Pencarian

Cowok Baru 1

Fear Street Cowok Baru New Boy Bagian 1


Bab 1 DUA minggu sebelum pembunuhan itu, Janie Simpson melihat
cowok baru di Shadyside High itu untuk pertama kalinya.
Cowok itu tampan. Langkahnya anggun seperti seorang atlet
alam. Tubuhnya tinggi ramping. Wajahnya yang tirus, dengan rambut
cokelat berombak di atasnya, menampilkan ekspresi serius. Janie
bertanya-tanya dalam hati, apakah cowok itu pernah tersenyum.
Janie terutama tertarik menatap matanya. Mata yang gelap dan
sayu. Mata yang resah, pikirnya.
Mata yang sedih. Janie harus berkedip untuk berhenti menatapnya. Dirasakannya
wajahnya memanas. Hebat. Jadi pemuda ini memiliki mata yang bagus, pikir Janie
sambil memalingkan wajah ke locker-nya yang berwarna abu-abu,
sewaktu pemuda itu melewatinya. Mengapa aku jadi melodramatis
begini? Corky Corcoran dan Kimmy Bass?mengenakan rok pendek
merah-putih seragam cheerleader regu Tigers?lewat. Mereka
bercanda sambil tertawa cekikikan dan saling dorong.
Janie kembali berpaling dan memperhatikan cowok baru itu
menghilang di sudut. Apakab ia melihat aku? Rasanya tidak.
"Janie, bangunlah dari mimpimu," ia menghardik diri sendiri,
menggumam dengan suara rendah.
Bel di atas locker berdering nyaring, mengejutkan Janie. Ia
melemparkan buku-bukunya ke dalam locker. Koridor itu sekarang
hampir lengang. Sebagian besar murid sudah pulang atau pergi ke
tempat mereka bekerja sehabis sekolah.
Janie ingin pulang untuk mengerjakan makalah ilmu sosial
akhir semester-nya. Namun ada tugas lain yang harus ia selesaikan
lebih dulu. Ia membanting pintu locker, tetapi segera mengubah
pikirannya. Pintu locker dibukanya lebar-lebar, dan dengan tak sabar
dipandangnya dirinya sendiri dalam cermin kecil yang tertempel pada
pintu. Cepat-cepat ia merapikan rambut merahnya yang lurus panjang
"bersusun-susun" dengan satu tangan. Ia menyeka debu dari pipinya
yang pucat. Matanya yang biru membalas tatapannya. Ia meluruskan
kemeja biru yang dipakainya di atas tank top kuning. Janie bertubuh
pendek dan sangat kurus. Ia biasa memakai pakaian berlapis-lapis.
Itulah penampilan yang disukainya. Tetapi teman-temannya, Faith dan
Eve, kerap menggodanya dengan mengatakan bahwa ia hanya
mencoba agar tampak lebih besar.
"Cowok tidak memperhatikanmu, sebab mereka tidak bisa
melihatmu," gurau Faith.
Gurauan Faith terngiang-ngiang dalam benak Janie. "Sosokmu
seperti seorang model, tapi kau berpakaian seperti gelandangan."
Faith memiliki kecantikan alami. Rambutnya pirang dan
penampilannya segar ceria, khas gadis-gadis cheerleader Amerika.
Ia tak pemah bosan memberi petunjuk kepada Janie mengenai
cara berpakaian dan ber-makeup.
Tetapi Janie tidak pemah memakai make-up. Dan ia sama sekali
tidak ingin tampak seperti Faith dalam versi kusam. Ia ingin tampil
sebagai dirinya sendiri. Hanya saja ia tidak tahu pasti siapakah dirinya
itu. Tetapi di manakah Faith dan Eve? Janie bertanya kepada diri
sendiri seraya memandang koridor yang lengang. Ia membanting pintu
locker hingga menutup. Mungkin mereka sudah di kantor Mr.
Hernandez, sedang menungguku. Mungkin mereka sudah mulai
menghitung uang itu tanpa aku.
Ia berlari-lari kecil menuju kantor kepala sekolah di depan
gedung. Dua orang guru berjalan melewatinya sambil mengancingkan
jas hujan, menuju ke halaman parkir. Gemuruh sorak-sorai terdengar
dari ruang olahraga di bawah, tempat para cheerleader berlatih.
Mudah-mudahan kami bisa menghitung uang itu dengan cepat,
pikir Janie. Begitu banyak pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan
malam ini. Ia dan dua orang temannya menjadi panitia acara dansa sekolah.
Dan kini mereka harus menghitung tanda terima dan menyerahkan
uangnya kepada Mr. Hernandez, kepala sekolah baru. Banyak uang
yang harus dihitung. Pesta dansa itu benar-benar sukses. Sukses
finansial, bukan sukses pribadi, pikir Janie getir.
Eve dan Faith punya teman kencan. Faith datang bersama Paul
Gordon, tentu saja. Mereka sudah berminggu-minggu berpacaran. Dan
Eve datang ke pesta dansa itu bersama pacarnya, Ian Smith.
Janie menghela napas sementara ia berbelok di sudut, dan
terlihatlah kantor kepala sekolah. Di antara mereka bertiga, hanya
Janie yang belum punya cowok. Namun ia pergi juga ke pesta dansa
itu. Ia harus pergi, karena ia salah satu anggota panitia. Ia berdansa
dengan beberapa cowok. Namun ia tidak benar-benar menikmatinya.
Ia terus mengawasi Faith dan Eve bersama pacar-pacar mereka, dan
harus menahan perasaan iri dan kesepian.
Acara dansa itu diadakan malam Minggu. Sekarang hari Senin.
Hari pertama dari sisa hidupku, pikir Janie. Apa pun artinya. Ia
melewati tulisan yang tercetak pada dinding?PETER HERNANDEZ,
KEPALA SEKOLAH?menarik daun pintunya dan menerobos ke
ruang kantor bagian depan. "Maaf aku terlambat, guys?
Janie tertegun ketika menyadari ruang itu kosong.
Di manakah Eve dan Faith?
Ia maju beberapa langkah ke kantor bagian dalam. Pintunya
sedikit terbuka dan lampunya menyala. "Ada orang di sini?"
Tidak ada jawaban. Berani bertaruh Faith sedang pacaran dengan Paul, pikir Janie.
Ia mungkin menyebabkan Paul terlambat berlatih basket.
Tetapi di manakah Eve? Tak mungkin ia bersama Ian. Ian harus
bekerja sesudah sekolah. Janie melirik jam besar di dinding, hampir pukul tiga kurang
seperempat. Ia menyisir rambut merahnya yang panjang dengan kedua
tangannya, lalu menggoyang-goyangkan kepala untuk merapikannya.
Sekonyong-konyong pintu koridor terbuka, dan Eve bergegas masuk.
Penampilan Eve tampak mengesankan dalam nuansa warna gelap.
Rambutnya yang panjang mengilat berwarna hitam kebiruan di bawah
sinar lampu langit-langit. Matanya yang berbentuk buah zaitun
bersinar-sinar gembira. "Kau sudah dengar beritanya?" ia bertanya pada Janie dengan
napas terengah-engah. "Deena Martinson putus dengan Gary Brandt!"
"Hah?" seru Janie ternganga. "Mereka datang berdua waktu
pesta dansa Sabtu kemarin. Dari mana kautahu?"
"Aku baru saja berbicara dengan Deena," kata Eve sambil
mengibaskan rambut hitamnya melewati bahu sweter hijau limaunya.
"Ia sedih, tapi keadaannya tidak terlalu buruk. Ia mengatakan mereka
masih bersahabat." Janie mengangguk penuh perhatian. "Gimana sih caranya, kok
kau bisa tahu segala sesuatu sebelum orang lain?"
"Gampang untuk tahu berbagai hal sebelum kau," Eve
menggoda. "Kau tidak pernah tahu apa-apa!"
Janie memaksa dirinya tertawa. "Nah, kita tidak bisa menunggu
Faith," katanya sambil menghampiri meja bundar yang menempel di
dinding. "Mari kita mulai. Mana uangnya?"
"Huh?" Mata hitam Eve membelalak kaget.
"Uangnya," Janie mengulangi tak sabar. "Mana uangnya?"
"Aku pikir kau yang membawanya!" Eve berseru.
Janie merasa tenggorokannya tercekik. Mendadak ia merasakan
sesuatu yang berat menekan perutnya.
"Ayolah, Eve," katanya, berusaha tetap tenang. "Kaulah yang
seharusnya mengambil uang itu dari Mrs. Fritz pada tahap terakhir."
Cahaya mata Eve memudar. Ekspresinya wajahnya berubah
menjadi sungguh-sungguh. "Faith mengambilkan uang itu untukku,"
katanya pada Janie. "Ia memasukkannya ke dalam locker. Tetapi
ketika ia melihat uang itu tidak ada di sana seusai sekolah, ia mengira
kau yang mengambilnya."
Janie menahan napas. "Tapi aku tidak mengambilnya!" Ia
berseru dengan suara melengking. "Aku tidak mengambilnya!"
"Ya ampun," Eve mengeluh, menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu berarti?itu berarti uang itu dicuri."
Bab 2 JANIE merasa tenggorokannya tercekik makin kuat. Ia menelan
ludah dengan susah-payah, berusaha melawan perasaan mual.
"Eve," ia berseru. "Kita?kita yang bertanggung jawab.
Jumlahnya lebih dari seribu dolar. Kalau?kalau..." Ruangan itu
serasa berputar. Ia tidak bisa berpikir jernih.
Eve menarik lengan kemejanya. "Ayo, kita cari Faith. Cepat."
Kedua gadis itu bergegas menyusuri koridor yang lengang.
Sorak-sorai para cheerleader masih terdengar dari ruang olahraga.
Beberapa guru bergerombol sambil tertawa, bercakap-cakap di depan
air mancur. Janie sama sekali tidak ingin tertawa. Ia justru ingin menangis.
Bila benar uang itu dicuri, bagaimana cara mereka
menggantinya? Dan akankah mereka dituduh mencurinya?
Tidak. Tidak bisa. Itu tidak mungkin terjadi, ia menghibur diri
sendiri. Mereka mendapati Faith di locker-nya. Ia sedang menyikat
rambutnya yang pirang. "Faith?uang itu!" Janie berteriak nyaring dan ketakutan.
"Apakah kau menemukannya? Apakah ada padamu?"
"Tentu saja," jawab Faith tak acuh. Ia mengeluarkan tas kanvas
hijau dari locker-nya. "Ada di sini."
Faith berpaling pada Eve, dan ekspresinya berubah. "Oh, Eve,
kau kan sudah janji tidak akan melontarkan lelucon konyol itu pada
Janie!" ujarnya. Tawa Eve meledak, mata zaitunnya berkilauan.
"Kau jahat!" seru Faith. "Kita sudah memutuskan tidak
melakukannya." "Aku?aku tidak tahan," kata Eve di sela-sela tawanya. Ia
merengkuh pundak Janie dan merangkulnya. "Maafkan aku. Aku
sungguh menyesal. Tetapi, coba lihat tampangmu tadi. Betul-betul
hebat!" Ia mulai lerlawa lagi sambil memeluk Janie.
Faith menggelengkan kepala tidak setuju, namun ia juga mulai
tertawa. "Kalian memang sahabat yang baik," omel Janie. Dengan marah
ia melepaskan diri dari Eve. "Kalian menyebalkan. Aku tak percaya
kalian bisa begitu jahat."
"Itu cuma lelucon," Eve berkata seraya menyeka air matanya.
"Ha-ha," balas Janie getir.
"Tak seharusnya kau berbuat begitu," kata Faith kepada Eve. Ia
menyusupkan sikat rambutnya ke dalam tempat kecil pada ranselnya.
"Kau tahu Janie cepat khawatir."
"Maafkan aku, Janie," kata Eve sekali lagi, memaksakan diri
untuk menunjukkan tampang serius. "Sungguh."
"Ayo kita hitung saja uang itu," Janie berkata tak sabar, dan
mengambil tas kanvas itu. "Makin cepat kita menyerahkannya kepada
Mr. Hernandez, makin baik."
Ia berjalan kembali menuju ke kantor, Faith dan Eve mengikuti
tepat di belakangnya. Janie baru saja berbelok di sudut ketika ia melihat cowok baru
itu lagi. Mula-mula ia melihat matanya yang hitam dan resah, kemudian
ekspresi aneh pada wajahnya yang pucat.
Ia menahan napas ketika melihat genangan darah segar pada
lantai di kaki cowok itu.
"Tolong?tolong," seru cowok itu kepadanya.
Dan kemudian Janie melihat darah menetes dari lengannya.
Bab 3 SAMBIL berteriak kaget Janie memburu ke depan. Kedua
temannya cepat-cepat mengikuti.
Napas pemuda itu memburu. Parasnya menunjukkan ia
kesakitan. Darah menyebar pada lengan kemeja putihnya.
"Ada apa?" Eve berseru.
"Ini?ini tidak separah kelihatannya," kata cowok itu tergagap
sambil memegangi lengan kemejanya. "Sungguh."
