghela napas dan membalikkan badan.
Dan melihat Damian di belakangku.
"Apa?" tanyaku agak kasar.
"Nggak apa-apa," gumamnya sambil berjalan melewati?
ku. "Ternyata begitu."
"Ternyata apa?" Aku mengubernya hingga ke depan
toilet. "Kamu nguping tadi barusan?"
"Ya iyalah!" balas cowok itu tidak kalah kasar. "Lo kira
ngapain gue dateng ke sini?" Cowok itu berhenti di
depan pintu toilet?untunglah, karena aku kan tidak
mung?kin mengikutinya sampai ke dalam sana?dan me?
natap?ku dengan sinar mata garang yang membuatku
me?langkah mundur. "Ternyata lo masih cinta sama co?
wok goblok itu. Ternyata lo sama gobloknya dengan dia.
Mungkin kalian harusnya jadian lagi aja."
"Mungkin," aku memberanikan diri membalas ucapan?
nya, "asal kamu nggak menghalang-halangi."
"Oh, gue nggak akan menghalangi." Cowok itu ter?
senyum sinis. "Gue malah akan bantuin kalian biar jadi?
an lagi. Setelah itu gue akan nonton gimana dia nyakit?in
131 Isi-Omen6.indd 131 lo, gimana lo menyesal karena keputusan lo yang tolol
banget itu, dan gimana lo mohon-mohon ke gue untuk
membantu lo lolos dari dia lagi..."
"Damian," aku memotong kata-kata yang diucapkan
dengan menggebu-gebu itu. Habis, nada suara Damian
waktu mengucapkan semua itu sama sekali tidak ter?
dengar jahat. Malahan, ada rasa sakit yang membuatku
merasa tidak tahan lagi. Pertentangan seperti apa pun di
antara aku dan Damian, aku tidak akan menyakiti
hatinya seperti ini. "Aku nggak berniat untuk kembali
pada Dicky sama sekali kok."
"Oh ya? Lalu ngapain lo nanya-nanya soal dia dengan
desperate begitu?" "Apa pun yang aku lakukan, itu urusanku," tegasku.
"Kamu nggak perlu tau tentang kehidupanku atau apa
pun juga yang sedang kulakukan. Yang kamu perlu tau
cuma satu hal." Aku menarik napas, lalu menyemburkan
kata-kata itu sebelum semua keberanianku lenyap. "Satusatunya cowok yang aku sukai saat ini cuma kamu."
Damian hanya mematung seraya menatapku.
"Sayangnya, kamu jahat," tambahku lagi. "Kamu bah?
kan lebih jahat daripada Dicky. Kalo Dicky aja pernah
bikin aku sengsara begitu, apalagi kamu. Jadi aku nggak
akan terlibat denganmu, sama sekali. Titik. Dan oh ya,
satu lagi." Aku mendekatinya seraya menatapnya lekatlekat, se?men?tara cowok itu tampak seperti terhipnotis
olehku. Soalnya, sedari tadi dia tidak bergerak sedikit
pun. "Di mana-mana itu lady first. Jadi, aku pake toilet?
nya duluan ya!" Tanpa menunggu jawabannya, aku menyerbu ke dalam
toilet dan mengunci pintu.
132 Isi-Omen6.indd 132 Dan meredakan jantungku yang berdebar-debar tak
keruan. Siapa bilang kerjaan Aya paling berat? Kerjaanku yang
paling parah di sini! Reputasiku rusak, demikian juga
reputasi ayahku lantaran ketahuan tidak naik kelas. Lalu,
aku juga harus menghadapi cowok iblis ini berkali-kali,
cowok yang membuatku nyaris kena serangan jantung
berkali-kali, cowok yang membuatku ingin melemparkan
diri ke dalam pelukannya sekaligus cowok yang mem?
buatku ingin menusuknya. Kalau nanti sudah pulang, aku akan mengocehi semua?
nya supaya tidak banyak komplain lagi di saat kebagian
tugas tidak enak. Ya Tuhan, rasanya toilet ini begitu damai. Rasanya aku
ingin tinggal di sini semalaman sampai waktunya pulang
nanti. Tapi sekarang aku sedang berada di tengah-tengah
misi. Aku tidak boleh bertingkah seenaknya. Bisa saja
gara-gara aku mendekam di sini, misi kami jadi gagal.
Aku menarik dan menghela napas berkali-kali, lalu keluar
dari dalam toilet. Dan menemukan Damian masih menunggu di depan
pintu. Tidak ada yang perlu kukatakan lagi, jadi aku berjalan
melewatinya. Tapi, entah untuk keberapa kalinya malam
ini, jantungku serasa nyaris berhenti berdetak saat cowok
itu mencekal lenganku. "Semua kata-kata tadi," gumam cowok itu muram, "itu
beneran?" "Kenapa?" balasku sambil mengangkat alis. "Takut aku
menipu? Tenang saja, aku bukan kamu kok. Sekarang
133 Isi-Omen6.indd 133 lepasin aku. Kalo nggak, nanti aku ketularan virus jahat?
mu." Meski sudah disembur dengan kata-kata superjutek
begitu, cowok itu masih juga tidak melepaskanku.
"Damian," tegurku mulai cemas. "Cepet lepasin aku.


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang pasti udah mulai bertanya-tanya kenapa kita
berdua lama banget di sini."
Cowok itu masih diam saja. Malahan, belakangan dia
membuang muka. Dasar kurang ajar! Memangnya muka?
ku sebegitu tidak enak dilihat?!
"Maaf," akhirnya cowok itu berkata perlahan, "maaf
ya gue jahat." Aku terperangah mendengar ucapan itu.
Cowok itu tetap tidak menatapku. "Andai gue bisa
meng?ubah semua ini. Tapi gue bener-bener nggak bisa.
Maaf." Oke, sekarang aku jadi speechless.
"Nggak apa-apa," akhirnya aku menjawab kelu. "Me?
mang bukan takdir kita."
Cowok itu mengangguk kaku, seolah-olah sedang me?
nanggung beban seluruh dunia di punggungnya. Lalu,
perlahan dia melepaskan lenganku.
"Jaga diri ya, Put."
Aku bisa mendengar kata-kata tambahan yang tak di?
ucapkannya. Terutama dari diri gue. Aku balas meng?
angguk. "Kamu juga."
Karena aku juga sangat berbahaya sebagai lawan.
Pastinya cowok itu tahu apa yang kupikirkan, karena
dia langsung menyeringai saat mendengar ucapanku.
Meski tidak ingin meninggalkan cowok itu, apalagi
sudah lama sekali aku tidak ngobrol dengannya, aku
134 Isi-Omen6.indd 134 tahu sudah waktunya aku pergi. Jadi, tanpa banyak basabasi lagi, aku meninggalkan cowok itu dan kembali ke
ruang keluarga. "Kok lama?" tanya OJ dengan muka curiga, mem?buat?
ku langsung waswas. "Abis BAB, ya?"
Dasar anak kurang ajar! Aku ini Putri Badai gitu lho!
Mana mungkin aku BAB di rumah orang?!
