Pencarian

Kembang Jelita Peruntuh 4

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 4


Tak terasa dia menggeram, "Buat orang
semacam Lau Cong-bin pertimbangan apa yang
lebih penting dari urusan perempuan? Memang
cuma itu isi otaknya. Kini negeri bangsa Han ini
benar-benar terancam oleh ulahnya yang tolol."
"Cong-peng anggap tindakan Lau Cong-bin
hendak menyerbu San-hai-koan itu sebagai
tindakan tolol?" "Ya. Bukan cuma tolol, bahkan iuga
membahayakan negeri. Aku kenal Bu Sam-kui
bukan orang yang berhati teguh, kalau dia
Kembang Jelita 2 / VI 26 bingung menghadapi situasi, dia bisa
melakukan tindak tak terduga, dan yang tak
terduga itu bisa sangat merugikan."
"Astaga! Lalu..."
Sementara itu, pikiran Helian Kong
bercabang dua. Pertempurannya tadi di pinggir
telaga memberitahu dia suatu hal, yaitu ikutcampurnya orang Manchu yang tentunya untuk
kepentingan mereka sendiri, bahkan tidak
tanggung-tanggung, Penasehat Militernya Pangeran Toh Sek-kun sendiri keluyuran di
Tiong-goan, dan urusan yang lain adalah urusan
bergeraknya Lau Cong-bin untuk merebut Sanhai-koan, yang seolah-olah bisa menghasilkan
bencana mengingat tololnya Lau Cong-bin.
Tetapi setelah pikirannya mulai tenang,
Helian Kong memutuskan suatu tindakan dalam
hatinya, "Meskipun Li Giam adalah musuhku,
aku cukup percaya dia akan bersikap
mengutamakan keselamatan tanah-airnya daripada golongannya. Entah dengan cara
bagaimana, ia akan memberitahu Li Cu-seng
akan keterlibatan orang-orang Manchu. Jadi
Kembang Jelita 2 / VI 27 urusan ini tidak perlu aku memusingkannya.
Yang aku harus lakukan sekarang adalah
menimbulkan ketabahan Bu Sam-kui dalam
menghadapi situasi, jangan sampai dia
mengambil tindakan yang merugikan seluruh
negeri tanpa pandang golongan politiknya.."
Keputusan dalam hati langsung diterjemahkan ke dalam perintah kepada In Kapeng, "Saudara In, setelah seluruh prajurit kita
terkumpul sebagian besar, kita berangkat ke
San-hai-koan. Kita memang hanya punya
sepuluh ribu prajurit, tidak sebanding dengan
pasukan besar yang pasti akan dibawa oleh Lau
Cong-bin, tetapi kehadiran kita di dekat-dekat
San-hai-koan barangkali bisa menenteramkan
hati Bu Sam-kui, sehingga pikiran jernihnya bisa
timbul dalam mengambil keputusan-keputusan
penting..." "Di dekat-dekat San-hai-koan? Kenapa tidak
bergabung di dalam benteng San-hai-koan
sekali?" "Ada dua pertimbangan. Pertama, kalau
pasukan kita bergabung ke dalam kota dan
Kembang Jelita 2 / VI 28 bergabung dengan pasukan Bu Sam-kui yang
jumlahnya kurang lebih sama dengan kita,
seandainya pasukan Lau Cong-bin datang dan mengepung Sanhai-koan maka kita akan ikut terperangkap di
dalam kota itu seperti tikus dalam kerangkeng.
Kedua, perbekalan pasukan Bu Sam-kui dalam
kota pasti akan bertambah berat kalau
ketambahan sepuluh ribu mulut prajuritprajurit kita." "Baik."
* * * Hari itu, sebuah pasukan besar berangkat
meninggalkan kotaraja Pak-khia, megah dengan
ribuan kuda yang berderap dan benderabendera besar dan kecil yang memenuhi langit,
seragam mentereng prajurit-prajuritnya. Tentu
saja harus megah, sebab pemegang komando
tertinggi dalam pasukan yang hebat itu adalah
Jenderal Lau Cong-bin sendiri, Panglima
Tertinggi kaum Pelangi Kuning. Keputusan Lau
Cong-bin untuk menyerbu San-hai-koan itu
sebenarnya kurang disetujui Kaisar Tiong-ong,
Kembang Jelita 2 / VI 29 karena Kaisar sudah mendengar pertimbangan
Tan Wan-wan bagaimana bahayanya menyudutkan Bu Sam-kui begitu rupa,
mengingat Bu Sam-kui bukan seorang yang
mampu berpikir panjang. Namun Lau Cong-bin
terus mendesakkan usulnya, didukung Gu Kimsing dan panglima-panglima lainnya yang sudah
dipengaruhi Lau Cong-bin. Usul Lau Cong-bin
itu akhirnya diterima. Pasukan itu terdiri dari seratus ribu prajurit
tempur, belum terhitung para tukang masak,
perawat kuda, dan tentu saja pasukan pengawal
pribadi Lau Cong-bin yang cantik-cantik itu.
Pasukan sebesar itu tidak hanya yang berada di
dalam kota Pak-khia, melainkan juga dari
beberapa daerah di sekitar kotaraja.
Pasukan itu langsung menuju ke timur laut,
langsung ke sasarannya, San-hai-koan.
Jauh di depan pasukan itu, seorang
penunggang kuda memacu tunggangannya
secepat-cepatnya, sehingga kuda itu lari
bagaikan dikejar setan. Sepotong ranting pohon
yang digunakannya sebagai cambuk kuda,
Kembang Jelita 2 / VI 30 terus-menerus dihantamkan ke pantat kuda,
tidak peduli kuda itu sudah berlari dengan
tenaga maksimalnya. Di suatu desa yang dilewatinya, ia menukar
kudanya, lalu melanjutkan perjalanannya.
Bahkan ia makan bakpao sambil tetap berkuda.
Tujuannya adalah San-hai-koan juga.
Di San-hai-koan, kota perbatasan yang
terjepit antara wilayah Manchu dan wilayah
kaum Pelangi Kuning itu, siang itu Bu Sam-kui
dan perwira-perwiranya sedang berada di atas
tembok kota di sisi yang menghadap ke wilayah
Manchu. Dengan sebuah teropong buatan
Portugis yang jauh jangkauannya, teropong
para pelaut, Bu Sam-kui menatap jauh ke timur
laut seakan hendak melihat apa yang ada di
balik cakrawala. Bu Sam-kui menurunkan teropongnya,
menarik napas dan kelihatannya agak lega.
Katanya sambil tetap menatap ke kejauhan,
"Benar kata penglntai-pengintai kita. Perkemahan tentara orang-orang Manchu itu
Kembang Jelita 2 / VI 31 sudah tidak kelihatan. Barangkali memang
mereka menarik diri menjauhi perbatasan."
Di antara orang-orang yang berdiri di dekat
Bu Sam-kui itu ada seorang yang tidak
berseragam perwira, melainkan berjubah
seperti kaum saudagar kaya umumnya. Tetapi
sebelum orang-orang berseragam perwira
menyahut perkataan Bu Sam-kui, malahan si
Saudagar yang menyahut lebih dulu, "Bukan
barangkali?, Panglima, tetapi memang pasti
begitu. Aku melihat sendiri banyak perkemahan
dibongkar dan banyak tentara yang pulang ke
tangsi-tangsi di kota masing-masing, sukarelawan-sukarelawan kembali ke rumahnya masing-masing."
Orang itu memang bukan perwira, ia
memang seorang saudagar keliling seperti
pengakuannya sendiri, dan sahabat baik Bu
Sam-kui. Menurut pengakuannya, dia adalah
orang dari Semenanjung Tiau-sian (Korea) yang
bernama Jai Yong-wan, dan lagi-lagi menurut
pengakuannya, ia tidak suka melihat Korea
dikuasai orang Jepang maupun Manchu, katanya
Kembang Jelita 2 / VI 32 lebih suka kalau Korea dibawah dinasti Beng
seperti dulu. Itulah sebabnya la meninggalkan
Semenanjung Tiau-sian dan menyeberang
ke San-hai-koan untuk berdagang, bahkan
katanya sudah berulang kali melihat pelabuhan
Nagasaki dan Makao yang dikuasai Portugis
sejak jaman Kaisar Wan-li. Bu Sam-kui senang
berteman dengan orang ini bukan cuma karena
sering mendapat oleh-oleh berharga setiap kali
Jai Yong-wan pulang bepergian dari "perjalanan dagangnya", melainkan karena saudagar
itu berpengalaman luas berkat pengalaman
perjalanannya. Tidak jarang Jai Yong-wan
berniga sampai ke wilayah Manchu, sehingga
bisa memberi keterangan yang lebih tepat dan
lebih cepat daripada para mata-mata Bu Samkui sendiri. Bu Sam-kui jadi sangat
mempercayai orang yang mengaku saudagar
keliling ini. Bu Sam-kui mengangguk-angguk. "Menurut
Saudara Jai, apakah pihak Manchu membatalkan serangannya ke Tiong-goan?"
Kembang Jelita 2 / VI 33 "Cong-peng, menurut aku, kata membatalkan yang Cong-peng pakai itu kurang
tepat. Mereka tidak membatalkan, sebab
sebenarnya mereka tidak pernah punya niat
menyerang Tiong-goan. Nyali orang-orang
Manchu itu pasti pecah melihat jumlah
penduduk Tiong-goan yang belasan kali lipat
dari jumlah rakyat mereka sendiri. Mereka
sadar, bahwa menyerbu Tiong-goan sama
dengan menjebloskan diri ke dalam rawa-rawa
kesulitan.." Bu Sam-kui yang mudah percaya itu pun
mengangguk-angguk, tetapi ada seorang
perwiranya yang menukas, "Bagaimanapun
juga, kita wajib tetap berhati-hati. Bukan
mustahil orang-orang Manchu itu ingin
mengulangi keberhasilan nenek-moyang mereka ratusan tahun yang lalu, ketika mereka
mengakangi separuh wilayah Tiong-goan
bagian utara dan mendirikan dinasti Kim.
Jangan lupa bahwa orang-orang Manchu yang
sekarang ini adalah keturunan orang-orang
Kembang Jelita 2 / VI 34 Kim, sehingga mereka disebut juga Hau-kim
(Kim Baru)...." Perwira muda berwajah keras itu adalah
Kongsun Koan, keponakan Kongsun Hui,
seorang panglima dinasti Beng sahabat Bu Samkui. Ketika Pak-khia jatuh ke tangan kaum
Pelangi Kuning, kebetulan Kongsun Hui dan
pasukannya sedang berada di luar kota. Dan
sekarang di mana beradanya pasukan Kongsun
Hui tidak diketahui, mungkin bergerilya seperti
Helian Kong dan pasukannya. Keponakan
Kongsun Hui yang bernama Kongsun Koan ini
adalah bawahan Bu Sam-kui yang paling tidak
senang melihat Bu Sam-kui terlalu mempercayai Jai Yong-wan.
Jai Yong-wan bersikap tenang menghadapi
debatan Kongsun Koan itu, katanaya, "Keadaan
dahulu dan sekarang berbeda. Dulu wilayah