"Tapi darahnya... " kata Faith.
Janie mundur, memegangi kantong uang dengan kedua belah
tangan di pinggang, seperti memegang tameng.
"Kalau kalian bisa membantuku menemukan ruang perawat..."
katanya. "Aku masih baru di sini. Aku tidak tahu letaknya."
"Aku akan mengantarmu," ujar Faith, memegang lengannya
yang tak terluka. "Aku ikut," kata Eve cepat. "Ruang perawat ada di atas tangga
itu. Ia biasa bekerja sampai sore. Apa yang terjadi?"
"Kecelakaan konyol," katanya, menggelengkan kepala,
rambutnya yang cokelat jatuh menutupi kening. Ia melirik Janie. "Aku
mencoba membantu seorang cewek. Sepedanya tersangkut pada pagar
kawat di luar. Kau tahu. Di belakang halaman parkir."
Ia meringis kesakitan. Janie memandang sekilas genangan darah di lantai.
"Sewaktu menarik lepas sepeda itu," ia meneruskan, "kawatnya
menggores lenganku. Mengirisnya."
"Mari kita lihat apakah perawat masih ada di sana," Faith
mendesak, sambil terns memegangi lengan cowok itu. "Siapa
namamu?" "Ross Gabriel."
Faith dan Eve menuntun Ross pergi. "Aku?aku sebaiknya
membawa uang ini ke kantor," soru Janie.
Kedua sahabatnya sedang berbicara dengan Ross, mereka tidak
menanggapi seruannya. "Temui aku di sana, oke?" Janie berseru lagi.
Mereka menghilang di sudut.
Dengan muram Janie mengitari ceceran darah itu, berjalan
menuju kantor dengan tas kanvas berat di bawah lengannya.
"Tidak adil," gumamnya pada diri sendiri. "Aku yang lebih dulu
melihatnya." ************** Janie sudah melemparkan uang itu di atas meja bundar di kantor
bagian depan dan sedang menghitung lembaran-lembarannya ketika
Faith dan Eve tiba. "Apakah kalian menemui perawat itu?" ia
bertanya, mengangkat pandangan dari tumpukan uang.
Faith mengangguk, seulas senyum tersungging di wajahnya.
"Yeah. Kami menyelamatkan jiwa Ross. Dia sangat berutang budi
kepada kami sekarang."
"Kurasa aku jatuh cinta!" tukas Eve.
"Kecenya selangit," Faith cepat-cepat menyetujui, duduk di
kursi di belakang meja. "Menurutmu apakah dia pernah tersenyum?"
"Siapa peduli?" jawab Eve, mengambil setumpuk lembaran
uang satu dolar dan menggerakkan jemari untuk menghitungnya.
"Yang penting dia keren. Dari mana sih asalnya?"
Faith mengangkat bahu. "Aku suka matanya. Rasanya seperti


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menembus ke dalam dirimu. Dia terus memandangiku seperti..."
"Kalian tahu, aku yang pertama kali melihatnya!" sembur Janie,
terkejut sendiri oleh kemarahan dalam suaranya.
Mata Faith melebar karena kaget. "Janie, kau menyukainya?
Kau tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadanya."
"Mengapa kau tidak ikut menemui perawat bersama kami?" Eve
mendesak seraya duduk di kursi.
"Aku... entahlah," kata Janie terbata-bata. Wajahnya terasa
panas. "Oooh, wajahmu memerah!" Eve menggoda sambil menunjuk
Janie. "Kau tidak boleh begitu pemalu di hadapan cowok," Faith
memberi pelajaran, sementara ia dengan tak acuh memainkan
sebendel lembaran uang lima dolar. "Cowok tidak bisa menebak
bahwa kau menyukai mereka."
"Coba dengar petunjuk ahlinya," Eve berkomentar, memutar
mata. Faith mengibaskan rambut pirangnya. "Aku bisa saja
menghampiri Ross dan mengatakan, 'Mari minum Coke bersama
sehabis sekolah.' Atau mungkin mengajaknya nonton pada malam
Minggu." Eve menjatuhkan uang yang ia hitung. "Hah? Kau mau
mengajak Ross kencan? Paul mau dikemanakan?"
Faith hanya menjawab dengan seulas senyum jahat.
"Paul cowok biasa-biasa saja. Aku sungguh tidak tahu apa yang
kaulihat dalam dirinya," Eve berkata, menghindari tatapan Faith.
"Maksudmu di samping kenyataan ia tinggi, tampan, dan pintar,
dan punya mobil paling keren di Shadyside, serta berhasil masuk AllConference tahun lalu?" Faith membela penuh semangat.
Janie sebenarnya bisa menambah panjang daftar itu. Harus ia
akui, diam-diam ia menyukai Paul.
"Mengaku sajalah, Faith. Paul itu terlalu memuja diri sendiri,"
kata Eve, tetap menghindari tatapan Faith. "Dia begitu sombong.
Terus terang aku muak melihatmu membuntutinya seperti anak anjing
yang haus cinta." Faith berteriak marah. Kemudian ia menarik napas panjang.
"Aku tidak akan membiarkanmu memancing kemarahanku, Eve,"
katanya pelan. "Aku kasihan padamu."
"Huh? Kasihan? Padaku?" seru Eve.
"Kau cuma cemburu pada Paul dan aku," tuduh Faith. "Kaulah
anak anjing yang haus cinta itu. Aku melihatmu menyodorkan diri
pada Ian dalam pesta dansa malam Minggu kemarin. Kau berdansa
begitu lengket padanya sampai kupikir kita butuh linggis untuk
melepaskanmu!" Eve menahan napas. Janie tertawa. "Bagusnya kita sahabat baik," katanya. "Kalau
tidak, orang akan mengira kita saling membenci!"
"Ian mungkin tidak sehebat Paul," sergah Eve dengan napas
terengah, mengabaikan upaya Janie untuk mendinginkan suasana.
"Tetapi aku sangat menghargainya. Tahukah kau bahwa dia
mengambil dua pekerjaan sekaligus agar bisa menabung untuk biaya
kuliahnya kelak? Sementara Paul hanya perlu melempar bola dan para
pencari bakat akan berkemah di halaman rumahnya untuk
menawarkan beasiswa. Itu tidak adil."
"Tidak bisakah orangtua Ian membantunya?" tanya Janie.
"Mereka sebenarnya bisa kalau mau, tetapi ayah Ian sungguh
brengsek," jawab Eve getir. "Menurutnya, kalau Ian bekerja matimatian untuk mengumpulkan biaya kuliahnya sendiri, itu akan
memperkokoh karakternya."
Ia menghela napas. "Mungkin itu benar?kalau dia selamat
melewatinya! Tetapi aku tidak pernah bisa menemuinya kecuali di
koridor saat pergantian pelajaran atau di ruang makan."
Janie melirik resah pada jam dinding. "Kita harus berhenti
saling mencela, dan mulai bekerja. Aku berjanji pada Mr. Hernandez
kita sudah akan selesai menghitung, menyusun, mengikat, dan
menyiapkan uang itu begitu ia tiba di sini."
Eve menuding ke arah pintu kantor bagian dalam. "Ia belum ada
di dalam sana?" "Belum." "Kalau begitu tenang saja," jawab Eve. Ia menyapukan tangan
di atas meja yang penuh uang itu. "Aku tidak tahu sebanyak ini
uangnya. Menurutmu berapa jumlahnya?"
"Well, kalau uang konsesi juga dihitung..." Janie menghitung
cepat di luar kepala. "Pasti sedikitnya ada seribu dua ratus dolar.
Mungkin lebih." "Seribu dua ratus dolar!" Mata Eve membelalak.
Janie menatapnya. Ia tahu kedua orangtua Eve tidak punya
pekerjaan tetap. Bahkan di saat mereka bekerja pun, mereka tidak
mendapatkan cukup banyak uang. Lubang pada lutut jeans milik Eve
bukanlah sekadar gaya, melainkan celana itu memang sudah sangat
belel. Faith menyipitkan mata, ekspresinya serius. "Hei, kawankawan, gimana kalau kita bagi uang ini lalu kita minggat," bisiknya.
Janie melirik curiga pada Faith. Pipi Faith yang penuh itu
memerah. Apakah Faith serius? Tidak. Janie tahu orangtua Faith kaya raya. Dan mereka
setengah mati memanjakan Faith. Faith memiliki segalanya yang
pernah ia inginkan. Kecuali mungkin Ross, pikir Janie.
Janie mulai menumpuk lembaran-lembaran lima dolar. Pintu
koridor terbuka. Janie mengangkat wajah, berharap melihat Mr.
Hernandez. Tetapi ternyata bukan sang kepala sekolah.
Ian dan Paul berjalan masuk bersama-sama. Pandangan mereka
langsung tertuju ke tumpukan uang di meja.
"Uang!" seru Ian. Ia menggosok-gosok kedua belah tangan
dengan rakus dan mendecap-decapkan bibir.
"Wah! Kita kaya!" teriak Paul. Ia menjatuhkan seragam
basketnya ke lantai, meraih segenggam uang, dan menjejalkannya ke
dalam saku sweternya. "Mobilku perlu persneling baru. Ini cukup
untuk membiayainya!"
"Tidak bisa! Semua itu milikku!" teriak Ian. Ia mulai
menjejalkan lembaran-lembaran uang itu ke bagian depan T-shirtnya. "Ini beasiswaku! Terima kasih, teman-teman!"
"Kembalikan!" teriak Eve. Ia menerjang Ian, merogoh ke dalam
T-shirt-nya, dan segera mengeluarkan uang itu.
Sambil tertawa keras, Ian menggeliat berusaha melepaskan diri.
"Hei, sudah! Berhenti! Kau menggelitik aku!"
Faith dan Janie mengejar Paul mengitari meja. "Kembalikan,
Paul! Kembalikan!" Mereka menyudutkannya ke dinding ketika ia melihat
tumpukan uang yang baru saja diikat Janie. Janie meraihnya.
Namun Paul terlalu cepat. Ia menyambar uang itu dari meja.
"Ian! Tangkap bom ini!" teriaknya gembira.
Ian melepaskan diri dari cengkeraman Eve, masih tertawa-tawa,
dan berlari melintasi ruangan itu menuju ke pintu kantor Mr.
Hernandez. Paul menumpukkan tumpukan uang itu seperti bola pada tangan
Eve yang terjulur ke depan.
Sewaktu ia melemparkannya, pintu kantor bagian dalam itu
mendadak membuka. Ian melompat untuk menangkap uang itu. Namun operan itu
agak terlalu tinggi. Mr. Hernandez menjulurkan kepalanya yang botak di ambang
pintu?dan bundel uang itu menghantam dahinya dengan keras.
Tak. Janie menahan napas. Yang lain diam membeku.
Wajah Mr. Hernandez berubah merah padam sewaktu
tangannya terangkat ke kepala.
Kemudian matanya menyipit ketika ia menatap wajah-wajah di
hadapannya satu per satu.
Kalian semua diskors hingga akhir tahun ini," katanya.
Bab 4 JANIE merasa seperti tercekik.
Darah berdenyut-denyut di pelipisnya.
Seketika pikirannya tertuju pada orangtuanya. Mereka pasti
akan sangat marah dan kecewa pada dirinya.
Tatapannya terpaku pada Ian. Ian yang malang. Ia sudah
bekerja begitu keras melakukan dua pekerjaan sekaligus untuk
mendapatkan biaya masuk ke Yale musim gugur mendatang.
Dan kini seluruh rencananya hancur.
Tidak adil! Kata-kata itu terngiang-ngiang dalam benaknya,
tetapi tak diucapkannya. Kemudian ia melihat Mr. Hernandez tersenyum. "Kalian
ketakutan," katanya, sambil terkekeh-kekeh, perutnya yang besar
bergoyang turun-naik. Janie dan teman-temannya tetap berdiri kaku.
"Oke. Oke. Orang-orang mengatakan selera humorku
keterlaluan," kata Mr. Hernandez, masih tersenyum. "Maaf. Para
kepala sekolah juga harus punya hiburan, bukan?"
"Ha-ha. Lelucon bagus!" Paul-lah yang pertama memecahkan
keheningan itu. Yang lain tertawa ragu-ragu.
Ini hari lelucon kejam, pikir Janie muram. Karena alasan
tertentu, bayangan Ross berkelebat dalam benaknya. Dalam hati ia
bertanya-tanya apakah Ross baik-baik saja. Ia penasaran apakah
cowok itu masih ada di gedung ini.
"Tidak mungkin aku menskors kalian," kata Mr. Hernandez,
matanya tertuju pada Janie. "Kalian bertiga baru saja
menyelenggarakan pesta dansa paling sukses dalam sejarah Shadyside
High." "Hebat!" seru Eve.
"Wah. Kita sukses!" ujar Faith. Ia ber-high five dengan Janie.
Ekspresi Mr. Hernandez berubah muram ketika ia menoleh
pada Paul dan Ian. "Dan apa yang kalian berdua kerjakan di sini?"
"Uh... saya dalam perjalanan untuk berlatih basket," kata Paul
sambil menggaruk-garuk rambut pirang keritingnya yang tebal.
