Pencarian

Hong Lui Bun 1

Hong Lui Bun Karya Khu Lung Bagian 1


" Karya : Khu Lung Saduran : Gan KH
Ebook oleh : Dewi KZ BERGUMPAL-GUMPAL mega putih berarak diangkasa, Angin
menghembus sepoi, cuaca cerah hawa sejuk, menjelang bulan
enam, tapi masih terasa nyaman dan tentram.
Lembah gunung nan besar dan luas serasa kosong
melompong, tiada terdengar suara apapun, entah itu kicau
burung atau suara binatang, mungkin alam semesta dengan
sekejap penghuninya tengah terbuai lelap di siang hari nan
sejuk semilir ini. Sepucuk pohon waru besar bertengger di atas bukit tandus,
tak jauh dari bukit rendah ini terdapat sebuah bangunan
gedung yang dipagari bambu dengan halaman yang luas, di
depan gedung berdiri dua batu raksasa di kiri kanan, tak jauh
di belakang batu kiri terdapat sebuah empang. Airnya yang
jernih, tampak ikan-ikan emas tengah berenang santai, hidup
aman dan tentram. Daun-daun kuning melayang
mengambang di permukaan air, menimbulkan riak lembut.
"Duk, duk, duk," langkah yang berat berkumandang datang
dari belakang sebuah pohon, muncul satu orang dengan
langkah sempoyongan, jelas bahwa orang ini teriuka parah.
Badannya berlepotan darah, darah masih meleleh di ujung
mulut, kaki tangan, kepala dan pundak, darah masih
merembes. Kedua tangan yang sudah berlepotan darah
mendekap dada, darah masih terus mengucur keluar, raut
mukanya berkerut- kerut menahan sakit, bibirnya gemetar,
setiba di bawah pohon, agaknya sudah kehabisan
mengerahkan tenaga, dengan napas ngos-ngosan dia tak
tahan lagi berdiri, beberapa langkah sempoyongan lagi dia
menggelendot di dahan pohon, sesaat dia berusaha
menenteramkan hati, mengatur napas.
Langkah cepat dan ringan kembali mendatangi. Laki-laki
yang terluka menggelendot pohon tersirap kaget, alis yang
bertaut menahan sakit bertaut lebih kencang pula, mendadak
dia membuka mata, sorot mata yang sudah loyo mendadak
memancarkan bara penuh dendam dan penasaran-
"Bangsat, lari kemana kau." Ditengah hardikan bengis,
seorang pemuda tampak memburu tiba, seperti juga orang
pertama badannyapun penuh luka - luka, darah berlepotan di
sekujur badan, tapi gerak gerik nya lebih cekatan, jelas luka
lukanya jauh lebih ringan-
Tampak pemuda ini menegakkan alis, mata mendelik
bundar, mukanya diliputi amarah memburu kemuka pohon,
bentaknya sambil menunding, "Suma Liang. Kalau kau
seorang laki-laki, jangan lari, rasakan pukulanku lagi."
Suma liang yang mengelendot di pohon tampak berkeriut
kulit daging mukanya, sekali tampak menggigil, tapi segera dia
angkat alisnya serta berseru dengan suara serak: "Liok Hoat-
Liong Kau...jangan kau terlalu menghina."
Jelas mereka sudah bertarung lama dan sengit sampai
terluka dan kehabisan tenaga tapi Suma Liang jauh lebih
payah dari lawannya. Liok Hoat-liong pemuda yang memburu datang segera
mengayun tangan, ditengah hardikannya, segulung angin
kencang menerjang dari telapak tangannya.
Bergetar sekujur badan Suma Liang, sambil pejam mata,
kertak gigi, mulut menggeram diapun angkat kedua tangan
sekuatnya menyongsong terjangan angin pukulan-
"Pyar." Begitu pukulan beradu Liok Hoat-liong tertolak
mundur tiga langkah, rona mukanya berobah hebat. Pohon
besar itu pun bergetar menimbulkan rontokan daun-daun
kuning dan hijau, suma Liang yang menggelendot pohon
nampak menggigil, mulutnya gemetar, suaranya tersendat:
"Liok... kau... "
Mendadak mulutnya ter buka, darah segar tumpah
sebanyak banyak nya. "Liong-ko, jangan kau..."
Kali ini langkah lembut enteng tapi gugup berlari
mendatangi, lekas sekali muncul seorang nyonya muda
dengan langkah ringan mendatangi. Wajahnya mandi
keringat, kuatir dan cemas, dengan langkah memburu dia
berlari datang, sekilas dia melirik ke arah suma Liang yang
memejam mata, lalu berteriak gugup dan kuatir: "Hong- liong
kau... tak boleh kau demikian..."
Liok Hoat-liong berpaling dengan muka berobah, desisnya
menggertak gigi: "Perempuan jalang, enyah." Mendadak
telapak tangannya terayun, muka perempuan ini digamparnya.
"Wow, Hoat-liong... "Pekik perempuan itu tergentak dua
langkah lalu jatuh duduk di tanah, setelah memekik sekali dia
mendekam di tanah serta menangis gerung-gerung.
Wajah Liok Hoat- Liong berkerut, gelap mengejang, alisnya
makin tegak, pelan-pelan dia menarik napas panjang sambil
memejam mata, tapi mendadak dia angkat kepala serta
membentak: "suma Liang, lari ke mana kau ?" Ditengah
bentakannya dia melompat seraya mengerahkan kedua
tangan. Suma Liang baru membalik badan, segera dia berpaling
membentak dengan marah, "Orang she Liok... jangan
menghina..." Padahal angin kencang sudah menerpa mata,
lekas dia angkat sebelah tangannya menangkis dengan sekuat
tenaga "Blang.." kembali terjadi ledakan dahsyat suma Liang
tersungkur jauh beberapa langkah, kembali darah menyembur
dari mulutnya. Wajah Liok Hoat-liong juga teramat buruk, "Huaaaah."
Diapun tumpah darah. "Hoat-liong... kau. salah paham."
Teriakan yang menyayat hati berkumandang pula, ini malah
menambah amarahnya berkobar. Dengan sengit dia
menggertak gigi memuntahkan darah pula lalu mendesis
benci: "Perempuan jalang."
Tiba-tiba dia membentak pula: "suma Liang. Jangan lari,
biar aku adu jiwa dengan kau"
Mata suma Liang terpejam, kedua tangan mendekap dada,
langkahnya sempoyongan, seperti tidak mendengar suara
orang. Kembali Liok Hoat-liong membentak:
"suma Liang, sambut pukulanku" setiap kali dia
menggerakkan tangan pasti menimbulkan deru angin
kencang, demikian pula kali ini, suma Liang digempur dengan
pukulan jarak jauh. Sekuatnya suma Liang kendalikan tubuh sendiri supaya
tidak roboh, sorot matanya berapi-api, entah marah penasaran
juga terbayang rasa ngeri. sambil menggeram dia menunduk
kepala, agaknya menahan sakit, tapi cepat sekali dia sudah
angkat kepala pula, darah meleleh pula diujung mulutnya
wajahnya menampilkan kekecewaan, rasa ngeri disorot
matanya juga makin tebal.
"Hahhhh..." suara rintihan keluar dari mulutnya, matanya
yang redup terbeliak mengawasi Liok Hoat-bong, tubuhnya
terus menyurut mundur, darah meleleh makin banyak
menetes kedadanya membasahi pakaiannya.
"Wow..." Pekik nyaring seorang perempuan terbaur dengan
deheman rendah. Mata suma Liang membelalak makin besar, tapi hanya
sekejap saja. karena dibelakangnya adalah jurang yang tak
terlihat dasarnya, sementara tubuhnya melayang jungkir balik
seperti layang-layang putus benangnya...
Memandang kebawah. jurang yang tak kelihatan dasarnya,
Liok Hoat Liong berdiri kaku, pandangannya kabur, pelanpelan
baru dia angkat kepalanya, pandangannya nanar
mengawasi mega diangkasa, sikapnya kelihatan sedih dan
pilu, heran dan kaget, tapi juga seperti menyesal.
"Hoat-liong... kau salah..." Isak tangis terdengar
dibelakangnya. Pelan-pelan Liok Hoat liong membalik tubuh, lama dia
menatap isterinya yang masih sesenggukkan. "Aku... betulkah
aku salah... Hwi-lan..." Kulit mukanya mengejang, mulut
menggumam, matanya lengang, dari balik mega dia seperti
ingin memperoleh suatu bayangan, bahwa kejadian ini
memang suata kesalah pahaman belaka, tapi...
"Hahahaha... hahaha..." Mendadak syarafnya seperti tidak
waras lagi dengan beringas dia tertawa gelak-gelak. suaranya
bergema dialas pegunungan, melayang jauh kedasar lembah,
menembus mega "Hahahaha hahahahuha, "air mata tak terasa meleleh juga
dari pelupuk matanya, kulit mukanya masih terus berkerut
mengejang. "Liong- ko ....kau..." perempuan cantik itu berteriak kaget
dan melongo, sesaat bibirnya bergetar lalu berkata pula
dengan suara gemetar: "Hoat-liong, kau... anak kita..."
dengan gugup dia berteriak. karena ditengah gelak tawa
suaminya bergerak hendak tinggal pergi.
"Huuuuuuuaaaaaaaah haahahaha... hihihihihihihi..." sebuah
loroh tawa lain yang bernada tinggi tiba-tiba berkumandang
dibalik pohon sana, daun pohon sama rontok oleh getaran
gelak tawa yang keras. Berubah air muka Liok Hoat-liong, matanya terbeliak
bundar, bola matanya yang masih berlinang air mata tampak
ngeri ketakutan, mulutnya mengernyit, bibirnya gemetar.
Ditengah kumandang loroh tawa itu segumpal mega merah
melayang turun dari angkasa, "siuuuut..." menimbulkan
pusaran angin lesus. "Ha..." jerit panjang yang mengerikan berpadu dengan
loroh tawa itu. tampak tubuh Liok Hoat - liong terpental
terbang seperti bola tertendang melayang keatas dan "Duk."
Menumbuk pohon waru. Batok kepalanya pecah berhamburan,
kaki tanganpun protol dan tercecer, darah meleleh dari atas
dahan pohon membasahi tanah di sekitarnya. "Aduh, Liong -
ko.." perempuan itu memekik ngeri seraya berlari menubruk.
Mega merah berkelebat pula, disusul jeritan melengking
menggetar bumi. Perempuan cantik itu menjerit sambil
sempoyongan jatuh beberapa kali, sekujur badan berlepotan
darah, ternyata lengan kirinya sudah protol entah kemana.
"Hahaha..." mega merah berkelebat pula, tahu tahu
muncullah seorang tua berjubah merah rambutnya diikat lalu
dijepit oleh gulungan emas yang melingkar diatas kepalanya,
sisa rambutnya yang panjang terurai di belakang kepalanya.
Tampak tangannya memegang sebuah tangan yang
berlepotan darah, menyeringai memperlihatkan taring giginya,
ditengah loroh tawanya, tampak darah menetes dari kutungan
lengan yang dipegangnya...
"Hm," orang tua jubah merah menggeram, "Siapa berani
mencari permusuhan dengan Hwe hun- bun, mana boleh
diberi ampun. Hahahaha..." mega merah berkelebat pula,
melayang jauh, loroh tawa itupun makinjauh dan akhirnya tak
terdengar lagi. -00000d0w00000- Musim dingin berlalu- musim semipun menjelang. Rumput
kering mulai berseri, dahan -dahan pohon yang gundul mulai
tumbuh daun- daun hijau. salju sudah mencair, burung -
burung mulai berkicau riang menyambut datangnya musim
semi. Air sungai itu mengalir kearah timur, diatas batu hijau yang
terletak dipinggir sungai duduk seorang pemuda, kepalanya
tertunduk. sedang asyik membaca buku filsafat. Begitu asyik
dia membaca hingga tidak terasa mega putih yang semula
diatas kepalanya sudah melayang jauh diufuk timur, baru
pelan- pelan dia berhenti membaca dan menutup bukunya.
Pelan -pelan dia angkat kepalanya, mengawasi langit yang
membiru nan tak berujung pangkal.
Wajahnya persegi, bermata jeli, hidung mancung, alisnya
tegak bibirnya sedikit tebal, wajah nan gagah dan cakap. tapi
kenapa sorot matanya begitu lesu seperti dirundung rawan
dan kesengsaraan. Pelan-pelan pandangannya menurun
memandang rombongan kambing yang sedang makan rumput
sana, sorot matanya yang lesu tampak lebih pilu.
"Clup...." seekor ikan mencelat ke permukaan air,
mengejutkan lamunannya, dipandangnya air jernih yang
mengalir ketimur ini, tekanan batinnya seperti terasa agak
ringan. Sesaat lagi dia ulur tangannya keleher, mengeluarkan
sebentuk mainan kalung dari dalam bajunya, itulah mainan
batu jade yang berbentuk hati, Batu jade ini berwarna putih
mulus bersemu kehijauan, bila diperhatikan, didalam batu jade
itu seperti terdapat garis -garis merah yang meliuk liuk
bentuknya mirip seekor naga yang mengembangkan cakar.
Pemuda itu menghirup napas, lalu menggumam seorang
diri: "Anak kambing juga punya orang tua, kenapa aku tidak"
Kemanakah ayah bundaku" Apakah mereka membuang diriku"
oh Ayah ibu, dimana kalian..." tanpa terasa air mata berkacakaca,
tapi dia tahan - tahan supaya tidak meleleh, "Ji-cengcu
bilang, dengan mainan kalung ini aku bisa mencari ayah
bundaku, tapi kenapa sejak dia pergi sampai sekarang belum
juga kunjung pulang... "
Dia menunduk mengawasi batu putih di tangannya, dibolak
balik namun dia tidak habis mengerti apa arti dari gambar
yang tertera dibalik batu putih ini, itulah sebuah lukisan
sederhana, seperti sebuah gambar lukisan pemandangan, ada
gunung dan sungai, dua puncak menjulang jajar yang
mengapit sebuah air terjun, didepan air terjun terdapat tiga
gubuk jerami... akhirnya dia menghela napas, serta angkat
kepala. Pemuda ini tidak tahu siapa she dan namanya, tapi
kebiasaan dia dipanggil Ping-ji, entah sejak kapan seorang
cengcu yang baik hati menerima dan mengasuhnya di Kui-hun
ceng. Belum pernah dia melihat Toa- cengcu, tapi dari mulut
orang lain dia tahu bahwa Toa cengcu meninggal dunia dalam
suatu pertempuran ji- cengcu adalan laki - laki yang berhati
baik, welas asih dan kasih sayang kepadanya, dirinya yang
sebatangkara ini dipandangnya seperti anak kandung sendiri,
tapi Ji- cengcu tidak pernah menikah.
Masih segar dalam ingatannya pada suatu malam dimusim
dingin, dia bersama Ji-cengcu, bersama keponakan Ji- cengcu,
siau-hong sedang duduk mengerumuni api unggun dalam
rumah, dikala mereka berkelakar dan ber-bincang bincang
riang gembira, mendadak datang seorang pemuda..
Didalam kamar buku pemuda ini bicara panjang lebar dan
lama, malam itu juga kelihatan perobahan sikap dan mimik
muka Ji- cengcu, seperti dirundung malang atau menguatirkan


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu, selama dia bisa berpikir, seingatnya belum pernah Jicengcu
bersikap demikian. Menjelang tengah malam Ji-cengcu memanggilnya, secara
tergesa-gesa dia memberi pesan beberapa patah kata, di saat
hujan salju lebat dia terus pergi entah kemana .
