Pencarian

Dendam Kesumat 3

Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 3


Jim Cing Cing Goling menduga. tentu pihak Hajar Sapta Bumi sebagai kakek Swara Manis, sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, guna menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh ke padepokannya. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan, ia memberi nasihat dan petunjuk kepada rombongannya.
"Denok, sudah tahukah engkau apa yang disebut siasat "kosong itu isi" dan "isi itu kosong?" tanyanya ke pada Sarini.
Ketika itu Sarini sedang melamun, sehingga menyahut seenaknya.
"Tentu saja tahu."
"Bagus! Karena kita tidak menduga bahwa Swara Manis tidak sebodoh itu, kembali ke sana mengambil batu mustika itu, maka aku tadi berpendapat, kita tidak perlu kembali ke tempat batu mustika. Akan tetapi sekarang aku berpendapat lain. Pemuda licik itu tentu memperhitungkan bahwa kita takkan datang ke sana. Maka aku menjadi yakin, Swara Manis datang ke sana untuk mengambil batu mustika itu."
"Ya, akupun menduga begitu."
"Akupun setuju kembali ke sana!" Wasi Jaladara memberikan pendapatnya.
Mereka menuju ke tempat batu mustika. Mereka bergerak berpencaran dan hati-hati, agar tidak diketahui oleh Swara Manis. Dalam usaha menjelidik ini, Sarini memerintahkan Joli dan Jodhang supaya menggunakan ketajaman penciumannya mencari Swara Manis. Akan tetapi walaupun mengembang-kempiskan hidungnya, binatang itu tidak juga menemukan tempat Swara-Manis bersembunyi.
Wasi .Jaladara memberikan pendapatnya,
"Sekalipun orangnya tidak ada, batu mustika itu tentu masih di tempat semula. Kita harus mencari batu itu dengan berpencar. Tetapi ah, di tempat ini penuh dengan batu. Kemanakah kita harus mencari? Hem, lebih baik kita tunggu saja di sini sampai beberapa hari. Percayalah bedebah itu akan datang sendiri."
"Tak mungkin!" Sarini membantah.
Wasi Jaladara Mendelik. "Eh, mengapa engkau mendelik?" Sarini tak senang.
"Cobalah paman jawab pertanyaanku. Andaikata dia tidak datang, apakah paman sanggup menunggu sampai setahun atau dua tahun?"
"Kalau hal itu memang perlu. mengapa tak sanggup?" sahutnya. Wasi Jaladara memang seorang jujur, tanpa berpikir jauh ia sudah menyanggupkan diri.
"Jangankan hanya satu atau dua tahun. Sekalipun sampai limapuluh tahun, aku akan sanggup menunggu di sini." Sarini ketawa cekikikan.
Setelah berunding beberapa saat. mereka kemudian memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Karena menunggu di tempat ini berarti membuang waktu, padahal mereka harus mencari Ali Ngumar secepatnya.
Belum juga mereka berangkat, mendadak mereka terkejut mendengar lengking tajam. Pertama kali terdengar di tempat jauh, tetapi sesaat kemudian sudah menjadi dekat dan disusul berkelebatnya sesosok tubuh orang. Berbareng dengan kemunculannya. angin tajam sudah menyambar ke arah Jim Cing Cing Goling dan teman-temannya. Empat orang itu cepat menghindar, sedang Jim Cing Cing Goling menghindar sambil membalas memukul.
Joli dan Jodhang yang tidak kenal bahaya. tidak sempat menghindar. Akibatnya dua orang utan itu memekik keras dan terlempar.
Pendatang itu bukan lain ladrang Kuning. Begitu tiba tanpa membuka mulut, terus saja melancarkan serangan dahsyat.
Sebenarnya Prayoga dan Sarini ingin memberi hormat kepada ibu guru mereka. Akan tetapi Jim Cing Cing Goling cepat mencegah, karena orang tua itu sudah melihat gelagat yang kurang baik.
Dugaan Jim Cing Cing Goling ternyata benar. Di saat Sarini dan Prayoga berjongkok untuk memberi hormat. Ladrang Kuning ketawa seram sambil mengayunkan tangan hendak memukul. Tangan kanan menyerang Prayoga. sedang tangan kiri menyerang Sarini.
Untung Sarini dengan tangkas melesat ke atas menghindarkan diri. Sebaliknya Prajoga yang kurang waspada, sudah terlempar setombak lebih jauhnya. Masih untung serangan itu melesat hanya tersambar oleh angin saja, sehingga tidak berbahaya.
Kegagalan Ladrang Kuning menghajar dua orang murid suaminya ini, bukan lain oleh peringatan Jim Cing Cing GOling. Ia menjadi marah kemudian menuding kakek itu sambil membentak,
"Hai Cing Cing Goling! Engkau tua bangka yang tidak tahu malu. Engkau tua bangka yang tidak malu melakukan perbuatan hina. Huh-huh. dosamu tidak mungkin dapat diampuni. Maka sekarang mintalah pamit kepada sanak keluargamu. Karena sebentar lagi engkau harus mampus oleh tanganku."
"He-heh-heh. apakah sebabnya engkau mengoceh tidak keruan?" damprat Jim Cing Cing Goling.
Akan tetapi Ladrang Kuning tidak mau menjawab, dan ia memukul lagi. Sebaliknya Jim Cing Cing Goling tak mau ditelan mentah-mentah. Ia sudah pernah berkelahi dan merasakan kesaktian perempuan itu. Mengingat pengalaman yang sudah lalu, ia tak mau menerima pukulan yang kedua.Ia tak mau menyambut dan menghindari pukulan itu. kemudian membalas memukul.
"ladrang Kuning, mengapa engkau tak tahu aturan seperti ini?" teriak Jim Cing Cing Goling.
Akan tetapi ladrang Kuning tak membuka mulut. Ia meneruskan pukulannya dengan pukulan yang lebih berbahaya. Ia menggunakan dua tangannya memukul berbareng. Selain cepat dan dahsyat, gerak perobahan dan arah sasarannya tidak terduga.
Jim Cing Cing Goling seorang tokoh kawakan dan sakti mandraguna. banyak pengalaman dan sudah puluhan kali berkelahi.Ia jarang tandingan. namun menghadapi serangan Ladrang Kuning ini, ia menjadi kelabakan juga.
Untuk menghindari pukulan ladrang Kuning, ia menjejak tanah dan tubuhnya melenting tinggi. Tetapi ah. Ternyata ladrang Kuning tetap membayangi.
Jim Cing Cing Goling melancarkan pukulan dari udara. Serangan ini memaksa Ladrang Kuning harus menangkis karena tidak sempat menghindar.
Krak !! begitu dua tangan berbenturan. keduanya sama-sama berjungkir-balik. Begitu kaki dua orang itu menginjak bumi. masing-masing sudah berputar tubuh dan siap berkelahi lagi.
"Jim Cing Cing Goling, dengarlah!" seru Ladrang Kuning.
"Hari ini aku hendak membasmi racun dunia yang mengacau ketenteraman dunia. Mengapa engkau menuduh aku tidak tau aturan? Huh, terhadap kawanan bangsat yang keji macam kalian, perlu apa aku menggunakan segala macam aturan yang pantas?"
"Hai Ladrang Kuning. Siapakah yang engkau maki sebagai kawanan bangsat itu? Anak menantumu itu sendiri yang sesungguhnya pantas memperoleh sebutan itu."
ladrang Kuning berjingkrak, 'Jangan mengoceh tidak keruan. Hayo cepat katakan terus-terang. Apa yang sudah engkau lakukan terhadap anakku Mariam? Huh. sekarang kalian harus mengganti jiwa. Tidak seorangpun dari kamu ini, boleh pergi dari sini."
Setelah berkata, ladrang Kuning menerjang Wasi Jaladara, Prayoga dan Sarini sekaligus. Serangan itu cepatnya seperti tatit menyambar, sehingga tiga orang itu tidak sempat menghindar lagi. Tahu-tahu, mereka sudah roboh tidak berkutik lagi karena menjadi lumpuh.
Habis merobohkan tiga orang itu. ladrang Kuning
terus melancarkan serangan berbahaya kepada Jim Cing Cing Goling. Cepatnya bukan kepalang. sehingga Jim Cing Cing Goling tidak mungkin dapat menolong kawannya.
Dalam usaha membela diri, Jim Cing Cing Guling mengeluarkan ilmu simpanannya. Tangan kanan menangkis dan tangan kiri membalas memukul. Tetapi Ladrang Kuning tak memberi kesempatan lagi. Kalau Jim Cing Cing Goling menangkis dan memukul, ia juga berbuat demikian. Serangan yang pertama disusul yang kedua. Dan.. pukulan beradu dengan dahsyat. Tiga jari Ladrang Kuning melengkung ke samping berusaha mencakar. Tetapi kelima jari Jim Cing Cing Goling merapat menjadi satu untuk menangkis sambaran tangan, dilanjutkan meninju dada.
Ladrang Kuning tidak berani menangkis. Ia menarik kembali tangannya lalu menjepit lengan lawan. Begitu Jim Cing Cing Goling menahan tangannya. Ladrang Kuning sudah meloncat mundur, kemudian mereka berhantam lagi lebih seru.
Perkelahian dua orang tokoh sakti itu tambah seru. Diam-diam Jim Cing Cing Goling harus mengakui kesaktian wanita itu. Dan yang lebih mengerikan. pukulan Ladrang Kuning mengandung angin yang dingin sekali. sehingga sulit dibedakan mana yang kosong dan mana yang isi. Setiap kali berbenturan tangan, Jim Cing Cing Goling merasakan tenaga sakti yang lembek lebih berbahaya dibanding tenaga keras. Diam-diam Jim Cing Cing Goling merasa sayang sekali. Kalau saja otak ladrang Kuning tidak kacau, wanita ini akan menjadi pendekar wanita yang jarang tandingan.
Sementara perkelahian dua orang itu tambah seru, Wasi Jaladara, Sarini dan Prayoga masih menggeletak di tanah tidak berkutik. Apabila ladrang Kuning menggunakan kesempatan untuk turun tangan, niscaya tiga orang ini akan mati.
Untunglah Prayoga sekarang bukanlah Prayoga beberapa bulan yang lalu. Semua itu bukan lain atas jasa Jim Cing Cing Guling, yang sudah memberi gemblengan dalam hal tenaga dalam maupun tenaga sakti. Justru memiliki tenaga sakti yang lebih tinggi dibanding yang lain, Prayoga lebih dahulu dapat membebaskan diri dari kelumpuhan tubuh. Setelah dirinya bebas dari kelumpuhan, ia cepat menolong Wasi Jaladara dan Sarini. Setelah mereka semua bebas, kemudian mereka bertiga menghampiri dua orang yang sedang berkelahi itu.
Mendadak Sarini kaget dan menegur,
"Kakang, engkau mau ke mana?"
Prayoga tidak menyahut.Ia melangkah lalu berdiri di tepi gelanggang perkelahian sambil berseru,
"Ibu, sudilah ibu mendengarkan apa yang akan aku katakan."
Saat itu sebenarnya Ladrang Kuning sedang memusatkan seluruh perhatian, dalam usaha untuk mengalahkan Jim-Cing Cing Goling. Seruan Prayoga itu mengejutkan ladrang Kuning, di samping menjadi heran. Mengapakah sebabnya bocah itu dapat membebaskan diri dari kelumpuhan dalam waktu singkat? Diam-diam dalam hatinya berpikir,
"Mungkinkah bocah itu mempunyai ilmu ajaib?"
Karena pikirannya terganggu oleh rasa heran, gerakannya menjadi agak lambat. Wut... hampir saja ia terkena pukulan Jim Cing Cing Goling. Untung ia dapat bergerak gesit sekali, dalam keadaan yang sulit masih dapat menghindarkan diri dari pukulan lawan.
Kemudian ladrang Kuning menghampiri Prayoga. Setelah jarak menjadi lebih dekat, ia dapat memandang Prayoga secara jelas. Tampaklah sepasang mata bocah itu bersinar tajam sekali, pertanda sudah memiliki tenaga sakti tingkat tinggi. Namun ia dapat menduga, tenaga sakti pemuda ini bukanlah berasal dari ajaran Ali Ngumar.
"Hai bocah," tegurnya.
"Apakah ilmu yang kau miliki sekarang ini berasal dari ajaran gurumu?"
"Sudah tentu dari guru!" sahutnya mantap. Ia seorang pemuda jujur. Ia tidak merasa mendapatkan ilmu dari orang lain, kecuali dari gurunya. Sebab Jim Cing Cing Goling tidak memberi pelajaran, hanya menggembleng dan memberi petunjuk cara melatih diri. Ladrang Kuning beringas. Katanya dingin,
"Hemm. tidak mungkin dalam rumah perguruanmu dapat memberikan pelajaran ilmu tenaga sakti seperti itu jahatnya!"
Prayoga tercengang keheranan. Untung Jim Cing Cing Goling cepat menolong,
"Hai ladrang Kuning! Engkau jangan bicara sembarangan. Apakah sebabnya engkau selalu mencari perkara dengan suamimu?"
"Jawablah cepat. Di mana engkau menyembunyikan anakku . Mariam? Huh, awas jika berani membohong, kalian takkan mampu pergi dari tempat ini." Ladrang Kuning mengancam.
Sarini yang mendongkol dan ringan mulut, tak kuasa lagi menahan kembaran,
"Wah wah, sungguh ucapan yang tak kepalang tanggung."
Ladrang Kuning mengamati Sarini tajam. Belum lama berselang dirinya telah ditipu mentah-mentah. Hatinya panas dan kemarahannya berkobar lagi.
"Hai budak perempuan kecil. Dari empat orang ini, engkaulah yang bakal mati pertama kali!" ancam Ladrang Kuning.
Sesudah mengancam, tangan wanita sakti ini terulur untuk mencengkeram lengan Sarini. Saking gugupnya, Sarini menjejakkan kaki, sehingga tubuhnya melenting tinggi di udara. hingga berhasil menghindarkan diri.
Akan tetapi betapapun, tingkat kepandaian Sarini masih kalah jauh dibanding dengan Ladrang Kuning. Kalau tadi sampai terjadi serangannya luput. Karena ladrang Kuning memandang rendah kepada gadis itu.
"Bagus!" serunya geram.
"Kiranya engkau membanggakan ilmu kepandaianmu. sehingga berani lancang menjual anakku Mariam."
Sambil mendamprat, ladrang Kuning bergerak maju dengan gesit. Usahanya berhasil, sambil mencengkeram ia juga memukul punggung.
Sarini kaget sekali. Ketika merasakan punggungnya sakit. Jelas Ladrang Kuning tadi menyerang dari depan, tetapi mengapa punggungnya sakit? Dalam keadaan seperti ini. ia sadar. Kalau berkeras meronta akan menderita lebih hebat. Karena itu ia memilih tangannya dicengkeram oleh Ladrang Kuning. sehingga pergelangan tangannya sudah dapat dicengkeram wanita itu. Tanpa membuka mulut, Ladrang Kuning sudah mengangkat tangan kanan dengan maksud memukul kepala gadis itu.