Pipinya memerah. "Dan mengapa kau tidak ada di lapangan sekarang?" desak Mr.
Hernandez. "Mrs. Fritz meminta saya memberikan ini kepada salah satu
dari mereka," kata Paul. Ia merogoh ke dalam sakunya. Beberapa
lembar dolar terjatuh. Ia membalik keluar kedua saku sweter-nya, dan lebih banyak
lagi uang yang melayang jatuh ke lantai. "Ah... hmmm... di mana ya?"
Akhirnya ia menemukan yang dicarinya?anak kunci kecil berwarna
perak. Ia melemparkan kunci itu kepada Eve.
Janie mengenalinya. Itu kunci lemari arsip tempat panitia pesta
dansa menyimpan tanda terima dan barang-barang lain.
Mr. Hernandez menatap tajam pada Ian. "Dan bagaimana
denganmu?"ebukulawas.blogspot.com
"Saya pikir saya bisa... ah... membantu mereka." Ia menarik
keluar T-shirt dari celana jeans-nya, dan lembaran-lembaran uang pun
berjatuhan. "Mungkin kau bisa lebih berguna kalau meninggalkan tempat
ini," kata Mr. Hernandez tandas.
"Bye," kata Ian, melambai cepat kepada semua orang. Ia
berpaling pada Eve. "Aku... uh... akan menunggumu."
Ian menghilang keluar melewati pintu. Paul cepat-cepat
mengikutinya. "Maaf atas semua kekacauan tadi, Mr. Hernandez," kata Eve
malu-malu. "Ian bermaksud mengantar saya ke Division Street Mall
setelah saya selesai menghitung uang. Tetapi kemudian Paul
muncul...." "Itu kesalahan saya, Mr. Hernandez," Faith menyela. "Saya
melupakan kunci itu ketika mengambil tanda terima dari Mrs. Fritz...."
Mr. Hernandez mengalihkan tatapannya pada uang yang
berserakan di lantai. "Kurasa kalian belum selesai menghitung."
Ketiga cewek itu menggelengkan kepala.
"Nah, bergegaslah supaya kita bisa segera meninggalkan tempat
ini." Kepala sekolah menghela napas.
Ia sudah menghilang di balik pintu kantornya, tapi kembali
menjulurkan kepala ke luar. "Omong-omong, semua yang jatuh di
lantai akan kuambil!"
*********** Sepuluh menit kemudian Janie dan teman-temannya sudah
selesai menghitung. Uang itu diletakkan di atas meja dalam
tumpukan-tumpukan kecil yang rapi. Uang logamnya, sekarang sudah
dibungkus, ditumpuk di samping uang kertas.
"Jumlah seluruhnya 1241 dolar 65 sen," Janie mengumumkan.
Ia menuliskan jumlah itu pada secarik kertas. "Aku hampir tidak
percaya betapa hebatnya kerja kita! Pestanya memakai band lagi. Itu
jauh lebih bagus daripada cuma pakai deejay dan kaset."
"Uang itu bisa membayar banyak tagihan di rumahku," kata Eve
sambil menghela napas. "Atau bisa juga untuk shopping habis-habisan di Dalby's
Department Store!" seru Faith, matanya yang biru berbinar-binar.
"Singkirkan cakarmu!" Janie menggoda sambil mendorong
tangan Faith. Ia memasukkan kembali uang itu ke dalam tas kanvas
bersama kertas bertulisan jumlah uang itu.
Eve membuka laci lemari arsip dan memasukkan tas kanvas ke
dalamnya. Janie mengetuk pelan pintu Mr. Hernandez.
"Masuk." Ketiganya masuk. Mr. Hernandez sedang duduk di balik meja
kerjanya, berbicara di telepon, jelas dari tampangnya ia sedang kesal.
Sambil memutar mata seolah-olah tak berdaya, ia menyuruh mereka
duduk. "Mr. Jefferson... Mr. Jefferson, coba dengarkan saya..."
katanya lewat telepon. Eve mencondongkan badan ke arah Janie dan berbisik, "Aku
punya firasat Ian masih menungguku di koridor. Sebaiknya aku pergi
memberitahunya agar pergi saja. Aku tidak ingin dia terlambat ke
tempat kerja." Janie mengangguk. Eve berdiri dari kursinya dan diam-diam
meninggalkan ruangan. Ia kembali beberapa menit kemudian. Kepala sekolah masih
berbicara di telepon, masih memohon agar Mr. Jefferson memberinya
kesempatan untuk bicara. Faith melirik arlojinya. Ia mendekatkan tubuh ke arah Janie.
"Sebaiknya aku menelepon ke rumah dan memberitahu orangtuaku
bahwa aku akan terlambat." Janie mengangguk, dan Faith berjingkatjingkat keluar.
Mata Janie mengamati kantor itu, mencari sesuatu yang
menarik untuk membantu melewatkan waktu. Ia melihat foto tiga
orang pemuda dalam seragam sepak bola, hampir seluruhnya tertutup
lumpur, lengan mereka saling merangkul. Senyum lebar di wajah
mereka menunjukkan mereka baru saja memenangkan pertandingan
besar. Janie terkejut menyadari pemuda yang di tengah ternyata Mr.
Hemandez. Ia cukup tampan ketika masih punya rambut, pikirnya.
Faith diam-diam kembali dan duduk di sebelah Janie.
Melirik arlojinya, Janie baru sadar Faith sudah pergi lebih dari
lima menit. Sambil mengembuskan napas kesal Mr. Hernandez akhirnya


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meletakkan telepon. Ia menggosok kepalanya yang botak dan
berpaling pada Janie dan teman-temannya. "Jadi? Berapa jumlah
semuanya?" "Seribu dua ratus..." Janie menoleh pada Faith dan Eve,
berusaha mengingat-ingat. "Berapa ya jumlahnya?"
Mereka berdua angkat bahu.
"Kau mencatatnya," kata Faith.
"Maaf, Mr. Hernandez," kata Janie, berdiri dari kursi. "Saya
menulis jumlahnya pada secarik kertas dan memasukkannya ke dalam
tas. Saya akan segera kembali."
Janie cepat-cepat keluar dari kantor, menutup pintu dengan hatihati di belakangnya.
Ia terkejut melihat Paul ada di kantor luar.
Paul melontarkan senyum malu dan mengangkat sepatu
basketnya. "Aku lupa membawanya. Mana bisa berlatih tanpa sepatu."
Ia memasukkan sepatu itu ke dalam tas olahraganya dan
menyandangnya di bahu. "Beritahu Faith, aku akan meneleponnya
nanti," katanya seraya beranjak ke pintu.
Janie menarik laci lemari arsip itu.
Ia meraba-raba untuk mengeluarkan tas kanvas itu ketika
disadarinya laci itu kosong.
"Wah," ia bergumam keras. "Salah laci, kurasa."
Ia menarik laci berikutnya. Laci itu penuh berkas-berkas dan
dokumen. Laci ketiga dijejali buku latihan matematika lama.
Janie menarik laci sebenarnya?sebelah kanan?dan berdiri
beku, ternganga tak percaya.
Kosong. Laci itu sama sekali kosong.
Sekujur tubuhnya jadi dingin. Lututnya gemetar.
"Mr. Hernandez!" suaranya seperti tercekik, tak lebih keras dari
bisikan. Ia menarik napas dalam dan mencoba berteriak lagi. "Mr.
Hernandez!" Kali ini suaranya melengking tinggi, ketakutan.
"Tolong? cepat ke sini! Uang itu hilang! Uang itu hilang!"
Kali ini uang itu betul-betul lenyap.
Bab 5 Di dalam kamarnya sesudah makan malam, Janie menatap buku
pelajaran ilmu sosialnya sampai huruf-huruf di halaman itu mengabur
menjadi putih. Aku tidak bisa belajar, pikirnya sedih. Aku tidak bisa
memusatkan pikiran pada apa pun. Pikiranku terus kembali pada
kejadian sore ini. Aku tidak bisa berhenti memikirkan uang yang
hilang itu. Ia menghela napas sedih dan menutup buku itu dengan keras.
Diraihnya jaket yang tadi ia lemparkan ke lantai, lalu ia bergegas
turun. "Aku pergi dulu!" ia berseru kepada orangtuanya.
Ia berlari keluar sebelum mereka sempat bertanya ke mana ia
akan pergi, dan mengapa ia keluar malam-malam padahal besok harus
sekolah. Ia mengemudikan mobil ke rumah Faith di North Hills. Faith
menyambutnya di pintu, ia mengenakan jeans baggy dan sweter yang
kebesaran, rambutnya yang pirang acak-acakan, parasnya
menunjukkan ia terkejut. "Janie?ada apa?"
"Aku tidak tahan lagi, aku harus bicara dengan seseorang,"
jawab Janie, mengikuti Faith melintasi lantai mengilat ruang duduk
luas yang penuh dengan barang-barang antik, menuju ruang baca yang
diberi panel warna gelap.
Paul sedang berdiri di samping perapian, mengatur apinya
dengan batang kuningan. Dengan kaget ia mengangkat muka ketika
Janie masuk. Cahaya api membuat pipinya yang penuh dan rambut
pirangnya yang ikal bercahaya.
"Oh. Hai. Aku tidak tahu kau di sini," kata Janie kikuk.
Paul tampak resah, sikap yang tidak biasa baginya. "Aku dan
Faith baru saja... bicara tentang sekolah," katanya sambil melirik
Faith. Mereka duduk di sofa panjang dari kulit yang menghadap ke
perapian. Lidah api meliuk-liuk, bercahaya terang, dan bergemeretak.
Ruangan itu berbau harum.
"Aku terus-menerus memikirkan kejadian sore ini, mengenai
uang yang dicuri itu," kata Janie, meletakkan kedua tangan di atas
pangkuan. "Setidaknya Hemandez tidak mencurigai kita," komentar Faith,
melirik resah pada Paul. "Maksudku, itu melegakan, bukan?"
"Tetapi siapa lagi yang tahu tas uang itu ada dalam laci lemari?"
tanya Janie. "Aku terus-menerus bertanya pada diri sendiri."
"Hernandez mungkin mencurigai Ian dan aku," kata Paul, dan
kemudian ia tertawa, melengking tinggi dan gugup. "Maksudku, Ian
terus berada di koridor, menunggu Eve. Dan aku ada di kantor luar.
Kau tahu. Mengambil sepatu basketku."
"Aku tidak tahu apa pendapat Hernandez," kata Janie,
menggigit bibir bawahnya. "Aku tidak tahu apa pendapatku tentang
semuanya. Aku sungguh bingung."
Janie tiba-tiba menyesal telah datang ke rumah Faith. Paul dan
Faith bertingkah aneh, pikirnya. Mereka terus menatap gugup satu
sama lain. Mereka tampak sangat resah.
"Aku terus merasa bersalah," Janie mengaku, menatap ke
perapian. "Rasanya tolol, begitu. Tapi aku merasa bersalah. Kau tahu
hal ini mengingatkan aku pada apa, Faith?"
Faith mengernyit, api di perapian menimbulkan bayangan
berkedip-kedip di wajahnya. "Apa?"
"Itu mengingatkan aku pada kejadian ketika kau, aku, dan Eve
mendobrak masuk ke dalam rumah tua di Fear Street. Kau ingat?"
"Yeah. Konon di rumah itu ada hantunya," jawab Faith sambil
mengelus kulit pada sandaran lengan sofa.
"Ingat? Polisi masuk dan memergoki kita sebelum kita menaiki
setengah anak tangga yang berkeriat-keriut itu," Janie meneruskan.
"Kita begitu terkejut dan ketakutan. Aku ingat sebenarnya aku senang
juga kita tertangkap. Maksudku, kalau benar ada hantu di rumah tua
itu, aku tidak ingin bertemu dengannya."
Faith dan Paul tertawa kecil.
"Kau menantang kami untuk masuk," Janie mengenang. "Aku
dan Eve tidak mau melakukannya. Tetapi kau menantang kami, Faith.
Dan kurasa kami terlalu malu untuk tidak menerima tantangan itu."
"Kita benar-benar dalam kesulitan," kata Faith, menyibakkan
rambutnya ke belakang bahu.
"Aku diskors selama sebulan," Janie menambahkan. "Polisi
membuat kita merasa seperti penjahat betulan." Ia mengeluh.
"Begitulah perasaanku hari ini. Perasaan bersalah yang sama?
meskipun aku tahu tak satu pun di antara kita melakukannya."
Mereka membisu dengan perasaan kikuk, menatap perapian.
Letusan keras membuat ketiganya terlonjak. Paul tertawa.
"Mari kita ganti pokok pembicaraan," kata Faith seraya berdiri
untuk memasukkan sepotong kayu lagi. "Paul bilang dia kenal Ross.
Kau tahu, cowok baru yang kita bantu siang tadi."
"Kau kenal dia?" Janie bertanya, agak tidak sabaran.
"Ah, aku tidak kenal betul, aku bahkan tidak tahu namanya,"
jawab Paul. "Dia ikut dalam kelas kalkulusku. Tetapi aku melihat dia
pada musim gugur lalu, ketika dia bermain untuk New Brighton.
