Pencarian

Sepasang Rajah Naga 18

Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 18


?Hemm, Paman Liu Cin tentu saja boleh menggunakan tenaga orang-orang pandai yang manapun. Hal itu belum membuktikan bahwa dia seorang pejabat yang khianat!?
?Bukan hanya itu, Yang Mulia. Thaikam Liu Cin bersekutu dengan pihak Pek-Lian-Kauw, bahkan sekarang puteri Ketua umum Pek-Lian-Kauw yang disebut Kim Niocu membawa beberapa orang gadis tawanan untuk dipersembahkan kepada para pembesar yang menjadi kaki tangan dan sekutunya.?
?Song Bu, semua ucapanmu tadi belum bisa kupercaya. Mana bukti dan saksinya?
?Seperti sudah hamba beritahukan tadi Yang Mulia. Ada seorang saksi, yaitu Siang Bi Hwa yang nama sesungguhnya adalah Ouw Yang Hui. la ditawan oleh puteri ketua Pek-Lian-Kauw dan ia yang menjadi saksi bahwa Pek-Lian-Kauw bersekutu dengan Thaikam Liu Cin. Akan tetapi semalam ia diculik oleh orang-orang Pek-Lian-Kauw.? Song Bu lalu menceritakan semua yang diketahuinya tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan para datuk atas perintah Thaikam Liu Cin terhadap para bangsawan yang menentang Thaikam itu. Juga dia bercerita tentang pengadu dombaan antara partai-partai, persilatan besar yang dilakukan orang-orang Pek-Lian-Kauw untuk melemahkan partai-partai itu yang menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin pula.
?Demikianlah, Yang Mulia. Maka hamba memberanikan diri menyusup ke Istana untuk menghadap Paduka, karena tidak mungkin menghadap Paduka secara berterang setelah hamba dimusuhi Thaikam Liu Cin. Hamba melapor agar Paduka waspada terhadap bahaya ini dan menangkap Thaikam Liu Cin yang berkhianat itu sebelum dia melakukan hal-hal yang lebih merusak lagi.? Kaisar Ceng Tek bangkit lagi dari tempat duduknya. Alisnya berkerut. Laporan Song Bu itu benar-benar mengacaukan pikirannya dan mengganggu ketenangan hatinya.
?Song Bu, laporanmu ini gawat sekali. Kalau tidak benar, berarti engkau menyebar fitnah dan dosamu besar sekali. Karena itu, engkau kusuruh tahan dulu sampai kami selesai menyelidiki kebenaran laporanmu. Kalau ternyata bohong, engkau akan kami jatuhi hukuman berat!?
?Silakan, Yang Mulia. Hamba rela dan siap menerima hukuman apapun kalau keterangan hamba itu tidak benar. Hamba hanya mohon agar Paduka dapat menggulung komplotan itu dan dapat menyelamatkan Siang Bi Hwa atau Ouw Yang Hui dari tangan orang-orang Pek-Lian-Kauw yang sekarang berada di Kotaraja.? Kaisar Ceng Tek bertepuk tangan dan lima orang pengawal itu berlompatan masuk.
?Kalian bawa Tan Song Bu ini dan masukkan dalam tahanan. Akan tetapi jangan ganggu atau siksa dia. Tunggu keputusan kami!? Lima orang pengawal itu memberi hormat kepada Kaisar lalu mereka menggiring Song Bu keluar dari bangunan. Begitu keluar, kepala pengawal itu dengan kasar mengambil pedang dari punggung Song Bu, Pemuda ini terkejut, mengelak dan menangkap tangan pengawal itu.
?Kalau engkau melawan akan kupukul? hardik kepala pengawal. Pada saat itu, Kaisar Ceng Tek sudah berdiri di atas anak tangga dan dia membentak,
?Pengawal, jangan bertindak kasar!? Kepala pengawal itu terkejut, cepat memberi hormat.
?Ampunkan hamba, Yang Mulia.?
?Lupakah kamu? Tadi sudah kupesan jangan ganggu apa lagi siksa Song Bu! Kalau sekali lagi kamu melanggar, akan kujatuhi hukuman mati kamu!? Tubuh pengawal itu menggigil.
?Ampunkan hamba...!? ?Song Bu, lepaskan pedangmu itu berikan kepada kami. Untuk sementara pedang itu kami simpan,? kata Kaisar Ceng Tek.
?Baik, Yang Mulia.? Song Bu melepaskan tali yang menggantung pedang di punggungnya, lalu menyerahkannya kepada Kaisar dengan sikap hormat. Kaisar menerima pedang itu lalu berkata kepada para pengawal.
?Antar dia ke kamar tahanan dan jaga baik-baik, jangan sampai ada yang mengganggunya! Awas, keselamatannya berada di tangan kalian yang harus bertanggung jawab!? Dengan takut lima orang pengawal itu lalu mengantar Song Bu ke tempat tahanan yang memang terdapat di kompleks Istana itu. Pada saat itu, seorang pengawal lain datang tergopoh-gopoh dan berlutut di depan Kaisar.
?Sribaginda Yang Mulia, hamba melapor bahwa di ruangan persidangan telah berkumpul dua puluh orang pejabat tinggi, setingkat menteri dan Pangeran, mohon perkenan Paduka untuk menghadap.? Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya.
?Kami tidak mengadakan persidangan hari ini dan tidak memanggil, mengapa mereka datang menghadap? Apakah Thaikam Liu Cin yang memimpin para pejabat itu. Biasanya, hanya Thaikam Liu Cin yang suka mohon menghadap dengan tiba-tiba untuk melaporkan sesuatu yang penting.?
?Bukan, Yang Mulia. Liu-Taijin tidak di antara mereka dan hamba melihat bahwa yang memimpin mereka adalah Pangeran Ceng Sin!?
?Pangeran Ceng Sin..?? Kaisar terbelalak. ?Dan siapa saja para pejabat yang datang menghadap?? Pengawal itu menyebutkan nama nama mereka yang datang bersama Pangeran Ceng Sin, yaitu para menteri dan Panglima tua yang terkenal setia sejak Kaisar Hung Chi yang berkuasa sebelum Kaisar Ceng Tek. Mendengar disebutnya nama-nama ini, sederetan nama menteri dan Panglima tua yang tidak diragukan kesetiannya, Kaisar Ceng Tek tidak merasa curiga lagi dan diapun memasuki Istana berganti pakaian kebesaran lalu keluar ke ruangan persidangan. Melihat Kaisar muncul diringi para pelayan dan pengawal pribadi, dua puluh pejabat tinggi dan bangsawan itu segera menjatuhkan diri berlutut Sambil berseru serempak,
?Ban-Swe, Ban-Ban Swe... (Panjang Usia...).? Kaisar memberi isarat dengan tangannya menerima penghormatan itu dan memperbolehkan mereka bangkit berdiri sambil menduduki kursi kebesarannya. Kaisar memandang kepada Pangeran Ceng Sin. Pangeran ini adalah Kakak tirinya sendiri, se Ayah berlainan Ibu. Kalau Kaisar Ceng Tek beribu Permaisuri, Pangeran Ceng sin beribu seorang selir. Hubungan keduanya semula akrab sampai datang fitnah dari Thaikam Liu Cin yang memberi tahukan Kaisar bahwa Pangeran Ceng Sin berniat memberontak dan melarikan diri ketika hendak ditangkap. Kaisar teringat akan cerita Song Bu tentang Kakak tirinya ini, akan tetapi dia masih belum yakin akan kebenaran cerita itu. Setelah memandang Pangeran itu, Kaisar berkata lantang.
?Bukankah engkau Kakanda Pangeran Ceng Sin? Engkau telah berkhianat dan berniat memberontak, kemudian melarikan diri ketika hendak ditangkap. Apakah engkau sekarang datang untuk menyerahkan diri dan menerima hukuman?? Pangeran Ceng Sin melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut lalu berkata,
?Adinda Kaisar Yang Mulia, hamba siap menerima hukuman apa saja yang Paduka jatuhkan kepada hamba kalau memang hamba melakukan kesalahan. Akan tetapi sebelum Paduka menjatuhkan keputusan hukuman, hamba mohon agar Paduka lebih dulu sudi mendengarkan laporan hamba tentang keadaan yang sesungguhnya dan tentang bahaya besar yang mengancam Kerajaan, tentang seorang pengkhianat yang sesungguhnya, yaitu Thaikam Liu Cin.?
?Hemm, mendengarkan laporan apa lagi? Engkau sekeluarga telah melarikan diri dari Kotaraja. Hal ini saja sudah merupakan bukti bahwa engkau mempunyai kesalahan dan melarikan diri karena takut setelah ketahuan. Engkau harus diberi hukuman berat untuk menjadi contoh bagi semua pejabat!? Kaisar sudah menggerakan tangan hendak memerintahkan perajurit pengawal untuk menangkap Pangeran Ceng Sin, akan tetapi pada saat itu, sembilan belas orang pejabat tua yang berada di situ serentak menjatuhkan diri berlutut.
?Hamba sekalian merasa penasaran mohon kebijaksanaan Yang Mulia seadil-adilnya!? Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya.
?Kalian ini mau apa? Kami hendak menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersalah, kenapa kalian merasa penasaran? Apakah kalian juga hendak menentang kami?? Kui-Ciangkun, Panglima tertua di antara mereka, mewakili rekan-rekannya berkata lantang.
?Hamba sekalian sama sekali tidak hendak menentang Paduka Yang Mulia, bahkan hendak menyelamatkan Kerajaan. Hamba semua hanya mohon agar Paduka sudi mendengarkan laporan hamba sebelum menjatuhkan keputusan hukuman. Kalau Paduka tidak sudi mendengarkan laporan hamba sekalian dan hendak menjatuhkan hukuman kepada Pangeran Ceng Sin, biarlah hamba semua juga Paduka jatuhi hukuman mati!? Diam-diam Kaisar Ceng Tek terkejut juga menyaksikan sikap mereka semua. Tidak mungkin dia menghukum mereka semua tanpa alasan! Mereka adalah pejabat-pejabat penting. Tentu akan terjadi kekacauan hebat kalau mereka dihukum tanpa kesalahan yang pasti.
?Baiklah, sampaikan laporan kalian untuk kami pertimbangkan!? katanya. Dua puluh orang pejabat dan bangsawan itu menjadi gembira sekali mendengar ucapan Kaisar yang mengijinkan mereka menyampaikan laporan mereka. Dengan penuh semangat mereka lalu membuat laporan panjang.
Pertama-tama Pangeran Ceng Sin yang melaporkan tentang dirinya yang hendak dibunuh oleh Thaikam Liu Cin karena dia berani menentang kekuasaannya. Apa yang diceritakan Pangeran ini sama benar dengan cerita yang didengar Kaisar dari mulut Song Bu. Setelah Pangeran itu selesai melapor, para menteri dan Panglima lalu membuat laporan masing-masing, semua laporan mengenai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Thaikam Liu Cin. Panglima Kui menyampaikan daftar sederetan bangsawan yang telah menjadi korban, terbunuh oleh kaki tangan Thaikam Liu Cin. Deretan panjang dari nama para pejabat tinggi yang tadinya terkenal setia, baik kepada Kaisar Tua maupun Kaisar yang sekarang berkuasa. Ada pula pejabat yang melaporkan tentang tindakan sewenang-wenang dari Jaksa Agung Liu Wang dan Panglima Liu Kui, dua orang adik Thaikam Liu Cin yang diangkat oleh Thaikam itu.
Ada juga yang melaporkan tentang korupsi yang dilakukan Thaikam Liu Cin, yang melalui para pejabat yang menjadi kaki tangannya, memungut pajak paksa dan memeras para pedagang. Setelah semua orang menyampaikan laporannya, Kaisar Ceng Tek menjadi terkejut bukan main. Kiranya tidak mungkin kalau dua puluh orang pejabat tua yang, setia ini semua berbohong dan melakukan fitnah terhadap Thaikam Liu Cin! Mulailah dia merasa curiga terhadap Thaikam Liu Cin. Selama bertahun-tahun ini sikap Thaikam itu selalu manis, menjilat-jilat dan semua laporannya menyenangkan hati, tampaknya dia seorang yang amat setia lahir batin. Akan tetapi siapa tahu, dia memang terkecoh oleh semua sikap manis menjilat itu, dan di balik semua itu tersembunyi hal-hal yang berlawanan.
?Mohon ampun, Adinda Kaisar Yang Mulia. Semua laporan hamba sekalian ini benar belaka dan hamba semua sanggup mempertanggung-jawabkannya. Bahkan, kalau Paduka menghendaki hamba dapat menghadirkan seorang pendekar sebagai saksi. Dia pernah ditawan oleh Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw dan pendekar itu mengetahui bahwa Pek-Lian-Kauw berhubungan erat dengan Thaikam Liu Cin,? kata Pangeran Ceng Sin. Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya Tuduhan bahwa Thaikam Liu Cin bersekongkol dengan Pek-Lian-Kauw itu cocok dengan yang diceritakan Song Bu. Dan hal ini yang amat menggelisahkan hatinya. Kalau tuduhan itu benar, sungguh berbahaya sekali. Dia teringat akan cerita Song Bu tadi bahwa pemuda itu tadinya diutus Thaikam Liu Cin untuk membunuh Pangeran Ceng Sin dan kemudian pemuda itu tidak membunuhnya bahkan menolongnya lolos dari Kotaraja.
Dia ingin mempertemukan antara mereka untuk melihat kebenaran cerita Song Bu tadi. Digapainya seorang pengawal dan diperintahkannya untuk menjemput tawanan itu dari kamar tahanan dan membawanya ke ruangan itu. Pengawal memberi hormat lalu pergi. Tak lama kemudian dia kembali bersama Song Bu. Pemuda itu sudah berganti pakaian, diberi oleh pengawal yang ingin memperlakukan Song Bu dengan baik sesuai dengan perintah Kaisar. Pengawal itu memberi makan malam kepada Song Bu dan melihat pakaian pemuda itu basah dan kotor, dia lalu memberinya pengganti pakaian yang bersih dan pantas. Setelah tiba di ruangan itu, Song Bu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar.
?Kakanda Pangeran, lihatlah, apakah engkau mengenal pemuda ini?? tanya Kaisar kepada Pangeran Ceng Sin. Pangeran itu memandang kepada Song Bu dan wajahnya menjadi berseri gembira. Dia tampak kaget dan heran namun girang lalu berseru menegur.
?Pendekar Tan Song Bu! Engkau berada di sini?? Song Bu mengangkat muka memandang.
?Yang Mulia Pangeran Ceng Sin, selamat berjumpa!? katanya, juga merasa heran karena tidak mengira bahwa Pangeran yang sudah melarikan diri dari Kotaraja tahu-tahu kini berada di Istana, di depan Kaisar.