Aku tidak menyahuti pertanyaan yang sangat me?rendah?
kan itu, melainkan langsung memelototi OJ.
"Sori, sori," ucap OJ buru-buru. "Jangan langsung ke?
pingin makan gue gitu dong."
Gil buru-buru menyodok OJ. "Makanya jangan mainmain sama Putri Badai! Dia itu serem, tau?"
"Dunia juga tau kalo cuma itu mah. Meski ada emak
gue, nyawa gue juga kagak bakalan selamat kalo dia
sampe ngamuk!" Suara OJ yang terlalu keras mem?buat?
nya langsung disodok Gil sekali lagi.
"Sepertinya kalian udah mulai akrab," cetusku dengan
nada sinis. "Baguslah. Bosen aku melihat cowok ributribut cuma karena ngerebutin cewek. Mending ceweknya
terkesan. Lihat muka Aya, sampe lumutan gitu."
"Makasih," sahut Aya masam. "Ini namanya muka
suntuk, soalnya dari tadi gue udah ngantuk bener." Lagilagi Aya bersikap cerdas. Sadar misi kami sudah tuntas,
dia menggunakan kesempatan pertama untuk berpamitan.
"Tante, makasih ya untuk keramahan malam ini. Maaf
kami mengganggu sampe semalem ini."
"Ah, nggak apa-apa, Ay." Ibu OJ tersenyum cantik na?
mun sekaligus keibuan. "Seperti yang tadi saya dan Om
bilang, temen-temen OJ juga biasa nongkrong di sini
sampai malam. Kami sebagai orangtua OJ senang sekali
135 Isi-Omen6.indd 135 bisa berkenalan dengan teman-teman OJ, apalagi yang
baik-baik seperti kalian. Lain kali datang lagi ya!"
"Pasti, Tante, kami mohon diri," ucap Aya.
"Mari, Tante," ucapku dan Valeria nyaris berbarengan.
"Kami pulang dulu."
"Oh ya, betul, udah malem!" teriak Gil sambil me?
mandangi ponselnya. "Gawat, emak gue missed call lima
kali!" "Anak band nggak boleh keluar malem ya?" tanya Aya
geli. "Sebenernya sih boleh, tapi kudu lapor tiap jam,"
kilah Gil. "Kan sekarang tingkat kriminalitas tinggi. Gue
kan anak dan cucu semata wayang. Sekalinya ada apaapa, garis keturunan keluarga kami yang indah bisa ter?
ancam putus. Sori, gue telepon emak gue dulu sebelum
beliau histeris." Sementara Gil memisahkan diri, kami para cewek
berjalan menuju pintu depan diantar oleh OJ dan
ibunya. Sementara OJ mulai memagari kami dari anjinganjing yang langsung datang mengerubuti, kami
berpamitan sekali lagi pada ibu OJ.
"Makasih ya, Tante," ucap Aya mewakili kami semua.
"Makasih udah nemenin kami sampe malam."
"Dengan senang hati," sahut ibu OJ. "Lain kali jangan
sungkan untuk datang lagi ya!"
"Ya, Tante. Sampe ketemu lagi."
Kami berhasil menyeberangi pekarangan dengan se?
lamat, sementara OJ berada di belakang kami.
"Hei, Aya." Aya menoleh pada OJ, sementara aku dan Valeria
cukup tahu diri untuk meninggalkan mereka di belakang.
136 Isi-Omen6.indd 136 Akan tetapi, OJ sepertinya tidak berniat merahasiakan
perasaan hatinya. "Kita pacaran lagi ya!"
Hening sejenak. Dasar cewek bodoh. Bisa-bisanya dia
mempertimbangkan ajakan itu padahal cowok itu pernah
pergi begitu saja ke Hongkong tanpa bilang apa-apa.
Memangnya dia mau ditinggal sekali lagi?
Aku membalikkan badan dan siap mengocehi Aya jika
dia berani bertindak goblok. Tetapi, saat itu aku melihat
Gil yang juga sudah keluar bersama-sama Damian. Gil
memandangi Aya dengan muka blo?on pe?nuh harap,
sementara tatapan Damian tertuju padaku.
Ya Tuhan, di saat drama orang lain sedang berlangsung
dengan serunya, cowok ini masih saja berhasil mem?buat?
ku hanya memandang padanya. Rasanya seperti terkena
narkoba saja. Bukannya aku pernah mencoba narkoba,
tapi pasti begini kan rasanya kecanduan?
"OJ, thank you buat malam ini." Aku mendengar suara
Aya saat dia berjalan ke dekat OJ, nada suaranya manis
meng?goda. Kupaksakan mataku berpindah arah dari
Damian untuk menyaksikan temanku membuat keputus?
an penting dalam kehidupan remajanya. "Apalagi oleholehnya. Gue seneng deh dapetnya. Cuma sori banget,
gara-gara lo MIA," temanku itu meraih tangan Gil dan
menarik cowok itu ke sampingnya, "seandainya gue mau
pacaran, gue bakalan milih Gil aja."
"MIA itu apa?" sela Gil mengacaukan suasana tegang
yang sedang berlangsung. "Missing in Action."
"Oh, bilang aja kabur." Gil nyengir. "Iya sih, lo pake
MBA segala!" 137 Isi-Omen6.indd 137 "MBA?" tanya Aya bingung seraya menoleh padanya.
"Missing by Accident."
"Nggak usah bikin-bikin singkatan seenak jidat!" omel
Aya dengan suara geli yang menandakan dia sebenarnya
menyukai kekonyolan Gil. "Yah, anyway, OJ, gue tau
dulu kita deket, tapi sekarang semuanya udah berubah.
Tapi kita tetep bisa temenan, kan?"
OJ diam sebentar, lalu tersenyum. "Iya dong. Apalagi
kan kata lo seandainya lo mau pacaran. Ini berarti lo
belum pacaran dan belum mau pacaran juga. Bisa aja,
kalo gue berusaha, posisi kita jadi kembali seperti se?
mula..." "Enak aja!" seru Gil seketika. "Jangan nyumpahin,
man! Justru gue akan bikin dia mau jadian, lalu kami
bakalan hidup bahagia sampai kakek-nenek..."
"Ngimpi lo," cetus Aya. "Bisa gila gue kalo masih tetep
bareng lo sampe kakek-nenek."
"Jadi maksud lo, kalo jadian, kita bakalan cuma se?men?
tara gitu?" tanya Gil sambil memegangi dada. "Belum
apa-apa gue udah broken heart."
Aku tersenyum melihat kekonyolan tiga anak itu.
Tidak peduli Aya serius dengan ucapannya atau tidak,
aku tahu dia akan mengalami hari-hari yang menyenang?
kan bersama OJ dan Gil?dan itu cukup untukku. Tidak
sengaja mataku bergeser, dan tatapanku bertabrakan de?
ngan tatapan Damian. Cowok itu langsung menyungging?
kan senyum padaku?senyum licik yang membuat pe?rasa?
anku tidak enak. Kenapa? Kenapa dia tersenyum? Apa aku hanya terlalu
paranoid, dan senyum itu hanyalah senyum yang tidak
ada artinya? 138 Isi-Omen6.indd 138 Ataukah semua yang terjadi malam ini malah berjalan
sesuai dengan skenario yang dibuat oleh Damian?