Prayoga terkejut sekali. Untuk menolong sudah tidak mungkin lagi. tetapi berdiam diri juga tidak mungkin. Untung sekali di tempat ini terdapat Jim Cing Cing Goling, yang kemudian berteriak nyaring,
"Tunggu dulu!" "Tua bangka!" bentak Ladrang Kuning.
"Engkau hendak menipu diriku dengan cara apa lagi? Huh, sesudah satu persatu di antara kamu mati, maka engkaulah merupakan giliran yang terakhir."
Jim Cing Cing Goling tidak menggubris ancaman itu, berkata,
"Hai Ladrang Kuning. Kalau kami dapat menunjukkan tempat anakmu perempuan itu, lalu bagaimana?"
"Hemm, semua itu harus menunggu sampai aku dapat menemukan Mariam. dan bertanya sendiri kepada anakku tentang peristiwa yang dialami, dan sesudah itu aku baru dapat mengambil keputusan. Hem, sekalipun begitu aku sudah tahu bahwa semua yang sudah terjadi. bukan lain merupakan tipu muslihat budak perempuan yang hina ini. Huh, mengingat akan dosanya, lebih tepat kiranya apabila hukuman untuk bocah ini aku laksanakan sekarang juga."
"Heh-heh-heh, sayang sekali engkau dapat ditipu orang... ."
"Apa?" tukas ladrang Kuning memutuskan ucapan Jim Cing Cing Goling.
"Siapa yang menipu aku?"
"Hem, aku ingin mendengar jawabanmu. Siapa yang sudah memberitahu kepadamu bahwa kami berada di sini?"
"Tidak ada orang lain kecuali anak menantuku Swara Manis."
Wasi Jaladara yang polos tetapi membenci Suara Manis yang banyak tipu muslihatnya menggeram marah. Namun sebelum membuka mulut, Jim Cing Cing Goling sudah mendahului.
"Heh-heh-heh, bocah itu memang sangat licin. Karena Swara Manis takut datang sendiri ke mari, maka telah menipu engkau dengan meminjam tanganmu."
"Ngacau saja. Tidak mungkin aku dapat ditipu orang!"
"Orang biasa memang sukar menipu engkau yang cerdik sekali." Jim Cing Cing Goling berusaha memuji Ladrang Kuning.
"Akan tetapi manusia seperti Suara Manis, tidak sulit menipu dirimu. Nah. sekarang dengarkan dahulu ceritaku ini."
Jim Cing Cing Guling segera menceritakan peristiwa yang telah terjadi secara ringkas. Diceritakan bahwa Swara Manis telah datang kepada Surogendilo, lalu menukarkan Mariam dengan pedang pusaka Nyai Baruni milik Ladrang Kuning. Tetapi dalam usahanya menutupi perbuatannya, Swara Manis malah menuduh Sarini dan yang lain telah menjual kepada Surogendilo. Padahal mereka datang ke tempat tinggal Surogendilo, dalam usahanya menolong Mariam.
Kemudian Jim Cing Cing Goling menutup keterangan dengan memberikan bukti bukti. Katanya,
"Hai Ladrang Kuning! Jika engkau masih juga belum percaya akan keteranganku ini, engkau dapat kami tunjukkan bukti-bukti. Batu mustika yang dibacok oleh pedangmu Nyai Baruni masih di tempat ini. Dan itu... mayat Dasa Muka masih
menggeletak. Semua itu bukan lain sebagai hasil perbuatan Swara Manis."
"Tetapi mengapa dia memberi keterangan lain kepada diriku, dan menerangkan kalianlah yang sudah menukarkan anakku Mariam dengan dua ekor orang utan itu?"
"Mengapa engkau hanya percaya kepada keterangan palsu dari manusia busuk macam Swara Manis?" kata Sarini yang tak kuasa lagi menahan mulutnya .
ladrang Kuning mendelik marah. Hardiknya,
"Jadi maksudmu, aku harus hanya mendengar dan percaya akan keteranganmu?"
Karena ngeri dan takut, Sarini tidak berani membuka mulut lagi.
Prayoga yang kemudian memberanikan diri, berkata,
"Ibu, untuk membuktikan keterangan paman Cing Cing Go-ling, biarlah aku sekarang berusaha menemukan batu mustika itu."
Sesudah berkata, Prayoga melangkah pergi untuk mencari.
"Baik, apabila engkau berhasil menemukan batu mustika itu, barulah aku dapat mempercayai keterangan kalian. Hemm, bagaimanapun aku tidak dapat percaya, Swara Manis berani menipu diriku. Ketika aku bertemu dengan dia, dia menerangkan akan pergi ke Gunung Slamet untuk mengundang Hajar Sapta Bumi, dengan maksud agar dapat menolong Mariam."
"Ha-ha-ha," Jim Cing Cing Goling ketawa bekakakan.
"Itu satu bukti lagi kebohongannya. Jika benar dia bermaksud menolong anakmu Mariam, tentunya begitu bertemu dengan engkau, kiranya sudah cukup kuat untuk menyelamatkan Mariam. Karena dengan tenagamu, jelas Surogendilo tidak mungkin sanggup menghadapi. Akan tetapi apakah sebabnya Swara Manis tidak ikut dirimu dan tetap pergi menuju Gunung Slamet?"
Ladrang Kuning terbungkam mendengar keterangan ini. Dalam hatinya dapat menerima alasan Jim Cing Cing Goling. Dan menurut penilaiannya sendiri. siapa lagi manusia di dunia ini yang sanggup berhadapan dengan diriku mengadu kesaktian?
Karena terpengaruh, cengkeramannya menjadi kendor. Namun Sarini masih juga belum dapat melepaskan diri, lalu beriba,
"Ibu, kakang Prayoga sudah pergi mencari bukti itu. Sekarang saya berharap, hendaknya ibu dapat membebaskan aku."
Tanpa menjawab Ladrang Kuning sudah mendorong. Akibatnya tubuh Sarini terhuyung beberapa langkah. Sekarang setelah dirinya bebas, dara genit ini tidak berani sembarangan membuka mulut. Khawatir dirinya celaka di tangan ladrang Kuning. Yang dapat dilakukan sekarang tinggal menunggu kembalinya Prayoga yang sedang mencari batu mustika.
Akan tetapi sampai matahari tenggelam di barat dan cuaca gelap, Prayoga belum juga muncul kembali. Karena khawatir Wasi Jaladara minta persetujuan untuk menyusul Prayoga, dan diijinkan oleh Ladrang Kuning. Memang bukan pekerajaan yang gampang mencari sesuatu di tempat ini. Karena tempat ini merupakan hutan yang lebat, dan semak belukar menutup lapisan tanah.
Yang masih tinggal di tempat hanya Jim Cing Cing Guling, Sarini dan Ladrang Kuning, Joli dan Jodhang. tidak nampak, agaknya dua ekor binatang itu ketakutan kepada Ladrang Kuning atau sedang mencari pengisi perut.
Cukup lama mereka menunggu. Akan tetapi Prayoga dan Wasi Jaladara belum juga muncul kembali. Keadaan ini membuat Ladrang Kuning curiga. Wanita tidak waras otaknya ini, kemudian ketawa-ketawa sendiri, akan tetapi nadanya mengejek.
Mendengar nada ketawa perempuan itu, Sarini menghampiri Jim Cing Cing Goling, lalu berkata lantang,
"Kakang Prayoga dan paman Jaladara selama ini merupakan orang-orangjujur dan dapat dipercaya. Agaknya mereka bertekat menemukan batu tersebut sampai ketemu. Tetapi mengingat keadaan, usaha mencari itu tidaklah mudah. Ahh, kasihan juga mereka yang sudah bersusah payah, kalau masih juga tidak dipercaya."
Jim Cing Cing Goling tertawa terkekeh. Dalam hati memuji kecerdikan Sarini yang sudah menyindir Ladrang Kuning.
"Huh,jangan bergembira dulu!" hardik Ladrang Kuning.
"Kalau ternyata mereka lari, nyawamu berdua sebagai gantinya."
Berhadapan dengan Ladrang Kuning yang selalu ingin menang sendiri, Jim Cing Cing Goling tak dapat mengalah lagi, lalu berkata,
"Hai Ladrang Kuning, dengarkanlah! Engkau tak dapat menahan diriku lebih lama lagi karena aku masih mempunyai urusan lain yang lebih penting. Tetapi apabila engkau masih penasaran, baiklah kita tetapkan saja waktu yang lebih baik untuk bertanding. Untuk kepentingan itu kita undang seluruh tokoh sakti, agar dapat menyaksikan siapa di antara kita yang lebih sakti. Hemm, mati dalam perkelahian yang disaksikan oleh para tokoh sakti, lebih berharga dibanding mati konyol."
"Engkau akan pamer ilmu kesaktian apa lagi?" tanya Ladrang Kuning dengan nada meremehkan.
"Tentu saja masih banyak."
Tetapi Ladrang Kuning sambil menuding pundak Jim Cing Cing Goling yang pernah dapat dilukainya. lalu berkata mengejek,
"Tangan siapakah yang pernah melukai pundakmu itu?"
"Dan siapakah yang pernah berhasil merampas benda dari tanganmu?" balas Jim Cing Cing Guling.
ladrang Kuning terbakar lagi kemarahannya. Kemudian ia menantang,
"Jika engkau ingin mengadu kesaktian,
sekarangpun jadi! Mengapa harus mencari waktu lain? Hi-hi-hik, apakah engkau masih akan berusaha mencari ilmu kesaktian?"
"Baik, aku terima tantanganmu!" sambut Jim Cing Cing Goling.
"Aku ingin sekali mengenal ilmu kesaktian nenek Naga Gini."
"Hemm, silahkan memulai."
Karena sudah terdesak, apa boleh buat. Mau tidak mau sekarang harus melayani tantangan ladrang Kuning untuk bertanding. Tetapi sebelum dua orang itu bergebrak tiba-tiba tampak berkelebat sesosok bayangan. Semula mereka menduga pendatang itu Prayoga, maka mereka cepat memanggil. Namun ternyata kemudian yang hadir seorang tokoh tua kerdil, yang bukan lain Ndara Menggung alias Sampar Mega. Begitu tiba, kakek kerdil ini sudah berteriak,
"Heh-heh-heh, Cing Cing Goling. Aku sudah menduga bahwa sesudah engkau mendapat ular Gadung Dahana, engkau segera pergi ke tempat ini. Huh-huh, engkau sudah menipu diriku dengan dalih supaya melatih ilmu tongkat itu. Hayo, alasan apakah yang akan kau kemukakan?"
"Hai Ndara Menggung, cepatlah ke mari. Cepat, sekarang engkau akan aku perkenalkan dengan Ladrang Kuning yang sangat masyhur itu."
"Huh, aku sudah tahu."
Tiba-tiba Sarini berkata seorang diri,
"Hemm, mengapa lama sekali mereka tidak kembali? Kalau begitu sebaiknya aku pergi menyusul."
"Huh, engkau akan melarikan diri?" bentak Ladrang Kuning yang menjadi curiga.
"Denok, jangan pergi dan jangan membiarkan dirimu dihina orang," Jim Cing Cing Goling memberi nasihat.
Lalu ia memalingkan muka ke arah Ndara Menggung, berkata,
"Hai Sampar Mega. Ilmu permainan tongkat itu sebenarnya masih kurang satu jurus. Hem, engkau ingin mempelajari atau tidak?"
"Sudah tentu!" Ndara Menggung gembira sekali, lalu mengibaskan tongkat di tangannya, yang sesungguhnya milik Wasi .Jaladara.
"Nanti dulu! Engkau harus mengerjakan perintahku lebih dulu."
"Lekas berikan perintah itu, dan akan aku laksanakan."
"Pergilah engkau mencari dua orang sahabatku. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan kepala gundul, dan berpakaian seperti pendeta. Seorang lagi masih muda, dan engkau sudah kenal bernama Prayoga. Mereka tadi pergi dalam usaha mencari benda berharga di sekitar tempat ini. Tetapi sayang sekali, mereka sudah lama pergi belum juga datang kembali."
Biasanya si kerdil ini menerima perintah tanpa pikir lagi. Namun sekali ini Ndara Menggung tidak mau. Ia mendelik dan berteriak.
"Huh, engkau tak mau pergi sendiri, dan sekarang aku kan perintah pergi. Huh, aku tahu. Engkau akan menipu aku lagi, bukan?"
"Sampar Mega. Aku tidak pergi karena ada orang yang melarang. Karena orang itu curiga kalau aku melarikan diri."
"Hai, siapa yang melarang? Kalau memang ada biarlah aku yang mewakili engkau untuk memukulnya dengan tongkat ini." Sambil berkata Ndara Menggung sudah menggerakkan tongkatnya.
Jim Cing Cing Coling yang merasa mendapat kesempatan baik, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.Ia ingin mendapat bantuan Ndara Menggung untuk melawan Ladrang Kuning. Sambutnya cepat,
"Hai, engkau akan memukul orang itu? Huh, engkau jangan sombong dan membuka mulut sembarangan. Aku kuatir engkau yang akan menerima pukulannya."
"Gila! Siapa sudi? Hayo, cepatlah orang itu suruh datang ke mari!" tantangnya mantap.
Jim Cing Cing Goling menunjuk ke arah Ladrang Kuning, lalu jawabnya,
"Dialah orangnya."
Ndara Menggung cepat melompat tanpa membuka mulut, langsung memukul kepala Ladmng Kuning dengan tongkatnya.
Menyaksikan lagak orang kerdil yang angin-anginan itu, Ladrang Kuning marah sekali. Serunya merendahkan.
"Huh, telor busuk macam engkau, masih berani menjual lagak didepanku?"
Tanpa kesulitan ladrang Kuning sudah dapat meng hindarkan diri, dan serangan pertama itu luput. Tetapi Ndara Menggung pantang mundur. Ia melancarkan serangannya yang ke dua sambil berteriak,
"Heh-heh, si telor busuk ini memang tidak mau menjual lagak kepadamu. Akan tetapi hendak menyuruh engkau merasakan pukulan tongkatku ini satu kali saja!"
Ladrang Kuning mendongkol, lalu bergerak ke samping. Celakanya Ndara Menggung mengejar dan serangan susulannya ke arah pinggang.
Sesudah dua orang itu berkelahi seru, Jim Cing Cing Goling cepat-cepat menarik tangan Sarini sambil berkata,
"Hayo, mereka kita cari. Kita sekarang bebas, dan biarkan dua orang itu saling cakar sendiri."
