Pencarian

Dendam Kesumat 2

Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 2


Agaknya Sarini letih sekali. Begitu selesai membersihkan goa, ia mengatur tempat tidur dengan rumput kering, lalu tidur lelap sekali.
Karena tidak tahu maka secara tidak disadari, Prayoga dan Sarini sudah di wilayah desa Kapucukan. Sebenarnya sumur Jalatunda dan desa Kapucukan itu masih dipisahkan oleh hutan belantara yang cukup luas. Nanun karena jarak tidak jauh maka orang sering menghubungkan dua tempat itu seperti satu tempat.
Prayoga mengamati Sarini yang tertidur pulas itu beberapa kali. Tiba-tiba ia teringat sikap Sarini beberapa hari ini yang selalu marah-marah. Namun celakanya pemuda ini menduga lain, ia menduga sebabnya Sarini marah karena tidak dapat makan makanan yang lezat.
Teringat akan itu timbullah kemudian niatnya untuk mencarikan makanan lezat untuk adik seperguruannya ini. Tanpa mengenal lelah. ia meninggalkan goa itu berburu kelinci dan babi hutan yang mungkin bisa diperoleh di hutan itu.
Nasibnya malam ini memang baik. Belum lama pergi ia telah mendapatkan dua ekor kelinci. Ia gembira dan merencanakan membuat satai kelinci. Dan ia percaya Sarini tentu gembira.
Akan tetapi di dalam menuju kembali ke goa, perhatiannya tertumbuk kepada sebilah batu besar yang aneh bentuknya. Permukaan batu itu licin seperti pernah dipangkas orang. Ia cepat menghampiri dan ternyata berbentuk segi empat. Tiap permukaan batu ditumbuhi lumut. Diteliti beberapa jenak tetapi tidak ada yang menarik.
"Ah... membuang waktu saja!" Prayoga sudah akan pergi, tetapi tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada permukaan bagian belakang. Permukaan itu tidak rata. Oleh pertolongan sinar bulan, kemudian ia terbelalak. Karena tidak ratanya permukaan batu itu oleh guratan huruf.
Cepat-cepat ia menghilangkan lumut pada permukaan batu itu. Setelah bersih, sekalipun agak sulit karena penerangan kurang, ia dapat membaca. Isi tulisan itu kira-kira demikian.
"Ketahuilah. bahwa di dalam batu ini tersimpan "sari air". Kelak kemudian hari apabila batu ini berumur 100 tahun. barang siapa yang beruntung. pecahlah lalu minumlah airnya. Air "tirta sari" ini membuat tubuh ringan seperti bisa terbang dan akan berumur panjang."
Di bawah tulisan tersebut, yang nampak jelas tinggal angka tahun, 1517. Sedang siapa yang menulis, tidak tampak jelas sehingga sulit diketahui, siapa yang sudah menulis itu.
Namun diam-diam Prayoga kagum. Batu itu keras sekali, tetapi dapat digurat oleh orang hanya dengan jari tangan. Ini membuktikan sampai di mana kesaktian penulis tersebut. Hanya sayang, tidak diketahui Siapa orangnya.
Bertemu dengan batu berisi "Tirta Sari" ini, menyebabkan Prayoga menjadi lupa kepada dua ekor kelinci yang sudah berhasil ia tangkap. Cepat-cepat ia lari dan kembali ke goa. Sarini masih tidur lelap, lalu dibangunkan,
" Sari, bangunlah! Hayo, cepat ikut aku. Hem. aku menemukan batu mustika!"
Tetapi Sarini hanya membuka mata lalu membalikkan tubuh dan tidur lagi. Mungkin sekali, saking sangat lelah melakukan perjalanan jauh berhari-hari lamanya. Prayoga yang tak sabar segera mengguncang lengan Sarini sambil mengulangi supaya bangun. Dan Sarini yang merasa diganggu tidak senang, membentak,
" Apa sebabnya engkau mengganggu orang tidur?"
Prayoga setengah gugup menceritakan apa yang sudah ditemukan. Mendengar ini Sarini terbelalak dan tertarik, serunya,
" Jadi pada batu itu terdapat tulisan yang menyebut "Tirta Sari"?"
"Ya." Dalam soal ilmu membaca dan menulis, Sarini memang lebih berbakat dan lebih pandai. Ia banyak membaca keropak-keropak maupun wedha (kitab). Dalam keropak yang pernah ia baca itu terdapat catatan, adanya "Tirta Sari" yang tersimpan dalam batu hitam. Kalau batu itu dipecah. tirta sari yang terdapat di dalamnya, merupakan semacam cairan yang berwarna merah kekuning-kuningan, mirip dengan kuning telor. Kalau tidak cepat diminum, cairan itu akan cepat menjadi keras seperti batu. Catatan itu tanpa tanda siapa yang memberi tahu. Akan tetapi menurut gurunya, diduga catatan itu terjadi pada jaman para wali. Gurunya juga membenarkan, bahwa "Tirta Sari" itu dapat membantu kepada yang minum menjadi berumur panjang dan tubuhnya ringan sekali. Maka dianjurkan oleh gurunya, agar sambil lalu batu berisi "Tirta Sari" itu dicari, sebab amat bermanfaat.
Seterusnya diterangkan oleh gurunya, khasiat "Tirta Sari" sama dengan orang berlatih tigapuluh tahun lamanya dalam ilmu meringankan tubuh. Dan batu mustika berisi "Tirta Sari" tersebut, jarang didapat di dunia ini.
"Di mana batu itu?" tanya Sarini.
"Marilah ikut aku. Mustika dalam batu yang disebut "Tirta Sari" itu harus engkau minum."
Prayoga gembira sekali. Lalu mengajak Sarini ke tempat batu ditemukan.
Sebaliknya bagi Sarini, walaupun perhatian kakak seperguruannya ini besar sekali, dan semua itu untuk dirinya, tetapi diam-diam mengeluh,
" Huh, engkau memang pemuda tolol dogol. Huh, engkau kira aku gembira dengan "Tirta Sari" itu? Hem, aku baru gembira dan bahagia apabila mendengar ucapanmu, yang menyatakan cinta kepadaku."
Tetapi ia mengikuti juga kepergian Prayoga. Setelah tiba di tempat batu, Prayoga segera mengerahkan tenaga saktinya untuk memecah batu itu. Sayangnya, batu itu masih tetap utuh, dan pukulan Prayoga tidak mempan.
"Tidak ada gunanya engkau menghabiskan tenaga!" akhirnya Sarini berkata.
"Menurut dugaanku. batu ini baru bisa pecah apabila dibelah dengan pedang pusaka. Ah. andaikata guru kita sekarang hadir, kita bisa pinjam pedangnya."
"Kalau begitu, kiranya lebih tepat apabila kita datang kepada gerombolan Surogendilo lebih dahulu," sahut Prayoga.
"Syukur sekali kalau Swara Manis belum tiba di sana, dan kita berhasil merebut pedang pusaka itu."
Setelah sepakat, mereka kembali menuju goa tempat mereka menginap. Tetapi baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka mendengar suara ketawa yang amat aneh dan menyeramkan. Sarini menjadi geram dan takut. lalu tanpa disadari ia telah merapatkan tubuh kepada kakak seperguruannya.
Namun sesudah ditunggu, suara ketawa yang aneh itu tidak terdengar lagi. Untuk menghilangkan rasa takut, bertanyalah Sarini,
" Kakang, suara apakah yang
terdengar tadi? Suara manusia ataukah setan?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tetapi agaknya bukan suara manusia dan bukan setan. Menurut dugaanku, itu suara binatang hutan."
Baru sampai di situ. suara ketawa yang menyeramkan terdengar lagi. Sekarang bukan hanya sekali, tetapi malah berkali-kali dan tempatnya berpindah pindah. Karena takut, dua orang muda ini sudah memperiapkan senjata pedang.
Tiba-tiba Sarini berseru tertahan,
" Ah... agaknya suara itu, suara anak buah Surogendilo yang mengurung kita."
Prayoga tidak menjawab. Ia memperhatikan suara aneh itu, dan melihat kesekeliling. Tiba-tiba saja ia berjigkrak kaget. ketika melihat beberapa pasang sinar hijau yang bergerak kian-kemari.
"Sari, hati-hatilah!" Prayoga memperingatkan.
Tetapi berbareng dengan suara Prayoga, dari semak belukar terdengar suara berisik. Kemudian menyusul bayangan hitam yang tingginya sekitar satu depa. Mirip kera tetapi jelas bukan kera karena lebih besar, sedang lengannya panjang hampir menyentuh tanah.
"Celaka! Sarini... lekas lari. Ah, bayangan itu 0rang utan. Ah, tentu bukan hanya seekor. Ah... aku tahu sekarang sebabnya para pemburu itu ketakutan datang ke Sumur Jalatunda. Mereka tahu, di tempat ini banyak orang utan. Lari. kita lari. Kau di depan dan aku melindungi engkau di belakang."
Sarini terkejut. Ia pernah mendengar cerita tentang orang utan. Binatang itu cerdik, kulitnya keras dan tenaganya kuat sekali. Menurut kebiasaan, orang utan itu paling suka hidup berkelompok. Dan apabila sudah menetap di salah satu tempat, binatang itu tidak mau pergi lagi. Dan setiap kelompok, sedikitnya terdiri tigapuluh ekor.
'Tidak!" bantah Sarini.
"Kalau memang mati, biarlah kita mati bersama-sama."
Berkata demikian Sarini segera mencabut pedang. Oleh sinar bulan, batang pedang itu mengeluarkan sinar. Binatang yang sudah mengurung itu memperdengarkan suara ketawa seram. Salah seekor segera melangkahi maju sambil merentangkan sepasang lengannya, lalu menerkam Sarini. Cepat-cepat dua orang muda ini berpencaran menghindar.
Setelah terkamannya luput, orang utan itu penasaran dan meraung keras. Karena tubrukannya luput, tubuh binatang ini terdorong ke depan. Sarini segera menarik tangan Prayoga diajak bersembunyi.
Karena dua orang muda itu mendadak lenyap, orang utan itu pada marah. Orang utan itu meraung keras, disusul raungan yang lain.
Lalu muncullah empat ekor orang atau yang besar. Empat ekor itu maju sambil menjerit-jerit, seperti sedang berunding. Tak lama kemudian empat ekor binatang ini berpencaran ke empat penjuru, kemudian mencabuti pohon dan menggulingkan batu.
"keparat Dasa Muka!" caci Sarini.
"Bangsat itu telah menipu kita. Huh, jika aku sampai mati di tempat ini, aku akan menjadi setan penasaran dan akan aku cekik leher bangsat itu sampai mampus!"
Tiba-tiba muncul seekor orang utan yang besar. Karena kaget dan gugup Prayoga sudah menubruk maju dan menyerang dengan pedang. Jaraknya memang dekat sekali, dan walaupun manusia yang berilmu tinggi sulit untuk dapat menghindarkan diri. Apapula yang dihadapi sekarang ini hanya seekor orang utan, tentu tidak dapat membela diri seperti manusia.
"Crak..." mendadak padamlah seketika sepasang warna hijau yang mencoreng. Karena serangan Prayoga tadi tepat bekali, menembus sebelah mata orong utan.
Setelah serangannya berhasil, buru-buru Prayoga menarik tangan Sarini dan kemudian diajak bersembunyi lagi.
Orang utan yang terluka itu melengking kesakitan, karena sebelah matanya hancur.
Akibat kesakitan. binatang itu marah. Sambil melengking nyaring itu, sudah mengangkat batu lalu dilontarkan ke depan. Dan oleh lengking binatang itu, kemudian berbondonglah temannya yang lain datang ke tempat itu.
Binatang yang sudah buta sebelah matanya itu terus mengamuk. Seekor anak orang utan yang tidak tahu. datang menghampiri. Akibatnya tubuh kecil itu terpukul, memekik kesakitan. kemudian terlempar beberapa tombak dan menggelinding ke bawah. Kasihan juga anak yang masih kecil itu menjadi korban.
Begitu berdatangan, orang utan yang banyak jumlahnya itu segera mengerumuni yang terluka. Mereka bercuit-cuit riuh. agaknya sedang menghibur dan mencegah supaya tidak mengamuk lagi. Buktinya begitu dikerumuni. sekarang binatang itu berhenti mengamuk, lalu duduk di bawah pohon.
Melihat rombongan orang utan itu, Sarini lupa bahaya. Katanya,
" Kakang... orang utan itu serupa dengan-kera, binatang yang cerdik. Mari kita tangkap seekor saja dan kita pelihara."
"Sari, jangan bicara keras!" cegah Prayoga.
Rombongan orang utan itu, sekarang menggantikan pekerjaan yang terluka matanya. Mencabuti pohon dan menggulingkan batu. Binatang itu ribut tidak keruan. namun belum juga berhasil menemukan tempat persembunyian Sarini dan Prayoga.
Kalau Prayoga dan Sarini dapat lolos dari kejaran gerombolan binatang itu, bukan lain berkat ilmu meringankan tubuh sehingga dapat bergerak cepat. Tetapi di samping itu, juga tertolong oleh keadaan binatang itu sendiri. Matanya tidak dapat dipergunakan memandang ke kiri dan ke kanan, hanya dapat memandang lurus. Oleh kelemahannya ini, untuk memandang ke kiri maupun ke kanan harus memutarkan kepalanya. Dan kalau memandang ke belakang, harus berputar tubuh.
Karena lama sekali tak dapat menemukan Prayodan Sarini, kemudian binatang itu riuh, agaknya ingin meninggalkan tempat itu. Prayoga dan Sarini gembira. Apabila binatang itu pergi, mereka lepas dari bahaya. Akan tetapi celakanya Sarini hilang tiba-tiba, dan Prayoga kaget bukan main. Ketika Prayoga celingukan mencari, aduh mak? ternyata Sarini yang lancang itu, asyik mendekap seekor orang utan yang masih kecil.
Kalau saja saat ini dirinya tidak takut gerombolan binatang itu, ingin rasanya ia berteriak nyaring, untuk mengusir rasa mendongkol dalam dadanya. Siapa orang, takkan mendongkol, justru nyawa diancam maut, Sarini masih mencari penyakit dengan menangkap anak orang utan.
Dan celakanya anak orang utan itu tidak mau ditangkap. Binatang itu meronta, dan setelah berhasil melepaskan diri lalu meloncat pergi. Tetapi Sarini tidak mau melepaskan dan mengejar. Saking jengkel, Prayoga ikut pula meloncat dari tempatnya bersembunyi, dalam usahanya melindungi keselamatan Sarini.
Binatang kecil itu bercuit-cuit nyaring memanggil induknya. Agaknya suara cuitan itu sebagai tanda bahaya. Begitu mendengar cuitan, orang utan besar yang tadi sudah meninggalkan tempat itu, serentak kembali dan bercuitan nyaring.
