Pencarian

Kembang Jelita Peruntuh 5

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 5


Kembang Jelita 2 / VIII 12 takkan meninggalkan tempat serajin ini. Pasti
acak-acakan," gumam Kongsun Koan.
Prajuritnya menoleh mendengar gumam itu,
matanya memancarkan pertanyaan.
Sementara Kongsun Koan terus mendugaduga, "Barang-barang seperti ini lebih cocok
kalau ditinggalkan bukan oleh sekelompok
bandit, tetapi oleh sebuah...." dan kata-kata
Kongsun Koan tiba-tiba terhenti, tidak
melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja dibuat
berkeringat dingin oleh dugaannya sendiri.
"Kenapa, Komandan?" bawahannya bertanya heran. Kongsun Koan menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat untuk
melegakan hatinya, barulah melanjutkan katakatanya yang terputus tadi, "Aku menduga, yang
pernah mendiami gua ini adalah sebuah
pasukan yang terlatih dan tinggi dalam disiplin."
Seorang bawahannya yang lain menyambung, "Dan mereka belum lama pergi
dari sini. Mungkin belum lima hari ini. Pancipanci masak ini sudah kotor oleh tanah tetapi
Kembang Jelita 2 / VIII 13 belum berkarat, menandakan kalau belum lama
ditinggal pergi.." Sambil berkata demikian, orang itu
menggunakan ujung tombaknya untuk mengait
sebuah panci masak. Bawahan Kongsun Koan yang lain bertanya,
"Kalau benar dugaan Komandan bahwa gua ini
pernah ditinggali sebuah pasukan, kira-kira
pasukan dari pihak mana?"
"Yang terang bukan kawan kita, sebab
mereka lari melihat kita. Itu bukan sikap
seorang kawan." "Mungkinkah pasukan gunungnya Lau
Cong-bin?" Kongsun Koan sendiri tidak bisa memastikan, melainkan hanya menduga-duga.
Tetapi sebuah gagasan muncul di kepalanya,
"Kita pakai gua ini sebagai tempat untuk
merawat teman-teman kita yang terluka."
"Jadi kita pindahkan kemari?"
"Ya. Meskipun tidak bisa memuat seluruh
pasukan sekaligus. Diutamakan hanya yang
sedang menderita luka-luka."
Kembang Jelita 2 / VIII 14 Begitulah, pasukan Kongsun Koan pun
berpindah ke gua bekas tempat "pasukan
misterius" itu. Kongsun Koan sendiri belum bisa
memastikan pasukan itu di pihak mana, tetapi
ia mulai memperhitungkan adanya pihak ketiga
yang "ikut bermain kucing-kucingan" di
pegunungan yang luas di dekat Tembok Besar
tersebut. Mungkinkah pihak ketiga itu orangorang dari luar Tembok Besar? Orang-orang
Manchu atau Mongol yang hendak mengail di
air keruh? Pikiran itu melingkar-lingkar tanpa jawaban. Sementara hari semakin sore dan
bagian-bagian pegunungan yang masih kena
sinar matahari hanyalah puncak-puncaknya,
sedang bagian lembah-lembahnya sudah
menjadi gelap dan mulai terasa dingin.
Saat itulah seorang prajurit kembali datang
melapor kepada Kongsun Koan, dan laporannya
kali ini benar-benar bersangkut-paut dengan
urusan perang, "Komandan, ada sebuah
pasukan keluar dari perkemahan Lau Cong-bin
Kembang Jelita 2 / VIII 15 menuju ke mari. Jumlahnya kira-kira lima ribu
orang...." Wajah Kongsun Koan menegang mendengar
jumlah itu. Prajuritnya sendiri hanya tiga ribu
orang, dikurangi yang tewas dan luka-luka
semalam. Tetapi untuk menenteramkan dan membesarkan hati perwira-perwira bawahannya yang ikut mendengar laporan itu,
Kongsun Koan pura-pura tertawa dan berkata,
"Jumlah hampir tak ada pengaruhnya dalam
pertempuran di pegunungan ini, tidak seperti
pertempuran di dataran terbuka. Yang
memegang peranan adalah siapa yang lebih siap
di pegunungan ini, siapa yang lebih mengenal
lekuk-liku pegunungannya, dan di segi itu kita
unggul. Jangan gentar.."
Lalu tanyanya kepada prajurit pelapor itu,
"Sekarang sudah sampai di mana mereka?"
"Mereka sudah memanjat di lereng selatan
yang dekat kelokan sungai kecil itu."
Kongsun Koan tersenyum, "Betul tidak?
Mereka buta sama sekali terhadap pegunungan
Kembang Jelita 2 / VIII 16 ini. Mereka akan berputar-putar lama di lereng
selatan, dan mungkin akan mendekati
perangkap-perangkap kita di situ."
Seorang perwira bawahan Kongsun Koan
berkomentar heran, "Heran, kenapa mereka
tidak mengikuti jejak kaki kita di kaki
pegunungan?" Kongsun Koan, berkata, "Mungkin mereka
menyangka jejak-jejak itu sengaja dibuat untuk
menjebak mereka, lalu mereka menghindarinya
dan mencari jalan sendiri. Hemm, mereka sok
pintar. Tetapi sama saja, mereka sedang
mendekati perangkap-perangkap kita, dan di
perangkap-perangkap itu, jumlah mereka akan
berkurang...." "Apa tindakan kita sekarang, Komandan?"
"Malam ini kita akan memintas jalan lewat
kaki Puncak Cemara, dan besok pagi-pagi kita
akan menghadang mereka di tanjakan dekat
jembatan bambu. Aku yakin, seandainya
pasukan musuh berjalan terus di malam hari
pun, mereka takkan mendahului tiba di tempat
Kembang Jelita 2 / VIII 17 sasaran. Kita akan tiba lebih dulu malam ini dan
langsung memasang barisan pendam."
"Bagaimana kalau musuh ternyata berbelok
ke timur, sehingga kita hanya menghadang
angin?" "Tidak. Dengan melihat arah jejak kaki kita
di kaki pegunungan, mereka pasti dapat
memperkirakan arah menuju tempat kita
berada. Mereka boleh jadi memang agak tolol
karena mereka adalah anak buah si Tolol Besar
Lau Cong-bin, tetapi mereka pastilah tidak tolol
sekali." Begitulah. Habis makan malam, prajuritprajurit itu, mengendap di bawah bayangbayang malam menuju sasarannya. Kongsun
Koan melarang pasukannya membawa obor
terlalu banyak, selain untuk menghemat minyak
yang terbatas jumlahnya, juga jangan sampai
diketahui musuh dari kejauhan.
Kongsun Koan sendiri berjalan paling
depan, lengkap dengan pakaian perangnya,
dengan pedang besarnya tergantung di
pinggangnya. Kembang Jelita 2 / VIII 18 "Seandainya musuh melihat, semoga
mereka menyangkanya sebagai kunangkunang..." desis Kongsun Koan. ".... dan kalau
pun mereka tahu bahwa kita adalah musuh
mereka, mudah-mudahan mereka salah
menghitung jumlah kekuatan atau posisi kita."
"Mereka takkan melihat," sahut seorang
perwira yang kakinya baru saja kejeblos
lobang?karena gelapnya. "Paling-paling mereka
belum jauh dari lereng selatan. Aku merasa
tidak ada salahnya kita menyalakan banyak
obor supaya jangan ada yang kejeblos lagi."
"Kita harus menghemat minyak," sahut
rekannya. "Kita bisa membuat obor-obor dan rantingranting kering yang dinyalakan ujungnya..."
"Komandan khawatir kalau terlalu banyak
obor, akan terlihat oleh.. aduh!"
si pembicara itu tiba-tiba mengaduh karena
kakinya tersandung akar pepohonan yang
menonjol di tanah dan membuatnya jatuh
tertelungkup. Kembang Jelita 2 / VIII 19 Ketika ia bangkit kembali dibantu rekannya,
ia berkata, "Barangkali kau yang betul. Kita
perlu banyak obor.."
Menjelang tengah malam, Kongsun Koan
dan pasukannya sudah tiba di tempat yang
diperkirakan akan dilewati pasukannya
Jenderal Lau besok pagi atau siang. Rencana
penghadangan pun ditetapkan, siapa yang harus
menggelindingkan batu dari lereng, siapa yang
harus merobohkan jembatan kali, siapa yang
harus menghadang di ujung jembatan.
Tempat itu adalah sebuah jalan sempit dan
agak menanjak, dengan tebing tinggi di sebelah
utaranya dan sungai sempit yang dalam serta
berarus deras di sebelah kirinya, dan ada
jembatan kayu yang diperkirakan akan dilewati
musuh. Di tempat macam itu, memang pasukan
yang berjumlah lebih besar tidak terjamin
kemenangannya, tetapi pasukan yang lebih
siaplah yang akan mengambil keuntungan. Dan
Kongsun Koan begitu yakin bahwa pasukannyalah yang lebih siap. Lebih mengenal
Kembang Jelita 2 / VIII 20 tempatnya, dan lebih dulu bersembunyi di
tempat itu. "Sekarang semuanya beristirahat," perintah
Kongsun Koan. "Begitu fajar menyingsing nanti,
tidak perlu lagi aku memerintah-merintah
kalian, tetapi kalian langsung menempati posisi
masing-masing. Mengerti?"
Para komandan bawahan itu pun
mengangguk-angguk. Di pihak lawan, yang dipimpin oleh seorang
perwira bawahan Jenderal Lau yaitu Ong Lingpo, yang semangatnya maupun usianya kirakira sama dengan Kongsun Koan, malam itu
juga sedang beristirahat di pegunungan yang
sama, tetapi tentu saja tidak dapat saling
melihat karena luasnya pegunungan itu. Bahkan
seandainya siang hari pun mereka tidak akan
dapat saling melihat kecuali kalau sudah dekat.
Dan kedua belah pihak sama-sama cerdik untuk
tidak memberi isyarat kepada musuh misalnya
dengan menimbulkan asap di siang hari.
Prajurit-prajurit di kedua pihak sudah samasama terbiasa makan barang-barang mentah
Kembang Jelita 2 / VIII 21 yang tidak dimasak dulu. Dulu di jamannya
kaum Pelangi Kuning masih sebagai pemberontak melawan dinasti Beng, Ong Lingpo ini diandalkan oleh Jenderal Lau Cong-bin
sebagai pasukan penyusup yang sering muncul
di tempat-tempat tak terduga setelah berjalan
semalam-malaman di pegunungan atau bahkan
kadang-kadang menyusuri sungai-sungai yang
dangkal sehingga jejaknya susah dilacak. Itulah
sebabnya dugaan atau anggapan Kongsun Koan
bahwa pasukan Jenderal Lau ini "tidak tahu seluk-beluk pegunungan" adalah keliru.
Malam itu Ong Ling-po dan pasukannya