?Kakanda Pangeran, bagaimana engkau mengenal Tan Song Bu ini? Apa hubunganmu dengan dia?? tanya Kaisar.
?Yang Mulia, hamba mengenal baik pemuda ini karena pendekar inilah yang telah menyelamatkan hamba sekeluarga. Dia inilah yang tadinya diutus Thaikam Liu Cin untuk membunuh hamba, akan tetapi dia tidak melakukan pembunuhan itu, bahkan membantu hamba sekeluarga lolos dari kekejaman Thaikam Liu Cin dan melarikan diri keluar Kotaraja. Seandainya bukan Tan-Taihiap ini yang diutus Thaikam Liu Cin untuk membunuh hamba, tentu sekarang hamba sekeluarga telah tewas seperti halnya demikian banyaknya pejabat tinggi dan anggauta keluarga Kerajaan. Kaisar Ceng Tek memandang kepada Song Bu dan mengangguk-angguk.
?Tan Song Bu, sekarang kami mulai percaya akan keteranganmu. Akan tetapi mengenai pengkhianatan Thaikam Liu Cin, kami harus mendapatkan buktinya lebih dulu!? Dia lalu memberi isarat kepada seorang pengawal yang membawa pedang milik Song Bu dan menyerahkan pedang itu kepada Song Bu. ?Kami kembalikan pedangmu.? Song Bu menerima pedangnya kembali dari tangan pengawal itu dan berkata dengan hormat kepada Kaisar.
?Banyak terima kasih atas kepercayaan Paduka Yang Mulia.? Pada saat itu, tampak lima orang perajurit penjaga keamanan Istana memasuki ruangan dan mereka tampak bingung dan gugup sekali. Mereka segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar yang menjadi marah dan menegur mereka.
?Apa artinya kelancangan kalian ini? tidak tahukah kalian bahwa kalian melakukan kesalahan besar dan mengganggu persidangan ini??
?Mohon beribu ampun, Paduka... Paduka Yang mulia. Hamba hendak melaporkan bahwa Istana telah dikepung pasukan yang dipimpin oleh Panglima Liu Kui!? Tentu saja Kaisar terkejut bukan main dan juga merasa heran. Panglima Liu Kui justeru merupakan Panglima komandan pasukan pengawal Istana. bagaimana sekarang dikatakan mengepung Istana.
?Hei, apa maksud kalian? Apa artinya semua ini?? Kaisar membentak.
?Hamba dipaksa untuk melapor kepada Paduka bahwa Istana telah dikepung dan Panglima Liu Kui minta agar dua puluh orang pejabat tinggi yang dipimpin Pangeran Ceng Sin menyerahkan diri dengan baik-baik karena mereka dianggap memberontak,? kata pula kepala pengawal itu dengan takut-takut.
(Lanjut ke Jilid 30) Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30 ?Harap paduka jangan khawatir!? tiba-tiba Kui-Ciangkun yang tua itu berkata. ?Ini hanya membuktikan bahwa Thaikum Liu Cin telah mengetahui akan laporan hamba sekalian kepada paduka dan dia lalu mengerahkan pasukan yang dipimpin oleh Panglima Liu Kui untuk mengepung Istana, hendak menangkap hamba sekalian dan mengancam paduka. Perbuatan ini sudah jelas membuktikan bahwa semua laporan hamba sekalian mengenai pengkhianatan Thaikam Liu Cin memang benar adanya.?
?Ah, lalu bagaimana baiknya? Apakah ini berarti bahwa dia hendak memberontak?? tanya Kaisar dengan wajah berubah.
?Hamba kira begitu, Yang Mulia. Akan tetapi hamba kira paduka tidak perlu khawatir karena hamba sekalian sudah menduga akan hal ini dan sudah membuat persiapan sebelum hamba menghadap paduka. Bahkan para pengawal Istanapun saat ini sudah hamba ganti dengan pasukan pengawal dari pasukan hamba yang dapat di percaya sepenuhnya.?
Kaisar Ceng Tek memandang ke kanan-kiri dan baru sekarang menyadari bahwa para perajurit pengawal memang berbeda dari biasanya. Para perajurit pengawal yang biasa adalah anak buah Panglima Liu Kui dan sudah dilucuti oleh pasukan pengawal yang baru. Hal inilah yang kemudian disusul menghadapnya dua puluh orang pejabat tinggi itu kepada Kaisar yang membuat Liu Cin curiga dan mengetahui bahwa ada kelompok pejabat yang menentangnya dan melapor kepada Kaisar. Oleh karena itu dia lalu menghubungi adiknya Panglima Liu Kui, dan mengerahkan pasukan untuk mengepung Istana.
?Adinda Kaisar Yang Mulia, tentang pasukan pimpinan Liu Kui yang mengepung Istana, harap paduka tidak khawatir. Para Panglima yang setia kepada paduka sudah menduga dan memperhitungkan hal itu dan kini mereka sudah siap untuk mengepung pasukan itu dan melucuti mereka.? Pada saat itu, tampak seorang laki-laki tua yang berpakaian mewah dan gemerlapan memasuki ruangan itu dengan tergopoh-gopoh, dikawal selusin orang perajurit. Semua orang menoleh dan melihat bahwa orang itu bukan lain adalah Thaikam Liu Cin sendiri! Dia memasuki ruangan, berhenti di depan Kaisar dan berkata lantang sambil menuding ke arah dua puluh orang pejabat tinggi itu.
?Yang Mulia, berhati-hatilah. Mereka ini adalah pengkhianat-penghianat yang amat jahat dan merencanakan pemberontakan! Jangan paduka khawatir, hamba datang untuk menyelamatkan paduka dan menangkap para pemberontak ini!? Setelah berkata demikian, Thaikam Liu Cin memerintahkan selusin orang pengawalnya sambil menudingkan telunjuknya ke arah dua puluh orang pejabat tinggi yang duduk menghadap Kaisar.
?Tangkap mereka itu, kalau melawan bunuh saja pengkhianat pemberontak laknat itu!? Selusin perajurit pengawal itu adalah orang-orang kepercayaan Thaikam Liu Cin. Mendengar peritah itu, serentak mereka mencabut pedang hendak melaksanakan perintah itu, Akan tetapi, belasan orang perajurit pengawal Istana berlompatan ke depan melindungi para pejabat itu dan mencabut pedung mereka. Melihat para pengawal Istana itu hendak menentangnya, Thaikam Liu Cin terkejut, heran dan marah sekali.
?Heiii...! Apakah kalian sudah buta dan tidak melihat siapa aku? Berani kalian hendak menentang perintahku? Adikku, Panglima Lau Kui akan menghukun berat kalian! Hayo mundur!? Tiba-tiba Kui-Ciangkun, Panglima tua itu tertawa,
?Ha-ha-ha. Liu Cin, percuma saja engkau menjadi maling berteriak maling. Engkau sendiri yang hendak menjadi pengkhianat. Kedokmu sudah terbuka dan engkau masih berani hendak mengelabuhi Yang Mulia Kaisar? Pandanglah baik-baik. Para perajurit pengawal itu bukan lagi anak buah Panglima Liu Kui yang sudah disingkirkan. Mereka ini adalah anak buah pasukanku yang setia pada Sribaginda dan Kerajaan!? Liu Cin terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa pihak musuhnya telah mempersiapkan segalanya, bukan hanya mempengaruhi Kaisar dan membeberkan semua rahasianya, bahkan telah menggantikan pasukan pengawal Istana. Akan tetapi, Kakek yang berjenggot pendek itu menyeringai.
?Panglima Kui, kau kira engkau akan menang dengan tipu muslihat mu ini? Menyerah sajalah karena Istana ini telah dikepung pasukan besar yang mendukung aku!? Liu Cin lalu tertawa bergelak, yakin akan kemenangannya.
?Jangan tertawa dulu, Liu Cin! Kita lihat saja nanti siapa yang benar dan siapa yang akan menerima hukuman berat? kata Panglima Kui yang sudah bekerja sama dengan para Panglima setia lainnya dan dia tahu bahwa saat itu, pasukan besar gabungan dari para Panglima itu tentu sudah bergerak mengepung pasukan pendukung Liu Cin yang mengepung Istana itu. Liu Cin menjadi senakin marah.
?Bunuh mereka?? perintahnya kepada selusin orang pengawalnya. Akan tetapi belasan orang pengawal Istana anak buah Kui-Ciangkun juga bergerak maju.
Tiba-tiba dari pasukan pengawal Liu Cin itu melompat scorang perajurit dan dengan gerakan yang amat cepat menerjang ke arah pengawal Istana yang menghadang di depan. Para pengawal Istana itu cepat menggerakkan pedang mereka menyambut. Akan tetapi perajurit itu bergerak dengan kecepatan luar biasa dan empat orang pengawal Istana roboh terkena sambaran sinar pedang yang bergulung-gulung. Melihat ini, Song Bu cepat melompat dari lantai di mana tadi dia berlutut sambil mencabut Coat-Beng Tok-Kiam yang baru saja dia terima kembali dari Kaisar. Dia segera mengenal siapa yang menyamar sebagai perajurit pengawal Liu Cin itu. Perajurit itu masih menggerakkan pedangnya hendak menerjang lagi. Pedangnya berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Song Bu cepat menyambutnya sebelum ada korban jatuh lagi di antara para perajurit pengawal Istana.
?Singg... tranggg...!? Bunga api berpijar dan dua batang pedang yang bertemu di udara Itu tergetar. Perajurit yang amat lihai pengawal Liu Cin itu memandang dengan kaget. Akan tetapi diapun segera mengenal Song Bu. Perajurit ini adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun dan dia menatap wajah Song dengan alis berkerut.
?Song Bu, pengkhianat yang tidak mengenal budi! Lupakah engkau bahwa engkau pernah diterima menjadi pembantu Liu-Taijin dan pernah belajar silat dariku? Sekarang engkau bahkan berani menentang kami?? bentak perajurit itu sambil menudingkan pedangnya yang masih berlumur darah. Song Bu tersenyum, sikapnya tenang.
?Memang dulu aku bekerja pada Thaikam Liu Cin karena aku tidak tahu orang macam apa adanya dia. Setelah aku tahu bahwa dia jahat dan para pembantunya juga bukan orang baik-baik, termasuk engkau Tosu Im-Yang-Kauw yang mengkhianati perkumpulanmu sendiri, Im Yang Tojin.?
?Totiang, cepat bunuh pengkhianat itu!? Liu Cin berseru marah. Im Yang Tojin cepat menggerakkan pedangnya menyerang. Song Bu menyambut dengan pedangnya dan mereka sudah saling serang dengan seru. Sebelas orang pengawal Liu Cin juga sudah bertanding dengan pengawal Istana sehingga ruangan persidangan Istana itu menjadi medan pertempuran. Pangeran Ceng Sin dan para pejabat segera mengamankan Kaisar Ceng Tek meninggalkan ruangan itu memasuki ruangan lain. Liu Cin yang yakin bahwa pasukan pendukungnya yang telah mengepung Istana sebentar lagi tentu akan menyerbu masuk berdiri dengan sikap angkuh.
Pertandingan antara Song Bu melawan Im Yang Tojin berlangsung seru. Akan tetapi tak lama kemudian Im Yang Tojin mulai terdesak hebat. Tokoh Im-Yang-Kauw ini tidak dapat mengandalkan pukulan tangan kirinya dengan ilmu Im-Yang Sin-Ciang karena Song Bu sudah mempelajari ilmu itu darinya dan sudah mengenal dengan baik sehingga mudah menandinginya. Sebaliknya, ilmu pedang pemuda itu didukung ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sehingga gerakan Song Bu cepat bukan main. Tubuhnya tiada ubahnya sebuah bayangan yang berkelebatan dan pedang Coat-Beng Tok-Kiam menjadi gulungan sinar biru yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Im Yang Tojin mahir memainkan ilmu pedang Im-Yang Kiam-Sut karena dia juga anggauta Im-Yang Ngo-Kiam-Tin (Barisan Lima Pedang Im Yang).
Akan tetapi ilmu ini baru ampuh sekali kalau dipergunakan dalam barisan lima orang. Biarpun ilmu pedang perorangan dari Tosu Im-Yang-Kauw itu juga kuat, apalagi ditambah dengan tenaga saktinya yang sudah mencapai tingkat tinggi, namun berhadapan dengan Song Bu dia masih kalah jauh. Pemuda ini selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee datuk yang menjadi majikan Pulau Naga, juga menerima pelajaran ilmu-ilmu andalan dari Hek Moko, Pek Moko, bahkan dari Im Yang Tojin sendiri! Sebelas orang perajurit lain yang mengawal Thaikam Liu Cin sudah bertempur seru melawan para perajurit pengawal Istana. Karena jumlah para pengawal Istana jauh lebih banyak dan disitu terdapat pula beberapa orang Panglima tua yang lihai dan yang membantu para pengawal Istana,
Maka sebelas orang pengawal Thaikam Liu Cin itu satu demi satu roboh mandi darah. Im Yang Tosu mengamuk karena dia melihat para pengawal roboh dan belum juga muncul pasukan yang menurut Thaikam Liu Cin sudah mengepung Istana dan akan menyerbu masuk. Hatinya mulai khawatir, akan tetapi dia tidak melihat jalan untuk melarikan diri. Maka, diapun mengamuk dan mati-matian menyerang Song Bu yang sejak tadi sudah mendesaknya. Song Bu mempercepat gerakan tubuhnya, dia memang memiliki keistimewaan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) sehingga pernah di juluki Bu-Eng-Kui (Setan Tanpa Bayangan). Tubuhnya berkelebatan terbungkus gulungan sinar pedangnya yang berwarna biru. Im Yang Tojin mengerahkan segala kemampuannya.
?Cringgg...!!? Dua pedang bertemu dan karena Song Bu tadi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, maka tangan Im Yang Tojin yang memegang pedang tergetar hebat dan pedangnya terlepas dari tangannya.
?Haiiit...! Cappp...!? Song Bu membentak dan pedangnya memasuki dada Im Yang Tojin. Tokoh Im-Yang-Kauw yang menyeleweng ini mengeluarkan teriakan dan roboh mandi darah, tewas seketika karena selain luka di dadanya amat parah, juga pedang di tangan Song Bu itu adalah Coat-Beng Tok-Kiam (Pedang Racun Pencabut Nyawa). Ketika melihat para pengawalnya roboh, Thaikam Liu Cin terbelalak dan berkali-kali dia menoleh ke arah pintu depan. Akan tetapi belum juga pasukan yang mendukungnya menyerbu ke dalam dan melihat Im Yang Tojin roboh, dia segera menggerakkan kedua kakinya dan melarikan diri dari ruangan itu. Akan tetapi Kui-Ciangkun yang sejak tadi mengamati gerak-gerik Thaikam Liu Cin, sudah menghadang di depannya.