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utara Tiong-goan dikuasai bangsa Liau dan
wilayah selatannya oleh bangsa Han dalam
Kerajaan Song. Baik Liau maupun Song sedang
lemah saat itu, sehingga orang-orang Kim dapat
menguasai wilayah dengan gampang. Tetapi
Kembang Jelita 2 / VI 35 sekarang lain. Sekarang tidak ada yang
namanya bangsa Liao, sudah berabad-abad
mereka melebur jadi, satu dengan bangsa Han
sehingga bangsa Han sangat kuat. Biarpun
sedang terpecah antara golongan yang setia
kepada dinasti Beng dan golongan Pelangi
Kuning, tetapi asal ada seorang Manchu saja
berani melangkahi perbatasan, seluruh orang
Han pasti bersatu menentang mereka. Orangorang Manchu rupanya menyadari ini, makanya
mereka memilih mundur daripada mengutikutik perbatasan Tiong-goan...."
"Aku tidak percaya orang-orang Manchu
sebaik itu hatinya. Mereka pernah bertempur
bertahun-tahun dengan kita di jaman Kaisar
Thian-ke dan Kaisar Cong-ceng almarhum. Ingat
kisah Jenderal Wan Cong-hoan yang gagah
berani menahan serbuan mereka..."
"Aku rasa, saat itu mereka lebih bersifat
mempertahankan diri, mempertahankan wilayah mereka. Jadi waktu itu pihak Kerajaan
Benglah yang menyerang, memasuki wilayah
mereka...." Kembang Jelita 2 / VI 36 "Lho, bicaranya Tuan Jai ini kok jadi
kedengarannya membela orang-orang Manchu?" Jai Yong-wan terkejut mendengar tuduhan
terang-terangan dari Kongsun Koan itu.
Matanya berkilat sekejap, namun buru-buru
ditenangkannya sedikit, lalu dengan sikap
terkendali dan amat tenang ia berkata, "Mana
bisa aku malah membela orang-orang Manchu
yang telah merebut negeriku, Korea? Tidak, aku
tidak membela mereka. Aku hanya mengatakan
bahwa orang-orang Manchu takkan punya
keberanian untuk melangkah sejengkal pun
memasuki wilayah Tiong-goan. Ini perlu aku
katakan supaya kita jangan memandang orangorang Manchu itu sebagai hantu-hantu yang
menakutkan dan siap menerkam kita....."
Kongsun Koan tertawa dingin, "Siapa
memandang mereka sebagai hantu-hantu,
apalagi sampai takut kepada mereka? Hem, aku
justru menunggu mereka maju tetapi mereka
maju-mundur saja, tidak juga segera menyerang
kemari...." Kembang Jelita 2 / VI 37 Jai Yong-wan tertawa, "Nah, itu tandanya
omonganku benar. Mereka takkan penah berani
menyerbu Tiong-goan...."
"Tetapi kita jangan lengah, jangan lalu
menganggap mereka sebagai domba-domba
jinak yang tidak berbahaya lagi. Mereka tetap
serigala-serigala berbahaya yang penuh tipu
daya yang licik!" kata Kongsun Koan penuh
emosi. Jawaban Jai Yong-wan kalem saja, "O, tentu
saja. Apakah aku tadi menganjurkan agar kita
mengendorkan kewaspadaan kita? Aku tidak
berkata seperti itu bukan?"
Bu Sam-kui cepat-cepat menengahi,
"Sudahlah, sudahlah, jangan bertengkar. Aku
senang kalau orang Manchu tahu diri dan tidak
menyerang kita, tetapi aku juga tidak akan
mengurangi kewaspadaan terhadap mereka."
Kongsun Koan bungkam, sementara Jai
Yong-wan cepat-cepat memuji, "Sikap yang
bijaksana..." Ketika itulah seekor kuda berderap di
bawah tangga tembok benteng, penunggangnya
Kembang Jelita 2 / VI 38 yang tidak berseragam prajurit, lusuh,
berkeringat dan penuh debu, langsung menaiki
tangga ke atas tembok benteng dengan
diantarkan oleh seorang nrajuritnya Bu Samkui.
Mereka memberi hormat kepada Bu Samkui, si perajurit pengantar lebih dulu
melaporkan, "Cong-peng, orang ini mengaku
datang dari, Pak-khia dan menyatakan ingin
bertemu dan berbicara dengan Cong-peng.
Katanya ada urusan penting..."
Bu Sam-kui menatap penunggang kuda yang
baru datang itu, dan mengenali bahwa orang itu
memang orang yang diperintahkannya tinggal
di Pak-khia untuk melaporkan hal-hal penting
yang terjadi di pusat kerajaan itu. Orang itu
penduduk asli Pak-khia, sehingga tidak dikenal
oleh prajurit-prajurit Bu Sam-kui di San-haikoan, itulah sebabnya untuk menghadap Bu
Sam-kui harus diantar. "Apa yang hendak kamu laporkan?" tanya
Bu Sam-kui. Kembang Jelita 2 / VI 39 Laporan orang itu singkat saja, tidak
bertele-tele, namun membuat jantung pendengar-pendengarnya hampir copot, "Congpeng, Lau Cong-bin sedang membawa pasukan
besarnya kemari." Bu Sam-kui berdehem untuk melegakan
tenggorokannya sendiri yang seolah tersumbat
mendadak akibat laporan itu. Lalu tanyanya,
"Kekuatan mereka?"
la berusaha kelihatan tenang, seolah-olah
tidak gentar, ketika menanyakan itu.
Yang menjawab pun tidak kalah tenang,
"Seratus ribu prajurit tempur, ratusan gerobag
perbekalan, dan kira-kira tiga puluh pucuk
meriam besar." Seorang perwira matanya menerawang ke
kejauhan ketika mendengar itu, yang lain
menggaruk-garuk perutnya, yang lain lagi
mengusap tengkuknya yang mendadak terasa
dingin. Sedangkan Bu Sam-kui sendiri menatap
ke arah bendera Jit-goat-ki (bendera Rembulan
dan Matahari, bendera dinasti Beng) yang
dipasang di puncak tiang di atas tembok
Kembang Jelita 2 / VI 40 benteng itu. Tak ada angin bertiup saat itu,
sehingga kain bendera itu terkulai seperti
sebuah lengan yang lumpuh. Kalau ada angin
yang datang sedikit dan menyentuhnya,
bendera itu bergerak sedikit, seolah-olah
"lengan yang lumpuh" itu masih bermimpi dan
berupaya untuk melakukan sesuatu yang besar.
Bu Sam-kui tiba-tiba merasa kalau bendera itu
adalah cerminan dirinya sendiri yang sudah
terjepit namun masih berangan-angan muluk.
Laporan dari orang di hadapannya itu
seolah terngiang kembali di kupingnya. Seratus
ribu prajurit tempur Lau Cong-bin, itu berarti
sepuluh kali lipat dari tentaranya di San-haikoan. Ratusan gerobag perbekalan yang berarti
jauh lebih banyak dari perbekalan di gudang
tentara di San-hai-koan yang mulai menipis, itu
saja masih bisa menambah dari luar sedangkan
yang terkurung di San-hai-koan tentu tidak bisa
menambah dari mana-mana. Dan tiga puluh
pucuk meriam besar. Jumlah meriamnya
seimbang dengan yang ada di San-hai-koan. Di
San-hai-koan juga ada tiga puluh. Bedanya,
Kembang Jelita 2 / VI 41 meriam-meriam yang di San-hai-koan tidak ada
isinya, bubuk mesiu untuk pengisi meriam itu
sudah begitu sedikit sehingga untuk membuat
lima buah mercon kecil saja belum tentu cukup.
Meriam-meriam di San-hai-koan adalah
meriam-meriam bisu. Hati Bu Sam-kui jadi goyah. Suatu
pertanyaan muncul dalam hatinya sendiri. "Apa
yang aku pertaruhkan mati-matian di sini?
Secarik kain kuning bergambar matahari merah
dan bulan-sabit putih di tengahnya?"
Lamunan Bu Sam-kui dibuyarkan oleh katakata Jai Yong-wan, "Nah, ancaman yang sejati
ternyata bukan datang dari timur-laut,
melainkan dari Pak-khia.."
Kongsun Koan tidak memberi kesempatan
Jai Yong-wan berbicara lebih banyak lagi, cepatcepat ia menyerobot kesempatan omong,
"Cong-peng, sebaiknya kita segera rundingkan
langkah-langkah untuk menanggulangi tindakan
musuh ini..." Bu Sam-kui mengangguk, menegakkan
tubuh membusungkan dada, rhenyembunyi-kan
Kembang Jelita 2 / VI 42 kebimbangannya dari mata anak buahnya.
Jawabnya gagah, "Baik. Mari kita kembali ke
markas. Suruh semua komandan pasukan
berkumpul di markas."
Jai Yong-wan pun menanggapi usul itu
dengan penuh semangat, "Betul, kita memang
harus merundingkannya dengan cermat..."
Kongsun Koan menoleh kepada saudagar itu
dan berkata dengan sengit, "Kita? Tuan Jai,
maaf, perundingan ini tentunya dimaksudkan
hanya untuk para perwira, mengingat banyak
rahasia militer yang dibeberkan. Kami tidak
berani merepotkan dengan mengundang Tuan."
Jai Yong-wan terperangah sekejap, lalu
tertawa, "O ya, akulah yang harus minta maaf,
Tuan Kongsun, aku begitu tak tahu diri. Karena
merasa ikut memikirkan kota ini sebagai
seorang warga kota San-hai-koan, aku sampai
melangkah melewati batas. Sekali lagi aku minta
maaf. Tentu saja aku tidak akan hadir dalam
perundingan para perwira yang akan
membicarakan banyak rahasia militer..."
Kembang Jelita 2 / VI 43 Kongsun Koan hanya mendengus dengan
muka dingin. Sedangkan Jai Yong-wan biarpun di luarnya
kelihatan menyesal dan minta maaf bersungguh-sungguh, padahal dalam hatinya ia
membatin, "Hem, memangnya kalau tidak hadir
dalam pertemuan para perwira itu, lalu aku
tidak bisa mengetahui hasil pembicaraan
kalian?" Sementara Bu Sam-kui sudah mengajak
perwira-perwiranya untuk menuju ke markas.
Jai Yong-wan minta diri dan pulang ke
kediamannya sendiri. Di markas, perundingan tidak segera di
mulai, sebab masih ada beberapa komandan
pasukan yang belum hadir dan masih ditunggu
kedatangannya. Para perwira dan komandan
yang sudah hadir saling berbicara sendiri
dengan topik berita yang baru saja tiba di Sanhai-koan, ada yang sampai berdebat.
Bu Sam-kui sudah duduk di kursinya,
namun tidak ikut berbicara, cuma melamun
sambil bertopang dagu. Angan-angannya
Kembang Jelita 2 / VI 44 membayang jauh ke Pak-khia, namun bukan
memikirkan soal politik atau militer sedikit pun,
ia sedang membayangkan calon isterinya yang
cantik jelita yang ditinggalkannya di Pak-khia.
Tan Wan-wan. Entah sedang apa sekarang si
jantung hati itu. Mungkin sedang menyiram
bunga, atau menyulam, atau barangkali juga
sedang melamunkan dirinya karena rindu?
Hati Bu Sam-kui melonjak begitu gembira,
sehingga ia menepuk meja sambil berseru
gembira, "Ya, dia pasti sedang merindukan
aku!" Para perwira yang sedang membicarakan
berbagai taktik perang menghadapi musuh itu
pun terkejut mendengar seruan panglima
mereka. Serempak semuanya berhenti bercakap-cakap dan menatap heran ke arah


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panglima mereka. Bu Sam-kui jadi sadar sendiri akan ulahnya
yang konyol, dan tersipu-sipu malu sendiri.
Buru-buru ia merubah sikapnya, pura-pura
geram memukul meja sambil berkata, "Ya, aku
pasti akan menghancurkan Lau Cong-bin kalau
Kembang Jelita 2 / VI 45 dia berani muncul di depan pintu kota San-haikoan.."
Para perwiranya tidak ada yang berani
bertanya tentang kejanggalan antara dua
pernyataan yang susah dihubungkan secara
logis itu. Antara "dia pasti sedang merindukan
aku" dengan "aku pasti akan menghancurkan
Lau Cong-bin" tadi, meskipun kedua pernyataan
itu sama-sama diucapkan sambil menggebrak
meja. Sementara itu, para perwira dan komandan
yang belum hadir pun sekarang sudah komplit
berkumpul di ruangan itu. Yang hadir bukan
hanya orang-orang tempur yang bertanggungjawab di garis depan, tapi juga orang-orang
garis belakang, seperti kepala bagian
perbekalan, pengobatan dan sebagainya.
Rapat dibuka dengan penjelasan Bu Sam-kui
tentang laporan yang baru saja diterimanya,
supaya perwira-perwiranya yang tadi belum
mendengar, sekarang mengetahui situasinya.
Kembang Jelita 2 / VI 46 "Nah, sekarang aku ingin mendengar
pendapat Saudara-saudara," kata Bu Sam-kui
mengakhiri kata pembukaannya.
Kongsun Koanlah yang pertama kali
mengajukan usul, "Ijinkan aku memberi usul,
Cong-peng. Ada baiknya kita memecah-mecah
pasukan, sebagian berada di dalam kota,
sebagian berada di luar kota. Yang di luar kota
bersembunyi di hutan-hutan pegunungan di
luar kota, tugasnya mengganggu garis belakang
pasukan Lau Cong-bin. Seperti membakar
perbekalan, merusak jembatan-jembatan dan
sebagainya, sehingga gerak maju pasukan Lau
Cong-bin akan terhambat. Kalau semuanya
berada di balik tembok kota, tentu semuanya
akan ikut terkurung dan tidak berdaya..."
"Siapa yang ada usul lain, atau ingin
menambahkan pada usul Saudara Kong-sun?"
Ternyata semuanya bungkam, sehingga Bu
Sam-kui langsung memutuskan, "Baik. Usul
Saudara Kongsun aku terima. Aku akan
menempatkan tiga ribu prajurit di luar kota,
prajurit-prajurit kita yang ada terlatih
Kembang Jelita 2 / VI 47 bertempur di pegunungan. Sekarang, siapa yang
akan memimpin pasukan itu?"
Tidak ada yang menjawab, tetapi mata
semua orang ditujukan ke arah Kongsun Koan,
seolah-olah semua orang mau berkata, "Kamu
yang mengajukan usul, kamulah yang
bertanggung-jawab..."
Kongsun Koan paham arti kata dari
pandangan rekan-rekannya, sehingga ia tertawa
lalu berkata, "Cong-peng, kalau Cong-peng
mengijinkan aku memimpin pasukan itu.."
Bu Sam-kui yang memang sedang malas
berpikir itu, serta-merta menanggapi usul
Kongsun Koan dengan bersemangat, "Bagus.
Saudara Kongsun, kau yang memimpin pasukan
itu. Pilih orang-orang yang tangguh dan berani.
Biar Lau Cong-bin kelabakan karena pantatnya
kau sundut dengan api..."
Bu Sam-kui tertawa sendiri akan kelakarnya
itu, dan beberapa perwiranya pun ikut nyengir
sebagai basa-basi. Kongsun Koan kemudian menerima leng-ki
(bendera wewenang) untuk tugasnya itu.
Kembang Jelita 2 / VI 48 "Nah, ada usul atau laporan?" tanya Bu Samkui.
Seorang perwira yang sangat gendut
melangkah ke depan dan bersuara, "Aku hendak
melapor, Cong-peng...."
Perwira itu bernama Li Lim-hong,
penanggung-jawab bagian perbekalan makanan.
Dan meskipun tubuhnya begitu subur,
laporannya selalu bertentangan dengan
keadaan tubuhnya. Bu Sam-kui sendiri agak segan mendengar
laporan orang ini, sebab ia hampir pasti
menebak apa yang hendak dilaporkan. Toh Bu
Sam-kui harus mendengarkannya juga, "Silakan,
Saudara Li." Sudah bisa ditebak, inilah laporan Li Limhong, "Cong-peng, aku melaporkan bahwa
perbekalan sudah menipis. Nasi untuk makan
pagi dan siang ini sudah harus dicampuri
banyak air sehingga mirip bubur, kalau tidak
begitu tidak akan cukup. Banyak prajurit
memprotes, tetapi aku tidak bisa berbuat apaapa. Campuran air untuk makan malam nanti
Kembang Jelita 2 / VI 49 bakal lebih banyak kalau sekarang tidak diambil
tindakan....." Bu Sam-kui paling benci kepada kata "ambil
tindakan" dalam urusan perbekalan ini. sebab
kedua patah kata itu berarti mengambil
persediaan makanan dari penduduk di desadesa sekitar San-hai-koan. Hanya itulah cara
untuk mempertahankan hidup prajuritprajuritnya sejak kota Pak-khia jatuh ke tangan
kaum Pelangi Kuning dan tidak ada lagi kiriman
perbekalan dari Pak-khia. Padahal penduduk di
sekitar San-hai-koan itu sendiri sudah kempaskempis hidupnya. Bu Sam-kui sendiri tahu pasti
bahwa tindakan perampasan perbekalan itu
amat dibenci penduduk sipil. Makin sering
tindakan itu dilakukan, berarti makin sering
menggusarkan penduduk meskipun tidak
terang-terangan dan berarti pula makin
menjauhkan hati rakyat. Tidak berakar di hati
rakyat adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, tapi rasanya tidak ada jalan
lain karena Bu Sam-kui tidak bisa membiarkan
prajurit-prajuritnya kelaparan.
Kembang Jelita 2 / VI 50 "Baiklah. Terpaksa kita harus kembali
mengambil bahan makanan dari rakyat yang
sehari-harinya saja sudah kelaparan..." perintah
Bu Sam-kui itu lebih mirip keluhan daripada
perintah. "Tetapi jangan keterlaluan, jangan
terlalu menyusahkan rakyat. Di mata mereka,
kita ini sudah mirip perampok-perampok berseragam...."
Biasanya kalau sudah mendapat ijin seperti
itu, Li Lim-hong akan segera berangkat
menjalankan tugasnya, tetapi kali ini ia bersikap
lain. Katanya, "Cong-peng, keadaan kali ini
berbeda..." "Apa?" "Bukankah tadi Cong-peng sendiri menjelaskan bahwa kita sedang diserbu musuh.
Kita akan dikepung dalam kota ini entah berapa
lama, jadi persediaan perbekalannya juga harus
melebihi keadaan biasa."
"Itu artinya mengambil lebih banyak?"
tanya Bu Sam-kui. "Apakah ada jalan lain, Cong-peng?" Li Limhong balik bertanya.
Kembang Jelita 2 / VI 51 Bu Sam-kui menarik napas. Tidak tega ia
mendengar anak-anak kecil di seputar San-haikoan menjerit kelaparan, bahkan mungkin ada
yang akan mati kelaparan, karena persediaan
makanan orang tua mereka dirampas tentara.
Apalagi ketika seorang perwiranya yang
bernama Miao Hu mengusulkan dengan suara
dingin tanpa perasaan, "Dan perlu ditambahkan
satu hal lagi, agar jangan persediaan perbekalan
itu menguntungkan Lau Cong-bin, kita harus
ambil seluruhnya ke dalam kota. Seluruhnya.
Kalau ada juga yang tidak terbawa, haruslah
dimusnahkan! Supaya jangan nanti dimanfaatkan oleh Lau Cong-bin!"
Bu Sam-kui termangu-mangu, sekian lama,
berat rasa hatinya. Miao Hu mendesaknya, "Cong-peng, hal ini
harus segera diputuskan, semuanya menunggu,
perintahmu, sementara waktu kita tidak banyak
lagi sebab pasukan Lau Cong-bin sedang
bergerak maju terus ke tempat ini."
Akhirnya Bu Sam-kui menganggukkan
kepalanya. Kembang Jelita 2 / VI 52 Hari itu juga, apa yang diputuskan rapat
para perwira itu dilaksanakan. Kongsun Koan
dengan tiga ribu prajuritnya berbaris keluar
kota San-hai-koan dan langsung menghilang ke
dalam hutan-hutan di pegunungan di luar kota
San-hai-koan. Sebelum menghilang, jejak-jejak
kaki di pinggir hutan pun mereka hapuskan.
Sementara itu, Li Lim-hong dan pasukannya
juga keluar kota San-hai-koan. menjalankan
tugas lain. Mengambil apa yang bisa diambil
dari bahan makanan kepunyaan penduduk dari
desa-desa sekitar San-hai-koan. Dan sisa bahan
makanan yang tidak terambil dikumpulkan
untuk dibakar! Jerit tangis penduduk, terutama
wanita dan anak-anak sudah terlalu sering
memasuki kuping Li Lim-hong, sehingga ia
sudah "kebal". Dan penduduk desa pun
mencium gelagat bakal terjadinya perang besar,
maka mereka pun berbondong-bondong
mengungsi ke tempat lain. Ada yang masuk ke
dalam kota San-hai-koan, ada yang justru
menjauhinya. Kembang Jelita 2 / VI 53 Pasukan Bu. Sam-kui yang dalam kota Sanhai-koan sendiri segera mengadakan persiapan
seperlunya. Prajurit-prajurit yang dibekali
peringatan waspada setiap saat ditempatkan di
atas tembok kota atau di tempat-tempat penting
di seluruh kota. Meriam-meriam dipasang di
atas tembok kota, biarpun meriam yang sudah
tidak ada isinya namun moncong-moncong
meriam sengaja ditonjolkan di atas tebok kota
untuk menggertak lawan. Di atas tembok kota
juga dipersiapkan banyak batu-batu besar,
balok-balok kayu, panah dan lembing dalam
jumlah amat banyak. Kaitan-kaitan besi
bertangkai panjang juga disediakan untuk
mengait jatuh kalau ada musuh yang coba-coba
merambat naik. Suasana perang mencekam
seluruh San-hai-koan. Untuk sedikit mengendorkan ketegangannya, Bu Sam-kui sering datang ke
tempat tinggal Jai Yong-wan, saudagar Korea
sahabatnya untuk minum arak, main catur dan
ngobrol soal-soal ringan.
* Kembang Jelita 2 / VI 54 * * Beberapa hari kemudian, yang dinantinantikan dengan tegang itu pun datanglah.
Pasukan besar Lau Cong-biri langsung
memasang perkemahan di sekitar kota San-haikoan. Sebagian menempati desa-desa yang
sudah kosong karena ditinggal mengungsi oleh
penghuni-penghuninya. Maka kalau dipandang
dari atas tembok kota San-hai-koan, sejauh
mata memandang di arah barat, barat-laut dan
selatan dari kota perbatasan itu, yang terlihat
adalah perkemahan tentaranya Lau Cong-bin
dengan bendera-benderanya yang berkibarkibar.
Namun apabila Bu Sam-kui meneropong ke
arah pegunungan di belakangan perkemahan
itu, setitik harapan muncul di hatinya,
membayangkan Kongsun Koan dengan tiga ribu
prajuritnya sedang mengendap-ngendap di
balik pepohonan menunggu malam tiba untuk
mengacau pasukan Lau Cong-bin dari
belakangnya. Kembang Jelita 2 / VI