*** Kami akhirnya berhasil melepaskan diri dari cowokcowok itu dan masuk ke mobil. Di bawah dasbor jok
depan di samping Pak Mul, tersembul kepala penuh
rambut dan tanpa wajah seperti ketika kami meninggal?
kannya tadi. Cukup menakutkan, tapi tentu saja aku
tidak bakalan mengakui hal ini pada siapa pun.
"Waduh, cepet amat lo balik ke sini, Rim," goda
Valeria, "atau jangan-jangan dari tadi lo memang nggak
keluar dari sini?" Rima diam sejenak mendengar pertanyaan Valeria.
"Dari tadi aku memang di sini kok. Kan di halaman ada
banyak anjing. Gimana mungkin aku bisa masuk?"
Kami bertiga yang duduk di jok belakang langsung ter?
sekat. "Jadi, tadi, siapa tangan putih yang..." Valeria ter?
dengar histeris. "Oh God, apa gue udah ngasih ke... Jadi
gimana kita... Gagal?"
Ucapan Valeria yang berlepotan menandakan cewek
itu benar-benar shock. Terdengar suara tawa Rima yang lirih dan langka.
"Jangan khawatir, semuanya berhasil kok. Tadi aku ber?
hasil masuk ke dalam waktu Gil dan Damian membuat
keributan, lalu ketika anjing-anjing itu beralih padaku,
aku udah siap dengan beberapa jenis dog food dan sosis.
Kami langsung berteman baik. Sempat digigit nyamuk
sih, untungnya aku pake baju lengan panjang. Kan
139 Isi-Omen6.indd 139 nggak mungkin aku tepuk nyamuknya. Bisa ketahuan
dong. Pelajaran penting, kalo mau menyelinap malammalam, memang kudu pake lotion antiserangga..."
Gila, lelucon Rima benar-benar mengerikan?dan me?
nyebalkan. Rasanya aku langsung kepingin meledak. Tapi
membayangkan Rima yang sedang jongkok di bawah
jendela sambil menyalin dokumen, ditemani anjinganjing Siberian Husky yang sibuk menikmati dog food
dan sosis, sembari menggaruk-garuk bentol-bentol bekas
gigitan nyamuk, rasanya aku tidak sanggup marah. Jadi
yang bisa kuteriakkan hanyalah, "Rima! Gila lo!"
"Hebat memang malam ini," cetus Aya. "Rima bikin
lelucon terus ketawa-ketiwi. Val tergagap-gagap sambil
histeris. Putri Badai bilang ?lo?."
Tawa Valeria menyembur. Tawa yang sangat menular,
yang membuat kami semua akhirnya ikut tertawa. Ter?
masuk Pak Mul. Secara keseluruhan, aku menganggap malam ini sukses
besar. 140 Isi-Omen6.indd 140 Erika Guruh Hari-hari yang menyebalkan.
Aku punya perasaan ada sesuatu yang seru banget yang
sedang terjadi, tetapi tidak ada yang mau memberi?tahu?
kannya padaku. Teman-temanku?atau haruskah ku?sebut
bekas teman-temanku??langsung membungkam setiap
kali melihatku, padahal sebelumnya mereka sedang ber?
bisik-bisik dengan penuh semangat, nyaris saling me?
nyembur saking bernafsunya. Sayang, aku tidak pernah
punya kesempatan sedikit pun untuk mendekati mereka.
Eliza yang selalu bersamaku mendorongku untuk men?jauhi
mereka sejauh-jauhnya demi hidup damai tanpa ada
masalah setitik pun. Tapi, bukannya aku resek, hidup
damai seperti ini benar-benar mem?bosan?kan.
Dan sangat tidak pantas untukku, si Omen, cewek
yang seharusnya paling bengal dan brutal di seluruh se?
kolah. Bukannya aku hobi mencari masalah. Aku tidak perlu
mencari-cari masalah?masalahlah yang selalu mencariku
seolah-olah kami ini soulmate. Lagi pula, sebelum ini aku
bukannya kepo-kepo amat. Yang kepo itu kan sebenarnya
141 Isi-Omen6.indd 141 Val, si cewek pendiam yang se?benarnya tidak terlalu
diam. Aku cuma kebawa-bawa saja kok.
Aduh, aku kangen Val, kangen dengan antu?siasme dia
dalam mencari dan menyelesaikan kasus-kasus aneh di
sekolah kami, kangen dengan bagaimana dia menyeretnyeretku melakukan berbagai pekerjaan kotor dan ber?
bahaya yang pastinya bakalan dihindari oleh se?bagi?an
besar manusia di muka bumi ini. Berani taruhan, kini
dia menyeret-nyeret si Trio Kwik-Kwek-Kwak yang dalam
wujud manusia adalah berupa Putri Badai yang jutek,
Rima yang seram, dan Aya yang mata duitan?tiga cewek
yang dari segi kepribadian juga sama ajaibnya de?nganku.
Aku yakin mereka semua bersenang-senang, tertawa-tawa
saat membahayakan diri sendiri atau saat sedang meng?
gebuki oknum yang mereka incar, kemudian setelah me?
naklukkan semua itu mereka bakalan bersulang dengan
Root Beer Float dengan ekstra es krim sambil makan ayam
goreng siap saji all you can eat. Pokok?nya, party-party
banget deh. Sementara aku mengenakan rok sialan yang sopan ini
sembari bekerja dengan taat dan murung di salah satu
meja biasa di kantor pusat perusahaan multinasional.
Sial. Aku iri banget. Meski mataku tertuju pada monitor di depanku, aku
menyadari sesosok cowok jangkung muncul di kejauhan,
tepatnya di kubikel-kubikel seberang divisiku yang me?


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rupakan divisi IT. Tanpa perlu benar-benar memandang,
aku tahu cowok itu adalah si Ojek alias Viktor Yamada,
general manager di perusahaan ini yang punya side job
sebagai pacarku yang ganteng dan selalu bisa diandalkan.
Yah, bukannya dia sempurna sih. Mukanya saja senan?
142 Isi-Omen6.indd 142 tiasa masam, dan teori "don?t judge the book by its cover"
sama sekali tidak berlaku di sini: si Ojek adalah cowok
paling gampang bete, suka main perintah, dan selalu
merasa dirinya benar (sialnya, dia memang lebih sering
benar daripada salah, jadi kita tidak bisa apa-apa juga
meski sudah diocehin sampai kuping kita copot sebelah).