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah cukup jauh memasuki pegunungan tetapi
belum berpapasan dengan musuh, bahkan
jejaknya pun tidak ada. Tetapi hal itu tidak
membuatnya berkecil hati, ia tahu "permainan
kucing-kucingan" itu akan makan waktu lama,
dan itulah sebabnya di hadapan Jenderal Lau
pun ia tidak menjanjikan kapan waktu
selesainya. Malam itu Ong Ling-po dan pasukannya
beristirahat di sebuah lembah sempit
Kembang Jelita 2 / VIII 22 memanjang di tengah pegunungan. Seperti
Kongsun Koan, Ong Ling-po juga melarang anak
buahnya menyalakan banyak api. Jadi prajuritprajurit itu beristirahat dalam gelap-gelapan
saja. Ketika fajar menyingsing, Ong Ling-po dan
anak buahnya segera membenahi diri dan
bersiap melakukan pengejaran. Lalu pasukan
itu pun kembali merambat di jalan-jalan
pegunungan yang berliku-liku.
"Kita ke arah mana?" tanya seorang perwira
bawahan Ong Ling-po. Jawaban Ong Ling-po ringan saja,
"Kita ikuti saja sungai kecil itu. Kita belum
tahu di mana mereka berada sekarang di antara
lekuk-lekuk pegunungan, tetapi orang-orang itu
pasti tidak jauh dari sungai," begitulah Ong
Ling-po memperhitungkan. "Gerombolan itu
membutuhkan air untuk berbagai keperluan,
dan mereka tidak bisa jauh dari sungai seperti
juga kita...." Begitulah mereka menyusuri sungai,
menikmati udara pegunungan yang masih
Kembang Jelita 2 / VIII 23 dingin berkabut itu, berjalan sepanjang sungai
kecil melingkar-lingkar di pegunungan itu.
Burung-burung berkicau merdu di pepohonan,
tetapi pasukan itu tidak sempat menikmati
keindahan alam, pikiran mereka sedang keruh
oleh kecurigaan. Mereka berjalan dengan
waspada, berjaga-jaga jangan-jangan dari balik
dedaunan lebat itu keluar lembing atau panah
yang mengincar nyawa mereka. Bahkan kicau
burung pun sering-sering mereka curigai
sebagai isyarat dari pihak lawan. Masalahnya,
mereka sendiri dulu juga begitu, ketika masih
sebagai laskar pemberontak Pelangi Kuning
yang hendak menyergap prajurit-prajurit
dinasti Beng di pegunungan, mereka juga
menggunakan isyarat yang mirip kicauan
burung untuk berkomunikasi dengan kawankawan sendiri.
Ong Ling-po melangkah di depan, membawa
sepasang kaitannya yang dipanggul disatukan di
salah satu pundaknya. Ia melangkah dengan
waspada, tetapi lawan belum kelihatan batang
hidungnya. Kembang Jelita 2 / VIII 24 "Entah di mana pengecut-pengcecut itu
bersembunyi......"keluh
seorang perwira bawahannya. "...dan entah sampaikapan kita ada di
pegunungan ini...." "Kalau segera ketemu musuh ya cepat
selesainya, kalau lama ketemunya, ya kita bisa
berbulan-bulan ada di sini...." jawab Ong Lingpo.
Baru habis kata-katanya, mata Ong Ling-po
tiba-tiba menatap air sungai, menatap sesuatu,
lalu tertawa sendiri dan berkata kepada
perwiranya tadi, "Mungkin kita akan cepat
menemukan mereka...."
Perwira bawahannya heran kenapa komandannya tiba-tiba berkata demikian, lalu
ikut memandang ke arah yang dipandang
komandannya dan ikut tertawa. Sebab yang
dilihat oleh sang komandan adalah kotoran
manusia yang terapung-apung "berbaris"
mengikuti arus sungai kecil itu. Perwira itu
mengerti maksudnya, artinya arah tempat
pasukan musuh sudah diketemukan. Pasti ada
Kembang Jelita 2 / VIII 25 prajurit musuh yang pagi itu buang hajat di
sungai, bukan hanya satu dua orang tetapi
pastilah banyak, dan kotoran yang terbawa air
sungai itu membongkar jejak mereka.
Begitulah, perhitungan militer canggihnya
Kongsun Koan kebobolan juga oleh perkara
alamiah yang sepele itu. "Putar balik arah pasukan!" perintah Ong
Ling-po. Perintah dilanjutkan, dan pasukan itu pun
berbalik arah. Kepala barisan jadi ekor dan ekor
jadi kepala. Tadinya pasukan itu berjalan searah
aliran sungai, tetapi karena "petunjuk" tadi
datangnya dari arah hulu, maka untuk
menemukan sumbernya tentu saja arah
perjalanan pasukan harus di balik.
"Hati-hatilah.."
OngLing-po memperingatkan pasukannya.
"Bukan mustahil musuh sudah mengetahui
gerakan kita melalui pengintai-pengintai
mereka. Mungkin mereka akan menyerang
lewat tebing-tebing dengan panah, lembing dan
batu..." Kembang Jelita 2 / VIII 26 Pembawa-pembawa perisai pun bersiapsiap, bukan cuma untuk melindungi diri sendiri
tetapi juga untuk melindungi pemanahpemanah yang akan membalas menyerang. Para
pemanah sudah mencabut masing-masing
sebatang panah mereka dan sudah dipasang di
tali busur. Tiap seorang pemanah berjalan di
belakang seorang pemegang perisai.
Ketika mereka melewati bagian sungai yang
tebingnya agak landai, sebuah ide tiba-tiba
muncul di benak Ong Ling-po. la tiba-tiba
menepuk seorang perwira bawahannya yang
bernama Pun Liok yang berjalan di sebelahnya,
"Pun Liok, masih suka main-main air seperti
dulu?" Pun Liok, perwira pendek gempal yang
bersenjata Kim-kong-kun (gada malaikat Kimkong) itu tercengang, kenapa di tengah-tengah
situasi berbahaya itu komandannya malah
menanyakan sesuatu yang kedengarannya
seperti main-main? "Maksud komandan?"
Kembang Jelita 2 / VIII 27 "Masih ingat ketika kita semalam-malaman
menyusuri sungai, agar jejak kita tidak terlihat
oleh pasukan Beng yang mengejar kita waktu
itu?" Pun Liok tiba-tiba ingat pula peristiwa itu,
lalu tertawa. Katanya, "Mana bisa lupa kejadian
itu? Semalam-malaman kita berjalan di tengah
sungai yang airnya setinggi pinggang, bukan di
pinggirnya, sebab kalau di pinggirnya kata
Komandan akan meninggalkan jejak kaki yang
gampang diikuti musuh. Ya, ya, aku ingat..."
Bicara sampai di sini, Pun Liok tertawa
semakin geli, dan melanjutkan kata-katanya,
"Waktu itu Komandan bahkan melarang
seorang pun untuk berhenti kencing. Siapa yang
tidak tahan untuk tidak kencing, Komandan
suruh untuk kencing saja sambil berjalan, toh
waktu itu air sungainya setinggi pinggang jadi
tidak kentara kalau kencing sambil berjalan.
Dan karena saat itu air sungainya amat dingin,
hampir semuanya kencing beramai-ramai
sehingga air sungai jadi sedikit hangat.."
Kembang Jelita 2 / VIII 28 Ong Ling-po ikut tertawa geli, "Ya, waktu itu
aku pura-pura marah, padahal aku sendiri juga
kencing.." Keduanya tertawa terbahak-bahak, yang
lain-lainnya juga ikut tertawa, terutama yang
dulu ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang
dibicarakan itu. Yang tidak ikut pun tertawa.
"Apa maksud Komandan menanyakan itu?"
tanya Pun Liok setelah ketawanya agak reda.
"Bawa orang-orangmu mencebur ke sungai
dan buat kejutan-kejutan buat musuh. Hati-hati,
mungkin mereka menempatkan orangorangnya di tebing-tebing sungai untuk
menyerangmu." "Baik, Komandan."
Pun Liok segera mengerti. Ia memang agak
berpengalaman soal "bermain-main di air"
sehingga Ong Ling-po pun tidak bertele-tele
memerincikan tugas Pun Liok, cukup dengan
kata-kata "buat kejutan-kejutan buat musuh".
Bersama seribu orang-orangnya, Pun Liok
segera mencebur ke sungai di bagian tebing
yang agak landai itu. Toh tidak terlalu landai,
Kembang Jelita 2 / VIII 29 sehingga para prajurit harus saling membantu
dengan berpegangan tangan ketika menuruninya. Sungai itu tidak dalam, airnya hanya
setinggi perut, tetapi arusnya deras karena
badan sungai menyempit, sehingga Pun Liok
dan pasukannya hanya melangkah dengan agak
berat karena menentang arus. Selain itu, dasar
sungai juga tidak rata, berbatu-batu, sehingga
untuk melangkah harus hati-hati agar
pergelangan kaki tidak terkilir.
Begitulah, Ong Ling-po memecah pasukannya sehingga maju dalam dua jalur.
Sebagian besar maju di darat, sebagian kecil
dipimpin Pun Liok berupaya menyergap dari
air. Ternyata Ong Ling-po tidak berhenti begitu
saja. Seorang lagi dari komandan bawahannya
disuruhnya memisahkan diri bersama seribu
prajurit, untuk mendaki tebing-tebing di
sebelah utara dan maju sejajar dengan pasukanpasukan yang di sungai maupun yang dibawah
tebing. Dengan demikian seluruh pasukan itu
Kembang Jelita 2 / VIII 30 maju dalam tiga jalur, seperti sebatang trisula
dengan tiga ujungnya. Hanya saja trisula ini
agak pleyat-pleyot bentuknya karena masingmasing jalur harus maju menurut alurnya
sendiri di jalan pegunungan yang berliku.
Bahkan sekali waktu "pasukan sungai"nya Pun
Liok tidak terlihat sama sekali karena curamnya
tebing, mereka harus melewati tempat-tempat
semacam geronggang-gerong-gang gelap di
bawah tebing-tebing batu, gelap, meskipun
matahari sedang memancar di langit.
Tidak lama kemudian, jalanan yang dilewati
pasukan tengah Ong Ling-po mulai menanjak,
dan naluri Ong Ling-po yang tajam
memperingatkan bahwa musuh sudah dekat. Ia
memperingatkan prajurit-prajuritnya untuk
berwaspada. Ong Ling-po sendiri tidak lagi
memanggul sepasang kaitannya di pundak,
tetapi sudah dipegangi dengan kedua tangannya
sambil melangkah dengan hati-hati.
Tidak lama kemudian, terdengar sorak
gemuruh dan gemerincing senjata beradu,
tetapi suara itu datangnya dari bawah tebing
Kembang Jelita 2 / VIII 31 sungai. Kiranya yang bentrok paling dulu
dengan musuh malahan Pun Liok dan
rombongannya. Lawan Pun Liok adalah perwira bawahan
Kongsun Koan yang bernama Jin-Se-liang. Jin
Se-liang dan pasukannya bersembunyi di
geronggang-geronggang di bawah tebing
sungai, ia ditugaskan untuk menarik roboh
jembatan itu apabila nanti pasukan Pelangi
Kuning lewat. Tak terduga malah musuh
muncul dari sungai juga. Padahal saat itu


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluhan utas tali yang kuat sudah terikat di
tiang-tiang jembatan dan siap ditarik dari
tempat-tempat tersembunyi.
Jin Se-liang dikejutkan munculnya Pun Liok
dan pasukannya, la meneriaki pasukannya,
"Awas, musuh muncul dari belakang!"
Sementara Pun Liok langsung menyerbu
bersama orang-orangnya. Melihat tali-tali
panjang yang diikatkan di tiang-tiang jembatan
kayu itu, ia bisa menebak apa yang
direncanakan oieh pasukan lawan itu, dan ia
menjadi gusar. Pikirnya, "Untunglah Komandan
Kembang Jelita 2 / VIII 32 Ong tajam nalurinya sehingga memerintahkan
aku maju lewat sungai, sesuatu yang tidak
diduga oleh lawan. Seandainya naluri
Komandan Ong tidak memperingatkan dulu dan
pasukan kami lewat begitu saja di atas jembatan
lalu jembatannya dirobohkan, pasti akan
banyak prajurit kami yang menjadi korban
terjerumus ke sungai yang dalam ini.."
Begitulah, di dalam air yang setinggi
pinggang, kedua pasukan itu bertempur hebat.
Tetapi karena batang sungainya sempit, kedua
pasukan tidak dapat menebar ke samping,
sebab di kedua samping adalah tebing-tebing
yang hampir tegak lurus. Jadi pasukan kedua
belah pihak antri ke belakang, antri untuk
membunuh atau dibunuh. Pun Liok melihat bahwa tiang-tiang
jembatan masih berada di "wilayah" musuh,
artinya kalau pasukan Ong Ling-po lewat,
musuh masih bisa merobohkan jembatan itu.
Maka Pun Liok jadi begitu bernafsu untuk
mendesak maju dan berupaya merebut
"penguasaan" atas tiang-tiang itu.
Kembang Jelita 2 / VIII 33 Namun sempitnya sungai membuat ia tidak
leluasa memanfaatkan kelebihan jumlah
pasukannya untuk menekan musuh, ia tidak
bisa menyuruh pasukannya menebar, sehingga
garis depan pertempuran mau tidak mau ya
lebarnya sungai yang cuma tiga meter tetapi
airnya deras dan dingin itu. Prajurit-prajurit
yang terbunuh langsung saja "diusung pergi"
oleh air sungai yang menjadi merah warnanya.
Pun Liok lalu memberi isyarat agar para
pemanah dan pelempar lembing di barisan
belakang bertindak. Begitulah, panah-panah
dan lembing-lembing pun berhamburan di atas
kepala dan menuju sasaran di garis belakang
musuh juga. Pihak pasukan Jin Se-liang agak kewalahan,
mereka tidak bisa membalas dengan panah dan
lembing, sebab mereka tidak membawanya,
karena tidak menduga akan bertempur di air
sungai. Mereka hanya berbekal tali-tali dan
senjata-senjata biasa. Tetapi mereka masih
punya perisai-perisai untuk coba menangkal
hujan panah dan lembing musuh.
Kembang Jelita 2 / VIII 34 Pun Liok sendiri tidak sekedar gembargembor tetapi maju ke depan dan mulai
mengayun-ayunkan gada Kim-kong-kunnya.
Senjata itu berat, dan pemegangnya juga
bertenaga raksasa, sehingga percuma seandainya prajurit-prajurit Jin Se-liang dapat
menangkisnya dengan tameng. Tangan yang
memegang tameng bisa patah kalau tamengnya
"ditabrak" senjata yang begitu berat dan kuat
ayun-annya. Segera barisan depan orangorangnya Jin Se-liang mundur menghindari mati
konyol oleh Pun Liok. "Ayo, prajurit-prajuritku, maju terus!" teriak
Pun Liok bersemangat, tujuannya tetap
mengamankan tiang-tiang jembatan agar pihak
musuh jangan sempat merobohkannya.
Jin Se-liang tidak membiarkan pasukannya
dirusakkan oleh Pun Liok. Ia segera tampil ke
depan untuk menghadang Pun Liok. Potongan
tubuhnya kebetulan juga berlawanan dengan
Pun Liok. Kalau Pun Liok pendek dan gempal,
Jin Se-liang tinggi dan kurus seperti tiang
Kembang Jelita 2 / VIII 35 jemuran, senjatanya adalah tombak berkaitan
(Kau-jio). Sedari tadi Jin Se-liang hanya berdiri di
tepian, di sebuah tanah sempit di bawah tebing,
agaknya ia seorang yang enggan kena air. Tetapi
setelah melihat amukan Pun Liok memukul
mundur orang-orangnya, dia terpaksa harus
maju ke medan tempur yang tak lain di tengahtengah sungai. Cuma ia tidak mencebur,
melainkan mendekati Pun Liok dengan cara
berlompatan di atas batu-batu yang bertonjolan
di permukaan sungai. Batu-batu itu licin, tetapi
Jin Se-liang melompat-lompatinya dengan
tangkas, tak tergelincir, bahkan dalam
keseimbangan yang tinggi. Gerakannya seringan
seekor capung saja. Pun Liok yang melihat datangnya lawan
istimewa ini tidak berani memandang remeh, ia
segera memusatkan perhatian.
Setelah Jin Se-liang dekat, Pun Liol langsung
menyapu kaki lawan dengan tipu Heng-saujian-kun (Menyapu Seribu Prajurit). Jin Se-liang
melompat lincah, meninggalkan batu yang baru
Kembang Jelita 2 / VIII 36 saja dipijaknya terbelah kena gada Kim-kongkun Pun Liok, tetapi Jin Se-liang tidak sekedar
menghindar tetapi ujung tombaknya sekaligus
mematuk cepat ke leher Pun Liok, sambil
kakinya mencari pijakan lain di sebuah batu.
Karena batunya kecil, perwira ini berdiri
dengan gaya Kin-ke-tok-lip (Ayam Emas Berdiri
Dengan Satu Kaki). Pun Liok menyelamatkan lehernya dengan
menghindar ke samping dengan mengikuti arah
tarikan dari ayunan gadanya yang berat, sebab
terlalu membuang tenaga kalau membuat
gerakan yang berlawanan dengan arah tarikan
itu. Jin Se-liang dengan lincah memainkan
tombaknya. Ujung tombak luput menusuk,
kaitan di leher tombaknya ganti beraksi untuk
menggantol leher Pun Liok dari samping.
Pun Liok membungkuk sambil berputar dan
menyapu kembali dengan gadanya. Biarpun
separuh tubuhnya terendam air berarus deras,
gerakannya Nampak begitu leluasa karena
besarnya kekuatannya. Kembang Jelita 2 / VIII 37 Begitulah, dua orang perwira dari pihakpihak yang bermusuhan itu bertempur hebat.
Yang satu mengandalkan tenaganya, yang lain
mengandalkan kecepatan dan kelincahannya,
untuk sementara waktu akan sulit ditebak siapa
yang bakal keluar sebagai pemenangnya.
Sementara prajurit kedua pihak juga terus
bertempur sengit di antara hilir mudiknya
panah-panah dan lembing-lembing yang
kadang-kadang masih juga menagih korban.
Sementara itu, Ong Ling-po menjenguk dari
atas tebing sungai dan melihat apa yang terjadi
di bawah, la lega menaksir bahwa pasukannya
yang dikomandani Pun Liok mampu mendesak
mundur biarpun alot. Sekaligus juga dapat
menebak apa yang akan terjadi seandainya
pasukan musuh di bawah tebing itu tidak
dipergoki Pun Liok dan pasukannya.
Ong Ling-po lalu memerintahkan pasukannya menyeberang jembatan dengan
cepat, bahkan bagian dari pasukannya yang
tadinya disuruh menyusuri tebing, kini juga
Kembang Jelita 2 / VIII 38 disuruh menyeberang. Kini Ong Ling-po yakin
bahwa musuh ada di tebing seberang.
Begitulah, sementara Ong Ling-po dan
prajurit-prajuritnya menyeberang jembatan itu,
dua-dua, karena jembatan itu tidak terlalu lebar,
seorang prajurit San-hai-koan yang di bawah
sempat berteriak, "Robohkan!"
Beberapa prajurit menggapai tali dan
menariknya kuat-kuat, namun hasilnya tidak
seperti rencana semula. Seandainya rencana
semula dapat terlaksana, tiang-tiang jembatan
itu masing-masing ditarik belasan orang, tentu
akan roboh. Tetapi kail ini sebagian besar anak
buah Jin Seliang sedang meladeni anak buah
Pun Liok, yang mendapat kesempatan untuk
menarik tali pengikat hanyalah sebagian kecil,
dan tiang-tiang jembatan tak bergeming
biarpun penarik-penariknya sampai bermuka
merah. Ong Ling-po yang menyeberang paling dulu,
dengan matanya yang tajam sempat melihat
kilatan senjata di balik belukar dan pepohonan
di tebing seberang. Karena itu, ia segera tahu
Kembang Jelita 2 / VIII 39 apa yang harus dilakukannya agar orangorangnya tidak menjadi mangsa empuk orangorang di tebing seberang.
"Langsung menyebar dan kuasai bagian atas
tebing! Hati-hati terhadap serangan batu-batu
dan balok-balok kayu!"
Di tempat persembunyian barisanpendamnya di atas tebing, Kongsun Koan
sedang masygul melihat sebagian rencananya
sudah gagal, yaitu rencana merobohkan
jembatan dan menceburkan sebagian pasukan
Pelangi Kuning itu ke sungai. Kini melihat
bagaimana Ong Ling-po mendaki tebing seolah
terbang, dan pasukannya yang mengikutinya
pun dengan tangkas dan sigap menyebar
sehingga tidak lagi menjadi sasaran empuk
gelundungan batu dan balok yang sudah
disiapkannya, Kongsun Koan mengertak gigi,
tetapi kagum juga. "Perwira muda bawahan Lau
Cong-bin ini ternyata tangkas berpikir dan
bertindak dalam menghadapi macam-macam
situasi. Tadinya aku kira kalau Jenderal Lau
segoblok kerbau, anak buahnya juga tidak lebih
Kembang Jelita 2 / VIII 40 cerdas dari keledai, tak kusangka ada juga anak
buahnya yang seperti ini."
Meski demikian, Kongsun Koan masih ingin
menggunakan rencana yang tersisa. Sebelum
seluruh pasukan Ong Ling-po keluar dari
jembatan dan menyebar di tebing, Kongsun
Koan sudah berteriak menggelegar, "Lepaskan
batu!" Tebing itu pun bergetar dan tersaput debu
tebal ketika ratusan batu-batu besar serta
potongan-potongan batang pohon menggelundung serempak. Anak buah Ong Ling-po yang sudah
menebar di tebing, bahkan ada sebagian yang
sudah sampai agak di atas, segera berlindung di
balik pohon-pohon besar, membiarkan "banjir"
batu dan balok kayu berlalu. Tetapi pasukan
Ong Ling-po yang belum sempat berpencar di
bawah tebing, tidak sedikit yang tersapu oleh
hujan batu itu dan terjerumus masuk ke tebing
sungai. Ada juga yang tergilas gelundungan batu
atau balok besar sehingga mereka berteriak
memilukan. Kembang Jelita 2 / VIII 41 Orang-orang yang bertempur di sungai di
bawah pun ada beberapa orang yang menjadi
korban, tertimpa batu, tidak peduli kawan atau
lawan. Komandan dari kedua pihak sama-sama
berteriak untuk memerintahkan pasukannya
mundur menghindari hujan batu dari atas
tebing. Jin Se-liang yang sejak semula merasakan
pasukannya dalam kesulitan karena kalah
banyak, memanfaatkan kesempatan untuk
menarik mundur pasukannya. Di bawah