Betapa marah gerombolan binatang itu, melihat salah seekor anaknya sedang dikejar-kejar manusia. Binatang itu menggeram keras, kemudian menerjang Sarini.
Sarini amat terkejut tetapi sudah terlambat. Ia bermaksud kembali ke tempat Prayoga bersembunyi, tetapi celakanya sudah dikurung oleh puluhan ekor 0rang utan besar, dan saat itu taringnya yang tajam menyeringai.
***** PENGANTAR Cerita ini merupakan kelanjutan dari cerita berjudul "Cinta dan Tipu Muslihat". Oleh sebab itu cerita ini masih menceritakan tokoh-tokoh Kilat Buwono, Ladrang Kuning, Prayoga, Sarini dan Swara Manis. Dan dibakar oleh api "Dendam Kesumat", terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan sebelumnya.
Harapan penulis, semoga, cerita ini dapat menjadi sarana penghibur di waktu senggang,
Terima kasih. ***** " DENDAM KESUMAT "
Karya :Widi Widayat Jilid : II
** SARINI yang ketakutan tubuhnya menggigil gemetaran, . Masih untung dalam detik berbahaya ini otak Sarini masih dapat berpikir. Sambil mengerahkan semangat, ia menjejak tanah dan tubuhnya melenting tinggi. Tetapi di saat dirinya akan jungkir-balik di udara, tahu-tahu binatang itu sudah menyusul melenting dan malah lebih tinggi.
"Mati aku..." Sarini mengeluh dan mengurungkan maksudnya, lalu turun ke bumi lagi.
Dalam hal kepandaian meloncat, sudah tentu binatang itu lebih tangkas. Tetapi dalam hal meluncur turun ke bumi, binatang itu hanya menggunakan gerak alamiah, dan tak bisa setangkas manusia. Pada saat Sarini sudah berdiri di tanah, binatang itu masih di udara. Kesempatan ini tidak disia-siakan, lalu membuang diri ke samping, sehingga lolos dari kepungan. Tepat pada saat itu justru Prayoga sudah menghampiri.
Kalau saja mereka terus lari', kiranya masih dapat menghindarkan diri dari bahaya. Akan tetapi celakanya Sarini sedang kumat kekerasan kepalanya. Begitu lepas dari bahaya, ia melihat kembali binatang kecil yang tadi sudah berhasil ia tangkap. Melihat binatang itu Sarini menjadi marah dan ingin menghajar, karena binatang itu pula yang mencelakai dirinya.
"Mampuslah!" bentaknya sambil memukul.
Prayoga ingin menarik tangan Sarini, tetapi kalah cepat. Anak orang utan itu melengking kesakitan, dan serempak empat ekor orang utan yang besar sudah menerjang Sarini, dan salah seekor malah melompat sambil menerkam.
Prayoga dan Sarini menyambut berbareng.
Crak Crak...!! dua batang pedang berhasil membabat kaki binatang itu. Akan tetapi celakanya binatang itu tidak apa-apa, dan pedang yang tajam itu tidak dapat melukai kulitnya.
Prayoga amat terkejut. Namun secepat kilat ia sudah menyerang lagi. Pantat binatang itu sekarang yang dijadikan sasaran, karena menurut pikirannya merupakan bagian tubuh yang lunak.
Crak... ah... !! lagi-lagi Prayoga kaget. Karena pantat yang disangka lunak itupun tidak mempan dipapas pedang. Sebaliknya binatang itu seperti tidak merasakan apa-apa, terus maju mendekati dan tiba-tiba saja kaki depan sudah menyambar pedang Prayoga. Untung Prayoga tangkas, sambaran binatang itu luput dan Prayoga mengulangi serangannya ke arah dada.
Crak...!! tetapi dada itupun tidak mempan oleh pedang. Tetapi karena serangan ini disertai tenaga sakti, kuasa membuat binatang itu kesakitan dan meraung. Raungan itu menarik perhatian delapan ekor orang utan yang lain, lalu serempak maju dan mengurung.
"Sari, kita harus berdekatan!" Prayoga memperingatkan.
Dalam keadaan bahaya seperti sekarang ini, tentu saja Sarini tidak berani sembrono lagi. Kemudian dengan patuh ia berdiri berdampingan dengan Prayoga.
Orang utan itu sekarang mengepung mereka sambil berpegangan. Tingkahnya tidak berbeda dengan anak manusia yang sedang main jamuran. Makin lama kepungan binatang itu makin menyempit.
Prayoga menusuk perut seekor orang utan yang paling dekat. Di luar dugaan, orang utan itu menjerit
keras membelah angkasa. Pengalaman ini menyadarkan Prayoga, bahwa perut itu kiranya bagian yang terlemah.
Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan, menyerang secara teratur sehingga gerombolan binatang itu terdesak mundur. Namun ketika serangan mereka sedikit kendor, lingkaran binatang itu menyempit lagi.
Bagaimanapun, Prayoga dan Sarini masih dalam keadaan letih setelah melakukan perjalanan berat sehari suntuk. Sebagai akibat belum sempat istirahat ini, maka dalam waktu singkat mereka sudah kepayahan dan hampir habis tenaga.
Dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba saja Sarini putus-asa. Sesudah menghela napas panjang, ia berkata,
"Kakang... kita sulit dapat lolos lagi, dan kita akan segera mati. Mumpung masih ada kesempatan, aku ingin memberitahukan urusan penting kepadamu."
"Sari, jangan berpikir yang tidak-tidak." Prayoga menghibur.
"Guru pernah memberi nasihat, dalam menghadapi bahaya, jangan segera menyerah dan putus asa. Sekarang. mari kita menghadapi bahaya ini dengan tenaga yang masih ada."
Orang utan yang sudah mengurung itu menyerang makin hebat. Celakanya Sarini sudah putus asa. Ia tidak berusaha melawan, malah hanya menyandarkan tubuhnya kepada Prayoga.
Pada mulanya Prayoga amat mendongkol, dan akan mendorong. Namun setelah melihat keadaan Sarini, ia menjadi tidak tega. Karena adik seperguruannya ini dalam keadaan ketakutan dan lelah.
Gerombolan orang utan itu bergerak maju, tetapi tiba-tiba mereka mundur lagi. Sesaat kemudian maju, tetapi lalu mundur lagi. Melihat itu Prayoga heran dan tak mengerti. Akan tetapi sesudah memperhatikan beberapa saat, barulah ia tahu sebabnya.
Binatang itu walaupun bentuknya mirip manusia, tetapi otaknya tidak secerdik manusia. Mereka tidak dapat memperhitungkan tempat. Ketika maju, lingkar kepungan menjadi menyempit, sehingga badan mereka berdesakan dan tak dapat maju lagi. Akibatnya terpaksa mundur lagi. Binatang itu tidak mengerti cara yang tepat, membiarkan satu atau dua ekor kawannya maju, kemudian menangkap dua orang lawan itu. Sebagai akibat ketidak-tahuan binatang itu, sudah tentu hal ini menguntungkan Prayoga dan Sarini.
Sarini yang sudah putus-asa bangkit kembali semangatnya. Akan tetapi mengingat binatang-binatang itu tidak mempan senjata, dua orang anak muda itu-pun tidak berani bertindak gegabah. Sebagai akibatnya, binatang itu juga tidak dapat mendekati.
Karena setiap kali maju mereka saling desak, akhirnya binatang itu marah dan kemudian saling pukul sendiri, karena masing-masing tidak mau mengaku bersalah.
Bluk bluk bluk...!! binatang itu berkelahi. Sarini yang cerdik segera dapat memanfaatkan suasana. Ia segera berbisik kepada Prayoga. Lalu dengan hati_hati mereka menyelinap keluar dari kepungan dan seterusnya lari. Karena binatang itu sedang sibuk berkelahi sendiri, maka binatang itu tidak memperhatikan kalau lawan sudah lolos.
Prayoga dan Sarini menuju utara. Tiba-tiba Sarini memalingkan muka ke belakang dan melihat seekor anak orang utan mengikuti di belakang.
Padahal anak orang utan itulah yang menimbulkan gara-gara, hingga hampir saja mereka celaka. Maka melihat anak orang utan ini timbul kemarahan Sarini. Ia menghampiri dan kemudian memberi hadiah dua kali pukulan. Karena merasa sakit, anak orang utan itu menjerit jerit kesakitan.
"Minta ampun..." Prayoga mengeluh melihat ulah Sarini yang tak lagi dapat dicegah.
Kekhawatiran Prayoga terbukti. Tiba-tiba muncul seekor orang utan besar sekali. Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, orang utan bangkotan itu sudah tiba di tempat Sarini dan Prayoga, dan langsung menyerang. Batu-batu beterbangan, melayang ke arah Prayoga dan Sarini.
Serangan batu besar itu menyebabkan Prayoga dan Sarini sibuk menghindarkan diri. Berulang kali ujung pedang Sarini menusuk binatang itu, tetapi kulit binatang itu tidak mempan senjata. Sebagai akibatnya, Sarini sendiri yang kepayahan dan lemas. Tahu-tahu orang utan itu telah berhasil menyambar pedang Sarini, dan sekali ditekuk pedang itu patah menjadi dua.
Sarini kaget setengah mati. Tetapi sekalipun begitu gadis ini sudah marah. Ketika ada dua butir batu melayang kearahnya, batu itu ditangkap langsung disambitkan kembali ke arah binatang itu, dan tepat ke arah mata.
Namun sayangnya, binatang itu tangkas menghindar, sehingga lemparan batu itu tak berhasil. Sekalipun demikian binatang itu menjadi marah, menggeram keras lalu menerkam Sarini sambil menyeringai.
Melihat itu Prayoga kaget sekali. Demi membela Sarini, ia menusuk sekuat-kuatnya ke arah perut si orang utan. Namun karena gugup, tusukannya meleset. Sekalipun meleset. tetapi tusukan itu cukup membuat binatang itu meraung kesakitan.
dengan marah orang utan itu merebut pedang Prayoga, kemudian dipatahkan menjadi dua. Tetapi sekalipun kehilangan pedang, Prayoga dapat menyelamatkan Sarini, kemudian diajak melarikan diri. Sayang sekali, gerak dua orang muda ini tetap saja kalah gesit dibanding dengan binatang itu. Hanya dengan beberapa kali loncatan saja, orang utan itu sudah berhasil menyusul.
Saat sekarang, Sarini dan Prayoga sudah tidak mempunyai senjata lagi. Untuk menghindarkan diri dari serangan orang utan itu. terpaksa mereka menggunakan kegesitan dan kelincahan agar selamat. Akan tetapi sekalipun begitu, makin lama mereka menjadi letihjuga. Karena letih dan lelah kemudian gerak mereka menjadi lambat. Dan beberapa kali binatang itu hampir saja dapat menerkam.
Sekarang ini Prayoga bukan hanya mementingkan keselamatan sendiri. Setiap kali Sarini terancam oleh binatang itu. Prayoga segera menerjang untuk menolong. Sebagai akibatnya dalam waktu tidak lama pakaian Prayoga menjadi compang-camping oleh cakaran kuku orang utan yang tajam. Karena makin lama ia menjadi letih, secara tidak terduga kuku binatang itu berhasil mencakar pahanya dan terluka.
Darah mengucur dari paha, sakitnya bukan kepalang dan jangan tanya lagi. Dalam waktu tidak lama, luka itu sudah menyebabkan kaki terasa kaku. Akan tetapi pemuda itu tetap bertahan diri. Sebaliknya orang utan itu semakin lama semakin ganas. Kalau bang-kotan itu menyerang dengan ganas, maka Sikecil bercuit-cuit kelas sambil menonton. Seakan-akan binatang kecil itu sedang bersorak-sorak mengejek kepada Prayoga yang kesakitan.
Sarini amat mendongkol. Teriaknya,
"Kurangajar engkau! Huh, awas kalau engkau dapat aku tangkap lagi. Huh, akan aku beset kulitmu biar tahu rasa!"
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba orang utan bangkotan itu tertawa aneh. Nadanya seperti orang menjerit.
"Celaka-!"Prayoga mengeluh.
Prayoga menduga, orang utan itu tentu sedang mengundang kawan-kawannya. Menghadapi seekor saja
sudah cukup memusingkan kepala, apapula kalau berhadapan dengan beberapa ekor. Tidak urung akan celaka.
Mengingat bahaya yang mengancam, Prayoga cepat bertindak. Ia berpikir harus mengakhiri perkelahian ini secepatnya, sebelum gerombolan orang utan itu datang menyerbu. Kemudian sambil meloncat Prayoga menusukkan jari tangan ke mata binatang itu. Celakanya, serangan itu dapat dihindari secara tepat. Dan serempak dengan peristiwa itu, terdengarlah suara ketawa yang aneh saling susul. Itulah sebagai penanda bahwa gerombolan orang utan itu sudah datang.
Melihat bahaya mengancam, Prayoga menjadi kalap. Sambil menahan rasa sakit dan kaku pada bagian pahanya, sekali-lagi ia menghantam sekuat-kuatnya kepada binatang itu. Kemudian ia mendorong tubuh Sarini ke belakang dengan maksud agar, adik seperguruannya itu selamat. Sedang dirinya sendiri, tidak memperhitungkan hidup maupun mati.
Akan tetapi sungguh sayang, apa yang direncanakan oleh Pray oga ini gagal. Dirinya sudah lelah dan hampir kehabisan tenaga. Dorongannya kepada Sarini tidak berhasil, dan Sarini tidak terdorong jauh. Dan-sebagai akibatnya, Sarini sudah berhasil disambar salah seekor orang utan.
Setelah berhasil menyambar Sarini, orang utan itu mendongak ke angkasa dan ketawa keras sekali. Prayoga yang kaget sekali terlonggong beberapa saat. Mendadak pemuda ini kaget sekali, karena dirinya merasa dipeluk dari belakang oleh sepasang tangan yang kuat dan berbulu .Prayoga gelagapan akan tetapi ia tidak mau berusaha meronta. Ia berdiam diri karena tahu sekalipun meronta tak berguna. Karena itu ia membiarkan diri tubuhnya diangkat oleh binatang itu. Dan di saat tubuhnya terangkat ini, orang utan itu ketawa nyaring.
Diam-diam Prayoga mengerahkan tenaga sakti dalam usaha-mengurangi rasa sakit oleh cengkeraman binatang itu. Akan tetapi pemuda itu memang seorang pemuda baik hati, tidak memperdulikan dirinya sendiri terancam maut sebaliknya ia malah memikirkan keselamatan adik seperguruannya. Teriaknya,
"Sari apa yang terjadi dengan engkau?"