?Liu Cin, pengkhianat hina, engkau hendak lari ke mana?? bentaknya sambil mencabut pedang. Melihat ini, Thaikaim Liu Cin yang sudah tersudut itu menjadi nekat. Diapun mencabut pedangnya, sebatang pedang yang gagangnya terbuat daripada emas bertabur intan, sebatang pedang yang indah dan mewah sekali, dan tanpa mengeluarkan kata-kata diapun menyerang Kui-Ciangkun (Panglima Kui) dengan tusukan pedang mewah itu. Kui-Ciangkun menangkis dengan pedangnya dan balas menyerang. Serang menyerang terjadi, akan tetapi biarpun Liu Cin pernah belajar silat, namun selama ini dia hanya hidup bersenang-senang, tak pernah berlatih olah raga, maka dalam beberapa jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Ketika kaki kiri Kui-Ciangkun menendang dan mengenai tangan kanannya, pedang yang dipegangnya terpental dan terlepas dari tangannya.
Kui-Ciangkun menodongkan pedangnya pada leher Thaikam itu dan Thaikam Liu Cin tak berdaya. Dia hanya menunduk pasrah ketika Panglima Kui menelikung dan mengikat kedua lengannya ke belakang tubuhnya. Sementara itu, di luar Istana juga terjadi pertempuran kecil. Pasukan yang mengepung Istana dipimpin oleh Panglima Kui, disergap oleh pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya, yang dipimpin oleh para Panglima yang mendukung para bangsawan yang menentang Liu Cin. Karena kekuatan mereka tidak seimbang, pasukan Liu Kui itu menyerah ketika dilucuti. Liu Kui yang menjadi Panglima dan Liu Wan yang menjadi jaksa, ditangkap. Demikian pula banyak pembesar yang dikenal sebagai sekutu atau anak buah Thaikam Liu Cin. Pembersihan besar-besaran dilakukan di Kotaraja. Jatuhnya Thaikam Liu Cin ini terjadi dalam tahun 1510.
Sementara itu, beberapa pekan yang lalu, terjadi keributan di Kuil Siauw-Lim-Si. Peristiwa itu terjadi di suatu malam terang bulan. Kuil Siauw-Lim sudah sepi, yang terdengar hanya suara yang tenang dan merdu membaca kitab suci, yang ber Liam-Keng (membaca kitab suci) ini adalah Cu Sian Hwesio, wakil ketua Siauw-Lim-Pai.
Dia memang dikenal sebagai seorang Hwesio yang pandai membaca kitab suci dan dia memiliki suara yang merdu. Suaranya yang diiringi bunyi tok-tok-tok kentungan kayu yang dipukul berirama itu menembus kesunyian malam, mendatangkan suasana damai dan hening. Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat di atas atap Kuil itu. Bayangan yang bergerak ringan dan cepat. Kedua kakinya tidak bersuara seperti kaki kucing ketika bayangan itu berkelebatan di atas atap Kuil yang bergenteng tebal itu. Orang ini memakai pakaian ringkas serba hitam dan mukanya juga ditutup dari hidung ke bawah dengan kain hitam. Kepalanya juga dibungkus kain hitam sehingga yang tampak hanya sepasang matanya yang mencorong seperti mata kucing. Akhirnya bayangan itu tiba di atas atap ruangan di mana Cu Sian Hwesio membaca Liam-Keng.
Tingkat kepandaian Cu Sian Hwesio ini sudah tinggi sehingga kalau saja dia tidak sedang ber Liam-Keng yang diiringi suara tok-tok-tok itu, mungkin dia dapat mengetahui bahwa di atas atap ada orang mengintai. Akan tetapi dia sedang asyik ber Liam-Keng sehingga dia tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu sesosok bayangan lain melompat naik atap ruangan lain. Bayangan ini adalah seorang Hwesio yang bertugas sebagai kepala jaga di malam hari itu. Agaknya dia hendak mengadakan pemeriksaan dari atap untuk mengetahui apakah keadaan aman saja. Tanpa disengaja, dia melihat bayangan yang berkelebat itu. Gerakan bayangan yang amat cepat itu mengejutkannya dan sekaligus membuat dia maklum bahwa bayangan itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka, diapun melayang turun dan tiba di luar ruangan di mana Cu Sian Hwesio ber Liam-Keng.
Maksud hendak melapor kepada wakil ketua yang belum tidur bahwa ada bayangan mencurigakan yang berada di atas atas dan gerakannya menunjukkan bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi baru saja dia menghampiri pintu dan hendak mengetuknya, tiba-tiba bayangan yang berkelebatan dan sekarang sudah melompat turun sekitar lima meter di belakangnya itu menggerakkan tangan. Tiga sinar meluncur ke arah punggung Hwesio itu. Dia mendengar suara angin senjata rahasia ini dan berusaha mengelak, akan tetapi tiga batang senjata rahasia itu terbang dengan amat cepatnya dan tahu-tahu sudah menancap di punggungnya. Hwesio itu mengaduh dan roboh terjungkal, menelungkup dan tidak bergerak lagi. Suara Liam-Keng itu tiba-tiba berhenti. Cu Sian Hwesio mendengar suara gedebukan jatuh di luar ruangan.
?Siapa di luar?? tanyanya. Akan tetapi tidak ada jawaban. Dia lalu melangkah dan membuka daun pintu, lalu keluar dan melihat Hwesio yang rebah menelungkup di atas lantai. Tempat itu cukup terang, mendapat penerangan lampu gantung ditambah lagi sinar bulan purnama. Cu Sian Hwesio cepat menghampiri, berlutut dan alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah seorang murid tingkat pertama dan dia sudah tewas dengan tiga batang pisau terbang menancap di punggungnya Melihat senjata rahasia itu, dia berseru lirih.
?Omitohud... Khong-Thong-Pai...!? Dia segera mengenal senjata rahasia dari aliran Khong-Thong-Pai yang terkenal ampuh itu. Pada saat itu, dia mendengar suara angin dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar ke arah tengkuknya. Cu Sian Hwesio adalah wakil ketua Siauw-Lim-Pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi. Cepat dia menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya lalu melompat berdiri dan memutar tubuhnya. Ternyata di depannya telah berdiri seorang yang memakai pakaian serba hitam, kepala dan mukanya juga ditutupi kain hitam.
?Omitohud! Siapakah engkau dan mengapa engkau membunuh seorang murid kami?? Cu Sian Hwesio bertanya sambil melangkah menghampiri orang itu. Akan tetapi orang itu tidak menjawab melainkan menggerakkan tubuhnya dan menyerang dengan dahsyat sekali. Dia menyerang dengan gerakan lincah dan mempergunakan jari-jari tangan untuk menotok ke arah jalan-jalan darah mematikan. Dan Cu Sian Hwesio yang mengenal ilmu totokan seperti ini, terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis.
?Engkau... engkau orang Bu-Tong-Pai?? dia bertanya heran. Akan tetapi penyerangnya tidak menjawab bahkan menyerang semakin gencar. Cu Sian Hwesio terdesak dan diapun cepat membalas sehingga kedua orang itu bertanding dengan seru. agaknya penyerang itu terkejut juga, tidak menyangka bahwa yang diserangnya sekali ini adalah seorang Hwesio yang demikian lihainya. Dia tidak mengira bahwa dia berhadapan dengan wakil ketua Siauw-Lim-Pai sendiri! Tadinya dia menyangka bahwa Hwesio inipun seorang murid biasa seperti yang telah dia robohkan dengan senjata rahasia tadi. Penyerang itu menjadi panik ketika mendapat kenyataan betapa lihai lawannya. Akan tetapi dia tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri karena Cu Sian Hwesio yang agaknya mengerti bahwa penjahat itu hendak kabur, sudah mengurungnya dengan serangan-serangannya.
Tiba-tiba muncul Hui Sian Hwesio! Pendeta berusia tujuh puluh tahun lebih yang gemuk tinggi itu merasa tidak enak hatinya dan dia keluar dari kamarnya. hal ini adalah karena dia mendengar suara Liam-Keng dari Cu Sian Hwesio terhenti secara mendadak. Setelah tiba di luar dia melihat Sutenya itu sedang bertanding seru melawan seorang berpakaian hitam dan mukanya ditutup topeng hitam pula. Dan diapun terheran-heran melihat gerakan dari topeng hitam itu yang mempergunakan ilmu serangan totokan Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai! Melihat Sutenya bertanding seimbang, dia khawatir kalau Sutenya mempergunakan jurus maut dan menewaskan orang itu. Orang bertopeng hitam itu harus ditangkap hidup-hidup karena dia masih ragu-ragu dan curiga apakah benar orang itu tokoh Bu-Tong-Pai yang hendak membunuh Sutenya.
?Omitohud, jangan bunuh, Sute, biarkan Pinceng (aku) menangkapnya!? kata Hui Sian Hwesio dan Hwesio tua ini segera bergerak ke depan dan menyerang orang bertopeng itu dengan ilmu totok It-Yang-Ci (Totok Satu jari). Orang bertopeng itu berseru kaget bukan main. Ketika itu kedua tangannya bertemu dengan tangan Cu Sian Hwesio, maka mana mungkin dia menghindarkan diri dari totokan dahsyat itu? Bahkan andaikata kedua tangannya bebas sekalipun belum tentu dia mampu menghindarkan diri.
?Tukk...!? Tubuh orang bertopeng itu menjadi lemas dan diapun terkulai roboh dan tidak mampu bergerak lagi.
?Omitohud?! Pinceng melihat orang ini mempergunakan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai, Sute!? kata Hui Sian Hwesio.
?Bukan itu saja, Suheng, akan tetapi dia telah menmbunuh murid Kim Ceng dengan pisau-pisau terbang dari Kong-Thong-Pai. Lihatlah itu!? Cu Sian Hwesio menunjuk ke arah mayat Hwesio yang rebah menelungkup. Hui Sian Hwesio menghampiri mayat itu dan memeriksa tiga pisau yang masih menancap di punggung mayat itu.
?Omitohud... Benar-benar pisau terbang Kong-Thong-Pai! Sute, coba ambil Lampu itu dan dekatkan di sini. Pinceng hendak melihat siapa orang ini? kata Hui Sian Hwesio dan. Pada saat itu, beberapa orang Hwesio berdatangan.
Mereka terkejut oleh suara perkelahian tadi dan mendat?ngi, ada yang membawa lampu Teng. Dengan lampu itu mereka menerangi orang bertopeng yang rebah telentang tak mampu bergerak. Cu Sian Hwesio merenggut topeng itu dan semua orang tertegun karena mereka tidak mengenal orang itu. Sama sekali bukan seorang di antara tokoh-tokoh besar Kong-Thong-Pai atau Bu-Tong-Pai. Pada hal kalau melihat tingkat kepandaiannya yang mampu menandingi seimbang dengan Cu Sian Hwesio, dia tentu seorang tokoh yang cukup terkenal baik di Kong-Thong-Pai maupun Bu-Tong-Pai. Akan tetapi kenyataannya, tidak seorangpun Hwesio Siauw-Lim-Pai mengenalnya. Kini semua penghuni Kuil Siau-Lim-Si sudah berkumpul di tempat itu. Ruangan depan kamar untuk Liam-Keng menjadi terang oleh banyak lampu yang dibawa para murid.
?Bawa dia ke dalam ruangan sidang. Cu Sian Sute (adik seperguruan Cu Sian), mari kita berdua memeriksa dan menanyainya.? Orang itu diseret ke dalam ruangan sidang dan para murid di suruh keluar. Hanya Hui Sian Hwesio dan Cu Sian Hwesio berdua yang akan memeriksa pembunuh itu. Orang itu direbahkan di atas lantai. Wajahnya diterangi lampu besar yang tergantung di ruangan itu. Dua orang pimpinan Siauw-Lim-Pai mengamati wajah itu dengan penuh perhatian. Orang itu laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus, wajahnya tampan. Akan tetapi dua orang pimpinan Siauw-Lim-Pai itu tidak mengenainya.
?Katakan, siapa engkau dan kenapa engkau membunuh dan mengacau Siauw-Lim-Si?? tanya Cu Sian Hwesio dengan garang. Orang itu tertotok lemas akan tetapi tidak menghilangkan kemampuannya berbicara. Orang itu tersenyum, Senyumnya mengejek.
?Tidak perduli siapa aku. Aku adalah utusan Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai dan kalian tentu tahu mengapa aku membunuh orang Siauw-Lim-Pai dan mengacau di sini!? Dua orang Hwesio itu saling pandang dengan alis berkerut. Ketika bicara, orang itu tersenyum-senyum aneh dan suaranya kecil tinggi seperti suara wanita. Senyum dan pandang matanya genit.
?Katakan yang sebenarnya, jangan membohong!? Cu Sian Hwesio menghardik
?Kami tidak percaya omonganmu tadi!?
?Hi-hi-hik!? Orang itu tertawa. ?Apa kalian sudah buta dan tidak melihat bahwa aku menggunakan ilmu Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai? Kedua partai persilatan itu yang mengutus aku untuk membalas kematian rnurid-murid mereka yang kalian bunuh. Sekarang aku telah tertangkap, Kalau kalian hendak membunuhku, lakukanlah dan jangan banyak bicara lagi!? Cu Sian Hwesio yang mewakili Siauw-Lim-Pai untuk urusan luar mempunyai banyak pengalaman dan lebih mengenal tokoh-tokoh dunia persilatan dibandingkan Suhengnya, tiba-tiba berseru heran,
?Ah... engkau bergigi emas! Engkau tentu yang berjuluk Si Banci Bergigi Emas, Pangeran Yorgi dari Mancu. Pinceng pernah mendengar namamu? Laki-laki itu memang Pangeran Yorgi. Seperti kita ketahui, dia mendapat tugas dari Kim Niocu untuk mengacau Siauw-Lim-Si dan membunuh orang Siauw-Lim-Pai mempergunakan senjata rahasia Kong-Thong-Pai dan, ilmu totok Bu-Tong-Pai yang diajarkan oleh Kim Niocu kepadanya. Tentu saja ini dalam rangka siasat Pek-Lian-Kauw untuk mengadu domba antar partai persilatan besar itu. Sebagai seorang tokoh mancu yang mewakili bangsanya untuk bergabung dengan Pek-Lian-Kauw dan memusuhi Kerajaan Beng, Pangeran Yorgi siap untuk mati demi negaranya. Dia tidak takut mati,
?Hi-hi-hik! Sudah kukatakan, siapa adanya aku bukan soal dan aku tidak perduli. Aku adalah utusan Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai!?