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlindungan pemegang-pemegang perisai,
pasukan Jin Se-liang mundur. Mereka mundur
sampai mendapati tebing sungai yang cukup
landai untuk dipanjat naik sampai ke darat.
Sementara itu, Kongsun Koan tidak akan
membiarkan pasukan Pelangi Kuning tadi
sempat menyusun diri dengan mantap, apalagi
kalau sampai menyebar dan memanjat tebing,
tentu pihaknya akan terjepit karena kalah
banyak. Maka selagi sebagian pasukan Pelangi
kuning itu belum sempat melewati jembatan,
Kongsun Koan berdiri, keluar dari Kembang Jelita 2 / VIII 42 persembunyiannya dan mengibaskan pedangnya yang besar dan berkilat-kilat itu. Ia
sendiri dan prajurit-prajuritnya segera menghambur ke bawah tebing, menerpa
prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang belum
merata menyebarnya di lereng, juga belum siap
menyusun diri sehabis menghadapi serangan
batu dan balok tadi. Kongsun Koan yang menghambur paling
depan, ketika pedangnya yang berkelebat
merobohkan beberapa prajurit Pelangi Kuning,
ia juga berteriak, "Ceburkan mereka ke sungai!"
Pasukan Pelangi Kuning di bawah pimpinan
Ong Ling-po itu memang sudah terdorong
mundur ke tepi sungai, mendekat beberapa
langkah sebelum mereka sempat menyusun
rangkaian pertahanan yang memadai. Tetapi
mereka bertahan gigih sebab mereka tidak mau
"disuruh mandi" dengan mencebur dari tebing
setinggi belasan meter itu.
Sementara Ong Ling-po bisa memahami
jalan pikiran Kongsun Koan musuhnya, dan dia
pun mengeluarkan perintah tandingan, Kembang Jelita 2 / VIII 43 "Lindungi mulut jembatan! Percepat penyeberangan!" Orang-orangnya yang sudah terlanjur
menebar berusaha merapat kembali ke arah
mulut jembatan, tidak terlalu dekat, dan sebisabisanya menyusun pertahanan. Gelombang
serbuan Kongsun Koan dan pasukannya
memang agak tertahan. Kongsun Koan memerintahkan pasukan
panah dan pelempar-pelempar lembingnya
untuk mengincar ke mulut jembatan, tetapi
pasukan Ong Ling-po tetap saja semakin banyak
yang berhasil menyeberang.
Ong Ling-po sendiri mengamuk hebat di
tengah-tengah pertempuran dengan sepasang
kaitan tajamnya yang sudah berwarna merah
darah. Namun sebagai panglima yang bersatu
dengan pasukannya, sambil mengamuk ia juga
mencoba tetap menguasai keadaan.
Ketika merasakan medan pertempuran
semakin dipadati oleh orang-orangnya, Ong
Ling-po merasa sudah tiba saatnya untuk
menyerang. Begitu aba-aba diberikan, ia dan
Kembang Jelita 2 / VIII 44 Ong Ling-po sendiri mengamuk hebat di tengah-tengah
pertempuran dengan sepasang kaitan tajamnya yang
sudah berwarna merah darah.
Kembang Jelita 2 / VIII 45 orang-orangnya pun men coba mendesak
keluar, memperluas medan pertempuran. Dan
orang-orangnya tidak mau sekedar bertahan di
bagian bawah tebing, melainkan mencoba
merebut posisi bagus di bagian atas tebing.
Ong Ling-po sendiri menerjang dan
mengamuk prajurit-prajurit di pihak lawan,
sampai Kongsun Koan sendiri menghadangnya
dengan pedang besarnya yang dipegangi
dengan dua tangan, mirip cara jago-jago Jepang
bertempur, bedanya pedang besar Kongsun
Koan tajam di kedua sisinya.
Keduanya bertempur hebat.
Begitu pula pasukan-pasukan mereka.
Tetapi sampai matahari hampir terbenam,
kedua pasukan belum bisa menentukan kalahmenang,
desak-mendesak bergantian, sementara korban-korban terus berjatuhan.
Sementara celah pegunungan yang biasanya
sepi itu sekarang riuh-rendah dengan
pertempuran, di kejauhan sayup-sayup terdengar dentuman pertempuran meriam yang
belum berhenti, seperti kemarin dan seperti
Kembang Jelita 2 / VIII 46 kemarin dulu. Menandakan kalau San-hai-koan
masih alot dan belum dapat direbut.
Saat itu malahan Kongsun Koan dan Ong
Ling-po, dua seteru itu, seolah bersepakat untuk
menghentikan dulu pertempuran tak berketentuan itu. Sambil memperlambat gerak senjatanya,
Kongsun Koan bertanya kepada lawannya,
"Terus terang saja, pertempuran ini tak
berketentuan. Bagaimana pendapatmu?"
Dalam pertempuran, kalau berbicara
dengan lawan, biasanya siapa pun akan main
gertak untuk menciutkan nyali lawan. Tetapi
kali ini Ong Ling-po merasakan hal yang sama
dengan lawannya, dan secara jujur menjawab,
"Ya. Pasukanku unggul jumlah, pasukanmu
unggul kedudukan dan pengenalan medan."
Kongsun Koan melompat keluar dari
gelanggang pertempuran dan Ong Ling-po
membiarkannya saja. Kata Kongsun Koan kemudian, "Kau cukup
punya otak untuk memperhitungkan segala
sesuatunya sebenar-benarnya. Aku akan
Kembang Jelita 2 / VIII 47 menarik mundur tentaraku, kalau kau pun
melakukannya....." "Baik. Mari kita lakukan bersama-sama.
Tetapi aku ingin memperingatkan, kita akan
tetap saling mengintai dan saling menghancurkan. Karena itu tugasku."
"Aku tidak gentar. Kita memang berada di
pihak-pihak yang bermusuhan."
Kedua orang itu sama-sama memberi abaaba kepada pasukan masing-masing, maka
kedua pasukan itu sama-sama menarik diri
sambil membawa teman-teman yang terluka
atau gugur. Korban cukup banyak hari itu,
hanya dengan hasil "draw" bagi kedua pihak.
* ** Sehari suntuk itu, pasukan besar Jenderal
Lau masih belum berhasil merebut San-haikoan. Pasukan San-hai-koan dipimpin sendiri
oleh Bu Sam-kui masih bertahan gigih di
tembok kota. Dan pihak Lau Cong-bin hanya
Kembang Jelita 2 / VIII 48 membuang begitu banyak nyawa untuk usaha
sia-sia merebut tembok. Lau Cong-bin memerintahkan penembakpenembak meriamnya untuk menembaki pintupintu kota. Pintu-pintu kota mestinya ambrol
ditembaki segencar itu, tetapi pasukan San-haikoan telah memasang palang-palang yang kuat
di belakang pintu, dan di belakang pintu juga
ditumpuki dengan batu-batu besar dan urukan
tanah, sehingga hari itu dapat bertahan.
Ketika hari makin gelap dan panah-panah
prajurit-prajurit San-hai-koan di atas tembok
semakin berbahaya karena semakin tidak
terlihat jelas, maka Jenderal Lau dengan kesal
memerintahkan pasukannya untuk mundur,
setelah mendengarkan usul dari Deng Hu-koan,
ajudan kepalanya. "Bertambah lagi umur Bu Sam-kui satu
hari..." geram Jenderal Lau sambil memandang
sengit ke arah tembok San-hai-koan sebelum
membalikkan kudanya dan meninggalkan
tembok itu bersama pasukannya. "Sementara
perbekalan pasukan kita juga menipis karena
Kembang Jelita 2 / VIII 49 dibakar oleh pengacau-pengacau dari pegunungan itu, kudengar prajurit-prajurit
sudah mengeluh hari ini bahwa nasi ransum
sudah terlalu encer karena terlalu banyak
dicampuri air..." Sudah tentu yang dikeluhkan Lau Cong-bin
itu tidak termasuk makanannya sendiri. Pagi
tadi Lau Cong-bin sudah sarapan satu setengah
ekor ayam dan berbagai lauk istimewa.
Sementara Deng Hu-koan menghibur
atasannya, "Jangan khawatir, Jenderal. Dulu
kota Pak-khia yang dipertahankan berpuluh kali
lebih kuat dari San-hai-koan saja bisa kita rebut.
Apalagi, menurut kata-kata Ong Ling-po, malam
tadi di San-hai-koan juga terjadi kebakaran
gudang perbekalan makanan, entah oleh siapa.
Jadi keadaan tikus-tikus di San-hai-koan itu
tidak lebih baik dari kita. Mereka kelaparan
juga, bedanya, kita bisa minta kiriman makanan
dari Pak-khia, sedang mereka tidak bisa minta
dari mana-mana...." Jenderal Lau mengangguk-angguk. Sekali
lagi menoleh ke arah tembok San-hai-koan di
Kembang Jelita 2 / VIII 50 keremangan sore hari, dan berkata meneguhkan hatinya sendiri, "Ya, cepat atau
lambat San-hai-koan akan aku rebut, batok
kepalanya Bu Sam-kui akan aku pertontonkan
kepada Tan Wan-wan agar dia menyesali katakatanya terhadapku dulu...."
"Ya, ya, itu pasti..." Deng Hu-koan menjilat.
"Tetap tempatkan pasukan-pasukan untuk
mengawasi San-hai-koan siang dan malam.
Jangan lengah." "Baik, Jenderal."
"Besok kita hantam lebih hebat lagi."
"Ya, Jenderal."
"Mudah-mudahan kiriman bahan pangan
dari Pak-khia akan tiba secepatnya."
"Ya, Jenderal."
Begitulah, bersamaan dengan turunnya
malam, usaha menggempur San-hai-koan
dihentikan. Tetapi San-hai-koan tetap terkepung di
bagian barat sampai selatannya oleh pasukan
Pelangi Kuning, bagian utaranya oleh " wilayah
Kembang Jelita 2 / VIII 51 Kerajaan Manchu dan bagian timurnya oleh
Laut Kuning. Di atas tembok kota, dalam cuaca yang
mulai remang-remang dan udara yang mulai
dingin, Bu Sam-kui menatap mundurnya
pasukan Lau Cong-bin itu dengan perasaan
bergolak. Tetapi bukan rasa lega, ia "tahu diri"
bahwa belum saatnya ia merasa lega. Di