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

55 Sementara kepada prajurit-prajuritnya
sendiri yang berjaga di atas tembok kota, Bu
Sam-kui selalu mengeluarkan kata-kata yang
membesarkan hati. Pasukan Lau Cong-bin hanya beristirahat
satu hari setelah perjalanan mereka dari Pakkhia, kemudian keesokan harinya mereka mulai
bertindak. Begitu fajar menyingsing, beberapa
orang perwira Lau Cong-bin yang punya tenggorokan kuat dan bisa bersuara keras, mulai
mendekati pintu kota dengan menunggang
kuda. Lalu dari situ berteriak-teriak kepada
prajurit-prajurit Bu Sam-kui yang di atas
tembok kota, isinya ya menggertak, menyombongkan kekuatan pihaknya sendiri
dan kemudian menganjurkan agar prajuritprajurit San-hai-koan menyerah saja.
Di antaranya yang mendengar omongan
perwiranya Lau Cong-bin itu adalah Bu Sam-kui
sendiri, didampingi beberapa perwiranya dan
juga Jai Yong-wan yang tetap saja berpakaian
jubah saudagarnya. Kembang Jelita 2 / VI 56 Kata Jai Yong-wan kepada Bu Sam-kui,
"Cong-peng, kalau si mulut besar itu dibiarkan
membualkan terus, mungkin akan ada sebagian
prajurit kita yang berhati kurang teguh akan
terpengaruh oleh kata-katanya dan menjadi
lemah semangatnya...."
Apalagi para prajurit, sedangkan Bu Samkui sendiri saat itu sudah berkeringat dingin
melihat besarnya pasukan Lau Cong-bin itu.
Namun sebagai pimpinan tertinggi di San-haikoan, ia harus menyembunyikan rasa
gentarnya. Lalu untuk menuruti anjuran Jai
Yong-wan, ia mengambil busur dan sebatang
anak panah dari salah seorang prajurit di
dekatnya. Dari atas tembok kota ia memanah ke
arah seorang perwira Lau Cong-bin yang
berteriak-teriak itu. Biasanya Bu Sam-kui adalah seorang
pemanah yang baik, tapi kali ini" karena kurang
konsentrasi dan tangannya terasa agak dingin,
maka anak panahnya tidak mengenai
sasarannya, lewat sejengkal di atas topi
sasarannya. Kembang Jelita 2 / VI 57 Perwira bawahan Lau Cong-bin itu menjadi
gusar, lalu berteriak ke atas tembok kota,
"Kalian tidak menggubris tawaran baik kami,
malahan berusaha membunuhku! Baik, kami
pun tidak akan sungkan-sungkan lagi terhadap
kalian!" Lalu perwira itu dan pengawalpengawalnya memutar kuda-kuda tunggangan
mereka dan mundur ke perkemahan.
Tidak lama kemudian, dari arah perkemahan Pelangi Kuning kelihatan meriammeriam beroda didorong maju, diikuti prajuritprajurit yang memanggul tong-tong mesiu dan
peluru-peluru meriam yang berujud bola besi
maupun bola batu. Mereka langsung menempatkan meriam-meriam itu di belakang
gundukan-gundukan tanah yang dibuat sehari
sebelumnya, dan mengarahkan moncongmoncongnya ke arah tembok San-hai-koan.
Mereka tidak berani terlalu dekat sebab mereka
rnelihat di atas tembok San-hai-koan juga ada
beberapa moncong meriam. Mereka mengira
meriam-meriam itu ada isinya.
Kembang Jelita 2 / VI 58 Munculnya meriam-meriam dari pihak Lau
Cong-bin itu membuat prajurit-prajurit Bu Samkui kecut. Bu Sam-kui sendiri memberi
perintah, "Cari tempat perlindungan!"
Sesaat kemudian, meriam-meriam dari
pihak Lau Cong-bin pun menggelegar salingsusul, memuntahkan bola-bola besi dan bolabola batu yang menghantam tembok kota Sanhai-koan, terutama pintu gerbangnya, dengan
dahsyat. Bumi seolah bergetar, pintu gerbang
yang sudah dilapisi besi itu pun gemeretuk
seakan hendak copot setiap peluru meriam
menghantam daun pintunya.
Dan setiap kali meriam berdentum, Bu Samkui dan prajurit-prajuritnya juga merasa
digedor jantungnya. Sementara Bu Sam-kui dan
orang-orangnya berlindung, Jai Yong-wan
bersembunyi entah di mana.
Sedangkan pihak Lau Cong-bin seakan ingin
memamerkan betapa melimpahnya persediaan
bubuk mesiu mereka, sehingga gelegar meriam
mereka juga tidak pernah terputus. Mula-mula
mereka heran juga melihat pihak San-hai-koan
Kembang Jelita 2 / VI 59 tidak membalas sekian lama, dan akhirnya
mereka mengambil kesimpulan, kalau meriammeriam di pihak San-hai-koan itu hanyalah
meriam-meriam "bisu" yang cuma dipajang
untuk gertak-sambal. Mengetahui hal ini, perwira-perwira
bawahan Lau Cong-bin semakin berbesar hati.
Mereka melaporkannya kepada Lau Cong-bin,
dan Lau Cong-bin pun dengan amat
bersemangat menjatuhkan perintah, "Arahkan
meriam-meriam hanya ke arah pintu-pintu
gerbang. Panjat tembok dan rebut kota hari ini
juga!" Perintah itu diteruskan ke garis depan.
Meriam-meriam ditarik lebih dekat ke tembok
San-hai-koan, digeser arah tembakannya ke
arah pintu gerbang barat San-hai-koan.
Sementara puluhan ribu prajurit serempak
maju sambil bersorak-sorai.
Mereka menyeberangi tempat terbuka
antara perkemahan dengan tembok San-haikoan. Mereka membawa tangga-tangga kayu
yang panjang-panjang untuk memanjat tembok.
Kembang Jelita 2 / VI 60 Lau Cong-bin pun dengan amat bersemangat
menjatuhkan perintah, "Arahkan meriam-meriam
hanya ke arah pintu-pintu gerbang. Panjat tembok
dan rebut kota hari ini juga!"
Kembang Jelita 2 / VI 61 Menghadapi ini, prajurit-prajurit San-haikoan harus keluar dari persembunyian mereka,
dan bersiap-siap di atas tembok untuk
menanggulangi usaha musuh.
Para pemanah dan pelempar lembing di
atas tembok kota adalah yang pertama
mendapatkan pekerjaan. Begitu aba-aba
diteriakkan, hujan panah dan lembing pun
menghambur dari atas tembok ke arah pasukan
Lau Cong-bin yang sedang bergelombang
mendekat tembok. Puluhan prajurit Lau Cong-bin yang
terlambat mengangkat perisainya, segera roboh
bertumbangan terkena panah atau lembing.
Mereka yang> roboh dilompati begitu saja oleh
teman-teman mereka dari belakang. Kalau ada
yang sedikit menaruh perhatian, mereka
rhencari teman-teman yang belum mati dan
masih bisa diselamatkan untuk diseret mundur
ke belakang. Sementara yang lain seolah
dibakar nafsu membunuh yang berkobar-kobar
dan terus menerjang ke depan sambil
mengangkat perisai untuk melindungi diri. Toh
Kembang Jelita 2 / VI 62 tetap saja ada panah atau lembing yang lolos
dari perisai dan mematuk tubuh si pemegang
perisai. Sebagian besar berhasil mencapai kaki
tembok, kemudian yang membawa tangga
segera menegakkan tangga-tangga itu untuk
menggapai bagian atas tembok. Prajurit-prajurit
San-hai-koan yang di atas tembok tentu saja
tidak membiarkan tangga-tangga itu mapan.
Mereka berusaha mendorong tangga-tangga itu
agar roboh, tetapi prajurit-prajurit musuh yang
di bawah memeganginya kuat-kuat, sehingga
terjadilah adu tenaga antara prajurit-prajurit
San-hai-koan yang di atas dan prajurit-prajurit
Lau Cong-bin yang di bawah. Adu tenaga yang
tersalur lewat tangga panjang itu.
Beberapa tangga berhasil didorong roboh
kembali, namun kebanyakan tidak. Dan yang
tidak roboh itu langsung digunakan memanjat
oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning. Merekamemanjat sambil dengan satu tangan
mengangkat perisai di atas kepala mereka,
sedang pedangnya mereka bawa dengan digigit,
Kembang Jelita 2 / VI 63 dan tangan yang tidak metjiegang perisai
membantu memanjat. Mereka naik susulmenyusul. Sehingga pada tangga sepanjang
belasan meter itu ada beberapa orang
memanjat sekaligus. Tangga itu tetap digoyanggoyang dari atas oleh prajurit-prajurit San-haikoan, dengan maksud agar pemanjat-pemanjat
itu runtuh ke bawah, namun pemanjatpemanjat itu agaknya berpegangan cukup kuat.
(Bersambung jilid VII.) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 17/07/2018 12 : 30 PM
Kembang Jelita 2 / VI 64 Kembang Jelita 2 / VII 1 ( Bagian II ) JILID VII Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / VII 2 Kembang Jelita 2 / VII 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid VII P rajurit-prajurit di atas tembok kota lalu
menggunakan cara lain. Menggunakan
kaitan-kaitan besi bertangkai panjang, atau
menggunakan panah-panah dan lembinglembing. Beberapa pemanjat berhasil dikait
jatuh dan mati di ujung senjata teman-teman
mereka sendiri yang di bawah. Atau kalau tidak
mati di ujung senjata teman sendiri, mati
terhempas dari ketinggian belasan meter.
Namun ada juga yang berhasil memanjat terus,
belasan orang jumlahnya, tidak terkait, juga
tidak terkena panah atau lembing berkat perisai
di atas kepala mereka. Kembang Jelita 2 / VII 2 Prajurit-prajurit yang di atas tembok tidak
kurang akal. Kini mereka menggantikan panah
dan lembing dengan batu-batu besar atau
balok-balok kayu raksasa. Kalau lembing dan
panah masih bisa ditangkis oleh perisai-perisai
rotan para pemanjat, maka batu-batu besar
biarpun bisa ditangkis dengan perisai,
luncurannya tetap mampu menghempaskan
para pemanjat bandel itu ke tanah. Kadangkadang tubuh yang jatuh dari atas itu juga
menimpa pemanjat-pemanjat yang di bawahnya. Demikianlah kegigihan dari kedua belah
pihak, satu pihak coba memanjat ke atas dan
pihak lain bersikeras meng-halang-halanginya.
Pada saat yang sama, peluru-peluru meriam
dari pihak Pelangi Kuning juga terus
menghantam daun pintu San-hai-koan tak
henti-hentinya, namun agaknya pintu gerbang
San-hai-koan amat kuat. Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin
yang bernama Ni Ho-liao menjadi gemas karena
sekian lama belum dilihatnya tanda-tanda kalau
Kembang Jelita 2 / VII 3 prajurit-prajurit San-hai-koan bakal menyerah
kalah. Padahal ia tahu kalau meriam-meriam di