?Jangan melakukan fitnah! Mengaku sajalah, atau kami akan menggunakan kekerasan!? bentak pula Cu Sian Hwesio. Mendengarkan ucapan Sutenya ini, Hui Sian Hwe-sio mengerutkan alisnya yang putih. Dia seorang pendeta yang alim, tentu saja tidak enak perasaannya mendengar ucapan Sutenya yang hendak menggunakan kekerasan.
?Menggunakan kekerasan? Ha-ha-hi-hik..., apa kau kira aku takut mati? Sudahlah biar engkau akan mencincang tubuhku sampai mati, aku tidak akan sudi bicara lagi!? kata Pangeran Yorgi dengan sikap angkuh. Cu Sian Hwesio tersenyum.
?Banyak orang tidak takut mati, akan tetapi Pinceng ingin melihat apakah engkau juga tidak takut sakit!? Setelah berkata demikian, cepat jari telunjuk kanannya bergerak menotok tiga kali ke arah kedua pundak dan dada Pangeran Yorgi.
?Sute...! Omitohud... apa yang kau lakukan itu?? seru Hui Sian Hwesio kaget.
?Dia harus mengaku agar persoalannya menjadi terang, Suheng. Kalau tidak, kita akan terus dipermainkannyal? jawab Cu Sian Hwesio dengan sikap tenang. Mula-mula Pangeran Yorgi masih tersenyum mengejek, seolah menertawakan ancaman kematian baginya. Akan tetapi perlahan-lahan senyumnya berubah menjadi seringai, wajahnya menjadi kerut merut, giginya menggigit bibir dan matanya terpejam. Dia menderita rasa nyeri yang teramat hebat!
Seperti ada ujung pedang yang menusuk-nusuk isi dadanya dan rasa gatal, panas dan perih menjalar ke sekujur tubuhnya seolah-olah ada ribuan semut merubung dan menggigitnya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan rasa nyeri itu menggigit, menghentak, menusuk-nusuk, kiut-miut rasanya sampai menembus ke tulang sumsum. Rasa nyeri menjalar ke otak kepalanya berdenyut-denyut seperti akan pecah! Rasa nyeri yang membuatnya ingin cepat mati saja, akan tetapi rasa nyeri yang menyiksa itu tidak sampai membuat dia pingsan. Dia mulai merintih, mengaduh, mengerang, dan air matanya mulai menetes-netes membasahi mukanya. Dia berusaha untuk bertahan dan mengatupkan mulutnva erat-erat agar jangan meluarkan kata-kata. Akan tetapi setelah kurang lebih lima menit, dia tidak tahan lagi. Dengan mulut megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan, dia berkata.
?Aduh... aduh... hentikan... hentikan!? Dia meratap. Hui Sian Hwesio sudah duduk bersila dan memejamkan kedua matanya. Dia tidak ingin melihat lebih lama lagi penderitaan orang di depannya.
?Katakan dulu, benarkah engkau Pangeran Yorgi, Si Banci Bergigi Emas??
?Benar... benar... ahhh!!?
?Katakan, siapa yang menyuruh engkau melakukan pembunuhan dan mengacau Siauw-Lim-Pai??
?Yang me... menyuruh... Kim Niocu, dia puteri ketua umum Pek-Lian-Kauw...! Ah... hentikan ini...!?
?Katakan di mana Kim Niocu sekarang dan mengapa ia melakukan ini! Cepat katakan!? Cu Sian Hwesio menghardik.
?Ia... bersekutu dengan Thaikam Liu Cin... ia sekarang berada di Kotaraja... mereka... ingin mengadu domba antara Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai! Aduh... bebaskan aku...!?
?Sekali lagi! Katakan, siapa yang membunuhi orang-orang Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai??
?Bukan aku...! Orang orangnya Thaikam Liu cin... Hek Pek Moko... ahhh!? Tiba-tiba Hui Sian Hwesio yang tadinya bersila dan memejamkan matanya, mengerakkan tangannya. Cepat sekali jari-jari tangannya menotok dan Pangeran yorgi tidak mengeluh lagi. Rasa nyeri yang amat hebat itu sudah meninggalkan badannya yang masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
?Cu Sian Sute, maafkan dan bebaskan dia...? kata Hui Sian Hwesio dengan suara lemah. Luluh hati yang penuh belas kasihan itu mendengar penderitaan tadi,
?Tidak Suheng. Ini menyangkut nama dan kehormatan Siauw-Lim-Pai. Orang ini harus kita jadikan saksi dan bukti agar pihak Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai mendengar dan menyaksikan sendiri. Dengan demikian nama kita dapat dibersihkan. Tentang orang ini, kita serahkan saja kepada pihak Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai.? Tanpa menanti jawaban, Cu Sian Hwesio lalu mengempit tubuh yang masih lunglai itu dan membawanya ke bagian belakang Kuil. Dia memasukkan Pangeran Yorgi ke dalam sebuah kamar, membelenggu kaki tangannya dengan tali sutera yang amat kuat, lalu menyuruh belasan orang murid untuk menjaga orang itu jangan sampai lolos dari kamar.
Kemudian dia mengutus dua orang murid kepala agar besok pagi-pagi berangkat meninggalkan Siauw-Lim-Si untuk memberi kabar dan mengundang pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai untuk berkunjung ke Siauw-Lim-Si. Akan tetapi, sungguh suatu kebetulan, pada keesokan harinya ketika dua orang murid Siauw-Lim-Pai itu berangkat, di depan Kuil mereka melihat rombongan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai sedang bercakap cakap dengan Gan Hok San, pendekar murid Siauw-Lim-Pai yang banyak dikenal itu! Seperti kita ketahui, Gan Hok San mengunjungi cabang Pek-Lian-Kauw dalam usahanya mencari Ouw Yang Hui dan menyelidiki tentang pembunuhan terhadap para murid Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai, akan tetapi dia tidak berhasil menemukan sesuatu. Karena dia mengkhawatirkan keadaan isterinya yang ditinggalkan di depan Kuil Siauw lim-pai, dia mengambil keputusan untuk kembali saja ke depan Kuil itu.
Pagi itu, ketika Gan Hok San hendak menghadap para pimpinan Siauw-Lim-Pai, dia melihat rombongan pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai yang dipimpin sendiri oleh Cang Su Cinjin sebagai Ketua Bu-Tong-Pai dan Lui Kai It sebagai Wakil Ketua Kong-Thong-Pai. Karena sudah mengenal mereka, Gan Hok San menyambut mereka dan mereka bercakap-cakap di depan Kuil. Dua orang murid Siauw-Lim-Pai itu girang melihat mereka dan menyampaikan undangan Ketua Siauw-Lim-Pai. Sungguh kebetulan sekali karena dua orang pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai itupun hendak bertemu dengan pimpinan Siauw-Lim-Pai untuk menanyakan tentang hasil penyelidikan mengenai pembunuhan terhadap murid-murid mereka. Ketika diadakan pertemuan dan perundingan, yang dipersilakan masuk hanya Cang Su Cinjin Ketua Bu-Tong-Pai dan Lui Kai It Wakil Ketua Kong-Thong-Pai saja sedangkan anggauta rombongan lain dipersilakan menanti di ruangan depan.
?Omitohud, sungguh kebetulan sekali kedatangan ji-wi (kalian berdua) berkunjung ke Kuil kami,? kata Hui San Hwesio. ?Sesungguhnya kamipun bermaksud untuk mengundang ji-wi ke sini. Ketahuilah, secara tak terduga-duga kami telah mendapat keterangan tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi pada murid-murid perguruan Ji-wi. Bahkan semalam seorang murid kami juga terbunuh. Akan tetapi kami berhasil menangkap pembunuhnya dan terbongkarlah semua rahasia pembunuhan itu.?
?Siapa pembunuhnya, Lo-Suhu?? tanya Cang Su Cinjin.
?Ya, siapa pembunuh keparat itu?? tanya Lui Kai It galak. ?Kami harus menghukumnya!? Hui Sian Hwesio yang menyambut dua orang tamunya itu bersama Cu Sian Hwe sio, menoleh kepada Sutenya dan berkata.
?Sute, ceritakanlah sejelasnya kepada mereka.?
?Cang Su Totiang dan Lui Kai It Taihiap, semalam terjadi hal yang sama sekali di luar persangkaan kami. Seorang murid kami terbunuh dan Lui-Taihiap, coba lihat ini, alat yang dipergunakan pembunuh untuk membunuh murid kami itu.? Cu Sian Hwesio membuka buntalan kain kuning dan mengeluarkan tiga batang pisau yang semalam dipergunakan untuk membunuh murid Siauw-Lim-Pai itu, diperlihatkan kepada Wakil Ketua Kong-Thong-Pai itu. Lui Kai It terbelalak lalu mengerutkan alisnya.
?Apa artinya ini? Ini merupakan senjata rahasia partai kami!?
?Itulah, Lui-Taihiap! Dan Totiang, tahukah Totiang apa yang terjadi selanjutnya??
?Pinceng (aku) keluar dari ruangan Liam-Keng dan berhadapan dengan pembunuh yang bertopeng itu. Dia lalu menyerang Pinceng, menggunakan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai!?
?Siancaai... tidak mungkin murid kami.? Seru Cang Su Cinjin terkejut dan heran, Juga penasaran.
?Tenanglah, Toyu dan Taihiap. Pinceng semula juga merasa heran. Akan tetapi untung bahwa kami telah dapat menangkap pembunuh itu. Dia itu bukan lain adalah Pangeran Yorgi dari Mancu yang berjuluk Si Banci Bergigi Emas,?
?Siancai! Aneh sekali, mengapa orang Mancu membunuh murid kami?? kata Cang Su Cinjin. Apa artinya ini? Dan bagaimana jahanam itu bisa mempergunakan pisau terbang kami?? Lui Kai It juga berkata penasaran.
?Dia sudah membuat pengakuan dan ternyata tidak ada keanehan dalam rahasia ini. Dia menjadi utusan dari Pek-Lian-Kauw yang dipimpin oleh Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw untuk membunuh murid-murid kami dengan mempergunakan ilmu-ilmu Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai yang sudah dipelajarinya. Adapun yang membunuh murid-murid Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai adalah Hek Pek Moko yang menjadi orang-orangnya Thaikam Liu Cin. Ternyata Thaikam Liu Cin dan Pek-Lian-Kauw mengadakan persekutuan dan semua pembunuhan itu dimaksudkan untuk mengadu domba antara kita yang tidak suka dan menentang Thaikam Liu Cin. Pangeran Yorgi telah mengakui semua ini. Untung kami dapat menangkapnya sehingga kita semua mengetahui akan rencana jahat mereka untuk mengadu domba di antara kita.?
?Di mana Pangeran Yorgi itu sekarang? Ingin aku melihat mukanya!? teriak Lui Kai It marah.
?Pinto (aku) juga ingin mendengar pengakuannya sendiri,? kata Cang Su Cinjin.
?Harap ji-wi tunggu sebentar. Pinceng akan membawanya ke sini,? kata Cu kian Hwesio dan dia lalu meninggalkan ruangan itu. Dia menotok tubuh Pangeran yorgi sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, lalu melepaskan ikatannya dan mengempitnya, membawanya keluar ke dalam ruangan di mana dua orang pimpinan dua parti persilatan besar itu sudah menunggu. Cu Sian Hwesio melepaskan tubuh Pangeran Yorgi ke atas lantai di mana orang Mancu itu rebah telentang. Dua orang pimpinan partai itupun belum pernah bertemu dengan Pangeran Yorgi, akan tetapi mereka berdua sudah pernah mendengar nama Si Banci Bergigi Emas. Cang Su Cinjin memandang wajah orang Mancu itu lalu bertanya,
?Benarkah engkau mengaku bahwa semua pembunuhan itu direncanakan oleh persekutuan antara Pek-Lian-Kauw dan Thaikam Liu Cin?? Pangeran Yorgi tertawa mengejek dan menjawab,
?Semua itu betul dan kalian mau apa? Kalian ini pemimpin-pemimpin partai persilatan besar hanyalah orang-orang penakut besar. Memeriksa orang dan menanyainya dalam keadaan tertotok seperti ini. apakah kalian berempat ini takut kalau aku dalam keadaan bebas lalu akan membunuh kalian? Ha-ha-hi-hi-hik!? Kemudian, disambungnya dengan kata-kata yang nadanya mengejek,
?Lihat, kalian bermuka merah karena marah. Hayo bunuh saja aku, karena kalau tidak, aku yang nanti akan membunuh kalian!? Lui Kai It, Wakil Ketua Kong-thong pa? itu adalah seorang yang berwatak keras dan galak, amat memegang teguh kegagahan dan kehormatan. Dihina seperti itu, dia membentak kepada Cu Sian Hwesio,
?Cu Sian Lo-Suhu, engkau yang menotoknya, maka harap engkau pula yang membebaskannya. Hendak kulihat jahanam keparat ini dapat berbuat apa ? Hendak kulihat apakah dia akan mampu melarikan diri dari hadapanku!?
?Siancai, Pinto juga ingin melihat dia dibebaskan dari totokan. Memang tidak enak memeriksa orang dalam keadaan seperti ini. Pinto tanggung bahwa dia tidak akan mampu lari dari Pinto.? Kata Cang Su Cinjin yang juga merasa tersindir dan malu.
?Sute, bebaskan dia!? kata Hui Sian Hwesio kepada Sutenya. Cu Sian Hiwesio lalu menghampiri Pangeran Yorgi yang rebah telentang di atas lantai. Tangannya bergerak cepat dan dengan ilmu It-Yang-Ci, dia menotok tiga kali dan Pangeran Yorgi mengeluh lalu dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia bangkit, duduk bersila dan mengatur pernapasan, menghimpun tenaga, duduk diam beberapa saat lamanya. Empat orang itu menandang dengan penuh perhatian dan waspada. Setelah Pangeran Yorgi menggerakan tubuh dan membuka matanya yang tadinya terpejam, Lui Kai It lalu berkata,
?Orang Mancu, kami sudah mendengar akan semua pengakuanmu kepada para pemimpin Siauw-Lim-Pai, akan tetapi kami dari Kong-Thong-Pai ingin mendengar keterangan ini dari mulutmu sendiri. Hayo Ceritakan kepada kami tentang pembunuhan atas murid kami!? Perlahan-lahan Pangeran Yorgi bangkit berdiri, menggerak-gerakkan kaki tangannya yang tadinya terasa kaku sehingga menjadi lemas kembali. Empat orang pemimpin itu memandangnya dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa orang ini berbahaya dan cukup lihai. Tiba-tiba Pangeran Yorgi tertawa bergelak.
?Ha-ha-hi-hi-bik! Setelah aku bebas, jangan harap kalian akan dapat mendengar keterangan dariku sepatah katapun. Mampuslah kau!? Dia bergerak ke kiri lalu menyerang ke arah Lui Kai dengan cepat dan tiba-tiba. Dia menyerang dengan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai yang sudah dipelajarinya dari Kim Niocu!