Sarini memuji kecerdikan Jim Cing Cing Goling. Tetapi sebaliknya Ladrang Kuning amat mendongkol menghadapi orang kerdil ini. Beberpa kali ia berusaha lolos untuk mengejar, akan tetapi Ndara Menggung selalu menghalangi dengan sambaran tongkatnya.
Karena tongkat yang menyerang dirinya sulit diterobos, Ladrang Kuning berseru mengancam,
"Telor busuk! Usahakan jangan sampai bertemu aku lagi kemudian hari. A-pabila sampai bertemu, engkau akan mampus."
Mendengar ancaman ini, inginlah Sarini membalas mencaci-maki. Untung sebelum gadis ini sempat membuka
mulut, Jim Cing Cing Goling sudah mencegah. Menurut kakek itu, tidak ada gunanya melayani Ladrang Kuning, yang penting dapat lolos secepatnya.
Sulit digambarkan betapa marah dan penasaran Ladrang Kuning, orang yang akan dibunuh dapat melarikan diri, gara-gara munculnya orang kerdil ini. Sudah tentu segala kemarahannya lalu ditimpakan kepada Ndara Menggung. Celakanya ia berhadapan dengan orang linglung, yang sulit diajak bicara. Malah kakek kerdil itu berkata merendahkan,
" Rasakanlah satu kali saja pukulan tongkatku ini. Sesudah engkau berhasil aku pukul, engkau akan aku biarkan pergi meninggalkan tempat ini."
Manakah mungkin Ladrang Kuning menyediakan dirinya untuk dipukul orang? Dia seorang wanita sakti dan angkuh. Dia pantang mengaku kalah kepada lawan, dan manakah mungkin sedia mengalah kepada kakek linglung ini?
Dalam penasarannya, Ladrang Kuning tidak lagi bermaksud mencari kesempatan lolos. Ia harus dapat menghajar kakek sinting ini biar kapok. Ia lalu membalikkan tangan kiri, sedang tangan kanan bergerak memukul tongkat yang tengah menyambar. Trang ...tongkat Ndara Menggung terpental.
Ndara menggung sangat terkejut. Ia tak pernah menyangka tongkatnya dapat ditangkis dengan tangan. Ndara Menggung tidak menyadari bahwa ladrang Kuning telah menggunakan-ilmu meminjam tenaga. Akibatnya tongkat yang mental itu membalik dan hampir memukul dada Ndara Menggung. Untung Ndara Menggung termasuk tokoh sakti, dan menguasai berbagai macam ilmu tata kelahi. Ia cepat memiringkan tubuh, lalu terhuyung ke samping menggunakan ilmu Jathayu Nandang Papa. Begitu bebas dari ancaman tongkat. ia cepat menggerakkan tongkatnya lurus ke depan untuk menyerampang betis Ladrang Kuning.
Diam-diam ladrang Kuning Kagum juga menghadapi sepak terjang orang kerdil ini. Sadar keadaan ia tidak berani
meremehkan. Untuk mengalahkan orang kerdil ini, dirinya harus mencurahkan seluruh perhatian dan kesaktian.
Sesudah berhasil menghindar. Ladrang Kuning merendahkan tubuh dan berbareng itu ke lima jari' tangannya menyambar tongkat lawan. Akan tetapi kakek linglung itu tidak mau membiarkan tongkatnya dirampas-orang. Secepat kilat ia telah melenting kemudian menghantam kepala Ladrang Kuning.
ladrang Kuning tambah penasaran sambarannya luput. Padahal ia tadi sudah yakin, sambarannya tentu berhasil. Saking marah. Ladrang Kuning telah memekik nyaring sambil menyalurkan tenaga sakti lewat suara.
Pekikan itu menyebabkan Ndara Menggung tertegun sejenak. Tetapi mulutnya mengomel penuh rasa sesal,
"Kurangajar! Mengapa engkau tidak mau aku pukul sekali saja? Jika aku tak berhasil memukul engkau, celakalah aku. Huh, aku diejek oleh Jim Cing Cing Goling."
Bagaimanapun, kakek kerdil itu setengah linglung. Sekalipun sakti, otaknya tidak dapat bekerja secara wajar, ia tidak menyadari bahwa pekikan Ladrang Kuning itu amat berbahaya. Ndara Menggung hanya merasakan sambaran angin yang dahsyat.Ia menggerakkan tongkatnya. memukul ke samping. Tetapi ah, Ladrang Kuning seperti lenyap di telan bumi.
Di saat Ndara Menggung belum menyadari keadaan, tahu-tahu ia merasakan punggungnya sakit sekali, dan hawa yang amat dingin telah menerobos masuk ke tulang dan sungsumnya.
Ia mengeluh dan buru-buru mengerahkan tenaga sakti untuk melawan. Ketika membalikkan tubuh, ternyata ladrang Kuning telah berdiri di depannya dan sepasang mata perempuan itu menjinarkan cahaya hijau seperti sepasang mata harimau.
Ndara menggung menggigil. Tetapi bukan karena takut, melainkan oleh pengaruh hawa dingin yang menerobos masuk ke dalam tubuhnya. Akan tetapi dasar kakek linglung. Walaupun sudah terluka, ia belum juga menyadari telah dipedaya oleh Cing Cing Goling. ia sudah terluka, tetapi ia masih juga mengoceh,
"Hemm, perempuan ini benar-benar sakti, dan Jim Cing Cing Goling berkata sebenarnya. Huh, aku tak dapat memukul sebaliknya aku malah kena pukul. Ah, tetapi masih sembilan kali. Sekarang aku ingin bertanya, terus berkelahi apa tidak?"
Melihat wajah Ndara Menggung sudah kehijau hijauan, tetapi mulutnya masih juga mengoceh tidak keruan, Ladrang Kuning tidak mau menggubrisnya lagi. Kemudian ia berputar tubuh, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Ternyata Ndara Menggung memang seorang sakti dan ulet. Sekalipun separo tubuh bagian kiri sudah dalam keadaan mati rasa, tetapi separo bagian kanan masih dapat bergerak normal. Karena ditinggalkan oleh ladrang Kuning, kakek kerdil ini amat mendongkol dan berteriak.
"Hai... tunggu dulu! Rasakan dulu tongkatku ini, sekali saja sudah cukup!"
Sambil berteriak, kakek kerdil ini mengayunkan tongkatnya. Ladrang Kuning tidak pernah mimpi bahwa orang kerdil itu masih mampu bergerak dan menyerang. Karena tak pernah diduganya. ia menjadi lengah.
Crak... !! tumitnya terpukul dan hilanglah keseimbangan tubuh perempuan itu, dan saat itujuga ladrang Kuning roboh terduduk. Kendati telah menderita luka cukup parah, masih juga membuat tumit ladrang Kuning terluka berat, tulangnya patah.
Setelah berhasil memukul Ladrang Kuning, kakek kerdil ini tampak puas. Ia segera mundur beberapa langkah. Akan tetapi ah... iapun tak mampu lagi berdiri dan kemudian jatuh terduduk di atas tanah, sedang napasnya memburu tak keruan.
Dahulu selama masih bersama suaminya, Ladrang Kuning tidak pernah mengalami kekalahan dalam setiap perkelahian, oleh bantuan suami. Hingga bersama Kilat Buwono, dirinya berhasil menjagoi dunia dengan sepasang pedang yang tak pernah terkalahkan. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Ndara Menggung, dirinya menderita luka oleh tongkat. Hal ini membuat perempuan itu merenung-renung, menyesal berbareng kecewa. Kendati luka itu tidak berbahaya. namun hal ini akan memaksa kepada dirinya untuk istirahat beberapa hari. guna menyembuhkan lukanya.
***** "'DENDAM KESUMAT"
Karya : Widi Widayat Jilid : III
LUKANYA ini menimbulkan kekhawatiran dalam
hatinya, kalau Ndara Menggung kemudian hari membual kepada orang, telah berhasil melukai dirinya. Akan tetapi ketika melihat Ndara menggung duduk di atas tanah sambil memejamkan mata, ia menjadi lega.
Ia tahu, kakek kerdil itu telah menderita luka parah oleh pukulan hawa dingin. Setelah menderita luka separah itu, tidak mungkin kakek itu dapat selamat, tanpa bantuan orang lain. Dengan begitu sudah dapat dipastikan, kakek kerdil ini akan tamat riwayatnya.
Akan tetapi kendati tahu keadaan Ndara Menggung, perempuan ini masih juga merasa penasaran akibat kakinya kena pukul. Kendati kakek kerdil itu akan binasa, tetapi Ladrang Kuning ingin mempercepat kematian kakek itu. Untuk melaksanakan maksud ini, tidak ada jalan lain kecuali melakukan pukulan jarak jauh.
Namun pada saat ladrang Kuning akan melancarkan pukulan itu, tiba-tiba Ndara Menggung membuka mulut dan berseru,
"Hai Ladrang Kuning. Pukulanmu sungguh hebat. Apakah engkau bersedia memberi petunjuk ilmu tersebut kepada diriku?"
Ladrang Kuning tertegun. Tangan yang sudah siap memukul diturunkan lagi. Menurut pendapatnya, membunuh orang macam itu tidak ada gunanya. Kemudian ia tidak perduli lagi, memijit-mijit kakinya, dan tak lama kemudian ladrang Kuning telah pergi.
Karena tak digubris, Ndara Menggung memejamkan mata lagi, lalu mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pengaruh hawa dingin yang menyerang separo tubuhnya.
Kita tinggalkan dahulu kakek kerdil ini, dan kita ikuti kepergian Sarini dan Jim Cing Cing Goling. Setelah dua orang ini tiba di tempat yang tumbuh rumput tinggi, mereka tertegun. Di depan mereka sekarang terbentang sebuah telaga yang cukup luas. Airnya biru kehijauan, menandakan bahwa telaga itu amat dalam.
"Ya ampun... ke manakah perginya dua orang tolol itu? Batu mustika tak dapat diketemukan, orang itupun malah tak kunjung muncul lagi." Sarini bersungut-sungut dan kesal.
Jim Cing Cing Goling tidak menggubris.Ia meneruskan penyelidikannya, lalu teringatlah ia kepada Swara Manis yang lari ke arah ini. Katanya kemudian,
"Eh, siapa tahu Swara Manis melempar batu ke telaga?"
Sarini juga setuju kepada pendapat kakek itu.
"Ahh..." Jim Cing Cing Goling berseru seperti orang terkejut.
"Mungkinkah Prayoga dan Jaladara mempunyai dugaan seperti kita, kemudian mereka terjun ke telaga ini"
Sarini terbeliak kaget. Dugaan itu mungkin benar, tetapi sesaat kemudian ia membantah,
"Tidak! Sebab apabila mereka terjun ke telaga, tentu sudah muncul kembali. Hemm... tetapi kalau tidak... mungkin mereka mendapat kecelakaan di tempat ini... ."
Jim Cing Cing Goling menjadi gelisah juga mendengar dugaan Sarini itu. Tetapi sebagai orang tua, ia cepat menghibur,
"Engkau jangan menduga seperti itu. Siapa tahu mereka benar-benar-takut kepada ladrang Kuning?"
Akan tetapi Sarini seorang gadis berotak cemerlang dan tidak dapat ditipu. Tanpa terasa air matanya sudah bercucuran. kemudian berkata,
"Tak mungkin! Kakang Prayoga bukan seorang penakut. Aku menduga telaga ini dihuni setan ganas yang telah menyeret kakang Prayoga ke dasar telaga. Ah akulah yang sudah mencelakakan dia "
Sarini terisak-isak. "Apa maksudmu?" tanya Jim Cing Cing Goling. Tanpa malu-malu lagi ia sudah menerangkan.
"Dalam perjalanan kemari, aku selalu marah-marah kepada dia, karena dia tidak tahu bahwa sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada dia. Sepanjang perjalanan aku selalu mengomel, hingga kemudian kakang Prayoga menemukan batu mustika itu. Ah! kalau sekarang kakang Prayoga celaka dan mayatnya juga hilang... bukankah aku yang menyebabkan dia tewas... .?"
Diam-diam Jim Cing Cing Goling sedih sekali, apabila dugaan itu benar terjadi. Ia sayang sekali kepada pemuda itu, karena jujur dan perwira. Sejak lama ia sudah memutuskan untuk membimbing pemuda itu agar menjadi pemuda harapan bangsa. Tetapi kalau sekarang Prayoga tewas, sudah tentu hal ini membuat dirinya kecewa.
Karena Jim Cing Cing Goling berdiam diri, Sarini menjadi makin sedih. Terbayanglah wajah Prayoga yang ketololan, tetapi berwatak jujur, berani dan penuh tanggung-jawab. Sulit bagi dirinya menemukan seorang pemuda seperti Prayoga.
"Huh-huk-huk..." Sarini tak kuasa lagi menahan tangisnya.
"Kalau kakang Prayoga mati, aku bersumpah takkan kawin selama hidup. Aku akan menjadi wadat, dan sebagai perawan suci sampai mati ...?"
Jim Cing Cing Goling yang gemar berolok-olok itu, hampir saja tertawa, mentertawakan Sarini. Namun karena khawatir gadis itu marah, ia mengurungkan ketawanya lalu menghibur,
"Sudahlah denok, jangan menangis. Kalau benar bocah itu sudah tewas, sekalipun engkau tangisi takkan hidup kembali. Tetapi sebaliknya kalau dia masih hidup, bukankah air mata dibuang sayang?"
Sarini menjadi malu kemudian berhenti menangis. Namun hal itu hanya sebentar. ia sudah menangis lagi,
"Huk-huk-huk... jika kakang Prayoga benar mati... aku akan menangis terus sampai mati... "
"Hemm, Prayoga dan Jaladara bukan laki-laki lemah. Mereka tidak mungkin mudah putus asa. Dan tidak mustahil kiranya dua orang itu sedang bersembunyi di suatu tempat." Jim Cing Cing Guling sengaja berteriak nyaring. Menurut pendapatnya kalau dua orang tersebut masih di sekitar tempat ini, akan mendengar kemudian membalas. Tetapi celakanya kendati Jim Cing Goling berkali-kali berteriak, tidak juga ada yang menyahut.
Mendadak Jim Cing Cing Goling tertegun. Ia tidak mendengar lagi suara Ladrang Kuning dan Ndara Menggung berkelahi. Kalau mereka sudah berhenti berkelahi, tentu dua orang itu sudah pergi. Kemudian kakek itu memungut sebutir batu dilemparkan ke telaga. Dari suara telaga itu jelas bahwa air telaga memang amat dalam.
"Kau bisa berenang?" tanyanya. Sarini menggeleng.
"Eh. gurumu jago berenang, mengapa engkau tak bisa?" Sarini berdiam diri.
Kakek itu mengamati Sarini, lalu berkata,
"Sarini, percayalah kepadaku. Menurut firasatku, kakak seperguruanmu itu belum mati. Maka menurut pendapatku, sebaiknya kita pergi mencari gurumu saja. Sesudah ketemu, kemudian kita pergi bersama-sama ke Gunung Slamet. Bukankah hari raya Lebaran sudah dekat?"