Tapi yah, seberapa pun banyaknya kekurangannya, si
Ojek punya satu hal yang membuatnya berada di puncak
daftar orang-orang yang paling kusayangi di dunia ini:
dia satu-satunya orang yang bersamaku ketika seluruh
dunia memusuhiku. Sebenarnya tidak hanya dia sih. Ada Val juga. Dan itu
membuat Val berada di urutan nomor dua dalam daftar
tersebut. Penampakan si Ojek serta-merta membuatku cengarcengir tak keruan. Aku senang banget, karena meskipun
cowok masam ini tidak terlalu hobi bersosialisasi, dia
ma?lah berjalan ke sana kemari seolah-olah dia ramah
dan menyenangkan. Belum lagi pekerjaannya sebenarnya
mengharuskan dia lebih banyak mendekam di kantornya
yang jauh lebih mewah dan kaku dibanding kantor
kepala sekolah kami si Sarang Tawon Alami (ups, panggil?
an ini tidak boleh terdengar Eliza, bisa-bisa aku diocehi
lagi hingga bukan hanya kupingku yang copot, me?
lainkan juga kuping setiap orang yang berada di dekat
kami dalam radius satu kilometer). Jelas, tidak butuh
Sherlock Holmes atau Rima Hujan untuk menyimpulkan
bahwa cowok itu berniat caper di hadapanku.
Aku harus pura-pura serius dan tidak memper?hatikan?
nya sama sekali. Lirik sedikit saja deh. 143 Isi-Omen6.indd 143 Sial, pas dia lagi melihat ke sini! Apa yang harus ku?
laku?kan? Kedip-kedip? Hoek. Mendingan aku berlagak
bete saja padanya. Aku segera membuat muka jelek, me?
narik kedua ujung mataku ke bawah sekaligus menekan
hidungku supaya dua lubangnya tampak lebih besar.
Tidak lupa kujulurkan lidahku sepanjang-panjangnya.
Idih, dia membuang muka! Kurang ajar! Mungkin se?
baik?nya aku hampiri dan berkata, "Hoi, tolong, bro,
tunjukkan sedikit respek!"
Ah, sudahlah. Salahku juga. Seharusnya aku bertingkah
feminin, tersenyum malu-malu atau tersenyum anggun,
atau melambaikan tangan dengan cool. Kenapa aku ma?
lah membuat muka jelek? Aku memang suka mencari
masalah. Haishhh. Oke, aku akan memperbaikinya. Aku akan melambai
padanya lalu tersenyum selebar-lebarnya sampai semua
gigiku kering. Mungkin tampangku agak mengerikan,
tapi setidaknya aku sudah berusaha bersikap ramah...
Lho, ke mana cowok itu? Aku celingak-celinguk dengan bingung. Lalu kutemu?
kan cowok itu berdiri di dekat pantry.
Dan pemandangan itu menyambarku bagai petir, mem?
buat jantungku serasa berhenti berdetak selama beberapa
detik. Betapa tidak? Cowok itu sedang bicara dengan seorang
cewek yang, tak lain dan tak bukan, adalah adik kembar?
ku, Eliza Guruh. Yang membuatku surprised, cowok itu
sedang tertawa sementara Eliza menceritakan lelucon
entah apa. Nama si Ojek dan kata tertawa jarang berada
dalam satu kalimat karena cowok itu, seperti yang sudah
diketahui seluruh dunia baik manusia, hewan, maupun
144 Isi-Omen6.indd 144 tumbuh-tumbuhan, selalu bermuka masam. Istilahnya,
sudah untung kita tidak disemprot. Tapi kini cowok itu
malah ketawa-ketiwi dengan centilnya.
Kok bisa? Karena ini Eliza Guruh. Adik kembarku yang punya
muka mirip denganku, tanpa sikap brutal yang sewajar?
nya tidak disukai manusia-manusia pada umumnya,
dengan kepribadian yang jauh lebih manis dan hangat
daripada aku. Kalau si Ojek memang naksir padaku
karena tampang aku yang cantik jelita, tidak heran kan
bila dia bakal?an kepincut juga dengan Eliza?
Holy crap! Apa maksudnya ini? Apa si Ojek berniat ber?
selingkuh dengan adik kembarku? Apa mereka berdua
mau cari mati? Mungkin kalian bertanya-tanya apa yang dilakukan
Eliza di sini. Tidak ada yang istimewa kok. Berhubung
kami sekarang dekat, dia ingin kerja sampingan di tem?
pat yang sama denganku juga. Memang dia tidak punya
kemampuan IT yang tinggi sepertiku, jadi dia hanya
men?dapat pekerjaan remeh-temeh seperti memfoto?kopi
dokumen, membuat kopi, membelikan voucher pulsa
telepon, memesankan taksi untuk staf marketing, serta
pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya. Kira-kira seperti asisten
milik bersama. Sejujurnya, waktu dia memintaku untuk mencarikan
pekerjaan di sini, perasaanku sudah tidak enak. Bagai?
mana?pun, dia kan Eliza yang selalu mencuri perhati?an
semua orang. Bagaimana kalau orang-orang di kantor
mulai membanding-bandingkanku dengannya, se?perti
yang terjadi di sekolahan? Tapi lalu aku mengenyah?kan
perasaan itu. Itu namanya perasaan terancam, dan
145 Isi-Omen6.indd 145 memalukan banget merasa terancam dengan adik sendiri
yang seharusnya menjadi orang terdekat dan tepercaya.
Seharusnya aku lebih berpikiran positif tentang keinginan
Eliza untuk bekerja di tempat yang sama denganku.
Sekarang aku menyesal setengah mati sudah meminta?
kan pekerjaan ini untuknya.
Oke, aku akan menghampiri mereka. Aku harus meng?
hampiri mereka dan bertanya apa yang sedang terjadi,
ka?lau perlu memukuli mereka supaya mereka tidak be?
rani berbuat macam-macam lagi. Ya, betul. Inilah cara
Erika Guruh mengatasi segala masalah. Hadapi, gebuki,
lalu pergi dengan tampang sengak dan penuh kemenang?
an. Keparat. Kakiku tidak mau bergerak. Lebih tepatnya
lagi, seluruh tubuhku tidak mau bergerak! Dan lebih ce?
laka lagi, jantungku terasa perih, perih sekali. Kurasa saat
ini tampangku pun muram luar biasa. Aku harus me?
nunduk?kan kepalaku sebelum orang-orang melihat tam?
pangku yang memalukan. Gila! Bisa-bisanya satu adegan biasa seperti itu mem?
buat?ku langsung bertingkah seperti cewek cemburuan
dalam sinetron! Kenapa aku begini lemah? Apa semua
per?ubahan yang kulakukan belakangan ini juga meng?
ubah?ku jadi lemah? Ataukah aku memang lemah dalam
segala hal yang berkaitan dengan si Ojek, terutama di
saat aku terancam kehilangan dirinya? Tapi kan dia ha?
nya bicara dengan Eliza, tidak lebih.
Tapi dia tertawa mendengar lelucon Eliza.