Tiga tahun telah berlalu, selama iniJi cengcu tidak pernah
pulang, juga tidak pernah mendapat kabar beritanya, bukan
sekali dia tanya kepada pemuda itu, tapi selalu dirinya dicaci
maki. "Kenapa sikapnya begitu kasar" Bukankah sebelum pergi Jicengcu
berpesan kepadanya supaya bersikap baik
terhadapku?" demikian pikir si pemuda.
sejak Ji-cengcu pergi, maka pemuda itupun menetap di Kuihun-
ceng, karena Ji-cengcu juga berpesan, supaya dia
mengurus dan mengepalai perkampungan ini, maka sejak itu
dialah yang berkuasa dan menjadi siau-cengcu. Dia mengaku
sebagai murid Ji-cengcu, Ti Thian-bin yang terkenal
dikalangan kangow dengan julukan Hun-bin, kiam-khek.
"Selama ini dia terlalu meremehkan menghina dan
menyakiti aku, kenapa dia memecat guru sekolah, melarang
aku belajar nulis dan membaca, melarang siau-hong bermain
dengan aku kenapa?" Teringat siau-hong seketika wajahnya cerah, tahu - tahu
dia tertawa riang, seolah-olah air mengalir jernih didepannya
berobah menjadi sepasang bola mata Siau-hong, bola mata
besar dan bundar tengah berkedip mengawasi dirinya.
Dia memang harus dikasihani, sejak kecil dia sudah
ditinggal mati Toa- cengcu, Ji-cengcu juga terlalu memanjakan
dia seperti seorang ratu layaknya. Meski nakal tapi dia amat
penurut..." entah mengapa dia cekikikan geli sendiri,
mendadak sepasang benda lunak dan halus menutup
sepasang matanya, semula dia berjingkat kaget tapi begitu dia
pegang segera dia tertawa lebar katanya: "He dari mana
datangnya kera liar senakal ini, awas ya, nanti kubekuk dan
kuhajar pantatnya." Sengaja dia menggoda, maka terdengar lah cekikikan tawa
bingar, maka benda yang menutupi matanyapun terlepas.
"Ping-koko, kau jahat aku emoh dolan dengan kau"
Lekas Ping-ji berpaling, dibelakangnya berdiri seorang gadis
berusia empat belasan, berpakaian gaun panjang warna
kuning angsa, wajahnya nan jelita bersemu merah, sungguh
semekar kembang anggrek. Bola matanya yang jeli berkedip.
wajahnya berseri tawa, sambil menunduk malu dia main -
main dengan sepasang kuncir rambutnya yang menjuntai
didepan dadanya. "Ow, Siau-hong, sungguh mampus. Aku tidak tahu kalau
kau. Maaf ya, biarlah aku minta maaf kepadamu," Sembari
bicara dia merangkap tangan serta membungkuk tubuh. "He,
indah benar kembang - kembang ini, wangi semerbak, apa
boleh berikan kepada aku."
Ternyata gadis jelita ini membawa keranjang kembang
yang berisi berbagai jenis bunga mekar. "Lha, kau menggoda
lagi, biarlah aku tidak mau bermain dengan kau." Demikian
omel gadis cilik sambil membanting kaki, keranjang diangkat
putar tubuh terus lari. Karuan Ping-ji gugup, lekas dia mengudak seraya berkaokkaok:
"Siau-hong, Siauhong, jangan lari, aku hanya berkelakar
saja." cemberut mulut Siau-hong, sambil menunduk dia
meluruskan kepala tanpa bersuara. Akhirnya dia menggerutu:
"Kau memang jahat, biar nanti kulaporkan kepada Bwe-nio."
"Alah Siau-hong, sudah jangan marah, mari kuceritakan
suatu lelucon. Sudahlah jangan marah lagi."
Walau masih geleng kepala, tapi wajahnya masih kelihatan
bahwa dia hanya pura-pura marah saja. Maka Ping-ji tertawa
senang, Siau-hong digandengnya kepinggir kali lalu duduk
berendeng. "Siapa bilang mau mendengar Ceritamu." Kata Siau-hong
setelah duduk, lekas dia menutup kuping serta memejam
mata. "Dahulu..." dengan tersenyum Ping-ji mulai Ceritanya,
batuk-batuk dua kali lalu melanjutkan, "ada seorang kakek.
bernama Lo-lay-cu, usianya sudah lanjut, tapi ia amat berbakti
terhadap orang tua, waktu itu sepasang orang tuanya yang
masih hidup sehat... pada suatu hari, entah mengapa
mendadak kedua orang tuanya tidak gembira, sudah tentu Lolay-
cu amat gugup... maka dia mencari akal, dicarinya
sepasang perangkat pakaian anak-anak, jenggot-nya terima
dicukur kelimis, sambil memikul dua gantang air hendak
membuat lelucon dihadapan orang tuanya..."
"Eeh, kenapa tidak kau lanjutkan cerita mu?"
Entah sejak kapan siau-hong sudah menurunkan kedua
tangannya, asyik mendengarkan ceritanya, tiba-tiba dilihatnya
dia berhenti bercerita, maka dia menoleh dengan pandangan
heran. Dilihatnya Ping-ji menengadah, menatap mega yang
mengambang di angkasa, air mata berkaca- kaca dipelupuk
matanya. Dengan mendelong siau-hong ikut memandang
keatas, tiba-tiba dia menjerit kaget: "Ping koko lekas pulang.
Jelas mau hujan." Dengan kaget Ping-ji berjingkrak seraya menenangkan hati,
waktu dia mendongak, di lihatnya mega semakin mendung,
cuaca makin gelap. sebentar lagi akan jatuh hujan. Lekas dia
melompat berdiri serta menarik siau-hong diajak lari kencang.
Belum jauh mereka lari halilintar dan geluduk menggelegar
hanya sekejap hujanpun seperti ditumpah dari atas langit,
membasahi bumi, merekapun menjadi kuyup, namun mereka
terus lari kencang, akhirnya berhenti di bawah sebuah pohon
besar.. Ping-ji mengawasi siau-hong, dilihatnya orang sedang
keluarkan sapu tangan membersihkan air hujan dikepala dan
dimukanya, napasnya masih sengal-sengal, pakaiannya sudah
basah kuyup, Lalu diapun memeriksa diri sendiri, akhirnya dia
tertawa menyengir sendiri, karena diapun sudah basah kuyup,
Hujan datangnya cepat, perginya juga cepat, hujan lebat
sudah reda menjadi hujan gerimis. Lekas Ping-ji tarik siauhong
dan berlari-lari pula menuju kegundukan tanah tinggi,
tampak tak jauh didepan terdapat sebuah perkampungan.
Dikeremangan hujan gerimis, pagar tembok yang tinggi
berwarna putih tampak menyolok. lekas sekali mereka sudah
tiba didepan perkampungan.
Diatas jembatan gantung berdiri banyak orang, diantara
para Centing yang mengiringi, tampak seorang pemuda
berwajah agak kurus berdiri paling depan, wajahnya halus
dagunya lancip. tampangnya boleh dikata amat ganteng, tapi
sepasang bola matanya jelalatan, sehingga orang akan
mengambil kesan bahwa pemuda ini bersifat bajul dan licin,
dia bukan lain adalah Ti Thian-bin.
Melihat siau-hong, Ti Thian-bin segera menyongsong maju
dengan tawa lebar, munduk-munduk dia berkata: "Haya Hong
moay, Kemana sih kau, kenapa tidak bilang kepadaku- Rumah
sedemikian besar kau justru suka dolan diluar. Coba
pakaianmu basah bagaimana kalau demam ?" lalu dia
berpaling dan membentak: "Hayo tugas siapa, lekas bantu
siocia kebelakang," Lalu berkata pula dengan siau-hong sambil
menyengir tawa munafik, "Hong- moay, lekas masuk tukar
pakaian." Seorang nenek berdandan bu inang bergegas lari keluar
membawa handuk mengeringkan rambut siau-hong yang
basah, dengan prihatin dia mengomel, "Kau memang nakal
nak, tidak mau dengar nasehat ku. Kemana sih kau, sampai
basah kuyup begini, jikalau demam, bagaimana aku harus
bertanggung jawab kepada pamanmu. Hayo-lah lekas masuk."
"Bwe-nio, aku hanya dolan dipinggir sungai bersama Pingkoko
kok." Dengan lincah siau-hong melepas kuncirnya lalu
berkata riang dan aleman: "Ping-koko, selamat bertemu."
Diiringi orang banyak segera dia lari mendahuli lari kedalam.
Sejenak Ti Thian-bin mengantar bayangan mereka pergi,
wajahnya yang semula berseri tiba-tiba berobah menyeringai,
begitu dia membalik badan "plak" kontan dia memberi persen
kemuka Ping-ji dengan gamparan keras. Lima jari merah
seketika membekas dipipi Ping-ji. "Hm, setan cilik yang
ingin mampus. Berapakali kuperingatkan kepadamu, tidak
boleh bermain dengan siau-hong, kau tetap bandel. Baiklah,
aku ingin membuktikan apakah kau punya tiga kepala enam
lengan, atau makan empedu harimau, berani menentang
perintahku." sekali renggut dia jambak rambut Ping-ji serta
ayun sebelah tangannya menampar pergi datang, hingga pipi
Ping-ji membengkak merah biru.
"Katakan, katakan. setan keparat, berdasar apa kau berani
menentang perintahku, katakan." sebelum mengakhiri katakatanya
kembali dia menampar dua kali dimuka Ping-ji, karena
rambutnya dijambak kencang Ping-ji tidak mampu bergerak.
darah bercampur liur meleleh membasahi dadanya.
Dengan gusar dia menatap Ti Thian-bin, dilihatnya Ti
Thian-bin seperti dirasuk setan, matanya melotot gusar,
kelihatan betapa kejam, jahat dan buas hatinya.
"Cuh" riak kental disemburkan kemuka Ti Thian-bin. "Bocah
sundel, kau cari mampus. Aku Hun-bin-kiam-khek Ti Thian-bin
kalau tidak mampu merobohkan kau, sia-sia aku hidup
sebesar ini, maknya sundel. Hiiya..." karena ludah kental itu
membasahi muka, Ti Thian-bin makin mencak-mencak gusar,
jarinya segera menyodok kebawah ketiak Ping-ji.
Kontan tubuh Ping-ji bergetar seperti kena stroom, kaki
tangannya seketika meringkel seperti trenggiling.
Saking gusar dan malu tidak segan-segan Ti Thian-bin
turun tangan kejam menutuk dengan Jong-jiu-hoat kepada
bocah lemah yang masih hijau ini, padahal Ping-ji tidak pandai
main silat dan tidak pernah berlatih Iwekang.
Melihat betapa Ping-ji menderita, Ti Thian-bin tertawa
puas. "Keparat, nikmat tidak. Hahaha, mana kegaranganmu
tadi, Ha" Daging dimuka Ping-ji kelihatan mengejang, bibirnya
tergigit kencang. Darah terus merembes dari mulutnya yang
terkancing, agaknya dia mengalami siksa derita yang tidak
terhingga, tapi dia tetap tabah dan sekuatnya menahannya,
tidak mengeluh atau merintih, hanya menggertak gigi eraterat.
biarlah darah yang bercucuran mewakili rasa gusar dan
penasaran. "Hahaha, setan cilik, Hari ini sampai di sini, kuberi ampun
kepadamu, lain kali kepergok lagi kau bermain dengan siauhong,
akan kuhajar dan kusiksa kau lebih payah lagi. Bocah
haram yang tidak punya bapak ibu, berani kau bergaul dengan
nona cantik anak orang gedean. cuh." Melihat bola mata Pingji
terbeliak. napasnya juga tinggal empas empis, kembali Ti
Thian-bin tertawa puas, dengan gemas dia membanting
keatas tanah serta menendangnya sekali lalu mengebas
lengan baju tinggal pergi.
Entah kapan hujanpun telah reda. Tanah becek dijembatan
gantung bercampur dengan darah Ping ji, Ping-ji masih rebah
disana menggelinjeng kesakitan, saking menderita tak
tertahan dia merintih- rintih. Apakah dia merintih karena siksa
derita atas tubuhnya, bukan, jelas bukan. Walaupun kondisi
badannya yang lemah sudah tidak kuat menahan derita ini,
tapi penghinaan yang memukul lahir batinnya,jauh lebih
menyiksa sanubarinya. Maka dia merintih, merintih penuh
siksa derita. Darah, air mata, air keringat dan air hujan mengotori muka
dan badannya, dia tidak membersihkan, dia hanya meluruskan
pandangan, mengawasi langit yang sering berobah dan
mudah berobah. Dilihatnya seekor elang terbang melayang berputar lalu
menuju keselatan. Terbang, setelah melihat burung elang itu,
suatu ilham merasuk sanubarinya, maka bergemalah suatu
semboyan didalam relung hatinya, terbang, ya terbang,
terbang ketempat nan jauh, mencari jalan hidupku sendiri Aku
harus terbang, terbang meninggalkan tempat nan penuh
derita ini, terbang jauh meninggalkan kawanan orang-orang
jahat itu." Demikian sambil kertak gigi Ping-ji bertekad bulat.
"Tapi, bagaimana dengan siau-hong. Dia begitu arif
bijaksana, begitu lincah, jenaka dan nakal lagi. Ah, orangorang
di sini sebetulnya juga baik-baik, hanya keparat Ti
Thian-bin saja yang jahat, tanah perdikan di sini seharusnya
subur semerbak, di sini pernah memendam kenangan indah
masakanak-kanaknya dulu. Aku benci orang jahat, manusia
rendah dan munafik, perbuatan kotor dan martabatnya yang
rendah sungguh telah mengotori tanah perdikan yang bersih
ini." "Pergi, aku harus pergi, entah mencapai ujung langit, aku
harus menemukan Ji-cengcu, akan kulaporkan kepadanya
tentang keadaan di sini, aku akan mencari ayah bundaku,
meski harapannya terlalu kecil...
"Aku akan kembali, pasti pulang kemari aku akan pulang
dengan gagah dan berani, kala itu orang jahat akan
kuberantas, supaya tanah perdikan ini memancar kembali
lebih subur dan wangi... "
Berbagai angan-angan, keputusan dan ketekadan bulat
yang tak terhitung banyaknya emayam dalam relung hatinya,
dia mengayun tinju, merangkak berdiri, tapi gelombang akit
yang luar biasa menjadikan kaki tangannya seperti protol dan
tak bertenaga, rasa sakit itu merayap keseluruh tubuh, bau
anyir darah kembali memenuhi tenggorokan. Namur-dia kertak
gigi, bertahan sekuat tenaga supaya tidak tumpah dan
menegakkan tubuh, dengan langkah sempoyongan dia
meninggalkan tempat itu, dengan langkah lebar...
Sehabis hujan bumi ini menjadi becek. bagian yang lebih
rendah malah tergenang air hujan bercampur lumpur. Lumpur
menciprat tubuhnya, tidak dihiraukan, namun dengan langkah
tertatih-tatih dia terus maju kedepan, tidak menoleh juga tidak
berhenti. Habis hujan terbitlah terang, sejauh mata memandang
udara nan biru cerah cemerlang, mega putih laksana kapas,
melayang diufUk langit. Akhirnya Ping-ji berhenti diatas
sebUah lereng. Dibawah sana rumput tumbuh subur
menghijau, air sungai mengalir lembut kearah timur, dia
menghirup napas segar, semangatnya menyala, entah dari
mana datangnya tenaga segera dia menerjang kebawah.
Diatas batu hijau dipinggir sungai, menggeletak sejilid buku.
Buku yang basah setelah mandi air hujan, tulisannya menjadi
banyak luntur. ujung atasnya juga kotor, dengan rasa sayang
Ping-ji memungut bukunya serta membersihkan kotoran terus


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disimpan kedalam sakunya.