Sesungguhnya, Sarini juga mengkhawatirkan keselamatan Prayoga. Akan tetapi sekalipun demikian, kekhawatiran dua orang muda ini berlainan. Kalau Prayoga khawatir oleh dorongan rasa kasih kepada adik seperguruannya, sebaliknya kekhawatiran Sarini oleh rasa cinta kasih yang murni.
Keadaan di tempat itu berobah menjadi riuh. Setelah Prayoga dan Sarini berhasil ditangkap, binatang-binatang itu melonjak-lonjak kegirangan dan menari-nari. Ketika itu, Sarini ditangkap oleh orang utan pada kakinya. Sedang tangannya masih dapat bebas bergerak. Dalam keadaan demikian itu ia menjadi kalap dan menghantam kalang kabut. Namun celakanya pukulan itu tidak berarti apa-apa bagi binatang itu. Pukulan itu disambut dengan ketawa dan giginya meringis, seakan sedang gembira dipijati oleh gadis cantik.
Karena tak berdaya lagi, Prayoga ingin meniru perbuatan Sarini. Namun baru saja ia mengerahkan tenaga untuk menendang, tiba-tiba terdengar suara orang masuk lubang telinganya, halus sekali,
"Bocah... jangan bergerak sembarangan."
Prayoga terkejut berbareng girang. Ia tidak asing lagi kepada suara orang yang baru didengarnya itu. Suara Jim Cing Cing Goling.
Dugaannya memang tepat. Orang yang mengirimkan suara lewat Aji Pameling itu bukan lain Jim Cing Cing Goling. Ketika Prayoga memalingkan mukanya ke arah Sarini, ternyata gadis itu sudah berhenti bergerak pula.
Prayoga menduga, bahwa Sarini telah mendapat pula bisikan Jim Cing Cing Goling lewat Aji Pameling. Tetapi sekalipun demikian ia masih ragu, maka teriaknya,
" Sari, engkau tak usah khawatir lagi. Tak lama lagi paman Cing Cing Goling akan datang dan menolong kita."
"Hemm, tak usah kau beritahu, aku sudah tahu. Bukankah kakek Cing Cing Goling datang bersama paman Jaladara?"
Beberapa saat kemudian muncullah Jim Cing Cing Goling bersama Wasi Jaiadara. Akan tetapi sebaliknya naluri orang utan itu tajam sekali. Begitu mendengar orang bicara, binatang-binatang itu curiga dan mencengkeram lebih keras. Dan celakanya, orang utan bangkotan yang menangkap kaki Sarini, sudah merentangkan tangannya, agaknya bermaksud akan merobek selankang gadis itu. Tentu saja Sarmi terkejut dan ketakutan. Ia cepat-cepat mengerahkan tenaganya untuk melawan, namun celakanya kalah kuat.
"Kakek... tolong... tolong..." Sarini berteriak ketakutan minta tolong kepada Cing Cing Goling.
Oleh teriakan Sarini itu, Jim Cing Cing Goling telah melesat ke belakang orang utan, dan dua titik hitam telah menyerang perut orang utan bagian bawah. Binatang itu memekik nyaring, kemudian berputar untuk mencari si penyerang.
Jim Cing Cing Goling terkejut bukan main. Tidak diduganya sama sekali, sambitannya tidak dapat merobohkan orang utan itu, dan hanya berhasil membuat kesakitan saja
"Adi Jaladara!" teriaknya.
"Terimalah bumbung bambu isi ular ini!"
Setelah berteriak, Cing Cing Goling segera melemparkan bumbung bambu itu ke arah Wasi Jaladara.
Sesudah itu secepat kilat Cing Cing Goling sudah
meloncat ke atas lalu menghantam dada orang utan bangkotan itu. Si orang utan tidak sanggup menerima serangan itu, dan mundur selangkah. Akan tetapi Cing Cing Goling terus membayangi, dan dengan gesit telah menghujani pukulan bertubi-tubi.
Duk-duk-duk...!! orang utan itu menjerit kesakitan. Serangan Cing Cing Goling yang dipusatkan ke perut bagian bawah, menyebabkan orang utan itu lemas, sehingga tak kuasa lagi mengangkat kaki bagian depan. Kemudian tubuhnya terguling roboh, tak kuasa lagi bangkit. Agaknya isi perut binatang itu berantakan oleh pengaruh hantaman Cing Cing Goling.
Melihat kesempatan ini Sarini segera meronta dan menjejak lengan orang utan itu, dan lepaslah dia dari dekapan binatang yang kuat itu. Namun setelah dapat berdiri di tanah, Sarini kaget melihat keadaan sekeliling. Ternyata pekik orang utan bangkotan tadi, dalam usaha memanggil kawan-kawannya. Kemudian berpuluh ekor orang utan sudah muncul dan berbaris mengurung tempat itu. Seekor diantara binatang itu segera menubruk dan menelungkupi binatang yang mati. Orang utan itu melengking-lengking tidak bedanya orang sedang menangisi sesuatu.
Saat ini Prayoga masih belum terlepas dari cengkeraman orang utan. Wajah pemuda itu merah padam karena mengerahkan tenaga sakti. Melihat itu Sarini yang khawatir-bertanya kepada Cing Cing Goling,
"Kakek, bagaimana caranya aku dapat menolong kakang Prayoga?"
"loncat dan seranglah mata binatang itu. Mudah mudahan kakakmu bisa lepas!" Cing Cing Goling memberi nasihat.
Sarini segera meloncat menerjang mata orang utan itu. Sedang Cing Cing Goling diam-diam membantu dengan menyapu kaki binatang itu.
"Uh...!" Sarini kaget ketika orang utan itu miringkan kepalanya, sehingga tusukan jari gadis ini luput. Namun di luar dugaan. luput menusuk mata, jari tangan Sarini mengenai pelipis. Padahal pelipis merupakan bagian paling lemah bagi orang utan. Maka memekiklah orang utan itu sekeras-kerasnya, dan sebelah kaki depan membalas mencakar Sarini. Tepat pada saat itu, kaki Cing Cing Goling sudah menyerampang.
Krak... !! dan patahlah sebelah kaki binatang itu, kemudian roboh. Prayoga cepat meronta. dan terlepas. Begitu lepas dengan geram ia sudah melancarkan pukulan, sehingga putuslah nyawa binatang itu.
Sambil menyongsong Prayoga yang terlepas dari bahaya, Sarini berkata,
"Kakang, sekarang kita mendapat kawan mati, dua ekor orang utan."
"Ha-ha-ha, " Jim Cing Cing Goling terbahak.
"Siapa bilang kawan mati'? Kita kawan seperjuangan yang harus bahu membahu menghadapi bahaya. Hayo, jangan diberi kesempatan binatang itu mendekati kita."
Prayoga dan Sarini terbangun semangatnya. Kemudian mereka berempat menghadap keempat penjuru. Sekarang setelah bebas dari dekapan orang utan, Sarini dapat mengamati Wasi Jaladara. Melihat orang tua itu gundul pelontos dan jubahnya jigrang (terlalu tinggi), Sarini geli dan tertawa.
"Sari... awas..." tiba-tiba Prayoga berteriak sambil melancarkan pukulan kepada orang utan yang tiba-tiba menyerang Sarini.
Pengalaman ini membuat Sarini tidak berani sembrono lagi. Sekarang seluruh perhatian ditujukan kepada barisan orang utan yang buas itu. Namun anehnya, binatang itu sekarang tidak berani mendekati mereka. Agaknya binatang-binatang itu kenal juga akan ampuhnya pukulan Jim Cing Cing Goling.
Tanpa terasa, pagi telah tiba, dan matahari
timur menyinarkan cahaya terang. Sekarang mereka dapat mengamati sekitarnya dengan jelas. Namun demikian karena semalaman tidak dapat mengaso. empat orang ini menjadi letih dan tenaga hampir habis. Sebaliknya binatang yang mengepung itu belum tampak lelah dan makin menunjukkan kebuasannya.
Bagi tokoh tua seperti Jim Cing Cing Goling dan Wasi Jaladara ini, sudah tidak dapat menghitung berapa kali berkelahi dan menang. Akan tetapi yang mereka hadapi tidak seperti sekarang ini. Mereka terpaksa harus memeras tenaga habis-habisan. Maka diam-diam mereka juga khawatir kalau tidak dapat lolos dan harus mengakhiri hidup di tempat terasing ini.
Jim Cing Cing Goling mengamati sekeliling sambil menghitung. Ternyata jumlah orang utan itu cukup banyak, tidak kurang limapuluh ekor. Kalau harus menghadapi terus-menerus, ia tidak tahu sampai kapan tenaganya mampu melawan binatang yang buas itu.
Tiba-tiba ia memalingkan muka ke arah Prayoga, lalu bertanya,
"Hai Prayoga. Apa sebabnya engkau memberitahu bocah tua Jaladara, di tempat ini berdiam gerombolan Surogendilo?"
"Bukan aku. Tetapi Dasa Muka!" sahut Prayogasambil melancarkan dua pukulan ke arah orang utan yang mencoba merangsang maju.
"Hem... engkau sudah tertipu oleh bangsat itu!" Cing Cing Goling memberitahu. Kemudian ia mengalihkan pembicaraannya kepada Sarini dan bertanya,
"Denok, biasanya otakmu cerdas. Tetapi mengapa engkau juga dapat ditipu oleh bangsat itu?"
Tetapi Sarini tidak mempunyai banyak waktu untuk menyahut. Sebab saat itu dirinya sibuk melancarkan pukulan membendung rangsangan orang utan.
Jim Cing Cing Goling insyaf akan keadaan. Menurut
pendapatnya, sekalipun datang bantuan dua orang tokoh sakti, belum mungkin dapat menolong. Namun karena tidak ingin mengecilkan hati dua orang muda itu, ia tidak mau memberitahukan.
Untuk membuat tidak sepi dan mengurangi rasa tegang, ia berkata lagi kepada Prayoga.
"Hai Prayoga, ternyata benar si kerdil Sampar Mega itu memang linglung. Hemm, sesudah ularnya berhasil aku rampas, dia lalu menantang aku bertanding pada tiga bulan lagi. Tetapi kalau sekarang aku menghadapi keadaan begini, mungkinkah aku masih dapat menunggu tiga bulan lagi?"
"Beberapa bulan lalu ketika dia sedang berusaha menangkap ular Gadung Dahana di Muria, menjadi gagal oleh perbuatanku yang tidak sengaja, " sahut Prayoga.
"Hemm... paman Cing Cing Goling... ."
"He-he-he memang dalam waktu tak lama lagi, kita akan binasa di tangan binatang-binatang itu. Kemudian kita sekalian akan mati penasaran, lalu menjadi Cing Cing Goling... "
Entah mengapa sebabnya, tiba-tiba saja orang tua ini malah berolok-olok.
Prayoga yang merasa dipersalahkan karena dapat ditipu Dasa Muka, segera membela diri,
"Paman, hendaknya jangan mentertawakan dulu. Ketika itu memang aku dengar si Dasa Muka menyebut-nyebut Sumur Jalatunda. Ahh... begitu ingat nama Sumur Jalatunda, akupun segera teringat bahwa Ndara Menggung pernah pula menyebutnya. Ketika itu, Ndara Menggung berkata, kalau dirinya berhasil menangkap ular Gadung Dahana, dia ingin mengajak aku pergi ke SumurJalatunda. Benar benar, memang dia menyebut Sumur Jalatunda itu... ."
Bret... !! karena perhatian terpecah, bajunya dapat dicakar kuku orang utan dan tambah robek lagi. Celakanya, kulit lengannya ikut terobek hingga menderita luka pula. Dengan demikian sekarang paha dan lengannya sudah terluka, sedang pakaiannya sudah compang camping tak keruan.
"Teruskan, apa kata si kerdil itu lagi?" kata Jim Cing Cing Goling sambil menolong, menghantam sekuatnya sehingga binatang itu menjerit kesakitan.
Belum sempat Prayoga menyahut, telah didahului Sarini,
"Kakek, menurut pendapatmu, apakah kesaktian kakek sebanding dengan kesaktian Ndara Menggung?"
Sesungguhnya Jim Cing Cing Goling sedang memeras otak. menghubungkan ular Gadung Dahana dengan Sumur Jalatunda. Sebab hal itu tentu mengandung rahasia tertentu.
Ia berjingkrak gembira, mendapat pertanyaan Sarini itu. Sebab tanpa sengaja pertanyaan Sarini itu justru menolong. Sesudah merasa pasti, ia berteriak,
"Ha-ya? Tuhan memang belum menghendaki kita mati di tempat ini. Heh-heh-heh, percayalah kita segera tertolong."
Baik Sarini maupun Prayoga telah mengenal Jim Cing Cing Goling yang cerdik dan banyak akalnya. Maka kakak beradik ini percaya, orang tua itu tentu telah menemukan cara mengalahkan gerombolan orang utan. Akan tetapi sebaliknya Wasi Jaladara yang belum tahu maksudnya, bertanya,
"Apa yang akan engkau lakukan?" Namun Jim Cing Cing Goling tidak menyahut. Secepat kilat ia menyambar tabung bambu yang tadi malam diserahkan kepada Wasi Jaladara. Kemudian ia membuka sumbat tabung, lalu dilemparkan ke depan ke arah gerombolan orang utan.
SS... ss...ss... suara mendesis panjang segera terdengar dari dalam tabung bambu. Dan tak lama kemudian seekor ular warna hijau dengan kepala merah sudah keluar dari bumbung.
Begitu ular Gadung Dahana keluar dari bumbung, gerombolan orang utan yang semula buas dan garang itu. mendadak telah berobah ketakutan seperti manusia melihat hantu. Seketika buyarlah gerombolan orang utan itu dan lari berserabutan. Sedang orang utan yang tidak sempat lari, seperti lumpuh tak dapat bergerak, dan tubuhnya bergoyang seperti menderita kedinginan.
Melihat itu Sarini lupa akan derita. Ia berjingkrak gembira dan berteriak,
"Bagus! Hai ular Gadung Dahana, cepat gigitlah orang utan yang besar itu. Haya, ternyata orang utan yang kebal senjata itu ketakutan berhadapan dengan seekor ular yang kecil."
Ular itu berputaran sebentar, kemudian ekornya menekan tanah dan kepalanya terangkat tegak berdiri. Lidahnya yang merah membara menjulur keluar, dan terdengar suara desis yang tiada hentinya.
Orang utan yang berdiri paling depan, tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut seperti berhadapan dengan orang yang paling dihormati. Dan tiba-tiba ular Gadung Dahana itu menjulurkan tubuhnya ke depan, lalu memagut si orang utan. Aneh, sekali pagut orang utan itu roboh di tanah, meregang sebentar, kemudian mati.
Apa yang terjadi memang di luar dugaan sama sekali. Puluhan ekor orang utan itu tiba-tiba menjadi ketakutan, hanya berhadapan dengan seekor ular Gadung Dahana. Binatang-binatang berlutut dan berdiam diri seperti para tawanan-menunggu hukuman, apapun yang terjadi.