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pihak San-hai-koan tidak dipergunakan karena
tidak ada bahan peledaknya.
Saking penasarannya, Ni Ho-liao berteriak
kepada regu-regu pemanjat, "Terus panjat!
Terus panjat! Jangan berhenti! Kita lihat saja
mereka punya berapa banyak persediaan batu
dan kayu!" Begitulah, ia menganjur-anjurkan prajuritprajuritnya untuk maju terus, sementara ia
sendiri duduk di atas kudanya tanpa
mengeluarkan setetes keringat pun. Ia sudah
terlanjur memBual di depan Jenderal Lau
bahwa San-hai-koan akan jatuh paling lambat
nanti sore, soalnya ia membandingkannya
dengan Pak-khia. San-hai-koan jauh lebih kecil
dari Pak-khia, dan prajurit yang menjaga Sanhai-koan juga jauh lebih sedikit dari yang
mengawal Pak-khia, mutu prajuritnya juga
kalah jauh, maka kalau dulu pasukan Lau Congbin berhasil menerobos masuk Pak-khia paling
dulu sehingga Lau Cong-bin diangkat sebagai
Kembang Jelita 2 / VII 4 Panglima Tertinggi, maka dalam anggapan Ni
Ho-liao sekarang untuk merebut San-hai-koan
akan sama gampangnya dengan merogoh
barang di kantong bajunya sendiri.
Yang terpikir saat itu ialah bagaimana untuk
"menguras habis" panah, lembing, batu dan
kayu dari pihak lawan. Dan untuk "menguras" itu tentu butuh
umpan, umpannya ya nyawa prajuritprajuritnya sendiri yang disuruh terus
menyerang supaya musuh terus memanah dan
melempar batu sehingga cepat habis.
Banyaknya korban jiwa sama sekali tidak
pernah terpikir oleh Ni Ho-liao, sebab ia
berpikir, "Namanya juga perang......"
Begitulah, sambil mengangkat tinggi-tinggi
pedangnya dengan gagah tetapi dari tempat
yang aman, ia berteriak pula, "Pak-khia yang
besar dan kuat pernah kita rebut, apalagi hanya
San-hai-koan yang kecil dan dijaga prajuritprajurit kelaparan ini! Hayo, maju terus,
pantang mundur!" Kembang Jelita 2 / VII 5 Namun ternyata prajurit-prajurit San-haikoan memang gigih luar biasa dalam bertahan,
biarpun jumlah mereka jauh lebih sedikit. Pihak
penyerbu harus lebih dulu "membayar" dengan
banyak nyawa dalam upaya merebut tembok
itu. Hujan panah, lembing, batu dan kayu tidak
henti-hentinya tercurah dari atas tembok.
Bahkan yang dilemparkan dari atas itu ada juga
pot-pot bunga yang berisi tanah yang kalau
menimpa jidat pasti lumayan rasanya.
Sementara itu, matahari semakin surut ke
sebelah barat, dan kalau kegelapan sudah turun,
nanti, pastilah panah dan sebagainya dari atas
tembok akan semakin sulit dijaga, dan berarti
akan semakin banyak korban di pihak Pelangi
Kuning. Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin
yang lain, Ong Ling-po yang masih muda,
agaknya memperhitungkan kerugian itu. Maka
dengan satu aba-aba, ia memerintahkan
pasukannya agar mundur menjauhi tembok,
sambil mengangkut mereka yang luka-luka.
Kembang Jelita 2 / VII 6 Melihat Ong Ling-po menarik mundur
pasukannya, Ni Ho-liao memacu kudanya
mendekati Ong Lirig-po sambil berseru, "Adik
Ong, kenapa kau tarik orang-orangmu?"
Di atas kudanya pula Ong Ling-po menjawab
sambil menuding ke langit, "Sebentar lagi langit
gelap, orang-orang kita akan lebih sukar
menjaga serangan panah, lembing dan
sebagainya. Lebih baik kutarik mundur
daripada jatuh banyak korban....."
"Aku tidak setuju!" sahut Ni Ho-liao.
"Mundur sekarang berarti akan memberi
kesempatan semalam lagi kepada Bu Sam-kui
dan cecunguk-cecunguknya untuk menyegarkan
diri. Kalau kita lanjutkan serangan sekarang ini,
mungkin tengah malam nanti musuh sudah
akan kehabisan panah dan batu, dan besok pagi
kita sudah menguasai seluruh kota....."
"Tetapi korban di antara prajurit-prajurit
kita pun akan mencapai jumlah ribuan..."
"Jumlah itu kecil dibanding jumlah seluruh
prajurit kita." Kembang Jelita 2 / VII 7 "Tetapi mereka manusia, mereka punya
keluarga." Ni Ho-liao termangu-mangu, masih penasaran karena ia sangat berambisi
mendapatkan nama besar dengan merebut Sanhai-koan hari itu juga tanpa mempedulikan
korban yang bakal jatuh. Tetapi Ong Ling-po berpikiran lain agaknya,
panglima muda itu benar-benar menarik orangorangnya karena sayang nyawa mereka. Sampai
hari cukup gelap, Ni Ho-liao masih nekad
menggempur San-hai-koan dengan pasukannya,
namun akhirnya ia terpaksa mundur juga
karena kegigihan prajurit-prajurit San-hai-koan.
Pintu gerbang San-hai-koan yang seharian
ditembaki meriam ternyata belum jebol juga,
meskipun setiap kali engsel-engselnya berkeriut-keriut. Pasukan di San-hai-koan segera memperbaiki diri. Yang luka-luka diobati, dan
ternyata ada juga yang gugur meskipun
jumlahnya tidak seberapa karena mereka
bertahan di atas tembok. Pintu gerbang
Kembang Jelita 2 / VII 8 diperkuat kembali meskipun secara darurat
dengan diikat tali-tali besar dan dilapisi papanpapan tebal. Di atas tembok kembali
dikumpulkan panah, lembing, batu dan kayu,
penduduk sipil San-hai-koan yang laki-laki
diperintahkan untuk ikut membantu.
Bu Sam-kui dan perwira-perwira pembantunya berjalan berkeliling untuk
membakar semangat para prajurit. Bu Sam-kui
sendiri kelihatan penuh debu, bahkan darah
memercik di pakaiannya, karena tadi ia ikut
bertempur dengan gigih di tengah-tengah para
prajuritnya. "Kalian sudah bertempur dengan baik hari
ini," demikian setiap kali Bu Sarii-kui berkata
sambil menepuk pundak prajurit-prajuritnya.
"Beristirahatlah malam ini agar besok kalian
menjadi segar, tetapi harus ada yang berjaga
secara bergantian, siapa tahu malam ini musuh
membuat gerakan." Kemudian dengan tubuh lunglai, Bu Sam-kui
berkuda ke tempat tinggalnya. Ketika melewati
rumah Jai Yong-wan, ia bertanya kepada
Kembang Jelita 2 / VII 9 seorang pembantu Jai Yong-wan yang sedang
memasang lampu lampion di pintu depan,
"Baik-baikkah keadaan Tuanmu?"
Bujang itu membungkuk hormat dan
menjawab, "Baik-baik saja, Tuan. Bukankah
tidak ada peluru meriam musuh yang jatuh
sampai ke tengah-tengah kota ini? Kami cuma
mendengar suaranya saja di kejauhan."
Bu Sam-kui mengangguk-angguk. "Kau
bernyali besar. Apakah kau bisa bertempur?"
Wajah bujang itu menegang, "Maksud
Tuan... maksud Tuan....."
Bu Sam-kui tertawa, "Tidak, tidak, aku
belum akan menyuruh penduduk San-hai-koan
bertempur. Kami, para prajurit masih mampu
dengan tenaga kami sendiri mempertahankan
kota ini sampai musuh terpukul mundur. Nah,
sampaikan salam kepada Tuanmu, aku pulang
dulu." "Tidak mampir dulu, Tuan Panglima?"
"Tidak. Aku harus membersihkan diri,
makan dan beristirahat. Tugas untuk besok pagi
barangkali akan lebih berat dari hari ini."
Kembang Jelita 2 / VII 10 Lalu berlalulah Bu Sam-kui.
Tidak lama setelah Bu Sam-kui berlalu, Jai
Yong-wan justru menyelinap keluar dari
rumahnya melalui sebuah pintu kecil di
samping rumahnya. Tidak memakai jubah
saudagarnya yang longgar, melainkan berpakaian ringkas, dan langsung menghilang di
lorong-lorong kota San-hai-koan yang gelap dan
sepi. Sementara itu, di perkemahan Lau Cong-bin,
Lau Cong-bin sendiri duduk di kursinya yang
berlapis kulit macan, dan perwira-perwiranya
berdiri berderet-deret di hadapannya. Di
sekeliling tenda itu bagian luar maupun
dalamnya, nampak pengawal-pengawal pribadi
Lau Cong-bin yang terdiri dari wanita-wanita
cantik itu berdiri dengan tegap dan gagah,
memakai pakaian perang juga.
Jenderal Lau sedang menerima laporan dan
usul-usul dari panglima-panglima bawahannya
tentang usahanya merebut San-hai-koan. Usaha
yang gagal. Kembang Jelita 2 / VII 11 Lau Cong-bin menggeram gusar mendengar
laporan itu. Hatinya panas. Setiap kali teringat
kepada Bu Sam-kui yang masih bertahan di Sanhai-koan, Jenderal Lau ingat Tan Wan-wan si
jelita yang gagal didapatkannya. Yang
menyakitkan bahwa Tan Wan-wan pernah
mengucapkan kata-kata yang membandingkan
dengan Bu Sam-kui. Rasa panas hati itulah yang
menggerakkannya untuk menyerbu San-haikoan, ingin membawa pulang batok kepala Bu
Sam-kui ke Pak-khia untuk ditunjukkan kepada
Tan Wan-wan. Begitulah, ribuan nyawa yang
melayang hari itu ternyata ada sangkut-pautnya
dengan sakit-hati pribadi Jenderal Lau yang
pernah disebut "tua, gembrot dan jelek" oleh
Tan Wan-wan. Sekarang di tendanya, Jenderal Lau
menumpahkan banjir caci-maki yang sengit
kepada panglima-panglima bawahannya. Dan
setelah puas memaki-maki, seorang pengawalnya yang cantik menyuguhkan
minuman segar di atas nampan. Jenderal Lau
menenggaknya dengan tegukan besar yang
Kembang Jelita 2 / VII 12 membuat tenggorokannya berbunyi keras.
Minuman itu agaknya meredakan kemarahan
Jenderal Lau, sehingga setelah minum maka
suaranya merendah, "Nah, sekarang kalian para
kantong nasi, kalian mau omong apa? Kalian
yang mengusulkan penyerangan, dan ternyata
hari ini kalian gagal. Pastilah Bu Sam-kui itu
semakin besar kepala..."
Ong Ling-po tiba-tiba maju ke depan dan
memberi hormat, "Jenderal, bolehkah aku
berbicara?" "Mau omong apa lagi?"
Usul Ong Ling-po ternyata menunjukkan
nyalinya yang besar, "Jenderal, ijin-kanlah
malam ini juga aku membawa seribu orang
prajurit yang aku pilih dari pasukanku sendiri,
untuk mencoba menyusup masuk ke dalam kota
San-hai-koan, lalu membukakan pintu kota dari
dalam. Aku juga mohon agar rekan-rekan
panglima yang lain bersiap-siap di depan pintu
kota, begitu pintu kota kami buka dengan
isyarat obor, silakan langsung menyerbu
masuk." Kembang Jelita 2 / VII

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

13 "Mau menyusup lewat mana?"
"Aku yakin ada suatu tempat yang disusupi.
Apakah usulku diterima?"
Jenderal Lau melontarkannya kembali
kepada panglima-panglima bawahannya, "Bagaimana menurut kalian usul Panglima Ong
ini?" Semua panglima bawahan Jenderal Lau
bungkam, mereka sebenarnya ingin istirahat
malam itu, setelah seharian kelelahan
menggempur San-hai-koan tanpa hasil. Namun
mereka tidak berani terang-terangan menolak
usul Ong Ling-po itu, khawatir disebut penakut
dan pemalas, dan akan memberi muka terang
buat Ong Ling-po. Mereka berharap agar Jenderal Lau
menolak usul itu. Sesuatu yang kurang mereka ketahui,
bahwa Jenderal Lau masih akan terngiangngiang kata-kata Tan Wan-wan yang
membandingkannya dengan Bu Sam-kui, dan
itu membuat Lau Cong-bin kurang puas
sebelum dapat pulang ke Pak-khia membawa
Kembang Jelita 2 / VII 14 kepala Bu Sam-kui. Ia ingin hal itu terjadi
secepat mungkin. Perkara kelelahan para
bawahannya dan korban yang bakal jatuh, tidak
jadi soal buatnya. Karena itulah ia menyetujui
usul Ong Ling-po itu, "Baik. Diam berarti setuju.
Aku putuskan demikian. Ong Ling-po dengan
seribu prajurit pilihan akan menyusup masuk
ke San-hai-koan untuk membukakan pintu
gerbang dari dalam, yang lain-lain harus
bersiap-siap di luar pintu gerbang untuk segera
menyerbu masuk. Tetapi jangan terlalu dekat,
nanti dilihat oleh musuh dan mereka akan
berjaga-jaga." Begitulah, usai makan malam, mereka pun
bersiap-siap. Sementara pasukan-pasukannya berangkat
mengendap-endap di gelapnya malam yang
dingin, Jenderal Lau sendiri justru berhangathangat di dalam kemahnya bersama koleksi
wanita-wanita cantiknya. Tinggal menunggu
laporan yang mudah-mudahan laporan baik.
Ong Ling-po dengan seribu prajurit pilihan
yang masih segar, yang siang tadi belum ikut
Kembang Jelita 2 / VII 15 berperang, mengendap tanpa obor mendekati
tembok San-hai-koan, mengendap-endap di
belakang pepohonan dan semak-semak belukar.
Di atas tembok kota nampak obor-obor
dipasang dalam jumlah banyak-banyak, nampak
juga bayangan prajurit-prajurit San-hai-koan
hilir mudik di atas tembok. Nampaknya pihak
San-hai-koan benar-benar tidak mau lengah
biarpun di malam hari. Ong Ling-po menyebar orang-orangnya
untuk menyelidiki bagian mana dari tembok
San-hai-koan yang kelihatannya tidak terjaga.
Tentu saja sisi tembok yang menghadap ke
wilayah Tiong-goan, sebab ada yang menghadap
ke wilayah Liau-tong, wilayahnya bangsa
Manchu. Orang-orang suruhan Ong Ling-po itu
segera berpencar. Beberapa saat kemudian
mereka sudah kembali satu persatu, dan bunyi
laporan mereka sama. Tidak ada sejengkal pun
tembok San-hai-koan yang menghadap wilayah
Tiong-goan yang tidak terjaga. Setiap jengkal
terjaga dengan ketat. Kembang Jelita 2 / VII 16 Ong Ling-po garuk-garuk kepala mendengar
itu. Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di
benaknya. "Sepanjang tembok San-hai-koan
yang menghadap kemari memang dijaga, tetapi
bagaimana dengan sisi tembok yang menghadap keluar Tembok Besar?"
Seorang perwira bawahannya tercengang,
"Maksud Hu-ciang (Kolonel), kita akan
memanjat tembok San-hai-koan dari sebelah
timur laut? Dari wilayah orang Manchu?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Berarti kita harus memanjat Tembok Besar
lebih dulu untuk menyeberang ke wilayah
Manchu. Itu makan waktu, Hu-ciang. Barangkali
setelah fajar menyingsing barulah kita baru bisa
mulai memanjat tembok San-hai-koan. Dan
teman-teman kita yang menanti terbukanya
pintu kota juga barangkali sudah tidur karena
bosan menunggu kita...."
Ong Ling-po mengetuk-ngetukkan ujung
telunjuknya ke jidatnya sendiri, berpikir keras,
sambil berkata, "Coba kalian ikut berpikir."
Kembang Jelita 2 / VII 17 Salah seorang perwira bawahannya tibatiba berkata, "Ada jalan.."
Semua menoleh ke arah orang ini, dalam
kegelapan malam, hanya nampak sosok
tubuhnya yang ramping. Dalam kegelapan, Ong
Ling-po melihat semua orang di sekelilingnya
bentuknya sama, meskipun demikian ia dapat
mengenali setiap perwiranya yang dekat
dengannya dengan mengenal suaranya. Kali ini,
suara orang yang berbicara ini tidak dikenalnya.
Tetapi Ong Ling-po tidak bersyak-wasangka,
dianggapnya orang ini mungkin adalah seorang
prajurit rendahan yang tidak terlalu dekat
dengannya sehingga tidak dikenalnya, sekarang
mencoba mengajukan usul. Mungkin untuk
mempromosikan diri sendiri agar naik pangkat.
Kata Ong Ling-po, "Katakan."
Sosok bayangan di bawah pohon itu, yang
mengaku dirinya hanya "sebagai prajurit biasa",
segera berkata, "Aku tahu ada sebuah sungai
kecil yang mengalir masuk ke dalam kota Sanhai-koan lewat bawah tembok kota. Kita bisa
Kembang Jelita 2 / VII 18 merangkak di sungai kecil itu dan muncul ke
dalam kota...." Saat itu udara sangat dingin, maka bisa
dibayangkan bagaimana rasanya malam-malam
merangkak di dalam sungai kecil. Tetapi bagi
Ong Ling-po, itu agaknya adalah suatu jalan, dan
ia langsung menyetujuinya.
"Baik," sahut Ong Ling-po. "Kau jalan di
depan untuk menunjukkan tempatnya."
Orang itu mulai bergerak, memandu Ong
Ling-po dan semua prajuritnya mendekati
tembok San-hai-koan di suatu arah. Mereka
tidak mendekat sampai ke kaki tembok sebab
bisa terlihat oleh prajurit-prajurit di atas
tembok. Si pemandu memimpin sampai ke
sebuah sungai kecil yang airnya gemericik,
sungai itu mengalir ke arah kota San-hai-koan.
"Inilah sungainya..." kata orang itu sambil
menghentikan langkah di tepi sungai kecil. "Ini
menembus langsung ke dalam kota melewati
bawah tembok kota." Malam gelap, namun setelah berada di
tempat yang tidak ada pepohonannya, Ong LingKembang Jelita 2 / VII
19 po sempat juga mengamat-amati wajah orang
itu dengan bantuan cahaya bintang yang lemah.
Orang itu memang berpakaian seragam perwira
Pelangi Kuning, namun wajahnya yang terlalu
pucat itu belum pernah dilihat oleh Ong Lingpo. Namun Ong Ling-po tidak berprasangka,
mungkin perwira ini berasal dari pasukanpasukan yang di luar Kotaraja Pak-khia, yang
memang banyak diambil dan diikut-sertakan
dalam pasukan penggempur San-hai-koan itu.
"Kau dulu," perintah Ong Ling-po kepada
perwira berwajah pucat itu.
Orang itu tanpa ragu-ragu turun ke dalam
air, kemudian mulai merunduk maju menyibak
air setinggi lutut yang amat dingin itu. Belukar
yang tumbuh di sepanjang tepian sungai itu
melindunginya dari pandangan prajurit-prajurit
San-hai-koan di atas tembok. Lagi pula cahaya
obor dari atas tembok sudah lemah sekali
sampai ke bawah. Menyusul Ong Ling-po juga turun, dan
mengikuti orang itu. Begitu juga prajurit-
Kembang Jelita 2 / VII 20 prajuritnya. Tubuh mereka menggigil sejenak
karena dinginnya air, tetapi mereka maju terus.
Ong Ling-po berkata perlahan kepada
prajurit yang berjalan di belakangnya,
"Pesankan kepada semua prajurit, agar
melangkah perlahan supaya jangan menimbulkan kecupak air yang terlalu keras.
Juga dilarang saling berbicara...."
Perintah itu diteruskan kepada orang di
belakangnya dan terus ke belakangnya lagi
sehingga semuanya mendengar perintah itu.
Tanpa rintangan mereka mencapai kaki
tembok. Dan untuk menerobos lubang di kaki
tembok itu, mereka harus merangkak dalam air,
sehingga yang basah bukan hanya kaki saja
melainkan seluruh badan kecuali kepala. Saking
dinginnya, ada beberapa prajurit yang tidak
tahan untuk tidak terkencing dalam air,
sehingga prajurit-prajurit di belakangnya
menggerutu dalam air. Tetapi tidak sedikit yang
menggerutu itu pun ikut-ikutan terkencing
dalam air, karena dinginnya.
Kembang Jelita 2 / VII 21 Sementara, mereka yang sudah tiba di
sebelah dalam tembok San-hai-koan segera
keluar. Mereka muncul di sebuah kampung di
tengah kota, banyak rumah-rumah namun
suasananya sangat sepi sebab semua rumah
tertutup, penduduk San-hai-koan tengah
dicengkam ketakutan karena peperangan siang
tadi. Begitu keluar dari air, Ong Ling-po dan
prajurit-prajuritnya melakukan sedikit senam
untuk menghangatkan badan mereka yang
seolah hampir beku. Ong Ling-po ingin mencatat jasa perwira
berwajah pucat tadi, ia menoleh ke
sekelilingnya untuk mencari orang itu, dan
memanggil-manggilnya meski belum tahu
namanya, tetapi orang itu sudah menghilang
entah ke mana. He, ke mana prajurit tadi?" tanyanya kepada
prajurit-prajuritnya. Prajutir-prajuritnya saling menoleh mencari
orang yang dimaksud, .tetapi mereka juga hanya
saling menggeleng. Kembang Jelita 2 / VII 22 "Orang aneh....." desis Ong Ling-po heran.
"Hu-ciang..." kata seorang perwira bawahannya tertahan-tahan, dan tidak dilanjutkan. Ong Ling-po seolah dapat membaca pikiran
bawahannya itu, lalu melanjutkan, "Kenapa?
Maksudmu perangkap?"
Perwira yang ditanya itu membungkam, dan
ia mengiyakan dengan kebungkamannya.
Ong Ling-po tidak menutupi kemungkinan
itu, "Kemungkinan itu ada, tetapi kita sudah
berada di dalam kota San-hai-koan sekarang,
apakah akan mundur?"
Para perwiranya saling toleh, kemudian
yang terdengar adalah suara Ong Ling-po yang
tegas, "Kita tetap dalam rencana. Mari kita rebut
salah satu pintu gerbang. Kita serang secara
mendadak." Mereka pun merunduk di antara loronglorong gelap kota San-hai-koan untuk
mendekati ke pintu kota. Ong Ling-po maju