Sarini setuju. Kemudian mereka menuju kembali ke tempat semula. Jim Cing Cing Goling melihat Ndara Menggung duduk bersila di tanah. Sepasang matanya terpejam, tubuhnya gemetaran dan napasnya kembang kempis.
Melihat itu Jim Cing Cing Goling sangat terkejut.Ia mengerti Ndara Menggung menderita luka dalam dan gawat.
"Aih... akulah yang sudah mencelakakan dia," serunya.
Kemudian ia menghampiri dan bertanya,
"Kenapa engkau... .?"
Saat itu Ndara Menggung sedang berjuang mati matian dalam usaha melawan hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya. Satu-satunya orang yang diharapkan hadir, tidak lain Jim Cing Cing Goling, karena ingin menyampaikan sesuatu. Maka begitu mendengar teguran Jim Cing Cing Goling, kakek kerdil ini gembira dan berkata,
"Cing Cing Goling, perempuan itu benarbenar sakti. Aku terluka oleh pukulannya, tetapi aku juga berhasil memukul sekali. Dia pergi terpincang-pincang dan lucu sekali... ha-ha-ha... ."
Jim Cing Cing Goling menghela napas dan menyesal. Ia tahu bahwa Ndara Menggung bukanlah tanding ladrang Kuning yang setimpal.
"Engkau dapat memukulnya satu kali, tetapi engkau sendiri?"
Ndara Menggung menunjuk ke arah bahu kirinya, dan Jim Cing Cing Goling terkejut.
"Hai... pundakmu terpukul oleh Ladrang Kuning?" Buru-buru ia memijat jalan darah pada punggung. Kemudian ia dapat merasakan denyut jantung yang amat lemah. Dalam hatinya timbul rasa sangsi, apakah dirinya dapat menolong?
Kendati demikian Jim Cing Cing Goling segera menyalurkan tenaga sakti ke dalam tubuh Ndara Menggung, dengan maksud untuk menolong.
"Hai... Cing Cing Guling," Ndara Menggung bersungut,
"Engkau jangan menyiksa aku seperti ini. Huh... aku tidak takut mati. Tetapi engkau jangan membuat tubuhku panas dingin seperti ini. Ah... sebelum aku sampai di akhirat... aku sudah tele-tele... ."
Jim Cing Cing Goling semakin trenyuh.Ia menyesal mengapa kakek ini harus menderita karena perbuatannya.
Sekarang ia semakin tahu kendati linglung. tetapi Ndara Menggung jujur. Untuk itu semakin besar tekatnya untuk dapat menolong kakek ini.
"Sampar Mega!" katanya kemudian.
"Kalau tenaga sakti kita persatukan, tentu akan mampu mengusir hawa dingin yang jahat itu. Hayo, jangan bicara lagi dan kita kerahkan tenaga sakti bersama-sama."
Ndara Menggung mengangguk. Jim Cing Cing Goling teringat Sarini, lalu berkata,
"Denok, aku akan menolong sahabatku yang baik ini. Tetapi tentu memerlukan waktu sedikitnya setengah bulan. Sekarang terserah kepada engkau sendiri, menemani aku di sini atau pergi lebih dulu."


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia berhenti kemudian menghela napas panjang. Lalu,
"Tetapi setengah bulan kemudian, kendati Sampar Mega sembuh, tenagaku maupun tenaganya bakal berkurang. Untuk itu tinggalkan Joli dan Jodhang di sini. Hemm, engkau sudah membawa ular Gadung Dahana. Jika perlu ular sakti itu dapat engkau gunakan sebagai senjata. Setuju?"
Sarini menggeleng. "Tetapi aku takut ular."
Jim Cing Goling tertawa, "Mengapa takut? Pijatlah ekornya, dan ular itu akan menurut kepadamu. Kendati begitu, ingat! jangan sampai kulitmu tertusuk oleh duri kulitnya yang tajam, engkau bisa keracunan. Jika menghadapi lawan tangguh dan engkau kewalahan, lepaskan saja ular itu. Percayalah engkau akan menang dan lawan akan binasa. Apakah engkau sudah paham dan mengerti?"
Sarini tanpa ragu menyambut tabung berisi ular. Dalam hati gadis ini memang tidak kunjung padam harapannya, bahwa kakak seperguruannya masih hidup dan sekarang sedang menyembunyikan diri. Kalau dugaannya ini benar, tentu dirinya akan dapat bertemu dengan kakak seperguruannya itu di Gunung Slamet.
Sebelum pergi, Jim Cing Cing Goling masih berpesan,
"Dalam perjalanan nanti, ular itu berilah makan. Cukup engkau beri seekor katak untuk lima minggu. Akan tetapi yang paling digemari ular Gadung Dahana itu, kutu bambu."
"Kutu bambu?" Sarini kaget.
Sebenarnya Sarini amat jijik kepada binatang sebangsa kutu. Akan tetapi demi kepentingan ular itu, ia bertanya bagaimanakah ciri dari kutu yang dimaksud. Jim Cing Cing Goling sudah akan menerangkan. akan tetapi tiba-tiba hawa dingin dalam tubuh Ndara Menggung menyerangnya kuat sekali. Karena terpaksa, ia harus berdiam diri dan mengerahkan tenaga sakti untuk melawan.
Setelah ia berhasil menekan rangsangan hawa dingin tersebut. ia segera menerangkan tentang cara untuk mencari kutu untuk makanan ular. Sesudah itu, kemudian memberi pesan,
"Jika tidak ada halangan, sebelum hari Lebaran engkau sudah akan tiba di Gunung Slamet. Engkau jangan lancang masuk, dan tunggu saja di luar padepokan. Di samping itu dalam perjalanan engkau harus pandai menjaga diri, jangan mencari onar dan keributan."
Sarini menyanggupkan diri kemudian minta diri. Tetapi sekalipun sudah membekal ular sakti, namun Sarini masih khawatir kalau dikeroyok gerombolan orang utan. Karena itu ia tidak langsung menuju ke barat, tetapi menuju ke selatan. Pergi seorang diri seperti sekarang ini, dirinya merasa bebas.
Hari sudah petang ketika Sarini tiba di Magelang, Perutnya perih sekali dan minta isi.Ia bergegas masuk sebuah warung. Pemiliknya menyambut dengan hormat dan wajah berseri.
Akan tetapi mendadak Sarini terkejut sendiri, kemudian menjadi ragu. Memang ada. sebabnya ia menjadi ragu. Karena dirinya tidak mempunyai uang sepeserpun. Selama ini, Prayoga sebagai kakak seperguruannya yang selalu mencukupi kebutuhannya dalam perjalanan.
Akibat tidak membekal uang sepeserpun itu, kaki
yang sudah masuk ke ambang pintu ditariknya cepat cepat. Tentu saja pemilik warung keheranan dan kecewa.
"Maafkan aku yang salah masuk," Sarini memberi alasan.
"Tetapi bukankah nona dapat membaca papan nama di atas itu?" pemilik warung menegur karena mendongkol.
Tetapi Sarini seorang gadis yang selalu tangkas apabila bicara. Sahutnya,
"Habis, kalau memang salah masuk, apakah tidak boleh? Bukankah aku tadi sudah menerang kan kalau salah masuk dan minta maaf? Dan bukankah terjadinya peristiwa ini engkau tidak menderita rugi apaapa? "
Jawaban itu membuat pemilik warung ketawa gelak gelak saking geli. Sarini yang merasa ditertawakan mendongkol sekali, dan kalau tidak ingat pesan Jim Cing Cing Goling, mulut pemilik warung itu tentu sudah ia tampar agar perot.
Gadis ini cepat masuk salah satu gang agak sempit. Perutnya melilit-lilit tak sanggup lagi menahan lapar. Ia tak tahu kemana harus pergi. Yang penting secepatnya harus menjatuhi warung tersebut, agar hidungnya tidak dirangsang oleh bau ikan goreng yang baunya gurih dan membangkitkan selera itu.
Kemudian ia teringat akan nasihat orang-orang tua. Apabila perut terasa lapar, perut perlu diikat kencang kencang. Teringat nasihat itu kemudian ia melakukannya. Akan tetapi walaupun perut terasa agak sakit, rasa lapar yang melilit-lilit itu tidak juga berkurang. Akibatnya ia menjadi bingung sendiri, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tak lama kemudian tibalah ia di dekat sebuah rumah tembok yang besar. Dari dalam rumah itu terdengar suara cukup ramai, kemudian seorang laki-laki kusut keluar dari mmah sambil menghela napas panjang.
Lalu terdengar pula laki-laki itu mengeluh,
"Kalah lagi! Setiap hari aku selalu kalah. Kapankah aku mendapat kesempatan memperoleh kemenangan?"
Sarini tertarik, lalu menghampiri dan bertanya,
"Apa sebabnya engkau mengeluh seperti itu? Lalu apakah kerja mereka di dalam rumah ini?"
"Apa? Tak usah..." tiba-tiba laki-laki itu menghentikan ucapannya, ketika melihat yang bertanya seorang gadis cantik. Wajahnya yang murung mendadak berubah cerah, kemudian cengar-eengir sambil menjawab,
"Di situ orang pada berjudi. Apakah engkau ingin masuk?"
Sarini tahu bahwa judi merupakan perbuatan maksiat. Tidak terhitung jumlahnya manusia yang mendadak miskin akibat judi. Namun demikian Sarini tertarik, katanya,
"Ya, aku ingin melihat keadaan."
Sarini tidak mempunyai uang sepeserpun. Namun ia tidak takut untuk masuk dan berjudi. Karena yang terpenting ia bertujuan untuk menghajar bandar judi.
Orang tersebut gembira sekali. Baru sekali ini sajalah seorang gadis, lagi cantik masuk ke dalam rumah judi yang penuh laki-laki. Karena tertarik, laki-laki ini lupa akan kekalahannya, kemudian mengikuti Sarini masuk ke rumah judi lagi.
Rumah itu cukup luas, dan terbuka, Ia melihat puluhan orang berkerumun di sekitar meja. Di tengah, seorang laki'-laki duduk di dekat meja sambil mengguncang-guncangkan kaleng kecil dan menimbulkan suara kerontangan. Tak lama kemudian kaleng itu diletakkan di atas meja, dan laki-laki itu berseru,
"Pasang baru! Tidak perlu ragu! Yang ingin cepat kaya, silahkan pasang dalam jumlah besar!"
Melihat pemandangan itu, sebenarnya Sarini muak. Tangannya gatal, ingin mengobrak-abrik sarang judi yang membuat orang sengsara itu. Akan tetapi ia teringat nasihat Jim Cing Cing Goling agar tidak membuat onar. Maka walaupun muak. ia menahan diri.
Saat itu tiba-tiba laki-laki tadi berseru,
"Pak Joyo! Lihatlah kemari. Ada tamu baru yang akan pasang besar."
Hampir berbareng, semua orang berpaling. Mereka menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis muda dan cantik. Tentu saja peristiwa ini amat menarik dan mengherankan. Selama ini tidak seorangpun perempuan masuk ke rumah judi ini, sekalipun yang sudah nenek-nenek. Oleh sebab itu semua orang menjadi tertarik dan ingin menyaksikan gadis ini berjudi.
Sarini tidak menghiraukan mereka semua. Untung ia seorang gadis tabah dan berani, walaupun seorang diri dan menjadi pusat perhatian puluhan pasang mata lakilaki, tetapi ia tidak menjadi gentar. Untuk menghilangkan rasa canggung, ia sudah berteriak,
"Hai pak Joyo, hari ini engkau laris sekali."
Kemudian Sarini menghampiri meja judi. Tidak perduli beberapa pasang laki-laki berduit wajahnya cerah dan cengar-cengir mengandung maksud. Tidak perduli pula beberapa wajah laki-laki itu masam dan murung akibat kalah, dan tidak perduli beberapa orang merasa heran dan curiga. Ia langsung mengambil batu mustika pemberian Prayoga, yang mestinya diberikan kepada Mariam. Benda itu ditawarkan kepada pak Joyo. Dan setelah meneliti sejenak, pak Joyo menawar sepuluh ringgit.
Akan tetapi Sarini tidak ingin menjual benda kenang kenangan itu, dan minta digadai sepuluh ringgit. Pak Joyo membayar permintaan Sarini, dan selesai membayar pak Joyo melemparkan batu mustika tersebut ke atas. Ketika batu mustika itujatuh, terdengarlah suara nyaring sekali.
"Kurangajar!" caci Sarini.
"Jika benda itu sampai pecah, engkau akan tahu rasa!"
Akan tetapi si bandar hanya nyengir dengan pandang mata yang mengejek. Kemudian ia memegang kaleng itu lagi dan diguncangkan. Setelah kaleng itu diletakkan lagi di atas meja, ia berkata nyaring,
"Siapa cepat akan dapat.
Hayo tidak perlu ragu. Saya akan melayani dengan senang hati, baik pasangan besar maupun pasangan kecil."
Di atas meja terdapat gambar enam macam. berbentuk persegi empat. Di dalamnya terdapat gambar merah berbentuk bulat, diawali dengan satu bulatan sampai enam bulatan. Gambar di atas meja itu keadaannya sama dengan gambar pada dadu di dalam kaleng. Apabila permukaan dadu tersebut menunjukkan gambar dua bulatan atau angka dua, maka yang pasang pada angka tersebut akan menang.
Sarini pasang gambar dua. dan uang sepuluh ringgit dipasangkan semua. Akan tetapi sungguh sial, gambar yang keluar bulatan tiga.
Sarini marah dan mengancam,
"Jangan kau ambil batu mustika itu. Jika nekat, engkau akan tahu sendiri!"
Pak Joyo menyeringai, lalu sahutnya,
"Barang yang sudah dipertaruhkan di tempat judi, sekalipun milik raja apabila kalah harus diambil yang menang. Apa sebabnya engkau melarang aku memiliki benda ini? Bukankah aku membayar pula apabila aku kalah?"
Jawaban bandar itu tepat dan menyebabkan Sarini tak dapat mengelak. Akan tetapi ia tidak ingin kehilangan benda pemberian Prayoga itu. Kemudian ia mencari akal untuk dapat pasang lagi. Tiba-tiba saja ia teringat kepada ular Gadung Dahana yang disimpan di dalam tabung bambu, yang tergantung di punggungnya. Tabung itu diambil, lalu berseru,
"Di dalam tabung bambu ini, terdapat benda hidup yang amat berharga. Dan benda hidup ini akan aku pertaruhkan dengan harga yang tinggi."
"Setelah melihat, kami sedia menilai harganya," sahut pak Joyo.
"Tidak! Engkau akan ketakutan jika benda ini aku keluarkan."
"Aku tidak takut."
"Sungguh? Engkau tidak takut?"
"Aku tidak takut."