Dalam waktu singkat sekali, enam ekor orang utan sudah menggeletak mati oleh pagutan ular berbisa tersebut. Sekarang semua orang utan yang pada mulanya garang itu telah berobah sikap. Semua memandang Prayoga dan kawan-kawannya, dan nampaknya seperti minta dikasihani.
Rupanya Jim Cing Cing Goling dapat menangkap
maksud binatang-binatang itu. Katanya kemudian,
"Hemm... gerombolan orang utan itu memang buas dan ganas. Akan tetapi kalau orang tidak mengganggu, binatang itupun tidak bakal mengganggu kita. Mengingat itu, kiranya lebih bijaksana kalau kita bebaskan binatang-binatang ini."
Semua temannya setuju saran Jim Cing Cing Goling ini. Meskipun demikian, Sarini masih mengajukan syarat,
"Boleh saja kalau binatang itu minta hidup. Akan tetapi aku harus mendapat dua ekor anak orang utan, maksudku akan aku pelihara."
Di saat mereka sedang bicara itu. lima ekor orang utan telah roboh lagi dan mati. Setiap ular Gadung Dahana menggigit leher korban, dari leher itu tentu segera keluar darah berwarna hitam. Itu merupakan pertanda bahwa racun ular itu memang ganas sekali.
"Percayalah, bahwa semua orang utan ini tidak berani lagi membangkang perintah kita." Jim Cing Cing Goling berkata, dengan nada yang halus.
melihat nasib para orang utan itu, yang tentu akan mati semua kalau ular Gadung Dahana ini dibiarkan menggigit terus.
"Dan agaknya Ndara Menggung memang mempunyai rencana untuk menaklukkan binatang ini, dan ingin mendapat kesempatan pula memelihara. Tidak aneh kiranya kalau dia berusaha mati-matian untuk bisa memperoleh ular Gadung Dahana ini."
Setelah berkata, ia meloncat maju dan dengan gerakan yang gesit pula, ia menyambar kepala ular itu dengan tiga batang jari tangan kiri. Kemudian tangan kanan segera memijat bagian ekor. Beberapa kali ular Gadung Dahana berusaha mengeliat untuk memberontak. Akan tetapi pijatan jari tangan pada dekat pantat. menyebabkan ular berbisa itu kemudian lumpuh. Kemudian dengan gampang, ular Gadung Dahana telah dimasukkan ke dalam bumbung lagi.
Begitu ular yang bisanya jahat sekali itu sudah di dalam tabung bambu, hiruk-pikuklah semua orang utan yang masih hidup. Hampir semuanya melonjak-lonjak, nampaknya seperti sedang gembira terbebas dari maut.
Jim Cing Cing Goling segera menyuruh Sarini, supaya memilih anak orang utan yang disukai. Sarini gembira sekali. lalu maju dan memilih dua ekor diantara belasan anak orang utan yang ada.
"Hai orang utan. Kamu semua harus tunduk pada dia! Jika kamu berani membangkang, semua orang utan ini akan aku binasakan!" seru Jim Cing Cing Goling.
Mengerti atau tidak, Jim Cing Cing Goling sudah berkata berisi ancaman. Namun nyatanya gerombolan orang utan itu tidak ada yang berani membantah, dan tidak seekorpun yang berani menghalangi Sarini mengambil dua ekor anak orang utan.
Terdorong oleh rasa gembira bahwa keinginannya terkabul, saat itu juga dua ekor anak orang utan itu dipeluk penuh kasih, kemudian diberi nama Joli dan Jodhang.
"Hai Joli dan Jodhang," serunya gembira
"Hayo, ikut aku pergi! "
Dan di luar dugaan pula, dua ekor anak orang utan itu menurut, lalu mengikuti Sarini. Sarini menjadi gembira sekali, menari-nari dan ketawa cekikikan membuat Jim Cing Cing Goling ketawa geli.
Setelah bebas dari bahaya ini, yang pertama kali diingat oleh Prayoga hanya Mariam. Katanya,
" Sari, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, dan segera menuju kawah Candradimuka. Hemm... aku khawatir akan keselamatan mbakyu Mariam."
"Lagi-lagi mbakyu Mariam... mbakyu Mariam... ." pekik Sarini sebagai protes, karena tidak senang.
"Sari, apakah maksudmu? Kau harus sadar bahwa kita sudah terlambat satu malam."
Melihat mereka berbantahan, Jim Cing Cing Go-ling ketawa gelak-gelak.
"Ha-ha-ha-ha, apabila hendak mendaki gunung yang penuh dengan jurang terjal, kamu harus bertenaga penuh. Hayo, lekaslah kalian bersemadhi untuk mengembalikan semangat dan tenagamu. Percayalah, sesudah kamu lakukan, perjalanan kita akan menjadi cepat"
Tanpa-membantah, Prayoga segera meloncat ke salah sebuah batu, kemudian ia sudah bersemedhi. Melihat cara Prayoga mengatur pernapasan, Jim Cing Cing Guling mengangguk-angguk, ujarnya,
"Bagus! Engkau sekarang sudah banyak maju."
Sesudah tiga orang itu tenggelam dalam semedhinya, Jim Cing Cing Goling berpikir keras. Dua ekor anak orang utan ini harus dididik, diajar disiplin, di samping harus diberi ilmu tata kelahi. Hanya dengan cara demikian, dua ekor anak orang utan ini mempunyai kegunaan dan manfaat, dipelihara oleh Sarini. Dan dengan demikian, dua ekor anak orang utan ini pada nantinya akan dapat dijadikan pengawal terpercaya dalam menghadapi setiap gangguan.
Berpikir demikian, Jim Cing Cing Guling teringat kepada salah satu ilmu tata kelahi yang dimiliki, dan yang tepat diajarkan kepada dua ekor anak orang utan itu. Ilmu tata kelahi tersebut bernama "Wanara Sakti". Ia percaya, dua ekor anak orang utan ini akan dapat mengerti dalam waktu singkat, karena gerakan-gerakannya amat sesuai.
Sambil menunggu mereka yang sedang bersemadhi, Jim Cing Cing Goling segera memberi pelajaran ilmu tata kelahi kepada Jodang dan Joli. Ilmu tata kelahi "Wanara Sakti" tersebut terdiri tujuh jurus, dan dengan patuh, Jodhang dan Joli menirukan gerak Cing Cing Goling.
Pada mulanya memang kaku gerakan Jodhang dan Joli. Tetapi berkat ketekunan Jim Cing Cing Goling. Jodhang dan Joli dapat berkelahi dengan baik sekalipun belum sempurna.
Prayoga, Sarini dan Wasi Jaladara menyelesaikan semadhinya hampir berbareng. Begitu membuka mata, melihat gerak-gerik Jodhang dan Juli, menjadi gembira sekali. Serunya,
"Hai, dengan memiliki dua ekor orang utan yang kuat seperti itu, berarti kita mendapat pembantu tepercaya. Ah, kita tidak perlu khawatir lagi menghadapi pertempuran di Gunung Slamet pada hari Lebaran."
Karena Prayoga gembira, Sarini menjadi gembira juga. Katanya,
"Kakang jika engkau ingin, biarlah si Joli menjadi milikmu."
Di luar dugaan, Prayoga menolak,
"Huh, aku tidak sudi kau suruh memelihara binatang buruk rupa seperti itu."
"Hem, jangan cepat mencela." Sarini menjadi sengit.
"Tunggu beberapa hari lagi, jika aku sudah mendapat kesempatan membelikan pakaian untuk Joli dan Jodhang. Tentu menjadi berubah keadaannya, dan akan menjadi sepasang muda-mudi yang gagah perkasa."
Tiba-tiba Jim Cing Cing Goling ketawa terkekeh dan berkata,
"Hai adi Jaladara. Apakah engkau tidak mendengar ucapan bocah perempuan itu? Dia tadi mencaci engkau seperti orang utan."
Akan tetapi Wasi Jaladara yang sudah mengenal watak Jim Cing Cing Guling yang suka berseloroh, tidak marah malah tertawa terkekeh juga. Sahutnya kemudian,


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Heh-heh-heh, dia tidak salah. Aku memang mirip orang utan."
Mendengar jawaban Wasi Jaladara ini, Sarini yang semula khawatir menjadi lega dan tersenyum.
beberapa saat lamanya mereka masih menunggu Jodhang dan J0li yang sedang dilatih ilmu tata kelahi oleh Jim Cing Cing Goling. Sarini yang bawel kemudian bertanya,
"Kakek, apakah nama ilmu tata kelahi yang kau ajarkan kepada Joli dan Jodahng?"
"Namanya Wanara Sakti," sahut Jim Cing Cing Goling tanpa berpaling.
"Bagus! Wanara berarti kera, Sakti sama dengan digdaya. Ah, mempunyai Jodang dan Joli yang sakti, siapa tidak ingin?" Maksud Sarini, agar hati Prayoga tergerak. Namun celakanya pemuda jujur itu berdiam diri.
Sesudah Jodhang dan Joli dapat bergerak lumayan dalam ilmu tata kelahi "Wanara Selai". akhirnya Jim Cing Cing Goling lega dan berkata,
"Sudah cukup! Mari kita sekarang meneruskan perjalanan."
Mereka kemudian melangkah menuju Goa Jimat. Tetapi tiba-tiba Prayoga teringat kepada mustika dalam batu, yang ditemukan kemarin. Hal itu lalu diceritakan kepada Jim Cing Cing Goling. Orang tua ini begitu mendengar membelalakkan mata, bertanya,
"Benarkah itu?"
"Benar, dan aku merasa pasti!" sahut Prayoga pasti.
"Hemm. mustika dalam batu itu.jauh lebih berguna dan bermanfaat dibanding ular Gadung Dahana," kata Jim Cing Cing Goling.
"Karena barang siapa yang dapat makan mustika tersebut, tubuhnya bakal menjadi ringan dan berumur panjang. Hai. mengapa bingung? Kita sekarang sudah mempunyai Joli dan Jodhang. Suruh saja menggotong batu itu, lain hari dapat diurus. Hayo sekarang kita secepatnya ke sana sebelum orang lain mendahului. Ah, berbahaya sekali apabila mustika dalam batu itu sampai jatuh ke tangan orang berwatak jahat."
Dalam hati Prayoga tidak percaya
kalau ada orang lain yang tahu tentang batu itu. Akan tetapi sekalipun begitu, Prayoga menurut juga lalu pergi ke tempat batu mustika.
Belum jauh melangkahkan kaki, tiba-tiba Prayoga berteriak kaget,
"Hai di sana ada orang .?"
Prayoga menuding. Kemudian mereka semua melihat, seorang laki-laki sedang sibuk membacok batu besar. Orang itu menggunakan sebatang pedang, namun pedang tersebut memancarkan sinar kehijau-hijauan.
"Ah... Swara Manis!" Sarini berteriak kaget mengenal orang itu.
"Celaka... jelas mbakyu Mariam sudah dijual kepada Surogendilo. Kalau tidak, mana mungkin Swara Manis dapat memiliki pedang semacam itu?"
Tanpa berkata, Prayoga sudah melesat dengan maksud untuk menyergap Swara Manis. Namun sayang, sebelum Prayoga sampai di tempat Swara Manis, orang ini sudah mendengar teriakan Sarini. Ia memalingkan muka dan tampak kaget.
Orang itu memang Swara Manis. Melihat orang datang, Swara Manis mempercepat usahanya membacok batu itu, agar menjadi kecil. Memang batu gunung yang keras itu seperti kayu yang empuk, dibacok oleh pedang pusaka. Dalam waktu yang tidak lama, batu yang semula besar itu sudah menjadi kecil. Sayang, sebelum Swara Manis dapat menyelesaikan usahanya, Prayoga sudah muncul langsung mendamprat,
" Bangsat Swara Manis. Engkau manusia terkutuk yang sampai hati menukarkan mbakyu Mariam dengan pedang pusaka. Huh, hari ini engkau harus mampus di tanganku!"
Swara Manis tidak dapat mengungkiri tuduhan itu. Pedang pusaka di tangannya sekarang ini, memang hasil usahanya menukar dengan Mariam.
Seperti sudah diceritakan, Swara Manis bersama Dasa Muka mengajak Mariam ke sarang gerombolan Surogendilo. Letak sarang penyamun itu diantara Ka
wah Candradimuka dan Gunung Jimat. Akan tetapi kepada Mariam, pemuda licin itu telah menipu dan mengatakan menuju Gunung Slamet tempat tinggal kakek gurunya.
Karena Mariam tidak tahu perbedaan antara pegunungan Dieng dengan Gunung Slamet, maka perempuan ini tidak sadar sedang ditipu. Setelah tiba di Pegunungan Dieng, Mariam bertanya,
"Kakang, apakah di daerah ini yang menjadi tempat tinggal kakek gurumu Ki Hajar Sapta Bumi? Kalau benar lalu di manakah letak padepokan itu? Dan apakah beliau tahu pula bahwa engkau akan datang?"
"Tak lama lagi engkau akan sampai di sana, dan engkau akan tahu sendiri," Swara Manis menghibur.
"Kakang," bisiknya mesra.
"Engkau mengharapkan anak laki-laki atau perempuan, terhadap anak kita pertama?"
Pertanyaan itu sebenarnya menimbulkan rasa sebal dalam hati Swara Manis. Akan tetapi karena khawatir rencananya bisa gagal kalau bersikap kurang simpatik, maka Swara Manis berbalik bertanya,
"Bagaimanakah perasaanmu kalau lahir laki-laki? Dan bagaimanakah pula sambutanmu kalau anak itu lahir perempuan?"
"Hem... entahlah," sahutnya Mariam, sambil merapatkan tubuhnya kepada Swara Manis.
"Aku sendiri tidak tahu apakah anak kita akan lahir laki-laki atau perempuan. Tetapi, kalau saja aku boleh berharap, biarlah anak kita yang pertama nanti lahir laki-laki dan tampan seperti ayahnya. Ah, jika benar begitu akan aku beri nama Bambang Rama."
"Aih... mengapa engkau beri nama begitu?"
"Kakang, nama itu mempunyai nilai sejarah hubungan kita. Bambang berarti laki-laki. Ra mengambil sebagian namamu, dari Swara. Sedang Ma mengambil
sebagian namaku, dari Mariam. Bukankah nama seperti ini tepat sekali, dan anak kita akan selalu ingat bahwa lahirnya di dunia ini dengan perantaraan aku dan engkau?"
"Heh-heh-heh," Swara Manis terkekeh.
"Engkau pandai sekali memilih nama diajeng. Tetapi ah... sesungguhnya aku berpikiran lain."
"Apa maksudmu?"