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejauhan nampak perapian dari perkemahan
musuh yang melingkari San-hai-koan, memanjang sampai ke kaki bukit. Dan musuh
masih bisa mendatangkan bala bantuan besarbesaran dari Pak-khia dan sekitarnya. Sedang
pihaknya tetap bertahan dengan kekuatan
sendiri. Prajurit-prajurit yang ada padanya
sekarang, yang makin kelaparan dan kelelahan,
itu adalah modalnya yang sudah maksimal.
Sementara prajurit-prajurit di sekitarnya
sibuk mengatur diri di bawah penerangan oborobor, Bu Sam-kui terus menatap ke kejauhan,
merenung dalam. Kulit wajahnya keruh karena
berlapis keringat dan debu, setelah bertempur
sehari suntuk. Kembang Jelita 2 / VIII 52 Seorang perwiranya mendekatinya, "Panglima, kami anjurkan agar Panglima pulang
ke markas untuk beristirahat. Besok kami masih
membutuhkan pimpinan Panglima, dan
Panglima harus tetap dalam keadaan segar dan
berpikiran jernih." "Bagaimana keadaan pasukan kita?"
"Prajurit-prajurit kita tetap bersemangat
tinggi." Bu Sam-kui tahu kalau laporan itu agak
berlebih-lebihan untuk saling menjaga semangat. Tetapi ia tidak membantah.
"Ada yang gugur atau terluka?" tanyanya
pula. "Tentu saja ada, Panglima, karena musuh
mengarahkan sebagian meriam-meriam mereka
ke atas tembok, ke arah prajurit-prajurit kita
yang bertahan. Tetapi seperti kemarin, korban
di pihak kita jauh lebih sedikit dari pihak musuh
yang mencoba menyerbu dan memanjat
tembok." Bu Sam-kui melangkah menuruni tembok,
apa yang dikatakan perwiranya itu memang
Kembang Jelita 2 / VIII 53 sudah dilihatnya sendiri sehari suntuk. Bahkan
Bu Sam-kui sendiri seharian itu entah sudah
berapa kali menjatuhkan prajurit musuh yang
sudah hampir sampai ke atas tembok. Dalam
teori militer memang begitu, bahwa pihak yang
menyerang tembok harus "membayar" jauh
lebih mahal dari pihak yang bertahan, dan
"mata uangnya" adalah nyawa-nyawa para
prajurit. Namun Bu Sam-kui sudah melihat
sendiri dan harus mengakui bahwa pasukan
musuh seolah tidak ada habis-habisnya, seperti
semut yang keluar dari liangnya.
Sebelum menuruni tangga batu tembok
kota, Bu Sam-kui sempat sekali lagi menoleh ke
arah bendera Jit-goat-ki yang terpasang di atas
tembok San-hai-koan. Tak ada angin bertiup
sehingga sekali lagi Bu Sam-kui seolah melihat
sebuah lengan yang terkulai patah, apalagi kini
pada bendera itu tertancap sebatang panah
yang menggelayut lemah. Di bawah tembok, Bu Sam-kui dan
perwiranya itu menaiki kudanya dan kembali ke
markas. Ketika lewat di depan pintu rumah
Kembang Jelita 2 / VIII 54 kediaman Jai Yong-wan, saudagar Korea
sahabat Bu Sam-kui itu, nampak Si Saudagar
sedang berdiri di depan rumahnya dengan
wajah pucat, agak ketakutan.
Bu Sam-kui lalu menghentikan kudanya dan
bertanya, "Selamat sore, Tuan Jai."
"Selamat sore, Panglima. Bagaimana
keadaan hari ini? Aku hampir pingsan
mendengar dentuman meriam musuh tak hentihentinya sepanjang hari ini.."
"Jangan gentar. Hari ini musuh kembali
dapat kita pukul mundur. Prajurit-prajurit kita
telah bekerja sebaik-baiknya..." hibur Bu Samkui. "Musuh takkan pernah bisa masuk kemari."
"Syukurlah..." Jai Yong-wan menganggukangguk. "Tentu itu karena Panglima sendiri
yang memimpin dan mengobarkan semangat
mereka....." "Yah..." desah Bu Sam-kui.
"Tuan Jai, kalau Tuan tidak keberatan,
malam ini datanglah Tuan ke markas. Aku
hanya sekedar ingin mengobrol, sekedar
mengendorkan ketegangan...."
Kembang Jelita 2 / VIII 55 "Aku tidak tahu-menahu soal militer,
Panglima. Mana mungkin berbincang-bincang
dengan Panglima?" "Bukan soal militer, tetapi soal-soal ringan
biasa. Mengendorkan urat syaraf yang hampir
putus ini." "Baik, baik. Aku akan menyusul ke markas,
dan aku akan bawakan kuah ginseng untuk
menyegarkan badan. Aku senang kalau bisa
berbuat sesuatu buat para prajurit San-haikoan, sesuatu yang sekecil apa pun."
"Semangatmu tinggi, Tuan Jai. Nah, selamat
tinggal. Aku menunggumu di markas bersama
kuah ginsengmu...." Jai Yang-wan memberi hormat lalu masuk
ke rumahnya. Berpikir sejenak, lalu memerintahkan pembantu rumahnya, "Buat
kuah ginseng panas. Nanti aku bawa ke rumah
Bu Sam-kui." Sementara Bu Sam-kui juga sudah tiba di
tempat tinggalnya, pengawal-pengawal di
depan pintu rumahnya memberi hormat, lalu
Bu Sam-kui melangkah masuk ke dalam rumah,
Kembang Jelita 2 / VIII 56 sendirian, sebab perwira yang menyertainya
juga akan pulang ke rumahnya sendiri.
Ketika masuk ke dalam rumahnya, Bu Samkui merasa agak heran melihat lilin-lilin di
rumah itu sudah menyala semua. Tetapi ia
sedang terlalu penat untuk memikirkan hal-hal
yang memakan tenaga pikiran. Ia melangkah
masuk saja, menggantungkan pedangnya di
dinding dan topi besinya di meja.
Ketika ia melangkah ke ruang tengah yang
juga terang benderang, ia melihat seorang
sudah duduk santai di ruangan itu dengan
melonjorkan kaki. Seorang yang semuda
dirinya, berpakaian agak lusuh, namun matanya
bersinar penuh semangat dan menatap Bu Samkui sambil tersenyum.
Bu Sam-kui kaget sejenak, tapi kemudian
menjerit kegirangan, "Helian Kong!"
Dua lelaki yang sama-sama masih setia
kepada dinasti Beng itu pun sama-sama tertawa
terbahak-bahak, berpelukan, menepuk pundak,
mengguncang lengan kuat-kuat.
Kembang Jelita 2 / VIII 57 "Saudara Helian, bagaimana kau bisa masuk
kemari?" "Melompat tembok belakang. Kenapa
Saudara Bu tidak menaruh pengawal di bagian
belakang?" "Ah, aku tidak pernah terpikir akan
peristiwa seperti ini. Untung, yang datang
adalah Saudara Helian, bukan musuh."
"Jangan mengandalkan keuntungan terusmenerus. Di masa-masa pergeseran kekuasaan
seperti ini, nyawa para peserta permainan, dari
pihak mana pun, bisa menjadi incaran, juga oleh
pihak mana pun. Aku pernah memergoki jagojago bayaran Manchu mengincar nyawa Li
Giam." "Baik, kuterima nasehatmu. Bagaimana
keadaanmu selama ini? Isterimu, mertuamu,
Saudara Siangkoan?" "Semuanya baik-baik."
"Pasukanmu.... masih ada?"
Anggukan Helian Kong sebagai jawaban dari
pertanyaan Bu Sam-kui itu sungguh membuat
Bu Sam-kui amat lega. Apalagi ketika
Kembang Jelita 2 / VIII 58 mendengar kata-kata Helian Kong selanjutnya,
"Ketika mendengar Lau Cong-bin menggerakkan pasukan kemari, aku pun
menggerakkannya ke sini. Meskipun tidak
terang-terangan berbaris di jalan raya sambil
mengibarkan bendera, melainkan menyusupnyusup jalan di pegunungan. Sekarang
pasukanku bersembunyi di pegunungan tidak
jauh dari San-hai-koan..."
"Bagus. Berapa jumlahnya?"
"Lima belas ribu, lebih kurang."
"Itu melebihi pasukanku sendiri yang ada di
San-hai-koan ini, yang hanya sepuluh ribu.
Sepertiganya aku perintahkan bersembunyi di
pegunungan di luar kota di bawah pimpinan
Kongsun Koan. Dan sekarang, kau dan
pasukanmu itu mau kau apakan?"
"Saudara Bu, pertama-tama aku memberitahukan kedatanganku dan pasukanku,
supaya semangatmu berkobar kembali, begitu
pula seluruh prajuritmu. Aku juga sudah
menyebarkan orang-orangku untuk mencoba
mencari kontak dengan pasukan-pasukan
Kembang Jelita 2 / VIII 59 lainnya, seperti pasukan Kongsun Hui dan lainlainnya yang entah di mana. Kedua, aku ingin
diberitahu posisi Kongsun Koan di pegunungan
saat ini, supaya aku bisa berhubungan
dengannya, dan bekerja-sama mengobrak-abrik
barisan belakang Lau Cong-bin."
Bu Sam-kui memberi keterangan tentang
arah yang ditempuh oleh Kongsun Koan,
kemudian berkata, "Saudara Helian, aku juga
akan menitipkan surat buat Kongsun Koan, agar
ia menggabungkan diri dan menaruh diri di
bawah komandomu, supaya hanya ada satu
perintah saja." "Itu bagus. Aku jamin Lau Cong-bin akan
mendapat bisul-bisul besar di pantat."
Keduanya tertawa terbahak-bahak.
Ketika itulah seorang prajurit masuk,
sejenak merasa heran melihat di ruangan itu
ada orang lain bersama panglima mereka, yang
tidak mereka lihat kapan dan dari mana
datangnya. Bu Sam-kui bertanya, "Ada yang mau kau
laporkan?" Kembang Jelita 2 / VIII 60 Prajurit itu mengangguk, dan memandang
ragu-ragu kepada Helian Kong, sehingga Bu
Sam-kui tertawa dan berkata kepada
prajuritnya sambil menepuk pundak Helian
Kong, "Kenali baik-baik orang ini. Ini adalah
Helian Kong, panglima dinasti kita yang
terkenal, yang pernah berkali-kali difitnah Co
Hua-sun dan begundal-begundalmu. Dia dan
pasukannya sudah ada di belakang pasukan
musuh. Jadi sekarang ini yang terjepit bukan
kita, melainkan musuh. Kabarkan ini kepada
teman-temanmu agar semangat mereka tidak
kendor...." Begitulah, prajuritnya belum sempat
melapor, malahan Bu Sam-kui sudah menyerocos duluan meluapkan kegembiraannya.
Namun kegembiraan itu memang segera
menular kepada prajuritnya itu, dan Bu Sam-kui
yakin kalau sebentar lagi kegembiraan itu juga
akan menjalar ke seluruh pasukannya.
Prajurit itu memberi hormat kepada Heliarr
Kong secara militer, "Terimalah salamku,
Panglima Helian. Kedatangan Panglima dan
Kembang Jelita 2 / VIII 61 pasukanmu sungguh membuat harapan kami
tumbuh kembali....."
Helian Kong cuma tersenyum sambil
mengangguk.

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Bu Sam-kui mengulangi katakatanya yang tadi, "Ada yang mau kau
laporkan?" "Bukan sesuatu yang penting, Panglima.
Hanya ingin melaporkan kalau Tuan Jai ada di
luar, ingin menemui Panglima, dan membawa
kuah ginseng katanya."
"O, suruh dia masuk."
Prajurit itu keluar, sementara Helian Kong
bertanya kepada Bu Sam-kui, "Siapa yang
disebut Tuan Jai itu?"
"Sahabat baikku, seorang saudagar. Namanya Jai Yong-wan, orang Korea yang bosan
karena negerinya terus-terusan dikuasai bangsa
asing, setelah Jepang lalu Manchu, maka dia lari
ke San-hai-koan ini."
Helian Kong agak mengerutkan alisnya,
ketajaman nalurinya ada yang sedikit terusik
Kembang Jelita 2 / VIII 62 oleh keterangan Bu Sam-kui tentang saudagar
Korea yang diaku sahabatnya itu.
"Kalau dia mengungsi ke kota ini, lalu
bagaimana dengan usahanya?"
"Dia pedagang keliling. Sering bepergian
baik ke negeri leluhurnya maupun ke wilayah
Tiang-pek-san di wilayah Manchu membeli
jinsom, lalu dititipkan ke kapal-kapal Portugis
untuk dibawa ke selatan."
"Jadi ia sering bepergian ke wilayah
Manchu?" "Ya, tetapi tidak perlu dicurigai. Ia pergi
dalam rangka usahanya. Bahkan setiap habis
bepergian itu, ia menguntungkan aku."
"Menguntungkan bagaimana?"
"Ia banyak memberi keterangan tentang
posisi dan gerak-gerik pasukan Manchu. Jadi
aku bisa mewaspadainya terus."
Helian Kong mengangguk-angguk. Cuma
dalam hatinya ia berkata, "Biar nanti kalau
berhadapan muka dan bercakap-cakap dengan
orang itu, aku akan menguji orang itu."
Kembang Jelita 2 / VIII 63 Sementara itu, dari luar ruangan sudah
terdengar gemerisik langkah kaki. Jai Yong-wan
dalam jubah saudagarnya muncul di pintu
sambil kedua tangannya menyangga nampan, di
atasnya ada mangkuk besar bertutup.
"Selamat datang, Tuan Jai."
Langkah Jai Yong-wan tertegun sejenak di
ambang pintu, melihat Helian Kong, lalu
berkata, "Ah, aku tidak menyangka Tuan Bu
sedang kedatangan tamu penting. Kalau aku
tahu sebelum-nya, tentu aku akan membawakan dua mangkuk...."
"Tidak usah repot-repot," potong Bu Samkui. "Isi mangkuk besar itu cukup untuk kami
berdua. Tuan Jai, tidak usah sungkan di antara
teman sendiri. Kenalkan, ini adalah Helian Kong,
panglima Kerajaan Beng yang terkenal..."
(Bersambung jilid IX.) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 17/07/2018 16 : 37 PM
Kembang Jelita 2 / VIII 64 Kembang Jelita 2 / IX 1 ( Bagian II ) JILID IX Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / IX 2 Kembang Jelita 2 / IX 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid IX H ati Jai Yong-wan agak tergetar mendengar
nama itu, dan getarannya merambat ke
kedua lengannya sehingga mangkuk besar di
atas nampan yang dibawanya itu agak bergetar
sedikit dan itu tidak lolos dari pandangan tajam
Helian Kong. Cepat-cepat Jai Yong-wan
menenangkan dirinya lalu berkata dengan
ramah, "Sungguh malam ini aku beruntung bisa
berhadapan muka dengan panglima yang gagah
perkasa itu. Tuan Helian, terimalah salam
hormatku..." Ketika itu Bu Sam-kui sudah menyambut
nampan dari tangan Jai Yong-wan sehingga Si
Saudagar Korea itu tidak memegang apa-apa.
Kembang Jelita 2 / IX 2 Kesempatan itu digunakan oleh Helian Kong
untuk maju mendekatinya sambil mengulur
tangan mengajak berjabat, sambil berkata, "Aku
juga gembira bahwa sahabatku Bu Sam-kui di
San-hai-koan ini punya teman bertukar pikiran
yang berbobot seperti Tuan Jai ini..."
Begitu Jai Yong-wan menyambut jabat
tangan itu, terjadilah "acara" saling mengukur
kekuatan antara Helian Kong dan Jai Yong-wan
lewat jabat-tangan itu. Jai Yong-wan menyadari
kalau dirinya pasti sulit untuk sama sekali
menyembunyikan kekuatannya dari orang
seperti Helian Kong, nalurinya sudah
memperingatkan itu, maka ia pun sengaja
mengadakah perlawanan agar tidak menimbulkan kesan ingin menyembunyikan
sesuatu yang malah akan menimbulkan
kecurigaan. Begitulah, beberapa saat kedua tangan itu
saling genggam bagaikan dua buah jepitan besi
yang sama-sama berkarat, sampai terlihat muka
Jai Yong-wan penuh butiran keringat vang
Kembang Jelita 2 / IX 3 besar-besar dan agak menyeringai menahan
sakit. "Kau hebat, Tuan Helian, berbaik hatilah
kepadaku...." desis Jai Yong-wan.
Helian Kong melepaskan pegangannya
sambil tersenyum, "Maaf, Tuan Jai ini juga
hebat." Jai Yong-wan pun berdalih untuk
membenarkan pemilikan kemampuan silatnya
itu, "Sekedar untuk menjaga diri, Tuan Helian.
Di jaman susah ini ada banyak orang nekad
yang tidak segan-segan menghadang siapa pun
yang kelihatan punya uang, terutama kaum
saudagar seperti aku ini."
"Kan bisa menyewa pengawal-pengawal
sewaan?" "Kadang-kadang, meskipun jarang, justru
pengawal-pengawal sewaan itu memakan
sendiri orang yang menyewanya. Seperti pagar
makan tanaman, begitulah.."
Alasan itu masuk akal, tetapi Helian Kong
tetap merasa ada sesuatu yang tersembunyi
dalam pribadi Jai Yong-wan. Helian Kong
Kembang Jelita 2 / IX 4 kurang setuju kalau Bu Sam-kui bersahabat
dengan orang ini, tapi ia tidak bisa melarang Bu
Sam-kui karena tidak punya alasan yang kuat,
tentu saja ia tidak dapat melarang Bu Sam-kui
hanya berdasar perasaannya saja dan orang lain
hanya disuruh mengikuti apa yang dia rasakan
sendiri. "Bu Sam-kui dari dulu memang begini, tidak
pernah berpikir panjang dan selalu ambil
gampangnya saja...." keluh Helian Kong dalam
hati. "Mudah-mudahan tidak sampai melangkah
ke tindakan yang gegabah, dan aku harus
sering-sering mengunjunginya..."
Setelah mencicipi semangkuk kecil kuah
jinsorn kiriman Jai Yong-wan, untuk melegakan
hati Bu Sam-kui. Helian Kong pun meninggalkan
tempat itu dengan alasan akan kembali ke
pasukannya. "Aku akan mengambil seorang anak buahku
untuk mengantarmu sampai keluar kota Sanhai-koan, Saudara Helian....." usul Bu Sam-kui.
"Tidak usah," sergah Helian Kong, namun
tiba-tiba terlintas juga sesuatu di benaknya,
Kembang Jelita 2 / IX 5 sehingga ia buru-buru meralat kata-katanya
sendiri, "Eh, tetapi kalau Saudara Bu ingin
mengantarku juga, aku dengan senang hati
tidak bisa menolak."
Maksud Helian Kong adalah ingin mencari
kesempatan berbicara empat mata untuk
memperingatkan agar Bu Sam-kui berhati-hati
terhadap Jai Yong-wan. Namun Bu Sam-kui saat itu sedang dalam
keadaan amat penat setelah seharian memeras
tenaga bersarna prajurit-prajuritnya mempertahankan tembok San-hai-koan. Apalagi
setelah perutnya kemasukan kuah jinsom yang
hangat, ia jadi malas bangkit dari kursinya.
Tetapi mengingat Helian Kong sudah jauh-jauh
datang bersama pasukannya hanya untuk
membantunya, tidak enak juga untuk menolak.
Maka dengan sangat enggan ia bangkit dari
kursinya, sambil berkata kepada Jai Yong-wan,
"Tuan Jai, jangan pergi dulu, aku masih ingin
mengobrol banyak dengan Tuan. Aku pergi
hanya sebentar, mengantar Saudara Helian ini."
Kembang Jelita 2 / IX 6 Jai Yong-wan cuma mengangguk sambil
tersenyum ramah sekali, tetapi dalam hatinya
sudah merasa kalau Helian Kong mencurigainya, dan juga sudah menebak kalau
ajakan Helian Kong kepada Bu Sam-kui itu tentu
hanya untuk memberi peringatan.
Tidak lama kemudian, Bu Sam-kui dan
Helian Kong sudah berdiri di atas tembok kota
San-hai-koan di bagian yang menyambung
dengan Tembok Besar yang berliku-liku ribuan
kilometer seperti ular raksasa itu. Di bawah
langit yang berhiaskan bintang-bintang.
Di tempat itulah Helian Kong memperingatkan Bu Sam-kui, "Saudara Bu,
berhati-hatilah terhadap orang yang bernama
Jai Yong-wan itu. Jangan terlalu percaya
kepadanya." "Kenapa?" "Sulit dijelaskan, sebab ini hanya berdasar
naluriku. Pokoknya berhati-hatilah. Aku tidak
menganjurkan Saudara Bu memusuhinya, cuma
berhati-hati saja tiada jeleknya."
Kembang Jelita 2 / IX 7 Bu Sam-kui hanya menghembuskan napas,
memandang ke rangkaian Tembok Besar yang
menjulur ke arah kegelapan malam. Dalam hati
ia menganggap Helian Kong kelewat was-was.
Toh mulutnya menjawab, "Baik, Saudara
Helian." Helian Kong tidak mendengar nada
bersungguh-sungguh dalam jawaban Bu Samkui itu, namun ia tidak bisa memaksakan suatu
sikap kepada orang lain. Cuma mulutnya