Air sungai nan jernih, mengalir gemericik, pelan-pelan dia
membungkuk tubuh, dengan kedua tangan dia membersihkan
rambut dan kepalanya didalam air, cuci muka dan
membersihkan noda-noda darah diatas tubuhnya...
Surya sudah doyong kebarat, menjelang magrib, sebelum
masuk peraduan, sang surya masih memancarkan cahayanya
nan kuning emas. Dijalan raya menuju ketimur, bayangan
seorang kurus tengah berjalan tertatih-tatih. Kepalanya kotor
oleh pasir, wajahnya juga menampilkan rasa capai, tapi
bibirnya terkancing rapat, menandakan tekadnya nan besar
menunjang keinginannya untuk menceapai sesuatu.
Dari jauh dia sudah mendengar tapal kuda yang berdentam
dijalan raya, seekor kuda tampak dicongklang mendatangi,
begitu dia berpaling segera berdiri menyingkir kepinggir jalan.
sebuah kereta ditarik dua ekor kuda cepat sekali lewat
didepannya, kusir kereta mengayun cemeti "Tar." Kuda berlari
lebih kencang meninggalkan gumpalan debu kuning. sekuning
sinar surya terakhir yang menerangi bumi. Hidup diutara jauh
berbeda dengan di Kanglam.
Sebuah kota kecil didaerah Kanglam, karena letaknya
kebetulan dipusat persimpangan, arus lalu lintas simpang siur
keluar masuk kota, entah pedagang, pihak yang berenang,
pelancongan, anggota perkumpulan, tamu-tamu gelap dan
rombongan orang-orang Kangouw sering berkumpul di kota
kecil ini. Kotanya kecil tapi kebersihan terjamin, jalan raya
yang berlandas balok-balok batu tampak lebar dan rata,
deretan rumah-rumah penduduk nan megah dan rapi
menandakan kehidupan penduduk kota ini cukup makmur.
Rumah-rumah makan, hotel dan toko-toko berderet
sepanjang jalan raya ini, merek toko dan iklan dagangan nama
berkibar ditiup angin diatas galah yang tegak didepan rumah,
sehingga pemandangan sepanjang jalan raya ini berbeda pula
dengan kota-kota lain, lebih menyemarakkan suasana pasaran
didaerah Kanglam. Terutama menjelang magrib begini, paling ramai adalah
hotel atau penginapan yang menerima tamu. serombongan
kereta dari suatu perusahaan ekspedisi atau piaukiok tiba di
kota kecil itu dan memasuki sebuah hotel langganan, maka
suasana menjadi riuh rendah, tata usaha, para pelayan,
demikian pula pihak kasir menjadi repot oleh tugas masingmasing
. Beberapa ekor kuda besar gagah akhirnya berhenti didepan
sebuah hotel, beberapa lelaki berdandan piausu berlompatan
turun dengan gerakan enteng lincah.
"Ha, Liu-toa-piautau, banyak capai sepanjang jalan, lekas
silakan masuk. silakan masuk." sang Ciangkui, pemilik atau
direktur hotel keluar menyambut sambil menjura dan berseri
tawa. "He, Li-toa-piauthau, kaupun datang, tentu capai ditengah
jalan, silakan." para pelayan beramai maju menerima kuda
tunggangan para piausu. "Ha, Ci-piausu sudah lama tak
ketemu." "Hei, siau-mo. siau-gi. Lekas tuntun kuda kami kedalam,
jaga dan rawat hati-hati beri rumput segar, sikat yang bersih."
Diiringi sang ciangkui, rombongan piausu itu berbondong
masuk kedalam hotel, sementara diluar orang-orang masih
sibuk menyeret kereta barang masuk kehalaman serta
membongkar muatannya. Kalau para pelayan dan kuli-kuli bongkar sedang sibuk
bekerja, dibelakang dibagian istal petugas juga tidak kerja
ringan, maklum kuda-kuda itu baru saja menempuh
perjalanan jauh badannya berkeringat dan kotor, hingga
mereka yang membersihkan cukup payah juga, kuda sebanyak
itu tapi hanya Thio Toako dan siau-gi saja yang memandikan
menyikat dan membersihkan kuda-kuda itu, hingga hari
hampir petang baru tugas mereka berakhir, tapi masih harus
memberi makan rumput-rumput segar lagi. suasana ramai
lambat laun mulai sirap setelah pekerjaan usai. siau-gi masih
sibuk menimba air mengisi bak, setelah air penuh dia berdiri
meliuk pinggang menggerakkan kaki tangan melepas lelah,
siau-gi adalah pemuda tanggung, berwajah cakap dengan
hidung tegak, alis berdiri, sorot matanya jernih hanya bibirnya
sedikit tebal. Pemuda ini bukan lain adalah Ping-ji yang nekat
minggat dari Kui-hun-ceng dan berkelana di Kangouw.
Dengan lengan baju dia membersihkan air dan keringat
diatas jidatnya, lalu menarik napas panjang, lama dia
melamun mengawasi permukaan air. Masih segar dalam
kenangannya, disuatu tempat lain dan dimasa yang lalu,
diapun pernah duduk termenung mengawasi air, dia tengah
membersihkan rambut kepala dan mukanya. sekujur badan
yang berlepotan darah. Rasa perih yang menyengat kulit
badannya karena siksa derita yang keluar batas, tapi dia kuat
bertahan, karena tekad telah bersemayam dalam benak nya,
maka dengan langkah sempoyongan dia mulai menempuh
perjalanan, membuka lembaran baru...
Dia tidak tahu kemana dia harus pergi, tapi dia pernah
bersumpah meski harus menjelajah dunia, diapun rela
menderita hid up dirantau, maka dia menyusuri jalan raya
menuju kehari esok dan penuh harapan. Walau sepanjang
perjalanan tidak sedikit aral rintang dan kesukaran yang
pernah dia hadapi tapi dengan segala ketekadan bulat dia
terima semua ujian hidup ini dengan dada lapang dan penuh
pengertian. Ada kalanya bila bertemu rombongan kereta dia
mohon menumpang, pernah ditolak. tapi tidak sedikit pula
orang-orang baik hati yang mau mengantarnya ketempat
tujuan. Kantongnya tidak pernah terisi uang sepeserpun, tapi dia
tidak sudi minta sedekah maka sepanjang jalan dia suka
bekerja menjual tenaga untuk memperoleh sesuap nasi,
setelah memperoleh upah dan dikumpul cukup banyak, dia
melanjutkan perjalanan, tak jarang dia dihina, dihajar dan
dicaci maki oleh kawanan bajingan atau para majikan yang
kikir dan galak, tapi tanpa komentar dia terima semua itu
dengan hati damai dan tentram.
Dia digebuk, dihajar bukan karena dia malas, selama hidup
dia tidak pernah kenal apa itu malas, tapi entah kenapa setiap
dia melakukan kerja yang cukup berat, sekujur tubuh lantas
kesemutan, sakitnya seperti di gigiti ribuan semut, lalu kepala
pusing tujuh keliling dan jatuh pingsan, karena itu tidak sedikit
pecah belah umpamanya yang jatuh berantakan, atau masih
banyak pula sebabnya... Dia masih ingat, di waktu dia masih jadi gelandangan,
karena hari sudah petang dia tidak mendapatkan tempat
untuk istirahat. Terpaksa dia bermalam didalam hutan yang
belukar. Malam itu hawa dingin, angin menghembus kencang,
hingga dia menggigil tak bisa tidur hampir tubuhnya beku,
syukur sang fajar telah menyingsing, dia melanjutkan
perjalanan pula, tapi setelah siang tiba, dia merasa dirinya
seperti ditindih benda ribuan kati, kerongkongan kering, tubuh
panas seperti dibakar. Akhirnya dia roboh terkulai tak ingat
diri. Bila dia siuman, didapatinya dirinya rebah dirumah seorang
petani, seorang nyonya setengah baya memberitahu
kepadanya, bahwa dia pingsan dipinggir jalan, nyonya itulah
yang menolongnya. Tapipenyakitnya cukup berat, maka
nyonya setengah baya istri petani mengundang tabib untuk
memeriksa dan memberi obat.
setengah bulan kemudian, penyakitnya baru mulai sembuh,
tabib bilang dia pernah terluka dalam karena tidak diobati
hingga luka-luka itu makin parah, apalagi setelah terserang
demam, hingga dia jatuh sakit cukup parah. Untung tabib itu
lihay dan menemukan sumber penyakitnya, kalau terlambat
dia juga tidak mampu menolongnya lagi, oleh karena itu
terpaksa dia menetap dirumah petani itu untuk beberapa
lamanya. Dari percakapannya dengan nyonya petani diketahui bahwa
suami nyonya petani dulu adalah seorang tokoh Kangouw
yang kenamaan, suatu ketika karena memenuhi undangan
seorang musuh, sejak itu dia tidak pernah kembali, membawa
putranya yang masil kecil kemana-mana dia mencari sang
suami, tapi tak lama kemudian, putranya yang masih kecil
itupun ikut hilang karena sedihnya hampir saja dia menjadi
gila... Untung seorang tuan tanah yang baik hati mau menerima
dirinya, maka dirumah tuan tanah itu dia diangkat menjadi
pengurus rumah tangga, tapi tidak lama dia minta berhenti,
dengan jerih payahnya sendiri dia bercocok tanam.
Entah berapa banyak hari telah berselang, dengan penuh
harap dia berdoa suatu ketika supaya bisa bertemu dengan
putranya pula, tapi sampai sekarang dia tetap kecewa, waktu
dia menemukan Ping-ji, dia kira putranya itu telah kembali,
karena wajah Ping-ji adalah begitu mirip dengan putranya itu,
tapi usia putranya lebih tua...
Penuh perhatian Ping-ji mendengarkan cerita nyonya itu,
diapun ikut mencucurkan air mata, karena barujuga karena
sedih, sikap dan tutur kata si nyonya betul-betul
melambangkan betapa kasih sayang seorang ibu terhadap
putranya, pada hal sejak kecil dirinya justru tak pernah
mengecap cinta ibunda. Akhirnya giliran. Ping-ji menceritakan riwayat hidupnya,
nyonya itupun bercucuran air mata serta memeluknya dengan
penuh kasih sayang. diwaktu dia memberitahu cita-citanya,
nyonya itu tertawa riang, karena sejak itu nyonya petani itu
menjadi ibu angkatnya. Dua bulan kemudian baru dia sembuh betul-betul. dia
berkukuh dengan cita-citanya semula, tetap akan melanjutkan
perjalanannya. ibu angkatnya menahannya dengan berbagai
alasan dan cara, tapi dia kukuh pendapat, tekadnya tidak
tergoyahkan, akhirnya dia berjanji, setelah dia menemukan
ayah bundanya, pasti akan datang menjemputnya. Apa boleh
buat terpaksa nyonya petani itu mengantarnya keluar pintu.
Dia catat didalam hati bahwa suami nyonya petani itu
bergelar Tiong-siau-kiam-khek Suma Liang, putra mereka
bernama suma Ling-khong. Dia bersumpah datang suatu
ketika, pasti dapat menemukan mereka dan membawanya
kehadapannya. Didalam kehidupannya selanjutnya, boleh dikata kerja
apapun pernah dilakukan, walau pada pihak tertentu suatu
kerja itu sering dipandang rendah dan menjijikan, tapi dia
berpendapat asal aku bekerja dan memperoleh imbalan secara
halal, hasil dengan jerih payah dan cucuran keringatku sendiri,
itulah tujuan hidup nan suci dan agung...
Pernah dia bekerja di piaukiok sebagai tukang sapu dan
kerja serabutan apa saja, dari mulut para piausu yang
kerjanya mengukur jalan ke utara dan selatan, dia berusaha
mencari tahu nama dan berita Ji-cengcu, tapi dia selalu
kecewa, tapi suatu ketika dikala dia menjadi pelayan disebuah
hotel, dari percakapan beberapa tamu, dia memperoleh
beberapa bahan, diantaranya menyangkut tentang nama Lo
Bing-wan, nama Ji cengcu yang sedang dia cari jejaknya.
Pembicaraan itu menyangkut terjadinya suatu berita bahwa
Wi-liong-pit-sin mendadak muncul di Kanglam, hingga
menggemparkan Kangouw, hingga orang-orang gagah dari
berbagai cabang aliran dan perguruan atau golongan
berlomba datang ke Kanglam, mereka siap menyelidiki jejak
Wi-liong-pit-sin, karena Wi-liong-pit-sin memuat berbagai ilmu
sakti yang jarang ada didunia persilatan, ilmu yang selalu
dimimpikan oleh seluruh kaum persilatan, siapa berhasil
mempelajari ilmu di dalam buku catatan itu, maka dia akan
terkenal dan tiada tandingan di kolong langit.
Ping-ji berpikir, tak heran Ji-cengcu tergesa-gesa
meninggalkan Kui-hun-ceng, mungkin karena diapun
mendengar berita munculnya Wi-liong-pit-sin itu, maka
dengan buru-buru dia mempersiapkan diri lalu memburu ke
Kanglam. Di kala Ping-ji tiba di Kanglam, tentang Wi-liong-pit-sin
tidak pernah dibicarakan orang pula, sudah tentu Ji-cengcu
juga belum pernah ditemukan, terpaksa dia terima menjadi
tukang cuci kuda di hotel ini, dia yakin suatu ketika dia pasti
bisa bertemu dengan Ji-cengcu, entah kapan, itu hanya soal
waktu belaka. Tak lama kemudian, diperoleh pula kabar yang simpang
siur, tapi sudah tersiar luas di Kangouw bahwa Wi-liong-pit-sin
itu telah direbut seorang aneh dari luar perbatasan. Ada pula
yang mengatakan dikala orang banyak sedang
memperebutkan Wi-liong-pit-sin tiba-tiba muncul seorang
suseng muda, dengan ilmunya yang serba mujijat dia berhasil
menundukkan seluruh hadirin serta merebut Wi-liong-pit-sin-
Tapi ada pula berita yang mengatakan Wi-liong-pit-sin telah
lenyap tak berbekas sejak munculnya seorang perempuan
jelita bak bidadari, karena perempuan cantik itu berhasil
membantai seluruh lawan-lawannya.
Malah ada pula yang bilang. Bahwasanya didunia ini tidak
pernah ada Wi-liong-pit-sin itu, berita yang tersiar luas itu
hanya kabar bohong... pendek kata berita simpang siur itu
makin meluas dan dipercaya sehingga dunia persilatan makin
kacau dan geger. Tidak jarang pada setiap kesempatan Ping-ji bertanya
kepada orang-orang Kangouw yang kebetulan lewat atau
ditemuinya, dari berbagai pihak sering dia diberitahu, tapi...
Ping-ji menarik napas panjang lalu menghembuskannya
pelan-pelan dengan menengadah, masih tenggelam dalam
lamunannya, tangannya meraba-raba mainan kalung
dilehernya, dibuat main-main serta dibolak balik.
Bulan sabit entah sejak kapan sudah bertengger diangkasa,
sinar bulan nan redup terasa lembut, batu putih ditangannya
itu tampak bercahaya bening ditimpa sinar bulan, garis lika
liku merah didalam batu seperti bergerak mirip naga, seperti
mau menari keluar saja. Ji-cengcu bilang, "dari batu jade ini aku dapat menemukan
ayah bundaku, tapi kemana aku harus mencari mereka... "
"Hei, siau-gi. Apa yang sedang kau pikiri, Hari kan sudah
gelap." Ping-ji tersentak sadar, tampak Thio Toako sedang
mendatangi sambil menenteng lampion, mulutnya masih
mengoceh: "Dengarkan siau-gi. sejak tadi Ciangkui mencarimu
ubek-ubekan, kau disuruh membeli barang. Nah ini, sudah
terdaftar di sini, masuklah ambil uang pada kasir, lekas
berangkat." sembari bicara Thio Toako ulurkan secarik kertas.