Semua orang selalu lebih menyukai Eliza ketimbang diri?
ku. Rasanya aku kepingin mengobrak-abrik tempat ini,
146 Isi-Omen6.indd 146 meng?hancurkan gedungnya sekalian, lalu pergi buron
se?jauh-jauhnya. Dasar Ojek sialan! Kenapa bukannya menghampiriku,
dia malah ngecengin cewek lain? Aku tahu aku tidak
bagus-bagus amat dan kemungkinan besar kebanting di?
bandingkan cewek mana pun di dunia ini?ter?utama
karena aku lebih mirip cowok ketimbang cewek?tapi
kan dia sudah tahu itu sejak awal. Kalau dia tidak mau
terima aku apa adanya, seharusnya dia tidak pernah
mem?beriku harapan begini. Sekarang aku jadi berharap
banyak banget padanya, dan kalau sampai kehilangan
dia, bisa-bisa aku jadi gila. Mungkin aku akan langsung
berubah jadi psikopat yang membunuhi semua orang di
kantor ini?termasuk si Ojek dan selingkuhan?nya alias
adik kembarku. Arghhhh! Sekarang saja aku sudah merasa mau gila!
Brakkk! Ups. Tanpa sadar aku menonjok monitor LCD yang
tipis banget itu. Alhasil benda itu langsung terjun bebas
dari mejaku, menimbulkan bunyi yang terdengar seperti
bunyi meteor menabrak bumi, sampai-sampai beraneka
ragam kata-kata latah berkumandang, mulai dari "Aduh
Mama, help me!" hingga umpatan-umpatan jorok yang
bisa membuat pengucapnya langsung di-booking-kan
ruang?an VIP di neraka. Dalam situasi lain aku pasti
bangga sudah menciptakan suasana selucu ini.
Saat ini, aku grogi setengah mati.
Aku terloncat dari tempat dudukku, buru-buru jongkok
di balik meja untuk memeriksa kondisi monitor tersebut.
Sepertinya benda malang yang pecah dengan kabel-kabel
terburai itu sudah tidak bisa diselamatkan. Terdengar
147 Isi-Omen6.indd 147 suara langkah-langkah cepat mendekatiku, membuatku
mengerang dalam hati. Di kantor ini, siapa lagi orang yang berani mati men?
dekatiku di saat-saat seperti ini selain si Ojek?
"Kamu nggak apa-apa?"
Sial, suaranya yang ketus namun penuh perhatian lang?
sung membuat hatiku lumer. "Nggak apa-apa," sahutku
seraya ngumpet di bawah meja. "Cuma sepertinya moni?
tor ini langsung jadi almarhum."
"Kalo cuma monitor sih nggak apa-apa, tapi kamu tau
kamu harus menggantinya, kan?"
"Nggak usah langsung ngingetin gitu, Jek. Gue kan
punya daya ingat fotografis."
"Siapa tau kamu pura-pura lupa."
"Itu sih pasti."
Aku bisa merasakan si Ojek berlutut di belakangku. "Hei,
kenapa mendadak kamu tinju monitornya? Memangnya
apa salah dia sama kamu?"
Sesaat tenggorokanku tersekat. "Yang salah bukan dia,
tapi pemiliknya." "Pemiliknya? Memangnya kenapa?" Si Ojek diam se?je?
nak. Kurasa dia mulai tanggap. "Oh, gaji kamu kurang?"
Oke, kurasa inilah yang namanya momen gubrak. "Lo
kira gue maata duitan? Lo kira semuanya melulu soal
duit? Lo kira..." "Lho," sela si Ojek seolah-olah ucapanku tidak ada
harga?nya untuk didengarkan lebih lanjut, "kalo bukan
masalah gaji, apa salah perusahaan ini sama kamu?"
"Ih!" Aku mengertakkan gigi saking gemasnya. "Bukan
perusahaan ini, tolol! Tapi..."
"Tapi?" tanya si Ojek dengan nada sabar yang tidak
148 Isi-Omen6.indd 148 pada tempatnya. Benar-benar bikin emosi tingkat dewa!
Apa kuhantam saja kepalanya dengan monitor yang
sudah pecah ini? Apa pun rencanaku, semuanya buyar saat mendengar
suara yang serupa dengan suaraku, hanya saja nadanya
penuh perhatian dan simpati, nada yang tak pernah ku?
gunakan seumur hidupku yang sudah belasan tahun
ini. "Ka, lo nggak apa-apa? Ada yang sakit?"
"Mana mungkin?" Aku balas bertanya sambil cem?
berut. "Gue kan invincible gini lho. Nonjok dinding ber?
paku pun gue nggak bakalan tetanus, apalagi cuma moni?
tor cetek begini. Pokoknya gue nggak butuh pertolongan
siapa-siapa, jadi kalian nggak perlu sok baik gitu!"
Nasib cewek yang tidak bisa jaim?atau lebih parah
lagi, memang tidak punya imej. Di saat seharusnya aku
ber?usaha tampil feminin, lemah, dan membutuhkan per?
tolongan pria terutama si Ojek, aku malah menegaskan
aku hebat luar biasa dan tidak butuh siapa-siapa ter?
masuk dirinya. Aku tidak heran kalau dia mencampakkanku sekarang
juga. Namun seperti biasa, si Ojek punya pemikiran yang ber?
beda dari manusia-manusia pada umumnya. "Iya, kamu
memang nggak ada duanya," tumben-tumbenan dia
tersenyum. "Di saat kamu sedang berdarah-darah pun,
yang keluar dari mulutmu adalah, ?Gue nggak apa-apa?."
Aku meliriknya curiga. "Itu pujian atau hinaan?"
Cowok itu menatapku dengan tampang jengkel. "Me?
mang?nya kamu nggak bisa bedain pujian sama hina?an?"
"Nggak." 149 Isi-Omen6.indd 149 "Dasar idiot." Aku membuka mulut untuk memprotes,
tapi si Ojek langsung memotong. "Iya, aku tau, kamu
punya daya ingat fotografis, jadi kamu nggak pernah
lupa dengan apa pun juga. Nggak usah diungkit-ungkit
terus, kali. Kami semua nggak punya daya ingat foto?
grafis, tapi kami juga belum pikun kok!"
Idih, cowok ini bikin keki banget! Kenapa juga tahutahu aku disemprot begitu?
Cih. Begitu deh kelakuan cowok yang sudah pindah
ke lain hati. Mendadak saja jadi songong dan minta di?
gebok. Aku menoleh untuk memelototi si Ojek, tapi yang
bersangkutan malah sudah tidak memedulikanku lagi.
Dia bangkit berdiri dan bicara dengan staf lain yang


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buru-buru mengantarkan sebuah buku nota padanya.
Dengan tampang serius cowok itu pun membuka buku
nota itu dan menulis. "Cepat minta maaf," bisik Eliza di belakangku.
"Buat apa?" bentakku seraya berbisik juga.
"Vik serem tau kalo lagi marah."
Nenek-nenek juga tahu. "Lalu? Memangnya gue harus
takut?" "At least tunjukin kalo lo takut. Kalo nggak, nanti dia
tambah marah." Aku menatap Eliza dengan bete. Meski adik kembar,
cewek ini tidak tahu apa-apa tentang aku. Memangnya
aku tipe orang yang mau minta maaf, apalagi di hadap?
an semua rekan kerjaku? Kepingin banget aku menyuruh
cewek itu minggat sejauh-jauhnya, tapi dengan sekuat
te?naga aku menahan diri. Kukertakkan gigiku lalu ber?
kata, "Langkahi dulu mayat gue deh."