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata juga, "Selamat malam, Saudara Bu, aku
akan sering-sering mengunjungimu untuk
menyatukan langkah-Jangkah militer kita."
"Selamat malam, Saudara Helian."
Kemudian Helian Kong pun melangkah
menyusuri Tembok Besar itu dan lenyap di
kegelapan. Sedangkan Bu Sam-kui buru-buru
kembali ke rumah kediamannya untuk
menjumpai Jai Yong-wan yang masih
menunggu. Mereka mengobrol sampai jauh malam, dan
ternyata Jai Yong-wan. dalam percakapan itu
tidak menunjukkan tanda-tanda yang Kembang Jelita 2 / IX 8 mencurigakan. Ia tidak bertanya tentang
keterangan-keterangan militer, sehingga Bu
Sam-kui bertambah yakin kalau Helian Kong
sekedar berprasangka terhadap Hai Yong-wan.
Bu Sam-kui yang tidak berpikiran jauh itu
tidak saJai bahwa Jai Yong-wan memang
sengaja menahan diri, sebab ia sudah menduga
adanya peringatan Helian Kong kepada Bu Samkni ketika Bu Sam-kui "mengantar" tadi.
Demikianlah, selagi Helian Kong me-rasa
tidak tenteram karena Bu Sam-kui berdekatan
dengan orang macam Jai Yong-wan, orang yang
dikhawatirkan sendiri malahan menganggap Jai
Yong-wan tidak berbahaya sama sekali dan
sebagai rekan berbincang yang menyenangkan.
Menjelang tengah malam, Jai Yong-wan
berpamitan pulang, tapi tanpa diketahui Bu
Sam-kui atau siapa pun juga, Jai Yong-wan
pulang ke rumahnya hanya sebentar, hanya
untuk mengganti jubah saudagarnya dengan
pakaian pejalan malam (Ya-heng-ih) yang
berwarna gelap dan berpotongan ringkas,
lengkap dengan kedok yang menutupi sebagian
Kembang Jelita 2 / IX 9 besar wajahnya. Lalu dia pun bergerak seperti
burung yang terbang entah ke mana......
* * * Sebelum fajar menyingsing, seluruh
pasukan San-hai-koan sudah bersiap-siap di
atas tembok kota, kalau dilihat sepintas dari
kejauhan akan kelihatan seperti burung-burung
gereja yang hinggap di bubungan. Sebagian
pasukan yang semalam bertugas jaga, mendapat
giliran beristirahat. Di atas tembok sudah bertimbun-timbun
sejumlah besar panah, lembing, batu, balokbalok kayu, bahkan karena persediaan batu di
San-hai-koan agak menipis, maka pot-pot
kembang yang besar-besar milik penduduk Sanhai-koan pun sudah diminta dan diangkut ke
atas tembok. Pot kembang besar berisi tanah itu
cukup berat dan kalau menimpa kepala pastilah
rasanya akan cukup lumayan.
Ada sedikit perbedaan suasana hari itu. Para
prajurit kelihatan agak lebih bersemangat,
Kembang Jelita 2 / IX 10 meskipun tanda-tanda kelelahan juga nampak
di wajah mereka. Yang membuat prajuritprajurit itu lebih bergairah ialah karena sudah
beredarnya berita bahwa pasukan Helian Kong
berada dekat San-hai-koan dan akan
mengganggu gerak maju pasukan Lau Cong-bin
dari belakang. Prajurit-prajurit San-hai-koan
merasa besar hati, sebab mereka pernah
mendengar kemasyhuran Helian Kong, dan
pasukannya juga terkenal sebagai prajuritprajurit terlatih.
Bu Sam-kui lah yang memerintahkan
penyebar-luasan berita itu untuk membakar
semangat prajurit-prajuritnya. Bahkan oleh Bu
Sam-kui ditambah-tambahi sendiri, "Pasukanpasukan lain selain pasukan Helian Kong juga
sedang bergabung kemari....."
Begitulah, prajurit-prajurit San-hai-koan
jadi lebih bergairah hari itu. Rasanya mereka
tidak sabar lagi menunggu musuh muncul
berbondong-bondong dari ujung dataran
seperti kemarin. Kembang Jelita 2 / IX 11 Tetapi hari itu agak lain, selagi pengawal
San-hai-koan bersemangat, malahan musuh
tidak muncul. Entah kenapa. Sampai matahari
mencapai sepertiga dari busur perjalanannya,
tidak satu pun prajurit Pelangi Kuning yang
muncul di dataran di luar tembok kota.
Ketika Bu Sam-kui meneropong dengan
teropong Portugisnya, ia melihat perkemahan
musuh masih berada di tempatnya, dan masih
kelihatan ada orang-orang bersenjata yang hilir
mudik meskipun mereka kelihatan seukuran
semut. "Bagaimana, Panglima?" tanya seorang
perwira yang berdiri di sebelahnya.
"Mereka masih di tempatnya, dan tidak ada
tanda-tanda akan mulai bergerak."
"Mungkinkah mereka lelah setelah tiga hari
berturut-turut menggempur tanpa hasil, bahkan
dengan kehilangan banyak prajurit?"
"Ya. Mungkin juga. Tetapi mungkin juga
Helian Kong dan pasukannya mulai beraksi,
sehingga perhatian musuh beralih kepada
pasukan Helian Kong, untuk memberi
Kembang Jelita 2 / IX 12 kesempatan istirahat kita....." sengaja Bu Samkui mengeluarkan perkataan yang hanya
dugaan itu, untuk mengobarkan semangat
prajuritnya. Bu Sam-kui beberapa saat lamanya
berjalan-jalan di sepanjang tembok untuk
memeriksa kesiapan pasukannya. Kemudian
memberi pesan kepada komandan-komandan
bawahannya, "Pasukan boleh sedikit santai,
tetapi jangan abaikan gerak-gerik musuh. Kita
harus tetap waspada, tetapi jangan tegang
sehingga cepat lelah."
"Baik, Panglima."
Ketika itulah seekor kuda berderap di kaki
tembok kota bagian dalam, dan penunggangnya
yang adalah seorang perwira melompat turun
dari kudanya dan berlari-lari menaiki undakan
tembok dengan mengabaikan penghormatan
beberapa prajurit yang berpapasan.
Dia adalah Li Lim-hong, kepala bagian
perbekalan pasukan San-hai-koan. Tubuhnya
gemuk dan nampak agak bersusah-payah
menaiki undakan, meskipun demikian Bu SamKembang Jelita 2 / IX
13 kui hampir bisa memastikan bahwa yang akan
dilaporkannya adalah sesuatu yang berlawanan
dengan keadaan tubuhnya yang gemuk itu, yaitu
persoalan kekurangan bahan makanan bagi
seluruh pasukan. Setibanya di atas tembok, Li Lim-hong
sudah berpeluh kuyup, dan sambil mengusapusap peluh di dahinya, ia hendak memulai
laporannya, "Panglima, bahan makanan...."
Cepat-cepat Bu Sam-kui menukas,
"Jangan bicara di sini. Mari ke markas.."
Lalu Bu Sam-kui mulai menuruni tembok,
dan L i Lim-hong yang baru saja terengah-engah
naik itu sekarang harus menuruni kembali
membawa tubuh gendutnya, sehingga ia
mengeluh dalam hati tetapi tidak berani
mengutarakannya terang-terangan. Maklurr
kalau Bu Sam-kui khawatir laporan Li Lim-hong
bakal menurunkan semangat para prajurit yang
sedang berkobar naik. Mereka berkuda berdua menuju ke markas,
namun di tengah jalan Bu Sam-kui sudah tidak
Kembang Jelita 2 / IX 14 tahan lagi dan bertanya, "Apa yang hendak kau
laporkan?" Seperti dugaan Bu Sam-kui ternyata,
jawaban Li Lim-hong, "Bahan makanan yang
kita kumpulkan tempo hari mestinya cukup
untuk setengah bulan lebih, tetapi gara-gara
kebakaran gudang perbekalan itu, hari ini
persediaan sudah menipis. Besok masih bisa
makan, tapi besoknya lagi entahlah.."
Bu Sam-kui bungkam, tak tahu harus
menjawab bagaimana. Yang terdengar hanyalah
derap langkah kaki kuda mereka berdua.
Li Lim-hong memberanikan diri mengajukan usul, "Panglima, bagaimana kalau
,.... kalau. kita ambil lagi persediaan penduduk
kota? Tentu sedikit-sedikit masih bisa kita
kumpulkan perbekalan untuk satu-dua hari.."
Bu Sam-kui masih belum menjawab.
Ketika itu mereka sedang melewati
perumahan penduduk San-hai-koan. Dari dalam
sebuah rumah di pinggir jalan, terdengar suara
pertengkaran hebat suami isteri, ada suara
perempuan menjerit-jerit, anak-anak menangis,
Kembang Jelita 2 / IX 15 panci-panci dibanting. Lalu pintu depan tibatiba terbuka, seorang lelaki setengah umur yang
memegang golok pencacah daging di tangannya
tiba-tiba menghadang di hadapan Bu Sani-kui
dan berteriak-teriak sambil mengacungacungkan goloknya, "Ini biang keladinya! Kalian
telah merampok persediaan makanan keluargaku beberapa hari yang lalu, sampai
anak isteriku hampir mati kelaparan.."
Lalu dengan keberanian yang tidak masuk
akal, ia berlari menerjang ke arah Bu Sam-kui
sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
Rupanya ia sudah benar-benar nekad karena
tekanan kesulitan hidup yang serasa tidak
tertahankan lagi. Li Lim-hong jadi gusar, ia sudah mencabut
goloknya dan hendak menerjangkan kudanya
menyongsong orang nekad itu, tetapi tangan Bu
Sam-kui menyambar tali kendali kudanya
sehingga kuda itu tidak dapat maju. Kata Bu
Sam-kui, "Kita cari jalan lain."
Li Lim-hong tidak berani membantah.
Ketika Bu Sam-kui memutar kudanya dan mema
Kembang Jelita 2 / IX 16 Seorang lelaki setengah umur yang memegang golok
pencacah daging di tangannya tiba-tiba menghadang
di hadapan Bu Sam-kui dan berteriak-teriak sambil
mengacung-acungkan goloknya.
Kembang Jelita 2 / IX 17 cunya lewat jalan lain, Li Lim-hong
mengikutinya meskipun sesekali
masih menoleh kepada orang itu.
Merasa tidak mampu mengejar larinya
kuda-kuda itu, orang tadi mencak-mencak
sendiri di tengah jalan sambil memaki-maki
prajurit-prajurit San-hai-koan, dari panglimanya sampai prajurit yang paling
rendah. Li Lim-hong masih sempat mendengarnya,
dan berkata dalam hatinya, "Nanti malam
teruslah kubereskan orang itu secara diamdiam. Jangan sampai perkataannya menyebar
dan mempengaruhi penduduk San-hai-koan
sehingga tidak mau menyetor bahan makanan
lagi. Untung sekali aku sendiri masih
menyimpan persediaan di rumahku.."
Sedangkan, dalam perjalanan berkuda ke
markasnya, Bu Sam-kui rasanya tidak sanggup
bertatap-muka dengan penduduk San-hai-koan
yang berpapasan dengannya. Meskipun orangorang yang berpapasan itu menunduk atau
mengangguk hormat, tetapi rasa-rasanya mata
Kembang Jelita 2 / IX 18 mereka menyodorkan tuduhan kepada Bu Samkui, seolah Bu Sam-kuilah yang menyebarkan
kelaparan di seluruh kota itu.
Bu Sam-kui merasa beban yang terlalu berat
menindih hatinya. Ketika itulah Li Lim-hong menjajarkan
kudanya dan mengulangi usulnya yang tadi,
"Panglima, bagaimana dengan usulku tadi? Saat
ini penduduk San-hai-koan masih punya