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa bersuara Ping-ji terima lempitan surat itu, setelah
membetulkan pakaiannya, dia berkata: "Thio Toako, sikat
sapu dan ember masih ada di sini, belum sempat kubawa
masuk, tolong kau bantu aku."
"Lekaslah pergi, biar nanti aku yang membereskan."Ujar
Thio Toako. Ping-ji menurunkan lengan bajunya sambil pa mitan, terus
beranjak keluar. Malam telah tiba. manusia sudah pada tidur, jalan raya nan
sepi serba gelap lagi , tiada orang berlalu lalang, hanya Ping-ji
seorang yang masih bekerja menyusuri jalan. Angin malam
nan dingin menyampuk mukanya, pakaiannya melambai,
perlahan dia mengh embus napas, lalu mengencangkan
pakaian. Seolah-olah banyak persoalan yang membuat pikirannya
ruwet, tapi seperti hampa pula, dia jadi heran entah apa yang
sedang dia pikirkan sekarang. Akhirnya dia hanya berjalan
menyusuri jalan raya tanpa tujuan, Rembulan masih
bertengger diufuk barat, entah sudah berapa banyak malam,
seperti sekarang ini dia mendar mandir...
Ditengah keremangan malam, dalam jarak tertentu dia
masih bisa melihat keadaan didepannya, tiba-tiba dia
berjingkat dikala melihat bayangan hitam yang bergerak tak
jauh didepannya, bayangan itu tampak terseyot-seyot, setelah
tenangkan diri lekas Ping-ji memburu maju.
"Bluk" bayangan didepan itu tiba-tiba tersungkur jatuh.
saking kejut lekas Ping-ji menubruknya serta memapahnya.
Begitu memeluk tubuh dan melihat tegas wajah orang,
seketika dia tertegun, orang ini mandi darah, wajahnya bulat
panjang. alis tebal, mengenakan jubah hitam, sekujur badan
berlepotan darah. Aneh adalah batok kepalanya ternyata
besar, lebih besar dari manusia biasa, lalu pula sepasang
matanya ternyata sipit seperti mata tikus,juling, sekitar bibir,
sepanjang dagunya tumbuh jenggot pendek kasar, bibirnya
boleh dikata tidak kelihatan, tapi giginya yang besar-besar
tampak warna kuning, darah juga tampak meleleh dari
mulutnya, sekujur tubuh gemetar seperti menahan sakit.
Belum pernah Ping-ji melihat keadaan orang seperti ini, dia
gugup dan bingung, sambil menunduk dia bertanya: "Lo-tiang,
lotiang, kenapa kau ?"
Sesaat kemudian orang aneh itu mulai menggerakkan
tangan, suaranya lemah dan lirih: "Air, . berikan air... aku .. air
dahaga... " Sudah tentu Ping-ji makin gelisah, saking bingung dia
hanya menggosok-gosok tangan. Malam sudah larut, gelap
lagi, berada diluar kota pula, kemana dia harus mencari air.
Orang aneh itu bergerak lagi, tubuhnya gemetar dan
mengejang, tangannya seperti mencakar-cakar, lekas Ping-ji
menunduk dan bertanya pula: "Lotiang, apa yang kau
inginkan ?" Keadaan orang aneh agaknya lebih sadar, pikiran agak
jernih, maka dia ulur jarinya menuding kedalam bajunya. Pingji
pikir orang minta dia mengambilkan sesuatu didalam
bajunya, maka dia ulur tangan merogo kekantong baju si
orang aneh, terasa dia meraba tempat basah dan lengket,
ternyata orang aneh ini tidak mengenakan pakaian dalam,
akhirnya tangannya menyentuh suatu benda bulat, setelah
dirogoh keluar, ternyata sebuah botol porselin putih mungil.
Ping-ji tidak tahu benda apa itu, waktu dia menoleh,
dilihatnya sorot mata orang aneh tampak riang dan menyala,
dia manggut- manggut maka Ping-ji ulur tangannya
menyerahkan botol itu Bergidik sekali orang aneh menggerakkan tangannya yang
gemetar menerima botol itu, pelan-pelan dengan kedua
tangannya yang gemetar dia membuka tutup botol
mengeluarkan dua pil warna hitam terus ditelannya, sejenak
kemudian dia meronta berduduk serta memejamkan matanya
beristirahat. Sepanjang perantauannya tidak sedikit pengalaman yang
diperoleh Ping-ji dia tahu orang aneh yang berdandan aneh ini
sedang samadi mengerahkan Lwekang, maka setelah
menghela napes dia berdiri.
Angin dingin ditegalan terasa dingin menyampuk mukanya.
Ping-ji sedikit menggigil, mau pulang dla kuatir akan orang
aneh yang terluka parah ini, maka diwaktu dia menoleh pula
dilihatnya orang aneh itu sudah membuka mata sedang
memandangnya lengang. Ping-ji melongo, sesaat dia raguragu
lalu menggeleng kepala. Agaknya orang itu juga melengak. maka tatapannya lebih
aneh dan tajam, melihat tatapan orang mengandung tanda
tanya, lekas Ping-ji menjelaskan: "Terus terang Lotiang,
Wanpwe punya kesukaran yang tak boleh kubicarakan,
karena... " Maka dia menceritakan sebab musababnya menjadi
gelandangan serta riwayat hidupnya secara singkat. Dikala dia
membica rakan tujuannya mencari Ji-cengcu serta mendengar
berita tentang munculnya Wi-liong-pit-sin, dilihatnya rona
muka orang itu berobah, kulit mukanya berkerut-kerut serta
bergidik sekali. Lekas Ping-ji ulur tangannya terasa tangan dan tubuh
orang dingin, karuan dia kaget serunya: "Lotiang, apa kau
kedinginan " Istirahat sebentar, biar aku masuk kota mencari
kereta, bagaimana ?"
Orang itu geleng-geleng, katanya setelah menghela
napas:"Takdir, sudah takdir.."
Ia merandek sejenak lalu berkata kepada Ping-ji: "Nak, kau
tahu siapa aku ?" Tiba-tiba dia mengejang pula, meski sudah
kertak gigi tapi giginya masih berkerutukan, sesaat dia
memejam mata, baru mulutnya menggumam pula: "Ai,
sungguh tak nyana pukulannya itu ternyata begini lihay."
Ping-ji diam saja sambil mengawasi penuh kuatir, setelah
menghela napas lega baru dia berkata pula: "Lohu takkan
lama lagi hidup didunia ini, ada sesuatu pesan akan kuberikan
kepadamu, kuminta kau dapat melaksanakan." suaranya
cemas tapi penuh harap. Bercekat hati Ping-ji, katanya: "cianpwe, jangan kau bilang
demikian. Marilah kupanggul kau kekota. Dikota ada tabib
yang dapat mengobati penyakitmu, dulu banyak piauthau
yang terluka minta pertolongannya... "
Orang itu ulur tangannya mencegah, katanya menggeleng:
"Tidak berguna, jangan kau bicara lagi. Lekas, jawab
pertanyaanku, apakah kau berani berjanji akan melaksanakan
pesananku ?" Mendengar nada orang tegas, wajahnyapun menahan
derita, tak tega hati Ping-ji, setelah ragu sejenak akhirnya dia
manggut dengan tekat membulat, katanya: "Asal Wanpwe
bisa melakukan, kegunung golok atau lautan apijuga pasti
kulakukan." Orang itu sudah hampir tak sadar, mendengar jawabannya,
manggut- manggut, setelah menghela napas mengulur tangan
merogoh kantong seperti menggagap apa-apa, sesaat
lamanya baru dia mengeluarkan selembar sapu tangan, warna
sapu tangan itu sudah luntur, agaknya sudah lama sekali
dipakai atau disimpan, namun masih ada bekas-bekas
coraknya, sapu tangan inipun berlepotan darah, cuma sudah
kering dan berobah hitam.
Dengan heran Ping-ji mengawasi saja, tampak siorang
aneh mendekatkan sapu tangan kemulutnya, lalu
menggumam pula: "swat-bwe, Kau sudah datang. Aku... aku
tak pernah melupakan kau..." mendadak cahaya berkelebat
dimatanya, suaranya berobah panik setengah berteriak: "Hah,
kau... kaupergi... swat-bwe, kau... " lama kelamaan sorot
matanya membulat, lengang dan kaku mengawasi Ping-ji,
mulutnya menggumampula "swat-bwe, dia.. swat-bwe sudah
mati..." Tampang orang ini memang aneh dan ganjil, tapi ternyata
mencintai seorang perempuan sepenuh hati, timbul rasa
simpati Ping-ji dan kasihan, jelas sapu tangan ini pemberian
seorang perempuan bernama Swat-bwe, namun dia sudah
meninggal. maka melihat barang-barang kenangan si orang
aneh jadi terbayang pada pemberian. Tapi dia tidak tahu
pesan apa yang akan diberikan orang aneh ini kepadanya,
maka dia menggoncang badannya serta memanggil perlahan:
" cianpwe, cianpwe."
Air mata berlinang, mulut menggumam, badanpun gemetar
pula, lekas Ping-ji memeluk orang aneh ini. katanya perlahan:
" cianpwe. Sadarlah, kau... "
Tiba-tiba orang itu membelalakan mata, badannya yang
gemetarjuga sudah terhenti, lama dia mengawasi Ping-ji
dengan heran, tanyanya kemudian: Kau... kau bisa main silat
?" Ping-ji melenggong lalu geleng-geleng, melihat sorot mata
dan sikapnya jujur, orang itu merasa aneh lalu mengamati
lebih seksama, tapi mendadak dia mengejang pula terus rebah
dalam pelukan Ping-ji. Begitu tubuhnya menempel tubuh Ping-ji terasa adanya
suatu arus hangat merembes kedalam badannya, hawa dingin
yang menyiksa dirinya itu seperti tertahan dan tidak
mengganas lagi, maka dia tidak berani banyak bergerak.
menggelendot ditubuh Ping-ji dia bertanya: ,Kau membawa
barang mestika apa, kenapa timbul hawa hangat ditubuh mu
?" Semula Ping-ji mau menggeleng, tapi dilihatnya si orang
aneh tidak lagi menggigil setelah rebah dalam pelukannya,
diapun menjadi heran, sesaat dia berpikir lalu mengeluarkan
mainan kalung didadanya diangsurkan kedepan orang aneh,
katanya: "Aku hanya punya batu putih ini, setiap Wanpwe
main-main sering terasa hangat, apa kasiatnya Wanpwe tidak
tahu." Orang itu ulur tangannya, begitu tersentuh tangan memang
terasa hangat. hawa dingin yang bersarang ditubuhnya lekas
sekali telah tersapu bersih, karuan girang bukan main,
serunya: "oh,jadi batu jade putih inilah, dari mana kau peroleh
ini?" Ping-ji geleng-geleng, katanya: "Sejak kecil sudah
tergantung dileherku, mungkin batu mulia untuk mengusir
setan-" Orang itu sedang membalik batu itu serta memperhatikan,
mendadak dia terbeliak serta berteriak: "Hah, Hiat-liong-ling,
kau... " sembari berkata bergegas dia angkat batu itu tinggi
diatas kepala terus menyembah beberapa kali mulutnya
seperti berdoa: "Cosuya yang terhormat, berkat junjungan Thian yang
mulia, Hiat- liong muncul kembail, bangkitnya perguruan kita
sudah diambang pintu, walau Tecu sudah tua dan tak
berguna, sebelum ajal mendatang, pasti akan bekerja sekuat
tenaga demi lahirnya seorang ciangbunjin, membangun
kembali usaha besar nan jaya sepanjang masa... " lalu diapun
berlutut dan menyembah beberapa kali kepada Ping-ji,
serunya: " ciangbunjin yang mulia, Lu Gi-ok murid angkatan
generasi kedelapan menyampaikan sembah hormat."
Sudah tentu Ping-ji rikuh dan gugup, serunya kaget: "
cianpwe, jangan begitu, ini..."
Habis menjalankan sembah hormat orang itu berduduk
serta menghela napas lega, katanya: "ciangbun, ada yang
tidak kau ketahui, lencana ini adalah perintah kebesaran dari
ciangbunjin Hong-lui-bun turun temurun. Dahulu waktu Kiampay-
cousu memberi wejangan sudah ditentukan, siapa pegang
Hiat-liong-ling dialah ciangbunjin perguruan kita, tak nyana... "
setelah menghela napas dia menambahkan, "ciangbun, Tolong
papah aku ke sana, ditempat yang tersembunyi, ada urusan
besar yang perlu lohu laporkan-"
Melihat sikapnya serius, lekas Ping-ji memapahnya,
dipinggirjalan sebelah kiri sana memang terdapat batu-batu
yang tersebar luas, maka pelan-pelan dia memapahnya ke
sana dan duduk dibelakang sebuah batu besar.
Agaknya orang aneh ini mengalami banyak luka-luka, meski
rasa dingin sudah lenyap. tapi sedikit bergerak, luka-luka
tambah sakit, darahpun meleleh keluar pula dari mulutnya.
setelah minum beberapa pil obat pula dia mulai semadi.
Sesaat kemudian agaknya semangatnya telah agak pulih,
setelah batuk-batuk mengeluarkan riak darah baru perlahan
dia bersuara: "Beberapa tahun yang lalu... " sikapnya tampak
hikmad dan khusuk. maka Ping-ji lekas membetulkan
pakaiannya, mendengar sepenuh perhatian, " cikal bakal
perguruan kita Thay-hi Siangjin seorang diri mendirikan HongTiraikasih
Website lui-bun di Thianlam, waktu itu karena azas tujuan dari
perguruan kita mendapat dukungan hingga lekas berkembang
d aniaya, dalam masa beberapa ratus tahun merupakan
perkumpulan paling besar dan disegani di daerah Thian-lam,
murid-muridnya tersebar luas di mana-mana...
Dalam anggaran dasar perguruan ada dicantumkan bahwa
cousu sudah menentukan, pemilihan setiap ciangbunjin pada
setiap generasi harus dipilih oleh pejabat ciangbunjin itu di
antara para murid yang menonjol dan berbakat kepadanya
akan diajarkan ilmu sakti perguruan, ketentuan ini harus
dilaksanakan dalam jangka tiga tahun sekali, tiba saatnya
harus diadakan rapat anggota, menyembah cikal bakal dan
seleksi pun diadakan, siapa unggul dialah calon ahli waris
ciangbunjin, berkat perlindungan Thian Yang Maha Kuasa,
ciangbunjin Hong-lui-bun dari generasi kegenerasi selalu
tampil jago-jago kosen sehingga perguruan kita makin
berkembang besar. Di mana Hiat- liong- ling yang dipegang
ciangbunjin berada, sambutan gegap gempita, masa bersorak
menari dan menyanyi... "Tapi, sayang sekali, di waktu pergantian ciangbujin
generasi ketujuh terjadilah suatu peristiwa yang kurang
menyenangkan, sejak peristiwa yang tidak menyenangkan itu,
Hong-lui-bun makin runtuh dan tak mampu bangkit kembali...
" Orang aneh menghela napas gegetun, lalu meneruskan
ceritanya: "Pergantian ciangbunjin generasi ketujuh juga dilaksanakan
sesuai peraturan, murid-murid yang unggul bertanding secara
terbuka dihadapan umum, waktu itu ada dua dua murid yang
berhasil menjagoi gelanggang maju ke final menentukan siapa
lebih unggul, didala m anggaran dasar perguruan sebetulnya
ada ketentuan, bagi yang menang tidak boleh congkak, yang
kalah tidak boleh patah semangat, dianjurkan untuk berjuang


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahu membahu sama-sama bekerja demi kejayaan perguruan.