Sarini menyentik sumbat tabung bambu. Begitu terbuka dan melihat sinar terang. ular Gadung Dahana segera merayap keluar tabung. Buru-buru Sarini memencet leher ular. Hingga ular kaget dan kesakitan, lalu menyabatkan ekornya. Akibatnya tabung bambu terlempar, dan celakanya jatuh tepat memukul seorang laki-laki yang gundul kepalanya.
"Mati aku?"jerit orang itu.
Pak Joyo yang semula garang itu, wajahnya mendadak berobah pucat. Serunya gugup,
"Ahh... ahhh... jangan bergurau! Rumah judi ini untuk pertaruhan uang dan bukan untuk tempat main ular."
"Siapa yang bergurau? Katakanlah sekarang juga. Engkau berani menggadai ular ini berapa ringgit?"
Tiba-tiba seorang laki-laki berwajah buruk mendekati dan bertanya,
"Benarkah engkau akan menjual ular galak itu?"
"Aku tak ingin menjual. Aku hanya akan menggadaikan ularku ini dengan harga seribu ringgit." Sarini menyahut.
Di luar dugaan, orang berwajah jelek itu setuju dan berkata,
"Pak Joyo, aku setuju dengan harga itu. Jika engkau menang,
ular itu akan aku miliki. Dan kalau engkau yang kalah, akulah yang akan membayar seribu ringgit."
Sebagai seorang Bandar judi yang selalu hati-hati agar tidak kalah, Joyo ragu. Ia tidak segera menyetujui kehendak orang jelek itu. Namun si jelek agaknya dapat menduga keraguan Joyo, lalu berkata dengan angkuh.
"Apakah engkau khawatir aku tidak mempunyai uang sebanyak itu?"
Setelah berkata, si jelek mengambil pundi-pundi yang semula tergantung di pundak tertutup oleh baju. Ketika pundi-pundi itu dibuka, ternyata isinya uang emas. Apabila dinilai, jelas uang emas itu lebih seribu ringgit.
Pak Joyo heran! Selama membuka tempat perjudian ini, dirinya belum pernah dikunjungi orang berwajah seburuk itu, tetapi sangat kaya. Sebaliknya Sarini tidak mau perduli. Setelah mendapat persetujuan harga seribu ringgit, ia segera memasangkan semuanya pada angka 4.
Semua orang melengak heran dan geleng-geleng kepala. Apakah gadis cantik ini sudah gila? Melihat keadaannya jelas gadis ini bukan penjudi. Tetapi mengapa sebabnya berani bertaruh begitu banyak?
Menghadapi pasangan seribu ringgit untuk satu nomor inipun, pak Joyo tegang dan berdebar. Karena apabila angka 4 benar-benar keluar, dirinya harus membayar 6 x 1000 ringgit, berarti 6000 ringgit. Satu jumlah yang sangat besar, yang belum pernah ia bayarkan kepada siapapun. Karena tegang dan khawatir, maka di saat membuka tutup dadu, tangannya gemetaran. Setelah penutup itu terbuka, ternyata yang keluar memang angka 4.
Wajah Joyo pucat mendadak. Celaka! Sekarang baru ingat bahwa dirinya tadi lupa mengguncang kaleng, sehingga angka yang keluar masih tetap 4 seperti tadi. Akan tetapi karena semua itu sudah terlanjur dan merupakan kesalahan sendiri, maka pasangan Sarini harus dibayar penuh. Joyo bandar membayar 50 ribu ringgit, sedang si muka buruk membayar 10 ribu ringgit. Sambil membayar, si muka jelek membujuk agar Sarini sedia bertaruh lagi. Siapa tahu nasib lagi untung dan akan memperoleh kemenangan banyak.
Terpikat juga hati Sarini oleh bujukan itu. Bukankah dirinya sudah menang banyak? Tadi ia tidak mempunyai
uang sepeserpun. Tetapi sekarang dirinya telah dapat menebus batu mustika yang digadaikan 10 ringgit. Dengan begitu, sekarang dirinya masih mempunyai uang 5990 ringgit. Terlalu banyak. Kalau uang itu semua ia pasangkan, ia akan memperoleh bayaran enam kali. Akan tetapi kalau dirinya harus kalah, tidak kehilangan apa-apa, karena memang tidak bermodal.
Di saat Sarini sedang menimbang-nimbang ini, si wajah buruk berkata,
"Tetapi apabila engkau kalah, engkau harus menyerahkan ular itu kepadaku."
Sarini terkejut. Ular Gadung Dahana merupakan ular yang luar biasa manfaatnya. Bukankah gerombolan orang utan yang ganaspun dapat ditundukkan? Dalam pada itu dirinya juga teringat akan pesan Jim Cing Cing Goling, agar ia menjaga ular itu secara hati-hati. Sebab dapat dijadikan senjata apabila berhadapan dengan orang lebih sakti.
"Tidak! Aku tak mau bertaruh lagi!" sahutnya kemudian.
Penolakan itu menyebabkan si wajah buruk berdiam diri, karena tak dapat memaksakan kehendaknya.
Tetapi karena Sarini menang banyak sekali, dan dalam jumlah besar yang hadir di tempat tersebut banyak menderita kalah, kemudian mereka mengerumuni Sarini sambil membujuk agar gadis itu sudi memberi persen. Malah orang gundul yang tadi kepalanya terpukul oleh tabung bambu ikut pula minta persen, sambil mengusap-usap kepalanya yang benjol, dan menyerahkan tabung bambu kepada Sarini.
Tabung itu disambut dengan senang hati, kemudian ular dimasukkan ke dalam tabung. Sebagai hadiahnya, orang gundul itu diberi uang seratus ringgit. Jumlah yang amat banyak, tetapi hal itu tidak dipikirkan oleh Sarini.
Tiba-tiba saja kumatlah watak Sarini yang suka ugal
ugalan. Lalu ia berolok-olok kepada si kepala gundul,
"Hai gundul. Jika engkau bersedia aku ketuk kepalamu tiga kali lagi, engkau aku beri hadiah 50 ringgit."
"Baik, ketuklah kepalaku," sahut orang itu sambil memasang kepala.
Sarini ketawa cekikikan, gembira sekali. Sekarang dirinya kaya uang, dan dapat mempermainkan orang. Kesempatan seperti ini sulit dicari. Dengan gembira ia mengetuk kepala gundul itu tiga kali, lalu memberi hadiah 50 ringgit. Sekarang dirinya baru tahu pengaruh akan uang di tengah masyarkat.
Dalam gembira, Sarini segera berseru.
"Hayo, siapa lagi yang mau kuketuk kepalanya tiga kali? Akan aku beri hadiah 50 ringgit lagi."
Tawaran yang gila-gilaan itu membangkitkan keinginan orang untuk menyediakan kepalanya dipukul tiga kali. Karena uung 50 ringgit itu besar sekali kegunaannya dalam hidup. Uang tersebut cukup untuk kebutuhan keluarga dalam waktu satu tahun.
Karena orang saling berebut untuk diketuk, maka dengan gembira Sarini membagi ketukan. Suasana tempat perjudian itu menjadi amat riuh, karena semua orang ingin memperoleh bagian. Sebaliknya Sarini yang gembira, lupa menghitung berapakah orang yang telah diketuk.
Sebaliknya orang berwajah buruk itu agaknya menghitung. Tiba-tiba ia terseru, agar Sarini berhenti,
"Hai berhenti dulu dan hitunglah. Berapa orangkah yang sudah engkau ketuk kepalanya?"
Ketika Sarini menghitung mereka yang sudah diketuk kepalanya, ternyata berjumlah 121 orang. Dengan demikian uang yang dimiliki tidak cukup untuk membayar.
Namun untuk tidak mengurangi wibawa, walaupun uang kurang Sarini tetap pada janjinya. Yang belum dibayar diminta agar bersabar dahulu. Katanya,
"Jangan ribut! Semua akan aku bayar beres. Tetapi tunggu dulu, aku akan bertaruh."
Si wajah buruk tersenyum gembira. Katanya,
"Sekarang engkau inginjudi langsung dengan Joyo atau dengan aku?"
"Bagaimanakah maksudmu?"
"Akupun sanggup menjadi bandar. Akan aku bayar enam kali dari jumlah pasanganmu, jika engkau menang. Sebaliknya jika engkau kalah, harus menyerahkan ular itu kepada diriku."
"Baik. Mari kita mulai."
Joyo segera mengguncang dadu. Dan Sarini pasang pada angka 4 lagi. Semua orang tidak berani ikut pasang, mereka cukup puas menonton. Bukankah uang yang mereka miliki sekarang pemberian gadis itu. Akan tetapi dalam hati, semua orang mengharapkan Sarini menang. Perlunya yang belum kebagian ketukan, ingin menerima hadiah 50 ringgit.
Akan tetapi sesungguhnya kemenangan yang diharapkan Sarini itu tidak gampang. Sarini hanya berpegang kepada satu angka, sebaliknya si wajah buruk berpegang kepada lima angka.
Namun dari semua orang itu, yang paling tahu hanyalah Joyo sebagai pengguncang dadu dan yang ahli dalam berjudi. Ia menekan kaleng, sehingga dadu tidak dapat berbalik. Maka ketika kaleng itu dibuka, gemparlah ruangan tersebut, karena angka yang keluar tetap 4, berarti Sarini menang lagi.
Terpaksa si wajah buruk harus membayar enam kali dari pasangan Sarini yang jumlahnya 1000 ringgit. Setelah menerima uang, Sarini segera memberi hadiah kepada orang-orang yang tadi belum dibayar, lalu Joyopun diberi hadiah seribu ringgit.
Wajah semua orang berseri. Akan tetapi si wajah buruk bersungut-sungut, kemudian membentak Joyo,
"Hai Joyo! Ternyata engkau berani main curang ya?"
"Siapa yang curang?" sahut Joyo.
"Tuan sudah kalah, mengapa menyalahkan aku?"
Si wajah buruk mengepal tangannya, tampak amat marah. Tetapi agaknya masih dapat menahan kemarahannya, kemudian mengajak berjudi lagi.
Akan tetapi Sarini tidak mau lagi berjudi, malah mem bentak,
"Huh, siapa sudi berjudi lagi dengan engkau?"
Setelah membentak, Sarini menggebrak meja judi. Karena gebrakan itu disertai tenaga sakti, maka beberapa biji uang perak yang berceceran di meja, telah melesak ke dalam kayu. Semua orang terperanjat. Yang penakut cepat lari menghindar, khawatir terjadi sesuatu. Joyo bandar terbelalak, dan tahulah sekarang bahwa gadis cantik yang dihadapi sekarang ini bukan gadis sembarangan.
Namun si wajah jelek tenang-tenang saja. Ia malah meloncat ke atas meja judi. Sarini terkesiap, karena melihat sesuatu yang menonjol dari balik baju orang itu. jelas senjata.
Setelah di atas meja, si wajah buruk menerkam Joyo bandar. Yang diterkam berusaha menghindar, tetapi tak berhasil. Seketika Joyo bandar merasa kesakitan, keringat dingin membasahi seluruh tubuh.
"Cepat ! Panggil pak de'." teriak Joyo.
Yang dimaksud pak de, bukan lain guru Joyo sendiri, yang selama, ini menjadi pelindung di saat terancam bahaya.
Joyo bandar berusaha meronta. Tetapi makin kuat meronta, si wajah buruk memperkuat cengkeramannya, tak lupa mencaci,
"Huh, engkau memang bangsatjahat!" Sarini terkejut mendengar cacian itu, lalu berseru,
"Hai Swara Manis. Engkau juga di sini?"
Si wajah buruk terkejut dan buru-buru merobah nada suaranya,
"Hai, siapakah yang kau panggil? Jangan pergi dulu, kita berjudi lagi sampai semua uangku habis."
Sarini keheranan.Ia tadi mendengar suara Swara Manis itu dengan jelas. Namun mengapa orangnya tidak tampak? Ia menyelidik dan menebarkan pandang mata ke sekeliling. Tetapi hasilnya sama saja, tidak melihat Swara Manis.
Karena tak ketemu, Sarini kembali tenang, dan saat itu si wajah buruk masih mencaci,
"Hayo katakan terus terang. Engkau masih senang hidup atau memilih mati sekarang juga?"
Tiba-tiba terdengar suara orang yang parau,
"Hai, siapa yang berani mengacau rumah ini? Huh, apakah engkau tak mau memandang mata kepada si Kerbau Dungkul?"
Sarini memalingkan muka dan melihat seorang lakilaki gemuk, setengah tua, keluar dari pintu. Melihat munculnya si Kerbau Dungkul, beberapa orang menjadi khawatir dan bergumam,
"Celaka! Si wajah buruk akan tamat riwayatnya."
Akan tetapi belum juga orang tahu apa yang terjadi, si gemuk dan berjuluk Kerbau dungkul sudah berteriak mengaduh dan tubuhnya terlempar kembali ke pintu. Ternyata si wajah buruk dapat bergerak tangkas sekali menendang, lalu dengan garang telah menjinjing tubuh Joyo bandar, membuat Joyo bandar, tak dapat berkutik.
"Ingat baik-baik! Siapapun tidak boleh meninggalkan tempat ini!" bentaknya. Lalu sambil memandang tajam kepada Joyo, ia mengancam,
"Hai Joyo. Engkau mau mengaku telah curang atau tidak?"
Joyo bandar sadar berhadapan dengan orang sakti, karena gurunya keok dalam sekali gebrak. Akan tetapi kalau dirinya mengakui perbuatannya, tidak mungkin! Pengakuan itu berarti orang takkan percaya lagi kepada dirinya, sehingga rumah judi ini takkan ada orang yang mau berkunjung. Karena itu Joyo tetap menyangkal tuduhan main curang.
Sarini menimbang-nimbang. Kalau Joyo bandar mengakui kecurangannya, dirinya terlibat di dalamnya, dan harus mengembalikan seluruh uang yang telah dimenangkan. Daripada ribut-ribut, gadis ini memilih untuk cepat mengambil langkah seribu!
Ia cepat menyelinap di antara orang banyak, lalu keluar. Ia cepat menyusuri gang, agar terhindar dari laki-laki wajah buruk itu.
Yang menggembirakan hatinya, sekarang dirinya mempunyai uang cukup banyak.Ia melangkah penuh semangat. Dan kemudian teringatlah ia kepada pemilik warung tadi. Ia akan menuju ke sana untuk membalas.
Di saat Sarini melangkah di ambang pintu, pemilik warung sudah menyambut dengan sindiran,
"Hendaknya tidak salah lagi masuk ke warung kami ini."
Sarini mendengus dingin, "Hemm, suruh pelayanmu menyediakan meja besar dan bersih. Sebab aku akan pesan makanan dalam jumlah banyak."
"Bukankah yang sudah tersedia itu sudah lebih dari cukup? " sahut pemilik warung dengan angkuh.