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persediaan bahan makanan serba sedikit,
mudah-mudahan.." "Tidak!" sahut Bu Sam-kui tegas.
"Panglima punya cara lain?"
"Sedang aku pikirkan cara yang tidak
memberatkan penduduk. Aku tidak mau
penduduk sampai membenci kita, sebab
penduduk itulah tempat kita berakar..."
Diam-diam Li Lim-hong menggeleng-geleng
kurang setuju, untung Bu Sam-kui tidak
melihatnya. Kata Li Lim-hong, "Panglima
terpengaruh oleh kata-kata orang gila tadi?
Seharusnya Panglima tidak perlu terlalu
menghiraukannya, kata-kata orang tadi tidak
Kembang Jelita 2 / IX 19 mewakili kata hati seluruh penduduk San-haikoan. Orang tadi hanya seorang yang
mementingkan diri sendiri, sedangkan aku
yakin kalau sebagian besar penduduk San-haikoan masih bersedia berkorban demi...."
"Cukup! Usulmu aku tolak!"
"Tetapi, Panglima, masalahnya mendesak..."
"Sudah aku bilang, aku sedang memikirkannya!" "Perut lapar tidak bisa menunggu,
Panglima." "Perut prajurit bisa."
Li Lim-hong menghembuskan napas dengan
kesal, Tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
Saat itu seekor kuda berderap dari depan,
ditunggangi seorang prajurit. Tiba di depan Bu
Sam-kui, prajurit itu menghentikan kudanya
dan melompat turun serta memberi hormat
kepada Bu Sam-kui dan Li Lim-hong. "Lapor,
Panglima....." "Ada apa? Apakah musuh bergerak lagi?"
Kembang Jelita 2 / IX 20 "Bukan begitu, Panglima. Saya adalah
prajurit yang berjaga-jaga di tembok arah
timur-laut." Tembok timur laut adalah yang menghadap
ke wilayah negeri Manchu. Meskipun Bu Samkui sedang menghadapi tekanan berat dari arah
barat dan selatan oleh kaum Pelangi Kuning,
namun ia tetap mewaspadai sisi timur-laut, sisi
yang menghadapi wilayah Manchu. Meskipun
ada laporan yang mendengar bahwa balatentara
Manchu sudah ditarik menjauhi perbatasan,
begitu juga laporan Jai Yong-wan yang suka
keluyuran sebagai saudagar jin-som, Bu Samkui tidak mengurangi kewaspadaan di sisi
timur-laut. Kini mendengar seorang penjaga sisi timurlaut hendak melapor, Bu Sam-kui sudah
berdebar-debar lebih dulu. Belum-belum
pikirannya sudah membayangkan yang buruk
dulu. Disangkanya pihak Man-chu juga sudah
bergerak untuk menggencet San-hai-koan
sebagai "pintu gerbang" strategis antara
wilayah luar Tembok Besar dengan dalam
Kembang Jelita 2 / IX 21 Tembok Besar. Kalau apa yang ditakutkan itu
benar, ia dan pasukannya yang kecil itu harus
menghadapi dua balatentara kuat dari dua
jurusan. "Orang Manchu?" tanya Bu Sam-kui tegang.
"Benar, Panglima."
Jantung Bu Sam-kui sudah mengamuk
seperti tambur yang ditabuh seorang pemabuk
berat. "Berapa kekuatan mereka kira-kira?"
"Sepuluh orang."
Bu Sam-kui membelalakkan matanya, "He,
prajurit sinting, bicaralah yang benar."
"Benar, Panglima. Mereka hanya sepuluh
orang prajurit berkuda, membawa bendera
putih dan mereka sekarang sedang menunggu
dibukai pintu. Itulah sebabnya aku mencari
Panglima untuk minta ijin sebab tidak berani
bertindak lancang." Bu Sam-kui batal ke markasnya, melainkan
membelokkan kudanya ke arah tembok timur,
diikuti Li Lim-hong dan prajurit yang melapor
itu. Kembang Jelita 2 / IX 22 Setelah Bu Sam-kui ada di atas tembok, ia
melihat di daratan di luar tembok memang
nampak sepuluh orang prajurit berkuda
Manc.hu yang termangu-mangu menunggu
dibukai pintu. Salah seorang dari mereka
membawa bendera putih sebagai isyarat agar
tidak diserang. Karena prajurit-prajurit Manchu itu
bercaping, maka wajah mereka jadi tidak
kelihatan dari atas tembok. Yang kelihatan dari
atas tembok hanyalah bundaran-bundaran
caping mereka yang berhias benang-benang
merah di pucuknya dan hiasan bulu burung
merak yang rebah ke belakang.
Bu Sam-kui berpikir sejenak, lalu berkata,
"Aku akan menunggu mereka di markas.
Bukakan pintu buat mereka, dan jangan lupa,
lucuti senjata mereka sebagai tanda kedaulatan
kita atas kota San-hai-koan."
"Baik, Panglima."
Bu Sam-kui lalu bergegas menuju
markasnya untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk "menyambut" utusan-utusan
Kembang Jelita 2 / IX 23 Manchu itu. Biarpun San-hai-koan sedang
dijepit kesulitan rasaksa, tetapi Bu Sam-kui
tidak mau kelihatan lemah, ia ingin
menunjukkan kepada tamu-tamu Manchu itu
bahwa San-hai-koan "tetap kuat".
Sementara Bu Sam-kui kembali ke markas,
prajurit-prajurit San-hai-koar yang berjaga-jaga
di pintu pun membukakan pintu gerbang dan
membiarkan prajurit-prajurit berkuda Manchu
itu masuk Ketika para pengawal San-hai-koan
melaksanakan perintah Bu Sam-kui untul
melucuti orang-orang Manchu itu, di luar
dugaan bahwa orang-orang Manchu iti begitu
"jinak" sehingga tanpa bantahan sedikit pun lalu
menitipkan senjata-senjat. mereka kepada
pengawal-pengawal pintu gerbang. Kemudian
barulah mereka di kawal ke markas Bu Sam-kui
oleh satu regu prajurit San-hai-koan yang sudah
dipersiapkan. Markas Bu Sam-kui sendiri dijaga jauh lebih
ketat dari hari-hari biasanya. Ada satu regu di
depan pintu, satu regu di seberang markas, satu
regu di halaman dalam, dan belasan pengawal
Kembang Jelita 2 / IX 24 pilihan yang akan berdiri di belakang kursinya
Bu Sam-kui. Bagaimanapun, selain untuk
menunjukkan kewibawaan, hal itu juga perlu
untuk berjaga-jaga sebab bagaimanapun juga
mereka belum tahu apa maksud kedatangan
orang-orang Manchu itu. Bu Sam-kui sudah duduk gagah di kursinya
yang berlapis kulit macan tutul, ketika
rombongan orang Manchu tiba. Pengawalpengawal berdiri di belakangnya, dan
komandan-komandan bawahan berdiri berderet sepanjang dinding kiri dan kanan,
semuanya berseragam lengkap dan mentereng.
Sepuluh orang Manchu itu pun melangkah
ke dalam ruangan, tanpa senjata. Yang berjalan
paling depan nampak tenang dan penuh
senyuman. Ia seorang berusia setengah umur
dengan kumis dan jenggot kelabu.
Tetapi begitu mengenali wajah orang ini, Bu
Sam-kui amat kaget sehingga hampir melompat
dari kursinya. "Kau.......kau..." katanya tergagap
sambil menudingkan telunjuknya.
Kembang Jelita 2 / IX 25 Orang itu tersenyum, dan berbicara bahasa
Han dengan fasih, "Betul, Saudara Bu. Baikbaikkah keadaanmu selama ini, selama berpisah
dengan aku?" Sesaat Bu Sam-kui jadi bertingkah
canggung. Perwira-perwira bawahannya yang
belum lama berada di bawah perintahnya,
menjadi heran melihat tingkah Panglima
mereka itu. Tetapi buat panglima-panglima
yang sudah lama bertugas di San-hai-koan,
bahkan ada yang lebih dahulu di San-hai-koan,
bisa memaklumi sikap Bu Sam-kui, sebab
mereka sendiri mengenal pimpinan rombongan
Manchu itu. Orang itu bernama Ang Seng-tiu, bekas
seorang perwira dinasti Beng yang bertugas di
San-hai-koan sejak jamannya Henderal Wan
Cong-hoan yang legendaries itu. Jenderal Wan
Cong-hoan adalah pahlawan dinasti Beng yang
berhasil menewaskan raja Manchu, Kaisar Thaicong, ayahanda Kaisar Sun-ti yang bertahta saat
itu meskipun masih bocah. Ang Seng-tiu adalah
bawahan Jenderal Wan waktu itu, begitu pula
Kembang Jelita 2 / IX 26 Bu Sam-kui yang masih perwira menengah.
Ternyata kemenangan besar Jenderal Wan
Cong-hoan itu bukannya disambut baik di Pakkhia, ibukota dinasti Beng, malah ada
segolongan orang dengki yang khawatir kalau
kejayaan Jenderal Wan akan membuatnya
semakin kuat dan membahayakan kedudukan
orang-orang dengki itu. Orang-orang yang
dengki ini lalu mempengaruhi Kaisar Cong-ceng
yang berpendirian lemah. Akhirnya Jenderal
Wan Cong-hoan dipanggil pulang ke Ibukota
Pak-khia bukan untuk menerima hadiah atas
jasa-besarnya, melainkan malah menerima
hukuman mati. Pasukan di San-hai-koan yang
setia kepada Jenderal Wan pun tergoncang,
penasaran, melorot semangatnya, kecewa dan
berduka ketika mendengar tentang matinya
Jenderal Wan itu. Kemudian Ang Seng-tiu
menjadi Panglima San-hai-koan menggantikan
Wan Cong-hoan. Karena kemerosotan semangat
pasukan gara-gara dihukum matinya Jenderal
Wan, pasukan dinasti Beng jatuh dalam posisi
bertahan yang terus-menerus "digebuki" oleh
Kembang Jelita 2 / IX 27 pasukan Manchu, kebalikan dari keadaan di
jaman pimpinannya Jenderal Wan. Suatu kali,
ketika keadaan San-hai-koan begitu mengkhawatirkan, Jenderal Ang mengirim
utusan ke Pak-khia untuk mohon bantuan. Yang
dikirim adalah Bu Sam-kui dan seorang perwira
lain bernama Liong Tiau-hui. Tiba di Ibukota
Pak-khia, Bu Sam-kui dan Liong Tiau-hui
bersusah-payah mencari jalan untuk dapat
menghadap Kaisar Cong-ceng dan mengabarkan
keadaan San-hai-koan yang gawat. Tetapi
mereka tertahan lama oleh birokrasi ruwet di
sekitar istana, sampai mereka kehilangan
kesabaran karena kehabisan bekal untuk
menyuap ke sana ke mari, mereka belum juga
berhasil menghadap kaisar. Sampai mereka
dengar bahwa Jenderal Ang Seng-tiu di San-haikoan menjadi begitu putus asa dan menyerah
kepada Manchu setelah tertangkap dalam suatu
pertempuran. Liong Tiau-hui, teman Bu Samkui, menjadi begitu kalap sehingga berusaha
menerobos penjagaan untuk menemui Kaisar
Cong-ceng ketika Kaisar menghadiri pesta di
Kembang Jelita 2 / IX 28 rumah Bangsawan Ciu Kok-thio, mertua Kaisar.
Liong Tiau-hui dikira pembunuh yang
bermaksud jahat atas diri Kaisar, dan dia
hampir saja mati dibunuh oleh pengawalpengawal kaisar, seandainya tidak diselamatkan
oleh seorang tokoh pemberontak Pelangi
Kuning. Liong Tiau-hui akhirnya bergabung
dengan golongan Pelangi Kuning yang sedang
berusaha menumbangkan dinasti Beng lewat
pemberontakan. Sedang Bu Sam-kui cepat-cepat
dikirimkan ke

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

San-hai-koan untuk menggantikan kedudukan Ang Seng-tiu. Sampai
dinasti Beng runtuh dan kaum Pelangi Kuning
berkuasa, Bu Sam-kui tetap bertahan di San-haikoan.
Kini, berhadapan dengan bekas panglima
atasannya itu, bekas atasan yang sekarang
berpakaian pembesar negeri Manchu, Bu Samkui benar-benar tidak siap mental.
la menarik napas beberapa kaJi untuk
meredakan debar jantungnya, kemudian
berusaha bersikap dingin, "Jenderal Ang,
hampir-hampir tidak kupercayai mataku bahwa
Kembang Jelita 2 / IX 29 yang berdiri di hadapanku dengan seragam
pembesar negeri asing, negeri musuh
bebuyutan bangsa Han ini, adalah kau! Ternyata
kau masih punya muka juga menjumpaiku."
Sikap Bu Sam-kui dingin dan sama sekali
tidak ramah, bahkan meskipun di ruangan itu
sebenarnya sudah disediakan kursi-kursi untuk
para tamu, namun setelah Bu Sam-kui
mengetahui bahwa pemimpin rombongan
Manchu itu adalah Ang Seng-tiu, maka Bu Samkui
tidak mempersilakannya duduk. Dibiarkannya tamu-tamunya tetap berdiri saja.
Sementara Ang Seng-tiu ketika melangkah
masuk ke ruangan itu, agaknya angan-angannya
juga melayang ke masa silam. Di ruang itu pula
ia dulu duduk sebagai Panglima San-hai-koan,
sebelum ia tertangkap oleh orang Manchu
dalam suatu pertempuran, kemudian ia
menakluk kepada orang Manchu dan mendapat
kedudukan. Kini ia melihat ruangan itu masih
seperti dulu, bedanya sekarang ia adalah orang
asing yang diterima dengan tidak ramah.
Kembang Jelita 2 / IX 30 Ang Seng-tiu menarik napas beberapa kali,
mengendalikan emosinya, lalu berkata, "Saudara Bu..."
Bu Sam-kui cepat-cepat menukas, "Sebut
aku dalam kedudukan resmiku, Jenderal Ang."
"Baik, Jenderal Bu. Aku memahami sikapmu
sekarang ini, tetapi tidakkah kau punya tatakrama menyambut utusan dari suatu negara
yang berdaulat, meskipun negara yang kau
anggap musuh sekali pun?"
"Silakan duduk," akhirnya Bu Sam-kui
memenuhi juga tata-krama itu.
"Terima kasih," sahut Ang Seng-tiu yang
mengambil tempat duduk lebih dulu, diikuti
anggota rombongannya. Ketika duduk di kursi itu, lagi-lagi hati Ang
Seng-tiu tersentuh. Pegangan kursi sebelah kiri
itu gumpil sedikit ujungnya, dan Ang Seng-tiu
teringat ia pernah memarahi seorang prajurit
bawahannya yang menggotong kursi itu kurang
hati-hati sehingga terbentur ambang pintu
sedikit. Tak terasa Ang Seng-tiu mengelus
Kembang Jelita 2 / IX 31 bagian kursi yang gumpiJ itu dengan ujung
jarinya. "Nah, Jenderal Ang, Anda membawa pesan
apa dari majikan Anda yang baru?"
Ang Seng-tiu berusaha untuk tidak
terpengaruh oleh sindiran-sindiran tajam yang
dilontarkan Bu Sam-kui itu, melainkan langsung
ke pokok persoalannya. "Jenderal Bu, kami
sudah mendengar kesulitan pasukanmu....."
"Tunggu! Kesulitan pasukan siapa?"
Ang Seng-tiu melengak sejenak, lalu!
mengalah dengan mengubah istilahnya, "O,
maaf kalau kau tidak suka istilah itu, Jenderal
Bu. Baik. Kami sudah mendengar tentang
pertempuran gigih yang sudah berlangsung
beberapa hari antara kalian dan kaum Pelangi
Kuning. Aku pribadi kagum akan kegigihan dan
keteguhan tekad prajurit-prajurit San-hai-koan
yang berhasil bertahan melawan musuh yang
jauh lebih besar. Meski aku bukan prajurit Sanhai-koan lagi, tetapi aku ikut berbangga
karenanya....." Kembang Jelita 2 / IX 32 Sesaat suasana sunyi, kedengarannya suara
Ang Seng-tiu bersungguh-sungguh.
Kemudian Ang Seng-tiu meneruskan, "Aku
membawa pesan dari Sri Baginda Sun-ti...."
ketika mau tidak mau menyebut Raja Manchu
itu dengan sebutan yang hormat, mau tidak mau
wajah Ang Seng-tiu agak merah dan sikapnya
agak kikuk, tetapi dilanjutkannya juga,
"...... bahwa sejak dulu negeri Manchu
sebenarnya tidak punya niat menyerbu ke
sebelah selatan Tembok Besar. Kami orangorang Manchu...." lagi-lagi kuping Ang Seng-tiu
merah sendiri karena ia orang Han, apalagi
karena Bu Sam-kui berdehem keras, namun Ang
Seng-tiu terus berkata, "... maksudku, orang-orang Manchu (kali ini
Ang Seng-tiu melirik dengan sungkan kepada
pengiring-pengiringnya sendiri) bisa memperhitungkan berapa jumlah penduduk
Manchu dan berapa jumlah penduduk Tionggoan, mungkinkah penduduk Manchu yang
sedikit itu menelan negeri yang begini luas?"
Kembang Jelita 2 / IX 33 "Hem, tetapi orang Manchu terus-menerus
mengadakan perlawanan kepada pemerintah
dinasti Beng, sejak jaman mendiang Kaisar
Thian-ke," bantah Bu Sam-kui. "Apakah itu
bukan maksud menjajah negeri bangsa Han
untuk mengulangi kejadian jaman Kim dulu?"
Memang berabad-abad yang lalu, wilayah
Liau-tong (wilayahnya bangsa Manchu) adalah
sebuah negeri tersendiri yang disebut negeri
Kim. Ketika daratan Cina terbelah dua oleh
Kerajaan Liao di utara dan Song di selatan,
maka negeri Kim ini adalah taklukan Liao.
Kemudian negeri Kim berhasil menjadi kuat dan
mengalahkan Liao, ganti Liao yang menjadi
taklukan Kim dengan secuil sisa wilayahnya di
bagian barat yang disebut Se-liao (Liao Barat),
Kim juga mendesak Song lebih ke selatan
sehingga disebut jaman Lam-song, atau Song
Selatan. Sementara Kim tumbuh menjadi
kekuatan besar, di gurun utara bangkit
kekuatan yang lebih besar, yaitu bersatunya
suku-suku Mongol yang semula terpecah-belah,
bersatu di bawah Jengish Khan yang menyapu
Kembang Jelita 2 / IX 34 ke selatan, sekaligus menghapuskan Kim, Seliao maupun Lam-song dari peta. Bahkan
pengembaraan Jengish Khan ke wilayah barat
menjadi legenda. Ratusan tahun kemudian,
ketika rakyat Tiong-goan bangkit menumbangkan penjajah Mongol, rakyat Tionggoan mendirikan Kerajaan Beng, dan saat itu
bekas wilayah Se-liao maupun Kim masuk
menjadi wilayah Beng yang diperintah orangorang suku bangsa Han. Orang-orang bekas
penduduk Se-liao dengan cepat melebur dan
melupakan kalau mereka keturunan Liao,
mereka menganggap diri juga sebagai bangsa
Han, meskipun tampangnya agak berbeda.
Tetapi orang-orang bekas wilayah Kim di timurlaut agaknya lebih sulit membaur dengan suku
penguasa, suku Han. Mereka masih teringat
kejayaan masa lalu, kejayaan negeri Kim. Tahun
1616, ketika dinasti Beng di jamannya Kaisar
Sin-cong (1573 - 1620) keropos, orang-orang di
bekas wilayah negeri Kim ini melepaskan diri
dari dinasti Beng, mendirikan dinasti Ceng yang
disebut juga Hau-kim (Kim Baru) dan
Kembang Jelita 2 / IX 35 mengangkat Kaisar Thai-cou. Peristiwa inilah
yang disebut oleh Bu Sam-kui tadi.
Ang Seng-tiu dengan tangkas menangkisnya,
"Jenderal Bu, peristiwa penobatan Sri Baginda
Thai-cong di kota Jiat-ho itu adalah sebuah
pernyataan kemerdekaan dari suatu kaum yang
berhak merdeka. Tak berbeda dengan ketika
bangsa Han menobatkan Cu Goan-ciang untuk
menggantikan penguasa-penguasa Mongol."
Pengiring-pengiring Ang Seng-tiu mengangguk-angguk mendukung kata-kata Ang
Seng-tiu itu. Sementara Ang Seng-tiu
melanjutkan, "Setelah bangsa Man-chu merdeka, mereka tidak bermaksud menyerbu
ke selatan sebagai penjajah. Tidak. Mereka
hanya ingin berdiri sebagai bangsa yang
merdeka tetapi tidak menjadi ancaman buat
bangsa lain. Terjadinya perang yang berlarutlarut di Liau-tong dulu, adalah karena dinasti
Beng ingin memulihkan cengkeraman kekuasaannya di Liao-tong dengan mengirimkan penyerbu-penyerbu semacam
Wan Cong-hoan dan sebagainya. Bangsa ManKembang Jelita 2 / IX
36 chu hanya bersikap mempertahankan diri,
karena tidak mau menjadi bangsa taklukkan
kembali!" Begitu berapi-api Ang Seng-tiu membela
pihak Manchu. Bu Sam-kui tersudut, pengetahuan sejarahnya tidak sehebat Ang Seng-tiu, bekas
atasannya itu, tahu kalau berdebat akan kalah.
Maka ia lalu berkata, "Jenderal Ang, hentikan
dulu pidatomu itu, sekarang katakan maksud
kedatanganmu sebenarnya."
"Baik. Terus terang saja, Jenderal Bu,
pemerintahku sudah tidak menganggap dinasti
Beng sebagai ancaman lagi, karena... maaf,
sudah runtuh. Pihak kami saat ini menganggap
kaum Pelangi Kuning yang kampungan itulah
yang bakal menjadi ancaman bagi kami, sebab
mereka sedang mabuk kemenangan. Pemerintah kami khawatir kalau San-hai-koan
ini jatuh ke tangan kaum Pelangi Kuning,
mereka akan melanjutkan gerakannya sampai
ke Liao-tong, ke wilayah Man-chu. Akan terjadi
lagi peperangan di Liao-tong yang berlarut-larut
Kembang Jelita 2 / IX 37 dan minta banyak korban di kedua pihak.
Tegasnya, pemerintah kami keberatan San-haikoan jatuh ke tangan pihak Pelangi Kuning."
"Lalu?" "Kami menawarkan bantuan apa saja,
supaya San-hai-koan dapat dipertahankan.
Sekali lagi, kami tidak berambisi menduduki
wilayah selatan, kami hanya ingin mengamankan wilayah kami sendiri di timurlaut."
"Kami sanggup bertahan tanpa bantuan
kalian." Jawaban lugas Bu Sam-kui itu membuat
bukan saja Ang Seng-tiu saling pandang dengan
perwira-perwira pengiring-nya, juga perwiraperwiranya Bu Sam-kui sendiri saling
bertatapan. Mereka tahu benar kalau
persediaan bahan makanan buat pasukan di
San-hai-koan sedang paceklik.
Sesaat suasana di ruangan itu tegang
mencekam. Jawaban tegas Bu Sam-kui itu
seperti menutup alur pembicaraan.