?Heiiitt...!? Lui Kai It yang sejak tadi selalu waspada, tentu saja tidak terkejut oleh serangan tiba-tiba ini. Dia cepat mengelak ke belakang dan membalas dengan pukulan tangan dengan ilmu Pek-Lui-Ciang (Tangan Geledek). Pangeran Yorgi dapat, menangkis dengan baik dan kembali menyerang dengan totokan Tian-Hiat-Hoat. Sekali ini Lui Kai It tidak mengelak, melainkan menangkis sambil mengerahkan tenaga.
?Dukkk...!? Tubuh Pangeran Yorgi terhuyung ke belakang dan dia melompat ke kanan untuk melarikan diri. Akan tetapi di sebelah kanan Cang Su Cinjin menyambutnya dengan totokan Tiam-Hiat-Hoat. Karena yang melakukan totokan ini ketua Bu-Tong-Pai, maka tentu saja hebat sekali. Pangeran Yorgi terkejut dan mencoba untuk menangkis.
?Dess...!? Pertemuan kedua tangan membuat Pangeran Yorgi yang belum pulih seluruh tenaganya itu, terhuyung-huyung. Akan tetapi melihat dirinya terkepung, dia menjadi nekat dan kembali dia menyerang Lui Kai It, kini menggunakan kedua tangan yang membentuk cakar untuk mencengkeram. Dia mempergunakan ilmu gulat dari Mancu yang tentu asing bagi orang yang diserang. Namun yang diserangnya adalah Wakil Ketua Kong-Thong-Pai yang sudah memiliki tingkat kepandaian silat tinggi dan mempunyai banyak pengalaman pula. Maka Lui Kai It bahkan membiarkan pundaknya di cengkeram tangan Pangeran Yorgi dan pada saat yang sama tangan kanannya yang terbuka menghantam ke dada lawan.
?Hyaatttt...! Dukkk...!? Tubuh Pangeran Yorgi terpental lalu roboh terjengkang dan dia tewas seketika.
?Omitohud...!? Hui Sian Hwesio berseru. ?Kiranya dia sengaja mengejek kita agar dibebaskan sehingga dia dapat bertindak nekat dengan dua pilihan, berhasil lolos atau menemui kematiannya. Cu Sian Hwesio memanggil dua orang murid dan memerintahkan agar dua orang murid itu membawa jenazah Pangeran Yorgi keluar ruangan dan mengurusnya sebagaimana mestinya. Setelah jenazah dibawa pergi, Cu Sian Hwesio berkata kepada Cang Su Cinjin dan Lui Kai It.
?Dari Pangeran Yorgi kami mendapat keterangan bahwa Kim Niocu sekarang berada di Kotaraja. Kami khawatir mendengar akan persekutuan antara Pek-Lian-Kauw dan Thaikam Liu Cin. Karena itu, kiranya sudah menjadi ke wajiban kita untuk membongkar rahasia kepada Kaisar, agar Kaisar mengetahui akan pengkhianatan Thaikam Liu Cin dan dapat cepat bertindak sebelum terjadi malapetaka d? Istana.?
?Tepat sekali!? kata Lui Kai It. ?Kita harus pergi ke sana sekarang juga dan membantu Kaisar untuk menangkap Kim Niocu, juga Hek Pek Moko yang telah membunuh murid-murid kita.?
?Omitohud... Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan dan menyadarkan Kaisar. Akan tetapi tidak perlu terlalu banyak orang menghadap ke Istana, cukup kalau setiap partai persilatan diwakili seorang saja,? kata Hui San Hwesio.
?Pendapat Hui Sian Lo-Suhu benar dan Pinto setuju. Biarlah Pinto sendiri yang mewakili Bu-Tong-Pai,? kata Cang Su Cinjin.
?Dan aku mewakili Kong-Thong-Pai karena ketua kami sedang tidak sehat badannya,? kata Lui Kai It.
?Pinto harap agar Hui Sian Lo-Suhu sendiri yang mewakili Siauw-Lim-Pai dan meminpin rombongan yang pergi ke Kotaraja, karena bagaimanapun juga, Kaisar akan lebih memperhatikan kalau Lo-Suhu memimpin rombongan menghadap beliau.?
?Benar sekali apa yang dikatakan Cang Su Cinjin!? kata Lui Kai It. ?Demi keselamatan Kerajaan dan demi membasmi komplotan jahat yang hendak mengadu domba kita, akupun mengharap agar Hui Sian Lo-Suhu suka pergi sendiri bersama kami ke Kotaraja!? Kata-kata kedua orang pimpinan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai ini diterima Hui Sian Hwesio dengan senyum dan dia menghela napas panjang.
?Omitohud...! Agaknya Pinceng akan pergi bersama ji-wi ke Kotaraja.? Hui Sian Hwesio lalu memanggil Gan Hok San yang tinggal di luar Kuil bersama isterinya. Setelah pendekar ini menghadap, Hui Sian Hwesio minta agar Gan Hok San membantu Cu Sian Hwesio menjaga Kuil Siauw-Lim-Si kalau-kalau akan ada kawan-kawan Pangeran Yorgi yang datang menyerbu. Gan Hok San menyanggupi. Walaupun hati pendekar ini juga ingin sekali pergi ke Kotaraja untuk mencari Ouw Yang Hui, akan tetapi dia harus menjaga keselamatan isterinya.
Apalagi kini mendapat tugas untuk ikut menjaga keselamatan Kuil Siauw-Lim-Si, maka dia terpaksa menaati perintah Ketua Siauw-Lim-Pai itu. Demikianlah, tiga orang tokoh besar tiga partai persilatan itu, Hui Sian Hwesio, Cang Su Cinjin, dan Lui Kai It pada hari itu juga berangkat menuju Kotaraja. Para anggauta rombongan Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai mereka perintahkan untuk pulang lebih dulu. Ketika pada suatu pagi tiga orang tokoh besar ini memasuki Kotaraja, mereka sama sekali tidak tahu bahwa saat itu terjadi keributan dalam Istana, yaitu rombongan para bangsawan yang dipimpin oleh pangeran Ceng Sin menghadap Kaisar Ceng Tek dan berakhir dengan tertawannya Thaikam Liu Cin. Juga bahwa pasukan yang dipimpin oleh adik Thaikam Liu Cin, yaitu Panglima Liu Kui, telah dilucuti oleh pasukan besar yang dipimpin para Panglima yang menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin.
Sementara itu, Sin Cu dan Ciang Lan (Ouw Yang Lan) ditemani Siauw Ming memasuki Kotaraja. Mereka mencari rumah Kui-Ciangkun dan di rumah besar ini bertemu dengan para bangsawan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Sin. Mereka lalu mengadakan perundingan.
?Besok kami akan pergi menghadap Kaisar,? kata Pangeran Ceng Sin kepada Sin Cu dan Ciang Lan.
?Untuk itu kami telah mempersiapkan dukungan. Para pengawal Istana telah kami ganti dan pasukan para Panglima akan menghadapi pasukan pimpinan Panglima Liu Kui yang mendukung Liu Cin. Kelak kalau diperlukan sebagai saksi, Wong-Taihiap dan Ciang-Lihiap akan kami hadapkan Kaisar. Akan tetapi sekarang lebih baik kita membagi tugas. Ada tugas yang lebih penting bagi ji-wi, yaitu menyerbu ke sarang mata-mata Pek-Lian-Kauw, yaitu rumah hartawan Su Kian. Dia membuka toko rempa-rempa di sebelah timur Jembatan Rembulan. Besok pagi-pagi kita bergerak, kami ke Istana dan ji-wi, diantar oleh beberapa orang perajurit menyerbu rumah mata-mata Su Kian itu. Menurut laporan yang telah kami terima, wanita yang namanya Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw yang memimpin persekutuan dengan Thaikam Liu Cin berada pula di sana. Siapa tahu, mungkin Nona Ouw Yang Hui yang ji-wi cari itu dibawa pula ke sana.?
?Baik, Pangeran. Kami berdua akan menyerbu ke sana!? Kata Sin Cu dan Ciang Lan juga mengangguk. Hati gadis ini panas dan marah sekali kepada wanita yang namanya Kim Lian atau yang disebut Kim Niocu itu.
Bukan saja karena wanita Pek-Lian-Kauw itu menculik adiknya, Ouw Yang Hui, akan tetapi terutama sekali setelah mendengar cerita Sin Cu betapa wanita itu hendak memaksa Sin Cu menjadi kekasihnya! la telah jatuh cinta kepada Sin Cu dan membayangkan perlakuan Kim Niocu kepada Sin Cu, hatinya panas oleh cemburu. Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka semua berangkat melaksanakan tugas masing-masing. Sin Cu dan Ciang Lan, diiringkan selusin perajurit, berangkat ke rumah Su Kian yang di Kotaraja dikenal dengan sebutan Su Wangwe (Hartawan Su). Ketika Sin Cu mengetuk daun pintu gapura rumah besar yang masih tertutup itu, terdengar langkah orang dan pintu gapura terbuka dari dalam. Sin Cu dan Ciang Lan, diikuti selusin perajurit masuk halaman depan rumah yang luas itu. Lima orang laki-laki yang tampak galak segera menghadang di depan mereka.
?Siapa kalian dan mau apa...?? Ciang Lan sudah melompat ke depan dan membentak,
?Di mana orang yang namanya Su Kian? Kami mau bertemu dengan dia!? Lima orang itu mengerutkan alisnya. Mereka adalah jagoan-jagoan tukang pukul yang bertugas menjaga keamanan di situ. Tentu saja mereka marah dan munculnya selusin perajurit itupun tidak membuat mereka takut. Mereka maklum bahwa majikan mereka, Su Wangwe adalah seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pembesar tinggi di Kotaraja. Bahkan menjadi sahabat dari Thaikam Liu Cin! Siapa berani mengganggunya?
?Hei! Jangan kurang ajar kalian! Kalau ada kepentingan, tunggu di luar pintu gerbang, sebutkan nama dan keperluan, baru akan kami laporkan kepada Su Wangwe apakah beliau mau menerima kalian ataukah tidak. Hayo keluar! Keluar!? Kepala penjaga itu hendak mendorong kearah dada Ciang Lan secara kurang ajar sekali. Akan tetapi, Ciang Lan mengelak ke kiri lalu kaki kanannya mencuat ke depan dengan cepat sekali.
?Bukk!!? Orang itu mengaduh, tubuhnya terpental dan terbanting ke belakang Empat orang temannya marah sekali. Mereka bergerak maju untuk menyerang. Akan tetapi Sin Cu dan Ciang Lan bergerak cepat, dengan beberapa tamparan dan tendangan saja empat orang tukang pukul itupun roboh dan tidak mampu bangkit lagi!
Sin Cu dan Ciang Lan tidak memperdulikan mereka. Diikuti oleh selusin orang perajurit itu, mereka memasuki beranda rumah besar. Toko di sebelah rumah itu belum buka. Ketika mereka tiba di ruangan depan, daun pintu depan rumah itu terbuka lebar dan belasan orang berserabutan keluar, membawa golok atau pedang. Agaknya mereka telah melihat betapa lima orang penjaga di depan telah dirobohkan para pendatang itu, maka tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menerjang dan menyerang Sin Cu, Ciang Lan dan seregu perajurit itu. Pertempuran terjadi di ruangan depan yang luas itu. Akan tetapi, kembali Sin Cu dan terutama Ciang Lan, mengamuk dan bagaikan dua ekor naga mereka menerjang dan belasan orang lawan itu menjadi kocar-kacir. Para perajurit juga menyerang dan dengan cepat perlawanan para anak buah Su Kian itu dapat dilumpuhkan.
?Di mana Su Kian!? bentak Ciang Lan kepada seorang yang dirobohkannya. Ia mencengkeram lengan orang itu yang menyeringai kesakitan karena tangan yang berkulit lembut hangat itu seolah telah berubah menjadi jepitan baja.
?Di... di ruangan sebelah kanan itu...? dia menuding. Ciang Lan menamparnya dan dia roboh pingsan. Gadis itu lalu meloncat ke arah ruangan yang ditunjuk tadi. Sin Cu juga menangkap seorang penjaga.
?Hayo katakan di mana Kim Niocu?? Rumah itu terlalu besar sehingga kalau harus mencari sendiri, selain sukar juga memberi kesempatan kepada musuh untuk melarikan diri. Orang itupun tidak berani membantah.
?Kim Niocu berada di ruangan belakang..., ampunkan saya...!? Sin Cu melompat dan meninggalkan orang itu setelah berkata kepada pimpinan regu agar menangkapi orang-orang itu.
Dia berlari cepat memasuki rumah itu dan langsung menuju ke ruangan belakang. Begitu dia memasuki sebuah ruangan di belakang, tampak sinar Putih menyambar dan sebatang pedang sudah menusuknya dengan luncuran kilat dari kanan. Kiranya yang menyerangnya adalah Kim Niocu dan wanita itu menyerang dengan Pek-Liong-Kiam, pedangnya yang dirampas wanita itu ketika dia ditawan. Biarpun Sin Cu telah dapat menyingkirkan dendam kebencian dari lubuk hatinya sesuai dengan apa yang diajarkan Gurunya, namun melihat Kim Nocu dia menjadi marah juga. Wanita yang kejam dan jahat sekali ini bukan hanya membuat dia marah benar. Akan tetapi terutama sekali karena Kim Niocu telah menculik Ouw Yang Hui, kekasih dan tunangannya. Menghadapi serangan yang dilakukan secara curang dan tiba-tiba itu, Sin Cu cepat mengelak dengan loncatan ke samping memasuki ruangan yang luas itu.
?Kim Niocu, di mana Ouw Yang Hui? Cepat kau bebaskan ia!? bentak Sin Cu sambil memandang kepada wanita itu dengan sinar mata mencorong.
?Heh-heh-hi-hik! Kau mencari gadis itu? la sudah mampus! Ya, ia sudah mampus. Akan tetapi di sini ada aku yang menggantikannya. Marilah engkau ikut dengan aku dan hidup bersenang-senang...!? Dengan marah Sin Cu lalu menerjang dan menyerang wanita itu dengan It-Yang-Ci! Kedua jari telunjuknya menotok-notok dan gerakan kedua jari tangan itu mengeluarkan bunyi mencicit mengerikan karena Sin Cu mengerahkan tenaga saktinya. Kim Niocu terkejut, la maklum akan kelihaian pemuda itu, maka cepat ia menghindar dan membalas dengan serangan pedangnya secara bertubi-tubi.