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling depan dengan menggenggam erat
Kembang Jelita 2 / VII 23 senjatanya, sepasang Hau-thau-kau (kaitan
kepala macan). Mereka tiba di sebuah pintu gerbang, dan
mengintip dari persembunyian mereka, melihat
pintu gerbang itu pun ternyata dijaga kuat. Ada
juga belasan ekor kuda yang tertambat di
tonggak, setiap saat digunakan para penghubung untuk memberitahukan kepada
yang lain kalau keadaan menjadi gawat.
Ong Ling-po membisiki seorang perwira di
sebelahnya, "Bawa orang-orangmu membunuh
kuda-kuda itu begitu serangan dimulai. 3angan
sampai musuh bisa saling berhubungan melalui
para kurir. Paham?" Si perwira mengangguk, lalu membawa
anak buahnya mengendap-endap memasuki
sebuah lorong yang lain di antara rumah-rumah
penduduk San-hai-koan yang gelap.
Sedangkan Ong Ling-po tidak menunggu
lebih lama lagi, dengan sebuah isyarat, hujan
panah segera menghambur ke arah prajuritprajurit San-hai-koan yang menjaga pintu
gerbang itu. Kembang Jelita 2 / VII 24 Prajurit-prajurit San-hai-koan itu jadi panik,
tidak menyangka musuh menyerang malammalam bukan dari luar pintu gerbang, tetapi
dari dalam pintu gerbang. Puluhan prajurit
tumbang seketika terkena hujan panah. Yang
lain-lain sempat mengangkat perisai-perisai
mereka sambil berteriak saling memperingatkan. Tetapi para prajurit San-hai-koan segera
membalas, meskipun agak sulit memanah sebab
musuh bersembunyi di tempat-tempat gelap.
Bahkan ada yang mulai menyerbu ke tempat
yang gelap dengan berani.
Perwira Ong Ling-po yang ditugasi
membunuh kuda segera bertindak. Ia dan
orang-orangnya menghujankan panah ke arah
kuda-kuda itu sehingga dalam sekejap belasan
kuda itu mati semua. "Sergap mereka!" Ong Ling-po mengomando
orang-orangnya, la sendiri langsung menyongsong prajurit-prajurit San-hai-koan
dengan sepasang Hau-thau-kau-nya. Sepasang
Kembang Jelita 2 / VII 25 lengannya bergerak tanpa ragu-ragu, dan
beberapa prajurit San-hai-koan dirobohkannya.
Orang-orangnya mengikutinya, dan bertemu dengan pengawal-pengawal pintu Sanhai-koan, seperti dua gelombang yang
bertabrakan, begitulah di belakang pintu kota
itu segera terjadi pertempuran sengit di bawah
cahaya obor-obor. Sengit, sebab prajuritprajurit Pelangi Kuning ingin merebut pintu
gerbang secepatnya, sedang prajurit-prajurit
San-hai-koan tentu saja mempertahankannya
mati-matian karena pintu-pintu gerbang itulah
kunci mati hidup mereka. Ong Ling-po masih sempat merobohkan
beberapa prajurit San-hai-koan lagi, tetapi
ulahnya terhenti ketika di depannya muncul
seorang bertubuh tegap dan bersenjata sebuah
kampak bertangkai sepanjang tombak. Orang
itu adalah Miao Hu, seorang perwira bawahan
Bu Sam-kui yang berdarah dingin.
Tanpa berkata apa-apa, langsung saja Miao
Hu mengayunkan kampak panjangnya ke ubunubun Ong Li-po. Biarpun kepala Ong Ling-po
Kembang Jelita 2 / VII 26 mengenakan ketopong besi, namun kalau
sampai terkena kampak besar yang digerakkan
tenaga besar itu, pastilah ketopongnya akan
penyok dan tengkorak kepalanya tetap saja
bakal ringsek. Ong Ling-po tidak ingin mengalami nasib
demikian. Dengan gesit ia berkelit ke samping,
membiarkan kampak itu lewat di samping
tubuhnya. Bukan itu saja, kaitan kirinya
mengkait "leher" kampak itu dan menariknya
searah dengan gerakan awalnya. Miao Hu
terseret selangkah ke depan, sementara kaitan
kanan Ong Ling-po hendak mengkait ke kulit
muka Miao Hu. Demikianlah sekarang balik
Miao Hu yang terancam. Tapi Miao Hu juga cukup tangkas, ia cepat
menegakkan pinggangnya sambil mengangkat
kedua lengannya, bagian tengah dari
kampaknya ia gunakan menangkis kaitan lawan
yang menyerang muka. Sambil kakinya
menyapu agak tinggi ke lutut Ong Ling-po. Ong
Ling po membuat sebuah lompatan berputar,
Kembang Jelita 2 / VII 27 sepasang kaitannya bergetar bersama seperti
sepasang sayap garuda. Begitulah, kedua perwira yang sama-sama
berani dan sama-sama tangkas itu bertarung
dengan sengit. Kelihatannya mereka seimbang.
Para pengawal San-hai-koan amat gigih
mempertahankan pintu gerbang, mereka sadar
betapa fatal akibatnya kalau sampai pintu itu
dapat direbut dan pasukan musuh membanjir
masuk ke kota. Di sekitar pintu gerbang itu para
pengawal San-hai-koan kalah jauh dalam
jumlah. Mereka hanya dua ratusan, sedang
musuh yang menyelundup masuk itu seribu
orang, lima kali lipat. Namun pengawalpengawal San-hai-koan itu berharap temanteman mereka akan berdatangan dan segera
menumpas penyusup-penyusup ini.
Prajurit-prajurit San-hai-koan yang berjagajaga di atas tembok kota pun mengetahui
keributan itu. Segera mereka memanah dari
atas tembok, bahkan menjatuhkan batu-batu.
Kali ini bukan ke sebelah luar tembok kota
seperti siang tadi, melainkan ke sebelah dalam.
Kembang Jelita 2 / VII 28 Ong Ling po membuat sebuah lompatan berputar,
sepasang kaitannya bergetar bersama seperti
sepasang sayap garuda. Kembang Jelita 2 / VII 29 Banyak prajurit-prajurit Ong Ling-po menjadi
korban. Para perwira bawahan Ong Ling-po segera
mengambil prakasa untuk menyelamatkan
orang-orangnya. Mereka memecah orangorangnya menjauhi tembok, menyusup ke
dalam lorong-lorong kota San-hai-koan yang
gelap. Dengan demikian, tekanan berat yang
dirasakan semula oleh pengawal-pengawal
pintu gerbang San-hai-koan, terasa sedikit
kendor. Ong Ling-po menjadi cemas. Pintu gerbang
harus direbut secepat mungkin dan dibuka,
sebelum pihak musuh kedatangan balabantuan,
tapi kalau tekanan orang-orangnya kepada
pengawal-pengawal pintu mengendor, persoalannya bisa berlarut-larut. Salah-salah ia
sendiri dan orang-orangnya takkan bisa keluar
dari San-hai-koan dan malahan tertumpas di
dalam kota. Ia meneriakkan kata-kata isyarat, agar
orang-orangnya yang berpencaran itu Kembang Jelita 2 / VII 30 secepatnya kembali memberi tekanan ke
pengawal-pengawal pintu gerbang.
Ketika anak buah Ong Ling-po kembali
menyusun diri untuk menekan musuh, unsur
kejutannya sudah jauh berkurang. Meski
pengawal-pengawal San-hai-koan tetap mengalami kesulitan karena jumlahnya kalah
jauh, namun kegigihan dan semangat tempur
mereka membuat pertahanan mereka jadi alot
dan susah ditembus. Apalagi ketika pengawalpengawal
San-hai-koan lainnya mulai berdatangan membantu teman-teman mereka
mempertahankan pintu kota. Kebanyakan yang
datang dari atas tembok kota, turun melalui
tangga batu di kiri kanan pintu gerbang.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning coba menyumbat ujung-ujung bawah tangga-tangga
itu. Tetapi banyak pengawal San-hai-koan yang
tidak sabar lagi turun dengan menyusuri tangga
batu yang lebarnya cuma satu meter itu. Banyak
yang baru sampai di tengah-tengah tangga dan
langsung melompat turun begitu saja untuk
Kembang Jelita 2 / VII 31 langsung terjun ke gelanggang, meringankan
beban teman-teman mereka.
Begitulah, makin malam pertempuran
makin sengit. Korban-korban di kedua belah
pihak sudah puluhan orang yang tewas, yang
luka-luka lebih banyak lagi. Penduduk sipil Sanhai-koan gemetar ketakutan bersembunyi di
rumah masing-masing, berkomat-kamit membaca doa, berharap keributan lekas selesai.
Penduduk sudah acuh tak acuh, tidak peduli
bendera apa yang bakal berkibar di atas kota
San-hai-koan, asal perang dan permusuhan
cepat selesai. Penduduk sipil San-hai-koan
sudah merasakan betapa pahitnya permusuhan
yang tidak berkesudahan itu, bagaimana bahan
makanan yang tinggal sedikit pun dirampas
untuk persediaan tentara, bagaimana jantung
mereka setiap kali serasa diperas-peras
mendengar dentum meriam, suara denting
senjata, dan sorak orang berperang.
Ong Ling-po yang merasa dipacu untuk
segera merampungkan tugasnya, mengerahkan
segenap ketangkasannya untuk segera Kembang Jelita 2 / VII 32 membereskan Miao Hu, lawannya. Lawannya
itu bertenaga besar, Ong Ling-po tahu itu, maka
Ong Ling-po justru memanfaatkan keunggulan
dirinya, yaitu kecepatan, untuk menekan
lawannya. Ia kerahkan seluruh kecepatannya, ia
boyong keluar gerak-gerak tipu yang
diharapkan bisa membingungkan lawannya.
Dari keunggulan kecepatan Ong Ling-po itu
memang segera menunjukkan hasilnya. Miao
Hu mulai terdesak, bahkan kulit di pahanya
sudah terkoyak berdarah oleh kaitan lawannya,
dan langkahnya mulai terpincang-pincang.
Sementara Ong Ling-po terus melabraknya
bertubi-tubi, berlompatan mengitari lawannya,
membuat lawannya semakin kebingungan
harus menghadap ke mana. Dan meski pengawal-pengawal San-haikoan terus kedatangan bantuan,tetapi prajuritprajurit Pelangi Kuning terus mendesak dengan
garang dan gigih, makin berhasil mendekat ke
pintu gerbang. Prajurit-prajurit San-hai-koan sendiri juga
tidak bisa seluruhnya datang ke pintu gerbang.
Kembang Jelita 2 / VII 33 Sebagian besar tetap berjaga-jaga di atas
tembok kota untuk mewaspadai keadaan di luar
kota, biarpun tidak kelihatan apa-apa, juga
harus menjaga pintu-pintu gerbang yang lain