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Jelita 2 / IX 38 Namun Ang Seng-tiu masih berusaha
membuka peluang kembali, "Jenderal Bu, apa
yang membuatmu menolak uluran tangan
kami?" "Karena tanpa uluran tangan kalian, kami
masih sanggup bertahan tanpa bantuan kalian.
Prajurit-prajurit amatiran Pelangi Kuning itu
sama sekali tidak berbahaya bagi kami."
"Syukurlah..." Ang Seng-tiu masih mencoba
bersikap mengalah. "Sebenarnya kalau kita
bekerja-sama akan lebih baik. Bukan maksud
pihak kami ingin membuat pihakmu menjadi
berhutang budi kepada kami dan tergantung
kepada kami. Sama sekali tidak. Justru pihak
kami merasa terlindung dari serangan kaum
Pelangi Kuning dengan gigihnya pertahanan di
San-hai-koan. Seandpinya bisa saling membantu
di antara kita tentulah lebih baik. Kami akan
mengirim pasukan....."
"Tidak!" kembali Bu Sam-kui menukas
tegas. "Itu hanyalah siasat kalian untuk bisa
mendapatkan San-hai-koan dengan gratis!"
Kembang Jelita 2 / IX 39 "Jenderal Bu, buang jauh-jauh prasangkamu.
Aku mengatakan yang benar bahwa kami tidak
berambisi menyerbu ke selatan. Kau tentu
punya pengintai-pengintai yang bisa memberi
laporan kepadamu, bahwa balatentara kami
sudah ditarik menjauhi perbatasan. Itu tanda
bahwa kami tidak bermaksud menyerang. Dan
kalau tawaran pasukan tadi kau curigai, baik,
bagaimana kalau kami tawarkan bahan
makanan dan persenjataan? Kami bisa
mengirimimu ratusan pucuk senjata api buatan
Portugis, lengkap dengan peluru-pelurunya dan
bubuk mesiunya. Bagaimana?"
Kali ini Bu Sam-kui tidak buru-buru
menjawab tidak, ia kelihatan berpikir. Tawaran
itu menarik. Kalau benar dia bakal memiliki
ratusan pucuk senjata api, alangkah akan
mengejutkan buat musuh besok, kalau mereka
menyerang lagi. "Bagaimana?" Bu Sam-kui kali ini bersikap sedikit luwes,
"Jenderal Ang, aku mempersilakan kau dan
pengiring-pengiringmu untuk beristirahat di
Kembang Jelita 2 / IX 40 ruang tamu di belakang, dan berilah aku
kesempatan berunding dengan perwiraperwiraku."
Sikap Bu Sam-kui yang melunak itu
menggirangkan hati Ang Seng-tiu. Ia bangkit
dari tempat duduknya dan berkata kepada
pengiring-pengiringnya, "Kita akan tinggalkan
ruangan ini sebentar, untuk memberi
kesempatan kawan-kawan kita ini merundingkan tawaran kita."
Para perwira Manchu itu berbicara sebentar
satu sama lain dengan bahasa Manchu dalam
suara lirih. Dan banyak di antara mereka yang
mengangguk-angguk. "Silakan, Jenderal Ang," Bu Sam-kui berdiri
dari duduknya, sikap mengantar pergi. Sikapnya
tidak sekaku dan sedingin ketika Ang Seng-tiu
datang tadi. Setelah Ang Seng-tiu dan rombongannya
menghilang, Bu Sam-kui berkata kepada
perwira-perwiranya, "Nah, kalian sudah dengar
sendiri. Bagaimana tanggapan kalian?"
Kembang Jelita 2 / IX 41 Li Lim-hong si perwira bagian perbekalan
yang bertubuh gemuk yang sejak tadi sudah
gregetan karena Bu Sam-kui bersikap "jual
mahal" terhadap tawaran Ang Seng-tiu, kirii
maju paling dulu dan bicara dengan lantangnya,
"Panglima, alasan pihak Manchu untuk
membantu kita itu cukup masuk akal. Mereka
adalah suku bangsa berjumlah sedikit, mana
mungkin mereka berani berangan-angan
menduduki negeri bangsa Han yang luas dan
penduduknya berjumlah puluhan kali lipat dari
penduduk mereka? Hendaknya kita jangan
terlalu membayangkan hal-hal yang menakutkan tentang mereka. Kita harus
percaya niat baik mereka. Kita terima saja
tawaran mereka, baik bantuan tentara maupun
bantuan bahan makan. Asal kita tidak takluk
kepada mereka, apa salahnya?"
Sebelum Bu Sam-kui menanggapi, seorang
perwira lain yang bertubuh tegap dan bermuka
persegi, sudah membantah, "Aku tidak setuju.
Sekali orang-orang Manchu itu berada di
sebelah dalam tembok San-hai-koan sulit sekali
Kembang Jelita 2 / IX 42 untuk menyuruh mereka pergi. Apalagi kalau
mereka datang dengan kekuatan besar. Bantuan
yang mereka tawarkan hanyalah pura-pura,
sebagai tipu-daya untuk dapat memasuki kota
ini tanpa susah-payah."
Segera ruangan itu menjadi riuh-rendah
oleh perdebatan. Ada yang menyetujui Li Limhong dan ada yang menyetujui si perwira
bertubuh kekar itu. Ada juga yang mengusulkan
jalan tengah, yaitu hanya menerima bantuan
bahan pangan dan bedil-bedil Portugis, tetapi
tidak mau menerima kehadiran prajurit-prajurit
Manchu di dalam kota. Suasana begitu ributnya,
sebab para perwira itu tidak bicara satu persatu
melainkan seringkah beberapa orang sekaligus
berbicara dengan suara beradu keras.
Sampai Bu Sam-kui berdiri dari duduknya
dan menyuruh diam semuanya.
"Saudara-saudara, setelah aku pertimbangkan, aku memutuskan untuk
menerima bantuan mereka hanya dalam bentuk
bahan makanan dan senjata api, tetapi aku
takkan mengijinkan satu pun prajurit Manchu
Kembang Jelita 2 / IX 43 berada di San-hai-koan. Bahkan bantuan itu pun
tidak akan membuat kita merasa berhutang
budi. Kelak kalau kaum Pelangi Kuning berhasil
kita halau, kita akan kembalikan semua
pemberian orang Manchu itu, sehingga kita
tidak terikat hutang apa-apa dengan mereka."
Setelah Bu Sam-kui memutuskan demikian,
tidak ada lagi yang mendebat.
Seorang perwira kemudian disuruh untuk
memanggil kembali Ang Seng-tiu dan
rombongannya. Keputusan Bu Sam-kui segera diberitahukan kepada rombongan utusan Manchu itu. Beberapa orang anggota rombongan itu
sebenarnya kecewa dalam hati, sebab mereka
sebenarnya ingin membawa pasukan Manchu
memasuki San-hai-koan. Tetapi mereka
sembunyikan rapat-rapat kekecewaan mereka
dalam hati, jangan sampai dicurigai oleh Bu
Sam-kui dan perwira-perwiranya. Toh pihak
San-hai-koan hanya mau menerima bantuan
bahan makanan dan senjata api itu juga sudah
diperhitungkan. Kembang Jelita 2 / IX 44 Sementara Ang Seng-tiu dengan wajah
berseri menyambut keputusan Bu Sam-kui itu,
"Aku menyampaikan terima kasih atas
kesediaan Henderal Bu menyambut uluran
tangan kami. Kami tidak kecewa tawaran kami
tentang bantuan prajurit tidak diterima, sebab
kami memang tidak punya ambisi merebut Sanhai-koan. Mudah-mudahan keikut-sertaan kami
dalam mempertahankan San-hai-koan, akan dapat
mengawali langkah kebangkitan kembali dinasti
Beng. Terus-terang saja, negeri kami lebih
senang punya tetangga yang beradab seperti
dinasti Beng dulu, daripada yang kampungan
macam golongan Pelangi Kuning..."
Setiap patah kata Ang Seng-tiu memang
enak dikuping. Sudah menolong, bukannya
merasa bangga dan menempatkan diri di atas
yang ditolongnya, malahan mengucap terima
kasih, seakan-akan pihak Manchu benar-benar
merasa aman kalau San-hai-koan tetap dikuasai
orang-orang dinasti Beng.
Kembang Jelita 2 / IX 45 Namun Bu Sam-kui masih mencoba
bertahan dengan gengsinya, "Jenderal Ang,
kelak bantuan itu akan kami kembalikan. Kami
akan menganggapnya sebagai hutang, kami
tidak mau terima gratis dari siapa pun."
Ang Seng-tiu diam-diam tertawa dalam
hatinya, sebab ia sudah kenal bagaimana watak
Bu Sam-kui yang gampang berubah pendirian
itu. Ang Seng-tiu mengenalnya, sebab ia pernah
menjadi atasan Bu Sam-kui selama bertahuntahun. Toh ia menjawab dengan bijaksana,
"Terserah apa yang kau sukai, Jenderal Bu. Mau
dikembalikan ya baik, mau tidak dikembalikan
ya kami ikhlas, sebab berarti kami sudah ikutserta membendung penguasa kampungan
Pelangi Kuning itu meluaskan wilayahnya dan
mengancam wilayah kami. Nah, sekarang kami
pamit. Dalam dua hari lagi, yang kami janjikan
itu akan tiba. Lima ratus karung beras dan lima
ratus pucuk bedil beserta peluru dan bubuk
mesiunya......" "Silakan..." kali ini Bu Sam-kui sedikit
bersopan-santun dengan berdiri sambil
Kembang Jelita 2 / IX 46 memberi hormat, sebagai sikap mengantarkan
pergi rombongan orang Manchu itu.
Rombongan itu pun memberi hormat
dengan simpatik, lalu pergi meninggalkan Sanhai-koan.
* ** Ong Ling-po beserta pasukan gunung
Pelangi Kuning yang berada di pegunungan itu,
berhenti ketika seharian mereka gagal melacak
jejak pasukan gunung lawannya.
"Mungkin mereka berjalan di dalam air
dangkal seperti yang pernah kita lakukan dulu,"
Pun Liok menduga-duga. "Sehingga jejak
mereka tidak kelihatan, bahkan tidak kelihatan
ada rumput yang terinjak atau ranting yang
patah..." Ong Ling-po mengangguk-angguk dan
berkata, "Kalau demikian, mereka adalah
pasukan-gunung yang sama berpengalamannya dengan kita. Kita tidak boleh memandang
remeh mereka." Kembang Jelita 2 / IX 47 "Lalu, bagaimana kita?"
"Besok kita akan memecah pasukan menjadi
dua, menyelusuri sungai ke kedua arah. Kita
akan saling memberi isyarat kalau salah satu
dari kita memergoki mereka. Malam ini kita
istirahat di sini, tetapi penjagaan jangan
dilupakan." Demikianlah, malam itu mereka beristirahat.Berbeda dengan malam se belumnya,kali ini Ong Ling-po memperbolehkan
prajurit-prajuritnya menyalakan api. Seolaholah memberitahu kepada musuh di mana
posisi mereka. Menantang.
Tetapi sampai hampir tengah malam, tidak
terdengar ada isyarat apa pun dari pengintaipengintai yang disebar oleh Ong Ling-po di
sekitar tempat istirahat pasukannya,