"Aku mengharapkan anak kita yang pertama lahir perempuan. Mengapa? Ada alasan mengapa aku menghendaki perempuan. Karena aku berharap anak kita itu cantik jelita dan mempunyai budi pekerti yang luhur seperti ibunya. Hemm, kalau saja harapan saya itu terkabul, anak perempuan itu akan aku beri nama Larasati."
"lho, mengapa Larasati? Menurut cerita pewayangan, Larasati hanya menjadi seorang selir dari sejumlah selir Raden Harjuna yang banyak jumlahnya. Apakah kakang menghendaki anak kita begitu rendah kedudukannya?"
"Heh-heh-heh, diajeng Mariam yang cantik, jangan cepat salah paham. Nama Larasati itu mengandung makna tenteram. bahagia, tenang dan masih banyak lagi. Namun sudah tentu aku tidak menginginkan anak kita itu menjadi siteri orang, tetapi dimadu dengan perempuan lain. Kalau aku menginginkan nama Larasati, karena Larasati itu seorang puteri prajurit. Engkau seorang wanita yang berilmu tinggi. Bukankah kitapun berharap agar anak kita kelak kemudian hari menjadi seorang wanita berilmu tinggi, sehingga tidak sembarangan orang berani menghina?"
Mendengar penjelasan itu Mariam menjadi puas dan tersenyum manis. Mariam masih tetap saja beranggapan bahwa Swara Manis mencintai dirinya sepenuh hati. Mariam tidak pernah menduga buruk, bahwa Swara Manis telah menyalah-gunakan kepercayaannya.
Ketika perjalanan mereka hampir mendekati Kawah Candradimuka, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebatang anak panah yang melayang ke arahnya. Cepat cepat ia mencabut senjatanya untuk menangkis sambil berseru,
"Hai...jangan menyerang aku."
Dari sebelah sana segera terdengar suara hiruk-pikuk, dan sesaat kemudian terdengar suara orang berseru,
"Apakah adi Swara Manis yang datang?"
Swara Manis kenal suara itu, suara Dasa Muka, saudara angkatnya, ia gembira, lalu menyahut,
"Aih, kakang sudah tiba di situ? Lalu bagaimanakah dengan masalah kita?"
Sesosok tubuh muncul dari balik batu. Ternyata memang benar Dasa Muka. Orang ini tersenyum, sahutnya,
"Pada mulanya dia memang menolak. Akan tetapi sesudah aku bujuk, akhirnya dia minta tahu barangnya lebih dahulu untuk dilihat."
"Hem,jangan khawatir."
Mariam menjadi tertarik kemudian bertanya,
"Kakang siapakah orang itu dan apapula yang sedang kau bicarakan? Apakah engkau sedang melakukan jual beli barang, sehingga orang minta lihat barangnya dulu?"
Sambil tersenyum dan pandangan mesra untuk tidak diketahui kecurangannya, Swara Manis menjawab halus,
"Diajeng. kakang Dasa Muka bermaksud meminjam sesuatu barang penting kepada Surogendilo yang tinggal di tempat ini. Engkau tidak perlu repot karena kita tidak perlu campur urusan."
Mariam cepat menjadi puas atas jawaban itu. Namun ketika ia memandang ke depan, ia agak terkejut juga. Karena di belakang Dasa Muka tampak tiga orang yang mengenakan pakaian semacam keranjang dan warnanya hitam. Di waktu malam seperti saat ini, sepintas pandang orang-orang itu tampak seperti setan gentayangan. Karena diam-diam merasa takut, Mariam lalu merapatkan tubuhnya kepada sang kekasih.
"Tak usah takut, diajeng," hibur Swara Manis.
"Mereka sahabat-sahabat kakang Dasa Muka. Dan karena kita sudah tiba di tempat ini, kurang enak rasanya kalau kita sudah tidak singgah barang sebentar. Ah... engkau tentu senang atas penyambutan mereka yang ramah-tamah. Sedang pemimpinnya yang bernama Surogendilo, seorang gagah yang amat sopan. Siapa tahu kalau kita datang ke sana, di saat minta diri mendapat hadiah?"
"Kalau begitu, kita ini belum tiba di tempat kakek gurumu?"
"Memang belum. Kita masih memerlukan waktu untuk tiba di sana."
Seharusnya Mariam curiga menghadapi keadaan ini. Tadi dalam perjalanan Suara Manis menerangkan sudah sampai wilayah padepokan. Namun sekarang mengatakan masih memerlukan waktu, dan perlu singgah di tempat orang. Tetapi sayang sekali Mariam memang mencintai Swara Manis membuta tuli. Pengalaman yang lalu telah menjadi gambaran, tentang sikap Mariam yang tidak takut menentang ayahnya dalam usaha agar dapat hidup berdampingan dengan Swara Manis. Oleh sebab itu walaupun menghadapi hal yang mencurigakan, Mariam masih tetap percaya penuh kepada Swara Manis.
Dasa Muka yang mendengar percakapan mereka itu tersenyum. Dalam hati durjana ini memuji kecerdikan Swara Manis, sehingga rahasia tetap terjaga dan orang yang akan ditukarkan tetap tidak tahu.
Sambil dikawal oleh tiga orang anak buah Surogendilo, mereka segera menuju Gunung Jimat. Di lereng gunung ini banyak terdapat goa alam dan goa buatan orang. Karena goa-goa itu merupakan tempat tinggal
Surogendilo dan anak buahnya. Di bagian bawah dari goa yang berjajar itu, terdapat tanah lapang yang luas. Ketika mereka tiba di tempat ini, mereka melihat api unggun sedang berkobar-kohar. Beberapa puluh orang menari-nari dengan iringan gamelan yang merangsang, dan di antara yang menari itu terdapat pula perempuan.
Dasa Muka langsung mengajak Swara Manis dan Mariam menuju goa yang paling besar. Goa tersebut keadaannya lain dibanding dengan goa sekitarnya. Goa tersebut ditutup dengan anyaman rotan, sehingga orang tidak dapat melihat ke dalam.
Dasa Muka cepat memberi salam. Kemudian dari dalam goa terdengar orang menyahut mempersilahkan tamunya masuk. Sesudah mereka tiba di dalam mereka terkejut berbareng heran. Karena di dalam goa ini perlengkapannya indah di samping harganya mahal, tidak bedanya rumah seorang kaya-raya atau juga bangsawan. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja yang dikelilingi kursi rotan, sedang dinding ruangan itu ditabur dengan hiasan emas dan permata yang harganya mahal.
Seorang tinggi besar menyambut kehadiran mereka dengan ramah. Sebagai seorang yang licin seperti belut, Swara Manis tahu bahwa Surogendilo ini seorang penjahat kawakan dan pandai membawa diri. Orang yang belum mengenal akan mengira orang baik oleh sikap yang ramah dan sopan.
Melihat wajah tuan rumah yang buruk, Mariam menjadi sebal sekali.Ia berbisik kepada Swara Manis, minta segera pergi,
"Kakang, aku tidak betah menjadi tamu di tempat ini. Marilah kita cepat melanjutkan perjalanan."
"Diajeng," bujuk Swara Manis.
"Paman Surogendilo telah menerima kehadiran kita dengan ramah dan menghormat. Tidak pada tempatnya kalau kita membuat dia kecewa dan menduga salah."
Walaupun hati tidak senang, mendengar jawaban Swara Manis itu Mariam tidak mendesak lagi.
Begitu bertemu dan melihat kecantikan Mariam, diam-diam Surogendilo menjadi jatuh cinta. Surogendilo mengamati wajah cantik itu tidak berkedip. Dan ketika memandang ke arah dada, Surogendilo berdebar jantungnya. Ah, ia hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Selama hidup dirinya belum pernah menyaksikan wanita secantik itu. Ia begitu terangsang dan tergoda oleh kecantikan Mariam. Karena itu ia segera berbisik kepada Dasa Muka, setuju dilakukan pertukaran.
Orang yang paling gembira saat sekarang ini Dasa Muka. Karena jerih payahnya datang ke tempat ini tidak sia-sia. Sebagai seorang perantara yang licin tidak kalah dengan Swara Manis, sebelum Swara Manis dan Mariam datang di tempat ini segalanya sudah diatur.Ia melarang Swara Manis bicara dengan Surogendilo. Semua ini dengan maksud agar Mariam tidak menjadi curiga. Sebab sekali Mariam curiga, semua rencana bisa menjadi gagal. Untuk menjaga rahasia, dalam pembicaraan antara Dasa Muka dengan Surogendilo itu menggunakan istilah-istilah yang tak mungkin dimengerti oleh Mariam.
Beberapa saat kemudian muncullah seorang perempuan setengah tua sambil membawa penampan isi minuman. Setelah dihidangkan, Dasa Muka cepat-cepat mewakili tuan rumah mempersilahkan Swara Manis dan Mariam agar minum.
Didorong oleh rasa haus dan tenggorokan kering, tanpa curiga sedikitpun Mariam sudah meneguk habis minuman kopi hangat itu.
Setelah Mariam minum kopi, Surogendilo bangkit untuk mengambil pedang pusaka yang tergantung pada dinding goa. Ketika dihunus batang pedang itu menyinarkan sinar hijau kemilauan. membuat Mariam terkejut. Ia merasa pedang itu mirip sekali dengan pedang milik ayahnya. Yang berbeda hanyalah panjangnya. Pedang itu lebih pendek dibanding pedang ayahnya.
Didorong oleh rasa tertarik, Mariam berusaha untuk bangkit. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pening. Meskipun demikian ia masih memaksa diri dan berkata,
"Kakang Suara Manis, ah... mendadak saja tubuhku tidak enak rasanya."
Habis berkata Mariam merasakan kepalanya semakin pening dan berat. Bumi yang dipijaknya serasa berputar dan pandang matanya makin lama semakin menjadi gelap. Sesaat kemudian ah... tubuh Mariam sudah roboh tidak sadarkan diri lagi.
Tidak disadari oleh Mariam, kopi yang baru saja diminum tadi, sudah dicampur dengan obat bius. Sebagai akibatnya Mariam menjadi pingsan untuk waktu lama. Menurut kebiasaan, orang yang terkena oleh bius buatan Surogendilo, akan tidak sadar selama tiga hari tiga malam.
"Heh-heh-heh," Swara Manis terkekeh gembira sesudah Mariam roboh tidak sadar. Sungguh hebat ketabahan pemuda ini. Walaupun yang pingsan saat sekarang ini kekasihnya, dan sedang mengandung calon anaknya pula, ia tidak merasa kasihan sama sekali. Kemudian ia malah berkata kepada Dasa Muka,
"Kakang, pelaksanaan tukar menukar benda itu, sekarang juga harus sudah dilaksanakan."
Dasa Muka sebagai juru bicara segera pula menyampaikan permintaan Swara Manis itu kepada Surogendilo. Tanpa curiga bahwa Mariam sudah hamil, Surogendilo segera menyerahkan pedang pusaka Nyai Baruni kepada Dasa Muka.
Setelah di tangan Swara Manis, pedang itu diamatinya beberapa saat. Ternyata pada hulu pedang pusaka itu terukir huruf yang halus, Nyai Baruni.
Sesudah apa yang diharapkan tercapai, Swara Manis cepat minta diri. Sebaliknya Surogendilo berusaha menahan, dengan alasan sudah malam. Lebih aman apabila Suara Manis bermalam di tempat ini. Sebagai seorang licin dan licik. ia tidak memaksakan kehendaknya. Sebab apabila memaksa di samping tuan rumah bisa kecewa, juga bisa menimbulkan rasa curiga.
Pagi harinya Swara Manis dan Dasa Muka meninggalkan sarang penyamun itu. Namun sebelum mereka pergi, Surogendilo sempat memberikan undangan, katanya,
"Tiga hari kemudian sesudah si cantik sadar, perkawinan akan segera aku selenggarakan. Oleh sebab itu aku berharap agar kalian sudi hadir pada malam pernikahan itu."
Swara Manis dan Dasa Muka mengiakan dan berjanji akan datang. Tetapi janji tinggal janji, mereka tidak akan kembali lagi ke tempat ini.
Dalam perjalanan menuju Gunung Slamet. sepasang mata Swara Manis melihat adanya darah kering yang menodai sebilah batu besar. Melihat itu tiba-tiba saja Swara Manis tertarik dan menghampiri.
Betapa kaget dan berdebar jantungnya, ketika meneliti batu besar itu, ia melihat pula guratan huruf pada batu tersebut. Ia membaca dengan teliti, dan kemudian tahu bahwa batu itu berisi "Tirta Sari". Sesuai dengan uraian dari tulisan pada batu tersebut, Swara Manis menjadi tahu akan khasiat dan kegunaan "Tirta Sari".
Dasa Muka yang tidak tahu maksud Swara Manis, menjadi heran dan bertanya,
"Adi, mengapa engkau malah berhenti di situ? Lupakah engkau bahwa waktu amat berharga bagimu pada saat ini?"
Tetapi Swara Manis tidak menghiraukan. Pikirnya sedang tercurah kepada "Tirta Sari" yang tersimpan di dalam batu itu. Dalam hati ia bersyukur, justru saat sekarang ini dirinya sudah memiliki pedang pusaka. Kemudian menggunakan pedang pusaka itu untuk membacok batu, pekerjaan tidak sulit dan akan cepat terselesaikan.
Namun sekarang dirinya tertumbuk oleh kehadiran Dasa Muka. Peristiua yang baru terjadi, pertukaran antara pedang dengan Mariam, orang ini menjadi saksi hidup. Padahal ia merasa pasti, apabila Mariam sadar dari pengaruh bius, Mariam akan menolak kehendak Surogendilo yang ingin mengambil sebagai istri. Dan apabila terjadi demikian, Surogendilo tentu marah. Jika Mariam keras kepala, tentu akan disiksa dan kalau perlu dibunuh mati. Apabila sampai terjadi demikian, dirinya akan bebas dari tuntutan siapapun karena tak ada orang yang tahu.
Untuk menutup segala rahasia pribadinya, orang yang bisa menjadi saksi harus lenyap dari bumi ini. Dalam hatinya khawatir, kalau hal itu tidak dilakukan, peristiwa pertukaran pedang dengan Mariam bisa bocor. Kalau toh hal itu bisa dirahasiakan, kemungkinan besar dirinya bakal menjadi sapi perahan Dasa Muka. Karena orang itu bisa menuntut sesuatu atas dirinya, dengan ancaman akan membocorkan rahasia.
Khawatir dirinya akan menderita rugi kalau Dasa Muka sampai membocorkan rahasia itu, tiba-tiba timbullah niatnya yang buruk. Sebagai seorang yang juling, licik, bagi dirinya hal itu bukannya hal yang buruk. Demi kepentingan diri sendiri, walaupun sudah berjanji mengangkat saudara, Swara Manis masih sanggup pula berbuat curang.