150 Isi-Omen6.indd 150 Terdengar suara robekan kertas, diikuti selembar kertas
dilambai-lambaikan di depan mukaku.
"Ini untuk monitor baru, cepet sana minta ganti. Tapi
ingat ya, kamu kena potong gaji."
Rasanya terhina banget, harus menerima nota itu
sambil berlutut. Apalagi pada kesempatan itu Eliza sudah
bangkit juga dan kini berdiri di samping si Ojek. Rasanya
aku seperti budak mereka saja, harus menerima surat
utang sambil berlutut segala. Enak saja. Aku belum se?
rendah itu deh. Aku meloncat berdiri dan menerima kertas itu. "Ya,
Om. Nggak usah judes-judes kali, Om."
Si Ojek berubah bete kembali. Sepertinya dia sensi
banget kalau masalah umur diungkit-ungkit?atau me?
mang dia hanya tidak suka dipanggil Om. Yang jelas, aku
merasakan secercah rasa kemenangan karena sudah mem?
balasnya. Namun, perasaan itu lenyap seketika saat dia menoleh
pada Eliza. "Katamu mau belajar Power Point? Ayo, kita
jalan." Aku hanya melongo saat kedua orang itu pergi me?
ninggal?kanku. Yang satu cowok paling ganteng yang
pernah kutemui seumur hidupku, sementara yang satu
lagi adalah cetakan diriku yang kualitasnya jauh lebih
baik. Saat pandanganku bertemu dengan pandang?an
Eliza, adik kembarku itu tersenyum padaku, senyum
yang sekilas tampak polos, tapi sekaligus juga senyum
yang tidak mungkin salah kukenali.
Senyum itu adalah senyum "sekali lagi gue mendapat?
kan apa yang lo inginkan".
Dan aku pun merasa bagaikan pecundang.
151 Isi-Omen6.indd 151 *** Oke, mungkin tidak pecundang-pecundang amat.
Ternyata si Ojek menugaskan orang lain untuk meng?
ajari Eliza, jadi khayalan burukku tentang mereka bakal?
an berdekatan sepanjang sisa hari itu langsung sirna
seketika. Yah, aku memang paranoid, tukang berpikiran
negatif, gampang curigaan. Tidak mungkin Vik berpindah
hati begitu gampang. Selama ini kami sudah banyak
meng?alami suka dan duka, dan dia selalu berpihak pada?
ku. Tidak mungkin dia berubah secepat ini.
Namun sepertinya aku bersenang-senang terlalu cepat.
Di pengujung hari, tiba-tiba saja Eliza menghambur ke
mejaku. "Ka, lo pulang duluan ya. Gue mau lembur dulu. Gue
udah kasih tau Nyokap kok, jadi lo nggak usah kha?
watir." Di dunia ini, pasti hanya Eliza yang tampak begitu
girang bagai kejatuhan duren runtuh saat mengumumkan
dirinya bakalan kerja lembur.
"Lalu?" tanyaku sinis. "Apa gue harus tinggalin si Butut
juga, biar lo nanti malam bisa pulang dengan aman?"
"Ah, nggak usah," sahut Eliza riang. "Katanya Vik mau
anterin gue kok!" Jleb. "Oh, gitu?" Biar tidak kelihatan bagai loser yang di?
campak?kan pacarnya demi cewek lain yang lebih cantik,
aku memasang topeng dengan raut wajah datar. "Kalo
gitu gue pulang duluan aja."
"Iya, lo duluan aja, Ka. Vik bilang nggak usah pamit
sama dia, soalnya sekarang dia sibuk banget."
152 Isi-Omen6.indd 152 Oh, begitu. Saking sibuknya bahkan tidak bisa me?
luang?kan waktu beberapa detik untuk melihat tampang
premanku. "Oke. Bye!"
Aku masih berusaha memasang wajah cool hingga aku
keluar dari gedung kantor. Begitu memasuki si Butut,
rasa?nya aku nyaris kehilangan kendali diri. Rasanya ke?
pingin mengamuk, menangis, berteriak memaki dunia,
men?cabik-cabik semua yang berani menggangguku saat
ini. Namun alih-alih melakukan semua itu, aku malah me?
ngeluarkan ponselku. Kutekan nama tertentu, lalu
menimbang-nimbang untuk menelepon Val.
Tidak. Aku tidak akan menelepon. Ini jalan hidup
yang sudah kupilih. Memalukan banget kalau sampai
aku mengacaukan segalanya lalu meminta bantuan Val
lagi. Apa pun masalah yang kuhadapi saat ini, aku harus
menyelesaikannya. Entah bagaimana caranya, aku tidak
tahu. Aku kan tidak minta macam-macam, dan sudah
banyak pengorbanan yang kulakukan. Masa semua yang
tersisa yang kumiliki harus kurelakan juga?
Seumur hidup, belum pernah aku merasa begini kesepi?
an. 153 Isi-Omen6.indd 153 Aria Topan Heran. Kenapa ya cewek-cewek senang dikerubuti ba?
nyak cowok? Boro-boro banyak, dikerubuti dua cowok saja sudah
mem?buatku menderita. OJ tidak henti-hentinya mem?
promosikan kegiatan klub entah apa yang seru banget,
dan aku, mengutip kata-katanya, "bakalan men?dapat?kan
kedamaian jiwa dan raga kalo bisa join" (aku tahu yang
dia maksud adalah Klub Pencinta Alam, tapi dia mem?
buat klub itu kedengaran seperti sekte sesat). Sementara
Gil terus-terusan menyanyikan lagu-lagu ber?nada sok
romantis dengan gaya sendu nyaris mendekati pilu,
lengkap dengan mata terpejam dan kernyitan di dahi?
dan semuanya adalah lagu ciptaannya sendiri, lagu-lagu
yang semuanya bernada rap dan diiring per?main?an gitar
akustik. Sayangnya, judul dan isi lagu-lagu itu sama sekali
tidak romantis. Contohnya saja lagu terbaru ini, yang
rupa?nya berjudul Haruskah Gue Bunuh Dia Cin, Sebelum
Dia Bunuh Gue Duluan. 154 Isi-Omen6.indd 154 Tak pernah gue sangka, Cin,
Susahnya meraih hati lo Bukan karena elo sadis, Cin,
Tapi karena saingan gue nggak tau malu
Kenapa lo bisa suka sama dia... wow-ooh
Padahal ya, sumpah deh dia pas-pasan gitu...
Nggak pantas lah, Cin, Elo sama dia Udah mukanya biasa banget, Cin,
Hidungnya gede pula Bodinya pun kayak tiang listrik... wow-ooh
Dan rambutnya, oh, bikin gue inget duren Palembang...