Namun kedua murid itu memang setingkat dan setanding,
masing-masing memperoleh kemenangan dalam keahlian
sendiri-sendiri, tapi dalam babak terakhir pada dua ratus
delapan puluh jurus kemudian, keduanya sama-sama berhenti
bertempur, karena keduanya sama-sama terluka... Waktu itu
ciangbunjin berdiri serta memberi putusan bahwa murid yang
bergelar ciang-kiam-kim-ling sebagai calon ciangbunjin
generasi ketujuh dan akan berkuasa dalam perguruan, dia
dipilih sebagai pemenang karena luka-lukanya paling ringan.
Maka hadirin bersorak sorai, pesta besar di adakan..."
Sampai di sini cerita orang aneh, alisnya bertaut makin
dalam, lalu melanjutkan: "Diluar dugaan, malam itu, murid
yang kalah itu ternyata minggat membawa lari Wi-liong-pit-sin
dan lencana kebesaran ciangbunjin, yaitu Hiat- liong- ling.
sudah tentu ciangbun amat murka, seluruh murid segera
diperintahkan, diumumkan pula kepada dunia persilatan,
apapun Wi-liong-pit sin dan lencana kebesaran ciangbunjin
harus direbut kembali... "
Ping-ji melongo, pikirnya: "Ternyata Wi-liong pit-sin adalah
pusaka turun temurun dari ciangbunjin Hong-lui-bun- Tak
nyana batu putih itupun adalah Hiat- liong ling dari perintah
kebesaran mereka. Tapi bagaimana bisa berada padaku ?"
Tengah berpikir orang aneh itu sudah menghela napas,
tuturnya lebih lanjut: "Tapi setahun dua tahun telah
berselang, sang waktu terus berlalu, Wi-liong-pit-sin dan
lencana itu tak pernah muncul dan lenyap tak karuan-
Hong-lui-bun semakin lemah, takpernah bangkit kembali.
ciangbunjin generasi ketujuh akhirnya jatuh sakit parah dan
meninggal dunia tidak lama kemudian-
Sebelum ajal ciangbun ada pesan "Bila siapa dapat
memperoleh Wi-liong-pit-sin dan Hiat- liong- ling maka dia
akan diangkat sebagai ciangbunjin diapun mengharapkan
sutenya yang minggat mencuri Pit-sin dan Hiat- liong- ling bisa
insyaf dan bertobat, kembali ke Thian-lam, dia rela
menyerahkan jabatan ciangbunjin ini kepadanya, asal dia mau
giat membangun kembali kejayaan perguruan masa lalu.
"Tapi meski berita ini sudah disiar-luaskan, tapi yang
diharapkan itu tak pernah muncul. suatu ketika, belum lama
setelah ciangbunjin meninggal, seorang murid pernah melihat
seorang tua berwajah lesu dan lemah mondar mandir didepan
kuburannya, berkeluh kesah dan geleng-geleng, perawakan
tubuhnya tampak mirip dengan murid perguruan yang
mencuri Pit-sin dan Hiat-liong-ling itu, waktu itu ada belasan
murid yang merubung maju mengoroyoknya, tapi dalam
sekejap bayangan orang itu berkelebat beberapa kali, belasan
murid itu sudah bergelimpangan roboh, sebelum pergi orang
itu menunjukkan sebuah batu putih, itulah Hiat liong-ling,
setelah memberi pesan beberapa patah kata terus tinggal
pergi... Setelah orang-orang itu tertolong, mereka lantas terjun
kearena Kangouw, tetap mencari jejak orang itu, untuk
menemukan Wi-liong-pit-sin dan Hiat- long- ling, tapi orang itu
ibarat batu yang tenggelam dilautan, jejaknya tidak pernah
muncul lagi .. , "Suatu tahun, di kalangan Kangouw pernah muncul
seorang aneh, kejadian kira-kira tiga tahun setelah ciangbun
ketujuh meninggal, dengan bekal kungfunya yang tinggi dan
aneh, orang aneh itu malang melintang di Kangouw, tiada
musuh yang mampu menandinginya, agaknya jiwa orang itu
agak nyentrik, setiap turun tangan, lawan-lawannya tidak ada
yang ditinggalkan masih hidup, tapi dia bukan suka main
bunuh secara sembrono... Walau demikian golongan hitam dan aliran putih dibuat
marah, para pimpinan persilatan amat membenci
perbuatannya, karena tidak sedikit murid-murid perguruan
besar yang ajal ditangannya, tapi mereka tidak bisa berbuat
apa-apa karena orang aneh itu memang memiliki kepandaian
luar biasa .. Suatu hari kaum persilatan diutara dan selatan memperoleh
kata sepakat untuk menyebar Lick-lim-tiap (undangan kaum
persilatan), demikian pula delapan besar aliran persilatan
dipimpin pihakSiau-lim mengeluarkan pengumuman, serempak
akan mengejar jejak orang itu, tapi jejak orang itu tiba-tiba
lenyap tak berbekas. Tapi suatu kali orang aneh itu sedang
bertamu dirumah jago catur di San-say, entah bagaimana
jejaknya diketahui orang, maka orang banyak meluruk datang
mengeroyoknya, setelah bertempur tiga hari tiga malam,
gembong-gembong penjahat berguguran- Dibawah keroyokan
gabungan delapan besar perguruan silat orang aneh itu
berhasil dilukai, tapi lima dari delapan ciangbunjin delapan
besar perguruan itu gugur, dua lagi terluka, hanya ciangbunjin
Bu-tong-pay saja yang segar bugar, tapi diapun melarikan diri.
Di saat-saat terakhir itulah murid-murid Hong-lui-bun juga
telah memburu tiba, karena kabarnya orang aneh itu
menggunakan Kungfu yang termuat di dalam Wi-liong-pit-sin-
.. tapi bila mereka tiba ditempat kejadian, orang aneh itu
sudah lenyap entah kemana... "
Sepanjang ini orang aneh itu bercerita, maka napasnya
sengal-sengal, sikapnyapun kelihatan haru dan sedih, setelah
istirahat seperlunya dia melanjutkan:
"Karena melihat orang-orang Hong-lui-bun datang, apalagi
diapun terluka, maka diapun melarikan diri, tak lama
kemudian karena luka-lukanya yang terlampau parah diapun
ambruk. Kebetulan ada seorang gembala, karena diwaktu kecil
kekasihnya direbut oleh putra tuan tanah, karena sedih tak
mampu menolong kekasihnya dia berniat bunuh diri, dan
kebetulan bersua dengan orang aneh itu, terpaksa dia
merobah niatnya, menolong orang aneh serta membawanya
pulang, sejak itu gembala itu diambil sebagai murid angkat
oleh orang aneh itu serta mengajarkan Kungfu kepadanya
malah diapun memberi sejilid buku tipis, lalu tinggal pergi...
Setelah belajar Kungfu, gembala itu meluruk kerumah tuan
tanah serta membunuh putranya, tapi kekasihnya itu sudah
keburu bunuh diri karena putus asa dan malu setelah ternoda,
saking sedih dia berkelana sambil mencari jejak gurunya untuk
ikut mengasingkan diri, tapi setalah dia melanglang buana di
kangoaw, orang aneh itu tidak pernah ditemukan lagi."
Sampai disini orang itu mengerut alis serta menggumam
pula:" bangsat kejam, mereka turun tangan keji, pakai racun
lagi... " Ping-ji kaget, tanyanya gugup: "ciahpwe apa kau juga
keracunan?" orang itu manggut-manggut setelah merintih,
menjawab: "Untuk mencari suhu maka aku mengembara di
kangouw..." dari ceritanya tadi Ping-ji lantas tahu bahwa
orang aneh ini adalah si gembala itu, maka cerita dia
mendengarkan penuh perhatian, "tak pernah aku menemukan
beliau, entah bagaimana berita bahwa aku membawa wi-liongpit-
sing telah bocor dan tersiar luas di Kangouw, banyak orang
mencari aku, tapi berhasil kugebah pergi...ai, memang salahku
sendiri aku terlalu jujur... bicara tanpa tedeng aling aling.
"Suatu hari disebuah rumah penginapan aku bertemu
dengan pedagang kulit. Setelah bercakap-cakap kita amat
cocok. maka dia mengundangku minum arak.ai, ternyata aku
kena tipu... bila aku sadar, setengah guci arak sudah masuk
keperut, kontan aku pukul mampus orang itu, tapi dari luar
pintu menerjang masuk banyak orang... aku... sambil
melawan melarikan diri... ah... mukanya mengejang dan
gemetar. suaranya serak. " Karena racun kumat didalam
badan, akhirnya aku roboh dan terkejar seorang mengenakan
kedok berhasil memukulku sekali. Kalau... tidak salah itulah
pukulan Hian-ping-ciang dari aliran Pak-hay aku tak tahan lagi,
karena pukulan itu aku terjungkal roboh, wi-liong-pit-sin pun
terebut olehnya. Tapi layap-layap masih kurasakan banyak
orang meluruk dan mengerubut dia, bagaimana selanjutnya
aku tidak tahu. "Setelah aku siuman, ditanah rebah banyak mayat tapi Wiliong-
pit-sin sudah lenyap. orang berkedok itupun sudah pergi,
maka aku bertahan dan meninggalkan tempat itu sampai disini
menggigil. Siapa nyana Hiat- liong- ling yang sudah lenyap puluhan
tahun mendadak muncul kembali Suhu pernah bilang, sejak
dia minggat dari perguruan, hatinya amat menyesal dan
bertobat, waktu dia mengajarkan Wi- liong ciang kepadaku
pernah berpesan wanti-wanti dan menceritrakan kejadian
masa lalu, beliaupun menugaskan aku untuk mencari Hiatliong-
ling serta dikembalikan ke Hong-lui-bun diThian-lam.
Karena Hiat- liong- ling telah hilang tanpa diketahui waktu dia
menempur para ciangbunjin dari delapan besar perguruan
silat..." Kembali dia meneruskan. "Takdir, ini memang takdir.." orang aneh menggumam
pula, "Walau guruku pernah menghianati Hong-lui-bun, bahwa
dia mengajarkan Wi- liong- ciang kepadaku supaya aku bantu
mengangkat nama besar Hong-lui-bun...ai, siapa nyana Losiu
sendiri sekarang... "
Tiba-tiba dia menegakkan badan dan bersikap serius,
katanya: "cosu ada pesan, siapa pegang Hiat- liong- ling
dialah ciangbunjin, meski Losiu sudah payah begini, tapi
sekuat tenaga akan kubantu ciangbunjin untuk mengangkat
kembali kebesaran Hong-lui-bun kita.. ciangbun nah
perhatikan, jurus ini dinamakan Llong-kiap sin- gan, jurus
ini..." beruntun dia menurunkan tiga jurus.
Jauh diarah kota terdengar ayam jantan berkeluruk. maka
kokok ayam pun bersahut-sahutan- Akhirnya fajar
menyingsing, bumi mulai benderang, dibela kang batu, dua
orang yang duduk berhadapanpun sudah terlihat jelas... mulut
orang aneh itu komat-kamit seperti membaca mantra, entah
memberi petunjuk kepada si pemuda. tiba-tiba dia angkat
sebelah tanganaya menepuk batok kepala si pemuda,
mulutnya komat-kamit pula.
Mata Ping-ji terpejam, rona mukanyapun ganti berganti,
tiba-tiba seperti mendadak dia mengalami siksa derita yang
luar biasa, daging mukanya mengejang dan melonjak-lonjak.
Pelan pelan rona mukanya yang semula merah menjadi pucat,
dari pucat menghijau lalu bersemu merah pula. Sebaliknya
kulit muka orang aneh yang hitam berobah pucat pasi, kulit
dagingnya makin kuyu dan kering. Mendadak "Bluk" tubuh
orang aneh terkulaijatuh terjengkang. Ping-ji sendiri juga
molonjak mumbul... Mentari mulai memancarkan cahayanya yang terang
benderang, hari ini mulai hidup baru...
---ooo0dw0ooo--- Sang surya terus merambat ketengah angkasa, tanpa
terasa lohor telah tiba. Di jalan raya, bayangan seorang yang
tinggi lencir tengah jalan pelan2. Mentari begitu terik, orang
segan keluar rumah, burung2pun tidak kelihatan terbang,
dunia serba tenang dan tentram hanya bayangan orang
bertopi rumput itu saja yang berjalan menyeret bayangannya.
Didepan sebuah batu pilar dia berhenti, setelah menarik
napas panjang, pelan-pelan dia menurunkan topi rumputnya.
Kini kita bisa melihat jelas wabahnya, dia bukan lain adalah
Ping-ji. Sesaat dia membaca huruf-huruf yang terukir diatas
batu, lalu menyeka keringat dengan lengan bajunya, pelanpelan
dia duduk mendeprok ditanah, akhirnya dia menghela
napas lega: "Ah cepat sekali, tak terasa musim panas telah
tiba." Duduk melamun Ping-ji terbayang pengalaman malam itu,
dikala dia menolong orang aneh itu, dari mulutnya dia
mendapat banyak berita, diketahui bahwa Ji-cengcu sudah
meninggal, saat itu dia menangis gerung-gerung, menurut
cerita orang aneh, dia menyaksikan orang banyak mengeroyok
orang berkedok yang merebut Wi-liong-pit-kip dari badannya,
diantara pengeroyok itu ada Lo Bing-wan, setelah dia siuman
dari pingsannya, diantara mayat-mayat yang bergelimpangan
disekitarnya terdapat Lo Bing-wan, sementara orang berkedok
itu tidak kelihatan mungkin setelah membantai lawanlawannya
orang berkedok itu lari membawa pit-kip itu. Karena
Ping-ji memiliki Hiat-liong-ling dari Hong-lui-bun, maka orang
aneh yang menginsyafi-jiwanya takkan lama lagi, segera dia
turunkan ilmunya kepada Ping-ji, diajarkan pula cara
bersamadi meyakinkan Lwekang, terakhir dia kerahkan
seluruh tenaga yang dilatihnya puluhan tahun disalurkan
ketubuh Ping-ji hingga dia sendiri mati dengan tubuh kuyu
kering. Dengan menahan sedih Ping-ji mengubur orang itu, lalu
dengan tekad bulat dia menempuh perjalanan- Dia
berpendapat seorang laki-laki harus punya pambek dan
pambek itu berada di empat penjuru, maka itu dia sadar tak
boleh dirinya terima menjadi kacung dihotel melulu, Ji-cengcu
yang hendak dicarinya sudah ajal, sementara batu putih
sebagai tanda pengenal untuk menemukan ayah bundanya
ternyata juga adalah, medali kekuasaan tertinggi Hong-luibun,
ini menambah rasa bimbang hatinya, tak tahu bagaimana
dia harus menyesuaikan diri. Apalagi sebelum ajal orang aneh
juga berpesan supaya dirinya giat berusaha membangkitkan
pula kebesaran perguruan Honglui-bun, menuntut balas sakit
hatinya, merebut balik Wi-liong-pit-sin. Maka dia bersumpah,
dia akan menemukan orang berkedok itu, menurut keterangan
orang aneh, orang itu menggunakan Hiat-ping-ciang dari
aliran Pak-hay. Dia tidak tahu perguruan apa dan di mana
Hian-ping-ciang itu, tapi dia yakin suatu ketika dirinya pasti
dapat menemukan jejak musuh.