Waktu itu pertandingan football pertama musim itu."
"Dia dari New Brighton?" tanya Janie. "Mengapa dia pindah
pada pertengahan tahun."
Paul mengangkat bahu. "Dia seorang? running back?pemain
belakang. Dia mematikan kami. Terjadi pada malam berhujan itu,
ingat? Lapangan basah dan berlumpur, seperti kubangan babi."
"Sangat penuh semangat," sela Faith sinis.
"Si Ross ini berlari sekitar delapan puluh meter di lumpur untuk
mencetak touchdown," Paul meneruskan, tak menghiraukan ucapan
Faith. "Pemain kita jatuh, dan Ross terus berlari. Satu-satunya angka
dalam pertandingan itu." Wajahnya kelihatan sebal, matanya yang biru
bersinar diterpa cahaya api. "Pahlawan besar," gumamnya.
"Menurutku dia manis," kata Faith, menyodok perapian.
"Dia menyebalkan," kata Paul tajam.
"Hanya karena dia lari untuk menciptakan touchdown dan
mengalahkan Tigers?" tukas Janie.
"Bukan. Karena dia sombong," sahut Paul. "Sesudah mencetak
touchdown dia berlari melewati bangku kami, melompat-lompat dan
mengacung-acungkan tinju. Bukan main! Dan dia juga sok di kelas
matematika. Seakan dia tahu segala hal. Seolah dia terlalu pintar bagi
kami semua. Pokoknya dia sangat menyebalkan."
"Mungkin dia cuma malu," kata Janie.
"Mungkin dia tolol," Paul bersikeras.
"Aku masih tetap berpendapat dia manis," kata Faith, tersenyum
lebar. Paul memandang marah pada Faith. "Kau tidak punya cita
rasa." Mereka semua tertawa. *********** Paul pulang beberapa saat sesudah pukul sepuluh. Janie tahu ia
seharusnya pulang juga, tetapi ada sesuatu yang menahannya.
Ia ingin bicara dengan Faith mengenai uang yang hilang itu,
mencari tahu apakah Faith punya teori. Ia ingin bertanya mengapa
Faith dan Paul bertingkah begitu aneh, begitu tegang sepanjang
malam. Namun ia merasa tak sanggup melakukannya.
Sambil menguap Faith memasukkan sepotong kayu lagi ke
dalam perapian. "Api pemanas selalu membuatku ngantuk," katanya.
Ia bersandar santai. "Jadi, kau atau aku yang akan mengajak Ross
kencan?" ia bertanya, mata birunya bersinar jail.
"Huh? Mengajaknya kencan?" Pertanyaan itu mengejutkan
Janie. "Hei, bagaimana bisa kau berkencan dengannya, Faith? Kau kan
dengan Paul...." "Paul tidak perlu tahu," sahut Faith, menyeringai.
"Yah, mungkin...." Janie merasa wajahnya panas.
"Aku tahu kau tertarik padanya," Faith menggoda. "Hei?
bagaimana kalau kita taruhan? Siapa di antara kita yang bisa lebih
dulu kencan dengan Ross?"
"Taruhan? Maksudmu dengan uang?"
Faith tertawa. "Oke. Dengan uang. Katakan saja, sepuluh dolar.
Anggap saja perlombaan. Yang pertama kencan dengan Ross akan
mendapat uang itu." Sebelum Janie sempat menjawab, telepon cordless di samping
sofa berdering. Faith mengangkatnya.
"Oh, hai, Eve. Kau mau ikut dalam taruhan kami?"
Janie mendengarkan Faith menjelaskan taruhan itu kepada Eve.
"Ah, Ian kan selalu bekerja. Dia tidak akan tahu," Faith membujuk
Eve. "Yeah. Yeah. Janie juga."
Mereka mendiskusikannya lebih lanjut. "Sampai jumpa besok,
Eve," seru Faith lalu meletakkan gagang telepon. Ia menoleh pada
Janie dan berkata, "Eve ikut. Jadi, taruhan kita adalah kencan dengan
Ross plus dua puluh dolar. Bagaimana? Berani terima tantangan ini?"
Janie menghela napas. Ia tahu ia mungkin terlalu pemalu untuk
mengajak Ross kencan. Sementara Faith, ia bisa langsung
menghampiri Ross begitu saja dan mengajaknya nonton, makan, atau
lainnya. Demikian juga Eve.
"Aku akan kalah," kata Janie pelan. "Tapi baiklah, Faith. Aku
ikut." Tak lama kemudian Janie mengambil jaketnya dan Faith
mengantarnya ke pintu depan. "Sampai jumpa besok," kata Janie. Dan
kemudian kata-kata itu terlontar dari mulutnya, "Mengapa kau dan
Paul begitu aneh malam ini?"
"Hah?" Faith terperanjat.
"Kalian tampak?gugup," kata Janie. "Apa ada masalah atau
apa?" Faith ragu-ragu. "Ah?kurang lebih begitu," katanya enggan,
mata birunya menatap Janie lekat-lekat.
"Aku?uh ..." Janie tersipu malu. "Masalah apa?" ia bertanya
sambil menundukkan wajahnya.
Faith kembali ragu. "Ah, Janie, cuma? uh... aku dan Paul tahu
kaulah yang mencuri uang pesta dansa itu."
Bab 6 "APA?" Janie berteriak, mulutnya ternganga.
Mata Faith berapi-api, menuduh Janie.
"Kau?kaupikir aku..." Janie terbata-bata, tak percaya dengan
pendengarannya. Tawa Faith meledak. "Aprilmop," bisiknya. "Aku sudah coba
lho, tapi aku sungguh tidak bisa menahan tawa."
Janie menggeram marah. "Faith?sekarang belum lagi bulan
April, dan kau tidak lucu! Tidak bisakah kau menanggapi apa pun
dengan serius?" Senyum Faith memudar. "Aku akan menganggap taruhan kita
serius." ********** Saat mata pelajaran kimia esok siangnya, Janie membuka buku
labnya dan mulai mengatur tabung reaksi. Namun pikirannya
melayang-layang pada Ross Gabriel.
Sepanjang hari ia memikirkan Ross, berkali-kali bertanya pada
diri sendiri mengapa ia begitu tolol sampai mau bertaruh dengan Faith
dan Eve. Tidak mungkin aku bersaing dengan mereka, pikir Janie
muram. "Janie," suara Mr. Mancuso mengejutkannya, membuyarkan
lamunan. Ia mengangkat muka?dan yakin ia pasti sedang
berhalusinasi. Di samping Mr. Mancuso berdirilah Ross Gabriel, rambutnya
yang cokelat menutupi kening, matanya yang hitam menatap Janie.
"Bisakah kau bekerja dengan Ross sampai Pam sembuh?" tanya
guru kimia itu. Rekan lab Janie, Pam Dalby, tidak masuk karena flu.
Mr. Mancuso berjalan ke depan ruangan untuk mendemonstrasikan
percobaan yang akan dilakukan.
"Hai lagi," kata Ross, duduk santai di bangku tinggi di samping
Janie. "Kau Janie kan?"
Jantung Janie berdebar begitu keras sampai ia bertanya-tanya
apakah Ross bisa mendengarnya. "Yeah. Hai," katanya parau.
"Bagaimana lenganmu?"
"Tidak apa-apa. Kita akan menyelesaikan percobaan ini dengan
sempurna," katanya seraya mengulurkan tangan di depan Janie untuk
mengatur kembali tabung-tabung reaksi. "Aku sudah pernah
melakukannya. Di sekolahku yang dulu. Di kelas tujuh, kurasa. Ini
semua cuma mainan anak kecil."
"Yeah, aku tahu," Janie cepat-cepat menyetujui. Sebenarnya ia
merasa tugas itu cukup sulit, tetapi gengsi dong mengakuinya.
"Hati-hati dengan yang itu. Itu amonia," ia memperingatkan
Ross sambil menunjuk sebuah tabung reaksi jernih. "Aku pernah
keliru mencium tabung amonia. Akibatnya selama seminggu hidungku
terbakar!" Janie mengharap Ross akan tertawa, namun ekspresinya tetap
serius. "Yeah. Kau harus hati-hati," katanya, memperhatikan tabungtabung reaksi itu. "Tentu saja, aku minum cairan itu untuk sarapan!"
Janie tertawa. Mata Ross yang hitam bersinar, tapi ia tetap tidak
tersenyum.

Fear Street Cowok Baru New Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurasa kita harus mulai," kata Janie, berpaling pada tabungtabung reaksi itu. "Apakah ini magnesium ferid?"
"Terserah deh," jawab Ross. Perhatiannya tertuju ke depan,
pada Mr. Mancuso yang sedang membungkuk di atas meja, membantu
satu kelompok untuk mulai bekerja.
Ross berpaling kembali pada Janie dan meletakkan satu
tangannya pada tangan cewek itu, menahannya untuk tidak
mengambil tabung reaksi. "Mau lihat sesuatu yang benar-benar
mengerikan?" ia berbisik, mendekatkan bibir ke telinga Janie, begitu
dekat sehingga Janie bisa merasakan embusan napasnya yang hangat
di wajahnya. Janie merinding. "Sesuatu yang mengerikan?"
Ross mengangkat satu jari ke mulut, meminta Janie diam. Ia
kembali berpaling untuk memastikan Mr. Mancuso masih
membelakangi. Kemudian ia cepat-cepat menuangkan cairan hijau ke
dalam cairan jernih. "Perhatikan," perintahnya pada Janie.
Cairan itu bereaksi, membentuk campuran berwarna hijau. Uap
putih mengambang naik ke atas.
"Apa ini?" bisik Janie.
"Ini bom bau," jawab Ross, menatap tabung reaksi itu. Cairan
itu berbuih sampai ke atas. Uapnya yang basah naik. "Coba cium."
Janie dengan enggan mengambil napas. Parasnya menunjukkan
perasaan muak. "Uek!"
Bau kecut itu mulai mengambang ke seluruh penjuru kelas.
Anak-anak mulai mengerang dan mengeluh. Beberapa anak
menoleh ke belakang, memandang Janie dan Ross dengan pandangan
bertanya-tanya. "Oooh, bau apa ini?!" teriak seorang anak.
"Ricky?kau yang bau, ya?" seseorang berseru pada Ricky
Schorr, badut kelas yang selalu dipersalahkan untuk semua kekacauan
dalam kelas. "Enak saja!" bantah Ricky.
Anak-anak itu terbatuk-batuk dan tercekik.
Janie turun dari bangku dan mundur menjauhi meja, matanya
berair. Mr. Mancuso akhirnya sadar ada yang tidak beres. Ia
menengadah dan mengendus. "Oh." Ia menahan napas.
"Mr. Mancuso, di sini," Ross berseru. "Saya rasa saya dan Janie
melakukan kesalahan."
"Hah? Aku?" Janie berteriak. "Aku tidak..."
Mr. Mancuso bergegas ke meja lab Janie. "Saya dan Janie
keliru mengikuti langkah-langkahnya," kata Ross. "Baunya seperti?
seperti telur busuk!" Ia mengedipkan mata pada Janie.
Mr. Mancuso memicingkan mata ketika menatap campuran
hijau berbuih-buih itu. Ia menahan napas, berusaha tidak mencium
aroma kecut dan memuakkan itu.
Ia mengambil penjepit tabung reaksi, mengangkat tabung hijau
itu dari rak, dan bergegas membawanya keluar ruangan.
Segera setelah ia menghilang, ruangan itu meledak oleh tawa
dan sorak gembira. "Hebat, Ross!" teriak Ricky Schorr.
"Ayo berpesta!" seru seseorang.
"Tolong?buka jendelanya!" anak yang lain memohon.
Ross menoleh pada Janie. "Maaf," katanya. "Aku cuma tidak
berminat dengan tugas konyol hari ini."
Janie tertawa. Udara di dalam ruangan itu mulai bersih. "Dari
mana kau belajar membuat bom itu?" tanya Janie, kembali duduk di
samping Ross. "Ibuku membelikan aku satu set peralatan kimia ketika aku
berumur delapan tahun," katanya pada Janie. "Itulah yang pertama kali
aku buat." Janie terkekeh. "Kau hebat, Ross. Kau mungkin akan mendapat
nilai A." "Aku suka mengganggu orang," kata Ross. Janie menunggunya
tersenyum, namun senyum itu tak juga muncul.
Sungguh ucapan yang aneh, pikir Janie.
Aku suka mengganggu orang.
Ia melirik jam dinding. Ia tidak ingin pelajaran itu berakhir. Ia
ingin duduk di sana, di samping Ross, dan mengobrol berjam-jam.
Tiba-tiba ia ingat taruhan itu.
Bisakah aku melakukannya? Sanggupkah aku mengajaknya
kencan? Ini kesempatan yang sempurna.
Bel berdering. Ia mengumpulkan buku-bukunya dan mengikuti
Ross keluar ke koridor. Ross berhenti di luar pintu dan berbalik pada Janie, seolah-olah
ia menunggu Janie mengucapkan sesuatu.