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena khawatir penyusupan di berbagai
tempat, juga untuk menjaga tempat-tempat
penting di dalam kota, seperti kediaman Bu
Sam-kui, gudang perbekalan dan lain-lain.
Prajurit-prajurit San-hai-koan jadi lebih
sibuk lagi, ketika dari tengah kota tiba-tiba
terlihat api berkobar menjulang tinggi.
Terdengar teriakan, "Gudang bahan makanan
terbakar! Gudang bahan makanan terbakar!"
Prajurit-prajurit pun jadi kalang-kabut.
Bahan makanan adalah "nyawa" mereka yang
terkurung di San-hai-koan itu, bahkan untuk
mendapatkannya saja harus tutup-kuping dan
tutup-hati dari jerit-tangis rakyat kecil yang
dirampas bahan makanannya. Kini tiba-tiba
tempat penyimpanan bahan makanan terbakar,
keruan para prajurit San-hai-koan kebingungan.
Meskipun mereka tahu ada teman-teman
mereka yang berusaha memadamkan api, tetapi
Kembang Jelita 2 / VII 34 prajurit-prajurit yang bertahan di pintu gerbang
itu mau tidak mau terpengaruh semangatnya.
Sementara mereka menyangka bahwa kota Sanhai-koan benar-benar mengalami serbuan dan
penyusupan besar-besaran Prajurit-prajurit itu
tidak tahu, bahwa Ong Ling-po sendiri sebagai
pimpinan para penyerbu, juga tidak tahu dari
mana tiba-tiba ada api di gudang perbekalan itu,
sebab itu diluar rencananya. Sampai Ong Lingpo berpikir, "Malam ini sudah ada dua peristiwa
ganjil. Tahu-tahu saja ada orang berwajah pucat
mengaku-aku sebagai prajuritku, menunjukkan
jalan memasuki San-hai-koan dan setelah itu
menghilang begitu saja tanpa meninggalkan
namanya. Sekarang, entah siapa yang
menyalakan api di gudang perbekalan San-haikoan itu? Apakah ada sekelompok anak
buahnya yang menyimpang dan melakukan hal
itu tanpa perintahnya? Memang menguntungkan pihaknya, membuat prajuritprajurit
San-hai-koan terpecah-pecah perhatiannya, tetapi sesuatu yang berjalan di
Kembang Jelita 2 / VII 35 luar rencana selalu membuat Ong Ling-po
berpikir. Namun yang lebih bingung adalah Miao Hu.
Pikirannya sama dengan prajurit-prajurit Sanhai-koan lainnya, yaitu membayangkan ada
serbuan besar-besaran dari kaum Pelangi
Kuning. Karena pikirannya kacau, konsentrasinya
dalam pertempurannya melawan Ong Ling-po
pun semakin buyar, suatu ketika, senjata Ong
Ling-po bukan hanya menambahi luka-luka di
tubuh Miao Hu, tetapi juga menamatkan riwayat
Miao Hu dengan sebuah sabetan ke perut.
Gugurnya Miao Hu membuat semangat
tempur pengawal-pengawal San-hai-koan merosot, sebaliknya prajurit-prajurit Pelangi
Kuning bertambah semangatnya. Maka dipelopori Ong Ling-po yang mengamuk lebih
hebat tanpa lawan yang setanding lagi.
Beberapa saat kemudian, prajurit-prajurit
Pelangi Kuning pun berhasil menghalau sisasisa pengawal pintu gerbang San-hai-koan dan
merebut pintu gerbangnya.
Kembang Jelita 2 / VII 36 Suatu ketika, senjata Ong Ling-po bukan hanya
menambahi luka-luka di tubuh Miao Hu, tetapi juga
menamatkan riwayat Miao Hu dengan sebuah
sabetan ke perut. Kembang Jelita 2 / VII 37 Tetapi tidak berarti pertempuran selesai,
meski pengawal-pengawal San-hai-koan sudah
terdorong minggir dari pintu gerbang, mereka
tetap berusaha merebutnya kembali biarpun
tanpa pimpinan karena Miao Hu sudah mati.
Seorang perwira mengambil alih pimpinan dan
tidak membiarkan prajurit-prajuritnva bertempur tak terarah. Mereka berusaha
merebut kembali pintu gerbang.
Belasan prajurit Pelangi Kuning berhasil
mengangkat palang pintu-pintu gerbang yang
berat itu, dan menyingkirkannya, sementara
mereka dilindungi teman-teman mereka.
Kemudian dengan suara berkeriut-keriut hebat,
pintu gerbang itu berhasil didorong sehingga
terbuka dengan diiringi sorak gemuruh para
prajurit Pelangi Kuning. Sementara prajurit-prajurit San-hai-koan
semakin ciut nyalinya melihat pintu gerbang itu
sudah menganga lebar, mereka sudah
membayangkan pasukan musuh akan membanjir masuk tak terbendung lagi seperti
Kembang Jelita 2 / VII 38 air bah, dan San-hai-koan akan jatuh dalam
waktu singkat. Pada saat prajurit-prajurit San-hai-koan
hampir putus-asa itulah Bu Sam-kui muncul,
menunggangi kuda, diikuti beberapa perwiranya yang juga menunggang kuda, diikuti
lagi ratusan prajurit yang agak ketinggalan di
belakangnya karena tidak berkuda.
Menerjangkan kudanya ke tengah-tengah
para prajurit-prajurit Pelang. Kuning sambil
menebas-nebaskan pedangnya dengan sengit,
teriaknya gusar, "Bandit-bandit Pelangi Kuning!
Aku ucapkan selamat datang di San-hai-koan
sekaligus selamat jalan ke neraka!"
Kedatangan Bu Sam-kui membuat orangorangnya jadi bersemangat kembali. Apalagi
setelah perwira-perwira Bu Sam-kui ikut
mengamuk pula, diikuti prajurit-prajurit yang
baru datang. Tetapi saat itu pintu gerbang kota sudah
terbuka lebar. Seorang prajurit Pelangi Kuning
segera mencabut sebatang obor yang ada di
pintu gerbang, lalu menghadap ke kegelapan di
Kembang Jelita 2 / VII 39 luar pintu gerbang sambil mengayun-ayunkan
obor itu sebagai isyarat yang sudah ditetapkan
untuk pasukan-pasukan yang di luar kota.
Prajurit-prajurit San-hai-koan menjadi
panik, Bu Sam-kui berteriak di atas kudanya,
"Cegah dia!" Ong Ling-po dengan berani menghadang di
depan Bu Sam-kui meskipun ia tidak
menunggang kuda. Satu kaitannya menangkis
sabetan pedang Bu Sam-kui, kaitan lainnya
bukan menyerang Bu Sam-kuinya melainkan
menyerang kudanya. Kuda itu tergores lehernya sehingga
melonjak-lonjak kesakitan, Bu Sam-kui terpaksa
harus melompat turun sebelum dicelakakan
oleh tunggangannya sendiri. Bu Sam-kui segera
bertempur sengit dengan Ong Ling-po.
Sambil bertempur, Bu Sam-kui masih
sempat berseru kepada anak buahnya, "Cegah
pemberi isyarat itu! Panggil pasukan-pasukan
lain untuk memperkuat pertahanan di sini!"
Rupanya Bu Sam-kui benar-benar mencemaskan pasukan musuh yang jauh lebih
Kembang Jelita 2 / VII 40 besar itu akan menyerbu seperti air bah,
menenggelamkan pasukannya.
Sementara Ong Ling-po mengejeknya,
"Terlambat, Bu Sam-kui. Lebih baik menyerah
saja daripada mengorbankan banyak orangorangmu. Percuma mempertahankan wilayah
dinasti Beng yang tinggal secuwil ini, tinggal
San-hai-koan dan sekitarnya.."
Bu Sam-kui tidak menjawab, tetapi semakin
sengit menikam-nikamkan pedangnya.
Pertempuran di pintu gerbang yang sudah
terbuka itu memang menjadi mati-matian dan
sangat berdarah. Yang bertemu di tempat itu
seolah sudah bukan seperti dua kelompok
manusia, tetapi dua kelompok serigala yang
buas. Prajurit dari kedua belah pihak berlombalomba memamerkan kekejaman hewani mereka
dengan maksud merontokkan semangat musuh.
Namun di kedua pihak yang terjadi adalah
sebaliknya. Masing-masing bukannya gentar
melihat teman-teman mereka dicincang,
malahan semakin buas dan terangsang untuk
Kembang Jelita 2 / VII 41 melakukan hal yang sama, bahkan kalau bisa
lebih hebat. Sementara prajurit-prajurit San-hai-koan
lainnya mulai berbondong-bondong datang ke
pintu gerbang itu, sehingga akhirnya berjumlah
lebih banyak dari orang-orangnya Ong Ling-po.
Sebaliknya pasukan Pelangi Kuning yang
diharap-harapkan segera datang untuk memasuki pintu yang sudah terbuka itu,
ternyata sekian lama belum juga datang. Belum
satu batang hidung pun yang nampak, soraksorainya juga belum kedengaran, padahal itu
bisa diharapkan menghancurkan semangat
musuh dan menaikkan semangat di pihaknya
sendiri. Karena sekian lama menunggu-nunggu
pasukan itu belum muncul juga, Ong Ling-po
menjadi kesal dan memaki teman-temannya
sendiri dalam hati, "Dasar kantong-kantong
nasi. Mungkin mereka tertidur semua, bahkan
yang disuruh mengawasi isyarat dari sini
mungkin juga tidur. Atau mungkin mereka
berjalan kemari tetapi dengan merangkak....."
Kembang Jelita 2 / VII 42 Begitulah kesalnya Ong Ling-po, namun ia
harus tetap gigih menghadapi Bu Sam-kui yang
ternyata lebih tangguh dari Miao Hu yang sudah
dibunuhnya tadi. Dan kepada prajurit-prajuritnya ia tetap
berusaha mengobarkan semangatnya, "Tetap
pertahankan pintu gerbang! Sebentar lagi
teman-teman kita akan datang untuk
mengambil kota ini!"
Orang-orangnya jadi bersemangat dan
bertahan dengan gigih, namun yang datang
membanjir ke tempat itu bukannya temanteman mereka malahan prajurit-prajurit Sanhai-koan. Si pemberi isyarat sampai pegal
lengannya mengayun-ayunkan obor di depan
pintu gerbang, tanpa tanggapan apa-apa dari
teman-temannya di kejauhan. Dan seorang
prajurit San-hai-koan "berbaik hati" menghilangkan pegal prajurit Pelangi Kuning
pemberi isyarat itu dengan menjatuhkan
sebuah batu dari atas tembok tepat ke kepala si
pemberi isyarat. Kembang Jelita 2 / VII 43 Ong Ling-po dan orang-orangnya berusaha
bertahan gigih, masih dengan harapan temantemannya akan datang biar terlambat. Ternyata
setelah sekian lama, tetap saja tidak ada yang
muncul, sementara Ong Ling-po dan orangorangnya mau tidak mau terus terdorong
mundur ke sebelah luar pintu gerbang.
Begitulah, perjuangan Ong Ling-po dan
penyusup-penyusup itu jadi sia-sia. Pengorbanan mereka dengan merangkakrangkak dalam air yang dingin bahkan tidak
sedikit yang sampai terkencing-kencing, lalu