"Apa?" bentak Sarini sambil membanting sekantung uang emas ke meja.
Pemilik warung kaget. Akan tetapi ketika matanya melihat ada sekeping uang emas yang menggelinding keluar dari kantung, mendadak saja sikapnya berobah seratus delapan puluh derajat. Wajah yang semula masam, sikap yang angkuh, sekarang menjadi ramah sekali,
"Maafkan den, ah, segera saya siapakan meja besar... ."
Tergesa sekali pemilik warung memanggil pelayan un tuk menyediakan meja simpanan yang besar dan bersih. Melihat itu Sarini bangga. Uang emas yang menggelinding jatuh dimasukkan lagi ke dalam kantung, Tak lama kemudian Sarini dipersilahkan masuk ke dalam ruang lain. Dan begitu duduk, ia berkata garang,
"Jangan banyak mulut. lekas sediakan makanan yang paling enak."
Seorang pelayan masih berusaha menawarkan beberapa macam masakan istimewa, antara lain soto ayam.
"Huh, tolol! Siapa yang doyan soto ayam? Huh daging orangpun aku suka makan!" bentak Sarini.
Pelayan itu terbelalak. Dalam hati timbul tafsiran, apakah gadis muda dan cantik ini agak sinting? Kalau tidak mengapa sanggup makan daging orang?
Tak lama kemudian pelayan datang membawa hidangan bermacam-macam. Karena perut memang sudah sangat lapar, begitu diatur di atas meja Sarini mulai melahap, ia menyambar sosis, dan karena enak dalam sekejap tiga biji sudah masuk ke dalam perut.
Perlu diingat bahwa semenjak meninggalkan Pati, pergi bersama Prayoga, ia belum pernah merasakan makanan enak. Sebab Prayoga selalu menolak makan di warung, dan menjanjikan apabila tugas telah selesai akan pesta. Karena itu sehari-hari hanya makan nasi jagung dengan dendeng kering. Tidak mengherankan kalau sekarang gadis ini makan tanpa pikir. Tahu-tahu perutnya kenyang sekali dan dada terasa sesak.
Pemilik warung tak mau melewatkan kesempatan baik ini, untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Tamu yang membawa uang banyak itu, harus jatuh ke dalam tangannya. Dan kalau memang perlu, ia akan menaikkan harga dari biasanya. Oleh sebab itu kepada pelayan ia memerintahkan agar menyediakan makanan yang paling lezat dan paling mahal.
Di luar tahu pemilik warung, sebenarnya gadis ini tidak senang kepada pemilik warung itu, karena pemilik
warung ini mempunyai watak rakus dan angkuh. Akibat perasaannya yang tidak senang itu, kemudian timbullah pikiran Sarini yang akan membuat pemilik warung itu menderita malu.
"Pelayan!" teriaknya.
"Ya den," sahut pelayan.
"Ingin pesan apa lagi?"
"Panggil pemilik warung kemari."
Pemilik rumah makan bergegas keluar menemui Sarini. Begitu berhadapan, dengan tersenyum ia bertanya,
"Den rara memanggil aku?"
"Ya. Apakah warungmu ini merupakan yang terbesar dan paling pandai menyediakan makanan?"
"Benar!" sahut pemilik warung bangga.
"Kami dapat menyediakan makanan apa saja."
"Engkau sedia segala macam makanan?"
"Tentu! Apakah den rara akan menyelenggarakan pesta?"
Sarini cekikikan. Kemudian,
"Tidak! Aku hanya akan pesan makanan yang lumrah saja, agar engkau menyediakan telor ayam mata sapi yang masih baru."
"Jangan khawatir, itu amat mudah bagi kami."
"Hemm, jangan sombong!"
"Tidak sombong. Bukankah membuat telor mata sapi itu gampang sekali?"
"Engkau ahli bikin telor mata sapi?"
"Tentu!" "Bagus! Buatkan telor mata sapi, dan harus dibagi menjadi dua. Setiap bagian harus berisi kuning telor yang sama banyaknya. Awas, jika engkau tak dapat menyediakan pesananku ini, engkau harus memberi ganti rugi kepadaku 10 ringgit. Tetapi sebaliknya apabila engkau bisa membuatkan apa yang aku pesan ini, aku akan memberi hadiah 25 ringgit kepada setiap orang di warung ini."
Pemilik warung kaget. Telor ceplok, dalam menggoreng hanya setengah matang saja. Apabila harus dipotong menjadi dua. bukankah kuning telor itu akan mengalir keluar? Berani tidak mungkin.
"Bagaimana?" desak Sarini ketika pemilik warung itu lambat menjawab.
"Bisa atau tidak? Huh, engkau tadi membanggakan diri sebagai rumah makan paling jempol di kota ini. Mengapa hanya menyediakan pesanan sederhana seperti itu saja tidak sanggup? Huh, jika engkau memang tidak sanggup. papan nama di depan itu harus engkau turunkan, kemudian engkau menutup warung ini."
Pemilik warung menimang-nimang. Gadis ini cantik dan membekal uang banyak. Apakah tidak mungkin gadis ini puteri bangsawan yang sedang menyamar sebagai kawula biasa? Kalau dugaannya benar, dirinya akan celaka apabila puteri ini marah. Kalau lapor kepada ayahnya, dirinya akan kehilangan mata pencaharian membuka rumah makan.
Menduga begitu, ia tidak berani membantah.Ia menyanggupkan diri, kemudian memimpin langsung para koki, agar telor ceplok yang dipesan puteri itu dapat dipenuhi. Akan tetapi celakanya walaupun ia sudah memimpin sendiri penggorengan itu, tidak juga berhasil. Setiap telor ceplok yang dipotong menjadi dua, kuning telornya segera mengalir keluar.
Pemilik warung itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan penasaran, setelah 25 butir telor digoreng belum juga berhasil. Para koki sudah tidak sanggup melakukannya, karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Akibatnya, pemilik warung itu datang kepada Sarini dan menyerah kalah,
"Den rara, kami telah mencoba sampai duapuluh lima butir tetapi tak juga berhasil. Kiranya lebih baik kalau telor itu tak usah diparo saja."
"Tidak!" sahutnya angkuh. Dalam hati gembira sekali, karena dirinya sekarang dapat membalas keangkuhan pemilik warung.
Pemilik warung itu menjadi sedih dan malu. Ia tadi membanggakan diri dapat melayani pesanan masakan apa saja. Namun nyatanya sekarang gagal melayani pesanan telor ceplok. Keadaan itu menarik perhatian beberapa 0rang langganan, lalu bertanya tentang sebabnya. Setelah memperoleh penjelasan pemilik warung, para tamu itu ikut membujuk Sarini agar membatalkan saja pesanan itu.
"Kalau ada orang sanggup membuat telor ceplok seperti itu, bagaimana?" tantang Sarini sambil menyapukan pandang matanya ke semua orang.
"Kami setuju papan nama rumah makan ini diturunkan."
"Bagus! Aku sendiri yang akan mengerjakan, dan kalian dapat menyaksikan sebagai saksi mata."
Pemilik warung beserta beberapa orang langganan segera menuju dapur. Para koki menyingkir, tetapi segera didamprat oleh Sarini.
"Tolol! Mengapa hanya membuat telor eeplok saja tidak becus?"
Sarini menyambar sebutir telor lalu dipecah dan dimasukkan ke tempat menggoreng yang minyaknya sudah panas. Berbareng itu tangan kiri menyambar pisau, lalu dipanaskan di atas api. Setelah telor itu setengah matang, cepat diambil. Kemudian menggunakan pisau dapur yang sudah membara, dibelahlah telor ceplok itu. Oleh pengaruh pisau yang panas. kuning telor mengental dan tidak mengalir. Dengan begitu Sarini berhasil membuat dua potong telor ceplok yang bagian kuningnya sama banyak.
Pemilik warung, pelayan, koki dan para tamu yang menyaksikan menyeringai. Ternyata membuat telor ceplok seperti itu tidak sulit, hanya memerlukan akal yang cerdik. Akan tetapi Sarini tidak perduli. Dengan langkah lebar, ia menuju luar. Lalu ia menurunkan papan nama rumah makan seperti janji semula. Pemiliknya tidak berbuat apa-apa, karena sudah kalah janji.
Setelah puas dan memperolokkan pemilik rumah makan yang angkuh dan sombong, itu, Sarini cepat pergi dengan hati yang puas dan geli. Dengan macam-macam akalnya, ia dapat makan kenyang. semua masakan pilihan yang mahal harganya, tetapi tidak kehilangan uang sesenpun.
Ketika itu telah malam. Jika meneruskan perjalanan tentu akan kemalaman di jalan. Karena itu ia memutuskan untuk bermalam saja di kota ini. Untuk itu ia cepat mencari rumah penginapan.
Agaknya peristiwa yang terjadi di rumah makan tadi, secara cepat telah tersebar ke seluruh kota. Buktinya ketika Sarini masuk ke dalam sebuah rumah penginapan, baik pengurus maupun pelayannya menyambut hormat sekali, dan tidak ingin dipermalukan oleh gadis cantik ini. Sarini hanya tersenyum saja. Setelah memperoleh kamar ia mandi dan ganti pakaian. Akan tetapi ketika dirinya kembali masuk ke dalam kamar. pengurus rumah penginapan, telah datang dan memberitahu,
"Den rara, tadi ada seorang laki-laki wajahnya buruk dan menanyakan kamar-mu. Aku menjadi curiga, karena itu hendaknya engkau hati-hati."
Sarini minta penjelasan pengurus rumah penginapan. Si pengurus segera memberitahukan tentang ciri-ciri orang yang mencari. Keterangan itu membuat Sarini tahu, bahwa orang laki-laki itu bukan lain penjudi yang telah kalah dengan dirinya. Khawatir ular Gadung Dahana sampai lepas dari tangannya, ia segera menyembunyikan tabung itu di bawah bantal.
ia memang lelah sekali. karena beberapa hari tidak dapat tidur nyenyak. Karena itu dalam waktu singkat gadis ini sudah pulas tidur. Akan tetapi panca inderanya sudah amat terlatih. Sekalipun tidur pulas, telinganya tetap peka. Tiba-tiba ia mendengar suara mencurigakan,
dan ketika pandang matanya tertuju ke jendela, ia berseru tertahan. Ternyata jendela itu sudah terbuka dan ia melihat secercah sinar memancar ke dalam kamar.
Tetapi sinar itu segera lenyap karena Sarini bersuara. Khawatir kalau ular Gadung Dahana lepas dari tabungnya, ia segera memeriksa bawah bantal. Namun ternyata tabung itu masih tetap di tempat dan ular itupun masih tetap di dalam.
Akibat terbangun, ia menjadi sulit tidur kembali. Mendadak teringatlah ia kepada Prayoga. Timbul pertanyaan, kemanakah perginya kakak seperguruan itu? Ia cukup kenal akan watak Prayoga maupun Wasi Jaladara. Maka dirinya tidak percaya kalau dua orang itu menggunakan akal licik dalam usahanya melarikan diri. Dan ia juga tidak percaya kalau dua orang itu sudah mati.
Teringat-kepada orang itu, teringatlah pula ia akan tantangan Swara Manis kepada Darmo Saroyo untuk berkelahi di Gunung Slamet. Ia berharap mudah-mudahan kakak seperguruannya dan Wasi .Jaladara sudah tiba di gunung itu, untuk ikut serta menyaksikan pertandingan itu.
Tiba-tiba suara yang mencurigakan pada jendela itu terdengar lagi dan secercah sinar tampak lagi. Sinar itu warnanya hijau, mirip dengan sinar pedang Nyai Baruni yang dikuasai Swara Manis.
Sarini amat terkejut. Itulah kiranya Swara Manis, ataukah salah seorang kawannya yang akan bermaksud jahat terhadap dirinya? Hem, kurangajar... dampratnya dalam hati. ia pura-pura tidur mendengkur. Maksudnya untuk memancing penjahat itu. Akan tetapi ia telah berbuat berlebihan. Penjahat itu bukanlah penjahat tolol. Begitu mendengar Sarini mendengkur, penjahat itu malah surut dan tak jadi masuk kedalam lewat jendela. Penjahat itu tak percaya, gadis semuda itu tidur mendengkur.
Sarini menjadi kaget sendiri ketika suara itu tiba-tiba lenyap. Sesungguhnya ia sudah siap menerkam apabila
tamu tak diundang itu berani masuk. Saking gemasnya ia menyambar bantal terus dilontarkan keluar jendela. Begitu jendela terbuka lebar, iapun sudah meloncat keluar kamar.
Rumah penginapan itu bertingkat dua. Maka begitu keluar kamar, Sarini telah berada di atas genteng rumah sebelah. Ia memandang sekeliling, dan ia tidak melihat seorangpun.
Akan tetapi ketika Sarini akan kembali ke dalam kamar, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin ke arah kepalanya. Belum sempat ia membalikkan tubuh, suara angin itu sudah hampir menyentuh tubuhnya.
Sarini amat terkejut. Selama mendapat gemblengan Kigede Jamus, ia telah memperoleh kemajuan pesat tentang ilmu meringankan tubuh. Tetapi ternyata orang itu dapat membayangi, dan jelas bukan orang sembarangan.
Ia mendengus sambil mengendapkan tubuh ke bawah. Begitu senjata penyerang gelap lewat di atas kepalanya, secepat itu pula ia membalikkan tangan dan membalas memukul.
Serangan Sarini itu tidak terduga cepatnya. Orang itu tidak sempat menghindar dan
prak... !! sebuah genteng yang diinjak pecah. Pada kesempatan ini Sarini dapat membalikkan tubuh.
Begitu berhadapan, ia mengenal kembali orang berwajah buruk yang dijumpai di rumah judi. Namun yang mengejutkan, orang berwajah buruk itu sekarang menggenggam hulu pedang pusaka Nyai Baruni.
"Hai, dari mana engkau memperoleh pedang itu?" bentaknya.
Sebagai jawaban, si wajah buruk membalingkan pedang dan menyerang lagi. Melihat gerakan orang, ia terkejut! Namun sejenak kemudian ia telah membentak marah.
".Iahanam busuk! Ternyata engkau Swara Manis!"
Namun orang itu tidak menjawab. Serangannya makin gencar, dan tidak segan untuk membunuh. Menghadapi serangan gencar ini Sarini menjadi sibuk. Terpaksa harus mengerahkan kepandaian untuk menghindar.
Menghadapi lawan yang berpedang pusaka, tidak mungkin dirinya dapat membela diri tanpa senjata. Secepat kilat Sarini mencabut tabung bambu yang tergantung di punggungnya.
Si wajah buruk terkesiap. Agaknya kenal juga akan bahayanya ular Gadung Dahana.
"Siapakah engkau sebenarnya? Jika tak mau mengaku awas, tentu aku lepaskan ular sakti ini!" Sarini mengancam.