"Kakang, datanglah kemari. Aku menemukan benda luar biasa. Untuk adilnya, benda ini harus kita bagi berdua."
Dasa Muka mendekati Swara Manis dengan wajah berseri. Akan tetapi setelah menjadi dekat dan melihat perubahan wajah Swara Manis yang bengis ia kaget dan curiga. Sahutnya,
"Adi, aku tidak menginginkan
bagian benda itu, dan ambillah sendiri."
Swara Manis terkekeh, bujuknya,
"Ah, mengapa kakang menolak rejeki ini?"
Dasa Mukapun seorang yang julig dan licik. Pembawaan wajah Swara Manis dapat ditangkap, dan ia merasa dirinya dalam bahaya. Khawatir dirinya tertimpa bahaya, ia tidak mau mendekati lagi dan malah berusaha menyingkir. Akan tetapi baru berusaha memutar tubuh, mendadak matanya menjadi silau oleh sinar hijau yang kemilau dari pedang pusaka Nyai Baruni. Sebelum sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang. Tanpa dapat mengerang lagi, robohlah tubuh Dasa Muka ke belakang. Kemudian kaki Swara Manis menendang, sehingga tubuh Dasa Muka terlempar beberapa tombak jauhnya.
Walaupun Dasa Muka terkenal sebagai seorang yang kaya tipu muslihat, kepandaiannya menyamar dan menirukan suara orang tiada duanya di dunia ini, tetapi berhadapan dengan Swara Manis bukan apa-apa. Dia masih dapat ditipu oleh Swara Manis, sehingga Dasa Muka tewas di ujung pedang saudara angkatnya sendiri.
Tetapi apabila ditilik dari awal peristiwanya, Dasa Muka bisa disebut menggali lubang kuburnya sendiri. Kalau saja Dasa Muka tidak membuat rencana pertukaran pedang pusaka dengan Mariam, kemungkinan besar Dasa Muka tidak akan mengalami nasib seburuk ini. Dengan demikian bisa disebut, Dasa Muka memetik buah tanamannya sendiri. Akan tetapi di samping itu, bagaimanapun pandainya orang menipu ada batasnya juga, begitupun perbuatan jahat.
Setelah menyelesaikan "saudara angka!" yang akan menjadi penghalang ini, Swara Manis segera menggunakan ketajaman pedangnya. Ternyata oleh ketajaman pedang pusaka Nyai Baruni, batu gunung yang keras itu dengan mudah dapat dibacok. Namun sungguh sayang, belum juga Swara Manis bekerja pada taraf akhir, sudah diketahui oleh Prajoga dan rombongannya.
Batu yang amat besar itu dalam waktu yang tidak lama tinggal sebesar buah nangka. Saking gugup, ia kemudian menyambar batu tersebut dan dibawa kabur.
Melihat itu Prayoga gugup. Sebab apabila "Tirta Sari" itu sampai dapat dimanfaatkan oleh Swara Manis, dunia ini bakai diancam oleh bencana. Orang berwatak jahat itu akan semakin menjadi jahat dan merajela. Di samping kekhawatirannya itu, kemarahan pemuda ini meledak. Melihat Suara Manis telah dapat memiliki pedang pusaka itu jelas, bahwa Mariam sekarang sudah diserahkan kepada Surogendilo.
Untung bahwa saat sekarang ini Cing Cing Goling hadir. Melihat Swara Manis melarikan diri, kakek ini sudah bergerak cepat seperti tatit. Saking cepatnya bergerak, tahu-tahu kakek ini sudah di belakang Swara Manis.
Swara Manis terkejut sekali. Saat ini dirinya sedang membawa batu, dan sudah tentu beban itu membuat gerakannya tidak gesit. Apabila dirinya sampai tertangkap, jiwanya akan melayang. Untung ia melihat mayat Dasa Muka yang masih menggeletak di tengah jalan. Tanpa pikir panjang lagi, ia menyepak mayat itu ke arah Jim Cing Cing Goling.
Jim Cing Cing Goling seorang cerdik. Namun sekarang ini ia harus mengakui kelicikan dan tipu muslihat Swara Manis. Melihat melayangnya tubuh seseorang, melayang ke arah dirinya, ia menduga kalau tubuh itu Swara Manis sendiri.
"Bagus!" serunya sambil meloncat ke samping. Kemudian sambil berputar tubuh, ia mengirimkan pukulan keras.
Bluk...!! dada orang itu terpukul tepat. Kemudian roboh tidak berkutik di tanah.
Jim Cing Cing Goling Curiga. Kalau benar Swara
Manis tidak semudah itu ia pukul. Prayoga yang melihat cepat menghampiri, dan ketika tahu siapa yang menggeletak. Prayoga berseru,
"Ah, bukan Swara Manis, tetapi Dasa Muka."
Jim Cing Cing Goling membantingkan kakinya saking kecewa. Geramnya,
"Bangsat! Hayo kita kejar. jangan sampai lolos."
Mereka berempat segera berpencar diri. Tetapi daerah itu merupakan hutan belantara dan penuh tetumbuhan liar yang lebat. Swara Manis tidak tampak batang hidungnya lagi, hingga mereka menjadi kebingungan.
"Hem, tidak kusangka di dunia ini terdapat pemuda yang licik dan secerdik itu!" puji Jim Cing Cing Go-ling setelah berkumpul kembali dengan temannya.
Merasa tidak dapat menemukan Swara Manis, akhirnya mereka memutuskan untuk mencari tempat kediaman Surogendilo saja, guna cepat-cepat menolong Mariam.
Akan tetapi belum juga mereka berangkat, tiba-tiba Joli dan Jodhang tidak mau bergerak. Hidung dua ekor anak orang utan ini berkembang kempis, nampak sedang mencium sesuatu.
"Hai, apakah sebabnya kamu bandel tak mau pergi? Minta aku pukul?" bentak Sarini yang salah duga.
Untung Jim Cing Cing Goling cepat mencegah. Tokoh yang banyak pengalaman ini sudah menduga, tentu JOli dan Jodhang sedang mencium sesuatu yang mencurigakan. Dan cenderung kepada dugaan, agaknya Joli dan Jodhang tahu di mana Swara Manis menyembunyikan diri.
"Hai Joli, dan Jodhang. Bukankah engkau mencium bau orang? Coba tunjukkan di mana orang itu bersembunyi?" bujuk Jim Cing Cing Goling.
Seperti dapat menangkap maksud Jim Cing Cing Goling. dua ekor anak orang utan itu segera berlarian ke depan. Dalam waktu jang singkat saja dua ekor binatang itu telah mengobrak-abrik rumput ilalang yang menghalangi pemandangan. Dan sesudah itu tampak kemudian adanya mulut goa yang kecil sekali.
"Jagalah baik-baik mulut goa itu, jangan sampai lolos!" perintah Jim Cing Cing Goling.
Baik Prayoga, Sarini maupun Wasi Jaladara muak di samping amat benci kepada Swara Manis. Karena itu mereka menjadi gembira sekali dapat menemukan tempat Suara Manis bersembunyi. Tetapi baru saja mereka akan berpencar, tiba-tiba terdengar suara Joli meraung kesakitan dan sesaat kemudian binatang itu mundur dengan kaki depan (tangan) kanan berlumuran darah. Hampir berbareng dengan itu. kemudian muncul pula Swara Manis dari dalam goa.
"Bangsat busuk!" teriak Prayoga geram sambil menyambitkan dua butir batu ke arah Suara Manis. Tring tring... batu terhantam hancur oleh pedang.
Akan tetapi di saat Suara Manis menangkis lontaran batu, Jim Cing Cing Goling sudah meloncat dan menghadang di belakang Swara Manis.
Sekarang Swara Manis telah dikurung dari segala penjuru. Pemuda itu berdiri tegak sambil menjapukan pandang matanya ke sekeliling. Tiba-tiba ia tertawa sambil menyarungkan pedangnya. Sesudah selesai tertawa, ia mengamati Sarini dengan pandang mata mengejek.
"Jahanam kau. Siapa jang engkau tertawakan?" bentak Sarini
Suara Manis tidak menjawab, tetapi malah tertawa lagi dan gelak-gelak. Kemudian sambil menggendong tangan di belakang punggung, ia berjalan hilirmudik. Seakan-akan ia tidak menghiraukan kepada empat orang dan dua ekor orang utan yang sedang mengurung dirinya.
Karena Swara Manis tidak membuka mulut, Sarini tambah marah dan mencaci-maki kalang-kabut. Lidah Sarini yang tajam telah mengungkapkan kebusukan dan perbuatan jahat yang dilakukan Swara Manis. Puas mengungkapkan kejahatan Swara Manis, kemudian Sarini menilai Swara Manis sebagai seekor anjing yang jahat.
"Huh. anjingpun bukanlah anjing yang baik. tetapi anjing yang gemar makan apa saja dan menggerogoti bangkai busuk. Manusia yang tidak mempunyai nilai kemanusiaan seperti engkau. tidak pantas diberi hidup lagi. Huh-huh, mudah-mudahan setelah kau mampus di tempatkan di dasar neraka."
Akan tetapi wajah Swara Manis tidak berobah scdikitpun. Ia sudah tidak menggubris lagi caci-maki orang. Sebaliknya bibirnya malah mengulum senyum mengejek. Baru sesudah Sarini puas mencaci-maki dan berhenti bicara, Suara Manis membuka mulut,
"Sekarang, apakah maksudmu?"
Sarini tertegun. Di luar dugaan gadis ini, bahwa Swara Manis masih dapat bertanya seperti itu. Dalam geramnya, Sarini menjawab lantang.
"Huh, kau harus mati!"
Swara Manis tidak terkejut, sebaliknya malah ketawa gelak-gelak, seperti mendengar lelucon. Sambil masih berdiri seenaknya ia memandang sekeliling. lalu berkata.
"Ah. kalau memang begitu. silahkan kalian turun tangan sekarang juga."
Sarini benar-benar tak kuasa menahan kemarahannya.Ia kemudian menggerakkan tangan untuk memukul. Tetapi ketika melihat Swara Manis hanya diam saja, ia menghardik,
"Jahanam. Mengapa kau diam saja?"
"Heh-heh heh." Swara Manis terkekeh.
"Apakah gunanya aku melawan? Bukankah engkau menyadari, dua tangan tak mungkin dapat melawan duabelas tangan? Daripada harus sia-sia melawan, bukankah lebih baik engkau lekas membunuh si anjing kudisan Swara Manis ini? Dengan demikian engkau tentu akan diagungkan orang sebagai seorang pendekar wanita yang telah membersihkan dunia ini dari segala manusia-manusia kotor?"
Sarini tak dapat berkutik atas serangan lidah Swara Manis-yang licin. Karena jelas orang-orang yang sedang mengurung sekarang ini malu kalau dikatakan mengeroyok.
"Hai, di mana mustika batu itu?" tiba-tiba Jim Cing Cing Guling bertanya.
Swara Manis pura-pura kaget, lalu membalas bertanya.
"Perkenankanlah aku bertanya, apakah batu itu milik tuan?"
Akibatnya Jim Cing Cing Goling bungkam tidak dapat menjawab.
"Hemm," Swara Manis meneruskan.
"Apa yang sudah aku baca pada tulisan di batu itu. barang siapa yang berjodoh, orang itulah yang akan menemukannya. Jika begini keadaannya, apakah wasiat tersebut hanya omong kosong? Karena sekarang ada orang yang berusaha menguasai sesudah lebih dahulu ditemukan orang lain."
Saking licinnya Suara Manis merangkai kata-kata, membuat Jim Cing Cing Goling terpukau. Karena Jim Cing Cing Goling tidak dapat menjahut, Suara Manis merasa memperoleh angin dan melanjutkan,
"Bukankah kalian berempat ini bermaksud mengeroyok aku? Kalau benar mengapa tidak segera kalian laksanakan?"
Tantangan yang garang itu sebenarnya sudah diperhitungkan masak-masak. ia tahu bahwa empat orang yang dihadapi sekarang ini. orang-orang yang selalu menjunjung tinggi sopan santun dan tata keperwiraan. Ia sengaja memancing agar mereka membatalkan maksudnya. Dan apabila kemudian mereka setuju berkelahi satu lawan satu, inilah yang diharapkan dan akan menguntungkan dirinya.
Prayoga yang polos segera terpancing dan menyahut.
"Hai Suara Manis! Sebagai manusia jangan cepat sombong. Huh, aku seorang diri yang akan berhadapan dengan engkau."
"Apakah keterangamu dapat aku percaya?" Swara Manis menyahut cepat.
"Mengapa tidak?" sahut Prayoga mantap.
Akan tetapi Jim Cing Cing Goling yang lebih kenal akan kelicikan Swara Manis cepat mencegah,
"Anak, engkau jangan kena ditipu."
Namun peringatan Jim Cing Cing Goling itu sudah terlambat. Karena Prayoga sudah menyatakan menerima tantangan Suara Manis.
Suara Manis gembira, sambil tersenyum berkata,
"Kiranya tuan-tuan sudah mendengar sendiri, bahwa pada saat ini segera akan terjadi perkelahian seorang lawan seorang. Antara diriku dengan salah seorang murid tuan Ali Ngumar. Karena itu mati dan hidup, terserah kepada nasib masing-masing. Pihak manapun tidak dibenarkan menuntut balas, karena perkelahian ini secara ksyatria."
Dengan ucapannya itu jelas Swara Manis bermaksud mencegah Jim Cing Cing Goling dan kawan-kawannya membantu Prayoga. Si gadis bawel Sarini mendelik marah kepada Prayoga. Sebab ia khawatir kalau kakak seperguruannya itu celaka, sebagai akibat langkahnya yang gegabah menerima tantangan bertanding.
Sebaliknya Prayoga sudah mantap.Ia tidak perduli kepada Sarini yang marah. Ia telah bertekat hendak membalas dendam kepada pemuda licik yang telah mencelakakan Mariam.
Setelah saling berhadapan muka, Prayoga langsung saja menyerang dan Swara Manis menghindar ke samping, kemudian secepat kilat ia mencabut pedang pusaka Nyai Baruni. Gerakan Suara Manis itu cepat sekali. langsung menyerang bagian pinggang.
Prayoga yang polos tidak menyangka sama sekali, bahwa dalam gebrak pertama saja. Swara Manis sudah menghunus senjata. Karena jaraknya dekat sekali. Prayoga tak sempat menghindar lagi. Akibatnya, pinggangnya telah tergores ujung pedang. Goresan itu terasa nyeri, lalu Prayoga mundur ke belakang untuk memeriksa luka. Karena luka itu hanya kecil saja, Prayoga beranggapan luka itu tidak berbahaya.