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekian jam perjuangan memeras tenaga sampai
bisa membuka pintu gerbang, akhirnya hanya
begitu saja. Mereka didorong kembali ke luar.
Sudah begitu, ketika mereka keluar pintu
gerbang, prajurit-prajurit San-hai-koan yang di
atas tembok menghujankan panah, lembing dan
batu-batu, menambah jumlah korban di
pasukannya Ong Ling-po. Maka ketika akhirnya
Ong Ling-po dan orang-orangnya terbirit-birit
menghilang ke dalam kegelapan malam di luar
kota San-hai-koan, pasukannya itu tinggal
Kembang Jelita 2 / VII 44 separuh. Berangkatnya seribu orang, kembalinya cuma lima ratus.
Dari tempat yang cukup aman dari
jangkauan panah, Ong Ling-po dengan sangat
masygul melihat prajurit-prajurit San-hai-koan
menutup kembali pintu gerbang yang tadinya
sudah terbuka itu. Di balik pintu yang sudah dipalang kembali
itu, Bu Sam-kui mengusap keningnya dan
berkata, "Sungguh berbahaya, hampir saja
mereka merebut kota ini. Perketat kewaspadaan, dan cari dari mana mereka
menyelundup masuk.........."
Dalam kegelapan malam, jauh dari San-haikoan, Ong Ling-po melampiaskan kekesalannya
dengan menghentak-hentakkan kaki dan
memaki-maki teman-temannya sendiri yang
berjanji akan menyerbu pintu San-hai-koan
begitu terbuka, tetapi nyatanya tidak sehingga
jerih-payahnya dan prajuritnya tak ada
hasilnya. Prajurit-prajuritnya hanya memandangi
saja ulah komandannya itu. Sampai Ong Ling-po
Kembang Jelita 2 / VII 45 tiba-tiba menoleh kepada mereka dan berkata,
"He, kenapa kalian diam saja? Kalian ingin otak
kalian jadi miring karena kekecewaan yang
menumpuk di kepala kalian dan tak
terlampiaskan? Ayo, kalian boleh berteriak,
menangis, bahkan kalau mau memaki-maki
para jenderal atasan kalian juga boleh, memaki
aku juga boleh! Di sini tidak ada disiplin militer,
kita hanya sekelompok orang-orang yang
dikecewakan!" Prajurit-prajuritnya saling menoleh dengan
kebingungan, seolah tidak percaya Ong Ling-po
mengucapkan itu. Biasanya Ong Ling-po adalah
seorang yang menerapkan disiplin yang baik.
"He, apakah kalian mendadak jadi bisu
semua? Ayo, keluarkan suara, kalian boleh
memaki siapa saja dan aku tidak akan
melaporkannya! Memaki aku juga boleh,
memaki ketololanku, kegoblokanku, sehingga
banyak dari kalian terbunuh secara sia-sia...."
"Tidak!" seorang prajurit dari pangkat vang
paling rendah, tiba-tiba saja meletupkan gejolak
jiwanya. "Hu-ciang tidak bersalah! Dengan
Kembang Jelita 2 / VII 46 mataku sendiri aku melihat Hu-ciang mundur
paling akhir untuk melindungi gerak mundur
kami! Hu-ciang tidak bersalah, Hu-ciang
mendapat luka-luka karena berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin dari
kami......" Ong Ling-po menyeringai kecut, desisnya,
"Dalam kegoblokanku, masih ada juga yang
memuji aku. Yang mau omong lagi siapa?"
? "Lau Cong-bin babi...." seorang prajurit tibatiba nekad mengucapkannya, meskipun dengan
takut-takut. Dan ketika merasa semakin berani,
ia berteriak lebih keras, "Lau Cong-bin babi
busuk! Babi kebiri."
Padahal Lau Cong-bin adalah Panglima
Tertinggi. Ucapan prajurit rendahan itu seolah
mengawali ledakan perasaan prajurit-prajurit
itu. Mulailah mereka memaki-maki, makin lama
makin berani, ada juga yang melampiaskan
kesalnya dengan menangis sambil tertelungkup
di rerumputan sambil memukul-mukul tanah,
atau berpelukan dengan teman-temannya, atau
Kembang Jelita 2 / VII 47 menggunakan pedang untuk membacoki tanah
dan pepohonan. Begitulah, tempat itu menjadi riuh-rendah
dengan suara orang mencaci-maki, menangis,
berteriak-teriak. Ong Ling-po membiarkannya saja, sampai
semuanya akhirnya reda sendiri. Ia sendiri pun
merasa sangat lega setelah melampiaskan
kejengkelannya. Kemudian ia membawa pasukannya
berbaris kembali menuju perkemahannya.
Tetapi sebelum sampai ke perkemahan,
tiba-tiba dari belakang segerumbul semak
belukar terdengar seorang merintih perlahan.
Ong Ling-po mendengarnya, lalu menghentikan
langkahnya. Dengan sebuah isyarat, ia
memerintahkan prajurit-prajuritnya yang membawa obor agar mengangkat obornya lebih
tinggi supaya lebih menerangi keadaan di
tempat itu. Ong Ling-po sendiri mendekati
semak belukar itu sambil membentak, "Siapa di
situ? Keluar!" Kembang Jelita 2 / VII 48 Sesosok tubuh melangkah keluar dari balik
semak-semak itu, melangkah tertatih-tatih
sambil memijit-mijit tengkuknya sendiri seperti
sangat kesakitan, orang itu hanya memakai
pakaian dalam di malam yang dingin itu.
Semula Ong Ling-po tidak lagi menggubris,
karena disangkanya orang itu mungkin orang
desa sekitar San-hai-koan yang sedang bermain
cinta di semak-semak itu dengan pasangannya,
tetapi mungkin ketahuan orang dan dihantam
tengkuknya dan perempuannya dibawa ke
tempat lain. Kejadian seperti itu biasa saja.
Ong Ling-po sudah bermaksud meninggalkannya begitu saja, kalau tidak
seorang perwiranya tiba-tiba berkata dengan
kaget, "Hei, bukankah ini Si A-lok?"
Ong Ling-po menoleh ke arah perwiranya
yang bersuara tadi dan bertanya, "A-lok siapa?"
Sahut perwira bawahanpya itu; "A-lok juga
seorang rekan kami, perwira yang berpangkat
sama dengan aku dan satu pasukan denganku,
tadi juga ikut berangkat untuk menyusup ke
San-hai-koan..." Kembang Jelita 2 / VII 49 Ong Ling-po tercengang, "Kalau ikut
berangkat, kenapa sekarang malahan ada di
balik semak-semak itu, dan ke mana pakaian
seragamnya?" A-lok si perwira yang baru keluar dari balik
semak-semak hanya dengan pakaian dalam itu,
cepat-cepat berlutut di depan Ong Ling-po
untuk melaporkan, "Lapor, Komandan, aku
sampai seperti ini bukan karena mengabaikan
disiplin, melainkan karena mengalami sesuatu.."
"Sesuatu apa? Ceritakan!"
"Tadi ketika aku bersama pasukan
berangkat ke San-hai-koan, aku mendapat
tempat di barisan belakang. Tiba-tiba aku
merasa ingin kencing, lalu diam-diam aku
keluar dari barisan dan menghampiri semaksemak di pinggir jalan untuk kencing. Belum
sempat kencing, tahu-tahu dari semak-semak
melompat keluar seseorang yang langsung
memukul aku sehingga pingsan. Aku tidak tahu
apa yang terjadi selama pingsan, hanya begitu
sadar aku Sudah seperti ini Seragamku lenyap
entah kemana..." Kembang Jelita 2 / VII 50 Meskipun tidak diceritakan, Ong Ling-po
dan lain-lainnya bisa menerka dengan mudah
apa yang terjadi selama Si A-lok ini pingsan.
Penyergap itu melucuti pakaian seragam A-lok,
dan buat apa lagi kalau bukan digunakan
menyamar ke tengah-tengah pasukan Ong Lingpo?
Tak sengaja Ong Ling-po menoleh ke arah
anak buahnya, seolah-olah ingin menemukan
siapa yang palsu di antara mereka, yang
memakai pakaian seragam kepunyaan A-lok.
Lalu menoleh kembali kepada A-lok, "A-lok,
kau bisa mengenali wajah orang yang
menyerangmu itu? A-lok mengerutkan keningnya, berusaha
mengingat-ingat."Saat itu terjadi begitu cepat,
dan terjadinya di dalam gelap pula, aku tidak
yakin benar apa yang aku lihat. Tetapi sekilas.....
sekilas wajah. orang. itu sepertinya.... begitu
pucat hanya itu, Hu-ciang."
Ong Ling-po langsung teringat kepada
seorang yang tiba-tiba saja muncul dan
menunjukkan jalan untuk menyusup ke dalam
Kembang Jelita 2 / VII 51 San-hai-koan, kemudian setelah tiba di bagian
dalam tembok San-hai-koan, orang itu
menghilang begitu saja. Orang itu mengaku
sebagai "seorang perwira rendahan" saja
bahkan, menyebutkan namanya saja tidak mau.
Kemudian, selama pertempuran di pintu
gerbang tadi, juga terjadi kebakaran gudang
perbekalan makanan di tengah San-Hai-koan,
padahal tidak ada satupun anak buah Ong-lingpo yang melakukannya. Sesuatu yang cukup
aneh, dan tidak mungkin dijawab hanya dengan
"Mungkin penjaga-penjaga gudang sendiri yang
kurang hati-hati sehingga terbit kebakaran itu,"
dan semacamnya. Ong ling-po menganggap
semuanya itu bukan secara kebetulan saja.
Memang yang dilakukan orang berwajah pucat
itu semuanya menguntungkannya.
Menunjukkan cara masuk San-hai-koan,
yang seandainya tidak ditunjukkan kepada Ong
Ling-po dan pasukannya tentu sulit sekali
memasuki San-hai-koan. Huga kebakaran di
gudang perbekalan itu menguntungkan,
membuat prajurit-prajurit San-hai-koan Kembang Jelita 2 / VII 52 kebingungan karena menyangka terjadinya
penyusupan besar-besaran. Tetapi yang
dipikirkan Ong Ling-po bukan soal menguntungkannya saja, tetapi apa maksud
orang itu di balik tindakan-tindakannya?
Maksud baik? Atau maksud-maksud lainnya?
Namun saat itu Ong Ling-po dalam keadaan
lelah lahir-batin, rasa kesal di hatinya juga
belum bersih benar sehingga mempengaruhi
otaknya yang biasanya rajin berpikir. Ia tidak
memikirkannya lagi, meski bukan berarti
melupakannya. Demikianlah ia mengajak orang-orangnya
kembali ke perkemahan. Ketika mereka melewati sebuah lapangan di
balik bukit tidak jauh dari San-hai-koan, tempat
di mana seharusnya pasukan yang menunggu
menyerbu masuk San-hai-koan apabila diberi
isyarat, ternyata di tempat itu tidak kelihatan
seorang pun. Tetapi di rerumputan ada bekasbekas kalau tadinya ada pasukan menunggu di
situ, namun kemudian ditarik kembali ke


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkemahan. Kembang Jelita 2 / VII 53 "Pantas, kita beri isyarat lama tidak ada
tanggapan apa-apa...." gerutu Ong Ling-po.
"Mereka sudah di sini, tapi kemudian kembali
ke perkemahan, entah ada apa..."
"Mungkin karena mengantuk..."
"Kalau hanya mengantuk saja lalu
mempertaruhkan nyawa kita sebanyak ini,
sungguh mereka semua keturunan babi..."
Bermacam dugaan timbul, tetapi setelah
dekat dengan perkemahan, mereka heran
melihat kesibukan di perkemahan itu. Saat itu
sudah larut malam, namun nampak kesiagaan
yang tinggi di sekitar dan di dalam perkemahan
itu. Biasanya juga ada penjagaan, tetapi tidak
seperti ini. Ini berkali lipat.
Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin
menyongsong Ong Ling-po, berkata dengan
sungkan, "Saudara Ong, harap maafkan aku
sebab....." Kata-katanya tak sempat diselesaikannya
sebab Ong Ling-po tiba-tiba saja sudah
menjotos rahangnya sehingga ia jatuh terkapar!
Ong Ling-po berbuat demikiah sebab panglima
Kembang Jelita 2 / VII 54 Kata-katanya tak sempat diselesaikannya sebab Ong
Ling-po tiba-tiba saja sudah menjotos rahangnya
sehingga ia jatuh terkapar!
Kembang Jelita 2 / VII 55 yang menyongsongnya ini adalah yang
ditugaskan menyerbu ke-pintu San-hai-koan
kalau sudah diberi isyarat.
Perwira itu cepat melompat bangun, dengan
gusar mencabut pedangnya sambil berteriak
"Kurang ajar Hendak diberi penjelasan! baikbaik kok malah main jotos seenaknya; saja
" Ong Ling-po juga segera menyiapkan
sepasahg kaitannya sambil menyahut, "Tidak
perlu kau jelaskan kepadaku. Jelaskan saja
kepada arwah prajurit-prajuritku yang malam
ini gugur secara penasaran dan sia-sia di Sanhai-koan!"
Kedua orang sesama panglima bawahan
Jenderal Lau itu hampir saja saling gebrak
dengan Senjata, kalau tidak muncul beberapa
panglima lain yang melerai mereka. Di
antaranya adalah Deng Hu-koan yang paling
disegani oleh panglima-panglima lain, karena
dia adalah orang yang kedudukannya paling
dekat dengan Jenderal Lau.
Kepada Ong Ling-po, Deng Hu-koan
menjelaskan, "Saudara Ong, di antara rekanKembang Jelita 2 / VII
56 rekanmu di perkemahan ini tidak ada satu pun
yang bermaksud menjerumuskan kau ke dalam
bencana. Memang seharusnya semua berjalan
menurut rencana, begitu melihat isyarat di
pintu gerbang San-hai-koan, Saudara Phui ini
akan langsung menyerbu dengan pasukannya.
Tetapi ada perkembangan lain yang membuat
rencana tidak berjalan seperti semula. Tidak
lama setelah kau dan pasukanmu pergi,
perkemahan kita diserbu dari arah pegunungan.
Mungkin sisa-sisa pasukan dinasti Beng yang
menjadi kawan-kawan Bu Sam-kui. Mereka
menyerbu dan membakar, kemudian menghilang kembali ke pegunungan dengan
gerak cepat. Waktu itu Jenderal Lau
mencemaskan keselamatan dirinya, sehingga
menyuruh seluruh pasukan menghalau penyerbu itu. Termasuk pasukan Saudara Phui
yang disiapkan untuk merebut pintu gerbang
itu juga harus ditarik ke belakang....."
"Kenapa aku tidak diberi tahu, sehingga
penyerbuanku ke dalam kota San-hai-koan
menjadi suatu tindakan yang percuma dan
Kembang Jelita 2 / VII 57 bodoh?" tanya Ong Ling-po penasaran. "Bahkan
separuh dari pasukanku mampus sia-sia di
dalam kota San-hai-koan. Pengorbanan mereka
sepertinya begitu sia-sia!"
"Kami menyesalkan itu, Saudara Ong. Tetapi
kami juga sudah menyuruh seorang untuk
menyusul pasukanmu dan membatalkan
rencana penyusupan itu. Sayang, sudah tidak
tersusul." Sudah dijelaskan seperti itu, Ong Ling-po
merasa tidak pantas juga kalau terus menerus
menyalahkan. Akhirnya ia cuma bisa menarik
napas sambil berkata penuh sesal, "Kalau
memang begitu kejadiannya, ya sudahlah.
Memang prajurit-prajuritku yang gugur malam
ini rupanya sudah ditakdirkan menjadi arwaharwah penasaran. Suatu saat harus kuadakan
upacara sembahyang khusus untuk menenangkan roh mereka..."
"Bagus kalau kau bisa memahami, Saudara
Ong." "Besarkah kerugian yang disebabkan oleh
penyerbuan itu?" Ong Ling-po kemudian
Kembang Jelita 2 / VII 58 bertanya, pura-pura memberi perhatian,
sekedar untuk mengalihkan ke-masygulannya
yang tidak akan mudah dihapus hanya dengan
penjelasan. Deng Hu-koan mengertakkan gigi, "Penyergap-penyergap itu betul-betul pengecut.
Mereka menyerbu selagi kita tidur, dan yang
mereka serang juga bukan perkemahan prajurit
tempur, melainkan garis belakang, tempat
perbekalan makanan kita disimpan. Sebagian
besar perbekalan makanan kita musnah! Benarbenar sisa-sisa dinasti Beng itu berkelahi
seperti perempuan!" Waktu itu, angin malam yang bertiup
memang sayup-sayup membawa bau barangbarang terbakar.
Mendengar, penjelasan tentang terbakarnya
perbekalan, Ong Ling-po tiba-tiba teringat
bahwa perbekalan pasukan di San-hai-koan pun
telah dibakar seorang yang misterius. Tiba-tiba
pula Ong Ling-po tertawa geli dan berkata, "Hehe-he, di luar kota San-hai-koan ini bakal
berhadapan dua pasukan yang sama-sama
Kembang Jelita 2 / VII 59 kelaparan, sama-sama bertempur dengan perut
kosong..." "Apa yang terjadi di San-hai-koan?"
Secara ringkas Ong Ling-po menceritakan
pengalamannya. Ia ceritakan apa adanya, bahwa
orang yang membakar gudang perbekalan
pasukan itu tidak dikenalnya. Sedikit berbeda
dengan perwira-perwira bawahan Lau Cong-bin
yang biasanya suka menjilat dan suka mengakui
jasa orang lain sebagai jasanya sendiri, Ong
Ling-po membeberkan apa adanya. Meskipun
seandainya ia mengakui pembakaran gudang
perbekalan itu sebagai "hasil karya"nya juga
takkan ada yang bisa membuktikan sebaliknya.
Deng Hu-koan tertawa dingin, "Bagus.
Tetapi posisi kita lebih menguntungkan.
Biarpun bahan makanan kita habis, kita bisa
mendapat kiriman. Besok pagi-pagi juga akan
kukirim kurir ke Pak-khia untuk minta kiriman
perbekalan baru. Sedangkan Bu Sam-kui yang
terkurung di San-hai-koan takkan bisa ke manamana, ia hanya menunggu mati kelaparan
bersama prajurit-prajuritnya......"
Kembang Jelita 2 / VII 60 Ong Ling-po cuma menarik napas,
kemudian berkata, "Maaf, Kakak Deng. Aku
lelah. Prajurit-prajuritku juga banyak yang
terluka dan harus diobati."
"O, baik-baik. Istirahatlah."
* ** Keesokan harinya, Jenderal Lau mengumpulkan perwira-perwiranya, dan sebagaimana sudah diduga oleh perwiraperwira itu, mereka berkumpul hanya untuk
didamprat dan dicaci-maki.
Tidak seorang pun diberi kesempatan
mengemukakan pendapatnya, semuanya hanya
harus memberi kuping kepada caci-maki-nya
yang menghambur. Di dalam deretan para perwira, diam-diam
Ong Ling-po membatin, "Kalau Panglima
Tertinggi bisanya cuma marah-marah tetapi
tidak menemukan jalan keluar dari masalahnya,
entah bagaimana jadinya masa depan negeri ini.
Sungguh mengherankan bahwa orang macam
Kembang Jelita 2 / VII 61 inilah yang dulu berhasil memasuki Pak-khia
untuk pertama kali, bukan orang seperti
Jenderal Li..." Ong Ling-po jadi teringat Li Giam yang
diam-diam dikaguminya. Sayang, dalam
susunan ketentaraan, ia justru ditaruh di bawah
Jenderal Lau yang kerjanya cuma main cewek
ini. Sementara itu, selesai mendamprat semua
orang, Jenderal Lau begitu terengah-engah,
sehingga seorang gadis cantik pengawalnya
buru-buru menyuguhkan secangkir minuman
segar. Seorang pengawal jelita lainnya menyeka
dahi Sang Jenderal dengan handuk yang lembut.
Kemudian keluarlah perintah Jenderal Lau,
"Hari ini, kerahkan seluruh kekuatan untuk
menggempur San-hai-koan!"
Tak sengaja seorang perwiranya menyeletuk, "Seluruh?"
"Ya! Seluruh kekuatan! Apa maksudmu
dengan pertanyaan tadi?"
"Maaf, Jenderal, kalau seluruh kekuatan
maju ke garis depan, siapa yang akan
Kembang Jelita 2 / VII 62 melindungi Jenderal di perkemahan ini,
seandainya saja pengacau-pengacau dari
pegunungan itu datang kembali?'
Jenderal Lau tercengang, lalu garuk-garuk
kepala, "O, iya ya?"
"Jenderal, tentu saja kami dukung seruan
Jenderal untuk menggempur San-hai-koan
sekuat tenaga biar Bu Sam-kui tidak sempat
bernapas, kalau perlu kita gempur siang-malam
secara bergantian karena prajurit kita jauh
lebih banyak dari musuh sehingga prajuritprajurit San-hai-koan akan kelelahan. Tetapi
keselamatan Jenderal juga suatu hal yang
penting, kami semua masih
membutuhkan pimpinan dan kebijaksanaan Jenderal yang
sudah kami anggap sebagai ayah dan Guru kami
sendiri...." Demikianlah perwira itu mengusulkan
bercampur menjilat juga, dengan harapan
menyenangkan hati atasannya, syukur-syukur
kalau dipercepat kenaikan pangkatnya.
Memang Jenderal Lau segera menganggukangguk puas, menikmati penjilatan terangKembang Jelita 2 / VII
63 terangan itu. Lalu katanya kepada perwira
penjilat itu, "Baik. Kau dan pasukanmu tetap
berada di sampingku."
Si perwira penjilat dengari berseri-seri
berkata sambil memberi hormat, "Terima kasih,
Jenderal. Sungguh besar kehormatan yang
Jenderal berikan kepadaku, sehingga aku
dipercayai tanggung-jawab akan keselamatan
Jenderal. Alangkah berbahagianya orang seperti
aku yang siap mengabdi..."
Kata-kata penjilatan yang lebih dahsyat
tentu akan berhamburan lebih banyak lagi