Si jelek tertegun. Ia tidak menyerang lagi dan bertanya,
"Mengapa engkau kenal Swara Manis?"
"Jahanam itu dibenci semua orang."
"Tetapi sebenarnya adi Swara Manis tidak sejahat itu."
"Engkau kakaknya?"
Si wajah buruk mengangguk. Akan tetapi tahu-tahu sudah menggeliat seperti mau roboh ke arah Sarini. Dan inilah serangan berbahaya ke arah dada.
Sarini kaget dan malu sekali. Cepat ia menghindarkan tetapi tiba-tiba tangannya terasa sakit, karena tangan kiri orang itu sudah berhasil mencengkeram tabung ular.
Sekarang Sarini baru insyaf bahwa apa yang baru terjadi merupakan tipu serangan. Sedang sasaran yang sebenarnya untuk merebut tabung bambu. Dalam marahnya Sarini menggunakan ilmu ajaran Kigede Jamus. Sepasang kaki diangkat dan serempak ditendangkan berturut-turut. Berbareng dengan serangannya itu, tangannya menarik ke belakang sekuat tenaga.
Akan tetapi si wajah jelek berkeras merebut ular itu.
Karena dua orang sama-sama mengerahkan tenaga dan tarik menarik, tabung bambu itu tak kuasa bertahan dan" pecah, kemudian putus. Sebagai akibatnya dua-duanya terhuyung ke belakang. Masing-masing masih memegang separo bagian tabung bambu, sedang ular Gadung Dahana yang terlepas bergerak di tanah sambil menjulurkan lidah yang merah.
"Jahanam! Ternyata engkau jahat pula seperti adikmu! Jika ularku ini sampai lepas, sebagai penggantinya adalah nyawamu!" Sarini mencaci-maki dan mengancam. Namun si wajah buruk tidak menjawab dan menyerang dengan pedangnya. Sarini terpaksa menarik tangannya. Saking marah. Sarini menyambitkan potongan tabung bambu tadi ke arah lawan, disusuli serangan dahsyat. Sedang si wajah buruk terpaksa mundur menghindarkan diri.
Si ular Gadung Dahana mengangkat kepalanya, siap menggigit orang yang berani mendekati.
"Gadung Dahana! Gigitlah jahanam itu!" teriak Sarini.
Akan tetapi celakanya ular itu bukannya menurut perintah, sebaliknya malah berputar menghadapi Sarini. Ular itu mempunyai daya ingatan yang kuat sekali. Ketika dikurung dalam tabung bambu yang sempit, beberapa kali ular itu mendengar suara Sarini. Begitu gadis ini membuka mulut, ular Gadung Dahana segera mengenal, bahwa orang inilah yang sudah menyiksa dirinya.
Sarini insyaf akan keganasan clan jahatnya ular ini. Sekalipun tabah, ia kaget dan takut. Buru-buru ia bersiap untuk lari. Celakanya ular itu sudah melesat dan akan memagut dadanya. Dengan gesit Sarini menghindar ke samping, tetapi tidak urung ujung bajunya tergigit.
Ular semakin marah. Sekarang menyerang lagi lebih ganas. Untuk menghindarkan diri. terpaksa Sarini melenting tinggi di udara. Untung si ular tak dapat melenting setinggi itu, sehingga sambarannya luput. Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, si ular sudah menyerang lagi. Hanya berkat kelincahan tubuhnya, Sarini masih dapat menghindarkan diri dari serangan ular.
Menyaksikan Sarini setengah mati menghadapi ular, si wajah buruk ketawa mengejek. Sarini amat mendongkol, tetapi apa harus dikata justeru sekarang ini dirinya sedang menghadapi serangan Gadung Dahana. Meskipun demikian dengan pengerahan tenaga, ia dapat melompat ke samping si wajah buruk.
Ular Gadung Dahana terkenal sebagai ular berbisa yang kecil tetapi amat berbahaya. Gerakannya lincah dan racunnya ampuh. Semua ini membuat semua binatang hutan tidak berani melawan. Harimau sekalipun, a-kan lemas tak sanggup melawan, kemudian menurut saja dipagut sampai melayang jiwanya. Akan tetapi menghadapi Sarini, serangannya selalu gagal. Membuat uiar ini marah sekali, sambil mendesis sudah siap lagi menyerang.
Si wajah buruk tak membiarkan Sarini mendekati dirinya. Tetapi celakanya sebelum berbuat, Sarini sudah mendahului menyerang. Ketika si wajah buruk hendak menangkis, Sarini sudah menyelinap ke belakang dengan gesit.
Bagaimanapun cerdiknya, ular itu tetap binatang. Ular itu tak dapat membedakan antara Sarini dan wajah buruk. Karena Sarini lenyap, maka si wajah buruk yang diserang.
Si wajah buruk terkesiap dan kelabakan setengah mati, ia memutar pedangnya untuk melindungi diri. Sayangnya ular itupun lincah, sehingga selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang.
Ternyata ular itu dapat bergerak maju dan mundur, dan sungguh merupakan seekor ular yang luar biasa. Tetapi si wajah buruk tidak ingin membunuh ular itu, maka bacokannya dialihkan kepada Sarini. Karena tak bersenjata, Sarini terpaksa melompat menghindar. Tetapi justru


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakannya ini membuat Sarini dalam bahaya. Begitu bergerak, ular Gadung Dahana segera menyerang. Pada saat bersamaan, si wajah jelekpun sudah menyerang dengan pedangnya. Dengan demikian, Sarini terhimpit oleh serangan dari depan dan belakang.
Berhadapan dengan seekor ular saja Sarini sudah kelabakan setengah mati. apa pula sekarang harus menghadapi serangan pedang pusaka. Sekalipun sukar, tetapi Sarini pantang menyerah. Walaupun sulit ia masih dapat terhindar dari bahaya. Akan tetapi serangan yang kedua hampir saja dirinya terpagut ular.
Belum sempat Sarini bernapas longgar, si wajah jelek sudah membacok punggungnya, sedang si ular menyerang dari depan. Sarini bingung. Satu-satunya jalan untuk lolos hanya melenting tinggi ke udara. Di udara, ia pijakkan kaki kanan ke kaki kiri dan dengan meminjam tenaga injakan itu, ia dapat melenting lebih tinggi lagi. Ketika meluncur turun, ia gembira sekali melihat si ular sedang menyerang si wajah buruk.
Secepat turun ke tanah, ia cepat melompat ke atas genteng lalu bersembunyi. Ia mendekam di tempat gelap dan melihat perkelahian antara si ular dan si wajah buruk. Walaupun si buruk bersenjata pedang pusaka, namun si wajah buruk tidak dapat bergerak leluasa. Kendati si ular harus waspada menghindari tabasan pedang, tetapi gigitan si ular bisa mendatangkan maut.
Sarini berharap agar ular itu dapat memagut lawannya. Dalam usaha membantu si ular, kemudian Sarini memecahkan genteng, kemudian pecahan genteng itu disambitkan ke punggung si wajah buruk. Kalau orang itu menghindarkan diri dari sambaran genteng, dirinya akan terancam oleh gigitan ular. Sebaliknya kalau tidak menghindar, tentu punggungnya sakit.
Perhitungan Sarini memang tepat. Saat itu si wajah buruk memusatkan perhatiannya kepada ancaman ular.
Tetapi serangan ular itu cepat dan berbahaya. Ia terpaksa mundur dan buk... punggung si wajah buruk tersambit oleh pecahan genteng. Akan tetapi yang terjadi kemudian, Sarini menjadi terkejut sendiri. Orang itu tidak memperhatikan sambitan genteng, dan perhatian tetap dipusatkan kepada serangan ular. Melihat kenyataan itu kemudian Sarini sadar. Sebagai kakak seperguruan Swara Manis, tentunya orang itu dapat membuat tubuhnya menjadi kebal. Hingga sambitan itu hanya menimbulkan sedikit sakit dan pedas serta tidak membahayakan.
Meskipun menyadari orang itu kebal, tetapi Sarini tetap menyambit dengan pecahan genteng. Orang itu tidak berani berpaling karena serangan ular itu amat berbahaya. Sebagai akibat sambitan pecahan genteng yang terus menerus memukul punggung itu, bagaimanapun juga menyebabkan rasa sakit. Ia, mendongkol sekali di samping penasaran. Lalu menggunakan kepandaiannya, ia membuang tubuh ke belakang, dan dengan tangkas meloncat ke atas genteng, langsung menyerang Sarini.
Serangan ini tidak terduga dan membuat Sarini kaget setengah mati. Dalam gugupnya Sarini membuang diri ke belakang, untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang pusaka.
Karena sambaran pedangnya luput, orang itu menggunakan tangkai pedang untuk memukul dada. Gerakannya cepat tidak terduga, sehingga Sarini sulit dalam usaha menghindarkan diri. Akan tetapi di saat berbahaya itu ia tidak kehilangan akal.Ia memperberat tubuhnya, brak... genteng yang diinjak pecah dan tubuh Sarini terperosok ke dalam rumah.
"Maling ! Maling...!" teriak seorang perempuan pemilik rumah. Sarini cepat bangun. Tanpa memperdulikan pemilik rumah, ia sudah menerobos keluar. Begitu di luar, Sarini meloncat kembali ke atas genteng.Ia melihat si wajah buruk sedang mengulurkan lengan ke bawah, seakan sengaja membiarkan tangan agar digigit ular. Tetapi
ular Gadung Dahana itu tidak mengerti, tangan itu sengaja dipasang atau tidak, melihat lengan terulur, secepat kilat ular itu menyambar untuk menggigit.
Sarini gembira, dan menduga orang itu akan melayang jiwanya akibat pagutan ular. Namun apa yang terjadi kemudian membuat Sarini terperanjat. Ternyata orang itu dapat menggerakkan tangannya cepat sekali, dan tahutahu leher ular telah dapat ditangkap, kemudian dikibaskan. Tidak secara sengaja gerakan itu menyentuh mukanya sendiri dan tiba-tiba kedok penutup mukanya jatuh, dan ular itu menyambar lalu menggigit kedok tersebut.
"Jahanam Swara Manis!" pekik Sarini yang kaget, setelah tahu siapa yang dihadapi.
Swara Manis tidak perduli dan ketawa panjang. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ditelan gelap malam.
Sekarang Sarini baru teringat peristiwa siang tadi. Di rumah judi. ia mendengar suara Suara Manis, ia kecewa dan menyesal sekali, mengapa siang tadi otaknya tak dapat bekerja dengan baik, sehingga dapat dikelabuhi Swara Manis.
Dua macam benda penting, jatuh ke tangan Swara Manis. Dan celakanya, baik pedang pusaka Nyai Baruni maupun ular Gadung Dahana itu dapat direbut oleh Swara Manis dari tangannya. Ia malu dan marah sekali. Secepat kilat ia mengejar. Akan tetapi Swara Manis sudah lenyap. Ia menjadi bingung sekali. Akhirnya ia kembali ke kamar dengan maksud segera tidur. Namun matanya tak mau terpejam. Maka esok paginya kemudian Sarini cepat eepat meninggalkan penginapan langsung ke Gunung Slamet.
Beberapa minggu lalu ia pernah datang ke Gunung Slamet, bersama Prayoga. Maka setiba di kaki Gunung Slamet, ia ingat pesan Jim Cing Cing Goling agar berhatihati. ingat pesan orang tua itu. ia tidak berani datang
langsung ke padepokan Hajar Sapta Bumi.
Keterangan penduduk yang ditanya, semua menerangkan belum seorangpun tamu datang ke padepokan. Namun gadis ini khawatir kalau dirinya terlambat datang. Kemudian timbullah niatnya untuk mendahului yang lain, menyelidiki keadaan. Siapa tahu dirinya dapat merebut kembali dua macam benda penting itu. Dan dengan begitu ia tidak menjadi malu, sebab dengan jerih payahnya sendiri dapat merebut kembali dari tangan Swara Manis.
Sarini memang tabah dan cerdik. Sayang sekali sekarang ini dirinya sudah tidak membekal senjata. Sangat berbahaya masuk ke padepokan Hajar Sapta Bumi tanpa senjata. Terpikir kemudian untuk membuat dua macam senjata, bandringan dan pedang.
Pandai besi yang diminta membuat pedang dan bandringan, menerima dengan senang hati karena upah yang diterima amat banyak. Agar gadis yang pesan itu puas, dicarikan bahan yang amat baik. Dengan semangat menggelora. pandai besi itu dengan pembantunya bekerja keras. Sore hari dua macam senjata itu sudah selesai, walaupun baru pagi harinya Sarini memesan.
Akan tetapi Sarini seorang cerdik. Walaupun yang dipesan itu nampak baik. tetapi belum puas sebelum mencobanya. Untuk menguji ketangguhan senjata itu, dengan menggerak-gerakkan tangan seperti menghadapi lawan. Setelah beberapa kali dirubah dan diperbaiki oleh pandai besi itu, akhirnya Sarini puas.
Hari sudah menjelang malam ketika Sarini berangkat menuju padepokan ki Hajar Sapta Bumi. Kendati masih agak jauh, Sarini sudah dapat melihat tembok batu merah yang menjadi pagar padepokan.
Setelah jaraknya menjadi dekat, ia melihat banyak 0rang hilir keluar lewat pintu padepokan. Ia cepat memanjat sebatang pohon yang rindang dan bersembunyi agar kehadirannya tidak diketahui orang. Sambil duduk di atas
pohon. pikirannya bekerja. Ia sadar bahwa padepokan ini amat luas dan dikelilingi tembok batu yang tinggi dan kokoh. Tidak gampang untuk menyelidiki keadaan. Dan ia sadar pula padepokan itu tentu penuh dengan orang sakti, murid-murid Ki Hajar Sapta Bumi.
Di saat ia sedang menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan, mendadak ia mendengar suara dahan bergerak dari pohon lain di dekatnya. Cepat-cepat Sarini mempersiapkan bandringannya. Namun sejenak kemudian terdengar suara parau perlahan.
"Kakang, rupanya padepokan ini kelak kemudian hari jatuh ke tangan Swara Manis. Huh, kendati aku dan engkau merupakan paman gurunya, tetapi tidak mungkin dapat memperoleh rejeki seperti dia."
Sarini kaget, dan membatalkan gerakannya. Kemudian ia memasang telinga agar dapat mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan.
"Simbar! Engkau iri dan penasaran? Engkau tahu, dia toh mempunyai payung agung. Huh, karena itu sebaiknya kita melihat dahulu. Huh, kalau kita tampil berempat, apa yang akan diputuskan guru?"
Orang itu berhenti dan mendehem. Sejenak kemudian ia melanjutkan,
"Kemarin Jayeng Katon dan Murjangkung sudah membisikkan kepadaku. Guru sudah pasti akan menurunkan ilmu pedang Samber Nyawa kepada Swara Manis."