Janie tersenyum, benaknya bergulat memikirkan sesuatu.
Lakukanlah sekarang! pikirnya. Ajak dia kencan malam
Minggu nanti. "Mungkin aku akan mengajarimu beberapa hal yang lebih
berguna besok," katanya pada Janie sambil menyibakkan rambutnya
dari kening. Ia begitu tampan, pikir Janie. Begitu tampan, dan ia sadar benar
akan hal itu. Ajak dia. Ajak dia. "Uh... Ross..." ia berdeham dan mulai berbicara. Dipeluknya
ranselnya erat-erat. "Uh?malam Minggu..."
Janie berhenti ketika melihat ekspresi Ross berubah.
Matanya menatap ke balik bahu Janie, membelalak lebar.
Wajahnya memucat. "Ross?" Janie berseru bingung.
Ross seolah tidak mendengarnya.
Mulutnya ternganga kaget. Raut mukanya yang tampan berubah
menjadi ketakutan. Bab 7 DENGAN terkejut, Janie berpaling dan mengikuti tatapan Ross.
Di seberang koridor yang penuh sesak, ia melihat seorang
cewek bertubuh sangat tinggi dengan rambut panjang berombak
berwarna pirang keperakan. Cewek itu menatap tajam pada Ross.
Siapa dia? tanya Janie dalam hati. Aku belum pernah
melihatnya selama ini. "Ross, ada apa?" desak Janie. "Kau seperti baru saja melihat
hantu!" Namun Ross sudah lenyap. ********** Ia mencari-cari Ross sesudah sekolah, tetapi tidak
menemukannya. Sisa hari itu dihabiskannya dengan terus memikirkan cewek
berambut pirang keperakan itu. Cewek itu tinggi dan cantik, dengan
rambut ikal yang mengesankan tergerai sampai ke punggungnya.
Mengapa Janie belum pernah melihatnya sebelum ini?
Apakah ia cewek baru di Shadyside High?
Janie mengenakan jaketnya dan membanting pintu locker
hingga menutup. Ia berjalan perlahan-lahan ke pintu depan ketika
melihat Eve terburu-buru menghampirinya.
"Coba tebak," Eve berseru, matanya yang hitam bersinar-sinar
dan senyum lebar tersungging di wajahnya. "Coba tebak?aku
menang! Aku sudah berjanji dengan Ross untuk berkehcan malam
Sabtu nanti!" *********** Jumat malam Janie berbaring di ranjangnya, menatap ke langitlangit, mendengarkan alunan suara The Beatles dari stasiun radio yang
menyiarkan lagu-lagu oldies. Telepon berdering. Ia mengulurkan
tangan ke meja di samping ranjang, mematikan radio, dan meraih
pesawat telepon. "Halo?"
"Malam ini malam besar bagi Eve." Ternyata Faith.
"Ceritakan yang lain saja, yang aku belum tahu," Janie
mengeluh. "Eve meminjam blazer biruku."
"Dan ia memakai denim merah seksi yang sengaja disimpannya
untuk kesempatan-kesempatan istimewa." Faith diam sesaat. Janie
hampir bisa membayangkan ia menggeleng-gelengkan kepala. Faith
sangat benci kalah taruhan.
"Eve langsung saja menghampiri Ross dan mengajaknya
kencan," Faith akhirnya berkata. "Aku ingin tahu apa saja yang ia
ucapkan." "Apa pun ucapannya, ternyata berhasil." Janie mengeluh.
"Harus kuakui?aku sangat cemburui"
"Hei... aku juga," ujar Faith.
"Tapi setidaknya kau punya Paul."
"Tahu apa yang akan kulakukan? Aku akan memberitahu Ian,"
kata Faith. "Aku akan meneleponnya dan memberitahukan apa yang
dilakukan Eve. Dia pasti marah besar!"
"Tidak, jangan," kata Janie tajam. "Sebaiknya jangan kau
lakukan. Kau tahu betapa pencemburunya Ian. Kasihan dia. Dia
bekerja setiap malam akhir pekan ini."
Faith bersenandung nakal.
"Taruhan konyol ini sepenuhnya gagasanmu," tukas Janie.
"Jadi, mengapa kau mau menyusahkan Eve?"
"Menyusahkan adalah nama tengahku," jawab Faith, terkekehkekeh. Kemudian ia menambahkan, "Hei, Janie, aku cuma bercanda.
Aku takkan menelepon Ian."
"Aku tak pernah bisa tahu kapan kau bercanda, kapan kau
serius," Janie mengaku.
"Itu sebabnya kau selalu jadi korban."
"Terima kasih, teman," jawab Janie kering.
Faith menghela napas. "Aku punya masalah sendiri."
"Hah? Masalah apa?!" Janie duduk tegak di ranjang dan
memindahkan gagang telepon ke telinga yang lain.
"Oh... segalanya kacau di sini," kata Faith enggan. "Tunggu.
Kututup dulu pintu kamarku." Ia pergi beberapa detik, lalu kembali.
"Kurasa hubungan antara kedua orangtuaku tidak begitu bagus,"
katanya dengan suara rendah. "Mereka nyaris tidak pernah lagi berada
di rumah pada saat yang sama. Saat mereka berada di rumah, mereka
terus menutup pintu kamar tidur dan berdiskusi panjang dan serius."
"Maksudmu..." "Kurasa mereka akan berpisah. Entahlah." Faith menghela
napas. "Dan kemudian si brengsek Paul..."
"Ada apa dengan Paul?"
"Kau tahu apa yang dikatakan si brengsek itu saat makan siang
kemarin?" "Kapan dia jadi brengsek?" desak Janie, tak mampu menutupi
kekagetannya. "Ketika dia meminta 300 dolar dariku agar ia bisa membeli
persneling baru untuk mobilnya. Kau percaya, tidak?"
Janie berpikir sesaat. "Yeah, aku percaya suatu hari ia akan
berbuat seperti itu."
"Padahal aku mulai berpikir dia benar-benar menyukaiku," kata
Faith sedih. "Tetapi ternyata dia berpacaran denganku hanya karena
aku kaya." "Kata Eve dia memang payah," komentar Janie.
"Sekali ini Eve benar," kata Faith getir.
"Jadi, kau mau pergi nonton atau apa?" tanya Janie, mencoba
mengalihkan pokok pembicaraan.
"Tidak. Rasanya aku akan tinggal dalam kamar saja dan
memikirkan pikiran-pikiran penuh kebencian ini sepanjang malam."
Janie tertawa. "Setidaknya kau masih punya selera humor."
"Aku ingin tahu bagaimana kencan Eve dan Ross," kata Faith
muram. "Yeah, aku juga ingin tahu," sahut Janie. "Aku sudah tidak
sabar menunggu ceritanya. Berani bertaruh Eve tentu punya kisah
hebat untuk diceritakan pada kita...."
Bab 8 SEUSAI menonton film Ross mengemudikan Civic biru
kecilnya, lalu memarkirnya di tepi hutan Fear Street.
Ia mengulurkan tangan, menarik Eve ke dekatnya, dan
menciumnya, tapi tiba-tiba ia berhenti. Ia bersandar di kursi dan
mendesah, "Maaf."
"Kenapa?" tanya Eve. Jantungnya berdebar-debar.
Ia luar biasa! pikir Eve.
Wajah Ian terus-menerus muncul dalam benaknya. Dan ia terus
berusaha mendesak bayangan itu pergi.
"Aku biasanya tidak mencium seorang gadis pada kencan
pertama." Ia mengangkat bahu. Pandangannya terus tertuju pada mata
Eve. "Aku biasanya menunggu hingga kencan kedua!"
"Kalau begitu terserah aku," kata Eve, seraya menarik Ross dan
menciumnya. Tangannya tersangkut pada syal birunya. Ia menariknya
hingga lepas dan membiarkannya jatuh di kursi.
"Panas sekali di sini," kata Ross akhirnya. "Mau jalan-jalan? Di
hutan?" "Hah? Ini kan hutan Fear Street," Eve memprotes.
"Memangnya kenapa?"
"Aku lupa kau masih baru di sini," kata Eve sambil meremas
tangan Ross. "Kau tidak tahu kisah-kisah mengerikan mengenai hutan
ini." "Dan aku tidak ingin tahu. Rumahku di Fear Street. Ayolah.
Jalan-jalan sedikit akan menyegarkan kita. Apa sih yang mungkin
terjadi? Kau tidak takut... bukan?" Ucapannya lebih berupa tantangan
daripada pertanyaan. Ross keluar dan berjalan memutar ke sisi pintu penumpang. Eve
masih belum beranjak. Ross membuka pintu dan mengulurkan
tangannya. Eve ragu sejenak, lalu menyambut tangan Ross dan
melangkah keluar. Ross menuntun Eve masuk ke dalam hutan itu.
Angin bertiup kencang, berpusar di sekeliling mereka.
Eve kedinginan. Dengan tubuh menggigil, dililitkannya syal
biru di sekeliling leher, dan ditegakkannya kerah blazer biru milik
Janie. "Ke mana kita?" ia bertanya.
"Tidak jauh," jawab Ross pelan.
Ia merasakan lengan Ross merangkul bahunya.
************** Ketika Janie membuka mata pada hari Sabtu pagi, sinar
matahari sudah menerobos masuk melalui jendela kamar tidur. Ia
menggosok matanya dan meregangkan badan.
Ia bisa merasakan embusan udara sejuk dari jendela yang
tertutup. Sudah akhir bulan Maret, pikirnya. Aku sungguh berharap
musim semi segera datang.
Ia meringkuk lagi di balik selimut hangat. Mungkin aku tidak
akan bangun dulu, pikirnya. Tapi jam berapa sih sekarang?
Ia melirik jam radio. Baru pukul 08.15.
Ia menguap. Ada sesuatu yang meresahkannya, membuatnya
tidak bisa tidur semalam. Tapi apa, ya?
Oh, benar, ia ingat. Kencan Eve dengan Ross.
Aku harus menelepon Eve agar bisa segera tahu ceritanya.
Satu pertanyaan yang mengejutkan mendadak timbul dalam
benaknya yang belum sepenuhnya sadar: kalau Eve mulai pacaran
dengan Ross, haruskah aku mencoba berkencan dengan Ian?
Janie membayangkan Ian. Cowok itu hampir sependek dan
sekurus dirinya. Rambutnya tipis berwarna cokelat tua, dipangkas
sangat pendek. Dan di balik kacamatanya yang tak berbingkai, ia
memiliki mata kelabu yang serius dan dingin.


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia cowok yang hebat, pikir Janie sambil berbalik miring. Dan
sangat pandai pula. Tetapi Ian bukan jenis idamanku.
Ross-lah idamanku... Ia memeluk bantal ke pipinya dan ia tertidur kembali, ketika
tiba-tiba telepon di meja samping tempat tidur berdering, membuatnya
duduk tegak. Ia meraihnya, mengedip-ngedipkan mata supaya terbangun.
"Halo." "Halo, Janie?" Ternyata Ian. "Apa Eve ada di sana?" ia bertanya
dengan napas terengah-engah. "Apakah dia ada di rumahmu?"
Perasaan ngeri serasa menikam Janie. "Uh, tidak. Kenapa?"
"Dia hilang!" teriak Ian. "Dia tidak pulang semalam!"
Bab 9 JANIE hampir saja menjatuhkan gagang telepon yang tiba-tiba
terasa seperti beban berat di tangannya. Ia memejamkan mata rapatrapat dan merasakan nyeri perlahan-lahan naik ke kepalanya.
"Janie!" lengkingan suara Ian menyeruak ke dalam benaknya.
"Kau masih di sana?"
Janie menempatkan kembali gagang telepon itu ke telinga.
"Ya," katanya dengan suara gemetar.
"Eve tidak menginap di rumahmu?" desak Ian.
"Tidak. Apa kau sudah menelepon orangtuanya?"
"Yeah. Mereka panik, Janie. Mereka menelepon polisi."
Kerongkongan Janie seperti tercekik. Gelombang rasa mual
melanda dirinya. Suara Ian menjadi tegang. "Janie?apakah Eve pergi dengan
seseorang tadi malam? Dengan cowok lain? Aku mampir ke
rumahnya sesudah kerja, tetapi adik laki-lakinya mengatakan dia
keluar. Dia tidak bilang pergi ke mana atau untuk apa."
"Aku akan menelepon Mrs. Muller," kata Janie, berjuang
melawan rasa mual itu. Eve pasti baik-baik saja, pikirnya. Ia pasti baik-baik saja.
"Apa yang terjadi, Janie?" Ian bertanya. "Eve pergi dengan
seorang cowok, bukan?"
"Aku?aku tidak tahu, Ian." Janie benci berbohong. Namun ia
juga tidak mau melanggar janjinya kepada Eve. "Itu tidak penting
sekarang," katanya. "Yang penting adalah menemukan Eve."
"Janie, bisakah aku menemuimu? Aku benar-benar cemas."
"Kurasa tidak, Ian. Aku..." Janie benar-benar tidak ingin
menemuinya sekarang. "Janie? Tolonglah?" Ia kedengaran sangat ketakutan, seperti
anak kecil. "Baiklah, Ian," Janie menyerah. "Kutunggu kau di sini."