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seandainya Ong Ling-po yang mulai jemu itu
tidak cepat-cepat menukasnya, "Jenderal, kalau
melihat jejak yang ditinggalkan oleh pengacaupengacau
dari pegunungan itu, aku perhitungkan jumlah mereka sebenarnya tidak
besar. Hanya karena mereka menyerang di
malam hari dan secara mendadak, mereka
kelihatan banyak dan berhasil menimbulkan
kerugian besar. Kalau Jenderal berkenan,
ijinkanlah aku membawa orang secukupnya
untuk mengejar mereka ke pegunungan. Aku
Kembang Jelita 2 / VII 64 pernah melatih pasukan selama berbulan-bulan
di pegunungan dan tahu bagaimana caranya
hidup di pegunungan. Pengacau-pengacau di
pegunungan itu harus dibasmi lebih dulu, kalau
tidak mereka akan selalu menjadi duri di garis
belakang kita." Jenderal Lau pura-pura berpikir sebentar,
agar jangan sampai dianggap malas berpikir,
lalu tanyanya, "Berapa kira-kira jumlah musuh
yang menyerbu semalam,menurut taksiranmu?"
(Bersambung jilid VIII) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 17/07/2018 14 : 33 PM
Kembang Jelita 2 / VII 65 Kembang Jelita 2 / VIII 1 ( Bagian II ) JILID VIII Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / VIII 2 Kembang Jelita 2 / VIII 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid VIII "S ulit ditaksir secara tepat, tetapi mungkin
tidak lebih dari empat ribu orang."
"Aku ijinkan kau membawa jumlah
prajuritmu, asal jangan banyak-banyak.
Sebagian kekuatan harus digunakan untuk
menggempur San-hai-koan dan melindungi
aku." "Baik. Ijinkan aku membawa lima ribu
prajurit gunungku." "Kapan akan kau selesaikan tugasmu dan
kembali ke perkemahan?"
"Tidak bisa ditentukan waktunya, Jenderal.
Pegunungan itu luas dan banyak sudut-sudut
persembunyiannya, sementara aku tidak tahu di
Kembang Jelita 2 / VIII 2 sebelah mana pengacau-pengacau itu. Mungkin
akan terjadi kucing-kucingan antara pasukanku
dengan mereka, dan aku tidak bisa memastikan
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
selesaikan permainan itu."
Banyak perwira-perwira yang termangumangu mendengar kata-kata Ong Ling-po itu.
Banyak juga yang kurang menyukai Ong Ling-po
diam-diam menganggap bahwa perwira muda
she Ong itu terlalu berambisi dan sedang
menjerumuskan diri sendiri ke dalam kesulitan
besar. Mereka tahu betapa sulitnya "bermain" di
medan yang bergunung-gunung dan penuh
hutan lebat, di mana kedua belah pihak saling
tidak mengetahui posisi masing-masing.
Kekuatan saja tidak cukup, tapi juga
membutuhkan kecerdikan dan ketepatan
perhitungan. Perwira-perwira lain selain Ong
Ling-po lebih suka berada dalam pertempuran
di tempat terbuka yang seganas apa pun, di
mana kawan dan lawan bisa saling melihat
secara terang-benderang, daripada mengendap-
Kembang Jelita 2 / VIII 3 endap dalam kegelapan hutan-hutan di
pegunungan. Perwira yang semalam dijotos oleh Ong
Ling-po mengejek dalam hati, "Hem, bocah
ingusan she Ong, kau ini mau cari muka tetapi
akan mendapat kesulitan besar. Mudahmudahan demikian, biar puas sakit hatiku, dan
aku akan lebih puas lagi kalau kau dicaplok
macan di tengah hutan..."
Tetapi karena Lau Cong-bin tidak mau
bersusah-payah memikir lagi, ia segera terima
semua usul-usul itu. Dan memerintahkannya
untuk segera dilaksanakan.
Maka sebagian besar pasukan meninggalkan
perkemahan, dan kembali menggempur Sanhai-koan seperti sehari sebelumnya. Sedangkan
Ong Ling-po dan pasukan-gunungnya kembali
melaksanakan tugas yang oleh rekan-rekannya
sendiri dianggap tugas penuh resiko dan
dihindari. Sementara itu, jauh di antara lipatan-lipatan
pegunungan yang tertutup hutan lebat, Kongsun
Koan dan pasukannya sedang beristirahat,
Kembang Jelita 2 / VIII 4 kecuali mereka yang bertugas untuk berjagajaga. Mereka adalah sebagian dari pasukan Sanhai-koan yang oleh Bu Sam-kui sengaja disuruh
keluar dari San-hai-koan untuk mengacaukan
garis belakang pasukan Pelangi Kuning. Dan
semalam mereka berhasil mengejutkan Lau
Cong-bin dengan serbuan mendadak mereka,
selagi pihak Pelangi Kuning tidak menduga akan
adanya serangan itu. Bahkan mereka berhasil
memusnahkan sebagian besar dari perbekalan
kaum Pelangi Kuning. Serangan yang berhasil
gemilang, sebab pihak Kongsun Koan hanya
beberapa prajurit luka-luka, dan setelah
serangan kilat itu mereka menghilang dengan
cepat. Siang itu, sayup-sayup di kejauhan
terdengar suara dentuman meriam tak putusputusnya, Kongsun Koan tahu bahwa San-haikoan tentu sedang digempur seperti kemarin.
Kemarin malam Kongsun Koan lega setelah
mendengar laporan mata-matanya, bahwa
kemarin San-hai-koan belum berhasil direbut
oleh kaum Pelangi Kuning, namun gempuran
Kembang Jelita 2 / VIII 5 hari ini kedengarannya lebih dahsyat. Suara
meriam tak ada putus-putusnya.
Kongsun Koan merasa tegang juga,
membayangkan jangan-jangan San-hai-koan
akan jatuh hari ini? Tetapi ia tidak ingin
perasaannya itu diketahui oleh prajuritprajuritnya, ia berpura-pura tetap tenang.
Prajurit-prajnritnya yang bergeletakan
beristirahat di sekitarnya, hanya melihat
komandan itu berbaring di bawah pohon,
menatap langit biru, berbantal lengannya,
menggigit-gigit sehelai rumput di antara gigigiginya. Kelihatannya santai sekali, para prajurit
tidak melihat kegelisahan hati perwira muda itu
memikirkan San-hai-koan. "Jangan terlalu menggubris suara meriammeriam itu. Percayalah teman-teman kita di
San-hai-koan akan bias bertahan dengan baik
seperti kemarin......"
demikian Kongsun Koan membesarkan hati
prajurit-prajuritnya. "Apalagi semalam telah
kita musnahkan bahan perbekalan musuh.
Kembang Jelita 2 / VIII 6 Mereka takkan dapat bertahan lama tanpa
makanan." Seorang perwira lain yang berada di
dekatnya, bertanya, "Komandan, apakah nanti
malam kita akan menyerang lagi?"
"Tergantung laporan mata-mata kita sore
ini. Tetapi dugaanku, malam ini tentu pihak
musuh lebih berjaga-jaga setelah serangan kita
semalam. Mereka tentu tidak mau kecolongan
untuk kedua kalinya."
"Kalau begitu, apakah peluang kita untuk
mengulangi serangan itu sudah tertutup?"
"Tentu saja tidak. Asal kita mau pakai otak
sedikit. Kita masih bisa meracuni sungai yang
menjadi sumber keperluan minum mereka,
menghancurkan jembatan-jembatan yang menghubungkan dengan Pak-khia, dan seribu
satu akal lainnya. Dengan jumlah kita yang
sedikit, kita bisa membuat kesan bisa muncul di
mana-mana, sehingga merekalah yang merasa
terkepung, bukan teman-teman kita di San-haikoan. Ini akan membuat Lau Cong-bin
bercermin akan kegoblokannya...."
Kembang Jelita 2 / VIII 7 Perwira bawahannya mengangguk-angguk.
"Tetapi Lau Cong-bin inilah yang dulu
menggempur Pak-khia dan berhasil memasuki
Kotaraja Pak-khia pertama kali. Bukan Li Giam
atau Gu Kim-sing." "Tentu saja aku tidak bermaksud
meremehkannya, tetapi juga jangan silau
dengan keberuntungannya itu. Aku menamakannya keberuntungan, bukan keberhasilan, ketika ia memasuki Pak-khia
mendahului Li Giam dan Gu Kim-sing. Untung
buat dia sebab saat itu seluruh pasukan
Kerajaan Beng kita sedang terpusat menghadapi
Li Giam yang menggempur hebat dari selatan
dan Gu Kim-sing dari arah lainnya lagi. Nah, saat
itulah Lau Cong-bin menyelonong dan merebut
pintu gerbang Soan-bu-mui yang kurang
terjaga. Itu hanya suatu keberuntungan, dan
suatu keberuntungan tidak bisa diulangi terusmenerus."
"Kalau dia menyerbu ke pegunungan ini?"
"Itu lebih bagus. Mereka akan melewati
tempat-tempat yang sudah kita pasangi
Kembang Jelita 2 / VIII 8 perangkap, dan jumlah mereka akan berkurang
banyak. Kalau toh setelah melewati perangkapperangkap itu mereka belum juga kapok dan
tetap melanjutkan langkah, kalau tidak tersesat
di pegunungan yang tidak mereka kenali,
mereka akan kita ajak main kucing-kucingan
sampai mereka habis sendiri..."
Kata-kata Kongsun Koan itu kedengarannya
membesarkan hati, dan perwira yang diajaknya
bicara itu pun mengangguk-anggukkan kepala,
dalam hatinya berharap mudah-mudahan
perhitungan komandannya itu berjalan dengan
mulus. Ketika itulah seorang prajurit berlari-lari
mendekat. Orang-orang yang ada di sekitar
Kongsun Koan sudah tegang hatinya, menduga
prajurit itu tentu akan melaporkan tentang
serangan musuh. Ternyata setelah tiba di depan Kongsun
Koan, yang dilaporkan prajurit itu sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan musuh,
"Komandan, di sebelah utara dari tempat ini,
kami menemukan sebuah gua..."
Kembang Jelita 2 / VIII 9 Kongsun Koan masih bersikap meremehkan
laporan itu, "Kau ini bikin kaget orang saja. Di
pegunungan ya lumrah kalau ada gua, kenapa
harus diributkan?" "Komandan, gua itu sempit di luarnya,
tetapi dalamnya ternyata luas. Dan ada tandatanda bekas didiami manusia dalam jumlah
besar..." Keterangan susulan itu sedikit menggerakkan hati Kongsun Koan. Ia berpikir
daripada duduk terkantuk-kantuk di bawah
pohon tanpa pekerjaan, apa salahnya melihatJihat gua yang dilaporkan anak buahnya itu?
Ia bangkit, katanya kepada prajurit itu,
"Tunjukkan tempatnya kepadaku. Jauh?"


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak terlalu jauh."
"Bagaimana kau menemukannya?"
"Ketika sedang mengejar binatang liar."
Pasukan itu memang baru tiba di tempat itu
dini-hari tadi, setelah malamnya menyerang
perkemahan Jenderal Lau, dan mereka belum
memeriksa teliti tempat itu. Kini laporan
Kembang Jelita 2 / VIII 10 tentang adanya gua besar itu menarik perhatian
Kongsun Koan. Tidak lama kemudian, tibalah mereka di
mulut gua itu. Memang mulut gua itu kecil dan
rendah, sehingga Kongsun Koan harus
menundukkan kepalanya ketika melewatinya.
Namun bagian dalam gua itu ternyata luas dan
langit-langitnya tinggi. "Seribu orang bisa masuk ke sini......."
komentar Kongsun Koan. Prajurit-prajurit yang mengantarnya kemudian berklata, "Dan ada bekas-bekas kalau
tempat ini belum lama didiami orang berjumlah
besar, kemudian ditinggalkan pergi begitu saja."
"Mana tanda-tandanya?"
"Ke sini jalannya, Komandan." Prajurit itu
mengajak Kongsun Koan ke sebuah lorong lain
yang berujung juga di sebuah gua cabang yang
lebih kecil. Ada cahaya matahari yang masuk ke
dalam gua itu melalui lubang kecil di langitlangit gua, dan ada lubang di dinding gua yang
tertutup belukar, dari situ udara pegunungan
yang sejuk terasa berhembus mengusap kulit.
Kembang Jelita 2 / VIII 11 Di lantai gua, nampak lubang besar yang
tadinya rupa-rupanya ditutupi helai-helai
papan, namun papan-papan itu sudah minggir,
agaknya sudah dicongkel oleh prajurit-prajurit
Kongsun Koan sebelum melapor. Di dalam
lubang besar itu bertumpuk-tumpuk alat-alat
memasak yang lazim terdapat di tangsi-tangsi
tentara. Agaknya gua cabang itu berfungsi
sebagai "dapur umum".
Otak Kongsun Koan yang tajam langsung
dihinggapi kecurigaan melihat peralatan itu.
Tadi ia menduga, gerombolan yang pernah
menghuni gua itu tentunya kawanan bandit
pegunungan, meskipun masih agak diragukan
karena selama ini belum pernah terdengar
tentang adanya gerombolan bandit di dekat
San-hai-koan itu. Tetapi perlengkapan makan
itu terlalu rapi untuk gerombolan bandit, juga
keadaan gua yang tetap bersih.
"Kalau bandit-bandit yang dulunya mendiami gua ini, kemudian mereka terbiritbirit lari karena kita datang, rasanya mereka
Pecut Sakti Bajrakirana 4 Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan Canting Cantiq 1
^