Banyak persoalan bergelut dalam benaknya, tapi satu
persoalan utama sudah tetap dalam benaknya, dia pikir dia
harus pulang dulu ke Kui-hun-ceng, dulu dia pernah berjanji
akan menemukan Ji-cengcu serta membawa pulang, tapi Jicengcu
sudah meninggal maka dia berangkat menuju ke Kuihunceng.
Sepanjang jalan dia giat berlatih tiga jurus yang
pernah dia pelajari dari orang aneh serta cara samadi
meyakinkan Lwekang. Setiap kali dia usai latihan, terasa
semangatnya makin bertambah, maka dia makin meresapi
betapa besar dan berat tugas yang dipikulnya...
Seolah-olah bayangan orang aneh nan arif itu muncul
didepannya, dengan tekad bulat dia angkat sebelah tangannya
serta berkata: "cianpwe, legakan hatimu. Aku pasti berbuat
menurut pesanmu." Sambil membanting kaki bergegas dia melompat berdiri.


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari tulisan diatas batu ini dia tahu tak jauh kedepan lagi
adalah Bu-tong-san yang tersohor dikolong langit. Puncak
tinggi yang menjulang menembus mega terpampang didepan
mata, maka terbayang olehnya di waktu orang aneh itu
seorang diri melabrak delapan Ciangbunjin dari perguruan
besar itu, tanpa terasa jiwa ksatrianya membara, maka sambil
melangkah maju matanya menjelajah sekelilingnya, sepanjang
jalan ini adalah deretan pohon-pohon entah apa namanya,
tiba-tiba tergerak hatinya, segera dia melangkah kearah
hutan- Dibalik hutan adalah sebidang tanah lapang nan luas.
sejenak dia bimbang, akhirnya dia duduk bersimpuh lalu mulai
bersamadi. Sekonyong-konyong Ping-ji mencelat mumbul seraya
bersuit panjang, ditengah udara dia menggerakkan sepasang
tangannya maka bayangan telapak tangan bertaburan
sehingga udara seperti dirapati oleh tabir telapak tangan,
orang akan silau dan kabur pandangannya, Mendadak
sebelum tubuhnya anjlok dia menekuk pinggang dengan
kepala dibawah kaki diatas dia menukik turun, bila tubuh
hampir menyentuh bumi mendadak sepasang tangan
mengipat dan menepuk serabutan- Beberapa kali dia lakukan
gerakan yang sama, akhirnya baru dia menarik gerakan
melayang turun, setelah berdiri, tegak dia menghela napas,
gumamnya: "orang aneh itu bilang Liong-jiau-king-thian
(cakar naga menyanggah langit) dan Liong-hwi-kiu-thian
(naga terbang kelangit sembilan), harus sekaligus
melancarkan tiga puluh enam jurus pukulan baru terhitung
pukulan ini sempurna tapi pada pukulan kedua puluh tujuh,
selalu aku merasa saluran tenaga selanjutnya menjadi buntu
dan tak tersambung, apa sebabnya dan kenapa demikian-..
kembali Ping-ji tenggelam dalam renungan-
"Bluk." tiba-tiba dia terperanjat oleh suara gedebukan,
waktu dia menoleh dilihatnya sesuatu jatuh dipinggir pohon
sana, kelihatan masih bergerak-gerak. Itulah manusia
demikian pekik hatinya. Lekas dia melompat kesana memapah
orang itu, waktu ditegasi seketika dia kaget. "Karena orang
yang rebah dalam pelukannya adalah seorang perempuan,
seorang perempuan berpakaian hitam berlepotan darah.
Kecuali luka-luka disekujur tubuhnya, lengan kiri
perempuan ini telah buntung hingga lengan bajunya
menjuntai. "Cianpwe, Cianpwe. Sadarlah." demikian teriak Ping-ji, dari
dandanan orang Ping-ji yakin bahwa perempuan inipun pandai
main silat, maka dia menggoncang badannya.
Pelan-pelan perempuan itu membuka mata, mulutnya
bergerak. lekas Ping-ji mendekatkan tubuhnya, "Cianpwe, kau
terluka separah ini?"
Mendadak perempuan itu meronta, mulutnya menggumam:
"Hoat-liong, Liong-ko,jangan tinggalkan aku, aku... aku
takut... api itu... oh, Liong-ko, aku... aku berbuat salah... salah
terhadapmu, tapi... itu.. . bukan... He, kau... kau bukan Liongko...
kau bukan... ohh... ' Mendadak perempuan itu membuka lebar matanya, sesaat
dia menatap Ping-ji, kini pikirannya mulai jernih, dengan suara
lemah dia berkata: 'Anak muda, sudikah kau membantu aku.
Dalam kantongku... ada sebutir... obat, kuberikan...
kepadamu... tolong kau temukan putra ku... beritahu
kepadanya... ayahnya dibunuh... orang... aku... aku temukan
musuh itu... huk. huk... " beruntun dia batuk-batuk keras,
darah menyembur dari mulutnya tapi dia angkat kepalanya,
sekuat tenaga dia melanjutkan, "aku kena dilukai... maka aku
lari... lari ke Bu-tong... san- mereka tidak... mau memberi
obat... terpaksa... aku mencurinya... tapi, aku terkejar... dan
dihajar... , hingga... luka parah... begini... " keadaannya
memang teramat payah, syarafnya sudah kabur setelah
menarik napas beberapa kali, lekas dia meneruskan, "beritahu
kepada anakku... suruh... dia... menuntut... balas sakit...
hatiku... diatas badannya membawa . , , sebuah batu putih .. ,
itulah batu jade... yang hangat ..
Terasa darah dalam tubuh seperti mendidih, napas juga
menderu berat tiba-tiba menyala semangatnya, lekas dia
merogoh batu putih yang tergantung didadanya serta
diberikan kepada perempuan buntung lengannya perempuan
itu sudah memejam mata, pelan-pelan setelah merasa
tangannya memegang benda hangat dia membuka mata,
ujung mulut mengulum senyum, tapi hanya itu saja .
Karuan kepala Ping-ji seperti mau pecah, bumi berputar,
pandangan menjadi gelap. dunia seperti sudah kiamat, dia ikut
runtuh, hancur lebur. Dia ingin meratap. sesambatan, menangis gerung-gerung,
tapi air mata tak bisa meleleh, diatas tanah didepannya rebah
perempuan baju hitam, lengannya buntung, wajahnya yang
kasar ditelan kesengsaraan hidup, kini kelihatan tenang dan
tersenyum lega, mulutnya yang masih melelehkan darah juga
mengulum senyum manis, seolah-olah apa yang dia inginkan
sudah tercapai, hatinya puas, maka dia pergi tanpa
meninggalkan beban, tanpa kuatir, tenanglah dialam baka
damailah. Ping-ji mendekam diatas jenazah ibunya, menangis sedih
sesambatan meratapi nasibnya: "oh Thian, kenapa kau
sekejam ini.." "... oh ibu. Tahukah kau" putramu, bukan sehari
merindukan dikau. ibu tahukah kau, aku kenyang meresapi
penderitaan hidup ini, tersiksa dan terlunta-lunta, kepada
siapa aku harus meratapi hidup ini... ibu... tahukah kau...
ibu... oh Thian-.. "udara menjadi terasa pengap. isak tangis
yang memilukan bergema di dalam hutan, alam menjadi
hening seperti ikut berduka cita.
Dari dalam hutan meranjak tiga orang Tojin yang
memanggul pedang dipunggung, agaknya mereka melongo
melihat pemandangan yang mengharukan ini, orang disebelah
kanan ulur tangan mau bicara.
Tiba tiba pemuda yang mendekam di tanah mencelat
berdiri, begitu kakinya menjejak kedua kaki merapat lalu
melayang ke arah sebuah pohon besar didepannya. Suara
gemuruh robohnya pohon itu menimbulkan tebaran debu.
Ditengah gemuruh robohnya pohon itu si pemuda angkat
tangannya sambil berseru: "Awas kalian hidung hidung
kerbau. Aku akan menagih darah kalian satu persatu, biar
darah mengalir dari puncak kekaki bukit, mayat kalian akan
kutumpuk menjadi bukit. Hm, nantikanlah.."
Habis bicara mendadak dia putar tubuh. Seketika dia berdiri
kaku melotot, mukanya meringis dan berobah, sesaat lamanya
bibirnya megap megap tapi tidak mampu bicara.
Ternyata dua tombak jauhnya, berdiri tiga Tojin dalam
formasi, ketiga Tojin memanggul pedang, wajah mereka
menampilkan rasa kaget, heran dan melongo.
Tiba tiba Ping-ji bersiul panjang serta melompat kedepan
ke tiga Tojin itu, gerak g eriknya enteng cekatan- Ketiga Tojin
tidak menduga, serempak mereka menyurut mundur,
berbareng kedua tangan menepuk menutup diri dari serangan.
Ping-ji menyeringai dingin, sesaat dia memicing mata
menatap mereka satu persatu tanpa bersuara, lekas sekali
ketiga Tojin itu menyadari sikapnya yang kurang jantan, tanpa
berjanji mereka menunduk kepala. "Apakah kalian hidung
hidung kerbau dari Bu-tong?"
Serempak ketiga Tojin angkat kepala, sorot matanya tajam
gusar tengah menatap mereka, diam - diam mencelos hati
mereka. Yang berdiri ditengah adalah Tojin berpakaian jubah
kuning, jenggotnya menjuntai menyentuh dada, agaknya dia
pemimpin dari dua temannya, setelah batuk-batuk serta
membetulkan jubahnya, dia menggoyang kebut ditangannya
lalu maju memberi hormat, sapanya: Pinto Lan-ciok dari
Siang-jing-koan di Bu-tong, atas perintah ciang bun mengejar
orang yang mencuri obat, entah saudara siapa, apa
hubungannya dengan perempuan itu?" Sikapnya ramah
suaranya lembut, sopan, santun agaknya sebelum dia tahu
asal usul orang dia tidak berani sembrono, karena pengalaman
memberitahu, bahwa pemuda didepan mata agaknya tidak
boleh dianggap sembarangan, kalau tidak. betapa tinggi dan
kesohor nama Bu-tong-pay, mana mau dia bersikap seramah
itu. "Susiok," kata Tojin disebelah kanan bermuka panjang,
agaknya dia sebal melihat pemuda garang yang kurang ajar
ini, "buat apa banyak ngomong, mari hita gusur perempuan
maling itu supaya ciangbunjin menjatuhkan hukumannya."
"Plak" tiba - tiba mukanya kena gampar, matanya kunang -
kunang, belum sempat dia berteriak tahu-tahu urat nadinya
telah tercengkram, seperti dijepit tang gem tangannya, sakit
luar biasa. begitu dia membuka mulut berteriak. urat nadinya
digencet lebih sakit lagi.
"Apa katamu?" suara tak kenal kasihan itu seperti halilintar
dipinggir telinganya, terbayang olehnya betapa hebat gerakan
sipemuda waktu menggempur pohon tadi, rasa dingin tiba -
tiba muncul dari ujung kakinya, keringat dingin bercucuran,
mukanya pucat pias."
"Anak busuk. kau apakan Suhengku."
"Jing-bong.Jangan sembrono. Sicu, kasihanilah."
Ditengah teriakan, tampak bayangan seorang menerjang
disertai kilat pedang, bayangan seorang lagi segera melayang
masuk ke tengah, "Blang" ditengah ledakan keras, bayangan
orang terpencar, selarik sinar putih menarik panjang cahaya
kemilau melesat keluar dan "Blus" melesak amblas kebatang
pohon tinggal gagangnya saja yang masih bergetar.
Menyusul sebuah bayangan lagi seperti pelor yang
dtembakan, dengan luncuran lembayung terbang kebelakang
dan "Bluk..." jatuh terbanting keras ditanah, lekas sekali darah
segar bercucuran dari tubuhnya menyirami tanah sekitarnya.
Ditengah arena Lan ciok Tojin kelihatan berdiri melongo,
kebut ditangannya ternyata sudah gundul tinggal gagangnya
saja, topi cilik yang menggelung rambutnya diatas kepala juga
miring kesebelah, keadaan nya amat runyam.
"Hm, beginilah sepak terjang perguruan tarnama aliran
lurus, terang terangan dan jujur." Demikian sinar mata Ping-ji
dengan kedua kaki masih pasang kuda-kuda, disamping nya
rebah Tojin muka panjang tadi, kedua biji matanya terbalik,
darah meleleh diujung mulutnya, jiwanya sudah melayang.
Ternyata Tojin muda bernama Jing-hong karena melihat
Suhengnya ditawan, maka tanpa menyadari kelihaian lawan,
segera mengayun pedang menyergap dengan jurus Hwi-ingpoh-
tho (elang terbang menerkam kelinci), pedangnya
menabas pundak kiri Ping-ji. Lan-ciok Tojin lebih
berpengalaman, dia tahu pemuda ini tidak boleh di buat
sembarangan, semula dia hendak mengorek asal usul orang
lebih dulu baru akan turun tangan, diluar perhitungan Tojin
muka panjang sudah terbekuk lawan,jing-hong gegabah pula
turun tangan, dicegah sudah tidak keburu, tepaksa dia ikut
menyergap. Dengan jurus cui-kim-toan-giok (meremuk emas
memutus jade) dari ilmu pukulan Boh-giok-ciang dia
menggenjot dada Ping-ji, dia sangka dengan bekal
Lwekangnya selama puluhan tahun, ditambah perbawa Bohgiok
ciang yang tiada bandingan apalagi, membarengi dengan
serangan pedang Jing-hong Tojin, umpama lawan muda ini
memiliki ilmu sakti juga akan diserangnya kerepotan.
Tak nyana begitu jotosannya dilontarkan, terasa dari
samping sipemuda memberondong keluar segulung hawa
pusar menerjang dirinya hingga mata berkunang-kunang
kuping mendengung, darah didadanya mendidih, jurus cuikim-
toan-giok ternyata punah tak karuan paran, sementara
sutit (murid keponakannya) itu mencelat terbang seperti
layangan, tak urung saking kaget dia menjerit panik. Apalagi
setelah mendengar sindiran Ping-ji, mukanya pucat berobah
merah, sesaat dia berdiri melongo.
Ping-ji belum pernah berkelahi apa lagi membunuh orang,
maka hampir saja dia menderita. Diwaktu dia mencengkram
Tojin muka panjang, terasa sejalur angin pedang menabas
datang berbareng segumpal tenaga angin melandai dada,
secara reflek timbul perlawanannya, lekas dia tarik Tojin
tawanannya menangkis berbareng merangkap kelima jarinya,
melancarkan jurus pertama dari Wi-liong- ciang, yaitu Liongkiap-
sin-gan (naga mengeram dilembah dalam), berbareng
melepas Tojin tawanannya yang terpukul luka parah oleh
jotosan keras, kini kedua tangan bersilang terus melancarkan
jurus kedua Liong-jiau-king-thian, meski gerakannya terburu
buru, juga hanya menggunakan setengah tenaga, tapi cukup
memukul terbang Jing-hong Tojin dan menggetar nyali Lanciok
Tojin-Mulutnya saja Lan-ciok Tojin mohon belas kasihan,
padahal dia sendiri menyergap dengan serangan keji, maka
Ping-ji menyindirnya. Setelah menjublek sekian lamanya, dengan muka merah
Lan-ciok membetulkan letak rambutnya, katanya: "Sicu jangan
sembarang omong, biarlah pinto mohon pelajaran beberapa
jurus ilmu pukulan kepada Sicu."