Haruskah gue bunuh dia, Cin,
Sebelum dia bunuh gue duluan
Kalo elo keburu milih dia, Cin,
Gue udah pasti mati duluan
Jangan biarkan gue mati, Cin,
Mendingan kita bunuh dia, Cin, lalu kita hidup berdua
Bahagia selamanya... wow-ooh
Bahagia selamanya... Norak? Yah, kalian belum dengar lagu yang berjudul
Dengan Gunting, Kertas, atau Batu?intinya, semua itu
bisa digunakan sebagai senjata pembunuh?atau Di Mana
Lagi Gue Harus Cari Pembunuh Bayaran. Yah, menurut
pen?dapatku sih, kalau diteriakkan ke seluruh dunia be?
gitu?apalagi ditegaskan dengan lolongan wow-ohhh?su?
dah pasti semua rencana itu tak bakalan berhasil. Lagian,
aneh banget, bisa-bisanya dia jealous begitu pada OJ.
155 Isi-Omen6.indd 155 Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak bisa menyalah?
kan? Gil. Kurasa OJ juga punya andil dalam masalah ini.
Bukannya mundur teratur setelah aku menegaskan
hubungan kami?bahkan aku sampai bilang bahwa aku
lebih memilih Gil?OJ malah makin gencar pedekate
terhadapku. Contohnya saja di hari yang naas ini. Pada waktu
istirahat di sekolah, baru saja aku dan teman-temanku
menaruh baki makanan kami di atas meja, tahu-tahu
saja OJ sudah ikut bergabung.
"Hai, kita ketemu lagi," sapanya pada teman-temanku
dengan muka polos. "Boleh ikut join? Ah, Rima! Ke?marin
nggak ikut datang ke rumah gue ya! Lama kita nggak
ketemu!" Dengan malu dan canggung Rima menerima jabatan
tangan OJ. "Hai..."
"Aya!" Suara Rima yang biasanya memang pelan langsung
lenyap ditelan oleh panggilan ceria dan keras yang di?
lontar?kan oleh Gil. Dengan penuh semangat Gil me?
nyeruak di antara aku dan Putri Badai, lalu duduk di
antara kami. Sedikit pun dia tidak terganggu oleh tatap?
an tajam Putri Badai yang sama ganasnya dengan tatap?
an serial killer. Sepertinya cowok ini memang tidak takut
mati. "Aya, gue barusan beliin lo teh botol!" ucapnya sambil
memindahkan salah satu botol yang dibawa olehnya ke
depanku. "Ayo, diminum mumpung lagi dingin!"
"Wah, pas banget, gue juga baru beli gorengan," kata
OJ sambil menyisihkan beberapa potong risoles ke atas
bakiku. "Makan yang banyak, Ay, biar sehat."
156 Isi-Omen6.indd 156 "Eh, kalo mau sehat, jangan makan gorengan, Ay,"
kata Gil sambil mengembalikan semua risoles ke dalam
kantong kertas yang dibawa OJ. "Lebih baik makan nasi
sama ayam goreng aja. Udah sehat, ngenyangin pula!"
"Tapi bukannya ayam goreng juga bahaya?" tanya OJ
dengan nada terheran-heran. "Coba lo lihat, minyaknya
sampe menggenang di dalam kotak plastiknya."
Shoot. Sekarang aku jadi mual melihat nasi ayam yang
kumakan hampir setiap hari ini. "Dasar dua cowok
bego..." Baru saja aku siap memuntahkan semua kekesalanku,
mendadak terdengar bunyi bel dari speaker yang tersebar
di seluruh sekolah. "Kepada murid-murid SMA Harapan Nusantara, dengan
bangga kepala sekolah kalian akan membacakan namanama peserta Pekan Olahraga sekolah kita..."
"Sst, sst!" desis OJ penuh semangat. "Siapa tau nama
gue disebut!" "...dimulai dari nama-nama peserta perlombaan cabang
atletik nomor lari jarak pendek seratus meter..."
"Mana mungkin ada nama elo?" sergah Gil. "Memang?
nya lo jago olahraga..."
"Ssst!" Desis terakhir dilontarkan oleh kami semua, membuat
Gil langsung terdiam dan ikut berkonsentrasi mendengar?
kan nama-nama peserta. Aku mulai merasa santai saat
nama-nama yang diumumkan memang sesuai dengan
format yang sudah dibuat oleh Rima.
"Ah, sayang sekali," komentar OJ sambil mengerutkan
kening. "Masa belum apa-apa Tini udah harus melawan
Sari di babak pertama pertandingan badminton? Mereka
157 Isi-Omen6.indd 157 berdua kan sama-sama pemain kuat. Anehnya, Nikki
yang juga pemain kuat malah nggak dapet lawan ber?
arti." "Namanya juga hoki-hokian," ucap Gil. "Sayang ya!
Padahal seru juga kalo semuanya ketemu di perempat
final. Eh, lo juga seneng nonton badminton, J?"
"Iya!" sahut OJ penuh semangat. "Lo juga?"
"Bener. Ayo, kita tos dulu!"
Cowok-cowok memang aneh. Bukannya tadi mereka
berdua saling mengatai sampai-sampai membuatku
emosi? Sekarang keduanya saling mengadu tinju dengan
akrab dan tertawa-tawa saat membicarakan prediksi per?
tandingan badminton. Yang bikin bete adalah, aku kan
duduk di tengah-tengah mereka! Rasanya aku kepingin
menggebrak meja dan menyuruh mereka melakukan hal
itu di tempat lain. Untungnya, sudah ada orang lain yang siap melakukan
pekerjaan kotor untukku. "Tolong ya," tegur Putri Badai dengan suara tajam
yang rasanya sanggup mengiris kulit lawan bicaranya,
"kalo mau ngegosipin hal nggak penting, jangan di
depan kami. Mengganggu acara makan kami, tau?! Apa
kalian tau, jam istirahat kita ini bentar banget?!"
"Eh, eh, maaf!" seru Gil sambil terlonjak, lalu berbisik
padaku, "Kok lo kagak bilang-bilang dari tadi dia duduk


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sebelahku?" Aku tidak tahu harus bilang apa pada Gil selain, "Me?
mangnya lo kagak lihat-lihat waktu nyempil di situ?"
"Ya kagak! Kan si OJ duduk di sono, ya gue harus
duduk di sini! Masa gue harus duduk jauh-jauh dari elo?
Apa gunanya gue duduk di meja ini kalo bukan di sam?
158 Isi-Omen6.indd 158 ping lo? Lain kali lo jangan duduk deket-deket si Putri
deh, biar gue nyempilnya aman..."
"Eh!!" Putri berdiri sambil menggebrak meja. Ya
ampun, seharusnya aku yang melakukan hal itu! Habis?
nya, dia terlihat keren banget! "Memangnya aku nggak
punya kuping, sampe digosipin dengan suara keras gitu?
Nggak bisa diusir dengan halus, apa harus aku lakukan
dengan kekerasan?!" "Oh, yang tadi cara halus?" tanya Gil kaget, dan lebih
kaget lagi saat Putri Badai mengangkat tangan. "Oke,
oke, gue cabut! Ampun, Tuan Putri Badai Guntur Mem?
bahana..." "Jangan bawa-bawa gue," sela Val geli.
"Oh ya, salah. Ampunnn, Tuan Putri Badai Hujan
Halilintar..." "Maaf," ucap Rima sambil menahan senyum. "Seka?
rang kamu membawa-bawa aku."