Akan tetapi dengan langkah-langkah ajaib Chit-Seng Sin-Po tubuh Sin Cu bergerak ke sana-sini dan semua serangan pedang itu tak pernah dapat menyentuhnya, Karena sudah marah sekali, tiba tiba Sin Cu berlutut dengan kaki kirinya, tangan kiri menyentuh tanah, tangan kanan diangkat lurus ke atas dan tiba-tiba kedua tangan itu bergerak dari atas dan bawah mendorong dengan telapak tangan ke depan. Angin pukulan yang dahsyat sekali menyambar. Itulah ilmu Im-Yang Sin-Ciang yang sudah mencapai puncaknya. Tubuh Kim Niocu terdorong ke belakang dan ia terhuyung. Akan tetapi wanita ini memang lihai sekali. Biarpun ia merasa dadanya sesak dan terhuyung, ia masih dapat melontarkan pedang itu dengan sekuat tenaga ke arah Sin Cu. Pedang berubah menjadi sinar putih yang meluncur dengan cepatnya ke depan. Sin Cu mengelak dan pedang itu terus meluncur.
?Cappp...!? Pedang itu menancap di dinding. Gagangnya bergoyang-goyang saking kuatnya senjata itu menancap sampai setengahnya di dinding. Sin Cu cepat melompat mendekati dinding dan menggunakan tangan kanan mencabut pedangnya. Pada saat dia sudah berhasil mencabut pedang, terdengar ledakan keras dan ruangan itu penuh asap hitam. Sin Cu cepat melompat keluar dari ruangan melalui pintu karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Akan tetapi dia tidak melihat lagi bayangan Kim Niocu. Dia tidak perduli. Yang penting sekarang mencari Ouw Yang Hui. Sin Cu memasuki lorong dan ruangan dalam rumah itu. Di sebuah ruangan Sin Cu melihat Ciang Lan memimpin dua belas orang perajurit pengikut mereka sedang menangkapi orang-orang dan menggiring mereka setelah membelenggu mereka.
?Engkau berhasil?? tanya Ciang Lan melihat Sin Cu memegang sebatang pedang berbentuk naga putih.
?lblis betina itu dapat melarikan diri. Engkau melihat Ouw Yang Hui?? balas tanya Sin Cu. Ciang Lan menggeleng kepala
?Akan tetapi d?a ini tentu dapat memberi keterangan!? la menuding kepada seorang tawanan, seorang yang bertubuh kurus dan bermulut lebar.
?Siapa dia? tanya Sin Cu.
?Dia inilah yang bernama Su Kian atau Su Wangwe, mata-mata Pek-Lian-Kauw itu.? Kata Ciang Lan dan gadis ini tiba tiba mencabut pedangnya dan menodongkan pedangnya ke leher Su Kian. Ujung pedang menempel pada kulit leher sehingga terasa pedih.
?Hayo katakan di mana adanya Ouw Yang Hui ?? bentak Ciang Lan. Su Kian Ketakutan. Tadi dia sudah merasakan kelihaian gadis cantik itu yang mengamuk dan merobohkan dia dan para pembantunya. Dia sendiri sudah dihajar babak belur oleh gadis itu dan dia tahu bahwa gadis itu bukan sekedar membentak ketika pedangnya itu menodong lehernya.
?Saya... saya tidak mengenal nama itu...!? katanya. Sin Cu menghardiknya.
?Katakan, dimana para gadis yang ditawan Kim Niocu itu ??
?Mereka... mereka telah dibawa ke gedung Thaikam Liu Cin.? Ciang Lan menekan pedangnya.
?Engkau tidak bohong?? ?Tidak, tidak! Saya tidak berani bohong. Begitu tiba di sini, gadis-gadis itu dibawa kepada Thaikam Liu Cin untuk dibagi-bagikan kepada para pembesar.? Sin Cu lalu berkata kepada pemimpin regu.
?Bawa semua tangkapan ini dan serahkan kepada Kui-Ciangkun. Kami berdua akan pergi! Hayo, Lan-moi, kita cari Hui-moi!? Sin Cu mengajak Ciang Lan berlari keluar untuk pergi ke gedung Thaikam Liu Cin karena dia yakin bahwa Ouw Yang Hui tentu berada di sana.
Ketika dua orang muda itu berlari-lari mereka melihat bahwa agaknya telah terjadi sesuatu yang menggemparkan. Mereka melihat penduduk bergegas pula dan tampak tegang dan ketakutan. Sin Cu dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya, dengan gerakan para bangsawan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Sin. Dia tidak memperdulikan dan mengajak Ciang Lan untuk berlari cepat menuju gedung Thaikam Liu Cin. Setelah dekat dengan gedung itu, tiba-tiba Sin Cu melihat tiga orang yang segera dikenalnya dengan baik karena mereka itu bukan lain adalah Hui Sian Hwesio ketua Siauw-Lim-Pai, Ceng Su Cinjin ketua Bu-Tong-Pai dan Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai! Sin Cu berhenti, menghadapi mereka dan segera memberi hormat, diturut oleh Ciang Lan.
?Sam-wi Lo-Cianpwe (tiga orang tua perkasa) berada di sini??
?Omitohud...! Kiranya engkau, Wong Sin Cu! Kami bertiga sudah berhasil menangkap orang yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Dia anak buah Pek-Lian-Kauw yang bersekutu dengan Thaikam Liu Cin. Kami akan melaporkannya kepada Kaisar!? kata hui Sian Hwesio.
?Benar dugaanmu dulu, Wong Sin Cu. Yang membunuh murid Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai adalah Hek Pek Moko! Kami akan mencarinya!? kata Cang Su Cinjin.
?Benar! Kami harus membunuh Hek Pek Moko, iblis jahat itu? kata Lui Kai dengan marah.
?Kalau begitu kebetulan sekali, sam-wi Lo-Cianpwe! Saya kira mereka itu berada di gedung Thaikam Liu Cin. Kami berdua sedang hendak pergi ke sana. Semua kaki tangan Liu Cin berada di sana!?
?Omitohud..., kalau begitu kita kesana!? kata Hui Sian Hwesio. Bergegaslah lima orang itu menuju ke rumah gedung Thaikam Liu Cin. Ketika mereka tiba di depan gedung, ternyata Kui-Ciangkun telah mengatur gerakan yang cepat. Sudah ada pasukan yang menyerbu gedung dan sedang bertempur, melawan para pengawal penjaga gedung.
?Kita menyerbu ke dalam!? kata Sin Cu dan lima orang itu segera menerjang masuk, merobohkan para pengawal yang berani menghadang. Setelah tiba di ruangan dalam, bertemulah mereka dengan para jagoan kaki tangan Thaikam Liu Cin. Mereka agaknya sudah siap untuk melarikan diri. Tentu saja mereka terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu depan ditendang jebol dan masuklah lima orang yang tidak mereka sangka-sangka itu. Mereka saling pandang dan kebetulan sekali jumlah para datuk yang menjadi jagoan Liu Cin juga berjumlah lima orang. Mereka adalah Tho-Te-Kong, Cu-Beng Kui-Bo, Hek Moko, Pek Moko, dan Ouw Yang Lee. Ouw Yang Lee marah sekali melihat Ciang Lan yang memegang pedang Lo-Thian-Kam.
?Ouw Yang Lan! Apakah engkau hendak menjadi anak durhaka yang melawan Ayah kandung sendiri?? bentaknya. Ouw Yang Lan memandang dengan mata mencorong.
?Ouw Yang Lee, aku adalah Ciang Lan dan aku tidak sudi mempunyai Ayah kandung seorang iblis keji macam engkau!?
?Anak setan!? Ouw Yang Lee membentak dan dia sudah menyambar sebatang tongkat baja yang sudah dipersiapkan sebelumnya sebagai pengganti dayung baja yang biasa menjadi senjatanya yang ampuh. Dengan tongkat baja yang berat itu dia menyerang dengan pukulan maut ke arah kepala puteri Kandungnya. Ouw Yang Lan atau Ciang Lan sudah siap siaga. Dengan sigap ia mengelak dan membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Ayah dan anak ini sudah saling serang mati-matian. Lui Kai It wakil ketua Kong-Thong-Pai ketika melihat Hek Moko yang mukanya hitam, bangkit kemarahannya karena dia tahu bahwa murid Kong-Thong-Pai terbunuh oleh telapak tangan hitam.
?Kamu tentu iblis Hek Moko yang telah membunuh murid Kong-Thong-Pai!? bentaknya sambil menggerakkan pedangnya, langsung menyerang Hek Moko yang sudah menyambut dengan pedangnya.
?Siancai! Engkau tentu Pek Moko yang telah membunuh murid Bu-Tong-Pai!? kata pula Cang Su Cinjin yang juga sudah mencabut pedangnya.
?Engkaupun datang mengantar nyawa!? bentak Pek Moko yang sudah menyerang pula dengan pedangnya. Dua orang inipun sudah bertanding dengan seru. Sin Cu menghadapi Tho-Te-Kong.
?Tho-Te-Kong, engkau orang tua renta yang tidak mencari jalan terang! Engkau bahkan membantu pembesar lalim untuk mengacaukan negara. Akulah lawanmu!? Kakek tinggi kurus yang rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua itu tertawa. Sambil mengamangkan tongkat bambu kuning di tangan kanannya, dia berkata,
?Orang muda, sekali ini aku tidak akan memberi ampun padamu!? Kakek yang sudah tua ini agaknya salah mengenal orang.
Dia mengira bahwa Sin Cu adalah Tan Song Bu yang pernah melawannya ketika pemuda itu bersama Ouw Yang Lan, Ciang Sek dan Gu Tian melawan dia dan Ouw Yang Lee sehingga terpaksa dia dan Ouw Yang Lee melarikan diri. Dia dikalahkan karena dikeroyok. Sekarang berhadapan satu lawan satu, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan dan merobohkan pemuda itu, Sama sekali dia tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang pemuda lain. Sin Cu sendiri belum pernah bertemu dengan Tho-Te-Kong, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama dan kelihaian Kakek ini. Maka tadi sengaja dia memilih Tho-Te-Kong untuk melawannya. Dia juga heran mendengar ucapan Kakek itu seolah Kakek itu pernah bertemu dengannya. Dia tidak memperdulikan ucapan itu lalu mencabut Pek-Liong-Kiam dan menghadapinya.
?Haiiiitt...!? Tho-Te-Kong sudah membuka serangan. Tongkat Bambu Kuning yang tampaknya biasa saja dan tidak berbahaya itu merupakan senjata yang teramat ampuh di tangan Kakek ini. Ketika tongkat itu menyerang, terdengar suara bercuitan dan sinar kuning menyambar ke arah tubuh Sin Cu dan ujung tongkat itu seperti berubah menjadi tujuh dan menyerang ke arah tujuh jalan darah yang berbahaya dari tubuh depan pemuda itu! Sin Cu cepat memutar Pek-Liong-Kiam sehingga tampak sinar putih bergulung-gulung membentuk perisai yang menangkis atau menghalau tusukan bertubi-tubi itu. Segera mereka saling serang dengan seru.
?Omitohud, bukankah yang berhadapan dengan Pinceng ini datuk wanita yang disebut Cui-Beng Kui-Bo? Kui-bo, sungguh memalukan kalau orang-orang tua seperti kita masih harus bertanding. Mengapa engkau tidak menyadari akan kesalahanmu, lalu bertaubat dan berjanji tidak akan mengulang kesalahanmu membantu pembesar lalim mengacau negara? Kalau engkau mau berjanji dan bertaubat, Pinceng tentu mau melepas engkau pergi.? Cui-Beng Kui-Bo tersenyum genit seperti kebiasaannya.
?Hui Sian Hwesio, aku tahu siapa engkau dan aku tahu pula akan kesaktianmu. Aku mengerti bahwa aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Akan tetapi untuk mengaku kalah sebelum bertanding, pantang bagiku. Kalau engkau mampu mengalahkan Siang-Kiam (Sepasang Pedang) ini, baru aku mengaku kalah dan akan bertaubat!? Wanita berusia enam puluh lima tahun yang masih cantik dan genit itu mencabut sepasang pedang dari punggungnya, memasang kuda-kuda dan menyilangkan pedangnya.
?Omitohud, setua ini engkau masih menjaga keangkuhanmu, Kui-Bo!?
?Sambutlah!? Cui-Beng Kui-Bo berseru dan ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.
Hui Sian Hwesio menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar-nyambar, menjadi dua gulung sinar kuning dan membawa angin bersiutan kuat sekali. Hui Sian Hwesio ingin cepat-cepat menundukkan datuk wanita itu, sebaliknya Cui-Beng Kui-Bo yang maklum bahwa ia bukanlah lawan ketua Siauw-Lim-Pai, agaknya juga tidak ingin berlama-lama melakukan perlawanan. Maka, baru kurang lebih sepuluh jurus, sepasang pedangnya sudah terbelit kedua ujung lengan baju Hui Sian Hwesio dan begitu Kakek itu mengerahkan tenaga dalam untuk menarik dengan sentakan, sepasang pedang itu terlepas dari kedua tangan Cui-Beng Kui-Bo.! Hui Sian Hwesio mengambil sepasang pedang itu dan menyerahkannya kepada pemiliknya.
?Omitohud, Kui-Bo. Engkau telah banyak mengalah!?
(Lanjut ke Jilid 31) Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31 Cui-Beng Kui-Bo menerima sepasang pedang itu, akan tetapi bukan disimpan melainkan dipatahkannya dengan kedua tangan, kemudian dibuangnya sepasang pedang yang telah patah itu.
?Aku mengaku kalah dan akan meninggalkan dunia kang-ouw, Hui Sian Hwesio.? Setelah berkata demikian, nenek itu lalu melompat dan pergi dari gedung itu. Dengan mudah ia menerobos keluar, merobohkan siapa saja yang berani menghadangnya dan tak lama kemudian dia sudah jauh meninggalkan Kotaraja!
?Omitohud, mudah-mudahan ia dapat menjadi orang yang kembali ke jalan benar dan berguna bagi manusia dan dunia,? kata Hui Sian Hwesio. Kakek ini lalu berdiri menonton mereka yang sedang bertanding. Biarpun dia tidak berusaha membantu namun dia waspada dan siap untuk melindungi pihaknya kalau sampai terancam bahaya.
Ouw Yang Lee merasa penasaran dan marah sekali melihat kenyataan bahwa dia tidak mampu mendesak Ciang Lan. Ternyata tingkat kepandaian silat puterinya ini mampu menandinginya, bahkan kini gulungan sinar pedang gadis itu makin menekan dan mendesaknya sehingga dialah yang kini terancam. Ouw Yang Lee menjadi panik. Bukan saja dia tidak akan menang melawan puterinya sendiri, akan tetapi dia melihat betapa Cui-Beng Kui-Bo sudah melarikan diri dan kini Hui Sian Hwesio yang sakti itu berdiri menganggur. Kalau ketua Siauw-Lim-Pai itu turun tangan membantu Ouw Yang Lan, akan celakalah dia. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah lari. Akan tetapi belum tentu dia akan dapat meloloskan diri. Dia teringat akan Ouw Yang Hui yang oleh Kim Niocu telah diserahkan kepadanya dan kini puterinya itu dia tahan dalam sebuah kamar. Dia mendapat akal.