"Kau memang sahabat sejati," kata Ian. "Aku akan segera ke
sana." Hubungan pun terputus.
Janie duduk di tepi ranjangnya. Dicobanya menghilangkan rasa
pening dengan memejamkan mata.
Apa yang terjadi pada Eve?
Apa? Janie memaksa dirinya berdiri. Ia harus mandi dan ganti
pakaian. Ian bisa tiba setiap saat. Ia berjalan melintasi koridor menuju
kamar mandi dan memercikkan air dingin pada mukanya. Ia merasa
seolah-olah bergerak dalam gerakan lambat, seolah-olah bobotnya
bertambah jadi satu ton. Ia memakai jeans dan sweatshirt bertopi serta sepatu kets, dan
turun ke bawah untuk menunggu Ian.
"Mom? Dad?" Secarik catatan pada lemari es memberitahu Janie bahwa
mereka pergi berbelanja. "Mungkin Faith sudah dengar sesuatu," kata Janie keras,
merasakan ketakutan mencekik tenggorokannya. Ia menekan nomor
telepon Faith. Ternyata salurannya sibuk.
Dengan putus asa ia ganti menekan nomor telepon Eve.
Jemarinya gemetar begitu hebat sehingga ia harus mencoba tiga kali
sebelum menekan nomor yang tepat.
Mudah-mudahan kau ada di rumah, Eve, pikirnya.
Mungkin aku terlalu cemas dengan pikiranku sendiri, kata Janie
pada diri sendiri sambil mendengarkan dering telepon. Mungkin Eve
sudah ada di rumah sekarang. Mungkin ia bersenang-senang dengan
Ross dan begadang sepanjang malam.
Semoga ada di rumah. Semoga....
Marky, adik Eve, akhirnya menjawab setelah dering kelima.
"Marky? Ini Janie Simpson? Ibumu ada di rumah?"
"Tunggu. Akan kupanggilkan, Janie." Ia mendengar isak tangis
di latar belakang. Bukan pertanda bagus.
Janie bergidik mendengarkan sedu sedan tertahan itu. Ia
mendengar suara Marky. Dan langkah kaki.
Akhirnya Mrs. Muller berbicara. "Janie, apakah Eve
bersamamu? Apakah mereka sudah menemukannya? Apakah kau
dengar sesuatu?" Gencarnya pertanyaan itu menunjukkan
kepanikannya. "Tidak, Mrs. Muller," jawab Janie dengan suara gemetar.
"Saya?saya pikir dia mungkin sudah pulang sekarang."
"Belum. Dia tidak ada di sini," Ibu Eve tersedu. "Ayahnya.
Polisi. Mereka semua sedang mencarinya. Mereka?mereka..." Ia tak
bisa menahan tangisnya. "Mrs. Muller..." Janie ingin memutus percakapan itu. Ia tidak
ingin membuat ibu yang malang itu makin sedih.
"Mereka semua sedang mencarinya," kata Mrs. Muller di sela
tangisnya. "Mencari Eve dan pemuda yang bersamanya itu."
"Hah?" seru Janie. "Ross? Apakah Ross juga hilang?"
"Ya," jawab ibu Eve. "Aku khawatir pemuda itu juga hilang."
Bab 10 IAN tiba beberapa detik setelah Janie memutuskan percakapan
telepon dengan Mrs. Muller. Ia berdiri di ambang pintu depan dengan
celana kusut dan sweatshirt bernoda, matanya merah.
Janie membukakan pintu dan menyapanya dengan muram.
Tetapi Ian tetap berdiri di pintu.
"Bisakah kita pergi sebentar?" ia bertanya dengan suara letih,
memberi tanda ke arah Ford Escort kuningnya. "Rasanya aku tidak
ingin duduk." Janie mengangguk. "Boleh. Tunggu, kutinggalkan catatan untuk
orangtuaku." Ia berlari ke dapur, menulis catatan, dan menempelkannya ke
pintu lemari es dengan magnet. Kemudian ia meraih jaketnya dan
berlari keluar lewat pintu depan.
Hari itu sangat sejuk untuk awal musim semi. Pepohonan di
halaman depan bergetar diterpa pusaran angin.
Ian duduk dalam mobil kuningnya yang kecil dengan mesin
dihidupkan. Ia memasukkan persneling dan menjalankannya,
meninggalkan tepi jalan bahkan sebelum Janie menutup pintunya.
"Janie, apa yang terjadi?" Ian bertanya panik.
"Kalau saja aku tahu, Ian."
"Kau tahu," tuduh Ian, sementara mereka berbelok ke Canyon
Drive, memacu mobilnya menerobos tanda berhenti. "Aku tahu kau
tahu sesuatu. Kau, Eve, dan Faith selalu saling cerita." Ia menatap
Janie, seakan-akan mencoba membaca pikirannya.
"Apa kau datang sekadar untuk menyusahkan aku?" Janie
mengerang. "Kalau begitu, kau bisa berputar lagi dan menurunkan aku
di rumah. Aku khawatir setengah mati dengan Eve, Ian. Takut
setengah mati. Aku tidak ingin diinterogasi olehmu."
Kemarahannya mengejutkan Ian. Ia membetulkan kacamatanya
dan bergerak gelisah di kursinya. Matanya yang kelabu memandang
lurus ke kaca depan. "Maaf," katanya pelan. "Aku?aku juga takut sekali."
Mereka bermobil tanpa bicara. Ian mengemudi tanpa tujuan,
mengelilingi kota. Mereka melewati rumah Eve di Old Village. Tak
ada mobil di depannya. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Mereka melewati Shadyside High yang tampak gelap dan
kosong di hari Sabtu pagi. Di Old Mill Road pohon-pohon tinggi
melengkungkan cabang-cabangnya yang gundul di atas jalan.
Janie merasakan dorongan kuat untuk bercerita tentang Ross
kepada Ian. Juga tentang Eve dan taruhan itu. Namun ia berpikir,
kenapa ia harus membuat Ian lebih sedih lagi?
Ia melirik ke luar jendela, dan melihat mereka sekarang ada di
tepi hutan Fear Street. "Hei!" seru Janie keras ketika Ian menginjak rem.
Tubuhnya tersentak ke depan. Ia mengangkat tangan tepat pada
waktunya agar kepalanya tidak terbentur kaca depan ketika mobil itu
berdecit lalu berhenti. "Anjing tolol!" teriak Ian. Ia menoleh pada Janie. "Kau lihat?
Berlari langsung ke depan mobil. Aku nyaris melindasnya."
"Tidak. Aku?kurasa aku tidak memperhatikan," kata Janie
gemetar. Mobil itu mogok. Ian tidak berusaha menghidupkan mesinnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
Janie hendak menjawab, tetapi membatalkannya.
Apa itu yang ada di dalam hutan?
Sesuatu tergeletak di atas tanah, di depan pepohonan.
Sesuatu berwarna biru cerah.
"Oh!" Ia mendorong pintu mobil hingga membuka dan
melompat keluar. "Janie?hei! Mau ke mana kau?" Ian berseru.
Pintu mobil dibiarkannya tetap terbuka, Janie berlari
menghampiri benda berwarna biru itu.
"Janie?tunggu!" Ian menyusul tepat di belakangnya.
"Apa itu?" teriak Janie. "Kau lihat, Ian? Benda biru terang itu?"
Mulanya samar-samar. Tetapi ketika ia semakin dekat, seluruh
pemandangan itu menjadi jelas.
Pertama ia melihat blazer itu. Blazer biru terang. Blazer biru
miliknya. Kemudian ia melihat tubuh Eve yang tak bernyawa.
Kemudian ia menjerit. Bab 11 WAJAH Eve berpaling ke samping, setengah terkubur dalam
lumpur setebal tiga inci. Bagian atas kepalanya telah dipukul.
Gumpalan darah kering melekat pada rambutnya yang hitam.
Lalat beterbangan di sekujur tubuhnya. Janie menatap ngeri
sewaktu seekor lalat perlahan-lahan merayap melintasi wajah Eve.
Lalat itu merayap ke matanya dan masuk ke dalam mulutnya yang
terbuka. Sambil mendesah keras, Janie berpaling dan memejamkan
mata. Namun pemandangan mengerikan itu tetap terbayang di
benaknya. "Eve? Eve?" Teriakan sedih Ian merobek udara. Ia menjatuhkan
diri, berlutut di samping tubuh Eve. Ia memegang tangan Eve yang
pucat dan lemas itu dan mulai menggosoknya, seolah dengan begitu
bisa menghidupkannya kembali.
"Eve? Eve?" Janie jatuh duduk di atas setumpuk dedaunan yang dingin
basah, dan membenamkan kepala di antara kedua kakinya. Ia mengira
dirinya pingsan. Ambil napas. Bernapaslah, perintahnya pada diri sendiri.
Ia mengangkat kepala perlahan-lahan, berupaya bernapas
normal. Pepohonan berputar liar mengelilinginya.
Angin serasa mengitarinya, membawa aroma masam mayat itu.
Ia mencoba menahan napas, tapi malah tercekik.
Janie menahan dorongan untuk melihat lagi. Yang dilihatnya
sudah cukup untuk membuatnya bermimpi buruk seumur hidup.
"Eve? Eve?" Janie mendengar Ian terus berteriak-teriak dengan
nada ngeri dan tak percaya. "Eve?"
Kami harus mencari pertolongan, dan menyingkir dari sini,
pikir Janie. Ia terhuyung-huyung berdiri.
Ian meneruskan rintihan sedihnya. Ia masih menggosok-gosok
tangan Eve dengan panik. "Ian!" suara Janie bergema di dalam hutan. Ia meraih leher
sweatshirt Ian dan mengentakkannya menjauhi mayat itu. "Ian, ayo
kita pergi," ia memohon seraya mengguncang tubuh Ian. "Kita harus
menelepon polisi. Ian?ayolah!"
Seekor lalat mendengung di dekat telinga Janie?suaranya
serasa kian keras, meredam suara lain. Ini seekor atau seratus lalat? Ia
memejamkan mata, tetapi masih dilihatnya lalat-lalat itu beterbangan.
Masih didengarnya dengung mereka. Lalat. Mereka turun seperti maut
hitam pada sahabatnya yang dulu cantik itu.
*********** Radio dalam mobil patroli polisi itu bergemeresik keras. Dua
orang perwira polisi sudah memeriksa mayat Eve. Sekarang mereka
kembali ke mobil patroli untuk meminta bantuan lagi.
Janie berdiri di tepi jalan, menyaksikan mereka.
Ia telah membimbing Ian ke mobilnya dan membiarkannya
duduk di sana sementara ia lari ke sebuah rumah di Fear Street untuk
menelepon polisi. Mereka tiba lima menit kemudian, dan ia
menunjukkan mayat itu pada mereka.
Di mana Ross? ia bertanya dalam hati sambil memejamkan
mata. Kami sudah menemukan Eve yang malang. Tapi di mana Ross?
Sejauh ini tidak ada jejaknya.
Apakah ia juga meninggal? Apakah tubuhnya ada di dalam
hutan. ebukulawas.blogspot.com
Mendadak Janie teringat pada Ian. Ia menoleh dan melihatnya
duduk seorang diri di dalam mobil Escort kuning itu, kepalanya
disandarkan ke kemudi. Janie mengetuk jendela mobil patroli polisi. Jendela itu
diturunkan. "Permisi, Sir. Saya rasa teman saya membutuhkan saya,"
kata Janie sambil menunjuk ke mobil Ian. "Anda tidak keberatan saya
duduk di dalam mobil bersamanya?"
Polisi itu melirik Ian sekilas, kemudian kembali berpaling pada
Janie. Ia mengangguk muram. "Tak ada masalah. Kami akan
mengantar kalian pulang secepat mungkin, oke?"
Janie bergegas ke mobil dan duduk di kursi penumpang. "Ian?"
panggilnya lembut. "Mereka bilang kita bisa segera pulang."
Ian perlahan-lahan mengangkat kepala. Ia menutupi wajah
dengan tangannya. Ia tidak ingin aku melihatnya menangis, pikir Janie.
"Mungkin kau harus membiarkan aku yang mengemudi," kata
Janie. "Aku tidak keberatan."
"Ini gara-gara uang itu," kata Ian dengan suara tercekik. Ia
menyeka air mata dari wajahnya dengan lengan sweatshirt-nya.
"Hah?" Janie tidak yakin dengan pendengarannya. "Uang apa?"
Apakah Ian tahu tentang taruhan itu? Apakah ia tahu mereka
bertiga masing-masing telah bertaruh sepuluh dolar untuk bisa
mengencani Ross? "Ini gara-gara uang itu," Ian kembali menggumam, menghindari
mata Janie. "Ian?uang apa?"
"Aku tahu mengapa Eve terbunuh," katanya, matanya yang


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelabu menyipit. "Gara-gara uang itu. Siapa pun yang melakukannya
ia membunuh Eve untuk uang itu."
Janie menatap tajam wajah Ian yang basah oleh air mata. "Ian,
apa yang kaubicarakan?"