Setelah kecundang disindir lagi, rasa keki telah menjalari
emosinya, meski tahu lawan muda ini lihay, tapi dia yakin
dengan Hu-mo-ciang yang dilatih sejak puluhan tahun, pasti
mampu menandingi lawan yang masih cetek pengalaman dan
kurang matang latihannya, apa lagi mengingat dirinya
menjalankan tugas, maling yang dikejar tidak ketangkap.
kedua sutitnya malah mati, kalau dia pulang dengan tangan
kosong, bagaimana dia harus bertanggung jawab kepada
Ciangbunjin, maka dia mengeraskan kepala menantang lawan-
Ping-ji menjengek, katanya: "Kebetulan kau menantang,
aku memang akan mengganyang kalian hidung kerbau busuk
ini." Lalu dengan mata mendelik dia membentak bengis,
"Jawab pertanyaanku, siapa yang melukai perempuan ini,
katakan" Sudah tentu Lan-ciok Tojin berkobar amarahnya, sejak dia
belajar silat di Bu-tong-san berkecimpung puluhan tahun di
kalangan Kangouw, kapan dia pernah dibentak seperti ini,
karena belum pernah kalah, maka watak nya angkuh, apalagi
sebagai sute ciangbunjin Bu-tong-pay, biasanya hanya
dihormati dan disembah, kapan ada orang berani memerintah
dirinya. Tak nyana pemuda ini bukan saja sombong amat
garang lagi, hakikatnya tidak pandang dirinya sebelah mata,
karuan gusarnya bukan kepalang, sembari memekik kedua
tangannya terayun, tangan kanan menutup dada, telapak kiri
tegak kedepan sejauh satu kaki dari dada, gayanya aneh,
mulutnya mendesis: "Bocah tidak tahu aturan, berani kurang ajar terhadap


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tua. Hm, rasakan dulu pukulanku. Lihat serangan.
Mendadak kedua tangannya terbang, dengan jurus To-tiangmo
siau (agama unggul iblis sirap), membawa damparan
dahsyat menindih kepala Ping-ji, dinilai gaya dan perbawa
serangannya, lagaknya dia ingin sekali pukul membelah
hancur tubuh Ping-ji. Walau kaget melihat perbawa serangan lawan, tapi
pengalaman barusan menambah tebal keyakinan pada diri
sendiri, maka tanpa ayal dia mundur setengah tapak. setelah
pasang kuda-kuda menyedot napas mengerahkan tenaga.
Serempak dia dorong kedua tangan, beberapa bayangan
tapak tangan berkelebat menjadikan tabirjalan disertai
sambaran angin mendesis menyongsong damparan angin
lawan, itulah Liong jiau-king-thian jurus kedua dari Wi-liongciang.
Jurus To-tiang-mo-siau yang dilancarkan Lan-ciok-Tojin
sebetulnya amat dahsyat dan tak terpatahkan, siapapun
lawannya serangan ini pasti mambawa hasil, tak tahunya
begitu pemuda lawannya itu meng gerakan kedua tangan
membalik keatas, taburan telapak tangan lawan membendung
serangan nya, bukan saja To-tiang-mo-siau tidak berhasil
memukul lawan, malah beberapa jalur angin kencang membal
balik menerjang dirinya sehingga kulit dagingnya terasa sakit.
Saking kejut lekas dia memutar tubuh sekaligus berkisar
dua lingkar sambil menarik serangan, begitu dua telapak
tangan terangkap dan terangkat, dari kiri kanan sekaligus
menempeleng, masing-masing menyerang Tay-yang dan Tayim
dua Hiat-to, itulah jurus Mo-yan-kiam-sing (bentuk pedang
membakar iblis) dari hu-mo-ciang yang lihay.
Tampak Ping-ji mendadak menjengkang kebelakang,
tubuhnya melejit datar meluputkan diri dari serangan ganda
ini, ditengah udara dia menggeliat pinggang sepasang lengan
bajunya mengipat kebelakang, maka tubuhnya melejit tinggi
keudara, mendadak merandek, dengan kepala d iba wah kaki
diatas menukik, "Plak.., plak..." dimana telapak tangannya
menari menindih kepala lawan, Lan-ciok Tojin seketika seperti
dibelenggu oleh bayangan pukulan lawan, dalam gugup nya
dia bersuit keras, melancarkan Hu-mo-ciang dan Boh-giok-kun
yang amat dibanggakan selama jayanya, telapak tangan di
kombinasikan jotosan untuk membendung serangan lawan
dari atas. Ditengah gelanggang tampak seorang selulup timbul
diudara bak naga menari-nari ditengah angkasa, seorang lagi
tampak menjadi bayangan kelabu mengiringi selulup timbul
bayangan diatasnya, bolak balik, pergi datang, seperti harimau
menerkam mangsa. Ditengah pusaran angin kencang dari adu
kekuatan tenaga dalam itu, terdengar suara serak tua
menghardik: "Robohlah..."
Tapi sebuah lengking suitan seperti naga memekik di
angkasa, begitu keras berisi membawa getaran keras hingga
daon-daon pohon rontok, sebelum lenyap suara suitan itu,
disusuljeritan tertahan- Maka bayangan orangpun berpencar,
"Pletak..." cukup keras suara ini, tampak Lan-ciok Tojin
terpental jatuh terguling-guling menahan sakit karena kedua
tangannya putus, jeritannya seperti lolong serigala yang
ketaton. Melihat keadaan orang sejenak muka Ping-ji tampak
kedutan, belas kasihan timbul dalam benaknya yang welas
asih. Maklum manusia terdiri dari darah daging, siapa tidak
merasa sakit bila badannya cedera. Tapi dia terbayang
keadaan ibunya, perempuan lengan buntung yang sekarat
tadi, bukankah diapun terluka parah, untuk mempertahankan
jiwa, jauh-jauh dia kemari minta obat, sebutir pil saja, tapi
orang-orang yang tidak punya hati ini, bukan saja memberi
malah menganiaya dan menambah deritanya, kalau tidak
mana secepat ini jiwanya ajal, tidak setitik harapan yang
masih diembannya bagaimana, bisa gagal total. Kejadian
mengerikan adalah gara-gara perbuatan laknat hidung- hidung
kerbau yang tidakpunya belas kasihan, mereka pantas
dikutuk. Darah tiba-tiba mendidih, semakin besar tekadnya,
dia harus menuntut balas, ya menuntut balas kematian
ibunya. Dengan kertak gigi dia mendelik kearah Lan-ciok Tojin yang
masih terguling-guling ditanah, bentaknya: " Itulah imbalan
yang harus kalian terima." sorot matanya memancar bara
yang menyala, suaranya mengandung kegusaran dan
kepedihan, karena kenyataan pukulan lahir batin yang
menimpa dirinya memang teramat besar dan berat.
Sebaliknya Lan-ciok Tojin mirip seekor elang yang gagah
pentang sayap. terbang di angkasa, tapi kedua sayapnya telah
putus, bukan saja tidak mampu terbang, dia harus menelan
kekalahan dan derita pula, disamping merintih hatinyapun
hancur luluh. Karena sepasang tangan yang selama hidup ini menunjang
kebesaran namanya di kalangan Kangouw kini sudah putus,
padahal sepasang tangan ini sudah memberikan anugrah
tertinggi bagi sejarah hidupnya didunia persilatan- Tapi hari ini
dia terjungkal di bawah tangan anak muda, kalah total, kalah
dengan mengenaskan- Manusia siapa yang tidak cinta pada "nama", bukan kaum
persilatan saja orang sekolahan pun demikian, demi mengejar
nama dia tekun belajar, siang malam untuk menempuh ujian
ketingkat yang lebih tinggi, karena "nama" itu pula bisa
mendatangkan kebesaran, gengsi, dari nama itu pula manusia
bisa memperoleh apa yang dia inginkan-
Bagi kaum persilatan demi nama dia akan menggembleng
diri, karena nama merupakan simbol, mahkota kejayaan,
melambangkan harapan yang terbentang dan kemenangan-
Karena nama yang sudah lanjut masih merasa jamannya tak
pernah kendor, yang masih muda pantang mundur seperti
anak kambing yang tidak takut melihat harimau, sama-sama
maju, sama-sama runtuh pula, yang ambruk biarlah roboh
yang akan datang h ayolah maju melewati jejak-jejak
berdarah, walau suatu ketika orang lainjuga akan menginjak
jejaknya yang berdarah, tetapi asal kau dapat menduduki
singgasana itu, matipun relalah. itulah sebabnya kenapa kaum
persilatan memandang nama itu jauh lebih penting dari harta
benda, sampaipun lebih berhaga dari jiwa raga, karena nama
itu telah menghabiskan seluruh inti kekuatan hidup mereka,
walau nama itu sendiri ada kalanya terdapat perbedaan besar
dan kecil Begitu Lan-ciok melihat wajah nan beringas, maka dia
menyadari bahwa semua harapannya telah ludes, dari kedua
sorot mata yang mengandung kebencian itu, berselubung rasa
jijik, cemooh dan penghinaan, tatapan setajam pisau mengiris
jantung menusuk hati, hatinya lebur. Harapan tidak
bersemayam pula dalam relung hatinya, maka dia takkan
melihat lagi wajah-wajah yang membuatnya amat kecewa,
wajah yang berlinang air mata, karena dia sudah bertekad
untuk mengakhiri riwayat hidupnya. Dia bunuh diri dengan
menggigit putus lidah sendiri.
Air mata masih berlinang dipelupuk mata Ping-ji. lama dia
berdiri melongo. Terbayang bahwa dirinya ternyata mampu
mengalahkan jago-jago Bu-tong-pay yang sudah
menggetarkan kalangan persilatan, betapa hatinya takkan
riang. Kapan dia pernah membayangkan bahwa hari ini dirinya
juga telah terjun didalam percaturan dunia. Semua ini adalah
anugrah yang dia peroleh dari orang aneh itu.
Sebatang lilin disulut menerangi orang lain, tapi justru
menamatkan riwayat sendiri, orang aneh itu ibarat sebatang
lilin, demi perguruan tak segan-segan dia mengorbankan diri
dan menyempurnakan seorang anak muda yang masih awam,
itulah loyalitas. Teringat akan ayahnya yang mati mengenaskan, ibu yang
hidup merana, rasa dendam kembali menyala dalam
sanubarinya. Untuk mencari kedua orang tuanya, dia
mengalami berbagai kesukaran, siksa derita, tapi yang
didapatkan adalah sang ibunda yang sudah sekarat, ibunya
terluka parah dan meregang jiwa, maka dendam berdarah
bersemayam dalam hatinya.
Dari kejadian ini Ping-ji meresapi bahwa tugas yang dipikul
selanjutnya teramat berat, mencari pembunuh ayahnya,
merebut kembali Wi-liong-pit-sin, kembali ke Kuihun-ceng,
meluruk ke Bu-tong, membangun Hong-lui-bun kembali, dan
masih banyak lagi. Rentetan tugas terpapar didepan matanya, dia harus
menempuh perjalanan yang sukar dan banyak aral rintang,
duri-duri tersebar sembarang waktu akan melukai dirinya tapi
dia harus berani melangkah lebar, maka: "Aku bersumpah,
semua itu akan kupikul seorang diri, sekarang kedua lenganku
bertenaga pundaku cukup keras dan kuat." Dengan kertak gigi
dia membusung dada, sambil mengayun tinju dia melangkah
keluar. Ditanah lapang dalam hutan, bertambah sebuah pusara.
Didepan pusara seorang pemuda sedang berlutut
sesenggukan- "Ibu, Istirahatlah dengan tenang, setelah anak
memberantas orang-orang yang menganiaya dikau, aku akan
datang pula sembahyang di sini. Yakinlah anak akan mampu
melaksanakan keinginanmu. Ibu, tentramlah dialam baka"
dengan sedih Ping-ji menyembah, setelah menyeka air mata
pelan-pelan dia berdiri, dengan langkah berat dia
meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba dia teringat apa-apa,
langkahnya berhenti merogoh kantong mengeluarkan sebuah
kotak biru. Begitu dia membuka kotak biru, bau harum segera
merangsang hidung, dalam kotak didasari kain sutra putih,
terdapat sebutir pil obat warna kuning emas, pil itu
dijemputnya, di bagian dalam tutup kotak terdapat sebaris
tulisan yang berbunyi "pusaka pelindung Bu-tong-san", lalu
disebelah bawah kiri terdapat empat huruf agak kecil berbunyi
Bik-beng-kiam-tan. "Ow, jadi pil obat ini adalah pusaka Butong-pay, tak heran
mereka mengudak mati-matian- Ibu, karena pil obat ini kau
berkorban jiwa, namun kau sendiri tak kuasa mengecap jerih
payah sendiri, betapa penasaran hatimu." Sekilas dia
termenung mengawasi pusaka ibunya, lalu memasukkan pil itu
kedalam mulut dan ditelannya. Rasa harum manis seketika
timbul dari perutnya, badan hangat, semangat menyala, lekas
dia duduk bersimpuh, sesuai ajaran orang aneh dia mulai
samad i, pelan-pelan dia kerahkan hawa murni menyusuri
tubuh menguap melalui pori-pori.
Sesaat kemudian dia membuka mata terus melompat
bangun, kontan dia merasakan perbedaan yang menyolok
terjadi pada dirinya, gerak geriknya ternyata amat enteng dan
lincah, hawa murni terus timbul dari pusarnya, dia maklum
bahwa pil pusaka itu telah menimbulkan kemukjijatan didalam
tubuhnya setelah didorong oleh latihan Lwekang yang
diajarkan orang aneh itu. Tiba-tiba dia membentang mulut
mengeluarkan gemboran panjang, tubuhnya melambung ke
udara, ditengah udara menekuk pinggang hingga tubuhnya
meluncur secepat anak panah terbang kedepan- Gemboran
suaranya terdengar jauh menimbulkan gema yang
bergelombang ditengah hutan didalam lembah pegunungan-
Kabut masih tebal. fajar telah menyingsing, masih pagi sekali.
Muncul setitik hitam bayangan dari ujung undakan dikaki
gunung, cepat sekali titik hitam itu bergerak, setiap kali
lompatan puluhan undakan dicapainya. Siapa sepagi ini telah
berlari-lari mengembangkan Ginkang " Hanya sekejap orang
itu sudah tiba di lamping gunung, tampak dia berhenti
celingukan seperti bimbang, lalu menarik napas panjang.
Kabut mulai sirna, lekas sekali tampak raut muka orang ini,
dia bukan lain adalah Ping-ji yang sedang meluruk ke atas Butong-
san- Sekilas matanya menyelidik, tampak di pinggir
sebuah empang disebelah kanan berdiri sebuah balok batu
besar, diatas papan batu terukir coat-kiam-giam tiga huruf,
gaya tulisannya kuat dan indah. Ping-ji tahu arti ketiga tulisandia
harus menanggalkan pedang diatas batu itu. Seketika
mulutnya menyeringai ejek. gumamnya: "Hidung- hidung
kerbau terlalu takabur, sayang aku tidak membawa pedang,
kalau tidak aku justru akan menenteng pedang menerjang
keatas gunung, coba hidung-hidung kerbau itu bisa berbuat
apa terhadap diriku. tiba-tiba dia layangkan sebelah
tangannya, sejalur angin kontan menyapu kearah batu besar
itu. "Pyaar" dengan suara gemuruh batu besar itu pecah
beterbangan, runtuh kedalam empang. Batu besar itu semplak
sebagian besar. Ditengah taburan pecahan batu-batu itu, dari
tengah kabut sana terdengar bentakan orang, beruntun
meluncur dua bayangan orang, ternyata dua Tojin telah
muncul, tangan menenteng pedang beronce emas, berdandan
rapi, mereka mendelik gusar mengawasi Ping-ji.