Sarini yang menjadi marah-marah seperti nenek bawel. Kalau dapat, ia ingin sekali membantu dan menghantam hancur kepala Swara Manis yang curang itu. Tetapi karena sudah terikat perjanjian, ia tidak dapat berbuat apa, dan hanya memaki-maki saja.
Sebaliknya oleh serangannya yang berhasil, Swara Manis tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawan. Sambil meloncat maju. ia sudah menikam ulu hati Prayoga.
Dengan menahan rasa sakit. Prayoga menghindar ke samping dan mengayunkan tangan kanan untuk memukul kepala. Sedang tangan kiri bergerak membantu untuk mencengkeram siku lawan. Akan tetapi dengan ketawa mengejek, Suara Manis sudah merebahkan tubuh sambil menusuk perut Prayoga.
Gerakan Swara Manis ini memang sombong sekali.Ia terlalu percaya kekuatan diri. Tidak diketahui bahwa Prayoga sudah tahu dan kenal baik gerak tipu itu,
ialah salah satu jurus dari ilmu "Jathayu nandhang papa".
Karena itu Prayoga tersenyum.Ia bukannya menghindar sebaliknya malah maju dan menendang. Swara Manis yang semula gembira karena lawan diam saja, tiba-tiba kaget, karena kaki Prayoga melayang ke arah kepalanya. Kalau ia meneruskan tusukannya. memang akan berhasil. Akan tetapi tendangan Prayoga itu akan menghancurkan kepalanya. Oleh sebab itu ia terpaksa menarik kembali serangannya, lalu dirobah membabat kaki lawan.
Keistimewaan ilmu "Jathayu nandhang papa" memang terletak gerak-gerakannya yang aneh tidak terduga. Disaat sedang menghindarkan diripun masih pula dapat menyerang.
Walaupun Swara Manis seorang pemuda yang licin seperti belut. kali ini ia tertipu oleh Prayoga. Tendengannya tadi hanyalah serangan kosong. Secepat Suara Manis menghindar, ia meneruskan serangannya dengan jurus yang disebut "Nyapu bebu'. bebu merupakan bagian debu yang paling halus. Kalau debu saja dapat disapu, apapula kaki orang.
Bluk...!! terjungkallah Swara Manis dan---terbanting di tanah.Ia menderita luka yang lebih parah dibanding hasil serangannya kepada Prayoga.
Kalau Swara Manis sampai menderita begitu, memang tidak mengherankan. Karena perhatian hanya dipusatkan kepada gerak serangannya, sehingga pertahanan kakinya kosong. Sebagai akibatnya, kekosongan itu berhasil digunakan Prayoga tepat sekali.
Akan tetapi sayang, saat itu Prayoga merasa pinggangnya yang terluka menjadi gatal. Hati ingin memeriksa tetapi tidak memperoleh kesempatan karena Swara Manis sudah menyerang lagi.
Makin lama perkelahian itu semakin menjadi seru dan tegang. Dalam waktu singkat mereka telah berkelahi puluhan jurus. Untung Prayoga telah mendapat berbagai macam ilmu kesaktian dari beberapa tokoh sakti. Serangannya tidak semakin kendor, tetapi semakin dahsyat. Tenaga saktinya juga bergolak di' dalam tubuh, sesudah dirinya mendapat gemblengan dari Jim Cing Cing Goling.
Namun lewat beberapa saat kemudian, Prayoga menjadi kaget dan bingung sendiri, karena terasa tenaganya cepat menjadi surut. Padahal saat itu Swara Manis melancarkan serangannya menyapu kaki.
Tiba-tiba Sarini berteriak,
"Hai kakang. apa sebabnya luka pada pinggang mengeluarkan darah hitam?"
Prayoga terkesiap. Untuk menjaga serangan Swara Manis ke arah kakinya, ia melepaskan sebuah pukulan. Akan tetapi celakanya begitu memukul, tenaganya terasa habis.
Agaknya swara Manis mengerti pula keadaan Prayoga.Ia membiarkan pundaknya terpukul, akan tetapi iapun cepat-cepat menusuk pundak lawan.
"Kurangajar! Mengapa engkau gunakan pedang beracun?" bentak Prayoga.
"Apa?" sahut Swara Manis dingin,
"baru kemarin aku menerima senjata ini. Bagaimana aku dapat melumuri pedang ini dengan racun? Ha-ha-ha. jiwamu akan segera melayang, mengapa engkau banyak alasan?"
Jim Cing Cing Goling melihat pula luka pada pundak Prayoga. Setelah Prayoga mendapat tikaman kedua kalinya, Jim Cing Cing Guling tidak dapat berdiam diri lagi. Secepat kilat ia melompat lalu mencengkeram tangan Suara Manis. Sekali pijat. Swara Manis merasakan lengannya kesemutan dan lepaslah pedang di tanah.
Swara Manis tidak gentar malah ketawa terkekeh sambil menyindir,
"Heh-heh-heh. aku sudah berkata, orang gagah memang paling sulit berhadapan dengan lawan yang mengeroyok."
'Cuhh...!" Jim Cing Cing Goling meludahi muka Swara Manis. lalu hardiknya.
"Engkau menganggap dirimu seorang gagah? Kalau diriku dianggap orang gagah. huh, dunia ini tentu penuh sesak dengan orang gagah semacam engkau yang terlalu jahat."
Swara Manis berusaha menghindar dengan memiringkan kepalanya. Celakanya sudah terlambat. Mukanya terasa panas sekali oleh semburan ludah. Sadar berhadapan dengan orang sakti ia berusaha menggunakan kepandaiannya bersilat lidah.
"Bukankah Prayoga tadi sudah berjanji sendiri untuk berkelahi seorang lawan seorang? Kalau dia kalah itulah salahnya sendiri. Tetapi mengapa sekarang aku yang harus disalahkan?"
Cing Cing Goling mengendorkan cengkeramannya. Kemudian ia mendorong. dan tergulinglah Swara Manis sampai peringisan. Jim Cing Cing Guling cepat menginjak pedang Nyai Baruni sambil mengancam,
"Engkau jangan mencoba lari. lekas ambilkan obat pemunah racun itu."
Ketika Jim Cing Cing Goling memeriksa luka Prayoga. daging sekitar luka sudah membengkak dan hitam. Jim Cing Cing Guling berusaha memberi pertolongan. memberi obat pemunah racun. Namun itu hanya sementara sifatnya, dan harus mendapat pemunah racun yang tepat.
Prayoga tidak kuasa lagi berdiri. dan terlentang di atas tanah. Sarini yang sedih menggerutu,
"Mengapa engkau tadi sembrono? Kalau kita maju bersama, tak mungkin dia bisa berkutik. Dan andaikata seorang lawan seorang, seharusnya kakek Cing Cing Guling yang harus maju. Huh kakang, mengapa engkau tidak
mau menyadari. bahwa engkau bertangan kosong dan dia bersenjata pedang pusaka?"
Prayoga yang merasa bersalah berdiam diri. Sebabnya ia tadi sampai lancang, didorong oleh perasaan yang sangat benci.
"Sudahlah, Denok, semuanya sudah terjadi karena kemauan Prayoga sendiri. Kalau memang nasibnya harus mati, ia akan mati dengan hati puas."
"Benar! Para tokoh sakti dan gagah memang selalu menjunjung tinggi akan janji. Nah sekarang perkenankanlah aku mohon diri! kata Swara Manis sambil melangkahkan kaki bermaksud pergi.
Akan tetapi Jim Cing Cing Goling tidak memberi kesempatan. dan cepat-cepat mencegah.
"Aneh," Suara Manis berhenti dan pura-pura heran.
"Bukankah kita tadi sudah saling janji? Bukankah paman juga sudah setuju. siapa yang kalah tidak boleh dibela dan tak boleh mengganggu gugat?"
"Janji memang berlaku. Tetapi kami berempat takkan mengeroyok dan tidak akan menuntut balas apabila wakil kami kalah. Tetapi perjanjian itu hanya berlaku pada kami berempat, dan tidak termasuk dua ekor orang utan itu, bukan?"
Swara Manis melirik ke arah dua ekor binatang itu. Diam-diam ia bersorak dalam hati. karena tentu dapat menang dalam waktu singkat. Salah seekor tadi telah terluka oleh pedangnya. Hanya karena lebih tahan, pengaruh itu sampai sekarang belum tampak. Akan tetapi racun tetap racun, dan sekalipun lambat akan bekerja juga.
"Hemm, yang besar sudah terluka oleh pedangmu. Biar seekor yang kecil saja, yang melawan engkau sekarang ini."
Setelah berkata. Jim Cing Cing Goling memalingkan kepala ke arah Jodhang.
"Hai Jodhang! Robeklah manusia busuk ini."
Sejak tadi sesungguhnya Jodhang sudah marah, karena Joli menderita luka. Begitu menerima perintah, Jodhang melangkah dan langsung menghantam Swara Manis. Sebelum pukulan itu tiba. mendadak Jodhang sudah merobah menjadi tamparan ke arah kepala. Itulah jurus pertama dari ilmu tata kelahi '"Wanara Sakti" ajaran Jim Cing Cing Goling.
Swara Manis kaget. Apapula pedangnya sekarang tidak di tangannya. dan terpaksa ia menghindar ke samping.
Di luar dugaan. Walaupun tubuhnya besar. tetapi Jodhang dapat bergerak lincah dan tangkas. Serangan pertama luput, serangan kedua sudah menyusul. Dua belah tangan sudah menghantam kepala Swara Manis.
Melihat gerak-gerik binatang itu, Swara Manis menjadi heran. Jelas bahwa binatang itu mengenal ilmu tata kelahi. Melawan dengan tangan kosong tidak mungkin. Secepat kilat ia mencabut senjatanya kipas baja.Ia maju lalu menikam dada binatang itu.
Apabila Jodhang belum mendapat pelajaran dari Cing Cing Goling, mungkin saat itu sudah roboh. Setelah dua kali serangannya tak berhasil, Jodhang menyusuli dengan jurus ketiga. Saat itu juga Suara Manis merasakan sambaran angin kuat dari belakang. Jarak demikian dekat. Tak mungkin lagi menghindar, maka merunduk ke bawah terus menyelinap di sela kaki Jodhang. Sesudah berhasil, ia memutar tubuh lalu menjerang punggung Jodhang.
Sungguh sayang walaupun Jodhang sudah belajar ilmu tata kelahi. tetapi ia masih belum dapat meyakini benar-benar. Ketika tahu musuhnja lenyap mendadak, ia menjadi kaget dan bingung. Ia tidak berpikir mencari lawan yang menghilang tiba-tiba, tetapi tetap mainkan jurus keempat ke sasaran kosong. Dan justru Jodhang sibuk sendiri itu, Swara Manis tidak menyia-miakan kesempatan. lalu menusuk dan berhasil.
Kalau Swara Manis lebih tinggi lagi tenaga, saktinya, Jodhang tentu sudah terluka. Tetapi karena belum begitu tinggi, Jodhang hanya merasakan kesakitan dan menggerung. Jodhang menjadi binal, berputar tubuh lalu menerkam. Ia menjadi lupa kepada ilmu tata kelahi, dan bergerak secara alami menurutkan rasa marah.
Hal ini menguntungkan Swara Manis. Ia segera melancarkan serangan-serangannya. Akan tetapi tusukan Swara Manis itu tidak dihiraukan oleh Jodhang yang terus mengamuk. Hal ini membuat Suara Manis sendiri takut. karena kulit binatang itu tidak bisa dilukai. Ketika melirik ke arah Jim Cing Cing Guling, tokoh sakti itu masih menginjak pedangnya. Terpikir kemudian lebih baik lari menyelamatkan diri.
Sebelum melarikan diri, ia masih sempat berteriak.
"Hai Prayoga! Dua hari lagi mbakyu perguruanmu Mariam akan kawin dengan Surogendilo. Apakah engkau tidak ingin hadir pada perkawinan itu?"
"Tunggu!" Prayogo bangkit dan bertanya,
"Di mana tempat perampok itu?"
"Pergi lari ke utara. Di sana engkau akan segera tiba di bekas kawah gunung yang bernama kawah Candradimuka. Di sebelah utara kawah itu terdapat gunung lagi bernama Gunung Jimat. Di tempat itu engkau akan berjumpa dengan batu yang besarnya sama dengan lumbung padi. Nah, kepala perampok Surogendilo berdiam di tempat itu."
Prayoga sudah berusaha bangkit berdiri. Tetapi Jim Cing Cing Goling terkekeh sambil berkata.
'Tak usah buru-buru. Masih kurang dua hari perkawinan itu.
dan kita takkan datang terlambat. Yang penting sekarang. kita lihat saja apakah jahanam itu sanggup melawan Jodhang.
"Heh-heh. mana mungkin?" sambut Suara Manis sambil menghantam Jodhang. Sesudah mundur. ia meneruskan,
'Yang jelas. racun pedang itu sekarang sudah bekerja. Jika obat pemunahnya tak cepat diperoleh, segalanya akan terlambat."
Ucapan Swara Manis itu memaksa Jim Cing Cing Goling untuk memperhatikan keadaan Prayoga. Luka di pinggang sudah hitam, jelas racun sudah bekerja. Melihat itu kakek ini tak dapat sabar lagi, membentak.
"Bangsat! Engkau harus ikut pergi ke sana. Sesudah semua urusan selesai, baru kembali kemari dan lanjutkan perkelahianmu dengan Jodhang. Heh-heh, engkau bisa mati kelelahan menghadapi Jodhang."
Swara Manis insyaf, untuk melarikan diri sulit dilakukan. Satu-satunya yang dapat diharapkan hanya mengulur waktu, dari mudah-mudahan terjadi perubahan.
"Janji adalah janji. Pergilah, siapa yang melarang? Hemm, dan mengapa aku harus khawatir?" sahut Swara Manis seenaknya.
Jim Cing Cing Goling tidak pernah menduga, Suara Manis akan menjawab seperti itu. Sebagai seorang angkatan tua, ia menyuruh Jodhang mundur lalu menggendong Joli yang terluka. Sesudah itu ia mengambil pedang Nyai Baruni sambil berkata,
"Berikan sarung pedang itu."
Swara Manis melemparkan sarung pedang. Dan setelah pedang disarungkan, Cing Cing Guling menyerahkan kepada Sarini sambil berpesan agar dijaga baik-baik.
Demikianlah akhirnya rombongan ini pergi, dan Swara Manis sebagai penunjuk ialan.
Perjalanan dilakukan dengan cepat. Karena Jim Cing Cing Goling maupun yang lain, menghendaki segera dapat tiba di tempat tinggal Surogendilo dan anak buahnya.
Sore hari, mereka tiba ditapal batas tempat kediaman gerombolan Surogendilo. Gerombolan ini hatihati dalam menjaga sarangnya, dan tidak sembarang orang diijinkan masuk. Maka tidak aneh rombongan ini segera disambut oleh tiga batang anak panah beracun. Dengan gampang tiga batang anak panah itu disapu 0leh Wasi Jaladara, kemudian muncullah tiga orang anak buah Surogendilo.