Ian berpaling kepadanya, menahan tangis. "Oh, Janie. Eve-lah
yang mencuri uang pesta dansa itu!"
Bab 12 JANIE meletakkan sebelah tangannya di bahu Ian. "Ian, kurasa
pikiranmu sedang kacau," katanya lembut. "Eve orang paling jujur
yang aku kenal. Ia takkan pernah..."
Janie sadar ia membicarakan Eve seolah-olah ia masih hidup.
Air mata membasahi matanya.
Ian berpaling pada Janie, tatapannya yang tajam seolah
membakar matanya. "Janie, dengan siapa Eve pergi tadi malam?
Jangan bohong padaku! Aku harus tahu."
Janie menelan ludah dengan susah payah. Tak perlu lagi
mempertahankan janjinya dengan Eve sekarang. Di samping itu, polisi
sudah tahu tentang Ross. Mereka sedang mencarinya juga.
"Ross," jawab Janie. "Ross Gabriel. Ini bukan kencan betulan,
Ian. Ini cuma demi taruhan konyol."
"Apa?" Mata Ian yang basah memicing kebingungan.
"Taruhan? Taruhan apa?"
"Kami bertiga?Eve, Faith, dan aku? bertaruh," kata Janie
enggan sambil menunduk. "Taruhan konyol. Cewek pertama yang bisa
pergi dengan Ross menang. Itulah satu-satunya alasan mengapa Eve
pergi bersamanya..."
Wajah Ian memucat. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia marah, Janie
menyadari. Aku seharusnya menunggu, kata Janie pada diri sendiri. Aku
seharusnya menunggu sampai Ian lebih tenang.
Ian memutar kunci kontak dengan tangan gemetar. "Keluar dari
mobilku, Janie," katanya dengan nada dingin.
"Hah?" Janie menoleh terperangah mendengar kegusaran dalam
suara Ian. "Keluar sajalah."
"Ian, apa yang akan kaulakukan?"
"Keluar!" teriak Ian.
"Tak usah, ya," kata Janie kepadanya. "Kau harus tenang, Ian."
Ia cepat-cepat mengulurkan tangan, mematikan mesin dan mencabut
kunci kontak. "Takkan kubiarkan kau melakukan sesuatu yang gila-gilaan,"
kata Janie. "Tidakkah kau sadar, betapa marah dan tak terkendalinya
dirimu?" Ian menyambar kunci, tetapi Janie mendorong tubuhnya.
"Berikan padaku, Janie," suaranya dingin menuntut.
Janie mendengar lengkingan rendah suara sirene, tidak jauh dari
mereka. "Aku akan mengantarmu pulang dengan selamat, oke?" Janie
berkata dengan suara rendah dan hati-hati.
"Berikan kunci itu padaku," Ian mengulangi, giginya terkatup
rapat. Suara sirene makin keras.
"Berikan kunci itu!"
"Tidak!" Tanpa berkata-kata lagi, Ian mencengkeram lengan sweatshirt
Janie dan menariknya ke arahnya. Janie menahan Ian dengan satu
tangan dan dengan panik tangan yang lain memutar tangkai jendela.
Ia melemparkan kunci Ian sejauh mungkin. Kunci-kunci itu
jatuh ke serumpun ilalang liar berwarna cokelat di tepi jalan.
Dengan teriakan marah, Ian mendorong pintu mobil hingga
terbuka dan melompat keluar.
Janie kembali menaikkan kaca jendela dan mengunci kedua
pintu, jantungnya berdebar keras. Saat itu suara sirene telah menjadi
begitu keras, sampai-sampai ia mengira suara itu ada di dalam
kepalanya. Ia menengok ke luar jendela belakang, dan melihat sebuah
mobil patroli berhenti di belakang mobil Ian, lampu merahnya
berkedip-kedip. Sebuah ambulans berhenti di sampingnya,
menghalangi jalan. Pintu belakang ambulans itu terempas membuka, dan para
petugas medis berseragam putih melompat keluar dengan menarik
usungan. Seorang perwira polisi mengarahkan para petugas medis itu.
Mereka berlari memasuki hutan Fear Street, menyeret usungan di
belakang mereka. Sebenarnya mereka tak perlu terburu-buru, pikir Janie sedih.
Eve sudah meninggal, tidak ada ahli medis mana pun yang bisa
menghidupkannya lagi. Regu ketiga tiba, sirene meraung-raung, lampunya berkedipkedip. Dan kemudian satu lagi. Polisi-polisi berseragam gelap itu
berbondong-bondong ke dalam hutan.
Berkerumun seperti lalat, pikir Janie getir.
Seperti lalat mengerumuni mayat.
Ian masih mencari-cari kuncinya di rerumputan ilalang mati itu
ketika petugas medis membawa tubuh Eve keluar dari hutan.
Polisi tidak menemukan jejak Ross sama sekali.
Apakah Ross juga terbunuh? tanya Janie dalam hati, tubuhnya
merinding. Apakah ia juga tergeletak mati dalam hutan ini?
Bab 13 SUASANA kantor polisi itu tampak seperti yang biasa terlihat
dalam film TV, dengan seorang sersan juga berambut kelabu kasar di
belakang meja depan, pesawat-pesawat telepon berdering tanpa henti
di atas meja metal usang abu-abu, sementara keyboard komputer terus
berdetak-detik. Di bagian belakang ruang kerja para polisi itu, Janie
melihat dua petugas sedang saling menjepretkan karet gelang.
Ia melirik Ian yang berjalan di sebelahnya. Rambutnya yang
hitam menggumpal lengket ke kening. Mata di balik kacamatanya
masih merah dan sedih. Ia tampak pucat seperti hantu di bawah
cahaya lampu neon di langit-langit. Sudah satu jam lebih mereka
berada di kantor polisi itu.
"Maaf kalian harus datang siang ini," kata Letnan Frazier,
membimbing mereka ke ruang tunggu di depan. Letnan Frazier
seorang petugas muda dengan suara lembut dan sikap menghibur.
"Saya tahu kalian masih sangat terguncang oleh penemuan kalian pagi
tadi." Janie mengangguk, menahan air mata.
Ia bisa menjawab seluruh pertanyaan letnan itu tanpa menangis.
Tapi mengapa ia merasa ingin menangis dan menjerit sekarang?
"Tidak seharusnya saya meminta kalian datang," kata letnan itu
lembut seraya meletakkan sebelah tangan pada pundak Janie dan Ian.
"Tapi kalian berdua kenal baik dengan korban. Saya tahu apa yang
kalian katakan mengenai Eve akan membantu kami menemukan
pembunuhnya." Pembunuh. Seperti pisau tajam kata itu merobek pikiran Janie.
Ia menarik napas panjang dan menahannya.
Aku tidak akan menangis, pikirnya. Aku tidak akan menangis di
sini. Aku tidak akan menangis sampai aku tiba di rumah.
"Orangtua kalian menunggu di luar?" tanya Letnan Frazier.
Janie dan Ian mengangguk.
Sekonyong-konyong pintu ruang kerja itu terayun membuka,
dan Ross muncul. Dua petugas dengan wajah serius mengikuti tepat di
belakangnya. Sesaat Janie merasakan jantungnya berhenti berdenyut.
Ia masih hidup, pikirnya. Ross baik-baik saja!
Baru beberapa saat kemudian Ross mengenali Janie dan Ian. Ia
seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri, ekspresinya tegang dan
cemas. "Janie, hai," ia menyapa pelan ketika akhirnya melihatnya.
"Ian..." "Ross?kau tidak apa-apa?" seru Janie.
"Aku?aku tidak percaya ini terjadi," katanya, menggelengkan
kepala dengan keras, seolah mencoba mengibaskannya. "Bagaimana
Eve bisa meninggal?"
Ian merintih seakan kesakitan.
Dua polisi itu berusaha membuat Ross terus berjalan. Tetapi ia
berhenti di depan Janie, matanya yang gelap menatap lurus ke mata
cewek itu. "Aku harus kembali ke New Brighton pagi ini," kata Ross
kepadanya. "Bersama orangtuaku. Aku baru pulang beberapa menit
yang lalu. Polisi?mereka menunggu di rumahku. Mereka
memberitahuku... mengenai Eve. Aku?aku..." ia tak mampu bicara
lagi. Kepalanya tertunduk.
"Terus jalan," salah satu polisi itu memerintah Ross. "Kami
perlu bicara denganmu, Nak. Di belakang sana." Ia menunjuk ke salah
satu bilik sempit di ujung ruangan.
Dengan kepala masih tertunduk, Ross dengan patuh berjalan
melewati Janie dan Ian. "Kau percaya kepadaku?bukan?" ia berseru
kepada Janie. Janie bimbang. Ia melirik Ian.
Sebelum ia bisa menjawab, Ross sudah lenyap ke dalam bilik
interogasi yang sempit itu.
"Terima kasih. Orangtua kalian menunggu di luar," kata Letnan
Frazier. Ia menahan daun pintu ruangan itu, agar terbuka untuk
mereka. "Kau percaya cerita Ross?" tanya Ian ketika mereka melangkah
keluar dari ambang pintu.
Janie mengangkat bahu. "Aku tidak," kata Ian dingin.
************** Minggu sore awan tebal yang gelap menggantung rendah,
mengancam akan turun hujan. Udara basah dan dingin, membuat
pepohonan gundul melengkung kedinginan. Janie mengemudikan
mobilnya ke Pete's Pizza di mall untuk menemui Faith.
Mereka duduk berhadapan di stan terbuat dari vinil merah di
dekat bagian depan restoran, mencoba bercakap-cakap.
Semua pintu keenam bioskop cineplex di seberang restoran itu
terbuka, dan gerombolan penonton membanjir keluar. Restoran itu
dengan cepat terisi suara tawa dan teriakan-teriakan.
Piza pepperoni besar tergeletak utuh di atas meja, di antara
Janie dan Faith. Faith memain-mainkan pisau dan garpu plastiknya.
Janie menatap melalui dinding kaca, ke koridor yang terang
benderang. Akhirnya ia memecahkan kesunyian. "Lima menit lagi."
"Kenapa?" tanya Faith.
"Lima menit lagi dan aku akan melewatkan satu jam tanpa
menangis," kata Janie.
Faith menggumamkan tawa sedih. "Kau dan aku berdua."
"Apakah Paul akan menyusulmu ke sini?"
Faith angkat bahu. "Mungkin," ia menghela napas.
Keheningan yang mencekam kembali menyelimuti meja
mereka. "Aku masih tak percaya Eve mencuri uang itu," kata Faith
dengan kening berkerut. "Aku tidak peduli apa yang Ian katakan."
"Mengapa ia berbohong mengenai hal itu?" Janie mendesak,
menyandarkan dagu pada tangan.
Faith menggigit bibir bawahnya. "Aku tahu Eve selalu punya
masalah dengan uang. Tetapi apakah polisi memeriksa rumahnya?
Atau locker-nya?" "Kurasa Ian tidak memberitahu siapa pun bahwa Eve
mengambil uang itu. Kecuali kepadaku. Dan kaulah satu-satunya yang
kuberi tahu." "Mungkin kita harus menjaganya tetap demikian," kata Faith.
"Yeah." Janie mengangguk.
Faith menggelengkan kepala. "Tidak masuk akal. Eve tidak
pernah terlibat dalam masalah apa pun selama hidupnya."
"Aku tahu," Janie menggumam, merasakan dorongan untuk
menangis lagi. "Maksudku, kita kan sahabat terbaiknya," Faith meneruskan
dengan bersemangat. "Seandainya ia berpikir akan mencuri uang pesta
dansa itu, kita tentu akan tahu. Cepat atau lambat. Tidak mungkin ia
menyembunyikan sesuatu seperti itu dari kita."
"Ian berpendapat Ross membunuh Eve untuk uang pesta dansa
itu," kata Janie, menatap ke luar dinding kaca.
"Huh! Itu mengerikan! Keterlaluan!" seru Faith, benar-benar
terguncang. Ia menatap Janie. "Pendapatmu sendiri bagaimana?"
"Aku?aku tidak tahu harus bagaimana," Janie terbata-bata.
"Mengenai apa?" suara seorang pemuda menyela.
Janie mengangkat mata dan melihat Ross berdiri di sisinya.
Tanpa menunggu diundang, Ross duduk di samping Janie.
Lengan jaket kulitnya menggesek Janie. Ia beringsut mendekat ke
dinding. Ketika melirik ke seberang meja, Janie melihat Faith kurang
pandai menyembunyikan perasaannya. Ia menatap Ross dengan
pandangan menuduh, parasnya tegang karena marah.
"Apa kabar kalian berdua?" tanya Ross pelan.
"Tidak terlalu bagus," kata Faith dingin.
Keheningan kembali mencekam meja itu. Janie sulit
memusatkan perhatian pada Ross. Faith terang-terangan menatap Ross
dengan tatapan menghina. Janie berusaha memikirkan sesuatu untuk diucapkan.
Situasi ini begitu canggung, memalukan.
Ross mengetuk permukaan meja dengan garpu plastik.