"Astaga! Nama kalian semua kok mirip-mirip sih? Nggak
ada kreatif-kreatifnya sama sekali! Jadinya susah kan, bikin
nama si Tuan Putri jadi lebih keren!" Kayak?nya cowok ini
memang hobi cari mati. Bisa-bisanya dia mengatai nama
Putri tidak keren di saat-saat seperti ini. "Eh, ya udah, Ay,
gue cabut dulu ya, sebelum gue di?rajam di sini. Yuk, OJ, lo
ikut pergi sama gue! Nggak adil kalo nggak!"
Sepertinya, tanpa perlu diajak pun, OJ tidak berniat
lama-lama di sini. Dalam sekejap keduanya sudah ter?
birit-birit kabur dari meja kami.
"Benar-benar mengganggu saja," ketus Putri sambil me?
mandangku seolah-olah semua ini salahku. "Aya, tolong
bereskan masalah ini secepatnya. Aku nggak ingin dua
makhluk ini terus-terusan mengikuti kita."
159 Isi-Omen6.indd 159 "Ah," cetusku sebal, "tapi kan bukan salah gue kalo
gue cantik dan diperebutkan banyak cowok."
Putri melirikku dengan cara yang sama dengan yang
dilakukannya pada Gil. Ups.
"Iya deh. Gue jelek dan diperebutkan dua cowok."
"Kamu nggak jelek, tapi bukan itu masalahnya," ucap
Putri dari sela-sela giginya yang terkatup. "Ini jelas-jelas
salah kamu. Apa pun masalah pribadi kita, nggak seharus?
nya kita biarkan itu mengganggu semua aktivitas kita."
"Termasuk makan siang di sekolah?" tanyaku heran.
"Ini kan kegiatan nggak penting."
"Itu kalo kamu mau mati kelaparan selama sisa hari
ini," balas Putri. "Kalo aku sih nggak mau..."
Sebuah jeritan keras menyela ucapan Putri. Aku nyaris
saja berterima kasih pada jeritan itu ketika kusadari pasti?
ada sesuatu yang tidak beres. Putri dan Val langsung
menerjang pergi dengan kecepatan tinggi sampai-sampai
bangku panjang yang mereka duduki tadi terpental
jatuh. Aku dan Rima bergerak lebih lambat?Rima karena
sibuk mengobservasi kondisi di sekelilingi kami, aku
karena tidak ingin ketiban masalah dengan jadi orang
pertama yang tiba di TKP.
"Hei hei," Gil menyambar lenganku, sementara OJ me?
mandangku khawatir, "lo mau ke mana?"
"Ke arah jeritan itu dong."
"Lo gila?" tanya Gil kaget. "Mendingan jauh-jauh, kali.
Kayaknya ada orang bunuh diri tuh."
"Pokoknya gue mau lihat," tegasku seraya menyentak?
kan lenganku. "Kalo lo nggak mau ikut, ya udah. Minimal
lo jangan halang-halangin gue. Minggir!"
160 Isi-Omen6.indd 160 "Gue ikut," kata OJ tegas.
Mendengar jawaban kami berdua, Gil mengumpatumpat. "Ya udah, gue ikut juga deh! Haishhh, dasar se?
mua orang suka nyari masalah! Kenapa sih kalian nggak
mau hidup damai seperti gue?"
Padahal dia baru saja menciptakan lagu yang dipenuhi
banyak cercaan terhadap OJ dan rencana pembunuhan
terhadap cowok itu. Dasar cowok gaje.
Kami berempat tiba di depan pintu lapangan bad?
minton yang dibatasi pagar tinggi yang dipenuhi tanam?
an merambat. Bagian depan lapangan itu dipenuhi ke?
rumunan para siswa. Tidak kelihatan Putri maupun Val,
menandakan keduanya pasti sudah menerobos kerumun?
an ini dengan susah payah demi mendekati TKP.
"Rima!" Daniel, cowok Rima yang bertubuh tinggi dan
berambut gondrong?tipe-tipe cowok preman pada
umum?nya dan sangat tidak sesuai untuk Rima yang
kalem namun punya aura menyeramkan?menyeruak ke?
rumunan dengan gampang seolah-olah kerumunan itu
memang membukakan jalan untuknya. Wajahnya tampak
muram saat menghampiri kami, menandakan dia sudah
melihat apa pun yang sedang terjadi di dalam sana.
"Lebih baik kalian nggak masuk ke dalam. Seram banget,
soalnya. Bu Rita dan Pak Rufus udah di dalem, plus gue
juga udah nelepon polisi dan ambulans. Jadi kalian
nggak perlu masuk sama sekali."
Oke, kalau Daniel, yang selama ini sudah berkali-kali
mengalami kejadian mengerikan bersama kami, masih
memberi peringatan seperti itu, berarti apa pun yang
terjadi di dalam sana benar-benar menakutkan.
"Thank you," ucap Rima lembut, "tapi aku akan tetap
161 Isi-Omen6.indd 161 masuk. Aku ketua OSIS, Niel, dan setiap murid di sini
ada?lah tanggung jawabku. Kamu ngerti, kan?"
Selama beberapa saat Daniel hanya bertatapan dengan
Rima. Sepertinya, kesungguhan hati Rima berhasil
mengalahkannya. "Oke, gue akan nemenin elo."
"Thanks," sahut Rima sambil menyunggingkan senyum
tulusnya yang jarang-jarang kelihatan dan sepertinya
hanya disunggingkannya khusus untuk Daniel. Lalu dia
menoleh dan memandangi kami semua. "Kalian nggak
perlu ikut. Nggak apa-apa kok kalo kalian mau nunggu
di sini aja." Aku bisa merasakan Gil dan OJ memandangiku?Gil
dengan sorot mata penuh harap, OJ dengan penuh rasa
ingin tahu. Oke, aku tidak suka mengambil risiko, dan saat
ini aku tidak ingin mengambil risiko menemukan pe?
mandangan penuh darah yang mengerikan dan bakalan
menghiasi mimpi-mimpiku yang biasanya me?libat?kan duit.
Tapi aku lebih tidak suka lagi kalau tidak mengetahui fakta.
Seperti kata sebuah peribahasa yang baru nongol di abad
kedua puluh kemarin, information is power. Sebagai
entrepreneur yang lebih suka bekerja dengan cerdas, aku
tidak berniat menyepele?kan informasi apa saja, termasuk
informasi yang seram-seram. Di sekolah yang terusmenerus menjadi tempat kejadian berbagai kecelakaan dan
insiden mengerikan, justru informasi-informasi semacam
inilah yang paling penting.
"Gue ikut," tegasku, "dan dua budak kecil ini ikut
juga." "Budak kecil?" OJ bertanya geli. "Kami berdua lebih gede
dari lo, tau?" 162 Isi-Omen6.indd 162 "Gede atau kecil, kalian tetep budak gue. Bener
nggak?" Kedua cowok itu berpandangan, lalu berpaling kembali
Sang Penerus 7 Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk Dalam Cengkeraman Biang Iblis 1
^