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menandakan kalau musuh agaknya memperhitungkan juga jumlah yang tak
sebanding antara kedua pihak.
Ong Ling-po duduk terkantuk-kantuk di
bawah sebatang pohon besar dengan kepala
bersandar batu, tanpa mencopot seragam
Kembang Jelita 2 / IX 48 tempurnya kecuali topi besinya yang ditaruh di
rerumputan di sebelahnya. la sengaja duduk
menyendiri agak menjauh dari perapian yang
dibuat oleh prajurit-prajuritnya supaya bisa
menenangkan pikiran sambil terkantuk-kantuk
nyaman. Tetapi ia terkejut ketika sesosok tubuh
berdiri di hadapannya, sesosok tubuh yang
berdirinya tepat di bayangan pepohonan,
sehingga sangat kabur, orang itu seolah-olah
berada di batas antara ada dan tidak ada.
Nampaknya orang itu memakai seragam
prajurit juga, namun tidak jelas.
Ong Ling-po dengan sigap menyambar
sepasang kaitan yang tidak pernah jauh
daripadanya, dan hendak melompat bangun,
tetapi tangan orang itu menekan dadanya dan
Ong Ling-po merasa sebagian besar kekuatannya amblas entah kemana. Ong Lingpo sampai berkeringat dingin, kalau orang ini
musuh, alangkah gampangnya mencabut
nyawanya. Kembang Jelita 2 / IX 49 Bahkan untuk memberi tanda kepada
prajurit-prajuritnya yang tidak jauh dari situ
pun mungkin takkan sempat.
Tetapi terdengbr orang itu berkata, "Aku
bukan musuh. Aku tidak ingin membunuhmu.....Lalu ia mengangkat telapak
tangannya dari dada Ong Ling-po sambil berdiri
kembali dari jongkoknya. Ong Ling-po merasakan tubuhnya normal
kembali. Kalau mau, ia dapat memanggil
prajurit-prajuritnya, tetapi rupanya ia ingin
"membalas kebaikan" orang itu yang tadi sudah
tidak membunuhnya. Ia tarik napas beberapa
kali, lalu bertanya tenang, "Siapa kau? Kalau
kawan, dari pasukan yang mana?"
Orang itu berpikir sejenak sebelum
menjawab, "Baiklah, kelihatannya kau terlalu
cerdik untuk dibohongi mentah-mentah, jadi
aku akan menyingkapkan sedikit tentang diriku.
Kalau kau tanya apakah aku kawan satu
golongan, memang aku bukan kawan semacam
itu. Tetapi kalau dalam hal sama-sama menging
Kembang Jelita 2 / IX 50 "Aku bukan musuh. Aku tidak ingin membunuhmu..."
Lalu ia mengangkat telapak tangannya dari dada
Ong Ling-po. Kembang Jelita 2 / IX 51 ini hancurnya pasukan di San-hai-koan, ya... kau
boleh mengandalkan aku...."
Sementara Ong Ling-po mulai mengenali
suara orang itu sebagai suara si "perwira
misterius" yang pernah menuntun pasukannya
memasuki bagian dalam benteng San-hai-koan
melalui sebuah parit kecil, dan ternyata
memang orang itu tidak mengkhianatinya.
Terbukti segalanya berjalan lancar, kalau pun
ada kegagalan, justru karena kedatangan
pasukan bantuan yang dinanti-nanti ternyata
tidak muncul. Maka dalam hati Ong Ling-po
merasa tidak ada salahnya menganggap orang
itu sebagai kawan, meskipun hanya dalam
sekedar persekutuan taktis, persekutuan karena
sama-sama mempunyai tujuan jangka pendek
yang sesuai. "Sekarang, apa maumu menemui aku?"
"Aku mau menawarkan jasa lagi. Kalau kau
ingin menghancurkan Kongsun Koan...."
"Siapa itu Kongsun Koan?"
"Panglima San-hai-koan yang pasukannya
bentrok dengan pasukanmu kemarin."
Kembang Jelita 2 / IX 52 "Oo, yang bersenjata pedang amat besar
itu?" "Ya. Kalau kau ingin menghancurkan
Kongsun Koan esok fajar, malam ini aku akan
menuntunmu ke suatu tempat penghadangan
yang amat menguntungkan, yang pasti akan
dilewati oleh pasukan itu besok. Dengan jumlah
pasukan di pihakmu yang lebih besar, serangan
mendadak di tempat penyergapan, aku yakin
kau bisa menghancurkan mereka."
"Apa keuntunganmu dengan kehancuran
mereka?" "Soal ini sulit kukatakan kepadamu, kalau
kau ngotot ingin jawaban juga, kau akan
mendapat jawaban yang tidak benar. Mau
kubohongi?" Orang-orang itu begitu lugas kata-katanya,
membuat Ong Ling-po agak salah-tingkah juga
menghadapinya. Ada juga sedikit rasa percaya
Ong Ling-po terhadap keterangan yang
diberikan orang ini tadi, tetapi untuk
mempertaruhkan ribuan prajuritnya dengan
menuruti kata-kata orang yang tidak dikenai itu,
Kembang Jelita 2 / IX 53 ia ragu-ragu. Dulu waktu orang itu menuntun
menyusup San-hai-oan, memang benar hasilnya
baik seanJainya pasukan bantuan tidak
terlambat, tetapi sekarang siapa tahu?
"Kenapa? Kau takut?" orang itu mencoba
memanas-manasi hati Ong Ling-po.
Dan Ong Ling-po menjawabnya, "Ya, aku
takut aku dan pasukanku masuk perangkap,
karena aku tidak kenal siapa kau."
"Bukankah dulu pernah kubantu kau dan
pasukanmu masuk San-hai-koan? Masih kurang
percaya?" "Terus terang, ya. Dalam situasi seperti ini
terlalu banyak pihak-pihak tersembunyi yang
akan mencari keuntungan. Kami tidak mau
menjadi jangkrik aduanmu."
"Keteranganku tadi benar. Aku benar-benar
mengetahui route yang akan dilewati Kongsun
Koan, dan aku mengetahui suatu jalan yang
lebih pendek bagi pasukanmu untuk mendahului mereka sampai ke titik penghadangan itu." Kembang Jelita 2 / IX 54 "Aku akan senang kalau mendengar itu dari
pengintai-pengintaiku sendiri. Tetapi sikapku
akan lain kalau datang dari orang yang tidak
kukenal seperti kau."
Orang itu menggeram menahan amarahnya.
Di luar dugaan bahwa Ong Ling-po tidak mudah
"dimainkan sebagai wayang" sesuai rencananya.
Jenderal Lau Cong-bin memang terkenal malas
berpikir dan gegabah, tetapi tidak berarti semua
komandan bawahannya harus demikian. Ong
Ling-po ini contohnya. Ong Ling-po diam-diam bersiaga, berjagajaga kalau orang itu marah, dan orang itu cukup
berbahaya sebab kemampuan tempurnya
beberapa tingkat di atasnya. Namun Ong Lingpo merasa bisa mengandalkan anak buahnya
yang terpilih untuk bersama-sama mengeroyok
orang itu. Ternyata orang itu malahan mundur
selangkah memasuki kegelapan yang lebih
pekat, dan suara geramnya terdengar sebelum
dia menghilang, "Besok pagi pengintaipengintaimu akan melaporkan kepadamu
Kembang Jelita 2 / IX 55 tentang gerakan pasukan Kong-sun Koan, persis
dengan yang sebenarnya akan kukatakan, tetapi
tentu saja kau sudah akan terlambat untuk
bertindak karena kau tidak mempercayai aku
malam ini..." LaJu menghilanglah orang itu ke dalam
kekelaman malam. Ong Ling-po membuang napas. Meskipun
kemudian ia kelihatannya duduk tenang
kembali di bawah pohon, tetapi pikirannya
mulai bergolak. Di permukaan panggung
perebutan kekuasaan, nampaknya yang sedang
"bermain" hanyalah pihak golongan Pelangi
Kuning sebagai pemerintah atas Cina Utara
yang baru, bergulat melawan sisa-sisa dinasti
Beng yang enggan menyerah. Itu yang tampil c'i
permukaan. Tetapi Ong Ling-po sadar ada pihak
lain yang "ikut bermain" di bawah permukaan.
Pihak Manchu tidak boleh dilupakan, mereka
tidak pernah mengesampingkan ambisi mereka
untuk menduduki daratan tengah.
Selagi ia mencoba melihat masalahnya
dengan jernih, seorang prajurit tiba-tiba berlariKembang Jelita 2 / IX
56 lari ke dekat perapian, sambil bertanya kepada
prajurit-prajurit dekat perapian, "Mana Panglima?" Seorang prajurit di dekat api unggun
menunjuk ke tempat Ong Ling-po sedang
beristirahat, di bawah bayangan pohon yang
hampii tak tersentuh cahaya api unggun.
Ong Ling-po menduga prajurit itu
membawa kabar penting, ia lalu melangkah
mendekati api unggun sambil bertanya, "Ada
apa?" Prajurit itu melapor, "Ada sebuah pasukan
sedang mendekati posisi kita dalam posisi
tempur." "Pasukan pihak mana?"
"Dalam kegelapan tidak terlihat jelas
bendera mereka, mereka juga tidak membawa
obor. Tetapi kalau dilihat bentuk topinya di
kegelapan malam agaknya sisa-sisa dinasti
Beng." Beberapa perwira bawahan Ong Ling-po
sudah berkerumun dan mereka ikut mendengar
Kembang Jelita 2 / IX 57 laporan prajurit itu, sehingga wajah mereka
menjadi tegang. Sementara Ong Ling-po diam-diam membantin, "Orang yang memberitahu aku tadi
ternyata bohong. Pasukan dinasti Beng ternyata
justru sedang menuju kemari, tidak cocok
dengan keterangannya. Hem, kentara kalau dia
bermaksud tidak baik dengan membohongi aku,
dari pihak mana pun dia...."
Rupanya Ong Ling-po menyangka yang
datang itu adalah pasukannya Kongsun Koan,
karena mengira pasukan dinasti Beng yang
bersembunyi di pegunungan itu hanyalah
pasukan Kongsun Koan. Pasukan yang lebih
kecil dari pasukannya. Karena itu Ong Ling-po tidak gentar atau
kaget mendengar laporan itu, mulutnya
tersenyum mengejek dan berkata. "Kita
songsong mereka, dan malam ini kita takkan
membiarkan mereka lolos seperti kemarin
waktu di tepi sungai. Hem, rupanya mereka
ingin menyergap kita secara diam-diam untuk
menyebabkan kita kaget, he-he-he, kitalah yang
Kembang Jelita 2 / IX 58 akan mengejutkan mereka. Kita songsong


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sebelum mereka sampai ke sini.
Siapkan pasukan! Bawa obor sebanyakbanyaknya tetapi jangan nyalakan sebelum
dekat mereka. Kita takkan membiarkan
kegelapan malam menjadi selubung buat
mereka yang lebih sedikit dan lebih lemah dari
kita!" Para komandan bawahan berlarian kepada
pasukannya masing-masing untuk menjalankan
perintah secepat-cepatnya.
Dalam waktu singkat, pasukan itu segera
meninggalkan perkemahan itu dalam kegelapan. Obor banyak dibawa tetapi tidak
dinyalakan, sementara pengintai-pengintai
berjalan jauh mendahului pasukan untuk
memberi isyarat kalau musuh sudah dekat.
"Obor-obor dan api unggun di sini apakah
perlu dimatikan?" tanya Pun Liok.
"Tidak usah," jawab Ong Ling-po. "Biar tetap
menyala, dan kalau musuh melihat cahaya api
dari kejauhan, biar mereka mengira kalau kita
belum siap, sehingga menjadi lengah."
Kembang Jelita 2 / IX 59 Demikianlah, pasukan Ong Ling-po merayap
dalam kegelapan, menyongsong ke arah yang
diperkirakan datangnya pasukan musuh. Ketika
seorang pengintai memberi isyarat bahwa
musuh sudah dihadapan, maka Ong Ling-po pun
memberi isyarat tanpa bunyi ke seluruh
pasukannya agar menyalakan obor secara
serentak, dengan harapan akan mengacaukan
musuh dan mengejutkannya.
Tak terduga, begitu obor-obor menyala dan
pasukan Ong Ling-po bersorak serempak, justru
dari arah kegelapan di depan mereka
berhamburanlah hujan anak panah dan lembing
ke arah pasukan Ong Ling-po. Begitulah,
bukannya berhasil mengejutkan, malahan
pasukan Ong Ling-po yang dikejutkan lebih
dulu. Rupanya musuh dipimpin oleh orang yang
trampil otaknya, sehingga malahan dapat
memanfaatkan menyalanya obor di pihak Ong
Ling-po sebagai isyarat buat pasukannya sendiri
untuk menyerang. Rupanya pihak Ong Ling-po
menyalakan obor itu sudah diperhitungkan
Kembang Jelita 2 / IX 60 pihak musuh. Dari hal itu saja, ternyata kalau
pihak musuh dipimpin seorang yang
berpengalaman dan berperhitungan.
Banyak prajurit Ong Ling-po yang rebah
oleh panah dalam bentrokan pertama itu. Oborobor
yang dinyalakan yang semula dimaksudkan untuk mengagetkan musuh,
sekarang malah menguntungkan musuh karena
mempermudah musuh membidikkan panah dan
lembing, sebab pasukan Ong Ling-po di tempat
terang dan musuh di tempat gelap.
"Berlindung!" perintah Ong Ling-po.
Para prajurit mencari pohon atau batu
untuk berlindung, atau mengangkat perisaiperisai rotan mereka. Para pemanah dan
pelempar lembing di pihak Ong Ling-po, juga
sudah siap membalas, tapi tidak tahu harus
diarahkan ke mana sebab musuh berlindung di
balik tabir kegelapan. Ada juga pemanah atau pelempar lembing
yang untung-untungan melontarkan serangan,
tetapi mereka tidak tahu apakah panah atau
lembing mereka mengenai sasaran atau tidak.
Kembang Jelita 2 / IX 61 Sebaliknya setiap prajurit Ong Ling-po yang
roboh kena panah atau lembing mudah
kelihatan karena di bawah cahaya obor.
Ong Ling-po geram dan berteriak,
"Padamkan obor!"
Begitulah, kalau tadinya obor-obor dinyalakan, sekarang buru-buru dibanting
untuk diinjak. Tetapi sementara itu hujan panah
dan lembing dari pihak musuh belum berhenti.
Saat itulah justru di sebelah depan, dari
lereng-lereng yang tanahnya tidak rata,
terdengar suara teriakan-teriakan komando
disusul sorak-sorai menggemuruh bagaikan air
bah. Obor-obor bermunculan tak terhitung
banyaknya dan bagaikan pasukan kunangkunang menyerbu ke depan. Rupanya tadi oborobor itu ditudungi tempayan atau apa saja, dan
sekarang tudungnya dibuang.
Ong Ling-po terkejut melihat pasukan yang
menyerbu itu ternyata jauh lebih banyak dari
pasukannya sendiri, bisa diperkirakan dari
banyaknya obor yang seolah-olah memenuhi
lereng-lereng di sekitar situ.
Kembang Jelita 2 / IX 62 Pasukan musuh yang muncul itu agaknya
ingin memaksakan pertempuran terbuka,
mungkin karena merasa lebih kuat. Itulah
sebabnya mereka menyalakan obor-obor, dan
Rantau Satu Muara 5 Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Vertical Run 8
^