Tolong?siapa saja, katakan sesuatu! pikir Janie. Keheningan
itu serasa mencekiknya. Namun apa yang bisa diucapkan kepada pemuda yang mungkin
telah membunuh sahabat terbaikmu?
Akhirnya Ross memecahkan keheningan. Ia mencondongkan
tubuh di atas meja, matanya berapi-api menatap Faith.
"Mungkin berikutnya kau yang akan kubunuh."
Bab 14 FAITH nyaris tak bisa bernapas.
Ekspresi Ross mengeras. Ia tetap mencondongkan tubuh di atas
meja. "Itu yang ada dalam pikiranmu, bukan?" ia menuduh Faith.
"Kaupikir aku membunuh Eve. Kau sungguh-sungguh berpikir aku
seorang pembunuh, bukan? Semacam pembunuh gila!"
"Tidak, kami tidak...," Janie mulai bicara.
Faith mencengkeram tepi meja dengan kedua tangan, matanya
yang biru membelalak lebar ketakutan. "Bagaimana pendapat polisi?"
tanyanya dingin pada Ross.
"Mereka percaya padaku!" teriak Ross. "Tapi aku tahu apa yang
kalian pikirkan! Hei, aku tidak punya alasan untuk membunuh sahabat
kalian. Tidak ada alasan sama sekali!"
Teriakannya makin keras. Beberapa pengunjung menoleh.
Seorang pelayan berhenti di gang, memandanginya dengan cemas.
"Beri aku satu alasan yang baik!" desak Ross, menatap Faith
dengan pandangan berapi-api. "Satu alasan yang baik mengapa aku
membunuh Eve! Ayo?aku menunggu!"


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau?kau gila!" Faith berseru. "Semua orang memandangi
kita!" "Aku tidak peduli!" jerit Ross, memukulkan kedua tinjunya ke
meja. Ia mengerang putus asa dan hendak beranjak dari kursi.
Janie menarik lengan jaket kulitnya. "Menurutku bukan kau
yang melakukannya," katanya kepada Ross.
Ross menatapnya tak yakin.
"Sungguh," katanya. "Aku dan Faith begitu sedih dan bingung,
Ross. Kami tidak tahu...."
"Hei?itu Paul dan Ian," Faith menyela, melambaikan tangan
kepada mereka dari balik kaca. "Aku harus pergi." Ia cepat-cepat
menyingkir dari meja, tak sedikit pun berusaha menutupi
keinginannya untuk pergi. "Kau ikut, Janie?"
"Uh... sebentar lagi," sahut Janie, matanya tertuju pada Ross.
"Kau harus percaya padaku," Ross memohon, memegang
tangan Janie. Janie tertegun mendapati tangan Ross ternyata lebih
dingin daripada tangannya sendiri. "Aku tidak membunuh Eve. Aku
tidak punya alasan untuk membunuh Eve. Kau percaya? Kau percaya,
bukan?" "Ya," jawab Janie cepat.
Tetapi ia sadar ia tidak tahu apa yang ia percayai. Telah terjadi
sesuatu yang mengerikan. Dan ia merasa dirinya hancur, jadi sejuta
keping, seperti potongan-potongan puzzle. Kepingan-kepingan itu
campur aduk. Dan beberapa di antaranya hilang.
Mengapa ia berpikir tentang puzzle? Mengapa pikirannya
begitu gila, begitu kacau-balau?
Apa yang ia tahu mengenai Ross? Apa?
"Ross, mengapa kau pergi dengan Eve?" katanya tanpa berpikir
lagi. Ross menyipitkan mata kebingungan. "Tidakkah dia
mengatakannya kepadamu?"
"Huh? Mengatakan apa?"
"Tidakkah Eve mengatakannya kepada mu?" Ross mengulangi.
"Aku pergi de ngannya karena uang itu."
Bab 15 JANIE tercengang. "Uang itu?" ia berseru. "Maksudmu?uang
pesta dansa itu?" Ross tampak bingung. "Bukan. Aku..."
Seorang pelayan menyela, "Ada masalah dengan pizanya?" Ia
menunjuk pada piza yang masih utuh dan mulai dingin di atas piring
logam. "Tidak. Tidak apa-apa," jawab Janie, pikirannya berputar-putar.
"Kami sedang... bercakap-cakap."
Pelayan itu mengernyit dan berlalu seraya menggosokkan
tangan pada celemek putihnya.
"Aku keluar dengan Eve karena uang taruhan itu," kata Ross.
"Kau, Faith, dan Eve bertaruh, bukan?"
"Oh, benar," kata Janie, wajahnya terasa panas. "Uang itu." Ia
menelan dengan susah payah. "Bagaimana kau tahu?"
"Eve cerita padaku," jawab Ross. "Tentang taruhan itu. Dia
bilang dia sangat ingin memenangkan uang itu, kalau dia menang
uangnya bisa dibagi dua. Aku sih oke saja. Kami merasa lucu waktu
itu." "Oh," jawab Janie lemas.
Lucu, pikirnya. Tetapi sekarang Eve mati.
Tenggelam dalam pikiran-pikiran sedih, ia tiba-tiba menyadari
Ross belum selesai bicara. "Aku tidak percaya ini terjadi," katanya,
"terutama setelah yang terjadi di New Brighton."
"Apa?" tanya Janie, mengusir lamunannya.
"Tidak apa-apa," jawab Ross pahit.
"Apa yang telah terjadi di New Brighton?" ia mendesak.
"Bukan apa-apa," tukas Ross. "Aku hanya sedang menimbangnimbang."
************* Faith, Ian, dan Paul menunggunya di koridor mall itu. Faith
menatap tak setuju pada Janie.
"Gimana? Betul dia membunuhnya?" tanya Paul.
Janie menggeram marah. "Tega sekali kau membicarakan hal
ini dengan begitu... begitu santai?"
Paul angkat bahu, lalu dengan sebelah tangan ia menyisir
rambut pirangnya yang tebal. "Maaf, Janie. Aku tidak bermaksud apaapa. Aku cuma terkejut kau duduk bersamanya."
"Apa yang Ross katakan kepada polisi?" tanya Ian, suaranya
melengking. "Mengapa mereka membebaskannya?"
"Kami tidak bicara tentang hal itu," jawab Janie kaku.
"Kalau aku lebih baik menyingkir darinya," kata Paul seraya
mengancingkan jaket Shadyside merah-kelabu miliknya. "Dia
pembuat onar. Sungguh."
"Kau tidak tahu apa-apa, Paul," kata Janie tajam. "Berhentilah
berlagak sok jagoan dan sok bijaksana."
Muka Paul merah padam. "Mengapa kau membelanya?" desak Ian. "Dia membunuh Eve.
Kita semua tahu itu. Aku tak peduli apa yang dia ceritakan kepada
polisi. Kita semua tahu dia membawa Eve ke hutan dan
membunuhnya. Jadi mengapa kau membelanya, Janie?"
"Aku mau pulang," kata Janie. "Tak ada gunanya berdiri di sini
membicarakannya." "Yeah. Mari kita pergi," kata Faith muram. Ia menggandeng
lengan Paul. "Mau ikut?" tanya Paul kepada Janie.
"Tidak. Aku bawa mobil," katanya, merogoh kunci di dalam
saku jaketnya. "Hei, Paul... kau sudah mendapatkan kembali
mobilmu?" Paul mengangguk. "Kudengar kau butuh persneling baru," kata Janie.
"Aku sudah mendapatkannya," kata Paul.
"Dari mana uangnya?" tanya Ian.
Paul menyeringai. "Apa yang bisa kuceritakan kepadamu?
Hadiah ulang tahun lebih awal dari seorang pengagum rahasia." Ia dan
Faith terus berjalan. Janie tetap berdiri di tempatnya, pikirannya bekerja keras.
Dari mana Paul mendapatkan uang itu? ia bertanya dalam hati.
Apakah Faith menyerah dan memberinya uang? Faith sudah
bersumpah takkan bermurah hati lagi.
Jadi, dari mana Paul mendapatkan uang itu?
*************** Senin malam, sesudah makan malam, Janie terperanjat
mendapati Ross di pintu depan rumahnya. "Ross?ada apa?" ia
berseru, menatap wajahnya yang cemas.
"PR bahasa Prancis-ku," katanya sambil mengernyit. "Aku
sama sekali tidak bisa mengerjakannya. Kudengar kau pintar bahasa
Prancis. Kupikir kau mungkin bisa membantuku, mengajarku malam
ini." "Well, baiklah," jawab Janie. Ia mengajak Ross ke ruang baca.
Sungguh aneh, pikirnya, begitu saja muncul di rumah orang.
Sama sekali tidak merasa malu.
Tapi Janie sadar ia justru senang dengan kedatangan Ross.
Ia menyukai aku, pikirnya.
Ia merasa punggungnya dingin. Seandainya saja aku bisa
melenyapkan keraguanku terhadap dirinya. Seandainya saja aku bisa
memastikan Ross mengatakan yang sebenarnya mengenai Eve.
Janie sadar ia sangat tertarik pada Ross, meski ada keraguan
dalam dirinya. Mereka duduk berdampingan di sofa, bersama-sama belajar
bahasa Prancis. Sekitar satu jam kemudian, Ross menutup bukunya. "Nah, aku
tahu sekarang, kau memang guru yang hebat."
Ia menyentuh lembut bahu Janie, lalu menggenggam tangannya.
"Sekarang ayo kita pergi cari makanan. Aku kelaparan," katanya
lembut. "Oh, Ross, aku tidak bisa. Besok kan hari sekolah, aku tidak
bisa keluar malam-malam."
"Tentu saja bisa. Sekarang baru pukul delapan seperempat. Aku
janji akan mengantarmu pulang pukul sepuluh. Jadi," katanya, seolah
Janie sudah setuju, "ke mana kita pergi?"
Janie tidak mau ambil risiko bertemu Faith atau Paul atau Ian.
Mereka pasti kesal kalau melihatnya pergi bersama Ross. Jadi ia
mengusulkan sebuah kedai kopi kecil di Old Village.
"Tempat itu bersih. Dan murah," katanya pada Ross. Ia
bergegas ke kamar untuk mengambil jaket.
Janie membuka lemarinya, mencari-cari sesuatu untuk
mencerahkan penampilan celana jeans dan T-shirt lengan panjangnya.
Ia menemukan ikat pinggang kulit dengan gesper kuningan besar dan
melilitkannya di pinggang.
Ia masih perlu warna cerah. Ia kembali mencari-cari dalam
lemari. Di mana sih blazer biru itu?
Ia terenyak ketika ingat. Ia meminjamkannya kepada Eve. Eve
terbunuh dengan mengenakan blazer itu.
Janie menjatuhkan diri di tepi ranjang, tiba-tiba diselimuti
perasaan bersalah. Pantaskah aku pergi keluar dengan Ross segera
sesudah kematian Eve? Ia menarik napas dalam untuk menepiskan perasaan itu.
Kemudian ia kembali ke lemari pakaiannya dan mengambil syal biru
cerah untuk dililitkan di leher. Masih memikirkan Eve, ia turun ke
ruang duduk. Ross duduk di sana, menatap kosong ke dinding. Tampaknya ia
tidak melihat Janie masuk.
Apa yang tengah dipikirkannya? tanya Janie dalam hati.
Ia mengawasi Ross sesaat. Kemudian ia menyela lamunan
cowok itu, "Oke... kita pergi sekarang?"
Ross berdiri dan memakai jaket kulitnya. Dengan tangan ia
memberi tanda ke pintu. "Silakan."
************* Mereka baru berkendara sekitar satu mil ketika Civic biru Ross
terbatuk-batuk, mengeluarkan bunyi aneh, dan mati.
"Ada apa?" tanya Janie melengking. Ia menengok keluar dari
balik jendela. Ia hanya bisa melihat hutan yang gelap gulita. Tak ada
rumah, tak ada toko, tak ada lampu jalan.
Mereka meluncur ke pinggir jalan dan berhenti.
Ross mengetuk indikator bensin dengan jarinya, dan jarum
penunjuknya, yang semula tegak lurus, merosot turun sampai ke huruf
E. "Kehabisan bensin," Ross mengeluh.
Ia berpaling pada Janie, mata hitamnya berbinar-binar.
Janie sadar mata itu membara oleh gairah.
Ia merapat mundur ke pintu mobil.
Tidak, pikirnya. Tidak. Ini tidak mungkin terjadi.
Faith, Paul, dan Ian sudah memperingatkan aku. Mereka
memperingatkan aku agar jangan pergi dengan Ross.
Perasaan panik menyelimuti dirinya, sekujur tubuhnya terasa
dingin. Disadarinya mereka berada di tempat terpencil.
Tak ada seorang pun yang akan menolongnya.
Tak seorang pun. Bab 16 "MAAFKAN aku," kata Ross pelan, matanya menatap Janie.
Wajahnya, tersembunyi dalam bayang-bayang, mendekat. "Maaf,
Janie." Apa maksudnya? tanya Janie dalam hati, membeku ketakutan.
Api Di Bukit Menoreh 18 Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Hong Lui Bun 1
^