?Hyaaatttt...!? Dia melakukan Serangan yang dahsyat, pedangnya menyambar disusul pukulan tangan yang berubah merah karena dia telah mengerahkan ilmu Ang-Tok-Ciang (Tangan Beracun Merah). Maklum akan hebatnya serangan itu, Ciang Lan melompat mundur dan kesempatan itu di pergunakan oleh Ouw Yang Lee untuk lari ke sebelah dalam.
?Keparat, hendak lari ke mana kau? bentak Ciang Lan dan diapun mengejar ke dalam. Akan tetapi Ouw Yang Lee tak tampak lagi. Selagi gadis itu mencari-cari, muncullah Ouw Yang Lee dari dalam sebuah kamar. Akan tetapi Ciang Lan tidak dapat menyerang dan ia berdiri tertegun melihat betapa Kakek itu dengan tangan kiri memegang lengan Ouw Yang Hui dan pedangnya menempel di leher adik tirinya itu.
?Hui-moi...? Ciang Lan berseru, merasa tidak berdaya. la mengangkat pedangnya akan tetapi tidak berani mendekat.
?Jangan bergerak atau aku akan menggorok lehernya lebih dulu!? bentak Ouw Yang Lee.
?Manusia biadab! Iblis kejam? Ciang Lan memaki akan tetapi tidak berani bergerak.
?Enci Lan, jangan begitu. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah kandung kita.? Kata Ouw Yang Hui dan ia menurut saja ketika didorong Ayahnya keluar dari ruangan itu dan meninggalkan gedung lewat lorong rahasia di belakang gedung. Ciang Lan hanya membanting-banting kaki, tidak berani bergerak mengejar karena ia tahu benar bahwa Ayahnya yang kejam seperti iblis itu bukan hanya menggertak kosong belaka.
Mungkin saja iblis itu membunuh Ouw Yang Hui kalau ia mengejarnya, membunuh anak kandung sendiri. Sementara itu, pertempuran antara pasukan yang dikirim Kui-Ciangkun melawan para perajurit pengawal gedung sudah berhenti. Semua perajurit pengawal Liu Cin telah dikalahkan dan sisanya menyerah. Atas perintah Kui-Ciangkun. semua anggauta keluarga Thaikam Liu Cin juga ditawan. Pertandingan di ruangan dalam yang luas antara para pimpinan partai besar dan Sin Cu melawan para datuk masih berlangsung dengan seru. Hui Sian Hwesio yang sudah ditinggal lari lawannya, hanya menonton dan tidak membantu karena semua kawannya tidak tampak terdesak. Cang Su Cinjin ketua Bu-Tong-Pai yang bertanding dengan Pek Moko bahkan telah mendesak hebat lawannya. Ilmu pedang Bu-Tong-Pai memang indah dan tangguh sekali.
Dalam hal permainan pedang, Pek Moko masih kalah jauh. Pek Moko berusaha untuk mengimbangi kekalahan ilmu pedang dengan pukulan maut Pek-Tong-Ciang. Tangan kirinya berubah putih seperti kapur ketika dia menggunakan ilmu pukulan maut itu. Akan tetapi, Ketua Bu-Tong-Pai itu menyambutnya dengan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat yang berbahaya sekali. Pek Moko mulai menjadi panik dan mulai melihat ke kanan-kiri untuk mencari jalan keluar melarikan diri. Namun tempat itu telah terkepung perajurit sehingga dia tidak melihat jalan keluar lagi. Apa pula lawannya yang lihai itu sudah mendesaknya terus, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri. Dalam keadaan terhimpit itu Pek Moko menjadi nekat. Pada saat pedangnya bertemu pedang lawan, dia mengerahkan seluruh tenaganya melalui pedang it?.
Cang Su Cinjin merasakan adanya saluran tenaga dahsyat lawan. Maklumlah dia bahwa lawan hendak mengadu tenaga, maka diapun mengerahkan tenaga sinkang. Dua tenaga yang amat kuat bertemu melalui pedang sehingga kedua pedang itu seperti melekat. Pada saat itu, Pek Moko menggerakkan tangan kirinya yang berubah putih itu dari dekat pinggang, dengan tangan terbuka menghantam ke arah perut lawan. Akan tetapi Ketua Bu-Tong-Pai itu sudah siap siaga. Melihat gerakan tangan kiri lawan, cepat dia menotok dengan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat. Cepat sekali jari tangannya menotok siku kiri lawan sehingga lengan Pek Moko seketika lumpuh. Secepat kilat jari tangan kiri Cang Su Cinjin menotok lagi mengenai ulu hati dan Pek Moko mengeluarkan seruan lirih dan tubuhnya roboh terjengkang. Datuk ini tewas seketika!
?Siancai...! Engkau mencari kematianmu sendiri, Pek Moko!? kata Ketua Bu-Tong-Pai itu. Cang Su Cinjin lalu mundur dan berdiri di sebelah Hui Sian Hwesio menonton perkelahian yang masih berlangsung antara Sin Cu melawan Tho-Te-Kong dan Lui Kai It melawan Hek Moko. Pertandingan antara Hek Moko melawan Wakil Ketua Kong-Thong-Pai itu berjalan seimbang. Seperti yang lain, Hek Moko juga mengeluarkan seluruh kemampuannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, karena dia melihat bahwa tidak ada jalan keluar untuk melarikan diri baginya. Apa lagi dia melihat Pek Moko sudah tewas.
Ouw Yang Lee dan Cui-Beng Kui-Bo juga tidak tampak berada di mana. Mungkin sekali kedua orang itu telah tertawan, pikirnya. Karena itu, Hek Moko mengamuk. Akan tetapi, lawannya amat lihai sehingga semua usahanya untuk menyerang seperti bertemu dinding baja yang kuat. Berulang kali pedang mereka bertemu dan masing-masing merasa betapa tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Pada saat itu, Ciang Lan kembali ke ruangan itu. Hatinya masih dipenuhi kemarahan dan penyesalan melihat Ouw Yang Lee telah menawan Ouw Yang Hui dan menyanderanya sehingga dia dapat melarikan diri tanpa ia dapat berbuat apa-apa. Karena kemarahan ini, melihat Lui Kai It masih bertanding melawan Hek Moko dan berada dekat dengannya ketika ia memasuki ruangan itu, Ciang Lan segera menggerakkan pedangnya menyerang si muka hitam itu.
?Haaaiiittt...!!? la membentak dan pedang Lo-Thian-Kam menyambar dahsyat ke arah leher Hek Moko. Hek Moko terkejut bukan main. Serangan itu benar-benar cepat dan berbahaya sekali. Dia menggerakkan pedangnya menangkis.
?Tranggg...!? Bunga api berpijar dan Hek Moko terhuyung, dan pada saat itu, pedang Lui Kai It sudah menusuk lambungnya dari kanan. Hek Moko berteriak dan roboh terguling, lambungnya ditembusi pedang dan dia tewas seketika. Pertandingan antara Sin Cu yang melawan Tho-Te-Kong berlangsung seru dan sengit. Sejak tadi Hui Sian Hwesio dan Cang Su Cinjin menonton pertandingan antara pemuda dan datuk besar itu dan mereka berdua saling membicarakan dengan penuh rasa kagum. Diam-diam Hui Sian Hwesio sendiri harus mengakui dalam hati bahwa datuk besar itu berbahaya sekali. Dia sendiripun belum tentu dapat mengalahkan Tho-Te-Kong dengan mudah. Akan tetapl pemuda itu, mampu menandinginya dalam pertandingan yang ramai dan seimbang.
?Hebat sekali pemuda itu,? kata Cang Su Cinjin. ?Murid siapakah dia?? tanya Hui Sian Hwesio kepada Ketua Bu-Tong-Pai itu.
?Omitohud, apakah engkau tidak dapat mengenal dasar ilmu pedangnya, Toyu?? Cang Su Cinjin mengamati penuh perhatian. Dia adalah seorang yang berpengetahuan luas. Sebentar saja dia sudah melihat dasar-dasar ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut yang dimainkan Sin Cu.
?Hemm, dasar-dasar gerakan kaki dan pedang itu mirip ilmu pedang Im-Yang Kiam-Sut dari partai Im-Yang-Pai. Akan tetapi tangan kirinya yang menyelingi serangan pedang dengan totokan-totokan jari telunjuk itu, bukankah itu It-Yang-Ci dari Siauw-Lim-Pai? Bagaimana mungkin kedua ilmu itu digabung menjadi satu. Apakah dia murid Im-Yang-Pai? Ataukah murid Siauw-Lim-Pai??
?Omitohud! Penglihatanmu tajam sekali dan pengetahuanmu tentang ilmu silat luas Cang Su Cinjin. Dugaanmu tadi memang tepat dan pinceng tahu, hanya ada satu orang saja di dunia ini yang ahli dalam dua macam ilmu itu dan hanya dia yang dapat menggabungkannya menjadi ilmu pedang yang lihai itu.?
?Siapa dia, Lo-Suhu?? ?Seorang sahabat pinceng. yang sudah hampir dua puluh tahun tidak pernah pinceng jumpai dan dia tidak ingat akan namanya sendiri dan kalau ditanya mengaku bernama Bu Beng Siauwjin!?
?Siancai Bu Beng Siauwjin (Manusia Rendah Tak Bernama)? Benar-benar adakah tokoh aneh itu? Dan pemuda itu muridnya?? kata Ketua Bu-Tong-Pai dengan heran dan kagum, Perkelahian antara Tho-Tek-Kong melawan Wong Sin Cu memang hebat sekali. Pedang Pek-Liong-Kiam di tangan sin Cu berubah menjadi sinar putih bergulung gulung bagaikan seekor naga putih mengamuk di angkasa. Adapun tongkat bambu kuning di tangan Tho-Te-Kong juga berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyambar-nyambar. Kadang-kadang kedua gulungan sinar itu saling dorong, saling tekan, dan ada kalanya saling belit. Hanya tinggal dua orang ini yang bertanding karena semua pertandingan sudah selesai. Para perajurit juga ikut tertarik dan menonton pertandingan yang seru dan dahsyat ini.
Pimpinan ketiga partai persilatan hanya menonton dan tidak membantu Sin Cu. Hal ini pertama adalah karena mereka melihat Sin Cu tidak dalam keadaan terdesak dan kedua karena bagi seorang gagah merupakan hal yang memalukan, untuk melakukan pengeroyokan, apa lagi dalam keadaan tidak terancam bahaya. Akan tetapi Ciang Lan tidak perduli akan semua aturan dan sopan santun ini. Hal itu sudah dibuktikannya tadi ketika ia begitu saja membantu Wakil Ketua Kong-Thong-Pai sehingga Hek Moko dapat dirobohkan dengan mudah. Kini, melihat betapa Sin Cu belum juga dapat mengalahkan laawannya, Ciang Lan tidak perduli biarpun ia maklum betapa lihainya Kakek yang bertanding melawan Sin Cu itu. Ia pernah melihat Kakek itu ketika Tho-Tek-Kong bersama Ouw Yang Lee menyerang Pek-In-San.
?Cu-Ko, mari kita bunuh tua bangka keparat ini!? bentak Ciang Lan dan ia lalu menyerang dengan pedang Lo-Thian-Kam secara ganas sekali. Biarpun dibandingkan Tho-Te-Kong, tingkat kepandaian Ciang Lan masih kalah jauh, namun ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit) yang dimainkan gadis itu merupakakan Kiam-Sut yang hebat.
Tho-Te-Kong yang belum juga mampu mendesak Sin Cu dan keadaan keduanya masih seimbang, ketika mendapat penyerangan Ciang Lan, menjadi terkejut bukan main. Serangan gadis itu cukup. hebat dan mengubah keseimbangan itu. Dia mulai terdesak hebat ketika mengelak dari serangan pedang Ciang Lan. Dia berusaha untuk merobohkan gadis itu lebih dulu, hal yang dianggapnya tidak sukar mengingat bahwa tingkat kepandaian gadis itu belum cukup tinggi untuk mengimbanginya. Akan tetapi, agaknya pemuda itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencegah dia mencelakai gadis itu, begitu dia hendak mengirim serangan maut kepada Ciang Lan, Sin Cu sudah mendesaknya dengan serangan berbahaya sehingga terpaksa Tho-Te-Kong membatalkan serangan kepada Ciang Lan. Dengan demikian, terpaksa Tho-Te-Kong harus menghadapi semua serangan Ciang Lan tanpa dapat membalas.
Sin Cu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyerang gadis itu. Seluruh perhatiannya harus dia curahkan untuk melayani semua desakan Sin Cu. Celakanya, penyerangan gadis itu makin lama semakin dahsyat dan berbahaya! Sin Cu sebagai seorang yang mengutamakan kegagahan, tentu saja tidak ingin dibantu dalam menandingi Tho-Te-Kong, akan tetapi dia mengenal siapa Ciang Lan dan bagaimana watak gadis yang keras hati itu. Kalau bantuan Ciang Lan ini dia tolak, hal itu tentu akan membuat gadis itu marah dan sama sekali tidak alasan menghalangi bantuannya, bahkan akan menjadi semakin nekat. Karena itu, Sin Cu diam saja dan dia malah memperhebat serangannya untuk menghalangi Kakek itu agar tidak dapat balas menyerang Ciang Lan.
Tho-Te-Kong mulai bingung dan panik. Menghadapi ancaman maut yang membayang di depan matanya, Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu menjadi takut! Segala perbuatannya yang lalu, semua kejahatannya, membunuhi orang, memaksakan kehendaknya kepada orang lain, semua itu terbayang bagaikan kilat dan mendatangkan perasaan ngeri kepadanya. Biasanya, dia amat mengandalkan kekuatannya. Akan tetapi membayangkan betapa semua kekuatan sudah meninggalkannya, betapa dia tidak berdaya, tidak tahu apa yang akan menimpanya dan bayangan-bayangan mengerikan mengancamnya, Kakek itu menjadi panik dan takut. Perasaan takut ini tentu saja mempengaruhi perhatian dan kewaspadaanya, membuatnya lemah dan gerakannya menjadi ragu-ragu dan lambat.
?Hyaattt...!? Pedang di tangan Ciang Lan menusuk. Kakek itu miringkan tubuh, akan tetapi pedang yang menusuk dada itu masih menyerempet pangkal lengan kanannya. Lengan baju dan kulit pangkal lengan itu robek. Rasa perih membuat Kakek itu terhuyung dan tendangan kaki kiri Sin Cu tepat menghantam lambungnya. Tubuh tinggi kurus itu terpelanting dan sebelum dia sempat menguasai dirinya, pedang di tangan Ciang Lan sudah menusuk dadanya. Tho-Te-Kong mengeluarkan teriakan dan dia tidak dapat bangkit lagi, tewas dan mandi darahnya sendiri.