Melihat Swara Manis datang lagi dan membawa seorang gadis cantik. tiga orang anak buah Surogendilo hingar-bingar. Karena mereka mengira, Swara Manis datang lagi untuk menyerahkan gadis cantik.
Jim Cing Cing Goling yang menjadi juru bicara dan memberi penjelasan. Sesudah tahu rombongan ini akan bertemu pemimpinnya. tiga orang prajurit itu segera mengawal rombongan menuju sarang.


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika rombongan tiba di tanah lapang yang terletak di depan goa tempat kediaman Surogendilo, mereka menjadi kaget melihat pemandangan aneh dan suara memekakkan telinga.
Puluhan orang sibuk mengerumuni sebatang tonggak kayu. Pada tonggak itu terdapat seorang wanita yang kaki dan tangannya terikat. Empat orang laki-laki sibuk melemparkan tombak. Namun tombak itu hanya menancap pada kanan dan kiri tubuh. Tetapi bagaimanapun bagi orang yang tidak tabah, hal itu akan membuat hati menjadi ngeri.
"Mbakyu Mariam..." tetiak Prayoga sesudah mengenal kepada perempuan yang berdiri diikat pada tonggak itu.
Mariam terkejut merasa dipanggil orang dan mengangkat kepalanya. Perempuan ini tidak tampak ngeri sekalipun pucat, menghadapi tombak yang menyambar di kiri kanan tubuh.
Mariam memang cepat memperoleh kesadaran, lebih cepat dari orang lain yang terbius oleh Surogendilo. Cepatnya mendapat kesadaran itu justru menyenangkan Surogendilo. Dengan begitu dapat kawin lebih cepat.
Tetapi di luar dugaaannya, Mariam menolak dan marah-marah mendengar bujuk-rayu Surogendilo. Akibatnya Surogendilo marah sekali, Mariam diringkus, diikat di tonggak kayu, kemudian disuruh membuat takut dengan melemparkan tombak di kiri dan kanan tubuh Mariam.
Jim Cing Cing Goling tidak dapat tinggal diam. Ia sudah melompat ke tengah lapangan. Kemudian sekali bergerak, ia telah berhasil merampas empat batang tombak yang dipergunakan menakuti itu.
Surogendilo marah sekali. Namun demikian ia takut melihat rombongan yang baru datang itu membawa dua ekor orang utan. Dengan begitu ia sadar, rombongan tamu tak diundang ini tentu sakti mandraguna.
Setelah itu, Jim Cing cing Goling mendukung Prayoga dibawa ke depan Surogendilo sambil berkata,
"Berikan obat pemunah racun."
Surogendilo memeriksa luka Prayoga, kemudian tanpa mengucapkan kata-kata sudah melangkah pergi. Jim Cing Cing Goling khawatir tidak memperoleh obat pemunah racun. Secepat kilat ia menyambar tangan Surogendilo.
Akan tetapi karena tubuh Surogendilo dilindungi oleh rotan, cengkeraman Jim Cing Cing Goling tidak dapat memijat urat nadi. Sebaliknya Surogendilo berusaha melawan. memukul kakek itu.
"Hai. kau berani memukul aku?" teriak Jim Cing Cing Goling sambil menarik kuat-kuat sehingga Surogendilo terbanting di tanah. Sebelum Surogendilo berhasil bangkit. Jim Cing Cing Guling sudah bertindak. memuntir tangan orang itu ke belakang tubuh.
"Ambilkan obat pemunah racun secepatnya!" bentaknya.
"Ampun ampunilah jiwaku," ratapnya.
Jim Cing Cing Goling tertawa, lalu berkata,
"Jika engkau... ."
Ucapan itu terputus karena kaget mendengar jeritan Sarini. Ketika mengamati ke arah gadis itu. ia kaget tidak kepalang. Apakah sebabnya? Karena ingin menolong Mariam. menyebabkan Sarini lengah. lupa mengawasi gerak-genk Swara Manis. Akibatnya Swara Manis yang licik dan licin itu menyerang Sarini. Karena tak menduga tidak keburu menghindar. Hingga mukanya kena tampar. dan berbareng itu pedang pusaka Nyai Banlni sudah di tangan Swara Manis.
Saking terkejut Sarini menjadi pucat. Tetapi tidak kehilangan akal dan melepaskan serangan dua kali beruntun. Namun celakanya Swara Manis menangkis dengan pedang pusaka Nyai Baruni. menyebabkan Sarini terpaksa menarik kembali serangannya.
Wasi Jaladara dan Jodhang tidak dapat membantu. Sebab Wasi Jaladara menggendong Prayoga, sedang Jodhang menggendong Joli, yang dua-duanya telah terkena racun dari pedang pusaka Nyai Baruni.
Melihat keadaan itu Jim Cing Cing Goling marah sekali dan menggeram seperti singa. Sambil masih mencengkeram Surogendilo, kakek ini melompat untuk membantu Sarini. Celakanya anak buah Surogendilo sudah mengurung rapat sekali. Beberapa kali berusaha menembus namun gagal karena tidak berani bersentuhan dengan senjata mereka yang beracun.
Ia seorang sakti yang sudah banyak makan asam garam. Akan tetapi selama ini ia belum pernah merasakan kegelisahan seperti yang terjadi hari ini. Dalam gelisahnya. ia berteriak,
"Surogendilo! Hayo lekas suruhlah anak buahmu mundur!"
Perlu diketahui, Surogendilo seorang raja penyamun yang selama ini amat ditakuti orang. oleh karena ramuan racunnya yang ganas dan jahat. Tentu saja sebagai raja penyamun ia ganas dan sombong. Maka sulit dilukiskan betapa marah Surogendilo. tidak dapat berbuat apa-apa dalam cengkeraman Jim Cing Cing Goling. Jawabnya tegas,
"Tidak! Lebih baik aku mati daripada engkau hina begini!"
Dalam hatinya sudah bertekat, ia tidak mau menyerah dan malah akan memerintahkan anak buahnya supaya mengeroyok orang ini.
Agaknya jawaban Surogendilo yang tegas itu sama dengan perintah. Anak buahnya segera mengurung rapat sekali dengan senjata berlumur racun. Mereka menggerakkan tombak yang beracun. dengan maksud agar orang itu segera membebaskan Surogendilo.
Melihat kebandelan orang-orang itu, habislah kesabaran Jim Cing Cing Goling. Secara kebetulan di dekatnya terdapat sebuah batu besar. Dalam keadaan gawat seperti sekarang ini, dirinya harus memamerkan kesaktiannya, agar mereka menjadi jeri. Sambil mengerahkan tenaga sakti ke telapak tangan. ia memukul batu tersebut. Prak. batu besar itu segera pecah berkeping keping berselebaran ke seluruh penjuru.
Apa yang dipamerkan Jim Cing Cing Goling itu benar-benar membuat kaget semua anak buah Surogendilo. Mereka hampir tidak percaya. batu gunung yang keras sekali pukul pecah berhamburan. Akan tetapi mereka menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri. Ini suatu kenyataan tak terbantah, dan menyebabkan rontoklah keberanian orang-orang itu. Mereka takut
mengalami nasib seperti batu itu. Maka tanpa diperintah. anak buah Surogendilo sudah mundur.
"Lekas! perintah Jim Cing Cing Goling.
"Perintahkan orang-orangmu mundur dan mengambil obat penawar racun. Huh. setelah kamu memberi apa yang aku minta. akan aku beri ampun. Akan tetapi sebaliknya apabila berani membangkang. kamu semua akan bernasib sama dengan batu itu!"
Surogendilo sadar, melawan tiada gunanya. Daripada jiwanya melayang, lebih baik menuruti perintah Jim Cing Cing Goling. Cepat-cepat ia memerintahkan anak buahnya, agar segera mengambil obat pemunah racun itu.
Jim Cing Cing Goling merasa lega. Tetapi setelah menebarkan pandang mata ke sekeliling, Suara Manis sudah tidak tampak lagi. Tidak kepalang rasa marah kakek ini. Sebab ia sadar untuk menangkap pemuda licik itu tidak gampang.
Sesungguhnya dalam hal ini Sarini yang harus bertanggung-jawab, karena sembrono. Akan tetapi dasar gadis yang selalu merasa benar sendiri tak mau dipersalahkan. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, ia segera berkata,
"Hayolah kita cepat pergi ke tempat batu mustika. Kita tunggu saja di sana, dan dia tentu akan datang lagi untuk mengambil batu mustika itu."
"Hemm, kalau orang lain memang mungkin," dengus Jim Cing Cing Guling.
"Tetapi jahanam Swara Manis tentu sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Maka tidak mungkin Swara Manis tergesa ke sana, seperti seekor ular mencari gebuk."
Sarini tidak membantah. Namun demikian gadis ini mencaci-maki kalang-kabut kepada Swara Manis yang sudah pergi.
Tak lama kemudian obat yang dibutuhkan telah diserahkan. Obat itu memang benar-benar manjur. Begitu
minum obat. Prajoga dan Joli sudah terbebas dari pengaruh racun.
Agaknya Surogendilo sudah menyadari, telah ditipu oleh Suara Manis. Karena itu tanpa diminta lagi, ia segera pula membebaskan Mariam.
Namun Mariam memang sudah dibutakan oleh cintanya kepada Swara Manis. Buktinya begitu bebas ia segera menanyakan kekasihnya.
"Hai. terangkanlah. Kemanakah kakang Swara Manis pergi? Aku tadi melihat dia masih tetap di sini. Akan tetapi mengapa sekarang dia telah pergi tanpa pamit kepadaku?"
Muak dan jengkel sekali Sarini mendengar pertanyaan itu. Ia ketawa dingin. kemudian menjawab penuh sindirian,
"Manakah mungkin kekasihmu yang tampan itu berani bertemu lagi dengan engkau? Huh, dia toh sudah menukarkan dirimu dengan pedang pusaka yang dimiliki paman Sumgendilo. Anehnya, mengapa sebabnja engkau belum juga mau sadar akan semua itu?"
Ucapan Sarini ini membuat Mariam kaget. Lalu teringatlah ia akan sikap Swara Manis ketika dalam perjalanan menuju tempat ini. Akan tetapi kesadarannya itu hanya sekilas singgah dalam dada, kemudian terusir oleh rasa cinta kasihnya yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Ia bukannja berterimakasih atas peringatan Sarini, tetapi malah membentak,
"Hai Sari! Engkau jangan asal membuka mulut tidak keruan. Huh-huh. engkau boleh membenci kakang Suara Manis, akan tetapi aku tidak mungkin."
Wasi Jaladara dan Jim Cing Cing Goling geleng geleng kepala. Mereka tidak mengerti. japa mantra dan guna-guna apakah yang sudah dipergunakan Suara Manis, sehingga Mariam tidak bisa terlupakan Swara Manis. sekalipun sadar telah dikhianati.
Sebaliknya Prayoga sana tidak tega melihat mbakyu
seperguruannya kalau sampai celaka di tangan Suara Manis. sudah membujuk.
"Mbakyu Mariam. apabila engkau masih saja berpendirian bahwa Suara Manis seorang baik. kelak engkau akan menyesal dan merasakan sendiri akibatnya. Sebelum terlanjur, hendaknya engkau mau mendengar pendapat orang lain."
"Aku tidak butuh nasihatmu, tolol!" bentak Mariam.
"Di saat dia masih hidup. akulah kekasih dan isterinya. Dan kalau dia sudah mati aku sendirilah jandanya. Huh. mengapa engkau menjadi panas dan tidak senang. aku memperhatikan kakang Swara Manis? Semua orang harus tahu bahwa ibuku sendiri telah menetapkan, barang siapa yang berani mengganggu huhunganku dengan kakang Swara Manis, maut sebagai upahnya."
Jim Cing Cing Goling terkejut. Memang mungkin sekali ladrang Kuning yang sudah setengah gila itu mengucapkan kata-kata dan berpendirian seperti itu. Ia tidak menghendaki terjadinya perbantahan. Katanya kemudian,
"Sudahlah, kalian jangan berhantahan. Kewajiban kita menolong dan menyelamatkan sudah selesai. Yang penting sekarang kita harus segera pergi dan mencari gurumu. Lupakah engkau hari lebaran sudah dekat?"
Wasi Jaladara setuju. Sebagai seorang polos ia menjadi tidak senang kepada Mariam. Akan tetapi Prayoga masih juga tidak tega dan berusaha membujuk,
"Mbakyu, sebaiknya engkau ikut rombongan kami."
"Huh, siapa yang sudi ikut dalam rombonganmu?"
"Aku dapat berjalan sendiri dan dapat pula menentukan jalan hidupku!" sahut Mariam angkuh, kemudian berputar tubuh lalu pergi mendahului yang lain.
Jim Cing Cing Goling menghela napas panjang. Katanya perlahan.
"Kalau lahir jahat. masih bisa dimaafkan. Akan tetapi jika kejahatan itu timbul dari perbuatannya sendiri',seharusnya tidak pantas mendapatkan
tempat di duniaini."
"Apa yang dimaksud timbul dari perbuatannya sendiri itu?" tanya Sarini yang tertarik.
Tetapi Jim Cing Cing Goiing tidak menyahut. Diam diam Sarini mawas diri sendiri. Ia mencintai Prayoga, tetapi tidak berani berterus-terang. Akibatnya Prayoga tidak tahu dan dirinya sendiri menderita batin. Apakah perbuatan seperti ini dapat digolongkan dengan apa yang sudah diucapkan Cing Cing Goiing?
Kemudian Sarini mengangkat kepalanya mengamati Prayoga. Ia melihat Prayoga tengah merenung. Melihat itu timbul rasa cemburu dalam hati Sarini. Mengapa Prayoga tetap. saja mencintai Mariam?
Sesungguhnya dugaan Sarini itu salah. Prayoga sudah sadar bahwa rasa cintanya kepada Mariam salah sasaran, sesudah tahu Mariam tidak mengimbangi cintanya. Kalau toh ia masih saja memperhatikan Mariam, bukan lain karena Mariam puteri gurunya dan mbakyu seperguruannya pula.
Akhirnya mereka meninggalkan Gunung Jimat. karena hari lebaran sudah dekat. Sekalipun janji dan tantangan perkelahian itu hanya antara Swara Manis dengan Darm0 Saroyo dan Prayoga. akan tetapi perkembangannya menjadi meluas, sebagai akibat sikap dan tingkah laku Swara Manis sendiri, hingga kemudian banyak orang yang membenci.
Amanat Marga 4 Pasukan Mau Tahu - Misteri Kamar Tersembunyi Kelelawar Hijau 13
^