Ping-ji mendengus hina, menegakkan alis, dia berdiri
tenang menggendong kedua tangan- sikapnya begitu santai,
tak acuh terhadap kedua Tojin itu. Karuan kedua Tojin tambah
gusar melihat sikap angkuh Ping-ji, Tojin sebelah kanan
segera melangkah maju, sambil menuding dengan, pedang dia
membentak: "Siapa kau. berani kau bertingkah di Bu-tongsan,
lekas sebutkan namamu, menyerah -saja, kalau tidak. He
he " Habis berkata dia melangkah mundur pula ketempat
semula. Tapi dilihat pemuda itu sedang geleng-geleng kepala lalu
manggut-manggut pula, tangannya berputar-putar sambil
senandung membawakan syair-syair yang melukiskan
pemandangan, naga-naganya pemuda ini terpesona oleh
pemandangan alam nan indah permai sehingga tidak
perhatikan tegoran si Tojin-
Sudah tentu Tojin itu gusar, sambil angkat pedang kembali
dia membentak: "Kunyuk kurang ajar, di hadapan Toya masih
pura-pura pikun dan tuli, rasakan pedangku." Pedang
sepanjang tiga kaki itu tiba-tiba memancarkan sinar kemilau
menusuk ke punggung si pemuda.
Tak nyana, tahu-tahu pedangnya menusuk tempat kosong,
hingga kakinya tersuruk maju. Lekas dia kendalikan tubuh
seraya melompat minggir ke kiri. Setelah berdiri tegak pula
dilihatnya si pemuda masih berdiri tegak ditempat semula,
mulutnya tetap bersenandung, sikapnya meremehkan- Karuan
si Tojin makin naik pitam, tanpa hiraukan s erua n temannya
segera dia menubruk maju pula dengan memutar pedang, kali
ini sinar pedang nya bertabur dengan suara gemuruh seperti
geluduk bunyi dikejauhan, kecepatan serangannya laksana
kuda dibedal bersama di medan perang.


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba sebuah siulan merdu terbit dari tengah taburan
pedang, getaran suaranya seperti menggoncangkan bumi,
Tojin lain yang menonton dipinggir juga seperti tersedot
sukmanya. Belum lenyap siulan merdu itu, tiba-tiba disusul
jeritan menyayat hati, tampak tubuh Tojin menyerang dengan
pedang mencelat tinggi kearah batu besar dipinggir empang.
"Blang" batok kepalanya menumbuk batu dan pecah berderai,
kaki tangannyapun hancur lebur terbang keempat penjuru,
ada yang tersangkut diatas pohon, ada yang kecemplung
keempang. Darah meleleh diatas batu mengalir ketanah dan air.
Melihat adegan yang mengerikan betapa Tojin yang satu
tidak ngeri dan gusar. Dengan meraung buas dia menerjang:
"Kunyuk serahkan jiwamu." hebat sekali dia melompat
kedepan Ping-ji, pedangnya teracung menutup pertahanan,
lalu melotot gusar. Dalam segebrak dia menyaksikan saudaranya terbunuh
dengan mengenaskan, maka dia tahu bahwa dirinya
menghadapi musuh tangguh, meski hati amat gusar mau tidak
mau dia keder juga menghadapi ketenangan si pemuda.
Pelan-pelan pemuda itu mengebas lengan baju, matanya
mendelik, bentaknya: "Hidung kerbau, kematian didepan mata, masih berani
bermulut kotor, serahkan juga nyawamu."
Sebelum pedang si Tojin bergerak dia sudah ayun tangan,
segulung tenaga menerjang kedada lawan-
Kontan si Tojin merasa suatu arus besar menerjang dirinya,
lekas dia putar pedang seraya melompat mundur. Tapi
sebelum dia berdiri tegak segulung angin yang lain telah
mengudak tiba pula, saking kaget lekas dia berkisar sambil
menekuk pinggang menegakkan telapak tangan menyongsong
serangan lawan- Tiba-tiba dia rasakan sekujur tubuhnya tergetar linu, darah
panas segera menerjang ke tenggorokan- Lekas dia bersalto
pula kebelakang, begitu berdiri tegak terasa lutut goyah dan
tak bertahan lagi sempoyongan mundur beberapa langkah
tanpa kuasa mengendalikan diri. Dengan blingsatan dia angkat
kepalanya mengawasi lawan, kuatir dirinya disergap pula.
Tapi lawan bukan pengecut seperti yang diduganya, tetap
berdiri ditempat semula lawan mengawasinya dengan senyum
jejek. Rasa malu seketika membakar amarahnya, karena dia
tidak tahu siapa pemuda berwajah ganteng, datang dari
mana, memiliki Kungfu aneh dan selihay ini, jelas dirinya
takkan melawan dan bukan tandingan- Apalagi terbayang
kematian temannya yang luluh seperti bergedel, karuan
nyalinya pecah, kaki tangan gemetar dan lunglai. Lekas dia
tenangkan diri, setelah menarik napas beberapa kali, dia tahutahu
dirinya tidak kurang suatu apa, maka dia membetulkan
pakaian serta melintang pedang didepan dada, serunya
lantang: "Kungfu saudara memang lihay, entah siapa saudara ini
sudilah memperkenalkan diri ?" Sengaja dia mengulur waktu
supaya bala bantuan lekas datang.
Ping-ji tidak hiraukan pertanyaannya, bentaknya: Jangan
cerewet. Kau ini yang kelima, serahkan jiwamu." Kedua lengan
bajunya mengebas kemuka si Tojin. Kontan si Tojin ras akan
pandangannya kabur, lekas dia ayun pedang memapas lengan
baju orang tapi hanya sekejap tahu-tahu dia rasakan kuping
kanannya perih panas. Karuan dia berjingkrak mundur, tahu
usahanya mengulur waktu tak berhasil terpaksa dia nekat
melawan, Liu-in-kiam-hoat yang mempunyai tiga puluh enam
jalan segera dia kembangkan- Latihan ilmu pedang Tojin yang
satu ini memang cukup sempurna, Ginkangnya juga lumayan,
gerak geriknya enteng lincah. gerak pedangnyapun mahir, tapi
setiap serangannya cukup ganas dan mematikan-
Variasi permainannya juga amat rumit, menabas,
mengetuk. menjungkir, menusuk, menggulung dan menutuk
dengan berbagai gerakan yang beraneka ragam. Tapi
betapapun lihay dan cepat sarangkaian serangan pedangnya,
jangan kata melukai lawan menyentuh ujung bajunya saja dia
tidak nampat malah setiap tangan lawan terayun, telapak
tangan berlapis-lapis membrondong kearah dirinya. "Trang"
tahu-tahu pedangnya bergetar keras, telapak tangan pecah
berdarah, hampir saja pedang tak kuasa dipegangnya.
Karuan dia makin gugup dan panik, sembari melawan tibatiba
dia bersuit, merobah permainan pedang dia balas
mencecar lebih sengit. Dia pikir bersuit mengundang bala
bantuan, maka sengaja dia bermain petak sambil
mengerahkan setaker tenaga merangsak lebih gencar.
Diluar tahunya lawan juga sudah tahu akan maksudnya,
belum habis benaknya berpikir, kenapa bala bantuan belum
juga datang, serangkum angin telah menyampuk muka,
kembali dia merasa kuping kirinya perih panas pula, mau tidak
mau tergerak hatinya, lekas dia jumpalitan mundur
kebelakang, sambil ulur tangan meraba. Ternyata tangan nya
meraba tempat basah dan kental lengket waktu dia tegasi
ternyata tangannya berlepotan darah, entah bagaimana kedua
telinganya ternyata sudah terbang entah kemana. Karuan
serasa arwah terbang dari raganya.
Pada saat itulah, sebuah siulan panjang berkumandang dari
atas gunung, karuan hatinya girang dan semangatnya
tergugah pula, Tapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu
mendadak dia merasa tengkuknya kesemutan segulung angin
menerjang dada, belum sempat dia bersuara tubuhnya sudah
mencelat terbang. Tubuhnya melambung tinggi melampaui
pohon, terus meluncur, ditengah udara si Tojin masih sadar
dan berusaha mengendalikan tubuh dengan jumpalitan sayang
begitu dia kerahkan tenaga, seluruh tubuh ternyata sudah
lemas lunglai, baru sekarang dia benar-benar takut
menghadapi kematian, ingin berteriak tapi tidak keluar suara,
kupingnya masih sempat mendengar beberapa bentakan dan
tawa dingin lalu... "Blang" batok kepalanya menumbuk batu,
remuk redam... darahnya muncrat, tubuhnya hancur, jatuh
ditanah, mengalir kedalam air. Air empang itu kini sudah
menjadi merah menyolok. Terdengar Ping-ji tertawa panjang, serunya lantang:
"Bagus, bagus datang dua lagi, kebetulan malah."
Di kala Ping-ji memukul terbang Tojin kelima,
berkumandang bentakan dua orang, maka muncullah dua
Tojin membawa pedang merekapun berjubah hijau mulus,
dandanan rapi berwajah tampan bersih dan rambut tersisir
rapi diatas gelung kepalanya.
Melihat kematian dua saudara seperguruan yang begitu
mengenaskan, sungguh tak terperikan ngeri dan gusar
mereka, "Sret" serempak mereka mencabut pedang, masingmasing
ditangan kanan dan kiri, pelan-pelan mereka mulai
bergaya dan pasang kuda-kuda, dengan langkah yang
berlawanan mereka siap melancarkan Liang-gi-kiam-hoat
kebanggaan Bu-tong-pay. Agaknya kedua Tojin ini datang setelah mendengar suitan
minta tolong saudaranya, tak nyana sebelum mereka tiba
Tojin itu sudah ajal, tahulah mereka bahwa penyatron
berkepandaian tinggi, maka tidak segan mereka
mempersiapkan diri dengan Liang-gi-kiam-boat untuk
melawan musuh tangguh. Melihat betapa tegang persiapan kedua Tojin lawannya itu,
diam-diam Ping-ji geli dan prihatin, dengan serius dia berseru:
"Liang-gi-kiam-hoat memang bagus. Biarlah Cayhe
membuka mata. Nah mulai." Pelan-pelan dia ayun kedua
tangan, dua jalur angin kencang masing-masing menerjang
kedua Tojin itu. Begitu kedatangan kedua Tojin ini, Ping-ji sudah berniat
sekali pukul menewaskan mereka, tapi serta melihat gaya
permulaan kedua jago pedang didepan mata ini, dia jadi urung
turun tangan serta ingin menjajal dan membuktikan sampai di
mana kehebatan ilmu pedang Bu-tong pay, beruntung juga
bagi ke dua Tojin ini. bahwa jiwa mereka masih tertunda
beberapa saat lagi menghadapi raja akhirat.
Ping-ji mengembangkan ketangkasan tubuh, dan ingin
meminjam kesempatan ini menyelami permainan Liang-gikiam-
hoat sebagai pupuk dasar awak sendiri bila kelak harus
mempelajari ilmu pedang, karena itu dia biarkan kedua Tojin
ini merangsak sekuat tenaga, pada hal bila menuruti kata
hatinya hanya segebrak kedua orang ini tentu sudah mampus,
Maklum sebelum dia menelan Bik-bong-kim-tan saja Lan-ciok
Tojin bukan tandingannya, apa lagi sekarang setelah khasiat
obat itu sudah bekerja di dalam tubuhnya "
Tapi sebuah suitan panjang berkumandang lagi dari
kejauhan, melihat rona muka kedua lawan dia tahu mereka
kedatangan bantuan pula, maka dengan sejurus Liong kiapsin-
gan, begitu kedua tangan dia tarik mundur, lalu
dikebaskan pula, kedua Tojin inipun dipukulnya mencelat
menumbuk batu. Jiwa merekapun melayang seketika
mengikuti saudaranya. Begitu membalik tubuh sekalian dia
gerakkan pula kedua tangannya menggempur dua Tojin yang
baru tiba. Dua Tojin yang baru datang inipun bersenjata pedang dan
bergerak dengan Liang-gi-kiam-hoat, melihat gempuran
dahsyat ini, lekas mereka menghardik sekali terus berpencar
kekanan kekiri, permainan pedang dikembangkan menepis
pergelangan tangan Ping-ji. Sejurus dua gerakan serangan
pedang mengandung unsur Liang-gi-su-siang, didalamnya
disadari tenaga im-yang pula, lihaynya bukan main, jelas
tingkat kepandaian kedua Tojin yang belakangan ini setingkat
lebih tinggi dari dua yang duluan- Ping-ji rasakan sinar pedang
berkelebat menyilau mata, tahu-tahu kedua pedang lawan
sudah membendung serangan tangannya, karuan dia
mencelos, diam-diam dia memuji: "Liang gi-kiam-hoat
memang tidak bernama kosong.
Lekas dia tarik tangan tangan merobah gerakan, begitu
lengan bajunya mengebut tangannya terangkat beberapa dim,
ditengah udara membuat garis lingkar lalu kedua tangan
terjulur kedepan, kelima jari terkembang, secepat kilat
mencakar kedua Tojin itu.
Jurus ini adalah ciptaannya sendiri karena terdesak dan
merupakan gerakan reftek yang belum pernah dia selami
sebelum ini, namun ternyata membawa manfaat bagi diri nya,
sehingga kedua lawan terdesak mundur untuk melindungi
kedua mata mereka. Bahwa pedang sendiri tidak mampu melukai lawan, malah
kebasan lengan bajunya disertai cakaran tangan yang aneh
dan lihay bergegas kedua Tojin ini menjengkang kebelakang,
pedang mendatar melindugi muka.
Melihat serangan mendadak berhasil memukul mundur
lawan, Ping-ji mendesak lebih gencar kedua lengan menekuk
kedalam terus terayun keluar, dia menepuk keluar segumpal
tenaga lunak sekaligus menggempur kedua Tojin itu.
Kembali kedua Tojin melongo, tapi bagaimana juga mereka
adalah murid pergu-ruan ternama yang memiliki kepandaian
silat tinggi, hanya sekejap mereka sudah berhasil
menenangkan hati, serempak mereka menegakkan pedang
didepan hidung sebelah jarinya menjentik batang pedang
sekali, dikala suara berdering masih kumandang diudara dari
kiri kanan kembali mereka bergerak melingkar, memunahkan
tenaga pukulan Ping-ji, Maka terdengar mereka bersiul
bersama saling memberi aba-aba, dua batang pedang tahutahu
sudah bertukar arah sama membelok kedada Ping-ji, bila
ujung pedang tinggal beberapa dim dari sasaran, kembali
mereka angkat ujung pedang menusuk kemuka Ping-ji,
sebelum Ping-ji menarik serangan balas menyerang. sinar
pedang berkelebat pula, kali ini menabas kalian kiri pundak
Ping-ji. Tabasan, tusukan dan menj ungkit tiga gerakan dilancarkan
dalam waktu sekejap sekaligus ini menandakan bahwa kedua
Tojin memang cukup ahli dibidang permainannya. Kenyataan
serangan mereka memang bukan olah-olah lihaynya.
Melihat arah sasaran terakhir pedang lawan adalah kedua
pundaknya, bertaut alis Ping-ji, namun dia tidak berani ayal,
lekas dia merendah tubuh menurunkan pundak sambil miring
dia melayangkan kedua lengan bajunya menangkis pedang
sementara sepasang tangan yang terselubung d id alamnya
menjentik batang pedang. Meski berhasil mematahkan serangan lawan, tak urung
telapak tangan Ping-ji berkeringat dingin, karena gebrakan
tadi tak ubahnya sebagai gerakan untuk menolong diri dikala
pihak sendiri terdesak, sedikit lena dan kurang perhitungan,
Peristiwa Bulu Merak 3 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Pukulan Si Kuda Binal 2
^