Sarini cepat dapat memastikan, bahwa orang yang sedang bicara ini, murid Ki Hajar Sapta Bumi. Tetapi yang membuatnya heran mengapa bersembunyi di atas pohon?
"Hem, benarkah itu? Aku kurang percaya! Bukankah kita yang sudah lebih lama mengabdi kepada guru, dan sampai sekarang belum mendapatkan pelajaran ilmu pedang itu?"
"Engkau boleh percaya dan boleh tidak. Akan tetapi guru memang pilih kasih. Tahukah engkau bahwa baru kemarin bocah itu pulang sambil membawa pedang mustika? Aku memang tidak tahu bagaimana cara bocah itu mendapatkan pedang pusaka. Akan tetapi setelah bocah itu minta kepada guru, langsung saja dikabulkan."
Sarini menghela napas perlahan, khawatir didengar orang. Tetapi dari pembicaraan ini, Sarini sudah tahu bahwa dua orang tersebut terhitung paman perguruan Swara Manis. Mereka tidak puas akan sikap guru mereka. Dan kalau paman gurunya saja tidak senang, ini merupakan bukti bahwa Swara Manis memang orang jahat.
ia sudah pernah mendengar, bahwa empat orang paman guru Swara Manis itu, disebut Catur Sardula atau empat ekor macan padepokan. Mereka itu bernama Sontrang Jiwa, Simbar Kemlaka, Jayeng Katon dan Murjangkung. Empat orang ini merupakan tulang punggung padepokan, dan bisa diduga tentang ketinggian ilmu mereka. Hanya yang membuat Sarini bertanya, apa sebabnya Swara Manis disebut mempunyai payung agung?
Tak lama kemudian terdengar Sontrang Jiwa berkata lagi,
"Entah apa sebabnya. Kendati ibunya sudah meninggal lama sekali, tetapi guru tetap sayang dan selalu membela boeah itu."
Tiba-tiba Simbar Kemlaka terkekeh. Lalu,
"Huh, memang si kuda binal itulah yang menjadi gara-gara. Kalau saja sebagai seorang isteri setia, tentu saja kakang Aji Murdapa tidak berumur pendek... ."
ia menghentikan kata-katanya yang belum selesai, kembali terkekeh. Sesudah puas tertawa, barulah ia melanjutkan,
"Heh-heh-heh, sesudah kakang Murdapa meninggal, kemudian guru melanggar pantangan sendiri, menerima bocah itu sebagai muridnya."
"Simbar!" hardik Sontrang Jiwa.
"Hati-hati sedikit membuka mulut! Bukankah engkau sendiri juga sudah tahu, kalau guru takkan senang kalau ada orang mengungkit-ungkit kembali kematian kakang Murdapa? Engkau akan celaka kalau hal ini sampai didengar guru."
Simbar Kemlaka tidak takut malah ketawa mengejek,
"Heh-heh-heh, jika guru sudah melarang, apakah orang bisa ditipu? Tak ada asap tanpa api. Dan benda busuk kendati disembunyikan tetap saja menyebarkan bau busuk. Aku ingin bertanya kepadamu, adakah seorang perempuan tidak menangis dan tidak sedih ditinggal mati suaminya?"
"Dan hal itu terjadi," sambung Simbar Kemlaka.
"Ibu Swara Manis tidak menjadi sedih oleh meninggalnya suami. Malah yang membuat orang heran, setelah suaminya meninggal, setahun kemudian perempuan itu melahirkan anak. Hayo, siapa mau percaya kalau anak itu keturunan suami yang sudah meninggal? Huh, tak perduli guru seorang sakti mandraguna. Tetapi setelah Berhadapan dengan perempuan cantik, tak tahan juga. Orang menyebut Swara Manis sebagai cucu murid Ki Hajar Sapta Bumi. Akan tetapi orangpun tahu hubungan sesungguhnya antara Swara Manis dengan guru... "
Wajah Sarini mendadak merah mendengar itu.Ia malu, tetapi menahan diri justru apa yang didengar sekarang ini, mempunyai sangkut paut dengan Swara Manis. Tiba-tiba saja ia teringat ejekan Darmo Saroyo kepada Swara Manis, yang menyebut ibu dan anak bersama-sama belajar kepada seorang guru. Buktinya ketika itu Swara Manis marah sekali dan menantang Darmo Saroyo untuk berkelahi. Dan bukannya terjadinya tantangan untuk berkelahi pada hari Lebaran ini,juga merupakan ekor dari ejekan itu?
Ketika itu dari jauh terdengar suara kentong. Dan Sarini dapat menduga, kentong itu dari Padepokan.
Sarini benar. Kentong itu merupakan tanda dari padepokan. memanggil semua murid. Karena itu Sontrang Jiwa dan Simbar Kemlaka lalu meloncat turun dari pohon,
kemudian menuju padepokan.
Sarini belum berani beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia akan tetap menunggu sampai malam larut, dan semua penghuni padepokan sudah tidur.
Akhirnya sudah tengah malam. Sarini melompat turun langsung menuju pintu gerbang padepokan, sekalipun sunyi sepi.
Sekarang timbul rasa penyesalannya, ia datang seorang diri. Padepokan ini tentu dijaga ketat, sulit dirinya dapat menerobos masuk. Akan tetapi sebaliknya kalau harus mundur. dirinya malu. Kemudian dengan berindap ia mengitari tembok padepokan sambil meneliti. Tembok itu tingginya setombak lebih, kokoh dan licin, hingga tak mungkin dapat dipanjat orang.
Namun Sarini sudah nekat. Menggunakan ilmu meringankan tubuh ajaran Kigede Jamus, gadis ini segera melenting ke atas. Gerakannya ringan dan indah. Setelah berjungkir-balik dua kali, ia dapat melayang turun di dalam tembok tanpa suara.
Sarini terbelalak setelah berdiri di dalam padepokan. Karena bentuk rumah maupun ruang dalam padepokan ini mempunyai bentuk yang sama. Lalu kemana dirinya harus mencari tempat tinggal Swara Manis?
Di saat dirinya sedang menimbang-nimbang ini. tampak setitik cahaya penerangan. Ia menjadi nekat. Mana mungkin bisa mendapat anak macan kalau tak berani masuk sarang macan? Dengan gerakan ringan tetapi tetap berhati-hati, gadis ini melangkah ke arah lampu bersinar. Tetapi setelah melewati beberapa ruangan, mendadak saja Sarini bingung dan kepalanya pusing. Ia tidak tahu apa sebabnya, yang jelas begitu masuk tidak tahu arah lagi.
Menghadapi kenyataan ini, barulah Sarini sadar telah tertindak gegabah. Kalau saja dirinya patuh akan peringatan Jim Cing Cing Goling, menunggu sesudah teman-tmanya datang, takkan berhadapan dengan kesulitan seperti ini.
Akan tetapi Sarini belum kehilangan kesadaran.Ia cepat berusaha keluar meninggalkan padepokan. Tetapi celakanya ia sudah salah arah. Kendati sudah berputarputar cukup lama, belum juga ia menemukan tempat semula masuk. Celakanya lagi, lampu yang tadi tampak berkelip-kelip itu sekarang lenyap.
Sarini bingung dan gelisah. Mendadak dari arah belakang angin serangan menjambar tubuh. Buru-buru ia melangkah maju untuk menghindari serangan. Namun ia menjadi kaget sekali. Karena sebatang peadng sudah melintang di depannya.
Dalam keadaan terkejut, Sarini tidak kehilangan kesadaran. Setelah melihat yang mengancam itu hanya anak kecil, cepat menggerakkan tangan mendorong, dengan maksud menagkap bocah itu. Celakanya dugaannya salah. Bocah itu dapat bergerak tangkas. Sekali surut ke belakang. bocah itu sudah menhilang. Sarini akan mengejar. Tetapi tiba-tiba dari belakang sesosok tubuh kecil sudah menusuk dengan pedang. Sarini kaget. Tetapi ketika ia mengulurkan tangan untuk merampas, mendadak dari arah belakang ada serangan.
Ia tak sudi ditekan mentah-mentah, di samping tidak ingin menimbulkan keonaran. Secepat kilat ia menjejakkan kaki dan melenting ke atas.lalu hinggap diatas atap. Namun celaka! Baru saja kakinya menginjak atap, tiba-tiba atap itu bergerak ke bawah. Ia terperanjat sekali dan berusaha mempertahankan keseimbangan tubuh. Tetapi walaupun sudah berusaha sekuatnya, tak urung tubuhnya terperosok ke bawah.
Bluk !! tubuhnya terbanting keras. Belum juga dirinya dapat bergerak, tahu tahu atap yang bergerak tadi sudah kembali seperti semula.
Sarini terlongong keheranan menghadapi peristiwa yang baru dialami. Di samping itu juga kagum bukan main, atas kepandaian Ki Hajar Sapta Bumi dalam mengatur perangkap. Sekarang dirinya baru sadar, bahwa semua bangunan dalam padepokan ini penuh dengan jebakan dan perangkap.
Untuk beberapa jenak lamanya Sarini berdiam diri, dalam usahanya menenangkan kembali pikirannya. Kemudian ia memandang sekeliling dan melihat dirinya dalam sebuah kamar berukuran sempit, tanpa jendela dan pintu. Dengan kekuatannya ia berusaha mendorong dinding itu, tetapi dinding itu kokoh seperti baja. Ia menjadi gelisah. Kemudian ia mencoba menghantam dinding kamar dengan bandringan. Namun dinding itu tidak apa-apa, dan hanya menerbitkan suara yang mendengung.
Berkali-kali ia menghantam dinding kamar dengan bandringan. Tetapi sia-sia belaka, dan yang diperoleh hanya lelah. Akhirnya menyerah kalah, berdiam diri agar tidak kehabisan tenaga. Berbahaya kalau dirinya kehabisan tenaga, kemudian ada bahaya mengancam.
Belum lama Sarini menghentikan usahanya membobol dinding, terdengar olehnya dinding bagian atas bergerak, dan tampaklah pintu kecil. Sarini cepat menyembunyikan diri dan mempersiapkan bandringannya. Tak peduli siapapun yang datang, akan disambut dengan serangan.
Anehnya, cukup lama ia menunggu, tidak juga seorangpun masuk. Hatinya berdebaran tegang, dan tibatiba telinganya menangkap suara ketawa bocah. Sarini mengerutkan alis. Dalam hati bertanya-tanya, siapakah bocah yang sedang tertawa di luar kamar?
"Masuklah dulu!" terdengar suara bocah yang menganjurkan.
"Ah tetapi melihat potongan tubuhnya, orang tadi seorang perempuan. "
"Ah... jangan-jangan bukan manusia, tetapi kuntilanak ..."jawab suara yang lain.
"Huh, lekaslah masuk. jangan banyak alasan. Kakek Guru bisa marah dan menuduh kita sebagai penakut ..."
Sarini tersenyum setelah mengenal suara bocah itu, dan berseru,
"Bukankah kalian adik Sutirto dan Sucitro? Hayo, cepatlah masuk. Mengapa takut? Apakah engkau sudah lupa kepada diriku?"
Mendadak suara di balik dinding lenyap setelah Sarini memanggil. Sarini mengulangi beberapa kali, baru kemudian nampak kepala seorang bocah. Tak salah lagi, ternyata bocah yang sudah ia kenal.
Setelah masuk, Sucitro menyalakan lampu. Sarini pura-pura marah, hardiknya,
"Hai adik Sucitro! Apa sebabnya engkau menjebak aku seperti ini?"
Dasar bocah. ia menjadi kikuk dan malu menghadapi Sarini yang sudah ia kenal. Ia tidak menjawab pertanyaan Sarini, lalu berseru memanggil Sutirto.
"Hai Tirto! Apa sebabnya engkau tak cepat menyusul kemari? Ah celaka... kita sudah salah tangkap. Ternyata yang kita tangkap mbakyu Sarini, yang tempo hari datang mencari kakang Swara Manis."
Sarini cepat-cepat menyambung,
"Adik Sutirto! Apakah benar engkau tidak sudi bertemu dengan aku, dan tidak sudi pula datang ke mari?"
Tak lama kemudian menerobos masuk lewat jendela kecil itu, seorang bocah dengan wajah yang agak malumalu, lalu menjawab,
"mBakyu Sarini mencari kakang Swara Manis? Tetapi apakah sebabnya engkau datang kemari di waktu malam seperti ini? Hem...untung mbakyu bertemu dengan kami. Kalau saja bertemu dengan orang lain, apakah tidak runyam?"
Dalam usaha agar tidak dicurigai, ia tidak marah disebut mencari Swara Manis. Jawabnya kemudian,
"Ya. Aku memang mencari kakang Swara Manis, karena ada urusan sangat penting. Tadi aku menduga, sesudah aku datang ke mari. tentu ada orang yang akan memberitahukan kepada dia. Tidak kuduga sama sekali, kalian malah menyambut kehadiranku dengan serangan-serangan. Malah kemudian kalian menjebak diriku ke kamar sempit ini."
Sarini memang gadis yang pintar bicara. Dirinya sendiri yang bersalah, tetapi dengan cerdiknya malah menyalahkan orang lain.
Dua bocah mengamati Sarini, kemudian Sucitro berkata,
"Ah, mbakyu jangan cepat menyalahkan kami, dan marah! Kami harus tunduk kepada peraturan padepokan. Bila seseorang berani masuk ke mari secara gelap, tentu akan ditangkap dan ditahan. Tentang hukumannya? Yang akan menentukan paman Sontrang Jiwa, mBakyu, engkau harus tahu. Bahwa atap padepokan ini dilengkapi dengan alat perangkap. Yang warna atapnya hijau, di dalamnya terdapat alat jebakan berbahaya. Tetapi yang warnanya merah, tidak diberi perangkap."
Sucitro tanpa ditanya sudah memberi keterangan, tidak lain bocah ini menduga, kalau Sarini salah seorang pacar Swara Manis. Sekalipun masih kecil, mereka sudah mendengar pula tentang sepak-terjang Swara Manis, yang banyak mempunyai pacar gadis cantik.
Barang tentu Sarini amat gembira. Tetapi ia berusaha menyembunyikan perasaan, katanya,
"Jika begitu, cepat antarkan aku ke tempat kakang Suara Manis. 0 ya, apakah kalian belum mendengar rencana hari lebaran?"
"Kakang Swara Manis masih menghadap kakek guru," sahut Sucitro.
"Menurut keterangan sedang sibuk menerima pelajaran pedang Samber Nyawa."
Sucitro menyambung, "Kemarin kakang Swara Manis sudah memberi pesan. Kami harus menolak kalau ada orang yang mencari dia. Karena itu, maafkan kami tidak berani melanggar pesan itu."
"Kalian tahu apa!" hardik Sarini yang pura-pura urusan ini sangat penting.
Di Tepi Jeram Kehancuran 1 Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie Pedang Kayu Harum 8
^