?Cu-Ko, Hui-moi dilarikan dan disandera Ouw Yang Lee, dilarikan keluar gedung!? kata Ciang Lan kepada Sin Cu. Pada saat itu, seorang laki-laki tua berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh kurus jangkung dengan muka keriputan berlari masuk. Melihat Sin Cu dan Ciang Lan, dia berkata,
?Aku melihat gadis yang disandera dan dilarikan itu keluar pintu gerbang selatan Kotaraja!? Orang itu bukan lain adalah Siauw Ming yang ditinggalkan di rumah Kui-Ciangkun. Karena Sin Cu menganggap Siauw Ming sudah tua dan dia bersama Ciang Lan akan menghadapi datuk-datuk yang sakti, maka dia minta agar Siauw Ming tinggal saja di gedung Kui-Ciangkun. Siauw Ming yang melihat semua orang pergi melaksanakan tugas, merasa tidak enak harus berdiam diri. Walaupun sudah tua, namun dia merasa dirinya masih kuat. Maka akhirnya dia tidak dapat bertahan duduk diam di rumah dan segera keluar. Dia melihat betapa penduduk Kotaraja panik dan banyak yang berlarian mengungsi. Dia mendengar tentang keributan di luar Istana dan tahu bahwa Pangeran Ceng Sin, Kui-Ciangkun dan para bangsawan itu sudah mulai bergerak.
Ketika dia sedang berjalan-jalan melihat keadaan dan tiba di dekat pintu gerbang selatan, tiba-tiba dia melihat seorang Kakek tinggi besar gagah perkasa berusia hampir enam puluh tahun sedang mendorong dan memegangi lengan seorang gadis cantik. Kakek itu memegang sebatang pedang telanjang dan dari sikapnya jelas bahwa dia mengancam untuk membunuh gadis itu. Siauw Ming adalah seorang yang sejak menjadi buron dari Kotaraja, telah banyak berkelana dan biarpun dia belum pernah bertemu dengan Ouw Yang Lee, ketika melihat laki-laki tinggi besar itu dia teringat akan cerita Sin Cu dan Ciang Lan. Gadis itukah yang dicari kedua orang muda itu? Dan apakah Kakek gagah perkasa itu yang bernama Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) Ouw Yang Lee, majikan Pulau Naga? Karena ingin tahu, dia lalu mengejar dan setelah dekat bertanya.
?Nona, apakah engkau yang bernama Ouw Yang Hui?? Gadis itu memang Ouw Yang Hui.
Ketika Ayahnya sendiri menjadikannya sebagai sandera, ia tidak melawan. la sudah pasrah dan ia tidak perduli lagi apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ketika Ouw Yang Lee dengan menggunakan ia sebagai sandera membawanya lari keluar dari gedung Thaikam Liu Cin, ia menurut saja, bahkan ia sempat menegur Ouw Yang Lan, la hanya bertanya kepada Ayah kandungnya itu kemana ia akan dibawa dan Ouw Yang Lee mengatakan bahwa mereka akan kembali ke Pulau Naga. kini, tiba-tiba ada seorang laki-laki tua yang menegurnya. la menoleh dan melihat laki-laki itu, ia teringat kepada mereka yang dekat dengannya. Teringat kepada Sin Cu, teringat kepada Song Bu, dan kepada Ouw Yang Lan juga teringat kepada Ibunya dan Ayah tirinya. la percaya bahwa mungkin orang yang menegurnya ini mempunyai hubungan dengan seorang di antara mereka, maka iapun lalu menjawab,
?Benar, paman. Aku Ouw Yang Hui, Sampaikan ucapanku selamat tinggal kepada mereka semua, aku kembali ke Pulau Naga...!? Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya dan memutar tubuhnya dengan marah, memandang kepada Siauw Ming dan membentak,
?Siapa engkau? Pergi atau kubunuh kau!? Tangan kirinya mendorong dan serangkum angin pukulan menyambar ke arah Siauw Ming. Biarpun jarak di antara mereka tidak kurang dari lima tombak jauhnya, namun angin pukulan itu masih menyambar keras. Siauw Ming maklum betapa hebatnya pukulan jarak jauh itu, maka diapun melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh sehingga terhindar dari hantaman hawa pukulan dahsyat itu. Ketika Siauw Ming bangkit, Ouw Yang Lee dan Ouw Yang Hui telah keluar dari pintu gapura selatan.
Siauw Ming tentu saja tidak berani mengejar, maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan penyerangnya tadi. Maka dia lalu kembali ke tengah kota dan langsung pergi ke gedung Liu Cin karena dia tahu bahwa Sin Cu dan Ciang Lan menurut rencana akan menyerbu ke sana. Para perwira yang memimpin pasukan mengenalnya sebagai tamu Kui-Ciangkun, maka mereka tidak menghalanginya ketika, Siaw Ming masuk mencari Sin Cu dan Ciang Lan. Kebetulan sekali, ketika Siauw Ming memasuki ruangan dalam, semua pertempuran telah berhenti. Banyak lawan telah tewas, lainnya ditangkap dan pada saat Siauw Ming datang, dia mendengar teriakan Ciang Lan yang berkata kepada Sin Cu bahwa Ouw Yang Hui disandera dan dilarikan Ouw Yang Lee. Maka diapun cepat berkata kepada mereka.
?Aku melihat gadis yang disandera dan dilarikan itu keluar pintu gerbang selatan Kotaraja!? Mendengar ucapan Siauw Ming ini, Sin Cu dan Ciang Lan melompat keluar gedung itu dan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti terbang, mereka melakukan pengejaran ke pintu gerbang selatan. Siauw Ming juga melakukan pengejaran, akan tetapi ia tertinggal jauh walaupun dia juga mempergunakan ilmu berlari cepat. Setelah tiba di luar pintu gapura sebelah selatan, Sin Cu dan Ciang Lan berhenti berlari, bingung karena tidak tahu ke arah mana perginya orang yang mereka kejar. Terdapat dua jalur jalan raya dari luar pintu gerbang itu, yang satu lurus ke depan, yang lain ke arah kiri.
?Kita berpencar di sini!? kata Sin Cu dan ia lalu mengambil jalan kiri yang Lebih kecil. Ciang Lan maklum apa yang dimaksudkan Sin Cu. Dengan berpencar mereka akan dapat mengejar melalui dua arah dan seorang di antara mereka tentu akan dapat mengejar Ouw Yang Lee. Maka iapun cepat berlari mengambil jalan yang besar lurus.


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah melindungi Kaisar Ceng Tek dan membantu Pangeran Ceng Sin dan para bangsawan yang menentang Thaikam Liu Cin sehingga akhirnya Liu Cin dapat ditangkap dalam Istana, Song Bu teringat akan Ouw Yang Hui. Dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu dibawa oleh Kim Niocu ke Kotaraja dan mungkin telah diserahkan kepada Liu Cin. Kalau demikian halnya, tentu Ouw Yang Hui terjatuh kembali ke dalam tangan Ouw Yang Lee yang jahat. Hatinya menjadi khawatir sekali dan setelah Kaisar berada dalam keadaan aman sedangkan para pengacau telah berhasil dilumpuhkan dan ditangkap, Song Bu mohon diri dari Kaisar untuk mencari dan menyelamatkan Ouw Yang Hui. Setelah mendapat ijin dari Kaisar, Song Bu berlari keluar dari Istana.
Bagaikan dikejar setan Song Bu berlari secepatnya menuju gedung Liu Cin. Dia melihat pertempuran di luar Istana akan tetapi tidak memperdulikan, apa lagi melihat betapa pasukan yang pro Liu Cin tampak terdesak dan banyak yang roboh dan menyerah. Akan tetapi setelah dia tiba di situ pertempuran sudah selesai bahkan tiga orang pimpinan partai-partai persilatan besar telah pergi meninggalkan Kotaraja. Dia mendapat keterangan bahwa Hek Moko dan Pek Moko, juga Tho-Te-Kong, telah tewas dalam pertempuran, seluruh anggauta keluarga Liu Cin telah ditangkap. Akan tetapi dia mendengar juga bahwa Cui-Beng Kui-Bo telah melarikan diri, juga Ouw Yang Lee melarikan diri dengan menyandera Ouw Yang Hui! Mendengar keterangan ini, Song Bu tidak memperdulikan yang lain lagi dan cepat dia melakukan pengejaran sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan dalam kota.
Akhirnya dari keterangan-keterangan orang yang melihat, dia tahu bahwa Ouw Yang Hui dibawa Ayah kandungnya keluar dari Kotaraja melalui pintu gerbang sebelah selatan. Maka diapun cepat melakukan pengejaran keluar dari pintu gerbang itu. Hati Ouw Yang Lee merasa lega ketika dia sudah berhasil membawa Ouw Yang Hui keluar dari Kotaraja dan mereka kini sedang berjalan mendaki sebuah bukit di Sebelah selatan Kotaraja. Kini dia tidak lagi memegang lengan gadis itu dan sudah menyarungkan pedangnya. Sejak tadi Ouw Yang Hui berjalan di samping Ayahnya, tidak banyak bertanya atau bicara. Kedua kakinya terasa lelah sekali, akan tetapi dipaksanya kedua kakinya untuk melangkah. Setelah beberapa lamanya berjalan di jalan pendakian itu, Ouw Yang Hui merasa tidak kuat lagi menahan rasa lelahnya. Ia berhenti melangkah.
?Kenapa berhenti? Hayo jalan terus perjalanan masih jauh? Kata Ouw Yang Lee.
?Kakiku lelah sekali, Ayah. Aku tidak kuat lagi, aku harus beristirahat dulu.? Kata Ouw Yang Hui lirih. Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya dan menoleh ke kanan-kiri. Di kanan-kiri jalan yang sunyi itu hanya hutan.
?Mari jalan sedikit lagi sampai kita keluar dari hutan dan tiba di sebuah dusun. Nanti kucarikan kuda agar kita dapat melanjutkan perjalanan menunggang kuda, Hayo jalan lagi?. Ouw Yang Hui tetap mogok jalan
?Ayah, kalau Ayah sudah tidak sayang lagi kepadaku, mengapa Ayah hendak memaksa aku pulang ke Pulau Naga? Aku benar-benar lelah sekali akan tetapi Ayah memaksaku berjalan terus. Itu berarti Ayah tidak sayang lagi kepadaku. Ayah, kalau memang Ayah membenci aku, bunuh saja aku, Ayah. Di sini tidak ada orang lain yang melihatnya atau yang menghalangimu.?
?Jangan banyak cakap! Engkau anakku dan engkau harus menaati semua kehendakku. Hayo jalan!? Pada saat itu terdengar suara lantang.
?Seekor binatang buas sekalipun tidak akan menyiksa anaknya sendiri, akan tetapi engkau seorang manusia berhati kejam bahkan ingin membunuh anak sendiri! Engkau benar-benar jahat sekali Ouw Yang Lee!? Ouw Yang Lee terkejut dan cepat memutar tubuhnya sambil mencabut pedangnya. Dia terbelalak dan semakin terkejut melihat orang yang menegurnya itu ternyata adalah Wong Sin Cu, pemuda yang dia tahu amat lihai dan yang pernah mengalahkannya itu.
?Bocah lancang...! Aku berurusan dengan anakku sendiri..! Mau apa kau mencampuri? Tidak tahu malu!? bentak Ouw Yang Lee. Sin Cu memandang kepada Ouw Yang Hui yang berdiri di bawah sebatang pohon. Dia merasa heran sekali melihat wajah tunangannya yang lesu dan sedih itu. Aneh sekali. Mengapa Ouw Yang Hui tidak kelihatan girang melihat dia datang hendak menolongnya? Gadis itu bahkan mengerutkan alisnya dan menundukkan muka, sama sekali tidak melihatnya! Akan tetapi dalam keheranannya itu, Sin Cu merasa lega melihat kekasih atau tunangannya itu berada dalam keadaan selamat.
?Ouw Yang Lee, engkau berurusan dengan anakmu sendiri atau dengan orang lain, kalau engkau melakukan kejahatan, terpaksa aku harus mencampuri dan menentangmu! Engkau menghambakan diri kepada pengkhianat Liu Cin, bersekutu dengan Pek-Lian-Kauw dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa! Tentu saja aku menentangmu, di mana dan kapan saja!?
?Jahanam, mampuslah!? Ouw Yang Lee tidak dapat menahan kemarahannya dan dia sudah menerjang dan menyerangkan pedangnya dengon dahsyat sekali. Akan tetapi Sin Cu sudah waspada sejak tadi, maklum bahwa datuk yang kejam ini juga dapat bertindak licik dan curang. Diserang secara tiba-tiba itu dia tidak menjadi gugup. Dia melompat ke belakang sambil mencabut Pek-Liong-Kiam. Ouw Yang lee menyerang lagi dengan sabetan pedang ke arah leher Sin Cu. Pemuda itu menangkis dari samping.
?Cringgg...!? Dua batang pedang bertemu dan benturan tenaga sakti melalui pedang itu membuat Ouw Yang Lee terdorong ke belakang. Baru pertemuan tenaga sakti ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu lebih kuat. Akan tetapi kemarahan membuat Ouw Yang Lee menjadi nekat. Dia sudah mengalami pukulan batin dan kekecewaan yang besar sekali. Jatuhnya Thaikam Liu Cin meruntuhkan semua cita-cita dan harapannya. Keinginannya untuk menjadi seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi hancur sudah.
Kemudian dia masih mempunyai harapan dengan adanya puterinya, Ouw Yang Hui yang cantik, Bukankah Tan Song Bu pernah bercerita bahwa Kaisar sendiri juga tertarik dan kagum kepada puterinya itu? Siapa tahu, kelak dia akan dapat mengatur agar Ouw Yang Hui dapat ditarik ke dalam Istana. Kalau Kaisar tergila-gila kepada puterinya itu, bukan tidak mungkin impiannya untuk menjadi orang besar terkabul. Maka, dia lalu memaksa Ouw Yang Hui untuk ikut pulang ke Pulau Naga agar dia di sana dapat mengatur rencana dan siasat baru. Akan tetapi, kembali dia dihalangi oleh pemuda yang dibencinya itu! Maka, kekecewaan membuat dia marah sekali dan dia menyerang dengan nekat! Akan tetapi, pada waktu itu, tingkat kepandaian Sin Cu jauh lebih tinggi sehingga semua serangannya dapat dipatahkan dan balasan serangan Sin Cu beberapa kali membuat dia terhuyung ke belakang.
Nasionalisme 2 Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang Si Bayangan Iblis 7
^